Anda di halaman 1dari 159

KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

TESIS

Oleh

G. P. HUTAJULU
077005098/HK

PA

K O L A

A S A R JA

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM


PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

Oleh

G. P. HUTAJULU
077005098/HK

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Judul Tesis

: KEWENANGAN POLRI
DALAM PENANGANAN
BIDANG KEHUTANAN

Nama
Mahasiswa

: G. P. Hutajulu

Nomor Pokok

: 077005098

Program Studi

: Ilmu Hukum

SEBAGAI PENYIDIK
TINDAK PIDANA DI

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MH)


Ketua

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)


Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

(Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM)


Anggota

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal lulus : 04 Agustus 2009


G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Telah diuji pada


Tanggal 04 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Alvi Syahrin , SH, MS

Anggota

: 1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

ABSTRAK

Sanksi pidana yang dicantumkan terhadap pelaku kayu ilegal dalam


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang sudah cukup efektif. Secara umum peranan Polri dalam kasus
kayu ilegal
adalah pem-backup-an terhadap (1) pengeluaran izin Hak
Pengelolaan Hutan (HPH) atau dokumen penebangan lainnya,(2) Distribusi dan
Transportasi hasil kayu jarahan,(3) Backing terhadap sawmill serta (4)
kepemilikan chainsaw. Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut diatas,
dapat dirumuskan permasahan-permasalahan sebagai berikut
Bagaimana kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak
pidana di bidang kehutanan ,bagaimana koordinasi antara Polri dengan aparat
penegak hukum lain nya dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan
, apa kendala atau hambatan yang dihadapi Polri dalam penanganan tindak
pidana di bidang kehutanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif.Metode penelitian normatif disebut juga sebagai
penelitian doktrinal ( doctrinal research ) yaitu suatu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku ( law as it is written in
the book ) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses
pengadilan ( law it is decided by the judge through judicial process ).
Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada
langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
Koordinasi antara Polda Sumut dengan aparat penegak hukum lainnya
seperti kejaksaan dan pengadilan dalam penanganan tindak pidana di bidang
kehutanan di wilayah Sumatera Utara yaitu dengan kejaksaan : Pengiriman
surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan undang-undang; Pra penuntutan Yaitu pengembalian berkas perkara
dari
Jaksa
Penuntut
Umum(
JPU
)
kepada
penyidik
untuk
dilengkapi/disempurnakan dalam tenggang waktu 14 hari; Pengiriman berkas
perkara (tahap I) dan pengiriman tahap II berupa tersangka dan barang bukti
dari penyidik kepada JPU;Perpanjangan penahanan selama 40 hari oleh
penyidik kepada JPU;Gelar perkara dalam kasus kayu ilegal antara Polda
Sumut dengan Kejaksaan terutama dalam perkara yang mendapat perhatian
masyarakat. Dengan pengadilan; Perpanjangan penahanan lanjutan oleh
penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri; Persetujuan izin sita barang bukti
oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri;Permohonan izin
penggeledahan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri;Pengamanan
sidang kasus kayu ilegal terutama yang mendapat perhatian masyarakat
;Pengamanan
sidang
lapangan
(lokasi/areal
pengambilan
barang
bukti).Kendala/hambatan yang dihadapi oleh Dinas Kehutanan Propinsi
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Sumatera Utara antara lain; Personil yang kurang memadai baik dari segi
kuantitas maupun kualitas sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS);
Sarana dan prasarana yang sangat kurang seperti, mobil patroli,alat angkut
barang bukti;kurangnya dukungan anggaran terutama untuk biaya
pengangkutan dan perawatan barang bukti termasuk biaya penyidikan perkara.
Kata Kunci :

Kewenangan Polri, Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

ABSTRACT
Menaced crime sanction to perperator criminal act of forestry in Code
of Republic Indonesia Number 19 year 2004 about Stipulating of Regulation of
Government of Subsitution of Code Number I year 2004 about change of code
number 41 year 1999 about forestry become code, have effective enough. In
general role of police in case of forestry I s back up to (1) expenditure of
rights permit management of forest(HPH) or other hewing document,(2)
distribution and transportation result of plundering wood,(3) backing to
sawmill and also,(4) ownership of chainsaw .Pursuant to breackdown of from
above mentioned background,can be formulated by the following
problems;how is the polices authority as investigator in handling of doing an
injustice of forestry,how is the coordination between police with government
officer enforcer of other law in handling of doing an injustice of forestry,what
is the resistance of constraint faced by police in haandling of doing an in
justice of forestry. Methods used in this research is the judicial normative.
Normative research method is also called as a doctrinal research Doctrinal
research is a study that analysis whether a law written in the books (law as it
is written in the book) and the law decided by judgesvthrough the court
process ( law it is enough by judge through the judicial process),research
based on normative law and secondary data on the steps speculative theoryand qualitative analysis of normative.
Coordination between Poldasu with government officer enforcer of
other law like public attorney and justice in handling of case of forestry in
North Sumatera Region,that is with public attorney; delivery of notice in
starting investigation executed pursuant to code; prosecution pre that is return
law suit from public procecutor (JPU) to investigator to be equiped in grace
period 14 day;delivery law suit (phase I) and delivery of phase II in the form of
and evidence goods of investigator to JPU;lengthen detention during 40 day by
investigator to JPU; Title Case in case of forestry between Poldasu with
Prosecution, especialy in case getting attention of society. With justice;
Lengthening of detention of continuation by investigator to Chief Distric
Court; Approval of permit confiscate evidence by investigator to Chief Distric
Court; Application of rummage permite by investigator of Chief Distric Court;
Application of permit auction evidence goods by investigator to Chief Distric
Court; Security of case conference (areal intake of evidence goods). Constraint
faced by on duty forestry of provinsi North Sumatera in handling of case of
forestry in territory of jurisdiction

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

of provinsi North Sumatera, for example: less adequate personnel either from
amount facet and also quality as investigator of public servant of civil (PPNS);
Very Facilities and basic facilities less like, prowl car, appliance transport,
evidence goods; Lack of budget supportespecially for the transportation fee of
and treatment of evidence goods of is including the expense of handling of
case.

Key words:

POLRI Authority, Crime Act of forestry

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan YME


atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar
Magister Hukum/Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum,
Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul Tesis ini adalah: Kewenangan Polri Sebagai Penyidik
Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Di dalam
menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa
pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS,
Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, dimana
di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:
1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumetera Utara, Ibu Prof.
Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas


Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua
Program studi

Magister Ilmu Hukum, yang memberikan kesempatan

kepada Penulis menjadi Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum


Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., sebagai Pembimbing Utama
penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis
dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis
pikir merupakan hal yang sangat substansi sehingga Tesis ini selesai
pada waktunya.
4. Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing dengan
penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada
penulis.
5. Bapak

Syafruddin

S.

Hasibuan.,

S.H.,

M.H.,

sebagai

Komisi

Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta


dorongan dalam penulisan Tesis ini.
6. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih
sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa
kepadaTuhan YME.
7. Kepada Istri dan Anak-anakku, Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik
Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis


ini.
8. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan kerja
saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan YME membalas jasa, amal dan budi baik tersebut
dengan pahala yang berlipat ganda.
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat
dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini
terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik
dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan
penulisan Tesis ini.

Medan,

Juli 2009

Penulis

G.P. HUTAJULU

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

RIWAYAT HIDUP

Nama

Ginting Pandapotan Hutajulu

Tempat/Tanggal Lahir

Laguboti, 06 Oktober 1957

Jenis Kelamin

Laki-laki

Agama

Kristen Protestan

Pekerjaan

Polri/ Kasubdit PAM OPSUS DIT SAMAPTA

Pendidikan

SR Tamat Tahun 1969


SMP Negeri 1 Laguboti Tamat Tahun 1972
SMA Negeri 1 Laguboti Tamat Tahun 1975
Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara
Tamat Tahun 1982
Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat
Tahun 2009

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR LAMPIRAN .. xii
BAB I

PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................

B. Perumusan Masalah ............................................................ 12


C. Tujuan Penelitian ................................................................. 12
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 13
E. Keaslian Penulisan .............................................................. 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .............................................. 14
G. Metode Penelitian ............................................................... 21
BAB II

KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM


PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG
KEHUTANAN..........28
A. Eksistensi Kayu Ilegal ........................................................ 28
1. Praktik kayu Ilegal28
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kayu Ilegal .............. 30
B. Pelaku Dan Modus Operandi Kayu Ilegal .......................... 37
C. Ketentuan Pidana Kayu Ilegal .............................................. 42
1. Ketentuan Pidana Di Bidang Kehutanan ......................... 42

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

2. Ketentuan Pidana Lain yang Terkait dengan


Kayu Ilegal .................................................................... 53
D. Kewenangan Penyidik Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan 65
BAB III

KOORDINASI ANTARA POLRI DENGAN APARAT


PENEGAK HUKUM LAINNYA DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN . 86
A. Frekuensi Tindak Di Bidang Kehutanan yang Terjadi Di
Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara .. 86
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penebangan Hutan
Secara Liar... 93
1. Kurangnya Pengawasaan Aparat Kehutanan dalam
Pengelolaan Hutan... 93
2. Faktor Ekonomi dan Faktor Sosial .................................. 99
C. Koordinasi Antara Polri Dengan Aparat Penegak Hukum
Lainnya Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan ... 105

BAB IV

KENDALA ATAU HAMBATAN YANG DIHADAPI


POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK
PIDANA DI BIDANGKEHUTANAN 112
A. Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan 112
1. Upaya Preventif ...112
2. Upaya Represif 117
B. Kendala Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Dari Aspek
Pidana . 122
C. Kendala atau Hambatan Yang Dihadap Polri Dalam
Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan ... 128

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................134


A. Kesimpulan .......................................................................134
B. Saran .................................................................................135

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................137

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

DAFTAR TABEL

No
1

Judul

Halaman

Data Kasus Kayu Ilegal di Dinas Kehutanan Provinsi


Sumatera Utara Tahun 2001-2005 ..................................

89

Data Penanganan Kasus Kayu Ilegal Tahun


2005 s/d 2008 .................................................................

91

Data Kasus Kayu Ilegal yang Di Tangani Polda Sumut


Tahun 2004 s/d 2008 .....................................................

92

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

DAFTAR LAMPIRAN

No

Judul

Halaman

Data Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dinas Kehutanan Provinsi


Sumatera Utara Tahun 2009....................................................

143

Data Penyidik dan Penyidik Pembantu Dit Reskrim Polda


Sumut dan Sat Reskrim Sejajaran Tahun 2009 .........................
144

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengrusakan hutan alam Indonesia yang merupakan salah satu paru-paru
dunia telah mencapai proporsi yang sangat besar. Menurut data dari Departemen
Kehutanan tahun 2003, disebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak
mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi dalam
tahun 2003, 2004, 2005, mencapai 2,1 juta per tahun. Bahkan ada laporan yang
mengatakan bahwa setiap tahunnya Indonesia, kehilangan hutannya antara 1,6
sampai 2,4 juta hektar, angka ini berarti sama dengan luas enam kali lapangan
sepak bola setiap menitnya. 1
Bahkan data terbaru menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia
telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah mengalami kerugian
sebesar Rp 83 miliar per hari akibat praktek kayu ilegal yang terjadi. Bahkan
yang lebih buruk lagi praktek kayu ilegal

ini tidak hanya berdampak pada

kerugian negara tetapi juga memberikan dampak negatif bagi generasi sekarang
(kerugian langsung) seperti terjadinya banjir, kekeringan, perubahan iklim, bahaya
penyakit, dan tanah longsor. 2

IGM. Nurdjana, dkk., Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 5.
2
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, (Jakarta:
Erlangga, 1995), hal. 1.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Selain itu, praktek

kayu ilegal

juga membawa dampak negatif bagi

kehidupan generasi yang akan datang seperti hilangnya plasma nutfah (flora dan
fauna), perubahan struktur alam (erosi), berkurangnya keanekaragaman hayati,
dan habisnya sumber daya alam. Menurut Emil Salim diperhitungkan bahwa
dalam enam dasawarsa tahun mendatang hutan di Indonesia akan habis
seluruhnya. Hal ini benar-benar telah sangat mengkhawatirkan, apabila hanya
memperhatikan hutan dari segi ekonomisnya saja tanpa memperhatikan ekosistem
hutan sebagai bagian keseimbangan lingkungan yang amat penting untuk segera
dipulihkan dan dilestarikan. 3
Melihat kondisi hutan Indonesia yang semakin parah akibat ulah oknum
yang tidak bertanggung jawab, padahal hutan Indonesia adalah merupakan salah
satu paru-paru dunia, membuat pemerintah mulai mengambil kebijakan dengan
memperbaharui undang-undang yang berhubungan dengan kehutanan baik dari
segi sanksi pidananya maupun dari segi proses pemanfaatan hutan dan hasil hutan.
Pemerintah mengambil kebijakan ini dengan harapan dapat menyelamatkan hutan
dari oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga tercapai sumber daya hutan
yang lestari dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme pengelolaan
hutan yang partisipatif, terpadu, transparan dan bertanggung jawab. Kebijakan
yang diambil pemerintah ini antara lain adalah dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
mencabut UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan,
3

Ibid.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang
mencabut

PP

No.

28

Tahun

1985

tentang

Perlindungan

Hutan

serta

dikeluarkannya Instruksi Presiden No.4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan


Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya Di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia. 4
Perang terhadap kasus penebangan liar beberapa tahun ini menjadi
perhatian para pemimpin di Indonesia. Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir
Manan menyatakan perang terhadap kasus kayu ilegal dengan lebih serius dan
tegas menangani perkara-perkara kejahatan lingkungan tersebut. Sebagai langkah
awal, MA akan mengirimkan surat untuk mengingatkan semua pengadilan di
seluruh Indonesia agar tak main-main dalam memproses perkara tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa pemerintahannya
akan memerangi pencurian dan kayu ilegal , termasuk menindak oknum-oknum
aparat pemerintah, penegak hukum, TNI, dan Polri yang menjadi backing pencuri
dan penyelundup kayu di hutan Indonesia. 5
Lima hari setelah keluarnya pernyataan presiden, Polri menggelar operasi.
Dalam operasi tersebut petugas berhasil menangkap 19 kapal layar motor dan tiga
kapal motor di Sungai Pawan, Ketapang, Kalimantan Barat. Belasan kapal itu
mengangkut 12 ribu meter kubik kayu olahan kelas wahid, seperti bangkirai. Nilai
4

Ibid.
Emerson Yuntho, Kapan Pengadilan Serius Adili Illegal Logging, Dikutip dari
http://opinibebas.epajak.org/search/polri/, Diakses tanggal 22 Februari 2009.
5

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

kayu yang akan diselundupkan ke Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, itu
Rp 208 miliar.
Selain besarnya tangkapan, sejumlah pihak diduga terlibat dalam kasus
tersebut. Misalnya, aparat kepolisian, bupati, jaksa, hakim, pejabat Dinas
Kehutanan, politikus lokal, serta cukong di Ketapang dan Kuching. Kondisi itu
segera direspons Mabes Polri dengan memindahkan sejumlah tersangka kayu
ilegal dari Kalimantan Barat ke Jakarta untuk ditangani langsung. 6
Meskipun sudah sering dilontarkan pernyataan mengenai perang melawan
kayu ilegal dan sejumlah operasi dilakukan, hasil akhirnya cenderung
mengecewakan. Hal itu akibat penegakan hukum dalam kasus kayu ilegal hingga
kini tidak menyentuh seluruh aktor utama pembalakan liar, yaitu cukong dan
pemilik modal.
Harus diakui, perang melawan praktik kayu ilegal sama susahnya dengan
memerangi para koruptor. Hingga kini, pemerintah sudah melakukan lima
kebijakan operasi pemberantasan kayu ilegal. Misalnya, Wana Jaya, Wana Laga,
Wana Bahari, serta Operasi Hutan Lestari I,II, dan III. Namun, kenyataannya,
operasi yang dilakukan juga tidak dapat menjerat pelaku sesungguhnya. Beberapa
kalangan menyebut kayu ilegal sebagai kejahatan tak tersentuh hukum. 7
Sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku kayu ilegal

dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

6
7

Ibid.
Ibid.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang, sebenarnya sudah cukup efektif. Ancaman pidana
terberat adalah penjara 15 tahun dan denda Rp 5 miliar. Seharusnya ancaman itu
mampu membuat para pelaku berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan
pidana tersebut.
Data kepolisian atas hasil Operasi Hutan Lestari menyebutkan, selama
2004 hingga Juni 2006, diungkap 4.178 kasus dengan jumlah tersangka 4.860
orang dan barang bukti 822.296 m3 kayu dan 2,37 juta batang kayu. Pada aspek
penindakan, upaya pemerintah telah mencapai beberapa kemajuan dalam upaya
memerangi kayu ilegal , namun gagal memenjarakan para pelaku utama. Dari
ribuan kasus kayu ilegal tersebut, hanya segelintir cukong atau pelaku utama
yang berujung hingga ke pengadilan. Hasilnya juga mengecewakan. 8
Dalam catatan ICW, selama empat tahun terakhir (2005-2008), dari 205
orang pelaku kayu ilegal yang diadili hanya 18 orang (8,8%) yang tergolong
pelaku utama, seperti direktur, manajer, komisaris utama, pemilik sawmill,
cukong, penegak hukum, pejabat Dinas Kehutanan, kontraktor, warga negara
asing. Selebihnya, 187 orang (91,2%), adalah pelaku kelas teri, seperti operator,
supir truk, dan petani.
Dari semua yang diproses, sedikitnya terdapat 137 orang (66,8%) yang
telah dibebaskan sejumlah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia.
8

Polda Sumatera Utara,Operasi hutan lestari I,2006.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Selebihnya, 44 orang (21,4%) divonis di bawah 1 tahun penjara dan 14 orang


(6,8%) divonis 1-2 tahun penjara. Hanya sepuluh orang (4,8%) yang divonis di
atas 2 tahun penjara.
Banyaknya tersangka kasus

kayu ilegal

yang dibebaskan pengadilan

setidaknya menunjukkan bahwa upaya pemberantasan praktik kayu ilegal yang


dilakukan pemerintah dengan jajaran di bawahnya tidak didukung secara
maksimal pihak yudikatif, dalam hal ini pengadilan. Jika pemerintah dinilai giat
dalam memberantas praktik kayu ilegal , pengadilan justru giat membebaskan
pelaku kayu ilegal .
Tanpa ada kesamaan pandangan dan semangat memerangi kayu ilegal di
antara aparat penegak hukum, sebanyak apa pun kasus yang diungkap akan kandas
di pengadilan. Banyaknya pelaku kayu llegal yang dibebaskan pengadilan secara
tidak langsung menunjukkan bahwa pengadilan justru melegalkan praktik kayu
llegal . 9
Independensi yang dimiliki hakim dalam memeriksa dan memutus suatu
kasus sering disalahgunakan untuk kepentingan sesaat segelintir orang, namun
berakibat kerugian bagi ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang. Kondisi itu
diperburuk lemahnya pengawasan yang dilakukan internal pengadilan.
Buruknya hasil di pengadilan juga diikuti dengan buruknya upaya
penindakan oknum di Departemen Kehutanan yang diduga terlibat dalam
pemberian izin tersebut. Dari sejumlah kasus kayu llegal yang terungkap, sanksi
9

Emerson Yuntho, Op Cit

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

yang diberikan terhadap oknum yang diduga terlibat masih sebatas sanksi
administratif berupa pembebasan tugas, atau teguran, atau penundaaan kenaikan
pangkat. 10
Di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara, Taman Nasional Batang
Gadis (disingkat TNBG) adalah sebuah taman nasional, yang terletak di 99 12
45" BT sampai dengan 99 47 10" dan 0 27 15" sampai dengan 1 01 57" LU
dan secara administrasi wilayah ini dikelilingi 68 desa di 13 kecamatan di
Kabupaten Mandailing Natal. Nama taman nasional ini berasal dari nama sungai
utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Madina. TNBG meliputi kawasan
seluas 108.000 hektar atau 26% dari total luas Madina yang terletak pada
ketinggian 300 s/d 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertinggi
puncak Gunung Sorik Merapi. 11
Melalui SK No 126/Menhut-II/2004 Menteri Kehutanan, TNBG disahkan
sebagai Taman Nasional. TNBG terdiri dari dari kawasan hutan lindung, hutan
produksi terbatas, dan hutan produksi tetap. Hutan lindung yang dialih fungsikan
seluas 101.500 ha, terdiri dari hutan lindung Register 4 Batang Gadis I, hutan
Register 5 Batang Gadis II komp I dan II, Register 27 Batang Natal I, Register 28
Batang Natal II, Register 29 Bantahan Hulu dan Register 30 Batang Parlampuan I
yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak masa pemerintahan Belanda
dalam kurun waktu 19211924. Sementara kawasan hutan produksi yang
10

Ibid.
AR. Tanjung, Illegal Logging dan Polisi, Dikutip dari http://artanjung.
blogspot.com/2008/06/illegal-logging-dan-polisi-studi.html, Diakses tanggal 22 Februrari 2009.
11

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

dialihkan meliputi areal eks HPH PT. Gruti, seluas 5.500 ha, dan PT. Aek Gadis
Timber seluas 1.000 ha.
Tujuan pembentukan taman nasional adalah untuk menyelamatkan satwa
dan habitat alam. TNBG juga sebagai simbol pengakuan nilai-nilai kearifan lokal
dalam mengelola hutan. Salah satu kearifan tradisional masyarakat setempat ini
dibuktikan dengan lubuk larangan atau naborgo-borgo atau harangan - harangan
atau hutan larangan, merupakan beberapa contoh kearifan lokal yang hingga kini
masih lestari. Pembentukan ini juga sangat penting mengingat bahwa laju
kerusakan hutan alam di propinsi ini sudah pada tingkat yang sangat
memprihatinkan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan pada tahun 2003,
kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 3,8 juta ha per tahun. Kerusakan hutan
di Sumatera Utara sendiri mencapai 76 ribu ha per tahun dalam kurun waktu
1985-1998. Sampai akhir November 2004 kerusakan hutan yang disebabkan
penebangan liar dan kebakaran hutan di Sumut mencapai 694.295 ha, untuk hutan
lindung mencapai 207.575 ha, hutan konservasi 32.500 ha, hutan bakau 54 220 ha
dan hutan produksi sekitar 400.000 ha. 12
Pembentukan taman nasional ini juga tidak semata-mata upaya pemerintah
saja, melainkan atas jerih payah masyarakat dan kalangan lembaga swadaya
masyarakat seperti, BITRA Indonesia, Conservation International Indonesia
(CII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, PUSAKA
Indonesia, Yayasan Leuser Lestari (YLL), Yayasan Samudra dan lain-lain.
12

Ibid.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Seperti desa-desa lain di seberang Batang Gadis, di Humbang I juga


beberapa tahun lalu terdapat aktivitas pembalakan kayu di Tor Siayo. Penduduk
Humbang banyak yang ikut bekerja sebagai pengangkut kayu balok. Aktivitas
penebangan liar berhenti sejak akhir tahun 2004.
Maraknya aktivitas penebangan liar di daerah TNBG, diduga ada kaitannya
dengan fakta bahwa harga gergaji mesin yang bekas cukup murah yaitu sekitar Rp
2,5 juta sehingga banyak orang yang mampu membeli. Pelaku

kayu ilegal

berusaha mengambil hati masyarakat dengan cara memperbaiki jalan desa menuju
lokasi hutan. Misalnya ada proyek jalan desa dari Hutabargot menuju Siulangaling
(kecamatan Muara Batang Gadis), tetapi hanya sekitar 12 km. Pola distribusi
kayu: kayu-kayu yang ditebang dikumpulkan di dekat desa (storing), lalu
pengusaha melakukan lobi ke kepala desa untuk memuluskan pengangkutan, ke
semua Kades-kades di kawasan Hutabargot; pengusaha memberikan retribusi Rp.
50.000/m3 selama tahun 2003-2004. Hasil distribusi dibagikan ke pada lima desa
secara merata. Pengusahu kayu melibatkan pemuda setempat untuk menjaga kayu
(jaga malam). Khusus Hutabargot Nauli, mereka mengumpul dana melalui
bendahara desa dan digunakan untuk pembangunan sarana ibadah. 13
Aktivitas kayu ilegal di Huta Bargot Nauli (disingkat HBN) marak pada
tahun 2003-2004. Waktu itu balok-balok kayu yang diangkut dari daerah HBN
mencapai 3-5 truk/ hari, dijual ke Panyabungan. Ada puluhan chainsaw yang
beroperasi di hutan wilayah HBN, dan ada juga warga HBN yang jadi salah satu
13

Ibid.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

toke-nya, selain yang datang dari luar desa. Pembalakan kayu ketika itu mengikuti
jalur pembukaan jalan tembus arah Siulang-aling. Aktivitas pembalakan kayu
berhenti sejak SBY dilantik menjadi Presiden, namun secara kecil-kecilan masih
tetap berlangsung. Sebelum Agustus 2004, daerah ini merupakan tempat
beroperasinya penebangan liar dan perburuan binatang.
Praktik-praktik

kayu ilegal

biasanya terjadi di bukit Tor Adian, Tor

Sikaba Laut, Simpang Mondan, dan Tor Siduadua. Mayoritas pelaku kayu ilegal
adalah warga luar desa yang sengaja datang menebang kayu. Pelaku utamanya
adalah pemilik chainsaw yang ada di Panyabungan yang sekaligus menjadi toke
kayu. Penduduki desa HBN pada umumnya hanya menjadi buruh angkut di tengah
hutan. Mereka biasanya pergi ke hutan untuk beberapa waktu (sekitar seminggu)
dengan membawa makanan, dan mereka membuat pondok-pondok sebagai tempat
tinggal sementara di tengah hutan.
Secara umum peranan POLRI dalam kasus sepuluh desa di atas adalah
pem-backup-an terhadap (1) pengeluaran izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau
dokumen penebangan lainnya, (2) Distribusi dan Transportasi hasil kayu jarahan,
(3) Backing terhadap sawmill serta (4) kepemilikan chainsaw. 14
Pertama, pengeluaran izin HPH. Untuk melakukan penebangan kayu secara
legal diperlukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh
Departemen Kehutanan. Izin seperti ini diperlukan para pengusaha untuk
melakukan praktek
14

kayu ilegal . Pada saat ini juga polisi membantu para

Ibid.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

pengusaha

yang

mempunyai

HPH

untuk

mem-backup

segala

aktifitas

pengambilan kayu di hutan. Jika memiliki HPH dan juga berusaha mendapatkan
dukungan pengamanan dari Polisi maka seorang pengusaha kayu dapat dengan
leluasa melakukan penebangan secara liar.
Kedua, distribusi dan transportasi hasil kayu jarahan. Seperti terjadi di
Desa Sibanggor Jae, Polisi turut serta dalam proses pengawasan pengangkutan
kayu dari sumber kayu sampai ke sawmill.
Ketiga, backing terhadap sawmill. Pada masa maraknya praktek

kayu

ilegal ini sampai tahun 2005 angka peningkatan jumlah sawmill di Mandailing
Natal terus bertambah. Dalam satu desa bisa terdapat jumlah sawmill 3 sampai 4
sawmill. Sawmill ini mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan sehingga
dengan leluasa sawmill ini didirikan di pinggir jalan raya.
Keempat, kepemilikan chaisaw. Dalam beberapa desa di wilayah
Kecamatan Batang Natal, jumlah chainsaw bisa mencapai angka 25 buah
chainsaw dalam satu desa. Kepemilikan chainsaw ini bisa dimiliki sendiri oleh
warga atau milik polisi yang disewakan kepada warga dengan sistem bagi hasil.
Selain memiliki chainsaw di desa, oknum polisi juga meminta insentif dari
pemilik chainsaw lainnya, untuk bisa mengoperasikan chainsaw nya di desa. 15
Dalam proses penyidikan tindak pidana lingkungan, selain Penyidik Polri,
PPNS Lingkungan juga mempunyai kewenangan dalam penyidikan berdasarkan
UUPLH. Meskipun PPNS mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan,
15

Ibid.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

namun untuk melanjutkan hasil penyidikannya ke Jaksa Penuntut Umum, PPNS


Lingkungan harus melalui penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 107
KUHAP dan Pasal 40 ayat (3) dan (4) UUPLH. 16
k
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat
dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak
pidana di bidang kehutanan?
2. Bagaimana koordinasi antara Polri dengan aparat penegak hukum lainnya
dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan?
3. Apa kendala atau hambatan yang dihadapi Polri dalam penanganan tindak
pidana di bidang kehutanan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan
tindak pidana di bidang kehutanan

16

Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: PT. Sofmedia,
2009), hal. 19.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

2. Untuk mengetahui sejauh mana koordinasi antara Polri dengan aparat


penegak hukum lainnya dalam penanganan tindak pidana

di bidang

kehutanan.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi Polri
dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk
tercapainya penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.
2. Secara Praktis
Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih
lanjut mengenai kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan
tindak pidana di bidang kehutanan. Sehingga dengan adanya penulisan ini
pemerintah dapat mengatur upaya penanganan di bidang kehutanan.

E. Keaslian Penulisan
Didasarkan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian
tentang Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Di Bidang Kehutanan , belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap


permasalahan yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak
pidana di bidang kehutanan namun pendekatan permasalahan yang diteliti
berbeda, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar
keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan azas-azas keilmuan yaitu
mengandung aspek kejujuran, rasional objektif dan terbuka, sehingga penelitian
ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka
terhadap beberapa masukan serta saran yang bersifat membangun dan konstruktif.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam pembahasan mengenai Kewenangan Polri sebagai penyidik dalam
penanganan tindak pidana di bidang kehutanan, teori utama yang digunakan
adalah teori Lawrence M. Friedman, dalam bukunya yang berjudul The Legal
System A Social Science Perspective, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri
atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (peraturan perundang-undangan)
dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung
berjalannya sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan
sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan
sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi
baik itu secara evolusi maupun revolusi. 17

17

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 26.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Menurut Lawrence M. Friedman, tegaknya hukum tergantung kepada


budaya hukum masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat
tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan, lingkungan, budaya, kedudukan dan kepentingan. 18
Teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh
Jean Boudin dan George Jellinek. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan
tertinggi

ada

pada

negara

dan

negara

mengatur

kehidupan

anggota

masyarakatnya. 19 Negara yang berdaulat melindungi masyarakatnya terutama


masyarakat yang lemah. Dalam merumuskan wewenang Polri sebagai satu alat
negara seyogyanyalah mempedomani teori kedaulatan yang menjadi sumber
kekuasaan atau wewenang pemerintah Republik Indonesia, karena kedaulatan
tertinggi berada di tangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR.
Dalam
mendelegasikan

menjalankan

pemerintahan

kepada

lembaga-lembaga

negara

tersebut

pemerintahan

kewenangan-kewenangan. Salah satu kewenangan

maka
negara

Presiden
berupa

tersebut adalah wewenang

untuk menyelenggarakan fungsi penegakan hukum dengan demikian Polri dalam


melaksanakan wewenangnya bukan tanpa batas melainkan harus selalu
berdasarkan hukum, karena menurut penjelasan UUD 1945 dirumuskan bahwa:
negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas
18

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,


disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera
Utara, (Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumetera Utara, 17 April
2004), hal. 21.
19
Mochtar Kusumaatmaja, Hukum,Masyarakat dan Pembinaan masyarakat ( Bandung:Bina
Cipta,1976 ),hal.69

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

kekuasaan belaka (machtstaat). Namun demikian lingkup wewenang Polri


tersebut dibatasi oleh lingkungan kuasa hukum berdasarkan:
a. Lingkungan kuasa soal-soal (zakengebied) yang termasuk kompetensi hukum
publik;
b. Lingkungan kuasa orang (personen gebied) yang terjangkau oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara atau prosedur
dilakukannya tindakan kepolisian;
c. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied) yakni lingkup batas waktu yang diatur
dalam ketentuan undang-undang tentang tindakan kepolisian dan ketentuan
undang-undang tentang kadaluarsa masalah tertentu;
d. Lingkungan kuasa tempat/ ruang (ruimtegebied) yakni lingkup berlakunya
hukum nasional publik dan hukum internasional publik serta hukum adat di
suatu daerah/ wilayah atau lokasi tertentu. 20
Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum
(equality before the law), berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum. Hak perseorangan adalah
relatif, sifat perseorangan dalam hukum perjanjian menimbulkan gejala-gejala
hukum sebagai akibat hubungan hukum antara persoon dengan persoon lainnya.
Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada

20

H.Warsito Hadi Utomo,Hukum Kepolisian di Indonesia, (Jakarta:Prstasi


Pustaka,2005),hal 63

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

permasalahan peran sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian


kelembagaan) dapat melakukan sesuatu kehendak melalui pemanfaatan hukum. 21
Cita-cita hukum dan asas-asas hukum nasional, diharapkan mampu
memberi arah pada proses transformasi masyarakat yang berkelanjutan mencakup
semua orang dan seluruh masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Semakin mendekatnya cita-cita dengan
kenyataan maka akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada hukum yang
pada gilirannya akan memperkokoh wibawa hukum. 22
2. Konsepsi
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami istilah atau konsep yang
dipergunakan maka dapat diberikan defenisi operasional sebagai berikut ;
a. Kewenangan adalah hal berwenang; hak dan kekuasaan yang dipunyai atau
dimiliki untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan; 23
b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini; 24

21

Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal.
69., Lihat Buku Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia
Kalam, 2005), hal. 7.
22
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Medan: PT. Sofmedia, 2009), hal.11.
23
Daryanto, S.S., Kamus Bahasa Umum Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), hal.
633.
24
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Pasal 1 angka 5.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut


cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya; 25
d. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan; 26
e. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia
yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan
yang diatur dalam undang-undang ini; 27
f. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik
dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana
dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing; 28
g. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan; 29

25

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1.
27
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 3.
28
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168, Pasal 1 angka 11.
29
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 4.
26

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

h. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan


dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat; 30
i. Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 31
j. Anggota Polri adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik
Indonesia; 32
k. Pejabat Polri adalah anggota Polri yang berdasarkan undang-undang
memiliki wewenang umum kepolisian; 33
l. Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undangundang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku dimana
perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Jadi suatu
perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsurunsur sebagai berikut, yaitu:
1) Harus merupakan suatu perbuatan manusia;
2) Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh
undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya;

30

Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Pasal 6 angka 1,
jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5
angka 1.
31
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 1 angka 1.
32
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 1 angka 2.
33
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 1 angka 3.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

3) Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab


artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut. 34
m. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, pengarapan; 35
n. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu; 36
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, menyebutkan:
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum;
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, menyebutkan:
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
34

Satochid. K., Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa.


Daryanto, S.S., Op. Cit., hal. 575.
36
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 1 angka 1.
35

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap


kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2)Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di
dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan
oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

judicial process) 37 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan


menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatifkualitatif. 38
Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari
penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data
dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan,
buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara,
serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan
yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan
peraturan yang satu dengan yang lainnya.
Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian
normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 39 Logika keilmuan
yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah
dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum
itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah
sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal
dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana
hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan

37

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: 2006,hal. 118.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta,: 2003, hal. 3.
39
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, 2007, hal. 57.
38

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan


fungsional secara konsisten.
1. Tipe atau Jenis Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau normanorma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan
penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu
gejala, keadaan atau kelompok tertentu. 40 Deskriptif analitis berarti bahwa
penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori
hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang
kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang
kehutanan.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
penelitian.41 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang
menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian

40

C.G.F. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
(Bandung: Alumni, 1994), hal. 89.
41
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), hal. 33.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan


yang berhubungan dengan kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak
pidana di bidang kehutanan.
3. Sumber Data Penelitian
Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian
yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang
digunakan dalam penelitian ini.
a. Bahan Hukum Primer :
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan mengenai
Kehutanan (misalnya: Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan
yang Berlaku pada Departemen Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun


2004 tentang Perencanaan Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 62
Tahun 1998 tentang Perlindungan Hutan, Instruksi Presiden Nomor 4
Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia, dll. 42 ), catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer
yang

otoritasnya

di

bawah

undang-undang

adalah

Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau


lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari
perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder:
Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku
teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentarkomentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama
adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip

42

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang


Kehutanan dan Illegal Logging, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008), hal. 7.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang


mempunyai klasifikasi tinggi. 43
c. Bahan hukum tersier:
Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum,
kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah. 44 Jadi
penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier
sebagai sumber penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan
oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata
yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan
penggunaannya melalui angket, pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya. 45
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk
mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundangundangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan
putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.

43

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, 2005, hal 141.


Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, 1990, hal. 14.
45
Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung, 2004, hal. 97.
44

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

5. Metode analisis Data


Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat
dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian
konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. 46 Data
yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa peraturan perundangundangan, putusan-putusan pengadilan, serta hasil wawancara diolah dan
dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum
(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi
terhadap bahan hukum tersebut ;
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis
atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah kewenangan
Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang
kehutanan;
c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian
diolah ;
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau
peraturan

perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif

kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan


atas permasalahan.
46

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, 2006, hal. 225.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

BAB II
KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN
A. Eksistensi kayu Ilegal
1. Praktik kayu Ilegal
Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia
setelah Brazil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120, 35
juta ha, atu 63 persen luas daratan. 47 Hutan dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi
Indonesia, dengan sumbangan yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor,
lapangan kerja serta sumber pendapatan masyarakat lokal. Sekitar 300.000 orang
bekerja pada industri pengelolaan kayu dan paling tidak 14 juta orang
menggantungkan hidupnya secara langsung pada hutan. Hasil hutan mencakup
lebih dari 11 persen dari pendapatan ekspor selama 1994-1999. Walaupun begitu
besar sumbangan hutan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi, akan tetapi
manfaat ini dihasilkan tanpa mempertimbangankan kelestarian hutan. 48 Laju
perusakan hutan Indonesia juga sangat besar mencapai 1,6 juta hingga 2,1 juta ha
per tahun dan salah satu penyebab kerusakan hutan ini adalah kayu ilegal. 49
Kayu Ilegal hingga saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sulit
untuk diberantas dan masih terjadi hampir di seluruh dunia. Yang paling parah
47

Herdiman, V., Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup
OZON, Vol.4, No. 3, (Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003), hal. 22.
48
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan
dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Edisi I,( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).
49
Herdiman, V., Loc. Cit.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

justru banyak dilakukan dikawasan Asia Pasifik, khususnya di negara-negara


Amerika Latin, Benua Afrika dan negara-negara dalam Association of South East
Asian Nation (ASEAN). Indonesia termasuk salah satu sasaran operasi kayu ilegal
yang merupakan suatu kejahatan yang mempunyai jaringan sindikat dalam skala
internasional. Hasil kayu ilegal itu banyak di ekspor keluar negeri seperti RRC,
Malaysia, Singapura bahkan ke Eropa, yang kemudian kayu yang diekspor ini
ternyata kembali diekspor negara-negara tersebut ke Indonesia dalam bentuk
olahan. 50
Praktik-praktik kayu ilegal

merupakan permasalahan yang berdampak

multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya ekologi


(lingkungan). Data dari Departemen Kehutanan 51 bahwa laju kerusakan hutan di
Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan
Rp.83 miliar per hari akibat kayu ilegal . Kerugian yang dialami negara tersebut
merupakan angka kerugian minimum oleh karena kerugian yang disebutkan di
atas belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa,
bencana banjir dan erosi yang ditimbulkan serta biaya-biaya yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan sebagainya. Kerugian
secara ekologis berupa hilangnya jenis/ spesies keanekaragaman hayati tidak

50

Tim BEINEWS, Jalan Berliku Membasmi Kayu Ilegal, Dikutip dari


www.bexi.co.id/artikel/komoditasjalan.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
51
Menteri Kehutanan RI, Enforcement Economic Program Conservation InternationalIndonesia EEPCI, Dikutip dari www.mofrinet.cbn.net.id/informasiumum, Diakses tanggal 20 Mei
2009.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

dapat dihitung secara finansial. Menurut data Greenomics 52 , kerugian ekologis


akibat kayu ilegal , khususnya untuk menangkal banjir saja, setidaknya
pemerintah harus mengeluarkan dana yang mencapai Rp. 15 triliun per tahun.
Angka itu tentu saja akan lebih besar lagi jika memperhitungkan tambahan
anggaran masing-masing daerah. Biaya tersebut biasanya dilakukan untuk
menanggulangi banjir yang tiap tahun terus terjadi karena kerusakan hutan yang
semakin meningkat tiap tahunnya, sementara dana dari pemerintah pusat hanya
berupa stimulasi.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kayu Ilegal
Belum adanya kesepahaman dalam memberikan definisi liar (ilegal) dalam
rangka menjustifikasi setiap kasus tentang kayu ilegal antara pemerintah pusat
dan daerah akan menimbulkan tanggapan atau penilaian tersendiri oleh masingmasing pihak terhadap

kayu ilegal . Kondisi ini diperburuk dengan adanya

kontradiksi kebijakan antara pusat dan daerah yang semakin mengaburkan konsep
legalitas konsesi pengusahaan dan pemanfaatan hutan.
Namun demikian, jika dilihat dari pengertian tentang kayu llegal yang
bertitik tolak dari prilaku yang dapat merusak hutan maka praktik kayu ilegal ini
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:

52

Herdiman, V., Op. Cit., hal.2.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

a. Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai izin yang
kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual
kepada penadah hasil hutan, dan
b Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai izin namun
dalam melakukan kegiatan usahanya itu cenderung merusak hutan yaitu
melakukan penebangan di luar konsesinya (over cutting), melanggar
persyaratan seperti yang ditetapkan dalam konsesinya, kolusi dengan pejabat
atau aparat, pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan.
Pandangan tentang faktor penyebab terjadinya

kayu ilegal

ini pun

bervariasi tergantung pendekatan yang digunakan masing-masing pihak. Kayu


Ilegal berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional,
besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal,
lemahnya penegakan hukum, tumpang tindih regulasi dan pemutihan kayu yang
terjadi di luar daerah tebangan 53 . Namun dari berbagai pandangan itu tampaknya
persamaan yang selalu ada dalam setiap pandangan yaitu memandang bahwa
kasus kayu ilegal merupakan suatu proses dalam kegiatan ekonomi sehingga
faktor ekonomi adalah merupakan faktor utama yang menjadi penyebab dari kayu
ilegal .

53

Haba, J., Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya,


www.kompas.com/kompascetak/opini.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.

Dikutip

dari

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Menurut Dudley bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan suburnya kayu
ilegal pada tingkat lokal dan yang memungkinkan kayu ilegal meluas dengan
cepat, yaitu: 54
1) Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi
penduduk di desa-desa dekat hutan;
2) Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal yang berkaitan dengan
industri penebangan kayu; dan
3) Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya serta kolusi
dengan para politisi dan pemimpin setempat.
Ketiga faktor di atas saling mempengaruhi, saling mendukung dan saling
melengkapi. Hasil penelitian Dudley, yang relevan dengan praktik kayu ilegal di
Papua, dari ketiga faktor tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 55
Pertama, Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan
situasi penduduk di desa-desa dekat hutan dipengaruhi oleh unsur-unsur: (1).
Kebutuhan lapangan kerja dan pendapatan; (2). Pengaruh tenaga kerja lain yang
sudah bekerja secara ilegal; (3). Ketidakpuasan lokal atas kebijakan kehutanan
pusat; (4). Dukungan terhadap pengelolaan hutan lestari.
Pada tingkat masyarakat, yang paling penting adalah tersedianya lapangan
pekerjaan dan pendapatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Kesedian

54
55

Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal. 448-450.


Ibid., hal. 438-439.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

masyarakat bekerja secara melanggar hukum (ilegal) dipengaruhi

kuat oleh

kenyataan bahwa anggota masyarakat yang lain bekerja demikian. Faktor lain
yang sangat berpengaruh seperti di Papua adalah ketidakpuasan masyarakat
terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Ketidakpuasan dan kebencian masyarakat di Papua merupakan dampak dari
kebijakan pemerintah pusat di masa lalu yang mengeksploitasi hutan di Papua dan
kemudian hasilnya dibawa ke pusat sementara hanya sedikit sekali dikembalikan
ke Papua, sehingga pembangunan di Papua jauh tertinggal dari provinsi-provinsi
lain di Indonesia. Pemerintah pusat dalam era pengelolaan hutan yang sentralistik
seringkali memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar dengan
mengabaikan hak-hak adat masyarakat Papua pribumi, sementara militer dan
polisi yang menjaga konsesi-konsesi tersebut tentu mempunyai kecenderungan
untuk membela perusahaan pengelola kayu karena dibayar untuk menjaganya.
Konflik antara perusahaan kayu pemegang konsesi dari pusat dengan masyarakat
adat setempat tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan, sehingga keterlibatan
aparat militer dan polisi dalam sistem pengelolaan hutan, baik sebagai protektor
bagi perusahan maupun sebagai pemegang saham dan pengelola hutan seringkali
menimbulkan pelangaran-pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) 56 . Kondisi
demikian pada akhirnya menanamkan rasa kebencian dan ketidakpuasan

56

Asia Report No39, Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan
Rekomendasi, Dikutip dari www.crisisweb.org/home/ , Diakses tanggal 20 Mei 2009, hal. 2.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

masyarakat adat setempat atas kebijakan pengelolaan hutan yang sentralistik


tersebut.
Kedua, Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal berkaitan
dengan industri penebangan kayu dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu:
1) Kebutuhan kapasitas terpasang industri dalam negeri dan permintaan kayu
dari luar negeri;
2) Kemampuan pasokan kayu dan kebijakan jatah kayu tebangan;
3) Tinggi rendahnya laba dari perusahaan industri kayu.
Besarnya kapasitas industri kayu di daerah akan menimbulkan naiknya
permintaan akan pasokan kayu yang mengarah kepada pemanenan kayu yang
berlebihan. Kemampuan pasokan kayu dan kemampuan penyediaan industri
perkayuan yang legal yang tidak sebanding dengan tingginya permintaan
kemudian menimbulkan permintaan tambahan akan kayu yang diambil dari hasil
kayu ilegal . Tingginya permintaan atau rendahnya persedian kayu menurunkan
laba

dari

perusahaan

kayu,

sehingga

untuk

mempertahankan

laba

itu,

dimungkinkan untuk membeli kayu ilegal yang lebih murah dan resikonya
rendah. 57
Ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply)
diperkirakan, kebutuhan Industri akan kayu mencapai 60 juta meter kubik per
tahun, sementara supply hanya sebesar 22 juta meter kubik per tahun, jadi defisit
57

Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal.455.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

kayu sebesar 30-40 juta meter kubik per tahun. 58 Jalan termudah untuk memenuhi
defisit kayu tersebut adalah melalui kayu ilegal . Permintaan akan kayu ini juga
menimbulkan permintaan akan tenaga kerja dan menyediakan lapangan pekerjaan
bagi masyarakat lokal. Dengan demikian faktor ini kemudian mempengaruhi
maupun dipengaruhi oleh faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan
situasi penduduk disekitar hutan.
Ketiga, Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya
pada, serta kolusi dengan, para politisi dan pemimpin setempat dipengaruhi oleh
unsur-unsur seperti :
a) Keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha kayu;
b) Besarnya pengaruh pengusaha kayu terhadap pejabat lokal;
c) Besarnya partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan kayu ilegal; dan
d) Banyaknya kerjasama ilegal yang dilakukan oleh pengusaha dengan
penguasa atau pejabat lokal.
Faktor ketiga ini dapat terjadi oleh karena pejabat lokal mempunyai
kekuasaan untuk memberikan kontrak akses pada lahan hutan dan memastikan
bahwa berbagai peraturan perundang-undangan ditegakkan atau diabaikan.
Kemudian para pengusaha memiliki modal atau dana yang diperoleh dari
keuntungan bisnis kayu. Peristiwa hukum yang terjadi di sini adalah praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
58

Herdiman, V., Op.Cit., hal. 23.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Menurut Dudley bahwa semakin kuatnya pengaruh pengusaha kayu


terhadap pejabat lokal akan meningkatkan partisipasi pejabat lokal dalam kerja
sama ilegal yang kemudian berpengaruh kepada peningkatan laba bagi pengusaha
kayu.

59

Ketika kayu ilegal

meningkat dan potensi pendapatan masyarakat

menjadi jelas, maka kegiatan kayu ilegal juga semakin di terima oleh masyarakat,
bahkan masyarakat menjadi tergantung pada kegiatan tersebut dan melihat bahwa
kegiatan tersebut akan tetap terjadi meskipun tanpa keterlibatan masyarakat.
Kolusi yang terjadi antara pejabat lokal dengan pengusaha bisa terjadi
karena adanya permintaan yang datangnya dari pengusaha dan penawaran dari
pihak pejabat atau birokrat.
Melihat dari motif yang menjadi orientasi suatu kegiatan bisnis adalah
untuk mendapatkan keuntungan yang ditambah dengan rasio pendapatan yang
diinginkan oleh oknum pejabat di atas pendapatan gaji rata-rata, sehingga
memungkinkan terjadinya suap-menyuap.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa praktik-praktik kolusi dalam
dunia bisnis di bidang kehutanan menjadi sangat rentan apabila kekuatan sistem
hukum tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut. Proses kegiatan kayu
ilegal

di atas akan terus berjalan jika kekuatan sistem hukum tidak dapat

menanggulangi.

59

Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal. 453.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Akan tetapi ketika kekuatan sistem hukum diperkuat maka akan


berpengaruh terutama akan mengurangi partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan
ilegal yang kemudian menurunkan hasil atau keuntungan bagi pengusaha kayu
yang pada akhirnya melemahkan pengaruh pengusaha-pengusaha kayu tersebut
bagi pejabat lokal. Maka di sinilah letak pentingnya kekuatan sistem hukum dalam
menanggulangi kegiatan kayu ilegal . Kekuatan sistem hukum dalam tentu harus
didukung oleh unsur-unsur seperti; instrumen hukum yang efektif, penegak hukum
yang profesional dalam arti memiliki integrasi moral, pendidikan dan
kesejahteraan yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, dana operasional
yang cukup, konsistensi aturan yang terkait dengan kehutanan, koordinasi antar
instansi terkait yang sinergis dan dukungan dari berbagai stakeholder terutama
pemerintah dan seluruh masyarakat.
B. Pelaku Dan Modus Operandi Kayu Ilegal
Permasalahan mendasar dari sulitnya memberantas kayu ilegal

dari

perspektif penegak hukum (Polri) yang dikemukakan oleh Komisaris Jenderal


Polisi Erwin Mappaseng, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: pertama, bahwa
kayu llegal

termasuk kategori kejahatan terorganisir (organized crime). 60

Kegiatan ini melibatkan banyak pelaku yang terorganisir dalam suatu jaringan
yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat dan mapan. Di antara pelaku yang
terlibat adalah buruh penebang kayu, pemilik modal (cukong), penjual, pembeli
60

Herdiman, V., Op. Cit., hal. 22-23.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

maupun backing dari oknum aparat pemerintah dan TNI/ Polri dan oknum tokoh
masyarakat. Antara elemen yang satu dengan yang lainnya terjalin hubungan yang
sangat kuat dan rapi sehingga mengakibatkan sulitnya pengungkapan secara tuntas
jaringan tersebut.
Lebih lanjut Mappaseng mengatakan bahwa penebangan yang dulu
dilakukan secara tradisional dan konvensional, kini telah bergeser dan
menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern dengan menggunakan
sistem manajemen yang rapi dan baik dan jaringan pemasaran yang luas baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain itu dukungan berbagai sarana dan peralatan
modern membuat mobilitas kegiatannya menjadi semakin cepat dan efektif.
Kedua, karena ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan
(supply). Selain itu pertumbuhan dan permintaan industri kayu luar negeri seperti
Malaysia, Tailand, Korea dan RRC menjadi faktor pendorong yang sangat kuat
dan penyalurannya melalui black market (pasar gelap).
Ketiga, penyalahgunaan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH). Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menghindari
kewajiban

membayar pajak berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan

Dana Reboisasi (DR).

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Pelaku dalam kejahatan kayu ilegal dapat dikelompokkan sebagai berikut: 61


a) Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang. Pelaku ini melakukan
kegiatan penebangan secara langsung baik untuk kepentingan sendiri maupun
untuk dijual kepada pengusaha kayu atau pemilik modal. Laju perusakan
hutan akibat kegiatan yang dilakukan oleh pelaku ini relatif kecil oleh karena
modal dan peralatan yang dimiliki sangat terbatas.
b) Pemilik modal (cukong), pengusaha. Pelaku ini berperan sebagai fasilitator
atau penadah hasil kayu curian, bahkan menjadi otak dari pencurian kayu.
c) Pemilik industri kayu atau pemilik HPH. Pelaku ini bisa bertindak sebagai
pencuri kayu dan bisa bertindak sebagi penadah kayu.
d) Nahkoda kapal. Pelaku ini bisa berperan sebagai turut serta melakukan, atau
membantu melakukan penyelundupan kayu atau kejahatan kayu ilegal .
e) Oknum pejabat pemerintah atau oknum aparat pemerintah. Pelaku ini biasanya
berasal dari oknum TNI, oknum Polri, Jagawana/ PNS Kehutanan, PNS
Beacukai, oknum pemerintah daerah, oknum anggota DPRD dan oknum
politisi. Pelaku ini bisa terlibat KKN dengan pengusaha dan atau melakukan
manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan atau pemberian konsesi
penebangan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.

61

Mabes POLRI, Anatomi Illegal Logging, Majalah lingkungan Hidup OZON, Vol. 4, No.
3, terbit Desember 2003, (Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, 2003), hal. 27.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

f) Pengusaha asing. Pelaku ini kebanyakan berperan sebagai pembeli atau


penadah hasil kayu curian.
Pelaku-pelaku dalam kegiatan kayu ilegal

di atas dalam kasus yang

berdimensi luas memiliki jalinan hubungan yang sangat kuat dan rapi. Pemilik
modal dan pengusaha kayu mempunyai kepentingan untuk mendapatkan lahan
konsesi penebangan yang bisa didapatkan dari pejabat lokal atau bantuan oknum
aparat pemerintah dan pemilik modal dan dana untuk mendukung kepentingan
tersebut. Pengusaha dapat mempengaruhi pejabat atau oknum aparat pemerintah
lokal untuk melakukan kerja sama ilegal dalam bentuk kayu ilegal . Dalam rangka
melaksanakan kegiatannya itu pengusaha mengupah tenaga kerja dari penduduk
setempat atau mendatangkan dari luar daerah.
Modus operandi dalam kegiatan kayu ilegal adalah sebagai berikut: 62
Modus operandi di daerah hulu:
a) Melakukan penebangan tanpa izin, biasanya dilakukan oleh masyarakat dan
hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau pengusaha atau kepada
industri pengelolahan kayu.
b) Melakukan penebangan di luar izin telah ditetapkan konsesinya oleh
pemerintah, biasanya dilakukan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) dan pemegang Izin Penebangan Kayu (IPK) yang sah. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat tercapainya target produksi
62

Ibid.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

atau hasil tebangan untuk memenuhi kontrak dengan pembeli kayu yang
sudah disepakati atau dalam upaya untuk meningkatkan keuntungan
perusahaannya. Modus ini juga seringkali menggunakan tenaga kerja
masyarakat lokal atau pekerja dari luar daerah.
Modus operandi di daerah hilir
a) Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).
b) Pengangkutan kayu dilengkapi dengan dokumen palsu;
1.Blangko dan isinya palsu.
2. Blangko asli akan tetapi isinya palsu.
3. SKSHH dari daerah lain
c) Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai data yang ada dalam dokumen
SKSHH.
d) Penggunaan satu dokumen SKSHH yang berulang-ulang
e) Menggunakan dokumen pengganti SKSHH, seperti surat tilang di darat
atau di laut sebagai pengganti SKSHH yang disita atau faktur kayu sebagai
pengganti SKSHH yang disita, atau faktur kayu sebagai pengganti SKSHH
Dalam praktiknya, modus operandi yang dilakukan dalam kegiatan kayu
ilegal ini melibatkan lebih banyak lagi pelaku, baik yang turut serta melakukan,
membantu melakukan atau yang menyuruh melakukan. Pengangkutan tanpa

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

dilengkapi SKSHH tidak hanya melibatkan pemilik kayu tapi pengangkutan


termasuk nahkoda kapal terlibat dalam masalah tersebut. Dalam hal pemalsuan
dokumen melibatkan pemilik kayu yang dokumen-dokumennya palsu, aparat
penerbit dokumen palsu dan pembuat cap dan stempel. Demikian juga dengan
penggunaan satu dokumen SKSHH berulang-ulang, ketimpangan antara jumlah
kayu dalam angkutan dengan jumlah yang ada di dalam dokumen SKSHH, serta
penggunaan dokumen pengganti, ini melibatkan

pejabat yang mengeluarkan

SKSHH juga pengangkut.


C. Ketentuan Pidana Kayu Ilegal
1. Ketentuan Pidana Di Bidang Kehutanan

Pada saat berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang


merupakan lex specialis di bidang kehutanan, maka berdasarkan ketentuan
penutup undang-undang tersebut Pasal 83 mencabut UU No. 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam UU No. 5 Tahun 1967
tidak diatur tentang sanksi pidana terhadap kejahatan di bidang kehutanan. Namun
diatur dalam peraturan pelaksanaannya berdasarkan Pasal 19 UU No. 5 Tahun
1967 tersebut. Namun demikian dalam Pasal 82 UU No. 41 Tahun 1999
disebutkan bahwa:
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di
bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan


pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.
Dengan demikian dalam rangka menegakkan hukum pidana terhadap
kejahatan di bidang kehutanan pada umumnya dan khususnya kejahatan kayu
ilegal

maka ketentuan tentang sanksi pidana yang dapat diterapkan untuk

kejahatan kayu ilegal

antara lain Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya


Alam Hayati dan Ekosistem.
Untuk menerapkan sanksi pidana terutama dalam rangka penegak hukum
pidana terhadap kejahatan kayu ilegal . Khususnya dalam proses penyidikannya
maka selain penyidik Polri, diberikan juga kewenangan kepada Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) dalam Departemen Kehutanan untuk melakukan tugas-tugas
penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 6
ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
a. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal
78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah merupakan salah satu dari
upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara
lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap
setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang hukum itu (penjelasan
umum paragraf ke-18 UU No. 41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan
hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi
kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam kehutanan menjadi enggan
melakukan perbuatan melawan hukum karena sanksi pidananya berat.
Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan
benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini
dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam
rumusan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999. Jenis
pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan
kejahatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999.
Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan kayu
ilegal menurut UU No. 41 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Pertama, Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan
hutan. (Pasal 50 ayat (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan
sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah)
(Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50 ayat (1): yang dimaksud dengan orang
adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha.
Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

api, menara pengawas dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya
alat pemadam kebakaran, tanda larangan dan alat angkut.
Kedua, Setiap orang yang diberikan izin pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50
ayat (2)). Barangsiapa yang menimbulkan kerusakan ketentuan ini, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000; (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50
ayat (2), yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan
fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat
berperan sesuai dengan fungsinya.
Ketiga, Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam
kawasan hutan dengan radius atau jarak (Pasal 50 ayat (3) huruf c) sampai
dengan:
1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3) 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungai;
4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

6)

130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari
tepi pantai.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000; (lima miliar
rupiah) (Pasal 78 ayat (2)). Penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf c: secara umum
jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi
tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri,
dengan memperhatikan kepentingan.
Perbuatan yang dilakukan dalam Pasal 78 ayat (1), (2) dan (3) tersebut jika
dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 78 ayat (14)). Yang
dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam pasal tersebut antara lain
Perseroan Terbatas (PT), perseroan comanditer (Comanditer Vennotschaap-CV),
firma, koperasi dan sejenisnya (penjelasan Pasal 78 ayat (14)).
Keempat, Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (pasal 78 ayat (4)). .

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Kelima, Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima


titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 5
ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)).
Keenam, Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3)
huruf h). Pelanggaran ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000; (sepuluh miliar rupiah)
(Pasal 78 ayat (6)). Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h: yang dimaksud dengan
dilengkapi bersama-sama adalah bahwa setiap pengangkutan, penguasaan, atau
pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan
dilengkapi sura-surat yang sah sebagai bukti. Apabila ada perbedaan antara isi
keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan keadaan fisik baik jenis,
jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut tidak mempunyai suratsurat yang sah sebagai bukti.
Ketujuh, Membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf j. Pelanggaran
terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat
(8). Penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf j: yang dimaksud dengan alat-alat berat
untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, bulldozer, truck, trailer, crane,
tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep dan kapal.
Kedelapan, Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini,
diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000; (satu miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (9). Penjelasan
Pasal 50 ayat (3) huruf k: tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat
yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya,
sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
Kesembilan, Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alatalat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan
atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15)). Dalam penjelasannya disebutkan benda
yang termasuk alat angkut antara lain kapal, tongkang, truck, trailer, pontoon,
tugboat, perahu layar, helikopter dan lain-lain.
Dari uraian rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh UU
No. 41 Tahun 1999 tersebut di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang
dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana kejahatan kayu
ilegal yaitu sebagai berikut:

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

a) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.


b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.
c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undangundang.
d) Menebang pohon tanpa izin.
e) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
sebagai hasil hutan ilegal.
f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH.
g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
Melihat rumusan dari unsur-unsur pasal tersebut mencerminkan adanya
sifat selektifitas dari ketentuan hukum ini. Sasaran penegakan hukum dalam
ketentuan pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku
kejahatan kayu ilegal . Akan tetapi perkembangan kasus kayu ilegal yang justru
banyak melibatkan pejabat pemerintah termasuk pemerintah daerah atau pejabat
lokal, Pegawai Negeri Sipil, TNI dan Polri serta pejabat penyelenggara negara
lainnya yang justru menjadi pelaku intelektual dalam kayu ilegal belum dapat
dijangkau oleh ketentuan pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999 tersebut.
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 belum diberikan definisi
tentang

kayu ilegal, belum mengatur tentang tindak pidana korporasi, tindak

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

pidana penyertaan dan tindak pidana pembiaran (omission) terutama kepada


pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi
meningkatkan intensitas kejahatan kayu ilegal. Oleh karena itu, hal tersebut
menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku yang tidak diatur
secara tegas dalam undang-undang tersebut untuk lolos dari tuntutan hukum.
Dikaitkan dengan perkembangan kejahatan kayu ilegal sebagaimana dijelaskan
di atas, maka tidak dapat lagi diakomodasi dalam ketentuan pidana menurut UU
No. 41 Tahun 1999.
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
Dalam UU No. 5 Tahun 1990 ini, diatur dua macam perbuatan pidana yaitu
kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana
penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan
diatur dalam (Pasal 40 ayat (1) dan (2)) dan sanksi pidana terhadap pelanggaran
diaur dalam (pasal 40 ayat (3) dan (4)) UU No. 5 Tahun 1990, sedangkan unsurunsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, 21 dan 33 sebagai berikut:
Pertama, Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap: keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat
(1)) dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
200.000.000; (dua ratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (1)). Penjelasan (Pasal 19 ayat

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

(1)): yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah
melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya, perburuan
satwa yang berada dalam kawasan dan memasukkan jenis-jenis bukan asli.
Kedua, Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil,
menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan penjara
pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000;
(seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2)).
Ketiga, Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap: keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat
(1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan
penjara kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
100.000.000; (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (3)).
Keempat, Barangsiapa karena kelalaian melakukan perbuatan mengambil,
menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari
suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau luar Indonesia (Pasal

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman
wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah).
(Pasal 40 ayat (4)).
Unsur-unsur pidana yang terkait dengan kegiatan kayu ilegal

dalam

undang-undang di atas antara lain:


1) Perbuatan baik sengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan
kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan
tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan
raya dan taman wisata.
2) Perbuatan baik sengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang,
memiliki,

merusak,

memusnahkan,

memelihara,

mengangkut,

memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan. Namun ketentuan tersebut


khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis
spesies tertentu yang terancam kepunahan. (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU
No. 5 Tahun 1990).
Melihat dari rumusan ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut
maka dapat dipahami bahwa pasal-pasalnya hanya secara khusus terhadap
kejahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan
tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan kayu ilegal hanya sebagi

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

instrumen pelengkap yang hanya dapat berfungsi jika unsur-unsur tersebut


terpenuhi.
2. Ketentuan Pidana Lain yang Terkait Dengan Kayu Ilegal
Ketentuan

pidana

diluar

perundang-undangan

yang secara khusus

mengatur tentang kehutanan sebagaimana telah diuraikan di atas dan yang ada
kaitannya dengan kejahatan kayu ilegal adalah antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus
yang diatur ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe ada dua
kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana secara khusus, yaitu: 63
1) Orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, maksudnya adalah subjek atau
pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk
golongan militer.
2) Perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten), maksudnya adalah perbuatan
pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal
yang hanya untuk delik-delik fiskal.
Kejahatan

kayu ilegal

merupakan tindak pidana khusus yang dalam

kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik


kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.
63

Andi Hamzah,Azas-Azas Hukum Pidana ( Jakarta: Rineka Cipta 2005),hal.129

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Pada dasarnya kejahatan kayu ilegal , secara umum berkaitan dengan


unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:
a) Pengrusakan
Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai Pasal 412 KUHP
terbatas hanya mengatur tentang perusakan barang dalam arti barang-barang biasa
yang dimiliki orang (Pasal 406 KUHP). Barang tersebut dapat berupa barang
terangkat dan tidak terangkat, namun barang-barang yang mempunyai fungsi
sosial artinya dapat dipergunakan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal
408, akan tetapi terbatas pada barang-barang tertentu sebagimana yang disebutkan
dalam pasal tersebut dan tidak relevan untuk diterapkan pada kejahatan
pengrusakan hutan.
Ancaman hukuman dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.500 (empat ribu lima
ratus rupiah) yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah (gedung) atau kapal.
Hukuman itu ditambah sepertiganya jika dilakukan bersama-sama.
Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan kayu ilegal berangkat
dari pemikiran dan konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan yang
mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap
menjamin fungsi kelestarian fungsi hutan. Kayu Ilegal

pada hakekatnya

merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari
ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over cutting atau penebangan di
luar areal konsesi yang dimiliki.
b) Pencurian
Pencurian menurut Pasal 363 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
(1)

Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.

(2)

Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil
tidak berada dalam penguasaan pelaku.

(3)

Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat
merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara
maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

(4)

Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan


hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja
dan tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk mengambil manfaat dari hasi
hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan
hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil
hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan
itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam
areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut


KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363 tujuh sampai sembilan tahun, Pasal
365 lima belas tahun.
c) Penyelundupan
Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam KUHP yang
merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur tentang
penyelundupan, sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh karena
memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain.
Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan kayu (peredaran kayu
secara ilegal) menjadi bagian dari kejahatan kayu ilegal

dan merupakan

perbuatan yang dapat dipidana.


Namun demikian, Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999,
yang mengatur tentang membeli, menjual atau mengangkut hasil hutan yang
dipungut secara tidak sah dapat dinterprestasikan sebagai suatu perbuatan
penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak jelas mengatur siapa
pelaku kejahatan tersebut apakah nahkoda kapal atau pemilik kayu. Untuk tidak
menimbulkan kontra interprestasi maka unsur-unsur tentang penyelundupan ini
perlu diatur tersendiri dalam perundang-undangan tentang ketentuan pidana
kehutanan.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

d) Pemalsuan
Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276 KUHP. Pemalsuan surat
atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat
surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat demikian rupa, sehingga
menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan:
suatu hak, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai
sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap
pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama enam
tahun dan Pasal 264 paling lama delapan tahun.
Ancaman hukuman terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal
263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan
Pasal 266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan ancaman hukuman terhadap
pemalsuan materai dan merek dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun.
e) Penggelapan
Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal
377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu
barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada di
dalam kekuasaan untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam
kejahatan kayu ilegal antara lain seperti over cutting yaitu penebangan di luar
areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada
(over capasity) dan melakukan penebangan sistem tebang habis sedangkan izin

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

yang dimiliki adalah sistem tebang pilih, mencantumkan data jumlah kayu dalam
SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya.
Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900; (sembilan ratus rupiah).
f) Penadahan
Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari
perbuatan persengkongkolan atau sekongkol atau pertolongan jahat. Dalam bahasa
asingnya heling (penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
perbuatan itu dibagi menjadi; perbuatan membeli atau menyewa barang yang
diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar
atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan.
Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama empat tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 900; (sembilan ratus rupiah).
Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu ilegal baik
di dalam maupun di luar negeri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil kayu ilegal
yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual maupun pembeli. Modus ini
pun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

b. UU Pemberantasan Korupsi
Mengacu pada uraian tentang perkembangan kejahatan kayu ilegal dan
melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh praktik-praktik kayu ilegal yang
bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi akan tetapi juga terkait dengan aspek
ekologi, sosial dan budaya, maka sangat jelas bahwa

kayu ilegal

bukanlah

merupakan suatu kejahatan yang biasa akan tetapi dapat digolongkan sebagai
extra ordinary crime yang penanganannya pun tidak dapat dilakukan dengan caracara yang biasa. Demikian juga penegakan hukum terhadap kejahatan kayu ilegal
ini, tidak hanya diarahkan kepada penegakan keadilan hukum, tetapi juga harus
diarahkan pada penegakan keadilan sosial dan ekonomi secara simultan. Artinya
bahwa tidak hanya memberikan hukuman kepada pelaku dengan sanksi yang
berat, melainkan juga agar kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
pelaku dapat kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Dalam kejahatan

kayu ilegal

terdapat juga tindak pidana lain seperti

tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru menjadi faktor utama
penyebab semakin meningkatnya kegiatan ilegal tersebut. Unsur merugikan
keuangan dan perekonomian negara yang menjadi unsur dalam tindak pidana
korupsi relevan dengan dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan kayu ilegal
yang juga merugikan keuangan atau perekonomian negara baik secara langsung
maupun tidak langsung. Demikian juga unsur-unsur kolusi seperti suap menyuap
juga menjadi fenomena dalam praktik kayu ilegal .

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kejahatan

kayu ilegal

mempunyai dampak yang multi dimensional yang salah satunya sangat merugikan
keuangan atau perekonomian negara. Hal ini juga merupakan salah satu unsur
dalam tindak pidana Korupsi.. Dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan pengertian korupsi yaitu
perbuatan yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Beberapa kalangan menilai bahwa ada keterkaitan antara korupsi dengan
kejahatan

kayu ilegal . Menurut pendapat direktur eksekutif LSM Wahana

Lingkungan Hidup (WALHI) 64 bahwa Akar permasalahan dari kayu ilegal


adalah korupsi, hal ini dilihat dari izin-izin soal hutan yang dikelola oleh birokrasi
pemerintah . Praktik-praktik KKN dalam kejahatan kayu ilegal inilah yang
dapat tersentuh oleh penegak hukum dalam pemberantasan kejahatan kayu ilegal ,
sehingga penegakan hukum hanya tertuju pada pelaku masyarakat kecil yang
hanya diupah untuk melakukan kegiatan kayu ilegal

tersebut, namun otak dari

kejahatan kayu ilegal tersebut tidak tersentuh oleh hukum.


Kolusi antara pejabat atau aparat pemerintah dengan pengusaha dalam
kegiatan pengelolaan hutan merupakan salah satu faktor penyebab suburnya
kegiatan kayu ilegal , namun dalam undang-undang kehutanan belum mengatur

64

Ginting, L., Korupsi adalah Inti


www.gatra.com/artikel, Diakses tanggal 20 Mei 2009.

dari

Illegal

Logging,

Dikutip

dari

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

tentang unsur-unsur keterlibatan pelaku dari pihak pemerintah dalam kejahatan


kayu ilegal , sehingga undang-undang tersebut terkesan selektif dan diskriminatif.
Dalam perundang-undangan dibidang kehutanan belum mengatur tentang
tindak pidana kehutanan yang melibatkan pegawai negeri, sehingga aturan hukum
yang dipakai untuk menindak pelaku-pelaku khususnya pegawai negeri yang
terlibat dalam kejahatan kayu ilegal , terutama menyangkut unsur-unsur korupsi
masih harus mengacu pada undang-undang tentang pemberantasan korupsi ini.
Pengertian pegawai negeri juga diperluas menjadi orang yang menerima
gaji atau upah dari

korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari

negara atau masyarakat. Ketentuan dalam UU No. Tahun 2001 yang dapat
dikaitkan dengan kejahatan kayu ilegal antara lain:
1) Memberikan

atau

menjanjikan

sesuatu

kepada

pegawai

negeri

atau

penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang


bertentangan dengan kewajiban (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b). Pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian tersebut (Pasal 5
ayat (2). Ancaman hukuman penjara 5 (lima) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah).
2) Memberikan sesuatu kepada hakim atau advokat untuk mempengaruhi putusan
atau pendapatnya (Pasal 16 ayat (1) huruf a dan b). Hakim atau advokat yang
menerima pemberian tersebut (Pasal 6 ayat (2)). Ancaman pidana penjara15

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

(lima belas) tahun, dan denda Rp. 150.000.000; (seratus lima puluh juta
rupiah) hingga Rp. 750.000.000; (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
3) Pegawai negeri yang dalam tugas jabatannya menggelapkan uang atau surat
berharga, atau membiarkan diambil atau digelapkan orang lain. (Pasal 8).
Ancaman pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dan denda Rp. 150.000.000;
(seratus lima puluh juta rupiah) hingga Rp. 750.000.000; (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
4) Pegawai negeri atau orang yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan,
memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk memeriksa administrasi
(Pasal 9). Ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun, dan denda Rp. 50.000.000;
(lima puluh juta rupiah) hingga 250.000.000; (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
5) Pegawai negeri yang menerima janji atau hadiah karena kekuasaan atau
wewenang yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 11). Ancaman pidana
penjara 5 (lima) tahun, dan denda Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah)
hingga Rp. 250.000.000; (dua ratus lima puluh juta rupiah).
6) Pasal 12 ayat (1): ancaman pidana terhadap korupsi yang nilainya diatas
Rp. 5.000.000; adalah penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda Rp. 200.000.000; (dua
ratus juta rupiah) hingga Rp. 1.000.000.000; (satu miliar rupiah). Korupsi di
bawah Rp. 5.000.000; (lima juta rupiah) pidana penjara paling lama 3 (tiga)

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah),
terhadap:
a) Pegawai yang menerima hadiah atau janji agar melakukan atau tidak
melakukan yang bertentangan dengan kewajibannya. (huruf a);
b) Pegawai negeri yang menerima hadiah dari sesuatu yang telah dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya (huruf b);
c) Hakim yang menerima hadiah untuk mempengaruhi putusannya (huruf c);
d) Advokat yang menerima hadiah untuk mempengaruhi pendapatnya (huruf
d);
e) Pegawai negeri yang memaksa orang lain untuk memberikan atau
mengerjakan sesuatu (huruf e);
f) Pegawai negeri yang meminta, menerima atau memotong pembayaran
pegawai negeri lain yang seolah mempunyai utang (huruf f);
g) Pegawai negeri yang meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan
barang yang seolah-olah merupakan utang pada dirinya (huruf g);
h) Pegawai negeri yang mengagunkan tanah negara yang dibebani hak dan
merugikan orang yang berhak (huruf h);
i) Pegawai negeri yang secara langsung atau tidak turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atau persewaan yang menjadi tugasnya untuk
mengurus dan mengawasi (huruf i).

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Apabila dibandingkan antara sanksi pidana yang ada di dalam UU No. 20


Tahun 2001 tersebut di atas dengan sanksi pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999,
maka sanksi pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999 lebih berat dan lebih bisa
memberikan efek jera kepada pelaku. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
adalah merupakan lex specialis dari tindak pidana di bidang kehutanan, akan
tetapi undang-undang tidak mengatur secara khusus tentang tindak pidana
kehutanan yang melibatkan pegawai negeri atau pejabat penyelenggara lainnya.
UU No. 20 Tahun 2001 juga merupakan undang-undang khusus tentang tindak
pidana korupsi dan mengatur secara khusus perbuatan pidana terhadap pegawai
negeri. Oleh kerena itu, sepanjang undang-undang tentang kehutanan sebagai lex
specialis belum mengatur dan untuk menjaga kekosongan hukum maka UU
korupsi dapat diterapkan kepada pelaku pegawai negeri yang terlibat dalam
kejahatan kayu ilegal . Akan tetapi sasaran penegakan hukum itu terutama hanya
ditujukan

pada

tindak

pidana

korupsinya

dan

bukan

perbuatan

yang

mengakibatkan kerusakan hutan.


Penerapan undang-undang tindak pidana korupsi terhadap pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang terlibat dalam kejahatan kayu ilegal

yang

dilakukan bersama-sama dengan pelaku lain yang bukan pegawai negeri akan
menimbulkan rasa ketidakadilan, terutama bagi pelaku yang bukan pegawai negeri
karena perbedaan kapasitas sanksi yang diterima masing-masing pelaku. Hal lain
yang juga menjadi masalah yaitu semakin meluasnya proses pengusutan dalam

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

rangka penegakan hukum terhadap kejahatan

kayu ilegal

itu yang akan

membutuhkan waktu yang relatif lama dan proses yang berbeli-belit.


D. Kewenangan Penyidik Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan
Dalam rumusan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Polri
melekat pula pertanggung jawaban sehingga bila wewenang tersebut
digunakan dengan melampaui kewenangan yang diberikan maka ada prosedur
sanksi dan pertanggung jawabannya.Bentuk-bentuk wewenang Polri dalam
proses pidana dinyatakan lebih rinci dalam Undang-Undang nomor 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang
nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kelompok

wewenang

Kepolisian

dapat

dikenali

berdasarkan

pengelompokan tugas-tugas yang bersumber dari kewajiban umum Kepolisian


dan perundang-undangan lainnya

dalam proses pidana, oleh karena itu

wewenang Polri dapat dibagi menjadi (4) bagian yaitu: 65


1. Wewenang Kepolisian secara umum.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal
13 dan 14 , Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang 66 :

65

Momo Kelana, Memahami Undang-Undang Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2002


(Jakarta;PTIK Press,2002), hal 109
66.
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pasal 15 ayat (1).

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan


Rumusan kewenangan ini merupakan legitimasi bagi Polri sebagai
pejabat yang berwenang menerima laporan dan pengaduan dalam rangka
pelaksanaan tugas Kepolisian dan merupakan penegasan kewenangan
penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu
menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum.
Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum merupakan
tugas yang termasuk dalam lingkup kewajiban umum Kepolisian sehingga
Polri dapat melakukan upaya-upaya baik preventif maupun represif.
Kewenangan ini diberikan untuk membantu menyelesaikan agar tidak
berkembang ke arah timbulnya bahaya yang dapat mengganggu ketertiban
dan keamanan umum.
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
Dalam rumusan ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
penyakit masyarakat antara lain pengemisan dan pergelendangan,
pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan,
perdagangan manusia dan pungutan liar. Penyakit masyarakat merupakan
permasalahan yang perlu mendapat perhatian untuk pencegahan dan
penanggulangannya sehingga Polri dapat melakukan upaya-upaya preemtif
maupun preventif.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam


persatuan dan kesatuan bangsa.
Kewenangan mengawasi aliran kepercayaan juga diatur dalam
Undang-Undang nomor 5 tahun 1991 yang diperbaharui dengan UndangUndang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dengan demikian dalam pelaksanaannya dibutuhkan koordinasi antara Polri
dan Kejaksaan dalam pengawasan aliran kepercayaan ditengah-tengah
masyarakat agar tidak terjadi perpecahan atau mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa.
e. Mengeluarkan peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
Kepolisian.
Rumusan kewenangan ini merupakan konsekuensi dari fungsi
Kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang mencakup
antara

lain

Fungsi

Pengaturan.Kewenangan

ini

sejalan

dengan

pembahasan istilah Peraturan Kepolisian yang tercantum dalam ketentuan


umum, pasal 1 angka 4 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002.
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan Kepolisian
dalam rangka pencegahan.
Rumusan ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi
tindakan pemeriksaan khusus yang dilakukan oleh pejabat Polri sebagai
bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan. Taktik dan teknis
operasi Kepolisian dapat ditemukan baik dalam rangka pelaksanaan kegiatan
/ operasi rutin Kepolisian sehari-hari maupun dalam rangka kegiatan /

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

operasi khusus yang salah satu bentuk tindakannya berupa pemeriksaan


khusus atau razia.
g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
Kewenangan ini merupakan kewenangan umum Kepolisian dan
legitimasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Polri ditempat
kejadian guna penanganan tempat kejadian dan barang bukti.Rumusan
kewenangan ini memberikan dasar dan kekuatan hukum bagi Tanda Garis
Polisi atau police line yang dipasang pada tempat kejadian sehingga
terhadap mereka yang melewatinya tanpa izin dari Kepolisian dapat
dikenakan sanksi hukum dan tindakan Kepolisian.
h. Mengambil sidik jari dan indentitas lainnya serta memotret seseorang.
Bagi pelaksanaan tugas Kepolisian, identitas merupakan faktor
yang sangat penting agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil tindakan
terhadap seseorang selain itu identitas akan terkait dengan hak dan
kedudukan

hukum

dari

seseorang

secara

pribadi

sehingga

untuk

penentuannya diperlukan dasar hukum.


i. Mencari keterangan dan barang bukti.
Rumusan ini memberikan legitimasi bagi kewenangan umum Polri
dalam mencari keterangan dan barang bukti, baik untuk kepentingan
pelaksanaan tugas Kepolisian maupun untuk kepentingan proses pidana.
Dengan demikian keterangan dan barang bukti yang dikumpulkan oleh Polri
secara hukum mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.


Pusat informasi kriminal nasional adalah sistem jaringan dari
dokumentasi kejahatan maupun kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta
registrasi dan indentifikasi lalu lintas.Upaya memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat dikaitkan dengan peran Polri selaku penegak hukum
mempersyaratkan pengenalan terhadap bentuk dan intensitas dari gangguan
Kamtibnas yang ditandai dengan pelanggaran hukum dan bentuk gangguan
lainnya.Rumusan ini dimaksudkan agar informasi tentang kriminal secara
nasional diselenggarakan oleh badan atau lembaga yang diberikan
kewenangan berdasarkan Undang-undang sehingga kebijakan keamanan,
penanggulangan kejahatan dan kebijakan pemolisian secara nasional
didasarkan kepada hasil analisa informasi yang akurat.Dalam hal ini instansi
yang diberikan kewenangan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat.
Rumusan ini memberikan penegasan dan konsekwensi dari fungsi
Kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang mencakup
anatara lain Fungsi Perizinan.Wewenang pemberian izin bukanlah
melambangkan kekuasaan tetapi karena hakekat perizinan adalah agar
terdapat keadilan, pengamanan dan perlindungan.
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Rumusan ini menegaskan kewenangan umum Kepolisian Negara


Republik Indonesia dalam menjamin ketertiban dan keamanan umum
khususnya dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, sidang
pengadilan mempersyaratkan suasana tertib dan aman dan untuk itu Polri
diberi

kewenangan.Kewenangan

umum

untuk

memberikan

bantuan

pengamanan juga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan instansi lain serta


kegiatan masyarakat namun penggunaan kewenangan itu atas permintaan
instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat.
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Rumusan kewenangan ini merupakan legitimasi penyimpanan
barang temuan untuk sementara waktu agar penguasaan terhadap barang
(milik orang lain) tersebut tidak disebut sebagai tindakan melawan hak atau
melanggar hukum.
2.Wewenang Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan
a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
Rumusan kewenangan ini diadopsi dari substansi kewenangan yang diatur
dalam pasal 510 KUHP.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;


Rumusan kewenangan ini merupakan penegasan kewenangan Polri dalam
pendaftaran kendaraan bermotor untuk tertib administrasi, pengendalian
kendaraan yang dioperasikan, mempermudah penyidikan pelanggaran atau
kejahatan yang menyangkut kendaraan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang nomor 14 tahun 1992 yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan pengemudi.
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
Kewenangan yang dirumuskan dalam huruf c tersebut diatas merupakan
pemantapan kewenangan Polri sebaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang 14 tahun 1992 yang dalam pelaksanaannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan pengemudi.
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
Rumusan kewenangan ini merupakan penegasan kewenangan Polri dalam
mengatur kegiatan politik sebagaimana diatur dalam Perpu nomor 2 tahun 1998
tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum yang dapat
berbentuk unjuk rasa, demonstrasi, pawai dan rapat umum serta pemaparan
melalui media massa baik cetak maupun elektronik.Perpu ini kemudian diganti
dengan

Undang-Undang

nomor

tahun

1998

tentang

kemerdekaan

mengeluarkan pendapat dimuka umum.


e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam;

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Rumusan

kewenangan

ini

merupakan

penegasan

kewenangan

Polri

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 DRT/1951,Lembaran


Negara tahun 1951 nomor 78 tentang senjata api.
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan;
Pesatnya

perkembangan

usaha

di

bidang

jasa

pengamanan

telah

menimbulkan urgensi pengawasan oleh Polri.Berbagai perusahaan /badan usaha


tidak saja menyediakan personil pengamanan terlatih untuk pengamanan
berbagai kegiatan dan industri tetapi juga menawarkan berbagai produk alat
dan teknologi pengamanan pribadi. Operasional dari badan usaha tersebut
memerlukan izin dari Polri dan selanjutnya dilakukan pengawasan agar tidak
timbul ekses yang justru menimbulkan kerawanan keamanan.
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
Secara substansi, kewenangan ini terkait dengan pasal 3 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 dan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
nomor 8 tahun 1981 karena setiap penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)
dengan sendinya dari segi Kepolisian adalah pengemban fungsi Kepolisian
yang wajib menguasai kemampuan teknis Kepolisian yang meliputi tataran
preemtif, preventif dan represif-yustisial.
h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Rumusan kewenangan ini memberikan peluang bagi kerja sama Kepolisian


Negara Republik Indonesia dengan negara lain berdasarkan traktat atau
perjanjian internasional dalam menyidik dan memberantas kejahatan yang trend
lintas batas negara dan memerlukan kerjasama atau perjanjian antar negara
secara khusus baik bilateral maupun multilateral seperti halnya Perjanjian
Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
Pengawasan yang dilakukan oleh Polri adalah pengawasan fungsional yang
terkait dengan kewajiban umum Kepolisian dan tujuan Kepolisian dalam
rangka mewujudkan keamanan dalam negeri.Kewenangan ini memberikan
dasar hukum bagi tugas-tugas dan kegiatan fungsi intelijen dan pengamanan
Kepolisian yang meliputi intelijen kriminal, pengamanan dan pengawasan
orang asing.
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
Rumusan kewenangan ini memberikan dasar hukum bagi Polri untuk
mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian
internasional antara lain International Criminal Police Organization (ICPOInterpol).
k.

Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas


kepolisian.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Rumusan kewenangan ini dimaksud untuk menampung berbagai ketentuan


tentang kewenangan Polri yang tersebar di berbagai Undang-Undang.
3.Wewenang Diskresi Kepolisian.
Diskresi kepolisian ( police discretion ) dalam Ensiklopedia Ilmu Kepolisian
didefenisikan sebagai kapasitas petugas kepolisian untuk memelihara diantara
sejumlah tindakan legal atau ilegal atau bahkan tidak melakukan tindakan
sama sekali pada saat mereka menunaikan tugasnya. 67
Diskresi merupakan wewenang dari pejabat publik demi kepentingan umum
untuk bertindak dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menurut
penilaiannya sendiri . Demikian juga halnya dengan pejabat kepolisian negara
memiliki kewenangan diskresi 68 . Diskresi kepolisian merupakan
kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (
plichtmatigheidsbeginsel ) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan
kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut
penilaian nya sendiri dalam rangka kewajiban umumnya menjaga ,memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum.
Seseorang petugas Polri yang bertugas ditengah-tengah masyarakat
seorang diri harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya
sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau
bila diperhatikan akan timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.
67
68

Momo Kelana, Op.Cit, hal 111


Ibid, hal 112

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Dalam

keadaan

seperti

itu

tidak

mungkin

baginya

untuk

meminta

petunjuk/pengarahan terlebih dahulu dari atasan nya sehingga dia harus


memutuskan sendiri tindakannya. Terdapat kekhawatiran bahwa sipetugas
tersebut akan bertindak sewenang-wenang dan sangat tergantung kepada
kemampuan subjektif dari sipetugas tersebut.
Dalam hukum kepolisian dikenal berupa persyaratan yang harus dipenuhi
apabila seorang petugas Polri akan melakukan diskresi yaitu ; 69
a.Tindakan harus benar-benar diperlukan ( noodzakelijk,notwending) atau asas
keperluan.
b.Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian
( zakelijk, sachlich )
c.Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya sesuatu
atau tidak terjadinya suatu yang dikhawatirkan ,dalam hal ini yang dipakai
sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan ( zweckmassig,doelmatig )
d.Asas keseimbangan ( evereding ).
Dalam mengambil tindakan berdasarkan penilaian sendiri,yang paling
menentukan kualitas tindakan adalah kemampuan dan pengalaman petugas
kepolisian yang mengambil tindakan tersebut. Oleh karena itu pemahaman
tentang diskresi kepolisian dalam Pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan dengan
konsekwensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 31,32 dan 33

69

Ibid, hal 113

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 sehingga adanya jaminan bahwa petugas


Polri akan mampu mengambil tindakan secara cepat dan profesional.
4.Wewenang Kepolisian dibidang proses pidana
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi kepolisian terdiri dari tugas-tugas
yang berada pada tataran tugas pencegahan ( preemtif dan preventif ). Tataran
tugas represif terdiri atas bentuk-bentuk,Pertama, tindakan kepolisian yang
bersifat represif non-yustisial ( sekedar memulihkan keadaan yang terganggu
berdasarkan kewajiban umum kepolisian ) dan Kedua, tindakan yang bersifat
represif yustisial yaitu tindakan kepolisian dibidang proses pidana ( criminal
justice system ) berdasarkan asas legalitas sesuai ketentuan acara pidana.
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 menyebutkan bahwa
dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dalam pasal 13 dan 14
dibidang proses pidana , Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum
berwenang untuk :
a.

Melakukan penangkapan ,penahanan,penggeledahan dan penyitaan.

b.

Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian


perkara untuk kepentingan penyidik.

c.

Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka


penyidikan.

d.

Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta


memeriksa tanda pengenal diri.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

e.

Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f.

Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka dan


saksi.

g.

Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan


pemeriksaan perkara.

h.

Mengadakan penghentian perkara.

i.

Menyerahkan berkas perkara kepada pejabat Imigrasi dalam keadaan


mendesak untuk mekasanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang
disangka melakukan tindak pidana.

j.

Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik


pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan PPNS untuk
diserahkan kepada Penuntut Umum.

k. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.


Selain didalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 , wewenang Polri
juga diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 sebagai
berikut ;
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang : 70
a.

Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak


pidana

70

R.Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan, (Bogor:


Politeia, 1988),hal 17.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

b.

Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.

c.

Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal


diri tersangka.

d.

Melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan.

e.

Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f.

Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g.

Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau


saksi.

h.

Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan


pemeriksaan perkara.

i.

Mengadakan penghentian penyidikan.

j.

Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab..

Aparat penegak hukum yang terlibat dalam tindak pidana di bidang


kehutanan dalam sistem peradilan pidana meliputi 4 ( empat ) komponen yaitu ;
a. Kepolisian
b. Kejaksaan
c. Pengadilan
d. Lembaga Pemasyarakatan
Pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah kepolisian,tetapi
dalam beberapa tindak pidana tertentu selain Kepolisian, oleh undang-undang
ditentukan secara khusus penyidik dari lingkungan instansinya sendiri yang lazim
dikenal dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ), demikian halnya dengan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

tindak pidana kehutanan maka penyidiknya adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang berada dalam lingkungan Departemen Kehutanan. Selain PPNS
tersebut ada juga Polisi Kehutanan yang bertugas melakukan perlindungan
kehutanan yang dahulu dikenal dengan istilah Jagawana.
Dalam Pasal 51 Undang-Undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999
disebutkan bahwa Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan maka
kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan
wewenang kepolisian khusus.
Kewenangan Polisi Khusus Kehutanan yang dimuat dalam pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang kehutanan yaitu :
1. Mengadakan patroli/perondaan didalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya.
2. Memeriksa

surat-surat

atau

dokumen

yang

berkaitan

dengan

pengangkutan hasil hutan didalam kawasan hutan atau wilayah


hukumnya.
3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
4. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan.
5. Dalam hal tertangkap tangan ,wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya


tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan.
Lebih lanjut dalam Pasal 77 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999, ditegaskan
tentang kewenangan PPNS kehutanan yang merupakan implementasi dari Pasal 7
ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi sebagai berikut;
Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk : 71
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang
berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan
dan hasil hutan.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang didengar melakukan
tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan.
c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan
atau wilayah hukumnya.
d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana
yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

71

Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Yogyakarta: Pustaka


Belajar 2006 ),hal 31

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan
hutan dan hasil hutan.
f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
Polri sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
g. Membuat dan menandatangani berita acara
h. Menghentikan penyidikan, apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil
hutan.
Jika diperbandingkan dengan kewenangan penyidik yang dimuat didalam
pasal 7 KUHAP maka PPNS kehutanan tidak mempunyai kewenangan dalam hal:
1. Melakukan penangkapan dan penahanan.
2. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Mendatangkan seorang ahli.
5. Mengadakan tindakan lain yang bertanggung jawab.
Selain kedua penyidik ini dikenal juga penyidik Perwira TNI AL yang
berwenang melakukan penyidikan dalam tindak pidana perikanan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan dan
Kejaksaan terhadap tindak pidana khusus seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Pidana Subversi dan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini didasarkan pada Pasal 284
ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa
kejaksaan dalam waktu 2 (dua) tahun setelah berlakunya KUHAP masih diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan. 72
Lebih lanjut Hariadi 73 menjelaskan bahwa, dengan adanya empat institusi
penyidik dan empat pejabat yang berwenang mengangkat yaitu, penyidik Polri
yang diangkat oleh Kapolri, PPNS berdasarkan usul departemen yang
bersangkutan diangkat oleh Menteri Hukum dan Ham, penyidik TNI AL diangkat
oleh Panglima TNI dan penyidik Kejaksaan yang diangkat oleh Jaksa Agung,
selanjutnya mekanisme tata kerja yang bervariasi yaitu ada yang melalui
koordinasi dengan penyidik Polri dan ada yang langsung ke penuntut umum tanpa
koordinasi dengan penyidik Polri, kemudian adanya kewenangan yang berbeda
dalam tahap penyidikan yaitu kewenangan melaksanakan tugas penyidikan sesuai
dengan lingkup tugas masing-masing, maka dilihat dari kesatuan sistem yang
integral, hal ini kurang menggambarkan adanya suatu lembaga penyidikan yang
mandiri dan terpadu. Oleh karenanya situasi seperti itu cenderung menimbulkan
konflik dan keruwetan serta macetnya penegakan hukum pidana.
Ketentuan tentang penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan
diatur dalam Pasal 77 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang secara
khusus mengatur tentang PPNS kehutanan. Hal ini merupakan penjabaran dari
72
73

Muladi dan Arif, B. N., Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni 1998), hal. 55.
Ibid., hal. 55-56.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyebutkan bahwa
Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999,
bahwa selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka
kepada pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pengurusan hutan diberi kewenangan khusus sebagai penyidik. Dalam
Pasal 77 ayat (1) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri
sipil tertentu meliputi pejabat pegawai negeri sipil di tingkat pusat maupun daerah
yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan.
Bahwa wewenang PPNS diatur dalam undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing. Namun, mekanisme tata kerja PPNS kehutanan dalam
Pasal 77 ayat (3) UU no. 41 Tahun 1999, sedikit menyimpang dengan apa yang
diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981, menyatakan
bahwa dalam pelaksanaan tugasnya PPNS berada dibawah koordinasi dan
pengawasan penyidik Polri sedangkan Pasal 77 ayat (3) Undang-undang No. 41
Tahun 1999, PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan
hasil penyidikannya langsung kepada penuntut umum.
Dalam Pasal 107 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
menyebutkan bahwa dalam hal PPNS melakukan penyidikan terhadap peristiwa
yang patut diduga sebagai tindak pidana yang dapat diajukan ke penuntut umum,

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

maka PPNS melaporkan hal itu kepada penyidik Polri. Rumusan dari Pasal 77
ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 di atas, secara tegas memberikan kewenangan
kepada PPNS kehutanan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus
kehutanan yang langsung ke penuntut umum artinya dapat dilakukan tanpa
koordinasi dengan penyidik Polri. Di sisi lain penyidik Polri juga diberikan
kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus kehutanan
berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 junto Pasal 77 ayat (1) UU
No. 41 Tahun 1999. Demikian juga dengan kejaksaan yang mempunyai
kewenangan penyidikan tindak pidana khusus, kemudian penyidik Perwira TNI
AL atas dasar kerja sama dengan Departemen Kehutanan mempunyai kewenangan
seperti dalam rangka penyidikan terhadap penyelundupan kayu ilegal yang
merupakan bagian dari kejahatan di bidang kehutanan.
Dengan demikian kondisi seperti ini memungkingkan sekali terjadi
tumpang tindih penyidikan terrhadap satu tersangka dalam kejahatan kayu ilegal ,
masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi dalam satu lembaga
yang terpadu sehingga berpotensi menimbulkan konflik antar penyidik tersebut.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam beberapa praktik muncul arogansi
masing-masing penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus
kehutanan berdasarkan kewenangan masing-masing. Bahkan terkesan adanya
tumpang tindih kewenangan atau berebut kasus dalam menangani kasus-kasus
seperti kejahatan kayu ilegal .

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Terkait dengan analisis tentang perkembangan kejahatan kayu ilegal


sebagaimana telah diuraikan di atas, maka lemahnya koordinasi dan pengawasan
dalam penegakan hukum termasuk tidak adanya kesatuan sistem yang integral
dalam tahap penyidikan artinya tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme kerja
antar penyidik tersebut, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Kondisi
seperti ini justru berpotensi menimbulkan konflik antar penegak hukum itu sendiri
yang pada gilirannya akan menghambat atau mempersulit proses penegakan
hukum pidana terhadap kejahatan kayu ilegal

itu sendiri. Banyak kalangan

menilai bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan kayu ilegal sangat lemah
atau tidak efektif, sehingga diperlukan suatu lembaga tertentu semacam Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk untuk memberantas
tindak pidana korupsi dan untuk kejahatan kayu ilegal

semacam Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Kehutanan.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

BAB III
KOORDINASI ANTARA POLRI DENGAN APARAT PENEGAK HUKUM
LAINNYA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG
KEHUTANAN
A. Frekuensi Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Yang Terjadi Di Wilayah
Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara
Sekarang ini keadaan hutan di Sumatera Utara sedang menghadapi
permasalahan

yang

cukup

serius

dalam

sistem

pengelolaannya.

Sistem

pengelolaan hutan yang dibangun dalam kerangka prinsip-prinsip pengelolaan


hutan lestari (sustainable forest management) seakan menjadi sebuah sistem yang
demikian sulit untuk diterapkan di lapangan. Secara konseptual, kelestarian hutan
akan terwujud bila 3 (tiga) pilar utamanya dapat diaktualisasikan yaitu
keberlanjutan fungsi ekonomis, kelestarian fungsi ekologis dan kesesuaian fungsi
sosial.
Salah satu sebab sulitnya dilakukan penataan dan pengelolaan hutan adalah
maraknya praktik kayu Ilegal

yang telah membuyarkan rumusan dasar

pengelolaan hutan secara lestari. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah


praktik

kayu ilegal ini telah menjelma menjadi ledakan sebuah sistem

pengrusakan sumber daya hutan secara cepat, sistematis, bahkan telah dilakukan
secara terorganisir.
Pembangunan kehutanan di Sumatera Utara ditujukan untuk mencapai
terwujudnya sumber daya hutan yang lestari dan peningkatan kesejahteraan rakyat
melalui mekanisme pengelolaan yang partisipatif, terpadu, transparan dan

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

bertanggung jawab. Dimana untuk mencapai tujuan ini tindakan yang


dilaksanakan adalah dengan melakukan pengelolaan hutan termasuk di dalamnya
melaksanakan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan.
Pada saat ini, kawasan hutan di Provinsi di Sumatera Utara sesuai dengan
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana
Tata Ruang wilayah Sumatera Utara Tahun 2003-2018 adalah seluas 3.678.338,48
Ha atau 51,33% dari luas wilayah Sumatera Utara (7.168.068 Ha). Maka
berdasarkan fungsinya, kawasan hutan yang dimaksud terdiri dari:
1. Fungsi hutan dalam kawasan hutan lindung seluas 1.844.071,05 Ha
a

Cagar Alam seluas 12.372,61 Ha

Suaka Margasatwa seluas 85.552,00 Ha

Taman Nasional Gunung Leuser seluas 2.985,00 Ha

Taman Hutan Daya (TAHORA) seluas 51.600,00 Ha

Taman Wisata Alam seluas 3.473,75 Ha

Taman Buru seluas 8.350,00 Ha

Hutan Lindung seluas 1.481.737,69 Ha

2. Fungsi hutan dalam kawasan budidaya seluas 1.835.267,43 Ha


a

Hutan Produksi Terbatas seluas 851.155,07 Ha

Hutan Produksi Tetap seluas 936.861,12 Ha

Hutan Produksi Konvensi seluas 47.251,24 Ha

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Dengan demikian secara de jure luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera


Utara adalah 51,33% dari luas daratan, namun secara de facto dilapangan
keadaannya telah mengalami kerusakan sebagai akibat perambahan, penebangan
liar dan kebakaran hutan). 74
Melihat begitu luasnya keadaan hutan di Provinsi Sumatera Utara ini
memicu masyarakat, pemilik modal atau cukong bekerjasama dengan aparat
pemerintah maupun keamanan untuk bergabung mengeksploitasi hutan, akibat
praktek kayu ilegal berjalan dengan lancar dan terorganisir secara baik tanpa ada
pihak yang bisa melarang atau menghentikannya.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Utara frekuensi praktik kayu ilegal selama periode tahun 2001-2005,
dimana dalam kurun waktu tersebut didapat data sebagai berikut (lihat di Tabel)

74

Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Penebangan Kayu dan Illegal Logging,
Makalah, Seminar Sehari, Pengurus GMKI, 2005, hal 1

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Tabel 1 Data Kasus Kayu Ilegal di Dinas Kehutanan Provinsi


Sumatera Utara Tahun 2001 - 2005

No

Jenis Kasus

Pengangkutan hasil
hutan kayu ilegal

Tahun

2001
5

2002
5

2003
19

Jumlah

2004
-

2005
-

29

Barang Bukti

a. Kayu olahan +
2.493.084 m 3
b. Kayu bulat 650 keping

Pelaku perambah
hutan

15

c. Papan / Broti 82.880


keping
d. Truck 53 unit

Industri Pengolahan
Kayu Hulu (IPKH)
yang menampung kayu
illegal

Pengangkutan hasil
hutan tanpa dilengkapi
SKSHH

e. Buldozer 3 unit
f. Ekscavator 6 unit
g. Chainsaw 5 unit

h. Bendsaw 18 unit
i. Gergaji 19 unit
j. Pita Gergaji 2 buah

Pemalsuan surat-surat
dokumen
pengangkutan

k. Mesin Bor 2 buah


l. Parang 2 buah
m. Kapal Motor 1 unit

Pencurian humus
Jumlah

18

2
21

12

2
60

n. Mesin Coll Cat 1 unit

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2005

Dari Tabel 1 yang terdapat dalam sepanjang tahun 2001-2005 dari berbagai
kasus yang terjadi, kasus pengangkutan kayu hasil hutan kayu ilegal yang paling
meningkat yaitu sebesar 29 kasus, kemudian diikuti dengan kasus pelaku
perambahan hutan sebanyak 15 kasus. Secara kuantitatif praktik kayu ilegal ini
selama periode 2001-2005 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

berjumlah 18 kasus mengalami penurunan jumlah sebesar 5 kasus pada tahun


2002. Pada tahun 2003 meningkat sebesar 21 kasus atau 23,80% dari jumlah kasus
tahun 2002. Kemudian pada tahun 2004 mengalami penurunan yang sangat
signifikan sebesar 4 kasus dan kembali mengalami peningkatan jumlah sebesar 12
kasus pada tahun 2005. Peningkatan jumlah ini sangatlah mengkhawatirkan
walaupun masih ada jumlah kasus lebih besar yang belum terpantau oleh aparat
pemerintah atau penegak hukum.
Sementara itu Dalam Tabel 2 (lihat di Tabel) Penanganan Kasus kayu
ilegal pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumut tahun 2005-2008 menunjukkan
bahwa praktek kayu ilegal masih saja berlangsung terus menerus, hal ini dapat
dilihat pada tahun 2005 dengan 46 Kasus/ perkara dengan 94 orang tersangka,
pada tahun 2006 mengalami kenaikan menjadi 57 kasus/ perkara tetapi
tersangkanya mengalami penurunan menjadi 61 orang, pada tahun 2007
mengalami penurunan menjadi 51 kasus/ perkara dengan 83 tersangka, dan pada
tahun 2008 lalu juga mengalami penurunan menjadi 42 kasus/ perkara dengan 74
tersangka.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Tabel 2

No

Tahun

Kasus

Data Penanganan Kasus kayu Ilegal


2008

Tersangka

Tahun 2005 s/d

Barang
Bukti

/PKR
Kayu
Bulat

Kayu
Olahan

Truck

Chain
saw

Kapal
Motor

Boat

Buldozer

Kapak

2005

46

94 Orang

6490
Btng

16,565
Kpng

41

11

21

2006

57

61 Orang

5890
Btng

22,485
Kpng

49

18

14

28

2007

51

83 Orang

5240
Btng

20,575
Kpng

38

12

10

32

2008

42

74 Orang

4860
Btng

14,860
Kpng

34

10

24

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2009

Sedangkan barang bukti yang disita terdiri dari kayu bulat, kayu olahan,
truck, chainsaw, kapal motor, boat, buldozer, dan kapak. Hal ini menunjukkan
bahwa perkara kayu ilegal tetap menjadi perkara/ kasus yang selalu ada setiap
tahunnya, tetapi penanganannya juga dilakukan secara intensif oleh Dinas
Kehutanan Provinsi Sumut.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Tabel 3 Data Kasus Kayu Ilegal yang Di Tangani Polda Sumut


Tahun 2004 s/d 2008
No

Tahun

Jumlah
Tindak
Pidana

Jumlah
Penyelesaian
Perkara

Persentase
%

Tersangka

Barang
Bukti

Truck

Kapal

Alat
Berat

Chain
saw

Kayu/m 3

2004

64

57

89 %

107

24

13

+ 1.163,6
M3

2005

134

122

91 %

181

31

+ 782,6486
M3

2006

733

344

47 %

907

335

28

38

+ 11.768,65
M3

2007

188

111

59 %

284

90

17

+ .426,9946
M3

2008

85

32

38 %

116

11

+ 444,9387
M3

Total

1204

666

55 %

1,595

491

31

33

78

+ 15.586,6
M3

Sumber : Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut, 2009


Bahwa disamping data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
penulis juga memperoleh data dari Kepolisian Sumatera Utara

sebagai hasil

penelitian yang penulis lakukan. Sementara dalam Tabel 3 data ini merupakan
frekwensi praktik kayu ilegal dalam kurun waktu tahun 2004 s.d. 2008 yang
terjadi di wilayah hukum Kepolisian Sumatera Utara . mengalami pasang surut,
hal ini dapat dilihat dari jumlah tindak pidana pada tahun 2004 sebanyak 64
dengan persentase penyelesaian perkara 89 %, pada tahun 2005 mengalami
peningkatan 134 tindak pidana dengan persentase penyelesaian perkara 91 %,

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

pada tahun 2006 jumlah tindak pidana mengalami kenaikan yang signifikan yaitu
733 tindak pidana dengan persentase penyelesaian 47 %, pada tahun 2007 tindak
pidana turun menjadi 188 dengan persentase penyelesaian perkara 59 %, dan pada
tahun 2008 lalu jumlah tindak pidana mengalami penurunan drastis menjadi 85
tindak pidana tetapi dalam persentase penyelesaian perkara mengalami penurunan
menjadi 38 %. Barang bukti yang disita oleh Polda Sumut terdiri dari: truck,
kapal, alat berat, chain saw dan kayu.
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penebangan Hutan Secara Liar
1. Kurangnya Pengawasaan Aparat Kehutanan dalam Pengelolaan
Hutan
Hutan merupakan salah satu sub sistem dalam pengelolaan lingkungan
hidup yang diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup

meliputi

kebijaksanaan

penataan,

pemanfaatan,

pengembangan,

pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.


Pengelolaan hutan merupakan usaha yang meliputi beberapa aspek seperti
perencanaan, organsasi pelaksanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi,
dimana setiap fungsi tersebut saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan hutan bertujuan untuk menghasilkan suatu
hasil hutan yang dapat dikelola. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa dalam
melakukan pengelolaan hutan harus diperhatikan berbagai kehidupan ekosistem di
dalam hutan yang saling ketergantungan.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Untuk itu dalam aspek pengelolaan hutan ini diperlukan beberapa ilmu
yang mendukung, seperti ilmu tanah, agronomi, sosial ekonomi dan lingkungan,
bahkan pada perkembangan globalisasi ini diperlukan juga bidang komputerisasi
dan ini sangat mendukung melihat pada keadaan semakin banyaknya tuntutan
terhadap fungsi hutan dan memberikan informasi yang akurat.
Dalam Pasal 4 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup No. 23 Tahun
1997 menetapkan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, yaitu:
a Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungan hidup.
b Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindakan yang melindungi dan membina lingkungan
hidup.
c

Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.

d Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.


e

Terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.

Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak


usaha dan/ atau perusakan lingkungan hidup.
Mengingat akan luasnya kawasan hutan dan terkait dengan personil

petugas

kehutanan

yang

melakukan

pengawasan

terhadap

hutan,

maka

pengawasan hutan secara langsung terhadap pihak-pihak yang melakukan

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

penebangan hutan merupakan pekerjaaan yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dapat
dilihat dari perbandingan antara polisi hutan dengan kawasan hutan yang harus
mereka awasi, yaitu satu orang polisi hutan mengawasi 5 ribu-12 ribu hektar
hutan. 75 Maka untuk mencapai tujuan pengawasan, kebijakan pengelolaan hutan
harus ditujukan untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya kelestarian
fungsi hutan. Oleh karena itu, dengan adanya kesadaran bersama akan pentingnya
kelestarian fungsi hutan akan menghasilkan suatu penataan dan perencanaan yang
baik, sehingga pengelolaan hutan akan berhasil secara maksimal.
Pengelolaan hutan dapat menghasilkan nilai tambah karena banyak areal
hutan yang sebelumnya jarang terdeteksi menjadi nyata, sehingga menjadi suatu
nilai tambah bagi produktivitas hutan. .
Dengan adanya pengelolaan hutan, berarti memiliki suatu perencanaan
hutan yang mengandung pengertian peruntukan, penyediaan, pengadaan,
penggunaan hutan secara serba guna dan kelestarian demi kepentingan:
1) Pengaturan tata air, mencegah adanya banjir, mencegah erosi dan memelihara
kesuburan tanah.
2) Produksi hasil hutan dan pemasarannya pada umumnya serta secara khusus
untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor.

75

http://www.tempointeraktif.com/Tempointeraktif_com-Satu Polisi Hutan Mengawasi 12


Ribu Hektar Hutan.htm

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

3) Sumber mata pencarian yang beraneka ragam bagi rakyat di dalam dan sekitar
hutan.
4) Perlindungan alam hayati dan alam khas demi kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, pertanahan nasional, rekreasi dan pariwisata.
5) Transmigrasi, pertanian, perkebunan dan peternakan. 76
Di samping pengertian di atas, hutan juga memiliki fungsi yang menguasai
hajat hidup orang banyak, antara lain sebagai berikut:
1) Mengatur tata air, mencegah bahaya banjir, mencegah erosi dan memelihara
kesuburan tanah.
2) Memenuhi produksi hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan
khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor.
3) Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong
industri hasil hutan pada khususnya.
4) Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik.
5) Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar
alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman buru bagi kepentingan ilmu
pengetahuan pendidikan, kebudayaan dan pariwisata.
6) Merupakan salah satu unsur basis strategis pertahanan nasional. 77

76
77

Arifin Arif, Hutan dan Kehutanan, (Yogyakarta:Penerbit Konisius , 2001) hal. 94


Ibid, hal. 95

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Dalam pemanfaatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), eksistensi sumber


daya hutan khususnya di kawasan hutan produksi, para pihak yang memegang
HPH diharuskan mampu mengupayakan kelestarian pengusahaannya melalui
perencanaan yang mantap ditopang oleh data informasi yang akurat dan rasional,
peningkatan produktifitas dan intensitas pengelolaan secara teknologi tepat guna.
Tujuan dari pengusahaan hutan yaitu untuk memperoleh dan meningkatkan
produk hasil hutan demi kepentingan ekonomi bagi masyarakat, peningkatan
devisa negara dan perluasan serta pemerataan kesempatan kerja, kesempatan
berusaha, pengembangan sumber energi non minyak dan penyelenggaraan
pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian dan asas
perusahaan yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengelolaan dan
pemasaran hasil.
Akan tetapi jika tindakan penebangan pohon dalam kawasan hutan
dilakukan oleh pihak yang telah meperoleh dan memiliki HPH telah melampaui
batas atau target yang ditentukan oleh instansi/ pejabat kehutanan, maka tindakan
penebangan tersebut digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum. Dengan
demikian tindakan penebangan hutan secara liar dalam kawasan hutan dan telah
memperoleh surat izin menebang pohon dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Penebangan pohon yang dilakukan oleh orang perorangan di dalam kawasan
hutan yang telah ditata atau, telah ditetapkan secara yuridis sebagai kawasan
hutan. Perbuatan tersebut tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang/

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

pejabat kehutanan. Misalnya, di dalam pemberian izin pemanfaatan kayu atau


izin penebangan tercantum 200 meter kubik, ternyata melakukan penebangan
kayu sebanyak 300 meter kubik. Kelebihan kayu tebangan sebanyak 100
meter kubik tersebut adalah tindakan penebangan liar yang patut dikenakan
tuntutan hukum.
b. Izin penebangan pohon atau izin pemanfaatan kayu, diperoleh subyek hukum
di dalam kawasan hutan dimana pelaksanaannya tidak sesuai dengan lokasi
yang telah ditunjuk. Misalnya izin penebangan diberikan sebanyak 100 meter
kubik di lokasi unit penebangan hutan tertentu, tetapi penebangan pohon tidak
dilakukan di lokasi yang dimaksud. 78
Akan tetapi dalam praktiknya, pihak-pihak yang melakukan penebangan
secara liar adalah orang-orang yang tidak memiliki izin penebangan. Bukan hanya
melakukan penebangan saja, tetapi orang-orang tersebut juga melakukan
pencurian terhadap hasil hutan yang telah dikelola oleh pihak yang memiliki HPH.
Berdasarkan riset di Dinas Kehutanan Sumatera Utara, pada umumnya orang yang
melakukan perambahan terhadap hasil hutan adalah orang-orang yang tidak
memiliki izin dan mereka juga melakukan pencurian terhadap hasil hutan yang
telah dikelola oleh pihak yang memiliki HPH.
Kondisi di atas dipengaruhi oleh keadaan dimana mereka dapat lolos dari
pengawasan aparat kehutanan karena melakukan pengawasan terhadap kawasan
78

Alam Setia Zein, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,( Jakarta:Penerbit Rineka Cipta,
2000 ),hal. 46

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

hutan dengan jumlah personil yang dibutuhkan masih belum memadai, sehingga
aparat kehutanan sangat kesulitan untuk menjangkau setiap kawasan hutan.
Oleh karena itu, penebangan hutan secara liar ini didukung oleh kurangnya
pengawasan terhadap aktifitas tersebut, dimana aparat petugas juga kurang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga para pelaku
penebangan hutan secara liar begitu gampangnya lepas atau menghindar dari
pengawasan aparat yang berwenang. 79
Akan tetapi ada juga tindakan penebangan hutan tersebut karena dicukongi
atau di backing oleh aparat atau pejabat yang berwenang, dimana petugas dari
pejabat tersebut seharusnya mengawasi dan menjaga upaya pelaksanaan
pengelolaan hutan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Para pihak yang
melakukan penebangan tanpa izin dengan segala cara mendekati orang-orang
tertentu yang memiliki wewenang dalam bidang kehutanan, dimana pengusahaan
terhadap hasil hutan sangat menguntungkan para pihak-pihak tersebut.
2. Faktor Ekonomi dan Faktor Sosial
Hutan merupakan kawasan yang sangat erat hubungannya dengan
kehidupan ekonomi dan juga kehidupan sosial masyarakat, dimana setiap aktivitas
masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan banyak berhubungan dengan
hutan. Salah satunya hutan sebagai tempat berburu hewan untuk dikonsumsi dan
yang paling penting hutan menghasilkan kayu sebagai kebutuhan yang diperlukan
79

Ibid

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

oleh masyarakat, seperti kayu yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar, kayu
dibutuhkan untuk membangun rumah atau tempat tinggal dan juga kebanyakan
peralatan yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitasnya terbuat
dari kayu. Dengan demikian masyarakat tidak dapat dilepas dari suatu keadaan
bahwa kayu memiliki manfaat yang sangat besar untuk mendukung aktivitas
kehidupan masyarakat. 80
a. Faktor ekonomi
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hutan merupakan salah satu sumber
daya alam yang dapat menghasilkan atau memberikan keuntungan bagi setiap
masyarakat dan juga bagi negara, dimana hutan menghasilkan kayu, rotan dan
lainnya, sehingga hutan menjadi salah satu komoditi terbesar yang menghasilkan
keuntungan finansial yang besar dalam aspek ekonomi. 81
Keuntungan dari pengusahaan terhadap hutan ini dapat diperoleh oleh
masyarakat, negara dan juga pengusaha dan pengelola hutan. Dalam hal ini
keuntungan yang diperoleh masyarakat masihlah kecil, karena biasanya
masyarakat memanfaatkan hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Pada umumnya masyarakat di pedesaan masih banyak menggunakan
kayu sebagai bahan bakar, sehingga mereka mencari kayu di kawasan hutan, dan
biasanya mereka hanya mengambil ranting-ranting pohon karena ranting tersebut

80

Igm Nurjana dkk, Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001), hal 94
81
Ibid, hal 95

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

paling gampang untuk dibakar. Tetapi ada juga masyarakat menebang pohon
untuk kayu bakar, dan pohon tersebut merupakan pohon yang khusus dibuat untuk
kayu bakar. Misalnya, pohon pinus yang cocok dijadikan kayu bakar karena kayu
pinus tersebut jika dibakar tidak akan menghasilkan asap yang banyak, sehingga
ada masyarakat yang memanfaatkan kayu pinus ini untuk dijual kepada
masyarakat yang membutuhkan kayu bakar dan kayu yang akan dijual sebagai
bahan bakar tersebut biasanya telah dipotong-potong kecil sehingga dapat
langsung digunakan oleh masyarakat.
Akan

tetapi

kalau

dilihat

latar

belakang

mengapa

masyarakat

memanfaatkan hutan untuk mendapatkan keuntungan finasial, hal ini dipengaruhi


oleh kondisi Negara Indonesia dimana sejak tahun 1997 telah terjadi krisis
ekonomi yang berkepanjangan, sehingga menyebabkan daya masyarakat secara
keseluruhan sangat menurun. Di daerah perkotaan pada sektor industri banyak
terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga mengakibatkan banyak
pengangguran, dimana orang yang terkena pemutusan hubungan kerja banyak
berasal dari daerah pedesaan dan mau tak mau harus kembali kedaerahnya di
daerah

perkotaan

tersebut,

sehingga

para

pengangguran

yang

kembali

kedaerahnya tersebut memilih menjadi petani. 82

82

Mochtar Lubis, Menuju kelestarian Hutan, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia


1998),hal 65

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Dampak dari krisis ekonomi tidak hanya dirasakan oleh

masyarakat

perkotaan saja, tetapi dampaknya juga terjadi pedesaan. Hal ini dapat dijumpai
pada sektor pertanian, akibat dari adanya krisis ekonomi, penyediaan pupuk atau
obat-obat sulit dijangkau oleh masyarakat karena daya beli masyarakat telah
menurun .
Di samping adanya kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan, masih
ada faktor lain yang mendukung yaitu semakin bertambahnya jumlah penduduk di
Indonesia, sehingga diperlukan lagi daerah untuk tempat bermukim. Maka salah
satu cara yang mudah untuk mengatasi kurangnya pemukiman tersebut adalah
dengan cara mengorbankan tanah pertanian untuk tempat tinggal, sehingga
dilakukan berbagai usaha lain untuk mengganti lahan pertanian dengan cara
melakukan perambahan terhadap hutan. 83
Perambahan hutan juga menjadi salah satu alternatif untuk usaha manusia
dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yaitu dengan melakukan pekerjaan
menebangi pohon untuk dijual kepada penadah dan juga mereka ada yang bekerja
kepada pemegang HPH. Semua hal di atas terjadi karena didorong oleh tuntutan
untuk mempertahankan hidup, sehingga membuat manusia tidak dapat berpikir
panjang untuk memperhatikan akibat dari perbuatannya tersebut. Untuk itu harus
dilakukan penjagaan dan pengawasan dari pihak-pihak yang netral yang sangat

83

Ibid, hal 66

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

dibutuhkan. Dengan demikian perlindungan terhadap hutan harus mendapatkan


prioritas utama untuk diperhatikan oleh semua pihak.
b. Faktor Sosial
Pranata sosial yang bersumber dari kepercayaan maupun adat istiadat
untuk khusus mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan hutan di
sebagian daerah yang memiliki kawasan hutan tidak lagi ditemukan, karena pada
saat ini tidak ada lagi tempat keramat di hutan yang dilarang untuk diganggu atau
dimasuki oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan. Akan tetapi walaupun
demikian halnya masih ada juga masyarakat yang mempercayai adanya tempat
keramat di dalam hutan dan tempat tersebut tidak boleh dilakukan penebangan. 84
Bagi masyarakat yang mempercayai adanya tempat keramat di dalam hutan
biasanya segan untuk menjamah ataupun memasuki daerah hutan untuk
melakukan penebangan hutan ataupun untuk mengambil hasil hutan lainnya,
karena mereka percaya kalau mereka telah mengusik hutan yang keramat tersebut
mereka pasti akan mendapat bala, misalnya sakit atau bahkan mati. Hal ini masih
dapat dijumpai di daerah yang masih memiliki adat istiadat yang kental, seperti
Toba, Karo, Dairi dan sebagainya. Dalam kepercayaan di daerah tersebut biasanya
mereka dilarang untuk mengambil jenis-jenis kayu tertentu, akan tetapi dalam
peraturan perundang-undangan melalui pemerintah menekankan bahwa dilarang

84

IGM,Nurjana dkk, Op.Cit, hal 97

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

mengambil semua jenis pohon yang ada di hutan, dan biasanya masyarakat
mengenal kawasan hutan tersebut sebagai kawasan hutan lindung.
Khusus mengenai hak ulayat terhadap hutan, masyarakat desa pada
umumnya menganggap bahwa hutan adalah milik mereka sehingga mereka bebas
untuk memanfaatkan hutan dalam melakukan segala aktivitas mereka.
Dalam peraturan perundang-undangan tentang hutan masih mengakui
adanya hutan adat atau hak ulayat atas hutan, akan tetapi ditekankan juga kepada
masyarakat adat tersebut bahwa dilarang adanya penebangan hutan secara liar,
sehingga masyarakat dalam melakukan pengusahaan ataupun pengelolaan
terhadap hutan harus dapat menjaga kelestarian hutan.
Pada umumnya masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar kawasan
hutan sudah mengetahui manfaat hutan sebagai penyanggah dan juga sebagai
sumber mata air bersih, akan tetapi karena sesuatu hal yang mendesak dalam
memenuhi kebutuhannya, maka hutan dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk
mendapatkan penghasilan dengan melakukan penebangan terhadap pohon dan
juga berburu hewan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk dijual.
Akan tetapi faktor utama yang mempengaruhi masyarakat desa melakukan
perambahan terhadap hutan, khususnya melakukan penebangan liar dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan yang rendah, karena pada umumnya orang yang berada
atau tinggal di sekitar kawasan hutan berpendidikan sekolah dasar, dan ada juga
yang berpendidikan sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Dengan tingkat

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

pendidikan yang rendah, membuat pola berfikir masyarakat rata-rata dipengaruhi


oleh kondisi pergaulannya di daerah tersebut, dan mereka jarang mendapatkan
informasi yang seharusnya mereka butuhkan dari luar daerah mereka tentang
pentingnya untuk menjaga kelestarian hutan. 85
Penebangan secara liar di kawasan hutan, baik itu hutan lindung yang
diiringi dengan perambahan dan penjarahan hutan dihubungkan dengan tingkat
pendidikan yang rendah menyebabkan persepsi masyarakat yang berfungsi
sebagai penyangga dan pengatur keseimbangan lingkungan dan ekosistem kurang
dapat dipahami, sehingga para pelaku yang berasal dari anggota masyarakat tanpa
merasa

dan

mendapat

beban

apapun

melakukan

tindakan

pengrusakan,

perambahan, dan penjarahan terhadap apa yang ada di kawasan hutan.


C. Koordinasi Antara Polri Dengan Aparat Penegak Hukum Lainnya Dalam
Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan
Koordinasi antara Polda Sumatera dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera
Utara (PPNS Kehutanan) dalam penanganan kasus kayu ilegal

di wilayah

Sumatera Utara, terlaksana dengan baik, dimana: 86


1

Dalam kegiatan represif, Dinas kehutanan bertindak sebagai saksi ahli dalam
pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sampai dengan persidangan di
pengadilan;

85

Ibid, hal 99
Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda
Sumut, di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.
86

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Dalam kegiatan preventif, secara bersama-sama membuat pamflet larangan


penebangan kayu tanpa izin, melaksanakan patroli gabungan dan razia
bersama seperti operasi khusus (operasi hutan lestari) dan operasi wanalaga
sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008;

Dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan (PPNS)


dimana ada tersangka yang ditahan, maka penahanan dititipkan di Rutan
Mapolda Sumut;

Dalam kegiatan pengukuran/ kubikasi kayu sebagai barang bukti, Dinas


Kehutanan yang membuat pengukuran/ kubikasi sebagai lampiran barang
bukti dalam berkas perkara.
Koordinasi antara Polda Sumut dengan aparat penegak hukum lainnya

seperti Kejaksaan dan Pengadilan dalam penanganan kasus kayu ilegal di wilayah
Sumatera Utara, terlaksana dengan baik, dimana: 87
a. Dengan kejaksaan:
1) Pengiriman surat pemberitahuan di mulai penyidikan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan undang-undang;
2) Pra penuntutan yaitu pengembalian berkas perkara dari jaksa penuntut
umum (JPU) kepada penyidik untuk dilengkapi/ disempurnakan dalam
tenggang waktu 14 hari;

87

Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda


Sumut, di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

3) Pengiriman berkas perkara (tahap I) dan pengiriman tahap II berupa


tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada JPU;
4) Perpanjangan penahanan selama 40 hari oleh penyidik kepada JPU;
5) Gelar perkara dalam kasus

kayu ilegal

antara Polda Sumut dengan

kejaksaaan, terutama dalam perkara yang mendapat perhatian dari


masyarakat. Misalnya Kasus Adelin Lis
b. Dengan pengadilan:
1) Perpanjangan penahanan lanjutan dalam waktu 2 x 30 hari oleh penyidik
kepada Ketua Pengadilan Negeri;
2) Persetujuan izin sita barang bukti oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan
Negeri;
3) Permohonan izin penggeledahan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan
Negeri;
4) Permohonan izin lelang barang bukti oleh penyidik kepada Ketua
Pengadilan Negeri;
5) Pengamanan sidang kasus kayu ilegal , terutama kasus yang mendapat
perhatian dari masyarakat;
6) Pengamanan sidang lapangan (lokasi/ areal pengambilan barang bukti).

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

c.

Dengan Penyidik Perwira TNI AL


1) Penyerahan tersangka dan barang bukti dalam kasus kayu ilegal kepada
penyidik Polri apabila ditemukan / ditangkap oleh perwira TNI AL di
wilayah perairan atau laut.
2) Melakukan operasi gabungan / razia bersama antara Perwira TNI AL
dengan Polri / Polisi Perairan dalam penanganan atau penindakan terhadap
kayu ilegal di wilayah perairan atau laut.
Upaya-upaya yang dilakukan Polda Sumatera Utara dalam penanganan kasus

kayu ilegal antara lain: 88


1) Peningkatan jaringan informasi untuk pengungkapan kasus kayu ilegal ;
2) Peningkatan koordinasi dengan kejaksaan, pengadilan dan dinas kehutanan/
PPNS untuk percepatan penanganan kasus kayu ilegal dan penjatuhan
hukuman maksimal kepada para pelaku, serta pemberdayaan PPNS
kehutanan dalam penanggulangan kasus kayu ilegal;
3) Pemberian pelatihan bagi personil dan pengiriman personil untuk
mengikuti pendidikan/ kejuruan reserse;
4) Pengajuan tambahan dukungan anggaran penyidikan kasus kayu ilegal ,
untuk menghindari terjadinya KKN, antara penyidik dengan pelaku.
5) Pengajuan alat angkut kayu dan pengamanan barang bukti;
88

Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda


Sumut, di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

6) Peningkatan koordinasi dengan dinas kehutanan dan Panitia Lelang dalam


pelelangan kayu sebagai barang bukti untuk menghindari hilangnya,
rusaknya barang bukti.
Koordinasi antara Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dengan
penyidik Polri, Kejaksaan dan Pengadilan dalam penanganan kasus kayu ilegal di
wilayah Sumatera Utara terlaksana dengan baik, antara lain: 89

a. Dengan penyidik Polri:


1) Setiap penanganan perkara, PPNS selalu mengirimkan surat pemberitahuan
dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penyidik Polri;
2) Polri selaku Korwas PPNS selalu memberikan bantuan teknis maupun
yuridis kepada PPNS dalam setiap penanganan perkara kayu ilegal
3) Apabila PPNS melakukan penahanan terhadap pelaku/ tersangka maka
PPNS menempatkan di Rutan Polri;
4) Dalam melakukan penanganan kayu ilegal dinas kehutanan bersama-sama
dengan Polri melakukan razia/ operasi bersama dalam bentuk operasi
khusus yaitu operasi hutan lestari dan operasi wanalaga;

89

Wawancara dengan Marolop Gultom, Kasi. Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan , di


Kantor Dinas Kehutanan Provnsi Sumatera Utara, tanggal 6 Mei 2009.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

5) PPNS dengan kewenangannya dapat mengirimkan berkas perkara sebagai


tahap I dan penyerahan tersangka dan barang bukti sebagai tahap II kepada
JPU dengan mengirimkan tembusan kepada penyidik Polri;
b. Dengan Kejaksaan:
1) PPNS mengirimkan berkas perkara sebagai tahap I dan penyerahan
tersangka dan barang bukti sebagai tahap II kepada JPU dengan
tembusannya kepada penyidik Polri;
2) Dalam setiap penanganan perkara kejaksaan selalu memberikan bantuan
yuridis kepada PPNS untuk percepatan penyelesaian perkara.
c. Dengan Pengadilan:
1) Permohonan izin/ persetujuan sita kepada ketua Pengadilan Negeri;
2) Permohonan izin/ persetujuan penggeledahan kepada ketua Pengadilan
Negeri;
3) Permohonan izin lelang barang bukti kepada ketua Pengadilan Negeri;
4) Permintaan vonis atas perkara illegal logging untuk dilampirkan dalam
berkas perkara.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dalam meningkatkan
penanganan kasus kayu ilegal , antara lain: 90

90

Wawancara dengan Marolop Gultom, Kasi. Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan, di


Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, tanggal 6 Mei 2009.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

1) Peningkatan kerjasama dengan aparat penegak hukum lainnya terutama


dengan penyidik Polri dalam hal melakukan razia/ operasi gabungan untuk
menanggulangi kayu ilegal ;
2) Peningkatan

kuantitas/kualitas

PPNS

dengan

mengirimkan

personil

mengikuti pendidikan/ kejuruan baik di Diklat Pemprov Sumut maupun Diklat


Polri;
3) Permintaan sarana dan prasarana untuk menunjang penyidikan ke Departemen
Kehutanan seperti, mobil patroli dan alat angkut barang bukti;
4) Permintaan dukungan anggaran terutama biaya pengangkutan dan perawatan
barang bukti termasuk biaya penanganan dan penyidikan perkara.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

BAB IV
KENDALA ATAU HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DALAM
PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN
A. Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan
1. Upaya Preventif
Upaya preventif adalah merupakan suatu usaha penanganan yang lebih
menitikberatkan pada pencegahan/ penanganan atau pengendalian sebelum
terjadinya tindak pidana kayu ilegal . Menurut Manumpak Butar-Butar selaku
Kasat Tipiter Dit Reskrim Polda Sumut mengatakan bahwa bagian Reskrim lebih
dominan dalam upaya represif sedangkan dalam upaya preventif lebih cenderung
menjadi tanggung jawab dari Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan
Provinsi Sumatera Utara walaupun tidak tertutup kemungkinan pihak Kepolisian
Daerah Sumatera Utara ikut terlibat dalam usaha-usaha yang berhubungan dengan
upaya preventif dalam rangka penanganan tindak pidana kayu ilegal di wilayah
hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara .
Upaya-upaya preventif yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sumatera
Utara untuk penanganan / pencegahan tindak pidana kayu ilegal antara lain:
a.

Melakukan patroli secara berkala disekitar kawasan hutan dengan maksud


untuk mencegah pelaku / masyarakat tidak melakukan penebangan kayu tanpa
izin atau mengangkut kayu tanpa dilindungi dokumen yang sah.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

b. Memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat khususnya disekitar


kawasan hutan, pengusaha HPH , pejabat TNI / Polri dan aparat Pemda
atau Pemko / kabupaten.
c.

Memberikan himbauan kepada aparat desa untuk tidak mengeluarkan Surat


Keterangan Asal Usul Kayu ( SKAU ) tanpa alas hak yang sah.

d.

Membuat / mendirikan Pos Polisi disekitar kawasan hutan terutama pada


pintu-pintu keluar wilayah untuk mengawasi dan mencegah kayu ilegal.
Adapun langkah yang ditempuh Dinas Kehutanan Sumatera Utara sebagai

upaya preventif dalam rangka perlindungan hutan dan hasil hutan antara lain :
a. Memberikan Himbauan Kepada Masyarakat
Himbauan-himbauan ini dapat dilakukan melalui media elektronik ataupun
media cetak seperti radio swasta dan surat kabar lokal. Himbauan ini juga dapat
dilakukan melalui spanduk-spanduk maupun pamflet-pamflet yang berisi tentang
ajakan masyarakat untuk ikut serta dalam usaha-usaha perlindungan hutan
sehingga hutan dapat lestari.
Peran serta masyarakat dalam usaha perlindungan hutan adalah merupakan
salah satu jalan yang efektif dalam pencapaian pembangunan hutan di Provinsi
Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah orang yang berhubungan
langsung dan hampir setiap hari bersentuhan dengan kawasan hutan.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

b. Memberikan Penyuluhan Hukum


Penyuluhan hukum dilakukan secara teratur dan kontinyu kepada
masyarakat. Dimana dalam penyuluhan hukum ini diinformasikan kepada
masyarakat tentang bahaya yang akan mengancam bila praktik kayu ilegal terus
berjalan. Selain itu dalam penyuluhan hukum juga diberitahukan kepada
masyarakat mengenai sanksi pidana yang akan diterima bila melakukan praktik
kayu ilegal , sehingga masyarakat menjadi takut untuk melakukan praktik /
kegiatan tersebut.
Dalam penyuluhan hukum tidak hanya melibatkan Dinas Kehutanan tetapi
juga melibatkan aparat penegak hukum lainnya yaitu pihak Kepolisian, Kejaksaan
dan Pengadilan. Selain itu pimpinan ataupun tokoh masyarakat serta tokoh adat
juga dilibatkan dalam program ini. Keikutsertaan pimpinan atau tokoh masyarakat
bukan tanpa alasan, hal ini dikarenakan masyarakat lebih percaya kepada
pimpinan atau tokoh masyarakat dibandingkan dengan orang luar. Dengan
keikutsertaan pimpinan atau tokoh masyarakat setempat diharapkan masyarakat
menjadi ikut merasa memiliki hutan sehingga timbul keinginan untuk menjaga
kelestarian hutan dan lingkungan hidup..
Dengan dilakukannya penyuluhan hukum ini diharapkan masyarakat dapat:
1) Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan
perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
2) Menyadari bahwa dalam proses penegakan hukum bukan hanya
tanggung jawab aparat penegak hukum, akan tetapi juga menjadi
tanggung jawab bersama.
3) Tidak melakukan hal-hal yang menghambat proses penegakan hukum. 91
c. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Polisi Hutan
Pada saat sekarang ini tugas penjagaan, pengamanan dan perlindungan
kawasan hutan serta peredaran hasil hutan ditumpukan kepada Polisi Kehutanan
(Polhut). Sementara keadaan Polhut saat ini menunjukan gambaran yang ironis
dan memprihatinkan bila dibandingkan dengan beratnya tugas yang harus
diembannya. Jumlah Polhut yang ada dirasakan sangat kurang bila dibandingkan
dengan ratio luas kawasan hutan yang harus dijaga keamanannya. Hal inilah yang
menjadi salah satu faktor terjadinya praktik kayu ilegal karena sebagian kawasan
hutan luput dari pengawasan Polhut. Selain itu kualitas dan kuantitas dari SDM
Polhut serta persepsi yang kurang baik terhadap Polhut karena adanya tindakan
sebagian Polhut yang tidak terpuji dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang
berhubungan dengan pengamanan dan peredaran kayu termasuk menjadi penentu
semakin maraknya praktik kayu ilegal .
91

Welly I., Peranan Polisi Kehutanan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Menurut
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Taman Nasional Kerinci Seblat Kab.
Kerinci, Skripsi, jambi, 2005, hal. 40

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Melihat keadaan ini Departemen Kehutanan mengambil langkah-langakah


pembinaan kemampuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM Polhut
yaitu dengan mengadakan program pendidikan dan pelatihan . Salah satu program
diklat yang dikembangkan saat ini adalah dengan dibentuknya Satuan Polhut
Reaksi Cepat (SPORC). Diklat pembentukan SPORC ini bertujuan untuk
membentuk gugus Polhut yang memiliki karakteristik berpikir dan bertindak cepat
dan tepat didalam melaksanakan tugas-tugas khusus dibidang kehutanan. 92 Selain
itu tujuan pembentukan SPORC ini adalah untuk penugasan khusus terhadap
adanya eskalasi ancaman/ gangguan keamanan hutan yang meningkat yaitu
gangguan keamanan yang tidak ditangani secara rutin oleh satuan Polhut yang
reguler.
Dalam pelaksanaan diklat ini Departemen Kehutanan bekerja sama dengan
Mabes Polri karena tugas Polhut dalam hal ini SPORC terkait dengan tugas-tugas
di bidang kehutanan. Program diklat ini dilaksanakan berdasarkan amanat dari UU
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2004 tentang Perlindungan Hutan dan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005
tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara illegal di Kawasan Hutan dan
Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Upaya preventif yang dilakukan Polhut ataupun SPORC dalam rangka
penanganan tindak pidana kayu ilegal antara lain adalah:

92

Majalah Kehutanan Indonesia, Op. Cit., hal 10.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

1)

Berpatroli secara rutin, mendadak, periodik ataupun gabungan di dalam


kawasan hutan atau dalam wilayah hukum Polhut yang telah ditentukan.

2) Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan


hasil hutan di dalam kawasan atau di wilayah hukum Polhut yang telah
ditentukan.
3) Melakukan koordinasi dengan mitra instansi/ lembaga yang terkait dalam
operasi perlindungan dan pengamanan hutan.
2. Upaya Represif
Upaya represif adalah merupakan suatu usaha yang lebih bersifat pada
penindakan/ pemberantasan setelah tindak pidana kayu ilegal itu terjadi. Menurut
Manumpak Butar-Butar bahwa upaya represif yang dilakukan Kepolisian Daerah
Sumatera Utara dalam rangka penanganan tindak pidana kayu ilegal dalam
wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara adalah 93 :
a. Menangkap pelaku kayu illegal
Dari salah satu proses hukum yaitu laporan, pengaduan atau tertangkap
tangan mengenai dugaan telah terjadi tindak pidana kayu ilegal di wilayah hukum
Kepolisian Sumatera Utara kemudian pihak Kepolisian melakukan penyidikan
terhadap orang yang diketahui sedang atau telah melakukan tindak pidana kayu

93

Hasil Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar,Jabatan Kasat Tipiter Dit reskrim Polda
Sumut di Polda Sumut tanggal 4 Mei 2009

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

ilegal . Bila telah terbukti melakukan tindak pidana kayu ilegal pelaku ditangkap
untuk proses penegakan hukum yang lebih lanjut.
Dengan ditangkapnya pelaku kayu ilegal tersebut diharapkan memberikan
efek jera khususnya bagi pelaku sendiri dan menimbulkan rasa takut bagi
masyarakat agar tidak mau melakukan praktik kayu ilegal lagi. Namun kenyataan
dalam pemberantasan tindak pidana kayu ilegal ini sering kali pihak Kepolisian
Daerah Sumatera Utara menemui kendala dalam menangkap pelaku yaitu ada
kalanya yang ditemui hanya truk beserta dengan kayu yang diduga adalah hasil
praktik kayu ilegal namun yang membawa kayu tersebut (supir truk) tidak ada
atau dengan kata lain berhasil lolos. Selain itu pelaku yang menjadi otak dari
praktik kayu ilegal ini masih banyak yang belum terjerat hukum hal ini
dikarenakan pelaku tersebut adalah orang dekat dengan kekuasaan dan
mempunyai modal besar untuk melarikan diri. Hal inilah yang menjadi kendala
sehingga pelaku tindak pidana kayu ilegal sering lolos dari jaringan hukum.
b. Operasi Wanalaga III
Operasi Wanalaga dicetuskan pertama kali pada tanggal 27 Desember
2001. Operasi Wanalaga ini dilaksanakan berdasarkan kerjasama antara Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi (PHKA) Departemen Kehutanan
dengan Deputi Kapolri Bidang Operasional Mabes Polri..
Menanggapi kerjasama tersebut maka Kapolri melalui Surat Telegramnya
No.Pol.: STR/227/IV/2002 tanggal 10 April 2002 menginstruksikan untuk

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

melaksanakan operasi kepolisian

terhadap para pelaku praktik kayu ilegal

kepada seluruh jajaran Kepolisian Daerah

di seluruh Indonesia. Berdasarkan

instruksi tersebut maka Kepolisian Daerah Sumatera Utara bekerjasama dengan


Dinas Kehutanan Sumatera Utara melaksanakan Operasi Wanalaga III. Dalam
melaksanakan operasi wanalaga III ini juga melibatkan institusi atau aparat
pemerintah daerah dan instansi lain yang berhubungan dengan kehutanan secara
aktif. Operasi wanalaga III ini langsung dipimpin oleh Kapolda Sumatera Utara
dan sebagai wakilnya adalah Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara.
Operasi Wanalaga III bertujuan untuk memutuskan mata rantai kegiatan kayu
ilegal di daratan.Tujuan utama dari operasi wanalaga ini adalah:
1.Menegakkan hukum terhadap para pelaku kejahatan kehutanan
2 Memberdayakan kelembagaan institusi secara terkolaborasi dan profesional
3.Mencegah dan memberantas kerusakan hutan serta menjaga hak-hak negara atas
hutan dan hasil hutan
4.Menindak tegas bagi para pelaku kejahatan kehutanan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku yang terkait dengan pengelolaan hutan dan hasil hutan,
mengamankan barang bukti dan mendorong percepatan proses lelang.
Sasaran dari operasi wanalaga III yang dilaksanakan adalah pelaku,
penadah, aktor intelektual, backing dan pemodal tindak pidana kayu ilegal ,
peredaran hasil hutan ilegal, penyelundupan kayu, pemalsuan dan penyalahgunaan
dokumen SKSHH yang dilakukan baik individu, kelompok maupun perusahaan.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Dari operasi wanalaga III yang dilaksanakan 58 kasus berhasil disidik dan
35 kasus di Sumatera Utara dengan total kerugian yang ditanggung negara sebesar
RP. 110.206.000,-. 94
c. Operasi Hutan Lestari I
Operasi Hutan Lestari I ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya
represif sebelumnya yaitu operasi wanalaga III. Operasi Hutan Lestari I ini
dilaksanakan Kepolisian

Daerah Sumatera Utara

pada awal tahun 2004 atas

instruksi langsung dari Kapolri bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Sumatera


Utara.
Dengan dilakukannya operasi Hutan Lestari I ini diharapkan pelanggaran
hukum dalam bentuk pencurian dan penyelundupan kayu dapat ditumpas. Operasi
Hutan Lestari I yang dilaksanakan di Sumatera Utara ternyata berjalan cukup
efektif, hal ini dapat dilihat pada tahun 2004 praktek operasi Hutan Lestari I
menurun yaitu 64 kasus dengan menangkap 107 tersangka, 6 kasus dalam proses
sidik, 57 kasus dikirim ke JPU dan 1 kasus dilimpahkan dimana pada tahun 2003
sebanyak 105 kasus dengan menangkap 124 tersangka, 18 kasus dalam proses
sidik, 72 kasus dikirim ke JPU dan 15 kasus dilimpahkan. Dengan menurunnya
praktek kayu ilegal yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera
Utara yaitu 105 kasus menjadi 64 kasus menunjukan bahwa operasi Hutan Lestari

94

Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Operasi Wanalaga III,2003

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

yang dilaksanakan berhasil dan memberikan efek jera bagi para pelaku tindak
pidana kayu ilegal .
Namun keberhasilan yang dicapai pada tahun 2004 tersebut tidak berlanjut
pada tahun 2005. Pada tahun 2005 praktek

kayu ilegal

meningkat dan

peningkatan tersebut sangat drastis yaitu menjadi 134 kasus, dengan jumlah
tersangka 181 tersangka, 22 kasus dalam proses sidik, 111 kasus dikirim ke JPU
dan 1 kasus dilimpahkan. 95
Dalam rangka pengamanan hutan khususnya penanggulangan praktek kayu
ilegal

Provinsi Sumatera Utara juga mengambil kebijakan-kebijakan, hal ini

didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 Yo UU no. 32 tahun 2004 tentang


Pemerintah Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, dimana kewenangan
pelaksanaan pengamanan hutan yang terdapat dalam suatu wilayah kabupaten/
kota menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/ kota. Kebijakan Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara dalam upaya melaksanakan pengamanan hutan
khususnya untuk menangani kegiatan kayu ilegal telah menetapkan:
1.

Pembentukan Tim Operasi Gabungan Pengamanan Hutan dan Hasil


Hutan Provinsi Sumatera Utara dengan Keputusan Gubernur Sumatera
Utara No. 522.05/073 K/2001 tanggal 23 Maret 2001 dan Keputusan

95

Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Operasi Hutan Lestari I, 2004

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Gubernur

Sumatera

Utara

No.

522.5/1821/K/2003

tanggal

25

September 2003.
2.

Penunjukan lokasi Pos Pengawasan Peredaran Hasil Hutan Provinsi


Sumatera Utara dengan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.
522/816.K/2002 tanggal 25 Juli 2002.

Operasi Wanalaga yang dilaksanakan oleh Polda Sumatera Utara dan


operasi Wanabahari yang dilaksanakan oleh jajaran Angkatan Laut.

Melaksanakan operasi fungsional oleh Aparat Kehutanan, dan Operasi


gabungan dengan Aparat Keamanan dan unsur terkait lainnya. 96

B. Kendala Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Dari Aspek Pidana


Dari uraian tentang ketentuan pidana dalam uraian di atas, maka dapat
diketahui kendala dalam aspek pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan
sebagai berikut:
1. Pelaku atau aktor intelektual sulit disentuh hukum
Pelaku yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan
kayu ilegal yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama
dalam hal ini adalah oknum pejabat penyelenggara negara, oknum aparat penegak

96

Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Op. Cit, hal.4.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

hukum atau oknum pegawai negeri yang tidak diatur secara khusus dalam
Undang-undang tentang kehutanan tersebut. 97
Penerapan Pasal 55 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak
pidana sebagai orang yang melakukan,

menyuruh melakukan dan turut serta

melakukan perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam

kejahatan kayu

ilegal yang melibatkan banyak pihak. Namun demikian, beban pidana yang harus
ditanggung secara bersama dalam hal terjadinya tindak pidana kayu ilegal juga
dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat
perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidana
maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP,
sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditentukan.
2. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dalam sistem peradilan
pidana.
Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dapat menimbulkan
tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing, sehingga sangat rawan
menimbulkan konflik kepentingan. Penegak hukum yang tidak berkoordinasi
merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan kayu ilegal .
Proses peradilan mulai dari penyelidikan hingga ke persidangan membutuhkan
biaya yang sangat besar, proses hukum yang panjang dan sarana/ prasarana yang

97

Igm Nujana dkk, Op.Cit, hal 137

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

memadai serta membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut.


Dalam satu instansi tertentu tidak memiliki semua komponen, data/ informasi
ataupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum.
Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar instansi
yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap kayu ilegal

tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan terhadap kejahatan kayu


ilegal l 98 menemukan bahwa salah satu kendala dalam pemberantasan kayu ilegal
disebabkan oleh koordinasi yang kurang efektif dan efisien dari berbagai instansi
terkait, dalam hal ini terdapat 11 (sebelas) instansi yang berada dalam satu mata
rantai pemberantasan kayu ilegal yang sangat menentukan proses penegakan
hukum kejahatan di bidang kehutanan yaitu: 1. Menkopolkam, 2. TNI AD/
Hankam, 3. TNI AL, 4. Polri, 5. Departemen Kehutanan, 6. Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, 7. Departemen Perhubungan, 8. Bea Cukai, 9.
Kejaksaan, 10. Pengadilan, dan 11. Pemda Provinsi/ Kabupaten/ Kota.
Koordinasi

antara

berbagai

instansi

tersebut

keberhasilan dalam penegakan hukum terhadap kejahatan

sangat

menentukan

kayu ilegal

yang

merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai
dari penebangan hingga ke ekspor kayu ilegal.

98

Fathoni, T., RI-Jepang Sepakat Atasi Kayu Illegal, Artikel Bisnis Indonesia, terbit
tanggal 2 Juli 2003, hal. 1.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

3. Masalah Pembuktian
Berbicara masalah pembuktian yang dianut oleh hukum pidana Indonesia
adalah sistem negatif (negatif wettelijke stelsel) yang merupakan gabungan dari
sistem bebas dengan sistem positif. 99 Menurut Syahrani bahwa dalam sistem
negatif

hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila

berdasarkan bukti-bukti yang sah menurut hukum sehingga hakim mempunyai


keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini
berdasarkan ketentuan Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang
menyatakan bahwa:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat bukti utama yang dapat dijadikan dasar tuntutan dalam tindak pidana
kayu ilegal adalah keterangan saksi ahli untuk menjelaskan keadaan hutan yang
rusak akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Proses ini memerlukan
ketelitian dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari tindak pidana biasa.
Pembuktian terhadap tindak pidana kayu ilegal yang masih mengacu pada
KUHAP seperti tersebut di atas, adalah menjadi kewajiban penyidik dan penuntut

99

Syahrani, R., Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983),

hal.129.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

umum untuk membuktikan sangkaannya terhadap tersangka, kemudian alat-alat


bukti yang juga mengacu kepada KUHAP seperti halnya tindak pidana biasa,
sangat sulit untuk menjerat pelaku-pelaku yang berada dibelakang kasus tersebut.
Belum mengatur mekanisme proses untuk mengakses alat-alat bukti seperti akses
informasi pada bank, atau ketentuan yang memerintahkan kepada bank untuk
memblokir rekening tersangka yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. 100
4.Ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit
Rumusan sanksi pidana dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan
dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum dapat memberikan efek jera
kepada pelaku kejahatan kayu ilegal . Ancaman hukuman penjara paling berat 10
(sepuluh) tahun bagi yang melakukan kayu ilegal . Pidana denda paling banyak
Rp. 15.000.000.000; (lima belas miliar rupiah). Rumusan sanksi dalam undangundang ini tidak mengatur rumusan sanksi minimum sehingga seringkali sanksi
pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Demikian juga
belum diatur tentang sanksi pidana bagi korporasi serta sanksi pidana tambahan
terhadap tindak pidana pembiaran.

100

Igm Nurjana dkk, Op.Cit, hal 139

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

5. Subjek atau Pelaku Pidana


Subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana kehutanan secara
tersurat hanya dapat diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan
penebangan kayu ataupun pengusaha yang melakukan transaksi kayu secara
ilegal. Ketentuan pidana tentang kehutanan itu belum menyentuh pelaku lain
termasuk pelaku intelektual yang terkait dengan kayu ilegal secara keseluruhan
seperti koorporasi, pejabat penyelenggara negara, pegawai negeri sipil, TNI/ Polri,
pemilik sawmil dan nahkoda kapal. 101
6.Rumusan Sanksi Pidana.
Rumusan sanksi pidana dalam pasal 78 Undang-Undang nomor 41 Tahun
1999 tentang kehutanan yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat
dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain ternyata belum dapat
memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kayu ilegal . Ancaman hukuman
penjara paling berat 15 tahun bagi yang membakar hutan dan paling berat 10
tahun bagi yang melakukan kejahatan kayu ilegal. Pidana denda paling banyak
Rp.15.000.000.000; ( lima belas milyar rupiah ). Rumusan sanksi dalam undangundang ini tidak mengatur rumusan sanksi minimum sehingga seringkali sanksi
pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Demikian juga
belum diatur tentang sanksi pidana bagi korporasi serta sanksi pidana tambahan
terutama terhadap tindak pidana pembiaran.
101

Igm Nurjana dkk, Op.Cit, hal 141

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

7.Proses Penyitaan.
Barang bukti kayu dalam tindak pidana di bidang kehutanan memiliki
konsep penanganan tersendiri seperti prosedur dan metode serta keahlian
(memiliki sertifikat pengukuran) dalam sistem pengukuran dan juga membutuhkan
waktu yang lama sehingga perlu diatur tersendiri. Demikian juga proses
pelelangan barang bukti serta pembagiannya antara pemerintah pusat dan daerah
asal kayu ilegal tersebut. Hal tersebut belum diatur dalam ketentuan pidana dalam
undang-undang kehutanan.
C. Kendala Atau Hambatan Yang Dihadapi Polri Dalam Penanganan Tindak
Pidana Di Bidang Kehutanan
Masalah kayu ilegal saat ini adalah masalah krusial yang dihadapi
Indonesia karena masalah kayu ilegal semakin memperburuk kondisi hutan yang
sudah buruk dan bahkan dampaknya semakin mempersulit keadaan masyarakat
yang sudah sulit akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagai contoh
dampak kayu ilegal adalah terjadinya banjir dimana-mana hampir diseluruh
wilayah Indonesia bahkan belum lepas dari ingatan kita bagaimana dahsyatnya
banjir bandang yang terjadi di Bukit Lawang di Sumatera Utara yang menelan
banyak korban. Dimana pada akhirnya terungkap bahwa bencana alam yang
terjadi tersebut akibat praktik kayu ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser sehingga hutan tidak dapat berfungsi sebagaimana peruntukannya.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Kendala/hambatan yang dihadapi oleh Polda Sumatera Utara dalam


penanganan

tindak pidana di bidang kehutanan

di wilayah hukum Provinsi

Sumatera Utara: 102


1.Kendala Yuridis antara lain :
a. Adanya beberapa Peraturan Menteri Kehutanan antara lain Peraturan Menteri
Kehutanan No. 51 dan No. 55 Tahun 2006 tentang Tata Usaha Hutan yang
melindungi kayu dan pelaku kayu ilegal dimana penyelesaiannya cenderung
melalui administrasi bukan melalui penyelesaian pidana/ pengadilan
b. Sanksi pidana dalam undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
tidak

mencantumkan

ancaman

hukuman

minimal

sehingga

sering

dimanfaatkan atau peluang KKN antara pelaku / tersangka dengan aparat


penegak hukum khususnya pengadilan.
c. Kayu yang berasal

atau bersumber dari kawasan hutan lindung tidak

diperkenankan untuk dilelang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alami Hayati dan
Ekosistemnya.
d. Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Yo Undang - Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah

102

Wawancara dengan AKBP Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda
Sumut di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenangan


Provinsi Sebagai Daerah Otonom.

Dengan keluarnya peraturan tersebut diatas maka kewenangan pelaksanaan


pengamanan hutan yang terdapat pada suatu wilayah kabupaten/kota menjadi
kewenangan kabupaten/kota. Dengan adanya kewenangan tersebut maka dalam
penanganan kasus kayu ilegal yang terjadi di daerah kabupaten/kota menjadi
kendala karena Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara tidak dapat langsung
menangani tindak pidana tersebut akan tetapi harus melalui permintaan
kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini akan memperlambat proses penegakan
hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan yang terjadi apabila Polda
Sumatera Utara melakukan kegiatan atau operasi bersama dengan Dinas
kehutanan Provinsi Sumatera Utara.
1. Kendala teknis antara lain:
a. Proses penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan sangat tergantung dari
kesediaan para pejabat Dinas Kehutanan sebagai ahli;
b. Dukungan anggaran dalam penanganan kasus kayu ilegal belum memadai
terutama untuk honor saksi ahli, pengamanan barang bukti, penitipan barang
bukti, perawatan barang bukti dan pengangkutan barang bukti;
c. Masih kurangnya kualitas dan kuantitas penyidik terutama yang bertugas di
Polres dan Polsek;

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

d. Kurangnya alat angkut/ pengangkutan dan sepeda motor baik untuk


pengejaran/ penangkapan pelaku dan pengangkutan kayu dari tempat kejadian
perkara ke penitipan barang bukti atau komando/ markas.
e. Kebijakan dibidang kehutanan masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan ini cenderung kepada pengelolaan hutan yang eksploitatif
dibanding kepada upaya konservasi dan pelestarian hutan atau kebijakan yang
berorientasi pada prinsip-prinsip good governance and sustainable development.
f. Lemahnya kapasitas dan integrasi penegak hukum.
Hal ini berawal dari proses rekruitmen yang tidak berdasarkan prinsipprinsip Transparan, Partisipatif dan Akuntable (TPA) secara profesional hingga
kependidikan, kejuruan, pelatihan-pelatihan dan pembekalan-pembekalan yang
kurang memadai terhadap personel penegak hukum terhadap tindak pidana
kehutanan tersebut.
g. Keterbatasan dana
Selama ini penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan termasuk
kayu ilegal tidak ditentukan anggaran atau dana tersendiri secara khusus, artinya
dalam penegakan hukum tersebut sama sekali seperti tindak pidana lainnya,
sementara proses penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut memerlukan
biaya yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana umum lainnya. Sebagai
contoh pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berada di tengah hutan

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

memerlukan sarana seperti helikopter yang belum dimiliki oleh instansi Polri dan
PPNS kehutanan terutama di daerah-daerah yang justru mempunyai hutan yang
luas, sehingga perlu untuk menyewa helikopter dan sebagainya. 103
h. Kurangnya Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang cukup dan memadai memegang peranan penting
dalam rangka penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka
tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar. Dimana sarana
dan prasarana tersebut dapat berupa tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup
dan lain sebagainya. Kalau hal-hal tersebut diatas tidak dapat dipenuhi, maka
mustahil penegakan hukum dapat tercapai. 104
Namun kenyataan di lapangan menunjukan sarana dan prasarana yang
dimiliki pelaku praktik kayu ilegal jauh lebih maju dibandingkan sarana dan
prasana yang dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya di daerah-daerah
yang justru memiliki areal hutan yang luas dan rawan terjadi praktik kayu ilegal
. 105 Keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki aparat penegak hukum
menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana di bidang

103

Ibid, hal 142


Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2002), cetakan keempat, hal. 27
105
IGM. Nurdjana, dkk, Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi,
*(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005), hal. 143
104

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

kehutanan. Dengan terhambatnya proses penyidikan tentu berimbas terhadap


semakin maraknya tindak pidana di bidang kehutanan.
i. Mentalitas aparat penegak hukum
Aparat penegak hukum yang terkait langsung dalam proses penanganan
tindak pidana dibidang kehutanan adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
PPNS, Polisi Kehutanan dan advokat yang mempunyai peranan yang sangat
penting bagi keberhasilan penegakan hukum dibidang kehutanan,. Penegakan
hukum yang memungkinkan ditegakkannya hukum dan keadilan dibidang
kehutanan apabila aparat hukum tersebut profesional dan bermental tunggal serta
mempunyai integritas moral yang tinggi. Kebijakan yang terbatas sebagai
ekonomy risk dan sarana prasarana hubungan sebagai political risk dalam
penanganan/ penanggulangan kayu illegal yang potensial dengan korupsi menjadi
tantangan intergritas moral penanganan supremasi hukum.
j.Pengelolaan hutan masih cenderung sentralistik dan mengabaikan hak hak
masyarakat lokal atau masyarakat adat yang hidup dikawasan hutan sehingga
masyarakat yang hidup di dalam dan disekitar kawasan hutan masih tetap miskin

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1.Tindak pidana di bidang kehutanan

adalah suatu perbuatan yang dilakukan

terhadap hutan tanpa hak atau tanpa ijin dari pejabat yang berwenang tanpa
memenuhi ketentuan hukum yang berlaku sehingga perbuatan tersebut
mengakibatkan rusaknya hutan. Pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana
umum adalah Kepolisian namun dalam beberapa tindak pidana tertentu
misalnya, tindak pidana dibidang kehutanan selain penyidik Polri ada juga
penyidik pegawai negeri sipil ( PPNS ) yang berada di lingkungan departemen
kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP dan pasal 77 ayat
(2) undang-undang no 41 tahun 1999 tentang kehutanan
2 Koordinasi antara Polri selaku penyidik dengan aparatur penegak hukum lainnya
antara lain, Kejaksaan, Pengadilan dan PPNS Kehutanan dalam penanganan
tindak pidana di bidang kehutanan secara umum dapat terlaksana baik dalam
kegiatan preventif maupun kegiatan represif, sehingga jumlah kasus-kasus /
tindak pidana di bidang kehutanan semakin berkurang / menurun, terutama
setelah dilakukannya operasi wanalaga dan operasi hutan lestari di wilayah
hukum Sumatera Utara.
3. Kendala/ hambatan yang dihadapi oleh Polri selaku penyidik dalam penanganan
tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

meliputi Kendala Yuridis yaitu adanya beberapa peraturan Menteri Kehutanan


antara lain Peraturan Menteri Kehutanan No. 51 dan No. 55 Tahun 2006
tentang Tata Usaha Hutan yang Melindungi kayu illegal dan pelaku kayu
ilegal dimana penyelesaiannya cenderung melalui administrasi bukan melalui
penyelesaian pidana/ pengadilan dan tidak adanya ancaman hukuman minimal
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang mengakibatkan adanya
peluang KKN antara pelaku dengan aparat penegak hukum terutama
Pengadilan/Hakim serta Kendala teknis yaitu, Proses penyidikan tindak pidana
di bidang kehutanan sangat tergantung dari kesediaan para pejabat dinas
kehutanan sebagai ahli, dukungan anggaran dalam penanganan kasus kayu
ilegal belum memadai terutama untuk honor saksi ahli, pengamanan barang
bukti, penitipan barang bukti, perawatan barang bukti dan pengangkutan
barang bukti serta masih kurangnya kualitas dan kuantitas penyidik terutama
yang bertugas di Polres dan Polsek.
B. Saran
Penanganan kayu ilegal memerlukan perhatian yang seius dari semua elemen
masyarakat terutama aparat penegak hukum oleh karena itu dapat diberikan
beberapa saran yaitu :
1.

Untuk mencegah dan menanggulangi praktik kayu ilegal yang terjadi ada
baiknya pemerintah meningkatkan keadaan ekonomi masyarakat terutama
masyarakat yang berada di sekitar hutan sehingga tidak terdorong / terjebak
untuk melakukan praktik kayu ilegal baik untuk kepentingan diri sendiri

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

maupun atas perintah atau suruhan dari masyarakat luar terutama dari
cukong / pemilik modal. Selain itu kegiatan penyuluhan hukum
ditingkatkan, untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat
akan arti dan fungsi hutan lestari.
2.

Meningkatkan penegakan hukum dengan tetap mengedepankan upaya


preventif yaitu dengan meningkatkan kegiatan penyuluhan hukum dan
patroli secara rutin, apabila upaya preventif tidak dilaksanakan secara
optimal ternyata praktik kayu ilegal masih terjadi agar dilakukan upaya
represif dengan koordinasi yang baik dan optimal antara Polri dengan aparat
penegak hukum lainya dalam sistem peradilan pidana ( Criminal Justice
System ) termasuk PPNS yang diberi kewenangan oleh undang-undang
sehingga tidak ada tumpang tindih proses penyidikan terhadap satu kasus
dan tidak terjadi arogansi antar penyidik.

3.

Melakukan pembaharuan atau politik hukum terhadap undang-undang


Kehutanan no 41/1999 atas ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana di
bidang kehutanan yaitu dengan memberikan ancaman hukuman minimal dan
maksimal

untuk mempersempit kemungkinan / kesempatan bagi aparat

penegak hukum khususnya hakim dalam melakukan praktik KKN dengan


para pelaku kayu ilegal.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
2006.
Bisri Mustofa, metode menulis Skripsi & Tesis, Jogjakarta: Optimus 2008.
Colfer,

C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Kemana Harus Melangkah?


Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Edisi I,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Daryanto, Kamus Bahasa Umum Indonesia Lengkap, Surabaya: Apollo, 1997.


Syahrani, R, Beberapa hal Tentang Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni ,
1983.
Hartono, C.G.F. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke20, Bandung: Alumni, 1994.
Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
2007.
K., Satochid, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa.
Syaifullah, Refleksi Sosiologi Hukum,Bandung: Refika Aditama,2007
Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005.
Lubis,Mochtar, Menuju Kelestarian Hutan,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta:1998

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,


1997.
MD, Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta: Gramedia,
1999.
Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa,
Jakarta: Erlangga, 1995.
Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: 2005.
Muladi dan Arif, B. N., Teori-Teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni 1998.
Nurdjana, IGM., dkk., Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung: 2004.
Riyanto, Budi, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam, Bogor: LPH
Kehutanan dan Lingkungan, 2004.
Salim, H.S., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: 2006.
----------------, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cetakan
keempat, Jakarta: Grafindo Persada, 2002.
----------------, dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: 1990.
Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: 2003.
Suarga, Riza, Pemberantasan Illegal Logging, cetakan 1, Tangerang: Wana
Aksara, 2005.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Sumardi, dkk, Dasar-Dasar Perlindungan Hutan, Yogyakarta: UGM Press, 2004.


Syahrin, Alvi, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan: PT.
Sofmedia, 2009.
--------------, Beberapa Masalah Hukum, Medan: PT. Sofmedia, 2009.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang
Kehutanan dan Illegal Logging, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia,
2008.
Tunggal,

Hadi Setia, Undang-undang Kehutanan


Pelaksanaannya, Jakarta: Harvarindo, 2008.

Beserta

Peraturan

Zein, Alam Setia. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta,
2000.
Kelana Momo, Memahami Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002
Jakarta : PTIK Press 2002,
Lubis,Solly.M, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung:Mandar Maju,
Jakarta:PTIK Press,2002.
Hadi Utomo,HW,Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka,2005

2.

Artikel/ Majalah/ Koran/ Buletin/ Karya Ilmiah/ Wawancara

Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat. Tipiter DitResKrim Polda Sumut, Hasil


wawancara di DitResKrim Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.
Arifin Arif, Hutan dan Kehutanan,Penerbit Konisius Jogjakarta,2001 hlm 94

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Alam Setia Zein, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,Jakarta ,Penerbit Rineka


Cipta,2000
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Penebangan Kayu dan Illegal
Logging, Makalah, Seminar Sehari, Pengurus GMKI, 2005
Herdiman, V., Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan
Hidup OZON, Vol.4, No. 3, Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi
Semesta, Desember 2003.
I., Welly, Peranan Polisi Kehutanan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum
Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
di Taman Nasional Kerinci Seblat Kab. Kerinci, Skripsi, jambi:
2005.
Marolop Gultom, Kasi. Perlindungan Hutan di Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Utara, Hasil Wawancara di Kantor Dinas Kehutanan
Provnsi Sumatera Utara, tanggal 6 Mei 2009.
Mabes POLRI, Anatomi Illegal Logging, Majalah lingkungan Hidup OZON,
Vol. 4, No. 3, terbit Desember 2003, Jakarta: Yayasan Cahaya
Reformasi Semesta, 2003. .
Nasution , Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi, Medan, 17 April 2004
Fathoni,T, RI Jepang Sepakat Atasi Kayu Illegal, 2 Juli 2003
3.

Peraturan Perundang-undangan

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI tentang Kehutanan dan Illegal


Logging, Jakarta: Nuansa Aulia, 2008.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politea, 1998.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,


Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3888.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor
2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup,Lembaran Negara Nomor 68 tahun 1997,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Lembaran Negara 49
Tahun 1990 ,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419.
Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2005 tanggal 18 Maret 2005 tentang
Pemberantasan Kayu Secara Ilegal Dikawasan Hutan dan Peredaran
nya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
4.

Internet

Asia Report No39, Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan
Rekomendasi, Dikutip dari www.crisisweb.org/home/ , Diakses
tanggal 20 Mei 2009.
Ginting, L., Korupsi adalah Inti dari Illegal Logging, Dikutip dari
www.gatra.com/artikel, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
Haba,

J.,

Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya, Dikutip dari


www.kompas.com/kompascetak/opini.htm, Diakses tanggal 20 Mei
2009.

http://www.tempointeraktif.com/Tempointeraktif_com-Satu
Mengawasi 12 Ribu Hektar Hutan.htm

Polisi

Hutan

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Menteri

Kehutanan RI, Enforcement Economic Program Conservation


International-Indonesia
EEPCI,
Dikutip
dari
www.mofrinet.cbn.net.id/informasiumum, Diakses tanggal 20 Mei
2009.

Tanjung, AR., Illegal Logging dan Polisi, Dikutip dari http://artanjung.


blogspot.com/2008/06/illegal-logging-dan-polisi-studi.html,
Diakses tanggal 22 Februari 2009.
Tim BEINEWS, Jalan Berliku Membasmi Kayu Ilegal, Dikutip dari
www.bexi.co.id/artikel/komoditasjalan.htm, Diakses tanggal 20 Mei
2009.
Yuntho, Emerson, Kapan Pengadilan Serius Adili Illegal Logging, Dikutip dari
http://opinibebas.epajak.org/search/polri/, Diakses tanggal 22
Februari 2009.

G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009

Anda mungkin juga menyukai