Anda di halaman 1dari 176

PENAL ARAN

HUKUM
OLEH : DR.EVI KO N G R E S , S . H . , M . K N
KARAKTER NORMATIF ILMU HUKUM

• Karakter normatif ilmu hukum merupakan kerangka berpikir tentang hukum, keberlakuannya,
penerapannya, pembentukannya dan penegakannya harus berdasar kepada segala bentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur hukum tersebut.
• Ilmu hukum memiliki karakter yang khas (sui generis) yaitu sifatnya yang normatif, praktis dan
preskriptif, menjadikan metode kajian ilmu hukum akan berkaitan dengan apa yang seyogyanya atau
apa yang seharusnya sehingga metode dan prosedur penelitian dalam ilmu ilmiah dan ilmu sosial
tidak dapat diterapkan dalam ilmu hukum.
• Ilmu hukum harus menegaskan : dengan cara apa membangun teorinya, menyajikan langkah-
langkahnya agar pihak lain dapat mengontrol teorinya dan mempertanggungjawabkan mengapa
memilih cara tersebut.
• Tugas ilmu hukum membahas hukum dari semua aspek.
• Obyek ilmu hukum adalah hukum.
• Terminologi ilmu hukum :
- Rechtswetenchap (Belanda)
- Rechtstheorie (Belanda)
- Jurisprudence (Inggris)
- Legal science (Inggris)
- Jurisprudent (Jerman)

• Rechtswetenchap dalam arti sempit adalah dogmatik hukum atau ajaran hukum (de rechtsleer) yang
tugasnya adalah mendeskripsikan hukum positif, mensistematisasi hukum positif dan dalam hal tertentu
juga eksplanasi.
• Rechtswetenchap dalam arti luas meliputi : dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat
hukum.
• Rechstheorie dalam arti sempit adalah lapisan hukum yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat
hukum. Dalam arti luas, sama dengan rechtswetenchap dalam arti luas.
• 2 pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjelaskan hakekat keilmuan hukum :
a. Pendekatan dari sudut falsafah ilmu. Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandangan : (i)
pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris; (ii) pandangan normatif yang melahirkan ilmu
normatif. Dari sudut pandang : ilmu hukum memiliki dua sisi. Satu sisi ilmu hukum dengan karakter aslinya
sebagai ilmu normatif dan di sisi lain, ilmu hukum memiliki segi empiris. Segi empiris ini yang menjadi
kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence dan socio legal jurisprudence. Ilmu hukum =
ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris. Metode ilmu hukum empiris = penelitian kualitatif atau
kuantitatif tergantung datanya.
b. Pendekatan dari sudut pandang teori hukum. Ilmu hukum dibagi atas 3 lapisan : dogmatik hukum, teori
hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum.

• Ilmu hukum memandang hukum dari 2 aspek : sistem nilai dan aturan sosial.
• Ilmu hukum memiliki karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Ilmu yang bersifat
preskriptif = ilmu hukum yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Ilmu yang bersifat terapan = ilmu hukum yang
menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
- Sifat preskriptif ilmu hukum : merupakan suatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Langkah awal dari
substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam kehidupan masyarakat.
Dalam pengertian ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai gelajal sosial (seperti pada
kajian ilmu hukum empiris) yang hanya di pandang dari luar melainkan masuk sampai ke hal yang paling
esensial yaitu sisi intrinsik dari hukum. Sifat preskriptif ilmu hukum mengenai perbincangan hukum
diakhiri dengan memberikan rumusan-rumusan tertentu.
- Masalah keadilan : bentuk keadilan dapat berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan
manusia dan kehidupan masyarakat.
- Validitas aturan hukum : masalah mengenai validitas timbul karena banyaknya segi kehidupan manusia.
Manusia adalah anggota masyarakat dan sekaligus makhluk yang memiliki kepribadian. Sebagai anggota
masyarakat maka sikapnya harus diatur agar tercipta tertib hukum. Sebagai makhluk yang berkripadian
maka cenderung untuk menegakkan kepentingan sendiri dan terkadang melanggar hak orang lain. Sebagai
tindakan pencegahan maka negara dibutuhkan untuk menetapkan aturan-aturan yang dipandang dapat
menengahi kedua kepentingan (kepentingannya sendiri dan orang lain). Menetapkan aturan = tindakan
yang bersifat preskriptif
- Konsep hukum : mempelajari hal-hal yang semula ada di alam pikir kemudian dihadirkan
menjadi sesuatu yang nyata, cth : konsep hak milik. Adaya konsep hukum maka akan diikuti
dengan aturan-aturan hukum.
- Norma hukum : mempelajari preskripsi-preskripsi. Mempelajari norma-norma hukum
merupakan bagian yang esensial dalam ilmu hukum.
- Sifat terapan ilmu hukum : merupakan konsekuensi dari sifat preskriptif ilmu hukum. Suatu
penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu
tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak dicapai
akan berakibat tidak ada artinya.
JENIS-JENIS ILMU HUKUM
• Ilmu hukum normatif.
Norm
1. Sifat : yuridis normatif
2. Jenis penelitian : kepustakaan tertulis : a. peraturan per-uu-an
b. putusan pengadilan
tidak tertulis : a. kebiasaan
b. hukum adat
3. Data : sekunder
4. Yang dicari : norm (das sollen)
5. Bahan : primer, sekunder, tersier
6. Metode : penemuan hukum (interpretasi, argumentasi, dsb)
7. Sarana penelitian : studi dokumen
 Penelitian ilmu hukum normatif digunakan untuk mengkaji masalah-masalah hukum yang meliputi :
(a) asas-asas hukum
(b) Sistematika hukum
(c) Taraf sinkronisasi hukum
(d) Perbandingan hukum
(e) Sejarah hukum

 Karakteristik penelitian ilmu hukum normatif :


- Sumber utamanya adalah bahan hukum dan bukan data atau fakta sosial, karena yang dikaji adalah bahan
hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Bahan hukum primer : peraturan per-uu-an,
yurisprudensi, traktat, konvensi yang telah diratifikasi, dsb. Bahan hukum sekunder : jurnal hukum, karya ilmiah,
artikel, dsb.
- Pendekatannya yuridis normatif : menggunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah
langkah normatif.
- Menggunakan metode interpretasi
- Analisisnya bersifat yuridis normatif : mempunyai sifat yang spesifik atau khusus, yaitu melihat apakah syarat-
syarat normatif dari hukum itu sudah terpenuhi atau belum sesuai dengan ketentuan dan struktur hukum itu.
- Tidak menggunakan statistik : karena penelitian ilmu hukum normatif merupakan penelitian atau pengkajian
yang sifatnya murni hukum.
- Teori kebenarannya pragmatis : kebenaran pragmatis artinya dapat bermanfaat secara praktis dalam kehidupan
nyata.
- Sarat nilai : ada pengaruh dari subyek sehingga dengan adanya pengaruh nilai maka sifat spesifik dari ilmu
hukum normatif dapat diungkapkan.
• Ilmu hukum empiris

Perilaku
1. Sifatnya : empiris
2. Jenis penelitian : empiris perjanjian (sebagai perilaku)
kebiasaan (sebagai perilaku)
law enforcement
kesadaran hukum
4. Yang dicari : perilaku, fakta (das sein)
5. Metode : pengumpulan data (sampling : random, purposive, dsb)
6. Sarana penelitian : wawancara, enquete (angket), dsb
7. Lokasi
8. Kurun waktu yang diteliti

 Tahapan studi ilmu hukum empiris :


1. Realis : factual patterns of behaviour. Fokus studinya adalah perilaku, misalnya perilaku penegak hukum.
Dalam kasus tindak pidana pemerkosaan maka lebih memfokuskan pada perilaku hakim dalam memutuskan
perkara, yaitu apakah berat ringannya putusan terkait dengan gender hakim yang memutus perkara.
2. Sociological jurisprudence : law in action # law in the books. Aliran ini memfokuskan diri pada masalah
kesenjangan, yaitu kesenjangan law in action dan law in books. Kritik terhadap aliran ini : tidak ada solusi
atas kesenjangan.
3. Socio-legal studies. Aliran ini melihat hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Satu sisi
pengaruh hukum terhadap masyarakat dan pengaruh masyarakat terhadap hukum.
Pandangan positivistik : ilmu Pandangan normatif : ilmu
hukum empiris hukum normatif
Hubungan dasar Subyek-obyek Subyek-subyek
Sikap ilmuwan Penonton (toeschouwer) Partisipan (doelnemer)
Perspektif Ekstern Intern
Teori kebenaran Korespondensi Pragmatis
Proposisi Hanya informatif atau empiris Normatif dan evaluatif

Metode Hanya metode yang bisa diamati Juga metode lain


panca indera
Moral Non kognitif Kognitif
Hubungan antara moral dan Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan
hukum
Ilmu Hanya sosiologi hukum empiris Ilmu hukum dalam arti luas
dan teori hukum empiris
LAPISAN ILMU HUKUM

• Perkembangan ilmu hukum diawali dengan filsafat hukum dan disusul dengan dogmatik hukum
(ilmu hukum positif). Filsafat hukum sangat spekulatif sedangkan hukum positif sangat teknis.
Untuk itu dibutuhkan disiplin ilmu lain yang semula berbentuk ajaran hukum umum (algemene
rechtsleer) yang berisi ciri-ciri umum seperti asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum.
• Ajaran hukum umum berkembang menjadi teori hukum.
• Dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum diarahkan kepada praktik hukum.
• Praktik hukum terkait dengan 2 aspek utama : pembentukan hukum dan penerapan hukum.
• Permasalahan penerapan hukum : interpretasi hukum, kekosongan hukum (leemten in het
recht), antinomi, dan norma yang kabur (vage norman).
FILSAFAT HUKUM
• Filsafat hukum :
- Mencari hakekat dari hukum
- Mengetahui apa yang ada di belakang hukum
- Menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai
- Memberikan pertimbangan dan nilai
- Postulat (dasar-dasar) hukum
- Berusaha mencapai akar dari hukum
• Obyek kajiannya : materi = segala sesuatu yang ada dan mungkin yang akan ada. Filsafat
mempelajari segala isi alam semesta. Formal = realita atau kenyataan.
• Unsur-unsur filsafat : internal = meliputi struktur ilmu pengetahuan dan metodologi. Eksternal =
meliputi ilmu dan nilai : agama, etika dan ideologi.
Pokok kajian filsafat hukum :
-Ontologi hukum, yaitu ilmu tentang segala sesuatu (merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep
fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan
hukum dan moral).
-Aksiologi hukum, yaitu ilmu tentang nilai (merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam hukum
seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dsb).
-Ideologi hukum, yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang mengangkut cita manusia (merefleksi
wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum,pranata hukum,
sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum).
-Teleologi hukum, yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri
(merefleksi makna dan tujuan hukum).
-Epistemologi hukum, yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum (merefleksi sejauh mana pengetahuan
tentang hakekat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan
oleh akal budi manusia).
-Logika hukum, yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (merefleksi aturan-aturan
berpikir yuridis dan argumentasi yuridis, bangunan logikal serta struktur sistem hukum).
-Ajaran hukum umum.
• Filsafat hukum dalam kaitannya dengan hakekat hukum :
1. Hukum merupakan perintah (teori imperatif). Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan
hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan perintah penguasa yang berdaulat.Ada 2 aliran :
a. Aliran hukum alam. Terbagi atas : lex aeterna (rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, yang
dinamakan hukum abadi); lex divina (rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia); lex naturalis
(penjelmaan dari lex aeterna dan lex divina); lex positive (hukum yang berlaku yang merupakan turunan dari
lex divina = kitab suci).
b. Aliran positivisme hukum. John Austin : hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Dalam
teorinya yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori hukum yang analitis bahwa dikenal
ada 2 bentu hukum yaitu hukum positif (UU) dan moralitas (hukum kebiasaan).
2. Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif) :
a. Hukum tertulis atau hukum positif (ius constitutum), yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu
pada suatu waktu tertentu.
b. Hukum tidak tertulis :
- Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait.
- Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari penguasa adat.
- Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih di mana isinya mengikat
negara yang menandatangani perjanjian itu.
- Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka.
- Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan “asas precedent”, pengadilan
memutus perkara mempertimbangkan putusan kasus-kasus terdahulu yang diputus.
3. Tujuan hukum (teori optatif) :
a. Keadilan.Tujuan utama hukum adalah keadilan berupa :
- Distribusi : yang didasarkan pada prestasi
- Komutatif : tanpa melihat jasa-jasanya
- Vindikatif : kejahatan harus setimpal dengan hukumannya
- Kreatif : harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif
- Legalis : keadilan yang ingin dicapai oleh UU
b. Kepastian. Mengandung arti :
- Hukum itu ditegakkan demi kepastian hukum
- Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara
- Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalams pelaksanaannya
- Hukum itu bersifat dogmatik
c. Kemanfaatan. Jeremy Bentham : tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai
kebahagiaan sebesar-besarnya
TEORI HUKUM

• Hans Kelsen : teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku bukan mengenai
hukum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud adalah teori hukum murni, yaitu teori yang
menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasan dari segala hal yang tidak
bersangkut paut dengan hukum = menjelaskan apa itu hukum dan bagaimana ia ada.
• Friedman : teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hukum yang berkaitan
antara filsafat hukum di satu sisi dan teori politik di sisi lain.
• Ian McLeod : teori hukum adalah ilmu yang meliputi karakteristik esensial pada hukum dan kebiasaan
yang sifatnya umum pada suatu sistem hukum yang bertujuan menganalisis unsur-unsur dasar yang
membuatnya menjadi hukum dan membedakannya dengan peraturan-peraturan lain.
• Bruggink : teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual
aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting
dipositifkan.
• Pokok kajian teori hukum :
- Analisa hukum, yaitu upaya pemahaman tentang struktur sistem hukum, sifat dan kaidah hukum, pengertian dan
fungsi asas-asas hukum, unsur-unsur khas dari konsep yuridis (subyek hukum, kewajiban hukum, hak, hubungan
hukum dsb). Metode ajarannya yaitu metode dari ilmu hukum (dogmatik hukum), metode penerapan hukum
(pembentukan hukum dan penemuan hukum), teori per-uu-an, teori argumentasi yuridis (teori penalaran
hukum).
- Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum dengan mempersoalkan karakter keilmuan hukum.

• Ciri teori hukum :


- Dalam tujuannya teori hukum menguraikan hukum secara ilmu positif
- Teori hukum telah diakui secara luas sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri
- Objek kajian teori hukum adalah mempelajari persoalan-persoalan fundamental dalam kaitan dengan hukum
positif seperti kaidah hukum, definisi hukum, hubungan antara hukum dan moral, dan sejenisnya
- Teori hukum menggunakan metode interdispliner yang berarti teori hukum tidak terikat pada satu metode
saja sehingga sifatnya lebih luas dan bebas.

• Fungsi teori hukum :


- Menjelaskan hukum dengan cara menafsirkan sesuatu arti, suatu syarat atau unsur sahnya suatu peristiwa
hukum dan hierarki peraturan hukum
- Menilai suatu peristiwa hukum
- Memprediksi tentang sesuatu yang akan terjadi
DOGMATIKA HUKUM

• Dogmatika hukum atau ajaran hukum dalam arti sempit merupakan ilmu pengetahuan yang
memperhatikan hukum positif dengan menguraikannya, mensistemkan serta dalam batas-batas
tertentu menjelaskannya. Suatu ilmu tentang kenyataan hukum. Dogmatika hukum dapat
dirumuskan sebagai cabang dari ilmu pengetahuan hukum yang mengemukakan dan atau
menuliskan serta mengsistematisasikan hukum positif yang berlaku dalam suatu kehidupan
masyarakat tertentu dan pada saat tertentu dilihat dari sudut pandang normatif.
• Dogmatika hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi
hukum yang berlaku atau hukum positif.
• Objek dogmatika hukum adalah terutama hukum positif.
• Tujuannya bersifat teoritikal tetapi terutama praktikal.
• Dogmatika hukum bertujuan untuk pemberian suatu penyelesaian konkret secara yuridis-teknik,
bagi masalah yang konkret, atau membangun suatu kerangka yuridis-teknik yang berdasarkan
sejumlah masalah yang ada dan yang kemudian harus dapat memperoleh penyelesaiannya.
• Dogmatika hukum membatasi diri pada pemaparan dan sistematisasi dari hukum positif yang
berlaku. Dogmatika hukum tidak bertujuan mencari penjelasan yang melandasi atau meramalkan
gejala-gejala hukum.
• Dogmatika hukum menjelaskan situasi dari suatu objek hukum, setidaknya “menjelaskan” dan
menjawab pertanyaan “mengapa hukum itu ia sebagaimana adanya” dengan menunjuk pada
kesaling-terhubungan dari peraturan-peraturan yang dibangun satu di atas yang lainnya. Penjelasan
yang ditemukan oleh dogmatika hukum dalam hukum itu sendiri, prakteknya sering sudah cukup
tetapi tidak mendalam. Jadi hanya menjelaskan tetapi hanya “sebagian” sehingga dalam keadaan-
keadaan tertentu menampakkan keterbatasannya dan tidak memberikan penjelasan yang tuntas.
• Bagi dogmatika hukum, pada dasarnya hukum itu adalah hukum karena ia adalah hukum = bahwa
memang selalu demikian dan bahwa karena itu harus tetap demikian. Tidak bertugas untuk
mencari darimana hukum itu datangnya, memenuhi tuntutan sosial apa, motif-motif kefilsafatannya
dan politikal apa yang menggerakkannya.
• Hal mengintegrasikan hukum ke dalam konteks kemasyarakatannya sebagai suatu pencerminan
dari masyarakat itu sendiri dan pandangan-pandangan tentang masyarakat yang berpengaruh di
dalam masyarakat adalah tugas teori hukum.
BAHASA HUKUM
• Berbicara tentang suatu bahasa jika terdapat suatu bahasa jika terdapat suatu sistem tanda-tanda
yang memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Dibuat oleh manusia
2. Mengabdi komunikasi antar manusia
3. Diterima dalam suatu masyarakat manusia
4. Terdiri atas bunyi-bunyi dan/atau tanda-tanda
• Terdapat perbedaan dalam bahasa selain bahasa lisan dan tulisan, yaitu bahasa pergaulan
(omgangstaal) atau bahasa alamiah (natuurlijke taal) dan bahasa artifisial (kunsmatige taal) atau
bahasa ilmiah (wetenschappelijke taal).
• Pola-pola suara adalah bunyi yang diberi makna linguistik untuk memverbalisasi gagasan, perasaan
atau hasil pemikiran manusia. Pola-pola visual adalah cara linguistik untuk menuliskan sebuah kata
atau istilah.
• Ciri khas bahasa pada umumnya :
1) Simbol, yaitu kata, nama, atau frase yang digunakan untuk menyebut sesuatu;
2) Objek, yaitu benda yang disebut dengan simbol;
3) Referensi, yaitu makna yang menjembatani hubungan antara simbol dan objek yang disimbolkan;
4) Subjek, yaitu individu pelaku yang menciptakan simbol dan menggunakannya pada suatu hal khusus.

• Jenis-jenis ilmu pengetahuan bahasa :


1) Sintaktik; di sini dipelajari perkaitan antara tanda-tanda satu dengan lainnya. Pusat perhatiannya adalah
bentuk atau struktur tanda-tanda itu. Sintatik berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan gramatika.
2) Semantik; teori tentang arti-arti. Dipelajari perkaitan antara tanda-tanda dan yang diartikan (de betekende).
Pusat perhatiannya adalah isi tanda-tanda itu.
3) Pragmatik; di sini dipelajari perkaitan antara tanda-tanda dan pemakainya. Pusat perhatiannya adalah fungsi
tanda-tanda.

• Sintaktik : terkait erat dengan gramatika (hal meguraikan kalimat, yang di dalamnya dipelajari tentang
bagaimana kalimat dibangun dengan tepat). Dalam sintaktik, hanya dilihat bentuk atau struktur dari kalimat-
kalimat, juga jika ia menghasilkan hal yang tidak masuk akal, cth : uang membuang pemboros itu. Sebuah
kalimat baku tersusun : pokok kalimat-bentuk orang (persoonsvorm)-objek penderita (lijdend voorwerp).
Pokok kalimat sering berupa : kata benda (zelfstandige naamwoord), bentuk orang berupa kata kerja yang
ditafsirkan secara tepat dan objek penderita yang juga dapat berupa kata benda.
• Semantik : berkenaan dengan hubungan antara tanda dan yang diartikan. Apakah “arti” itu sesuatu dari bahasa
sehingga “arti” itu adalah suatu sifat (ciri, unsur) dari suatu tanda-bahasa, atau apakah “arti” itu adalah sesuatu
dari pikiran sehingga “arti” itu adalah sebuah sifat dari suatu isi pikiran.Terdapat 2 pandangan :
a) Dianut pendirian bahwa “arti” adalah suatu sifat dari tanda-bahasa, artinya sifat dari perkataan dan istilah atau
pada tataran bahasa yang lebih luas, dari kalimat dan putusan. Jika “arti” merupakan sifat dari tanda-bahasa
maka berdasarkannya dapat disimpulkan bahwa harus terdapat hubungan langsung antara tanda dan yang
diartikan. Hal yang sama berlaku untuk sebuah kalimat, yang dengan demikian harus memiliki ikatan langsung
dengan duduk perkara yang ditunjuk dengan kalimat itu.
b) Dianut pendirian bahwa arti adalah bukan sifat dari perkataan atau kalimat melainkan dari pengertian yang
diberikan perkataan atau pada satuan bahasa yang lebih luas, dari proposisi, yang mewujudkan isi dari sebuah
kalimat atau putusan.

• Pragmatik : ilmu pengetahuan linguistik yang berhubungan dengan pembahasan tentang asal-usul kata, bentuk
kata-kata turunan, serta akar dari sebuah simbol atau istilah, cth : kata demokrasi berasal dari 2 kata Yunani =
demos yang artinya rakyat jelata dan kratein yang artinya memerintah atau menguasai/pemerintahan
• Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan,
untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat.
• Beberapa pengertian mendasar dalam bahasa hukum :
1) Semantik hukum adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki makna atau arti kata-kata hukum, perhubungan
dan perubahan-perubahan arti kata-kata itu dari zaman ke zaman menurut waktu dan tempat keadaan.
2) Kaidah hukum mengandung kata-kata perintah dan larangan, apa yang mesti dilakukan dan apa yang mesti
tidak dilakukan, tidak sedikit yang mengandung paksaan. Kaidah hukum tidak hanya berbentuk kaidah
perundangan yang berwujud bahasa tulisan tetapi juga berwujud bahasa lisan, bahasa yang tidak tertulis dalam
bentuk perundangan, seperti terdapat dalam hukum adat dan hukum kebiasaan.
3) Konstruksi hukum merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahasa hukum yang dilakukan secara
sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Menyusun adalah menyatukan apa yang termasuk dalam
satu bidang yang sama, satu pengertian yang sama, cth : istilah pencurian adalah suatu konstruksi hukum yaitu
suatu pengertian tentang semua perbuatan mengambil barang dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum. Jadi apakah perbuatan itu dalam kehidupan masyarakat disebut maling, copet, nyolong dan benda yang
diambil apakah berwujud atau tidak berwujud (listrik) maka kesemuanya itu adalah pencurian.
4) Fiksi hukum adalah sesuatu yang khayal yang digunakan dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kata, istilah-
istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian
hukum. Bentuk fiksi hukum adat melalui peribahasa dan dalam hukum memakai bentuk kalimat pasal demi
pasal dalam aturan perundang-undangan.
5) Pembentukan hukum : peraturan-peraturan hukum modern yang dibentuk oleh UU atau keputusan-
keputusan hakim yang dibentuk dan dibuat oleh para hakim di muka pengadilan atau juga dalam lembaga-
lembaga resmi atau swasta dapat dilihat dari segi politik dan teknik hukumnya. Politik hukum adalah
kehendak yang tertera dalam kalimat-kalimat yang menetapkan tujuan dan isi peraturan itu. Sedangkan teknik
hukum adalah cara perumusan kaidah hukum dengan menempatkan kata-kata dan kalimat-kalimat yang
dibuat secara sederhana sedemikian rupa sehingga maksud dari pembentukan hukum itu jelas dapat
diketahui kedalamannya.
6) Penafsiran hukum bertujuan untuk mencari dan menemukan kehendak pembentuk UU yang telah dinyatakan
oleh pembuat UU itu secara kurang jelas.

Bahasa hukum dapat dipahami dalam 2 hal :


1. Sebagai bahasa masyarakat dari hukum positif yang dihadapi yang bersangkutan, misalnya : apabila hukum yang
dihadapi adalah hukum Indonesia maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Bahasa hukum positif
itu adalah bahasa sehari-hari yang dipergunakan di dalam hubungan kemasyarakatan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Yang harus dilakukan : menguasai bahasa sehari-hari sebagai bahasa hukum positif dengan
sebaik-baiknya oleh seorang yang mempelajari suatu hukum positif nasional, misalnya : mempelajari hukum
positif Indonesia maka disyaratkan untuk pertama-tama menguasai bahasa Indonesia yang dipergunakan
masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Ini dilakukan karena dalam menghadapi aturan hukum
maka dituntut untuk benar-benar memahami aturan yang ditulis di dalam bahasa itu sebagai pemahamannya
sehari-hari yang berarti dituntut menguasai konsepnya yang sederhana dan umum diterima oleh masyarakat
sebagai pengguna bahasa itu = adanya tuntutan untuk menguasai isi nilai-nilai budaya yang melatarbelakangi
bahasa itu. Tanpa menguasainya dengan baik maka isi ketentuan hukum positif dalam kerangka ide dan nilai
budaya hukum positif tidak akan dimengerti dengan baik.
2. Menguasai bahasa sehari-hari dari bahasa nasional hukum positif yang digunakan dalam bidang hukum yang
dinamakan bahasa hukum.

• Mengkualifikasikan bahasa hukum sebagai bahasa pergaulan atau sebagai bahasa ilmiah.
• Jika hukum positif itu harus berfungsi di dalam masyarakat maka hukum positif itu harus terbuka bagi para
warga masyarakat. Aturan-aturan dan putusan-putusan hukum positif harus memperlihatkan pemakaian
bahasa yang tidak terlalu jauh dari bahasa pergaulan. Pada asasnya, bahasa hukum masih merupakan bahasa
pergaulan tetapi bahasa hukum itu demikian banyak menggunakan perkataan da ungkapan yuridis yang khas
sehingga nampak menggunakan bahasa teknikal sendiri.
• Bahasa hukum adalah juga bahasa sehari-hari tetapi karena hukum merupakan suatu bagian dari alam nilai
yang sifatnya normatif maka bahasa sehari-hari itu dibuat sedemikian rupa sehingga sifat, corak, cara dan
susunannya berbeda dari bahasa sehari-hari. Bahasa dalam kedudukannya sebagai bahasa kaidah dituntut
untuk menjadi lebih ringkas, padat dan pasti dalam isi, sifat dan susunannya, cth : “A makan” = dalam
bahasa sehari-hari diartikan A sedang melakukan suatu perbuatan nyata berwujud yaitu memasukkan
tangannya dengan sesuatu bahan makanan ke dalam mulutnya, mengunyahnya lalu menelannya. Sebaliknya
dalam bahasa kaidah : “A makan” dapat merupakan gambaran tentang apa yang dilakukan A secara nyata
sebagai suatu fakta, juga dapat diartikan sebagai suatu perintah yang harus dilakukan oleh A = A
diperintahkan untuk makan sesuatu yang diberikan kepadanya atau suatu ajakan untuk melakukan
perbuatan itu.
• Bahasa hukum lebih rumit untuk dipahami. Bila itu perintah maka isinya harus jelas dan pasti bahwa itu
perintah, misalnya : Pasal 362 KUHP : “Barang siapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, dihukum karena
salahnya mencuri”.
• Bahasa kaidah sebagai bahasa hukum diisi dengan pengertian yang pas dan akurat sebagai suatu perintah atau
tuntutan dilaksanakan. Sebagai bahasa perintah sifatnya adalah singkat, jelas, tepat, terbatas dan rasional.
• Penguasaan bahasa hukum bukan hanya penguasaan istilah-istilah beserta definisinya yang dimaksud saja.
Dalam penguasaan bahasa hukum dituntut pula untuk menguasai dengan sebaik-baiknya bahasa yang
berwujud kata-kata yang tersusun dalam kalimat perintah-perintah yang dinyatakan dengan segala tanda
seperti titik, titik koma dan koma di dalam kalimat yang bersangkutan.
• Ciri khas dalam bahasa hukum :
- Bahwa setiap kata atau istilah dibatasi isinya secara akurat tentang unsur-unsur dari kemauan yang dimaksud.
Perintah yang tidak akurat dan jelas hanya akan membawa perintah itu tidak dapat atau akan salah
dilaksanakan, apabila itu terjadi maka perintah tidak dapat dilaksanakan.
- Dalam bahasa hukum, suatu istilah dituntut untuk tidak multi-interpretable, cth : istilah mencuri tidak dapat
diganti dengan istilah lainnya dalam bahasa sehari-hari.
- Mempunyai bentuk tertentu.
- Tidak meragukan.
- Harus berasio, logis atau nalar.
- Harus sederhana dan mudah dimengerti oleh orang, baik kata-kata maupun susunan kalimatnya.
- Sebanyak mungkin dihindari pemakaian akronim atau singkatan-singkatan.
- Tunduk kepada aturan-aturan atau norma-norma bahasa Indonesia atau tata bahasa Indonesia.
- Menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang diperbaharui.
Bahasa komunikasi

sarana Argumentasi
pergaulan

Bahasa
khusus
Giving Argumentasi
reason Dapat diterima

Bahasa
KAIDAH HUKUM
• Berawal dari aturan hukum (rechstregel) dan terkait pada arti itu kemudian memandang aturan hukum
sebagai suatu bentuk pernyataan (uitspraak). Arti dari suatu aturan hukum ditunjuk dengan istilah “kaidah
hukum” (rechtsnorm).
• Dengan istilah kaidah hukum maka menunjuk pada proposisi dari suatu aturan hukum, sebab, arti dari suatu
kalimat atau pernyataan adalah sama dengan proposisi dari kalimat/pernyataan itu.
• Isi kaidah (norminhoud) adalah keseluruhan ciri (unsur-unsur) yang mewujudkan kaidah itu. Lingkup kaidah
adalah wilayah penerapan (toepassingsgebied) kaidah yang bersangkutan.
• Perubahan-perubahan isi kaidah dapat ditimbulkan oleh para pengemban kewenangan hukum, dengan 2 cara :
- Pertama, pembentuk UU dapat menimbulkan perubahan-perubahan dengan merumuskan kembali sebuah
aturan hukum. Jika dalam sebuah aturan hukum misalnya dimuat lebih banyak bahan-bahan maka hal ini dapat
mengakibatkan bahwa isi kaidah hukum memperoleh lebih banyak ciri tetapi wilayah penerapannya bertambah
kecil.
- Kedua, para hakim dapat menimbulkan perubahan pada isi kadaih dengan menginterpretasi sebuah aturan
hukum. Dengan memberikan arti yang sempit atau luas pada istilah tertentu dalam aturan hukum maka
wilayah penerapan kaidah hukum juga dapat diperkecil atau diperluas.
• Kaidah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit yaitu pada pelaku pelanggaran yang nyata-
nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia melainkan untuk ketertiban masyarakat.
• Kaidah hukum mengutamakan perbuatan lahiriah, apa yang dipikirkan manusia bukanlah menjadi persoalan.
Cth : A telat bangun sehingga terburu-buru berangkat ke kampus. A mengendarai mobil dan terjebak macet. A
menggerutu karena terjebak macet yang membuatnya semakin terlembat tetapi tetap mematuhi peraturan
lalu lintas. Dalam kaidah hukum : tidak mempersoalkan A yang menyetir sambil menggerutu karena terjebak
macet selama tetap mematuhi peraturan lalu lintas.
• Ada kalanya setelah terjadi suatu perbuatan lahiriah yang relavan bagi hukum kemudian hukum mencampuri
batin manusia, misalnya : mempersoalkan ada atau tidaknya kesengajaan, perencanaan atau itikad buruk/baik.
Pengertian-pengertian tentang kesengajaan dan itikad baik itu berhubungan dengan batin manusia dan tidak
nampak dalam lahiriahnya, cth : pembunuhan berencana.
• Kaidah hukum berasal dari luar diri manusia yang dipaksakan kepada dirinya. Masyarakatlah yang secara resmi
diberi kuasa untuk memberi sanksi atau menjatuhkan hukuman.
Kaidah Kaidah Kaidah sopan Kaidah hukum
kepercayaan kesusilaan santun

Tujuan Umat manusia; penyempurnaan Pembuatnya yang konkrit; ketertiban


manusia; jangan sampai manusia masyarakat; jangan sampai timbul korban
menjadi jahat

Isi Ditujukan kepada sikap batin Ditujukan kepada sikap lahir

Asal usul Dari Tuhan Dari diri Kekuasaan luar yang memaksa
sendiri

Sanksi Dari Tuhan Dari diri Dari Dari masyarakat secara


sendiri masyarakat resmi
secara resmi

Daya kerja Membebani Membebani Membebani Membebani kewajiban


kewajiban kewajiban kewajiban dan memberi hak
• Hukum sebagian besar merupakan peraturan kesusilaan yang oleh penguasa diberi sanksi hukum.
• Hukum menuntut legalitas yang berarti bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan atau pentaatan kaidah
semata-mata sedangkan kesusilaan menuntut moralitas yang berarti bahwa yang dituntut adalah perbuatan
yang didorong oleh rasa kewajiban.
• Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan.
Merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogyanya seseorang
bertingkah laku.
• Kaidah hukum berisi kenyataan normatif (apa yang seyogyanya dilakukan) = das sollen. Kenyataan alamiah atau
peristiwa konkrit = das sein. Cth : “Barangsiapa yang mencuri harus dihukum” : merupakan das sollen = suatu
kenyataan normatif dan bukan menyatakan sesuatu yang terjadi secara nyata melainkan apa yang seharusnya
atau seyogyanya terjadi. Apabila nyata-nyata telah terjadi seorang mencuri maka maka baru terjadi kenyataan
alamiah, barulah terjadi peristiwa konkrit : das sein.
• Ketentuan yang berbunyi “Barangsiapa yang mencuri harus dihukum” tidak berarti bahwa telah terjadi
pencurian dan pecurinya dihukum tetapi barang siapa mencuri harus dihukum. Persyaratannya (mencuri)
menyangkut peristiwa (das sein) sedangkan kesimpulannya (dihukum) menyangkut keharusan (das sollen).
Sebagai syarat harus terjadi peristiwa konkret terlebih dahulu. Orang tidak dihukum karena (sebagai akibat)
mencuri tetapi pencuri harus dihukum berdasarkan UU yang melarangnya.
• Kaidah hukum itu bersifat pasif. Dibutuhkan dorongan untuk mengaktifkan kaidah hukum yaitu melalui
peristiwa konkrit (das sein). Karena kaidah hukum maka peristiwa konkrit menjadi peristiwa hukum. Peristiwa
hukum adalah peristiwa yang relevan bagi hukum, peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat
hukum atau peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan timbulnya atau lenyapnya hak dan kewajiban.
• Sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan di luar kemauan yang
bersangkutan, bersifat memaksa. Sanksi baru dikenakan apabila terjadi pelanggaran kaidah hukum sehingga
sanksi hanyalah merupakan akibat dan tidak merupakan ciri hakiki hukum. Tidak setiap kaidah hukum disertai
dengan sanksi. Kaidah hukum tanpa sanksi = lex imperfecta, cth : Pasal 298 KUHPerdata = tiap-tiap anak
dalam umur berapa pun juga, wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap ayah dan ibunya.
• Tidak semua pelanggaran kaidah hukum dapat dipaksakan sanksinya. Beberapa kewajiban tidak dapat dituntut
pemenuhannya menurut hukum secara paksa, misalnya perikatan alamiah = suatu perikatan yang tidak ada
akibatnya.
• Pelaksanaan sanksi adalah monopoli penguasa dan perseorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi
untuk menegakkan hukum. Tindakan penegakkan sanksi yang dilakukan oleh perorangan atau masyarakat
dikenal dengan tindakan main hakim sendiri/menghakimi sendiri/aksi sepihak atau eigenrichting. Tindakan
menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang
bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan. Tindakan menghakimi sendiri
dilarang dan pada umumnya merupakan perbuatan pidana. Dalam hukum perdata lihat Pasal 666
KUHPerdata.
• Ada pelanggaran-pelanggaran kaidah hukum yang tidak dikenakan sanksi, yaitu :
1. Perbuatan yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran kaidah hukum tetapi tidak dikenakan sanksi karena
dibenarkan dan mempunyai dasar pembenaran (rechtvaardigingsgrond), cth : keadaan darurat, pembelaan
terpaksa (membela diri), ketentuan UU dan perintah jabatan.
- Keadaan darurat (noodtoestand) : merupakan konflik kepentingan hukum atau konflik antara kepentingan
hukum dan kewajiban hukum di mana kepentingan yang kecil harus dikorbankan untuk kepentingan yang lebih
besar.
- Pembelaan terpaksa atau pembelaan dalam keadaan darurat (noodweer) : merupakan alasan untuk dibebaskan
dari hukuman karena melakukan pembelaan diri, kehormatan atau barang secara terpaksa terhadap serangan
yang mendadak dan melanggar hukum (Pasal 49 KUHP). Dalam pembelaan darurat harus ada serangan yang
langsung dan bersifat melawan hukum, kalau tidak maka tidak mungkin adanya pembelaan terpaksa.
- Barangsiapa yang melaksanakan ketentuan UU tidak dapat dihukum (Pasal 50 KUHP). Melaksanakan UU tidak
hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan UU tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan
yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh UU.
- Melaksanakan perintah jabatan dari kekuasaan yang berwenang untuk memerintahkan tidak dapat dihukum
(Pasal 51 KUHP).

2. Perbuatan yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran kaidah hukum tetapi tidak dikenakan sanksi karena
pelaku pelanggaran dibebaskan dari kesalahannya. Perbuatan ini terjadi karena force majeur/majeure atau
overmacht (Pasal 48 KUHP; dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata).
ISI, SIFAT DAN BENTUK KAIDAH
HUKUM
• Dari segi sifatnya, kaidah hukum dibagi :
a) Kaidah hukum yang berisi perintah, yang mau tidak mau harus dijalankan atau ditaati.
b) Kaidah hukum yang berisi larangan, cth : Pasal 8 UU Perkawinan mengenai larangan
perkawinan antara dua orang laki-laki dan perempuan dalam keadaan tertentu.
c) Kaidah hukum yang berisi perkenan, cth : Pasal 29 UU Perkawinan tentang perjanjian
perkawinan yaitu pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut. Kaidah hukum perkenan hanya mengikat sepanjang para pihak yang
bersangkutan tidak menentukan lain dalam perjanjian.
• Ditinjau dari isinya, ada 2 macam kaidah hukum :
1) Kaidah hukum itu imperatif apabila kaidah hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengingat atau
memaksa, cth : Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata.
2) Kaidah hukum itu fakultatif apabila kaidah hukum itu tidak secara a priori mengikat. Kaidah hukum fakultatif
ini sifatnya melengkapi, subsidiar atau dispositif.

• Ditinjau dari bentuknya, ada 2 macam :


1) Tidak tertulis. Kaidah hukum yang tidak tertulis tumbuh di dalam dan bersama masyarakat secara spontan dan
mudah menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
2) Tertulis.
KAIDAH HUKUM SEBAGAI PERINTAH
• Kaidah hukum adalah perintah dengan jangkauan yang umum. Memunculkan gambaran yang
berlaku tentang pembentuk UU yang dengan bersaranakan UU memberikan perintah-perintah
dan yang untuk masalah-masalah yang sulit oleh hakim dilengkapi dengan isi yang lebih persis
dan berkenaan dengannya pemerintah (penguasa) mengemban tugas untuk memberikan
kekuatan pada perintah-perintah yang dirumuskan dalam UU dengan jalan melakukan tindakan
mengenakan sanksi dalam hal terjadi ketidakpatuhan (ongehoorzaamheid).
• Orang dapat memenuhi suatu perintah karena ia dipaksa untuk itu. Mematuhi suatu kaidah
hukum jarang sekali terjadi hanya karena ada paksaan, tetapi jelas sekali bahwa di dalam
masyarakat berlaku kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah hukum. Kebiasaan itu
menunjukkan bahwa orang jelas-jelas merasakan dirinya berkewajiban untuk berperilaku sesuai
kaidah hukum. Perasaan dirinya berkewajiban ini adalah suatu dimensi pada kepatuhan terhadap
kaidah hukum yang pada kepatuhan terhadap suatu perintah tidak perlu ada.
KAIDAH HUKUM SEBAGAI KAIDAH
PERILAKU
• Penggolongan kaidah perilaku :
1. Perintah (gebod), ini adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod), ini adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensasi), ini adalah pembolehan (verlof) khusus untuk tidak
melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;
4. Izin (toestemming, permisi), ini adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang
secara umum dilarang.
• Terdapat keterkaitan hubungan antara empat kaidah perilaku yang menunjukkan hubungan logika :
1. Sebuah perintah dan sebuah larangan saling mengecualikan karena orang tidak dapat pada waktu yang
bersamaan mengemban kewajiban untuk melakukan sesuatu dan kewajiban untuk tidak melakukan hal itu.
Terdapat suatu pertentangan antara sebuah perintah dan sebuah larangan dan dengan itu orang
memaksudkan bahwa suatu perilaku tertentu yang dilarang, tidak dapat pada waktu yang bersamaan juga
diharuskan tetapi mungkin saja terjadi bahwa perilaku tertentu ini tidak diperintahkan maupun tidak dilarang.
Dalam logika disebut dengan kontraris. Hubungan kontraris = terdapat antara 2 proposisi umum atau
proposisi universal yang berbeda dalam kualitasnya (yang satu berkenaan dengan melakukan sesuatu, yang
lainnya berkenaan dengan tidak melakukan sesuatu).
2. Sebuah perintah mengimplikasikan sebuah izin. Sebab jika orang mengemban kewajiban untuk melakukan
sesuatu maka orang tersebut juga pasti mempunyai izin untuk melakukan hal itu. Sebuah larangan
mengimplikasikan sebuah pembebasan (dispensasi), sebab jika orang mempunyai kewajiban untuk tidak
melakukan sesuatu, maka orang termaksud itu juga mempunyai izin untuk tidak melakukan sesuatu. Dalam
logika disebut dengan sublaternasi. Hubungan subalternasi terdapat antara sebuah proposisi universal dan
sebuah proposisi partikular (hubungan ini berkenaan dengan di sau pihak sebuah kewajiban umum dan di lain
pihak sebuah kebolehan khusus) yang kualitasnya sama (atau untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu).
3. Sebuah izin dan dispensasi tidak saling “menggigit”, sebab orang dapat mempunyai izin untuk melakukan
sesuatu dan pada saat yang sama ia dapat mempunyai izin untuk tidak melakukan hal itu. Jika suatu perilaku
tertentu diperbolehkan maka terdapat kemungkinan bahwa pada waktu yang bersamaan ia juga dibebaskan
(dari keharusan) untuk berperilaku demikian. Tidak mungkin terjadi bahwa suatu perilaku tertentu tidak
diperbolehkan dan orang juga tidak dibebaskan (dari keharusan) untuk berperilaku demikian. Dalam logika,
hubungan ini disebut dengan sub-kontraris.
4. Perintah dan dispensasi tidak dapat berlaku bersama-sama. Secara respektif, antara sebuah perintah dan
sebuah dispensasi, dan antara sebuah larangan dan sebuah izin terdapat “perlawanan” (tegenspraak). Jika
sebuah perilaku tertentu diperintahkan maka orang tidak dapat memiliki izin untuk melakukan hal itu. Namun
dapat terjadi bahwa berkenaan dengan suatu perilaku tertentu tidak terdapat suatu perintah maupun suatu
dispensasi atau tidak terdapat suatu larangan maupun suatu izin. Dalam logika, hubungan ini disebut hubungan
kontradiksi.
KAIDAH HUKUM SEBAGAI META-
KAIDAH
• Terdapat sekelompok besar kaidah yang menentukan sesuatu berkenaan dengan kaidah perilaku
itu sendiri = meta-kaidah. Ada 3 macam meta kaidah :
1) Kaidah pengakuan (kaidah rekognisi) : kaidah yang menetapkan kaidah perilaku mana yang di
dalam sebuah masyarakat hukum harus dipatuhi.
2) Kaidah perubahan : kaidah yang menetapkan bagaimana suatu kaidah perilaku dapat diubah.
3) Kaidah kewenangan : kaidah yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang
mana kaidah perilaku ditetapkan dan bagaimana suatu kaidah perilaku harus diterapkan jika
dalam suatu kejadian tertentu terdapat ketidakjelasan.
ASAS HUKUM
• Kaidah hukum harus dibedakan dengan asas hukum. Asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari
hukium positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas
hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Bellefroid).
• Asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang
sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu
berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. (VAN EIKA HOMMES).
• Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum
sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan per-uu-an dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.
• Asas hukum dipandang sebagai suatu tipe kaidah berkenaan dengan kaidah perilaku. Dalam pandangan tersebut
maka asas hukum adalah kaidah yang berpengaruh terhadap kaidah perilaku karena asas hukum ini memainkan
peran pada interpretasi terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan wilayah penerapan kaidah hukum.
Asas hukum itu memberikan arah pada perilaku yang dikehendaki.

SISTEM HUKUM

• Hukum merupakan sistem yang berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu
kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu
sama lain.
• Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu
sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan
terhadap kompleksitas unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian
hukum.
• Sistem terdapat dalam berbagai tingkat sehingga terdapat berbagai sistem, misalnya : keseluruhan tata
hukum nasional disebut dengan sistem hukum nasional; juga dikenal sistem hukum perdata, sistem
hukum pidana, sistem hukum administrasi. Dalam sistem hukum perdata diokenal lagi sistem hukum
benda, sistem hukum keluarga, dll.
• Ada 2 macam sistem :
1) Sistem konkrit adalah sistem yang dapat dilihat atau diraba.
2) Sistem abstrak atau konseptual adalah sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang tidak konkrit, yang tidak
menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat, misalnya sistem hukum.

• Sistem hukum dibedakan pula antara sistem terbuka dan tertutup. Sistem terbuka mempunyai hubungan
timbal balik dengan lingkungannya. Sistem hukum merupakan sistem terbuka. Sistem hukum merupakan
kesatuan unsur-unsur (yaitu peraturan, penetapan) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, sosial,
ekonomi, sejarah, dll. Sebaliknya sistem hukum mempengaruhi faktor-faktor di luar sistem hukum itu.
Peraturan-peraturan itu terbuka untuk penafsiran yang berbeda oleh karena itu selalu terjadi perkembangan.
Di dalam sistem hukum itu ada bagian-bagian yang sifatnya tertutup. Ini berarti bahwa pembentuk UU tidak
memberi kebebasan untuk pembentukan hukum. Cth : Buku III KUHPerdata bersifat terbuka sedangkan Buku
I dan II bersifat tertutup.
• Pembagian sistem hukum menjadi bagian-bagian merupakan ciri sistem hukum. Untuk dapat mengadakan
pembagian atau klasifikasi harus ada kriterianya. Berdasarkan kriterium fungsi hukum maka dibagi menjadi :
a. Hukum materiil. Hukum materiil terdiri dari peraturan-peraturan yang memberi hak dan membebani
kewajiban. Hukum materiil memerlukan hukum formil, apabila sistem hukum hanya mempunyai hukum
materiil saja maka jika terjadi konflik atau pelanggaran hukum materiil akan terbuka kesempatan untuk
melakukan perbuatan main hakim sendiri.
b. Hukum formil. Hukum formil menentukan bagaimana caranya melaksanakan hukum materiil. Hukum formil
merupakan tata cara hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di pengadilan. Misalnya hukum pidana
formil dan hukum perdata formil.
• Menurut saat berlakunya hukum maka dapat dibagi menjadi :
a. Ius constitutum adalah hukum yang telah ditetapkan. Diartikan sebagai hukum yang berlaku saat ini yang
sering disebut dengan hukum positif.
b. Ius constituendum adalah hukum yang masih harus ditetapkan, hukum yang akan datang atau hukum yang
dicita-citakan.

• Menurut daya kerjanya :


a. Bersifat memaksa.
b. Bersifat melengkapi.

• Menurut wilayah berlakunya :


a. Hukum nasional.
b. Hukum internasional.

• Dari segi isinya :


a. Lex generalis adalah hukum umum yang berlaku umum dan merupakan dasar.
b. Lex specialis adalah hukum khusus.
LOGIKA

• Logika berasal dari kata sifat logike (bahas Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos,
berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan dari pikiran ada hubungan yang erat antara
pikiran dan perkataan yang merupakan pernyataan dalam bahasa.
• Alexander Aphrodisias adalah orang pertama yang mempergunakan kata logika dalam arti ilmu yang
menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita. Aristoteles tidak menggunakan istilah logika tetapi
menggunakan istilah analitika dan dialektika. Analitika untuk penyelidikan mengenai berbagai
argumentasi yang bertitik tolak dari putusan yang benar sedangkan dialektika digunakan untuk
penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang
tidak pasti kebenarannya.
• Logika mempelajari masalah penalaran (reasoning) dan tidak semua kegiatan berpikir itu adalah
penalaran. Kegiatan penalaran dalam logika disebut juga dengan penalaran logis.
• Dalam logika, keterangan yang mendahului disebut premis sedangkan keterangan yang diturunkannya disebut
kesimpulan.
• Logika = bidang pengerahuan dalam lingkungan filsafat yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan
penalaran yang betul (correct reasoning) yang mana pengetahuan itu diharapkan menjadi petunjuk agar orang
dapat melakukan perbincangan dan penyimpulan yang sah yaitu selaras dengan kaidah bekerjanya akal.
• Logika merupakan keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam praktek.
• Logika = cara berpikir lurus dan tepat.
• Objek studi logika adalah kegiatan berpikir bukan proses berpikir. Objek adalah sesuatu yang merupakan
bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Objek terbagi atas :
- Objek material yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Bisa
juga berupa hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek material mencakup apa
saja baik yang konkret maupun yang abstrak.
- Objek formal yaitu sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan
itu, atau dari sudut dari mana objek material itu disorot.
- Lapangan dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat. Agar dapat
berpikir lurus, tepat dan teratur maka logika menyelidiki, merumuskan serta menerapkan hukum-hukum yang
harus ditepati.
- Berpikir adalah objek material logika. Yang dimaksudkan berpikir dalam hal ini adalah kegiatan pikiran, akal
budi manusia. Dengan berpikir manusia mengolah dan mengerjakan pengetahuan yang diperolehnya. Dengan
mengolah dan mengerjakannya ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta
menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain. Oleh karena itu : berpikir lurus dan tepat
merupakan objek formal logika.
• Unsur-unsur logika :
1. Pengertian (kata)
2. Keputusan (kalimat)
3. Kesimpulan (pembuktian)

• Kegunaan logika :
1) Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tepat, tertib,
metodis, dan koheren.
2) Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat dan objektif.
3) Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
4) Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kekeliruan serta kesesatan.

• Logika juga memberikan manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritis : logika sebagai ilmu banyak menyajikan
dalil-dalil, hukum berpikir logis, dengan demikian logika mengajarkan tentang berpikir yang seharusnya.
Dalam arti ini, logika adalah ilmu normatif karena logika membicarakan tentang berpikir sebagaimana
seharusnya bukan membicarakan tentang berpikir sebagaimana adanya dalam ilmu-ilmu positif, misalnya
psikologi. Dengan berpikir sebagaimana seharusnya, ini berarti logika memberikan syarat-syarat tentang apa
yang harus dipenuhi dalam berpikir untuk mencapai gagasan tentang kebenaran. Manfaat praktis : akan
semakin tajam dan tinggi kemampuannya (kritis) dalam hal imajinasi logis. Imajinasi logis adalah kemampuan
akal untuk menggambarkan kemungkinan terjadinya sesuatu sebagai keputusan akal yang benar dan runtut
(consistent).
• Hubungan logika dengan psikologi, bahasa dan metafisika :
1. Logika dan psikologi : dalam psikologi membicarakan perkembangan pikiran tentang pengalaman melalui
proses subjektif di dalam jiwa. Psikologi memberikan keterangan mengenai sejarah perkembangan berpikir.
Untuk dapat berpikir bagaimana seharusnya maka harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana manusia itu
berpikir = letak hubungan antara psikologi dan logika.
2. Logika dan bahasa : ilmu bahasa menyajikan kaidah penyusunan bahasa yang baik dan benar, dan logika
menyajikan tata cara dan kaidah berpikir secara lurus dan benar. Oleh karenanya keduanya saling mengisi.
Bahasa yang baik dan benar dalam praktik kehidupan sehari-hari hanya dapat tercipta apabila ada kebiasaan
atau kemampuan dasar setiap orang untuk berpikir logis. Sebaliknya, suatu kemampuan berpikir logis tanpa
memiliki pengetahuan bahasa yang baik maka ia tidak akan dapat menyampaikan isi pikiran itu kepada orang
lain = letak hubungan antara logika dan bahasa.
3. Logika dan metafisika : metafisika adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat realitas. Hakikat realitas
dapat dicari dan ditemukan di balik sesuatu yang tampak atau nyata. Metafisika selalu mencari
kebenaran/hakikat realitas di balik yang tampak dan nyata. Teori dalam metafisika menentukan bahwa
kenyataan kebenaran/hakikat realitas bukanlah apa yang tampak, tetapi apa yang berada dibalik yang tampak.
Dalil-dalil, hukum-hukum dalam logika bagi metafisika bukan apa yang telah dirumuskan yang menjadi
hakikat kebenaran tetapi apa yang ada di balik rumusan tersebut. Dengan demikian bagi logika, metafisika
merupakan kritik terhadap dalil dan hukum-hukumnya. Semakin erat hubungan metafisika dengan logika
maka kebenaran logis semakin dapat dipertanggungjawabkan. Semakin mampu berpikir logis maka orang
tidak akan mudah tertipu oleh kebenaran yang tampak.
• Pembagian logika :
1) Logika dalam makna luas dan logika dalam makna sempit. Dalam arti sempit : istilah dimaksud dipakai searti
dengan logika deduktif atau logika formal, sedangkan dalam arti yang lebih luas, pemakaiannya mencakup
kesimpulan dari pelbagai bukti dan bagaimana sistem-sistem penjelasan disusun dalam ilmu alam serta meliputi
pula pembahasan mengenai logika itu sendiri.
2) Logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif adalah ragam logika yang mempelajari asas-asas
penalaranyang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan kesimpulan sebagai keharusan dari
pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja. Dalam logika jenis ini yang terutama ditelaah
adalah bentuk dari bekerjanya akal, keruntutannya serta kesesuaiannya dengan langkah-langkah dan aturan
yang berlaku sehingga penalaran yang terjadi adalah tepat dan sah. Logika induktif merupakan suatu ragam
logika yang mempelajari asas penalaran yang betul dari sejumlah sesuatu yang khusus sampai pada suatu
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Disebut juga dengan penalaran induksi.
3) Logika formal dan logika material. Logika formal mempelajari asas, aturan atau hukum-hukum berpikir yang
harus ditaati agar orang dapat berpikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Logika material mempelajari
langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis yang
sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, alat-alat pengetahuan,
proses terjadinya pengetahuan, dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan. Logika formal
dinamakan dengan logika minor dan logika material dinamakan logika mayor.
4) Logika murni dan logika terapan. Logika murni merupakan suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan
logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan tanpa mempersoalkan arti khusus
dalam sesuatu cabang ilmu dari istilah yang dipakai dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah
pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu, bidang filsafat, dan juga dalam pembicaraan
yang mempergunakan bahasa sehari-hari.
5) Logika filsafat dan logika matematik. Logika filsafat dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika
yang masih berhubungan erat dengan pembahasan dalam bidang filsafat, misalnya logika kewajiban dengan
etika atau logika arti dengan metafisika. Logika matematik merupakan suatu ragam logika yang menelaah
penalaran yang benar dengan menggunakan metode matematik serta bentuk lambang yang khusus dan
cermat untuk menghindarkan makna ganda atau kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa.

• Prinsip-prinsip dasar dalam logika :


1) Prinsip identitas : dalam bahasa Latin disebut principium identitatis (law of identity) merupakan dasar dari
semua penalaran, sifatnya langsung analitis dan jelas dengan sendirinya, tidak membutuhkan pembuktian.
Prinsip identitas berbunyi : “sesuatu hal adalah sama dengan halnya itu sendiri”. Atau dengan kata lainbahwa
sesuatu benda adalah benda itu sendiri, tidak mungkin yang lain. Dengan perumusan lain dapat dikatakan
suatu pengakuan bahwa benda ini adalah benda ini bukan benda lain, dan bahwa benda itu adalah benda itu
bukan benda yang lain. Cth :A adalah A, tidak mungkin B
2) Prinsip individualitas : prinsip ini merupakan turunan dari prinsip identitas. Prinsip ini menyatakan bahwa
“sesuatu itu hanya sama dengan dirinya sendiri, bukan selainnya”. Secara sederhana dapat disimbolkan
dengan “A≠ A”. Berdasarkan prinsip ini dapat dipahami bahwa tidak ada sesuatu yang sama di dunia ini
kecuali dengan sesuatu itu sendiri.
3) Prinsip non kontradiksi : tidak adanya suatu kontradiksi. Prinsip ini berbunyi : “sesuatu tidak dapat sekaligus
merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu bersamaan”. Atau dengan kata lain sesuatu pernyataan tidak
mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama. Yang dimaksudkan dengan prinsip ini
adalah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin ada pada suatu benda dalam
waktu dan tempat yang sama. Cth : meja itu berwarna hijau dan pasti berwarna hijau, tidak mungkin
berbunyi meja itu berwarna hijau dan tidak berwarna hijau.
4) Prinsip eksklusi tertii : dalam bahasa Latin disebut principium exclusi tertii (law of excluded middle), yaitu
prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah.
Arti dari prinsip ini adalah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh, secara mutlak, tidak mungkin kedua-
duanya dimiliki oleh satu benda, hanya salah satu yang dimilikinya. Cth :A harus B atau tidak B.
5) Prinsip cukup sebab-kausalitas : prinsip ini menyatakan bahwa “sesuatu harus memiliki sebab yang cukup
untuk ada/terjadi”. Artinya bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini memiliki sebab, tidak
terjadi begitu saja seperti sihir atau sulap. Jika sesuatu itu ada/terjadi tanpa sebab, atau kurang sebab, maka ia
tidak memiliki nilai kebenaran yang mutlak. Prinsip ini disebut juga hukum sebab-akibat atau kausalitas.
• Dalam menggunakan logika di bidang hukum maka harus memperhatikan 3 perbedaan pokok yang berkaitan
dengan :
a) Hakikat hukum (the nature of laws), bahwa suatu masyarakat atau negara terdapat aturan-aturan perilaku
berupa hukum positif dan norma-norma moral dan dapat terjadi ketidaksesuaian antara norma-norma hukum
positif dan norma-norma moral sehingga penerapan logika hanya dibatasi pada penegakan hukum positif
sebagai aturan formal.
b) Sumber-sumber hukum (resources of laws), di mana terdapat berbagai sumber hukum baik produk legislatif
maupun yurisprudensi dan harus diperhatikan hierarki sumber-sumber hukum. Jika terjadi pertentangan
berkaitan dengan interpretasi atau penerapan, perlu dirumuskan asas-asas untuk memecahkan masalah
tersebut.
c) Jenis-jenis hukum (the kinds of law), di mana hukum positif membedakan hukum publik dan hukum privat dan
di antara keduanya terdapat perbedaan.
• Untuk memahami logika maka orang harus mempunyai pengertian yang jelas mengenai penalaran.
• Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran.
• Bentuk penalaran yang paling sederhana :
1. Pengertian (concept)
2. Pernyataan (proposisi/statement)
3. Penalaran (reasoning)
PENALARAN HUKUM
 Dalam rangka memecahkan masalah hukum dengan cepat, tepat, dan benar,
diperlukan bantuan ilmu pendukung/penunjang yang disebut Penalaran Hukum.
 Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai proses berfikir secara logis dan
analitik pada bidang hukum.
 Penalaran (reasoning) : dalam arti luas, menunjuk proses psikologi (terdiri atas
ide, keyakinan, dugaan, syakwasangka, rasa dan emosi). Dalam arti sempit,
menunjuk pada argumen. Argumen terdiri atas alasan-alasan (reasons) dan alasan
tersebut dimaksudkan sebagai justifikasi putusan.
 Argumentasi (argument) : memiliki pengertian sebagai rangkaian nalar (trains of
reasoning). Menunjuk pada interaksi manusia (human interaction) yang berkaitan
dengan forum argumentasi, misalnya : pengadilan, temu ilmiah, seminar, dll.
 Penalaran (reasoning) dalam arti sempit bermakna “giving reasons” (memberikan
alasan-alasan), memiliki makna yang sama dengan “argument” atau
“argumentation”.
• Penalaran berasal dari kata nalar yang berrarti :
1) Pertimbangan tentang baik, buruk dsb : akal budi, misalnya : setiap keputusan harus didasarkan akal yang
sehat.
2) Aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir yang logis; jangkauan pikir dan kekuatan berpikir.
Cara (hal) dengan menggunakan nalar, pemikiran atau cara berpikir logis

• Penalaran sebagai metode untuk mendapatkan kebenaran :


1) Penalaran : usaha memperoleh kebenaran/proses berpikir untuk menemukan kebenaran dengan
menggunakan nalar (akal pikiran yang logis).
2) Non penalaran : usaha memperoleh kebenaran dengan tidak menggunakan nalar atau akal pikiran yang logis.
Cara (hal) : berpikir, menggunakan, mengembangkan atau mengendalikan suatu masalah hukum dengan nalar.

• Kegunaan penalaran hukum :


1. Kemampuan identifikasi dan analisis jawaban yang mempunyai nilai kebenaran dalam sudut pandang tertentu.
2. Memetakan logika (hukum) yang digunakan.
3. Strategi pengembangan metodologi berpikir atau penelitian hukum.
• Argumentasi hukum :
 Merupakan keterampilan ilmiah dalam rangka pemecahan masalah-masalah hukum (legal problem solving).
 Pada komunitas praktisi hukum, penguasaan dan implementasi yang baik terhadap argumentasi hukum dalam
setiap aktivitas profesinya dapat digunakan sebagai parameter, yaitu mana praktisi hukum yang berdebat
yuridis dan mana yang hanya debat kusir.
 Penyelesaian masalah hukum diperlukan “expertise knowledge” yang harus dimiliki oleh para ahli hukum
dalam melaksanakan tugas profesi.

• Argumentasi hukum pada dasarnya adalah to give reason dalam pelaksanaan tugas profesi advokat dalam
bidang :
1) Preventif (non litigation area, misalnya : legal consultation, legal negotiation termasuk membuat legal opinion.
2) Represif (litigation area : penanganan perkara seperti gugatan, permohonan, pledoi).

• Analisis argumentasi hukum :


- Menggunakan logika formal
- Untuk menganalisis rasionalitas proposisi maka menggunakan logika sillogistik, logika proposisi dan logika
predikat
- Logika merupakan alur pemikiran yang mempertautkan sebuah pernyataan tentang suatu konsep dengan
memberikan penalaran melalui argumentasi yang berperan dalam proses rasionalitas argumentasi.
• Penalaran hukum (legal reasoning) memiliki makna yang sama dengan argumentasi hukum (legal
argument). Dalam pengertian logika, argumentasi merupakan hasil dari proses penalaran (dari
proses penalaran baru kemudian dihasilkan argumentasi). Argumentasi hukum = diperoleh dari
hasil penalaran hukum.
• Penalaran hukum adalah proses menalar dalam kerangka dan berdasarkan tata hukum positif yang
mengidentifikasi hak dan kewajiban yuridis dari subjek-subjek hukum tertentu. Penalaran hukum
adalah proses penggunaan alasan-alasan hukum (legal reasons) dalam menetapkan pendirian
hukum yang dirumuskan dalam putusan hukum.
• Penalaran adalah suatu proses, suatu kegiatan dalam akal budi manusia yang di dalamnya
berlangsung gerakan/alur dari suatu premis ke premis-premis lainnya untuk mencapai suatu
kesimpulan.
• Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran (R.G.Soekadjo).
• Bentuk pemikiran yang paling sederhana :
- Pengertian (concept) dibuat dengan kata
- Proposisi (statement) dibuat dengan kalimat
- Penalaran (reasoning) dilambangkan dengan argumentasi
Menurut Berman ciri-ciri khas penalaran hukum adalah sebagai berikut :
a. Penalaran hukum berusaha mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum
dan putusan-putusan hukum. Dasar pikirannya bahwa hukum harus berlaku sama
bagi semua orang yang termasuk dalam yurisdiksinya. Kasus yang sama harus
diputus sama, berdasarkan asas similia similibus (persamaan).
b. Penalaran hukum berusaha memelihara kontinuitas/kesinambungan dalam waktu
(konsistensi historikal). Penalaran hukum mengacu pada aturan-aturan hukum
yang sudah terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan terdahulu, sehingga dapat
menjamin stabilitas (kepastian) dan prediktabiltas.
c. Dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang
klaim/tuntutan yang berlawanan, baik dalam perdebatan pada pembentukan UU
maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para
pihak dalam proses peradilan atau dalam proses negoisasi.
d. Bersifat analogi, yakni membanding-bandingkan hal atau kejadian untuk
menemukan kesamaan atau perbedaan, untuk kemudian berdasarkan temuan itu
ditarik kesimpulan.
Peran penalaran hukum bagi profesi hukum :
 Bagi polisi/penyidik penalaran hukum mempunyai arti penting dalam penyusunan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang logis dan sistematis.
 Bagi jaksa-penuntut penalaran hukum mempunyai makna penting dalam penyusunan
surat dakwaan dan tuntutan- yang tidak saja logis, akan tetapi dapat dibuktikan secara
empirik di depan persidangan.
 Bagi hakim pemahaman yang memadai dari penalaran hukum, mempunyai peranan
penting dalam memberikan pertimbangan hukum (ratio decidendi) dalam membuat
suatu putusan.
 Bagi seorang penasihat hukum-pengacara, penalaran hukum memberikan kontribusi
yang berharga dalam rangka menyusun eksepsi/nota keberatan, gugatan, jawaban,
atau nota pembelaan, termasuk penyusunan pendapat hukum (legal opinion)/
memorandum hukum (legal memorandum), audit hukum (legal audit), termasuk
laporan hukum (legal reporting) yang biasanya dijadikan persyaratan bagi Perseroan
Terbatas yang akan go publik.
 Bagi seorang Notaris-PPAT penalaran hukum mempunyai arti penting dalam rangka
menyusunan kontrak/akte yang rasional – berimbang di antara para pihak.
 Bagi legislator atau administrator hukum, mempunyai arti penting dalam
pembentukan peraturan per-UU-an.
 Untuk para akademisi-teoritisi hukum,penalaran hukum, mempunyai arti
penting dalam rangka pengkajian dan penelitian hukum, termasuk
analisis hukum (legal analysis).
• 3 lapisan dalam argumentasi hukum :
1. Lapisan Logika:
• Merupakan struktur intern dari suatu argumentasi. Lapisan ini merupakan bagian dari
logika tradisional.
• Alur premis menuju pada konklusi dari suatu argumentasi harus logis.
• Penalaran yg digunakan bisa berupa penalaran deduksi atau induksi.
2. Lapisan Dialektika:
• Lapisan ini membandingkan, baik yang pro maupun yang kontra (Pro-kontra). Ada 2
pihak yang berdialog ataupun berdebat, yang bisa saja pada akhirnya tidak menemukan
jawaban karena sama-sama kuatnya.
• Agar argumentasi tidak monoton, maka harus diberikan sentuhan dialektika dan di
dalam dialektika itu suatu argumentasi diuji, terutama pada argumentasi pro-kontra
( Wanprestasi atau Onrechtmatigdaad?).
3. Lapisan Prosedural:
• Prosedur tidak hanya mengatur perdebatan tetapi perdebatan itu pun menentukan
prosedur.
• Suatu aturan dialog harus berdasarkan pada aturan main yang sudah ditetapkan
dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan syarat penyelesaian sengketa yang
jelas
PENGERTIAN ATAU KONSEP
Deskripsi

Definisi
• konsep

Klasifikasi
• Pengertian juga disebut ide atau konsep. Konsep adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Latin :
conceptus (kata benda masculinum) yang dibentuk dari kata conceptum yang berasal dari kata kerja
concipio. Concipio berarti mengambil ke dalam dirinya, menerima, menghisap, menyerap, menampung atau
menangkap. Conceptum berarti mengambil, menyerap, membayangkan dalam pikiran, mengerti, dan
menangkap. Conceptus berarti serapan, bayangan dalam pikiran, pengertian, dan tangkapan.
• Pengertian adalah isi-pikiran yang dimunculkan oleh sebuah perkataan tertentu jika sebuah objek atau
seorang pribadi memperoleh sebah nama. Jadi perkataan itu adalah nama (tanda-bahasa) untuk objek atau
orang (yang diartikan). Pengertian adalah apa yang timbul dalam pikiran kita sebagai arti perkataan,
mengingat penunjukan perkataan itu pada objek atau orang tertentu.
• Pada bidang hukum, pembentukan pengertian itu tidak hanya penting sekali dalam dogmatika hukum
melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah UU dimaksudkan untuk mengatur perilaku
warga masyarakat maka harus dibuat jelas mengenai perilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari
masyarakat = mengakibatkan UU, sebelum pengaturan yang sesungguhnya, memberikan batasan pengertian
terlebih dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam UU itu.
• Dalam hukum terdapat pengertian-pengertian yang khas bersifat yuridikal sehingga perkataan-perkataan
tertentu di dalam hukum memiliki arti yang berbeda (sebagian) dari arti di dalam bahasa pergaulan.
Perkataan-perkataan itu sering memiliki suatu tradisi dan berasal dari suatu bahasa hukum lain, misalnya
bahasa hukum Romawi, cth : aksi (actio) : gugatan (rechtsvordering) dari penggugat; eksepsi (exceptio) :
perlawanan mengelak dari tergugat; revindikasi (revindicatio) : hak menuntut kembali dari pemilik; titel
(titulus) : dasar hukum.
• Jenis-jenis pengertian :
1) Sinonim. Sinonim adalah istilah yang menyatakan pengertian yang sama. Sinonim terdapat baik dalam bahasa
pergaulan maupun bahasa hukum, cth dalam hukum : norma dan kaidah.
2) Istilah bermakna ganda, cth : polisi sedang menggali informasi mengenai pelaku bom bunuh diri.
3) Pengertian yang kabur. Ini adalah pengertian yang isinya tidak dapat diterapkan secara persis, sehingga
lingkupannya tidak jelas. Tugas penting bagi hakim dalam penemuan hukum adalah menentukan peristiwa-
peristiwa apa yang masih termasuk dalam pengertian-pengertian yang ditetapkan dalam UU dan yang mana
yang tidak. Jika tiap pengertian mengandung wilayah perbatasan yang “tidak jelas” maka pengertian-
pengertian yang intinya sendiri juga tidak jelas. Hakim mengemban tugas untuk memberi isi pada pengertian
yang “kabur itu”, dengan mempertimbangkan keadaan konkret dari kejadian yang harus dinilai.
4) Pengertian terbuka. Ke dalamnya termasuk pengertian-pengertian yang isi-intinya memuat ciri-ciri yang dalam
perjalanan waktu mengalami perubahan, cth : pengertian perkawinan apabila mengacu pada perkembangan
saat ini maka tidak hanya diartikan sebagai perkawinan antara pria dan wanita tetapi bisa juga antara pria-pria
dan wanita-wanita (khusus bagi negara-negara yang telah mengakui pernikahan sejenis).
Klasifikasi konsep:
1. Konsep singular (mengenai satu)
2. Konsep partikular (mengenai beberapa)
3. Konsep universal (mengenai semua)
Isi konsep:
1. Konsep deskriptif
2. Konsep preskriptif, konsep ini bersifat normatif karena mengandung norma
3. Konsep evaluatif (berisi penilaian), misalnya estetika atau etika
DEFINISI

• Definisi berasal dari bahasa Latin definiere yang berarti menandai batas-batas pada sesuatu, menentukan batas,
memberi ketentuan atau batasan arti. Definisi dapat diartikan penjelasan apa yang dimaksudkan dengan sesuatu
term, atau dengan kata lain definisi adalah sebuah pernyataan yang memuat penjelasan tentang arti suatu term.
• Term adalah suatu kata atau suatu kumpulan kata yang merupakan ekspressi verbal dari suatu pengertian.
Bagian dari proposisi yang berfungsi sebagai subyek atau predikat, serta dapat berfungsi sebagai penghubung
antara dua proposisi yang disebut premis dalam sebuah silogisme.
• Tidak semua kata atau kumpulan kata adalah term, meskipun setiap term itu adalah kata atau kumpulan kata.
Alasannya: tidak semua kata atau kumpulan kata pada dirinya sendiri merupakan ekspressi verbal dari
pengertian, dan bahwa tidak semua kata pada dirinya sendiri berfungsi sebagai subyek atau predikat dalam suatu
proposisi.
• Term adalah kata atau sejumlah kata yang dapat berdiri sendiri. Jenis kata seperti itu disebut kata kategorimatis.
Mis. : bunga, burung, pohon (term tunggal), orang tua asuh, pencinta lingkungan hidup (term majemuk).
• Definisi terdiri atas 2 bagian :
- Bagian pangkal disebut definiendum yang berisi istilah yang harus diberi penjelasan
- Bagian pembatas disebut definiens yang berisi uraian mengenai arti dari bagian pangkal
Cth : manusia adalah makhluk berakal. Manusia = definiendum. Makhluk berakal = definiens

• Macam-macam definisi :
a. Definisi nominalis. Definisi nominalis menjelaskan sebuah kata dengan kata lain yang lebih umum dimengerti.
Terbagi atas 6 macam :
1) Definisi sinonim, yakni penjelasan dengan memberikan persamaan kata atau memberikan penjelasan dengan
kata yang lebih dimengerti, misal : dampak adalah pengaruh yang membawa akibat, kendalah adalah halangan,
dsb.
2) Definisi simbolis, yakni penjelasan dengan memberikan persamaan pernyataan berbentuk simbol-simbol.
3) Definisi etimologis, yakni penjelasan dengan memberikan asal usul kata, misalnya demokrasi dari asal kata
demos artinya rakyat dan kratos/kratein artinya kekuasaan. Demokrasi = pemerintahan rakyat atau rakyat
yang berkuasa.
4) Definisi semantis, yakni penjelasan tanda dengan suatu arti yang telah terkenal, misalnya : tanda rambu lalu
lintas.
5) Definisi stipulatif, yakni penjelasan dengan cara pemberian nama atas dasar kesepakatan bersama, misalnya :
nama planet-planet.
6) Definisi denotatif, yakni penjelasan term dengan cara menunjukkan atau memberikan contoh suatu benda atau
hal yang termasuk dalam cakupan term.

b. Definisi realis adalah penjelasan tentang hal yang ditandai oleh sesuatu term.Ada 2 macam bentuk :
1. Definisi esensial, yakni penjelasan dengan cara menguraikan bagian-bagian yang menyusun sesuatu hal. Dapat
dibedakan menjadi :
(a) Definisi analitis, yakni menunjukkan bagian-bagian sesuatu benda yang mewujudkan esensinya, misalnya :
manusia adalah suatu substansi yang terdiri atas badan dan jiwa.Air adalah H2O.
(b) Definisi konotatif, yakni menunjukkan isi dari suatu term yang terdiri atas genus dan diferensia. Definisi ini
disebut definisi esensial metafisik, misalnya : manusia adalah makhluk yang berakal.
2. Definisi deskriptif, yakni penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki oleh sesuatu yang
didefinisikan. Definisi ini dibedakan antara :
(a) Definisi aksidental, penjelasan dengan cara menunjukkan jenis dari halnya dengan sifat-sifat khusus yang
menyertai hal tersebut atau dengan rumusan lain, yakni penjelasan yang disusun dari genus dan proprium
(konsep diri), misalnya : manusia dalah makhluk yang berpolitik.
(b) Defini kausal, penjelasan dengan cara menyatakan bagaimana sesuatu terjadi atau terwujud. Misalnya : awan
adalah uap air yang terkumpul di udara karena penyinaran laut oleh matahari.

c. Definisi praktis adalah penjelasan tentang sesuatu ditinjau dari segi penggunaan dan tujuannya yang
sederhana.Ada 3 macam bentuk :
1) Definisi operasional, yakni penjelasan suatu term dengan cara menegaskan langkah-langkah pengujian khusus
yang harus dilaksanakan atau dengan metode pengukuran serta menunjukkan bagiamana hasil yang dapat
diamati, misalnya : magnet adalah logam yang dapat menarik gugusan besi.
2) Definisi persuasif, yakni penjelasan dengan cara merumuskan suatu pernyataan yang dapat mempengaruhi
orang lain, misalnya : LUX adalah sabun artis
3) Definisi fungsional, yakni penjelasan sesuatu berdasarkan guna atau tujuan, misalnya : negara adalah suatu
persekutuan besar yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama bersifat pragmatis.

