Anda di halaman 1dari 8

Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Sui Generis

ANAK AGUNG GEDE YUDI ARNAWA

1416051289

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
“Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Sui Generis”

Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri
yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian
ilmu hukum itu dan meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan
karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris. Memang harus
diakui bahwa di sisi lain yuris Indonesia berusaha mengangkat derajat keilmuan hukum
dengan mengembangkan aspek empiris dari ilmu hukum melalui kajian-kajian yang
sosiologik. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kerancauan dalam usaha
pengembangan ilmu hukum, dimana yuris Indonesia kehilangan kepribadiannya dan
pembangunan hukum melalui pembentukan hukum tidak ditangani secara tepat dan
professional. Usaha menghidupkan aspek empiris dari ilmu hukum diantaranya
dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam kajian hukum
selain tetap mempergunakan kajian normatif itu sendiri. Kajian hukum diempiriska
antara lain dengan merumuskan format-format penelitian hukum yang dilatarbelakangi
oleh metode penelitian ilmu social yang notabene adalah penelitian empiris. Sehingga
ditemukan kejanggalan-kejanggalan dengan memaksa format penelitian ilmu social
dalam penelitian hukum normatif diantaranya:
a. perumusan masalah dengan kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain;
b. sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data;
c. populasi dan sampling
Penelitian hukum normatif seringkali juga diklasifikasikan sebagai penelitian
kualitatif, karena penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kuantitatif
(statistic), dengan serta merta penelitian hukum normatif dinggap sebagap penelitian
kualitatif. Kesalahpahaman ini, mengakibatkan penelitian hukum dianggap kurang
ilmiah karena tidak kuantitatif atau tidak menggunakan statistic. Penlitian hukum
normatif semestinya tidaklah diidentifikasikan dengan penelitian kualitatif.
Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas
(pengkajian ilmu hukum), seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, bukan
dari sudut pandang ilmu social. Ada dua pendekatan yang dapatdilakukan untuk
menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada
metode kajiannya, yaitu:
 Pendekatan dari Sudut Falsafah Ilmu
Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandangan, yaitu :
a. pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris; dan
b. pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif.
Dari sudut ini ilmu hukum memiliki dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum
dengan karakter aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki
segi-segiempiris. Sisi empiris tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti
sociological jurisprudence, dan socio legal jurisprudence. Dengan demikian dari sudut
pandang ini, ilmu hukum normatif metode kajiannya khas, sedangkan ilmu
hukumempiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif atau kualitatif tergantung sifat
datanya.
 Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum
Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu :
a. dogmatik hukum;
b. teori hukum (dalam arti sempit); dan
c. filsafat hukum.
Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum,
yang masing-masing mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki
metodeyang khas. Persoalan tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang
kajian teorihukum (dalam arti sempit). Dengan pendekatan yang obyektif seperti
tersebut di atas,dapatlah ditetapkan metode mana yang paling tepat dalam pengkajian
ilmu hukum.
Dari uraian diatas dapat diambil sikap yaitu jangan mengempiriskan segi-segi
normatif ilmu huku dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi empiris dalam
penelitian hukum. Dalam kajian normatif sebaliknya berpegang pada tradisi keilmua
hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu hukum empiris sebaiknya digunakan
metode-metode penelitian empiris yang sesuai.

 Terminologi Ilmu Hukum

Ilmu Hukum memiliki berbagai


istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa
Belanda, jurisprudence atau legal science dalam bahasa Inggris,
dan jurisprudent dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam
dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan dengan istilah-
istilah dalam bahasa asing tersebut. Misalnya, istilah Rechwetenschap oleh Jan Gijssels
dan Mark van Hoecke diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Jurisprudence.
Apabila diterjemahkan secara harfiah Rechwetenschap berarti Science of Law. Istilah
itu dihindari karena istilah science dapat diidentikkan dengan kajian yang bersifat
empiris. Kenyataannya, hukum adalah kajian yang lebih bersifat normatif.
Istilah rechtswetenschap (Belanda) dalam arti sempit adalah dogmatika hukum
atau ajaran hukum yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum
posisitf dan dalam hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatika hukum
tidak bebas nilai tetapi sarat dengan nilai. Rechtswetenschap dalam arti luas meliputi:
dogmatika hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum.
Rechtstheorie juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti
sempit rechtstheorie adalah lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatika
hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti ini merupakan ilmu eksplanasi
hukum.
Istilah jurispudence, legal science, dan legal philosophy dalam bahasa Inggris,
mempunyai makna yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda di atas. HPH Visser
Thooft, dari sudut pandang filsafat ilmu, menggunakan istilah rechtswetenschappen
[ilmu-ilmu hukum], dan merumuskan sebagai disiplin yang obyeknya hukum. Atas
dasar itu dikatakan: recht is made wetwnschap. Sementara Meuwissen, menggunakan
istilah rechtsbeoefening [pengembanan hukum] untuk menunjuk pada semua kegiatan
manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.
 Jenis Ilmu Hukum
Dari segi obyeknya, ilmu hukum dibedakan atas:
a. Ilmu hukum normatif
b. Ilmu hukum empiris
Tahapan studi ilmu hukum empiris sampai saat ini meliputi:
1. Realis : factual patterns of behavior
Fokus studinya adalah perilaku
2. Sociological jurisprudence : law in action & law in the books
Memfokuskan diri pada problema kesenjangan, yaitu kesenjangan antara law in action
& law in the books
3. Socio – legal studies
Aliran ini melihat hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, yang disatu sisi
pengaruh hukum terhadap masyarakat dan disisi lain pengaruh masyarakat terhadap
hukum.
Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut
D.H.M.Meuwissen digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain:
a. secara tegas membedakan fakta dan norma;
b. gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;
c. metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris, dan
d. ilmu yang bebas nilai.
Sedangkan J.J.H Bruggink menggambarkan perbedaan antara ilmu hukum
empiris dengan ilmu hukum normatif sebagai berikut:
Keterangan Pandangan positivistik: Pandangan normatif:
Ilmu Hukum empirik Ilmu hukum normatif
Hubungan dasar Subyek - Obyek Subyek – Subyek
Sikap ilmuwan Penonton (toeschouwer) Partisipan (doelnemer)
Perspektif Ekstern Intern
Teori kebenaran Korespondensi Pragmatik
Proposisi Hanya informative atau Normatif dan evaluasi
empiris
Metode Hanya metode yang bias Juga metode lain
diamati pancaindra
Moral Non kognitif Kognitif
Hubungan antar moral dan Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan
hukum
Ilmu Hanya sosiologi hukum Ilmu hukum dalam arti
empiris dan teori hukum luas
empiris

Dari paparan tersebut, beberapa perbedaan mendasar antara ilmu hukum


normatif dan ilmu hukum empiris, pertama-tama dari hubungan dasar sikap ilmuwan,
dan yang sangat penting adalah teori kebenaran. Dalam ilmu hukum empiris sikap
ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala objeknya yang dapat
ditangkap oleh panca indra. Dalam ilmu hukum normatif, yuris secara aktif
menganalisa norma, sehingga peranan subjek sangat menonjol. Dari segi kebenaran
ilmiah, kebenaran hukum empiris adaalah kebenaran korespondensi, artinya bahwa
sesuatu itu benar karena didukung oleh fakta dalam ilmu hukum normatif dengan dasar
kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian. Di
Belanda, hal-hal yang merupakan konsensus sejawat sekeahlian dikenal
sebagai heersendeleer (ajaran yang berpengaruh).
 Lapisan Ilmu Hukum
J. Gijssels dan Marck van Hoecke mengemukakan lapisan ilmu hukum sebagai berikut:

