Anda di halaman 1dari 7

FILSAFAT HUKUM

21 September 2020

MANUSIA; PENGETAHUAN DAN HUKUM.1

A. Tentang Ilmu Hukum


Ilmu pengetahuan ternyata berkembang begitu cepat, hal ini dimungkinkan,
karena ia mengikuti cara orang mengusahakan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
sangat sakral. Dalam pandangan teologia, ilmu hukum adalah merupakan salah satu
bagian kajian yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusia
dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu hukum itu
sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya lebih bersifat integral
dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri.
Hukum dalam lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan
para sarjana hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu
hukum sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab
pertanyaan tentang apa itu hukum, dalam hal ini orang harus menselaraskan dulu
pengertian ilmu hukum.
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini
sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari
kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris
terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua,
merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat.2
Pengertian pertama Hukum dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa
Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht,
sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Dalam arti yang kedua dalam bahasa
Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz,
sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang3
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum secara tepat disebut sebagai Jurisprudence.
Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata Latin, yaitu iusris yang berarti
hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan
demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai
dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi
intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain
yang mempunyai kajian hukum. Disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari
luar. Studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai gejala sosial.
Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan
moralitas.

1 https://www.kompasiana.com/melianawaty/54ffca34a333110f455119c8/manusia-pengetahuan-
dan-hukum
2 Cf. Rescoe pound, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia
press, athens. 1960. P.1.
3 Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M., Prof., Penelitian Hukum,  Kencana, Jakarta, Hal. 18.
1
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar
dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan
masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah
yang menjadi obyek kajian, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian
hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law)
bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik
kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.
B. Tinjauan Teoritis Tentang Ilmu Hukum
Sebelum membahas tentang apa dan bagaimana hukum sebagai suatu bidang
ilmu pengetahuan tentunya harus melihat dulu bagaimana padangan para ahli tentang
hukum. Ketika mempertanyakan  tentang apa (hakikat) hukum, sebenarnya juga sudah
masuk pada ranah filsafat hukum. Pertanyaan tersebut sebenarnya juga dapat dijawab
oleh ilmu hukum, akan tetapi jawaban tersebut ternyata tidak memuaskan. Hal ini antara
lain dapat berpijak dari pendapat Van Apeldoorn yang antara lain menyatakan bahwa
ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya
melihat gejala-gejala hukum belaka.4
Ia tidak melihat dunia hukum secara luas, ia hanya melihat  apa yang dapat dilihat
dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang
tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum sebagai pertimbangan
nilai terletak di luar pandangan. Ilmu Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk
pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia
nilai  (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu
hukum.
Menurut Utrecht: “Filsafat Hukum memberikan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan
hukum). Apakah sebabnya maka orang mentaati hukum? (persoalan: berlakunya
hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu?
(persoalan: keadilan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga
dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi bagi orang banyak tidak memuaskan. Ilmu
hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu
menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit” belaka. Filsafat hukum hendak melihat
hukum sebagai kaidah dalam arti kata “ethisch wardeoordeel”(penilaian Etis)
Ruang lingkup Filsafat Hukum antara lain dapat ditilik dari perumusan pengertian
tentang Filsafat Hukum. Mencermati adanya berbagai perumusan yang variatif maka
tidaklah dapat dikatakan bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum bersifat baku
dan stagnant, namun sebaliknya luwes dan berkembang. Namun demikian titik
pangkalnya tetap sama yakni tentang hakikat hukum yang paling mendalam atau hakiki.
Perkembangan Filsafat Hukum terletak pada hakikat hukum yang dapat dilihat
dari berbagai perspektif antara lain tentang tujuan hukum, keadilan, dasar mengikatnya
hukum, atau mengapa hukum ditaati dan sebagainya. Perkembangan ruang lingkup

4 Dalam Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, P. Van Dijk et.al.
menterjemahkan rechtsdogmatiek ke dalam bahasa jerman sebagai jurisprudenz, yang artinya memang
tepat jurisprudence, lihat P van Dijk et.al., Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht,
Tjeenk-Willijnk., 1985, pp. 447-448. Bahasa Latin sui generis berarti hanya satu dari jenis tersebut.

2
Filsafat Hukum dapatlah ditengarai dengan pokok pikiran bahwa ruang lingkup Filsafat
Hukum sudah bergeser pada batasan ruang lingkup yang dibuat atau disepakati sebagai
masalah Filsafat Hukum oleh para filsuf masa lampau. Misalnya masalah dasar yang
menjadi perhatian filsuf masa lampau terhadap Filsafat Hukum terbatas pada tujuan
hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum positif,
hubungan negara dan hukum, dan sebagainya.
Pada masa kini objek kajian atau ruang lingkup kajian Filsafat Hukum tidak hanya
masalah tujuan hukum saja, tetapi setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang
berkaitan dengan masalah hukum. Dengan kata lain bahwa Filsafat Hukum sekarang
tidak lagi Filsafat Hukumnya para ahli filsafat seperti di masa-masa lampau, melainkan
merupakan hasil pemikiran pula para ahli hukum (teoritisi maupun praktisi) yang dalam
tugas sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan
sosial di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut Friedmann menyatakan sebagai berikut: “Before
the nineteenth century, legal theory  was essentially a by product of philosophy,
religion, ethics, or politic. The great legal thinkers were primarily philoshopers,
churhmen, politicians. The decisive shift from the philpshoper’s or politician’s to the
lawyer’s legal philosophy is of fairly recent date. It follows period of great
developments in juristic research, technique and professional training. The new era of
legal philosophy arises mainly from the confrontation of the professional lawyer, in his
legal work, with problems of social justice” ”.5 (Sebelum abad kesembilan belas, teori
hukum pada dasarnya merupakan produk sampingan dari filsafat, agama, etika, atau
politik. Para pemikir hukum besar terutama adalah para filsuf, churhmen, politisi.
Pergeseran yang menentukan dari filosofi filosof atau politisi ke filosofi hukum
pengacara adalah yang terjadi baru-baru ini. Ini mengikuti periode perkembangan besar
dalam penelitian hukum, teknik dan pelatihan profesional. Era baru filsafat hukum
muncul terutama dari konfrontasi pengacara profesional, dalam pekerjaan hukumnya,
dengan masalah keadilan sosial”
Aristoteles tidak pernah mendefinisikan hukum secara formal. Ia membahas
hukum dalam berbagai konteks. Dengan cara yang lain Aristoteles mengatakan bahwa
“Hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang
baik, akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, Aristoteles juga menolak pandangan kaum
Sofis bahwa hukum hanyalah konfensi. Namun demikian  ia juga mengakui bahwa
seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari kemauan sesuatu kelas khusus dan
menekankan peranan kelas menengah sebagai faktor stabilisasi.6
Dalam dunia  pemikiran terhadap hukum, pada zaman ini menimbulkan pula
adanya pendapat bahwa rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan
dari rasio Tuhan. Rasio manusia terlepas dari ketertiban Ketuhanan. Dan rasio manusia
yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Unsur logika
manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.

5 Angkasa (dosen),. Dalam materi kuliah filsafat hukum


6 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Hilsafat Hukum,  Mandar Maju, hlm.77.

3
Dalam hal ini dibedakan 4 (empat) jenis hukum yaitu, pertama, Lex
aeterna (hukum abadi, eternal law), suatu ekspresi peraturan alam semesta secara
rasional dari Tuhan; kedua, Lex divina (hukum ilahi, divine law) yang membimbing
manusia menuju tujuan supranaturalnya, hukum Tuhan diwahyukan melalui kitab suci;
ketiga, Lex naturalis (hukum alam, natural law), membimbing manusia manusia
menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam bentuk kosmik;
keempat, Lex human (hukum manusia, human law), mengatur hubungan antara manusia
dalam suatu masyarakat tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam
masyarakat tersebut (sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan)
Bahwa studi ilmu hukum harus benar-benar didasarkan pada subyek dan obyek
serta tujuan hukum itu sendiri sebelum keluar dan berintegrasi dengan ilmu-ilmu lain,
sehingga pandangan hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan masih berdiri sesuai
dengan koridor hukum itu sendiri. Karena hukum bukan berarti bahwa harus menjadi
beban dalam masyarakat, akan tetapi sebagai suatu seni (art of law) untuk mengatur
masyarakat; dan hukum bukan sekedar suatu sanksi yang harus di taati oleh masyarakat
sehingga dapat dilihat bahwa hukum pada umumnya dapat dikatakan sebagai
“perwujudan dari tingkah laku manusia secara individu dan bukan masyarakat pada
umumnya”. Atau lebih khusus hukum dapat dikatakan adalah “pengulangan dari
tingkah laku manusia yang tergabung/terintegral dengan manusia lain yang membentuk
suatu masyarakat dengan norma-norma yang secara individu telah ada, dan terbentuk
dalam satu aturan yang sakral dan ditaati dengan sanksi berupa hukuman dan moral baik
itu secara memaksa maupun tidak”.7
Ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang mandiri dan seharusnya dapat bekerja
sendiri sesuai dengan konsep-konsep hukum yang murni dan menghasilkan hukum yang
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang lebih modern. Oleh sebab itu ilmu
hukum harus kembali dalam konsep yang utama sebagai ilmu hukum yang murni.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami ilmu hukum sebagai suatu
pengetahuan modern adalah dengan mengembalikan ilmu hukum kedalam eksistensinya
sebagai kesatuan ilmu pengetahuan yang akan dipelajari dan dikaji sebagaimana
mestinya.
C. Tentang Manusia
Manusia dalam kehidupannya dapat melakukan berbagai aktifitas yang berguna
bagi dirinya dan bagi sesamanya. Ia bergerak, berkehendak, merasakan, befikir,
berkarya dan sebagainya. Sehingga, sebagai salah satu ciptaan Allah, manusia memiliki
keunggulan dari mahluk-mahluk ciptaan lainnya. Manusia memiliki sifat dasar yang
berfungsi untuk mengambil segala yang bermanfaat dan menolak atau menghindarkan
diri dari hal-hal yang merusak.8
Allah telah memberikan sifat dasar kepada manusia bersamaan dengan
kelahirannya, sifat dasar tersebut dikenal dengan nama fitrah, yang meliputi tiga daya
atau potensi, yaitu :9

7 Ronny Junaidy K., mahasiswa pascasarjana MIH Unsoed sebagai penulis.


8 Louis O, Kattsiff. Alih Bahasa, Soejono Soemargono; Pengantar Filsafat; Tiara Wacana Jogya;
1992;hlm.397
9 Lihat Al-Qur’an : Al-Mu’minun (23) ayat 12-14 dan As-Sajdah (32) ayat 7-9.
4
1. Potensi akal atau potensi intelektual (quwwat al-‘aql).
2. Potensi difensif (quwwat al-gadlab).
3. Potensi ofensif (quwwat al-syahwat).
Ketiga potensi tersebut mempunyai fungsi masing-masing. Potensi akal merupakan
potensi tertinggi manusia yang berfungsi untuk pengetahuan, misalnya, mengenal Allah,
mengenal hukum, mengenal ilmu pengetahuan dan sebagainya. Potensi defensif yaitu
untuk menghindarkan diri secara naluriah dari segala yang membahayakan. Sedangkan
potensi ofensif ini berfungsi menginduksi obyek-obyek yang bermanfaat dan
menyenangkan, misalnya makanan-minuman yang enak, syahwat dan lain-lain. Potensi
defensif dan ofensif dimiliki oleh setiap manusia dengan kadar yang berbeda-beda.
Potensi-potensi tersebut merupakan “pemacu” atau penggerak yang
dianugerahkan oleh Allah kepada setiap insan. Dengan gerak (al-harakah) inilah
manusia dapat membedakan perbuatan mana yang bermanfaat dan perbuatan mana pula
yang membahayakan. Dengan fitrah itu manusia dapat membedakan dan
memilihperbuatan mana yang harus dilakukan atau perbuatan mana yang tidak perlu
dilakukan. Oleh karena itu fitrahpun menghendaki agar manusia dapat menentukan
perbuatannya sendiri manakala potensi-potensi itu berkualitas.
Manusia merupakan mahluk empirik yang bergerak dan berkehendak. Disatu
pihak manusia mempunyai daya penalaran yang meliputi daya kognisi, persepsi, dan
komprehensi. Di pihak lain, manusia mempunyai daya kemampuan menilai. Kedua sisi
ini saling melengkapi satu dengan lainnya. Dengan penalaran itu manusia cenderung
kepada yang baik-baik dan secara naluriah menolak hal-hal yang tidak baik. Dengan
demikian, dimanapun ada kebenaran fitrah manusia akan menerimanya. Demikian pula
sebaliknya, apapun kepalsuan dan kesalahan, manusia secara naluriah akan menolaknya.
(1).Daya akal; (2).Daya defensif dan (3).Daya ofensif, dalam kenyataan saling
mendukung satu sama lainnya atau dapat saling mengalahkan. Dalam
mengaktualisasikan ketiga daya tersebut ada tiga kemungkinan :
1. Manusia yang dikuasai oleh daya ofensif atau syahwatnya, ia akan selalu berbuat
kejahatan. Manusia yang daya akalnya dapat mengontrol dua daya lainnya
(ofensif dan defensif) sehingga mencapai tipe ideal
2. Manusia yang labil, yaitu daya fitrahnya saling mengalahkan satu dengan lainnya.
Pada suatu saat daya defensifnya menguasai akal dan ofensifnya, dan pada saat
lain sebaliknya. Pada umumnya manusia termasuk pada tipe ini. Akal merupakan
salah satu unsur yang membedakan manusia dari makhluk lainnya (khususnya
binatang), karena akal itu dapat membedakan antara perbuatan benar dan salah,
baik dan buruk. Disamping sifat dasar (fitrah) yang diperoleh manusia sejak lahir,
manusia pun memperoleh panca indera (penginderaan) sebagai potensi lahiriah
(materil).
3. Manusia baru dapat mengetahui sesuatu dan berfikir apabila ia dalam keadaan
sadar. Dengan alat indera manusia dapat memperoleh gambaran dari dunia luar
(diluar tubuhnya) yang dipengaruhi pula oleh lingkungan. Alat yang dimiliki
manusia dan berfungsi untuk memperoleh pengetahuan adalah kalbu, mata dan
telinga. Apabila manusia salah dalam menggunakan alat-alat tersebut ia akan
tersesat.

5
Manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas dilahirkan dengan seperangkat
potensi untuk beriman kepada Allah; dapat menginduksi obyek-obyek yang
menyenangkan dan mempertahankan diri dari berbagai hal yang dapat membahayakan
dirinya. Manusia dengan daya akalnya mampu mengetahui dan mengembangkan ilmu
pengetahuannya. Berdasarkan pengetahuannya pula manusia dapat menerima kebenaran
hukum, terutama kebenaran hukum yang datang dari Allah. Karena sesungguhnya Allah
sebagai pencipta atau pembuat hukum. Hukum telah diselaraskan dengan jati diri
manusia (kodrat manusia), sehingga hukum bermanfaat untuk mencapai kesejahteraan
umat manusia.
Pada dasarnya manusia telah dibekali potensi rohaniah maupun potensi lahiriah
untuk berpengetahuan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya manusia
wajib untuk selalu bersyukur kepada Nya. Potensi-potensi manusia mengandung
kelemahan, oleh karena itu harus dipandu oleh Nur Ilahi.
Manusia wajib menuntut ilmu untuk mencapai kejayaan dan kesejahteraan
hidupnya. Hukum Allah sesuai dengan jati diri manusia, oleh karena itu hukum yang
diusahakan oleh manusia (ijtihad) harus sesesuai dengan hukum Allah.
Manusia wajib mematuhi hukum, sejauh hukum itu tidak bertentangan dengan
hukum Nya.
Relitas manusia sebagai ciptaan Tuhan pada akhirnya membutuhkan
pengetahuan dalam memahami proses interaksi manusia dengan hakikat
kemanusiaanya. Proses pencarian pengetahuan dapat diejawantahkan melalui Indra,
Science, Filsfat dan Mistik (Kepercayaan).

DAFTAR PUSTAKA
Conny R. Semiawan, dkk, Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu, Remaja Karya,
Bandung, 1988.
Herman Suardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Bakti Mandiri, Bandung, 1999.
-------, Mempersiapkan Kelahiran Sains Tauhidullah, Bakti Mandiri, Bandung, 2000.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1988.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
Rasjidi, H.M., Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Depertemen Agama R.I, Jakarta,
1997.
Al-Qur’an : Al-Mu’minun (23) ayat 12-14 dan As-Sajdah (32) ayat 7-9.

6
TUGAS MANDIRI

1. Buat resume dari Materi Filsafat Hukum dari halm 1 s / d hlm. 6


2. Sebagai Sarjana Hukum bagaimana anda menanggapi alinea ini:
“Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem
nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah
memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu
hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum. Disiplin-disiplin lain
tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum
menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat
evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas”.
3. Jelaskan menurut pandangan Utrecht tentang Filsafat Hukum.
4. “Aristoteles tidak pernah mendefinisikan hukum secara formal”... jelaskan
pendapat Aristoteles ini di kaitkan dengan “Fitrah Manusia”.
5. Pada waktu yang lalu pemerintah melalui KemenKum HAM gencar melakukan
aktivitas “Kadarkum” ke hampir seluruh lapisan masyarakat. Namun sampai
kondisi saat ini kesadaran hukum itu tampak nya tidak juga tercapai.
Pertanyaan nya adalah: bagaimana pendapat anda sebagai sarjana Hukum
menanggapi pernyataan “Manusia merupakan mahluk empirik yang bergerak dan
berkehendak”.

Catatan:

1. Tugas Mandiri di buat ... dikumpulkan paling lambat tanggal 28 September


2020;
2. Bila tidak tepat waktu dianggap tidak bekerja;
3. Dibuat dalam bentuk tulisan tangan diatas kertas Folio
4. Di kirim ke ....... email...... nurlely.darwis@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai