Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
C. Tujuan Penyusunan Makalah ......................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN
A. Skrining Antibodi ......................................................................................... 6
Indikasi Klinis ............................................................................................. 6
Metode Pemeriksaan ................................................................................. 7
Prosedur Pemeriksaan ............................................................................... 7
Interpretasi Hasil ........................................................................................ 8
Limitasi Pemeriksaan ................................................................................. 9
B. Identifikasi Antibodi ................................................................................... 10
Prosedur Pemeriksaan ............................................................................. 12
Interpretasi Panel Antibodi ....................................................................... 16
Pedoman Interpretasi ............................................................................... 19
BAB III PENUTUP
Kesimpulan .............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 22

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imunoglobulin adalah antibodi yang terbentuk sebagai hasil dari stimulus
kekebalan (paparan antigen asing). Pemeriksaan di Bank Darah mengacu pada
antibodi yang akan menempel pada sel-sel darah. Berdasarkan pengamatan
terdapat antibodi yang diketahui dapat menimbulkan reaksi transfusi dan Hemolytic
Disease of Newborn (HDN). Kecuali untuk anti-A, anti-B, dan anti-AB, ini biasanya
dari golongan imunoglobulin IgG. Istilah lain disebut antibodi IgG yang tidak dapat
menyebabkan aglutinasi dengan antigen sel darah merah dalam medium saline
adalah "incomplete antiboby”.
Antibodi A dan B secara alami terbentuk tanpa ada paparan sebelumnya
dengan sel darah asing. Antibodi ini diharapkan dan dapat digunakan untuk
mengonfirmasi antigen typing untuk penggolongan sistem ABO. Sel-sel skrining
antibodi digunakan untuk mendeteksi antibodi tak terduga (irregular antibody).
Dalam kebanyakan kasus ini adalah alloantibodi, yang dibentuk untuk antigen asing
pada sel-sel dari individu lain dalam spesies yang sama. Oleh karena itu bagi
seorang individu untuk membuat alloantibodi mereka akan kekurangan antigen
yang dapat membuat antibodi spesifik karena menganggap sel dalam tubuh sendiri
sebagai benda asing.
Autoantibodi juga dapat dideteksi dengan cara skrining antibodi. Antibodi ini
yang membuat seseorang melawan antigennya sendiri. Ini bukan kejadian yang
normal dan mungkin menunjukkan adanya anemia hemolitik autoimun. Tabung
autocontrol dalam skrining antibodi akan mendeteksi jenis antibodi dan penyebab
lain dari Direct Antiglobulin Test yang positif. Antibodi yang signifikan secara klinis
adalah antibodi tersebut yang diketahui dapat menyebabkan reaksi transfusi dan
HDN. Selain antibodi AB yang beraglutinasi dalam medium saline, IgM, dan sisa
antibodi secara klinis adalah antibodi IgG yang bereaksi (warm antibody), dan
hanya dapat ditunjukkan pada pengujian tahap antiglobulin. Antibodi yang muncul
pada fase pemerasan langsung yang paling antibodi gangguan kemungkinan tidak

2
akan menyebabkan reaksi transfusi. Ini juga akan disebut sebagai aglutinin saline
karena antibodi mampu menyebabkan aglutinasi langsung terhadap antigen yang
disuspensikan dalam medium saline tanpa memerlukan teknik peningkatan.
Antibodi yang secara signifikan adalah antibodi hangat (warm antibody) yang
bereaksi optimal pada suhu diatas 35ºC
Pemeriksaan Skrining dan Identifikasi Antibodi merupakan salah satu contoh
pemeriksaan dengan prinsip Indirect Coomb Test (ICT) / Indirek Antiglobulin Test
(IAT). Jika skrining antibodi positif, artinya terdeteksi adanya antibodi dalam serum
pasien maka harus dilakukan tes selanjutnya atau penunjang untuk secara khusus
mengidentifikasi antibodi spesifik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa fungsi pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi?
2. Apa tujuan dilakukannya pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi?
3. Bagaimana prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi?

C. Tujuan Penyusunan Makalah


1. Untuk mengetahui fungsi pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi
2. Untuk mengetahui tujuan dilakukannya pemeriksaan skrining dan identifikasi
antibodi
3. Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Skrining Antibodi
Sel darah merah (SDM) membawa sejumlah antigen protein dan karbohidrat
pada permukaannya. Ada lebih dari 600 antigen, yang dibagi dalam 30 sistem
penggolongan. Ada atau tidak adanya antigen ini pada individu sangat penting,
karena menentukan darah yang akan diberikan pada proses transfusi. Jika
seseorang diberikan darah yang mengandung antigen yang berbeda dari antigen
pada tubuhnya, maka tubuhnya akan membentuk antibodi yang dapat
menyebabkan hemolisis intravaskuler maupun ekstravaskuler ketika resipien
tersebut terpapar antigen yang sama pada transfusi berikutnya.
Secara alami, dalam serum/plasma orang normal hanya terdapat anti-A dan
anti-B. Antibodi lainnya merupakan “unexpected antibodies” dan dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu, alloantibodi dan autoantibodi. Pemeriksaan skrining
antibodi dilakukan di laboratorium klinik dan/atau bank darah untuk mendeteksi
keberadaan antibodi yang tak terduga, terutama alloantibodi dalam serum terhadap
antigen dari sistem penggolongan darah non-ABO: Duffy, Kell, Kidd, MNS, P, dan
tipe Rh tertentu yang memiliki arti secara klinis.
Antibodi ini berbentuk IgM atau IgG, antibodi IgM umumnya dinilai kurang
signifikan dibanding IgG, karena IgM reaktif pada suhu kamar namun tidak pada
suhu tubuh dan jarang menyebabkan hemolisis in vivo.

Indikasi Klinis
Skrining antibodi secara rutin dilakukan bersamaan dengan tes golongan
darah dan crossmatch sebelum pemberian komponen darah, terutama sel darah
merah untuk menghindari reaksi transfusi. Pemeriksaan ini juga dilakukan dalam
skrining antenatal untuk mendeteksi adanya antibodi dalam serum wanita hamil
yang dapat menyebabkan Hemolytic Dissease of Newborn (HDN).
Skrining antibodi dapat dilakukan sebagai lanjutan dari pemeriksaan
crossmatch untuk memungkinkan pengenalan dini dan identifikasi antibodi dan

4
dengan demikian dapat memungkinkan pemilihan prosedur crossmatch dan sel
darah merah yang tepat.

Metode Pemeriksaan
Tes skrining antibodi meliputi pengujian serum resipien terhadap 2 atau 3 set
sel skrining. Sel skrining merupakan golongan darah O yang telah diketahui profil
antigen atau fenotip sel darah merahnya; D, C, E, c, e, K, k, Fya, Fyb, Jka, Jkb, M, N,
S, s, P1, Lea, Leb. Sel skrining merupakan sampel suspensi sel golongan darah O
yang telah diketahui antigen dan fenotipnya. Golongan darah O digunakan karena
secara alami tidak mengandung anti-A dan anti-B yang dapat mengganggu deteksi
“Unexpected antibodies”.

Gambar 1 . Profil Antigen

Prosedur Pemeriksaan
Prosedur pemeriksaan dibagi menjadi tiga fase: fase Immediate spin (IS),
fase 37ºC, dan fase Anti-Human Globulin (AHG). Tujuan fase immediate spin
adalah untuk mendeteksi “cold antibodies”, biasanya dari kelas IgM. Satu tetes
suspensi eritrosit dari masing-masing set sel skrining dimasukkan kedalam tabung

5
sentrifus dan ditambah 2 tetes serum resipien. Kemudian tabung tersebut
disentrifus kecepatan 3400 rpm selama 15 detik pada suhu kamar untuk
memudahkan interaksi antara antigen dan antibodi. Lalu diamati terjadinya
aglutinasi atau hemolisis.
Setelah fase immediate spin, tabung tadi di inkubasi pada suhu 37ºC.
Kemudian tabung tersebut disentrifus kecepatan 3400 rpm selama 15 detik. Lalu
diamati terjadinya aglutinasi. Untuk meningkatkan deteksi terhadap “warm
antibodies”, terutama yang berasal dari kelas IgG, fase seringkali menggunakan
teknik terbaru seperti metode Low Ionic Strength Saline (LISS) dan Polyethylene
Glycol (PEG). LISS biasanya ditambahkan untuk mengurangi penggumpalan yang
disebabkan ion Na+ dan Cl- dan meningkatkan kecepatan daya tarik antigen dan
antibodi. Dengan penambahan LISS, waktu inkubasi dapat dikurangi dari 30-60
menit menjadi 10 menit. PEG, polimer larut air, digunakan untuk mempercepat
pengikatan antibodi-SDM oleh pengeluaran steric dari molekul air dalam larutan
pengencer dan untuk meningkatkan deteksi antibodi.
AHG (Indirect Antiglobulin Test [IAT], Indirect Coombs Test [ICT]): eritrosit
pada tabung pada fase sebelumnya dicuci dengan saline sebanyak 3 kali untuk
menghilangkan antibodi bebas yang tidak terikat pada eritrosit, lalu tambahkan
AHG ke masing-masing tabung. Kemudian tabung tersebut disentrifus kecepatan
3400 rpm selama 15 detik. Lalu diamati terjadinya aglutinasi.
AHG adalah antibodi hewan yang terikat dengan bagian Fc imunoglobulin
manusia. AHG mendeteksi ikatan antibodi SDM yang tidak menimbulkan aglutinasi
direk (antibodi tersensitasi). Terbentuknya aglutinasi dengan penambahan AHG
menunjukkan pengikatan antibodi dengan antigen sel darah merah yang spesifik.
Dua fase terakhir (fase 37ºC dan AHG) diperlukan untuk mendeteksi antibodi
IgG yang signifikan secara klinis.

Interpretasi Hasil
Jika pada tes skrining didapatkan hasil positif diantara ketiga fase dengan sel
skrining yang manapun, maka harus dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
mengindentifikasi spesifitas antibodi. Bila hasil skrining negatif, darah tersebut
dapat diberikan kepada resipien untuk keperluan transfusi.

6
Limitasi Pemeriksaan
“Warm autoantibodies” adalah respon imun IgG terhadap sel darah pasien,
dan aktif secara optimal pada suhu 37ºC. “warm autoantibodies” dapat meragukan,
karena umumnya autoantibodi ini bereaksi sama terhadap semua sel skrining yang
diperiksa dan menyamarkan alloantibodi yang signifikan secara klinis. Pemeriksaan
lebih lanjut seperti autoabsorption diperlukan untuk menghilangkan autoantibodi
dan untuk memungkinkan identifikasi antibodi yang bermakna klinis lainnya.
“Cold autoantibodies” adalah antibodi tipe IgM, dan umumnya tidak memiliki
makna klinis, karena IgM tidak selalu menyebabkan hemolisis in vivo. “Cold
autoantibodies” juga dapat mengganggu deteksi antibodi yang bermakna klinis.
Biasanya, “Cold autoantibodies” mudah ditemukan keberadaannya karena
reaksinya yang kuat terhadap sel skrining selama fase immediate spin, namun
menunjukkan repon yang lebih lemah selama fase AHG. Dalam beberapa kasus,
autoantibodi ini berikatan kuat dengan sel darah merah, menyebabkan hasil positif
pada fase AHG. Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya hal tersebut, sampel
plasma/serum dan sel skrininng harus dihangatkan terlebih dahulu.
Antibodi nonspesifik dapat mengganggu hasil skrining antibodi. Antibodi ini
tidak berhubungan dengan antigen pada sel darah merah, sebaliknya antibodi ini
dapat berasal dari penyakit dan hasil pengobatan.

7
B. Identifikasi Antibodi
Pemeriksaan identifikasi antibodi adalah pemeriksaan lanjutan bila pada
tahap skrining antibodi didapatkan hasil positif. Identifikasi antibodi dibutuhkan
untuk keperluan transfusi dan merupakan komponen penting pada tes
kompatibilitas. Tes ini digunakan untuk mengidentifikasi “unexpected antibodies”
dalam serum pasien. Identifikasi dilakukan dengan mereaksikan serum pasien
dengan minimal 10 set sel skrining, yang disebut panel antibodi.

Gambar 2. Tabel Sel Skrining

Sama halnya dengan tes skrining antibodi yang menggunakan sel skrining,
namun bedanya Panel antibodi ini terdiri dari minimal 10 set sel skrining. Setiap sel
panel sudah diketahui tipe antigennya (ditampilkan pada antigram). (+)
menunjukkan adanya antigen dan (0) menunjukkan tidak adanya antigen.

Gambar 3. Tabel Panel antibodi

8
Gambar 4. Antigram sel panel

Contoh: Sel panel no. 10 memiliki 9 antigen: c, e, f, M, s, Leb, k, Fya, dan Jka.

Seluruh sel panel di uji terhadap serum pasien dan dilengkapi dengan tes
Autocontrol.

Gambar 5. Baris Autocontrol

9
Gambar 6. Fase-fase identifikasi antibodi

Sama halnya dengan skrining antibodi, identifikasi antibodi juga dilakukan


dalam tiga fase; fase immediate spin (IS), fase 37ºC, dan fase Anti Human-Globulin
(AHG).

Prosedur Pemeriksaan

Tabung di label untuk masing-masing sel panel serta satu tabung untuk
autocontrol. Seluruh tabung (kecuali autocontrol) diisi 1 tetes sel panel dan 2 tetes
serum pasien. Sedangkan tabung autocontrol diisi dengan 1 tetes sel pasien + 2
tetes serum pasien.

Gambar 7. Prosedur Kerja

10
Lakukan fase immediate spin (IS) dengan memutar tabung tersebut pada
kecepatan 3400 rpm selama 15 detik dalam suhu kamar. Lalu tetapkan derajat
aglutinasinya; amati juga bila terjadi hemolisis. Catat hasil yang didapat pada kolom
IS.

Gambar 8. Hasil fase Immediate Spin

Selanjutnya tabung tadi di inkubasi pada suhu 37ºC selama 30-60 menit (10-
15 menit bila ditambahkan 2 tetes LISS), lalu disentrifus pada kecepatan 3400 rpm
selama 15 detik. Amati dan tetapkan derajat aglutinasinya. Catat hasil yang didapat
pada kolom 37ºC.

Gambar 9. Hasil fase 37ºC

11
Fase Anti Human-Globulin (AHG), menguji kemungkinan serum pasien
bereaksi terhadap sel darah merah secara in vitro. Terdapat tiga macam Anti
Human-Globulin (AHG); polispesifik, Anti-IgG, dan Anti komplemen.
Eritrosit pada tabung fase sebelumnya dicuci dengan saline sebanyak 3 kali,
lalu ditambahkan 2 tetes AHG, dihomogenkan dan disentrifus dengan kecepatan
3400 rpm selama 15 detik. Amati dan tetapkan derajat aglutinasinya. Catat hasil
yang didapat pada kolom AHG.

Gambar 10. Hasil fase Anti-Human Globulin (AHG)

12
Biasakan membuat kolom CC (Check Cells) dan beri tanda checklist untuk
setiap hasil negatif yang didapat pada fase AHG.

Gambar 11. Check Cells

Apa yang harus dilakukan setelah mendapatkan data aglutinasi?

Gambar 12. Data Aglutinasi

13
Langkah-langkah Interpretasi Panel Antibodi
1. “Ruling Out” berarti mengeliminasi antigen yang tidak menunjukkan reaksi
2. Lingkari antigen yang tidak tereliminasi
3. Pertimbangkan sifat-sifat reaksi umum setiap antibodi
4. Temukan pola yang tepat.

INGAT!!
Antibodi hanya akan bereaksi terhadap yang antigen yang homolog; antibodi tidak
akan bereaksi dengan sel yang tidak memiliki antigen yang sama.

Contoh Melakukan Interpretasi Panel


1. Ruling Out
Eliminasi antigen yang tidak menunjukkan reaksi di fase manapun;
eliminasi hanya dilakukan pada sel darah merah yang memiliki ekspresi
antigen homozigot (hanya terdapat salah satu antigen diantara antigen
yang sepasang. Contohnya, jika dalam sel terdapat Fy(a+b-) dan tidak
bereaksi dengan plasma, maka Fya boleh dieliminasi. Hal ini untuk
menghindari eliminasi antibodi yang memiliki dosage effect.

Gambar 13. Ruling Out

14
2. Lingkari antigen yang tidak tereliminasi

Gambar 14. Melingkari antigen yang tidak bereaksi

3. Pertimbangkan sifat-sifat reaksi umum setiap antibodi

Gambar 15. Melihat reaksi umum setiap antibodi

15
Lea merupakan Cold-Reacting antibody (IgM), maka mungkin saja bila
kita menemukan reaksi pada fase immediate spin; sedangkan antigen E
biasanya bereaksi pada suhu yang lebih hangat.

4. Temukan pola yang tepat

Gambar 16. Menemukan Pola yang tepat

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam serum pasien yang diuji
terdapat Anti-Lea.

16
Pedoman Interpretasi
Harus selalu diingat bahwa:
Autocontrol
 Negatif - alloantibodi
 Positif – autoantibodi
Fase-fase
 IS – cold antibodies(IgM)
 37°C - cold (beberapa memiliki rentang suhu yang lebih tinggi) atau
warm reacting
 AHG – warm antibodies (IgG)
Kekuatan reaksi tergantung pada dosage effect
Dosage effect adalah kondisi dimana sel darah merah yang berasal
dari individu yang homozigot mengandung lebih banyak antigen per sel
darah merahnya dibandingkan dengan yang berasal dari individu
heterozigot. Efek tersebut menyebabkan terjadinya reaksi yang lebih
kuat antara antibodi dengan sel yang homozigot. Sedangkan reaksi
antara antibodi dengan sel yang heterozigot lebih lemah atau bahkan
non-reaktif sehingga antigen heterozigot tidak boleh di eliminasi (lihat
contoh interpretasi sebelumnya).
Antigen yang memiliki dosage effect; Rhesus (C, c, E, e), MNS, Lu,
Rh, Kidd, Duffy. Sedangkan sistem antigen Kell secara tipikal tidak
menunjukkan dosage effect.

Rule of 3 and 3
Untuk memastikan antibodi yang di identifikasi sudah benar, maka
Rule of 3 and 3 harus terpenuhi. Plasma pasien HARUS:
 Positif terhadap 3 sel yang mengandung antigen
 Negatif terhadap 3 sel yang tidak mengandung antigen

17
Gambar 17. The Rule of 3 and 3

Sel panel 1, 4, and 7 mengandung antigen dan menunjukkan reaksi pada


fase immediate spin. Sedangkan sel panel 8, 10, dan 11 tidak
mengandung antigen dan tidak menunjukkan reaksi pada fase immediate
spin.
Menguji plasma pasien dengan minimal 3 sel yang positif memiliki
antigen dan 3 sel yang negatif memiliki antigen akan meghasilkan nilai
probabilitas (P) 0,05. (Nilai P adalah ukuran statistik terhadap
kemungkinan suatu keadaan tertentu terjadi karena ketidaksengajaan).
Jika the rule of 3 and 3 terpenuhi maka hasil identifikasi antibodi tersebut
95% tepat.
Namun, jika sel dalam panel tidak cukup untuk memenuhi the Rule
of 3 and 3, maka harus digunakan sel tambahan dari panel yang lainnya.
Kebanyakan laboratorium memiliki jumlah sel panel tambahan yang
berbeda.

18
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Skrining dan identifikasi antibodi merupakan salah satu pemeriksaan pra-
transfusi yang rutin dilakukan untuk melengkapi tes golongan darah dan crossmatch.
Pemeriksaan ini sangat penting dalam menentukan darah yang tepat untuk
ditransfusikan kepada resipien dan mencegah terjadinya Hemolytic Transfusion
Reaction (HTR) dan Hemolytic Dissease of the Newborn (HDN).
Tujuan pemeriksaan skrining antibodi adalah untuk mendeteksi antibodi sel
darah merah selain anti-A atau anti-B. Antibodi ini disebut sebagai “Unexpected
antibodies”. Disebut demikian karena antibodi ini hanya ditemukan pada 0,3-2% dari
populasi manusia. Bila “Unexpected antibodies” ini terdeteksi, maka pemeriksaan
identifikasi antibodi harus dilakukan untuk menentukan spesifitas antibodi dan
maknanya secara klinis. Antibodi sel darah merah dianggap signifikan secara klinis bila
antibodi tersebut dapat menyebabkan reaksi hemolisis terhadap sel darah merah.
Contohnya, anti-D yang signifikan secara klinis karena anti-D dapat berikatan dengan
sel darah merah memiliki antigen D sehingga dapat menyebabkan hemolisis.
Tes skrining antibodi meliputi pengujian serum pasien terhadap dua atau tiga set
sel skrining. Sedangkan identifikasi antibodi dilakukan menggunakan minimal 10 set sel
skrining. Sel yang digunakan diseleksi sehingga antigen yang dimaksud (D, C, E, c, e,
M N, S, s, P, Lea, Leb, K, k, Fya, Fyb, dan Jkb) bisa terdapat paling tidak pada salah satu
sampel sel.

19
DAFTAR PUSTAKA

Wilkins, R., Antibody Identification, School of Health Related Professions, University of


Mississippi Medical Center, 2011. (www.austincc.edu, 13/9/2015)

Ken Ritchie, N., Inkompabilitas dalam Pemeriksaan Crossmatch, Ikatan Teknisi


Transfusi Darah Indonesia, Jakarta, 2014. (bppsdmk.depkes.go.id, 11/9/2015)

Yulianti, Y., Pemeriksaan Skrining Pre Transfusi, 2013. (dokumen.tips/documents,


11/9/2015)

Saiemaldahr, M.H., Antibody Screening, Blood Bank Medical Technology Departement,


India, 2008. (www.kau.edu, 13/9/2015)

Webmedia.unmc.edu/alliedhealth, 27/10/2015, Antibody Identification

20

Anda mungkin juga menyukai