Anda di halaman 1dari 172

LABORATORIUM

PRATRANSFUSI
UP DATE

i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

ii
LABORATORIUM
PRATRANSFUSI
UP DATE

dr. Ni Kadek Mulyantari, Sp.PK(K)


Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, MSi

Udayana University Press


2016

iii
LABORATORIUM
PRATRANSFUSI
UP DATE
Penulis:
dr. Ni Kadek Mulyantari, Sp.PK(K)
Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, MSi

Editor:
Jiwa Atmaja

Cover & Ilustrasi:


Repro

Design & Lay Out:


I Wayan Madita

Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana Denpasar
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar - Bali Telp. (0361) 255128
unudpress@gmail.com http://udayanapress.unud.ac.id

Cetakan Pertama:
2016, xvii + 154 hlm, 15 x 23 cm

ISBN: 978-602-294-151-4

Hak Cipta pada Penulis.


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

iv
Special for our family “Thank you for the time we spent together,
Thank you for never leaving me in the bad times,
Thank you for understanding me and all the motivation.
However, the most important is thanks for
loving me like you love yourself.”

Suami tercinta dr. I Ketut Widiyasa, MPH


Ananda Putu Bagus Alden Putra Naresha
Kadek Ellisya Ayu Heradiva Naresha
Komang Aqila Dharmaswari Naresha

dr. Ni Kadek Mulyantari, Sp.PK(K)

Istri tercinta Ni Putu Sudani. S.IP. MM


Ananda dr. Gede Agus Eka Tirta Putra
Gede Agus Ari Tirta Yasa, S.Farm. Apt

Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, MSi

v
PRAKATA

Laboratorium pratransfusi merupakan serangkaian pemeriksaan


lab. yang dilakukan sebelum produk darah didistribusikan ke ruang
perawatan pasien. Bagian ini merupakan tahapan akhir yang menentukan
apakah produk darah layak atau tidak ditransfusikan kepada pasien.
Seluruh prosedur dapat menjadi komponen kritis dalam menentukan
keselamatan pasien.
Dalam pelaksanaannya, tidak semua hasil pemeriksaan
laboratorium pratransfusi memberikan hasil sesuai dengan harapan.
Sangat banyak permasalahan baik yang disebabkan oleh faktor
teknis maupun faktor pasien dan donor, sehingga hasil pemeriksaan
menyimpang dari yang seharusnya. Dalam buku ini, dibahas secara
rinci mengenai prosedur teknis pemeriksaan laboratorium pratranfusi,
permasalahan yang muncul, serta cara mengatasinya.
Penulis berharap buku ini dapat membantu berbagai pihak yang
terlibat dalam pelayanan transfusi darah baik teknisi laboratorium, dokter
laboratorium, klinisi maupun pihak manajemen sehingga menambah
wawasan dan memiliki persepsi yang sama tentang pemeriksaan
laboratorium terkait transfusi.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini.
Akhir kata, tidak ada sesuatu yang sempurna. Mohon maaf apabila ada
kesalahan dalam penulisan. Kritik atau saran dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan penulisan di kemudian hari.

Denpasar, Januari 2017


Penulis

vi
SAMBUTAN
REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA

Om Swastiastu
Perkembangan ilmu kedokteran begitu pesat, agar para dokter
dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada para penderita
dengan baik dibutuhkan pemutahiran ilmu pengetahuan. Pembaruan
dan pemutahiran (updating) ilmu kedokteran, khususnya dalam
bidang laboratorium pratransfusi akan membantu kecermatan dan
keselamatan serta menghindarkan bahaya transfusi kepada individu
yang memerlukan.
Saya menyambut baik terbitnya buku yang berjudul
“Laboratorium Pratransfusi Up Date”. Besar harapan saya agar
buku ini mampu menjadi pedoman dan solusi bagi sebagian besar
permasalahan terkait pelayanan transfusi darah, dan membuka wawasan
semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan darah sehingga bisa
membangun kesatuan persepsi dalam penatalaksanaan pasien. Buku ini
juga diharapkan menjadi bahan bacaan bagi para mahasiswa kedokteran
sebagai bekal pengetahuan setelah mereka lulus sebagai dokter.
Akhir kata saya mengucapkan selamat kepada penulis dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu, upaya dan kerja
kerasnya dalam penulisan buku ini. Semoga niat baik ini mampu
membuahkan hasil semaksimal mungkin, membantu dalam peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan khususnya dibidang transfusi darah yang
berujung pada keamanan dan keselamatan pasien.
Om Shanti, Shanti, Shanti

Denpasar, Januari 2017


Rektor Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD

vii
DAFTAR ISI

Prakata ......................................................................................... vi
Sambutan Rektor Universitas Udayana ........................................ vii
Daftar Isi ....................................................................................... viii
Daftar Tabel .................................................................................. xi
Daftar Gambar .............................................................................. xiii
Daftar Singkatan ........................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................... 1
BAB II. UJI PRATRANSFUSI .................................................... 4
2.1 Definisi ............................................................................... 4
2.2 Jenis Uji Pratransfusi .......................................................... 5
2.3 Persiapan Uji Pretransfusi .................................................. 6
2.4 Pemisahan Serum atau Plasma, Pencucian Sel Darah
Merah dan Pembuatan Suspensi Sel Darah ........................ 13
2.5 Uji Pratransfusi Pada Kondisi Emergency .......................... 16
2.6 Beberapa Kasus Terkait Tahapan Uji Pratransfusi ............. 18
Daftar Pustaka .............................................................................. 22
BAB III. PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH ABO .......... 24
3.1 Definisi .............................................................................. 24
3.2 Sistem Antigen dan Antibodi Pada Golongan darah ......... 24
3.3 Jenis Pemeriksaan Golongan Darah .................................. 26
3.4 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Slide Test
atau Tile Method ................................................................. 27
3.5 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Tube Test .............. 30
3.6 Pemeriksaan Golongan Darah ABO Dengan
Mcroplate Test .................................................................... 35
3.7 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Column
Technique (Sephadex Gel) .................................................. 40
3.8 Pemeriksaan Golongan Darah ABO Dengan Solid
Phase Tests ......................................................................... 45

viii
3.9 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Reaksi Antigen
Antibodi Pada Pemeriksaan Golongan Darah .................... 46
3.10 Permasalahan Pada Pemeriksaan Golongan Darah ............ 48
3.11 Penanganannya Discrepancy Golongan Darah ABO ........ 50
3.12 Contoh Kasus Terkait Pemeriksaan Golongan
Darah ABO ........................................................................ 53
Daftar Pustaka ............................................................................. 57
BAB IV. PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS ... 60
4.1 Golongan Darah Rhesus ..................................................... 60
4.2 Tujuan Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus ................... 61
4.3 Prinsip Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus ................... 61
4.4 Metode Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus .................. 61
4.5 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan Metode
Slide Test ............................................................................ 62
4.6 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan Metode
Tube Test ............................................................................ 65
4.7 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan
Metode Microwell Plate atau Microplate .......................... 67
4.8 Weak D atau Du Phenotype ................................................ 68
4.9 Pemeriksaan weak D (Rhesus Du) ...................................... 69
4.10 Discrepancies dan Permasalahan Pada Pemeriksaan
Golongan Darah Rhesus ..................................................... 70
4.11 Contoh Kasus Terkait Golongan Darah Rhesus ................. 72
Daftar Pustaka .............................................................................. 80
BAB V. UJI COCOK SERASI (CROSSMATCHING) ................ 82
5.1 Definisi ............................................................................... 82
5.2 Tujuan Uji Cocok Serasi (Crossmatching) ....................... 83
5.3 Jenis-jenis Uji Cocok Serasi (Crossmatching) .................. 83
5.4 Immediate-Spin (IS) Crossmatch ....................................... 84
5.5 Crossmacthing Dengan Tube Test .................................... 86
5.6 Crossmacthing dengan Column Agglutination Test .......... 88
5.7 Computer (Electronic) Crossmatch ................................... 93
5.8 Crossmatching Pada Kondisi Khusus ................................ 95
5.9 Penyebab dan Penanganan Inkompatibilitas Pada
Hasil Crossmatching .......................................................... 96

ix
5.10 Contoh Kasus Terkait Crossmatching ............................... 99
Daftar Pustaka .............................................................................. 102
BAB VI. ANTIGLOBULIN TEST (COOMB’S TEST) ................. 104
6.1 Definisi Coomb’s Test ....................................................... 104
6.2 Tujuan Coomb’s Test ......................................................... 104
6.3 Prinsip Pemeriksaan Coomb’s Test ................................... 105
6.4 Metode Pemeriksaan Coomb’s Test ................................... 106
6.5 Pemeriksaan DCT Dengan Metode Tabung (Tube Test) ... 107
6.6 Pemeriksaan ICT Dengan Metode Tabung (Tube Test) .... 109
6.7 Interpretasi Hasil Coomb’s Test ......................................... 111
6.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan
Coomb’s Test ..................................................................... 111
6.9 Sumber Kesalahan Pemeriksaan Coomb’s Test ................. 114
6.10 Pemeriksaan ICT menggunakan medium LISS ................. 115
6.11 Beberapa modifikasi dan automatisasi pemeriksaan
Coomb’s Test ..................................................................... 116
6.12 Contoh Kasus Terkait Coomb’s Test ................................. 118
Daftar Pustaka .............................................................................. 125
BAB VII. PEMERIKSAAN SKRINING DAN IDENTIFIKASI
ANTIBODI .................................................................................. 127
7.1 Definisi ............................................................................... 127
7.2 Tujuan Pemeriksaan ........................................................... 128
7.3 Prinsip Pemeriksaan ........................................................... 128
7.4 Metode Pemeriksaan .......................................................... 129
7.5 Alat dan Bahan ................................................................... 129
7.6 Prosedur Pemeriksaan ........................................................ 130
7.7 Interpretasi Hasil ................................................................ 139
7.8 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Sensitivitas
Skrining Antibodi .............................................................. 146
7.9 Penyebab Kesalahan Hasil Pemeriksaan Skrining dan
Identifikasi Antibodi .......................................................... 148
Daftar Pustaka .............................................................................. 149
INDEK ......................................................................................... 150

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Prosedur rutin uji pratransfusi ................................... 15


Tabel 2.2 Perbandingan jumlah sel darah merah dan NaCl
pada prosedur pembuatan suspensi sel ..................... 15
Tabel 3.1 Perbedaan antara IgG dan IgM ................................. 26
Tabel 3.2 Interpretasi hasil pemeriksaan golongan darah
dengan metode slide test ........................................... 29
Tabel 3.3 Interpretasi hasil pemeriksaan golongan darah
ABO pada sampel eritrosit dan serum ...................... 34
Tabel 3.4 Contoh ABO discrepancy antara cell grouping dan
serum grouping ......................................................... 52
Tabel 3.5 Pemeriksaan golongan darah dengan slide test ......... 53
Tabel 3.6 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan tube test 54
Tabel 3.7 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah
pencucian sel dan dikerjakan dengan metode
tabung, inkubasi 37 o C ............................................. 54
Tabel 3.8 Hasil pemeriksaan golongan darah dengan slide test 55
Tabel 3.9 Hasil pemeriksaan golongan darah ulang pada
sampel yang sama dengan tube test .......................... 55
Tabel 3.10 Hasil pemeriksaan golongan darah dengan slide test 56
Tabel 3.11 Hasil pemeriksaan golongan darah ulang pada
sampel yang sama dengan tube test .......................... 56
Tabel 4.1 Contoh pembacaan titer antibodi Rhesus .................. 77
Tabel 4.2 Derajat dan skor aglutinasi ........................................ 77
Tabel 5.1 Penyebab dan penanganan inkompatibilitas pada
hasil crossmatching ................................................... 98
Tabel 6.1 Tujuan dari masing-masing tahapan
pemeriksaan ICT ....................................................... 110

xi
Tabel 6.2 Panel DCT: pola hasil pemeriksaan DCT pada
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) .................. 111
Tabel 6.3 Sumber kesalahan hasil pemeriksaan coomb’s test ... 114
Tabel 6.4 Pemeriksaan golongan darah dengan blood
grouping plate ........................................................... 118
Tabel 6.5 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan metode
tabung ........................................................................ 118
Tabel 6.6 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian
sel dan dikerjakan dengan metode tabung,
inkubasi 37 o C ........................................................... 119
Tabel 6.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan sejumlah
donor .......................................................................... 119
Table 6.8 Persentase kasus dan hasil DCT pada masing-
masing tipe AIHA ..................................................... 121
Tabel 7.1 Contoh fenotif eritrosit dari individu homozigot dan
heterozigot ................................................................. 141
Tabel 7.2 Jenis antibodi yang bereaksi optimal pada masing-
masing fase pemeriksaan skrining antibodi ............... 147

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mencocokan identitas sampel darah dengan


gelang identitas pasien ........................................ 7
Gambar 2.2 Contoh pelabelan sampel darah untuk uji
pretransfusi ......................................................... 8
Gambar 2.3 Tabung tutup merah dan tutup ungu
untuk menampung sampel uji pratransfusi ......... 9
Gambar 2.4 Contoh prosedur pembuatan suspensi sel 5% ..... 15
Gambar 2.5 Contoh label penggunaan produk darah yang
belum dilakukan pemeriksaan crossmatch
dalam situasi emergency ..................................... 16
Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan
metode gel menunjukan hasil kompatibel .......... 18
Gambar 2.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan
metode gel menunjukan hasil kompatibel
dengan warna kemerahan pada permukaan gel .. 19
Gambar 3.1 Struktur molekul IgG dan IgM ........................... 25
Gambar 3.2 Prosedur pemeriksaan golongan darah
dengan metode slide test ..................................... 28
Gambar 3.3 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah
dengan metode slide test ..................................... 29
Gambar 3.4 Prosedur pemeriksaan cell grouping atau
forword grouping dengan metode tube test ....... 31
Gambar 3.5 Prosedur pemeriksaan serum grouping atau
reverse grouping dengan metode tube test ......... 32
Gambar 3.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan golongan
darah dengan metode tube test ........................... 33
Gambar 3.7 V-type well, flat bottom dan U-type well ............ 35
Gambar 3.8 U-shaped bottom microplate .............................. 37

xiii
Gambar 3.9 Pola reaksi pada pemeriksaan golongan darah
dengan microplate test ........................................ 39
Gambar 3.10 Derajat aglutinasi hasil pemeriksaan golongan
darah dengan column technique .......................... 43
Gambar 3.11 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah
ABO/D dan reverse grouping dengan
column technique ................................................ 44
Gambar 3.12 Algoritme penanganan kasus discrepancy
golongan darah .................................................... 51
Gambar 3.13 Rouleaux dan agglutination ............................... 53
Gambar 4.1 Rh viewbox untuk pemeriksaan golongan
darah Rhesus dengan metode slide test ............... 62
Gambar 4.2 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah
Rhesus dengan slide test ..................................... 64
Gambar 4.3 Pengenceran serum secara serial dengan
larutan salin ......................................................... 76
Gambar 5.1 Prosedur pemeriksaan IS dengan motode
tube test ............................................................... 85
Gambar 5.2 Prosedur pemeriksaan croosmatch fase III ......... 88
Gambar 5.3 Prinsip pemeriksaan crossmatch metode
column agglutination test ................................... 89
Gambar 5.4 Sentrifus dan inkubator yang sesuai dengan
ukuran plastic card ............................................. 90
Gambar 5.5 Prosedur pemipetan sampel pada microtube ...... 91
Gambar 5.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan crossmatch
dengan metode column agglutination test .......... 92
Gambar 6.1 Prinsip pemeriksaan Direct Coomb’s Test ......... 105
Gambar 6.2 Prinsip pemeriksaan Indirect Commb’s Test ...... 106
Gambar 6.3 Prosedur pemeriksaan DCT dengan motode
tube test ............................................................... 108
Gambar 6.4 Prosedur pemeriksaan IAT dengan motode
tube test ............................................................... 110
Gambar 7.1 Contoh komposisi sel panel primer .................... 130

xiv
Gambar 7.2 Prosedur pemeriksaan skiring dan identifikasi
antibodi dengan metode tabung ........................... 132
Gambar 7.3 Contoh hasil pemeriksaan identifikasi antibodi .. 134
Gambar 7.4 Hasil pemeriksaan dengan metode gel ................ 135
Gambar 7.5 Sistem solid phase adherence test ....................... 136
Gambar 7.6 Prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi
antibodi menggunakan metode solid phase
adherence ............................................................ 137
Gambar 7.7 Perbandingan derajat positif pemeriksaan
skrining dan identifikasi antibodi antara metode
tabung dan metode solid phase adherence .......... 138
Gambar 7.8 Beda gambaran antibodi yang diekspesikan
secara homozigot dan heterozigot ....................... 141
Gambar 7.9 Contoh teknik eksklusi atau rule out pada
tahapan interpretasi identifikasi antibodi ............ 142
Gambar 7.10 Contoh pemberian tanda pada jenis antigen yang
tidak ada coretan setelah tahap rule out .............. 143
Gambar 7.11 Contoh teknik inklusi .......................................... 144
Gambar 7.12 Rule of three terpenuhi ........................................ 144

xv
DAFTAR SINGKATAN

AABB : American Association of Blood Bank


ANC : Antenatal care
AHG : Anti Human Globulin
ARV : Anti Retro Viral
AIHA : Auto Immune Hemolytic Anemia
HDN : Hemolytic Disease of New Born
BDRS : Bank Darah Rumah Sakit
CS : Caesarean Section
CAS : Cold Agglutinin Syndroma
PCH : Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
CAD : Cold Aglutinin Disease
CCC : Coomb’s Control Cells
DCT : Direct Coombs’ test
DAT : Direct Antiglobulin Test
DL : Darah Lengkap
ICT : Indirect Coomb’s test
EDTA : Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
ELAT : Enzyme-Linked Antiglobulin Test
ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay
FDA : Food and Drug Administration
FFP : Fresh Frozen Plasma
HDFN : Hemolytic Disease of the Fetus and Newborn
HDN : Hemolytic Disease of the New born
HIV : Human Immunodeficiency Virus
HSV : Herpes Simplex Virus
IAT : Indirect Antiglobulin Test
ICT : Indirect Coomb’s Test
LISS : Low Ionic Strength Solution
LIP : Low-Ionic Polybrene technique
LDH : Lactic Dehydrogenase

xvi
MCV : Mean Cells Volume
PCR : Polymerase Chain Reaction
PRC : Packed Red Cell
PEG : Polyethylene glycol
RhIG : Rh immune globulin
RCFs : Relative Centrifugal Forces
SPRCA : Solid-Phase Red Cell Adherence
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SPO : Standard Operating Procedures
GLIAT : The gel low ionic antiglobulin test
UTD : Unit Transfusi Darah
UGD : Unit Gawat Darurat
WAIHA : Warm Autoimmune Hemolytic Anemia
WRC : Wash Red Cells
WBC : White Blood Cells
WHO : Word Health Organization

xvii
xviii
BAB I
PENDAHULUAN

Transfusi darah merupakan salah satu komponen terapi yang


sangat penting dalam penatalaksanaan pasien. Pemberian transfusi
darah harus berpegang pada prinsip bahwa manfaat yang akan diterima
oleh pasien jauh lebih besar dibandingkan risiko yang akan ditanggung,
sehingga semboyan “Getting the right blood to the right patient at the
right time and the right place” harus benar-benar dilaksanakan.
Transfusi darah sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu.
Pada awal diperkenalkan, kegiatan transfusi darah sering mengalami
kegagalan, bahkan menimbulkan kematian pada sejumlah pasien.
Semakin lama kegiatan transfusi darah semakin menemukan titik
terang sehingga cukup banyak nyawa yang bisa terselamatkan. Titik
terang tersebut mulai terlihat saat ditemukannya sistem golongan darah
ABO oleh Karl Landsteiner pada abad ke-19. Tahun 1904, Charles
Richard Drew menemukan bahwa plasma darah atau cairan yang tidak
mengandung sel darah merah dapat dibekukan dan disimpan dalam waktu
lama tanpa mengalami kerusakan. Berdasarkan temuan tersebut mulailah
dilakukan pemisahan komponen darah dan dibuka bank penyimpanan
darah. Pada 1950 Carl Walter dan W.P. Murphy memperkenalkan
kantong plastik untuk mengumpulkan darah donor sehingga darah
dapat dikemas dengan lebih aman dan praktis. Pada tahun 1953 mulai
dikembangkan refrigerated centrifuge untuk memisahkan komponen
darah menjadi beberapa jenis komponen dan saat ini pemisahan tersebut
sudah dapat dilakukan secara otomatis dengan mesin apheresis.
Meskipun telah ditemukan teknik dan peralatan yang menunjang
dalam kegiatan pelayanan transfusi, ternyata masih ditemukan banyak
masalah terkait transfusi darah. Misalnya, meskipun golongan darah
ABO antara pasien dan donor sudah sama, tetapi sejumlah reaksi selama
dan setelah transfusi tetap terjadi. Berdasarkan berbagai permasalahan

1
yang muncul di lapangan, akhirnya ditemukanlah sejumlah pemeriksaan
laboratorium yang dapat mencegah munculnya efek samping transfusi
darah.
Pemeriksaan laboratorium sebelum pemberian transfusi darah
(pretransfusion testing) merupakan bagian yang sangat vital dalam
kegiatan transfusi. Uji pratransfusi inilah yang menentukan apakah
produk darah yang akan ditransfusikan dapat memberikan manfaat yang
optimal atau tidak kepada pasien. Selain itu, uji pratransfusi juga dapat
memprediksi apakah transfusi akan memberikan efek samping yang
fatal atau tidak sehingga pencegahan terjadinya efek samping pemberian
transfusi dapat lebih awal dilakukan.
Laboratorium pratransfusi terus mengalami perkembangan.
Perkembangan terjadi mulai dari pemeriksaan yang sangat sederhana
sampai pemeriksaan otomatis pun telah berhasil dilakukan. Pada awal
abad ke-19, laboratorium pratransfusi hanya bisa dikerjakan terbatas pada
pemeriksaan golongan darah dan crossmatching dengan menggunakan
metode slide test dan tube test. Pada 1945 Coombs, Mourant dan Race
menemukan pemeriksaan antiglobulin untuk mendeteksi antibodi yang
mensensitisisasi sel darah merah maupun antibodi yang bebas dalam
serum. Pada 1946 Coombs dan Cowokers melaporkan penggunaan
Anti Human Globulin (AHG) untuk mendeteksi sensitisasi sel darah
merah secara in vivo pada bayi baru lahir dengan kelainan hemolitik
dan selanjutnya dikenal dengan Direct Antiglobulin Testing (DAT).
Pada 1960 mulai digunakan metode micoplate testing untuk mendeteksi
adanya antigen sel darah merah dan antibodi dalam serum secara rutin
terutama di Unit Transfusi Darah (UTD). Metode micoplate testing ini
terdiri dari 96 wells yang digunakan untuk menggantikan metode tube
test pada pemeriksaan dengan jumlah test yang banyak.
Selanjutnya, pada 1985, Dr. Yves Lapierre dari Perancis
mengembangkan teknik gel test menggunakan berbagai media seperti
gelatin, acrylamide gel, dan glass beads. Dr. Lapierre menemukan adanya
aglutinasi selama sedimentasi dan sentrifugasi standar serta menemukan
adanya partikel gel sebagai materi yang ideal untuk mendeteksi aglutinasi.
Perkembangan selanjutnya pada 1978 Rosenfield dan Coworker pertama

2
kali berhasil mengaplikasikan prinsip solid-phase immunoassay untuk
pemeriksaan golongan darah dan antibodi skrining. Selanjutnya solid-
phase immunoassay mengalami perkembangan sehingga dikenal adanya
solid-phase red cell adherence (SPRCA), solid-phase protein A dan solid-
phase enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tahun 1988, Dr.
Lapierre dan DiaMed A.G mengembangkan produksi gel di Eropa dan
September 1994 Food and Drug Administration (FDA) memberikan ijin
produksi dan distribusi antiglobulin anti-IgG gel card. Penemuan terus
berlanjut sehingga saat ini pemeriksaan laboratorium immunohematology
sudah berjalan dengan sistem automation technology.
Dalam buku ini akan dibahas secara rinci mengenai berbagai
pemeriksaan laboratorium sebelum produk darah ditransfusikan kepada
pasien. Buku ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta
keterampilan para petugas yang terlibat dalam pelayanan transfusi darah.
Selain itu, buku ini diharapkan dapat menciptakan persepsi yang sama
baik antar petugas teknis, dokter laboratorium, para klinisi maupun pihak
manajemen yang terlibat dalam pelayanan transfusi darah sehingga pada
akhirnya pasien akan mendapatkan manfaat transfusi secara maksimal
dan risiko seminimal mungkin.

3
BAB II
UJI PRATRANSFUSI

2.1 Definisi
Uji pratransfusi memiliki beberapa istilah lain seperti
pretransfusion testing atau compatibility testing. Uji pratransfusi
adalah serangkaian pemeriksaan yang dilakukan sebelum produk
darah ditransfusikan pada pasien. Uji pratransfusi ini identik dengan
crossmatching (direct compatibility test) meskipun dalam aplikasinya
pada uji pratransfusi ini terdapat pemeriksaan awal serta ada pemeriksaan
lanjutan yang harus dilakukan apabila hasil crossmatching tidak
sesuai. Jadi crossmatching hanya merupakan salah satu bagian dari uji
pratransfusi (Stoe, 2011). Uji pratransfusi di internal laboratorium pada
umumnya menghabiskan waktu sekitar satu jam. Waktu pengerjaan
dapat lebih pendek ataupun lebih panjang tergantung jenis dan metode
pemeriksaan serta kendala yang dihadapi selama prosedur berjalan.
Berdasarkan standar American Association of Blood Bank
(AABB), tahapan-tahapan uji pratransfusi tidak hanya terbatas pada
pemeriksaan laboratorium saja, tetapi juga meliputi cakupan yang
lebih luas. Mulai dari permintaan darah sampai pelabelan produk darah
sebelum didistribusikan ke pasien. Ada pun tahapan uji pratransfusi
menurut standar AABB adalah sebagai berikut:
1. Pengisian formulir permintaan darah,
2. identifikasi pasien dan pengambilan sampel darah pasien,
3. pemeriksaan terhadap sampel pasien (kelayakan sampel untuk
diperiksa, pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus,
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi, membandingkan
hasil pemeriksaan saat ini dengan hasil pemeriksaan
sebelumnya),
4. pemeriksaan terhadap sel darah merah donor (konfirmasi
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus),

4
5. pemilihan darah donor, pilih komponen darah dengan golongan
darah ABO dan Rhesus yang kompatibel dengan pasien dan tidak
mengandung unexpected allogeneic antibodies,
6. melakukan pemeriksaan crossmatch baik dengan cara serologi
maupun komputer atau elektronik,
7. melakukan pelabelan komponen darah sesuai dengan identitas
pasien dan pendistribusian produk darah (zundel, 2012).

2.2 Jenis Uji Pratransfusi


Word Health Organization (WHO) merekomendasikan uji
pratransfusi minimal yang harus dikerjakan di laboratorium adalah
pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rhesus serta crossmatching
(WHO, 2002). Sumber lain menyebutkan bahwa uji pratransfusi
(pretransfusion testing) meliputi pemeriksaan golongan darah ABO dan
Rhesus (D phenotype), antibodi skrining dan crossmatching (Zundel,
2012; Blaney and Howard, 2013). Berikut adalah rangkuman prosedur
rutin uji pratransfusi yang dilakukan di laboratorium imunohematologi.

Tabel 2.1 Prosedur rutin uji pratransfusi


(Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).
Tabel 2.1 Prosedur rutin uji pratransfusi (Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).
Jenis pemeriksaan Tujuan Sumber antigen Sumber antibodi
ABO/D typing Mendeteksi adanya Sel darah merah Anti-A, Anti-B, Anti
(forward grouping) antigen A,B dan D pasien D komersial

ABO serum testing Deteksi antibodi ABO Suspensi sel donor Serum atau plasma
(reverse grouping) pasien

Skrining antibodi Mendeteksi antibodi Sel panel Serum atau plasma


dengan antigen pasien
spesifik pada sel darah
merah

Crossmatching Menentukan Sel darah merah Serum atau plasma


kompatibilitas serologi donor dan pasien donor dan pasien
antara donor dan
pasien sebelum
transfusi

5
2.3 Persiapan Uji Pratransfusi
Langkah-langkah uji pratransfusi merupakan sebuah proses yang
dimulai dari pasien dan berakhir pada pasien juga. Proses tersebut
membutuhkan sebuah rancangan yang dapat menjamin keamanan baik
bagi donor maupun pasien (recipient). Berikut adalah tahapan-tahapan
tentang persiapan uji pratransfusi.

1. Melakukan identifikasi pasien dengan akurat


Salah satu penyebab mayor reaksi transfusi hemolitik yang fatal
adalah pemberian darah dengan golongan yang tidak sesuai akibat
kesalahan identifikasi saat pengambilan dan pelabelan sampel pasien.
Pengambilan dan pelabelan sampel darah pasien dianggap sebagai
bagian yang kritis dalam menjamin keamanan transfusi. Angka kesalahan
pelabelan sampel mencapai 1:2.900 sampai 1:6.000 kasus. Sedangkan
angka kesalahan identifikasi dan pelabelan sampel mencapai 1:15.000
sampai 1:30.000, dan 70% di antara kejadian tersebut berlangsung
secara bedside (McCullough, 2012).
Salah satu fasilitas yang menunjang ketepatan identifikasi adalah
gelang identitas pasien. Pada gelang pasien akan tercantum nama lengkap,
tanggal lahir dan nomor rekam medik pasien. Informasi yang ada pada
permintaan dan sampel darah harus dicocokkan dengan gelang pasien.
Bila terdapat ketidaksesuaian maka sampel darah tidak bisa digunakan.
Bila pasien tidak menggunakan gelang identitas maka petugas harus
mengikuti prosedur identifikasi yang ditetapkan oleh rumah sakit dan
seharusnya petugas rumah sakit memasang gelang identitas pasien
sebelum pengambilan sampel dilakukan (WHO, 2002; Judd, 2009).
Gambar berikut mengilustrasikan salah satu prosedur standar yang
harus dilakukan petugas ruangan untuk memastikan identitas sampel
darah pasien.

6
Gambar 2.1 Mencocokan identitas sampel darah dengan gelang identitas pasien
(Zundel, 2012).

Pada umumnya, petugas bank darah tidak terlibat dalam


pengambilan sampel darah maupun dalam proses pengisian formulir
permintaan darah. Sampel darah pasien biasanya dikumpulkan oleh
perawat di ruang perawatan dan penyiapkan formulir permintaan darah
dilakukan bersama dengan dokter penanggung jawab pasien. Untuk itu,
kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh petugas di bank darah
pada saat menerima sampel dan permintaan adalah wajib melakukan
pengecekan kembali kesesuaian identitas dan kelengkapan formulir
permintaan darah. Jika ditemukan ketidaksesuaian, maka harus dilakukan
pengambilan sampel ulang. Petugas bank darah tidak diperbolehkan
melakukan perubahan atau koreksi pada data pasien. Akurasi data
pada sampel dan formulir permintaan merupakan faktor utama dalam
menjamin keamanan dan keakuratan uji pratransfusi (McCullough,
2012; Blaney and Howard, 2013).
Label sampel minimal harus mencantumkan 2 identitas, yaitu
nama lengkap pasien dan nomor catatan medik. Standar pelabelan sampel
yang lengkap harus mencantumkan nama lengkap pasien, nomor rekam
medik, tanggal pengambilan sampel, tanda tangan dan inisial nama

7
petugas pengambil sampel. Hal lain yang perlu diperhatikan pada label
adalah label harus terbaca dan tidak terhapus. Berikut adalah contoh
pemberian label sampel untuk uji pratransfusi (Blaney and Howard,
2013).

NAMA
NO.CM
TANGGAL SAMPLING
PHLEBOTOMIS

Gambar 2.2 Contoh pelabelan sampel darah untuk uji pratransfusi


(Blaney and Howard, 2013).

Saat ini banyak rumah sakit telah menerapkan sistem teknologi


barcode untuk membantu pencatatan identitas pasien. Sistem ini
diharapkan dapat mengurangi kesalahan akibat pencatatan ulang yang
dilakukan secara manual. Selain itu pelabelan sampel harus dilakukan
secara bedside, segera setelah sampel diambil dan petugas tidak
diperkenankan melakukan pekerjaan apapun sebelum proses pelabelan
selesai dilakukan (Blaney and Howard, 2013).
Informasi pada label sampel harus sama dengan informasi pada
permintaan darah. Formulir juga harus mencantumkan jenis produk
yang diminta, nama dan tanda tangan dokter yang meminta, lokasi
perawatan pasien, diagnosis, jenis kelamin, tanggal permintaan, jenis
permintaan berdasarkan indikator prioritas (cito, rutin, preoperatif, siap
pakai) (Blaney and Howard, 2013).

2. Mengecek kondisi sampel


Proses mengecek kondisi sampel adalah kegiatan yang dilakukan
oleh petugas bank darah untuk memastikan kondisi sampel layak atau

8
tidak diperiksa. Proses ini dilakukan setelah dipastikan data yang
tercantum pada label sampel sudah sesuai dengan data pada formulir
permintaan darah. Selain itu, seluruh data pada formulir permintaan
sudah terisi dengan lengkap sebelum proses ini dimulai. Beberapa
kondisi yang perlu diperiksa pada sampel antara lain:

a. Tabung penampungan sampel


Sampel untuk uji pratransfusi umumnya diambil dari darah vena
menggunakan tabung tanpa antikoagulan (tutup merah) atau tabung
dengan antikoagulan EDTA (Ethylenediaminetetraacetic acid) yang
bertutup ungu. Antikoagulan lain tidak direkomendasikan karena dapat
bersifat sebagai anti-komplemen dan kemungkinan akan menyebabkan
adanya fibrin dalam plasma sehingga beberapa antibodi yang bermakna
secara klinis tidak dapat dideteksi.
Pada kasus-kasus kegawatdaruratan, penampungan sampel pada
tabung dengan tutup merah perlu dipertimbangkan. Sampel pada tabung
tutup merah harus didiamkan beberapa menit (sekitar 30 menit) agar
darah membeku untuk mendapatkan serum. Sedangkan pada tabung
dengan antikoagulan EDTA, darah dapat segera disentrifugasi untuk
mendapatkan plasma (Blaney and Howard, 2013). Penampungan
sampel dengan menggunakan tabung yang mengandung clot activator
atau tabung dengan lapisan silikon juga tidak direkomendasikan (Stoe,
2011).
Gambar berikut adalah gambar jenis tabung yang bisa digunakan
untuk menampung sampel uji pratransfusi.

Gambar 2.3 Tabung tutup merah dan tutup ungu untuk menampung sampel uji
pratransfusi (Saluju and Singal, 2014).

