TESIS
Oleh
G. P. HUTAJULU
077005098/HK
PA
K O L A
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
TESIS
Oleh
G. P. HUTAJULU
077005098/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Judul Tesis
: KEWENANGAN POLRI
DALAM PENANGANAN
BIDANG KEHUTANAN
Nama
Mahasiswa
: G. P. Hutajulu
Nomor Pokok
: 077005098
Program Studi
: Ilmu Hukum
SEBAGAI PENYIDIK
TINDAK PIDANA DI
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Direktur
Ketua
Anggota
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
ABSTRAK
Sumatera Utara antara lain; Personil yang kurang memadai baik dari segi
kuantitas maupun kualitas sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS);
Sarana dan prasarana yang sangat kurang seperti, mobil patroli,alat angkut
barang bukti;kurangnya dukungan anggaran terutama untuk biaya
pengangkutan dan perawatan barang bukti termasuk biaya penyidikan perkara.
Kata Kunci :
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
ABSTRACT
Menaced crime sanction to perperator criminal act of forestry in Code
of Republic Indonesia Number 19 year 2004 about Stipulating of Regulation of
Government of Subsitution of Code Number I year 2004 about change of code
number 41 year 1999 about forestry become code, have effective enough. In
general role of police in case of forestry I s back up to (1) expenditure of
rights permit management of forest(HPH) or other hewing document,(2)
distribution and transportation result of plundering wood,(3) backing to
sawmill and also,(4) ownership of chainsaw .Pursuant to breackdown of from
above mentioned background,can be formulated by the following
problems;how is the polices authority as investigator in handling of doing an
injustice of forestry,how is the coordination between police with government
officer enforcer of other law in handling of doing an injustice of forestry,what
is the resistance of constraint faced by police in haandling of doing an in
justice of forestry. Methods used in this research is the judicial normative.
Normative research method is also called as a doctrinal research Doctrinal
research is a study that analysis whether a law written in the books (law as it
is written in the book) and the law decided by judgesvthrough the court
process ( law it is enough by judge through the judicial process),research
based on normative law and secondary data on the steps speculative theoryand qualitative analysis of normative.
Coordination between Poldasu with government officer enforcer of
other law like public attorney and justice in handling of case of forestry in
North Sumatera Region,that is with public attorney; delivery of notice in
starting investigation executed pursuant to code; prosecution pre that is return
law suit from public procecutor (JPU) to investigator to be equiped in grace
period 14 day;delivery law suit (phase I) and delivery of phase II in the form of
and evidence goods of investigator to JPU;lengthen detention during 40 day by
investigator to JPU; Title Case in case of forestry between Poldasu with
Prosecution, especialy in case getting attention of society. With justice;
Lengthening of detention of continuation by investigator to Chief Distric
Court; Approval of permit confiscate evidence by investigator to Chief Distric
Court; Application of rummage permite by investigator of Chief Distric Court;
Application of permit auction evidence goods by investigator to Chief Distric
Court; Security of case conference (areal intake of evidence goods). Constraint
faced by on duty forestry of provinsi North Sumatera in handling of case of
forestry in territory of jurisdiction
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
of provinsi North Sumatera, for example: less adequate personnel either from
amount facet and also quality as investigator of public servant of civil (PPNS);
Very Facilities and basic facilities less like, prowl car, appliance transport,
evidence goods; Lack of budget supportespecially for the transportation fee of
and treatment of evidence goods of is including the expense of handling of
case.
Key words:
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
KATA PENGANTAR
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Syafruddin
S.
Hasibuan.,
S.H.,
M.H.,
sebagai
Komisi
Medan,
Juli 2009
Penulis
G.P. HUTAJULU
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
Tempat/Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Laki-laki
Agama
Kristen Protestan
Pekerjaan
Pendidikan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR LAMPIRAN .. xii
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
BAB IV
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
BAB V
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
DAFTAR TABEL
No
1
Judul
Halaman
89
91
92
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
143
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengrusakan hutan alam Indonesia yang merupakan salah satu paru-paru
dunia telah mencapai proporsi yang sangat besar. Menurut data dari Departemen
Kehutanan tahun 2003, disebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak
mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi dalam
tahun 2003, 2004, 2005, mencapai 2,1 juta per tahun. Bahkan ada laporan yang
mengatakan bahwa setiap tahunnya Indonesia, kehilangan hutannya antara 1,6
sampai 2,4 juta hektar, angka ini berarti sama dengan luas enam kali lapangan
sepak bola setiap menitnya. 1
Bahkan data terbaru menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia
telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah mengalami kerugian
sebesar Rp 83 miliar per hari akibat praktek kayu ilegal yang terjadi. Bahkan
yang lebih buruk lagi praktek kayu ilegal
kerugian negara tetapi juga memberikan dampak negatif bagi generasi sekarang
(kerugian langsung) seperti terjadinya banjir, kekeringan, perubahan iklim, bahaya
penyakit, dan tanah longsor. 2
IGM. Nurdjana, dkk., Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 5.
2
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, (Jakarta:
Erlangga, 1995), hal. 1.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kayu ilegal
kehidupan generasi yang akan datang seperti hilangnya plasma nutfah (flora dan
fauna), perubahan struktur alam (erosi), berkurangnya keanekaragaman hayati,
dan habisnya sumber daya alam. Menurut Emil Salim diperhitungkan bahwa
dalam enam dasawarsa tahun mendatang hutan di Indonesia akan habis
seluruhnya. Hal ini benar-benar telah sangat mengkhawatirkan, apabila hanya
memperhatikan hutan dari segi ekonomisnya saja tanpa memperhatikan ekosistem
hutan sebagai bagian keseimbangan lingkungan yang amat penting untuk segera
dipulihkan dan dilestarikan. 3
Melihat kondisi hutan Indonesia yang semakin parah akibat ulah oknum
yang tidak bertanggung jawab, padahal hutan Indonesia adalah merupakan salah
satu paru-paru dunia, membuat pemerintah mulai mengambil kebijakan dengan
memperbaharui undang-undang yang berhubungan dengan kehutanan baik dari
segi sanksi pidananya maupun dari segi proses pemanfaatan hutan dan hasil hutan.
Pemerintah mengambil kebijakan ini dengan harapan dapat menyelamatkan hutan
dari oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga tercapai sumber daya hutan
yang lestari dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme pengelolaan
hutan yang partisipatif, terpadu, transparan dan bertanggung jawab. Kebijakan
yang diambil pemerintah ini antara lain adalah dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
mencabut UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan,
3
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang
mencabut
PP
No.
28
Tahun
1985
tentang
Perlindungan
Hutan
serta
Ibid.
Emerson Yuntho, Kapan Pengadilan Serius Adili Illegal Logging, Dikutip dari
http://opinibebas.epajak.org/search/polri/, Diakses tanggal 22 Februari 2009.
5
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kayu yang akan diselundupkan ke Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, itu
Rp 208 miliar.
Selain besarnya tangkapan, sejumlah pihak diduga terlibat dalam kasus
tersebut. Misalnya, aparat kepolisian, bupati, jaksa, hakim, pejabat Dinas
Kehutanan, politikus lokal, serta cukong di Ketapang dan Kuching. Kondisi itu
segera direspons Mabes Polri dengan memindahkan sejumlah tersangka kayu
ilegal dari Kalimantan Barat ke Jakarta untuk ditangani langsung. 6
Meskipun sudah sering dilontarkan pernyataan mengenai perang melawan
kayu ilegal dan sejumlah operasi dilakukan, hasil akhirnya cenderung
mengecewakan. Hal itu akibat penegakan hukum dalam kasus kayu ilegal hingga
kini tidak menyentuh seluruh aktor utama pembalakan liar, yaitu cukong dan
pemilik modal.
Harus diakui, perang melawan praktik kayu ilegal sama susahnya dengan
memerangi para koruptor. Hingga kini, pemerintah sudah melakukan lima
kebijakan operasi pemberantasan kayu ilegal. Misalnya, Wana Jaya, Wana Laga,
Wana Bahari, serta Operasi Hutan Lestari I,II, dan III. Namun, kenyataannya,
operasi yang dilakukan juga tidak dapat menjerat pelaku sesungguhnya. Beberapa
kalangan menyebut kayu ilegal sebagai kejahatan tak tersentuh hukum. 7
Sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku kayu ilegal
dalam
6
7
Ibid.
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kayu ilegal
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
yang diberikan terhadap oknum yang diduga terlibat masih sebatas sanksi
administratif berupa pembebasan tugas, atau teguran, atau penundaaan kenaikan
pangkat. 10
Di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara, Taman Nasional Batang
Gadis (disingkat TNBG) adalah sebuah taman nasional, yang terletak di 99 12
45" BT sampai dengan 99 47 10" dan 0 27 15" sampai dengan 1 01 57" LU
dan secara administrasi wilayah ini dikelilingi 68 desa di 13 kecamatan di
Kabupaten Mandailing Natal. Nama taman nasional ini berasal dari nama sungai
utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Madina. TNBG meliputi kawasan
seluas 108.000 hektar atau 26% dari total luas Madina yang terletak pada
ketinggian 300 s/d 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertinggi
puncak Gunung Sorik Merapi. 11
Melalui SK No 126/Menhut-II/2004 Menteri Kehutanan, TNBG disahkan
sebagai Taman Nasional. TNBG terdiri dari dari kawasan hutan lindung, hutan
produksi terbatas, dan hutan produksi tetap. Hutan lindung yang dialih fungsikan
seluas 101.500 ha, terdiri dari hutan lindung Register 4 Batang Gadis I, hutan
Register 5 Batang Gadis II komp I dan II, Register 27 Batang Natal I, Register 28
Batang Natal II, Register 29 Bantahan Hulu dan Register 30 Batang Parlampuan I
yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak masa pemerintahan Belanda
dalam kurun waktu 19211924. Sementara kawasan hutan produksi yang
10
Ibid.
AR. Tanjung, Illegal Logging dan Polisi, Dikutip dari http://artanjung.
blogspot.com/2008/06/illegal-logging-dan-polisi-studi.html, Diakses tanggal 22 Februrari 2009.
11
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
dialihkan meliputi areal eks HPH PT. Gruti, seluas 5.500 ha, dan PT. Aek Gadis
Timber seluas 1.000 ha.
Tujuan pembentukan taman nasional adalah untuk menyelamatkan satwa
dan habitat alam. TNBG juga sebagai simbol pengakuan nilai-nilai kearifan lokal
dalam mengelola hutan. Salah satu kearifan tradisional masyarakat setempat ini
dibuktikan dengan lubuk larangan atau naborgo-borgo atau harangan - harangan
atau hutan larangan, merupakan beberapa contoh kearifan lokal yang hingga kini
masih lestari. Pembentukan ini juga sangat penting mengingat bahwa laju
kerusakan hutan alam di propinsi ini sudah pada tingkat yang sangat
memprihatinkan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan pada tahun 2003,
kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 3,8 juta ha per tahun. Kerusakan hutan
di Sumatera Utara sendiri mencapai 76 ribu ha per tahun dalam kurun waktu
1985-1998. Sampai akhir November 2004 kerusakan hutan yang disebabkan
penebangan liar dan kebakaran hutan di Sumut mencapai 694.295 ha, untuk hutan
lindung mencapai 207.575 ha, hutan konservasi 32.500 ha, hutan bakau 54 220 ha
dan hutan produksi sekitar 400.000 ha. 12
Pembentukan taman nasional ini juga tidak semata-mata upaya pemerintah
saja, melainkan atas jerih payah masyarakat dan kalangan lembaga swadaya
masyarakat seperti, BITRA Indonesia, Conservation International Indonesia
(CII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, PUSAKA
Indonesia, Yayasan Leuser Lestari (YLL), Yayasan Samudra dan lain-lain.
12
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kayu ilegal
berusaha mengambil hati masyarakat dengan cara memperbaiki jalan desa menuju
lokasi hutan. Misalnya ada proyek jalan desa dari Hutabargot menuju Siulangaling
(kecamatan Muara Batang Gadis), tetapi hanya sekitar 12 km. Pola distribusi
kayu: kayu-kayu yang ditebang dikumpulkan di dekat desa (storing), lalu
pengusaha melakukan lobi ke kepala desa untuk memuluskan pengangkutan, ke
semua Kades-kades di kawasan Hutabargot; pengusaha memberikan retribusi Rp.
50.000/m3 selama tahun 2003-2004. Hasil distribusi dibagikan ke pada lima desa
secara merata. Pengusahu kayu melibatkan pemuda setempat untuk menjaga kayu
(jaga malam). Khusus Hutabargot Nauli, mereka mengumpul dana melalui
bendahara desa dan digunakan untuk pembangunan sarana ibadah. 13
Aktivitas kayu ilegal di Huta Bargot Nauli (disingkat HBN) marak pada
tahun 2003-2004. Waktu itu balok-balok kayu yang diangkut dari daerah HBN
mencapai 3-5 truk/ hari, dijual ke Panyabungan. Ada puluhan chainsaw yang
beroperasi di hutan wilayah HBN, dan ada juga warga HBN yang jadi salah satu
13
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
toke-nya, selain yang datang dari luar desa. Pembalakan kayu ketika itu mengikuti
jalur pembukaan jalan tembus arah Siulang-aling. Aktivitas pembalakan kayu
berhenti sejak SBY dilantik menjadi Presiden, namun secara kecil-kecilan masih
tetap berlangsung. Sebelum Agustus 2004, daerah ini merupakan tempat
beroperasinya penebangan liar dan perburuan binatang.
Praktik-praktik
kayu ilegal
Sikaba Laut, Simpang Mondan, dan Tor Siduadua. Mayoritas pelaku kayu ilegal
adalah warga luar desa yang sengaja datang menebang kayu. Pelaku utamanya
adalah pemilik chainsaw yang ada di Panyabungan yang sekaligus menjadi toke
kayu. Penduduki desa HBN pada umumnya hanya menjadi buruh angkut di tengah
hutan. Mereka biasanya pergi ke hutan untuk beberapa waktu (sekitar seminggu)
dengan membawa makanan, dan mereka membuat pondok-pondok sebagai tempat
tinggal sementara di tengah hutan.
Secara umum peranan POLRI dalam kasus sepuluh desa di atas adalah
pem-backup-an terhadap (1) pengeluaran izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau
dokumen penebangan lainnya, (2) Distribusi dan Transportasi hasil kayu jarahan,
(3) Backing terhadap sawmill serta (4) kepemilikan chainsaw. 14
Pertama, pengeluaran izin HPH. Untuk melakukan penebangan kayu secara
legal diperlukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh
Departemen Kehutanan. Izin seperti ini diperlukan para pengusaha untuk
melakukan praktek
14
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
pengusaha
yang
mempunyai
HPH
untuk
mem-backup
segala
aktifitas
pengambilan kayu di hutan. Jika memiliki HPH dan juga berusaha mendapatkan
dukungan pengamanan dari Polisi maka seorang pengusaha kayu dapat dengan
leluasa melakukan penebangan secara liar.
Kedua, distribusi dan transportasi hasil kayu jarahan. Seperti terjadi di
Desa Sibanggor Jae, Polisi turut serta dalam proses pengawasan pengangkutan
kayu dari sumber kayu sampai ke sawmill.
Ketiga, backing terhadap sawmill. Pada masa maraknya praktek
kayu
ilegal ini sampai tahun 2005 angka peningkatan jumlah sawmill di Mandailing
Natal terus bertambah. Dalam satu desa bisa terdapat jumlah sawmill 3 sampai 4
sawmill. Sawmill ini mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan sehingga
dengan leluasa sawmill ini didirikan di pinggir jalan raya.
Keempat, kepemilikan chaisaw. Dalam beberapa desa di wilayah
Kecamatan Batang Natal, jumlah chainsaw bisa mencapai angka 25 buah
chainsaw dalam satu desa. Kepemilikan chainsaw ini bisa dimiliki sendiri oleh
warga atau milik polisi yang disewakan kepada warga dengan sistem bagi hasil.
Selain memiliki chainsaw di desa, oknum polisi juga meminta insentif dari
pemilik chainsaw lainnya, untuk bisa mengoperasikan chainsaw nya di desa. 15
Dalam proses penyidikan tindak pidana lingkungan, selain Penyidik Polri,
PPNS Lingkungan juga mempunyai kewenangan dalam penyidikan berdasarkan
UUPLH. Meskipun PPNS mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan,
15
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
16
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: PT. Sofmedia,
2009), hal. 19.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
di bidang
kehutanan.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi Polri
dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk
tercapainya penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.
2. Secara Praktis
Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih
lanjut mengenai kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan
tindak pidana di bidang kehutanan. Sehingga dengan adanya penulisan ini
pemerintah dapat mengatur upaya penanganan di bidang kehutanan.
E. Keaslian Penulisan
Didasarkan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian
tentang Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
17
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 26.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
ada
pada
negara
dan
negara
mengatur
kehidupan
anggota
menjalankan
pemerintahan
kepada
lembaga-lembaga
negara
tersebut
pemerintahan
maka
negara
Presiden
berupa
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
20
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
21
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal.
69., Lihat Buku Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia
Kalam, 2005), hal. 7.
22
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Medan: PT. Sofmedia, 2009), hal.11.
23
Daryanto, S.S., Kamus Bahasa Umum Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), hal.
633.
24
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Pasal 1 angka 5.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
25
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1.
27
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 3.
28
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168, Pasal 1 angka 11.
29
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 4.
26
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
30
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Pasal 6 angka 1,
jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5
angka 1.
31
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 1 angka 1.
32
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 1 angka 2.
33
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 1 angka 3.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
37
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: 2006,hal. 118.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta,: 2003, hal. 3.
39
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, 2007, hal. 57.
38
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
40
C.G.F. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
(Bandung: Alumni, 1994), hal. 89.
41
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), hal. 33.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
otoritasnya
di
bawah
undang-undang
adalah
Peraturan
42
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
43
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
BAB II
KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN
A. Eksistensi kayu Ilegal
1. Praktik kayu Ilegal
Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia
setelah Brazil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120, 35
juta ha, atu 63 persen luas daratan. 47 Hutan dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi
Indonesia, dengan sumbangan yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor,
lapangan kerja serta sumber pendapatan masyarakat lokal. Sekitar 300.000 orang
bekerja pada industri pengelolaan kayu dan paling tidak 14 juta orang
menggantungkan hidupnya secara langsung pada hutan. Hasil hutan mencakup
lebih dari 11 persen dari pendapatan ekspor selama 1994-1999. Walaupun begitu
besar sumbangan hutan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi, akan tetapi
manfaat ini dihasilkan tanpa mempertimbangankan kelestarian hutan. 48 Laju
perusakan hutan Indonesia juga sangat besar mencapai 1,6 juta hingga 2,1 juta ha
per tahun dan salah satu penyebab kerusakan hutan ini adalah kayu ilegal. 49
Kayu Ilegal hingga saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sulit
untuk diberantas dan masih terjadi hampir di seluruh dunia. Yang paling parah
47
Herdiman, V., Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup
OZON, Vol.4, No. 3, (Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003), hal. 22.
48
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan
dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Edisi I,( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).
49
Herdiman, V., Loc. Cit.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
50
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kontradiksi kebijakan antara pusat dan daerah yang semakin mengaburkan konsep
legalitas konsesi pengusahaan dan pemanfaatan hutan.
Namun demikian, jika dilihat dari pengertian tentang kayu llegal yang
bertitik tolak dari prilaku yang dapat merusak hutan maka praktik kayu ilegal ini
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:
52
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
a. Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai izin yang
kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual
kepada penadah hasil hutan, dan
b Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai izin namun
dalam melakukan kegiatan usahanya itu cenderung merusak hutan yaitu
melakukan penebangan di luar konsesinya (over cutting), melanggar
persyaratan seperti yang ditetapkan dalam konsesinya, kolusi dengan pejabat
atau aparat, pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan.
Pandangan tentang faktor penyebab terjadinya
kayu ilegal
ini pun
53
Dikutip
dari
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Menurut Dudley bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan suburnya kayu
ilegal pada tingkat lokal dan yang memungkinkan kayu ilegal meluas dengan
cepat, yaitu: 54
1) Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi
penduduk di desa-desa dekat hutan;
2) Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal yang berkaitan dengan
industri penebangan kayu; dan
3) Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya serta kolusi
dengan para politisi dan pemimpin setempat.
Ketiga faktor di atas saling mempengaruhi, saling mendukung dan saling
melengkapi. Hasil penelitian Dudley, yang relevan dengan praktik kayu ilegal di
Papua, dari ketiga faktor tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 55
Pertama, Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan
situasi penduduk di desa-desa dekat hutan dipengaruhi oleh unsur-unsur: (1).
Kebutuhan lapangan kerja dan pendapatan; (2). Pengaruh tenaga kerja lain yang
sudah bekerja secara ilegal; (3). Ketidakpuasan lokal atas kebijakan kehutanan
pusat; (4). Dukungan terhadap pengelolaan hutan lestari.
Pada tingkat masyarakat, yang paling penting adalah tersedianya lapangan
pekerjaan dan pendapatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Kesedian
54
55
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kuat oleh
kenyataan bahwa anggota masyarakat yang lain bekerja demikian. Faktor lain
yang sangat berpengaruh seperti di Papua adalah ketidakpuasan masyarakat
terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Ketidakpuasan dan kebencian masyarakat di Papua merupakan dampak dari
kebijakan pemerintah pusat di masa lalu yang mengeksploitasi hutan di Papua dan
kemudian hasilnya dibawa ke pusat sementara hanya sedikit sekali dikembalikan
ke Papua, sehingga pembangunan di Papua jauh tertinggal dari provinsi-provinsi
lain di Indonesia. Pemerintah pusat dalam era pengelolaan hutan yang sentralistik
seringkali memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar dengan
mengabaikan hak-hak adat masyarakat Papua pribumi, sementara militer dan
polisi yang menjaga konsesi-konsesi tersebut tentu mempunyai kecenderungan
untuk membela perusahaan pengelola kayu karena dibayar untuk menjaganya.
Konflik antara perusahaan kayu pemegang konsesi dari pusat dengan masyarakat
adat setempat tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan, sehingga keterlibatan
aparat militer dan polisi dalam sistem pengelolaan hutan, baik sebagai protektor
bagi perusahan maupun sebagai pemegang saham dan pengelola hutan seringkali
menimbulkan pelangaran-pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) 56 . Kondisi
demikian pada akhirnya menanamkan rasa kebencian dan ketidakpuasan
56
Asia Report No39, Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan
Rekomendasi, Dikutip dari www.crisisweb.org/home/ , Diakses tanggal 20 Mei 2009, hal. 2.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
dari
perusahaan
kayu,
sehingga
untuk
mempertahankan
laba
itu,
dimungkinkan untuk membeli kayu ilegal yang lebih murah dan resikonya
rendah. 57
Ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply)
diperkirakan, kebutuhan Industri akan kayu mencapai 60 juta meter kubik per
tahun, sementara supply hanya sebesar 22 juta meter kubik per tahun, jadi defisit
57
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kayu sebesar 30-40 juta meter kubik per tahun. 58 Jalan termudah untuk memenuhi
defisit kayu tersebut adalah melalui kayu ilegal . Permintaan akan kayu ini juga
menimbulkan permintaan akan tenaga kerja dan menyediakan lapangan pekerjaan
bagi masyarakat lokal. Dengan demikian faktor ini kemudian mempengaruhi
maupun dipengaruhi oleh faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan
situasi penduduk disekitar hutan.
Ketiga, Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya
pada, serta kolusi dengan, para politisi dan pemimpin setempat dipengaruhi oleh
unsur-unsur seperti :
a) Keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha kayu;
b) Besarnya pengaruh pengusaha kayu terhadap pejabat lokal;
c) Besarnya partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan kayu ilegal; dan
d) Banyaknya kerjasama ilegal yang dilakukan oleh pengusaha dengan
penguasa atau pejabat lokal.
Faktor ketiga ini dapat terjadi oleh karena pejabat lokal mempunyai
kekuasaan untuk memberikan kontrak akses pada lahan hutan dan memastikan
bahwa berbagai peraturan perundang-undangan ditegakkan atau diabaikan.
Kemudian para pengusaha memiliki modal atau dana yang diperoleh dari
keuntungan bisnis kayu. Peristiwa hukum yang terjadi di sini adalah praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
58
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
59
menjadi jelas, maka kegiatan kayu ilegal juga semakin di terima oleh masyarakat,
bahkan masyarakat menjadi tergantung pada kegiatan tersebut dan melihat bahwa
kegiatan tersebut akan tetap terjadi meskipun tanpa keterlibatan masyarakat.
Kolusi yang terjadi antara pejabat lokal dengan pengusaha bisa terjadi
karena adanya permintaan yang datangnya dari pengusaha dan penawaran dari
pihak pejabat atau birokrat.
Melihat dari motif yang menjadi orientasi suatu kegiatan bisnis adalah
untuk mendapatkan keuntungan yang ditambah dengan rasio pendapatan yang
diinginkan oleh oknum pejabat di atas pendapatan gaji rata-rata, sehingga
memungkinkan terjadinya suap-menyuap.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa praktik-praktik kolusi dalam
dunia bisnis di bidang kehutanan menjadi sangat rentan apabila kekuatan sistem
hukum tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut. Proses kegiatan kayu
ilegal
di atas akan terus berjalan jika kekuatan sistem hukum tidak dapat
menanggulangi.
59
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
dari
Kegiatan ini melibatkan banyak pelaku yang terorganisir dalam suatu jaringan
yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat dan mapan. Di antara pelaku yang
terlibat adalah buruh penebang kayu, pemilik modal (cukong), penjual, pembeli
60
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
maupun backing dari oknum aparat pemerintah dan TNI/ Polri dan oknum tokoh
masyarakat. Antara elemen yang satu dengan yang lainnya terjalin hubungan yang
sangat kuat dan rapi sehingga mengakibatkan sulitnya pengungkapan secara tuntas
jaringan tersebut.
Lebih lanjut Mappaseng mengatakan bahwa penebangan yang dulu
dilakukan secara tradisional dan konvensional, kini telah bergeser dan
menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern dengan menggunakan
sistem manajemen yang rapi dan baik dan jaringan pemasaran yang luas baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain itu dukungan berbagai sarana dan peralatan
modern membuat mobilitas kegiatannya menjadi semakin cepat dan efektif.
Kedua, karena ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan
(supply). Selain itu pertumbuhan dan permintaan industri kayu luar negeri seperti
Malaysia, Tailand, Korea dan RRC menjadi faktor pendorong yang sangat kuat
dan penyalurannya melalui black market (pasar gelap).
Ketiga, penyalahgunaan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH). Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menghindari
kewajiban
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
61
Mabes POLRI, Anatomi Illegal Logging, Majalah lingkungan Hidup OZON, Vol. 4, No.
3, terbit Desember 2003, (Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, 2003), hal. 27.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
berdimensi luas memiliki jalinan hubungan yang sangat kuat dan rapi. Pemilik
modal dan pengusaha kayu mempunyai kepentingan untuk mendapatkan lahan
konsesi penebangan yang bisa didapatkan dari pejabat lokal atau bantuan oknum
aparat pemerintah dan pemilik modal dan dana untuk mendukung kepentingan
tersebut. Pengusaha dapat mempengaruhi pejabat atau oknum aparat pemerintah
lokal untuk melakukan kerja sama ilegal dalam bentuk kayu ilegal . Dalam rangka
melaksanakan kegiatannya itu pengusaha mengupah tenaga kerja dari penduduk
setempat atau mendatangkan dari luar daerah.
Modus operandi dalam kegiatan kayu ilegal adalah sebagai berikut: 62
Modus operandi di daerah hulu:
a) Melakukan penebangan tanpa izin, biasanya dilakukan oleh masyarakat dan
hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau pengusaha atau kepada
industri pengelolahan kayu.
b) Melakukan penebangan di luar izin telah ditetapkan konsesinya oleh
pemerintah, biasanya dilakukan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) dan pemegang Izin Penebangan Kayu (IPK) yang sah. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat tercapainya target produksi
62
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
atau hasil tebangan untuk memenuhi kontrak dengan pembeli kayu yang
sudah disepakati atau dalam upaya untuk meningkatkan keuntungan
perusahaannya. Modus ini juga seringkali menggunakan tenaga kerja
masyarakat lokal atau pekerja dari luar daerah.
Modus operandi di daerah hilir
a) Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).
b) Pengangkutan kayu dilengkapi dengan dokumen palsu;
1.Blangko dan isinya palsu.
2. Blangko asli akan tetapi isinya palsu.
3. SKSHH dari daerah lain
c) Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai data yang ada dalam dokumen
SKSHH.
d) Penggunaan satu dokumen SKSHH yang berulang-ulang
e) Menggunakan dokumen pengganti SKSHH, seperti surat tilang di darat
atau di laut sebagai pengganti SKSHH yang disita atau faktur kayu sebagai
pengganti SKSHH yang disita, atau faktur kayu sebagai pengganti SKSHH
Dalam praktiknya, modus operandi yang dilakukan dalam kegiatan kayu
ilegal ini melibatkan lebih banyak lagi pelaku, baik yang turut serta melakukan,
membantu melakukan atau yang menyuruh melakukan. Pengangkutan tanpa
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang hukum itu (penjelasan
umum paragraf ke-18 UU No. 41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan
hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi
kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam kehutanan menjadi enggan
melakukan perbuatan melawan hukum karena sanksi pidananya berat.
Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan
benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini
dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam
rumusan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999. Jenis
pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan
kejahatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999.
Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan kayu
ilegal menurut UU No. 41 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Pertama, Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan
hutan. (Pasal 50 ayat (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan
sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah)
(Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50 ayat (1): yang dimaksud dengan orang
adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha.
Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
api, menara pengawas dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya
alat pemadam kebakaran, tanda larangan dan alat angkut.
Kedua, Setiap orang yang diberikan izin pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50
ayat (2)). Barangsiapa yang menimbulkan kerusakan ketentuan ini, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000; (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50
ayat (2), yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan
fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat
berperan sesuai dengan fungsinya.
Ketiga, Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam
kawasan hutan dengan radius atau jarak (Pasal 50 ayat (3) huruf c) sampai
dengan:
1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3) 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungai;
4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
6)
130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari
tepi pantai.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000; (lima miliar
rupiah) (Pasal 78 ayat (2)). Penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf c: secara umum
jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi
tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri,
dengan memperhatikan kepentingan.
Perbuatan yang dilakukan dalam Pasal 78 ayat (1), (2) dan (3) tersebut jika
dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 78 ayat (14)). Yang
dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam pasal tersebut antara lain
Perseroan Terbatas (PT), perseroan comanditer (Comanditer Vennotschaap-CV),
firma, koperasi dan sejenisnya (penjelasan Pasal 78 ayat (14)).
Keempat, Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (pasal 78 ayat (4)). .
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat
(8). Penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf j: yang dimaksud dengan alat-alat berat
untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, bulldozer, truck, trailer, crane,
tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep dan kapal.
Kedelapan, Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini,
diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000; (satu miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (9). Penjelasan
Pasal 50 ayat (3) huruf k: tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat
yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya,
sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
Kesembilan, Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alatalat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan
atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15)). Dalam penjelasannya disebutkan benda
yang termasuk alat angkut antara lain kapal, tongkang, truck, trailer, pontoon,
tugboat, perahu layar, helikopter dan lain-lain.
Dari uraian rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh UU
No. 41 Tahun 1999 tersebut di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang
dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana kejahatan kayu
ilegal yaitu sebagai berikut:
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
(1)): yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah
melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya, perburuan
satwa yang berada dalam kawasan dan memasukkan jenis-jenis bukan asli.
Kedua, Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil,
menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan penjara
pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000;
(seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2)).
Ketiga, Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap: keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat
(1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan
penjara kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
100.000.000; (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (3)).
Keempat, Barangsiapa karena kelalaian melakukan perbuatan mengambil,
menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari
suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau luar Indonesia (Pasal
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman
wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah).
(Pasal 40 ayat (4)).
Unsur-unsur pidana yang terkait dengan kegiatan kayu ilegal
dalam
merusak,
memusnahkan,
memelihara,
mengangkut,
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
pidana
diluar
perundang-undangan
mengatur tentang kehutanan sebagaimana telah diuraikan di atas dan yang ada
kaitannya dengan kejahatan kayu ilegal adalah antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus
yang diatur ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe ada dua
kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana secara khusus, yaitu: 63
1) Orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, maksudnya adalah subjek atau
pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk
golongan militer.
2) Perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten), maksudnya adalah perbuatan
pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal
yang hanya untuk delik-delik fiskal.
Kejahatan
kayu ilegal
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
pada hakekatnya
merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari
ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over cutting atau penebangan di
luar areal konsesi yang dimiliki.
b) Pencurian
Pencurian menurut Pasal 363 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
(1)
(2)
Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil
tidak berada dalam penguasaan pelaku.
(3)
Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat
merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara
maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.
(4)
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
dan merupakan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
d) Pemalsuan
Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276 KUHP. Pemalsuan surat
atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat
surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat demikian rupa, sehingga
menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan:
suatu hak, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai
sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap
pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama enam
tahun dan Pasal 264 paling lama delapan tahun.
Ancaman hukuman terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal
263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan
Pasal 266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan ancaman hukuman terhadap
pemalsuan materai dan merek dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun.
e) Penggelapan
Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal
377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu
barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada di
dalam kekuasaan untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam
kejahatan kayu ilegal antara lain seperti over cutting yaitu penebangan di luar
areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada
(over capasity) dan melakukan penebangan sistem tebang habis sedangkan izin
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
yang dimiliki adalah sistem tebang pilih, mencantumkan data jumlah kayu dalam
SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya.
Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900; (sembilan ratus rupiah).
f) Penadahan
Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari
perbuatan persengkongkolan atau sekongkol atau pertolongan jahat. Dalam bahasa
asingnya heling (penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
perbuatan itu dibagi menjadi; perbuatan membeli atau menyewa barang yang
diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar
atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan.
Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama empat tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 900; (sembilan ratus rupiah).
Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu ilegal baik
di dalam maupun di luar negeri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil kayu ilegal
yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual maupun pembeli. Modus ini
pun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
b. UU Pemberantasan Korupsi
Mengacu pada uraian tentang perkembangan kejahatan kayu ilegal dan
melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh praktik-praktik kayu ilegal yang
bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi akan tetapi juga terkait dengan aspek
ekologi, sosial dan budaya, maka sangat jelas bahwa
kayu ilegal
bukanlah
merupakan suatu kejahatan yang biasa akan tetapi dapat digolongkan sebagai
extra ordinary crime yang penanganannya pun tidak dapat dilakukan dengan caracara yang biasa. Demikian juga penegakan hukum terhadap kejahatan kayu ilegal
ini, tidak hanya diarahkan kepada penegakan keadilan hukum, tetapi juga harus
diarahkan pada penegakan keadilan sosial dan ekonomi secara simultan. Artinya
bahwa tidak hanya memberikan hukuman kepada pelaku dengan sanksi yang
berat, melainkan juga agar kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
pelaku dapat kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Dalam kejahatan
kayu ilegal
tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru menjadi faktor utama
penyebab semakin meningkatnya kegiatan ilegal tersebut. Unsur merugikan
keuangan dan perekonomian negara yang menjadi unsur dalam tindak pidana
korupsi relevan dengan dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan kayu ilegal
yang juga merugikan keuangan atau perekonomian negara baik secara langsung
maupun tidak langsung. Demikian juga unsur-unsur kolusi seperti suap menyuap
juga menjadi fenomena dalam praktik kayu ilegal .
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kayu ilegal
mempunyai dampak yang multi dimensional yang salah satunya sangat merugikan
keuangan atau perekonomian negara. Hal ini juga merupakan salah satu unsur
dalam tindak pidana Korupsi.. Dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan pengertian korupsi yaitu
perbuatan yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Beberapa kalangan menilai bahwa ada keterkaitan antara korupsi dengan
kejahatan
64
dari
Illegal
Logging,
Dikutip
dari
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
negara atau masyarakat. Ketentuan dalam UU No. Tahun 2001 yang dapat
dikaitkan dengan kejahatan kayu ilegal antara lain:
1) Memberikan
atau
menjanjikan
sesuatu
kepada
pegawai
negeri
atau
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
(lima belas) tahun, dan denda Rp. 150.000.000; (seratus lima puluh juta
rupiah) hingga Rp. 750.000.000; (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
3) Pegawai negeri yang dalam tugas jabatannya menggelapkan uang atau surat
berharga, atau membiarkan diambil atau digelapkan orang lain. (Pasal 8).
Ancaman pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dan denda Rp. 150.000.000;
(seratus lima puluh juta rupiah) hingga Rp. 750.000.000; (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
4) Pegawai negeri atau orang yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan,
memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk memeriksa administrasi
(Pasal 9). Ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun, dan denda Rp. 50.000.000;
(lima puluh juta rupiah) hingga 250.000.000; (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
5) Pegawai negeri yang menerima janji atau hadiah karena kekuasaan atau
wewenang yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 11). Ancaman pidana
penjara 5 (lima) tahun, dan denda Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah)
hingga Rp. 250.000.000; (dua ratus lima puluh juta rupiah).
6) Pasal 12 ayat (1): ancaman pidana terhadap korupsi yang nilainya diatas
Rp. 5.000.000; adalah penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda Rp. 200.000.000; (dua
ratus juta rupiah) hingga Rp. 1.000.000.000; (satu miliar rupiah). Korupsi di
bawah Rp. 5.000.000; (lima juta rupiah) pidana penjara paling lama 3 (tiga)
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah),
terhadap:
a) Pegawai yang menerima hadiah atau janji agar melakukan atau tidak
melakukan yang bertentangan dengan kewajibannya. (huruf a);
b) Pegawai negeri yang menerima hadiah dari sesuatu yang telah dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya (huruf b);
c) Hakim yang menerima hadiah untuk mempengaruhi putusannya (huruf c);
d) Advokat yang menerima hadiah untuk mempengaruhi pendapatnya (huruf
d);
e) Pegawai negeri yang memaksa orang lain untuk memberikan atau
mengerjakan sesuatu (huruf e);
f) Pegawai negeri yang meminta, menerima atau memotong pembayaran
pegawai negeri lain yang seolah mempunyai utang (huruf f);
g) Pegawai negeri yang meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan
barang yang seolah-olah merupakan utang pada dirinya (huruf g);
h) Pegawai negeri yang mengagunkan tanah negara yang dibebani hak dan
merugikan orang yang berhak (huruf h);
i) Pegawai negeri yang secara langsung atau tidak turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atau persewaan yang menjadi tugasnya untuk
mengurus dan mengawasi (huruf i).
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
pada
tindak
pidana
korupsinya
dan
bukan
perbuatan
yang
yang
dilakukan bersama-sama dengan pelaku lain yang bukan pegawai negeri akan
menimbulkan rasa ketidakadilan, terutama bagi pelaku yang bukan pegawai negeri
karena perbedaan kapasitas sanksi yang diterima masing-masing pelaku. Hal lain
yang juga menjadi masalah yaitu semakin meluasnya proses pengusutan dalam
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kayu ilegal
wewenang
Kepolisian
dapat
dikenali
berdasarkan
65
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
lain
Fungsi
Pengaturan.Kewenangan
ini
sejalan
dengan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
hukum
dari
seseorang
secara
pribadi
sehingga
untuk
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kewenangan.Kewenangan
umum
untuk
memberikan
bantuan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Undang-Undang
nomor
tahun
1998
tentang
kemerdekaan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Rumusan
kewenangan
ini
merupakan
penegasan
kewenangan
Polri
perkembangan
usaha
di
bidang
jasa
pengamanan
telah
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Dalam
keadaan
seperti
itu
tidak
mungkin
baginya
untuk
meminta
69
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
b.
c.
d.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
e.
f.
g.
h.
i.
j.
70
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
tindak pidana kehutanan maka penyidiknya adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang berada dalam lingkungan Departemen Kehutanan. Selain PPNS
tersebut ada juga Polisi Kehutanan yang bertugas melakukan perlindungan
kehutanan yang dahulu dikenal dengan istilah Jagawana.
Dalam Pasal 51 Undang-Undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999
disebutkan bahwa Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan maka
kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan
wewenang kepolisian khusus.
Kewenangan Polisi Khusus Kehutanan yang dimuat dalam pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang kehutanan yaitu :
1. Mengadakan patroli/perondaan didalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya.
2. Memeriksa
surat-surat
atau
dokumen
yang
berkaitan
dengan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
71
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan
hutan dan hasil hutan.
f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
Polri sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
g. Membuat dan menandatangani berita acara
h. Menghentikan penyidikan, apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil
hutan.
Jika diperbandingkan dengan kewenangan penyidik yang dimuat didalam
pasal 7 KUHAP maka PPNS kehutanan tidak mempunyai kewenangan dalam hal:
1. Melakukan penangkapan dan penahanan.
2. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Mendatangkan seorang ahli.
5. Mengadakan tindakan lain yang bertanggung jawab.
Selain kedua penyidik ini dikenal juga penyidik Perwira TNI AL yang
berwenang melakukan penyidikan dalam tindak pidana perikanan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan dan
Kejaksaan terhadap tindak pidana khusus seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Pidana Subversi dan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini didasarkan pada Pasal 284
ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa
kejaksaan dalam waktu 2 (dua) tahun setelah berlakunya KUHAP masih diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan. 72
Lebih lanjut Hariadi 73 menjelaskan bahwa, dengan adanya empat institusi
penyidik dan empat pejabat yang berwenang mengangkat yaitu, penyidik Polri
yang diangkat oleh Kapolri, PPNS berdasarkan usul departemen yang
bersangkutan diangkat oleh Menteri Hukum dan Ham, penyidik TNI AL diangkat
oleh Panglima TNI dan penyidik Kejaksaan yang diangkat oleh Jaksa Agung,
selanjutnya mekanisme tata kerja yang bervariasi yaitu ada yang melalui
koordinasi dengan penyidik Polri dan ada yang langsung ke penuntut umum tanpa
koordinasi dengan penyidik Polri, kemudian adanya kewenangan yang berbeda
dalam tahap penyidikan yaitu kewenangan melaksanakan tugas penyidikan sesuai
dengan lingkup tugas masing-masing, maka dilihat dari kesatuan sistem yang
integral, hal ini kurang menggambarkan adanya suatu lembaga penyidikan yang
mandiri dan terpadu. Oleh karenanya situasi seperti itu cenderung menimbulkan
konflik dan keruwetan serta macetnya penegakan hukum pidana.
Ketentuan tentang penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan
diatur dalam Pasal 77 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang secara
khusus mengatur tentang PPNS kehutanan. Hal ini merupakan penjabaran dari
72
73
Muladi dan Arif, B. N., Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni 1998), hal. 55.
Ibid., hal. 55-56.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyebutkan bahwa
Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999,
bahwa selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka
kepada pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pengurusan hutan diberi kewenangan khusus sebagai penyidik. Dalam
Pasal 77 ayat (1) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri
sipil tertentu meliputi pejabat pegawai negeri sipil di tingkat pusat maupun daerah
yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan.
Bahwa wewenang PPNS diatur dalam undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing. Namun, mekanisme tata kerja PPNS kehutanan dalam
Pasal 77 ayat (3) UU no. 41 Tahun 1999, sedikit menyimpang dengan apa yang
diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981, menyatakan
bahwa dalam pelaksanaan tugasnya PPNS berada dibawah koordinasi dan
pengawasan penyidik Polri sedangkan Pasal 77 ayat (3) Undang-undang No. 41
Tahun 1999, PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan
hasil penyidikannya langsung kepada penuntut umum.
Dalam Pasal 107 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
menyebutkan bahwa dalam hal PPNS melakukan penyidikan terhadap peristiwa
yang patut diduga sebagai tindak pidana yang dapat diajukan ke penuntut umum,
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
maka PPNS melaporkan hal itu kepada penyidik Polri. Rumusan dari Pasal 77
ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 di atas, secara tegas memberikan kewenangan
kepada PPNS kehutanan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus
kehutanan yang langsung ke penuntut umum artinya dapat dilakukan tanpa
koordinasi dengan penyidik Polri. Di sisi lain penyidik Polri juga diberikan
kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus kehutanan
berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 junto Pasal 77 ayat (1) UU
No. 41 Tahun 1999. Demikian juga dengan kejaksaan yang mempunyai
kewenangan penyidikan tindak pidana khusus, kemudian penyidik Perwira TNI
AL atas dasar kerja sama dengan Departemen Kehutanan mempunyai kewenangan
seperti dalam rangka penyidikan terhadap penyelundupan kayu ilegal yang
merupakan bagian dari kejahatan di bidang kehutanan.
Dengan demikian kondisi seperti ini memungkingkan sekali terjadi
tumpang tindih penyidikan terrhadap satu tersangka dalam kejahatan kayu ilegal ,
masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi dalam satu lembaga
yang terpadu sehingga berpotensi menimbulkan konflik antar penyidik tersebut.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam beberapa praktik muncul arogansi
masing-masing penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus
kehutanan berdasarkan kewenangan masing-masing. Bahkan terkesan adanya
tumpang tindih kewenangan atau berebut kasus dalam menangani kasus-kasus
seperti kejahatan kayu ilegal .
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
menilai bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan kayu ilegal sangat lemah
atau tidak efektif, sehingga diperlukan suatu lembaga tertentu semacam Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk untuk memberantas
tindak pidana korupsi dan untuk kejahatan kayu ilegal
semacam Komisi
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
BAB III
KOORDINASI ANTARA POLRI DENGAN APARAT PENEGAK HUKUM
LAINNYA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG
KEHUTANAN
A. Frekuensi Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Yang Terjadi Di Wilayah
Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara
Sekarang ini keadaan hutan di Sumatera Utara sedang menghadapi
permasalahan
yang
cukup
serius
dalam
sistem
pengelolaannya.
Sistem
pengrusakan sumber daya hutan secara cepat, sistematis, bahkan telah dilakukan
secara terorganisir.
Pembangunan kehutanan di Sumatera Utara ditujukan untuk mencapai
terwujudnya sumber daya hutan yang lestari dan peningkatan kesejahteraan rakyat
melalui mekanisme pengelolaan yang partisipatif, terpadu, transparan dan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
74
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Penebangan Kayu dan Illegal Logging,
Makalah, Seminar Sehari, Pengurus GMKI, 2005, hal 1
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
No
Jenis Kasus
Pengangkutan hasil
hutan kayu ilegal
Tahun
2001
5
2002
5
2003
19
Jumlah
2004
-
2005
-
29
Barang Bukti
a. Kayu olahan +
2.493.084 m 3
b. Kayu bulat 650 keping
Pelaku perambah
hutan
15
Industri Pengolahan
Kayu Hulu (IPKH)
yang menampung kayu
illegal
Pengangkutan hasil
hutan tanpa dilengkapi
SKSHH
e. Buldozer 3 unit
f. Ekscavator 6 unit
g. Chainsaw 5 unit
h. Bendsaw 18 unit
i. Gergaji 19 unit
j. Pita Gergaji 2 buah
Pemalsuan surat-surat
dokumen
pengangkutan
Pencurian humus
Jumlah
18
2
21
12
2
60
Dari Tabel 1 yang terdapat dalam sepanjang tahun 2001-2005 dari berbagai
kasus yang terjadi, kasus pengangkutan kayu hasil hutan kayu ilegal yang paling
meningkat yaitu sebesar 29 kasus, kemudian diikuti dengan kasus pelaku
perambahan hutan sebanyak 15 kasus. Secara kuantitatif praktik kayu ilegal ini
selama periode 2001-2005 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Tabel 2
No
Tahun
Kasus
Tersangka
Barang
Bukti
/PKR
Kayu
Bulat
Kayu
Olahan
Truck
Chain
saw
Kapal
Motor
Boat
Buldozer
Kapak
2005
46
94 Orang
6490
Btng
16,565
Kpng
41
11
21
2006
57
61 Orang
5890
Btng
22,485
Kpng
49
18
14
28
2007
51
83 Orang
5240
Btng
20,575
Kpng
38
12
10
32
2008
42
74 Orang
4860
Btng
14,860
Kpng
34
10
24
Sedangkan barang bukti yang disita terdiri dari kayu bulat, kayu olahan,
truck, chainsaw, kapal motor, boat, buldozer, dan kapak. Hal ini menunjukkan
bahwa perkara kayu ilegal tetap menjadi perkara/ kasus yang selalu ada setiap
tahunnya, tetapi penanganannya juga dilakukan secara intensif oleh Dinas
Kehutanan Provinsi Sumut.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Tahun
Jumlah
Tindak
Pidana
Jumlah
Penyelesaian
Perkara
Persentase
%
Tersangka
Barang
Bukti
Truck
Kapal
Alat
Berat
Chain
saw
Kayu/m 3
2004
64
57
89 %
107
24
13
+ 1.163,6
M3
2005
134
122
91 %
181
31
+ 782,6486
M3
2006
733
344
47 %
907
335
28
38
+ 11.768,65
M3
2007
188
111
59 %
284
90
17
+ .426,9946
M3
2008
85
32
38 %
116
11
+ 444,9387
M3
Total
1204
666
55 %
1,595
491
31
33
78
+ 15.586,6
M3
sebagai hasil
penelitian yang penulis lakukan. Sementara dalam Tabel 3 data ini merupakan
frekwensi praktik kayu ilegal dalam kurun waktu tahun 2004 s.d. 2008 yang
terjadi di wilayah hukum Kepolisian Sumatera Utara . mengalami pasang surut,
hal ini dapat dilihat dari jumlah tindak pidana pada tahun 2004 sebanyak 64
dengan persentase penyelesaian perkara 89 %, pada tahun 2005 mengalami
peningkatan 134 tindak pidana dengan persentase penyelesaian perkara 91 %,
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
pada tahun 2006 jumlah tindak pidana mengalami kenaikan yang signifikan yaitu
733 tindak pidana dengan persentase penyelesaian 47 %, pada tahun 2007 tindak
pidana turun menjadi 188 dengan persentase penyelesaian perkara 59 %, dan pada
tahun 2008 lalu jumlah tindak pidana mengalami penurunan drastis menjadi 85
tindak pidana tetapi dalam persentase penyelesaian perkara mengalami penurunan
menjadi 38 %. Barang bukti yang disita oleh Polda Sumut terdiri dari: truck,
kapal, alat berat, chain saw dan kayu.
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penebangan Hutan Secara Liar
1. Kurangnya Pengawasaan Aparat Kehutanan dalam Pengelolaan
Hutan
Hutan merupakan salah satu sub sistem dalam pengelolaan lingkungan
hidup yang diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup
meliputi
kebijaksanaan
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Untuk itu dalam aspek pengelolaan hutan ini diperlukan beberapa ilmu
yang mendukung, seperti ilmu tanah, agronomi, sosial ekonomi dan lingkungan,
bahkan pada perkembangan globalisasi ini diperlukan juga bidang komputerisasi
dan ini sangat mendukung melihat pada keadaan semakin banyaknya tuntutan
terhadap fungsi hutan dan memberikan informasi yang akurat.
Dalam Pasal 4 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup No. 23 Tahun
1997 menetapkan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, yaitu:
a Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungan hidup.
b Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindakan yang melindungi dan membina lingkungan
hidup.
c
petugas
kehutanan
yang
melakukan
pengawasan
terhadap
hutan,
maka
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
penebangan hutan merupakan pekerjaaan yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dapat
dilihat dari perbandingan antara polisi hutan dengan kawasan hutan yang harus
mereka awasi, yaitu satu orang polisi hutan mengawasi 5 ribu-12 ribu hektar
hutan. 75 Maka untuk mencapai tujuan pengawasan, kebijakan pengelolaan hutan
harus ditujukan untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya kelestarian
fungsi hutan. Oleh karena itu, dengan adanya kesadaran bersama akan pentingnya
kelestarian fungsi hutan akan menghasilkan suatu penataan dan perencanaan yang
baik, sehingga pengelolaan hutan akan berhasil secara maksimal.
Pengelolaan hutan dapat menghasilkan nilai tambah karena banyak areal
hutan yang sebelumnya jarang terdeteksi menjadi nyata, sehingga menjadi suatu
nilai tambah bagi produktivitas hutan. .
Dengan adanya pengelolaan hutan, berarti memiliki suatu perencanaan
hutan yang mengandung pengertian peruntukan, penyediaan, pengadaan,
penggunaan hutan secara serba guna dan kelestarian demi kepentingan:
1) Pengaturan tata air, mencegah adanya banjir, mencegah erosi dan memelihara
kesuburan tanah.
2) Produksi hasil hutan dan pemasarannya pada umumnya serta secara khusus
untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor.
75
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
3) Sumber mata pencarian yang beraneka ragam bagi rakyat di dalam dan sekitar
hutan.
4) Perlindungan alam hayati dan alam khas demi kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, pertanahan nasional, rekreasi dan pariwisata.
5) Transmigrasi, pertanian, perkebunan dan peternakan. 76
Di samping pengertian di atas, hutan juga memiliki fungsi yang menguasai
hajat hidup orang banyak, antara lain sebagai berikut:
1) Mengatur tata air, mencegah bahaya banjir, mencegah erosi dan memelihara
kesuburan tanah.
2) Memenuhi produksi hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan
khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor.
3) Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong
industri hasil hutan pada khususnya.
4) Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik.
5) Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar
alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman buru bagi kepentingan ilmu
pengetahuan pendidikan, kebudayaan dan pariwisata.
6) Merupakan salah satu unsur basis strategis pertahanan nasional. 77
76
77
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Alam Setia Zein, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,( Jakarta:Penerbit Rineka Cipta,
2000 ),hal. 46
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
hutan dengan jumlah personil yang dibutuhkan masih belum memadai, sehingga
aparat kehutanan sangat kesulitan untuk menjangkau setiap kawasan hutan.
Oleh karena itu, penebangan hutan secara liar ini didukung oleh kurangnya
pengawasan terhadap aktifitas tersebut, dimana aparat petugas juga kurang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga para pelaku
penebangan hutan secara liar begitu gampangnya lepas atau menghindar dari
pengawasan aparat yang berwenang. 79
Akan tetapi ada juga tindakan penebangan hutan tersebut karena dicukongi
atau di backing oleh aparat atau pejabat yang berwenang, dimana petugas dari
pejabat tersebut seharusnya mengawasi dan menjaga upaya pelaksanaan
pengelolaan hutan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Para pihak yang
melakukan penebangan tanpa izin dengan segala cara mendekati orang-orang
tertentu yang memiliki wewenang dalam bidang kehutanan, dimana pengusahaan
terhadap hasil hutan sangat menguntungkan para pihak-pihak tersebut.
2. Faktor Ekonomi dan Faktor Sosial
Hutan merupakan kawasan yang sangat erat hubungannya dengan
kehidupan ekonomi dan juga kehidupan sosial masyarakat, dimana setiap aktivitas
masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan banyak berhubungan dengan
hutan. Salah satunya hutan sebagai tempat berburu hewan untuk dikonsumsi dan
yang paling penting hutan menghasilkan kayu sebagai kebutuhan yang diperlukan
79
Ibid
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
oleh masyarakat, seperti kayu yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar, kayu
dibutuhkan untuk membangun rumah atau tempat tinggal dan juga kebanyakan
peralatan yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitasnya terbuat
dari kayu. Dengan demikian masyarakat tidak dapat dilepas dari suatu keadaan
bahwa kayu memiliki manfaat yang sangat besar untuk mendukung aktivitas
kehidupan masyarakat. 80
a. Faktor ekonomi
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hutan merupakan salah satu sumber
daya alam yang dapat menghasilkan atau memberikan keuntungan bagi setiap
masyarakat dan juga bagi negara, dimana hutan menghasilkan kayu, rotan dan
lainnya, sehingga hutan menjadi salah satu komoditi terbesar yang menghasilkan
keuntungan finansial yang besar dalam aspek ekonomi. 81
Keuntungan dari pengusahaan terhadap hutan ini dapat diperoleh oleh
masyarakat, negara dan juga pengusaha dan pengelola hutan. Dalam hal ini
keuntungan yang diperoleh masyarakat masihlah kecil, karena biasanya
masyarakat memanfaatkan hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Pada umumnya masyarakat di pedesaan masih banyak menggunakan
kayu sebagai bahan bakar, sehingga mereka mencari kayu di kawasan hutan, dan
biasanya mereka hanya mengambil ranting-ranting pohon karena ranting tersebut
80
Igm Nurjana dkk, Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001), hal 94
81
Ibid, hal 95
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
paling gampang untuk dibakar. Tetapi ada juga masyarakat menebang pohon
untuk kayu bakar, dan pohon tersebut merupakan pohon yang khusus dibuat untuk
kayu bakar. Misalnya, pohon pinus yang cocok dijadikan kayu bakar karena kayu
pinus tersebut jika dibakar tidak akan menghasilkan asap yang banyak, sehingga
ada masyarakat yang memanfaatkan kayu pinus ini untuk dijual kepada
masyarakat yang membutuhkan kayu bakar dan kayu yang akan dijual sebagai
bahan bakar tersebut biasanya telah dipotong-potong kecil sehingga dapat
langsung digunakan oleh masyarakat.
Akan
tetapi
kalau
dilihat
latar
belakang
mengapa
masyarakat
perkotaan
tersebut,
sehingga
para
pengangguran
yang
kembali
82
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
masyarakat
perkotaan saja, tetapi dampaknya juga terjadi pedesaan. Hal ini dapat dijumpai
pada sektor pertanian, akibat dari adanya krisis ekonomi, penyediaan pupuk atau
obat-obat sulit dijangkau oleh masyarakat karena daya beli masyarakat telah
menurun .
Di samping adanya kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan, masih
ada faktor lain yang mendukung yaitu semakin bertambahnya jumlah penduduk di
Indonesia, sehingga diperlukan lagi daerah untuk tempat bermukim. Maka salah
satu cara yang mudah untuk mengatasi kurangnya pemukiman tersebut adalah
dengan cara mengorbankan tanah pertanian untuk tempat tinggal, sehingga
dilakukan berbagai usaha lain untuk mengganti lahan pertanian dengan cara
melakukan perambahan terhadap hutan. 83
Perambahan hutan juga menjadi salah satu alternatif untuk usaha manusia
dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yaitu dengan melakukan pekerjaan
menebangi pohon untuk dijual kepada penadah dan juga mereka ada yang bekerja
kepada pemegang HPH. Semua hal di atas terjadi karena didorong oleh tuntutan
untuk mempertahankan hidup, sehingga membuat manusia tidak dapat berpikir
panjang untuk memperhatikan akibat dari perbuatannya tersebut. Untuk itu harus
dilakukan penjagaan dan pengawasan dari pihak-pihak yang netral yang sangat
83
Ibid, hal 66
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
84
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
mengambil semua jenis pohon yang ada di hutan, dan biasanya masyarakat
mengenal kawasan hutan tersebut sebagai kawasan hutan lindung.
Khusus mengenai hak ulayat terhadap hutan, masyarakat desa pada
umumnya menganggap bahwa hutan adalah milik mereka sehingga mereka bebas
untuk memanfaatkan hutan dalam melakukan segala aktivitas mereka.
Dalam peraturan perundang-undangan tentang hutan masih mengakui
adanya hutan adat atau hak ulayat atas hutan, akan tetapi ditekankan juga kepada
masyarakat adat tersebut bahwa dilarang adanya penebangan hutan secara liar,
sehingga masyarakat dalam melakukan pengusahaan ataupun pengelolaan
terhadap hutan harus dapat menjaga kelestarian hutan.
Pada umumnya masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar kawasan
hutan sudah mengetahui manfaat hutan sebagai penyanggah dan juga sebagai
sumber mata air bersih, akan tetapi karena sesuatu hal yang mendesak dalam
memenuhi kebutuhannya, maka hutan dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk
mendapatkan penghasilan dengan melakukan penebangan terhadap pohon dan
juga berburu hewan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk dijual.
Akan tetapi faktor utama yang mempengaruhi masyarakat desa melakukan
perambahan terhadap hutan, khususnya melakukan penebangan liar dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan yang rendah, karena pada umumnya orang yang berada
atau tinggal di sekitar kawasan hutan berpendidikan sekolah dasar, dan ada juga
yang berpendidikan sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Dengan tingkat
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
dan
mendapat
beban
apapun
melakukan
tindakan
pengrusakan,
di wilayah
Dalam kegiatan represif, Dinas kehutanan bertindak sebagai saksi ahli dalam
pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sampai dengan persidangan di
pengadilan;
85
Ibid, hal 99
Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda
Sumut, di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.
86
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
seperti Kejaksaan dan Pengadilan dalam penanganan kasus kayu ilegal di wilayah
Sumatera Utara, terlaksana dengan baik, dimana: 87
a. Dengan kejaksaan:
1) Pengiriman surat pemberitahuan di mulai penyidikan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan undang-undang;
2) Pra penuntutan yaitu pengembalian berkas perkara dari jaksa penuntut
umum (JPU) kepada penyidik untuk dilengkapi/ disempurnakan dalam
tenggang waktu 14 hari;
87
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kayu ilegal
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
c.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
89
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
90
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kuantitas/kualitas
PPNS
dengan
mengirimkan
personil
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
BAB IV
KENDALA ATAU HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DALAM
PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN
A. Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan
1. Upaya Preventif
Upaya preventif adalah merupakan suatu usaha penanganan yang lebih
menitikberatkan pada pencegahan/ penanganan atau pengendalian sebelum
terjadinya tindak pidana kayu ilegal . Menurut Manumpak Butar-Butar selaku
Kasat Tipiter Dit Reskrim Polda Sumut mengatakan bahwa bagian Reskrim lebih
dominan dalam upaya represif sedangkan dalam upaya preventif lebih cenderung
menjadi tanggung jawab dari Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan
Provinsi Sumatera Utara walaupun tidak tertutup kemungkinan pihak Kepolisian
Daerah Sumatera Utara ikut terlibat dalam usaha-usaha yang berhubungan dengan
upaya preventif dalam rangka penanganan tindak pidana kayu ilegal di wilayah
hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara .
Upaya-upaya preventif yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sumatera
Utara untuk penanganan / pencegahan tindak pidana kayu ilegal antara lain:
a.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
d.
upaya preventif dalam rangka perlindungan hutan dan hasil hutan antara lain :
a. Memberikan Himbauan Kepada Masyarakat
Himbauan-himbauan ini dapat dilakukan melalui media elektronik ataupun
media cetak seperti radio swasta dan surat kabar lokal. Himbauan ini juga dapat
dilakukan melalui spanduk-spanduk maupun pamflet-pamflet yang berisi tentang
ajakan masyarakat untuk ikut serta dalam usaha-usaha perlindungan hutan
sehingga hutan dapat lestari.
Peran serta masyarakat dalam usaha perlindungan hutan adalah merupakan
salah satu jalan yang efektif dalam pencapaian pembangunan hutan di Provinsi
Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah orang yang berhubungan
langsung dan hampir setiap hari bersentuhan dengan kawasan hutan.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
2) Menyadari bahwa dalam proses penegakan hukum bukan hanya
tanggung jawab aparat penegak hukum, akan tetapi juga menjadi
tanggung jawab bersama.
3) Tidak melakukan hal-hal yang menghambat proses penegakan hukum. 91
c. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Polisi Hutan
Pada saat sekarang ini tugas penjagaan, pengamanan dan perlindungan
kawasan hutan serta peredaran hasil hutan ditumpukan kepada Polisi Kehutanan
(Polhut). Sementara keadaan Polhut saat ini menunjukan gambaran yang ironis
dan memprihatinkan bila dibandingkan dengan beratnya tugas yang harus
diembannya. Jumlah Polhut yang ada dirasakan sangat kurang bila dibandingkan
dengan ratio luas kawasan hutan yang harus dijaga keamanannya. Hal inilah yang
menjadi salah satu faktor terjadinya praktik kayu ilegal karena sebagian kawasan
hutan luput dari pengawasan Polhut. Selain itu kualitas dan kuantitas dari SDM
Polhut serta persepsi yang kurang baik terhadap Polhut karena adanya tindakan
sebagian Polhut yang tidak terpuji dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang
berhubungan dengan pengamanan dan peredaran kayu termasuk menjadi penentu
semakin maraknya praktik kayu ilegal .
91
Welly I., Peranan Polisi Kehutanan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Menurut
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Taman Nasional Kerinci Seblat Kab.
Kerinci, Skripsi, jambi, 2005, hal. 40
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
92
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
1)
93
Hasil Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar,Jabatan Kasat Tipiter Dit reskrim Polda
Sumut di Polda Sumut tanggal 4 Mei 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
ilegal . Bila telah terbukti melakukan tindak pidana kayu ilegal pelaku ditangkap
untuk proses penegakan hukum yang lebih lanjut.
Dengan ditangkapnya pelaku kayu ilegal tersebut diharapkan memberikan
efek jera khususnya bagi pelaku sendiri dan menimbulkan rasa takut bagi
masyarakat agar tidak mau melakukan praktik kayu ilegal lagi. Namun kenyataan
dalam pemberantasan tindak pidana kayu ilegal ini sering kali pihak Kepolisian
Daerah Sumatera Utara menemui kendala dalam menangkap pelaku yaitu ada
kalanya yang ditemui hanya truk beserta dengan kayu yang diduga adalah hasil
praktik kayu ilegal namun yang membawa kayu tersebut (supir truk) tidak ada
atau dengan kata lain berhasil lolos. Selain itu pelaku yang menjadi otak dari
praktik kayu ilegal ini masih banyak yang belum terjerat hukum hal ini
dikarenakan pelaku tersebut adalah orang dekat dengan kekuasaan dan
mempunyai modal besar untuk melarikan diri. Hal inilah yang menjadi kendala
sehingga pelaku tindak pidana kayu ilegal sering lolos dari jaringan hukum.
b. Operasi Wanalaga III
Operasi Wanalaga dicetuskan pertama kali pada tanggal 27 Desember
2001. Operasi Wanalaga ini dilaksanakan berdasarkan kerjasama antara Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi (PHKA) Departemen Kehutanan
dengan Deputi Kapolri Bidang Operasional Mabes Polri..
Menanggapi kerjasama tersebut maka Kapolri melalui Surat Telegramnya
No.Pol.: STR/227/IV/2002 tanggal 10 April 2002 menginstruksikan untuk
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Dari operasi wanalaga III yang dilaksanakan 58 kasus berhasil disidik dan
35 kasus di Sumatera Utara dengan total kerugian yang ditanggung negara sebesar
RP. 110.206.000,-. 94
c. Operasi Hutan Lestari I
Operasi Hutan Lestari I ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya
represif sebelumnya yaitu operasi wanalaga III. Operasi Hutan Lestari I ini
dilaksanakan Kepolisian
94
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
yang dilaksanakan berhasil dan memberikan efek jera bagi para pelaku tindak
pidana kayu ilegal .
Namun keberhasilan yang dicapai pada tahun 2004 tersebut tidak berlanjut
pada tahun 2005. Pada tahun 2005 praktek
kayu ilegal
meningkat dan
peningkatan tersebut sangat drastis yaitu menjadi 134 kasus, dengan jumlah
tersangka 181 tersangka, 22 kasus dalam proses sidik, 111 kasus dikirim ke JPU
dan 1 kasus dilimpahkan. 95
Dalam rangka pengamanan hutan khususnya penanggulangan praktek kayu
ilegal
95
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Gubernur
Sumatera
Utara
No.
522.5/1821/K/2003
tanggal
25
September 2003.
2.
96
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
hukum atau oknum pegawai negeri yang tidak diatur secara khusus dalam
Undang-undang tentang kehutanan tersebut. 97
Penerapan Pasal 55 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak
pidana sebagai orang yang melakukan,
kejahatan kayu
ilegal yang melibatkan banyak pihak. Namun demikian, beban pidana yang harus
ditanggung secara bersama dalam hal terjadinya tindak pidana kayu ilegal juga
dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat
perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidana
maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP,
sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditentukan.
2. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dalam sistem peradilan
pidana.
Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dapat menimbulkan
tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing, sehingga sangat rawan
menimbulkan konflik kepentingan. Penegak hukum yang tidak berkoordinasi
merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan kayu ilegal .
Proses peradilan mulai dari penyelidikan hingga ke persidangan membutuhkan
biaya yang sangat besar, proses hukum yang panjang dan sarana/ prasarana yang
97
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
tersebut.
antara
berbagai
instansi
tersebut
sangat
menentukan
kayu ilegal
yang
merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai
dari penebangan hingga ke ekspor kayu ilegal.
98
Fathoni, T., RI-Jepang Sepakat Atasi Kayu Illegal, Artikel Bisnis Indonesia, terbit
tanggal 2 Juli 2003, hal. 1.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
3. Masalah Pembuktian
Berbicara masalah pembuktian yang dianut oleh hukum pidana Indonesia
adalah sistem negatif (negatif wettelijke stelsel) yang merupakan gabungan dari
sistem bebas dengan sistem positif. 99 Menurut Syahrani bahwa dalam sistem
negatif
99
Syahrani, R., Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983),
hal.129.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
100
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
7.Proses Penyitaan.
Barang bukti kayu dalam tindak pidana di bidang kehutanan memiliki
konsep penanganan tersendiri seperti prosedur dan metode serta keahlian
(memiliki sertifikat pengukuran) dalam sistem pengukuran dan juga membutuhkan
waktu yang lama sehingga perlu diatur tersendiri. Demikian juga proses
pelelangan barang bukti serta pembagiannya antara pemerintah pusat dan daerah
asal kayu ilegal tersebut. Hal tersebut belum diatur dalam ketentuan pidana dalam
undang-undang kehutanan.
C. Kendala Atau Hambatan Yang Dihadapi Polri Dalam Penanganan Tindak
Pidana Di Bidang Kehutanan
Masalah kayu ilegal saat ini adalah masalah krusial yang dihadapi
Indonesia karena masalah kayu ilegal semakin memperburuk kondisi hutan yang
sudah buruk dan bahkan dampaknya semakin mempersulit keadaan masyarakat
yang sudah sulit akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagai contoh
dampak kayu ilegal adalah terjadinya banjir dimana-mana hampir diseluruh
wilayah Indonesia bahkan belum lepas dari ingatan kita bagaimana dahsyatnya
banjir bandang yang terjadi di Bukit Lawang di Sumatera Utara yang menelan
banyak korban. Dimana pada akhirnya terungkap bahwa bencana alam yang
terjadi tersebut akibat praktik kayu ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser sehingga hutan tidak dapat berfungsi sebagaimana peruntukannya.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
mencantumkan
ancaman
hukuman
minimal
sehingga
sering
102
Wawancara dengan AKBP Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda
Sumut di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
memerlukan sarana seperti helikopter yang belum dimiliki oleh instansi Polri dan
PPNS kehutanan terutama di daerah-daerah yang justru mempunyai hutan yang
luas, sehingga perlu untuk menyewa helikopter dan sebagainya. 103
h. Kurangnya Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang cukup dan memadai memegang peranan penting
dalam rangka penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka
tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar. Dimana sarana
dan prasarana tersebut dapat berupa tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup
dan lain sebagainya. Kalau hal-hal tersebut diatas tidak dapat dipenuhi, maka
mustahil penegakan hukum dapat tercapai. 104
Namun kenyataan di lapangan menunjukan sarana dan prasarana yang
dimiliki pelaku praktik kayu ilegal jauh lebih maju dibandingkan sarana dan
prasana yang dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya di daerah-daerah
yang justru memiliki areal hutan yang luas dan rawan terjadi praktik kayu ilegal
. 105 Keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki aparat penegak hukum
menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana di bidang
103
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1.Tindak pidana di bidang kehutanan
terhadap hutan tanpa hak atau tanpa ijin dari pejabat yang berwenang tanpa
memenuhi ketentuan hukum yang berlaku sehingga perbuatan tersebut
mengakibatkan rusaknya hutan. Pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana
umum adalah Kepolisian namun dalam beberapa tindak pidana tertentu
misalnya, tindak pidana dibidang kehutanan selain penyidik Polri ada juga
penyidik pegawai negeri sipil ( PPNS ) yang berada di lingkungan departemen
kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP dan pasal 77 ayat
(2) undang-undang no 41 tahun 1999 tentang kehutanan
2 Koordinasi antara Polri selaku penyidik dengan aparatur penegak hukum lainnya
antara lain, Kejaksaan, Pengadilan dan PPNS Kehutanan dalam penanganan
tindak pidana di bidang kehutanan secara umum dapat terlaksana baik dalam
kegiatan preventif maupun kegiatan represif, sehingga jumlah kasus-kasus /
tindak pidana di bidang kehutanan semakin berkurang / menurun, terutama
setelah dilakukannya operasi wanalaga dan operasi hutan lestari di wilayah
hukum Sumatera Utara.
3. Kendala/ hambatan yang dihadapi oleh Polri selaku penyidik dalam penanganan
tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Untuk mencegah dan menanggulangi praktik kayu ilegal yang terjadi ada
baiknya pemerintah meningkatkan keadaan ekonomi masyarakat terutama
masyarakat yang berada di sekitar hutan sehingga tidak terdorong / terjebak
untuk melakukan praktik kayu ilegal baik untuk kepentingan diri sendiri
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
maupun atas perintah atau suruhan dari masyarakat luar terutama dari
cukong / pemilik modal. Selain itu kegiatan penyuluhan hukum
ditingkatkan, untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat
akan arti dan fungsi hutan lestari.
2.
3.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
2006.
Bisri Mustofa, metode menulis Skripsi & Tesis, Jogjakarta: Optimus 2008.
Colfer,
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Beserta
Peraturan
Zein, Alam Setia. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta,
2000.
Kelana Momo, Memahami Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002
Jakarta : PTIK Press 2002,
Lubis,Solly.M, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung:Mandar Maju,
Jakarta:PTIK Press,2002.
Hadi Utomo,HW,Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka,2005
2.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Peraturan Perundang-undangan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Internet
Asia Report No39, Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan
Rekomendasi, Dikutip dari www.crisisweb.org/home/ , Diakses
tanggal 20 Mei 2009.
Ginting, L., Korupsi adalah Inti dari Illegal Logging, Dikutip dari
www.gatra.com/artikel, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
Haba,
J.,
http://www.tempointeraktif.com/Tempointeraktif_com-Satu
Mengawasi 12 Ribu Hektar Hutan.htm
Polisi
Hutan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009
Menteri
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan, 2009