Anda di halaman 1dari 28

Ilmu Hukum sebagai Ilmu Sui Generis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Ilmu didalam perkembangannya terbagi menjadi berbagai macam jenis keilmuan dengan
karakteristiknya masing-masing, ruas ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya dibagi menjadi tiga, yaitu
Ilmu-ilmu Alamiah, Ilmu-ilmu Sosial, serta Humaniora sehingga dikenal berbagai macam cabang
ilmu dari ketiga ruas ilmu tersebut. Salah satu cabang ilmu yang ada adalah ilmu hukum. Ilmu hukum
dapat dikatakan sebagai ilmu yang memiliki karakteristik yang berbeda dari ilmu lainnya. Ilmu
hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian
yang  juga berbeda.

            Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik
oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang berkecimpung di bidang hukum sendiri. Sifat dari
ilmu hukum yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu hukum disebut sebagai ilmu dengan
karakteristik  sui generis. Sui generis berasal dari ungkapan Latin, yang secara harfiah diartikan dari
jenisnya atau genusnya sendiri. Di bidang hukum istilah sui generis digunakan untuk menyebut jenis
jenis aturan hukum yang dibuat secara khusus untuk mengatur suatu hal yang bersifat spesifik atau
unik. Kata sui generis ini sering digunakan dalam analisis filsafat untuk menunjukkan ide, entitas,
atau suatu realitas yang tidak dapat dimasukkan dalam konsep yang lebih luas. Ilmu hukum sebagai
ilmu sui generis dapat di telaah menjadi 4 hal yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu
hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum.

BAB II

ISI

2.1 Karakter Normatif Ilmu Hukum

            Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian
menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan
hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum
bukanlah ilmu empiris. Memang harus diakui bahwa di sisi lain yuris Indonesia berusaha mengangkat
derajat keilmuan hukum dengan mengembangkan aspek empiris dari ilmu hukum melalui kajian-
kajian yang sosiologik. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kerancauan dalam usaha
pengembangan ilmu hukum, dimana yuris Indonesia kehilangan kepribadiannya dan pembangunan
hukum melalui pembentukan hukum tidak ditangani secara tepat dan professional. Usaha
menghidupkan aspek empiris dari ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-
metode penelitian sosial dalam kajian hukum selain tetap mempergunakan kajian normatif itu sendiri.
Kajian hukum diempiriska antara lain dengan merumuskan format-format penelitian hukum yang
dilatarbelakangi oleh metode penelitian ilmu social yang notabene adalah penelitian empiris.
Sehingga ditemukan kejanggalan-kejanggalan dengan memaksa format penelitian ilmu social dalam
penelitian hukum normatif diantaranya:

a.       perumusan masalah dengan kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain;

b.      sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data;

c.       populasi dan sampling

            Penelitian hukum normatif seringkali juga diklasifikasikan sebagai penelitian kualitatif,
karena penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kuantitatif (statistic), dengan serta
merta penelitian hukum normatif dinggap sebagap penelitian kualitatif. Kesalahpahaman ini,
mengakibatkan penelitian hukum dianggap kurang ilmiah karena tidak kuantitatif atau tidak
menggunakan statistic. Penlitian hukum normatif semestinya tidaklah diidentifikasikan dengan
penelitian kualitatif.
            Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas (pengkajian ilmu
hukum), seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, bukan dari sudut pandang ilmu social.
Ada dua pendekatan yang dapatdilakukan untuk menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya
membawa konsekuensi pada metode kajiannya, yaitu:

1.      Pendekatan dari Sudut Falsafah Ilmu

Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandangan, yaitu :

a.       pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris; dan

b.      pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif.

Dari sudut ini ilmu hukum memiliki dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter
aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki segi-segiempiris. Sisi empiris
tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence, dan socio legal
jurisprudence. Dengan demikian dari sudut pandang ini, ilmu hukum normatif metode kajiannya
khas, sedangkan ilmu hukumempiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif atau kualitatif
tergantung sifat datanya.

2.      Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum

Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu :

a.       dogmatik hukum;

b.      teori hukum (dalam arti sempit); dan

c.       filsafat hukum.

Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-masing
mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metodeyang khas. Persoalan tentang
metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teorihukum (dalam arti sempit). Dengan
pendekatan yang obyektif seperti tersebut di atas,dapatlah ditetapkan metode mana yang paling tepat
dalam pengkajian ilmu hukum.

            Dari uraian diatas dapat diambil sikap yaitu jangan mengempiriskan segi-segi normatif ilmu
huku dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi empiris dalam penelitian hukum. Dalam kajian
normatif sebaliknya berpegang pada tradisi keilmua hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu
hukum empiris sebaiknya digunakan metode-metode penelitian empiris yang sesuai.

2.2 Terminologi Ilmu Hukum

            Ilmu Hukum memiliki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa
Belanda, jurisprudence atau legal science dalam bahasa Inggris, dan jurisprudent dalam bahasa
Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di
Indonesia disejajarkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing tersebut. Misalnya, istilah
Rechwetenschap oleh Jan Gijssels dan Mark van Hoecke diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai
Jurisprudence. Apabila diterjemahkan secara harfiah Rechwetenschap berarti Science of Law. Istilah
itu dihindari karena istilah science dapat diidentikkan dengan kajian yang bersifat empiris.
Kenyataannya, hukum adalah kajian yang lebih bersifat normatif.

            Istilah rechtswetenschap (Belanda) dalam arti sempit adalah dogmatika hukum atau ajaran
hukum yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum posisitf dan dalam hal
tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatika hukum tidak bebas nilai tetapi sarat dengan
nilai. Rechtswetenschap dalam arti luas meliputi: dogmatika hukum, teori hukum (dalam arti sempit)
dan filsafat hukum.

Rechtstheorie juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti sempit rechtstheorie adalah
lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatika hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam
arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum.

Istilah jurispudence, legal science, dan legal philosophy dalam bahasa Inggris, mempunyai makna
yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda di atas. HPH Visser Thooft, dari sudut pandang filsafat
ilmu, menggunakan istilah rechtswetenschappen [ilmu-ilmu hukum], dan merumuskan sebagai
disiplin yang obyeknya hukum. Atas dasar itu dikatakan: recht is made wetwnschap. Sementara
Meuwissen, menggunakan istilah rechtsbeoefening [pengembanan hukum] untuk menunjuk pada
semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.

2.3 Jenis Ilmu Hukum

Dari segi obyeknya, ilmu hukum dibedakan atas:

a.       Ilmu hukum normatif

b.      Ilmu hukum empiris

Tahapan studi ilmu hukum empiris sampai saat ini meliputi:

1.      Realis : factual patterns of behavior

Fokus studinya adalah perilaku

2.      Sociological jurisprudence : law in action & law in the books

Memfokuskan diri pada problema kesenjangan, yaitu kesenjangan antara law in action & law in the
books

3.      Socio – legal studies

Aliran ini melihat hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, yang disatu sisi pengaruh
hukum terhadap masyarakat dan disisi lain pengaruh masyarakat terhadap hukum.

Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut D.H.M.Meuwissen
digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain:

a.       secara tegas membedakan fakta dan norma;

b.      gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;

c.       metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris, dan

d.      ilmu yang bebas nilai.

Sedangkan J.J.H Bruggink menggambarkan perbedaan antara ilmu hukum empiris dengan ilmu
hukum normatif sebagai berikut:

Keterangan Pandangan positivistik: Pandangan normatif:

Ilmu Hukum empirik Ilmu hukum normatif


Hubungan dasar Subyek - Obyek Subyek – Subyek
Sikap ilmuwan Penonton (toeschouwer) Partisipan (doelnemer)
Perspektif Ekstern Intern
Teori kebenaran Korespondensi Pragmatik
Proposisi Hanya informative atau empiris Normatif dan evaluasi
Metode Hanya metode yang bias Juga metode lain
diamati pancaindra
Moral Non kognitif Kognitif
Hubungan antar moral dan Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan
hukum
Ilmu Hanya sosiologi hukum empiris Ilmu hukum dalam arti luas
dan teori hukum empiris

Dari paparan tersebut, beberapa perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum
empiris, pertama-tama dari hubungan dasar sikap ilmuwan, dan yang sangat penting adalah teori
kebenaran. Dalam ilmu hukum empiris sikap ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati
gejala-gejala objeknya yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam ilmu hukum normatif, yuris
secara aktif menganalisa norma, sehingga peranan subjek sangat menonjol. Dari segi kebenaran
ilmiah, kebenaran hukum empiris adaalah kebenaran korespondensi, artinya bahwa sesuatu itu benar
karena didukung oleh fakta dalam ilmu hukum normatif dengan dasar kebenaran pragmatik yang
pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian. Di Belanda, hal-hal yang merupakan konsensus
sejawat sekeahlian dikenal sebagai heersendeleer (ajaran yang berpengaruh).

2.4  Lapisan Ilmu Hukum

J. Gijssels dan Marck van Hoecke mengemukakan lapisan ilmu hukum sebagai berikut:

1.      Filsafat Hukum

Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan disusul dogmatik
hukum, filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum dan gejala hukumFilsafat
hukum adalah filsafat karena di dalam kajian tersebut, orang merenungkan semua persoalan
fundamental dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Berkaitan
dengan ajaran filsafati dalam hukum, maka ruang lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran
filsafat itu sendiri, yang meliputi:

a.       ontologi hukum, yakni mempelajari hakekat hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan
hukum dan moral dan lainnya;

b.      aksiologi hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti; kebenaran, keadilan, kebebasan,
kewajaran, penyalahgunaan wewenang dan lainnya;

c.       ideologi hukum,yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang dapat
memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan datang,
sistem hukum atau bagian dari sistem hukum;

d.      epistemologi hukum, yakni merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa yang
berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakekat hukum atau masalah
filsafat hukum yang fundamental lainnya yang umumnya memungkinkan;

e.       teleologi hukum, yakni menentukan isi dan tujuan hukum;

f.       keilmuan hukum,yakni merupakan meta teori bagi hukum; dan

g.      logika hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem hukum
dan struktur sistem hukum.

2.      Teori Hukum (dalam arti sempit)

Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut dengan jurisprudence atau legal theory.
Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul pada abad
ke-19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu abstrak,
spekulatif dan dogmatis. Istilah Allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie
yang diartikan sebagai teori dari hukum posisif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama
pada pada semua sistem hukum. Adapun masalah-masalah umum tersebut meliputi: sifat, hubungan
antara hukum dan negara serta hukum dan masyarakat.

Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam
perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik
dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun
manifestasi praktis. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis
dalam kenyataan masyarakat. Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-
disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatika
hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif.
Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara: pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk
eksplanasi hukum; kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum,
sosiologi hukum dan lainnya. Permasalahan utama ialah apakah yuris mampu secara mandiri
melakukan hal tersebut. Berkaitan dengan sifat interdisipliner, maka bidang kajian teori hukum
meliputi:

a. analisis bahan hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, sistem hukum, konsep hukum
teknis, lembaga hukum-figur hukum, fungsi dan sumber hukum;

b.ajaran metode hukum, meliputi metode kajian dogmatik terhadap hukum, metode pembentukan
hukum dan metode penerapan hukum;

c. metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin
eksperimental atau disiplin hermenetik.

d.                        kritik ideologi hukum. Berbeda dengan ketiga bidang kajian di atas, kritik ideologi
merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau norma
yang membangun visi orang terhadap manusia dan masyarakat

3.      Dogmatik Hukum

Dogmatik hukum (atau kajian dogmatis terhadap hukum) merupakan ilmu hukum dalam arti sempit.
Titik fokusnya adalah hukum positif. D.H.M. Meuwissen, memberikan batasan pengertian dogmatika
hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang
berlaku atau hukum positif.

Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh M. van Hoecke. Ia mendefinisikan dogmatika hukum
sebagai cabang ilmu hukum yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku
dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif.
Berdasarkan definisi tersebut terlihat, tujuan ahli dogmatika hukum bekerja tidak hanya secara
teoritikal, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara praktikal. Dengan
kata lain, dogmatika hukum berkenaan dengan suatu masalah tertentu, menawarkan alternatif
penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan bahwa ahli dogmatika hukum bekerja dari
sudut perspektif internal, yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang ikut
berbicara dalam diskusi yuridik terhadap hukum posistif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
teori kebenaran yang paling sesuai bagi ahli dogmatika hukum adalah teori pragmatis. Proporsi yang
ditemukan dalam dogmatika hukum bukan hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang
normatif dan evaluatif.

4.      Praktek Hukum (Penerapan dan Pembentukan Hukum)

Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan positivistik maupun sudut
pandangan normatif. Dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya harus
diarahkan kepada praktek hukum. Praktek hukum menyangkut 2 (dua) aspek utama, yaitu
pembentukan hukum dan penerapan hukum.

a.       Penerapan Hukum

Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum ke dalam suatu kasus
yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik disebur De rechter is bounche de la loi, yang
mengandung arti kiasan hakim adalah corong atau alat undang-undang. Hal ini melukiskan betapa
beratnya tugas hakim yang harus mampu menangkap maksud pembuat undang-undang. Berdasarkan
beban tugas hakim itu, peran penemuan hukum merupakan tugaas yang harus dilakukan dengan
interpretasi besar dalam menentukan isi atau maksud hukum tertulis. Roscoe Pound menjelaskan
langkah penerapan hukum menjadi 3 bagian, yaitu:

·         Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di antara sekian banyak hukum yang sesuai
dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim;

·         Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika kaidah
itu dibentuk; dan

·         Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan
diputuskan oleh hakim

b.      Pembentukan Hukum


Permasalahan penerapan hukum antara lain mengenai: interpretasi hukum, kekosongan hukum,
antinomi dan norma yang kabur. Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu
memahami maksud pembuat undang-undang, selain itu dalam kaitannya dengan usaha menemukan
hukum. Artinya hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemukan hukum tertulis,
hukum harus dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum
oleh hakim. Arti penting interpretasi merujuk pada sarana untuk mengatur daya kelenturan peraturan
perundang-undangan dapat pula terjadi pada hukum yang dibuat oleh pembuat perundang-undangan.

BAB III

PENUTUP

Ilmu hukum dapat dikatakan sebagai ilmu yang memiliki karakteristik yang berbeda dari ilmu lainnya
atau dengan kata lain memiliki karakter sui generis.  Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu
diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang
berkecimpung di bidang hukum sendiri. Ilmu Hukum sendiri dikenal dalam berbagai istilah,
rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa Belanda, jurisprudence atau legal science dalam
bahasa Inggris, dan jurisprudent dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam
dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan dengan istilah-istilah dalam
bahasa asing tersebut.

Melihat dari segi obyeknya ilmu hukum dibedakann atas Ilmu hukum normatif serta Ilmu hukum
empiris. Tiap lapisan ilmu hukum memiliki karakteristik khusus mengenai konsep eksplanasi dan 
sifat atau hakikat keilmuannya. Namun demikian, Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap
menghormati karakter keilmuan ilmu hukum, hendaknya mengempiriskan segi-segi normatif ilmu
huku dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi empiris dalam penelitian hukum. Dalam kajian
normatif sebaliknya berpegang pada tradisi keilmuan hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu
hukum empiris sebaiknya digunakan metode-metode penelitian empiris yang sesuai

slideplayer.info

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


MATAKULIAH ILMU HUKUM (2 SKS) - ppt
download
1 PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM MATAKULIAH ILMU HUKUM (2 SKS)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL RI UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM Jl. Kalimantan 37 Jember Telp (0331) , Fax (0331)
MATAKULIAH ILMU HUKUM DIPROGRAMKAN PADA SEMESTER I (2 SKS) Pembina
Matakuliah: Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H.

2 LATAR BELAKANG MATA KULIAH ILMU HUKUM MASUK KE DALAM


KURIKULUM MAGISTER ILMU HUKUM

3 Jan Gijssels dan Mark van Hoecke


Hukum pada dirinya sendiri tidak pernah merupakan suatu tujuan, tetapi suatu sarana untuk mencapai
suatu tujuan non-hukum Finalitas dari hukum bukan hukum karena itu ia memperoleh dorongan
pertumbuhannya dari luar hukum Faktor-faktor ekstra-yuridis memelihara proses pertumbuhan
hukum yang dinamis dan berlangsung terus Contoh mengenai hal ini: tidak ada penjualan tanpa
maksud untuk memperoleh uang dengan melepaskan sebuah barang; tidak ada perkawinan (menurut
faham Barat) jika kedua pasangan mempunyai maksud untuk mengembangkan seksual dan materi;
tidak ada UUD yang melimpahkan kekuasaan negara kepada parlemen hasil Pemilu, jika orang tidak
mempunyai tujuan untuk mengorganisasi suatu demokrasi dengan perwakilan

4 PERISTILAHAN ILMU HUKUM (Dalam Bahasa Asing)


RECHTSWETENSCHAP RECHTSTHEORIE JURISPRUDENCE LEGAL SCIENCE Istilah dlm
bhs Belanda Istilah dlm bhs Inggris
5 ISTILAH DALAM BAHASA BELANDA
Rechtswetenschap & Rechtstheorie mengandung makna dalam arti sempit dan dalam arti luas

6 (Ilmu Hukum dalam arti sempit)


Sosiologi Hukum Dogmatika Hukum (Ilmu Hukum dalam arti sempit) Teori Hukum (dalam arti luas)
Teori Hukum (dalam arti sempit) Ilmu Hukum Dalam Arti Luas Filsafat Hukum Hukum Ekonomi
Politik Hukum Perbandingan Hukum

7 INTI ILMU HUKUM Kurnas S-1 Ilmu Hukum Positif


Ilmu Menerapkan/Law Enforcement Kurnas S-2 Law Making Politik Hukum Ilmu
membuat/memperbaharui Law Reform/ Development Kurnas S-2 Perbandingan Hukum Memperluas
Wawasan: untuk POLITIK HUKUM

8 ISTILAH DALAM BAHASA INGGRIS


Legal science is concerned with empirically observable facts and events (berkaitan dengan fakta dan
peristiwa hukum yang dapat diamati secara empiris). Jurisprudence involves the study of general
theoretical questions about the nature of law and legal system, about the relationship of law to justice
and morality, and about the social nature of law (meliputi kajian terhadap soal teori umum mengenai
hakikat hukum dan sistem hukum, mengenai hubungan hukum dengan keadilan dan moralitas, dan
kenyataan hukum dalam masyarakat). Sehubungan dengan itu menurut Jan Gijssels dan Mark van
Hoecke bahwa perkataan ilmu hukum sebagai nama (istilah) mencakup untuk semua hal yang
berkaitan dengan kegiatan mempelajari hukum. Padanannya adalah Jurisprudence dalam bahasa
Inggris dan Jurisprudenz dalam bahasa Jerman.

9 PERISTILAHAN ILMU HUKUM (Dalam Bahasa Indonesia)


Dalam kepustakaan bahasa Indonesia, istilah ilmu hukum begitu saja disejajarkan dengan istilah
dalam bahasa asing: RECHTSWETENSCHAP, RECHTSTHEORIE; JURISPRUDENCE, LEGAL
SCIENCE, LEGAL PHILOSOPHY.

10 ILMU HUKUM H U K U M RUANGLINGKUPNYA


MENCAKUP & MEMBICARAKAN SEGALA HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN
HUKUM. ILMU HUKUM OBJEKNYA H U K U M

11 HUKUM HUKUM POSITIF HUKUM YANG AKAN DATANG IN-ABSTRACTO


DOKTRIN HUKUM
HUKUM PADA HAKIKATNYA ADALAH NORMA, PENGERTIAN HUKUM SEBAGAI
NORMA BERBEDA DENGAN BENTUK ATAU PERWUJUDANNYA. BENTUK ATAU
PERWUJUDAN DARI HUKUM, BISA BERMACAM-MACAM HUKUM POSITIF HUKUM
YANG AKAN DATANG IN-ABSTRACTO DOKTRIN HUKUM NILAI HUKUM YANG HIDUP
DI MASYARAKAT HUKUM HUKUM POSITIF ASING IN-CONCRETO KEPUTUSAN HAKIM
BEKERJANYA/ BERFUNGSINYA HUKUM PROSES PENEGAKAN HUKUM

12 APAKAH ILMU HUKUM I L M U ?

13 TERDAPAT DUA JAWABAN YANG BERBEDA DARI :


Pandangan Positivistik Pandangan Normatif

14 PANDANGAN POSITIVISTIK
Menganut teori kebenaran Korespondensi Kebenaran adalah kesamaan antara teori dan dunia
kenyataan Hubungan sentral di dalam ilmu adalah hubungan antara Subjek (ilmuwan) dan Objek
(dunia kenyataan)

15 POSITIF & POSITIVISME Positivisme berasal dari kata dasar positif, yang dimaksud dengan
positif adalah: a. sebagai lawan atau kebalikan dari sesuatu yang bersifat khayal, positif diartikan
sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. b. sebagai lawan atau kebalikan dari yang bersifat kabur,
positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Positivisme adalah paham filsafat
yang membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan
menggunakan metode ilmu pengetahuan (science). Suatu fakta positif, berarti sesuatu yang mesti
dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk menilainya.

16 PANDANGAN NORMATIF Menganut teori kebenaran Pragmatik


Kebenaran adalah jika teori berfungsi secara memuaskan Hubungan inti di dalam ilmu adalah
hubungan antara Subjek dan Subjek
17 PRAGMATISME Suatu pertimbangan itu benar apabila terbukti bahwa pertimbangan itu berguna
secara praktis, mempunyai nilai praktis bagi kehidupan dan juga berguna dalam ilmu, seni dan
agama. Pragmatis merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika, tokohnya: John Dewey.

18 PARADIGMA DALAM ILMU HUKUM


Tesis-tesis tidak diperoleh melalui observasi, tetapi melalui judgments (contoh: perintah tidak boleh
memperkosa, mencuri, dsb.). Ilmu normatif bertolak dari judgments.

19 JUDGMENT Moral Judgment (Philosophical) Sollen, what ought to be


Positif Judgment What it is in the book

20 UNTUK ILMU HUKUM MENGANUT TEORI


KEBENARAN PRAGMATIK BERDASARKAN KEBENARAN TERSEBUT, BERARTI ILMU
HUKUM ADALAH ILMU

21 KONTRIBUSI ILMU HUKUM Temuan maha besar dari Ilmu Hukum (Normatif), antara lain
adalah badan hukum sebagai subjek hukum, pertanggungjawaban pidana korporasi, asas-asas umum
pemerintahan yang baik

22 Ilmu Formal Ilmu Teoretis Ilmu Empiris Ditujukan untuk memperoleh pengetahuan saja, atau
untuk mengubah, penambah pengetahuan. Penerapan ilmu pengetahuan disebut teknologi
Pengelompokan Ilmu Nomologis Ilmu Praktis Normologis Ilmu yang mempelajari aktivitas
penerapan itu sendiri sebgai objeknya Penerapan ilmu ini disebut ars (kiat), atau keahlian
berkeilmuan Tujuannya untuk mengubah keadaan, atau mena- warkan penyelesaian terhadap masalah
konkrit.

23 Logika ILMU FORMAL Matematika Teori sistem Ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman
atau empiris. Kebenarannya tidak memerlukan pembuktian (verifikasi) empiris, melainkan
pembuktian rasional. Jadi, berdasarkan validitasnya (proses nalarnya). Sis- tem formal yang
dihasilkan adalah produk rekaan akal budi (pemikiran) manusia semata. Krn itu, pengeta- huan yg
dihasilkan disebut pengetahuan “a priori”. ILMU TEORETIS ILMU EMPIRIS Ilmu Alam Ditujukan
untuk memperoleh pengetahuan faktual ttg kenyataan aktual. Krn bersumber & bertumpu pada
empiris, maka pengetahuan yg dihasilkan disebut pengetahuan “a posteriori”.

24 Berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris


Ilmu Praktis NOMOLOGIS Berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris Produknya dpt
diungkapkan dlm rumus logikal: jika A (ada/ terjadi), maka B (ada/terjadi). Dlm ilmu kedokteran,
misalnya, jika sudah dpt dipastikan X menyebabkan penyakit Y, maka utk menyembuhkannya
pasien, X harus dinetralisir. . Ilmu Praktis dibagi kedalam dua Jenis Ilmu Praktis NORMOLOGIS
Berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdsarkan azas imputasi (menautkan
tanggung jawab/ kewajiban) utk menetapkan apa yg seharusnya menjadi kewa- jiban subjek tertentu
dlm situasi konkrit tertentu, sehubungan dg terjadinya perbuatan tertentu. Apa yang seharusnya
terjadi itu tidak niscaya dg sendirinya terjadi. Jika A (terjadi/ada), maka seyogyanya B (terjadi).

25 LAPISAN ILMU HUKUM FILSAFAT HUKUM TEORI HUKUM (Eksplanasi reflektif)


(Eksplanasi analisis) DOGMATIKA HUKUM (Eksplanasi teknik yuridis) PRAKTIK HUKUM

26 HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT HUKUM, TEORI HUKUM DAN DOGMATIKA


HUKUM
Meta teori Meta-meta teori TEORI HUKUM Meta teori DOGMATIKA HUKUM T e o r i HUKUM
POSITIF

27 Hubungan Filsafat Hukum dan Teori Hukum


Filsafat hukum sebagai ajaran nilai harus dilihat sebagai meta disiplin dari Teori Hukum

28 Hubungan Dogmatika Hukum dan Teori Hukum


Dogmatika hukum mempelajari hukum positif pada suatu tempat tertentu dan di suatu tempat tertentu
memilki kekuatan berlaku Teori hukum mempelajari hukum dalam keumumannya lepas dari aturan-
aturan hukum kokret dan sistem-sistem hukum konkret. Teori hukum tidak membatasi diri pada
pemaparan dan sistematisasi sebagaimaa dalam Dogmatika hukum, tetapi memainkan peranan
menjelaskan dan menjernihkan.

29 Filsafat Hukum Filsafat hukum tidak menanyakan: misalnya apa hukum di Belgia tahun 1982,
tetapi apa hukum itu pada umumnya, sekarang dan dahulu pada masyarakat-masyarakat lain. Filsafat
hukum harus memberikan pengertian-pengertian dan nilai-nilai fundamental yang akan digunakan
pada karya ilmiah dalam Dogmatika hukum dan Teori Hukum. Dengan pertanyaan tentang hakikat
hukum (ontologi), maka sesuai dengan sifatnya suatu keseluruhan rangkaian persoalan-persoalan
fundamental ditampilkan sebagai hubungan-hubungan antar-manusia sendiri di dalam himpunan
orang-orang dan dengan demikian manusia itu sendiri dalam aspek yuridisnya.

30 Filsafat Hukum (Lanjutan)


Akhirnya, filsafatlah yang menguraikan : apa sebuah perikatan hukum itu dibedakan dari banyak
perikatan-perikatan yang lain Apa sebuah kaidah itu dan dalam hal apa sebuah kaidah hukum berbeda
dari kaidah-kaidah lain dan berdasarkan syarat-syarat apa ia legitimit Mengenai legitimasi dari
hukum terkait dengan pertanyaan tentang nilai-nilai yang harus dipenuhi oleh hukum (seperti
keadilan, kelayakan/kepatutan, kepastian) 2. Penggolongan ke dalam bagian-bagian dari berbagai
jenis tentang hukum (dogmaika hukum, teori hukum dan filsafat hukum) adalah tugas dari filsafat
hukum.

31 Teori Hukum (Eksplanasi Analsis)


Teori hukum sebagai disiplin mandiri telah tumbuh dari Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum
Teori hukum adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum, yang untuk suatu bagian penting
sisem tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif.

32 Dogmatika Hukum (Eksplanasi Teknik Yuridis) Dengan istilah Dogmatikan Hukum ini dicakup
semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang
konkrit. Dogmatika hukum bukalah ilmu empirik dalam arti gambaran standar, juga bukan sebagai
ilmu normatif sebagaimana diuraikan oleh Kelsen

33 Sifat Khas dari Hukum Positif (objeknya)


Jika yang ditonjolkan sifat normatif dari objeknya itu (yang dilakukan oleh Kelsen), maka orang
cenderung memandang Dogmatika Hukum sebagai Ilmu Normatif Dimensi dari Dogmatika Hukum
Dogmatika Hukum juga menjalankan suatu pengaruh menormai (mengkaidahi, menetapkan
keharusan). Sifat Khas dari Hukum Positif (objeknya) Ini berarti aspek normatif dan faktual berjalan
saling menyilang, sehingga sebagaimana Scholten: bahwa dogmatikan hukum tidak hanya mengenai
suau dimensi memaparkan, tetapi juga dimensi mengkaidahi (preskripsi).

34 DOGMATIKA HUKUM Dogmatika Hukum


adalah sebagai memaparkan, mengalisis, mensistematisasi & menginterpretasi hukum positif
(Meuwissen) adalah cabang ilmu hukum (dalam arti sempit) yang memaparkan & mensistematisasi
hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu & pada suatu waktu tertentu dari sudut
pandang normatif (van Hoecke).

35 INTINYA, BAHWA DOGMATIKA HUKUM HANYA MENGGALI SUMBER-SUMBER


HUKUM FORMAL DALAM ARTI LUAS (PERUNDANG-UNDANGAN, PUTUSAN
PENGADIAN, TRAKTAT, ASAS HUKUM, KEBIASAN)

36 OBJEK TELAAH OBJEK TELAAH DOGMATIKA HUKUM ADALAH


TEKS OTORITATIF, YANG TERDIRI ATAS: PRODUK PERUNDANG-UNDANGAN
(UNDANG-UNDANG DALAM ARTI LUAS), PUTUSAN-PUTUSAN HAKIM, HUKUM TIDAK
TERTULIS. Bahan-bahan hukum ini yang disebut dengan bahan hukum primer. Di samping
menelaan bahan hukum primer tersebut, maka untuk meningkatkan mutu hukum positif yang berlaku
(ius constitutum) perlu pula menelaah karya- karya akademik yang memperkaya pengetahuan orang
tentang hukum positif yang berlaku

37 Dogmatika hukum (ilmu hukum positip) adalah ilmu hukum praktis


Tujuannya adalah legal problem solving Tujuan tersebut dibutuhkan ars yang merupakan ketrampilan
ilmiah (Skill based on knowledge) Ars dibutuhkan para yuris untuk menyusun legal opinion sebagai
output dari langkah legal problem solving. Ars yang dimaksud adalah legal reasoning

38 ISU HUKUM Para pihak yg berperkara mengemukakan penaf-


siran yg berbeda DOGMATIKA HUKUM Terjadi kekosongan hukum Isu hukum harus mengandung
Konsep hukum (penyalahguna- an wewenang, korporasi, dll.) ISU HUKUM TEORI HUKUM Isu
hukum berkaitan dg asas hukum (tiada pidana tanpa kesalahan) FILSAFAT HUKUM
HAKIKAT KEILMUAN ILMU HUKUM

(Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu)

Oleh: Titik Triwulan Tutik*

A. PENDAHULUAN

Ilmu Hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik

oleh ilmuwan sosial maupun ilmuwan hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan timbul

dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukum itu ilmu? Menurut Lasiyo, bahwa untuk

menjawab pertanyaan tersebut tidak sekedar membuat pernyataan, tetapi harus dikaji dan dianalisis

berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan.

Dari segi kajian, penelitian ilmu hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau

menguji hipotesis sebagaimana penelitian ilmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah. Di dalam

penelitian hukum tidak dikenal istilah data. Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada

dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon, ilmu

hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, dan preskriptif. Karakter

yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu

mulai meragukan hakikat keilmuan hukum. Keraguan tersebut dikarenakan dengan sifat yang

normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris.

Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik dua isu hukum, yaitu: Pertama, apakah Ilmu Hukum

merupakan Ilmu? Jika ilmu hukum adalah ilmu, termasuk dalam cabang ilmu manakah ilmu hukum?

Kedua, apakah sama karakter ilmu hukum dan metode kajian ilmu hukum dengan ilmu lain misalnya

ilmu alam atau ilmu sosial? Dari dua isu hukum tersebut, maka ulasan singkat dalam makalah ini

adalah: (1) Pendahuluan, (2) Konstruksi Ilmu; (3) Karakter Normatif Ilmu Hukum; (4) Jenis dan

Lapisan Ilmu Hukum; dan (5) Penerapan dan Pembentukan Hukum; (6) Penutup.

B. KONSTRUKSI ILMU

Istilah ilmu (science) menyandang dua makna, yaitu :

1. Sebagai produk

Sebagai produk, ilmu adalah :

a. pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam

suatu sistem.
b. Wim van Dooren mengemukakan bahwa ilmu dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang

sah secara intersubyektif dalam bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau

lebih titik tolak dan ditata secara sistematis.

2. Sebagai proses

Sebagai proses, istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk:

a. memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan (stelselmatig) atau

sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk

itu;

b. mengamati gejala-gejala (gegevens) yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya berupa

putusan-putusan yang keberlakuan-nya terbuka untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan

kriteria yang sama dan sudah disepakati atau yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas

keahlian dalam bidang yang bersangkutan.

Berangkat dalam dua makna tersebut, C.A. van Peursen mendefinisikan bahwa ilmu adalah sebuah

kebijakan, sebuah strategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan,

yang dijalankan orang terhadap (yang berkenaan) kenyataannya.

Sementara itu, keberadaan ilmu dalam pandangan Harold Berman, harus memenuhi tiga

perangkat kriteria, yaitu:

(1) kriteria metodologikal

dalam peristilahan metodologi, ilmu dalam arti modern, merupakan seperangkat pengetahuan

yang terintegrasi yang lahir dalam konteksitas dedukto-hipotetiko-verifikatif;

(2) kriteria nilai, yaitu

subtansi yang mengacu pada premis-premis nilai obyektivitas, bebas pamrih (disinterestedness),

skeptis, toleransi, dan keterbukaan;

(3) kriteria sosiologikal, yang meliputi

pembentukan komunitas ilmuwan, penautan berbagai disiplin ilmiah, dan status sosial.

Dengan demikian keberadaan ilmu merujuk pada intelektual yang memiliki struktur yang unsur-

unsurnya meliputi:

(1) pra-anggapan sebagai guiding principle;

(2) bangunan sistematis yakni metode dan subtansi (konsep dan teori);

(3) keberlakuan intersubyektif; dan


(4) tanggungjawab etis.

Berdasarkan ciri-ciri ilmu di atas, maka terdapat berbagai cara untuk mengklasifikasi ilmu-ilmu

ke dalam beberapa kelompok dan sub-kelompok, tergantung pada aspek patokan/kriteria yang

digunakan. Dari sudut substansi, dikenal :

1. Ilmu Formal

Ilmu formal merujuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman atau empiris, obyek

kajian bertumpu pada struktur murni yaitu analisis aturan operasional dan struktur logika;

misalnya, logika dan matematika serta teori sistem.

2. Ilmu Empiris

Ilmu empiris merujuk bahwa untuk memperoleh pengetahuan faktual tentang kenyataan aktual,

dan karena itu bersumber pada empiris (pengalaman) dan eksperimental. Ilmu empiris disebut

juga dengan ilmu positif, yang terdiri dari :

a. ilmu-ilmu alam (naturwissen-schaften) dan

b. ilmu-ilmu manusia (geisteswissen-schaften).

Ilmu formal dan ilmu empiris merupakan genus dari kelompok ilmu teoritis, yaitu ilmu yang

ditujukan untuk memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan/atau menambah pengetahuan.

Ada pun sebagai vis a vis ilmu teoritis adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas-

aktivitas penerapan itu sendiri sebagai obyeknya, selain itu juga bertujuan untuk mengubah keadaan

atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkret.

Ilmu praktis dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu :

1. Ilmu praktis nomologis

Ilmu praktis nomologis berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan

asas imputasi (menautkan tanggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya

menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkret, namun dalam kenyataannya apa yang

seharusnya terjadi itu niscaya dengan sendirinya terjadi.

2. Ilmu praktis normologis (disebut juga dengan Ilmu Normatif atau Ilmu Dogmatik)

Ilmu praktis normologis berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yaitu pengetahuan

tentang hubungan ajeg yang ceteris paribus berdasarkan asas kausalitas-deterministik.


Gambar 1. Ragam Cabang Ilmu (Sumber: Bernard Arief Sidharta, 2000: 114)

Merujuk pada klasifikasi keilmuan di atas, maka apakah Ilmu Hukum adalah ilmu? Bila Ilmu

Hukum adalah ilmu termasuk dalam kelompok apakah Ilmu Hukum? Menurut Philipus M. Hadjon,

bukanlah masanya untuk memperdebatkan hal tersebut. Ilmu Hukum diterima sebagai ilmu dengan

tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan kepribadian Ilmu Hukum.
Gambar 2. Ragam Cabang Ilmu (Sumber: Bernard Arief Sidharta, 2000: 114)

Dari sudut pandang karakteristik dan kepribadian, Ilmu Hukum dipandang sebagai suatu ilmu

memiliki karakter yang khas. Dengan karakter demikian Ilmu Hukum merupakan ilmu tersendiri (sui

generis). Sehingga dengan kualitas keilmiahannya sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang

pohon ilmu, baik cabang ilmu pengetahuan alam, cabang ilmu pengetahuan sosial, maupun cabang

ilmu humaniora. Tetapi berdasarkan karakteristik keilmuan, menurut Bernard Arief Sidharta, Ilmu

Hukum termasuk dalam kelompok ilmu praktis, walaupun demikian sebagaimana Ilmu Kedokteran,

Ilmu Hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu, bukan karena mempunyai

sejarah yang panjang, tetapi juga karena sifatnya sebagai ilmu normatif dan dampak langsungnya

terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematikanya.

C. KARAKTER NORMATIF ILMU HUKUM

Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu

sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami

kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan hakikat keilmuan hukum. Keraguan itu dikarenakan

dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris. Selain itu juga obyek telaahnya

berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya

bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan

publik.

Memang harus diakui bahwa di sisi lain juris Indonesia berusaha mengangkat derajat keilmuan

hukum dengan meng-empiriskan ilmu hukum melalui kajian-kajian sosiologik. Usaha ke empirisasi

ilmu hukum di antaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam

kajian hukum normatif. Langkah ini dilakukan dengan merumuskan format-format penelitian hukum

yang dilatarbelakangi oleh metode penelitian sosial (penelitian empirik), sehingga timbul

kejanggalan-kejanggalan dengan pemaksaan format penelitian ilmu sosial dalam penelitian hukum

normatif, seperti:

(1) perumusan masalah dengan kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain;

(2) sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data; dan

(3) populasi dan sampling.


Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas (pengkajian ilmu hukum),

seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk

menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya,

yaitu:

1. Pendekatan dari Sudut Falsafah Ilmu

Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandangan, yaitu :

a. pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris; dan

b. pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif.

Dari sudut ini ilmu hukum memiliki dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter

aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki segi-segi empiris. Sisi

empiris tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence, dan

socio legal jurisprudence. Dengan demikian dari sudut pandang ini, ilmu hukum normatif

metode kajiannya khas, sedangkan ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif

atau kualitatif, tergantung sifat datanya.

2. Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum

Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu :

a. dogmatik hukum;

b. teori hukum (dalam arti sempit); dan

c. filsafat hukum.

Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-

masing mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas.

Persoalan tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teori hukum (dalam arti

sempit). Dengan pendekatan yang obyektif seperti tersebut di atas, dapatlah ditetapkan metode

mana yang paling tepat dalam pengkajian ilmu hukum.

D. TERMINOLOGI ILMU HUKUM

Ilmu Hukum memiliki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa

Belanda, jurisprudence atau legal science (Inggris), dan jurisprudent (Jerman). Dalam kepustakaan

Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum disejajarkan dengan istilah-

istilah dalam bahasa asing tersebut.


Istilah rechtswetenschap (Belanda) dalam arti sempit adalah dogmatik hukum atau ajaran hukum

(de rechtsleer) yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum posistif dan dalam

hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatik hukum tidak bebas nilai tetapi syarat nilai.

Rechtswetenschap dalarn arti luas meliputi: dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan

filsafat hukum.

Rechtstheorie juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti sempit rechtstheorie adalah

lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam

arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum (een verklarende wetenschap van hetrecht).

Istilah jurisprudence, legal science, dan legal philosophy dalam bahasa Inggris, mempunyai

makna yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda di atas. Lord Lloyd 0 Hamstead dan M.D.A.

Freeman memberikan gambaran sebagai berikut:

“Jurisprudence involves the study of general theoretical questions about the nature of laws and legal
system, about the relationship of law to justice and morality and about the social nature of law ... and
science, however, is concerned with empirically observable fact and events”.

HPH Visser Thooft, dari sudut pandang filsafat ilmu, menggunakan istilah rechtswetenschappen

(ilmu-ilmu hukum), dan merumuskan sebagai disiplin yang obyeknya hukum. Atas dasar itu

dikatakan: “recht is mede wetwnschap”.

Sementara Meuwissen, menggunakan istilah rechtsbeoefening (pengembanan hukum) untuk

menunjuk pada semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam

masyarakat.

E. JENIS DAN LAPISAN ILMU HUKUM

Ilmu hukum (dari segi obyek) dapat dibedakan atas ilmu hukum dalam arti sempit, yang dikenal

dengan ilmu hukum dogmatik (ilmu hukum normatif) dan ilmu hukum dalam arti luas. Ilmu hukum

dalam arti luas dapat ditelaah dari sudut pandangan sifat pandang ilmu maupun dari sudut pandangan

tentang lapisan ilmu hukum seperti yang dilakukan oleh J. Gijssels dan Mark van Hoecke.

Dari sudut pandang ilmu dibedakan pandangan positivisme dan pandangan normatif. Dari sudut

pandangan ini dibedakan ilmu hukum normatif (dogmatik) dan ilmu hukum empiris. Sifat keilmuan

dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: proses, produk dan produsen (ilmuwan).
Perbedaan sifat keilmuan dua bidang ilmu hukum tersebut dapat digambarkan dalam skema

berikut.

Tabel 1. Perbedaan Sifat Keilmuan Bidang Ilmu Hukum


(Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 189)

Pandangan Positivistik: Pandangan Normatif:


(Ilmu Hukum Empirik) (Ilmu Hukum Normatif)
Relasi Inti Subyek-Subyek Subyek-Subyek
Jenis Pengetahuan Obyektif Inter-subyektif
Sikap Ilmuwan Pengamat/penonton Peserta
Perspektif Eksternal Internal
Teori Kebenaran Teori korespondensi Teori pragmatik
Proposisi Hanya informatif (empiris) Normatif dan evaluatif
Metode Hanya metode pengalaman Juga metode lain
inderawi
Moral Non-kognitif Kognitif
Hubungan Hukum-Moral Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan
Ilmu Hanya sosiologi hukum Ilmu hukum dalam arti luas
empiris dan teori hukum
empiris

Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut D.H.M. Meuwissen

digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain:

1) secara tegas membedakan fakta dan norma;

2) gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;

3) metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris, dan

4) bebas nilai.

Implikasi dari perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empirik adalah:

1. Dari hubungan dasar sikap ilmuwan

Dalam ilmu hukum empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala

obyeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra, sedangkan dalam ilmu hukum normatif, yuris

secara aktif menganalisis norma sehingga peranan subyek sangat menonjol.

2. Dari segi kebenaran ilmiah

Kebenaran ilmu hukum empirik, adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar

karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus

sejawat sekeahlian.

J. Gijssels dan Mark van Hoecke, membedakan ilmu hukum berdasarkan pelapisan ilmu hukum, yang

meliputi:

a. filsafat hukum;

b. teori hukum;
c. dogmatik hukum; dan

d. praktek hukum.

1. Filsafat Hukum

Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan disusul dogmatik

hukum (ilmu hukum positif). Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Lili Rasjidi, bahwa filsafat

hukum adalah refleksi teoritis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan

merupakan induk dari semua refleksi teoritis tentang hukum. Filsafat hukum adalah filsafat atau

bagian dari filsafat yang mengarahkan refieksinya terhadap hukum atau gejala, sebagaimana

dikemukakan J. Gejssels, filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum dan

gejala hukum. Hal yang sama juga dalam dalil D.H.M. Meuwissen, bahwa rechtfilosofie is

filosofie. Filsafat hukum adalah filsafat karena itu ia merenungkan semua persoalan fundamental

dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Berkaitan dengan ajaran

filsafati dalam hukum, maka ruang lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran filsafat itu

sendiri, yang meliputi:

a. ontology hukum, yakni mempelajari hakikat hukum, misalnya hakikat demokrasi, hubungan

hukum dan moral dan lainnya;

b. axiology hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti; kebenaran, keadilan, kebebasan,

kewajaran, penyalahgunaan wewenang dan lainnya;

c. ideology hukum, yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang

dapat memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan

datang, system hukum atau bagian dari system hukum;

d. epistemology hukum, yakni merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa yang

berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakikat hukum atau

masalah filsafat hukum yang fundamental lainnya yang umumnya memungkinkan;

e. teleology hukum, yakni menentukan isi dan tujuan hukum;

f. keilmuan hukum, yakni merupakan meta teori bagi hukum; dan

g. logika hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem

hukum dan struktur sistem hukum.

Tabel 2. Sifat Keilmuan Filsafat Hukum (Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 181)

Filsafat Hukum
Obyek Landasan dan batas-batas kaidah hukum
Tujuan Teoritikal
Perspektif Internal
Teori kebenaran Teori pragmatik
Proposisi Informatif, tetapi terutama normatif dan
evaluatif

2. Teori Hukum (dalam arti sempit)

Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut dengan jurisprudence atau legal

theory. Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul

pada abad ke-19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu

abstrak dan spekulatif dan dogmatik dipandang terlalu konkret serta terikat pada tempat dan

waktu. Istilah allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie yang diartikan

sebagai teori dari hukum positif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada

semua sistem hukum, yang meliputi: sifat, hubungan antara hukum dan negara serta hukum dan

masyarakat. Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai

ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai

aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik

dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman

yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji

dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi

hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis

sedangkan dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang

filsafat sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara:

a. pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum;

b. kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi

hukum dan lainnya.

Permasalahan utama ialah apakah yuris mampu secara mandiri melakukan hal tersebut.

Berkaitan dengan sifat interdisipliner, maka bidang kajian teori hukum meliputi:

1) analisis bahan hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, system hukum, konsep hukum

teknis, lembaga hukum-figur hukum, fungsi dan sumber hukum;

2) ajaran metode hukum, meliputi metode dogmatik hukum, metode pembentukan hukum dan

metode penerapan hukum;

3) metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin

eksperimental atau disiplin hermeneutic.


4) kritik ideologi hukum. Berbeda dengan ketiga bidang kajian di atas, kritik ideologi

merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau

norma yang membangun visi orang terhadap manusia dan masyarakat.

Tabel 3. Sifat Keilmuan Teori Hukum (Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 176)

Teori Hukum
Empiris Kontemplatif
Obyek 1. Gejala umum dalam hukum positif
(allgemeine rechtslehre)
2. Kegiatan hukum:
a. Dogmatik hukum
b. Pembentukan hukum
c. Penemuan hukum
Sasaran Teoritis
Perspektif Ekstern Intern
Teori Kebenaran Korespondensi Pragmatis
Proposisi Informatif atau Normatif dan
empiris evaluatif

3. Dogmatik Hukum

Dogmatik hukum merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum

positif. D.H.M. Meuwissen (1979) memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai

memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku atau

hukum positif. Berbeda dengan M. van Hoecke (1982), mendefinisikan dogmatik hukum sebagai

cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif

yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut

pandang normatif. Berdasarkan definisi tersebut terlihat, tujuan dogmatikus hukum bekerja tidak

hanya secara teoritikal, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara

praktikal. Dengan kata lain, ia, berkenaan dengan suatu masalah tertentu, menawarkan alternatif

penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan bahwa dogmatikus hukum bekerja

dari sudut perspektif internal, yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang

ikut berbicara (peserta aktif secara langsung) dalam diskusi yuridik terhadap hukum positif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori kebenaran yang paling sesuai bagi dogmatikus

hukum adalah teori pragmatis, di mans proporsi yang ditemukan dalam dogmatik hukum bukan

hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang normatif dan evaluatif.

Tabel 4. Hubungan Dogmatik Hukum dengan Teori Hukum

(Sumber: Philipus M. Hadjon, 1994: 3)


Dogmatik Hukum Teori Hukum
1. Mempelajari aturan hukum dari segi 1. Merupakan refleksi pada teknik hukum;
teknis; 2. Tentang cara yuris bicara tentang hukum;
2. Berbicara tentang hukum; 3. Bicara hukum dari perspektif yuridis ke
dalam bahasa non yuridis;
3. Bicara hukum dari segi hukum; 4. Bicara tentang pemberian alasan terhadap
hal tersebut.

4. Bicara problem yang konkret.

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa teori hukum tidaklah senantiasa normatif seperti

dogmatik hukum. Teori hukum merupakan meta teori bagi dogmatik hukum.

F. PENERAPAN HUKUM DAN PEMBENTUKAN HUKUM

Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan positivistik maupun sudut

pandangan normatif. Dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya harus

diarahkan kepada praktek hukum. Praktek hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu penerapan

hukum dan pembentukan hukum.

1. Penerapan Hukum

Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum ke dalam suatu kasus

yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik disebut De rechter is bounche de la loi, yang

mengandung arti kiasan hakim adalah corong atau alat undang-undang. Hal ini melukiskan

betapa beratnya tugas hakim yang harus mampu menangkap maksud pembuat undang-undang.

Oleh sebab itu peran penemuan hukum yang dilakukan dengan interpretasi besar, artinya dalam

menentukan isi atau maksud hukum tertulis.


Gambar 3. Hubungan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum

(Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 172)

Roscue Pound menjelaskan langkah penerapan hukum menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1) Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di antara sekian banyak hukum yang sesuai

dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim;

2) Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika

kaidah itu dibentuk; dan

3) Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan

diputuskan oleh hakim.

2. Pembentukan Hukum

Permasalahan penerapan hukum antara lain mengenai:

a. interpretasi hukum:

b. kekosongan hukum (leemten in het trecht);

c. antinomi dan norms yang kabur (vage normen).

Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu memahami maksud pembuat undang-

undang. Selain itu dalam kaitannya dengan usaha menemukan hukum (rechtsvinding). Artinya

hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemukan hukum tertulis, hukum harus

dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum oleh hakim

(rechtsvorming). Arti penting interpretasi merujuk pada sarana untuk mengatur daya kelenturan

peraturan perundang-undangan dapat pula terjadi pada hukum yang dibuat oleh pembuat

perundang-undangan. Berkaitan dengan metode interpretasi hukum ini, Philipus M. Hadjon

mengatakan, bahwa metode interpretasi hukum meliputi:

a. Interpretasi gramatikal;

Interpretasi gramatikal mengartikan bahwa suatu term hukum suatu bagian kalimat menurut

bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Dalam istilah Belanda sebagai “De rechter die zoekt

naar de algemene of jurischtechnische betekenis van de woorden van de wet, hanteert de

“gramaticale interpretatie” (methode).” Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo,

interpretasi gramatikal itu harus logis; Sebagai contoh penafsiran mengenai istilah

“menggelapkan” yang secara implisit tercantum dalam Pasal 41 KUH Pidana ada kalanya

ditafsirkan sebagai menghilangkan. Apabila dengan interpretasi gramatikal tersebut hakim


tidak berhasil atau kurang puas, maka ia akan menggunakan interpretasi sistematis

(systematische interpretatie).

b. interpretasi sistematis;

Melalui metode ini hakim akan mendapatkan arti suatu pasal dalam kaitannya dengan pasal-

pasal yang lain. Undang-undang atau pasal-pasal tertentu akan diberi makna dalam

hubungannya dengan makna dari pasal-pasal terkait dalam suatu tatanan norma hukum yang

berlaku. Dengan kata lain bahwa interpretasi sistematis bertitik tolak dari sistem aturan

mengartikan sesuatu ketentuan hukum. Adapun menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo,

bahwa menafsirkan undang-undang tersebut tidak boleh menyimpang (keluar) dari system

perundang-undangan. Misalnya, kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang

dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-

ketentuan dalam KUHPerdata saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan Pasal 278

KUHPerdata.

c. wets-en rectshistorische interpretatie;

Merujuk pads M. van Hoecke, menyebutkan ada dua macam penafsir histories, yaitu:

1. wetshistorische interpretatie (penafsiran menurut sejarah undang-undang); dan

2. rechtshistorische interpretatie (penafsiran menurut sejarah hukum).

Usaha menelusuri maksud pembentukan undang-undang adalah suatu wetshistorische

interpretatie, misalnya dengan mempelajari “memorie penjelasan”, menelusuri nasehat yang

diberikan oleh “Raad van State” (baca DPA). Dalam usaha menemukan jawaban atas suatu

isu hukum dengan menelusuri perkembangan hukum (aturan) disebut “historische

interpretatie”. Misalnya, jika hendak menjelaskan ketentuan dalam KUHPerdata - tidak

terbatas sampai pada terbentuknya KUHPerdata saja, tetapi masih mundur ke belakang

sampai pada hukum Romawi. Sedangkan, mengenai Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita Indonesia.

d. interpretasi perbandingan hukum;

Interpretasi ini mengusahakan penyelesaian suatu isu hukum dengan membandingkan

berbagai stelsel hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu

ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional.

Menurut Lemaire, interpretasi perbandingan hukum ini penting, karena dengan pelaksanaan

yang seragam direalisasi kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai
hukum obyektif (kaidah hukum) untuk beberapa negara. Sedangkan di luar hukum perjanjian

internasional kegunaan metode ini terbatas.

e. interpretasi antisipasi;

Interpretasi antisipasi atau interpretasi futuristik diperlukan untuk menjawab suatu isu hukum

dengan mendasarkan pada suatu aturan yang belum berlaku. Dengan kata lain, bahwa

interpretasi antisipasi merupakan penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman

pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

f. interpretasi teleologis.

Setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis. Metode ini digunakan jika hakim ingin

memahami hukum dalam kaitannya dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.

Ajaran “de rechter is bounche de la loi” mutlak mewajibkan hakim harus memahami maksud

dan tujuan pembuat undang-undang. Tujuan hukum dan tujuan pembuat undang-undang

berbeda. Tujuan hukum sifatnya umum yang isinya ditentukan oleh doktrin hukum. Tujuan

pembuat undang-undang sifatnya khusus, dalam arti setiap undang-undang mempunyai

tujuan dan politik perundangan sendiri. Sebagai contoh: apakah penyadapan atau penggunaan

tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang dilakukan orang lain termasuk pencurian

menurut Pasal 362 KUHPidana (Catatan: pada waktu undang-undang ini dibuat belum

dibayangkan adanya kemungkinan pencurian aliran listrik). Yang menjadi pertanyaan adalah

apakah tenaga listrik itu merupakan barang yang dapat diambil menurut rumusan Pasal 362

KUHPidana. Kemudian ditafsir, bahwa tenaga listrik itu bersifat mandiri dan mempunyai

nilai tertentu, karena untuk memperolehnya diperlukan biaya dan aliran listrik dapat

diberikan orang lain dengan penggantian biaya, dan bahwa Pasal 362 KUHPidana bertujuan

untuk melindungi harta kekayaan orang lain. Van Bemmelen dalam bukunya Praktische

Rechtsvragen (1891) membedakan metode interpretasi meliputi:

(1) de textuale interpretatie;

merupakan nama baru saja dari interpretasi gramatikal.

(2) intentionele interpretatie;

dijelaskan sebagai gericht op de bedoeling van de wet.

