Anda di halaman 1dari 10

Nama : Rein Fiktor Putnarubun

NIM : 201921092
Kelas : R6B
Tugas Resume

1. Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Korupsi


( Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum.)

Korupsi merupakan indak pidana khusus, karena eksistensi tindak pidana korupsi berada di luar
ketentuan KUHP yang bersifat umum. Secara normatif, pengaturan TIPIKOR diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan khusus
dimaksud, terdapat berbagai bentuk pengaturan baik itu terkait dengan perbuatan-perbuatan yang
dilarang serta sanksi sanksi terhadap perbuatan yang dilarang tersebut.

Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan di atas, masih ada tindak pidana
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada UU No. 31 Tahun 1999 Jo.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
d. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;
e. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan palsu;
f. Saksi yang membuka identitas pelapor.

Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor mengatur adanya sanksi pidana tambahan berupa :
1) upaya paksa berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang tidak bergerak milik dari terpidana korupsi guna menggantikan
kerugian negara yang timbul akibat adanya perbuatan terpidana korupsi.
2) adanya uang pengganti yang mengharuskan terpidana mengganti kerugian negara yang
jumlahnya sebanyak banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
3) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun serta
4) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuangan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana.

Pasal 18 ayat (1) di atas, sanksi pidana tambahan berupa yang pengganti tidak dikenal dalam
KUHP. Pada ketentuan Pasal 10 KUHP, pidana tambahan hanya berupa:
1). Pencabutan beberapa hak tertentu
2). Perampasan barang yang tertentu dan
3.) Pengumuman keputusan Hakim.

Sistem pidana tambahan berupa adanya uang pengganti diharapkan dapat mengefektifkan
pengembalian kerugian negara akibat perbuatan yang dilakukan oleh terpidana tipikor.
Keberadaan yang pengganti mewajibkan terpidana untuk mengganti kerugian negara akibat
perbuatannya, jika tidak menggantinya terdapat ketentuan hukum yang dapat memaksa terpidana
diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor.

Ketentuan Pasal 18 ayat (2) merupakan konsekwensi yang dibebankan kepada terpidana jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana yang termuat dalam putusan Hakim.
Pengaturan hukum ini mengakibatkan beberapa konsekwensi yakni:

1) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Hal ini berarti bahwa ada upaya paksa
berupa penyitaan terhadap harta benda terpidana tatkala terpidana tidak membayar uang
pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan. Hal ini berarti bahwa jika terpidana tidak
mempunyal harta benda yang mencukupi untuk disita, maka akan diterapkan ketentuan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tipikor.

Terkait dengan pengaturan uang pengganti dalam UU Tipikor muncul beberapa persoalan secara
normatif yang berpotensi memberikan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam
penerapan/pemberian sanksi bagi terdakwa/terpidana terutama yang berkaitan dengan subsidair
uang pengganti berupa pidana penjara.

Pertama, dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) mengatur subsidair/pidana pengganti jika tidak
dibayarkannya uang pengganti yakni dengan adanya penerapan pemberian sanksi pidana penjara.
Secara normatif ketentuan pidana penjara baik yang diatur dalam Pasal 10 KUHP maupun dalam
UU Tipikor merupakan jenis pidana pokok dan bukan merupakan jenis pidana tambahan
sehingga penempatan subsidair pidana penjara terhadap uang pengganti yang notabene
merupakan pidana tambahan merupakan hal yang tidak seirama dengan sistem pemidanaan
pokok dan pidana tambahan. Dengan kata lain, kedudukan uang pengganti dalam UU Tipikor
merupakan pidana tambahan, namun keberadaannya dapat menjadi pidana pokok manakala
terpidana tidak dapat membayar uang pengganti yang ada.

Kedua, penempatan pidana penjara sebagai subsidair uang pengganti dapat menimbulkan
adanya penambahan hukuman pidana pokok berupa pidana penjara yang melebihi ambang batas
pidana penjara yang diatur baik dalam UU Tipikor maupun dalam KUHP. Pasal 12 ayat (4)
KUHP mengatur bahwa pidana penjara terbatas hanya selama 20 (dua puluh) tahun penjara.
Misalnya, seorang terpidana diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan diberikan
sanksi pidana pokok berupa pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun, kemudian diberikan
sanksi uang pidana tambahan subsidair 10 (sepuluh) tahun penjara maka dapat mengakibatkan
terpidana tersebut berpotensi menjalani pidana penjara selama 30 (tiga puluh) tahun yang mana
jumlah dimaksud jelas melebihi ambang batas maksimal dari pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada seorang terdakwa yakni hanya selama 20 (dua puluh) tahun penjara.

Terhadap persoalan ini, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan Nomor 5 Tahun
2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti. Namun peraturan tersebut tidak mengatasi
persoalan eksistensi subsidair pidana penjara terhadap uang pengganti.

Pasal 8 Perma menyebutkan:


1) Lama penjara pengganti yang dapat dijatuhkan adalah setinggi-tingginya ancaman pidana
pokok atas pasal yang dinyatakan terbukti.
2) Dalam hal ancaman pidana pokok atas pasal yang dinyatakan terbukti sebagaimana
dimaksud ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup, maksimum penjara penggantinya
adalah 20 (dua puluh) tahun.
3) Ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP tidak mengikat untuk pengganti.

Mencermati Pasal 8 Perma diatas, terjadi ketidak konsistenan.

1) Perma diatas menyebutkan bahwa lama penjara pengganti yang dapat dijatuhkan adalah
setinggi-tingginya ancaman pidana pokok atas pasal yang dinyatakan terbukti. Artinya
bahwa ketentuan pidana pengganti berupa penjara hanya diterapkan pada perkara korupsi
yang telah terbukti, dan terhadap ancaman pidana pokok atas pasal yang dinyatakan
terbukti sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup, maksimum
penjara penggantinya adalah 20 (dua puluh) tahun. Substansi dalam ketentuan ini sama
halnya dengan yang diatur dalam UU Tipikor, bedanya dalam ketentuan ini mempertegas
soal penerapan uang pengganti hanya terhadap pasal yang dinyatakan terbukti dan
memberikan batasan terhadap pasal yang dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud ayat
(1) adalah pidana penjara seumur hidup, maksimum penjara penggantinya adalah 20 (dua
puluh) tahun yang artinya bahwa penerapan subsidair uang pengganti tidak boleh
melebihi 20 tahun penjara termasuk didalamnya terhadap ancaman seumur hidup.
2) Pasal 8 ayat (3) yang justru mengesampingkan Pasal 12 ayat (4) yang menyebutkan
bahwa ketentuan Pasal 12 ayat (4) tidak mengikat untuk penjatuhan penjara pengganti.
Secara tidak langsung ketentuan Pasal 8 ayat (3) ini "membolehkan" adanya penuntutan
terhadap perkara korupsi melebihi 20 (dua puluh tahun) penjara. Hal ini menimbulkan
problematika hukum, yang mana secara tidak langsung Perma ini mengesampingkan
KUHP sebagai "ibu" dari ketentuan khusus, termasuk UU Tipikor yang memberikan
batasan pidana penjara hanya selama 20 (dua puluh) tahun dan tidak lebih. Untuk itu,
kehadiran Perma dimaksud justru dapat mereduksi keadilan bagi seorang terpidana
korupsi.

3) Kehadiran ketentuan dimaksud tidak memberikan jawaban terhadap persoalan mengenai


bagaimana dengan terdakwa yang telah dituntut pidana penjara seumur hidup dan
dituntut pula dengan subsidair uang pengganti 20 (dua puluh) tahun penjara? Bagaimana
pelaksanaan hukuman terhadap terdakwa jika dikemudian hari terdakwa tidak dapat
membayar uang pengganti. Apakah terdakwa harus menjalani pidana pokok seumur
hidup dan pidana tambahan selama 20 tahun penjara? Bagaimana cara menjalaninya?

Contoh konkrit dari adanya pemberian sanksi pidana tambahan berupa uan pengganti dalam
tindak pidana korupsi dapat terlihat dalam kasus korup Jiwasraya dengan terdakwa saat itu yakni
Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.

1) Terdakwa Benny Tjokrosaputro dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum denga pidana
penjara selama seumur hidup dan pidana denda sebesc Rp.5.000.000.000.00 (lima
milyar) rupiah subsidair 1 (satu) tahun. Selain itu, terdakwa juga dituntut untuk
membayar uang pengganti sebesar Rp.6.078.783.500.000.000.0 (enam triliun tujuh puluh
delapan miliar lima ratus juta rupiah) dan jika terdakw tidak membayar uang pengganti
paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka harta benda terdakwa dapa disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi
uang pengganti tersebut, dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama
10 (sepuluh) tahun.
2) Terdakwa Heru Hidayat dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengar pidana penjara
selama seumur hidup dan pidana denda sebesa Rp.5.000.000.000.00 (lima milyar) rupiah
subsidair 1 (satu) tahun. Selain itu terdakwa juga dituntut untuk membayar uang
pengganti sebesa Rp.10.728.783.375.000.00 (sepuluh triliun tujuh ratus dua puluh
delapar milyar tujuh ratus delapan puluh tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dar jika
terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, mak harta benda terdakwa dapat
disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal
terdakwa tidak mempunya harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti, mako diganti dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun.

Jika melihat tuntutan terhadap kedua terdakwa dalam kasus korupsi Jiwasraya di atas, apa yang
telah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum adalah hal yang tidak salah dan dibenarkan dalam UU
Tipikor maupun dalam Perma, yakni menuntut seorang terdakwa dengan pidana pokok pidana
seumur hidup dan pidana tambahan berupa uang pengganti disertai subsidair pidana penjara.
Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah dimungkinkan kedua terdakwa dapat
menjalani pidana penjara seumur hidup dan pidana uang tambahan subsidair pidana penjara
selama 10 (sepuluh) penjara, jika demikian bagaimana pelaksanaan atau eksekusi hukuman
terhadap kedua terdakwa tersebut? Bukankah hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian bagi
penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum, dan dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum bagi terpidana ketika menjalani hukuman.

2. Realita Penegakan Hukum TIPIKOR Di Wilayah Kepulauan


(Dr. J. D. Pasalbessy, S.H, M.Hum)

 Pendekatan penegakan hukum terhadap Kasus Tipikor selama ini dengan memfungsionalkan
Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia merupakan salah satu pendekatan yurudis yang
masih dianggap ampuh, mengingat dampak korupsi yang menimbulkan kerugian negara dan
perekonomian negara yang besar, sementara para pelaku/calon pelaku tidak pernah
kapok/jerah

 Fakta bahwa ketimpangan antara pemenuhan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat


dengan besarnya pengeluaran negara untuk pembiayaan pembangunan tidak mampu
menstabilkan rasa keadilan masyarakat, sehingga memicu konflik yang berujung pada
"kecurigaan" antara masyarakat dan aparat penegak hukum dan tidak ada kejelasan
penyelesaiannya.

 Beberapa penyelesaian kasus Dana Desa (DD) dugaan penyalahgunaan uang negara hasil
pemeriksaan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kabupaten/Kota sering
mengendap di inspektorat daerah tanpa kejelasan. Pada lain pihak, apparat Kepolisian
maupun Kejaksaan tidak bisa berbuat banyak ketika hasil APIP belum direkomendasikan
Pemda untuk ditindak-lanjuti, padahal jelas-jelas sudah ada indikasi kerugian negara.

 Dibeberapa kecamatan di wilayah Kepulauan Maluku, penetapan standar dan besarnya harga
pembelian bahan bangunan dan transportasi dari dan ke lokasi pembangunan ditetapkan
antara Kepala-Kepala Desa dan Camat, kesulitan penetapan kerugian negara menggunakan
standar patokan harga yang ditentukan negara ataukah yang harga yang disepakati kepala
desa.

 Umumnya Kepala Desa dibeberapa Kabupaten di Wilayah Kepulauan memiliki pengetahuan


yang minim soal pengelolaan keuangan desa→ umumnya lulusan SD/SMP yang tidak
memahami manajemen keuangan dan standar pelaporan, terkadang para Pemdes ditipu oleh
oknum-oknum tertentu.

 Petugas pendamping Desa dari Program Kementerian Desa Tertinggal yang diharapkan
mampu mendampingi para Kepala Desa dan Pemerintah Desa dalam pengelolaan Dana Desa
dan pemberdayaan masyarakat desa, terkadang tidak pernah berada dilokasi.

 Pengembalian/pemulihan asset hasil tindak pidana korupsi dalam tahun 2020 di Kejaksaan
Tinggi Maluku sebesar Rp. 17 milyar (tahun 2020 = 9 M dan 2021 = 8 M)
 Pengembalian/pemulihan asset Tipikor di Maluku hanya dapat dilakukan dari sebagian besar
pelaku tipikor yang memang secara nyata-nyata memiliki aset, itupun juga tidak semua,
karena lebih memilih menjalani pidana subsider dari membayar uang pengganti.

 Kedudukan Pasal 4 UU Tipikor menjadi "momok" bagi para pelaku untuk tidak ingin
mengembalikan keuangan/aset hasil korupsi, sebab ibarat buah simalakama".
mengembalikan diproses, tidak dikembalikan juga diproses apakah benar dengan
mengembalikan asset pada saat penyidikan itu lalu menjadi pertimbangan hakim dalam
putusan pengadilan berupa mengurangi ancaman pidana apakah pengurangan pidana dalam
suatu putusan pengadilan itu dimaksud sebagai Pedoman Penjatuhan Pidana dalam RUU
KUHP yang berlaku juga bagi tindak pidana diluar KUHP.

 Perlu dipikirkan pengembalian/pemulihan aset tipikor melalui instrument hukum perdata


(banding Pasal 32, 33, 34 dan 38C UU Tipikor) terdakwa meninggal pada saat riksa sidang
ditemukan aset korupsi yang belum dirampas oleh negara, sementara putusan telah
berkekuatan hukum tetap.

3. Penerapan Restorative Justice Dalam Perkara Korupsi


( Prof. Dr. Topo Santoso, Ph.D., S.H., M.Hum )

 Restorative Justice adalah pendekatan pemecahan masalah kejahatan yang melibatkan


para pihak itu sendiri, dan masyarakat pada umumnya, dalam hubungan aktif dengan
badan hukum. Berdasarkan pendapat prof topo santoso,menurut saya restorative justice
tidak dapat digunakan sebagai penyelesaian tindak pidana korupsi RJ tidak cocok untuk
tindak pidana dengan korban abstrak/ massal (abstract victim atau mass victim) .

 Tujuan dari keadilan restoratif adalah untuk mendapatkan proses penegakan hukum yang
adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Tidak semua proses penegakan
hukum dapat diselesaikan dengan cara alternatif keadilan restoratif yang memulihkan
kepada keadaan semula.Penyelesaian perkara pidana korupsi dengan keadilan restoratif
tidak sesuai dengan tujuan utama dari keadilan restoratif karena penyelesaian kasus
korupsi dengan keadilan restoratif justru menguntungkan bagi koruptor. Penyelesaian
tindak pidana korupsi dengan keadilan restoratif hanya akan menimbulkan celah baru
bagi para koruptor yang akan menambah kerugian negara dan tidak membuat efek jera
atau penyesalan bagi pelaku.

4. Penerapan Prinsip UNCAC Dalam Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi


( Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum )

Upaya pemulihan aset hasil kejahatan menjadi salah satu kaidah yang diatur dalam United
Nations Convention Against Corruption ( UNCAC ) tahun 2003 dengan memaksimalkan upaya
Perampasan aset hasil kejahatan tanpa tuntutan pidana.

Paradigma Baru follow the money dan follow the asset


 Dilakukan Dalam Mekanisme Perdata
 Subjeknya Harta Kekayaan (In Rem)
 Perampasan Aset Hasil Kejahatan

Jenis dan Tujuan Perampasan Aset


 Perampasan Aset Secara Pidana ( in personam forfeiture/ conviction based)
Perampasan yang berkaitan dengan proses peradilan terhadap pelaku kejahatan
(seseorang secara individu/natuurlijke persoon bisa korporasi).

 Perampasan Aset Secara perdata ( In rem forfeiture)


Perampasan yang menggunakan mekanisme hukum perdata dan fokus pada pembuktian
asal usul aset ,tidak tergantung pada perbuatan melawan hukum .

Kebijakan Perampasan Aset UNCAC Melalui NCB


 Untuk mengatasi perbedaan tradisi hukum, yang akan menghambat implementasi
konvensi ini, UNCAC mengusulkan agar setiap Negara Pihak menggunakan perampasan
tanpa tuntutan pidana (Non Conviction Based- NCB) sebagai alat atau sarana – yang
mampu melampaui perbedaan sistem hukum – untuk merampas aset hasil korupsi di
semua yurisdiksi .
 Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC mengharuskan semua Negara Pihak untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi
dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus pelanggar tidak dapat dituntut
dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan atau dalam kasus-kasus yang
lainnya.

Keunggulan dan Keleluasaan NCB


 Dengan mekanisme NCB terbuka kesempatan untuk merampas segala aset yang diduga
merupakan hasil tindak pidana (proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga
akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan
tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai