Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM
PERAN HUKUM SEBAGAI PEMBAHARUAN MASYARAKAT

Dosen Pengampu :
Prof.Dr.H.Gunarto, S.H.,S.E.,Akt., M.Hum.

Disusun Oleh:
INDI PREMADASA

NIM: 10301800015

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
TAHUN 2018/2019
Daftar Isi
Daftar Isi................................................................................................................................
Bab I Pendahuluan.................................................................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................................
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................
Bab II Pembahasan ................................................................................................................
A. Pengertian Filsafat Hukum...................................................................................
B. Bagaimana Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat............................
Bab III Penutup......................................................................................................................
A. Kesimpulan .........................................................................................................
Daftar Pustaka........................................................................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya, penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tentang sistem pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum(rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat),
dalam hal ini terlihat bahwakata “hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi apabila
kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan pemaksaan maka secara
filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang menguntungkan dirinya
tetapi merugikan orang lain.
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan makna
dari filsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaantentang “hakikat hukum”, tentang “dasar -dasar
bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat
mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu
hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing
mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya
berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas,
peraturan-peraturan, bidang- bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil sebagai
fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan
menggunakan standar analisa seperti tersebut diatas. Suatu hal yang menarik adalah,
bahwa“ilmu hukum”atau“jurisprudence” juga mempermasalahkan hukum dalam kerangka
yang tidak berbeda dengan filsafat hukum. Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah nama-
nama untuk satu bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama.
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini sangat diperlukan untuk menelusuri
seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk
menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi
kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru,
sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya

3
kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum
dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan
keadaan yang sebenarnya.
Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam
menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu
membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam beberapa dekade
terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak. Tindakan pengadilan
seringkali tidak bijak karena tidak memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi
memberikan putusan adil pada setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur
yang benar. Perkara diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama
antara pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu
membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah mafia
peradilan. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas
yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu. Hukum hanya
menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit ditemukan arahnya.
Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan untuk membangun kondisi hukum
yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara
filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan
yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara
radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi
perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Olehnya itu, dari ilustrasi latar
belakang di atas penulis tertarik megambil judul makalah mengenai Pengertian Filsafat
Hukum.

B. Rumusan Masalah
A. Pengertian Filsafat Hukum
B. Bagaimana Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Hukum


Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita sering
mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat itu? Seseorang yang berfilsafat
diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin
mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh(tidak puas jika
mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia
juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga
berfikir dengan sifat spekulatif(dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan
spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat
adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari
hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya
yang disebut dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas
cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan
diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan
kaidah-kaidah hukum. Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah
hukum sebagai hukumin abstracto.
Olehnya itu untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus
mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa
hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku
manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat
hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia. yang disebut dengan etika atau filsafat
tingkah laku.
Ahrens pernah membicarakan, bahwa filsafat hukum adalah ilmu yang mengambil
sumber dan menjabarkan asas tertinggi dan/atau cita hukum dari manusia dan kemanusiaan,
untuk selanjutnya dikembangkan dan diterapkan pada dasar kehidupan manusia.

5
Berikut pengertian filsafat menurut para ahli :
a. Menurut Soetikno filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin
mengetahui apa yang ada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi didalam
hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.
b. Menurut Satjipto Raharjo filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari
hukum. Pernyataan tentang hakekat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari
hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu.
c. Menurut Apeldoorn , filsafat hukum ialah pengetahuan yang berusaha menjawab
apakah hukum itu ?ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak , menanggapi dan
bertanya-tanyatentang “hukum”(Apeldoorn ,1951:331-332). Dalam edisi baru yang
ditulis DHM Meuwissen , hal tersebut telah direvisi secara total . Misalnya , dikatakan
bahwa filsafat hukum memang berusaha mencari hakekat hukum, walau sebenarnya
hanya melihat hukum sebagai bagian dari kenyataan . Apa hal itu tak bisa dijawab oleh
ilmu hukum ?Dapat tapi tak akan mendapat jawaban yang menangkan SEBEB ilmu
hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka dan melihat“hukum” yang dapat
dilihat dengan panca indera, tidak melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat dengan
panca indera (tersembunyi), hanya melihat hukum sepanjang telah menjadi perbuatan
manusia . Dimana ilmu hukum berakhir , disanalah filsafat hukum memulai . Ia
menjawab pertanyaan– pertanyaan yang tidak terjawab oleh ilmu hukum.

Menurut Soejono Koesoemo Sisworo, penegakan hukum oleh Hakim melalui penemuan
hukum itu termasuk obyek pokok dari telaah filsafat hukum. Disamping masalah lainnya
seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan hukum dan berlakunya hukum. Sedangkan
menurut Lili Rasyidi, obyek pembahasan filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas
pada masalah tujuan hukum melainkan juga setiap masalah mendasar yang muncul dalam
masyarakat dan memerlukan pemecahan. Masalah itu antara lain hubungan hukum dengan
kekuasaan, hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya, apa sebab orang menaati
hukum, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Theo Huybers, unsur yang menonjol
dalam telaah filsafat hukum antara lain tentang arti hukum kaitannya dengan hukum alam
serta prinsip etika, kaitan hukum dengan pribadi manusia dan masyarakat, pembentukan
hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi manusia.

6
B. Bagaimana Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat
Sebagai instrumen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum tentunya
tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan masyarakat kearah yang lebih baik. Maka dari
itulah, hukum di harapkan mampu mengarahkan atau merekayasa kemana arah peradaban
yang hendak di tuju oleh negara. Tidak semata-mata tumbuh dan berkembang sesuai dengan
kondisi atau keinginan masyarakat tanpa ada kontrol dari negara. Seiring dengan
perkembangan zaman, kajian-kajian kritis tentang hukum nasional kitapun terus
berkembang. Dan filsafat hukum menjadi salah satu objek kajian filosofis tentang hukum.
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani: philein (mencintai) dan sophia
(kebijaksanaan). Jadi, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan.
Pythagoras, salah satu murid Plato, memahami sophia sebagai “pengetahuan hasil
kontemplasi” untuk membedakannya dari keterampilan praktis hasil pelatihan teknis yang
dimiliki dalam dunia bisnis dan para atlet. Dengan demikian, dalam belajar filsafat kita
berusaha mencari pengetahuan atau kebenaran dan bukan pengetahuan dalam arti
keterampilan praktis.
Filsafat hukum bukan sesuatu yang sulit untuk di pahami, sebagaimana kita memahami
atau merenungkan tentang pengertian filsafat. Menurut Prof. Dr. D.H.M Meuwissen guru
besar Universitas Gronigen Belanda. Filsafat hukum adalah filsafat. Oleh karena itu, ia
merenungkan semua masalah fundamental dan masalah yang termarginalkan yang berkaitan
dengan gejala hukum. Sedangkan menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H. (2000: 48)
memberikan definisi filsafat hukum sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
pertanyaan-pertanyaan mendasar dari hukum. Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat
hukum. Dikemukakan dalam ilmu ini tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
Dari pengertian filsafat hukum di atas, jelaslah bahwa filsafat hukum bukanlah sesuatu
hal yang sulit untuk di lakukan. Kita di tuntut hanya untuk merenungkan persoalan-
persoalan fundamental atau merginal dalam kehidupan sosial yang menimbulkan gejala
hukum. Maka ketika kita telah melakukan perenungan tersebut seketika itu juga kita telah
dapat di katakan sedang berfilsafat hukum.
Setelah memahami tentang esensi dari filsafat hukum, maka berfilsafat hukum tentulah
dapat di katakan sangat berkaitan dengan hukum sebagai sarana pembangunan dan

7
pembaharuan masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering). Tentang bagaimana
mewujudkan Social Engineering (Rekayasa Sosial), telah di kemukakan oleh Recoe Pond
(1870-1964).
Rescoe Poun menyatakan bahwa hukum adalah sebagai alat untuk membangun
masyarakat. Namun, dengan membuat penggolongan atas kepentingan yang harus di
lindungi, yakni kepentingan umum (Public Interest), kepentingan sosial (Social Interest),
dan kepentingan masyarakat (Privat Interst).
Apa yang telah di kemukakan oleh Rescoe Poun sudah seharusnya menjadi solusi bagi
pembangunan dan pembaharuan masyarakat Indonesia saat ini. Hukum yang Identik dengan
kepentingan penguasa sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat, baik secara umum
maupun pribadi. Kondisi hukum di Indonesia saat ini amatlah memprihatinkan,
permasalahan hukum timbul dari sudut pandang manapun. Di lihat dari sudut pandang Teori
dan Politik Hukum, produk hukum kita cenderung pada kepentingan kekuasaan. Produk
hukum kita yang sering kali di terpa isu hukum yakni konflik norma, kekaburan norma dan
kekosongan norma, membuat hukum kita tidak lagi mampu menjadi alat untuk membangun
masyarakat. Belum lagi di lihat dari segi penerapan serta penegakannya yang amburadul,
dalam hal penegakan dan penerapan hukum seharusnya dapat menjadi tumpuan terwujudnya
tujuan hukum yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan
malah menjadi alat untuk mencidrai tujuan hukum itu sendiri. Sehingga kedaulatan hukum
di pertaruhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di alam demokrasi ini.
Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo (1986: 170-171), langkah yang diambil dalam
social engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan
pemecahannya, yaitu :
1. Mengenai problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali
dengan saksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut;
2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal; social
engineering itu hendak terapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan
majemuk, seperti : tradisional, modern, dan pencernaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-
nilai dari sector mana yang dipilih;
3. Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk bisa
dilaksanakan.

8
Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hukum di Indonesia tidak cukup
berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pemikiran ini
oleh sejumlah ahli hukum Indonesia disebut-sebut sebagai mahzab tersendiri dalam filsafat
hukum, yaitu Mahzab Filsafat Hukum Unpad.

Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Mochtar dimaksudkan untuk tujuan praktis,
yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial-ekonomi. Ia juga
melihat, urgensi penggunaan pendekatan sosialogis dengan mengambil model berpikir
Pound ini, lebih-lebih dirasakan oleh Negara-negara berkembang daripada Negara-negara
maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme hukum di negara-negara berkembang belum
semapan di Negara-negara maju.

Mengingat pembangunan social-ekonomi ini selalu membawa perubahan-perubahan,


maka seharusnya hukum itu mengambil peran, sehingga perubahan-perubahan tersebut
dapat dikontrol agar berlangsung tertib dan teratur. Dalam hal ini hukum tidak lagi berdiri di
belakang fakta (het recht hinkt achter de feiten aan), tetapi justru sebaliknya.

Hukum dalam konsep Mochtar tidak diartikan sebagai alat tetapi sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah
bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang
diinginkan, bahkan dianggap dan bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat
mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan
pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan saran berupa peraturan hukum yang berbentuk
tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk
tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang lain dalam masyarakat sebenarnya, Konsep
Mochtar ini tidak hanya dipengaruhi oleh Sociological Jurisprudence, tetapi juga oleh
Pragmatic Legal Realism.

Lebih jauh lagi, Mochtar (1976:9-10) berpendapat bahwa pengertian sarana lebih luas
dari pada alat (tool). Alasannya di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses
pembaruan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibanding dengan Amerika Serikat, yang

9
menempatkan yurisrudensi (khususnya putusan Supreme Court) pada tempat lebih penting,
konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dari
penerapan legisme sebagaimana pernah dirasakan pada zaman Hindia Belanda, dan di
Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan
konsep seperti itu, dan apabila hukum di sini termasuk juga hukum internasional, maka
konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum
konsep ini diterima resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.

Mochtar (1976:10), kemudian menegaskan, dari uraian diatas kiranya jelas bahwa
walaupun secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan hukum dan
perundang-undangan (reschts politik) sekarang ini diterangkan menurut istilah atau
konsepsi-konsepsi atau teori masa kini yang berkembang di Eropa dan di Amerika Serikat,
namun pada hakekatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri
berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-faktor yang berakar dalam
sejarah masyarakat dan bangsa kita.

Meskipun Mochtar menegaskan, bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor


yang berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto (1994:232-233),
Mochtar tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat pribumi
harus dilestarikan seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa pemerintah kolonial.
Kebijakan anti-acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan apa-apa, sedangkan
introduksi hukum Barat dengan tujuan-tujuan yang terbatas pun kenyataannya hanya
berdampak kecil untuk proses modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk itu,
Mochtar mengusulkan agar pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah tidak
secara tergesa-gesa dan terlalu pagi membuat keputusan : hendak hukum colonial
berdasarkan pola-pola pemikiran Barat, ataukah untuk secara a priori mengembangkan
hukum adat sebagai hukum nasional.

Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum nasional, Mochtar
menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian terlebih dahulu untuk menentukan
bidang hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang dibiarkan
berkembang sendiri. Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang tidak netral,
pembangunannya diupayakan sedekat mungkin berhubungan dengan budaya dan kehidupan

10
spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk bidang hukum lain, seperti kontrak, badan usaha, dan
tata niaga, dapat diatur melalui hukum perundang-undangan nasional. Untuk ihwal lain yang
lebih netral seperti komunikasi, pelayaran, pos dan telekomunikasi model yang telah
dikembangkan dalam system hukum asing pun dapat saja ditiru.

Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa ide Mochtar tentang kodifikasi dan


unifikasi hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi yang terbatas secara selektif pada
hukum yang tidak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan spiritual rakyat (setidak-
tidaknya untuk sementara ini), telah menjadi bagian dari program kerja Badan Pembinaan
Hukum Nasional bertahun-tahun lamanya.

Ide law as a iool of social engineering ini rupanya baru ditujukan secara selektif untuk
mengfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan tak
berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Ide
seperti ini tentu saja bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Orde Baru, karena ide
untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan netral yang juga hukum
ekonomi, tanpa melupakan tentu saja hukum tatanegara manakala sempat diselesaikan
dengan hasil baik akan sangat diharapkan dapat dengan cepat membantu penyiapan salah
satu infrastruktur politik dan ekonomi.

Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak semua ahli hukum
sependapat dengan perkembangan hukum nasional dengan cara mengembangkan hukum
baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam kehidupan internasional, dengan
maksud untuk memperoleh sarana yang berdayaguna membangun infrastruktur politik dan
ekonomi nasional dengan membiarkan untuk sementara infrastruktur social budaya yang
tidak netral atau belum dapat dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju berpendapat, upaya
demikian terlalu menyimpang dari tradisi.

Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada kontinuitas
perkembangan hukum dari yang lalu (colonial) ke yang kini (nasional). Golongan kedua
adalah mereka yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar dan berangkat dari
hukum rakyat yang ada, yaitu hukum adat. Dengan mengutip John Ball dalam bukunya
berjudul Indonesian Law Commentary and Teaaching Materials (1985) dan The Struggle or
National Law in Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-tokoh Pengacara

11
di Jakarta,seperti Adnan Buyung Nasution Sulistio, dan Thiam Hien. Golongan kedua,
merupakan kelanjutan dari gerakan yang telah berumur tua, sudah kehilangan pencetus-
pencetus ide barunya yang mampu bersaing. Beberapa nama yang dapat disebut adalah
(almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesnoe.

Suatu tanggapan yang lain mengenai gagasan Mochtar, datang dari S. Tasrif. Ia
mengingatkan agar pembinaan hukum tidak diarahkan untuk menghasilkan perundang-
undangan baru belaka, tetapi seharusnya juga menghasilkan perundang-undangan yang tidak
menyampaikan hak asasi manusia dan martabat manusia, sehingga slogan Rule of law pada
hakikatnya akan menjadi rule of just law (Kusumaatmadja,1975:22).

Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebenarnya disadari
sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengatakan bahwa pembinaan hukum
nasional secara menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah (problem areas), yaitu: 1)
Inventarisasi dan kepustakaan hukum, 2) Media dan personil (unsure manusia), dan 3)
perkembangan hukum nasional. Kelompok masalah ketiga, perkembangan hukum nasional,
dapat dibedakan dalam dua masalah, yaitu 1) Masalah pemilihan bidang hukum mana yang
hendak dikembangkan, dan 2) Masalah penggunaan model-model asing.

Masalah pertama dapat diatasi dengan menggunakan berbagai ukuran (kriterium), yaitu :
1) Ukuran keperluan yang mendesak (urgent need), 2) feasibility, dalam hal ini bidang
hukum yang terlalu mengandung komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan, dan
sosiologis, akan ditangguhkan pengembangannya, 3) Perubahan yang pokok (fundamental
change), yang maksudnya, perubahan (melalui perundangan-undangan) di sini diperlukan
karena pertimbangan-pertimbangan politis,ekonomis dan/atau sosial. Menurut Mochtar
(1975:13), perubahan hukum demikian sering diadakan oleh Negara-negara bekas jajahan
dengan pemerintah yang memiliki kesadaran politik yang tinggi. Bidang hukum yang
biasanya dipilih adalah hukum agraria, perburuhan, hukum-hukum mengenai pertambangan
dan industri. Di mana ada keinginan untuk menarik penanaman modal asing maka akan ada
tarikan antara keinginan demikian dengan keinginan untuk mengadakan perubahan dasar
(fundamental change) dalam perundang-undangan yang ditinggalkan pemerintah kolonial
yang menempatkan pemerintah yang bersangkutan dalam kedudukan yang tidak murah.

12
Masalah kedua adalah penggunaan model-model (hukum) asing. Walaupun ada kalanya
menguntungkan untuk menggunakan model-model hukum asing, namun seperti disinggung
di muka, Mochtar menyadari bahwa penggunaan model-model tersebut dapat mengalami
hambatan. Untuk itu harus dipertimbangkan apakah pemakaian menggunakan wujud semua
(adoption) atau dalam bentuk yang sudah diubah (adoption).

Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti yang telah dipaparkan,
konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat merupakan konsep pembangunan
(atau pembinaan) hukum yang paling tepat dan relevan sampai saat ini. Masalahnya terletak
pada seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan baru (dalam bidang-bidang
hukum yang dianggap netral) telah diantisipasi dampaknya bagi masyarakat secara
keseluruhannya. Ada tiga catatan yang dapat diberikan sebagai pelengkap.

Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu system, yang
keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu,
pengembangan satu bidang hukum juga akan berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum
lainnya. Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal,
memiliki keterkaitan dengan masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat
disebutkan sebagai bidang yang netral.

Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial seringkali
menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Sebagai contoh, pembentukan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sesungguhnya
dapat dilihat dalam konteks ini. Produk hukum tersebut dapat dikatakan sebagai wujud
social engineering untuk mengarahkan masyarakat Indonesia dari kebiasaan tidak disiplin
berlalu lintas menjadi berdisiplin. Kendati demikian, kondisi yang ideal seperti yang
diharapkan oleh undang-undang tersebut rupanya terlalu jauh dari kenyataan sosial yang
ada. Masyarakat merasa belum siap untuk mengikuti instrument hukum itu. Akibatnya,
stabilitas social (bahkan politik) terganggu. Sebagai pemecahannya, diberikan beberapa
konsensi kepada masyarakat dengan menerapkan isi undang-undang itu secara bertahap,
yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan akan terjadi.

Itulah sebabnya, saran Mochtar Kusumaatmadja untuk melakukan penelitian secara


mendalam terlebih dahulu sebelum membentuk peraturan perundang-undangan yang baru,

13
merupakan langkah yang sangat baik. Hal ini juga merupakan salah satu langkah penting
mengikuti jalan pikiran social engineering, seperti diungkapkan Satjipto Rahardjo. Tanpa
ada penelitian yang jelas, tidak akan pernah diketahui pasti seperti apa living law yang ada,
dan bagaimana perencanaan itu harus dibuat secara akurat.

Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan hukum
tertulis karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep ini
memerlukan peranan aparat penegak hukum yang professional, untuk memberi jiwa pada
kalimat-kalimat tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Aparat hukum, khususnya
hakim, harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti
diamanatkan dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian menggunakan nilai-nilai yang baik
dalam rangka menerjemahkan ketentuan hukum yang berlaku.

Sebagai negara hukum, hukum hendaknya di lihat sebagai satu kesatuan sistem yang
terintergritas dan saling berhubungan. Meskipun pengertian negara hukum dalam UUD
1945 sangat subyektif. Bila dalam berbangsa pembuatan hukum cenderung lebih dominan
dari pada penegakan hukum, maka hukum akan mengalami ketimpangan dalam membangun
masyarakat dan negara.

Hukum sebagai satu kesatuan sistem, maka di dalamnya terdapat elemen kelembagaan,
elemen kaidah, elemen perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban
yang di tentukan oleh norma/aturan. Ketiga elemen sistem hukum tersebut mencakup:

1. Kegiatan pembuatan hukum;


2. Pelaksanaan atau penerapan hukum;
3. Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum. Biasanya kegiatan ini di sebut sebagai
kegiatan penegakan hukum. Selain itu ada pula kegiatan yang sering di lupakan
orang;
4. Pemasyarakatan dan pendidikan hukum; dan
5. Kegiatan pengelolaan informasi hukum sebagai kegiatan penunjang.
Prof. Jimly menjelaskan bahwa keseluruhan dari kegiatan diatas di jalankan melalui tiga
fungsi kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam keseluruhan komponen,
elemen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain

14
itulah tercakup pengertian sistem hukum yang harus di kembangkan dalam kerangka Negara
Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Jelaslah bahwa, ketiga fungsi lembaga kekuasaan tersebut diatas harus berperan aktif dan
bertanggung jawab dalam menjadikaan hukum sebagai alat pembangunan serta
pembaharuan masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat, budaya hukum yang baik harus
tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga negara hukum yang
tertuang dalam UUD 1945 dapat benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kita.
Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering)
merupakan teori yang di kemukakan oleh Rescoe Pound. Oleh Rescoe Pound hukum di
harapkan dapat merekayasa dan mempengaruhi masyarakat. Tidak hanya sekedar tumbuh
dan berkembang secara alami dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, lain lagi dengan apa yang di kemukakan oleh Von Savigny yang mengatakan
bahwa “ hukum berubah jika masyarakatnya berubah”. Teori ini sepintas terkesan
membiarkan hukum tumbuh dan berkembang secara alami di tengah kehidupan masyarakat.
Namun, sebenarnya implisit di dalamnya bahwa hukum itu di pengaruhi oleh kekuatan-
kekuatan di luarnya termasuk oleh sub sistem politiknya.
Teori hukum merupakan landasan teoristis dalam proses pembuatan hukum. Kajian teori
hukum lebih pada hukum sebagai proses, bukan hukum sebagai produk. Proses yang di
maksudkan, bisa saja proses pembuatan hukum yang ideal, dan proses penegakan hukum
yang ideal. Pada proses pembuatan hukum nasional kita, teori hukum di interpretasikan
kedalam politik hukum kita yang mengandung rechts idea tentang keadilan serta
perlindungan terhadap segenap rakyat Indonesia.
Sebagai bangsa yang multi etnik, pembentukan serta penegakan hukum nasional kita
tentulah tidak mudah untuk di lakukan. Banyak faktor yang harus di pertimbangkan agar
hukum dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat, misalnya faktor budaya, suku, ras,
Agama dan lain-lain. Maka, dalam pembentukan hukum hendaknaya hukum yang di bentuk
adalah pruduk hukum yang responsif, yakni hukum yang dapat merespon setiap kepentingan
masyarakat.
1. Dalam pembentukan hukum harus mengikut sertakan masyarakat;

15
2. Pembentukannya haruslah aspiratif. Artinya, norma-norma yang di rumuskan haruslah
norma yang merupakan aspirasi dari masyarakat;
3. Pembentukannya haruslah bersifat komunikatif. Artinya, hukum haruslah dapat di
pahami dalam bahasa yang dapat dipahami dalam interaksi antar warga negara dengan
negara (penguasa);
4. Pembentukannya haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di rumuskan dalam aturan
harus dapat mengantisipasi munculnya konflik di tengah masyarakat.

Produk hukum yang responsiflah yang dapat di jadikan sarana untuk membangun
masyarakat. Namun, dalam prakteknya produk hukum kita jauh dari produk hukum yang
responsif. Kebanyakan produk hukum Indonesia bersifat represif. Banyak Undang-Undang
yang di bentuk berpihak pada kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekuasaannya.
Contohnya UU tentang Partai Politik, UU Ormas, dan lain-lain.

Pembentukan hukum yang responsif tidaklah mudah untuk di lakukan di tengah


keberagaman karakter masyarakat Indonesia. Namun, Indonesia harus tetap optimis dalam
hal menjadikan hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat. Dengan
ideologi Pancasila, dan amanat konstitusi UUD 1945 seharusnya Indonesia telah dapat
menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Namun,
dalam prakteknya hukum kembali tunduk dengan penguasaan atas kepentingan politik
penguasa.

Persoalan dalam pembentukan hukum jelas akan berimbas pada proses penegakan
hukum. Kalau, melihat penegakan hukum di Indonesia saat ini, Indonesia belum pantas di
katakan sebagai negara yang berdaulat dalam hukum. Dalam hal penegakan hukum, bangsa
ini selalu mengalami persoalan diskriminatif terhadap keadilan yang merupakan tujuan
hukum. Seharusnya proses penegakan hukum merupakan instrumen penting dalam hal
mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan
ketertiban.

16
Dalam penegakan hukum Friedman dalam teorinya “ Three Elements Of Legal System”
mengemukakan bahwa ada tiga unsur yang sangat menentukan dalam penegakan hukum,
yakni :

1. Legal Structure (Pranata Hukum)


2. Legal Subtance (Subtansi Hukum)
3. Legal Culture (Budaya Hukum)

Ketiga elemen yang di maksudkan oleh Friedman adalah saling ketergantungan dalam hal
agar hukum dapat di tegakkan. Budaya hukum yang baik, subtansi hukum atau produk
hukum yang baik, serta pranata hukum yang baik menjadi syarat agar hukum dapat di
tegakkan dengan baik.

Namun, teori yang di kemukakan oleh Friedman ini sulit untuk di terapkan di Indonesia
yang heterogen ini. Harapan agar hukum tetap dapat di tegakkan dengan ideal di Indonesia
masih tetap ada. Menurut Prof. Johni Najwan dari ketiga elemen yang di kemukakan oleh
Friedman tersebut, Indonesia bisa fokus pada pranata hukumnya, “jika pranata hukum
Indonesia baik, maka Indonsia sudah bisa baik dalam hal penegakan hukum, meskipun
subtansi dan budaya hukum Indonesia kurang mendukung”. Budaya hukum yang tumbuh di
tengah masyarakat Indonesia sangat sulit untuk di deteksi, yang kemudian untuk dijadikan
sebagai sebuah kesatuan budaya hukum yang harus dipatuhi. Begitu juga dengan subtansi
hukumnya. Dengan keberagaman etnik, tentulah tidak mudah membuat produk hukum yang
ideal atau responsif sebagai satu kesatuan kepentingan dalam hukum.

Banyaknya sistem hukum yang menjadi sumber pembentukan hukum di Indonesia


membuktikan bahwa Indonesia kaya dengan khasanah ilmu hukum. Namun, kesemua sistem
yang ada haruslah dapat di terapkan sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Meskipun pengertian negara hukum dalam UUD 1945 kita
terkesan sangat subyektif.

Dalam hal pembentukan hukum, produk hukum hendaknya dapat melindungi segala
macam bentuk kepentingan, termasuk kepentingan pribadi warga negaranya. Bila
dibenturkan dengan kajian teologis tentang manusia, bahwa manusia di ciptakan sederajat
dengan manusia yang lainnya. Yang membedakan manusia yang satu di hadapan Tuhannya

17
adalah amalan selama perjalanan hidupnya di muka bumi, bukan pada saat kelahirannya di
muka bumi. Ketika kelahiran manusia di muka bumi, mereka memiliki kesamaan status,
yakni fitrah. Sebagai makhluk yang sederajat, manusia juga memiliki hak dan kewajiban
yang sama antara manusia satu dengan yang lainnya. Seiring dengan perjalan waktu,
manusia tumbuh dan berkembang sebagai makhluk sosial. Di katakan sebagai makhluk
sosial tentulah bukan sebagai makhluk individualistik. Namun , persolan persamaan derajat
tetap berlaku dalam interaksi sosialnya sebagai makhluk sosial.

Dalam hal manusia hidup di tengah komunitas sosial, ini menunjukkan bahwa manusia
tidak bisa hidup sendiri. Ketika telah berbaur dalam sebuah komunitas sosial, persoalan
persamaan derajat yang awalnya sangat individualistik ketika manusia itu lahir (fitrah).
Namun, ketika telah menjadi makhluk sosial yang selalu dalam interaksi sosial dalam
komunitasnya, persoalan persamaan derajat dalam kapasitas sebagai makhluk sosial tentulah
harus di maknai sebagai hak untuk saling menghargai tanpa diskiminatif, atau di sebut
dengan Hak Azasi Manusia.

Dalam komunitas sosial, manusia secara individual tetap ingin menjaga hak
kesederajatannya dalam menggapai tujuan hidup dengan manusia lainnya. Namun, dalam
prakteknya manusia tetap saja tidak bisa mewujudkan apa yang di inginkan dalam hidupnya
secara individualistik. Akhirnya, munculah struktur sosial yang membutuhkan kekuasaan
untuk mengatur interaksi sosial manusia.

Kekuasaan tersebut jelas dalam bentuk bagan yang terorganisir. Kekuasaan dalam bentuk
organisasi dapat di peroleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter,
ataupun legitimasi pragmatis yang didasarkan pada sumber kekuasaan tertinggi atau
kedaulatannya. Namun, menurut Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, S.H “kekuasaan berdasarkan
legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan
menusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia
lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan pada ketida legitimasi tersebut akan
menjadi kekuatan yang obsolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang
memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam hal
menjalankan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legtimasi
tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter”.

18
Menurut Prof. Jimly, konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme
kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Namun, dengan
ketentuan bahwa demokrasi harus benar-benar dapat menjadi wadah kedaulatan rakyat
secara utuh.Tidak hanya sekedar berdemokrasi dalam politik, tapi lebih dari itu, berdaulat
dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem negara hukum . Sehingga, barulah bisa
menjadikan hukum sebagai sarana untuk pembangunan dan pembaharuan masyarakat.

Dalam berdemokrasi, kedaulatan tentunya berada tangan rakyat. Demokrasi hendaknya


dapat di praktekkan dalam kedaulatan hukum, hukum sebagai panglima bagi rakyat. Karena
berdemokrasi adalah wadah untuk menampung aktivitas dari interaksi sosial, dan demokrasi
dapat di jadikan sarana untuk menentukan siapa yang akan menjadi pengurus dari struktur
sosial yang ada (negara). Namun sangat di sayangkan, dewasa ini hukum tidak di beri ruang
untuk dapat mengatur interaksi sosial di atas norma-norma yang ada. Sehingga, demokrasi
terkesan berjalan sendiri tanpa arah. Yang jelas, dalam rangka pembanguan dan
pembaharuan masyarakat. Dalam negara hukum, yang seharusnya memerintah adalah
hukum, bukan manusia. Maka dari itulah, negara hukum menghendaki adanya supremasi
konstitusi. Supremasi konstitusi merupakan konsekuansi dari konsep negara hukum,
sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari perjanjian
sosial tertinggi. Jadi, jelaslah bahwa antara demokrasi dan kedaulatan hukum (Nomokrasi)
tidak dapat di pisahkan. Apa lagi sebagai negara hukum, hukum tentunya di harapkan dapat
menjadi sarana untuk kemajuan demokrasi. Karena demokrasi merupakan salah satu wadah
bagi hukum untuk dapat berperan sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan
masyarakat.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum kita saat ini
tidak sedang berada pada posisi idealnya, sesuai dengan idealnya landasan filosofis dan
teoritis. Namun, sebagai negara hukum yang berdaulat, dengan kemajemukan etnis, suku,
dan ras yang kita miliki, kedudukan hukum kita lebih di tunjukkan oleh suatu sistem hukum
yang terintegrasi dan saling berhubungan dalam sebuah hirraki sebagai negara hukum.
Dalam prakteknya sebagai negara hukum, Indonesia terkesan lebih serius dalam
pembentukan hukum dari pada penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh
banyaknya sistem hukum yang mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia. Bangsa
kita mengalami kesulitan dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum yang benar-
benar dapat melindungi segenap rakyatnya. Ini tentunya di pengaruhi oleh kemajemukan
budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sehingga dalam pembentukan hukum
yang responsif serta aspiratif selalu menemukan kendala, baik dalam pembentukannya
ataupu dalam penegakannya.
Bangsa Indonesia memerlukan perhatian khusus dalam hal penegakan hukum dari produk
hukum yang telah di buat. Seperti apa yang di kemukakan oleh Friedman dalam teorinya
Three Elements Of Legal System bahwa dalam penegakan hukum hendaknya kita memiliki
budaya, suntansi, serta pranata hukum yang baik. Namun, dalam prakteknya di Indonesia ini
tentulah tidak mudah untuk di laksanan secara utuh. Menurut Prof. Johni Najwan bila pranata
hukum kita sudah baik, maka penegakan hukum kita sudah bisa berjalan dengan baik,
meskitupn kita memiliki budaya dan subtansi hukum yang kurang mendukung. Bangsa
Indonesia saat ini membutuhkan moral para penegak hukum dalam menegakan hukum,

20
terutama dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan
masyarakat.
Dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana untuk pembaharuan dan pembangunan
masyarakat. Hukum di harapkan dapat melindungi segenap kepentingan rakyatnya. Baik
kepentingan umum, sosial, dan pribadi warga negaranya. Begitu juga dalam pembentukan
hukumnya, hendaknya produk hukum yang responsif benar-benar dapat di wujudkan dalam
satu sistem negara hukum kita.

21
Daftar Pustaka

1. Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokkaratis. PT. Bhuana Ilmu Populer.
Jakarta.2009.
2. Herman Bakhir.Filsafat Hukum.PT. Refika Aditama. Bandung.2009.
3. http://reshaagriansyah.blogspot.co.id/2011/01/hukum-sebagai-sarana pembaharuan.html
(diakses pada Selasa, 12 April 2016, 16.00 pm).
4. http://bungfesdiamon.blogspot.co.id/2013/03/hukum-sebagai-alat-pembaharuan.html
(diakses pada Selasa, 12 April 2016, 19:01 pm).
5. Kencana, Syafiie Inu, 2004,Pegantar Filsafat  Penerbit PT Refika Aditama,Bandung.
6. Huijbers, Theo, 1993,Filsafat Hukum Dalam Lintasan  Sejarah Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
7. Astim Riyanto, 2003Filsafat Hukum Yapemdo, Bandung.

22

Anda mungkin juga menyukai