9
b. Umur sampel
Sampel untuk uji pratransfusi seharusnya mencerminkan status
antibodi saat itu. Umur sampel yang digunakan untuk uji pratransfusi
tidak boleh lebih dari 3 hari dengan perhitungan tanggal pengambilan
sampel merupakan hari ke-0. Pada kondisi pasien membutuhkan transfusi
berulang atau sampel yang dikirim sebelumnya tidak mencukupi, dapat
dilakukan pengambilan sampel baru (Judd, 2009; Blaney and Howard,
2013).
Apabila uji pratransfusi sudah selesai dilakukan, sampel
darah pasien dan segmen selang dari unit donor yang digunakan
untuk crossmatching wajib disimpan selama 7 hari pada suhu 1-6oC.
Penyimpanan ini dilakukan untuk mengantisipasi dibutuhkannya
kembali sampel darah untuk penelusuran kasus-kasus reaksi transfusi
(Judd, 2009; Blaney and Howard, 2013).

c. Penampilan atau makroskopis sampel


Sampel darah yang lisis selama proses pengambilan sampel tidak
bisa diterima dan seharusnya dilakukan pengambilan sampel ulang.
Hemolisis secara mekanik dapat disebabkan beberapa faktor seperti
penggunaan jarum dengan ukuran yang terlalu kecil, trauma pada
pembuluh darah kecil atau kesulitan melakukan akses vena, tekanan saat
memasukkan sampel ke dalam tabung di mana sampel harus melewati
ulang ukuran jarum yang kecil, atau sentrifugasi dilakukan pada saat
darah belum membeku sempurna (khusus untuk sampel serum).
Hemolisis mekanik dapat menutupi deteksi hemolisis yang
diinduksi oleh antibodi. Beberapa antibodi yang diketahui dapat
menyebabkan hemolisis antara lain ABO, P1, Lewis, Kidd, atau Vel
blood group system (Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).
Sampel yang potensial terdilusi oleh cairan infus (misal ringer
laktat) juga tidak dapat diterima karena berpotensi menghilangkan
antibodi lemah atau menginduksi reaksi positif palsu yang disebabkan
oleh molekul pada cairan intravena. Sampel untuk bank darah dan
semua pemeriksaan laboratorium idealnya diambil dari lengan yang
tidak terpasang infus. Jika lokasi infus merupakan satu-satunya lokasi
yang dapat diakses untuk pengambilan sampel, maka aliran infus harus

10
dihentikan sementara dan dibilas dengan salin serta 5-10 ml darah
pertama harus dibuang (Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).
Selain adanya kemungkinan sampel mengalami lisis dan potensial
terdilusi oleh cairan infus, sampel yang lipemik (serum tampak
berlemak) juga tidak layak diterima. Sampel yang lisis dan lipemik
dapat menyulitkan dalam melaksanakan interpretasi hasil crossmatching
(Blaney and Howard, 2013).

3. Membandingkan dengan data pasien sebelumnya


Standar American Association of Blood Bank (AABB)
menganjurkan untuk melakukan perbandingan hasil pemeriksaan
golongan darah sistem ABO dan Rhesus (D typing) selama 12 bulan
terakhir. Beberapa indikator yang harus ditelusuri adalah data golongan
darah, riwayat kelainan golongan darah, adanya antibodi yang secara
signifikan bermakna klinis, kejadian reaksi transfusi dan kebutuhan
transfusi yang khusus. Adanya riwayat inkonsistensi atau permasalahan
lain yang dijumpai dalam proses ini harus segera dilacak dan diselesaikan
sebelum transfusi dilakukan (Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).

4. Pemilihan reagen untuk menunjang uji pratransfusi


Food and Drug Administration (FDA) telah menetapkan standar
minimum terkait sensitivitas dan spesifisitas reagen yang digunakan
di bank darah atau unit transfusi darah. FDA menetapkan standar ini
sebelum ijin peredaran reagen dikeluarkan secara komersial. Spesifisitas
reagen berkaitan dengan kemampuannya mengenali antigen determinan
secara spesifik sesuai dengan jenis molekul antibodi yang ditambahkan.
Sebagai contoh adalah anti-D dalam reagen yang mampu bereaksi
dengan sel darah merah yang memiliki antigen D namun tidak akan
bereaksi dengan sel darah merah yang tidak memiliki antigen D. Contoh
lainnya adalah anti-A dalam reagen akan menunjukkan aglutinasi kuat
(3+ atau 4+) hanya dengan sel darah merah yang memiliki antigen A
(Blaney and Howard, 2013).
Dalam memilih reagen yang akan digunakan, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan. Selain rekomendasi FDA, reagen yang

11
dipilih juga harus mencantumkan masa kadaluwarsanya serta harus
mencantumkan nomor ijin produk pada label produk. Berdasarkan
ketentuan FDA, reagen yang rutin dipakai di bank darah tidak dapat
digunakan apabila telah memasuki masa kadaluwarsa. Namun, hal ini
dikecualikan pada antisera atau sel darah merah langka. Pada kedua
kondisi tersebut, reagen masih dapat digunakan jika hasil kontrol
kualitas (quality control) dapat diterima.
Reagen yang dipilih juga harus dilengkapi dengan product insert.
Product insert memuat informasi detail tentang reagen seperti tujuan
penggunaan, ringkasan, jenis sampel yang direkomendasikan, prinsip
pemeriksaan, prosedur penggunaan, dan keterbatasan reagen. Jika
reagen diproduksi dan digunakan sendiri di internal pelayanan, ijin tidak
diperlukan tapi FDA mewajibkan agar spesifisitas dan kemampuan
reagen terpenuhi dan didokumentasikan (Blaney and Howard, 2013).

5. Melakukan kontrol kualitas reagen dan peralatan


Kontrol kualitas (quality control) adalah pemeriksaan yang
dilakukan untuk menentukan akurasi dan presisi (ketepatan dan
ketelitian) peralatan dan reagen yang digunakan serta prosedur yang
dilakukan. Quality control dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan
sampel pasien dan donor (Blaney and Howard, 2013).
Kontrol kualitas terhadap peralatan meliputi kalibrasi alat
seperti sentrifus, mikropipet, refrigerator dan alat-alat penunjang
lainnya. Kalibrasi sebaiknya dilakukan secara rutin minimal setahun
sekali dan kalibrasi dapat dipercepat apabila frekuensi penggunaan
alat semakin sering. Quality control juga dilakukan dengan melakukan
monitoring suhu dan kelembaban ruangan, penyimpanan reagen dan
sampel serta pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan pemeriksaan
sesuai dengan dengan standar yang tercantum dalam SPO (Standard
Operating Procedures).
Khusus untuk reagen, indikator dalam program quality control
terdiri atas:
a. Kriteria penerimaan reagen
Kriteria penerimaan reagen wajib dituangkan dalam SPO.

12
Secara umum, indikator untuk menentukan kualitas reagen adalah
kemampuannya untuk menimbulkan reaksi aglutinasi terhadap antigen
eritrosit. Seperti saat pengujian reagen anti-A, aglutinasi positif terjadi
jika reagen ditambahkan eritrosit golongan A (terjadi aglutinasi 3+ atau
4+) dan aglutinasi negatif bila direaksikan dengan eritrosit golongan B.
Reagen tersebut dianggap layak untuk digunakan. Bila derajat aglutinasi
kurang dari 3+ (misal 2+ atau lebih rendah) maka kemampuan reagen
anti-A dianggap tidak baik atau tidak layak digunakan. Hilangnya
kemampuan menimbulkan aglutinasi kuat (3+ atau 4+) selama jangka
waktu tertentu juga dapat dipakai sebagai indikator bahwa reagen
tersebut tidak layak digunakan (Blaney and Howard, 2013).
Selain pengujian tersebut, reagen juga wajib dilihat secara
visual. Adanya perubahan warna atau kekeruhan pada reagen dapat
mengindikasikan terjadinya kontaminasi bakteri. Khusus untuk reagen
suspensi sel darah merah, inspeksi ada tidaknya hemolisis juga wajib
dilihat. Suspensi sel yang sudah mengalami hemolisis tidak dapat
digunakan untuk pemeriksaan (Blaney and Howard, 2013).
b. Dokumentasi penggunaan reagen
Reagen yang sudah dievaluasi dan hasil dari kontrol kualitas yang
telah dilakukan harus dicatat dan didokumentasikan. Pencatatan tersebut
meliputi hasil quality control, interpretasi, tanggal pemeriksaan, dan
identitas petugas yang melakukan pemeriksaan (Blaney and Howard,
2013).
c. Prosedur yang dilakukan bila terjadi permasalahan pada
reagen
Semua prosedur yang harus dilakukan bila perjadi permasalahan
pada reagen seharusnya dituangkan dalam SPO (Blaney and Howard,
2013).

2.4 Pemisahan Serum atau Plasma, Pencucian Sel Darah Merah


dan Pembuatan Suspensi Sel Darah
1. Pemisahan serum atau plasma
Pemisahan serum atau plasma dari sel darah merah bertujuan
untuk mendapatkan serum atau plasma yang bebas dari sel darah

13
merah. Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk prosedur tersebut di
antaranya: sentrifus, pipet pasteur, dan tabung reaksi ukuran 12 x 75 mm
beserta raknya. Darah yang akan dipisahkan dapat berupa darah beku
atau darah dengan antikoagulan (whole blood).
Ada pun prosedur pemisahan serum atau plasma adalah sebagai
berikut:
a. Masukan darah ke dalam tabung yang telah diberi label sesuai
dengan sampel,
b. putar/sentrifugasi 3000 selama 1 menit,
c. pisahkan serum/plasma yang jernih dari sel darah merah dengan
pipet pasteur ke dalam tabung lain yg sudah diberi label sesuai
dengan sampel.
Hasil pemisahan adalah serum atau plasma dan sel darah merah
pekat (Mehdi, 2013).

2. Pencucian sel darah merah


Pencucian sel darah merah bertujuan untuk mendapatkan sel darah
merah yang bebas dari protein atau globulin yang dapat mengganggu
sejumlah pemeriksaan serologi. Ada pun prosedur pencucian sel adalah
0,5 mL sel darah merah pekat dimasukkan ke dalam tabung kemudian
tambahkan larutan salin atau Natrium Clorida 0,9% (NaCl 0,9%) sampai
mengisis 3/4 bagian tabung. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 1 menit dan buang seluruh supernatant. Lakukan
pencucian sebanyak 3 kali atau sesuai kebutuhan dan buang seluruh
supernatan pada akhir pencucian, sehingga hasil akhirnya adalah sel
darah merah yang sudah dicuci (Mehdi, 2013).

3. Pembuatan suspensi sel


Pada beberapa jenis uji pratransfusi membutuhkan suspensi sel
darah merah. Pembuatan suspensi sel bertujuan untuk mengoptimalkan
reaksi antigen-antibodi sehingga reaksi yang muncul dapat diamati
dengan jelas. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa suspensi sel
3% banyak dipakai untuk pemeriksaan serologi. Namun, berdasarkan
Word Health Organization, suspensi sel 5% umum dipakai untuk
prosedur serologi (WHO, 2013).

14
Berikut adalah contoh prosedur pembuatan suspensi sel 5%.

Label 3 buah tabung masing-masing dengan label A, B, O

Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung pertama yang sudah dilabel A

Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung kedua yang sudah dilabel B

Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung ketiga yang sudah dilabel O

Tambahkan ke masing-masing tabung larutan NaCl 0,9% sampai terisi ¾ tabung

Sentrifugasi ketiga tabung dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit


(lakukan pencucian sebanyak 3 kali)

Buang seluruh supernatant yang ada pada permukaan tabung

Untuk membuat suspensi sel 5% tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 19 tetes

Gambar 2.4 Contoh prosedur pembuatan suspensi sel 5% (WHO, 2013).

Untuk hasil pemeriksaan terbaik gunakan suspensi sel darah


merah pada hari pembuatan setelah dilakukan uji validasi dengan
menambahkan antisera A dan B dan hasil pemeriksaan menunjukkan
derajat aglutinasi kuat (3+ atau 4+). Jadi teknisi laboratorium seharusnya
menyiapkan suspensi sel darah merah golongan A, B dan O setiap pagi
untuk penggunaan rutin. Suspensi sel masih dapat digunakan pada hari
berikutnya bila hasil uji validasi masih baik (WHO, 2013).
Tabel 2.2 Perbandingan jumlah sel darah merah dan NaCl pada
prosedur pembuatan suspensi sel.
Perbandingan
Keterangan
Suspensi Prosentase Sel Darah Merah NaCl Diperkecil
(eritrosit:salin)
Pekat 100% 0,9%
3% 3:100 3 tetes 97 tetes  1:32,3 
5% 5:100 5 tetes 95 tetes 1:19
10% 10:100 10 tetes 90 tetes 1:9
40% 40:100 40 tetes 60 tetes 2:3
50% 50:100 50 tetes 50 tetes 1:1

15
2.5 Uji Pratransfusi Pada Kondisi Emergency
Pada kondisi emergency dan waktu untuk melakukan uji
pratransfusi sangat terbatas, maka darah dapat dikeluarkan setelah
dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus baik pada
donor maupun pada pasien dan diikuti dengan immediate-spin
crossmatch. Namun, sebisa mungkin dianjurkan untuk tetap dapat
melakukan crossmatch secara komplit sebelum darah didistribusikan.
Pada situasi yang ekstrim (hanya tersedia waktu 10-15 menit), jika tidak
mungkin dilakukan pemeriksaan crossmatch maka komunikasi dengan
dokter yang meminta tentang prosedur penyiapan darah tanpa melalui
pemeriksaan rutin wajib dilakukan (Makroo, 2009; WHO, 2009).
Langkah-langkah berikut dapat digunakan sebagai panduan untuk
menangani kebutuhan darah dalam situasi emergency.
1. Lakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus pada
sampel darah pasien dengan menggunakan motode cepat (rapid
test) kemudian pilihlah produk darah donor yang sesuai dengan
golongan ABO dan Rhesus pasien.
2. Lakukan pelabelan produk darah secara benar dan detail dan
cantumkan label “UNCROSS-MATCHED BLOOD” dengan
jelas. Contoh label dapat seperti gambar berikut.
PERINGATAN: “UNCROSS-MATCHED BLOOD”
PERINGATAN: “UNCROSS-MATCHED BLOOD”
No kantong darah :
No kantong
Nama Pasiendarah : :
Nama Pasien
Tanggal lahir : :
Tanggal
No Rekamlahir
Medik : :
No Rekam
Nama Medik
Ruangan : :
Golongan Darah
Nama Ruangan : :
Golongan Darah :
Tanggal: Tanda tangan

Tanggal: Tanda tangan


SEGERA KEMBALIKAN KE BANK DARAH BILA TIDAK
DIGUNAKAN
SEGERA KEMBALIKAN KE BANK DARAH BILA TIDAK
DIGUNAKAN

Gambar 2.5 Contoh label penggunaan produk darah yang belum dilakukan
pemeriksaan crossmatch dalam situasi emergency (WHO, 2009).

16
3. Ambil sampel darah dari selang produk darah donor untuk
dilakukan uji pratransfusi pada kesempatan selanjutnya.
4. Distribusikan produk darah sesuai dengan standar distribusi yang
sudah ditetapkan.
5. Jika produk darah tidak segera ditransfusikan dalam waktu 30
menit, biasanya cukup untuk melakukan pemeriksaan crossmatch
menggunakan a low-ionic strength indirect antiglobulin test
(WHO,2009; Zundel, 2012; Mehdi, 2013).
Dokter yang meminta darah wajib menandatangani formulir
permintaan darah dan label uncrossmatched blood sebagai petanda
bahwa dokter setuju untuk segera memberikan respon atau penanganan
bila terjadi efek yang tidak diinginkan dari pemberian uncrossmatched
blood. Dalam situasi tertentu jika sampel darah pasien tidak bisa
didapatkan dan waktu untuk pemeriksaan golongan darah cepat tidak bisa
dilakukan, maka golongan darah O Rhesus negatif dalam bentuk Packed
Red Cells (PRC) dapat dijadikan pilihan (Makroo, 2009; WHO, 2009).
Apabila PRC golongan darah O Rhesus negatif sulit didapatkan, maka
untuk pasien laki-laki dan wanita bukan anak-anak dan usia reproduktif
pemberian PRC golongan O Rhesus positif dapat dipertimbangkan
(Judd, 2009; Zundel, 2012).
Beberapa hal penting lainnya yang perlu diperhatikan terkait
kebutuhan darah dalam keadaan emergency, antara lain:
1. Selalu pastikan bahwa dokter atau staf senior mengetahui setiap
keadaan emergency yang terjadi,
2. bila produk darah dikirim dari Unit Transfusi Darah (UTD) atau
rumah sakit lain, pastikan bahwa semua petugas yang terlibat
mengetahui adanya keadaan emergency,
3. jika pengumpulan darah dilakukan dari donor yang dibawa sendiri,
lakukan persiapan dengan baik dan hubungi lebih banyak donor,
4. selalu menjaga komunikasi dengan dokter atau staf yang terlibat
dalam penanganan pasien dan selalu waspada terhadap setiap efek
samping yang potensial terjadi,
5. pastikan bahwa seluruh data telah lengkap dan akurat untuk
selanjutnya seluruh data tersebut disimpan dengan baik. Semua

17
keputusan yang dibuat dan prosedur yang dilakukan oleh dokter
harus dicatat dengan jelas, termasuk nama dan tanda tangan staf
yang terlibat (WHO, 2009).

2.6 Beberapa Kasus Terkait Tahapan Uji Pratransfusi


Kasus 1.
Pasien laki-laki , 54 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)
pada malam hari dan merupakan kiriman dari Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kabupaten dengan diagnosis peritonitis, suspek gastic ulcer.
Rencana akan dilakukan tindakan laparotomi. Dari hasil pemeriksaan
darah lengkap didapatkan kadar hemoglobin 6,41 g/dl, sehingga pasien
direncanakan untuk transfusi 4 kantong Packed Red Cell (PRC) selama
operasi. Sampel darah dan formulir permintaan darah dikirim ke bank
darah.
Setelah dilakukan pencocokan identitas sampel dan formulir
permintaan, langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan golongan darah
awal dengan metode slide test dan didapatkan hasil B Rhesus positif.
Tidak ada catatan riwayat transfusi sebelumnya. Disiapkan komponen
darah donor PRC golongan B Rhesus positif. Pemeriksaan golongan
darah baik pasien maupun donor dilanjutkan dengan metode tube test
dan didapatkan golongan darah sama yaitu B Rhesus positif. Hasil
pemeriksaan crossmatch dengan 2 donor adalah kompatibel.

Mayor, minor, Mayor, minor, Auto Auto


donor 1 donor 1 donor 2 donor 2 control pool

INR, cm 1500121, 4/9/2016


Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan metode gel
menunjukan hasil kompatibel.

18
PRC dikeluarkan dari bank darah dan selanjutnya transfusi
diberikan sebanyak 2 kantong selama operasi. Tanda-tanda reaksi
transfusi agak sulit dilacak karena pasien sedang dalam pengaruh obat
anestesi. Secara klinis dijumpai adanya perdarahan dan hematuria. Pasien
direncanakan untuk diberikan transfusi berikutnya dengan komponen
PRC dan Fresh Frozen Plasma (FFP). Dikirim permintaan darah yang
kedua dengan sampel baru.
Hasil pemeriksaan golongan darah pada sampel kedua didapatkan
golongan O Rhesus positif dan crossmatch dengan donor golongan
O menunjukkan hasil kompatibel, tetapi pada permukaan gel terlihat
kemerahan. Berbeda dengan hasil crossmatch pada gambar 2.6 Hal
tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya proses hemolitik setelah
proses transfusi sebelumnya.

Mayor, Mayor, minor, minor, Auto Auto


donor 1 donor 2 donor 1 donor 2 kontrol pool



Gambar 2.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan metode gel menunjukan hasil
kompatibel dengan warna kemerahan pada permukaan gel.

Karena dijumpai adanya perbedaan golongan darah antara sampel


pertama dan kedua, maka petugas bank darah meminta sampel ulang.
Hasil pemeriksaan pada sampel ketiga didapatkan golongan O Rhesus
positif. Transfusi ditunda dan pasien ditangani sebagai kasus reaksi
transfusi berat, tetapi penanganan tersebut tidak berhasil menyelamatkan
pasien dan pasien meninggal.
Setelah ditelusuri kembali waktu pengiriman sampel yang pertama
ke bank darah, dijumpai ada 2 permintaan darah dari UGD yang dikirim

19
secara bersamaan. Satu pasien didapatkan golongan O Rhesus positif,
satu pasien dengan golongan B Rhesus positif. Pasien dengan golongan
O Rhesus positif dilakukan pengambilan sampel ulang dan didapatkan
hasil pemeriksaan golongan darah B Rhesus positif. Berdasarkan
informasi dari petugas yang mengambil sampel darah pertama, memang
dalam waktu yang bersamaan ada 2 pasien yang membutuhkan darah
dan sampel diambil pada jam yang hampir sama. Pasien yang akan
dioperasi dengan permintaan cito dan pasien yang lagi satu rencana
transfusi besok pagi.
Dari kasus tersebut telah terjadi reaksi transfusi yang fatal yang
kemungkinan besar disebabkan oleh kesalahan identifikasi dan pelabelan
sampel darah pasien.

Kasus 2.
Pasien wanita, 48 tahun dirawat dengan diagnosis anemia
(hemoglobin 5 g/dL). Pasien ini direncanakan akan mendapat transfusi
PRC sebanyak 3 kantong. Permintaan darah dikirim dari UGD. Hasil
pemeriksaan golongan darah didapatkan bahwa golongan darah pasien
A Rhesus positif. Crossmatching dilakukan terhadap 3 darah donor dan
menunjukkan hasil kompatibel. PRC kemudian ditransfusikan sebanyak
3 kantong dan tidak ada laporan reaksi transfusi.
Satu minggu kemudian pasien di rawat di ruang rawat biasa dan
oleh petugas ruangan dikirimkan lagi permintaan darah kedua, yaitu
PRC sebanyak 2 kantong. Hasil pemeriksaan golongan darah pada
sampel kedua adalah AB Rhesus positif. Crossmatch dengan donor
golongan darah AB kompatibel, tetapi darah belum dikeluarkan. Dalam
waktu yang berdekatan, keluarga pasien datang membawa donor dan
menunjukkan catatan bahwa pasien membutuhkan darah golongan A.
Hal ini menunjukkan bahwa golongan darah pasien tersebut sebelumnya
adalah A Rhesus positif. Oleh petugas bank darah, kemudian dilakukan
pengambilan sampel ulang dan didapatkan golongan darah A Rhesus
positif.
Penelusuran selanjutnya ditemukan bahwa dalam waktu yang
bersamaan ada 2 permintaan darah dari ruang rawat tersebut. Permintaan

20
tersebut adalah satu pasien dengan golongan AB dan satu pasien
lagi dengan permintaan golongan darah A. Pasien yang sebelumnya
didapatkan A juga dilakukan pengambilan sampel ulang dan golongan
darah pada sampel kedua adalah AB.
Dari kasus tersebut hampir terjadi reaksi transfusi berat yang
juga disebabkan oleh kesalahan identifikasi dan pelabelan sampel darah
pasien. Ketepatan identifikasi dan pelabelan sampel darah merupakan
poin yang sangat kritis dalam menentukan keamanan transfusi.
Selain hal tersebut, catatan tentang riwayat transfusi dan hasil-hasil
pemeriksaan lab. sebelumnya juga menjadi penentu keselamatan pasien
(McCullough, 2012).

21
Daftar Pustaka

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Compatibility Testing. Basic&Applied


Concepts of Blood Banking and Transfusion Practices. Third
Edition. United States: Elsevier Mosby. p. 188-201.
Makroo, R.N. 2009. Compatibility Testing (Pre Transfusion Testing).
Practice of Safe Blood Transfusion Compendium of Transfusion
Medicine. New Delhi: Kongposh. p. 123-133.
Judd, W.J. 2009. Red Cell Immunology and Compatibility Testing.
Rossi’s Principles of Transfusion Medicine Fourth Edition. UK:
Wiley-Blackwell. p. 69-87.
McCullough, J. 2012.Techniques of Blood Transfusion. Transfusion
Medicine Third Edition. UK: Wiley-Blackwell. p. 362- 375.
Mehdi, S.R. 2013. ABO Blood Group System. Essentials of Blood
Banking A Handbook for Students of Blood Banking and Clinical
Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. p. 7-17.
Mehdi, S.R. 2013. Cross-matching (compatibility testing). Essentials of
Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 46-49.
Saluju, G.P., Singal, G. L. 2014. Collection of Blood Sample for
Grouping/Cross-matching. Standard Operating Procedures
and Regulatory Guidelines Blood Banking. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. p. 46-54.
Stoe, M. 2011. Pretransfusion Testing. Immunohematology Principles
and Practice Third Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. p. 107- 117.
Zundel, W.B. 2012. Pretransfusion Testing. Blood Groups and
Serologic Testing. In: Harmening, D.M. Modern Blood Banking
& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 241-259.

22
WHO, 2002. Clinical Transfusion Procedures. The Clinical Use of
Blood Handbook. Genewa: WHO. p. 37- 58.
WHO, 2009. Compatibility Testing and Issuing Blood. Safe Blood and
Blood Product. Genewa: WHO. p. 41-73.
WHO, 2013. Standar Operating Prosedure for Blood Transfusion.
Genewa:WHO. p. 18-20.

23
BAB III
PEMERIKSAAN GOLONGAN
DARAH ABO

3.1 Definisi
Yang dimaksud dengan pemeriksaan golongan darah adalah
suatu prosedur laboratorium yang dilakukan untuk menentukan jenis
golongan darah. Pada uji pratransfusi, pemeriksaan golongan darah
minimal yang harus dikerjakan adalah golongan darah sistem ABO dan
Rhesus (D typing). Pemeriksaan golongan darah dilakukan baik pada
donor maupun pada pasien (WHO, 2002).
Meskipun telah dilakukan uji konfirmasi golongan darah donor
dan darah sudah dilabel ABO dan Rhesus dengan benar, pemeriksaan
golongan darah ulang tetap harus dilakukan pada semua unit darah
sebelum ditransfusikan.

3.2 Sistem Antigen dan Antibodi pada Golongan Darah


Sebelum membahas tentang teknis pemeriksaan golongan darah,
sangat penting untuk memahami sistem antigen dan antibodi pada
golongan darah. Pemahaman tersebut merupakan dasar untuk melakukan
prosedur test dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan.
Antigen adalah setiap zat yang dianggap sebagai benda asing
yang masuk ke dalam tubuh dan merangsang sistem kekebalan tubuh
untuk merespon masuknya antigen tersebut. Antibodi adalah produk dari
respon imun dan akan bereaksi dengan antigen dengan beberapa cara
yang dapat diamati. Nama lain dari antibodi adalah imunoglobulin (Ig)
dan merupakan bagian dari protein plasma. Ada 5 jenis immunoglobulin,
yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, IgE, tetapi yang banyak berperanan dalam
sistem golongan darah adalah immunoglobulin G dan M (WHO, 2009).
IgG hanya memiliki 4 rantai yang terdiri atas 2 rantai kecil yang
disebut dengan rantai ringan (light chains) dan 2 rantai besar yang disebut
dengan rantai berat (heavy chains). Dibandingkan dengan IgM, struktur

24
IgG jauh lebih kecil. IgM memiliki 10 rantai ringan dan 10 rantai berat
sehingga berat molekulnya jauh lebih besar dibandingkan IgG (WHO,
2009). Perbedaan antara kedua molekul antibodi tersebut tampak pada
gambar berikut.

Gambar 3.1 Struktur molekul IgG dan IgM (WHO, 2009).

Imunoglobulin G
Merupakan jenis immunoglobulin terbanyak, membentuk sekitar
73% dari total immunoglobulin dalam tubuh. IgG memiliki berat molekul
hanya sekitar 150.000 kilo Dalton (kD), dapat menembus plasenta dan
sering dikaitkan dengan kejadian Hemolytic Disease of the New born
(HDN). HDN dapat terjadi bila ibu memiliki antibodi yang dapat
melewati plasenta dan antibodi tersebut mengaglutinasi sel darah merah
janin yang mengandung antigen yang sesuai. IgG tidak menyebabkan
aglutinasi sel darah merah yang tersuspensi pada medium salin (WHO,
2009).

Imunoglobulin M
IgM membentuk sekitar 8% dari total immunoglobulin dalam
tubuh. Berat molekul sekitar 900.000 kD. IgM tidak mampu melewati
plasenta sehingga tidak menimbulkan penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir. Memiliki sifat mudah mengaglutinasi sel darah merah yang
tersuspensi dalam medium salin. IgM dapat mengaktifkan komplemen
selama terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga menyebabkan hemolisis
sel darah merah (WHO, 2009).

25
Gambar 2.5 Contoh label penggunaan produk darah yang belum dilakukan
pemeriksaan crossmatch dalam situasi emergency (WHO, 2009).

Tabel 3.1
TabelPerbedaan
3.1 Perbedaanantara IgGdan
antara IgG danIgMIgM (WHO,
(WHO, 2009). 2009).
IgG IgM
Jumlah dalam tubuh 73% 8%
Berat molekul 150.000 kD 900.000 kD
Mengaglutinasi eritrosit dalam salin Tidak Ya
Mampu melewati plasenta Ya Tidak
Mengaktivasi komplemen Ya Ya
o
Reaksi optimal pada suhu 37 C 4 oC
Jenis antibodi Imun Alamiah

Berdasarkan sistem ABO, ada 4 jenis golongan darah sesuai



dengan jenis antigen dan antibodi yang dimiliki masing-masing
 golongan. Individu dengan golongan darah A memiliki antigen A pada
sel darah merahnya dan antibodi B dalam plasmanya. Individu dengan
 golongan darah B memiliki antigen B dan antibodi A, sedangkan
individu golongan darah AB mempunyai antigen A maupun antigen B

dan tidak memiliki antibodi A maupun B dalam plasmanya. Individu
 dengan golongan darah O tidak memiliki antigen A maupun B tetapi
mempunyai antibodi A dan B dalam plasmanya (McClelland, 2007).

3.3 Jenis Pemeriksaan Golongan Darah


Berdasarkan jenis peralatan penunjang yang digunakan,
pemeriksaan golongan darah secara manual dapat dikerjakan dengan
tiga metode, yaitu
1. Slide test atau glass slide atau white porcelain tile
2. Tube test
3. Microwell plate atau microplate test.
Beberapa teknik lain yang sudah dikembangkan saat ini dan dapat
dikerjakan secara otomatis, antara lain:
1. Column technique (sephadex gel)
2. Solid phase tests (NIB, 2013).

26
Berikut akan dibahas satu per satu mengenai teknik pemeriksaan
golongan darah.

3.4 Pemeriksaan Golongan Darah dengan Slide Test atau Tile


Method
1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan adalah apabila sel darah merah mengandung
antigen yang sesuai dengan jenis antibodi yang ditambahkan pada
reagen, maka akan terjadi aglutinasi atau hemolisis. Aglutinasi adalah
penggumpalan sel darah merah yang disebabkan oleh ikatan antibodi
dengan antigen pada sel darah merah sehingga menghasilkan ikatan
yang menggandeng beberapa sel secara bersama-sama. Ada 2 tahapan
untuk pembentukan aglutinasi, yaitu:
Tahap 1: Antibodi mengikat antigen sel darah merah segera setelah
terjadi kontak antigen antibodi, ikatan tersebut belum menimbulkan
aglutinasi. Hanya sebatas melapisi atau mensensitisasi sel.
Tahap 2: Pembentukan lattice yang menghasilkan gumpalan atau
aglutinasi, merupakan kelanjutan dari tahap 1(WHO, 2009).
Hemolisis sel darah merah dapat disebabkan oleh antibodi
jenis IgM dan hanya sedikit yang disebabkan oleh IgG. Setelah
antigen berikatan dengan antibodi, jalur komplemen akan diaktivasi
sehingga menyebabkan sel darah merah ruptur atau lisis. Lisis juga
mengindikasikan adanya reaksi antara antigen dan antibodi seperti pada
aglutinasi (WHO, 2009).

2. Jenis sampel
Jenis sampel yang dipakai disesuaikan dengan rekomendasi
sampel yang tercantum pada insert kit reagen yang digunakan. Ada
reagen yang merekomendasikan sampel whole blood atau suspensi sel
(Cooling, 2014).

3. Reagen
Reagen yang digunakan mengandung anti-A, anti-B dan anti-AB
yang bersifat opsional (Cooling, 2014).

27
4. Prosedur pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan, baca secara detail prosedur
pemeriksaan yang tertera pada petunjuk penggunaan reagen. Berikut
adalah salah satu contoh prosedur pemeriksaan golongan darah ABO
menggunakan slide test.
a. Teteskan 1 tetes anti-A pada objek gelas yang bersih dan kering,
label objek gelas.
b. Teteskan 1 tetes anti-B pada objek gelas yang bersih dan kering,
terpisah dari objek gelas pertama kemudian label objek gelas.
c. Teteskan 1 tetes anti-AB pada objek gelas ketiga, lakukan
pelabelan. Bila tidak menggunakan reagen anti-AB dapat
digantikan dengan pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
meneteskan anti-D.
d. Prosedur 1, 2, 3 dapat dilakukan dalam satu objek gelas.
e. Tambahkan pada masing-masing tetesan reagen 1 tetes sel darah
merah yang akan diperiksa.
f. Lakukan pencampuran reagen dan sel darah merah menggunakan
batang pengaduk, sebarkan campuran tersebut pada area sekitar
20 mm x 40 mm.
g. Miringkan slide secara perlahan dari sisi ke sisi selama kurang
lebih 2 menit. Jangan menempatkan slide di atas permukaan
panas
h. Baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan hasil reaksi
(Cooling, 2014).

Blood drop Blood drop Blood drop


+ + +
Anti A Anti B Anti RhD

Gambar 3. 2 Prosedur pemeriksaan golongan darah dengan metode slide test


(Himedia, 2015).

28
5. Interpretasi hasil
Hasil positif : bila terjadi aglutinasi kuat
Hasil negatif : bila tidak terjadi aglunitasi pada akhir menit
kedua

Gambar 3. 3 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah dengan metode slide test
(Himedia, 2015).

Tabel 3.2 Interpretasi hasil pemeriksaan golongan darah dengan


metode slide test (Himedia, 2015).
Nomor slide Anti-A Anti-B Anti-D Golongan darah
Slide 1 Positif Negatif Positif A Rhesus positif
Slide 2 Negatif Positif Positif B Rhesus positif
Slide 3 Positif Positif Positif AB Rhesus positif
Slide 4 Negatif Negatif Positif O Rhesus positif

Sampel yang memberikan hasil reaksi aglutinasi lemah atau


meragukan harus diulang dengan menggunakan tes tabung (tube test),
bukan diulang dengan slide test. Beberapa catatan penting yang perlu
diperhatikan pada slide test antara lain:
a. Semua reagen harus digunakan berdasarkan instruksi perusahaan
yang memproduksi reagen,
b. Risiko penularan infeksi sangat besar sehingga keamanan dan
keselamatan dalam melakukan prosedur pemeriksaan benar-benar
harus diperhatikan,
c. Slide test tidak cocok digunakan untuk deteksi antibodi ABO pada
serum atau plasma (Cooling, 2014).

29
6. Keuntungan dan kelemahan slide test
Pemeriksaan golongan darah dengan slide test memiliki beberapa
keuntungan yaitu sangat mudah dan cepat digunakan untuk menentukan
golongan darah ABO dalam keadaan emergency, dapat digunakan
sebagai penentu golongan darah awal apabila pemeriksaan dilakukan di
lapangan atau di luar ruangan (NIB, 2013).
Pemeriksaan golongan darah dengan slide test tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin, karena tidak handal atau
tidak terpercaya untuk kasus-kasus dengan antigen yang bereaksi lemah
dan titer anti-A dan anti-B lemah pada serum. Beberapa kelemahan dari
metode slide test antara lain:
a. kurang sensitif dibandingkan metode tabung,
b. campuran reaksi yang sudah mengering dapat menimbulkan
agregrat yang memberikan hasil positif palsu,
c. sulit menginterpretasi hasil dengan reaksi lemah (NIB, 2013).

3.5 Pemeriksaan Golongan Darah dengan Tube Test


1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan adalah apabila sel darah merah mengandung
antigen yang sesuai dengan jenis antibodi yang ditambahkan pada reagen
maka akan terjadi aglutinasi.

2. Jenis sampel
Umumnya, menggunakan sampel darah beku atau dengan
antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous
dengan serum, plasma, salin atau membutuhkan pencucian terlebih
dahulu kemudian diresuspensi dalam salin. Jenis sampel disesuaikan
dengan rekomendasi insert kit reagen yang digunakan (Cooling, 2014).

3. Reagen
Reagen yang digunakan mengandung anti-A, anti-B dan anti-AB
yang bersifat opsional. Karena pemeriksaan juga dilakukan pada sampel
serum, maka reagen tambahan pada tube test adalah suspensi sel A1, A2,
B dan O 2-5% . Suspensi sel dapat dibuat sendiri di laboratorium atau
menggunakan suspensi sel yang dijual secara komersial. Penggunaan
sel A2 bersifat opsional (Cooling, 2014).

30
4. Prosedur pemeriksaan
Langkah-langkah pemeriksaan sel darah merah (cell grouping)
adalah sebagai berikut:
a. teteskan 1 tetes anti-A pada tabung yang bersih dan kering, label
tabung,
b. teteskan 1 tetes anti-B pada tabung yang bersih dan kering,
terpisah dari tabung pertama kemudian beri label,
c. teteskan 1 tetes anti-AB pada tabung ketiga, lakukan pelabelan
(penggunaan anti-AB bersifat opsional tergantung rekomendasi
reagen yang digunakan),
d. tambahkan pada masing-masing tabung 1 tetes suspensi sel darah
merah 2-5%,
e. campur dengan baik kemudian lakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit,
f. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung,
lihat ada tidaknya aglutinasi,
g. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan hasil reaksi
pada semua tabung (Cooling, 2014).
Prosedur pemeriksaan cell grouping atau forword grouping
dengan metode tube test diilustrasikan seperti gambar berikut.

Gambar 3.4 Prosedur pemeriksaan cell grouping atau forword grouping dengan
metode tube test (Powell, 2016).

31
Prosedur pemeriksaan serum atau plasma (serum grouping)
dengan metode tube test adalah sebagai berikut:
1. Tambahkan masing-masing 2 tetes serum atau plasma pada 3
tabung yang bersih dan kering kemudian berikan label A1, B, dan
O,
2. tambahkan 1 tetes suspensi sel A1 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel A1,
3. tambahkan 1 tetes suspensi sel B 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel B,
4. tambahkan 1 tetes suspensi sel O 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel O,
5. jika dibutuhkan pemeriksaan dengan suspensi sel A2 2-5% maka
tambahkan 1 tabung yang mengandung 2 tetes serum atau plasma
dengan suspensi sel A2 2-5%,
6. campur dengan baik kemudian lakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit,
7. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung,
lihat ada tidaknya aglutinasi,
8. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan (Cooling,
2014).
Prosedur pemeriksaan serum grouping atau reverse grouping
dengan metode tube test diilustrasikan seperti gambar berikut.

Gambar 3.5 Prosedur pemeriksaan serum grouping atau reverse grouping dengan
metode tube test (Powell, 2016).

32
5. Interpretasi hasil
Hasil positif : bila terjadi aglutinasi kuat.
Hasil negatif : bila tidak terjadi aglunitasi setelah diresuspensi.
Apabila hasil pemeriksaan golongan darah dengan metode tube
test meragukan secara makroskopis, maka ambil satu tetes campuran
pada tabung dan letakkan di atas objek gelas kemudian baca dibawah
mikroskop. Reaksi aglutiasi yang sangat lemah dapat dideteksi secara
mikroskopis (McCullough, 2012).
Ada pun cara membaca derajat aglutinasi pada pemeriksaan
golongan darah dengan metode tube test tercantum pada gambar
berikut.

Gambar 3.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan golongan darah dengan metode
tube test (NIB, 2013).

Derajat aglutinasi:
4+ : terdapat satu gumpalan besar
3+ : terdapat 2 atau 3 gumpalan
2+ : sejumlah gumpalan kecil dengan supernatan yang jernih
1+ : sejumlah gumpalan kecil dengan supernatan yang keruh
w : suspensi sel granular, sebaiknya diamati secara mikroskopis
Negatif : suspensi sel halus
Hemolisis: hemolisis parsial atau komplit, menunjukkan reaksi positif (NIB, 2013).

33
Berikut adalah tabel interpretasi hasil pemeriksaan cell grouping
dan serum grouping.

Tabel 3.3. Interpretasi hasil pemeriksaan golongan darah ABO


pada sampel eritrosit dan serum (Cooling, 2014).
Cell grouping Serum grouping Interpretasi
Anti-A Anti-B Sel A1 Sel B Sel O ABO Group
0 0 + + 0 O
+ 0 0 + 0 A
0 + + 0 0 B
+ + 0 0 0 AB
0 0 + + + O Bombay

Adanya ketidaksesuaian (discrepancy) antara hasil pada cell


grouping dan serum grouping harus diselesaikan sebelum melakukan
pencatatan golongan darah pasien dan donor dengan tepat. Adanya
mixed-field agglutination (sebagian sel beraglutinasi, sebagian tidak
beraglutinasi) harus ditelusuri lebih lanjut kemungkinan penyebabnya.
Penyebab yang paling sering adalah adanya riwayat transfusi dengan
golongan darah yang berbeda.
Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan pada tube test
antara lain:
a. Semua reagen harus digunakan berdasarkan intruksi perusahaan
yang memproduksi reagen,
b. reaksi positif kuat ditandai oleh aglutinasi derajat 3+ sampai 4+
dengan penambahan reagen yang mengandung ABO antibodi.
Reaksi pada serum grouping sering lebih lemah sehingga perlu
dilakukan inkubasi 5-15 menit sebelum sentrifugasi sehingga
reaksi lemah menjadi lebih kuat (Cooling, 2014).

34
6. Keuntungan dan kelemahan pemeriksaan golongan darah
dengan tube t est
Beberapa keuntungan pemeriksaan golongan darah dengan
metode tube test antara lain:
a. proses inkubasi tidak menyebabkan pengeringan pada isi tabung
seperti pada slide test,
b. sentrifugasi membantu mendeteksi reaksi antigen antibodi yang
lemah,
c. pembacaan dan penentuan derajat aglutinasi lebih mudah,
d. lebih bersih dan higienis dibandingkan metode slide,
e. jumlah reagen yang dibutuhkan lebih sedikit,
f. lebih sensitif dibandingkan metode slide (NIB, 2013).
Beberapa kelemahan pemeriksaan golongan darah dengan
metode tube test adalah dibutuhkan tabung dalam jumlah yang banyak,
membutuhkan waktu yang lebih lama apabila jumlah test banyak,
membutuhkan keterampilan dalam teknik pembacaan hasil, pengarsipan
hasil pemeriksaan sulit dilakukan dan membutuhkan banyak tempat dan
waktu.

3.6 Pemeriksaan Golongan Darah ABO Dengan Microplate Test


Microplate memiliki 96 sumuran yang masing-masing dapat
menampung 200-300 µL sampel atau reagen. Teknik microplate ini
digunakan secara luas pada tempat-tempat dengan beban pemeriksaan
yang banyak dan saat ini sudah tersedia prosedur pemeriksaan dengan
autoanalyzer. Ada tiga jenis microplate yang tersedia yaitu:
1. V-type well
2. Flat-bottom
3. U-type well

Gambar 3.7 V-type well, flat bottom dan U-type well (WHO, 2009).

35
Jenis microplate yang banyak digunakan untuk pemeriksaan
serologi golongan darah adalah U-type well karena hasil lebih mudah
dibaca pada bagian bawah U-plate (NAB, 2013).

1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan pada pemeriksaan golongan darah ABO
pada microplate test sama dengan pemeriksaan menggunakan tabung
(tube test).

2. Jenis sampel
Umumnya, menggunakan sampel darah beku atau dengan
antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous
dengan serum, plasma, salin atau membutuhkan pencucian terlebih
dahulu kemudian diresuspensi dalam salin. Jenis sampel disesuaikan
dengan rekomendasi insert kit reagen yang digunakan (Cooling, 2014).

3. Alat dan reagen


Pada pemeriksaan dengan microplate dibutuhkan beberapa
tambahan peralatan seperti:
a. microplate : umumnya dipakai microplate dengan 96 sumuran.
b. dispenser (bersifat opsional): berguna untuk mendapatkan volume
sampel atau reagen yang sama dalam satu baris sumuran. Bila
tidak tersedia dapat menggunakan multicanel micropipette atau
dikerjakan secara manual dengan single micropipette.
c. microplate reader (opsional): fotometer automatis dapat digunakan
untuk membaca hasil pada microplate berdasarkan derajat
absorbance dalam U-shape bottom wells untuk membedakan hasil
positif dan negatif. Microplate reader juga dilengkapi dengan
komponen mikroprosesor untuk membaca dan menginterpreasi
reaksi dan mencetak hasil pemeriksaan. Apabila microplate
reader tidak tersedia, pembacaan dan interpretasi dapat dilakukan
secara manual.
d. sentrifus : sentrifus yang digunakan khusus untuk melakukan
sentrifugasi microplate. Informasi spesifik yang perlu ditanyakan

36
pada perusahaan sentrifus adalah untuk flexible U-shaped bottom
microplate: 700 × g selama 5 detik, untuk rigid U-shaped bottom
microplate: 400 × g selama 30 detik baik untuk pemeriksaan sel
darah merah maupun serum atau plasma.

Gambar 3.8 U-shaped bottom microplate

4. Prosedur pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan sel darah merah (cell grouping)
pada microplate test adalah sebagai berikut:
a. Teteskan 1 tetes anti-A dan 1 tetes anti-B secara terpisah pada
sumuran U-bottom microplate yang bersih dan kering. Jika
pemeriksaan dengan anti-D juga dilakukan, teteskan pada sumuran
ketiga,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel 2-5% pada masing-masing
microplate yang sudah mengandung anti-A, B, D,
c. lakukan pemeriksaan autokontrol pada sumuran keempat dengan
menambahkan suspensi sel sampel 2-5% dengan serum atau
plasma sampelnya sendiri,
d. campur secara perlahan dengan cara memiringkan bagian plate,
e. sentrifugasi microplate dengan kecepatan 700 × g selama 5 detik
bila menggunakan flexible U-shaped bottom microplate dan 400
× g selama 30 detik bila menggunakan rigid U-shaped bottom
microplate,

37
f. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung
secara manual atau menggunkan mechanical shaker, lihat ada
tidaknya aglutinasi,
g. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan (Cooling,
2014).

Prosedur pemeriksaan serum atau plasma (serum grouping) pada


microplate test adalah sebagai berikut:
a. Tambahkan 1 tetes serum atau plasma pada bagian bawah masing-
masing sumuran,
b. tambahkan 1 tetes reagen suspensi sel A, sel B 2-5% pada sumuran
kelima dan keenam,
c. sentrifugasi microplate dengan kecepatan 700 × g selama 5 detik
bila menggunakan flexible U-shaped bottom microplate dan 400
× g selama 30 detik bila menggunakan rigid U-shaped bottom
microplate,
d. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung
secara manual atau menggunkan mechanical shaker, lihat ada
tidaknya aglutinasi,
e. baca dan interpretasi hasil kemudian lakukan pencatatan (Cooling,
2014).

5. Interpretasi hasil
Hasil positif : bila terjadi aglutinasi kuat
Hasil negatif : bila tidak terjadi aglunitasi
Interpretasi golongan darah ABO sama seperti tabel 3.3
Berikut adalah salah satu contoh gambar cara membaca pola
reaksi pada pemeriksaan golongan darah dengan microplate test.

38
Gambar 3.9 Pola reaksi pada pemeriksaan golongan darah dengan microplate test
(Diagast, 2016).

Dari gambar 3.9 terlihat pola reaksi pemeriksaan golongan


darah dengan microplate test. Dari 96 sumuran pada microplate, dapat
dilakukan pemeriksaan golongan darah baik cell grouping maupun
serum grouping untuk 16 sampel secara bersamaan. Kolom 1 reaksi
antara suspensi sel darah merah sampel dengan reagen anti-A, kolom
2 reaksi antara suspensi sel darah merah sampel dengan reagen anti-B,
kolom 3 reaksi antara suspensi sel darah merah sampel dengan reagen
anti-D, kolom 4 reaksi antara suspensi sel darah merah sampel dengan
negative Rhesus control, kolom 5 reaksi antara serum/plasma sampel
dengan reagen suspensi sel darah merah golongan A, dan kolom 6 reaksi
antara serum/plasma sampel dengan reagen suspensi sel darah merah
golongan B. Demikian juga untuk kolom 7 sampai 12 sama seperti kolom
1 sampai 6. Reaksi dikatakan positif apabila suspensi memusat pada
bagian sentral sumuran dan reaksi dikatakan negatif apabila suspensi sel
menyebar secara homogen pada seluruh sumuran (Diagast, 2016).

6. Keuntungan dan kelemahan microplate test


Beberapa keuntungan dari pemeriksaan golongan darah dengan
metode microplate antara lain:
a. Bersifat cost-effective karena volume sampel dan reagen yang
digunakan lebih sedikit,

39
b. penanganan microplate lebih mudah dan mampu menggantikan
96 jumlah tabung biasa,
c. hasil pemeriksaan sampel dapat diarsip tanpa menghabiskan
banyak waktu dan tempat,
d. pada jumlah test yang banyak, pengerjaan sampel dapat dilakukan
bersamaan sehingga mengurangi waktu pemeriksaan,
e. teknik pemeriksaan golongan darah dapat dilakukan secara
otomatis dengan data on line,
f. kesalahan pembacaan dan interpretasi hasil dapat dikurangi,
g. menghemat waktu staf,
h. identifikasi sampel dan microplate dapat menggunakan sistem
barcode sehingga risiko sampel tertukar dapat dikurangi,
i. penyimpanan data hasil pemeriksaan dapat terintegrasi dengan
sistem komputer.
Kelemahan dari metode microplate test adalah tidak efektif dan
efisien digunakan pada laboratorium dengan jumlah test yang masih
sedikit.

3.7 Pemeriksaan Golongan Darah dengan Column Technique


(Sephadex Gel)
1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip dasar dari metode gel hampir sama dengan metode
tabung, serum dan suspensi sel direaksikan pada tabung kecil dengan
ukuran panjang 15 mm dan lebar 4 mm. Masing-masing microtube
mengandung 35 µL dextran acrylamide gel yang disiapkan dalam
larutan buffer seperti Low Ionic Strength Solution (LISS) atau salin. Gel
juga mengandung elemen yang lain seperti sodium azide, bovin serum
albumin dan reagen spesifik seperti anti-IgG atau Red Blood Cell-
specific antisera (ABO dan D). Jika gel mengandung reagen spesifik,
reagen ditambahkan selama penyiapan oleh pabrik sebelum pengisian
microtube. Reagen akan tersebar di sepanjang gel column. Gel column
terdiri dari 75% gel pekat dan 25 % cairan. Enam buah microtube di
tanam dalam plastic card untuk memudahkan penanganan, pemeriksaan,
pembacaan dan pembuangan. Sejumlah volume serum atau plasma atau

40
suspensi sel darah merah yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam
microtube diikuti oleh proses inkubasi dan sentrifugasi (Rumsey and
Ciesielski, 2000; Walker and Harmening, 2012 ).
Selama proses inkubasi, antigen pada permukaan sel darah merah
akan berikatan dengan antibodi yang sesuai sehingga membentuk
aglutinasi. Selama proses sentrifugasi, sel yang beraglutinasi kuat akan
tertangkap pada bagian atas matrik gel sedangkan sel yang beraglutinasi
lemah akan pindah ke bagian bawah matrik gel. Bila aglutinasi tidak
terjadi maka semua sel akan mengendap ke bagian bawah matrik gel
(McCullough, 2012; Sanguin Blood Supply, 2016).
Berikut akan dijelaskan salah satu teknik pemeriksaan golongan
darah dengan column technique atau metode gel yang diambil dari salah
satu reagen komersial yang beredar di pasaran. Untuk masing-masing
reagen, prosedur pemeriksaan harus disesuaikan dengan panduan yang
sudah ditetapkan oleh pabriknya.

2. Jenis sampel
Sampel untuk pemeriksaan sebaiknya menggunakan sampel
darah segar yang ditampung pada tabung dengan antikoagulan Ethylene
diamine tetraacetic acid (EDTA) atau citrate. Untuk reverse grouping
dapat menggunakan plasma atau serum (Mehdi,2013; Diamed, 2016).

3. Alat dan reagen


Jenis peralatan yang dibutuhkan untuk menunjang pemeriksaan
antara lain:
a. ID. Centrifuge
b. ID. Working table ( ID card holder & tube holder )
c. ID. Pipetor
d. Tips
e. ID. Dispenser ( ukuran 0.5 mL)
Beberapa reagen dan sampel darah yang dibutuhkan untuk pemeriksaan
antara lain:
a. ID card : ID-DiaClon ABOD + reverse grouping card
b. larutan ID Diluent 2 (modified LISS )

41
c. standar sel A 1% dan standar sel B 1% dalam Diluent 2.
d. sel pasien suspensi 5% dalam Diluent 2
e. serum atau plasma pasien atau donor (Mehdi, 2013; Diamed,
2016)

4. Prosedur pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah dengan metode
gel adalah sebagai berikut:
a. Pisahkan sel darah merah dengan plasma atau serum yang akan
diperiksa
b. Biarkan larutan ID Diluent 2 ( modified LISS ) pada suhu kamar
c. Buat suspensi sel daerah merah 5% dalam larutan LISS, yaitu :
1. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 50 ul whole blood (WB)
2. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 25 ul packed red cells
Buat suspensi sel darah merah 1% dalam larutan LISS, yaitu :
1. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 10 ul whole blood
2. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 5 ul packed red cells
d. Siapkan ID-DiaClon ABOD + reverse grouping card
e. Beri label nama pasien pada ID card
f. Buka penutup card ( alumunium foil )
g. Teteskan 50 ul standar sel-A 1% ke dalam microtube nomor 5
(A1)
h. Teteskan 50 ul sel-B 1% ke dalam microtube nomor 6 ( B )
i. Teteskan 10 ul sel pasien 5% ke dalam microtube nomor 4
j. Teteskan 25 ul serum atau plasma ke dalam microtube nomor 4,
5, dan 6
k. Diamkan pada suhu kamar selama 10 menit
l. Teteskan 10 ul sel pasien suspensi 5% ke dalam microtube nomor
1, 2, dan 3 (A, B, D)
m. Ketuk-ketuk microtube secara perlahan-lahan jika belum
tercampur
n. sentrifugasi ID- card selama 10 menit dengan ID- centrifuge,
o. baca dan catat hasilnya (Mehdi,2013; Diamed, 2016).

42
5. Interpretasi hasil
Hasil pemeriksaan pada ID-cards juga dapat diinterpretasikan
seperti hasil pemeriksaan pada metode tabung. Microtube 1 dan 2
sebagai forword grouping, microtube 3 untuk pemeriksaan Rhesus,
microtube 4 sebagai negative Rhesus control dan microtube 5,6 sebagai
reverse grouping. Kontrol negatif harus menunjukkan hasil negatif, jika
menunjukkan aglutinasi maka pemeriksaan disimpulkan invalid dan
seluruh prosedur harus diulang (Mehdi, 2013).
Derajat aglutinasi dapat ditentukan dengan mengamati reaksi yang
terjadi pada microtube. Hasil dinyatakan negatif bila seluruh suspensi
sel darah merah mengendap pada dasar tabung. Hasil 1+ bila sebagian
besar suspensi sel darah merah mengendap pada dasar microtube
namun ada sebagian kecil yang naik dari dasar tabung. Hasil 2+ bila
suspensi sel darah merah naik dari dasar microtube dan mengisi hampir
seluruh panjang microtube. Hasil 3+ bila sebagian besar suspensi sel
darah merah ada pada permukaan microtube dan hanya sebagian kecil
disepanjang microtube. Hasil 4+ bila seluruh suspensi sel darah merah
ada di permukaan microtube (Saluju and Singal, 2014). Derajat reaksi
dapat diilustrasikan pada gambar berikut.

Gambar 3.10 Derajat aglutinasi hasil pemeriksaan golongan darah dengan column
technique (Saluju and Singal, 2014)

43
Gambar 3.11 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah ABO/D dan reverse grouping
dengan column technique (Saluju and Singal, 2014)

Pada gambar di atas hasil pemeriksaan forword grouping dengan


anti-A 4+, anti-B 4+, anti-D 4+, negative Rhesus control negatif dan
hasil pemeriksaan reverse grouping baik pada sel A1 dan sel B keduanya
negatif. Dari hasil pemeriksaan golongan darah tersebut disimpulkan
golongan darah AB Rhesus positif.

6. Keuntungan dan kelemahan column technique


Salah satu keuntungan utama dari column technique adalah
microtube digabung dalam satu kartu sehingga menyederhanakan
fasilitas dan pelabelan. Beberapa keuntungan yang lain di antaranya:
a. Dapat mengurangi kesalahan dan meningkatkan keamanan.
Untuk pemeriksaan antigen golongan darah, tidak perlu dilakukan
penambahan reagen. Reagen sudah ada di dalam microtube dan
sudah diberikan label untuk masing-masing jenis reagen,
b. hasil pemeriksaan dapat diarsip dalam bentuk soft copy, baik
dengan cara difoto, foto kopi maupun dengan cara discan,

44
c. secara teknis tempat pemeriksaan lebih bersih, tersedia rak khusus
untuk menempatkan sample tube dan typing card,
d. jika dibutuhkan pemeriksaan ulang, hasil pemeriksaan sebelumnya
dapat disimpan dan stabil dalam beberapa jam bahkan beberapa
hari jika card ditutup dan disimpan pada suhu refrigerator,
e. tidak perlu dilakukan pencucian sel dan hasil dapat langsung
dibaca setelah sentrifugasi,
f. jumlah sampel yang dibutuhkan lebih sedikit,
g. beberapa microtyping card sudah terintegrasi sekaligus dapat
digunakan pemeriksaan kontrol dan reverse gouping
h. pemeriksaan dapat dilakukan dengan autoanalyzer (Makroo,
2009).
Salah satu kelemahan dari pemeriksaan golongan darah dengan
column technique adalah membutuhkan biaya yang lebih besar
dibandingkan metode slide maupun tube test. Untuk sampel darah
dengan rouleaux dan bekuan yang inkomplit dapat memberikan hasil
positif palsu (Saluju and Singal, 2014).

3.8 Pemeriksaan Golongan Darah ABO dengan Solid Phase


Tests
Solid phase immunoassay diperkenalkan pertama kali oleh
Rosenfield dan Coworkers pada 1978 untuk melakukan pemeriksaan
Red Blood Cell (RBC) typing dan skrining antibodi. Salah satu bagian
test yang akan direaksikan (antigen atau antibodi) diikatkan pada fase
padat (umumnya menggunakan microtiter well) sebelum test dimulai.
Dalam waktu singkat diikuti oleh para ilmuwan lainnya dan berhasil
mengembangkan teknologi Solid-Phase Test. Pada 1984 Plapp dan
Coworkers melaporkan penggunaan Solid-Phase Red Cell Adherence
(SPRCA) untuk mendeteksi antigen antibodi sel darah merah. Teknologi
Solid-Phase Test yang lain adalah Solid-Phase Protein A, dan Solid-
Phase Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Walker and
Harmening, 2012; Blaney and Howard, 2013).
Beberapa tahun terakhir pemeriksaan solid phase immunoassay
telah digunakan secara luas di laboratorium kimia dan imunologi.

45
Khusus di Bank Darah, saat ini generasi pertama dan kedua SPRCA
telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi, direct antiglobulin test,
weak D test dan IgG crossmatch (Walker and Harmening, 2012; Blaney
and Howard, 2013).

3.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reaksi Antigen Antibodi


pada Pemeriksaan Golongan Darah
Aglutinasi sel darah merah dapat berlangsung melalui dua tahapan.
Tahap pertama antibodi berikatan dengan permukaan sel darah merah,
tahap kedua antibodi berinteraksi dengan sel darah merah sehingga sel-
sel saling berdekatan dan terjadilah aglutinasi. Tahap pertama aglutinasi
dipengaruhi oleh suhu, pH medium, konstanta afinitas antibodi, waktu
atau lama inkubasi, kekuatan ion pada medium, dan rasio antigen
antibodi. Tahap kedua aglutinasi dipengaruhi oleh jarak antar sel, muatan
molekul dalam suspensi, deformitas membran, molekul permukaan
membran dan struktur molekul (McCullough, 2012).
Berikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi reaksi
antigen dan antibodi pada pemeriksaan golongan darah.

1. Muatan ion sel darah merah


Dalam kondisi fisiologis, sel darah merah tidak pernah berikatan
satu sama lain atau menggumpal secara spontan, baik selama berada
di dalam tubuh (in vivo) maupun selama di dalam tabung (in vitro)
karena masing-masing membran memiliki muatan negatif. Muatan
negatif dihasilkan oleh kelompok neuraminic acid yang terdapat pada
permukaan membran sel darah merah (WHO, 2009).
Bila sel darah merah disuspensikan dalam larutan elektrolit,
maka ion positif akan ditarik oleh muatan negatif pada sel darah merah,
sehingga sel darah merah tersebut akan dikelilingi oleh 2 lapisan yang
diffuse (Zeta Potensial). Bila ada antibodi yang menempel pada sel darah
merah, maka sel darah merah akan mengurangi muatan negatif pada
permukaannya, sehingga memungkinkan sel tersebut saling mendekat
satu sama lainnya. Karena antibodi tersebut bivalent, maka mereka

46
akan membentuk jembatan antara sel yang satu dengan sel yang lainnya
(Depkes RI, 2008).

2. Temperatur
Antibodi yang berbeda mempunyai kemampuan bereaksi secara
optimal pada suhu yang berbeda juga. Sebagai contoh antibodi golongan
darah ABO bereaksi optimal pada suhu 4 oC sedangkan antibodi Rhesus
bereaksi optimal pada suhu 37 oC (WHO, 2009).

3. pH
Sebagian besar antibodi golongan darah dapat bereaksi secara
optimal pada pH 6,5 sampai 7,5. Reaksi akan dihambat apabila pH
terlalu asam atau terlalu alkalis (WHO, 2009).

4. Usia serum dan eritrosit sampel


Reaksi yang paling baik umumnya didapatkan jika menggunakan
sampel serum dan eritrosit segar. Untuk alasan tersebut disarankan selalu
menggunakan sel darah merah segar atau menyimpan serum pada suhu
-20 oC atau suhu lebih rendah apabila tidak segera digunakan (WHO,
2009).

5. Rasio antigen dan antibodi


Rasio antigen dan antibodi sangat penting dalam menentukan
kuat lemahnya reaksi. Semakin banyak antibodi yang berikatan dengan
antigen yang ada pada permukaan eritrosit maka reaksi yang terjadi
akan semakin kuat. Penting untuk memastikan keakuratan suspensi sel
darah merah yang disiapkan karena suspensi sel yang terlalu pekat akan
sedikit mengikat antibodi sehingga reaksi yang muncul lebih lemah.
Suspensi sel yang dianggap mampu memberikan reaksi optimal pada
tes aglutinasi adalah suspensi sel 2-5% (WHO, 2009).

6. Kekuatan ionik
Kecepatan terjadinya reaksi antigen-antibodi dapat ditingkatkan
jika kekuatan ionik pada medium untuk mensuspensikan sel darah

47
merah menurun. Penggunaan Low Ionic Strength Solution (LISS) dapat
mengurangi periode inkubasi pada anti-human globulin test selama 15
menit (WHO, 2009).

3.10 Permasalahan pada Pemeriksaan Golongan Darah


Salah satu permasalahan pada pemeriksaan golongan darah
yang cukup sering dijumpai adalah terjadinya discrepancy golongan
darah. Discrepancy golongan darah adalah terjadinya ketidaksesuaian
atau ketidakcocokan hasil pada pemeriksaan cell grouping dengan
serum grouping. Dengan kata lain, cells grouping tidak setuju dengan
serum grouping. Discrepancy wajib dikenali dan diselesaikan
sebelum pemeriksaan crossmatch dilakukan. Langkah pertama yang
harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah discrepancy adalah
mengidentifikasi sumber discrepancy. Apakah bersumber dari kesalahan
teknis atau discrepancy yang disebabkan oleh sampel itu sendiri (Blaney
and Howard, 2013).
Sebelum memastikan bahwa discrepancy ABO terjadi, beberapa
informasi tentang pasien harus ditelusuri, informasi tersebut antara
lain:
1. Umur pasien,
2. diagnosis penyakit,
3. riwayat pemberian transfusi,
4. obat-obatan yang dikonsumsi pasien,
5. status imum pasien,
6. riwayat kehamilan (Mehdi, 2013).
Secara garis besar, penyebab discrepancy terbagi menjadi dua
yaitu kesalahan teknis dan permasalahan pada sampel baik sampel
eritrosit maupun serum atau plasma. Sumber discrepancy dari kesalahan
teknis antara lain:
1. Kesalahan identifikasi dan dokumentasi, dapat berasal dari:
a. salah melabel sampel dan jenis tabung yang digunakan,
b. pencatatan yang salah,
c. interpretasi hasil yang tidak tepat.
2. Kesalahan pada reagen dan peralatan, seperti:

48
a. quality control reagen tidak dilakukan dengan baik,
b. reagen terkontaminasi dan hemolisis,
c. waktu sentrifugasi tidak tepat atau peralatan tidak dikalibrasi
dengan teratur.
3. kesalahan pada Standard Operating Procedure (SOP), seperti:
a. prosedur tidak sesuai dengan instruksi dari pabrik reagen,
b. penambahan reagen atau sampel yang tidak tepat,
c. konsentrasi suspensi sel darah merah tidak tepat,
d. endapan sel pada bagian bawah tersuspensi secara komplit
sebelum derajat aglutinasi ditentukan (Blaney and Howard,
2013).

Sumber discrepancy dari permasalahan pada sampel antara lain:


1. permasalahan pada sampel eritrosit
a. Ada antigen ekstra (extra antigens), dapat disebabkan oleh
beberapa faktor berikut: grup A dengan antigen B dapatan,
B(A) phenotype, polyagglutination, rouleaux, hematopoetic
progenitor cell.
b. Antigen lemah atau hilang (missing or weak antigens), bisa
disebabkan oleh ABO subgroup, penyebab patologis, dan
kasus-kasus transplantasi.
2. permasalahan pada sampel serum atau plasma
a. Ada antibodi ekstra (extra antibodies), misalnya pada
kasus A subgroups dengan anti-A1, cold alloantibodies,
cold autoantibodies, intravenous immunoglobulin.
b. Antibodi lemah atau hilang (missing or weak antibodies),
dijumpai pada newborn, usia tua (eldery), kondisi patologis,
terapi immunosupresif untuk transplatasi
3. mixed-field reaction, dapat disebabkan oleh kondisi berikut:
a. transfusi golongan darah O pada pasien dengan golongan
darah A, B, AB
b. hematopoetic progenitor stem cell transplants
c. A3 phenotype (Blaney and Howard, 2013).

49
3.11 Penanganannya Discrepancy Golongan Darah ABO
Sebelum melangkah lebih jauh untuk menyelesaikan perbedaan
hasil antara cell grouping dan serum grouping, sebaiknya terlebih
dahulu singkirkan penyebab discrepancy yang umum terutama yang
bersumber dari kesalahan teknis. Langkah-langkah yang bisa membantu
untuk mengatasi discrepancy antara lain:
a. jika kemungkinan penyebabnya adalah kesalahan pengambilan
sampel atau identifikasi pasien, minta sampel baru, lakukan
pemeriksaan ulang. Bila discrepancy tidak dijumpai lagi, hasil
pemeriksaan golongan darah dapat dilaporkan,
b. jika discrepancy tetap ditemukan, lakukan pencucian sel dengan
salin 3-4 kali dan lakukan pemeriksaan ulang. Bila discrepancy
tidak dijumpai lagi, hasil pemeriksaan golongan darah dapat
dilaporkan,
c. jika discrepancy tetap ditemukan, lakukan penelusuran terhadap
informasi pasien meliputi: umur, diagnosis, pemberian obat-
obatan, riwayat transfusi dan riwayat kehamilan,
d. evaluasi hasil pemeriksaan yang didapat kemudian bedakan
apakah discrepancy terjadi pada cell grouping atau serum
grouping atau cell grouping dan serum grouping dengan melihat
dejarat reaktivitasnya (Harmening et al, 2012; Mehdi, 2013).

Berikut adalah salah satu contoh algoritme penanganan kasus


discrepancy golongan darah.

50
ABO Discrepacy (Cell grouping dan
serum grouping tidak sesuai)
Jika kemungkinan ada
kesalahan sampel dan
Cuci sel darah merah pasien dengan identifikasi pasien
salin dan ulangi pemeriksaan

Discrepancy tetap ada Minta sampel baru


Jika discrepancy tidak ada

Lakukan penelusuran informasi pasien Lakukan pemeriksaan


Hasil pemeriksaan golongan
(umur, diagnosis, pemberian obat-obatan, ulang
darah ABO dapat dilaporkan
riwayat transfusi dan riwayat kehamilan)

Jika discrepancy tidak


Bedakan apakah discrepancy terjadi pada
ada
serum grouping atau cell grouping atau
keduanya dengan melihat derajat
reaktifitasnya Hasil pemeriksaan
golongan darah ABO
dapat dilaporkan

Misal: Masalah ada di serum pasien Misal: Masalah ada di eritrosit pasien Misal: Masalah ada baik di serum
(reaksi lemah pada serum grouping) (reaksi lemah pada cell grouping) maupun di eritrosit pasien (reaksi
lemah pada cell dan serum grouping)

Anti-A 4+, anti-B 4+, Anti-A 2+ mf, anti-B 0, Anti-A 1+, anti-B 1+,
sel A1 2+, sel B 2+ sel A1 0, sel B 4+ sel A1 1+, sel B 2+

Kemungkinan golongan darah AB Kemungkinan golongan darah A dengan Kemungkinan golongan darah O
dengan kemungkinan penyebab kemungkinan penyebab discrepancy dengan kemungkinan penyebab
discrepancy cold reacting antibody transfusi dengan golongan darah yang discrepancy cold autoantibody, cold
(misal: anti-M, anti-P1), cold reacting berbeda (misal: transfusi golongan O pada autoantibody dan alloantibody,
autoantibody (misal: anti-I, anti-H, anti- pasien golongan A), transplatasi sumsum transplatasi sumsum tulang atau stem
IH), passively acquired antibody tulang atau stem cell, perdarahan feto- cell, passively acquired antibody.
(plasma exchange, mismatched platelet), maternal, adanya subgroup A3.
adanya Rouleaux.

Resolusi: Resolusi: Resolusi:


1. Antibodi skrining 1. Direct antiglobulin test 1. Cuci eritrosit pasien dengan salin
2. pemeriksaan autokontrol 2. pemeriksaan autokontrol hangat dan periksa ulang
3. salin replacement pada 2. Direct antiglobulin test dan
rouleaux formation. pemeriksaan autokontrol
3. Antibodi skrining

Gambar 3.12 Algoritme penanganan kasus discrepancy golongan darah


(Harmening et al, 2012).

51
Tabel 3.4 Contoh ABO discrepancy antara cell grouping dan serum
grouping (Harmening et al, 2012; Mehdi, 2013).

Pasien Anti-A Anti-B Sel A1 Sel Sel Auto Kemungkinan penyebab Resolusi
B O kontrol
1 0 0 0 0 0 0 Golongan darah O a. Cek umur dan diagnosis pasien serta
a. pada bayi baru lahir atau orang kadar immunoglobulin jika
tua, memungkinkan
b. pasien dengan b. inkubasi serum pasien dengan reagen
hypogamaglobulinemia atau sel darah merah pada suhu ruang
agammaglobulinemia selama 30 menit,
c. konsumsi obat c. jika tidak dijumpai adanya reaksi,
immunosupresan inkubasi campuran tersebut masing-
masing pada dua kondisi yaitu suhu 4
o
C dan suhu 37 oC selama 15 menit
d. autokontrol dan reaksi serum pasien
dengan suspensi sel O harus selalu
disertakan saat pemeriksaan
2 4+ 0 1+ 4+ 0 0 Subgrup A, kemungkinan golongan a. Reaksikan sel pasien dengan anti-A1
darah A2 lectin
b. Periksa ulang serum grouping
dengan tambahan suspensi sel A1,
A2 dan sel O
c. Pemeriksaan autokontrol tetap
dilakukan
3 4+ 4+ 2+ 2+ 2+ 2+ a. Rouleaux (pasien multipel a. Cuci eritrosit pasien dengan salin
myeloma, pasien dengan rasio atau lakukan teknik salin
albumin dan globulin terbalik replacement
atau pasien dengan pemberian
plasma expanders)
b. Cold autoantibody
(kemungkinan golongan darah b. Lakukan inkubasi pada suhu 37 oC.
AB dengan auto anti-I)

4 4+ 4+ 1+ 0 0 0 Subgrup AB (kemungkinan Gunakan anti-A lectin, lakukan serum


golongan darah A2B dengan anti- grouping ulang dengan penambahan sel
A1 A1, A2 dan O
5 4+ 0 0 4+ 3+ 0 Golongan darah A1 dengan Konfirmasi golongan darah A1 dengan
kemungkinan adanya anti-H anti-A1 lectin, tambahkan pemeriksaan
dengan suspensi sel A2, O, A1 dan Oh
jika tersedia
6 0 0 4+ 4+ 4+ 0 Oh Bombay Periksa dengan anti-H lectin, tambahkan
pemeriksaan dengan suspensi sel Oh jika
tersedia, rujuk ke laboratorium rujukan
untuk konfirmasi
7 0 0 2+ 4+ 0 0 Subgrup A, kemungkinan Ax Lakukan saliva studies atau
dengan anti-A1 absorption/elution
8 4+ 2+ 0 4+ 0 0 Golongan darah A dengan acquired a. Telusuri riwayat pasien apakah ada
B antigen masalah di saluran cerna bagian
bawah atau mengalami septikemia
b. Lakukan pengasamkan reagen anti-
B sehingga pH mencapai 6,0 dengan
menambahkan 1-2 tetes larutan HCL
ke dalam 1 mL anti-B. serum yang
diasamkan akan beraglutinasi hanya
dengan “true B antigen” dan tidak
beraglutinasi dengan “acquired B
antigen”
9 4+ 4+ 2+ 0 2+ 0 Golongan darah AB dengan Lakukan pemeriksaan skrining dan
alloantibody identifikasi antibodi
Lakukan pemeriksaan serum grouping
pada suhu 37 oC.
10 0 4+ 4+ 1+ 1+ 1+ Golongan darah B dengan cold Lakukan prewarmed testing atau
autoantibody enzyme-treat red blood cells dan
autoabsorption

52
Untuk membedakan bentukan rouleaux dan aglutinasi dapat
dilakukan dengan pencucian sel dengan salin atau melakukan salin
replacement technic. Pada aglutiasi penambahan salin tidak menyebabkan
sel terpisah sedangkan pada rouleaux formation sel akan terpisah. Pada
kasus Whartons’s jelly yang juga menyebabkan pembentukan rouleaux,
sel harus dicuci minimal 8 kali (Harmening et al, 2012; Mehdi, 2013).
Berikut adalah gambar sel darah merah untuk membedakan rouleaux
formation dan agglutination.

Gambar 3.13 Rouleaux dan aglutination (Harmening et al, 2012).

3.12 Contoh Kasus Terkait Pemeriksaan Golongan Darah ABO

Kasus 1.
Seorang wanita 60 tahun, didapatkan hasil pemeriksaan golongan
darah AB Rhesus positif. Pemeriksaan dikerjakan dengan metode
slide test hanya cell grouping. Pemeriksaan kemudian dirujuk ke Unit
Transfusi Darah (UTD) terdekat lengkap dengan permintaan darah Pack
Red Cells (PRC) 2 kantong. Hasil pemeriksaan golongan darah sebagai
berikut:
Tabel 3.5. Pemeriksaan golongan darah dengan slide test
Anti-A Anti-B Anti-D Bovin Albumin
3+ 4+ 4+ +4

53
Tabel 3.6 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan tube test

Suspensi Suspensi Bovin


Anti-A Anti-B Suspensi sel O Anti-D Autokontrol
sel A sel B Albumin
3+ 4+ 3+ 3+ 3+ 4+ 4+ 4+

Tabel 3.7 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian


sel dan dikerjakan dengan metode tabung, inkubasi 37 o C.
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Autokontrol
sel A sel B sel O Albumin
Negatif Negatif 3+ 3+ Negatif 4+ Negatif 4+

Kesimpulan : Penderita golongan darah O Rh positif

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk


memecahkan kasus di atas antara lain:
1. telusuri diagnosis dan riwayat golongan darah pasien,
2. lakukan inkubasi pada suhu 37 oC dan pencucian eritrosit dengan
larutan salin.

Hasil pemeriksaan golongan darah menunjukan adanya


discrepancy antara cells grouping dan serum grouping. Aglutinasi yang
positif pada cells grouping, serum grouping, bovin albumin maupun
autokontrol kemungkinan disebabkan karena proses aglutinasi sudah
berlangsung sebelum sampel dianalisis akibat adanya autoantibodi
yang menyelimuti eritrosit pasien ataupun yang beredar dalam serum.
Munculnya aglutinasi pada semua metode pemeriksaan golongan darah
kemungkinan disebabkan adanya extra antibody. Jika extra antibody
tersebut bersifat cold, untuk melepaskan aglutinasi tersebut bisa
dilakukan inkubasi pada 37 oC dan pencucian eritrosit dengan larutan
salin. Pada pencucian sampel dengan salin dan prewarming technique
(inkubasi 37o C) kemungkinan terjadi migrasi reaktivitas autoantibodi
sehingga golongan darah menjadi jelas (Shaz and Hillyer, 2009).

54
Kasus 2.
Laki-laki 70 tahun dengan perut membesar, pucat, berak hitam
sejak 1 minggu dan sudah dirawat dengan hepatitis B sejak 3 tahun yang
lalu. Dari hasil pemeriksaan golongan darah didapatkan data sebagai
berikut:

Tabel 3.8 Hasil pemeriksaan golongan darah dengan slide test


Anti-A Anti-B Anti-D Bovin Albumin
Negatif 4+ 4+ Negatif

Tabel 3.9 Hasil pemeriksaan golongan darah ulang pada sampel


yang sama dengan tube test

Suspensi Suspensi Suspensi Bovin Auto


Anti-A Anti-B Anti-D
sel A sel B sel O Albumin kontrol
Negatif 4+ +2 1+ 1+ 4+ Negatif Negatif

Setelah dikirim sampel baru dan dilakukan pemeriksaan golongan


darah ulang didapatkan hasil yang sama seperti di atas.
Hasil pemeriksaan golongan darah menunjukkan hasil cell
(forward) grouping tidak sesuai atau tidak setuju dengan hasil serum
(reverse) grouping. Pada cell grouping, aglutinasi 4+ dengan anti-B dan
aglutinasi negatif dengan anti-A. Jika hanya berdasarkan cell grouping,
maka golongan darah dapat disimpulkan golongan darah B. Pada serum
grouping, aglutinasi 2+ dengan suspensi sel A, 1+ dengan suspensi sel
B dan 1+ dengan suspensi sel O. Hasil pemeriksaan serum grouping
sulit disimpulkan. Aglutinasi pada masing-masing suspensi sel bersifat
lemah (tidak mencapai 3+ atau 4+). Jika dianggap golongan O karena
aglutinasi positif pada sel A dan sel B maka tidak sesuai dengan hasil
reaksi pada sel O dan cell grouping. Golongan darah yang mungkin pada
pasien ini adalah golongan darah B Rh positif. Munculnya aglutinasi
pada sel B dan sel O kemungkinan disebabkan adanya extra antibody
yang perlu ditelusuri lebih lanjut dengan pemeriksaan skrining dan
identifikasi antibodi (Nester and Aubuchon, 2011).

55
Kasus 3.
Hasil pemeriksaan golongan darah pasien didapatkan data sebagai
berikut:
Tabel 3.10 Hasil pemeriksaan golongan darah dengan slide test
Anti-A Anti-B Anti-D Bovin Albumin
Negatif Negatif 3+ Negatif

Tabel 3.11 Hasil pemeriksaan golongan darah ulang pada


sampel yang sama dengan tube test
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin Auto
Anti-A Anti-B Anti-D
sel A sel B sel O Albumin kontrol
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 3+ Negatif Negatif

Dari hasil pemeriksaan golongan darah kesan cells grouping


adalah golongan darah O dan kesan serum grouping adalah golongan
darah AB. Pada kasus di atas sangat penting untuk menelusuri data pasien
meliputi umur, diagnosis, dan kadar imunoglobulin jika memungkinkan.
Umur pasien merupakan faktor yang paling penting karena konsentrasi
antibodi ABO rendah pada bayi yang baru lahir dan penderita usia
lanjut. Data diagnosis pasien juga penting karena penurunan konsentrasi
antibodi ABO juga dapat disebabkan oleh beberapa kondisi patologis
seperti pada kasus Chronic lymphocytic leukemia, Congenital
hypergammaglobulinemia atau Acquired hypogammaglobulinemia,
Congenital agammaglobulinemia atau aquired agammaglobulinemia,
Immunosupressive therapy, Bone marrow transplant dan Multiple
myeloma (Blaney and Howard, 2013).
Ada pun penanganan lanjutan yang bisa dilakukan untuk
menentukan golongan darah pasien adalah melakukan inkubasi serum
grouping pada suhu ruang selama 15-30 menit. Selanjutnya lakukan
sentrifugasi dan baca apakah ada aglutinasi atau tidak (Blaney and
Howard, 2013).

56
Daftar Pustaka

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Compatibility Testing. Basic&Applied


Concepts of Blood Banking and Transfusion Practices. Third
Edition. United States: Elsevier Mosby. pp.188-201.
Cooling, L. 2014. ABO, H, and Lewis blood groups and structurally
related antigens. In: Fung, M., Grossman, B.J., Hillyer, C.D.,
Westhoff, C.M., eds. Technical manual. 18th edition. Bethesda,
MD: AABB :291-315.
Depkes RI.2008. Serologi Golongan Darah. Modul 2 Pelatihan Crash
Program Petugas Teknis Transfusi Darah Bagi Petugas UTDRS.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. hal 73-120.
Diagast. 2016. User instruction ABO Rh 1 reagent.
Diamed. 2016. User instruction ABO/D + Reverse grouping reagent.
Himedia. 2015. HiPer® Blood Grouping Teaching Kit. India. Himedia
Laboratories.p.3-6.
Harmening, D. M., Forneris, G., Tubby, B. J. 2012. The ABO Blood
Group System. Blood Groups and Serologic Testing. Modern
Blood Banking & Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia:
F.A Davis company. p.119-148.
McClelland, D.B.L. 2012. Blood products and transfusion procedures.
Handbook of Transfusion Medicine. London: TSO (The Stationery
Office). pp. 5-22.
McCullough, J. 2012. Laboratory Detection of Blood Groups and
Provision of Red Cells. Transfusion Medicine Third Edition. UK:
Wiley-Blackwell. p. 207-233.
Makroo, R.N. 2009. ABO Blood group System. Practice of Safe Blood
Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New Delhi:
Kongposh. p. 39-64.
Mehdi, S.R. 2013. ABO blood group system. Essentials of Blood
Banking A Handbook for Students of Blood Banking and Clinical
Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. p. 6-18.

57
Nester, T., Aubuchon, J.P. 2011. Hemotherapy Decisions and Their
Outcomes. Technical Manual 17th AABB. Bank United State:
American Association of Blood. p. 571-604.
NIB. 2013. Guidance Manual on “ABO and Rh Blood Grouping”.
National Institute of Biologicals. Ministry of Health & Family
Welfare Government of India. p. 9-31.
Ortho Clinical Diagnostic, 2016. User instruction The ID-Micro Typing
SystemTM reagent.
Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU Langone
Medical Center.
Rumsey, D. H., Ciesielski, D. J. 2000. New Protocols in Serology
Testing: A Review of Techniques To Mee Today,s Challenges.
Immunohematology. Journal of Blood Group Serology and
Education, 16(4): 1-9.
Shaz, B.H, Hillyer, C.D. 2009. Autoimmune Hemolytic Anemias.
Transfusion Medicine and Hemostasis Clinical and Laboratory
Aspect. USA: Elsevier. p.251-258.
Sanguin Blood Supply. 2016. User Instruction Blood group serology
products.
Saluju, G. P., Singal, G. L. 2014. Alternative Technologiesin Blood
Banking. Standard Operating Procedures and Regulatory
Guidelines Blood Banking.New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. p. 104-110.
Voak, D., Napier, J.A.P., Boulton, F.E., Cann, R., Finney, R.D., Fraser,
I.D., Wagstaff, W., Water, A.H., Wood, J.K., Doughty, R.W.,
Brazier, D., Cant, B., Hedley, G., Knight, R., Milkins, C., Poole,
G.D., Ross, D.W., Sangster, J., Scott, M. 1990. Guidelines
for microplate technique in liquid-phase blood grouping and
antibody screening. A Joint Publication of The British Society
For Haematology and The British Blood Transfusion Society.
Journal of Clinical Laboratory Haematology, 12: 437-460.
Walker, P. S., Harmening, D. M. 2012. Other Technologies and
Automation. Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood
Banking & Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A

58
Davis company. p. 273-285.
WHO. 2002. Blood Transfusion Safety. The Clinical Use of Blood.
Genewa: WHO. p 1-121.
WHO, 2009. Basic Blood Group Immunology. Safe Blood and Blood
Product. Genewa: WHO. p. 16-24.
WHO, 2009. The ABO Blood Group System. Safe Blood and Blood
Product. Genewa: WHO. p. 25-34.

59
BAB IV
PEMERIKSAAN GOLONGAN
DARAH RHESUS

4.1 Golongan Darah Rhesus


Golongan darah Rhesus merupakan sistem golongan darah
terpenting kedua dalam pelayanan transfusi. Antigen Rhesus bersifat
sangat imunogenik. Antibodi Rhesus baru terbentuk bila ada paparan
antigen Rhesus. Istilah Rhesus positif dan Rhesus negatif rutin digunakan
di masyarakat dan para ahli, ketika menyebutkan jenis golongan darah.
Misalnya A-positif atau A-negatif. Rhesus positif mengindikasikan
adanya salah satu antigen Rhesus pada sel darah merah, umumnya
antigen D. Rhesus negatif mengindikasikan tidak adanya antigen D pada
sel darah merah seseorang (Johnson and Wiler, 2012).
Sistem golongan darah Rhesus termasuk sistem golongan darah
yang kompleks. Beberapa aspek genetik dan nomenklatur belum
diketahui dengan baik. Antibodi yang bereaksi terhadap antigen D
pertama kali ditemukan oleh Levin dan Stetson pada tahun 1939. Saat
itu ditemukan adanya reaksi transfusi pada pasien golongan darah O
dengan riwayat persalinan sebelumnya (Mehdi, 2013).
Pada 1940 Lansteiner dan Wiener menemukan adanya peningkatan
antibodi dalam serum kelinci yang diimunisasi dengan eritrosit monyet
Rhesus. Antibodi yang sama dijumpai mengalutinasi 85% eritrosit
manusia. Antibodi tersebut kemudian diberi nama anti-Rhesus (Mehdi,
2013).
Berbeda dengan antigen ABO, antigen Rhesus hanya diekspresikan
oleh sel eritrosit dan tidak oleh jaringan tubuh yang lain termasuk
leukosit dan trombosit. Antigen D memiliki makna klinis yang signifikan
sama seperti antigen A dan B. Antibodi D tidak ditemukan pada semua
individu golongan darah Rhesus negatif. Anti-D baru terbentuk setelah
seseorang dengan Rhesus negatif terpapar Rhesus positif. Misalnya
setelah mendapat transfusi atau setelah proses kehamilan. Lebih dari
80% individu dengan Rhesus D negative akan membentuk anti-D setelah
transfusi dengan golongan darah Rhesus D positif (Mehdi, 2013).

60
4.2 Tujuan Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus
Tujuan utama dari pemeriksaan golongan darah Rhesus adalah
untuk mendeteksi ada tidaknya antigen D. Sebenarnya ada beberapa
jenis antigen Rhesus, namun antigen D memiliki sifat yang paling
imunogenik di antara antigen lainnya sehingga rutin diperiksa bersama
dengan antigen golongan darah sistem ABO (Blaney and Howard,
2013).

4.3 Prinsip Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus


Prinsip pemeriksaan golongan darah Rhesus sama dengan
golongan darah ABO yaitu apabila antigen direaksikan dengan antibodi
yang sesuai maka akan terjadi aglutinasi. Sistem Rhesus merupakan
golongan darah dengan tingkat imunogenitas yang tinggi dan komplek
serta memiliki nilai klinis yang signifikan. Karena memiliki konsekuensi
klinis secara langsung, maka pemeriksaan golongan darah Rhesus rutin
dikerjakan pada uji pratransfusi (Levitt, 2014).
Beberapa golongan darah Rhesus dapat bersifat weak D antigens
yang hanya dikenali dengan prosedur pemeriksaan Indirect Coomb’s
Test (ICT). Pada hasil pemeriksan rutin yang negatif perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi adanya weak D. Standar dari
American Association of Blood Bank (AABB) menganjurkan untuk
rutin mendeteksi weak D pada pemeriksaan darah donor, tetapi tidak
rutin pada sampel pasien (Levitt, 2014).

4.4 Metode Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus


Ada 3jenis metode manual yang bisa digunakan untuk pemeriksaan
golongan darah Rhesus yaitu:
1. Slide test atau white tile.
2. tube test
3. Microwell plate atau Microplate (Roback et al, 2011; Saluju and
Singal, 2014).
Pada buku ini hanya akan dibahas pemeriksaan golongan darah
Rhesus dengan 3 metode manual, 2 metode lainnya hampir sama dengan
pemeriksaan golongan darah ABO hanya berbeda pada jenis reagen
yang digunakan.

61
4.5 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus dengan Metode Slide
Test
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan
golongan darah menggunakan metode slide test antara lain: risiko
terpapar bahan infeksius sangat besar sehingga keamanan dan
keselamatan kerja menjadi perhatian yang sangat penting, penguapan
pada bahan yang direaksikan dapat menimbulkan agregat sehingga
sering diinterpretasikan sebagai aglutinasi positif, pemeriksaan terhadap
weak D tidak dapat dilakukan dengan metode slide test (Roback et al,
2011).

1. Alat
Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan
pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode slide test antara
lain:
1. objek gelas,
2. Rh viewbox
3. stik aplikator

Mixture of blood and anti-D serum

Plate heated to 45oC (113oF)

Gambar 4.1 Rh viewbox untuk pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode
slide test (http://www.guwsmedical.info/human-anatomy/demonstration-rh-blood-
typing.html).

62
2. Bahan
Sampel untuk pemeriksaan golongan darah Rhesus dapat
menggunakan sampel darah beku atau sampel darah dengan antikoagulan.
Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous menggunakan
plasma atau serum. Suspensi sel juga dapat dibuat dalam medium salin
atau sel dicuci kemudian disuspensi dalam salin (Roback et al, 2011;
Saluju and Singal, 2014).
Saat ini ada 2 jenis reagen untuk pemeriksaan golongan darah
Rhesus yang banyak dipakai, yaitu:
1. Polyclonal human anti-D serum, antisera ini membutuhkan
potensiator seperti albumin, enzim atau Coomb’s (AHG) serum
yang bereaksi dengan IgG anti-D.
2. Monoclonal anti-D reagen, antisera ini lebih disukai dan lebih
umum dipakai karena lebih spesifik dan mampu bereaksi pada
suhu 20-37 oC baik dengan metode slide test maupun tube test.
Beberapa jenis reagen anti-D monoclonal, antara lain:
a. IgM anti-D monoclonal
b. IgG anti-D monoclonal
c. Campuran reagen anti-D IgM dan IgG monoklonal
d. Campuran reagen anti-D IgM monoklonal dan IgG
poliklonal (Makroo, 2009; Saluju and Singal, 2014).
3. Bahan kontrol.

3. Prosedur pemeriksaan
Teknik pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode
slide test bersifat sederhana, mudah, tetapi kurang terpercaya. Teknik
ini paling memungkinkan digunakan di lapangan. Teknik ini juga dapat
digunakan dalam keadaan emergency jika sentrifus tidak tersedia. Slide
test tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin karena reaksi yang
lemah sering memberikan hasil negatif. Reagen IgM anti-D monoklonal
dapat bekerja dengan baik pada metode slide test. (Makroo, 2009;
Mehdi, 2013; Saluju and Singal, 2014).
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode slide test adalah sebagai berikut:

63
1. Lakukan pemanasan objek gelas menggunakan Rh viewbox pada
suhu 40-50 oC sebelum dilakukan pemeriksaan,
2. teteskan 1 tetes anti-D pada objek gelas yang bersih dan sudah
dilabel,
3. tetekan 1 tetes reagen kontrol, jika diperlukan teteskan pada
objek gelas kedua yang sudah diberi lebel, gunakan reagen sesuai
dengan petunjuk penggunaan reagen dari perusahaan reagen,
4. pada masing-masing objek gelas, tambahkan 2 tetes suspensi sel
darah merah 40-50% yang disuspensi dalam serum atau plasma,
5. gunakan stik aplikator yang bersih untuk mengaduk campuran
suspensi sel dan reagen pada area sekitar 20-40 mm,
6. letakkan objek gelas pada viewbox dan lanjutkan pencampuran
dengan memiringkan objek gelas dengan lembut sambil melihat
ada tidaknya aglutinasi. Baca aglutinasi secara makroskopis dalam
waktu 2 menit. Jangan melakukan pembacaan bila campuran
reaksi sudah kering karena sering keliru dengan agutinasi,
7. lakukan interpretasi dan pencatatan hasil (Roback et al, 2011;
Denomme et al, 2014).

Gambar 4.2 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan slide test
(Saluju and Singal, 2014).

64
4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada objek gelas yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan
positif atau sampel dengan D positif.
b. Tidak adanya aglutinasi baik pada objek gelas dengan penambahan
anti-D maupun kontrol, mengindikasikan hasil negatif. Lanjutkan
dengan pemeriksaan Indirect Coomb’s Test (ICT) untuk
mendeteksi adanya weak D karena tidak terdeteksi pada metode
slide test.
c. Jika dijumpai aglutinasi pada kontrol, hasil pemeriksaan pada
anti-D tidak bisa diinterpretasikan positif tanpa melakukan
pemeriksaan lanjutan (Roback et al, 2011; Denomme et al,
2014).

4.6 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus dengan Metode Tube


Test
1. Alat
Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan
golongan darah Rhesus dengan metode tube test adalah tabung reaksi
dan sentrifus (Denomme et al, 2014; Levitt, 2014).

2. Bahan
Sampel untuk pemeriksaan dapat berupa darah beku atau
darah dengan antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara
autologous pada serum, plasma atau salin. Cuci sel darah merah dengan
salin kemudian diresuspensi kembali dalam medium salin (Denomme
et al, 2014; Levitt, 2014).
Reagen yang digunakan dapat berupa reagen monoklonal maupun
poliklonal. Reagen digunakan sesuai dengan instruksi penggunaan dari
perusahaan reagen (Denomme et al, 2014; Levitt, 2014).

3. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode tube test adalah sebagai berikut:

65
a. Teteskan 1 tetes anti-D ke dalam tabung yang bersih dan sudah
diberi label. Penambahan reagen ke dalam tabung dilakukan
sebelum penambahan suspensi sel darah merah dengan tujuan
untuk menghindari adanya hasil yang negatif palsu akibat lupa
menambahkan reagen,
b. tambahkan 1 tetes reagen kontrol pada tabung kedua yang sudah
dilabel,
c. tambahkan masing-masing 1 tetes suspensi sel darah merah 2-
5%,
d. campur dengan lembut dan sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 1 menit atau sesuai dengan rekomendasi dari
perusahaan yang memproduksi reagen,
e. resuspensi dengan lembut endapan sel yang ada pada bagian
bawah tabung untuk melihat ada tidaknya aglutinasi,
f. tentukan derajat reaksi dan lakukan pencatatan hasil (Denomme
et al, 2014; Levitt, 2014).
`
4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada tabung yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol mengindikasikan hasil pemeriksaan
positif atau sampel dengan D positif,
b. Tidak adanya aglutinasi pada tabung dengan anti-D maupun
kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan negatif. Bila sampel
berasal dari pasien, dianggap sebagai Rhesus negatif. Bila sampel
berasal dari donor perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
menentukan ada tidaknya weak D antigen.
c. Aglutinasi positif pada kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan
invalid. Pemeriksaan perlu diulang atau dibutuhkan pemeriksaan
lanjutan untuk membuang IgM atau IgG antibody pada sel darah
merah (Denomme et al, 2014; Levitt, 2014).

66
4.7 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus dengan Metode
Microwell Plate atau Microplate
1. Alat
Alat yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan golongan
darah Rhesus dengan metode microplate antara lain: microplate,
micropipette, microplate centrifuge dan microplate shaker (Denomme
et al, 2014; Levitt, 2014).

2. Bahan
Sampel yang digunakan disesuaikan dengan jenis sampel yang
direkomendasikan oleh perusahaan yang memproduksi reagen. Untuk
pemeriksaan dengan metode microplate otomatis dapat membutuhkan
sampel dengan antikoagulan spesifik (Denomme et al, 2014; Levitt,
2014).

3. Prosedur Pemeriksaan
Adapun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode microplate adalah sebagai berikut:
a. Teteskan 1 tetes reagen anti-D pada sumuran microplate. Jika
dibutuhkan, gunakan bahan kontrol dan teteskan kontrol pada
sumuran kedua dari microplate,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah merah 2-5% yang disuspensi
dalam medium salin,
c. campur dengan baik dengan cara mengyoyangkan microplate
dengan lembut,
d. lakukan sentrifugasi pada microplate centrifuge dengan kecepatan
tertentu sesuai dengan rekomendasi perusahaan pembuat reagen,
e. resuspensi endapan sel darah merah pada bagian bawah tabung
dengan menggoyang microplate secara lembut atau gunakan
microplate shaker.
f. periksa ada tidaknya aglutinasi, lakukan interpretasi dan
pencatatan,
g. untuk meningkatkan reaksi yang lemah, lakukan inkubasi pada
hasil yang negatif pada suhu 37 oC selama 15-30 menit dan ulangi
langkah keempat sampai keenam (Denomme et al, 2014; Levitt,
2014).

67
2. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada sumuran yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol mengindikasikan hasil pemeriksaan
positif atau sampel dengan D positif,
b. Tidak adanya aglutinasi pada sumuran dengan anti-D maupun
kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan negatif. Bila sampel
berasal dari pasien, dianggap sebagai Rhesus negatif. Bila sampel
berasal dari donor perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
menentukan ada tidaknya weak D antigen (Denomme et al, 2014;
Levitt, 2014).

4.8 Weak D atau Du Phenotype


Setelah penentuan antigen A dan B, pemeriksaan serologi untuk
menentukan status antigen D sangat penting dalam praktik transfusi dan
kadang-kadang menjadi masalah yang dapat disebabkan oleh banyak
faktor baik oleh perbedaan motode pemeriksaan, perbedaan reagen
maupun oleh perbedaan kemampuan mengekspresikan antigen D dari
eritrosit sehingga menimbulkan discrepancies hasil pemeriksaan.
Variasi antigen D dapat bersifat lemah (weak D) dan dapat bersifat
partial D. Weak D terjadi karena menurunnya jumlah D antigen site
pada eritrosit tanpa adanya pengurangan jumlah epitop. Partial D terjadi
karena adanya variasi kualitas antigen D, jumlah D antigen site pada
eritrosit tidak berkurang tetapi terdapat pengurangan satu atau lebih
jumlah epitop. Weak D dan partial D penting diidentifikasi pada donor
karena dapat menimbulkan respon imun jika darah donor ditransfusikan
ke pasien Rhesus negatif. Pasien dengan weak D atau partial D masih
aman ditransfusikan darah Rhesus negatif tetapi akan menjadi sangat
penting untuk mengkoreksi golongan darah pasien ketika pasien berubah
status menjadi donor. Pada bank darah umumnya sulit untuk menentukan
apakah golongan darah termasuk weak D atau partial D dan umumnya
semua menggunakan istilah weak D (Saluji and Singal, 2014).
Pada beberapa kasus juga dapat dijumpai eritrosit dengan antigen
D positif, tidak diaglutinasi oleh antisera D namun memberikan hasil
positif pada pemeriksaan Indirect Coombs Test (ICT). Fenomena

68
tersebut dapat disebabkan oleh ekspresi antigen D yang lemah (Du).
Du bukan merupakan antigen yang berbeda, tetapi merupakan ekspresi
yang lemah dari antigen D (Mehdi, 2013).
Ada 2 jenis Du yaitu high grade Du dan low grade Du . High
grade Du dapat menunjukkan aglutinasi dengan penambahan anti-D,
namun sebagain besar low grade Du hanya memberikan hasil positif
pada pemeriksaan ICT (Makroo, 2009).
Terkait dengan kebijakan transfusi, semua donor dengan Du positif
dianggap sebagai Rhesus positif dan transfusi hanya boleh diberikan
pada pasien dengan Rhesus positif. sedangkan semua pasien dengan
Du positif dianggap sebagain Rhesus negatif dan paling aman diberikan
transfusi darah Rhesus negatif (Makroo, 2009; Mehdi, 2013).

4.9 Pemeriksaan weak D (Rhesus Du)


1. Alat
Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan weak
D (Rhesus Du) antara lain: tabung reaksi, inkubator dan sentrifus.

2. Bahan
Bahan pemeriksaan yang digunakan disesuaikan dengan jenis
sampel yang direkomendasikan oleh perusahaan pembuat reagen.
Suspensi sel darah merah yang dibutuhkan adalah 2-5%. Reagen yang
digunakan terdiri dari reagen Anti Human Globulin (AHG) baik yang
polispesifik atau anti-IgG dan IgG-coated control cells (levitt, 2014).

3. Prosedur Pemeriksaan
a. Teteskan 1 tetes reagen anti-D pada tabung yang bersih dan kering
serta lakukan pelabelan pada tabung.
b. Teteskan 1 tetes reagen kontrol pada tabung kedua dan lakukan
pelabelan pada tabung.
c. Pada masing-masing tabung, tambahkan 1 tetes suspensi sel
eritrosit 2-5%.
d. Campur dan inkubasi kedua tabung pada suhu 37 oC selama 15-
30 menit atau disesuaikan dengan rekomendasi dari perusahaan
reagen.

69
e. Jika diperlukan, lakukan sentrifugasi dan baca setelah inkubasi
dengan meresuspensi endapan sel dengan lembut dan lihat ada
tidaknya aglutinasi.
f. Cuci sel darah merah dengan salin sebanyak 3 kali.
g. Tambahkan reagen Anti Human Globulin (AHG) sesuai dengan
petunjuk penggunaan reagen.
h. Campur dengan baik dan lakukan sentrifugasi.
i. Resuspensi dengan lembut dan lakukan pembacaan ada tidaknya
aglutinasi, tentukan derajatnya dan lakukan pencatatan.
j. Tambahkan IgG-coated control cells untuk mengkonfirmasi
validitas hasil yang negatif setelah penambahan reagen AHG.
k. Tidak semua reagen anti-D cocok digunakan untuk pemeriksaan
weak D. Konfirmasi dengan mengecek packed insert reagen
dari perusahaan yang mengeluarkan reagen tentang prosedur
pemeriksaan dan kontrol yang sesuai (Denomme et al, 2014;
Levitt, 2014).

4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada tabung yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada tabung yang ditambahkan kontrol
mengindikasikan sel darah merah dengan D positif. Jadi tidak
dilaporkan sebagai “weak D positive” atau “D negative, weak D
positive” .
b. Tidak adanya aglutinasi pada tabung dengan anti-D maupun
kontrol, menunjukkan hasil pemeriksaan negatif.
c. Jika aglutinasi positif pada kontrol, menunjukkan hasil
pemeriksaan invalid. Pemeriksaan perlu diulang atau dibutuhkan
pemeriksaan lanjutan untuk membuang IgG antibody pada sel
darah merah (Levitt, 2014).

4.10 Discrepancies dan Permasalahan pada Pemeriksaan Golongan


Darah Rhesus
Discrepancy golongan darah Rhesus dapat meningkat bila individu
mempunyai varian antigen D. Varian tersebut dapat diidentifikasi

70
sebagai Rhesus positif atau negatif tergantung jenis reagen dan teknik
yang digunakan pada masing-masing laboratorium. Varian tersebut
mempunyai arti klinis yang sangat penting dan seharusnya diidentifikasi
karena dapat membentuk anti-D bila mendapat transfusi sel darah
merah Rhesus positif. Penggunaan 2 jenis reagen anti-D di bank darah
mungkin belum mampu mengidentifikasi varian D dan juga belum
mampu membedakan antara partial D dan weak D. Identifikasi tersebut
penting untuk menentukan individu sebagai Rhesus positif jika menjadi
donor dan sebagai Rhesus negatif jika menjadi pasien. Pada kasus-
kasus antenatal, sangat penting untuk mengidentifikasi status weak
D atau partial D pada ibu karena berisiko membentuk anti-D setelah
tersensitisasi oleh antigen yang dibawa oleh bayinya. Pemeriksaan
untuk mendeteksi varian D telah berkembang sampai tingkat molekuler
yang bisa dikerjakan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
(Kulkarni, 2015).
Discrepancies dan permasalahan pada pemeriksaan golongan
darah Rhesus dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, antara lain:
a. Proses pencucian eritrosit yang tidak tepat atau tidak adekuat
sehingga menyebabkan terjadinya pseudoaglutinasi oleh sisa
makromolekul serum dalam suspensi sel,
b. adanya autoaglutinin kuat pada serum pasien atau donor yang
menimbulkan aglutinasi. Pencucian yang tepat dan penggunaan
kontrol dapat mencegah dan mendeteksi masalah tersebut,
c. antibodi yang menyelimuti eritrosit dapat menyebabkan hasil
positif palsu, khususnya pada weak D test. DCT akan mendeteksi
kejadian tersebut,
d. reaksi negatif palsu dapat terjadi akibat adanya “blocking
phenomenon”. Hal tersebut terjadi pada sebagian besar kasus
Hemolytic Disease of the Fetus and Newborn (HDFN). Pada
HDFN sel darah merah bayi sudah diselimuti anti-D ibu dengan
kuat sehingga tidak bereaksi dengan reagen yang ditambahkan.
e. hasil positif atau negatif palsu pada pemeriksaan golongan darah
Rhesus dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (Saluji and Singal,
2014).

71
Ada pun resolusi yang bisa dilakukan dari beberapa permasalahan
di atas antara lain:
a. Jika transfusi segera diperlukan dan permasalahn belum teratasi
berikan transfusi Packed Red Cell (PRC) Rhesus negatif,
b. jika hasil pemeriksaan immediate spin invalid, ulangi pemeriksaan
dengan menggunakan suspensi sel baru yang telah dicuci 2 kali
dengan salin hangat,
c. jika hasil pemeriksaan weak D invalid dengan hasil DCT positif,
tambahkan chloroquine atau glycibe-EDTA pada eritrosit pasien
dan ulangi pemeriksaan DCT. Jika DCT negatif, weak D test
dapat di ulang.
d. pasien dengan weak D, hasil reaksi kurang dari +2 dilaporkan
sebagai Rhesus positif. Pasien seharusnya ditransfusi dengan
komponen seluler golongan darah Rhesus negatif,
e. donor dengan weak D, hasil reaksi kurang dari 2+ dilabel sebagai
darah dengan golongan Rhesus positif (Saluji and Singal, 2014).

4.11 Contoh Kasus Terkait Golongan Darah Rhesus


Kasus 1.
Wanita, 23 tahun, warga Negara asing. Datang ke Rumah
Sakit dengan keluhan luka pasca kecelakaan lalu lintas. Dari hasil
pemeriksaan radiologi didapatkan adanya fraktur femur sinistra. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin 5 g/dl. Dokter
merencanakan untuk tindakan operasi dengan penyiapan komponen pack
red cells (PRC) sebanyak 5 kantong. Riwayat pemeriksaan golongan
darah di Negaranya adalah golongan darah A Rhesus positif. Sampel
dan permintaan darah dikirim ke bank darah.
Hasil pemeriksaan golongan darah pertama dengan metode slide
test didapatkan golongan darah A Rhesus negatif. Dilakukan pemeriksaan
golongan darah kedua menggunakan metode tabung didapatkan pasien
dengan golongan darah A Rhesus negatif. Pemeriksaan lanjutan
untuk mendeteksi weak D (Rhesus Du) dilakukan dan didapatkan hasil
1+. Pasien disimpulkan dengan golongan darah A Rhesus positif dan
diberikan transfusi PRC golongan A Rhesus negatif.

72
Pada kasus ini meskipun disimpulkan penderita dengan golongan
darah A Rhesus positif, tetapi transfusi tetap dilakukan dengan PRC
golongan A Rhesus negatif dengan pertimbangan pasien seorang wanita
yang sedang berada pada usia reproduktif dengan kadar hemoglobin <
7 g/dl . Meskipun dijumpai kesulitan untuk menyediakan komponen
PRC Rhesus negatif, tetapi pilihan tersebut dianggap paling aman
untuk kondisi pasien saat itu. Meskipun hasil pemeriksaan weak D
hanya menunjukkan hasil 1+, tetapi hal tersebut mempunyai arti klinis
yang sangat penting karena dapat membentuk anti-D bila mendapat
transfusi sel darah merah Rhesus positif. Pada wanita usia reproduktif,
terbentuknya anti-D dapat menimbulkan masalah baru pada proses
kehamilan (Kulkarni, 2015).

Kasus 2.
Wanita, 27 tahun. Penderita datang ke poli spesialis membawa
surat rujukan dari praktik dokter swasta untuk merencanakan proses
kelahiran bayi. Penderita saat ini sedang hamil pada trimester III dan
menceritakan bahwa golongan darahnya adalah AB Rhesus negatif.
Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, hati disangkal dan
tidak ada keluarga yang bergolongan darah Rhesus negatif. Riwayat
abortus tidak ada, riwayat transfusi darah tidak ada. Suami penderita
memiliki golongan darah O Rhesus positif. Hasil pemeriksaan fisik,
abdomen dengan gravida 37 minggu. Pasien didiagnosis dengan G1P0000
36-37 minggu. Rencana penanganan: pemeriksaan darah lengkap, faal
hemostasis, persiapan transfusi PRC golongan AB Rhesus negatif dan
pro Caesarean Section 2 minggu lagi.
Pada pasien ini, penderita memiliki golongan darah AB Rhesus
negatif dan menikah dengan laki-laki golongan darah O Rhesus positif.
Golongan darah AB merupakan golongan darah yang paling jarang
dalam sistem ABO dan berdasarkan sistem Rhesus, Rhesus negatif
juga merupakan darah langka. Apabila suami dengan Rhesus positif
homozigot, maka anak yang dilahirkan dari pasangan tersebut memiliki
golongan darah Rhesus positif. Ibu Rhesus negatif dengan bayi Rhesus
positif memiliki risiko terjadinya Hemolytic Disease of The Fetus and

73
Newborn (HDFN) karena ibu mengalami sensitisasi membentuk anti-
D setelah terpapar antigen D dari eritrosit janin atau riwayat transfusi
Rhesus positif (Provan et al, 2004).
Rh immune globulin (RhIG) mulai dikembangkan pada awal tahun
1960 dan mendapat ijin beredar pada 1968 (Provan et al, 2004). Sejak
diperkenalkan RhIG angka kejadian Hemolytic Disease of The Fetus and
Newborn (HDFN) yang disebabkan oleh anti-D menurun secara draktis.
Sebelum penggunaan RhIG, 13% wanita Rhesus negatif tersensitisasi
setelah kehamilan. Pemberian RhIG secara rutin menurunkan sensitisasi
menjadi 11 per 10.000 kelahiran dengan kejadian HDFN yang berat
kurang dari 1 per 20.000 kelahiran (Blaney and Howard, 2013).
RhIG dibuat dari pool plasma manusia dan tersedia dalam
sediaan intravena atau intramuskuler. RhIG akan menekan respon imun
setelah terpapar antigen D dari eritrosit fetus dan mencegah ibu untuk
memproduksi anti-D. Mekanisme penekanan respon imun tidak jelas,
kemungkinan terjadi eleminasi sel yang mengandung antigen D oleh
makrofag dengan mengeluarkan sejumlah sitokin yang menekan respon
imun (Blaney and Howard, 2013).
Untuk mencegah HDFN, skrining yang dilakukan pada ibu hamil
adalah sebagai berikut:
a. Melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rh D
group saat antenatal care (ANC) pertama. Pada ibu Rhesus negatif,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan anti-D untuk mengetahui
kemungkinan terjadi HDFN.
b. Apabila antibodi belum terbentuk pada ANC pertama, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ulang pada umur kehamilan 28-30
minggu.
c. Apabila antibodi sudah terbentuk pada ANC pertama, titer
antibodi harus sering dimonitor (WHO, 2002).
Titer antibodi sangat membantu dalam menentukan tindakan
yang harus dilakukan seperti menentukan waktu untuk melakukan
prosedur amniosintesis, ultrasound, color doppler ultrasonography dan
cordocentesis. Titer antibodi awal harus dicatat dan sampel dibekukan
untuk tes selanjutnya. Titer antibodi sebaiknya diperiksa serial dengan

74
interval 4-6 minggu. Peningkatan titer dua kali atau lebih besar dianggap
signifikan memberikan perubahan pada kondisi fetus (Blaney and
Howard, 2013).
Ada pun teknik pemeriksaan titer antibodi Rhesus adalah sebagai
berikut:

1. Prinsip
Metode semikuantitatif yang digunakan untuk menentukan titer
antibodi pada sampel serum dan direaksikan dengan sampel eritrosit
yang mampu mengekspresikan antigen yang sesuai dengan antibodi
yang diperiksa (Roback et al, 2011).

2. Sampel
Serum atau plasma yang mengandung antibodi yang akan dititrasi
(Roback et al, 2011).

3. Reagen
a. Suspensi eritrosit yang mengekspresikan antigen, tersuspensi
dalam larutan salin 2-5%.
b. Larutan salin (Roback et al, 2011).

4. Prosedur pemeriksaan titer antibodi Rhesus


a. Label 10 tabung reaksi untuk melakukan pengenceran serum
secara serial.
b. Tambahkan 2 volume serum pada tabung pertama.
c. Tambahkan 1 volume salin pada tabung kedua sampai tabung
kesepuluh.
d. Pindahkan 1 volume serum pada tabung kedua sehingga volume
serum sama dengan volume salin (pengenceran 1:2) dan campur
dengan baik.
e. Pindahkan sebagian campuran pada tabung kedua ke tabung
ketiga sehingga diperoleh titer 1:4, demikian seterusnya sampai
mendapat pengenceran dengan titer 1:512.
f. Ganti pipet dan gunakan pipet yang bersih pada setiap pencampuran
atau pemindahan larutan.

75
g. Buang 1 volume pengeceran serum dari tabung terakhir atau
simpan jika diperlukan pengenceran lebih lanjut.

Gambar 4.3 Pengenceran serum secara serial dengan larutan salin (Blaney and
Howard, 2013).

h. Label 10 tabung reaksi.


i. Gunakan pipet terpisah pada masing-masing pengenceran untuk
memindahkan 2 tetes pengenceran pada masing-masing tabung
yang telah dilabel.
j. Tambahkan 2 tetes supensi sel 2% ke dalam masing-masing
tabung yang telah berisi serum yang diencerkan.
k. Campur dengan baik dan baca reaksi secara makroskopis (Roback
et al, 2011).

3. Interpretasi
Titer dinyatakan sesuai dengan hasil 1+ pada pengenceran
tertinggi (Roback et al, 2011).

76
Tabel 4.1 Contoh pembacaan titer antibodi Rhesus (Roback et al,
2011).
Pengenceran Serum
  1 2 4 8 16 32 64 128 256 512 Titer Skor
Sampel 1 Derajat aglutinasi 3+ 3+ 3+ 2+ 2+ 1+ 1+ ± ± 0 64 (256)  
  Skor 10 10 10 8 8 8 5 3 2 0   64
Sampel 2 Derajat aglutinasi 4+ 4+ 4+ 3+ 3+ 2+ 2+ 1+ ± 0 128(256)  
  Skor 12 12 12 10 10 8 8 5 3 0   80
Sampel 3 Derajat aglutinasi 1+ 1+ 1+ 1+ ± ± ± ± ± 0 8 (256)  
  Skor 5 5 5 5 3 3 3 2 2 0   33

Tabel 4.2 Derajat dan skor aglutinasi (Roback et al, 2011).


Pembacaan secara makroskopis Derajat aglutinasi Skor
Satu aglutinate besar 4+ 12
Beberapa aglutinate besar 3+ 10
Aglutinate dengan ukuran sedang dan latar belakang jernih 2+ 8
Alutinate kecil-kecil dengan latar belakang keruh 1+ 5
Alutinate sangat kecil-kecil dengan latar belakang keruh 1+w 4
Hampir tidak terlihat agglutinate, latar belakang keruh w+ atau +/- 2
Tidak ada aglutinasi 0 0
Sebagain beraglutinasi sebagian tidak beraglutinasi mf
Hemolisis komplit H
Partial hemolysis PH

Saat ini beberapa negara merekomendasikan bahwa semua ibu


hamil golongan darah Rhesus negatif sebaiknya mendapatkan RhIG
propilaksis. Ada 2 pilihan dosis intramuskular yang bisa diberikan
dan keduanya memiliki efektivitas yang sama dalam mencegah HDFN
yaitu:
a. Dosis 500 mg pada umur kehamilan 28 dan 34 minggu,
b. dosis tunggal 1.200 mg pada awal trimester ketiga (WHO,
2002).
Pemberian RhIG postpartum prophylaxis diberikan dengan dosis
sebagai berikut:
a. Dosis 500 mg intramuskular dalam waktu 72 jam pasca melahirkan,
pemberian dosis tersebut memberi proteksi sekitar 4 mL terhadap
eritrosit fetus yang masuk dalam sirkulasi ibu.

77
b. Dosis 125 mg/1,0 mL jika darah fetus yang masuk dalam sirkulasi
ibu lebih dari 4 mL (WHO, 2002).
Kombinasi pemberian RhIG antepartum dan pospartum efektif
menurunkan risiko sensitisasi sebesar 0,1%. Pada sebuah penelitian
klinis menemukan bahwa semua wanita golongan darah Rhesus negatif
tidak mengalami sensitisasi setelah mengandung janin Rhesus positif
dan mendapatkan suntikan RhIG pada umur kehamilan 28 minggu dan
setelah melahirkan (Callum and Barrett, 2007).
Pada pasien ini antibodi Rhesus belum terbentuk, penderita
mengatakan bahwa titer antibodi sudah pernah diperiksa. Pemberian
RhIG propilaksis pada saat antenatal sudah dilakukan satu kali pada
umur kehamilan 28 minggu dan diulang postpartum sebelum 72 jam
namun pasien tidak bisa menjelaskan dosis yang diberikan.
Berdasarkan National Institute for Health and Clinical Excellence
Guideline, wanita hamil hanya dengan Rhesus negatif dan mengandung
bayi Rhesus positif tidak masuk dalam indikasi persalinan Caesarean
section (CS) berencana. Persalinan CS berencana dapat dilakukan pada
kondisi berikut:
1. Placenta previa,
2. morbidly adherent placenta,
3. wanita dengan cephalopelvic disproportion,
4. wanita hamil terinfeksi HIV yang belum mendapat anti retro viral
(ARV) dan yang sudah mendapat ARV namun viral load ≥ 400
kopi/ml.
5. wanita hamil dengan infeksi hepatitis C dan HIV secara bersamaan,
sebaiknya dilakukan tindakan CS berencana untuk menurunkan
risiko penularan hepatitis C dan HIV dari ibu ke anak.
6. wanita hamil dengan primary genital herpes simplex virus (HSV)
infection yang terjadi pada trimester ketiga sebaiknya dilakukan
tindakan CS berencana untuk menurunkan risiko infeksi HSV
pada neonatus.
Waktu yang baik untuk melakukan tindakan Caesarean section
adalah pada umur kehamilan 39 minggu ke atas. Pada umur kehamilan
tersebut risiko kematian akibat gangguan pernafasan signifikan

78
mengalami penurunan (National Institute for Health and Clinical
Excellence, 2011).
Pada keadaan normal, kehilangan darah selama proses persalinan
hanya 200 mL pada persalinan pervagina dan 500 mL pada persalinan
CS. Kehilangan darah pada volume tersebut sangat jarang membutuhkan
transfusi apabila kadar hemoglobin ibu sebelum melahirkan berada
pada rentang 10.0-11.0 g/dl. Pemeriksaan lanjutan dibutuhkan jika
kadar hemoglobin tidak kembali normal dalam waktu 8 minggu pasca
persalinan (WHO, 2002).
Pada pasien ini indikasi persalinan CS tidak ada, tetapi proses
persalinan dilakukan dengan tindakan elective Caesarean Section (atas
permintaan pasien dan keluarga) pada umur kehamilan 39 minggu.
Meskipun indikasi transfusi tidak ada (kadar hemoglobin masih di
atas 10 mg/dL dan faal hemostasis dalam batas normal), keluarga dan
dokter tetap minta agar disiapkan darah AB Rhesus negatif. Persiapan
telah dilakukan seminggu sebelumnya dengan cara mencari nama,
alamat, nomor telp donor pada daftar donor langka dan memanggil
donor tersebut untuk mendonorkan darahnya. Sampai akhir rawat inap,
tindakan transfusi tidak dilakukan karena perdarahan selama operasi
minimal dan darah yang sudah disiapkan diberikan pasien lain yang
bergolongan darah AB Rhesus positif.

79
Daftar Pustaka

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Rhesus Blood Group System. Basic &
Applied Conceppts of Blood Banking and Transfusion Practices
Third Edition. United States: Elsevier Mosby p. 107-121.
Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Blood Componet Preparation and
Therapy. Basic & Applied Conceppts of Blood Banking and
Transfusion Practices Third Edition. United States: Elsevier
Mosby p. 304-328.
Denomme, G., Westhoff, C. M. 2014. The Rh system. In: Fung M,
Grossman BJ, Hillyer CD, Westhoff CM, eds. Technical manual,
18th edition. Bethesda, MD: AABB. p. 317-36.
Callum, J., Barret, J., 2007. Obstetric and Intrauterin Transfusion. Blood
Banking and Transfusion Medicine Basic Principle & Practice
Second Edition. USA: Churchill Livingstone Elsevier. p.496-
509.
Johnson, S. T., Wiler, M. 2012. The Rh Blood Group System. Blood
Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking &
Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 148-169.
Kulkarni, S. 2015. Molecular Genotyping and its Applications
toTransfusion Medicine. Transfusion Update. Indian Society
of Blood Transfusion and Immunohaematology (ISBTI). New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p.290-295.
National Institute for Health and Clinical Excellence, 2011. Caesarean
section. NICE clinical guideline 132. Manchester. p.1-57.
Levitt, J. 2014. Standards for blood banks and transfusion services. 29th
ed. AABB. Bethesda. p.31-46.
Makroo, R.N. 2009. The Rh Blood Group System. Practice of Safe
Blood Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New
Delhi: Kongposh. p. 66-79.
Mehdi, S.R. 2013. Rhesus Blood Group System. Essentials of Blood
Banking A Handbook for Students of Blood Banking and Clinical

80
Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. p.18-24.
Provan, D., Singer, C.R.J., Baglin, T., Lilleyman, J. 2004. Haemolytic
disease of the newborn. Oxford Handbook of Clinical Haematology
Second edition. Oxford New York: Oxford University Press. p.
440-44.
Roback, J.D., Grossman, B.J., Harris, T. 2011. Technical Manual 17th
Edition. USA: American Association of Blood Bank. p. 885-
888.
Roback, J.D., Grossman, B.J., Harris, T., Hillyer, C.D., 2011. Antibody
Detection, Identification,and Compatibility Testing. Technical
Manual 17th Editions. USA: American Association of Blood
Bank. p. 907-909.
Saluju, G. P., Singal, G. L. 2014. Rh Blood Grouping. Standard
Operating Procedures and Regulatory Guidelines Blood Banking.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 77-86.
WHO, 2002. Obstetric. The Clinical Use of Blood Handbook. World
Health Organization Blood Transfusion Safety. Genewa:WHO.
p. 120-135.

81
BAB V
UJI COCOK SERASI (CROSSMATCHING)

5.1 Definisi
Uji cocok serasi atau yang lebih sering disebut crossmacthing
memiliki beberapa sinonim antara lain uji silang serasi atau uji
kompatibilitas. Crossmacthing dilambangkan dengan XM. Istilah uji
kompatibilitas sebenarnya kurang tepat apabila disamakan dengan
crossmacthing. Crossmacthing dan uji kompatibilitas memang identik,
tetapi memiliki pengertian yang berbeda. Crossmacthing adalah suatu
prosedur untuk mereaksisilangkan komponen darah donor dan pasien.
Uji kompatibilitas adalah semua tahapan yang harus dilakukan sehingga
diperoleh darah donor yang benar-benar tepat untuk pasien. Uji
kompatibilitas meliputi: identifikasi pasien dengan akurat, pengambilan
sampel darah pasien diikuti dengan pelabelan dan penanganan sampel
yang benar, mereview riwayat pemberian transfusi sebelumnya,
melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rhesus,
melakukan skrining dan identifikasi antibodi, melakukan crossmatching,
mengecek ketepatan dan kelayakan distribusi produk darah, melakukan
reindentifikasi pasien sebelum transfusi, dan memonitoring pasien
sebelum, selama dan setelah pemberian transfusi (Blaney and Howard,
2013). Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa uji kompatibilitas
memiliki cakupan yang jauh lebih luas dan crossmatching merupakan
bagian dari uji kompatibilitas (Makroo, 2009).
Berdasarkan standar dari American Association of Blood Bank
(AABB), crossmatching didefinisikan sebagai suatu pemeriksaan yang
menggunakan metode yang mampu menunjukkan inkompatibilitas
sistem ABO dan adanya antibodi signifikan terhadap antigen eritrosit
dan juga menyertakan pemeriksaan antiglobulin. Kecuali tidak tersedia
fasilitas, jika tidak ada antibodi yang signifikan pada sampel pasien yang
baru atau riwayat pemeriksaan sebelumnya, immediate spin crossmatch

82
dapat digunakan untuk mendeteksi inkompatibilitas ABO (Blaney and
Howard, 2013).

5.2 Tujuan Uji Cocok Serasi (Crossmatching)


Tujuan utama crossmatching adalah untuk mencegah terjadinya
reaksi transfusi baik reaksi transfusi yang bersifat mengancam nyawa
maupun reaksi transfusi ringan atau sedang yang dapat mengganggu
kenyamanan pasien. Tujuan yang tidak kalah penting lainnya adalah
memaksimalkan masa hidup in vivo sel-sel darah yang ditransfusikan
(Blaney and Howard, 2013).
Crossmatching dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak ada
antibodi di dalam serum pasien yang akan bereaksi dengan sel darah
donor jika transfusi dilakukan. Dua fungsi utama crossmatching adalah
1. untuk pengecekkan terakhir bahwa golongan darah ABO antara
donor dan pasien sudah sesuai,
2. untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi dalam serum pasien
yang akan bereaksi dengan antigen pada sel darah merah donor
terutama pada kondisi antibodi tidak terdeteksi dengan skrining
antibodi karena tidak adanya antigen yang sesuai pada panel sel
skrining (Makroo, 2009).
Berdasarkan jenis komponen darah pasien dan donor yang direaksikan,
crossmatching memiliki dua tujuan, yaitu:
1. mendeteksi adanya antibodi dalam serum pasien (termasuk anti-A
& anti-B) yang dapat menghancurkan eritrosit yg ditransfusikan,
2. mendeteksi antibodi dalam serum donor yang akan masuk ke
dalam tubuh pasien.
Kedua tujuan di atas berkaitan dengan jenis crossmatch mayor
dan minor yang akan dibahas lebih lanjut pada bahasan berikutnya
(Blaney and Howard, 2013).

5.3 Jenis-jenis Uji Cocok Serasi (Crossmatching)


Crossmatching dapat dilakukan secara serologik dan elektronik
atau komputerisasi. Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia,
jenis pemeriksaan crossmatch baru bisa dilakukan secara serologik.

83
Serologic crossmatch dibedakan menjadi immediate-spin crossmatch
dan antiglobulin crossmatch. Antiglobulin crossmatch dapat dilakukan
dengan cara tube test maupun column agglutination. Berikut akan
dibahas satu persatu jenis pemeriksaan crossmatch.

5.4 Immediate-Spin (IS) Crossmatch


Immediate-spin crossmatch sangat baik untuk mengeksklusi
adanya kesalahan golongan darah ABO, tetapi kurang adekuat untuk
mendeteksi jenis IgG antibodi yang bermakna secara klinis. Immediate-
spin crossmatch juga kurang baik khususnya bila skrining antibodi tidak
dilakukan sebelumnya (Makroo, 2009).

1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip dari pemeriksaan immediate-spin crossmatch adalah
reaksi antara antigen dan antibodi yang sesuai menghasilkan aglutinasi.

2. Metode Pemeriksaan
Immediate-spine crossmatch umumnya dilakukan dengan metode
tube test.

3. Alat dan Bahan


Peralatan yang dibutuhkan antara lain: tabung reaksi, sentrifus,
dan pipet tetes. Bahan yang dibutuhkan adalah sel darah merah donor,
serum atau plasma pasien. Sampel donor diambil langsung dari kantong
darah atau salah satu segmen dari selang yang terhubung dengan kantong
darah. Nomor kantong darah harus selalu dicatat untuk melakukan
identifikasi dengan benar (Mehdi, 2013).

4. Prosedur pemeriksaan
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan immediate-spin
crossmatch.

84
Gambar 5.1 Prosedur pemeriksaan IS dengan motode tube test (Powell, 2016).

Ada pun tahapan pemeriksaan immediate-spine crossmatch


adalah sebagai berikut:
a. Siapkan suspensi sel darah merah donor 2-5% yang disuspensi
dalam larutan normal salin atau Ethylene Diamine Tetraacetic
Acid (EDTA) salin. Beberapa ahli serologi menggunakan sampel
serum yang direaksikan dengan sel darah merah donor yang
disuspensi dalam larutan EDTA salin karena titer anti-A atau
anti-B yang tinggi dapat menginisiasi pelapisan komplemen
sehingga menghalangi aglutinasi. Penggunaan sampel pasien
yang ditampung dalam tabung EDTA dapat digunakan sebagai
alternatif untuk mencegah fenomena tersebut,
b. label tabung untuk masing-masing suspensi sel darah merah donor
yang akan dites dengan serum pasien,
c. tambahkan 2 tetes serum atau plasma pasien ke dalam masing-
masing tabung,
d. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah merah donor pada tabung
sesuai dengan label,
e. campur isi tabung dan lakukan sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 1 menit,
f. baca ada tidakya hemolisis, resuspensi endapan eritrosit pada
bagian bawah tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
g. lakukan interpretasi dan catat hasil pemeriksaan (Levitt, 2014;
Downes, 2014).

85
5. Interpretasi Hasil Immediate-Spine Crossmatch
Adanya aglutinasi atau hemolisis mengindikasikan hasil positif
(inkompatibel). Hasil negatif ditunjukkan oleh suspensi halus sel-sel
eritrosit setelah dilakukan resuspensi eritrosit yang mengendap pada
bagian bawah tabung atau tidak adanya aglutinasi atau hemolisis. Hasil
yang negatif juga disebut kompatibel (Levitt, 2014; Downes, 2014).

5.5 Crossmacthing dengan Tube Test


Crossmacthing dengan tes tabung dapat dikerjakan untuk
crossmatch mayor maupun crossmatch minor. Crossmatch mayor
adalah reaksi antara sel darah merah donor dengan serum atau plasma
pasien, sedangkan crossmatch minor adalah reaksi antara sel darah
merah pasien dengan plasma donor. Di Negara-negara yang sudah maju,
crossmatch minor sudah tidak dikerjakan lagi karena sampel darah
donor sudah dilakukan skrining antibodi sebelumnya untuk mendeteksi
adanya antibodi ireguler (Makroo, 2009). Di Indonesia, crossmatch
minor masih dikerjakan secara rutin hampir disemua unit Bank Darah
Rumah Sakit (BDRS) atau Unit Transfusi Darah (UTD).

1. Prosedur pemeriksaan crossmatch mayor dan minor


Pada setiap pemeriksaan crossmatch mayor dan minor selalu
sertakan autokontrol. Pemeriksaan tersebut terdiri dari 3 fase, yaitu:
Fase I. Medium salin (salin room temperature technique)
a. Siapkan tiga buah tabung gelas yang bersih dan kering, masing-
masing tabung berisi komponen berikut:
• tabung I (crossmatch mayor): 2 tetes serum pasien + 1 tetes
suspensi sel donor 2-5%,
• tabung II(crossmatch minor): 2 tetes plasma donor + 1 tetes
suspensi sel pasien 2-5%,
• tabung III (autokontrol): 2 tetes serum pasien + 1 tetes
suspensi sel pasien 2-5%
b. Campur masing-masing tabung dan inkubasi selama 45-60
menit.
c. Lakukan sentrifugasi selama satu menit pada kecepatan 1000
rpm.

86
d. Amati adanya aglutinasi atau hemolisis pada tabung.
e. Jika terjadi hemolisis atau aglutinasi pada semua atau salah
satu tabung pada tahap ini, maka hasil croosmatch dinyatakan
tidak cocok atau incompatible dan fase berikutnya tidak perlu
dilanjutkan. Bila reaksi negatif atau kompatibel, lanjutkan ke fase
II (Mehdi, 2013).
Fase II. Fase albumin
a. Tambahkan 2 tetes bovin albumin 22% ke dalam semua tabung
pada fase I yang memberikan hasil negatif.
b. Inkubasi semua tabung pada suhu 37 oC selama 30 menit.
c. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1
menit.
d. Baca ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi (Mehdi, 2013).
Hemolisis atau aglutinasi pada semua atau salah satu tabung
menandakan hasil positif atau inkompatibel dan pemeriksaan tidak
perlu dilanjutkan ke fase III. Apabila hasil negatif pada semua tabung,
lanjutkan ke fase III.
Fase III. Fase Anti Human Globulin (AHG) atau fase Indirect
Antiglobulin Test (IAT)
a. Cuci sel sebanyak 3 kali dengan menggunakan salin pada semua
tabung yang memberikan hasil negatif pada fase II.
b. Buang seluruh supernatan bekas pencucian.
c. Tambahkan 2 tetes reagen AHG.
d. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1
menit.
e. Resuspensi dengan lembut endapan sel pada bagian bawah
tabung.
f. Lihat dan catat ada tidaknya aglutinasi (Mehdi, 2013).
Bila aglutinasi atau hemolisis positif hasil crossmath dinyatakan
inkompatibel. Bila aglutinasi atau hemolisis negatif pada semua
tabung, hasil dinyatakan negatif atau kompatibel dan lanjutkan
dengan penambahan coombs control cells (CCC) sebanyak 1 tetes dan
dilanjutkan dengan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm. Penambahan CCC akan memberikan hasil positif pada semua

87
hasil negatif yang menunjukkan hasil pemeriksaan valid. Bila dengan
penambahan CCC reaksi tetap negatif, maka pemeriksaan dinyatakan
invalid dan harus dilakukan pengulangan (Depkes RI, 2008).
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan crossmatch fase
III.

Reagen AHG

Gambar 5.2 Prosedur pemeriksaan croosmatch fase III (Powell, 2016).

5.6 Crossmacthing dengan Column Agglutination Test


Saat ini metode column agglutination test atau yang lebih umum
disebut gel test telah digunakan secara luas menggantikan metode manual
atau tube test. Metode gel test memiliki banyak kelebihan dibandingkan
metode tabung. Selain menghemat waktu pemeriksaan, prosedur tes
juga lebih sederhana dan pembacaan hasil lebih mudah dilakukan. Tidak
ada proses pencucian dan penambahan CCC. Berikut akan dibahas salah
satu prosedur pemeriksaan gel test yang banyak digunakan.

88
1. Prinsip pemeriksaan

Positif kuat

Positif lemah Negatif

Gambar 5.3 Prinsip pemeriksaan crossmatch metode column agglutination test


(Walker and Harmening, 2012).

Sejumlah volume suspensi sel darah merah dan serum atau


plasma dari donor dan pasien dimasukkan ke dalam microtube diikuti
oleh proses inkubasi dan sentrifugasi. Tahap inkubasi akan memberi
kesempatan antigen pada permukaan sel darah merah berikatan dengan
antibodi pada serum atau plasma sehingga membentuk aglutinasi. Pada
tahap sentrifugasi, sel yang beraglutinasi kuat akan tertangkap pada
bagian atas matrik gel sedangkan sel yang beraglutinasi lemah akan
pindah ke bagian bawah matrik gel. Bila aglutinasi tidak terjadi maka
semua sel akan mengendap ke bagian bawah matrik gel (McCullough,
2012; Walker and Harmening, 2012 ).

2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan
crossmatch dengan metode gel, antara lain:
a. micropipet volume 5 µL,
b. dispenser 500 µL,
c. tabung reaksi ukuran 12x75 mm dengan raknya,
d. sentrifus yang sesuai dengan ukuran plastic card
e. inkubator dengan suhu 37 oC yang sesuai dengan ukuran plastic
card

89
Gambar 5.4 Sentrifus dan inkubator yang sesuai dengan ukuran plastic card
(Walker and Harmening, 2012).

Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah sampel darah pasien


maupun donor, Low Ionic Strength Solution (LISS), plastic card yang
terdiri atas 6 microtube yang mengandung gel di dalamnya.

3. Prosedur pemeriksaan
a. Siapkan 2 buah tabung ukuran 12x75 mm dan berikan label.
b. Tabung pertama diisi 5 µL sel darah merah donor dan ditambahkan
500 µL LISS.
c. Tabung kedua 5 µL sel darah merah pasien dan tambahkan 500
µL LISS.
d. Beri label pada plastic card (identitas pasien dan nomor donor)
serta berikan tanda pada microtube mana reaksi mayor, minor dan
autokontrol.
e. Suspensi sel dari tabung 1 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (mayor).
f. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan plasma donor sebanyak 25
µL (minor).
g. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (autokontrol).

90
Gambar 5.5 Prosedur pemipetan sampel pada microtube
(Walker and Harmening, 2012).

h. Sampel dimasukkan ke dalam microtube dengan posisi miring.


Suspensi sel darah merah dan serum atau plasma dimasukkan
tepat pada reaction chamber dalam microtube.
i. Plastic card diinkubasi pada suhu 37 oC selama 15 menit
j. Plastic card disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
1000 rpm.
k. Baca dan catat hasil reaksi yang terjadi.

91
4. Interpretasi hasil

Agglutinated cells form a cell Agglutinated cells disperse


layer at the top of the gel media. throughout the gel media and may
concentrated toward the bottom of
the microtube.

Agglutinated cells begins to All cells pass through the gel


disperse into gel media and are media and form a cell buttom at
concentrated near the top of the the bottom of the microtube.
microtube.

Agglutinated cells disperse into Aglutinated cells form a layer


the gel media and are observed at the top of the gel media.
throughout the length of the Unagglunated cells pass to the
microtube. bottom of the microtube.

Gambar 5.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan crossmatch dengan metode column
agglutination test (Walker and Harmening, 2012).

92
Derajat aglutinasi pada gel tes dinilai dari 1+ sampai 4+ dan
reaksi mixed-field. Aglutinasi 4+ ditandai oleh mengelompoknya
seluruh sel darah merah pada permukaan microtube dan tidak ada
eritrosit disepanjang microtube atau di bagian bawahnya. Reaksi 3+
ditunjukkan oleh sebagian besar sel darah merah berada pada permukaan
gel dan beberapa mulai turun ke bagian bawah gel. Reaksi 2+, eritrosit
terdistribusi disepanjang microtube. Reaksi 1+, mayoritas eritrosit
mengendap pada dasar gel dan sebagian kecil naik ke bagian atas gel.
Pada reaksi negatif seluruh eritrosit berada pada bagian bawah gel. Pada
reaksi yang mixed field, sebagian eritrosit ada dipermukaan gel dan
sebagian mengendap pada dasar gel. Eritrosit yang ada dipermukaan
gel adalah eritrosit yang mengalami aglutinasi, sedangkan eritrosit yang
mengendap di dasar gel adalah eritrosit yang tidak mengalami aglutinasi
(Walker and Harmening, 2012).

5.7 Computer (Electronic) Crossmatch


Evolusi terkini dalam tahapan compatibility testing untuk
mengkonfirmasi kompatibilitas ABO dengan metode lain selain
pemeriksaan laboratorium adalah menggunakan computer crossmatch.
Pada computer crossmatch, data hasil pemeriksaan laboratorium pasien
dan donor telah tersimpan dalam komputer. Beberapa opini tentang
computer crossmatch menyatakan bahwa computer crossmatch sama
amannya dengan immediated spin test untuk mendeteksi inkompatibilitas
ABO. Pendapat lain menyatakan bahwa computer crossmatch lebih aman
dari immediated spin karena adanya integritas dari software komputer
untuk mendeteksi inkompatibilitas ABO antara sampel pasien dan
donor. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa angka kegagalan dari
penggunaan computer crossmatch ini adalah 1: 257.400, artinya dari
257.400 unit darah yang dicrossmatch hanya 1 unit yang menimbulkan
kesalahan transfusi (McCullough, 2017).
Computer crossmatch menggunakan komputer untuk pengecekan
terakhir ada tidaknya inkompatibilitas ABO dan menseleksi unit darah
yang sesuai untuk ditransfusikan pada pasien. Program komputer harus
mampu memberikan peringatan apakah pasien layak atau tidak dilakukan
computer crossmatch (Blaney and Howard, 2013).

93
Beberapa keuntungan dari computer crossmatch antara lain
menghemat waktu dan biaya pemeriksaan, mengurangi kebutuhan
sampel, mengurangi kontak dengan bahan biologis, dan mengurangi hasil
positif palsu (Zundel, 2012; Downes and Shulman, 2014). Keuntungan
lain dari computer crossmatch adalah signifikan mengurangi volume
sampah medis dan beban kerja laboratorium serta sangat potensial
dilakukan secara sentralisasi di Unit Transfusi Darah (UTD) (Blaney
and Howard, 2013; Klein and Anstee, 2014).
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan
computer crossmatch, antara lain:
a. Komputer harus divalidasi pada saat akan digunakan dan harus
ada jaminan bahwa inkompatibilitas sistem ABO terdeteksi
sehingga darah yang inkompatibel tidak sampai keluar,
b. sistem golongan darah ABO sudah ditentukan dengan sampel yang
benar, sesuai dengan identitas pasien dan juga sudah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan pada sampel kedua atau konfirmasi dengan
data sebelumnya (data hasil pemeriksaan pasien sebelumnya
mudah diakses dan datanya valid) atau golongan darah ABO
sudah diperiksa oleh 2 analis atau 2 sampel harus dikumpulkan
dalam waktu yang berbeda,
c. komputer harus berisi data golongan darah ABO, Rhesus, dan
hasil pemeriksaan skrining antibodi pasien,
d. sistem komputer harus mencantumkan informasi donor yang
meliputi: jenis produk darah, nomor donor, golongan darah ABO
dan Rhesus serta hasil pemeriksaan konfirmasi golongan darah,
e. sistem komputer harus dilengkapi metode untuk memverifikasi
ketepatan data yang dimasukkan sebelum produk darah
dikeluarkan,
f. komputer dilengkapi dengan sistem alarm atau peringatan bila
terdapat inkompatibilitas antara donor dan pasien dan antara label
unit darah dan pemeriksaan konfirmasi ABO (McClelland, 2007;
Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).

94
5.8 Crossmatching pada Kondisi Khusus
1. Crossmatching pada darah autologous
Darah autologous adalah darah yang didonorkan oleh pasien
untuk digunakan sendiri di kemudian hari, umumnya dilakukan pada
kasus-kasus pembedahan berencana. Pada kondisi ini, dibutuhkan
prosedur untuk meyakinkan bahwa produk darah diberikan pada pasien
yang tepat. Jenis uji pratransfusi yang dilakukan bervariasi tergantung
fasilitas yang ada. Sistem yang ada juga harus mampu meyakinkan
bahwa darah autologous ditransfusikan sebelum darah dari donor lain
masuk ke dalam tubuh pasien. Pelacakan melalui komputer dapat
membantu mempermudah tahapan ini, tetapi juga harus bisa dilakukan
secara manual bila dibutuhkan (Blaney and Howard, 2013).
Unit yang mengkoleksi darah pasien diharuskan untuk melakukan
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus. Unit darah harus
dilabel “hanya untuk penggunaan autologous”. Pemeriksaan terhadap
unexpected antibodies dan crossmatching pada transfusi autologous
bersifat opsional (Zundel, 2012).

2. Crossmatching pada bayi berusia < 4 bulan


Bayi berusia kurang dari 4 bulan, belum mampu memproduksi
antibodi dengan baik. Antibodi yang terdeteksi dalam sirkulasi
umumnya berasal dari antibodi ibu. Umur 4-6 bulan, bayi mulai mampu
memproduksi antibodi dengan baik.
Uji pratransfusi awal pada bayi harus menyertakan pemeriksaan
golongan darah ABO dan Rhesus. Karena antibodi ABO belum terbentuk
sempurna, pemeriksaan serum grouping untuk sistem ABO tidak perlu
dilakukan. Skrining antibodi perlu dilakukan baik terhadap sampel darah
ibu maupun bayi. Jika antibodi yang bermakna secara klinis ditemukan,
maka transfusi membutuhkan komponen darah dengan kandungan
antigen negatif (Blaney and Howard, 2013).

3. Crossmatching pada komponen noneritrosit


Uji pratransfusi untuk komponen plasma sebenarnya tidak rutin
dibutuhkan, tetapi untuk transfusi dengan volume plasma yang besar,

95
crossmatching antara plasma donor dan eritrosit pasien dapat dilakukan,
meskipun standar terkini tidak mengharuskan untuk dilakukan
crossmatching. Tujuan utama dari pemeriksaan tersebut adalah untuk
mendeteksi inkompatibilitas ABO antara donor dan pasien, dalam hal
ini immediate spin crossmatch cukup untuk dilakukan (Stoe, 2011;
Zundel, 2012).

5.9 Penyebab dan Penanganan Inkompatibilitas pada Hasil


Crossmatching
Hasil crossmatcing yang dianggap aman untuk pasien dan transfusi
bisa dilakukan adalah mayor, minor dan autokontrol semuanya negatif.
Pada kondisi tersebut, darah donor dinyatakan kompatibel dengan
darah pasien. Bila hasil crossmatcing salah satu atau lebih dari satu atau
semuanya positif, darah donor dinyatakan inkompatibel dengan pasien.
Tujuan utama dari crossmatcing adalah mendeteksi adanya
antibodi dalam serum pasien, termasuk anti-A dan anti-B yang dapat
menghancurkan eritrosit donor. Hasil crossmatching yang positif
membutuhkan penjelasan dan pasien seharusnya tidak ditransfusi
sampai penyebab inkompatibilitas dapat ditentukan. Secara garis besar,
penyebab inkompatibilitas pada hasil crossmatching ada 3, yaitu masalah
klerikal, masalah teknis dan masalah pada kondisi pasien atau donor.
Beberapa penyebab hasil positif pada crossmatch mayor antara lain:
1. Kesalahan golongan darah ABO pada pasien atau donor.
Pada kondisi ini, pemeriksaan golongan darah harus segera
diulang, khususnya jika hasil menunjukkan reaksi kuat dan
dijumpai setelah immediate spin. Pengulangan pemeriksaan
dilakukan menggunakan sampel pasien yang sama dengan
pemeriksaan pertama dan sampel donor diambil langsung dari
kantong darahnya.
2. adanya alloantibodi pada serum pasien yang bereaksi dengan
antigen yang terdapat pada sel darah merah donor.
a. Jika sel darah merah donor yang dites inkompatibel
dengan serum pasien dan antibodi skrining juga positif,
mengindikasikan adanya antibodi yang mengaglutinasi

96
antigen dari insiden yang tinggi atau antibodi multipel.
b. Jika skrining antibodi negatif dan hanya satu unit donor
yang inkompatibel, mengindikasikan adanya antibodi pada
serum pasien yang mengaglutinasi antigen sel darah merah
donor dengan insiden yang rendah.
c. Jika skrining antibodi negatif, tetapi serum pasien
kemungkinan menggandung antibodi misal anti A1,
periksa kembali serum grouping pasien dan konfirmasi
ada tidaknya anti A1 dengan menggunakan sel yang sudah
diketahui mengandung antigen A1.
3. Adanya autoantibodi pada serum pasien yang bereaksi dengan
antigen sel darah donor. Pada kasus ini autokontrol akan
positif. Skrining antibodi pada serum pasien akan menunjukkan
hasil positif. Salah satu teknik yang bisa ditempuh untuk
menghilangkan autoantibodi pada serum pasien adalah teknik
autoadsorpsion. Pemeriksaan crossmatch dilakukan setelah teknik
autoadsorpsion.
4. Sel darah merah donor di coated dengan protein yang dapat
memberikan hasil crossmatch yang inkompatibel.
5. Terdapat masalah pada serum pasien, misalnya pada pasien dengan
multiple myeloma dan makroglobulinemia dapat menghasilkan
rouleaux formation. Rouleaux biasanya akan bertambah kuat
pada inkubasi 37 oC dan tidak bertahan setelah pencucian sebelum
penambahan Anti Human Globulin (AHG). Rouleaux dapat
ditangani dengan salin replacement technique.
6. Adanya kontaminasi dalam sistem pemeriksaan. Kontaminasi
dapat berasal dari tabung gelas yang kotor, kontaminasi bakteri
pada sampel, kontaminasi salin oleh bahan kimia atau bahan lain
dan adanya bekuan fibrin pada sampel (Makroo, 2009; Zundel,
2012).
Berikut adalah ringkasan tentang penyebab dan penanganan
inkompatibilitas pada hasil crossmatching.

97
Tabel 5.1 Penyebab dan penanganan inkompatibilitas pada hasil
crossmatching (Makroo, 2009; Zundel, 2012).

Kemungkinan
Hasil crossmatching Penanganan
penyebab
1. Periksa ulang golongan darah ABO dan konfirmasi
ketepatan identitas pasien
2. Lakukan pemeriksaan subgroup, telusuri riwayat
1. Golongan darah ABO pasien atau
transfusi dan transplantasi pada pasien
donor salah
Mayor positif, 3. Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada
2. Serum pasien kemungkinan
minor negatif, serum pasien dan ulang crossmatch dengan unit
mengandung antibodi ABO
autokontrol negatif, darah yang tidak mengandung antigen yang sesuai
3. Terdapat alloantibody dalam serum
dengan antibodi yang ditemukan. Bila skrining
pasien yang bereaksi dengan eritrosit
dan identifikasi antibodi tidak bisa dilakukan
donor
crossmatch ulang dengan beberapa unit darah
donor yang lain sampai didapatkan mayor negatif.

1. Lakukan pemeriksaan Direct Coombs’ test pada


donor, bila positif ganti darah donor
1. Darah donor kemungkinan dengan 2. Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada
Mayor positif,
Direct Coombs’ test (DCT) positif serum pasien dan ulang crossmatch dengan unit
minor positif,
2. Adanya alloantibody dalam serum darah yang tidak mengandung antigen yang sesuai
autokontrol negatif,
pasien yang bereaksi dengan eritrosit dengan antibodi yang ditemukan. Bila skrining
donor. dan identifikasi antibodi tidak bisa, pemeriksaan
dirujuk atau lakukan crossmatch ulang dengan
beberapa unit darah donor yang lain.

1. Lakukan DCT pada pasien, bila positif, hasil


positif pada crossmatch minor dan autokontrol
berasal dari autoantibodi.
2. Apabila derajat positif pada minor sama atau lebih
Mayor negatif, kecil dibandingkan derajad positif pada autokontrol
minor positif, Kemungkinan terdapat autoantibodi dalam atau DCT, darah boleh dikeluarkan.
autokontrol positif, eritrosit pasien 3. Apabila derajat positif pada minor lebih besar
dibandingkan derajad positif pada autokontrol atau
DCT, darah tidak boleh dikeluarkan. Ganti darah
donor, lakukan crossmatch lagi sampai ditemukan
positif pada minor sama atau lebih kecil dibanding
autokontrol atau DCT
Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada serum
Mayor negatif,
atau plasma donor atau ganti dengan darah donor yang
minor positif, Kemungkinan terdapat antibodi ireguler
lain, lakukan crossmatch lagi
autokontrol negatif, dalam serum atau plasma donor
sampai didapatkan minor negatif.

98
1. Lakukan autoadsopsi pada serum pasien untuk
membuang autoantibodi dan lakukan crossmatch
ulang dengan serum pasien yang sudah
diautoadsopsi
2. Lakukan DCT pada pasien, apabila positif,
Mayor positif, bandingkan derajat positif DCT dengan minor,
minor positif, Kemungkinan terdapat autoantibodi dan apabila derajat positif minor sama atau lebih
autokontrol positif, alloantibody dalam serum pasien rendah dari DCT, maka positif pada minor dapat
diabaikan, artinya positif tersebut berasal dari
autoantibodi.
3. Sedangkan positif pada mayor, disebabkan adanya
antibodi ireguler pada serum pasien, lakukan
skrining antibodi atau ganti dengan darah donor
baru sampai ditemukan hasil mayor negatif

5.10 Contoh Kasus Terkait Crossmatching


Kasus 1
Pasien wanita 30 tahun, akan menjalani tindakan pembedahan
karena ada tumor pada daerah abdomen. Pasien membutuhkan 3 unit
Packed Red Cells (PRC). Hasil pemeriksaan golongan darah didapatkan
golongan B Rhesus positif. Hasil pemeriksaan crossmatch dengan 3
unit PRC didapatkan unit pertama negatif, unit kedua negatif, unit ketiga
mayor positif, minor negatif dan autokontrol negatif. Pemeriksaan
crossmatch dilakukan dengan metode gel.
Penanganan kasus:
1. Dilakukan pemeriksaan golongan darah ulang (ABO dan Rhesus)
terhadap pasien dan unit darah donor ketiga. Hasil pemeriksaan
baik donor maupun pasien B Rhesus positif.
2. Dilakukan crossmatch ulang dengan beberapa unit darah donor
yang lain sampai didapatkan hasil yang kompatibel.

Pada kasus ini penyebab hasil mayor positif pada unit darah
ketiga bukan disebabkan oleh ketidaksesuain golongan darah ABO
dan Rhesus. Hasil pemeriksaan golongan darah antara pasien dan
donor sama. Kemungkinan penyebab mayor positif pada kasus ini
adalah adanya alloantibody dalam serum pasien yang bereaksi dengan
eritrosit donor. Jika fasilitas laboratorium memungkinkan sebaiknya

99
dilakukan pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi untuk mencari
kemungkinan jenis antibodi ireguler yang ada pada serum pasien.
Mengingat sudah ditemukan darah donor yang kompatibel dan fasilitas
skrining antibodi tidak tersedia, maka cara efektif yang ditempuh adalah
melakukan crossmatching ulang dengan unit darah donor yang lain
sampai didapatkan darah yang kompatibel.

Kasus 2
Pasien laki-laki 50 tahun, dengan keluhan badan lemas. Hasil
pemeriksaan darah lengkap didapatkan kadar hemoglobin 5 g/dL. Hasil
kimia klinik menunjukkan peningkatan kadar total bilirubin 4,6 mg/
dL (nilai rujukan <1,5 mg/dL). Kadar bilirubin direk 3,5 mg/dL (nilai
rujukan 0,1 – 0,5 mg/dL). Tidak ada tanda-tanda perdarahan. Penderita
rencana akan dilakukan transfusi PRC sebanyak 4 unit. Hasil pemeriksaan
golongan darah O Rhesus positif. Hasil pemeriksaan crossmatch dengan
4 unit darah donor didapatkan hasil pada unit pertama dan kedua, mayor
negatif, minor 3+, autokontrol 3+. Crossmatching dengan unit darah
ketiga dan keempat, mayor 1+, minor 3+, autokontrol 3+.
Penanganan kasus:
1. Dilakukan pemeriksaan golongan darah ulang pada pasien dan
donor menggunakan sampel baru. Hasil sama dengan pemeriksaan
pertama.
2. Dilakukan pemeriksaan coombs’ test, hasil pemeriksaan Direct
Coombs’ Test (DCT) positif pada C3 dan IgG dengan derajat
positif masing-masing 3+, Indirect Coombs’ Test (ICT) negatif.
3. Unit darah pertama dan kedua dengan hasil crossmatching mayor
negatif, minor 3+, autokontrol 3+ dikeluarkan.
4. Dilakukan crossmatching ulang dengan darah donor yang lain
sampai didapatkan hasil crossmatching sama dengan unit pertama
dan kedua atau dengan derajat positif yang lebih rendah.
Pada kasus ini kemungkinan penyebab hasil mayor positif pada
unit darah ketiga dan keempat adalah adanya antibodi ireguler pada
serum pasien. Bila fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
skrining antibodi untuk mengetahui jenis antibodi ireguler tersebut. Bila

100
fasilitas skrining tidak ada ganti darah donor dan lakukan crossmatching
ulang sampai didapatkan mayor negatif. Hasil minor positif dan
autokontrol positif kemungkinan disebabkan adanya autoantibodi pada
sampel pasien. Pasien kemungkinan mengalami autoimun hemolitik
anemia. Hal tersebut ditunjang oleh klinis dan laboratorium seperti
penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar bilirubin dan hasil
coombs’ test positif.

101
Daftar Pustaka

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Compatibility Testing. Basic&Applied


Concepts of Blood Banking and Transfusion Practices. Third
Edition. United States: Elsevier Mosby. p.188-201.
Depkes RI. 2008. Pemeriksaan Uji Silang Serasi. Modul 2 Pelatihan
Crash Program Petugas Teknis Transfusi Darah Bagi Petugas
UTDRS. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. hal 121-128.
Downes, K.A., Shulman, I.A. 2014. Pretransfusion testing. In: Fung,
M., Grossman, B.J., Hillyer, C.D., Westhoff, C.M. eds. Technical
manual 18th edition. Bethesda, MD: AABB. p. 367-390.
Klein, H. G., Anstee, D. J. 2014. Blood Grouping Techniques. Mollison’s
Blood Transfusion in Clinical Medicine 12th Edition. UK: Wiley-
Blackwell. p. 303-347.
Levitt, J. 2014. Standards for blood banks and transfusion services 29th
edition. Bethesda, MD: AABB.
Makroo, R.N. 2009. Compatibility Testing (Pre Transfusion Testing).
Practice of Safe Blood Transfusion Compendium of Transfusion
Medicine. New Delhi: Kongposh. p. 123-131.
McClelland, D.B.L. 2007. Blood products and transfusion procedures.
Handbook of Transfusion Medicine United Kingdom Blood
Services 4th Edition. UK: The Stationery Office p. 5-22.
McCullough, J. 2017. Laboratory Detection of Blood Groups and
Provision of Red Cells.Transfusion Medicine 4th Edition. UK:
Wiley Blackwell. p. 210-241
Mehdi, S.R. 2013. Cross-matching (compatibility testing). Essentials of
Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical Residents Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 45-49.
Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU Langone
Medical Center.
Stoe, M. 2011. Pretransfusion Testing. In Quinley, E.D.
Immunohematology Principle & Practice Third Edition.
Philadelphia: Wiliams & Wilkins. p. 105-118.

102
Walker, P. S., Harmening, D. M. 2012. Other Technologies and
Automation. Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood
Banking & Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A
Davis company. p. 273-285.
Zundel, W. B. 2012. Pretransfusion Testing. Blood Groups and
Serologic Testing. In: Harmening, D.M. Modern Blood Banking
& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 241-259.

103
BAB VI
ANTIGLOBULIN TEST (COOMB’S TEST)

6.1 Definisi Coomb’s Test


Antiglobulin test yang popular disebut dengan Coomb’s test,
ditemukan pertama kali oleh Coombs, Mourant dan Race pada tahun
1945 untuk mendeteksi antibodi yang tidak beraglutinasi dalam serum
(Makroo, 2009; Green and Klostermann, 2012). Coomb’s test menjadi
sangat penting karena dapat mendeteksi antibodi IgG dan komplemen
yang menghancurkan sel darah merah baik secara in vivo maupun in
vitro tanpa menunjukkan adanya aglutinasi. Jadi perdefinisi Coomb’s
test adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi
antibodi yang mengikat sel darah merah baik secara in vivo maupun in
vitro (Blaney and Howard, 2013).

6.2 Tujuan Coomb’s Test


Ada dua jenis Antiglobulin test yaitu Direct Antiglobulin Test
(DAT) atau Direct Coomb’s test (DCT) dan Indirect Antiglobulin
Test (IAT) atau Indirect Coomb’s test (ICT). Tujuan dari DCT adalah
untuk mendeteksi adanya antibodi imun baik IgG maupun komponen
komplemen (umumnya C3d) yang menyelimuti atau mensensitisasi
sel darah merah secara in vivo. Pemeriksaan ICT bertujuan untuk
mendeteksi adanya antibodi inkomplit atau komplemen yang ada di
dalam serum setelah diinkubasi dengan sel darah merah secara in vitro
(Makroo, 2009).
Pemeriksaan DCT sering digunakan untuk membantu diagnosis
kasus-kasus berikut:
a. hemolytic disease of new born (HDN),
b. auto immune hemolytic anemia (AIHA),
c. pemeriksaan adanya sensitisasi sel darah merah yang diinduksi
oleh obat-obatan,

104
d. pemeriksaan kasus hemolitik yang disebabkan oleh reaksi
transfusi (Makroo, 2009).
Pemeriksaan ICT digunakan untuk kasus-kasus berikut:
a. compatibility testing,
b. skrining dan identifikasi antibodi yang tidak diharapkan dalam
serum,
c. mendeteksi antigen sel darah merah menggunakan antibodi
spesifik yang hanya bereaksi dengan antiglobulin seperti Fya, Fyb,
JKa, Jkb dan lain-lain (Makroo, 2009).

6.3 Prinsip Pemeriksaan Coomb’s Test


Prinsip sederhana dari pemeriksaan antiglobulin adalah sebagai
berikut:
a. Molekul antibodi dan komplemen adalah globulin,
b. human globulin yang diinjeksikan pada hewan (kelinci) akan
merangsang produksi antibodi, yaitu Anti Human Globulin
(AHG). Pemeriksaan serologi yang berkembang menggunakan
reagen AHG yang dapat bereaksi dengan berbagai jenis globulin
manusia meliputi anti-IgG antibody dan C3d yang merupakan
komponen komplemen pada manusia.
c. AHG akan bereaksi dengan molekul human globulin baik yang
terikat dengan sel darah merah maupun yang bebas dalam serum
(Green and Klostermann, 2012).

1. Prinsip pemeriksaan DCT

Gambar 6.1 Prinsip pemeriksaan Direct Coomb’s Test (Green and Klostermann, 2012).

105
DCT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah
merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in
vivo. Setelah dilakukan proses pencucian sel darah merah sebanyak 3
kali kemudian tambahkan reagen AHG, kemudian dilihat ada tidaknya
aglutinasi. Aglutinasi akan terjadi apabila ada anti-IgG antibody atau
C3d yang menyelimuti sel darah merah (Green and Klostermann,
2012).

2. Prinsip pemerikaan ICT

Gambar 6.2 Prinsip pemeriksaan Indirect Commb’s Test (Green and Klostermann,
2012).

ICT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah


merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in vitro.
Reagen sel darah merah ditambahkan serum pasien kemudian dilakukan
proses inkubasi. Inkubasi bertujuan untuk memberi kesempatan anti-
IgG antibody dan C3d yang bebas dalam serum mensensitisasi sel darah
merah secara in vitro. Setelah sensitisasi terjadi lalu tambahkan reagen
AHG dan amati ada tidaknya aglutinasi (Green and Klostermann,
2012).

6.4 Metode Pemeriksaan Coomb’s Test


Metode konvensional untuk pemeriksaan coomb’s test adalah
menggunakan metode tabung (tube test). Beberapa metode modifikasi
lain yang bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic

106
Polybrene technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT),
solid phase technology, dan gel test (Green and Klostermann, 2012).

6.5 Pemeriksaan DCT dengan Metode Tabung (Tube Test)


1. Alat dan bahan
Alat-alat yang dibutuhkan, antara lain: tabung gelas dengan
ukuran 75 x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.
Bahan untuk pemeriksaan coomb’s test dengan metode tabung,
antara lain: sel darah merah yang akan diperiksa, reagen Anti Human
Globulin (AHG), dan kontrol positif.
Ada dua tipe reagen AHG yang tersedia, yaitu:
a. Reagen AHG polispesifik
Reagen AHG polispesifik umumnya mengandung anti-IgG dan
anti-C3d namun juga dapat mengandung anti C3b dan anti C4b.
Pembuatan AHG dilakukan dengan cara menyuntikkan human
globulin ke dalam tubuh hewan, prosedur tersebut selanjutnya
akan menghasilkan antibodi spesifik untuk immunoglobulin
manusia dan sistem faktor komplemen manusia.
b. Reagen AHG monospesifik
Reagen monospesifik masing-masing mengandung anti-IgG,
IgM, IgA atau komponen komplemen yang sudah terpisah-pisah
(Makroo, 2009).
Kontrol sel positif dibuat dari golongan darah O Rhesus positif
yang direaksikan dengan anti-D, reagen AHG dan dibantu dengan alat
dan bahan lain seperti salin dan tabung reaksi ukuran 75 x 12 mm.
Berikut adalah teknik pembuatan kontrol sel positif:
a. cuci sel darah merah golongan O Rhesus positif sebanyak tiga kali
menggunakan larutan salin,
b. letakkan 0,5 mL sel darah merah yang sudah dicuci ke dalam
tabung reaksi,
c. tambahkan 2-3 tetes anti-D,
d. campur dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit. Jika
aglutinasi positif, ulangi prosedur dengan menambahkan anti-D
yang sudah diencerkan,
e. cuci sel sebanyak 4 kali kemudian buat suspensi sel 5% dalam
medium salin,

107
f. ambil satu volume suspensi sel 5% dan tambahkan 2 volume
reagen AHG. Campur dengan baik dan sentrifugasi. Reaksi yang
didapat harus +2,
g. kontrol sel positif dapat disimpan selama 48 jam pada suhu 4 oC
(Makroo, 2009).

2. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan DCT adalah sebagai berikut:
a. teteskan 1 tetes suspensi sel 2-4% yang akan diperiksa ke dalam
tabung yang bersih dan berikan label. Sampel darah harus segar,
tidak lebih dari 24 pasca pengambilan atau ditampung dalam
tabung EDTA untuk mencegah terjadinya uptake komplemen,
b. cuci sel sebanyak 3 kali menggunakan larutan salin dan buang
sebanyak mungkin salin pasca pencucian,
c. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
d. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),
e. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
f. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
g. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan DCT

Gambar 6.3 Prosedur pemeriksaan DCT dengan motode tube test (Powell, 2016).

108
6.6 Pemeriksaan ICT dengan Metode Tabung (Tube Test)
1. Alat dan bahan
Alat yang dibutuhkan adalah tabung gelas dengan ukuran 75 x 12
mm, sentrifus, dan pipet tetes.
Bahan untuk pemeriksaan meliputi serum yang akan diperiksa,
sel darah merah golongan O, reagen Anti Human Globulin (AHG), dan
kontrol sel positif.

2. Prosedur Pemeriksaan
Adapun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:
a. teteskan 2 tetes serum yang akan diperiksa ke dalam tabung yang
bersih dan beri label. Sampel serum harus segar, untuk mendeteksi
adanya komplemen yang berikatan dengan antibodi,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah golongan O 2-5%,
c. inkubasi pada suhu 37 oC selama 45-60 menit,
d. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi. Hemolisis atau
aglutinasi yang terjadi pada tahap ini mencerminkan adanya salin
yang bereaksi dengan antibodi,
e. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak
3-4 kali menggunakan larutan salin dan buang sebanyak mungkin
salin pasca pencucian,
f. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
g. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),
h. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
i. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
j. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
k. Selalu sertakan autokontrol pada pemeriksaan ICT (Makroo,
2009).

109
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan ICT.

Gambar 6.4 Prosedur pemeriksaan IAT dengan motode tube test (Powell, 2016).

Ringkasan tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT


tercantum pada tabel berikut.

Tabel 6.1 Tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT


(Green and Klostermann, 2012).
Tahapan pemeriksaan Tujuan
Inkubasi sel darah merah dengan serum Memberikan kesempatan antibodi yang ada pada
pasien serum pasien menyelimuti antigen sel darah merah
Pencucian sel dengan salin sebanyak 3 Menghilangkan molekul globulin bebas atau yang
kali tidak terikat
Membentuk aglutinasi sel darah merah melalui
Penambahan reagen AHG ikatan antigen eritrosit + antibodi + anti-IgG

Mempercepat proses aglutinasi dengan cara


Sentrifugasi
mendekatkan sel satu sama lain
Memberikan interpretasi hasil pemeriksaan apakah
Pembacaan aglutinasi
positif atau negatif
Menentukan derajat aglutinasi Menentukan kuat lemahnya reaksi yang terjadi
Untuk memastikan bahwa hasil yang negatif bukan
Penambahan Coombs’ control cells pada
disebabkan oleh netralisasi reagen AHG oleh
hasil yang negatif
molekul globulin bebas

110
6.7 Interpretasi Hasil Coomb’s Test
Pemeriksaan DCT tidak dibutuhkan secara rutin dalam protokol
pretransfusion testing. Hasil DCT yang positif secara tersendiri
bukan merupakan sebuah diagnosis. Interpretasi hasil yang positif
membutuhkan informasi tentang diagnosis klinis pasien, riwayat
pemberian obat-obatan, kehamilan, riwayat transfusi sebelumnya dan
informasi lain terkait adanya proses hemolitik.
Tabel berikut hanya membantu dalam memperkirakan
kemungkinan interpretasi hasil pemeriksaan DCT dengan tetap harus
mempertimbangkan kondisi klinis pasien.

Tabel 6.2 Panel DCT: pola hasil pemeriksaan DCT pada


Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)
(Green and Klostermann, 2012).

Anti-IgG Anti-C3d Jenis AIHA


Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (WAIHA)
+ +
WAIHA
+ -
Cold Agglutinin Syndroma (CAS), Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
- + (PCH), WAIHA

+ + Mixed-type AIHA (cold dan warm)

6.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan


Coomb’s Test
DCT dapat mendeteksi kadar molekul IgG pada level 100-500
per eritrosit dan 400-1.100 molekul C3d per eritrosit. Sedangkan ICT
mampu mendeteksi kadar molekul IgG atau C3d pada level 100-200
pada sel dengan reaksi positif. Jumlah molekul IgG yang mensensitisasi
eritrosit dan kecepatan terjadinya sensitisasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:

1. Rasio serum dan sel


Peningkatan rasio serum dan sel akan meningkatkan sensitivitas
pemeriksaan. Umumnya, rasio minimum adalah 40:1 yang bisa

111
didapat dengan menambahkan 2 tetes serum dan 1 tetes suspensi sel
eritrosit 5%. Jika menggunakan sel yang disuspensi dalam salin, maka
dapat meningkatkan rasio serum dan sel yang memiliki kemampuan
mendeteksi antibodi lemah (misal: 4 tetes serum dengan 1 tetes suspensi
sel 3% akan memberikan rasio 133:1) (Green and Klostermann, 2012).

2. Medium reaksi
Beberapa medium reaksi yang bisa digunakan antara lain
albumin, LISS dan polyethylene glycol. Pada 1965, Stroup dan Macllroy
melaporkan peningkatan sensitivittas ICT jika albumin digunakan
sebagai medium reaksi. Campuran reaksi yang terdiri atas 2 tetes serum,
2 tetes bovin albumin 22% dan 1 tetes suspensi sel 3-5% menunjukkan
sensitivitas yang sama pada inkubasi 30 menit dibandingkan inkubasi 60
menit pada medium salin. Namun, salah satu kelemahan albumin yang
dilaporkan oleh Pezt dan Coworkers adalah tidak mampu mendeteksi
beberapa jenis antibodi yang bermakna secara klinis sehingga
albumin jarang digunakan sebagai media ICT secara rutin (Green and
Klostermann, 2012).
Penggunaan Low ionic strength solutions (LISS) diperkenalkan
oleh Low dan Messeter. LISS mampu meningkatkan uptake antibodi
dan memperpendek waktu inkubasi dari 30-60 menit menjadi 10-15
menit. Penggunaan LISS juga dilaporkan oleh Moor dan Mollison yang
menemukan bahwa reaksi optimal bisa didapatkan dari penggunaan 2
tetes serum dan 2 tetes suspensi sel 3% dalam medium LISS (Green and
Klostermann, 2012).
Polyethylene glycol (PEG) bersifat larut dalam air dan
digunakan sebagai zat tambahan untuk meningkatkan uptake antibodi.
Mekanisme kerja PEG adalah menghilangkan molekul air yang
mengelilingi eritrosit (the water of hydration theory) sehingga efektif
untuk meningkatkan konsentrasi antibodi. Beberapa peneliti telah
membandingkan penggunaan PEG dan LISS sebagai medium reaksi
dalam pemeriksaan antiglobulin. Hasil penelitian melaporkan bahwa
PEG dapat meningkatkan deteksi antibodi yang bermakna secara klinis
dan menurunkan deteksi antibodi yang tidak bermakna secara klinik
(Green and Klostermann, 2012).

112
3. Temperatur
Kecepatan reaksi antibodi IgG dan aktivasi komplemen optimal
pada suhu 37 oC (Green and Klostermann, 2012).

4. Waktu inkubasi
Untuk sel yang disuspensi dalam medium salin, waktu inkubasi
mencapai 30-120 menit. Mayoritas antibodi yang bermakna secara
klinis akan terdeteksi setelah menit ke-30. Jika menggunakan LISS atau
PEG, waktu inkubasi bisa diperpendek menjadi 10-15 menit. Dengan
waktu yang lebih singkat, sangat penting untuk dilakukan inkubasi pada
suhu 30 oC. Bila waktu inkubasi pada teknik LISS diperpanjang (misal
40 menit) maka antibodi akan terelusi dari eritrosit dan sensitivitas akan
menurun (Green and Klostermann, 2012).

5. Pencucian eritrosit
Untuk pemeriksaan DCT maupun ICT, sel eritrosit harus dicuci
dengan salin minimal 3 kali sebelum dilakukan penambahan reagen
AHG. Pencucian akan menghilangkan globulin serum yang tidak
berikatan. Pencucian yang tidak adekuat dapat menyebabkan hasil
negatif palsu karena reagen AHG akan dinetralisasi oleh globulin serum
yang tidak berikatan. Hal tersebut menyebabkan fase pencucian pada
pemeriksaan DCT dan ICT menjadi tahapan yang sangat penting. Proses
pencucian sebaiknya segera dilakukan setelah proses inkubasi. Semua
sisa salin setelah pencucian terakhir harus dihilangkan karena dapat
mengencerkan reagen AHG yang berefek pada penurunan sensitivitas
pemeriksaan (Green and Klostermann, 2012).

6. Salin untuk pencucian


Idealnya salin yang digunakan untuk pencucian harus segar
dan mempunyai pH 7,2-7,4. Salin yang disimpan terlalu lama dalam
wadah plastik menunjukkan penurunan pH sehingga meningkatkan
kecepatan elusi antibodi selama proses pencucian dan memberikan efek
hasil negatif palsu. Adanya kontaminasi bakteri pada salin juga pernah
dilaporkan dan hal tersebut berkontribusi dalam memberikan hasil
positif palsu (Green and Klostermann, 2012).

113
7. Penambahan AHG
Reagen AHG seharusnya ditambahkan segera setelah proses
pencucian untuk mengurangi elusi antibodi dan berdampak pada
netralisasis reagen AHG. Jumlah AHG yang ditambahkan disesuaikan
dengan ketentuan perusahaan reagen (Green and Klostermann, 2012).

8. Sentrifugasi untuk pembacaan


Sentrifugasi pada campuran sel untuk membaca hemaglutinasi
merupakan langkah yang krusial dalam pemeriksaan. Sentrifugasi yang
direkomendasikan adalah 1000 Relative Centrifugal Forces (RCFs)
selama 20 detik. Kecepatan sentrifugasi yang tidak standar dapat
memberikan hasil positif palsu karena resuspensi menjadi inadekuat
dan dapat memberikan hasil negatif palsu karena resuspensi terlalu kuat
(Green and Klostermann, 2012).

6.9 Sumber Kesalahan Pemeriksaan Coomb’s Test


Berikut adalah tabel yang memuat ringkasan tentang penyebab
hasil pemeriksaan Coomb’s test positif palsu dan negatif palsu.

Tabel 6.3 Sumber kesalahan hasil pemeriksaan coomb’s test


(Makoo, 2009;WHO, 2009; Green and Klostermann,
2012; Mehdi, 2013).
Penyebab hasil positif palsu Penyebab hasil negatif palsu

a. Kualitas sampel yang tidak baik a. Pencucian sel yang tidak adekuat
b. Sentrifugasi berlebihan b. Kontaminasi reagen AHG dengan protein
c. Teknik pembacaan yang tidak tepat dari luar
d. Kontaminasi bakteri pada sel atau salin c. Konsentrasi paraprotein yang tinggi dalam
yang digunakan untuk pencucian serum
e. Penggunaan tabung yang kotor d. Reagen AHG tidak bekerja dengan baik,
f. Adanya fibrin dalam tabung sehingga baik oleh karena deteorisasi maupun
menyerupai aglutinasi netralisasi
g. Sel dengan hasil DCT positif dapat e. Adanya pemanasan serum atau pembekuan
memberikan hasil ICT positif palsu dan pencairan yang berulang
h. Sel dengan poliaglutinasi f. Lupa menambahkan serum atau reagen
i. Salin terkontaminasi dengan logam AHG
berat atau colloidal silica g. Sentrifugasi yang tidak adekuat atau
j. Sampel ditampung pada tabung dengan berlebihan
gel separator h. Suspensi sel terlalu encer atau terlalu pekat

114
6.10 Pemeriksaan ICT Menggunakan Medium LISS
Penggunaan LISS pada ICT dapat meningkatkan kecepatan dan
derajat pengikatan antibodi oleh sel darah merah dan menurunkan waktu
inkubasi. Berikut dijelaskan tentang pemeriksaan ICT pada medium
LISS (Makroo, 2009).

1. Alat dan bahan


Alat-alat yang dibutuhkan meliputi tabung gelas dengan ukuran
75 x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.
Beberapa bahan yang dibutuhkan, antara lain:
a. Low ionic strength solution (LISS)
b. Serum yang akan diperiksa
c. Sel darah merah golongan O
d. Reagen anti human globulin (AHG)
e. Kontrol sel positif

2. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:
a. Cuci sel darah merah dengan salin sebanyak 2 kali,
b. cuci sel sekali dalam medium LISS,
c. buat suspensi sel 2-4% dalam medium LISS,
d. teteskan serum dan sel yang disuspensi dalam LISS dengan
volume yang sama ke dalam tabung yang bersih dan berikan
label,
e. inkubasi selama 15 menit pada suhu 37 oC (pada kondisi
emergency, inkubasi dapat dilakukan selama 5 menit),
f. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi, catat hasil yang di
dapat,
g. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak
3 kali menggunakan larutan salin dan buang sebanyak mungkin
salin pasca pencucian,
h. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
i. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),

115
j. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
k. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
l. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
LISS, serum dan suspensi sel harus diadaptasikan dengan suhu
kamar sebelum digunakan (Makroo, 2009).

6.11 Beberapa Modifikasi dan Automatisasi Pemeriksaan Coomb’s


Test
Ada beberapa jenis modifikasi pemeriksaan coomb’s test yang
bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic Polybrene
technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT), solid phase
technology, dan gel test (Green and Klostermann, 2012).

1. Low-Ionic Polybrene technique (LIP)


Teknik LIP diperkenalkan pada 1980 oleh Lalezari dan Jiang.
Teknik ini dapat mensensitisasi sel dengan antibodi dalam waktu cepat.
Namun teknik ini memiliki kelemahan yaitu sensitivitasnya rendah untuk
mendeteksi anti-Jka dan anti-Jkb (Green and Klostermann, 2012).

2. Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT)


Pada teknik ELAT, suspensi eritrosit ditambahkan pada microtiter
well dan dicuci dengan salin kemudian ditambahkan reagen AHG yang
sudah dilabel dengan enzim. Reagen AHG yang sudah dilabel dengan
enzim akan berikatan dengan eritrosit yang disensitisasi dengan IgG.
Kelebihan antibodi akan dihilangkan dengan proses pencucian. Setelah
penambahan substrate akan terjadi perubahan warna yang selanjutnya
dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu
(umumnya pada panjang gelombang 405 nm). Perubahan warna yang
terjadi sebanding dengan jumlah antibodi yang ada pada sampel (Green
and Klostermann, 2012).

116
3. Solid Phase Technology
Solid-phase technology untuk pemeriksaan antiglobulin dapat
dilakukan dengan menggunakan test tubes maupun microplates. Baik
pemeriksaan DCT maupun ICT dapat dikerjakan dengan motode solid-
phase (Green and Klostermann, 2012).

4. Gel Test
Pada gel test reaksi antigen dan antibodi akan terdeteksi pada
microtube yang mengandung polyacrylamide gel. Gel akan menjaring
sel darah merah yang beraglutinasi pada bagian atas gel dan meloloskan
sel darah merah yang tidak beraglutinasi sehingga mengendap pada
dasar tabung. Hasil reaksi dinyatakan negatif, bila seluruh suspensi
sel mengendap di dasar tabung dan hasil dinyatakan positif bila
suspensi naik di sepanjang atau seluruhnya ada di permukaan tabung.
Semakin tinggi derajat aglutinasi maka sel semakin berada di atas
permukaan tabung. Ada tiga jenis gel test, yaitu netral, spesifik dan
antiglobulin. Neutral gel tidak mengandung reagen spesifik dan hanya
digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya aglutinasi. Sebagian besar
penggunaan neutral gel test adalah untuk skrining dan identifikasi
antibodi. Gel test yang spesifik menggunakan reagen spesifik yang
dimasukkan ke dalam gel dan sering digunakan untuk menentukan
jenis antigen. Gel test yang mengandung antiglobulin atau yang disebut
dengan The gel low ionic antiglobulin test (GLIAT) dapat digunakan
untuk pemeriksaan IAT maupun DAT. Salah satu contoh prosedur
pemeriksaan IAT menggunakan metode gel, 50 µL suspensi sel darah
merah 0,8% dimasukkan ke dalam gel yang sudah mengandung AHG
lalu tambahkan serum. Tabung kemudian diinkubasi dalam periode
tertentu dan selanjutnya dilakukan sentrifugasi. Apabila ada aglutinasi
maka akan terperangkap pada permukaan tabung yang menandakan
hasil reaksi positif. Interpretasi sama dengan pemeriksaan golongan
darah atau crossmatching menggunakan metode gel. Jika dibandingkan
dengan metode konvensional, metode GLIAT lebih aman, handal dan
hasil pemeriksaan lebih mudah dibaca (Green and Klostermann, 2012).

117
6.12 Contoh Kasus Terkait Coomb’s Test
Kasus 1
Wanita, 42 tahun, menikah, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)
dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Sesak disertai batuk
berdahak dan badan lemas. Kadang penderita juga merasakan demam.
Penderita sebelumnya dirawat dengan Ca mamma sejak satu tahun
yang lalu dan sudah pernah menjalani kemoterapi sebelumnya. Riwayat
penyakit jantung, ginjal, kencing manis, alergi disangkal. Tidak ada
keluarga penderita yang mengalami keluhan serupa.
Hasil pemeriksaan fisik: keadaan umum lemah, kompos mentis,
tensi 110/70 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 36 x/ menit dan suhu
aksila 37,5 o C. Dijumpai anemia, tampak konjungtiva pucat, suara paru
vesikuler dengan ronchi positif, lain-lain dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan radiologi menyimpulkan adanya pneumonia.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan kadar
hemoglobin dari 8,9 g/dL menjadi 5,1 g/dL dalam waktu 6 hari tanpa
disertai tanda-tanda perdarahan. Dokter merencanakan untuk melakukan
transfusi Pack Red Cells (PRC) 5 Unit.
Hasil pemeriksaan golongan darah adalah sebagai berikut :

Tabel 6.4 Pemeriksaan golongan darah dengan blood


grouping plate
Auto
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Kontrol
sel A sel B sel O Albumin
3+ 4+ +3 3+ 3+ 4+ +4 4

Tabel 6.5 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan metode


tabung

Auto
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Kontrol
sel A sel B sel O Albumin
4+
3+ 4+ 3+ 3+ 3+ 4+ 4+

118
Tabel 6.6 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian
sel dan dikerjakan dengan metode tabung, inkubasi 37 o C.

Auto
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Kontrol
sel A sel B sel O Albumin
4+
Negatif Negatif 3+ 3+ Negatif 4+ Negatif

Kesimpulan : Penderita golongan darah O Rh positif

Tabel 6.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan sejumlah donor.

Auto
Golongan darah
NO Donor Mayor Minor Kontrol
donor
1 Donor 1 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
2 Donor 2 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
3 Donor 3 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
4 Donor 4 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
5 Donor 5 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
6 Donor 6 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
7 Donor 7 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
8 Donor 8 O Rhesus + 2+ 3+ 4+

Hasil coomb’s test :


Penderita golongan darah O Rh positif.
Ditemukan adanya auto immune antibody (DCT: positif) juga anti IgG
dan C3 yang coated pada sel darah merah penderita.
Ditemukan adanya irregular allo antibody yang bebas di dalam serum
(ICT: positif) yang reaktif pada suhu 20 o C dan 37 o C.
Diagnosis : Ca mamma, Penumonia, Autoimmune hemolytic
anemia (AIHA).
Sebagian besar kasus AIHA bersifat idiopatik, beberapa kasus
dapat disebabkan oleh infeksi virus, obat-obat kemoterapi, dapat
berasosiasi dengan kondisi autoimun lain atau kelainan hematologi dan
keganasan (Morris et al, 2008).
Pada kasus ini pasien menderita carcinoma mammae disertai
dengan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA). Penyebab AIHA
pada pasien ini tidak diketahui secara pasti. Kemungkinan oleh karena

119
adanya proses keganasan sehingga mengganggu sistem imum penderita.
Beberapa jenis molekul pada permukaan sel tumor dapat membangkitkan
respons antibodi autologous (Kresno, 2011). Beberapa kelainan yang
sering mencetuskan AIHA adalah Connecting tissue disease (Rheumatoid
arthritis, Scleroderma, Systemic lupus erythematosus), idiopatic,
Immunodeficiency state (Dysglobulinemia, hypogammaglobulinemia),
infeksi (Human Immunodeficiency Virus, Mycoplasma, Mononucleosis),
malignancy (lymphoma, leukemia, multiple myeloma, carcinoma) (Desai
and Isa-Pratt, 2000). Pada pasien ini kanker payudara diduga sebagai
pencetus munculnya AIHA.
Diagnosis Ca mammae dapat ditegakkan dari klinis, radiologi dan
biopsi (SIGN, 2005). Pada pasien ini diagnosis Ca mammae sudah tegak
secara klinis, radiologi maupun biopsi bahkan penderita sudah pernah
mendapatkan kemoterapi sebelumnya.
Pada kasus AIHA, selain dari klinis, diagnosis dapat ditegakkan
dari beberapa pemeriksaan laboratorium. Klinis pasien AIHA dapat
berupa anemia, jaundice dan splenomegali. Pemeriksaan laboratorium
yang mendukung adalah Darah Lengkap (DL) dengan penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan retikulosit, peningkatan serum bilirubin dan
Lactic Dehydrogenase (LDH) serta penurunan haptoglobin. Pada
AIHA tipe hangat umumnya dijumpai sferosit atau aglutinasi eritrosit.
Pada urinalisis menunjukkan hemoglobinuria jika proses hemolisis
berlangsung intravaskuler. Pemeriksaan laboratorium yang utama pada
AIHA adalah Direct Coomb,sTest (DCT) (Shaz and Hillyer, 2009).
Pada kasus ini, selain klinis, pemeriksaan laboratorium yang
menunjang diagnosis AIHA adalah kadar hemoglobin rendah pada darah
lengkap dan DAT positif. Saat pemeriksaan golongan darah sempat terjadi
kesulitan dalam menginterpretasi hasil karena semua menunjukkan
aglutinasi. Hasil pemeriksaan golongan darah menunjukan adanya
discrepancy antara cells grouping dan serum grouping. Aglutinasi yang
positif pada cells grouping, serum grouping, bovin albumin maupun
autokontrol kemungkinan disebabkan karena proses aglutinasi sudah
berlangsung sebelum sampel dianalisis akibat adanya autoantibodi
yang menyelimuti eritrosit pasien ataupun yang beredar dalam serum.

120
Munculnya aglutinasi pada semua metode pemeriksaan golongan darah
kemungkinan disebabkan adanya extra antibody. Jika extra antibody
tersebut bersifat cold, untuk melepaskan aglutinasi tersebut bisa
dilakukan inkubasi pada 37 oC dan pencucian eritrosit dengan larutan
salin. Pada pencucian sampel dengan salin dan prewarming technique
(inkubasi 37o C) kemungkinan terjadi migrasi reaktiviti autoantibodi
sehingga golongan darah menjadi jelas (Shaz and Hillyer, 2009).
Hasil pemeriksaan golongan darah pada pemeriksaan pertama dan
diulang dengan metode tabung pada pemeriksaan kedua menunjukkan
adanya ABO discrepancies.
1. Reaksi aglutinasi kuat dijumpai pada cells grouping dan sesuai
dengan golongan darah AB.
2. Hasil pemeriksaan serum grouping sesuai dengan golongan darah
O.
Dari hasil DCT yang menunjukkan aglutinasi pada IgG dan C3,
kemungkinan pasien menderita AIHA tipe campuran (mixed AIHA).
Sebagian besar kasus AIHA dengan IgG dan C3 positif adalah mixed
AIHA (Shaz and Hillyer 2009). Di samping itu setelah dilakukan
prewarming technique pada pemeriksaan golongan darah, interpretasi
hasil menjadi lebih jelas. Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan DCT
dan persentase kasus pada masing-masing jenis AIHA.

Table 6.8 Persentase kasus dan hasil DCT pada masing-masing


tipe AIHA (Shaz and Hillyer, 2009).
Warm AIHA Cold Aglutinin
Mixed AIHA
(WAIHA) Disease (CAD)
Persentase
48-70% 16-32% 7-8%
kasus
IgG 20-66%, IgG + C3 24-
DCT C3 91-98% IgG + C3 71-100%
63%, C3 7-14%
Tipe Ig IgG (jarang IgA atau IgM) IgM IgG + IgM

First line treatment untuk pasien AIHA adalah kortikosteroid.


Terapi lain adalah splenektomi, Rituximab, Imunoglobulin intravena
dan obat imunosupresan alternatif lainnya. Pasien anemia berat disertai

121
disfungsi jantung atau otak membutuhkan penanganan yang urgen
termasuk pemberian transfusi Pack Red Cells (PRC). Selama serangan
akut, pasien yang baru terdiagnosis AIHA sangat sulit mendapatkan
darah yang kompatibel. Pada kondisi tersebut, transfusi PRC dapat
dilakukan dengan memberikan darah ”least incompatible” artinya
memilih unit darah dengan hasil pemeriksaan crossmatch yang paling
kurang reaktif ( Morris et al, 2008; Shaz and Hillyer, 2009).
Pada pasien ini kadar hemoglobin 5,1 g/dL dan urgen
membutuhkan transfusi. Transfusi akhirnya dilakukan dengan memilih
komponen darah yang ”least incompatible”. Dokter yang merawat
merencanakan transfusi dengan 5 unit PRC dengan harapan Hb pasien
bisa menjadi 10 g/dL. Setelah tranfusi PRC yang kedua, pasien sempat
mengalami alergi sehingga untuk transfusi selanjutnya dokter meminta
Wash Red Cells (WRC). Pemeriksaan darah lengkap setelah transfusi 5
unit menunjukkan kadar Hb 12 g/dL. Peningkatan Hb melebihi target
kemungkinan disebabkan karena proses Autoimmune hemolytic sudah
teratasi dan sumsum tulang juga telah melakukan kompensasi terhadap
keadaan anemia. Selain itu, penderita dianggap memiliki respon yang
baik terhadap terapi kortikosteroid. Peningkatan kadar Hb yang ideal
setelah transfusi adalah kurang dari 11 g/dL. Peningkatan kadar Hb lebih
dari 11 g/dL pasca transfusi dianggap telah terjadi overtransfusion.
Selama transfusi, pasien juga mendapatkan premedikasi
furosemide 20 mg iv. Jika premedikasi diberikan secara intravena,
transfusi dilakukan 10 menit setelah pemberian obat. Apabila premedikasi
diberikan per oral, transfusi dilakukan 30-60 setelah pemberian obat.
Pemberian obat-obatan profilaksis secara rutin sebelum transfusi tidak
dianjurkan (WHO, 2002).

Kasus 2.
Laki-laki, 65 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak dan
mata kuning. Hasil pemeriksaan fisik, tekanan darah 105/65 mmHg,
nadi 92 kali/menit dan lien teraba 2 cm di bawah arkus kosta. Penderita
pernah menjalani cholecystectomy 15 tahun yang lalu dan 3 tahun
terakhir didiagnosis dengan coronary artery disease. Saat ini penderita

122
mendapat terapi Atenolol, Ramipril, Simvastatin dan Aspirin. Hasil
pemeriksaan laboatorium: hemoglobin 4,8 g/dl, retikulosit 263x109/L
(22%), Mean Cells Volume (MCV) 84 fl, White Blood Cells (WBC)
8,5x109/L, trombosit 277x109/L, bilirubin total 128 µmol/l (conjugated
bilirubin 12 µmol/l), kalium 4.5 mmol/l, kreatinin 176 mmol/l, Lactate
dehydrogenase (LDH) 3407 µ/l (normal: <240 µ/l). Pasien memiliki
golongan darah A Rhesus positif. Hasil pemeriksaan Direct Coombs’
test (DCT) positif kuat dengan anti-IgG dan anti-C3d positif dan Indirect
Coombs’ test juga positif (Mijovic, 2012).
Berdasarkan kondisi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium,
penderita didiagnosis dengan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA),
“warm antibody type.” Hasil laboratorium yang menunjukkan adanya
proses hemolisis adalah peningkatan unconjugated bilirubin, LDH
dan retikulosit. Hasil pemeriksaan DCT juga menunjang AIHA. Pada
40% kasus AIHA dapat menunjukkan adanya jaundice dan sekitar
50% terjadi splenomegaly ringan sampai sedang. Dua indikator terbaik
untuk menunjukkan adanya proses hemolisis adalah peningkatan kadar
LDH dan penurunan haptoglobin. Kedua indikator tersebut memiliki
sensitivitas sekitar 85% dan spesifisitas haptoglobin 96%. Haptoglobin
memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan LDH yang hanya
61%. Meskipun DCT merupakan indikator kuat untuk menentukan
AIHA, tetapi hasil DCT yang negatif tidak menyingkirkan adanya
AIHA. Hemolisis yang signifikan dapat terjadi bila jumlah sel darah
merah yang berikatan dengan molekul IgG kurang dari batas deteksi
metode pemeriksaan serologi yang digunakan (<300-400 per eritrosit).
Sebaliknya, DCT dapat positif pada beberapa kondisi tanpa adanya
hemolisis. Sekitar 15% pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai
hasil DCT positif lemah tanpa adanya gejala hemolisis dan 1 dari 1.000-
10.000 donor sehat mempunyai hasil DCT positif. Beberapa kondisi-
kondisi yang dijumpai dengan hasil DCT positif antara lain:
a. Autoimmune hemolytic anemia (tipe hangat, tipe dingin dan AIHA
yang diinduksi oleh obat-obatan).
b. Alloimmune hemolysis (Hemolytic disease of the newborn/
fetus, reaksi transfusi hemolitik, Passive alloantibody transfer,
transplantasi organ).

123
c. Nonspecific protein uptake (peningkatan kadar globulin plasma,
Drugs that modify red cell membrane).
d. Individu sehat dengan hasil DCT positif (Mijovic, 2012).
Untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan golongan darah dan
Coombs’ test disarankan untuk melakukan pemeriksaan ulang dengan
memeriksa plasma pasien menggunakan panel sel darah merah dan sel
pasien sendiri. Hasil reaksi semuanya positif atau memberikan pola
“panreactive”. Pemeriksaan serologi untuk mendapatkan darah yang
kompatibel sulit dilakukan sehingga pasien ditransfusi menggunakan
komponen darah yang ”least incompatible” (Mijovic, 2012).
Transfusi pada pasien AIHA bukan merupakan suatu tindakan
tanpa risiko. Pada kasus ini sulit untuk mendapatkan darah yang
kompatibel dan risiko hemolisis oleh autoantibodi sangat besar. Masalah
lain adalah risiko terjadinya overload cairan karena pasien mengalami
kelainan jantung yang disertai anemia berat. Kadar hemoglobin di bawah
5 g/dl biasanya berasosiasi dengan gejala anemia berat, khususnya jika
proses hemolitik bersifat akut. Hemolitik yang akut umumnya akan
menampilkan klinis hemoglobinuria, mental confusion, somnolence,
fever, nyeri abdomen, nyeri punggung dan dada. Gejala-gejala tersebut
dapat terjadi pada kadar hemoglobin yang lebih tinggi, khususnya
pada pasien usia tua dan pasien dengan kelainan jantung. Gejala-gejala
tersebut mengindikasikan bahwa transfusi sel darah merah harus segera
dilakukan terlepas dari hasil compatibility tests yang positif. Untuk
mengurangi risiko overload dan gagal jantung, target transfusi adalah
pada kadar hemoglobin (Hb) 8 g/dl. Pada sebagian besar pasien, kadar
Hb 8 g/dl dianggap mampu menjaga pengangkutan oksigen ke jaringan.
Perhatian lain terkait pemberian transfusi adalah transfusi diberikan
dengan kecepatan lambat 1 ml/kg/jam (dalam kondisi biasa kecepatan
transfusi umumnya 3-5 ml/kg/jam) (Mijovic, 2012).

124
Daftar Pustaka

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Blood Banking Reagents: Overview


and Applications. Basic&Applied Concepts of Blood Banking
and Transfusion Practices. Third Edition. United States: Elsevier
Mosby. p.28-54.
Chaffin, D. J. 2012. Transfusion Reaction. Blood Bank Guy Podcast.
(serial online), [cited 2016 Jan. 8]. Available from: URL: http:/
www. bbguy.org.
Desai, S.P., Isa-Pratt, S. 2000. Anemia. Clinical’s Guide to Laboratory
Medicine. USA: Lexi-Comp Inc. p.9-151.
Green, R. A. B., Klostermann, D. A. 2012. The Antiglobulin Test.
Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking
& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 101-117.
Kresno, S.B. 2011. Kanker dan Sistem Imun. Ilmu Dasar Onkologi Edisi
Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal. 284-312.
Makroo, R.N. 2009. Antiglobulin Test. Practice of Safe Blood
Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New Delhi:
Kongposh. p. 100-105.
Mehdi, S.R. 2013. Antihuman globulin (Coombs’) test. Essentials of
Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 30-37.
Mijovic, A. 2012. Case 2 Send Another Sample, Please. Transfusion
Medicine Case Studies and Clinical Management. London:
Springer-Verlag. p. 5-7.
Morris, P.G., Swords, R., Sukor, S., Fortune, A., Donnell, D.M.,
Conneally, E. 2008. Autoimmune Hemolytic Anemia Associated
With Ovarian Cancer. Journal of clinical oncology. 17: 4993-
4995.

125
Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU Langone
Medical Center.
SIGN. 2005. Management of breast cancer in women A national clinical
guideline. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Scotland.
p.1-42.
Shaz, B.H., Hillyer, C.D. 2009. Autoimmune Hemolytic Anemias.
Transdfusion Medicine and Hemostasis Clinical and Laboratory
Aspect. USA: Elsevier. p.251-258.
SIGN. 2005. Management of breast cancer in women A national
clinical guideline. Scottish Intercollegiate Guidelines
Network. Scotland. p.1-42.
Shaz, B.H., Hillyer, C.D. 2009. Autoimmune Hemolytic Anemias.
Transdfusion Medicine and Hemostasis Clinical and
Laboratory Aspect. USA: Elsevier. p.251-258.
WHO, 2002. Clinical Transfusion Procedures. The Clinical Use of
Blood Handbook. World Health Organization Blood Transfusion
Safety. Genewa: WHO. p. 37-58.
WHO, 2009. Techniques for Blood Grouping and Compatibility Testing.
Safe Blood and Blood Product. Genewa: WHO. p. 74- 92.

126
BAB VII
PEMERIKSAAN SKRINING DAN
IDENTIFIKASI ANTIBODI

7.1 Definisi
Deteksi antibodi yang langsung berikatan dengan antigen sel
darah merah merupakan poin yang kritis dalam uji kompatibilitas.
Pemeriksaan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
terjadinya reaksi transfusi hemolitik. Selain itu, deteksi antibodi juga
membantu mengurangi risiko bayi lahir dengan Hemolytic Disease of
The Fetus and Newborn (HDFN). Pemeriksan skrining dan identifikasi
antibodi adalah suatu pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi yang lebih
fokus pada antibodi ireguler atau unexpected antibodies di luar dari
antibodi dalam sistem ABO. Unexpected antibodies merupakan immune
alloantibodies yang diproduksi sebagai respon terhadap masuknya
antigen eritrosit yang distimulasi melalui transfusi, transplantasi atau
kehamilan (Makroo, 2009; Blaney and Howard, 2013; Trudell, 2014).
Skrining dan identifikasi antibodi dapat dilakukan pada pasien,
donor maupun kondisi antenatal. Deteksi dini antibodi dalam serum ibu
dapat membantu dokter anak dalam mengambil keputusan penanganan
bayi pasca dilahirkan termasuk pemberian transfusi tukar pada neonatus.
Jika antibodi yang tidak diharapkan terdeteksi selama pemeriksaan
crossmatch, beberapa strategi penyelesaian dapat ditempuh tergantung
dari fasilitas yang dimiliki oleh Unit Transfusi Darah (UTD). Jika
tersedia fasilitas yang lengkap sangat penting untuk melakukan skrining
dan identifikasi antibodi dengan bantuan sel panel, selanjutnya pilih
unit darah yang tidak mengandung antigen yang sesuai dengan antibodi
yang diidentifikasi. Jika fasilitas skrining dan identifikasi antibodi
tidak tersedia, maka perlu dilakukan pengulangan crossmatch dengan
beberapa donor sampai di dapatkan darah yang kompatibel (Mehdi,
2013).

127
Persentase populasi dengan antibodi eritrosit positif sebenarnya
tidak terlalu tinggi. Hanya 0,2-2%. Meskipun demikian, standar
American Association of Blood Bank (AABB) merekomendasikan untuk
melakukan skrining antibodi guna mendeteksi antibodi yang signifikan
bermakna klinis sebagai bagian dari pretransfusion compatibility testing
baik pada sampel donor maupun pasien (Trudell, 2014).

7.2 Tujuan Pemeriksaan


Tujuan pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi adalah
mendeteksi antibodi sel darah merah selain anti-A dan anti-B atau
mendeteksi unexpected antibody yang bermakna secara klinis. Kondisi-
kondisi yang membutuhkan pemeriksaan skrining dan identifikasi
antibodi, antara lain:
1. Pasien yang membutuhkan transfusi,
2. wanita yang sedang hamil atau melahirkan,
3. pasien dengan kecurigaan mengalami reaksi transfusi,
4. individu yang melakukan donor darah (Blaney and Howard,
2013).
Pada pasien yang membutuhkan transfusi, skrining dan identifikasi
antibodi bertujuan untuk memastikan bahwa sel-sel darah merah yang
ditransfusikan bisa bertahan dalam waktu yang lama dan aman bagi
pasien (Saluju and Singal, 2014).

7.3 Prinsip Pemeriksaan


Skrining antibodi akan mengetes serum atau plasma pasien dengan
2 atau 3 jenis sel panel yang sudah diketahui komposisi antigenya.
Pemeriksaan dilakukan pada beberapa fase antara lain fase medium salin
atau immediate spin, fase enzim pada suhu 37 oC dan fase Anti Human
Globulin (AHG). Apabila serum pasien mengandung antibodi yang
sesuai dengan antigen yang terdapat pada sel panel, maka akan terjadi
aglutinasi atau hemolisis yang mengindikasikan hasil tes positif. Pada
hasil pemeriksaan skrining yang positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan
identifikasi antibodi menggunakan sel panel sekunder yang terdiri dari
minimal 10 jenis sel panel yang sudah diketahui kandungan antigennya.

128
Reaksi positif pada setiap fase menunjukkan adanya alloantibody atau
autoantibody dalam serum. Fase salin akan mengidentifikasi cold
antibodies (anti-M, anti-N, anti-Lea, anti-Leb, anti-P). Fase enzim akan
mendeteksi anti-Rh, Lewis dan Kidd. Fase AHG mengidentifikasi
antibodi jenis IgG dan komplemen ((Saluju and Singal, 2014).

7.4 Metode Pemeriksaan


Pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi dapat dilakukan
dengan beberapa metode berikut:
a. Metode tabung (tube method),
b. metoge gel (gel method),
c. solid phase adherence method (Trudell, 2014).

7.5 Alat dan Bahan


Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan
skrining dan identifikasi antibodi disesuaikan dengan jenis metode
pemeriksaan yang digunakan. Peralatan dasar yang dibutuhkan antara
lain tabung reaksi, pipet atau mikropipet, sentrifus dan inkubator. Untuk
pemeriksaan yang menggunakan metode gel dan solid phase adherence
method membutuhkan sentrifus dan ikubator khusus yang kompatibel
dengan plastic card dan microtiter wells.
Bahan untuk pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi antara
lain: sampel pasien, sel panel, reagen Anti Human Globulin (AHG),
larutan salin, enhancement reagent, Coomb’s Control Cells (CCC).
a. Sampel yang akan diperiksa
Sampel untuk pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi
dapat berupa sampel serum atau plasma. Sampel plasma umumnya
berupa plasma Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA).
b. Sel panel untuk skrining dan identifikasi antibodi
Ada dua jenis sel panel untuk pemeriksaan skrining dan identifikasi
antibodi yaitu:
1. Sel panel kecil (panel primer)
Sel panel kecil terdiri atas dua atau tiga kelompok suspensi sel
O 3%, dikenal sebagai OR1R1, OR2R2 dan OR3R3 yang membawa

129
antigen utama seperti Rhesus, Duffy, Kell, Kidd, MNSs, P dan Lewis.
Sel-sel ini digunakan untuk skrining antibodi (Nance, 2011; Mehdi,
2013). Berikut adalah contoh gambar komposisi sel panel primer.

Gambar 7.1 Contoh komposisi sel panel primer (Trudell, 2014).

Pada gambar di atas terdiri atas 3 sel panel primer dengan


kandungan antigen yang sudah diketahui. Sebagai contoh, sel panel
pertama dengan kode R1R1-29 mengandung antigen Rhesus (D, C, e),
antigen MNS (M, S), antigen Lutheran (Lub), antigen P1, antigen Lewis
(Lea), antigen Kell (k), antigen Duffy (Fya), dan antigen Kidd (Jka).
2. Sel panel besar (panel sekunder)
Sel panel besar terdiri atas 11 kelompok suspensi sel O 3% yang
dikumpulkan dari donor yang berbeda. Sel-sel ini membawa jumlah
maksimum antigen yaitu D, C, E, c, e, K, k, Fya, Fyb, S, s, Jka, Jkb, P,
Lea, Leb, Lua dan Lub. Selain tersedia secara komersial, sel panel juga
dapat dibuat di laboratorium. Sel-sel dipilih dengan hati-hati untuk
memudahkan identifikasi adanya dua jenis antibodi dalam satu individu
atau adanya kombinasi antibodi (Mehdi, 2013).

7.6 Prosedur Pemeriksaan


Prosedur pemeriksaan skrining antibodi terus mengalami
perkembangan, tetapi prosedur tunggal untuk mendeteksi semua jenis
antibodi golongan darah belum tersedia. Untuk mengatasi masalah
tersebut sangat perlu untuk mengkombinasi berbagai teknik yang
berbeda sehingga antibodi yang bermakna secara klinis dapat dideteksi.
Beberapa kombinasi teknik pemeriksaan yang umum dilakukan antara
lain:
a. salin test pada suhu ruang
b. enzyme (papain cysteine) techniques pada suhu 37 oC

130
c. albumin technique pada suhu 37 oC
d. indirect antiglobulin test (Makroo, 2009).
Secara garis besar tahapan pemeriksaan skrining dan identifikasi
antibodi terdiri dari 2 tahapan. Tahap pertama adalah pemeriksaan
skrining antibodi. Pemeriksaan skrining antibodi dilakukan dengan
menggunakan sel panel primer. Pemeriksaan skrining antibodi umumnya
dilakukan dalam 3 fase, yaitu fase medium salin atau immediate spin,
fase enzim pada suhu 37 oC dan fase AHG atau Indirect Coomb’s Test
(ICT). Secara pararel juga dilakukan pemeriksaan autokontrol dengan
mereaksikan sel dan serum dari individu yang sama. Hasil yang positif
ditunjukkan dengan adanya aglutinasi atau hemolisis. Tahap kedua
pemeriksaan adalah melakukan identifikasi antibodi. Identifikasi antibodi
dilakukan bila hasil skrining positif dan pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan sel panel sekunder. Sebelum melakukan identifikasi
sebaiknya dilakukan penelusuran terhadap kondisi pasien seperti riwayat
pemberian transfusi, kehamilan dan riwayat pemakaian obat-obatan
serta melakukan pemeriksaan ulang golongan darah ABO, Rhesus dan
Direct Coomb’s Test (DCT). (WHO, 2009; Mehdi, 2013).
Baik pemeriksaan skrining maupun identifikasi antibodi memiliki
tahapan atau prosedur yang sama untuk masing-masing metode.
Hanya berbeda dalam jenis sel panel yang digunakan. Pemeriksaan
skrining antibodi menggunakan sel panel primer sedang identifikasi
menggunakan sel panel sekunder dan identifikasi baru dikerjakan bila
hasil pemeriksaan skrining positif. Berikut adalah ilustrasi prosedur
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi dengan metode tabung.

