Anda di halaman 1dari 17

FILSAFAT HUKUM

SEJARAH FILSAFAT HUKUM INDONESIA

Nama Lengkap : Ahmad Faqih Alfauzi

NPM : 201510115162

Kelas : 7.A1

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Prof. Dr. Juanda, S.H., M.H

PROGAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

2021

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Kegiatan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Pengertian Filsafat 3

B. Pengertian Hukum 4

C. Pengertian Filsafat Hukum 6

D. Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum hingga di Indonesia 7

BAB III PENUTUP 13

A. Kesimpulan 13

B. Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada dasarnya, penjelasan UndangUndang Dasar 1945 tentang
sistem pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam hal ini terlihat bahwa
kata “hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi apabila
kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan
dan pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan
oleh pihak tertentu yang menguntungkandirinya tetapi merugikan orang
lain. Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya
perlu dipahami akan makna dari filsafat hukum. Filsafat hukum
mempersoalkan pertanyaanpertanyaan yang bersifat dasar dari
hukum. Pertanyaanpertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang
“dasardasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan
contohcontoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang
demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum
positif. Sekalipun samasama menggarap bahan hukum, tetapi
masingmasing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali.
Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum
tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asasasas,
peraturanperaturan, bidangbidang serta sistem hukumnya sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum
mengambil sebagai fenomena universal sebagai sasaran
perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan menggunakan
standar analisa seperti tersebut di atas. Suatu hal yang menarik adalah,
bahwa “ilmu hukum” atau “juris prudence” juga mempermasalahkan

1
hukum dalam kerangka yang tidak berbeda dengan filsafat hukum. Ilmu
hukum dan filsafat hukum adalah namanama untuk satu bidang ilmu
yang mempelajari hukum secara sama. Pemikiran tentang Filsafat
hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa
jauhpenerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup seharihari,
juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan
praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang
baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru,
sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai
kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan
karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan
dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan
tidak menemukan keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah
tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam
menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok
orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki
kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir,
fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak. Tindakan
pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi kepuasan
pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil
pada setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur
yang benar. Perkara diputuskan dengan undangundang yang telah
dipesan dengan kerjasama antara pembuat Undangundang dengan
pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu membelokkan
makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga
berkembanglah “mafia peradilan”. Produk hukum telah dikelabui oleh
pelanggarnya sehingga kewibawaan hukum jatuh. Manusia lepas
dari jeratan hukum karena hukum yang dipakai telah dikemas
secara sistematik sehingga perkara tidak dapat diadili secara tuntas
bahkan justru berkepanjangan dan akhirnya lenyap tertimbun masalah
baru yang lebih aktual. Keadaan dan kenyataan hukum

2
dewasa ini sangat memprihatinkan karena peraturan perundang-
undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak menyentuh
persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan
interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan
kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya
kebebasan tafsiran tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang
dikemas dengan tujuan tertentu. Hukum hanya menjadi sandaran politik
untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit ditemukan arahnya. Politik
berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis partai yang
mampu menerobos hukum dari sudut manapun asal sampai pada tujuan
dan target yang dikehendaki. Perlunya kita mengetahui filsafat hukum
karena relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya,
sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum
secara filosofis yang mampu memformulasikan citacita keadilan,
ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan
pernyataankenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara
radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum
baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa
dan tempat tertentu. Olehnya itu, dari ilustrasi latar belakang di
atas penulis tertarik megambil judul makalah mengenai hakekat,
pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam latar belakang diatas
adalah bagaimana sejarah filsafat hukum dari dulu hingga sekarang ?

C. Tujuan Penulisan
Agar penulis maupun pembaca mengetahui bagaimana sejarah
filsafat hukum dari dulu hingga sekarang.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat
Filsafat (dari kata Yunani, filosofia, arti harfiahnya "cinta akan
hikmat") adalah kajian masalah mendasar dan umum tentang persoalan
seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, pikiran, dan bahasa. Istilah
ini kemungkinan pertama kali diungkapkan oleh Pythagoras (570–495
SM). Metode yang digunakan dalam filsafat antara lain mengajukan
pertanyaan, diskusi kritikal, dialektik, dan presentasi sistematik.
Pertanyaan filosofis klasik antara lain: Apakah memungkinkan untuk
mengetahui segala sesuatu dan membuktikanya? Apa yang paling
nyata? Para filsuf juga mengajukan pertanyaan yang lebih praktis dan
konkret seperti: Apakah ada cara terbaik untuk hidup? Apakah lebih baik
menjadi adil atau tidak adil (jika seseorang bisa lolos begitu saja) ?
Apakah manusia memiliki kehendak bebas ?

Secara historis, filsafat mencakup inti dari segala pengetahuan. Dari


zaman filsuf Yunani Kuno seperti Aristoteles hingga abad ke-19, filsafat
alam melingkupi astronomi, kedokteran, dan fisika. Sebagai contoh,
Prinsip Matematika Filosofi Alam karya Newton pada tahun 1687 di
kemudian hari diklasifikasikan sebagai buku fisika. Pada abad ke-19,
perkembangan riset universitas modern mengantarkan filsafat akademik
dan disiplin lain terprofesionalisasi dan terspesialisasi. Pada era modern,
beberapa investigasi yang secara tradisional merupakan bagian dari

4
filsafat telah menjadi disiplin akademik yang terpisah, beberapa
diantaranya psikologi, sosiologi, linguistik, dan ekonomi.

Investigasi lain yang terkait erat dengan seni, sains, politik, dan
beberapa bidang lainnya tetap menjadi bagian dari filsafat. Misalnya,
apakah keindahan objektif atau subjektif ? Apakah ada banyak metode
ilmiah ataukah hanya ada satu ? Apakah utopia politik merupakan mimpi
yang penuh harapan atau hanya delusi yang sia-sia ? Sub-bidang utama
filsafat akademik diantaranya metafisika (berkaitan dengan sifat dasar
realitas dan keberadaan), epistemologi (tentang "asal-muasal dan
bidang pengetahuan serta batas dan keabsahannya"), etika, estetika,
filsafat politik, logika, filsafat ilmu, dan sejarah filsafat barat.

Sejak abad ke-20, filsuf profesional berkontribusi pada masyarakat


terutama sebagai profesor, peneliti, dan penulis. Namun, banyak dari
mereka yang mempelajari filsafat dalam program sarjana atau
pascasarjana berkontribusi dalam bidang hukum, jurnalisme, politik,
agama, sains, bisnis dan berbagai kegiatan seni dan hiburan.

B. Pengertian Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam
berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan
sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana,
hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku
dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan
hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali dari pemerintah, sementara
hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam

5
kegiatan mulai dari perdagangan, lingkungan, peraturan atau tindakan
militer. Filsuf Aristotle menyatakan bahwa "sebuah supremasi hukum
akan jauh lebih baik dibandingkan dengan peraturan tirani yang
merajalela."

Hingga saat ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai
pengertian hukum. Telah banyak para ahli dan sarjana hukum yang
mencoba untuk memberikan pengertian atau definisi hukum, tetapi
belum ada satupun ahli atau sarjana hukum yang mampu memberikan
pengertian hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Ketiadaan
definisi hukum yang dapat diterima oleh seluruh pakar dan ahli hukum
pada gilirannya memutasi adanya permasalahan mengenai
ketidaksepahaman dalam definisi hukum menjadi mungkinkah hukum
didefinisikan atau mungkinkah kita membuat definisi hukum? Lalu
berkembang lagi menjadi perlukah kita mendefinisikan hukum ?

Ketiadaan definisi hukum jelas menjadi kendala bagi mereka yang


baru saja ingin mempelajari ilmu hukum. Tentu saja dibutuhkan
pemahaman awal atau pengertian hukum secara umum sebelum
memulai untuk mempelajari apa itu hukum dengan berbagai macam
aspeknya. Bagi masyarakat awam pengertian hukum itu tidak begitu
penting. Lebih penting penegakannya dan perlindungan hukum yang
diberikan kepada masyarakat. Namun, bagi mereka yang ingin
mendalami lebih lanjut soal hukum, tentu saja perlu untuk mengetahui
pengertian hukum. Secara umum, rumusan pengertian hukum
setidaknya mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
 Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam
masyarakat. Peraturan berisikan perintah dan larangan untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini
dimaksudkan untuk mengatur perilaku manusia agar tidak
bersinggungan dan merugikan kepentingan umum.

6
 Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga atau badan yang
berwenang untuk itu. Peraturan hukum tidak dibuat oleh setiap orang
melainkan oleh lembaga atau badan yang memang memiliki
kewenangan untuk menetapkan suatu aturan yang bersifat mengikat
bagi masyarakat luas.
 Penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Peraturan hukum dibuat
bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Untuk menegakkannya
diatur pula mengenai aparat yang berwenang untuk mengawasi dan
menegakkannya sekalipun dengan tindakan yang represif. Meski
demikian, terdapat pula norma hokum yang bersifat
fakultatif/melengkapi.
 Hukum memliki sanksi dan setiap pelanggaran atau perbuatan
melawan hukum akan dikenakan sanksi yang tegas. Sanksi juga
diatur dalam peraturan hukum.

C. Pengertian Filsafat Hukum


Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yaitu filsafat etika atau
tingkah laku yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hukum memiliki
objek yaitu hukum yang dibahas dan dikaji secara mendalam sampai
pada inti atau hakikatnya. Pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawab
oleh cabang ilmu hukum lainnya merupakan tugas dari filsafat hukum
untuk menemukannya. Bila ingin menarik pengertian filsafat hukum,
maka harus terlebih dahulu mempelajari akan hukum itu sendiri. Seperti
pertanyaan, apakah hukum itu juga merupakan tugas dari filsafat hukum,
karena sampai saat ini belum ditemukan definisi dari hukum itu secara
universal, karena pendapat para ahli hukum berbeda-beda sesuai
dengan sudut pandang mereka sendiri.

Ahli hukum J. Van Kan (1983) memberikan pendapat defisi hukum


adalah sebagai keseluruhan ketentuan kehidupan yang bersifat
memaksa, melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam

7
masyarakat. Dan Hans Kelsen mengatakan definisi hukum adalah
norma-norma yang mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku.
Sedangkan Soerjono Soekanto (1984) berpendapat sembilan arti hukum
adalah : 1) sebagai ilmu pengetahuan, 2) sebagai disiplin, 3) sebagai
norma, 4) sebagai tata hukum, 5) sebagai petugas, 6) sebagai
keputusan penguasa, 7) sebagai proses pemerintahan, 8) sebagai sikap,
atau perikelakuan yang teratur, dan 9) sebagai jalinan nilai-nilai.

Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat


dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”,
tentang “dasar-dasar dari kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan
contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang
demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif.
Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing
mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum
positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan,
bidang-bidang, serta sistem hukumnya sendiri.

Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum


mengambil hukum sebagai fenomena universal sebagai sasaran
perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan menggunakan standar
analisa seperti tersebut di atas.

D. Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum hingga di Indonesia


Di dalam kepustakaan fisafat (hukum), terdapat berbagai periodisasi
atau pembabakan perkembangan filsafat (hukum) dari dahulu hingga
saat ini. Pada umumnya pembabakan itu terdiri dari
1. Zaman Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena
waktu yang sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu

8
yang terdiri waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal
ini berlaku juga pada saat membicarakan sejarah perkembangan filsafat
hukum yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno).

Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal
dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam
perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh
penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander,
Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf
alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475
SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan
alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat
diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos
(rasio). Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup
kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan
hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila
hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike). Sementara itu, Herakleitos
berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan
alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan
pengertian-pengertian yang berasal dari logos. Sedangkan Parmenides
sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos
membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.

Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah


terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan
bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal
pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan warga
negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang.
Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran

9
objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena
manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini.
Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara)
harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau
tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni
ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk
dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah.
Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa
untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki
pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari
Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga
tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga
hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh
karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang
dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar
penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri.
Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan
negara yang ideal. Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan
Plato. Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada
benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa kepada hukum
yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri
karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon).
Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa
polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam
dan hukum positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam
dan hukum positif muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian
yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai
suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena

10
hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah
berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam berbeda
dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada ketentuan
manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara
bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh
hukum positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah
ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak
keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme
(berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa
yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya
pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep
penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi
kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga
pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori
perjanjian masyarakat. Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip
kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada
kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos),
yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul
keterikatan antara manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan
sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah
keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga
ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum
positif sesuai dengan hukum alam.

2. Zaman Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan
dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5
SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama
Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai berkembangnya agama
Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang

11
disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi
runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada
satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga
masa ini dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain
Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino (1225-1275). Dalam
perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak
terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja
Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-
ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran
Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan
dalam jiwa manusia. Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang
rohaniwan Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas antara
hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum
yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang
berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex
Positivis). Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan
oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran
filsafat hukum pada bagian lain dari tulisan ini.

3. Zaman Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang
mandiri, yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari
Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada abad
pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene
Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776),
Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius
(1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J.
Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman
modern ini juga disebut Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia

12
dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja
zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam
segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat,
berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya
segala macam ilmu baru, dan sebagainya. Demikian juga terhadap dunia
pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai
penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali
terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh
para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham
positivisme hukum.

13
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Jelaslah bahwa Filsafat adalah berasal dari kata Yunani yaitu Filosofia
berasal dari kata kerja Filosofein artinya mencintai kebijaksanaan, akan
tetapi belum menampakkan hakekat yang sebenarnya adalah himbauan
kepada kebijaksanaan. Sedangkan pengertian “orang bijak” (di Timur)
seperti di India, cina kuno adalah orang bijak, yang telah tahu arti tahu
yang sedalam-dalamnya (ajaran kebatinan),
Filsafat berkembang mulai zaman filsafat kuno sampai pada
pertengahan seperti Filsafat Pra Sokrates adalah filsafat yang dilahirkan
karena kemenangan akal atas dongeng atau mitos-mitos yang diterima
dari agama, yang memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu,
sampai kepada jaman filsafat Sokrates dan Demokritos pada tahun +
460 – 370 SM yang kedua hidup sejaman dengan Zeno yang dilahirkan
pada tahun + 490 SM dan lain-lainnya, serta disebut sebagai filsuf Pra
Sokrates, dimana filsafat mereka tidak dipengaruhi oleh Sikrates.

B. Saran
Adapun saran dari penulisan Makalah adalah, sebagai berikut:
1. Perlu adanya sumber – sumber informasi yang lebih banyak untuk
lebih memudahkan dalam mencari informasi mengenai sejarah
perkembangan filsafat hokum

14
2. Suatu pendidikan filsafat hukum ini perlu ditingkatkan lagi, karena
tidak semua orang paham tentang materi “filsafat hukum’’ sedangkan
hidup di dalam suatu negara pasti akan terdapat suatu hukum oleh
karena itu sangatlah penting pengetahuan tentang filsafat ini agar
tidak menimbulkan kesenjangan terhadap aplikasi atau praktek
hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Huijbers, Theo, 1993, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta.
Rasjidi, Lili., 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
DR. H. Boy Nurdin, S.H., M.H., Dewa. 2014. Filsafat Hukum (Tokoh-Tokoh
Penting Filsafat: Sejarah dan Intisari Pemikiran), Litera AntarNusa,
Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai