TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Strata 2 Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kesehatan
Oleh :
NAMA : RASMUDJITO
NIM 06. 93. 0175
Perpustakaan Unika
Perpustakaan Unika
ABSTRAKSI
Informed Consent merupakan suatu persetujuan pasien terhadap tindakan
medis operasi yang akan dilakukan terhadap dirinya, setelah mendapatkan informasi
tentang kondisi dirinya. Berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku
informasi yang berisi tentang segala sesuatu tindakan yang dilakukan dokter dalam
upaya penyembuhan pasien wajib diberikan baik diminta maupun tidak
Dewasa ini Informed Consent menjadi sangat penting baik bagi dokter
maupun pasien. Hal tersebut seiring dengan maraknya issue dan kasus permasalahan
hukum yang banyak mencuat dipermukaan bahkan sampai meja hijau. Kasus-kasus
ini ternyata salah satunya disebabkan karena ketidak sempurnaan dalam memberikan
Informed Consent baik secara kuantitas maupun kualitas.
Masalah
Bagaimana
Telaah
Aspek
Hukum
Perdata
Terhadap
Kelengkapan Informed Consent Pada Pasien Operasi di Rumah Sakit Dr. Kariadi
Semarang
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui telaah aspek hukum perdata
terhadap kelengkapan informed consent pada pasien operasi di Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif.
Dengan menggunakan data sekunder ( studi kepustakaan ). Obyek Penelitian dalam
penelitian ini adalah form Informed Consent di RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
Pengambilan sampel dokumen dilakukan dengan teknik simple random sampling
menggunakan kriteria inklusi pada saat pasien di timbang terimakan antara perawat
dari rawat inap dengan perawat kamar bedah.
Hasil dari penelitian ini adalah kelengkapan Informed Consent pasien
operasi di RSUP. Dr. Kariadi Semarang, secara umum tidak lengkap
Kesimpulan : Berdasarkan telaah aspek hukum perdata kelengkapan form
Informed Consent yang menjadi sampel dalam penelitian ini belum dapat dijadikan
sebagai bukti hukum yang sempurna. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut
secara kualitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak lengkapan Informed
consent di RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
Kata Kunci : Dokumen Informed Consent, kelengkapan, rumah sakit,
aspek hukum perdata.
Perpustakaan Unika
ABSTRACT
vi
viii
Perpustakaan Unika
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi
Penyayang, yang telah melimpahkan rahmad-nya, maka selesailah penyusunan Tesis ini
yang berjudul TELAAH ASPEK HUKUM PERDATA TERHADAP KELENGKAPAN
INFORMED CONSENT PADA PASIEN OPERASI
Dalam tesis ini menelaah tentang aspek hukum perdata terhadap kelengkapan
Informed Consent, hal mana untuk mengetahui sejauh mana kelengkapan atau ketidak
lengkapan suatu Informed Consent dapat dipergunakan sebagai alat bukti hukum
khususnya hukum perdata.
Seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka meningkat
pulalah pengetahuan masyarakat terhadap hukum dan hak-haknya, khususnya dalam
pelayanan kesehatan. Hal tersebut dapat dicermati dimana saat ini masyarakat semakin
kritis dalam menanggapi dan mensikapi segala bentuk pelayanan kesehatan yang dirasa
kurang memuaskan.
Ketidak puasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan utamanya pelayanan
medis operasi, banyak di ungkapkan melalui kritikan-kritikan lewat media masa, bahkan
tidak sedikit yang sampai pada tuntutan hukum. Hal tersebut seperti yang terjadi akhirakhir ini banyak kasus yang menimpa para dokter, dianggap telah melakukan kesalahan
atau dianggap lalai pada saat melakukan pertolongan terhadap pasien.
Oleh karena itu masalah-masalah yang terkait dengan kondisi pasien serta
program-program pengobatan harus benar-benar dimengerti dan dipahami oleh masingmasing pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien dan keluarga. Berdasarkan undangundang dan peraturan yang berlaku maka seorang dokter sebelum melakukan tindakan
medis khususnya tindakan medis operasi, harus memberikan Informed Consent. Informed
Consent dalam tindakan medis operasi adalah merupakan persetujuan tertulis yang harus
ditanda tangani oleh pasien atau keluarganya. Karena Informed Consent merupakan
persetujuan suatu tindakan hukum, maka harus diberikan secara lengkap baik konten dalam
proses maupun kelengkapan pengisian form itu sendiri.
Hal tersebut sangat penting karena apabila terjadi sngketa hukum antara dokter
dengan pasien dapat digunakan sebagai alat bukti yang sempurna. Sehingga Informed
viii
Perpustakaan Unika
Consent dapat melindungi dokter sebagai pemberi pelayanan dan melindungi pasien dari
kesalahan dalam menentukan sikap dan keputusan tentang tindakan medis operasi yang
menyangkut dirinya.
Berdasarkan hal tersebut timbul permasalahan yang hendak diteliti dalam
penelitian ini yaitu: bagaimanakah aspek hukum perdata terhadap kelengkapan Informed
Consent pada pasien operasi, peneliti tertarik untuk mengetahui jawaban dari masalah
tersebut.
Dalam tesis ini penulis mencoba menggali teori-teori, undang-undang khususnya
perdata, serta peraturan-peraturan yang mengatur tentang penggunaan Informed Consent
dalam tindakan medis operasi, untuk mengukur sejauh mana kelengkapan Informed
Consent dan dampak kekuatan hukumnya sebagai alat bukti. Tentu saja teori yang
disajikan dalam tesis ini bukanlah sesuatu yang sempurna dan lengkap.
Setelah mengadakan penelitian di RSUP. Dr. Kariadi Semarang, maka
mendapatkan hasil berdasarkan kelengkapan Informed Consent ditinjau dari hasil telaah
aspek hokum perdata belum dapat digunakan sebagai bukti hokum yang sempurna. Hasil
dari penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan, penelitian ini hanya
berorientasi pada telaah hukum perdata terhadap kelengkapan Informed Consent, sebagai
alat bukti hokum. Sehingga diharapakan kedepan dapat dilakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak lengkapan Informed Consent dan penelitian
secara kualitatif.
Akhir kata, diharapkan penelitian ini bisa bermanfaat bagi akademis khususnya
Program Magister Hukum Kesehatan Universitas Soegijapranata, RSUP. Dr. Kariadi
Semarang, masyarakat, dan tentunya bagi penulis sendiri dalam memperluas dan
memperdalam pengetahuan bagi penulis dalam ilmu Hukum Kesehatan.
Semarang,..
Penulis
Perpustakaan Unika
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa didalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
digunakan orang lain untuk memperoleh gelar kemagisteran di suatu perguruan tinggi, dan juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan orang lain; kecuali yang
secara sengaja tertulis dan diacu dalam naskah tesis ini serta di sebut dalam daftar pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk kepentingan
pernyataan keaslian ( originilitas ) tesis yang saya buat.
Hormat saya
( Rasmudjito, SKep. Ns )
xvi
Perpustakaan Unika
MOTTO :
Be Yourself
Hidup harus lebih bermanfaat bagi sesama, keluarga dan diri sendiri.
PERSEMBAHAN :
Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :
Tuhan Allah Bapa di Surga dan Tuhan Yesus Kristus .
Ayah almarhum dan Ibu tercinta yang sangat mengasihiku, menyayangiku
dan selalu mengharapkan keberhasilan dan kebahagiaanku.
Istri dan kedua anak-anaku yang tercinta dan selalu mengasihiku
Almamater Magister Hukum Kesehatan.
iv
Perpustakaan Unika
2.
Ibu Prof Dr. Agnes Widanti, M.H, selaku Kepala Program Magister Hukum
Kesehatan.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Bapak Dr. Budi Riyanto, MSc, Sp.PD, KPTI, selaku Direktur Utama RSUP. Dr.
Kariadi Semarang.
9.
Bapak Dr. Soleh Kosim, Sp.A (K), selaku Direktur SDM dan Pendidikan Rumah
Sakit Dr. Kariadi Semarang.
10. Dokter Najatullah, SpBP selaku Kepala Instalasi Bedah Sentral dan Rawat Sehari
RSUP. Dr. Kariadi Semarang
11. Ayah almarhum dan Ibu serta Istri dan anak-anaku tercinta yang selalu
mendoakanku.
12. Teman-teman angkatan V Magister
Perpustakaan Unika
Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan civitas akademika pada khususnya.
Semarang,.
Penulis
Perpustakaan Unika
DAFTAR ISI
HAL
Halaman Judul...
Lembar Pengesahan..
ii
Halaman Persetujuan.
iii
iv
Abstraksi...
Abstract.
vi
Kata Pengantar..
vii
ix
Daftar Isi...
xi
Daftar Tabel..
xiv
Daftar Lampiran
xv
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian..
A. Informed Consent
1. Pengertian Informed Concent................................................................................
11
12
13
5. Pemberi Penjelasan.............................................................................................
14
16
xi
xiii
Perpustakaan Unika
Consent.......................................................................................................
17
19
19
19
20
20
21
23
25
27
29
32
32
37
37
37
37
38
1. Hukum pidana.......................................................................................................
38
2. Hukum perdata......................................................................................................
38
39
H. Konstruksi teori...........................................................................................................
41
42
B. Spesifikasi Penelitian..
42
C. Objek Penelitian......................
42
D. Lokasi Penelitian.
43
E. Desain Penelitian.
44
45
xiii
Perpustakaan Unika
46
47
47
48
51
59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.
61
61
B. Saran-Saran ..
62
DAFTAR PUSTAKA
...
64
Perpustakaan Unika
DAFTAR TABEL
HAL
Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Observasi Kelengkapan Informed Consent.
51
52
54
Tabel 4 Bagian III Kelengkapan Pemberi Informasi, Diagnosa dan Jenis Operasi...
55
56
57
xiv
Perpustakaan Unika
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN
LAMPIRAN
67
LAMPIRAN
68
LAMPIRAN
Surat Edaran Dir. Jend. Pelayanan Medik Dep. Kes RI. No.
YM.00.03.2.2.1730,
tanggal
Nopember
2001,
Perihal
69
70
LAMPIRAN
LAMPIRAN
72
xv
71
73
Perpustakaan Unika
SURAT KETERANGAN
No..
: Rasmudjito, SKep. Ns
NIM
: 06.93.0175
Institusi Pendidikan
Judul Peneletian
Perpustakaan Unika
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak yang dimilkiki merupakan
salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat.
Namun ada sisi negatifnya yaitu adanya kecenderungan meningkatnya kasus tenaga
kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut pasien dan
berakibat sangat membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada
gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan
dikemudian hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad
tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimetris
kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran (Kasimin, 2007).
Sebagai pokok permasalahan adalah tidak setiap upaya pelayanan kesehatan
hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya
dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek
(Kasimin, 2007). Tingginya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan
sering kali menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang diberikan. Hal ini menyebabkan masyarakat menuduh rumah sakit atau tenaga
kesehatan telah melakukan malpraktik atau kelalaian dalam melakukan tindakan
medis. Anggapan atau dugaan malpraktik dalam pelayanan kesehatan disebabkan
karena meningkatnya kesadaran pasien dan masyarakat tentang haknya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar yaitu; hal
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk
mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut menentukan
(the right to determination) (Indradi, 2007).
Dalam memenuhi hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, setiap
pelaksanaan tindakan medis harus sesuai dengan standar profesi kedokteran. Karena
setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam
2
Perpustakaan Unika
pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan
berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum (Indradi, 2007). Sebagai salah satu
pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent
benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak,
yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari
informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan
apakah suatu informasi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut
sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum
yang berkenaan dengan informed consent ini (Irwandy, 2007).
Informed consent merupakan rekam medis berbentuk surat persetujuan
tindakan medis. Rekam medis ini digunakan sebagai pedoman atau perlindungan
hukum yang mengikat karena di dalamnya terdapat segala catatan tentang tindakan,
pelayanan, terapi, waktu terapi, tanda tangan dokter yang merawat, tanda tangan
pasien yang bersangkutan, dan lain-lain (Sanjoyo, 2007). Dengan kata lain, rekam
medis dapat memberikan gambaran tentang standar mutu pelayanan yang diberikan
oleh fasilitas pelayanan kesehatan maupun oleh tenaga kasehatan berwenang. Berkas
rekam medis juga menyediakan data untuk membantu melindungi kepentingan
hukum pasien, dokter dan penyedia fasilitas pelayanan kesehatan. Catatan ini juga
menyediakan data yang dapat melindungi kepentingan hukum pasien dalam kasuskasus kompensasi pekerja, kecelakaan pribadi atau malpraktek (Sanjoyo, 2007).
Kelengkapan pengisian formulir informed consent sangat perlu diperhatikan,
karena merupakan rekam medis yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian dalam
mengatasi masalah hukum akibat dugaan malpraktik. Dalam hukum acara perdata
maupun pidana, informed consent dikenal sebagai alat bukti dengan tulisan. Bertolak
dari hal tersebut maka, selama ini rekam medis dianggap dapat digunakan sebagai
alat bukti tulisan, meskipun di dalam perkembangan selanjutnya, anggapan tersebut
masih mungkin ditinjau kembali. Rekam medis bukan alat bukti menurut undang-
3
Perpustakaan Unika
4
Perpustakaan Unika
Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang disebut akta (akta dibawah tangan),
bahwa akta adalah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani ( Subekti, 1993 ). Sementara dalam kontrol catatan
medis yang tidak lengkap ( delinquent ), baik secara kuantitatif dan kualitatif
meliputi; indentifikasi defisiensi spesifik, pola-pola dokumentasi yang jelek, dan
kejadian yang berpotensi tuntutan ganti rugi. Angka kebandelan atau ketidak
lengkapan dan apabila ketidak lengkapan tersebut tidak adanya laporan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, laporan operasi atau tanda tangan pada pernyataan
kebenaran ( attestation statement ), adalah lebih serius ( Edna. K. Huffman, 1994 )
Hasil studi awal yang dilakukan oleh peneliti dengan melakukan observasi
pada 35 rekam medis pasien yang akan menjalani operasi pada tanggal 26 sampai
dengan 29 Desember 2007, ditemukan 100% menggunakan informed consent, 68,6%
ditanda tangani oleh dokter yang akan melakukan tindakan operasi sementara 42,4%
tidak ada tanda tangan dokter, sedangkan 5,7% tidak terdapat tanda tangan pasien,
keluarga maupun saksi. Dari hasil observasi juga didapatkan 25,7% dari 35 rekam
medis tersebut tidak terisi jenis tindakan operasi yang akan dilakukan, sementara dari
33 informed consent yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga, terdapat 39,39%
tidak tercantum status hubungan keluarga. Studi pendahuluan juga peneliti lakukan
dengan 10 perawat bedah dan 2 dokter bedah tentang proses pembuatan persetujuan
tindakan medis atau informed consent.
Dari hasil wawancara dengan perawat, didapatkan 65% perawat mengatakan
jarang dilibatkan dalam pembuatan informed consent dan sebagian besar perawat
(85% perawat) tersebut tidak pernah memeriksa kembali rekam medis pasien,
khususnya kelengkapan informed consent sebelum pasien dikirim ke kamar bedah.
Selain itu juga 96% perawat tidak tahu akibat yang ditimbulkan dari
ketidaklengkapan formulir informed consent tersebut dari aspek hukum. Sedangkan
hasil wawancara dengan 2 dokter bedah, didapatkan kedua-duanya mengungkapkan
perasaan yang biasa-biasa saja dalam menghadapi pengisian formulis informed
consent yang tidak lengkap dan kedua dokter tersebut beranggapan selama ini tidak
5
Perpustakaan Unika
ada kejadian dugaan malpraktik yang menuntut rekam medis tersebut (informed
consent) sebagai alat bukti yang tertulis.
Adanya ketidaklengkapan dalam pengisian formulir informed consent tidak
dapat dijadikan alat bukti tertulis dalam masalah hukum. Ketidak lengkapan informed
consent tersebut akan dapat menimbulkan masalah tersendiri kaitnannya dengan alat
bukti, bila terjadi tuntutan hukum perdata maupun pidana karena dapat dianggap tidak
sah atau kurang berbobot. Hal mana sesuai dengan pasal 1321 KUHPerdata yang
berbunyi Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Dalam pasal tersebut dapat
diartikan bahwa secara yuridis, yang dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak
adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan dari para pihak yang mengikatkan dirinya.
Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dimana
para pihak mempunyai kesamaan kehendak ( Anny Isfandiarie, 2006 ).
Ketidak lengkapan informed consent dapat menimbulkan penafsiran berbeda
dari para pihak sehingga dapat terjadi pengingkaran oleh pasien atau keluarga bila
terjadi sengketa medis, terutama pengingkaran makna atau tanda tangan. Sementara
kelemahan dari informed consent ditinjau sudut informed consent sebagai akte
dibawah tangan adalah, apabila pihak yang menandatangani mengingkari tanda
tangannya, karena selama bukti tulisan tersebut masih menjadi pertengkaran maka
tidak akan bermanfaat sebagai alat pembuktian ( Subekti, 1993 ). Berdasarkan uraian
diatas maka kelengkapan informed consent tidak dapat diabaikan, karena dapat
berakibat tidak bermanfaatnya informed consent tersebut sebagai alat bukti bila
timbul tuntutan hukum di kemudian hari.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik membuat proposal penelitian
yang berjudul: Telaah Aspek Hukum Perdata Terhadap Kelengkapan Informed
Consent Pada Pasien Operasi di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang .
6
Perpustakaan Unika
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti tersebut di atas maka
dirumuskan masalah penelitian yaitu Bagaimana Telaah Aspek Hukum Perdata
Terhadap Kelengkapan Informed Consent Pada Pasien Operasi di Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui telaah aspek
hukum perdata terhadap kelengkapan informed consent pada pasien operasi di
Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui sejauhmana kelengkapan informed consent pada pasien
operasi di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang.
b. Untuk mengetahui telaah dari aspek hukum perdata terhadap keabsahan
informed consent di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang.
c. Untuk mengetahui ketentuan perundang-undangan yang berlaku tentang
persetujuan tindakan medik yang telah diterapkan dan ditaati oleh para
dokter tentang kelengkapan informed consent di Rumah Sakit Dr. Kariyadi
Semarang.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Departemen Kesehatan, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan
untuk mengendalikan mutu pelayanan kesehatan yang telah diberikan dan untuk
memonitor serta mengevaluasi sejauh mana persetujuan tindakan medik telah
7
Perpustakaan Unika
diterapkan di rumah sakit yang dipimpinannya, kemudian menentukan langkahlangkah yang akan diambil dalam meningkatkan kualitas pengisian persetujuan
tindakan medis atau informed consent.
3. Bagi dokter/dokter gigi, hasil penelitian ini bisa dipakai sebagai alat untuk
intropeksi diri, sejauh mana pada dokter tersebut telah melengkapi dan
memberikan informasi kepada pada pasiennya sebelum menandatangani formulir
informed consent serta melakukan tindakan medis atau pembedahan.
4. Bagi pengguna jasa pelayanan kesehatan, hasil penelitian ini akan memberikan
gambaran sejauh mana kelengkapan informed consent sebagai alat bukti hukum
yang tertulis oleh para dokter dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
5. Bagi peneliti, hasil penelitian ini merupakan stimulus untuk mendalami lebih jauh
Perpustakaan Unika
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
A. Informed Consent
1. Pengertian Informed Concent
9
Perpustakaan Unika
kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundangundangan (malpraktek) (Hidayat, 2007).
c. Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain
pada Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 dan Surat Keputusan PB IDI
No 319/PB/A4/88 (Hidayat, 2007). Pernyataan IDI tentang informed
consent tersebut antara lain :
1) Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya
menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter
tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2) Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif)
memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3) Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien,
setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya.
4) Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan
persetujuan lisan atau sikap diam.
5) Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik
diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak
boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam
memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran
seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
6) Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi
biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis
(berkaitan dengan informed consent).
10
Perpustakaan Unika
11
Perpustakaan Unika
tidak didapat, maka dalam catatan medis pasien harus dilampirkan alasan
( Edna K. Huffman, 1994 )
f. Informed Consent adalah izin tertulis yang dibuat secara sadar dan
sukarela dari pasien diperlukan seelum suatu pembedahan dilakukan. Izin
tertulis seperti itu melindungi pasien terhadap pembedahan yang lalai dan
melindungi ahli bedah terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum. Demi
kepentingan semua pihak yang terkait, perlu mengikuti prinsip
medikolegal yang baik. Sebelum pasien menandatangani formulir consent,
ahli bedah harus memberikan penjelasan yang jelas dan sederhana tentang
apa yang akan diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga harus
menginformasikan
pasien
tentang
alternatif-alternatif
yang
ada,
12
Perpustakaan Unika
a. Ijin langsung (express consent): pasien atau wali segera menyetujui usulan
pengobatan yang ditawarkan dokter atau pihak RS (bisa lisan atau tertulis)
b. Ijin secara tidak langsung (implied consent): tindakan pengobatan
dilakukan dalam keadaan darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan
jiwa pasien
c. Persetujuan khusus : pasien wajib mencantumkan pernyataan bahwa
kepadanya telah diberikan penjelasan suatu informasi terhadap apa yang
akan dilakukan oleh tim medis terhadap pasien. Pada informed consent,
pasien sendiri yang harus menandatangani persetujuan kecuali pasien
tersebut tidak mampu atau mempengaruhi fungsi seksual atau reproduksi
(suami/istri).
13
Perpustakaan Unika
consent juga harus diberikan pada suatu tindakan medis yang bukan dengan
tujuan terapi, termasuk didalamnya adalah untuk penelitian atau pendidikan.
Sementara menurut Brunner dan Suddarth dalam buku ajar Medical
Bedah ( 1996 ), Informed Consent tindakan medis diperlukan pada saat;
a. Prosedur tindakan invasif seperti insisi bedah, biopsi, sistoskopi, atau
parasentesis
b. Tindakan yang menggunakan anestesi
c. Prosedur non-bedah yang dilakukan di mana risikonya pada pasien lebih
dari sekedar risiko ringan, seperti arteriogram.
d. Terapi radiasi atau kobalt.
