Anda di halaman 1dari 4

ANALITIKA

Angka Covid-19 yang terbilang cukup tinggi di Surabaya menjadi alasan bagi Pemprov
dan Pemkot untuk mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kebijakan tersebut merupakan langkah untuk mengurangi atau memutus rantai penyebaran
Covid-19 di Surabaya. Adanya kebijakan PSBB ini menjadikan masyarakat Surabaya untuk
tetap di rumah (stay at home) dan melakukan berbagai aktivitas di rumah. Berdasarkan video
“Khofifah dan Risma Berseteru” terdapat beberapa hal yang dapat menjadi ulasan yang
disusun secara analitika. Ulasan-ulasan mengenai video tersebut terbagi menjadi 3 aspek,
yaitu aspek sosial, ekonomi, dan politik
A. Aspek Sosial
Penerapan kebijakan PSBB di Kota Surabaya menuai kritik dari masyarakat.
Masyarakat merupakan pihak yang langsung merasakan dampak dari pemberlakuan
kebijakan ini. Berdasarkan video tersebut, tidak sedikit masyarakat yang mendukung
agar PSBB dihentikan. Mereka menilai bahwa PSBB di Surabaya sama sekali dinilai
tidak efektif. Jumlah kasus COVID-19 di Surabaya selama rentang waktu PSBB
justru melonjak naik. Penerapan PSBB masih dianggap asal-asalan dan masyarakat
tidak berperilaku disiplin selama masa PSBB. Berdasarkan jurnal “Problematika Tiga
Kota dalam Implementasi Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa
Pandemi Covid-19 (Studi Kasus: Jakarta, Surabaya, dan Bogor)” yang disusun oleh
Yusuf Perdana menyatakan dampak sosial yang dirasakan masyarakat bahwa PSBB
tidak efektif karena tidak tegas dalam mengatur hak dan kewajiban antara pemerintah
dan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena tidak dibarengi dengan penjaminan
pemenuhan kebutuhan masyarakat maka pemerintah juga tidak bisa memaksa
masyarakat menuruti semua himbauan. Masyarakat akan disiplin jika aturannya jelas,
sanksinya jelas, dan penegakan hukumnya konsisten. Dampak sosial yang terjadi
diantaranya yaitu banyaknya pekerja yang terkena PHK, lapangan pekerjaan yang
berkurang, dan sebagainya. Menurut Dr.Windhu yang diterbitkan dalam
suarasurabaya.net (Senin, 1 Februari 2021) menyebut PPKM dari sisi perencanaan
sudah tidak lebih ketat dari PSBB dan implementasinya tidak maksimal karena
kepatuhan masyarakat untuk 3M juga berkurang hingga kurang dari 50%.
Terdapat beberapa masyarakat yang menolak untuk dihentikannya PSBB di
Surabaya. Menurut hasil evaluasi, Surabaya Raya belum siap walaupun ada beberapa
indikasi positif. Pertama, jumlah kasus positif terus meningkat. Angka kematian
masih sekitar 9% dan tren penurunannya tidak tajam. Attack rate COVID-19 di
Surabaya masih 90 banding 100.000, angka ini tertinggi di Indonesia. Angka tersebut
menunjukkan bahwa 100.000 masyarakat Surabaya terdapat 90.000 yang positif
Covid-19. Angka tersebut masih jauh dibandingkan dengan Jakarta yang attactk race
COVID-19 nya berada di angka 70.000 banding 100.000. Apabila PSBB dicabut,
seluruh kemajuan yang terjadi akan sia-sia.
Sumber:
file:///C:/Users/User/Downloads/926-3560-1-PB.pdf
https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2021/ppkm-tidak-efektif-epidemiolog-
unair-kita-sudah-kehilangan-momentum/

B. Aspek Ekonomi
Penerapan kebijakan PSBB di Kota Surabaya mengharuskan masyarakat
khusunya para pekerja untuk WFH (Work From Home). Namun, terdapat beberapa
pekerjaan yang tidak bisa menerapkan kebijakan tersebut, seperti tukang ojek, buruh,
pedagang, dan sebagainya. Selain itu, terdapat lapangan pekerjaan yang kehilangan
banyak sumber pemasukan karena tidak adanya pelanggan, seperti sektor perhotelan
dan restoran. Merekalah yang paling terkena imbas dari kebijakan ini. Berdasarkan
jurnal “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Masyarakat Berpenghasilan
Rendah” yang disusun oleh Rindam Nasruddin dan Islamul Haq menyatakan bahwa
mayoritas warga mengeluhkan dampak yang dialami, seperti sulitnya ekonomi karena
tidak dapat bekerja seperti biasa sehingga kebutuhan hidupnya tidak dapat terpenuhi
dengan baik khususnya masyarakat kelas bawah. Masyarakat yang bekerja di sektor
informal akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Persoalan lain
ekonomi yang dialami oleh pekerja informal setelah diberlakukannya PSBB adalah
menurunnya pendapatan masyarakat. Sebagian masyarakat masih merasa aman-aman
saja dari segi pendapatan, seperti pegawai negeri atau pegawai perusahaan. Namun,
tidak dapat diabaikan bahwa sebagian masyarakat menggantungkan hidup dari usaha
dan sektor informal yang kemudian tutup usaha, juga masyarakat yang bekerja di
sektor formal yang kemudian diberhentikan.
Dibalik dampak negatif kebijakan PSBB di Surabaya pada sektor ekonomi,
kebijakan ini harus tetap dilakukan. Berdasarkan berita yang diterbitkan oleh situs
CNN Indonesia (30 April 2020), terdapat klaster baru penularan virus corona di
Surabaya. Klaster itu berasal dari pabrik industri rokok milik PT Sampoerna,
Surabaya. Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
Jatim, Joni Wahyuhadi menyebut cukup banyak orang yang tertular virus corona dari
klaster tersebut. Mulanya, kata Joni, ada dua orang positif terinfeksi virus corona.
Mereka sempat dirawat namun meninggal dunia. Dua orang pasien itu diduga sempat
menularkan virus corona kepada pekerja lainnya. Berdasarkan fakta tersebut,
masyarakat belum siap untuk beradaptasi dengan situasi yang tengah terjadi di kota
mereka. Oleh karena itu, penerapan PSBB di Surabaya sebagai pengurangan angka
Covid-19 masih perlu untuk dilakukan.
Sumber:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200430072406-20-498691/pabrik-rokok-
di-surabaya-jadi-klaster-baru-virus-corona
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/15569/pdf
C. Aspek Politik
Keputusan mengenai pergantian Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
menuju masa transisi selama 2 di Surabaya diduga karena terdapat tekanan ekonomi
dan politik. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Luky Maulana Firmansyah dalam
lokadata.id (9 Juni 2020) menyatakan bahwa pelaksanaan masa transisi tidak bisa
dilakukan sembarangan, harus diiringi dengan pemeriksaan yang masif dan protokol
kesehatan yang ketat. Menurut epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu
Purnomo, penyudahan PSBB di Surabaya Raya terjadi lantaran ada tekanan ekonomi
dan politik. Meski sebagian warga terhambat mencari nafkah, menurutnya,
pertimbangan kesehatan juga penting. “Pertimbangannya jelas politis bukan
epidemiologi. Dari segi kesehatan masyarakat Surabaya Raya belum aman. Memang
sudah ada kecenderungan membaik, tapi belum baik,” kata Windhu kepada
Lokadata.id, (9/6/2020).
Jatim menjadi provinsi kedua yang memiliki kasus kumulatif Covid-19 terbanyak
setelah DKI Jakarta. Meski demikian, dalam satu bulan terakhir, penambahan
pengidap virus korona mingguan di Jatim cukup tinggi dibanding DKI Jakarta.
Berdasarkan data Gugus Tugas Covid-19 per Senin (8/6/2020), pasien virus korona di
Jatim mencapai puncaknya pada pekan ketiga Mei 2020 sebesar 1.135 kasus dan
pekan ketiga Mei 2020 mencapai 1.315 kasus. Pada periode yang sama, pasien Covid-
19 di DKI Jakarta mencapai 618 kasus dan 699 kasus. Meski demikian, dalam dua
pekan terakhir, kasus mingguan Covid-19 di Jatim cenderung mengalami penurunan.
Sementara, angka kematian di Jatim tercatat sebesar 7,95 persen. Jumlah tersebut
lebih tinggi dari rata-rata rasio kematian nasional yang mencapai 5,87 persen.
Berdasarkan data tersebut terlihat jelas bahwa sebenarnya Surabaya dikatakan belum
siap memasuki era new normal. Seperti yang sudah disinggung diawal paragraf,
pergantian masa PSBB menjadi masa transisi didasarkan atas alasan politis dan
ekonomi, bukan didasarkan atas keadaan yang sebenarnya terjadi.
Sumber:
https://lokadata.id/artikel/tekanan-ekonomi-politik-di-balik-psbb-surabaya-raya

Anda mungkin juga menyukai