BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu didalam perkembangannya terbagi menjadi berbagai macam jenis keilmuan dengan
karakteristiknya masing-masing, ruas ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya dibagi menjadi tiga, yaitu
Ilmu-ilmu Alamiah, Ilmu-ilmu Sosial, serta Humaniora sehingga dikenal berbagai macam cabang
ilmu dari ketiga ruas ilmu tersebut. Salah satu cabang ilmu yang ada adalah ilmu hukum. Ilmu hukum
dapat dikatakan sebagai ilmu yang memiliki karakteristik yang berbeda dari ilmu lainnya. Ilmu
hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian
yang juga berbeda.
Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik
oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang berkecimpung di bidang hukum sendiri. Sifat dari
ilmu hukum yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu hukum disebut sebagai ilmu dengan
karakteristik sui generis. Sui generis berasal dari ungkapan Latin, yang secara harfiah diartikan dari
jenisnya atau genusnya sendiri. Di bidang hukum istilah sui generis digunakan untuk menyebut jenis
jenis aturan hukum yang dibuat secara khusus untuk mengatur suatu hal yang bersifat spesifik atau
unik. Kata sui generis ini sering digunakan dalam analisis filsafat untuk menunjukkan ide, entitas,
atau suatu realitas yang tidak dapat dimasukkan dalam konsep yang lebih luas. Ilmu hukum sebagai
ilmu sui generis dapat di telaah menjadi 4 hal yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu
hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum.
BAB II
ISI
Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian
menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan
hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum
bukanlah ilmu empiris. Memang harus diakui bahwa di sisi lain yuris Indonesia berusaha mengangkat
derajat keilmuan hukum dengan mengembangkan aspek empiris dari ilmu hukum melalui kajian-
kajian yang sosiologik. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kerancauan dalam usaha
pengembangan ilmu hukum, dimana yuris Indonesia kehilangan kepribadiannya dan pembangunan
hukum melalui pembentukan hukum tidak ditangani secara tepat dan professional. Usaha
menghidupkan aspek empiris dari ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-
metode penelitian sosial dalam kajian hukum selain tetap mempergunakan kajian normatif itu sendiri.
Kajian hukum diempiriska antara lain dengan merumuskan format-format penelitian hukum yang
dilatarbelakangi oleh metode penelitian ilmu social yang notabene adalah penelitian empiris.
Sehingga ditemukan kejanggalan-kejanggalan dengan memaksa format penelitian ilmu social dalam
penelitian hukum normatif diantaranya:
a. perumusan masalah dengan kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain;
Penelitian hukum normatif seringkali juga diklasifikasikan sebagai penelitian kualitatif,
karena penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kuantitatif (statistic), dengan serta
merta penelitian hukum normatif dinggap sebagap penelitian kualitatif. Kesalahpahaman ini,
mengakibatkan penelitian hukum dianggap kurang ilmiah karena tidak kuantitatif atau tidak
menggunakan statistic. Penlitian hukum normatif semestinya tidaklah diidentifikasikan dengan
penelitian kualitatif.
Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas (pengkajian ilmu
hukum), seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, bukan dari sudut pandang ilmu social.
Ada dua pendekatan yang dapatdilakukan untuk menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya
membawa konsekuensi pada metode kajiannya, yaitu:
Dari sudut ini ilmu hukum memiliki dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter
aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki segi-segiempiris. Sisi empiris
tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence, dan socio legal
jurisprudence. Dengan demikian dari sudut pandang ini, ilmu hukum normatif metode kajiannya
khas, sedangkan ilmu hukumempiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif atau kualitatif
tergantung sifat datanya.
Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu :
Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-masing
mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metodeyang khas. Persoalan tentang
metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teorihukum (dalam arti sempit). Dengan
pendekatan yang obyektif seperti tersebut di atas,dapatlah ditetapkan metode mana yang paling tepat
dalam pengkajian ilmu hukum.
Dari uraian diatas dapat diambil sikap yaitu jangan mengempiriskan segi-segi normatif ilmu
huku dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi empiris dalam penelitian hukum. Dalam kajian
normatif sebaliknya berpegang pada tradisi keilmua hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu
hukum empiris sebaiknya digunakan metode-metode penelitian empiris yang sesuai.
Ilmu Hukum memiliki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa
Belanda, jurisprudence atau legal science dalam bahasa Inggris, dan jurisprudent dalam bahasa
Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di
Indonesia disejajarkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing tersebut. Misalnya, istilah
Rechwetenschap oleh Jan Gijssels dan Mark van Hoecke diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai
Jurisprudence. Apabila diterjemahkan secara harfiah Rechwetenschap berarti Science of Law. Istilah
itu dihindari karena istilah science dapat diidentikkan dengan kajian yang bersifat empiris.
Kenyataannya, hukum adalah kajian yang lebih bersifat normatif.
Istilah rechtswetenschap (Belanda) dalam arti sempit adalah dogmatika hukum atau ajaran
hukum yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum posisitf dan dalam hal
tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatika hukum tidak bebas nilai tetapi sarat dengan
nilai. Rechtswetenschap dalam arti luas meliputi: dogmatika hukum, teori hukum (dalam arti sempit)
dan filsafat hukum.
Rechtstheorie juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti sempit rechtstheorie adalah
lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatika hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam
arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum.
Istilah jurispudence, legal science, dan legal philosophy dalam bahasa Inggris, mempunyai makna
yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda di atas. HPH Visser Thooft, dari sudut pandang filsafat
ilmu, menggunakan istilah rechtswetenschappen [ilmu-ilmu hukum], dan merumuskan sebagai
disiplin yang obyeknya hukum. Atas dasar itu dikatakan: recht is made wetwnschap. Sementara
Meuwissen, menggunakan istilah rechtsbeoefening [pengembanan hukum] untuk menunjuk pada
semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.
Memfokuskan diri pada problema kesenjangan, yaitu kesenjangan antara law in action & law in the
books
Aliran ini melihat hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, yang disatu sisi pengaruh
hukum terhadap masyarakat dan disisi lain pengaruh masyarakat terhadap hukum.
Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut D.H.M.Meuwissen
digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain:
Sedangkan J.J.H Bruggink menggambarkan perbedaan antara ilmu hukum empiris dengan ilmu
hukum normatif sebagai berikut:
Dari paparan tersebut, beberapa perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum
empiris, pertama-tama dari hubungan dasar sikap ilmuwan, dan yang sangat penting adalah teori
kebenaran. Dalam ilmu hukum empiris sikap ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati
gejala-gejala objeknya yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam ilmu hukum normatif, yuris
secara aktif menganalisa norma, sehingga peranan subjek sangat menonjol. Dari segi kebenaran
ilmiah, kebenaran hukum empiris adaalah kebenaran korespondensi, artinya bahwa sesuatu itu benar
karena didukung oleh fakta dalam ilmu hukum normatif dengan dasar kebenaran pragmatik yang
pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian. Di Belanda, hal-hal yang merupakan konsensus
sejawat sekeahlian dikenal sebagai heersendeleer (ajaran yang berpengaruh).
J. Gijssels dan Marck van Hoecke mengemukakan lapisan ilmu hukum sebagai berikut:
Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan disusul dogmatik
hukum, filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum dan gejala hukumFilsafat
hukum adalah filsafat karena di dalam kajian tersebut, orang merenungkan semua persoalan
fundamental dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Berkaitan
dengan ajaran filsafati dalam hukum, maka ruang lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran
filsafat itu sendiri, yang meliputi:
a. ontologi hukum, yakni mempelajari hakekat hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan
hukum dan moral dan lainnya;
b. aksiologi hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti; kebenaran, keadilan, kebebasan,
kewajaran, penyalahgunaan wewenang dan lainnya;
c. ideologi hukum,yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang dapat
memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan datang,
sistem hukum atau bagian dari sistem hukum;
d. epistemologi hukum, yakni merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa yang
berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakekat hukum atau masalah
filsafat hukum yang fundamental lainnya yang umumnya memungkinkan;
g. logika hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem hukum
dan struktur sistem hukum.
Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut dengan jurisprudence atau legal theory.
Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul pada abad
ke-19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu abstrak,
spekulatif dan dogmatis. Istilah Allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie
yang diartikan sebagai teori dari hukum posisif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama
pada pada semua sistem hukum. Adapun masalah-masalah umum tersebut meliputi: sifat, hubungan
antara hukum dan negara serta hukum dan masyarakat.
Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam
perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik
dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun
manifestasi praktis. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis
dalam kenyataan masyarakat. Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-
disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatika
hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif.
Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara: pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk
eksplanasi hukum; kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum,
sosiologi hukum dan lainnya. Permasalahan utama ialah apakah yuris mampu secara mandiri
melakukan hal tersebut. Berkaitan dengan sifat interdisipliner, maka bidang kajian teori hukum
meliputi:
a. analisis bahan hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, sistem hukum, konsep hukum
teknis, lembaga hukum-figur hukum, fungsi dan sumber hukum;
b.ajaran metode hukum, meliputi metode kajian dogmatik terhadap hukum, metode pembentukan
hukum dan metode penerapan hukum;
c. metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin
eksperimental atau disiplin hermenetik.
d. kritik ideologi hukum. Berbeda dengan ketiga bidang kajian di atas, kritik ideologi
merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau norma
yang membangun visi orang terhadap manusia dan masyarakat
Dogmatik hukum (atau kajian dogmatis terhadap hukum) merupakan ilmu hukum dalam arti sempit.
Titik fokusnya adalah hukum positif. D.H.M. Meuwissen, memberikan batasan pengertian dogmatika
hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang
berlaku atau hukum positif.
Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh M. van Hoecke. Ia mendefinisikan dogmatika hukum
sebagai cabang ilmu hukum yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku
dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif.