 Filsafat Hukum
Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan
disusul dogmatik hukum, filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada
hukum dan gejala hukumFilsafat hukum adalah filsafat karena di dalam kajian tersebut,
orang merenungkan semua persoalan fundamental dan masalah-masalah perbatasan
yang berkaitan dengan gejala hukum. Berkaitan dengan ajaran filsafati dalam hukum,
maka ruang lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran filsafat itu sendiri, yang
meliputi:
a. ontologi hukum, yakni mempelajari hakekat hukum, misalnya hakekat demokrasi,
hubungan hukum dan moral dan lainnya;
b. aksiologi hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti; kebenaran, keadilan,
kebebasan, kewajaran, penyalahgunaan wewenang dan lainnya;
c. ideologi hukum,yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat
yang dapat memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum
yang akan datang, sistem hukum atau bagian dari sistem hukum;
d. epistemologi hukum, yakni merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa
yang berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakekat
hukum atau masalah filsafat hukum yang fundamental lainnya yang umumnya
memungkinkan;
e. teleologi hukum, yakni menentukan isi dan tujuan hukum;
f. keilmuan hukum,yakni merupakan meta teori bagi hukum; dan
g. logika hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari
sistem hukum dan struktur sistem hukum.
 Teori Hukum (dalam arti sempit)
Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut
dengan jurisprudence atau legal theory. Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau
pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul pada abad ke-19 ketika minat pada
filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu abstrak, spekulatif dan
dogmatis. Istilah Allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh
istilah rechtstheorie yang diartikan sebagai teori dari hukum posisif yang mempelajari
masalah-masalah umum yang sama pada pada semua sistem hukum. Adapun masalah-
masalah umum tersebut meliputi: sifat, hubungan antara hukum dan negara serta hukum
dan masyarakat.
Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai
ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis
berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis. Tujuannya
adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan
sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam
kenyataan masyarakat. Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya
inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan
dalam dogmatika hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat
sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara: pertama,
menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum; kedua, dengan metode sendiri
meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan lainnya.
Permasalahan utama ialah apakah yuris mampu secara mandiri melakukan hal tersebut.
Berkaitan dengan sifat interdisipliner, maka bidang kajian teori hukum meliputi:
a. analisis bahan hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, sistem hukum, konsep
hukum teknis, lembaga hukum-figur hukum, fungsi dan sumber hukum;
b.ajaran metode hukum, meliputi metode kajian dogmatik terhadap hukum, metode
pembentukan hukum dan metode penerapan hukum;
c. metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika,
disiplin eksperimental atau disiplin hermenetik.
d. kritik ideologi hukum. Berbeda dengan ketiga bidang kajian di atas, kritik ideologi
merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai
atau norma yang membangun visi orang terhadap manusia dan masyarakat
 Dogmatik Hukum
Dogmatik hukum (atau kajian dogmatis terhadap hukum) merupakan ilmu
hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. D.H.M. Meuwissen,
memberikan batasan pengertian dogmatika hukum sebagai memaparkan, menganalisis,
mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku atau hukum positif.
Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh M. van Hoecke. Ia mendefinisikan
dogmatika hukum sebagai cabang ilmu hukum yang memaparkan dan mensistematisasi
hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu
tertentu dari suatu sudut pandang normatif. Berdasarkan definisi tersebut terlihat, tujuan
ahli dogmatika hukum bekerja tidak hanya secara teoritikal, dengan memberikan
pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara praktikal. Dengan kata lain,
dogmatika hukum berkenaan dengan suatu masalah tertentu, menawarkan alternatif
penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan bahwa ahli dogmatika
hukum bekerja dari sudut perspektif internal, yaitu menghendaki dan memposisikan diri
sebagai partisipan yang ikut berbicara dalam diskusi yuridik terhadap hukum posistif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori kebenaran yang paling sesuai bagi
ahli dogmatika hukum adalah teori pragmatis. Proporsi yang ditemukan dalam
dogmatika hukum bukan hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang normatif
dan evaluatif.
 Praktek Hukum (Penerapan dan Pembentukan Hukum)
Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan positivistik
maupun sudut pandangan normatif. Dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum
pada akhirnya harus diarahkan kepada praktek hukum. Praktek hukum menyangkut 2
(dua) aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.
a. Penerapan Hukum
Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum ke
dalam suatu kasus yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik disebur De rechter is
bounche de la loi, yang mengandung arti kiasan hakim adalah corong atau alat undang-
undang. Hal ini melukiskan betapa beratnya tugas hakim yang harus mampu
menangkap maksud pembuat undang-undang. Berdasarkan beban tugas hakim itu,
peran penemuan hukum merupakan tugaas yang harus dilakukan dengan interpretasi
besar dalam menentukan isi atau maksud hukum tertulis. Roscoe Pound menjelaskan
langkah penerapan hukum menjadi 3 bagian, yaitu:
· Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di antara sekian banyak hukum
yang sesuai dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim;
· Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna
ketika kaidah itu dibentuk; dan
· Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan
diputuskan oleh hakim
b. Pembentukan Hukum
Permasalahan penerapan hukum antara lain mengenai: interpretasi hukum,
kekosongan hukum, antinomi dan norma yang kabur. Interpretasi hukum lahir dari
kesulitan hakim pada waktu memahami maksud pembuat undang-undang, selain itu
dalam kaitannya dengan usaha menemukan hukum. Artinya hukum harus ditemukan
dan apabila tidak berhasil menemukan hukum tertulis, hukum harus dicari dari hukum
yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum oleh hakim. Arti
penting interpretasi merujuk pada sarana untuk mengatur daya kelenturan peraturan
perundang-undangan dapat pula terjadi pada hukum yang dibuat oleh pembuat
perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai