Anda di halaman 1dari 135

KLINIK HUKUM PERDATA

CLINICAL LEGAL EDUCATION (CLE)


Knowledge, Skill & Value

i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
KLINIK HUKUM PERDATA
CLINICAL LEGAL EDUCATION (CLE)
Knowledge, Skill & Value

TIM PENYUSUN:
Ni Ketut Supasti Dharmawan
Pande Yogantara S.
I Nyoman Darmadha
Anak Agung Sri Indrawati
I Wayan Wiryawan
Made Dedy Priyanto
Dewa Gede Pradnya Yustiawan

Udayana University Press


2016

iii
KLINIK HUKUM PERDATA
CLINICAL LEGAL EDUCATION (CLE)
Knowledge, Skill & Value

Tim Penyusun:
Ni Ketut Supasti Dharmawan
Pande Yogantara S.
I Nyoman Darmadha
Anak Agung Sri Indrawati
I Wayan Wiryawan
Made Dedy Priyanto
Dewa Gede Pradnya Yustiawan

Cover & Ilustrasi:


Repro

Design & Lay Out:


I Wayan Madita

Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana Denpasar,
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar - Bali Telp. (0361) 255128
unudpress@gmail.com http://udayanapress.unud.ac.id

Cetakan Pertama:
2016, x + 123 hlm, 15 x 23 cm

ISBN: 978-602-294-162-0

Hak Cipta pada Penulis.


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang


Hyang Widhi Wasa, karena berkat karunia dan limpahan
anugrahNya, akhirnya Buku Klinik Hukum Perdata Clinical legal
Education: Knowledge, Skill, Value ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Buku Klinik Hukum Perdata ini memuat substansi inti
dalam proses pembelajaran Klinik Hukum Perdata.
Buku Klinik Hukum Perdata ini, melengkapi Buku Ajar &
Klinik Manual Klinik Hukum Perdata FH Unud yang diterbitkan
pada tahun 2015 bekerjasama dengan dengan pihak Educating
and Equipping Tomorrow’s Justice Sector Reformers (E2J). Buku ini
memaparkan substansi materi berkaitan dengan pengembangan
Klinik Hukum sebagai salah satu pendidikan hukum klinis di
perguruan tinggi, yang juga dikenal dengan sebutan Clinical
Legal Education (CLE) dengan penekanan pada Knowledge, Skill,
Value and Social Justice.
Buku yang memuat materi Klinik Hukum Perdata ini
(berbasis Planning Component dan Experiential Component),
pengkajiannya bersumber dari pengalaman praktis dalam proses
perkuliahan Klinik Hukum, penelitian, seminar dan workshop
baik nasional maupun internasional, seperti International Pro Bono
Conference, Conference INCLE, pengembangan pengetahuan,
wawasan praktik (legal skill) maupun pendalaman mengenai
aspek-aspek values, khususnya dalam rangka kepekaan terhadap
persoalan-persoalan Klinik Hukum Perdata yang berkeadilan
sosial (Social Justice). Buku Klinik Hukum Perdata ini diharapkan
menjadi salah satu Buku teks dalam proses pembelajaran Klinik
Hukum Perdata di Fakultas Hukum universitas Udayana juga di
seluruh Fakultas hukum di Indonesia.
Sehubungan dengan kontribusi maupun dukungan baik
yang bersifat moril maupun finansial berkaitan dengan penerbitan

v
buku ini, maka melalui penulisan Buku ini, kami mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang
telah bekerjasama, dan berkontribusi, khususnya kepada Unit
Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana. Semoga
Buku ini bermanfaat dalam pengembangan proses pembelajaran
Klinik Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Denpasar, 11 Oktober 2016


Tim Penulis

vi
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA

OmSwastiastu,
Kami memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatNYA,
telah terbit Buku Klinik Hukum Perdata Clinical Legal Education:
Knowledge, Skill, Value, sebagai materi ajar dalam proses pembelajaran
Klinik Hukum Perdata di Fakultas Hukum Universitas Udayana
(FH UNUD). Kami menyambut baik terbitnya Buku ini, semoga
bermanfaat tidak hanya bagi para mahasiswa di FH UNUD, namun
juga dipergunakan sebagai bahan referensi bagi para peneliti,
maupun praktisi yang menekuni perkembangan hukum di bidang
Klinik Hukum Perdata.
Dengan terbitnya Buku ini, maka bertambah pula koleksi
buku yang disusun oleh para dosen dari FH UNUD, perkembangan
tersebut tentu sangat menggembirakan dan kami menyambut dengan
baik. Para penulis agar secara berkesinambungan mencermati dan
mengkaji perkembangan terkini dari hukum yang berkaitan dengan
Klinik Hukum Perdata, baik dalam kaitannya dengan tatanan
hukum lokal, nasional maupun global, agar senantiasa relevan
dengan kebutuhan masyarakat.
Mengakhiri Kata Sambutan ini, kami mengucapkan selamat
atas telah terbitnya Buku Klinik Hukum Perdata ini, semoga
bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Semoga para
penulis terus berkarya dan melahirkan karya cipta buku lainnya
untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum.

Denpasar, 18 Oktober 2016


Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH, M.Hum.


NIP. 19650221 199003 1 005

vii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................ v
Daftar Isi............................................................................. vii
SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA ..................................................... viii

BAB I
PENGANTAR KLINIK HUKUM PERDATA……................. 1
1. Pendahuluan..................................................................... 1
2. Konsep CLE (Clinical Legal Education),
Klinik Hukum Berbasis Pendidikan Klinis ................. 1
3. Karakteristik CLE(Clinical Legal Education)
Klinik Hukum . ................................................................ 4
4. Komponen-Komponen Dalam Pembelajaran CLE
(Clinical Legal Education - Klinik Hukum ..................... 5
5. Model Pembelajaran Klinik Hukum Perdata . ............ 6

BAB II
HUKUM ACARA PERDATADAN PROSES BERACARA
PLANNING COMPONENT EXPERIENTIAL
COMPONENT ........................................................................... 8
1. Pendahuluan .................................................................... 8
2. Hukum Acara Perdata Dan Dokumen-Dokumen
Hukum . ............................................................................ 9
3. Role Play Dalam Rangka Menyusun Dokumen
Hukum . ............................................................................ 10
4. Praktik Pembuatan Surat Kuasa Khusus, Surat
Gugatan, Akta Perdamaian dan Jawaban Gugatan... 10
A. Surat Kuasa Khusus . ................................................. 10
B. Surat Gugatan............................................................... 18
C. Mediasi Di Pengadilan .............................................. 26
D. Jawaban Gugatan ....................................................... 30

viii
E. Eksepsi . ........................................................................ 31
F. Gugatan Rekonven ..................................................... 33
G. Replik ........................................................................... 39
H. Duplik........................................................................... 41
I. Putusan Hakim ............................................................ 42

BAB III
PRAKTIK BERWAWANCARA DENGAN KLIEN
Model In-House-External Clinic (Planning Component) .......... 45
1. Pendahuluan .................................................................... 45
2. Lawyering Skill Dalam Mewawancarai Klien .............. 45
3. Etika Profesional Berkaitan Dengan
Kerahasiaan Klien ........................................................... 46
4. Praktik Role Play Mewawancarai Klien . ...................... 47

BAB IV
PENGEMBANGAN PRACTICAL LEGAL SKILL PADA MITRA
Model In-House-External Clinic Experiential Component
Experiential Component .......................................................... 49
1. Pendahuluan .................................................................... 49
2. Kuliah Praktik di Kantor Hukum Mitra ...................... 50

BAB V
KEGIATAN SOSIALISASI HUKUM MELALUI MODEL
STREET LAW CLINIC (PLANNING COMPONENT) ........... 54
1. Pendahuluan .................................................................... 54
2. Konsep Street Law Clinic dan Keterkaitannya
Dengan Social Justice dan Access To Justice . ................. 55
3. Keterkaitan Model Street Law Clinic Dengan
Pengabdian Kepada Masyarakat .................................. 57
4. Persiapan Dalam Pelaksanaan Street Law Clinic ......... 59
5. Persiapan Sosialisasi dan Praktik Role Play ................. 60

ix
BAB VI
PRAKTIK SOSIALISASI HUKUM PERDATA MELALUI
MODEL
STREET LAW CLINIC (PLANNING COMPONENT) .......... 62
1. Pendahuluan .................................................................... 62
2. Pelaksanaan Street Law Clinic di Sekolah-Sekolah
Atau Masyarakat ............................................................. 62
3. Pembuatan Laporan Street Law Clinic Sebagai Bentuk
Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat ................. 63
4. Evaluasi dan Refleksi . .................................................... 63

DAFTAR BACAAN . ................................................................ 65

LAMPIRAN I ............................................................................. 68

LAMPIRAN II ......................................................................... 90

LAMPIRAN III : SILABUS ...................................................... 109

LAMPIRAN IV:
RENCANA PELAKSANAAN SEMESTER (RPS) ................ 115

LAMPIRAN V: KONTRAK PERKULIAHAN . .................... 119

x
BAB I
PENGANTAR KLINIK HUKUM PERDATA

1. Pendahuluan
Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Udayana (FH UNUD) dirintis sebagai pilot project
pada tahun 2012 melalui program kerjasama dengan pihak
Educating and Equipping Tomorrow’s Justice Sector Reformers (E2J)
dan The Asia Foundation-USAID. Klinik Hukum Perdata berbasis
pendidikan sebagai bagian dari Kurikulum FH UNUD secara
resmi mulai ditawarkan kepada mahasiswa pada tahun 2013
dengan status Mata Kuliah Pilihan dengan bobot SKS 2.

2. Konsep CLE (Clinical Legal Education), Klinik Hukum


Berbasis Pendidikan Klinis
Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan Fakultas Hukum tidak
diragukan lagi berperan penting dalam agenda reformasi hukum
di Indonesia, yaitu sebagai salah satu agent of change khususnya
dalam mempercepat peningkatan akses masyarakat terhadap
keadilan, pelayanan masyarakat (Public Service), keadilan sosial
(Social Justice) yang berbasis: a. Prinsip Persamaan dan Keadilan
yaitu pro masyarakat miskin, pro masyarakat tidak mampu,
pro masyarakat rentan, serta pro masyarakat terpinggirkan;
b. Akses yang sama terhadap berbagai kesempatan dan hak
serta ; c. Sistem dan Prosedur hukum yang adil.SDM lulusan
yang memiliki kepekaan serta kompetensi seperti tersebut dapat
dihasilkan salah satunya melalui proses belajar pada mata Kuliah
Klinik Hukum yang menekankan metode pembelajaran serta
substansi kurikulumnya pada tiga (3) komponen yaitu: Planning
Component, Experiential Component serta Reflection Component.
Melalui Mata Kuliah Klinik Hukum atau yang juga
dikenal dengan sebutan Clinical Legal Education (CLE, lulusan
fakultas hukum terbaik akan dapat dihasilkan karena dalam
proses pembelajarannya mahasiswa mendapatkan ruang

1
untuk mengembangkan legal skillmelalui proses pembelajaran
di kampus (In-House Clinic) sebagai bagian dari Planning
Component dengan metode Interaktif - Reflektif, serta kuliah
praktik di institusi dosen mitra seperti Kantor Hukum atau
Law Office- Law firm maupun Pengadilan Negeri yaitu sebagai
bagian dari Experiential Component, yang mana para peserta didik
mendapatkan kesempatan langsung praktik belajar dengan kasus-
kasus hukum nyata yang sedang ditangani oleh para dosen Mitra
Klinik Hukum. Proses pembelajaran praktik dibimbing secara
intensif oleh dosen Mitra yang berkoordinasi dengan dosen dari
kampus.
Dalam Mariana Berbec-Rostas (2007:21-22) dikemukakan
bahwaClinical Legal Education (CLE) adalah sebuah Program
Pendidikan yang didasarkan pada metode pengajaran yang
interaktif dan reflektif berisikan pengetahuan, nilai dan keahlian
praktis yang mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa
untuk memberikan pelayanan hukum dan menciptakan keadilan
social. CLE juga disebut sebagai experiential learning atau learning
by doing.1 CLE-Klinik Hukum, termasuk Klinik Hukum Perdata
di Fakultas Hukum menjadi salah satu Mata Kuliah yang
mampu menghasilkan sebagian besar lulusan terbaik dengan
pengetahuan hukum serta keterampilan praktis yang diperlukan
untuk menjalankan tugas-tugas penegakan hukum yaitu baik
sebagai hakim maupun pengacara.
Konsep CLE menurut Dickson (2000), Bradney (1992) dan
Graime (1995) sesungguhnya telah lama dikenal di berbagai
Universitas di Amerika Serikat dan sekarang ini CLE tidak
hanya berkembang di Negara-Negara Maju namun juga secara
berkelanjutan terus berkembang di Negara-Negara Berkembang.2
Pendidikan hukum klinis di amerika Serikat sudah dikembangkan

1
Mariana Berbec-Rostas, 2007: 21-22 dalam Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical
Legal Education, Materi Workshop P engembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik
Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-15 April 2015, FH UNUD
Denpasar-Bali, hlm. 1.
2
James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal Education in University Law School
The UK Perspective, International Journal of Clinical legal Education, ISSN 1467-
1062, p.519.

2
sejak lama, seperti misalnya di Duke University berkembang
tahun 1931, kemudian pada era tahun 1979 mulai menyebar
di Amerika dengan bantuan pendanaan dari luar, dan dalam
perkembangannya hingga tahun 2011 hampir setiap Fakultas
Hukum di Amerika Serikat memiliki program hukum klinis.3
Sejak tahun 2012 di Indonesia, Program Educating and
Equipping Tomorrow’s Justice Sector Reformers (E2J) dan The Asia
Foundation-USAID berkontribusi dalam memperkenalkan
dan mengembangkan CLE di Indonesia sebagai pendidikan
hukum modern, yaitu sebagai suatu Mata Kuliah di Fakultas
Hukum dengan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan
klinis, dalam proses pembelajaran memberi kesempatan dan
pengalaman kepada mahasiswa dalam menangani kasus-kasus
perdata, pidana, antikorupsi, lingkungan, kaus-kasus riil di
bidang perempuan dan anak. Klinik hukum kemudian menjadi
sebuah pembelajaran dengan maksud menyediakan mahasiswa
hukum dengan pengetahuan praktis, keahlian skill, nilai-nilai
– kode etik dalam rangka mewujudkan pelayanan hukum dan
keadilan sosial.
CLE sebagai suatu Program Pendidikan di Perguruan Tinggi
(Fakultas Hukum) memberi manfaat terutama bagi mahasiswa
untuk lebih mengenal dunia praktik hukum , yaitu dapat
menjembatani fakultas dan mahasiswanya untuk dapat lebih
mengenal, lebih peka dan memperaktikkan social justicelawyering.4
Komponen-komponen penting yang menjadikan CLE sebagai
pendidikan hukum modern menjadi bermanfaat dalam proses
pembelajaran di fakultas hukum karena didalamnya terkandung
komponen-komponen sebagai berikut: Legal Analysis, Skill
Development, dan Professionalism.5

3
E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education) Sebuah Gerakan Global,
Materi Pelatihan Klinik Hukum, h. 5.
4
Vaidya Gullapalli, 2012, Transforming Clinical legal Education: An Opening for Dialogue,
Journal Social Change, Vol. 34, Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication,
Washington DC, p. 484.
5
Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal Education, Materi Workshop P engembangan
dan Rekrutmen Dosen Klinik Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan
E2J, 13-15 April 2015, FH UNUD Denpasar- Bali, hlm.4

3
KOMPONEN PENDIDIKAN HUKUM MODERN-CLE
• LEGAL ANALYSIS
• SKILL DEVELOPMENT
• PROFESSIONALISM

Clinical Legal Education (CLE) atau yang dikenal dengan


sebutan Klinik Hukum yang dimaknai sebagai sebuah program
pendidikan modern didasarkan pada metode pengajaran yang
khas yaitu metodeInteraktif - Reflektif. Cakupan substansi
dariCLE meliputi:Pengetahuan (Knowledge), Nilai (Value), dan
Keahlian Praktis (Practical Skills) yang memampukan mahasiswa
untuk memberikan pelayanan hukum dan menciptakan
keadilan sosial.6Tujuan dari CLE ialah meliputi : Pelayanan
masyarakat (Public Service), Keadilan Sosial (Social Justice) yang
mengedepankan Prinsip Persamaan dan Keadilan, Akses yang
sama terhadap berbagai kesempatan, serta Sistem dan Prosedur
Hukum yang Adil.

3. Karakteristik CLE(Clinical Legal Education) - Klinik


Hukum
CLE (Clinical Legal Education)sebagai sebuah Mata Kuliah
memiliki karakteristik yang khas yaitu kekhasan karakteristiknya
dapat dilihat dari CLE(Clinical Legal Education) sebagai sebuah
Program Pendidikan dan sebagai sebuah Metode Pembelajaran.
CLE(Clinical Legal Education)sebagai Program Pendidikan
memiliki karakteristik :
a. Terstruktur yaitu masuk dalam kurikulum, memiliki KRS,
memiliki manajemen (bagian dari unit), SDM terlatih dan
berpengalaman serta berkomitmen;
b. Melibatkan mahasiswa;
c. Mendapat dukungan pimpinan;
d. Mempunyai anggaran kegiatan.7

6
Ibid, hlm. 7.
7
Ibid, hlm. 4.

4
Sementara itu CLE (Clinical Legal Education) sebagai Metode
Pembelajaran memiliki kekhasan metode Interaktif dan Reflektif.
Metode Pembelajaran “Interaktif”dilaksanakan melalui metode:
Bermain peran (Role Play), Simulasi (Simulation), Diskusi Kelompok
(Group Discussion), Curah Pendapat/Gagasan (Brainstroming),
Peradilan Semu (Moot Court), serta Analisis Kasus (Case Analysis).
Sementara itu Metode Pembelajaran “Reflektif”bermaknasecara
berkelanjutan dilakukan Evaluasi materi dan sistem pengajaran,
Evaluasi efektitas materi dan sistem pengajaran terhadap
peningkatan dan derajat pemahaman mahasiswa, serta dilakukan
Evaluasi sejauh mana mahasiswa telah belajar dari materi dan
sistem pembelajaran tersebut (Student Feedback). 8

4. Komponen-Komponen Dalam Pembelajaran CLE


(Clinical Legal Education - Klinik Hukum
Komponen metode pembelajaran dalam CLE- Klinik Hukum
meliputi :Planning Component(Teori hukum, permasalahan
hukum, pelayanan hukum), Experiental Component(Keahlian
beracara, kegiatan praktis, penyuluhan hukum), dan Reflection
Component(Refleksi, evaluasi).9

Mariana Berbec-Rostas, 2007:22, dalam Tomi Suryo Utomo, 2015: 12.

8
Ibid., hlm. 6.
9
Ibid., hlm. 9.

5
Dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran Klinik
Hukum Perdata di Fakultas Hukum Universitas Udayana,
dalam uraian Bab selanjutnya (Bab IV) akan diuraikan materi
pembelajaran berkaitan dengan kegiatan pembelajaran Planning
Component yaitu materi tentang proses beracara perdata di
Pengadilan Negeri. Karena luasnya cakupan hukum perdata, maka
dalam kegiatan Planning Component dalam proses pembelajaran
Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata dapat mengedepankan atau
mensimulasikan bagian-bagian tertentu saja dari proses beracara
di pengadilan yang nantinya akan menunjang kegiatan Experiential
Component setelah mahasiswa kuliah praktik di lapangan, begitu
juga tentang substansinya dapat dipilih secara tematik apakah
akan dilaksanakan Role Play berkaitan dengan kasus perceraian,
wanprestasi ataupun

5. Model Pembelajaran Klinik Hukum Perdata


CLE – Klinik Hukum sebagai suatu Mata Kuliah di
Fakultas Hukum dapat dikembangkan dengan berbagai model
pembelajaran yaitu :
a. In-House Clinics
Klinik yang dibentuk di Fakultas Hukum dan semua
kegiatan pengajaran dan pengawasan dilakukan di Fakultas
Hukum.
b. External or Out-House Clinics
(Externships, Community Clinics, Mobile Clinics)
c. Kombinasi antara In-House and Out- House Clinics
Semua kegiatan pengajaran dan pengawasan dilakukan di
Fakultas Hukum (In-House Clinics), mahasiswa kemudian
dikirim ke pengadilan, kejaksaan dan organisasi masyarakat
sipil untuk melakukan externship (Out-House Clinics)
d. Street LawClinics
(Penyuluhan Hukum, Sosialisasi Hukum, Desiminasi
Hukum)

6
Klinik Hukum Perdata yang ditawarkan di Fakultas
Hukum UNUD, proses pembelajarannya menerapkan model-
model sebagai berikut:
1. Model kombinasi antara In-House Clinic dengan External
Clinic, yaitu dengan kurikulum pembelajaran yang terdiri:
Planning Component, Experiential Component, Evaluation dan
Reflection. Proses pembelajaran dilakukan di FH UNUD
untuk Planning Component dan di berbagai Mitra seperti
Pengadilan dan Kantor Pengacara untuk Experiential
Component. Untuk model pembelajaran ini, Mata Kuliah
Klinik Hukum Perdata diasuh oleh dosen dari FH UNUD
serta dibimbing oleh Dosen Mitra seperti Hakim dan para
pengacara yang tergabung menjadi Mitra penyelenggaraan
dan pengembangan Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata
FH UNUD. Model pertama ini, capaian pembelajarannya
bagi mahasiswa adalah pada akhir perkuliahan mahasiswa
diharapkan mampu memahami tahapan dan mekanisme
proses penyelesaian sengketa hukum yang terjadi
dalam praktik (sengketa yang penyelesaiannya melalui
pengadilan) maupun konsultasi hukum berkaitan dengan
permasalahan hukum yang terjadi dengan penyelesaian
melalui jalur non litigasi.
2. Model Street Law Clinic, capaian pembelajarannya setelah
selesai mengikuti kuliah mahasiswa mampu praktik
mensosialisasikan materi-materi hukum perdata kepada
anak-anak sekolah melalui model Street Law Clinic, tumbuh
kesadaran tentang pentingnya melakukan pengabdian
masyarakat auntuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum serta timbulnya sengketa hukum di masyarakat,
peka terhadap persolan-persoalan Social Justice, Pro Bono
dan Access to Justice.

7
BAB II
HUKUM ACARA PERDATA
DAN PROSES BERACARA
PLANNING COMPONENT EXPERIENTIAL
COMPONENT

1. Pendahuluan
Proses belajar mengajar yang disajikan dalam pertemuan
ini yaitu tentang Proses beracara perdata di Pengadilan Negeri,
pada intinya merupakan kelanjutan dari proses pembelajaran
pada mata kuliah Hukum Acara Perdata. Dalam perkuliahan
pada tahapan planning component ini, mahasiswa diajak untuk
memahami kembali tentang Hukum Acara perdata, dengan
pengembangan yang tidak hanya semata-mata berfokus
pada Knowledge (keilmuan), namun secara komprehensif
mengembangkan Lawyering Skill (praktik membuat berbagai
dokumen hukum seperti Surat Kuasa, Gugatan), juga
menanamkan tentang kesadaran akan pentingnya melandasi
setiap perbuatan praktik kita dengan Value ( nilai-nilai). Proses
pembelajarannya mencakup Knowledge, Skill, dan Value.
Dalam pembelajaran Klinik Hukum Perdata ini mahasiswa
tidak hanya akan diberikan pembelajaran secara terstruktur di
dalam kelas saja melainkan akan diperkenalkan juga dengan
pembelajaran secara langsung dilapangan misalkan pembelajaran
di pengadilan, ini bertujuan agar mahasiswa dapat langsung
mempraktekan apa yang telah mereka dapatkan di dalam kelas
serta dapat mengaplikasikannya secara langsung dilapangan.
Ini bertujuan membentuk karakter mahasiswa agar apa yang
dipelajari dapat segera diterapkan dan dituangkan langsung
tentunya masih dalam arahan dan pengawasan dosen pengajar
dan dari peran mitra seperti konsultan hukum hakim jaksa dan
pengacara.
Sebagai contoh berpraktik dalam proses pembelajaran
dipilih secara tematik misalnya: Kasus Perceraian, Kasus

8
Pewarisan, Kasus Pengangkatan Anak, ataupun kasus bisnis
seperti kepailitan. Dalam hal yang dipilih pada semester yang
berjalan tematiknya adalah kasus perceraian, maka mahasiswa
diajak untuk berpraktik membuat dokumen-dokumen hukum
yang berkaitan dengan Surat Kuasa, Surat Gugatan dalam
hal kasus perceraian. Begitu juga dalam praktik role play dan
wawancara klien, mahasiswa juga memerankan pihak-pihak dan
pengacara yang sedang menangani wawancara kasus perceraian.
Pengembangan praktiknya tergantung tematik yang dipilih dan
ditetapkan.

2. Hukum Acara Perdata Dan Dokumen-Dokumen Hukum


Sebagai tahap awal dalam proses pembelajaran Klinik
Hukum Perdata di FH UNUD, yaitu sebagai bagian dari
Planning Component, setelah mahasiswa diperkenalkan dengan
pemahaman serta karakteristik Clinical Legal Education (CLE)
– Klinik Hukum sebagai sebuah Program Pendidikan, maka
selanjutnya pemahaman tentang proses beracara perdata di
Pengadilan Negeri dibahas kembali terkait praktik Role Play
mulai dari mewawancarai klien hingga praktik membuat
berbagai dokumen hukum yang diperlukan dalam proses acara
perdata. Kegiatan Planning Component ini mampu meningkatkan
Lawyering Skill mahasiswa.
Dalam bagian ini akan dibahas siapa saja yang terlibat dalam
praktik beracara perdata di Pengadilan Negeri serta dokumen
apa saja yang harus disiapkan. Adapun beberapa pihak yang
berperan di dalamnya yaitu: Penggugat, Tergugat, Kuasa Hukum
/ Penasehat Hukum, Panitera, dan Hakim. Berbagai kasus perdata
yang sering sekali terjadi di masyarakat dan yang paling sering
kita temukan yang dibawa ke pengadilan antara lain: kasus
wanprestasi perjanjian, waris, perceraian serta berbagai kasus
keperdataan lainnya. Sehubungan dengan penyelesaian kasus-
kasus perdata tersebut melalui jalur pengadilan, maka berbagai
dokumen yang diperlukan dan yang akan menjadi syarat dalam
rangka proses beracara di pengadilan yaitu: Surat Kuasa Khusus,

9
Surat Gugatan, Eksepsi dan Jawaban Gugatan, Replik, Duplik,
Putusan, dan Akta Perdamaian apabila suatu kasus diselesaikan
dengan proses Mediasi.

3. Role Play Dalam Rangka Menyusun Dokumen Hukum


Dokumen hukum seperti “Surat Kuasa” , “Surat Gugatan”
maupun dokumen hukum lainnya adalah merupakan komponen-
komponen penting dalam proses beracara perdata di Pengadilan
Negeri. Dalam Rangka membuat Surat Gugatan maupun Surat
Kuasa sangat penting diawali dengan penggalian data atau
identifikasi oleh penasehat hukum atau advokat terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh klien atau pihak yang hendak
mengajukan gugatan. Berikut dilakukan serangkaian kegiatan
Role Play dalam rangka mendapatkan informasi yang detail bagi
kepentingan klien yang akan didampingi dalam proses beracara
perdata di pengadilan.

Role Play:
Identifikasi masalah klien untuk penyusunan Surat Kuasa & Surat
Gugatan

Mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok:


• Satu Kelompok berperan sebagai Tim Pengacara yang mengidentifikasi
dan menggali informasi dari klien
• Satu kelompok berperan sebagai klien yang meminta bantuan hukum
untuk mengajukan gugatan perdata ke Pengdilan Negeri
• Lkukan kegiatan Role Play untuk mendapatkan data yang relevan dan
detail

4. Praktik Pembuatan Surat Kuasa Khusus, Surat Gugatan,


Akta Perdamaian dan Jawaban Gugatan

A. Surat Kuasa Khusus


Mengenai pengertian surat kuasa adalah suatu dokumen
yang isinya seseorang menunjuk dan memberikan wewenang
pada orang lain dalam melakukan suatu perbuatan hukum

10
untuk dan atas namanya. Mengenai Pemberian Kuasa ini telah
diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata yang berbunyi : “Pemberian
kuasa ialah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan
kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa terdapat 2 (dua)
pihak yang terdiri dari pemberi kuasa dan penerima kuasa atau
disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan
sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.10 Berdasarkan Pasal
1793 KUHPerdata lebih lanjut dapat diketahui bahwa pemberian
kuasa dapat berupa akta autentik, akta dibawah tangan ataupun
secara lisan.

Pasal 1793 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum,


dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk
surat ataupun dengan lisan. Penerimaan surat kuasa dapat pula
terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan
kuasa itu oleh yang diberi kuasa

Pemberian Kuasa selain dapat dicermati dari bentuknya


yaitu ada yang berbentuk akta umum, akta di bawah tangan dan
bahkan boleh juga bentuknya lisan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1793 KUH Perdata sebagaimana tersebut di atas, juga
dapat dicermati pembedaannya menjadi Kuasa Secara Umum
dan Kuasa Secara Khusus. Surat kuasa umum yaitu surat yang
menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut hanya untuk hal-
hal yang bersifat umum saja, artinya untuk segala hal atau segala
perbuatan dengan titik berat pengurusan. Surat kuasa umum
tidak dapat dipergunakan didepan pengadilan untuk mewakili
pemberi kuasa. Sedangkan surat kuasa khusus yaitu kuasa yang
menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku untuk hal-

10
M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Peny-
itaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2.

11
hal tertentu saja atau lebih. Dengan surat kuasa khusus penerima
kuasa dapat mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan hal
ini diatur dalam pasal 123 HIR. Denga demikian dalam beracara
perdata digunakanlah surat kuasa khusus. Sedangkan dalam
KUHPerdata mengatur pembedaan macam Kuasa Secara Umum
dan Kuasa Secara khusus sebagai berikut:11
1. Kuasa secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si
pemberi kuasa. Pasal 1796 KUH Perdata menyatakan bahwa
pemberian kuasa secara umum ini cukuplah dirumuskan
dalam kata-kata umum, dan perbuatannya hanya meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan saja.
2. Kuasa secara khusus, yang apabila dituangkan dalam surat
kuasa disebut sebagai surat kuasa khusus. Menurut Pasal
1795 KUH Perdata pemberian kuasa dapat dilakukan secara
khusus yaitu, hanya mengenai satu kepentingan tertentu
atau lebih sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam
pemberian kuasa. Bentuk inilah yang menjadi landasan
pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan
mewakili kepentingan pemberi kuasa
Sesungguhnya ketika seseorang yang berhadapan dengan
proses pengadilan tidak selalu harus diwakilkan atau dikuasakan
kepada pihak lainnya.Pemeriksaan perkara di persidangan
dapat dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang
berperkara. Namun demikian, seseorang yang berperkara juga
mempunyai kesempatan untuk meminta bantuan kepada pihak
lain yang memiliki kemampuan di bidang itu, yaitu mewakilkan
kepada seorang kuasa yang dilakukan dengan Surat Kuasa
Khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 123 HIR /
147 RBg.
Dalam Proses beracara perdata di pengadilan, pembuatan
surat kuasa khusus merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk diperhatikan. Pembuatan surat kuasa khusus harus
memenuhi syarat yang diatur dalam ketentuan perundang-


11
Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, 2012, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 12.

12
undangan. Dampak yang timbul dari surat kuasa khusus yang
tidak memenuhi syarat, yaitu:
1. Surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan
dan menandatangani gugatan adalah kuasa berdasarkan
surat kuasa tersebut, dan
2. Segala proses pemeriksaan tidak sah, atas alasan
pemeriksaan dihadiri oleh kuasa yang tidak didukung oleh
surat kuasa yang memenuhi syarat.12
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.
2 Tahun 1959 dan SEMA No. 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober
1994 menyebutkan syarat surat kuasa khusus yang sah, yaitu:
1. Menyebut dengan jelas dan spesifik surat kuasa untuk
berperkara di pengadilan
2. Menyebut kompetensi relatif di Pengadilan Negeri mana
surat kuasa khusus itu digunakan; dan
3. Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak dan
4. Menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan objek
sengketa yang diperkarakan.
Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif artinya tidak
dipenuhinya satu syarat mengakibatkan surat kuasa tidak sah.
Selain itu, SEMA No. 01 Tahun 1971 menegaskan bahwa Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak boleh menyempurnakan
surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat.13
Secara lebih detail tentang Surat Kuasa Khusus diatur dalam
Pasal 1975 KUH Perdata. Surat Kuasa Khusus adalah pemberian
kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau
lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 1975 KUH Perdata. Dalam
surat kuasa khusus, didalamnya dijelaskan tindakan-tindakan
apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Karena ada
tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka
surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.14

12
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 2.
13
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 15.
14
Shanti Rachmandsyah, 2010, Kuasa umum atau Kuasa Khusus, http://www.
hukumonline.com/klinik/detail/lt4c105a52c629a, hlm. 1.

13
SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini : (identitas pemberi kuasa)


Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan
kuasa kepada :
( Nama penerima Kuasa )

Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara


......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-
sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
----------------------------------KHUSUS-------------------------------------
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Penggugat,
mengajukan dan menanda-tangani gugatan di Pengadilan Negeri
Denpasar mengenai perceraian terhadap (nama)......, (pekerjaan)
............., bertempat tinggal di Jalan ............sebagai Tergugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka


Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-
pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan
permohonan yang perlu, mengajukan danmenanda tangani gugatan,
Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima
Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan,
mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan,
atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum
harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima
uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan
melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada

14
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain
dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak retensi dan
seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam
pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang
ditetapkan dalam undang-undang.

Denpasar, ……………
Penerima Kuasa
Materai Pemberi Kuasa
Ttd. ttd.
( ….………………) (……………………)

15
`
CONTOH : SURAT KUASA KHUSUS DARI TERGUGAT
(PERKARA PERCERAIAN)

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini : (identitas pemberi kuasa)


Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan
kuasa kepada :
(Nama penerima kuasa)
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara
......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-
sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
----------------------------------KHUSUS--------------------------------------
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di
Pengadilan Negeri Denpasar yang terdaftar dalam rol
perkara No..…/Pdt.G/…………. mengenai………………………
melawan…………………………sebagai Penggugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka


Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-
pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan
permohonan yang perlu, mengajukan danmenanda tangani gugatan,
Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima
Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan,
mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan,
atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum
harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima

16
uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan
melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang


lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas
dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-
syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.

Denpasar, ……………
Penerima Kuasa
Materai Pemberi Kuasa
Ttd. ttd.
( ….………………….) (…………………… )

Contoh Surat Kuasa Khusus tersebut di atas adalah berkaitan


dengan kasus perceraian. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya bahwa kasus-kasus perdata tidak hanya perceraian,
akan tetapi banyak ragamnya ada yang berkaitan dengan waris,
wanprestasi dan sebagainya.

17
Tugas dalam Planning Component :
Mahasiswa Peserta Klinik Hukum Perdata dibagi dalam group-group, ada
yang berperan sebagai Pengacara, ada yang berperan sebagai pihak Tergugat
dalam perkara perdata wanprestasi, dan ada yang berperan sebagai Penggugat
yang datang ke Kantor Hukum anda.
Buatlah Surat Kuasa Khusus dari penggugat yang memberikan Kuasa Khusus
kepada Kantor Hukum anda berkaitan dengan gugatan perkara wanprestasi
yang diajukan oleh penggugat.

ROLE PLAY :
Praktik mewawancarai klien, yaitu penggugat yang memberikan kuasa
khusus kepada pengacara / kantor hukum. Group yang berperan sebagai
pihak pengacara dan group mahasiswa yang berperan sebagai penggugat
memainkan peran (Role Play) dalam sesi wawancara klien. Kemudian Group
mahasiswa yang berperan sebagai pengacara, praktik membuat Surat Kuasa
Khusus sesuai dengan hasil wawancara.

B. Surat Gugatan
Seseorang atau badan hukum atau kumpulan orang-orang
bila merasa dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat
melakukan suatu tuntutan hak. Tuntutan hak yang didalam Pasal
118 ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat 1 RBG) disebut sebagai tuntutan
perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang
mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Gugatan
dapat diajukan secara tertulis Pasal 118 ayat 1 HIR ( Pasal 142 ayat
RBG)maupun secara lisan (Pasal 120 HIR, 144 ayat 1 RBG).15
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajuan
surat gugatan adalah sebagai berikut16 :
1. Surat gugatan harus ditandatangani oleh Penggugat atau
kuasanya. Oleh karena itu, apabila ada surat kuasa yang
dalam hal ini berupa surat kuasa khusus, maka tanggal
surat gugatan harus lebih muda daripada tanggal surat
kuasa.
2. Surat gugatan harus bertanggal, menyebut dengan jelas
nama Penggugat dan Tergugat, tempat tinggal Penggugat
dan Tergugat, serta apabila diperlukan menyebutkan
jabatan kedudukan Penggugat dan Tergugat.

15
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 53.

16
Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, Op. Cit, hlm. 20.

18
3. Surat gugatannya sebaiknya diketik, dan tidak perlu
dibubuhi meterai
4. Surat gugatan harus dibuat dalam beberapa rangkap. 1
(satu) rangkap aslinya untuk pengadilan negeri, kemudian
untuk arsip Penggugat dan beberapa rangkap lagi untuk
masing-masing Tergugat dan turut Tergugat.
Surat gugatan harus didaftar di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang berkompeten dengan membayar biaya perkara.
Surat gugatan yang tidak memenuhi unsur-unsur yang
secara formil seharusnya ada dalam surat gugatan berakibat
ditolaknya surat gugatan tersebut. Meskipun dalam berbagai
bahan bacaan telah sering dibaca unsur serta isi daru surat
gugatan, namun jika tidak pernah dipraktikkan secara langsung
dalam membuatnya tentu tidak semudah yang dipikirkan. Dalam
membuat surat gugatan dibutuhkan data-data penting dan detail
dari klien, khususnya data-data yang relevan dengan bukti-bukti
yang dimiliki oleh klien.
Kadangkala bukti-bukti yang diajukan klien kita tidak
relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi demikian
maka kita harus pandai mengingatkan klien agar data-data
bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang lengkap
akan memudahkan kita membuat suatu surat gugatan. Apabila
data bukti yang akan mendukung gugatan klien kita sudah
terkumpul, diperlukan suatu investigasi terhadap para pihak
yang akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan
orang perorangan , kumpulan orang-orang atau suatu badan
hukum. Kadang-kadang dapat digugat sebagai perorangan dan
sekaligus badan hukumnya juga bila kita sulit mengklarifikasi
siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien
kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir
perorangan yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang
terakhir.
HIR dan RBG hanya mengatur tentang cara mengajukan
gugatan, sedangkan tentang persyaratan mengenai isi dari surat
gugatan tidak ada ketentuannya. Namun dalam Pasal 119 HIR

19
(Pasal 143 RBG) mengatur mengenai pemberian wewenang
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan nasehat
dan bantuan kepada pihak Penggugat dalam mengajukan
gugatannya. Dengan demikian dapat dicegah gugatan-gugatan
yang kurang jelas atau kurang lengkap.17
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 No. 3 Rv mengatur bahwa
gugatan harus memuat:
1. Identitas Para Pihak
Yang dimaksud dengan identitas para pihak adalah
identitas yang berkaitan dengan nama, umur, pekerjaan,
dan tempat tinggal dari Penggugat dan Tergugat.
2. Posita
Posita dalam suatu gugatan dapat dipahami berupa dalil-
dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar, serta alasan-alasan daripada tuntutan
atau dikenal juga dengan sebutan fundamentum petendi.
Fundamentum petendiyang juga dikenal dengan sebutan
dasar dari tuntutan terdiri dari 2 (dua) bagian:
1) Bagian menguraikan tentang kejadian-kejadian atau
peristiwa
2) Bagian yang menguraikan tentang hukum.
Berkaitan dengan gugatan perdata dalam perkara
perceraian, Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan mengatur alasan-alasan yang dapat
dijadikan dasar gugatan perceraian antara lain :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan ;
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
tahun (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
17
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 54.

20
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung;
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang
lain;
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri;
6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
3. Petitum
Petitum atau juga dikenal dengan sebutan tuntutan adalah
apa yang diminta oleh Penggugat atau diharapkan agar
diputuskan oleh hakim. Penggugat harus merumuskan
petitum dengan jelas dan tegas. Sebab tuntutan yang tidak
jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya
tuntutan tersebut.Petitum atau Tuntutan pokok yang
ada dalam gugatan acapkali dibarengi dengan tuntutan
pelengkap atau tuntutan tambahn berupa:
1) Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar biaya
perkara.
2) Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan
lebih dahulu, meskipun putusannya dilawan atau
dimintakan banding
3) Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar
bunga apabila tuntutan yang dimintakan oleh
Penggugat berupa pembayaran sejumlah uang
tertentu.
4) Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar
uang paksa (dwangsom)
5) Dalam hal gugatan perceraian dapat disertai dengan
tuntutan mengenai nafkah anak-anak.
6) Dapat pula dimasukkan permohonan subsidair yang
pada umumnya berbunyi ex aequo et bono atau “mohon
putusan berdasarkan keadilan. “

21
CONTOH : SURAT GUGATAN PERCERAIAN

Denpasar,…………… 2016
Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Denpasar
di Denpasar
Perihal:Gugatan Cerai

Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :
__________, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat _________
Jalan __________________ , Denpasar 10220, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus No. _____ tanggal _________, bertindak untuk dan
atas nama :-----------------------------------------------------
_______Nama Penggugat________,Perempuan, Lahir di ________,
umur __________, Agama
_________,
Pekerjaan_____________,
bertempat tinggal di _____________
Selanjutnya disebut sebagai
PENGGUGAT

Dengan ini Penggugat hendak mengajukan gugatan cerai


terhadap :
_______Nama Tergugat________, Laki-laki, umur__________,
Agama ______________,
Pekerjaan_____________,
bertempat tinggal di _____________
Selanjutnya disebut sebagai
T E R G U G A T

Adapun yang menjadi dasar-dasar dan alasan diajukannya


gugatan cerai ini adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang sah
yang melangsungkan perkawinan secara adat dan agama

22
Hindu yang dilaksanakan pada tanggal ________________
di rumah Tergugat di ____________________________
dimana Penggugat berkedudukan sebagai Predana
sedangkan Tergugat sebagai Purusa sesuai dengan Kutipan
Akta Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar
Nomor : _______________ tertanggal ____________;----------
----------------------------------------------
2. Bahwa dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat telah
dikaruniai 2 (dua) orang anak laki-laki yang masing-masing
bernama :
Anak Pertama : ________________ lahir di __________, tanggal
__________________ sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
_______________ tertanggal ___________-----------------------
-----------------------------------
Anak Kedua : ________________ lahir di __________, tanggal
__________________ sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
_______________ tertanggal ___________;----------------------
----------------------------------
3. Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia, harmonis, kekal dan abadi, selama
perkawinan berlangsung kurang lebih selama 7 (tujuh)
tahun tidak ada permasalahan, kira-kira sejak tahun 2010
rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak
harmonis lagi sebagaimana layaknya pasangan suami
istri yang masih rukun yang mana Tergugat sering keluar
malam datang pagi dan Tergugat juga sering meluapkan
emosi tanpa alasan yang jelas, berkelakuan kasar terhadap
diri Penggugat ;-----------------------------
4. Bahwa Penggugat sudah berusaha memberikan nasehat
serta membicarakan hal ini, namun Tergugat bukannya
tersadar serta mengubah kebiasaan buruknya akan tetapi
Tergugat membantah dan berkelakuan kasar sehingga
terjadi perselisihan dan pertengkaran di depan anak-anak

23
Penggugat dan Tergugat ;--------------------------------------------
----------------------
5. Bahwa kira-kira tanggal ________________, puncak
pertengkaran Antara Penggugat dan Tergugat dimana
Tergugat melakukan penganiayaan terhadap diri Penggugat,
atas perbuatan Tergugat maka Penggugat melaporkan hal
tersebut ke Kantor Polisi Sektor Denpasar, dan Tergugat
dapat ditahan di Kantor Polisi Sektor Denpasar ; -------------
----------------------------
6. Bahwa Tergugat merasa bersalah atas perbuatannya dan
Tergugat berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya
maka Penggugat membuat Surat Pernyataan Pencabutan
Laporan tertanggal _______________________ dan akhirnya
Tergugat dikeluarkan dari tahanan dan perkaranya tidak
dilanjutkan ; ------------------------------------------------------------
--------------
7. Bahwa Penggugat sudah berusaha memaafkan perbuatan
Tergugat namun sampai saat ini Tergugat tidak
memperbaiki diri dan sering berlaku kasar maka rumah
tangga Penggugat dan Tergugat tidak mungkin akan
dipersatukan kembali secara utuh ; ---------------------------
8. Bahwa untuk rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah
tidak mungkin dipersatukan lagi dan berdasarkan tujuan
suatu perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah tidak mungkin untuk
dapat dipertahankan lagi maka dengan terpaksa Penggugat
mengajukan permasalahan ini ke Pengadilan Negeri
Denpasar ;----------
Berdasarkan alasan tersebut, Penggugat dengan ini
memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara
ini untuk memanggil kedua belah pihak ke Pengadilan untuk
didengar keterangannya serta memohon kepada Majelis Hakim
untuk memutuskan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan putusnya perkawinan Antara Penggugat dan

24
Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Akta Perkawinan
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
_______________ tertanggal _____________________
3. Menyatakan hak asuh anak-anak berada dalam kekuasaan
Penggugat;
4. Menyatakan seluruh harta bersama dibagi 2 (dua) sama
rata diantara Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah anak
sebesar Rp. 3.000.000,- ( Tiga Juta Rupiah) setiap bulan
hingga anak dewasa
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya ( ex aequo et bono).
Hormat kuasa hukum Penggugat

(________________________)

KASUS HIPOTESIS

Pasangan suami istri yang berkewarganegaraan asing Andrew Dixon


(Amerika ) dan istrinya Julia Anne (Amerika) telah menikah sejak tahun
2003 di AS, mereka tinggal di Bali sejak tahun 2005 dan membuka usaha
Resort& Restaurant dengan nama ”AA Resort & Restaurant” yang didirikan
diatas tanah seluas 30 are yang terletak di daerah pantai Seminyak.
Pasangan suami istri tersebut menyewa tanah dari Nyoman Kantor untuk
mendirikan usaha “AA Resort & Restaurant”-nya. Pada awal 2013,
Julia Anne menggugat Andrew Dixon di PN Denpasar berkaitan dengan
pembagian harta bersama atas kepemilikan “AAResort & Restaurant” yang
mereka kelola sekitar 8 tahun bersama. Julia Anne dalam gugatannya juga
mengemukakan bahwa mereka telah bercerai di AS pada tahun 2012 karena
sudah tidak ada kecocokan diantara mereka, dan juga karena Andrew Dixon
telah menikah dengan prempuan berasal dari Jember pada tahun 2011 yang
sebelumnya prempuan tersebut adalah bekas karyawan di “AA Resort &
Restaurant”. Julia Anne datang kepada Kantor Hukum anda yaitu “Kantor
Hukum Klinik Perdata FH UNUD” untuk menjadi pengacara / Lawyer
yang akan mendampingi dan memberi advice selama proses beracara di
Pengadilan Negeri. Julia Anne tentu saja sangat berharap pihaknya bisa
memenangkan perkara.

25
Tugas : Role Play
Praktik mewawancarai klien untuk mendapatkan data-
data penting sesuai dengan materi gugatan dalam perkara
perdata perceraian. Kemudian susunlah Surat Gugatan
yang akan diajukan ke Pengadilan Negeri.

C. Mediasi Di Pengadilan
Perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara senantiasa
diharapkan. Meskipun para pihak sangat berkeinginan
permasalahan atau perkara perdatanya diselesaikan melalui
putusan pengadilan, namun hakim harus berusaha untuk
mendamaikan para pihak yang berperkara. Sepanjang hakim
belum menjatuhkan putusan, tawaran perdamaian masih dapat
diusahakan. Meskipun telah diusahakan adanya perdamaian,
namun dalam praktiknya masih sangat jarang para pihak bersedia
menempuh jalan damai untuk menyelesaikan permasalahannya.
Berkaitan dengan hal tersebut Mahkamah Agung Menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan selanjutnya disebut sebagai Perma No.
1 Tahun 2008. Perma No. 1 ini pada intinya mewajibkan agar
ditempuh proses mediasi terlebih dahulu bagi perkara perdata
yang diajukan ke pengadilan.
Dalam Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008, mediasi
bersifat wajib ditempuh dalam perkara perdata yang diajukan
ke pengadilan pada tingkat pertama atau di Pengadilan Negeri.
Mediasi di Pengadilan tersebut bersifat Mandatory sehingga para
pihak tidak bisa menolak ataupun untuk meminta langsung
dilakukannya pemeriksaan perkara secara litigasi kepada Majelis
Hakim. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3) Perma No. 1 Tahun
2008 menentukan bahwa apabila ada perkara yang diperiksa
dan diputus tanpa menempuh prosedur mediasi berdasarkan
Perma ini, merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130
HIR (Pasal 154 RBG) yang mengakibatkna putusan batal demi
hukum.

26
Pada tahap pra mediasi, pada sidang pertama yang
dihadiri Penggugat dan Tergugat atau kuasa hukumnya, hakim
mewajibkan para pihak untuk terlebih dahulu menempuh mediasi
dalam menyelesaikan perkara (Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1 Tahun
2008). Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau
paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna
memilih mediator baik yang ada di dalam daftar yang dimiliki
oleh pengadilan ataupun diluar daftar pengadilan, termasuk juga
biaya yang ditimbulkan akibat pilihan penggunaan mediator
yang bukan hakim. (Pasal 11 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008).
Mediator yang akan dipilih dalam proses mediasi ini bisa
dari kalangan hakim, asalkan bukan hakim yang memeriksa
perkara tersebut. Dapat juga dipilih mediator yang bukan hakim
dengan syarat telah memiliki sertifikat sebagai mediator yang
telah di akreditasi oleh Mahkamah Agung. (Pasal 9 Perma No. 1
Tahun 2008). Dalam tahap pelaksanaan mediasi, Pasal 10 Perma
No. 1 Tahun 2008 menentukan mediasi dapat diselenggarakan
disalah satu ruangan pengadilan dan untuk penggunaan ruangan
ini tidak dikenakan biaya. Sedangkan apabila pelaksanaan
mediasi dilakukan ditempat lain, maka biaya yang timbul
dari penggunaan tempat tersebut dibebankan kepada pihak
berdasarkan kesepakatan. Demikian juga dengan penggunaan
mediator yang bukan hakim biayanya ditanggung oleh para
pihak yang berperkara berdasarkan kesepakatan.
Tahap mediasi dimulai lima hari kerja setelah pemilihan atau
penunjukkan mediator, para pihak wajib menyerahkan resume
perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator ( Pasal 13 ayat
(1) Perma No. 1 Tahun 2008). Proses mediasi berlangsung selama
empat puluh hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak
atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim ( Pasal 13 ayat (2) Perma
No. 1 Tahun 2008) dan atas dasar kesepakatan para pihak, jangka
waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) ( Pasal 14 ayat (4) Perma No. 1 Tahun
2008). Dalam pelaksanaan mediasi para pihak ataupun kuasa

27
hukumnya dan mediator dapat mengundang saksi ahli dalam
bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan
terkait dengan penyelesaian sengketa, dimana segala biaya yang
timbul dari pemanggilan saksi ahli tersebut dibebankan kepada
para pihak. ( Pasal 16 Perma No. 1 Tahun 2008).
Tercapainya kesepakatan ataupun tidak tercapainya
kesepakatan hasi dari proses mediasi tersebut dibawa ke
pengadilan dan para pihak kembali menghadap kepada majelis
hakim. Apabila dicapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut
harus dirumuskan secara tertulis yang kemudian ditandatangani
oleh kedua belah pihak yang berperkara. Mediator wajib
memeriksa kembali kesepakatan tersebut untuk menghindari
adanya kesepakatan yang saling bertentangan. Hakim dapat
mengukuhkan kesepakata tersebut dakam suatu akta perdamaian
yang memiliki kekuatan hukum tetap. Apabila para pihak yang
berperkara tidak menghendaki kesepakatan tersebut dituangkan
dalam akta perdamaian, maka dalam kesepakatan tertulis
tersebut harus memuat pernyataan pencabutan perkara (Pasal 17
Perma No. 1 Tahun 2008).
Apabila proses mediasi gagal mencapai kesepakatan sampai
batas waktu yang telah ditentukan, Mediator wajib menyatakan
bahwa proses mediasi gagal dan memberitahukannya kepada
Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Segera setelah
pemberitahuan tersebut hakim melanjutkan proses pemeriksaan
perkara sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata yang
berlaku (Pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008). Dalam proses
pemeriksaan perkara di persidangan dilanjutkan kembali, segala
pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak
dapat digunakan dalam proses persidangan yang bersangkutan
maupun perkara lainnya. Demikian juga fotocopy dokumen,
notulen, dan catatan mediator wajib dimusnahkan dan mediator
tidak dapat diminta untuk menjadi saksi ahli dalam persidangan
perkara yang bersangkutan (Pasal 19 Perma No. 1 Tahun 2008).

28
CONTOH : AKTA PERDAMAIAN

AKTA PERDAMAIAN
Pada hari ini, …..tanggal ….., telah dating menghadap di
persidangan umum Pengadilan Negeri di ………., yang bersidang
dalam gedungnya di Jl………. Kedua belah pihak yang berpekara
perdata: ………. Umur………., pekerjaan ………., tempat tinggal
di Jl ………., selanjutnya disebut Penggugat;
LAWAN
………., umur ………., pekerjaan ………., tempat tinggal di
………., selanjutnya disebut Tergugat; yang menerangkan bahwa
kedua belah pihak mufakat menyelesaikan perkaranya dengan
perdamaian, yang bunyinya sebagai tertera di bawah ini:
- Disebutnya isi perdamaian (pasal demi pasal)
Setelah perjanjian perdamaian tersebut dituliskan dan
dibicarakan pada kedua belah pihak, maka Penggugat dan
Tergugat menerangkan bahwa mereka menerima dan menyetujui
perdamaian ini
Kemudian Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan sebagai
berikut:
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAAN YANG
MAHA ESA
Pengadilan Negeri tersebut;
Telah membaca surat perdamaian tersebut di atas;
Telah mendengar kedua belah pihak;
Mengingat pasal-pasal dari undang-undang yang bersangkutan;
MENGADILI
Menyatakan bahwa telah tercapai perdamaian antara kedua
belah pihak;
Menghukum kedua belah pihak untuk mengetahui bunyi isi
perdamaian tersebut di atas;
Menghukum kedua belah pihak untuk membayar ongkos perkara
masing-masing separuhnya, yang sehingga perdamaian ini dibuat

29
berjumlah Rp ……………......….…… ( ……………. rupiah)
Demikian diputuskan pada hari ini ……………….. tanggal
…………, oleh kami …………………, ……………….,
…………………, hakim-hakim Pengadilan Negeri di ……………..
dan pada hari ini juga diumumkan di persidangan dengan
dihadiri oleh …………. Panitera (pengganti) dan kedua belah
pihak yang berpekara

Panitera (pengganti) Pengadilan ………..


Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Negeri …………………………………..
…………………,

(…………………………………………)
…………………(Hakim Ketua)

……….………..(Hakim Anggota)

……….………..(Hakim Anggota)
Biaya – biaya :
Panggilan kedua belah pihak : Rp ……………………….
Materai Akte Perdamaian : Rp ……………………….
Dan lain-lain : Rp ……………………….

D. Jawaban Gugatan
Jawaban gugatan merupakan jawaban atas gugatan
Penggugat yang diajukan Tergugat terhadap pokok perkara.
Jawaban gugatan dapat berupa: pengakuan, bantahan,
tangkisan, dan referte. Pengakuan adalah jawaban Tergugat
yang membenarkan isi gugatan Penggugat. Referte lebih
bersifat pengakuan karena Tergugat dalam hal ini menunggu
kebijaksanaan hakim. Pada referte, Tergugat dalam tingkatan
banding masih dimungkinkan mengajukan bantahan apabila
belum pernah mengajukan bantahan sebelumnya. Namun jika
Tergugat pada jawaban pertama mengakui dalil-dalil Penggugat,

30
maka pada jawaban berikutnya sampai ke tingkat banding
Tergugat tetap terikat dengan pengakuannya tersebut. Bantahan
adalah pernyataan yang tidak mengakui apa yang digugatkan
Penggugat. Bantahan harus disertai dengan alasan-alasannya
secara terperinci dan meyakinkan.18

E. Eksepsi
Eksepsi adalah suatu tangkisan oleh Tergugat yang
objeknya diluar pokok perkara. Eksepsi disusun dengan mencari
kelemahan-kelemahan baik terkait dengan dalil-dalil gugatan
maupun di luar gugatan yang dapat menjadi alasan menolak
gugatan. Eksepsi dapat dibagi dua bagian, yaitu eksepsi absolut
dan eksepsi relatif. 19Eksepsi absolut erat kaitannya dengan
kompetensi pengadilan dalam memeriksa perkara. Kompetensi
pengadilan tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut terkait dengan kewenangan dari
jenis pengadilan yang berwenang untuk memeriksa perkara
itu (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Peng­
adilan Agama (Islam), atau Pengadilan Militer). Eksepsi
terkait kompetensi absolut dapat diajukan kapanpun selama
perkara masih berlangsung, dan bahkan pengadilanpun wajib
menyatakannya tanpa eksepsi. Kompetensi absolut diatur dalam
Pasal 134 HIR Jo Pasal 160 RBG. 20
2. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif terkait dengan wilayah hukum
pengadilan yang berwenang memeriksa perkara (terhadap
pengadilan sejenis). Eksepsi terkait kompetensi relatif ini harus
diajukan pada kesempatan pertama Tergugat memberikan
jawabannya, sesuai ketentuan Pasal 133 HIR Jo Pasal 159 RBG. 21

18
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm.97
19
Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan
Perdata, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 169.
20
Ibid
21
Ibid

31
SedangkanEksepsi relatif erat kaitannya dengan dalil-dalil
gugatan. Eksepsi relatif harus diajukan pada jawaban pertama
Tergugat. Eksepsi relatif dapat meliputi:
1. Exceptie van litispendentie, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan kepastian hukum dari perkara tersebut belum ada.
2. Dilatoire exceptie, adalah tangkisan yang berkaitan dengan
waktu pengajuan gugatan yang belum tepat dikarenakan
masih terdapat waktu bagi Tergugat untuk melakukan
prestasi.
3. Premtoire Exceptie, adalah tangkisan yang mengakui
kebenaran dalil gugatan, namun diajukan dengan
penambahan yang sangat prinsipal sehingga dapat
menggugurkan gugatan.
4. Disqualificatoire exceptie, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan hak menggugat dari Penggugat (Penggugat tidak
berhak mengajukan gugatan).
5. Exceptie Obscuri Libelli, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan kekaburan/ketidakjelasan gugatan. (Pasal 125 ayat
(1) HIR Jo Pasal 149 ayat (1) RBG).
6. Exceptie Plurium Litis Consortium, adalah tangkisan yang
berkaitan dengan kelengkapan para pihak khususnya yang
berkedudukan sebagai Tergugat belum lengkap, sehingga
subjek hukum dalam gugatan dapat digugurkan.
7. Exceptie Non-adimpleti Contractus, adalah tangkisan yang
berkaitan dengan wanprestasi dari Tergugat dikarenakan
Penggugat juga dalam keadaan wanprestasi.
8. Exceptie rei judicatie, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan asas ne bis in idem, yaitu terhadap perkara yang
telah diputus dengan kekuatan hukum tetap, tidak dapat
diajukan gugatan lagi.
9. Exceptie van connexiteit, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan masih diperiksanya perkara yang berkaitan oleh
pengadilan/instansi lain, sehingga harus menunggu
putusan.22
22
Ibid, hlm. 171-176.

32
Selain karena alasan-alasan tersebut, eksepsi juga dapat
diajukan karena:
1. Posita dan petitum yang tidak terkait atau petitum yang
melebihi posita (objek dalam petitum tidak boleh melebihi
posita).
2. Surat kuasa yang tidak sah, misalnya surat kuasa yang
bersifat umum, dibuat oleh orang yang tidak memiliki
kewenangan, dan tidak memenuhi syarat formil.
3. Kerugian tidak dirinci dengan lengkap.
4. Daluwarsa, yaitu gugatan yang diajukan telah melebihi
tenggang waktu dalu­warsa.
5. Objek gugatan dan kesalahan dari Tergugat tidak jelas/
tidak dirinci secara lengkap. 23
Eksepsi yang diajukan Tergugat harus diperiksa dan
diputus dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
pokok perkara (Pasal 136 HIR/Pasal 162 RBG).Jawaban gugatan
dan eksepsi dapat dijadikan satu pada pengajuannya, yaitu
dengan menyertakan eksepsi pada jawaban gugatan. Dalam hal
ini, eksepsi akan ditulis dengan istilah “DALAM EKSEPSI” dan
dilanjutkan dengan penulisan jawaban gugatan dengan istilah
“DALAM POKOK PERKARA”.

F. Gugatan Rekonvensi
Rekonvensiadalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat
untuk mengimbangi gugatan Penggugat. Rekonvensi dapat
diajukan apabila Penggugat juga melakukan wanprestasi
terhadap Tergugat. Rekonvensi diatur dalam Pasal 132a dan 132b
HIR.24 Rekonvensi pada praktiknya seringkali diajukan bersama-
sama dengan jawaban (pada jawaban pertama atau duplik)
Tergugat karena rekonvensi juga dapat dikategorikan sebagai
tindakan responsif Tergugat atas gugatan dari Penggugat.
Sehingga secara logis rekonvensi tidak dapat diajukan apabila

23
Ibid, hlm.177-180.
24
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm.103.

33
kegiatan jawab-menjawab telah selesai atau perkara telah
dilanjutkan ke pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi. Dalam
rekonvensi, pihak Tergugat menjadi Penggugat rekonvensi dan
pihak Penggugat menjadi Tergugat rekonvensi.
Menurut ketentuan Pasal 132a HIR Jo. RBg, terdapat 3 (tiga)
pengecualian bagi pihak Tergugat dalam mengajukan rekonvensi
terhadap gugatan dari pihak Penggugat yaitu:
1. Tergugat dilarang mengajukan rekonvensi kepada
diri pribadi Penggugat apabila Penggugat bertindak
berdasarkan suatu kedudukan/jabatan tertentu.
2. Rekonvensi tidak dapat diajukan bila Pengadilan Negeri
yang memeriksa gugatan Penggugat tidak berwenang
memeriksa gugatan rekonvensi atau diluar yurisdiksi
Pengadilan Negeri tersebut.
3. Dalam hal pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap, rekonvensi tidak dapat diajukan lagi.25

CONTOH : JAWABAN GUGATAN, EKSEPSI


DAN GUGATAN REKONVENSI


Denpasar,…………… 2015
Kepada Yth,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri ________,
Pemeriksa Perkara Perdata No. : _________
di Denpasar
Perihal:Jawaban atas Gugatan Cerai Penggugat

Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :
___________________, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat
____________________ Jalan __________________ , Denpasar
80111, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. _____ tanggal

25 Ibid, hlm.104-105

34
_________, bertindak untuk dan atas nama :--------------------------,
Laki-laki, umur__________, Agama ______________,
Pekerjaan_____________, bertempat tinggal di _____________
Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT, dalam Perkara Perdata
Perceraian Nomor __________________ di Pengadilan Negeri
Denpasar.

Dengan ini mengajukan jawaban atas gugatan Penggugat sebagai


berikut : --------------------------

I. DALAM EKSEPSI:
- Bahwa karena Penggugat dan Tergugat melakukan
pernikahan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten
Tabanan, maka seharusnya Pengadilan Negeri Denpasar
bukanlah yang berwenang mengadili, melainkan Pengadilan
Negeri Tabanan. Jadi yang berwenang mengadili perkara
ini adalah Pengadilan Negeri Tabanan, bukan Pengadilan
Negeri Denpasar. (Eksepsi Kompetensi Relatif)

II. DALAM POKOK PERKARA (dalam Konvensi)


1. Bahwa Tergugat menolak selurh dalil-dalil Penggugat ,
kecuali yang secara tegas diakui;
2. Bahwa memang benar, Penggugat dan Tergugat adalah
suami istri yang sah yang melangsungkan perkawinan
secara adat dan agama Hindu yang dilaksanakan
pada tanggal ________________ di rumah Tergugat
di ____________________________ dimana Penggugat
berkedudukan sebagai Predana sedangkan Tergugat
sebagai Purusa sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan
dari Kantor Catatan SipilKota/Kabupaten __________ Nomor
: ___________________________________________________
_______________
3. Bahwa benar dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat
telah dikaruniai 2 (dua) orang anak laki-laki yang masing-
masing bernama :

35
Anak Pertama : ________________ lahir di __________, tanggal
__________________ sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
_______________ tertanggal ___________-----------------------
-----------------------------------
Anak Kedua : ________________ lahir di __________, tanggal
__________________ sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
_______________ tertanggal ___________;----------------------
-----------------------------------------------------------
4. Bahwa memang benar Tergugat sering keluar malam
dan pulang pagi, hal ini dilakukan karena Tergugat
mendapatkan tugas oleh atasannya untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan.
5. Bahwa tidak benar dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat,
bahwa Tergugat sering meluapkan emosi tanpa alasan
yang jelas, berkelakuan kasar terhadap diri Penggugat, dan
hal ini bisa di buktikan dengan pihak-pihak luar (dalam hal
ini tetangga dan keluara Tergugat);
6. Bahwa tidak benar Tergugat melakukan penganiayaan
terhadap diri Penggugat, yang diuraikan oleh penggugat
dalam butir No. 5 dan butir No. 6 gugatannya, dan juga
tidak benar bahwa tergugat pernah ditahan di Kantor Polisi
Sektor Denpasar ; -----------------------
7. Bahwa Penggugat sudah berusaha memaafkan perbuatan
Tergugat namun sampai saat ini Tergugat tidak memperbaiki
diri dan sering berlaku kasar sehingga Penggugat merasa
rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak mungkin akan
dipersatukan kembali secara utuh adalah suatu alasan yang
tidak benar, seperti apa yang telah Tergugatkemukakan
pada  jawaban Tergugat tersebut diatas;

III. Dalam Rekonvensi


Bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi
dengan ini mengajukan gugatan Rekonvensi terhadap Tergugat
Rekonvensi/Penggugat Konvensi sebagai berikut :

36
1. Bahwa, hal-hal yang dikemukakan dalam jawaban pokok
perkara adalah merupakan satu kesatuan dengan hal-hal
yang dikemukakan dalam Rekonvensi.
2. Bahwa Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi sering
melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik.
Sifat-sifat dan kebiasaan buruk penggugat diantaranya
dapat dikemukakan sebagai berikut :
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi adalah
istri yang tidak taat terhadap suami. Seorang suami
pastilah menginginkan ketaatan dari istrinya sebagai
wujud dari kesetiannya, seperti meluangkan banyak
waktu buat suami, membuatkan kopi, bersikap sopan.
Hal demikian tidak pernah Penggugat lakukan,
sebagaimana istri-istri yang lain melakukan kepada
suami mereka.
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi memiliki
jiwa/emosi yang sulit terkontrol. Jika terjadi hal yang
tidak dikehendaki Penggugat maka Penggugat sering
marah-marahyang tidak jelas dan sering memaki
pekerjaan Tergugat.
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi tipe
orang yang sering meremehkan orang lain. Sebagai
seorang karyawati di____________ Penggugat sering
meremehkan pekerjaan Tergugat yang hanya sebagai
_____________.
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi adalah
seorang ibu yang tidak baik bagi anak-anaknya, dimana
Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi tidak
pernah menghiraukan/memperhatikan anak-anaknya
seperti membuatkan sarapan serta urusan pendidikan
dan sering bersikap kasar kepada anak-anak.
3. Bahwa berdasarkan kepada hal-hal yang dikemukakan
diatas, sudahlah jelas bahwa yang menyebabkan tidak
harmonisnya rumah tangga adalah karena sikap dan
perilaku yang tidak baik dari Tergugat Rekonvensi/
Penggugat Konvensi.

37
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas berkenan kiranya
Bapak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan
putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

I. Dalam Konvensi
1. Menolak gugatan Penggugat konvensi (Tergugat
Rekonvensi) untuk seluruhnya.
2. Menghukum penggugat konvensi (Tergugat Rekonvensi)
untuk membayar lunas semua biaya yang timbul dalam
perkara ini.

II. Dalam Rekonvensi


1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi (Tergugat
Konvensi) untuk seluruhnya.
2. Menyatakan putusnya perkawinan Antara Penggugat dan
Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Akta Perkawinan
dari Kantor Catatan Sipil Kota/Kabupaten ________ Nomor :
_______________ tertanggal _____________________
3. Menyatakan hak asuh anak-anak berada dalam kekuasaan
Penggugat Rekonvensi (Tergugat Konvensi)
4. Menyatakan seluruh harta bersama dibagi 2 (dua) sama
rata diantara Penggugat Rekonvensi (Tergugat Konvensi)
dan Tergugat Rekonvensi (Penggugat Konvensi);
5. Menghukum Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi
membayar segala biaya perkara
Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono).

Hormat kami,
Kuasa Hukum Tergugat dalam Konvensi
Penggugat dalam Rekonvensi

(_______________________________)

38
G. Replik
Dalam praktik, pemeriksaan perkara perdata di persidangan
melalui proses jawab-menjawab antara pihak Penggugat
dan Tergugat. Pihak Tergugat diberikan kesempatan untuk
memberikan jawaban atas gugatan dari pihak Penggugat di muka
pengadilan, baik secara tertulis maupun lisan. Apabila jawaban
gugatan tersebut dilakukan secara tertulis baik berupa eksepsi
maupun bantahan terhadap pokok perkara, maka majelis hakim
memberi kesempatan kepada pihak Penggugat untuk menjawab
kembali hal-hal yang dikemukakan oleh Tergugat dalam jawaban
gugatannya yang disebut replik.26 Replik merupakan pemberian
hak kepada pihak Penggugat untuk menanggapi jawaban yang
diajukan oleh Tergugat.
HIR dan RBG tidak mengatur tentang Replik, namun
berkaitan dengan Replik ketentuannya dapat dilihat dalam Pasal
142 Rv yang menegaskan para pihak dapat saling menyampaikan
surat jawaban serta replik dan duplik.27 Bagi seorang praktisi
hukum, replik bukanlah merupakan hal yang asing, karena replik
adalah bagian dari proses beracara di persidangan. Membuat atau
menyusun replik bukanlah pekerjaan yang sederhana, karena
penyusunan replik selalu dikaitkan dengan perkara apa replik
tersebut disusun. Replik dalam perkara perdata yang diajukan
Penggugat berkaitan dengan jawaban Tergugat atas gugatannya,
dimana jawaban Tergugat selain berisikan eksepsi juga berisikan
bantahan-bantahan terhadap pokok perkara. Replik Penggugat
adalah dalil-dalil yang menguatkan atau meneguhkan dalil-dalil
gugatan yang dibantah oleh Tergugat dalam jawabannya.
Secara teoritis tidak ada teori yang membahas mengenai
bagaimana proses menyusun replik, mengenai bentuk dan
susunan dari replik juga tidak ada ketentuan yang mengaturnya.
Oleh karena itu dalam menyusun replik harus disesuaikan
dengan jenis bidang hukumnya (hukum acara pidana/hukum
acara perdata), selain itu juga tergantung pada materi pokok dari

26
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 128.
27
H. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 462.

39
perkara yang dihadapi. Dalam menyusun replik ini, Penggugat
dapat mengemukakan sumber sumber kepustakaan, pendapat
pendapat para ahli, doktrin, kebiasaan, dan hal-hal baru untuk
menguatkan dalil gugatan yang diajukan sebelumnya.28
Dalam proses berperkara perdata di pengadilan, jawaban
gugatan dari Tergugat selain memuat jawaban atau bantahan
terhadap pokok perkara, juga termuat eksepsi serta dapat pula
memuat gugatan balik atau gugatan rekonvensi. Dalam menyusun
replik, pihak Penggugat perlu memperhatikan jawaban gugatan
dari pihak Tergugat. Bentuk dan susunan replik harus disesuaikan
dengan apa yang termuat dalam jawaban gugatan yang diajukan
pihak Tergugat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan replik yaitu:
1. Penggugat dalam menyusun replik selayaknya harus
menguasai hal-hal yang terkait dengan eksepsi.
2. Penggugat dalam menyusun replik harus
mempertimbangkan dengan cermat isi gugatan balik/
rekonvensi dari Tergugat. Dalam menanggapi gugatan
balik/rekonvensi dari Tergugat, Penggugat harus memuat
jawaban dari gugatan balik/rekonvensi tersebut dalam
replik.
3. Penggugat dalam menyusun replik harus
mempertimbangkan dalil-dalil bantahan atas gugatan
balik/rekonvensi yang diajukan Tergugat dan juga harus
mempertimbangkan alat bukti yang dapat memperkuat
dalil-dalil bantahan terhadap gugatan bali tersebut.
4. Penggugat dalam menyusun replik lazimnya selalu memuat
permintaan pada majelis hakim untuk mengabulkan
tuntutan dalam gugatan.29


28
Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Kencana, Jakarta, hlm. 225.
29 Boy Yendra Tamin, 2013, Prinsip dan Teknik Menyusun Replik dan Duplik,http://www.
boyyendratamin.com/2013/05/prinsip-dan-teknik-menyusun-replik-dan.html,
diakses tanggal 15 Mei 2015.

40
H. Duplik
Dalam proses beracara perdata di pengadilan dikenal juga
adanya istilah duplik. Duplik merupakan jawaban Tergugat
terhadap replik yang diajukan oleh pihakPenggugat. Sama halnya
dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun
lisan. Duplik diajukan Tergugat untuk mempertahankan jawaban
gugatan/eksepsi yang telah diajukan sebelumnya, yang secara
umum berisi bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh si
Penggugat. Tergugat dalam dupliknya dapat saja membenarkan
dalil atau tuntutan yang diajukan oleh si Penggugat dalam
repliknya, namun tidak pula menutup kemungkinan Tergugat
menyampaikan dalil-dalil baru yang dapat menguatkan bantahan
atas replik yang diajukan pihak Penggugat.
Dalam menyusun duplik, diharapkan dalil-dalil/pernyataan
yang diajukan oleh Tergugat agar tidak bertentangan dengan
dalil-dalil yang telah dibuat dalam jawaban gugatan/eksepsi.
Duplik biasanya memuatbantahan atau pembelaan atas dalil-
dalil/pernyataan yang diajukan oleh Penggugat dalam repliknya,
yang tentunya disertai dengan uraian bukti-bukti yang dapat
menguatkan bantahan atau pembelaan tersebut. Sebagaimana
dengan halnya replik, pengaturan mengenai duplik dapat
dijumpai dalam Pasal 142 Rv, namun tidak menguraikan secara
jelas mengenai bentuk dan susunan dari Duplik tersebut. Biasanya
duplik ini dibuat oleh kuasa hukum Tergugat yang dilengkapi
dengan bukti data, pernyataan dan juga keterangan-keterangan
yang diperoleh dari pihak ketiga.
Tahapan replik dan duplik dapat saja diulangi sampai
terdapat kesepahaman antara Tergugat dan Penggugat atau
bisa saja dalam prosesnya hakim yang menentukan apakah
proses jawab-menjawab ini ditutup ataukah diteruskan,dalam
proses tersebut hakim akan menilai apakah replik yang
diajukan Penggugat dengan duplik yang diajukan Tergugat
hanya mengulang-ulang dalil atau tuntutan yang sebelumnya
telah disampaikan di dalam proses persidangan, jika hakim
menilai proses tersebut hanya pengulangan dari apa yang telah

41
disampaikan maka atas dasar tersebut hakim akan memutuskan
untuk menghentikan proses jawab-menjawab tersebut.
Sesuai dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan, sedapat mungkin proses pemeriksaaan berjalan
dengan efisien dan efektif. Apabila prinsip tersebut dikaitkan
dengan tahapan jawab-menjawab yang diatur dalam Pasal 117
Rv, hakim cukup memberi kesempatan kepada para pihak untuk
menyampaikan replik dan duplik hanya satu kali saja, namun
dalam hal ini tidak ada larangan yang tegas untuk menyampaikan
replik dan duplik berkali-kali. Apabila Hakim menilai proses
jawab-menjawab tersebut tidak efektif dan efisien, serta hanya
membuang waktu saja, maka hakim dapat menghentikan proses
jawab-menjawab tersebut untuk selanjutnya dilanjutkan pada
tahap pembuktian di pengadilan.30

I. Putusan Hakim
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang diucapkan
oleh hakim di persidangan yang bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak yang berperkara. Menurut Pasal 185 ayat (1) HIR, terdapat
2 (dua) jenis Putusan Hakim dilihat dari waktu penjatuhannya,
yaitu: Putusan Akhir (eind vonnis) dan Putusan Sela (tussen
vonnis). Putusan akhir (eind vonnis) adalah suatu putusan yang
bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau
perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu (pengadilan
tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung).
Menurut sifatnya putusan akhir dapat diklasifikasikan. menjadi
3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Putusan kondemnator (condemnatoir vonnis, condemnatory
verdict).
Putusan kondemnator adalah putusan yang bersifat
menghukum. Dalam perkara perdata, menghukum artinya
membebani kewajiban untuk memenuhi prestasi terhadap
pihak yang kalah. Dalam memenuhi prestasi tersebut dapat


30
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 463

42
dilaksanakan dengan memberi sesuatu, berbuat sesuatu,
atau tidak berbuat sesuatu. Putusan kondemnator yang
ditetapkan oleh Hakim dapat dilaksanakan dengan paksaan
(forceiijk executie, forcible execution). Dictum dalam putusan
kondemnator dapat berbunyi: “ Mengadili : Menerima
permohonan Penggugat, Mengabulkan/menolak gugatan
Penggugat, Menghukum Tergugat/Penggugat untuk dst. ”
2. Putusan deklarator (declartoir vonnis, declaratory verdict).
Putusan deklarator adalah putusan yang isinya bersifat
menerangkan atau menyatakan suatu keadaan hukum.
Putusan deklarator hanya bersifat penetapan saja tentang
keadaan hukum, tidak bersifat mengadili karena tidak
ada sengketa. Putusan deklarator seperti ini disebut
deklarator murni. Umumnya putusan deklarator terjadi
dalam lapangan hukum badan privat, misalnya mengenai
pengangkatan anak, kesalahan identitas diri (Nama,
Tanggal lahir dsb.) penegasan hak atas suatu benda.
Bunyi Dictum dalam putusan deklarator adalah seperti
berikut: “Menetapkan : Menerima permohonan Pemohon,
Mengabulkan permohonan Pemohon, Menyatakan, bahwa
…., Menyatakan pula, bahwa …. “. Jadi, fungsi pernyataan
di sini adalah sebagai penegasan saja dari suatu. keadaan
yang sudah ada, atau keadaan yang sudah tidak ada.
3. Putusan konstitutif (constitutief vonnis, constitutive verdict).
Putusan konstitutif adalah putusan yang bersifat
meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum.
Dalam putusan ini suatu keadaan hukum tertentu
ditiadakan, atau ditimbulkannya suatu keadaan hukum
baru, misalnya putusan pembatalan perkawinan,
pembatalan perjanjian, putusan perceraian. Pelaksanaan
putusan konstitutif tidak memerlukan paksaan karena tidak
menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu. Perubahan
keadaan atau hubungan hukum otomatis terjadi pada saat
putusan tersebut diucapkan di muka persidangan. Dictum
dalam putusan konstitutif dapat berbunyi : “Mengadili

43
: Menerima gugatan Penggugat, Mengabulkan gugatan
Penggugat …., Membatalkan perjanjian ….“.31
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum
putusan akhir yang bertujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam praktik
di pengadilan terdapat 4 (empat) jenis putusan sela yaitu:
1. Putusan Prepatoir, adalah Putusan yang dijatuhkan oleh
hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan
perkara tanpa mempengaruhi pokok perkara dan putusan
akhir.
2. Putusan Interlucotoir, adalah Putusan yang berisi
bermacam-macam perintah terkait masalah pembuktian
dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
3. Putusan Insidentil, adalah Putusan yang berhubungan
dengan adanya insiden tertentu, yakni timbulnya kejadian
yang menunda jalannya persidangan. Contoh: putusan
insidentil dalam gugatan intervensi dan putusan insidentil
dalam sita jaminan.
4. Putusan Provisionil, adalah Putusan yang menjawab
tuntutan provisionil, yaitu menetapkan suatu tindakan
sementara bagi kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan. Contoh : putusan yang berisi
perintah agar salah satu pihak menghentikan sementara
pembangunan di atas tanah objek sengketa.32
Putusan pengadilan harus memenuhi syarat-syarat formal
dan substansi. 33Syarat formal sahnya putusan pengadilan, yaitu:
1. Dimulai dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2. Memuat waktu (tanggal, bulan, dan tahun) putusan.
3. Dibacakan dalam sidang pengadilan yang dinyatakan
terbuka untuk umum. 34

31
Ibid, hlm.156-164.
32
Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, Op. Cit, hlm.87.
33
Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm.205.
34
Ibid, hlm. 206

44
BAB III
PRAKTIK BERWAWANCARA
DENGAN KLIEN
Model In-House-External Clinic
(Planning Component)

1. Pendahuluan
Dalam pertemuan ini, proses pembelajaran berfokus
pada pentingnya mempelajari, mengetahui, memahami serta
mempraktikkan tentang bagaimana mewawancarai klien dalam
rangka proses berperkara perdata di pengadilan Negeri. Dengan
penggabungan antara proses perkuliahan yang menitikberatkan
pada komponen knowledge, skill and value, pada akhir perkuliahan
sebagai capaian hasil pembelajaran, mahasiswa diharapkan
mampu meningkatkan skill praktiknya dalam mewawancarai
klien dengan menerapkan dan berpedoman pada nilai-nilai yang
ada, salah satunya nilai yang berkaitan dengan kerahasiaan klien
(Confidential)

2. Lawyering Skill Dalam Mewawancarai Klien


Wawancara klien dalam rangka pendampingan proses
beracara perdata di pengadilan, maupun konsultasi untuk
dapat memberikan pendapat hukum, tidaklah sesederhana yang
difikir, yaitu sesederhana suatu proses bertanya jawab dan dari
pertanyaan menghasilkan jawaban. Wawancara klien untuk
suatu persolan hukum sesungguhnya suatu kegiatan lawyering
skill yang memerlukan knowledge dari si pewawancara, juga
skill untuk mewawancarai dan tentu saja value, yaitu nilai-nilai
yang dijadikan pedoman dan melandasi kegiatan praktik dalam
mewawancarai klien.
Salah satu value atau nilai-nilai dalam mewawancarai
klien adalah tentang kepercayaan. Sebagai seorang pengacara,
lawyer atau advokat yang profesional sangat dituntut untuk

45
menjaga kerahasiaan segala sesuatu yang berkaitan dengan
informasi dari klien yang diperolehnya dari hasil wawancara.
Data-data hasil wawancara kegunaannya secara profesional
semata-mata untuk persoalan hukum bagi si klien, bukan untuk
diinformasikan kepada setiap orang sebagai bagian dari cerita
sang pewawancara yang bangga memiliki klien si A atau si B
yang terkenal, yang pejabat, atau yang pebisnis maupun yang
masyarakat biasa tetangga sebelah. Kepercayaan klien kepada
pengacara ataupun lawyer, yaitu dengan menjaga kerahasiannya,
menjadi salah satu kunci penting dalam praktik mewawancarai
klien.  Kepercayaan merupakan hal utama dalam hubungan
antara klien dan advokat, tanpa kepercayaam dari klien, seorang
advokat tidak akan mungkin dapat menyelesaikan perkara atau
persoalan hukum yang sedang ditanganinya.
Komponen-komponen yang penting untuk difahami dan
diterapkan dalam mewawancarai kilen atau tehnik wawancara
dengan klien sebagai berikut35:
1. Etika profesional terhadap klien
2. Fungsi dan tujuan wawancara
3. Membangun kepercayaan klien
4. Tempat wawancara
5. Persiapan wawancara
6. Nasehat hukum (tanggapan dan saran)
7. Kesimpulan

3. Etika Profesional Berkaitan Dengan Kerahasiaan Klien


Etika Profesional atau juga sering dikaitkan dengan
kode etik dalam mewawancarai klien, salah satu etikanya
adalah kesetaraan, keadilan, objektivitas dan kerahasiaan.
Prinsip kesetaraan misalnya dapat dimunculkan dalam praktik
mewawancarai, pengacara atau penasehat hukum tidak bersikap
arogan, dan merasa lebih superior dari orang yang diwawancarai,
atau menganggap proses wawancara adalah sebuah introgasi.


35
Roelly Temmawela, Tehnik Wawancara dengan Klien, http://juristic.tumblr.com/
post/52208015341/tehnik-wawancara-dengan-klien, diakses tanggal 11 Oktober 2016.

46
Proses wawancara akan dapat berlangsung dengan baik,
manakala si pewawancara sejak awal sudah menempatkan
kedudukan yang sejajar dengan yang diwawancarai,
menumbuhkan rasa kepercayaan klien, agar klien dengan
lugas dan sejujurnya menginformasikan persoalan yang sedang
dihadapinya, sehingga pengacara yang mewawancarai dapat
memahami persoalannya dengan baik, mampu memetakan
persoalan dan issue hukum, sehingga memudahkan bagi
pengacara atau penasehat hukum melakukan reset hukum dalam
rangka mencari solusi atau pendapat hukum atas persoalan
hukum yang dihadapi oleh klien. Dalam konteks, praktik
mewawancarai klien yang dilakukan oleh mahasiswa Klinik
Hukum Perdata beberapa etika yang wajib diterapkan adalah :
a. Setiap mahasiswa wajib menjaga kerahasiaan informasi
dan dokumen terkait kasus yang ditangani oleh klinik;
b. Setiap mahasiswa wajib menjaga kerahasiaan klien dan
mitra;
c. Mahasiswa yang sedang kuliah praktik di kantor Mitra,
dan mendapat kesempatan mendampingi Advokat pada
kantor Mitra dalam mewawancarai klien dalam kasus yang
riil terjadi dalam masyarakat wajib menjaga kerahasiaan
klien dan informasinya selama dalam proses wawancara
klien.
d. Mahasiswa mengenakan pakaian yang formal dalam
mewawancarai klien agar terbangun situasi professional
dan mambangun sikap mahasiswa agar tidak berperilaku
yang kurang baik.

47
4. Praktik Role Play Mewawancarai Klien

Tugas dalam Planning Component :


Mahasiswa Peserta Klinik Hukum Perdata dibagi dalam group-group, ada
yang berperan sebagai Pengacara, ada yang berperan sebagai pihak Tergugat
dalam perkara perdata wanprestasi, dan ada yang berperan sebagai Penggugat
yang datang ke Kantor Hukum anda.
Buatlah Surat Kuasa Khusus dari penggugat yang memberikan Kuasa Khusus
kepada Kantor Hukum anda berkaitan dengan gugatan perkara wanprestasi
yang diajukan oleh penggugat.

ROLE PLAY :
Praktik mewawancarai klien, yaitu penggugat yang memberikan kuasa
khusus kepada pengacara / kantor hukum. Group yang berperan sebagai
pihak pengacara dan group mahasiswa yang berperan sebagai penggugat
memainkan peran (Role Play) dalam sesi wawancara klien. Kemudian Group
mahasiswa yang berperan sebagai pengacara, praktik membuat Surat Kuasa
Khusus sesuai dengan hasil wawancara.

48
BAB IV
PENGEMBANGAN PRACTICAL LEGAL
SKILL PADA MITRA
Model In-House-External Clinic Experiential
Component Experiential Component

1. Pendahuluan
Pada tahapan Planning Component, melalui metode
pembelajaran interaktif-refleftif seperti bermain peran (Role
Play), Simulasi (Simulation), Diskusi Kelompok (Group Discussion),
serta Peradilan Semu (Moot Court), diharapkan mahasiswa sudah
memiliki pengalaman praktik dalam mewawancarai klien,
menulis Surat Kuasa, serta membuat atau menyusun Surat
Gugatan untuk diajukan ke Pengadilan Negeri.
Peningkatan kemampuan Lawyering Skillmahasiswa tidak
cukup didapatkan hanya melalui proses pembelajaran Role
Play maupun Moot Court di kampus, namun sangat penting
untuk mendapatkan pengalaman Practical Skill – Lawyering
Skill yang berkaitan langsung dengan kasus-kasus atau perkara-
perkara perdata yang riil terjadi dan dihadapi oleh masyarakat.
Pengalaman praktik akan dapat diperoleh mahasiswa melalui
tahapan perkuliahan Experiential Component yang berbasis
metode Interaktif-Reflektif di tempat institusi mitra seperti
Pengadilan Negeri maupun Kantor Pengacara. Dengan demikian
setelah mendapatkan proses pembelajaran pada tahapan
Planning Component, mahasiswa akan melanjutkan tahapan
pembelajaranny dalam komponen Experiential Component,
yaitu kuliah praktik di Kantor Hukum para Mitra maupun di
Pengadilan Negeri. Capaian pembelajaran dalam sesi proses
belajar mengajar pada tahapan ini adalah mahasiswa diharapkan
mampu mewawancarai klien, mampu membuat dokumen hukum
yang diperlukan dalam mengajukan perkara ke Pengadilan
negeri, mampu mendampingi klien dalam proses berperkara di
pengadilan dengan berpegang pada profesionalisme, knowledge
dan value, serta lawyering skill.

49
2. Kuliah Praktik di Kantor Hukum Mitra
Klinik Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas
Udayana memiliki beberapa Mitra Kantor Hukum, diantaranya
Kantor Hukum “Arjaya & Umi Martina Law Office” dan “Wayan
Purwita & Associate Law Office”. Setelah kurang lebih tiga (3)
tahun, yaitu sejak tahun 2013 Klinik Hukum Perdata FH UNUD
bermitra dengan Kantor Hukum “Arjaya & Umi Martina Law
Office” dalam penyelenggaraan Mata Kuliah Klinik Hukum
Perdata, khususnya pada tahapan Experiential Component,
mahasiswa diberi kesempatan pengalaman praktik secara
langsung untuk diikutkan dalam penanganan perkara perdata
yang diajukan ke Pengadilan Negeri, salah satunya adalah proses
praktik sidang perkara wanprestasi di Pengadilan Negeri. Menurt
Made Nardhi, salah seorang parther pengacara dalam “Arjaya &
Umi Martina Law Office” mengemukakan bahwa pengalaman-
pengalaman praktik, yaitu Lawyering Skill yang diberikan kepada
mahasiswa salah satunya adalah proses praktek sidang perkara
wanprestasi di Pengadilan Negeri Denpasar dengan tahapan-
tahapannya beserta nilai-nilai etika yang senantiasa harus
diindahkan selama mahasiswa ikut serta dalam proses beracara
di Pengadilan Negeri sebagai tahapan proses pembelajaran
praktik hukum .36
Tahapan-tahapanserta pengalaman-pengalaman praktik
menurut Made Nardhi sebagai berikut37: masyarakat dalam
menjalani kehidupannya sering mengalami masalah-masalah
hukum yang berawaldari ada perjanjian yang merekabuat dengan
pihak lain.
Bagi pihak yang merasa dirugikan ataswan prestasi yang
dilakukan oleh pihak lain mereka akan berkonsultasi ke Kantor
Advokat. Di dalam kantor advokat tersebut seorang advokat
akan memberikan penjelasan tentang masalah ingkar janji atau
wanprstasi yang sedang dihadapi oleh seseorang tersebut. Dan
apabila seseorang tersebut mempercayakan kepada advokat
36 Ni Made Nardhi, 2015, Proses Praktik Sidang Perkara Wanprestasi di Pengadilan Negeri
Denpasar, Materi Kuliah Praktik Bagi Mahasiswa Klinik Hukum Perdata, hlm. 1-8.
37 Ibid.

50
untuk menyelasaikan masalah yang dihadapinya maka orang
tersebut akan memberikan surat kuasa kepada advokat untuk
mewakilinya membuat dan mengajukan gugatan wanprestasi ke
PengadilanNegeri.
Suratkuasa yang sudah diberikan oleh pemberi kuasa tersebut
didaftarkan di Pengadilan Negeri pada bagian hukum dan setelah
mendapatkan nomor register lalu surat kuasa tersebut dipakai
sebagai lampiran didalam mendaftarkan Gugatan wanprestasi
padabagian perdata. Pada saat melakukan pendaftaran Gugatan
wanprestasi tersebut, gugatan akan diperiksa terlebih dahulu
oleh Panmud bagian perdata lalu ditandatangani. Di meja kasir
akan di berikan SKUM untuk melakukan pembayaran biaya
perkara, biasanya biaya perkara tersebut di bayar di Bank BNI,
lalu slip pembayaran tersebut dipakai buktiu ntuk mendaftarkan
gugatan wanprestasi, serta akan diberikan nomor register perkara.
Setelah kurang lebih dua minggu maka ditetapkanlah Hakim
Majelis yang akan menyidangkan perkara yang telah didaftarkan
tersebut. Para pihak akan dipanggil secara patut yaitu paling
lambat tiga hari sebelum hari sidang. Pada saat sidang pertama
perkara wanprestasi dilaksanakan Majelis Hakim akan membuka
persidangan, dan menanyakan kebenaran identitas para pihak.
Pada persidangan pertama, Majelis hakim wajib
memberitahukan kepada para pihak agar mereka mau berdamai
melalui proses mediasi sebagaimana yang diaturdalam PERMA
NO : 2 tahun 2003, serta menanyakan pula kepada para pihak
apakah para pihak akan menunjuk Mediator sendiri atau
menyerahkan kepada Majelis Hakim. Apabila para pihak
menyerahkan kepada Majelis Hakim maka Majelis Hakim
akan menunjuk dan menetapkan Mediator dari salah satu
hakim yang ada pada Pengadilan Negeri tersebut yang telah
mempunyai sertipikat Mediator. Waktu mediasi adalah selama
40 hari apabila dianggap belum cukup maka mediator akan
memberikan perpanjangan waktu sampai 14 hari. Tetapi apabila
para pihak tidak mau berdamai, walaupun waktu 40 hari belum
tercapai maka proses mediasi dianggap gagal dan Mediator akan

51
melaporkan kepada Majelis Hakim, bahwa proses mediasi gagal
dan persidangan akan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan.
Setelah gugatan wanprestasi dibacakan oleh Penggugat
atau Kuasanya, Majelis Hakim akan memberikan kesempatan
kepada Pihak Tergugat atau kuasanya, untuk mengajukan
jawaban secara tertulis selama satu minggu. Biasanya dalam
jawaban gugatan tersebut juga bias dibarengi dengan eksepsi
yaitu keberatan dariTergugat terhadap gugatan tersebut.
Dalam eksepsi biasanya berisi tentang keberatan Tergugat
akan kewenangan mengadili baik kewenangan absolute maupun
kewenangan relative atau bias juga keberatan tentang syarat-
syarat atau formalitas gugatan. Mengenai eksepsi tersebut diatur
dalam pasal 134 HIR untuk eksepsi absolute dan pasal 125 ayat
(2) jo. pasal 133 dan pasal 136 HIR. Setelah Tergugat membacakan
eksepsi dan jawaban gugatan tersebut, maka Majelis Hakim
juga akan memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk
menanggapi jawaban gugatan dariTergugat secara tertulis
yang disebut dengan Replik, setelah replik dibaca dan diajukan
pada persidangan yang telah ditentukan, maka Majelis Hakim
memberikan kesempatan kepada Tergugat untuk menanggapi
Replik dari Penggugat secara tertulis yang disebut Duplik.
Setelah persidangan jawab menjawab dianggap cukup oleh
Majelis Hakim, maka persidangan berikutnya akan dilanjutkan
dengan agenda pembuktian dari kedua belah pihak, biasanya
Majelis Hakim memberikan kepada Pihak Penggugat untuk
melakukan pembuktian terlebih dahulu baik berupa bukti surat
maupun saksi-saksi, selanjutnya pada persidangan berikutnya
baru Pihak Tergugat diberikan untuk mengajukan pembuktian,
baik buktisurat-surat maupun saksi-saksi. Apabila dipandang
perlu oleh para pihak maupunMajelis Hakim, maka dalam
siding berikutnya akan diajukan Saksi ahli untuk didengarkan
keterangannya dalam persidangan. Apabila perkara wanprestasi
tersebut menyangkut masalah tanah, dan jika dipandang perlu
untuk melakukan persidangan setempat oleh Majelis hakim
maka Majelis Hakim akan memerintahkan kepada para pihak

52
untuk melakukan persidangan ditempat tanah sengketa.
Setelah persidangan setempat akan dilanjutkan dengan agenda
persidangan berikutnya yaitu mengajukan Kesimpulan, kedua
belah pihak atas perintah Majelis Hakim akan mengajukan
Kesimpulan tentang persidangan yang telah dilakukan kepada
Mejelis Hakim.
Setelah Majelis hakim menerima Kesimpulan dari para
pihak maka dua minggu kemudian sidang akan dilanjutkan
dengan Pembacaan Putusan oleh Majelis Hakim yang
menyidangkan perkara Wanprestasi tersebut. Apabila salah
satu pihak yang dikalahkan tidak menerima dari Putusan
tersebut maka pihak yang kalah akan melakukan upaya hukum
selanjutnya yaitu berupa Banding ke Pengadilan Tinggi. Waktu
untuk melakukan upaya banding tersebut adalah 14 hari setelah
Putusan dibacakan.

Evaluation- Reflection
Mahasiswa merefleksikan pengalaman yang telah diperoleh di lapangan
dan melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah dilakukan berdasarkan
pengarahan dari dosen pembimbing (Mariana berbec-Rostas, 2007: 22 dalam
Tomi Suryo Utomo, 2015: 9.

TUGAS AKHIR

Buatlah laporan akhir dari proses perkuliahan Klinik Hukum Perdata,


terutama pengalaman praktik selama mengikuti proses Planning Component,
Experiential Component dan Reflection Component.

Draft Laporan secara garis besar memuat:


• Pengalaman praktik (role play, group discussion, case analysis) serta
refleksi yang dilakukan dalam tahapan Planning Component.
• Pengalaman praktik selama mengikuti Experiential Component di
institusi mitra.
• Kode Etik yang dipraktikkan baik selama Planning maupun Experiential
Component

53
BAB V
KEGIATAN SOSIALISASI HUKUM MELALUI MODEL
STREET LAW CLINIC (PLANNING COMPONENT)

1. Pendahuluan
Dalam Proses pembelajarn Klinik Hukum Perdata di satu
sisi, model In-House Clinic-External Clinic, penekanannya adalah
pada penaganan kasus-kasus hukum baik yang sudah menjadi
sengketa hukum yang diajukan ke Pengadilan maupun persoalan
hukum yang telah dihadapi masyarakat, dan membutuhkan
konsultasi hukum yang dapat diberikan oleh Advokat, Konsultan
Hukum, ataupun pengacara. Secara singkat dalam konteks ini
telah terjadi sengketa hukum bisa bentuknya perbuatan melawan
huku, ataupun wan prestasi. Sementara itu, di sisi lain, model
Street Law Clinic, penekanannya adalah pada proses mencegah
terjadinya pelanggaran hukum, memberi sosialisasi kepada
masyarakat agar memahami hukum, mengerti akan hukum,
sehingga mentaati hukum, kesadaran hukum masyarakat
meningkat, sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran
hukum, ataupun dapat mencegah terjadinya sengketa hukum.
Dalam pembelajaran dengan Model Street Law ini, mahasiswa
diajak untuk secara langsung praktik mensosialisasikan ilmu-ilmu
hukum yang diperolehnya (tataran knowledge) seperti misalnya
tentang perlindungan konsumen, transaksi online, persoalan
hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual, misalnya soal
perlindungan lagu atau musik, untuk disosialisasikan, ataupun
didiseminasikan kepada anak-anak sekolah maupun masyarakat
pada umumnya. Mahasiswa praktik mensosialisasikan materi
hukum (tataran skill). Dalam mensosialisasikan materi hukum,
mahasiswa mengindahkan value yang ada, misalnya bekerja
sebagai Tim, sikap ketika melakukan penyulusan, prilaku yang
loyal dengan social justice, peduli terhadap persoalan-persolan
hukum yang terjadi di masyarakat termasuk yang mungkin
dihadapi oleh anak-anak sekolah, keseluruhannya contoh-contoh
tersebut, sarat dengan nilai-nilai (vaues).

54
Capaian pembelajaran dalam Klinik Hukum Perdata dengan
model Street Law Clinic, pada akhir perkuliahan mahasiswa
memiliki kemampuan serta pengalaman praktik secara riil
melakukan penyuluhan hukum yang berbasis knowledge, skill dan
value yang social justice.

2. Konsep Street Law Clinic dan Keterkaitannya Dengan


Social Justice dan Access To Justice
Street Law Clinic, sebagai salah satu model dalam pembelajaran
Klinik Hukum, termasuk didalamnya Klinik Hukum Perdata,
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya penekanannya
adalah pada amengajak mahasiswa memiliki pengalaman
praktik dalam melakukan penyuluhan hukum, sosialisasi materi
hukum, sebagai bagian-bagian dari rsa tanggungjawab sosial
mahsiswa kepada masyarakatnya agar memiliki pengetahuan
hukum, kesadaran hukum dan pada akhirnya mentaati hukum.
Kegiatan dengan model Street law Clinic ini, yaitu mahasiswa
terjun ke masyarakat-masyarakat termasuk ke sekolah-sekolah
dalam melakukan penyuluhan hukum, sangat berkaitan erat
dengan kegiatan social justice maupun access to justice. Dalam
kehidupan di masyarakat sudah seyogyanya setiap masyarakat
memperoleh keadilan sosial, srta setiap memperoleh akses untuk
mendapatkan keadilan (access to justice). Sehubungan dengan
tujuan tersebut, maka penyuluhan hukum melalui Model Street
Law Clinic, merupakan sarana yang relevan diterapkan, sehingga
sekurang-kurangya masyarakat maupun anak-anak sekolah,
anak-anak remaju mengetahui pengaturan hukum, serta dalam hal
menghadapi persoalan hukum apa hak-ahak dan kewajibannya,
serta kemana mereka harus pergi untuk mendapatkan access
to justice, maupun persoalan-persoalan yng berkaitan dengan
sosial justice. Dalam proses pembelajaran Klinik Hukum (CLE)
di negara-negara maju, seringkali dikaitkan dengan Social Justice
dan Access to Justice.
Di University of Windsor Faculty of Law, mereke
mengembangkan program Klinik Hukum –bantuan hukum

55
dengan menyediakan bantuan atau jasa hukum dan erat
kaitannya dengan social works. Program yang berbasis value
yang dikembangkan tidak hanya Case-by case service namun juga
Community Development Activities, yaitu38 :
• The joint effort of a university law school and a governmental
agency links the clinic to professional education and engagement
with social policy
• Service to low-income communities connotes a commitment both
to access to justice and to social justice
• Interdisciplinary approach combines law with social work
services;
• An inclusive range of services going beyond traditional casework ,
which consists of public legal education, community development
and law reform activities;
• Learning environment suggests a balancing of the mission betwe
service to the community and academic curriculum.

Sosial Justice seringkali diterjemahkan dengan istilah


keadilan sosial. Seyogyanya setiap orang , terutama dalam
kontek Hak Asasi Manusia (HAM) mendapatkan akses untuk
keadilan sosial. Dalam hubungannya dengan Clinical Legal
Education atau Pendidikan Hukum Klinis, Konsep Social
Justice diemukakan sebagai suatu “Fair distribution of health,
housing, welfare, education and legal resources in society, including,
where necessary, the distribution of such resources on an affirmative
action basis to disadvantaged members of the community.”39 Melalui
pembelajaran klinik Hukum, diharapkan realita tentang program
social justice khususnya dalam pendistribusian hukum sebagai
kepada masyarakat di Bali sebagai suatu “kebutuhan” dapat
tercapai dengan baik.
38
Rose Voyvodic and Mary Medcalf, Advancing Social Justice Through an Interdis-
ciplinary Approach to Clinical Legal Education: The Case of Legal Assistance of
Windsor, 14 Wash. U. J. L. & Pol’y101 (2004),, http://openscholarship.wustl.edu/
law_journal_law_policy/vol14/iss1/5, p. 102-103.
39
Cf AM Honore “Social Justice” in R Summer (ed) Essays in Legal Philosophy (1968)
68; dalam David McQuoid-Mason, General Introduction into Street Law and Street Law
Teaching Methods, First Southeast Asian Clinical Legal Education Teachers Train-
ing, January 30-February 3, 2007, diakses tanggal 11 Oktober 2016 di https://www.
opensocietyfoundations.org/sites/default/files/clinic_20070206.pdf, hlm..56.

56
Social Justice,Access to Justice berhubungan erat dengan
hak msyarakat akan bantuan hukum. Dalam konteks Hak Asasi
Manusia, setiap orang berhak untuk memperoleh keadilan (Access
to Justice). Keadilan berhak diperoleh oleh semua orang (justice
for all).40 .Penormaan dari access to justice yang pada dasarnya juga
berkaitan dengan social justice pengaturannya dapat dicermati
berdasarkan ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 D
Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 H Ayat (2) UUD 1945maupun Pasal
281 UUD 1945.

3. Keterkaitan Model Street Law Clinic Dengan Pengabdian


Kepada Masyarakat
Kegiatan Sosialisasi materi hukum atau keiatan desiminsi
materi huku, dalam konteks ini materi hukum keperdataan,
dengan model Street Law Clinic, yaitu mahasiswa praktik dalam
kehidupan yang nyata, riil menjadi penyuluh hukum, sharing
mensosialisasikan peraturan-peraturan hukum di bidang hukum
perdata kepada masyarakat termasuk didalamnya anak-anak
sekolah. Model pembelajaran ini, yang memberi kesempatan
kepada mahasiswa untuk melakukan penyulusahan hukum,
pada intinya tergolong juga bagian-bagian dari social works
yang dilakukan oleh mahasiswa , mereka terjun langsung
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum. Kegiatan
tersebut, sesungguhnya sejalan dengan Community Services
(Pengabdian Kepada Masyarakat), yang sudah sejak dahulu
dilaksanakan oleh Tim Dosen. Perbedaannya, dalam kegitan
Pengabdian kepada Masyarakat, yang memberikan penyuluhan
umumnya adalah para dosen dan mahasiswa yang ikut dalam
tim tersebut sifatnya sebagai pembantu. Sementara itu, dalam
proses pembelajaran Klinik Hukum dengan Model Street Law,
yang memberikan penyuluhan hukum atau sosialisasi hukum
fokusnya adalah mahasiswa peserta didik Klinik Hukum, Tim
dosen sebagai pendamping. Sesungguhnya esensinya sama yaitu
40
Andi Sofyan, 2013, Hukum Acara pidana, Republik Institute, Jakarta, hlm. 129.

57
memberikan penyuluhan hukum, bantuan hukum dan tidak
berbayar sehingga kegiatan Street Law selain berkaitan dengan
Pengabdian Kepada Masyarakat juga berkaitan erat dengan
kegiatan Pro Bono.
Kegiatan Street Law memberikan kesempatan kepada
mahasiswa fakultas hukum dan orang-orang lainnya untuk
membuat masyarakat sadar akan hak-hak mereka di dalam
hukum dan kemana mereka harus pergi guna memperoleh
bantuan hukum. Street Law ini menjelaskan kepada masyarakat
“di jalanan/on the street”Melalui kegiatan dengan model street law,
mahasiswaberkesempatan mensosialisasikan berbagai tematik
dari ketentuan hukum. Kegiatan Street Law dapat berperan
sebagai sarana untuk menjelaskan bagaimana hukum mengatur
apa yang seharusnya masyarakat lakukan pada situasi tertentu,
persoalan hukum apakah yang harus diawasi secara hati-hati dan
bagaimana mereka bisa menyelesaiakan persoalan tersebut.41
Dalam bidang Hukum Perdata misalnya, bisa dipilih topic-
topik yang relevan, yang sedang berkembang dalam masyarakat,
misalnya tentang persoalan hukum berkaitan dengan perkawinan,
berujung pada perceraian, berkaitan dengan perebutan hak
terhadap anak maupun pengakuan terhadap status anak. Topik
lainnya, muisalnya persoalan pembelian barang melalui online
system dan perindungan hukum bagi konsumen, atau persoalan-
persoalan hukum hak kekayaan intelektual, persoalan lisensi
Merek atau persoalan perlindungan lagu dan music dalam
konteks Hak Cipta. Tentu saja berbagai topik dari hukum perdata
kiranya relevan dipilih oleh mahasiswa dibawah bimbingan dosen
pengampu mata kuliah Klinik Hukum Perdata untuk dijadikan
bagian dari experiential component dalam proses pembelajaran
Model Street Law clinic.

41
DJ McQuid-Mason “Reducing Violence in South Africa through “Street Law” Edu-
cation of Citizens” in Gerd Ferdinand Kirchhoff, Ester Kosovski and Hans Joachim
Schneider (eds) Inetrnational Debates of Victimology (1994) p.347-348

58
4. Persiapan Dalam Pelaksanaan Street Law Clinic
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
Street law pada dasarnya bertujuan untuk memberikan bantuan
hukum melalui pemberian edukasi hukum kepada masyarakat
pada level yang paling dasar, khsusnya bagi pihak-pihak yang
yang termarjinalisasi atau membutuhkan bantuan hukum agar
mereka sadar akan keberadaan hukum yang bisa melindungi
hak-hak mereka, maka kegiatan Street Law yang salah satu bentuk
kongkrit kegiatannya social justice berupa bantuan hukum adalah
berupa sosialisasi hukum, sangat penting untuk dilaksanakan
dengan suatu kesadaran penuh melakukan kegiatan-kegiatan
social justice, pro bono yang tidak semata-mata mengedpankan
knowledge, namun juga skill dan value.
Dalam pelaksanaan Street Law ini, penting dilakukan
persiapan-persiapan oleh mahasiswa dibawah bimbingan
dosen. Seperti misalnya, memetakan tentang materi hukum apa
yng akan disosialisasikan, untuk itu penting melakukan reset
mendalam tentang materi tersebut, agar nantinya etika terjun ke
lapangan msyarakat atau ke sekolah-sekolah, mahasiswa benar-
benar mampu menjadi penyuluh yang professional. Pemetaan
lainnya yang penting dilakukan adalah kemana akan sosialisasi,
siapa peserta yang akan mengikuti sosialisasi, mahasiswa penting
untuk memetakannya dengan baik sebagai bagaian dari proses
pembelajaran dalam tataran Planning Component. Selanjutnya tentu
saja, mempersiapkan materi, apakah itu bentuknya power point,
atau bentuk penyajian materi lainnya tergantung dari metode
sosialisai yang dipergunakan. Kegiatan sosialisasi ke msyarakat,
David Tushaus, menyebutnya dengan istilah community needs
assessment. Menurut David Tushaus, mahasiswa penting untuk
memahami serta mengevaluasi elemen-elemen community needs
assessment. Sebagai berikut:42:
1. Institutions in place to resolve disputes
2. Publics’ legal knowledge of rights and responsibilities
42
David Tushaus, Developing Student Research Projects to Improve Human Rights Clinic-
si, Presentasi Power Point disampaikan dalam International Workshop on The Human
Rights Issues Based on Clinical Legal Education Approach,Bali, 25 Agustus 2016.

59
3. Publics’ access to legal representation
4. Publics’ access to a justice to resolve disputes.
5. Fairness of the procedure in place to resolve disputes; dan
6. Enforceability of a dispute resolution from an institution.

5. Persiapan Sosialisasi dan Praktik Role Play


Persiapan dalam rangka pelaksanaan sosialisasi ke
masyarakat atau ke sekolah-sekolah dalam rangka pelaksanaan
Street Law Clinicsangat penting untuk dilakukan dengan sangat
rinci melakukan persiapan seperti :
1. Mengikuti planning component melalui tatap muka di kelas
untuk persiapan substansi materi serta pelatihan mengenai
cara presentasi dan dan memberikan penyuluhan yang
sesuai dengan kebutuhan audience (peserta);
2. Melakukan korespondensi dengan pihak masyarakat yang
akan diberikan edukasi untuk memberikan penjelasan
mengenai tujuan dari kegiatan street law clinic
3. Mempersiapkan dokumen yang berkaitan dengan ijin
dalam rangka melakukan Street Law Clinic, dalam bentuk
sosialisasi hukum
4. Mempersiapkan bahan presentasi yang menarik dan
interaktif, inovatif
5. Mempersiapkan ruangan, laptop, LCD dan persiapan
teknis lainnya dalam rangka praktik Role Play, sebelum
mahasiswa terjun secara riil mempraktikkan menjadi
penyuluh hukum.

60
Role Play
• Mahasiswa dibagi menjadi beberapa group, masing-msing group
maksimal 5 orang, agar mempraktikkan presentasi materi hukum
yang telah dipilih dan dibuat tayangan powe pointnya.
• Dalam satu tim group presentasi agar dipilih yang menjadi
pembawa acara , menjadi presenter boleh lebih dari satu orang
secara bergantian berpresentsi agar suasananya hidup dan tidak
kaku dan pasif,kemudian ada yang bertugas menjadi notulen untuk
kepentingan pelaporan
• Group yang tidak berpresentasi berperan sebagai murid-murid
sekolah atau masyarakat yang akan diberikan penyuluhan, dan
berperan aktif untuk bertanya.
• Group presenter agar menyimak dan mempersiapkan sebaik
mungkin , belajar dari pertanyaan pertanyaan yang diajukan selama
praktik Role Play.

61
BAB VI
PRAKTIK SOSIALISASI HUKUM
PERDATA MELALUI MODEL
STREET LAW CLINIC
(PLANNING COMPONENT)

1. Pendahuluan
Street Law Clinic secara sederhana dapat dipahami sebagai
suatu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada
mahasiswa berpraktik langsung mensosialisasikan materi-materi
hukum dalam situasi yang riil, nyata kepada masyarakat maupun
anak-anak sekolah. Capaian pembelajaran dalam kegiatan
experiential component ini adalah mahasiswa diharapkan mampu
secara professional menjadi penyuluh hukum, pensosialisasi
hukum, yang pada akhirnya memiliki kepekaan yang tinggi
terhadap persoalan-persoalan social justice, bantuan hukum
cuma-cuma (Pro Bono) maupun peduli terhadap Access to Justice
yang mungkin belum merata dapat diakss oleh setiap orang
dalam memperjuangkan keadilan.

2. Pelaksanaan Street Law Clinic di Sekolah-Sekolah Atau


Masyarakat
Kegiatan praktik mensosialisasikan materi hukum
maupun ketentuan hukum baik terjun langsung ke masyarakat
ataupun ke sekolah-sekolah didampingi oleh dosen pengampu
Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata. Mahasiswa dalam praktik
mensosialisasikan hukum dapat memilih metode yang akan
dipergunakan untuk sosialisasi sesuai yang telah dilatih dalam
Role Play :
a. Mensosialisasikan materi hukum dengan metode power
point presentation
b. Atau menggunakan model ”Metode /Gaya Warungan”,
dalam hal ini peserta yang diberikan sosialisasi diajak
secara aktif bergroup untuk juga mempersiapkan materi,
kemudian berpresentasi terhadap group lainnya.

62
Dengan praktik langsung mensosialisasikan materi hukum
tertentu misalnya tentang Belanja online dikalangan anak-anak
muda atau anak-anak sekolah, mahasiswa akan secara riil dapat
mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang telah dipelajariny
kepada anak-anak sekolah atau masyarakat yng memang
membutuhkan pengetahuan hukum tersebut agar kepatuhannya
terhadap hukum menjadi lebih baik.

3. Pembuatan Laporan Street Law Clinic Sebagai Bentuk


Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kegiatan
Street Law yang dilakukan dalam rangka proses pembelajaran
Klinik Hukum, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan
Pengabdian Masyarakat sebagai salah satu Tri Dharma perguuan
tinggi yang umumnya dilakukan oleh para dosen. Perbedaannya
halah pada siapa yang melakukan penyuluhan, dalam Street
Law Clinic, mahasiswa menjadi penyuluhnya, bukan dosen yang
menjadi penyuluh. Dengan demikian sesungguhnya kegiatan
Street Law Clinic juga sekaligus membrikan ruang bagi mahasiswa
untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan Pengabdian
Kepada Masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, penting
bagi mahasiswa untuk menyusun Laporan Pelaksanaan Kegiatan
Pengabdian Masyarakat sebagai bentuk Laporan dalam rangka
pelaksanaan Street Law Clinic. Dalam proses penulisan laporan
kegiatan, mahasiswa dibimbing oleh dosen pengasuh mata kuliah
klinik Hukum Perdata, selain menghasilkan Laporan tertulis juga
berupa dokumentasi baik foto maupun Video.

4. Evaluasi dan Refleksi


Kegiatan Street Lawdalam Klinik Hukum Perdata FH
UNUD akan diakhiri dengan proses evaluasi dan refleksi.
Proses ini mencakup pelaporan yang dilakukan secara tertulis
oleh mahasiswa klinik hukum atas serangkaian kegiatan yang
dilakukannya dimulai dari tahap planning hingga experiential
component beserta pelaporan dalam bentuk Video atau foto-foo.

63
Evaluasi juga dilakukan dalam bentuk Ujian tengah Semester
dan Ujia Akhir Semester. Selain dilakukan evaluasi, dalam
proses pembelajaran Klinik Hukum Perdata juga sangat penting
dilakukan kegiatan Reflection, jadi secara utuh komponennya
adalah Evaluation & Reflection.

64
DAFTAR BACAAN

Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya


Bakti, Bandung
Edi As Adi, 2012, Hukum Acara Perdata Dalam Persfektif Mediasi
ADR Di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education) Sebuah
Gerakan Global, Materi Pelatihan Klinik Hukum.
Gunawan Widjaja, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja
Grafindo, Jakarta
Handout Proses Beracara di PN, Pengadilan Niaga, ADR
James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal Education in
University Law School: the UK Perspective, International
Journal of Clinical legal Education, ISSN 1467-1062.
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase),
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma Dan
Praktik di Peradilan, Prenada Media Group, Jakarta
M. Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Sinar
Grafika, Jakarta
Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit dalam Teori Dan Praktik, Citra
Aditya Bakti, Bandung
Sophar Maru Hutagalung, 2012, Praktik Peradilan Perdata dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi, Kerjasama Canadian International
Devolvement Agency –departemen Agama-McGill
University-IAIN Banda Aceh
Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal Education, Materi
Workshop pengembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik

65
Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-
15 April 2015, FH UNUD Denpasar Bali.
Victorianus MH Randa Paung, 2011, Penerapan Asas Pembuktian
Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit, Sarana tutorial
Nurani Sjahtra, Bandung
Vaidya Gullapalli, 2012, Transforming Clinical legal Education: An
Opening for Dialogue, Journal Social Change, Vol 34, Issues
8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication, Washington DC
Wahju Muljono, 2012, Teori &Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia,
Pustaka Yustisia, Jakarta

REGULASI

1. HIR /RBG
2. BW / Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3. Undang-Undang Ni. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawi-
nan
4. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah
5. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jami-
nan Fidusia
6. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perse-
roan Terbatas
7. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penana-
man Modal

ETIKA PROFESI

1. Keputusan Bersama Ketua MA RI No. 047/KMA/SKB/


IV/2009 dan Komisi Yudisial RI No. 02/SKB/P.KY/
IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Ha-
kim
2. Etika Profesi dan Kode Etik Advokat
3. Role Play Etika Profesi menjadi seorang Advokat atau
Konsultan Hukum Dalam Menangani Klien

66
PUTUSAN PENGADILAN

1. Putusan Perkara Nomor : 37/Pdt.G/2012/PN.Tbn.


2. Putusan Perkara Nomor : 79 /Pdt.G/2012/PN.Tbn.
3. Putusan Nomor : 04/PKPU/2009/P.N.-Niaga Sby

67
LAMPIRAN I

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA





KODE ETIK
ADVOKAT INDONESIA



IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) ASOSIASI


ADVOKAT INDONESIA (AAI) IKATAN PENASEHAT
HUKUM INDONESIA (IPHI) HIMPUNAN ADVOKAT &
PENGACARA INDONESIA (HAPI) SERIKAT PENGACARA
INDONESIA (SPI) ASOSIASI KONSULTAN HUKUM
INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM
PASAR MODAL (HKHPM)


DISAHKAN PADA TANGGAL:


23 MEI 2002


DI SALIN DAN DIPERBANYAK OLEH:
PANITIA DAERAH UJIAN KODE ETIK ADVOKAT
INDONESIA DKI JAKARTA 2002

68
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
PEMBUKAAN
Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik
yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan
perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam
menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam
menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum,
undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang
didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang
berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan
dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak
hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya,
oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara
teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.
Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan
martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi
Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh
Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya
telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari
organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang
pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan
dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai
hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin
dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap
Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan
profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat
dan terutama kepada dirinya sendiri.

69
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Yang dimaksud dengan:
a. Advokat adalah orang yang berpraktik memberi jasa
hukum, baik didalam maupun diluar   pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang
yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat
Hukum, Pengacara praktik ataupun sebagai konsultan
hukum.
b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang
menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.
c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan
praktik hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan
berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktik
hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang
dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi
dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik
Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak
menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang
Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.
f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai
imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau
perjanjian dengan kliennya.

BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT
Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam

70
mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang
tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya
menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik
Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan
bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa
dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena
tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan
hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan
karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan,
jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan
semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi
lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan
Keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan
mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib
memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara
Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman
sejawat.
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan
hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa
dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau
karena penunjukan organisasi profesi.
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain
yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat
Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap
sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan
hak dan martabat advokat.

71
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk
menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif
dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktik sebagai
Advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan
atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun
dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama
ia menduduki jabatan tersebut.

BAB III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN

Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus
mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang
dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang
diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya
bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib
mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-
biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus
memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara
untuk mana ia menerima uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut
keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal
yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib
tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan
antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas
yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak
menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan

72
dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki
lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua
pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari
pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila
dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak
akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.

BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT

Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi
sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling
mempercayai.
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika
berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan,
hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan
baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat
yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat
harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa
dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa
atau cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut
seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat
yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah
menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada
Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien
untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap
Advokat semula.

73
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien
terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib
memberikan kepadanya semua surat dan keterangan
yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan
memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien
tersebut.

BAB V
TENTANG SEJAWAT ASING

Pasal 6
Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia
tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.

BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA

Pasal 7
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman
sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada
hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang
bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan “Sans
Prejudice “.
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya
perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil,
tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka
pengadilan.
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat
hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama
dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan
surat, termasuk surat yang bersifat “ad informandum”
maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut
wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat
pihak lawan.

74
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat
hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama
dengan jaksa penuntut umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau
mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan
dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum
dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah
menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka
hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu
tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau
pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan
dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang
menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka
maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara
proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki
imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan
bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang
yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang
putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani
kepada kliennya pada waktunya.

BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK

Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat
(officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi
selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa
dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada
dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode
Etik ini.Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik

75
perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan
papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang
b. berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan
di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan
martabat Advokat.
d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan
Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di
papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang
bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya
sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-
karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus
perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan
lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari
publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian
masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai
Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah
ditanganinya, kecuali apabila keteranganketerangan yang
ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip
hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan
dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak
dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara
dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai
Hakim atau Panitera dari suatulembaga peradilan, tidak
dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang
diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3
(tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.

76
BAB VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK
Pasal 9
a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik
Advokat ini.
b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini
dilakukan oleh Dewan Kehormatan.

BAB IX
DEWAN KEHORMATAN

Bagian Pertama
KETENTUAN UMUM

Pasal 10
1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran Kode Etik  yang dilakukan oleh
Advokat.
2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui
dua tingkat, yaitu:
a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan
pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada
tingkat terakhir.
4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:
a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu sebagai
anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan
Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota;
c. Pengadu/Teradu.

77
Bagian Kedua
PENGADUAN

Pasal 11
1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:
a. Klien.
b. Teman sejawat Advokat.
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota Masyarakat.
e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi
profesi dimana Teradu menjadi anggota.
2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan
Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga
bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut 
epentingan hukum dan kepentingan umum dan yang
dipersamakan untuk itu.
3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai
pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.

Bagian Ketiga
TATA CARA PENGADUAN

Pasal 12
1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap
melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara
tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan
Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu
menjadi anggota.
2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah
Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan
Pimpinan Pusat.
3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan
Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah

78
meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan
Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan
Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang
untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau
melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.

Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN
KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal 13
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima
pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang
dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan
selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang
adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy
surat pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu)
hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara
tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap
perlu.
3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu
tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua
dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap
tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah
melepaskan hak jawabnya.
4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban
sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan

79
hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat
segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak
yang bersangkutan.
5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka
Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan
menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu
dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah
ditetapkan tersebut.
6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh
yang bersangkutan paling tambat 3 (tiga) hari sebelum hari
sidang yang ditentukan.
7. Pengadu dan yang teradu:
a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat
menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki
masing-masing dapat didampingi oleh penasehat.
b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-
bukti.
8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:
a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara
pemeriksaan yang berlaku;
b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan
yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan
pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan
langsung dengan kepentingan organisasi atau
umum, dimana pengadu akan mencabut kembali
pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang
dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan
hukum yang pasti.
c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-
alasan pengaduannya atau pembelaannya secara
bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa
dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah.

80
9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak
tidak hadir:
a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya
paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil
pihak yang tidak hadir secara patut.
b. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua)
kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan
dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan
pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa
materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan
umum atau kepentingan organisasi.
c. Apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak
datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan diteruskan
tanpa hadirnya teradu.
d. Dewan berwenang untuk memberikan keputusan di
luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan
yang sama seperti keputusan biasa.

Bagian Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal 14
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan
Majelis yang terdiri sekurangkurangnya atas 3 (tiga) orang
anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis,
tetapi harus selalu berjumlah ganjil.
2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau
ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum
serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik
Advokat.
3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin
oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia
berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,

81
4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan
diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara
persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua
Majelis yang menyidangkan perkara itu.
5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan
keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.

Bagian Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pasal 15
(1) Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan,
pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi
maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan
yang dapat berupa:
a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat
diterima;
b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili
serta menjatuhkan sanksisanksi kepada teradu;
c. Menolak pengaduan dari pengadu.
(2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan
yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal
Kode Etik yang dilanggar.
(3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan
suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang
terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari,
tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-
pihak yang bersangkutan.
(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara
berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan
didalam berkas perkara.
(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota
Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani
keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang
bersangkutan.

82
Bagian Ketujuh
SANKSI-SANKSI

Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat
pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak
berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat
atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik
dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang
pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu
bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak
mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan
kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi
berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan
pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi
bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan
maksud dan tujuan merusak citra serta martabat
kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung
tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi
advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian
sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan
dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada
Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam
daftar Advokat.

83
Bagian Kedelapan
PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN

Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah
keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan
Cabang/Daerah harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu;
b. Pengadu;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi
profesi;
d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi
profesi;
e. Dewan Kehormatan Pusat;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan
telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Bagian Kesembilan
PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN
KEHORMATAN PUSAT

Pasal 18
1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan
permohonan banding atas keputusan tersebut kepada
Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding
yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima
salinan keputusan.
3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima
Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui

84
surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku
terbanding.
4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori
Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak
menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah
melepaskan haknya untuk itu.
6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang
diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan
Pusat.
7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya
pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah.
8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan
Majelis yang terdiri sekurangkurangnya 3 (tiga) orang
anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah
satu merangkap Ketua Majelis.
9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau
ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum
serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik
Advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat
yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua
Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh
anggota Dewan lainnya yang tertua.
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan
yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu
dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang
bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya
sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima
permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara

85
yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan
dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung
oleh Dewan Kehormatan Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada
tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah,
mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat
banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN

Pasal 19
1. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah
atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah dengan memutus sendiri.
2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan
tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan
atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan
waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-
pihak yang bersangkutan.
3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan
mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum
manapun, termasuk dalam MUNAS.
4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan
Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai
pembanding ataupun terbanding;
b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun
terbanding;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang bersangkutan;
d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
bersangkutan;
e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi
profesi;

86
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.
5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan
Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta
kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi untuk
memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan
organisasi profesi.

Bagian Kesebelas
KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN

Pasal 20
Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang
telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan
atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan
kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/
Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap
anggota dari masing-masing organisasi.

BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN

Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan
Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan
profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang
diberlakukan dan berlaku di Indonesia.

BAB XI
ATURAN PERALIHAN

Pasal 22
1. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja
Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh
Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat

87
Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia
(IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI),
Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan
Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku
bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di
Indonesia tanpa terkecuali.
2. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu
organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini.
3. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-
organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai
dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002
dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan
lembaga-lembaga Negara dan pemerintah.
4. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal
ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan
Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan
dengan Kode Etik Advokat ini.

Pasal 23
Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan
belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau
dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus
berdasarkan Kode Etik Advokat ini.

BAB XXII
PENUTUP

Pasal 24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-
undang tentang Advokat
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Mei 2002
Oleh :

88
1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN)
Ttd.                                                             Ttd.
H. Sudjono, S.H.                                  Otto Hasibuan, S.H. MM.
         Ketua Umum                                          Sekretaris Jenderal

2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI)


Ttd.                                           Ttd.
Denny Kailimang, S.H.                Teddy Soemantry, S.H.
Ketua Umum                             Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)
  Ttd.                                                        Ttd.
H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E.         Suherman Kartadinata, S.H.
Ketua Umum                                    Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)
Ttd.                                          Ttd.
Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.
Sekretaris/Caretaker Ketua              Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL
Ttd.                                           Ttd.
Soemarjono S., S.H.                   Hafzan Taher, S.H.
Ketua Umum                          Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)
Ttd.                                                         Ttd.
Trimedya Panjaitan, S.H.                        Sugeng T. Santoso, S.H.
Ketua Umum                                      Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI)
       Ttd.                                                                 Ttd.
H. A. Z. Arifien Syafe’i, S.H.         Suhardi Somomoeljono, S.H.
Ketua Umum                                       Sekretaris Jenderal

89
LAMPIRAN II

KETUA MAHKAMAH AGUNG


REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 01 TAHUN 2008
Tentang
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses


penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah,
serta dapat memberikan akses yang lebih besar
kepada para pihak menemukan penyelesaian yang
memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
b. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses
beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu
instrument efektif mengatasi masalah penumpukan
perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan
yang bersifat memutus (ajudikatif).
c. Bahwa hukum acara yang berlaku, baik pasal 130 HIR
maupun pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk
menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan
dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam
prosedur berperkara di Pengadilan Negeri.

90
d. Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-
undangan dan memperhatikan wewenang Mahkamah
Agung dalam mengatur acara peradilan yang
belum cukup diatur oleh peraturan perundang-
undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan
kelancaran dalam proses mendamaikan para pibak
untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata,
dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan
Mahkamah Agung.
e. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 tahun
2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan
yang bersumber dari peraturan mahkamah agung
tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No.
2 tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk
lebih mendaya-gunakan mediasi yang terkait dengan
proses berperkara di pengadilan.

Mengingat : 1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia tahun 1945.
2. Reglemen Indonesia yang dipcrbaharui (HIR)
Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukurn
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg)
Staatblad 1927 Nomor 227;
3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Nomor 8
tahun 2004;
4. Undang-undang Nomor l4 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, lembaran Negara Nomor 73
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Alas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkarnah Agung, lembaran Negara Nomor 9
Tahun 2004 dan tambahan lernbaran, Negara No.
4359 Tahun 2004;

91
5. Undang-Undang Nomor 2Tahun 1986 ten tang Peradilan
Umum, lembaran Negara Nomor 20 Tahun t 986,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 ten tang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umurn, Lembaran Negara Nomor 34 Tahun 2004;
6. Undang-undang Nomor 25Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Nomor 206
Tahun 2000.
7. Undang-Undang Nomor 7Tahun 1989 tentang peradilan
Agama, Lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, Lembaran Negara Nomor 22
Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4611.

MEMUTUSKAN :
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini dimaksud dengan :


1. Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2. Akta perdamaian adalah akta yang memuaj isi kesepakatan
perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan
kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada
upaya hukum biasa maupun luar biasa.

92
3. Hakim adalah hakim tunggal atau majeiis hakim yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk
mengadili perkara perdata;
4. Kaukus adalahpertemuan antara mediator dengan salah
satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya;
5. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat
syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna
mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya
perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih
berdasarkan Peraturan ini;
6. Mediator adalah pihal netral yang membantu para
pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan
cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian;
7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator;
8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum
yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan
membawa sengketa mereka ke pengadilan untuk
memperoleh penyelesaian;
9. Prosedur mediasi adalah tahapanproses mediasi
sebagaimana diatur dalam peraturan ini;
10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap
pihak yang memuat duduk perkara dan at au usulan
penyelesaian sengketa;
11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan
bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan ataau
pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang
telah di akreditasi oleh Mahkamah Agung;
12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa perternuan-
pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau
kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang
diizinkan oleh para pihak serta dinamika yang terjadi dalam
pertemuan tidak boleh disampaikan kepada- publik
terkecuali at as izin para pihak.

93
13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam
lingkungan peradilan umurn dan peradilan agama.
14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam
lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.

Pasal 2
Ruang Lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma

(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk


mediasi yang terkait dengan proses berperkara di
Pengadilan.
(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti
prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang
diatur dalam peraturan ini.
(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan
Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg
yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib
menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah
diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan
menyebutkan nama mediator untuk perkara yang
bersangkutan.

Pasal 3
Biaya Pemanggilan Para Pihak

(1) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses


mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak Penggugat
melalui uang panjar biaya perkara.
(2) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya
pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para
pihak.

94
(3) Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, biaya
pemanggilan para pihak dalarn proses mediasi
dibebankan kepada pihak yang oleh hakim dihukum
membayar biaya perkara.

Pasal 4
Jenis Perkara Yang Dimediasi

Kecuali perkara yang diselesaikanmelalui prosedur pengadilan


niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan
atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua
sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama
wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian
dengan bantuan mediator.

Pasal 5
Sertifikasi Mediator

(1) Kecuali keadaan scbagaimana dimaksud pasal 9


ayat (3) dan pasal 11 ayat (6), setiap orang yang
yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya
wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah
mengikuti pelatihan yang diseJenggarakan oleh lembaga
yang telah memperoieh akreditasi dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
(2) Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim,
advokat, akadcmisi hukum dan profesi bukan hukum yang
bersetifikat mediator, hakim di Jingkungan pengadilan
yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi
mediator.
(3) Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus
memenuhi syarat-syarat berikut :
a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia;

95
b. memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki
sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan
mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai
instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi;
c. sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan
pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat
di pengadilan;
d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi
di pengadiian yang disahkan oleh MahkamahAgung
Republik Indonesia.

Pasal 6
Sifat Proses Mediasi

Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak


menghendaki lain.

BAB II
TAHAP PRA MEDIASI

Pasal 7
Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum

(1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri


kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk
menempuh mediasi.
(2) Ketidakhadiran pihak turut Tergugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi.
(3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para
pihak mendorong para pihak, untuk berperan langsung
atau aktif dalam proses mediasi.
(4) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para
pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses
mediasi

96
(5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk
memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh
proses mediasi.
(6) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma
ini kepada para pihak yang bersengketa.

Pasal 8
Hak Para Pihak Memilih Mediator

(1) Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-


pilihan berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan
yang bersangkutan;
b. Advokat atau akademisi hukum;

Pasal 9
(1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua
Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat
sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai
dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman para
mediator
(2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang
telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator
(3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak
ada mediator yang bersertifikat, semua hakim para
pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam
daftar mediator
(4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya
ditempatkan dalam daftar mediator para pengadilan yang
bersangkutan
(5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat,
Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam
daftar mediator
(6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan
memperbarui daftar mediator

97
(7) Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama
mediator dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan
objektif, Antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan
tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran
atas pedoman perilaku

Pasal 10
Honorarium Mediator

(1) Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya


(2) Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh
para pihak berdasarkan kesepakatan para pihak

Pasal 11
Batas Waktu Pemilihan Mediator

(1) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim
mewajibkan para pihak pada hari itujuga atau paling
lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna
memilih mediator tennasuk biaya yang mungkin timbul
akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.
(2) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka
kepada ketua majelis hakim.
(3) Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih
untuk melaksanakan tugas.
(4) Jika setelah jangka wakru maksimal sebagaimana dimaksud
ayat (l) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat
memilih mediator yang dikehendaki maka para pihak
wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator
kepada ketua majelis hakim.
(5) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang
kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera
menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara
yang bersertifikat pada pengadilan yang sarna untuk
menjalankan fungsi mediator.

98
(6) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim
bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, rnaka
Hakim Pemeriksa Pokok Perkara dengan atau tanpa
sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib
menjalankan fungsi mediator.

Pasal 12
Menempuh Mediasi Dengan Itikad Baik

(1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad


baik.
(2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses
mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan
iktikad tidak baik.
BAB III
TAHAP TAHAP PROSES MEDIASI

Pasal 13
Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi

(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kcrja setelah para
pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-rnasing
pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu
sarna lain dan kepada mediator.
(2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para
pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat
mcuyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang
ditunjuk.
(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (em
pat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh
para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasalll ayat (5) dan (6).
(4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka
waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama
14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa
40 (empat puluh) hari scbagaimana dimaksud dalam ayat
3.

99
(5) Jangka waktu proses mediasi tidak tennasuk jangka waktu
pemeriksaan perkara.
(6) Jika diperlukan dan atas dasar \ kesepakatan para pihak,
mediasi dapat di lakukan secara jarak jauh dengan
menggunakan alat komunikasi.

Pasal 14
Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal

(1) Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah


gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa
hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi sesuai jadwal perternuan mediasi
yang telah disepakati atau telah duakali berturut-turut
tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah
dipanggil secara patut.
(2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator
memahami bahwa dalam sengketa yang sedang
dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau
kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan
pihak lain yang tidak disebutkan dalarn surat
gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan
tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses
rnediasi, mediator dapat menyampaikan kepada
para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara
yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan
alasan para pihak tidak lengkap.

Pasal 15
Tugas-Tugas Mediator

(1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan


mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
(2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara
langsung berperan dalam proses mediasi.

100
(3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus.
(4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri
dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai
pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

Pasal 16
Keterlibatan Ahli

(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum,


mediator dapat mengundang seorang atau lebih
ahli dalam bidang: tertentu untuk memberikan
penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
(2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan
tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari
penjelasan dan atau peniJaian seorang ahli.
(3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih
dalarn proses mediasi ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan.

Pasal 17
Mencapai Kesepakatan

(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para


pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara
tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh
para pihak dan mediator.
(2) Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa
hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis
persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
(3) Sebelum para,pihak menandatangani kesepakatan,
mediator memeriksa materi kesepakatan pcrdamaian untuk
menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan
hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang
memuat iktikad tidak baik.

101
(4) Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada
hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian.
(5) Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian
kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian.

(6) Jika para pihak tidak mengkehendaki kesepakatan


perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian,
kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan
gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara
telah selesai.

Pasal 18
Tidak Mencapai Kesepakatan

(1) Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari


kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para
pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena
sebab-sebab yang terkandung dalam pasal 14, mediator
wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses Inediasi telah
gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim.
(2) Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim
melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum
acara yang berlaku.
(3) Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa
perkara tetap berwenang untuk mendorong atau
mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan
putusan .
(4) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) berlangsung paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan
keinginan berdamai kepada pihak hakim pemeriksa
perkara yang bersangkutan.

102
Pasal 19
Keterpisahan Mediasi dan Litigasi

(1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan


dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara
lain.
(2) Catatan mediator wajib dimusnahkan.
(3) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan.
(4) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana
maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil
proses mediasi.

103
BAB IV
TEMPAT PENYELENGGARAAN MEDIASI

Pasal 20

(1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang


PengadiJan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang
disepakati oleh para pihak.
(2) Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di
luarpengadiJan.
(3) Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan
Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.
(4) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di
tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak
berdasarkan kesepakatan.

BAB V
PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASASI,
DAN PENINJAUAN KEMBALI

Pasal 21
(1) Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat rnenempuh
upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam
proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau
terhadap perkara yang diperiksa pad a tingkat banding,
kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum
diputus.
(2) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian
wajib disampaikan sccara tertulis kepada Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama yang mengadili.
(3) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera
memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding
yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang
kehendak para pihak untuk menernpuh perdamaian.

104
(4) Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat
banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim
pemeriksa ditingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali
wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan
selama 14 (ernpat belas) hari kerja sejak menerima
pemberitahuan ten tang kehendak para pihak menernpuh
perdamaian.
(5) Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan
kembali belum dikirirnkan, Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman
berkas atau memori banding, kasasi dan peninjauan kembali
untuk memberi kesempatan para pihak mengupayakan
perdamaian.

105
Pasal 22

(1) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 21


ayat (1) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima
Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud
dalam pasal2l dilaksanakan di pengadilan yang
mengadili perkara tersebut ditingkat pertama atau di
temp at lain atas persetujuan para pihak.
(3) Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua
Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan
menunjuk seorang hakim atau lebih untuk menjadi
mediator.
(4) Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak
boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama,
terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat
Pertama tersebut.
(5) Para pihak melalui Pengadilan Tingkat Pertama dapat
mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis
kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau
peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk
akta perdamaian.
(6) Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim
banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak di catat
dalam register induk perkara.
(7) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (5) peraturan ini, jika para pihak mencapai
kesepakatan perdamaian yang telah diteliti oleh
Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau hakim yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Pertama dan para
pihak menginginkan perdamaian tersebut dikuatkan
dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan kesepakatan

106
perdamaian tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat
banding atau MahkamahAgung.

BAB VI
KESEPAKATAN DI LUAR PENGADILAN

Pasal 23

(1) Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang


berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan
perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk
memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan
gugatan.
(2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan
perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan
ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
(3) Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan
kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian
apabila kesepakatan perdamaian tcrsebut memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi.
e. dengan iktikad baik.

BAB VII
PEDOMAN PERILAKU MEDIATOR DAN INSENTIF

Pasal 24

(1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati


pedoman perilaku mediator.

107
(2) MahkamahAgung menetapkan pedoman perilaku
mediator.

Pasal 25
(1) Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan
bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator.
(2) Mahkamah Agung menerbitkan peraturan mahkamah
agung tentang criteria keberhasilan hakim dan insentif bagi
hakim yang menjalankan fungsi mediator.

BAB VIII
PENUTUP

Pasal 26
Dengan berlakunya peraturan ini, peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 27
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku
sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 31 Juli 2008

KETUA MAHKAMAH AGUNG

TTD.

BAGIR MANAN

108
LAMPIRAN III : SILABUS

SILABUS MATA KULIAH KLINIK HUKUM PERDATA

1. Fakultas/Program Studi : Hukum / Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Klinik Hukum Perdata
3. Kode MK : NAK6212
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 2 sks
6. Mata Kuliah Prasyarat : 1. Hukum Perdata
2. Hukum Acara Perdata
3. Etika dan Tanggung Jawab
Profesi Hukum
7.Deskripsi Mata Kuliah :
Mata kuliah Klinik Hukum Perdata adalah mata kuliah pilihan
dengan bobot 2 SKS dengan kode (NAK6212). Mata kuliah
klinik ini ditawarkan di setiap semester mahasiswa yang telah
berada sekurang-kurangnya di semester 6 yang telah menempuh
mata kuliah Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, Etika dan
Tanggung Jawab Profesi dan dengan IPK sekurang-kurangnya
3.00. Proses belajar mengajar pada Klinik Hukum Perdata
menggunakan metode interaktif dan reflektif dengan komposisi
kurikulum sebagai berikut : 30% Planning Component, 65%
Experential Component dan 5% Evaluation dan Reflection melalui
UTS dan UAS.
Model Klinik yang diterapkan adalah: Model pertama,
gabungan antara In-House Clinic dan External Clinic serta Street
Law Clinic. Capaian Pembelajaran model kombinasi ini adalah
lulusan Klinik Hukum Perdata, mahasiswa diharapkan mampu
praktik membuat surat kuasa, membuat surat gugatan serta
mendampingi Pengacara dalam kasus-kasus nyata yang dihadapi
oleh masyarakat di Pengadilan. Model kedua, yaitu mahasiswa
dalam proses pembelajaran Klinik Hukum Perdata menggunakan
model Street Law Clinic, capaian pembelajarannya setelah selesai
mengikuti kuliah mahasiswa mampu praktik mensosialisasikan

109
materi-materi hukum perdata kepada anak-anak sekolah melalui
model Street Law Clinic, tumbuh kesadaran tentang pentingnya
melakukan pengabdian masyarakat auntuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum serta timbulnya sengketa hukum di
masyarakat, peka terhadap persolan-persoalan Social Justice, Pro
Bono dan Access to Justice.

8. Capaian Pembelajaran
Pada akhir perkuliahan mata kuliah Klinik Hukum Perdata
ini, yang menggunakan model kombinasi In-House Clinic &
External Clinic, mahasiswa diharapkan memahami dan memiliki
kemampuan lawyering skill berkaitan dengan proses dan praktik
beracara perdata di pengadilan, yaitu mulai dari membuat surat
kuasa, membuat surat gugatan serta mendampingi pengacara
dalam kasus-kasus nyata yang dihadapi oleh masyarakat di
Pengadilan. Model kedua, yaitu model Street Law Clinic, capaian
pembelajarannya mahasiswa diharapkan mampu praktik
mensosialisasikan materi-materi hukum perdata kepada anak-
anak sekolah melalui model Street Law Clinic, tumbuh kesadaran
tentang pentingnya melakukan pengabdian masyarakat auntuk
mencegah terjadinya pelanggaran hukum serta timbulnya
sengketa hukum di masyarakat, peka terhadap persolan-
persoalan Social Justice, Pro Bono dan Access to Justice.

9. Bahan Kajian
Bahan kajian mata kuliah Klinik Hukum Perdata terdiri dari
: 1) Pengantar Klinik Hukum Perdata (Planning Component), yang
meliputi : konsep CLE (Clinical Legal Education),Karakteristik CLE
(Clinical Legal Education) - Klinik Hukum, komponen-komponen
dalam pembelajaran CLE (Clinical Legal Education) – Klinik Hukum,
model pembelajaran Klinik Hukum Perdata, Standar Operasional
Prosedur (SOP) dalam melaksanakan perkuliahan Klinik Hukum
Perdata dan kode etik Klinik Hukum Perdata yang meliputi : kode
etik kelembagaan, kode etik pengajar klinik, kode etik mahasiswa,
kode etik Mitra (Dosen Mitra), dan kode etik klien. 2) Proses

110
Beracara Perdata di Pengadilan Negeri, dokumen-dokumen
yang diperlukan dalam beracara di Pengadilan Negeri serta
Praktik pembuatan surat kuasa, surat gugatan, akta perdamaian
dan jawaban gugatan. 3) Praktik Berwawancara dengan Klien,
mencakup : Lawyering Skill dalam mewawancarai klien, Etika
Profesional berkaitan dengan kerahasiaan Klien dan praktik
Role Play mewawancarai klien. 4) Proses Lawyering Skill Pada
Mitra (Experiential Component) : Kuliah Praktik di Kantor-
Kantor Hukum dan Kuliah Praktik di Pengadilan. 5) Kegiatan
Sosialisasi Hukum Melalui ModelStreet Law Clinic (Planning
Component) meliputi : Konsep street law clinic dan keterkaitannya
dengan social justice dan access to justice, keterkaitan street law clinic
dengan pengabdian kepada masyarakat, persiapan sosialisasi
dan Role Play. 6) Praktik Sosialisasi Hukum Perdata melalui
Model Street Law Clinic (Experiential Component) yang terdiri dari :
pelaksanaan Street Law Clinic di sekolah-sekolah atau masyarakat
dan pembuatan laporan Street Law Clinic sebagai bentuk kegiatan
pengabdian kepada masyarakat.

10. Referensi
1) Abdul Manan,2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta
2) Abdulkadir Muhammad,2000, Hukum Acara Perdata
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
3) Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung
4) Andi Sofyan, 2013, Hukum Acara pidana, Republik
Institute, Jakarta
5) Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, 2012, Pengantar Hukum
Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta
6) Darwan Prinst,2002, Strategi Menyusun Dan Menangani
Gugatan Perdata, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung
7) David Tushaus, Developing Student Research Projects to
Improve Human Rights Clinicsi, Presentasi Power Point

111
disampaikan dalam International Workshop on The Human
Rights Issues Based on Clinical Legal Education Approach
8) DJ McQuid-Mason, 1994,“Reducing Violence in South Africa
through “Street Law” Education of Citizens” in Gerd Ferdinand
Kirchhoff, Ester Kosovski and Hans Joachim Schneider
(eds) Interrnational Debates of Victimology
9) E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education)
Sebuah Gerakan Global, Materi Pelatihan Klinik Hukum
10) Edi As Adi, 2012, Hukum Acara Perdata Dalam Persfektif
Mediasi (ADR) di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
11) Gunawan Widjaja, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Raja Grafindo, Jakarta
12) Handout Proses Beracara di PN, Pengadilan Niaga, ADR
13) Huala adolf, 2005, Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO,
Mandar Maju, Bandung
14) J Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung
15) James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal Education
in University Law School : The UK Perspective, International
Journal of Clinical legal Education, ISSN 1467-1062
16) Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian sengketa di
Luar pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase),
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
17) M Hadi Shubhan,2008, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma
Dan Praktik di Peradilan, Prenada Media Group, Jakarta
18) M. Yahya Harahap,2009, Hukum Acara Perdata Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta
19) Munir Fuady,2005, Hukum Pailit dalam Teori Dan Praktik,
Citra Aditya Bakti, Bandung
20) Ni Made Nardhi,2015, Proses Praktik Sidang Perkara
Wanprestasi di Pengadilan Negeri Denpasar, Materi Kuliah
Praktik Bagi Mahasiswa Klinik Hukum Perdata
21) Sophar Maru Hutagalung,2012, Praktik Peradilan Perdata dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta

112
22) Sophar Maru Hutagalung,2012, Praktik Peradilan Perdata
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika,
Jakarta
23) Sudikno Mertokusumo,2006, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta
24) Syahrizal Abbas,2009, Mediasi, Kerjasama Canadian
International Devolvement Agency –departemen Agama-
McGill University-IAIN Banda Aceh
25) Tomi Suryo Utomo,2015, Clinical Legal Education, Materi
Workshop Pengembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik
Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-
15 April 2015, FH UNUD Denpasar Bali
26) Vaidya Gullapalli,2012, Transforming Clinical legal Education:
An Opening for Dialogue, Journal Social Change, Vol 34,
Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication, Washington
DC.
27) Victorianus MH Randa Paung,2011, Penerapan Asas
Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit,
Sarana tutorial Nurani Sjahtra, Bandung
28) Wahju Muljono,2012, Teori &Praktik Peradilan Perdata Di
Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta
29) Yves Braulard,2010, International Insolvency Convention,
Bruylant, Bruxelles
30) Boy Yendra Tamin, 2013, Prinsip dan Teknik Menyusun Replik
danDuplik,http://www.boyyendratamin.com/2013/05/
prinsip-dan-teknik-menyusun-replik-dan.html, diakses
tanggal 15 Mei 2015
31) Cf AM Honore “Social Justice” in R Summer (ed) Essays
in Legal Philosophy (1968) 68; dalam David McQuoid-
Mason, General Introduction into Street Law and Street Law
Teaching Methods, First Southeast Asian Clinical Legal
Education Teachers Training, January 30-February
3, 2007, diakses tanggal 11 Oktober 2016 di https://
www.opensocietyfoundations.org/sites/default/files/
clinic_20070206.pdf

113
32) Roelly Temmawela, Tehnik Wawancara dengan Klien, http://
juristic.tumblr.com/post/52208015341/tehnik-wawancara-
dengan-klien, diakses tanggal 11 Oktober 2016
33) Rose Voyvodic and Mary Medcalf, Advancing Social Justice
Through an Interdisciplinary Approach to Clinical Legal
Education: The Case of Legal Assistance of Windsor, 14 Wash. U.
J. L. & Pol’y101 (2004),, http://openscholarship.wustl.edu/
law_journal_law_policy/vol14/iss1/5
34) Shanti Rachmandsyah, 2010, Kuasa umum atau Kuasa
Khusus, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/
lt4c105a52c629a

Pengampu Mata Kuliah

114
LAMPIRAN IV:
RENCANA PELAKSANAAN SEMESTER (RPS)

RPS PERTEMUAN KE I
PENGANTAR KLINIK HUKUM PERDATA

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Klinik Hukum Perdata
3. Kode MK : NAK 6212
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata, Hukum Acara
Perdata dan Etika Tanggung Jawab
Profesi Hukum

7. Capaian Pembelajaran :
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan
perkuliahan pertama adalah mahasiswa menguasai pengetahuan
dan memahami mengenai konsep CLE (Clinical Legal Education),
perbedaan klinik hukum dengan mata kuliah praktik lainnya,
mengetahui model-model pelaksanaan klinik hukum (Ex House
Clinic/ External Clinic, In House Clinic, and Street Law Clinic) dan
Etika dalam mengikuti perkuliahan Klinik Hukum. Selain
itu, Mahasiswa dapat memahami kode etik mahasiswa dalam
kuliah praktik di tempat mitra kode etik advokat dan kode etik
hakim..

8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menjelaskan kembali konsep CLE dan
perbedaan klinik hukum dengan mata kuliah praktik lainnya
serta mampu menjelaskan model-model pelaksanaan klinik
hukum(Ex House Clinic/ External Clinic, In House Clinic, and
Street Law Clinic) dan Etika dalam Klinik Hukum.
b. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan mengenai
kode etik mahasiswa dalam kuliah praktik di tempat mitra,
kode etik hakim dan kode etik advokat

115
9. Materi Pokok
a. Konsep CLE (Clinical Legal Education), Klinik Hukum
Berbasis Pendidikan Klinis
b. Karakteristik CLE(Clinical Legal Education) - Klinik Hukum
c. Komponen-Komponen Dalam Pembelajaran CLE (Clinical
Legal Education) – Klinik Hukum
d. Model Pembelajaran Klinik Hukum Perdata
e. Standar Operasional Prosedur (SOP) Klinik Hukum
Perdata
f. Kode Etik Klinik Hukum Perdata

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL) dan Interaktif -
Reflektif
c. Teknik: Ceramahan, diskusi, presentasi, role play dan tanya
jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar


a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran


Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran
Waktu
Dosen mengkondisikan mahasiswa 20 menit
untuk siap menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal mahasiswa,
menjelaskan RPS, RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan ulasan
umum tentang konsep CLE (Clinical
Legal Education), klinik hukum berbasis
Pendahuluan
pendidikan klinis, karakteristik klinik
hukum, perbedaan klinik hukum dengan
mata kuliah praktik lainnya, serta model-
model pelaksanaan klinik hukum (Ex
House Clinic/ External Clinic, In House
Clinic, and Street Law Clinic), Etika dalam
Klinik Hukum

116
Dosen melalui slide presentasi 60 menit
dengan menggunakan LCD dan juga
menggunakan white board menjelaskan
mengenai konsep CLE (Clinical Legal
Education), karakteristik klinik hukum,
komponen-komponen CLE (Clinical Legal
Education), serta mengulas tentangkode
etik mahasiswa dalam kuliah praktik di
Kegiatan Inti
tempat mitra, kode etik hakim dan kode
etik advokat.

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu,


tangung jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan
serta menambahkan informasi pelengkap
dari sumber.
Merangkum uraian tentang konsep CLE 10 menit
(Clinical Legal Education), klinik hukum
berbasis pendidikan klinis, karakteristik
klinik hukum, perbedaan klinik hukum
dengan mata kuliah praktik lainnya, serta
model-model pelaksanaan klinik hukum
Penutup
(Ex House Clinic/ External Clinic, In
House Clinic, and Street Law Clinic),
Etika dalam Klinik Hukum, serta kode
etik mahasiswa dalam kuliah praktik di
tempat mitra, kode etik hakim dan kode
etik advokat.

13. Evaluasi Soft Skills


Aspek yang
No 3 2 1 Keterangan
Dinilai
1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

117
14. Sumber Belajar
a. Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung
b. David Tushaus, Developing Student Research Projects to
Improve Human Rights Clinicsi, Presentasi Power Point
disampaikan dalam International Workshop on The Human
Rights Issues Based on Clinical Legal Education Approach
c. DJ McQuid-Mason, 1994,“Reducing Violence in South Africa
through “Street Law” Education of Citizens” in Gerd Ferdinand
Kirchhoff, Ester Kosovski and Hans Joachim Schneider
(eds) Interrnational Debates of Victimology
d. E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education)
Sebuah Gerakan Global, Materi Pelatihan Klinik Hukum
e. James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal Education
in University Law School : The UK Perspective, International
Journal of Clinical legal Education, ISSN 1467-1062
f. Ni Ketut Supasti Darmawan dkk., 2015, Buku Ajar dan Klinik
Manual Klinik Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Udayana University Press, Denpasar-Bali.
g. Tomi Suryo Utomo,2015, Clinical Legal Education, Materi
Workshop Pengembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik
Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-
15 April 2015, FH UNUD Denpasar Bali
h. Vaidya Gullapalli,2012, Transforming Clinical legal Education:
An Opening for Dialogue, Journal Social Change, Vol 34,
Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication, Washington
DC.

Pengampu Mata Kuliah

118
LAMPIRAN V: KONTRAK PERKULIAHAN

KONTRAK PERKULIAHAN

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Klinik Hukum Perdata
3. Kode MK : NAK 6212
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata, Hukum Acara
Perdata dan Etika Tanggung Jawab
Profesi Hukum

7. Manfaat Mata Kuliah:


Klinik Hukum Perdata merupakan mata kuliah pilihan
sebagai pendalaman atas materi Hukum Perdata dan Hukum
Acara Perdata yang memberikan pengalaman praktik
kepada mahasiswa untuk menganalisa dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan hukum nyata yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Karena itu, mata kuliah inibermanfaat
bagimahasiswayaitu:untuk meningkatkan kemampuan
penguasaan Lawyering Skills mahasiswa yang berbasis penguasaan
hukum perdata materiil, kemampuan menganalisis kasus, serta
penguasaan hukum formil seperti kemampuan melakukan
wawancara dengan klien, kemampuan bernegosiasi, kemampuan
membuat surat kuasa dan surat gugatan sesuai dengan hasil
wawancara dengan klien, kemampuan mengajukan gugatan
ke pengadilan serta kemampuan untuk menyusun argumen
pembelaan (legal writing and argument drafting programs).

8. Deskripsi Mata Kuliah:


Mata kuliah Klinik Hukum Perdata adalah mata kuliah
pilihan dengan bobot 2 SKS dengan kode (NAK6212). Mata
kuliah klinik ini ditawarkan di setiap semester mahasiswa yang

119
telah berada sekurang-kurangnya di semester 6 yang telah
menempuh mata kuliah Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata,
Etika dan Tanggung Jawab Profesi dan dengan IPK sekurang-
kurangnya 3.00. Proses belajar mengajar pada Klinik Hukum
Perdata menggunakan metode interaktif dan reflektif dengan
komposisi kurikulum sebagai berikut : 30% Planning Component,
65% Experential Component dan 5% Evaluation dan Reflection
melalui UTS dan UAS.
Model Klinik yang diterapkan adalah: Model pertama,
gabungan antara In-House Clinic dan External Clinic serta Street
Law Clinic. Capaian Pembelajaran model kombinasi ini adalah
lulusan Klinik Hukum Perdata, mahasiswa diharapkan mampu
praktik membuat surat kuasa, membuat surat gugatan serta
mendampingi Pengacara dalam kasus-kasus nyata yang dihadapi
oleh masyarakat di Pengadilan. Model kedua, yaitu mahasiswa
dalam proses pembelajaran Klinik Hukum Perdata menggunakan
model Street Law Clinic, capaian pembelajarannya setelah selesai
mengikuti kuliah mahasiswa mampu praktik mensosialisasikan
materi-materi hukum perdata kepada anak-anak sekolah melalui
model Street Law Clinic, tumbuh kesadaran tentang pentingnya
melakukan pengabdian masyarakat auntuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum serta timbulnya sengketa hukum di
masyarakat, peka terhadap persolan-persoalan Social Justice, Pro
Bono dan Access to Justice

9. CapaianPembelajaran:
Pada akhir perkuliahan mata kuliah Klinik Hukum Perdata
ini, yang menggunakan model kombinasi In-House Clinic &
External Clinic, mahasiswa diharapkan memahami dan memiliki
kemampuan lawyering skill berkaitan dengan proses dan praktik
beracara perdata di pengadilan, yaitu mulai dari membuat surat
kuasa, membuat surat gugatan serta mendampingi pengacara
dalam kasus-kasus nyata yang dihadapi oleh masyarakat di
Pengadilan. Model kedua, yaitu model Street Law Clinic, capaian
pembelajarannya mahasiswa diharapkan mampu praktik

120
mensosialisasikan materi-materi hukum perdata kepada anak-
anak sekolah melalui model Street Law Clinic, tumbuh kesadaran
tentang pentingnya melakukan pengabdian masyarakat auntuk
mencegah terjadinya pelanggaran hukum serta timbulnya
sengketa hukum di masyarakat, peka terhadap persolan-
persoalan Social Justice, Pro Bono dan Access to Justice.

10. Organisasi Materi


1. Pengantar Klinik Hukum Perdata (Planning Component)
a. Pendahuluan:
b. Konsep CLE (Clinical Legal Education), Klinik Hukum
Berbasis Pendidikan Klinis
c. Karakteristik CLE(Clinical Legal Education) - Klinik Hukum
d. Komponen-Komponen Dalam Pembelajaran CLE (Clinical
Legal Education) – Klinik Hukum
e. Model Pembelajaran Klinik Hukum Perdata

2. Proses Beracara Perdata di Pengadilan Negeri (Model In-
House - External Clinic) Planning Component
a. Pendahuluan
b. Dokumen Beracara Perdata di Pengadilan Negeri
c. Praktik Pembuatan Surat Kuasa, Surat Gugatan, Akta
Perdamaian (Mediasi di Pengadilan)
d. Jawaban Gugatan, Eksepsi, Gugatan Rekonvensi, Replik,
Duplik
e. Putusan Hakim

3. Praktik Berwawancara Dengan Klien ((Model In-


House-External Clinic) Planning Component
a. Pendahuluan
b. Lawyering Skill Dalam Mewawancarai Klien
c. Etika Profesional Berkaitan Dengan Kerahasiaan
Klien
d. Praktik Role Play Mewawancarai Klien

121
4. Proses Lawyering Skill Pada Mitra (Model In-House-
External Clinic) Experiential Component
a. Pendahuluan
b. Kuliah Praktik di Kantor-Kantor Hukum
c. Kuliah Praktik di Pengadilan

5. Kegiatan Sosialisasi Hukum Untuk Melalui Model Street


Law Clinic Planning Component
a. Pendahuluan
b. Konsep Street Law Clinic dan Keterkaitannya Dengan Social
Justice Dan Access to Justice
c. Keterkaitan Street Law Clinic dengan Pengabdian Kepada
Masyarakat
d. Persiapan Sosialisasi Dan Role Play

6. Praktik Sosialisasi Hukum Perdata melalui Model Street


Law Clinic Experiential Component
b. Pendahuluan
c. Pelaksanaan Street Law Clinic di sekolah-sekolah atau
masyarakat
d. Pembuatan Laporan Street Law Clinic sebagai bentuk
kegiatan pengabdian Kepada masyarakat
e. Evaluasi dan Refleksi

11. Strategi Perkuliahan


Proses Pembelajaran diampu oleh Tim Dosen serta dosen
mitra dari kantor hukum dan pengadilan. Proses perkuliahan
dalam 14 kali pertemuan terdiri dari kuliah In-House Clinic
dan External Clinic mapun Street Law Clinin, yaitu praktik
mensosialisasikan bahan hukum. Untuk mengetahui capaian
pembelajaran peserta didik, dilakukan dengan penilaian melalui
ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS)
yang diselenggarakan masing-masing satu kali pertemuan,
serta dikombinasikan dengan kemampuan dalam berpraktik.
Penilaian juga dilakukan melalui pemberian tugas-tugas atau

122
latihan selama masa perkuliahan sebelum dan dan setelah UTS.
Dengan demikan, keseluruhan tatap muka pertemuan untuk
perkuliahan, tutorial dan ujian-ujian berjumlah 16 kali.

12. Tugas-tugas
Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan dan
mempersiapkan tugas-tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar,
serta sesuai dengan SAP maupun Kontrak Perkuliahan. Tugas-
tugas praktik ada yang bentuknya individual, berkelompok, baik
yang harus dipresentasikan, role play, maupun simulasi lainnya.

13. Kriteria Penilaian


Penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat
Pedoman Pendidkan Fakultas Hukum Unud .

14. Jadwal Perkliahan


Jadwal perkuliahan sudah ditentukan di atas.

15. Tata Tertib Perkuliahan


a. Tata tertib perkuliahan sesuai dengan Pedoman Etika
Dosen, Pegawai (Administrasi) dan Mahasiswa yang
ditetapkan dalam Buku Pedoman Pendidikan Fakultas
Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Bab VII, poin 4
huruf c.
b. Batas toleransi keterlambatan yaitu 15 menit. Apabila
dosen dan mahasiswa terlambat daripada batas toleransi,
maka akan dikenakan sanksi, kecuali ada pemberitahuan
atas keterlambatan tersebut.

Koordinator Kelas, Dosen Pengampu,


…………………………… ……………………………

Mengetahui
Ketua Unit Klinik Hukum
.............................................

123
124

Anda mungkin juga menyukai