Dengan begitu kedua jenis interpretasi ini sebenarnya tidak lain dari teleologische

interpretatie.
(3) principiele interpretatie (penafsiran prinsipil);

adalah penafsiran yang gericht op strekking, doel, motieven of beginselen van de wet,

merupakan jenis penafsiran baru oleh van Bemmelen.

(4) rationele interpretatie;

(5) morele interpretatie (moral hukum);

penafsiran atas moral hukum, merupakan jenis penafsiran baru oleh van Bemmelen.

(6) comparatieve interpretatie;

interpretasi komparatif, merupakan nama lain dari interpretasi sistematis.

(7) analogische interpretatie;

(8) legislative interpretatie;

(9) historische interpretatie; dan

(10) evolutieve interpretatie.

G. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diringkaskan kembali pokok-pokok pemikiran sebagai

berikut:

1. Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter ilmu hukum yang

merupakan kepribadian ilmu hukum, yaitu normatif, terapan, dan preskriptif; Dengan karakter

yang khas tersebut ilmu hukum merupakan sui generis.

2. Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas (pengkajian ilmu hukum),

seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, yang meliputi dua aspek pendekatan yang

dapat dilakukan untuk menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa

konsekuensi pada metode kajiannya, yaitu: pendekatan dari sudut falsafah ilmu, dan pendekatan

dari sudut pandang teori hukum.

saplaw.top

karakter ilmu hukum | Saiful Anam & Partners


Para penulis dan pakar hukum terkemuka di Belanda membedakan antara hukum dogmatis dengan
ilmu hukum empiris.[1] Ilmu hukum sendiri memiliki kharakter yang khas, yakni bersifat normative.
Karena karakter ilmu hukum yang normative tersebut ilmu hukum bersifat sui generis,[2] yakni tidak
dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang manapun.[3] Sedangkan studi
hukum yang masuk dalam kategori ilmu hukum empiris menurut Van Apeldoorn adalah sosiologi
hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum dan psikologi hukum.[4] Ciri khas dan karakter ilmu
hukum yang bersifat normative tersebut yang membedakan dengan ilmu-ilmu lainnya pada lapangan
ilmu social.
Untuk itu kaitan antara normativitas dengan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis  adalah
memandang hukum bukan hanya menempatkan hukum pada suatu gejala social yang hanya
dipandang dari luar, melainkan masuk kedalam yang sangat fundamental dari hukum yaitu sisi
intrinsic dari hukum. Sehingga konsekwensi dari sifat ilmu hukum yang bersifat demikian, maka
dikatakan bahwa ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, yakni
yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas hukum, konsep-konsep hukum dan
norma-norma hukum.[5] Sifat preskriptif itulah yang dianggap substansial dalam mempelajari ilmu
hukum, dikarenakan tidak  akan dipelajari dalam ilmu social lainnya yang objeknya sama yakni
hukum.

Dengan demikian berdasar pada uraian diatas, maka karakter ilmu hukum dogmatis adalah bersifat
normative yang terjewantahkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Pemerintah yang berdaulat dalam suatu Negara. Sifat dari sui generis berarti ilmu hukum merupakan
ilmu dari jenis tersendiri, sehingga pengelompokannya bukan berada pada pohon atau rumpun ilmu
social juga bukan merupakan ilmu pengetahuan alam.[6] Untuk itu kajian terhadap ilmu hukum yang
memegang prinsip terhadap sifat dan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis ini, dengan
terang benderang menolak kajian empiris dalam ilmu hukum.

1. Perbedaan karakteristik kata “normatif” dalam hukum positif (“positive law”) dalam hukum alam
(“law nature”) dan dalam hukum moral (“morality”):

Tesis Normativitas Tesis Reduktif


Hukum dan Fakta

(Keterpisahan hukum dan (Ketidakterpisahan antara


Hukum dan Moralitas
Fakta) hukum dan fakta)
Tesis Moralitas
Teori hukum alam
(Ketidakterpisahan antara
hukum dan moralitas)
Tesis keterpisahan
Pure Theory of Law Teori hukum Empiris-positivis
(Keterpisahan hukum dan
Moralitas)

1. Kritik terhadap positivism hukum jika mendominasi kerangka berfikir penelitian hukum :

Pada dasarnya positivism hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa
mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak
bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kaum Positivistik harus mengakui manakala teori
memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang
merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa
itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[7] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut
Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan
akan prinsip-prisnsip hukum alam.[8]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum.
Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan
demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan
penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum
yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian
teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum
responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[9] tidak dapat diterapkan dengan
baik.

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak
yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari:
Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal
culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-
sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua
orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu,
maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[10]

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual
berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja
membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya
masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa
aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

Selain itu juga dapat dilakukan kritik dari segi Teoritis[11] dimana positivisme hukum tumbuh dan
berkembang subur pada masa hukum alam, yang pada intinya menginginkan ilmu hukum alam dapat
diprediksi dan dipastikan. Cara pandang formalistic ini tidak mempertimbangkan apakah norma yang
diundangkan tersebut bersifat adil atau tidak. Selain itu dari segi Praktis[12] yakni dalam positivisme
hukum undang-undang dipandang sebagai hukum yang komplit, sehingga tugas hakim tinggal
menerapkan terhadap kejadian konkrit dilapangan. Sehingga kemudian hakim menjadi kaku dan tidak
mendorong adanya perkembangan masyarakat. Hakim hanya menginterpretasikan secara gramatikal
terhadap peristiwa hukum yang terjadi dilapangan, dengan tanpa melihat dasar pertimbangan secara
dasar-dasar tingkat keadilan dan kemanfaatannya.

1. Penjelasan lapisan Ilmu Hukum menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke, serta kaitannya dengan
rancangan penelitian yang akan saya tulis :

Lapisan Ilmu Hukum Menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ilmu hukum dalam tiga lapisan, yakni dogmatik hukum,
teori hukum dan filsafat hukum.[13] Tiap lapisan ilmu hukum tersebut memiliki kharakter khusus
mengenai konsep, eksplanasi, sifat atau hakikat keilmuannya. Dogmatik hukum konsepnya technisch
juridisch begrippen, ekplanasinya teknis yuridis dan sifat keilmuannya normative. Lapisan teori
hukum konsepnya algemene begrippen, eksplanasinya analitisdan sifat keilmuannya
Normatif/Empiris. Lapisan filsafat hukum konsepnya grond begrippen, eksplanasinya reflektif dan
sifat keilmuannya spekuliatif.[14]

Hubungan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum

LAPISAN
KONSEP EKSPLANASI SIFAT
ILMU HUKUM
Filsafat Hukum grond begrippen Reflektif Spekulatif

Teori Hukum algemene begrippen Analitis Normatif/Empiris

technisch juridisch
Dogmatik Hukum Teknis Yuridis Normatif
begrippen

[1] Karya fenomenal yang membagi hukum secara rinci adalah JJH. Bruggink, Refleksi tentang
Hukum, (alih bahasa Bernard Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan ke-2, 1999, Hal. 
163. Bandingkan dengan Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Jakarta,
Cetakan ketiga, 2009, Hal.  27

[2] Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum,
(Penerjemah Bernard Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, cetakan ketiga, 2009, hal. 55

[3] Ibid

[4] L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ketiga puluh
empat, 2011, Hal. 412 – 413

[5] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 23

[6] Philipus M Hadjon dan Tatiek Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, cetakan kedua, 2005, Hal. 1

[7] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori
and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285

[8] Friedmann, Ibid


[9] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan represif dapat dibaca dan dipahami melalui
buku : Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive
Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.

[10] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8

[11] Widodo Dwi Putro, Mengkritisi Positivisme Hukum: Langkah Awal Memasuki
DiskursusvMetodologis dalam Penelitian Hukum,  dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode
Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2011, hal.  23-25

[12] Ibid, hal. 28-30

[13] Secara lengkap diurai dalam buku Jan Gissels dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtsteorie?,
Kluwer, Antwerpen, 1982, hal. 10. Bandingkan dengan JJH. Bruggink, Opcit, Hal. 172

[14] Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, tt, hal. 10

Anda mungkin juga menyukai