Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH IMUNOHEMATOLOGI & BANK DARAH

“Antiglobulin Test (Coomb’s Test)”

OLEH :
KELOMPOK 1
1. Dini Maliani (B1D119)
(B1D119105) 6. Nurhalisa
2. Shinta Ainul Fatimah (B1D119)
(B1D119) 7. Hanna Vini Frans
3. Melkianus Songgo Paba’na (B1D119)
(B1D119111) 8. d
4. Raodatul Mutmainnah (B1D119)
(B1D119)
9. Margarita Batlajar
5. Nurlaili ABD SALAM
(183145353167)

PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah
berjudul “Antiglobulin test (Coomb’s Test)” tepat waktu. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah
IMUNOHEMATOLOGI & BANK DARAH. Selain itu, kami juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
“Antiglobulin test (Coomb’s Test)”.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Cut


Indriputri,S.Tr.AK,.M.Imun selaku dosen mata kuliah
IMUNOHEMATOLOGI & BANK DARAH. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah wawasan pengetahuan dan wawasan terkait bidang
yang ditekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Makassar, 16 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ........................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................1

C. Tujuan.....................................................................................1

D. Manfaat...................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................3

A. Definisi Coomb’s Test............................................................3

B. Jenis dan Tujuan Coomb’s Test.............................................4

C. Prinsip pemeriksaan Coomb’s Test.......................................5

D. Metode pemeriksaan Coomb’s Test......................................7

E. Pemeriksaan Coomb’s Test...................................................7

F. Interpretasi Hasil..................................................................10

G. Faktor yang mempengaruhi.................................................11

H. Sumber Kesalahan...............................................................12

BAB III PENUTUP .............................................................................

ii
A. Kesimpulan...........................................................................15

B. Saran....................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................16

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Prinsip pemeriksaan direct Coomb’s Test........................6
Gambar 2.2 Prinsip pemeriksaan indirect Coomb’s Test……………...7
Gambar 2.3 Prosedur pemeriksaan DCT……………………………….9
Gambar 2.4 Prosedur pemeriksaan ICT………………………………...10

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imunohematologi merupakan ilmu yang mempelajari reaksi
antigen (Ag) dan antibodi (Ab) pada sel darah, khususnya sel darah
merah. Ilmu ini tidak hanya mencakup imunologi dan hematologi saja,
melainkan terdapat juga ilmu lain seperti, genetika, biokimia dan
biomolekuler. Pada prakteknya, imunohematologi diaplikasikan pada
bidang pelayanan transfusi darah( Maharani,dkk.2018)
Konsep imunohematologi yang digunakan dalam bidang
pelayanan transfusi darah adalah pemeriksaan sebelum transfusi (pre-
transfusi test) dan mendeteksi adanya reaksi transfusi yang ditandai
adanya Ab terhadap sel darah( Maharani, dkk.2018)
Konsep dasar imunologi diperlukan untuk memahami reaksi Ag
dan Ab. Reaksi Ag dan Ab wajib dipahami terlebih dahulu, karena
prinsip dasar metode pemeriksaan untuk transfusi darah, pada
umumnya, saat ini masih menggunakan reaksi Ag dan Ab( Maharani,
dkk.2018)
Antibodi merupakan jenis protein yang dihasilkan oleh sel limfosit
karena adanya paparan terhadap Ag yang spesifik. Struktur dasar Ab
terdiri atas 2 rantai berat (Heavy-chain) dan 2 rantai ringan (Light-chain)
yang identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan
disulfida (S-S) ( Maharani, dkk.2018)
Jenis Ab terbagi ke dalam lima kelas, yaitu : IgG, IgM, IgA, IgE,
IgD. IgG merupakan satu-satunya immunoglobulin yang mampu
melewati plasenta, sedangkan IgM tidak dapat melalui plasenta dan
disintesis pertama kali sebagai stimulus terhadap Ag. Pada topik ini
akan lebih banyak dibahas IgG dan IgM, karena yang banyak terlibat
dalam reaksi transfusi dan terkait dengan pemeriksaan sebelum
transfusi (pre-transfusi tes) adalah jenis immunoglobulin tersebut.

1
Adapun jenis immunoglobulin lainnya , seperti IgE, berperan dalam
reaksi alergi yang disebabkan oleh transfuse. IgE berperan dalam
reaksi alergi yang mengakibatkan sel melepaskan histamin. IgA
ditemukan dalam sekresi eksternal, sebagai contoh pada mukosa
saluran nafas, intestinal, urin, saliva, air mata, dsb. Fungsi dari IgA
adalah dapat menetralisir virus dan menghalangi penempelan bakteri
pada sel epitelium. IgD merupakan penanda permukaan sel B yang
matang dengan jumlah yang sedikit di dalam
serum( Maharani,dkk.2018)
Percobaan Coombs mencari adanya antiglobulin. Jika semacam
antibodi melekat pada eritrosit yang mengandung antigen, maka
antibodi yang spesifik terhadap antigen itu mungkin menyebabkan
eritrosit-eritrosit bergumpal (aglutinasi). Globulin merupakan antibodi
penghalang (blocking antibodies) atau antibodi tak lengkap (incomplete
antibodies). Pada konsentrasi tinggi antibodi ini melapisi eritrosit tetapi
tidak dapat mengaglutinasikannya dalam larutan salin (Maharani dkk,
2018)
Anti human globulin akan bereaksi dengan setiap globulin
manusia. Karena itu penting bahwa semua globulin bebas harus
dibuang dari sel darah merah dengan pencucian yang bersih sebelum
penambahan anti human globulin. Sisa globulin serum dalam larutan
akan bergabung dengan anti human globulin mengakibatkan anti
human globulin tidak mampu lagi mengaglutinasi sel yang telah
disensitisasi, dan menyebabkan suatu tes Coombs negatif yang salah
(false negative) (Maharani dkk, 2018).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah kali ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud Antiglobulin Test atau Coomb’s Test?
2. Apa saja jenis dan tujuan dari coomb’s test?
3. Bagaimana Prinsip pemeriksaan dari Coomb’s Test?
4. Bagaimana cara pemeriksaan dari Coomb’s Test?

2
5. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan Coomb’s Test?
6. Bagaimana cara menentukan faktor serta sumber kesalahan dari
coomb’s test?
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi Antiglobulin Test atau Coomb’s Test
2. Untuk mengetahui jenis dan tujuan dari coomb’s test
3. Untuk mengetahui Prinsip pemeriksaan dari Coomb’s Test
4. Untuk memahami cara pemeriksaan dari Coomb’s Test
5. Untuk mengetahui interpretasi hasil dari pemeriksaan Coomb’s
Test
6. Untuk menentukan faktor serta sumber kesalahan dari coomb’s test
D. Manfaat
Adapun manfaat pada makalah kali ini adalah mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami terkait materi Aantiglobulin test atau
coomb’s test

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Pengertian Coomb’s Test


Antiglobulin test yang popular disebut dengan Coomb’s test,
ditemukan pertama kali oleh Coombs, Mourant dan Race pada tahun
1945 untuk mendeteksi antibodi yang tidak beraglutinasi dalam serum.
Coomb’s test menjadi sangat penting karena dapat mendeteksi
antibodi IgG dan komplemen yang menghancurkan sel darah merah
baik secara in vivo maupun in vitro tanpa menunjukkan adanya
aglutinasi. Jadi perdefinisi Coomb’s test adalah suatu pemeriksaan
yang digunakan untuk mendeteksi antibodi yang mengikat sel darah
merah baik secara in vivo maupun in vitro (Mulyantari dan I Wayan,
2016).
Menurut (Adnyana dkk, 2015), Kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan pembentukan antibodi adalah sebagai berikut :
a. Reaksi transfuse
Darah manusia digolongkan berdasarkan penanda tertentu
(yang disebut antigen) pada permukaan eritrosit. Untuk transfuse
diperlukan tipe darah yang sama berdasarkan antigennya. Jika
antigen yang diberikan berbeda maka sistem imun akan
menghancurkandarah yang ditransfusikan. Ini dinamakan reaksi
transfuse yang dapat menyebabkan penyakitserius bahkan
kematian
b. Sensitisasi Rh
Faktor Rhesus (Rh) merupakan suatu antigen. Jika seorang
ibu hamil dengan golongan darahRh negatif dan bayi yang
dikandungnya RH positif maka akan terjadi sensitisasi Rh.
Bayinyamungkin memiliki Rh positif dari ayahnya. Sensitisasi Rh
terjadi bila darah janin bercampur dengan darah ibu selama

4
kehamilan atau persalinan. Ini Jika sensitisasi terjadi, janin atau
bayi baru lahir dapat berkembang menjadi masalah ringan hingga
berat (dinamakan penyakit Rh atau erythroblastosis fetalis)
menyebabkan sistem imun ibu membentuk antibodi untuk melawan
sel darah janin pada kehamilan selanjutnya. Respon antibodi ini
dinamakan sensitisasi Rh dan bila ini terjadi, dapat menghancurkan
sel darah merah janin sebelum atau setelah dia lahir.
c. Anemia hemolitik autoimun
Jenis anemia hemolitik yang dinamakan anemia hemolitik
autoimun merupakan penyakityang jarang yang disebabkan oleh
pembentukan antibodi yang melawan eritrositnya sendiri.
B. Jenis dan Tujuan Coomb’s Test
Menurut (Mulyantari dan I Wayan, 2016), Ada dua jenis
Antiglobulin test yaitu Direct Antiglobulin Test (DAT) atau Direct
Coomb’s test (DCT) dan Indirect Antiglobulin Test (IAT) atau Indirect
Coomb’s test (ICT) :
1. Direct Antiglobulin Test (DAT) atau Direct Coomb’s test (DCT)
Tes Coombs langsung (Direct Coombs Test / DCT)
digunakan untuk mendeteksi antibodi atau komplemen pada
permukaan sel darah merah dimana sensitisasi telah terjadi secara
invivo. Reagen anti human globulin ditambahkan pada sel darah
merah yang telah dicuci dan aglutinasi menunjukkan tes positif.
Menurut (Mulyantari dan I Wayan, 2016), Pemeriksaan DCT
sering digunakan untuk membantu diagnosis kasus-kasus berikut:
a. Hemolytic disease of new born (HDN)
Penyakit HDN ini paling sering terjadi pada sistem golongan
darah Rhesus, karena sistem golongan darah ini merupakan
antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan
darah lainnya. Namun, tidak menutup kemungkinan juga untuk
terjadi pada sistem golongan darah ABO meski dengan
kemungkinan yang kecil (Feri Arosa,2016)

5
Misalnya jika antigen eritrosit seorang manusia masuk ke
dalam badan manusia yang tidak mempunyai golongan darah
atau faktor darah yang sama maka akan terbentuk zat anti,
kejadian ini disebut sensibilitas. Sensibilitas yaitu kemampuan
untuk menafsirkan rangsangan dari luar atau dalam tubuh (Feri
Arosa,2016)
Sensibilitas dapat terjadi karena transfusi darah, injeksi
darah intramuskuler dan karena kehamilan. Penyakit yang
diakibatkan dari sensibilitas pada kehamilan disebut
erytroblastosis fetalis (pada janin) atau Hemolytic Disease of
The Newborn (pada bayi baru lahir) (Feri Arosa,2016)
HDN Akibat Inkompatibilitas Rhesus, HDN tipe ini terjadi
pada ayah Rh+ dengan ibu Rh - , dan janin Rh+ . HDN terjadi
akibat masuknya antigen janin yang tidak dimiliki ibu sehingga
ibu membentuk antibodi (IgG) terhadapan antigen tersebut.
Melanie, dalam artikel Hemolytic Disease of The Newborn and
Fetus menjelaskan patogenesis HDN sebagai berikut: proses
yang terjadi biasanya didahului oleh Fetomaternal Hemorrhage
(FMH) yaitu terjadinya perdarahan kecil di uterus sehingga
darah janin masuk ke sirkulasi ibu. Keadaan ini menyebabkan
pembentukan antibodi ibu terhadap antigen janin yang
diwariskan dari ayah (sensitisasi Rhesus). Pada kehamilan
berikutnya, antibodi IgG dari ibu yang terjadi akan menembus
plasenta. Antibodi IgG ini akan menyerang sel darah merah
janin yang memiliki Rhesus+ sehingga terjadi hemolisis pada sel
darah merah janin(Danny E & Jonas L,2021)
HDN diklasifikasikan dalam 3 kategori: (a) D hemolytic
Disease, disebabkan anti-D, atau kombinasi anti-D dengan anti-
C atau anti-E, (b) HDN disebabkan inkompabilitas ABO, (c)
Hemolitik disebabkan antigen lain(Danny E & Jonas L,2021)
b. Auto immune hemolytic anemia (AIHA)

6
Anemia hemolitik autoimun atau yang umum disebut dengan
autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah sebuah kelainan
yang jarang dan yang dikarakteristikkan dengan adanya proses
hemolisis oleh reaksi autoantibodi yang menyerang langsung
sel darah merah penderita, dengan insidensi 1-3 orang per
100.000 populasi per tahun dan rerata mortalitasnya mencapai
kurang lebih 11%(Oktafina & Debora, N. 2017).
Mortalitas lebih rendah pada anak-anak (4%) tapi akan
meningkat (hingga 10%) pada Evans Syndrome (terdapat
trombositopenia autoimun) serta AIHA tipe campuran. AIHA
diklasifikasikan sebagai AIHA warm type (disebabkan oleh
adanya reaksi hemolisis ekstravaskular yang bersuhu tinggi
yang dimediasi oleh IgG, kurang lebih 75% kasus AIHA), AIHA
cold type (disebabkan oleh adanya reaksi hemolisis
intravaskular bersuhu rendah yang dimediasi oleh komplemen,
kurang lebih 15% kasus AIHA), dan tipe campuran (kurang dari
5%), pembagian ini didasarkan pada rentang suhu dari
autoantibodi yang berperan dalam pathogenesis (Oktafina &
Debora, N. 2017).
Penyebab AIHA bermacam-macam, umumnya idiopatik
(50%), sindrom limfoproliferatif (20%), penyakit autoimun seperti
systemic lupus erythematosus (SLE) (20%) hingga infeksi dan
tumor(Oktafina & Debora, N. 2017).
Manifestasi klinis dari AIHA umumnya akan terlihat perlahan
beberapa bulan hingga tahunan bergantung pada keparahan
anemia yang diderita penderitanya, dari asimtomatik yang
terkompensasi dengan retikulositosis dengan hiperbilirubinemia
ringan hingga hemolisis fulminan dengan jaundice,
hepatosplenomegali, takikardi dan angina(Oktafina & Debora, N.
2017).

7
Manifestasi klinis tersebut juga dibedakan berdasarkan
adanya penyakit dasar dan derajat hemolisis yang bergantung
pada tipe autoantibodi. Pasien dengan reaksi hangat IgM
dilaporkan cenderung memiliki keparahan hemolisis yang tinggi
dan angka mortalitasnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan
AIHA tipe dingin. Derajat anemia umumnya bergantung pada
kemampuan kompensasi tubuh dengan peningkatan kadar
retikulosit dan pada pasien dengan retikulositopenia umumnya
memiliki keadaan klinis yang lebih buruk dan memerlukan
transfusi sel darah merah yang sesuai (Oktafina & Debora, N.
2017).
Pendekatan diagnosis AIHA secara garis besar cukup
membutuhkan pembuktian adanya anemia yang disebabkan
proses hemolisis dan hasil pemeriksaan serologis yang
membuktikan adanya antibodi anti-eritrosit yang dapat
terdeteksi dengan direct antiglobulin test (DAT) (Oktafina &
Debora, N. 2017).
AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia) juga sangat erat
kaitannya dengan penyakit SLE. SLE (Systemic Lupus
Erythematosus) merupakan suatu penyakit autoimun heterogen
yang menyerang multi-organ dan memberikan klinis bervariatif
sesuai dengan organ yang terkena(Oktafina & Debora, N.
2017).
SLE sendiri mengklasifikasikan AIHA sebagai gejala klinis
dari kelainan hematologis yang umum. Pada AIHA oleh karena
SLE, gejala selain AIHA akan nampak yaitu terdapat gangguan
pada organ lain karena SLE. Oleh karena insidensi AIHA pada
kasus SLE semakin meningkat dan penyakit ini membutuhkan
terapi segera, maka pendekatan diagnosis dan tatalaksana
yang benar akan memberikan hasil yang signifikan(Oktafina &
Debora, N. 2017).

8
c. Pemeriksaan adanya sensitisasi sel darah merah yang diinduksi
oleh obat-obatan
d. Pemeriksaan kasus hemolitik yang disebabkan oleh reaksi
transfusi
Direct Coomb's Test atau Direk Antiglobulin Test (DAT)
digunakan untuk mendeteksi autoantibodi pada permukaan SDM
dengan ditandai oleh adanya C3 dan atau IgG yang berikatan
dengan SDM. Pada test ini SDM penderita dicuci dibebaskan dari
protein-protein yang melekat dan kemudian direaksikan dengan
reagen antiglobulin yang telah disiapkan untuk berhadapan dengan
IgG. dan C3 yang ada pada permukaan SDM sehingga
menghasilkan aglutinasi.
2. Indirect Antiglobulin Test (IAT) atau Indirect Coomb’s test (ICT)
Tes Coombs tidak langsung (Indirect Coombs Test / ICT)
digunakan untuk mencari adanya antibodi irregular (inkomplit)
dalam serum. Terlebih dahulu dilakukan pelapisan eritrosit-eritrosit
normal bergolongan O (atau eritrosit-eritrosit yang golongannya
sesuai dengan serum yang diperiksa) dengan serum yang diketahui
atau tersangka mengandung antibodi penghalang. Langkah
berikutnya ialah membuktikan adanya antibodi tersebut dengan
menggunakan Serum Coombs.
Indirect Coomb's test atau indirect antiglobulin test dapat
mendeteksi sekitar 80% antibodi dalam serum. Pada test ini serum
pasien akan direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin
yang beredar pada serum akan melekat pada sel reagen dan dapat
dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.
Antibodi yang terdeteksi pada indirek antiglobulin test mungkin
disebabkan oleh autoantibodi atau alloantibodi.
C. Prinsip Pemeriksaan Coomb’s Test
Menurut (Mulyantari dan I Wayan, 2016), Prinsip sederhana dari
pemeriksaan antiglobulin adalah sebagai berikut:

9
a. Molekul antibodi dan komplemen adalah globulin
b. Human globulin yang diinjeksikan pada hewan (kelinci) akan
merangsang produksi antibodi, yaitu Anti Human Globulin (AHG).
Pemeriksaan serologi yang berkembang menggunakan reagen
AHG yang dapat bereaksi dengan berbagai jenis globulin manusia
meliputi anti-IgG antibody dan C3d yang merupakan komponen
komplemen pada manusia.
c. AHG akan bereaksi dengan molekul human globulin baik yang
terikat dengan sel darah merah maupun yang bebas dalam serum.
Menurut (Mulyantari dan I Wayan, 2016), Ada dua jenis prinsip
pemeriksaan Antiglobulin test yaitu prinsip pemeriksaan Direct
Antiglobulin Test (DAT) atau Direct Coomb’s test (DCT) dan prinsip
pemeriksaan Indirect Antiglobulin Test (IAT) atau Indirect Coomb’s test
(ICT) :
1. Prinsip Pemeriksaan DCT

Gambar 2.1 Prinsip Pemeriksaan Direct Coomb's Test


DCT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel
darah merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi
secara in vivo. Setelah dilakukan proses pencucian sel darah
merah sebanyak 3 kali kemudian tambahkan reagen AHG,
kemudian dilihat ada tidaknya aglutinasi. Aglutinasi akan terjadi

10
apabila ada anti-IgG antibody atau C3d yang menyelimuti sel darah
merah.
2. Prinsip Pemeriksaan ICT

Gambar 2.2 Prinsip Pemeriksaan Indirect Coomb's Test


ICT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah
merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in
vitro. Reagen sel darah merah ditambahkan serum pasien
kemudian dilakukan proses inkubasi. Inkubasi bertujuan untuk
memberi kesempatan antiIgG antibody dan C3d yang bebas dalam
serum mensensitisasi sel darah merah secara in vitro. Setelah
sensitisasi terjadi lalu tambahkan reagen AHG dan amati ada
tidaknya aglutinasi.
D. Metode Pemeriksaan Coomb’s Test
Metode konvensional untuk pemeriksaan coomb’s test adalah
menggunakan metode tabung (tube test). Beberapa metode modifikasi
lain yang bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic
Polybrene technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT),
solid phase technology, dan gel test (Mulyantari dan I Wayan, 2016).
E. Pemeriksaan Coomb Test
Menurut (Mulyantari dan I Wayan, 2016). Adapun beberapa
pemeriksaan coomb’s test yaitu :

11
a. Pemeriksaan DCT dengan Metode Tabung (Tube Test)
Alat dan Bahan:
Pada pemeriksaan ini alat yang digunakan yaitu tabung
gelas dengan ukuran 75 x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes. Bahan
untuk pemeriksaan coomb’s test dengan metode tabung, antara
lain: sel darah merah yang akan diperiksa, reagen Anti Human
Globulin (AHG), dan kontrol positif. Ada dua tipe reagen AHG yang
tersedia, yaitu:
1. Reagen AHG polispesifik Reagen AHG polispesifik umumnya
mengandung anti-IgG dan anti-C3d namun juga dapat
mengandung anti C3b dan anti C4b. Pembuatan AHG dilakukan
dengan cara menyuntikkan human globulin ke dalam tubuh
hewan, prosedur tersebut selanjutnya akan menghasilkan
antibodi spesifik untuk immunoglobulin manusia dan sistem
faktor komplemen manusia.
2. Reagen AHG monospesifik Reagen monospesifik masing-
masing mengandung anti-IgG, IgM, IgA atau komponen
komplemen yang sudah terpisah-pisah.
Kontrol sel positif dibuat dari golongan darah O Rhesus
positif yang direaksikan dengan anti-D, reagen AHG dan
dibantu dengan alat dan bahan lain seperti salin dan tabung
reaksi ukuran 75 x 12 mm. Berikut adalah teknik pembuatan
kontrol sel positif:

- Cuci sel darah merah golongan O Rhesus positif sebanyak


tiga kali menggunakan larutan salin,

- Letakkan 0,5 mL sel darah merah yang sudah dicuci ke


dalam tabung reaksi,

- Tambahkan 2-3 tetes anti-D,

12
- Campur dan inkubasi pada suhu 37 o C selama 30 menit.
Jika aglutinasi positif, ulangi prosedur dengan
menambahkan anti-D yang sudah diencerkan,

- Cuci sel sebanyak 4 kali kemudian buat suspensi sel 5%


dalam medium salin.

- Ambil satu volume suspensi sel 5% dan tambahkan 2


volume reagen AHG. Campur dengan baik dan sentrifugasi.
Reaksi yang didapat harus +2

- Kontrol sel positif dapat disimpan selama 48 jam pada suhu


4 0C
Prosedur Kerja
1. Diteteskan 1 tetes suspensi sel 2-4% yang akan diperiksa ke
dalam tabung yang bersih dan berikan label. Sampel darah
harus segar, tidak lebih dari 24 pasca pengambilan atau
ditampung dalam tabung EDTA untuk mencegah terjadinya
uptake komplemen,
2. Dicuci sel sebanyak 3 kali menggunakan larutan salin dan
buang sebanyak mungkin salin pasca pencucian,
3. Ditambahkan 1-2 tetes reagen AHG, d. campur dan sentrifugasi
selama 1 menit pada kecepatan 1000 revolution per minute
(rpm),
4. Digoyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi, f. jika
hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
5. Dicampur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan
1000 rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi,
hasil dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.

13
Gambar 2.3 Prosedur Pemeriksaan DCT

b. Pemeriksaan ICT dengan Metode Tabung (Tube Test)


Alat dan bahan:
Alat yang dibutuhkan adalah tabung gelas dengan ukuran 75
x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes. Bahan untuk pemeriksaan
meliputi serum yang akan diperiksa, sel darah merah golongan O,
reagen Anti Human Globulin (AHG), dan kontrol sel positif.
Prosedur Kerja
Adapun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:
1. Diteteskan 2 tetes serum yang akan diperiksa ke dalam tabung
yang bersih dan beri label. Sampel serum harus segar, untuk
mendeteksi adanya komplemen yang berikatan dengan
antibodi,
2. Ditambahkan 1 tetes suspensi sel darah golongan O 2-5%,
3. Diinkubasi pada suhu 37 o C selama 45-60 menit,
4. Diamati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi. Hemolisis atau
aglutinasi yang terjadi pada tahap ini mencerminkan adanya
salin yang bereaksi dengan antibodi,
5. Jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel
sebanyak 3-4 kali menggunakan larutan salin dan buang
sebanyak mungkin salin pasca pencucian,

14
6. Ditambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
7. Dicampur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan
1000 revolution per minute (rpm),
8. Digoyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
9. Jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
10. Dicampur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan
1000 rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi,
hasil dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
11. Selalu sertakan autokontrol pada pemeriksaan ICT

Gambar 2.4 Prosedur Pemeriksaan ICT

F. Interpretasi Hasil
Pemeriksaan DCT tidak dibutuhkan secara rutin dalam
protokol pretransfusion testing. Hasil DCT yang positif secara
tersendiri bukan merupakan sebuah diagnosis. Interpretasi hasil
yang positif membutuhkan informasi tentang diagnosis klinis
pasien, riwayat pemberian obat-obatan, kehamilan, riwayat
transfusi sebelumnya dan informasi lain terkait adanya proses
hemolitik (Mulyantari dan I Wayan, 2016).

15
G. Faktor yang mempengaruhi perlekatan Ab pada sdm invitro :
Menurut (Mulyantari dan I Wayan, 2016). Adapun Faktor yang
mempengaruhi perlekatan Ab pada sdm invitro yaitu:
1) Temperatur
Ab yang menyeubungi eritrosit dan serum breaksi oftimal pada
suhu 370C. suhu yang terlalu rendah akan mempengaruhi
kecepatan asosiasi Ag dan Ab. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi
akan merusak eritrosit dan molekul Ab.
2) Ionic Strength.
Eritrosit dapat disuspensikan kedalam berbagai media misal
dalam lar saline fisiologis, lar albumin, LISS dan reag additive
seperti polyethylene glycol (PEG)/hexadimethrine bromide
(polybrene). Dalam cairan isotonik, Na ion dan Cl ion bergerombol
sekeliling sel dan sebagian menetralisir muatan yang
berseberangan pada Ag dan molekul Ab. Effek penyelubungan ini
yang merintangi assosiasi Ab dengan Ag dan dapat dikurangi
dengan cara mengurangi ionic strength dari media reaksi.
Konsekuensi menurunkan konsentrasi garam dari media reaksi 
meningkatkan Ab yang melekat pada eritrosit. Penggunaan
albumin kec bila digunakan dibawah kondisi ion yang rendah juga
dapat melakukan perlekatan molekul Ab.

16
3) Proporsi Serum Terhadap Sel
Suspense eritrosit yangterlalu tinggi atau terlalu rendah dapat
mempengaruhi drajat Ab yang menyelimuti eritrosit. Dengan
meningkatkan ratio serum terhadap sel dapat mendeteksi Ab yang
bereaksi lemah yang tidak terdeteksi dibawah suspensi normal
eritrosit.
4) Waktu Inkubasi
Tehnik albumin waktu inkubasi 15 – 30 menit suhu 37 0C
waktu yang adekwat untuk mendeteksi Ab yang menyelimuti sdm
yang secara klinis berarti. Ab yang bereaksi lemah, reaksi Ag Ab
tidak dapat mencapai keseimbangan dalam waktu inkubasi selama
30 menit dan dengan memperpanjang waktu inkubasi dapat
membuktikan keberadaannya.
H. Sumber Kesalahan
Menurut (Mulyantari dan I Wayan, 2016). Hasil pemeriksaan dapat
menunjukan nilai negatif palsu disebabkan oleh :
1) Tidak mencuci sdm dengan bersih dan baik, karena globulin yang
bebas yang tidak berikatan dengan sel akan menetralisir AHG.
2) Pemeriksaan terganggu atau tertunda.
3) Pelaksanaan proses pencucian harus dilakukan secepat mungkin
untuk mengurangi kehilangan Ab yang terlepas dari sel.
4) AHG harus ditambahkan segera setelah proses pencucian selesai
karena Ab yang telah mengadakan ikatan akan terlepas kembali.
5) Setelah AHG ditambahkan harus segera diputar dan dibaca,
karena reaksi igg yang menyelimuti sdm akan melemah setelah
inkubasi.
6) Reagen kehilangan reaktivitas yang disebabkan oleh penyimpanan
yang tidak baik, kontaminasi bakteri / serum manusia.
Penyimpanan AHG dianjurkan pada 2 – 8 0C, jangan dibekukan, bila
warna berubah tidak digunakan lagi. AHG mengalami netralisasi
bila terkontaminasi dengan serum manusia / anti–D sera.

17
7) Hal ini tidak terlihat dengan mata (makroskopis) tetapi terlihat bila
diperiksa dengan CCC, hasil reaksi yang seharusnya pos menjadi
negatif.
8) Tidak ada AHG pada pemeriksaan, atau lupa menambahkan AHG.
Hal ini dapat dicegah dengan memakai AHG yang berwarna.
9) Penggunaan centrifugasi yang tidak baik
Centrifugasi yang lambat keadaan menjadi tidak optimal untuk
aglutinasi, sebaliknya centrifugasi yang terlalu kuat memadatkan
sel, sehingga sel sukar untuk terurai.
10) Jumlah eritrosit yang ada pada pemeriksaan mempengaruhi
reaktivitas. Reaksi yang lemah karena terlalu banyak eritrosit,
sebaliknya eritrosit yang terlalu sedikit menyulitkan pembacaan
aglutinasi dengan baik.
11) Reaksi prozone sebagai kemungkinan penyebab pemeriksaan
antiglobulin tidak reaktif.
Menurut (Mulyantari dan I Wayan, 2016). Hasil pemeriksaan
dapat menunjukan nilai negatif palsu disebabkan oleh :
1) Sdm sudah dicentrifugasi sebelum dilakukan pencucian. Apabila
tidak terlihat aglutinasi yang tampak setelah penambahan AHG
dapat disalah interpretasikan pembacaannya sebagai akibat
perselubungan IgG / komplemen. eritrosit penderita cold react auto
Ab yang kuat beraglutinasi pada contoh darah yang disimpan pada
suhu kamar atau dibawah suhu kamar.
2) Tabulasi gelas yang tidak bersih terkontaminasi dengan debu,
detergent / material lain yang menyebabkan sdm menggumpal /
aggregasi.
3) Over centrifugation dapat memadatkan eritrosir yaitu agregasi
disalah artikan dengan aglutinasi.
4) Reagen yang dibuat tidak baik dan dapat mengandung Ab yang
mengakibatkan aglutinasi pada sel yang tidak diselubungi. Enzyme
treated red blood cells dapat meningkatkan reaktivitas dengan

18
antispecies Ab dan dapat bereaksi langsung dengan reag AHG
yang mengandung kontaminasi aktivitas.
H. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan Coomb,s Test
DCT dapat mendeteksi kadar molekul IgG pada level 100-500 per
eritrosit dan 400-1.100 molekul C3d per eritrosit. Sedangkan ICT
mampu mendeteksi kadar molekul IgG atau C3d pada level 100-200
pada sel dengan reaksi positif. Jumlah molekul IgG yang
mensensitisasi eritrosit dan kecepatan terjadinya sensitisasi
dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Rasio serum dan sel
Peningkatan rasio serum dan sel akan meningkatkan
sensitivitas pemeriksaan. Umumnya, rasio minimum adalah 40:1
yang bias didapat dengan menambahkan 2 tetes serum dan 1 tetes
suspensi sel eritrosit 5%. Jika menggunakan sel yang disuspensi
dalam salin, maka dapat meningkatkan rasio serum dan sel yang
memiliki kemampuan mendeteksi antibodi lemah (misal: 4 tetes
serum dengan 1 tetes suspensi sel 3% akan memberikan rasio
133:1).
2. Medium reaksi
Beberapa medium reaksi yang bisa digunakan antara lain
albumin, LISS dan polyethylene glycol. Pada 1965, Stroup dan
Macllroy melaporkan peningkatan sensitivittas ICT jika albumin
digunakan sebagai medium reaksi. Campuran reaksi yang terdiri
atas 2 tetes serum, 2 tetes bovin albumin 22% dan 1 tetes suspensi
sel 3-5% menunjukkan sensitivitas yang sama pada inkubasi 30
menit dibandingkan inkubasi 60 menit pada medium salin. Namun,
salah satu kelemahan albumin yang dilaporkan oleh Pezt dan
Coworkers adalah tidak mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi
yang bermakna secara klinis sehingga albumin jarang digunakan
sebagai media ICT secara rutin. Penggunaan Low ionic strength

19
solutions (LISS) diperkenalkan oleh Low dan Messeter. LISS
mampu meningkatkan uptake antibodi dan memperpendek waktu
inkubasi dari 30-60 menit menjadi 10-15 menit.
Penggunaan LISS juga dilaporkan oleh Moor dan Mollison yang
menemukan bahwa reaksi optimal bisa didapatkan dari
penggunaan 2 tetes serum dan 2 tetes suspensi sel 3% dalam
medium LISS. Polyethylene glycol (PEG) bersifat larut dalam air
dan digunakan sebagai zat tambahan untuk meningkatkan uptake
antibodi.
Mekanisme kerja PEG adalah menghilangkan molekul air yang
mengelilingi eritrosit (the water of hydration theory) sehingga efektif
untuk meningkatkan konsentrasi antibodi. Beberapa peneliti telah
membandingkan penggunaan PEG dan LISS sebagai medium
reaksi dalam pemeriksaan antiglobulin. Hasil penelitian melaporkan
bahwa PEG dapat meningkatkan deteksi antibodi yang bermakna
secara klinis dan menurunkan deteksi antibodi yang tidak bermakna
secara klinik.
3. Temperatur
Kecepatan reaksi antibodi IgG dan aktivasi komplemen optimal
pada suhu 37 oC.
4. Waktu inkubasi
Untuk sel yang disuspensi dalam medium salin, waktu inkubasi
mencapai 30-120 menit. Mayoritas antibodi yang bermakna secara
klinis akan terdeteksi setelah menit ke-30. Jika menggunakan LISS
atau PEG, waktu inkubasi bisa diperpendek menjadi 10-15 menit.
Dengan waktu yang lebih singkat, sangat penting untuk dilakukan
o
inkubasi pada suhu 30 C. Bila waktu inkubasi pada teknik LISS
diperpanjang (misal 40 menit) maka antibodi akan terelusi dari
eritrosit dan sensitivitas akan menurun.
5. Pencucian eritrosit

20
Untuk pemeriksaan DCT maupun ICT, sel eritrosit harus dicuci
dengan salin minimal 3 kali sebelum dilakukan penambahan reagen
AHG. Pencucian akan menghilangkan globulin serum yang tidak
berikatan. Pencucian yang tidak adekuat dapat menyebabkan hasil
negatif palsu karena reagen AHG akan dinetralisasi oleh globulin
serum yang tidak berikatan. Hal tersebut menyebabkan fase
pencucian pada pemeriksaan DCT dan ICT menjadi tahapan yang
sangat penting. Proses pencucian sebaiknya segera dilakukan
setelah proses inkubasi. Semua sisa salin setelah pencucian
terakhir harus dihilangkan karena dapat mengencerkan reagen
AHG yang berefek pada penurunan sensitivitas pemeriksaan.
6. Salin untuk pencucian
Idealnya salin yang digunakan untuk pencucian harus segar
dan mempunyai pH 7,2-7,4. Salin yang disimpan terlalu lama dalam
wadah plastik menunjukkan penurunan pH sehingga meningkatkan
kecepatan elusi antibodi selama proses pencucian dan memberikan
efek hasil negatif palsu. Adanya kontaminasi bakteri pada salin juga
pernah dilaporkan dan hal tersebut berkontribusi dalam
memberikan hasil positif palsu.
7. Penambahan AHG
Reagen AHG seharusnya ditambahkan segera setelah proses
pencucian untuk mengurangi elusi antibodi dan berdampak pada
netralisasis reagen AHG. Jumlah AHG yang ditambahkan
disesuaikan dengan ketentuan perusahaan reagen.
8. Sentrifugasi untuk pembacaan
Sentrifugasi pada campuran sel untuk membaca hemaglutinasi
merupakan langkah yang krusial dalam pemeriksaan. Sentrifugasi
yang direkomendasikan adalah 1000 Relative Centrifugal Forces
(RCFs) selama 20 detik. Kecepatan sentrifugasi yang tidak standar
dapat memberikan hasil positif palsu karena resuspensi menjadi

21
inadekuat dan dapat memberikan hasil negatif palsu karena
resuspensi terlalu kuat.
I. Beberapa Modifikasi dan Automatisasi Pemeriksaan Coomb’s Test
Ada beberapa jenis modifikasi pemeriksaan coomb’s test yang
bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic Polybrene
technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT), solid phase
technology, dan gel test.
1. Low-Ionic Polybrene technique (LIP)
Teknik LIP diperkenalkan pada 1980 oleh Lalezari dan Jiang.
Teknik ini dapat mensensitisasi sel dengan antibodi dalam waktu
cepat. Namun teknik ini memiliki kelemahan yaitu sensitivitasnya
rendah untuk mendeteksi anti-Jka dan anti-Jkb.
2. Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT)
Pada teknik ELAT, suspensi eritrosit ditambahkan pada
microtiter well dan dicuci dengan salin kemudian ditambahkan
reagen AHG yang sudah dilabel dengan enzim. Reagen AHG yang
sudah dilabel dengan enzim akan berikatan dengan eritrosit yang
disensitisasi dengan IgG. Kelebihan antibodi akan dihilangkan
dengan proses pencucian. Setelah penambahan substrate akan
terjadi perubahan warna yang selanjutnya dapat diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu (umumnya
pada panjang gelombang 405 nm). Perubahan warna yang terjadi
sebanding dengan jumlah antibodi yang ada pada sampel.
3. Solid Phase Technology
Solid-phase technology untuk pemeriksaan antiglobulin dapat
dilakukan dengan menggunakan test tubes maupun microplates.
Baik pemeriksaan DCT maupun ICT dapat dikerjakan dengan
motode solid-phase.
4. Gel Test
Pada gel test reaksi antigen dan antibodi akan terdeteksi pada
microtube yang mengandung polyacrylamide gel. Gel akan

22
menjaring sel darah merah yang beraglutinasi pada bagian atas gel
dan meloloskan sel darah merah yang tidak beraglutinasi sehingga
mengendap pada dasar tabung. Hasil reaksi dinyatakan negatif,
bila seluruh suspensi sel mengendap di dasar tabung dan hasil
dinyatakan positif bila suspensi naik di sepanjang atau seluruhnya
ada di permukaan tabung. Semakin tinggi derajat aglutinasi maka
sel semakin berada di atas permukaan tabung.
Ada tiga jenis gel test, yaitu netral, spesifik danantiglobulin.
Neutral gel tidak mengandung reagen spesifik dan hanyadigunakan
untuk mendeteksi ada tidaknya aglutinasi. Sebagian besar
penggunaan neutral gel test adalah untuk skrining dan identifikasi
antibodi. Gel test yang spesifik menggunakan reagen spesifik
yangdimasukkan ke dalam gel dan sering digunakan untuk
menentukan jenis antigen. Gel test yang mengandung antiglobulin
atau yang disebut dengan The gel low ionic antiglobulin test
(GLIAT) dapat digunakan untuk pemeriksaan IAT maupun DAT.
Salah satu contoh prosedur pemeriksaan IAT menggunakan
metode gel, 50 µL suspensi sel darah merah 0,8% dimasukkan ke
dalam gel yang sudah mengandung AHG lalu tambahkan serum.
Tabung kemudian diinkubasi dalam periode tertentu dan
selanjutnya dilakukan sentrifugasi.
Apabila ada aglutinasi maka akan terperangkap pada
permukaan tabung yang menandakan hasil reaksi positif.
Interpretasi sama dengan pemeriksaan golongan darah atau
crossmatching menggunakan metode gel. Jika dibandingkan
dengan metode konvensional, metode GLIAT lebih aman, handal
dan hasil pemeriksaan lebih mudah dibaca.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada makalah ini yaitu
1. Coomb’s test adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk
mendeteksi antibodi yang mengikat sel darah merah baik secara in
vivo maupun in vitro
2. Ada dua jenis Antiglobulin test yaitu Direct Antiglobulin Test (DAT)
atau Direct Coomb’s test (DCT) digunakan untuk mendeteksi
antibodi atau komplemen pada permukaan sel darah merah dimana
sensitisasi telah terjadi secara invivo sedangkan Indirect
Antiglobulin Test (IAT) atau Indirect Coomb’s test (ICT) digunakan
untuk mencari adanya antibodi irregular (inkomplit) dalam serum.
3. Metode konvensional untuk pemeriksaan coomb’s test adalah
menggunakan metode tabung (tube test). Beberapa metode
modifikasi lain yang bisa digunakan dalam situasi khusus seperti
Low-Ionic Polybrene technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin
Test (ELAT), solid phase technology, dan gel test
B. Saran
Disarankan agar pembaca tidak hanya mengambil informasi melalui
makalah ini saja, karena masih banyak informasi tentang penyakit
anemia hemolitik ditempat lain seperti media sosial atau media lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA
Maharani Eva Ayu, dkk. (2018). Imunohematologi Dan Bank Darah.
Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mulyantari, Ni Kadek dan I Wayan P. S. Y. (2016). Laboratorium
Pratransfusi Up Date. Denpasar : Udayana University Press.
Adnyana I Gede, dkk. (2015). Coomb Test. Mataram : Politeknik
Kesehatan Mataram.
Ernest D dan Luhulima J. ( 2021). Pemeriksaan Laboratorium Penyakit
Hemolisis pada Neonatus Akibat Inkompatibilitas Rhesus.
Jakarta : universitas Kristen Indonesia
Arosa Feri. (2016). Mengenal Penyakit Hemolitik Pada Bayi Baru
Lahir. Bandung : Jurnal Riset Kesehatan. Vol 2. No 5
Oktafany dan Natasha D. (2017). Seorang Perempuan 21 Tahun
dengan Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE). Lampung : Universitas Lampung. Vol
4. No 1

25

Anda mungkin juga menyukai