Senada dengan General Medical Council (GMC) di Inggris, maka menurut
Brunner dan Suddarth semua tindakan medis yang beresiko lebih dari resiko
ringan harus diberikan informed consent baik tindakan medis terapetik
maupun diganostik serta tindakan yang menggunakan anestesi.
14
Perpustakaan Unika
setiap
pilihan
tindakan,
diperlukan
keterangan
tentang
15
Perpustakaan Unika
5. Pemberi Penjelasan
16
Perpustakaan Unika
17
Perpustakaan Unika
Consent
Siapa yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak
tindakan medis. Pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar
sepenuhnya. Menurut penjelasan Pasal 45 UU No. 29/ 2004 tersebut di atas,
apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau
penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain
suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara
kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi
yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat
persetujuan.
Cara memberikan informed consent dapat diberikan secara tertulis,
secara lisan, atau secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini
dinamakan implied consent. Misalnya, jika pasien mengangguk atau langsung
membuka baju jika dokter mengatakan, Boleh saya memeriksa saudara?.
Untuk tindakan medis dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau
tindakan invasif lainnya), persetujuan harus secara tertulis, ditandatangani
oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi dari
pihak keluarga.
Menurut FKUI (2007) berpedoman pada Permenkes No 585 tahun
1989 mengenai Persetujuan Tindakan Medik, maka yang berhak memberikan
persetujuan atau menandatangani perjanjian adalah pasien yang sudah dewasa
(di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.
Sedapat mungkin Persetujuan Tindakan Medis ditandatangani sendiri oleh
pasien. Namun dalam praktek di lapangan Persetujuan Tindakan Medis lebih
sering ditandatangani oleh keluarga pasien. Hal ini berkaitan dengan kesiapan
mental
pasien
untuk
menjalani
tindakan
medik
maupun
untuk
18
Perpustakaan Unika
umur 21 tahun dan pasien dengan gangguan jiwa maka yang menandatangani
Persetujuan Tindakan Medis adalah orang tua atau keluarga terdekat atau
walinya. Untuk pasien yang tidak sadar, pingsan atau tidak didampingi oleh
keluarga terdekat dan secara medis dalam keadaan gawat darurat dan perlu
dilakukan tindakan segera atau yang bersifat menyelamatkan kehidupan tidak
diperlukan persetujuan.
Dalam rangka menjaga kemanan dan kesahihan Persetujuan Tindakan
Medis diperlukan saksi dari pihak keluarga maupun dari rumah sakit.
Mengenai jumlahnya tidak ada pedoman khusus, namun biasanya ada 2 orang,
yaitu satu mewakili pasien dan satu mewakili rumah sakit. Tetapi hal ini tidak
mutlak, dapat saja dua-duanya dari pihak keluarga ataupun dari rumah sakit
(FKUI, 2007).
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006) yang dapat memberikan
persetujuan adalah individu yang kompeten, ditinjau dari usia maka seseornag
dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah
menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum
berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu
yang tidak berisiko apabila mareka dapat menunjukkan kompetensinya dalam
membuat keputusan.
Suatu persetujuan tindakan medis atau informed consent dianggap sah
apabila pasien telah diberi penjelasan/informasi, pasien atau yang sah
mewakilinya
dalam
keadaan
cakap
(kompeten)
untuk
memberikan
19
Perpustakaan Unika
20
Perpustakaan Unika
21
Perpustakaan Unika
maupun oleh dua pihak (Irwandy, 2007). Dalam masalah informed consent
dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh
KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak
dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukum perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata,
tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga
jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien,
maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Sedangkan pada masalah
hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa
lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan
sanksi pidana (Irwandy, 2007).
22
Perpustakaan Unika
adalah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu
peristiwa dan ditandatangani ( Subekti, 1993 ). Mencermati apa yang
disampaikan oleh Subekti di atas maka menurut peneliti, suatu tulisan tersebut
ditulis terlebih dahulu dan bermakna tentang suatu peristiwa dan disepakati
oleh pihak yang menandatangani. Oleh karena itu suatu tulisan yang tidak
lengkap sehingga kurang bermakna tentang suatu peristiwa akan tidak
bermakna pula sebagai bukti hukum, karena tidak memenuhi kaidah-kaidah
sebagai akta dibawah tangan. Sementara sesuai dengan bunyi KUHPerdata
Pasal 1867 Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan
otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan, tulisan-tulisan di
bawah tangan tersebut tentu harus sesuai dengan kaidah-kaidah akte di bawah
tangan sesuai yang disampaikan oleh Subekti 1993.
Suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu
memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis
dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Pelanggaran hukum yang terkait dengan informed Consent dalam tindakan
medis berdasarkan UUPK No. 29 tahun 2004 Pasal 45 (5) Setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan
23
Perpustakaan Unika
24
Perpustakaan Unika
25
Perpustakaan Unika
g. Tulisan yang tidak bisa dibaca, dapat menjadi bumerang bagi si penulis,
apabila rekam medis ini sampai ke pangadilan.
h. Jangan menulis tulisan yang bersifat menuduh atau mengkritik teman
sejawat atau tenaga kesehatan yang lainnya.
i. Jika salah menulis, coretlah dengan satu garis dan diparaf, sehingga yang
dicoret masih bisa dibaca.
j. Jangan melakukan penghapusan, menutup dengan tip-ex atau mencorat
coret sehingga tidak bisa dibaca ulang.
k. Bila melakukan koreksi di komputer, diberi space untuk perbaikan tanpa
menghapus isi yang salah.
l. Jangan merubah catatan rekam medis dengan cara apapun karena bisa
dikenai pasal penipuan.
4. Informed Consent Sebagai Perjanjian
26
Perpustakaan Unika
hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi terapeutik
menimbulkan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak pemberi pelayanan
( medical providers ) dan pihak penerima pelayanan ( medical receivers ), dan
harus dihormati oleh para pihak.
Jenis-jenis perjanjian yang ada relavansinya dengan Informed Consent
adalah jenis-jenis perjanjian menurut Djaja S. Meliala ( 2007) antara lain :
1) Perianjian Konsensual dan Riil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul (lahir) karena
kata sepakat para pihak, sedang dalam perjanjian riil, kata sepakat para
pihak terjadi bersamaan dengan penyerahan (levering) barangnya.
2) Perjanjian Formil
Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus dibuat secara
tertulis, jika tidak maka perjanjian ini menjadi batal.
3) Perjanjian Standar/baku (standard contract)
Peranjian standar bentuknya tertulis berupa formulir-formulir yang
isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dulu secara sepihak oleh
produsen, serta bersifat masal, tanpa mempertimbangkan perbedaan
kondisi yang dimiliki oleh konsumen.
27
Perpustakaan Unika
28
Perpustakaan Unika
Consent atau memberikan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah dan cara yang sudah
diatur dalam peraturan perundangan sehingga mengakibatkan tidak sahnya
Informed Consent. Maka dokter dapat di sebut telah melakukan perbuatan
melawan hukum atau dalam bahasa hukum perdata disebut wanprestasi.
Tanggung jawab perdata dokter terhadap keterikatan kerjasama dengan
pasien dapat sebagai suatu hubungan kontraktual sesuai dengan KUHPerdata
Pasal 1313 yaitu Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Oleh karenanya
antara dokter dan pasien memiliki hubungan saling mengikat satu sama lain untuk
masing-masing pihak dapat berbuat atau melakukan sesuatu untuk masing-masing
pihak.