• Syarat-syarat definisi :
1. Sebuah definisi (definiens) harus menyatakan ciri-ciri hakiki dari apa yang didefinisikan (definiendum), yakni
menunjukkan pengertian umum (genus) yang meliputinya beserta ciri pembedanya yang penting, misalnya :
manusia adalah makhuk berakal. Makhluk adalah genusnya dan berakal adalah ciri pembeda dengan makhluk
lainnya.
2. Sebuah definisi (definiens) harus merupakan suatu kesetaraan arti dengan hal yang didefinisikan
(definiendum), maksudnya tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Definisi terlalu luas akan
mengakibatkan kesalahan yang disebut definisi yang berlebihan, misalnya : polisi adalah alat negara. Definisi
ini belum setara karena alat negara tidak hanya polisi tetapi juga jaksa, tentara dll. Definisi juga tidak boleh
terlalu sempit karena akan mengakibatkan kesalahan yang disebut definisi yang terlalu sempit.
3. Sebuah definisi (definiens) harus menghindarkan pernyataan yang memuat term yang didefinisikan
(definiendum), artinya definisi tidak boleh berputar-putar memuat secara langsung atau tidak langsung
subjek yang didefinisikan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan terciptanya suatu definisi
yang disebut definisi sirkuler (circular definition), yaitu definisi yang melingkar atau definisi yang berputar-
putar, misalnya : hukum waris adalah hukum untuk mengatur warisan.
4. Sebuah definisi (definiens) sedapat mungkin harus dinyatakan dalam bentuk rumusan yang positif, yakni tidak
boleh dinyatakan secara negatif jika dapat dinyatakan dengan kata-kata yang positif. Pelanggaran terhadap
ketentuan ini mengakibatkan kesalahan yang disebut definisi negatif. Dalam definisi di mana definiensnya
berbentuk negatif, tujuan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya dari makna tidak tercapai karena
hakikat definiendum tidak terungkap, misalnya : sepak bola adalah sejenis olahraga yang tidak dimainkan
dengan menggunakan tangan.
5. Sebuah definisi harus dinyatakan secara singkat dan jelas terlepas dari rumusan yang kabur atau bahasa
kiasan karena maksud membuat definisi adalah memberi penjelasan serta menghilangkan makna ganda.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan terjadinya apa yang disebut definisi figuratif atau
definisi yang kabur, misalnya : anak adalah buah cinta.
PROPOSISI

• Proposisi adalah istilah yang digunakan untuk kalimat pernyataan yang memiliki arti penuh dan
utuh. Proposisi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang dapat dinilai benar atau salah. Terdiri
atas :
1. Proposisi berdasarkan bentuk :
- Proposisi tunggal adalah proposisi yang hanya mengungkap 1 pernyataan saja di mana hanya
didukung oleh 1 subjek dan 1 predikat (kalimat tunggal), cth : setiap manusia akan mati. Objek :
manusia dan predikatnya : mati.
- Proposisi majemuk adalah proposisi yang dibentuk dari gabungan 2 proposisi tunggal, cth :
setiap warga negara harus menyadari hak dan kewajibannya.
2. Proposisi berdasarkan sifat :
- Proposisi kategorial adalah proposisi di mana hubungan antara subjek dan predikatnya tidak mempunyai
syarat apapun, cth : semua rumah memiliki atap. Semua bayi menangis di malam hari.
- Proposisi kondisional adalah proposisi di mana hubungan antara subjek dan predikat membutuhkan syarat
tertentu, cth : jika saya lulus penelitian ilmiah maka saya akan mengadakan syukuran.Terbagi atas :
(a) Proposisi hipotesis adalah proposisi di mana hubungan antara subjek dan predikat membutuhkan syarat
tertentu, cth : jika lampu menyala maka ruangan terlihat terang. Jika air dimasukkan ke kulkas maka akan
terasa dingin.
(b) Proposisi disjungtif adalah proposisi di mana hubungan antara subjek dan predikat tidak membutuhkan
syarat tertentu, cth : meja itu berwarna coklat atau hitam. Kakak membaca buku pelajaran atau komik.

3. Proposisi berdasarkan kualitas :


- Proposisi afirmatif/positif yaitu proposisi di mana predikatnya mendukung atau membenarkan subjeknya, cth :
meja ini dibuat dari kayu jati.
- Proposisi negatif yaitu proposisi di mana predikatnya menolak atau tidak mendukung subjeknya, cth : tidak
ada satupun pria yang memakai rok.Tidak ada satupun makhluk hidup yang kekal di dunia ini.

4. Proposisi berdasarkan kuantitas :


- Proposisi universal yaitu proposisi di mana predikatnya mendukung atau mengingkari semua, cth : tidak ada
satupun kipas angin yang tidak mengeluarkan angin. Tidak ada satupun hewan herbivora yang memakan
daging.
- Proposisi spesifik yaitu proposisi yang predikatnya membenarkan sebagian subjek.
HUBUNGAN ANTARA KONSEP,
PROPOSISI DAN PENALARAN
• Pengertian adalah sesuatu yang abstrak yang kemudian diganti dengan lambang. Lambang yang paling
lazim adalah bahasa. Dalam bahasa, pengertian lambangnya berupa kata. Kata sebagai fungsi dari
pengertian disebut term.
• Di dalam pikiran tidak hanya terbentuk pengertian tetapi juga terjadi rangkaian term. Tidak pernah
ada pengertian yang berdiri sendiri di dalam pikiram. Rangkaian pengertian itu yang disebut proposisi
dan pengertian hanya terdapat dalam proposisi
• Proposisi, lambangnya dalam bahasa berupa kalimat berita. Hanya kalimat berita yang merupakan
suatu pernyataan yang dapat benar atau salah.
• Proses di dalam pikiran menghasilkan sejumlah pengertian dan proposisi sekaligus. Berdasarkan
sejumlah proposisi yang diketahui dan dianggap benar maka orang menyimpulkan sebuah proposisi
baru yang sebelumnya tidak diketahui. Ini yang disebut penalaran. Penalaran itu erat kaitannya dengan
penyimpulan, argumen dan bukti.
KESIMPULAN (KONKLUSI)

• Kesimpulan (konklusi) adalah pengetahuan yang kita peroleh secara tak langsung karena kita
mengetahui sesuatu itu tidak secara langsung melainkan dengan perantaraan sesuatu yang lain yang
telah kita ketahui lebih dulu, cth : kita mengetahui adanya api melalui adanya asap.
• Penarikan konklusi dilakukan dengan 2 cara : deduktif dan induktif. Pada induktif, konklusi harus lebih
umum sifatnya dari premis sedangkan pada deduktif, konklusi tidak mungkin lebih umum sifatnya dari
premisnya. Penarikan konklusi yang induktif merupakan hasil berpikir dari soal-soal yang khusus
membawanya kiepada kesimpulan-kesimpulan yang umum. Sebaliknya penarikan konklusi yang
deduktif, yaitu hasil proses berpikir dari soal-soal yang umum kepada kesimpulan yang khusus.
• Penarikan suatu konklusi yang deduktif dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : secara langsung dan
tidak langsung. Penarikan konklusi secara langsung dilakukan jika premisnya hanya 1. Konklusi
langsung ini sifatnya menerangkan arti proposisi itu. Karena sifatnya deduktif, konklusi yang
dihasilkannya tidak dapat lebih umum sifatnya dari premisnya.
• Kesimpulan merupakan hasil pemikiran yang diperoleh dari pengetahuan baru berdasarkan premis-premis dan
penyimpulan merupakan proses mengambil suatu kesimpulan dari premis-premis tertentu.
• Macam-macam penyimpulan :
1. Dari sudut terjadinya :
a. Penyimpulan langsung, tidak diperlukan pembuktian-pembuktian karena secara langsung dapat dibuktikan
bahwa S = P, cth : semua manusia mati. Jadi tidak ada manusia yang tidak mati.
b. Penyimpulan tidak langsung, yaitu diperoleh dengan menggunakan term antara/term tengah (Middle Term
(M)). Dengan M diberikan alasan mengapa S = P atau S ≠ P.
2. Dari sudut isi (benar) dan bentuk/luas (lurus), kesimpulan pasti benar :
a. Dari sudut metarial penyimpulan, apabila premisnya benar dan tepat.
b. Dari sudut forma penyimpulan, apabila jalan pikirannya lurus artinya hubungan antara premis dan
kesimpulannya harus lurus.

• Hukum penyimpulan : hukum yang berlaku dalam semua penyimpulan :


1. Jika premis-premis benar maka kesimpulan juga benar
2. Jika premis-premis salah maka kesimpulan dapat salah tetapi dapat juga kebetulan benar
3. Jika kesimpulan salah maka premis-premis juga salah
4. Jika kesimpulan benar maka premis-premis dapat benar tetapi dapat juga salah

Selain itu :
1. Jika premis-premis benar tetapi kesimpulan salah maka jalan pikirannya/bentuknya tidak lurus
2. Jika jalan pikirannya/bentuknya memang lurus tetapi kesimpulan tidak benar maka premis-premisnya salah.
Dari salahnya kesimpulan dapat dibuktikan salahnya premis-premis.
• Langkah-langkah dalam membuat kesimpulan dapat menggunakan teknik berupa :
1. Generalisasi : dalam menggunakan teknik generalisasi ini kita perlu menganalisis fakta-fakta sebelumnya
kemudian kita membuat pernyataan secara umum dari hasil analisis kita, cth : tingkat kenakalan remaja di
Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai cara demi
memperbaiki hal tersebut, akan tetapi belum menunjukkan perubahan yang siginifikan. Lingkungan memiliki
peran yang lebih penting dalam memperbaiki masalah ini khususnya sekolah dan orang tua. Kesimpulan :
dengan demikian kita tahu bahwa peran orang tua dan sekolah akan memberikan perubahan yang lebih
signifikan jika mereka tidak membantu para remaja untuk berubah maka kenakalan remaja akan terus
meningkat.
2. Analogi : teknik yang menggunakan cara membandingkan dua hal untuk menunjukkan kesamaan. Atau
menggambarkan suatu hal dengan membandingkan dengan hal lain.
3. Sebab-akibat : merupakan teknik yang digunakan dalam menarik kesimpulan dengan cara menjelaskan sebab-
sebab yang dijelaskan sebelumnya kemudian kita menggambarkan akibatnya. Hal ini bertujuan untuk
memperjelas dan mendukung gagasan pokok, cth : hampir 85% sungai di Jakarta dipenuhi sampah. Sebagian
besar sampah tersebut adalah sampah plastik yang dibuang oleh warga. Warga lebih memilih membuang
sampah ke sungai daripada membuang di tempat sampah. Sampah-sampah ini kemudian mengalir ke
bendungan dan akhirnya menumpuk dan tidak dapat diuraikan. Kesimpulan : sampah yang dibuang ke sungai
menjadi penyebab utama terjadinya banjir di Jakarta. Selain itu sampah juga merupakan penyebab tercemarnya
air sungai.
PENALARAN DEDUKSI
• Metode deduksi berpangkal dari dari pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis
tersebut ditarik suatu kesimpulan.
• Deduksi sebagai penalaran yang menyimpulkan hal yang khusus dari sejumlah proposisi yang umum.
• Logika menganalisis dan merekonstruksikan penalaran. Dalam deduktif, hasil usaha itu berupa ketentuan mengenai
deduksi yang sahih yaitu bentuk deduksi yang kalau premisnya benar maka kesimpulannya tentu juga benar. Cth :
• Semua logam dipanasi memuai
• Seng termasuk logam
• Jadi seng dipanasi pasti memuai
- Proposisi ‘semua logam dipanasi memuai’ adalah proposisi yang universal atau umum, dan kesimpulannya seng
dipanasi pasti memuai adalah proposisi yang lebih khusus dibandingkan premisnya. Sifat kesimpulan dalam
penalaran deduksi bukan tinggi atau rendah melainkan langsung benar atau salah.
- Penalaran deduksi : umum - khusus = prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa yang umum yang
kebenarannya telah diketahui atau diyakini dan berakhir pada kesimpulan atau pengetahuan yang khusus.
PENALARAN INDUKSI

• Metode induktif dilakukan melalui sejumlah observasi. Dari hasil observasi ini dibuat suatu
prinsip yang umum. Kegiatan demikian pada awalnya lazim digunakan dalam ilmu-ilmu
eksperimental. Melalui eksperimen tersebut dari sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang
dapat diambil suatu prinsip bahwa memang demikianlah keadaannya, cth : apabila seseorang
menjatuhkan benda berat dan benda ringan dalam ketinggian yang sama dan kedua benda itu
sampai di lantai secara bersama-sama dan hal itu terjadi berulang kali maka dapat disimpulkan
bahwa akselerasi yang disebabkan oleh gravitasi merupakan suatu konstan yang tidak
bergantung kepada beratnya benda tersebut.
• Dalam ilmu sosial, peneliti melakukan observasi terhadap objek yang ditelitinya. Ia mengamati
perilaku atau kelaziman masyarakat tersebut dihubungkan dengan apa yang dijadikan isu dalam
penelitiannya.
• Dalam kaitannya dengan hukum, kelemahan metode induktif tercermin di dalam doktrin per incuriam.
Doktrin ini berkembang di negara-negara common law yang menganut doktrin stare decisis. Doktrin stare
decisis : hakim terikat oleh putusan hakim terdahulu dalam mengadili perkara serupa. Doktrin per incuriam
berlaku apabila suatu pengadilan mengambil keputusan tanpa memahami makna ketentuan UU atau putusan
hakim terdahulu. Apabila pengadilan menghadapi perkara serupa yang telah diputus oleh pengadilan
terdahulun dan pengadilan tersebut menilai bahwa pengadilan terdahulu telah salah memahami ketentuan
UU atau putusan-putusan sebelumnyan yang mempunyain kekuatan mengikat maka pengadilan tersebut
dapat menyatakan bahwa dengan menerapkan doktrin per incuriam tidak akan mengikuti putusan hakim
terdahulu. Sebaliknya pengadilan tersebut justru akan mengikuti putusan yang dirujuk oleh pengadilan yang
terdahulu yang dipahami secara salah oleh pengadilan terdahulu tersebut. Terdapat juga doktrin per curiam
(berasal dari bahasa Latin yang artinya oleh pengadilan) : di pengadilan negara–negara common law putusan
biasanya diambil berdasarkan pemungutan suara, akan tetapi masing-masing hakim akan menuliskan
pendapatnya sendiri-sendiri. Ada 3 macam pendapat hakim : pendapat beberapa hakim yang setuju dengan
diktum putusan dan argumentasi yang mendasarinya disebut sebagai pendapat yang agreeing. Pendapat para
hakim yang setuju dengan putusan tetapi berbeda argumentasi yang mendasari putusan tersebut disebut
pendapat yang concurring. Pendapat yang agreeing dan concurring ini yang menghasilkan mayoritas sehingga
menjadi putusan pengadilan. Terdapat pula pendapat minoritas yang disebut dengan dissenting. Para hakim
yang membuat pendapat yang dissenting ini tidak setuju dengan putusan yang diambil dan argumentasinya
pun berbeda. Apabila seorang hakim menuliskan suatu pendapat yang memuat argumentasi dan putusan yang
diinginkannya dan baik pendapat maupun putusan itu diterima oleh seluruh hakim yang menangani perkara
itu, putusan itu diambil secara aklamasi tersebut disebut dengan per curiam.
• Thomas Henry Huxley menerangkan induksi dengan cth :
“Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel. Kita ambil sebuah, dan ketika
mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil
sebuah yang lain. Itu pun keras, hijau dan masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi sebelum
mencicipinya, kita memperhatikannya dan terbukti yang itu pun keras dan hijau, dan seketika itu kita beritahukan
bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti masam, seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi.”
Rumusan dari penalaran induksi tersebut :
- Apel 1 keras dan hijau adalah masam
- Apel 2 keras dan hijau adalah masam
 Semua apel keras dan hijau adalah masam.

• Menurut Aristoteles, induksi merupakan proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang
bersifat universal. Premisnya berupa proposisi-proposisi singular sedangkan kesimpulannya sebuah proposisi
universal yang berlaku secara umum.
• Penalaran induksi : khusus - umum. Proses yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan
empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Hukum yang
disimpulkan di fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomenan sejenis yang belum diteliti.
• Cth penalaran induksi :
- Premis 1 : Suto mencuri dihukum
- Premis 2 : Badu mencuri dihukum
- Premis 3 : Danang mencuri dihukum
 Konklusi : Barang siapa mencuri dihukum
Macam berpikir induktif :

1. Generalisasi : proses penalaran yang bertitik tolak dari beberapa peristiwa


individual menjadi kesimpulan bersifat umum yang mengikat seluruh peristiwa
sejenis yang sedang diteliti.
2. Analogi : proses penalaran dari satu peristiwa menuju peristiwa lain yang
sejenis (sama pada prinsipnya). Kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi
pada peristiwa yang pertama, terjadi pula pada peristiwa yang lain.
3. Kausalitas : proses penalaran yang bertitik-tolak dari suatu peristiwa yang
dianggap sebab, menuju kepada kesimpulan sebagai akibat. Hubungan sebab-
akibat.
Arti penting LOGIKA INDUKSI
Dalam Praktek Hukum
 Penanganan perkara sejak penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan
perkara di pengadilan selalu berawal dari proses berfikir induksi berupa
generalisasi. Langkah/proses pertama adalah merumuskan fakta, kemudian
identifikasi hukum, mencari hubungan sebab-akibat, mereka-reka probabilitas,
baru melakukan penerapan hukum.
 Salah satu model penalaran induksi adalah kausalitas (sebab-akibat). Hubungan
kausalitas memainkan peranan penting dalam penanganan perkara atau
penyelesaian masalah hukum. Kausalitas mempunyai makna penting dalam
bidang hukum, baik dalam hukum bidang pidana, perdata, atau hukum
administrasi
Kausalitas Memainkan Peranan Penting dalam penanganan
perkara hukum.

 Salah satu model penalaran induksi adalah kausalitas (sebab-akibat).


Hubungan kausalitas memainkan peranan penting dalam penanganan perkara
atau penyelesaian masalah hukum.

 Kausalitas mempunyai makna penting dalam bidang hukum, baik dalam hukum
bidang pidana, perdata, atau hukum administrasi.

 Akan tetapi, penalaran kausalitas dalam kaitan dengan bidang hukum berbeda
antara jenis/macam/aspek hukum yang satu dengan hukum yang lain.

 Hubungan kausalitas dalam hukum pidana belum tentu cocok/sesuai untuk


hukum perdata atau hukum administrasi untuk sengketa Tata Usaha negara
Kausalitas Memiliki makna penting dalam bidang
Pidana, Perdata Dan Hukum Administrasi

A. DALAM BIDANG HUKUM PIDANA

• Dalam bidang hukum pidana ajaran tentang kausalitas /atau sebab-akibat, berkaitan dengan tiga
hal, yaitu delik materiil (delik yang dikualifisir berdasarkan akibatnya), pertanggungjawaban
pidana, dan delik dengan pemberatan.
Contoh : Perbuatan --------------------------------------Mati
Sebab Akibat

• Teori hubungan kausalitas dalam hukum pidana secara garis besar, dapat dibagi dua, yaitu teori
mutlak dari Von Buri dan teori dari Traeger.

 Menurut teori Mutlak dari Von Buri, (1) setiap perbuatan adalah merupakan sebab daripada akibat yang
timbul, (2) Setiap sebab adalah sama nilainya. Teori Von Buri lebih dikenal dengan sebutan : TEORI
CONDITIO SINE QUA-NON .
 Kritik terhadap teori ini, hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, karena tiap-tiap “sebab”
sebenarnya merupakan akibat dari sebab yang terjadi sebelumnya. Misalnya, ada seorang mati ditembak
oleh orang lain. Menurut teori ini kematian orang tersebut bukan hanya ditembak, akan tetapi juga oleh orang
yang menjual senjata api dan perusahaan senjata api.
 Teori Ini oleh Van Hammel dilengkapi, bahwa setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul, dengan
keharusan adanya unsur kesalahan (schuld). Hal ini sesuai asas dalam hukum pidana, Geen Straft Zonder
Schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan).
 Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie) karena
setiap faktor yang tidak dapat dihilangkan diber nilai sama dan sederajat, dengan
demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa). Teori ini
tidak dapat digunakan dalam hukum pidana karena dianggap sangat memperluas dasar
pertanggungjawaban (strafrechtelijke aansprakelijheid).
 Kalau menurut teori Traeger, dari banyak sebab yang menimbulkan suatu akibat, hanya
dicari satu sebab saja, yaitu perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang
dilarang dan diancam dengan hukum oleh UU. Berkaitan dengan hal ini dikenal dua
teori, yaiti teori Individualisasi dan teori generalisasi

• Menurut Teori Individualisasi, sebab dilihat in concreto, yaknii secara konkret diukur
menurut pandangan individual. Salah satu penganut aliran ini, Birckmayer, sebab
adalah faktor yang paling menentukan untuk timbulnya akibat. Untuk timbulnya
akibat.Teori ini mencari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu yang paling
banyak berperan untuk terjadinya akibat di antara rangkaian syarat-syarat yang tidak
dapat dihilangkan
• Sedangkan menurut teori Generalisasi, sebab dilihat in abstracto. Salah satu penganut
teori ini, Von Kries dengan teori Adequat-nya : jika dihubungkan dengan delik maka
perbuatan harus memiliki keseimbangan dengan akibat yang sebelumnya dapat
diketahui (setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat). Von Kries
berpendapat bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan
dengan terwujudnya delik, hanya satu saja sebab yang dapat diterima.
Teori Kausalitas Dalam Praktek Peradilan

 Dari berbagai macam teori, tersebut, dalam praktek ternyata, teori yang
digunakan oleh hakim (Hoge Raad/MA negeri Belanda) berbeda-beda dari
waktu ke waktu, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa MA menganut satu
teori/ajaran saja.
 Misalnya, pada tahun 1911, HR/MA menyerahkan kepada kebjaksanaan Hakim,
pada tahun 1929, HR/MA menganut teori Von Buri, sedangkan pada tahun 1935
HR/MA menganut teori Adequat.
 Dalam dalam praktek berikutnya, ternyata yurisprudensi menganut teori : (a)
akibat langsung dan (b) teori adequat (sebab yang secara wajar dapat diduga
menimbulkan suatu akibat).
B. DALAM BIDANG HUKUM PERDATA

Teori kausalitas dalam bidang Hukum Perdata mempunyai makna penting dalam
penentuan kerugian akibat wanprestasi (pasal 1243 BW) atau perbuatan melawan hukum
(pasal 1365 BW).

Contoh : Wanprestasi/PMH------------------------------------Kerugian
Sebab Akibat

Dalam Hukum perdata dikenal beberapa teori hubungan kausalitas, sebagai berikut :
(1) Teori Conditio Sine Qua Non;
(2) Teori Causa Proxima, menurut teori ini yang dipandang sebagai
causa /sebab dari atau akibat hanya kejadian terakhir dalam
rangkaian causa;
(3) Teori Individualisasi;
(4) Teori adequate
C. DALAM BIDANG HUKUM ADMINISTRASI

Teori Kausalitas dalam bidang Hukum Administrasi mempunyai makna penting dalam
menentukan kerugian akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha negara. Teori yang digunakan
adalah teori akibat langsung.

Contoh :
keputusan TUN --------------------------------- Kerugian
Sebab Akibat
Pasal 1 ayat (9) Undang Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas undang
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan : "Keputusan Tata
Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
ANALOGI DALAM HUKUM

Kadang-kadang UU terlalu sempit ruang lingkup yang diaturnya, sedang


peristiwanya demikian pesat dan beragam.
Ketika UU secara eksplisit tidak mengatur suatu peristiwa khusus yang
terjadi, maka boleh jadi hakim akan menggunakan pola pikir analogi untuk
menemukan hukumnya.
Dengan analogi, maka peristiwa yang sejenis, mirip, serupa dengan yang
diatur dengan/dalam UU diberlakukan sama dengan yang dimaksudkan
dalam UU.
 Analogi DOKTRIN HUKUM adalah membandingkan kasus yang sedang dihadapi dengan
kasus yang secara eksplisit diatur dalam sebuah atauran hukum/UU.
 Berdasarkan titik perbedaan atau persamaan antara kedua kasus tersebut ditentukan apakah
kasus yang tengah dihadapi termasuk dalam jangkauan keberlakuan atau wilayah penerapan
aturan hukum tersebut atau tidak .
 Menurut pasal 1576 BW bahwa jual beli tidak menghapuskan sewa menyewa. Bagaimana kalau
dalam praktek dijumpai peristiwa hukumnya bukan jual beli, akan tetapi hibah? Apakah hibah
tidak menghapuskan sewa menyewa. Antara hibah dan jual beli memiliki persamaan esensial,
yaitu peralihan hak. Dengan demikian, secara analogis hibah juga tidak menghapuskan sewa
menyewa.
ANALOGI PRESEDEN adalah membandingkan fakta-fakta dari kasus yang
dihadapi dengan fakta-fakta dari kasus-kasus yang sudah diputus terdahulu,
apakah kasus yang tengah dihadapi memliki kesamaan essensial dengan
kasus terdahulu (analog), sehingga untuk hal yang sama juga diputus
sama.Misalnya, perbedaan harga/kurs tahun yang silam dengan yang
sekarang dipergunakan standar harga emas. Analogi ini sudah menjadi
yurisprudesi.
SILOGISME
• Silogisme adalan proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme adalah proses menggabungkan tiga proposisi, dua
menjadi dasar penyimpulan, satu menjadi kesimpulan. Silogisme kategoris berarti argumen yang terdiri atas tiga proposisi
kategoris yang saling berkaitan, dua menjadi dasar penyimpulan (premis), satu menjadi kesimpulan yang ditarik (konklusi).
Seluruh argumen mengandung 3 proposisi :
1. Pengertian yang menjadi subjek (S) kesimpulan disebut term minor
2. Pengertian yang menjadi predikat (P) kesimpulan disebut term mayor
3. Pengertian yang tidak terdapat dalam kesimpulan tetapi terdapat dalam kedua premis disebut term antara/pembanding
(M)
- Premis yang memuat term minor disebut premis minor
- Premis yang memuat term mayor disebut premis mayor
Cth : Semua binatang makan. Sapi adalah binatang. Jadi, sapi makan
Term minor (S) : sapi.Term mayor (P) : makan.Term pembandingnya (M) : binatang
Premis mayor : semua binatang makan
Premis minor : sapi itu binatang
Kesimpulan : sapi makan
• Silogisme = konstruksi penalaran.
• Silogisme terdiri dari kalimat-kalimat pernyataan, yang dalam logika disebut dengan proposisi.
• Unsur setiap proposisi yang berposisi dalam silogisme disebut terma.
• Silogisme deduksi : silogisme berfungsi sebagai proses pembuktian benar – salahnya suatu pendapat, tesis, atau
juga hipotesis tentang masalah tertentu.

