Disclaimer
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
KLINIK MANUAL & BUKU AJAR
TIM PENYUSUN:
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH, M.Hum, LLM
Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH
I Nyoman Darmadha, SH, MH
Anak Agung Sri Indrawati, SH, MH
Made Dedy Priyanto, SH, MKn
Dewa Gede Pradnya Yustiawan, SH, MH
Pande Yogantara, SH, MH
DENPASAR BALI
2015
iii
KLINIK MANUAL & BUKU AJAR
Penulis:
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH, M.Hum, LLM
Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH
I Nyoman Darmadha, SH, MH
Anak Agung Sri Indrawati, SH, MH
Made Dedy Priyanto, SH, MKn
Dewa Gede Pradnya Yustiawan, SH, MH
Pande Yogantara, SH, MH
Lay Out:
I Putu Mertadana
Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana Denpasar,
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar - Bali Telp. (0361) 255128
unudpress@gmail.com http://penerbit.unud.ac.id
Cetakan Pertama:
2015, viii + 174 hlm, 15,5 x 23 cm
ISBN: ....
iv
KATA PENGANTAR
UNUD), serta seluruh Tim Pengajar Klinik Hukum FH UNUD.
Semoga Buku ini bermanfaat dalam pengembangan proses
belajar mengajar Klinik Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................ v
Daftar Isi............................................................................... vii
vii
3.4. Komponen-Komponen Dalam Pembelajaran CLE – Klinik
Hukum............................................................................... 45
DAFTAR BACAAN................................................................... 83
LAMPIRAN
Contoh 1: Surat Kuasa Khusus dari Penggugat
(Perkara Perceraian.......................................................... 88
Contoh 2: Surat Kuasa Khusus dari Tergugat
(Perkara Perceraian.......................................................... 90
Contoh 3: Surat Gugatan Perceraian....................................... 92
Contoh 4: Akta Perdamaian...................................................... 96
Contoh 5: Jawaban Gugatan Perceraian................................. 98
Kode Etik Advokat Indonesia.................................................. 103
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim........................................................................... 128
Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung
Republik Indonesia.................................................................... 157
viii
BAB I
Klinik Manual - Pegangan Klinik
Klinik Hukum Perdata
dan Comparative Study di Olomouc University & Prague, the
Czech Republic 2014. Sejak tahun 2015, Klinik Hukum Perdata
di FH UNUD juga ditawarkan dengan Model Street Law yaitu
bermitra dengan Sekolah Menengah Atas.
kemampuan menganalisis kasus, serta penguasaan hukum
formil seperti kemampuan melakukan wawancara dengan
klien, kemampuan bernegosiasi, kemampuan membuat surat
kuasa dan surat gugatan sesuai dengan hasil wawancara dengan
klien, kemampuan mengajukan gugatan ke pengadilan serta
kemampuan untuk menyusun argumen pembelaan (legal writing
and argument drafting programs).
Sementara itu, tujuan mata kuliah Klinik Hukum Perdata
dengan Model Street Law Clinic adalah untuk meningkatkan
kemampuan dan kepekaan mahasiswa dalam Pelayanan
Masyarakat (Public Service) dan Keadilan Sosial (Social Justice)
melalui praktik mensosialisasikan materi-materi hukum perdata
kepada siswa-siswi sekolah maupun masyarakat luas dibawah
bimbingan dosen.
Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH,
M.Hum, LLM
Dr. Supasti merupakan Koordinator untuk
Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata, sekaligus
Koordinator Klinik Hukum FH UNUD. Dr.
Supasti juga menjabat Ketua Prodi S2 Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana periode 2012-2016. Mata kuliah yang
diajar di FH, S2 Ilmu Hukum serta S3 Ilmu Hukum UNUD : Klinik
Hukum Perdata, Hukum HKI, Perancangan Kontrak, Bahasa
Inggris Hukum, Metode Penelitian Hukum, Hukum Dagang
Internasional, HAM dan Tanggung Jawab Perusahaan serta
Hukum Kepariwisataan. Ibu Supasti juga melakukan penelitian-
penelitian yang berkaitan dengan perkembangan Hukum Bisnis
khususnya HKI, Hukum Kepariwisataan dan CSR dalam kegiatan
kepariwisataan. Dr. Supasti menyelesaikan LLM serta Sandwich
Program dalam rangka Program Doktornya di Faculty of Law
Maastrich University, the Netherlands, juga mengikuti berbagai
short courses dan presentasi paper di luar negeri berkaitan dengan
IPR, CLE, dan Legal Education diantaranya di Tokyo Japan, UTS
Sidney Australia, Olomouc University, The Czech Republic, serta
di The Haag Netherlands.
I Nyoman Darmadha, SH, MH
I Nyoman Darmadha, SH, MH merupakan
salah satu dosen senior di klinik hukum
perdata terutama yang bertugas merancang
dan mendesain 35% Planning Component
untuk penulisan SAP dan Silabus. Bapak
Darmadha juga ketua LKBH FH UNUD yang
banyak menangani kasus-kasus keperdataan
seperti kasus waris, tanah dan perceraian.
Lembaga yang dipimpinnya (LKBH) juga dijadikan tempat
untuk pelaksanaan Experiential Component jenis In-House Clinic
bagi mahasiswa FH UNUD yang mengambil mata kuliah Klinik
Hukum Perdata.
Hukum Pengangkutan, Hukum Perlindungan Konsumen. Selain
sebagai Sekretaris bagian Hukum Perdata, Bapak Dedy Priyanto
juga bertugas sebagai bendahara di Sentra HKI, Dewan redaksi
jurnal hukum Kertha Semaya, Sekretaris TPPM dan Penyunting
pelaksana jurnal pada Program Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana UNUD.
Klinik Hukum Perdata FH UNUD bermitra dengan berbagai
institusi penegak hukum yaitu Pengadilan Negeri Denpasar,
Pengadilan Negeri Tabanan, “Arjaya dan Umi Martina Law
Office”, “W. Purwita dan Associate Law Office”, “Ausrindo Law
Firm”, serta LKBH FH UNUD. Sementara itu, dalam rangka
pengembangan Street Law Clinic, bermitra dengan Sekolah-
Sekolah di Bali, khususnya di Kota Denpasar.
• Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata ditawarkan di FH
UNUD dengan metode Interaktif-Reflektif baik untuk jenis
Klinik Hukum In-House Clinic, Kombinasi In-House Clinic
dengan External Clinic, maupun Street Law Clinic, dengan
Planning Component, Experiential Component, Reflection dan
Evaluation Component.
• Nilai Akhir hasil proses belajar mengajar Klinik Hukum
diumumkan kepada mahasiswa melalui KHS secara Online
System.
praktik membuat surat kuasa dan surat gugatan dalam kasus
perkawinan (evaluasi dan refleksi), Role play, proses beracara
perdata dalam kasus perceraian (moot court), (evaluasi dan
refleksi). Dengan demikian mahasiswa akan dapat menguasai
tentang unsur-unsur penting yang harus ada dalam surat kuasa,
surat gugatan berkaitan dengan kasus perceraian di pengadilan
negeri, peran pengacara mendampingi klien dalam pengajuan
gugatan, mempraktikkan peran panitera serta mempraktikkan
peran mahasiswa tim majelis hakim (moot court). Pertemuan 7
merupakan Ujian Tengah Semester (UTS).
Selanjutnya, Experiential Component mahasiswa didampingi
dalam Praktik pendampingan klien dalam kasus gugatan
perdata dikantor law firm dan pengadilan, kemudian mahasiwa
melakukan Riset observasi tentang proses beracara perdata
yang sesungguhnya di pengadilan negeri serta kesesuaiannya
dengan hukum acara perdata. Terkait dengan hal ini, maka
mahasiswa akan mempelajari tentang: teknik-teknik pengacara
mewawancarai klien dalam kasus yang riil dikantor pengacara,
serta teknik hakim bertanya dalam sidang pengadilan
dalam kasus yang nyata di pengadilan negeri. Selain itu
mahasiswamengobservasi ketepatan waktu pelaksanaan sidang
perdata, mengobservasi tahapan proses beracara perdata, serta
melakukan evaluasi terhadap kesesuaian praktik dengan hukum
acara perdata. Mahasiswa juga praktik menganalisa riset dan
observasi penyelesaian kasus perdata baik di kantor hukum
maupun di pengadilan negeri (evaluasi dan refleksi) kemudian
mempraktikkan menulis laporan hasil riset dan observasi tersebut
dalam penanganan kasus perdata di kantor pengacara maupun
di Pengadilan Negeri (evaluasi dan refleksi). Tahap akhir evaluasi
dan refleksi sebagai penutup perkuliahan Klinik Hukum Perdata
ini (Ujian Akhir Semester).
1.7 Kode Etik Klinik Hukum Perdata
A. Kelembagaan
a. Lembaga wajib menerapkan kegiatan klinik sesuai
dengan Visi dan Misi fakultas;
b. Lembaga wajib berkomitmen untuk melaksanakan
kegiatan klinik dengan tanpa adanya pembebanan
biaya kepada mahasiswa;
c. Lembaga wajib menyusun dan menetapkan maklumat
pelayanan prima bagi mitra dan klien;
d. Lembaga wajib menjaga hubungan kerjasama yang
harmonis dan berkelanjutan dengan mitra;
e. Lembaga harus mengembangkan hubungan kerja
sama dengan lembaga, instansi pemerintah maupun
swasta untuk melakukan pengembangan klinik;
f. Lembaga berkewajiban memberikan insentif bagi
pengajar yang melaksanakan tugas dengan baik;
g. Lembaga wajib menjatuhkan sanksi bagi pengajar
klinik dan mahasiswa yang melanggar kode etik;
h. Lembaga harus menyusun dan menetapkan road
map klinik yang akan dikembangkan;
i. Lembaga harus mengembangkan hubungan
kerjasama dengan mitra dengan mempertimbangkan
keadilan dengan prinsip persamaan dan keadilan.
B. Pengajar Klinik
a. Setiap pengajar klinik wajib memahami dan
mengimplementasikan silabus dan Satuan Acara
Pengajaran (SAP) klinik (sesuai dengan teaching
plan);
b. Setiap pengajar klinik harus mampu membimbing
dan mendampingi mahasiswa selama proses
pembelajaran;
c. Setiap pengajar klinik wajib melakukan pengawasan
terhadap kegiatan mahasiswa;
10
d. Setiap pengajar klinik harus mampu menunjukkan
perilaku yang sesuai dengan norma – norma yang
berlaku;
e. Setiap pengajar klinik wajib mengembangkan sikap
profesionalisme mahasiswa;
f. Setiap pengajar klinik harus mampu menjalin
hubungan yang profesional dengan mahasiswa, klien,
dan mitra;
g. Setiap pengajar klinik wajib memberikan solusi
terhadap permasalahan yang dihadapi oleh klien dan
mahasiswa;
h. Setiap pengajar klinik dilarang menerima berbagai
bentuk gratifikasi;
i. Setiap pengajar klinik dilarang menerima dan
melakukan konsultasi di luar tempat kegiatan klinik;
j. Setiap pengajar klinik wajib mengenakan busana
yang sopan dan rapi;
k. Setiap pengajar klinik wajib menggunakan tata bahasa
yang sopan;
l. Setiap pengajar klinik wajib menjaga kerahasian klien
dan mitra;
m. Setiap pengajar klinik tidak boleh menerima klien
yang menimbulkan conflict of interest;
n. Setiap pengajar klinik dilarang bersikap diskriminatif
dan harus berlaku adil terhadap klien;
o. Setiap pengajar klinik wajib memberikan penilaian
yang terukur dan transparan;
p. Setiap pengajar klinik wajib memperlakukan
mahasiswa dengan adil tidak diskriminatif.
C. Mahasiswa
a. Setiap mahasiswa wajib mengikuti perkuliahan
berdasarkan kontrak perkuliahan;
b. Setiap mahasiswa wajib melakukan bimbingan terkait
kasus yang sedang ditangani;
11
c. Setiap mahasiswa wajib menjalin hubungan kerjasama
tanpa diskriminasi terhadap mitra dan setiap pihak
yang membutuhkan penyelesaian permasalahan
hukum;
d. Setiap mahasiswa wajib berperilaku profesional
dengan menjaga batasan hubungan (dengan dosen
pengajar, mitra kerja, klien dan sesama mahasiswa)
dalam setiap kegiatan ilmiah klinik;
e. Setiap mahasiswa wajib memahami dan mentaati
semua aturan dalam menempuh mata kuliah klinik;
f. Setiap mahasiswa wajib menjaga kerahasiaan
informasi dan dokumen terkait kasus yang ditangani
oleh klinik;
g. Setiap mahasiswa wajib menjaga kerahasiaan klien
dan mitra;
h. Setiap mahasiswa wajib bertindak transparan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum;
i. Setiap mahasiswa wajib menunjukkan perilaku yang
sesuai dengan norma – norma yang berlaku;
j. Setiap mahasiswa wajib mengenakan busana yang
rapi dan sopan;
k. Setiap mahasiswa wajib menggunakan tata bahasa
yang sopan;
l. Setiap mahasiswa wajib mentaati kode etik klinik dan
pedoman etika mahasiswa yang ditentukan didalam
buku pedoman dalam penyelenggaraan klinik.
D. Mitra
a. Setiap mitra wajib mentaati kesepakatan kerja dengan
klinik;
b. Setiap mitra wajib menjaga hubungan profesionalisme
dengan klinik;
c. Setiap mitra kerja dilarang untuk menyampaikan
pernyataan hukum yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan;
12
d. Setiap mitra wajib memahami dan mematuhi Standard
Operasional Prosedure (SOP) dalam penyelenggaraan
kegiatan klinik;
e. Setiap mitra wajib mendukung secara penuh
pencapaian tujuan dari kesepakatan kerjasama
dengan pihak klinik;
f. Setiap mitra tidak boleh memanfaatkan klinik untuk
mencapai tujuan demi keuntungan pihak mitra;
g. Setiap mitra tidak boleh memanfaatkan klinik untuk
menyelesaikan masalah yang menimbulkan conflict of
interest yang melibatkan mitra;
E. Klien
a. Setiap klien wajib mentaati Standard Operasional
Prosedure (SOP) dalam proses penangan kasus sebagai
bagian dari proses pembelajaran Klinik Hukum;
b. Setiap klien wajib menyampaikan informasi secara
transparan dan jujur;
c. Setiap klien harus mampu menunjukkan perilaku
yang sesuai dengan norma – norma yang berlaku;
d. Setiap klien wajib menggunakan tata bahasa yang
sopan;
e. Setiap klien wajib menjaga hubungan yang profesional
dengan pihak klinik;
f. Setiap klien tidak boleh meminta hasil kerja klinik di
luar kesepakatan kerja dengan klinik.
13
3. Diskusi kelompok
4. Curah pendapat/gagasan
5. Analisis Kasus (kasus nyata dan imajiner)
14
BAB II
SILABUS DAN SATUAN ACARA
PERKULIAHAN (SAP)
KLINIK HUKUM PERDATA
SILABUS: MATA KULIAH KLINIK HUKUM PERDATA
15
Planning Component
16
Penilaian Alokasi Waktu
No. Kompetensi Dasar Materi Pokok Pengalaman Belajar Indikator Pencapaian Sumber/Bahan/Alat
T UK US TM P L
1. Mahasiswa diharapkan Pendahuluan: Mempelajari tentang konsep Mahasiswa dapat √ √ √ 60 - 40 Silabus, SAP
dapat mengetahui dan Konsep CLE (Clinical Legal CLE (Clinical Legal Education), menjelaskan kembali KontrakPerkuliahan
memahami Tujuan Education), klinik hukum berbasis klinikhukumberbasispendidikan konsep CLE dan Slide Show Power
Mata Kuliah Klinik pendidikan klinis, Tujuan Klinik klinis,karakteristikklinikhukum, perbedaan klinik hukum Point
Hukum Perdata, konsep Hukum Perdata, karakteristik klinik TujuanKlinikHukum,perbedaan dengan mata kuliah Tugas terstruktur
CLE (Clinical Legal hukum, perbedaan klinik hukum klinikhukumdenganmatakuliah praktik lainnya serta Block Book / Bahan
Education),klinikhukum dengan mata kuliah praktik lainnya praktik lainnya, serta model- mampu menjelaskan Ajar, Textbook,
berbasis pendidikan (memberikan pelayanan hukum modelpelaksanaanklinikhukum, Tujuan MK Klinik Hukum Perundang-
klinis, karakteristik klinik kepada masyarakat tidak mampu Etika dalam Klinik Hukum serta model-model undangan,
hukum,perbedaanklinik sebagai bentuk pelaksanaan social pelaksanaanklinikhukum
hukum dengan mata justice approach bekerjasama (ExHouseClinic/External
kuliah praktik lainnya, dengan LKBH FH UNUD) In Clinic, In House Clinic,
serta model-model –House Clinic serta model-model and Street Law Clinic)
pelaksanaan klinik pelaksanaan klinik hukum dan Kode Etik dalam
hukum (Ex House Clinic/ External Clinic Klinik Hukum Perdata
bekerjasama dengan“Arjaya & Umi
Martina Law Office”, “W.Purwitha &
Associate”, serta Pengadilan Negeri
Denpasar dan Street Law Clinic)
bekerjasama dengan Mitra yaitu
Sekolah-Sekolah di Denpasar, Kode
Etik dalam Klinik Hukum
5. Mahasiswa diharapkan Praktik membuat surat kuasa Mempelajaridanmendiskusikan Mahasiswa dapat √ √ √ 40 - 60 Idem
mampupraktikmembuat dan surat gugatan dalam kasus tentang unsur-unsur penting mempraktikkan
surat kuasa, surat perkawinan (evaluasi dan refleksi) pembuatan surat kuasa,
yang harus ada dalam surat
gugatan dan surat gugatan
kuasa, surat gugatan berkaitan dalam kasus perceraian
dengan kasus perceraian di di pengadilan negeri
pengadilan negeri (evaluasi dan refleksi)
17
6. Mahasiswa diharapkan Role play, proses beracara perdata Mempraktikkan dan Mahasiswa dapat √ √ √ 40 - 60 Idem
18
mampu melakukan role dalam kasus perceraian (moot mendiskusikan tentang: memainkanperandengan
play proses beracara court), (evaluasi dan refleksi) • peranpengacara baik sebagai pengacara,
perdata di pengadilan mendampingi panitera, majelis hakim
melalui moot court klien dalam (evaluasi dan refleksi)
pengajuan
gugatan
• mempraktikkan
peran panitera
• mempraktikkan
peran
mahasiswa tim
majelis hakim
(moot court)
Experiential Component
8 Mahasiswa diharapkan Praktik pendampingan klien dalam mempelajari tentang teknik-teknik Mahasiswadapatmelakukan √ √ √ 40 - 60 Textbook/Literatur
Dapatmengikuti praktik kasus gugatan perdata di Arjaya pengacaramewawancaraikliendalam pendampingan dalam Block Book
mendampingi klien dan Umi Martina Law Office, W. kasus yang real, di kantor pengacara, wawancara klien dalam
dalam proses gugatan Purwita dan Associate Law Office, serta teknik hakim bertanya dalam kasus yang real di kantor
di kantor hukum mitra Austrindo LawFirm danpengadilan siding pengadilan dalam kasus yang pengacara serta dapat
tempat kuliah klinik nyata di pengadilan negeri mengobservasipelaksanaan
hukum, dan pengadilan sidang gugatan perdata di
pengadilan
9 Mahasiswa diharapkan Riset observasi tentang proses Mempraktikkan dan mendiskusikan Mahasiswa dapat √ √ √ 60 - 40 Textbook/
Dapat melakukan riset beracara perdata di pengadilan tentang: menjelaskan kembali Literatur
(observasi) tentang negeri serta kesesuaiannya dengan - mengobservasi hasil observasi tentang
proses beracara perdata hukum acara perdata ketepatan waktu pelaksanaanprosesberacara
di pengadilan dan pelaksanaan sidang perdatadipengadilannegeri
kesesuaiannya dengan perdata dan kesesuaiannya dengan
hukum acara perdata - mengobservasi hukum acara perdata
tahapan proses
beracara perdata
- mengevaluasi
kesesuaian praktik
dengan hukum acara
perdata
10 Mahasiswa diharapkan Penyelesaian sengketa Mempelajari dan mendiskusikan Mahasiswa dapat √ √ √ 60 - 40 Textbook/Literatur
mampumemahami,dan perdata di pengadilan dan proses tentang: menjelaskantahapanproses Undang-undang
menganalisa tahapan- mediasi pengadilan penanganan perkara perdata serta perkaraperdatasertadiawali
tahapan penyelesaian proses mediasi pengadilan dengan mediasi pengadilan
sengketa perdata di
Pengadilan
11 Mahasiswa diharapkan Mediasi di pengadilan dalam kasus Mempelajari tentang: Mahasiswa dapat √ √ √ 60 - 40 Textbook /
mampu menjelaskan gugatan perdata - jenis-jenis kasus yang menyebutkan kembali Literatur
proses mediasi di dapat dimediasi di jenis-jenis kasus perdata,
pengadilan dalam kasus pengadilan perbedaan mediasi
gugatan perdata - perbedaan mediasi dipengadilan dengan diluar
dipengadilan dengan mediasi, serta menganalisa
diluar pengadilan dan mengevaluasi tingkat
- tingkat keberhasilan keberhasilan mediasi di
mediasi di pengadilan pengadilan
12 Mahasiswa diharapkan Praktik menganalisa riset dan Mempelajari dan mendiskusikan Mahasiswa mampu √ √ √ 40 - 60 Idem
mampumempraktikkan observasi penyelesaian kasus tentang: praktikmenganalisariset
membuat analisis hasil perdata baik di kantor hukum • teknik menganalisa hasil observasi dan observasi proses
riset dan observasi maupun di pengadilan negeri • proses penanganan kasus di kantor penanganan kasus di kantor
dalam penanganan (evaluasi dan refleksi) hukum dan pengadilan hukum dan pengadilan
kasus-kasus perdata • praktik menganalisa riset dan (evaluasi dan refleksi)
baikdikantorpengacara observasi di kantor pengacara dan
maupun di pengadilan pengadilan
negeri
19
134 Refleksi. Mahasiswa Mempraktikkan menulis laporan Mempelajari tentang : Mahasiswa mampu praktik √ √ √ 40 - 60 Idem
20
diharapkan mampu hasil riset dan observasi dalam • teknik menulis laporan hasil menulis laporan hasil riset
mempraktikkanmenulis penanganankasusperdatadikantor observasi dan observasi proses
laporan hasil riset pengacara maupun di pengadilan • proses penanganan kasus di kantor penanganan kasus di kantor
dan observasi dalam negeri hukum dan pengadilan hukum dan pengadilan
penanganan kasus (evaluasi dan refleksi) • praktik menulis laporan hasil riset (evaluasi dan refleksi)
perdata di kantor dan observasi di kantor pengacara
pengacara maupun di dan pengadilan
pengadilan negeri • Refleksi yang mengacu pada
seluruh kegiatan mahasiswa
selama menempuh Klinik Hukum
Perdata (Pengalaman belajar
dan keterampilan mahasiswa
dari kegiatan praktik yang telah
dilakukan).
14 UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)/ EVALUASI DAN REFLEKSI
Keterangan :
T = Tertulis, UK = Unjuk kerja, US = Unjuk sikap,
Tm = Tatap muka P = Praktikum, L = Latihan
Bahan Pustaka:
• Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung
• Edi As Adi, 2012, Hukum Acara Perdata Dalam Persfektif
Mediasi ADR Di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
• E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education)
Sebuah Gerakan Global, Materi Pelatihan Klinik Hukum.
• Gunawan Widjaja, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Raja Grafindo, Jakarta
• Handout Proses Beracara di PN, Pengadilan Niaga, ADR
• James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal Education
in University Law School: the UK Perspective, International
Journal of Clinical legal Education, ISSN 1467-1062.
• J Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung
• Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase),
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
• M Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma
Dan Praktik di Peradilan, Prenada Media Group, Jakarta
• M Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata tentang
Gugatan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan,
Sinar Grafika, Jakarta
• Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit dalam Teori Dan Praktik,
Citra Aditya Bakti, Bandung
• Sophar Maru Hutagalung, 2012, Praktik Peradilan Perdata
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta
• Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi, Kerjasama Canadian
International Devolvement Agency –departemen Agama-
McGill University-IAIN Banda Aceh
• Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal Education, Materi
Workshop pengembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik
Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-
15 April 2015, FH UNUD Denpasar Bali.
21
• Victorianus MH Randa Paung, 2011, Penerapan Asas
Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit,
Sarana tutorial Nurani Sjahtra, Bandung
• Vaidya Gullapalli, 2012, Transforming Clinical legal Education:
An Opening for Dialogue, Journal Social Change, Vol 34,
Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication, Washington
DC
• Wahju Muljono, 2012, Teori &Praktik Peradilan Perdata Di
Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta
22
SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) : MATA KULIAH
KLINIK HUKUM PERDATA
Pendahuluan
konsep CLE (Clinical Legal Education), klinik hukum berbasis pendidikan
klinis, karakteristik klinik hukum, tujuan klinik hukum, perbedaan klinik
hukumdenganmatakuliahpraktiklainnya(memberikanpelayananhukum
kepada masyarakat tidak mampu sebagai bentuk pelaksanaan social
6. MATERI POKOK justiceapproachbekerjasamadenganLKBHFHUNUD)sertamodel-model
pelaksanaan klinik hukum
(Ex House Clinic/ External Clinic, In House Clinic, and Street Law Clinic),
Etika dalam Klinik Hukum.
StudyTask : mendiskusikan kode etik mahasiswa dalam kuliah praktik di
tempat mitra, kode etik hakim dan kode etik advokat
MempelajaritentangkonsepCLE(ClinicalLegalEducation), klinikhukum
berbasispendidikanklinis,karakteristikklinikhukum,tujuanklinikhukum,
perbedaanklinikhukumdenganmatakuliahpraktiklainnya,sertamodel-
7. PENGALAMAN
model pelaksanaan klinik hukum, Etika dalam Klinik Hukum
BELAJAR
Mempelajari dan mendiskusikan tentang :
Kode etik advokat dan kode etik hakim, serta kode etik mahasiswa selama
kuliah klinik hukum berbasis pendidikan klinis
23
STRATEGI PEMBELAJARAN
Memberikan ulasan
umum tentang konsep
CLE (Clinical Legal
Education), klinik hukum
berbasis pendidikan klinis, SAP, Silabus, ,
karakteristik klinik hukum, Melihat,mendengarkan Texbook, Tugas
perbedaan klinik hukum penjelasan, serta Terstruktur,
Pembukaan
denganmatakuliahpraktik mencatat, dan Block Book /
lainnya,sertamodel-model bertanya Bahan Ajar, Slide
pelaksanaan klinik hukum Presentasi
(Ex House Clinic/ External
Clinic, In House Clinic, and
Street Law Clinic), Etika
dalam Klinik Hukum
Mengulas tentang
mendiskusikan kode etik Melihat,mendengarkan
mahasiswa dalam kuliah penjelasan, serta
Penyajian Idem
praktik di tempat mitra, mencatat, aktif
kode etik hakim dan kode bertanya
etik advokat.
Merangkumuraiantentang
konsep CLE (Clinical Legal
Education), klinik hukum
berbasis pendidikan klinis,
karakteristik klinik hukum,
perbedaan klinik hukum
denganmatakuliahpraktik Menyimak,mengajukan
lainnya,sertamodel-model pertanyaan dan
pelaksanaan klinik hukum pendapatdalamdiskusi
Penutup Idem
(Ex House Clinic/ External danmenyusunlaporan
Clinic, In House Clinic, and kegiatanselamakuliah
Street Law Clinic), Etika dan diskusi
dalam Klinik Hukum, serta
kodeetikmahasiswadalam
kuliah praktik di tempat
mitra, kode etik hakim dan
kode etik advokat.
24
Literatur:
• E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education)
Sebuah Gerakan Global, Materi Pelatihan Klinik Hukum.
• AbdulkadirMuhammad,2006,EtikaProfesiHukum,CitraAditya
Bakti, Bandung
Tanda tangan
25
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
26
Mengulas tentang Proses
beracara perdata di
pengadilan, jenis-jenis M e l i h a t ,
dokumen beracara di mendengarkan
Penyajian pengadilan,suratkuasa,surat penjelasan, serta Idem
gugatan, replik dan duplik, mencatat, aktif
putusan pengadilan, praktik bertanya
simulasimewawancaraiklien
dalam kasus perceraian
Merangkum uraian tentang
proses beracara perdata
di pengadilan negeri serta
dokumen-dokumenhukum Menyimak,
yang dibutuhkan, unsur- mengajukan
unsur esensi dari dokumen pertanyaan dan
dalam proses beracara, pendapat dalam
Penutup Idem
teknik-teknikberwawancara, diskusi dan
sistematika penggalian menyusun laporan
permasalahanyangdihadapi kegiatan selama
klien, memformulasikan kuliah dan diskusi
problem klien
menganalisa pemecahan
kasus yang dihadapi klien
• AbdulkadirMuhammad,2006,EtikaProfesiHukum,CitraAditya
Bakti, Bandung
Dosen:Dr.NiKetutSupastiDharmawan,SH,MHum,LLM/
Nyoman Dharmada ,SH,MH
Tanda tangan
27
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
Mempelajari tentang
• unsur-unsur penting yang harus ada dalam surat kuasa, surat gugatan
7. PENGALAMAN berkaitan dengan kasus perceraian di pengadilan negeri
BELAJAR • peran pengacara mendampingi klien dalam pengajuan gugatan
• mempraktikkan peran panitera
• mempraktikkan peran mahasiswa tim majelis hakim (moot court)
STRATEGI PEMBELAJARAN
MEDIA DAN ALAT
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN KEGIATANMAHASISWA
PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4)
Memberikan ulasan
SAP, Silabus, ,
umum tentang
Melihat,mendengarkan Texbook, Tugas
pembuatansuratkuasa,
Pembukaan penjelasan, serta Terstruktur, Block
dan surat gugatan
mencatat,danbertanya Book / Bahan Ajar,
dalam kasus perceraian
Slide Presentasi
di pengadilan negeri
Mengulas tentang
Praktik membuat
surat kuasa dan surat
gugatan dalam kasus Melihat,mendengarkan
Penyajian perkawinan penjelasan, serta Idem
Role play, proses mencatat,aktifbertanya
beracaraperdatadalam
kasus perceraian (moot
court)
Merangkum uraian Menyimak,mengajukan
tentang pembuatan pertanyaan dan
surat kuasa, dan surat pendapatdalamdiskusi
Penutup Idem
gugatan dalam kasus dan menyusun laporan
perceraiandipengadilan kegiatan selama kuliah
negeri dan diskusi
28
Ujian tertulis, evaluasi terhadap proses pembelajaran, membuat resume ,
Post Test
tugas, dan laporan hasil tutorial/ hasil diskusi
Literatur
• MYahyaHarahap,2009,HukumAcaraPerdatatentangGugatan,
Penyitaan,Pembuktian,DanPutusanPengadilan,SinarGrafika,
Jakarta
• AbdulkadirMuhammad,2006,EtikaProfesiHukum,CitraAditya
Bakti, Bandung
Tanda tangan
29
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
2. KODE MATA
NAK6212
KULIAH
3. WAKTU
1 x 100 menit = 100 menit
PERTEMUAN
4. PERTEMUAN KE- 7
5. INDIKATOR
Mahasiswa mampu menjawab Soal UTS
PENCAPAIAN
6. MATERI POKOK UTS
Mempelajari tentang :
- konsep CLE (Clinical Legal Education), klinik hukum berbasis
pendidikan klinis, karakteristik klinik hukum, perbedaan klinik
hukumdenganmatakuliahpraktiklainnya,sertamodel-model
7. PENGALAMAN
pelaksanaan klinik hukum, Etika dalam Klinik Hukum
BELAJAR
- teknik-teknik berwawancara
- sistematika penggalian permasalahan yang dihadapi klien
- unsur-unsur penting yang harus ada dalam surat kuasa, surat
gugatanberkaitandengankasusperceraiandipengadilannegeri
STRATEGI PEMBELAJARAN
MEDIA DAN ALAT
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN KEGIATANMAHASISWA
PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4)
Memberikan evaluasi
UTS berkaitan konsep
CLE (Clinical Legal
Education), klinik hukum
berbasis pendidikan
klinis, karakteristik klinik
hukum, perbedaan klinik
hukumdenganmatakuliah
praktik lainnya, serta
SAP, Silabus, , Texbook,
model-modelpelaksanaan Menjawab soal,
TugasTerstruktur, Block
Pembukaan klinik hukum, Etika dalam menulis,mengumpulkan
Book / Bahan Ajar, soal
Klinik Hukum, teknik- hasil ujian
ujian
teknik berwawancara,
sistematika penggalian
permasalahan yang
dihadapiklienunsur-unsur
penting yang harus ada
dalam surat kuasa, surat
gugatanberkaitandengan
kasus perceraian di
Pengadilan Negeri
30
Soal UTS diberikan dalam Menjawab soal,
Penyajian bentuk essay dan studi menulis, serta Idem
kasus mengumpulkan hasil
Merangkumuraiantentang
konsep CLE (Clinical Legal
Education), klinik hukum
berbasis pendidikan
klinis, karakteristik klinik
hukum, perbedaan klinik
hukumdenganmatakuliah
praktik lainnya, serta
model-modelpelaksanaan
klinik hukum, Etika dalam Menjawab soal,
Penutup Klinik Hukum, teknik- menulis, serta Idem
teknik berwawancara, mengumpulkan hasil
sistematika penggalian
permasalahan yang
dihadapiklienunsur-unsur
penting yang harus ada
dalam surat kuasa, surat
gugatanberkaitandengan
kasus perceraian di
pengadilan negeri
Post Test Ujian tertulis, evaluasi terhadap proses pembelajaran, evaluasi hasil (UTS)
Literatur
• AbdulkadirMuhammad,2006,EtikaProfesiHukum,CitraAditya Bakti,
Bandung
Tanda tangan
31
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
Praktikpendampingankliendalamkasusgugatanperdatadikantorlawfirm,
pengadilan
6. MATERI POKOK
Riset observasi tentang proses beracara perdata yang sesungguhnya di
pengadilan negeri serta kesesuaiannya dengan hukum acara perdata
Mempelajari tentang :
• teknik-teknik pengacara mewawancarai klien dalam kasus yang real, di
kantor pengacara, serta teknik hakim bertanya dalam siding pengadilan
7. PENGALAMAN
dalam kasus yang nyata di pengadilan negeri
BELAJAR
• mengobservasi ketepatan waktu pelaksanaan sidang perdata
• mengobservasi tahapan proses beracara perdata
• mengevaluasi kesesuaian praktik dengan hukum acara perdata
STRATEGI PEMBELAJARAN
Memberikan ulasan
umumtentangmelakukan
pendampingan dalam
wawancara klien dalam
kasus yang real di
kantor pengacara serta SAP, Silabus, , Texbook,
dapat mengobservasi Melihat,mendengarkan
TugasTerstruktur, Block
Pembukaan pelaksanaan sidang penjelasan, serta
Book / Bahan Ajar, Slide
gugatan perdata di mencatat,danbertanya
pengadilan,hasilobservasi Presentasi
tentang pelaksanaan
proses beracara perdata
di pengadilan negeri dan
kesesuaiannya dengan
hukum acara perdata
32
Mengulas tentang Praktik
pendampingankliendalam
kasus gugatan perdata di
kantorlawfirm,pengadilan, Melihat,mendengarkan
Riset observasi tentang
Penyajian penjelasan, serta Idem
proses beracara perdata
yang sesungguhnya di mencatat,aktifbertanya
pengadilan negeri serta
kesesuaiannya dengan
hukum acara perdata
Merangkumuraiantentang
melakukanpendampingan
dalam wawancara klien
dalam kasus yang real di
kantor pengacara serta Menyimak,mengajukan
dapat mengobservasi pertanyaan dan
pelaksanaan sidang pendapatdalamdiskusi
Penutup Idem
gugatan perdata di dan menyusun laporan
pengadilan,hasilobservasi kegiatan selama kuliah
tentang pelaksanaan dan diskusi
proses beracara perdata
di pengadilan negeri dan
kesesuaiannya dengan
hukum acara perdata
Literatur
• M Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Penyitaan,Pembuktian,DanPutusanPengadilan,SinarGrafika,Jakarta
Referensi • SopharMaruHutagalung,2012,PraktikPeradilanPerdatadanAlternatif
Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta.
Tanda tangan
33
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
STRATEGI PEMBELAJARAN
Mengulas tentang
Melihat,mendengarkan
Penyelesaiansengketaperkara
Penyajian penjelasan, serta Idem
perdata dan proses Mediasi di
mencatat,aktifbertanya
pengadilan
34
Literatur
• M Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Penyitaan,Pembuktian,DanPutusanPengadilan,SinarGrafika,Jakarta
• SopharMaruHutagalung,2012,PraktikPeradilanPerdatadanAlternatif
Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta
• Edi As Adi, 2012, Hukum Acara Perdata Dalam Persfektif Mediasi (ADR(
di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
Referensi
• JoniEmirzon,2001,AlternatifPenyelesaiansengketadiLuarpengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Tanda tangan
35
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
36
Menyimak,
Merangkum uraian tentang
mengajukan
praktikmenganalisarisetdanobservasi
pertanyaan dan
proses penanganan kasus di kantor
pendapat dalam
Penutup hukumdanpengadilan,praktikmenulis Idem
diskusi dan
laporan hasil riset dan observasi
menyusunlaporan
proses penanganan kasus di kantor
kegiatan selama
hukum dan pengadilan
kuliah dan diskusi
Post Test Ujian tertulis, evaluasi terhadap proses pembelajaran, evaluasi hasil (UAS)
Literatur
• M Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Penyitaan,Pembuktian,DanPutusanPengadilan,SinarGrafika,Jakarta
• SopharMaruHutagalung,2012,PraktikPeradilanPerdatadanAlternatif
Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta
• Edi As Adi, 2012, Hukum Acara Perdata Dalam Persfektif Mediasi (ADR(
di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
Referensi
• JoniEmirzon,2001,AlternatifPenyelesaiansengketadiLuarpengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Tanda tangan
37
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
4. PERTEMUAN KE- 14
5. INDIKATOR
Mahasiswa mampu menjawab Soal UAS
PENCAPAIAN
6. MATERI POKOK UAS
Mempelajari tentang :
• jenis-jenis ADR
• teknik-teknik pengacara mewawancarai klien dalam kasus yang real, di
kantorpengacara,sertateknikhakimbertanyadalamsidangpengadilan
7. PENGALAMAN
dalam kasus yang nyata di pengadilan negeri
BELAJAR
• mengobservasi ketepatan waktu pelaksanaan sidang perdata
• tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan
• teknik menganalisa hasil observasi
• teknik menulis laporan hasil observasi
STRATEGI PEMBELAJARAN
MemberikanevaluasiUASberkaitan
jenis-jenis ADR, teknik-teknik
pengacaramewawancaraikliendalam
kasusyangreal,dikantorpengacara,
serta teknik hakim bertanya dalam SAP, Silabus, ,
Menjawab
sidang pengadilan dalam kasus Texbook, Tugas
soal, menulis,
Pembukaan yang nyata di pengadilan negeri, Terstruktur, Block
mengumpulkan
mengobservasi ketepatan waktu Book / Bahan Ajar,
hasil ujian
pelaksanaansidangperdata,tingkat soal ujian
keberhasilanmediasidipengadilan,
teknik menganalisa hasil observasi
teknik menulis laporan hasil
observasi
Menjawab soal,
Soal UAS diberikan dalam bentuk menulis, serta
Penyajian Idem
essay dan studi kasus mengumpulkan
hasil
38
Merangkum uraian tentang jenis-
jenis ADR, teknik-teknik pengacara
mewawancarai klien dalam kasus
yang real, di kantor pengacara, serta
teknik hakim bertanya dalam siding
Menjawab soal,
pengadilan dalam kasus yang nyata
menulis, serta
Penutup dipengadilannegeri,mengobservasi Idem
mengumpulkan
ketepatanwaktupelaksanaansidang
hasil
perdata,tingkatkeberhasilanmediasi
di pengadilan, teknik menganalisa
hasil observasi
teknik menulis laporan hasil
observasi
Post Test Ujian tertulis, evaluasi terhadap proses pembelajaran, evaluasi hasil (UAS)
Literatur
• SopharMaruHutagalung,2012,PraktikPeradilanPerdatadanAlternatif
Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta
Referensi • JoniEmirzon,2001,AlternatifPenyelesaiansengketadiLuarpengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Tanda tangan
39
BAB III
PENGENALAN CLINICAL LEGAL
EDUCATION (CLE) – KLINIK HUKUM
40
mendapatkan kesempatan langsung praktik belajar dengan
kasus-kasus hukum nyata yang sedang ditangani oleh para dosen
Mitra Klinik Hukum. Proses pembelajaran praktik dibimbing
secara intensif oleh dosen Mitra yang berkoordinasi dengan
dosen dari kampus.
Dalam Mariana Berbec-Rostas (2007:21-22) dikemukakan
bahwa Clinical Legal Education (CLE) adalah sebuah Program
Pendidikan yang didasarkan pada metode pengajaran yang
interaktif dan reflektif berisikan pengetahuan, nilai dan keahlian
praktis yang mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa
untuk memberikan pelayanan hukum dan menciptakan keadilan
social. CLE juga disebut sebagai experiential learning atau learning
by doing. CLE-Klinik Hukum, termasuk Klinik Hukum Perdata
di Fakultas Hukum menjadi salah satu Mata Kuliah yang
mampu menghasilkan sebagian besar lulusan terbaik dengan
pengetahuan hukum serta keterampilan praktis yang diperlukan
untuk menjalankan tugas-tugas penegakan hukum yaitu baik
sebagai hakim maupun pengacara.
Konsep CLE menurut Dickson (2000), Bradney (1992) dan
Graime (1995) sesungguhnya telah lama dikenal di berbagai
Universitas di Amerika Serikat dan sekarang ini CLE tidak
hanya berkembang di Negara-Negara Maju namun juga secara
berkelanjutan terus berkembang di Negara-Negara Berkembang.
Pendidikan hukum klinis di amerika Serikat sudah dikembangkan
sejak lama, seperti misalnya di Duke University berkembang
tahun 1931, kemudian pada era tahun 1979 mulai menyebar
di Amerika dengan bantuan pendanaan dari luar, dan dalam
perkembangannya hingga tahun 2011 hampir setiap Fakultas
Hukum di Amerika Serikat memiliki program hukum klinis.
Mariana Berbec-Rostas, 2007: 21-22 dalam Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal
Education, Materi Workshop P engembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik Hukum
FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-15 April 2015, FH UNUD Den-
pasar Bali, h. 1.
James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal Education in University Law School :
The UK Perspective, International Journal of Clinical legal Education, ISSN 1467-1062,
p.519.
E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education) Sebuah Gerakan Global,
Materi Pelatihan Klinik Hukum, h. 5.
41
Sejak tahun 2012 di Indonesia, Program Educating and
Equipping Tomorrow’s Justice Sector Reformers (E2J) dan The Asia
Foundation-USAID berkontribusi dalam memperkenalkan
dan mengembangkan CLE di Indonesia sebagai pendidikan
hukum modern, yaitu sebagai suatu Mata Kuliah di Fakultas
Hukum dengan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan
klinis, dalam proses pembelajaran memberi kesempatan dan
pengalaman kepada mahasiswa dalam menangani kasus-kasus
perdata, pidana, antikorupsi, lingkungan, kaus-kasus riil di
bidang perempuan dan anak. Klinik hukum kemudian menjadi
sebuah pembelajaran dengan maksud menyediakan mahasiswa
hukum dengan pengetahuan praktis, keahlian skill, nilai-nilai
– kode etik dalam rangka mewujudkan pelayanan hukum dan
keadilan sosial.
CLE sebagai suatu Program Pendidikan di Perguruan
Tinggi (Fakultas Hukum) memberi manfaat terutama bagi
mahasiswa untuk lebih mengenal dunia praktik hukum , yaitu
dapat menjembatani fakultas dan mahasiswanya untuk dapat
lebih mengenal, lebih peka dan memperaktikkan social justice
lawyering. Komponen-komponen penting yang menjadikan CLE
sebagai pendidikan hukum modern menjadi bermanfaat dalam
proses pembelajaran di fakultas hukum karena didalamnya
terkandung komponen-komponen sebagai berikut: Legal Analysis,
Skill Development, dan Professionalism.
Vaidya Gullapalli, 2012, Transforming Clinical legal Education: An Opening for Dia-
logue, Journal Social Change, Vol 34, Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication,
Washington DC, p. 484.
Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal Education, Materi Workshop P engembangan
dan Rekrutmen Dosen Klinik Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J,
13-15 April 2015, FH UNUD Denpasar Bali, h. 4
42
Clinical Legal Education (CLE) atau yang dikenal dengan
sebutan Klinik Hukum yang dimaknai sebagai sebuah program
pendidikan modern didasarkan pada metode pengajaran yang
khas yaitu metode Interaktif - Reflektif. Cakupan substansi dari
CLE meliputi: Pengetahuan (Knowledge), Nilai (Value), dan Keahlian
Praktis (Practical Skills) yang memampukan mahasiswa untuk
memberikan pelayanan hukum dan menciptakan keadilan
sosial.
Tujuan dari CLE ialah meliputi : Pelayanan masyarakat (Public
Service), Keadilan Sosial (Social Justice) yang mengedepankan
Prinsip Persamaan dan Keadilan, Akses yang sama terhadap
berbagai kesempatan, serta Sistem dan Prosedur Hukum yang
Adil.
Ibid, h. 7.
Ibid., h. 4.
43
(Case Analysis). Sementara itu Metode Pembelajaran “Reflektif”
bermakna secara berkelanjutan dilakukan Evaluasi materi dan
sistem pengajaran, Evaluasi efektitas materi dan sistem pengajaran
terhadap peningkatan dan derajat pemahaman mahasiswa, serta
dilakukan Evaluasi sejauh mana mahasiswa telah belajar dari
materi dan sistem pembelajaran tersebut (Student Feedback).
44
dan kejaksaan dibawah bimbingan dosen Mitra yaitu baik Lawyer,
Jaksa, maupun Hakim.
Dalam pelaksanaan Klinik Hukum dengan Model “Street
Law Clinic” , mahasiswa mendapat kesempatan kuliah praktik
yaitu mempraktikkan bagaimana menjadi penyuluh atau
mensosialisasikan materi hukum yang dapat dilakukan melalui
bermitra dengan lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah
maupun terjun langsung penyuluhan ke masyarakat dibawah
bimbingan, pengarahan dan pengawasan dosen Klinik Hukum.
Ibid., h. 9.
45
Dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran Klinik
Hukum Perdata di Fakultas Hukum Universitas Udayana,
dalam uraian Bab selanjutnya (Bab IV) akan diuraikan materi
pembelajaran berkaitan dengan kegiatan pembelajaran Planning
Component yaitu materi tentang proses beracara perdata di
Pengadilan Negeri. Karena luasnya cakupan hukum perdata, maka
dalam kegiatan Planning Component dalam proses pembelajaran
Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata dapat mengedepankan atau
mensimulasikan bagian-bagian tertentu saja dari proses beracara
di pengadilan yang nantinya akan menunjang kegiatan Experiential
Component setelah mahasiswa kuliah praktik di lapangan, begitu
juga tentang substansinya dapat dipilih secara tematik apakah
akan dilaksanakan Role Play berkaitan dengan kasus perceraian,
wanprestasi ataupun perdata lainnya.
46
BAB IV
PROSES BERACARA PERDATA DI
PENGADILAN NEGERI
PLANNING COMPONENT – INTERAKTIF
REFLEKTIF COMPONENT
47
4.2. Surat Kuasa Khusus
Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, 2012, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 12.
48
1. Kuasa secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si
pemberi kuasa. Pasal 1796 KUH Perdata menyatakan bahwa
pemberian kuasa secara umum ini cukuplah dirumuskan
dalam kata-kata umum, dan perbuatannya hanya meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan saja.
2. Kuasa secara khusus, yang apabila dituangkan dalam surat
kuasa disebut sebagai surat kuasa khusus. Menurut Pasal
1795 KUH Perdata pemberian kuasa dapat dilakukan secara
khusus yaitu, hanya mengenai satu kepentingan tertentu
atau lebih sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam
pemberian kuasa. Bentuk inilah yang menjadi landasan
pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan
mewakili kepentingan pemberi kuasa
49
surat kuasa yang memenuhi syarat.
50
Contoh 1: Surat Kuasa Khusus dari Penggugat (perkara
perceraian)
SURAT KUASA
51
melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada
orang lain dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak
retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan
dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya
yang ditetapkan dalam undang-undang.
Denpasar, ……………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa
( ….………………) (……………………)
52
Contoh 2: Surat Kuasa Khusus dari Tergugat (perkara
perceraian)
SURAT KUASA
53
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.
Denpasar, ……………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa
( ….………………) (……………………)
54
Tugas dalam Planning Component :
ROLE PLAY :
55
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajuan
surat gugatan adalah sebagai berikut :
1. Surat gugatan harus ditandatangani oleh Penggugat atau
kuasanya. Oleh karena itu, apabila ada surat kuasa yang
dalam hal ini berupa surat kuasa khusus, maka tanggal
surat gugatan harus lebih muda daripada tanggal surat
kuasa.
2. Surat gugatan harus bertanggal, menyebut dengan jelas
nama Penggugat dan Tergugat, tempat tinggal Penggugat
dan Tergugat, serta apabila diperlukan menyebutkan
jabatan kedudukan Penggugat dan Tergugat.
3. Surat gugatannya sebaiknya diketik, dan tidak perlu
dibubuhi meterai
4. Surat gugatan harus dibuat dalam beberapa rangkap. 1
(satu) rangkap aslinya untuk pengadilan negeri, kemudian
untuk arsip Penggugat dan beberapa rangkap lagi untuk
masing-masing Tergugat dan turut Tergugat.
56
data bukti yang akan mendukung gugatan klien kita sudah
terkumpul, diperlukan suatu investigasi terhadap para pihak
yang akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan
orang perorangan , kumpulan orang-orang atau suatu badan
hukum. Kadang-kadang dapat digugat sebagai perorangan dan
sekaligus badan hukumnya juga bila kita sulit mengklarifikasi
siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien
kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir
perorangan yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang
terakhir.
HIR dan RBG hanya mengatur tentang cara mengajukan
gugatan, sedangkan tentang persyaratan mengenai isi dari surat
gugatan tidak ada ketentuannya. Namun dalam Pasal 119 HIR
(Pasal 143 RBG) mengatur mengenai pemberian wewenang
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan nasehat
dan bantuan kepada pihak Penggugat dalam mengajukan
gugatannya. Dengan demikian dapat dicegah gugatan-gugatan
yang kurang jelas atau kurang lengkap.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 No. 3 Rv mengatur bahwa
gugatan harus memuat:
• Identitas Para Pihak
• Posita
• Potitum
Posita:
Posita dalam suatu gugatan dapat dipahami berupa dalil-
dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar, serta alasan-alasan daripada tuntutan atau dikenal juga
dengan sebutan fundamentum petendi.
57
Fundamentum petendi yang juga dikenal dengan sebutan
dasar dari tuntutan terdiri dari 2 (dua) bagian:
- Bagian menguraikan tentang kejadian-kejadian atau
peristiwa
- Bagian yang menguraikan tentang hukum.
Petitum:
Petitum atau juga dikenal dengan sebutan tuntutan
adalah apa yang diminta oleh Penggugat atau diharapkan agar
diputuskan oleh hakim. Penggugat harus merumuskan petitum
dengan jelas dan tegas. Sebab tuntutan yang tidak jelas atau tidak
58
sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut.
Petitum atau Tuntutan pokok yang ada dalam gugatan
acapkali dibarengi dengan tuntutan pelengkap atau tuntutan
tambahn berupa:
a. Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar biaya
perkara.
b. Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih
dahulu, meskipun putusannya dilawan atau dimintakan
banding
c. Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar bunga
apabila tuntutan yang dimintakan oleh Penggugat berupa
pembayaran sejumlah uang tertentu.
d. Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar uang
paksa (dwangsom)
e. Dalam hal gugatan perceraian dapat disertai dengan
tuntutan mengenai nafkah anak-anak.
f. Dapat pula dimasukkan permohonan subsidair yang pada
umumnya berbunyi ex aequo et bono atau “mohon putusan
berdasarkan keadilan. “
Denpasar,…………… 2015
Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Denpasar
di Denpasar
Perihal:Gugatan Cerai
Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :
___________________, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat
____________________ Jalan __________________ , Denpasar
10220, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. _____ tanggal _____
____, bertindak untuk dan atas nama :---------------------------------
59
_______Nama Penggugat________, Perempuan, Lahir di _______,
umur ______, Agama ______,
Pekerjaan_____________,
bertempat tinggal di ________
Selanjutnya disebut
sebagai P E N G G U G A T
60
tanggal __________________ sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor : ________
_______ tertanggal ___________;-----------------------------------
3. Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia, harmonis, kekal dan abadi, selama
perkawinan berlangsung kurang lebih selama 7 (tujuh)
tahun tidak ada permasalahan, kira-kira sejak tahun 2010
rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak
harmonis lagi sebagaimana layaknya pasangan suami
istri yang masih rukun yang mana Tergugat sering keluar
malam datang pagi dan Tergugat juga sering meluapkan
emosi tanpa alasan yang jelas, berkelakuan kasar terhadap
diri Penggugat ;-----------------------------
4. Bahwa Penggugat sudah berusaha memberikan nasehat
serta membicarakan hal ini, namun Tergugat bukannya
tersadar serta mengubah kebiasaan buruknya akan tetapi
Tergugat membantah dan berkelakuan kasar sehingga
terjadi perselisihan dan pertengkaran di depan anak-anak
Penggugat dan Tergugat ;--------------------------------------------
5. Bahwa kira-kira tanggal ________________, puncak
pertengkaran Antara Penggugat dan Tergugat dimana
Tergugat melakukan penganiayaan terhadap diri Penggugat,
atas perbuatan Tergugat maka Penggugat melaporkan hal
tersebut ke Kantor Polisi Sektor Denpasar, dan Tergugat
dapat ditahan di Kantor Polisi Sektor Denpasar ; -------------
6. Bahwa Tergugat merasa bersalah atas perbuatannya dan
Tergugat berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya
maka Penggugat membuat Surat Pernyataan Pencabutan
Laporan tertanggal _______________________ dan akhirnya
Tergugat dikeluarkan dari tahanan dan perkaranya tidak
dilanjutkan ; ------------------------------------------------------------
7. Bahwa Penggugat sudah berusaha memaafkan perbuatan
Tergugat namun sampai saat ini Tergugat tidak memperbaiki
diri dan sering berlaku kasar maka rumah tangga Penggugat
dan Tergugat tidak mungkin akan dipersatukan kembali
61
secara utuh ; ---------------------------
8. Bahwa untuk rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah
tidak mungkin dipersatukan lagi dan berdasarkan tujuan
suatu perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah tidak mungkin untuk
dapat dipertahankan lagi maka dengan terpaksa Penggugat
mengajukan permasalahan ini ke Pengadilan Negeri
Denpasar ;----------
(________________________)
62
KASUS HIPOTESIS
63
Tugas : Role Play
64
dan diputus tanpa menempuh prosedur mediasi berdasarkan
Perma ini, merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130
HIR (Pasal 154 RBG) yang mengakibatkna putusan batal demi
hukum.
Pada tahap pra mediasi, pada sidang pertama yang
dihadiri Penggugat dan Tergugat atau kuasa hukumnya, hakim
mewajibkan para pihak untuk terlebih dahulu menempuh mediasi
dalam menyelesaikan perkara (Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1 Tahun
2008). Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau
paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna
memilih mediator baik yang ada di dalam daftar yang dimiliki
oleh pengadilan ataupun diluar daftar pengadilan, termasuk juga
biaya yang ditimbulkan akibat pilihan penggunaan mediator
yang bukan hakim. (Pasal 11 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008).
Mediator yang akan dipilih dalam proses mediasi ini bisa
dari kalangan hakim, asalkan bukan hakim yang memeriksa
perkara tersebut. Dapat juga dipilih mediator yang bukan hakim
dengan syarat telah memiliki sertifikat sebagai mediator yang
telah di akreditasi oleh Mahkamah Agung. (Pasal 9 Perma No. 1
Tahun 2008). Dalam tahap pelaksanaan mediasi, Pasal 10 Perma
No. 1 Tahun 2008 menentukan mediasi dapat diselenggarakan
disalah satu ruangan pengadilan dan untuk penggunaan ruangan
ini tidak dikenakan biaya. Sedangkan apabila pelaksanaan
mediasi dilakukan ditempat lain, maka biaya yang timbul
dari penggunaan tempat tersebut dibebankan kepada pihak
berdasarkan kesepakatan. Demikian juga dengan penggunaan
mediator yang bukan hakim biayanya ditanggung oleh para
pihak yang berperkara berdasarkan kesepakatan.
Tahap mediasi dimulai lima hari kerja setelah pemilihan atau
penunjukkan mediator, para pihak wajib menyerahkan resume
perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator ( Pasal 13 ayat
(1) Perma No. 1 Tahun 2008). Proses mediasi berlangsung selama
empat puluh hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak
atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim ( Pasal 13 ayat (2) Perma
No. 1 Tahun 2008) dan atas dasar kesepakatan para pihak, jangka
65
waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) ( Pasal 14 ayat (4) Perma No. 1 Tahun
2008). Dalam pelaksanaan mediasi para pihak ataupun kuasa
hukumnya dan mediator dapat mengundang saksi ahli dalam
bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan
terkait dengan penyelesaian sengketa, dimana segala biaya yang
timbul dari pemanggilan saksi ahli tersebut dibebankan kepada
para pihak. ( Pasal 16 Perma No. 1 Tahun 2008).
Tercapainya kesepakatan ataupun tidak tercapainya
kesepakatan hasi dari proses mediasi tersebut dibawa ke
pengadilan dan para pihak kembali menghadap kepada majelis
hakim. Apabila dicapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut
harus dirumuskan secara tertulis yang kemudian ditandatangani
oleh kedua belah pihak yang berperkara. Mediator wajib
memeriksa kembali kesepakatan tersebut untuk menghindari
adanya kesepakatan yang saling bertentangan. Hakim dapat
mengukuhkan kesepakata tersebut dakam suatu akta perdamaian
yang memiliki kekuatan hukum tetap. Apabila para pihak yang
berperkara tidak menghendaki kesepakatan tersebut dituangkan
dalam akta perdamaian, maka dalam kesepakatan tertulis
tersebut harus memuat pernyataan pencabutan perkara (Pasal 17
Perma No. 1 Tahun 2008).
Apabila proses mediasi gagal mencapai kesepakatan sampai
batas waktu yang telah ditentukan, Mediator wajib menyatakan
bahwa proses mediasi gagal dan memberitahukannya kepada
Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Segera setelah
pemberitahuan tersebut hakim melanjutkan proses pemeriksaan
perkara sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata yang
berlaku (Pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008). Dalam proses
pemeriksaan perkara di persidangan dilanjutkan kembali, segala
pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak
dapat digunakan dalam proses persidangan yang bersangkutan
maupun perkara lainnya. Demikian juga fotocopy dokumen,
notulen, dan catatan mediator wajib dimusnahkan dan mediator
66
tidak dapat diminta untuk menjadi saksi ahli dalam persidangan
perkara yang bersangkutan (Pasal 19 Perma No. 1 Tahun 2008).
4.6. Eksepsi
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bak-
ti, Bandung, h.97
10 Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 169.
67
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut terkait dengan kewenangan dari jenis
pengadilan yang berwenang untuk memeriksa perkara itu
(Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Peng
adilan Agama (Islam), atau Pengadilan Militer). Eksepsi
terkait kompetensi absolut dapat diajukan kapanpun selama
perkara masih berlangsung, dan bahkan pengadilanpun
wajib menyatakannya tanpa eksepsi. Kompetensi absolut
diatur dalam Pasal 134 HIR Jo Pasal 160 RBG. 11
2. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif terkait dengan wilayah hukum
pengadilan yang berwenang memeriksa perkara (terhadap
pengadilan sejenis). Eksepsi terkait kompetensi relatif
ini harus diajukan pada kesempatan pertama Tergugat
memberikan jawabannya, sesuai ketentuan Pasal 133 HIR
Jo Pasal 159 RBG. 12
11 Ibid
12 Ibid
68
5. Exceptie Obscuri Libelli, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan kekaburan/ketidakjelasan gugatan. (Pasal 125 ayat
(1) HIR Jo Pasal 149 ayat (1) RBG).
6. Exceptie Plurium Litis Consortium, adalah tangkisan yang
berkaitan dengan kelengkapan para pihak khususnya yang
berkedudukan sebagai Tergugat belum lengkap, sehingga
subjek hukum dalam gugatan dapat digugurkan.
7. Exceptie Non-adimpleti Contractus, adalah tangkisan yang
berkaitan dengan wanprestasi dari Tergugat dikarenakan
Penggugat juga dalam keadaan wanprestasi.
8. Exceptie rei judicatie, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan asas ne bis in idem, yaitu terhadap perkara yang
telah diputus dengan kekuatan hukum tetap, tidak dapat
diajukan gugatan lagi.
9. Exceptie van connexiteit, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan masih diperiksanya perkara yang berkaitan oleh
pengadilan/instansi lain, sehingga harus menunggu
putusan.13
13 Ibid, h. 171-176.
14 Ibid, h.177-180.
69
Eksepsi yang diajukan Tergugat harus diperiksa dan
diputus dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
pokok perkara (Pasal 136 HIR/Pasal 162 RBG).Jawaban gugatan
dan eksepsi dapat dijadikan satu pada pengajuannya, yaitu
dengan menyertakan eksepsi pada jawaban gugatan. Dalam hal
ini, eksepsi akan ditulis dengan istilah “DALAM EKSEPSI” dan
dilanjutkan dengan penulisan jawaban gugatan dengan istilah
“DALAM POKOK PERKARA”.
15 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bak-
ti, Bandung, h.103.
70
memeriksa gugatan rekonvensi atau diluar yurisdiksi
Pengadilan Negeri tersebut.
3. Dalam hal pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap, rekonvensi tidak dapat diajukan lagi.16
4.8. Replik
16 Ibid, h.104-105
17 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 128.
18 H. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 462.
71
Secara teoritis tidak ada teori yang membahas mengenai
bagaimana proses menyusun replik, mengenai bentuk dan
susunan dari replik juga tidak ada ketentuan yang mengaturnya.
Oleh karena itu dalam menyusun replik harus disesuaikan
dengan jenis bidang hukumnya (hukum acara pidana/hukum
acara perdata), selain itu juga tergantung pada materi pokok dari
perkara yang dihadapi. Dalam menyusun replik ini, Penggugat
dapat mengemukakan sumber sumber kepustakaan, pendapat
pendapat para ahli, doktrin, kebiasaan, dan hal-hal baru untuk
menguatkan dalil gugatan yang diajukan sebelumnya.19
Dalam proses berperkara perdata di pengadilan, jawaban
gugatan dari Tergugat selain memuat jawaban atau bantahan
terhadap pokok perkara, juga termuat eksepsi serta dapat pula
memuat gugatan balik atau gugatan rekonvensi. Dalam menyusun
replik, pihak Penggugat perlu memperhatikan jawaban gugatan
dari pihak Tergugat. Bentuk dan susunan replik harus disesuaikan
dengan apa yang termuat dalam jawaban gugatan yang diajukan
pihak Tergugat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan replik yaitu:
1. Penggugat dalam menyusun replik selayaknya harus
menguasai hal-hal yang terkait dengan eksepsi.
2. Penggugat dalam menyusun replik harus
mempertimbangkan dengan cermat isi gugatan balik/
rekonvensi dari Tergugat. Dalam menanggapi gugatan
balik/rekonvensi dari Tergugat, Penggugat harus memuat
jawaban dari gugatan balik/rekonvensi tersebut dalam
replik.
3. Penggugat dalam menyusun replik harus
mempertimbangkan dalil-dalil bantahan atas gugatan
balik/rekonvensi yang diajukan Tergugat dan juga harus
mempertimbangkan alat bukti yang dapat memperkuat
dalil-dalil bantahan terhadap gugatan bali tersebut.
4. Penggugat dalam menyusun replik lazimnya selalu memuat
19 Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Kencana, Jakarta, h. 225.
72
permintaan pada majelis hakim untuk mengabulkan
tuntutan dalam gugatan.20
4.9. Duplik
20 Boy Yendra Tamin, 2013, Prinsip dan Teknik Menyusun Replik dan Duplik,http://www.
boyyendratamin.com/2013/05/prinsip-dan-teknik-menyusun-replik-dan.html, diak-
ses tanggal 15 Mei 2015.
73
bisa saja dalam prosesnya hakim yang menentukan apakah
proses jawab-menjawab ini ditutup ataukah diteruskan,dalam
proses tersebut hakim akan menilai apakah replik yang
diajukan Penggugat dengan duplik yang diajukan Tergugat
hanya mengulang-ulang dalil atau tuntutan yang sebelumnya
telah disampaikan di dalam proses persidangan, jika hakim
menilai proses tersebut hanya pengulangan dari apa yang telah
disampaikan maka atas dasar tersebut hakim akan memutuskan
untuk menghentikan proses jawab-menjawab tersebut.
Sesuai dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan, sedapat mungkin proses pemeriksaaan berjalan
dengan efisien dan efektif. Apabila prinsip tersebut dikaitkan
dengan tahapan jawab-menjawab yang diatur dalam Pasal 117
Rv, hakim cukup memberi kesempatan kepada para pihak untuk
menyampaikan replik dan duplik hanya satu kali saja, namun
dalam hal ini tidak ada larangan yang tegas untuk menyampaikan
replik dan duplik berkali-kali. Apabila Hakim menilai proses
jawab-menjawab tersebut tidak efektif dan efisien, serta hanya
membuang waktu saja, maka hakim dapat menghentikan proses
jawab-menjawab tersebut untuk selanjutnya dilanjutkan pada
tahap pembuktian di pengadilan.21
74
Menurut sifatnya putusan akhir dapat diklasifikasikan. menjadi
3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Putusan kondemnator (condemnatoir vonnis, condemnatory
verdict).
Putusan kondemnator adalah putusan yang bersifat
menghukum. Dalam perkara perdata, menghukum artinya
membebani kewajiban untuk memenuhi prestasi terhadap
pihak yang kalah. Dalam memenuhi prestasi tersebut dapat
dilaksanakan dengan memberi sesuatu, berbuat sesuatu,
atau tidak berbuat sesuatu. Putusan kondemnator yang
ditetapkan oleh Hakim dapat dilaksanakan dengan paksaan
(forceiijk executie, forcible execution). Dictum dalam putusan
kondemnator dapat berbunyi: “ Mengadili : Menerima
permohonan Penggugat, Mengabulkan/menolak gugatan
Penggugat, Menghukum Tergugat/Penggugat untuk dst. ”
2. Putusan deklarator (declartoir vonnis, declaratory verdict).
Putusan deklarator adalah putusan yang isinya bersifat
menerangkan atau menyatakan suatu keadaan hukum.
Putusan deklarator hanya bersifat penetapan saja tentang
keadaan hukum, tidak bersifat mengadili karena tidak
ada sengketa. Putusan deklarator seperti ini disebut
deklarator murni. Umumnya putusan deklarator terjadi
dalam lapangan hukum badan privat, misalnya mengenai
pengangkatan anak, kesalahan identitas diri (Nama,
Tanggal lahir dsb.) penegasan hak atas suatu benda.
Bunyi Dictum dalam putusan deklarator adalah seperti
berikut: “Menetapkan : Menerima permohonan Pemohon,
Mengabulkan permohonan Pemohon, Menyatakan, bahwa
…., Menyatakan pula, bahwa …. “. Jadi, fungsi pernyataan
di sini adalah sebagai penegasan saja dari suatu. keadaan
yang sudah ada, atau keadaan yang sudah tidak ada.
3. Putusan konstitutif (constitutief vonnis, constitutive verdict).
Putusan konstitutif adalah putusan yang bersifat
meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum.
Dalam putusan ini suatu keadaan hukum tertentu
75
ditiadakan, atau ditimbulkannya suatu keadaan hukum
baru, misalnya putusan pembatalan perkawinan,
pembatalan perjanjian, putusan perceraian. Pelaksanaan
putusan konstitutif tidak memerlukan paksaan karena tidak
menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu. Perubahan
keadaan atau hubungan hukum otomatis terjadi pada saat
putusan tersebut diucapkan di muka persidangan. Dictum
dalam putusan konstitutif dapat berbunyi : “Mengadili
: Menerima gugatan Penggugat, Mengabulkan gugatan
Penggugat …., Membatalkan perjanjian ….“.22
22 Ibid, h.156-164.
23 Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, Op. Cit, h.87.
76
Putusan pengadilan harus memenuhi syarat-syarat formal
dan substansi. 24Syarat formal sahnya putusan pengadilan, yaitu:
1. Dimulai dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2. Memuat waktu (tanggal, bulan, dan tahun) putusan.
3. Dibacakan dalam sidang pengadilan yang dinyatakan
terbuka untuk umum. 25
24 Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.205.
25 Ibid, h. 206
77
BAB V
PENGEMBANGAN PRACTICAL LEGAL SKILL
EXPERIENTIAL COMPONENT –
REFLECTION COMPONENT
78
Law Office” mengemukakan bahwa pengalaman-pengalaman
praktik, yaitu Lawyering Skill yang diberikan kepada mahasiswa
salah satunya adalah proses praktek sidang perkara wanprestasi
di Pengadilan Negeri Denpasar dengan tahapan-tahapannya
beserta nilai-nilai etika yang senantiasa harus diindahkan selama
mahasiswa ikut serta dalam proses beracara di Pengadilan Negeri
sebagai tahapan proses pembelajaran praktik hukum .
Tahapan-tahapan serta pengalaman-pengalaman praktik
menurut Made Nardhi sebagai berikut: Masyarakat dalam
menjalani kehidupannya sering mengalami masalah-masalah
hukum yang berawal dari ada perjanjian yang mereka buat dengan
pihak lain. Apabila salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi
terhadap perjanjian yang dibuat, maka pihak yang lainnya
pasti akan merasa dirugikan, sehingga pihak yang dirugikan
tersebut biasanya melakukan tindakan-tindakan hukum seperti
memberikan somasi dan mengajukan Gugatan Wanprestasi ke
Pengadilan Negeri.
Bagi pihak yang merasa dirugikan atas wanprestasi yang
dilakukan oleh pihak lain maka mereka akan berkonsultasi ke
Kantor Advokat. Di dalam kantor advokat tersebut seorang
advokat akan memberikan penjelasan tentang masalah ingkar janji
atau wanprstasi yang sedang dihadapi oleh seseorang tersebut.
Dan apabila seseorang tersebut mempercayakan kepada advokat
untuk menyelasaikan masalah yang dihadapinya maka orang
tersebut akan memeberikan surat kuasa kepada advokat untuk
mewakilinya membuat dan mengajukan gugatan wanprestasi ke
Pengadilan Negeri.
Surat kuasa yang sudah diberikan oleh pemberi kuasa
tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri pada bagian hukum
dan setelah mendapatkan nomor register lalu surat kuasa
tersebut dipakai sebagai lampiran didalam mendaftarkan
Gugatan wanprestasi pada bagian perdata. Pada saat melakukan
79
pendaftaran Gugatan wanprestasi tersebut, gugatan akan diperiksa
terlebih dahulu oleh Panmud bagian perdata lalu ditandatangani.
Di meja kasir kita akan di berikan SKUM untuk melakukan
pembayaran biaya perkara, biasanya biaya perkara tersebut di
bayar di Bank BNI, lalu slip pembayaran tersebut dipakai bukti
untuk mendaftarkan gugatan wanprestasi, serta akan diberikan
nomor register perkara. Setelah kurang lebih dua minggu maka
ditetapkanlah Hakim Majelis yang akan menyidangkan perkara
yang telah didaftarakan tersebut. Para pihak akan dipanggil
secara patut yaitu paling lambat tiga hari sebelum hari sidang.
Pada saat siding pertama perkara wanprestasi dilaksanakan
Majelis Hakim akan membuka persidangan, dan menanyakan
kebenaran identitas para pihak.
Pada persidangan pertama, Majelis hakim wajib
memberitahukan kepada para pihak agar mereka mau berdamai
melalui proses mediasi sebagaimana yang diatur dalam PERMA
NO : 2 tahun 2003, serta menanyakan pula kepada para pihak
apakah para pihak akan menunjuk Mediator sendiri atau
menyerahkan kepada Majelis Hakim. Apabila para pihak
menyerahkan kepada Majelis Hakim maka Majelis Hakim
akan menunjuk dan menetapkan Mediator dari salah satu
hakim yang ada pada Pengadilan Negeri tersebut yang telah
mempunyai sertipikat Mediator. Waktu mediasi adalah selama
40 hari apabila dianggap belum cukup maka mediator akan
memberikan perpanjangan waktu sampai 14 hari. Tetapi apabila
para pihak tidak mau berdamai, walaupun waktu 40 hari belum
tercapai maka proses mediasi dianggap gagal dan Mediator akan
melaporkan kepada Majelis Hakim, bahwa proses mediasi gagal
dan persidangan akan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan.
Setelah gugatan wanprestasi dibacakan oleh Penggugat atau
Kuasanya, Majelis Hakim akan memberikan kesempatan kepada
Pihak Tergugat atau kuasanya,untuk mengajukan jawaban secara
tertulis selama satu minggu. Biasanya dalam jawaban gugatan
tersebut juga bisa dibarengi dengan eksepsi yaitu keberatan dari
Tergugat terhadap gugatan tersebut.
80
Dalam eksepsi biasanya berisi tentang keberatan Tergugat
akan kewenangan mengadili baik kewenangan absolute maupun
kewenangan relative atau bisa juga keberatan tentang syarat-
syarat atau formalitas gugatan. Mengenai eksepsi tersebut diatur
dalam pasal 134 HIR untuk eksepsi absolute dan pasal 125 ayat
(2) jo. pasal 133 dan pasal136 HIR. Setelah Tergugat membacakan
eksepsi dan jawaban gugatan tersebut, maka Majelis Hakim
juga akan memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk
menanggapi jawaban gugatan dari Tergugat secara tertulis
yang disebut dengan Replik, setelah replik dibaca dan diajukan
pada persidangan yang telah ditentukan, maka Majelis Hakim
memberikan kesempatan kepada Tergugat untuk menanggapi
Replik dari Penggugat secara tertulis yang disebut Duplik.
Setelah persidangan jawab menjawab dianggap cukup oleh
Majelis Hakim, maka persidangan berikutnya akan dilanjutkan
dengan agenda pembuktian dari kedua belah pihak, biasanya
Majelis Hakim memberikan kepada Pihak Penggugat untuk
melakukan pembuktian terlebih dahulu baik berupa bukti surat
maupun saksi-saksi, selanjutnya pada persidangan berikutnya
baru Pihak Tergugat diberikan untuk mengajukan pembuktian,
baik bukti surat-surat maupun saksi-saksi. Apabila dipandang
perlu oleh para pihak maupun Majelis Hakim, maka dalam
siding berikutnya akan diajukan Saksi ahli untuk didengarkan
keterangannya dalam persidangan. Apabila perkara wanprestasi
tersebut menyangkut masalah tanah, dan jika dipandang perlu
untuk melakukan persidangan setempat oleh Majelis hakim
maka Majelis Hakim akan memerintahkan kepada para pihak
untuk melakukan persidangan ditempat tanah sengketa.
Setelah persidangan setempat akan dilanjutkan dengan agenda
persidangan berikutnya yaitu mengajukan Kesimpulan, kedua
belah pihak atas perintah Majelis Hakim akan mengajukan
Kesimpulan tentang persidangan yang telah dilakukan kepada
Mejelis Hakim.
Setelah Majelis hakim menerima Kesimpulan dari para pihak
maka dua minggu kemudian siding akan dilanjutkan dengan
81
Pembacaan Putusan oleh Majelis Hakim yang menyidangkan
perkara Wanprestasi tersebut. Apabila salah satu pihak yang
dikalahkan tidak menerima dari Putusan tersebut maka pihak
yang kalah akan melakukan uapaya hukum selanjutnya yaitu
berupa Banding ke Pengadilan Tinggi. Waktu untuk melakukan
uapaya banding tersebut adalah 14 hari setelah Putusan
dibacakan.
Evaluation- Reflection
Mahasiswa merefleksikan pengalaman yang telah diperoleh
di lapangan dan melakukan evaluasi terhadap kinerja
yang telah dilakukan berdasarkan pengarahan dari dosen
pembimbing (Mariana berbec-Rostas, 2007: 22 dalam Tomi
Suryo Utomo, 2015: 9.
TUGAS AKHIR
82
DAFTAR BACAAN
83
• Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal Education, Materi
Workshop pengembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik
Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-
15 April 2015, FH UNUD Denpasar Bali.
• Victorianus MH Randa Paung, 2011, Penerapan Asas
Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit,
Sarana tutorial Nurani Sjahtra, Bandung
• Vaidya Gullapalli, 2012, Transforming Clinical legal Education:
An Opening for Dialogue, Journal Social Change, Vol 34,
Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication, Washington
DC
• Wahju Muljono, 2012, Teori &Praktik Peradilan Perdata Di
Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta
84
REGULASI
• HIR /RBG
• BW / Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
• Undang-Undang Ni. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
• Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah
• Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia
• Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
• Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas
• Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal
ETIKA PROFESI
– Keputusan Bersama Ketua MA RI No. 047/KMA/SKB/
IV/2009 dan Komisi Yudisial RI No. 02/SKB/P.KY/IV/2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
– Etika Profesi dan Kode Etik Advokat
– Role Play Etika Profesi menjadi seorang Advokat atau
Konsultan Hukum Dalam Menangani Klien
PUTUSAN PENGADILAN
1. Putusan Perkara Nomor : 37/Pdt.G/2012/PN.Tbn.
2. Putusan Perkara Nomor : 79 /Pdt.G/2012/PN.Tbn.
3. Putusan Nomor : 04/PKPU/2009/P.N.-Niaga Sby
85
86
LAMPIRAN-LAMPIRAN
87
Contoh 1: Surat Kuasa Khusus dari Penggugat (perkara
perceraian)
SURAT KUASA
88
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain
dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak retensi dan
seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam
pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang
ditetapkan dalam undang-undang.
Denpasar, ……………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa
( ….………………) (……………………)
89
Contoh 2: Surat Kuasa Khusus dari Tergugat (perkara
perceraian)
SURAT KUASA
90
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.
Denpasar, ……………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa
( ….………………) (……………………)
91
Contoh 3: Surat Gugatan Perceraian
Denpasar,…………… 2015
Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Denpasar
di Denpasar
Perihal: Gugatan Cerai
Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :
___________________, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat
____________________ Jalan __________________ , Denpasar
10220, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. _____ tanggal _____
____, bertindak untuk dan atas nama :---------------------------------
_______Nama Penggugat________, Perempuan, Lahir di ___
___________, umur _____
_____, Agama _________,
Pekerjaan_____________,
bertempat tinggal di ___
__________ Selanjutnya
disebut sebagai P E N G G
UGAT
Dengan ini Penggugat hendak mengajukan gugatan cerai
terhadap :
_______Nama Tergugat________, Laki-laki, umur_________
_, Agama ______________,
Pekerjaan_____________,
bertempat tinggal di ___
__________ Selanjutnya
disebut sebagai T E R G U
GAT
Adapun yang menjadi dasar-dasar dan alasan diajukannya
gugatan cerai ini adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang
sah yang melangsungkan perkawinan secara adat dan
92
agama Hindu yang dilaksanakan pada tanggal ________
________ di rumah Tergugat di _______________________
_____ dimana Penggugat berkedudukan sebagai Predana
sedangkan Tergugat sebagai Purusa sesuai dengan Kutipan
Akta Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar
Nomor : _______________ tertanggal ____________;----------
----------------------------------------------
2. Bahwa dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat telah
dikaruniai 2 (dua) orang anak laki-laki yang masing-masing
bernama :
Anak Pertama : ________________ lahir di __________,
tanggal __________________ sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor : ________
_______ tertanggal ___________------------------------------------
Anak Kedua : ________________ lahir di __________,
tanggal __________________ sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor : ________
_______ tertanggal ___________;-----------------------------------
3. Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia, harmonis, kekal dan abadi, selama
perkawinan berlangsung kurang lebih selama 7 (tujuh)
tahun tidak ada permasalahan, kira-kira sejak tahun 2010
rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak
harmonis lagi sebagaimana layaknya pasangan suami
istri yang masih rukun yang mana Tergugat sering keluar
malam datang pagi dan Tergugat juga sering meluapkan
emosi tanpa alasan yang jelas, berkelakuan kasar terhadap
diri Penggugat ;-----------------------------
4. Bahwa Penggugat sudah berusaha memberikan nasehat
serta membicarakan hal ini, namun Tergugat bukannya
tersadar serta mengubah kebiasaan buruknya akan tetapi
Tergugat membantah dan berkelakuan kasar sehingga
terjadi perselisihan dan pertengkaran di depan anak-anak
Penggugat dan Tergugat ;--------------------------------------------
93
5. Bahwa kira-kira tanggal ________________, puncak
pertengkaran Antara Penggugat dan Tergugat dimana
Tergugat melakukan penganiayaan terhadap diri Penggugat,
atas perbuatan Tergugat maka Penggugat melaporkan hal
tersebut ke Kantor Polisi Sektor Denpasar, dan Tergugat
dapat ditahan di Kantor Polisi Sektor Denpasar ; -------------
----------------------------
6. Bahwa Tergugat merasa bersalah atas perbuatannya dan
Tergugat berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya
maka Penggugat membuat Surat Pernyataan Pencabutan
Laporan tertanggal _______________________ dan akhirnya
Tergugat dikeluarkan dari tahanan dan perkaranya tidak
dilanjutkan ; ------------------------------------------------------------
--------------
7. Bahwa Penggugat sudah berusaha memaafkan perbuatan
Tergugat namun sampai saat ini Tergugat tidak memperbaiki
diri dan sering berlaku kasar maka rumah tangga Penggugat
dan Tergugat tidak mungkin akan dipersatukan kembali
secara utuh ; ---------------------------
8. Bahwa untuk rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah
tidak mungkin dipersatukan lagi dan berdasarkan tujuan
suatu perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah tidak mungkin untuk
dapat dipertahankan lagi maka dengan terpaksa Penggugat
mengajukan permasalahan ini ke Pengadilan Negeri
Denpasar ;----------
94
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor : ________
_______ tertanggal _____________________
3. Menyatakan hak asuh anak-anak berada dalam kekuasaan
Penggugat;
4. Menyatakan seluruh harta bersama dibagi 2 (dua) sama
rata diantara Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah anak
sebesar Rp. 3.000.000,- ( Tiga Juta Rupiah) setiap bulan
hingga anak dewasa
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
(________________________)
95
Contoh 4: Akta Perdamaian
AKTA PERDAMAIAN
Pada hari ini, …..tanggal ….., telah dating menghadap di
persidangan umum Pengadilan Negeri di ………., yang bersidang
dalam gedungnya di Jl………. Kedua belah pihak yang berpekara
perdata: ………. Umur………., pekerjaan ………., tempat tinggal
di Jl ………., selanjutnya disebut Penggugat;
LAWAN
………., umur ………., pekerjaan ………., tempat tinggal di
………., selanjutnya disebut Tergugat; yang menerangkan bahwa
kedua belah pihak mufakat menyelesaikan perkaranya dengan
perdamaian, yang bunyinya sebagai tertera di bawah ini:
- Disebutnya isi perdamaian (pasal demi pasal)
Setelah perjanjian perdamaian tersebut dituliskan dan
dibicarakan pada kedua belah pihak, maka Penggugat dan
Tergugat menerangkan bahwa mereka menerima dan menyetujui
perdamaian ini
MENGADILI
Menyatakan bahwa telah tercapai perdamaian antara kedua
belah pihak;
Menghukum kedua belah pihak untuk mengetahui bunyi isi
perdamaian tersebut di atas;
96
Menghukum kedua belah pihak untuk membayar ongkos perkara
masing-masing separuhnya, yang sehingga perdamaian ini dibuat
berjumlah Rp ……………......….…… ( ……………. rupiah)
Biaya – biaya :
Panggilan kedua belah pihak : Rp ……………………….
Materai Akte Perdamaian : Rp ……………………….
Dan lain-lain : Rp ……………………….
97
Contoh 5: Jawaban Gugatan Perceraian
Denpasar,…………… 2015
Kepada Yth,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri ________,
Pemeriksa Perkara Perdata No. : _________
di Denpasar
Perihal: Jawaban atas Gugatan Cerai Penggugat
Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :
___________________, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat
____________________ Jalan __________________ , Denpasar
80111, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. _____ tanggal _____
____, bertindak untuk dan atas nama :--------------------------, Laki-
laki, umur__________, Agama ______________, Pekerjaan______
_______, bertempat tinggal di _____________ Selanjutnya disebut
sebagai TERGUGAT, dalam Perkara Perdata Perceraian Nomor
__________________ di Pengadilan Negeri Denpasar.
I. DALAM EKSEPSI:
- Bahwa karena Penggugat dan Tergugat melakukan
pernikahan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil
Kabupaten Tabanan, maka seharusnya Pengadilan
Negeri Denpasar bukanlah yang berwenang
mengadili, melainkan Pengadilan Negeri Tabanan.
Jadi yang berwenang mengadili perkara ini adalah
Pengadilan Negeri Tabanan, bukan Pengadilan Negeri
Denpasar. (Eksepsi Kompetensi Relatif)
98
2. Bahwa memang benar, Penggugat dan Tergugat
adalah suami istri yang sah yang melangsungkan
perkawinan secara adat dan agama Hindu yang
dilaksanakan pada tanggal ________________ di
rumah Tergugat di ____________________________
dimana Penggugat berkedudukan sebagai Predana
sedangkan Tergugat sebagai Purusa sesuai dengan
Kutipan Akta Perkawinan dari Kantor Catatan
SipilKota/Kabupaten __________ Nomor : __________
_______________________________________________
3. Bahwa benar dalam perkawinan Penggugat dan
Tergugat telah dikaruniai 2 (dua) orang anak laki-laki
yang masing-masing bernama :
Anak Pertama : ________________ lahir di ________
__, tanggal __________________ sesuai dengan Akta
Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar
Nomor : _______________ tertanggal ___________---
-------------------------------------------------------
Anak Kedua : ________________ lahir di _________
_, tanggal __________________ sesuai dengan Akta
Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar
Nomor : _______________ tertanggal ___________;----
--------------------------------------------------------------------
4. Bahwa memang benar Tergugat sering keluar
malam dan pulang pagi, hal ini dilakukan karena
Tergugat mendapatkan tugas oleh atasannya untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan.
5. Bahwa tidak benar dalil-dalil yang dikemukakan
Penggugat, bahwa Tergugatsering meluapkan emosi
tanpa alasan yang jelas, berkelakuan kasar terhadap
diri Penggugat, dan hal ini bisa di buktikan dengan
pihak-pihak luar (dalam hal ini tetangga dan keluara
Tergugat);
6. Bahwa tidak benar Tergugat melakukan penganiayaan
terhadap diri Penggugat, yang diuraikan oleh
99
penggugat dalam butir No. 5 dan butir No. 6
gugatannya, dan juga tidak benar bahwa tergugat
pernah ditahan di Kantor Polisi Sektor Denpasar ; ----
----------------------------
7. Bahwa Penggugat sudah berusaha memaafkan perbuatan
Tergugat namun sampai saat ini Tergugat tidak memperbaiki
diri dan sering berlaku kasar sehingga Penggugat merasa
rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak mungkin akan
dipersatukan kembali secara utuh adalah suatu alasan yang
tidak benar, seperti apa yang telah Tergugatkemukakan pada
jawaban Tergugat tersebut diatas;
100
marah-marahyang tidak jelas dan sering memaki
pekerjaan Tergugat.
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi tipe
orang yang sering meremehkan orang lain. Sebagai
seorang karyawati di____________ Penggugat sering
meremehkan pekerjaan Tergugat yang hanya sebagai
_____________.
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi adalah
seorang ibu yang tidak baik bagi anak-anaknya,
dimana Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi
tidak pernah menghiraukan/memperhatikan anak-
anaknya seperti membuatkan sarapan serta urusan
pendidikan dan sering bersikap kasar kepada anak-
anak.
3. Bahwa berdasarkan kepada hal-hal yang dikemukakan
diatas, sudahlah jelas bahwa yang menyebabkan tidak
harmonisnya rumah tangga adalah karena sikap dan
perilaku yang tidak baik dari Tergugat Rekonvensi/
Penggugat Konvensi.
I. Dalam Konvensi
1. Menolak gugatan Penggugat konvensi (Tergugat
Rekonvensi) untuk seluruhnya.
2. Menghukum penggugat konvensi (Tergugat
Rekonvensi) untuk membayar lunas semua biaya
yang timbul dalam perkara ini.
101
dan Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Akta
Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil Kota/Kabupaten
________ Nomor : _______________ tertanggal _____
________________
3. Menyatakan hak asuh anak-anak berada dalam
kekuasaan Penggugat Rekonvensi (Tergugat
Konvensi)
4. Menyatakan seluruh harta bersama dibagi 2 (dua)
sama rata diantara Penggugat Rekonvensi (Tergugat
Konvensi) dan Tergugat Rekonvensi (Penggugat
Konvensi);
5. Menghukum Tergugat Rekonpensi/Penggugat
Konpensi membayar segala biaya perkara
Hormat kami,
Kuasa Hukum Tergugat dalam Konvensi
Penggugat dalam Rekonvensi
(_______________________________)
102
KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA
KODE ETIK
ADVOKAT INDONESIA
103
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
PEMBUKAAN
104
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Advokat adalah orang yang berpraktik memberi jasa
hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang
yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat
Hukum, Pengacara praktik ataupun sebagai konsultan
hukum.
b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang
menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.
c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan
praktik hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan
berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktik
hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang
dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi
dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik
Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak
menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang
Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.
f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai
imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau
perjanjian dengan kliennya.
BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT
Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam
105
mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang
tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya
menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik
Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.
Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan
bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa
dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena
tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan
hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan
karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan,
jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan
semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi
lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan
Keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan
mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib
memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara
Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman
sejawat.
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan
hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa
dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau
karena penunjukan organisasi profesi.
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain
yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat
Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap
sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan
hak dan martabat advokat.
106
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk
menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif
dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktik sebagai
Advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan
atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun
dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama
ia menduduki jabatan tersebut.
BAB III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN
Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus
mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang
dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang
diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya
bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib
mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-
biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus
memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara
untuk mana ia menerima uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut
keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal
yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib
tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan
antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas
yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak
menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan
107
dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki
lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua
pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari
pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila
dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak
akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.
BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi
sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling
mempercayai.
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika
berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan,
hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan
baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang
dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus
diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan
tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa
atau cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut
seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat
yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah
menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada
Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien
untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap
Advokat semula.
108
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien
terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib
memberikan kepadanya semua surat dan keterangan
yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan
memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien
tersebut.
BAB V
TENTANG SEJAWAT ASING
Pasal 6
Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia
tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.
BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA
Pasal 7
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman
sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada
hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang
bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan “Sans
Prejudice “.
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya
perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil,
tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka
pengadilan.
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat
hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama
dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan
surat, termasuk surat yang bersifat “ad informandum”
maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut
wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat
pihak lawan.
109
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat
hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama
dengan jaksa penuntut umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau
mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan
dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum
dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah
menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka
hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu
tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau
pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan
dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang
menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka
maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara
proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki
imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan
bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang
yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang
putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani
kepada kliennya pada waktunya.
BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
TENTANG KODE ETIK
Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat
(officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi
selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa
dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada
dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode
110
Etik ini.Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik
perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan
papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang
b. berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan
di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan
martabat Advokat.
d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan
Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di
papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang
bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya
sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-
karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus
perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan
lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari
publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian
masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai
Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah
ditanganinya, kecuali apabila keteranganketerangan yang
ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip
hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan
dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak
dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara
dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai
Hakim atau Panitera dari suatulembaga peradilan, tidak
dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang
diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3
(tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.
111
BAB VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK
Pasal 9
a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik
Advokat ini.
b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini
dilakukan oleh Dewan Kehormatan.
BAB IX
DEWAN KEHORMATAN
Bagian Pertama
KETENTUAN UMUM
Pasal 10
1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh
Advokat.
2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui
dua tingkat, yaitu:
a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa
pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan
Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir.
4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:
a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu
sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah;
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan
Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai
anggota;
c. Pengadu/Teradu.
112
Bagian Kedua
PENGADUAN
Pasal 11
1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:
a. Klien.
b. Teman sejawat Advokat.
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota Masyarakat.
e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari
organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.
2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan
Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga
bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut
epentingan hukum dan kepentingan umum dan yang
dipersamakan untuk itu.
3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai
pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.
Bagian Ketiga
TATA CARA PENGADUAN
Pasal 12
1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap
melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara
tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan
Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu
menjadi anggota.
2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah
Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan
Pimpinan Pusat.
113
3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan
Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah
meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan
Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan
Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang
untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau
melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.
Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN
KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 13
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima
pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang
dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan
selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang
adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy
surat pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu)
hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara
tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap
perlu.
3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu
tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua
dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap
tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah
melepaskan hak jawabnya.
114
4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban
sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan
hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat
segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak
yang bersangkutan.
5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka
Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan
menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu
dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah
ditetapkan tersebut.
6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh
yang bersangkutan paling tambat 3 (tiga) hari sebelum hari
sidang yang ditentukan.
7. Pengadu dan yang teradu:
a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat
menguasakan kepada orang lain, yang jika
dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh
penasehat.
b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-
bukti.
8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:
a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara
pemeriksaan yang berlaku;
b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan
yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan
pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan
langsung dengan kepentingan organisasi atau
umum, dimana pengadu akan mencabut kembali
pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang
dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan
hukum yang pasti.
c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-
alasan pengaduannya atau pembelaannya secara
115
bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan
diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah.
9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak
tidak hadir:
a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya
paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil
pihak yang tidak hadir secara patut.
b. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua)
kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan
dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan
pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa
materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan
umum atau kepentingan organisasi.
c. Apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali
tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan
diteruskan tanpa hadirnya teradu.
d. Dewan berwenang untuk memberikan keputusan
di luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai
kekuatan yang sama seperti keputusan biasa.
Bagian Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN
CABANG/DAERAH
Pasal 14
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan
Majelis yang terdiri sekurangkurangnya atas 3 (tiga) orang
anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis,
tetapi harus selalu berjumlah ganjil.
2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau
ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum
serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik
Advokat.
116
3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin
oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia
berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,
4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan
diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara
persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua
Majelis yang menyidangkan perkara itu.
5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan
keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.
Bagian Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 15
(1) Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan,
pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi
maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan
yang dapat berupa:
a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat
diterima;
b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili
serta menjatuhkan sanksisanksi kepada teradu;
c. Menolak pengaduan dari pengadu.
(2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan
yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal
Kode Etik yang dilanggar.
(3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan
suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang
terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari,
tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-
pihak yang bersangkutan.
(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara
berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan
didalam berkas perkara.
117
(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota
Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani
keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang
bersangkutan.
Bagian Ketujuh
SANKSI-SANKSI
Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat
pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak
berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat
atau karena mengulangi kembali melanggar kode
etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan
yang pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu
bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak
mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan
kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi
berupa peringatan keras masih mengulangi
melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi
bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan
maksud dan tujuan merusak citra serta martabat
kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung
tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi
advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
118
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian
sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan
dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada
Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam
daftar Advokat.
Bagian Kedelapan
PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN
Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan
kehormatan Cabang/Daerah harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu;
b. Pengadu;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi
profesi;
d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi
profesi;
e. Dewan Kehormatan Pusat;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan
telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Bagian Kesembilan
PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN
KEHORMATAN PUSAT
Pasal 18
1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan
permohonan banding atas keputusan tersebut kepada
Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding
yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh
119
satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima
salinan keputusan.
3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima
Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui
surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku
terbanding.
4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori
Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak
menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah
melepaskan haknya untuk itu.
6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang
diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan
Pusat.
7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya
pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah.
8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan
Majelis yang terdiri sekurangkurangnya 3 (tiga) orang
anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah
satu merangkap Ketua Majelis.
9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau
ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum
serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik
Advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat
yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua
Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh
anggota Dewan lainnya yang tertua.
120
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan
yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu
dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang
bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya
sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima
permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara
yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan
dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung
oleh Dewan Kehormatan Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada
tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah,
mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat
banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.
Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 19
1. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah
atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah dengan memutus sendiri.
2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan
tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan
atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan
waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-
pihak yang bersangkutan.
3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan
mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum
manapun, termasuk dalam MUNAS.
4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan
Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai
pembanding ataupun terbanding;
121
b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun
terbanding;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang
bersangkutan;
d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
bersangkutan;
e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi
profesi;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.
5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan
Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta
kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi untuk
memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan
organisasi profesi.
Bagian Kesebelas
KETENTUAN LAIN
TENTANG DEWAN KEHORMATAN
Pasal 20
Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang
telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan
atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan
kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/
Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap
anggota dari masing-masing organisasi.
BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN
Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan
Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan
profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang
diberlakukan dan berlaku di Indonesia.
122
BAB XI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 22
1. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja
Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh
Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia
(IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI),
Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan
Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku
bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di
Indonesia tanpa terkecuali.
2. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu
organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini.
3. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-
organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai
dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002
dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan
lembaga-lembaga Negara dan pemerintah.
4. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal
ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan
Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan
dengan Kode Etik Advokat ini.
Pasal 23
Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan
belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau
dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus
berdasarkan Kode Etik Advokat ini.
123
BAB XXII
PENUTUP
Pasal 24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-
undang tentang Advokat
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Mei 2002
Oleh :
3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)
Ttd. Ttd.
H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E. Suherman Kartadinata, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)
Ttd. Ttd.
Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.
Sekretaris/Caretaker Ketua Bendahara/Caretaker Ketua
124
5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL
Ttd. Ttd.
Soemarjono S., S.H. Hafzan Taher, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)
Ttd. Ttd.
Trimedya Panjaitan, S.H. Sugeng T. Santoso, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
125
PERUBAHAN I
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
BAB XXII
PENUTUP
Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu
sejak tanggal 23 Mei 2002.
Ditanda-tangani di: Jakarta
Pada tanggal: 1 Oktober 2002
Oleh:
KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA:
126
3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)
Ttd. Ttd.
H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E. Suherman Kartadinata, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
127
PERATURAN BERSAMA
DAN
02/PB/P.KY/09/2012 TENTANG
DAN
128
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4958);
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234);
4. Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan atas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5250);
5. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 47/
KMA/SKB/IV/2009 — 02/SKB/P.KY/IV/2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Juncto Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 36 P/HUM/2011 Tanggal 9 Februari
2012.
129
2. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor: 210/KMA/SK/XII/2011 tentang
Pembentukan Tim Penghubung Mahkamah
Agung RI Dalam Rangka Kerja Sama
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial
RI;
3. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor: 211/KMA/SK/XII/2011 tentang
Pembentukan Tim Asistensi Mahkamah
Agung RI Dalam Rangka Kerja Sama
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial
RI;
4. Keputusan Komisi Yudisial RI Nomor: 5/
KEP/P.KY/I/2012 tentang Pembentukan Tim
Penghubung dan Tim Sekretariat Penghubung
Komisi Yudisial dalam Kerangka Kerjasama
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung;
5. Keputusan Komisi Yudisial RI Nomor: 6/
KEP/P.KY/I/2012 tentang Pembentukan Tim
Asistensi Komisi Yudisial Dalam Kerangka
Kerjasama Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung.
MEMUTUSKAN:
130
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam peraturan bersama ini yang dimaksud dengan:
1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan
keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam
maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia
Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009
tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
2. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim
pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, termasuk hakim ad hoc dan hakim pengadilan
pajak.
3. Pimpinan Mahkamah Agung adalah Ketua, Wakil Ketua
Bidang Yudisial, Wakil Ketua Bidang Non Yudisial, dan
para Ketua Muda pada Mahkamah Agung.
4. Pimpinan Pengadilan adalah:
a. Ketua dan Wakil Ketua pada Pengadilan Tingkat
Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama pada
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan
Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Kepala dan Wakil Kepala pada Pengadilan Militer
Utama, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan
Militer; serta
c. Ketua dan Wakil Ketua pada Pengadilan Pajak.
131
5. Perilaku hakim adalah sikap, ucapan, dan/atau perbuatan
yang dilakukan oleh seorang hakim dalam kapasitas
pribadinya yang dapat dilakukan kapan saja termasuk
perbuatan yang dilakukan pada waktu melaksanakan tugas
profesi.
6. Pelanggaran adalah setiap sikap, ucapan, dan/atau
perbuatan yang dilakukan oleh seorang Hakim yang
bertentangan dengan norma-norma yang ditentukan dalam
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
7. Pelapor adalah setiap orang atau badan yang menyampaikan
laporan pengaduan mengenai suatu dugaan pelanggaran.
8. Terlapor adalah Hakim yang diduga melakukan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
9. Konfirmasi adalah tindakan meminta informasi untuk
memperjelas suatu laporan pengaduan kepada Pelapor.
10. Klarifikasi adalah tindakan meminta penjelasan atau
keterangan lebih lanjut kepada Terlapor, Pimpinan
Pengadilan, dan/atau pihak terkait lainnya untuk
memperjelas indikasi suatu dugaan pelanggaran.
11. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh tim pemeriksa dengan cara meminta keterangan
kepada pelapor, terlapor, saksi-saksi dan pihak-pihak
terkait lainnya, mendapatkan dokumen-dokumen terkait,
barang bukti, dan observasi lapangan yang dihimpun dan
kemudian dianalisa guna memberi keyakinan kepada tim
pemeriksa tentang terbukti atau tidaknya suatu dugaan
pelanggaran.
12. Tim Pemeriksa adalah tim yang dibentuk oleh pejabat yang
berwenang, untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap
suatu dugaan pelanggaran.
13. Sanksi adalah sanksi administratif yang dikenakan kepada
hakim yang terbukti melakukan pelanggaran.
14. Majelis Kehormatan Hakim adalah forum pembelaan diri
bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan
terbukti melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam
132
peraturan perundang-undangan, serta diusulkan untuk
dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian.
15. Hakim nonpalu adalah hakim yang dijatuhi sanksi tidak
diperkenankan memeriksa dan mengadili perkara dalam
tenggang waktu tertentu.
16. Pemberhentian adalah pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian tidak dengan hormat.
17. Pemberhentian sementara adalah pemberhentian untuk
waktu tertentu terhadap seorang hakim sebelum adanya
putusan pengadilan dalam perkara pidana yang dijalaninya
berkekuatan hukum tetap atau keputusan pemberhentian
tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
18. Pemberhentian tetap dengan hak pensiun sebagaimana
dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dimaknai sebagai
pemberhentian dengan hormat.
19. Hari adalah hari kalender.
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 2
(1) Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim dimaksudkan sebagai acuan dalam rangka
menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim bertujuan untuk menciptakan kepastian dan
kesepahaman dalam penerapan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
133
Bagian Ketiga
Prinsip-Prinsip
Pasal 3
(1) Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim didasarkan pada prinsip-prinsip:
a. independensi hakim dan pengadilan;
b. praduga tidak bersalah;
c. penghargaan terhadap profesi hakim dan
pengadilan;
d. transparansi;
e. akuntabilitas;
f. kehati-hatian dan Kerahasiaan;
g. obyektivitas;
h. efektivitas dan efisiensi;
i. perlakuan yang sama; dan
j. kemitraan.
(2) Prinsip independensi hakim dan pengadilan dimaksudkan
bahwa pelaksanaan pengawasan tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
(3) Prinsip praduga tidak bersalah dimaksudkan bahwa
Terlapor yang diperiksa berkaitan dengan adanya dugaan
pelanggaran dianggap tidak bersalah sampai dengan
dinyatakan bersalah dan dijatuhi sanksi administratif
berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang.
(4) Prinsip penghargaan terhadap profesi hakim dan lembaga
pengadilan dimaksudkan bahwa kegiatan pengawasan dan
penanganan dugaan pelanggaran dilaksanakan sedemikian
rupa agar sedapat mungkin tidak menciderai kewibawaan
hakim dan pengadilan.
(5) Prinsip transparansi dimaksudkan bahwa masyarakat
dapat selalu mengakses, baik secara aktif maupun secara
pasif, informasi publik yang berkaitan dengan kegiatan
134
pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran.
(6) Prinsip akuntabilitas dimaksudkan bahwa dalam setiap
kegiatan pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran
kode etik dan pedoman perilaku hakim, setiap pejabat
pelaksana berkewajiban mempertanggungjawabkan setiap
tindakan dan/atau kebijakan yang diambilnya, baik secara
internal kepada kolega dan atasannya, maupun secara
eksternal kepada masyarakat.
(7) Prinsip kehati-hatian dan kerahasiaan dimaksudkan bahwa
setiap kegiatan pemeriksaan yang berkaitan dengan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
dilakukan secara hati-hati dan hasilnya bersifat rahasia.
(8) Prinsip obyektivitas dimaksudkan bahwa setiap kegiatan
pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim didasarkan pada kriteria
dan parameter yang jelas.
(9) Prinsip efektivitas dan efisiensi, dimaksudkan bahwa
pengawasan dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dilakukan secara
tepat waktu dan tepat sasaran sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(10) Prinsip perlakuan yang sama dimaksudkan bahwa dalam
penanganan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim, Pelapor dan Terlapor memiliki hak dan
diberi kesempatan yang sama.
(11) Prinsip kemitraan dimaksudkan bahwa Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial bekerjasama dan saling mendukung
dalam pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
135
BAB II
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Pasal 4
Kewajiban dan larangan bagi Hakim dijabarkan dari 10 (sepuluh)
prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu:
a. berperilaku adil;
b. berperilaku jujur;
c. berperilaku arif dan bijaksana;
d. bersikap mandiri;
e. berintegritas tinggi;
f. bertanggung jawab;
g. menjunjung tinggi harga diri;
h. berdisiplin tinggi;
i. berperilaku rendah hati; dan
j. bersikap profesional.
Pasal 5
(1) Berperilaku adil bermakna menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian,
tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah
memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang
sama (equalityand fairness) terhadap setiap orang. Oleh
karenanya, seseorang yang melaksanakantugas atau
profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab
menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu
berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2) Kewajiban Hakim dalam penerapan berperilaku adil
adalah:
a. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya
dengan menghormati asas praduga tak bersalah,
tanpa mengharapkan imbalan.
136
b. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam
maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta
menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari
keadilan.
c. Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat
mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili
perkara yang bersangkutan.
d. Hakim dalam suatu proses persidangan wajib
meminta kepada semua pihak yang terlibat proses
persidangan untuk tidak menunjukkan rasa suka
atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau
pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama,
asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau
mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas
dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan
atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan
baik melalui perkataan maupun tindakan.
e. Hakim harus memberikan keadilan kepada semua
pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk
menghukum.
f. Hakim harus memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau
kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu
proses hukum di Pengadilan.
137
suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan,
perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau
status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan
hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak
yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui
perkataan maupun tindakan.
c. Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan
atau melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan
kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau
menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau
saksi-saksi, dan harus pula menerapkan standar
perilaku yang sama bagi advokat, penuntut, pegawai
pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan
dan pengawasan hakim yang bersangkutan.
d. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan
pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk
mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol
jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan
perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan
perkara.
e. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak
yang berperkara di luar persidangan, kecuali
dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan
demi kepentingan kelancaran persidangan yang
dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak
yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan
perlakuan dan ketidak berpihakan.
Pasal 6
(1) Berperilaku jujur bermakna dapat dan berani menyatakan
bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah
salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang
kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang
hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap
138
pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik
dalam persidangan maupun diluar persidangan.
(2) Kewajiban hakim dalam berperilaku jujur adalah:
a. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang tercela.
b. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang dapat menimbulkan kesan tercela.
c. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah
laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di
luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta
para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap
ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan
(impartiality).
d. Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi
yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung,
dan Ketua Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
e. Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum, selama,
dan setelah menjabat, serta bersedia diperiksa
kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat.
(3) Larangan bagi hakim dalam berperilaku jujur adalah:
a. Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus
mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau
anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau
menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian,
penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
1) advokat;
2) penuntut;
3) orang yang sedang diadili;
4) pihak lain yang kemungkinkan kuat akan
diadili;
139
5) pihak yang memiliki kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau kemungkinan kuat
akan diadili oleh hakim yang bersangkutan
yang secara wajar (reasonable) patut dianggap
bertujuan atau mengandung maksud untuk
mempengaruhi Hakim dalam menjalankan
tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian
atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan
(circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan
untuk mempengaruhi hakim dalam pelaksanaan
tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang
berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan
tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari
besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau
peringatan lainnya sesuai adat istiadat yang berlaku,
yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (lima ratus
ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam
pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan
gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi.
b. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai
pengadilan atau pihak lain yang di bawah pengaruh,
petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan
untuk meminta atau menerima hadiah, hibah,
warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun
sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau
akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim yang
bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya
dari:
1) advokat;
2) penuntut;
3) orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut;
140
4) pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili
oleh hakim tersebut;
5) pihak yang memiliki kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau kemungkinan kuat
akan diadili oleh hakim yang bersangkutan,
yang secara wajar patut diduga bertujuan untuk
mempengaruhi hakim dalam menjalankan
tugas peradilannya.
(4) Dalam kaitannya dengan penerapan perilaku
jujur, hakim dibolehkan menerima imbalan dan
atau kompensasi biaya untuk kegiatan ekstra
yudisial dari pihak yang tidak mempunyai
konflik kepentingan, sepanjang imbalan dan
atau kompensasi tersebut tidak mempengaruhi
pelaksanaan tugas-tugas yudisial dari hakim
yang bersangkutan.
Pasal 7
(1) Berperilaku arif dan bijaksana bermakna mampu
bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup
dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-
norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan
dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu,
serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya.
Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya
pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa
yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku arif dan
bijaksana adalah:
a. Hakim wajib menghindari tindakan tercela.
b. Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota
profesi hukum lain yang secara teratur beracara di
pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat
menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.
141
c. Hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya
wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak
ketiga lainnya.
(3) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku arif
dan bijaksana adalah:
a. Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota
keluarga hakim yang bersangkutan bertindak
mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai
pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara
tersebut.
b. Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya
digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum
untuk menerima klien atau menerima anggota-
anggota lainnya dari profesi hukum tersebut.
c. Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan
untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak
ketiga lainnya.
d. Hakim dilarang mempergunakan keterangan yang
diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan
lain yang tidak terkait dengan wewenang dan tugas
yudisialnya.
e. Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada
masyarakat yang dapat mempengaruhi, menghambat
atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan
yang adil, independen, dan tidak memihak.
f. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat
mengenai substansi suatu perkara di luar proses
persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang
diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.
g. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat,
komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas
suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang
belum maupun yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam kondisi apapun.
142
h. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat,
komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka
atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum
ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk
dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan
hakim dalam perkara lain.
i. Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota
dari partai politik.
j. Hakim tidak boleh secara terbuka menyatakan
dukungan terhadap salah satu partai politik.
k. Hakim tidak boleh atau terlibat dalam kegiatan yang
dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa
hakim tersebut mendukung suatu partai politik.
(4) Dalam kaitannya dengan penerapan perilaku arif dan
bijaksana, hakim diperbolehkan:
a. membentuk atau ikut serta dalam organisasi para
hakim atau turut serta dalam lembaga yang mewakili
kepentingan para hakim.
b. melakukan kegiatan ekstra yudisial, sepanjang tidak
menggangu pelaksanaan tugas yudisial, antara lain
menulis, memberi kuliah, mengajar dan turut serta
dalam kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan
hukum, sistem hukum, ketatalaksanaan, keadilan
atau hal-hal yang terkait dengannya.
c. menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur
beracara di pengadilan atau informasi lain yang
tidak berhubungan dengan substansi perkara dari
suatu perkara, berdasarkan penugasan resmi dari
Pengadilan.
d. memberikan keterangan atau menulis artikel dalam
surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk-
bentuk kontribusi lainnya yang dimaksudkan untuk
menginformasikan kepada masyarakat mengenai
hukum atau administrasi peradilan secara umum
143
yang tidak berhubungan dengan masalah substansi
perkara tertentu.
e. menulis, memberi kuliah, mengajar dan berpartisipasi
dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan
mengenai hukum, sistem hukum, administrasi peradilan
dan non-hukum, selama kegiatan-kegiatan tersebut tidak
dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi Hakim dalam
membahas suatu perkara.
f. menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba
yang bertujuan untuk perbaikan hukum, sistem hukum,
administrasi peradilan, lembaga pendidikan dan sosial
kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap
kemandirian Hakim.
g. berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan amal
yang tidak mengurangi sikap netral (ketidakberpihakan)
Hakim.
Pasal 8
(1) Berperilaku mandiri bermakna mampu bertindak sendiri
tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan
siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri
mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh,
berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas
kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum
yang berlaku.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku mandiri
adalah:
a. Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara
mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman
atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun
tidak langsung dari pihak manapun.
b. Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak
patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif
serta kelompok lain yang berpotensi mengancam
kemandirian (independensi) Hakim dan Badan
Peradilan.
144
c. Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat
kepercayaan masyarakat terhadap Badan Peradilan.
Pasal 9
(1) Berperilaku berintegritas tinggi bermakna memiliki sikap
dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak
tergoyahkan.
(2) Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap
setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-
norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
(3) Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi
yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi,
dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha
melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai
tujuan terbaik.
(4) Kewajiban Hakim dalam penerapan berperilaku
berintegritas tinggi adalah:
a. Hakim harus berperilaku tidak tercela.
b. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung
maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut
dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah
diperiksa oleh hakim yang bersangkutan.
c. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik
langsung maupun tidak langsung dengan advokat
yang sering berperkara di wilayah hukum pengadilan
tempat hakim tersebut menjabat.
d. Hakim wajib bersikap terbuka dan memberikan
informasi mengenai kepentingan pribadi yang
menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan
dalam menangani suatu perkara.
e. Hakim harus mengetahui urusan keuangan
pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya
dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui
urusan keuangan para anggota keluarganya.
145
f. Hakim yang memiliki konflik kepentingan
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) huruf c dan
huruf d wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan
mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan
untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal
mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang
mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau
persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara
jujur dan tidak berpihak.
g. apabila muncul keragu-raguan bagi hakim mengenai
kewajiban mengundurkan diri, memeriksa dan
mengadili suatu perkara, wajib meminta pertimbangan
Ketua.
(5) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku
berintegritas tinggi adalah:
a. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila
memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan
pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan
lain yang beralasan (reasonable) patut diduga
mengandung konflik kepentingan.
b. Hakim dilarang melakukan tawar-menawar putusan,
memperlambat pemeriksaan perkara, menunda
eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam
menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
c. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, hakim
anggota lainnya, penuntut, advokat, dan panitera
yang menangani perkara tersebut.
d. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab
dengan pihak yang berperkara, penuntut, advokat,
yang menangani perkara tersebut.
e. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
pernah mengadili atau menjadi penuntut, advokat atau
146
panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di
pengadilan tingkat yang lebih rendah.
f. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan
perkara atau dengan para pihak yang akan diadili,
saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum
menjadi hakim.
g. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan
menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-
akan berada dalam posisi khusus yang dapat
mempengaruhi hakim secara tidak wajar dalam
melaksanakan tugas-tugas peradilan.
h. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah
satu pihaknya adalah organisasi atau kelompok
masyarakat apabila hakim tersebut masih atau pernah
aktif dalam organisasi atau kelompok masyarakat
tersebut.
i. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah
satu pihaknya adalah partai politik apabila hakim
tersebut masih atau pernah aktif dalam partai politik
tersebut.
j. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan
sebagai hakim untuk mengejar kepentingan pribadi,
anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan
finansial.
k. Hakim dilarang mengijinkan pihak lain yang akan
menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan
berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh
keuntungan finansial.
l. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
hakim tersebut telah memiliki prasangka yang
berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui
fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara
yang akan disidangkan.
147
m. Hakim dilarang menerima janji, hadiah, hibah,
pemberian, pinjaman, atau manfaat lainnya,
khususnya yang bersifat rutin atau terus-menerus
dari Pemerintah Daerah, walaupun pemberian
tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas-
tugas yudisial.
(6) Dalam kaitannya dengan penerapan berintegritas tinggi,
Pimpinan Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan
yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif dan
dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat
hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan
suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga
akan diajukan ke Pengadilan.
Pasal 10
(1) Berperilaku bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk
melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi
wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk
menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang
dan tugasnya tersebut.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku
bertanggung jawab adalah:
a. Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain.
b. Hakim dilarang mengungkapkan atau menggunakan
informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam
kedudukan sebagai hakim, untuk tujuan yang tidak
ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.
Pasal 11
(1) Berperilaku menjunjung harga diri bermakna bahwa pada
diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus
dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.
(2) Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim,
akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan
148
tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa
menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur
Peradilan.
(3) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku menjunjung
harga diri adalah:
a. Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat
lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
b. Hakim wajib menganjurkan agar anggota keluarganya
tidak ikut dalam kegiatan yang dapat mengeksploitasi
jabatan hakim tersebut.
(4) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku
menjunjung harga diri adalah:
a. Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan
dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan
posisi sebagai hakim.
b. Hakim dilarang menjadi advokat, atau pekerjaan lain
yang berhubungan dengan perkara.
c. Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi
sebagai layaknya seorang advokat, kecuali jika:
1) hakim tersebut menjadi pihak di persidangan;
2) memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk
anggota keluarga atau teman sesama hakim
yang tengah menghadapi masalah hukum.
d. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter dalam
kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan
yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan
dalam undang-undang atau peraturan lain.
e. Hakim dilarang bertindak sebagai mediator dalam
kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan
yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan
dalam undang-undang atau peraturan lain.
f. Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor,
administrator atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk
urusan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut,
149
dan hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut
secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi
pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim.
g. Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(5) Dalam penerapan perilaku menjunjung harga diri,
mantan hakim dianjurkan dan sedapat mungkin tidak
menjalankan pekerjaan sebagai advokat yang berpraktik di
Pengadilan terutama di lingkungan peradilan tempat yang
bersangkutan pernah menjabat, paling sedikit selama 2
(dua) tahun setelah memasuki masa pensiun atau berhenti
sebagai hakim.
Pasal 12
(1) Berperilaku disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma
atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur
untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat
pencari keadilan.
(2) Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi
yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam
pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam
lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah
yang dipercayakan kepadanya.
Pasal 13
(1) Berperilaku rendah hati bermakna kesadaran akan
keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan
dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
(2) Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis,
mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai
pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap
tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh
rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.
150
(3) Dalam penerapan berperilaku rendah hati, Hakim harus
melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian
yang tulus, pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai
mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat
penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan
Yang Maha Esa.
(4) Dalam penerapan berperilaku rendah hati, hakim tidak
boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan
mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan
dari siapapun juga.
Pasal 14
(1) Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi
oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya
dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas
dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.
(2) Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi
yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu
pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan
dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu
hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
BAB III
YURISDIKSI
Pasal 15
Dalam melakukan pengawasan Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial tidak dapat menyatakan benar atau salahnya
pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim.
Pasal 16
Pemeriksaan atas dugaan pelanggaran terhadap Pasal 12 dan
Pasal 14 yang merupakan implementasi dari prinsip berdisiplin
tinggi dan prinsip bersikap profesional dilakukan oleh Mahkamah
151
Agung atau oleh Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial
dalam hal ada usulan dari Komisi Yudisial untuk dilakukan
pemeriksaan bersama.
Pasal 17
(1) Dalam hal Komisi Yudisial menerima laporan dugaan
pelanggaran kode etik yang juga merupakan pelanggaran
hukum acara, Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada
Mahkamah Agung untuk ditindaklanjuti.
(2) Dalam hal Mahkamah Agung menilai hasil penelaahan atas
laporan masyarakat yang diusulkan olehKomisi Yudisial
sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak layak ditindaklanjuti,
Mahkamah Agung memberitahukan hal tersebut kepada
Komisi Yudisial paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hasil
telaahan diterima.
(3) Dalam hal Mahkamah Agung menilai hasil penelaahan atas
laporan masyarakat yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud ayat (1) layak ditindaklanjuti,
Mahkamah Agung memberitahukan hasil tindak lanjut
tersebut kepada Komisi Yudisial paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak hasil telaahan diterima.
BAB IV
TINGKAT DAN JENIS PELANGGARAN
Pasal 18
(1) Pelanggaran ringan meliputi pelanggaran atas:
a. Pasal 6 ayat (2) huruf b dan c;
b. Pasal 7 ayat (2) huruf a, b dan c;
c. Pasal 7 ayat (3) huruf c, g, h dan k;
d. Pasal 8 ayat (2) huruf b dan c;
e. Pasal 9 ayat (4) huruf c, d dan e;
f. Pasal 9 ayat (5) huruf g, h, k, l dan m;
g. Pasal 11 ayat (4) huruf d, e dan f;
h. Pasal 13 ayat (1), (2), (3) dan (4);
152
(2) Pelanggaran sedang meliputi pelanggaran atas:
a. Pasal 5 ayat (3) huruf a dan e;
b. Pasal 6 ayat (2) huruf d dan e;
c. Pasal 6 ayat (3) huruf a dan b;
d. Pasal 7 ayat (3) huruf b, e, f dan j;
e. Pasal 9 ayat (4) huruf b dan g;
f. Pasal 9 ayat (5) huruf a, d dan j;
g. Pasal 11 ayat (3) huruf b;
h. Pasal 11 ayat (4) huruf c;
(3) Pelanggaran berat meliputi pelanggaran atas:
a. Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, c, d, e dan f;
b. Pasal 5 ayat (3) huruf b, c dan d;
c. Pasal 6 ayat (2) huruf a;
d. Pasal 7 ayat (3) huruf a, d dan i;
e. Pasal 8 ayat (2) huruf b;
f. Pasal 9 ayat (4) huruf a dan f;
g. Pasal 9 ayat (5) huruf b, c, e, f dan i;
h. Pasal 10 ayat (2) huruf a dan b;
i. Pasal 11 ayat (3) huruf a;
j. Pasal 11 ayat (4) huruf b, d dan g;
(4) Pelanggaran terhadap Pasal 12 dan Pasal 14 dapat
diklasifikasikan pelanggaran ringan, sedang atau berat,
tergantung dari dampak yang ditimbulkannya.
BAB V
SANKSI
Pasal 19
(1) Sanksi terdiri dari:
a. sanksi ringan;
b. sanksi sedang;
c. sanksi berat.
(2) Sanksi ringan terdiri dari:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
153
(3) Sanksi sedang terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu)
tahun;
b. penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji
berkala paling lama 1 (satu) tahun;
c. penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu)
tahun;
d. Hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan;
e. mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih
rendah;
f. pembatalan atau penangguhan promosi.
Pasal 20
(1) Sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 berlaku
untuk hakim karir pada pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tingkat banding.
154
(2) Terhadap hakim di lingkungan peradilan militer, proses
penjatuhan sanksi diberikan dengan memperhatikan
peraturan disiplin yang berlaku bagi prajurit Tentara
Nasional Indonesia.
Pasal 21
Tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi hakim ad hoc, terdiri
atas:
a. sanksi ringan berupa teguran tertulis;
b. sanksi sedang berupa nonpalu paling lama 6 (enam)
bulan;
c. sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau
tidak dengan hormat dari jabatan hakim.
Pasal 22
Tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi Hakim Agung, terdiri
atas:
a. sanksi ringan berupa teguran tertulis;
b. sanksi sedang berupa nonpalupaling lama 6 (enam) bulan;
c. sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau
tidak dengan hormat dari jabatan hakim;
BAB VI
PEJABAT YANG BERWENANG
Pasal 23
Pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi mengacu kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
(1) Keputusan penjatuhan sanksi ringan dinyatakan secara
tertulis dan disampaikan oleh pejabat yang berwenang
menghukum kepada Terlapor.
(2) Keputusan penjatuhan sanksi sedang dan berat dinyatakan
secara tertulis dan disampaikan kepada Terlapor oleh
155
pejabat yang berwenang menghukum melalui Ketua
Pengadilan dimana Terlapor bertugas.
BAB VII
KEPUTUSAN
Pasal 25
Keputusan penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik dan
pedoman perilaku hakim tidak dapat diajukan keberatan.
Pasal 26
(1) Sanksi yang dijatuhkan kepada hakim berlaku sejak tanggal
disampaikan oleh pejabat yang berwenang kepada yang
bersangkutan.
(2) Apabila hakim yang dijatuhi sanksi tidak hadir pada waktu
penyampaian keputusan, maka keputusan itu berlaku pada
hari ketiga puluh terhitung mulai tanggal yang ditentukan
untuk penyampaian keputusan tindakan tersebut.
(3) Setiap keputusan penjatuhan sanksi kepada hakim
diberikan tembusannya kepada Komisi Yudisial.
BAB XI
PENUTUP
Pasal 27
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 27 September 2012
156
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 01 TAHUN 2008
Tentang
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
157
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam
prosedur berperkara di Pengadilan Negeri.
d. Bahwa sambil menunggu peraturan
perundang-undangan dan memperhatikan
wewenang Mahkamah Agung dalam
mengatur acara peradilan yang belum
cukup diatur oleh peraturan perundang-
undangan, maka demi kepastian,
ketertiban, dan kelancaran dalam
proses mendamaikan para pibak untuk
menyelesaikan suatu sengketa perdata,
dipandang perlu menetapkan suatu
Peraturan Mahkamah Agung.
e. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan
berdasarkan peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 2 tahun 2003,
ternyata ditemukan beberapa permasalahan
yang bersumber dari peraturan mahkamah
agung tersebut, sehingga Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 perlu
direvisi dengan maksud untuk lebih
mendayagunakan mediasi yang terkait
dengan proses berperkara di pengadilan.
158
4. Undang-undang Nomor l4 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, lembaran
Negara Nomor 73 Tahun 1985 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang
No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Alas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkarnah Agung, lembaran
Negara Nomor 9 Tahun 2004 dan tambahan
lernbaran, Negara No. 4359 Tahun 2004;
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 ten
tang Peradilan Umum, lembaran Negara
Nomor 20 Tahun t 986, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 ten tang Perubahan
Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umurn, Lembaran
Negara Nomor 34 Tahun 2004;
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional,
Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000.
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang peradilan Agama, Lembaran
Negara Nomor 73 Tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, Lembaran Negara
Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4611.
159
MEMUTUSKAN :
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini dimaksud dengan :
1. Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2. Akta perdamaian adalah akta yang memuaj isi
kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang
menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang
tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar
biasa.
3. Hakim adalah hakim tunggal atau majeiis hakim yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk
mengadili perkara perdata;
4. Kaukus adalahpertemuan antara mediator dengan salah
satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya;
5. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat
syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna
mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya
perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih
berdasarkan Peraturan ini;
6. Mediator adalah pihal netral yang membantu para pihak
dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan
cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian;
7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator;
160
8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan
kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa
mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian;
9. Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi
sebagaimana diatur dalam peraturan ini;
10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap
pihak yang memuat duduk perkara dan at au usulan
penyelesaian sengketa;
11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan
bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan
ataau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh
lembaga yang telah di akreditasi oleh Mahkamah Agung;
12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa perternuan-
pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau
kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang
diizinkan oleh para pihak serta dinamika yang terjadi
dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada- publik
terkecuali at as izin para pihak.
13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam
lingkungan peradilan umurn dan peradilan agama.
14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam
lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.
Pasal 2
Ruang Lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma
161
(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib
menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah
diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan
menyebutkan nama mediator untuk perkara yang
bersangkutan.
Pasal 3
Biaya Pemanggilan Para Pihak
Pasal 4
Jenis Perkara Yang Dimediasi
162
Pasal 5
Sertifikasi Mediator
Pasal 6
Sifat Proses Mediasi
163
BAB II
TAHAP PRA MEDIASI
Pasal 7
Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum
Pasal 8
Hak Para Pihak Memilih Mediator
Pasal 9
(1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua
Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat
sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai
164
dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman para
mediator
(2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang
telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator
(3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak
ada mediator yang bersertifikat, semua hakim para
pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam
daftar mediator
(4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya
ditempatkan dalam daftar mediator para pengadilan yang
bersangkutan
(5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat,
Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam
daftar mediator
(6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan
memperbarui daftar mediator
(7) Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama
mediator dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan
objektif, Antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan
tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran
atas pedoman perilaku
Pasal 10
Honorarium Mediator
Pasal 11
Batas Waktu Pemilihan Mediator
(1) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim
mewajibkan para pihak pada hari itujuga atau paling
lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna
165
memilih mediator tennasuk biaya yang mungkin timbul
akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.
(2) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka
kepada ketua majelis hakim.
(3) Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih
untuk melaksanakan tugas.
(4) Jika setelah jangka wakru maksimal sebagaimana dimaksud
ayat (l) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat
memilih mediator yang dikehendaki maka para pihak
wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator
kepada ketua majelis hakim.
(5) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang
kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera
menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara
yang bersertifikat pada pengadilan yang sarna untuk
menjalankan fungsi mediator.
(6) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim
bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, rnaka
Hakim Pemeriksa Pokok Perkara dengan atau tanpa
sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib
menjalankan fungsi mediator.
Pasal 12
Menempuh Mediasi Dengan Itikad Baik
166
BAB III
TAHAP TAHAP PROSES MEDIASI
Pasal 13
Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi
(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kcrja setelah para
pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-rnasing
pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu
sarna lain dan kepada mediator.
(2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para
pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat
mcuyerahkan resume perkara kepada hakim mediator
yang ditunjuk.
(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (em
pat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh
para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasalll ayat (5) dan (6).
(4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi
dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari scbagaimana
dimaksud dalam ayat 3.
(5) Jangka waktu proses mediasi tidak tennasuk jangka waktu
pemeriksaan perkara.
(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak,
mediasi dapat di lakukan secara jarak jauh dengan
menggunakan alat komunikasi.
Pasal 14
Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal
167
1ang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut
tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah
dipanggil secara patut.
(2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami
bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan
aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang
nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak
disebutkan dalarn surat gugatan sehingga pihak lain yang
berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak
dalam proses rnediasi, mediator dapat menyampaikan
kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara
yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan
alasan para pihak tidak lengkap.
Pasal 15
Tugas-Tugas Mediator
Pasal 16
Keterlibatan Ahli
168
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
(2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan
tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari
penjelasan dan atau peniJaian seorang ahli.
(3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih
dalarn proses mediasi ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan.
Pasal 17
Mencapai Kesepakatan
169
Pasal 18
Tidak Mencapai Kesepakatan
Pasal 19
Keterpisahan Mediasi dan Litigasi
170
BAB IV
TEMPAT PENYELENGGARAAN MEDIASI
Pasal 20
(1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang
PengadiJan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang
disepakati oleh para pihak.
(2) Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di
luarpengadiJan.
(3) Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan
Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.
(4) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di
tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak
berdasarkan kesepakatan.
BAB V
PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASASI,
DAN PENINJAUAN KEMBALI
Pasal 21
(1) Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat
rnenempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang
sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan
kembali atau terhadap perkara yang diperiksa pada tingkat
banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara
itu belum diputus.
(2) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian
wajib disampaikan sccara tertulis kepada Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama yang mengadili.
(3) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera
memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding
yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang
kehendak para pihak untuk menernpuh perdamaian.
(4) Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat
banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim
171
pemeriksa ditingkat banding, kasasi, dan peninjauan
kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang
bersangkutan selama 14 (ernpat belas) hari kerja sejak
menerima pemberitahuan ten tang kehendak para pihak
menernpuh perdamaian.
(5) Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan
kembali belum dikirirnkan, Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman
berkas atau memori banding, kasasi dan peninjauan
kembali untuk memberi kesempatan para pihak
mengupayakan perdamaian.
Pasal 22
(1) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
ayat (1) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima
Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam pasal2l
dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut
ditingkat pertama atau di temp at lain atas persetujuan para
pihak.
(3) Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang
hakim atau lebih untuk menjadi mediator.
(4) Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak
boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama,
terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat
Pertama tersebut.
(5) Para pihak melalui Pengadilan Tingkat Pertama dapat
mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada
majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan
kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
(6) Akta perdamaian ditandatangani oleh maj\lis hakim
banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam
172
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak di catat dalam register induk perkara.
(7) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(5) peraturan ini, jika para pihak mencapai kesepakatan
perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Pertama dan para pihak menginginkan
perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian
tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau
MahkamahAgung.
BAB VI
KESEPAKATAN DI LUAR PENGADILAN
Pasal 23
(1) Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang
berhasilmenyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan
kesepakatan perdamaian dapat mengajukan perdamaian
tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh
akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
(2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan
perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan
ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
(3) Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan
kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian
apabila kesepakatan perdamaian tcrsebut memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi.
e. dengan iktikad baik.
173
BAB VII
PEDOMAN PERILAKU MEDIATOR DAN INSENTIF
Pasal 24
(1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati
pedoman perilaku mediator.
(2) MahkamahAgung menetapkan pedoman perilaku
mediator.
Pasal 25
(1) Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan
bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator.
(2) Mahkamah Agung menerbitkan peraturan mahkamah
agung tentang criteria keberhasilan hakim dan insentif bagi
hakim yang menjalankan fungsi mediator.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 26
Dengan berlakunya peraturan ini, peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku
sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 31 Juli 2008
TTD.
BAGIR MANAN
174