Anda di halaman 1dari 111

BUKU AJAR

HUKUM PIDANA LANJUTAN

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2016

BUKU AJAR

HUKUM PIDANA LANJUTAN

Planning Group

Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S.

Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H.

A.A. Ngurah Wirasila, S.H., M.H.

I Gusti Ngurah Parwata, S.H., M.H.

Sagung Putri M.E Purwani, S.H., M.H.

I Made Walesa Putra, S.H., M.Kn.


Diah Ratna Sari Hariyanto, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016
ii
KATA PENGANTAR PENYUSUN

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karunia-

Nya, Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan berhasil diselesaikan. Buku Ajar mata

kuliah Hukum Pidana Lanjutan ini dimaksudkan sebagai buku pedoman

pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun bagi dosen

dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai dengan

rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.

Substansi Buku Ajar meliputi identitas mata kuliah beserta tim pengajar,

diskripsi substansi perkuliahan, capaian pembelajaran (CP), manfaat mata kuliah,

persyaratan mengikuti mata kuliah, organisasi materi, metode, strategi, dan

pelaksanaan proses pembelajaran, tugas-tugas, ujian-ujian, penilaian, dan bahan

pustaka. Selain itu, terdapat pula kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada
setiap pertemuan berdasarkan pada jadwal kegiatan pembelajaran (jadwal

perkuliahan). Buku Ajar ini juga dilengkapi dengan Silabus, RPP, dan Kontrak

Kuliah. Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini memuat materi-materi dalam hukum

pidana lanjutan sebagai keberlanjutan dari mata kuliah hukum pidana, sehingga

secara teoritis memperoleh pemahaman yang utuh mengenai hukum pidana.

Buku ajar ini juga dilengkapi dengan latihan soal-soal berupa kasus-kasus yang

akan didiskusikan. Hal ini tentu akan menambah kemampuan dalam menganalisa

dan secara praktis dapat memecahkan permasalahan atau kasus-kasus yang

terjadi di dalam masyarakat.

Dalam proses penyusunan Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini, banyak

pihak yang telah membantu dalam pelaksanaannya. Untuk itu dalam kesempatan

ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Wakil Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana, dan

2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian buku ajar ini.

Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan pada buku

ajar ini. Besar harapan penulis semoga Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini

dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Denpasar, 10 Oktober 2016

Tim Penyusun

iii
KATA PENGANTAR

DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah telah tersusun Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini. Kami atas

nama lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana menyambut baik terbitnya

buku ajar ini. Buku ajar merupakan salah satu instrumen di dalam penguatan

kurikulum.

Buku ajar juga merupakan media yang sangat penting baik bagi mahasiswa

dan dosen, untuk digunakan sebagai pedoman dalam penyampaian mata kuliah.

Keberadaan buku ajar sangat diperlukan dalam proses belajar-mengajar. Tujuan

pembuatan buku ajar ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses belajar

mengajar dan lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dengan pola

penyusunan buku ajar yang berbasis KKNI yang mengarah pada ​learning

outcome ​tentu akan mengarahkan pada pencapaian lulusan yang unggul, mandiri,

dan berbudaya, serta memiliki kemampuan kompetitif atau daya saing.

Penyusunan buku ajar ini melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, kami

mengucapkan terimakasih untuk pihak-pihak yang berkontribusi dalam

penyusunan Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini. Kritik dan saran yang

membangun tentu diperlukan dalam penyempurnaan. Akhir kata, semoga buku ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, 18 Oktober 2016 Dekan, Fakultas


Hukum Universitas Udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum


NIP.19650221 199003 1 005
iv
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. v

I. IDENTITAS MATA KULIAH .......... ......................................................... 1

II. DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN .............................................. 1

III. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP) ......................................................... 1

IV. MANFAAT MATA KULIAH .................................................................... 2

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ........................................ 2

VI. ORGANISASI MATERI .......................................................................... 3

VII. METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES

PEMBELAJARAN ................................................................................... 3

VIII. TUGAS-TUGAS ..................................................................................... 4

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN ............................................................. 4

X. BAHAN PUSTAKA ................................................................................ 5

XI. JADWAL PERKULIAHAN ...................................................................... 7

BAB I PERCOBAAN/​POGING ​........................................................................ 9

PERTEMUAN I : PERKULIAHAAN I (PERCOBAAN/​POGING)​ ... 9

PERTEMUAN II : TUTORIAL I .................................................... .. 33

BAB II PENYERTAAN/​DEELNEMING .​ .......................................................... 38


PERTEMUAN III : PERKULIAHAAN II (PENYERTAAN/

DEELNEMING) ​................................................ 38

PERTEMUAN IV : TUTORIAL II .. .................................................. 58

BAB III (PEMBANTUAN/​MEDEPLIGHTIGHEID​) ​............................................ 61

PERTEMUAN V : PERKULIAHAAN III (PEMBANTUAN/

MEDEPLIGHTIGHEID​) .................................... 61

PERTEMUAN VI : TUTORIAL III ...................................................... 71

PERTEMUAN VII : UJIAN TENGAH SEMESTER ​...................................... 73

BAB IV PERBARENGAN/​SAMENLOOP ​........................................................ 7


​ 4

PERTEMUAN VIII : PERKULIAHAAN IV (PERBARENGAN/

v
SAMENLOOP)​ .. ................................................ 74

PERTEMUAN IX : TUTORIAL IV .................................................... 93

BAB V PENGULANGAN/​RECIDIVE ​DAN DELIK ADUAN (​KLACHTDELICT)​ ​96

PERTEMUAN X : PERKULIAHAAN V (PENGULANGAN/​RECIDIVE)​

DAN DELIK ADUAN (​KLACHTDELICT)​ ........... 96

PERTEMUAN XI : TUTORIAL ........................................................ 123

BAB VI GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN

PIDANA SERTA GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI ​.. 126

PERTEMUAN XII : GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN

MENJALANKAN PIDANA SERTA GRASI,


AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI ....... 126

PERTEMUAN XIII : TUTORIAL VI ................................................... 143

PERTEMUAN XIV : UJIAN AKHIR SEMESTER ​.................................... ...... 147

LAMPIRAN ​...................................................................................................... 148

Lampiran 1. ​Silabus

Lampiran 2. ​RPP

Lampiran 3. ​Kontrak Kuliah

vi
HUKUM PIDANA LANJUTAN

I IDENTITAS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Pidana Lanjutan

Kode Mata Kuliah : BII3217


SKS : 2 SKS

Prasyarat: : PHI, PIH, dan Hukum Pidana

Semester : 3 (Tiga)

Status Mata Kuliah : Wajib Institusional (Universitas/Fakultas)

Tim Pengajar :

1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H.,M.S.

2. Dr. Gde Made Swardhana, S.H.,M.H.

3. A.A. Ngurah Wirasila, S.H.,M.H.

4. I Gusti Ngurah Parwata, S.H.,M.H.

5. Sagung Putri M.E Purwani, S.H.,M.H.

6. I Made Walesa Putra, S.H.,M.Kn.

7. Diah Ratna Sari Hariyanto, S.H., M.H.

II DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN

Materi perkuliahan hukum pidana lanjutan lebih terfokus pada

pemahaman asas-asas hukum pidana sebagai kelanjutan dari mata

kuliah hukum pidana. Terdapat 8 (delapan) pokok bahasan yakni : 1)

Percobaan (​poging​); 2) Penyertaan (​deelneming)​ ; 3) Pembantuan

(​Medeplightigheid)​ ; 4) Perbarengan (​samenloop​) ; 5) ​Recidive ​; 6) Delik

aduan (​klac htdelict)​ ; 7) Gugurnya hak menuntut pidana dan

menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.

III. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP)

Dengan mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mampu

memahami mengenai : 1) Percobaan (​poging​); 2) Penyertaan


(​deelneming)​ ; 3) Pembantuan (​Medeplightigheid​); 4) Perbarengan

(​samenloop)​ ; 5) Recidive ; 6) Delik aduan (​klachtdelict)​ ; 7) Gugurnya

hak menuntut pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti,

1
abolisi dan rehabilitasi. Dengan pemahaman mengenai 8 (delapan)

substansi pokok dalam mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu

memahami secara utuh mengenai asas-asas hukum pidana sebagai

kelanjutan dari mata kuliah hukum pidana, yang menjadi fokus utama

dari mata kuliah ini. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan mampu

menganalisa berbagai kasus-kasus pidana yang terjadi dalam

prakteknya.

IV. MANFAAT MATA KULIAH

Melalui mata kuliah ini mahasiswa dapat memperoleh manfaat

teoritis dan praktis. Manfaat teoritis, mahasiswa dapat mengetahui dan

mendalami materi-materi dalam hukum pidana lanjutan, khususnya

mengenai : 1) Percobaan (​poging)​ ; 2) Penyertaan (​deelneming)​ ; 3)

Pembantuan (​Medeplightigheid)​ ; 4) Perbarengan (​samenloop)​ ; 5)

Recidive ;​ 6) Delik aduan (​klachtdelict)​ ; 7) Gugurnya hak menuntut

pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan

rehabilitasi. Hukum Pidana Lanjutan merupakan mata kuliah yang

penting sebagai keberlanjutan dari mata kuliah hukum pidana, sehingga

secara teoritis melalui mata kuliah ini, mahasiswa memperoleh

pemahaman yang utuh mengenai hukum pidana. Secara praktis,

dengan pemahaman mengenai Hukum Pidana Lanjutan, mahasiswa


akan mampu menganalisa dan memecahkan permasalahan atau kasus-

kasus pidana yang terjadi di dalam masyarakat.

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH

Mata kuliah Hukum Pidana Lanjutan merupakan mata kuliah

Wajib Institusional (Universitas/Fakultas) yang ditawarkan pada

semester 3 (tiga). Berdasarkan pada Keputusan Rektor Universitas

Udayana Nomor : 980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman

Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013 dan

Keputusan Rektor Universitas UdayanaNomor: 849/Un14.1.11/PP/2013

Tentang Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013,

mata kuliah Hukum Pidana Lanjutan dipersyarati dengan mata kuliah

PHI, PIH, dan Hukum Pidana.

2
VI. ORGANISASI MATERI

Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan, yang dapat

digambarkan sebagai berikut :

1) Percobaan (​poging​)

2) Penyertaan (​deelneming​)

3) Pembantuan (​medeplightigheid)​

4) Perbarengan (​samenloop)​

5) Recidive

6) Delik aduan (​klachtdelict)​

7) Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana

8) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi


VII METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES

PEMBELAJARAN

1. Metode Pembelajaran

Metode Pembelajaran adalah ​Problem Based Learning (​ PBL), pusat

pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan

adalah “belajar” (​Learning)​ bukan “mengajar” (​Teaching)​ . Dosen

memfasilitasi mahasiswa untuk belajar.

2. Strategi Pembelajaran

Kombinasi perkuliahan 50 % ( 6 kali pertemuan perkuliahan ) dan

tutorial 50 % ( 6 kali pertemuan tutorial ). Satu kali pertemuan untuk

Tes Tengah semester, dan satu kali pertemuan untuk Tes Akhir

Semester. Total pertemuan 14 kali. Perkuliahan & Tutorial dalam

Mata Kuliah Hukum Pidana Lanjutan ini ini, masing-masing

direncanakan berlangsung sebanyak 6 kali pertemuan yaitu :

a. Perkuliahan : pertemuan 1, 3, 5, 7, 9 dan 11; dan

b. Tutorial : pertemuan 2, 4, 6, 8, 10, 12

3
3. Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial

3.1 Strategi dan Teknik Perkuliahan.


Perkuliahan tentang sub-sub pokok bahasan dipaparkan

dengan alat bantu media papan tulis, ​power point slide,​ serta

penyiapan bahan bacaan tertentu yang dipandang sulit diakses oleh

mahasiswa. Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah

mempersiapkan diri (​self study)​ mencari bahan (materi), membaca

dan memahami pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai

dengan arahan (​guidance​) dalam Buku Ajar. Teknik perkuliahan :

pemaparan materi, tanya-jawab, dan diskusi (proses pembelajaran

dua arah).

3.2 Strategi Tutorial:

a. Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas: (​Discussion task; Study

Task dan Problem Task​) sebagai bagian dari ​self study (​ 20

jam perminggu ), kemudian berdiskusi di kelas, tutorial,

presentasi power point, dan diskusi.

b. Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan :

1) Menyetor karya tulis berupa paper dan/atau tugas-tugas

lain sesuai dengan topik tutorial 1, 2, 3, 4, 5 & 6.

2) Mempresentasikan tugas tutorial dalam bentuk ​power point

presentation ​ataupun ​slide head projector ​untuk tugas

tutorial 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.

VIII. TUGAS-TUGAS

Mahasiswa diwajibkan untuk mengerjakan, mempersiapkan, dan

membahas tugas-tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar​. ​Tugas-tugas

terdiri dari tugas mandiri yang dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang
harus dikumpulkan, dan tugas yang harus dipresentasikan.

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN

a. Ujian :

Ujian dilaksanakan dua kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian Tengah

Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).

4
b. Penilaian :

Penilaian Akhir dan proses pembelajaran ini berdasarkan Rumus

Nilai Akhir sesuai Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas

Udayana, sebagai berikut :

(UTS + TT) + (2 x UAS)

Nilai Akhir =

3
Keterangan dengan skala

nilai
Skala Nilai Penguasaan

Kompetisi

Huruf Angka 0-10 0-100

A ​B

CD

E
0,0-3,9
80-100
80-100
80-100
urang 80-100
urang
60-79
60-79
60-79
8,0-10,0 60-79
8,0-10,0
8,0-10,0 55-64
55-64
6,5-7,9 55-64
6,5-7,9 55-64
6,5-7,9
40-54
5,5-6,4 40-54
5,5-6,4 40-54
5,5-6,4 40-54

4,0-5,4 10-39
4,0-5,4 10-39
4,0-5,4 10-39
10-39
0,0-3,9
0,0-3,9

X. DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : ​Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum​, Binacipta, Bandung.
Chazawi, Adami, 2002, ​Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2​, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

_____________, 2002, ​Pelajaran Hukum Pidana,​ ​Bagian 3,​ Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

5
Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine S.T, 2007, ​Pokok-Pokok Hukum Pidana,​
Pradnya Paramita, Jakarta.

________________________________, 2007, ​Latihan Ujian : Hukum


Pidana​, Sinar Grafika, Jakarta.

Kartanegara, Satauchid, ​Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Bagian Dua​,


Terbitan : Balai Lektur Mahasiswa.

Lamintang, P.A.F., 1984, ​Hukum Penitensier Indonesia​, Armico, Bandung.

_______________, 1984, ​Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia​, Sinar


Baru, Bandung.

Maramis, Frans., 2012, ​Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,​


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 1983, ​Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan,​ Bina


Aksara, Jakarta.

________, 2008, ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,​ Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009, ​Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana​, Sinar


Grafika, Jakarta

Ruba’i, Masruchin, 2014, ​Buku Ajar Hukum Pidana​, Bayumedia Publishing,


Malang.
Satochid K., ​Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.​

Schaffmeister, D.NN.,N. Keijzer, E.PH. Sutorius, 2007, ​Hukum Pidana​, Editor :


J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sianturi, SR 198 ​Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.​


Jakarta : AHAEM PETEHAEM.

Soemadipradja. R. Achmad, 1982 : ​Asas-Asas Hukum Pidana​, Alumni,


Bandung.

Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. ​Hukum Pidana II​. Surakarta :


Universitas Sebelas Maret.

Prastyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 ​KUHP (Kitab


Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi​. Jakarta : Sinar Harapan.

6
Tresna, R 1959. ​Azas-azas Hukum Pidana​. Jakarta : Tiara Ltd

Soesilo, ​Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus.​

Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : ​Pengantar Hukum Pidana​, Penerbitan


Universitas Muhammad Malang, Malang.

Utrecht. E, 1965 : ​Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II​, Penerbitan


Universitas, Bandung.

Utrecht. E, 1965 : ​Hukum Pidana II, ​PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992, ​Hukum Pidana II,​ Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-undang RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi jo Undang-undang


No. 5 tahun 2010 tentang Grasi.

XI JADWAL PERKULIAHAN

Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:

NO PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN

1 I PERCOBAAN (​POGING)​ Perkuliahan

2 II PERCOBAAN (​POGING)​ Tutorial 1

3 III PENYERTAAN (​DEELNEMING)​ Perkuliahan

4 IV PENYERTAAN (​DEELNEMING​) Tutorial 2

7
Perkuliahan 5 V
PEMBANTUAN/MEMBANTU
3
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
(​MEDEPLIGHTIGHEID​) (​MEDEPLIGHTIGHEID​)
Tutorial 3
6 VI PEMBANTUAN/MEMBANTU

MELAKUKAN TINDAK PIDANA

7 VII UJIAN TENGAH SEMESTER Terstruktur

8 VIII PERBARENGAN (​SAMENLOOP)​ Perkuliahan

9 IX PERBARENGAN (​SAMENLOOP)​ Tutorial 4

10 X PENGULANGAN (​RECIDIVE​) SERTA REHABILITASI


Perkuliahan
DELIK ADUAN (​KLACHTDELICT)​
Perkuliahan 6

11 XI PENGULANGAN (​RECIDIVE)​ SERTA

DELIK ADUAN (​KLACHTDELICT)​


Tutorial 5 13 XIII GUGURNYA HAK MENUNTUT

PIDANA DAN MENJALAN

12 XII GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA SERTA

PIDANA DAN MENJALANKAN GRASI, AMNESTI, ABOLI

PIDANA SERTA REHABILITASI


Tutorial 6
GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN

14 XIV UJIAN AKHIR SEMESTER Terstruktur


8
POKOK BAHASAN I

PERCOBAAN (​POGING​)

PERTEMUAN I : PERKULIAHAAN I

BAB I

PERCOBAAN (​POGING​)

A. Pendahuluan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP, khususnya dalam

Pasal 53 KUHP mengatur mengenai percobaan tindak pidana sebagai

perbuatan yang dapat dipidana. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh

Lamintang bahwa, pembentuk undang-undang memperluas pengertian “

pelaku “ suatu kejahatan, meskipun pelaku belum sempat menyelesaikan

apa yang hendak dilaksanakannya dan tidak melakukan semua bagian yang

yang diuraikan didalam rumusan suatu delik. Percobaan tindak pidana

dapat terjadi atau dapat dikenakan pidana jika telah memenuhi unsur-unsur
atau syarat-syarat dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. Setelah mempelajari

materi dalam percobaan tindak pidana, Capaian Pembelajaran yang

diperoleh adalah mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai konsep-

konsep dan peristilahan dalam Percobaan (​poging​) yang meliputi Unsur-

Unsur Percobaan ( ​Poging ​), Percobaan yang tidak mampu ( ​Ondeugdelijke

Poging ​). Percobaan (​poging​) perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa

memahami materi dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga

kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis dengan baik.

B. Istilah dan Pengertian Percobaan (​Poging​)

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )

mengancam dengan pidana tertentu suatu percobaan untuk melakukan

suatu percobaan kejahatan. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang

memperluas pengertian “ pelaku “ suatu kejahatan, meskipun pelaku belum

sempat menyelesaikan apa yang hendak dilaksanakannya dan tidak

9
melakukan semua bagian yang yang diuraikan didalam rumusan suatu

delik. Kadangkala suatu kejahatan telah mulai dilakukan, akan tetapi tidak

dapat diselesaikan sesuai dengan keinginan / maksud si pelaku, misalnya B

seorang tukang copet, pada saat akan memasukkan tangannya ke kantong

R, banyak orang mengetahui dan B ditangkap. Contoh lain misalnya : A

bermaksud mencuri dirumah X, dengan membongkar dan merusak jendela,

kemudian A masuk kerumah X, tetapi karena X terbangun dan jendela

darimana A masuk terbuka, kemudian A kepergok dan ditangkap oleh

seorang petugas ronda. Dengan melihat kedua contoh tersebut diatas,


memperlihatkan bahwa maksud si pelaku belum terlaksana, yaitu keinginan

/ maksud si A dan B untuk mencuri dan mengambil dompet dan barang /

benda R dan X belum hilang ​(​Laden Merpaung, 2009 : 94)​. ​Menurut ilmu bahasa “

mencoba “ berarti berusaha akan mencapai satu tujuan, kadangkala tujuan

itu jadi tercapai dan kadangkala usaha itu tidak berakibat seperti dimaksud.

Lebih lanjut dari segi tata bahasa, bahwa istilah percobaan adalah “ usaha

hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji. Sehingga

ada 2 (dua) arti percobaan, yaitu :

1). Yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat adalah : orang

yang telah mulai berbuat ( untuk mencapai suatu tujuan ), yang

mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Syaratnya adalah

perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar kehendak

( alam bathin ) semata, misalnya hendak menebang pohon,

namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang,

tetapi tidak selesai sampai pohon itu tumbang. Misalnya baru

beberapa kali mengkampak, kampaknya patah atau ketahuan

oleh pemilik pohon itu, kemudian dia melarikan diri, sehingga

terhentilah perbuatan menebang. Disini mengayunkan kampak

beberapa kali itu adalah sudah merupakan percobaan dari

perbuatan menebang pohon ​( Adami Chazawi (1), 2002 : 1).

2). Yang dimaksud dengan melakukan sesuatu dalam keadaan diuji

adalah : pengertian yang lebih spesifik, yaitu berupa melakukan

perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji

suatu kajian tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu,

misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis hewan atau


10
tanaman. Pengertian ini lebih jelas, misalnya pada kata kolam

percobaan atau kebun percobaan ​( Adami Chazawi (1), 2002 : 2 ).

Namun ini tidak dapat dipakai sebagai ukuran dari percobaan (

melakukan kejahatan ) sebagaimana dalam hukum pidana, oleh karena

dalam hukum pidana memiliki ukuran yang khusus untuk dapat memidana

percobaan melakukan suatu kejahatan. Pengertian percobaan menurut

Pompe merupakan “ suatu usaha tanpa hasil “, bila ditinjau dari sudut

perbuatan, maka percobaan itu merupakan “ pelaksanaan sebagian dari

rumusan delik “. Menurut van Zevenbergen, percobaan itu merupakan “

realisasi dari sebagian perbuatan “ ​(Mr.J.M. van Bemmelen, 1987 : 241)​, sedangkan

pendapat Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa “ pada umumnya kata

​ erarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang


percobaan atau ​poeging b

pada akhirnya tidak atau belum tercapai “. Jonkers mengatakan bahwa : “

mencoba berarti berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai “. ​(

Adami Chazawi (1), 2002 : 2 ). ​Satochid Kartanegara mengatakan bahwa percobaan

atau ​poging ​adalah “ permulaan kejahatan yang belum selesai “ ​( I Made


Widnyana, 1992 : 2).

Didalam ilmu hukum pidana istilah percobaan mengandung satu arti

yang lebih sempit, yaitu satu usaha yang tidak berakibat seperti dimaksud,

jadi yang sia-sia. Percobaan ini dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : (1).

Percobaan tertunda, padahal tidak dapat diselesaikan perbuatan yang

dilakukan untuk mencapai tujuan yang dimaksud dan (2). Percobaan gagal,

disini perbuatan diselesaikan, akan tetapi hasil yang dituju tidak tercapai

Didalam istilah bahasa Belanda, percobaan ini disebut dengan ​“


poging “​, dapat dikatakan menurut doktrin bahwa percobaan adalah “

permulaan kejahatan yang belum selesai “ atau “ ​een reeds begonnen doch

​ UHP Indonesia tidak mengambil resiko dengan


nog niet voltooid mijsdrijf “. K

menunggu sampai suatu kejahatan terjadi sepenuhnya ataupun akibatnya (

mengenai delik material ) betul-betul terjadi. Sikap ini sesuai dengan pikiran

tentang prevensi atau pencegahan yang menjadi dasar yang penting dalam

hukum pidana modern. Tetapi KUHP juga tidak mengancam segala macam

pelanggaran hukum yang baru taraf percobaan, hanya percobaan terhadap

kejahatan saja yang dapat dipidana, sedangkan percobaan terhadap

11
pelanggaran delik tidak dipidana ( Pasal 54 KUHP ). Hanya percobaan

terhadap pelanggaran hukum yang terlihat dalam Buku II KUHP diancam

dengan pidana, inipun ada beberapa pasal yang tidak mengenal percobaan,

antara lain : Pasal 184 KUHP tentang “ Perkelahian Tanding “, Pasal 302

ayat (4) KUHP tentang “ Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan “, Pasal

351 ayat ( 5) KUHP tentang Percobaan Penganiayaan dan Pasal 352 ayat

2) KUHP tentang “ Penganiayaan Ringan“ ​( Laden Merpaung, 2009 : 97 dan Adami


Chazawi (1), 2002 : 7 ).

Terhadap masalah percobaan ini ada berbagai pendapat untuk

menjawab pertanyaan : “Apakah percobaan merupakan tindak pidana /

delik tersendiri atau bukan merupakan tindak pidana / delik“ ?. Untuk

menjawab pertanyaan ini ada 2 ( dua ) pendapat, yaitu :

Pendapat 1 : Percobaan bukan sebagai tindak pidana / delik khusus

yang bukan berdiri sendiri, tetapi sebagai tindak pidana

/ delik yang tidak sempurna, hanya memperluas dapat


dipidananya orang saja( ​Straffausdehnungsgrund )​ .

Para sarjana yang menganut pendapat ini, misalnya

seperti Hazewinkel –Suringa dan Van Hattum.

Pendapat 2 : Percobaan tindak pidana / delik selesai dan berdiri

sendiri. Sebagaimana dianut oleh Prof. Moeljatno,

dengan 3 (tiga) alasan : ​(a). ​dihubungkan dengan

masalah pertanggung jawaban, tidak mungkin ada

pertanggung jawaban kalau orang tidak melakukan

perbuatan pidana ( tindak pidana / delik ), ​(b).

perbuatan percobaan beberapa kali dirumuskan

sebagai delik selesai, misalnya Pasal 104 – 106 – 107

KUHP mengenai “ Makar “, padahal yang dimaksud

dengan “ makar “ menurut Pasal 87 KUHPnadalah

perbuatan yang niat dan permulaan pelaksanaannya

telah nampak, ​(c). ​dalam hukum adat tidak dikenal delik

yang dirumuskan sebagai percobaan dari kejahatan

tertentu ​(Moeljatno (1), 1983 : 11-12 dan Laden Merpaung, 2009 : 97).

12
C. Sanksi

Masalah percobaan ini KUHP memberikan ancaman yang

maksimumnya diperingan, yaitu dikurangi sepertiganya (1/3) dari maksimum

pidana pokoknya, sedangkan terhadap ancaman pidana mati dan penjara

seumur hidup, maksimumnya menjadi 15 ( lima belas ) tahun. Pengurangan


tidak diberikan bagi pidana tambahan ( Pasal 53 ayat ( 2, 3, 4) KUHP ).

Pasal 53 KUHP menyatakan :

(1). Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permualaan pelaksanaan dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri (2). Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal
percobaan dikurangi sepertiganya (3). Jika kejahatan diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara
paling lama lima belas tahun (4). Pidana tambahan bagi percobaan
sama dengan kejahatan
selesai ​(Moeljatno (2), 2008 : 24-25)

Permusan dalam redaksi Pasal 53 KUHP tersebut dianggap sebagai

“ kabur “ dan menimbulkan berbagai penafsiran. Penentuan perbuatan

mana yang merupakan percobaan bagi masing-masing kejahatan dalam

pasal-pasal KUHP diserahkan kepada ilmu hukum pidana dan jurisprudensi.

Pasal 53 ayat (1) KUHP hanya menjawab pertanyaan, yaitu : pada hal apa

satu percobaan ( yang sia-sia ) untuk melakukan suatu delik dapat dihukum

?. Dengan demikian, ​“ percobaan untuk melakukan kejahatan terancam

hukuman, bila maksud sipembuat sudah nyata dengan dimulainya

perbuatan itu dan perbuatan itu tidak selesai hanyalah lantaran hal yang

tidak bergantung kepada kemauan sendiri “​. Oleh karena itu, ​4 ( empat )

syarat yang harus dipenuhi supaya suatu percobaan untuk melakukan suatu

delik dapat dihukum,​ yaitu :

1). Delik yang dicoba mesti merupakan kejahatan

2). Maksud untuk melakukan kejahtan itu mesti nyata

3). Kejahtan itu mesti sudah mulai dilakukan

4). Kejahatan itu tidak diselesaikan, hanyalah karena sesuatu hal


yang tidak dikehendaki si pembuat.

13
D. Unsur-Unsur Percobaan ( ​Poging )​

Jika kita tinjau isi Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat diketahui adanya 3

(tiga) unsur-unsur daripada percobaan, yaitu :

a. Adanya niat / maksud / ​voornemen

b. Adanya suatu permulaan pelaksanaan / ​begin van uitvoering

c. Tidak selesainya pelaksanaan itu semata-mata bukan karena

kehendak sendiri

Ad. a). Adanya niat / maksud / ​voornemen​, dalam teks bahasa Belanda

tertulis ​“ Voornemen “ y​ ang menurut doktrin tidak lain adalah

kehendak untuk melakukan kejahatan atau lebih tepatnya adalah ​“

​ tau “ kesengajaan “ dalam arti sempit.( Hazewinkwl-Suringa,


opzet “ a

Jongkers, Pompe, van Hattum, van Dijck, Zevenbergen, Simons,

Wirjono Prodjodikoro dan Satochid Kartanegara ). Dalam hal ​opzet

atau kesengajaan itu meliputi semua jenis kesengajaan, yaitu baik

kesengajaan sebagai maksud ( ​Oogmerk )​ , kesengajaan sebagai

kesadaran kepastian / keharusan maupun kesengajaan sebagai

kemungkinan. Namun Vos berpendapat lain, bahwa yang dimaksud

dengan ​voornemen ​itu adalah hanya kesengajaan sebagai maksud (

Oogmerk )​ . Oleh karena itu, niat sering disamakan dengan “

kesengajaan “, sebagaimana terlihat dalam Putusan HR 6 Februari


1951, N.J. 1951, No. 475, m.o. B.V.A.R. “ Automobilist-arrest “.

Moeljatno menterjemhkan ​voornemen i​ tu adalah “ niat “, yang

didalam ​Memory van Toelichting ​/ MvT dikatakan adalah “ niat untuk

​ ipandang sebagai kejahatan “.


melakuakan perbuatan yang oleh ​wet d

Simons mengartikan “ niat “ itu tiada lain adalah kesengajaan, yang

perlu disini adalah bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan untuk

melakukan kejahatan, termasuk ​dolus eventualis /​ kesengajaan

sebagai kemungkinan, sehingga niat itu sama dengan kesengajaan.


(lihat Mr. J.M. van Bemmelen, 1987 : 247, A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004 : 101, Adami Chazawi

(1), 2002 : 10-11, Moeljatno (1), 1983 : 16 ). ​Ad. b). Dalam adanya permulaan pelaksanaan
/ ​begin van uitvoering,​

kehendak atau niat saja belum cukup bila belum adanya perwujudan

14
dari kehendak, sebab kehendak yang masih dalam pikiran itu adalah

bebas. Permulaan pelaksanaan berarti terjadinya suatu perbuatan

tertentu, maka perbuatan itulah yang dapat dipidana. Meskipun

terlihat sederhana, tetapi bila dikaji dan dicermati, ternyata cukup sulit

untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan “ permulaan

pelaksanaan “. Apakah suatu “ permulaan pelaksanaan kehendak “

atau “ permulaan pelaksanaan kejahatan “. Untuk itu maka timbul

berbagai teori atau diserahkan kepada teori. Seperti halnya dengan

masalah kausalitas atau sebab – akibat, maka kalau akibat dapat

direntang memanjang ke belakang, penyebabnya pun dapat pula

direntang memanjang ke depan. Dalam hal perbuatan-perbuaan yang

mendahului suatu hal atau akibat yang dapat dipidana, dapat


dikatakan adanya : (1). Perbuatan persiapan

(​voorbereidingshandelingen)​ dan (2). Permulaan pelaksanaan

(​begin van uitvoering )​ , akan tetapi dimana batas antara keduanya ?.

Dari sudut proses / tata urutan, permulaan pelaksanaan ( ​begin van

uitvoering ​) adalah berada diantara perbuatan persiapan ( saat

setelah terbentuknya kehendak ) dengan perbuatan pelaksanaan

atau dengan kata lain perbuatan pelaksanaan itu harus dimulai

dengan permulaan pelaksanaan. Jika diurut proses melakukan tindak

pidana ( yang ​dolus )​ , maka proses itu dimulai dari terbentuknya niat /

kehendak, kemudian perbuatan persiapan, lanjut dengan perbuatan

pelaksanaan, barulah dilihat : apakah dari perbuatan pelaksanaan itu

menghasilkan tindak pidana sempurna seperti yang dinginkan /

dikehendaki atau tidak. Apabila pada ujung perbuatan pelaksanaan

menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kehendak bathin, maka

terjadi tindak pidana selesai. Tetapi bila menghasilkan sesuatu yang

tidak sesuai dengan kehendak bathin yang telah terbentuk semula,

artinya kehendak tidak tercapai, keadaan inilah yang disebut dengan

“ pelaksanaan tidak selesai “, maka disini telah terjadi suatu

percobaan yang pelaksanaannya tidak selesai atau kehendak bathin

tidak tercapai karena sebab bukan dari kehendak sendiri. ​(Adami Chazawi
(1), 2002 : 19-20).

15
Tentang percobaan dapat dipidana, terdapat 2 (dua) pandangan atau

teori, yaitu :

1). Teori yang subjektif ( ​Subjectieve Pogingstheorie )​ mengatakan bahwa “


yang melakukan percobaan harus dipidana, oleh karena orang tersebut

bersifat berbahaya “​. ​Teori ini menekankan pada niat yang terlihat dari

kelakuan dari si pelaku. Pada umumnya untuk hukum, niat adalah

irrelevan, sehingga tidak ada alasan untuk mengurangi maksimum

pidana bagi percobaan, pendirian ini dianut oleh Van Hamel dan Von

Liszt. Didalam ajaran ini, permulaan pelaksanaan adalah : “ apabila dari

wujud perbuatan yang dilakukan telah nampak secara jelas niat atau

kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana “. Misalnya : “ ada

orang yang tidak biasanya berurusan dengan dengan senjata tajam,

suatu hari tiba-tiba orang itu mengasah sebuah parang, dari mengasah

parang ini telah tampak adanya niat untuk melakukan suatu kejahatan

dengan parang yang diasah itu “

2). Teori yang objektif ( ​Objectieve Pogingstheorie )​ , mengatakan bahwa “

dasar untuk memidana percobaan adalah karena berbahayanya

perbuatan yang dilakukan “, pendirian ini dianut oleh Simons, Duynstee​.

Didalam ini, adanya permulaan pelaksanaan “ apabila dari wujud

perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari wujud

perbuatan, yaitu pada tindak pidana tertentu “. Misalnya seseorang

dihadapan orang yang dibencinya telah mengokang pistolnya dengan

mengarahkan moncong senjata itu kepada orang yang dibencinya.

Mengokang pistolnya dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari

kejahatan, sedangkan menarik pelatuk pistolnya adalah merupakan

perbuatan pelaksanaan pembunuhan ​(Moeljatno (1), 1983 : 22, R. Achmad Soema Di


Pradja, 1982 : 261-262, Adami Chazawi (1), 2002 : 17).

Prof. Moeljatno berpendapat lain, beliau mensyaratkan 3 (tiga) hal,


yaitu :

a). Secara objektif : apa yang dilakukan terdakwa harus

mendekatkan kepada delik yang dituju, harus mengandung

potensi untuk meujudkan delik.

16
b). Secara subjektif : ditinjau dari sudut niat, harus tidak ada

keraguan lagi bahwa yang dilakukan terdakwa ditujukan /

diarahkan kepada delik tersebut.

c). Apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan

melawan hukum. ​(Moeljatno (1), 1983 : 28-29)

Selanjutnya perlu dicatat, bahwa oleh karena delik yang dituju tidak

diketahui lebih dahulu, bahkan harus ditetapkan antara lain “ dengan

mengingat perbuatan yang dilakukan “, maka istilah permulaan pelaksanaan

pada Pasal 53 KUHP tidak mungkin mempunyai arti yang tetap. Untuk itu

diperlukan bukti-bukti terlebih dahulu. MvT menentukan bahwa perbuatan

persiapan ( ​voorbereidings handeling / act of preparation )​ tidak dapat

dipidana, sedangkan perbuatan permulaan pelaksanaan ( ​uitvoerings

handeling )​ dapat dipidana.

Contoh : ​A. berkehendak untuk membunuh B. Perbuatan-perbuatan

yang mendahului dapat diperinci sebagai berikut :

a. ​Membeli sebuah parang atau golok

b. ​Membawa parang atau golok itu pulang kerumah

c. ​Sementara disimpan dirumahnya


d. ​Merencanakan bagaimana melaksanakan kehendaknya

e. ​Membawa parang atau golok kearah rumah B

f. ​Mengeluarkan parang atau golok itu dari sarungnya

g. ​Mengarahkan parang atau golok itu kepada B

h. ​Mengayunkan parang atau golok itu ke leher B ​(Lihat I Made Widnyana, 1992 : 5).

Dari urutan perbuatan tersebut diatas, maka marilah kita coba

menerapkan teori-teori tersebut diatas :

1). Menurut teori percobaan subjektif, maka perbuatan sejak pada ​(a

→ membeli sebuah parang atau golok ) sudah merupakan

perbuatan yang dapat dimasukkan ​sebagai permulaan

pelaksanaan,​ sehingga dapat dipidana. A telah menunjukkan

kehendaknya yang jahat dan berbahaya

17
2) Menurut teori percobaan objektif, maka perbuatan dari ​(a ​→

membeli sebuah parang atau golok ) sampai ​(c ​→ sementara

menyimpan parang atau golok dirumahnya) belum dapat

dimasukkan sebagai permulaan pelaksanaan, oleh karena

membeli dan menyimpan parang atau golok belum merupakan

perbuatan yang membahayakan kepentingan B, bahkan sampai

perbuatan ​(e ​→ membawa parang atau golok ke arah rumah B) ,

juga belum merupakan perbuatan yang membahayakan

kepentingan hukum B, sehingga belum dapat dipidana.


Van Hamel sebagai penganut teori subjektif mengatakan : ​“

permulaan pelaksanaan itu ada, bila dari perbuatan itu telah terbukti

kehendak yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan perbuatannya. Jadi

​ ​membeli sebuah parang atau golok) sampai (c ​→


disini, perbuatan (a →

sementara menyimpan dirumahnya) belum merupakan petunjuk yang kuat

​ ​mengeluarkan
sebagai permulaan pelaksanaan, baru pada perbuatan (f →

parang atau golok itu dari sarungnya) terbukti adanya kehendak yang kuat

​ rof. Simons sebagai penganut teori objektif membedakan untuk


tersebut “. P

delik formal dan delik material. Untuk delik formal, maka permulaan

pelaksanaan terjadi bila perbuatannya merupakan sebagian dari perbuatan

yang terlarang, sedangkan untuk delik material, permulaan pelaksanaan itu

ada, bila perbuatan itu sifatnya adalah sedemikian rupa, sehingga secara

langsung menimbulkan akibat yang terlarang. Dalam hal ini barulah

perbuatan ​(g ​→ mengarahkan parang atau golok kepada B ​) ​yang

merupakan permulaan pelaksanaan​.(Moeljatno (1), 1983 : 22-24).

VOS berpendapat bahwa permulaan pelasanaan adalah apabila

perbuatan itu mempunyai sifat terlarang terhadap kepentingan hukum, jadi

dalam hal tersebut diatas barulah pada perbuatan ( f → mengeluarkan

parang atau golok dari sarungnya ) merupakan perbuatan permulaan

pelaksanaan. Pompe berpendirian bahwa perbuatan permulaan

pelaksanaan ada, apabila bagi orang normal perbuatan itu memungkinkan

terjadinya suatu delik. Jadi dalam contoh tersebut diatas, baru pada

perbuatan (f → mengeluarkan parang atau golok dari sarungnya ).


18
Dari pemaparan tersebut diatas, dikalangan para sarjana hukum

banyak yang berpendapat bahwa sebenarnya kurang ada gunanya untuk

membedakan pendirian yang subjektif maupun yang objektif, sebab

kenyataannya masing-masing tidak terlalu sempit memberikan penafsiran.

​ an KUHP
Demikian juga bila dilihat dari ​Memorie van Toelihgting ( MvT ) d

tidak jelas pendiriannya, yaitu apakah menganut teori yang subektif atau

yang objektif. Sekarang kita hendak meninjau sikap jurisprudensi terhadap

hal ini, dimana pada tanggal 29 Oktober 1934, N.J. 1934, hal. 1673, m. o. T.

Hoge Raad ( HR ) membuat keputusan yang sangat sempit, yang terkenal

dengan sebutan ​“ Eindhovense brandstich-tings Arrest “ (​ Arest

Pembakaran di Eindhoven ) yang kasusnya sebagai berikut :

“ Terdakwa H hendak membakar rumah yang didiami oleh R, yang

rupanya dengan persetujuan R, sebab R pada malam itu pergi keluar

kota, lalu H masuk kerumah itu serta meletakkan pakaian-pakaian tua

dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap-tiap kamar, yang

kesemuanya dihubungkan dengan sebuah sumbu panjang, dimana

sumbu itu sampai pada sebuah kompor gas didapur. Dekat kompor

itu dipasang sebuah pistol gas yang kalau ditembakkan

mengeluarkan api dan menyalakan kompor serta sumbu. Pelatuk

pistol itu diikat dengan tali panjang yang ujung lainnya melalui jendela

dikeluarkan sampai pada tembok belakang, bergantung dari atas ke

bawah, sehingga bisa ditarik dari luar tembok dimana kebetulan ada

jalan kecil. Pakaian dan sumbu itu lalu disiram dengan bensin,
sehingga kalau tali ditarik dari luar tembok dijalan kecil, pistol

menyalakan kompor dan sumbu yang akhirnya pakaian-pakaian yang

telah disiram dengan bensin menyala membakar seluruh rumah.

Setelah selesai semua, H lalu menyingkirkan barang-barang

berharga ketempat lain diluar rumah. Sementara itu tertarik dari bau

nya bensin, dijalan kecil belakang rumah berkumpul beberapa orang.

Ketika H kembali dari mengusikan barang-barang berharga itu dan

akan menarik tali dari jalan kecil, H melihat banyak orang disitu,

sehingga tidak bisa menyelesaikan maksudnya “. ​(Moeljatno (1), 1983 : 35-


36, Adami Chazawi (1), 2002 : 25-28 Frans Maramis, 2012 : 208-209 dan D. Schaffmeister dkk,

2007 : 217, Mr. JM. Van Bemmelen, 1987 : 251)​.

19

​ enganggap perbuatan memasang tali pada


Hof s’Hertogenbosh m

pelatuk pistol gas tersebut suatu “ ​permulaan pelaksanaan “ ​untuk kejahatan


tersebut Pasal 187 KUHP dan menjatuhkan pidana 4 tahun penjara​. H

memohon kasasi kepada HR dengan alasan pengadilan tersebut diatas

melanggar ketentuan Pasal 53 KUHP ( Percobaan ), karena yang dilakukan

hanyalah suatu ​“ perbuatan persiapan “. ​Kasasi diterima oleh dan HR

​ an berpendapat bahwa
membatalkan keputusan ​Hof a’Hertogenbosch d

telah dimulai menimbulkan kebakaran kalau telah dilakukan / dilaksanakan

perbuatan yang bukan saja perlu sekali untuk itu, tetapi yang juga tidak

mungkin menuju kepada lain dari perbuatan itu dan berhubungan langsung

dengan kejahatan yang dimaksud dan sudah ada kalau pelaku telah

menarik pelatuk pistol. ​(Adami Chazawi (1), 2002 : 25-27 dan Moeljatno (1), 1983 : 36)

Pendapat ini banyak tantangan daripada para sarjana, dimana HR


menganut teori objektif, tetapi terlu sempit. Duynstee menulis bahwa

terdakwa telah mulai dengan ​brandstichting ​atau “ permulaan dari

pelaksanaan pembakaran “ atau “ permulaan dari pelaksanaan persiapan “,

sehingga dapat dipidana. Prof. Moeljatno mengatakan bahwa kalau kasus

pembakaran di Eindhoven itu ditinjau dengan ukuran beliau ( 3 syarat ),

maka ​syarat pertama y​ aitu : secara objektif dan potensial perbuatan itu

telah mendekatkan kepada yang dituju, sudah tidak perlu diragukan lagi.

Syarat kedua,​ yaitu : ditinjau dari niat pelaku, juga tidak ada keraguan lagi

bahwa nitanya ditujukan untuk pembakaran. Sedangkan ​syarat ketiga,​

yaitu : apakah perbuatannya melawan hukum, maka bila yang dibakar itu

bukan rumahnya sendiri, ataupun sekiranya itu adalah rumahnya sendiri,

tetapi didiami oleh orang lain, perbuatan masuk pada saat orangnya tidak

ada itu adalah perbuatan melawan hokum. Sehingga terdakwa telah

melakukan perbuatan percobaan pembakaran seperti ditentukan oleh Pasal

53 dan Pasal 187 KUHP. ​(Lihat I Made Widnyana, 1992 : 6, Moeljatno (1), 1983 : 33-37)

Jurisprudensi Indonesia rupanya banyak mengikuti jurisprudensi

negeri Belanda, RvJ Medan pada tahun 1938 memutuskan bahwa : “

berhentinya terdakwa dengan sampan di pantai dekat tempat

penyembunyian teh yang tidak ada izinnya untuk dikeluarkan, belum

merupakan percobaan untuk dipidana“. Oleh karena antara perbuatan

20
tersebut dengan kejahatan yang ada dalam niat mereka ( mengeluarkan teh

tanpa izin ) tidak ada pertalian langsung yang demikian rupa, sehingga

perbuatan tersebut dapat dipandang sebagai permulaan pelaksanaan.

Didalam unsur ke dua dari percobaan ini masih ada persoalan lain, ialah “
percobaan yang mampu dan percobaan yang tidak mampu “, persoalannya

terutama terletak pada “ percobaan yang tidak mampu “ ( ​ondeugdelijke

poeging ​). ​(Moeljatno (1), 1983 : 32, Adami Chazawi (1), 2002 : 43)

Ad.c). Sebagai unsur ketiga dari percobaan adalah bahwa delik tidak dapat

diselesaikan karena bukan semata-mata atas kehendak sendiri. MvT

menyatakan bahwa maksud syarat ketiga ini adalah merupakan

jaminan kepada seseorang yang dengan kehendak sendiri, dengan

sukarela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai

(vrijwillige terugtred) (​ Moeljatno, 1983 : 54)​. U


​ nsur ketiga harus dicantumkan

dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan oleh Penuntut Umum.

Pembuktian bagi sesuatu yang bersifat negatif sangatlah sukar,

sebab jaksa harus membuktikan bahwa pelaku telah

memberhentikan perbuatannya ​tidak ​dengan sukarela, agar

Penuntut Umum dapat menuntutnya dan terdakwa dijatuhi pidana

karena percobaan. Tetapi hal itu kemudian diperingan oleh putusan

HR tahun 1924 yang menjadi jurisprudensi, yaitu bahwa : ​“

barangsiapa yang dengan sukarela mengundurkan diri tidak dapat

dipidana. Jadi apabila pengunduran diri itu tidak nyata, maka adanya

unsur ketiga tersebut dapat dibuktikan dari adanya suatu hal lain

yang cukup menerangkan apa sebabnya delik tersebut tidak selesai.

Jadi tidak perlu membuktikan bahwa pengunduran diri itu tidak

dengan sukarela “.

Contoh ​: Kalau seseorang menembakkan pistol dan

diarahkan kepada calon korban tetapi meleset,

mungkin sekali dalam persidangan ia akan


mengatakan bahwa ia telah mengurungkan niat untuk

membunuh, tetapi mengubahnya menjadi hanya

menaku-nakuti saja dengan tembakkan yang

dipelesetkan. Dengan demikian, maka seolah-olah ia

21
mengurungkan maksudnya atas kehendak sendiri.

Jadi peninjauan ini secara psikologis.

Berhubung dengan putusan HR tersebut diatas, maka dalam hal ini

Penuntut Umum, cukup menyebutkan bahwa tuduhannya terhadap

terdakwa dengan percobaan pembunuhan telah terbukti dengan adanya

permulaan pelaksanaan dan niat, serta tidak selesai karena tembakkannya

meleset. Langemeyer juga menyatakan tidak menyetujui pertimbangan HR

tersebut diatas, karena menurut teksnya apabila secara psikologis masih

ada kemungkinan sekali untuk mengadakan perubahan dalam niat

terdakwa, disitu tidak mungkin dikatakan bahwa penghalang dari luar itulah

yang semata-mata menjadi sebab kejahatan tidak selesai ( ​dalam hal diatas

adalah “ melesetnya tembakkan “ ​). Pompe menentang pendapat

Langemeyer dengan alasan bahwa kemungkinan psikologis ini tidak ada

dalam undang-undang, pendapat Pompe ini juga disetujui oleh Moeljatno.

Rumusan / ukuran yang sering diajukan adalah :​“ ada pengurungan

sukarela jika menurut pandangan terdakwa dia masih bisa terus, tetapi tidak

mau meneruskan “.

Terdakwa dapat meneruskan niatnya dalam hal :

a). Secara fisik terhalang untuk menyelesaikan kejahatannya,


misalnya saja terdakwa dipegang oleh orang lain,

sehingga tidak dapat bergerak lagi, karena orang lain

senjatanya terlepas atau perbuatannya telah selesai, yaitu

bom dilemparkan dilemparkan tetapi tidak berbunyi.

b). Meskipun tidak ada penghalang fisik, tetapi

pengurungannya ternyata disebabkan akan adanya

penghalang psikis, misalnya karena takut perbuatannya

diketahui orang dengan segera.

Mengenai hal tersebut diatas, terdapat suatu masalah, yaitu : ​“

Seseorang yang diperiksa sebagai saksi dalam suatu perkara. Ada tanda-

tanda bahwa ia tidak menerangkan dengan sebenarnya, walaupun sudah

disumpah. Setelah hakim memperingatkan bahwa kalau tidak menyatakan

yang benar, ia bisa dituntut karena sumpah palsu, maka lalu menarik

kembali keterangnnya. Apakah dalam hal ini terjadi suatu percobaan

melakukan sumpah palsu ? “.

22
HR pada tahun 1889 menyatakan bahwa ia tidak dapat dituntut

karena percobaan sumpah palsu, hal ini disetujui oleh Vos, dengan alasan

bahwa sebenarnya ia masih dapat saja terus memberikan keterangan tidak

benar, tetapi ia tidak benar, tetapi ia tidak mau, maka hal inilah adalah

pengunduran diri ( pengurungan ) secara sukarela. Van Hattum tidak dapat

menyetujui putusan tersebut, karena manurut beliau, yang menyebabkan

terdakwa menarik kembali keterangannya adalah karena ketakutan

dimasukkan penjara.

Jika dilihat dari pemuatan unsur-unsur ( syarat-syarat ) dipidananya


percobaan kejahatan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, maka dapat ditarik

suatu kesimpulan bahwa :

1). Ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi unsur-

unsur (syarat-syarat) tersebut dalam Pasl 53 ayat (1) KUHP dan

secara ​a contrario ​ada pula percobaan kejahatan yang tidak dapat

dipidana, yaitu jika salah satu unsur-unsur (syarat-syarat) tidak

terpenuhi, misalnya unsur (syarat) ketiga.

2). Disamping itu ada pula percobaan kejahatan yang secara tegas oleh

UU ditetapkan percobaannya tidak dipidana, contoh pada percobaan

penganiayaan biasa ( Pasal 351 ayat (5) KUHP ), percobaan

penganiayaan hewan ( Pasal 302 ayat (4) KUHP ), percobaan perang

tanding ( Pasal 284 ayat (5) KUHP )

3). Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana ( dipertegas

dengan adanya Pasal 54 KUHP )

4). Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana

kesengajaan ( ​dolus )​ dan tidak mungkin pada tindak pidana

kealpaanan ( ​culpa )​ . Karena isitilah niat adalah artinya kesengajaan,

yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki.

Sedangkan kealpaan adalah sikap bathin yang ceroboh – tidak

berhati-hati atau tidak memiliki dan menggunakan pemikiran yang

cukup baik mengenai perbuatannya amupun akibatnya, sehingga

melahirkan suatu tindak pidana culpa

5). Percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif ( ​delik

ommsionis )​ , sebab tindak pidana ommisionis unsur perbuatannya

adalah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak berbuat itu


23
melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan pada percobaan

kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan, yang in casu harus

berbuat.

6). Juga ada beberapa kejahatan yang karena sifatnya kejahatan dalam

rumusannya tidak mungkin dapat terjadi percobaannya, yaitu (a).

karena percobaannya ( yang in casu ) melakukan suatu perbuatan,

diaman niat telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan

sebagaimana dimaksud pasal 53 KUHP, dirumuskan atau merupakan

kejahatan selesai, yaitu kejahatan-kejahatan makar, seperti Pasal

104 KUHP bermaksud membunuh, merampas kemerdekaan atau

meniadakan kemampuan Presiden dan Wakilnya, Pasal 106 KUHP

bermaksud agar seluruh atau sebagian wilayah Indonesia jatuh

ketangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara, Pasal

107 KUHP bermaksud menggulingkan pemerintahan, (b). karena

unsur perbuatannya yang dilarang dari kejahatan pada dasarnya

adalah berupa kejahatan, misalnya Pasal 163 bis ayat ( 1 ) KUHP

atau pasal 391 KUHP

Disamping hal tersebut diatas, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat-

syarat yang harus dipenuhi agar suatu percobaan agar percobaan pada

kejahatan dapat dihukum, adalah sebagai berikut :

1. Niat untuk berbuat jahat sudah ada, artinya orang yang sudah

mempunyai oikiran untuk berbuat jahat yang meliputi sifat

kesengajaan ( ​dolus )​ , oleh karena percobaan pada kejahatan

culpa ​tidak mungkin terjadi


2. Orang sudah mulai berbuat kejahatan itu, maksudnya orang itu

bukan hanya berfikir saja, tetapi sudah harus mulai bertindak.

3. Perbuatan kejahatan itu tidak sampai selesai, oleh karena

terhalang sebab-sebab yang timbul kemudian. Tidak selesai

maksudnya adalah tidak semua unsur-unsur dari kejahatan itu

dipenuhi, misalnya bagi delik materiil, akibat dari delik itu belum

terjadi

4. Sebab-sebab itu tidak terletak dalam kemauan pembuat kejahatan

itu sendiri, maksudnya tidak dari kemauan sendiri mundur dari

24
mengerjakan kejahatan itu, sebab harus dari luar, misalnya dalam

mencuri, kerena kepergok / ketahuan orang ​(I Made Widnyana, 1992 : 11)

E. Percobaan yang tidak mampu ( ​Ondeugdelijke Poging )​

Pembicaraan tentang percobaan, membicarakan pula beberapa

perbuatan yang yang terkesan atau hampir sama / mirip dengan percobaan

kejahatan. Dalam hal ini apa yang disebut dengan “ Percobaan yang tidak

mampu / ​ondeugdelijke Poging, k​ ekurangan isi delik ​/ Mangel am

​ ercobaan selesai​, p
tatbestand, delik putatif, delik manqui / p ​ ercobaan

​ ercobaan yang
tertunda ​/ Geseharste poging dan Gequalificeerde poging / p

​ isini akan dibicarakan masalah kemungkinan bahwa suatu


dikualifikasir “. D

percobaan untuk melakukan kejahatan objeknya atau alatnya tidak mampu

atau tidak punya potensi untuk menyelesaikan.

Percobaan yang tidak mampu ( ​ondeugdelijke poging )​ itu terjadi,


apabila seorang telah melakukan perbuatan jahat yang dikehendaki untuk

diselesaikan, akan tetapi walaupun ia telah melakukan perbuatan-perbuatan

yang diperlukan, kejahatan itu tidak dapat diselesaikan bukan karena

dihalang-halangi. Tidak mampu atau tidak dapat diselesaikannya kejahatan

itu dapat disebabkan karena objek atau sarananya, tetapi mungkin juga

karena alat atau sasarannya ( ​middel ​), sehingga timbul masalah apakah

perbuatan yang demikian ini dapat dipidana atau tidak. Tidak mampunya itu

dapat berbentuk :

a). Ketidak mampuan yang mutlak ( ​absoluut ondeugdelijke ​)

b). Ketidak mampuan relatif ( ​relative ondeugdelijke ​).

a). Tidak mampu absolut berarti bahwa bagaimana pun juga kejahatan itu

tidak mungkin diselesaikan, hal ini baik mengenai ​objeknya (

​ aupun ​mengenai alat / sarananya ( middel ).


sasarannya ) m

b). Tidak mampu relatif berarti bahwa karena keadaan khusus, baik pada

objek maupun sasarannya, kejahatan itu menjadi tidak dapat

diselesaikan.

Contoh ​:

1. ​Objek yang tidak mampu absolut ​: A berniat untuk membunuh B,

segala sesuatu telah disiapkan dan waktu A masuk kekamar B,

25
tampaknya B sudah tidur, kemudian A menembaknya, tetapi

kemudian ternyata B telah meninggal sebelumnya karena penyakit

jantung. Jadi meninggalnya B bukan sebagai akibat ditembak oleh A.

Dalam hal ini tidak mungkin dikenakan Pasal 338 atau 340 KUHP

yaitu pembunuhan, karena tidak mungkin melakukan pembunuhan


terhadap mayat. ( dapat dipidana – subjektif )

2. ​Objek yang tidak mampu relatif ​: A ingin membunuh B dengan cara

menikam dengan golok, tetapi B tidak luka sama sekali, karena

kebetulan saat penikaman itu B menggunakan pakaian besi.

3. ​Sarana yang tidak mampu absolut ​: A berniat membunuh B

dengan jalan memberikan minuman racun. Setelah menyiapkan

dengan membeli serbuk racun di apotik, ternyata yang diberikan oleh

apotik keliru, ysng diberi adalah gula. Setelah serbuk racun itu

dimasukkan kedalam minuman B, dengan harapan B akan mati kena

serbuk racun itu, ternyata B tidak apa-apa, karena tidak mungkin

gula dapat membunuh orang ( dapat dipidana – objektif )

4. ​Sarana yang tidak mampu relatif ​: Seperti halnya pada contoh yang

3, bubukan yang diberikan ternyata benar-benar warangan, tetapi

jumlahnya terlalu sedikit dan kebetulan B mempunyai daya tahan

yang cukup kuat, sehingga dengan sarana itu tidak mungkin B mati.

Dari contoh-contoh tersebut diatas, dapat atau tidak dapatkah pelaku

A tersebut dipidana karena melakukan percobaan pembunuhan ?. Untuk

menjawab masalah itu, hendaknya kita ingat kepada teori-teori yang

berhubungan dengan percobaan itu sendiri, yaitu teori subjektif ( teori yang

menitik beratkan pada berbahaya orangnya ) dan teori objektif ( teori yang

menitik beratkan pada sifat berbahayanya perbuatan ) . Sehingga jawaban

atas pertanyaan diatas adalah mungkin dapat dipidana, tetapi juga mungkin

tidak dapat dipidana. Hal ini tergantung dari teori mana yang akan dianut.
Sesuai dengan teori subjektif, maka perbuatan A pada contoh 1 dan

3 itu dapat dipidana, karena jelas bahwa keduanya A mempunya maksud

jahat. Sebaliknya ditinjau dari teori objektif, maka perbuatan A pada contoh

1 dan 3 tersebut tidak dapat dipidana, karena tidak mungkin perbuatannya

26
itu membahayakan kepentingan hukum B, karena A meninggal ( contoh 1 )

atau juga tidak pemberian gula itu merupakan bahaya bagi kepentingan

hukum B ( contoh 3 ).

Mengenai sasaran dan sarana yang tidak mampu relatif, perlu

ditinjau berdasarkan teori subjektif maupun teori objektif. Ditinjau dari teori

subjektif, maka perbuatan A pada contoh 2 dan 4 semuanya dapat dipidana,

karena adanya maksud yang jahat pada diri A. Sedangkan memalui teori

objektif, juga kedua-duanya perbuatan A dalam contoh 2 dan 4 dapat

dijatuhi pidana, hanya alasan atau landasan pikirannya berbeda.

Pada contoh 2, perbuatan A telah membahayakan kepentingan

hukum B, walaupun kenyataannya B tidak terluka sedikitpun, hal itu adalah

merupakan hal khusus dan kebetulan saja, kecuali itu juga tidak

diselesaikannya bukanlah karena hal yang tergantung dari A. Pada contoh

4, perbuatan juga telah membahayakan kepentingan hukum B, walaupun

dosis racun yang diberikan tidak cukup kuat untuk membunuh B, tetapi tidak

cukupnya merupakan hal yang tidak tergantung dari A. Dari uraian tersebut

diatas, sebenarnya pembedaan peninjauan melalui teori subjektif maupun

teori objektif hasilnya sama saja, yaitu dapat dipidana, hanya secara teoritis

landasan yang dipakai berbeda. Yang menjadi masalah justru untuk

menentukan apakah sasaran itu tidak mampu secara mutlak atau relatif.
Tentang hal ini sebenarnya tergantung dari cara menafsirkan dan

cara menentukan dasar atau landasan berfikirnya. Sebagai suatu contoh :

pada dasarnya atau pada umumnya, gula merupakan alat yang tidak

mampu untuk membunuh orang, sedangkan warangan atau ​arsenicum

dalam dosis tertentu bisa mematikan, tetapi dalam dosis yang kurang dari

itu, malahan bisa menjadi obat. Apakah dalam hal ini kita akan ambil

​ . Demikian juga mengenai


abstraksinyua ataukah ditinjau ​in concreto ?

sasarannya, seorang yang mempunyai sakit tertentu (misal ​diabetes ​),

mungkin bisa karena minum minuman yang bergula / mengandung gula,

yang bagi orang normal tidak menyebabkan apa-apa. Sebaliknya terdapat

pula seorang yang mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dari orang

normal, sehingga dosis yang bisa mematikan untuk orang normal, tidak

menyebabkan kematian bagi orang itu. Apakah ini juga diambil abstraksinya

ataukah harus ditinjau ​in conreto ​?

27
Contoh untuk menentukan : “ ​ketidak mampuan absolut ataukah

relatif “​→ ​Misalanya ​A ​berhendak untuk mencuri uang dalam peti besi suatu

toko. Setelah diselidiki cukup lama, ​A ​berpendapat bahwa peti itu selalu

dipakai untuk menyimpan uang. Pada suatu hari kehendaknya itu

dilaksanakan, tetapi ternyata setelah dapat membuka peti besi itu, ternyata

kosong tidak ada uangnya. Kejahatan pencurian itu terpaksa tidak dapat

diselesaikan, tetapi bukan semata-mata bukan karena kehendak ​A​.

Walaupun perbuatan ​A ​tersebut memenuhi syarat sebagai percobaan dan

dapat dijatuhi pidana, tetapi secara teoritis sasarannya itu merupakan

sasaran yang tidak mampu secara absolut ataukah secara relatif. Bila kita
berpendirian dengan dasar fikiran ​“ peti yang kosong “,​ maka dapat

dikatakan bahwa sasarannya tidak mampu absolut ( ​Absoluut

Ondeugdelijke Object )​ , tetapi jika pikiran kita bertumpu pada kenyataan ​“

biasanya peti uang itu berisi uang “,​ maka sasarannya bisa disebut sebagai

sasaran yang tidak mampu relatif ( ​Relative Ondeugdelijke Object ​)

Dalam hal percobaan yang tidak mampu ini timbul berbagai polemik

diantara para sarjana dan dikemukakan pula contoh-contoh selain “

mencoba mencuri dari peti mati yang kosong“, misalnya saja “ mencoba

menggugurkan kandungan seorang yang tidak hamil “ mencoba membunuh

orang sudah mati “. ​( Adami Chazawi (1), 2002 : 46-57, Laden Merpaung, 2009 : 96 dan lihat buku
“ Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan “ ​dari Moeljatno ).

Mangel Am Tatbestand ( Ontoereikende Delictsinhoud )

Didalam ilmu pidana Jerman terdapat istilah ; “ ​Mengel Am

Tatbestand ​“, yaitu kekurangan atau tidak adanya salah satu unsur delik,

sehingga tidak mungkin merupakan delik. Satauchid Kartanegara

menjelaskan istilah tersebut sebagai berikut : ​“ apabila seseorang

melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki dan telah melakukan semua

perbuatan yang diperlukan guna melaksanakan kehendaknya itu, akan

tetapi perbuatan itu juga tidak dapat diselesaikan, yang disebabkan oleh

suatu hal atau masalah, yang tidak tergantung pada si pelaku dan dalam hal

ini masalah itu merupakan salah satu faham yang terdapat pada si pelaku

​ edangkan
mengenai salah satu unsur delik yang dikehendakinya. “. S

didalam bukunya Adami Chazawi dikatakan bahwa ​Mangel am Tatsbestand

28
adalah ​: “ suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak

pidana, tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur

tindak pidana yang dituju “. ​(Adami Chazawi (1), 2002 : 58-59, D. Schaffmeister dkk, 2007 : 220-

222) ​Contoh → A bermaksud mencuri barang B dan maksudnya sudah

dilaksanakan yaitu mengambil barang yang dikiranya milik B.

Tetapi ternyata barang itu adalah milik A sendiri, karena barang

itu memang oleh B dimaksudkan untuk dihadiahkan kepada A.

Apakah dalam hal ini, si A dapat dipidana ?

Sebenarnya hal ini tidak masuk dalam pengertian percobaan dan

tidak dapatnya dipidana A juga bukan berdasarkan atas percobaan, tetapi

oleh karena kenyataan bahwa salah satu unsur delik tidak dipenuhi (

mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain ). Ternyata

ada pula sarjana yang beranggapan bahwa masalah itu termasuk dalam “

percobaan dengan suatu sarana yang tidak mampu absolut “. Jadi masalah

tersebut juga tergantung dari cara penafsirannya. ​Mangel Am Tatbestand

harus dibedakan dengan Delik Putatif, yaitu apabila seseorang melakukan

suatu perbuatan yang dikiranya merupakan perbuatan yang terlarang dan

diancam dengan pidana oleh undang-undang, tetapi ternyata perbuatannya

tidak merupakan perbuatan terlarang.

Delik Putatif mungkin terjadi karena tiap negara mempunyai

ketentuan pidananya sendiri-sendiri, sehingga mungkin saja suatu

perbuatan yang disuatu negara merupakan delik, akan tetapi dilain negara

tidak demikian. Namun bila memang perbuatan itu bukannya merupakan

perbuatan terlarang ( delik ), walaupun sipelaku menyangka telah

melakukan delik, maka perbuatannya juga tidak dapat dipidana. Delik ini
merupakan “ ​suatu kesalah pahaman dari seseorang yang mengira bahwa

perbuatan yang telah ia lakukan didalam suatu keadaan tertentu itu

merupakan suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana,

akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang terlarang,

sehingga orang itu tidak dapat dipidana ​“ ​(A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004 :111 dan D.
Schaffmeister dkk, 2007 : 222).

​ dalah :: “ melakukan suatu


Percobaan selesai / ​delik manque a

perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana, yang

29
pelaksanaannya sudah begitu jauh – sama seperti tindak pidana selesai,

akan tetapi oleh sebab sesuatu hal, tindak pidana itu tidak terjadi “.

Dikatakan percobaan, sebab tidak pidana yang dituju tidak terjadi, dikatakan

selesai oleh sebab pelaksanaannya sesungguhnya sama dengan

pelaksanaan yang dapat menimbulkan akibat dari suatu tindak pidana “.

Misalnya : A ingin membunuh B musuhnya, A telah mengarahkan moncong

senjata keleher B, pelatuk telah ditarik dan senapan telah meletup serta

peluru telah melesat, tetapi tidak mengenai sasarannya. Oleh karena itu

percobaan pesuatu pembunuhan telah selesai, bila dilihat dari

perbuatannya, karena niat / kehendak, permulaan pelaksanaan dan

pelaksanaan telah selesai, tetapi tidak mencapai hasil yang diinginkan /

dikehendaki, oleh karena itu masih dikatagorikan sebagai suatu percobaan.

Percobaan tertunda adalah : “ suatu percobaan yang perbuatan itu

pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan yang

dituju “. Misalnya seorang pencopet yang telah mengulurkan dan

memasukkan tangannya dan telah memegang dompet seorang wanita


dalam tas wanita itu, akan tetapi, tiba-tiba wanita itu memukul tangan

pencopet itu dan terlepaslah dompet itu yang tadi telah dapat dipegang

dalam tas wanita itu. Sedangkan percobaan yang dikualifisir adalah

merupakan percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak

pidana selesai yang lain daripada yang dituju. Misalnya seseorang dengan

maksud untuk membunuh dengan tusukan pisau, akan tetapi orang itu tidak

mati, hanya luka-luka berat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa orang

memiliki niat / kehendak untuk membunuh dengan tikaman pisau itu, tetapi

tidak sampai timbulnya akibat kematian orang yang ditikam itu, justru yang

terjadi adalah timbulnya luka-luka berat, maka dalam hal telah terjadi

penganiayaan yang telah menimbulkan luka-luka berat ​(Adami Chazawi (1), 2002 :

61-62)​.

30
Daftar Pustaka

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : ​Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum​, Binacipta, Bandung.

Chazawi, Adami (1), 2002 : ​Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2,​ Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : ​Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,​


Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Moeljatno, 1983 : ​Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan​,
Bina Aksara, Jakarta.

------------, 2008 : ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana​, Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : ​Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana​, Sinar


Grafika, Jakarta.

Schaffmeister, D.NN.,N. Keijzer, E.PH. Sutorius, 2007 : ​Hukum Pidana​, Editor


: J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soema Di Pradja. R. Achmad, 1982 : ​Asas-Asas Hukum Pidana​, Alumni,


Bandung.

Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : ​Pengantar Hukum Pidana,​ Penerbitan


Universitas Muhammad Malang, Malang.

Widnyana. I Made, 1992 : ​Hukum Pidana II,​ Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

F. Penutup

1. Rangkuman Materi

Didalam istilah bahasa Belanda, percobaan ini disebut dengan ​“

poging “​, dapat dikatakan menurut doktrin bahwa percobaan adalah “

permulaan kejahatan yang belum selesai “ atau “ ​een reeds begonnen doch

​ asalah percobaan ini KUHP memberikan


nog niet voltooid mijsdrijf “. M

ancaman yang maksimumnya diperingan, yaitu dikurangi sepertiganya (1/3)

dari maksimum pidana pokoknya, sedangkan terhadap ancaman pidana

mati dan penjara seumur hidup, maksimumnya menjadi 15 ( lima belas )


31
tahun. Pengurangan tidak diberikan bagi pidana tambahan ( Pasal 53 ayat (

2, 3, 4) KUHP ). Jika kita tinjau isi Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat diketahui

adanya 3 (tiga) unsur-unsur daripada percobaan, yaitu Adanya niat /

maksud / ​voornemen,​ Adanya suatu permulaan pelaksanaan / ​begin van

uitvoering​. Tidak selesainya pelaksanaan itu semata-mata bukan karena

kehendak sendiri.

Percobaan yang tidak mampu ( ​ondeugdelijke poging )​ itu terjadi,

apabila seorang telah melakukan perbuatan jahat yang dikehendaki untuk

diselesaikan, akan tetapi walaupun ia telah melakukan perbuatan-perbuatan

yang diperlukan, kejahatan itu tidak dapat diselesaikan bukan karena

dihalang-halangi. Tidak mampu atau tidak dapat diselesaikannya kejahatan

itu dapat disebabkan karena objek atau sarananya, tetapi mungkin juga

karena alat atau sasarannya ( ​middel ​). Tidak mampunya itu dapat

berbentuk : Ketidak mampuan yang mutlak ( ​absoluut ondeugdelijke ​) dan

Ketidak mampuan relatif ( ​relative ondeugdelijke )​ . Untuk menjawab apakah

Percobaan yang tidak mampu dipidana atau tidak, hendaknya dikaitkan ke

teori-teori yang berhubungan dengan percobaan itu sendiri, yaitu teori

subjektif dan teori objektif. Sehingga jawaban atas pertanyaan diatas adalah

mungkin dapat dipidana, tetapi juga mungkin tidak dapat dipidana. Hal ini

tergantung dari teori mana yang akan dianut.


32
2. Latihan :

PERTEMUAN II: TUTORIAL 1

PERCOBAAN (​POGING​)

1) Syarat dan Unsur-unsur Percobaan (poging)

a. Kasus I

Abraham, bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di suatu

rumah di kawasan pemukiman elite di daerah Sanur, yang sedang

ditinggalkan oleh pemiliknya ke Jakarta. Untuk memuluskan aksinya,

Abraham mempersiapkan sebuah anak kunci palsu yang akan

dipergunakan untuk membuka paksa pintu kamar yang diperkirakan sebagai

tempat penyimpanan barang-barang berharga. Sampai di dekat lokasi

sasaran pencurian, Abraham bersembunyi di semak-semak sambil


menunggu waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Pada saat Abraham

memulai aksinya dengan cara memanjat tembok pekarangan rumah yang

akan dijadikan sasaran pencurian, iapun ditangkap oleh satuan

pengamanan lingkungan setempat.

b. Pertanyaan :

1. ​Apakah dalam kasus di atas, maksud Abraham untuk melakukan

pencurian dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan ?

2. ​Baca secara cermat kasus di atas, kemudian saudara bahas tentang

’peristiwa’ yang merupakan awal pelaksanaan, dengan dasar

pemikiran yang ada dalam doktrin !

c. Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. ​Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.​

Bandung : Sinar Baru, hal. 510 - 551

3. Muljatno 1980. ​Delik-delik Percobaan,​ 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22,

23.

33
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 ​KUHP

(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.​

Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 - 36

5. Satochid K., ​Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.​ h. 362, 373,

364, 382.
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. ​Hukum Pidana​.

Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265

7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. ​Hukum Pidana II.​

Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 - 15

8. Soesilo, ​Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik

Delik Khusus.​ h, 76- 77.

9. Sianturi, SR 198 ​Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya​. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

10. Tresna, R 1959. ​Azas-azas Hukum Pidana​. Jakarta : Tiara Ltd, hal.

76 - 81

11. Widnyana, I Made 1992. ​Hukum Pidana II ,​ Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 1 - 32

2) Pemidanaan terhadap Pelaku Percobaan (poging) dan

Pengunduran Diri secara Sukarela sebagai Alasan Tidak

Dipidananya Percobaan

a. Kasus II

Dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya di Nusa Dua, ke

Sanur, Abdulah di perjalana bertemu dengan sahabat lamanya yang

bernama Sanusi. Sanusi berceritera tentang kerasnya kehidupan di kota

Denpasar. Abdulah sebenarnya menghadapi fenomena yang sama dengan

Sanusi. Sanusi bercerita tentang jalan pintas yang pernah ditempuhnya

dengan melakukan tindak pidana pencurian benda-benda sakral yang

menurutnya relatif mudah dijual kepada penadahnya. Abdulah tertarik


dengan cerita Sanusi, dan pada kesempatan itu juga ia bersepakat untuk

melakukan pencurian di suatu tempat di malam itu juga. Pada waktu dan

tempat yang telah dijanjikan, keduanya bertemu dan langsung melakukan

34
aksinya. Namun sebelum niat itu terlaksana, Abdulah dengan niat sendiri

mengurungkan rencananya, sedangkan Sanusi memutuskan untuk

melakukan aksinya seorang diri dan aksinya tersebut diawali dengan

merusak gembok tempat penyimpanan benda-benda sakral di pura. Namun

sebelum aksi Sanusi terlaksana, anggota banjar yang sedang melakukan

ronda memergokinya sehingga niat tersebut tidak kesampaian.

b. Pertanyaan :

1. Dilihat dari kesepakatan antara Abdulah dengan Sanusi untuk

melakukan pencurian , apakah menurut pandangan subyektif dan

obyektif, sudah dapat dijadikan dasar untuk memidana Abdulah dan

Sanusi ?

2. Apakah mengurungkan niat dengan kesadaran sendiri, seperti apa

yang dilakukan Abdulah, merupakan alasan tidak dapat dipidananya

pelaku percobaan ?

c. Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. ​Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.​

Bandung : Sinar Baru, hal. 510 - 551

3. Muljatno 1980. ​Delik-delik Percobaan,​ 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22,


23.

4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 ​KUHP

(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.​

Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 - 36

5. Satochid K., ​Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.​ h. 362, 373,

364, 382.

6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. ​Hukum Pidana​.

Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265

7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. ​Hukum Pidana II.​

Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 - 15

8. Soesilo, ​Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik

Delik Khusus.​ h, 76- 77.

35
9. Sianturi, SR 198 ​Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya​. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

10. Tresna, R 1959. ​Azas-azas Hukum Pidana​. Jakarta : Tiara Ltd, hal.

76 - 81

11. Widnyana, I Made 1992. ​Hukum Pidana II ,​ Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 1 - 32

3) Pertanggungjawaban Pidana dalam perbuatan Pidana Percobaan.

a. Kasus III

Pagi ini, senin tanggal 1 Januari 2008, Alimudin diadili di Pengadilan

Negeri Denpasar dalam kasus percobaan pencurian sepeda motor di

bilangan Pasar Kereneng. Di dalam melakukan aksinya, Alimudin biasanya


melakukan pemantauan tempat yang biasanya luput dari pengawasan juru

parkir ataupun Satpam Pasar. Untuk memuluskan aksinya, Alimudin telah

mempersiapkan kunci leter T yang dipersiapkan jauh sebelum aksinya

dilakukan. Pada saat yang tepat, Alimudin berangkat dari rumahnya di

kawasan Renon dengan mengendarai sepeda motor, dan untuk

mempersingkat perjalanannya, iapun memacu sepeda motor menerobos

larangan masuk. Niat untuk menerobos jalan tersebut kemudian diurungkan

karena di ujung jalan ia melihat ada seorang petugas Polantas yang sedang

berjaga. Sampai di dekat lokasi sasaran pencurian, Alimudin menunggu

waktu yang tepat sambil mempersiapkan peralatan yang akan dipergunakan

melakukan perbuatannya.

b. Pertanyaan :

Di dalam melakukan aksinya, Alimudin dalam kasus di atas telah pula

mencoba untuk melakukan pelanggaran dengan memasuki rambu

larangan masuk. Bagaimana pendapat saudara ?

c. Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. ​Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.​

Bandung : Sinar Baru, hal. 510 - 551

36
3. Muljatno 1980. ​Delik-delik Percobaan,​ 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22,

23.

4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 ​KUHP


(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.​

Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 - 36

5. Satochid K., ​Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.​ h. 362, 373,

364, 382.

6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. ​Hukum Pidana​.

Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265

7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. ​Hukum Pidana II.​

Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 - 15

8. Soesilo, ​Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik

Delik Khusus.​ h, 76- 77.

9. Sianturi, SR 198 ​Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya​. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

10. Tresna, R 1959. ​Azas-azas Hukum Pidana​. Jakarta : Tiara Ltd, hal.

76 - 81

11. Widnyana, I Made 1992. ​Hukum Pidana II ,​ Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 1-32.


37
POKOK BAHASAN II

PENYERTAAN ​(​DEELNEMING)​

PERTEMUAN KE III : PERKULIAHAAN II

BAB II

PENYERTAAN ​(​DEELNEMING)​

A. Pendahuluan

Sering terjadi bahwa, peserta atau pelaku tindak pidananya bervariasi

dan dalam hal ini ada aktor intelektualisnya. Sehingga pertanggungjawaban

pidananya juga berbeda. Hukumannya (pidana) juga berbeda antara satu


dengan yang lainnya. Dengan demikian diperlukan ajaran penyertaan

(​deelneming)​ untuk “Menentukan batas-batas pertanggungjawaban pidana

dari masing-masing peserta atau pelaku”. KUHP juga telah mengatur

mengenai penyertaan ini dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.

Setelah mempelajari materi dalam Penyertaan (​deelneming)​ , Capaian

Pembelajaran yang diperoleh adalah mahasiswa menguasai pengetahuan

​ rang Yang Melakukan ​(


mengenai Pengertian Penyertaan ​( Deelneming ), O

​ urut Melakukan ​( Medeplegen ), O


Pleger ), T ​ rang yang menyuruh

​ enganjurkan ( ​Uitlokken )​ . Penyertaan


melakukan ​( doen pleger ), dan M

(​deelneming)​ perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami materi

dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam

tutorial dapat dianalisis dengan baik.

B​. Pengertian Penyertaan ( Deelneming )

Penyertaan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “

deelnemen “​ , yang diterjemahkan dengan kata “ menyertai “, ada juga yang

mengartikan dengan istilah yang “ mengambil bagian “, semacam

pengertian “ berpartisipasi “ yang umum digunakan dewasa ini. Prof.

Moeljatno menterjemahkan dengan “ penyertaan “, Utrecht menterjemahkan

dengan “ turut serta “, Satauchid Kartanegara dalam kumpulan kuliahnya

tetap menggunakan perkataan “ ​deelneming ​“, yaitu : apabila dalam satu

38
delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. ​(Laden Merpaung,

2009 : 77). ​Utrecht mengatakan bahwa : pelajaran umum turut serta ini justru

dibuat untuk menuntut pertanggung jawaban mereka yang memungkinkan


pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri

tidak memuat anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan

pembuat – yaitu perbuatan mereka tidak memuat anasir-anasir peristiwa

pidana, masih juga mereka bertanggung jawab atas dilakukannya peristiwa

pidana, oleh kare tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana

itu tidak pernah terjadi ​(Adami Chazawi (1), 2002 : 69).

Didalam ajaran penyertaan yang merupakan buah fikiran dari von

Feuerbach hanya mengenal adanya 2 (dua) jenis peserta, yaitu :

1. Mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana atau

auctores ​atau ​urhuber,​ yaitu yang melakukan inisiatif. Dalam

golongan ini ada 4 (empat) pelaku peserta, yaitu : yang melakukan

( ​pleger ​), yang menyuruh melakukan ( ​doen pleger ​), yang turut

melakukan ( ​medepleger )​ , dan yang membujuk ( ​uitlokker )​

2. Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka

yang disebut pada ad. A, yaitu mereka yang tidak langsung

berusaha atau ​gehilfe y​ aitu orang yang membantu saja (

medeplichtige )​ ​(Utrecht , 1965 : 7-8).

Ketentuan Pasal 55 KUHP menyatakan :

ayat (1) : dipidana sebagai pembuat ( ​dader ​) sesuatu perbuatan


pidana : ke-1 : mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan
yang turut serta melakukan perbuatan ke-2 : mereka yang dengan
memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan ayat (2):
terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan beserta akibat- akibatnya ​(Moeljatno, 2008 : 25).
Ketentuan Pasal 56 KUHP menyatakan : dipidana sebagai pembantu

( ​medeplichtige ​) sesuatu kejahatan :

39
ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan ​(Meoljatno, 2008 : 26).

Dengan demikian, secara umum ketentuan yang mengatur tentang

penyertaan ini terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah apabila

dalam suatu tindak pidana terlibat / tersangkut beberapa orang atau lebih

dari satu orang. Dimana keterlibatan mereka / orang-orang tersebut dapat

berupa : ​a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik

b. Mungkin hanya seorang yang mempunyai kehendak dan

merencanakan delik, tetapi delik tersebut tidak dilakukannya

sendiri, tetapi menggunakan orang lain untuk melaksanakan delik

tersebut

c. Dapat juga terjadi, hanya seorang yang melakukan delik,

sedangkan orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan

delik ​(A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004 : 115)

Beberapa orang sarjana, antara lain Van Hammel, Simons, Van

Hattum, Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa ketentuan dalam KUHP

tersebut dimaksudkan untuk ​“ mengatur pertanggung jawaban menurut

hukum pidana bagi setiap orang yang terlibat dalam suatu perbuatan

pidana, oleh karena tanpa ketentuan tersebut orang yang terlibat tidak dapat

dijatuhi pidana “.​ ​Pada umumnya pasal-pasal dalam KUHP menentukan

dengan istilah “ barang siapa “, yang dapat dianggap sebagai mengatur


ancaman pidana itu bagi hanya si pelaku sendiri, walalupun terdapat pula

pasal yang menyebutkan bilaman perbuatan itu dilakukan bersama-sama,

misalnya Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP, yaitu pencurian berkualifikasi yang

dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Mengenai

pertanggung jawaban ini terdapat dua (2) sistem pokok yang berlaku, yaitu :

a). tiap peserta dipandang sama nilai pertanggung jawabannya

dengan pelaku, sehingga mereka juga dipertanggung jawabkan

sama

b). tiap peserta tidak dipandang sama nilai pertanggung jawabannya,

dengan pembedaan menurut sifat perbuatan yang dilakukan.

40
​ enurut Ilmu
Sedangkan bentuk penyertaan / ​deelneming m

Pengetahuan Hukum Pidana ( doktrin ) adalah :

1. Bentuk penyertaan yang berdiri sendiri ( ​Zelfstandige vormen van

deelneming )​ , dimana pertanggung jawaban tiap-tiap peserta

dinilai sendiri-sendiri

2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri ( ​Onzelfstandige

​ tau ​aecessoire vormen van deelneming


vormen van deelneming a

), dimana pertanggung jawaban seorang peserta digantungkan

kepada perbuatan peserta lainnya, artinya adalah peserta pertama

baru bertanggung jawab, apabila kawan pesertanya melakukan

melakukan perbuatan pidana ​( I Made Widnyana, 1992 : 34 dan Utrecht, 1965 : 13)

Ketentuan dimasing-masing negara berbeda-beda, ​Code Penal

Perancis menyamakan saja pertanggung jawaban ​“ aucteurs “ ​dan ​“

complices “. I​ nggris juga menyamakan tanggung jawab antara ​“


​ an ​“ accessories “, ​Jerman membedakan tanggung jawab ​“
principals “ d

tater / anstifter “ ​dan ​“ gehilfe “, d


​ emikian juga Swiss. Prof. Moeljatno

melihat bahwa KUHP Indonesia mengikuti sistem campuran dalam hal ini,

yaitu dengan cara mengelompokkan peserta dalam Pasal 55 KUHP yaitu

yang dipidana sebagai ​“ dader “ ​( ​pelaku ​) dan Pasal 56 KUHP yang

dipidana sebagai ​“ pembantu “ ​( ​medeplichtige ​), akan tetapi bagi

pembantu pidananya lebih ringan dengan dikurangi 1/3 ( sepertiga ) nya

(Pasal 57 KUHP) ​(Lihat Utrecht, 1965 : 7-9).

Dari rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP tersebut diatas, terdapat

beberapa macam peserta perbuatan pidana, yaitu :

A). Kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam

pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan “ para

pembuat “ / ​mededader​, yaitu :

1). Yang melakukan atau ​plegen, ​orangnya disebut dengan

pembuat pelaksana atau ​/ Pleger ​/ ​dader of doer

2). Yang menyuruh melakukan atau ​doen plegen, ​orangnya

disebut dengan pembuat penyuruh atau ​doen pleger /

Manus Domina )​

3). Yang turut serta melakukan atau ​medeplegen, ​orangnya

disebut dengan pembuat peserta atau ​medepleger

41
4). Yang menganjurkan / membujuk atau ​uitlokken​, orangnya

disebut dengan pembuat penganjur atau ​uitlokker

B). Kelompok orang yang disebut dengan pembuat pembantu (

medeplichtige ) ​kejahatan, yang dibedakan menjadi : 1).


Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan dan 2).

Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan ​( Adami Chazawi


(1), 2002 : 79 ).

Dengan melihat rumusan didalam Pasal 55 KUHP tersebut diatas

terdapat 2 ( dua ) istilah ​“ dader “ ​dan ​“ pleger / plegen “​, yang menurut

kesimpulan beberapa sarjana, merupakan istilah dengan pengertian yang

sama. Van Hattum merumuskan ​“ dader “ ​adalah ​hij die het feit pleegt,​ yaitu

orang yang memenuhi rumusan delik atau orang yang memenuhi semua

unsur dan rumusan delik. Hazewinkel-Suringa memberikan rumusan untuk “

pleger “​ sebagai yang telah memenuhi semua unsur dari delik, seperti yang

ditentukan didalam rumusan delik yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya

“ dader “ ​dan ​“ plager “ ​itu adalah sama, yang dapat diterjemahkan kedalam

bahasa Indonesia sebagai ​“ pelaku “. ​Dengan mengutip dari van

Bemmelen, Lamintang mengatakan bahwa dengan cara merumuskan

ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP yang menggunakan “ dipidana “

sebagai dader mereka yang ​het feit plegen​........ dan seterusnya,

pembentuk undang-undang telah menciptakan kesulitan bagi praktek.

Terhadap pendapat-pendapat apakah mereka yang turut serta itu ​dianggap

sebagai pelaku ataukah mereka itu harus ​“ dipidana “ ​sebagai pelaku,

yang secara praktisnya sebenarnya sama saja dan memang maksudnya

adalah menyangkut pertanggung jawaban menurut hukum pidana.

Sebelum tahun 1932 HR berpendapat bahwa “ peserta bukanlah

pelaku “, hanya mereka itu dipidana sebagai pelaku sampai dengan

maksimumnya “, tetapi sejak tahun 1932 HR berpendapat bahwa “ peserta “

adalah “ pelaku “. Peserta-peserta yang disebut dalam Pasal 55 KUHP yaitu


nomor 1 – 4 diatas semuanya dinamakan “ ​dader “​ , sedangkan yang disebut

dalam Pasal 56 KUHP yaitu nomor 5 semuanya dinamakan “ Pembantu “ (

medeplichtige )​ . Peserta dalam Pasal 55 KUHP dapat diterangkan secara

singkat dan hal ini sesuai dengan MvT, yaitu :

42
Pertama : mereka yang melakukan ( ​plegen ​), perbuatan seperti

yang dirumuskan dalam Buku II dan III KUHP secara

material dan pribadi ( ​persoonlijk )​ , dengan atau tanpa

bantuan orang lain.

Kedua : mereka yang juga melakukan perbuatan, tetapi tidak

secara pribadi melainkan dengan perantaraan orang lain.

Orang lain yang melakukan itu tidak mempunyai

kesengajaan, kealpaan atau kemampuan bertanggung

jawab. Yang menyuruh melakukan inilah yang

bertanggung jawab dan mereka adalah “ ​doen pleger “​

Ketiga : mereka yang bersama-sama melakukan perbuatan itu,

mereka inilah yang “ ​mededader ​“ atau

yang turut serta melakukan.

Keempat : mereka yang menganjurkan dilakukannya perbuatan itu,

jadi secara material membujuk atau menganjurkan

dengan cara yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1) ke- 2

KUHP, mereka inilah yang disebut “ ​uitlokker “​ (

penganjur ).

Mereka semua ini adalah ​actor intelectualis​, ada pendapat yang

sifatnya ​restriktif ​dan menurut pendapat ini yang disebut sebagai ​“ dader “
adalah mereka yang secara pribadi dan material melakukan perbuatan,

sedangkan yang lain-lain itu tadi hanyalah ​“ dianggap sebagai dader “.​

Mereka ini bukan “ pelaku “. Van Hattum berpendapat bahwa KUHP

menganut pendangan yang restriktif ini. Pandangan lain lain bahwa para

peserta adalah “ ​dader ​“ ( pelaku ) disebut sebagai pandangan yang ​“

ekstensif “ ​( luas ).

Van Hattum mempunyai keberatan terhadap pandangan yang

ekstensif tersebut, karena kalau mereka yang menyuruh melakukan dan

yang menganjurkan adalah dader, mereka ini harus memiliki kualitas atau

syarat pribadi sebagai yang dimaksud dalam rumusan tindak pidana.

Misalnya delik jabatan, tentunya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang

memiliki kedudukkan atau jabatan tersebut. Pendirian HR sebelum tahun

1932 dapat diberikan contoh sebagaimana dibawah ini :

43
“ Seorang walikota mengajukan permohonan kepada pembesar yang

berwenang di propinsi untuk memberikan pas jalan ke luar negeri

dengan mencantumkan umur yang tidak benar dari orang yang

memerlukan pas jalan tersebut “. Perbuatan walikota ini dituntut

dengan tuduhan “ menyuruh melakukan “ tindak pidana yang

tersebut dalam pasal 270 KUHP, walikota tersebut dipidana 1 ( satu )

hari. Walikota mengajukan kasasi dengan alasan : ia tidak memiliki

kualitas pribadi atau wewenang untuk mengeluarkan pas jalan dan

tidak menyuruh membuat pas jalan secara palsu, melainkan

menyuruh memberikan pas jalan yang palsu. HR


mempertimbangkan bahwa mengenai orang yang menyuruh

melakukan perbuatan ( medelijke dader ) menurut undang-undang

adalah dader, jadi harus mempunyai kesengajaan dan kualitas

pribadi, seperti yang diharuskan dalam rumusan tindak pidana.

Putusan HR membenarkan terdakwa dan membatalkan keputusan

pengadilan bahwahan, lalu melepaskan terdakwa dari segala

tuntutan hukum .

Dalam hubungannya antara turut serta dan pembantu dapat

dijelaskan bahwa apabila kerjasama yang dilakukan oleh 2 ( dua ) orang

atau lebih itu demikian eratnya, maka mereka yang melakukan itu masing-

​ edepleger “ (​ yang turut serta melakukan ) dan bukannya


masing adalah ​“ m

sebagai ​“ medeplichtige “ (​ pembantu ). ​Contoh mengenai hal ini adalah

sebagai berikut : “ 2 ( dua ) orang melakukan pembakaran gudang di

Wormerveer, yang menyalakan rumput kering untuk membakar gudang itu

adalah A, sedang B ( yang kasasi ) hanyalah memegangi tangga dan

memberikan rumput kering kepada A. B mengajukan alasan bahwa ia hanya

sebagai membantu saja “. Dalam putusan kasasi dinyatakan bahwa

kerjasama antara A dan B sedemikian eratnya dan dengan kata sepakat

sebelumnya, maka A dan B keduanya adalah “ medepleger “ ( yang turut

serta melakukan ).

44
A. ​Orang Yang Melakukan ( Pleger )
Diatas telah disebutkan bahwa “ ​dader “​ sama dengan “ ​pleger “​ ,

karena pada hakekatnya / intinya “ ​pleger “​ itu berarti juga melakukan. Yang

disebut dengan “ ​dader “​ adalah orang yang melakukan sendiri “ suatu

perbuatan yang dirumuskan dalam tiap-tiap delik. Pasal 55 KUHP tidak

dimaksudkan untuk menjatuhkan pidana kepada “ ​dader “​ , tetapi kepada “

pleger “​ dan karena itu dalam lingkup “ penyertaan “, maka tindak pidana ini

atau delik tidak harus dilakukan sendiri. Prof. Satauchid Kartanegara

menyatakan bahwa sebenarnya mencantumkan rumusan “ ​die feit plegen ​“

itu berlebihan, sebab andaikata perumusan itu tidak dicantumkan, sudah

pasti juga akan diketahui siapa pelakunya, yaitu dalam :

1). Delik dengan perumusan formal, pelakunya adalah “ barangsiapa

yang memenuhi rumusan delik “.

2). Delik dengan perumusan material, pelakunya adalah “

barangsiapa yang menimbulkan akibat yang dilarang “.

3). Delik yang memiliki unsur kedudukkan atau kualitas (

hoedanigheid enqualiteit )​ , palakunua adalah mereka yang

memiliki unsur kedudukkan atau kualitas sebagai yang ditentukan

itu, yaitu misalnya kejahatan dalam jabatan, yang dapat

melakukan adalah hanya para pejabat itu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa “ ​pleger ​“ adalah barangsiapa yang

memenuhi semua unsur dari yang terdapat dalam rumusan delik ​(Laden
Merpaung, 2009 : 78-79).

B. ​Orang yang menyuruh melakukan ( doen pleger )


Ajaran dalam penyertaan ini disebut juga “ ​middelijke daderschap “​ (

perbuatan dengan perantaraan ). Yang dimaksud dengan orang yang

menyuruh melakukan adalah : ​“ seseorang yang berkehendak untuk

melakukan suatu delik, tetapi tidak melakukan sendiri dan menyuruh

orang lain untuk melakukannya ​“. Persyaratan yang penting ini adalah

bahwa orang yang disuruh haruslah orang yang tidak dapat dipertanggung

jawabkan menurut KUHP. ​Doen pleger ​ini terdapat 2 (dua) pihak yaitu : “

45
orang yang menyuruh “​ , dapat juga disebut sebagai “ ​middelijke dader ​“

atau “ ​manus domina “​ dan “ ​orang yang disuruh “​ , dapat juga disebut

sebagai “ ​onmiddelijk dader ​“ atau “ ​manus ministra ​“. ​(Laden Marpaung, 2009 : 79)

Hal-hal yang membuat orang yang disuruh ( ​onmidelijk dader /

manus ministra )​ itu tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam hal ini

adalah “ ​alasan yang menghilangkan unsur kesalahannya ​“, yaitu :

a). Kurang sempurna akalnya, seperti dirumuskan dalam Pasal 44

KUHP

b). Berada dalam keadaan dipaksa ( ​overmacht ​), seperti diatur

dalam Pasal 48 KUHP

c). Melakukan perintah jabatan yang tidak syah dengan persyaratan

: (1). Melakukannya dengan etikad baik ( ​ter goeder trouw ​) dan

(2). Perintah jabatan itu pelaksanaannya berada dalam

kewenangannya.

d). Benar-benar tidak mempunyai dasar kesalahan dalam

melaksanakan perbuatan

e). Tidak mempunyai suatu sifat tertentu ( ​hoedanigheid )​ yang


dipersyaratkan oleh undang-undang ( misalnya kejahatan jabatan

yang hanya dapat dikenakan kepada mereka yang

berkedudukkan atau memiliki jabatan itu ). ​(Laden Marpaung, 2009 : 79-80)

Terdapat perbedaan antara menyuruh melakukan / ​doen pleger

dengan membujuk / ​uitlokking,​ yaitu “ orang yang disuruh melakukan tidak

dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan dalam membujuk / ​uitlokking,​

orang yang dibujuk itu adalah seorang yang dapat dipertanggung jawabkan

menurut KUHP “. Terdapat persoalan , apakah seorang yang tidak

mempunyai sifat atau kualitas seperti dirumuskan dalam undang-undang

menyuruh orang lain yang mempunyai kualitas tersebut, misalnya saja : ​“

bukan pegawai / pejabat menyuruh melakukan seorang pejabat untuk

melakukan tindak pidana atau seorang wanita menyuruh orang gila untuk

memperkosa seorang wanita atau seorang suami mneyuruh orang lain

untuk memperkosa istrinya “?

Van Hammel mengatakan bahwa tidak mungkinlah seorang bukan

pegawai menyuruh seorang pegawai untuk melakukan tindak pidana /

46
kejahatan jabatan, karena ia sendiri tidak dapat melakukannya, dalam hal ini

Van Hammel mencari penyelesaiannya dalam membujuk. Memang dalam

hal seperti yang tersebut diatas terjadi semacam teka-teki, tetapi jika kita

mengikuti pendirian bahwa ​“ menyuruh melakukan “ ​adalah salah satu

bentuk “ ​daderschap ​“ ( halnya melakukan ), yaitu ada yang melakukan

sendiri dan ada yang dilakukan oleh orang lain, maka dapat saja terjadi

demikian. Jongkers yang mengatakan bahwa peserta dalam Pasal 55


KUHP itu “ dipidana sebagai pelaku “ ( jadi bukan dianggap sebagai

pelakunya sendiri ) dan berpendapat bahwa bisa saja seorang yang bukan

pegawai menyuruh seorang pegawai untuk melakukan kejahatan jabatan.

Demikian pula beberapa sarjana lain, masing-masing mempunyai

konstruksinya sendiri-sendiri untuk menjelaskan pendapatnya. Putusan HR

tanggal 21 April 1915 menyatakan bahwa : ​“ seorang yang disuruh

melakukan itu bukanlah seorang pelaku, melainkan disamakan dengan

orang yang demikian, kerenanya seorang yang tidak mempunyai sifat-sifat

pribadi tersebut merupakan unsur dari kejahatan yang dilakukan itu “.

Prof. Simons mengutarakan bahwa orang yang disuruh tersebut

harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :

1. apabila yang yang disuruh melakukan tindak pidana itu adalah

seseorang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan seperti yang

dimaksud dalam Pasal 44 KUHP

2. apabila orang yang disuruh melakukan tindak pidana mempunyai

dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai unsur tindak

pidana yang bersangkutan ​( Laden Marpaung, 2009 : 79-80 ).

C. ​Turut Melakukan ( Medeplegen )

Turut melakukan adalah bentuk ke-2 ( kedua ) dari penyertaan. MvT

mengemukakan bahwa orang yang turut melakukan adalah orang yang

dengan sengaja turut berbuat dalam melakukan suatu delik. Perkataan “

turut berbuat “ itu perlu dijelaskan dan hal ini menjadi bahan perbincangan

dan pendapat-pendapat para sarjana. Van Hammel dan Trapman

berpendapat bahwa turut melakukan itu terjadi apbila perbuatan masing-


masing peserta memuat semua unsur delik yang bersangkutan. Tetapi hal

47
ini ditentang oleh para sarjana lainnya, seperti Simons, Hazewinkel-Suringa

dan van Hattum. Kalau pendapat van Hammel itu betul, maka apa gunanya

ada ketentuan tentang “ turut serta “, sebab kalau masing-masing telah

memenuhi unsur delik secara lengkap , bukankah tidak perlu diadakan

ketentuan “ turut serta “ ini. Kadang-kadang sesuatu itu harus dikerjakan

bersama-sama dan tiap orang tidak perlu sepenuhnya menyelesaikan

sesuatu itu, sehingga pendapat van Hammel itu terlalu sempit. Simons

berpendirian lebih luas, ia berpendapat bahwa yang “ turut serta “

melakukan delik adalah “ pelaku “, oleh karena itu mereka yang turut serta

harus memiliki kualitas pribadi yang dipersyaratkan untuk melakukan delik,

jika tidak, maka mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai orang yang

turut serta. Vos menambahkan bahwa dalam hal demikian, maka hanya

dapat dikualifikasikan sebagai pembantu.

Dalam turut melakukan / ​medeplegen ​merupakan bentuk ​deelneming

yang apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu perbuatan

yang dapat dipidana. Diantara mereka itu harus ada kesadaran berdasarkan

perundingan / permufakatan bahwa mereka akan atau untuk melakukan

suatu tindak pidana, meskipun perundingan / permufakatan itu bukan

merupakan syarat mutlak untuk adanya ​medepleger (​ A.Fuad Usfa dan Tongat, 2004 :

116-117 dan Laden Marpaung, 2009 : 81). ​Vos

memberikan sebuah contoh :

“ A dan B bersama-sama memasuki rumah melalui jendela yang

terkunci dan jendela ini telah dibuka dengan kekeresan oleh A,


selanjutnya B mengambil barang itu tanpa seizin pemiliknya dan

hanya B yang melakukan dan tidak oleh A, walaupun demikian, A

juga dipidana sebagai melakukan pencurian dengan kekerasan “.

Noyon berpendapat lain lagi, menurut dia “ ​mededaderschap ​“ itu

adalah “ ​daderschap ​“ dan “ ​medeplegen ​“ ( turut serta ) ini merupakan

bentuk yang khusus, yaitu justru dalam ​medeplegen i​ ni tidak diperlukan

seluruh kualitas yang ada pada seorang pelaku. Alasannya adalah

bertumpu pada Pasal 284 KUHP yaitu mengenai perzinahan. Seorang pria

yang tidak beristri atau seorang wanita yang tidak bersuami oleh undang-

undang dengan tegas dinyatakan sebagai “ turut serta dalam zina “, padahal

48
mereka sendiri tidak mungkin melakukan perbuatan zina oleh karena

mereka belum menikah.

Jurisprudensi yang ditimbulkan dengan putusan HR tanggal 21 Juni

1926 berdiri diantara pendirian Simons dan Noyon. Pendapat HR adalah

bahwa tidak perlu yang turut melakukan itu memiliki kualitas sepenuhnya

pada pelaku. Selanjutnya dalam keputusan HR tanggal 29 Oktober 1934

diberikan ukuran bagi turut melakukan, yaitu : ​(a). ​antara para peserta ada

suatu kerjasama yang disadari dan (​ b). ​para peserta bersama-sama telah

melakukan perbuatan itu.​ Persoalaan selanjutnya adalah : apakah

kerjasama yang erat diantara para peserta itu perlu diperjanjikan atau

disepakati bersama terlebih dahulu ? Hazewinkel-Suringa berpendapat

bahwa tidak perlulah kerjasama yang erat itu terlebih dahulu disepakati,

cukup apabila telah ada saling mengerti dan perbuatannya itu ditujukan
pada satu tujuan yang sama. Sehingga kiranya ada 2 (dua) orang A dan B

yang hendak melakukan sesuatu kejahatan terhadap C dilakukan secara

turut melakukan ( ​medeplegen ​), apabila A berkehendak untuk membunuh

C, sedangkan B hanya berkehendak untuk menganiaya C saja.

Dalam hal pengertian “ melakukan perbuatan “ seperti tersebut pada

b ( para peserta bersama-sama telah melakukan perbuatan itu ) diatas,

mungkin sekali timbul permasalahan apa yang dimaksud dengan “

melakukan “ atau “ melaksanakan “ itu. Peristiwa ini sama halnya dengan

kesulitan yang timbul dalam hal percobaan, yaitu untuk membedakan

tindakan persiapan ( ​voorbereiding )​ dan permulaan pelaksanaan ( ​begin

van uitvoering )​ . Untuk lebih dapat terperinci memahami pengertian turut

melakukan kehendak ini. ​( lebih detail dapat dibaca dari ​Buku Dasar-Dasar Hukum Pidana ​dari
P.A.F. Lamintang, hal. 582 – 606 ).

D. Menganjurkan ( ​Uitlokken )​

Seperti halnya bentuk penyertaan “ ​doen plegen ​“ dan “ ​medeplegen

“, maka penganjuran atau uitlokken ini juga merupakan suatu bentuk

penyertaan, yaitu terdapatnya 2 ( dua ) orang atau lebih, disatu pihak

​ an pihak lan sebagai ​actor materialis.​ Dalam


sebagai ​actor intellcktualis d

Pasl 55 ayat (1) ke-2 KUHP disebutkan secara limitatif upaya untuk

terjadinya penganjuran, yaitu :

49
1). Memberi atau menjajikan sesuatu

2). Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat

3). Dengan kekerasan


4). Dengan ancaman atau penyesatan

5). Memberi kesempatan, sarana atau keterangan

Sedangkan Prof. Moeljatno mempersyaratkan adanya penganjuran

yaitu :

1). Harus ada orang yang mempunyai kesengajaan untuk melakukan

perbuatan pidana dengan menganjurkan orang lain

2). Harus ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang

sengaja dianjurkan

3). Cara menganjurkan harus dengan cara seperti yang ditentukan

dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP

4). Orang yang dianjurkan harus benar-benar melakukan perbuatan

pidana seperti yang dikehendaki oleh penganjur. ​(Lihat I Made


Widnyana, 1992 : 47).

Van Hammel merumuskan penganjuran sebagai berikut :

“ Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat

dipertanggung jawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan

suatu tindak pidana, dengan menggunakan cara-cara yang

telah ditentukan oleh undang-undang dan karena tergerak,

orang tersebut kemudian dengan sengaja melakukan tindak

pidana yang bersangkutan “

Dari kedua rumusan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa :

antara “ menyuruh melakukan “ dan “ menganjurkan “ terdapat persamaan,

yaitu adanya “ ​manus domina / middelijk dader ​( yang menyuruh ) “ dan “

manus ministra / onmiddelijk dader ​( orang yang disuruh ) “. Sedangkan


perbedaannya adalah : ​(a). ​Dalam ​Manus ministra (​ yang disuruh ) dalam

doen plegen ​( yang menyuruh melakukan ) haruslah seorang yang tidak

dapat dipertanggung jawabkan ( ​niet – toerekenbaar )​ , sedangkan dalam

manus ministra (​ yang disuruh ) dalam penganjuran ( ​uitlokking )​ adalah

orang yang dapat dipetanggung jawabkan atas perbuatannya, ​(b). ​Cara-

cara menyuruh dalam ​doen plegen (​ yang menyuruh melakukan ) tidak

50
ditentukan oleh undang-undang, sedangkan cara-cara untuk menganjurkan

ditentukan secara limitatif seperti tersebut diatas

Dari Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP tersebut juga dapat diketahui,

bahwa kesengajaan dari penganjur harus ditujukan kepada tindak

pidananya yang diharapkan dilakukan oleh orang lain yang telah digerakkan

dengan cara-cara tersebut. Bagaimana halnya dengan kesengajaan dari

orang yang telah digerakkan oleh karena anjuran itu ? Apakah harus sama

ataukah malahan yang digerakkan tidak perlu mempunyai kesengajaan itu ?

van Hammel mengatakan bahwa secara yuridis kesengajaan orang

yang telah digerakkan oleh si penganjur itu haruslah identik dengan

kesengajaan yang menganjurkan. Dalam hal yang digerakkan tidak

mempunyai kesengajaan, maka bentuknya lalu bukanlah menganjurkan,

oleh karena tidak adanya kesengajaan itu berarti tidak memenuhi rumusan

delik sehingga orang itu tidak dapat dikatagorikan sebagai alat mati dan ini

adalah bentuk penyertaan ​doen plegen (​ yang menyuruh melakukan ).

Kesengajaan dari penganjur dan yang diberi anjuran harus identik, apakah

hal ini tidak sama dengan pelakunya sendiri ?. Dengan perkataan lain

seolah-olah tidak ada perbedaan sama sekali mengenai kesengajaan


maupun akibat hukum yang berlaku, baik bagi penganjur maupun orang

yang digerakkan, sebab kesengajaan harus sama, juga ancaman pidananya

sama.

Yang merupakan perbedaan antara penganjuran dan pelaku

penganjuran :

(1). Adanya penganjuran adalah bila kesengajaan dari orang yang

melakukan ( yang digerakkan ) baru timbul setelah terjadinya

penganjuran. Jadi kesengajaan seorang penganjur dengan

kesengajaan dari orang orang yang dianjurkan timbul pada

waktu berbeda.

(2). Seorang penganjur tidak bertanggung jawab atas perbuatan

orang yang digerakkan yang melebihi dari apa yang dianjurkan (

Pasal 55 ayat (2) KUHP )

Seorang penganjur harus bertanggung jawab samapi batas hal-hal

yang dianjurkan beserta akibat-akibatnya. Seorang penganjur yang orang

lain untuk penganiayaan, tidak dapat dipertanggung jawabkan atau

51
dipersalahkan sebagai menganjurkan pembunuhan, jika orang yang

digerakkan itu akhirnya melakukan pembunuhan, bukan hanya

penganiayaan. Bagaimana halnya bila seorang telah menggerakkan orang

lain untuk melakukan suatu delik tertentu dengan cara yang ditentukan oleh

undang-undang, tetapi ternyata orang yang digerakkan tidak melakukannya.

Apakah si penganjur tetap dapat dipidana ?

Mengenai hal ini perlu dijelaskan, bahwa terdapat 2 (dua) pendirian

tentang penyertaan, yaitu :


(a). Yang beranggapan bahwa penyertaan adalah sesuatu hal yang

berdiri sendiri ( ​zelfstanding vormen van deelneming )​

(b). Yang beranggapan bahwa penyertaan adalah sesuatu hal yang

tidak berdiri sendiri ( ​onzelfstanding vormen van deelneming

atau ​aecessoire varmen van deelneming ​) ​(Lihat kembali I Made


Widnyana, 1992 : 34 dan Utrecht (1), 1965 : 13).

Contoh : A memberikan sejumlah uang kepada B dengan janji

supaya B menganiaya C. Setelah B menerima uang, B

tidak jadi menganiaya C

Menurut pendapat pertama ( ​Zelfstandig vormen van deelneming ​–

bentuk penyertaan itu berdiri sendiri ), maka A tetap dapat dituntut karena

melakukan perbuatan yang dapat dipidana, sedangkan sebaliknya yang

mengikuti pendapat kedua ( ​Onzelfstandig vormen van deelneming ​– bentuk

penyertaan yang tidak berdiri sendiri ), A tidak dapat dipidana, sebab B

belum atau tidak melakukan perbuatan yang dianjurkan tersebut. Pendapat

tersebut diatas sangat sulit diterapkan dalam praktek, meskipun ada Pasal

53 KUHP tentang percobaan melakukan kejahatan tetap dapat dihukum.

Untuk mengatasi kesulitan ini, maka pada tahun 1925 disusulkan Pasal 163

bis dalam KUHP. Paasal 163 bis KUHP ini menampung perbuatan pidana

yang terjadi karena digerakkan atau dianjurkan ( pelaku material ) tidak

sampai melakukan perbuatan yang dikehendaki oleh si penganjur ( ​uitlokker

). Penganjuran ini terkenal dengan “ Penganjuran Yang Meleset atau

Penganjuran Yang Tanpa Hasil atau ​Mislukte Uitlokking “​ .

Didalam Pasal 163 bis KUHP menyatakan :

(1). Barangsiapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut


dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2, mencoba menggerakkan orang lain

52
supaya melakukan kejahatan, diancam dengan pidana penjara

paling lama enam tahun atau denda paling banyak tiga ratus

rupiah, jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan

kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan bahwa sekali-

kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang

ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri

(2). Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya

kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana itu,

disebabkan karena kehendaknya sendiri

Dari rumusan pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan 2 ( dua ) hal

yang penting, yaitu :

1). Pidana yang dijatuhkan lebih ringan atau sekali-kali dapat

dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang

ditentukan terhadap kejahatan percobaan.

2). Aturan Pasal 163 bis KUHP tidak berlaku, jika tidak

mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang

disebabkan karena kehendak si penganjur sendiri

Seperti disebutkan diatas cara-cara untuk menganjurkan ditentukan

secara limitatif oleh undang-undang, ialah :

a). Memberikan : yang diberikan tidak perlu harus berbentuk uang,

tetapi dapat juga dalam bentuk barang, pangkat dsb.nya.

b). Menjanjikan : janji ini berarti kesanggupan dan hal ini juga tidak

harus berbentuk uang, tetapi dapat juga dalam bentuk barang


atau pangkat dsb.nya.

c). Menyalahgunakan kekuasaan : yang dimaksudkan adalah harus

ada kekuasaan yang dimiliki oleh penganjur, seperti halnya

kekuasaan dalam lingkungan pekerjaan, juga kekuasaan orang

tua terhadap anak. Prof. Satauchid Kartanegara dipermasalahkan

hubungan kekuasaan majikan terhadap buruh yang bersifat

perdata, apakah ini juga termasuk sebagai adanya kekuasaan (

gezag ​) dari majikan terhadap buruh.

d). Menyalahgunakan martabat : bentuk upaya ini tidak terdapat

dalam KUHP Belanda, ini adalah spesifik Indonesia, seperti

53
Bupati, Kepala Desa yang mempunyai kedudukkan atau martabat

yang dihormati didaerahnya.

e). Kekerasan : apabila mempergunakan kekerasan sampai timbul

overmacht​, maka hal ini tidak termasuk dalam penganjuran (

uitlokking ​), tetapi berada dalam lingkungan menyuruh

melakukan. Oleh karena itu kekerasan yang digunakan dalam

penganjuran harus lebih ringan sifatnya, yaitu yang menurut

perhitungan yang layak masih dapat dielakkan, sehingga tidak

timbul ​overmacht.

f). Ancaman : juga harus dipertimbangkan seperti halnya dalam

huruf e.

g). Muslihat : ialah dengan kata-kata yang menimbulkan pengertian

yang salah atau sesuatu yang “ ​misleid “​ kepada hal yang lain.
h). Memberikan kesempatan, sarana atau keterangan : misalnya

seorang pembantu rumah tangga yang memberikan kesempatan

dengan membukakan pintu agar pelaku dapat masuk,

meminjamkan senjata, pemebritahuan tentang situasi dan kondisi

rumah oleh pembantu rumah tangga.

Didalam KUHP terdapat pasal yang mirip dengan penganjuran, yaitu

Pasal 160 KUHP, yang dikenal dengan “ Penghasutan “, yaitu

menggerakkan orang banyak untuk melakukan yang dapat dipidana,

melawan kekuasaan pemerintah dengan kekerasan atau tidak menuruti

peraturan perundang-undangan atau perintah jabatan. ​Perbedaannya

dengan penganjuran adalah kecuali penghasutan tersebut merupakan delik

tersendiri, objeknya biasanya orang banyak, juga cara-cara untuk

melakukan penghasutan dilakukan tidak secara limitatif, melainkan

ditentukan caranya harus dilakukan dengan lisan atau tulisan dan ditempat

umum.

Pertanggung Jawaban seorang penganjur

Jika kita tinjau bunyi Pasal 55 ayat (2) KUHP : “ ​terhadap penganjur

hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan

beserta akibat-akibatnya ​“, maka dapat disimpulkan bahwa disatu pihak

pertanggung jawabannya dibatasi, tetapi dilain pihak diperluas.

54
Dibatasi : karena yang diperhitungkan hanyalah apa yang dianjurkan saja,

maka jika yang dianjurkan melakukan delik yang melebihi

anjurannya, si penganjur hanya bertanggung jawab sebatas yang


dianjurkan dan kelebihannya menjadi tanggung jawab yang

dianjurkan. Contoh seperti diatas : Kalau A hanya menganjurkan

B untuk menganiaya C, tetapi B membunuh C, maka A hanya

dipertanggung jawabkan / dipersalahkan menganjurkan

penganiayaan, sedangkan B bertanggung jawab atas

pembunuhan terhadap C

Diperluas : karena juga mennyangkut beserta akibat-akibatnya, maka

seandainya dalam contoh diatas, B benar-benar hanya

menganiaya C, tetapi berakibat matinya C, maka A tidak

dipertanggung jawabkan atas anjurannya untuk menganiaya C,

melainkan juga menjadi penganiayaan yang mengakibatkan

kematian bagi C. Mengenai akibat ini, tidaklah perlu dapat

dibayangkan oleh si penganjur.

Kiranya masih perlu disebutkan disini hal-hal yang dalam praktek

terjadi, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh “ ​agent provocateur “​ .

Contohnya : seorang polisi mengetahui dengan jelas bahwa A sering

melakukan kejahatan. Karena kelihayannya, polisi itu sulit untuk

mendapatkan bukti dan menangkap A. Usaha polisi tersebut misalnya

dengan pura-pura menganjurkan supaya A melakukan kejahatan dan akan

ditangkap pad waktu melakukan kejahatan tersebut. Jadi pendeknya polisis

tersebut menjebak A, akhirnya A betul dapat tertangkap. Apakah polisi itu

sebagai penganjur dapat dijatuhi pidana ??

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, yaitu :

a). Pendapat disatu pihak menganggap bahwa penganjur ( polisi

yang menjebak dengan anjuran itu ) tidak dapat dipidana, dengan


alasan bahwa polisi tersebut tidak mempunyai niat untuk

melakukan kejahatan, tetapi siasat / akal / cara untuk menangkap

b). Pendapat yang lain beranggapan bahwa polisi itu harus dipidana,

karena perbuatannya memenuhi unsur-unsur yang terdapat

dalam Pasal 55 KUHP, tanpa mengiraukan niat yang sebenarnya

55
Penganjuran sebagai delik yang berdiri sendiri

Didalam KUHP juga banyak terdapat bentuk penganjuran yang

diangkat sebagai delik tersendiri, misalnya Pasal 236 KUHP tentang “

seorang yang dalam waktu damai menganjurkan seseorang anggota militer

untuk melakukan desersi “. Pasal 237 KUHP tentang “ penganjuran kepada

militer untuk mengadakan huru hara atau pemberontakkan “

Daftar Pustaka

Chazawi, Adami (1), 2002 : ​Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2​, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1984 : ​Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia​, Sinar


Baru, Bandung.

------------, 2008 : ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana​, Terjemahan,


Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : ​Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana,​ Sinar


Grafika, Jakarta.

​ T Penerbitan Universitas – Bandung.


Utrecht. E, 1965 : ​Hukum Pidana II, P
Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : ​Pengantar Hukum Pidana​, Penerbitan
Universitas Muhammad Malang, Malang.

Widnyana. I Made, 1992 : ​Hukum Pidana II​, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

C. Penutup

1. Rangkuman Materi

Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Dikatakan

penyertaan apabila dalam suatu tindak pidana terlibat / tersangkut beberapa

orang atau lebih dari satu orang. Beberapa orang sarjana, antara lain Van

Hammel, Simons, Van Hattum, Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa

ketentuan dalam KUHP tersebut dimaksudkan untuk ​“ mengatur

pertanggung jawaban menurut hukum pidana bagi setiap orang yang terlibat

dalam suatu perbuatan pidana, oleh karena tanpa ketentuan tersebut orang

56
yang terlibat tidak dapat dijatuhi pidana “. ​Jenis atau bentuk-bentuk dari

penyertaan :

- ​Orang Yang Melakukan ( Pleger )

Pasal 55 KUHP tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pidana kepada

“ ​dader “​ , tetapi kepada “ ​pleger ​“ dan karena itu dalam lingkup “

penyertaan “, maka tindak pidana ini atau delik tidak harus dilakukan

sendiri.

- ​Orang yang menyuruh melakukan ( doen pleger )

Yang dimaksud dengan orang yang menyuruh melakukan adalah : ​“


seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu delik, tetapi tidak

melakukan sendiri dan menyuruh orang lain untuk melakukannya “​ .

- ​Turut Melakukan ( Medeplegen )

MvT mengemukakan bahwa orang yang turut melakukan adalah orang

yang dengan sengaja turut berbuat dalam melakukan suatu delik.

- ​Menganjurkan ( ​Uitlokken ​)

Penganjuran atau uitlokken ini juga merupakan suatu bentuk

penyertaan, yaitu terdapatnya 2 ( dua ) orang atau lebih, disatu pihak

​ an pihak lan sebagai ​actor materialis.​


sebagai ​actor intellcktualis d

57
2. Latihan :

PERTEMUAN KE IV : TUTORIAL II
PENYERTAAN (​DEELNEMING)​

2) Pelaku dalam Hukum Pidana.

a. Kasus I

Ali bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di rumah Burhan

seorang saudagar ikan asin yang di kampungnya terkenal sangat kaya. Ali

tidak mau bekerja seorang diri, oleh karenanya ia mengajak Yudi, Yuda dan

Budi yang masih berstatus sebagai karyawan Burhan. Dalam usahanya

untuk memuluskan aksinya, Ali menyuruh Yudi pada malam yang telah

ditentukan untuk tidak mengunci pintu kantor tempat penyimpanan brankas,

sedangkan Yuda ditugaskan untuk menyiapkan tangga yang akan

dipergunakan sebagai alat bantu memanjat tembok menuju ke tempat

brankas. Untuk melakukan aksinya, Ali membujuk Budi pada malam yang

ditentukan untuk mengambil semua isi brankas di kantor Burhan untuk

kemudian dibawa ke rumah Ali. Hasil dari tindak pidana tersebut kemudian

dibagi-bagi secara merata di antara keempat orang tersebut.

b. Pertanyaan :

a. Jelaskan status masing-masing pelaku tindak pidana dalam contoh

kasus di atas !

b. Tentukan ancaman pidana untuk masing-masing pelaku !

c. ​Bahan Bacaan

1. ​Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945


2. ​Lamintang, P.A.F 1984. ​Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.​

Bandung : Sinar Baru, hal. 556 - 627

3. ​Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 ​KUHP

(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi​.

Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36

58
4. ​Satochid K., ​Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.​ h. 362, 373,

364, 382.

5. ​Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. ​Hukum Pidana.​

Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265

6. ​Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. ​Hukum Pidana II.​

Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39

7. ​Soesilo, ​Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik

Delik Khusus​. h, 76- 77.

8. ​Sianturi, SR 198 ​Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya.​ Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

9. ​Tresna, R 1959. ​Azas-azas Hukum Pidana.​ Jakarta : Tiara Ltd, hal.

82 – 97

10. ​Widnyana, I Made 1992. ​Hukum Pidana II ,​ Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 32 – 49

3) Menyuruh Orang lain, Bersama-sama melakukan dan

Menganjurkan Orang lain Untuk Melakukan Tindak Pidana.

a. Kasus II

Muhaimin bermaksud melakukan tindak pidana pencurian barang-


barang inventaris kantor di tempatnya bekerja. Dalam melakukan aksinya, ia

melibatkan 4 orang temannya, yaitu : Mu’in, Mu’is, Muklas dan Muklis.

Antara Muhaimin, Mu’in dan Mu’is, telah bersepakat sebelumnya tentang

maksud dan tujuan perbuatannya, namun mereka menyadari tanpa adanya

bantuan orang lain, perbuatan tersebut tidaklah dapat diwujudkan. Untuk itu,

ia dengan menjanjikan hadiah menarik ia menganjurkan Muklas untuk

meninggalkan tempat dilakukannya pencurian. Terhadap Muklas, ia

memerintahkan supaya malam itu, kunci tempat penyimpanan barang

inventaris kantor tidak dikunci. Muklaspun menerima suruhan itu karena

Muklas adalah bawahan Muhamin di kator tersebut. Selanjutnya, pada

malam yang telah ditentukan Muhaimin bersama-sama dengan Mu’in dan

Mu’is mengambil barang-barang inventaris kantor. Mereka bekerja sama

secara fisik untuk mengangkut barang-barang tersebut ke suatu tempat.

Mu’is walaupun malam itu ikut membantu Muhaimin, namun mereka tidak

memehami maksud Muhaimin mengangkut barang-barang tersebut.

59
b. Pertanyaan :

1. Muklas dalam melaksanakan perintah Muhaimin, secara tidak

langsung berhubungan dengan statusnya sebagai bawahan

Muhaimin dalam struktur organisasi kantor tempatnya bekerja.

Apakah dalam kasus di atas, Muklas dapat dipertanggungjawabkan

menurut hukum pidana ?

2. Dalam kasus di atas, tentukan posisi masing-masing pelaku. Siapa

​ tau
yang berstatus sebagai penganjur (​auctor intellectualis a

intelectuelo dader)​ dan siapa yang bertindak selaku ​auctor


materialis ​atau ​materiele dader​.

3. Dari kasus di atas, tentukansiapa-siapa yang dapat

dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana dan sispa-siapa yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berikan argumen untuk

mendukung pendapat saudara !

c. Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. ​Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia​.

Bandung : Sinar Baru, hal. 556 - 627

3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 ​KUHP

(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi​.

Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36

4. Satochid K., ​Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.​ h. 362, 373,

364, 382.

5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. ​Hukum Pidana​.

Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265

6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. ​Hukum Pidana II​.

Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39

7. Soesilo, ​Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik

Delik Khusus​. h, 76- 77.

8. Sianturi, SR 198 ​Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya.​ Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

9. Tresna, R 1959. ​Azas-azas Hukum Pidana​. Jakarta : Tiara Ltd, hal.

82 – 9.
60
POKOK BAHASAN III

PEMBANTUAN/MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(​MEDEPLIGHTIGHEID)​

PERTEMUAN KE V: PERKULIAHAAN III

BAB III

PEMBANTUAN/MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(​MEDEPLIGHTIGHEID)​

A. Pendahuluan

​ erupakan bentuk keempat dari


Pembantuan (​medeplightigheid) m

penyertaan (​deelneming)​ . Ketentuan pembantuan ini diatur dalam Pasal 56,

57, dan 60 KUHP KUHP. Pembantuan (​medeplightigheid) ​terjadi ketika

dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masingmasing

sebagai pembuat (​de hoof dader) dan pembantu (de medaeplichtige).

Setelah mempelajari materi dalam Pembantuan (​medeplightigheid)​,

Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah Mahasiswa menguasai

pengetahuan mengenai Dasar Hukum, Bentuk/macam/jenis pembantuan

(​medeplightigheid), ​Syarat-syarat Pembantuan (​medeplightigheid)​ , Sanksi

Pidana, dan Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan. Pembantuan

(​medeplightigheid) ​perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami

materi dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus

dalam tutorial dapat dianalisis dengan baik.


B. Istilah dan Pengertian Pembantuan (​medeplightigheid)

Lamintang mengatakan bahwa, arti harfiah dari membantu

(​medeplichtige)​ adalah ​medeschuldig ​atau turut bersalah. Dalam rumusan

Pasal 56 KUHP, membantu/​medeplichtige i​ ni disebut “pembantu”. Dalam

pembantuan ini terdapat : pelaku/pembuat ( ​hoofd dader )​ dan pembantu /

medeplichtige.​ Menurut ​Simons ​medeplightigheid ​merupakan suatu

​ tau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri


onzelfstandige deelneming a

sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang ​medeplightige ​itu dapat dihukum

61
atau tidak, hal mana bergantung pada kenyataan, yakni apakah pelakunya

telah melakukan tindak pidana atau tidak ​(Lamintang, 2013 : 646).

C. Dasar Hukum

Pembantuan (​medeplightigheid​) diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni

Pasal 56, 57, dan 60 KUHP​. Pasal 56 KUHP merumuskan mengenai unsur

objektif dan subjektif pembantuan serta bentuk/macam/jenis pembantuan.

Pasal 57 KUHP merumuskan mengenai batas luasnya pertanggungjawaban

bagi pembuat pembantu, dan Pasal 60 KUHP mengatur mengenai

penegasan pertanggungjawaban pembantuan, yaitu hanyalah pada

pembantuan dalam hal kejahatan saja tidak termasuk pelanggaran.

D. Bentuk/macam/jenis pembantuan (​medeplightigheid)

Pasal 56 KUHP menentukan bahwa dipidana sebagai pembantu suatu

kejahatan :

Ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu


kejahatan dilakukan.

Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau

keterangan untuk melakukan kejahatan.

Pasal 56 KUHP ini membedakan 2 (dua) macam pembantuan, yaitu :

1). Membantu “ melakukan kejahatan “ dan

2). Membantu “ untuk melakukan kejahatan “

Yang pertama adalah membantu pada waktu kejahatan dilakukan,

tanpa disebutkan sarana atau daya upaya tertentu, sedangkan yang kedua

adalah pembantuan yang diberikan mendahului kejahatan dilakukan, yaitu

dengan upaya yang berwujud kesempatan, sarana, dan atau keterangan.

Dengan kata lain, bentuk yang kedua ini merupakan pembantuan kejahatan

yang dilakukan pada saat sebelum dilakukannya kejahatan dan telah diatur

secara limitatif di dalam Pasal 56 KUHP yakni, dengan cara :

- Memberi kesempatan

- Memberi sarana

- Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan

62
Simons menyatakan bahwa pembantuan ini merupakan penyertaan

yang tidak berdiri sendiri, artinya seorang yang membantu ini dapat dipidana

atau tidak tergantung kepada kenyataan, apakah pelakunya sendiri telah

melakukan tindak pidana atau tidak. Bentuk pembantuan yang pertama,

yaitu sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dapat

berwujud bantuan material, moral ataupun intelektual. Bentuk pembantuan


yang kedua, adalah kesengajaan memberikan bantuan untuk

​ rang lain melakukan kejahatan ​(Lamintang, 2013 : 646-647). ​Hal ini


mempermudah o

juga berbentuk material, seperti memberikan alat kepada pelaku, ataupun

dalam bentuk intelektual, seperti memberikan kesempatan orang lain utnuk

melakukan pencurian terhadap barang-barang yang berada dalam

pengawasannya, lebih lanjut dapat dipahami dari penjelasan berikut :

- ​Memberi kesempatan ​: memberikan peluang yang sebaik-baiknya

dalam hal orang lain untuk melakukan kejahatan.

- ​Memberi sarana ​: memberikan alat atau benda yang dapat

digunakan untuk mempermudah melakukan kejahatan.

- ​Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan ​: menyampaikan

ucapan-ucapan dalam susunan kalimat yang dimengerti orang lain,

berupa nasihat atau petunjuk dalam hal orang lain melaksanakan

kejahatan.

Ketiga cara ini (memberi kesempatan, sarana, dan keterangan) ini tidak

berfungsi membentuk kehendak orang yang dibantu untuk melakukan

kejahatan, karena kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat

pelaksanaannya telah lebih dahulu terbentuk sebelum pembuat pembantu

menggunakan atau menyampaikan 3 (tiga) upaya tersebut.

Bagaimana membedakan antara ​“membantu” atau “turut serta” ​?

Hal ini tentu penting untuk diketahui. Cara untuk mengetahui perbedaan

​ alam kejahatan
antara seseorang itu ​“ membantu “ atau “ turut serta “ d

bukanlah soal mudah. Yang perlu dipegang / diperhatikan sebagai pedoman

untuk diketahui adalah seseorang yang bekerja sama dengan pelaku itu

adalah “ pembantu “ atau “ peserta “ yang diperlukan, karena pidananya


berbeda, yaitu :​“ pembantu dipidana berbeda dengan pelaku “ ( Pasal 57

KUHP ) dan “peserta“ dipidana sama dengan pelaku “ ( Pasal 55 KUHP ).

63
E. Syarat-syarat Pembantuan (​medeplightigheid)​

Pasal 56 KUHP merumuskan unsur subyektif yaitu ​“sengaja” atau

“kesengajaan” (​opzettelijk)​ ​, sedangkan unsur objektif adalah

“memberikan bantuan”. ​Kedua unsur ini terkadung 2 (dua) syarat, yakni

syarat subyektif yang terkandung dalam unsur “sengaja” atau “kesengajaan”

(​opzettelijk)​ dan syarat objektif yang terkandung dalam unsur memberi

bantuan.

a. Syarat Objektif

Kesengajaan ​pembuat pembantu dalam mewujudkan perbuatan

bantuannya ditujukan pada hal untuk ​mempermudah atau memperlancar

pelaksanaan kejahatan bagi orang lain (pembuat pelaksana). Kesengajaan

pembuat pembantu tidak ditujukan pada pelaksanaan atau penyelesaian

kejahatan, namun ditujukan hanya untuk mempermudah pelaksanaan

kejahatan. Berbeda dengan pembuat penganjur yang kesengajaannya

(sikap batinnya) sama dengan pembuat pelaksana. Timbulnya kehendak

pembuat pelaksana untuk melaksanakan kejahatan selalu lebih dahulu

dibandingkan dengan pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan.

Inisiatif mewujudkan kejahatan juga berasal dari pembuat pelaksana, bukan

pada pembuat pembantu. Kesengajaan dalam hal ini berarti, ketika

terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan

bantuannya, maka pada saat itu terbentuk keinsyafan atau kesadaran


bahwa apa yang hendak ia lakukan atau apa yang hendak diperbuatnya itu

adalah untuk kepentingan orang yang dibantunya (pembuat pelaksana)

(​Masruchin Ruba’i : 2014, 200-201). ​Sikap batin pembuat pembantu tidak sama

dengan sikap batin dari pembuat pelaksanaannya.

Kesengajaan Dalam Pembantuan

Pada Pasal 56 KUHP menentukan bahwa pemberian bantuan harus

dilakukan dengan sengaja. Sampai seberapa jauh atau kemanakah arah

kesengajaan ini ditujukan, hal ini terdapat berbagai pendapat. Simons

berpendapat bahwa kesengajaan seorang pembantu harus ditujukan

kepada semua unsur delik, bahkan juga harus ditujukan kepada unsur yang

oleh undang-undang tidak disyaratkan bahwa kesengajaan pelakunya harus

64
ditujukan kepada unsur-unsur tersebut. Selanjutnya Simons mengatakan

bahwa, agar seorang pembantu ( ​medeplichtige ​) dapat dipidana, harus

dipenuhi unsur yang bersifat objektif dan subjektif. Unsur objektif artinya :

“ perbuatan yang dilakukan oleh pembantu, harus benar-benar dapat

mempermudah atau mendukung pelaksanaan perbuatan, artinya,

seandainya bantuan berupa alat-alat dan sebagainya yang diserahkan

kepada pelaku tidak dipergunakan, maka si pembantu pun juga tidak dapat

dipidana “. Sedangkan unsur subjektif, artinya : “ bila perbuatan yang

dilakukan harus benar-benar disengaja atau si pembantu memang

mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau mendukung

pelaksanaan kejahatan oleh orang lain itu adalah memang dikehendaki “.

Sesuai dengan pendapatnya itu, selanjutnya Simons mengatakan : “


pembantuan untuk melakukan suatu kejahatan yang bersifat culpa /

kelalaian sangat jarang terjadi, bahkan tidak mungkin terjadi seperti halnya

suatu penganjuran untuk melakukan kejahatan yang bersifat culpa /

kelalaian “. Pompe berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa : “

didalam ayat (2) kekurang hati-hatian itu memang tidak disebutkan, akan

tetapi ini tidak berarti bahwa menggerakkan orang lain untuk melakukan

delik-delik yang dapat dilakukan dengan tidak sengaja, lalu menjadi tidak

harus dipidana “.

Mengenai kesengajaan seorang pembantu, Pompe mengatakan : ​“

kesengajaan seorang pembantu pertama-tama harus ditujukan kepada

perbuatan membantu atau kepada perbuatan memberikan kesempatan

sarana atau keterangan. Kecuali itu, si pembantu harus mempunyai

kesengajaan atau ketidak sengajaan yang ditujukan kepada unsur

delik “​. Apakah mungkin terjadi suatu penyertaan yang ditujukan kepada

penyertaan ? Misalnya “ pembantuan terhadap penganjuran atau

penganjuran untuk memberikan pembantuan. Van Hattum mengatakan

bahwa kebanyakkan penulis Belanda menganggap tidak mungkin adanya

penyertaan terhadap delik penyertaan, tetapi van Hattum mengecualikan

satu hal, yaitu bentuk penyertaan terhadap turut serta ( ​medeplegen ​)

mungkin terjadi. Hazewinkel – Suringa tidak menaruh keberatan prinsipiil

kemungkinan adanya penyertaan terhadap penyertaan, kecuali terhadap

65
beberapa bentuk, misalnya “ ​menyuruh lakukan untuk penganjuran ( doen

plegen van uitlokking ) ​“.


HR dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa untuk pertama kali mengakui

penyertaan terhadap penyertaan dalam Arrestnya yang terkenal sebagai ​“

Exemen Arrest “ ( 1950 ). ​Kasusnya sebagai berikut :

“ M Harus menghadapi ujian dan dia telah menerima pelajaran dari A

( terdakwa ). M tetap merasa takut menempuh ujian dan bertanya

kepada A, apakah tidak mungkin orang lain atas nama M yang

menempuh. Dijawab oleh A adalah mungkin. Kesulitan M untuk

mendapatkan orang yang mau dan pandai dipecahkan dengan jalan

A memberikan daftar nama orang-orang yang mungkin dapat disuruh

untuk menempuh ujian tersebut. M memilih B yang dengan janji-jani

mau mendaftarkan atas nama M, tetapi kasus ini ketahuan dan

terdakwa dituntut dan dipidana karena pembantuan untukmelakukan

penganjuran untuk melakukan percobaan penipuan “.

Dalam tingkat kasasi A mengajukan bahwa pembantuan terhadap

penganjuran itu tidak dapat dipidana. Pendirian ini dibenarkan oleh

Langemeyer, yang menyimpulkan agar terdakwa A dilepas dari

segala tuntutan hukum ( ​ontslag vanalle rechtsvervolging ​), HR tidak

membenarkan hal itu, diputuskannya : “ membantu orang untuk

menggerakkan orang lain melakukan suatu kejahatan adalah

mungkin, dengan adanya perkataan ​“ plegen “ ​melakukan didalam

Pasal 55 KUHP itu, undang-undang tidak menutup kemungkinan

​ idalam suatu ​uitlokking “​ .


tentang adanya suatu ​medelichtigheid d

Rolling memuji putusan HR tersebut, Prof. Moeljatno juga menyetujui

pendirian bahwa pada umumnya penyertaan terhadap delik penyertaan

tidaklah mungkin, tetapi sebagai pengecualian mungkin saja beberapa


bentuk penyertaan terhadap delik penyertaan seperti putusan HR tersebut.

Perbuatan terdakwa A kasus tersebut diatas masih jelas dan mudah

difikirkan, satu sama lain bertalian dengan asas legalitas hukum pidana.

Tetapi yang lebih penting oleh Prof. Moeljatno dianjurkan agar dalam KUHP

diadakan ketentuan tentang batas-batas penyertaan, seperti KUHP

Denmark dan Jepang bersifat singkat dan jelas

66
b. Syarat Objektif

Wujud perbuatan yang dilakukan pembuat pembantu hanya

mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kejahatan​. Wujud

perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu dari sudut objektif

berperan mempermudah atau memperlancar penyelesaian kejahatan dan

tidak menyelesaikan kejahatan. Penyelesaian kejahatan tergantung pada

perbuatan pembuat pelaksanaannya.

F. Sanksi Pidana

Ancaman pidana terhadap “ Pembantuan / ​Medeplichtigheid ​“

Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57

KUHP, yaitu :

1). Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap


kejahatan, dikurangi sepertiga. 2). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling
lama lima belas tahun. 3). Pidana tambahan bagi pembantuan
adalah sama dengan
kejahatannya sendiri. 4). Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang
diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau
diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya ​(Moeljatno, 2008 : 26)
Pasal 60 KUHP menyatakan bahwa pembantuan terhadap tidak

dipidana, jadi hanya pembantuan terhadap kejahatan saja yang dapat

dipidana. Kemungkinan adanya keadaan pribadi seseorang yang dapat

menghapuskan, mengurangkan atau pengenaan pidana, hanya

diperhitungkan bagi masing-masing, yaitu terhadap pelaku saja. Artinya

pengurangan tersebut yang berkenaan dengan pelaku tidak dengan

sendirinya juga berlaku bagi pembantu, jika hal itu mengenai keadaan

dirinya.

G. Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan

Untuk menerangkan, kiranya ada baiknya untuk menyebutkan disini

perbedaan tiap-tiap bentuk penyertaan, dengan cara membandingkan,

walaupun hanya dalam garis besarnya saja.

67
Perbedaan antara Penganjuran dan Menyuruh Melakukan

a. Dalam penganjuran, perbuatan orang yang telah

digerakkan untuk melakukan delik harus dapat

dipertanggung jawabkan kepada yang digerakkan tadi

( orang yang di anjurkan adalah orang yang dapat

dipertanggung jawabkan ). Sedangkan dalam menyuruh

melakukan, perbuatan orang yang disuruh melakukan delik

tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya ( orangnya

yang disuruh tidak dapat dipertanggung jawabkan )

b. Dalam penganjuran, cara menganjurkan telah disebutkan


secara limitatif oleh undang-undang. Sedangkan dalam

menyuruh melakukan, cara-cara untuk menyuruh tidak

disebutkan secara limitatif

Perbedaan antara Penganjuran dan Pembantuan

“ Dalam suatu penganjuran, orang yang digerakkan semula tidak

mempunyai niat / ​opzet ​untuk melakukan tindak pidana. Niat / ​opzet

itu muncul setelah ada suatu penganjuran. Sedangkan dalam

pembantuan, pelaku itu sejak semula telah mempunyai niat untuk

melakukan delik dan kemudian didukung oleh adanya pembantuan “

Perbedaan antara Turut Serta dan Pembantuan

1). Dalam turut serta, perbuatan seseorang peserta / ​medepleger

ditekankan pada perbuatan turut melakukan. Sedangkan dalam

pembantuan, perbautan seseorang pembantu / ​medeplichtige

ditekankan pada perbuatan membantu melakukan atau

membantu untuk melakukan suatu kejahatan.

​ arus
2). Dalam turut serta, seorang peserta / ​medepleger h

melakukan suatu perbuatan pelaksanaan / ​uitvoeringshandeling.​

Sedangkan dalam pembantuan, seorang pembantu cukup bila

telah melakukan perbuatan persiapan / ​voobereidingshandeling

atau suatu perbuatan dukungan / ​voobereidngshandeling.

3). Turut serta dalam pelanggaran dapat dipidana. Sedangkan

dalam pembantuan, membantu melakukan pelanggaran tidak

dapat dipidana.

68
4). Dalam turut serta, ancaman pidana terhadap peserta /
medepleger ​sama dengan ancaman terhadap pelaku utama,

sesuai dengan rumusan delik. Sedangkan dalam pembantuan,

ancaman pidana terhadap pembantu adalah ancaman pidana

pokok bagi pelaku dikurangi sepertiganya

Daftar Pustaka

Lamintang, P.A.F., 2013 : ​Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia​, Sinar


Baru, Bandung.

Moeljatno, 1983 : ​Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan​,


Bina Aksara, Jakarta.

------------, 2008 : ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana​, Terjemahan,


Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta.

Ruba’i, Masruchin, 2014 : ​Buku Ajar Hukum Pidana​, Bayumedia


Publishing, Malang.

H. Penutup

1. Rangkuman Materi

Dalam rumusan Pasal 56 KUHP, membantu/​medeplichtige i​ ni disebut

“pembantu”. Dalam pembantuan ini terdapat : pelaku/pembuat ( ​hoofd dader

) dan pembantu / ​medeplichtige.​ Menurut ​Simons ​medeplightigheid

​ tau suatu keturutsertaan


merupakan suatu ​onzelfstandige deelneming a

yang tidak berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang ​medeplightige

itu dapat dihukum atau tidak, hal mana bergantung pada kenyataan, yakni
apakah pelakunya telah melakukan tindak pidana atau tidak.

Pembantuan (​medeplightigheid​) diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni

Pasal 56, 57, dan 60 KUHP​. ​Pasal 56 KUHP menentukan bahwa dipidana

sebagai pembantu suatu kejahatan :

Ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu

kejahatan dilakukan.

69
Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau

keterangan untuk melakukan kejahatan.

Pasal 56 KUHP ini membedakan 2 (dua) macam pembantuan, yaitu :

1). Membantu “ melakukan kejahatan “ dan

2). Membantu “ untuk melakukan kejahatan “

Syarat-syarat Pembantuan (​medeplightigheid​) dapat ditemukan dalam Pasal

56 KUHP yang merumuskan unsur subyektif yaitu “sengaja” atau

“kesengajaan” (​opzettelijk​) dan unsur objektif adalah “memberikan bantuan”.

Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57

KUHP, yaitu :

1). Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap


kejahatan, dikurangi sepertiga. 2). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling
lama lima belas tahun. 3). Pidana tambahan bagi pembantuan
adalah sama dengan
kejahatannya sendiri. 4). Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang
diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau
diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya ​(Moeljatno, 2008 : 26)

Pasal 60 KUHP menyatakan bahwa pembantuan terhadap tidak dipidana,

jadi hanya pembantuan terhadap kejahatan saja yang dapat dipidana.


70
2. Latihan :

PERTEMUAN VI : TUTORIAL III

PEMBANTUAN (​MEDEPLIGHTIGHEID)​

a. ​Kasus

Abu Bakar berniat untuk melakukan penganiayaan terhadap Ibrahim

di suatu tempat yang luput dari pantauan orang lain. Rencana tersebutpun

disampaikan kepada Maliki, dan Abdurrahman teman dekatnya. Untuk

memuluskan rencananya, Abu Bakar membutuhkan bantuan Maliki, untuk

mengetahui jalan-jalan yang akan dilalui oleh Ibrahim, pulang dari tempat

kerjanya. Maliki dengan senang hati memberikan keterangan bahwa Ibrahim


biasanya melewati Jalan setapak di pinggiran desanya pada jam 17.00 sore.

Berkat keterangan Maliki, Abu Bakar dapat menyusun rencananya dan

menunggu kedatangan Ibrahim pada tempat yang ditunjukkan oleh Maliki

bersama-sama dengan Abdurrahman. Ketika Ibrahim tiba di tempat

tersebut, Abu Bakar menyerang Ibrahim, namun karena teknik perkelahian

yang dimiliki Ibrahim, Abu Bakar terdesak. Pada saat itulah, Abdurrahman

melemparkan sepotong kayu kepada Abu Bakar, yang kemudian

dipergunakan oleh Abu Bakar untuk memukul kepala Ibrahim sampai tidak

sadarkan diri, namun sebelumnya, Abdurrahman memberikan kode-kode

dengan isyarat fisik kepada Abu Bakar untuk melumpuhkan Ibrahim.

b. ​Pertanyaan :

1. ​Tentukan status masing-masing pelaku tersebut dalam contoh kasus

di atas !

2. ​Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan secara fisik

ataun non fisik. Dengan memperhatikan contoh di atas, tentukan

status Maliki dan juga Abdurrahman !

c. ​Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

71
2. Lamintang, P.A.F 1984. ​Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia​.

Bandung : Sinar Baru, hal. 556 - 627

3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 ​KUHP

(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi​.


Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36

4. Satochid K., ​Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.​ h. 362, 373,

364, 382.

5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. ​Hukum Pidana​.

Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265

6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. ​Hukum Pidana II​.

Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 - 62

7. Soesilo, ​Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik

Delik Khusus​. h, 76- 77.

8. Sianturi, SR 198 ​Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya.​ Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

9. Tresna, R 1959. ​Azas-azas Hukum Pidana​. Jakarta : Tiara Ltd, hal.

157 - 164

10. Widnyana, I Made 1992. ​Hukum Pidana II ​, Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 50 – 64
72
PERTEMUAN VII

UJIAN TENGAH SEMESTER


73
POKOK BAHASAN IV

PERBARENGAN (​SAMENLOOP​)

PERTEMUAN KE VIII : PERKULIAHAAN IV

BAB IV

PERBARENGAN (​SAMENLOOP​)

A. Pendahuluan

Apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana sekaligus atau

serentak. Kejadian yang sekaligus atau serentak itu disebut dengan

Perbarengan, dalam bahasa Belanda disebut ​samenloop van strafbaar feit


atau ​concursus.​ Namun orang hanya dapat berbicara mengenai adanya

suatu ​concursus,​ jika jangka waktu tertentu, ia melakukan lebih daripada

satu tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang

bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena

salah satu dari tindakan-tindakan yang telah ia lakukan.

Setelah mempelajari materi dalam perbarengan/Gabungan Tindak

Pidana tindak pidana, Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Pengertian Gabungan

Tindak Pidana, Concursus Idealis / ​Eendaadse Samenloop​, Concursus

Realis / ​Meerdaadse Samenloop, ​dan Perbuatan Berlanjut ( ​Voorgeezette

Handeling ​). Perbarengan/Gabungan Tindak Pidana tindak pidana perlu

dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami materi dalam tutorial pada

pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis

dengan baik.

B. Pengertian Gabungan Tindak Pidana

Dalam materi tentang penyertaan kita dihadapkan pada masalah

beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana, dimana masing-

74

Anda mungkin juga menyukai