Contoh :
- Semua manusia hidup saatnya nanti akan mati
- Aktivis mahasiswa adalah manusia hidup
 Maka aktivis mahasiswa pada saatnya nanti akan mati

- Barang siapa mengambil barang milik orang lain secara melawan hak akan dipidana penjara karena pencurian
setinggi-tingginya 5 tahun.
- Maling mengambil milik barang milik orang lain secara melawan hak.
 Maka maling akan dipidana penjara karena pencurian setinggi-tingginya 5 tahun.

 Dua proposisi pertama disebut PREMIS


 Proposisi pertama, karena menyatakan hal/keadaan yang umum (semua manusia mestin akan mati) atau suatu
prinsip/norma umum (siapapun yang mencuri akan dipenjara) disebut PREMIS MAYOR
 Proposisi kedua, karena menyatakan peristiwa/kenyataan khusus (“aktivis mahasiswa adalah manusia”, “maling
mencuri”) disebut PREMIS MINOR
 Proposisi ketiga, yang menutup proses penalaran deduktif dan merupakan konsekuensi logis akibat adanya
hubungan antara premis mayor dan premis minor disebut KONKLUSI
Terma :
 Kata atau sekumpulan kata yang telah disepakatkan bersama sebagai suatu simbol yang
merepresentasikan suatu subjek atau objek (objek benda/objek peristiwa) disebut TERMA.
 Terma merupakan unsur pembentuk (the building blocks) suatu proposisi.
 Dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan dengan ‘pengertian’ atau ‘konsep’.
 Terma dalam setiap penalaran atau pembuktian deduksi tidak selamanya berkenaan dengan gejala-
gejala realitas yang bersifat konkrit, individual atau khusus.
 Berdasarkan posisinya terma dibedakan menjadi 3 : terma mayor; terma minor; dan terma tengah :
1. Terma mayor :‘T’ (t-besar) atau P (predikat)
2. Terma minor :‘t’ (t-kecil) atau S (subjek)
3. Terma tengah : M (medium)
• Term ‘T’ atau P (mayor) : serangkaian kata-kata yang umumnya berfungsi
predikat dan pasti dijumpai dalam premis mayor dan dalam konklusi, cth :
- Saatnya nanti akan mati
- Akan dipidana penjara karena pencurian setinggi-tingginya 5 tahun

• Term ‘t’ atau S (minor) : subjek atau pokok kalimat yang terdapat dalam premis
minor dan konklusi, cth :
- Aktivis mahasiswa
- Maling

• Term ‘M’ (tengah/medium) : term yang didapati sebagai subjek dalam premis
mayor dan premis minor tetapi tidak lagi didapati dalam kalimat proposisi
konklusi, cth :
- Semua manusia hidup
- Barangsiapa mengambil barang milik orang lawan secara melawan hukum
• Semua aturan hukum yang dibuat pemerintah harus dipatuhi
• UU Lalu Lintas merupakan aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah
• Maka UU Lalu Lintas haruslah dipatuhi

• Semua pedagang kaki lima bersedia pindah dan menaati peraturan wali kota dari
lokasinya berjualan di pinggir jalan
• Pak Andi penjual nasi goreng adalah pedagang kaki lima
• Maka, pak Andi penjual nasi goreng harus bersedia pindah dan menaati peraturan
pemerintah wali kota dari lokasinya berjualan di pinggir jalan
• Silogisme eksplanatif dalam penalaran induksi : penalaran induksi juga terdiri dari 3 proposisi, yaitu dua
proposisi anteseden yang disebut premis. Proposisi anteseden diawali dengan proposisi terma-terma khusus.

Contoh :
- Petani-petani di daerah pagilaran adalah orang miskin yang menggantungkan hidupnya pada tanah
- Petani-petani di daerah pagilaran tanahnya dirampas untuk laboratorium pertanian Universitas Gajah Mada
 Disimpulkan bahwa para petani yang miskin dan menggantungkan hidupnya pada tanah besar kemungkinannya
tanahnya dirampas untuk laboratorium UGM

- Anggota DPRD yang terlibat dalam korupsi APBD dikenai pidana penjara lebih dari 1 tahun
- 13 anggota DPRD Jatim terlibat dalam korupsi APBD
 13 anggota DPRD di Jatim dikenai pidana penjara lebih dari 1 tahun
PENEMUAN HUKUM
(RECHTSVINDING)
• Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-
petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang konkrit. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat peristiwa hukum yang konkrit (das sein). Pada dasarnya setiap orang
melakukan penemuan hukum. Setiap orang selalu berhubungan dengan orang lain, hubungan mana
diatur oleh hukum dan setiap orang akan berusaha menemukan hukumnya untuk dirinya sendiri, yaitu
kewajiban dan wewenang apakah yang dibebaskan oleh hukum padanya.
• Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Hasil
penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim = hukum. Penemuan hukum yang dilakukan oleh ahli
hukum = doktrin atau ilmu. Sekalipun yang dihasilkan oleh ahli hukum bukanlah hukum melainkan ilmu
atau doktrin tetapi tetap disebut pula penemuan hukum karena apabila doktrin tersebut diikuti dan
diambil alih oleh hakim dalam putusannya maka akan menjadi hukum. Doktrin bukan hukum melainkan
sumber hukum.
• Menurut ajaran fungsional dari Ter Heide yang penting ialah pertanyaan bagaimana dalam situasi tertentu
dapat diketemukan pemecahan yang paling baik yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan bersama dan dengan
harapan yang hidup di antara para warga masyarakat terhadap “permainan kemasyarakatan” yang dkuasai oleh
“aturan permainan”. Di sini bukan hasil kegiatan penemuan hukum yang merupakan titik sentral, walaupun
tujuannya adalah menghasilkan putusan, melainkan metode yang digunakan.
• Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya dipusatkan pada hakim dan
pembentuk UU (legislatif) tetapi dalam prakteknya, penemuan hukum bukan hanya dilakukan oleh hakim dan
pembentuk UU. Setiap orang yang berkepentingan dalam suatu perkara melakukan kegiatan menemukan
hukum untuk peristiwa yang konkrit.
• Terkait dengan profesi maka penemuan hukum utamanya dilakukan oleh hakim, karena setiap harinya ia
dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikan olehnya. Hasil penemuan hukum oleh
hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam
bentuk putusan. Selain itu juga menjadi sumber hukum.
• Bagi pembentuk UU dalam merencanakan atau membentuk UU tidak lepas dari kegiatan menemukan hukum.
Hasil penemuan hukum oleh pembentuk UU antara lain berupa interpretasi otentik yang pada umumnya
dituangkan dalam Bab tentang Ketentuan Umum Pasal 1 dalam UU. Perbedaan dengan penemuan hukum oleh
hakim adalah bahwa hakim menghadapi peristiwa konkrit atau konflik sedangkan pembentuk UU tidak. Yang
dihadapi oleh pembentuk UU bukanlah pertanyaan “Bagaimanakah saya memecahkan konflik konkrit ini?”
melainkan “Bagaimanakah saya seyogyanya menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu (yang
belum terjadi, tetapi besar kemungkinannya akan terjadi) di waktu yang akan datang?”. Jadi sifatnya adalah
preskriptif. Hasil penemuan hukum oleh pembentuk UU inipun merupakan hukum karena mempunyai
kekuatan, mengikat sebagai hukum sebab dituangkan dalam bentuk UU sekaligus merupakan sumber hukum.
• Bagi dosen serta peneliti hukum : dalam penulisan dan pembahasannya melakukan penemuan hukum yang sifatnya teoritis
sehingga hasil penemuan hukumnya bukan merupakan hukum karena tidak mempunyai kekuatan mengikat melainkan
merupakan sumber hukum berupa doktrin.
• Bagi Notaris : menghadapi masalah hukum yang diajukan oleh kliennya untuk dibuatkan akta. Notaris harus menemukan
hukumnya dari peristiwa konkrit yang diajukan oleh klien untuk kemudian dibuatkan aktanya. Hasil penemuan hukum oleh
Notaris adalah hukum karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai kekuatan mengikat serta
sekaligus merupakan sumber hukum.
• Dalam penemuan hukum dikenal adanya 2 aliran :
1. Aliran progresif.Aliran ini berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial.
2. Aliran konservatif. Aliran ini berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral
dan nilai-nilai lain.

• Dalam penemuan hukum, hakim dapat sepenuhnya tunduk pada UU. Penemuan hukum terjadi berdasarkan peraturan-
peraturan di luar diri hakim. Pembentukan UU membuat peraturan umumnya sedangkan hakim hanya mengkonstantir
bahwa UU dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi UU.
• Hakim tidak menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan UU terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Hakim
hanyalah corong dari UU yang tidak dapat mengubah atau menambah UU. Hal ini terkait dengan pandangan klasik dari
Montesquieu berpendapat bahwa pembentukan UU adalah satu-satunya sumber hukum positif. Dalam pandangan ini,
peradilan tidak lain hanyalah suatu bentuk silogisme. UU merupakan premis mayor, peristiwanya yang konkrit merupakan
premis minor sedangkan putusan hakim merupakan konklusi atau kesimpulannya. Suatu kesimpulan yang logis tidak akan
meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam premis-premisnya. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan meliputi lebih
dari apa yang terdapat dalam UU yang berhubungan dengan peristiwa konkrit.
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
• Menurut pandangan klasik, semua hukum terdapat secara lengkap dan sistematis dalam UU dan tugas hakim
adalah mengadili sesuai atau menurut bunyi UU. Metode yang seharusnya digunakan dalam menerapkan UU adalah
model silogisme yang sering juga disebut dengan subsumptie logis atau deduksi. Subsumptie, yang berarti anggapan,
tidak lain adalah menyimpulkan dari premis mayor (hal yang umum) dengan premis minor (hal yang khusus), cth :
Barangsiapa mencuri dihukum (premis mayor), Suto mencuri (premis minor), Suto harus dihukum (kesimpulan).
Teori ini disebut legisme atau positivisme UU. Penemuan hukum di sini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan
kognitif (secara umum diartikan sebagai potensi intelektual yang terdiri atas : pengetahuan (knowledge),
pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation) =
persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional), yang mengutamakan UU
yang tidak diberi tempat pada pengakuan subjektifitas atau penilaian. Hakim tidak diberi kesempatan berkreasi.
• Positivisme UU ini didasarkan pada jalan pikiran bahwa apa yang mempunyai bentuk lahir sebagai hukum adalah
legitim sebagai hukum, tidak peduli nilai isinya. Disebut oleh van Eikema Hommes sebagai pandangan peradilan
yang typis logicistis.
• Wiarda menyebut jenis penemuan hukum tersebut sebagai penemuan hukum heteronom karena hakim
mendasarkan pada peraturan-peraturan di luar dirinya; hakim tidak mandiri karena harus tunduk pada UU.
• Pandangan typis logicistis atau heteronom dari pengadilan tersebut tidak dapat dipertahankan karena sejak
tahun 1850, perhatian ditujukan kepada peran penemuan hukum yang mandiri. Hakim tidak lagi dipandang
sebagai corong UU tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi UU
dan menyesuaikannya dengan kebutuhan. Pandangan ini dikenal dengan pandangan materiil yuridis atau otonom.
Menurut pandangan ini, pelaksanaan hukum oleh hakim bukanlah semata-mata masalah logika murni dan
penggunaan rasio yang tepat tetapi lebih merupakan masalah pemberian bentuk yuridis pada asas-asas hukum
materiil yang menurut sifatnya tidak logis dan tidak mendasarkan pada pikiran yang abstrak tetapi lebih
kepada pengalaman dan penilaian yuridis.
• Dikemukakan juga bahwa UU itu tidak mungkin lengkap. UU hanyalah merupakan suatu tahap tertentu dalam
proses pembentukan hukum dan bahwa UU wajib mencari pelengkapnya dalam praktik hukum yang teratur
dari hakim (yurisprudensi) di mana asas yang merupakan dasar UU dijabarkan lebih lanjut dan dikonkretisasi,
diisi dan diperhalus dengan asas-asas baru.
• Oleh karena itu diakui bahwa dalam hal kekosongan atau ketidakjelasan UU, hakim mempunyai tugas sendiri
yaitu memberi pemecahan dengan penafsiran UU. Meskipun ajaran legisme atau positivisme hukum semakin
ditinggalkan tetapi pangkal tolak penemuan hukum adalah sistem; semua hukum terdapat dalam UU dan
hanya kalau ada kekosongan atau ketidakjelasan dalam UU baru hakim boleh menafsirkan.
• Sebagai prototype, penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem peradilan negara-negara Kontinental
termasuk Indonesia. Di sini hakim bebas, tidak terikat pada putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan
mengenai perkara yang sejenis. Hakim berpikir deduktif dari bunyi UU (umum) menuju ke peristiwa khusus
dan akhirnya sampai kepada putusan. Dalam penemuan hukum yang typis logicistis atau heteronom, hakim
dalam memeriksa dan mengadili perkara mendasarkan pada faktor-faktor di luar dirinya.
• Dikenal juga penemuan hukum otonom yang mana prototype-nya dapat dilihat pada sistem peradilan di negara-negara
Anglo Saxon yang menganut asas the binding force of precedent atau stare decisis et quita non movere. Di sini hakim terikat
pada putusan hakim yang telah dijatuhkan mengenai perkara sejenis dengan yang akan diputus hakim yang bersangkutan.
Putusan hakim yang terdahulu yang mengikat merupakan faktor di luar diri hakim yang akan memutuskan tetapi hakim yang
akan memutuskan itu menyatu dengan hakim terdahulu yang telah menjatuhkan putusan mengenai perkara yang sejenis dan
dengan demikian putusan hakim terdahulu dianggapnya sebagai putusannya sendiri sehingga bukan dianggap merupakan
faktor di luar dirinya.
• Hakim negara-negara Anglo Saxon berpikir secara induktif, berpikir dari peristiwa khusus yang satu (putusan hakim yang
terdahulu) ke peristiwa khusus yang lain (peristiwa konkrit yang dihadapinya) akhirnya sampai pada peristiwa khusus yang
lain (putusan). Di sini hakim mengadakan reasoning by analogy. Pada penemuan hukum yang materiil yuridis atau otonom
hakim memeriksa dan memutus perkara menurut apresiasi pribadinya. Ia dibimbing oleh pandangan-pandangan atau
pikirannya sendiri.
• Di dalam perkembangannya, dua sistem penemuan hukum itu saling mempengaruhi sehingga penemuan hukum tidak lagi
murni otonom dan murni heteronom. Bahkan ada kecenderungan bergeser ke arah penemuan hukum otonom.
• Ada kecenderungan sekarang ini dalam pembentukan UU tidak kasusitis tetapi bersifat umum. Akibatnya terjadi pergeseran
dari “hakim terikat” ke arah “hakim bebas”, dari “Normgerechtigkeit” (keadilan menurut UU) ke arah “
Einzelfallgerechtigkeit” (keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusannya), dari “systeemdenken” (berpikir
dengan mengacu kepada sistem : system oriented) ke arah “probleemdenken” (berpikir dengan mengacu kepada
masalahnya : problem oriented).
• Hakim di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat kepada UU tetapi penemuan hukum
ini juga mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi UU
menurut pandangannya sendiri.
ALIRAN DALAM PENEMUAN HUKUM

• Sebelum tahun 1800 sebagian besar hukum adalah hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan ini beraneka
ragam dan kurang menjamin kepastian hukum. Keadaan ini menimbulkan gagasan untuk menyatukan
hukum dan menuangkan dalam sebuah Kitab Undang-undang (codex) yang menyebabkan timbulnya
gerakan kodifikasi. Dari gerakan kodifikasi ini muncul aliran legisme.
• Aliran legisme : aliran dalam ilmu pengetahuan hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum di
luar UU. Hukum dan UU itu identik sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan diakui sebagai
hukum kalau UU menunjuknya. Menurut aliran ini, hakim tidaklah menciptakan hukum. Ajaran ini
didasarkan atas pandangan Montesquieu tentang negara ideal. Dalam negara ideal menurut
Montesquieu, hakim itu harus tunduk pada UU. Menurut aliran ini, semua hukum itu terdapat dalam
UU. Hakim menerapkannya pada peristiwa yang konkrit. Ia tidak bertanggung jawab dan tidak dapat
dicela.
• UU ternyata tidak lengkap dan sering tidak jelas. Aliran legisme ini lama-lama ditinggalkan. Hakim
diharapkan dapat menyesuaikan UU dengan keadaan. Peradilan mempunyai peranan yang penting dan
yurisprudensi makin bertambaj kewibaannya.
• Di Jerman kemudian muncul aliran yang lebih lunak daripada legisme :
- Mazhab Historis. Menurut pandangan mazhab historis, di samping UU masih ada sumber hukum lain yaitu
kebiasaan. Menurut Von Savigny, hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari
mana setiap peristiwa dapat diterapkan kaidah yang cocok (begriffsjurispridenz). Hakim memang bebas dalam
menerapkan UU tetapi ia tetap bergerak dalam sistem hukum yang tertutup.
- Freirechtbewegung (Aliran Hukum Bebas). Dengan diadakannya kodifikasi di Jerman pada tahun 1900
timbullah pendapat bahwa tidak terdapat kekosongan atau kekurangan dalam UU tetapi kemudian timbullah
pendapat bahwa UU itu tidak sempurna, banyak kekurangannya yang harus dilengkapi atau diisi oleh hakim.
Dengan semakin melepaskan diri dari sistem timbullah pandangan bahwa putusan-putusan itu tidak begitu
saja berasal dari UU maupun dari sistem asas-asas hukum atau pengertian hukum, tetapi ada unsur penilaian
memegang peranan.

• Aliran Begiriffjurisprudenz. Menurut aliran ini UU sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai peran penting
tetapi hakim mempunyai peran yang lebih aktif. Aliran ini melihat hukum sebagai satu sistem atau kesatuan
tertutup yang menguasai semua tingkah laku sosial. Pendekatan hukum secara ilmiah dengan sarana
pengertian-pengertian yang diperhalus ini merupakan dorongan timbulnya psotivisme hukum tetapi juga
memberikan argumentasi-argumentasi yang berasal dari ilmu hukum, dan dengan demikian obyektif, sebagai
dasar putusan-putusan. Dasar dari hukum adalah suatu sistem asas-asas hukum serta pengertian dasar yang
menyediakan kaidah yang sudah pasti untuk setiap peristiwa konkrit. Menurut aliran ini pengertian hukum
tidaklah sebagai sarana tetapi sebagai tujuan sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian
(begriffjurisprudenz). Aliran ini menekankan bahwa setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan
sistem hukum. Menurut aliran ini yang ideal adalah apabila sistem itu berbentuk suatu piramida dengan pada
puncaknya suatu asas utama yang dari sana dapat dibuat pengertian-pengertian baru (begriff).
• Aliran Interessenjurisprudenz. Sebagai reaksi terhadap Begriffjurispridenz maka lahirlah Interessenjurisprudenz
pada abad ke 19 di Jerman yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1892), yaitunsuatu aliran yang
menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (interessen) yang difiksikan. Aliran ini berpendapat bahwa
peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka tetapi harus dinilai menurut
tujuannya. Menyadari bahwa sistemasisasi hukum tidak boleh dibesar-besarkan maka von Jhering mengarah
pada tujuan yang terdapat di belakang sistem dan merealisasi “ide keadilan dan kesusilaan yang tak mengenal
waktu”. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memuaskan atau
memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya
kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk UU.
• Penemuan hukum modern. Kritik mendasar terhadap positivisme UU atau legisme terletak pada pandangan
bahwa model subsumptie itu tidak dapat dipertahankan. Sebagai penemu hukum tidak dapat menetapkan
secara objektif apa peristiwanya, apa peraturannya dan kemudian menghubungkannya secara logis. Sejak
menentukan peristiwa yang relevan, memilih peraturan yang relevan dan menghubungkannya satu sama lain,
momentum penilaian selalu berperan. Selanjutnya ada unsur penilaian dalam memilih peraturan, menetapkan
peristiwa, yang tergantung sama lain : peristiwanya diseleksi dengan diarahkan pada peraturan yang akan
diterapkan. Dalam menyeleksi, memilih dan menilai itu selalu berkaitan dengan pertanyaan apa yang ingin
dicapai : penyelesaian mana yang akan diambil. Salah satu pandangan modern ini ialah bahwa bukan sistem per-
uu-an yang merupakan titik tolak tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. UU
bukanlah penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk
dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman
dalam penemuan hukum.
Pandangan penemuan hukum modern ini dapat digolongkan dalam pandangan “gesystematiseerd probleemdenken” atau
“pandangan yang problem oriented” dari Freirechtbewegung. Menurut jalan pikiran ini maka diakui bahwa dalam penemuan
hukum unsur penilaian adalah pusatnya : ingin dicapai sesuatu dengan hukum dan dengan penyelesaian yang sesuai dengan
sistem. Hasilnya tidak dijabarkan secara logis dari peraturan umum yang abstrak tetapi sekaligus selalu merupakan resultante
semua kepentingan dan nilai dalam persidangan. Pada asasnya yang menonjol adalah kemasyarakatan. Penganut aliran ini pada
umumnya menekankan bahwa masalah yuridis selalu berhubungan dengan masalah kemasyarakatan dan dari sinilah harus dicari
penyelesaian yang paling dapat diterima dalam praktik. Titik tolak ini terutama berarti bahwa kita harus selalu sadar akan
kenyataan bahwa penyelesaian hukum merupakan salah satu cara untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Setiap orang
sebelum mulai dengan penemuan hukum harus bertanya apakah suatu penyelesaian hukum dapat menuju kepada hasil akhir
yang diharapkan. Cth : seorang wanita dan pria yang telah hidup bersama dalam suka dan duka tanpa menikah selama
bertahun-tahun. Mereka telah bersumpah setia, apapun yang terjadi, serta akan saling memberi bantuan sampai kematian
memisahkan. Lalu apabila pasangannya meninggal dunia apakah si wanita berhak atas uang pensiun dari pasangannya?. Cth :
putusan MA tanggal 20 januari 1989 Nomor 1400/K/Pdt/1986 dalam menafsirkan UU No 1/1974 (UUP) berkaitan dengan
perkawinan beda agama dengan mempertimbangkan bahwa UUP tidak memuat suatu ketentuan appaun yang menyebabkan
perbedaan agama antara calon suami dan isteri merupakan larangan yang sejalan dengan Pasal 27 UUD. UUP tidak mengatur
mengenai perkawinan calon suami isteri yang berlainan agama. MA berpendapat : bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena
kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum karena membiarkan
masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak negatif di segi kehidupan bermayarakat…maka MA
berpendapat haruslah ditemukan dan ditentukan hukumnya.
Penemu hukum harus menimbang-nimbang semua faktor yang mempengaruhi putusan-putusan akhirnya. Ia harus sadar bahwa
putusan dalam arti positif dapat merupakan preseden untuk banyak hubungan di waktu yang akan datang. Fungsi hukum adalah
melindungi kepentingan manusia. Dalam penemuan hukum yang problem oriented kepentingan pencari keadilan lebih
diutamakan.
SUMBER PENEMUAN HUKUM

• Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan kemudian hukum


kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Dalam ajaran penemuan hukum,
UU diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari
hukumnya, arti sebuah kata, maka dicarilah terlebih dahulu dalam UU, karena UU bersifat otentik
dan berbentuk tertulis yang lebih menjamin kepastian hukum.
• UU merupakan sumber hukum yang penting dan utama akan tetapi perlu diingat bahwa UU dan
hukum tidaklah identik. Tidaklah mudah membaca UU karena tidak hanya membaca bunyi kata-
katanya saja (“naar de letter van de wet”) tetapi harus pula mencari arti, makna atau tujuannya.
Selain itu apa yang dalam UU berlaku sebagai hukum bagi peristiwa konkrit tertentu tidak secara
langsung dapat dilihat dengan mudah dalam UU. Oleh karena itu membaca UU tidaklah cukup
dengan membaca pasal-pasalnya saja tetapi harus pula dibaca penjelasan-penjelasannya dan juga
konsideransnya.
• UU tidak boleh ditafsirkan bertentangan dengan UU itu sendiri (contra legem). Cth : putusan bebas dalam
perkara pidana tidak dapat dimintakan banding (Pasal 67 KUHAP), kasasi (Pasal 244 KUHAP) atau peninjauan
kembali (Pasal 263 KUHAP). Jadi apabila putusan bebas diterima dalam tingkat PK untuk diperiksa dan
diputus berarti contra legem. Andaikata hakim salah atau khilaf dalam menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa, hakim pada pengadilan yang lebih tinggi dapat memperbaikinya, itupun atas permohonan banding
atau kasasi dari terpidana. Sebaliknya apabila hakim memutus bebas dan seandainya itu keliru maka kekeliruan
hakim tidak sepantasnya ditanggung oleh yang diputus bebas dengan membuka kemungkinan untuk
mengajukan bandung, kasasi atau PK bagi pihak kejaksaan yang akan merugikan bagi yang diputus bebas. Ada
ungkapan yang berbunyi “in dubio pro reo” = apabila hakim ragu-ragu, ia harus memutus sedemkian sehingga
menguntungkan terdakwa.
• Apabila dalam peraturan per-uu-an tidak ada ketentuannya atau jawabannya baru dicari dalam hukum
kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang tidak tertulis. Kebiasaan adalah perilaku yang diulang. Tidak
setiap kebiasaan mempunyai kekuatan hukum atau mengikat. Kebiasaan merupakan hukum kebiasaan apabila
kebiasaan itu dianggap mengikat. Dalam hal ini, perilaku itu harus diulang yang berlangsung untuk beberapa
waktu lamanya dan harus menimbulkan keyakinan umum (opinio necessitatis) bahwa perilaku yang diulang
itu memang patut secara objektif dilakukan bahwa dengan melakukan perilaku itu berkeyakinan melakukan
suatu kewajiban hukum.
• Hukum kebiasaan pada umumnya melengkapi UU dan tidak dapat mengesampingkan UU akan tetapi dalam
keadaan tertentu hukum kebiasaan mengalahkan UU : hukum kebiasaan mengalahkan UU yang bersifat
pelengkap. Kalau hukum kebiasaan tidak memberikan jawaban maka dicari dalam yurisprudensi.
• Yurisprudensi = setiap putusan hakim. Dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara
sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi yang pada umumnya diberi annotatie oleh
pakar di bidang peradilan. Yurisprudensi diartikan pandnagan atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim dan
dituangkan dalam putusannya. Di lingkungan peradilan tetap dikenal dengan yurisprudensi tetap. Apabila suatu
kaidah atau ketentuan dalam suatu putusan kemudian diikuti secara konstan atau tetap oleh para hakim dalam
putusannya dan dapat dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum umum, maka dikatakan bahwa terhadap
masalah hukum tersebut telah terbentuk yurisprudensi tetap.
• Putusan sebagai penetapan kaidah hukum untuk waktu yang akan datang merupakan pedoman bagi hakim lain
untuk memutus perkara yang serupa dengan yang diputus oleh putusan tersebut di kemudian hari (stare
decisis). Stare decisis/sistem preseden adalah metode untuk mengadili suatu perkara yang mirip atau sama juga
harus diproses secara mirip atau sama. Stare decisis dianut dalam sistem common law. Civil law tidak mengenal
doktrin stare decisis.
• Doktrin, cth mengenai definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tetapi karena terlalu umum dan tidak
jelas maka doktrin membantu dengan memberi batasan tentang perjanjian.
METODE PENEMUAN HUKUM
• UU bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia sehingga harus dilaksanakan dan ditegakkan.
Untuk dapat melaksanakannya maka UU harus diketahui setiap orang. Agar dapat memenuhi asas
“setiap orang dianggap tahu akan UU” maka UU harus tersebar luas dan harus pula jelas. Dalam UU,
sekalipun namanya serta maksudnya sebagai penjelasan namun seringkali terjadi bahwa penjelasan itu
tidak juga memberi kejelasan karena hanya diterangkan “cukup jelas” padahal teks UU-nya tidak
jelas dan masih memerlukan penjelasan.
• Kalaupun UU itu jelas, tidak mungkin UU itu lengkap dan tuntas. Tidak mungkin UU itu mengatur
segala kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas karena kegiatan manusia itu tidak terbilang
banyaknya. Selain itu UU adalah hasil karya manusia yang sangat terbatas kemampuannya.
• Ketentuan UU tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat
menerapkan ketentuan UU yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang konkrit
dan khusus sifatnya maka ketentuan UU itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan
atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa
hukumnya harus dicari terlebih dahulu dari peristiwa konkritnya kemudian UU-nya ditafsirkan untuk
dapat diterapkan.
• Setiap peraturan hukum bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan
menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum yang abstrak itu
memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan pada peristiwa yang cocok.
• Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang
gamblang mengenai teks UU agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat
diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.
• Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya. Sebaliknya dapat juga terjadi hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada
peraturannya yang khusus. Dalam hal ini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan UU yang
harus diisi atau dilengkapi sebab hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan
dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Untuk mengisi kekosongan hukum itu maka
digunakan metode berpikir : analogi, penyempitan hukum dan a contrario.
LANGKAH-LANGKAH PENEMUAN
HUKUM
Tidak ada aturan Konstruksi hukum
(metode argumentasi)
hukum

Konflik norma Asas preferensi hukum

interpretasi
Aturan hukum
kabur
ARGUMENTUM PER ANALOGIAM

• Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam UU diperlalukan
sama.
• Penemuan hukum dengan jalan analogi terjadi dengan mencari peraturan umumnya dari peraturan
khusus dan akhirnya menggali asas yang terdapat di dalamnya. Di sini peraturan per-uu-an yang
khusus dijadikan peraturan yang bersifat umum yang tidak tertulis dalam UU, diterapkan terhadap
suatu peristiwa khusus tertentu, sedangkan peraturan per-uu-an tersebut sesungguhnya tidak
meliputi peristiwa khusus tertentu itu tetapi peristiwa khusus tertentu itu hanyalah mirip dengan
peristiwa yang diatur oleh peraturan per-uu-an itu.
• Pada analogi suatu peraturan khusus dijadikan umum yang tidak tertulis dalam UU dan disimpulkan
dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. Analogi memberi penafsiran pada suatu
peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan
asas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan kemudian
dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Peraturan khusus : Pasal Peraturan umum :
1576 BW = jual beli tidak Analogi (yang khusus ‘penjualan’ meliputi setiap
memutus sewa menyewa dijadikan umum) peralihan

Diterapkan terhadap peristiwa khusus : jual beli Diterapkan terhadap setiap peralihan :
hibah, warisan, dsb

- Kapan diadakan atau dibolehkan mengadakan analogi? Yaitu apabila menghadapi peristiwa-peristiwa yang
“analog” atau mirip. Tidak hanya sekedar kalau peristiwa yang akan diputus itu mirip dengan peristiwa yang
diatur dalam UU tetapi juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang sama.
- Analogi merupakan penemuan hukum tetapi sekaligus juga merupakan penciptaan sesuatu hal yang baru.
Analogi ini dapat juga disebut penafsiran ekstensif karena memperluas pengertian.
PENYEMPITAN HUKUM (RECHTSVERFIJNING)
• Kadang kala peraturan per-uu-an itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas maka perlu
dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.
• Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-
penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap
peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan
memberi ciri-ciri. Cth : asas itikad baik (bona fides, goede trouw) yang tercantum dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan norma kabur yang luas dan umum sifatnya : “perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Oleh karena luas dan umum sifatnya maka agar dapat
diterapkan pada peristiwa konkrit harus dipersempit dengan disesuaikan dengan peristiwa
konkrit yang bersangkutan. Hoge Raad dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923
mempersempit “itikad baik” dan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut dengan rumusan
“menurut syarat-syarat kelayakan dan kepatutan” (naar redelijkheid en billijkheid). Ada itikad
baik yang dipersempit menajdi menurut kelayakan dan kepatutan yang bersifat normatif atau
objektif dan itikad baik dalam arti tanpa mengetahui adanya cacat seperti yang tercantum
dalam Pasal 530 KUHPerdata yang bersifat kualitatif atau subjektif.
ARGUMENTUM A CONTRARIO

• Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh UU tetapi kebalikan dari peristiwa
tersebut diatur oleh UU. Bagaimana menemukan hukum bagi peristiwa yang tidak diatur secara
khusus itu? Cara menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila UU menetapkan hal-hal
tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan
untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya, ini merupakan metode argumentum a contrario. Ini
merupakan cara penafsiran atau menjelaskan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian
antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam UU. Dengan mengatur secara
tegas suatu peristiwa tertentu tetapi peristiwa yang mirip lainnya tidak maka berlaku hal yang
kebalikannya, cth : dilarang merokok, jadi meludah boleh; dilarang berjualan di sini jadi parkir
kendaraan dibolehkan.
• Pada argumentum a contrario titik berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Di sini
diperlukan sisi negatifnya UU.
Pasal 39 PP No 9/1975 :
Isteri yang cerai boleh a contrario Pasal 39 PP No 9/1975
menikah lagi setelah diterapkan secara
masa idah kebalikannya

Diterapkan terhadap peristiwa khusus : isteri yang cerai Diterapkan terhadap peristiwa
khusus lain : suami yang cerai
hendak kawin lagi

- Pasal 39 PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan menentukan bahwa waktu tunggu bagi seorang
janda yang hendak kawin lagi apabila perkawinan putus karena perceraian ditetapkan 130 hari. Bagaimana
dengan seorang duda?
- Baik argumentum per analogiam maupun argumentum a contrario berakar pada postulat keadilan : peristiwa
yang sama diperlakukan sama (analogi), peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a contrario)
KONFLIK NORMA

• Asas preferensi hukum meliputi :


1. Asas Lex Posteriori derogat legi priori
2. Asas Lex Specialis derogat legi generali
3. Asas Lex Superiori derogat legi generali
PROSEDUR PENEMUAN HUKUM

• Hukum acara pada umumnya, baik perdata maupun pidana, dapat dibagi menjadi 3 tahap : tahap
pendahuluan atau permulaan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan
adalah tahap sebelum acara pemeriksaan di persidangan. Dalam acara perdata pada tahap
pendahuluan ini tidak banyak kegiatan yang dapat dilakukan, seperti : memasukkan gugatan,
memajukan permohonan penyitaan jaminan dan pencabutan gugatan. Berbeda dengan acara
pidana, lebih banyak kegiatan yang dilakukan : pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh
penyidik (kepolisian) dan kejaksaan. Tahap penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan,
dimulai dari jawab-menjawab (pemeriksaan terdakwa), pembuktian peristiwa, sampai pada
putusan.Tahap pelaksanaan meliputi pelaksanaan putusan sampai selesai.
• Kegiatan hakim yang utama dan yang paling banyak adalah pada tahap penentuan, yaitu
pemeriksaan di persidangan.
• Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim di persidanga adalah mengkonstatasi peristiwa konkrit yang
sekaligus berarti merumuskan peristiwa konkrit, mengkualifikasi peristiwa konkrit, yang berarti menetapkan
peristiwa hukumnya dan peristiwa konkrit dan mengkonstitusi atau memberi hukum atau hukumannya, yang
pada dasarnya semua itu tidak ubahnya dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu
konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu legal problem identification, legal problem solving dan
decision making.
• Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Penemuan hukum adalah
konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan hukum atau das sollen yang bersifat umum dengan
mengingat peristiwa konkritnya atau das sein. Peristiwa konkrit perlu dicarikan hukumnya yang bersifat
umum dan abstrak. Peristiwa konkrit harus dipertemukan dengan peraturan hukum. Peristiwa konkrit harus
dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan itu. Sebaliknya, peraturan
hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkritnya agar dapat diterapkan.
• Tahapan penemuan hukum :
- Penggugat mengajukan gugatan yang berisi peristiwa konkrit yang dijawab oleh tergugat dalam jawabannya
yang berisi peristiwa konkrit pula. Sering terjadi bahwa peristiwa konkrit yang diajukan oleh tergugat dalam
jawabannya ada yang sama atau tidak sama dengan peristiwa konkrit yang diajukan oleh penggugat dalam
gugatannya. Maka hakim perlu mengetahui apa yang sekiranya menjadi sengketa bagi kedua belah pihak. Dari
jawab-menjawab itu akhirnya akan diketahui oleh hakim peristiwa manakah yang sekiranya menjadi sengketa.
Dikatakan “sekiranya” karena peristiwa konkrit itu masih harus dibuktikan kebenarannya.
- Setelah peristiwa konkritnya dikonstatasi atau dinyatakan terbukti maka peristiwa konkrit itu harus dicarikan
(peraturan hukumnya). Peristiwa konkrit yang telah terbukti itu harus diterjemahkan dalam bahasa hukum,
yaitu dicari kualifikasinya, dicari peristiwa hukumnya dengan mencari atau menemukan peraturan hukumnya.
Setelah peraturan hukumnya ditemukan maka akan diketahui peristiwa hukumnya. Peristiwa hukumnya harus
ditemukan agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Jadi peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa
hukum lebih dahulu sebelum peraturan hukumnya dapat diterapkan pada peristwa hukum bukan pada
peristiwa konkrit, cth : kalau Suto menerima sepeda dari Budi yang berkewajiban menyerahkan Rp 200.000
kepada Rudi (peristiwa konkrit) maka kualifikasinya adalah jual beli (peristiwa hukum). Kalau Didi menyadap
aliran listrik milik Wadi dengan jalan melawan hukum maka peristiwa konkrit itu harus diterjemahkan dalam
bahasa hukum, harus diberi kualifikasinya sehingga menjadi peristiwa hukum dengan mencari peraturan
hukumnya. Peraturan hukumnya tercantum dalam Pasal 362 KUHP. Kualifikasi yang terdapat dalam Pasal 362
KUHP tersebut adalah “pencurian”. Jadi peristiwa konkrit “Dadap nggantol aliran listrik milik Waru..dan
sebagainya” diterjemahkan dalam bahasa hukum menjadi peristiwa hukum “pencurian”.
- Mulai dicari kaitannya antara das sein dan das sollen. Untuk dapat menetapkan hubungan antara peristiwa
konkrit dengan peraturan hukumnya maka peristiwa konkrit harus dikualifikasi atau diterjemahkan ke dalam
bahasa hukum. Kualifikasi peristiwa konkrit menjadi peristiwa hukum hanya dimungkinkan dengan
pengetahuan dan penguasaan peraturan-peraturan hukum. Hubungan antara das sein dan das sollen itu erat.
Das sein membutuhkan das sollen sebaliknya juga demikian. Agar das sein mempunyai akibat hukum maka
memerlukan das sollen. Agar das sollen itu aktif, hidup dan dapat dilaksanakan maka membutuhkan terjadinya
suatu peristiwa konkrit (das sein). Das sein merupakan aktivator dari das sollen.
Pasal 362 KUHP :
1. Barangsiapa
2. Mengambil
? Diterjemahkan dalam bahasa hukum
3. Barang
4. Milik orang lain
5. Dengan melawan
Apa kualifikasinya hukum. Kualifikasi :
pencurian

1. Didi
2. Nyadap Didi mencuri aliran listrik milik
3. Aliran listrik Wadi dengan melawan hukum
4. Milik Wadi
5. Dengan melawan

Peristiwa hukum
Peristiwa konkrit das sein
• Kalau peraturan hukumnya telah ditemukan maka harus dibahas, ditafsirkan atau dijelaskan isinya kalau
sekiranya tidak jelas (interpretasi) atau dilengkapi kalai sekiranya terdapat kekosongan atau ketidaklengkapan
hukum (argumentum) atau diadakan konstruksi hukum kalau diperlukan pembentukan pengertian hukum.
• Peraturan per-uu-an tidak selalu dirumuskan dengan jelas dan pada umumnya tidak lengkap. Oleh karena itu,
peraturan per-uu-an harus dibaca dengan hati-hati dan cermat. Harus dapat ditangkap yang tersirat dalam
peraturan per-uu-an. Untuk itu harus dikuasai pula pengetahuan tentang pengertian, asas, dan sistem hukum.
Untuk memperoleh pengertian suatu istilah hukum kadang-kadang perlu dicari dalam peraturan per-uu-an
yang lain.
• Menafsirkan bukan merupakan kegiatan yang rasional logis. Hakim harus mengambil pilihan dari pelbagai
metode penafsiran yang hasilnya dapat berbeda. Hakim mempunyai kebebasan menafsirkan, yang tidak boleh
tidak harus dilakukan karena ia tidak dapat menolak untuk mengadili dan memutuskan perkara. Apabila hakim
harus mengambil pilihan dari pelbagai kemungkinan, yang ditentukan oleh penilaiannya, maka ia melengkapi
atau mengisi peraturan-peraturan hukumnya dalam hubungannya satu sama lain; setiap penafsiran, demikian
pula setiap putusan menambahkan sesuatu, berisi unsur penciptaan. Akhirnya hakim hanya menjatuhkan
pilihannya berdasarkan pertimbangan metode manakah yang paling menyakinkannya dan yang hasilnya paling
memuaskan. Peradilan dalam hal ini menjadi penciptaan hukum, penemuan hukum.
Peristiwa dikonstatasi

Beri terjemahan yuridis


sementara dari peristiwa
dalam kasus (kualifikasi)

Seleksi peraturan-
peraturan hukum
Apakah
Berdasarkan hasil dari
persyaratan Tidak
kolom 3 maka tentukan
kolom 4
syarat-syarat yang sesuai
dipenuhi
dengan terjemahan kolom
dalam kolom
2
1
Tidak

Ya
Ya Apakah akibat dari
Rumuskan Terapkan peraturan dari
kolom 6 “dapat kolom 3 pada peristiwa dan
putusan
diterima”? tentukan akibatnya
Pasal 362 KUHP :
barangsiapa
----------
mencuri

Peraturan hukum
Das sollen

Penerapan hukum

Didi mencuri aliran


listrik Didi harus dihukum
-----------------

Peristiwa hukum
• Tugas hakim adalah memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara. Dalam memilih putusan mana yang akan
dijatuhkan yang penting bukan sekedar dipenuhi tidaknya prosedur tertentu menurut UU tetapi yang penting
ialah justru setelah putusan itu dijatuhkan, yaitu dapat tidaknya putusan yang akan dijatuhkan ini diterima, baik
menurut persyaratan keadilan maupun persyaratan konsistensi sistem . Pilihan itu diterapkan oleh pandangan
pribadi hakim tentang pertanyaan putusan mana yang paling dapat diterima terutama oleh para pihak yang
bersangkutan dan oleh masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa latar belakang kehidupan hakim seperti
pendidikan, agama, dan juga lingkungannya akan mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusannya, karena
hakim adalah produk dari zamannya..
• Hakim harus mengadili menurut hukum. Oleh karena itu putusannya harus berdasarkan hukum, harus
mengandung atau menjamin kepastian hukum, yang berarti bahwa ada jaminan hukum dijalankan, bahwa yang
berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusannya dilaksanakan. Juga bahwa perkara
yangs serupa harus diputus sama pula.
• Putusan hakim juga harus bermanfaat, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat. Masyarakat dalam
hal ini berkepentingan, karena masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat.
Dengan adanya sengketa, keseimbangan tatanan di dalam masyarakat akan terganggu, dan keseimbangan yang
terganggu itu harusd dipulihkan kembali.
• Putusan harus adil. Adil dirasakan oleh pihak yang bersangkutan. Kalaupun pihak lawan menilainya tidak adil,
masyarakat harus dapat menerimanya sebagai adil. Keadilan adalah penilaian terhadap perbuatan atau
perlakuan seseorang terhadap orang lain dan lazimnya hanya dilihat dari sudut orang yang terkena atau
dikenai perlakuan ini. Berbicara tentang keadlan juga berbicara tentang perlindungan kepentingan. Sekalipun
yang mengajukan gugatan itu penggugat, kepentingan tergugat harus tetap diperhatikan.
Barangsiapa
mencuri dihukum

Gerechtigkeit
Didi harus
Didi mencuri Zweekmassigkeit Putusan
dihukum
Rechtsicherheit
• Kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechttigkeit) harus ada
dalam putusan secara proporsional. Akan tetapi, di dalam praktik jarang terdapat putusan yang mengandung 3
unsur itu secara proporsional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proporsional, paling tidak
ketiga faktor itu seyogyanya ada dalam putusan.
• Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. “Hukumnya demikian bunyinya maka
harus dijalankan (kepastian hukum)” tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil
(lex dura sed tamen scripta : hukum itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).
• Kalau dalam pilihan putusan sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan,
keadilanlah yang harus didahulukan.
• Tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan ialah bahwa putusan itu bukan hanya sekedar harus selesai saja
tetapi harus pula tuntas. Tidak jarang ada putusan yang tidak dapat dijalankan karena isi putusannya terlalu
formalistis : yuridis formal tepat tetapi tidak dapat dilaksanakan. Tidak sedikit pula putusan yang sekalipun
dapat dijalankan menimbulkan perkara baru.
• Sebelum mengucapkan/menjatuhkan putusannya, hakim harus bertanya kepada dirinya sendiri : jujurkah saya
dalam mengambil putusan ini, sudah tepatkah putusan saya ini, akan menyelesaikan atau menuntaskan
perkarakah putusan saya ini, adilkah putusan saya ini, bermanfaatkah putusan saya ini?. Setelah putusan
dipertimbangkan secara cermat dan masak-masak maka putusan dirumuskan dan diucapkan yang tidak
mungkin ditarik kembali atau diubah, sekalipun belum memperoleh kekuatan hukum tetap dan sekalipun
tujuannya adalah untuk memperbaiki atau menyempurnakannya kecuali di tingkat peradilan yang lebih tinggi.
Contoh Kasus :

 Yoyok atau Franki didakwa oleh Jaksa PU memiliki 3 Kg Sabu-sabu dan 6000 pil ekstasi.
 Oleh Hakim di PN Sby divonis penjara 10 tahun dan denda Rp. 100 juta, karena Yoyok terbukti
melanggar pasal 59 ayat 1 huruf e UU No. 5/1997 memiliki 3 Kg Sabu-sabu dan 6000 pil ekstasi.
Hal lain yang memberatkan Yoyok pernah melarikan diri dari tahanan.
 Namun oleh Hakim PT diputus 5 tahun penjara dengan pertimbangan kemanusian sbb :
1. Tidak pernah dihukum/bukan residivis
2. Dia telah meminta maaf kepada semua aparat penegak hukum
3. Masih muda dan mengaku bertobat
4. Dia tulang-punggung bagi istri dan anak-anaknya
5. Dia Menderita sakit Jantung.
 Dengan demikian, Hakim PT selain berdasarkan “Rule” (pasal UU) dan “Logika Hukum”, juga
pertimbangan kemanusiaan dalam memutus perkara banding yang diajukan Yoyok.Hal inilah yang
menjadikan putusan hakim dapat berbeda-beda.
PENAFSIRAN HUKUM (RECHTSINTERPRETATIE)

• Dalam hal peraturan per-uu-an tidak jelas, tersedia metode interpretasi atau penafsiran.
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim tetapi juga oleh peneliti hukum dan mereka yang
berhubungan dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan hukum.
• Berbagai metode interpretasi itu merupakan argumentasi yang membenarkan formulasi
(rumusan) suatu peraturan. Di samping itu, metode interpretasi dapat digunakan juga untuk
membenarkan analogi, a contrario dan rechtsverfijning (penyempitan hukum).
• Ajaran tentang penafsiran dari abad ke 19 sangat dipengaruhi oleh von Savigny. Ia memberi
batasan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam UU. Ini bukan
merupakan metode penafsiran yang dapat digunakan semaunya tetapi menurut von Savigny
pelbagai kegiatan yang kesemuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan, yaitu
penafsiran UU.
• Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang
gamblang mengenai teks UU agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu.
• Penafsiran oleh hakim : penafsiran atau penjelasan yang harus menuju kepada penerapan (atau tidak
menerapkan) suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh
masyarakat.
• Para praktisi hukum pun yang mewakili para pihak yang bersengketa juga akan melakukan interpretasi yang
menguatkan argumentasinya dalam meneguhkan posisi yang diwakilinya. Dalam hal ini, hakim akan
mempelajari interpretasi kedua belah pihak dan bilaman dipandang perlu hakim juga akan melakukan
interpretasi terhadap aturan UU yang diajuakan oleh kedua belah pihak = interpretasi hakim yang akan
berlaku.
• Penafsiran hukum (legal interpretation) senantiasa diperlukan dalam penerapan hukum tertulis untuk
menemukan dn membentuk hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan untuk memperjelas tentang
ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang sudah ada, yang dapat diberlakukan bagi suatu aspek kehidupan
tertentu. Pemebtukan hukum bertujuan untuk membentuk, menyusun atau membangun hukum bagi aspek
kehidupan tertentu yang belum ada hukumnya. Penafsiran hukum hendaknya diikuti dengan penalaran hukum
(legal reasoning), yaitu upaya yang dilakukan untuk memberi alasan dan penjelasan hukum agar hasil
penafsiran hukum masuk akal dan dapat dipahami secara logis. Hasil penafsiran dan penalaran hukum
tersebut disampaikan dengan menggunakan argumetasi hukum yang rasional agar kepastian hukum, keadilan
dan kebenaran dapat ditegakkan.
METODE INTERPRETASI

• Dari hasil penemuan hukum pelbagai metode interpretasi dapat dibedakan antara interpretasi
restriktif dan ekstensif. Karena interpretasi itu merupakan akibat rumusan tertentu dari suatu
peraturan dapat menyebabkan dibatasi atau diperluasnya lingkungan penerapan peraturan tersebut,
karena interpretasi itu dibatasi atau diperluas. Di sini bukanlah interpretasinya sendiri yang restriktif
atau ekstensif tetapi pembedaan istilah restriktif dan ekstensif adalah akibat formulasi tertentu dari
suatu peraturan yang dibenarkan dengan bantuan interpretasi. Akibat inilah yang dapat membatasi
atau memperluas lingkungan penerapan suatu peraturan per-uu-an.
• Suatu peraturan hanya dapat ditetapkan dengan jalan penjelasan atau penafsiran. Baru kemudian
dapat dilihat apakah itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya, metode interpretasi gramatikal
itu bersifat membatasi, interpretasi historis menurut UU bersifat memperluas. Interpretasi teleologis
sifatnya memperluas sedangkan metode interpretasi sistematis bersifat membatasi.
• Dalam menggunakan pelbagai metode interpretasi hasilnya dapat berbeda. Hakim harus mengambil pilihan. Ia
harus menimbang-nimbang. Ia mempunyai kebebasan menafsirkan yang harus dilakukannya, karena ia harus
memutuskan yang tidak boleh ditolaknya dan yang hanya dapat dijawabnya berdasarkan pandangan dan
penilaiannya. Ini masalah pilihan pribadi hakim. Dan pilihan itu ditentukan oleh pandangan pribadinya tentang
pertanyaan putusan manakah yang paling dapat diterima oleh masyarakat. Ia harus mendasarkan putusannya
pada kelayakan dan kepatutan. Hakim akhirnya hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan
metode manakah yang paling menyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pada hakikatnya setelah
mempertimbangkan untung ruginya, hakim memberikan pemecahan yang paling dapat diterima.
• Motivasi pemilihan metode interpretasi yang mana tidak pernah dijumpai dalam yurisprudensi. Pada
pertimbangan dalam putusannya, hakim tidak pernah mengemukakan alasan apakah yang menentukan untuk
memilih metode tertentu. Yang diutamakan adalah hasilnya, penyelesaian masalah, dan putusan yang
memuaskan. Oleh karena itu penafsiran adalah alat bantu.
• Metode-metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk sehingga batasnya tidak
dapat ditarik secara tajam. Dapat dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi terdapat unsur-unsur gramatikal,
sistematis, historis dan teleologis.
INTERPRETASI GRAMATIKAL

• Hukum memerlukan bahasa. Hukum tidak mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu, bahasa
merupakan sarana penting bagi hukum; peraturan per-uu-an dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis,
putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis bahkan untuk mengadakan perjanjian
pun diperlukan bahasa.
• Untuk mengetahui makna ketentuan UU maka ketentuan UU itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan
menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Metode penemuan hukum ini disebut interpretasi
gramatikal atau penafsiran menurut bahasa dan merupakan penafsiran atau penjelasan UU yang paling
sederhana dibandingkan dengan metode interpretasi yang lain. Interpretasi gramatikal merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan UU dengan
menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya.
• Formulasi peraturan untuk pembenaran putusan pengadilan dalam hal ini merupakan penafsiran atau
penjelasan istilah atau bagian kalimat dari peraturan tersebut menurut bahasa sehari-hari atau bahasa
hukum.
• Penafsiran gramatikal adalah penafsiran hukum berdasarkan tata bahasa yang dilakukan terhadap kata-kata
yang tersusun di dalam isi peraturan per-uu-an. Kata demi kata yang terkandung di dalam pembukaan,
batang tubuh dan penjelasan dari suatu peraturan per-uu-an diartikan, diberi makna dan dikaitkan satu
sama lain sehingga memberi pemahaman yang utuh tentang hukum yang berlaku bagi suatu perbuatan
hukum, hubungan hukum dan peristiwa hukum tertentu.
• Pada dasarnya, penafsiran UU itu selalu akan merupakan penafsiran atau penjelasan dari segi bahasa dan
disebut juga metode objektif.
• Contoh : interpretasi gramatikal mengenai istilah “dipercayakan” seperti yang tercantum dalam Pasal 432
KUHP : seorang pejabat suatu lembaga umum untuk pengiriman yang dengan sengaja memberikan kepada
orang lain daripada apa yang berhak, surat tertutup, kartu pos, atau paket, yang dipercayakan
(verduisteren), kepada lembaga itu, atau kalau sebuah paket “diserahkan” kepada dinas perkeretaapian
(PJKA), sedangkan yang berhubungan dengan pengiriman tidak ada lain kecuali dinas itu maka diserahan
berarti “dipercayakan”. Jadi “dipercayakan” ditafsirkan menurut bahasa sebagai diserahkan. Istilah
“menggelapkan” dari Pasal 372 KUHP ada kalanya ditafsirkan sebagai “menghilangkan”. Kata
“meninggalkan” dalam Pasal 305 KUHP berarti “menelantarkan”.
INTERPRETASI OTENTIK

• Penafsiran otentik/penafsiran resmi. Dalam berbagai perundang-undangan, pembentuk Undang-


undang telah memasukkan banyak keterangan resmi mengenai beberapa istilah atau kata dalam
perundang-undangan yang bersangkutan.
• Dalam KUHP penjelasan umum ini dimuat dalam Bab IX Buku I (pasa186-101 bis). Misalnya
tentang arti waktu "malam" yang diterangkan dalam pasal 98 ialah waktu antara matahari
terbenam dan matahari terbit.
• Sebenarnya penafsiran otentik ini tidak dilakukan oleh Hakim, tetapi oleh Pembentuk Undang-
undang sendiri. Hakim hanya mengikuti pengertian suatu istilah/unsur tertentu sesuai dengan
yang diterangkan dalam Undang-undang.
• Keterangan otentik mengenai sesuatu istilah dalam Undang-undang dimaksudkan agar dalam
praktik hukum tidak diberikan pengertian lain dari apa yang dimaksud oleh Pembentuk
Undang-undang
INTERPRETASI SISTEMATIS ATAU
LOGIS
• Suatu peraturan hukum atau UU merupakan bagian dari keseluruhan sistem hukum. Arti
pentingnya suatu suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem
hukum, lepas dari hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu peraturan
hukum tidak mempunyai arti.
• Menafsirkan peraturan per-uu-an dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau
UU lain atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematis. Menafsirkan UU
tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem per-uu-an atau sistem hukum.
• Dalam penafsiran sistematis, hukum dilihat oleh hakim sebagai satu kesatuan, sebagai sistem
peraturan. Satu peraturan tidak dilihatnya sebagai peraturan yang berdiri sendiri tetapi sebagai
bagian dari satu sistem.
• Tidak hanya suatu peraturan dalam satu himpunan peraturan dapat membenarkan penafsiran tertentu dari
peraturan itu, juga pada beberapa peraturan dapat mempunyai dasar tujuan atau asas yang sama. Hubungan
antara keseluruhan peraturan tidak semata-mata ditentukan oleh tempat peraturan itu terhadap satu sama
lain tetapi oleh tujuan bersama atau asas-asas yang bersamaan yang mendasarkan pada peraturan-peraturan
itu.
• Contoh : kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh irang
tuanya tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata saja tetapi harus dihubungkan
dengan Pasal 278 KUHP yang berbunyi bahwa : “Barangsiapa mengaku seorang anak sebagai anaknya menurut
KUHPerdata, padahal diketahui bahwa ia bukan bapak dari anak itu, diancam dengan …..”
• Contoh : pengertian dari perbuatan “menggugurkan kandungan” dalam Pasal 347 KUHP, yang artinya
mengeluarkan kandungan (vrucht) atau janin dari perut ibu. Bahwa vrucht yang dipaksa keluarkan itu harus
dilakukan pada janin yang hidup bukan janin yang sudah mati. Mengapa demikian?karena jika dilihat bahwa
Pasal 347 KUHP itu dengan menghubungkannya pada judul Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa
(secara sistematis) di mana semua objek kejahatan adalah nyawa dan Pasal 347 KUHP adalah bagian dari Bab
XIX.
INTERPRETASI HISTORIS

• Interpretasi historis adalah penafsiran makna UU menurut terjadinya dengan jalan meneliti
sejarah terjadinya. Interpretasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan
penafsiran menurut sejarah terjadinya UU.
• Dengan penafsiran menurut sejarah UU hendak dicari maksud ketentuan UU seperti yang
dilihat oleh pembentuk UU pada waktu pembentukannya. UU selalu merupakan reaksi
terhadap kepentingan atau kebutuhan sosial untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia yang
dapat dijelaskan secara historis. Setiap pengaturan dapat dilihat sebagai satu langkah dalam
perkembangan masyarakat, yang maknanya dapat dijelaskan dengan meneliti langkah-langkah
sebelumnya. Ini meliputi seluruh lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan UU.
• Kalau penafsiran peraturan tertentu didasarkan pada maksud atau tujuan pembentuk UU peraturan tertentu
tersebut dengan meneliti hasil pembicaraan dan dokumen di DPR yang mendahului terciptanya peraturan
tertentu tersebut maka disebut interpretasi historis menurut UU. Maksud pembentuk UU itu tampak dari
hasil pembicaraan di DPR. Yang dicari adalah maksud suatu peraturan seperti yang dikehendaki oleh
pembentuk UU. Kehendak pembentuk UU lah yang bersifat menentukan. Penafsiran ini disebut juga
penafsiran subjektif karena penafsiran dipengaruhi oleh pandangan subjektif dari pembentuk UU.
• Metode interpretasi yang hendak memahami UU dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interpretasi
menurut sejarah hukum. Contoh : untuk menafsirkan suatu ketentuan dalam KUHPerdata diteliti sejarah
lahirnya BW, Code Civil dari 1804 atau mundur lebih jauh sampai ke Hukum Romawi, maka kita
menafsirkannnya dengan interpretasi menurut sejarah hukum. UU No 1/1974 hanya dapat dimengerti dengan
meneliti sejarah tentang emansipasi wanita.
• Bagi ahli sejarah pandangan sejarah merupakan tujuan, tidaklah demikian ahli hukum. Dengan makin tua umur
UU maka penjelasan historis makin lama makin kurang kegunaannya dan makin beralasan untuk
menggunakan interpretasi sosiologis.
• Interpretasi historis dapat dibagi menjadi 2 :
1. Wethistorische Interpretatie : penafsiran menurut sejarah terbentuknya UU yang bersangkutan yaitu
penafsiran yang dilakukan dengan cara meneliti sejarah terbentuknya suatu UU. Dalam penafsiran sejarah
terhadap UU dalam arti formal dimaksudkan mencari makna UU formal dengan menelusuri proses
pembuatan UU, misalnya sejarah pasal-pasal penyiar kebencian (Pasal 154-156 KUHP).
2. Rechtshistorische Interpretatie : penafsiran menurut sejarah berlakunya hukum yang bersangkutan, yaitu
penafsiran berdasarkan sejarah terwujudnya hukum yang diberlakukan di negara yang bersangkutan, cth :
berlakunya KUHP adalah berasal dari Wetboek van Strafrecht di negara Belanda yang berdasarkan asas
konkordansi diberlakukan juga di Hindia Belanda.
INTERPRETASI TELEOLOGIS ATAU
SOSIOLOGIS
• Di sini hakim menafsirkan UU sesuai dengan tujuan pembentuk UU. Lebih diperhatikan tujuan
dari UU daripada bunyi kata-kata saja. Interpretasi teleologis terjadi apabila makna UU itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan per-uu-an disesuaikan dengan hubungan
dan situasi sosial yang baru. Ketentuan UU yang sudah usang digunakan sebagai sarana untuk
memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang. Metode ini baru digunakan
apabila kata-kata dalam UU dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara. Makin usang suatu UU makin
banyak dicari tujuan pembentuk UU yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
• Dengan interpretasi ini, UU yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi,
diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli
apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya UU tersebut dikenal atau tidak.
• Metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam UU dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara. Contoh : di
pengadilan Belanda dihadapkan pada persoalan penyadapan atau penggunaan tenaga (aliran) listrik untuk
kepentingan sendiri yang dilakukan oleh orang lain termasuk pencurian menurut Pasal 362 KUHP. Pada
waktu UU tersebut dibuat belum dibayangkan adanya kemungkinan pencurian listrik. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah tenaga listrik itu merupakan barang yang dapat diambil menurut rumusan Pasal
362 KUHP. Kemudian ditafsirkan bahwa tenaga listrik itu bersifat mandiri dan mempunyai nilai tertentu
karena untuk memperoleh aliran listrik diperlukan biaya dan aliran itu dapat diberikan kepada orang lain
dengan penggantian biaya dan bahwa Pasal 362 KUHP bertujuan untuk melindungi harta kekayaan orang lain.
• Interpretasi teleologis : yang perlu ditelaah adalah pemikiran apakah yang melandasi adanya UU tersebut. Di
samping itu, perlu adanya penjelasan yang rasional untuk apa dibuat UU itu, misalnya mengapa UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengalami beberapa perubahan begitu juga dengan UU HAKI.
INTERPRETASI KOMPARATIF

• Interpretasi komparatif adalah penafsiran hukum yang dilakukan dengan membandingkan hasil
penafsiran dari satu peraturan dengan hasil penafsiran peraturan lainnya sehingga dapat diperleh
suatu kejelasan tentang hukum yang perlu dibentuk untuk diberlakukan, contoh : upaya untuk
membandingkan peraturan-peraturan perlindungan hak paten yang berlaku di beberapa negara
dengan tujuan untuk dapat memperoleh materi hukum bagi penyusunan rencana pembelajaran
bagi pelaksanaan UU Paten.
INTERPRETASI ANTISIPATIF ATAU
FUTURISTIS
• Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum
mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan UU.
• Contoh : putusan mengenai pencurian aliran listrik. Pada waktu HR tanggal 23 Mei 1921
memutuskan bahwa listrik termasuk barang yang dapat dicuri (Pasal 362 KUHP) sudah
direncanakan suatu UU yang menyatakan perbuatan itu dinyatakan diancam dengan pidana.
Interpretasi ini dapat dipertanggungjawabkan sebagai metode teleologis dan fungsional
sedangkan Langemeyer memandangnya sebagai interpretasi ekstensif.
INTERPRETASI RESTRIKTIF

• Di sini untuk menjelaskan suatu ketentuan UU, ruang lingkup ketentuan UU itu dibatasi. Ini
adalah suatu metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik
tolak pada artinya menurut bahasa. Menurut interpretasi gramatikal, kata “tetangga” dalam Pasal
666 KUHPerdata dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari pekarangan
tetangga sebelah. Kalau tetangga tidak ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa maka inilah
yang merupakan interpretasi restriktif.
INTERPRETASI EKSTENSIF

• Penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti kata-kata yang termaktub dalam
pasal/UU tersebut, yang sebenarnya dari suatu UU (peraturan per-uu-an). Cth : Pasal 362
KUHP mengenai pengertian barang telah diperluas menjadi barang baik berwujud maupun tidak
berwujud. Dalam penafsiran ekstensif ini yang ditafsirkan adalah barangnya atau bendanya yang
memiliki pengertian “nilai ekonomis”.
• Contoh : penafsiran kata “menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerdata. Sudah sejak tahun 1906 kata
menjual dalam Pasal 1576 KUHPerdata (Pasal 1612 BWN) oleh HR ditafsirkan luas, yaitu bukan
hanya berarti jual beli saja tetapi juga setiap peralihan hak milik.
KESESATAN (FALLACY)

• Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat itu, karena sesuatu hal, kelihatan tidak
masuk akal. Kalau orang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan ia sendiri tidak
melihat kesesatannya maka penalaran itu disebut paralogis. Kalau penalaran yang sesat itu
dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain maka ini disebut sofisme. Penalaran
dapat sesat karena bentuknya tidak sahih (tidak valid), hal itu terjadi karena pelanggaran
terhadap kaidah-kaidah logika.
• Kesesatan penalaran dapat terjadi pada siapa saja bukan karena kesesatan dalam fakta-fakta
tetapi dari bentuk penarikan kesimpulan yang sesat karena tidak dari premis-premis yang
menjadi acuannya.Penalaran juga dapat sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis dan
konklusi. Kesesatan itu adalah kesesatan relevansi mengenai materi penalaran. Model kesesatan
lain adalah kesesatan karena bahasa.
• Di dalam logika deduktif kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut
homonim, yaitu kata yang memiliki banyak arti yang dalam logika biasanya disebut kesalahan semantik atau
bahasa. Kesesatan di dalam logika induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan yang
tidak lengkap atau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan karena penggolongannya tidak lengkap
atau tumpang tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu
hipotesis bersifat meragukan dan bertentangan dengan fakta.
• Logika lahir salah satunya berusaha mencoba membantah pikiran-pikiran lain dengan cara menunjukkan
kesesatan penalarannya. Kesesatan penalaran ini ada yang disengaja ada pula yang tidak disengaja. Kesesatan
yang tidak disengaja muncul sebagai bukti bahwa kemampuan berpikir manusia terbatas atau karena
ketidaksadaran pelaku itu. Istilah kesesatan merupakan terjemahan dari fallacia atau fallacy.
• Soekadijo menyebutkan bahwa kesesatan dalam penalaran dapat terjadi karena yang sesat itu disebabkan oleh
beberapa hal yang tampaknya masuk akal.
• Menurut R.G.Soekadijo, ada 5 model kesesatan hukum :
1. Argumentum ad ignorantiam. Kesesatan ini terjadi apabila orang mengargumentasikan suatu proposisi
sebagai benar karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti benar. Dalam bidang
hukum, argumentum ad ignorantiam dapat dilakukan apabila hal itu dimungkinkan oleh hukum acara dalam
bidang hukum tersebut. Contoh : dalam bidang perdata dengan berpegang pada Pasal 1865 KUHPerdata
penggugat harus membuktikan kebenaran dalilnya sehingga apabila dia tidak dapat mengemukakan bukti yang
cukup, gugatan dapat ditolak dengan alasan bahwa si penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya.
Dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, hal ini tidak berlaku karena Pasal 107 UU No 5/1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara menetapkan bahwa hakim yang menetapkan beban pembuktian. Dengan
dasar itu tidaklah tepat menolak suatu gugatan hanya atas dasar bahwa si penggugat tidak dapat membuktikan
dalil-dalilnya karena mungkin saja beban pembuktian dialihkan kepada tergugat.
2. Argumentum ad verecundiam. Menolak atau menerima suatu argumentasi bukan karena nilai
penalarannya tetapi karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli, dapat
dipercaya. Argumentasi demikian bertentangan dengan pepatah Latin : Tantum valet auctoritas, quantum valet
argumentatio (nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasinya). Dalam bidang hukum, argumentasi demikian
tidak sesat jika suatu yurisprudensi menjadi yurisprudensi tetap. Contoh : untuk kriteria perbuatan melanggar
hukum oleh penguasa sebagai yurisprudensi tetap dianut putusan Mahkamah Agung RI No 838/K/Sip/1972
yang terkenal dengan sebutan kasus Josopandjoyo yang mana MA mengeluarkan Sueat Edaran yang berisi :
dalam mengadili perkara di mana pemerintah digugat karena melakukan perbuatan melanggar hukum
hendaknya mengadakan keseimbangan antara perlindungan terhadap seseorang (individu) dan terhadap
kepentingan persekutuan penguasa.
3. Argumentum ad hominem. Menolak atau menerima suatu argumentasi atau usul bukan karena
penalaran tetapi karena keadaan orangnya. Menolak pendapat seseorang karena dia orang Negro adalah
suatu contoh argumentum ad hominem. Dalam bidang hukum, argumentasi demikian bukan kesesatan apabila
digunakan untuk mendiskreditkan seorang saksi yang pada dasarnya tidak mengetahui secara pasti kejadian
yang sebenarnya.
4. Argumentum ad misericordiam. Suatu argumentasi yang bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan.
Dalam bidang hukum, argumentasi semacam ini tidak sesat apabila digunakan untuk meminta keringanan
hukuman.
5. Argumentum ad baculum. Menerima atau menolak suatu argumentasi hanya karena suatu ancaman.
Ancaman itu membuat orang takut. Dalam bidang hukum, cara itu tidak sesat apabila digunakan untuk
mengingatkan orang tentang suatu ketentuan hukum, cth : di Surabaya di seluruh pojok kota dipasang papan
kuning yang berisi ancaman bagi pelanggar PERDA KEBERSIHAN.
LEGAL OPINION

• Logika adalah metode untuk menilai ketepatan penalaran yang digunakan untuk menyampaikan
sebuah argumentasi. Teori argumentasi adalah cara untuk mengkaji bagaimana menganalisis dan
merumuskan suatu argumentasi secara jelas dan rasional dengan cara mengembangkan kriteria
universal dan kriteria yuridis untuk digunakan sebagai landasan rasionalitas argumentasi hukum.
• Menurut Mac Cormick, Perelmen dan Toulmin : peran logika formal dalam argumentasi hukum tidak
dominan dan sangat terbatas bahkan tidak penting dalam pengambilan kesimpulan dan keputusan.
Ada beberapa kesalahpahaman terhadap peran logika formal dalam argumentasi hukum :
1. Pendekatan tradisional dalam argumentasi hukum mengandalkan model silogisme
2. Peran logika dalam proses pengambilan putusan oleh hakim tidak selalu logis
3. Alur logika formal dalam menarik suatu kesimpulan
4. Logika tidak berkaitan dengan aspek susbtansi dalam argumentasi hukum
5. Tidak adanya kriteria formal yang jelas tentang hakikat rasionalitas nilai di dalam hukum
• Satu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika (A.Soeteman dan P.W.Brouwer).
• Merupakan suatu “conditio sine qua non” (syarat mutlak), suatu keputusan dapat diterima apabila didasarkan
pada proses nalar, suatu sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam beragumentasi.
• Kekhususan logika hukum :
1. Tidak ada hakim atau advokat yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum
selalu dimulai dari hukum positif, yang tidak statis, tetapi merupakan suatu perkembangan berlanjut. Dari sini
yurisprudensi akan menentukan norma-norma baru.
2. Argumentasi hukum berkaitan dengan kerangka prosedural (hukum acara) yang di dalamnya berlangsung
argumentasi rasional dan diskusi rasional.

• 3 lapisan dalam argumentasi hukum :


1. Lapisan logika :
- Lapisan ini masuk wilayah logika tradisional. Isu utama dalam lapisan ini adalah apakah alur premis sampai
kepada konklusi dari suatu argumentasi itum logis. Langkah penalaran deduksi, analogi, abduksi dan induksi
menjadi fokusnya. Dalam sistem civil law, jelas pertama-tama adalah pendekatan UU (statute approach).
Dengan pendekatan UU, dalam menghadapi suatu fakta hukum, ditelusuri ketentuan hukum yang relavan,
ketentuan hukum itu berada dalam pasal yang berisi norma. Norma dalam logika merupakan suatu proposisi
(normatif). Menjelaskan norma harus diawali dengan pendekatan konseptual karena norma sebagai suatu
bentuk proposisi tersusun atas rangkaian konsep. Dengan demkian kesalahan konsep megakibatkan alur nalar
sesat dan kesimpulan yang menyesatkan.
- Cth : konsep penyalahgunaan wewenang. Orang yang tidak memahami hukum administrasi mungkin
mengartikan penyalahgunaan wewenang sama dengan menyalahi prosedur. Kalau konsep seperti itu dijadikan
dasar jelas kesimpulannya menyesatkan. Dalil logika merumuskan :
Ex falso quolibet (dari yang sesat kesimpulan seenaknya)
Ex vero nonnisi verum (dari yang benar kesimpulannya benar)
Jadi orang yang mengartikan penyalahgunaan wewenang sama dengan menyalahi prosedur akan menyimpulkan
bahwa dalam pengadaan barang untuk keperluan pemerintah harus melalui tender maka kalau tanpa tender
disimpulkan sudah terjadi penyalahgunaan wewenang.
2. Lapisan dialektik :
- Dengan dialektik, suatu argumentasi tidak monoton. Dalam dialektik, suatu argumentasi diuji terutama dengan
argumentasi pro-kontra. Proses dialektik dalam adu argumentasi menguji kekuatan logika.
- Cth : dalam kasusu TUN, pengumuman suatu surat penolakan program penjaminan oleh BI digugat (yang
digugat pengumuman bukan surat penolakan). Para pihak menghadirkan ahli. Dari argumentasi pro-kontra,
pertanyaan kita tertuju pada argumentasi penggugat. Futuristik, pengumuman merupakan KTUN. Pertanyaan
yang muncul :
 Apakah futuristik merupakan hukum positif?
 Apakah hakim menentukan berdasarkan ius constitutum (hukum yang berlaku saat ini atau hukum yang telah
ditetapkan (hukum positif); ius constituendum : hukum yang dicita-citakan dalam pergaulan hidup negara
tetapi belum dibentuk menjadi UU atau ketentuan lain) ataukah berdasarkan futuristik.
- Ahli tergugat : berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU No 5/1986 jo UU No 9/2004, pengumuman sifatnya
bekend making (publikasi) atas suatu KTUN. Pengumuman bukan KTUN. Ahli tergugat : berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku, pengumuman bukan KTUN tapi futuristik, pengumuman merupakan KTUN.
- Dua pertanyaan yang dikemukakan tersebut jawabannya tidak. Dengan demikian, argumentasi tersebut tidak
logis.
3. Lapisan prosedur :
- Hukum acara merupakan aturan main dalam proses argumentasi dalam penanganan perkara di pengadilan.
Dengan demikian prosedur dialektik di pengadilan diatur oleh hukum acara. Cth : beban pembuktian. Siapa
yang harus membuktikan? Jawabannya : tergantung ketentuan dari hukum acara.
LEGAL PROBLEM SOLVING
(PEMECAHAN MASALAH HUKUM)
• Langkah-langkah pemecahan masalah hukum :
1. Pengumpulan fakta
2. Klasifikasi hakekat permasalahan hukum
3. Identifikasi dan pemilahan isu hukum yang relevan (pertanyaan hukum)
4. Penemuan hukum yang berkaitan dengan isu hukum itu
5. Penerapan hukum

• Yang perlu mendapat perhatian utama adalah identifikasi isu hukum. Identifikasi isu hukum berkaitan
dengan konsep hukum. Dari konsep hukum yang menjadi dasar, dipilah-pilah elemen-elemen pokok.
1. Pengumpulan fakta : fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa atau keadaan. Pembunuhan adalah
perbuatan hukum, kelahiran adalah peristiwa hukum, di bawah umur adalah suatu keadaan. Pengumpulan
fakta hukum didasarkan pada ketentuan tentang alat bukti. Seorang lawyer pertama kali berhadapan dengan
klien harus mendengar paparan klien menyangkut fakta hukum. Sikap lawyer terhadap klien adalah sikap
skeptik dalam rangka mengorek kebenaran fakta hukum yang dipaparkan klien. Dengan berhati-hati, lawyer
mengajukan pertanyaan untuk menguji sekaligus menggali fakta hukum secara lengkap. Untuk dapat
mengajukan pertanyaan tentunya harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dan asas-asas hukum yang
relevan.
2. Klasifikasi hakekat permasalan hukum. Klasifikasi hakekat permasalahan hukum, pertama-tama
berkaitan dengan pemberian hukum positif. Hukum positif diklasifikasikan atas hukum privat dan publik yang
masing-masing terdiri atas berbagai disiplin, misalnya hukum publik terdiri atas : HTN, HAN, Hukum
Internasional Publik sedangkan hukum privat terdiri atas Hukum Dagang, Hukum Perdata, di samping itu ada
disiplin fungsional yang memiliki karakter campuran, misalnya hukum perburuhan. Hakekat permasalahan
dalam sistem peradilan kita berkaitan dengan lingkungan peradilan yang dalam penanganan perkara berkaitan
dengan kompetensi absolut pengadilan.
3. Identifikasi dan pemilihan isu hukum yang relavan. Isu hukum berisi pertanyaan tentang fakta dan
pertanyaan tentang hukum. Pertanyaan tentang fakta pada akhirnya menyimpulkan fakta hukum yang
sebenarnya yang didukung oleh alat bukti. Isu tentang hukum dalam sistem civil law diawali dengan statue
approach yang kemudian diikuti dengan conceptual approach. Dengan demikian, identifikasi isu hukum
berkaitan dengan konsep hukum. Dari konsep hukum yang menjadi dasar, dipilah-pilah elemen-elemen pokok,
cth : permasalahan malpraktek dokter apakah merupakan tindakan wanprestasi atau perbuatan melanggar
hukum.
4. Penemuan hukum yang berkaitan dengan isu hukum. Dalam pola civil law, hukum utamanya adalah
legislasi. Oleh karena itu langkah dasar pola nalar yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah
penelusuran peraturan per-uu-an (berdasarkan ketentuan UU No 10/2004 Pasal 1 angka 2 : peraturan per-
uu-an adalah produk hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang yang
isinya mengikat umum. Langkah ini merupakan langkah pertama yang dikenal sebagai statue approach.
Langkah berikutnya (langkah kedua) adalah mengidentifikasi norma. Rumusan norma merupakan suatu
proposisi. Dengan demikian, sesuai dengan hakekat proposisi, norma terdiri atas rangkaian konsep. Untuk
memahami norma harus diawali dengan memahami konsep. Ini adalah langkah ketiga yang dikenal dengan
conceptual approach. Cth : norma Pasal 1365 KUHPerdata : setiap perbuatan melanggar hukum yang
menimbulkan kerugian, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian. Dalam
norma tersebut, konsep-konsep utama yang harus dijelaskan adalah :
1) Konsep perbuatan. Kalau konsep ini tidak dijelaskan maka akan menimbulkan kesulitan, misalnya apakah
kerugian yang ditimbulkan oleh gempa bumi dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata?.
Pertanyaan hukum yang muncul apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan. Pertanyaan berikutnya
adalah itu perbuatan siapa?dan pada akhirnya pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab?.
2) Konsep melanggar hukum. Berdasarkan yurisprudensi melanggar hukum terjadi dalam hal :
- Melanggar hak orang lain
- Bertentangan dengan kewajiban hukumnya
- Melanggar kepatutan
- Melanggar kesusilaan
3) Konsep kerugian. Unsur-unsur kerugian meliputi :
- Schade : kerusakan yang diderita
- Winst : keuntungan yang diharapkan
- Kosten : biaya yang dikeluarkan

• Dengan contoh mengenai Pasal 1365 KUHPerdata maka tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum
yang tertulis langsung diterapkan pada fakta hukum. Rumusan norma sifatnya abstrak dan konsep
pendukungnya dalam banyak hal merupakan konsep terbuka atau konsep yang kabur. Dengan kondisi demikian,
langkah ketiga sebagaimana dijelaskan adalah merupakan langkah penemuan hukum melalui 2 cara : interpretasi
dan konstruksi hukum.

5. Penerapan hukum. Setelah menemukan norma konkrit maka langkah berikutnya adalah penerapan fakta
hukum. Cth : berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Unsur pertama adalah
penyalahgunaan wewenang. Tanpa kejelasan konsep penyalahgunaan wewenang dengan sendirinya sulit
dijadikan parameter untuk mengukur apakah suatu perbuatan atau tindakan merupakan tindakan
penyalahgunaan wewenang. Salah konsep mengakibatkan kesalahan mengambil kesimpulan. Dalam logika
dikenal dengan rumus : “Ex Falso Quo Libet”, artinya : dari yang palsu (salah) seenaknya bisa benar bisa salah.
Faktor kebetulan berperan dalam hukum bisa terjadi kesewenang-wenangan dan bahkan muncul
penyalahgunaan wewenang baru, misalnya oleh jaksa, hakim atau pengacara.
Contoh :

Permasalahan malpraktek dokter apakah merupakan tindakan


wanprestasi ataukah perbuatan melanggar hukum ?

Dalam menganalisa masalah tersebut :


 Pertama – tama harus dirumuskan isu hukum yang berkaitan dengan
konsep Wanprestasi.
 Analisis pada dasarnya mengandung makna pemilahan dalam unsur –
unsur yang lebih kecil.
WANPRESTASI :
• Dengan konsep demikian, analisis atas isu wanprestasi
dilakukan dengan memilah – milah unsur – unsur mutlak
wanprestasi,yaitu :
1. Adakah hubungan kontraktual dalam hubungan dokter –
pasien ?
2. Adakah cacat prestasi dalam tindakan dokter terhadap
pasien ?
PERBUATAN MELANGGAR HUKUM :
Untuk isu perbuatan melanggar hukum, dapat dirumuskan isu berikut :
1. Apakah tindakan dokter merupakan suatu perbuatan ?
2. Apakah perbuatan tersebut melanggar hukum ?
3. Apakah Pelaku memiliki kesalahan ?
4. Apa kerugian yang diderita pasien ?
5. Apakah kerugian itu adalah akibat langsung perbuatan dokter ?

 Masing – masing isu tersebut dibahas dengan mendasarkan pada fakta ( hubungan dokter –
pasien ) dikaitkan dengan hukum positif, teori hukum, serta azas hukum yang berlaku.
 Tiap isu yang diajukan harus diadakan pembahasan secara cermat.
 Ditarik kesimpulan (Opini) atas tiap isu,
 Ditarik kesimpulan atas pokok masalah, yaitu : ada tidaknya wanprestasi dan / atau perbuatan
melanggar hukum dalam hubungan dokter – pasien.
ANALISIS HUKUM

• Langkah-langkah analisis hukum :


1. Uraikan kasus posisi yang sedang dianalisa
2. Identifikasi masalah hukumnya
3. Cari dan pilih hukum positif atau asas hukum yang hendak diterapkan
4. Metode penemuan hukum yang digunakan (interpretasi atau konstruksi hukum)
5. Penerapan hukum terhadap kasus yang dianalisis
6. Penarikan kesimpulan
MENULIS LEGAL OPINION

• Bentuk susunan :
1. Summary :
- Ditempatkan pada awal. Maksimum 1 halaman
- Summary harus memuat :
a. Rumusan singkat fakta hukum (misalnya : PEMDA melakukan perjanjian kerjasama dengan…)
b. Daftar isu hukum, misalnya : PEMDA Propinsi Papua berniat menggugat PT X sehubungan dengan
pembatalan kontrak oleh PT X. isu hukumnya : (1) apakah kerugian PEMDA sehubunga dengan
pembatalan kontrak?; (2) adakah unsur wanprestasi dari pihak kedua?
c. Summary legal opinion : (1) isu I : kerugian PEMDA terdiri atas ….; (2) isu II : tidak ada unsur
wanprestasi dari pihak kedua
2. Rumusan fakta : fakta harus dirumuskan secara lengkap tetapi tidak terlalu panjang. Yang penting intinya saja
yang dijadikan landasan untuk merumuskan isu hukum.
3. Isu hukum : isu hukum harus dirumuskan secara lengkap dan diberi nomor. Pendekatan konseptual
merupakan yang paling sering digunakan. Setiap isu hukum diikuti dengan pertanyaan hukum, cth : isu
wanprestasi maka pertanyaan hukumnya :
(1) Adakah hubungan kontraktual antara para pihak
(2) Apa cacat prestasi
Kalau jawaban kedua pertanyaan tersebut positif berarti benar terjadi wanprestasi.
4. Analisa isu hukum :
- Mulai dengan isu pertama dst
- Pada setiap isu telusuri ketentuan hukum, yurisprudensi, pendapat akademis yang diberikan dengan isu
tersebut
- Tuliskan ketentuan hukum dan yurisprudensi yang ditemukan
- Identifikasi problematik hukum (any uncertainties in the law) yang relavan dengan kasus yang dianalisis
- Berikan pendapat dan bagaimana ketentuan hukum tersebut diterapkan dalam kasus tersebut
5. Kesimpulan (conclusion and opinion) : rumuskan pendapat hukum yang berkaitan dengan fakta hukum
tersebut.

• Setelah selesai langkah analisis hukum tersebut, pada akhirnya hasil analisis dituangkan dalam bentuk tertulis
berupa legal memo atau legal opinion.
KASUS
• Jika datang seorang selebritis (berinisial “NS”) kepada saudara untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya
(berinisial “RA”) dengan alasan suaminya selingkuh. Menurut saudara dapatkah perselingkuhan dijadikan alasan
perceraian?
• Dasar hukum perceraian :
- UU No 1/1974 Pasal 39-40
- PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP, Pasal 14-36
• Alasan perceraian (Pasal 19 PP No 9/1975) :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga
• Metode penemuan hukum :
- Interpretasi hukum : ekstensif (memperluas pengertian/makna/arti) ketentuan Pasal 19 huruf (f) : “antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga”.
- Perselisihan dan pertengkaran terus menerus dapat terjadi oleh berbagai sebab, antara lain karena kehadiran
pihak ketiga atau perselingkuhan. Perselisihan dan pertengkaran terus menerus karena kehadiran pihak ketiga
atau perselingkuhan yang menjadikan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi adalah masih dalam ruang
lingkup pengertian dari ketentuan Pasal 19 huruf (f).

• Kesimpulan : bahwa perselisihan dan pertengkaran terus menerus karena kehadiran pihak ketiga atau
perselingkuhan yang menjadikan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dapat menjadi alasan perceraian
• Saran : saudara “NS” dapat mengajukan gugatan perceraian kepada “RA” pada Pengadilan Agama setempat
dengan alasan telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang tidak dapat didamaikan lagi
karena perselingkuhan sehingga kehidupan rumah tangganya tidak ada harapan akan hidup rukun lagi.
KASUS :

“Beberapa waktu yang lalu, HM. Soeharto, Mantan Presiden RI,


diajukan ke Pengadilan dengan dakwaan melakukan tindak pidana
korupsi dengan menyalahgunakan kewenangannya memperkaya korporasi
(9 yayasan yang berada di bawah pembinaannya). Namun Pemeriksaan
terhadap terdakwa HM. Soeharto tidak dilanjutkan karena
berdasarkan Surat Keterangan Tim Dokter. Terdakwa Sakit Permanen
yang tidak dapat disembuhkan (un-fit)”.

Pertanyaannya :
1. Dapatkah Kasus Korupsi HM Soeharto dihentikan
Penuntutannya karena alasan terdakwa Sakit ?
2. Adakah alternatif lain penyelesaian secara yuridis terhadap
Kasus Korupsi HM Soeharto tersebut ?
Pintu I : Perkara ditutup demi hukum (deponering)

• Pintu hukum I yang bisa digunakann sebagai alternatif penyelesaian kasus H.M. Soeharto adalah perkara
ditutup demi hukum (deponering). Perkara ditutup demi hukum adalah salah satu alasan penghentian
penuntutan selain (1) tidak cukup bukti, (2) peristiwanya bukan merupakan tindak pidana, (3) Kedaluwarsa,
(4) nebis in idem, dan (5) terdakwa meninggal dunia(Pasal 76,77, 78 Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP) jo. Pasal 140 ayat 2a (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
• Alasan penghentian penuntutan berupa perkara ditutup demi hukum merupakan pelaksanaan asas
oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung, dengan syarat untuk kepentingan umum (Pasal 32 huruf c UU
N0. 5/1991).Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa, negara, atau masyarakat luas.
• Berkenaan dengan prinsip kehati-hatian menafsirkan klausul demi kepentingan umum, Pedoman Pelaksanan
KUHAP memberi penjelasan sebagai berikut :” kriteria ‘demi kepentingan umum’ dalam penerapan asas
oportunitas di negara kita adalah untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepntingan
pribadi”. Sejalan dengan tafsir tsb, Supomo berpendapat wewenang jaksa untuk tidak melakukan
penuntutan, dengan pertimbangan kalau dilakukan penuntutan dianggap tidak “opportuun”, tidak memiliki
kegunaan bagi kepentingan masyarakat (Andi Hamzah : 1983 ; 27-28)
• Berdasarkan ketentuan di atas, sebenarnya Jaksa Agung dapat saja melakukan deponering atas kasus H.M.
Soeharto dengan alasan demi kepentingan bangsa dan negara. Akan tetapi apa makna dan pengertian demi
kepentingan umum, agak sulit dijelaskan dan diterima secara obyektif, karena bisa menimbulkan multi-
interpretasi.Sehingga jika alternatif ini diberikan akan menimbulkan problematik yuridis yang tak ada
akhirnya.
Pintu II : Pemberian abolisi

 Abolisi berasal dari bahasa Belanda “abolitie” yng berarti pembatalan tuntutan pidana, dalam bahasa
Inggris, “abolition “ adalah revoke the accusation of crime (pembatalan tuntutan pidana), Sedangkan
per-definisi, abolisi adalah hak prerogatif Presiden untuk menghapuskan suatu tuntutan pidana atau
menggugurkan suatu tuntutan pidana yang sedang dilakukan (Kamus hukum : Yan Pramadya Puspa).

 Secara normatif ketentuan yang mengatur tentang abolisi sampai saat ini tercantum dalam Pasal 14
ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama dan UU Darurat N0. 11 tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi

 Ketantuan Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama berbunyi : “Presiden memberi amnesti dan
abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR” . Sedangkan Pasal 14 ayat 1 berbunyi : “Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.

 Nampaknya ada perubahan yang prinsip, dalam kaitan perubahan Pasal 14 ini, yaitu pemberian abolisi
atau amnesti, meskipun merupakan hak prerogatif presiden, akan tetapi perlu memperhatikan
pertimbangan DPR.Sedangkan Pemberian grasi dan rehabilitasi oleh presiden perlu memperhatikan
pertimbangan MA. Agaknya, ketentuan Pasal 14 amandemen pertama, menyiratkan bahwa perihal
grasi dan rehabilitasi adalah lebih bersifat yuridis, sehingga perlu mendengar pertimbangan MA,
sedangkan abolisi dan amnesti lebih bernuansa politis, sehingga perlu pertimbangan DPR.
 Sebagai dasar hukum kedua tentang abolisi adalah UU Darurat No. 11 tahun 1954 (LN No. 54-
146, 27 Desember 1954). UU Darurat N0.11 tahun 1954 terdiri dari 5 pasal.

• Pasal 1 : Presiden, atas kepentingan negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang
telah melakukan suatu tindak pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat
tertulis dari MA yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.
• Pasal 2 : Amnesti dan abolisi diberikan pada semua orang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah
melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat persengketaan politik RI (Jogjakarta) dan Kerajaan
Belanda
• Pasal 3 : Untuk menentukan apakah sesuatu tindak pidana termasuk ketentuan Pasal 2 dapat dimintakan
Nasihat dari MA
• Pasal 4 : Dengan pemberian Amnesti semua akibat hukum Pidana terhadap orang-orang termasuk dalam
Pasal 1 dan 2 dihapuskan. Dengan pemberian Abolisi maka penuntutan orang-orang yang dimaksud dalam
Pasal 1 dan 2 ditiadakan .
Pasal 5 : UU Darurat ini mulai berlaku pada hari diundangkan (31 Desember 1954)

 Berdasarkan ketentuan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :


1. Pemberian amnesti dan abolisi, semata-mata atas pertimbangan kepentingan negara.
2. Pemberian amnesti dan abolisi. Setelah mendapat nasihat dari MA.Ketentuan ini menjadi tidak berlaku lagi,
dengan adanya ketentuan Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama yang menentukan bahwa
pemberian abolisi memperhatikan pertimbangan DPR.
3. Amnesti dan abolisi diberikan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana akibat dari persengketaan politik .
• Kembali kepada pertanyaan ; apakah perkara H.M. Soeharto dapat diberikan abolisi oleh Presiden atau
apakah Presiden dapat memberikan abolisi terhadap kasus H.M. Soeharto ? Untuk menjawab pertanyaan tsb ,
maka Presiden secara yuridis mendasarkan kepada ketiga pertimbangan tersebut.

- Pertama, abolisi diberikan dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara. Apakah
alasan kemanuasiaan (sakit), dapat dianggap sebagai kepentingan bangsa dan negara? Karena klausul demi
kepentingan negara adalah bersifat abstrak , maka memungkinkan untuk diberikan tafsir secara beragam dan
berbeda. Sehingga jawab untuk pertanyaan tersebut, bisa bisa ya juga bisa tidak. Tergantung tafsir subyek
pemberi makna .
Bagi yang berpendapat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai mantan
presidennya secara wajar dan terhormat karena-jasa-jasanya, yakni salah satunya dengan cara
memberikan abolisi, maka dalam konteks ini, jawabnya adalah ya.
Bagi yang berpendapat bahwa kepentingan bangsa dan negara adalah menegakkan reformasi, dengan
salah satu agendanya menciptakan pemerintahan yang bebas dan bersih dari KKN, maka pemberian
abolisi dalam konteks ini dalah bukan kepentingan bangsa dan negara.
Bahkan ada sementara pihak yang berpendapat bahwa pemberian abolisi terhadap Soeharto demi
kepentingan politik terselebung golongan dan kelompok tertentu, dalam hal ini kroni-kroni Soeharto. Hal ini
juga dapat dianggap sebagai awal pembusukan pemerintahan Megawati Soekarnoputri.Pada saat tulisan
ini disusun , beberapa /koalisi organisasi non pemerintah (Or-Nop) turun ke jalan memprotes dan menolak
keras rencana pemberian abolisi kepada H.M. Soeharto.
- Kedua, Pemberian abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Sebelum presiden, mengeluarkan
keputusan pemberian abolisi, Presiden terlebih dahulu meminta pertimbangan DPR tentang perlu-tidaknya
diberikan abolisi terhadap kasus H.M. Soeharto. Sudah barang tentu pertimbangan DPR sebagai prasyarat
yuridis pemberian abolisi amat bernuansa politis.
• Ketiga, jenis tindak pidana yang dapat diberikan abolisi adalah tindak pidana politik atau
sekurang-kurangnya merupakan akibat dari persengketaan atau perselisihan politik. Hal ini
sejalan dengan spirit of law dari ketentuan pasal 14 ayat 2 UUD 1945 dan pasal 2 UU Darurat
N0. 11/1954 serta didukung oleh fakta sejarah. Presiden Soekarno pada tahun 1961 pernah
memberikan amnesti dan abolisi terhadap pelaku berbagai pemberontakan di tanah air. Antara
lain pelaku pemberontakan Daud Beureuh di Aceh, pemberontakan PRRI dan Permesta di
Sumatra, Sulawesi, Maluku, dan Irian Barat, pemberontakan KortosuwirjoDI/TII di jawa tengah
dan Jawa barat, pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Pemberontakan RMS di
Maluku (Vide Perpres N0. 13/1961 LN N0. 265/1961 tanggal 1 Agustus 1961 ; Keppres N0.
449/1961 LN N0. 272/1961 tanggal 17 Agustus 1961 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi
kepada Orang-Orang yang Tersangkut dengan Pemberontakan Tertentu.).
• Apakah korupsi merupakan tindak pidana politik atau bersifat politis? Jawabnya, tentu bukan.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang lebih bersifat ekonomis. Oleh
karena itu, menurut pendirian penulis, untuk syarat tindak pidana yang bisa diberikan adalah
tindak pidana politik atau bersifat politis, untuk kasus Soeharto, tidaklah tepat. Walaupun bisa
saja untuk syarat ini dipaksakan, akan tetapi secara yuridis bisa menimbulkan problematika
hukum yang tidak tak berujung pangkal, sehingga memunculkan kontroversi yang tak ada
akhirnya, yang sudah barang tentu hal ini, tidak menguntungkan, bahkan kontraproduktif bagi
pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
• Dengan demikian abolisi terhadap H.M. Soeharto dapat saja diberikan oleh Presiden Megawati,
akan tetapi apabila dikaitkan dengan prasyarat hukum yang ada, agaknya kurang
menguntungkan karena menyisahkan sejumlah persoalan tafsir (hermeneutika) yang tidak
tuntas secara hukum.
Pintu III : Peradilan In Absentia

 Dalam kasus dugaan Korupsi yang dilakukan oleh H.M. Soeharto , perkaranya diperiksa dan diadili tanpa hadirnya terdakwa .
Apakah secara normatif kasus dugaan korupsi dengan terdakwa H.M. Soeharto dapat diadili secara in absentia? Mari kita
tengok UU N0. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya ketentuan pasal 38 : “Dalam hal terdakwa
telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadirannya”.
 Dalam penanganan perkara Soeharto sebelumnya, beliau tidak hadir, karena alasan sakit yang bersifat permanen, hal ini
berdasarkan hasil pemeriksaan tim Dokter. Persoalannya, apakah alasan sakit - yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter- dapat dianggap sebagai alasan yang sah, sehingga perkara tidak dapat diperiksa dan diputus sampai menunggu
sembuhnya terdakwa? Ataukah sebaliknya, alasan sakit dianggap sebagai alasan yang yang tidak sah, sehingga perkara
tersebut dapat diperiksa dan diadili tanpa hadirnya terdakwa (in absentia )?
 Untuk menilai mana yang benar dari dua pernyataan tsb, pasal 38 tidak menjelaskan secara eksplisit. Akan tetapi apabila
ditilik dari penjelasan ketentuan pasal 38, dikatakan bahwa ketentuan peradilan in absentia ini dimaksudkan menyelamatkan
kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwapun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.
Dengan mendasarkan penafsiran sosiologis/teleologis pada maksud dibuatnya dari ketentuan pasal peradilan in absentia ini,
yakni menyelamatkan kekayaan negara, maka menurut hemat penulis, peradilan in absentia dapat diterapkan dalam kasus
H.M. Soeharto. Setidak-tidaknya dengan dua pertimbangan : (1) pertimbangan kemanusiaan yaitu H.M. Soeharto sakit
permanen berdasarkan Surat keterangan Tim Dokter, tidak layak (unfit) untuk disidangkan di pengadilan. (2) Kekayaan
Negara dapat diselamatkan. Meskipun demikian pelaksanaan peradilan in absentia bukanlah tidak memiliki kelemahan dari
aspek yuridis. Adalah mustahil dapat tercapai kebenaran materiil, senyata dan selengkapnya, apabila terdakwa yang
memegang peran kunci tidak hadir dipersidangan.
Kesimpulan dan Saran :

 Dari ketiga pintu hukum penyelesaian kasus dugaan korupsi dengan terdakwa H.M. Soeharto di atas, Pintu III
yang memiliki potensi dan implikasi sosial-politik yang relatif kecil bagi pemerintaha SBY-YK. Andai ada protes
dan keberatan , sekurang-kurangnya akan dilakukan oleh kuasa hukum atau penasehat hukumnya . Akan
tetapi jikalau pintu I atau II, pemberian abolisi atau perkara ditutup demi hukum, yang dijadikan alternatif,
maka gelombang protes boleh jadi datang dari berbagai komponen bangsa, baik dari kalangan LSM, politisi,
Mahasiswa, akademisi, dan masyarakat luas, yang memiliki concern akan supremasi hukum dan
pemberantasan KKN.

 Hal ini dapat diamati dari berbagai aksi protes/penolakan pemberian abolisi, baik yang dilansir oleh media
cetak maupun elektronik pada pekan terakhir. Kenapa demikian? Karena pintu I dan II, menyisahkan problem
tafsir (hermeneutik) yang tidak tuntas dan menyolok, sehingga akan menimbulkan debat-able, polemik,
kontroversi, yang berkepanjangan dan tak kunjung berakhir. Namun, wal-hasil pintu mana yang akan
dijadikan jalan keluar, terpulang kembali kemauan politik (political will) dari pemerintah, di samping
keberanian dan kebersihan moral aparat penegak hukum (jaksa dan hakim) untuk melakukan terobosan
hukum, guna tercapainya kepastian hukum, keadilan dan kebenaran.Sudah barang tentu pilihan pintu hukum
yang akan diambil sebagai alternatif, telah dikalkulasi dan dipertimbangkan secara cermat dan seksama plus
–minusnya, termasuk harga sosial – politik (political-social cost) yang bakal dan harus dibayar ?

Anda mungkin juga menyukai