Hal terebut juga sesuai dengan bunyi KUHPerdata Pasal 1233 yaitu
Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undangundang. Artinya bahwa dokter telah terikat oleh sumpah dan janji serta Undangundang untuk memberikan Informed Consent. Oleh karenanya sesuai dengan
KUHPerdata Pasal 1234 yang berbunyi Tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Maka apabila tidak berbuat sesuatu dalam hal ini memberikan Informed Consent
maka dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ingkar
janji atau wanprestasi.
Tanggung jawab perdata dokter karena perbuatan melawan hukum
( onrechtmatig daad ) adalah dapat dituntut berdasarkan KUHPerdata Pasal 1365
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut. Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, mempunyai unsur antara lain; ada perbuatan
melawan hukum, ada kesalahan, ada kerugian, dan ada hubungan sebab-akibat
antara kerugian dan perbuatan.
29
Perpustakaan Unika
30
Perpustakaan Unika
ini
meliputi
bentuk
tindakan
medis,
prosedur
31
Perpustakaan Unika
32
Perpustakaan Unika
lainnya yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak
sadar atau kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan yang
paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia setuju.
baik
dengan
maupun
tanpa
bantuan
dari
yang
33
Perpustakaan Unika
pembuktian
lahir
ini
berlaku
bagi
dari
keterangan
pejabat
sepanjang
mengenai
apa
dilakukannya dan dilihatnya. Dalam hal ini yang telah pasti ialah
34
Perpustakaan Unika
tentang tanggal tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan. Pada
pejabat tidak terdapat pernyataan atau keterangan dari para pihak :
pejabatlah yang menerangkan. Maka bahwa pejabat menerangkan
demikian itu sudah pasti bagi siapapun. Dalam hal akta para pihak
bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat menyatakan
seperti tercantum di atas tanda tangan.
(3) Kekuatan pembuktian materiil akta otentik
Akta pejabat tidak lain hanya untuk membuktikan kebenaran apa yang
dilihat dan dilakukan oleh pejabat. Akta pejabat yang mempunyai
kekuatan pembuktian materid ialah akta yang dikeluarkan oleh Kantor
catatan Sipil.
Kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan
hakim. Lain halnya dengan akta yang dibuat oleh para pihak mereka
meperoleh haknya dari bukti yang sempurna. Semua akta para pihak
mempunyai kekuatan pembuktian materiil. Bagi kepentingan pihak
kekuatan pembuktian materiil diserahkan kepada pertimbangan hakim.
membenarkan
atau
memungkiri
tanda
tangannya,
35
Perpustakaan Unika
36
Perpustakaan Unika
apabila
si
penanda
tangan
menghendaki
demikian.
pembantah
tersebut
yang
harus
membuktikan
ke
benarannya.
Sementara menurut KUH Perdata Persangkakan palsu
Pasal 1872 yang berbunyi Jika suatu akta otentik, yang berupa
apa saja, dipersangkakan palsu, maka pelaksanaannya dapat
ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara
Perdata.
Terkait dengan hal tersebut diatas adalah Pasal 1977
KUH Perdata yang berbunyi Jika seseorang memungkiri tulisan
atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orangorang yang mendapat hak daripadanya menerangkan tidak
mengakuinya, maka harus memerintahkan supaya kebenaran dari
tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa dimuka pengadilan.
37
Perpustakaan Unika
38
Perpustakaan Unika
2. Hukum perdata
39
Perpustakaan Unika
Bila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter atau dokter gigi
yang melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan menyidangkan dan dapat
memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang dapat berupa teguran hingga
rekomendasi pencabutan Surat Tanda Resgistrasi.
Menurut Soeraryo Darsono ( 2006 ) penerapan hukum kedokteran
berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata menyatakan bahwa dokter dapat dituntut
secara perdata apabila; melakukan wanprestasi atau ingkar janji, wanprestasi
tersebut juga termasuk tidak memberikan informed consent dalam suatu
tindakan medis.
Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth ( 1996 ) informed consent
adalah untuk melindungi pasien terhadap pembedahan yang lalai dan
melindungi ahli bedah terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum.
Sementara ditinjau dari KUHPidana Pasal 354, ayat (1) Barangsiapa
sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan berat dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun.
40
Perpustakaan Unika
41
Perpustakaan Unika
H. Konstruksi teori
Informed Consent:
I. Identitas Rekam Medis
II. Identitas yang membuat menandatangani persetujuan
III. Identitas dokter pemberi informasi dan isi informasi meliputi
1. Diagnosis & tata cara tindakan medis
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain & resikonya
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5. Prognosis terhadap tindakan
IV. Identitas pasien yang akan dioperasi
V. Tanda tangan dokter pemberi informasi
VI. Tanda tangan yang membuat pernyatakan
VII. Tanda tangan saksi
Kelengkapan pengisian
format informed consent
Perpustakaan Unika
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan Yuridis
Normatif. Hal ini karena data yang dipergunakan adalah data sekunder (studi
kepustakaan dokumen informed consent) dengan mengingat bahwa permasalahan
berkisar tentang kelengkapan format informed consent dan kelengkapan pengisian
informed concent.
B. Spesifikasi Penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik maka penulis menggunakan
spesifikasi penelitian ini secara deskriptif analisis artinya menggambarkan ruang
lingkup yang luas sekaligus memberikan batasan-batasan yang tegas yang
didiskripsikan dalam penelitian ini : Analisis kelengkapan informed consent pada
pasien operasi di RSUP. Dr. Kariadi Semarang ditinjau dari aspek hukum perdata.
C. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah dokumen informed concent
pasien operasi. Data diambil pada saat pasien dilakukan timbang terima pasien antara
perawat ruangan sebagai pengantar dengan perawat kamar bedah sebagai penerima.
Karena jumlah dokumen informed consent yang ada di rekam medis Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang sampai bulan Januari Desember 2007 terdapat 200 dokumen, maka
jumlah dari populasi di bawah 10.000, oleh karena itu penentuan besar sampel
dihitung menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2003).
n=
N
1 + N (d 2 )
43
Perpustakaan Unika
Jika jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi 200 pasien, maka :
200
n=
1 + 200(0,02)
200
=
1+ 4
= 40
Setelah jumlah dokumen informed consent yang akan dijadikan sampel
penelitian ditentukan, maka selanjutnya pengambilan sampel dokumen akan
dilakukan dengan teknik simple random sampling menggunakan kriteria inklusi.
Kriteria inklusi informed consent tersebut antara lain :
1. Pasien operasi elektif atau operasi yang direncanakan
2. Pasien sedang di timbang terimakan antara perawat ruang inap dan perawat kamar
bedah di Instalasi Bedah Sentral, dengan usia lebih dari 21 tahun atau sudah
menikah.
3. Pasien dalam kondisi sadar dan tidak dalam kondisi kesakitan.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mengambil lokasi di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang.
44
Perpustakaan Unika
E. Desain Penelitian
Perumusan masalah :
Kelengkapan informed consent ditinjau dari aspek hukum keperdataan
Metode
Pengumpulan data:
Data sekunder :
1. Dokumen informed consent
2. Peraturan-peraturan
tentang
informed consent
Lokasi :
Kamar Bedah RS Dr. Kariadi
Semarang
Kelengkapan informed
consent
45
Perpustakaan Unika
Dalam usaha pengumpulan data untuk keperluan penyusunan tesis ini penulis
menggunakan beberapa cara untuk mengumpulkan data, yaitu :
1. Studi Kepustakaan/Libarary Research
46
Perpustakaan Unika
2. Observasi
Perpustakaan Unika
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
48
Perpustakaan Unika
49
Perpustakaan Unika
penjelasan adalah dokter yang hendak melakukan tindakan medik, tetapi kewajiban
tersebut dapat didelegasikan kepada dokter lain, perawat, atau bidan dengan catatan, jika
terjadi kesalahan dalam memberikan penjelasan maka yang bertanggung jawab adalah
dokter yang melakukan tindakan medik. Hal mana tidak dibedakan antara tindakan yang
invasif maupun tindakan bukan invasif yang artinya perawat dan bidan boleh
memberikan informasi tentang hal-hal yang harus diinformasikan kepada pasien baik
tindakan invasif maupun bukan invasif.
Surat Keputusan Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270 tanggal
20 Desember 2004, tentang Prosedur Tetap Persetujuan Tindakan Medik ( informed
consent ) sebagai Standar Operasional Prosedur tidak sesuai dengan surat edaran Dir. Jen.
Pelayanan Medis Dep. Kes. RI. No. YM.00.03.2.2.1730, 5 Nopember 2001 perihal
Akreditasi Rumah Sakit. Hal mana secara definisi standar operasional prosedur adalah
suatu perangkat atau instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan
suatu proses kerja rutin tertentu. Standar operasional prosedur memberikan langkahlangkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsesus bersama untuk melaksanakan
berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan. Sementara Surat Keputusan Direktur Utama
RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270 tanggal 20 Desember 2004, tentang Prosedur
Tetap Persetujuan Tindakan Medik ( informed consent ) berisi tentang paraturanperaturan tentang informed consent dan memuat sangat banyak isi. Hal tersebut kurang
memberikan arah dan petunjuk langkah-langkah dalam memberikan informed consent
baik dalam pengisian dokumen maupun prosesnya sendiri.
Format baku informed consent yang dipergunakan oleh RSUP. Dr. Kariadi adalah
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men.Kes./Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis. Format baku informed consent sebagai bagian dari rekam
medis maka secara anatomi menurut peneliti dapat dibagi menjadi beberapa bagian dari
format baku tersebut antara lain; bagian I adalah bagian kepala dari format baku tersebut
yang berisi antara lain bangsal asal pasien, kelas, nomor rekam medis, nama pasien dan
umur pasien; bagian II bagian yang berisi identitas orang yang membuat pernyataan
meliputi antara lain nama yang membuat persetujuan, umur, jenis kelamin, alamat dan
nomor bukti diri ( KTP/SIM ), bagian III berisi antara lain nama dokter yang memberi
penjelasan ( informasi ), diagnose, dan aspek yang harus diinformasikan kepasien
50
Perpustakaan Unika
51
Perpustakaan Unika
Umur
JenisKelamin
Alamat
No.KTP/SIM
Dr.ygmenjelaskan
Diganosa
Jenisoperasi
Hub'klgdgpasin
Namapasien
Umurpasein
JenisKelamin
Alamatpasien
No.KTP/SIMpasien
Bangsal
Kelas
No.RM
Tglditandatangani
TTygmenyatakan
Nmterangpernytaan
TTdokter
Nmterangdokter
TTsaksiI
NmterangsaksiI
TTsaksiII
NmTerangsaksiII
Kolomygterisi
Namaygmenyatakan
PENANDATANGANAN
Umur
IDENTITASPASIEN
NamaPasien
Sukarti
Suhartini
Rahayu
RifanR
Cahyo
Ngadiran
MMoen
Riayatul
Ratnawen
Sadiman
Suyatmi
Ngasrini
SlametB
Syahroni
Sukanto
Jari
Sulipah
Sapto
Atminah
Wahyuti
Panganli
Atmanto
Mulyadi
Patonah
Rasipah
Susilowa
Slamet
Kasni
Kamini
Suyami
Budiono
Samsuri
Darto
Suntari
Fatimah
Masnun
Firman
Suwardi
Lalu
Kusuman
IV
DOKTER
No.RM
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
III
YGMENYTAKAN
Kelas
II
IDENTITASRM
Bangsal
No
Umur(TH)
NamaPasien
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
78
49
34
70
48
55
54
48
27
44
57
35
39
53
37
70
60
69
67
49
49
41
50
49
77
40
44
69
65
43
21
61
29
50
41
55
28
53
56
30
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
24
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
21
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
23
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
23
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
22
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
35
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
34
0
1
1
0
1
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
1
1
0
0
1
1
23
1
0
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
0
1
1
0
22
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
1
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
25
1
1
0
1
1
1
0
1
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
27
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
30
1
1
1
1
0
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
0
1
0
1
20
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
33
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
0
1
0
31
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
0
1
0
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
0
0
0
1
1
0
0
0
1
1
0
1
1
0
21
1
1
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
0
17
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
1
1
0
1
1
0
0
0
1
0
1
1
0
1
1
0
23
0
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
0
1
1
0
25
1
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
1
0
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
1
0
1
0
0
0
1
0
16
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
1
1
1
30
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
35
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
35
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
31
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
30
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
1
30
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
0
0
1
1
1
1
0
1
28
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
0
0
1
29
0
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
0
0
1
24
22
23
27
25
20
20
11
22
17
22
23
26
16
24
13
22
23
9
27
3
18
15
11
15
25
17
19
24
22
21
23
21
24
0
27
16
16
21
25
17
52
Perpustakaan Unika
Berdsarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis Pasal 2 ayat (1) Rekam Medis harus
dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik. Pada ayat tersebut jelas
bahwa Informed Consent merupakan bagian dari Rekam Medis juga harus ditulis secara
lengkap dan jelas.
Ketidak lengkapan informed consent sebagai rekam medis berdasarkan Buku
Pedoman Pelaporan IKP atau Insiden Keselamatan Pasien ( Patient Safety Incident
Report ) di rumah sakit oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( KPP-RS ) tahun
2007, adalah termasuk dalam kategori insiden dokumentasi. Hal yang merupakan insiden
dan harus dilaporkan dalam kategori insiden dokumentasi antara lain adalah meliputi bila
terjadi; informed consent tidak dilakukan atau tidak ada, pelanggaran kerahasiaan, catatan
medis tidak diisi atau tidak dicatat ( termasuk instruksi dokter ), catatan medis tidak
terbaca atau salah baca, catatan medis hilang, salah menulis data di catatan medis atau
tertukar, salah menulis hasil tes atau pemeriksaan diagnosis, salah menulis identitas
pasien atau nomor rekam medis, tidak menulis identitas pasien atau nomor rekam medis.
Menurut Sanjoyo (2007) beberapa kewajiban pokok yang menyangkut isi
informed consent sebagai rekam medis yang berkaitan dengan aspek hukum adalah antara
lain setiap tindakan yang dilakukan tetapi tidak ditulis, secara yuridis dianggap tidak dilakukan.
Sementara merubah catatan rekam medis dengan cara apapun karena bisa dikenai pasal
penipuan. Hal tersebut juga menurut peneliti, penandatanganan informed consent dengan
Tabel 2
Bagian I
Kelengkapan Bagian Kepala dari Format Informed Consent
ITEM YG HARUS
YANG
TDK
NO
DI ISI
TERISI
TERISI
TDK TERISI DLM %
1 Bangsal
24
16
40 %
2 Kelas
21
19
47.5 %
3 No. Rekam Medis
23
17
42.5 %
4 Nama Pasien
23
17
42.5 %
5 Umur
22
18
45 %
Sumber : Informed Consent RSUP. Dr. Kariadi ( diolah ) Maret 2008
53
Perpustakaan Unika
Data dalam table II adalah merupakan hasil observasi pada bagian kepala
rekam medis dimana terisi antara lain bangsal asal pasien, kelas, nomor rekam medis,
nama pasien dan umur. Dari 40 sampel maka 40 % bangsal asal pasien tidak terisi,
42.5 % kelas pasien tidak terisi, 42.5 % nomor rekam medis tidak terisi, 42.5 % nama
pasien tidak terisi dan 42.5 % umur tidak terisi.
Data tersebut menunjukan bahwa berdasarkan Buku Pedoman Pelaporan IKP
atau Insiden Keselamatan Pasien ( Patient Safety Incident Report ) Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( KPP-RS ) tahun 2007 maka nomor rekam medis
tidak terisi 42.5 %, nama pasien tidak terisi 45 % adalah termasuk kategori insiden
komponen dokumentasi dan harus dilaporkan kepada Tim Pasien Safety tingkat
rumah sakit.
Kemungkinan kejadian
tertukarnya form ( dokumen ) informed consent dengan pasien lain, hilangnya form
informed consent, atau penyangkalan oleh pasien terhadap form informed consent
nya karena tidak terisinya bagian ini pada saat menandatangani form persetujuan
tersebut. Oleh karenanya dampak hukum yang dapat timbul adalah informed consent
tidak dapat sebagai bukti hukum apabila terjadi sengketa hukum.
Sementara informed consent menurut Pasal 1875 KUHPerdata maka akta di
bawah tangan yang diakui menurut undang-undang bagi yang menandatanganinya,
ahli warisnya serta orang yang mendapat hak dari mereka merupakan bukti yang
sempurna seperti akta otentik. Hilangnya form ( dokument ) informed consent juga
dapat berakibat suatu masalah pidana dimana meurut KUHPidana Pasal 354, ayat (1)
Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan berat
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun.
54
Perpustakaan Unika
Tabel 3
Bagian II
Kelengkapan Identitas Yang Membuat Pernyataan
YANG
TDK
TERISI
TERISI
NO
ITEM YG HARUS DI ISI
1 Nama yang membuat pernyataan
35
5
2 Umur
34
6
3 Jenis Kelamin
23
7
4 Alamat
22
8
5 No. KTP/SIM
1
39
TDK TERISI
DLM %
12.5 %
15 %
17.5 %
2%
97.5 %
terhadap
pasien
tanpa
persetujuan
dapat
dikategorikan
sebagai
penyerangan (assault). Hal tersebut dapat menjadi alasan pasien untuk mengadukan
dokter ke peyidik polisi, meskipun kasus semacam ini sangat jarang terjadi. Hal mana
khusunya hukum perdata untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap
dokter, maka pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan
sebelumnya mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud-padahal apabila dia
telah diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya, atau
55
Perpustakaan Unika
Tabel 4
NO
1
2
3
Bagian III
Kelengkapan Pemberi Informasi, Diagnosa dan Jenis Operasi
YANG
TDK
TDK TERISI
TERISI
TERISI
DLM %
ITEM YANG HARUS DIISI
Dokter yang memberikan informasi
25
15
37,5 %
Diagnosa
27
13
32,5 %
Jenis operasi
30
10
25%
Pada tabel IV merupakan gambaran pada bagian III yang mana isian
format informed consent yang harus disi adalah dokter yang memberikan informasi,
diagnose dan jenis tindakan operasi. Data yang didapatkan adalah antara lain; adalah
dokter yang memberikan informasi 37,5 % tidak terisi, diagnose 32,5 % tidak terisi
dan jenis operasi 25 % tidak terisi. Bagian III adalah merupakan bagian yang sanggat
penting mengingat dalam bagian ini adalah memuat identitas dokter yang
bertanggung jawah tentang apa yang harus diinformasikan pada pasien sehingga tidak
adanya nama dokter yang memberikan informasi maka informasi yang harusnya
diberikan kepada pasien tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Aspek yang penting juga tentang diagnose dan tindakan operasi mengingat
hal tersebut merupakan informasi yang penting yang harus diberikan pada pasien, hal
mana adalah sebagai suatu pertimbangan pasien dalam menentukan sikap dan
membuat keputusan setuju atau tidak untuk dilakukan operasi yang terkait. Hal
tersebut juga sesuai dengan Undang-undang RI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kodokteran, Paragraf 7, Hak dan Kewajiban Pasien, Pasal 52, adalah sebagai berikut :
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran, mempunyai hak antara
lain mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). Dampak dari hal tersebut adalah penandatangan
persetujuan oleh yang membuat pernyataan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah atau
aturan informed consent hal mana pembuat pernyataan menandatangani form
informed consent setelah mendapatkan informasi termasuk didalamnya adalah aspek-
56
Perpustakaan Unika
aspek yang terdapat pada bagian III ini, oleh karenanya dapat dianggap tidak sahnya
suatu persetujuan.
Dengan mengacu kepada kepustakaan, KKI memberikan 12 kunci informasi
yang sebaiknya diberikan kepada pasien antara lain adalah nama dokter yang
bertanggung jawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut, serta bila mungkin
nama anggota tim lainnya. Oleh karena itu tidak mencatumkan nama dokter berarti
menyimpang dari kepustakaan Konsil Kedokteran Indonesia.
Tabel 5
Bagian IV
Kelengkapan Identitas Pasien & Hubungan Keluarga
YANG
TIDAK
TDK TERISI DLM
NO
ITEM YANG HARUS DIISI
TERISI
TERISI
%
1 Hubungan keluarga dg pasien
20
20
50%
2 Nama pasien
33
7
17,5 %
3 Umur pasien
31
9
22,5 %
4 Jenis Kelamin
21
11
27,5 %
5 Alamat pasien
17
13
32,5 %
6 Nomor KTP/SIM
4
36
90 %
7 Bangsal tempat pasien dirawat
23
17
47,5 %
8 Kelas
25
15
37,5 %
9 Nomor rekam medis
16
14
92,5 %
Data yang terdapat pada tabel V yang termasuk aspek penting adalah
antara lain; hubungan keluarga dengan pasien tidak terisi 50 %, nama pasien tidak
terisi 17,5 %, dan nomor rekam medis tidak terisi 92,5 %. Dari data tersebut diatas
maka pada tabel IV dan ketiga aspek diatas merupakan kategori insiden menurut
Buku Pedoman Pelaporan IKP atau Insiden Keselamatan Pasien ( Patient Safety
Incident Report ) Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( KPP-RS ) tahun 2007.
Hubungan pasien dengan yang memberikan persetujuan merupakan aspek yang
penting karena hal tersebut telah diatur dalam Pasal 45 UUPK No. 29/ 2004 yang
berbunyi, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau
penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain
suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.
57
Perpustakaan Unika
Oleh karena kejelasan hubungan keluarga dengan pasien adalah harus terisi demi
sahnya form informed consent.
Tidak terisinya nama pasien 17,% % dan tidak terisinya nomor rekam
medis 92,5 % dapat menimbulkan kejadian penolakan atau pengingkaran pasien
ketika terjadi sengketa hukum, yang apabila hal tersebut terjadi maka informed
consent tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti hukum dalam keperdataan.
Tabel 6
Bagian V
Kelengkapan Tanggal dan Tanda Tangan
YANG
TDK
ITEM YANG HARUS DIISI
TERISI
TERISI
NO
Tanggal ditanda tangani
30
10
1
Tanda tangan yg membuat persetujuan
35
5
2
Nama terang yg membuat pernyataan
35
5
3
Tanda tangan dokter
31
9
4
Nama terang dokter
30
10
5
Tanda tangan saksi satu
30
10
6
Nama terang saksi satu
28
12
7
Tanda tangan saksi dua
29
11
8
Nama terang saksi dua
24
16
9
58
Perpustakaan Unika
nama terang sebanyak 25, 5 %, memberikan makna tidak adanya tanggung jawab
oleh dokter terhadap informasi yang harus diberikan kepada pasien. Mengingat
bahwa tanda tangan dokter dan nama terang tersebut sebagai bentuk tanggung jawab
hukum terhadap apa yang telah dilakukan pada pasien termasuk memberikan
informasi pada pasien yang meliputi antara lain; diagnose, purpose of medical
prosedur, contampletedal prosedur medic, risk inherent in such medical prosedur,
alternative medical prosedur and risk, prognosis with and without medical prosedur.
yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu; diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan. Oleh karena itu tanpa informasi diberikan terlebih dahulu sebelum pasien
atau ahli waris menandatangani informed consent adalah tidak sah.
Hal tersebut sesuai dengan Konsil Kedokteran Indonesia (2006) Suatu
persetujuan tindakan medis atau informed consent dianggap sah apabila pasien telah
diberi penjelasan/informasi, pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap
(kompeten) untuk memberikan keputusan/persetujuan dan persetujuan harus
diberikan secara sukarela.
Sementara dalam data di atas juga ditemukan tidak adanya tanda tangan
saksi 25 % dan tidak ada nama terang saksi satu 30 %, sedangkan saksi dua yang
tidak ada tanda tangan sebanyak 27,5 % dan tidak ada nama terang sebanyak 40 %.
Tanda tangan para saksi adalah sangat penting baik saksi dari pihak pasien maupun
saksi dari pihak rumah sakit. Hal tersebut mengingat peran saksi sangat penting
karena apabila masing pihak, baik dokter maupun pasien atau ahli waris pasien terjadi
sengketa hukum dan memerlukan telaah mengenai informed consent yang menyakut
59
Perpustakaan Unika
keabsahannya maka saksi menjadi kunci juga tentang sah atau tidaknya informed
consent.
E.
60
Perpustakaan Unika
kaidah sebagai akte dibawah tangan. Artinya form informed consent seharusnya lengkap
terlebih dahulu sehingga bermakna bagi yang memberikan persetujuan kemudian setelah
lengkap dan telah disetujui oleh yang membuat persetujuan baru ditandatangani.
Ketidaklengkapan
form
informed
consent
sebagai
bukti
hukum
dapat
menimbulkan permasalahan hukum bila terjadi sengketa hukum, dimana suatu tindakan
medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya
persetujuan atau tidak sahnya form informed consent dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan. Maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Tidak adanya atau tidak sahnya suatu informed consent juga dapat menimbulkan
konsekuensi Hukum Pidana dimana informed consent mutlak harus dipenuhi dengan
adanya Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan
antara lain berbunyi (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (2) Jika
perbuatan mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam paling lama penjara selama
lima tahun (3) Jika mengakibatkan mati, diancam penjara paling lama tujuh tahun. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan.
Perpustakaan Unika
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelittian Telaah dari Aspek Hukum Perdata Terhadap
Kelengkapan Informed Consent Pada Pasien Operasi di Rumah Sakit Dr. Kariadi
Semarang, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Telaah dari Aspek Hukum Perdata Terhadap Kelengkapan Informed Consent Pada
Pasien Operasi.
Informed Consent ditinjau sebagai suatu perjanjian maka sahnya suatu
perjanjian berdsarkan Pasal 1321 KUHPerdata Tiada sepakat yang sah apabila
sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan Pasal tersebut menjelaskan bahwa suatu perjanjian dianggap tidak sah bila
dibuat dengan adanya unsur kekhilafan, adanya unsur paksaan atau penipuan. Uraian
di atas menjelaskan bahwa pemberian informed consent yang dapat menyesatkan
pasien dalam menentukan persetujuan baik secara verbal maupun tulisan dapat
dianggap khilaf dan mengakibatkan tidak sahnya suatu persetujuan.
Dasar hukum pelaksanaan informed consent operasi di RSUP. Dr. Kariadi
adalah berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama
No.
Peraturan Menteri
62
Perpustakaan Unika
sebanyak
22,5 % dan tidak adanya nama terang sebanyak 25, 5 %. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa 100% dari 40 pasien form informed consent pasien operasi di
RSUP. Dr. Kariadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti perdata yang sempurna.
Dalam penelitian pula ditemukan 1 pasien tidak meggunakan informed consent.
B. Saran-Saran
1. Bagi RSUP. Dr. Kariadi Semarang, perlunya melakukan revisi menyesesuaikan
antara Surat Keputusan Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270
tanggal 20 Desember 2004 tentang Prosedur Tetap Persetujuan Tindakan Medis,
63
Perpustakaan Unika
dengan
Perpustakaan Unika
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Prestasi
Pustaka, Jakarta
Bambang Sofari, 2006. Sistem Rekam Medis Pelayanan Kesehatan, Fakultas
Kesehatan Dian Nuswantoro Program Studi RMIK, Semarang
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medical Bedah, EGC, Jakarta
Djaja S. Meliala, 2007. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum
Periktanan, Nuansa Aulia, Bandung
Edna K. Huffman, 1994. Health Information Management, Physician Record
Company Bernoyn Ielinois, USA
Guwandi, 2003. Dokter, Pasien, dan Hukum, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta
Soeraryo Darsono, 2006. Etik Hukum Kesehatan Kedokteran, Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas kedokteran Universitas
Diponegoro, Semarang.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2007, Pedoman Pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien ( IKP ), KKP-RS, Jakarta
Hapsoro Hadiwidjojo, 1989, Hukum Pembuktian, Fakultas Hukum UNIKA
Soegijapranata, Semarang
Subekti, 1993. Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Soesilo, Pramudji, , 2007, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wacana
Intelektual, Jakarta
Undang-undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
64
65
Perpustakaan Unika
Hari Sasangka, 2005. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, CV. Mandar
Maju, Bandung
Tresna, 1993, Komentar HIR, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men. Kes./Per/IX/1989 tentang Persetujuan
tindakan Medis
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Manual Persetujuan Tindakan Medis. Edisi I.
Jakarta : Konsil kedokteran Indonesia.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
269/MENKES/PER/III/2008, Tentang Rekam Medis
Nomor
C. Down Load
FKUI. 2007. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Retrieved Desember
28, 2007. from http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php
Hidayat, T. 2007. Perlu Diungkap Hak dan Kewajiban Pasien . Retrieved Desember
28, 2007. from http://www.duniaesai.com/hukum/hukum9.html
Indradi, R. 2007. Informed Consent, Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan
Rencana Tindakan Medis. Retrieved Januari 25, 2007. from
http://ranocenter.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Irwandy, 2007. MengenalInformed Consent. retrieved November 1, 2007. from
http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informedconsent/
Iswandari, H.D. 2007. Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran: Suatu
Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang no. 9/2004 Tentang Praktik
Kedokteran.
Retrieved
Juli
30,
2007.
from
http://catatandini.blogspot.com/2007/07/aspek-hukum-penyelenggaraan-praktik.html
66
Perpustakaan Unika