Anda di halaman 1dari 115

SKRIPSI

EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN

DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR

NI MADE DESTRIANA ALVIANI

NIM. 1103005081

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015
SKRIPSI

EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN

DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR

NI MADE DESTRIANA ALVIANI

NIM. 1103005081

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

ii
EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN

DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI MADE DESTRIANA ALVIANI

NIM. 1103005081

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

iii
Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 05 MEI 2015

Pembimbing I

Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum

NIP. 19461231 197602 1 001

Pembimbing II

I Made Tjatrayasa,SH.,MH

NIP. 19501231 197903 1 019

iv
SKRIPSI INI TELAH DIUJI

PADA TANGGAL : 02 JULI 2015

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor : 245/UN14.1.11/PP.05.02/2015 Tanggal 24 JUNI 2015

Ketua : Prof.Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum ( )

Sekretaris : I Made Tjatrayasa,SH.,MH ( )

Anggota : 1. Dr. Ida Bagus Surya Dharma jaya,SH.,MH ( )

2. I Gusti Ngurah Parwata, SH., MH ( )

3. Sagung Putri M.E Purwani, SH., MH ( )

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah

menganugerahkan nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu

syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Udayana.

Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis

menyadari bahwa penyusunan skripsi ini atas bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang tak terhingga dengan penuh rasa hormat kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH., Dekan Fakultas

Hukum Univeristas Udayana;

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH., Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;

vi
6. Bapak I Gst. Ngr. Parikesit Widiatedja SH.,M.Hum, Pembimbing Akademik

(PA) yang selama ini telah memberikan saran dan nasihat kepada penulis;

7. Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum,dosen pembimbing I yang telah

membimbing dan memberikan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

8. Bapak I Made Tjatrayasa,SH.,MH,dosen pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktunya, membimbing dan memberikan motivasi dalam

penyusunan skripsi ini ;

9. Bapak/Ibu Dosen serta seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas

Udayana yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingan yang sangat

bermanfaat selama masa studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

10. Bapak/Ibu Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana dan

pegawai perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang turut

membantu kelancaran proses penyelesaian skripsi ini;

11. Bapak I Wayan Agus Miarda, A.Md.IP.SH, Kepala Satuan Pengamanan

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang telah memberikan

bantuan dan keterangan-keterangan yang sangat berguna;

12. Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH, A.Md.IP.SH, Kasi

Bimbingan dan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan, yang telah

memberikan bantuan dan keterangan-keterangan yang sangat berguna ;

13. Bapak Dewa Gede Astara,SH.MH, Ka.Sub Bagian Tata Usaha Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang telah memberikan data terkait

dengan data pegawai Lapas Klas IIA Denpasar ;

vii
14. Bapak Mikha Simanjuntak, SH, Staff Pegawai Bimbingan Kemasyarakatan

dan Perawatan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang turut serta

memberikan keterangan yang sangat berguna ;

15. Bapak Ida Bagus Sedana, SH, Kasi. Pencegahan BNN Kota Denpasar, yang

bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan pendapatnya terkait

kebijakan yang dapat diterapkan pemerintah dalam pembinaan narapidana ;

16. Kepada orang tua penulis, Bapak I Nengah Sukandia dan Ibu Yani Suryani,

yang senantiasa mendukung dan percaya kepada penulis, serta selalu

menyertakan nama penulis dalam setiap munajatnya.

17. Kepada saudara kandung penulis, Ni Putu Hilda Septian Andriyani, Dikri

Lazuardi, Ni Komang Intan Tri Pujiani, I Ketut Andika Pramudia yang terus

memberikan dukungan serta doa tiada henti. Selain itu terimakasih untuk

nenek, paman, bibi, saudara-saudara sepupu, dan seluruh anggota keluarga

yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini;

18. Untuk Sahabat-sahabat penulis, Andhika Ramadian Afsiandi, Akbar Nugraha,

Windi Dianti Agustin, Amalia Rani, M. Syamsul Islam, Daud Jusuf

Aritonang, Irma Putri Labora, Arya Utamayasa, A.A Ayu Mirah Kartini

Irawan, Ni Luh Intan Ayu Megawati, M Zainal Abidin, I Wayan Edy

Kurniawan, Ida Ayu Merta Dewi yang telah memberikan doa, dukungan serta

warna tersendiri dalam hidup penulis;

viii
19. Keluarga Besar ALSA, UMCC, SOLIH Fakultas Hukum Universitas

Udayana, yang telah memberikan banyak pengalaman serta pelajaran

berharga dalam setiap kegiatannya ;

20. All crew Pro2fm Denpasar, Ayu Rasminiati SH, Alan Bawana, Theresa P

Turker, Cahyo Suryo Andre A, Diah Karang, IAP Widya Indah Sari, Ida

Bagus Tri Pramana, Yogi Ari Dwipayana, Desak Putu Kurnia, Erica

Wahyuni, Komang Pratama Putra, Kadek Windy Pranata Putra, Made Arya,

yang telah memberikan semangat, motivasi, serta bersedia menggantikan

tugas penulis selama pembuatan skripsi ini;

21. Segenap pihak yang membantu dan mendukung penulis baik secara material

maupun immaterial yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari dengan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, maka

skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan

skripsi ini, penulis persembahkan skripsi ini kepada almamater tercinta, Fakultas

Hukum Universitas Udayana, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Denpasar, 15 Mei 2015

Penulis

ix
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan

Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi

manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang

secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan

duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja

mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka

penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/ atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah

tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 28 Mei 2015

Yang menyatakan,

( Ni Made Destriana Alviani)


NIM.1103005081

x
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM ...................................................................... ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ..................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ................ iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ......................... v

HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...................................... x

HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................... xi

ABSTRAK ......................................................................................................... xv

ABSTRACT ........................................................................................................ xvi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ................................................................. 9

1.4 Orisinalitas ...................................................................................... 10

1.5 Tujuan Penelitian ............................................................................ 12

a. Tujuan Umum ............................................................................. 12

xi
b. Tujuan Khusus ............................................................................ 12

1.6 Manfaat Penelitian .......................................................................... 12

a. Manfaat Teoritis ........................................................................ 12

b. Manfaat Praktis ......................................................................... 13

1.7 Landasan Teoritis ............................................................................ 13

1.8 Metode Penelitian ........................................................................... 22

a. Jenis Penelitian.......................................................................... 22

b. Jenis Pendekatan ....................................................................... 23

c. Sifat Penelitian .......................................................................... 24

d. Sumber Data.............................................................................. 24

e. Teknik Pengumpulan data......................................................... 25

f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian........................................ 26

g. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 27

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SISTEM PEMASYARAKATAN

DAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA

2.1 Sistem Pemasyarakatan di Indonesia ............................................ 28

2.1.1 Pengertian Sistem Pemasyarakatan ...................................... 28

2.1.2 Sejarah Singkat Sistem Pemasyarakatan di Indonesia .......... 31

2.1.3 Tujuan Sistem Pemasyarakatan ............................................ 36

2.1.4 Asas Penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan ................... 37

2.2 Pengertian Sistem Pembinaan dan Pola Pembinaan Narapidana . 40

xii
2.2.1 Pengertian Sistem Pembinaan ............................................... 40

2.2.2 Pola Pembinaan Narapidana ................................................. 43

2.3 Sejarah Singkat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar ... 48

BAB III PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPPASAR

3.1 Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Denpasar ......................................................................... 49

3.1.1 Gambaran Umum Lapas Klas IIA Denpasar ........................ 49

3.1.2 Struktur Organisasi dan Tata Kerja ...................................... 51

3.2 Penyelenggaraan Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Denpasar ............................................................................ 55

BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN

PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR DAN UPAYA

PENANGGULANGANNYA

4.1 Faktor Penghambat dalam Penyelenggaraan Pembinaan Terhadap

Narapidana ................................................................................ 75

4.2 Upaya yang Telah dilakukan Oleh Lapas untuk Meminimalisir

Faktor Penghambat Dalam Pembinaan Narapidana .................. 80

xiii
4.3 Upaya yang dapat dilakukan untuk Memaksimalkan Pembinaan

Narapidana ................................................................................ 80

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 84

5.2 Saran ............................................................................................... 85

DAFTAR BACAAN

DAFTAR INFORMAN

DAFTAR RESPONDEN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiv
Abstrak

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat


untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang kemerdekaannya
setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang selanjutnya terpidana di
tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai narapidana untuk disana kembali
di proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup
bermasyarakat. Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi
Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan
narapidana. Berdasarkan hal tersebut maka dibuatlah skripsi berjudul Efektivitas
Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Adapun permasalahan yang diangkat adalah
Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar. Apa yang menjadi faktor penghambat dalam pembinaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dan Bagaimana
Upaya Penanggulangannya.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode empiris, dengan
menggunakan data primer dan data sekunder yang kemudian di analisis secara
analisis deskriptif kualitatif.
Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Pembinaan
terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar dilaksanakan pada sebuah sarana yang cukup memadai yang disebut
bengkel kerja. Pembinaan terhadap warga binaan dilaksanakan oleh petugas
pemasyarakatan dan petugas pengamanan. penyelenggaran pembinaan dimulai
dengan tahap pembinaan, tahap asimilasi, dan tahap Integrasi. Adapun pola
pembinaan yang dilakukan yaitu Pembinaan kepribadian dan pembinaan
kemandirian. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Denpasar merupakan
salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami keadaan over kapasitas
hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor penghambat proses pembinaan
bagi narapidana yaitu Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia
mengikuti pembinaan yang diprogramkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar, Keterbatasan sarana dan prasarana, Kurangnya tenaga pengajar
pembinaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan antara lain Pengurangan jumlah
Warga Binaan Pemasyarakatan, pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi
terhadap masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan yaitu Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan
dengan maksimal hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya permasalahan yang
terjadi di Lapas Klas IIA Denpasar.

Kata Kunci :Efektivitas, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Pembinaan

xv
Abstract

Recovery referred to the prison staff is to undertake the construction of the


residents and Protégé detention in principle everyone offenders undergoing criminal, lost
its independence after the break through a court order, which is then convictedpersons
placed in rehabilitation institutions as a prisoner not to return in the process according
to the law so you can eventually return to public life. But many agencies are constraints,
such as the concerned recovery facilities, as well as in the field of the construction of the
residents. Based on this categorization made entitled the effectiveness of recovery in
coaching inmates In Klas IIA Denpasar Correctional Intitutions. of the issues raised is
how prisoners in Klas IIA Denpasar State construction recovery facility at this time. How
the construction of the policies of the residents in the days to come.

Legal methods used is the method of empirical laws, using primary data and
secondary data analysis the analysis at a later deskriptif kualitatif.

For the results obtained in this study was the construction of the prison in
Kerobokan recovery facility has been implemented in a sufficient way known as
workshops. The construction of the building was carried out by Security officers and
correctional officers. the construction of the venue began with the construction of the
stage, stage of assimilation. For pattern construction construction of personality and
construction of independence. Klas IIA Denpasar correctional institution rehabilitation
(prison staff) is one who suffers from excess capacity and experience to date between the
factors restricting the construction process for inmates that not all citizens are willing to
follow correctional building construction are in Klas IIA Denpasar correctional facility,
lack of guidance of the coaching. For policies that can be used by the Government in the
days to come, among other things, a reduction in the number of people in our prisons,
make cards, there is a socialization to society. Brezzi Based on the research results can
be drawn the conclusion that the condition of building the prison in Klas IIA Denpasar
recovery facilities can be said not to walk with maybe this is evidenced by the large
number of problems still occur in Klas IIA Denpasar prison staff.

Key words: Effectiveness, Correctional Institutions, Prisoner, Developmment

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang luas dan merupakan negara hukum.

Pembangunan nasional dalam garis besar haluan negara mencakup semua aspek

kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk

mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan.

Adanya proses penegakan hukum yang baik hendaknya dapat berjalan

sesuai dengan apa yang diharapkan, atau tidak terjadi ketimpangan didalam proses

penerapannya. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara Indonesia

adalah negara hukum. Menegakan tertib hukum guna mencapai tujuan negara

Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan pancasila, maka dalam upaya mencapai tujuan tersebut tidaklah

jarang terjadi permasalahan-permasalahan hukum yang disebabkan karena

luasanya negara Indonesia sangatlah berdampak pada permasalahan di negara ini

yang kompleks terjadi dalam aspek perkembangan hukum di Indonesia, Selain itu

para pihak (pejabat) dalam melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan

kepada hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.

Hukum merupakan hasil dari interaksi sosial dengan kehidupan

masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum

1
2

(timbulnya, berubahnya,lenyapnya ) sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Perkembangan hukum merupakan kaca dari pembangunan masyarakat.1

Bicara pembangunan hukum kuat dan merata diseluruh kalangan

masyarakat, maka dari itu pembangunan hukum tersebut dapat dikatakan berjalan

sesuai dengan rencana, namun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa didalam proses

pembangunan hukum yang kuat masih banyak terjadi kendala, misalnya saja

hukum di Indonesia ini seakan menjadi milik segelintir orang yang mempunyai

kedudukan penting di negara ini, mereka bisa dengan mudah membeli hukum itu

sendiri, namun dilain pihak masyarakat terus menjerit ketika hukum tersebut tidak

lagi berpihak kepadanya. Masyarakat di buat frustasi dengan keadaan seperti ini,

hak asasi manusia (HAM) yang ada seakan tidak dapat menolongnya. Keadaan

seperti ini membuat masyarakat tidak memiliki jalan keluar lain, sehingga mereka

melakukan tindak kejahatan yang berdampak pada di jebloskannya orang tersebut

ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang

kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang

berkekuatan hukum tetap selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga

Pemasyarakatan sebagai narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan

hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Hal ini

sesuai dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri yaitu, untuk memenuhi rasa

1
Riduan Syahrini, 1999, Rangkuman Intisari Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.51.
3

keadilan dalam masyarakat dengan cara melaksanakan dan menegakan aturan

hukum pidana demi terciptanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.2

Penjatuhan pidana kepada seseorang dengan menempatkannya kedalam

Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya melihat bahwa pidana adalah alat untuk

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah

timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap

terpelihara, sehingga dengan dimasukannya ke dalam Lembaga Pemasyarakatan

orang tersebut tidak mengulangi perbuatannya.

Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi

Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan

narapidana. Disini akan sedikit dijabarkan mengenai apa itu Lembaga

Pemasyarakatan, narapidana dan proses pembinaannya. Menurut Undang-

Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ( Selanjutnya di sebut UU

Pemasyarakatan ) khususnya Pasal 1 angka ke-3 menyebutkan bahwa pengertian

“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”.

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka ke-7 menyebutkan bahwa narapidanaadalah

“terpidana yang menjalani hilang kemerdekannya di Lapas”.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

(dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa

2
Muhammad Zainal Abidin & I wayan Edy Kurniawan, 2013, CatatanMahasiswaPidana,
Indie Publishing, Depok, hal. 6.
4

narapidana (napi) atau bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang

tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau

tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana

dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau

dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.

Pidana penjara dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat

sebagai adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum, oleh

karena itu pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan. sistem

kepenjaraan yang di gunakan tidak konsisten dan sistem perlakuan yang

diterapkan sifatnya kurang mendidik para narapidana.Selain itu, dalam sistem

penjara, hak-hak asasi manusia sangat tidak di perhatikan. Narapidana di

perlakukan secara tidak manusiawi dan tidak kenal perikemanusiaan. Itu sebabnya

mengapa dikatakan secara konsepsional sistem kepenjaraan bertentangan dengan

tujuan yang dianutnya, dan sistem kepenjaraan tidak sesuai untuk di terapkan.

Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman

Sahardjo pada tahun 1963. Tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan

hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang

yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Sesuai dengan tujuan utama

didirikannya Lembaga Pemasyarakatan yang disebutkan dalam Pasal 2 UU

Pemasyarakatan yaitu membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya

yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta


5

menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Hal ini bertujuan supaya

fungsi Lembaga Pemasyarakatan untuk menyiapkan warga binaan

permayarakatan agar dapat berintegritas secara sehat dengan masyarakat, sehingga

dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung

jawab sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UU Pemasyarakatan dapat terwujud.

Tak lepas juga pola pembinaan (pembinaan karakter, pembinaan mental, dan

pembinaan iman) dalam Lembaga Pemasyarakatan harus benar-benar dijalankan.

Pembinaan Narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan,

pembinaan narapidana diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999

tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya ditulis PP No.31

Tahun 1999 ), yakni dalam ketentuan :

Pasal 2 PP No. 31 Tahun 1999

(1) program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan


pembimbingan kepribadian dan kemandirian.
(2) program pembinaan diperuntukan bagi narapidana dan anak didik
pemasyarakatan
(3) program pembimbingan

Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan

dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan

pembinaan kemandirian. Semua ini dilakukan bawasannya narapidana merupakan

masyarakat dari bangsa Indonesia sendiri yang mempunyai hak-hak yang patut

dipenuhi, diantaranya hak untuk hidup dan hak atas perlindungan dan bebas dari

ancaman.
6

Hak-hak yang dimiliki oleh narapidana hendaknya dapat diberikan dengan

jalan adanya pembinaan kepribadian yang diarahkan pada pembinaan mental dan

watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung

jawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, sedangkan pembinaan

kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar nantinya

narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan

bertanggung jawab. Perkembangan tujuan pembinaan narapidana berkaitan erat

dengan tujuan pembinaan. Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat

dibagi dalam tiga hal yaitu :

a. Setelah keluar dari Lapas tidak lagi melakukan pidana.

b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam

membangun bangsa dan Negara.

c. Mampu mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa dan mendekatkan

kebahagiaan di duia maupun di akhirat3.

Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada kenyataannya tidak

sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh dimasyarakat.

dalam hal ini yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakikat hidup

yang tumbuh di masyarakat maksudnya dalam pembinaan narapidana para

petugas pembina narapidana terkadang melakukan penyimpangan dalam

melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum yang

3
Andi Hamzah, 1983, Tinjauan Ringkas Sistem Pemindanaan di Indonesia, Cetakan Pertama,
Nopember, Jakarta, hal.17.
7

berlaku seperti yang diamanahkan pada Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan

mengenai hak-hak narapidana dan dalam ketentuan PP No.31/1999 tentang

Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan, merupakan dasar bagaimana

seharusnya narapidana diberlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu

sistem pemindanaan yang terpadu.

Pembinaan yang diberikan terhadap narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar masih berada jauh dibawah standarisasi

nasional, masih banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran di Lembaga

Pemasyarakatan yang terbesar di Bali tersebut. 4 Sebagai contoh nyata adalah

peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh narapidana hingga berujung pada

pembakaran sejumlah fasilitas Lembaga Pemasyarakatan yang terjadi pada

tanggal 28 Februari 2012.5 Kerusuhan yang diwarnai aksi pembakaran tersebut

bermula dari peristiwa penusukan pada narapidana yang dilakukan oleh

narapidana lain terkait adanya perlakuan khusus atau sikap diskriminasi oleh

petugas pemasyarakatan yang dianggap tidak adil.6

Peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar juga

disebabkan terkait dengan terjadinya over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Denpasar. Lembaga Pemasyarakatan yang berkapasitas 336 hunian, pada

kenyataannya dihuni oleh sekitar 1.050 Warga Binaan Pemasyarakatan yang

4
Diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/Lapas/denpasar pada 17 Mei 2013 Pukul 11.38
5
Kerusuhan di Lapas Klas IIA Denpasar, Bali Post, 29 Februari, 2012, hal.1.
6
Diakses dari http://www.nasional.new.viva.co.id/read/news/290303-ada-senjata-yang-
dirampas-napi-kerobokan 22 Oktober 2014 Pukul 12.34.
8

terdiri dari narapidana dan tahanan.7 Sementara itu, faktor internal terkait dengan

terjadinya kerusuhan tersebut dikarenakan terbatasnya jumlah petugas keamanan

Pemasyarakatan, minimnya Sumber Daya Manusia petugas pemasyrakatan dan

kurangnya pemahaman dari petugas pemasyarakatan terhadap P.P.L.P (Peraturan

Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan) yang wajib dibawa dan dipahami ketika

melakukan pengawasan terhadap narapidana.8

Pembinaan terhadap narapidana merupakan komponen penting yang tidak

dapat dipisahkan dalam menjalankan sistem pemasyarakatan yang berlandaskan

pengayoman oleh setiap Lapas Khususnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar. Sistem keamanan sebagai langkah awal dari pembinaan terhadap

narapidana harus berjalan seimbang, sehingga Warga Binaan Pemasyarakatan

dapat memahami dan mematuhi segala peraturan yang berlaku di Lembaga

Pemasyarakayan Klas IIA Denpasar pada khususnya. Apabila semua proses

tersebut sudah diterapkan dan dilaksanakan dengan benar sesuai ketentuan

undang-undang yang berlaku, maka akan tercipta ketertiban dan keharmonisan

terhadap seluruh penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang meliputi narapidana,

tahanan, anak didik pemasyarakatan, petugas Lembaga Pemasyarakatan, sehingga

penyelenggaraan pembinaan berjalan dengan lancar. Pada akhirnya narapidana

siap untuk dikembalikan kepada masyarakat dan diharapkan tidak akan

7
Diakses dari http://www.regional.kompas.com/read/inilah-penyebab-kerusuhan-Lapas-
kerobokan , 24 Oktober 2014 pukul 12.57.
8
Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009, Cetak Biru
Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, hal.136.
9

mengulangi tindak pidana lagi serta menjadi warga yang baik dan bertanggung

jawab sesuai yang diamanatkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan.9

Berdasarkan latar belakang bahwa terdapat ketimpangan dalam hal

pembinaan terhadap narapidana sesuai yang diamanahkan Pasal 2 UU

pemasyarakatan, maka mengangkat permasalahan ini ke dalam skripsi yang

berjudul “EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM

PEMBINAAN NARAPIDANA DI LAPAS KLAS IIA DENPASAR”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga

PemasyarakatanKlas IIA Denpasar ?

2. Apa yang Menjadi Faktor Penghambat dalam Pembinaan Narapidana

di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dan Bagaimana Upaya

Penanggulangannya ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan sebagaimana yang telah

diuraikan, maka akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang

lingkup permasalahan dalam penulisan penelitian ini.

9
Ibid, hal.32.
10

Pokok permasalahan yang pertama dalam penulisan skripsi ini, akan

dibahas mengenai pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar. Ruang lingkup masalah ini diperlukan untuk menghindari terjadinya

kekaburan permasalahan yang akan dibahas. Pelaksanaan pembinaan meliputi

program pembinaan apa saja yang diberikan kepada seluruh narapidana dalam

sistem pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar, karena pembinaan yang dilakukan sangat penting dan wajib diperoleh

setiap narapidana, oleh karena fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan adalah

tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik

pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU

Pemasyarakatan, sehingga narapidana yang sudah diberikan pembinaan serta

pembekalan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar siap untuk

dikembalikan ke dalam masyarakat dan tentunya tidak mengulangi perbuatannya.

Pokok permasalahan yang kedua akan dibahas mengenai faktor apa saja

yang dapat menghambat kelangsungan pelaksanaan pembinaan terhadap

narapidana khsususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, selain itu

akan dibahas pula mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan

pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.

1.4 Orisinalitas

Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi

ini maka dapat dilihat perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu
11

skripsi berjudul Pembinaan Narapidana Lanjut Usia di Lapas Karang Asem

dengan penulis bernama Agung Beliferdo di Fakultas Hukum Universitas

Udayana pada tahun 2013. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk pembinaan terhadap narapidana lanjut usia di LP kelas II

A kabupaten Karangasem?

2. Faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan narapidana lanjut

usia dan upaya apa yang dilakukan ?

Adapun skripsi lain berjudul Efektivitas Pelaksanaan Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dengan penulis bernama

Realizhar Adillah Kharisma Ramadhan di Universitas Hasanudin Makasar pada

tahun 2013. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh pihak Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa dalam menekan angka

ketergantungan Narkotika bagi warga binaan?

2. Bagaimanakah efektifitas pelaksanaan pidana pelaku penyalahgunaan

narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa ?

Penulis dapat memastikan bahwa penelitian yang dilakukan dapat terjamin

keorisinalitasannya dan berbeda dengan skripsi yang telah di sebutkan di atas.

Karena dalam penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada

efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana.


12

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk

memperoleh pemahaman mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam

pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.

b. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelenggaraan pembinaan

terhadap Narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar

2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam

memaksimalkan pembinaan narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar

1.6 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan

wawasan bagi para pembaca tentang bagaimana efektivitas Lembaga

Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana khususnya di Lapas Klas IIA

Denpasar sebagaimana yang diamanahkan dalam ketentuan undang-undang yang

mengatur. Adapaun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memperoleh
13

pencerahan tentang permasalahan hukum yang dihadapi sehingga dapat menjadi

dasar pemikiran yang teoritis, bahwa suatu Perundangan-undangan yang ada

belum tentu berjalan sesuai, serta sempurna dalam prakteknya.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi penulis, penelitian ini adalah untuk mendapatkan bahan informasi

dalam menganalisa serta sebagai suatu pemecahan masalah-masalah

terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi, khususnya

mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan

narapidana.

2. Bagi Petugas Lapas hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi

dalam hal membuat perencanaan pembinaan Narapidana yang

berlandaskan UU Pemasyarakatan agar efektivitas Lapas tersebut dalam

memberikan pembinaan dapat terjamin.

3. Bagi pembuat kebijakan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan

sebagai bahan dalam mengambil dan membuat kebijakan yang akan

dilaksanakan dalam upaya peningkatan pembinaan oleh Lembaga

Pemasyarakatan.

1.7 Landasan Teoritis

Secara umum Lembaga Pemasyarakatan berada dibawah pengawasan

direktorat jenderal pemasyarakatan ( Dirjenpas ) Departemen Hukum dan Ham

RI, dimana departemen ini bertugas mengayomi masyarakat dalam bidang hukum
14

dan hak asasi manusia. Kewenangan departemen ini ditangan pemerintah pusat

yang diserahkan menjadi kewenangan daerah otonom.10

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk memproses atau

memperbaiki seseorang ( people processing organization ), dimana input maupun

outputnya adalah manusia yang dilabelkan penjahat.11Demi mewujudkan sistem

pemasyarakatan yang berlandaskan pancasila, maka dibentuklah UU

Pemasyarakatan. Secara yuridis Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam UU

No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (3) UU No.12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah

tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan. Sedangkan sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan

mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan

berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang

dibina, dan masyarakat agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara

wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan


Pasal 1 angka ke-1 yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah kegiatan untuk
melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

10
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009 Cetak Biru
Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan,hal.136.
11
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, hal. 124.
15

Selain itu berdasarkan surat keputusan kepala daerah direktorat

pemasyarakatan No.K.P.10/3/7, tanggal 8 Februari 1965, dimana disampaikan

suatu konsepsi pemasyarakatan, yaitu : pemasyarakatan adalah suatu proses,

proses therapeuntie dimana si narapidana pada masuk Lapas berada dalam

keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan

yang negatif dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu mengalami

pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masyarakat yang

sekelilingnya tersebut merupakan suatu keutuhan dan keserasian (keharmonisan)

hidup dalam penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang merugikan (negatif).

Secara umum Lembaga Pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana

fisik yang cukup memadai bagi pelaksana seluruh proses sistem pemasyarakatan

terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan, seperti adanya sarana

perkantoran, sarana perawatan (balai pengobatan), sarana untuk melakukan

peribadatan sesuai dengan kepercayaan yang dipeluk setiap Warga Binaan

Pemasyarakatan, sarana pendidikan dan perpustakaan, sarana olahraga baik diluar

ruangan (outdor) maupun didalam ruangan (indoor), sarana sosial yang terdiri

dari tempat kunjungan keluarga, aula pertemuan, sarana konsultasi, dan sarana

transportasi (mobil dinas). Narapidana diberikan makanan tiga kali sehari pagi,

siang, dan sore setiap harinya.12

Pembinaan terhadap narapidana dikenal dengan nama pemasyarakatan.

pembinaan dilakukan oleh petugas pemasyarakatan. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU

Pemasyarakatan yang dimaksud dengan petugas pemasyarakatan adalah pejabat

12
Ibid,hal.174.
16

fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan,

pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Tujuan dari

pembinaan menurut Pasal 2 UU Pemasyarakatan adalah untuk membentuk warga

binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat kembali ke

dalam lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, hidup

wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Untuk melaksanakan proses pembinaan, maka dikenal 10 prinsip pokok

pemasyarakatan, yaitu :

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal

hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara

3. Rasa tobat tidaklah dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan

bimbingan

4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih

jahat dari pada ia sebelum masuk Lapas

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan

kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi

waktu semata hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara

saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan

negara
17

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan terhadap narapidana harus

berdasarkan pancasila

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia

meskipun ia telah tersesat

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

10. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan

sistem pemasyarakatan.13

Pembinaan narapidana tidak hanya pembinaan terhadap mental spritual

(pembinaan kemandirian), tapi juga pemberian pekerjaan selama berada di

Lembaga Pemasyarakatan (pembinaan keterampilan) dan olahraga. Berdasarkan

Pasal 2 dan Pasal 3 PP No. 31 Tahun 1999, pelaksanaan pembinaan meliputi

kepribadian dan kemandirian.

Hukum pidana mengenal teori penjatuhan pidana, Ada tiga teori untuk

membenarkan penjatuhan pidana :14

1. Teori absolute atau teori pembalasan ( Vergeldings theorin )

2. Teori relative atau Tujuan ( doeltheorien )

3. Teori gabungan ( Verenigings theorien )

Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18.Teori pembalasan

mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti

13
A Josias dan Simon R-Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, hal.1.
14
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan Indonesia, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
1993,hal.21.
18

memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur

untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu

kejahatan. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu

dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.15

Pidana terlepas dari dampaknya dimasa depan, karena telah dilakukan

suatu kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, dalam ajaran absolute ini

terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan

pidana sebenarnya tidak berguna bahkan memiliki dampak yang lebih buruk

terhadap pelaku kejahatan. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana

mempunyai dua arah yaitu :

a. Ditujukan pada penjahatnya ( Sudut Subjektif )

b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan

masyarakat ( Sudut Objektif )

Teori yang kedua ialah teori relative atau teori tujuan. Teori ini

berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (

hukum ) dalam masyarakat. Pidana adalah untuk mencegah timbulnya suatu

kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam teori

relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan

pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya.

Sementara itu, sifat pencegahan dari teori ini ada 2 ancaman yaitu :

15
Ibid, hal. 29.
19

a. Teori pencegahan umum. Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada

penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat

kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh

masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang

serupa dengan penjahat itu.

b. Teori pencegahan khusus. Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah

pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi

melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk

untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata.

Teori yang ketiga adalah teori gabungan.Teori ini mendasarkan pidana

pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata

lain, dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan dapat

dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu

tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk

dapatnya dipertahankan tata tertib dimasyarakat.

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,

tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada

perbuatan yang dilakukan terpidana.16

Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa

inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan

16
Muhammad zainal abidin & Iwayan Edy kurniawan, Op.cit, hal. 39
20

memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna

“berhasil guna”. Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan

sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan

pelaksanaan hukum itu sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektivitas

hukum berarti keberhasilan, kemajemukan hukum atau Undang-Undang untuk

mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.17 Secara terminologi pakar

hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas

sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing.

Soerjono Soekanto berbicara mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara

lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para

penegak hukumnya.18 Efektivitas hukum dilain pihak juga dipandang sebagai

tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, dalam ilmu sosial antara

lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan atau ketaatan hukum atau

kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor

yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini

hukum.19

Efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum

baik penegak hukum, subtansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga

tidak terjadi ketimpangan antara das solendan das sein. Hal ini sesuai dengan

17
Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30,
hal.11.
18
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, hal.62.
19
Ibid, hal.20.
21

pendapat Lawrence M.Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sistem

hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur, substansi dan kultur hukum.20

Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi

termasuk didalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya,

pengadilan dengan hakimnya. Substansi adalah keseluruhan aturan hukum

termasuk asas hukum dan norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak

tertulis termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum diartikan sebagai kebiasaan-

kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan cara berpikir.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

Soerjono Soekanto, antara lain :21

1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi Undang-

Undang saja

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

20
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial
Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal.
Kencana, Jakarta, hal.225
21
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo, Jakarta,hal.5.
22

Substansi hukum itu adalah Peraturan Perundang-undangan, Struktur

Hukum itu sering disebut penegak hukum, budaya hukum itu sangat luas, dapat

dipahami budaya hukum itu adalah kepatuhan masyarakat.

Kebudayaan (Culture) berarti keseluruhan dan hasil manusia hidup

bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota

masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

adat kebiasaan, pengertian ini pertama kali dikemukakan oleh E.B Tylor dalam

bukunya Primitive Culture di New York.22

Jadi dari pengertian itu, kebudayaan lebih dari kesenian, melainkan ada

kepandaian, hukum, moral, dan termasuk kepercayaan, itu menunjukan budaya

bukan hanya seni.

penulisan ini menggunakan teori pemasyarakatan, teori efektivitas hukum,

dan teori pemidanaan khususnya teori tujuan (relative).

1.8 Metode Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis empiris. Pendekatan

yuridis artinya mendekati permasalahan dari segi hukum yakni berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

22
Hassan Shadily, 1989, Sosiologi Untuk Orang Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta, hal.81.
23

Sedangkan pendekatan dari segi empiris yaitu permasalahan yang terjadi

dalam masyarakat. Pendekatan empiris adalah penelitian hukum positif tidak

tertulis mengenai perilaku angggota masyarakat dalam hubungan hidup

bermasyarakat. Penelitian hukum empiris bertujuan untuk mengetahui sejarah

mana bekerjanya hukum di dalam masyarakat.23

Penelitian yuridis empiris ini, permasalahan dikaji dengan melakukan

pendekatan langsung di Lapas Klas IIA Denpasar, yaitu dalam hal pelaksanaan

pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar lalu dikaitkan dengan ketentuan

Perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31/1999

khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan.

b. Jenis Pendekatan

Pembahasan dalam penelitian ini akan di kaji dengan pendekatan

Perundang-undangan ( the statue approach ), pendekatan analisis konseptual

(analitycal and conceptual approach), dan pendekatan Fakta (The Fact

Approach). Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah

peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Pasal 2

dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan, kemudian dikaitkan dengan permasalahan

pelaksanaan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar. Pendekatan konseptual,

yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, Seperti sumber hukum, fungsi

hukum, lembaga hukum, dan sebagainya. Pendekatan fakta dalam hal ini penulis

23
Fakultas Hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar, hal.68.
24

juga melihat fakta – fakta yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar yang berkaitan

dengan efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam Pembinaan narapidana.

c. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yaitu deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk

pula didalamnya ilmu hukum yang bertujuan menggambarkan secara

komferhensif gejala-gejala dalam masyarakat. Serta, menghubungkan antara

gejala satu dengan gejala lainnya.24 Penelitian ini bermaksud untuk

mendeskripsikan mengenai penyelenggaraan pembinaan narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.

d. Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data

primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang bersumber dari suatu penelitian lapangan,

yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber lapangan yaitu baik

dari responden maupun informan. Data primer yang digunakan dalam

penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan wawancara langsung di

ruang Kepala Pengamanan Lapas dan di ruang Kasi. Binadik Lapas Klas

IIA Denpasar.

2. Data sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian

kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber

24
Zainudin Ali, 2009, Merode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal.25.
25

pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah

terdokumenkan. Terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

dan bahan hukum tersier.

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji Menyatakan bahwa dalam

suatu penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan-

bahan hukum yang mengikat), bahan hukum sekunder (yang memberi penjelasan

mengenai bahan hukum primer), dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder).25

Ketiga bahan hukum tersebut disebut data sekunder yang memiliki

kekuatan mengikat. Bahan hukum primer yang terdiri dari Peraturan Perundang-

undangan, yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

e. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a) Teknik Wawancara

Teknik wawancara menurut Norman K.Densim dapatlah diartikan

sebagai “any face to conversational excange where one person elicits

25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta, hal.39.
26

information from another”26 yang dimaksud dengan hal ini adalah segala

bentuk percakapan, dimana seseorang mendapatkan informasi dari orang

lain. Teknik wawancara yang dilakukan dengan cara mengajukan beberapa

pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan

dengan permasalahan penelitian terhadap Bapak I Wayan Agus Miarda

selaku Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar, Bapak I Wayan Putu Sutresna selaku Kasi. Bimbingan napi dna

anak didik, dan Bapak Mikha Simanjuntak sebagai staff bimbingan

kemasyarakatan dan perawatan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar.

b) Teknik Studi Dokumen

Teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang

relevan dengan permasalahan penelitian yaitu UU Pemasyarakatan, PP

No.31/1999 serta bahan bacaan yang berkaitan dengan efektivitas Lapas

dalam pembinaan narapidana.

f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan

teknik non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik

purposive sampling. Sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan

mencari key information (informasi kunci) ataupun responden kecil yang

dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti.

26
Sri Mamuji, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Pradnya Paramita, Jakarta, hal.
47.
27

g. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah dengan menggunakan analisa kualitatif. Kualitatif yaitu menganalisis atau

menggambarkan data hasil penelitian dilapangan dengan cara kata-kata tanpa

menganalisis angka dan selanjutnya pengolahan data disajikan secara deskriptif

analisis yaitu menggambarkan secara lengkap tentang aspek yang berkaitan

dengan masalah berdasarkan literatur dan data lapangan. Kemudian pengolahan

dan analisis data dilakukan dengan cara deskripsi, sistematis, dan eksplanasi.
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI SISTEM PEMASYARAKATAN DAN

SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA

2.1 Sistem Pemasyarakatan di Indonesia

2.1.1 Pengertian Sistem Pemasyarakatan

Sampai saat ini masih banyak perselisihan paham tentang apa yang

dimaksud dengan pemasyarakatan, sebagai pelaksanaan dalam gerak usahanya

mengidentikan pemasyaraktan itu dengan memberikan kelonggaran-kelonggaran

yang lebih banyak kepada narapidana. Sudarto memberikan definisi tentang

pemasyarakatan yaitu : Istilah pemasyarakatan dapat disamakan dengan

“resosialisasi” dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam

tata budaya Indonesia, dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat

Indonesia. Istilah yang digunakan itu sebenarnya tidak begitu penting, kita tidak

boleh terpancing kepada istilah, dalam hal ini yang penting ialah pelaksanaaan

dari prinsip-prinsip pemasyarakatan itu sendiri, bagaimanakah cara-cara

pembinaan para narapidana itu dalam kenyataannya dan bagaimanakah hasilnya. 27

Mengenai pengertian resosialisasi ini Rosslan Saleh menyatakan bahwa

27
Hendro Purba, Pengertian Tentang Sistem Pemasyarakatan, data diakses pada tanggal 2
Februari 2015, available from : URL : Http ://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-
tentang-sistem.html#

28
29

usaha dengan tujuan bahwa terpidana akan kembali kedalam masyarakat

dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia dapat hidup dalam masyarakat tanpa

melakukan lagi kejahatan-kejahatan.28

Kemudian Romli Atmasasmita memberikan batasan tentang resosilialisasi

ini sebagai berikut : Suatu proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga

Pemasyarakatan dan masyarakat, dan ke dalam proses interaksi mana termasuk

mengubah sistem, nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan

baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat.29Jelas inti dari proses resosialisasi ini adalah mengubah tingkah laku

narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yag dianut oleh

masyarakat dengan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan motivasi

narapidana sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

Surat keputusan kepala direktorat Pemasyarakatan Nomor.K.P.10.13/3/1,

tanggal 8 Februari 1985, menentukan suatu konsepsi tentang Pemasyarakatan

sebagai berikut :

Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses theurapeuntie dimana si


narapidana pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan berada dalam
keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai
hubungan yang negative dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu
mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam
masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana
dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian
( keharmonisan hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang
merugikan).

28
Ibid.
29
R.Achmad S.Soema Dipradja,Romli Atmasasmita,1979, Sistim Pemasyarakatan di
Indonesia, Bandung : Percetakan Ekonomi, hal.19.
30

Sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan bagi narapidana yang

bertujuan mengadakan perubahan-perubahan yang menjurus kepada kehidupan

yang positif, para petugas pemasyarakatan merupakan yang menjalankan peran

penting sebagai pendorong, penjurus dan pengantar agar proses tersebut dapat

berjalan dengan lancar sehingga mencapai tujuan dengan cepat dan tepat.

Pasal 1 butir 2 UU Pemasyarakatan, menentukan bahwa sistem

Pemasyarakatan adalah :

Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
anatara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri,
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Sistem pemasyarakatan juga dapat diartikan sebagai suatu cara perlakuan

terhadap narapidana yang dijatuhi pidana hilang kemerdekaan, khususnya pidana

penjara, dengan mendidik, membimbing dan mengarahkan narapidana, sehingga

setelah selesai menjalani masa pidananya ia dapat kembali menjadi anggota

masyarakat yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara, serta tidak melakukan

kejahatan lagi.
31

2.1.2 Sejarah Singkat Sistem Pemasyarakatan di Indonesia

Upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum, baik yang berada dalam

penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana, terus diadakan dan

ditingkatkan sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada

tanggal 17 Agustus 1945. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa

Indonesia, akan tetapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan

kemerdekannya, terutama setelah perang dunia ke-2.

Pada tahun 1933 The International Penal and Penitentiary Comission

(IPPC) atau dalam bahasa Indonesianya Komisi Internasional Pidana dan

Pelaksanaan Pidana, telah merencanakan perbaikan sistem pemindanaan di

seluruh negara dan pada tahun 1934 mengajukan rencana tersebut untuk disetujui

oleh The Assembly Of The League Of Nation ( Rapat Umum Organisasi Bangsa-

bangsa). Setelah diadakan perbaikan-perbaikan oleh sekretariat PBB, naskah IPPC

tersebut disetujui oleh kongres PBB pada tahun 1955, yang kita kenal dengan

Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan narapidana, Standart Minimum

Rules (SMR) ini menetapkan hak-hak bagi narapidana yaitu :

1. Akomodasi

2. Kebersihan pribadi

3. Pakaian dan tempat tidur

4. Makanan

5. Latihan dan olahraga

6. Pelayanan kesehatan
32

7. Disiplin dan hukum

8. Alat-alat penahanan

9. Informasi kepada dan keluhan oleh narapidana

10. Hubungan dengan dunia luar

11. Mendapatkan buku/informasi ( Koran/TV )

12. Berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut narapidana

tersebut

13. Penyimpanan harta kekayaan narapidana

14. Pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan, dan sebagainya

15. Personal lembaga

16. Pengawasan terhadap narapidana

Kemudian pada tanggal 31 Juli 1957 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB

(Resolusi No.663c XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan dari

setiap negara untuk menerima dan menerapkannya.30

Bahroedin Soerjobroto menggambarkan susunan pertumbuhan ajaran untuk

pidana penjara di Indonesia dimulai dari beralihnya teori retributif kepada teori

punitif, yang dianggap memulai peranan sebenarnya sebagai ancaman pidana.

Selanjutnya tiba giliran teori punitif mendapat tantangan aliran baru dari teori

rehabilitatif. Sedangkan dikemudian hari teori rehabilitatif mulai terdesak oleh

pembinaan ( Treatment ).31Teori punitif yang memegang peranan hukuman yang

30
Sipirprodeo, Sejarah Sistem Pemasyarakatan, data diakses pada tanggal 2 Februari 2015,
available from : URL:Http :// polsuspas.wordpress.com/2011/01/05/sejarah-sistem-
pemasyarakatan/
31
Bahroedin Soerjobroto, 1969, The Treatment Of Offenders, Undip, Semarang, hal.9.
33

sebenarnya sebagai ancaman pidana penjara inilah yang kemudian dapat

membawa perkembangan pidana penjara ke arah non-punitif, yaitu dengan metode

pembinaan dan bimbingan dalam upaya treatment ( pembinaan ).32

Sebelum menganut sistem pemasyarakatan, di Indonesia sistem pemidanaan

yang dianut ialah sistem penjara. Sistem penjara ini memandang bahwa hukuman

merupakan isolasi terhadap penjahat untuk melindungi masyarakat, lebih

mengutamakan pembalasan atau memuaskan dendam masyarakat terhadap si

penjahat, dan sama sekali tidak ada unsur pembinaan terhadap sipelaku kejahatan

tersebut. Titik awal transformasi sistem pemidanaan Indonesia dari sistem penjara

ke sistem pemasyarakatan ini ialah, berkat peran ilmu kriminologi dan hukum

pidana yang mulai memikirkan usaha-usaha rehabilitasi terhadap narapidana, dan

disepakati Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners.

Upaya untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan dibidang tata

perlakuan narapidana di Indonesia diawali oleh Sahardjo yang menjabat sebagai

Menteri Kehakiman pada saat itu. Tepatnya pada tanggal 15 Juli 1963 di Istana

NegaraRI dalam penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa bidang hukum, ia

mengemukakan pada saat itu bahwa : Tiap orang adalah manusia dan harus pada

narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia

dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.33Pandangan ini yang menjadi dasar

dari Lembaga Pemasyarakatan, yaitu Griya Winaya Jamna Miwarga Laksa

32
Bambang Poernomo, Op.cit, hal.52.
33
Akhmad Sekhu, Sejarah hari Penjara ke LAPAS, data diakses pada tanggal 2 Februari 2015,
available from : URL:Http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/21/sejarah-dari-penjara-ke-LAPAS-
napi-juga-manusia/.
34

Dharmesti. Yang artinya rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar

patuh kepada hukum dan berbuat baik.

Gagasan tentang pemasyarakatan ini mencapai puncaknya pada tanggal 21

April 1964 konferensi nasional kepenjaraan di grand hotel Lembang, Bandung.

Konferensi yang diikuti oleh setiap direktur penjara seluruh Indonesia, konferensi

ini berhasil merumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan

terhadap narapidana dan anak didik. Kesepuluh prinsip pemasyarakatan yang

disepakati sebagai pedoman, pembinaan terhadap narapidana di Indonesia

tersebut, yaitu34 :

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perannya

sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara

3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat

4. Negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau jahat dari pada

sebelum dijatuhi hukuman pidana

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik

harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh

bersifat pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk

memenuhi kebutuhan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan

menjunjung usaha peningkatan produksi.

34
Marlina, Op.cit,hal.124.
35

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik

harus berdasarkan pancasila

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah

manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

sebagai satu-satunya derita yang dialaminya

10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi

rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.

Perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang telah

dilaksanakan sejak lebih dari 40 tahun tersebut semakin mantap dengan

diundangkannya UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diatur pula

tentang hak-hak bagi narapidana. Hak-hak yang dimaksud dapat dilihat pada Pasal

14 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa narapidana berhak

untuk :

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan

2. Mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani

3. Mendapat pendidikan dan pengajaran

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak

5. Menyampaikan keluhan

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang

tidak di larang

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan


36

8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu

lainnya

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga

11. Mendapatkan pembebasan bersyarat

12. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan

13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan

yang berlaku.

Adanya Pemasyarakatan maka semakin kokoh usaha-usaha mewujudkan

suatu sistem pemasyarakatan yang bersumber dan berdasarkan pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

2.1.3 Tujuan Sistem Pemasyarakatan

Perkembangan pembinaan terhadap narapidana berkaitan erat dengan tujuan

pemidanaan. Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada awalnya

berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan

perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh di masyarakat.35 Tujuan perlakuan

terhadap narapidana di Indonesia dimulai sejak tahun 1964 setelah Sahardjo

mengemukakan dalam konferensi kepenjaraan, jadi mereka yang berstatus

35
C.I.Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta,hal.13.
37

narapidana bukan lagi dibuat jera melainkan dibina untuk kemudian

dimasyarakatkan kembali.36

Tujuan dari pembinaan dan tujuan dari penyelenggaraan Sistem

Pemasyarakatan dapat ditemukan dalam Pasal 2 dan 3 UU No.12 Tahun

1995tentang pemasyarakatan, yaitu :

Pasal 2 :

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga


binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
Pasal 3:

sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan


pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyakarat,
sehingga dapat berperan aktif kembali sebagai anggota masyarakat yang
bebas dan bertanggung jawab.

Pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan merupakan bagian dari


sistem pemasyarakatan untuk menegakan hukum pidana. Berdasarkan Pasal 2
dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan maka dapat diketahui bahwa tujuan dari sistem
pemasyarakatan adalah untuk mengembalikan warga binaan menjadi warga yang
baik sehingga dapat diterima kembali di dalam masyarakat.

2.1.4 Asas Penyelenggaraan sistem Pemasyarakatan

36
Soedjono, 1972, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Alumni, Bandung, hal.86.
38

Menurut Pasal 5 UU Pemasyarakatan, sistem pembinaan terhadap

narapidana harus dilaksanakan berdasarkan asas :

1. Pengayoman

Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan kepada warga

binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari

pengulangan perbuatan pidana oleh Warga Binaan dengan cara

memberikan pembekalan melalui proses pembinaan.37

2. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan

Seluruh Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan diperlakukan dan

dilayani sama tanpa membeda-bedakan latar belakang orang ( non

diskriminasi )

3. Pendidikan dan Pembimbingan

Pelayanan di bidang ini dilandasi dengan jiwa kekeluargaan, budi pekerti,

pendidikan rohani, kesempatan menunaikan ibadah, dan keterampilan

dengan berlandaskan pancasila.

4. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia

Asas ini dijelaskan sebagai bentuk perlakuan kepada warga binaan yang

dianggap orang yang “tersesat”, tetapi harus diperlakukan sebagai

manusia.

5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

37
A Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan
di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, hal.1.
39

Yang dimaksud diatas adalah bahwa Warga Binaan hanya ditempatkan

sementara waktu di Lembaga Pemasyarakatan untuk mendapatlan

rehabilitasi dari negara

6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang

tertentu

7. Adanya upaya didekatkan dan dikenalkan kepada masyarakat sehingga tidak

menimbulkan keterasingan dengan cara kunjungan, hiburan ke dalam

Lapas, serta berkumpul dengan sahabat maupun keluarga.

Asas-asas pembinaan tersebut pada prinsipnya mencakup 3 pikiran

pemasyarakatan yaitu sebagai tujuan, proses dan motode.38

a. Sebagai tujuan berarti dengan pembimbingan pemasyarakatan diharapkan

narapidana dapat menyadari perbuatannya dan kembali menjadi warga

yang patuh dan taat pada hukum yang berlaku

b. Sebagai proses berarti berbagai kegiatan yang harus dilakukan selama

pembinaan dan pembimbingan berlangsung

c. Sebagai metode merupakan cara yang harus ditempuh untuk mencapai

tujuan pembinaan dan pembimbingan dengan sistem pemasyarakatan.

Seluruh proses pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan

merupakan suatu kesaturan yang integral untuk mengembalikan narapidana

kepada masyarakatan dengan bekal kemampuan (mental, phisik, keahlian,

38
Romli Atmasasmita, 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan, Rineka,
Bandung, hal.12.
40

keterpaduan, sedapat mungkin pula financial dan material) yang dibutuhkan untuk

menjadi warga yang baik dan berguna.39

2.2 Pengertian Sistem Pembinaan dan Pola Pembinaan Narapidana

2.2.1 Pengertian Sistem Pembinaan

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yang telah melakukan

tindak pidana dan dijatuhi vonis oleh pengadilan akan menjalani hari-harinya

didalam rumah tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan sebagai perwujudan dalam

menjalankan hukuman yang diterimanya. Dalam Lembaga Pemasyarakatan itu,

orang tersebut akan menyandang status sebagai narapidana dan menjalani

pembinaan yang telah di programkan.

Dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa

“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan

jasmani dan rohani narapidana dan anak didik Pemasyarakatan”.

Pembinaan narapidana yang dikenal dengan pemasyarakatan untuk pertama

kalinya dikemukakan oleh Sahardjo, pada waktu diadakan konferensi Dinas

39
Djisman Samosir, 1982, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan Narapidana di
Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,hal.13.
41

Kepenjaraan di Lembang, mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari

sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan.40

Efektivitas pidana penjara terletak pada aspek pencegahan, yaitu seberapa

jauh pidana penjara berpengaruh terhadap narapidana sehingga dapat mencegah

narapidana tersebut untuk tidak mengulangi kejahatannya/menjadi

residivis.R.M.Jackson menyatakan, bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si

pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya

ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara

jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana

kembali.41Sistem pembinaan inilah yang menjadi salah satu alternatif untuk

meningkatkan efektivitas pidana penjara sehingga jumlah narapidana yang

menjadi residivis akan semakin menurun.

Satu hal yang harus selalu diingat bahwa tindakan apapun yang dilakukan

terhadap narapidana baik dalam rangka pembinaan atau lainnya harus bersifat

mengayomi dan tidak bertentangan dengan tujuan pemasyarakatan. Seperti yang

diungkapkan oleh bahrudin Surjobroto : Dengan menerapkan sistem

pemasyarakatan, narapidana harus diayomi dengan cara memberinya bekal hidup

supaya ia menjadi warga yang berguna dalam masyarakat. Dengan memberikan

40
Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Universitas
Dipenogoro, Semarang, hal.38.
41
Ibid,hal.218.
42

pengayoman tersebut jelas bahwa penjatuhan pidana penjara bukanlah dimaksud

sebagai tindakan balas dendam dari negara.42

Mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan

ke sistem pemasyarakatan. Dasar hukum sistem perlakuan terhadap narapidana

ialah :

1. Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ( Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana ) S.1915 No.732 jo. 1917 No.947, Undang-Undang No.1
Tahun 1946 jo. Undang-Undang No.73 Tahun 1958, Pasal 1 Aturan
Peralihan UUD 1945 dan Pasal 1 peraturan Presiden No.2 Tahun 1945
tanggal 10 oktober 1945.
2. Gestichen Reglemen (Reglemen Penjara) S.1917 No.708
3. Dwangopvoeding Regeling (DOR) S.1917 No. 749
4. Regeling vorwaardelijke veroodeiling S. 1926 487.43

Sistem kepenjaraan bertujuan untuk membuat narapidana jera dan tidak

mengulangi perbuatannya lagi, maka orientasi pembinaannya lebih bersifat “Top

Down Approach”,44 yaitu program-program pembinaan yang diberikan kepada

narapidana. Penentuan program yang bersifat “ Top Down Aprroach “ ini

dilandasi pertimbangan keamanan, keterbatasan sarana pembinaan, dan

pandangan bahwa narapidana hanyalah objek semata, dimana narapidana sebagai

objek tidak dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhannya.

Lahirnya Undang-Undang Pemasyarakatan telah melalui proses perjalanan

yang panjang, Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan sesungguhnya telah

42
Bahrudin Surjobroto, 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Pemasyarakatan, Departemen
kehakiman RI, jakarta, hal. 5
43
Serikat Putra jaya, loc.cit.
44
Serikat Putra Jaya, Loc.it.
43

selesai pertama kali pada tahun 1972, tetapi karena dianggap belum mendesak

oleh pemerintah yang berkuasa saat itu, maka Rancangan Undang-Undang

tersebut tidak dilanjutkan kembali. Begitu pula dengan Rancangan Undang-

Undang pemasyarakatan yang kedua, dimana Rancangan Undang-Undang

tersebut tidak dilanjutkan kembali ke DPR oleh pemerintah.

Sedangkan dalam hal pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan,

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. PP No.31 Tahun

1999 ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No.12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka program pembinaan warga binaan

pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan ditekankan pada kegiatan

pembinaan kepribadian seperti menyadari kesalahannya, dapat memperbaiki diri,

dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat. Adapun pembinaan kemandirian diarahkan pada

pembinaan bakat dan keterampilan agar warga binaan pemasyarakatan berperan

kembali warga masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

2.2.2. Pola Pembinaan Narapidana

Sistem pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan

berbagai tahapan dan dilakukan oleh para pembina. Sejak narapidana masuk ke

dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, maka saat itu narapidana menjalani

pembinaan yang dalam pelaksanaan programnya tidak terlepas dari unsur


44

masyarakat dan bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya, sehingga

narapidana dengan masyarakat itu dapat sembuh kembali dari segi-segi negatif.

Jangka waktu dari masing-masing tahap yang satu kepada tahap berikutnya tidak

sama serta dalam pelaksanaan proses pembinaan ini maju mundurnya tergantung

dari narapidana yang bersangkutan dan kadang-kadang ada kalanya mengulangi

lagi sebagian dari proses atau tahap yang dilalui terutama jika belum mencapai

hasil yang memadai. Artinya masing-masing narapidana membutuhkan waktu

yang berbeda-beda tergantung dari keadaan narapidana yang bersangkutan.

Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1991 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan bahwa pembina

pemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan

narapidana dan anak didik pemasayarakatan di Lapas. Jadi, hanya pembina

pemasyarakatan inilah yang berhak untuk memberikan pembinaan bagi

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Dalam sistem pemasyarakatan,

pembinaan dan bimbingan yang dilakukan oleh para pembina, melalui tahap-tahap

yaitu : adminisi/orientasi, pembinaan dan asimilasi.45

a. Tahap admisi dan orientasi, dimulai sejak warga binaan pemasyarakatan

memasuki lembaga dengan suatu kegiatan, meliputi pengenalan terhadap

suasana lembaga, petugas-petugas lembaga/pembina, tata tertib/disiplin, hak

dan kewajiban selama berada dilembaga. Jangka waktu tahap admisi ini

adalah 1 (satu) minggu bagi tahanan dan 1 (satu) bulan bagi warga binaan

45
Serikat Putra Jaya, Op.cit, hal.39.
45

pemasyarakatan. Pada tahapan ini dikenal sebagai pengenalan dan penelitian

lingkungan (MAPENALING).

b. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai 1/2 (satu per

dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat

(maximum security) dengan tujuan agar warga binaan pemasyarakatan dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan dan peraturan-peraturan yang berlaku

terutama dalam hal perilaku.

c. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai 1/2 (satu per dua) sampai 2/3 (dua per

tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini mulai diperkenalkan warga binaan

pemasyarakatan dengan jati diri (kecerdasan, mental, dan iman) secara lebih

mendalam pada masyarakat sekeliling lembaga melalui olahraga, pramuka dan

lain-lain. Pada tahap ini pengawasan agak berkurang (medium security).

d. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani

2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada

tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security). Bagi warga

binaan pemasyarakatan yang betul-betul sadar dan berkelakuan baik

berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan dapat mengusulkan :

cuti biasa, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat.

Sedangkan ruang lingkup pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri

Kehakiman Tahun 1990 No. M-02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan

Narapidana/Tahanan, dapat dibagi dalam 2 (dua) bidang yakni :

1. Pembinaan kepribadian yang meliputi :

a. Pembinaan Kesadaran Beragama


46

Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama memberikan

pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat menyadari akibat-

akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar-benar dan perbuatan-perbuatan

yang salah. Pembinaan kesadaran beragama ini bertujuan agar para

narapidana dapat meningkatkan kesadaran terhadap agama yang mereka

anut.

b. Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara

Usaha ini dilaksanakan melalui pembinaan pengenalan pancasila. Untuk

itu pembinaan ini diberikan dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran

berbangsa dan bernegara dalam diri para narapidana. Dengan tumbuhnya

kesadaran berbangsa dan bernegara, diharapkan setelah para narapidana

keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, mereka dapat menjadi warga binaan

yang baik dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi bangsa dan

negaranya.

c. Pembinaan Kemampuan Intelektual ( Kecerdasan)

Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berpikir warga

binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang

kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan.

Pembinaan intelektual dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal

maupun melalui pendidikan non formal, pendidikan formal,

diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada yang

ditetapkan oleh pemerintah agar dapat ditingkatkan semua warga binaan

pemasyarakatan.
47

d. Pembinaan kesadaran hukum

Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan

dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai

kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat,

mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakan

hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,

ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap

warga negara indonesia yang taat pada hukum. Penyuluhan hukum

bertujuan lebih lanjut untuk membentuk keluarga sadar hukum

(KADARKUM) yang dibina selama berada didalam lingkungan

pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-tengah masyarakat.

e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat

Pembinaan dibidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial

kemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas narapidana mudah

dapat diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya. Untuk mencapai

ini, kepada mereka selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina terus

untuk patuh beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial secara

gotong royong, sehingga pada waktu mereka kembali kemasyarakat

mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi dalam

pembangunan masyarakat lingkungannya.

2. Pembinaan Kemandirian

a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya kerajinan

tangan, industri rumah tangga dan sebagainya


48

b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya

pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi

bahan setengah jadi

c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing,

dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakatnya itu. Misalnya

kemampuan dibidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan ke

perkumpulan seniman.

Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan tidak hanya

memperhatikan kesalahan narapidana semata, melainkan juga memperhatikan ke

masa depan mereka setelah keluar dari Lapas. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan

dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana meliputi bidang yang bersifat

kepribadian dan kemandirian (keterampilan).

2.3 Sejarah Singkat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar

Sekitar tahun 1936, yaitu zaman kolonial belanda telah dibangun rumah

penjara di daerah Pekambingan Jalan Dipenogoro Denpasar, semenjak Indonesia

merdeka maka seluruh peninggalan Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintah

RI, kemudian pada tahun 1964 penjara yang ada di Indonesia berubah menjadi

Lembaga Pemasyarakatan dengan dicanangkan sistem Pemasyarakatan oleh

Suhardjo, sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan. Bertolak dari pandangan


49

Sahardjo, tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan

terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara.46

Pada tahun 1976 baru di Badung Lapas Klas IIA Denpasar yang terletak di

Jl. Tangkuban Perahu PO.BOX. 884 Banjar Pengubengan Kangin, Desa

Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Lapas Klas IIA

Denpasar Merupakan pindahan dari Lapas di Jalan Dipenogoro dan mulai

dioperasikan pada tahun 1983. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar

berdiri di atas tanah seluas 43.220 m2, dengan memiliki kapasitas bangunan

sebanyak 336 orang penguhi, selain itu pula terdapat perumahan dinas bagi

petugas Lapas Klas IIA Denpasar, yang berada di luar bangunan Lapas seluas

3220 m2.

46
Dwija Priyatno, Op.cit, hal.97.
BAB III

PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KLAS IIA DENPASAR

3.1 Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Denpasar

3.1.1 Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar

Lapas Klas IIA Denpasar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis

(UPT) Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana yang bernaung di

bawah kantor wilayah kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi Bali.

Lembaga Pemasyarakatan ini baru di Resmikan pada tanggal 15 Agustus 1983.

Adapun perbatasannya, sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk,

sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman dan pertokoan, sebelah barat

berbatasan dengan pemukiman penduduk.

Secara fisik keseluruhan bangunan yang dimiliki oleh Lapas Klas IIA

Denpasar terdiri dari beberapa bangunan dan ruang perkantoran, agar lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 01

Jenis dan Luas Bangunan Lapas Klas IIA Denpasar

50
51

Wisma Luas Bangunan

(dalam m2)

1 A 156

2 B 156

3 C 225

4 D 225

5 E 225

6 F 225

7 G 225

8 H 225

9 I 225

10 J 225

11 K 96

12 Tahanan Wanita 96

13 Narapidana Wanita 396

14 Maksimum Security 396

15 Pengangsingan 64

Sumber : Kasubag Tata Usaha Lapas Klas IIA Denpasar

Selain itu, terdapat pula bangunan lain pendukung Lapas Antara Lain :

- 3 buah bangunan perkantoran dengan luas 6000 m2

- 1 buah bangunan poliklinik dan ruang laboratorium dengan luas 120 m2

- 1 buah bangunan dapur dengan luas 120 m2


52

- 2 buah bangunan bengkel kerja dengan luas 216 m2

- 1 buah bangunan masjid dengan luas 33 m2

- 1 buah bangunan pura dengan luas 33 m2

- I buah bangunan gereja dengan luas 33 m2

- I buah bangunan vihara dengan luas 16 m2

- 1 buah lapangan tennis, lapangan volley dengan luas 750 m2

- 1 buah lapangan upacara dengan luas 750 m2

- 7 buah pos jaga dengan luas masing-masing 63 m2

- 25 rumah dinas dengan type :

a. 11 buah type E luas 396 m2

b. 8 buah type D luas 350 m2

c. 6 buah type C luas 140 m2

- 1 buah lapangan parkir mobil dan sepeda motor dengan luas 700 m2

3.1.2 Struktur Organisasi dan Tata Kerja

Sebagai efektifnya pada suatu organisasi dalam menjalankan mekanisme

guna tujuan bersama, harus memiliki struktur organisasi. Menurut SK Menteri

Kehakiman RI No. M.01-PR 35 35.31-03 Tahun 1985 tentang Struktur Organisasi

Lapas Klas IIA Denpasar di perlukan guna menentukan garis komando,

wewenang atau hak dan kewajiban setiap personel di atau lingkungan organisasi

sehingga tercipta sasaran kerja yang tertib, disiplin dan dinamis yang merupakan

syarat untuk mencapai tujuan.


53

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak. Dewa Gede Astara selaku

Kasubag. tata usaha Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar pada hari

Senin tanggal 6 April 2015 Pukul 10.15 Wita di ruangan bagian tata usaha, dalam

struktur organisasi di Lapas Klas IIA Denpasar, terdapat 1 (satu) orang kepala (

yang selanjutnya disebut KALAPAS ), 2 (dua) orang Ka. Sub Bagian yaitu

Ka.Sub Bag. Tata Usaha ( Ka. SUBAG TU) dan Kepala Pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan ( Ka. KPLP ), 2 dua) orang Ka. Ur yaitu urusan kepegawaian dan

urusan umum. 3 (tiga) orang, Ka. Seksi yaitu bimbingan napi dan anak didik (

Kasie Binadik ), seksi kegiatan kerja ( Kasie. Giatja) dan seksi administrasi

kemanan dan tata tertib ( Kasie Minkamtib), dan 6 (enam) orang Ka. Sub Seksi

terdiri dari Sub. Sie bimbingan kemasyarakatan dan perawatan narapidana dan

anak didik (Ka. Subsie Bikemaswat ), Sub Sie Registrasi ( Ka. Subsie Registrasi ),

Sub Sie Bimbingan kerja dan pengelolaan hasil kerja ( Ka. Subsie Bimker dan

Lolahaker ), Sub Sie Saranan Kerja, Sub Sie Kemanan dan Sub Sie Pelaporan dan

Tata Tertib.
54

Struktur Organisasi Lapas Klas IIA Denpasar

KALAPAS
Sudjonggo,Bc.Ip,SH

KA SUB BAG.TATA USAHA


DEWA GEDE ASTARA,SH.MH

KAUR KEPEG & KEU KAUR UMUM


NI GUSTI AYUMUDIARTINI,SH Drs.I GEDE SUARDIKA

KEPALA KPLP KASI BINADIK KASI KEGIATAN KERJA KASI ADMINISTRASI KAMTIB
I WAYAN AGUS I WAYAN PUTU I GEDE PURWATA,SH HERMANUS SETYO
MIARDA,A.Md.IP.SH SUTRESNA,A.Md.IP.SH.MH HARTANTO,BcIP.,SH

KASUBSI REGISTRASI KASUBSI BIMKER & LOLAHAKER


I MADE SUARDANA, SH DADANG FIRMANSYAH,Amd.IP,.SH KASI ADMINISTRASI KAMTIB
HERMANUS SETYO
HARTANTO,BcIP.,SH
KASUBSI BIMKEMASY & PERAWATAN
NI NYOMAN BUDI
UTAMI,Amd.IP.S.Sos.MM
KASUBSI PEPAORAN& TATIB
PETUGAS KASUBSI SARANA KERJA SARIJEM ,SE
KEAMANAN I WAYAN SUMAKERTA,SH

Uraian tugas dari bagian-bagian maupun seksi-seksi yang ada di Lapas Klas

IIA Denpasar adalah sebagai berikut :

a. Sub Bagian Tata Usaha

Bertugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lapas yang

terdiri atas :

- Urusan kepegawaian dan keuangan memiliki tugas dalam hal kepegawaian

dan keuangan
55

- Urusan umum mempunyai tugas melakukan surat menyurat, perlengkapan

dan rumah tangga Lapas.

b. Sub Bagian Narapidana dan Anak Didik

Bertugas memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap narapidana dan

anak didik pemasyarakatan yang terdiri dari :

- Sub seksi registrasi memiliki tugas dalam melakukan pencatatan,

administrasi dan pembuatan statistik (database), pemberian remisi serta

dokumen sidik jari narapidana (daktiloskopi)

- Sub seksi bimbingan kemasyarakatan dan perawatan memiliki tugas dalam

memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani dan memberikan pelatihan

olahraga, peningkatan pendidikan dan pengetahuan, program asimilasi,

cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelas bebas, dan pembebasan

bersyarat, memberikan kesejahteraan dan perawatan bagi narapidana dan

anak didik pemasyarakatan serta mengurus kesehatannya.

c. Seksi Kegiatan Kerja

Bertugas memberikan petunjuk dan bimbingan kegiatan kerja bagi

narapidana yang terdiri atas :

- Sub seksi bimbingan kerja dan pengelolaan hasil kerja mempunyai tugas

memberikan bimbingan dan pelatihan kerja kepada narapidana serta

mengelola hasil dari pekerjaan tersebut.

- Sub seksi sarana kerja mempunyai tugas dalam mempersiapkan fasilitas dan

sarana kerja
56

d. Seksi administrasi keamanan dan tata tertib

- Sub seksi keamanan mempunyai tugas dalam menerima laporan harian dan

berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan

laporan berkala di bidang kemanan dan penegakan tata tertib.

3.2 Penyelenggaraan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Denpasar

Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dikenal dengan

nama pemasyarakatan. Berhasilnya pembinaan warga binaan pemasyarakatan di

Lapas merupakan tujuan yang paling utama sebagai akhir dari sistem peradilan

pidana di Indonesia. Tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah setelah warga

binaan pemasyarakatan mengikuti seluruh program pembinaan, diharapkan

mereka akan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi

tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,

dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai

warga yang baik dan bertanggung jawab.

Masa pengenalan lingkungan atau admisi dan orientasi merupakan

tahap awal pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Setelah ditetapkan

di blok hunian atau wisma masing-masing, warga binaan akan diberitahukan oleh

pertugas pemasyarakatan mengenai tata tertib yang ada di Lapas, nama-nama

petugas serta seluruh staff pegawai, kewajiban dan hak warga binaan, cara

menyampaikan keluhan, dan segala sesuatu yang ada di lingkungan Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Masa pengenalan lingkungan


57

(MAPENALING) dilakukan selama 7 hari (satu minggu). Sangat diharapkan agar

warga binaan dapat menyesuaikan diri dalam beradaptasi, sehingga diharapkan

agar warga binaan dapat menyesuaikan diri dan dapat beradaptasi, sehingga dapat

berinteraksi secara normal di dalam Lapas. Pada tahap ini dilakukan pengawasan

yang sangat ketat (maximum Security).

Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dilaksanakan pada sebuah sarana yang

cukup memadai yang disebut bengker atau bengkel kerja. Pembinaan terhadap

warga binaan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan dan petugas

pengamanan.

Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Putu

Sutresna,Amd.IP,SH.,MH, menjabat sebagai Kasi. Binadik ( Bimbingan Napi

dan Anak Didik ) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar pada hari senin

tanggal 13 April 2015 pukul 10.10 Wita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar, Proses pembinaan yang dilakukan terhadap Warga Binaan

Pemasyarakatan dimulai saat pertama kali narapidana tersebut masuk Lapas yang

kemudian dilakukan pemeriksaan fisik sampai pada pada registrasi. Tahap

selanjutnya, Warga Binaan Pemasyarakatan ditempatkan dalam wisma khusus

untuk menjalani proses Masa Pengenalan Lingkungan (MAPENALING) selama

7 hari (satu minggu). Setelah menjalankan proses MAPENALING, maka Warga

Binaan Pemasyarakatan akan di masukan kedalam wisma untuk selanjutnya

menjalankan proses pembinaan, yang terbagi ke dalam :


58

1. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai 1/2 (satu per

dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat

(maximum security).

2. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai 1/2 (satu per dua) sampai 2/3 (dua per

tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini pembinaan mulai dilakukan di dalam

Lapas ataupun di luar Lapas. Untuk diluar Lapas narapidana dengan kasus

tindak pidana umum akan ditempatkan di perusahan yang ingin menampung

Warga Binaan Pemasyarakatan dan mendapatkan Upah. Sedangkan untuk

narapidana dengan kasus Tindak pidana Khusus (Tipisus) khususnya Tindak

Pidana Korupsi akan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan sosial, yang

mana Warga Binaan Pemasyarakatan ini tidak mendapat upah karena dalam

hal ekonomi sudah di anggap mampu. Pada tahap ini pengawasan agak

berkurang (medium security).

3. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani

2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada

tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security) . Apabila

Warga Binaan Pemasyarakatan di nilai sudah berkelakuan baik selama

menjalani pembinaan, maka pada tahap ini dapat diajukan remisi, Pembebasan

Bersyarat, Cuti Bersyarat, dan Cuti mengunjungi Keluarga. Semua proses

tersebut harus melalui pengajuan terlebih dahulu yang kemudian akan di

tentukan lewat proses persidangan.


59

Selanjutnya Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP,SH.,MH

menjelaskan mengenai pola pembinaan yang diberikan kepada warga binaan

pemasyarakatan (WBP) meliputi :

1. Pembinaan kepribadian yang meliputi :

1) Pembinaan kesadaran beragama atau ketaqwaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa

Pembinaan kesadaran beragama dianggap pembinaan yang paling awal

harus diikuti oleh warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas IIA

Denpasar. Pembinaan dibidang ini diharapkan mampu meningkatkan

kepercayaan dan kesadaran terhadap agama mereka masing-masing dan

insyaf atau menyadari bahwa perbuatan yang mereka lakukan sebelum

ditempatkan pada Lapas adalah perbuatan yang dilarang oleh agama

mereka masing-masing. Dalam melaksanakan pembinaan kesadaran

beragama selaku Kasi. Binadik ( Bimbingan Napi dan Anak Didik

)melakukan kerjasama dibidang kegamaan, ataupun relawan yang

bersedia memberikan waktunya secara Cuma-Cuma. Dalam menjalankan

pembinaan di bidang keagamaan, di Lapas Klas IIA Denpasar terdapat

sarana dan prasarana peribadahan seperti :

a. Pura Padmasari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar

Pura padmasana merupakan saranan persembahyangan bagi warga

binaan pemasyarakatan yang beragama Hindu. Kegiatan

persembahyangan dilakukan tiga kali sehari (trisandya), dan kegiatan

persembahyangan bulanan pada hari purnama serta tilem. Warga


60

binaan khususnya yang beragama Hindu wajib menjaga kesucian dan

kebersihan pura padmasari. Dalam hal pembinaan kesadaran

beragama bagi warga binaan yang memeluk agama Hindu, diadakan

darma wacana setiap dua minggu sekali mulai dari pukul 10.00 hingga

12.00 wita yang diberikan oleh para narasumber dari Departemen

Keagamaan (Depag). Pemberian dharma wacana diharapkan mampu

memberikan kesadaran bagi warga binaan agar selalu mematuhi

segala perintahNYA dan menjauhi segala laranganNYA, sadar akan

kesalahan yang diperbuat, tidak mengulangi tindak pidana lagi, dan

mampu memotivasi merega agar menjadi warga yang baik dan

bertanggung jawab.

b. Mesjid Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar

Seperti kita ketahui mesjid merupakan tempat peribadatan bagi umat

muslim. Mesjid Lapas Klas IIA Denpasar digunakan bagi warga

binaan yang memeluk agama Islam. Kegiatan rutinitas mereka adalah

melakukan shalat lima waktu dan shalat jumat termasuk juga hari

besar keagamaan seperti hari raya idul fitri dan idul adha. Pembinaan

kesadaran beragama bagi warga binaan yang memeluk agama

Islamadalam pemberian pengajian, membaca Al-Qur’an, dan

kewajiban agar selalu ikut serta dalam menjaga kebersihan mesjid.

Lapas Klas IIA Denpasar bekerjasama dengan kementerian agama

melalui narasumber yang mewakili. Dalam hal ini, Warga Binaan


61

Pemasyarakatan Perempuan membentuk kelompok pengajian yang

terdapat struktur organisasi didalamnya.

c. Gereja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar

Sejak terjadi kerusuhan Lapas 21 Februari 2012 lalu, perayaan

kebaktian bagi warga binaan pemeluk agama Kristen hanya dilakukan

pada hari raya natal. Namun, di tahun 2015 ini umat kristiani di Lapas

Klas IIA Denpasar justru termasuk ke dalam Warga Pemasyarakatan

dengan aktivitas terdapat dalam bidang keagamaan. Setiap minggunya

ada pendeta dari berbagai kalangan baik dari departemen keagamaan

maupun dari LSM. Kegiatan rutinitas mereka adalah melakukan

kebaktian di gereja yang dipimpin oleh FKPK ( Forum Komunitas

Persatuan Kristen) yang berjumlah sebanyak 17 komunitas.

d. Cetia Dharmameta Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar

Cetia dharmameta merupakan tempat peribadatan bagi warga binaan

Lapas Klas IIA Denpasar yang memeluk agama Budha. Dalam hal ini

warga binaan yang memeluk agama Budha melakukan rutinitas

persembahyangan yang diawasi oleh pegawai LAPAS. Perayaan hari

besar dilakukan pada hari besar keagamaan yaitu waisak. Dari ketiga

pemeluk agama lainnya, warga binaan pemasyarakatan yang

beragama Budha berjumlah paling sedikit yaitu sebanyak 14 warga

binaan.
62

2) Pembinaan kesadaran Hukum

Sejak warga binaan melakukan tindak pidana, mereka sudah dianggap

tidak sadar hukum atau peraturan yang berlaku, maka ketika mereka

ditempatkan di dalam Lapas, sangat diharapkan warga binaan

pemasyarakatan mampu menyadari akan hukum yang berlaku atau

setidaknya menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Pembinaan

kesadaran hukum kepada warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Lapas

Klas IIA Denpasar adalah kewajiban seluruh warga binaan

pemasyarakatan tidak terkecuali menaati dan mematuhi segala peraturan

dan tata tertib yang berlaku di Lapas Klas IIA Denpasar.

kewajiban warga binaan pemasyarakatan selain mentaati dan mematuhi

seluruh peraturan yang berlaku di Lapas Klas IIA Denpasar adalah sebagai

berikut :

a. Taat menjalankan ibadah sesuai agama dengan kepercayaan masing-

masing serta memelihara kerukunan beragama di lingkungan

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar

b. Mengikuti seluruh kegiatan yang telah diprogramkan

c. Patuh, taat, dan hormat kepada seluruh petugas

d. Mengenakan seragam yang telah diberikan

e. Memelihara kerapian dalam berpakaian sesuai dengan norma

kesopanan

f. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian


63

g. Mengikuti apel pagi yang di pimpin langsung oleh petugas pengamanan

pada pukul 08.00 Wita

h. Mengikuti senam pagi yang dilaksanakan setiap hari dibedakan dalam

atas masing-masing wisma hunian mulai pukul 08.00 Wita.

3) Pembinaan kemampuan intelektual

Pembinaan kemampuan intelektual yang diprogramkan Lapas Klas IIA

Denpasar adalah program kursus bahasa inggris, Lapas Klas IIA Denpasar

bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin

memberikan pelajaran kursus bahasa inggris kepada warga binaan

pemasyarakatan. kursus bahasa inggris seharusnya wajib diikuti oleh

warga binaan, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua warga binaan

yang mau mengikuti pembelajaran bahasa inggris, melainkan warga

binaan yang memang tertarik untuk mengenal bahasa inggris. Kursus

bahasa inggris diadakan setiap hari kamis dan jumat yang dilakukan

diruangan perpustakaan Lapas Klas IIA Denpasar. Tujuan diadakan

kursus bahasa inggris adalah agar setelah menyelesaikan masa pidana di

Lapas, mereka mempunyai kemampuan berbahasa inggris dengan baik

untuk terjun langsung dibidang pekerjaan yang membutuhkan

kemampuan berbahasa inggris. Adapun hasil dari kursus bahasa inggris

ini, Warga Binaan Pemasyarakatan akan mendapatkan sertifikat dari LSM

terkait.
64

4) Pembinaan kesehatan jasmani dan rohani

Hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Mikha Simanjuntak

SH selaku staff bimbingan dan kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Denpasar pada hari kamis tanggal 16 April 2015 pukul 10.00

Wita di Lapas Klas IIA Denpasar, pembinaan kesehatan jasmani dan

rohani yang diprogramkan di Lapas Klas IIA Denpasar adalah :

a. Terjaminnya kesehatan seluruh warga binaan pemasyarakatan

Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar tersedia sarana

poliklinik atau tempat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan bagi

warga binaan pemasyarakatan. dalam poliklinik terdapat empat dokter

yang terdiri dari satu dokter umum, dua dokter gigi, dan dibantu oleh

delapan orang perawat yang mana mereka berada di Lapas setiap hari

senin sampai jumat terkecuali hari sabtu mereka hanya bertugas

setengah hari (sampai dengan pukul 12.00 Wita). Meski demikian,

Dokter Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang tinggal di

rumah dinas harus siap 24 (dua puluh empat) jam apabila ada

pemanggilan terhadapnya terkait kesehatan warga binaan

pemasyarakatan.

b. Pemberian makanan yang layak

Warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar setiap

harinya memperoleh makanan yang dibagi menjadi dua jenis

makanan, yaitu menu makanan bagi WNI dan WNA. Di dalam

pembuatan menu makanan, warga binaan pemasyarakatanlah yang


65

harus memasak sendiri menu makanan di dapur yang tersedia pada

Lapas Klas IIA Denpasar namun masih diawasi oleh petugas dapur

yang berjumlah dua orang. Meskipun demikian, warga binaan juga

diperbolehkan menerima makanan yang diberikan kepada pihak

keluarga pada waktu jam besuk atau membeli makanan yang ada di

kantin Lapas yang dikelola oleh Koperasi Lapas Klas IIA Denpasar.

Tujuan warga binaan membuat menu makanan sendiri tidak lain

adalah memberikan bekal hidup khususnya dalam kemampuan

memasak dan mengolah makanan agar setelah warga binaan keluar

dari Lapas mereka bisa mempraktekan kemampuan yang telah

didapatkan pada saat menjalani hukuman di Lembaga

Pemasyarakatan.

c. Sarana olahraga sebagai penunjang kesehatan jasmani

Prasarana olaharaga seperti lapangan tennis, lapangan bola volley,

lapangan basket, lapangan sepak bola meski tidak seluas lapangan

pada umumnya, alat-alat fitness atau kebugaran, dan yang trerakhir

tennis meja. Dengan adanya fasilitas ini, warga binaan diharapkan

selain mengikuti program pembinaan yang lain, mereka dapat

bersantai dengan berolahraga di jam-jam tertentu. Fasilitas tersebut

dapat digunakan oleh seluruh warga binaan tanpa terkecuali.


66

2. Pembinaan Kemandirian yang meliputi :

1) Pembinaan keterampilan kerja

Pembinaan keterampilan kerja yang diprogramkan di Lapas Klas IIA

Denpasar adalah keterampilan membuat kipas tangan, mengamplas,

memasang benang dan lem. Pembinaan dilaksanakan di bengker atau

bengkel kerja Lapas Klas IIA Denpasar yang diawasi oleh petugas

pengamanan dan staff pegawai. Dalam melaksanakan pembinaan

dibidang keterampilan kerja, Lapas Klas IIA Denpasar yang sebelumnya

bekerja sama dengan perusahaan wiraswasta yang bernama Wiracana

dimana perusahaan ini yang menyediakan bahan setengah jadi selanjutnya

warga binaan pemasyarakatanlah yang harus menyelesaikan kipas tangan

tersebut. Namun, saat ini Lapas Klas IIA Denpasar mulai melakukan

pembinaan keterampilan kerja ini sendiri dan akan segera mengaktifkan

museum Lapas sebagai tempat penjualan hasil karya Warga Binaan

Pemasyarakatan.

2). Latihan kerja dan produksi

Seperti halnya pembinaan keterampilan, latihan kerja dan produksi juga

dilaksanakan pada bengkel kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar yang wajib diikuti warga binaan pemasyarakatan dari hari senin

sampai jumat pada pukul 09.00 wita dibawah pengawasan petugas

pengamanan yang dibantu oleh beberapa staff pegawai. Pembinaan

latihan kerja dan produksi yang diprogramkan Lapas Klas IIA Denpasar

meliputi : latihan menyablon kaos, seni melukis, melaundry pakaian,


67

menjahit, kerajinan perak, keterampilan desain grafis, pembuatan kipas,

serta dalam bidang pertanian dan peternakan. Hasil dari produksi tersebut

akan diserahkan kepada pihak ketiga yang bekerjasama dengan Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.

Segala proses pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar, dilakukan

dengan pengawasan yang cukup ketat. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh

Bapak I Wayan Agus Miarda selaku Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Klas

IIA Denpasar pada wawancara hari Jumat tanggal 17 April 2015 Pukul 10.45

Wita, keamanan di Lapas Klas IIA Denpasar dilakukan oleh regu pengamanan

yang terdiri dari 4 regu. Setiap 1 (satu) regu terdiri dari 15 orang dan dibagi

menjadi 4 set, yaitu : pagi, siang, malam dan istirahat. Sistem pengawasan di

Lapas Klas IIA Denpasar dilakukan secara tertutup, artinya pengawasan berada

didalam tembok Lapas. Selain itu, pengawasan dibantu dengan CCTV di 20 titik

tertentu.

Selanjutnya, Bapak I Wayan Agus Miarda menuturkan, bahwa banyak

ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan

ataupun oleh Petugas Sipir. Petugas pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar

melakukan sidak setiap 1 (satu) Bulan 4 kali, dalam setiap sidak ini, masih

ditemukan Warga Binaan Pemasyarakatan yang kedapatan mengkonsumsi

narkoba di dalam Lapas, hal lain yang ditemui dalam Lapas Klas IIA Denpasar

masih maraknya penggunaan alat telepon genggam atau Handphone di dalam

Lapas. Setelah ditelusuri, Warga Binaan Pemasyarakatan menggunakan

Handphone beralasan untuk berkomunikasi dengan keluarga. Selain Warga


68

Binaan Pemasyarakatan, Petugas Sipir masih ada yang kedapatan melakukan

Pungutan Liar (PUNGLI) di dalam Lapas.

Pada dasarnya, pemberian pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar

sudah mengacu pada prosedur yang ada yaitu UU Pemasyarakatan sebagai dasar

acuan pemberian Pembinaan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan

Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, dalam beberapa hal masih saja

ditemukan ketimpangan selama proses pembinaan di dalam Lapas tersebut.

Di lain pihak, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan

Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH selaku Kasi. Bimbingan dan Anak Didik

(BINADIK) Lapas Klas IIA Denpasar pada hari Senin, 20 April 2015 pukul 10.00

Wita. Bahwa, Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan miniatur dari

masyarakat luar, dengan kata lain apa yang ada di masyarakat luar pasti ada di

dalam Lapas. Hal ini berarti masih adanya penggunaan narkoba di dalam Lapas,

Tawuran antar wisma bahkan sampai pada oknum petugas sipir yang kedapatan

melakukan pungli atau membiarkan narkoba masuk kedalam Lapas. Saat

dilakukan Sidak, pernah kedapatan alat pembuatan narkoba secara manual di

dalam wisma Lapas Klas IIA Denpasar.walau sudah diberikan sanksi kepada

setiap pelanggar sampai pada sanksi terberat yaitu dimasukan kedalam ruang

isolasi, hal ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku.

Selanjutnya Bapak I Wayan Putu Sutresna, Amd.IP.SH.,MH

menambahkan, angka recidivice di Lapas Klas IIA Denpasar tergolong sedikit,

hanya saja mantan narapidana yang kembali menjadi Warga Binaan


69

Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar masih banyak dengan kasus yang

berbeda. Contoh : sebelumnya narapidana tersebut melakukan pembunuhan, dan

saat keluar Lapas ia menjadi pengedar narkoba. Bahkan diantara mereka ada yang

masih dalam pengawasan atau wajib lapor oleh Balai Pengawasan (BAPAS) dan

sudah melakukan tindak pidana lainnya. Padahal Lapas Klas IIA Denpasar sudah

melakukan pembinaan secara maksimal, hanya saja saat kembali ke masyarakat

stigma dari masyarakat kepada mantan narapidana belum dapat dirubah bahkan

cenderung tidak bisa menerima mantan narapidana termasuk dalam sulitnya

membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) untuk melamar

pekerjaan, hal inilah yang pada akhirnya membuat mantan narapidana tersebut

melakukan tindak pidana kembali.

Jika mengacu pada teori efektivitas hukum yang menyebutkan

efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik

penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak

terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein.47

Struktur adalah keseluruhan instisusi hukum beserta aparatnya, dalam

hal ini Petugas Sipir Lapas Klas IIA Denpasar. Namun, pada pelaksanaannya

masih terdapat oknum petugas sipir yang melakukan pungli dan membiarkan

beberapa fasilitas seperti televisi, telepon genggam sampai pada narkotika bisa

masuk kedalam Lapas. Kurangnya pengawasan terhadap Warga Binaan

Pemasyarakatan, menyebakan pembinaan tidak dilakukan secara maksimal yakni

47
Soerjono Soekanto, Loc.cit.
70

masih kurangnya kesadaran Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengikuti

kegiatan di Bengkel Kerja.

Substansi adalah keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum dan

norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis termasuk putusan

pengadilan. Mengacu pada Pasal 2 UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa

sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan

pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Dalam hal ini, Lembaga Pemasyarakatan bisa menjadikan seseorang menjadi

lebih jahat lagi atau bahkan menjadi seseorang yang lebih baik. Masih banyaknya

mantan Narapidana yang kembali masuk ke Lapas Klas IIA Denpasar,

menyebabkan tujuan dari sistem pemasyarakatan belum dapat terwujud.

Budaya hukum menunjukan adanya kepandaian, hukum, moral dan

termasuk kepercayaan. Stigma masyarakat yang cenderung tidak percaya terhadap

mantan Narapidana sulit diubah, sehingga mantan narapidana tersebut kesulitan

untuk hidup di luar Lapas yang pada akhirnya lebih memilih untuk kembali ke

dalam Lapas.

Hal tersebut dikuatkan dengan pernyataan dari Warga Binaan

Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar, yaitu Ibu Lasmana pada hari Selasa

tanggal 14 April 2015 di Lapas Klas IIA Denpasar Pukul 09.15 Wita, bahwa Ibu
71

Lasmana terlibat dalam kasus pengedaran narkotika tingkat internasional dan

tertangkap di Bandar Udara Ngurah Rai Denpasar. Selama 1 tahun menjalani

pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar, Ibu Lasmana mengatakan proses

pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar masih belum efektif karena masih

banyaknya pengguna sabu di dalam Lapas Klas IIA Denpasar khususnya wisma

perempuan. Selain itu pada saat menjalani proses MAPENALING, hanya di

tempatkan di dalam wisma dan diamkan selama satu minggu. Kegiatan

pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar hanya diikuti oleh beberapa Warga

Binaan Pemasyarakatan saja dan tidak ada sanksi tegas dari petugas sipir terhadap

Warga Binaan Pemasyarakatan yang tidak mengikuti kegiatan di Bengkel Kerja.

Selanjutnya ibu Lasmana menambahkan, Lembaga Pemasyarakatan dapat

membuat seseorang menjadi lebih baik atau bahkan menjadi lebih buruk.