Berdasarkan definisi tersebut terlihat, tujuan ahli dogmatika hukum bekerja tidak hanya secara
teoritikal, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara praktikal. Dengan
kata lain, dogmatika hukum berkenaan dengan suatu masalah tertentu, menawarkan alternatif
penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan bahwa ahli dogmatika hukum bekerja dari
sudut perspektif internal, yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang ikut
berbicara dalam diskusi yuridik terhadap hukum posistif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
teori kebenaran yang paling sesuai bagi ahli dogmatika hukum adalah teori pragmatis. Proporsi yang
ditemukan dalam dogmatika hukum bukan hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang
normatif dan evaluatif.
Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan positivistik maupun sudut
pandangan normatif. Dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya harus
diarahkan kepada praktek hukum. Praktek hukum menyangkut 2 (dua) aspek utama, yaitu
pembentukan hukum dan penerapan hukum.
Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum ke dalam suatu kasus
yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik disebur De rechter is bounche de la loi, yang
mengandung arti kiasan hakim adalah corong atau alat undang-undang. Hal ini melukiskan betapa
beratnya tugas hakim yang harus mampu menangkap maksud pembuat undang-undang. Berdasarkan
beban tugas hakim itu, peran penemuan hukum merupakan tugaas yang harus dilakukan dengan
interpretasi besar dalam menentukan isi atau maksud hukum tertulis. Roscoe Pound menjelaskan
langkah penerapan hukum menjadi 3 bagian, yaitu:
· Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di antara sekian banyak hukum yang sesuai
dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim;
· Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika kaidah
itu dibentuk; dan
· Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan
diputuskan oleh hakim
BAB III
PENUTUP
Ilmu hukum dapat dikatakan sebagai ilmu yang memiliki karakteristik yang berbeda dari ilmu lainnya
atau dengan kata lain memiliki karakter sui generis. Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu
diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang
berkecimpung di bidang hukum sendiri. Ilmu Hukum sendiri dikenal dalam berbagai istilah,
rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa Belanda, jurisprudence atau legal science dalam
bahasa Inggris, dan jurisprudent dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam
dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan dengan istilah-istilah dalam
bahasa asing tersebut.
Melihat dari segi obyeknya ilmu hukum dibedakann atas Ilmu hukum normatif serta Ilmu hukum
empiris. Tiap lapisan ilmu hukum memiliki karakteristik khusus mengenai konsep eksplanasi dan
sifat atau hakikat keilmuannya. Namun demikian, Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap
menghormati karakter keilmuan ilmu hukum, hendaknya mengempiriskan segi-segi normatif ilmu
huku dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi empiris dalam penelitian hukum. Dalam kajian
normatif sebaliknya berpegang pada tradisi keilmuan hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu
hukum empiris sebaiknya digunakan metode-metode penelitian empiris yang sesuai
slideplayer.info
14 PANDANGAN POSITIVISTIK
Menganut teori kebenaran Korespondensi Kebenaran adalah kesamaan antara teori dan dunia
kenyataan Hubungan sentral di dalam ilmu adalah hubungan antara Subjek (ilmuwan) dan Objek
(dunia kenyataan)
15 POSITIF & POSITIVISME Positivisme berasal dari kata dasar positif, yang dimaksud dengan
positif adalah: a. sebagai lawan atau kebalikan dari sesuatu yang bersifat khayal, positif diartikan
sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. b. sebagai lawan atau kebalikan dari yang bersifat kabur,
positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Positivisme adalah paham filsafat
yang membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan
menggunakan metode ilmu pengetahuan (science). Suatu fakta positif, berarti sesuatu yang mesti
dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk menilainya.
21 KONTRIBUSI ILMU HUKUM Temuan maha besar dari Ilmu Hukum (Normatif), antara lain
adalah badan hukum sebagai subjek hukum, pertanggungjawaban pidana korporasi, asas-asas umum
pemerintahan yang baik
22 Ilmu Formal Ilmu Teoretis Ilmu Empiris Ditujukan untuk memperoleh pengetahuan saja, atau
untuk mengubah, penambah pengetahuan. Penerapan ilmu pengetahuan disebut teknologi
Pengelompokan Ilmu Nomologis Ilmu Praktis Normologis Ilmu yang mempelajari aktivitas
penerapan itu sendiri sebgai objeknya Penerapan ilmu ini disebut ars (kiat), atau keahlian
berkeilmuan Tujuannya untuk mengubah keadaan, atau mena- warkan penyelesaian terhadap masalah
konkrit.
23 Logika ILMU FORMAL Matematika Teori sistem Ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman
atau empiris. Kebenarannya tidak memerlukan pembuktian (verifikasi) empiris, melainkan
pembuktian rasional. Jadi, berdasarkan validitasnya (proses nalarnya). Sis- tem formal yang
dihasilkan adalah produk rekaan akal budi (pemikiran) manusia semata. Krn itu, pengeta- huan yg
dihasilkan disebut pengetahuan “a priori”. ILMU TEORETIS ILMU EMPIRIS Ilmu Alam Ditujukan
untuk memperoleh pengetahuan faktual ttg kenyataan aktual. Krn bersumber & bertumpu pada
empiris, maka pengetahuan yg dihasilkan disebut pengetahuan “a posteriori”.
29 Filsafat Hukum Filsafat hukum tidak menanyakan: misalnya apa hukum di Belgia tahun 1982,
tetapi apa hukum itu pada umumnya, sekarang dan dahulu pada masyarakat-masyarakat lain. Filsafat
hukum harus memberikan pengertian-pengertian dan nilai-nilai fundamental yang akan digunakan
pada karya ilmiah dalam Dogmatika hukum dan Teori Hukum. Dengan pertanyaan tentang hakikat
hukum (ontologi), maka sesuai dengan sifatnya suatu keseluruhan rangkaian persoalan-persoalan
fundamental ditampilkan sebagai hubungan-hubungan antar-manusia sendiri di dalam himpunan
orang-orang dan dengan demikian manusia itu sendiri dalam aspek yuridisnya.
32 Dogmatika Hukum (Eksplanasi Teknik Yuridis) Dengan istilah Dogmatikan Hukum ini dicakup
semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang
konkrit. Dogmatika hukum bukalah ilmu empirik dalam arti gambaran standar, juga bukan sebagai
ilmu normatif sebagaimana diuraikan oleh Kelsen
A. PENDAHULUAN
Ilmu Hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik
oleh ilmuwan sosial maupun ilmuwan hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan timbul
dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukum itu ilmu? Menurut Lasiyo, bahwa untuk
menjawab pertanyaan tersebut tidak sekedar membuat pernyataan, tetapi harus dikaji dan dianalisis
berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan.
Dari segi kajian, penelitian ilmu hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau
menguji hipotesis sebagaimana penelitian ilmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah. Di dalam
penelitian hukum tidak dikenal istilah data. Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada
dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon, ilmu
hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, dan preskriptif. Karakter
yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu
mulai meragukan hakikat keilmuan hukum. Keraguan tersebut dikarenakan dengan sifat yang
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik dua isu hukum, yaitu: Pertama, apakah Ilmu Hukum
merupakan Ilmu? Jika ilmu hukum adalah ilmu, termasuk dalam cabang ilmu manakah ilmu hukum?
Kedua, apakah sama karakter ilmu hukum dan metode kajian ilmu hukum dengan ilmu lain misalnya
ilmu alam atau ilmu sosial? Dari dua isu hukum tersebut, maka ulasan singkat dalam makalah ini
adalah: (1) Pendahuluan, (2) Konstruksi Ilmu; (3) Karakter Normatif Ilmu Hukum; (4) Jenis dan
Lapisan Ilmu Hukum; dan (5) Penerapan dan Pembentukan Hukum; (6) Penutup.
B. KONSTRUKSI ILMU
1. Sebagai produk
a. pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam
suatu sistem.
b. Wim van Dooren mengemukakan bahwa ilmu dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang
sah secara intersubyektif dalam bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau
2. Sebagai proses
Sebagai proses, istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk:
sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk
itu;
b. mengamati gejala-gejala (gegevens) yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya berupa
putusan-putusan yang keberlakuan-nya terbuka untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan
kriteria yang sama dan sudah disepakati atau yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas
Berangkat dalam dua makna tersebut, C.A. van Peursen mendefinisikan bahwa ilmu adalah sebuah
kebijakan, sebuah strategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan,
Sementara itu, keberadaan ilmu dalam pandangan Harold Berman, harus memenuhi tiga
dalam peristilahan metodologi, ilmu dalam arti modern, merupakan seperangkat pengetahuan
subtansi yang mengacu pada premis-premis nilai obyektivitas, bebas pamrih (disinterestedness),
pembentukan komunitas ilmuwan, penautan berbagai disiplin ilmiah, dan status sosial.
Dengan demikian keberadaan ilmu merujuk pada intelektual yang memiliki struktur yang unsur-
unsurnya meliputi:
(2) bangunan sistematis yakni metode dan subtansi (konsep dan teori);
Berdasarkan ciri-ciri ilmu di atas, maka terdapat berbagai cara untuk mengklasifikasi ilmu-ilmu
ke dalam beberapa kelompok dan sub-kelompok, tergantung pada aspek patokan/kriteria yang
1. Ilmu Formal
Ilmu formal merujuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman atau empiris, obyek
kajian bertumpu pada struktur murni yaitu analisis aturan operasional dan struktur logika;
2. Ilmu Empiris
Ilmu empiris merujuk bahwa untuk memperoleh pengetahuan faktual tentang kenyataan aktual,
dan karena itu bersumber pada empiris (pengalaman) dan eksperimental. Ilmu empiris disebut
Ilmu formal dan ilmu empiris merupakan genus dari kelompok ilmu teoritis, yaitu ilmu yang
ditujukan untuk memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan/atau menambah pengetahuan.
Ada pun sebagai vis a vis ilmu teoritis adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas-
aktivitas penerapan itu sendiri sebagai obyeknya, selain itu juga bertujuan untuk mengubah keadaan
Ilmu praktis nomologis berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan
menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkret, namun dalam kenyataannya apa yang
2. Ilmu praktis normologis (disebut juga dengan Ilmu Normatif atau Ilmu Dogmatik)
Merujuk pada klasifikasi keilmuan di atas, maka apakah Ilmu Hukum adalah ilmu? Bila Ilmu
Hukum adalah ilmu termasuk dalam kelompok apakah Ilmu Hukum? Menurut Philipus M. Hadjon,
bukanlah masanya untuk memperdebatkan hal tersebut. Ilmu Hukum diterima sebagai ilmu dengan
tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan kepribadian Ilmu Hukum.
Gambar 2. Ragam Cabang Ilmu (Sumber: Bernard Arief Sidharta, 2000: 114)
Dari sudut pandang karakteristik dan kepribadian, Ilmu Hukum dipandang sebagai suatu ilmu
memiliki karakter yang khas. Dengan karakter demikian Ilmu Hukum merupakan ilmu tersendiri (sui
generis). Sehingga dengan kualitas keilmiahannya sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang
pohon ilmu, baik cabang ilmu pengetahuan alam, cabang ilmu pengetahuan sosial, maupun cabang
ilmu humaniora. Tetapi berdasarkan karakteristik keilmuan, menurut Bernard Arief Sidharta, Ilmu
Hukum termasuk dalam kelompok ilmu praktis, walaupun demikian sebagaimana Ilmu Kedokteran,
Ilmu Hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu, bukan karena mempunyai
sejarah yang panjang, tetapi juga karena sifatnya sebagai ilmu normatif dan dampak langsungnya
terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematikanya.
Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu
sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami
kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan hakikat keilmuan hukum. Keraguan itu dikarenakan
dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris. Selain itu juga obyek telaahnya
berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya
bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan
publik.
Memang harus diakui bahwa di sisi lain juris Indonesia berusaha mengangkat derajat keilmuan
hukum dengan meng-empiriskan ilmu hukum melalui kajian-kajian sosiologik. Usaha ke empirisasi
ilmu hukum di antaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam
kajian hukum normatif. Langkah ini dilakukan dengan merumuskan format-format penelitian hukum
yang dilatarbelakangi oleh metode penelitian sosial (penelitian empirik), sehingga timbul
kejanggalan-kejanggalan dengan pemaksaan format penelitian ilmu sosial dalam penelitian hukum
normatif, seperti:
(1) perumusan masalah dengan kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain;
(2) sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data; dan
seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk
menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya,
yaitu:
Dari sudut ini ilmu hukum memiliki dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter
aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki segi-segi empiris. Sisi
empiris tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence, dan
socio legal jurisprudence. Dengan demikian dari sudut pandang ini, ilmu hukum normatif
metode kajiannya khas, sedangkan ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif
Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu :
a. dogmatik hukum;
c. filsafat hukum.
Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-
masing mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas.
Persoalan tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teori hukum (dalam arti
sempit). Dengan pendekatan yang obyektif seperti tersebut di atas, dapatlah ditetapkan metode
Ilmu Hukum memiliki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa
Belanda, jurisprudence atau legal science (Inggris), dan jurisprudent (Jerman). Dalam kepustakaan
Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum disejajarkan dengan istilah-
(de rechtsleer) yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum posistif dan dalam
hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatik hukum tidak bebas nilai tetapi syarat nilai.
Rechtswetenschap dalarn arti luas meliputi: dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan
filsafat hukum.
Rechtstheorie juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti sempit rechtstheorie adalah
lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam
arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum (een verklarende wetenschap van hetrecht).
Istilah jurisprudence, legal science, dan legal philosophy dalam bahasa Inggris, mempunyai
makna yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda di atas. Lord Lloyd 0 Hamstead dan M.D.A.
“Jurisprudence involves the study of general theoretical questions about the nature of laws and legal
system, about the relationship of law to justice and morality and about the social nature of law ... and
science, however, is concerned with empirically observable fact and events”.
HPH Visser Thooft, dari sudut pandang filsafat ilmu, menggunakan istilah rechtswetenschappen
(ilmu-ilmu hukum), dan merumuskan sebagai disiplin yang obyeknya hukum. Atas dasar itu
menunjuk pada semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam
masyarakat.
Ilmu hukum (dari segi obyek) dapat dibedakan atas ilmu hukum dalam arti sempit, yang dikenal
dengan ilmu hukum dogmatik (ilmu hukum normatif) dan ilmu hukum dalam arti luas. Ilmu hukum
dalam arti luas dapat ditelaah dari sudut pandangan sifat pandang ilmu maupun dari sudut pandangan
tentang lapisan ilmu hukum seperti yang dilakukan oleh J. Gijssels dan Mark van Hoecke.
Dari sudut pandang ilmu dibedakan pandangan positivisme dan pandangan normatif. Dari sudut
pandangan ini dibedakan ilmu hukum normatif (dogmatik) dan ilmu hukum empiris. Sifat keilmuan
dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: proses, produk dan produsen (ilmuwan).
Perbedaan sifat keilmuan dua bidang ilmu hukum tersebut dapat digambarkan dalam skema
berikut.
Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut D.H.M. Meuwissen
4) bebas nilai.
Implikasi dari perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empirik adalah:
Dalam ilmu hukum empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala
obyeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra, sedangkan dalam ilmu hukum normatif, yuris
Kebenaran ilmu hukum empirik, adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar
karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus
sejawat sekeahlian.
J. Gijssels dan Mark van Hoecke, membedakan ilmu hukum berdasarkan pelapisan ilmu hukum, yang
meliputi:
a. filsafat hukum;
b. teori hukum;
c. dogmatik hukum; dan
d. praktek hukum.
1. Filsafat Hukum
Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan disusul dogmatik
hukum (ilmu hukum positif). Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Lili Rasjidi, bahwa filsafat
hukum adalah refleksi teoritis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan
merupakan induk dari semua refleksi teoritis tentang hukum. Filsafat hukum adalah filsafat atau
bagian dari filsafat yang mengarahkan refieksinya terhadap hukum atau gejala, sebagaimana
dikemukakan J. Gejssels, filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum dan
gejala hukum. Hal yang sama juga dalam dalil D.H.M. Meuwissen, bahwa rechtfilosofie is
filosofie. Filsafat hukum adalah filsafat karena itu ia merenungkan semua persoalan fundamental
dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Berkaitan dengan ajaran
filsafati dalam hukum, maka ruang lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran filsafat itu
a. ontology hukum, yakni mempelajari hakikat hukum, misalnya hakikat demokrasi, hubungan
b. axiology hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti; kebenaran, keadilan, kebebasan,
c. ideology hukum, yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang
dapat memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan
d. epistemology hukum, yakni merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa yang
berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakikat hukum atau
g. logika hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem
Tabel 2. Sifat Keilmuan Filsafat Hukum (Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 181)
Filsafat Hukum
Obyek Landasan dan batas-batas kaidah hukum
Tujuan Teoritikal
Perspektif Internal
Teori kebenaran Teori pragmatik
Proposisi Informatif, tetapi terutama normatif dan
evaluatif
Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut dengan jurisprudence atau legal
theory. Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul
pada abad ke-19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu
abstrak dan spekulatif dan dogmatik dipandang terlalu konkret serta terikat pada tempat dan
waktu. Istilah allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie yang diartikan
sebagai teori dari hukum positif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada
semua sistem hukum, yang meliputi: sifat, hubungan antara hukum dan negara serta hukum dan
masyarakat. Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai
ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai
aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik
dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman
yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji
dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi
hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis
sedangkan dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang
filsafat sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara:
b. kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi
Permasalahan utama ialah apakah yuris mampu secara mandiri melakukan hal tersebut.
Berkaitan dengan sifat interdisipliner, maka bidang kajian teori hukum meliputi:
1) analisis bahan hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, system hukum, konsep hukum
2) ajaran metode hukum, meliputi metode dogmatik hukum, metode pembentukan hukum dan
3) metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin
merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau
Tabel 3. Sifat Keilmuan Teori Hukum (Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 176)
Teori Hukum
Empiris Kontemplatif
Obyek 1. Gejala umum dalam hukum positif
(allgemeine rechtslehre)
2. Kegiatan hukum:
a. Dogmatik hukum
b. Pembentukan hukum
c. Penemuan hukum
Sasaran Teoritis
Perspektif Ekstern Intern
Teori Kebenaran Korespondensi Pragmatis
Proposisi Informatif atau Normatif dan
empiris evaluatif
3. Dogmatik Hukum
Dogmatik hukum merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum
positif. D.H.M. Meuwissen (1979) memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai
hukum positif. Berbeda dengan M. van Hoecke (1982), mendefinisikan dogmatik hukum sebagai
cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif
yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut
pandang normatif. Berdasarkan definisi tersebut terlihat, tujuan dogmatikus hukum bekerja tidak
hanya secara teoritikal, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara
praktikal. Dengan kata lain, ia, berkenaan dengan suatu masalah tertentu, menawarkan alternatif
penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan bahwa dogmatikus hukum bekerja
dari sudut perspektif internal, yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang
ikut berbicara (peserta aktif secara langsung) dalam diskusi yuridik terhadap hukum positif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori kebenaran yang paling sesuai bagi dogmatikus
hukum adalah teori pragmatis, di mans proporsi yang ditemukan dalam dogmatik hukum bukan
hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang normatif dan evaluatif.
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa teori hukum tidaklah senantiasa normatif seperti
dogmatik hukum. Teori hukum merupakan meta teori bagi dogmatik hukum.
Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan positivistik maupun sudut
pandangan normatif. Dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya harus
diarahkan kepada praktek hukum. Praktek hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu penerapan
1. Penerapan Hukum
Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum ke dalam suatu kasus
yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik disebut De rechter is bounche de la loi, yang
mengandung arti kiasan hakim adalah corong atau alat undang-undang. Hal ini melukiskan
betapa beratnya tugas hakim yang harus mampu menangkap maksud pembuat undang-undang.
Oleh sebab itu peran penemuan hukum yang dilakukan dengan interpretasi besar, artinya dalam
Roscue Pound menjelaskan langkah penerapan hukum menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1) Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di antara sekian banyak hukum yang sesuai
2) Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika
3) Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan
2. Pembentukan Hukum
a. interpretasi hukum:
Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu memahami maksud pembuat undang-
undang. Selain itu dalam kaitannya dengan usaha menemukan hukum (rechtsvinding). Artinya
hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemukan hukum tertulis, hukum harus
dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum oleh hakim
(rechtsvorming). Arti penting interpretasi merujuk pada sarana untuk mengatur daya kelenturan
peraturan perundang-undangan dapat pula terjadi pada hukum yang dibuat oleh pembuat
a. Interpretasi gramatikal;
Interpretasi gramatikal mengartikan bahwa suatu term hukum suatu bagian kalimat menurut
bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Dalam istilah Belanda sebagai “De rechter die zoekt
interpretasi gramatikal itu harus logis; Sebagai contoh penafsiran mengenai istilah
“menggelapkan” yang secara implisit tercantum dalam Pasal 41 KUH Pidana ada kalanya
(systematische interpretatie).
b. interpretasi sistematis;
Melalui metode ini hakim akan mendapatkan arti suatu pasal dalam kaitannya dengan pasal-
pasal yang lain. Undang-undang atau pasal-pasal tertentu akan diberi makna dalam
hubungannya dengan makna dari pasal-pasal terkait dalam suatu tatanan norma hukum yang
berlaku. Dengan kata lain bahwa interpretasi sistematis bertitik tolak dari sistem aturan
mengartikan sesuatu ketentuan hukum. Adapun menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo,
bahwa menafsirkan undang-undang tersebut tidak boleh menyimpang (keluar) dari system
perundang-undangan. Misalnya, kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-
ketentuan dalam KUHPerdata saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan Pasal 278
KUHPerdata.
Merujuk pads M. van Hoecke, menyebutkan ada dua macam penafsir histories, yaitu:
diberikan oleh “Raad van State” (baca DPA). Dalam usaha menemukan jawaban atas suatu
terbatas sampai pada terbentuknya KUHPerdata saja, tetapi masih mundur ke belakang
sampai pada hukum Romawi. Sedangkan, mengenai Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita Indonesia.
berbagai stelsel hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu
ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional.
Menurut Lemaire, interpretasi perbandingan hukum ini penting, karena dengan pelaksanaan
yang seragam direalisasi kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai
hukum obyektif (kaidah hukum) untuk beberapa negara. Sedangkan di luar hukum perjanjian
e. interpretasi antisipasi;
Interpretasi antisipasi atau interpretasi futuristik diperlukan untuk menjawab suatu isu hukum
dengan mendasarkan pada suatu aturan yang belum berlaku. Dengan kata lain, bahwa
f. interpretasi teleologis.
Setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis. Metode ini digunakan jika hakim ingin
memahami hukum dalam kaitannya dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
Ajaran “de rechter is bounche de la loi” mutlak mewajibkan hakim harus memahami maksud
dan tujuan pembuat undang-undang. Tujuan hukum dan tujuan pembuat undang-undang
berbeda. Tujuan hukum sifatnya umum yang isinya ditentukan oleh doktrin hukum. Tujuan
tujuan dan politik perundangan sendiri. Sebagai contoh: apakah penyadapan atau penggunaan
tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang dilakukan orang lain termasuk pencurian
menurut Pasal 362 KUHPidana (Catatan: pada waktu undang-undang ini dibuat belum
dibayangkan adanya kemungkinan pencurian aliran listrik). Yang menjadi pertanyaan adalah
apakah tenaga listrik itu merupakan barang yang dapat diambil menurut rumusan Pasal 362
KUHPidana. Kemudian ditafsir, bahwa tenaga listrik itu bersifat mandiri dan mempunyai
nilai tertentu, karena untuk memperolehnya diperlukan biaya dan aliran listrik dapat
diberikan orang lain dengan penggantian biaya, dan bahwa Pasal 362 KUHPidana bertujuan
untuk melindungi harta kekayaan orang lain. Van Bemmelen dalam bukunya Praktische
Dengan begitu kedua jenis interpretasi ini sebenarnya tidak lain dari teleologische
interpretatie.
(3) principiele interpretatie (penafsiran prinsipil);
adalah penafsiran yang gericht op strekking, doel, motieven of beginselen van de wet,
penafsiran atas moral hukum, merupakan jenis penafsiran baru oleh van Bemmelen.
G. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diringkaskan kembali pokok-pokok pemikiran sebagai
berikut:
1. Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter ilmu hukum yang
merupakan kepribadian ilmu hukum, yaitu normatif, terapan, dan preskriptif; Dengan karakter
2. Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas (pengkajian ilmu hukum),
seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, yang meliputi dua aspek pendekatan yang
dapat dilakukan untuk menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa
konsekuensi pada metode kajiannya, yaitu: pendekatan dari sudut falsafah ilmu, dan pendekatan
saplaw.top
Dengan demikian berdasar pada uraian diatas, maka karakter ilmu hukum dogmatis adalah bersifat
normative yang terjewantahkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Pemerintah yang berdaulat dalam suatu Negara. Sifat dari sui generis berarti ilmu hukum merupakan
ilmu dari jenis tersendiri, sehingga pengelompokannya bukan berada pada pohon atau rumpun ilmu
social juga bukan merupakan ilmu pengetahuan alam.[6] Untuk itu kajian terhadap ilmu hukum yang
memegang prinsip terhadap sifat dan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis ini, dengan
terang benderang menolak kajian empiris dalam ilmu hukum.
1. Perbedaan karakteristik kata “normatif” dalam hukum positif (“positive law”) dalam hukum alam
(“law nature”) dan dalam hukum moral (“morality”):
1. Kritik terhadap positivism hukum jika mendominasi kerangka berfikir penelitian hukum :
Pada dasarnya positivism hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa
mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak
bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kaum Positivistik harus mengakui manakala teori
memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang
merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa
itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[7] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut
Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan
akan prinsip-prisnsip hukum alam.[8]
Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum.
Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan
demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan
penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum
yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian
teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum
responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[9] tidak dapat diterapkan dengan
baik.
Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak
yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari:
Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal
culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-
sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua
orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu,
maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[10]
Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual
berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja
membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya
masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa
aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.
Selain itu juga dapat dilakukan kritik dari segi Teoritis[11] dimana positivisme hukum tumbuh dan
berkembang subur pada masa hukum alam, yang pada intinya menginginkan ilmu hukum alam dapat
diprediksi dan dipastikan. Cara pandang formalistic ini tidak mempertimbangkan apakah norma yang
diundangkan tersebut bersifat adil atau tidak. Selain itu dari segi Praktis[12] yakni dalam positivisme
hukum undang-undang dipandang sebagai hukum yang komplit, sehingga tugas hakim tinggal
menerapkan terhadap kejadian konkrit dilapangan. Sehingga kemudian hakim menjadi kaku dan tidak
mendorong adanya perkembangan masyarakat. Hakim hanya menginterpretasikan secara gramatikal
terhadap peristiwa hukum yang terjadi dilapangan, dengan tanpa melihat dasar pertimbangan secara
dasar-dasar tingkat keadilan dan kemanfaatannya.
1. Penjelasan lapisan Ilmu Hukum menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke, serta kaitannya dengan
rancangan penelitian yang akan saya tulis :
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ilmu hukum dalam tiga lapisan, yakni dogmatik hukum,
teori hukum dan filsafat hukum.[13] Tiap lapisan ilmu hukum tersebut memiliki kharakter khusus
mengenai konsep, eksplanasi, sifat atau hakikat keilmuannya. Dogmatik hukum konsepnya technisch
juridisch begrippen, ekplanasinya teknis yuridis dan sifat keilmuannya normative. Lapisan teori
hukum konsepnya algemene begrippen, eksplanasinya analitisdan sifat keilmuannya
Normatif/Empiris. Lapisan filsafat hukum konsepnya grond begrippen, eksplanasinya reflektif dan
sifat keilmuannya spekuliatif.[14]
LAPISAN
KONSEP EKSPLANASI SIFAT
ILMU HUKUM
Filsafat Hukum grond begrippen Reflektif Spekulatif
technisch juridisch
Dogmatik Hukum Teknis Yuridis Normatif
begrippen
[1] Karya fenomenal yang membagi hukum secara rinci adalah JJH. Bruggink, Refleksi tentang
Hukum, (alih bahasa Bernard Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan ke-2, 1999, Hal.
163. Bandingkan dengan Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Jakarta,
Cetakan ketiga, 2009, Hal. 27
[2] Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum,
(Penerjemah Bernard Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, cetakan ketiga, 2009, hal. 55
[3] Ibid
[4] L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ketiga puluh
empat, 2011, Hal. 412 – 413
[5] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 23
[6] Philipus M Hadjon dan Tatiek Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, cetakan kedua, 2005, Hal. 1
[7] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori
and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285
[10] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8
[11] Widodo Dwi Putro, Mengkritisi Positivisme Hukum: Langkah Awal Memasuki
DiskursusvMetodologis dalam Penelitian Hukum, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode
Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2011, hal. 23-25
[13] Secara lengkap diurai dalam buku Jan Gissels dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtsteorie?,
Kluwer, Antwerpen, 1982, hal. 10. Bandingkan dengan JJH. Bruggink, Opcit, Hal. 172
[14] Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, tt, hal. 10