Anda di halaman 1dari 7

ILMU HUKUM SEBAGAI SUI GENERIS

Pakar dan penulis Hukum di Belanda membedakan ilmu hukum dogmatis dan ilmu
hukum empiris. Tidak dapat disangkal bahwa perbincangan mengenai ilmu empiris dalam
kaitannya dengan hukum mengahsilkan dua implikasi dalam ilmu hukum. Pertama, Ilmu
hukum yang dianggap sebagai salah satu ilmu empiris dimana dalam hal ini berarti hukum
harus didekati dari kacamata instrumental yang diharapkan dapat mewujudkan suatu tujuan.
Namun, jika ilmu hukum dilihat secara empiris, tujuan tersebut tidak akan tercapai karena
tujuan hukum tersebut berupa nilai dan tidak sesuai dengan bidang kajian ilmu empiris.
Sehingga munculah argumen kedua yang menolak ilmu hukum diklasifikasikan sebagai studi
yang bersifat empiris. Mereka yang menganut kubu ini menganggap bahwa studi – studi hukum
tidak dapat menjelaskan isi hukum. Lebih jelasnya, mempertahankan ketertiban sosial dan
menciptakan keadilan merupakan tujuan dari diadakannya hukum dan hal seperti ini tidak
dapat diamati dan diukur secara empiris. Agar dapat diamati dan diukur, tujuan ini harus
diterjemahkan ke dalam pengertian operasional tetapi hal itu tidak dapat dilakukan karena akan
terjadi reduksi terhadap makna-makna esensial dari ketertiban dan keadilan itu sendiri
Menurut Scholten, ilmu hukum berbeda dengan ilmu deskriptif, ia mengemukakan
bahwa ilmu hukum bukan untuk mencari fakta historis dan hubungan –hubungan sosial seperti
yang terdapat pada penelitian sosial. Menurutnya, ilmu hukum berurusan dengan preskripsi –
preskripsi hukum, putusan-putusan yang bersifat hukum dan materi-materi yang diolah dari
kebiasaan-kebiasaan. Argumentasi yang dikemukakan oleh Paul Schoulten menunjukan secara
jelas bahwa ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif dan sekaligus sebagai ilmu terapan.
Roscoe Pound (1870-1964) mendirikan suatu mazhab yang dikenal dengan mazhab
sosiologis. Roscoe Pound mendefinisikan hukum dalam pengertian peradilan dalam
melaksanakan keadilan, meskipun memberikan ruang lingkup yang luas terhadap studi hukum,
tidak dapat di sangkal bahwa Roscoe Pound memandang ilmu hukum sebagai science of law
yang berkaitan dengan penafsiran dan penerapan hukum. Oleh karena ilmu hukum merupakan
studi tentang hukum, ilmu tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang
kajiannya kebenaran empiris. Ilmu sosial tidak memberi ruang untuk menciptakan konsep
hukum. Studi – studi sosial hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan acap kali
hanya memberi perhatian terhadap kepatuhan individu terhadap aturan hukum.
Tidak berbeda halnya dengan humainora. Humainora tidak memberikan tempat untuk
mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial. Dalam studi humainora, hukum
dipelajari dalam kajiannya dengan etika moralitas. Tidak dapat disangkal bahwa keadilan
merupakan isi dalam ruang lingkup filsafat. Keadilan itu sendiri merupakan unsur yang esensial
dalam hukum. Akan tetapi filsafat tidak berkaitan dengan pelaksanaan keadilan. Merupakan
tugas ilmu hukum untul membahas hukum sari semua aspek. Baik ilmu sosial maupun
humaniora memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya sendiri. Oleh karena itulah
tidaklah tepat mengklasifikasikan ilmu hukum ke dalam ilmu sosial maupun humaniora.
Sehingga ilmu hukum dikatakan bersifat sui generis, yang berarti ilmu yang memiliki
jenis sendiri. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan memiliki sistem ilmiah yang
berbeda karena memiliki obyek kajian yang berbeda. Sifat khas ilmu hukum sebagai ilmu sui
generis, yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan
lapisan ilmu hukum. Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke terdapat tiga tingkatan/lapisan
ilmu hukum :
1. Dogmatik hukum : studi secara ilmuah tentang hukum pada tatanan ilmu-ilmu positif
2. Teori hukum : studi yang objek telaahnya dalah tatanan hukum sebagai suatu sistem
3. Filsafat hukum : studi yang objek telaahnya adalah hukum sebagai demikian (law as
such)
Dogmatik hukum memiliki objek kajian yang paling konkret sedangkan filsafat hukum
objeknya sangatlah abstrak sehingga terdapat teori hukum sebagai disiplin hukum yang dapat
menjembatani keduanya. Ini berarti bahwa kedudukan sui generis tersebut berlaku untuk ketiga
tingkatan itu. Ilmu Hukum memiliki karakter yang khas (sui generis) yang sifatnya normatif,
praktis dan preskriptif, menjadikan metode kajian ilmu hukum akan berkaitan dengan apa yang
seyogianya atau apa yang seharusnya, sehingga metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-
ilmu alamiah dan ilmu sosial tidak dapat diterapkan untuk ilmu hukum.
Ilmu hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu karena mempunyai
sifat yang normatif dan mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan manusia dan
masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematikanya. Ilmu hukum tidak dapat di
klasifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya kebenaran empiris, sebab ilmu sosial
tidak memberi ruang bagi menciptakan konsep hukum, ia (ilmu sosial) hanya berkaitan dengan
implementasi konsep hukum dan selalu hanya memberikan perhatiaannya kepada kepatuhan
individu terhadap atauran hukum. Demikian juga dengan ilmu hukum tidak dapat
diklassifikasikan ke dalam ilmu humaniora, sebab ilmu humaniora tidak memberikan tempat
untuk mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial, hukum hanya dipelajari dalam
kaitannya dengan etika dan moralitas.
Tugas ilmu hukum membahas hukum dari semua aspek. Ilmu sosial maupun ilmu
humaniora hanya memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya, sehingga tidak tepat
untuk mengkalssifikasikan ilmu hukum sebagi ilmu sosial atau ilmu humaniora. Ilmu hukum
sebagai ilmu yang bersifat sui generis yakni tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat
dibandingkan dengan ilmu hukum. Ilmu hukum hanya satu untuk jenisnya sendiri.
Ilmu hukum hukum tidak mencari fakta historis dan hubungan-hubungan sosial
sebagaimana yang terdapat dalam penelitian sosial. Ilmu hukum berurusan dengan preskripsi-
preskripsi hukum, putusan-putusan yang bersifat hukum, dan materi-materi yang diolah dari
kebiasaan-kebiasaan. Oleh Paul Scholten, ilmu hukum bagi legislator terkait dengan hukum in
abstracto, dan bagi hakim memberikan pedoman dalam menangani perkara dan menetapkan
fakta-fakta yang kabur. Dengan demikian, ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif dan
sekaligus sebagai ilmu terapan.
REFERENSI :

Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati (2005), Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press,

Dr. I Gusti Ayu Putri Kartika, SH., MH., dkk. (2016). Buku Ajar Penalaran dan Argumentasi
Hukum. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dr, I Ketut Wirawan, SH., M.Hum, dan I Nyoman Bagiastra, SH., M.H. (2016). Buku Ajar
Karakter Ilmu Hukum. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai