Anda di halaman 1dari 219

HUKUM AGRARIA

(Suatu Pengantar)

RAHMAT RAMADHANI, S.H., M.H


Editor:
M. Syukran Yamin Lubis, S.H.,CN., M.Kn
Buku Ajar
HUKUM ANGRARIA
(Suatu Pengantar)

Penulis
Rahmat Ramadhani, S.H, M.H

Editor
M. Syukran Yamin Lubis, S.H, CN., M.Kn

Design Cover
Raden Aris Sugianto

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG


Dilarang memperbanyak atau memeindahkan sebagian dan sebagian isi buku
ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanis, termasuk
menfotocopy, merekan dan dengan sistem penyimpanan lainnya tanpa izin
tertulis dari penulis.

All Right Reserved


Cetakan Pertama, Januari 2018

Diterbitkan oleh UMSU Press


Jalan Kapten Mukhtar Basri No 3 Medan, 20238
Telpon: 061-6626296, Fax.0616638296
Email: umsupress@umsu.ac.id
http:lppm.umsu.ac.id

ISBN: 978-602-6997-77-7

Diterbitkan di Medan - Sumatera Utara - Indonesia


Kata Pengantar
DEKAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

Assalamualaikum Wr.Wb.
Kegiatan menulis bukanlah suatu hal yang sederhana. Melalui
tulisan sang penulis berupaya menuangkan inspirasi dan aspirasinya
dalam bentuk ide dan gagasan dalam uraian kata. Oleh karenanya saya
sangat menyambut baik Buku Ajar ini sebagai salah satu wujud konkrit
pengamalan tridharma perguruan tinggi di kalangan Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).

Dilihat dari isinya, Buku Ajar berjudul Hukum Agraria (Suatu


Pengantar) yang ditulis oleh Sdr. Rahmat Ramadhani, S.H., M.H., ini
telah berupaya mengacu kepada Kurikulum Standar Nasional
Pendidikan Tinggi (SN-DIKTI) sehingga saya menilai buku ini layak untuk
dijadikan sebagai salah satu literatur dalam perkuliahan Hukum Agraria
khususnya di Fakultas Hukum UMSU dan Fakultas Hukum pada
berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia secara umum.

Saya mengucapkan selamat atas penyelesaian Buku Ajar ini


teruslah berkarya, semoga dapat menjadi sumber inspirasi bagi dosen-
dosen lainnya khususnya Dosen di Fakultas Hukum UMSU dalam
membangkitkan semangat menulis, dan yang paling utama semoga
dengan hadirnya Buku Ajar ini dapat bermanfaat serta dapat
menambah khasanah ilmu dalam perkuliahan Hukum Agararia.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  i


Akhir kata, semoga Buku Ajar ini mendukung Fakultas Hukum
untuk tetap menjadi fakultas yang LUAR BIASA di kampus yang
UNGGUL, CERDAS dan TERPERCAYA.

Billahi fi sabilil haq, Fastabiqul khairat


Wasalamu’aluikum Wr.Wb.

Medan, Januari 2018


Dekan FH UMSU,

Ida Hanifah, S.H., M.H

ii  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Prakata

Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, Buku Bahan Ajar yang berjudul Hukum Agraria (Suatu
Pengantar) ini dapat dirampungkan penyusunannya. Tidak lupa selawat
beriring salam dihadiahkan ke hadirat Junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW beserta sanak keluarganya, semoga kelak kita semua mendapat
Syafa’atnya di yaumil masyar, aamiin.

Persoalan agraria (khususnya tanah) yang muncul di tengah-


tengah kehidupan masyarakat dewasa ini sangat kompleks adanya.
Kendati banyak literatur terkait dengan penjabaran dan pemahaman
Hukum Agraria, namun agaknya materi perkuliahan Hukum Agraria di
kalangan mahasiswa masih sulit untuk diserap secara utuh dan
menyeluruh. Hal tersebut disebabkan bukan hanya terbatas pada faktor
rendahnya pemahaman mahasiswa ataupun dangkalnya penjabaran
sang Dosen, melainkan memang dikarenakan kajian terhadap Hukum
Agraria sangat luas.

Oleh karenanya, penyederhanaan penyampaian materi


perkuliahan yang diarahkan kepada kajian teori dengan banyak
melibatkan keaktifan mahasiswa dalam menggali sumber materi
perkuliahaan baik secara mandiri maupun terstruktur dengan acuan
Kurikulum Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-DIKTI) dinilai
merupakan sebuah siasat jitu untuk mem-familiarkan mata kuliah
Hukum Agraria di kalangan mahasiswa. Di samping fokus pada kajian

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  iii


teori, diskusi terkait kasus maupun persoalan yang muncul di tengah
masyarakat dalam konteks keagrariaan Indonesia dinilai juga dapat
membuka cakrawala berfikir mahasiswa dalam memahami Hukum
Agraria secara konstruktif dan komprehensif.

Dalam usaha mewujudkan semangat itulah, melalui buku yang


berisikan bahan ajar ini penulis mencoba menyajikan materi kuliah
Hukum Agraria kepada mahasiswa agar dapat lebih mudah dicerna,
difahami dengan sasaran terpenting adalah Hukum Agraria dapat
dijadikan fondasi guna terimplentasinya pemanfaatan bumi, air dan
ruang angkasa beserta yang terkandung di dalamnya menjadi sumber
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanahkan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan titelnya,
buku ini berisikan kerangka pengantar dalam mengenalkan apa dan
bagaimana kedudukan Hukum Agraria dalam kehidupan nyata
masyarakat Indonesia.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya buku ini, terutama kepada kedua orang tua penulis
yang telah membesarkan dan senantiasa menanamkan nilai-nilai ajaran
Islam ke dalam kehidupan penulis sehingga dapat dibedakan mana yang
hak dan mana yang batil. Teristimewa untuk isteri dan anak-anak
tercinta yang senantiasa memberikan semangat tersendiri sebagai bagi
penulis dalam menyelesaikan buku ini.
Terkhusus untuk Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara, terima kasih yang tak terhingga diucapkan atas ruang,
waktu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis, sehingga buku
bahan ajar Hukum Agraria sebagai bentuk kreativitas ilmu ini dapat
ditetaskan. Untuk rekan-rekan dosen senior di Fakultas Hukum UMSU
yang telah terlebih dahulu mengasuh mata kuliah Hukum Agraria,
terutama Bapak M. Syukran Yamin, S.H., C.N., M.Kn., yang telah banyak

iv  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


membantu Penulis dalam pengumpulan materi penulisan buku ini, untuk
itu diucapkan terima kasih yang tak terhingga atas sumbang saran dan
masukannya, semoga dengan hadirnya buku ini menjadi sumber ilmu
dan juga menjadi ladang amal ibadah bagi kita semua.

Tak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada


UMSU Pers yang telah berkenan menerbitkan buku ini. Penulis
menyadari bahwa buku ini masih jauh dari tingkat sempurna. Untuk itu,
tiada yang lebih arif bagi penulis selain menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya di
masa yang akan datang.

Billahi fi sabilil haq, Fastabiqul khairat


Wasalamu’aluikum Wr.Wb.
Medan, Januari 2018
Penulis,

Rahmat Ramadhani, S.H., M.H

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  v


vi  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)
DAFTAR ISI

Sambutan Dekan Fakultas Hukum UMSU ................................................. i


Pengantar Penulis .............................................................................................. iii
Daftar Isi ................................................................................................................ vii
Daftar Skema & Tabel ...................................................................................... xi

PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Kompetensi Bersyarat ........................................................................ 2
B. Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar ................................................ 2
C. Tujuan Akhir ......................................................................................... 2
KEGIATAN PEMBELAJARAN I
(AGRARIA DAN HUKUM AGRARIA) ............................................................ 6
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 6
B. Uraian Materi ....................................................................................... 6
1. Pengertian Agraria dan Hukum Agraia ............................... 6
2. Pembidangan dan Pokok Bahasan Hukum Agraria ........ 10
3. Sumber Hukum Agraria ............................................................ 14
C. Rangkuman .......................................................................................... 16
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 16
KEGIATAN PEMBELAJARAN II
(UUPA SEBAGAI UNDANG-UNDANG POKOK) ...................................... 18
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 18
B. Uraian Materi ....................................................................................... 18
1. Sejarah Lahirnya UUPA ............................................................. 18
2. Tujuan UUPA................................................................................. 23
3. Akibat Hukum Lahirnya UUPA ............................................... 25
4. Prinsip-Prinsip Dasar Dari Hukum Agraria Nasional Dalam
UUPA ............................................................................................... 26
C. Rangkuman .......................................................................................... 29
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 30
KEGIATAN PEMBELAJARAN III
(KETENTUAN POKOK PENGUASAAN HAK-HAK ATAS TANAH) ...... 31
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 31
B. Uraian Materi ....................................................................................... 31
1. Hak Penguasaan Atas Tanah Dalam Konsep Hukum
Tanah .............................................................................................. 31
2. Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah (KTP-HAT) .................. 34
3. Hubungan Hukum Antara Tanah Dengan Tanaman
Dan Bangunan di Atasnya ........................................................ 44
C. Rangkuman .......................................................................................... 45
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 46

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  vii


KEGIATAN PEMBELAJARAN IV
(HAK-HAK ATAS TANAH SESI-1) .................................................................. 47
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 47
B. Uraian Materi ....................................................................................... 47
1. Pengertian Hak Atas Tanah ..................................................... 47
2. Hak Atas Tanah Sebelum Berlakunya UUPA ..................... 48
3. Ketentuan Konversi...................................................................... 53
C. Rangkuman .......................................................................................... 54
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 54
E. Tugas Terstruktur ................................................................................ 54
KEGIATAN PEMBELAJARAN V
(HAK-HAK ATAS TANAH SESI-2) ................................................................. 56
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 56
B. Uraian Materi ....................................................................................... 56
1. Legal Standing Hak Atas Tanah ............................................. 56
2. Lahirnya Hak Atas Tanah ......................................................... 59
3. Macam-macam Hak atas tanah menurut UUPA .............. 62
C. Rangkuman .......................................................................................... 80
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 81
E. Tugas Terstruktur ................................................................................ 81
KEGIATAN PEMBELAJARAN VI
(PENDAFTARAN TANAH SESI-1) .................................................................. 82
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 82
B. Uraian Materi........................................................................................ 82
1. Pengertian Pendaftaran Tanah .............................................. 82
2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah ......................................... 84
3. Asas-Asas Pendaftaran Tanah ................................................. 86
4. Tujuan Pendaftaran Tanah ...................................................... 87
5. Sistem Pendaftaran Tanah ....................................................... 91
C. Rangkuman .......................................................................................... 93
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 94
E. Tugas Terstruktur ................................................................................. 94
KEGIATAN PEMBELAJARAN VII
(PENDAFTARAN TANAH SESI-2) ................................................................. 95
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 95
B. Uraian Materi........................................................................................ 95
1. Penyelenggara Pendaftaran Tanah ...................................... 95
2. Objek Pendaftaran Tanah ........................................................ 96
3. Kegiatan-Kegiatan Dalam Pendaftaran Tanah................. 97
C. Rangkuman .......................................................................................... 108
D. Tugas Terstruktur ................................................................................. 108

viii  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


KEGIATAN PEMBELAJARAN VIII
(HAK TANGGUNGAN SESI-1) ......................................................................... 110
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 110
B. Uraian Materi ........................................................................................ 110
1. Pengertian Hak Tanggungan ................................................... 110
2. Dasar Hukum Hak Tanggungan ............................................. 112
3. Ciri dan Prinsip Pokok Hak Tanggungan ............................. 114
C. Rangkuman........................................................................................... 115
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 116
E. Tugas Terstruktur ................................................................................. 116
KEGIATAN PEMBELAJARAN IX
(HAK TANGGUNGAN SESI-2) ........................................................................ 117
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 117
B. Uraian Materi ........................................................................................ 117
1. Subyek Hak Tanggungan .......................................................... 117
2. Objek Hak Tanggungan ............................................................ 118
3. Tahapan Pembebanan Hak Tanggungan ........................... 120
C. Rangkuman........................................................................................... 127
D. Tugas Terstruktur ................................................................................. 128
KEGIATAN PEMBELAJARAN X
(HAK TANGGUNGAN SESI-3) ........................................................................ 129
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 129
B. Uraian Materi ........................................................................................ 129
1. Hapusnya Hak Tanggungan .................................................... 129
2. Pencoretan (Roya) Hak Tanggungan .................................... 130
3. Eksekusi Hak Tanggungan ........................................................ 130
C. Rangkuman........................................................................................... 132
D. Tugas Terstruktur ................................................................................. 132
KEGIATAN PEMBELAJARAN XI
(LANDREFORM) ................................................................................................. 134
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 134
B. Uraian Materi ........................................................................................ 134
1. Pengertian dan Tujuan Landreform ....................................... 135
2. Dasar Hukum Landreform ........................................................ 137
3. Penetapan Luas Maksimum Pemilikan Dan
Penguasaan Tanah Pertanian ................................................. 138
4. Larangan Pemilikan Tanah Secara Absentee...................... 143
C. Rangkuman........................................................................................... 146
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 147
E. Tugas Terstruktur ................................................................................. 147
KEGIATAN PEMBELAJARAN XII
(REDITRIBUSI TANAH) ..................................................................................... 148
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 148

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  ix


B. Uraian Materi........................................................................................ 148
1. Pengertian Redistribusi Tanah .................................................. 148
2. Pengembalian Dan Penebusan Tanah Pertanian
Yang Digadaikan ......................................................................... 152
3. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.................................. 153
4. Luas Minimum Pemilikan Tanah ............................................. 156
C. Rangkuman .......................................................................................... 159
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 160
E. Tugas Terstruktur ................................................................................. 160
KEGIATAN PEMBELAJARAN XIII
(PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK-
KEPENTINGAN UMUM) ................................................................................... 162
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 162
B. Uraian Materi........................................................................................ 163
1. Pengertian ...................................................................................... 163
2. Dasar Hukum ................................................................................ 164
3. Asas-Asas Dalam Pengadaan Tanah...................................... 164
4. Tujuan & Ruang Lingkup Pengadaan Tanah ...................... 166
5. Pokok-Pokok Pengadaan Tanah ........................................... 167
6. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah .................................... 168
7. Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah.................................. 178
C. Rangkuman .......................................................................................... 180
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 181
E. Tugas Terstruktur ................................................................................. 181
KEGIATAN PEMBELAJARAN XIV
(SENGKETA, KONFLIK DAN PERKARA PERTANAHAN) ...................... 183
A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran ...................................................... 183
B. Uraian Materi........................................................................................ 184
1. Pengertian ...................................................................................... 184
2. Dasar Hukum ................................................................................ 186
3. Tipologi Permasalahan Pertanahan ....................................... 187
4. Penanganan Permasalahan Pertanahan ............................. 188
5. Upaya Penanggulangan Permasalahan Pertanahan ....... 190
6. Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan ...... 192
C. Rangkuman .......................................................................................... 194
D. Tugas Mandiri ....................................................................................... 196
E. Tugas Terstruktur ................................................................................. 196

Daftar Pustaka ................................................................................................... 197


Grosarium ............................................................................................................ 203
Indeks ..................................................................................................................... 204

x  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


DAFTAR SKEMA DAN TABEL

SKEMA 1 : TEORITIS PENGARUH FAKTOR-FAKTOR TERHADAP


KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH ............................ 89

SKEMA 2 : PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ................... 129

TABEL 1 : PERSAMAAN DAN PEREBEDAAN SENGKETA,


KONFLIK PERKARA PERTANAHAN ...................................... 196

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  xi


196  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)
1

PENDAHULUAN

Buku Ajar yang berjudul ‘Hukum Agraria (Suatu Pengantar)’ ini


merupakan Buku Ajar yang akan menununtun mahasiswa Fakultas
Hukum dalam mempelajari Mata Kuliah Hukum Agraria. Para
mahasiswa akan mengikuti 14 (empat belas) kali tatap muka kegiatan
belajar dalam perkuliahan dengan masing-masing materi, yaitu:
Kegiatan Belajar I tentang Agraria dan Hukum Agraria, Kegiatan Belajar
II tentang UUPA Sebagai Undang-Undang Pokok, Kegiatan Belajar III
tentang Ketentuan Pokok Penguasaaan Hak-Hak Atas Tanah, Kegiatan
Belajar IV tentang Hak-Hak Atas Tanah Sesi-1, Kegiatan Belajar V
tentang Hak-Hak Atas Tanah Sesi-2, Kegiatan Belajar VI tentang
Pendaftaran Tanah Sesi-1, Kegiatan Belajar VII tentang Pendaftaran
Tanah Sesi-2, Kegiatan Belajar VIII tentang Hak Tanggungan Sesi-1,
Kegiatan Belajar IX tentang Hak Tanggungan Sesi-2, Kegiatan Belajar X
tentang Hak Tanggungan Sesi-3, Kegiatan Belajar XI tentang
Landreform, Kegiatan Belajar XII tentang Reditribusi Tanah, Kegiatan
Belajar XIII tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, dan
Kegiatan Belajar XIV tentang Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan.

1
A. Kompetensi Prasyarat
Para mahasiswa mampu untuk memahami tentang Agraria dan
Hukum Agraria, UUPA Sebagai Undang-Undang Pokok, Ketentuan
Pokok Penguasaaan Hak-Hak Atas Tanah, Hak-Hak Atas Tanah,
Pendaftaran Tanah, Hak Tanggungan, Landreform, Reditribusi
Tanah, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, dan
Sengketa, Konflik Dan Perkara Pertanahan.

B. Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar


Untuk mempelajari Buku Ajar ini, maka hal-hal yang perlu
dilakukan oleh para mahasiswa adalah :
1. Pelajari materi Bahan Ajar denga teliti dan cermat, karena
materi akan menentukan para mahasiswa dalam mempelajari
Bahan Ajar ini dalam kaitannya dengan bahan-bahan Ajar
lainnya.
2. Untuk mempelajari Bahan Ajar ini haruslah berurutan, karena
materi yang mendahului adalah merupakan prasyarat untuk
mempelajari materi-materi berikutnya.
3. Laksanakan tugas mandiri dan tugas struktur sesuai dengan
petunjuk karena akan berpengaruh pada komponen penilaian
akhir bagi mahasiswa.

C. Tujuan Akhir
Setelah mempelajari Buku Ajar Hukum Agraria (Suatu
Pengantar) ini, para mahasiswa diharapkan dapat:
1. Mengetahui dan mengerti tentang Agria & Hukum Agraria,
meliputi;
a. Pengertian Agraria dan Hukum Agraia.
b. Pembidangan dan Pokok Bahasan Hukum Agraria.
a. Sumber Hukum Agraria.
2. Mengetahui dan mengerti tentang Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) Sebagai Undang-Undang Pokok, meliputi;
a. Sejarah lahirnya UUPA.
b. Tujuan UUPA.

2  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


c. Akibat hukum lahirnya UUPA.
d. Prinsip-prinsip dasar dari hukum agraria nasional dalam
UUPA
3. Mengetahui dan mengerti tentang Ketentuan Pokok
Penguasaaan Hak-Hak Atas Tanah, meliputi;
a. Hak penguasaan atas tanah dalam konsep hukum tanah.
b. Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah (KTP-HAT).
c. Hubungan hukum antara tanah dengan tanaman dan
bangunan di atasnya.
4. Mengetahui dan mengerti tentang Hak-Hak Atas Tanah (I),
meliputi;
a. Pengertian hak atas tanah.
b. Macam-macam hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA
c. Hak atas tanah yang dicabut setelah berlakunya UUPA
d. Hak atas tanah yang masih berlaku pasca diberlakukannya
UUPA
5. Mengetahui dan mengerti tentang Hak-Hak Atas Tanah (II),
meliputi;
a. Pengertian hak atas tanah yang bersifat primer.
b. Pengertian hak atas tanah yang berfat skunder.
c. Macam-macam hak atas tanah yang bersifat primer
berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA.
d. Macam-macam hak atas tanah yang bersifat skunder
berdasarkan Pasal 53 UUPA.
6. Mengetahui dan memahami tentang Pendaftaran Tanah (I),
meliputi;
a. Pengertian pendaftaran tanah.
b. Dasar hukum pendaftaran tanah.
c. Asas-asas pendaftaran tanah.
d. Tujuan Pendaftaran Tanah.
e. Sistem Pendaftaran Tanah.
7. Mengetahui dan memahami tentang Pendaftaran Tanah (II),
meliputi;

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  3


a. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah.
b. Objek Pendaftaran Tanah.
c. Kegiatan-Kegiatan Dalam Pendaftaran Tanah
8. Mengetahui dan memahami tentang Hak Tanggungan (I),
meliputi;
a. Pengertian Hak Tanggungan.
b. Dasar Hukum Hak Tanggungan.
c. Ciri dan Prinsip Pokok Hak Tanggungan
9. Mengerti dan memahami tentang Hak Tanggungan (II), meliputi;
a. Subyek Hak Tanggungan.
b. Objek Hak Tanggungan.
c. Tahapan Pembebanan Hak Tanggungan.
10. Mengerti dan memahami tentang Hak Tanggungan (III), meliputi;
a. Hapusnya Hak Tanggungan.
b. Pencoretan/Roya Hak Tanggungan.
c. Eksekusi Hak Tanggungan
11. Mengetahui dam memahami tentang Landreform, meliputi;
a. Pengertian & Tujuan Landreform.
b. Dasar Hukum Landreform.
c. Penetapan Luas Maksimum Pemilikan Dan Penguasaan
Tanah Pertanian.
d. Larangan Pemilikan Tanah Secara Absentee.
12. Mengerti dan memahami tentang Redistribusi Tanah, meliputi;
a. Pengertian Redistribusi Tanah.
b. Pengembalian Dan Penebusan Tanah Pertanian Yang
Digadaikan.
c. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
d. Luas Minimum Pemilikan Tanah.
13. Mengerti dan memahami tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, meliputi;
a. Pengertian .
b. Dasar Hukum.
c. Asas-Asas Dalam Pengadaan Tanah.

4  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


d. Tujuan & Ruang Lingkup Pengadaan Tanah.
e. Pokok-Pokok Pengadaan Tanah.
f. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah.
g. Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah
14. Mengerti dan memahami tentang Sengketa, Konflik Dan Perkara
Pertanahan, meliputi;
a. Pengertian.
b. Dasar Hukum.
c. Tipologi Permasalahan Pertanahan.
d. Penanganan Permasalahan Pertanahan.
e. Upaya Penanggulangan Permasalahan Pertanahan.
f. Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan

--00O00--

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  5


2

KEGIATAN BELAJAR I
AGRARIA DAN HUKUM AGRARIA

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar I ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mendefenisikan pengertian Agraria dan Hukum Agraria.
2. Menjelaskan pembidangan dan pokok bahasan Hukum Agraria.
3. Mengetahui sumber-sumber Hukum Agraria Indonesia.

B. Uraian Materi
1. Pengertian Agraria dan Hukum Agraia
a. Agraria
Istilah agraria berasal dari kata akker (bahasa Belanda), agros
(bahasa Yunani) yang berarti adalah tanah pertanian, agger (bahasa
Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, aggraius (bahasa Latin)
berarti perladangan, persawahan, pertanian, agrarian (bahas Inggris)
berarti tanah untuk pertanian (Urip Santoso, 2012: 1). Kamus Besar
Bahasa Indonesia, mendefinisikan Pengertian Agraria adalah Urusan

6
Pertanian/Tanah Pertanian, Urusan Pemilikan Tanah (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 5,12).
Boedi Harsono (2008, 4-7) membedakan pengertian agraria
dalam tiga perspektif, yakni agraria dalam arti umum, administrasi
pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Selanjutnya disingkat UUPA), dengan uraian sebagai berikut:
1) Dalam Arti Umum kata Agraria berasal dari Bahasa Yunani
“Ager”, yang berarti ladang/tanah, Bahasa Latin “Agrarius”, yaitu
apa-apa yang berhubungan dengan masalah tanah, Bahasa
Belanda “Akker”, yang berarti ladang, tanah pertanian, Bahasa
Inggris “Land”, yang berarti tanah/ladang.
2) Dalam lingkungan administrasi pemerintahan sebutan agraria
dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non
pertanian. Ruang lingkup agraria dalam aspek adminitrasi
pemerintahan merupakan perangkat perundang-undangan
yang memberikan landasan hukum bagi pemerintah dalam
melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan.
3) Pengertian agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat
luas, meliputi: Bumi, Air, Kekayaan Alam, Ruang Angkasa.

Di lain sisi, A.P. Parlindungan (1991: 36) membagi ruang lingkup


atas pengertian agraria berdasarkan UUPA, yaitu:
1) dalam arti sempit; bahwa agraria berwujud sebagai hak-hak atas
tanah, ataupun pertanian saja, dan;
2) dalam arti luas; agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (sebagai
penjabaran dari pemaknaan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA).

Mengacu pada ruang lingkup agraria sebagaimana disebutkan


dalam UUPA maka ruang lingkup agraria yang sangat luas tersebut
meliputi, antara lain;
1) Bumi (Pasal 1 ayat (4) UUPA); yaitu permukaan bumi, termasuk
pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  7


Sedangkan TANAH (Pasal 4 ayat (1) UUPA) adalah permukaan
bumi.
2) Air (Pasal 1 ayat (5) UUPA); yaitu air yang berada di perairan
pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia.
Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyebutkan bahwa; ” Air
adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air
permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di
darat. ”
3) Ruang Angkasa (Pasal 1 ayat (6) UUPA); yaitu ruang di atas
permukaan bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah
Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ruang angkasa adalah
ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-
unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara
dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu. Dalam perkembangannya pemerintah
telah menerbitkan regulasi terkait dengan pengelolaan ruang
angkasa ini dengan mengatur tentang antariksa sebagaimana
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Keantariksaan. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa
antariksa adalah ”Antariksa adalah ruang beserta isinya yang
terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi
Ruang Udara” dan “Ruang Udara adalah ruang yang
mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang
mengandung udara yang bersifat gas” (Pasal 1 angka 1 dan 3).
4) Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; yaitu segala
sesuatu yang diperoleh dari alam, memiliki nilai dan berharga.
Pada perkembangannya dalam meng-eksplorasi kekayaan alam
Indonesia, Pemerintah kemudian telah benyak menerbitkan
regulasi terkait dengan kekayaan alam di antaranya; Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

8  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


dan Batu Bara, Undang-Undang 45 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang
Kelautan, Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia. Namun
sayangnya dari keseluruhan regulasi tersebut, agaknya masih
belum menjadikan UUPA sebagai dasar pijakan dalam
pembentukannya sehingga masing-masing regulasi masih
tampak bersifat ego sektoral.

Secara singkat, istilah agraria menurut UUPA memiliki pengertian


tidak hanya sebatas tanah, melainkan juga meliputi bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bahkan menurut
Boedi Harsono ruang angkasa juga termasuk di dalamnya, dimana di
atas bumi dan air mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan mengembangkan
kesuburan bumi, air serta kekayaan alam dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan hal tersebut (Ari S. Hutagalung, 2010: 33).

b. Hukum Agraria
Yan Pramadya Puspa mendefenisikan pengertian hukum agraria,
agrarisch recht (bahasa Belanda), Agrarian Law (bahasa Inggris)
sebagai ketentuan-ketentuan keseluruhan dari hukum perdata,
hukum tata negara, dan hukum adminitrasi negara (Hukum Tata
Usaha Negara) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang
(termasuk badan hukum) dengan bumi, air dan ruang angksa dalam
seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenangnya (Yan
Pramadya Puspa, 1977: 440).

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  9


Hukum agraria tidak hanya terbatas pada satu perangkat
hukum saja, melainkan satu kelompok hukum yang terdiri dari
berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk
sebagai pengertian agraria, yaitu antara lain (Boedi Harsono, 2008:
8):
1) Hukum Tanah, mengatur tentang hak-hak penguasaan atas
tanah, dalam arti permukaan bumi.
2) Hukum Air, mengatur tentang hak-hak penguasaan atas air.
3) Hukum Pertambangan, mengatur tentang hak-hak penguasaan
atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-
Undang Pokok Pertambangan.
4) Hukum Perikanan, mengatur hak-hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
5) Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur Dalam Ruang
Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-
unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48
UUPA.

Secara ringkas, hukum agraria dapat didefenisikan sebagai


kumpulan/himpunan petunjuk-petunjuk/kaedah berupa perintah
dan larangan tertulis maupun tidak tertulis mengatur tata tertib
hubungan dengan bumi (tanah, air, dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Dengan arti kata
lain, bahwa objek kajian hukum agraria tidak hanya membahas
tentang bumi dalam arti sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas
juga tentang pengairan, perikanan, kehutanan, serta penguasaan
atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (Urip Santoso,
2012: 6).

2. Pembidangan Dan Pokok Bahasan Hukum Agraria


a. Pembidangan
Pasca berlakunya UUPA, hukum agraria Indonesia terkonsentrasi
kepada dua bidang secara garis besar, yaitu (Urip Santoso, 2012: 7);

10  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


1) Hukum Agraria Perdata (Keperdataan); adalah keseluruhan dari
ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan dan
badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang
diperlakukannya perbuatan hukum yang berhubungan dengan
tanah (objeknya). Contoh; jual-beli, tukar-menukar, hibah, hak
atas tanah sebagai jaminan hutang (Hak Tanggungan),
pewarisan.
2) Hukum Agraria Administrasi (Administratif), adalah keseluruhan
dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada
pejabat dalam menjalankan praktik hukum negara dan
mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang timbul.
Contoh; pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak
atas tanah.

Melihat fenomena hukum yang cenderung muncul dibalik


terjadinya sengketa, konflik dan perkara pertanahan di tengah-
tengah masyarakat merupakan sebuah akibat dari adanya suatu
keadaan/situasi dan kondisi menyangkut hak dan kewajiban serta
larangan yang terjadi tidak sebagaimana mestinya berlaku terhadap
sesuatu hak atas tanah yang dipegang/dipunyai oleh suatu subjek
hukum (subjek hak). Artinya, ada suatu perbuatan yang kemudian
dianggap melanggar hukum dan/atau suatu kejahatan terhadap
bermacam-macam hak atas tanah sebagaimana diatur oleh UUPA
dan mengakibatkan munculnya sengketa, konflik dan perkara
pertanahan (Rahmat Ramadhani, 2016: 195).
Maka oleh karenanya selain dari kedua pembidangan hukum
agraria sebagaimana telah di gariskan oleh Boedi Harsono tersebut di
atas, aspek hukum pidana juga tidak dapat dilepaskan dari kajian
pembidangan UUPA. Aspek kajian hukum pidana digunakan dalam
pembidangan hukum agraria guna mengurai terjadinya kejahatan
terhadap tanah. Kejahatan atau delik adalah suatu perbuatan yang
di larang oleh suatu aturan hukum dan disertai dengan ancaman
(sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  11


larangan tersebut (Aloysius Mudjiyono dan Mahmud Kususma, 2014:
3).
Kejahatan terhadap tanah adalah kejahatan yang dilakukan
tehadap dan berhubungan dengan hak-hak atas tanah
sebagaimana termaktub dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA, yang
berdasarkan waktu terjadinya kejahatan terhadap tanah dimaksud
terdiri dari tiga kelompok, yaitu (Aloysius Mudjiyono dan Mahmud
Kususma, 2014: 4);
1) Pada saat pra-perolehan;
Kejahatan terhadap tanah pada saat sebelum terjadinya
perolehan hak atas tanah (pra-perolehan) yaitu perbuatan yang
dilakukan sebelum diperoleh/didapatkannya suatu hak atas
tanah. Pada kelompok tindak pidana ini, maka unsur utama
tindak pidana yang wajib dibuktikan adalah adanya perbuatan
melanggar hukum dalam upaya membuktikan hubungan
hukum antara pelaku dengan bidang tanah yang dikuasainya.
Pada kelompok pertama ini delik pidana yang kerap dilakukan
pelaku kejahatan adalah berupa; pemalsuan surat-surat alas hak
atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal 263 KUHP
dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara, atau juga
pemalsuan surat-surat autentik yang berkaitan dengan alas hak
atas tanah seperti Akta Noratis, Surat Jual Beli Tanah
(Segel/Materai), Surat Keterangan Tanah dari Camat dan lain
sebagainya sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal 264 KUHP
dengan ancamana hukuman 8 tahun penjara, dan/atau
perbuatan lain berupa menggunakan atau menyuruh
menggunakan keterangan palsu dalam akta autentik
sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal 266 KUHP dengan
ancaman hukuman 7 tahun penjara.
2) Menguasai Tanpa Hak;
Yaitu menguasai tanah yang bukan haknya dengan kata lain
menggambarkan adanya hubungan hukum yang tidak sah
antara pelaku dengan tanah yang dikuasainya. Ada penegasan

12  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


kata ”tanpa hak” dalam penguasaan tanah yang dilakukan
pelaku, sehingga menunjukkan adanya pihak lain yang memiliki
hak atas tanah. Dalam konteks tindak pidana dimaksud, pelaku
dianggap melakukan kejahatan sebagaimana diatur pada Pasal
385 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.
3) Mengakui Tanpa Hak;
Yaitu bisa jadi secara fisik bidang tanah dimaksud belum dikuasi
oleh pelaku, namun secara pengakuan, pelaku telah mengakui
bahwa hanya dialah yang memiliki hak atas tanah tersebut
sehingga memungkinkan pihak yang menguasai bidang tanah
mengalami kerugian atas pengakuan pelaku tersebut. Delik
pidana berkaitan dengan mengakui tanpa hak diatur dalam
Pasal 167 dan 168 KUHP dengan ancaman hukuman penjara
maksimal 1 tahun 4 bulan lamanya.

b. Pokok Bahasan
Dilihat dari objeknya, maka pokok bahasan hukum agraria
nasional dibagi menjadi dua, yaitu;
1) Hukum agraria dalam arti sempit; yaitu hanya membahas
tentang Hak Penguasaan Atas Tanah, meliputi Hak Bangsa
Indonesia atas tanah, hak menguasai negara atas tanah, hak
ulayat, hak perseorangan atas tanah.
2) Hukum agraria dalam arti luas; yaitu pokok bahasannya antara
lain; yang berkaitan dengan Hukum Pertambangan dalam
kaitannya dengan Hak Kuasa Pertambangan, Hukum
Kehutanan dalam kaitannya dengan Hak Penguasaan Hutan,
Hukum Pengairan dalam kaitannya dengan Hak Guna Air,
Hukum Ruang Angkasa dalam kaitannya dengan Hak Ruang
Angkasa, Hukum Lingkungan Hidup dalam kaitannya dengan
tata guna tanah, landreform (Urip Santoso, 2012: 9).

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  13


3. Sumber Hukum Agraria
a. Undang-Undang Dasar 1945.
Landasan konstitusional Hukum Agraria Indonesia tertuang
dalam BAB XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (Selanjutnya
disingkat UUD 1945) dituliskan: “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, menyatakan
bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam
bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas, dapat dianalisa
beberapa simpul maksud dan tujuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
terkait Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, antara lain:
1) Bahwa pokok-pokok kemakmuran yang dikelola adalah
bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Dengan arti kata lain sumber kemakmuran adalah
bersumber pada nilai ekonomis yang diperoleh dari hasil bumi, air
maupun kekayaan alam di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2) Bahwa pengelolaan atas sumber kemakmuran yang bersumber
dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
adalah dengan cara dikuasai oleh negara.
3) Bahwa tujuan pengelolaan secara dikuasai negara adalah untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan judul
BAB XIV UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial.

b. Undang-Undang Pokok Agraria


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau yang kerap disebut dengan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan landasan pelaksanaan

14  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Hukum Agraria Indonesia. Undang-Undang ini mulai diundangkan
pada tanggal 24 September 1960 dan dimuat dalam Lembaran
Negara tahun 1960-104, dan penjelasannya dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
Sesuai dengan Titelnya, UUPA menjadi Undang-Undang Pokok
yang berarti juga sebagai petunjuk pelaksanaan (JUKLAK)
keagrariaan Indonesia. Dengan arti kata lain, sejatinya UUPA sebagai
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional haruslah
menjadi landasan/sumber hukum materil dalam penyusunan regulasi
terkait keagrariaan Indonesia. Hal tersebut disebabkan bahwa UUPA
pada konsepnya memiliki hubungan khusus terhadap Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, yakni (Hasan Wargakusumah dkk., 2001: 8-10):
1) UUPA merupakan pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Dalam konsiderans “Mengingat” jo. Pasal 2 ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan
konstitusional dalam pembentukan UUPA. Oleh karenanya,
sesuai dengan kata sifatnya sebagai Undang-Undang Pokok
maka UUPA harus menjadi sumber hukum materil dalam
pembinaan hukum agraria nasional.
2) Dalam penjelasan umum UUPA angka 1, merumuskan bahwa
hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari asas
kerohanian negara dan cita-cita bangsa yaitu Pancasila serta
secara khusus merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33
UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3) Juga dirumuskan dalam penjelasan angka 1 tersebut, bahwa salah
satu dari tiga tujuan pembentukan UUPA adalah meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
menjadi alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan,
keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.

c. Peraturan Pelaksana UUPA dan Peraturan lama


Bahwa untuk melaksanakan keseluruhan amanah Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 dan UUPA terkait hukum agraria nasional maka
sumber hukum lainnya adalah berupa peraturan pelaksana UUPA.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  15


Di samping itu peraturan lama sebelum berlakunya UUPA juga
masih digunakan sebagai sumber hukum agraria nasional Indonesia
akan tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/pasal
peralihan dinyatakan masih berlaku.

C. Rangkuman
1. Istilah Agraria menurut UUPA memiliki pengertian tidak hanya
sebatas tanah, melainkan juga meliputi bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Oleh kareanya, Hukum
Agraria tidak hanya mengatur tentang hubungan hukum antara
orang dengan bumi dalam arti sempit yaitu tanah, melainkan
juga mengatur tentang pengairan, perikanan, kehutanan, serta
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.
2. Pembidangan Hukum Agraria Indonesia meliputi aspek hukum
perdata, hukum tata negara, hukum adminitrasi negara dan
hukum pidana. Sedangkan pokok bahasanya meliputi dalam arti
sempit, yaitu bertalian dengan hukum tanah, dan dalam arti luas
meliputi pula Hukum Pertambangan, Hukum Kehutanan
Hukum Pengairan, Hukum Ruang Angkasa, Hukum Lingkungan
Hidup dan aspek hukum lainnya yang bertalian dengan sumber
daya agraria Indonesia.
3. Sumber Hukum Agraria Indonesia terdiri dari; Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945, UUPA dan Peraturan Pelaksananya serta peraturan
keagrarian lama yang dinyatakan masih berlaku oleh UUPA.
D. Tugas Mandiri
Jawab soal-soal di bawah ini:
1. Jelaskan mengapa pembahasan hukum agraria tidak terbatas
hanya pada hukum tanah saja, dan apa maksudnya hukum
tanah tersebut?
2. Uraikan mengapa aspek hukum pidana penting dijadikan
pembahasan dalam pembidangan hukum agraria?
3. Sebutkan sumber-sumber hukum agraria di Indonesia dan
uraikan pokok bahasan atas hukum agraria dalam arti sempit
dan arti luas?

16  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


4. Jelaskan secara lengkap hubungan UUPA dengan Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945?
5. Model yang bagaimanakah menurut pendapat saudara sebagai
model yang ideal dalam pengelolaan agraria di Indonesia untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat?

--00O00--

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  17


3

KEGIATAN BELAJAR II
UUPA SEBAGAI UNDANG-UNDANG POKOK

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar II ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Memahami sejarah lahirnya UUPA;
2. Menjelaskan tujuan dibentuknya UUPA;
3. Menjelaskan akibat hukum atas lahirnya UUPA;
4. Memahami Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Agraria Nasional Dalam
UUPA.

B. Uraian Materi
1. Sejarah Lahirnya UUPA
Hukum Agraria Kolonial yang pernah diterapkan di Indonesia
menimbulkan implikasi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum
bagi masyarakat terutama golongan Bumi Putera. Dari sinilah
munculnya dualisme hukum di Indonesia di samping berlakunya
hukum agraria menurut hukum barat (berdasarkan KUH-Perdata
dan Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55) juga berlaku hukum adat

18
sebagai hasil dari perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang
pribumi maupun orang-orang asing yang bersimpati terhadap
rakyat Indonesia pada masa itu.
Telah banyak literatur terkait dengan hukum agraria yang
membahas tentang sejarah hukum agraria Indonesia baik pada
masa sebelum kemerdekaan, masa kemerdakaan maupun masa
pasca kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, pada bagian
ini secara spesifik hanya akan menceritakan sejarah pembentukan
sampai dengan disahkannya UUPA menjadi hukum agraria nasional
Indonesia.
Dari beberapa literatur diketahui bahwa upaya pemerintah
Indonesia untuk membentuk hukum agraria nasional (untuk
menggantikan hukum agraria kolonial) yang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 telah berlangsung selama 12 tahun lamanya,
dimulai pada tahun 1948 dengan beberapa kali mengalami
pergantian kepanitiaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai
suatu rangkaian proses yang panjang, hingga pada akhirnya tepat
pada 24 September 1960 pemerintah berhasil membentuk hukum
agraria nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau
yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA.
Urip Santoso (2012: 42-25) merangkum sejarah tahapan-tahapan
dalam penyusunan UUPA sebagai berikut:
a. Panitia Agraria Yogya;
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun
1948 tanggal 21 Mei 1948 berkedudukan di Yogyakarta diketuai
oleh Sarimin Reksodiharjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian
Dalam Negeri. Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang
akan menjadi dasar-dasar hukum agraria yang baru, yaitu:
1) Meniadakan asas domein (domein verklaring = pernyataan
kepemilikan) dan pengakuan hak ulayat.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  19


2) Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak
perseorangan yang kuat, yaitu Hak Milik yang dapat
dibebani Hak Tanggungan.
3) Mengadakan penyelidikan terlebih dahulu terhadap negara-
negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum
apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai Hak Milik
atas tanah.
4) Mengadakan penetapan luas minimum tanah agar para
petani kecil dapat hidup layak dan untuk Pulau Jawa
diusulkan 2 hektar.
5) Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah
dengan tidak memandang macam tanahnya dan untuk
Pulau Jawa diusulkan 10 hektar, sedangkan di luar Pulau
Jawa masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
6) Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang
diusulkan oleh Panitia Agraria Yogya.
7) Mengadakan pendaftaran tanah Hak Milik dan hak-hak
menumpang yang penting.

b. Panitia Agraria Jakarta;


Panitia Agraria Yogya dibubarkan dengan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, dan keputusan
presiden tersebut sekaligus menunjuk Panitia Agraria Jakarta
yang berkedudukan di Jakarta, diketuai oleh Singgih
Praptodiharjo, Wakil Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam
Negeri. Panitia ini mengemukakan usulan mengenai tanah untuk
pertanian rakyat (kecil), yaitu:
1) Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar
dengan mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan
dengan berlakunya Hukum Adat dan Hukum Waris.
2) Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah,
yaitu 25 hektar untuk satu keluarga.
3) Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki oleh warga negara
Indonesia dan tidak dibedakan antara warga negara asli dan

20  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


bukan asli. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah
rakyat.
4) Bangunan hukum untuk pertanian rakyat ialah Hak Milik,
Hak Usaha, Hak Sewa dan Hak Pakai.
5) Pengaturan Hak Ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar
negara dengan suatu undang-undang.

c. Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 tanggal 14
Januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria yang
berkedudukan di Jakarta dan diketuai Soewahjo Soemodilogo,
Sekretaris Jendral Kementerian Agraria. Panitia ini menghasilkan
naskah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria pada
tangggal 1 Januari 1957 yang berisi:
1) Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang
harus ditundukkan pada kepentingan umum (negara).
2) Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas
dasar ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950.
3) Dualisme Hukum Agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan
kesatuan hukum yang akan memuat lembaga-lembaga dan
unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam hukum
adat maupun hukum barat.
4) Hak-hak atas tanah: Hak Milik sebagai hak yang terkuat
yang berfungsi sosial kemudian ada hak usaha, hak
bangunan, dan hak pakai.
5) Hak Milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warga
negara Indonesia tidak diadakan perbedaan antara warga
negara asli dan tidak asli. Badan-badan hukum pada asasnya
tidak mempunyai hak milik atas tanah.
6) Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimum
luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan
hukum.
7) Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan
diusahakan sendiri oleh pemiliknya.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  21


8) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan rencana penggunaan
tanah.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1958 tanggal 6


Mei 1958 Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo)
dibubarkan.

d. Rancangan Soenarjo
Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika
dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan undang-
undang yang disusun Panitia Soewahjo oleh Menteri Agraria
Seonarjo diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret
1958. Dewan Menteri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958 dapat
menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) melalui amanat Presiden Soekarno
tanggal 24 April 1958.
Dalam membahas Rancangan Soenarjo, DPR mengharap perlu
untuk mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap.
Selanjutnya Panitia Permusyawaratan DPR membentuk sebuah
Panitia Ad Hoc dengan tugas:
1) Membahas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria
secara teknis yuridis.
2) Mempelajari bahan-bahan yang bersangkutan dengan
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut yang
sudah ada dan mengumpulkan bahan-bahan baru.
3) Menyampaikan laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta
usul-usul yang dipandang perlu mengenai Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria kepada Panitia
Permusyawaratan DPR.

e. Rancangan Sadjarwo
Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 negara Indonesia
kembali kepada konstitusi UUD 1945. Berhubung Rancangan
Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR beberapa waktu lalu
disusun berdasarkan UUDS 1950, maka dengan Surat Presiden

22  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan
disesuaikan dengan UUD 1945.
Setelah rancangan disesuaikan dengan UUD 1945 dan
disempurnakan dengan bahan-bahan dari berbagai pihak, maka
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria yang baru kemudian
diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo kepada kabinet.
Rancangan Sadjarwo ini disetujui oleh kabinet inti dalam
sidangnya 1 Agustus 1960. Kemudian dengan amanat Presiden
Soekarno tanggal 1 Agustus 1960 Nomor 2584/HK/60, rancangan
tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPRGR).
Dalam sidang pleno sebanyak 3 kali, yaitu tanggal 12, 13 dan 14
September 1960 diadakan pemeriksaan pendahuluan. Kemudian
dengan suara bulat DPRGR menerima baik Rancangan Undang-
Undang Pokok Agraria. Pada hari sabtu tanggal 24 September
1960 Rancangan tersebut disahkan oleh Presiden menjadi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1960 Nomor 104 – Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043, yang menurut diktum kelimanya disebut
dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

2. Tujuan UUPA
Latar belakang penyusunan rancangan dan pengesahan UUPA
sebagai Hukum Agraria Nasional merupakan titik tolak penetapan
tujuan yang ingin diwujudkan sebagai cita-cita nasional. Pada
Penjelasan Umum angka 1 UUPA menegaskan tujuan
diberlakukannya UUPA, yaitu;
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria
nasional, yang merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  23


Pada bagian ini lebih menitik beratkan bahwa tujuan yang telah
digagas oleh UUPA adalah mencerminkan dasar kenasionalan
hukum agraria, artinya secara formal UUPA memang telah
dinyatakan berlaku bagi bangsa dan rakyat Indonesia meliputi
wilayah NKRI, oleh karenanya UUPA mengedepankan
kepentingan nasional dan negara yang disandingkan dengan
kentalnya penghargaan UUPA terhadap keberadaan Hak Ulayat
dan hak-hak serupa dari masyarakat Hukum Adat yang
dipegang teguh oleh leluhur rakyat Indonesia secara turun-
temurun sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara (Hasan Wargakusumah dkk., 2001: 36).
Secara materil tujuan pemberlakuan UUPA pada bagian ini
adalah merupakan kebalikan dari ciri hukum agraria kolonial,
yaitu hukum agraria yang disusun berdasarkan tujuan dan sendi-
sendi dari pemerintah jajahan (Hindia-Belanda) yang ditujukan
untuk kepentingan keuntungan, kesejahteraan dan kemakmuran
bari pemerintah Hindia-Belanda, orang-orang Belanda dan
Eropa lainnya (Urip Santoso, 2012: 52).
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan .
Pemberlakuan UUPA secara langsung mencabut dualisme hukum
yang dilakoni oleh hukum agraria kolonial yaitu agrarische wet
(Stb. 1870-55), Koninklijk Besluit (Stb. 1872-117) dan Buku Ke II
KUH-Perdata sepanjang menyangkut tanah (diktum
memutuskan UUPA) dan menjadikan Hukum Adat sebagai dasar
pembentukan hukum agraria nasional sebagai bentuk kesatuan
hukum dan penterjemahan penyederhanaan hukum agraria
sehingga kemudian hukum agraria nasional dapat lebih mudah
dipahami oleh masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 5
UUPA (Urip Santoso, 2012: 52).
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

24  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Dengan diberlakukannya UUPA sebagai hukum agraria nasional
selanjutnya bertujuan untuk menyusun peraturan pelaksana
UUPA guna terlaksananya pendaftaran tanah di seluruh wilayah
NKRI dengan harapan tertatanya adminitrasi pertanahan untuk
menjamin kepastian hukum hak atas tanah sekaligus sebagai alat
bukti bagi pihak-pihak berkepentingan untuk dapat dengan
mudah membuktikan haknya atas tanah yang dipunyainya.

3. Akibat Hukum Lahirnya UUPA


Dengan disahkan dan diundangkannya UUPA sebagai hukum
agraria nasional, maka akibat hukum yang kemudian ditimbulkan
atas pemberlakuan UUPA adalah dicabutnya beberapa aturan
hukum yang berlaku sebelum berlakunya UUPA. Pada diktum
memutuskan UUPA terdapat kata yang tegas “dengan mencabut”
peraturan-peraturan, yaitu:
a. “Agrarische Wet” (S. 1870-55) sebagaimana yang termuat dalam
Pasal 51 “Wet op de staatsinrichting van Nederlands Indie ” (S.
1925-447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lain dari pasal itu;
b. 1) “Domeinverklaring” tersebut dalam Pasal 1 “Agrarische Besluit”
(S. 1870-118);
2) “Algemene Domeinverklaring” tersebut dalam S. 1875-119 1 a;
3) “Domeinverklaring untuk Sumatera” tersebut dalam Pasal 1
dari S. 1874-94f;
4) “Domeinverklaring untuk keresidenan Manado” tersebut
dalam Pasal 1 dari S. 1877-55;
5) “Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosteraf-deling
van Borneo” tersebut dalam pasal 1 dari S. 1888-58.
c. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (S. 1872-117) dan
peraturan pelaksanaannya.
d. Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai
hypoteek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  25


4. Prinsip-Prinsip Dasar Dari Hukum Agraria Nasional
Dalam UUPA
Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar dalam
pelaksanaan hukum agraria nasional sebagaimana diatur dalam
UUPA, diantaranya:
a. Prinsip Kebangsaan (Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) UUPA)
Prinsip kebangsaan atau yang lazim disebut dengan asas
kenasionalan yaitu:
1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari
seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia.
2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional.
3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termaksud dalam ayat pasal ini adalah hubungan
yang bersifat abadi.
b. Prinsip Hak Menguasai Negara (Pasal 2 UUPA)
Prinsip ini tegas menyebutkan bahwa:
1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal
ini memberi wewenang untuk:
a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut;

26  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur.
4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
c. Prinsip Pengakuan Hak Ulayat (Pasal 3 UUPA)
Prinsip pengakuan terhadap hak ulayat terurai antara lain:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
d. Prinsip Fungsi Sosial Hak Atas Tanah (Pasal 6 UUPA)
Semua Hak Atas Tanah memiliki fungsi sosial, yang
mengedepankan kepentingan masyarakat dan negara di atas
kepentingan pribadi. Maksudnya bahwa hak atas tanah apapun
yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa
tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)
semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal
itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  27


harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada
haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi
masyarakat dan Negara.
e. Prinsip Hanya warga negara Indoneisa yang dapat mempunyai
Hubungan dengan Bumi, Air dan Ruang Angkasa (Pasal 9 ayat
(1) UUPA)
Penegasan terhadap prinsip bahwa hanya WNI yang dapat
mempunyai hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa
ditegaskan pada pasal tersebut yaitu: “Hanya warga negara
Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan
bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal
1 dan pasal 2.”
f. Prinsip Persamaan Antara Laki-Laki Dan Wanita (Pasal 9 ayat
(2) UUPA)
UUPA tidak membedakan hak atas baik untuk laki-laki
maupun wanita, prinsip ini diuraikan dalam pasal tersebut, yaitu:
“Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
g. Prinsip Land Reform (Pasal 10 ayat (1) UUPA)
Prinsip Land Reform yaitu: “Setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara
aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
h. Prinsip Tata Guna Tanah (Pasal 14 ayat (1) UUPA)
Ada aspek tata guna tanah dalam amanah UUPA yang
menegaskan bahwa: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10
ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia,
membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,

28  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya :
1) untuk keperluan Negara;
2) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci
lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
3) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
4) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian,
peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
5) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi
dan pertambangan.

C. Rangkuman
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) diundangkan pada tanggal 24
September 1960 merupakan hukum agraria nasional untuk
menggantikan hukum agraria kolonial yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan masa penyusunan
rancangannya berlangsung selama 12 tahun lamanya, dimulai
pada tahun 1948 dan beberapa kali mengalami pergantian
kepanitiaan yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Tujuan dibentuknya UUPA tertuang dalam Penjelasan Umum
angka 1 UUPA, yaitu;
a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria
nasional, yang merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil
dan makmur;
b) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  29


3. Akibat hukum yang kemudian ditimbulkan atas pemberlakuan
UUPA adalah dicabutnya beberapa aturan hukum yang berlaku
sebelum berlakunya UUPA, yaitu hukum agraria kolonial
termasuk pula mencabut Buku ke-II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah.
4. Prinsip dasar dalam pelaksanaan hukum agraria nasional
sebagaimana diatur dalam UUPA, yaitu: Prinsip Kebangsaan,
Prinsip Hak Menguasai Negara, Prinsip Pengakuan Hak Ulayat,
Prinsip Fungsi Sosial Hak Atas Tanah, Prinsip Hanya warga
negara Indoneisa yang dapat mempunyai Hubungan dengan
Bumi, Air dan Ruang Angkasa, Prinsip Persamaan Antara Laki-
Laki Dan Wanita, Prinsip Land Reform, dan Prinsip Tata Guna
Tanah.

D. Tugas Mandiri
Jawab soal-soal di bawah ini:
1. Ada 4 tahapan dalam sejarah pembentukan UUPA, sebutkan ke
4 tahapan tersebut serta uraikan masing-masing rumusan yang
dihasilkan pada tahapan dimaksud?
2. Apa landasan hukum pengaturan agraria di Indonesia sebelum
berlakunya UUPA dan bagaimana sifat domein verklaring pada
masa kolonial, jelaskan?
3. Jelaskan secara terperinci apa saja yang menjadi tujuan
diberlakukannya UUPA?
4. Uraikan secara jelas dan lengkap tentang prinsip-prinsip yang
ada dalam UUPA!
5. Uraikan bagaimana kaitan antara prinsip dasar hukum agraria
Indonesia yang terkandung dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang
Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang
Berkedudukan di Indonesia?

--00O00--

30  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


4

KEGIATAN BELAJAR III


KETENTUAN POKOK PENGUASAAN HAK-HAK
ATAS TANAH

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar III ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Menjelaskan hak penguasaan atas tanah dalam konsep Hukum
Tanah.
2. Menjelaskan Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah (KTP-HAT).
3. Menjelaskan hubungan hukum antara tanah dengan tanaman
dan bangunan di atasnya.

B. Uraian Materi
1. Hak Penguasaan Atas Tanah Dalam Konsep Hukum
Tanah
Istilah hak atas tanah berasal dari bahasa Inggris, yaitu: land
rights, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan

32
landrechten, dalam bahasa Jerman yaitu landrechte. Secara
terminologi, hak diartikan sebagai kekuasaan untuk berbuat sesuatu
(karena telah ditentukan undang-undang) atau kekuasaan yang
benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Algra mengartikan
hak atau recht sebagai: “wewenang tertentu yang diberikan kepada
seseorang berdasarkan peraturan umum atau persyaratan tertentu”
(Arba, 2015: 83). Konsep hak dalam kedua terminologi itu difokuskan
kepada kekuasaan atau kewenangan. Kekuasaan diartikan sebagai
kemampuan, sedangkan kewenangan diartikan sebagai hak dan
kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
Boedi Harsono menyatakan bahwa hak penguasaan atas tanah
berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat
yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium
atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah
yang diatur dalam Hukum Tanah (Boedi Harsono, 2008: 24).
Lebih jauh, Undang-Undang Pokok Agraria membedakan antara
pengertian bumi dan tanah, sebagaimana yang dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1). Dalam Penjelasan Pasal 1 UUPA
mengeaskan yang dimaksud dengan tanah ialah permukaan bumi.
Oleh karenanya, membahas hak-hak penguasaan atas tanah maka
pokok bahasan yang kemudian akan diuraikan adalah hal-hal yang
berkaitan dengan hak-hak atas permukaan bumi.
Penjabaran terhadap pengertian penguasaan atas tanah dapat
juga dimaknai sebagai kata “menguasai” fisik bidang tanah dalam
tiga aspek, yaitu Yuridis, Perdata dan Publik (Boedi Harsono, 2008:
23). Penjabaran atas ketiga aspek penguasaan dan menguasai secara
fisik bidang tanah tersebut dapat diuraikan, antara lain:
a. Aspek Yuridis; yaitu penguasaan tanah yang didasarkan pada
landasan hak atas penguasaan tanah serta dilindungi secara
hukum, serta memberikan kewenangan kepada pemegang hak
untuk menguasai secara fisik bidang tanah yang dihaki. Sehingga

32  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


ada kemungkinan yang terjadi sebaliknya, ada pihak lain yang
menguasai fisik bidang tanah tanpa didasarkan pada landasan
hak secara yuridis. Contohnya ketika si pemegang hak yuridis
membuat perjanjian sewa menyewa atas bidang tanahnya
kepada pihak lain, maka secara fisik bidang tanah tersebut akan
dikuasai oleh pihak lain selama masa sewa tersebut berlangsung.
Atau contoh lain: ketika ada pihak lain yang menguasai tanpa
hak atas fisik suatu bidang tanah, maka pemilik tanah yang
bersangkutan atau pihak pemegang hak secara yuridis atas
bidang tanah dimaksud dapat menuntut diserahkannya kembali
tanah yang tersebut secara fisik kepadanya.
b. Aspek Perdata; yaitu beralihnya hak yuridis terhadap
penguasaan hak atas tanah yang disebabkan oleh adanya
perikatan atau perjanjian agunan/jaminan hutang (hak
tanggungan) antara pemegang hak dengan pihak pemberi
hutang (Bank/Kreditor). Namun demikian pemegang hak
yuridis/pemilik tanah masih dapat menguasai fisik bidang
tanahnya.
Contohnya: ketika si pemegang hak yuridis/pemilik tanah atas
tanah menjadikan tanahnya sebagai jaminan hutang ke Bank,
maka secara hukum hak atas tanah beralih kepada pemberi
hutang/kreditor yaitu Bank, namun secara fisik pihak pemilik
tanah masih menguasai bidang tanah dimaksud.
c. Aspek Publik, yaitu hak menguasai tanah yang tidak terlepas
dari kepentingan bangsa dan negara sebagaimana di atur dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.

Senada dengan hal tersebut, Maria S.W Sumardjono (2009: 128)


mendefenisikan hak atas tanah sebagai;

Hak atas permukaan bumi yang memberikan wewenang kepada


pemegang haknya untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di
atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  33


Pengertian hak atas tanah yang di kemukakan oleh Maria S.W.
Sumardjono merupakan intisari dari ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 4 UUPA, dengan unsur-unsur hak atas tanah yang
meliputi :
a. adanya subjek hukum
b. adanya kewenangan
c. adanya objek; dan
d. harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku

Subjek hukum hak atas tanah, yaitu orang-orang dan badan


hukum. Subjek hukum itu diberi kewenangan untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan. Sedangkan yang
menjadi objek hak atas tanah, meliputi :
a. permukaan dan tubuh bumi
b. air; dalam hal ini air laut, air sungai, maupun air danau; dan
c. ruang yang ada di atasnya dalam batas-batas tertentu.

Hak atas tanah yang berisikan kewenangan untuk


mempergunakan hak atas tanahnya oleh si pemegang hak tetap
dibatasi haknya oleh undang-undang, meliputi; keberadaan fungsi
sosial hak atas tanah tersebut, batas maksimum dan minimum
kepemilikan tanah dan hanya WNI serta badan hukum berdasarkan
peraturan pemerintah yang mendapatkan Hak Milik atas tanah.

2. Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah (KTP-HAT)


Pada prinsipnya, pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah
dalam Hukum Tanah dibagi menjadi dua, yaitu (Boedi Harsono,
2008: 26-27):
a. Hak Penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan
tanah sebagai objek dan orang atau badan hukum tertentu
sebagai pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak
penguasaan atas tanah, adalah sebagai berikut:
1) Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;

34  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


2) Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib
dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta
jangka waktu penguasaannya;
3) Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa-siapa yang boleh
menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi
penguasaannya; dan
4) Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
b. Hak Penguasaan Atas Tanah sebagai hubungan hukum yang
konkret;
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan
tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum
tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Ketentuan-
ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah sebagai
berikut:
1) Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu
hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan
hak penguasaan atas tanah tertentu;
2) Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-
hak lain;
3) Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak
lain;
4) Mengatur hal-hal mengenai hapusnya; dan
5) Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.

Lebih lanjut, Boedi Harsono (2008: 26-27) membagi hierarki hak-


hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah
Nasional, yaitu sebagai berikut:
a. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah (Pasal 1 UUPA);
Hak bangsa Indonesia atas tanah ini merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah
yang ada dalam wilayah negara, yang merupakan tanah
bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak
penguasaan yang lain atas tanah. Pengaturan hak penguasaan
atas tanah ini dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) ayat (3) UUPA. Hak

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  35


bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik,
artinya semua tanah yang ada dalam wilayah negara Republik
Indonesia merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Selain
itu juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada
dalam wilayah negara Republik Indonesia merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA).
Hubungan antara bangsa Indonesia dan tanah bersifat abadi,
artinya hubungan antara bangsa Indonesia dan tanah akan
berlangsung tiada putus untuk selamanya. Sifat abadi artinya
selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai bangsa Indonesia
dan selama tanah bersama tersebut masih ada pula, dalam
keadaan yang bagaimanapun tidak ada suatu kekuasaan yang
akan dapat memutuskannya atau meniadakan hubungan
tersebut (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Hak bangsa Indonesia atas tanah merupakan induk bagi
hak-hak yang penguasaan yang lain atas tanah, mengandung
pengertian bahwa semua hak penguasaan atas tanah yang lain
bersumber pada hak-hak bangsa Indonesia atas tanah dan
bahwa keberadaan hak penguasaan apa pun, hak yang
bersangkutan tidak meniadakan eksistensi hak bangsa Indonesia
atas tanah. Tanah bersama dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA
dinyatakan sebagai kekayaan nasional menunjukkan adanya
unsur keperdataan, yaitu hubungan kepunyaan antara bangsa
Indonesia dengan tanah bersama tersebut.
Menurut Boedi Harsono, pernyataan tanah yang dikuasai
oleh bangsa Indonesia sebagai tanah bersama tersebut
menunjukkan adanya hubungan hukum di bidang Hukum
Perdata. Biarpun hubungan hukum tersebut hubungan perdata
bukan berarti bahwa hak bangsa Indonesia adalah hak
pemilikan pribadi yang tidak memungkinkan adanya hak milik
individual. Hak bangsa Indonesia dalam Hukum Tanah Nasional
adalah hak kepunyaan, yang memungkinkan penguasaan

36  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


bagian-bagian tanah bersama dengan Hak Milik oleh warga
negara secara individual (Urip Santoso, 2012: 79).
Selain merupakan hubungan Hukum Perdata, hak bangsa
Indonesia atas tanah mengandung tugas kewenangan untuk
mengatur dan mengelola tanah bersama tersebut bagi sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Yang termasuk dalam bidang hukum
publik. Pelaksanaan kewenangan ini ditugaskan kepada Negara
Republik Indonesia (Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUPA).

b. Hak Menguasai Negara Atas Tanah (Pasal 2 UUPA);


Hak menguasai negara atas tanah bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penguasaan
pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur
hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak
mungkin dilaksanakan sendiri oleh bangsa Indonesia, maka
dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang
hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi
dikuasakan kepada negara Indonesia sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai negara atas tanah sebagaimana
dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah sebagai berikut:
1) Mengatur dan menyelenggarakan pembentukan,
peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
tanah, termasuk dalam wewenang ini adalah:
a) Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai
keperluan (Pasal 14 UUPA jo. Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
b) Mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk
memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan dan
mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA).
c) Mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah
(pertanian) untuk mengerjakan atau mengusahakan

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  37


tanahnya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara
pemerasan (Pasal 10 UUPA).
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan tanah. Termasuk dalam
wewenang ini adalah:
a) Menentukan hak-hak atas tanah yang bisa diberikan
kepada warga negara Indonesia baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, atau kepada
badan hukum. Demikian juga hak atas tanah yang
dapat diberikan kepada warga negara asing (Pasal 16
UUPA).
b) Menetapkan dan mengatur mengenai pembatasan
jumlah bidang dan luas tanah yang dapat dimiliki atau
dikuasai oleh seseorang atau badan hukum (Pasal 7 jo.
Pasal 17 UUPA).
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai tanah. Termasuk dalam wewenang ini adalah:
a) Mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia (Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24
tahun 1997 tentang pendaftaran tanah).
b) Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah.
c) Mengatur penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan
baik yang bersifat perdata maupun tata usaha negara,
dengan mengutamakan cara musyawarah untuk
mencapai kesepakatan.

Menurut Oloan Sitorus dan Nomadyawati, kewenangan


negara dalam bidang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA di atas merupakan pelimpahan tugas
bangsa untuk mengatur penguasaan dan pemimpin penggunaan
tanah bersama yang merupakan kekayaan nasional. Tegasnya,
hak menguasai negara adalah pelimpahan kewenangan publik

38  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


dari hak bangsa. Konsekuensinya kewenangan tersebut hanya
bersifat publik semata (dalam Urip Santoso, 2008: 80).

Tujuan hak menguasai negara atas tanah dimuat dalam


Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan,
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Subjek Hak menguasai Negara adalah Negara Republik
Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan Objek Hak menguasai Negara semua tanah dalam
wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak dihak-i
maupun tanah yang dihak-i dengan hak-hak perorangan,
tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara yang disebut tanah
Negara (Pasal 28,37,41,43,49). Hak menguasai Negara disebut
tanah Negara ini berbeda dengan “ landsdomein” atau “Milik
Negara” dalam rangka domein verklaring (Arba, 2015: 93).
Dengan berkembangnya hukum tanah nasional, pengertian
tanah itu mengalami perkembangan. Hal ini ditinjau dari aspek
kewenangan penguasanya,sehingga yang disebut tanah-tanah
Negara itu mencakup:
a) Tanah-tanah Wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yang
sudah diwakafkan;
b) Tanah-tanah Hak Pengelolaan (HPL), yaitu tanah-tanah
yang dikuasaai dengan hak pengelolaan;
c) Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai
oleh masyarakat-masyarakat hukum adat territorial dengan
Hak Ulayat.
d) Tanah-tanah kaum, tanah-tanah bersama masyarakat-
masyarakat hukum adat geoneologis.
e) Tanah-tanah kawasan hutan, yang dikuasai oleh
Kementerian Kehutanan RI berdasarkan UU Kehutanan.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  39


f) Tanah-tanah sisanya. Yaitu bukan tanah-tanah hak
sebagaimana disebutkan di atas dan tanah negara ini adalah
tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

Hak Menguasai Negara ini tidak dapat dipindah tangankan


kepada pihak lain. Akan tetapi pelaksanaannya dapat
dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum
adat, juga kepada badan-badan otorita, perusahaan–
perusahaan negara atau daerah, sepanjang hal itu tidak
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
sebagai tugas pembantuan, bukan otonomi, dan segala
sesuatunya akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pelaksanaan hak menguasai negara atas tanah dapat
dikuasakan atau dilimpahkan kepada daerah-daerah Swatantra
(pemerintah daerah) dan masyarakat-masyarakat Hukum Adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah
(Pasal 2 ayat (4) UUPA).
Pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan negara
tersebut dapat juga diberikan kepada badan otorita, perusahaan
negara, dan perusahaan daerah, dengan pemberian penguasaan
tanah-tanah tertentu dengan hak pe-ngelolahan (HPL).

c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Pasal 3 UPPA);


Hak ulayat masyarakat Hukum Adat diatur dalam Pasal 3
UUPA, yaitu: “Dengan mengingat ketentuan-ketetuan dalam
Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan Hak ulayat dan pelaksanaan
hak-hak serupa itu dari masyarakat–masyarakat Hukum Adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi.”
Pengaturan tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ini
semula tertuang dalam Peraturan Menteri Negara

40  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen
Agraria/Kepala BPN) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang kemudian
diganti dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka.
Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/Ka. BPN) Nomor 9
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada
Dalam Kawasan Tertentu.
Dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, terdapat
perbedaan mencolok terkait konsep hak ulayat masyarakat
hukum adat yang dtuliskan dalam Permen ATR/KA.BPN Nomor
9 Tahun 2015 ini, yaitu Permen ATR/BPN 9/2015
mengklasifikasikan Subjek Hak Komunal Atas Tanah menjadi
dua kategori, yaitu; masyarakat hukum adat dan kelompok
masyarakat tertentu (Pasal 2), yang dalam penjabarannya
masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang terikat
dengan hukum adat, baik secara garis keturunan maupun
kesamaan tempat tinggal, sedangkan masyarakat pada
kawasan tertentu adalah masyarakat yang menguasai tanah
selama 10 tahun yang bergantung pada hasil hutan dan sumber
daya alam serta ada kegiatan sosial-ekonomi yang terintegrasi
dalam kehidupan masyarakat tersebut (Pasal 3).
Sayangnya, karakter masyarakat hukum adat yang
diisyaratkan dalam Permen ATR/BPN 9/2015 lebih cenderung
kepada konsep penetapan hak yang berdimensi privat dan
mengabaikan dimensi hak publik adat. Artinya konsep
penetapan hak dalam peraturan menteri tersebut , lebih
cenderung mengarah kepada hak-hak atas tanah anggota/klan
dari suatu kelompok masyarakat adat seperti halnya seperti
tanah ulayat kaum di Minangkabau (Maria S.W. Soemardjono,
Harian Kompas, 6 Juli 2015).
Padahal diluar itu, masih ada juga cakupan hak adat yang
berdimensi publik seperti halnya kelembagaan adat, persekutuan

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  41


masyarakat hukum adat atau desa adat seperti nagari, negeri,
kasepuhan dan lain-lain yang memiliki konten aset hak publik
adat melingkupi hak untuk mengatur hubungan hukum antara
anggota/klan dalam masyarakat hukum adat atau diluar
masyarakat hukum adat atas pemanfaatan serta pengelolaan
sumber daya alam yang ada, hak untuk mengatur peruntukkan,
pemanfaatan dan pengalokasikan tanah dan ruang untuk
kepentingan publik masyarakat hukum adat, misalnya
penentuan hutan larangan dan lain sebagainya.
Meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa telah mengatur tentang masyarakat hukum adat sebagai
“desa adat”, yang pada substansinya hak ulayat melebur dalam
aset desa adat, sehingga penetapan desa adat merupakan
bagian dari penetapan hak asal usul atas wilayah adat yang
disebut juga dengan hak ulayat. Di lain sisi, Permen-ATR/BPN
9/2015 mengisyaratkan prosedur penetapan masyarakat hukum
adat sebagai subjek hak, baik itu dalam bentuk desa adat
maupun masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah dan
atau Surat Keputusan Kepala Daerah menggunakan mekanisme
yang beragam.
Aturan peralihan peraturan Menteri dimaksud mengako-
modasi keberagaman mekanisme penetapan tersebut, dengan
memastikan penetapan masyarakat hukum adat dan hak-
haknya yang sudah ada maupun yang sedang berproses diakui,
sehingga hak-hak masyarakat adat tersebut dapat ditetapkan
sebagai hak komunal.
Peluang tersebut, memunculkan ketidakpastian hukum
terkait objek hak oleh karena adanya tumpang tindih
penguasaan objek hak atas tanah. Bahkan lebih parahnya lagi,
malah melahirkan potensi konflik horizontal antar masyarakat
hukum adat dengan non masyarakat hukum adat yang
mempunyai penguasaan pada objek yang sama, yaitu diatas
wilayah adat.

42  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Padahal selama ini telah terjadi beberapa proses asimilasi
sosial yang dibangun masyarakat untuk penyelesaian konflik
terkait tumpang tindih klaim masyarakat hukum adat dengan
non masyarakat hukum adat di atas wilayah adat. Sehingga
dikhawatirkan peraturan Menteri dimaksud akan memperkuat
klaim antar masyarakat, sehingga proses asimilasi sosial yang
telah atau sedang dibangun menjadi rapuh dan bahkan buyar
(Rahmat Ramadhani, Harian Analisa, 23 Juni 2016).
Lebih jauh dari itu, penyamaan masyarakat hukum adat dan
non masyarakat hukum adat sebagai subjek hak komunal
seakan menyederhanakan konsep hak komunal secara sempit
dan mengeyampingkan hak ulayat secara luas. Sehingga
penentuan subjek yang berhak atas suatu objek tanah hanya
sebatas pada penguasaan tanah atas suatu wilayah tanpa
memperhatikan ikatan-ikatan atas tanah dan sumber daya
alam oleh masyarakat hukum adat yang berlatarbelakang pada
tradisi, sosial dan budaya. Alhasil proses asimilasi sosial dalam
penyelesaian konflik antar masyarakat seolah-olah diluar
cakupan dan kewenangan Permen ATR/BPN 9/2015.
Menurut Boedi Harsono (2008: 185-186) menegaskan bahwa
yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat Hukum Adat
adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
Hukum Adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya.
Keberadaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat
dinyatakan masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu:
1) Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu
persekutuan Hukum Adat tertentu, yang merupakan suatu
masyarakat Hukum Adat.
2) Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat
ulayat masyarakat Hukum Adat tersebut, yang disadari
sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya sebagai
“labensraum”-nya.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  43


3) Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan
diakui oleh para warga masyarakat Hukum Adat yang yang
bersangkutan melakukan kegiatan sehari-sehari sebagai
pelaksana hak ulayat (Boedi Harsono, 2008: 82).

d. Hak Perseorangan Dan Badan Hukum Atas Tanah (Pasal


16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA).
Dasar hukum pemberian hak atas tanah kepada
perseorangan atau badan hukum dimuat dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA, yaitu:
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang
dimaksud dalam Paal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum.
Macam-macam hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) UUPA tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 16 dan
53 UUPA. Secara rinci tentang macam-macam hak atas tanah ini
akan diuraikan pada bagian pembahasan Hak-Hak Atas Tanah.

3. Hubungan Hukum Antara Tanah Dengan Tanaman Dan


Bangunan di Atasnya.
Hubungan hukum antara tanah dengan tanaman dan bangunan
yang ada di atas tanah yang dihaki adalah sebagai diuraikan di
bawah ini (Boedi Harsono, 2008: 87-88):
a. Hukum tanah Indonesia yang termaktub di dalam UUPA adalah
berdasarkan Hukum Adat. Hukum Adat hanya mengenal Asas
Pemisahan Horizontal. Maksud dari asas ini adalah tanaman dan
bangunan yang berada di atas bidang tanah hak bukan
merupakan satu kesatuan dari hak atas tanah tersebut.
Pemegang hak atas tanah tidak dengan sendirinya memiliki
tanaman dan bangunan di atasnya. Atau dengan kata lain,
pemilik tanah belum tentu adalah pemilik bangunan/tanaman
yang ada di atasnya, dan sebaliknya pemilik tanaman dan
bangunan belum tentu sebagai pemilik tanah.

44  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


b. Dalam praktik dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai
tanah meliputi juga bangunan dan tanaman di atasnya, asalkan;
1) Bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu
kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, artinya
bangunan yang berfondasi dan tanaman yang merupakan
tanaman keras;
2) Bangunan dan tanah tersebut milik yang mempunyai tanah;
dan
3) Maksud yang demikian secara tegas disebutkan dalam akta
yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang
bersangkutan.

C. Rangkuman
1. Hak penguasaan atas tanah dalam konsep Hukum Tanah
yaitu hak penguasaan atas tanah yang berisi serangkaian
wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang
haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat yang
merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium
atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas
tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
2. Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah (KTP-HAT) sebagaimana
diatur dalam UUPA adalah mengatur tentang Hak Bangsa
Indonesia Atas Tanah, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Hak Perseorangan Dan
Badan Hukum Atas Tanah.
3. Hubungan hukum antara tanah dengan tanaman dan
bangunan di atasnya dapat terjadi disebabkan oleh karena
UUPA yang berlandaskan pada Hukum Adat dan juga
disebabkan oleh suatu perbuatan hukum mengenai tanah
tersebut beserta bangunan dan tanaman di atasnya seperti jual
beli, hibah dan seterusnya.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  45


D. Tugas Mandiri
Jawab soal-soal di bawah ini:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hak atas tanah?
2. Jelaskan Kapan munculnya hak atas tanah, uraikan?
3.Mengapa hubungan bangsa atas tanah harus didelegasikan
kepada hak menguasai negara untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat?
4. Jelaskan mengapa pengaturan tentang Hak Ulayat dalam
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN
Nomor 9 Tahun 2015 terkesan buyar dan membias?
5.Uraikan alasan mengapa hukum tanah berdasarkan UUPA
mengenal adanya Asas Pemisahan Horizontal?

--00O00--

46  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


5

KEGIATAN BELAJAR IV
HAK-HAK ATAS TANAH
(SESI-1)

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar IV ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mendefenisikan pengertian hak atas tanah.
2. Menjelaskan hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA.
3. Menjelaskan kententuan konversi hak atas tanah.
B. Uraian Materi
1. Pengertian Hak Atas Tanah
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat atas tanah tersebut (M. Syukran Yamin Lubis,
2016-2017). Ada penegasan kata ‘wewenang’ di dalam suatu hak
atas tanah, maka hak atas tanah juga ditafsirkan sebagai hak yang
berisikan rangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi

47
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki, sehingga secara substasi hak atas lebih kepada menunjukkan
adanya penegasan hak dan kewajiban serta larangan bagi subjek
hukum terhadap suatu hak di atas bidang tanah yang dipunyainya
(Boedi Harsono, 2008: 24).
Ciri khas dari hak atas tanah adalah pihak yang mempunyai hak
atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil
manfaat atas tanah yang menjadi haknya, oleh karea itu hak atas
tanah berbeda kedudukannya dengan hak penggunaan atas tanah
(https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah).

2. Hak-Hak Atas Tanah Sebelum Berlakunya UUPA


Hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA mengacu
kepada dualisme hukum yang mengatur tentang hak-hak atas
tanah, yaitu hukum barat dan hukum adat, dan macam-macam
hak atas tanahnya adalah sebagai berikut
(https://rifqiharrys.wordpress.com/tag/hak-atas-tanah/):
a. Hak Eigendom;
eigendom recht atau right of property diterjemahkan sebagai hak
milik sebagaimana diatur dalam Pasal 570 buku II BW
(burgerlijke wetboek) atau KUHPerdata (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ).
Hak Eigendom merupakan hak kepemilikan keperdataan atas
tanah yang terpenuh, tertinggi yang dapat dipunyai oleh
seseorang. Terpenuh karena penguasaan hak atas tanah tersebut
bisa berlangsung selamanya, dapat diteruskan atau diwariskan
kepada anak cucu. Tertinggi karena hak atas atas tanah ini tidak
dibatasi jangka waktu, tidak seperti jenis hak atas tanah yang
lain, misalnya hak erfpacht atau hak opstal.
Hak Eigendom adalah hak untuk dengan bebas
mempergunakan suatu benda sepenuh-penuhnya dan untuk
menguasai seluas-luasnya, asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan-peraturan umum yang
ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak

48  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


menetapkannya, serta tidak mengganggu hak-hak orang lain;
semua itu terkecuali pencabutan eigendom untuk kepentingan
umum dengan pembayaran yang layak menurut peraturan
peraturan umum.
b. Hak Erfpacht
Hak Erfpacht adalah hak benda yang paling luas yang dapat
dibebankan atas benda kepada orang lain. Pada pasal 720 KUH
Perdata disebutkan, bahwa suatu hak kebendaan untuk
menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak
bergerak milik orang lain dengan kewajiban memberi upeti
tahunan. Disebutkan di dalamnya pula bahwa
pemegang erfpachtmempunyai hak untuk mengusahakan dan
merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun-
temurun, banyak diminta untuk keperluan pertanian. Di Jawa
dan Madura, hak erfpacht diberikan untuk pertanian besar,
tempat-tempat kediaman di pedalaman, perkebunan, dan
pertanian kecil. Sedangkan di daerah luar Jawa hanya untuk
pertanian besar, perkebunan, dan pertanian kecil.
c. Hak Opstal
Hak Opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan,
atau tanam-tanaman di atas tanah orang lain. Menurut
ketentuan Pasal 711 KUH Perdata, hak numpang karang
(hak opstal) adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai
gedung-gedung, bangunan-bangunan, dan penanaman di atas
pekarangan orang lain.
d. Hak Gebruik
Hak Gebruik adalah suatu hak kebendaan atas benda orang lain
bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan
memakai apabila ada hasilnya sekedar buat keperluannya
sendiri beserta keluarganya.
Hak Gebruik ini memberikan wewenang kepada pemegangnya
untuk dapat memakai tanah eigendom orang lain guna
diusahakan dan diambil hasilnya bagi diri dan keluarganya saja.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  49


Di samping itu, pemegang hak gebruik ini boleh pula tinggal di
atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku haknya itu.
Hak Gebruik ini diatur oleh apa yang telah ditentukan sendiri
dalam perjanjian kedua belah pihak. Tapi jika tidak ada
perjanjian antara kedua belah pihak, maka berlakulah pasal 821
dan pasal-pasal yang berkaitan dengan hal itu dalam KUH
Perdata.
e. Hak milik & Hak pakai
Hak milik (adat) atas tanah adalah suatu hak atas tanah yang
dipegang oleh perorangan atas sebidang tanah tertentu yang
terletak di dalam wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Pada dasarnya, pemilik tanah belum
mempunyai kekuasaan penuh atas tanah yang dimilikinya atau
dikuasainya tersebut. Artinya, belum bisa menguasainya secara
bebas, karena hak milik ini masih mempunyai fungsi sosial.
Contohnya tanah yang dikuasai dengan hak milik dalam hukum
adat itu berupa sawah dan beralih turun-menurun.
Hak Pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut
hukum adat yang telah memberikan wewenang kepada
seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah tertentu bagi
kepentingannya. Hak ini mirip dengan hak yang dinikmati oleh
orang asing atau orang luar persekutuan atas tanah
persekutuan. Hanya saja, perseorangan anggota persekutuan
tidak dituntut untuk membayar biaya atau ganti rugi tertentu.
Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak dalam hukum adat
itu berupa ladang.
Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat
dikenal dengan hak atas tanah adat. Ini merupakan istilah yang
digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap
etnik maupun suku istilah yang digunakan berbeda-beda.
Macam-macam sebutan untuk hak atas tanah dimaksud antara
lain (http://suflasaint.blogspot.co.id/2010/12/hak-hak-atas-tanah-
seelum-uupa.html):

50  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


1) Hak Gogol; ialah hak seorang googol, atas apa yang ada
dalam perungdang undangan agrariadalam zaman hindia
belanda dahulu, disebut komunal desa. “Hak Gogol” biasanya
disebut “Hak Sanggao”, atau “Hak Pekulen”. Untuk diketahui
Hak Gogol itu disebut hak komunal (Communal Bezit) yang
dianggap sebagai tanah desa, yang diusahakan oleh orang
orang tertentu, gogol (Kuli), sedang tanahnya disebut tanah
gogolan atau tanah Pekulen. Hak Gogol dibedakan menjadi
dua, yaitu; Gogolan yang bersifat tetap adalah hak gogolan,
apabila para gogol tersebut terus menerus mempunayi tanah
gogolan yang dan apabila si gogol itu meninggal dunia, dapat
diwariskan kepada ahli warisnya yang tertentu, misalnya; Istri
dan anak-anaknya. Maka, untuk dapat disebut “Hak
Gogolan” ada dua syarat, yaitu; Bahwa tanah yang
dikuasainya tetap pada tanah yang sama dan apabila siGogol
meninggal dunia, maka Hak Gogolnya dapat dilanjutkan oleh
salah seorang ahli waris tertentu. Apabila tidak ada, maka
yang menjadi ahli warisnya adalah jandanya. Dengan
demikian turun temurun terbatas.
Gogolan yang bersifat tidak tetap adalah hak gogolan,
apabila para gogol tersebut tidak terus menerus memegang
tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol itu meninggal
dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada desa.
Dengan demikian ada dua unsure dalam hak Gogolanyang
bersifat tidak tetap,yaitu: Apabila tanah yang digarap
/dikuasai berganti ganti atau apabila si Gogol meninggal
dunia, maka tanah gogolan dimaksud tidak dapat diwariskan
pada ahli warisnya.
2) Hak Grant; adalah hak atas tanah atas pemberian Hak raja-
raja kepada bangsa asing. Hak Grant dapat disebut juga
Grant Sultan, Geran Datuk atau Geran Raja. Hak Grant
dikenal ada 3 macam , yaitu:

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  51


 Grant Sultan adalah merupakan hak untuk
mengusahakan tanah, yang diberikan oleh Sultan kepada
para kaula Swapraja. Hak Grant Sultan ini, didaftar
dikantor Pejabat Pamong Praja.
 Grant Controleur adalah hak yang diberikan kepada para
bukan kaula Swapraja. Hak dimaksud disebutControleur,
karena pendaftarannya dilakukan di kantor Controleur.
Hak ini banyak diubah menjadi Hak Opstal atau Hak
Erfpacht.
 Grant Deli Maatschappy adalah hak yang diberikan oleh
Sultan kepada Deli Maatschappy, lalu Deli Maatscheppy
diberikan wewenang untuk memberikan bagian bagian
tanah Grant kepada pihak ketiga/lain.
3) Hak Hanggaduh; adalah hak untuk memakai tanah
kepunyaan raja. Menurut penyataan ini, maka semua tanah
Yogyakarta, adalah kepunyaan raja, sedang Rakyat hanya
menggaduh saja. Untuk diketahui, bahwa tanah-tanah
didaerah istimewa Yogyakarta, adalah tanah-tanah yang
berasal:
a) hak-hak yang berasal bekas Hak Barat.
b) hak-hak yang berasal dari bekas Swapraja.
f. Hak ulayat
Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat,
dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi
kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang
dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-
temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

52  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


3. Ketentuan Konversi Hak Atas Tanah
Konversi adalah perubahan setatus hak atas tanah menurut
hukum agraria yang lama sebelum berlakunya UUPA yaitu hak atas
tanah yang tunduk pada Hukum Barat (KUHPerdata/BW), hukum
adat dan daerah swapraja menjadi hak atas tanah menurut UUPA
(Urip Santoso, 2012: 57).
Sejak diberlakukannya UUPA pada tanggal 24 September 1960,
maka hak-hak atas tanah yang lahir sebelum berlakunya UUPA
sebagaimana diuraikan di atas diberlakukan ketentuan tentang
konversi (perubahan status hak atas tanah). Peraturan perundang-
undangan yang mengatur penegasan konversi, yaitu (Urip Santoso,
2012: 57-58);
a. Pasal II ayat (1) Ketentuan-Ketentuan Konversi dalam UUPA;
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana
atau mirip dengan hak dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA
(yaitu hak milik) seperti; Hak Eigendom, milik, yayasan,
andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant
sultan, landerijenbezitrecht, altijdurende erphact, hak usaha atau
bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria sejak
diundangkannya UUPA menjadi Hak Milik seperti tersebut
dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA, kecuali jika yang mempunyai
hak tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 21 UUPA.
b. Pasal VII ayat (1) Ketentuan-Ketentuan Konversi dalam UUPA;
Hak Gogolan, Pekulen, atau Sanggan yang bersifat tetap yang
masih ada setelah diberlakukannya UUPA dikonversi menjadi
Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
UUPA.
c. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962
tentang Penegasan dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia
atas Tanah.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  53


d. Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang
Pelaksanaan Komversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan
Kebijakan Selanjutnya;
Jika hak penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada
departemen-departemen, direktorar-direktorat, dan daerah-
daerah swantara digunakan untuk kepentingan instansi-instansi
itu sendiri dikonversi menjadi hak pakai.
Penegasan konversi diajukan oleh pemegang hak atas tanah
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat
untuk diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya.

C. Rangkuman
1. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat atas tanah tersebut.
2. Hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak atas
tanah yang lahir berdasarkan hukum barat (KUHPerdata/BW)
dan Hukum adat.
3. Konversi adalah perubahan setatus hak atas tanah menurut
hukum agraria yang lama sebelum berlakunya UUPA yaitu hak
atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat (KUHPerdata/BW),
hukum adat dan daerah swapraja menjadi hak atas tanah
menurut UUPA.
D. Tugas Mandiri
Buatlah matriks (tabel) tentang konversi hak-hak atas tanah
berdasarkan Hukum Barat (KUHPerdata/BW) dan Hukum Adat
yang pernah ada di Indonesia menjadi hak-hak atas tanah
berdasarkan UUPA.

E. Tugas Terstruktur
Kerjakan secara berkelompok, antara lain:
1. Jurnal Report:
a. Kumpulkan minimal 3 jurnal hukum yang mengangkat tema
tentang Konversi Hak Atas Tanah;

54  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


b. Kaji dan telaah serta inventarisasi permasalahan berikut solusi
yang diangkat pada ketiga jurnal tersebut.
c. Susun laporannya sesuai dengan petunjuk dosen.
2. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah riset yang telah ditentukan dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Agararia.
b. Data yang diteliti adalah tentang keberadaan hak-hak atas
tanah sebelum berlakunya UUPA dan bagaimana proses
yang diterapkan oleh kantor pertanahan tersebut dalam
melaksanakan konversi hak atas tanah dimaksud menjadi
hak atas tanah sesuai dengan UUPA.
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen.

--00O00--

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  55


6

KEGIATAN BELAJAR V
HAK-HAK ATAS TANAH
(SESI-2)

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar V ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. MenjelaskanLegal Standing Hak Atas Tanah.
2. Menjelaskan Lahirnya Hak Atas Tanah
3. Menjelaskan Hak-Hak atas tanah menurut UUPA

B. Uraian Materi
1. Legal Standing Hak Atas Tanah
Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa
hak atas tanah pada dasarnya dilahirkan oleh adanya hak
menguasai negara sebagai perintah konstitusi Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan; “Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

5566
Hak menguasai negara itu sendiri merupakan pengejawantahan
hak bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang angkasa beserta
segala isi kekayaannya yang kemudian dilekatkan pada satu istilah
sebagaimana yang dikenal dengan sebutan agraria.
Legal standing terhadap hak menguasai negara tersebut dimuat
dalam Pasal 2 ayat (1) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih akrab disebut dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), menyebutkan bahwa;
Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air,
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Tujuan utama dari adanya hak menguasai negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA tersebut adalah untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana disebutkan di atas,
pada substansinya hak menguasai negara berisikan beberapa
rangkaian wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
UUPA yaitu;
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angksa.

Atas dasar kewenangan tersebutlah kemudian negara hadir


sebagai penjelmaan pemegang kedaulatan tertinggi untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang salah satunya bersumber
dari bumi yang kemudian melahirkan bermacam-macam hak atas
permukaan bumi atau yang dikenal dengan hak-hak atas tanah.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  57


Dengan kata lain, hak atas permukaan bumi yang disebut
dengan hak atas tanah bersumber dari hak menguasai negara atas
tanah. Dasar hukumnya disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,
yaitu;
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Merujuk pada makna ’wewenang untuk menggunakan tanah’
sebagaimana terkandung dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA tersebut di
atas, Berkaitan dengan wewenang dimaksud, Soedikno Mertokusumo
membagi kewenangan yang dipunyai oleh pemegang hak atas
tanahnya menjadi 2 jenis, yaitu (dalam Urip Santoso, 2012: 4-45);
a. Wewenang Umum, yaitu; wewenang yang bersifat umum dimana
pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan
ruang angkasa yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk
kepentingan yang berlangsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
b. Wewenang Khusus, yaitu; wewenang yang bersifat khusus bagi
pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya,
misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk
kepentingan pertanian dan/atau mendirikan bangunan,
wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah
menggunakan tanahnya hanya untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya,
wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan
hanya untuk kepentingan usaha di bidang pertanian, perikanan,
peternakan dan perkebunan.

Berdasarkan legal standing tersebut, maka kemudian hak atas


tanah secara umum berisikan (M. Syukran Yamin Lubis, 2016-2017);

58  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


a. Wewenang, untuk menggunakan Tanah Dan Tubuh Bumi, Air,
Ruang Angkasa Sepanjang Untuk Kepentingan Penggunaan
Hak.
b. Larangan, untuk:
1) Penggunaan Wewenang Tidak Boleh Merugikan Pihak Lain
dan
2) Pembatasan Wewenang Yang Terletak Pada Sifat Haknya.
Misal: HGB Tidak Boleh Untuk Pertanian
c. Kewajiban, agar :
1) Mempergunakan Tanah Sesuai Dengan Keadaannya, Sifat
Dan Tujuan Pemberian Haknya
2) Memelihara Tanah
3) Mengusahakan Sendiri Tanah Pertanian Secara Aktif

2. Lahirnya Hak Atas Tanah


Berdasarkan UUPA, ada 4 sebab lahirnya tanah hak yaitu; (1)
tanah hak yang lahir karena hukum adat, (2) tanah hak yang lahir
karena penetapan pemerintah, (3) tanah hak yang lahir karena
undang-undang dan (4) tanah hak yang lahir karena pemberian,
dan ada 2 cara memperoleh hak atas tanah bagi seseorang atau
badan hukum, yaitu (Urip Santoso, 2012: 54-58);
1. Hak atas tanah yang diperoleh secara orisinil, yaitu hak atas
tanah yang diperoleh seseorang atau badan hukum untuk
pertama kalinya. Macam-macam hak atas tanahnya adalah;
a. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai yang berasal dari tanah negara.
b. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan.
c. Hak Milik yang diperoleh dari adanya perubahan Hak Guna
Bangunan (peningkatan hak).
d. Hak Guna Bangunan yang diperoleh dari adanya perubahan
Hak Milik (penurunan hak).
e. Hak Milik yang terjadi menurut hukum adat.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  59


f. Hak milik yang terjadi atas tanah yang berasal dari bekas
tanah milik adat.
2. Hak atas tanah yang diperoleh secara derivatif, yaitu hak atas
tanah yang diperoleh seseorang atau badan hukum secara turun
temurun dari hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh
pihak lain, seperti;
a. Seseorang atau badan hukum membeli tanah hak pihak lain.
b. Seseorang atau badan hukum memperoleh hibah tanah hak
dari pihak lain.
c. Seseorang atau badan hukum melakukan tukar-menukar
tanah hak dengan pihak lain.
d. Seseorang mendapatkan warisan berupa tanah hak dari
orang tuanya.
e. Seseorang atau badan hukum memperoleh tanah hak
melalui pelelangan.

Tanah hak sebagaimana dimaksud di atas adalah bidang


tanah yang telah dilekati nomor hak yang merupakan urutan dari
buku register pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Dengan kata lain, tanah hak terdaftar
merupakan tanah yang telah dilekati suatu hak dan telah
didaftarkan serta telah mendapatkan nomor register pendaftaran
tanah dengan klasifikasi dan jenis hak yang telah ditentukan oleh
BPN.
Register nomor hak dimaksud merupakan produk akhir dari
proses pendafataran tanah yang dikenal dengan sebutan Sertifikat
Hak Atas Tanah. Tanah hak yang dipunyai atau dimiliki oleh subjek
hak tentunya memiliki batasan-batasan kewenangan tertentu.
Batasan kewenangan tersebut telah digariskan oleh UUPA sesuai
dengan jenis hak yang diperoleh dan tertulis dalam Sertifikat Hak
Atas tanah.
Sesuai dengan title-nya maka di dalam hak atas tanah selain
memiliki kewenangan sebagai salah satu bentuk hak juga memiliki

60  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


kewajiban-kewajiban dalam mempertahankan haknya tersebut
terhadap suatu bidang tanah (Rahmat Ramadhani, 2016: 199).
Secara umum pihak yang dapat ditunjuk sebagai subjek hak
untuk memiliki atau menguasai tanah hak, adalah (Urip Santoso,
Jurnal Mimbar Hukum, Volume 27, Nomor 2, Juli 2015: 218):
1. Perseorangan (Naturlijk Person); baik individu maupun
sekelompok individu secara bersama-sama berkewarganegaraan
Indonesia maupun berkewarganegaraan asing yang
berkedudukan di Indonesia dengan klasifikasi hak tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Badan hukum (Recht Person) meliputi Lembaga Negara,
Kementerian, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, Badan
Otorita, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
Pemerintah Desa, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Badan Keagamaan, Badan Sosial, Badan Hukum Asing
yang mempunyai Perwakilan di Indonesia, Perwakilan Negara
Asing, Perwakilan Badan Internasional, Perseroan Terbatas,
Yayasan.

3. Macam-Macam Hak Atas Tanah Menurut UUPA


Pasal 16 ayat (1) UUPA menjabarkan macam hak atas tanah
sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu;
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Sewa untuk Membangun, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut
Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak
tersebut di atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-
undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, berupa; Hak Gadai, Hak Usaha
Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa Tanah Pertanian.
Terhadap macam-macam hak atas tanah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA di atas, Urip

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  61


Santoso membaginya menjadi 3 kelompok, yakni ((Urip Santoso,
Jurnal Mimbar Hukum, Volume 27, Nomor 2, Juli 2015: 51);
a. Hak atas tanah yang bersifat Tetap, berupa hak atas tanah yang
berlaku selama UUPA masih berlaku dan belum dicabut dengan
undang-undang yang baru seperti; Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Membangun,
Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan.
b. Hak atas tanah yang ditetapkan dengan undang-undang yaitu
hak atas tanah yang akan lahir kemudian dengan penetapan
undang-undang.
c. Hak atas tanah yang sifatnya sementara dan dalam waktu yang
singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan, sifat feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA.

Arba mengklasifikasikan macam-macam hak atas tanah


dimaksud mejadi dua kelompok, yaitu (Arba, 2015: 97-130):
a. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu; Hak atas tanah
yang bersifat primer (pokok) yang dimaknai sebagai suatu hak
yang bersifat tetap yang berasal dari tanah negara. Meskipun
sifat haknya tetap namun setiap hak memiliki jangkauan dan
batasan waktu sebagaimana diatur dalam UUPA dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Adapun hak-hak atas tanah yang
bersifat primer adalah macam-macam hak atas tanah yang
diatur dalam pasal 16 ayat (1).
b. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu; Hak-hak atas
tanah yang bersifat sekunder (tambahan) yang dimaknai sebagai
suatu hak yang bersifat sementara yang berasal dari tanah hak
primer (pihak lain). Hak-hak yang bersifat sementara ini diatur di
dalam Pasal 53 UUPA, yaitu terdiri dari Hak Gadai, Hak Usaha
Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Hak-hak ini mempunyai sifat yang bertentangan dengan
undang-undang dan di usahakan hapusnya dalam waktu yang
singkat. Hak-hak ini dikatakan bertentangan dengan undang-
undang karena di dalam hak-hak tersebut mengandung unsur-

62  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


unsur pemerasan dan penindasan. Oleh karena itu, maka hak-
hak tersebut harus diatur dengan peraturan pemerintah.

 Hak-hak atas tanah yang bersifat primer


Di bawah ini adalah uraian beberapa macam hak atas tanah
primer yang cenderung sering ditemukan di tengah kehidupan sehari-
hari, antara lain;

1) Hak Milik (HM)


a) Dasar Hukum (Pasal 20 sampai Pasal 27 UUPA);
Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut
mengenai Hak Milik akan diatur dengan undang-undang.
Tetapi undang-undang yang yang diperintahkan Pasal 50
ayat (1) UUPA tersebut sampai sekarang belum terbentuk.
Untuk itu diberlakukanlah Pasal 56 UUPA yang menyatakan;
Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut
dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang
berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat
dan peraturan-peraturan lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan UUPA.
b) Pengertian;
 “Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 6 UUPA” (Pasal 20 ayat (1) UUPA).
 Hak milik yang terkuat dan terpenuh adalah sifat-sifat
utama dari hak milik yang membedakan dengan hak-hak
lainnya. Hak milik orang adalah hak yang “terkuat dan
terpenuhi” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian
sifat ini tidak berarti bahwa hak milik itu bersifat “mutlak”,
tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagaimana
hak eigendom menurut pengertian yang asli. Karena sifat
yang demikian terang bertentangan dengan sifat hukum
adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata “terkuat
dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  63


dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
dan lainnya.
c) Ciri-Ciri Hak Milik, yaitu;
(1) Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh
dibanding dengan hak-hak lainnya.
(2) Hak milik dapat dibebani dengan hak-hak lainnya,
seperti hak guna usaha, hak pakai, dan hak lainnya.
(3) Hak milik tidak mempunyai jangka waktu berlakunya.
(4) Hanya hak milik yang dapat diwakafkan.
(5) Hak milik hanya dapat dimiliki oleh warga negara
Indonesia dan badan hukum Indonesia.
d) Subjek Hak;
 Subjek hak milik yaitu (Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA):
(1) Warga negara Indonesia.
(2) Badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah.
 Badan-badan hukum tertentu yang boleh memiliki Hak
Milik atas tanah, yaitu (Pasal 1 PP No. 38 Tahun 1963):
(1) Bank yang didirikan oleh negara
(2) Perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan atas UU No 79 tahun 1958
(3) Badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/agraria setelah mendenggar Menteri
Agama
(4) Badan sosial yang ditunjuki oleh menteri pertanian
setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial
 Warga Negara Asing (WNA) atau badan hukum asing
tidak dapat diberikan Hak Milik atas tanah (Pasal 21 ayat
(3) UUPA).
e) Terjadinya hak milik (Pasal 22 UUPA);
 Hak Milik dapat terjadi melalui dua cara, yaitu;
(1) Hak milik terjadinya karena menurut hukum adat
yang diatur dengan peraturan pemerintah.

64  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


(2) Hak milik terjadi karena penetapan pemerintahan
dan ketentuan undang-undang.
f) Peralihan Hak Milik (Pasal 20 ayat (2));
 Beralih karena suatu perbuatan hukum, seperti; Jual-Beli,
Hibah, Wasiat, Tukar Menukar, Penanaman suatu modal
usaha dan lain sebagainya.
 Beralih karena suatu peristiwa hukum, seperti; pewarisan
karena kematian.
 Peralihan hak milik tersebut dapat dilakukan baik untuk
selama-lamanya, seperti jual beli lepas, tukar menukar,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perwakafan
tanah milik serta pelepasan hak, maupun peralihan hak
untuk sementara seperti dijadikannya Hak Milik yang
dibebani Hak Tanggungan atau juga jual beli sementara.
g) Hapusnya Hak Milik (Pasal 27 UUPA);
 Hak Milik atas tanah dapat hapus apabila:
(1) Tanahnya jatuh kepada negara
(a) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
(b) Karena penyerahan dengan sukarela oleh
pemiliknya
(c) Karena diterlantarkan
(d) Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan Pasal 26
ayat (2)
(2) Tanahnya musnah.
 Yang dimaksud dengan diterlantarkannya menurut
ketentuan Pasal 27 huruf a angka (3) di atas ialah bahwa
tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan dari pada haknya.
 Hak Milik juga hapus dan kembali berstatus tanah
Negara karena ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
h) Ketentuan lainnya;
 Pasal 23 UUPA; Hak milik, demikian pula setiap
peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  65


hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Hal ini dibuktikan
dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan
setempat (Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah)
 Pasal 25 UUPA; Hak Milik dapat dibebani/dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
2) Hak Guna Usaha (HGU)
a) Dasar Hukum:
(1) UUPA Pasal 28 sampai Pasal 34 UUPA;
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang
HGU, HGB dan Hak Pakai (Pasal 9-18);
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah;
(4) PMNA/Ka. BPN Nomor 4 Tahun 1998;
(5) PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1999;
b) Pengertian Hak Guna Usaha (Pasal 28 ayat (1) UUPA)
 Hak Guna Usaha adalah hak yang khusus untuk
mengusahakan tanah yang bukan milik sendiri guna
perusahaan pertanian, perikanan dan perternakan.
 PP No. 40 Tahun 1996 menambahkan “Guna Perusahaan
Perkebunan”.
 HGU termasuk hak atas tanah yng bukan bersumber
hukum adat, melainkan atas tanah baru yang diadakan
untuk memenuhi keperluan masyarakat modern, oleh
karenanya hak guna usaha diberikan untuk jangka
waktu yang lama (Arba, 2015: 104).
c) Luas dan Jangka Waktu Hak Guna Usaha
 Menurut Pasal 28 ayat (2) UUPA jo. Pasal 5 PP No. 40
Tahun 1996; Luas Tanah HGU adalah untuk
perseorangan, luas minimalnya 5 hektar dan luas
maksimalnya 25 hektar. Sedangkan Badan Hukum, luas

66  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan
oleh Kepala BPN.
 Menurut Pasal 29 UUPA; Hak Guna Usaha diberikan
dalam jangka waktu paling lama 25 tahun dan untuk
perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama
dapat diberikan paling lama 35 tahun. Jangka waktu
tersebut masih dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun
atas permintaan pemegang hak dengan mengingat
keadaan perusahaan. Oleh karena jangka waktunya
yang relatif lama, maka HGU hanya dimungkinkan atas
tanah yang dikuasi negara.
d) Ciri Ciri Hak Guna Usaha
 Ciri-cirinya:
- Hanya dapat diberikan atas tanah Negara
- Dapat beralih karena pewarisan
- Mempunyai jangka waktu terbatas
- Dapat dijadikan jaminan hutang dengan hak
tanggungan
- Dapat diahlikan kepada pihak lain
- Dapat dilepaskan menjadi tanah negara
 Pasal 28 ayat (2) UUPA; Hak Guna Usaha dapat
diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 ha. Jika
luas tanah 25 ha atau lebih, harus menggunakan investasi
modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik
sesuai dengan perkembangan zaman.
e) Subjek Hak Guna Usaha
 Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) UUPA jo. Pasal
2 PP No. 40 Tahun 1996 jo. Pasal 17 PMNA/Ka.BPN No. 9
Tahun 1999) yaitu;
(1) Warga negara indonesia
(2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum
indonesia dan berkedudukan di indonesia

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  67


 Berdasarkaan ketentuan Pasal 30 ayat 2 UUPA; apabila
pemegang hak guna usaha tidak memenuhi syarat
diatas, jangka waktu satu tahun pemegang hak harus
melepaskan haknya atau mengalikan hak atas tanahnya
kepada orang lain yang memenuhi syarat.
f) Objek Hak Guna Usaha
 Tanah Negara (Pasal 28 UUPA);
 Kawasan Hutan wajib dikonversi dengan ketentuan wajib
adanya pelepasan kawasan hutan dari Menteri
Kehutanan (Pasal 4 ayat (2) PP No 40 Tahun 1996).
 Tanah Hak wajib dilakukan pelepasan hak (Pasal 4 ayat
(3) PP No 40 Tahun 1996).
 Ganti Rugi kepada pemilik terhadap hamparan bidang
tanah yang di atasnya ada tanaman dan bangunan
(Pasal 4 ayat (4) PP No 40 Tahun 1996).
 Dalam hal tanah yang dimohon adalah tanah ulayat,
maka harus ada surat perjanjian antara pemohon HGU
dengan masyarakat hukum adat selaku pemegang hak
ulayat, bilamana waktunya habis atau HGU
diterlantarkan, maka pemegang HGU harus membuat
perjanjian baru (PMNA/Ka.BPN Nomor 5 Tahun 1999).
g) Terjadinya Hak Guna Usaha
 Karena penetapan pemerintah sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 31 UUPA.
 HGU karena keputusan pemberian hak oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk (Pasal 6 PP No 40 Tahun 1996).
h) Peralihan Dan Pembebanan Hak Guna Usaha
 HGU beralih atau dialihkan melalui jual beli, tukar
menukar, penyertaan modal, hibah, dan pewarisan (Pasal
29 UUPA jo. Dan Pasal 8 PP no.40 thn 1996).
 Pembebanan HGU dengan Hak Tanggungan diatur
dalam UUHT No 4 tahun 1996.
i) Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha

68  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


 Hak Pemegang HGU berdasarkan Pasal 14 PP No. 40
Tahun 1996, adalah:
(1) Menguasai dan mempergunakan tanah yang
diberikan dengan HGU untuk melaksanakan usaha di
bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan
peternakan.
(2) Untuk mendukung kegiatan usahanya, maka
pemagan hak untuk menguasai dan menggunakan
sumber air dan sumber daya alam lain di atas tanah
HGU.
 Kewajiban Pemegang HGU menurut Pasal 12 PP No. 40
Tahun 1996, adalah;
(1) Membayar uang pemasukan kepada negara;
(2) Memanfaatkan tanah sesuai dengan peruntukkan
dan penggunaan tanahnya sesuai dengan yang telah
ditetapkan dalam pemberian haknya;
(3) Mengusahakan sendiri tanah HGU sesuai dengan
kelayakan usaha yang telah ditetapkan oleh instansi
teknis;
(4) Membangun memelihara prasarana lingkungan dan
fasilitas tanah yang ada dalam areal HGU;
(5) Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan
sumber daya alam dan menjaga kelestarian
kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(6) Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun
mengenai penggunaan HGU;
(7) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan
HGU kepada negara sesudah HGU tersebut hapus;
(8) Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus
kepada Kepala Kantor Pertanahan;
(9) Pemegang HGU dilarang menyerahkan penguasaan
HGU kepada pihak lain, terkecuali dalam hal-hal

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  69


yang diperbolehkan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 12 ayat (2));
(10) Pemegang HGU wajib memberikan lalu lintas
umum atau jalan keluar atau jalan air atau
kemudahan lain bagi pemilik/pemegang hak atas
pekarangan atau bidang tanah yang tertutup atau
terkurung oleh letak wilayah HGU yang dikuasai.
j) Hapusnya Hak Guna Usaha
 Menurut ketentuan Pasal 34 UUPA, HGU hapus karena;
(1) Jangka waktu berakhir;
(2) Dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena
suatu syarat yang tidak terpenuhi;
(3) Dilepas oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktu berakhir;
(4) Dicabut untuk kepentingan umum;
(5) Diterlantarkan;
(6) Tanahnya musnah;
(7) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
 Menurut Pasal 17 PP No 40 Tahun 1996, HGU hapus
karena;
(1) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian atau perpanjangan hak;
(2) Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenangan
sebelum jangka waktu berakhirnya karena;
(a) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban sebagai
pemegang hak dan/atau dilanggarnya
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 12, 13 dan/atau 14 PP No 40 Tahun 1996;
(b) Putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang hak
sebelum jangka waktu berakhir;

70  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


(4) Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961;
(5) Tanahnya diterlantarkan;
(6) Tanahnya musnah;
(7) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UUPA
 Kewajiban bagi bekas pemegang hak dalam hal
hapusnya HGU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
PP Nomor 40 Tahun 1996, yaitu;
(1) Wajib membongkar bangunan-bangunan dan
benda-benda di atasnya dan menyerahkan tanah
dan tanaman yang ada di atas tanah bekas HGU
kepada negara dalam batas waktu yang ditetapkan
oleh Menteri.
(2) Bila bangunan, tanaman dan benda-benda tersebut
masih diperlukan untuk melangsungkan dan
memulihkan pengusahaan tanahnya, maka kepada
bekas pemegang haknya diberikan ganti rugi yang
bentuk dan jumlahnya diatur dengan Keputusan
Presiden;
(3) Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut
dilaksanakan atas biaya bekas pemegang HGU;
(4) Jika bekas pemegang HGU lalai memenuhi kewajiban
tersebut, maka bangunan dan benda-benda akan
dibongkar oleh pemerintah atas biaya dari bekas
pemegang HGU.
3) Hak Guna Bangunan (HGB)
a) Dasar hukum HGB:
(1) UUPA pasal 35 sampai pasal 40 UUPA;
(2) Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang HGU,
HGB, dan Hak Pakai;
(3) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah;

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  71


(4) Kep.MNA/Ka.BPN Nomor 5 Tahun 1998 tentang
Perubahan HGB atau Hak Pakai Atas Tanah Untuk
Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan Menjadi
Hak Milik.
b) Pengertian HGB
 Pasal 35 UUPA; yaitu hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 tahun dan
dapat diperpanjang 20 tahun. HGB dapat dialihkan
kepada pihak lain.
 Pengunaan HGB adalah untuk mendirikan bangunan
saja, meliputi; bangunan rumah tinggal, usaha
perkantoran, pertokoan industri dan lain-lain.
c) Subjek HGB
 Menurut Pasal 48 UUPA adalah:
(1) Warga Negara Indonesia;
(2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum
indonesia dan berkedudukan di indonesia
 Orang atau badan hukum yang mempunyai HGB dan
tidak lagi memenuhi syarat, dalam waktu satu tahun
wajib melepaskan atau mengalihkan kepada pihak lain
yang memenuhi syarat. Jika dalam waktu tersebut tidak
diperhatikan atau dilaksanakan, maka hak tersebut
hapus karena hukum dengan ketentuan bahwa hak
pihak lain akan dipindahkan menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Menurut Pasal 36 ayat (2) UUPA; selambat-lambatnya
satu tahun wajib melepaskan/mengalihkan HGB bagi
pihak pemegang HGB yang tidak memenuhi persyaratan.
d) Objek HGB
 Menurut ketentuan pasal 37 ayat (1) UUPA, yaitu;
(1) Tanah negara
(2) Tanah hak milik

72  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


 Menurut Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996, adalah;
(1) Hak milik
(2) Hak pengelolahan
(3) Tanah negara
e) Ciri-Ciri HGB
(1) Dapat berahli dan diahlikan
(2) Jangka waktunya terbatas
(3) Dapat dijadikan jaminan hutang
(4) Dapat dilepaskan oleh pemegang haknya
(5) Dapat terjadinya dari hak milik dan tanah negara
f) Terjadinya Hak Guna Bangunan
 Berdasarkan Pasal 37 UUPA, dikarenakan;
(1) Penetapan oleh pemerintah jika objeknya adalah
tanah negara;
(2) Perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik
tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan
diberikan HGB jika objek tanahnya milik perorangan.
(3) Menurut Pasal 22 PP No. 40 Tahun 1996, disebabkan
oleh:
(a) HGB atas tanah negara diberikan berdasarkan
keputusan pemberian hak (penetapan perintah);
(b) HGB atas tanah pengelolaan diberikan dengan
keputusan pemberian hak melalui penetapan
pemerintah berdasarkan usul pemegang hak
pengelolaan yang kemudian didaftar di kantor
pertanahan setempat.
 Menurut Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996; HGB yang
diberikan di atas tanah hak milik yang pegang
perorangan/badan hukum didasarkan pada perjanjian
akta otentik yang dibuat oleh para pihak dihadapan
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
 Menurut Pasal 19, 32 UUPA jo. Ketentuan Pasal 23 PP No.
40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa setiap pemberian

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  73


HGB harus didaftarakan di kantor pertanahan tempat
tanah berada.
g) Jangka waktu HGB
Ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan (2) UUPA menegaskan
bahwa jangka waktu HGB selama 30 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun.
h) Hak dan Kewajiban Pemegang HGB
 Bedasarkan Pasal 32 PP No. 40 Tahun 1996, hak
pemegang HGB yaitu;
(1) Menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan
dengan HGB selama waktu tertentu untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan untuk
keperluan pribadi/usaha;
(2) Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain; dan
(3) Membebaninya dengan hak tanggungan.
 Kewajiban pemegang HGB dapat dilihat paa Pasal 30
dan 31 PP No. 40 Tahun 1996,
i) Peralihan dan Pembebanan HGB
(1) Menurut Pasal 35 ayat (3) UUPA Jo Pasal 34 ayat (1) (2)
PP No. 40 Thn 1996; HGB dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain. Peralihan hak guna bangunan terjadi
karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam
modal, hibah, pewarisan.
(2) Pasal 39 UUPA menegaskan bawah HGB dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
j) Hapusnya HGB
Menurut Pasal 40 UUPA, HGB hapus karena;
(1) Jangka waktunya berakhir;
(2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat tidak dipenuhi;
(3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir;
(4) Dicabut untuk kepentingan umum;

74  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


(5) Diterlantarkan;
(6) Tanahnya musnah;
(7) Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).
4) Hak Pakai (HP)
a) Dasar Hukum
(1) UUPA Pasal 41 sampai pasal 43
(2) PP No 40 Tahun 1996 tentang HGB, HGU dan Hak Pakai
(3) PP No 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal
b) Pengertian
Menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA;
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini.
c) Terjadinya Hak Pakai
Menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA: Terjadinya hak pakai
karena pemberian oleh pejabat yang berwenang
memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah.
d) Jangka Waktu Hak Pakai
 Menurut Pasal 41 ayat 2 UUPA hak pakai diberi waktu
tertentu atau selama tanahnya dipergunakan.
 Pasal 45 ayat (1) s/d (3) PP No. 40 Tahun 1996, yaitu;
(1) Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak
Pengelolaan 25 tahun dan dapat diperpanjang
paling lama 20 tahun atau untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu
(2) Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan selama dipergunakan untuk

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  75


keperluan tertentu diberikan kepada: Departemen,
Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan
Pemerintah Daerah; Perwakilan negara asing dan
perwakilan badan Internasional; Badan Keagamaan
dan badan sosial.
(3) Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk
jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat
diperpanjang
e) Subjek Hak Pakai
Menurut Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996, adalah;
(1) Warga Negara Indonesia;
(2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
(3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia;
(4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
indonesia
(5) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
dan Pemerintah Daerah;
(6) Badan-badan keagamaan dan sosial;
(7) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan
Internasional .
f) Objek Hak Pakai
Menurut Pasal 41 PP No. 40 Tahun 1996, adalah;
(1) Tanah negara
(2) Tanah hak pengelolahan
(3) Tanah hak milik
g) Peralihan dan Pembebanan Hak Pakai
 Menurut Pasal 43 UUPA jo. Pasal 16 PP No. 40 Tahun
1996, pengalihan hak pakai dapat terjadi;
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain dengan izin pejabat yang
berwenang.

76  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


(2) Hak pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam
perjanjian yang bersangkutan.
 Menurut Pasal 53 Pasal 16 PP No. 40 Tahun 1996; Hak
Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak
Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan.
h) Hapusnya Hak Pakai
Menurut Pasal Pasal 55 PP No. 40 Thn 1996, Hak pakai
Hapus karena;
(1) berakhimya jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya
atau dalam perjanjian pemberiannya;
(2) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka
waktunya berakhir.
(3) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktu berakhir;
(4) dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961;
(5) ditelantarkan;
(6) tanahnya musnah;
(7) Hapus karena hukum (pemegang hak tidak lagi
memenuhi syarat subyek yang berhak/dapat memegang
Hak Pakai).

5) Hak Pengelolaan (HPL)


a) Dasar Hukum
 Penjelasan Umum UUPA yang menyebutkan bahwa;
Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai
dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya
adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada
tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat
memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  77


atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut
peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau
memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu
Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah
Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan
tugasnya masing-masing;
 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang
Penguasaan-Penguasaan Tanah Negara;
 PMNA/Ka.BPN No. 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan ata Tanah Negara dan
Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan
Selanjutnya;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974
tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan
Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Hak
Pengelolaan
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977
tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian
Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah Hak
Pengelolaan dan Pendaftarannya.
b) Pengertian Hak Pengelolaan
 Pasal 3 PMDN Nomor 5 Tahun 1974 mendefenisikan HPL
adalah hak atas tanah yang member wewenang kepada
pemegang haknya untuk:
(1) Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah
yang bersangkutan;
(2) Menggunakan tanah yang bersangkutan untuk
keperluan pelaksanaan usaha;
(3) Menyerahkan bagian tanah yang bersangkutan
kepada pihak ketiga dengan Hak Pakai dalam
jangka waktu 6 (enam) tahun, dengan ketentuan
sebagai berikut;
(a) Tanah yang luasnya maksimum 1.000m2.

78  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


(b) WNI dan Badan Hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(c) Pemberian hak untuk pertama kali saja, dengan
ketentuan bahwa perubahan, perpanjangan, dan
penggantian hak tersebut akan dilakukan oleh
Instansi yang berwenang dan pada asasnya tidak
mengurangi hak sewa yang diterima sebelumnya
oleh pemegang hak.
(4) Menerima uang pemasukan/ganti kerugian dan uang
wajib tahunan.
c) Subjek Hak Pengelolaan
HPL dapat diberikan kepada;
(1) Departemen, pemerintah daerah;
(2) Badan-badan lain yang untuk melaksanakan tugasnya
memerlukan penguasaan tanah negara dengan
wewenang seperti diuraikan di atas. Misal badan otoritas.
 Hak-hak atas tanah yang bersifat skunder
Berikut adalah uraian tentang macam-macam Hak Atas tanah
yang bersifat Skunder, yaitu antara lain (Arba, 2015: 126-127);
1) Hak Gadai Tanah; adalah penyerahan tanah dengan
pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang
yang menyerahkan berhak atas pengebalian tanahnya dengan
memberi uang tebusan. Ciri-cirinya antara lain; jangka waktunya
terbatas, tidak berakhir karena meninggalnya pemegang gadai,
dapat dibebani dengan hak hak lain dan dapat diahlikan
dengan izin pemiliknya. Dasar hukum terhadap hak ini dimuat
dalam Pasal 53 UUPA jo. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56/Prp
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertyanian Yang
Dimiliki Oleh Satu Keluarga.
2) Hak Usaha Bagi Hasil; Hak usaha bagi hasil dalah hak seorang
atau badan hukum untuk mengarap diatas tanah peratanian
milik orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi
anatar kedua belah pihak menurut imbangan yang telah

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  79


disetujui sebelumnya. Perbedaan dengan hak sewa menyewa
terletak pada tanggung jawab risiko yang ditanggung oleh
penyewa, sedangkan pada hak bagi hasil resiko ditanggung
bersama.
3) Hak Sewa Tanah Pertanian; Hak sewa pertanian adalah
penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi
sejumlah uang kepda pemiliknya dengan perjanjian bahwa
setelah penyewa itu menguasai tanah selama waktu tertentu,
tanahnya akan kembali kepada pemiliknya.
4) Hak Menumpang; Hak menumpang adalah hak yang memberi
wewenang kepada seseorang untuk untuk mendirikan dan
menempati rumah di atas pekarangan orang lain.

C. Rangkuman
1. Legal Standing hak atas tanah terdapat dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA, yaitu;
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum.

2. Hak atas tanah lahir setelah dilekatinya suatu hak atas satu atau
beberapa bidang tanah. Berdasarkan UUPA, ada 4 sebab
lahirnya tanah hak yaitu; (1) tanah hak yang lahir karena hukum
adat, (2) tanah hak yang lahir karena penetapan pemerintah, (3)
tanah hak yang lahir karena undang-undang dan (4) tanah hak
yang lahir karena pemberian.
3. Macam-macam hak atas tanah menurut Pasal 16 ayat (1) UUPA
yaitu; Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, Hak Sewa untuk Membangun, Hak Membuka Tanah,
Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut di atas tanah yang akan
ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA,

80  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


berupa; Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang,
Hak Sewa Tanah Pertanian.

D. Tugas Mandiri
Buatlah matriks (tabel) perbandingan masing-masing jenis hak
primer atas tanah dan berikan anilisa hukum saudara.

E. Tugas Terstruktur
Kerjakan secara berkelompok, antara lain:
1. Jurnal Report:
a. Kumpulkan minimal 3 jurnal hukum yang mengangkat tema
tentang Hak Pengelolaan (HPL) Badan Otorita Danau Toba
Sumatera Utara;
c. Kaji dan telaah serta inventarisasi permasalahan berikut solusi
yang diangkat pada ketiga jurnal tersebut.
d. Susun laporannya sesuai pentunjuk dosen.
2. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah riset yang telah ditentukan dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Agararia.
b. Data yang diteliti adalah tentang berapa jenis hak atas
tanah (baik hak atas tanah yang bersifat primer maupun
yang bersifat skunder) berikut contoh blanko sertipikatnya
yang terdapat di kantor pertanahan tersebut.
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen.

--00O00--

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  81


7

KEGIATAN BELAJAR VI
PENDAFTARAN TANAH
(SESI-1)

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar VI ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mendefenisikan pengertian pendaftaran tanah.
2. Menjelaskan dasar hukum pendaftaran tanah.
3. Menjelaskan asas-asas pendaftaran tanah.
4. Menjelaskan tujuan pendaftaran tanah.
5. Menjelaskan sistem pendaftaran tanah.

B. Uraian Materi
1. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pasal 1 angka (1) PP 24 Tahun 1997 merumuskan pengertian
pendaftaran tanah, yaitu; rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian

82
82  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)
serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta
dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun,
termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik
atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Dari pengertian pendaftaran tanah tersebut, selanjutnya Urip
Santoso (2012: 14-16) merumuskan unsur-unsur pendaftaran tanah,
antara lain:
a. Adanya Serangkaian Kegiatan; yang menunjukan adanya
berbagai kegiatan yang berkaitan satu sama lain, berurutan
yang menjadi kesatuan kegiatan yang bermuara pada
tersedianya data yang diperlukan dalam rangka menjamin
kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat,
b. Dilakukan Oleh Pemerintah; penyelenggaraan pendaftaran
tanah merupakan tugas dan tanggungjawab negara yang
dilaksanakan oleh pemerintah,
c. Secara Terus Menerus dan Berkesinambungan; kata-kata ini
menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan yang sekali dimulai
tidak akan ada akhirnya dimana data yang sudah terkumpul
dan tersedia harus selalu terpelihara, dalam arti disesuaikan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga
tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir,
d. Secara Teratur; kata teratur menunjukan bahwa semua kegiatan
harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang
sesuai karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut
hukum,
e. Bidang-Bidang Tanah dan Satuan Rumah Susun; kegiatan
pendaftaran tanah dilakukan terhadap Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun, Hak Tanggungan, dan Tanah Negara,

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  83


f. Pemberian Surat Tanda Bukti Hak; pendaftaran tanah untuk
pertama kalinya menghasilkan surat tanda bukti hak berupa
sertifikat hak atas tanah.
g. Hak-Hak Tertentu yang Membebaninya; dalam pendaftaran
tanah dapat terjadi obyek pendaftaran tanah dibebani dengan
hak yang lain, misalnya hak milik atau hak yang lain yang
dijadikan jaminan hutang yang dibebani hak tanggungan atas
hak milik tadi.

2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah


Yang menjadi dasar hukum pendaftaran tanah di Indonesia
adalah:
a. UUPA, tertuang dalam pasal antara lain;
 Pasal 19 ayat (1) menentukan bahwa untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang di atur dengan peraturan
pemerintah. Pasal 19 ayat (2) menentukan pendaftaran
tanah tersebut meliputi: a) Pengukuran, Pemetaan, dan
Pembukuan Tanah, b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan
peralihan hak-hak tersebut dan c) Pemberian surat-surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
 Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa hak milik, demikian
pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya
dengan hak-hak lain harus di daftarkan menurut ketentuan
yang di maksud dalam Pasal 19 UUPA. Ayat (2) menentukan
bahwa pendaftaran tersebut mrupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya
peralihan dan pembebanan ha tersebut.
 Pasal 32 ayat (1) menentukan bahwa hak guna usaha,
termaksud syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan hapusnya hak tersebut, harus didaftrakan

84  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
19 UUPA. Ayat (2) menentukan bahwa pendaftaran tanah
yang dimaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna
usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karna jangka
waktunya berakhir.
 Pasal 38 ayat (1). menentukan bahwa hak guna bangunan,
termaksud syarat-syarat pemberiannya. Ayat (2)
menentukan Pendftaran tanah yang dimaksud dalam ayat
(1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak
tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karna jangka
waktunya berakhir.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, mengatur tentang:
1) Asas Dan Tujuan Pendaftaran Tanah.
2) Penyelenggaraan Dan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.
3) Objek Pendaftaran Tanah.
4) Satuan Wilayah Tata Usaha Pendaftaran Tanah.
5) Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali.
6) Pengumpulan Dan Pengolahan Data Fisik Dan Data Yuridis.
7) Pembuktian Hak Dan Pembukuannya.
8) Penerbitan Sertifikat.
9) Penyajian Data Fisik Dan Data Yuridis.
10) Penyimpanan Daftar Umum Dan Dokumen.
11) Pendaftaran Peralihan Dan Pembebanan Hak.
12) Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran Tanah Lainnya.
13) Penerbitan Sertifikat Pengganti.
14) Biaya Pendaftaran Tanah.
15) Sanksi Hukum
16) Ketentuan Peralihan.
17) Ketentuan Penutup.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  85


3. Asas-Asas Pendaftaran Tanah
Pasal 2 PP 24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan bahwa
pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka. Dalam penjelasan Pasal 2
menguraikan sebagai berikut;
a. Asas Sederhana; dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar
ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan
mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama para pemegang hak atas tanah.
b. Asas Aman; dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa
pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan
cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian
hukum sesuai tujuannya pendaftaran tanah itu sendiri.
c. Asas Terjangkau; dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak
yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan
kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan
pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan.
d. Asas Mutakhir; dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan
datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang
mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan
pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian
hari.
e. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah
secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data
yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan
keadaan nyata di lapangan.
f. dan Asas Terbuka dimaksudkan agar masyarakat dapat
memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.

86  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


4. Tujuan Pendaftaran Tanah
Pasal 3 PP 24 Tahun 1997 menegaskan bahwa tujuan
dilaksanakannya pendaftaran tanah di Indonesia adalah:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah
dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Berangkat dari salah satu tujuan pendaftaran tanah


sebagaimana disebutkan di atas adalah memberikan kepastian
hukum hak atas tanah. Maka dalam kaitannya dengan kepastian
hukum adalah bagaimana kemudian pendaftaran tanah dapat
dengan mudah dan jelas menunjukkan siapa yang berhak atau
tidak pada suatu hak atas sebidang tanah.
Artinya, tujuan yang ingin dicapai dengan terciptanya kepastian
hukum adalah menciptakan suatu keadaan yang mampu
memberikan informasi tentang pihak mana yang memiliki akses,
berhak menguasai, memanfaatkan dan seterusnya terhadap sesuatu
bidang tanah.
Lebih jauh A.P. Parlindungan (2009: 79) menegaskan bahwa
pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi si pemilik, juga
untuk mengetahui status bidang tanah, siapa pemiliknya, apa
haknya, berapa luasannya, untuk apa dipergunakan dan lain
sebaginya. Selanjutnya, Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis
(2012: 171) juga menguraikan syarat yang harus dipenuhi agar
pendaftaran tanah dapat menjamin kepastian hukum, yaitu:

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  87


a. Tersedianya peta bidang tanah yang merupakan hasil
pengukuran secara kadasteral yang dapat dipakai untuk
rekonstruksi batas di lapangan dan batas-batasnya merupakan
batas yang sah menurut hukum.
b. Tersedianya daftar umum bidang-bidang tanah yang dapat
membuktikan pemegang hak yang terdaftar sebagai pemegang
hak yang sah menurut hukum.
c. Terpeliharanya daftar umum pendaftaran tanah yang selalu
mutakhir, yakni setiap perubahan data mengenai hak atas
tanah seperti peralihan hak tercatat dalam daftar umum.

Kerangka pemikiran mengenai kepastian hukum hak atas


tanah ditentukan oleh berfungsinya 3 hal, antara lain:
a. Substansi Hukum, terdiri dari tujuan, sistem dan tata laksana
pendaftaran tanah;
b. Struktur Hukum, terdiri dari aparat pertanahan dan lembaga
penguji kepastian hukum, bahkan juga lembaga pemerintah
terkait;
c. Kultur hukum, terdiri dari kesadaran hukum masyarakat dan
realitas sosial. (Muchtar Wahid, 2008: 115)

Untuk memaparkan posisi masing-masing faktor yang


menentukan kepastian hukum hak atas tanah, lebih lanjut dapat
digambarkan secara garis besar dalam skema teoritis berikut ini
(Muchtar Wahid, 2008: 115);

88  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


SKEMA 1
TEORITIS PENGARUH FAKTOR-FAKTOR TERHADAP
KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH

Substansi Hukum
• Tujuan Pendaftaran Tanah
• Sistem Negatif
• Tata Laksana Pendaftaran Tanah

PENDAFTARAN Sturktur Hukum KEPASTIAN HUKUM


• Aparat Pertanahan HAK ATAS TANAH
HAK ATAS TANAH • Lembaga Penguji

Kultur Hukum
• Kesadaran Hukum
• Realisasi Sosial

Pada dasarnya hubungan hukum antara kepastian hukum hak


atas tanah dengan perlindungan hukum dapat disimpulkan bahwa
kepastian hukum itu adalah sarana untuk memperoleh perlindungan
hukum. Oleh karenanya kepastian hukum berdasarkan PP 24 Tahun
1997 meliputi; Kepastian Obyek, Kepastian Hak dan Kepastian
Subyek adalah merupakan sarana untuk mendapatkan
perlindungan hukum atas pemilikan tanah yang sudah bersertifikat.
Dengan demikian hak atas tanah yang sudah bersertifikat,
mendapat perlindungan justisiabel terhadap tindakan sewenang-
wenang (Muchtar Wahid, 2008: 70).
Merujuk pada PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, lalu
kemudian Muchtar Wahid (2008: 126-127) menekankan dua hal
pokok tentang tujuan atau hakikat pendaftaran tanah yang
subtansinya menjamin kepastian hukum, yakni:
b. Kelompok Teknis; menekankan pada segi-segi teknis operasional,
mengenai faktor kepastian obyek yang meliputi luas, letak dan
batas-batas tanah.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  89


c. Kelompok Yuridis; terletak pada segi-segi yang bersifat legalitas
tanah, mengenai faktor kepastian status hukum bidang tanah
yang terdaftar, asal-usul pemilikan dan cara perolehan tanah
serta faktor kepastian subyek hak yang meliputi identitas,
domisili kewarganegaraan, dan pihak lain serta beban-beban
yang membebaninya.

5. Sistem Pendaftaran Tanah


a. Sistem Publikasi di Banyak Negara
Ada beberapa sistem publikasi yang digunakan dalam
pendaftaran tanah pada beberapa negara, diantaranya;
1) Sistem Torrens
Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property Art atau
Torrens Act, mulai berlaku di Australia Selatan tahun 1858. Sistem
ini diciptakan oleh seorang bernama Sir Robert Torrens, yang
memberi pandangan bahwa sertifikat tanah merupakan alat
bukti pemegang hak atas tanah yang paling lengkap dan tidak
dapat diganggu gugat. Ganti kerugian kepada pemilik sejati
diberikan melalui dana asuransi. Pengubahan buku tanah tidak
diperkenankan, kecuali jika sertifikat hak atas tanah itu diperoleh
dengan cara pemalsuan atau penipuan (Bachtiar Efendi, 1993:
32).
Sistem Torrens ini terapkan di Kanada, Amerika Serikat, Brazilia,
Aljazair, Spanyol, Denmark, Norwegia, Malaysia. Ada beberapa
keunggulan sistem Torrens, yaitu (Bachtiar Efendi, 1993: 32):
a) Adanya kepastian mengenai hak seseorang.
b) Uraian mengenai pendaftaran singkat dan jelas.
c) Persetujuan-persetujuan disederhanakan sehingga setiap
orang akan dapat sendiri mengurus kepentingannya.
d) Mengeliminasi adanya aksi penipuan.
e) Hak-hak milik atas tanah ditingkatkan nilai dan kepastian
hukumnya.
f) Mengurangi proses-proses yang tidak perlu.

90  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


2) Sistem Positif
Sistem positif ini diterapkan di Jerman dan Swiss. Sistem positif
dalam pendafaran tanah menyatakan bahwa apa yang
tercantum dalam buku tanah dalam surat bukti hak yang
keluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Ini berarti
bahwa alat bukti tersebut tidak dapat diganggu gugat
walaupun nama yang terdaftar sebagai pemegang hak bukanlah
pihak yang berhak atas tanah tersebut (Mariam Darus, 1983:
450).
Sistem ini selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, sehingga
harus ada register buku tanah sebagai bentuk penyimpanan atau
penyajian data yuridis dan sertifikat hak atas tanah sebagai
tanda bukti hak, oleh karenanya dalam sistem ini memberikan
kepercayaan yang mutlak pada buku tanah (Samun Ismaya,
2013: 116). Secara sederhana, sistem ini beranggapan bahwa
seorang yang terdaftar sebagai yang berhak atas sebidang tanah,
merupakan pemegang hak yang sah menurut hukum dan tidak
dapat diganggu gugat (Y.W. Sanindhia dan Ninik Widiyanti, 1988:
136-137).
3) Sistem Negatif
Menurut sistem negatif, sertifikat hak atas tanah yang keluarkan
merupakan tanda bukti hak yang kuat. Artinya semua
keterangan yang terdapat dalam sertifikat mempunyai
kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim sebagai
keterangan yang benar, selama tidak dibuktikan sebaliknya
dengan alat bukti lain. Bila kemudian hari ternyata keterangan
dalam sertifikat itu tidak benar, maka berdasarkan keputusan
Pengadilan Negeri yang sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap, sertifikat tersebut dapat diadakan perubahan seperlunya
(Arba, 2015: 117).
Menurut sistem negatif, peralihan hak batas tanah berdasarkan
asas mem plus juris (Nemo Plus Juris In Alium Tranferre Potest
Quam Ipse Habet = orang tidak dapat mengalihkanhak melebihi

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  91


hak yang ada padanya), yakni melindungi pemegang hak yang
sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya
tanpa diketahui oleh pemegang hak yang sebenarnya. Ciri pokok
sistem negatif adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah tidak
menjamin bahwa nama yang yang terdaftar dalam buku tanah
tidak dapat dibantah jika nama yang terdaftar bukan
pemiliknya sebenarnya. Ciri pokok lainnya adalah pejabat baik
nama tanah berperan pasif, artinya tidak berkewajiban untuk
menyelidiki kebenaran surat-surat yang diserahkan kepadanya.

b. Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia


UUPA tidak menyatakan secara tegas bahwa sistem pendaftaran
yang mana dianut dari ketiga sistem publikasi tersebut di atas. Salah
satu perintah UUPA adalah untuk melaksanakan kegiatan
pendaftaran tanah yang akan menghasilkan tanda bukti hak atas
tanah yang disebut sertifikat.
Untuk melaksanakan pendaftaran tanah tersebut maka
dibebankan kepada pemerintah sebagai petugasnya dan para
pemilik tanah berkewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanah
yang dikuasai/dimilikinya. Produk akhir dari rangkaian kegiatan
pendaftaran tanah adalah sertifikat yang berisikan muatan kepastian
hukum akan jenis hak atas tanahnya, subyek haknya dan obyek
haknya yang sifatnya lebih konkret. Penyajian data yang dihimpun
secara terbuka di kantor pertanahan berupa daftar-daftar dan peta-
peta sebagai informasi bagi khalayak umum yang akan melakukan
perbuatan hukum mengenai tanah yang terdaftar.
Dalam penjelasan PP 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa
pendaftaran tanah berdasarkan perintah UUPA tidak menganut
sistem publikasi positif (sistem positif) dimana kebenaran data yang
disajikan dijamin sepenuhnya, melainkan sistem yang dianut adalah
sistem publikasi negatif (sistem negatif). Pada sistem negatif,
pemerintah tidak menjamin sepenuhnya atas kebenaran data yang
disajikan, namun demikian tidak berarti bahwa pendaftaran tanah di
Indonesia adalah sistem negatif murni atau yang lebih akrab dikenal

92  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


dengan istilah sistem pendaftaran stelsel negarif bertendensi positif.
Artinya segala apa yang tercantum dalam buku tanah dan Sertifikat
hak atas tanah berlaku sebagai tanda bukti yang kuat sampai dapat
dibuktikan suatu keadaan sebaliknya (tidak benar).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendaftaran tanah
Indonesia dilakukan dengan sistem negatif bertendensi positif. Artinya,
pembuktian ketidakbenaran data sebagaimana dimaksud dalam
sistem pendaftaran stelsel negatif bertendensi positif memiliki batasan
waktu bagi pihak lain yang berkeberatan atas suatu hak yang
dipegang oleh pemegang hak atas tanah, sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997;
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat
secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak
atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut.
C. Rangkuman
1. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.
2. Dasar hukum pendaftaran tanah di Indonesia adalah Pasal 19
ayat (1) UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pandaftaran Tanah.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  93


3. Tujuan dilakukannya pendaftaran tanah adalah memberikan
kepastian hukum hak atas tanah dan terselenggaranya tertib
adminitrasi pertanahan. Adanya pendaftaran tanah dapat
dengan mudah dan jelas menunjukkan siapa yang berhak atau
tidak pada suatu hak atas sebidang tanah.
4. Pendaftaran tanah Indonesia dilakukan dengan sistem negatif
bertendensi positif. Artinya, pembuktian ketidakbenaran data
sebagaimana dimaksud dalam sistem pendaftaran stelsel negatif
bertendensi positif memiliki batasan waktu bagi pihak lain yang
berkeberatan atas suatu hak yang dipegang oleh pemegang hak
atas tanah.
D. Tugas Mandiri
Buatlah matriks (tabel) perbandingan sistem perndaftaran tanah
yang berlaku antara negara Indonesia dengan tiga negara lainnya di
dunia beserta kelemahan dan kelebihan masing-masing sistem
pendaftaran tanah tersebut.

E. Tugas Terstruktur
1. Jurnal Report:
a) Kumpulkan minimal 3 jurnal hukum yang mengangkat tema
tentang Sistem Pendaftaran Tanah;
b) Kaji dan telaah serta inventarisasi permasalahan berikut solusi
yang diangkat pada ketiga jurnal tersebut.
c) Susun laporannya sesuai petunjuk dosen.
--00O00--

94  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


8

KEGIATAN BELAJAR VII


PENDAFTARAN TANAH
(SESI-2)

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar VII ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Menjelaskan siapa saja pihak penyelenggara pendaftaran tanah.
2. Menjelaskan objek pendaftaran tanah.
3. Menjelaskan kegiatan-kegiatan dalam pendaftaran tanah.

B. Uraian Materi
1. Peyelanggara Pendaftaran Tanah
Ada 4 organ yang berperan dalam urusan sebagai penyelenggara
dan pelaksana pendaftaran tanah ini yakni sebagai berikut:
a. Badan Pertanahan Nasional; Sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA
dan Pasal 5 PP No. 24 Tahun 1997 yakni bertindak sebagai
penyelenggara pelaksanaan pendaftaran tanah.

Rahmat Ramadhani  HUKUM95AGRARIA  (Suatu Pengantar)  95


b. Kepala Kantor Pertanahan; Sesuai ketentuan Pasal 6 PP 24/1997
Dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana Pendaftaran Tanah
kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan
kepada pejabat lain, yaitu kegiatan-kegiatan yang
pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja
Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana diatur dalam
PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah Negara sebagaimana diubah dengan Peraturan
Ka. BPN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Tanah Tertentu
sebagaimana diubah terakhir kali dengan Peraturan Ka. BPN
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2011 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
c. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); Pengertian PPAT diatur
dalam ketentuan Pasal 1 Angka 24 PP No. 24 Tahun 1997.
Kegiatan PPAT adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan
dalam melaksanakan kegiatan dibidang pendaftaran tanah,
khususnya dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran.
d. Panitia Ajudikasi; Tugas dari Panitia Ajudikasi adalah
melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik untuk
membantu tugas Kepala Kantor Pertanahan seperti diatur
dalam Pasal 8 PP No. 24 Tahun 1997. Pengertian dari Ajudikasi
ini sendiri diatur dalam Pasal 1 Angka 8 PP No. 24 Tahun 1997.

2. Objek Pendaftaran Tanah


Objek pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 9 PP No.24
Tahun 1997, meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;
b. Tanah hak pengelolaan;
c. Tanah wakaf;

96  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


d. Hak milik atas satuan rumah susun;
e. Hak tanggungan;
f. Tanah Negara (dengan catatan membukukan bidang tanah
Negara dalam daftar tanah (Pasal 9 ayat (2)).

3. Kegiatan-Kegiatan Dalam Pendaftaran Tanah


Pasal 11 PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa
pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi;
a. Pendaftaran Tanah Pertama Kali (initial registration), yaitu;
pendaftaran tanah bagi tanah-tanah yang belum dilekati suatu
hak tertentu dan/atau belum terdaftar.
b. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah, yaitu; kegiatan
pendaftaran dan pencatatan untuk bidang-bidang tanah yang
telah dilekati suatu hak dan/atau telah terdaftar.

Pendaftaran tanah pertama kali menurut Pasal 13 PP No. 24


Tahun 1997 dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pendaftaran
Tanah Secara Sistematik dan Secara Sporadik
a. Pendaftaran Tanah Secara Sistematik
Pendaftaran tanah yang didasarkan pada suatu rencana kerja
dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh
Menteri/Kepada Badan Pertahanan Nasional. Pelaksanaan kegiatan
pendaftaran tanah dilaksanakan atas inisiatif pemerintah secara
sistemik. Salah satu contoh kegiatan pendaftaran tanah pertama kali
secara sistematik adalah PRONA.
Khalayak publik pastinya tidak asing lagi dengan kalimat
PRONA. Proyek Nasional Agraria (PRONA) adalah merupakan salah
satu dari beberapa kegiatan sertipikasi tanah yang dilaksanakan
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Title Prona masih dianggap
sebagai sebuah strategi pelaksanaan pensertipikatan tanah yang
‘laris manis’ dikarenakan sifat kegiatannya yang sederhana dan
murah. Sangkin akrabnya, kegiatan-kegiatan pensertipikatan tanah
secara massal yang dilakukan BPN-pun kerab disebut kegiatan
PRONA oleh masyarakat, padahal belum tentu demikian.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  97


Di awal tahun 2017, BPN memperkenalkan project baru kepada
masyarakat yang disebut dengan Pendaftaran Tanah Sitsematis
Lengkap (PTSL). Project baru ini digadang-gadang sebagai sebuah
langkah aplikatif dalam upaya trobosan terlaksananya pendaftaran
tanah di Indonesia secara cepat dan akurat.
Payung hukum pelaksanaan PTSL didasarkan pada Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 35 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap jo.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 1 Tahun 2017
tentang Perubahan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN
Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap yang diundangkan pada tanggal 26
Januari 2017. Tentu pertanyaan yang menarik untuk diketahui
masyarakat adalah perbedaan antara PRONA dengan PTSL.
PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
yang dilakukan secara serentak bagi semua obyek pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah
desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang
meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan
data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah
untuk keperluan pendaftarannya (Pasal 1 angka 1 PERMEN
ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2017).
Dari pengertian tersebut di atas terdapat penegasan karakter
dari kegiatan PTSL, yaitu; Pertama, ‘pendaftaran tanah untuk
pertama kali’ yang berarti bahwa tanah-tanah yang belum terdaftar
(belum bersertipikat) yang menjadi pusat perhatian kegiatan PTSL.
Artinya, PTSL tidak untuk pendaftaran tanah yang telah
bersertipikat (kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah).
Output-nya tidak hanya sertipikat hak atas tanah, melainkan
tersedianya peta dasar pendaftaran tanah baik dalam bentuk peta
dan/atau citra (Pasal 8 ayat (3) PERMEN ATR/BPN Nomor 1 Tahun
2017).

98  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Peta pendaftaran tanah ini amat berguna untuk melihat bidang-
bidang tanah baik yang telah bersertipikat maupun yang belum,
dan juga dalam rangka rekonstruksi bilamana terjadi permasalahan
di kemudian hari. Dari sisi obyek pendaftaran tanah, objek
pendaftaran tanah pada Prona terfokus pada tanah-tanah
masyarakat yang belum terdaftar. Sedangkan pada kegiatan PTSL
meliputi seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang tanah
hak, tanah aset Pemerintah/Pemerintah Daerah, tanah
BUMN/BUMD, tanah Desa, tanah negara, tanah masyarakat hukum
adat, termasuk kawasan hutan, dan bidang tanah lainnya (Pasal 3
ayat (2) PERMEN ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2017).
Dengan demikian bidang tanah yang sifatnya fasilitas umum dan
fasilitas sosial juga termasuk menjadi objek pendaftaran tanah dalam
kegiatan PTSL.
Kedua, ‘dilakukan secara serentak’ yang berarti bahwa proses
pendaftaran sampai dengan penerbitan sertipikat tanah dilakukan
secara koletif/massal bukan parsial. Berbeda dengan pelaksanaan
Prona yang parsial di masing-masing desa dalam wilayah
kabupaten/kota. Pelaksanaan PTSL serentak dilaksanakan diseluruh
Indonesia dengan mengacu pada ‘time schedule’ yang telah
ditentukan sebelumnya oleh Kantor Pertanahan.
Tahapan kegiatan PTSL telah harus terlebih dahulu disusun
secara terencana berupa; penetapan lokasi kegiatan percepatan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap; pembentukan dan
penetapan Panitia Ajudikasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap;
penyuluhan; pengumpulan dan pengolahan Data Fisik dan Data
Yuridis bidang tanah; pemeriksaan tanah; pengumuman Data Fisik
dan Data Yuridis; penerbitan keputusan pemberian Hak atas Tanah;
pembukuan Hak atas Tanah; penerbitan Sertipikat Hak atas Tanah;
dan/atau penyerahan Sertipikat Hak atas Tanah (Pasal 3 ayat (3)
PERMEN ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2017).
Ketiga, ‘dalam satu wilayah desa/kelurahan (atau nama lain
setingkat dengan itu)’ yang berarti bahwa kegiatan PTSL terfokus

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  99


pada pola pendaftaran secara sistemik dengan upaya pembangunan
database pertanahan di wilayah desa/kelurahan secara bertahap.
Pada point ini lebih mempertajam adanya perbedaan karakteristik
antara PTSL dengan PRONA. Pendekatan yang dilakukan dalam
kegiatan PTSL adalah melalui desa per desa, kabupaten per
kabupaten, serta kota per kota. Sedangkan Prona, pendataan tanah
sebagai penerima sertifikat prona dilakukan secara merata di seluruh
desa dan kelurahan dalam satu kabupaten.
Keempat, ‘kebenaran data fisik dan data yuridis’ berarti bahwa
minimal ada dua satuan tugas (satgas fisik dan satgas yuridis) yang
memiliki kewajiban untuk menggali kebenaran data yang disajikan
oleh masyarakat sebelum data tersebut valid untuk disajikan dalam
proses penerbitan sertipikat tanah. Hal tersebut terlihat kental
adanya sistem pengakuan hak dalam progres pendaftaran tanah
pada PTSL yang ditandai dengan adanya pengumuman Data Fisik
dan Data Yuridis sebelum melangkah ke tahapan selanjutnya. Pada
tahap pengumuman ini, terbuka ruang dan waktu bagi khalayak
publik untuk menyanggah kebenaran data fisik dan data yuridis
yang disajikan oleh calon pemegang hak (pemohon hak).
Dilihat dari pola pelaksananaannya, PTSL tampak sangat
berbeda dengan PRONA. PTSL dilaksanakan oleh Panitia Ajudikasi
PTSL (Pasal 1 angka 16 PERMEN ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2017)
sedangkan Prona tidak demikian. Susunan Panitia Ajudikasi PTSL
Ketua Panitia merangkap anggota, yang dijabat oleh seorang
pegawai Kantor Pertanahan; Wakil ketua yang membidangi
infrastruktur agraria merangkap anggota, yang dijabat oleh pegawai
Kantor Pertanahan yang memahami urusan infrastruktur
pertanahan; Wakil ketua yang membidangi hubungan hukum
agraria merangkap anggota, yang dijabat oleh pegawai Kantor
Pertanahan yang memahami urusan hubungan hukum pertanahan;
Sekretaris, yang dijabat oleh pegawai Kantor Pertanahan; Kepala
Desa/Lurah setempat atau seorang Pamong Desa/Kelurahan yang
ditunjuknya; dan anggota dapat ditambah dari unsur Kantor

100  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Pertanahan sesuai dengan kebutuhan (Pasal 1 ayat (2) PERMEN
ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2017).
Dari sisi sumber pembiayaan juga terdapat perbedaan yang
mencolok antara PRONA dengan PTSL. Jika PRONA sebagian
pembiayaannya dibiayai oleh pemerintah melalui Daftar Isian
Anggaran (DIPA) BPN sedangkan sebagiannya lagi ditanggung oleh
masyarakat pemohon. Sumber pembiayaan untuk percepatan
pelaksanaan PTSL dapat berasal dari pemerintah, pemerintah
daerah, Corporate Social Responsibility (CSR) Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, badan hukum swasta dan/atau
dana masyarakat melalui Sertipikat massal swadaya dan juga
dimungkinkan berasal dari kerjasama dengan pihak lain yang
diperoleh dan digunakan serta dipertanggungjawabkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 15
PERMEN ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2017).
Uraian singkat di atas memberikan pemahaman bahwa PTSL
bukan ‘wajah baru’ Prona, melainkan sebuah sistem baru yang
digagas untuk percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah di
Indonesia. Artinya, PTSL merupakan sistem sedangkan PRONA
adalah sarana. Terbukti bahwa PTSL dapat dilakukan melalui
kegiatan: Program Nasional Agraria/Program Daerah Agraria
(PRONA/PRODA); Program Lintas Sektor; kegiatan dari Dana Desa;
kegiatan massal swadaya masyarakat; atau kegiatan massal lainnya,
gabungan dari beberapa atau seluruh kegiatan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 3 ayat (5)
PERMEN ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2017).

b. Pendaftaran Tanah Secara Sporadik


Pendaftaran tanah yang dilaksanakan atas inisiatif perorangan.
Atau dengan kata lain apabila kelurahan/desa belum ditetapkan
sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik, maka
pendaftaran tanahnya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah
secara sporadik, yang dilakukan atas permintaan pihak yang
berkepentingan

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  101


Adapun jenis-jenis kegiatan yang dilakukan dalam rangka
pendaftaran tanah di Indonesia berdasarkan Pasal 12 PP No. 24
Tahun 1997 adalah sebagai berikut;
a. Pendaftaran Pertama Kali
1) Pengumpulan data dan pengolahan data fisik
Pengumpulan dan pengolahan data fisik adalah
keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan
satuan rumah susun yang terdaftar, termasuk keterangan
mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di
atasnya. Dalam rangka pengumpulan dan pengolahaan data
fisik, dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan.
Kegiatan pengukuran dan pemetaan (Pasal 14 PP No. 24
Tahun 1997), meliputi:
a) Pembuatan peta dasar pendaftaran;
b) Penetapan batas-batas bidang tanah;
c) Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dan
pembuatan peta pendaftaran;
d) Pembuatan daftar tanah;
e) Pembuatan surat ukur;

2) Pembuktian hak dan pembukuannya


Dalam hal ini kegiatan meliputi:
a) Pembuktian hak baru;
b) Pembuktian hak lama; dan
c) Pembuktian hak.

3) Penerbitan sertifikat tanah


Menurut PP No. 24 tahun 1997, sertifikat adalah surat
tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah
susun dan Hak Tanggungan yang masing-masing sudah
dibukukan dalam buku Tanah yang bersangkutan. Menurut
PP No. 10 tahun 1961, yang disebut sertifikat adalah salinan

102  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu
bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya
ditetapkan oleh Menteri Agraria. Dengan demikian sertifikat
tanah terdiri atas:
a. Salinan buku tanah;
b. Salinan surat ukur;
c. Kertas sampul.

4) Penyajian data fisik dan data yuridis


Penyajian data fisik dan data yuridis merupakan
kegiatan tata usaha pendafaran tanah. Penyajian data fisik
dan data yuridis oleh kantor Pertanahan terdiri dari:
a) Peta pendaftaran Tanah, yaitu peta yang
menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah
untuk keperluan pembukuan.
b) Daftar Tanah, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat identitas bidang tanah dengan suatu system
penomoran.
c) Surat Ukur, yaitu dokumen yang memuat data fisik
suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian.
d) Buku Tanah, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat data yuridis dan data fisik suatu objek
pendaftaran tanah yang sudah ada haknya.
e) Daftar Nama, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat keterangan mengenai penguasaan tanah
dengan suatu hak atas tanah, atau hak pengelolaan dan
mengenai pemilikan hak milik atas satuan rumah susun
oleh orang perorangan atau badan hukum.

Sebelum melakukan perbuatan hukum mengenai bidang


tanah tertentu, para pihak yang berkepentingan dapat
mengetahui data mengenai bidang tanah tersebut.
Sehubungan dengan sifat terbuka, oleh karenanya disebut
daftar umum, data fisik dan data yuridis yang tersimpan

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  103


dalam peta pendaftaran, daftar tanah, buku tanah dan
surat ukur, dapat diketahui oleh setiap orang yang
berkepentingan untuk mengetahui data yang tersimpan
tersebut. Adapun data yang tersimpan dalam daftar nama
hanya terbuka bagi instansi pemerintah tertentu, bagi
keperluan pelaksanaan tugasnya (Pasal 34 PP No. 24 Tahun
1997).

5) Penyimpanan daftar umum dan dokumen


Dokumen-dokumen yang merupakan alat pembuktian
yang telah digunakan sebagai dasar pendaftaran (warkah),
diberi tanda pengenal dan disimpan di Kantor Pertanahan
yang bersangkutan atau di tempat lain yang ditetapkan oleh
Menteri/Kepala Badan Pertanahan. Peta pendaftaran, daftar
tanah, surat ukur,buku tanah, daftar nama dan dokumen-
dokumen di atas harus tetap berada di Kantor Pertanahan
atau ditempat lain yang ditetapkan oleh Menteri/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional

b. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah


Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi
pendaftaran peralihan dan pembebanan hak dan pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah (Pasal 36 s.d. 57 PP No. 24
Tahun 1997). Perubahan data fisik dimaksud adalah pemisahan,
pemecahan atau penggabungan bidang-bidang tanah yang
sudah terdaftar. Perubahan data yuridis terjadi apabila ada
pembebanan atau pemindahan hak atas tanah yang sudah
terdaftar. Perubahan yang terjadi oleh pemegang hak atas tanah
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
1) Peralihan dan Pembebanan Hak
a) Peralihan Hak
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun dapat terjadi karena beralih maupun karena
dialihkan. Ada juga pendapat yang menyatakan peralihan

104  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


hak atas tanah dapat terjadi karena perbuatan hukum dan
karena peristiwa hukum. Peralihan hak karena jual-beli,
tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali melalui
lelang hanya dapat di daftarkan jika dibuktikan dengan
akta yang di buat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) yang berwenang, namun dalam keadaan tertentu,
Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan
pemindahan hak atas bidang tanah hak milik yang
dilakukan diantara perorangan warga negara Indonesia
yang dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT,
menurut penilaian kepala kantor pertanahan kadar
kebenarannya di anggap cukup untuk di daftarkan.
 Peralihan Hak Dengan Lelang
Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan
lelang hanya dapat di daftarkan, jika dibuktikan
daengan kutipan risalah lelang yang di buat pejabat
lelang, untuk menghindari terjadinya pelelangan umum
yang tidak jelas, kantor lelang wajib meminta keterangan
yang paling mutakhir mengenai tanah atau satuan
rumah yang akan dilelangkan di kantor pertanahan.
Permintaan diajukan selambat-lambatnya 7 hari kerja
sebelum suatu bidang tanah atau rumah dilelangkan,
baik dalam rangka eksekusi maupun non eksekusi.

 Peralihan Hak Karena Pewarisan


Karena hukm pada saat pemegangan hak yang
bersangkutan meninggal dunia, dengan begitu para ahli
waris menjadi pemegang hak yang baru. Pendaftaran
peralihan hak wajib di daftarkan Karena guna
memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris dan
demi tertibnya tata usaha pendaftaran tanah serta
akuratnya data yuridis bidang tanah yang bersangkutan.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  105


 Peralihan Hak Karena Penggabungan Atau Peleburan
Peralihan hak pengelolahan atau hak milik atas
satuan rumah susun karna gabungan atau peleburan
pada perseorangan atau koperasi yang tidak di dahului
dengan likuiditas perseorangan atau koperasi dapat di
daftarkan berdasarkan akta yang membuktikan
terjadinya penggabungan atau peleburan perseorangan
ataupun koperasi tersebut di sahkan oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pendaftaran
peralihan hak cukup diajukan dengan bukti akta yang
membuktikan terjadinya penggabungan atau peleburan
tersebut (Pasal 43 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997).

 Penolakan Pendaftaran Peralihan Hak


Menurut ketentuan Pasal 45 PP No. 24 Tahun 1997
menggariskan bahwa, Kepala Kantor Pertanahan berhak
menolak pendaftaran peralihan hak jika terdapat salah
satu keadaan sebagai berikut;
(1) Sertifikat dan surat keterangan tentang hak atas
tanah tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada
pada kantor pertanahan.
(2) Perbuatan hukum, yang tidak di buktikan dengan
dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang,
kecuali dalam keadaan tertentu.
(3) Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran
peralihan pembebanan hak yang bersangkutan tidak
lengkap.
(4) Tidak dipenuhinya syarat lain yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
(5) Tanah yang bersangkutan adalah objek sengketa di
pengadilan.

106  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


(6) Perbutan hukum yang di buktikan dengan akta
PPAT batal atau dibatalkan oleh putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7) Perbuatan hukum yang dibatalkan oleh para pihak
sebelum didaftarkan oleh Kantor Pertanahan.

b) Pembebanan Hak
Pendaftaran pembebanan hak tanggungan pada hak
atas tanah seperti hak milik,hak milik atas satuan rumah
susun,pembebanan hak guna bangunan ,hak pakai,hak sewa
untuk bangunan atas hak milik atau pembebanan lain pada
hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang
yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan,
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 38
sampai dengan 40 PP NO.24 Tahun 1997.

2) Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran Tanah Lainnya


a) Perubahan Data
Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah ini
meliputi 7 kegiatan :
(1) Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah ;
(2) Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah
(3) Pembagian hak bersama ;
(4) Hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun ;
(5) Peralihan dan hapusnya hak tanggungan bidang tanah ;
(6) Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan
atau penetapan pengadilan;
(7) Perubahan nama diatur dalam Pasal 47 sampai dengan
57 PP No. 24 Tahun 1997.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  107


b) Penerbitan Sertifikat Pengganti
Penertiban sertifikat pengganti atas dasar permohonan
pemegang hak dapat diterbitkan sertifikat baru sebagai
pengganti diatur dalam ketentuan Pasal 57 sampai dengan
Pasal 60 PP No. 24 Tahun 1997, yaitu sebagai berikut;
 Pasal 57; penerbitan sertifikat pengganti karena rusak.
 Pasal 58; penerbitan sertifikat pengganti karena ganti
blanko lama (pemuktahiran data).
 Pasal 59; penerbitan sertifikat pengganti karena hilang.
 Pasal 60; penerbitan sertifikat pengganti karena lelang.

C. Rangkuman
1. Pihak yang menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah
pemerintah yaitu Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional yang dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) dalam hal kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah dan tidak termasuk kegiatan pendaftaran
tanah pertama kali.
2. Objek pendaftaran tanah meliputi; Bidang-bidang tanah yang
dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan
dan hak pakai; Tanah hak pengelolaan; Tanah wakaf; Hak milik
atas satuan rumah susun; Hak tanggungan dan Tanah Negara.
3. Kegiatan-kegiatan dalam pendaftaran tanah terdiri dari
pendaftaran tanah pertama kali dan pemeliharaan data
pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah pertama kali dapat
dilakukan secara sistematik dan sporadik.
D. Tugas Terstruktur
1. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah riset yang telah ditentukan dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Agararia.
b. Data yang diteliti antara lain;
1) Tentang Pendaftaran Tanah Pertama Kali:

108  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


a) Bagaimana Kantor Pertanahan tersebut
melaksanakan kegiatan Pendaftaran Tanah
Pertama Kali Secara Sistematik?, apa saja syaratnya?,
berapa biayanya?, dan berapa lama proses
penyelesaiannya?
b) Bagaimana Kantor Pertanahan tersebut
melaksanakan kegiatan Pendaftaran Tanah
Pertama Kali Secara Sporadik?, apa saja syaratnya?,
berapa biayanya?, dan berapa lama proses
penyelesaiannya?
2) Tentang Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah: Apa
saja jenis kegiatan pelayanan pemeliharaan data
pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh Kantor
Pertanahan tersebut, termasuk apa saja syaratnya?,
berapa biayanya?, dan berapa lama proses
penyelesaiannya?
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen.

--00O00--

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  109


9

KEGIATAN BELAJAR VIII


HAK TANGGUNGAN
(SESI-1)

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar VIII ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mendefenisikan pengertian Hak Tanggungan.
2. Menjelaskan dasar hukum Hak Tanggungan.
3. Menjelaskan ciri dan prinsip pokok Hak Tanggungan

B. Uraian Materi
1. Pengertian Hak Tanggungan
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah (selanjutnya disingkat dengan UUHT) mendefenisikan
bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut

110
110  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu
terhadap Kreditur-Kreditur lain.
Hak Tanggungan memberikan perlindungan dan kedudukan
yang istimewa kepada Kreditur tertentu dari Kreditur lainnya
terhadap hak atas tanah yang dijaminkan dengan catatan apabila
Debitur cidera janji, Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat
menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan
utang Debitur. Kedudukan utama tersebut tentu tidak
mempengaruhi pelunasan hutang Debitur terhadap Kreditur-
Kreditur lainnya, sehingga keistimewaan ini lebih menarik bagi pihak
bank sebagai Kreditur karena dapat dengan mudah melakukan
pengeksekusian terhadap objek jaminan, apabila Debitur
wanprestasi.
Kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak
mendahulu dari pada Kreditur-Kreditur yang lain (droit de
preference) untuk mengambil pelunasan dari penjualan jaminan hak
atas tanah tersebut. Kemudian Hak Tanggungan juga tetap
membebani objek Hak Tanggungan ditangan siapapun benda itu
berada, ini berarti bahwa Kreditur pemegang Hak Tanggungan
tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah
dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite).
Dengan arti kata lain, bahwa Hak Tanggungan merupakan salah
satu jenis hak kebendaan yang bersifat terbatas, yang hanya
memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk
memperoleh pelunasan piutangnya secara mendahulu dari Kreditur-
Kreditur lainnya (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008: 9).
Lebih jauh, uraian ini menjelaskan bahwa Hak Tanggungan tidak
difokuskan pada tanah saja, tetapi juga benda-benda lain yang
berkaitan atau menjadi satu kesatuan dengan tanah (Bambang
Soetijoprodjo, dalam Fakultas Hukum USU, 1996: 53).

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  111


Merujuk pada defenisi Hak Tanggungan sebagaimana diuraikan
di atas, maka ada beberapa unsur- unsur pokok yang termuat di
dalamnya, yaitu :
a. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
b. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
c. Hak Tanggungan tidak hanya dapat dibebankan atas tanahnya
(hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut
benda-benda lain yang merupakan satu- kesatuan dengan
tanah itu.
d. Utang yang dijamin harus suatu utang yang tertentu.
e. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

2. Dasar Hukum
Dasar hukum hak tanggunagn antara lain:
a. UUPA khususnya Pasal 25, 33, 39 mengenai Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan sebagai objek Hak Tanggungan dan
Pasal 51;
b. Undang-Undang No. 4 Thn 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
(UUHT);
c. PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah;
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak
Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, Dan Sertifikat Hak
Tanggungan;
e. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu
Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu;
f. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak
Tanggungan.

112  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


UUHT itu sendiri merupakan pelaksanaan perintah Pasal 51
UUPA yang menyatakan, Hak Tanggunan yang dapat dibebankan
pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut
dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-Undang. Adapun
Undang- Undang yang dimaksud oleh Pasal 51 UUPA adalah
Undang-Undang No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).
Sebelum lahirnya UUHT, jaminan atas tanah dikenal dengan
sebutan Hipotik sebagai diatur dalam Buku Kedua BAB XXI Pasal
1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata dan Creditverband
sebagaimana diatur dalam Statsblad Tahun 1908 Nomor 542.
Dengan diberlakukannya UUHT maka ketentuan tentang Hipotik
atas tanah dan ketentuan Creditverband dinyatakan tidak berlaku
lagi (Penegasan terhadap hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 57
UUPA yang menyebutkan: “Selama Undang-undang mengenai hak
tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang
berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan
Credietverband tersebut dalam S.1908-542 sebagai yang telah diubah
dengan S. 1937-190). Sejak itu pula, UUHT merupakan satu-satunya
lembaga hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional
yang tertulis (Boedi Harsono, 2008: 402).
Legal Standing atas pencabutan atau pernyataan tidak
berlakunya lagi ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dan
credietverband dirumuskan pada Pasal 29 UUHT yang menyatakan;
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai
Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908–542 jo.
Staatsblad 1909-586, dan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191,
dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam
Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang
mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah,
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan
tidak berlaku lagi.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  113


3. Ciri dan Prinsip Pokok Hak Tanggungan
Hak Tanggungan merupakan sebuah lembaga jaminan hak
atas tanah yang kuat. Hal tersebut dapat terlihat dari ciri-ciri Hak
Tanggungan dimaksud dapat dilihat pada Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan,
yaitu:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu
kepada pemegang haknya.
b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun
objek itu berada.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat
pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-
pihak yang berkepentingan.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut, maka dalam Hak


Tanggungan terdapat beberapa prinsip pokok , yaitu sebagai berikut
(Arba, 2015: 210-211).
a. Kedudukan Kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai
hak diutamakan/mendahului dari pada Kreditur-Kreditur lainnya
(droit de preference).
b. Hak Tanggungan tetap membebani objek Hak Tanggungan di
tangan siapapun benda tersebut berada (droit de suite).
c. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat di bagi-bagi,
yang berarti bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh
objeknya dan setiap bagian dari padanya. Penyimpanan
terhadap asas-asas ini hanya dapat di lakukan apabila hal
tersebut diperjanjikan secara tegas.
d. Hak Tanggungan pada hakikatnya merupakan ikutan ( accesoir)
pada perjanjian pokok, dengan demikian maka kebadaraannya,
peralihan dan hapusnya hak tanggungan tergantung pada
utang yang dijamin pelunasannya tersebut.

114  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


e. Pemegang Hak Tanggungan tetap berhak untuk mengambil
pelunasan piutangnya atau segala yang diperolehnya menurut
UUHT walaupun debitur pailit.
f. Kemudahan dan kepastian dalam eksekusi; Jika debitur cidera
janji tanpa melalui gugatan perdata lewat pengadilan. Kreditur
disedikan cara-cara khusus yang diatur dalam pasal 20 yaitu
menggunakan hak menjual objek Hak Tanggungan melalui
pelelangan umum menurut pasal 6 atau di tempuh cara yang
dikenal ”parate executie” berdasarkan pasal 224 RIB dan 158
RRBgw.
g. Kepastian tanggal kelahiran Hak Tanggungan.

C. Rangkuman
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Kreditur tertentu terhadap Kreditur-Kreditur lain
2. Dasar hukum Hak Tanggungan antara lain UUPA, Undang-
Undang No. 4 Thn 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, PP No. 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah, Peraturan Menteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah
Hak Tanggungan, Dan Sertifikat Hak Tanggungan, Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu
Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu, Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  115


3. Ciri Hak Tanggungan adalah Memberikan kedudukan yang
diutamakan atau mendahulu kepada pemegang haknya dan
prinsip pokok Hak Tanggungan yaitu Kedudukan Kreditur
pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak
diutamakan/mendahului dari pada Kreditur-Kreditur lainnya.

D. Tugas Mandiri
Buatlah matriks (tabel) yang berisikan tentang persoalan-persoalan
hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berkaitan dengan
Hak Tanggungan meliputi; persoalan Subjek, Objek, maupun hal
lainnya dan sertakan analisa hukum saudara.

E. Tugas Terstruktur
1. Jurnal Report:
a. Kumpulkan minimal 3 jurnal hukum yang mengangkat tema
tentang Hak Tanggungan;
b. Kaji dan telaah serta inventarisasi permasalahan berikut solusi
yang diangkat pada ketiga jurnal tersebut.
c. Susun laporannya sesuai petunjuk dosen.

--00O00--

116  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


10

KEGIATAN BELAJAR IX
HAK TANGGUNGAN
(SESI-2)

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar IX ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Menjelaskan siapa saja subyek Hak Tanggungan.
2. Menjelaskan apa saja objek Hak Tanggungan.
3. Menjelaskan tahapan pembebanan Hak Tanggungan.

B. Uraian Materi
1. Subjek Hak Tanggungan
Pengaturan subjek hukum dalam Hak Tanggungan dapat dilihat
dalam Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu:
a. Pemberi Hak Tanggungan (Debitur); diatur pada Pasal 8
Undang-Undang Hak Tanggungan yang menentukan bahwa
pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau
badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

117 AGRARIA  (Suatu Pengantar) 


Rahmat Ramadhani  HUKUM 117
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang
bersangkutan. Pemberi Hak Tanggungan pada umumnya
adalah Debitur itu sendiri. Namun dalam hal lain, dimungkinkan
kondisi sebagai berikut;
 Pemberi Hak Tanggungan adalah pihak lain (bukan
Debitur), jika benda yang dijadikan jaminan utang bukan
milik Debitur.
 Pemberi Hak Tanggungan adalah Debitur dan pihak lain,
jika yang dijadikan jaminan lebih dari satu, masing-masing
kepunyaan Debitur dan pihak lain.
 Pemberi Hak Tanggungan adalah Debitur bersama pihak
lain, jika benda yang dijadikan jaminan utang adalah milik
bersama, apakah misalnya harta bersama suami istri, harta
bersama Perseroan dan lain sebagainya.
b. Penerima Hak Tanggungan/Pemnegang Hak Tanggungan
(Kreditur); Penerima Hak Tanggungan lebih lanjut disebut
dengan pemegang Hak Tanggungan. Pada Pasal 9 Undang-
Undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa pemegang Hak
Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang berkedudukan sebagai pihak yang berutang. Lebih lanjut,
penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan
menjabarkan bahwa Orang atau badan hukum penerima Hak
Tanggungan bisa juga orang asing atau badan hukum asing, baik
yang berkedudukan di Indonesia ataupun di Luar Negeri,
sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk
kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik
Indonesia.

2. Objek Hak Tanggungan


Penjelasan umum UUHT Pasal angka 5 dan penjelasan Pasal 4
ayat (1), memprasyaratkan objek Hak Tanggungan yaitu sebagai
berikut:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena yang dijamin berupa uang .

118  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus
memenuhi syarat publisitas.
c. Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila
debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan akan dijual di
muka umum,
d. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.

Atas dasar prasyarat tersebut di atas, Arba kemudian menyusun


berbagai macam klasifikasi hak atas tanah yang dapat dijadikan
objek Hak Tanggungan, yaitu (Arba, 2012: 212-214):
1. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUHT hak atas tanah yang
dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut;
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
2. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUHT adalah: Hak pakai
atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan. Hak
Pakai dimaksud adalah Hak Pakai yang diberi kepada
peseorangan dan badan-badan hukum selama jangka waktu
tertentu untuk keperluan pribadi.
3. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat 4 UUHT objek-objek Hak
Tanggungan juga membuka kemungkinan membebankan tanah
berikut atau tidak pada bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya.
4. Objek Hak Tanggungan adalah hak tanah yang ditunjuk oleh
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun, yaitu:
a. Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh negara lain;
b. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan bangunannya
berdiri di atas tanah hak-hak yang disebut di atas.
5. Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun menyebutkan bahwa; Hak Pakai yang diberi

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  119


kepada instansi-instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan-
badan keagamaan dan sosial serta perwakilan negara asing tidak
dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, peruntukannya tertentu
dan menurut sifatnya tidak dapat dipindah tangankan. Hak
pakai tersebut semula tidak dapat dibebani Hak Tanggungan,
Karena tidak ada penunjukkanya dengan undang-undang,
karena menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dan
termasuk hak yang didaftar, maka hak jaminan yang dapat
dibebankan adalah fidusia.

3. Tahapan Pembebanan Hak Tanggungan


Pembebenan Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 sampai
dengan Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan dan teknis
pelaksanaannya diatur dalam Pasal 114 sampai dengan Pasal 119
PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksana
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendafataran
Tanah.
M. Syukran Yamin Lubis (2016-2017) dalam materi slide
perkuliahanya menguraikan secara garis besar tahap pembebanan
Hak Tanggungan terdiri atas 2 (dua) tahapan yaitu:
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Tahap ini dimulai dari pembuatan Akta Pembebanan Hak
Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
dengan didahului penandatanganan perjanjian kredit yang
dijaminkan oleh Debitur kepada Kreditur. Penegasan akan hal
tersebut tersurat dari isi Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak
Tanggungan menggariskan bahwa Pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) berisikan hal-hal yang
sifatnya wajib dicantumkan dan yang tidak wajib dicantumkan
(fakultatif). Untuk isi akta yang bersifat wajib maka menjadi sarat
sahnya APHT, jika tidak dicantumkan secara lengkap

120  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


mengakibatkan APHT batal demi hukum. Ketentuan tersebut
dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialisasi dari Hak
Tanggungan, baik mengenai subyek, obyek maupun utang yang
dijamin.
Menurut Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, isi
yang wajib dicantumkan dalam APHT antara lain:
1) Nama dan identitas pemberi dan penerima Hak Tanggungan
(para pihak).
2) Domisili dari para pihak.
3) Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin,
yang bukan Debitur.
4) Nilai tanggungan
5) Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

Sedangkan isi APHT yang bersifat fakultatif atau tidak wajib


dicantumkan, merupakan klausul yang tidak mempunyai pengaruh
terhadap sarat sahnya suatu akta. Para pihak bebas menentukan
untuk mencantumkan atau tidak di dalam APHT dimaksud. Pasal 11
ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa
dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji antara lain:
1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan
untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menerima
uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih
dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan
untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak
Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu
dari pemegang Hak Tanggungan.
3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi letak Hak Tanggungan apabila Debitur
sungguh-sungguh cidera janji.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  121


4) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan,
jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk
mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkan hak yang menjadi
obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau
dilanggarnya ketentuan undang-undang.
5) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak
Tanggungan apabila Debitur cidera janji.
6) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama
bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak
Tanggungan.
7) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan
haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis
lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak
Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan
atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
9) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi
Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak
Tanggungan diasuransikan.
10) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan
obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
11) Janji yang dimaksud Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Hak
Tanggungan.

Pencantuman janji-janji tersebut di dalam APHT yang kemudian


akan didaftar pada Kantor Pertanahan, juga mempunyai kekuatan
mengikat terhadap pihak ketiga. Janji sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d Undang-Undang Hak Tanggungan,
terutama dalam hal pemberian kewenangan kepada pemegang

122  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Hak Tanggungan untuk biaya pemberi Hak Tanggungan mengurus
perpanjangan hak atas tanah yang dijadikan obyek Hak
Tanggungan dalam rangka mencegah hapusnya Hak Tanggungan
karena hapusnya hak atas tanah, dan melakukan pekerjaan lain
yang diperlukan untuk menjaga agar obyek Hak Tanggungan tidak
berkurang nilainya yang akan mengakibatkan berkurangnya harga
penjualan sehingga tidak cukup untuk melunasi utang yang dijamin.

Tentang SKHMT (Surat Kuasa Membebankan Hak


Tanggungan)
Pada asasnya pembebanan Hak Tanggunan wajib dilakukan
sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan, hanya apabila benar-benar
diperlukan yaitu dalam hal Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat
hadir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), ia wajib
menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta
otentik.
Sejalan dengan Surat Kuasa SKMHT tersebut harus diberikan
langsung oleh Pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi
persyaratan mengenai muatannya, sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan. Tidak dipenuhinya
persyaratan mengenai muatan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan
batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang
bersangkutan tidak dapat digunakan sebagau dasar pembuatan
APHT (Rachmadi Usman, 1999: 119).
PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat APHT
apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan
atau tidak memenuhi persyaratan mengenai muatannya. Adapun
persyaratan pokok yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
dari pada membebankan hak tanggungan.
2) Tidak memuat kuasa substitusi.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  123


3) Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah
utang dan nama serta identitas Krediturnya, nama dan identitas
Debitur apabila Debitur bukan pemberi Hak Tanggungan.

Persyaratan-persyaratan mengenai muatannya tersebut


menunjukkan bahwa SKMHT memang sengaja dibuat hanya khusus
untuk tujuan pemasangan hak tanggungan, kemudian
mencerminkan adanya kepastian hukum, kepastian subyek dan
obyek haknya, kepastian tanggal pembuatannya sehingga sulit
untuk dibantah mengenai keabsahannya. Sehubungan pentingnya
peran dan fungsi SKMHT tersebut, maka oleh Undang-Undang
dipersyaratkan harus dibuat dengan akta otentik.
SKMHT menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan
secara tegas dilarang dipergunakan untuk melakukan perbuatan
hukum lain selain dari pada membebankan Hak Tanggungan, jadi
tidak diperkenankan memuat kuasa untuk menjual, menyewakan
obyek Hak Tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah atau
lainnya. Kemudian pihak yang menerima kuasa tidak diperkenankan
untuk mensubstitusikan atau melimpahkan kuasa yang didapatnya
kepada pihak lain.
Disini timbul kesan bahwa pemegang hak atas tanah/pemberi
Hak Tanggungan hanya menaruh kepercayaan kepada seseorang
tertentu yaitu si penerima kuasa secara langsung, yang dianggap
dapat mewakili untuk mempertahankan hak-hak dan kepentingan-
kepentingan pemberi kuasa, sehingga menjadi jelas mengenai
pertanggungjawabannya sebagai kuasa.
Mengenai unsur-unsur pokok yang harus dicantumkan dalam
SKMHT harus jelas dan terperinci, ini diperlukan untuk melindungi
kepentingan pemberi Hak Tanggungan, terutama memberikan
perlindungan mengenai jumlah utang harus sesuai dengan suatu
jumlah yang telah diperjanjikan, selain itu harus jelas menunjuk
secara khusus obyek Hak Tanggungan, Kreditur dan Debiturnya.
Persyaratan dan cakupannya tersebut, perlu diketahui pula
bahwa kuasa untuk membebankan hak tanggungan mempunyai ciri

124  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


khusus yaitu merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali
atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena
kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka
waktunya.
Menarik untuk dicermati bahwa kewenangan untuk membuat
SKMHT selain ditugaskan kepada Notaris juga ditugaskan kepada
PPAT Jadi dapat dibuat dengan akta Notaris, dapat pula dibuat
dengan akta PPAT. Keduanya sama-sama merupakan akta otentik.
Suatu akta memperoleh predikat otentik, menurut ketentuan
dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta yang
bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai
berikut:
1) Akta itu harus dibuat ”oleh” atau ”dihadapan” seorang Pejabat
Umum.
2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan dalam
Undang-Undang.
3) Pejabat Umum oleh/atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

b. Tahap Pandaftaran Hak Tanggungan (Lahirnya Hak


Tanggungan)
Pada tahap ini pelaksanaannya berada pada Kantor Pertanahan
setempat. Pendaftaran Hak Tanggungan juga sekaligus merupakan
saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. Sebab salah satu
dari obyek pendaftaran tanah adalah Hak Tanggungan,
sebagaimana disebutkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Peraturan Pendaftaran Tanah. Pasal 13 ayat (1)
UUHT menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan, karena Penandatanganan
APHT di hadapan PPAT baru memenuhi syarat spesialitas dari Hak
Tanggungan saja , tetapi belum memenuhi syarat publisitas. Untuk
memenuhi syarat publisitas maka pemberian Hak Tanggungan yang
dimuat dalam APHT harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan
setempat.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  125


Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor
Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak atas tanah yang
menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut
pada Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Hak Tanggungan
lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan yaitu tanggal
hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh itu jatuh pada
hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja
berikutnya. Sebagai tanda adanya bukti Hak Tanggungan, Kantor
Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Secara ringkas, tahap proses pembebanan Hak Tanggungan
dapat dilihat pada skema di bawah ini (M. Syukran Yamin Lubis,
2016-2017);

126  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


SKEMA 2
PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN

C. Rangkuman
1. Subjek Hak Tanggungan terdiri dari dua pihak yaitu; Debitur dan
Kreditur. Debitur adalah pihak pemberi Hak Tanggungan atau
pihak nasabah yang berhutang sedangkan Kreditur adalah pihak
pemegang hak atau pihak perbankan yang memberi hutang.
2. Objek Hak Tanggungan adalah bidang tanah yang dapat
dibebani oleh Hak Tanggungan berdasarkan UUPA beserta atau
tidak beserta benda-benda yang berada di atas tanah tersebut
berdasarkan UUHT.
3. Tahapan pembebanan Hak Tanggungan terdiri dari dua tahap,
yaitu; Tahap Pembebanan Hak Tanggungan di Notaris/PPAT
dan Tahap Pendaftaran Pembebanan Hak Tanggungan di
Kantor Pertanahan. Pada tahap terakhir inilah lahirnya Hak
Tanggungan tersebut.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  127


D. Tugas Terstruktur
1. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Notaris/PPAT sesuai dengan wilayah
riset yang telah ditentukan dosen pengampu Mata Kuliah
Hukum Agararia.
b. Data yang diteliti antara lain;
c) Bagaimana Proses Notaris/PPAT menyusun dan
membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT)
dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT), meliputi; Bagaimana subjeknya, bagaimana
objeknya dan berapa nilai Hak Tanggungan serta jangka
waktu hak tanggungannya .
d) Apa saja kendala dan problematika hukum yang
dihadapi oleh Notaris/PPAT tersebut dalam
melaksanakan proses pembebanan Hak Tanggungan.
e) Sertakan contoh APHT, SKMHT serta Sertipikat Hak
Tanggungan yang pernah dilakukan oleh Notaris/PPAT
pada tempat riset tersebut.
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen.

--00O00--

128  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


11

KEGIATAN BELAJAR X
HAK TANGGUNGAN
(SESI-3)

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar X ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Menjelaskan sebab-sebab hapusnya Hak Tanggungan.
2. Menjelaskan proses dan prosedur Pencoretan/Roya Hak
Tanggungan.
3. Menjelaskan tata cara eksekusi Hak Tanggungan.

B. Uraian Materi
1. Hapusnya Hak Tanggungan
Ketentuan mengenai hapusnya Hak Tanggungan diatur dalam
Pasal 18 dan 19 UUHT jo. Pasal 54 PP No. 24 tahun 1997 jis. Pasal 122
s.d Pasal 124 PMNA/ KBPN No.3 Tahun 1997. Pasal 18 UUHT
menjelaskan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai
berikut:

129AGRARIA  (Suatu Pengantar) 


Rahmat Ramadhani  HUKUM 129
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak
Tanggungan.
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

2. Pencoretan (Roya) Hak Tanggungan


Terhadap Hak Tanggungan dapat dilakukan pencoretan apabila
tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan telah dihapus. Namun
demikian, dalam kaitannya dengan pencoretan Hak Tanggungan,
hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa:
Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak
Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan
sertifikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak
Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku
tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Kantor Pertanahan.
Sejalan dengan pencoretan Hak Tanggungan di atas, maka
sebelum dilakukannya pencoretan, harus didahului dengan
mengajukan pemohonan oleh para pihak kepada Kantor
Pertanahan. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) UUHT
dinyatakan bahwa:
Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan
sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberikan catatan oleh
Kreditur bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang
dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas,
atau pernyataan tertulis dari Kreditur bahwa Hak Tanggungan
telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan
Hak Tanggungan telah lunas atau karena Kreditur melepaskan
Hak Tanggungan yang bersangkutan.

3. Eksekusi Hak Tanggungan


Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan mengatur tentang
Eksekusi Hak Tanggungan yang menentukan bahwa apabila

130  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Debitur cidera janji maka pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan pituangnnya dari hasil penjualan dimaksud.
Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan
memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan (Kreditur) untuk
melakukan parate ekesekusi. Artinya, dalam hal terjadi cidera janji
yang dilakukan oleh Debitur maka bagi pemegang Hak
Tanggungan bukan saja tidak perlu meminta persetujuan dari
pemberi Hak Tanggungan juga tetapi juga tidak perlu meminta
penetapan dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas Hak
Tanggungan yang menjadi jaminan utang Debitur dimaksud.
Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuatan sendiri
oleh pemegang Hak Tanggungan merupakan salah satu perwujudan
dari kedudukan yang dipunyai pemegang Hak Tanggungan
pertama baik secara sendiri maupun bilamana terdapat lebih dari
satu pemegang Hak Tanggungan. Dengan kata lain, diperjanjikan
atau tidak hak parate eksekusi adalah hak yang hadir demikian
hukum yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan (Penjelasan
Pasal 6 UUHT).
Lebih lanjut, dalam Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang
Hak Tanggungan mengisaratkan adanya kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan di balik irah-irah “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
sebagaimana tercantum dalam Sertifikat Hak Tanggungan
sehingga dinilai memiliki kekuatan hukum tetap dan berlaku
sebagai penggati groose acte hipotik sepanjang mengenai hak atas
tanah.
Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap Hak
Tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan
tanpa harus melalu proses litigasi dan/atau penetapan pengadilan.
Penjualan objek Hak Tanggungan harus dilakukan melalui
pelelangan di muka umum dengan tujuan terjadinya asas

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  131


keterbukaan dalam proses penyelesaian hutang piutang antara
Kreditur dan Debitur.

C. Rangkuman
1. Hak Tanggungan dapat hapus disebabkan oleh hal-hal yang
diatur oleh UUPA dan UUHT yaitu dengan sebab-sebab antara
lain; Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak
Tanggungan; Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; dan
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
2. Pencoretan Hak Tanggungan/Roya dilakukan setelah Hak
Tanggungannya hapus (lunas hutangnya) dan yang melakukan
pencoretan/roya adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
tempat Hak Tanggungan tersebut didaftarkan.
3. Jika Debitur cidera janji maka pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan pituangnnya dari hasil penjualan
dimaksud. Penjualan inilah yang disebut dengan eksekusi Hak
Tanggungan.

D. Tugas Terstruktur
1. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah riset yang telah ditentukan dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Agararia.
b. Data yang diteliti antara lain;
1) Tentang Hapusnya Hak Tanggungan; terkait apa saja
faktor penyebab hapusnya hak tanggungan yang pernah
terjadi di Kantor Pertanahan tersebut?
2) Tentang Pencoretan Hak Tanggungan/Roya; terkait
bagaimana Kantor Pertanahan tersebut melalsanakan
pencoretan Hak Tanggungan, apa saja syaratnya, berapa

132  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


lama waktunya dan berapa biayanya? dan bagaimana
konsekwensi hukumnya terhadap sertipikat yang
dibebani Hak Tanggung dan telah lunas hutangnya jika
tidak dilakukan roya?
3) Tentang eksekusi Hak Tanggungan: terkait apakah
Kantor Pertanahan dilibatkan dan/atau memiliki peran
dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, termasuk
apa saja syaratnya?, bagaimana prosedurnya, dan
berapa lama waktu pelaksanaannya?
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen.
--00O00--

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  133


12

KEGIATAN BELAJAR XI
LANDREFORM

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar XI ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mendefenisikan dan menguraikan pengertian dan tujuan
Landreform.
2. Menjelaskan dasar hukum Landreform.
3. Menjelaskan penetapan luas maksimum pemilikan dan
penguasaan tanah pertanian.
4. Menjelaskan tentang larangan pemilikan tanah secara Absentee.

B. Uraian Materi
1. Pengertian & Tujuan Landreform
a. Pengertian
Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa inggris, yaitu
“land” dan “reform”. “land” artinya tanah, sedangkan “reform”
artinya perubahan dasar atau perombakan atau penataan

134
134  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)
kembali struktur tanah pertanian. Jadi, Landreform adalah
perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan struktur
pertanian baru. Penjelasan UUPA menggunakan istilah Landreform
sebagai sinonim agrarian reform, dalam arti perubahan-perubahan
dalam struktur pertanahan. Perubahan struktur pertanahan
dimaksud pada masa itu (tahun 1960-an) sedang diselenggarakan
hampir diseluruh dunia, dengan dilandasi asas bahwa pertanian
harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya
sendiri (Hasan Wargakusumah dkk., 2001: 148).
Boedi Harsono (2008: 488) berpendapat bahwa Landreform
meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah
serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan
penguasaan tanah, yaitu:
1. Landreform dalam arti luas, yang dikenal dengan istilah Agrarian
reform meliputi lima program, terdiri dari:
a. Perombakan Hukum Agraria;
b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas
tanah
c. Mengakhiri penghisapan feudal;
d. Perubahan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan
hukum yang berkaitan dengan penguasaan tanah
(Landreform dalam arti sempit);
e. Perencanan persediaan peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kelima
program ini diartikan sebagai Landreform dalam arti luas.
2. Landreform dalam arti sempit, menyangkut perombakan
mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang menyangkut dengan pengusahaan
tanah. Selanjutnya ketentuan ini akan digunakan dalam cara
yang lebih terbatas yang mengarah pada program pemerintah
menuju pemerataan kembali pemilikan tanah.

Hukum agraria nasional menganut pengertian Landreform


dalam arti luas sebagaimana pengertian yang digunakan oleh Food

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  135


and Agricultural Organitation (FAO), yaitu program tindakan yang
saling berhubungan dan bertujuan untuk menghilangkan penghalang
di bidang ekonomi dan sosial yang timbul dari kekurangan yang
terdapat dalam struktur pertanahan (Arba, 2015: 172-174).

b. Tujuan Landreform
Landreform adalah upaya perombakan secara mendasar
terhadap struktur penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia.
Oleh karena itu, secara garis besar tujuan program Landreform
adalah sebagai berikut:
1) Pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat.
2) Pelaksanaan prinsip tanah untuk petani.
3) Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap
warga negara Indonesia.
4) Mengakhiri sistem tuan tanah dan pemilikan tanah secara besar-
besaran.
5) Mempertingi produksi nasional dan mendorong pertanian secara
intensif, gotong royong dan koperasi.

Dengan demikian tujuan diadakan program Landreform


dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Secara umum Landreform bertujuan untuk mempertinggi taraf
hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan
pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur
berdasarkan pancasila.
2. Secara khusus Landreform di Indonesia diarahkan agar dapat
mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus yaitu:
a. Tujuan sosial ekonomi
1) Mempertinggi keadaan sosial ekonomi rakyat dengan
memperkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial
pada hak milik.
2) Mempertinggi produksi nasional khususnya sektor pertanian
guna mempertingi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
b. Tujuan sosial politik

136  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan
tanah yang luas.
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber
penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud
agar ada pembagian hasil yang adil pula.
c. Tujuan mental psikologis
1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani
penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak
mengenai pemilikan tanah.
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah
dengan penggarapnya.
Atas dasar tujuan tersebut, maka sasaran yang akan dicapai
adalah memberikan pengayoman pada para petani penggarap
dalam usaha memberikan kepastian hak dengan cara memberikan
hak milik atas tanah yang telah digarap (Arba, 2015: 179-181).
Kebijakan Landreform menjadi perhatian tersendiri bagi para
Camat dapat melayani pengadaan tanah di wilayahnya yang tidak
lebih dari 5HA atau diatas 5HA, sedangkan kebutuhan yang
berkaitan dengan rencana pembangunan mengambil tempat pada
satu sisi di sebagian kecamatan yang banyak petaninya dan
bertumpuk beberapa proyek yang masing-masing membutuhkan
tanah/areal yang luas, maka kalau tanah pertanian yang
subur/beririgasi teknis dijadikan lokasinya, akibatnya sudah dapat
diramalkan sejak lama (John Salindeho, 1993: 209).

2. Dasar Hukum
Landreform dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1961.
Ketentuan-ketentuan mengenai Landreform ditemukan
pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
a. Mengenai Asas-Asas Landreform: Pasal 7, 10, 13, 21, dan 53 UUPA.
b. Mengenai penetapan batas luas pemilikan areal tanah pertanian
dan redistribusi tanah, antara lain (Hasan Wargakusumah dkk.,
2001: 160-161);

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  137


1) Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian.
2) PP No. 224 Tahun 1961 jo PP No. 41 tahun 1964 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti
Kerugian.
3) PMDN No. 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut
Pelaksanaan Landreform.
c. Mengenai pengecualian pemilikan tanah gadai; PP No. 4 Tahun
1974 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai/Absente
Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.
d. Mengenai penyeselaian tanah gadai.
1) Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) No. 20
Tahun 1963 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai.
2) Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK
10/Ka/1963 tentang Penegasan Berlakunya Pasal 7 UU No. 56
Prp tahun 1960 Bagi Gadai Tanaman Keras.
e. Mengenai bagi hasil:
1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah
Pertanian.
2) Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1980 tentang Pedoman UU No.
2 Tahun 1960 beserta Peraturan Pelaksanaan Lainnya.
f. Mengenai penghapusan pengadilan Landreform; Undang-
Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan
Landreform.

3. Penetapan Luas Maksimum Pemilikan Dan Penguasaan


Tanah Pertanian
Pasal 17 ayat (3) UU No. 56/Prp tahun 1960 menentukan bahwa
tanah-tanah yang merupakan kelebihan batas maksimum tidak
akan disita, tetapi akan diambil oleh pemerintah dengan ganti
kerugian kepada bekas pemilik tanah. Tanah-tanah kelebihan itu
akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya.
Penetapan batas maksimum dimaksud untuk mencegah
pemecah-belahan areal tanah lebih lanjut (versplintering) dan tidak

138  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


untuk diartikan, bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang
dari batas itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Usaha
untuk mencapai tujuan penetapan batas minimum ini akan
dilakukan secara berangsur dengan berbagai program, misal progam
transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran di luar jawa dan
industrialisasi.
Pasal 1 UU No. 56/Prp Tahun 1960 menentukan lebih lanjut,
bahwa seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya
merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan
menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri bersama
kepunyaan orang lain yang jumlah luasnya tidak melebihi batas
maksimum sebagai yang ditetapkan.
Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Agraria
tanggal 05 Januari 1961, menguraikan beberapa istilah yang
dipergunakan dalam pengaturan ini.
a. Bahwa yang dimaksud dengan “keluarga” dalam Pasal 1 ayat 1
UU No. 56/Perpu/1960, ialah sekelompok orang yang merupakan
kesatuan penghidupan dengan mengandung unsur pertalian
darah atau perkawinan. Jumlah anggota keluarga dalam
penjelasan umum angka 7c UU termaksud melebihi 7 orang
termaksud kepala keluarga (rata-rata keluarga indonesia
dewasa itu). Jika jumlahnya melebihi 7 orang luas maksimum
untuk setiap jumlah anggota keluarga yang selebihnya ditambah
10%, tapi jumlah tambahan tesebut tidak boleh lebih dari 50%,
sedang jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak
boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering.
b. Bahwa yang dimaksud dengan “tanah pertanian” itu meliputi
juga semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah
untuk penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan
hutan yang menjadi tempat mata pencarian bagi yang berhak.
Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang
menjadi hak orang, lainnya untuk perumahan dan perusahaan.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  139


Adapun kriteria yang dipergunakan dalam menentukan batas
maksimum pemilikan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat 2
UU No. 56 Prp Tahun 1960 dan angka 7 dari penjelasan umumnya,
ialah jumlah peduduk (kepadatan penduduk), luas daerah dan
faktor-faktor lain, seperti jenis dan kesuburan tanahnya (tersedianya
tanah yang dapat dibagi), sawah atau tanah kering.
a. Wajib lapor tanah kelebihan
 Pasal 33 UU No. 56 Prp tahun 1960 menetapkan, orang-orang
dan kepala-kepala keluarganya yang anggota-anggota
keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlah
luasnya melebihi luas maksimum wajib melaporkan hal itu
kepada Kepala Kantor Agraria Daerah
Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan dalam waktu 3
bulan sejak mulai berlakunya peraturan ini (tanggal 11 januari
1961).
 Sanksi pidana atas pelanggaran wajib lapor ini tercantum
dalam Pasal 10 ayat 1 huruf b, diancam hukuman selama-
lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp10.000
b. Larangan mengalihkan Hak atas Tanah Kelebihan
 Orang atau orang-orang sekeluarga yang wajib lapor tadi,
dilarang memindahkan hak miliknya seluruh atau sebagian
tanahnya tersebut, kecuali dengan izin kepala Kantor Agraria
Daerah Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan (Pasal 4).
 Ketentuan ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai
orang menghindari diri akibat penetapan luas maksimum.
Sanksi pidananya atas pelanggarannya sama dengan untuk
wajib lapor (Pasal 10 ayat 1 huruf a).
c. Pemberian Ganti Rugi
 Pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah
kelebihan merupakan perwujudan asas hukum agraria
nasional, yang mengakui adanya hak milik perseorangan atas
tanah dan merupakan ciri pokok dari pada Landreform di
Indonesia.

140  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Yang menjadikannya dasar perhitungan ganti rugi menurut Pasal
6 PP No. 224 tahun 1961 adalah perkalian hasil bersih rata-rata
selama 5 tahun terakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurut
golongan kelas tanahnya dengan mempergunakan degresivitas,
yaitu:
a. Untuk 5 hektar yang pertama: tiap hektarnya 10 kali hasil bersih
setahun.
b. Untuk 5 hektar yang kedua, ketiga, dan keempat: tiap hektarnya
9 kali hasil bersih setahun.
c. Untuk yang selebihnya: tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun.

Adapun yang dimaksud dengan hasil bersih adalah seperdua dari


hasil kotor bagi tanaman padi atau sepertiga hasil kotor bagi
palawija. Apabila harga tanah menurut perhitungan padi lebih tinggi
dari pada harga umum, maka harga umumlah yang dipakai untuk
penetapan besarnya ganti rugi itu. Penggunaan ganti kerugian yang
diberikan oleh pemerintah kepada bekas pemilik tidak dibiarkan
secara bebas, melainkan dialihkan pada usaha-usaha pembangunan.
Di samping itu keperluan pribadi tidak diabaikan. Karenanya
pemberian ganti kerugian diatur 10% dalam bentuk uang simpanan
yang dapat diambil sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan
pribadi bekas pemilik, sejak 1 tahun setelah tanah dibagikan kepada
rakyat sedangkan yang 90% harus digunakan untuk usaha-usaha
pembangunan industri berupa surat utang Landreform (Pasal 7),
mengenai surat utang Landreform (SHL) ini lebih lanjut diatur dalam
UU No. 6 Tahun 1964 (Hasan Wargakusumah dkk., 2001: 154-162).

4. Larangan Pemilikan Tanah Secara Absentee


Pemilik tanah secara absentee adalah pemilikan tanah yang
letaknya diluar daerah kecamatan tempat tinggal yang punya
tanah. Yang diperkenankan memiliki tanah secara absente:
a. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara.
b. Mereka yang sedang menjalankan tugas agama.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  141


c. Mereka yang mempunyai alasan yang khusus yang dapat
diterima oleh Menteri Agraria.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah (Effendi Perangin, 1994:


122-123):
1. Pemilikan tanah itu terjadi sebelum 24 September 1961, kecuali
disebabkan hibah wasiat dengan persyaratan khusus.
a. Syarat khusus tersebut:
1) Yang diberi hibah wasiat adalah ahli waris dari pemberi
wasiat dan,
2) Ada izin dari Menteri Agraria (sekarang Menteri Dalam
Negeri), serta
3) Terjadi sebelum akhir tahun 1962 bagi pewaris hibah
wasiat yang pegawai negeri, dan sebelum akhir tahun
1963 bagi pewaris pensiunan (S.K. Menteri Pertanian dan
Agraria No. SK 35/Ka/1965).
b. Dengan PP No. 4/1977 dibolehkan dalam 2 tahun sebelum
pensiun, seorang pegawai negeri membeli tanah pertanian
secara absentee.
2. Luasnya bagi pegawai negeri dan pejabat militer terbatas sampai
2/5 x luas maksimum untuk daerah yang bersangkutan.

Larangan pemilikan tanah secara absentee diatur dalam Pasal 10


UUPA, PP No. 41 Tahun 1964, PP No. 4 Tahun 1977, Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 15 Tahun 1974. Tanah absentee dapat terjadi
karena dua hal, yaitu:
1. Apabila seorang pemilik tanah pertanian meninggalkan
kecamatan tempat tinggalnya dimana tanah pertanian itu
miliknya terletak.
2. Apabila pemilik tanah pertanian itu meninggal dunia, sedangkan
ahli warisnya berdomisili di kecamatan lain.

Sesuai ketentuan Pasal 3a PP No. 41 Tahun 1964, apabila


berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediaman keluar
kecamatan tempat letak tanah, wajib melaporkan kepada pejabat

142  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


yang berwenang, maka satu (1) tahun sejak terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu dua (2) tahun dia meningggalkan tempat
tinggalnya, diwajibkan memindahkan hak atas tanahnya kepada
orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu. Apabila dia
tidak melapor, maka kewajiban itu harus dilaksanakan dalam dua
(2) tahun sejak terhitung meninggalkan tempat kediamannya.
Khusus tanah yang diperoleh melalui warisan, maka (ahli waris)
dalam waktu satu (1) tahun sejak pewarisnya meninggal dunia
diwajibkan memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain
yang berdomisili di kecamatan letak tanah atau berpindah ke
tempat kecamatan letak tanah itu (Pasal 3c PP No. 41 Tahun 1964).
Dengan adanya pemilikan tanah secara absentee, maka dua
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemiliknya, yakni sebagai
berikut:
1. Memindahkan kepemilikan tanah, pemilik tanah harus
mengalihkan tanahnya kepada orang lain yang bertempat
tinggal di kecamatan tempat tinggalnya, atau pemilikan tanah
yang pindah ke kecamatan tempat letak tanahnya sesuai
ketentuan Pasal 3 ayat 1 PP No. 224 Tahun 1961. Berdasarkan
pasal ini, jangka waktu untuk memindahkan atau berpindah
adalah 6 bulan sejak berlakunya PP No. 224 Tahun 1961.
2. Pengajuan hak baru, berdasarkan ketentuan Pasal 3
Permendagri No. 15 tahun 1974, mereka yang memiliki tanah
pertanian secara absentee dan belum dikuasai oleh Pemerintah
berdasarkan PP No. 224 Tahun 1961 wajib melaporkan kepada
panitia pertimbangan Landreform Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dalam waktu 6 (enam) bulan setelah berlakunya
Permendagri No. 15 Tahun 1974. Untuk selanjutnya 6 (enam)
bulan setelah berakhirnya jangka waktu lapor diwajibkan untuk
mengakhiri kepemilikannya dengan jalan memindahkan hak
atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan letak tanah itu,
atau berpindah ke kecamatan tempat letak tanah itu, atau
mengajukan permohonan suatu hak baru yang dimungkinkan

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  143


oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan
peruntukan dan penguasaannya. Arti pindah tempat tinggal
yang disebutkan dalam uraian diatas tidak cukup dengan bukti
kertu tanda penduduk (KTP) saja, melainkan harus benar-benar
berumah tangga dan/atau menjalankan kegiatan hidup sehari-
hari di tempat kecamatan yang baru, sehingga memungkinkan
menggarap tanahnya sendiri secara aktif dan efisien. Berdasarkan
ketentuan Pasal 3 ayat 5 dan 6 PP No. 224 Tahun 1961, tanah-
tanah absentee itu diambil alih oleh pemerintah untuk
selanjutnya dibagikan (diredistribusikan) kepada para petani,
dan kepada pemiliknya diberikan ganti kerugian.
3. Pengecualian larangan pemilikan tanah secara absentee.
Orang-orang yang dikecualikan dari larangan pemilikan
tanah pertanian secara absentee adalah sebagai berikut:
1. Orang-orang yang berdomisili dikecamatan yang berbatasan
dengan kecamatan tempat letak tanah yang oleh Panitian
Pertimbangan Landreform Kabupaten/Kota masih
dimungkinkan adanya Penggarapan tanah secara efisien dan
tanah itu telah dimilikinya sejak saat sebelum berlakunya PP
No. 224 Tahun 1961.
2. Pegawai Negeri Sipil dan anggota TNI serta orang lain yang
dipersamakan dengan mereka.
3. Mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama.
4. Mereka yang mempunyai alasan khusus lainnya yang
diterima oleh Direktorat Jenderal Agraria (sekarang BPN).

Menurut ketentuan PP No. 224 Tahun 1961, yang dimaksud


dengan Pegawai Negeri Sipil adalah Pegawai Negeri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Aparatur Sipil
Negara (ASN), yaitu Pegawai Negeri Sipil dan anggota TNI serta
orang lain yang dipersamakan dengan mereka yang masih
menjalankan tugas negara.

144  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Pegawai Negeri Sipil dan yang dipersamakan boleh memiliki
tanah pertanian secara absentee karena pengecualian beberapa
syarat, yaitu:
1. Pemilikan tanah petanian secara absentee yang sudah ada
sejak saat sebelum berlakunya PP No. 224 Tahun 1961.
2. Pemilikan tanah pertanian secara absentee yang diperoleh
karena pewarisan.
3. Pemilikan tanah pertanian secara absentee yang dibeli dalam
jangka waktu (2) dua tahun menjelang pensiun.
4. Luas tanah pertanian yang boleh secara absentee adalah 2/5
dari luas maksimum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU
No. 56 Tahun 1960.

Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara absentee


bagi Pegawai Negeri Sipil dan yang dipersamakan, semula
dimaksud untuk menghormati jasa-jasa mereka kepada negara
selama bertugas,sehingga untuk memberi jaminan hari tua
dimungkinkan untuk masih bercocok tanam lagi bila kembali ke
daerah asalnya. Mengingat kemajemukan cara hidup bangsa
Indonesia, pengecualian yang demikian itu terasa sebagai
“menganakemaskan”.
Walaupun secara formal Pegawai Negeri Sipil, mereka dalam
kehidupan sehari-hari juga bertani, berdagang, wiraswasta dan
sebagainya. Hampir tidak ada Pegawai Negeri Sipil yang hidup
dari sumber satu gaji saja. Oleh karena itu, adalah wajar apabila
pengecualian Pegawai Negeri Sipil dalam hal pemilikan tanah
pertanian secara absentee sering dipermasalahkan. Karenanya
dalam rangka perubahan atau revisi PP No. 224 Tahun 1961,
perlu dipertimbangkan untuk tidak memberikan pengecualian
tersebut.
Selain itu, karena kemajuan ilmu pengatahuan dan
teknologi, produktivitas pertanian bisa tetap dijamin sekalipun
pemilikannya secara absentee. Oleh sebab itu, meninjau kembali
ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  145


dan kemudian mengaitkannya dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi amatlah bijaksana (Arba, 2015: 188-
192).

C. Rangkuman
1. Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan
pembangunan struktur pertanian baru. Penjelasan UUPA
menggunakan istilah Landreform sebagai sinonim agrarian
reform, dalam arti perubahan-perubahan dalam struktur
pertanahan. Tujuannya adalah untuk; Pembagian yang adil
atas sumber-sumber penghidupan rakyat; Pelaksanaan prinsip
tanah untuk petani; Memperkuat dan memperluas hak milik
atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia; Mengakhiri sistem
tuan tanah dan pemilikan tanah secara besar-besaran; dan
Mempertingi produksi nasional dan mendorong pertanian secara
intensif, gotong royong dan koperasi.
2. Dasar hukum landreform tertulis dalam Asas-Asas Landreform:
Pasal 7, 10, 13, 21, dan 53 UUPA dan peraturan pertanahan
lainnya termasuk di dalamnya adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Kerugian.
3. Penetapan batas maksimum dimaksud untuk mencegah
pemecah-belahan areal tanah lebih lanjut (versplintering) dan
tidak untuk diartikan, bahwa orang-orang yang mempunyai
tanah kurang dari batas itu akan dipaksa untuk melepaskan
tanahnya. Usaha untuk mencapai tujuan penetapan batas
minimum ini akan dilakukan secara berangsur dengan berbagai
program, misal progam transmigrasi, pembukaan tanah besar-
besaran di luar jawa dan industrialisasi.
4. Larangan pemilikan tanah secara absentee diatur dalam Pasal 10
UUPA, PP No. 41 Tahun 1964, PP No. 4 Tahun 1977, Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1974 yang bertujuan untuk
mencegah adanya pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah
kecamatan tempat tinggal yang punya tanah.

146  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


D. Tugas Mandiri
Buatlah matriks (tabel) berisikan tentang persoalan-persoalan
hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berkaitan dengan
Pemilikan Tanah Secara Absente dan sertakan analisa hukum
saudara.

E. Tugas Terstruktur
1. Jurnal Report:
a. Kumpulkan minimal 3 jurnal hukum yang mengangkat tema
tentang Landreform/Absente;
b. Kaji dan telaah serta inventarisasi permasalahan berikut solusi
yang diangkat pada ketiga jurnal tersebut.
c. Susun laporannya sesuai petunjuk dosen.
2. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah riset yang telah ditentukan dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Agararia.
b. Data yang diteliti antara lain;
1) Apa saja bentuk kegiatan Landreform yang dilakukan
oleh Kantor Pertanahan tersebut sertakan datanya?
2) Apa saja tindakan yang dilakukan oleh Kantor
Pertanahan tersebut terhadap adanya tanah Absente
dan sertakan datanya?
3) Apa kendala dan upaya yang dihadapi oleh Kantor
Pertanahan tersebut dalam melaksanakan Landreform
dan Absente sertakan datanya?
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen.

--00O00--

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  147


13

KEGIATAN BELAJAR XII


REDITRIBUSI TANAH

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar XII ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mendefenisikan pengertian Redistribusi Tanah.
2. Menjelaskan bagaimana pengembalian dan penebusan tanah
pertanian yang digadaikan.
3. Menjelaskan tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
4. Menjabarkan tentang luas minimum pemilikan tanah.

B. Uraian Materi
1. Pengertian Redistribusi Tanah
Setelah ditentukan batas luas maksimum yang boleh dikuasai
oleh satu keluarga sesuai dengan keadaan daerahnya masing-
masing dalam pasal 2 UU No. 56 Prp tahun 1960, maka keluarga
yang menguasai tanah pertanian yang jumlahnya/luasnya melebihi
batas maksimum wajib melaporkan tanah kelebihannya kepada
pejabat yang berwenang (Pasal 3 UU No. 56 Prp tahun 1960).

148  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum
itu akan diambil oleh pemerintah dengan kerugian, yang selanjutnya
akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya
(penjelasan Pasal 7 UUPA). Tanah yang akan dibagikan itu meliputi:
a. Tanah-tanah yang berupakan kelebihan dari batas maksimum.
b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah karena pemiliknya
bertempat tinggal diluar daerah.
c. Tanah-tanah yang swapraja dan bekas swapraja yang telah
beralih kepada negara.
d. Tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 11 dan
Penjelasan umum angka 2 PP No. 224 tahun 1961).

Kepada bekas pemilik dari tanah-tanah yang diambil


pemerintah untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak atau
diperunakan oleh pemerintah sendiri, diberikan gati rugi yang
besarnya ditentukan oleh panitia Landreform Daerah tingkat II yang
bersangkutan atas dasar perhitungan yang ditentukan dalam Pasal
6 ayat 1 dan seterusnya, dan dengan cara yang ditentukan dalam
Pasal 7 PP No. 224 Tahun 1961 termaksud. Dan berdasarkan pasal
tersebut diketahui bahwa tanah-tanah yang akan dibagikan dalam
rangka pelaksanaaan Landreform, harus benar-benar berdasarkan
find to the tiller (tanah untuk petani/penggarap).
Oleh panitia Landreform daerah tingkat II yang bersangkutan
dibagi-bagikan dengan hak milik kepada petani menurut prioritas
dalam Pasal 8 ayat 1 UU No. 56 Prp tahun 1960, sebagi berikut:
a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan.
b. Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah
yang bersangkutan.
c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan.
d. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang
bersangkutan.
e. Penggarap yang mengerjakan tanah hak milik.
f. Penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberi peruntukan
lain berdasarkan Pasal 4 ayat 2 dan 3.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  149


g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar,
h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar.
i. Petani atau buruh tani lainnya.

Pengutamaan di atas petani-petani lain yang berada dalam


golongan prioritas yang sama menurut Pasal 8 Ayat (2) UU No. 56
Prp tahun 1960 diberikan kepada:
a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari
dua derajat dengan bekas pemilik, dengan ketentuan sebanyak-
banyaknya 5 orang.
b. Petani yang terdaftar sebagai veteran.
c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur.
d. Petani yang menjadi korban kekacauan.

Adapun mereka yang dimaksudkan dengan petani, penggarap


buruh tani tetap dan pekerja tetap, dalam ayat-ayat seterusnya dari
Pasal 8 dirumuskan sebagai berikut:
a. Petani ialah orang, baik yang mempunyai dan tidak mempunyai
tanah sendiri, yang mata pencarian pokok nya adalah
mengusahakan tanah untuk pertanian.
b. Penggarap ialah petani, yang secara sah mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya
dengan memikul seluruh atau sebagian dari resiko produksinya.
c. Buruh tani tetap ialah petani, yang mengerjakan atau
mengusahakan secara terus-menerus tanah orang lain dengan
mendapat upah.
d. Pekerja tetap ialah orang yang bekerja pada bekas pemilik tanah
secara terus-menerus.

Dalam lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria


No. 5d XIII/17/ka/1962, dirumuskan syarat-syarat pemberian tanah
dengan hak milik dalam rangka redistribusi (Hasan Wargakusumah
dkk., 2001: 157-159). Pelaksanaan redistribusi tanah pertanian objek
Landreform dilakukan melalui tahapan-tahapan kegiatan sebagai
berikut:

150  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


a. Persiapan.
b. Penyuluhan kepada calon penerimaan redisribusi tanah.
c. Identifikasi objek (lokasi) dan subjek (peserta penerima
redistribusi).
d. Seleksi calon penerima redistribusi.
e. Pengukuran bidang-bidang tanah.
f. Membuat tugu poligon.
g. Pemetakan topografi dan penggunaan tanah,
h. Cheking realokasi.

Dari tahapan-tahapan kegiatan tersebut di atas akan


menghasilkan data-data sebagai berikut:
a. Daftar inventarisasi objek dan subjek penguasaan dan
penggunaan tanah.
b. Daftar calon penerimaan redistribusi.
c. Peta pengukuran rincian.
d. Peta topografi.
e. Desain tata ruang dan realokasi DTR.
f. Surat Keputusan Pemberian Hak Milik dalam rangka radistribusi
tanah.
g. Setelah penerima redistribusi melunasi semua kewajibannya
sebagaimana yang tecantum dalam Surat Keputusan Pemberian
Hak Milik, selanjutnya dapat didaftarkan pada kantor
pertahanan kabupaten/kota untuk memperoleh setifikasi.

Pelaksanaan redistribusi tanah pertanian ini pada dasarnya


dilakukan oleh suatu organisasi pelaksanaan tertentu, yaitu:
 Panitia Petimbangan Landreform.
Penyelenggara Landreform menjadi tugas dan tangggung jawab
masyarakat dan pemerintah (semua departeman). Dalam
rangka pelancaran semua tugasnya, pemerintah pada pemulaan
pelaksanaan Landreform membentuk Panitia Landreform di
Tingkat Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II, kecamatan
dan Desa. Panitia ini dibentuk dengan berdasarkan Keputusan
Presiden No. 131 Tahun 1961 dan Kemudian disempurnakan, yaitu:

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  151


1. Dalam perkembangannya kepanitiaan ini tidak memenuhi
harapan, sehingga dicabut sekaligus diganti dengan
organisasi baru yang disebut Organisasi dan tata Kerja
Penyelenggara Landreform, yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980. Perubahan
penting dalam Keputusan Presiden ini adalah mengenai
semua tugas dan wewenang Panitia Landreform beralih dan
dilaksanakan masing-masing oleh Menteri Dalam Negeri,
Gubernur Kepala Daerah Provinsi, Bupati/Walikota Kepala
Daerah Kabupaten/Kota, Camat dan Kepala Desa/Lurah
Yang bersangkutan.
2. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, mereka dibantu oleh
sebuah Panitia yang disebut Panitia Pertimbangan
Landreform. Panitia ini dibentuk ditingkat Pusat, Provinsi,
Kabupaten/kota, Tugas Panitia ini adalah memberi sarana
dan pertimbangan mengenai segala yang berhubungan
dengan penyelenggaraan Landreform. Anggota panitia ini
terdiri dari unsur/wakil instansi pemerintah yang ada
kaitannya dengan pelaksanaan Landreform ditambah wakil
dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia/HKTI (Arba, 2015:
195-196).

2. Pengembalian Dan Penebusan Tanah Pertanian Yang


Digadaikan
Dalam penghapusan sifat-sifat pemerasan dalam gadai tanah,
maka pemerintah membuat ketentuan tentang cara penebusan
uang gadai. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 7 Undang-
Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian. Dalam Pasal 7 tersebut terdapat 2 ketentuan yang diatur
yaitu pengembalian tanah gadai dan pembayaran uang gadai.
Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa:
Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai
yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah
berlangsung selama 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan
tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan setelah tanaman

152  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak menuntut
pembayaran.
Menurut ketentuan tersebut, jika hak gadai tanah yang sudah
berlangsung tujuh tahun atau lebih, maka tanah harus dikembalikan
kepada pemilik tanah tanpa uang tebusan dalam waktu sebulan
setelah tanaman yang ada dipanen. Hal ini diasumsikan bahwa
pemegang gadai yang menggarap tanah pertanian selama 7 tahun
atau lebih, maka hasilnya melebihi uang gadai yang ia berikan
kepada pemilik tanah pertanian (Budi Harsono, 2008: 489).
Untuk tanah gadai yang akan ditebus sebelum tujuh tahun
diatur dalam Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
Mengenai hak gadai yang mulai berlakunya peraturan ini
sebelum berlangsung selama 7 tahun maka pemilikan tanah nya
berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai dipanan, dengan membawa uang
tebusan yang besarnya ddihitung menurut rumus: dengan
ketentuan bahwa sewaktu waktu hak gadai itu telah
berlangsung selama 7 tahun maka pemegang gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang
tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai
dipanen.
Pada awalnya gadai atas tanah ini hanya diperuntukkan
terhadap tanah pertanian, akan tetapi diperjelas oleh
dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK
10/Ka/1963 tentang berlakunya Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960
bagi gadai tanaman keras, dalam diktumnya dikatakan bahwa
gadai berlaku juga bagi tanaman keras, misalnya: tanaman pohon
kelapa.

3. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian


Mengingat kelemahan hak usaha bagi hasil yang diatur dalam
hukum adat, golongan penggarap tanah yang biasanya berasal dari
golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan, dan untuk
mengurangi sifat pemerasan, serta memberikan perlindungan hukum
bagi penggarap, maka diterbitkan Undang Undang No.2 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil Dilakukan Secara Tertulis. Maksudnya

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  153


adalah agar mudah diawasi dan diadakan tindakan tindakan
terhadap perjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya.
Pelaksanan perjanjian bagi hasil secara tertulis ini ternyata tidak
terlaksana dengan baik, karena para pihak lebih terbiasa
mengadakan perjanjian bagi hasil secara lisan, kekeluargaan dan
saling mempercayai.
Menurut Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil, perjanjian bagi
hasil harus dibuat secara tertulis di muka kepala desa, disaksikan oleh
minimal 2 orang saksi, dan disahkan oleh camat setempat serta
diumumkan dalam kerapatan desa yang bersangkutan. Ketentuan
ini dimaksudkan untuk upaya preventif menghindarkan perselihan
mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Dalam penjelasan umum UU perjanjian tujuan mengatur
perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud :
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya
dilakukan atas dasar yang adil.
b. Dengan menegakkan hak-hak dan kewajiban dari pemilki dan
penggarapan agar terjamin kedudukan hukum yang layak bagi
pengggarapnya, yang biasanya berada dalam kedudukan yang
tidak kuat, karena pada umumnya tanah yang tersedia tidak
banyak sedangkan penggarapnya adalah sangat banyak.
c. Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada A dan B diatas
bertambahlah kegembiraaan pekerja bagi para petani
penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula bagi produksi
tanah yang bersangkutan yang berarti satu langkah maju dalam
melaksanakan program akan melengkatpi sandang pangan
rakyat.

Hukum Tanah Nasional melarang kemungkinan pemerasan


orang atau golongan 1 oleh orang atau golongan lain sehingga
macam-macam hak atas tanah yang bersifat sementara, pada
prinsipnya adalah hak-hak yang memberikan wewenang untuk
menguasai dan mengusahakan tanah pertanian kepunyaan orang
lain.

154  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Hal ini merupakan lembaga lembaga hukum yang dapat
menimbulkan keadaan penguasaan tanah yang bertentangan
dengan asas yang tercantum dalam Pasal 10 UUPA termasuk di
dalamnya perjanjian bagi hasil dapat memungkinkan timbulnya
hubungan-hubungan yang mengandung unsur pemerasan oleh si
pemilik tanah terhadap pihak yang mengusahakan tanahnya atau
sebaliknya. Jadi perjanjian bagi hasil dalam Hukum Tanah Nasional
adalah tidak diperbolehkan, karena bertentangan dengan prinsip
yang ada dalam UUPA yaitu Pasal 10 UUPA.
Karena lembaga hukum ini masih dibutuhkan oleh masyarakat
petani di pedesaan yang tidak memiliki tanah, sehingga dalam
UUPA diakomodir sebagai macam macam hak atas tanah yang
bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53, yang pada
suatu saat akan dihapuskan. Karena untuk menghapuskan hak-hak
tersebut pada saat mulai berlakunya UUPA pada tanggal 24
september 1960, harus disertai dengan usaha-usaha untuk
penyediaan lapangan kerja baru di luar bidang pertanahan bagi
mereka yang tidak punya tanah sendiri, atau menyediakan kredit
lunak yang memerlukan, atau memperluas areal tanah pertanian,
yang dalam hal ini sampai sekarang belum dapat terselenggara.
Untuk membatasi sifat-sifat dari hak-hak yang bersifat
sementara tersebut (perjanjian bagi hasil) yang bertentangan dengan
UUPA, maka harus mendapatkan pengaturan lebih lanjut. Untuk
pengaturan tentang perjanjian tentang perjanjian bagi hasil tanah
pertanian telah mendapat pengaturan dalam UU No 2 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Sebenarnya UU ini tidak memberikan perlindungan yang lebih
kepada penggarap tanah/tunawisma, namun tujuan utama adalah
memberikan kepastian hukum kepada penggarap serta
menegaskan hak dan kewajiban penggarap dan pemilik tanah
(memori penjelasan UU No.2 Tahun 1960). Sehingga hak-hak dan
kewajiban baik dari penggarap maupun pemilik tanah menjadi lebih
tegas. Lembaga bagi hasil yang ada diseluruh Indonesia bervariasi.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  155


Disetiap daerah tidak ada kesamaan namun pada umumnya
hampir sama.
Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara
seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang
lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana
penggarap diperkenankan diperkenankan mengusahakan tanah
yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap
dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah
disetujui bersama (Budi Harsono, 2008: 118).
Pada mulanya perjanjian ini diatur oleh hukum adat setempat.
Menurut hukum adat perimbangan pembagian hasilnya ditetapkan
atas persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian bagi hasil pada
umumnya terdapat di berbagai daerah di Indonesia dengan nama
yang berbeda-beda, seperti Maro, Mertulu (Jawa), Nengah, Jejuron
(Sunda), Pleis (Bali), Nyakap (Lombok), Toyo (Minahasa),
Memperduai (Minangkabau). Penentuan seperti ini sering merugikan
penggarap karena tanah yang tersedia terbatas.
Di lain sisi jumlah penggarap cukup banyak, sehingga tidak
jarang penggarap harus menerima syarat-syarat yang ditetapkan
pemilik tanah. Untuk mengatasi hal ini, dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1964 tentang Perjanjian Bagi
Hasil Perikanan.
Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut adalah:
a. Agar pembagian hasil antara para pemilik tanah dan penggarap
tanah atas dasar yang adil.
b. Agar terjamin kedudukan hukum yang layak bagi para
penggarap tanah dengan menegaskan hak dan kewajiban
pemilik tanah dan penggarap tanah.

4. Luas Minimum Pemilikan Tanah


Pasal 17 UUPA tegas menentukan bahwa dalam rangka
mewujudkan cita-cita sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat
(2) UUPA, selain ditentukan luas maksimum pemilikan dan

156  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


penguasaan tanah pertanian, juga dikehendaki agar ada
pengaturan luas minimum penguasaan tanah pertanian oleh seorang
atau keluarga. Maksud ditetapkan pembatasan luas minimun
penguasaan tanah pertanian adalah agar para petani yang
bersangkutan mendapat penghasilan yang cukup atau layak untuk
menghidupi diri sendiri dan keluarganya yang bersumber dari
kepemilikan minimum tanah pertanian tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 56/Prp
Tahun 1960, penetapan batas minimum pemilikan dan penguasaan
tanah pertanian seluas 2 Ha (hektar) untuk tanah sawah atau tanah
pertanian kering. Apabila dihubungkan dengan perkembangan ilmu
dan teknologi serta jumlah penduduk hingga sekarang ini, batas
minimum 2 hektar itu tidak sesuai lagi. Banyak ahli yang
mengusulkan memalui berbagai seminar agar batas minimum itu
ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata, misalnya
untuk Pulau Jawa cukup 0,5 hekter saja.
Agar batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah
pertanian seluas 2 (dua) hektar itu tercapai, maka konsekuensinya
itu pemecahan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang
luasnya kurang dari 2 (dua) hektar dilarang. Ketentuan larangan ini
tercantum dalam Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 56/Prp
Tahun 1960 dengan ketentuan mengatur bahwa seseorang atau
kekeluarga yang memiliki tanah pertanian seluas 2 (dua) hektar
atau kurang tidak boleh mengalihkan tanahnya sebagian karena
dengan demikian timbul pemilikan tanah pertanian yang luasnya
kurang dari 2 (dua) hektar.
Apabila yang memiliki tanah hendak mengalihkan tanah
tersebut harusnya semuanya, baik kepada seorang ataupun lebih
dengan ketentuan, bila dialihkan kepada lebih dari seorang, maka
mereka yang menerima pengalihan hak itu masing-masing harus
sudah memiliki tanah pertanian paling sedikit 2 (dua) hektar, atau
dengan pengalihan itu masing-masing harus memiliki paling sedikit 2
(dua) hektar.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  157


Larangan tersebut berlaku pula apabila dengan pengalihan itu
mengakibatkan timbulnya bagian atau bagian-bagian yang luasnya
kurang dari 2 (dua) hektar. Pengalihan tersebut untuk sebagian
dibolehkan jika sisi yang tidak dialihkan luasnya paling sedikit 2
(dua) hektar dan yang menerima pengalihan sudah memiliki tanah
pertanian paling sedikit 2 (dua) hektar, atau dengan pengalihan
tersebut jumlah tanah dimiliki paling sedikit 2 (dua) hektar.
Konsekuensinya diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 56/Prp Tahun 1960, yang menentukan; apabila setelah
berlakunya ini terdapat tanah yang dimiliki oleh dua orang atau
lebih, maka dalam waktu satu tahun wajib menunjukkan salah
orang di antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah tersebut,
atau memindahkannya kepada pihak lain yang telah mempunyai
tanah pertanian yang seluas 2 (dua) hektar, atau dengan
penerimaan itu tanah yang dimilikinya luasnya minimum 2 (dua)
hektar.
Apabila kewajiban memindahkan itu tidak dilaksanakan, maka
dengan memperhatikan keinginan mereka Menteri Agraria atau
pejabat yang ditunjuk, menunjuk salah seorang di antara mereka itu
yang selanjutnya akan memiliki tanah yang bersangkutan atau
menyerahkan kepada pihak lain.
Akan tetapi terdapat pengecualian dari ketentuan Pasal 9 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 56/Prp Tahun 1960, yaitu peralihan hak
karena pewarisan tanah pertanian. Pengecualian ini dimaksudkan
sebagai penghargaan dan penghormatan kepada pemilik tanah
yang hendak menggunakan hukum agamanya masing-masing
dalam upaya pembagian tanah warisan.
Apakah pengecualian ini masih relevan atau tidak pada saat ini,
ada beberapa pendapat yang salah satunya menyatakan bahwa
masalah pewarisan ini menjadi menarik dan hangat dibicarakan
karena dipandang sebagai sebab utama terjadinya proses petani
dengan garapan tanah pertanian yang minim atau luasan kecil.

158  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Menurut Pasal 7 UUPA, ketentuan batas minimum pemilikan
tanah pertanian akan ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan dan dilaksanakan secara berangsur-angsur. Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud adalah Pasal 17 ayat (4)
Undang-Undang Nomor: 56/Prp Tahun 1960.
Kata berangsur-angsur secara implisit mengandung pengertian
bahwa tidak bertentangan apabila seorang atau keluarga yang
menerima pengalihan tanah pertanian yang jumlah pemilikannya
kurang dari 2 (dua) hektar. Namun, demi kepastian hukum,
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur batas
minimum ini kiranya perlu ada suatu saat ada ketentuan yang tegas
melarang, tidak boleh lagi ada pemilikan atau penerima tanah
pertanian yang kurang dari 2 (dua) Hektar.
Meskipun batas minimun 2 hektar dalam pandangan banyak ahli
tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman khususnya di Pulau
Jawa dan kota-kota besar pada penduduk lainnya di Indonesia.
Sebab untuk mencapai luas minimum 0,5 hektar di kota besar
pandat penduduk tersebut sulit dicapai karena perbandingan antara
jumlah penduduk (keluarga petani) dengan luas tanah pertanian
sangat lebar.
Namun, minimum pemilikan tanah pertanian 2 (dua) hektar itu
dianggap tetap ideal. Terbukti dengan penetapan luas minimum
yang digunakan dalam program transmigrasi, pembagian tanah
kepada transmigran adalah seluas 2 (dua) hektar. Setelah
perkembangan penduduk di transmigran nanti seperti yang di Pulau
Jawa, batas minimum 2 (dua) hektar itu juga akan sulit dicapai,
apalagi dikaitkan dengan proses Guremisasi, dan gejalanya sudah
dapat diamati mulai dari sekarang (Arba, 2015: 200-203).

C. Rangkuman
1. Redistribusi tanah adalah kelebihan dari batas maksimum yang
diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, yang
selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang
membutuhkannya (khususnya para petani).

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  159


2. Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian mengatur tentang ketentuan pengembalian
tanah gadai dan pembayaran uang gadai yaitu jika hak gadai
tanah yang sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, maka
tanah harus dikembalikan kepada pemilik tanah tanpa uang
tebusan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
dipanen.
3. Undang Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
Dilakukan Secara Tertulis bertujuan agar perjanjian bagi hasil
dapat mudah diawasi dan diadakan tindakan tindakan
terhadap perjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya.
4. Maksud ditetapkan pembatasan luas minimun penguasaan
tanah pertanian adalah agar para petani mendapat penghasilan
yang cukup atau layak untuk menghidupi diri sendiri dan
keluarganya yang bersumber dari kepemilikan minimum tanah
pertanian tersebut.

D. Tugas Mandiri
Buatlah matriks (tabel) berisikan tentang persoalan-persoalan
hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berkaitan dengan
Redistribusi Tanah berikut analisa hukum saudara.

E. Tugas Terstruktur
1. Jurnal Report:
a. Kumpulkan minimal 3 jurnal hukum yang mengangkat tema
tentang Redistribusi Tanah;
b. Kaji dan telaah serta inventarisasi permasalahan berikut solusi
yang diangkat pada ketiga jurnal tersebut.
c. Susun laporannya sesuai petunjuk dosen.
2. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah riset yang telah ditentukan dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Agararia.
b. Data yang diteliti antara lain;

160  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


1) Bagaimana bentuk kegiatan Redistribusi Tanah yang
telah dilakukan oleh Kantor Pertanahan tersebut,
sertakan berikut datanya?
2) Berapa banyak masyarakat yang menerima Redistribusi
Tanah dan apa saja syarat pihak penerima serta berapa
masing-masing luas tanah yang dibagikan serta berasal
dari tanah apas saja yang di bagikan oleh Kantor
Pertanahan tersebut , sertakan berikut datanya?
3) Bagaimana ketentuan luas tanah maksimum dan
minimum baik untuk tanah pertanian maupun tanah
non pertanian yang diterapkan oleh Kantor Pertanahan
tersebut, sertakan berikut datanya?
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen.

--00O00--

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  161


14

KEGIATAN BELAJAR XIII


PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN
UNTUK KEPENTINGAN UMUM

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar XIII ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mendefenisikan pengertian pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
2. Menjelaskan dasar hukum pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
3. Menguraikan asas-asas dalam pengadaan tanah
4. Menjelaskan tujuan & ruang lingkup pengadaan tanah.
5. Menjelaskan pokok-pokok pengadaan tanah.
6. Menjelaskan bagaimana penyelenggaraan pengadaan tanah.
7. Menjelaskan tentang penerbitan sertipikat hak atas tanah hasil
pengadaan tanah.

162  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


B. Uraian Materi
1. Pengertian
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
mendefenisikan; “pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil
kepada pihak yang berhak.”
Kata "layak dan adil" dalam definisi tersebut mencerminkan
adanya paradigma baru yang menjamin dan menghormati yang
berhak. Kata "pihak yang berhak" juga menjawab berbagai
persoalan terhadap pelepasan tanah yang diatasnya terdapat
bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah tersebut namun belum tentu merupakan hak dari pemilik
tanah, bisa saja milik penyewanya, penggunanya, pengolahnya,
pengelolanya dan sebagainya.
Lebih jauh, dalam Pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 menjabarkan beberapa defenisi operasional
yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, antara lain:
 Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan
cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak.
 Objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan
bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan
dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
 Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki
objek pengadaan tanah.
 Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, Negara, dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
 Ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak dalam proses pendaftaran tanah.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  163


 Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum
dari pihak yang berhak kepada Negara melalui lembaga
pertanahan.
 Lembaga pertanahan adalah BPN RI, lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan.

2. Dasar Hukum
Dasar hukum yang dipergunakan dalam rangka pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
b. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015
Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
c. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun
2015 tentang Perubahan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengadaan Tanah.

3. Asas-Asas Dalam Pengadaan Tanah


Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum dilaksanakan berdasarkan asas (Penjelasan Pasal 2 huruf (a)
s/d ( j) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012):
a. Kemanusiaan; Pengadaan tanah harus memberikan perlindungan
serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat dan
martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.

164  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


b. Keadilan; Pengadaan tanah harus memberikan jaminan
penggantian yang layak kepada Pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk
dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
c. Kemanfaatan; Hasil pengadaan tanah mampu memberikan
manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan
Negara.
d. Kepastian; Pengadaan tanah harus bisa memberikan kepastian
hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk
pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang
berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
e. Keterbukaan; Pengadaan tanah untuk pembangunan
dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan tanah.
f. Kesepakatan; Proses pengadaan tanah dilakukan dengan
musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk
mendapatkan kesepakatan bersama.
g. Keikutsertaan; Penyelenggaraan pengadaan tanah melalui
pasrtisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung sejak perencanaan sampai dengan kegiatan
pembangunan.
h. Kesejahteraan; Pengadaan tanah dapat memberikan nilai
tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan
masyarakat secara luas.
i. Keberlanjutan; Kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara
terus-menerus, berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
j. Keselarasan; Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat
seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan
negara.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  165


4. Tujuan & Ruang Lingkup Pengadaan Tanah
a. Tujuan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan,
bahwa;
“Tujuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, Negara
dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum
pihak yang berhak.”

b. Ruang Lingkup
Berdasarkan title-nya pengadaan tanah bertujuan untuk
melakukan pembangunan yang berdampak pada kepentingan
umum, Maka ruang lingkup kepentingan umum dimaksud adalah
kepentingan yang digunakan untuk pembangunan (Pasal 10
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012):
1) Pertahanan dan keamanan Nasional;
2) Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun
kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
3) Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bngunan pengairan lainnya;
4) Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;
5) Infrastruktur inyak, gas, dan panas bumi;
6) Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga
listrik;
7) Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
8) Tempat pembuangan dan pengelolahan sampah;
9) Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
10) Fasilitas keselamatan umum;
11) Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;
12) Fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau publik;
13) Cagar alam dan cagar budaya;
14) Kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/Desa;

166  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


15) Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan
rendah dengan status sewa;
16) Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah
daerah;
17) Prasarana olah raga pemerintah/pemerintah daerah;dan
18) Pasar umum dan lapangan parkir.

Tentu saja pelaksanaan pembangunan fasilitas-fasilitas umum


tersebut di atas tanah sebagai wadahnya. Pada saat persediaan
tanah masih luas, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak
menemui masalah. Persoalannya tanah merupakan sumber daya
alam yang sifatnya terbatas dan tidak pernah bertambah luasnya.
Tanah yang tersedia telah dilekati dengan hak (tanah hak),
sementara itu tanah negara sudah sangat terbatas persediaanya
(Bernhard Limbong, 2013: 111). Oleh karenanya, ruang lingkup
tersebut di atas member batasan bahwa pembangunan di lua
kepentingan-kepentingan sebagaimana disebutkan pada Pasal 10
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 adalah bukan merupakan
kepentingan umum, oleh karenanya proses pengadaan tanahnya
bukanlah bagian dari lingkup pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012.

5. Pokok-Pokok Pengadaan Tanah


Ada beberapa prinsip-prinsip dasar pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dalam UU No. 2 Tahun 2012, yaitu (Samun
Ismaya, 2013: 167-168):
a. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin tersedianya
tanah untuk kepentingan umum dan menjamin tersedianya
pendanaan untuk kepentingan umum.
b. Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  167


setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
c. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan
oleh pemerintah.
d. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan
sesuai dengan:
1) Rencana tata ruang wilayah;
2) Rencana pembangunan nasional/daerah;
3) Rencana strategis dan
4) Rencana kerja setiap instansi yang memerlukan tanah.
e. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan
melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan
pemangku kepentingan.
f. Pihak yang berhak dan pihak yang menguasai objek pengadaan
tanah untuk kepentingan umum wajib mematuhi ketentuan
dalam undang-undang ini.
g. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pembangunan dan kepentingan masyarakat.
h. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan
dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.

6. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah


a. Panitia Pengadaan Tanah
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan
bahwa; “Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
diselenggarakan oleh Pemerintah” . Belum jelas pemerintah yang
mana yang ditunjuk sebagai pelaksana pengadaan tanah
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini. Namun, atas rujukan pasal
tersebut kemudian Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum menunjuk Badan Pertanahan Nasional sebagai
stageholder-nya dalam hajatan pengadaan tanah dimaksud.

168  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Hal ini tercantum pada Pasal 49 Perpres No. 71 Tahun 2012 yang
menegaskan bahwa Pelaksanaan Pengadaan Tanah
diselenggarakan oleh Kepala BPN yang dilaksanakan oleh Kepala
Kantor Wilayah BPN selaku ketua pelaksana Pengadaan Tanah
(Pasal 49 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012).
Atas pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, dan sumber
daya manusia, Kepala Kantor Wilayah BPN juga dapat
mendelegasikan kewenangannya dan menugaskan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai ketua pelaksana Pengadaan
Tanah (Pasal 50 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012).
Dalam hal Kepala Kantor Wilayah BPN menjabat sebagai Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah, maka unsur keanggotaan
pelaksanaan pengadaan tanahnya adalah (Pasal 49 ayat (3)
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012):
1) Pejabat yang membidangi urusan pengadaan Tanah di
lingkungan Kantor Wilayah BPN;
2) Kepala Kantor Pertanahan tempat lokasi Pengadaan Tanah;
3) Pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang
membidangi urusan pertanahan;
4) Camat setempat pada lokasi Pengadaan tanah; dan
5) Lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi pengadaan
tanah.

Namun jika Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang


ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah BPN menjadi Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanahnya, maka unsur keanggotaan pelaksana
pengadaan tanahnya antara lain (Pasal 51 ayat (2) Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012):
1) Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di
lingkungan Kantor Pertanahan;
2) Pejabat pada Kantor Pertanahan setempat pada lokasi
Pengadaan Tanah;
3) Pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang
membidangi urusan pertanahan;

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  169


4) Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;dan
5) Lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan
Tanah.

b. Tahapan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah


Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan
melalui 4 tahapan, yaitu (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012):
1) Tahap Perencanaan
2) Tahap Persiapan
3) Tahap Pelaksanaan dan
4) Tahap Penyerahan Hasil.
Ad.1. Tahap Perencanaan
Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum menurut peraturan
perundang-undangan. Perencanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum didasarkan atas rencana tata ruang wilayah dan
prioritas pembangunan yang tercantum dalam rencana
pembangunan jangka menengah, rencana strategis, rencana kerja
pemerintah instansi yang bersangkutan (Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012).
Perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dibuat dalam bentuk dokumen perencanaan pengadaan tanah
disusun berdasarkan studi kelayakan, yang ditetapkan oleh instansi
yang memerlukan tanah dan diserahkan kepada pemerintah
provinsi, dengan sedikitnya memuat antara lain (Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012):
1. Maksud dan tujuan rencana pembangunan
2. Kesesuaian dengan RT, RW dan Rencana Pembangunan Nasional
dan Daerah
3. Letak tanah
4. Luas tanah yang dibutuhkan
5. Gambaran umum status tanah

170  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


6. Perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah
7. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan
8. Rencana penganggaran.

Ad.2. Tahap Persiapan


Pada tahapan persiapan pengadaan tanah, ada beberapa
catatan kegiatan yang dilakukan sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, (antara lain Pasal 16 s.d 26
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012) yaitu:
 Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
berdasarkan dokumen perencanaan melaksanakan:
pemberitahuan rencana pembangunan; pendataan awal lokasi
rencana pembangunan dan konsultasi publik rencana
pembangunan.
 Pemberitahuan rencana pembangunan disampaikan kepada
masyarakat pada rencana lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum, baik langsung maupun tidak langsung.
 Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek
pengadaan tanah.
 Pendataan awal dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari
kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil
pendataan awal lokasi rencana pembangunan digunakan
sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik rencana
pembangunan.
 Konsultasi publik rencana pembangunan dimaksudkan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari
pihak yang berhak. Konsultasi publik dilakukan dengan
melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena
dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan
kepentingan umum atau di tempat yang disepakati. Pelibatan
pihak yang berhak dapat dilakukan melalui perwakilan surat
kuasa dari dan oleh pihak yang berhak atas lokasi rencana

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  171


pembangunan. Kesepakatan dituangkan dalam bentuk berita
acara kesepakatan. Atas dasar kesepakatan tersebut instansi
yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan
lokasi kepada Gubernur. Gubernur menetapkan lokasi dalam
waktu 14 hari kerja sejak diterimanya pengajuan permohonan
penetapan oleh instansi yang mmerlukan tanah.
 Konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan dalam
waktu paling lama 60 hari kerja. Apabila sampai dengan jangka
waktu 60 hari kerja pelaksanaan konsultasi publik rencana
pembangunan terdapat pihak ang keberatan mengenai rencana
lokasi pmbangunan, dilaksanakan konsultasi publik ulang
dengan pihak yang keberatan paling lama 30 hari kerja.
 Apabila dalam konsultasi publik ulang masih terdapat pihak
yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, instansi
yang memerlukan tanah melaporkan keberatan kepada
gubernur setempat. Gubernur membentuk tim untuk melakukan
kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan. Tim ini
bertugas melakukan inventarisasi masalah yang menjadi alasan
keberatan; melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak
yang keberatan; dan membuat rekomendasi mengeluarkan surat
diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi
pembangunan.
 Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana pembangunan
gubernur menetapkan lokasi pembangunan. Dalam hal
diterimanya keberatan atas rencana lokasi pembangunan
gubernur memberitahukan kepada instansi yang memerlukan
tanah untuk mengajukan rencana lokasi pembangunan di
tempat lain.
 Dalam hal setelah penetapan lokasi pembangunan terdapat
keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi dapat
mengajukan gugatan ke PTUN setempat paling lambat 30 hari
kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi. PTUN memutus
diterima atau ditolaknya gugatan dalam waktu paling lama 30

172  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


hari kerja sejak diterimanya gugatan. Pihak yang keberatan
terhadap putusan PTUN dalam waktu paling lama 14 hari kerja
dapat mengajukan kasasi pada MA RI. MA wajib memberikan
putusan dalam waktu paling lama 3 hari kerja sejak
permohonan kasasi diterima. Putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi dasar diteruskan
atau tidaknya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Penetapan lokasi pembangunan untyuk
kepentingan umum diberikan dalam waktu 2 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 1 tahun.
 Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum tidak terpenuhi, penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan proses
ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya.
 Gubernur bersama instansi yang memerlukan tanah
mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum. Pengumuman dimaksutkan untuk
pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di lokasi tersebut
akan dilaksakan pembangunan untuk kepentingan umum.

Ad.3. Pelaksanaan pengadaan tanah


Pada tahap pelaksanaan pengadaan tanah, teradapat beberapa
catatan kegiatan yang dilakukan sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, (antara lain Pasal 27 s/d Pasal
47 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012), yaitu:
 Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum instansi yang memerlukan tanah mengajukan
pelaksanaan pengadaan tanah kepada lembaga pertanahan.
Pelaksanaan pengadaan tanah ini meliputi:
a. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah;
b. Penilaian ganti kerugian;
c. Musyawarah penetapan ganti kerugian;
d. Pemberian ganti kerugian, dan

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  173


e. Pelepasan tanah instansi.
 Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum, pihah yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas
tanahnya kepada instansi yang memerlukan tanah melalui
lembaga pertanahan. Beralihnya hak dilakukan dengan
memberi ganti kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai
pengumuman penetapan lokasi.
 Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan
serta pemanfaatan tanah:
 Kegiatan ini meliputi: pengukuran dan pemataan bidang
perbidang tanah serta pengumpulan data pihak yang berhak
dan obyek pengadaan tanah. Kegiatan ini dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lama 30 hari kerja.
 Hasil kegiatan ini wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan,
kantor camat, dan tempat pengadaan tanah dilakukan dalam
waktu paling lama 14 hari kerja. Hasil kegiatan ini wajib
diumumkan secara bertahap, parsial atau keseluruhan.
Pengumuman hasil kegiatan ini meliputi subjek hak, luas, letak
dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah. Dalam hal tidak
menerima hasil inventarisasi pihak yang berhak dapat
mengajukan keberatan kepada lembaga pertanahan dalam
waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil
inventarisasi. Dalam hal terdapat keberatan atas hasil
inventarisasi, dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu
paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan
keberatan atas hasil inventarisasi.
 Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan ditetapkan
oleh lembaga pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar
penentuan pihak yang berhak dalam pemberian ganti kerugian.
 Penilaian ganti kerugian ditentukan oleh lembaga pertanahan
serta mengumumkan penilai untuk melaksanakan penilaian
objek pengadaan tanah. Penilaian besarnya nilai ganti kerugian
oleh penilaia dilakukan bidang perbidang tanah, meliputi:

174  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


1. Tanah;
2. Ruang atas tanah dan bawah tanah;
3. Bangunan;
4. Tanaman;
5. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan atau
6. Kerugian lain yang dapat dinilai.
 Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah
terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan
peruntukan dan kegunaannya, pihak yang berhak dapat
meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
 Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
1. Uang;
2. Tanah pengganti;
3. Pemukiman kembali;
4. Kepemilikan saham; atau
5. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
 Musyawarah penetapan ganti kerugian, meliputi;
- Lembaga pertanahan melakukan musyawarah dengan
pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 hari kerja
sejak hasil penilaian dari penilaian disampaikan kepada
lembaga pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti
kerugian. Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi
dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak
yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.
- Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugianm, pihak yang berhak
dapat mengajukan kepada pengadilan negeri setempat
dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah
penetapan ganti kerugian. pengadilan negeri memutus
bentuk dan/ atau besarnya ganti kerugian dalam waktu
paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan
keberatan. Pihak yang keberatan terhadap putusan

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  175


pengadilan negeri dalam waktu paling lama 14 hari kerja
dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI. MA
wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30
hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Keputusan
pengadilan Negeri/ Mahkamah Agung yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar
pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan
keberatan.
- Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan
keberatan, karena hukum pihak yang berhak dianggap
menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian.
 Pemberian ganti kerugian, meliputi;
- Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah
diberikan langsung kepada pihak yang berhak.
- Ganti kerugian diberikan kepada pihak yang berhak
berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam
musyawarah dan/atau putusan pengadilan Negri/Mahkamah
Agung. Pada saat pemberian ganti kerugian pihak yang
berhak menerima ganti kerugian wajib:
1. Melakukan pelepasan hak; dan
2. Menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan
tanah melalui lembaga pertanahan.
- Bukti penguasaan atau kepemilikan merupakan satu-
satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak
dapat di ganggu gugat dikemudian hari. Pihak yang berhak
merima ganti kerugian bertanggung jawab atas kebenaran
dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang
diserahkan. Tuntutan pihak lain atas objek pengadaan tanah
yang telah diserahkan kepada instansi yang memerlukan
tanah menjadi tanggung jawab pihak yang berhak
menerima ganti kerugian.

176  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


- Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah
dan/atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung,
ganti kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat.
Penitipan ganti kerugian ini juga dilakukan terhadap:
1. Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak
diketahui keberadaannya;
2. Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti
kerugian: sedang menjadi objek perkara dipengadilan;
masih dipersengketakan kepemilikannya; diletakkan sita
oleh pejabat yang berwenang; atau menjadi jaminan
bank.
- Pada saat pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak
telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah
dititipkan di PN, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak
yang berhak menjadi hapus dan alat bukti hanya
dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara.
 Pelepasan Tanah Instansi, meliputi:
- Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang mengatur pengelolaan barang milik
Negara/daerah. Pelepasan ini tidak diberikan ganti kerugian
kecuali:
1. Objek pengadaan tanah yang telah berdiri bangunan
yang dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan
tugas pemerintah;
2. Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh
badan hukum usaha milik Negara/badan usaha milik
daerah;
3. Objek pengadaan tanah kas desa.
- Ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan
dalam bentuk tanah dan/atau bangunan relokasi.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  177


Ad.4. Tahap Penyerahan Hasil
Tahap penyerahan hasil pengadaan tanah diatur dalam
ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012, yaitu antara lain;
 Lembaga Pertanahan (BPN) menyerahkan hasil Pengadaan
Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah setelah:
- Pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan
Pelepasan Hak telah dilaksanakan; dan/atau
- Pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan
negeri sebagaimana bilamana terjadi penolakan dari pihak
yang berhak atas penetapan ganti kerugian.
 Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan
kegiatan pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil
Pengadaan Tanah.
 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum karena keadaan
mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang
meluas, dan wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan
pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi
pembangunan untuk Kepentingan Umum.
 Sebelum penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan
Umum sebagaimana dimaksud di atas, terlebih dahulu
disampaikan pemberitahuan kepada Pihak yang Berhak.
 Dalam hal terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan
Pengadaan Tanah, Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat
melaksanakan kegiatan pembangunan dalam keadaan
mendesak sebagaimana dimaksud di atas.

7. Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah


Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan
bahwa; “Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan tanah
yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. Pasal ini mengisyaratkan bahwa tahapan pelaksanaan
pengadaan tanah tidak berhenti/selesai sampai dengan penyerahan

178  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


dokumen hasil pengadaan tanah saja, melainkan dilanjutkan
dengan proses selanjutnya yaitu pendaftaran tanah hasil pengadaan
tanah dimaksud.
Pada dasarnya pendaftaran tanah yang dimaksud dalam pasal
tersebut di atas, adalah pendaftaran tanah pertama kali secara
sporadik. Mekanisme, syarat prosedur dan dasar hukum pendaftaran
tanah pertama kali secara sporadik telah dijelaskan pada materi
sebelumnya. Oleh karenannya, pada prinsipnya proses dan tata cara
pendaftaran tanah hasil dari penyelenggaraan pengadaan tanah
tidaklah terdapat perbedaan dengan proses dan tata cara
pendaftaran tanah secara umum. Namun demikian, ada beberapa
catatan terkait pendaftaran tanah dalam penerbitan sertifikat yang
diperoleh hasil dari penyelenggaraan pengadaan tanah, antara lain:
1. Dengan selesainya proses pembebasan tanah, berubahlah status
tanahnya menjadi tanah negara (tanah yang dikuasai oleh
Negara secara langsung) dan untuk dapat dikuasai sebagai Hak
Pakai atau Hak Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah, harus
dipenuhi ketentuan permohonan hak dan penyelesaian sertifikat
hak atas tanahnya;
2. Permohonan untuk mendapatkan Hak Pakai atau Hak
Pengelolaan diajukan oleh Pemerintah Daerah kepada Pejabat
yang berwenang sesuai ketentuan Peraturan. Perundang-
undangan yang berlaku;
3. Setelah sertifikat Hak Atas Tanah tersebut diterima oleh
pemerintah daerah, selesailah proses pengadaan tanahnya;

Sepanjang mengenai inventarisasinya terutama didasarkan


kepada penyimpanan dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan pengadaan tanah tersebut antara lain:
1. Berita acara pembebasan tanah;
2. Berkas (pertinggal) permohonan hak pakai/hak pengelolaan;
3. Salinan surat keputusan pemberian hak pakai/hak pengelolaan;
4. Sertifikat atas tanahnya.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  179


Sedangkan untuk perolehan hak berupa sumbangan/hibah,
catatannya adalah:
1. penerimaan sumbangan atau hibah atas tanah dari Pihak Ketiga
dituangkan dalam Berita Acara Hibah dengan mencantumkan
luas tanah, nilai dan status kepemilikan;
2. setelah ditandatangani Berita Acara Hibah, Pemerintah Daerah
segera menyelesaikan status/dokumen kepemilikan;
3. penerimaan sumbangan atau hibah berupa tanah dan/atau
bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan baik dari
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat atau badan
hukum lainnya, dituangkan dalam Berita Acara dan segera
diselesaikan status/dokumen kepemilikan;

Tanah-tanah yang pada saat ini statusnya dikuasai pemerintah


daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah daerah untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, dan
masing-masing pemerintah daerah menyediakan dana untuk
kepengurusan sertifikat dimaksud.

C. Rangkuman
1. Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan
cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak.
2. Dasar Hukum Pengadaan Tanah adalah Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum jo. Peraturan Presiden Nomor 30
Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan
peraturan teknis di bawahnya.
3. Asas-asas dalam pengadaan tanah yaitu; Kemanusiaan, Keadilan,
Kemanfaatan, Kepastian, Keterbukaan, Kesepakatan,
Keikutsertaan, Kesejahteraan, Keberlanjutan dan Keselarasan.

180  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


4. Tujuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, Negara
dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum
pihak yang berhak. Sedangkan ruang lingkup pengadaan tanah
adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.
5. Pokok-Pokok Pengadaan Tanah meliputi; Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah; Pihak yang berhak wajib melepaskan
tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap; diselenggarakan sesuai dengan; Rencana tata
ruang wilayah; Rencana pembangunan nasional/daerah;
Rencana strategis dan Rencana kerja setiap instansi yang
memerlukan tanah.
6. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah dilaksanakan oleh Panitia
Pengadaan Tanah dan tahapan-tahapan kegiatannya adalah:
Tahap Perencanaan; Tahap Persiapan; Tahap Pelaksanaan dan
Tahap Penyerahan Hasil.
7. Pelaksanaan pengadaan tanah tidak berhenti/selesai sampai
dengan penyerahan dokumen hasil pengadaan tanah saja,
melainkan dilanjutkan dengan proses selanjutnya yaitu
pendaftaran tanah hasil pengadaan tanah dimaksud dan
ditandai dengan terbitnya sertipikat hak atas tanah.

D. Tugas Mandiri
Buatlah matriks (tabel) berisikan tentang persoalan-persoalan
hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berkaitan dengan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
berikut analisa hukum saudara.

E. Tugas Terstruktur
1. Jurnal Report:

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  181


a. Kumpulkan minimal 3 jurnal hukum yang mengangkat tema
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum;
b. Kaji dan telaah serta inventarisasi permasalahan berikut solusi
yang diangkat pada ketiga jurnal tersebut.
c. Susun laporannya sesuai petunjuk dosen.
2. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah riset yang telah ditentukan dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Agararia.
b. Data yang diteliti antara lain;
1) Apa saja bentuk kegiatan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang telah
dilakukan oleh Kantor Pertanahan tersebut, sertakan
berikut datanya?
2) Apa saja hambatan dan kendala dalam melaksanakan
kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum yang telah dilakukan oleh Kantor
Pertanahan tersebut, sertakan berikut datanya?
3) Bagaimana upaya mengatasi hambatan dalam kegiatan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum yang telah dilakukan oleh Kantor
Pertanahan tersebut, sertakan berikut datanya?
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen
--00O00--

182  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


15

KEGIATAN BELAJAR XIV


SENGKETA, KONFLIK DAN PERKARA
PERTANAHAN

A. Tujuan Kegiatan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar XIV ini, para mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mendefenisikan pengertian Sengketa, Konflik Dan Perkara
Pertanahan.
2. Menjelaskan dasar hukum penyelesaian Sengketa, Konflik Dan
Perkara Pertanahan.
3. Menjelaskan tipologi permasalahan pertanahan.
4. Menjelaskan bagaimana penanganan permasalahan pertanahan.
5. Menjelaskan bagaimana upaya penanggulangan permasalahan
pertanahan.
6. Menjelaskan apa urgensi pembentukan Peradilan Khusus
Pertanahan.

183 AGRARIA  (Suatu Pengantar) 


Rahmat Ramadhani  HUKUM 183
B. Uraian Materi
1. Pengertian
Tanah memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, bahkan menurut ajaran agama Islam manusia diciptakan
dari tanah sebagaimana tercantum dalam Al’Qur’an yang
menyebutkan:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-
ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS. Al
Hijr (15): 28-29).
Oleh karenanya pembahasan seputar masalah pertanahan
memang seakan tidak ada habisnya, hal tersebut sejalan dengan
bertambahnya populasi manusia yang mendongkrak angka
kebutuhan akan tanah dan pemanfaatannya namun berbanding
terbalik dengan jumlah ketersediaan tanah yang cenderung bersifat
statis (Rahmat Ramadhani, Harian Rakyat Bengkulu, 26 Juli 2012).
Hal tersebut dinilai menjadi salah satu faktor pemicu meroketnya
angka sengketa, konflik dan perkara pertanahan di Indonesia.
Untuk memulai ulasan materi pada bagian ini, mesti terlebih
dahulu dipisahkan antara defenisi umum dengan uraian persamaan
dan perbedaan dari masing-masing defenisi tersebut, yaitu sebagai
berikut;

a. Defenisi Umum
Secara umum pengertian sengketa, konflik dan perkara
pertanahan terdiri dari, antara lain (www.bpn.go.id):
1) Sengketa Pertanahan; Sengketa pertanahan adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau
lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.
Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa
perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi,

184  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan
sengketa hak ulayat.
2) Konflik Pertanahan; Konflik pertanahan merupakan perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan,
organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai
kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.
3) Perkara Pertanahan; Perkara pertanahan adalah perselisihan
pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga
peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih
dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.

b. Persamaan dan Perbedaan Sengketa, Konflik dan Perkara


Pertanahan
Merujuk pada defenisi tersebut di atas, maka dapat dijelaskan
persamaan dan perbedaan antara sengketa, konflik dan perkara
pertanahan, yaitu:
1) Persamaan; persamaannya adalah sama-sama perselisihan yang
terjadi antara satu dengan lain pihak dimana objek
perselisihannya adalah hak atas tanah.
2) Perbedaan; perbedaanya terletak dari sisi:
 Dampak;
- Sengketa tidak memiliki dampak yang luas
- Konflik berdampak luas (sosio-politis)
- Perkara berdampak hanya kepada para pihak yang
berperkara
 Kepentingan;
- Sengketa melibatkan kepentingan pihak yang merasa
paling berhak atas objek sengketa.
- Konflik melibatkan kepentingan sosial kemasyarakatan
dan pemerintah.
- Perkara melibatkan kepentingan pemegang hak dan
para ahli warisnya.
 Penyelesaian;

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  185


- Sengketa dimungkinkan dapat diselesaikan secara non
litigasi.
- Konflik diselesaikan dengan campur tangan pemerintah
daerah maupun pusat dalam upaya meredam dampak
sosio-politis yang lebih luas.
- Perkara diselesaikan melalui jalur litigasi (peradilan)
dengan melibatkan BPN dalam penyelesaiannya.

Secara ringkas, terhadap persamaan dan perbedaan tersebut di


atas dapat dijelaskan pada tabel berikut ini;
Tabel 1
PERSAMAAN DAN PEREBEDAAN

SENGKETA, KONFLIK PERKARA PERTANAHAN

2. Dasar Hukum
Ada beberapa regulasi yang dijadikan landasan hukum dalam
penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan di Indonesia,
yaitu antara lain;
a. KUH Perdata, khususnya pasal-pasal tentang Perbuatan
Melawan Hukum dan Wanprestarsi;
b. KUH Pidana, khususnya Buku ke II dan Buku ke III terkait
dengan pasal-pasal tentang kejahatan terhadap tanah;
c. UUPA, diantaranya; Pasal 7 tentang larangan penguasaan tanah
yang melampaui batas, Pasal 10 tentang kewajiban pemilik
tanah pertanian untuk mengerjakan sendiri tanah garapannya
secara aktif guna mencegah terjadinya pemerasan, dan Pasal 17
tentang luas minimum dan maksimum kepemilikan tanah oleh

186  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


satu keluarga atau badan hukum guna menciptakan
pemerataan penguasaan tanah, dan sebagainya.
d. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Pasal 32 ayat (2) menyebutkan;
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan Sertifikat
secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak
atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut.
f. Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.

3. Tipologi Permasalahan Pertanahan


Berdasarkan tipologinya, penyebab terjadinya permasalahan
pertanahan di tengah masyarakat beragam jenisnya, yaitu antara
lain (www.bpn.go.id);
a. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai
atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas
tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (Tanah
Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.
b. Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu
pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan
batas.
c. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu
yang berasal dari warisan.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  187


d. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu
yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
e. Sertifikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang
memiliki Sertifikat hak atas tanah lebih dari satu.
f. Sertifikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu
yang telah diterbitkan Sertifikat hak atas tanah pengganti.
g. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu
karena adanya Akta Jual Beli palsu.
h. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai
kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang
diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang
salah.
i. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu
pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas
kepemilikan tanahnya.
j. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang
berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau
mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.

4. Penanganan Permasalahan Pertanahan


Berdasarkan data yang diperoleh dari www.bpn.go.id,
menyebutkan bahwa sampai dengan bulan September 2013, jumlah
kasus pertanahan mencapai 4.223 kasus yang terdiri dari sisa kasus
tahun 2012 sebanyak 1.888 kasus dan kasus baru sebanyak 2.335
kasus. Jumlah kasus yang telah selesai mencapai 2.014 kasus atau
47,69% yang tersebar di 33 Provinsi seluruh Indonesia. Sedangkan

188  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


untuk tahun 2012 s.d saat ini belum didapatkan update data terbaru
terhadap penanangan sengketa tanah dimaksud.
Berkaitan dengan data tersebut di atas, Badan Pertanahan
Nasional mengkalsifikasikan kriteria penanganan permasalahan
pertanahan sebagai berikut;
a. Kriteria 1 (K1): penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian
kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang
bersengketa.
b. Kriteria 2 (K2): penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian
hak atas tanah, pembatalan Sertifikat hak atas tanah,
pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya
sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
c. Kriteria 3 (K3): Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan
yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan
berdamai atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang
bersengketa.
d. Kriteria 4 (K4): Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan
yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan
akan melalui proses perkara di pengadilan.
e. Kriteria 5 (K5): Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan
yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang
telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan
dipersilahkan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

Ada dua langkah yang dapat ditempuh dalam upaya


penyelesaian pernasalahan pertanahan, yaitu;
a. Non-Litigasi; melakukan mediasi untuk negosiasi atau
musyawarah kekeluargaan antara pihak yang bersengketa.
Dalam rangka mencapai win-win solution mediasi juga dapat
melibatkan pihak ketiga sebagai penengah/mediator. Pihak
ketiga dimaksudkan di sini juga termasuk melibatkan Instansi
BPN sebagai mediator. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI
Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan, kasus pertanahan adalah

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  189


sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan
kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk
mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan
perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.
b. Litigasi; menempuh jalur hukum dengan mengajukan kasus
pertanahan di depan persidangan. Ada dua aspek yang
dimungkinkan muncul dari adanya sengketa pertanahan yang
dihadirkan di depan persidangan, yaitu;
 Dapat berupa aspek Hukum Perdata; yang didasarkan pada
substansi perosalan hukumnya yang lebih besar menyentuh
aspek privat, sehingga penyelesaiannya menempuh jalur
hukum formil keperdataan yang diatur dalam KUH Perdata,
seperti; sengketa waris, sengketa wan prestasi, sengketa
perbuatan melawan hukum.
 Dapat berupa aspek Hukum Pidana; yang didasarkan pada
alat bukti yang menunjukkan adanya perbuatan pidana
dalam suatu sengketa tanah, sehingga jalur hukum pidana
yang ditempuh, seperti; adanya pemalsuan surat (263, 266,
264 KUHP), Penipuan (378 KUHP), Penggelapan (372 KUHP).

5. Upaya Penanggulangan Permasalahan Pertanahan


Permasalahan pertanahan bertalian erat dengan tindak
kejahatan terhadap tanah. Oleh karenanya, dalam hal upaya
penanggulangan kejahatan terhadap tanah, pada hakekatnya tidak
hanya terpaku pada upaya aparat penegak hukum dalam
menanggulangi tindak kejahatan tersebut. Penanggulangan juga
membutuhkan peran semua pihak meliputi instansi Badan
Pertanahan Nasional (BPN) maupun instansi lain terkait dengan
perannya sebagai stageholder pemerintah di bidang legalitas hak
atas tanah. Demikian juga dengan peran masyarakat dalam konteks
pihak pemilik/pemegang hak atas tanah. Peran masing-masing pihak
terurai dalam tiga tahap upaya penanggulangan kejahatan
terhadap tanah sebagaimana diuraikan di bawah ini, yaitu (Rahmat
Ramadhani, 2016: 206-207);

190  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


a. Upaya Pre-Emtif
Yang dimaksud dengan upaya Pre-Emtif adalah upaya-upaya
awal yang dapat dilakukan oleh subyek pemilik/pemegang hak atas
tanah untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap tanah. Target
dari upaya ini adalah hilangnya niat pihak lain untuk melakukan
kejahatan terhadap tanah yang dimiliki oleh seseorang meskipun ada
kesempatan dari pihak yang akan melakukan kejahatan terhadap
tanah.
Upaya pre-emtif dimaksud adalah dengan cara melaksanakan
kewajiban yang dibebankan oleh pemilik tanah selaku pemegang
hak atas tanah. Kewajiban tersebut ada dua aspek, yaitu kewajiban
administrasi dan kewajiban fisik. Pertama, kewajiban administrasi
meliputi kewajiban kelengkapan data-data yuridis sebagai bukti
tertulis tentang adanya hubungan hukum antara bidang tanah yang
dikuasi dengan subjek hukum (orang/badan hukum) yang berhak
menguasai bidang tanah tersebut. kelengkapan data yuridis
dimaksud lazim disebut dengan alas hak atas tanah. Kedua,
kewajiban fisik terhadap bidang tanah meliputi; pemasangan dan
pemeliharaan patok tanda batas, menjaga dan merawat bidang
tanah sekaligus menggunakan, memanfaatkan dan memetik hasil
dari bidang tanah yang dikuasai sesuai dengan peruntukan
pemanfaatan bidang tanah yang diberikan kepada seseorang/badan
hukum.

b. Upaya Preventif
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari
upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan terhadap tanah. Upaya preventif ini lebih
menitik-beratkan terlaksananya pendaftaran tanah dalam rangka
tercapainya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah
sehingga upaya preventif ini berisikan kewajiban-kewajiban bagi
masyarakat untuk mendaftarkan bidang tanah yang
dimiliki/dikuasai. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut tentunya
pihak yang paling aktif berperan adalah masyarakat sebagai subjek

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  191


hak dan institusi BPN sebagai peranjangan tangan negara untuk
melaksanakan tugas pendaftaran tanah di Indonesia yang juga tidak
terlepas dari keberadaan institusi lain terkait dengan izin penggunaan
dan pemanfaatan atas tanah dimaksud.
Pada upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan
kesempatan untuk melakukan kejahatan. Dengan kata lain, tanah
yang telah terdaftar (bersertifikat) akan lebih terjamin kepatian
hukumnya sehingga menutup celah peluang pihak lain berbuat
kejahatan terhadap tanah dimaksud. Meskipun pada kenyataanya
banyak fakta menunjukkan permasalahan kejahatan terhadap
tanah juga seputar adanya bidang tanah yang tumpang tindih,
maupun Sertifikat ganda.

c. Upaya Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak
pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law
enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Sudah barang tentu
dalam upaya ini yang berperan adalah pihak penegak hukum baik
kepolisan, kejaksaan maupun hakim di lingkungan peradilan pidana
yang tentunya tidak terlepas dari adanya pihak pelapor dan terlapor
serta pihak saksi-saksi (tidak menutup kemungkinan dari institusi
pemerintah temasuk BPN) dalam kaitan terjadinya tindak kejahatan
terhadap tanah. Upaya-upaya yang telah dilaksanakan pada tahap
upaya pre-emtif maupun preventif menjadi faktor penujang sebagai
alat bukti pada upaya preventif, sehingga ketiga upaya
penanggungalan kejahatan terhadap tanah sebagaimana diuraikan
di atas saling perpautan dan saling mendukung.

6. Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan


Ada beberapa alasan mengapa pembentukan Pengadilan Khusus
Pertanahan dinilai perlu dan penting untuk merespon lonjakan
angka sengekta, konflik dan perkara pertanahan yang terjadi selama
ini di Indonesia. Berikut beberapa ulasannya, antara lain

192  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


(http://garasi.in/sebuah-pandangan-tentang-pengadilan-
agraria.html);
a. Masalah Tanah Merupakan Masalah yang Khusus/Spesifik;
memerlukan pengetahuan khusus. Ketika sengketa tersebut
diajukan ke pengadilan untuk diperiksa dan diputus guna
mendapatkan keadilan,niscaya dibutuhkan hakim yang
menguasai hukum agraria karena dalam realita hakim yang
memutus perkara Agraria memiliki pengetahuan hukum yang
umum saja.
b. Sejumlah Besar Kasus Sengketa Tanah di Indonesia Belum dapat
di Selesaikan Secara Tuntas Oleh Pengadilan Umum; Sejumlah
besar kasus sengketa tanah yang terjadi di Indonesia tidak
mampu diselesaikan dengan tuntas oleh lembaga peradilan
nasional dan mengakibatkan sengketa pertanahan yang
berlarut-larut dan tidak adanya kepastian hukum atas status
kepemilikan tanah. Putusan inkracht satu kasus dapat memakan
waktu bertahun-tahun lamanya. Hal ini menambah beban
waktu dan tenaga aparat pertanahan dalam berperkara di
pengadilan yang dapat mengganggu kelancaran pelayanan
pertanahan kepada masyarakat, maka asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan belum terwujud.
c. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Masih
Memiliki Banyak Kelemahan; Dalam penyelesaian sengketa
pertanahan yang dihadapi oleh Badan Pertanahan Nasional ada
beberapa kelemahan dalam penyelesaian sengketa tersebut.
Kelemahan itu adalah:
 Mekanisme Eksekusi Yang Sulit. Jika salah satu pihak tidak
bersedia melaksanakan isi perdamaian/kesepakatan yang
telah terjadi dalam mediasi, maka pihak lain tidak dapat
memaksa agar pihak lawan melaksanakannya. Karena itu,
cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengajukan
gugatan ke pengadilan, sehingga pada akhirnya perkara
tersebut memerlukan waktu penyelesaian yang cukup lama;

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  193


 Proses mediasi sangat bergantung kepada itikad baik para
pihak untuk menyelesaikan masalahnya. Hal itu berarti,
bahwa para pihak yang bersengketa harus benar-benar
bersedia menerima dan melaksanakan kesepakatan yang
terjadi melalui mediasi.
 Jika di dalam mediasi tidak dilibatkan penasihat hukum atau
lawyer sangat mungkin fakta hukum yang penting tidak
disampaikan kepada mediator sehingga dapat
mengakibatkan kesepakatan (keputusan) menjadi bias.
d. Kewenangan Pembatalan Sertifikat; Suatu sertifikat yang
merupakan produk dari Badan Pertanahan Nasional dapat
dibatalkan oleh putusan Pengadilan Negeri apabila terjadi
Perkara, sehingga mengakibatkan kurang kuatnya kepemilikan
sertifikat tersebut. Berdasarkan hal ini, Badan Pertanahan
Nasional tidak dapat mengintervensi putusan pengadilan.

C. Rangkuman
1. Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan adalah perselisihan
antara satu orang atau sekelompok orang dengan orang atau
sekelompok orang lain yang objek perselisihannya adalah bidang
tanah.
2. Sumber hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam Sengketa
Konflik dan Perkara Pertanahan yaitu; KUHPerdata, KUHP,
UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
bertalian dengan hukum tanah.
3. Berdasarkan tipologinya, Sengketa Konflik dan Perkara
Pertanahan dapat berupa; Penguasaan tanah tanpa hak;
Sengketa batas: Sengketa waris; Jual berkali-kali; Sertifikat
ganda; Sertifikat pengganti; Akta Jual Beli Palsu; Kekeliruan
penunjukan batas; Tumpang tindih dan atau Putusan
Pengadilan.
4. Ada dua langkah yang dapat ditempuh dalam upaya
penyelesaian pernasalahan pertanahan, yaitu melalui Non-

194  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Litigasi (bermusyawarah di luar pengadilan) atau Litigasi
(melalui jalur hukum).
5. Upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulangi Sengketa,
Konflik dan Perkara Pertanahan adalah dengan cara; Upaya
Pre-emtif (pencegahan), Perventif (tindak lanjut) dan Refresif
(tindakan).
6. Urgensi pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan didasarkan
pada alasan-alasan antara lain; Masalah Tanah Merupakan
Masalah yang Khusus/Spesifik, Sejumlah Besar Kasus Sengketa
Tanah di Indonesia Belum dapat di Selesaikan Secara Tuntas
Oleh Pengadilan Umum, Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan Masih Memiliki Banyak Kelemahan
Kewenangan Pembatalan Sertifikat, Suatu sertifikat yang
merupakan produk dari Badan Pertanahan Nasional dapat
dibatalkan oleh putusan Pengadilan Negeri apabila terjadi
Perkara.

D. Tugas Mandiri
Buatlah matriks (tabel) berisikan tentang persoalan-persoalan
hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berkaitan dengan
Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan berikut analisa hukum
saudara.

F. Tugas Terstruktur
1. Jurnal Report:
a. Kumpulkan minimal 3 jurnal hukum yang mengangkat tema
tentang Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan;
b. Kaji dan telaah serta inventarisasi permasalahan berikut solusi
yang diangkat pada ketiga jurnal tersebut.
c. Susun laporannya sesuai petunjuk dosen.
2. Mini Riset:
a. Lakukan mini riset ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah riset yang telah ditentukan dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Agararia.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  195


b. Data yang diteliti antara lain;
1) Apa saja pengaduan masyarakat terkait dengan
Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan yang diterima
oleh Kantor Pertanahan tersebut, sertakan berikut
datanya?
2) Bagaimana upaya Kantor Pertanahan tersebut dalam
menangani pengaduan masyarakat terkait dengan
Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan dan teliti pula
bagaimana peran keterlibatan Kantor Pertanahan
tersebut jika perkara pertanahan telah sampai ke
pengadilan, sertakan berikut datanya?
3) Apa saja kendala dan hambatan serta bagaimana upaya
mengatasi hambatan dalam penanganan Sengketa,
Konflik dan Perkara Pertanahan yang telah dilakukan
oleh Kantor Pertanahan tersebut, sertakan berikut
datanya?
c. Susun laporan Mini Riset sesuai dengan petunjuk Dosen.
--00O00--

196  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Al-Qur;an, Surah Al Hijr (15) ayat (28-29).
Aloysius Mudjiyono dan Mahmud Kususma, Penyidikan Tindak Pidana
Kasus Tanah dan Bangunan, Pustaka Yutisia, Yogyakarta, 2014.
AP. Parlidungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,
Mandar Maju, Bandung, 1991.
------------, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Cetakan
Keempat, Bandung, 2009.
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Ari S. Hutagalung, Perspektif Hukum Persoalan Agraria: Solusi Terhadap
Disharmoni dan Disintergrasi Pengaturan¸ Simposium Dewan
Guru Besar Universitas Indonesia: Tanah Untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakyat, Kampus Universitas Indonesia, Depok,
2010.
Bachtiar Efendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan
Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993.
Bambang Soetijoprodjo, “Pengamanan Kredit Perbankan yang Dijamin
oleh Hak Tanggungan”, dalam Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Lembaga Kajian Hukum Bisnis, dan Bank
Negara Indonesia (BNI), Persiapan Pelaksanaan Hak
Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1996.
Bernhard Limbong, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2013.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Cetakan Keduabelas (edisi revisi), Djambatan, Jakarta, 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cetakan Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.
Effendi Perangin, Pertanyaan dan Jawaban Tentang Hukum Agraria,
Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1994.
Hasan Wargakusumah…(et al.), Hukum Agraria I; Buku Panduan
Mahasiswa, Prenhallindo, Jakarta, 2001.
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika,
Jakarta, 1993.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan:
Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Cetakan ke-3, Jakarta, 2008.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  197


Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009.
Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,
1983.
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis Hukum Pendaftaran Tanah,
Mandar Maju, Cetakan Ketiga Edisi Revisi, Bandung, 2012.
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah;
Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan
Sosilogis, Penerbit Republika, Jakarta, 2008.
Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah ,
Djambatan, Jakarta, 1999.
Rahmat Ramadhani, Catatan Kecil “Seputar Hukum Indonesia”;
Kejahatan Terhadap Tanah, UMSU Press, Medan, 2016.
Samun Ismaya, Hukum Adminitrasi Pertanahan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2013.
Urip Santoso, Hukum Agraria; Kajian Komprehensif, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2012.
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1977.
Y.W. Sanindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria
(Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988.
B. Artikel/Jurnal Ilmiah/Materi Perkuliahan
Maria S.W. Soemardjono, Harian Kompas, terbitan tanggal 6 Juli 2015.
M. Syukran Yamin Lubis, Slide Materi Perkuliahan Hukum Agraria Pada
Fakultas Hukum UMSU, Tahun Ajaran 2016-2017.
Rahmat Ramadhani, Artikel; ‘Benang Merah’ Alas Hak Dengan Sengketa
Pertanahan, Harian Rakyat Bengkulu, Bengkulu, Kamis-26 Juli
2012.
------------, Artikel; Hak Komunal Atas Tanah, Harian Analisa, Terbit
Jum’at, tanggal 23 Juni 2016.
Urip Santoso, Perolehan Hak Atas Tanah Yang Berasal Dari Tanah
Reklamasi Pantai, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 27, Nomor 2,
Juli 2015.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian

198  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan
Landreform
Undang-Undang No. 4 Thn 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
PP No. 224 Tahun 1961 jo PP No. 41 tahun 1964 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukkan
Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas
Tanah (LN: 1963-61).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Peraturan Menteri pertanian dan Agraria (PMPA) No. 20 Tahun 1963
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai
PMDN No. 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan
Landreform
Peraturan Menteri pertanian dan Agraria (PMPA) No. 20 Tahun 1963
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku
Tanah Hak Tanggungan, Dan Sertipikat Hak Tanggungan
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu
Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu.

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  199


Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka. Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak
Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat
Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Ka. Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 35 Tahun 2016
tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap.
Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK 10/Ka/1963
tentang Penegasan Berlakunya Pasal 7 UU No. 56 Prp tahun 1960
Bagi Gadai Tanaman Keras
D. Internet
www.bpn.go.id.
http://garasi.in/sebuah-pandangan-tentang-pengadilan-agraria.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah
https://rifqiharrys.wordpress.com/tag/hak-atas-tanah/

200  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


GLUSORIUM

BPN RI = Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.


DI = Daftar Isian.
Eksesting = Keadaan Lokasi.
HM = Hak Milik
HGB = Hak Guna Bangunan
HGU = Hak Guna Usaha
HP = Hak Pakai
HT = Hak Tanggungan.
Initial Registration = Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali
KTP = Kartu Tanda Penduduk.
KK = Kartu Keluarga.
Legal Opinion = Opini Hukum.
NKRI = Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nietig = Perbuatan Hukum.
Openbaarheid = Terbuka Untuk Umum
PMNA = Peraturan Menteri Negara Agraria
PP = Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
PPAT = Pejabat Pembuat Akta Tanah.
SHM = Sertipikat Hak Milik.
Searching = Pencarian.
Sitematik = Pendaftaran tanah yang dilakukan atas inisatif pemerintah.
Sporadik = Pendaftaran tanah yang dilakukan atas inisaitif perorang.
SU = Surat Ukur.
SK Hak = Surat Keputusan Pemberian Hak.
UUPA = Undang-Undang Pokok Agraria .
UUHT = Undang-Undang Hak Tanggungan
HT = Hak Tanggungan
UUD = Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Van Rechtwege Nietig = Batal Demi Hukum.
Vernietigbaar = Produk Hukum

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  201


INDEKS
A
Absentee .............................................................................................. 146
agraria, akker, agros, agger, aggrarius, agrarian .................................. 6
Agrarische wet .................................................................................... 26
Air ....................................................................................................... 8
Asas-asas pengadaan tanah.................................................................. 171
Aspek perdata ...................................................................................... 35
Aspek publik ....................................................................................... 35
Aspek yuridis ...................................................................................... 34

B
Badan hukum ...................................................................................... 63
Buku tanah .......................................................................................... 107
Bumi.................................................................................................... 8

D
Daftar tanah ......................................................................................... 106,
Dasar hukum landreform ..................................................................... 150
Domeinverklaring................................................................................ 27

E
Eksekusi hak tanggungan .................................................................... 135

H
Hak atas tanah ..................................................................................... 49
land-rights, landrechten, landrechte .......................................................... 33
Hak eigendom ..................................................................................... 50
Hak erfpacht ........................................................................................ 51
Hak gadai tanah ................................................................................... 82
Hak gebruik ......................................................................................... 51
Hak gogol ............................................................................................ 53
hak grant ............................................................................................. 54
Hak guna bangunan ............................................................................. 74
Hak guna usaha ................................................................................... 68
Hak hanggaduh.................................................................................... 54
Hak menumpang ................................................................................. 83
hak milik ............................................................................................. 65
Hak milik ............................................................................................ 65
Hak milik & hak pakai ........................................................................ 52
Hak opstal ........................................................................................... 51
Hak pakai ............................................................................................ 77
Hak pengelolaan .................................................................................. 80
Hak sewa tanah pertanian .................................................................... 83

202  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)


Hak tanggungan .................................................................................. 114
Hak ulayat ........................................................................................... 54
Hak usaha bagi hasil............................................................................ 82
Hapusnya hak tanggungan................................................................... 133
Hukum agraria..................................................................................... 10
Hukum agraria administrasi ................................................................ 11
Hukum agraria dalam arti luas ............................................................ 14
Hukum agraria dalam arti sempit ........................................................ 14
Hukum agraria kolonial ....................................................................... 19
Hukum agraria perdata ........................................................................ 11
Hukum air ........................................................................................... 10
Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa 10
Hukum perikanan ................................................................................ 10
Hukum pertambangan ......................................................................... 10
Hukum tanah ....................................................................................... 10

J
Jurnal report ........................................................................................ 203

K
Kejahatan terhadap tanah .................................................................... 12
Kekayaan alam .................................................................................... 9
Konflik pertanahan .............................................................................. 191
Koninklijk besluit ................................................................................ 27

L
Landreform ......................................................................................... 138
Legal standing ..................................................................................... 58
Litigasi ................................................................................................ 197

M
Menguasai tanpa hak ........................................................................... 13
Mini riset ............................................................................................. 203

N
Non litigasi .......................................................................................... 196

O
Objek hak tanggungan ......................................................................... 122

P
Panitia agraria yogya ........................................................................... 20
Panitia pengadaan tanah ...................................................................... 175

Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)  207


Panitia soewahjo .................................................................................. 22
Pencoretan (roya) ................................................................................ 134
Pendaftaran hak tanggungan ................................................................ 130
Pendaftaran tanah ................................................................................ 85
Pendaftaran tanah secara sporadik pendaftaran pertama kali ............ 105
Pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) ..................................... 101
Penerbitan sertifikat tanah ................................................................... 106
Pengadaan tanah .................................................................................. 169
Penggarap ............................................................................................ 154
Peralihan dan pembebanan hak ........................................................... 108
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian ................................................... 159
Perkara pertanahan .............................................................................. 192
Perseorangan ....................................................................................... 63
Peta pendaftaran tanah......................................................................... 106

R
Rancangan sadjarwo ............................................................................ 24
Rancangan soenarjo ............................................................................. 23
Redistribusi tanah ................................................................................ 153
Ruang angkasa .................................................................................... 8
Ruang lingkup pengadaan tanah .......................................................... 172

S
Sengketa pertanahan ............................................................................ 191
Sistem negatif ...................................................................................... 94
Sistem positif ....................................................................................... 94
Sistem torrens ...................................................................................... 93
Subjek hak tanggungan ....................................................................... 121
Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) ....................... 127
Surat ukur ............................................................................................ 107

T
Tipologi ............................................................................................... 194
Tujuan pengadaan tanah ...................................................................... 172
tujuan UUPA ....................................................................................... 25

U
Upaya pre-emtif .................................................................................. 198
Upaya preventif ................................................................................... 198
Upaya represif ..................................................................................... 199

W
Warkah ................................................................................................ 107

208  Rahmat Ramadhani  HUKUM AGRARIA  (Suatu Pengantar)

Anda mungkin juga menyukai