131
Fase Immediate Spin Fase suhu 37 oC, Fase Anti Human
(bersifat opsional), lakukan sentrifugasi Globuli (AHG),
lakukan sentrifugasi untuk melihat ada lakukan sentrifugasi
untuk melihat ada tidaknya hemolisis untuk melihat ada
tidaknya hemolisis dan dan aglutinasi tidaknya hemolisis
aglutinasi dan aglutinasi

2 tetes plasma Tambahkan enhancement Cuci 3 kali dengan Tambahkan 2 tetes Konfirmasi hasil
pasien + 1 reagent (bersifat normal salin untuk reagen AHG, yang negatif
tetes screen opsional), inkubasi 37 oC. menghilangkan eritrosit yang dengan
cell reagent Jika ada antibodi maka antibodi yang tidak tersensitisasi akan penambahan
sensitisasi eritrosit akan terikat diikat oleh antibodi coomb’s control
terjadi pada tahap ini pada AHG cells

Gambar 7.2 Prosedur pemeriksaan skiring dan identifikasi antibodi dengan


Gambar 7.2 Prosedur pemeriksaan skrining
metode dan(Trudell,
tabung identifikasi
2014).antibodi dengan metode
tabung (Trudell, 2014).

Ada pun tahapan skrining dan identifikasi antibodi dibedakan


menjadi tiga fase, yaitu:

1. Immediate spin atau fase salin (pada suhu ruang)


a. Siapkan 12 tabung (untuk 11 sel panel, 1 tabung untuk autokontrol),
berikan label pada masing-masing tabung.
b. Teteskan 2 tetes serum pasien ke dalam masing-masing tabung.
c. Tambahkan masing-masing 1 tetes sel panel pada 11 tabung,
tambahkan 1 tetes suspensi sel pasien ke dalam tabung nomor
12.
d. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu ruang selama 1
jam.
e. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1
menit.

132
f. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolisis atau
aglutinasi.
g. Hasil yang negatif sebaiknya dikonfirmasi secara mikroskopis.
h. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel (antigram chart)
yang sudah disiapkan (Mehdi, 2013; Trudell, 2014).
Setelah fase immediate spin, dapat dilakukan penambahan
enahancement reagent atau potentiators. Penambahan tersebut
bertujuan untuk menurunkan zeta potensial disekitar eritrosit sehingga
interaksi antara eritrosit lebih baik dan meningkatkan peluang terjadinya
aglutinasi. Yang termasuk enahancement reagent adalah albumin 22%,
Low Ionic Strength Solution (LISS), dan Polyethylene glycol (PEG)
(McCullough, 2012; Klein and Anstee, 2014; Trudell, 2014).

2. Fase enzim pada suhu 37 oC


a. Tambahkan 1 tetes enzim papain pada masing-masing tabung
pada fase salin.
b. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 1
jam.
c. Langkah berikutnya sama dengan fase salin (langkah e-h) (Mehdi,
2013; Trudell, 2014).

3. Indirect antiglobulin test


a. Lakuan pencucian 3 kali dengan normal salin pada kedua belas
tabung yang digunakan pada fase enzim untuk menghilangkan
antibodi yang tidak terikat.
b. Tambahkan 2 tetes reagen AHG, eritrosit yang tersensitisasi akan
diikat oleh antibodi pada AHG.
c. Langkah berikutnya sama dengan fase salin (langkah e-h).
d. Konfirmasi hasil yang negatif dengan penambahan coomb’s
control cells (Mehdi, 2013; Trudell, 2014).

133
Tahapan pemeriksaan, IS: fase Immediate spin atau fase
Sel panel sekunder, terdiri dari
salin (pada suhu ruang), 37: fase enzim pada suhu 37 oC,
11 jenis sel panel yang sudah AHG: fase penambahan AHG, CC: penambahan coomb’s
diketahui komposisi antigennya. control cells pada hasil yang negatif

Suspensi sel pasien yang Contoh sel panel nomor 11, Hasil identifikasi
akan direaksikan dengan mengandung antigen D, C, c, antibodi dengan 11 sel
serum atau plasma pasien e, k, Kpb, Jsb, Fya, Fyb, Jkb, panel dan autokontrol
sendiri (autokontrol) Leb, P1, M, N, S, s, Lub, Xga pada 3 fase pemeriksaan

Gambar
Gambar 7.3 Contoh
7.3 Contoh hasil pemeriksaan
hasil pemeriksaan identifikasi
identifikasi antibodi2014).
antibodi (Trudell, (Trudell, 2014).

Pada pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi dengan


metode gel, prosedur pemeriksaan dilakukan pada microtube yang
sudah diisi dengan dextran acrylamide gel. Sel panel yang digunakan
pada metode gel sama dengan metode tabung tetapi sel disuspensi dalam
medium Low Ionic Strength Solution (LISS) pada konsentrasi 0,8%.
Dengan teknik ini, sel panel dan serum atau plasma pasien ditambahkan
pada sumuran microtube yang sudah mengandung gel. Satu plastic card
terdiri dari 6 sumuran/gel microtube. Setelah penambahan sel panel
dan serum atau plasma pasien, plastic card diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 15 menit sampai 1 jam. Selanjutnya lakukan sentrifugasi selama
10 menit. Selama sentrifugasi, suspensi sel darah merah akan turun dan
mengendap di dasar gel. Gel mengandung anti-IgG. Jika sensitisasi
terjadi, anti-IgG akan bereaksi dengan antibodi yang menyelimuti
eritrosit sehingga menghasilkan aglutinasi. Aglutinasi yang terjadi
akan terjebak di permukaan gel. Semakin besar derajat aglutinasi maka

134
semakin banyak sel yang terjebak dipermukaan gel. Bila aglutinasi tidak
terjadi semua sel akan turun melewati gel dan mengendap di bagian
bawah yang menandakan hasil negatif. Gambar berikut menunjukkan
hasil positif dan negatif.

Aglutinasi Aglutinasi
positif negatif

Gambar 7.4 Hasil pemeriksaan dengan metode gel (Trudell, 2014).

Ada beberapa keuntungan dari metode gel untuk pemeriksaan


skrining dan identifikasi antibodi antara lain:
a. Sensitivitas lebih tinggi dibandingkan metode tabung,
b. tidak ada tahap pencucian sel dan penambahan Coombs’ control
cells,
c. hasil reaksi stabil sampai 24 jam dan bisa disimpan dalam bentuk
foto atau hasil scan,
d. derajat aglutinasi bisa distandarisasi dan mudah diinterpretasi,
e. reaksi mixed-field terlihat jelas pada metode gel,
f. keuntungan terbesar adalah prosedur pemeriksaan dan pembacaan
hasil bisa dilakukan dengan alat otomatis.
Salah satu kelemahan metode gel adalah membutuhkan inkubator
dan sentrifus khusus yang bisa mengakomodasi gel cards (Trudell,
2014).
Metode ketiga yang umum digunakan untuk pemeriksaan skrining
dan identifikasi antibodi adalah metode solid phase adherence. Adapun
prinsip pemeriksaan dari metode ini dijelaskan pada gambar berikut.

135
Gambar 7.5 Sistem solid phase adherence test (Trudell, 2014).

Gambar A menunjukkan ilustrasi Microtiter wells yang sudah


dilapisi antigen eritrosit. Gambar B menunjukkan antibodi pasien
berikatan dengan antigen eritrosit dalam Microtiter wells. Gambar C
menunjukkan reaksi yang terjadi antara antibodi pasien dan indikator
sel dan hasil akhir yang bisa dilihat adalah sel menyebar pada Microtiter
wells yang menandakan hasil positif. Gambar D menjelaskan bila tidak
ada antibodi pada serum pasien, indikator sel akan membentuk endapan
pada dasar sumuran yang menandakan hasil negatif (Trudell, 2014).
Pada metode ini antigen eritrosit sudah dilapisi pada microtiter
wells. Serum atau plasma pasien ditambahkan pada masing-masing
sumuran bersama LISS. Dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 37 oC
untuk memberi kesempatan antibodi bereaksi dengan antigen. Microtiter
wells kemudian dicuci untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat.
Berbeda dari reagen AHG tradisional, indikator sel darah merah sudah
dilapisi dengan anti-IgG. Sumuran kemudian disentrifugasi selama
beberapa menit. Jika sensitisasi terjadi, indikator sel akan bereaksi
dengan antibodi yang berikatan dengan antigen yang telah dilapisi pada
Microtiter wells, sehingga membentuk pola menyebar di dalam sumuran.
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi
antibodi menggunakan metode solid phase adherence.

136
Gambar 7.6 Prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi menggunakan
metode solid phase adherence (Walker and Harmening, 2012).

Interpretasi hasil dapat dilakukan dengan mengamati pola


penyebaran eritrosit di dalam sumuran. Derajat positif mulai dari 1+
sampai 4+. Berikut adalah gambar yang membandingkan derajat positif
pada hasil pemeriksaan dengan metode tabung dan metode solid phase
adherence.

137
Gambar 7.7 Perbandingan derajat positif pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi
antara metode tabung dan metode solid phase adherence
(Walker and Harmening, 2012).

Metode solid phase adherence test sudah bisa dikerjakan secara


otomatis baik dari segi langkah-langkah pemeriksaan maupun cara
membaca derajat reaktifnya. Keuntungan lain dari metode ini adalah
jumlah sampel yang dibutuhkan sangat sedikit jika dibandingkan
metode tabung. Jadi, sangat baik untuk kasus-kasus pediatrik. Selain
itu, reagen LISS akan mengalami perubahan warna bila ditambahkan

138
serum atau plasma sehingga lebih meyakinkan bahwa sampel sudah
ditambahkan. Beberapa kelemahan metode ini adalah membutuhkan
ketelitian dalam pemipetan bila pemeriksaan dilakukan secara manual
mengingat jumlah sampel dan reagen yang dibutuhkan sangat kecil.
Kelemahan selanjutnya adalah perlu ketelitian dalam menginterpretasi
hasil pada alat otomatis jika sampel dalam kondisi hemolisis, ikterik dan
lipemik karena dapat memberikan interferen terhadap hasil. Bila teknisi
sudah terbiasa menggunakan metode tabung, hasil positif pada metode
solid phase adherence sering diinterpretasikan negatif dan hasil negatif
diinterpretasikan positif karena tampilan reaksi pada metode solid
phase adherence terbalik dengan metode tabung. Kelemahan terakhir
dari metode solid phase adherence adalah membutuhkan peralatan
penunjang khusus yang sesuai dengan format microtiter well seperti
incubator, washer dan sentrifus (Trudell, 2014).

7.7 Interpretasi hasil


Aglutinasi atau hemolisis pada pemeriksaan skrining antibodi
menyatakan hasil positif dan mengindikasikan pemeriksaan identifikasi
antibodi perlu dilakukan. Hasil pemeriksaan skrining antibodi dan
autokontrol dapat menjadi petunjuk atau arah bagi pemeriksaan
identifikasi dan resolusi terhadap jenis antibodi yang positif. Beberapa
pertanyaan yang perlu dicarikan jawabannya untuk membantu interpretasi
hasil pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi antara lain:
a. Pada fase apa reaksi ditemukan positif?
Antibodi kelas IgM umumnya bereaksi pada suhu kamar atau
suhu yang lebih rendah dan mampu menyebabkan aglutinasi
pada eritrosit yang disuspensi pada medium salin (fase immediate
spin). Antibodi kelas IgG bereaksi baik pada fase AHG. Termasuk
antibodi kelas IgM adalah anti-N, anti-I dan anti-P1. Termasuk
antibodi kelas IgG adalah antibodi Rhesus, Kell, Kidd, Duffy dan
Ss. Antibodi Lewis dan antibodi M termasuk kelas IgG, IgM atau
campuran (Friedman et al, 2016).
b. Apakah hasil pemeriksaan autokontrol positif atau negatif?
Autokontrol adalah reaksi antara sel darah merah pasien dengan

139
serum atau plasmanya sendiri. Hasil skrining antibodi positif,
tetapi autokontrol negatif mengindikasikan adanya alloantibody.
Autokontrol positif menunjukkan adanya autoantibodi. Jika pasien
pernah mendapat transfusi (misalnya 3 bulan sebelumnya), hasil
positif pada autokontrol dapat disebabkan oleh alloantibody yang
menyelimuti sel darah merah donor di sirkulasi.
c. Apakah hasil positif pada pemeriksaan skrining antibodi lebih
dari satu? Jika iya, pada fase apa memberikan hasil positif?
Pada pasien-pasien dengan multipel antibodi, hasil pemeriksaan
skrining antibodi positif dapat lebih dari satu. Multipel antibodi
umumnya positif pada fase yang berbeda dan adanya autoantibodi
dapat diperkirakan dari hasil autokontrol yang positif.
d. Apakah terdapat hemolisis atau aglutinasi mixed-field?
Beberapa antibodi seperti anti-Lea, anti-Leb, anti-PP1Pk dan anti-
Vel diketahui dapat menyebabkan hemolisis in vitro. Aglutinasi
mixed-field dapat disebabkan oleh anti-Sda dan antibodi
Lutheran.
e. Apakah sel benar-benar beraglutinasi atau menunjukkan bentukan
rouleaux?
Serum pasien dengan rasio albumin-globulin terbalik (misal pada
pasien multiple myeloma) atau pasien yang mendapat high-molecular-
weight plasma expanders (misal dextran) dapat menyebabkan agregasi
nonspesifik pada eritrosit yang dikenal dengan rouleaux. Bentukan
rouleaux tidak memiliki arti yang bermakna pada pemeriksaan skrining
antibodi tetapi dapat mengecohkan pembentukan aglutinasi (Trudell,
2014).
Langkah-langkah untuk melakukan interpretasi terhadap hasil
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi adalah sebagai berikut:
1. Melakukan eksklusi atau rule-out
Langkah pertama untuk melakukan interpretasi hasil pemeriksaan
skrining dan identifikasi antibodi adalah melakukan eksklusi atau rule
out. Eksklusi dilakukan dengan cara mengecek kembali hasil reaksi
yang negatif pada semua fase pemeriksaan. Teknik rule out dilakukan
pada antigen yang diekspesikan secara homozigot. Hal tersebut untuk

140
menghindari eksklusi pada antibodi lemah yang kemungkinan baru
dapat memberi hasil positif pada dosis yang lebih besar. Dalam hal
ini yang dimaksud adalah antibodi yang heterozigot sehingga antibodi
yang heterozigot tidak diekslusi. Untuk menentukan suatu antigen
diekspresikan secara homozigot atau heterozigot dapat digunakan
panduan tabel berikut dan gambar berikut.

Tabel 7.1 Contoh fenotif eritrosit dari individu homozigot dan


heterozigot (Trudell, 2014.
Fenotif Jenis antigen Homozigot atau heterozigot
Jk (a-b+) Jkb Homozigot
Jk (a+b+) Jk dan Jk
a b
Heterozigot
Fy (a+b-) Fya Homozigot
Fy (a+b+) Fya dan Fyb Heterozigot
M+N- M Homozigot
M+N+ M danN Heterozigot

Gambar 7.8 Beda gambaran antibodi yang diekspesikan secara homozigot dan
heterozigot (Trudell, 2014).

Berikut adalah contoh hasil pemeriksaan identifikasi antibodi dan


teknik rule out.

141
Antigen yang tidak Antigen yang dieksklusi, sel panel 2,5,8,9 hasil
dieksklusi, diekspresikan diekspresikan secara negatif pada semua fase,
secara heterozigot homozogot lakukan rule out.
Gambar 7.9 Contoh teknik eksklusi atau rule out pada tahapan interpretasi
Gambar 7.9 Contoh teknik
identifikasi atau rule
eksklusiantibodi out pada
(Trudell, tahapan interpretasi identifikasi
2014).
antibodi (Trudell, 2014).
Sel panel nomor 1,3,4,6,7,10 dan 11 memberikan hasil positif dan tidak dapat

dilakukan
Seleksklusi.
panel nomor 1,3,4,6,7,10 dan 11 memberikan hasil positif dan
Sel nomor 2, 5, 8,9 memberikan hasil negatif pada semua fase
pemeriksaan dan perlu dilakukan rule out. Rule out dilakukan pada antigen
tidak dapat dilakukan eksklusi. Sel nomor 2, 5, 8,9 memberikan
homozigot dengan hasil positif, misalnya dengan memberi tanda coretan. Pada
hasil negatif pada semua fase pemeriksaan dan perlu dilakukan
antibodi yang diekspresikan secara heterozigot dan memberikan hasil positif tidak
rule out. Rule out dilakukan pada antigen homozigot dengan hasil
dilakukan role out, misalnya dengan memberi tanda lingkaran.
positif, misalnya dengan memberi tanda coretan. Pada antibodi
yang diekspresikan secara heterozigot dan memberikan hasil
1. Tandai atau lingkari jenis antigen yang tidak ada coretan.
positif tidak dilakukan rule out, misalnya dengan memberi tanda
Berikut adalah contoh hasil pemeriksaan identifikasi antibodi dan pemberian tanda
lingkaran.
jenis antigen yang tidak ada coretan.

2. Tandai atau lingkari jenis antigen yang tidak ada coretan.


Berikut adalah contoh hasil pemeriksaan identifikasi antibodi dan
pemberian tanda jenis antigen yang tidak ada coretan.


142
Antigen yang tidak ada coretan

Gambar7.10
Gambar 7.10Contoh
Contohpemerian
pemberian tanda
tanda padapada
jenisjenis antigen
antigen yangyang
tidaktidak ada coretan
ada coretan
setelah
setelah tahap rulerule
tahap outout (Trudell,
(Trudell, 2014).
2014).

2. Pertimbangkan jenis antibodi yang mungkin reaktif pada masing-masing fase


3. Pertimbangkan jenis antibodi yang mungkin reaktif pada masing-
pemeriksaan. Pada kasus ini, antibodi reaktif pada fase AHG. Antibodi yang bereaksi
masing fase pemeriksaan. Pada kasus ini, antibodi reaktif pada
fase AHG. Antibodi yang bereaksi baik pada fase AHG adalah
baik pada fase AHG adalah antibodi kelas IgG. Termasuk antibodi kelas IgG adalah
antibodi Rhesus (D, C, E, c, e. f, V, Cw), Kell (K, k), Kidd (Jka, Jkb), Duffy (Fya, Fyb),
antibodi kelas IgG. Termasuk antibodi kelas IgG adalah antibodi
dan Ss.
Rhesus (D, C, E, c, e. f, V, Cw), Kell (K, k), Kidd (Jka, Jkb), Duffy
(Fya, Fyb), dan Ss.
3. Lakukan teknik inklusi dengan mencocokkan pola reaksi yang positif pada hasil

4. Lakukan teknik inklusi dengan mencocokkan pola reaksi yang


pemeriksaan dengan pola antigen pada sel panel. Pada contoh ini reaksi yang sesuai
a
positif
dengan hasil pada hasil
pemeriksaan pemeriksaan
adalah dengan
pada antigen Fy . pola antigen pada sel panel.
Pada contoh ini reaksi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan
adalah pada antigen Fya.



143
Gambar
Gambar7.11 Contoh
7.11 teknik
Contoh inklusi
teknik (Trudell,
inklusi 2014).
(Trudell, 2014).
Gambar 7.11 Contoh teknik inklusi (Trudell, 2014).
5. Lakukan pengecekan apakah The 3 and 3 rule atau rule of three
terpenuhi.
4. Lakukan pengecekanArtinya minimal
apakah The 3 and 3 ada
rule 3 sel yang
terpenuhi. positif
Artinya dan 3adasel3 sel
minimal yang
negatif
yang positif dan pada polanegatif
3 sel yang antigenpadasel panel.
pola antigenPada contoh
sel panel. Padaini untuk
contoh ini antigen
untuk
antigenFy ada7 7selsel
Fyaa ada yang
yang positif
positif dan 4 artinya
dan 4 negatif, negatif,
Theartinya Theterpenuhi.
3 and 3 rule 3 and 3 rule
terpenuhi.

 3 Sel
positif

3 Sel
negatif

Gambar 7.12 Rule of three terpenuhi (Trudell, 2014).

6. Melakukan uji statistik, untuk memastikan bahwa pola reaksi


yang didapat bukan hanya suatu kebetulan saja. Uji statistik yang
bisa dilakukan adalah The Fischer exact test untuk menentukan P
value (Probability). Nilai P ≤ 0,05 menyatakan hasil identifikasi
valid. 

 Interpretasi hasil pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi


 seharusnya dilakukan dengan langkah-langkah yang logis untuk

144
memastikan identifikasi sudah dilakukan dengan tepat dan terhindar
dari tidak teridentifikasinya antibodi yang tertutup oleh antibodi lain
(Trudell, 2014).
Derajat positif yang kuat belum tentu mengindikasikan antibodi
signifikan secara klinis. Kekuatan reaksi dapat berhubungan dengan
dosis (sel dengan ekspresi antigen homozigot memberikan reaksi yang
lebih kuat dibandingkan sel dengan ekspresi antigen heterozigot).
Perbedaan kekuatan reaksi juga mengindikasikan ada tidaknya antibodi
yang lebih dari satu. Sel dengan jumlah antigen target lebih dari satu
juga mempunyai kekuatan reaksi yang lebih tinggi dibandingkan sel
dengan antigen target hanya satu (Trudell, 2014).
Reaksi sel tertentu pada satu fase dan sel yang berbeda pada fase
lain mengindikasikan adanya multipel antibodi. Sel yang bereaksi pada
berbagai fase menandakan adanya antibodi dosis rendah. Fase reaktivitas
sangat membantu dalam menentukan apakah suatu antibodi signifikan
bermakna klinis atau tidak. IgM umumnya tidak signifikan dan paling
sering bereaksi pada fase immediate spin. Antibodi signifikan paling
sering terdeteksi pada fase AHG. Beberapa antibodi seperti D, E, dan K
bereaksi pada fase inkubasi 37 oC (Mijovic, 2012; Trudell, 2014).
Jika alloantibody bersifat tunggal, pola reaktivitas umumnya sama
persis dengan pola antigen yang diekspresikan. Seperti contoh kasus
di atas, reaktivitas serum sama dengan pola Fya. Serum memberi hasil
yang positif dengan semua sel Fya positif (1, 3, 4, 6, 7,10, dan 11) dan
memberi hasil negatif pada semua sel Fya negatif (2, 5, 8, dan 9). Variasi
kekuatan reaksi pada tahap AHG ditentukan oleh dosis antigen. Semua
sel yang menghasilkan reaksi 2+ termasuk Fya heterozigot dan semua sel
yang menghasilkan reaksi 3+ termasuk Fya homozigot (Trudel, 2014).
Pada contoh hasil pemeriksaan di atas autokontrol negatif. Hal ini
menandakan bahwa reaksi positif disebabkan oleh alloantibody, bukan
oleh autoantibodi. Kehadiran autoantibodi dapat menutupi kehadiran
alloantibodies, dan mempersulit proses identifikasi antibodi sehingga
diperlukan teknik khusus untk mengatasi masalah tersebut, misalnya
dengan teknik adsorpsi (Trudell, 2014).

145
7.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sensitivitas Skrining
Antibodi
Reagen skrining antibodi didesain untuk mendeteksi sejumlah
antibodi yang signifikan bermakna klinis dan tidak mendeteksi antibodi
yang insignifikan. Pada penggunaan tiga sel panel, hasil yang negatif
pada ketiga sel panel mencerminkan 95% tidak ada antibodi yang
signifikan bermakna klinis. Namun, ada beberapa keterbatasan dari
skrining antibodi. Skrining antibodi tidak akan mendeteksi antibodi
bila titer antibodi sangat rendah, kurang dari batas kemampuan deteksi
metode yang digunakan. Skrining juga tidak dapat mendeteksi antibodi
terhadap antigen dengan prevalensi rendah karena reagen (sel panel)
yang digunakan tidak mengandung antigen tersebut. Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi sensitivitas pemeriksaan skrining antibodi
antara lain: rasio sel dan serum, suhu dan phase reactivity, lama inkubasi
dan derajat keasaman (pH) (Trudell, 2014). Berikut akan dibahas satu
persatu faktor-faktor tersebut.

a. Rasio sel dan serum


Jika antibodi pada sampel berlebihan dibandingkan konsentrasi
antigen pada reagen, maka akan terjadi fenomena prozone yang
memberikan dampak hasil negatif palsu. Demikian juga pada kondisi
terbalik, jika antigen yang berlebihan akan terjadi fenomena postzone
yang juga memberikan dampak hasil negatif palsu. Rasio yang ideal
adalah 2 tetes serum ditambahakan 1 tetes suspensi eritrosit sehingga
memberikan zona equivalence. Rasio tersebut dapat berbeda tergantung
jenis metode pemeriksaan yang digunakan. Pada kondisi tertentu, jika
antibodi lemah maka jumlah serum ditingkatkan menjadi 4-10 tetes
sehingga lebih banyak antibodi yang bereaksi dengan antigen (Trudell,
2014).

b. Suhu dan phase reactivity


Suhu optimal dimana antibodi mampu bereaksi dengan antigen
merupakan kondisi yang sangat berguna dalam menentukan identitas
antibodi. Antibodi yang bermakna secara klinis umumnya bereaksi pada

146
suhu 37 oC atau bereaksi dengan penambahan reagen AHG. Beberapa
prosedur terkadang tidak menyertakan fase immediate spin atau fase
suhu kamar untuk membatasi terdeteksinya insignificant cold antibody.
Namun, pada kondisi tertentu penting untuk mengidentifikasi antibodi
yang bereaksi pada suhu ruang, hal tersebut dapat dilakukan dengan
melakukan inkubasi pada suhu 18 oC atau suhu 4 oC untuk meningkatkan
reakstivitas (Trudell, 2014). Tabel berikut merangkum jenis antibodi
yang bereaksi optimal pada masing-masing fase pemeriksaan skrining
antibodi.

Tabel 7.2 Jenis antibodi yang bereaksi optimal pada masing-


masing fase pemeriksaan skrining antibodi (Trudell, 2014).

Fase Immediate spin Fase


Fase Inkubasi 37 oC
(suhu ruang) Antiglobulin

Potent cold antibodies


Cold autoantibodies Antibodi
Jenis antibodi (khususnya yang
(I, H, IH) Rhesus
menyebabkan hemolisis)
Beberapa warm antibodies,
Lea, Leb jika titernya tinggi (misal: Kell
D, E, dan K)
M, N Duffy
P1 Kidd
Lua S,s
Lub
Xga
Umumnya IgG, IgM yang
Kelas imunoglobulin IgM IgG
mengaktivasi komplemen
Bermakna secara klinis Tidak Ya Ya

c. Lama inkubasi
Reaksi antigen-antibodi berada dalam keseimbangan yang
dinamis. Jika waktu inkubasi singkat, maka akan sedikit sel darah merah
yang tersensitisasi terdeteksi dengan metode rutin. Jika waktu inkubasi
diperpanjang, maka antibodi yang terikat dapat melepaskan diri dari sel
darah merah. Waktu inkubasi juga ditentukan oleh medium reaksi. Pada
medium salin, waktu yang dibutuhkan dapat berkisar antara 30 menit

147
sampai 1 jam, namum pada medium lain waktu inkubasi dapat lebih
singkat, misalnya 10 menit (Trudell, 2014).

d. Derajat keasaman (pH)


Sebagian besar antibodi bereaksi pada pH yang netral yaitu antara
6,8 – 7,2. Namum beberapa jenis antibodi, misalnya anti-M bereaksi
pada pH 6,5. Pada kondisi tersebut teknik pengasaman dalam sistem
pemeriksaan sangat dibutuhkan untuk membedakan anti-M dengan jenis
antibodi yang lain (Trudell, 2014).

7.9 Penyebab Kesalahan Hasil Pemeriksaan Skrining dan


Identifikasi Antibodi
Beberapa faktor yang menyebabkan hasil positif palsu pada
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi adalah bentukan rouleaux,
adanya fibrin, kontaminasi sampel, adanya cryoprecipitate dari sampel
yang dibekukan (Blaney and Howard, 2013).

148
Daftar Pustaka

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Antibody Detection and Identification.


Basic & Applied Conceppts of Blood Banking and Transfusion
Practices Third Edition. . United States: Elsevier Mosby.p. 158-
187.
Friedman, M. T., West, K. A., Bizargity, P. 2016. Basic Single Antibody
Identification: How Hard Can It Be?. Immunohematology and
Transfusion Medicine A Case Study Approach. Switzerland :
Springer International Publishing.. p. 1-4.
Klein, H. G., Anstee, D. J. 2014. Blood Grouping Techniques. Mollison’s
Blood Transfusion in Clinical Medicine 12th Edition. UK: Wiley-
Blackwell. p. 303-347.
McCullough, J. 2012. Laboratory Detection of Blood Groups and
Provision of Red Cells. Transfusion Medicine Third Edition. UK:
Wiley-Blackwell. p. 207-233.
Mehdi, S.R. 2013. Detection and identification of antibodies. Essentials
of Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 37-44.
Mijovic, A. 2012. Case 8 Dial M for HeMolysis. Transfusion Medicine
Case Studies and Clinical Management. London: Springer-Verlag.
p. 31-34.
Nance, S. 2011. Red Cell Antibody Detection and Identification.
Immunohematology Principle and Practice Third Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.. p. 75-94.
Saluju, G. P., Singal, G. L. 2014. Antibody Screening. Standard
Operating Procedures and Regulatory Guidelines Blood Banking.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.. p. 87-90.
Trudell, K.S. 2014. Detection and Identification of Antibodies. In:
Harmening, D.M.Modern Blood Banking & Transfusion Practices
Sixh Edition. United States of America: F. A. Davis Company.
p. 216-240.
WHO, 2009. Detection and identification of antibodies. Safe Blood and
Blood Product. Genewa: WHO. p. 38-44.

149
INDEK

A
Apheresis 1
Anti Human Globulin (AHG) 2, 69-70, 87, 97, 105, 107, 109, 115, 132
Antiglobulin anti-IgG gel card 2
Antigen ekstra 49
Antigen lemah 49
Antibodi ekstra 49, 55
Antibodi lemah 49
Antenatal care (ANC) 74
Antiglobulin crossmatch 83
Autologous 95
Alloantibody 96, 98, 100, 142-143, 148
Auto immune hemolytic anemia (AIHA) 104, 111, 125
Autoantibody 131
Albumin technique 133
Antigram chart 135

B
C
Crossmatcing 2, 4, 82, 95-101
Compatibility testing 4
Column technique 25, 41-44
Caesarean Section 73, 78-79
Crossmatch mayor 83, 86
Crossmatch minor 83, 86
Coombs control cells (CCC) 87, 112, 132, 136, 138
Computer crossmatch 93-94
Coombs’ test 101, 104-113, 116
Cold Aglutinin Disease (CAD) 124
Cold antibodies 131

150
D
Direct Antiglobulin Testing (DAT) 2, 105
Discrepancy 47-, 71
Du Phenotype 68-69, 73
Direct Coombs’ test (DCT) 98, 107, 123, 125, 134
Direct Antiglobulin Test (DAT) 104

E
Ethylenediaminetetraacetic acid(EDTA) 9, 41, 85, 132
Emergency 16-18
Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT) 118-119
Enhancement reagent 132, 135

F
Forward grouping 5, 19-20, 29-, 56
Fase albumin 87

G
H
I
In vivo 2, 46, 104, 106
Identifikasi pasien 6
Immediate-spin crossmatch 16, 82, 83-86, 93, 96
Imunoglobulin 23-25
In vitro 46, 104, 143
Indirect Coomb’s Test (ICT) 61 , 64, 68, 104, 106, 125, 134
Uji cocok serasi 82
Indirect Antiglobulin Test (IAT) 87, 136
Immediate spin 72, 134-135, 150
Immune alloantibodies 130
Identifikasi antibodi 130-151

151
J
K
Kontrol kualitas 12
Kalibrasi 12

L
Lipemik 11
Low Ionic Strength Solution (LISS) 47, 90, 114, 117, 137
Low-Ionic Polybrene technique (LIP) 118
Lactic Dehydrogenase (LDH) 123
Least incompatible 124-126

M
Micoplate testing 2, 25, 35-40
Makroskopis sampel 10
Mixed-field 49, 93, 138, 143
Monoclonal 62
Microwell Plate 66, 132
Microplate sentrifuse 66-67
Microplate shaker 66-67
Medium salin 86
Mixed AIHA 123-124
Mean Cells Volume (MCV) 125
Microtiter wells 139-142

N
O
Overtransfusion 125

P
Pretransfusion testing 1
Penampungan sampel 9
Pemisahan serum/plasma 13
Pencucian sel 14

152
Packed Red Cells (PRC) 17-19, 54, 72,74, 100
pH 46, 151
Polyclonal 62
Partial D 68, 71
Polymerase Chain Reaction (PCR) 71
Plastic card 89-91, 132, 137
Prewarming technique 123, 124
Panreactive126
Potentiators 136
Prozone 149
Postzone 149
Phase reactivity 149

Q
Quality control 12, 13

R
Refrigerated centrifuge 1, 12
Reverse grouping 5, 19-20, 29-32, 56
Reagen 11, 12, 13
Rhesus D negative 60
Rhesus D positif 60
Rh viewbox 61, 63
Rouleaux 97, 143, 151
Role out 143, 145-146
Rule of three 147

S
Slide test 2, 18, 25-29, 54, 56, 61-65
Solid-phase immunoassay 2, 44, 118-119, 132
Solid-phase red cell adherence (SPRCA) 2, 44
Solid-phase protein A 2
Solid-phase enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) 2, 44
Standard Operating Procedures (SPO) 12, 48

153
Suspensi sel 14
Serologic crossmatch 83
Skrining antibodi 130-151
Sel panel 132-133
Solid phase adherence 139-142

T
Tube test 2, 19, 25, 29-35, 54, 56, 61-65, 88, 107, 132
Titer antibodi 75-78
The gel low ionic antiglobulin test (GLIAT) 119
The 3 and 3 rule 147

U
Unexpected allogeneic antibodies 4, 130
Umur sampel 10
Uji validasi 15
Uncross-matched blood 16-17
Unit Transfusi Darah (UTD) 19, 130

V
W
Word Health Organization (WHO) 5, 15
Weak D 61, 68-69, 71-74
Warm AIHA 124
Wash Red Cells (WRC) 124
White Blood Cells (WBC) 125

X
Y
Z
Zeta Potensial 46

154

Anda mungkin juga menyukai