Berdasarkan ungkapan narasumber yang berbeda, seperti pernyataan

Bapak Edik sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas Klas IIA Denpasar

pada wawancara hari Selasa tanggal 14 April 2015 pukul 10.02 Wita di Lapas

Klas IIA Denpasar, bahwa Edik sudah menjalani proses pembinaan di Lapas Klas

IIA Denpasar selama 2 tahun karena terlibat kasus pembunuhan berencana. Edik

menjelaskan, pada saat di masukan kedalam Wisma untuk mengikuti

MAPENALIG, edik melakukan perkenalan dengan anggota wisma.

Selanjutnya,kegiatan di bengkel kerja hanya diikuti oleh Warga Binaan

Pemasyarakatan yang baru masuk Lapas Klas IIA Denpasar. Sementara, Warga

Binaan Pemasyarakatan yang sudah lama lebih memilih diam di dalam wisma

bahkan ada yang melakukan judi. Edik membenarkan bahwa masih banyak Warga
72

Binaan Pemasyarakatan yang menggunakan narkoba jenis sabu dan pemakaian

alat telepon genggam, bahkan banyaknya organisasi masyarakat (ORMAS) di

dalam Lapas seperti misalnya “Pemuda Bali Bersatu”. Ia selaku wakil ketua dari

ormas tersebut mendapatkan fasilitas berupa ruang wisma sendiri yang dilengkapi

dengan radio atau televisi. Pembinaan di dalam Lapas Klas IIA Denpasar

menurutnya belum efektif karena masih adanya napi yang lebih berkuasa dari

petugas sipir.

Dari ketiga elemen hukum baik struktur hukum, substansi hukum, dan

budaya hukum masyarakat yang belum dapat terpenuhi, maka dapat diketahui

bahwa penyelenggaraan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar belum efektif. Relevan dengan teori efektivitas hukum, Romli

Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan

hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim,

jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi

hukum yang sering diabaikan.48

Narapidana merupakan mereka yang melakukan tindak pidana dan

menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan. meskipun mereka telah

melakukan tindak pidana, namun mereka tetap mempunyai hak yang wajib

mereka dapatkan serta wajib dihormati oleh siapapun.49 Dalam melakukan

pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang tidak terlepas adalah

48
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum, Bandung, Mandarmaju, hal.55.
49
Mangasa Sidabutar, 2001, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya
Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.17.
73

pemenuhan hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban warga binaan

pemasyarakatan adalah mentaati segala peraturan yang berlaku di Lembaga

Pemasyarakatan, sementara hak-hak mereka antara lain, hak mendapatkan

pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan makanan yang layak, informasi dan

sebagainya.

Dilaksanakan program pembinaan kepada warga binaan

pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar adalah tujuan

dari sistem pemasyarakatan tersebut dimana sesudah mereka menjalani seluruh

proses pembinaan di Lapas dan telah dinyatakan bebas, diharapkan mereka agar

menyadari kesalahan, memperbaiki diri oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar yang baik dan

bertanggung jawab.
BAB IV

FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN

NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA

DENPASAR DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

4.1. Faktor Penghambat dalam Penyelenggaraan Pembinaan terhadap

Narapidana.

Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ) sebagai institusi yang menampung

dan melakukan pembinaan terhadap para pelaku kejahatan (narapidana)

hendaknya harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung

proses pembinaan atau pemasyarakatan itu sendiri. Tersedianya fasilitas yang

memadai di dalam Lembaga Pemasyakaratan menjadi faktor yang sangat penting

dalam menjalankan fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan

terhadap narapidana. Secara umum jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan

seluruh indonesia telah melebihi daya tampung yang semestinya (over

kapasitas).50

Akibat dari penghuni yang melebihi daya tampung di Lembaga

Pemasyarakatan, terdapat Lembaga Pemasyarakatan anak yang kemudian separuh

lokasinya digunakan untuk menampung narapidana dewasa. Bahkan terdapat pula

Lembaga Pemasyarakatan yang sekaligus menampung narapidana dewasa laki-

laki, dewasa perempuan, tahanan, dan narapidana anak. Dibeberapa Lembaga

50
A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Op.cit, hal.129.

74
75

Pemasyarakatan lain diperkirakan jumlah penghuni yang melebihi kapasitas

adalah akibat banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan narkoba dan perjudian yang

ditangkap.51

Secara umum, Lembaga Pemasyarakatan mengalami beberapa faktor

yang dapat menghambat proses pembinaan, selain tidak seimbangnya penghuni

terhadap Lembaga Pemasyarakatan, keadaan minimnya dana untuk kesehatan juga

dijumpai dibeberapa Lembaga Pemasyarakatan, antara lain tidak terdapatnya

poliklinik dan dokter di Lembaga Pemasyarakatan.52Permasalahan di tubuh

Lembaga Pemasyarakatan tidak dapat teratasi dengan mudah mengingat

minimnya dana untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan baru dan terbatasnya

lahan yang bisa digunakan untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan baru.53

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang dipilih sebagai

tempat penelitian merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang

mengalami keadaan over kapasitas hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor

penghambat proses pembinaan bagi narapidana. Permasalahan over kapasitas

menjadi sulit diatasi mengingat tingginya tingkat kriminalitas dan keterbatasan

dana untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan yang baru di daerah Denpasar.

Melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan bukanlah

suatu hal yang mudah dan merupakan tantangan dari waktu ke waktu bagi setiap

Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas

51
A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Op.cit, hal.30
52
A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Loc.cit
53
A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Loc.cit
76

adalah instansi yang sangat berperan penting dalam memasyarakatkan kembali

para narapidana sebagai bagian akhir sistem peradilan pidana di Indonesia. Hasil

dari wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak I Wayan Agus Miarda

selaku Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan ( Ka. PLP) Lapas

Klas IIA Denpasar pada hari Kamis tanggal 16 April 2015 di ruangan Ka.PLP

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, ditemui beberapa faktor penyebab

yang dapat menghambat pelaksanaan sistem keamanan dan pembinaan terhadap

warga binaan pemasyarakatan seperti :

1. Tidak seimbangnya jumlah petugas pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dengan jumlah warga binaan

pemasyarakatan, sehingga pelaksanaan sistem keamanan menjadi tidak

maksimal

2. Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung pengamanan di Lapas

Klas IIA Denpasar seperti kurangnya jumlah kamera pengamanan

(CCTV), tidak tersedianya alat pendeteksi logam (metal detector), dan

senjata pengamanan bagi petugas pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar.

Selanjutnya, Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP,SH.,MH selaku

Kasi.Binadik ( Bimbingan dan Anak Didik ) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar dalam wawancara pada hari Kamis tanggal 16 April 2015, menyebutkan

faktor penghambat lainnya di Lapas Klas IIA Denpasar. Yaitu :

1. Keadaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang mengalami

over kapasitas (tidak memadai daya tampung Lembaga Pemasyarakatan


77

dibandingkan jumlah warga binaan pemasyarakatan). Lembaga

Pemasyarakatan memiliki kapasitas daya tampung sebanyak 336 orang,

sedangkan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA

Denpasar hingga saat ini berjumlah 900 orang. Melihat kondisi ini, Lapas

Klas IIA Denpasar sudah mengalami over kapasitas sebesar 300 %.

2. Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia mengikuti pembinaan

yang diprogramkan di Lembaga PemasyarakatanKlas IIA Denpasar.

Dalam hal ini hanya Warga Binaan Pemasyarakatan barulah yang

mengikuti program pembinaan, sementara yang lainnya lebih memilih

tinggal di dalam wisma. Meski demikian, hal ini akan berdampak pada

penilaian petugas sipir kepada warga binaan pemasyarakatan yang

bersangkutan.

3. Keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan.

Semenjak kerusuhan yang terjadi pada tahun 2012 lalu, banyak sarana dan

prasarana yang ikut terbakar.

4. Kurangnya tenaga pengajar pembinaan, hal ini berkaitan dengan

kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Lapas Klas IIA

Denpasar.

5. Kurangnya tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh Warga Binaan

Pemasyarakatan. kesejahteraan memang bersifat relatif, tingkat

kesejahteraan setiap warga binaan pemasyarakatan berbeda satu sama lain.

Salah satunya yaitu, banyaknya keluhan kepada petugas sipir terkait

dengan kesehatan warga binaan pemasyarakatan.


78

4.2 Upaya yang Telah dilakukan Oleh Lapas untuk Meminimalisir

Faktor Penghambat

Tugas pokok dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan adalah

melaksanakan pembinaan kepribadian dan kemandirian yang di tunjang dengan

keamanan, antara pembinaan dan keamanan seperti satu mata uang yang tidak

dapat di pisahkan, yaitu jika keadaan aman pembinaan di depan dan keamanan

membantu,serta jika keadaan darurat keamanan di depan dan pembinaan yang

membantu. Direktorat Jendral Pemasyarakatan mempunyai tugas merumuskan

dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pemasyarakatan.

Disamping tugas pokok tersebut, Lembaga Pemasyarakatan juga mempunyai

tugas pelayanan dan perawatan, yaitu terkait dengan pelayanan kesehatan dan

makanan.

Pada dasarnya, segala proses penyelenggaraan Pembinaan di Lapas

Klas IIA Denpasar tidak akan berjalan secara maksimal apabila tidak ada peran

serta dari pemerintah terkait seperti kementerian hukum dan Ham. Peran serta

tersebut dapat berbentuk suatu kebijakan yang dilakukan agar dapat tercapainya

tujuan yang diharapkan. Berbicara mengenai kebijakan, Menurut Carl Friedrich:

Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan dalam lingkungan

tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari


79

peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang

diinginkan.54

Sehubungan dengan itu berdasarkan hasil wawancara Bapak I Wayan

Putu Sutresna, Amd.IP,SH.,MH selaku Kasi Bimbingan dan anak didik

(BINADIK) Lapas Klas IIA Denpasar pada hari SeninTanggal 20 April 2015

Pukul 10.15 Wita, bahwa pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) telah

banyak memberikan sutau kebijakan terkait dengan pembinaan di Lapas Klas IIA

Denpasar diantaranya dengan memperketat penjagaan di Lapas Klas IIA

Denpasar, mengadakan sidak baik sidak secara rutin maupun sidak dadakan.

Selain itu, Pemerintah Daerah juga sudah membantu dalam Penyaluran dana

untuk Lapas Klas IIA Denpasar, saat ini Lapas Klas IIA Denpasar sudah

mendapat saluran dana untuk perbaikan gedung akibat kerusuhan yang terjadi

pada tahun 2012 lalu.

Di sisi lainnya, menurut pernyataan Bapak I Wayan Agus Miarda

selaku Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar dalam wawancara

pada hari Senin tanggal 20 April 2015 Pukul 11.25 Wita, bahwa terkait dengan

kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini banyaknya sidak

yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Kemenkumham). Dalam setiap pelaksanaan sidak, dilakukan pemeriksaan baik

54
Ali Imron, 2002,Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Jakarta, PT Bumi Aksara, hal. 37.
80

dari administrasi maupun langsung melakukan pengecekan langsung ke dalam

wisma.

Melihat adanya faktor penghambat jalannya proses pembinaan terhadap

warga binaan pemasyarakatan, pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar sebagai institusi yang melakukan pembinaan terhadap warga binaan

pemasyarakatan sudah tentu memiliki langkah atau upaya-upaya yang telah

dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dapat menghambat jalannya proses

pembinaan warga binaan pemasyarakatan seperti yang telah dijelaskan diatas.

Upaya-upaya yang dilakukan tidak lain adalah tindakan seadanya yang mampu

dilakukan petugas pembinaan maupun pengamanaan mengingat kondisi Lembaga

Pemasyarakatan yang sudah mengalami over kapasitas. Dari hasil wawancara

dengan Bapak Mikha Simanjuntak, SH selaku staff bimkesmaswat ( Bimbingan

Kemasyarakatan dan Perawatan ) pada hari Senin, 20 April 2015 pukul 09.05

Wita di ruangan Bimkesmaswat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar,

bahwa sejauh ini upaya-upaya yang telah dilakukan Lapas Klas IIA Denpasar,

bahwa sejauh ini upaya-upaya yang telah dilakukan Lapas Klas IIA Denpasar

dalam mencegah hambatan proses pembinaan meliputi :

1. Memaksimalkan pengamanan terhadap Lapas Klas IIA Denpasar melalui

penempatan titik rawan seperti dimenara penjagaan atas, tembok

pembatas, dan didalam wisma hunian

2. Mengajukan permohonan penambahan petugas pengamanan kepada

kantor Wilayah Hukum dan Ham Provinsi Bali (Kanwil Hukum dan

Ham)
81

3. Petugas pengamanan meminta bantuan kepada staff bagian umum untuk

membantu mengawasi penjagaan di sekitar Lapas mengingat minimnya

jumlah petugas di bidang pengamanan

4. Petugas di bidang pembimbingan dibantu dengan petugas pengamanan

melakukan pendekatan secara halus kepada warga binaan yang tidak

bersedia mengikuti program pembinaan

5. Kekurangan tenaga pengajar keterampilan dibidang melukis membuat

pegawai Lapas Klas IIA Denpasar turut serta memberikan pengajaran

semampunya.

4.3 Upaya yang dapat dilakukan untuk Memaksimalkan Pembinaan

Narapidana.

Berbagai permasalahan yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar,

menyebabkan Penyelenggaraan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar belum

berjalan secara maksimal. Jika dikaitkan dengan teori efektivitas hukum yang

disampaikan oleh Soerjono Soekanto, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, antara lain :55

1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam Peraturan Perundang-undangan

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

55
Soerjono Soekanto, Loc.cit.
82

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup

Adapun kelima faktor penegakan hukum tersebut belum diterapkan secara

maksimal. Hal ini dapat diketahui dari faktor penegak hukum yaitu petugas Sipir

yang belum tegas dalam membina narapidana sehingga masih banyak Warga

Binaan Pemasyarakatan Lapas Klas IIA Denpasar yang tidak mengikuti kegiatan

di bengkel kerja, adanya Petugas Sipir yang menjadi oknum kurir pengedaran

narkoba di Lapas Klas IIA Denpasar, sarana dan prasana yang terbatas sampai

pada stigma masyarakat yang belum dapat menerima mantan narapidana.

Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana dapat dikatakan berhasil

apabila tujuan dari pembinaan yang diamanatkan Pasal 2 UU Pemasyarakatan

dapat tercapai, yaitu mengembalikan narapidana menjadi manusia seutuhnya dan

dapat kembali dalam lingkungan masyarakat. Guna mencapai tujuan tersebut,

maka diperlukan suatu upaya yang dapat dilakukan dalam memaksimalkan

pelaksanaan pembinaan narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Agus Miarda

pada hari Jumat tanggal 17 April 2015 di Lapas Klas IIA Denpasar, adapun

Upaya yang dapat dilakukan antara lain :


83

1. Pengurangan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan dengan pemberian

Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat dan Cuti Mengunjungi Keluarga yang

saat ini sudah mulai diterapkan Lapas Klas IIA Denpasar

2. Penambahan SDM di Lapas Klas IIA Denpasar dalam hal ini adalah petugas

Sipir agar pengawasan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dapat

dilakukan secara maksimal

Selanjutnya, Bapak I Wayan Putu Sutresna Amd.IP,SH.,MH dalam

wawancara pada Hari Jumat tanggal 17 April 2015, adapun kebijakan yang dapat

dilakukan dalam memaksimalkan pelaksanaan pembinaan narapidana, antara lain :

1. Akan di buat Kartu Brezzi yang bekerjasama dengan Bank BRI berfungsi

sebagai alat pembayaran Warga Binaan Pemasyarakatan layaknya seperti

kartu ATM, pembuatan kartu breezi ini di harapkan dapat meminimalisir

pengedaran uang di Lapas untuk membeli hal-hal yang tidak di inginkan,

contoh : narkoba di dalam Lapas

2. Perlunya kerjasama dengan banyak pihak seperti LSM, tokoh masyarakat,

Konsulat setiap negara, dll

3. Perlu dikurangi interpensi atau ikut campur dari pihak lain, seperti

misalnya instansi dalam tindak pidana korupsi, sehingga narapidana

merasa di pidana lebih dari dari satu kali

4. Adanya sosialisasi terhadap masyarakat agar mau menerima mantan

narapidana di lingkungan masyarakat luas


84

5. Perlu kebijakan khusus bagi Narapidana. Misalnya dalam pembuatan

SKCK, sehingga mantan narapidana tersebut tetap dapat bekerja di

lingkup masyarakat.

Mengenai Upaya yang adapat dilakukan dalam memaksimalkan

pembinaan terhadap narapidana tidak hanya mengandalkan Kementerian Hukum

dan Ham khususnya Petugas Sipir. Namun, memang di rasa perlu kerjasama

segala komponen baik aparatur negara maupun masyarakatan luas. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Bapak Ida Bagus Sedana, SH selaku Kasi pencegahan BNN

Kota Denpasar dalam wawancara pada hari kamis tanggal 16 April 2015 pukul

13.00 Wita di kantor BNN Kota Denpasar. Adapun menurutnya upaya yang dapat

dilakukan, antara lain :

1. Lembaga Pemasyarakatan harus dikembalikan pada fungsi Lapas yang

disebutkan dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

2. Pelaku teknis dengan auditor harus berkoordinasi

3. Narapidana harus di tempatkan berdasarkan kasusnya. Contoh :

narapidana dengan kasus narkoba berada di dalam satu wisma agar,

narapidana dengan kasus lain tidak menjadi pecandu narkoba

4. Perlunya komponen dari masyarakat luas

5. UU yang menjadi dasar Lembaga Pemasyarakatan sudah bagus, hanya saja

perlu penegakan yang maksimal dari apatur penegak hukum.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan

maksimal. Hal ini dibuktikan dengan keterbatasan sarana dan prasarana

penunjung program pembinaan, keadaan Lapas yang mengalami over

kapasitas, tidak semua Warga Binaan Pemasyarakatan bersedia mengikuti

program pembinaan, Banyaknya Warga Binaan Pemasyarakatan yang

menggunakan narkoba di dalam Lapas, oknum petugas sipir yang

kedapatan melakukan pungutan liar, dan yang terakhir kurangnya petugas

pemasyarakatan di bidang pembinaan serta tenaga pengajar program

pembinaan keterampilan melukis sehingga sistem pemasyarakatan tidak

berjalan baik di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.

2. Untuk mencapai tujuan dari sistem Pemasyarakatan yang diamanatkan

Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka

upaya yang dapat dilakukan terhadap pembinaan narapidana di Lapas klas

IIA Denpasar, yaitu : pengurangan jumlah peredaran uang di Lapas

dengan pembuatan kartu brezzi, penempatan Warga Binaan

Pemasyarakatan berdasarkan kasus, sosialisasi kepada masyarakat agar

85
86

dapat merubah stigma terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga

mantan narapidana dapat diterima kembali di masyarakat.

5.2 Saran

1. Narapidana yang menjalani hukuman di bawah 3 bulan hendaknya tidak

ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, melainkan dengan cara

merehabilitasi di suatu tempat dengan memindahkan Warga Binaan

Pemasyarakatan yang ada di luar Bali agar over kapasitas di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar bisa diatasi.

2. Diperlukan penambahan petugas dibidang pengamanan dan alat-alat

pengamanan seperti kamera pengawas (CCTV) , alat pendeteksi logam

(metal detektor), dan senjata pengamanan di Lapas Klas IIA Denpasar agar

pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dapat

berjalan dengan maksimal serta tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran atau

penyimpangan. Pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar harus

menemukan suatu solusi untuk mengatasi apabila terdapat Warga Binaan

Pemasyarakatan yang tidak bersedia mengikuti. Sehingga Warga Binaan

Pemasyarakatan mendapatkan pembekalan hidup selama mengikuti

pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, tidak mengulangi tindak pidana,

serta dapat diterima kembali di dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abidin, Muhammad Zainal & Kurniawan Edy, I Wayan,2013, Catatan Mahasiswa


Pidana, Indie Publishing, Depok.

Abdulkadir, Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Abdulrahman, Soejono, H.2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta,
Jakarta.

Ali Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang
(LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal. Kencana, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung

--------------2008,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ( Perkembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru ), kecana Prenada Media Grup,
Jakarta.

Apeldoorn Van, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.

AtmasasmitaRomli, 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan,


Rineka, Bandung.

----------------- 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan


Hukum, Bandung.

Departemen Pendidkan Nasional, 2002,Kamus Besar Bahasa Indonesia( edisi


ketiga), Balai Pustaka, Jakarta.

Dipradja, R.Achmad S.Soema,Romli Atmasasmita,1979, Sistim Pemasyarakatan


di Indonesia, Percetakan Ekonomi, Bandung.

Fakultas Hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas


Udayana, Denpasar.
Hamzah, Andi, 1983, Tinjauan Ringkas Sistem Pemindanaan di Indonesia,
cetakan pertama, November, Jakarta.
Harsono CI , 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta.
Imron, Ali. 2002. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Bumi
Aksara.

Kansil C.S.T, Dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana,
Hukum Pidana Untuk Tiap Orang. Cetakan Kedua, PT Pradnya
Paramita.Jakarta.

Mamuji, Sri.2004, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Pradnya Paramita,


Jakarta.

Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT Eresco,


Bandung.

Samosir Djisman, 1982, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan


Narapidana di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta

Shadily Hassan, 1989, Sosiologi Untuk Orang Indonesia, PT Pembangunan,


Jakarta.

Simon, R A Josias dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga


Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung.

Soekanto Soerjono, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung.

----------------------- 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Raja Grafindo, Jakarta.

----------------------- Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan


Singkat, Rajawali, Jakarta.

Soedjono, 1972, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Alumni, Bandung.

Soerjobroto Bahroedin, 1969, The Treatment Of Offenders, Undip, Semarang.

---------------------- 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Pemasyarakatan,


Departemen kehakiman RI, Jakarta.

Syahrini Riduan, 1999, Rangkuman Intisari Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
2. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-undang Nomor.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan.

3. Internet

Http:/Wikipedia.com/Lembaga Pemasyarakatan/, di akses pada tanggal 5Oktober


2014
Http://id.m.wikipedia.org/wiki/lembaga_pemasyarakatan_Kerobokan/, di akses
pada tanggal 20 Oktober 2014.
Http ://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-tentang-sistem.html/ di
akses pada tanggal 2 Februari 2015.
Http :// polsuspas.wordpress.com/2011/01/05/sejarah-sistem-pemasyarakatan/di
akses pada tanggal 2 Februari 2015.
Http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/21/sejarah-dari-penjara-ke-LAPAS-napi-
juga-manusia/di akses pada tanggal 2 Februari 2015.
Http://Regional.kompas.com/read/2012/02/22/08252280/, diakses pada tanggal 20
Oktober 2014
DAFTAR INFORMAN

1. Nama : I Wayan Agus Miarda, A.Md.IP.SH

Jabatan : Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan

Kerobokan

Alamat : Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan,

Jln. Tangkuban Perahu

2. Nama : I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH

Jabatan : Kasi Bimbingan dan Anak Didik Lembaga

Pemasyarakatan Kerobokan

Alamat : Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan

No.5, Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta

Badung.

3. Nama : Dewa Gede Astara,SH.MH

Jabatan : Ka.Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan

Kerobokan

Alamat : Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan

Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta

Badung.

4. Nama : Mikha Simanjuntak, SH

Jabatan : Staff Pegawai Bimbingan Kemasyarakatan dan

Perawatan Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan


Alamat : Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan

Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta

Badung.

5. Nama : Ida Bagus Sedana, SH

Jabatan : Kasi. Pencegahan BNN Kota Denpasar


DAFTAR RESPONDEN

6. Nama : Lasmana

Umur : 46 Tahun

Kasus : Peredaran Narkotika

Asal : Ci Amis, Jawa Barat

7. Nama : Edik

Umur : 23 Tahun

Kasus : Pembunuhan Berencana

Asal : Tanggerang, Banten


EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN
NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA
DENPASAR
Oleh
Ni Made Destriana Alviani
Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum
I Made Tjatrayasa,SH.,MH
Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Abstract
The writing is titled effectiveness of correctional institutions in coaching
Inmates on the Review of the Act No. 12 of 1995 concerning Corrections. In
principle, all convicted person undergoing criminal court ruling, after going
through the next convict placed in correctional institutions, however a lot of
institutions going constraints, such as the concerned correctional facility
condition, and also in terms of the construction of the inmates. As for the goals of
this research is to gain an understanding of the effectiveness of the correctional
institutions inmates in coaching. Research methods used are empirical juridical.
venue construction begins with the construction of the stage, stage of assimilation
and integration phase. As for policies that can be applied by the Government in
the days to come, among others, a reduction in the number of People in our
Prisons, making a breezi card, there is a socialization against society. Based on
the research results can be drawn the conclusion that the condition of the
Building construction of prisons in Klas II A Denpasar correctional facility can
be said not to walk with maybe this is evidenced by the large number of problems
still occur in Klas II A Denpasar prison staff.

Key Word : Key words: Effectiveness, Correctional Institutions, prisoner, Treatment

Abstrak
Penulisan ini berjudul Efektivitas Lembaga Pemasyarakatan Dalam
Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar.Pada
prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana setelah melalui putusan
pengadilandi tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, Namun dalam lembaga ini
banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang
memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana. Adapun tujuan yang
ingin diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman
mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. penyelenggaran
pembinaan dimulai dengan tahap pembinaan, tahap asimilasi dan tahap integrasi.

1
Adapun kebijakan yang dapat diterapkan oleh pemerintah di masa yang akan
datang antara lain Pengurangan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan,
pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi terhadap masyarakat. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu Kondisi pembinaan
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Lapas Klas
II A Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan maksimal hal ini dibuktikan
dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi di Lapas Klas II A Denpasar

Kata Kunci :Efektivitas, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Pembinaan

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang


kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang
selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai
narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan hukum yang berlaku
agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Namun dalam lembaga ini
banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang
memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana.Adapun
permasalahan yang diangkat adalah Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar saat ini. Apa yang
menjadi faktor penghambat dalam pembinaan narapidana dan bagaimana upaya
penanggulangannya ?

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menganalisis

penyelenggaraan pembinaan terhadap Narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar

serta untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dapat dilakukan dalam

memaksimalkan pembinaan narapidana.

II. ISI MAKALAH

2.1 Metode Penelitian

2
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis

empiris yaitu terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas

hukum.56sehingga dalam penyusunannya dilakukan dengan penelitian lapangan

yang memanfaatkan data-data primer dari hasil wawancara dan observasi yang

didukung dengan data sekunder.

2.2 Hasil dan Pembahasan


2.2.1 Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar

Lapas Klas II A Denpasar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis

(UPT) Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana yang

bernaung di bawah kantor wilayah kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Propinsi Bali. Lembaga Pemasyarakatan ini baru di Resmikan

pada tanggal 15 Agustus 1983.

Proses pembinaan yang dilakukan terhadap Warga Binaan

Pemasyarakatan dimulai saat pertama kali narapidana tersebut masuk Lapas yang

kemudian dilakukan pemeriksaan fisik sampai pada pada registrasi. Untuk tahap

selanjutnya, Warga Binaan Pemasyarakatan ditempatkan dalam wisma khusus

untuk menjalani proses Masa Pengenalan Lingkungan (MAPENALING) selama

7 hari (satu minggu). Setelah menjalankan proses MAPENALING, maka Warga

Binaan Pemasyarakatan akan di masukan kedalam wisma untuk selanjutnya

menjalankan proses pembinaan, yang terbagi ke dalam :

56
Bambang Sunggono, 2009, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.41.

3
4. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai ½ (satu per

dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat

(maximum security).

5. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai ½ (satu per dua) sampai 2/3 (dua per

tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini pembinaan mulai dilakukan di dalam

LAPAS ataupun di luar LAPAS. Pada tahap ini pengawasan agak berkurang

(medium security).

6. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani

2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada

tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security)

Pada dasarnya, pemberian pembinaan di LapasKlas II A Denpasar

sudah mengacu pada prosedur yang ada yaitu UU No.12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan sebagai dasar acuan pemberian Pembinaan dan PP No. 31 Tahun

1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, dalam beberapa

hal masih saja ditemukan ketimpangan selama proses pembinaan di dalam Lapas

tersebut.Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan miniatur dari masyarakat

luar, dengan kata lain apa yang ada di masyarakat luar pasti ada di dalam Lapas.

Hal ini berarti masih adanya penggunaan narkoba di dalam Lapas, Tawuran antar

wisma bahkan sampai pada oknum petugas sipir yang kedapatan melakukan

pungli atau membiarkan narkoba masuk kedalam Lapas. Saat dilakukan Sidak,

pernah kedapatan alat pembuatan narkoba secara manual di dalam wisma

LapasKlas II A Denpasar.

4
Jika mengacu pada teori efektivitas hukum yang menyebutkan

efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik

penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak

terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein.57 Dari ketiga elemen hukum

baik struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum masyarakat yang

belum dapat terpenuhi, maka dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pembinaan

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar belum efektif.

2.2.2 Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Di

Lembaga Pemasyarakatan Klas Iia Denpasar Dan Upaya

Penanggulangannya

Secara umum, Lembaga Pemasyarakatan mengalami beberapa faktor

yang dapat menghambat proses pembinaan, selain tidak seimbangnya penghuni

terhadap Lembaga Pemasyarakatan, keadaan minimnya dana untuk kesehatan juga

dijumpai dibeberapa Lembaga Pemasyarakatan. antara lain tidak terdapatnya

poliklinik dan dokter di Lembaga Pemasyarakatan.58

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Klas II A Denpasar merupakan

salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami keadaan over kapasitas

hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor penghambat proses pembinaan

bagi narapidana yaitu Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia

57
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial
Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legis Prudence) Volume 1 Pemahaman
Awal, Kencana, Jakarta,hal.225.
58
A Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan
di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung,hal.129.

5
mengikuti pembinaan yang diprogramkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A

Denpasar, Keterbatasan sarana dan prasarana, Kurangnya tenaga pengajar

pembinaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan

pembinaan narapidana di lapas Klas IIA Denpasar antara lain Pengurangan jumlah

Warga Binaan Pemasyarakatan, pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi

terhadap masyarakat.

III KESIMPULAN

Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas II A Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan

maksimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi

di LapasKlas II A Denpasar seperti masih banyak narapidana yang menggunakan

narkoba di dalam Lapas serta terdapat pungutan liar yang dilakukan oknum sipir

LapasKlas II A Denpasar. Selain itu upaya yang dapat dilakukan terhadap

pembinaan narapidana, yaitu : pengurangan jumlah peredaran uang di Lapas

dengan pembuatan kartu brezzi, penempatan Warga Binaan Pemasyarakatan

berdasarkan kasus.

6
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legis
Prudence) Volume 1 Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum, Bandung.
Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung.
Sunggono, Bambang, 2009, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan

Warga Binaan Pemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai