Anda di halaman 1dari 118

TESIS

PENETAPAN LOKASI DALAM PENGADAAN TANAH SKALA KECIL


BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

DETERMINATION OF LOCATION IN SMALL SCALE LAND


ACQUISTION FOR DEVELOPMENT FOR PUBLIC

ANDI BESSE TENRI ADJENG


P3600215037

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
HALAMAN JUDUL

TESIS

PENETAPAN LOKASI DALAM PENGADAAN TANAH SKALA KECIL


BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

THE LOCATION STATEMENT IN THE PROVISION OF THE SMALL-


SCALED LAND FOR THE BUILDING DEVELOPMENT FOR THE
PUBLIC INTEREST

Tesis

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin

Oleh:

ANDI BESSE TENRI ADJENG

P3600215037

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017

i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Andi Besse Tenri Adjeng

NIM : P3600215037

Program Studi : Kenotariatan

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah (Tesis) dengan judul:

“PENETAPAN LOKASI DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA

KECIL BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM”

Adalah merupakan hasil karya saya sendiri yang belum pernah

dipublikasikan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, dalam bentuk

jurnal atau bentuk lain yang dipublikasikan secara umum. Karya ilmiah ini

sepenuhnya merupakan karya intelektual saya dan seluruh sumber yang

menjadi rujukan dalam karya ilmiah ini telah saya sebutkan sesuai kaidah

akademik yang berlaku umum.

Demikian pernyataan ini saya nyatakan secara benar dengan penuh

tanggung jawab.

Makassar, November 2017

Andi Besse Tenri Adjeng

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT atas segala limpahan berkah, rahmat, karunia serta kesempatan luar

biasa yang diberikan sehingga penyusunan Tesis ini dapat diselesaikan

dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam rangka

penyusunan tesis ini, namun berkat bantuan berbagai pihak, tesis ini

dapat selesai. Dalam kesempatan ini, penulis dengan tulus

menyampaikan terima kasih secara khusus kepada orang tua penulis,

ayahanda Andi Rapiuddin Padjung dan ibunda tercinta Elis Ilyas

Mattewakkang atas segala kasih sayang, dorongan semangat, biaya,

kesabaran, perhatian dan doa yang tak putus-putusnya diberikan kepada

penulis.

Pada kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat

Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H dan Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,

M. Hum. yang telah memperlakukan saya sebagai murid, anak, bahkan

sahabat, sehingga berkat bimbingan, arahan dan petunjuknya yang telah

diberikan kepada saya telah diperoleh hasil yang maksimal dalam

penyempurnaan penulisan tesis ini.

iv
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubu, M.A selaku Rektor Universitas

Hasanuddin dan para wakil rektor.

2. Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin dan para wakil dekan.

3. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. selaku Ketua Program Studi

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

4. Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H. , Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,

M.H., dan Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. selaku penguji dalam tesis

penulis yang telah memberikan saran demi kesempurnaan tesis ini.

5. Para dosen di lingkungan Fakultas Hukum khususnya pada Program

Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin,

yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan studi.

6. Bapak Bambang Nurcahya dan Bapak Jarot Muliawan yang telah

bersedia meluangkan waktu guna memberikan informasi di Kantor

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Provinsi Jawa Timur

7. Bapak Anwari yang telah bersedia meluangkan waktu guna

memberikan informasi di Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur

8. Ibu Siti Aisyah yang telah bersedia meluangkan waktu guna

memberikan informasi di Kantor Walikota Kota Surabaya

9. Bapak Eddy Sudiyanto, Bapak Nurul Amin dan Ibu Andi Yurnita yang

telah bersedia meluangkan waktu guna memberikan informasi di

lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

v
10. Bapak Muhallis Mentja dan Bapak Hatta yang telah bersedia

meluangkan waktu guna memberikan informasi di Kantor Pertanahan

Kota Makassar

11. Masyarakat Kota Surabaya dan Makassar yang telah bersedia

meluangkan waktu guna memberikan informasi terkait objek penelitian

penulis

12. Seluruh teman-teman pada Magister Kenotariatan Pascasarjana

Universitas Hasanuddin Makassar yang telah memberikan bantuan

semangat dan motivasi kepada saya dalam penyelesaian studi.

13. Suamiku tercinta Zamhir Islamie serta anak-anakku Azka Denandra

Hatta dan Azkia Ramadhani Hatta yang selalu mendoakan penulis.

Demikian penulis menyampaikan rasa syukur dan terima kasih

yang sedalam-dalamnya dan penulis mengakui bahwa penulisan Tesis ini

masih terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Kiranya Tesis ini

menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan bagi semua pihak yang telah

berperan didalamnya dan pihak lain yang membutuhkan. Akhir kata, tiada

kata yang penulis patut ucapkan selain doa semoga Allah SWT

senantiasa melimpahkan ridha dan berkah-Nya atas amalan kita.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Novemberr 2017

Penulis

ANDI BESSE TENRI ADJENG

vi
ABSTRAK

ANDI BESSE TENRI ADJENG, Penetapan Lokasi dalam Pengadaan


Tanah Berskala Kecil bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(dibimbing oleh Aminuddin Salle dan Farida Patittingi ).

Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui, mengidentifikasi, dan


menganalisis pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan
menggunakan tahapan penetapan lokasi; dan (2) menemukan dan
menganalisis kelebihan dan kekurangan pengadaan tanah skala kecil
dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian empiris yaitu penelitian
yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti
bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan.Pengumpulan data dilakukan
melalui wawancara dengan narasumber dan responden kemudian
digabungkan dengan hasil telaah bahan-bahan pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pelaksanaan pengadaan
tanah skala kecil dengan menggunakan penetapan lokasi dilaksanaan
melalui 4 (empat) tahapan yaitu perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, penyerahan hasil sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pelaksanaannya tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 121 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015;
dan (2) Kelebihan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan
tahapan penetapan lokasi adalah aspek perizinan pengadaan tanahnya
jelas dan kepastian hukumnya terjamin. Kelemahan pengadaan tanah
skala kecil tanpa menggunakan tahapan lokasi adalah proses pengadaan
tanahnya lama dan memerlukan biaya yang banyak dan proses
penyelesaian apabila terjadi sengketa dengan konsinyasi belum
berlangsung secara efektif. Sedangkan pengadaan tanah skala kecil
secara langsung atau tanpa menggunakan tahapan penetapan lokasi
kelebihannya adalah prosesnya cepat dan tidak memerlukan biaya yang
banyak, tetapi memiliki kelemahan yaitu izin pengadaann tanahnya tidak
jelas dan tidak menjamin kepastian hukum.

Kata kunci: Penetapan Lokasi, Pengadaan Tanah, Skala kecil.

vii
ABSTRACT

ANDI BESSE TENRI ADJENG, The Location Statement in the Provison of


the Small-Scaled Land for the Building Development for the Public
Interest. (guided by Aminuddin Salle and Farida Patittingi).

This study aims: (1) identify, and analyze the implementation of


small-scale land acquisition by using the stage. of location determination;
and (2) analyze and find advantages and disadvantages of provision of
the small-scaled land for the building development for the public interest
by using the location statement.
This study uses the type of empirical research is a research that
serves to see the law in the sense of real and examine how the work law
in the environment. The data collection was carried out through the
interviews with the resource people then the result were combined with the
result of the study of the library materials.
The result of the research shows that (1) procurement
implementation land and small-scale land procurement by using location
determination through 4 (four) stages of planning, preparation, execution,
delivery of results in accordance with the provisions of Law 2/2012.
Although implemented not in accordance with the provisions of Article 121
paragraph (3) Presidential Regulation Number 148/2015, but there are
principles of expediency in it is that the city of Surabaya more secure and
anticipate that the land is not easily transferred to other parties; (2) The
advantages of the provision small-scaled is the aspect of permittion is
save, clear, and the legal certainly is guaranteed. The disadvantages is
has a longtime for the process and need a lot of cost. While the provision
of the small-scaled land directly or without using the location statement
has advantages that is fast and does not require much cost but has
disadvantages is not save and does not guarantee the certaining of law.

Key-words: Location Statement, Land Provision, Small-Scaled

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... vii
ABSTRACT ................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 10
D. Manfaat Penelitian .......................................................... 10
E. Orisinalitas Penelitian ..................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 15


A. Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Tanah .............. 15
a. Pengertian Pengadaan Tanah .................................. 15
b. Pengertian Kepentingan Umum ................................. 17
c. Kewenangan Negara Terhadap Pengadaan Tanah .. 18
d. Prinsip dan Asas Pengadaan Tanah ......................... 20
e. Pelaksana Pengadaan Tanah ................................... 26
f. Dasar Hukum Pengadaan Tanah .............................. 33
B. LandasanTeori .............................................................. 38
1. Teori Kemanfaatan ...................................................... 38
2. Teori Keadilan ............................................................. 41
3. Teori Kepastian Hukum ......................................................... 44
C. Pengertian Sinkronisasi dan Harmonisasi ........................... 50
1. Sinkronisasi .......................................................................... 50
2. Harmonisasi ............................................................. 51
D. Kerangka Pikir ............................................................. 53
E. Definisi Operasional ..................................................... 54

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 56


A. Lokasi Penelitian .......................................................... 56
B. Tipe Penelitian .............................................................. 56
C. Populasi dan Sampel ................................................... 56
D. Jenis danSumber Data ................................................. 59
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 60
F. Teknik Analisis Data ……………………………………. 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 61


A. Pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil
dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi...... 61
1. Ketentuan Perundang-undangan............................... 62
2. Kebijakan Pemerintah ............................................... 65

ix
B. Kelebihan dan Kelemahan pengadaan tanah skala
kecil dengan menggunakan penetapan lokasi ........... 84
1. Kelebihan Penetapan Lokasi .................................... 84
2. Kelemahan Penetapan Lokasi .................................. 89
BAB V PENUTUP........................................................................................ 101
A. Kesimpulan ................................................................... 101
B. Saran ............................................................................ 102

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 103

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai bagian dari hukum agraria nasional, peraturan

pengadaan tanah harus mengacu pada tujuan hukum agraria

nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi

dengan kepentingan umum. Hak atas tanah apapun yang ada pada

seseorang tidak dapat dibenarkan, kalau tanahnya itu akan

dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk

kepentingan pribadinya, melainkan wajib pula mempertimbangkan

kepentingan umum.1 Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa

kepentingan pribadi akan terdesak sama sekali oleh kepentingan

umum. Kepentingan umum dan kepentingan pribadi haruslah saling

mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai kemakmuran, dan

kebahagiaan rakyat seluruhnya. Itulah yang menjadi ciri khas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).

Pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan

kesejahteraan harus didahului kemajuan perekonomian, dan untuk

meningkatkan perekonomian harus ditunjang dengan infrastruktur.

Salah satu cara untuk meningkatkan infrastruktur yaitu didukung

1Aminuddin Salle. 2007. Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.


Kreasi Total Media. Yogyakarta. Hlm. 1.
1
dengan prasarana berupa tanah. Tanah merupakan kebutuhan

dalam pelaksanaan pembangunan yang menduduki komponen

paling utama, maka sebelum pelaksanaan pembangunan harus ada

terlebih dahulu tersedianya komponen yang paling utama agar

pembangunan menjadi optimal yaitu lahan atau tanah. Tanah

sebagai tubuh bumi merupakan tempat tinggal serta tempat

beraktifitas bagi manusia dan juga merupakan kekayaan nasional

yang dibutuhkan oleh manusia baik secara individual, badan usaha

maupun pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan

nasional. Jadi dengan demikian tanah mempunyai arti penting dan

peranan penting dalam hidup dan kehidupan manusia karena

sebagian besar kehidupan manusia tergantung dengan tanah.2

Tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai

sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan

karena kesedian tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan

tanah terus meningkat, maka diperlukan pengaturan yang baik,

tegas, dan cermat mengenai penguasaan pemilikan maupun

pemanfaatan tanah, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita

penguasaan dan penggunaan tanah untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Sehubungan dengan perkembangan masyarakat untuk

mempercepat jalannya pembangunan untuk kepentingan umum, di


2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1977. Beberapa Masalah Pelaksanaan
Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktik dan Pelaksanaannya di
Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Bulak Sumur. Yogyakarta. Hlm. 6.
2
satu pihak pemerintah memerlukan areal tanah yang cukup luas.

Pada pihak lain pemegang hak atas tanah yang akan digunakan

tanahnya oleh pemerintah untuk pembangunan tidak boleh dirugikan,

Untuk mengatur hal tersebut diperlukan adanya suatu peraturan

hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.3 Selain itu peraturan

perundangan yang jelas dan tegas dapat mewujudkan keteraturan

dan ketertiban.4

Sesuai yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tujuan Negara Republik Indonesia

adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.5

Pengadaan tanah merupakan cara untuk memeroleh tanah

untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Pasal 18 Bab 1 UUPA

mengatur bahwa:

“untuk kepentingan umum, termasuk juga untuk kepentingan bangsa


dan negara dan kepentingan bersama dari rakyat, hak atas tanah
bisa dicabut, dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
sesuai dengan cara yang diatur dengan Undang-undang.”

Ketentuan tersebut menjadi dasar penjabaran pengaturan

pengadaan tanah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

3Op.Cit,.Hlm.2.
4Adrian Sutedi. 2008. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm. 45.
5Nanik Trihastuti. 2011. Hukum Kontrak Karya. Setara Press. Malang. Hlm.1.

3
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012).

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut mengatur

bahwa:

“Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan dengan cara

memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang

berhak.”

Kemudian dibentuk Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan

Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

(selanjutnya disebut Perpres Nomor 71 Tahun 2012).

Menurut Aminuddin Salle, untuk menuju keadaan yang lebih

baik, perlu dilakukan upaya kajian di bidang hukum agraria

khususnya tentang perubahan peraturan pengadaan tanah sebagai

bahan untuk melakukan reformasi hukum6.Peraturan pengadaan

tanah sebagaimana yang diatur dalamPerpres Nomor 71 Tahun

2012 sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum telah

beberapa kali dikaji dan disempurnakan, yaitu dengan Peraturan

Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres

Nomor 71 Tahun 2012 (selanjutnya disebut Perpres Nomor 40

Tahun 2014), Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 Tentang

6Op.Cit., Aminuddin Salle. Hlm.1.


4
Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012, Peraturan

Presiden Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas

Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Kemudian perubahan yang terakhir

yaitu Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Keempat Atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Peraturan

(selanjutnya disebut Pepres Nomor 148 Tahun 2015).

Pengadaan tanah merupakan kegiatan perolehan tanah untuk

kepentingan umum dengan cara memberi ganti kerugian. Perolehan

tanah yang dilakukan melalui Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2012 jo. Pasal 24-26 Peraturan Presien

Nomor 71 Tahun 2012 didasarkan pada Penetapan Lokasi.7

Penetapan lokasi merupakan aspek perizinan dalam pengadaan

tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Perpres Nomor 71 Tahun

2012 jo. Perpres Nomor 148 Tahun 2015 mengatur bahwa:

“Penetapan lokasi adalah penetapan atas lokasi pembangunan untuk


kepentingan umum yang ditetapkan dengan keputusan gubernur,
yang dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan tanah, perubahan
penggunaan tanah, dan peralihan hak atas tanah dalam pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.”

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa penetapan

lokasi memiliki 3 (tiga) fungsi8, yaitu meliputi: pertama, izin

pengadaan tanah yang batas waktu kegiatannya 2 (dua) tahun dan

7Jarot Widya Muliawan. 2016. Cara Mudah Pahami Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan melalui Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition. Buku Litera. Hlm. 26 – 27.
8
Ibid., Hlm.28
5
dapat diperpanjang 1 (satu) tahun. Kedua, izin perubahan

penggunaan tanah. Ketiga, izin pemindahan hak atas tanah.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 menempatkan penetapan

lokasi sebagai starting point dalam kegiatan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga instansi yang

memerlukan tanah harus mengajukan dan memeroleh penetapan

lokasi terlebih dahulu kepada gubernur untu dapat melakukan

perolehan tanah.

Perpres Nomor 148 Tahun 2015 memberikan perlakuan

khusus untuk pengadaan tanah skala kecil. Pengadaan tanah skala

kecil yang dimaksud adalah pengadaan tanah yang luas objeknya

kurang dari 1 (satu) hektar sebagaimana dimaksud Perpres Nomor

71 Tahun 2012 dan direvisi pada tahun 2014 berdasarkan Peraturan

Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres

nomor 71 Tahun 2012 dimana batasan luas objek pengadaan tanah

diperluas menjadi tidak lebih dari 5 (lima) hektar. Perpres Nomor 148

Tahun 2015 menambahkan 3 ayat pada Pasal 121 sehingga menjadi

4 ayat, Pepres tersebut mengatur bahwa:

(1) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk


kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar,
dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah
dengan pihak yang berhak.
(2) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak
lebih dari 5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus sesuai dengan tata ruang wilayah
(3) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak memerlukan penetapan lokasi
(4) Penilaian tanah dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana
6
dimaksud pada ayat (1), Instansi yang memerlukan tanah
menggunakan hasil penilaian jasa penilai.

Perlakuan khusus tersebut yaitu dalam rangka efisiensi dan

efektifitas pengadaan tanah untuk kepentingan umum skala kecil

dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah

dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau

tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

Artinya pengadaan tanah skala kecil tidak memerlukan tahapan

sebagaimana ditentukan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012.

Seperti yang terjadi di Kota Makassar tahun 2016, pada

pembebasan akses jalan Puskesmas Pampang luas 48m² (empat

puluh delapan meter persegi) di Jalan Pampang Raya dan pada

pembebasan Kantor Lurah Kunjung Mae luas 90m² (sembilan puluh

meter persegi) di Jalan Cendrawasih, keduanya dilakukan dengan

cara langsung.

Pasal 121 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun

2015 mengatur bahwa:

“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak memerlukan penetapan lokasi.”

Pasal tersebut mengatur bahwa Pengadaan tanah untuk

kepentingan umum yang kurang dari 5 (lima) hektar tidak

memerlukan penetapan lokasi. Ketentuan tersebut merupakan upaya

pemerintah untuk melakukan efisiensi dan percepatan terhadap

pengadaan tanah skala kecil.


7
Ketentuan Pasal 121 ayat (3) Perpres Nomor 148 Tahun 2015

tersebut ternyata dalam kenyataan di lapangan ada penyimpangan.

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan di Kota

Surabaya ternyata ditemukan banyak kegiatan pengadaan tanah

yang luasnya kurang dari 5 hektar tidak dilakukan secara langsung

oleh instansi yang memerlukan tanah melainkan tetap dilakukan

melalui proses penetapan lokasi. Salah satu contohnya yaitu pada

kegiatan pembangunan Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat

(Bundaran Dolog) Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur yang luasnya

hanya kurang lebih 8.940 m2 atau sekitar 0,89 hektar (ha) Gubernur

Jawa Timur tetap menerbitkan penetapan lokasi pengadaan tanah

yaitu melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor

188/247/KPTS/013/2016 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan

Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat (Bundaran Dolog) Kota

Surabaya, Provinsi Jawa Timur (selanjutnya disebut SK Gubernur

Jawa Timur Nomor 188/247/KPTS/013/2016).

Apabila dicermati, SK Gubernur Jawa Timur Nomor

188/247/KPTS/013/2016 tersebut menekankan pada fungsi izin

perubahan penggunaan tanah. Perlu dipastikan bahwa perubahan

penggunaan tanah tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah. Dapat dilihat pada dasar menetapkan Bagian Kedua huruf c

ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan fisik, harus

8
sesuai dengan arahan RTRW Kabupaten/Kota, RTRW Provinsi Jawa

Timur dan RTRW Nasional.

Jika pembangunan Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi

Barat (Bundaran Dolog) Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur tidak

dilaksanakan melalui SK Gubernur Jawa Timur Nomor

188/247/KPTS/013/2016 dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian

mengenai penggunaan tanahnya. Mengacu pada Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012, Pengadaan tanah untuk Kepentingan

umum diselenggarakan berdasarkan atas Rencana Tata Ruang

Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalamRencana

Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana

Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan untuk memastikan hal

tersebut maka salah satu tahapan yang dapat digunakan adalah

penetapan lokasi.

Kebijakan yang diatur dalam SK Gubernur Jawa Timur Nomor

188/247/KPTS/013/2016 yang dalam pelaksanaan pengadaan tanah

dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi tidak sejalan

dengan Pasal 121 ayat (3) Perpres Nomor 148 Tahun 2015 yang

menegaskan bahwa Pengadaan tanah untuk kepentingan umum

yang tidak lebih dari 5 (lima) hektar tidak memerlukan penetapan

lokasi.

Berdasarkan adanya perbedaan cara pelaksanaan

pengadaan tanah di kedua kota yang telah disebutkan diatas, penulis

9
tertarik ingin meneliti kelemahan dan kelebihan pengadaan tanah

dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan

menggunakan tahapan penetapan lokasi?

2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengadaan tanah skala kecil

dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis

pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan

tahapan penetapan lokasi.

2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis kelebihan dan

kelemahan pengadaan tanah skala kecil yang menggunakan

tahapan penetapan lokasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Memperkaya konsep atau teori yang mendukung pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum khususnya

skala kecil dan mewujudkan kepastian hukum penetapan lokasi

sehingga dapat menghindari konflik pertanahan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat

10
Dapat memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat,

khususnya subyek/pemilik obyek pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum.

b. Bagi pemerintah

Dapat dijadikan salah satu acuan dalam melakukan kajian

terhadap pembentukan dan/atau revisi peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang penetapan lokasi pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang

mengedepankan asas kepastian hukum.

E. Orisinalitas Penelitian

Untuk menjamin keaslian penulisan tesis ini, maka penulis

melakukan penulusuran kepustakaan karya ilmiah yang pernah

dilakukan sebelumnya untuk topik yang hampir sama, walaupun

objek penulisannya berbeda. Dari hasil penulusuran kepustakaan

ditemukan 2 (dua) karya ilmiah yang memiliki keterkaitan, yaitu :

1) Tesis yang ditulis oleh Rini Mulyanti, tahun 2013, dengan judul

“Analisis Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (Studi

Kasus Pembangunan Jalan Tol Jorr West 2)”.

Tesis ini memfokuskan pada 2 (dua) rumusan masalah, yaitu:

a. Apa dasar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan

Surat Gubernur Nomor 2349/1.711.52 tanggal 2 November

2011 tentang Perubahan atau revisi atas poin 5 b Surat

Gubernur tanggal 1 Oktober 1997?


11
b. Apa akibat hukum dengan diterbitkannya Surat Gubernur

tersebut terhadap PT.CI ?

Adapun hasil penelitian untuk rumusan masalah pertama

yaitu bahwa dasar diterbitkannya Obyek Sengketa oleh

Tata Usaha Negara (Gubernur DKI Jakarta) adalah

“kekeliruan” dimasa lampau, dimana baru diketahui

setelah 11 (sebelas) tahun sejak tahun 1997, sehingga

SIPPT yang telah diterbitkan pada Tahun 1997 perlu

direvisi.Sedangkan hasil penelitian untuk rumusan

masalah kedua adalah dengan diterbitkannya Obyek

Sengketa menimbulkan akibat hukum bagi PT. CI yaitu

pelaksanaan jual beli kavling kepada pihak Konsumen

tidak dapat terlaksana, dan proyek perumahan

terhambat pengurusan izinnya akibat diterbitkannya

penangguhan dan penundaan perizinan kepada PT. CI

oleh Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban.

2) Tesis yang ditulis oleh Wahyu Candra Alam, tahun 2010, dengan

judul “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kurang Dari

Satu Hektar dan Penetapan Ganti Kerugiannya”.

Tesis ini memfokuskan pada 2 (dua) rumusan masalah, yaitu:

a. Bagaimanakah pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dengan Luas

Kurang Dari Satu Hektar di Kota Tangerang ?

12
b. Bagaimana penetapan ganti kerugiannya terhadap

pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan

umum dengan luas kurang dari satu hektar di Kota

Tangerang?

Adapun hasil penelitian untuk rumusan masalah

pertama yaitu bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum yang luasnya kurang dari satu hektar

berupa Pelebaran Jalan Gatot Subroto dan pembuatan

Overpass dilaksanakan secara langsung antara Instansi

Pemerintah dengan pemilik obyek tanah atau kuasa dengan

cara pelepasan hak atas tanah, bangunan dan benda-benda

yang terkait dengannya dengan prinsip musyawarah. Hal

tersebut telah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 36

Tahun 2005 Jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006

Pasal 1, Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 dan Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 Pasal 54

sampai Pasal 58. Sedangkan hasil penelitian untuk rumusan

masalah kedua adalah dalam penetapan ganti kerugian

dilakukan dengan cara musyawarah antara instansi

pemerintah melalui Tim Pengelola Kegiatan dengan

masyarakat dengan melihat Nilai Jual Obyek Pajak tahun

berjalan dan harga pasaran dimana letak obyek tanah

tersebut dan hasilnya didasarkan hasil musyawarah

13
kesepakatan harga hal tersebut telah sesuai dengan Pasal

15 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 jo. Pasal 59

ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang

Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Tanah

1. Pengertian Pengadaan Tanah.

Menurut John Salindeho9 arti atau istilah menyediakan kita

mencapai keadaan ada, karena didalam mengupayakan,

menyediakan sudah mengandung arti mengadakan atau keadaan

ada itu, sedangkan dalam mengadakan tentunya kita menemukan

atau tepatnya mencapai sesuatu yang tersedia, sebab sudah

diadakan, kecuali tidak berbuat demikan, jadi kedua istilah

tersebut namun tampak berbeda, mempunyai arti yang menuju

kepada satu pengertian (monosematic) yang dapat dibatasi

kepada suatu perbuatan untuk mengadakan agar tersedia tanah

bagi kepentingan pemerintah.

Istilah pengadaan tanah dipergunakan pertama kali di dalam

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan

Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) pengadaan tanah

didefinisikan sebagai berikut:

“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan

tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak

atas tanah tersebut”.

9John Salindeho. 1988. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Sinar Grafika.


Jakarta. Hlm. 25.
15
Definisi pengadaan tanah diubah kembali dalam ketentuan

Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum bahwa:

“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan


tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan
pencabutan hak atas tanah”.

Pengertian pengadaan tanah ini dikritisi oleh publik karena

telah mencampuradukkan konsep pengadaan tanah dengan

pencabutan hak. Pengertian pengadaan tanah ini kemudian

diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3)

sebagai berikut:

“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk


mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman
dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.

Menurut Iskandar10 arti Pengadaan tanah mempunyai 3


unsur yaitu :
1. Kegiatan untuk mendapatkan tanah, dalam rangka pemenuhan
lahan pembangunan untuk kepentingan umum;
2. Pemberian ganti rugi kepada yang terkena kegiatan
pengadaan tanah;

10Iskandar Mudakir. 2010. Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan


Kepentingan Umum. Jala Permata Aksara. Jakarta.Hlm.2.
16
3. Pelepasan hubungan hukum dari pemilik tanah kepada pihak

lain.

Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan

tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah untuk

kepentingan umum sedangkan yang kedua pengadaan tanah

untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial

dan bukan komersial atau bukan sosial.

2. Pengertian Kepentingan Umum.

Pembangunan pertanahan tidak lepas dari pemahaman

tentang kepentingan umum, menurut John Salindeho11 belum ada

definisi yang sudah dibekukan mengenai pengertian kepentingan

umum, namun cara sederhana dapat ditarik kesimpulan atau

pengertian bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk

keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan

sosial yang luas. Oleh karena itu rumusan demikian terlalu umum,

luas dan tak ada batasnya, maka untuk mendapatkan rumusan

terhadapnya, kiranya dapat dijadikan pegangan sambil menanti

pembakuannya yakni kepentingan umum adalah termasuk

kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari

rakyat, dengan memerhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis

dan pertahanan keamanan nasional atas dasar asas-asas

pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan

nasional serta wawasan nusantara.

11Op.Cit., Hlm. 27.


17
3. Kewenangan Negara Terhadap Pengadaan Tanah

Negara tidak memiliki hubungan penuh atau mutlak (hak

milik) dengan tanah sehingga tidak mungkin pemerintah atas

nama negara begitu leluasa atau semena mena dalam

memeroleh (mengambil) tanah masyarakat/pemegang hak atas

tanah yang arealnya terkena pembangunan untuk kepentingan

umum.12 Sedangkan yang memiliki hubungan hukum sepenuhnya

dengan tanah adalah warga negara (rakyat dan masyarakat serta

badan hukum yang diantaranya termasuk pemerintah atas nama

negara).

Ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945

hasil amandemen keempat mengatur bahwa:

”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”.

Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal

33 ayat (3) UUD 1945 diatur pengertian hak menguasai sumber

daya alam oleh negara sebagai berikut:

1. Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai
negara tersebut dalam ayat (1) Pasal ini memberikan
wewenang untuk:

12Ronald Z. 1993. Penetapan Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah.


Disertasi PPS Unair. Surabaya. Hlm. 91.
18
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut.
b)Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara
tersebut pada ayat (2) Pasal 33, digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan
kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.
3. Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan yang berlaku. Berdasar Pasal 2
UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA,
pengertian “dikuasai” oleh negara bukan berarti “dimiliki”,
melainkan hak yang memberi wewenang kepada negara untuk
menguasai seperti hal tersebut diatas.13

Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai

sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat

publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan

bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya

sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang

“bersifat pribadi”. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (2) bahwa:

”tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita


mempunyai kesempatan yang sama untuk memeroleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya”.

13Budi Harsono. 2004. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-


Undang Pokok Agraria. Isi Dan Pelaksanaanya. Djambatan. Jakarta. Hlm.234.
19
Wewenang negara untuk mengatur hubungan hukum antara

orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah

terkait erat hubungan hukum antara tanah dengan negara. Hukum

yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat

diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada

masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh

siapapun. Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika melihat

hubungan negara dengan tanah terlepas dengan hubungan antara

masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya dan hubungan

antara perorangan dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu

dengan yang lain, dan merupakan hubungan yang bersifat

“tritunggal”.

4. Prinsip dan Asas Pengadaan Tanah

Prinsip-prinsip penyelenggaraan pengadaan tanah adalah:14

a. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat

b. Pemberian ganti kerugian yang layak, yaitu pemberian

konpensasi yang sepadan bahkan lebih maju (kehidupan yang

lebih baik) kepada bekas pemilik berupa: ganti rugi terhadap

hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain

yang berkaitan dengan tanah dan mempunyai nilai ekonomis.

Pemberian tersebut akan lebih cepat diberikan apabila

14Modul Diklat Pengadaan Tanah Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015. Hlm.11.


20
tanahnya sangat diperlukan dan tidak bisa ditunda-tunda lagi

karena akan membahayakan kepentingan bersama dan

keselamatan bersama.15

c. Pelaksanaan musyawarah, proses saling mendengar, saling

memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya

ganti kerugian dan masalah lain yang berkaitan dengan

kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan

kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan,

tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah

dengan pihak yang memerlukan tanah.

d. Kesesuaian dengan RTRW bahwa pembangunan untuk

kepentingan umum harus sesuai dengan zona dalam

kawasan budi daya serta kawasan lindung, dan menjunjung

tinggi nilai-nilai kemampuan tanah.

Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, Oloan

Sitorus dan Dayat Limbong mengemukakan bahwa ada 6 (enam)

asas/prinsip hukum pengadaan tanah yaitu:16

a) Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk

keperluan apapun harus ada landasan haknya,

b) Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak

langsung bersumber pada hak bangsa,


15Husein
Sastranegara. 1997. Konflik Pertanahan. CV. Muliasari. Jakarta.Hlm. 37.
16Oloan
Sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum Cetakan Pertama. Mitra Kebijakan Tanaha Indonesia. Yogyakarta. Hlm 11.
21
c) Cara memeroleh tanah yang sudah di haki seseorang harus

melalui kata sepakat antara kedua belah pihak yang

bersangkutan,

d) Alam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak

dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum,

penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh

hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa,

e) Baik dalam acara perolehan atas dasar sepakat, maupun

dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah

menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak,

f) Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek

pembangunan berhak untuk memeroleh pengayoman dari

pejabat birokrasi.

Asas Pengadaan Tanah

Asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada Pasal 2

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengatur bahwa:

“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan


berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan,
keberlanjutan, dan keselarasan.

Asas-asas pengadaan tanah adalah serangkaian kaidah

fundamental yang menfundamentir peraturan perundang-undangan

terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum. Secara konseptual, Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 44 UU no 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan

menyebutkan undang-undang lahir merupakan pengesahan dari

22
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Undang-Undang lahir dari

naskah akademik dan naskah akademik lahir dari hasil penelitian

serta tidak ada penelitian tanpa kesenjangan. Dasar-dasar

konseptual yang tertuang dalam naskah akademi hasil penelitian

adalah argumentasi filosofis, yuridis dan sosiologis. Serangkaian

kaedah-kaedah normatif yang melatar belakangi argumentasi

tersebut, dinamakan asas-asas pangadaan tanah. Secara umum,

asas-asas atau kaedah fundamental konsep pengadaan tanah

terdiri dari :17

a. Kepentingan Umum (aglemene belang/tenaglemeenen nutte)


b. Overmacht (keadaan memaksa) /cursive/force majeur
c. Musyawarah (konsensuil)
d. Ganti kerugian (convensation)
e. Onteigening (pencabutan hak)
f. Pembebasan Tanah (land aquitition)
g. Pelepasan hak (Pasal 2 a (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005)
h. Penyerahan hak (Pasal 2 a (1) huruf a Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005)
i. Transaksi (an agreementvide) (Pasal 2 a (2) Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005)

Falsafah yang mendasari pengaturan hak-hak atas tanah di

dalam hukum pertanahan adalah adanya pengakuan tentang fitrah

manusia sebagai makhluk monodualistik (makhluk individu dan

makhluk sosial). Berdasarkan falsafah ini maka UUPA juga

menentang strategi kapitalisme, karena kapitalisme melahirkan

kolonialisme yang menyebabkan “penghisapan manusia atas

manusia” dan UUPA juga menentang strategi sosialisme yang

dianggap meniadakan hak-hak individual atas tanah. Politik yang

17Ibid. Hlm.12.
23
terkandung dalam UUPA adalah populisme yang mengakui hak

individu atas tanah, tetapi hak atas tanah itu memiliki fungsi sosial.

Inilah yang mendasari lahirnya ketentuan hak atas tanah memiliki

fungsi sosial.18

Pada Bab 1 Pasal 6 UUPA mengatur bahwa “semua hak atas

tanah mempunyai fungsi sosial” yang dalam penjelasannya

disebutkan tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial dan dalam memori penjelasan UUPA II 4

disebutkan Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,

tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan

atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya

apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat

pengguna tanah harus disesuaikan keadaannya dan sifat dari pada

haknya sehingga bermanfaat, baik kesejahteraan dan kebahagiaan

yang mempunyai maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

Sungguh pun demikian tidak berarti bahwa kepentingan

Perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum

(masyarakat).

UUPA memerhatikan pula kepentingan-kepentingan


perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan
perseorangan haruslah saling imbang-mengimbangi hingga pada
akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan
dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

18Tolib Setiady. 1991. Hukum Tanah. Sinar Grafika Offset. Jakarta. Hlm. 52.
24
Jadi, tanah dalam perspektif Hukum Keagrarian Nasional

Indonesia adalah bersifat dualitis (dwi fungsi-dwitunggal) menurut

Boedi Harsono yang artinya mempunyai fungsi untuk kepentingan

pribadi perseorangan dan mengabdi untuk kepentingan umum

masyarakat/umum.

Semua hak atas tanah berfungsi sosial bukan hanya hak milik

saja, tetapi semua hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 16

UUPA. Dalam hal ini A. P. Parlindungan mengatakan bahwa;

seyogyanya Pasal 6 itu mengatur “semua hak-hak agrarian

mempunyai fungsi sosial.” Dengan demikian tidak hanya tanah saja,

tetapi hak-hak agraria selain tanah yang mencakup bumi, air dan

ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya

juga mempunyai fungsi sosial.

Selanjutnya Boedi Harsono mengatakan oleh karena itu,

hukum agraria nasional menolak teori “negara sebagai Eigenaar”

dan asas Domein Verklaring sebagaimana yang diteorikan dalam

khasanah hukum kolonial. Pernyataan Domein Verklaring tersebut

berkata jika tidak dibuktikan dengan hak eigendom maka tanah-

tanah tersebut adalah domein dari negara.

UUPA menganut konsepsi “menguasai” yang pengertiannya

dapat diacu dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA bahwa negara

memberi wewenang:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
25
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang atau perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.

Implementasi hak menguasai dari negara dalam rangka fungsi

sosial tanah ini adalah “hubungan istimewa” dalam artian negara

dalam hal ini pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan

pencabutan atau pembebasan tanah demi kepentingan umum,

ketentuan ini terdapat dalam Pasal 18 UUPA dan selanjutnya. Pasal

18 UUPA mengatur bahwa:

“untuk kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat


dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang19.”

Istilah pembebasan hak atas tanah dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri mendapat tanggapan negatif oleh masyarakat dan

pegiat hukum pertanahan (hukum agraria sehubungan dengan

banyaknya permasalahan yang ditimbulkan dalam pelaksanaannya,

sekaligus bermaksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan

dalam masyarakat sebagai reaksi terhadap dampak negatif dari

pembebasan tanah yang terjadi.20

5. Pelaksana Pengadaan Tanah

Lembaga pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum diterjemahkan sebagai intuisi yang terkait

langsung dengan fortofolio masing-masing berupa: Tugas pokok,

19Ibid.,
Hlm. 169-171.
20MariaSW . 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Buku
Kompas.Jakarta. Hlm. 72.
26
Fungsi, Kewenangan, Kewajiban, Keharusan, Larangan, Hak,

Tanggung Jawab (responsibility) dan Tanggung Gugat

(accountability) dalam menjalankan tugas kegiatan

penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum. Berikut ini akan dipaparkan masing-masing

yang bertugas dalam kegiatan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum:21

a. Lembaga Kepentingan Umum

Lembaga Kepentingan Umum adalah lembaga/organisasi yang

diberi wewenang untuk menangani hal-hal yang terkait dengan

kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus

diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat.

b. Lembaga Hak Atas Tanah

Hak atas Tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan hak lain yang akan

ditetapkan dengan undang-undang.

1)Subjek Hak Atas Tanah

Subyek hak atas tanah dalam hal ini adalah pemilik tanah.

2)Objek Hak Atas Tanah

Objek hak atas tanah dalam hal ini adalah lahan/tanah

yang dimiliki oleh seseorang.

21Op.Cit., Modul Diklat ATR/BPN 2015. Hlm.13.


27
c. Subjek Pengadaan Tanah

Subjek pengadaan tanah adalah orang atau lembaga/

organisasi yang diberi kewenangan menurut UU untuk

melakukan pengadaan tanah.

d. Objek Pengadaan Tanah

Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan

bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan

dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.

e. Lembaga Perizinan

Lembaga/Tim perizinan yang memberikan izin sesuai

ketentuan perundangan sebagai salah satu mekanisme dalam

pengadaan tanah.

f. Lembaga Penilai Tanah

Lembaga Tim Penilai Harga Tanah dalam Perpres

Nomor 36 tahun 2005, kemudian dipisahkan bagian tugas dan

kewenangan dengan Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun

Panitia Pengadaan Tanah harus berkoordinasi dengan

Lembaga/ Tim Penilai Harga Tanah sebagai salah satu

mekanisme pengadaan tanah yang dilakukan oleh panitia

pengadaan tanah tersebut.

Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka (12) Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ditegaskan bahwa Lembaga/

Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga atau tim yang

professional dan independen untuk menentukan nilai/ harga

28
tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai

kesepakatan atas jumlah/ besarnya ganti rugi. Sementara

dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

(Perkaban) Nomor 3 Tahun 2007, dipisahkan apa yang

dimaksud dengan lembaga penilai harga tanah dan tim penilai

harga tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah adalah lembaga

profesional dan independen yang mempunyai keahlian dan

kemampuan di bidang penilaian harga tanah.

g. Lembaga Perizinan (lisensi)

1) RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)

Mekanisme dasar perizinan dalam pemanfaatan ruang. Izin

pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang

benar tetapi terbukti tidak sesuai dengan RTRW, dibatalkan

oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai

kewenangannya.

2) Pertimbangan Teknis Pertanahan

Peraturan tentang pedoman pertimbangan teknis pertanahan

dalam penerbitan izin lokasi, penetapan lokasi dan izin

perubahan penggunaan tanah.

3) Penetapan Lokasi

Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 Pasal 1 ayat (13)

mengatur bahwa:

“Penetapan Lokasi adalah penetapan atas lokasi


pembangunan untuk kepentingan umum yang ditetapkan
29
dengan keputusan gubernur, yang dipergunakan sebagai izin
untuk pengadaan tanah, perubahan penggunaan tanah, dan
peralihan hak atas tanah dalam pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.”

Instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan

dan mendapatkan penetapan lokasi terlebih dahulu kepada

Gubernur untuk dapat melakukan perolehan tanah.

Penjelasan mengenai penetapan lokasi terdapat di

beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2012 di antaranya pada Pasal 19 ayat (6) mengatur bahwa:

“Gubernur menetapakan lokasi sebagaimana dimaksud pada


ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan
penetapan oleh instansi yang memerlukan tanah.”

Kemudian juga terdapat dalam Pasal 22 (1) yang

mengatur bahwa:

“Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana lokasi

pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat

(6), Gubernur menetapkan lokasi pembangunan.”

Kemudian diatur pula dalam Pasal 24 ayat (1) bahwa:

“Penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal
22 ayat (1) diberikan dalam waktu 2 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 1 tahun.”

h. Lembaga Ganti Rugi

Setiap pembebasan tanah tidak pernah terlepas dari masalah

30
ganti rugi.22 Ganti kerugian adalah pemberian kompensasi

yang sepadan bahkan lebih maju (kehidupan yang lebih baik)

baik yang bersifat materil maupun immateril kepada bekas

pemilik berupa: ganti rugi terhadap hak atas tanah; bangunan;

tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

i. Tim Pendamping

j. Lembaga Penyelenggara

1) Lembaga yang Membutuhkan Tanah

Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan. Perencanaan

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana

dimaksud didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah

dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis,

Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.

2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Sesuai Perpres Nomor 148 Tahun 2015 Pasal 47 ayat (1)

Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan

persiapan Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk

Kepentingan Umum kepada bupati/walikota berdasarkan

pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, sumber

22Soedaryo Soimin. 2004.Status Hak dan Pembebasan Tanah.Sinar Grafika


Offset.Jakarta. Hlm.75.
31
daya manusia, dan pertimbangan lainnya, dalam waktu

paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya dokumen

Perencanaaan Pengadaan Tanah.

3) Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Fungsi BPN adalah membantu Presiden dalam mengelola

dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik

berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan

lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan dan

pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran

dan pendaftaran tanah, yang berkaitan dengan

permasalahan tanah berdasarkan kebijaksanaan yang

ditetapkan oleh Presiden23

k. Landfreesing dan Surat Kuasa

Surat Kuasa (Last Giving), tidaklah sama dengan surat kuasa

yang diatur dalam KUHPerdata

l. Lembaga Onteigening (Pencabutan Hak), Mahkamah Agung

yang diketuai oleh Presiden. Lembaga ini bertugas setelah

dibuatkan Surat Keputusan Presiden.

m. Lembaga Keberatan Masyarakat

Keberatan masyarakat terhadap keberadaan proyek, ganti rugi

dan aspek teknis dan yuridis lainnya dapat menggunakan

lembaga litigasi dan non litigasi. Lembaga litigasi terkait

23 Irawan Soerodjo. 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di


Indonesia.Arkola.Surabaya. Hlm.165.
32
keberatan yang didaftarkan via peradilan, sedangkan lembaga

keberatan non litigasi dapat melalui penyelesaian mediasi

1) Lembaga Konsinyasi

2) Konsultasi Publik

3) Musyawarah

6. Dasar Hukum Pengadaan Tanah

Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum

adat merupakan sumber utama untuk memeroleh bahan-

bahannya, berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga

hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang

tertulis,yang disusun menurut sistem hukum adat.24

Negara diwajibkan untuk mengatur pemilikan dan

penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik

secara perseorangan maupun gotong royong.25 Sejak lengsernya

kekuatan order baru, dan dengan mulainya era reformasi

dipandang penting untuk mengkaji tentang sejauh mana negara

mempunyai kekuasaan atau warga. Hal ini dipandang penting

karena selama beberapa tahun terakhir ini kekuasaan negara

begitu besar, sehingga hak apapun yang ada pada diri

seseorang, harus dikorbankan terutama dengan alasan demi

kepentingan umum untuk pembangunan.

24 Suryaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat Dulu Kini dan Akan Datang. PT.
Pelita Pustaka. Makassar. Hlm.136.
25Ahmad Choamzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Nasional). Prestasi

Pustaka.Jakarta. Hlm.50.
33
Hak-hak yang timbul di atas hak atas permukaan bumi

(hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau benda-

benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan

hukum.26 Tidak dapat disangkal bahwa sebagai suatu organisasi

kekuasaan, negara harus memiliki suatu otoritas yang besar

untuk lebih memudahkannya dalam fungsi pengaturannya.

Di Indonesia hal itu diatur di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD

1945. Masalah yang mungkin timbul ialah sejauhmana otoritas

tersebut dapat digunakan sehingga tidak menyimpang dari

keadaan yang seharusnya.

Hak menguasai dari negara yang meliputi tanah dengan

hak-hak perorangan bersifat aktif. Hak menguasai dari negara

menjadi pasif, apabila tanah tersebut dibiarkan/tidak terurus.

Berdasarkan hak menguasai, negara dapat memerintahkan

supaya tanah tersebut dibuat produktif atau jatuh ke tangan

negara.27 Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditetapkan bahwa

bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat. Demi mencapai tujuan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat harus ada penguasaan negara. Isi Pasal ini

tidak dimaksudkan pemerintah sebagai pemilik, karena sebagai

pemilik subjeknya adalah orang, dan hak itulah yang merupakan


26Supriadi. 2010.Hukum Agraria.PT.Sinar Grafika.Jakarta. Hlm.3.
27Iman Soetiknjo. 1994. Politik Agraria Nasional. Gadja Mada University Press.
Yogyakarta. Hlm.53.
34
hak terkuat dan terpenuh atas tanah. Walaupun sifatnya terkuat

dan terpenuhi, sama sekali tidak memberikan wewenang yang

berlebihan.

Sekarang ini dasar hukum pengadaan tanah telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum.

Pranata hukum pengadaan tanah akan lebih utuh dipahami

bila tetap berpegang pada konsepsi hukum tanah nasional.

Konsepsi hukum tanah nasional diambil dari hukum adat yakni

berupa konsepsi yang komunalistik religious yang memungkinkan

penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah

yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.28

Siapa saja yang hendak mendapatkan tanah dapat

dikategorikan juga dalam istilah pengadaan tanah maka dapat

dipahami ketika judul Keputusan Presiden tersebut dituliskan

“pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum“ dalam hal ini ada spesifikasi yang ditegaskan

yang menjadi maksud dan tujuan serta pelaksanaan dari kegiatan

pengadaan tanah tersebut.29

Hak apapun suatu bidang tanah dikuasai, tanah yang

bersangkutan adalah sebagian tanah-bersama Bangsa Indonesia.

Oleh karena itu penetapan peruntukan dan penggunaannya


28
Boedi Harsono. 2004.Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta. Hlm. 171.
29Umar Said Sugiharso. 2015. Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum Pra dan Pasca Reformasi.Setara Press.Malang, Hlm. 25
35
misalnya, selain berpegang pada kepentingan pribadi pemegang

haknya, juga wajib memerhatikan kepentingan bersama.

Kepentingan bersama tersebut antara lain diwujudkan dan

dituangkan dalam Rencana Tata Ruang atau Rencana Tata Guna

Tanah Wilayah yang bersangkutan, yang ditetapkan Pemerintah

Daerah.30

Konsepsi hukum tanah nasional itu kemudian lebih

dikongkretkan dalam asas-asas hukum pengadaan tanah. Menurut

Boedi Harsono paling tidak ada 6 (enam) asas-asas hukum yang

harus diperhatikan dalam perolehan (pengadaan) tanah yaitu:31

a. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk

keperluan apapun harus ada landasan haknya.

b. Di dalam UUPA hak-hak itu berupa: hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan dan hak-hak

sekunder yang ada. Penguasaan dan penggunaan tanah yang

dilandasi salah satu hak diatas dilindungi oleh hukum dari

gangguan pihak manapun. Upaya menanggulangi gangguan dari

pihak sesama anggota masyarakat dapat ditanggulangi dengan:

1) Gugatan perdata di pengadilan;

2) Meminta bantuan Bupati/Walikota yang bersangkutan bagi

pihak yang menggunakan tanah secara illegal;

3) Tuntutan pidana bagi para okupan (liar);

4) Selanjutnya terhadap gangguan dari pihak penguasa yang

30Ibid., Hlm. 4.
31Ibid., Hlm. 4- 5.
36
tidak ada dasar hukumnya dapat ditanggulangi dengan:

a) Gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata;

b) Gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

c) Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak

langsung bersumber pada hak bangsa. Ini berarti, bahwa

setiap hak atas tanah bersifat pribadi (dalam arti

memberikan kewenangan kepada pemegang hak yang

berangkutan untuk memanfaatkan tanah yang dihaki itu

bagi diri dan keluarganya), sekaligus juga mengandung

unsur kebersamaan (dalam arti bahwa pemanfaatannya

harus memerhatikan juga kepentingan umum, kepentingan

bersama) karena itulah maka disebutkan dalam Pasal 6

UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

sosial. Jika terjadi pertentangan antar kepentingan pribadi

yang punya tanah dengan kepentingan bersama, maka

kepentingan bersamalah yang harus didahulukan.

d) Cara memeroleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus

melalui kata sepakat antara pihak yang bersangkutan,

menurut ketentuan yang berlaku. Tegasnya, dalam

keadaan biasa, pihak yang memiliki tanah tidak boleh

dipaksa untuk menyerahkan haknya

e) Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah

tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan

umum, Penguasa (dalam hal ini Presiden Republik

Indonesia diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil

37
tanah yang diperlukan secara “paksa”, tanpa persetujuan

yang empunya tanah, melalui acara pencabutan hak).

f) Baik dalam acara, perolehan tanah atas dasar kata

sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada

pihak yang telah menyerahkan haknya wajib diberikan

imbalan yang layak, berupa uang, fasilitas dan atau tanah

lain sebagai gantinya, sedemikian rupa hingga keadilan

sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi mundur.

g) Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek-

proyek pembangunan berhak untuk mendapatkan

pengayoman dari para Pejabat Pamong Praja dan Pamong

Desa.

B. Landasan Teori

1. Teori Kemanfaatan

Teori Utilitarianisme (Kemanfaatan) pertama kali

dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748-1832). Menurut teori ini,

tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan

sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh

falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara

mendambakan kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu

alatnya.32

32 W. Friedman. 1990. Teori dan Filsafat Hukum; Idealisme Filosofis dan


ProblemaKeadilan, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin,
Disunting oleh Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib. Rajawali. Jakarta. Hlm. 111.
38
Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama

dari hukum, kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan

(happiness) yang tidak mempermasalahkan baik atau tidak adilnya

suatu hukum, melainkan bergantung kepada pembahasan

mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagian kepada

manusia atau tidak.33

Menurut Jeremy Bentham prinsip-prinsip dasar teori

kemanfaatan adalah: 34

a. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan


kebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak.
Prinsiputiliti Bentham mengatakan ” the greatest happiness of
the greatest number ” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya
untuk sebanyak-banyaknya orang).
b. Prinsip itu harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas
kesenangan selalu sama.
c. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka
perundang-undangan harus mencapai empat tujuan :
1) to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).
2) To provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan
berlimpah).
3) To provide security (untuk memberikan perlindungan).
4) To attain equity (untuk mencapai persamaan).

Lebih lanjut Bentham mendefinisikan kegunaan (utilitas)

sebagai segala kesenangan, kebahagiaan, keuntungan kebajikan,

manfaat atau segala cara untuk mencegah rasa sakit, jahat, dan

ketidakbahagiaan.

Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah


dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu
membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya
kerugian bagi orang-orang yang terkait.

33 Lili Rasyidi. 2010. Filsafat Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm.59.


34 Muhammad Erwin. 2011. Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap Hukum.
Rajawali Press. Jakarta. Hlm. 180-181.
39
Bila dikaitkan dengan yang dinyatakan oleh Bentham pada

hukum, maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya

akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan

hukum baru bisa dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari

penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-

besarnya, dan berkurangnya penderitaan.

Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan

evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-

besarnya bagi sebagian besar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan

evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang

dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu,

maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan

kesejahteraan negara.Kemanfaatan dirumuskan dalam bentuk:

1. Penetapan kriteria bentuk dan besarnya ganti kerugian yang

realistis. Teknik analisis data yang dilakukan yaitu dengan

menguji sejauh mana realistisnya bentuk dan besarnya ganti

kerugian yang ditetapkan sehingga bermanfaat bagi pemegang

hak atas tanah dalam proyek. Selanjutnya yang termasuk

indikatornya adalah:

a) Besarnya ganti kerugian yang diberikan

b) Ketepatan penyerahan ganti kerugian.

2. Kriteria kepentingan umum. Teknis analisis data yang dilakukan

dengan menguji sejauh mana proyek telah memberikan manfaat

40
bagi masyarakat secara keseluruhan, termasuk pemegang hak

atas tanah. Indikatornya adalah:

a) Sejauh mana pelaksanaan peraturan membawa manfaat

tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan.

b) Sejauh mana pelaksanaan peraturan tidak menyebabkan

terjadinya kesewenangan dan penyalahgunaan kekuasaan

dengan dalih kepentingan umum.

2. Teori Keadilan

Aristoteles menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih

dari satu arti. Adil dapat diartikan menurut hukum, dan apa yang

sebanding yaitu yang semestinya. Dalam hal ini menunjukkan

bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila mengambil

lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan

hukum juga dapat dikatakan tidak adil karena semua hal yang

didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai adil.35

Selanjutnya menurut Aristoteles, dalam konsep negara

hukum yang memerintah negara bukanlah manusia, melainkan

fikiran yang adil, sedangkan penguasa sesungguhnya hanya

pemegang hukum dan keseimbangan saja. Secara umum, dalam

setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlaku

tiga prinsip dasar, yakni supremasi hukum (supremascy of law),

kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) dan

35 Darji Darmodiharjo. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. PT. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta. Hlm. 156.
41
penegakan hukum yang berdasarkan hukum (due process of law)36.

Ketiga prinsip dasar tersebut apabila dilaksanakan dengan baik

maka akan menjadikan negara kuat dalam menciptakan keadilan

bagi warga negaranya dan juga pemenuhan hak asasi manusia

akan berjalan dengan baik pula.

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling

banyak dibicarakan sepanjang sejarah filsafat hukum. Keadilan

merupakan tujuan utama diciptakannya hukum. Oleh karena itu

pembentukan suatu norma hukum harus menganut prinsip keadilan.

Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar

manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah

membicarakan keadilan, adanya keadilan maka dapat tercapainya

tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan

makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Masalah keadilan bukanlah masalah masalah yang baru

dibicarakan para ahli, namun pembicaraan tentang keadilan telah

dimulai sejak Aristoteles sampai dengan saat ini. Bahkan, setiap

ahli mempunyai pandangan yang berbeda tentang esensi keadilan.

Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keadilan sejak

Aristoteles sampai saat ini, disebut dengan teori keadilan. Teori

keadilan dalam bahasa Inggris disebut dengan theory of justice,

36Jarot Widya Muliawan. 2015. Pemberian Hak Milik Untuk Rumah Tinggal, Edisi
Revisi. Buku Litera. Yogyakarta. Hlm. 92.
42
sedangkan dalam bahasa Belandanya disebut dengan theory van

rechtvaardigheid.37

Kata keadilan berasal dari kata adil. Dalam bahasa Inggris,

disebut “ justice”, bahasa Belanda disebut dengan “rechtvaarding”.

Adil diartikan dapat diterima secara objektif. Keadilan dimaknakan

sifat (perbuatan, perlakuan) yang adil. Ada tiga pengertian adil,

yaitu:38

1. Tidak berat sebelah atau tidak memihak;

2. Berpihak pada kebenaran;

3. Sepatutnya atau tidak sewenang – wenang.

Pengertian tentang keadilan dikemukakan oleh Notonegoro.

Notonegoro menyajikan pendapatnya tentang pengertian keadilan.

Keadilan adalah:39

“kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri dan orang lain

apa yang semestinya, apa yang telah menjadi haknya. Hubungan

antara manusia yang terlibat di dalam penyelenggaraan keadilan

terbentuk dalam pola yang disebut hubungan keadilan segitiga,

yang meliputi keadilan distributif, keadilan bertaat atau legal, dan

keadilan kumutatif.

37 Op.Cit., Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Hlm, 25


38 Ibid
39 Ibid

43
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu:

1. Keadilan dalam arti umum;

2. Keadilan dari arti khusus;

Keadilan dalam arti umum adalah keadilan yang berlaku bagi

semua orang. Tidak membeda-bedakan antara orang yang satu

dengan orang yang lain. Sedangkan keadilan dalam arti khusus

merupakan keadilan yang berlaku hanya ditujukan pada orang

tertentu saja.

Dalam penelitian ini teori keadilan dimaksudkan untuk

membahas dan menganalisis guna kebutuhan pembahasan

mengenai tindakan pemerintah dan proses-proses pengadaan tanah

untuk pembangunan yang tidak merugikan masyarakat yang

terkena dmapak pengadaan tanah untuk pembangunan.

3. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum


yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya
tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya
subyektif.40 Pentingnya kepastian hukum sesuai yang diatur pada
Pasal 28 D ayat (1) Undang–Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga
bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.”41

40L.J. Van Apeldorn. 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Xxx. Pradnya Paramita.
Jakarta. Hlm. 11.
41Ibid., Hlm. 12.

44
Prinsip kepastian hukum secara jelas telah diamanatkan

oleh konstitusi dan wajib hukumnya untuk diterapkan pada setiap

perumusan peraturan perundang-undangan.

Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang

seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari

otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu dijunjung

apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal

tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-

satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum positivistik

adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian

hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan

dan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum

berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum

dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.

Pada paradigma positivistik bahwa sistem hukum tidak


diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan
hanya sekedar melindungi kemerdekaan individu. Kemerdekaan
individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum.
Paradigma positivistik berpandangan, demi kepastian hukum maka
keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Pandangan
positivistik yang telah mereduksi hukum sehingga telah menjadi
sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik maka
apabila dilihat lagi hukum tidak lagi sebagai pranata manusia
melainkan hanya sekedar media profesi.42

42 Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum. Universitas Atma Jaya


Yogyakarta.Yogyakarta. Hlm. 161.
45
Akan tetapi karena sifatnya yang determistik, maka aliran ini

memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi.

Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas

dan ketaatan hukum demi ketertiban bermasyarakat yang

merupakan suatu keharusan, karena tanpa kepastian hukum setiap

orang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada

akhirnya akan menimbulkan keresahan.

Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian

kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian

hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin

banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang

berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas

hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap

berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai

apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-

undang.

Dalam undang-undang terdapat ketentuan-ketentuan yang

bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis

dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan

rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan

dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang

dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.43

43Ibid., Hlm. 147.


46
Menurut Friedrich Julius Stahl44 seorang pelopor hukum

Eropa Kontinental, ciri sebuah negara hukum antara lain adalah

adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya

pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan

peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta

peradilan administrasi dalam perselisihan. Konsep negara hukum

disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state),

kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak

asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara.

Berdasarkan hal tersebut negara di samping bertugas

untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan

sosial maka negara juga harus memberikan perlindungan

terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam Pasal 28 I

ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan prinsip

negara hukum yang demokratis.45

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk

mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam

pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia

dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan

Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum

dan ketertiban.46

44Ibid.,Hlm. 210.
45Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Citra Aditya
Bakti, Bandung. 2001. Hlm. 68.
46Friedrich. C. J. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa dan Nusamedia.

Bandung. Hlm. 239.


47
Kemudian menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan

negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak

hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola

dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat

dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan

independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif

dan legeslatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang

bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh di

luar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu

kepastian hukum yang syarat akan keadilan. Hukum bukan hanya

urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of

behavior).47 Kepastian hukum dirumuskan dengan:

a) Berdasarkan kaidah hukum yang lebih tinggi

b) Terbentuknya yang sesuai dengan cara yang telah ditetapkan

c) Teknik pengujiannya ialah dengan metode doktrinal, yaitu

menguji menurut pandangan para pakar, sejauh mana

peraturan-peraturan pengadaan tanah sesuai dengan doktrin

yang dianut.

Dalam rancangan KUHP yaitu Pasal 1 angka 1 yang diatur

bahwa tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan

kecuali perbuatan yang dilakukannya telah ditetapkan sebagai

tindak pidana. Tetapi secara tegas rancangan KUHP mengatur

47Ibid., Hlm. 240.


48
ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi

berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut

adat setempat seseorang dapat dipidana walaupun perbuatan

yang dilakukan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Bila dikaji dari segi sosiologisnya ini bisa dilihat dalam

ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang diatur bahwa suatu kenyataan

bahwa dalam beberapa daerah di tanah air masih terdapat

ketentuan hukum di daerah tersebut: Hal yang demikian juga

didapati dalam lapangan hukum pidana yang bisa disebut dengan

tindak pidana adat. Diakuinya tindak pidana tersebut untuk lebih

memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Jadi asas legalitas yang dikaji dari segi sosial ini lebih

mengutamakan rasa keadilan bagi setiap warga masyarakat tanpa

terkecuali, sehinggga timbullah kehidupan masyarakat yang adil,

tentram dan sejahtera. Asas legalitas (kepastian hukum) ini yang

juga memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat. Asas

legalitas ini juga tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945, dimana

dalam Pancasila terdapat dalam alinea pertama, alinea kedua dan

alinea ke-4. Kemudian juga terdapat dalam batang tubuh UUD

1945 yaitu: Pasal 1 ayat (3), (4), (9), (24), (27), (28).

49
C. Pengertian Sinkronisasi dan Harmonisasi

1. Sinkronisasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sinkron

berarti terjadi atau berlaku pada waktu yang sama; serentak,

sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sehubungan dengan judul

penelitian ini, kata sinkronisasi berarti perihal menyinkronkan,

penyerentakan.

Menurut Endang Sumiarni, sinkronisasi yang dimaksud

adalah dengan melihat kesesuaian atau keselarasan peraturan

perundang-undangan secara vertikal berdasarkan sistematisasi

hukum positif yaitu antara peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah.48 Sinkronisasi peraturan perundang-undangan sering

menimbulkan pertentangan mengenai peraturan perundang-

undangan yang mana yang lebih tepat untuk digunakan untuk

kasus tertentu. Oleh karena itu, para penegak hukum perlu

memerhatikan asas-asas berlakunya peraturan perundang-

undangan.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, terkait sinkronisasi

peraturan perundang-undangan terdapat asas lex superiori derogat

legi inferiori yang menjelaskan bahwa apabila terjadi konflik hukum

antara peraturan perundangundangan yang lebih tinggi

48 Endang Sumiarni. 2013. Metodologi Penelitian Hukum Dan Statistik.Yogyakarta.


Hlm. 5.
50
tingkatannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah tingkatannya, maka peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah tingkatannya dikesampingkan/ tidak diberlakukan.49

Dalam penelitian ini pengertian sinkronisasi peraturan

perundang-undangan diartikan sebagai suatu upaya atau suatu

kegiatan untuk menyelaraskan (membuat selaras), dan

menyesuaikan (membuat sesuai) antara suatu peraturan

perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lain secara hierarki vertikal. Sinkronisasi yang akan dikaji adalah

antara Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 dengan Perpres

Nomor 148 Tahun 2015 terkait penetapan lokasi dalam pengadaan

tanah skala kecil bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

2. Harmonisasi

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program

Pembangunan Nasional menentukan bahwa salah satu program

pembangunan adalah program pembentukan peraturan perundang-

undangan yang sasarannya adalah menciptakan harmonisasi

peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi

masyarakat dan kebutuhan pembangunan.

Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

menentukan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan

49 Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. Hlm. 99.
51
pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal

dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus

menangani bidang legislasi.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata harmonis

diartikan sebagai sesuatu yang bersangkut paut dengan harmoni,

atau seia sekata; sedangkan kata “harmonisasi” diartikan sebagai

pengharmonisan, atau upaya mencari keselarasan. Dalam

penelitian ini kata harmonisasi juga digunakan sebagai upaya untuk

mencari kesesuaian antara peraturan perundang-undangan.

Harmonisasi juga berhubungan dengan pendekatan

peraturan perundang-undangan dengan perlu juga memahami asas

lex specialis derogat legi generali. Asas ini merujuk pada dua

peraturan perundang-undangan yang secara hierarki mempunyai

kedudukan yang sama, tetapi ruang lingkup materi muatan antara

peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu

merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. 50 Perbedaan

kata harmonisasi dengan kata sinkronisasi adalah pada peraturan

perundang-undangan yang dikaji. Kata harmonisasi digunakan

untuk mengkaji kesesuaian antara peraturan perundang-undangan

secara horisontal atau yang sederajat dalam sistematisasi hukum

positif.51 Dalam hal ini yang akan dikaji adalah peraturan yang

mengatur mengenai penetapan lokasi dalam pengadaan tanah

skala kecil bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

50 Ibid., Hlm. 99.


51 Endang Sumiarni. 2013. Metodologi Penelitian Hukum Dan Statistik. Yogyakarta.
Hlm. 5
52
D. Kerangka Pikir

PENETAPAN LOKASI DALAM PENGADAAN TANAH SKALA


KECIL BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

1. Teori Kemanfaatan

2. Teori Keadilan

3. Teori Kepastian Hukum

Pelaksanaan pengadaan tanah Kelebihan dan Kelemahan


skala kecil bagi kepentingan terhadap pengadaan tanah skala
umum dengan menggunakan kecil yang menggunakan
penetapan lokasi
penetapan lokasi

- Ketentuan Peraturan - Kelebihan Penetapan Lokasi


Perundang-Undangan - Kelemahan Penetapan Lokasi
- Kebijakan Pemerintah Provinsi

Terwujudnya Kepastian Hukum dalam Pengadaan Tanah Skala Kecil


bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

53
E. Definisi Operasional

1. Penetapan lokasi adalah penetapan atas lokasi pembangunan

untuk kepentingan umum yang ditetapkan dengan keputusan

gubemur, yang dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan tanah,

perubahan penggunaan tanah, dan peralihan hak atas tanah

dalam Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum.

2. Pengadaan tanah skala kecil yang penulis maksud adalah kegiatan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

yang batasan luas objek pengadaan tanahnya tidak lebih dari 5

(lima) hektar.

3. Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah pembangunan

untuk kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus

diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat.

4. Pelaksanaan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu

badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna

mencapai tujuan yang diharapkan.

5. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang

memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk

atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam perundang-

undangan.

54
6. Kebijakan pemerintah adalah keputusan yang dibuat secara

sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu

yang menyangkut kepentingan umum

7. Kelebihan adalah keadaan yang unggul dibanding yang lain

8. Kelemahan adalah keadaan yang kurang dibanding yang lain.

9. Kepastian Hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas danlogis.

Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir)

dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan

norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik

norma.

55
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Surabaya dan Kota Makassar,

dikarenakan pada kedua lokasi tersebut terkait dan sesuai dengan

pokok permasalahan dalam penelitian ini.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum ini adalah hukum empiris, yaitu selain

mengkaji hukum teoritik dan normatif yang dikenal law in book, juga

mengkaji hukum dalam pelaksanaannya (law in action). Kesesuaian

antara hukum dalam perspektif normatif dan hukum dalam perspektif

empiris merupakan suatu tuntutan realitas untuk mengefektifkan

hukum dalam kehidupan. Dalam hal ini berkaitan dengan kepastian

hukum terhadap pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan

penetapan lokasi.52

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pihak

yang terkait dalam penelitian ini, yaitu:

a. Semua pegawai Kementerian Agraria dan Tata Ruang

Republik Indonesia

52Mukti Fajar Nurdewantara. 2010. Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.


Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 43.
56
b. Semua pegawai Kantor Gubernur Pemerintah Provinsi Jawa

Timur

c. Semua pegawai Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Provinsi Jawa Timur

d. Semua pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya

e. Semua pegawai Kantor Pertanahan Kota Makassar

f. Semua pegawai Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi

Selatan termasuk di dalamnya Dinas Perumahan Pemukiman

dan Pertanahan dan Perumahan dan Dinas SDA Cipta Karya

dan Tata Ruang

g. Semua pegawai Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi

Sulawesi Selatan

h. Semua pegawai Dinas Pertanahan Kota Makassar

i. Semua pegawai Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi

Selatan

j. Masyarakat Kota Surabaya dan Kota Makassar

2. Sampel

Sampel adalah perwakilan dari populasi yang hasilnya

mewakili keseluruhan populasi, sampel dalam penelitian ini

adalah:

a. Direktur Kementerian Agraria dan tata Ruang Republik

Indonesia

57
b. Kepala Bagian Pelaksanaan Pembangunan Biro Administrasi

Pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur

c. Kepala Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur

d. Kepala Seksi Pemanfaatan Tanah Pemerintah Bidang

Pengadaan Tanah Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional Provinsi Jawa Timur

e. Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan Pemanfaatan Dinas

Pekerjaan Umum Kota Surabaya

f. Kepala Seksi Permasalahan Tanah Dinas Pertanahan

Makassar

g. Kepala Seksi Fasilitas Pengadaan Tanah Bidang Pertanahan

Dinas Perumahan Pemukiman dan Pertanahan Provinsi

Sulawesi Selatan

h. Kepala UPT Pelaksanaan Teknis Mamminasata Dinas Cipta

Karya dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan

i. Kepala UPT Pelabuhan Regional Takalar Dinas Perhubungan

Provinsi Sulawesi Selatan

j. Kepala Seksi Pengembangan Fasilitas Teknis Dinas

Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan

k. Masyarakat Kota Makassar dan Kota Surabaya

58
D. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di

lapangan dengan cara wawancara dengan pihak-pihak terkait yaitu

Direktur Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia,

Kepala Bagian Pelaksanaan Pembangunan Biro Administrasi

Pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timurdi Kota

Surabaya, Kepala Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, Kepala

Seksi Pemanfaatan Tanah Pemerintah Bidang Pengadaan Tanah

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur di

Kota Surabaya, Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan Pemanfaatan

Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya, Kepala Seksi

Permasalahan Tanah Dinas Pertanahan di Kota Makassar, Kepala

Seksi Fasilitas Pengadaan Tanah Bidang Pertanahan Dinas

Perumahan Pemukiman dan Pertanahan Provinsi Sulawesi

Selatan, Kepala UPT Pelaksanaan Teknis Mamminasata Dinas

Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala

UPT Pelabuhan Regional Takalar Dinas Perhubungan Provinsi

Sulawesi Selatan, Kepala Seksi Pengembangan Fasilitas Teknis

Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan,

Ismartini, Achmad Hadi, Benny Susanto, Philindo Tukan, Rohmah,

59
Hufron, Darmawi, Saragih, Kastiani, Hedi Suparno, Aziz Junaedi,

Marlyn, Abdul Hafid, Haji Adi, Isramuddin, dan Saripah, Kainuddin,

Hajjah Musdalifa beberapa masyarakat Kota Makassar dan Kota

Surabaya.

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini berupa surat keputusan

penetapan lokasi dan juga meliputi peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang pengadaan tanah dan pemerintahan

daerah.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang telah digunakan pada

penelitian ini adalah wawancara, dilakukan kepada informan

(narasumber) yang berisi beberapa daftar pertanyaan yang sudah

disediakan peneliti kemudian digabungkan dengan hasil telaah

bahan-bahan pustaka berupa peraturan perundang-undangan dan

sumber-sumber tertulis lainnya yang terkait atau berhubungan

dengan penelitian ini.53

F. Teknik Analisis Data

Keseluruhan data yang diperoleh dari penelitian ini, baik data

primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis secara kualitatif

selanjutnya dideskripsikan guna memberikan pemahaman dengan

menggambarkan, dan menjelaskan hasil penelitian ini.

53 Ibid., Hlm. 50
60
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pengadaan Tanah Skala Kecil bagi Pembangunan


untuk Kepentingan Umum dengan menggunakan Penetapan
Lokasi

Salah satu substansi hukum yang diatur dalam beberapa

peraturan perundang-undangan bidang pengadaan tanah adalah

pengadaan tanah untuk skala kecil. Pada awalnya dalam Perpres

Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditentukan luas tanah

skala kecil adalah 1 hektar namun dalam Peraturan Presiden Nomor

40 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Presiden

Nomor 71 Tahun 2012 diatur bahwa luas tanah skala kecil adalah di

bawah 5 hektar. Kemudian pada tahun 2015 dilakukan perubahan

kembali yang mengatur bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan

umum yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar harus sesuai dengan tata

ruang wilayah, tidak memerlukan pentetapan lokasi dan instansi yang

memerlukan tanah menggunakan hasil penilaian jasa penilai untuk

penilaian tanah yang tertuang dalam Perpres Nomor 148 Tahun 2015.

Upaya pembentukan hukum dalam rangka menciptakan

kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat merupakan

konsekuensi dari cita negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Oleh

karena itu secara yuridis dapat dikatakan bahwa pengadaan tanah

merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan negara hukum


61
melalui penciptaan kepastian hukum bagi pemerintah sebagai pihak

yang membutuhkan tanah demi penyelenggaraan fungsi-fungsinya

dan kepastian hukum bagi masyarakat pemilik tanah sebagai pihak

yang memiliki hak asasi yang harus dilindungi dalam keadaan

apapun.54

1. Ketentuan Perundang-undangan

Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak dikenal

dalam UUPA, karena berdasarkan Bab 2 bagian IV Pasal 27, Pasal

34 serta Pasal 40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanahnya

hanya dikenal perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah dan

penyerahan hak atas tanah. Perbuatan pelepasan hak atas tanah

dilakukan bilamana subjek hak atas tanah mendapatkan permintaan

dari negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah

daerah yang menghendaki hak atas tanah untuk kegiatan

pembangunan bagi kepentingan umum (public interest) berdasarkan

ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial.55

Sebelumnya di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang

dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan

dengan cara pencabutan hak atas tanah. Hal tersebut diatur dalam

54Donna Okthalia Setiabudhi. 2016. Urgensi Pengaturan Pengadaan Tanah Skala

Kecil Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum di Kota Menado. Jurnal Universitas
Sam Ratulangi. Manado. Hlm. 3.
55Imam Koeswahyono. 2011. Mengkritisi Rancangan Undang-Undang Pengadaan

Tanah Untuk kepentingan Pembangunan, Suatu Cacatan Kritis. Jurnal Hukum Dan
Pembangunan, ISSN 0215 9687. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm
246.
62
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,

Pasal 1 angka 3. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan

Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari

Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 maka pengadaan tanah

bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang

dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas

tanah. Setelah itu pada tahun 2012, diundangkan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden

Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Kemudian pada tahun 2014, dikeluarkan Peraturan Presiden

Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Presiden

Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan

Peraturan Presiden Nomor 99 tahun 2014 tentang Perubahan kedua

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun

2015 dan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang

63
Perubahan Ketiga dan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71

Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pengadaan tanah untuk

Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar,

dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah

dengan pihak yang berhak, dengan cara jual beli atau tukar

menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

Pengadaan tanah yang dilakukan langsung, dapat dilakukan

tanpa melalui tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah yang

diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,

dan peraturan pelaksanaannya. Dalam hal ini, sebagimana

diketahui tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah berdasarkan

Pasal 13 Undang-Undang 2 Tahun 2012 jo. Pasal 2 Peraturan

Presiden Nomor 71 Tahun 2012 terdiri atas 4 (empat) tahapan

penyelenggaraan pengadaan tanah yaitu tahapan perencanaan,

persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil.

Adapun kegiatan untuk memeroleh penetapan lokasi dalam

kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan dilakukan dalam dua

tahapan yaitu tahap perencanaan dan tahap persiapan pengadaan

tanah. Penetapan lokasi pembangunan didasarkan pada

kesepakatan antara Pihak yang Berhak dan/atau masyarakat yang

64
terdampak atau ditolaknya keberatan dari pihak yang Keberatan.

Penetapan Lokasi berlaku untuk jangka waktu 2 dan dapat

diperpanjang 1 kali untuk paling lama 1 (satu) tahun. Penetapan

lokasi dilakukan oleh Gubernur.

2. Kebijakan Pemerintah Provinsi Provinsi Jawa Timur dan

Provinsi Sulawesi Selatan

Pembangunan di Provinsi Jawa Timur khususnya Kota

Surabaya mengalami perkembangan yang pesat dari segi penataan

infrastruktur kota, dikarenakan Kota Surabaya merupakan kota

terbesar kedua di Indonesia dan juga sebagai Ibu Kota Provinsi

Jawa Timur yang memang sedang gencar melaksanakan

pembangunan fasilitas sarana dan prasarana, terutama

pembangunan atau pelebaran jalan, mengingat jalan merupakan

salah satu prasarana yang sangat penting untuk kemajuan Kota

Surabaya.

Frontage Road bundaran dolog merupakan salah satu poros

bundaran yang menjadi titik kemacetan yang berada di Jalan

Ahmad Yani yang terletak di Kelurahan Gayungan, Kecamatan

Gayungan, Kota Surabaya. Bundaran dolog atau yang lebih dikenal

sebagai salah satu taman di Kota Surabaya yaitu Taman Pelangi,

merupakan taman kota yang lahannya menjadi satu lokasi bersama

dengan beberapa rumah tinggal yang masih dihuni oleh beberapa

warga. Lokasi ini berada tepat di tengah pertemuan antara frontage

65
barat dan frontage timur sehingga menjadikan bundaran dolog

menjadi salah satu titik kemacetan yang bahkan terjadi setiap saat.

Pertemuan dari arah ruas jalur yang berbeda mengakibatkan Jl.

Ahmad Yani ini selalu padat dengan kendaraan bermotor milik

masing-masing masyarakat yang memiliki kesibukannya masing-

masing. Terlihat di dalam bundaran itu sendiri masih terdapat

beberapa pemukiman warga yang masih berdiri dengan kondisi

yang memprihatinkan. Setiap saat, masyarakat yang tinggal di sana

harus menghadapi antrian kendaraan yang terkadang mengisolasi

keberadaan mereka dibundaran tersebut, yang mana masyarakat

disana tidak bebas untuk beraktifitas dikarenakan apabila mereka

berkendara keluar dari area bundaran tersebut mereka akan

dihadang oleh antrian kendaraan yang berasal baik dari arah luar

kota Surabaya maupun dari arah dalam kota Surabaya itu sendiri.

Lingkungan yang sempit membuat kondisi sekitar tempat tinggal

mereka terlihat kumuh dan tidak bersih sehingga bisa menyebabkan

timbulnya penyakit yang bisa menyerang kesehatan para warga.

Tinggal dengan kondisi wilayah yang bisa mengancam setiap

hari bukanlah pilihan warga-warga tersebut. Apabila disesuaikan

dengan perencanaan tata ruang Kota Surabaya, seharusnya

wilayah keseluruhan dari bundaran dolog itu menjadi taman kota

dan/atau RTH (Ruang Terbuka Hijau).

Pada tanggal tanggal 4 April 2016 telah ditetapkan Surat

Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/ 247 /Kpts/013/2016


66
Tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Frontage Road Jalan

Ahmad Yani Sisi Barat (Bundaran Dolog) Kota Surabaya-Provinsi

Jawa Timur untuk pengadaan tanah yang terletak di Kelurahan

Gayungan, Kecamatan Gayungan, Kota Surabaya seluas 8.940 m²

atau kurang dari 5 (lima) hektar. Sebelumnya pada tanggal 4

Pebruari 2016 telah diundangkan Peraturan Gubernur Jawa Timur

Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pedoman Persiapan Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor

188/247/KPTS/013/2016 menimbang sebagai berikut:

a. Bahwa dalam rangka mengurangi kemacetan jalan Ahmad

Yani pada ruas bundaran dolog Kota Surabaya serta

mengembalikan fungsi jalan Ahmad Yani sebagai jalan arteri

primer, pemerintah Kota Surabaya merencanakan

pembangunan Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat,

melalui surat Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan

Pematusan Kota Surabaya tanggal 3 Maret 2016 Nomor

593/1422/436.6.1/2016 perihal Permohonan Penetapan

Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Frontage Road Jalan

Ahmad Yani Sisi Barat;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 Peraturan

Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan

67
Umum, telah dilakukan Konsultasi Publik sebagaimana

tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan Konsultasi Publik

Kesepakatan Warga dalam rangka Penetapan Lokasi

Pembangunan Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat

(Bundaran Dolog) Kota Surabaya-Provinsi Jawa Timur Nomor

050/27/BA_KP/022.2/2016 tanggal 18 Maret 2016, dan

dilengkapi Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah serta

keterangan sesuai tata ruang dari Badan Perencanaan

Pembangunan Pemerintah Kota Surabaya tanggal 11 Maret

2016 Nomor 460/1106/436.7.1/2016 perihal Kesesuaian

Pembangunan Jalan Frontage Road Ahmad Yani (dolog)

dengan RTRW Kota Surabaya;

c. Bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana

dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Lokasi

Pembangunan Frontage Road Ahmad Yani Sisi Barat

(Bundaran Dolog) Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur dengan

Keputusan Gubernur Jawa Timur.

Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor

188/247/KPTS/013/2016 tersebut terbit berdasarkan permohonan

yang diajukan Walikota Surabaya terkait Pembangunan Frontage

Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat (Bundaran Dolog). Pengajuan

untuk penetapan lokasi ini dianggap perlu dilakukan untuk

percepatan pembangunan mengingat kondisi sosial ekonomi di

Kota Surabaya sangat dinamis.


68
Menelaah isi dari SK Gubernur Jawa Timur tersebut, pada

point c, dimana perlu adanya penetapan lokasi bagi Pembangunan

Frontage Road Ahmad Yani Sisi Barat (Bundaran Dolog) Kota

Surabaya, yang luasnya hanya kurang lebih 8.940 m 2 atau sekitar

0,89 hektar (ha), tentunya tidak berkesesuaian dengan ketentuan

Pasal 121 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015

tentang Perubahan Keempat Atas Perpres nomor 71 Tahun 2012

yang menegaskan bahwa Pengadaan tanah untuk kepentingan

umum yang kurang dari 5 (lima) hektar tidak memerlukan

penetapan lokasi.

Kebijakan penetapan lokasi pada kegiatan pembangunan

Frontage Road Kota Surabaya, sebagai kontrol oleh pemerintah,

dalam hal ini Gubernur, untuk memastikan bahwa penggunaan

tanahnya telah sesuai dengan Tata Ruang Wilayah dan Rencana

Pembangunan pada daerah yang bersangkutan. Sehingga

tercapainya tujuan hukum yaitu kepastian hukum. Sesuai Selain

itu, kebijakan tersebut, menekankan pada fungsi izin perubahan

penggunaan tanah, yang sudah sesuai dengan Rencana Tata

Ruang Wilayah. Dapat dilihat pada dasar menetapkan Bagian

Kedua huruf c ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan

pembangunan fisik, harus sesuai dengan arahan RTRW

Kabupaten/Kota, RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Nasional.

Lebih lanjut lagi Pasal 53 ayat (4) Peraturan Menteri Agraria

69
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6

Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Pengadaan Tanah menegaskan Pengadaan tanah

skala kecil dilaksanakan sesuai dengan tata ruang wilayah.

Terkait dengan mekanisme penggunaan tanah, berikut ini

adalah kutipan wawancara dengan Bapak Anwari56 selaku Kepala

Bagian Pelaksanaan Pembangunan Biro Administrasi

Pembangunan di Kantor Gubernur Jawa Timur:

“Penggunaan tanah ini dilakukan sesuai aturannyadimana setelah


dokumen perencanaan selesai tetap ada sosialisasi dengan pemilik
tanah dengan cara mengundang dan tidak langsung diberi ganti
rugi tetapi untuk diminta persetujuannya karena ini dianggap milik
warga jadi harus minta persetujuannya bahwa tanahnya akan dibeli
oleh pemerintah untuk dijadikan bangunan demi kepentingan
umum misalnya untuk pelebaran jalan, kantor, dan lain-lain.”

Seluruh mekanisme dalam proses penggunaan tanah

masyarakat untuk kepentingan umum sudah dilakukan sesuai

tahapan tahapannya, yaitu pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui 4 (empat)

tahapan yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan

penyerahan hasil.

1) Perencanaan

Pemerintah Kota Surabaya sebagai instansi yang

memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

56Wawancara dengan Bapak Anwari di Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur


tanggal 13 Maret Pukul 09.30 WIB.
70
umum membuat rencana pengadaan tanah yang didasarkan

pada:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah; dan


b. Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam:
c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah;
d. Rencana Strategis; dan
e. Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.

Rencana pengadaan tanah dibuat dalam bentuk dokumen

perencanaan, yang kemudian disampaikan kepada Gubernur

Jawa Timur.

2) Persiapan

Setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah,

Gubernur Jawa Timur membentuk tim persiapan yang bertugas

untuk:

a. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan;


b. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pembangunan;
c. Melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan;
d. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan;
e. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum; dan
f. Melaksanakan tugas lain.

3) Pelaksanaan

Pelaksanaan pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala

BPN, yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional selaku Ketua pelaksana pengadaan

tanah. Dalam melaksanakan kegiatannya, Ketua pelaksana

pengadaan tanah dapat membentuk satuan tugas yang

membidangi inventarisasi dan identifikasi data fisik penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan data pihak


71
yang berhak (pihak yang menguasai atau memiliki objek

pengadaan tanah) dan objek pengadaan tanah (tanah, ruang

atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang

berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai).

Satuan tugas melaksanakan pengumpulan data yang sedikitnya

terdiri atas:

a. Nama, pekerjaan, dan alamat pihak yang berhak;


b. Nomor Induk Kependudukan atau identitas diri lainnya
pihak yang berhak;
c. Bukti penguasaan dan/atau pemilikan tanah, bangunan,
tanaman, dan/atau benda yang berkaitan dengan tanah;
d. Letak tanah, luas tanah dan nomor identifikasi bidang;
e. Status tanah dan dokumennya;
f. Jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah;
g. Pemilikan dan/atau penguasaan tanah, bangunan,
dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah;
h. Pembebanan hak atas tanah; dan
i. Ruang atas dan ruang bawah tanah.

Terhadap objek pengadaan tanah yang telah diberikan ganti

kerugian atau ganti kerugian telah dititipkan di pengadilan

negeri atau yang telah dilaksanakan pelepasan hak objek

pengadaan tanah, hubungan hukum antara pihak yang berhak

dan tanahnya hapus demi hukum. Pemberian ganti kerugian

dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, relokasi,

kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui para pihak

4) Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah

Ketua pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil

pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah

disertai data pengadaan tanah, paling lama 7 (tujuh) hari kerja

72
sejak pelepasan hak objek pengadaan tanah. Penyerahan

tersebut berupa bidang tanah dan dokumen pengadaan tanah.

Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan

pembangunan setelah dilakukan penyerahan hasil pengadaan

tanah oleh ketua pelaksana pengadaan tanah.

Lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan pengadaan

tanah dengan penetapan lokasi untuk Frontage Road, Anwari

menjelaskan bahwa:

“Apabila telah terjadi kesepakatan diundanglah tim apraisal


untuk menilai. Setelah dinilai sesuai ketentuan kemudian
dimusyawarahkan ke warga, bukan musyawarah tentang
harganya, tapi tentang bentuk ganti ruginya apakah dengan
uang atau yang lain. Namun ada beberapa instansi misalnya
di Kota Surabaya ini yang masyarakatnya dinilai dinamis,
karena kekhawatiran lahan yang dikehendaki, contohnya
lahan untuk Frontage Road ini yaitu untuk pelebaran jalan
yang luasnya hanya kurang dari 5 hektar, menurut ketentuan
Perpres Nomor 148 Tahun 2015 sebenarnya tidak perlu
penetapan lokasi tapi pertimbangan Pemerintah Kota dan
juga minta pendampingan dari kejaksaan. “

Pemerintah Kota Surabaya pada akhirnya tetap memohon

dilakukan penetapan lokasi. Meskipun masih banyak pihak

yang mempertanyakan masalah penetapan lokasi, mengingat

sudah ada ketentuan Peraturan Presiden tidak perlu penetapan

lokasi, namun pengajuan permohonan untuk penetapan lokasi

tetap dilakukan. Setelah dilakukan konsultasi ke BPN Pusat,

dan BPN Pusat memberi jawaban yang intinya menegaskan

bahwa permohonan penetapan lokasi tersebut disetujui dan

bisa diproses, dengan ketentuan penerbitan penetapan lokasi


73
tersebut memiliki alasan kuat dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya Anwari menjelaskan bahwa:

“tentunya dengan proses yang cepat, kita panggil pemilik


tanah dengan masyarakat sekitar kita minta persetujuannya
dengan catatan pihak instansi membuat surat pernyataan
yang dibuat oleh kepala dinasnya dalam hal ini pihak
Pemerintah Kota Surabaya diwakili oleh Dinas Bina Marga.
Surat pernyataan yang isinya alasan mengapa meminta
penetapan lokasi yang dimohon ini tidak mungkin beralih
karena secara teknis harus dilahan itu lokasinya, sebenarnya
bisa dengan jual beli tapi lebih rumit sehingga diikat dengan
penetapan lokasi tadi. Jadi dalam penetapan lokasi tadi ada
ketentuan bahwa tanah yang sudah dilakukan penetapan
lokasi tidak dapat dialihkan ke pihak lain kecuali kepada
instansi yang memerlukan tadi.”

Berdasarkan pemaparan bapak Anwari terkait mengapa

dilakukan penetapan lokasi, alasannya adalah bahwa dengan

penetapan lokasi urusan pengadaan tanah menjadi tidak rumit,

dibandingkan dilakukan dengan proses langsung karena pada

proses langsung terkendala juga pada tahap negosiasi. Belum

lagi adanya keraguan terkait dengan status tanah yang apabila

tidak dilakukan penetapan lokasi, maka kemungkinan

dikemudian hari ahli waris pemilik tanah akan menuntut tanah

tersebut. Fakta lain yang menyebabkan adanya permintaan

penetapan lokasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur adalah

bahwa dengan adanya penetapan lokasi, maka masyarakat

tidak bisa dengan bebas menetapkan harga tanah menurut

keinginan mereka. Sebelum adanya penetapan lokasi,

pemerintah Kota Surabaya merasa kesulitan dalam melakukan


74
transaksi dengan pemilik tanah, seringkali negosiasi dengan

pemilik tanah tidak menemukan titik temu, karena pemilik tanah

berkeras untuk menentukan harga jual tanah yang cukup tinggi,

sementara tanah yang akan digunakan oleh pemerintah

tersebut adalah diperuntukkan membangun fasilitas umum.

Beliau juga memberitahukan beberapa lokasi pengadaan

tanah skala kecil yang tetap menggunakan penetapan lokasi di

Provinsi Jawa Timur antara lain, yaitu:

a) Pengadaan tanah TPA Mojosari Kabupaten Mojokerto


b) Pengadaan tanah Lokasi Pembangunan JLLT Kelurahan
Tambak Wedi Kecamatan Kenjeran
c) Pengadaan tanah di Kelurahan Kedung Cowek
Kecamatan Bulak
d) Pengaadan tanah di Kelurahan Kalisari Kecamatan
Mulyorejo
e) Pengadaan tanah di Kelurahan Keputih Kecamatan
Sukolilo
f) Pengadaan tanah di Kelurahan Wonorejo Kecamatan
Rungkut
g) Pengadaan tanah di Kelurahan Gununganyar Tambak
Kecamatan Gununganyar.

Hal senada terkait alasan adanya penetapan lokasi juga

diungkap dalam wawancara penulis dengan Ibu Aisyah57 Kepala

Seksi Bidang Pengadaan Tanah dan Pemanfaatan Dinas

Pekerjaan Umum Kota Surabaya beliau mengatakan bahwa:

“Pengadaan tanah yang terdahulu sebelum adanya


perubahan Perpres Nomor 148 tahun 2015 untuk skala kecil
menggunakan penetapan lokasi sangat banyak membantu
percepatan pembangunan, karena penetapan lokasi sebagai
izin untuk pengadaan tanah, kalo tidak ada penetapan
lokasi, orang awam menganggap belum ada ijinnya. Selain

57Wawancara dengan Ibu Aisyah di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota


Surabaya tanggal 14 Maret 2017 Pukul 11.00 WIB.
75
itu dengan penetapan lokasi masyarakat memahami harga
yang dipakai adalah harga appraisal, kalau tanpa penetapan
lokasi, kita tidak tahu apakah masyarakat Surabaya mau
dengan harga yang ditetapkan appraisal. Sudah dikaji dari
segi kelayakan intinya secara teknis lahan itu tidak mungkin
pindah ke lokasi lain sehingga diminta penetapan lokasi,
agar nantinya lahan tersebut tidak jatuh ke pihak lain karena
undang-undang sudah mengikat, sehingga Lurah,Camat
atau siapapun itu tidak dapat mengganggu gugat.”

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Jarot58

selaku Kepala Seksi Pemanfaatan Tanah Pemerintah Bidang

Pengadaan Tanah Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Jawa Timur, terungkap bahwa penetapan lokasi yang diajukan

oleh Walikota Jawa Timur adalah untuk mengantisipasi apabila

ada gugatan dikemudian hari yang diajukan oleh ahli waris

pemilik tanah yang telah dimiliki atau dibeli oleh pemerintah.

Berikut kutipan wawancaranya:

“dengan adanya penetapan lokasi karena dapat menghindari


konflik dikemudian hari, supaya pemerintah Surabaya aman
harus ada izin perubahan penggunaan lahan, kalo tidak ada,
seandainya nanti ahli warisnya menggugat, karena tidak ada
penetapan lokasinya bagaimana?”

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan masyarakat

Kota Surabaya yaitu Bapak Aziz Junaedi dan Ibu Maylin,59 yang

saat itu juga didampingi oleh masyarakat yang memiliki tanah d

Jalan Ahmad Yani tersebut antara lain Ismartini, Achmad Hadi,

Benny Susanto, Philindo Tukan, Rohmah, Hufron, Darmawi,

Saragih, Kastiani, Hedi Suparno, mereka menjelaskan bahwa:

58Wawancara dengan Bapak Jarot di Kantor Wilayah Badan Pertanahan


Nasional Provinsi Jawa Timur tanggal 13 Maret 2017 Pukul 13.00 WIB.
59Wawancara dengan masyarakat Kota Surabaya selaku pemilik tanah tanggal

15 Maret 2017 Pukul 10.00 WIB.


76
“Kami sebagai masyakarat pada intinya menginginkan

proses yang cepat dalam prosesnya, aman, dan tidak

merugikan kami sebagai pihak pemilik hak atas tanah.”

Saat ini di Provinsi Sulawesi Selatan pada proses

pengadaan tanah skala kecil dilakukan dengan 2 (dua) cara

yaitu dengan menggunakan penetapan lokasi sesuai Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan dengan cara langsung sesuai

Perpres Nomor 148 Tahun 2015. Adapun daerah yang

menggunakan penetapan lokasi antara lain yaitu pengadaan

tanah skala kecil untuk pelabuhan di Kabupaten Takalar

berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Eddy Sudiyanto60

selaku Kepala UPT Perhubungan Takalar Dinas Perhubungan

Provinsi Sulawesi Selatan yang mengatakan bahwa:

“dalam proses pengadaan tanah untuk pelabuhan kami tetap

menggunakan tahapan penetapan lokasi demi kelancaran

dan keamanan.”

Hal ini diperkuat dengan penjelasan Ibu Yurnita61 selaku

Kepala UPT Mamminasata Dinas SDA Cipta Karya dan Tata

Ruang Provinsi Sulawesi Selatan, beliau menjelaskan bahwa:

“Meskipun saya merasa dengan ditiadakannya penetapan


lokasi dapat mempercepat proses pengadaan tanah, tapi
saya mengakui bahwa penetapan lokasi merupakan sesuatu
yang lebih konkrit dan berkekuatan hukum dibanding hanya
berpegang pada RTRW.”

60Wawancara dengan Bapak Eddy di Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi


Selatan tanggal 15 April 2017 Pukul 10.00 WITA.
61Wawancara dengan Ibu Yurnita di Dinas SDA Cipta Karya dan Tata Ruang

Provinsi Sulawesi Selatantanggal 3 April Maret 2017 Pukul 10.00 WITA.


77
Sedangkan daerah yang melaksanakan proses

pengadaan tanah dengan tidak menggunakan tahapan

penetapan lokasi ada di Kota Makassar. Hal ini diketahui

berdasarkan wawancara dengan Bapak Hatta62 selaku Kepala

Seksi Permasalahan Tanah Dinas Pertanahan Kota Makassar,

beliau menyatakan bahwa:

“Saat ini Pemerintah Kota Makassar melaksanakan proses


pengadaan tanah skala kecil mengikuti ketentuan Pepres
Nomor 148 Tahun 2015 yaitu secara langsung oleh instansi
yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah seperti contoh
pengadaan tanah Puskesmas dan sampai saat ini hambatan
yang ditemui terkait hal tersebut yaitu pada saat negosiasi.
Tapi kalau kita menginginkan proses yang lebih terarah dan
lebih jelas memang harus menggunakan penetapan lokasi.”

Lebih lanjut Bapak Hatta menjabarkan bahwa proses

pengadaan tanah secara langsung yang dilaksanakan pada

pembebasan jalan Puskesmas Pampang sebagai berikut:

a) Dinas Kesehatan sebagai instansi yang memerlukan


tanah menyiapkan dokumen perencanaan pengadaan
tanah pembebasan jalan Puskesmas Pampang Kota
Makassar.

b) Setelah dokumen perencanaan tersebut sampai ke pihak


Dinas Pertanahan Kota Makassar, kemudian diadakan
rapat.

c) Selanjutnya, hasil rapat diberikan kepada tim appraisal


untuk kemudian dirinci biaya ganti kerugian.

d) Kemudian melakukan sosialisasi dan negosiasi kepada


pemilik hak atas tanah sesuai harga dari tim appraisal
selaku tim jasa penilai tanah.

62Wawancara dengan Bapak Hatta di Dinas Pertanahan Kota Makassartanggal


30 Maret 2017 Pukul 10.00 WITA.
78
e) Ketika telah terjadi kesepakatan antara kedua belah
pihak, pemberian ganti kerugian dilaksanakan di Dinas
Pertanahan bersamaan dengan pemberian sertipikat oleh
pemilik hak atas tanah ke Dinas Kesehatan dengan ini
beralihlah kepemilikan hak atas tanah tersebut.

f) Setelah itu pihak Dinas Pertanahan menyerahkan


sertipikat hak atas tanah tersebut ke Bagian Aset Kota
Makassar untuk selanjutnya dilakukan proses balik nama
di Kantor Pertanahan Kota Makassar.

g) Kedua belah pihak bersama-sama ke Kantor Pertanahan


Kota Makassar untuk melaksanakan proses pelepasan
hak atas tanah dari pemilik sebelumnya menjadi Dinas
Kesehatan sebagai pemegang hak atas tanah.

Terkait dengan pengadaan tanah yang tidak menggunakan

penetapan lokasi, pada prinsipnya tidak membawa pengaruh

signifikan secara langsung terhadap proses pengadaan tanah

skala kecil untuk kepentingan umum. Artinya, walaupun secara

yuridis normatif, kepastian hukumnya terabaikan, namun dari

segi asas kemanfaatan ada atau terpenuhi.

Hal tersebut sesuai dengan teori kemanfaatan yang

dikemukakan oleh Jeremi Bentham yang meletakkan

kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum, kemanfaatan

disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness), yang tidak

mempermasalahkan baik atau tidak adilnya suatu hukum,

melainkan bergantung kepada pembahasan mengenai apakah

hukum dapat memberikan kebahagian kepada manusia atau

tidak.

79
Namun hal yang berbeda diungkapkan oleh Bapak Nurul

Amin63 selaku Kepala Seksi Pengembangan Fasilitas Teknis

Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup beliau menjelaskan

bahwa:

“Pada awalnya saya mengajukan rencana penetapan lokasi


kepada Kepala Dinas tetapi Bapak mengatakan itu tidak
perlu sesuai amanat Perpres Nomor 148 tahun 2015. Namun
pada proses pengadaan tanah skala kecil dengan cara
langsung yang saat ini kami hadapi yaitu di Jalan Kima 10
mengalami hambatan. Antara lain karena ditiadakan
penetapan lokasi kami mengalami kesulitan dalam
penentuan lokasi tanahnya. Seperti yang terjadi sekarang
lokasi yang diinginkan pertama kali tidak berhasil diperoleh.
Sehingga kami harus mencari lokasi lain dan itu
membutuhkan waktu yang cukup lama.”

Selanjutnya beliau menerangkan bahwa:

“setelah kami mencari dan menemukan beberapa pilihan


lokasi, tim aprasial melakukan peninjauan nilai tanah di
beberapa lokasi tersebut, hal tersebut juga memerlukan
waktu.”

Pernyataan Bapak Nurul Amin senada dengan pendapat

Bapak Fachruddin64 selaku Kepala Seksi Fasilitas Pengadaan

Tanah Bidang Pertanahan Dinas Perumahan Pemukiman dan

Pertanahan Provinsi Sulawesi Selatan yang menyatakan

bahwa:

“Pada proses pengadaan tanah skala kecil di Jalan Kima 10

kurang efisien karena membutuhkan waktu yang cukup

lama.”

63Wawancara dengan Bapak Nurul Amin di Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup


Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 20 April 2017 Pukul. 11.30 WITA.
64Wawancara dengan Bapak Fachruddin di Dinas Perumahan Pemukiman dan

Pertanahan Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 3 Mei 2017 Pukul 09.30 WITA
80
Peneliti kemudian mewawancarai Bapak Muhallis Mentja65

selaku Kepala Seksi Pengadaan Tanah Kantor Pertanahan

Makassar, beliau mengungkapkan bahwa:

“Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 itu bertujuan


untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam
proses pengadaan tanah skala kecil, namun kenyataannya
masih terdapat banyak permasalahan dengan menggunakan
peraturan tersebut. Sebagai contoh seperti yang dialami
dinas pengelolaan lingkungan hidup itu, contoh lain ada
beberapa masyakarat yang mengartikan proses pengadaan
tanah secara langsung hanya melibatkan pihak instansi yang
memerlukan tanah dan pihak pemilik tanah berani tidak
melibatkan tim aprasial dalam proses pengadaan tanahnya.
Padahal meskipun secara langsung tapi penilaian harga
tanahnya harus menggunakan hasil penilaian jasa penilai.
Sehingga hal tersebut dapat menjadi masalah dikemudian
hari. Selain itu, permasalahan juga timbul apabila pihak
pemilik tanah dan pemerintah tidak mencapai kesepakatan
harga maka pemerintah tidak memiliki pilihan selain mencari
lokasi yang lain karena tidak ada tahapan yang
membenarkan pemerintah daerah untuk tetap melanjutkan
rencana pembangunan dilokasi tersebut jika pemilik tanah
menolak. Pencarian lokasi lain dalam realitasnya pun
menimbulkan masalah karena pihak pemerintah harus
memiliki lokasi dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan
sebelumnya misalnya untuk pembangunan taman yang telah
mengacu pada RTRW seperti yang terjadi di Kota Manado.”

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa:

“permasalahan lain yang timbul yaitu ketika tanah yang


diinginkan oleh instansi yang memerlukan tanah itu
merupakan tanah waris. Ketika ahli waris tersebut berjumlah
3 orang namun pada saat pengadaan tanah salah satu pihak
ahli waris berada di luar negeri untuk waktu yang lama,
ketika kembali ke daerah asalnya pihak yang tidak
mengetahui atau tidak setuju dengan ketetapan ganti
kerugian dapat mengajukan permohonan gugatan ke
pengadilan. Hal tersebut dapat dihindari jika kita

65Wawancara dengan Bapak Muhallis di Kantor Pertanahan Makassar tanggal 5


Mei 2017 Pukul 11.00 WITA.
81
menggunakan penetapan lokasi. Sehingga jika ditanya
pendapat saya, saya lebih setuju dengan proses pengadaan
tanah skala kecil dengan menggunakan penetapan lokasi.”

Sebelum menutup sesi wawancaranya beliau menyimpulkan

bahwa:

“Saya lebih setuju dengan tetap dilaksanakan penetapan


lokasi dalam pengadaan tanah skala kecil karena lebih
banyak pihak yang terlibat sehingga prosesnya lebih
terkordinir dibanding secara langsung kurang pihak yang
terlibat sedikit sehingga perlu ada kordinasi lagi.”

Berdasarkan wawancara penulis dengan pihak masyarakat


Kota Makassar yaitu Bapak Abdul Hafid dan Ibu Saripah66, yang
saat itu juga didampingi oleh masyarakat lain yang tanahnya
diinginkan oleh pemerintah untuk dijadikan fasilitas kepentingan
umum antara lain, Haji Adi, Isramuddin, Kainuddin, dan Hajjah
Musdalifa mereka menjelaskan bahwa:
“Sebagai masyarakat yang memegang hak atas tanah kami
menginginkan nilai ganti kerugian yang sesuai dan proses
yang tidak memakan waktu lama agar tidak menghambat
aktivitas kami yang lain, tetapi juga harus aman untuk jangka
panjangnya. Pihak instansi yang memerlukan tanah harus
mengoptimalkan proses sosialisasi sehingga bisa
meminimalisir spekulasi yang dilakukan oleh makelar tanah.”

Pada dasarnya penulis setuju dengan alasan efektifitas dan


efesiensi yang dikemukakan dalam Peraturan Presiden Nomor
148 Tahun 2015 untuk melaksanakan Pengadaan Tanah Skala
Kecil. Namun hendaknya dengan alasan tersebut tidak
memangkas langkah penting yang harus dilakukan yaitu
penetapan lokasi yang telah disebutkan pada Pasal 19 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

66Wawancara dengan masyarakat Kota Makassar tanggal 20 April 2017 Pukul


11.30 WITA.
82
Pentingnya penetapan lokasi dalam kegiatan pengadaan

tanah skala kecil tidak bisa dipungkiri, mengingat tahapan

penetapan lokasi mengandung unsur kepastian hukum,

sehingga diyakini mampu mengantisipasi berbagai

kemungkinan buruk dari pelaksanaan pengadaan tanah untuk

pembangunan fasilitas kepentingan umum.

Dalam hal ini instansi yang memerlukan tanah dengan

adanya penetapan lokasi kepastian hukum akan tanahnya lebih

terjamin.

Pelaksanaan pengadaan tanah dengan menggunakan

penetapan lokasi, sejatinya diikuti dengan dasar pertimbangan

tidak merugikan kepentingan umum dan memenuhi asas

manfaat dan kepastian hukum.

Dalam hal perizinan penetapan lokasi, menurut penjelasan

Bapak Jarot bahwa:

“Kasus di Makassar dan Surabaya berarti tidak ada


kerjasama dalam menerapkan perpres. Tidak hanya itu, ada
3 fungsi penetapan lokasi, yaitu izin pemindahan, izin
penggunaan lahan dan izin perpanjangan. Berarti di
Makassar tidak mengindahkan itu”. Justru, harusnya
diperkuat, karena hal ini bisa menjadi isu hukum, mungkin
nanti bisa dilihat apa akibat hukumnya ketika penlok dengan
3 fungsi itu tidak diindahkan.”

Apabila dicermati maka fungsi penetapan lokasi adalah

terkait dengan aspek perizinan. Dalam arti luas, Izin diartikan

83
sebagai suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-

undang atau peraturan pemerintah. Hal ini menyangkut

perkenan dari suatu tindakan yang demi kepentingan umum

mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Sedangkan dalam

arti sempit, izin diartikan sebagai pengikatan kegiatan-kegiatan

pada suatu peraturan perundang-undangan tentang perizinan

untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau menghindari

keadaan yang buruk. Esensi yang dapat dipetik dari definisi

perizinan dalam arti sempit adalah suatu tindakan atau

perbuatan dilarang, kecuali diperkenankan dengan suatu tujuan

agar dalam ketentuan yang berhubungan dengan perkenaan.67

B. Kelebihan dan Kelemahan Pengadaan Tanah Skala Kecil yang


Menggunakan Tahapan Penetapan Lokasi

1. Kelebihan Penetapan Lokasi

Penetapan lokasi merupakan tahapan penting dalam proses

pengadaan tanah karena memliki banyak kelebihan jika kita

menggunakannya, berdasarkan hasil penelitian penulis kelebihan

penetapan lokasi yang diperoleh antara lain:

a. Izin pengadaan tanah terpenuhi

Izin pengadaan tanah sebagaimana ditegaskan dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengandung arti bahwa

67Imam Koeswahyono. 2016. Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang


di Indonesia dalam Jarot Widya Muliawan. Cara Mudah Pahami Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan melalui Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition. Buku Litera. Yogyakarta.
Hlm. 25-26.

84
suatu kegiatan pengadaan tanah merupakan faktor pembenar

adanya kegiatan pengambilan tanah masyarakat oleh

pemerintah yang tujuannya untuk kemakmuran masyarakat itu

sendiri atau masyarakat Indonesia secara luas. Pengambilan

tanah oleh pemerintah sejatinya dilarang, namun karena tujuan

pengadaan tanah adalah sesuai dengan undang-undang maka

kegiatan tersebut diizinkan dengan catatan masyarakat yang

tanahnya diambil untuk pengadaan tanah tidak boleh dirugikan

dan harus mendapat ganti kerugian yang layak. Oleh sebab itu

penetapan lokasi merupakan legalitas pemerintah untuk

melakukan pengadaan tanah dan unsur administrasi

pengadaan tanah itu sendiri. Jika penetapan lokasi tidak

dilakukan sudah tentu tindakan pengadaan tanah melalui jual

beli, tukar menukar dan pemindahan lainnya tidak dapat

dibenarkan karena hanya dilakukan secara keperdataan dan

menghilangkan unsur administrasi.

b. Izin peralihan hak atas tanah terpenuhi

Perubahan penggunaan tanah ini diidentikkan dengan

perubahan penggunaan ruang. Sesuai dengan tujuannya, izin

pemanfaatan tanah atau ruang digunakan untuk melakukan

kontrol terhadap penggunaan ruang karena ruang harus

dilakukan penataan sedemikian rupa agar terjadi suatu

keseimbangan antara kepentingan manusia (manusia dengan

85
manusia) dengan kepentingan alam (manusia dengan alam).

Keseimbangan tersebut harus dikontrol oleh pemerintah

sehingga tidak terjadi ketimpangan. Memerhatikan faktor

manusia saja tanpa memerhatikan alam akan cenderung

merusak lingkungan alam. Sebaliknya, memerhatikan faktor

alam saja tanpa mengindahkan kepentingan manusia baik dari

segi ekonomi, sosial dan budaya juga merupakan perbuatan

yang merugikan.

c. Izin peralihan hak terpenuhi secara administratif

Izin pemindahan hak merupakan pengaturan khusus

dalam kegiatan pengadaan tanah. Secara perdata mungkin

pemindahan hak dapat dilakukan dengan jual beli, tukar

menukar atau pemindahan hak lainnya. Namun dalam lingkup

hukum administrasi, maka pemerintah selaku pejabat publik

dan dikaitkan dengan kepentingan umum dikhususkan dalam

pemindahan hak atas tanah.68 Misalnya saja, jual beli harus

ada unsur pihak yang dengan sukarela menjual tanah dan ada

pihak yang sukarela membeli tanah tersebut. Dalam kegiatan

pengadaan tanah, sebenarnya tidak ada niatan masyarakat

untuk menjual tanahnya namun karena kepentingan umum

menghendakinya maka mau tidak mau masyarakat harus

melepaskan tanahnya tersebut. dengan kata lain pemerintah

68 Op.Cit. Jarot Muliawan., Hlm. 25


86
dengan alasan undang-undang memaksa masyarakat untuk

memindahkan hak atas tanahnya. Oleh karena itulah diperlukan

suatu izin melalui penetapan lokasi.

d. Kejelasan peruntukan tanahnya

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus benar-

benar dimaksudkan untuk kepentingan umum yang dituangkan

dalam rencana pengadaan tanah oleh instansi yang

memerlukan tanah. Hal ini kadang menjadi kritik dari

masyarakat sekitar lokasi, apakah tanah yang tersebut bena-

benar untuk kepentingan umum atau untuk kepentingsn pihak

lain.69

Penetapan lokasi menjadi solusi terkait hal tersebut, karena

di dalam Surat Kepeutusan penetapan lokasi yang dikeluarkan

oleh Gubernur tertuang dengan jelas bahwa tanah tersebut

benar-benar untuk kepentingan umum. Sehingga tidak ada

pihak yang dapat menyalahgunakan tanah tersebut.

e. Kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Yurnita seperti yang

telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa

meskipun dalam peta RTRW Provinsi sudah ada penjelasan

peruntukan disetiap wilayah dalam provinsi tersebut, namun

tetap diperlukan sesuatu yang lebih konkrit dan berkekuatan

69
https://www.kompasiana.com/herybekasi/pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-
umum diakses pada tanggal 20 Agustus 2017 Pukul 16.00 WITA.
87
hukum untuk menjelaskan setiap detail lokasi tanah. Ibu Yurnita

menambahkan bahwa peta RTRW tersebut bersifat makro,

sedangkan penetapan lokasi bersifat mikro dan lebih

memperjelas peruntukan tiap-tiap bidang tanah. Sehingga

dengan adanya peentapan lokasi mempertegas bahwa lokasi

tanah tersebut sudah sesuai dengan RTRW.

f. Kelayakan lokasi

Analisa dampak lingkungan harus dilakukan sebelum proses

pengadaan tanah dilakukan dengan cermat karena dapat

menimbulkan dampak buruk dibelakang hari setelah proses

pengadaan tanah berlangsung jika tidak dilakukan dengan

cermat.

Hal ini yang menjadi kelebihan tahapan penetapan lokasi,

karena salah satu kegiatannya yaitu penetuan kelayakan lokasi,

dengan mempertimbangkan dampak-dampak yang mungkin

timbul dikarenakan pengadaan tanah baik dampak sosial

maupun dampak lingkungan sangat diperhatikan, jika semua

hal tersebut aman maka lokasi tersebut dianggap layak untuk

dilaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

g. Terjaminnya kepastian hukum terhadap hak atas tanahnya

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa

penetapan lokasi merupakan aspek perizinan dalam

pengadaan tanah sehingga dapat disimpulkan bahwa

88
penetapan lokasi menjamin kepastian hukum terhadap hak atas

tanah yang menjadi objek pengadaaan tanah sehingga dapat

menghindari masalah yang dapat muncul terkait status hak atas

tanahnya dikemudian hari.

2. Kelemahan Penetapan Lokasi

Penetapan lokasi memiliki banyak kelebihan seperti yang telah

diuraikan diatas tetapi juga memiliki kelemahan, berdasarkan

penelitian penulis kelemahan penetapan lokasi yang diketahui

antara lain:

a. Proses Lama

Penetapan Lokasi menjadi bagian dari tahapan kedua dalam

proses pengadaan tanah yaitu tahap persiapan, seperti yang

dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tahap

persiapan diawali dengan gubernur membentuk Tim Persiapan

dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja, yang

selanjutnya dilanjutkan dengan pemberitahuan rencana

pembangunan kepada masyarakat yang dilaksanakan dalam

waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen

perencanaan diterima oleh Gubernur dan ditandatangani oleh

Ketua Tim Persiapan, setelah itu dilakukan pendataan awal

lokasi yang dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja,

Setelah itu, proses selanjutnya yaitu konsultasi publik.

Apabila terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana


89
pembangunan, dilaksanakan konsultasi publik ulang dengan

pihak yang keberatan paling lama 30 (tiga puluh) hari

kerja.Kemudian setelah semuanya terpenuhi maka Gubernur

menetapkan lokasi pembangunan.

Banyaknya pihak yang terkait dalam tahapan penetapan

lokasi membuat munculnya anggapan bahwa penetapat lokasi

prosesnya rumit sehingga hal itu dianggap menjadi kelemahan

tahapan ini.

b. Memerlukan biaya yang tidak sedikit

Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum

bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD). Tahapan yang banyak dalam proses pengadaan tanah

mengakibatkan jumlah anggaran yang diperlukan juga banyak,

termasuk dalam tahapan penetapan lokasi. 70

Biaya yang timbul pada tahap penetapan lokasi terdiri atas:

a) Pendataan awal lokasi

b) Konsultasi publik/konsultasi publik ulang

c) Penetapan lokasi

d) Pengumuman penetapan lokasi

e) Menerima keberatan pihak yang berhak

70 Op.Cit., Jarot Muliawan., Hlm. 44


90
Land banking atau dana untuk pengadaan tanah

kepentingan umum sekarang ada pada BLU LMAN yaitu Badan

Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara yang

merupakan salah satu BLU pada Direktorat Jenderal Kekayaan

Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kementerian ini merupakan institusi pemegang land banking

dalam bentuk dana yang diperuntukkan untuk pembiayaan

infrastuktur, khususnya untuk pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum khususnya proyek

strategis nasional. Adanya BLU LMAN maka semua

pembiayaan pengadan tanah untuk proyek kepentingan umum

dilakukan melalui satu pintu yang mana pemberian ganti

kerugian bisa langsung dibayarkan kepada pemilik tanah atau

secar tidak langsung melalui badan usaha operator proyek. 71

Dilihat dari banyaknya biaya yang diperlukan dalam proses

penetapan lokasi sehingga dengan berlakunya Perpres Nomor

148 Tahun 2015 yang mengatur bahwa dalam pengadaan

tanah skala kecil tidak memerlukan penetapan lokasi, jika ada

pihak yang tetap menggunakan penetapan lokasi dapat

dicurigai proses pengadaan tanahnya mengandung indikasi

tindak pidana korupsi.

71
Op.Cit., https://www.kompasiana.com/herybekasi/pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-
umum_
91
c. Pelaksanaan konsinyasi belum efektif

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Aisyah selaku

Kepala Seksi Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya, beliau

menjelaskan bahwa penetapan lokasi sebagai dasar untuk

melakukan konsinyasi ke Pengadilan Negari.

Secara garis besar Konsinyasi adalah penawaran

pembayaran tunai diikuti dengan penitipan di Pengadilan

Negeri tempat di mana lokasi tanah untuk pembangunan

tersebut berada, dan selanjutnya dilakukan Pencabutan Hak

Atas Tanah sebagaimana diatur ketentuan mengenai praktik

konsinyasi tertuang dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata

antara lain Pasal 1404 KUH Perdata mengatur bahwa, jika si

berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat

melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangkan,

dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau

barangnya kepada pengadilan. Penawaran yang sedemikian,

diikuti dengan penitipan, membebaskan si berhutang dan

berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah

dilakukan dengan cara menurut undang-undang sedangkan

apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si

berpiutang. Sedangkan menurut Pasal 42 UU Nomor 2 Tahun

2012 tentang Pengadaan tanah bahwa penitipan ganti kerugian

ke pengadilan negeri terjadi karena disebabkan oleh pihak yang

92
berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui

keberadaannya; atau objek pengadaan tanah yang akan

diberikan ganti kerugian sedang menjadi objek perkara di

pengadilan, masih dipersengketakan kepemilikannya,

diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau menjadi

jaminan di bank.

Penerapan konsinyasi lebih mementingkan kepentingan

umum daripada kepentingan individu, hal ini telah sesuai

dengan sifat kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa

dan Negara. Namun hal ini sekiranya juga tidak menghiraukan

kepentingan individu masyarakat sebagai pemilik hak atas

tanah, karena terkadang masyarakat yang menolak proses

pengadaan tanah tidak hanya mempertimbangkan dari segi

harga tanah melainkan nilai tanah itu sendiri, misalnya nilai

history tanah tersebut. Banyak masyarakat yang masih

menjunjung tinggi nilai sejarah terhadap tanah mereka

sehingga sulit untuk melepas tanahnya, sehingga instansi yang

memerlukan tanah harus juga menghargai hal tersebut selain

memberikan nilai penawaran yang sepadan.

Sesuai penjelasan Jarot Widya Muliawan 72 bahwa

membicarakan hubungan antara manusia (dalam hal ini

hubungan antara instansi yang memerlukan tanah dengan

72 Op.Cit., Jarot Muliawan. Hlm. 14


93
masyarakat pemegang hak atas tanah), adalah membicarakan

keadilan, maka dalam proses pengadaan tanah diharapkan

prosesnya adil untuk masyarakat sebagai pemegang hak atas

tanah.

Sehingga masyarakat tidak menganggap bahwa proses

pengadaan tanah dilaksanakan dengan cara paksaan tetapi

memerhatikan juga kepentingan mereka.

Setelah membahas kelebihan dan kelemahan

pengadaantanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi, selanjutnya

peneliti ingin menjabarkan kelebihan dan kelemahan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

secara langsung atau dengan kata lain tidak menggunakan

penetapan lokasi.

2) Kelebihan Proses Pengadaan Tanah Secara Langsung

a. Waktu relatif cepat

Waktu yang diperlukan relatif lebih singkat karena tidak

menggunakan tahap perencanaan, tahap persiapan, tahap

pelaksanaan, tahap penyerahan hasil. Prosesnya langsung

antara instansi yang memerlukan tanah dengan pihak

pemegang hak atas tanah.

94
b. Biaya yang diperlukan tidak banyak

Tidak menggunakan 4 tahapan seperti yang telah diuraikan

diatas sehingga biaya yang diperlukan juga tidak banyak.

3) Kelemahan Proses Pengadaan Tanah Secara Langsung

a. Izin pengadaan tanah tidak terpenuhi

Aspek perizinan tidak terpenuhi karena ditiadakan proses

penetapan lokasi yang digunakan sebagai izin pengadaan

tanah, sehingga secara administratif dianggap proses

pengadaaan tanahnya belum sempurna. Sehingga perubahan

penggunaan ruang tidak terkontrol padahal terhadap ruang

harus dilakukaan penataan sedemekian rupa agar terjadi

keseimbangan antara kepentingan manusia dan kepentingan

alam.

Memerhatikan faktor manusia saja tanpa memerhatikan

alam akan cenderung merusak lingkungan alam, sebaliknya

memerhatikan faktor alam saja tanpa mengindahkan

kepentingan manusia baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya

juga merupakan perbuatan yang merugikan. Sebagai contoh,

apakah dengan diadakannya pembangunan di lokasi tertentu

dapat merusak lingkungan atau tidak, misalnya akan berdampak

resiko bahaya banjir atau tanah longsor.

Contoh lain, dari segi dampak sosial yang dapat terjadi,

apakah masyarakat sekitar lokasi tersebut akan terkena dampak

95
penggusuran, sejauh mana kerugian sosial yang akan terjadi.

Pemerintah dalam hal ini tidak menjalankan funsinya sebagai

kontrol penggunaaan ruang sehingga jika tidak tercapai

keseimpangan nantinya akhirnya akan merugikan manusia

juga.

b. Keberadaan jasa penilai (tim appraisal)

Jasa penilai publik atau yang kita kenal dengan sebutan tim

apprasial untuk beberapa daerah/kota kecil masih sulit

ditemukan, sehingga menjadi salah satu kendala juga dalam

menentukan nilai ganti rugi, hal itu membuat Pemerintah harus

mencari jasa penilai publik dari kota lain.73

Banyak masyarakat umum yang sebenarnya tidak terlalu

memahami mengenai biaya-biaya yang diperlukan pada proses

pengadaan, termasuk perhitungan biaya ganti kerugian, seperti

harus sesuai dengan NJOP, nilai pasar, dan lain lain, mereka

hanya mengetahui tanahnya akan dibeli oleh pemerintah untuk

digunakan untuk kepentingan umum sehingga sudah

seharusnya dibeli dengan harga yang sewajarnya sehingga

kedua belah pihak merasa tidak dirugikan.

73
Op.Cit., https://www.kompasiana.com/herybekasi/pengadaan-tanah-untuk-
kepentingan-umum_
96
c. Tidak Menjamin Kepastian Hukum

Kepastian hukum secara normatif74 adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena

mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak

menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian

ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga

tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Frasa “tidak memerlukan” dapat diartikan bahwa untuk

pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar

dilakukan tanpa adanya tahapan penetapan lokasi. Apabila

penetapan lokasi untuk pengadaan tanah skala kecil dilakukan

maka akan memenuhi sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 121 ayat (2) Perpres Nomor 148 Tahun 2015, yaitu:

“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya


tidak lebih dari 5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus sesuai dengan tata ruang wilayah. Dengan
dilakukannya penetapan lokasi, maka akan menjamin
kesesuaian pengadaan tanah yang akan dilakukan dengan
tata ruang wilayah. “

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bambang

Nurcahya selaku Kepala Bidang Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional Jawa Timur menyatakan bahwa:

“Jadi Perpres Nomor 148 Tahun 2015 itu esensinya adalah


untuk membantu efisiensi pengerjaan pelaksanaan
pengadaan tanah tetapi kenyataannya Pemerintah Kota
yang dimaksud diberi kemudahan justru tidak berani. Kita
tidak mengharuskan mereka tapi mereka yang minta. Jadi
dimanapun bukan hanya di Jawa Timur apabila instansinya

74 Op.Cit., Jarot Muliawan. Hlm. 17


97
minta bisa saja tetap dikeluarkan SK Penetapan Lokasi
tetapi dilihat juga alasannya.”75

Selanjutnya dikatakan bahwa:

“Apakah Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor


188/247/KTS/013/2016 dapat tidak, menyimpangi Peraturan
Presiden Nomor 148 Tahun 2015 dikarenakan kedudukan
Peraturan Presiden dapat dikatakan lebih tinggi dari pada
kedudukan Keputusan Gubernur. Namun jika melihat
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya
yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012. Dimana
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 dengan tegas
menyatakan bahwa setiap pengadaan tanah wajib
memohonkan penetapan lokasi kepada gubernur. Artinya,
apabila diruntut secara sistematis, justru Peraturan Presiden
Nomor 148 Tahun 2015 tidak berkesesuaian dengan
ketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012”.

Kata “tidak memerlukan”dapat menimbulkan keragu-raguan

terhadap pihak yang memerlukan tanah apakah akan

menggunakan penetapan lokasi atau tidak karena dalam

Perpres Nomor 148 Tahun 2015 tidak mengatur apakah ada

sanksi yang diperoleh apabila menggunakan atau tidak

menggunakan penetapan lokasi dan juga memberi celah

terhadap pihak-pihak terkait untuk melakukan penyelundupan

hukum. Sebagai contoh, jika ada instansi yang memerlukan 10

hektar tanah dapat membagi 2 (dua) tanah tersebut menjadi

masing-masing 5 hektar demi menghindari tahapan penetapan

lokasi.

75 Wawancara dengan Jarot dari Badan Pertanahan Nasional, Propinsi Jawa


Timur, tanggal 13 Maret 2017 Pukul 13.00 WIB

98
Tidak adanya tahapan penetapan lokasi yang mencakup

proses pendataan awal lokasi, konsultasi publik, proses

pelampiran peta lokasi pembangunan, sehingga status tanah

yang menjadi objek pengadaan tanah menjadi tidak jelas,

sehingga proses pengadaan tanahnya tidak menjamin

kepastian hukum.

Berdasarkan penjabaran kelebihan dan kelemahan kedua

cara diatas, penulis menilai bahwa meskipun tanah yang

dipergunakan dalam pengadaan tanah skala kecil relatif tidak

luas dibandingkan pengadaan tanah skala besar, tetapi

sebaiknya tetap harus diperhatikan aspek perizinannya dengan

cara tetap diberikan izin yang jelas agar unsur administrasi

terpenuhi sehingga pelaksaan pengadaan tanahnya menjadi

aman baik dari segi kesesuaian rencana tata ruang

wilayah(RTRW) maupun hal lain yang dapat menjadi hambatan

apabila tidak adanya izin tersebut.

Terkait masalah waktu dan biaya yang diperlukan banyak

pada tahap penetapan lokasi sebagai aspek perizinan,

Pemerintah sebagai pihak penentu kebijakan sebaiknya mencari

jalan keluar terhadap masalah tersebut, seperti meminimalisir

ketentuan waktu dan biaya yang berlaku sekarang atau

memberi nama lain sebagai pengganti dari penetapan lokasi jika

tahapan penetapan lokasi dianggap hanya cocok diberlakukan

99
untuk pengadaan tanah skala besar, demi terciptanya kepastian

hukum dalam pengadaan tanah skala kecil.

100
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana

telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan

penetapan lokasi yang dilaksanakan di Jawa Timur dilaksanaan

melalui 4 (empat) tahapan yaitu perencanaan, persiapan,

pelaksanaan, penyerahan hasil berdasarkan SK Gubernur Jawa

Timur. SK tersebut tidak sejalan dengan ketentuan dalam Pasal

121 ayat (3) Perpres Nomor 148 Tahun 2015.

2. Kelebihan proses pengadaan tanah yang menggunakan penetapan

lokasi yaitu izin pengadaan tanah jelas dan kepastian hukum

terjamin, kelemahannya yaitu proses yang diperlukan lama,

memerlukan biaya yang banyak, dan juga proses penyelesaian

apabila terjadi sengketa dengan konsinyasi juga belum berlangsung

efektif. Sedangkan proses pengadaan tanah secara langsung

kelebihannya yaitu proses cepat dan tidak memerlukan biaya yang

banyak, tetapi memiliki kelemahan yaitu izin pengadaan tanah tidak

jelas dan tidak menjamin kepastian hukum terhadap proses

pengadaan tanahnya.

101
B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:

1. Semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan tanah

skala kecil baik Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah,

Masyarakat sebaiknya bekerja sama dengan baik sehingga

memahami secara keseluruhan proses pengadaan tanah skala

kecil. Hal tersebut dapat tercapai jika pada proses sosialisasi

berlangsung dengan baik.

2. Sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap Perpres Nomor 148

Tahun 2015 dalam rangka memperjelas ketentuan mengenai

izin dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah skala kecil

bagi pembangunan untuk kepentingan umum tanpa

mengabaikan asas-asas yang berlaku.

102
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adrian Sutedi. 2008. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam


Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika:
Jakarta.

Ahmad Choamzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Nasional). Prestasi


Pustaka: Jakarta.

Aminuddin Ilmar. 2013. Hukum Tata Pemerintahan. Identitas


UniversitasHasanuddin: Makassar.

Aminuddin Salle. 2007. Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan


Umum. Kreasi Total Media: Yogyakarta.

Arie S. Hutagalung. 2004. Kewenangan Pemerintah di Bidang


Pertanahan. PT.Rajagrafindo Persada: Jakarta.

Bernhard Limbong. 2015. Politik Pertanahan. Margaretha Pustaka:


Jakarta.

Boedi Harsono. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan: Jakarta.

E. Sumaryono. 2002. Etika & Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat


Thomas Aquinas, Kanisius. Cetakan ke-5: Yogyakarta.

Endang Sumiarni. 2013. Metodologi Penelitian Hukum: Yogyakarta.

Friedrich Julius Stahl. 2004.Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa


dan Nusamedia: Bandung.

Husein Sastranegara. 1997. Konflik Pertanahan. CV.Muliasari: Jakarta.

Iskandar Mudakir. 2010. Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan


Kepentingan Umum. Jala Permata Aksara: Jakarta.

Iman Soetiknjo. 1994. Politik Agraria Nasional. Gadja Mada University


Press: Yogyakarta.

Irawan Soeradjo. 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia.


Arkola: Jakarta.

Jarot Widya Muliawan. 2016. Cara Muda Pahami Pengadaan Tanah


Untuk Pembangunan. Buku Litera: Yogyakarta.

103
John Salindeho. 1988. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Sinar
Grafika: Jakarta.

L.J. van Apeldorn. 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Xxx,


PradnyaParamita: Jakarta.

Lili Rasyidi. 2010. Filsafat Hukum. Sinar Grafika: Jakarta.

Lili Rasjidi dan Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem.
Remaja Rosdakarya: Bandung.

Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Citra Aditya BaktI: Bandung.

M. Rifqinizamy Karsayuda. 2013. Pembentukan Partai Politik Lokal di


Negara Kesatuan Republik Indonesia Perspektif Yuridis
Konstitusional. Penerbit UB Press: Malang.

Maria SW. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan


Implementasi. Buku Kompas: Jakarta.

Muhammad Bakri. 2011. Pengantar Hukum Indonesia, Sistem Hukum


Indonesia pada Era Reformasi. Cetakan Pertama. Universitas Brawijaya
Press: Malang.

Muhammad Erwin. 2011. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum.


Rajawali Press: Jakarta.

Muhammad Sumaryono. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi


dan Implementasi. Buku Kompas: Jakarta.

Muhadar. 2013. Korban Pembebasan Tanah Prespektif Viktimologis.


Mahakarya Rengkang Offset: Yogyakarta.

Mukti Fajar Nurdewantara. 2010. Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.


Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Nanik Trihastuti. 2011. Hukum Kontrak Karya. Setara Press: Malang.

Oloan Sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk


Kepentingan Umum. Mitra Kebijakan Tanaha Indonesia:
Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Kencana: Jakarta.

Philipus M. Hadjon. 1998. Tentang Wewenang Pemerintahan


(bestuurbevoegdheid). Pro Justitia Nomor XVI.

104
Ridwan HR. 2002. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.

Salim dan Erlies Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Desertasi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Siti Nurhayati. 2012. Metode Penelitian. PT.Raja Grafindo Persada:


Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif


(Suatu Tinjauan Singkat). Rajawali Pers: Jakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto. 1991. Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu.


Universitas Airlangga: Surabaya.

Soedaryono Soimin. 2004. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Sinar


Grafika Offset: Jakarta.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1977.Beberapa Masalah Pelaksanaan


Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia Di dalam Praktik dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada Bulak Sumur: Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum. Universitas Atma Jaya:


Yogyakarta.

Supriadi. 2010. Hukum Agraria. PT.Sinar Grafika: Jakarta.

Suratman dan H. Philips Dillah. 2013.Metode Penelitian Hukum. Alfabeta:


Bandung.

Suryaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat Dulu Kini dan Akan Datang.
PT. Pelita Pustaka: Makassar.

Tolib Setiady. 1991. Hukum Tanah. Sinar Grafika Offset: Jakarta.

Umar Said Sugiharto. 2015. Hukum Pengadaan Tanah UntukKepentingan


Umum Pra dan Pasca Reformasi. Setara Press: Malang.

W. Friedman. 1990. Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan


Problema Keadilan. diterjemahkan dari buku aslinya Legal
Theory oleh Muhamad Arifin. Disunting oleh Achmad Nasir
Budiman dan Suleman Saqib Rajawali: Jakarta.

105
Karya Ilmiah

Donna Okthalia Setiabudhi. 2016. Urgensi Pengaturan Pengadaan Tanah


Skala Kecil untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum di
Kota Manado. Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi.
Menado.

Imam Koeswahyono. 2011. Mengkritisi Rancangan Undang-Undang


Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan. Jurnal
Hukum dan Pembangunan ISSN 0215 9687. Fakultas Hukum
Universitas Indonesia: Jakarta.

Modul Diklat Pengadaan Tanah Pusdiklat Kementerian ATR/BPN. 2015.

Jarot Widya Mulyawan. 2014. Pengaturan Penguasaan Benda-Benda


Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda oleh Negara
untuk Kesejahteraan Rakyat. (Ringkasan Disertasi Program
Doktor Fakultas Hukum Unuversitas Brawijaya: Malang).

Ronald Z.1993. Penetapan Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan


Tanah.Disertasi PPS Universitas Airlangga: Surabaya.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang


Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang


Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang


Pendaftaran Tanah.

Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi


Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas


106
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang


Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang


Perubahan Pertama Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 148 Tahun 2015 Tentang


Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

INTERNET

https://www.kompasiana.com/herybekasi/pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-
umum_

107

Anda mungkin juga menyukai