HUKUM DAGANG
Mulhadi,SH.,M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2008
BAB I PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN .................................................................................................. 1
B. SEJARAH HUKUM DAGANG ...................................................................... 9
C. SUMBER HUKUM DAGANG .......................................................................... 15
D. BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN .............................................................. 16
A. BADAN HUKUM............................................................................................... 58
1. Pengertian .................................................................................................... 58
2. Teori - teori Badan Hukum ........................................................................... 60
a. Teori Fiksi................................................................................................. 61
b. Teori Orgaan ............................................................................................. 61
c. Teori Kekayaan Bersama.......................................................................... 62
d. Teori Kenyataan Yuridis........................................................................... 63
D. KOPERASI ........................................................................................................ 98
1. Dasar Hukum Koperasi ................................................................................ 98
2. Pengertian Koperasi ...................................................................................... 99
3. Sejarah Singkat Koperasi Indonesia.............................................................. 104
4. Landasan dan Asas Koperasi Indonesia ....................................................... 106
5. Tujuan, Fungsi, dan Peran Koperasi ............................................................ 107
6. Pendirian Koperasi ....................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA
1. PENGERTIAN
Bila ingin mengetahui definisi hukum dagang, maka hal tersebut tidak akan
ditemukan di dalam KUHD, karena hal itu sama sekali tidak diatur secara khusus seperti
layaknya pengertian pedagang dan perbuatan perniagaan. Selama ini definisi hukum
dagang hanya mengacu pada beberapa pendapat sarjana hukum, seperti berikut ini:
(1). Soekardono, mengatakan hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata pada
umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan-perikatan yang
diatur dalam Buku III BW. Dengan kata lain, hukum dagang adalah himpunan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam
kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan
KUHPerdata.
(2). HMN. Purwosutjipto, mengatakan hukum dagang adalah hukum perikatan yang
timbul khusus dari lapangan perusahaan.
(3). Achmad Ichsan, mengatakan hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal
perdagangan yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam
perdagangan atau perniagaan.
Saat ini, beberapa pasal dari Buku I KUHD tentang pedagang pada umumnya,
sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam dunia perdagangan. Hal ini
berkaitan dengan pencabutan Pasal 2 s/d Pasal 5 perihal pedagang dan perbuatan
Pasal 4 KUHD (lama) kemudian memerinci lagi beberapa kegiatan yang termasuk
dalam kategori perbuatan perniagaan, yang salah satunya adalah perbuatan jual-beli
perlengkapan kapal dan keperluan kapal. Dengan demikian, bila mengacu pada pendapat
Purwosutjipto di atas mengenai ketentuan Pasal 3 KUHD (lama), kelihatan bertentangan
dengan Pasal 4 KUHD (lama) yang menyebut jual-beli sebagai perbuatan perniagaan.
1
Selain Buku I (khusus Pasal 2 s/d Pasal 5), Buku III KUHD juga sudah dicabut dan digantikan
oleh undang-undang khusus, yakni UU No. 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Sebelum UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU diberlakukan, terdapat
sejumlah UU Kepailitan yang pernah berlaku, yakni Failissement Verordening (UU Kepailitan) Stb.
1905/217 jo Stb. 1906/348; Kemudian Perpu No.1 Tahun 1998, tentang Perubahan Undang-undang
Kepailitan; selanjutnya Perpu ini pun ditetapkan menjadi UU No.4 Tahun 1998.
2
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1: Pengetahuan Dasar
Hukum Dagang, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), Cetakan 11, hal.10
Istilah Perusahaan lahir sebagai wujud perkembangan yang terjadi dalam dunia
usaha yang kemudian diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Masuknya istilah Perusahaan dalam KUHD tentu saja diawali dengan ditemukannya
beberapa kekurangan/kelemahan dalam KUHD. Namun istilah Perusahaan ini tidak
dirumuskan secara eksplisit seperti apa yang terjadi dalam istilah Pedagang dan Perbuatan
Perdagangan. Pengertian Perusahaan dibiarkan berkembang sendirinya sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dalam duania usaha. Namun demikian, beberapa ahli hukum
sudah memberikan beberapa rumusan sebagai pegangan yang akan dipaparkan lebih lanjut
di bawah ini.
Ada beberapa keberatan yang dapat dicatat berkaitan dengan prinsip Hukum
Dagang yang pada pokoknya diperuntukkan bagi kaum pedagang (koopmanrecht): 3
1. Perkataan “barang” dalam Pasal 3 KUHD (lama) berarti barang bergerak. Padahal
dalam lalu lintas perniagaan sekarang, barang tetap juga merupakan obyek perniagaan.
2. Perbuatan “menjual” dalam Pasal 3 KUHD (lama), tidak termasuk dalam pengertian
perbuatan perniagaan, tetapi bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 4 KUHD
(lama), yang menyebutkan perbuatan menjual adalah termasuk dalam pengertian
perbuatan perniagaan. Jadi, ada pertentangan antara Pasal 3 dan Pasal 4 KUHD (lama).
3. Bila terjadi perselisihan antara pedagang dengan non-pedagang, muncul beberapa
pendapat mengenai pemberlakuan hukum dagang:
a. Menurut H.R, hukum dagang baru berlaku bila bagi tergugat perbuatan yang
dipertentangkan adalah perbuatan perniagaan. Ini artinya bila tergugat adalah
pedagang, dan penggugat bukan pedagang, maka disini akan berlaku hukum
dagang. Akhirnya hukum dagang juga diberlakukan bagi non-pedang. Pendapat
H.R ini telah melanggar prinsip hukum dagang bagi pedagang. (pendapat ini
bertitik tolak pada subjek hukum di pihak tergugat)
3
Ibid.,hal.13
Dari pendapat di atas terlihat dengan jelas bahwa prinsip Hukum Dagang Bagi
Pedagang (koopmanrecht) tidak bisa dipertahankan lagi dalam situasi saat ini. Karena
pedagang berpeluang melakukan sengketa dengan siapapun termasuk yang bukan
pedagang. Oleh karena itu, sejak tanggal 17 Juli 1938, hukum dagang (KUHD) mulai
diberlakukan bagi semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang.
Menurut Soekardono, Perusahaan adalah salah satu pengertian ekonomi yang juga
masuk ke dalam lapangan Hukum Perdata, khususnya Hukum Dagang. Melalui Staatblad
1938/276, istilah Perusahaan masuk ke dalam Hukum Dagang dengan menggantikan
istilah pedagang dan perbuatan perdagangan. 4
1. Onderneming.
Dalam istilah onderneming tercermin seakan-akan adanya suatu kesatuan kerja
(wekeenheid), namun ini terjadi dalam suatu perusahaan.
2. Bedrijf
Bedrijf diterjemahkan dengan “perusahaan”, yang mana dalam hal ini tercermin adanya
penonjolan pengertian yang bersifat ekonomis yang bertujuan mendapatkan laba,
dalam bentuk suatu usaha yang menyelenggarakan suatu perusahaan. Dengan kata lain,
bedrijf ini merupakan kesatuan teknik untuk produksi, seperti misalnya Huisvlijt (home
industri/industri rumah tangga), Nijverheid (kerajinan/keterampilan khusus), Fabriek
(pabrik).
4
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1 (Bagian Pertama), (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),
hal.17
5
R. Rochmat Soemitro, Himpunan Kuliah-kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi, (Bandung: PT. Eresco,
1966), hal. 37-38.
6
M.Natzir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia I (Perorangan), (Bandung: Alumni, 1987), hal. 29
7
Ibid., hal. 36-37
8
R. Soekardono, Op.Cit., hal. 20.
9
H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit., hal.15.
10
Ibid., hal. 16
Kalau meneliti Bab I (Pasal 2 s/d Pasal 5 yang sudah dihapuskan) KUHD, maka
istilah perbuatan dagang meliputi perbuatan membeli dan menjual barang-barang saja.
Berdasarkan definisi ini, bisa dipahami bahwa istilah Perusahaan lebih luas artinya
daripada istilah perbuatan dagang. Maka segala sesuatu yang dapat menghasilkan
keuntungan secara materil dapat dimaksudkan dengan Perusahaan. Besar kecilnya, ataupun
bentuk perusahaan tidak menjadi soal. 11
Dalam pada itu, Mahkamah Agung Belanda ( Hoge Raad) telah memberi definisi
dalam arrestnya 25 Nopember 1925, bahwasanya “dianggap ada suatu perusahaan kalau
seseorang menyelenggarakan sesuatu secara teratur, yang ada hubungannya dengan
menjalankan perdagangan untuk mendapatkan keuntungan berupa uang”. 12
Salah satu istilah yang muncul saat ini sebagai bagian penting dari perkembangan
dalam Hukum Dagang adalah munculnya istilah Hukum Perusahaan. Istilah Hukum
Perusahaan jelas tidak bisa dipisahkan dengan istilah Perusahaan yang muncul berkaitan
dengan penghapusan beberapa pasal dalam Buku I KUHD. Bahkan saat ini Hukum
Perusahaan sudah dijadikan materi kuliah wajib dibeberapa perguruan tinggi yang terkesan
11
R. Suryatin, Hukum Dagang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal.7
12
Ibid., hal.12
Berbicara mengenai pengertian Hukum Perusahaan, maka hal ini juga tidak bisa
dipisahkan dengan pengertian Hukum Dagang dan pengertian Perusahaan. Sudah diketahui
bahwa Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan
perusahaan. Selanjutnya, bila merujuk pada pendapat salah satu ahli tentang istilah
Perusahaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum
Perusahaan adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan dalam
lapangan perusahaan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, bertindak keluar,
terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba atau penghasilan,
dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau
mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan dan segala sesuatu itu dicatat dalam
pembukuan.
Di lihat dari obyek pengaturannya, maka Hukum Perusahaan ini diatur di dalam: 14
13
R.T. Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumatoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan : Bentuk-
bentuk perusahaan yang berlaku di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), Cetakan 1, hal. 7
14
Ibid.
b. Bentuk usaha itu diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik
berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum;
15
Ibid.
16
Ibid., hal. 8
17
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
hal. 1. Bandingkan C.S.T. Kansil, dan Christine S.T.Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia: Aspek Hukum
Dalam Ekonomi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), Cetakan ke 7, hal. 68
Mempelajari sejarah Hukum Dagang erat kaitannya dengan sejarah hukum dagang
Belanda. Sejarah hukum dagang Belanda tentu ada kaitannya dengan sejarah hukum
dagang Perancis. Sedangkan hukum dagang Perancis tidak bisa dipisahkan dari hukum
Romawi yang dikenal dengan Corpus Iuris Civilis. Corpus Iuris Civilis peninggalan
Romawi tersebut terdiri dari 4 buku:
(1) Institusionil (lembaga). Buku I ini memuat tentang lembaga-lembaga yang ada
pada masa kekaisaran Romawi, termasuk didalamnya Consules Mercatorum
(pengadilan untuk kaum pedagang).
(2) Pandecta. Buku II ini memuat asas-asas dan adagium hukum, seperti “ asas facta
sun servanda (berjanji harus ditepati); asas partai otonom (kebebasan berkontrak);
unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi), dan lain-lain.
(3) Codex. Memuat uraian pasal demi pasal yang tidak memisahkan antara hukum
perdata dan hukum dagang.
Hukum yang baru dan berdiri sendiri ini berlaku hanya bagi pedagang dan
hubungan-hubungan perdagangan, sehingga lebih populer ia disebut “Hukum Pedagang”
(Koopmansrecht). Kemudian, pada abad ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis
mulai menyelenggarakan pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan perkara-
perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang). 19
Hukum pedagang ini awalnya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem
hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap
daerah mempunyai hukum pedagang sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lainnya.
Kemudian, disebabkan pesatnya perkembangan dalam dunia perdagangan dan eratnya
hubungan antar daerah, ditambah dengan banyaknya konflik-konflik dagang yang
menemui jalan buntu di masa itu, telah mendorong keinginan untuk membentuk satu
kesatuan hukum (unifikasi) di bidang perdagangan yang berlaku untuk seluruh daerah.
1. Perancis
Pada abad 17 di Perancis, masa pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715). Raja
Louis XIV ini memiliki seorang Perdana Mentri bernama Colber, dan Colber ini dikenal
memiliki minat yang sangat tinggi dengan perkembangan hukum. Oleh karena itu ia
memerintahkan untuk membuat ordonansi yang mengatur tentang perdagangan. 20
Kodifikasi hukum dagang pertama dibuat pada tahun 1673, yang dikenal dengan
nama Ordonance de Commerce. Ordonansi ini isinya tentang pedagang, bank dan
pedagang perantara (makelar), catatan-catatan dagang, badan usaha, perbuatan dagang,
surat berharga (seperti wesel), paksaan badan terhadap pedagang (gijzeling), pemisahan
18
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1986), hal. 307
19
Ibid.
20
Ibid.
Kemudian pada tahun 1681, lahirlah kodifikasi hukum dagang kedua yang dikenal
dengan nama Ordonance de la Marine. Dalam ordonansi ini dimuat segala peraturan-
peraturan mengenai kapal dan perlengkapan kapal, nahkoda dan anak buah kapal,
perjanjian perdagangan di laut, polisi pelabuhan dan perikanan laut. Pada umumnya
ordonansi ini mencakup semua hal berkaitan dengan kodifikasi hukum laut atau hukum
perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan. 22
Di Romawi, ditemukan adanya sebuah pengadilan khusus bagi para pedagang yang
dinamakan “Consules Mercatorum”, yang kemudian oleh hukum dagang Perancis diambil
alih dengan nama “Judge et Consuls”. Hakim-hakim Consules Mercatorum diambil dari
para pedagang itu sendiri. Badan peradilan ini berdiri sendiri, terpisah dari badan peradilan
umum lainnya. Lembaga penyelesaian sengketa dagang ini mirip dengan “Arbitration”
(pertamakali diperkenalkan di Amerika) yang memang lebih popular diberlakukan saat ini
dalam hubungan-hubungan dagang atau bisnis yang berskala internasional.
21
Ibid.hal. 308
22
Ibid.
23
Ibid.
2. Belanda
Belanda sebagai negara bekas jajahan Perancis, kondisinya agak berbeda, dimana
telah terjadi pluralisme (keanekaragaman) hukum di bidang hukum perdata. Ada hukum
Romawi, hukum Perancis, hukum Belgia, hukum German, dan peraturan-peraturan Raja
atau Gubernur. Dapat dibayangkan bahwa pluralisme hukum tersebut telah menyebabkan
tidak adanya kepastian hukum.
Pada akhir abad 19, Molengraaff merencanakan suatu UU Kepailitan yang akan
menggantikan Buku III KUHD Belanda. Rencana Molengraaff ini berhasil diwujudkan
menjadi UU Kepailitan tahun 1893 (mulai berlaku tahun 1896). Berdasarkan asas
konkordansi, perobahan ini juga dilakukan di Indonesia pada tahun 1906 yang dikenal
dengan Failissement Verordenig Stb. 1905/217 jo Stb. 1906/348Stb.
Dari beberapa hal diatas, sarjana Van Kant beranggapan bahwa hukum dagang itu
merupakan hukum tambahan daripada hukum perdata, yaitu suatu tambahan yang
mengatur hal-hal yang khusus.
24
C.S.T. Kansil, Loc.Cit.
b. Pendapat II: Tidak setuju asas konkordansi dilaksanakan secara utuh di HB, sebab
di masyarakat Indonesia sudah ada hukum yang hidup dan mengatur perikehidupan
masyarakatnya yang lebih dikenal dengan sebutan hukum adat (adatrecht).
Disamping itu, kenyataannya banyak sekali hukum Belanda (Eropah) yang
bertentangan dengan hukum asli orang Indonesia (hukum adat). Namun demikian,
tidak ada larangan bagi orang Indonesia untuk menundukkan diri secara sukarela
pada hukum Eropah. Untuk mengakomodasi hal ini dibentuklah Lembaga Tunduk
Sukarela.
Ketentuan penting dari KUHPerdata yang menjadi sumber hukum dagang adalah
Buku III tentang Perikatan. Disamping itu, beberapa bagian dari Buku II tentang
Benda juga merupakan sumber hukum dagang, khususnya titel XXI mengenai
Hipotik. Namun demikian, tidak semua ketentuan hipotik ini diberlakukan,
beberapa bagiannya seperti hipotik atas tanah sudah digantikan oleh UU No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Hanya ketentuan mengenai hipotik atas
kapal laut dan pesawat udara yang masih berlaku hingga saat ini.
o. dan lain-lain
3). Yurisprudensi
Apabila diperhatikan kata “perseroan”, berasal dari kata “sero” yang artinya saham
atau andil, sehingga perusahaan yang mengeluarkan saham atau sero disebut perseroan,
sedangkan yang memiliki sero dinamakan “pesero” atau lebih dikenal dengan sebutan
pemegang saham. Kemudian tentu dipertanyakan, bagaimana halnya dengan perusahaan
yang tidak mengeluarkan sero (saham)? Ternyata perusahaan tersebut juga disebut
perseroan. 26
Barangkali, yang paling sesuai untuk pemakaian kata “perseroan” adalah dalam hal
penyebutan Perseroan Terbatas (PT), karena dalam kenyataannya PT itu memang
mengeluarkan saham atau sero. Seluruh modal PT terbagi dalam saham, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007, tentang Perseroan
Terbatas. 27 Namun untuk bentuk usaha seperti Maatschap (demikian juga Firma dan CV)
sebaiknya tetap diterjemahkan dengan menggunakan kata “persekutuan” daripada
memakai kata perseroan. Hal ini sesuai dengan arti kata perseroan itu sendiri dan pula
Maatschap, Firma dan CV tidak menerbitkan saham. Jadi, kata “persekutuan” tetap dipakai
untuk padanan Maatschap, Firma dan CV dan ini sesuai pula dengan terjemahan yang
dipakai dalam KUHPerdata. 28 Tetapi perlu diingat bahwa CV juga mengenal sekutu
pelepas uang, sehingga ada salah satu jenis CV yang disebut “CV atas saham” yang
modalnya dibentuk dari kumpulan saham-saham. Barangkali untuk jenis “CV atas saham”
tidak ada salahnya untuk menyebutnya sebagai “perseroan”.
25
I.G.Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc,2005), hal.1
26
Ibid.
27
Pasal 1 yata (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan
bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
28
Ibid., hal.2
a. Usaha perseorangan
3. Baik secara teoritis maupun ditinjau dari status hukumnya, bentuk usaha/perusahaan
memiliki dua bentuk:
Sepintas lalu kedua badan usaha yang disebut terakhir tidak ada perbedaan. Namun
jika dilihat dari perspektif hukum perusahaan, ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni
masalah tanggung jawab.
Undang-undang tidak menjabarkan definisi badan hukum. Selama ini istilah badan
hukum diadopsi dari istilah belanda (rechtpersoon), atau istilah inggris (legal persons).
Agar uraian dalam tulisan ini lebih sistematis, maka definisi badan hukum lebih lanjut
akan dijelaskan pada Bab III.
Pada dasarnya, sebagian besar bentuk-bentuk perusahaan yang ada bentuk asalnya
adalah Perkumpulan. Perkumpulan yang dimaksudkan adalah perkumpulan dalam arti luas,
a. Kepentingan bersama;
b. Kehendak bersama;
c. Tujuan bersama; dan
d. Kerja sama
Keempat unsur ini ada pada tiap-tiap perkumpulan seperti Persekutuan Perdata,
Firma, Koperasi atau Perseroan Terbatas. Namun sudah tentu bahwa masing-masing
mempunyai unsur tambahan sebagai unsur pembeda (ciri khas) antara satu perkumpulan
dengan perkumpulan lain.
a. Perdata (Maatschap)
29
R.T. Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumatoro, Op.Cit.,hal. 9
3. Koperasi
Mengingat rumusan badan hukum tidak ditemui dalam undang-undang, maka para
ahli hukum mencoba membuat kriteria badan usaha/perusahaan yang dapat dikelompokkan
sebagai badan hukum jika memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
Jika tidak memenuhi unsur-unsur tersebut di atas, suatu badan usaha tidak dapat
dikelompokkan sebagai badan hukum. Berikut dicoba dijabarkan badan usaha/perusahaan
yang tidak termasuk dalam kelompok badan hukum.
Modal dalam perusahaan perseorangan milik satu orang, yaitu milik si pengusaha.
Karena modal ini milik satu orang, maka biasanya modal itu tidak besar. Sebagian besar
perusahaan perseorangan ini modalnya termasuk modal kecil atau modal lemah.
Kedudukan hukum dari Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD)
tidaklah tegas karena tidak dapat dikategorikan dengan Maatschap, Firma, dan CV yang
diatur dalam KUHD. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seakan-akan cendrung
mempersamakan bentuk perusahaan perseorangan ini dengan “Handelsvennootschap”
yang dapat mendekati pengertian “vennootschap” pada umumnya seperti Maatschap,
Firma, dan CV. Padahal pengertian vennootschap (menurut BW baru Belanda) adalah
suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang atau lebih yang mana mengikatkan diri
untuk bersama-sama membiayai, mengerjakan atau menjalankan suatu perusahaan. 31
30
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2001), hal.18
31
M. Natzir Said, Op.Cit., hal.51
Tidak ada persyaratan khusus atau standar yang harus dipenuhi guna mendirikan
Perusahaan Dagang. Hanya dalam praktek pada umumnya pendirian PD ini dibuat dengan
akta notaris . kemudian diikuti dengan permohonan “izin usaha” kepada kepala Kantor
Perdagangan dan permohonan “izin tempat usaha” kapada Pemerintah Daerah setempat.
Perlu diketahui bahwa ada atau tidak ada akta notaris, PD (usaha dagang) ini tetap bisa
didirikan. Keberadaan akta hanya sebagai alat bukti semata, bukan sebagai syarat bahwa ia
adalah badan hukum. Sudah tentu akta pendirian itu sangat sederhana sebab tidak
32
Ibid.
Di Inggris, bentuk perusahaan yang berwujud PD ini dikenal sebagai Sole Traders.
Di Amerika dikenal sebagai Proprietorships. Perusahaan demikian merupakan tipe
organisasi bisnis atau perusahaan yang paling sederhana.
Kelebihan :
Kelemahan :
1. Pengertian
Dalam kepustakaan dan ilmu hukum, istilah persekutuan bukanlah istilah tunggal,
karena ada istilah pendampingnya yaitu perseroan dan perserikatan. Ketiga istilah ini
sering digunakan untuk menerjemahkan istilah bahasa Belanda “maatschap”;
“vennootschap”. Maat maupun vennoot dalam bahasa aslinya (Belanda) berarti kawan atau
sekutu.
33
Rudhi Prasetya, Maatschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002), hal.2
Menurut kepustakaan, Maatschap itu bersifat 2 (dua) muka, yaitu bisa untuk
kegiatan yang bersifat komersial atau bisa pula untuk kegiatan non komersial termasuk
dalam hal ini untuk persekutuan-persekutuan menjalankan profesi. Dalam praktek dewasa
ini, yang paling banyak dipakai justru untuk non profit kegiatan profesi itu, misalnya
persekutuan diantara para lawyer yang biasa dikenal sebagai “associated” atau “partner”
(rekan) atau “compagnon” yang disingkat “Co”. 34
Dalam Pasal 1618 dikatakan bahwa tiap peserta harus memasukkan sesuatu ke
dalam persekutuan. Hal yang dimaksudkan disini adalah “pemasukan” (inbreng). Yang
dimaksud dengan “pemasukan” (inbreng) bisa berwujud barang, uang atau tenaga, baik
tenaga badaniah maupun tenaga kejiwaan (pikiran). Adapun hasil dari adanya pemasukan
itu tidak hanya keuntungan saja, tetapi mungkin pula “kemanfaatan”, misalnya: Empat
orang bersahabat (A,B, C dan D) masing-masing memasukkan uang sebesar Rp. 200.000,-
untuk melakukan sebuah perjalanan wisata ke Sibolangit dengan mencarter sebuah taksi
mulai pagi hingga sore dengan membawa makanan dan minuman, maka pada sore hari
ketika mereka sampai dirumah, sedikitpun tidak mendapat keuntungan, tetapi hanya
kemanfaatan yang berwujud kepuasan hati. Kenyataan hukum ini disebut “perserikatan
perdata”.
34
Rudhi Prasetya, Ibid., hal. 4-5
Maatschap umum meliputi apa saja yang akan diperoleh para sekutu sebagai hasil
usaha mereka selama maatchap berdiri. Maatschap jenis ini usahanya bisa
bermacam-macam (tidak terbatas) yang penting inbrengnya ditentukan secara
jelas/terperinci.
Maatschap termasuk salah satu jenis permitraan (partnership) yang dikenal dalam
hukum Perusahaan di Indonesia disamping bentuk lainnya seperti Vennootschap Onder
Firma (Fa) dan Commanditaire Vennooschap (CV). Maatschap merupakan bentuk usaha
yang biasa dipergunakan oleh para Konsultan, Ahli Hukum, Notaris, Dokter, Arsitek dan
profesi-profesi sejenis lainnya.
a. Dalam hal modal, tidak ada ketentuan tentang besarnya modal, seperti yang berlaku
dalam Perseroan Terbatas (PT) yang menetapkan besar modal minimal, saat ini
adalah minimal Rp. 50.000.000,00- (lima puluh juta rupiah);
35
I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2005), hal.36-37
4. Keanggotaan Maatschap
KUHPerdata (Bab VIII) sendiri juga tidak melarang adanya maatschap antara
suami-istri. Meskipun tidak dilarang, maatschap yang didirikan antara suami-istri, dimana
ada kebersamaan harta kekayaan (huwelijk gemeenschap van goederen), maka maatschap
demikian tidak berarti apa-apa, sebab kalau ada kebersamaan harta kekayaan (harta
perkawinan), maka pada saat ada keuntungan untuk suami-istri itu tidak ada bedanya,
kecuali pada saat perkawinan diadakan perjanjian pemisahan kekayaan.
6. Pengurusan Maatschap
Pengangkatan pengurus Maatschap dapat dilakukan dengan dua cara (Pasal 1636),
yaitu:
a. Diatur sekaligus bersama-sama dalam akta pendirian maatschap. Sekutu maatschap ini
disebut “sekutu statuter” (gerant statutaire);
a) Menurut Pasal 1636 (2) KUHPerdata, selama berjalannya maatschap, sekutu statuter
tidak boleh diberhentikan, kecuali atas dasar alasan-alasan menurut hukum, misalnya
tidak cakap, kurang seksama (ceroboh), menderita sakit dalam waktu lama, atau
keadaan-keadaan/peristiwa-peristiwa yang tidak memungkinkan seorang sekutu
pengurus itu melaksanakan tugasnya secara baik.
b) Yang memberhentikan sekutu statuter ialah maatschap itu sendiri. Atas pemberhentian
itu sekutu statuter dapat minta putusan hakim tentang soal apakah pemberhentian itu
benar-benar sesuai dengan kaidah hukum. Sekutu statuter bisa minta ganti kerugian
bila pemberhentian itu dipandang tidak beralasan.
Kalau diantara para sekutu tidak ada yang dianggap cakap atau mereka tidak
merasa cakap untuk menjadi pengurus, maka para sekutu dapat menetapkan orang luar
yang cakap sebagai pengurus. Jadi, ada kemungkinan pengurus maatschap adalah bukan
sekutu. Hal ini dapat ditetapkan dalam akta pendirian maatschap atau dalam perjanjian
khusus.
Bila tidak ada penunjukan secara khusus mengenai pengurus, Pasal 1639
KUHPerdata menetapkan bahwa setiap sekutu dianggap secara timbal balik telah memberi
kuasa, supaya yang satu melakukan pengurusan terhadap yang lain, bertindak atas nama
Maatschap dan atas nama mereka. Jadi, berkenaan dengan tanggungjawab intern antara
sekutu, kecuali dibatasi secara tegas dalam perjanjian pendirian Maatschap, setiap sekutu
berhak bertindak atas nama Maatschap dan mengikat para sekutu terhadap pihak ketiga dan
pihak ketiga terhadap sekutu.
Kalau suatu kerjasama itu dimana unsur corporatienya merupakan hal yang lebih
menonjol, misalnya pada suatu PT, maka orang tidak akan ragu lagi untuk mengatakan
Ajaran yang umum (de heersen de leer) yang dianut tidak mengakui bahwa
maatschap itu merupakan badan hukum, karena maatschap tidak mempunyai harta
kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para sekutunya. Tapi karena hukum itu
berkembang, muncul pendirian baru yang mengatakan bahwa pada maatschap itu dalam
praktik sudah ada kekayaannya yang terpisah, akan tetapi belum dianggap sebagai badan
hukum.
Pada firma terlihat bahwa undang-undang mengakui adanya harta kekayaan yang
terpisah (Pasal 32 KUHD), tetapi oleh undang-undang, firma juga belum diakui sebagai
badan hukum.
Dari sudut pertanggung jawaban, bisa juga disimpulkan bahwa Persekutuan Perdata
(maatschap) bukanlah badan hukum, karena bila ia disebut badan hukum maka seorang
sekutu yang melakukan perbuatan atas nama persekutuan, persekutuanlah yang terikat
dengan pihak ketiga dan bukan sekutu yang berbuat sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1644 KUHPerdata. Bila maatschap ingin dipaksakan menjadi badan hukum, maka tentu
ada keharusan bagi maatschap untuk memenuhi syarat-syarat sebagai badan hukum, seperti
a). Pengesahan dari Mentri Kehakiman, sekarang Mentri Hukum dan HAM; b).Pendaftaran
dalam Daftar Perusahaan; dan c). Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara RI.
Mengenai bubarnya Maatschap, diatur dalam Buku III Pasal 1646 s/d 1652
KUHPerdata. Adapun beberapa sebab sebuah maatschap bisa dinyatakan bubar (Pasal
1646 KUHPerdata) adalah :
Berkenaan dengan huruf a), bila Maatschap sejak semula didirikan untuk waktu
tertentu namun diteruskan oleh para mitra melewati waktu tersebut, maka kemudian
secara hokum Maatschap itu didirikan untuk waktu yang tidak tertentu. Berkenaan dengan
huruf c), terdapat perbedaan antara Maatschap yang didirikan untuk waktu tertentu dan
yang didirikan untuk waktu yang tidak tertentu. Dalam kasus pengunduran diri tidak dapat
terjadi sebelum waktu yang ditunjuk kecuali semua mitra setuju atau ada perintah
pengadilan (yang diberikan untuk alasan demikian, seperti misalnya tidak berprestasi atau
sakit berat). Manurut Pasal 1649 KUHPerdata pengunduran diri harus pada waktunya dan
dengan itikad baik. 36
36
I.G. Rai Widjaya, Ibid., hal. 43
1. Pengertian
Apa yang dimaksud dengan Firma dijelaskan dalam pasal 16 KUHD, “Persekutuan
Firma ialah tiap-tiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan
dengan nama bersama”. Dari ketentuan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa Persekutuan
Firma merupakan persekutuan khusus. Kekhususan itu terletak pada tiga unsur mutlak
sebagai tambahan pada Persekutuan Perdata (Maatschap), yaitu:
Dengan demikian, Persekutuan Perdata yang unsur tambahannya kurang dari apa
yang disebutkan diatas, maka Persekutuan Perdata itu belum menjadi Persekutuan Firma.
Menurut Slagter, Firma adalah suatu perjanjian (een overeenkomst) yang ditujukan
kearah kerja sama di antara dua orang atau lebih secara terus menerus untuk menjalankan
suatu perusahaan di bawah suatu nama bersama, agar supaya memperoleh keuntungan atas
hak kebendaan bersama (gemeenschappleijk vermogensrechtelijk voordeel) guna mencapai
37
M. Natzir Said, Op.Cit., hal. 117
38
Ibid.
Firma artinya nama bersama, yaitu nama orang (sekutu) yang dipergunakan
menjadi nama perusahaan. Misalnya: salah seorang sekutu bernama “Hermawan”, lalu
Persekutuan Firma yang mereka dirikan diberi nama “Persekutuan Firma Hermawan”, atau
“Firma Hermawan Bersaudara”. Disini kelihatan bahwa nama salah seorang sekutu
dijadikan sebagai nama Firma.
Mengacu pada Pasal 16 KUHD dan yursprudensi, ditentukan bahwa nama bersama
atau Firma dapat diambil dari:
b. Nama dari salah seorang sekutu dengan tambahan. Misalnya: “Firma Hermawan
Bersaudara”, “Sutanto & Brothers”, “Marriot & Sons”, dan lain-lain.
c. Kumpulan nama dari semua atau sebagian sekutu. Misalnya: “Firma Hukum
ANEK”. ANEK merupakan singkatan nama beberapa sekutu yakni Andika,
Nelson, Elias dan Kurniawan.
d. Nama lain yang bukan nama keluarga, yang menyebutkan tujuan perusahaannya.
Misalnya: “Firma Perdagangan Cengkeh”
Menurut Polak, para sekutu bebas untuk menetapkan nama dari persekutuan Firma.
Tetapi kebebasan itu tidak sedemikian rupa sehingga nama yang ditetapkan itu menyamai
atau hampir menyamai nama Firma lain yang sudah ada, sehingga menimbulkan
kebingungan di pihak ketiga.
2. Sifat Kepribadian
Sebagaimana yang berlaku dan menjadi ciri sebuah Maatschap, maka
kapasitas/sifat kepribadian yang tebal juga menjadi ciri sebuah Firma, hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 16 KUHD yang menyebutkan Firma sebagai persekutuan perdata yang
didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama.
39
Ibid., hal 119
3. Pendirian Firma
c. tidak ada seorang sekutu pun yang dikecualikan dari kewenangan bertindak dan
menandatngani surat bagi persekutuan Firma (Pasal 29 KUHD).
Sebenarnya, berdasarkan Pasal 26 dan Pasal 29 KUHD, dikenal dua jenis Firma,
yaitu:
a. Firma umum, yakni Firma yang didirikan tetapi tidak didaftarkan serta tidak
diumumkan. Firma ini menjalankan segala urusan, didirikan untuk jangka waktu
tidak terbatas, dan masing-masing pihak (sekutu) tanpa dikecualikan berhak
bertindak untuk dan atas nama Firma.
b. Firma khusus, yakni Firma yang didirikan, didaftarkan serta diumumkan, dan
memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang dengan Firma umum seperti disebutkan
di atas.
Kedudukan akta pendirian (akta notaris) Firma merupakan alat pembuktian utama
terhadap pihak ketiga mengenai adanya persekutuan Firma itu. Namun demikian, ketiadaan
akta sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk lepas dari tanggung
jawab atau dengan maksud merugikan pihak ketiga. Dalam keadaan ini, pihak ketiga dapat
membuktikan adanya persekutuan Firma dengan segala macam alat pembuktian biasa,
seperti surat-surat, saksi dan lain-lain.
Sesuai dengan asas kebersamaan dalam Pasal 1618 KUHPerdata, pada hakekatnya
antara para sekutu tidak boleh saling menyaingi. Namun bila hal itu terjadi berlakulah
pasal 1630 KUHPerdata, yakni kewajiban memberikan ganti kerugian.
5. Pengurusan Firma
Dalam Firma, kemungkinan ada pemisahan antara pihak pengurus dan pihak yang
mewakili Firma untuk bertindak keluar (pemegang kuasa). Seorang sekutu Firma (Pasal 17
Lain lagi halnya dengan sekutu pengganti, penggantian kedudukan sekutu selama
sekutu tersebut masih hidup, pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali hal itu diatur lain
dalam perjanjian pendirian Firma. UU hanya membolehkan sekutu Firma untuk menarik
orang lain (teman) untuk menerima bagian yang menjadi haknya dari Firma itu walaupun
tanpa izin sekutu-sekutu lainnya (Pasal 1641 KUHPerdata).
Pertanyaannya, apakah sekutu baru dalam Firma juga tunduk pada Pasal 18
KUHD? Dengan kata lain, apakah sekutu baru juga ikut bertanggung jawab secara pribadi
terhadap utang-utang Firma yang sudah ada? Mengenai hal ini ada beberapa pendapat:
a. Polak: sekutu baru tidak boleh diminta untuk membayar utang-utang Firma yang
telah ada pada saat dia diterima menjadi sekutu, sebab dia tidak pernah memberi
kuasa kepada sekutu-sekutu lama untuk mewakilinya dalam hubungan hukum yang
telah dibuat tersebut, kecuali apabila sekutu baru itu (sebagai syarat
penerimaannya) telah menyetujui sendiri tentang tanggung jawab terhadap utang-
utang Firma yang telah ada sebelum dia bergabung.
Selanjutnya, bagaimana pula halnya dengan tanggung jawab sekutu yang keluar
terhadap utang-utang Firma yang belum sempurna dilunasi pada saat dia keluar? Ada
beberapa pendapat mengenai hal ini:
a. Van Ophuijsen: sekutu yang sudah keluar tetap bertanggung jawab terhadap utang-
utang Firma yang belum sempurna dilunasi saat dia keluar sebagai sekutu, karena
tanggung jawab itu tidak dapat ditiadakan dengan perbuatan sepihak dari sekutu
bersangkutan dengan cara keluar dari Firma.
Secara umum ada dua macam tanggung jawab sekutu-sekutu Firma, yaitu: 41
1. Tanggung jawab tidak terbatas, artinya apabila Firma bangkrut dan harta bendanya
tidak memadai untuk membayar utang-utang Firma, maka harta benda pribadi para
sekutu bisa disita untuk dilelang, dipakai untuk membayar utang-utang Firma. Jadi,
selain kehilangan modal dalam Firma, anggota Firma bisa juga kehilangan harta benda
pribadi. Dengan kata lain, bila Firma jatuh pailit, ada kemungkinan anggotanya ada
yang terseret pailit. Sebaliknya, bila sekutunya ada yang pailit, belum tentu Firma
harus terseret pailit. Mungkin hanya harus dikeluarkan dari Firma dan kekayaannya
yang di Firma (modal dan keuntungan) harus dibayarkan.
2. Tanggung jawab solider. Tanggung jawab ini khususnya terletak dalam hubungan
keuangan dengan pihak luar. Sekutu Firma bertanggung jawab penuh atas perjanjian-
perjanjian yang ditutup oleh rekannya untuk dan atas nama Firma. Orang luar yang
mengadakan perjanjian dengan sekutu itu boleh menuntut salah seorang sekutu, boleh
pula menuntut semua anggota sekaligus sampai kepada harta benda pribadinya.
41
Iting Partadireja, Pengetahuan dan Hukum Dagang, (Jakarta: Erlangga,1978), hal. 48
b. bagi sekutu Persekutuan Firma (Fa.) bertanggung jawab secara pribadi untuk
keseluruhan, artinya untuk seluruh perikatan yang telah dibuat oleh dia sendiri dan
para sekutu lainnya bagi kepentingan persekutuan (Pasal 18 KUHD)
(1) Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu, terpisah dari kekayaan
para sekutu badan itu;
(2) Ada kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama yang bersifat
stabil,yakni dalam rangka mencari laba/keuntungan.
Walaupun Firma mempunyai modal yang terpisah dengan harta para sekutunya,
namun karena Firma bukan merupakan badan hukum, maka Firma tidak dapat mengambil
bagian dalam lalu lintas hukum; Firma an sich tidak dapat mengadakan tidakan hukum dan
tidak memiliki hak dan kewajiban seperti badan hukum padaumumnya. Karena bukan
badan hukum, maka Firma tidak mempunyai alat-alat seperti pengurus yang dapat
melakukan tindakan hukum. 42
42
Achmad Ichsan, Op.Cit., hal. 122
b. Musnahnya barang atau telah diselesaikannya usaha yang menjadi tugas pokok
maatschap itu;
d. Salah seorang sekutu meninggal dunia atau dibawah pengampuan atau dinyatakan
pailit.
Ayat (1): Membubarkan Firma sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian
pendirian atau sebagai akibat pengunduran diri atau pemberhentian, begitu juga
memperpanjang waktu sehabis waktu yang telah ditentukan, dan mengadakan
perubahan-perubahan dalam perjanjian semula yang penting bagi pihak ketiga,
semua itu harus dilakukan dengan akta otentik, didaftarkan seperti tersebut di
atas dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI.
Ayat (2): Kelalaian dalam pendaftaran dan pengumuman tersebut, berakibat tidak
berlakunya pembubaran, pengunduran diri, pemberhentian atau perubahan tadi
terhadap pihak ketiga
Ayat (3): Bila kelalaian itu mengenai “perpanjangan waktu”, maka berlakulah ketentuan-
ketentuan Pasal 29 KUHD, yakni pihak ketiga dapat menganggap bahwa
persekutuan itu:
Perusahaan dengan bentuk Firma ini memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagai
berikut:
Kelebihan:
a) Kemampuan manajemen lebih besar, karena ada pembagian kerja diantara para
anggota
b) Pendiriannya relatif mudah, baik dengan Akta atau tidak memerlukan Akta
Pendirian
c) Kebutuhan modal lebih mudah terpenuhi
43
Ibid., hal. 127
44
Ibid.
1. Pengertian
Bila Persekutuan Firma diatur dalam Pasal 16 s/d 35 KUHD, maka tiga pasal
diantaranya yakni Pasal 19, 20 dan 21 merupakan aturan mengenai CV. Hal itulah
sebabnya dalam Pasal 19 KUHD disebutkan bahwa Persekutuan Komanditer (persekutuan
pelepas uang) sebagai bentuk lain dari Firma, yakni firma yang lebih sempurna dan
memiliki satu atau beberapa orang sekutu pelepas uang/komanditer. Dalam Firma biasa,
sekutu komanditer ini tidak dikenal, tetapi masing-masing sekutu wajib memberikan
pemasukan (inbreng) dalam jumlah yang sama, sehingga kedudukan mereka dari segi
modal dan tanggung jawab juga sama. Dalam CV ada pembedaan antara sekutu
komanditer (sekutu diam; mitra pasif; sleeping patners) dan sekutu komplementer (sekutu
kerja; mitra aktif; mitra biasa; pengurus). Adanya pembedaan sekutu-sekutu itu membawa
konsekuensi pada pembedaan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing sekutu
yang berbeda itu.
Dengan kata lain, terdapat dua macam sekutu dalam CV. Pertama, sekutu
komanditer yakni sekutu yang tidak bertanggung jawab pada pengurusan persekutuan,
sekutu ini hanya mempunyai hak mengambil bagian dalam aset persekutuan bila ada
untung sebesar nilai kontribusinya. Demikian juga, dia akan menanggung kerugian sebesar
nilai kontribusinya. Sedangkan kedua, sekutu komplementer yakni sekutu yang menjadi
pengurus yang bertanggung jawab atas jalannya persekutuan, bahkan pertanggung
jawabannya sampai kepada harta pribadinya.
45
M. Natzir Said, Op.Cit., hal. 188
Dalam KUHD sekutu komanditer disebut juga dengan sekutu pelepas uang
(geldschieter). Diantara penulis ada yang tidak setuju dengan penggunaan istilah “pelepas
uang” yang dipersamakan dengan istilah “sekutu komanditer”. Menurut Purwosujipto,
pada “pelepas uang” (geldschieter), uang atau benda yang telah diserahkan kepada orang
lain dapat dituntut kembali bila si debitur jatuh pailit. Tetapi uang atau modal yang
diserahkan oleh sekutu komanditer kepada sebuah persekutuan, tidak dapat dituntut
kembali bila persekutuan itu jatuh pailit.
Istilah “geldschieter” dan “commanditaire” dalam Pasal 19 ayat (1) KUHD dapat
menimbulkan salah paham. Pada dasarnya kedua istilah itu tidak bisa disamakan, seperti
apa yang dilakukan dalam bunyi undang-undang.
Geldschieter memiliki maksud meminjamkan uang, dan pada saat tertentu ia bisa
berkedudukan sebagai penagih (schuldeiser). Padahal sekutu komanditer bukanlah
peminjam uang atau penagih, mereka adalah para peserta dalam persekutuan yang
memikul hak dan kewajiban untuk mendapatkan keuntungan/laba dan saldo dalam hal
persekutuan dilikuider serta memikul kerugian menurut jumlah inbreng (saham) yang
dimasukkan . Bila hal itu dimaksudkan sebagai kreditur penagih (schuldeiser), maka
pembayaran tagihan dapat dilakukan selama masih ada uang di kas persekutuan,
46
Ibid.
47
Ibid.
Dalam ketentuan pinjam meminjam uang (Pasal 1759 dan 1760 KUHPerdata)
ditetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang tidak dapat meminta uangnya kembali
sebelum lewat waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, dan hakim dapat memberikan
kelonggaran kepada si peminjam dalam pengembalian uang bila keadaan tidak
memungkinkan. Perbedaan yang paling jelas adalah bahwa sekutu komanditer dapat
memikul resiko untung atau rugi, sedangkan peminjam uang atau penagih tidaklah
dibebani dengan kerugian.
Modal yang dimasukkan oleh sekutu komanditer dapat merupakan modal tambahan
terhadap modal yang telah ada atau dijanjikan dimasukkan oleh para sekutu komplementer.
Pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama dengan Persekutuan Firma yang
bertanggung jawab secara tanggung menanggung bersama. Sehingga dengan demikian
maka sekutu sekutu komanditer hanya bertanggung jawab secara intern kepada sekutu
pengurus, untuk secara penuh memasukkan modal yang telah dijanjikan, dan uang yang
dimasukkan itu dikuasai dan dipergunakan sepenuhnya oleh pengurus dalam rangka
pengurusan persekutuan guna mencapai tujuan. 49
3. Jenis-jenis CV
Ada tiga jenis persekutuan komanditer (CV) yang dikenal:
48
Ibid., hal. 195
49
Ibid., hal. 196
Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan sebagai persamaan dan perbedaan antara
CV dengan Saham dan PT, yaitu:
1. Persamaannya:
2. Perbedaannya:
a. Dalam CV dengan Saham dikenal adanya sekutu kerja (sekutu komplementer) yang
bertanggung jawab penuh secara pribadi untuk keseluruhan (tidak terbatas).
Pertanggung jawaban seperti ini pada PT mirip dengan direksi (pengurus), tetapi
direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan (terbatas).
b. Sekutu kerja pada CV dengan Saham boleh diangkat untuk selamanya, sedangkan
direksi pada PT tidak dapat diangkat buat selamanya, ia bisa diberhentikan sekatu-
waktu.
c. Dalam CV dengan Saham tidak dikenal adanya Dewan Pengawas Syariah, tetapi
dalam PT (UUPT 2007) mengenal adanya Dewan Pengawas Syariah.
Dasar hubungan hukum diantara para sesama sekutu CV pada dasarnya adalah
hubungan kerjasama untuk mencari/membagi keuntungan. Hal itu ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata yang menetapkan bahwa persekutuan adalah suatu
perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu
dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh karenanya.
50
Ibid., hal.198
Dalam hal terdapat beberapa sekutu pengurus yang menjalankan persekutuan (CV
diam-diam), biasanya dalam perjanjian persekutuan sudah ditetapkan tentang pemisahan
kekayaan persekutuan dengan kekayaan para pengurusnya.
6. Kedudukan Hukum CV
Persekutuan Komanditer (CV) tidak diatur secara khusus oleh undang-undang, baik
di dalam KUHPerdata maupun KUHD, akan tetapi pengaturannya mengacu pada
ketentuan-ketentuan Maatschap dalam KUHPerdata dan Persekutuan Firma, antara lain
Pasal 19, 20, 21, 30 ayat (2) dan 32 KUHD. Ketentuan-ketentuan Maatschap diberlakukan
tentu saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan khusus dalam KUHD seperti
disebutkan di atas.
Pada abad ke 17, dikenal Persekutuan Komanditer sebagai suatu perusahaan yang
memiliki kekayaan yang terpisah. Pada abad ke 18, kemudian meningkat statusnya
sehingga dipandang sebagai perusahaan berbadan hukum.
Dalam ketentuan hukum lama Belanda, sudah lama diketahui bahwa harta
kekayaan CV terpisah dari kekayaan para sekutu pengurusnya. Dalam sebuah undang-
undang di Belgia, terhadap CV diam-diam maupun CV atas saham secara tegas dinyatakan
sebagai badan hukum.Sedangkan di Perancis, baik Firma maupun CV dipandang sebagai
badan hukum. Para ahli hukum dan jurisprudensi cendrung menganggap Firma dan CV
51
Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1986), hal. 311
7. Bubarnya CV
Pembubaran CV sama dengan Firma, yaitu harus dilakukan dengan akta otentik
yang dibuat di muka notaries, didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri, dan
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Kelalaian pendaftaran dan pengumuman ini
mengakibatkan tidak berlakunya pembubaran, pengunduran diri, pemberhentian, dan
perubahan anggaran dasar terhadap pihak ketiga. 52
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki oleh badan usaha berbentuk CV ini bila dijalankan, sebagai berikut:
52
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 98
53
Ibid.
Kekurangan :
a) Sebagian sekutu yang menjadi Persero Aktif memiliki tanggung tidak terbatas
b) Sulit menarik kembali modal
c) Kelangsungan hidup perusahaan tidak menentu
3. Pada dasarnya semua sekutu Firma boleh 3. Pengurus CV mutlak dari sekutu
menjadi pengurus Firma, tetapi boleh komplementer.
ditunjuk satu/lebih sekutu tertentu dalam
akta pendirian.
4. Walaupun pada dasarnya sekutu pengurus 4. Pengurus CV (sekutu komplementer)
bisa mewakili Firma keluar, tetapi boleh juga berwenang melakukan perbuatan
ditetapkan secara tegas satu atau lebih hukum keluar dengan pihak ketiga,
sekutu yang boleh melakukan perbuatan tanpa surat kuasa.
hukum dengan pihak ketiga (pemegang
kuasa)
5. Tidak mengenal adanya komisaris 5. Mengenal adanya komisaris.
A. BADAN HUKUM
1. Pengertian
Undang-undang tidak menjabarkan definisi badan hukum. Selama ini istilah badan
hukum diadopsi dari istilah belanda (rechtpersoon), atau istilah inggris (legal persons),
dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah persona moralis. Badan hukum merupakan
subjek hukum sama halnya seperti manusia pribadi.
Menurut Meijers, badan hukum adalah meliputi sesuatu yang menjadi pendukung
hak dan kewajiban.Ia juga menambahkan bahwa badan hukum itu merupakan suatu
realitas, konkrit, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, suatu yuridische realiteit
(kenyataan yuridis). Logemann, menyebut badan hukum sebagai suatu personifikatie
(personifikasi) yaitu suatu bestendigheid (perwujudan;penjelmaan) hak-kewajiban. E.
Utrecht, menyatakan badan hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa
(berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya ia menjelaskan bahwa badan hukum
ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. 54
Sedangkan R.Subekti mengatakan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang
manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
R.Rochmat Soemitro mengemukakan, badan hukum (rechtspersoon) ialah suatu badan
yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Sri Soedewi
Machsun Sofwan menjelaskan, bahwa manusia adalah badan pribadi-itu adalah manusia
tunggal. Selain dari manusia tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai
badan pribadi kepada wujud lain-disebut badan hukum, yaitu kumpulan dari orang-orang
bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang
ditersendirikan untuk tujuan tertentu, seperti yayasan. 55 Disamping itu, Wirjono
54
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 18
55
Ibid., hal. 19
c. Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu yang tidak
berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan.
56
Ibid., hal. 20
57
Ibid., hal. 21
58
R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang : Aspek-aspek Hukum Perusahaan dan Larangan
Praktek Monopoli, (Yogyakarta : Liberty, 2002), hal. 14
a) Manusia sebagai persoon dapat hadir atau tidak hadir pada suatu tempat dan waktu
tertentu.
b) Manusia sebagai persoon mempunyai tempat tinggal (domicilie)
c) Manusia dilahirkan dari manusia yang lain, kelahiran itu menunjukkan
kebangsaannya (nationaliteitnya)
d) Manusia itu mempunyai sifat kerohanian (geestelijk vermogen), bisa
mempengaruhi dalam soal-soal perikatan.
e) Dalam sifat manusia ada juga kepentingan yang dirasakan untuk kepentingan
umum dan kepentingan pribadi.
Untuk mengetahui apa hakikat badan hukum tersebut, para ahli hukum telah
mengemukakan teori-teori baik dengan jalan penafsiran secara dogmatis ataupun dengan
penafsiran teleologis. 61
59
Ibid., hal. 25-26
60
Ibid., hal. 29
61
Ibid.
62
Ibid.
a. Teori Fiksi
Teori ini dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861), sarjana jerman
dan sekaligus tokoh mazhab sejarah pada permulaan abad ke 19. Menurut Savigny, hanya
manusia saja yang mempunyai kehendak. Sedangkan badan hukum adalah suatu abstraksi,
bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Jadi, karena hanya suatu abstraksi, maka tidak
mungkin menjadi suatu subyek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak
kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa. 64
b. Teori Orgaan
Teori ini dikemukakan juga oleh sarjana Jerman yang bernama Otto von Gierke
(1841-1921). Teori ini lahir sebagai reaksi terhadap teori fiksi.
Menurut von Gierke, badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang
benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu “verband
personlichkeit”, yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-
alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya
seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau
63
Ibid.
64
Ibid., hal. 32
65
Ibid.
Dengan demikian, menurut teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang
abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak
bersubyek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja
seperti manusia biasa. Tujuan badan hukum menjadi kolektivitas, terlepas dari individu, ia
suatu Verband personlichkeit yang memiliki Gesamwille (kehendak). Berfungsinya badan
hukum dipersamakan dengan fungsinya manusia. Artinya, badan hukum tidak berbeda
dengan manusia. Karena itu dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap perkumpulan/perhimpunan
orang adalah badan hukum. 67
Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering (1818-1892) sarjana Jerman
pengikut mazhab sejarah tetapi kemudian keluar.
Teori kekayaan bersama itu menganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia.
Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Menurut teori ini
badan bukum bukan abstraksi dan bukan organisme. Pada hakikatnya hak dan kewajiban
badan hukum adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Mereka bertanggung
jawab bersama-sama. Harta kekayaan badan itu adalah milik (eigendom) bersama seluruh
anggota. Para anggota yang berhimpun adalah suatu kesatuan dan membentuk suatu
pribadi yang disebut badan hukum. Karena itu, badan hukum hanyalah suatu konstruksi
yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hokum itu sesuatu yang abstrak. Teori ini juga
disebut propriete collective theorie (Planiol), atau teori kepunyaan kolektif (Utrecht). 68
66
Ibid.
67
Ibid., hal. 33
68
Ibid., hal. 34
Teori ini merupakan suatu teori yang merupakan penghalusan (verfijning) dari teori
orgaan. Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda E.M.Meijers dan dianut oleh Paul
Scholten.
Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit, riil,
walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers
menyebut teori ini sebagai teori kenyataan yang sederhana (eenvoudige), sederhana karena
menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu
terbatas sampai pada bidang hukum saja. 69
Jadi, menurut teori kenyataan yuridis, badan hukum adalah wujud yang riil, sama
riilnya dengan manusia dan lain-lain perikatan (verbintenis). Ini semua riil menurut
hukum. Teori ini menurut Paul Scholten berasal dari teori organ yang sudah diperhalus,
artinya tidak begitu mutlak lagi (teori organ sifatnya mutlak). Tidak mutlak artinya sekedar
diperlukan untuk hukum, sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan mana tangannya, mana
otaknya dan sebagainya. 70
Dari teori-teori yang telah dikemukakan di atas timbul berbagai persoalan. Adanya
perbedaan pendapat atau faham di kalangan hukum tentunya menimbulkan hipotesa-
hipotesa baru yang kebenarannya masih harus diteliti lebih jauh. Di Indonesia adanya
perbedaan faham atau pandangan terutama dalam rangka pembinaan hukum sekarang ini
banyak manfaatnya, artinya dalam lapangan hukumnya.
Sebenarnya teori-teori badan hukum tersebut yang pokok atau berpusat pada dua
pandangan, yaitu:
a. yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, artinya nyata
dengan pancaindera manusia sendiri; akibatnya badan hukum tersebut disamakan
atau identik dengan manusia. Badan hukum dianggap identik dengan organ-organ
69
Ibid., hal. 35
70
Ibid.
b. yang menganggap bahwa badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata, tetapi
badan hukum itu hanya merupakan manusia yang berdiri dibelakang badan hukum
tersebut; akibatnya menurut anggapan yang kedua ini, jika badan hukum tersebut
melakukan kesalahan itu adalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri di
belakang badan hukum tersebut secara bersama-sama.
Sebelum perang, dalam tahun 1939 oleh pemerintah yang berkuasa pada waktu itu
telah mengundangkan undang-undang yang mengatur I.M.A (Maskapai Andil Indonesia).
Pemerintah pada waktu itu bermaksud untuk membuka kesempatan bagi orang-orang
Bumiputra untuk mendirikan badan-badan hukum untuk mana pada umumnya berlaku
hukum adat tempat kedudukan I.M.A. Dalam rangka mewujudkan kepentingan umum,
maka diberlakukanlah aturan-aturan yang menyimpang dari hukum adat. 71
I.M.A didirikan dengan akte tertulis, dalam bahasa yang dipahami oleh para pendiri
dan merupakan badan hukum. Pendiriannya memerlukan pengesahan dari Mentri
Kehakiman, dan pendaftaran pada Pengadilan Negeri dimana I.M.A didirikan sebagai
kedudukan hukum. Akte pendirian I.M.A berisikan nama, maksud dan tujuan, tempat
kedudukan, jangka waktu usaha, jumlah modal dan besarnya nilai nominal saham, nama-
nama dan tempat tinggal yang mendirikan, dan jumlah modal yang disetorkan, serta nama-
nama pengurusnya. Demikian pula, pendiriannya harus diumumkan dalam berita resmi
(berita negara). 72
Secara umum, corak I.M.A ini sama dengan N.V. (Naamloze Vennotschap).
Sedangkan perbedaannya antara lain; bahwa hanya orang-orang Bumiputra saja yang dapat
71
Rochmat Soemitro, Perseroan Terbatas dengan Undang-undang Pajak Perseroan, (Bandung:
Eresco, 1979), hal.2
72
Ibid.
1. Pengertian
Bisa dipahami bahwa Perseroan Terbatas tidak sama dengan Firma. Artinya, pesero
dalam PT memiliki tanggung jawab terbatas sebesar andil (saham) yang diambilnya.
Berbeda dengan Firma, karena bersifat kebersamaan (nama bersama), maka tanggung
jawab para sekutunya bersifat tidak terbatas (tanggung renteng). Bila nama Firma diambil
dari nama salah seorang atau lebih sekutunya, maka dalam PT hal itu tidak diperbolehkan,
tetapi nama PT ditetapkan dengan mengacu pada maksud atau tujuan perusahaan yang
bersangkutan.
73
Ibid.,hal.3
74
Ibid.
Perseroan Terbatas merupakan bentuk badan usaha yang paling sempurna diantara
berbagai bentuk badan usaha lainnya seperti Maatschap, Firma maupun Persekutuan
Komanditer (CV). Namun demikian, keberadaan Perseroan Terbatas tidak bisa dilepaskan
dari bentuk-bentuk badan usaha yang lebih sederhana tersebut diatas, walaupun ada
pendapat yang mengatakan PT (karena berkembang lebih maju) bukanlah species dari
bentuk-bentuk badan usaha sederhana di atas.
“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
d) Melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang terbagi dalam saham-saham.
Dalam KUHD, tidak satu pasal pun yang menyatakan Perseroan Terbatas sebagai
badan hukum. Pernyataan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum baru ditemukan dalam
rumusan pengertian Perseroan Terbatas yang diatur dalam Pasal 1 butir (1) UU PT 1995.
Demikian juga, hal yang sama diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir (1) UU PT 2007.
Dengan demikian,sebagai badan hukum jelas bahwa Perseroan Terbatas merupakan
pendukung hak dan kewajiban atau subjek hukum (recht persoon).
Badan hukum menurut Meijers adalah sesuatu yang menjadi pendukung hak dan
kewajiban. Menurutnya, badan hukum itu merupakan suatu realitas/kenyataan yuridis
(yuridische realiteit), konkrit, dan riil, walaupun tidak bisa diraba, Sedangkan R.Subekti
mengatakan bahwa badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan
yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
Dari bunyi Pasal 36 ayat (2) KUHD di atas jelas bahwa pengesahan itu diperlukan
agar PT dinyatakan sah berdiri-bukan dinyatakan sah sebagai badan hukum. Sebagian
besar penulis berpendapat bahwa ketentuan tentang pengesahan PT sebagai badan hukum
ditafsirkan dari bunyi Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 39 KUHD, bahwa sebuah PT dinyatakan
sah sebagai badan hukum apabila telah diumumkan dalam Berita Negara. Selama
pengumuman (demikian juga pendaftaran) belum dilakukan, maka seluruh pengurusnya
bertanggung jawab untuk seluruhnya atas tindakan mereka terhadap pihak ketiga.
Kalaupun memang harus demikian tafsirannya, tetap saja ada perbedaan antara ketentuan
KUHD dengan ketentuan dalam UUPT. Ketentuan KUHD menentukan bahwa status
badan hukum perseroan diperoleh sejak diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia.Sedangkan menurut UU PT,status badan hukum PT diperoleh sejak
dikeluarkannya Keputusan Mentri tentang pengesahan badan hukum PT. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa KUHD lebih menekankan pada asas publisitas, sedangkan UU
PT menekankan pada asas pengesahan.
Menurut KUHD, pendirian Perseroan Terbatas dilakukan dengan akta otentik. Akta
pendirian yang otentik tersebut kemudian disampaikan terlebih dahulu kepada Mentri
Kehakiman untuk mendapatkan pengesahan. Pengesahan dari Mentri Kehakiman baru
akan diberikan apabila syarat-syarat dalam anggaran dasar perseroan tidak bertentangan
dengan kepentingan umum,maupun kesusilaan. Setelah akta pendirian perseroan disahkan,
maka tugas para pendiri adalah mendaftarkannya pada kepaniteraan Pengadilan Negeri
setempat, dan baru kemudian diumumkan dalam Berita Negara. Pengesahan dari Mentri,
pendaftaran dan pengumuman dalam Berita Negara juga diberlakukan bagi tiap-tiap
perubahan dalam syarat-syarat pendirian atau dalam hal waktu perseroan diperpanjang.
Pada saat Perseroan didirikan, setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian
saham. Apabila setelah Perseroan memperoleh status badan hukum pemegang sahamnya
menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan
sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada
orang lain. Setelah jangka waktu 6 (enam) bulan dilampaui, pemegang saham tetap kurang
dari 2 (dua) orang, maka keadaan ini akan berpengaruh pada pertanggung jawaban, yakni
pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian
Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat
membubarkan Perseroan tersebut. Akan tetapi, menurut Pasal 7 ayat (7) UU PT 2007,
ketentuan mengenai pemegang saham minimal 2 (dua) orang atau lebih tidak berlaku bagi:
b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Berbeda dengan UU PT 2007 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (7)
di atas, maka UU PT 1995 (Pasal 7 ayat (5)) mengatur bahwa ketentuan yang mewajibkan
perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih atau minimal memiliki 2 (dua) orang
pemegang saham tidak berlaku bagi perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
Ketentuan Pasal 7 ayat (7) UU PT 2007 tentu saja mengandung makna berbeda
dengan ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU PT 1995. Hal ini berarti bahwa tidak semua BUMN
yang dikecualikan untuk memiliki pemegang saham kurang dari 2 (dua) orang tetapi hanya
BUMN yang berstatus Persero (Perusahaan Perseroan) yang keseluruhan sahamnya
dimiliki oleh negara. Masih menurut UU PT 2007 ini, pengecualian itu diperluas, tidak
hanya bagi BUMN berstatus Persero tetapi juga termasuk dalam hal ini Perseroan Terbatas
yang khusus bergerak di bidang bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Pasar Modal
Agar Perseroan diakui secara resmi sebagai badan hukum, akta pendirian dalam
bentuk akta notaris tersebut harus diajukan oleh para pendiri secara bersama-sama melalui
sebuah permohonan untuk memperoleh Keputusan Mentri (Mentri Hukum dan Hak Asasi
Manusia) mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. Pengajuan permohonan itu
dilakukan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara
elektronik kepada Mentri dengan mengisi format isian (Akta Notaris Model I) yang
memuat sekurang-kurangnya:
Bila para pendiri tidak memiliki waktu luang untuk bertemu dan secara bersama-
sama mengajukan permohonan kepada Mentri, maka para pendiri dapat mewakilkan tugas
tersebut dengan cara memberi kuasa kepada notaris. Berbeda dengan apa yang diatur
dalam UU PT 1995, para pendiri bisa mewakilkan tugas tersebut kepada pihak lain
termasuk salah satunya notaris. Tetapi UU PT 2007 menegaskan bahwa pemberian kuasa
dari pendiri untuk mengajukan permohonan pengesahan badan hukum Perseroan kepada
Mentri hanya dapat dikuasakan kepada notaris.
Pengenalan tata cara pengajuan permohonan pengesahan badan hukum melalui jasa
teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik, ada kaitannya
dengan sebuah pernyataan di dalam Penjelasan Umum UU PT 2007 yakni “…dilakukan
dalam rangka memenuhi perkembangan hukum dan tuntutan kebutuhan masyarakat akan
kepastian hukum dan layanan yang cepat, karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi,dan informasi yang berkembang begitu pesat khususnya pada era
globalisasi”.
Salah satu persyaratan yang harus dilengkapi oleh para pendiri adalah mengisi
“format isian” yang sudah disediakan. Apabila format isian dan keterangan mengenai
dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka
Mentri langsung menyatakan tidak berkeberatan atas permohonan yang bersangkutan
secara elektronik. Akan tetapi, bila format isian dan keterangan mengenai dokumen
pendukung tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Mentri langsung
Dengan demikian, bagi para pendiri yang tidak memenuhi jangka waktu dan/atau
tidak melengkapinya dengan dokumen-dokumen pendukung sebagaimana telah ditetapkan,
maka pernyataan tidak berkeberatan yang telah diberikan oleh Mentri menjadi gugur.
Namun begitu, pemohon masih diberi kesempatan untuk mengajukan kembali permohonan
untuk memperoleh Keputusan Mentri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
Menurut UU PT 2007, setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri
sebelum Perseroan didirikan, khususnya berkaitan dengan kepemilikan saham dan
penyetorannya, harus dicantumkan dalam akta pendirian Perseroan.
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh (calon) pendiri sebelum Perseroan didirikan
dapat dibagi dua:
75
Periksa Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Mengenai perbuatan hukum yang pertama, maka akta tersebut harus dilekatkan
pada akta pendirian Perseroan. Sedangkan mengenai perbuatan hukum kedua, maka nomor
akta, tanggal dan nama notaris serta tempat kedudukan notaris harus disebutkan dalam akta
Pendirian Perseroan. Bila kedua hal tersebut tidak dilakukan atau tidak dipenuhi pada saat
pendirian Perseroan, maka perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan hak dan
kewajiban serta tidak mengikat Perseroan.
“Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang
belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum apabila
RUPS Pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih
semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh
calon pendiri atau kuasanya”.
“Perbuatan hukum yang dilakukan para pendiri untuk kepentingan perseroan sebelum
perseroan disahkan, mengikat perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum
apabila:
Agar mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum, maka tindakan
menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan
hukum yang dilakukan oleh calon pendiri harus dilakukan melalui RUPS Pertama. RUPS
pertama harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah Perseroan memperoleh status badan hukum. Kemudian, keputusan RUPS pertama
tersebut baru dinayatakan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili semua
saham dengan hak suara dan keputusan disetujui dengan suara bulat.Dalam hal RUPS tidak
diselenggarakan dalam jangka waktu tersebut atau RUPS tidak berhasil mengambil
keputusan yang disetujui dengan suara bulat maka setiap calon pendiri yang melakukan
perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul
di kemudian hari.
Ada hal yang dianggap aneh di dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PT 2007 dan
ketentuan tersebut tidak dikenal/diatur dalam UU PT 1995, yang menyatakan bahwa
persetujuan RUPS mengenai perbuatan hukum yang dilakukan sebelum Perseroan
didirikan, yang ditujukan untuk kepentingan Perseroan tidak diperlukan apabila perbuatan
hukum tersebut dilakukan dan disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri sebelum
pendirian Perseroan. Dengan kata lain, semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon
pendiri asal saja perbuatan itu untuk kepentingan Perseroan, maka hal itu akan mengikat
Perseroan setelah menjadi badan hukum apabila terhadap perbuatan-perbuatan hukum itu
sudah disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri. Jadi dalam kaitan ini, persetujuan
dari pemegang saham yang mewakili semua saham (dengan hak suara) dalam RUPS
Adanya ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (5) menimbulkan beberapa penafsiran,
yaitu:
a. Bila persetujuan tertulis dari semua calon pendiri mengenai perbuatan hukum yang
dilakukan sebelum pendirian sudah ada sebelum/setelah Perseroan memperoleh
status badan hukum, maka RUPS Pertama tidak perlu diselenggarakan.Karena
dengan adanya persetujuan tertulis tersebut, hak dan/atau kewajiban yang timbul
dari perbuatan calon pendiri menjadi hak dan/atau kewajiban Perseroan.
b. Bila terhadap perbuatan hukum sebelum Perseroan didirikan belum atau tidak
mendapat persetujuan tertulis dari semua calon pendiri, atau ada persetujuan tertulis
tetapi tidak oleh semua calon pendiri, maka RUPS wajib dilaksanakan guna
menyepakati perbuatan hukum tersebut,apakah akan diterima atau diambil alih
sehingga mengikat Perseroan yang sudah berstatus badan hukum.
c. RUPS pertama tetap diselenggarakan tetapi dengan agenda lain yang dianggap
penting sesuai dengan yang disepakati bersama para pemegang saham.
Adanya opsi dalam bentuk “persetujuan tertulis dari semua calon pendiri” ini
merupakan gagasan pembuata undang-undang dalam upaya antisipasi mengingat sulitnya
mempertemukan atau mengumpulkan semua pemegang saham untuk bisa hadir dalam
RUPS Pertama. Penyelesaian dengan cara ini tentu saja menghilangkan arti penting RUPS
pertama Perseroan, karena menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU PT 2007, pada
hakekatnya RUPS Pertama ditujukan sebagai tata cara yang harus ditempuh untuk
mengalihkan kepada Perseroan hak dan/atau kewajiban yang timbul dari perbuatan calon
pendiri yang dilakukan sebelum Perseroan didirikan.
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pendiri sebelum Perseroan disahkan sebagai
badan hukum juga dibedakan menjadi dua macam:
a. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pendiri bersama dengan semua anggota
direksi dan anggota dewan komisaris; dan
Akta Pendirian yang terdiri dari Anggaran Dasar dan berbagai keterangan lainnya
mengatur segala hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang membuatnya. Dengan kata lain,
Akta Pendirian adalah undang-undang yang mengikat para pihak yang membuatnya.
Menurut kesimpulan Yani dan Widjaja, Anggaran Dasar adalah bagian dari Akta
Pendirian Perseroan yang memuat aturan main dalam perseroan, yang menentukan setiap
hak dan kewajiban dari pihak-pihak, baik perseroan itu sendiri, pemegang saham, pengurus
Pernyataan ini menjadi lebih jelas bila merujuk pada ketentuan Pasal 4 UU PT
2007 yang berbunyi: “Terhadap Perseroan berlaku Undang-Undang ini, anggaran dasar
Perseroan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Tentu saja berlakunya undang-undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lain, tidak mengurangi kewajiban setiap Perseroan untuk
menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan, dan prinsip tata kelola Perseroan
yang baik (good corporate governance) 77 dalam menjalankan Perseroan. Yang dimaksud
dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” adalah semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya Perseroan, termasuk
peraturan pelaksanaannya, antara lain peraturan perbankan, peraturan perasuransian,
peraturan lembaga keuangan. Dalam hal terdapat pertentangan antara anggaran dasar dan
Undang-Undang ini yang berlaku adalah Undang-Undang ini.
76
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hal.
29
77
Pengertian Good Corporate Governance (GCG) dapat diartikan "menjadi tata kelola perusahaan
yang memberikan jaminan berlangsungnya sistem dan proses pengambilan keputusan organ perusahaan
berlandaskan pada prinsip keadilan, transparan, bertanggung jawab, dan akuntabel. Sebagian pihak ada yang
membagi prinsip GCG menjadi lima prinsip utama, yaitu transparansi (transparency), kemandirian
(independence), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility) dan kewajaran (fairness).
Baca: Mas Ahmad Daniri,”Membudayakan Good corporate Governance”, Harian Kompas, 15 April 2004.
Disamping lima prinsip utama tersebut, ada lagi yang menambahkannya dengan prinsip disiplin,
independency, dan social-awareness, check and balance, dan social involvement. Bagi perusahaan negara
(BUMN) kewajiban mematuhi tata kelola perusahaan yang baik diatur dalam UU No 19 Tahun 2003 tentang
BUMN terutama Pasal 5 dan 6 Ayat 3 beserta penjelasannya dan Keputusan Menteri BUMN No KEP-
117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN terutama
Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi: BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan atau menjadikan GCG
sebagai landasan operasionalnya.
Anggaran dasar dari Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum dan
perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri dan
didaftarkan dalam daftar perusahaan sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap berlaku
jika tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Menurut Pasal 29 ayat (1) UU PT 2007, Daftar Perseroan itu diselenggarakan oleh
Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang memuat data tentang Perseroan yang
meliputi:
a. Nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, jangka
waktu pendirian, dan permodalan;
b. Alamat lengkap Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
c. nomor dan tanggal akta pendirian dan Keputusan Menteri mengenai pengesahan
badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4);
d. Nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);
e. Nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan tanggal penerimaan
pemberitahuan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
f. Nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta pendirian dan akta
perubahan anggaran dasar;
g. Nama lengkap dan alamat pemegang saham, anggota Direksi, dan anggota Dewan
Komisaris Perseroan;
h. Nomor dan tanggal akta pembubaran atau nomor dan tanggal penetapan pengadilan
tentang pembubaran Perseroan yang telah diberitahukan kepada Menteri;
i. erakhirnya status badan hukum Perseroan;
j. Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan bagi Perseroan
yang wajib diaudit.
Kemudian, data Perseroan sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) di atas
dimasukkan dalam daftar Perseroan pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal:
78
Sudargo Gautama, Komentar atas Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995 No.1
Perbandingan dengan Peraturan Lama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 28
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya
Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b di
atas atau sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1)
huruf c.
Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Namun tidak
menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur
modal Perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal.
79
Periksa Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Perlu diperhatikan pada saat penempatan dan penyetoran penuh saham, harus
dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. Yang dimaksud dengan “bukti penyetoran
yang sah”, antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama
Perseroan, data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca
Perseroan yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris. Jika dilakukan
pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang
ditempatkan harus disetor penuh (Pasal 33 ayat (3)).
Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam
bentuk lainnya. Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain, penilaian
setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan
harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan. Penyetoran saham dalam
bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih,
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau
setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.
Pemegang saham dan kreditor lainnya yang mempunyai tagihan terhadap Perseroan
tidak dapat menggunakan hak tagihnya sebagai kompensasi kewajiban penyetoran atas
harga saham yang telah diambilnya, kecuali disetujui oleh RUPS. Hak tagih terhadap
a. Perseroan telah menerima uang atau penyerahan benda berwujud atau benda tidak
berwujud yang dapat dinilai dengan uang;
b. Pihak yang menjadi penanggung atau penjamin utang Perseroan telah membayar
lunas utang Perseroan sebesar yang ditanggung atau dijamin; atau dengan kata lain
pihak yang menjadi penanggung atau penjamin utang Perseroan telah membayar
lunas utang Perseroan sehingga mempunyai hak tagih terhadap Perseroan;
c. Perseroan menjadi penanggung atau penjamin utang dari pihak ketiga dan
Perseroan telah menerima manfaat berupa uang atau barang yang dapat dinilai
dengan uang yang langsung atau tidak langsung secara nyata telah diterima
Perseroan. Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah kewajiban pembayaran
utang oleh Perseroan dalam kedudukannya sebagai penanggung atau penjamin
menjadi hapus hak tagih kreditor dikompensasi dengan setoran saham yang
dikeluarkan oleh Perseroan.
80
Periksa Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
UU PT 2007 yang disahkan DPR tanggal 20 Juli lalu menandai babak baru
pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan
kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan. 81
81
Mohamad S. Hidayat, Pandangan Dunia Usaha Terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas, hal.2, dalam http://www.madani-ri.com/2007/10/31/pandangan-dunia-
usaha-terhadap-undang-undang/
82
Ibid.
8. Organ-organ Perseroan
RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-
Undang dan atau anggaran dasar. Menurut UU PT 1995, RUPS merupakan organ
perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala
kewenangan yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
83
Jalal, Pamadi Wibowo dan Sonny Sukada, Regulasi CSR dalam Hasil Sinkronisasi UU Perseroan
Terbatas: Masukan untuk Meninjau Ulang, Makalah dalam diskusi CSR: Haruskah Diregulasi?,
Diselenggarakan pada tanggal 16 Juli 2007 di Hotel Borobudur, Jakarta, hal. 3
Ada beberapa wewenang eksklusif RUPS yang ditetapkan dalam UU PT, antara
lain:
RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari ½ (seperdua) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali Undang-Undang dan
atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.Apabila syarat kuorum
dalam pemanggilan RUPS tidak tercapai, pemanggilan RUPS kedua bisa dilakukan. Dalam
pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama sudah dilangsungkan
dan tidak mencapai kuorum.
RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit
1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili,
kecuali anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. Bila kuorum RUPS
kedua juga tidak tercapai, maka perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri
agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai
kuorum RUPS ketiga bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 1 butir 5 UU PT 2007).
Dari definisi di atas tampak bahwa istilah tugas, wewenang, dan tanggung jawab
Direksi hampir memiliki arah dan maksud yang sama, yakni melakukan pengurusan
perseroan (sesuai dengan maksud dan tujuan dalam anggaran dasar perseroan) dan
mewakili perseroan (baik di dalam maupun di luar pengadilan).
Direksi perseroan terdiri atas satu orang Direksi atau lebih. Tetapi untuk perseroan
yang tertentu wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota Direksi. Perseroan
tertentu tersebut adalah:
c. Perseroan Terbuka.
1) Syarat utama, bahwa yang menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang
cakap melakukan perbuatan hukum. Tetapi orang perseorangan tersebut diatas tidak
termasuk didalamnya orang perseorangan yang dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum
pengangkatannya pernah:
a) dinyatakan pailit;
c) dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan
atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
Ada tiga macam tanggung jawab anggota Direksi yang diatur dalam Pasal 97 UU
PT 2007, yaitu:
84
Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 63
85
Ibid.
Bila ada indikasi anggota Direksi melakukan kesalahan atau lalai dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga menimbulkan kerugian pada
perseroan, maka atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan
gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi.
86
Periksa Pasal 104 ayat (4) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Ada beberapa kewajiban Direksi yang ditetapkan oleh UU PT, antara lain:
1) Direksi wajib: 88
a. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS dan risalah rapat
Direksi;
b. Membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan perseroan
c. Memelihara seluruh daftar, risalah dan dokumen keuangan perseroan.
2) Anggota Direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai saham yang
dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan atau keluarganya dalam perseroan dan
perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus. Anggota Direksi yang
tidak melaksanakan kewajiban dimaksud dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan,
bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan tersebut. 89
3) Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan perseroan
atau menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan, yang merupakan lebih dari 50%
(lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau
lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. 90
87
Periksa Pasal 103 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
88
Periksa Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
89
Periksa Pasal 101 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
90
Periksa Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
3. Dewan Komisaris
Ketentuan yang berkaitan dengan Dewan Komisaris diatur dalam Pasal 1 ayat (6),
Pasal 108 s/d Pasal 121 UU PT 2007. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang
bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar
serta memberi nasihat kepada Direksi. 92
91
Pasal 91 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbunyi: “Pemegang
saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham
dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
92
Periksa Pasal 1ayat (6) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris
yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota
Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan
Dewan Komisaris. 95
Berbeda dengan Perseroan biasa yang boleh memiliki 1 (satu) orang atau lebih
Dewan Komisaris, Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau
mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada
masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota
Dewan Komisaris. 96 Hal ini disebabkan karena Perseroan yang kegiatan usahanya
menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat
pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka memerlukan pengawasan dengan
jumlah anggota Dewan Komisaris yang lebih besar karena menyangkut kepentingan
masyarakat.
Ada satu persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat diangkat menjadi anggota Dewan
Komisaris yaitu yang bersangkutan haruslah orang perseorangan yang cakap melakukan
perbuatan hukum, dengan catatan bahwa yang bersangkutan dalam waktu 5 (lima) tahun
sebelum pengangkatannya tidak pernah:
93
Periksa Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
94
Periksa Pasal 108 ayat (2) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
95
Berbeda dari Direksi yang memungkinkan setiap anggota Direksi bertindak sendiri-sendiri dalam
menjalankan tugas Direksi, setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri dalam
menjalankan tugas Dewan Komisaris, kecuali berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
96
Periksa Pasal 108 ayat (5) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan
bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada
Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Setiap anggota Dewan Komisaris juga ikut
bertanggung jawab secara pribadi atau secara tanggung renteng (bila Dewan Komisaris terdiri
atas 2 (dua) anggota Dewan Komisaris atau lebih), atas kerugian Perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Ketentuan pada ayat ini menegaskan
bahwa apabila Dewan Komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga
mengakibatkan kerugian pada Perseroan karena pengurusan yang dilakukan oleh Direksi,
anggota Dewan Komisaris tersebut ikut bertanggung jawab sebatas dengan kesalahan atau
kelalaiannya.
97
Periksa Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh Dewan Komisaris, yaitu :
a. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya. Risalah rapat
Dewan Komisaris memuat segala sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan dalam rapat
tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan “salinannya” adalah salinan risalah rapat
Dewan Komisaris karena asli risalah tersebut dipelihara Direksi;
b. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya
pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain. Demikian juga dengan setiap perubahan
dalam kepemilikan saham tersebut wajib juga dilaporkan; dan
c. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun
buku yang baru lampau kepada RUPS. Laporan Dewan Komisaris mengenai hal ini
dicatat dalam daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2).98
Disamping itu, berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris
punya kewajiban dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu
untuk jangka waktu tertentu. Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu untuk jangka
waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 118 ayat (1)
berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan
dan pihak ketiga.
98
Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan
bahwa “selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perseroan wajib
mengadakan dan menyimpan daftar khusus yang memuat keterangan mengenai saham anggota Direksi dan
Dewan Komisaris beserta keluarganya dalam Perseroan dan/atau pada Perseroan lain serta tanggal saham itu
diperoleh”.
Anggaran dasar Perseroan dapat mengatur adanya 1 (satu) orang atau lebih komisaris
independen dan 1 (satu) orang komisaris utusan. Komisaris independen diangkat berdasarkan
keputusan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lainnya. Komisaris Independen yang ada di dalam
pedoman tata kelola Perseroan yang baik (code of good corporate governance) adalah
“Komisaris dari pihak luar”. Sedangkan komisaris utusan merupakan anggota Dewan
Komisaris yang ditunjuk berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.
99
Periksa Pasal 138 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
100
Periksa Pasal 138 ayat (3) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Kemudian, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan oleh ahli pemeriksa
kepada ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam penetapan
pengadilan untuk pemeriksaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengangkatan ahli tersebut. Ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil
pemeriksaan kepada pemohon dan Perseroan yang bersangkutan dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima. 102
101
Periksa Pasal 139 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
102
Periksa Pasal 140 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
103
Ibid.
Pembubaran Perseroan dalam UU PT 2007 diatur dalam Pasal 142 sampai dengan
Pasal 152, dimana yang berbeda dengan pengaturan dalam UU PT 1995 (Pasal 114 s/d
Pasal 124) adalah mengenai berakhirnya status badan hukum Perseroan. Dalam UU PT
2007 ditegaskan bahwa Menteri akan mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan
yaitu setelah mendapatkan pemberitahuan dari Likuidator tentang hasil akhir proses
likuidasi yang dicantumkan dalam RUPS "terakhir".
Menurut Pasal 142 ayat (2) UU PT 2007, setiap terjadi pembubaran PT wajib
diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator, dan perseroan tidak
dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan
Perseroan dalam rangka likuidasi. Berbeda dari bubarnya Perseroan sebagai akibat
Penggabungan dan Peleburan yang tidak perlu diikuti dengan likuidasi, bubarnya
Perseroan berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (1) harus selalu diikuti dengan likuidasi.
B. KOPERASI
Landasan yuridis keberadaan koperasi sebagai Badan Usaha dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengemukan: bahwa
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan”. Selanjutnya dalam
penjelasan Pasal 33 antara lain dinyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang dan bangun (bentuk) perusahaan yang
sesuai dengan itu adalah koperasi. Penjelasan Pasal 33 menempatkan koperasi baik dalam
kedudukan sebagai sokoguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral tata
perekonomian nasional.
2. Pengertian Koperasi
Koperasi berasal dari kata bahasa Latin yaitu Cum yang berarti dengan, dan
Aperari yang berarti bekerja. Dalam bahasa Inggris, koperasi merupakan kata yang terdiri
dari dua suku kata yaitu Co dan Operation (Cooperative) yang berarti bekerja sama.
Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Cooperatieve Vereneging yang
berarti bekerja bersama dengan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. 106
105
Baca Penjelasan Umum Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
106
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2001), hal. 1
107
Ibid., hal. 2
108
Ibid.
a. Bukan merupakan kumpulan modal (akumulasi modal). Konsekuenasi dari hal ini
adalah, koperasi harus benar-benar mengabdi kepada kemanusiaan, bukan kepada
sesuatu kebendaan;
b. Merupakan kerjasama, yaitu suatu bentuk gotong royong berdasarkan asas
kesamaan derajat, hak dan kewajiban. Sehingga koperasi benar-benar sebagai
wahana demokrasi ekonomi dan sosial. Koperasi adalah milik anggota, sehingga
kekuasaan tertinggi ada pada Rapat Anggota;
c. Semua kegiatan harus didasarkan atas kesadaran para anggotanya, tidak boleh ada
paksaan, intimidasi maupun campur tangan luar yang tidak ada sangkut pautnya
dengan urusan internal koperasi;
d. Tujuan koperasi harus merupakan kepentingan bersama para anggotanya dan tujuan
tersebut hanya dapat dicapai dengan karya dan jasa yang disumbangkan para
anggotanya, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi harus dapat mencerminkan
perimbangan secara adil dari besar kecilnya karya dan jasa dari para anggotanya.
109
Ibid., hal. 3
110
Andjar Pachta W., Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi Indonesia:
Pemahaman, Regulasi, Pendirian, dan Modal Usaha, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 15
111
Ibid., hal. 16
a. Suatu perkumpulan koperasi adalah suatu bentuk badan usaha atau persekutuan
ekonomi, yakni suatu perkumpulan yang anggota-anggotanya adalah para
langganannya (patrons). Koperasi diorganisasikan oleh mereka dan pada dasarnya
dimiliki dan diawasi oleh para anggota dan bekerja untuk kemanfaatan mereka. Hal
ini sangat berlawanan dengan unit-unit usaha yang bekerja untuknkemanfaatan atau
keuntungan bagi para pemilik modal atau para penerima upah.
b. Mengenai teknik organisasi dan teknik operasional, pembagian, dan praktik
usahanya terdapat kesesuaian pendapat dengan apa yang disebut Rochdale
Principle. Misalnya berdagang dengan harga umum, pembagian sisa hasil usaha
menurut jasa anggota, menolak pemberian suara yang diwakili (proxy voting),
pengawasan hanyalah oleh anggota yang aktif (aktif patrons members),
pembayaran yang rendah oleh para anggotanya untuk keanggotaannya, netral dalam
politik dan agama, dan seterusnya.
c. Robotka mengutip pendapat J.D. Black, mengatakan bahwa koperasi sebagai suatu
struktur ekonomi merupakan suatu kombinasi horizontal dari unit-unit yang
dikoordinasikan, yang melayani berbagai tujuan dari unit-unit itu. Akan tetapi, bila
integrasi vertical dipertimbangkan baik ke depan terhadap para konsumen atau ke
belakang terhadap sumber yang tersedia, kombinasi horizontal adalah perlu
diantara unit-unit yang terlalu kecil untuk melaksanakan integrasi vertical secara
individual.
d. Mengenai hubungan ekonomi yang terjadi di antara anggota suatu koperasi, Black
mengatakan bahwa koperasi merupakan antithesis dari persaingan, yakni bahwa
anggota-anggota lebih bersifat bekerja sama daripada bersaing di antara mereka
sendiri.
e. Pengakuan atas implikasi dari bentuk bukan perkumpulan modal dan bukan
mengejar keuntungan dari koperasi, yang bertitik tolak dari prinsip-prinsip
Rochdale, dimana Nourse telah menunjukkan bentuk organisasi demikian yaitu
suatu bentuk yang sangat berbeda dengan sebuah perseroan yang mengejar
keuntungan dan bekerja dengan suatu rencana atau skema khusus untuk
memperoleh keuntungan.
f. Keanggotaan di dalam koperasi lebih mendasarkan kepada anggota secara
perseorangan daripada atas dasar yang bersifat financial bukan perorangan
(impersonal financial basis). Orang akan secara sukarela bergabung atas dasar
keinginan mereka sendiri, penilaian perseorangan dan kesanggupan serta kemauan
untuk menepati janji termasuk di dalamnya pelaksanaan timbale balik terutama
terhadap resiko dan biaya-biaya.
g. Koperasi merupakan suatu wadah dimana para anggotanya secara lebih efektif
menunjukkan fungsi-fungsinya yang tertentu, proses atau aktivitas-aktivitas yang
berhubungan dengan secara integral dengan kegiatan-kegiatan ekonomi dari para
112
Ibid., hal. 17
Dari berbagai definisi dan pengertian koperasi, pada umumnya terdapat beragam
unsur yang terkandung, tetapi pada pokoknya sama, yaitu: 116
113
Ibid., hal. 19
114
Ibid.
115
Ibid.
116
Ibid., hal. 20
Mengetahui secara jelas perbedaan antara koperasi dan bentuk usaha lainnya, dapat
dilihat dari unsur-unsur utama yang ada pada koperasi dan bentuk usaha lainnya (Firma,
CV, dan PT), yaitu sebagai berikut: 117
Pada koperasi, para pihak adalah orang-orang yang tidak bermodal. Jadi untuk
mendapatkan suatu jumlah modal yang besar haruslah para pihak banyak
jumlahnya. Sedangkan pada bentuk usaha lain, para pihak tidak perlu banyak
jumlahnya, bias dua orang atau tiga orang saja sudah cukup, masing-masing
memiliki modal yang cukup;
b. Unsur tujuan
117
Rahayu Hartini, Hukum Komersial, (Malang : UMM Press, 2005), hal. 102
Pada koperasi, pembagian sisa hasil usaha akan dibagikan kepada anggota
sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota setelah
dikurangi dengan dana cadangan. Sedangkan pada bentuk lain, keuntungannya
akan dibagikan sebanding dengan jumlah pemasukannya.
Pada masa Kolonial Belanda, tercatat dua orang Belanda yang turut memikirkan
nasib penderitaan rakyat Hindia Belanda (Indonesia), yaitu E. Siedeburgh (Kepala Daerah
Purwokerto) dan penggantinya De Wolf van Westerrede. Kedua orang Belanda ini banyak
kaitannya dengan perintisan berdirinya koperasi pertama di Indonesia, yaitu Purwokerto. 118
Orang pribumi Indonesia pertama yang jelas tercatat dalam sejarah perintisan
koperasi di Indonesia adalah Raden Aria Wiria Atmadja, seorang pegawai negeri di
Purwokerto yang tergugah hatinya untuk memperbaiki kondisi para pegawai negeri yang
kebanyakan terlilit utang dari rentenir. Untuk itu pada tahun 1896, dengan didorong oleh
E. Siedeburgh, Raden Aria Wiria Atmadja mendirikan Hulp en Spaarbank (Bank Bantuan
dan Tabungan). Untuk menjalankan bank itu, awalnya didayagynakan uang dana masjid,
dan selanjutnya berhasil mengumpulkan sendiri dana sebesar 4.000 gulden sebagai modal
kerja. 119
118
Andjar Pachta W., Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit., hal. 39
119
Ibid., hal. 40
De Wolf berhasil mendirikan 250 buah lumbung desa sebagai badan untuk
meminjamkan pada kepada rakyat. Lumbung ini diurus oleh komisi yang terdiri dari
Kepala Desa, Juru Tulis Desa, dan Penghulu Kampung. Untuk lebih mewujudkan harapan
besarnya menolong para petani Hindia Belanda, De Wolf menyempatkan diri belajar
koperasi model Raiffesein langsung di Jerman. Pada tahun 1990, De Wolf diberi tugas
khusus untuk membentuk modal Koperasi Kredit Desa. 122
Pada tahun 1908, berdirilah Perkumpulan Budi Utomo yang dipimpin oleh Budi
Utomo dan Gunawan Mangunkusumo. Perkumpulan ini menganjurkan dan mencoba
memajukan Koperasi Rumah Tangga (Konsumsi). 123
Tahun 1912, berdiri pula Serikat Dagang Islam oleh Haji Samanhudi yang
bertujuan memperkuat posisi pedagang pribumi terhadap pedagang Tionghoa dengan cara
mendirikan took-toko koperasi. 124
120
Ibid.
121
Ibid.
122
Ibid.
123
Ibid.
124
Ibid., hal. 41
125
Budi Untung, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005),
hal. 23
126
Ibid.
127
Ibid.
Gotong royong dalam pengertian kerja sama pada koperasi mempunyai pengertian
luas, yaitu: 130
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam Bab II, Bagian
Kedua, Pasal 3 telah mengatur mengenai tujuan koperasi Indonesia sebagai berikut: 131
128
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Op.Cit., hal. 37
129
Ibid., hal. 38
130
Nindyo Pramono, Beberapa Aspek Koperasi pada Umumnya dan Koperasi Indonesia di dalam
Perkembangan, (Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, 1986), hal. 18
131
Periksa Pasal 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Sedangkan fungsi dan peran koperasi Indonesia diatur dalam Pasal 4 Undang-
Undang No. 25 Tahun 1992, sebagai berikut: 133
Fungsi dan peran koperasi tersebut di atas hanya dapat tercapai jika koperasi sendiri
betul-betul melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi. Oleh
karena itu, koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat dan sebagai sarana peningkatan
kemajuan ekonomi rakyat, khususnya golongan ekonomi lemah, harus semakin
dikembangkan dan diperkuat dalam rangka menumbuhkan serta mengembangkan
demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sebagai landasan bagi
terwujudnya masyarakat berkeadilan dan berkemakmuran. 134
132
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 42
133
Periksa Pasal 4 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
134
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Op.Cit., hal. 46
135
Periksa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan
penjelasannya
136
Periksa Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Dalam beberapa kali sidang I.C.A yang di adakan di London (1934) dan Paris
(1937), prinsip-prinsip koperasi mengalami perubahan dan penambahan. Demikian pula
pada tahun 1966 di Wina, prinsip-prinsip koperasi Internasioanl kembali mengalami
perubahan dan penambahan, tak terkecuali pada kongres ke-100 I.C.A di Manchester
sehingga akhirnya prinsip-prinsip koperasi Internasional menjadi sebagai berikut: 138
137
Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
138
Andjar Pachta W., Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit., hal. 23-25
Gerakan koperasi yang pertama kali tercatat dalam sejarah karena keberhasilannya
adalah koperasi yang didirikan di kota Rochdale Inggris, oleh 28 orang buruh pabrik tenun
(fannel) dan bergerak di bidang konsumsi, sehingga terkenal dengan Koperasi Konsumsi.
Gerakan ini dapat berhasil karena dalam usahanya mereka mendasarkan diri pada prinsip-
prinsip usaha yang telah mereka rumuskan dan taati bersama, sebagai berikut: 139
2) Prinsip Raiffeisen
Prinsip Raiffeisen muncul sebagai realisasi atas keadaan perekonomian yang kritis
di Jerman pada pertengahan abad ke-19, khususnya di bidang pertanian. Pada saat itu
seorang manta walikota yang menaruh perhatian terhadap kaum miskin bernama Freidrich
William Raiffeisen (1818-1888) membentuk Koperasi Pertanian (Kredit Pertanian) di
pinggiran kota. Dalam menjalankan kegiatannya, Koperasi Pertanian tersebut
140
menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Swadaya;
- Daerah kerja yang terbatas;
- Sisa hasil usaha digunakan sebagai cadangan;
- Tanggung jawab anggota tidak terbatas;
- Usaha hanya ditujukan kepada anggota;
139
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Op.Cit., hal. 54-56
140
Ibid., hal. 56-57
6. Pendirian Koperasi
a. Bentuk dan Jenis Koperasi
Pengertian Koperasi Sekunder meliputi semua Koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan Koperasi Primer dan/atau Koperasi Sekunder. Berdasarkan kesamaan
kepentingan dan tujuan efisiensi, Koperasi Sekunder dapat didirikan oleh Koperasi sejenis
maupun berbagai jenis atau tingkatan. Dalam hal Koperasi mendirikan Koperasi Sekunder
dalam berbagai tingkatan, seperti yang selama ini dikenal sebagai Pusat, Gabungan, dan
Induk, maka jumlah tingkatan maupun penamaannya diatur sendiri oleh Koperasi yang
bersangkutan. 141
141
Periksa penjelasan Pasal 15 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
142
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Op.Cit., hal. 60
Sedangkan mengenai jenis koperasi diatur dan dijelaskan dan Pasal 16 Undang-
Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menyebutkan bahwa “jenis
koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya”,
seperti antara lain Koperasi SImpan Pinjam, Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen,
Koperasi Pemasaran, dan Koperasi Jasa. Khusus koperasi yang dibentuk oleh golongan
fungsional seperti pegawai negeri, anggota TNI, karyawan dan sebagainya, bukan
merupakan jenis koperasi tersendiri. 144
Ada beberapa jenis koperasi yang dikenal berdasarkan berbagai sudut pandang
(pendekatan), antara lain: 145
1) Berdasarkan sudut pandang sejarah timbulnya gerakan koperasi, maka dikenal jenis-
jenis koperasi seperti:
a) Koperasi Konsumsi;
b) Koperasi Kredit; dan
c) Koperasi Produksi
2) Berdasarkan pendekatan menurut lapangan usaha dan/atau tempat tinggal para
anggotanya, maka dikenal beberapa jenis koperasi, antara lain:
a) Koperasi Desa;
b) Koperasi Unit Desa;
c) Koperasi Konsumsi;
d) Koperasi Pertanian (Koperta);
e) Koperasi Peternakan;
f) Koperasi Perikanan;
g) Koperasi Kerajinan atau Koperasi Industri;
h) Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Kredit;
143
Ibid.
144
Periksa Pasal 16 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan penjelasannya
145
Nindyo Pramono, Op.Cit., hal. 118
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang perorangan atau badan
hukum koperasi yang mana kegiatannya didasarkan pada prinsip-prinsip koperasi yang
berasaska kekeluargaan.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa cara dan syarat pendirian koperasi adalah: 146
a) Orang yang mendirikan koperasi harus mempunyai kepentingan ekonomi yang
sama;
b) Memiliki tujuan yang sama;
c) Memenuhi syarat wilayah tertentu; dan
d) Telah membuat konsep Anggaran Dasar Koperasi.
146
Winanto Wiryomartani, dalam Budi Untung, Hukum Koperasi dan Peran Notaris
Indonesia,Op.Cit., hal. 26
Setelah terpenuhi jumlah anggota minimal dan kesemua anggota telah memahami
betul mengenai: tujuan, hubungan hukum dan aturan main dalam koperasi yang hendak
mereka dirikan tersebut, maka proses selanjutnya adalah menuangkan kesepakatan
bersama tersebut ke dalam Anggaran Dasar yang berbentuk atau merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Akta Pendirian Koperasi. 148 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menyebutkan bahwa
“pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dengan Akta
Pendirian yang memuat Anggaran Dasar”. 149
147
Andjar Pachta W., Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit., hal. 84-85
148
Ibid.
149
Periksa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
150
Periksa Pasal 8 Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Dalam hal permintaan pengesahan Akta Pendirian ditolak, alasan penolakan harus
diberitahukan kepada para pendiri secara tertulis dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah diterimanya permintaan. Bila hal ini yang terjadi, maka terhadap penolakan
dimaksud para pendiri diberi hak untuk mengajukan permintaan ulang dalam waktu paling
lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya penolakan, dan keputusan terhadap pengajuan
permintaan ulang diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
diterimanya pengajuan permintaan ulang. 153
a. Rapat Anggota;
b. Pengurus; dan
c. Pengawas.
a. Rapat Anggota
Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam tata kehidupan
koperasi. Keputusan Rapat Anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai
mufakat. Apabila tidak diperoleh keputusan dengan cara musyawarah, maka pengambilan
151
Periksa Pasal 9 Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
152
Periksa Pasal 10 Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
153
Periksa Pasal 11 Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Hak suara dalam Koperasi Sekunder dapat diatur dalam Anggaran Dasar dengan
mempertimbangkan jumlah anggota dan jasa usaha koperasi-koperasi secara berimbang.
Rapat Anggota sebagai kekuasaan tertinggi dalam koperasi mempunyai hak dalam
menetapkan: 154
a) Anggaran Dasar;
b) Kebijaksanaan umum di bidang organisasi, manajemen, dan usaha koperasi;
c) Pemilihan, pengangkatan, pemberhentian pengurus dan pengawas;
d) Rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi, serta
pengesahan laporan keuangan;
e) Meminta keterangan dan pertanggungjawaban pengurus dan pengawas mengenai
pengelolaan koperasi. 155
f) Pengesahan pertanggungjawaban pengurus dalam pelaksanaan tugasnya;
g) Pembagian sisa hasil usaha;
h) Penggabungan, peleburan, pembagian, dan pembubaran koperasi;
Rapat Anggota diadakan paling sedikit sekali dalam setahun. Rapat Anggota untuk
mengesahkan pertanggungjawaban pengurus diselenggarakan paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tahun buku lampau. Selain Rapat Anggota, dikenal pula Rapat Anggota Luar
Biasa apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera yang wewenangnya ada
pada Rapat Anggota.
Rapat Anggota Luar Biasa dapat diadakan atas permintaan sejumlah anggota
koperasi atau atas keputusan pengurus yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar.
Demikian juga dengan persyaratan, tata cara, dan tempat penyelenggaraan Rapat Anggota
dan Rapat Anggota Luar Biasa diatur dalam Anggaran Dasar.
b. Pengurus
Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota. Pengurus dipilih dari dan
oleh anggota koperasi dalam Rapat Anggota untuk masa jabatan paling lama 5 (lima)
tahun. Untuk pertama kali, susunan dan nama anggota pengurus dicantumkan dalam Akta
154
Periksa Pasal 23 Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
155
Periksa Pasal 25 Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Pengurus koperasi dapat mengangkat pengelola yang diberi wewenang dan kuasa
untuk mengelola usaha koperasi. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
profesionalisme dalam pengelolaan usaha koperasi. Karenanya, pengurus dapat
mengangkat tenaga pengelola yang ahli untuk mengelola usaha koperasi yang
bersangkutan. Penggunaan istilah pengelola dimaksudkan untuk dapat mencakup
pengertian yang lebih luas dan member alternative bagi koperasi. Dengan demikian, sesuai
dengan kepentingannya, koperasi dapat mengangkat pengelola sebagai manajer atau
direksi. Sedangkan maksud dari kata “diberi wewenang dan kuasa” adalah pelimpahan
wewenang dan kuasa yang dimiliki oleh pengurus. Dengan demikian, pengurus tidak lagi
melaksanakan sendiri wewenang dan kuasa yang telahj dilimpahkan kepada pengelola dan
tugas pengurus beralih menjadi mengawasi pelaksanaan wewenang dan kuasa yang
156
Periksa Pasal 30 (1) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
157
Periksa Pasal 30 (2) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Setelah tahun buku koperasi ditutup, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum
diselenggarakan Rapat Anggota Tahunan, pengurus menyusun laporan tahunan yang
memuat sekurang-kurangnya: 158
a) Perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau
dan perhitungan hasil usaha dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas
dokumen tersebut;
b) Keadaan dan usaha koperasi serta hasil usaha yang dapat dicapai.
158
Periksa Pasal 35 Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
c. Pengawas
Pengawas dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam Rapat Anggota. Pengawas
bertanggung jawab kepada Rapat Anggota. Persyaratan untuk dipilih dan diangkat sebagai
anggota pengawasan ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Dalam hal Koperasi mengangkat pengelola, engawas dapat diadakan secara tetap
atau diadakan pada waktu diperlukan sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Hal ini
tidak mengurangi arti engawas sebagai perangkat organisasi dan memberi kesempatan
kepada koperasi untuk memilih engawas secara tetap atau pada waktu diperlukan sesuai
dengan keperluannya. Pengawas yang diadakan pada waktu diperlukan tersebut melakukan
pengawasan sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh Rapat Anggota.
159
Periksa Pasal 39 Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
d. Hibah. Hibah adalah suatu pemberian atau hadiah dari seseorang semasa hidupnya
orang tersebut. Hibah ini dapat berbentuk wasiat jika pemberian tersebut
diucapkan/ditulis oleh seseorang sebagai wasiat atau pesan atau kehendak terakhhir
sebeluam dia meninggal dunia, dan baru berlaku setelah dia meninggal dunia. 161
Hibah adalah sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai dengan uang
yang diterima dari pihak lain yang bersifat hibah/pemberian dan tidak mengikat. 162
a. Pinjaman yang diperoleh dari anggota, termasuk calon anggota yang memenuhi
syarat.
b. Pinjaman dari koperasi lainnya dan/atau anggotanya didasari dengan perjanjian
kerja sama antarkoperasi.
c. Pinjaman dari bank dan lembaga keuangan lainnya dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
160
Periksa Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan
Penjelasannya
161
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 236
162
http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi
163
Periksa Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan
Penjelasannya
Selain modal sebagai dimaksud di atas, koperasi dapat pula melakukan pemupukan
modal yang berasal dari modal penyertaan. Pemupukan modal dari modal penyertaan, baik
yang bersumber dari Pemerintah maupun dari masyarakat dilaksanakan dalam rangka
memperkuat kegiatan usaha koperasi terutama yang berbentuk investasi. Modal penyertaan
ikut menanggung resiko. Pemilik modal penyertaan tidak mempunyai hak suara dalam
Rapat Anggota dan dalam menentukan kebijaksanaan koperasi secara keseluruhan. Namun
demikian, pemilik modal penyertaan dapat diikutsertakan dalam pengelolaan dan
pengawasan usaha investasi yang didukung oleh modal penyertaannya sesuai dengan
perjanjian.
164
Periksa ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemeritah Nomor 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan
pada Koperasi
165
Periksa ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemeritah Nomor 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan
pada Koperasi
(1) Pemodal turut menanggung resiko dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha
yang dibiayai modal penyertaan sebatas nilai modal penyertaan yang
ditanamkannya dalam koperasi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemodal
turut serta dalam pengelolaan usaha yang dibiayai modal penyertaan dan atau turut
menyebabkan terjadinya kerugian usaha yang dibiayai modal penyertaan tersebut.
Sedangkan ketentuan Pasal 8 mengatur mengenai hak pemodal yang menyebutkan
bahwa pemodal berhak memperoleh bagian keuntungan dari usaha yang dibiayai modal
penyertaan.
Usaha koperasi terutama diarahkan pada bidang usaha yang berkaitan langsung
dengan kepentingan anggota baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraannya.
Dalam hubungan ini maka pengelolaan usaha koperasi harus dilakukan secara produktif,
efektif, dan efisien dalam arti koperasi harus mempunyai kemampuan mewujudkan
pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-
besarnya pada anggota dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil
usaha yang wajar. Untuk mencapai kemampuan usaha seperti tersebut di atas, maka
koperasi dapat berusaha secara luwes baik ke hulu maupun ke hilir serta berbagai jenis
usaha lainnya yang terkait. Adapun mengenai pelaksanaan usaha koperasi, dapat dilakukan
Agar Koperasi dapat mewujudkan fungsi dan peran seperti yang dimaksud di atas,
maka koperasi melaksanakan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi dan berperan
utama dalam kehidupan ekonomi rakyat. Yang dimaksud dengan kehidupan ekonomi
rakyat adalah semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan menyangkut kepentingan
orang banyak.
166
Periksa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan
Penjelasannya
167
Periksa Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan
Penjelasannya
168
Periksa Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Sebagai suatu badan usaha, koperasi di dalam menjalankan kegiatan usahanya tentu
juga menghendaki untuk mendapatkan keuntungan atau sisa hasil usaha. Jika koperasi bias
mendapatkan sisa hasil usaha yang cukup banyak, maka sisa hasil usaha tersebut dapat
disishkan sebagian untuk cadangan koperasi, yang selanjutnya bias dipergunakan untuk
menambah modal (stock capital) koperasi. Apabila modal koperasi bertambah besar maka
dengan sendirinya lingkup usaha koperasi akan bertambah besar pula. 169
b. keputusan Pemerintah.
169
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Op.Cit., hal. 104-105
Yang dimaksud dengan Kuasa Rapat Anggota dalam ayat ini adalah mereka yang
ditunjuk dan diberi kuasa serta tanggung jawab oleh Rapat Anggota untuk melaksanakan
tugas yang berkaitan dengan pembubaran Koperasi.
Mengenai pembubaran koperasi oleh Pemerintah, saat ini sudah diatur di dalam
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1994 tentang Pembubaran Koperasi oleh Pemerintah.
Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1994, terdapat beberapa
persyaratan dilakukannya pembubaran koperasi oleh Pemerintah yang dilaksanakan oleh
Mentri, yaitu apabila:
1. Pendahuluan
Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan salah satu
wujud nyata Pasal 33 UUD 1945 memiliki posisi strategis bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat. Namun demikian, dalam realitanya, seberapa jauh BUMN mampu menjadi alat
negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bangsa ini tergantung pada tingkat
efisiensi dan kinerja dari BUMN itu sendiri. Apabila BUMN tidak mampu beroperasi
dengan tingkat efisiensi yang baik, pada akhirnya akan menimbulkan beban bagi keuangan
negara dan masyarakat akan menerima pelayanan yang tidak memadai dan harus
menanggung biaya yang lebih tinggi. 170
170
Baca Penjelasan Umum Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
171
Ibid.
Walaupun saat ini kinerja BUMN secara umum telah menunjukkan adanya
peningkatan, namun pencapaian tersebut masih jauh dari hasil yang diharapkan. Dengan
kinerja demikian, masih ada potensi BUMN untuk membebani fiskal yang dapat
mempengaruhi upaya mempertahankan kesinambungan fiskal. Kinerja BUMN mempunyai
pengaruh di sisi pendapatan dan di sisi pengeluaran negara. Disisi pendapatan, BUMN
menyumbang pada penerimaan negara baik penerimaan pajak maupun bukan pajak.
Sedangkan disisi pengeluaran, jika BUMN memiliki kinerja yang rendah, pada akhirnya
mengakibatkan beban terhadap pengeluaran negara. Pelaksanaan konsolidasi dan
revitalisasi bisnis BUMN (2002-2004) memang telah mampu meningkatkan kinerja
BUMN. Hal ini dapat dilihat pada realisasi penjualan tahun 2000-2003 yang meningkat
rata-rata sebesar 17,8 persen per tahun. Sementara itu laba bersih BUMN antara tahun
2000-2003 juga mencapai peningkatan rata-rata yang cukup tinggi, yaitu 26,7 persen per
tahun. Kalau pada tahun 2000 baru mencapai sebesar Rp 14 triliun, tahun 2001 meningkat
sebesar 35,7 persen, dan tahun 2002 meningkat lagi sebesar 36,8 persen. Tahun 2003 laba
bersih BUMN tersebut telah mencapai sebesar Rp 28 triliun atau meningkat dua kali lipat
dibandingkan laba bersih tahun 2000. Di sisi lain, meskipun jumlah BUMN yang sehat
pada tahun 2003 turun menjadi 97 perusahaan dibanding tahun sebelumnya 102
perusahaan, akan tetapi dari sisi jumlah pajak (PPh dan PPn) yang disetorkan kepada
negara terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001, jumlah pajak yang disetor sebesar
Rp 8,7 triliun, tahun 2002 sebesar Rp 16,4 triliun atau naik 88,5 persen dan tahun 2003
meningkat lagi sebesar Rp22,1 triliun atau naik 34,8 persen dari tahun sebelumnya dan
pada tahun 2004 BUMN diharapkan akan mampu memberikan kontribusi kepada negara
sebesar Rp 27 triliun yang berasal dari dividen Rp 6 triliun, pajak sebesar Rp 16 triliun dan
privatisasi sebesar Rp 5 triliun. 173
172
Ibid.
173
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/pembangunan_jangka_menengah/Bab%2019%20Peningkatan%
20Pengelolaan%20BUMN.pdf
Akhir tahun 2005, jumlah BUMN yang dimiliki Pemerintah tercatat masih sebanyak
158 BUMN. Dari keseluruhan BUMN tersebut sebanyak 128 BUMN mampu mencetak laba,
jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya masih mengalami kerugian.
Itu sebabnya realisasi penerimaan negara dari BUMN mencapai Rp. 12,3 trilliun hanya dari
pembagian keuntungan BUMN yang mencetak laba tersebut. 175
Pada tahun 2006, jumlah perusahaan yang untung dan mampu menyumbangkan
dividen bagi negara mencapai 90 BUMN, sedangkan jumlah BUMN yang rugi menurun
menjadi 20 pada tahun 2006. Hingga tahun 2007 terdapat 139 BUMN yang tersisa yang
bila dirinci menurut bentuk usahanya adalah 13 berbentuk perusahaan umum (Perum), ll4
berbentuk Persero, 12 berbentuk Perseroan Terbuka (Tbk). Di samping itu, negara juga
masih memiliki saham minoritas di 21 perusahaan. 176
Pengelolaan BUMN dari tahun ke tahun terus membaik tercermin dari kinerja
keuangan yang meningkat. Pada tahun 2008 laba bersih 141 BUMN mencapai Rp 75,5
triliun, meningkat dari tahun 2004 sebesar Rp 38,6 triliun. Pada saat bersamaan total
pendapatan mencapai Rp 1.090 triliun, melonjak dari tahun 2004 sebesar Rp 520 triliun. 177
174
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5527/
175
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/rencana_kerja_pemerintah/Bab%2020%20Narasi.pdf
176
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5653/
177
Pemerintah Berniat Revisi UU BUMN, Inilah.com, 17 Juni 2009, dalam
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2009/06/17/116878/pemerintah-berniat-revisi-uu-bumn/
Masih banyak kendala serta permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan BUMN
dan upaya peningkatan kinerjanya. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan masih
lemahnya koordinasi kebijakan antara langkah perbaikan internal perusahaan dengan
kebijakan industrial dan pasar tempat BUMN tersebut beroperasi, belum terpisahkannya
fungsi komersial dan pelayanan masyarakat pada sebagian besar BUMN dan belum
terimplementasikannya prinsip-prinsip Good Corporate Governance secara utuh di seluruh
BUMN. Di samping itu, belum optimalnya kesatuan pandangan dalam kebijakan
privatisasi di antara stakeholder yang ada berpotensi memberikan dampak negatif dalam
pelaksanaan dan pencapaian tujuan kebijakan ini. Ke depan, tantangan yang dihadapi
adalah memberikan sumbangan yang makin besar pada keuangan negara. Di samping itu
masyarakat yang semakin membutuhkan pelayanan yang baik serta iklim persaingan dunia
usaha yang semakin ketat menuntut terciptanya BUMN yang sehat, efisien serta berdaya
saing tinggi, baik dalam maupun luar negeri. 178
178
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/pembangunan_jangka_menengah/Bab%2019%20Peningkatan%
20Pengelolaan%20BUMN.pdf
1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 33 Undang-undang dasar Tahun
1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;
3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3587);
4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4286);
5) Indonesische Bedrijvenwet (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419) sebagaimana telah
beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1955 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 850);
6) Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1989);
7) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) tentang
Bentuk-Bentuk Usaha Negara menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);
8) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983, tentang Pembinaan, Pengelolaan, dan
Pengawasan Badan Usaha Milik Negara
9) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan
(PERSERO),
10) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM)
11) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan (PERJAN).
179
Roziq M. Kaelani, Landasan Hukum dan Sejarah BUMN di Indonesia, dalam
http://ketawanggede.tripod.com/edisi1.pdf atau dalam http://www.blogster.com/ketawanggede/landasan-
hukum-dan-sejarah
180
Ibid.
Beban pemerintah yang terlalu besar untuk menjalankan perusahaan negara, krisis
pangan pada tahun 1961 sebagai akibat gagal panen dan tidak tercapainya kuota impor
beras, dan pencetakan uang secara besar-besaran mendorong munculnya hiperinflasi. Pada
tahun 1961 inflasi mencapai angka 95 persen dan pada tahun 1965 inflasi mencapai 605
persen4. Untuk mengatasi hiperinflasi pemerintah melakukan kebijakan pemotongan nilai
uang melalui Penetapan Presiden No. 27/1965 tanggal 13 Desember 1965, dimana nilai
mata uang Rupiah turun dari Rp 1000,- menjadi Rp 1,-. Kebijakan ini jelas merugikan
masyarakat secara luas (Sukarman, 2003). Kondisi ini terus memburuk sampai dengan
lahirnya pemerintah Orde Baru. Paradigma pembangunan Orde Baru sebagian besar
merupakan antitesis dari Orde Lama. Perbedaan yang nyata adalah bahwa Soeharto
menerapkan azas pragmatisme dalam ekonomi yang dijalankan oleh para profesional
dengan memperoleh dukungan dari kelompok militer. Glasburner (1971) menyatakan
bahwa: “In the New Order’s economic policy, this effort has been characterized by
pragmatism, reliance on professional expertise and gradualism”. Dalam konteks
pengelolaan perusahaan negara, dalam batas tertentu antara Orde Lama dan Orde Baru
181
Ibid.
182
Ibid.
Hasil Pemilu tahun 1971 yang dimenangkan oleh Golongan Karya (Golkar)
semakin memantapkan kelompok teknokrat7 pada pos-pos penting dalam Kabinet
Pembangunan I. Kelompok teknokrat yang sebagian besar bermazhab ekonomi liberal
dalam menetapkan kebijakan ekonomi lebih mengedepankan tercapainya pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, dengan melakukan stabilisasi harga (laju inflasi yang rendah). Dalam
kondisi tabungan masyarakat yang rendah, salah satu langkah yang ditempuh oleh
pemerintah adalah dengan membuka diri terhadap masuknya modal asing untuk
membiayai pembangunan. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam
Negeri (UU PMDN). Dalam prakteknya pemerintah Orde Baru tidak melakukan kontrol
atas arus (masuk dan keluarnya) modal asing dalam perekonomian nasional8. Dalam
bidang moneter, pemerintah melalui Bappenas melakukan kordinasi dengan Bank
Indonesia untuk menetapkan sasaran makro ekonomi dalam rangka menjaga stabilitas
harga (pengendalian laju inflasi). Kebijakan fiskal dilakukan dengan melakukan koordinasi
dengan Departemen Keuangan dengan menutup Defisit Anggaran melalui pinjaman luar
negeri melalui IGGI. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemeintah mendorong
peran swasta (nasional dan asing) untuk terlibat dalam proses pembangunan melalui
serangkaian kebijakan penanaman modal yang menarik bagi swasta. Beberapa paket
kemudahan untuk melakukan usaha (bahkan pemberian hak khusus seperti monopoli dan
proteksi) bagi pihak swasta. Kondisi kemudian menyuburkan beberapa konglomerat9 yang
memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan. Dalam konteks pengelolaan BUMN, pada
186
Ibid.
3. Pengertian
Badan Usaha Milik Negara, selanjutnya disingkat BUMN, diatur dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara
Nomor 70 Tahun 2003) yang diundangkan serta mulai berlaku pada tanggal 19 Juni 2003.
Kehadiran undang-undang ini menggantikan tiga undang-undang sebelumnya yang sudah
dinyatakan dicabut (tidak berlaku lagi), yaitu:
187
Ibid
188
Ibid.
Ada 5 (lima) tujuan pendirian BUMN yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 yaitu: 191
189
Periksa Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
190
Periksa Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
191
Periksa Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan
penjelasannya
Tujuan pendirian BUMN yang dirumuskan dalam Pasal 2 di atas lebih lengkap dan
ideal bila dibandingkan dengan tujuan pendirian Perusahaan Negara sebagaimana dahulu
diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 19 tahun 1960, tentang
Perusahaan Negara. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No. 19 tahun 1960 menyebutkan bahwa Tujuan perusahaan negara ialah untuk
turut membangun ekonomi nasional sesuai dengan mengutamakan kebutuhan rakyat dan
ketentraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan
makmur materiil dan spirituil. Dalam bagian penjelasan Pasal 4 ayat (2) dikatakan bahwa
perusahaan negara tersebut dalam menunaikan tugasnya selalu memperhatikan daya guna
yang sebesar-besarnya dengan tidak melupakan tujuan perusahaan untuk ikut serta
membangun ekonomi nasional sesuai dengan ekonomi terpimpin.
Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN
bersumber dari : 193
Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan
terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Pemisahan kekayaan negara untuk dijadikan penyertaan
modal negara ke dalam modal BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan
langsung negara ke dalam modal BUMN tersebut, sehingga setiap penyertaan tersebut
perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Demikian juga setiap dilakukan perubahan
penyertaan modal negara baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk
perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas,
192
Periksa Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
193
Periksa Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi. Direksi ini bertanggung jawab penuh
atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN,
baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi
harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib
melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance. Pasal 2 Keputusan Mentri
Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-117/M-MBU/2002 Tentang Penerapan Praktek
Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebutkan
bahwa:
Ayat (1): BUMN wajib menerapkan good corporate governance secara konsisten dan atau
menjadikan good corporate governance sebagai landasan operasionalnya.
Ayat (2): Penerapan good corporate governance pada BUMN dilaksanakan berdasarkan
Keputusan ini dengan tetap memperhatikan ketentuan dan norma yang berlaku
dan anggaran dasar BUMN.
Prinsip-prinsip good corporate governance ini teridiri dari prinsip transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. 194 Corporate
governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan
194
Periksa Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Sedangkan penerapan good corporate governance pada BUMN, bertujuan untuk : 197
195
Periksa Pasal 1 huruf (a) Keputusan Mentri Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-117/M-
MBU/2002 Tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)
196
Baca Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara
197
Periksa Pasal 4 Keputusan Mentri Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-117/M-MBU/2002
Tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Pendirian Persero diusulkan oleh mentri kepada presiden disertai dengan dasar
pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Mentri Teknis dan Mentri Keuangan. 199
Pengkajian dimaksud bertujuan untuk menentukan layak tidaknya Persero tersebut
didirikan, melalui kajian atas perencanaan bisnis dan kemampuan untuk mandiri serta
198
Periksa Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara, dan bandingkan dengan Pasal 3 Keputusan Mentri Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-
117/M-MBU/2002 Tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN)
199
Periksa Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. 201 Mengingat Persero pada dasarnya merupakan perseroan
terbatas, semua ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas, termasuk pula segala
peraturan pelaksanaannya, berlaku juga bagi Persero.
Tujuan Persero adalah menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya
saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. 202 Persero
sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional dituntut untuk dapat memenuhi permintaan
pasar melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat
baik di pasar dalam negeri maupun internasional. Dengan demikian dapat meningkatkan
keuntungan dan nilai Persero yang bersangkutan sebingga akan memberikan manfaat yang
optimal bagi pihak-pihak yang terkait.
200
Periksa Penjelasan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
201
Periksa Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
202
Periksa Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
3) Organ Persero
a) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Persero, dikenal adanya organ-organ
perusahaan yang mirip dengan yang berlaku dala Perseroan Terbatas, yaitu Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ
Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala
wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Dalam Perusahaan
Perseroan (Persero) berlaku ketentuan bahwa bila seluruh saham Persero dimiliki oleh
Negara 100 % (seratus persen) maka yang bertindak selaku RUPS adalah Mentri. Menteri
yang ditunjuk mewakili negara selaku pemegang saham dalam setiap keputusan tertulis
yang berhubungan dengan Persero adalah merupakan keputusan RUPS. Tetapi Persero dan
perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki negara kurang dari 100 % (seratus persen),
menteri berkedudukan selaku pemegang saham dan keputusannya diambil bersama-sama
dengan pemegang saham lainnya dalam RUPS. 203 Dalam prakteknya, menteri dapat
memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk
mewakilinya dalam RUPS. Yang dimaksud dengan perorangan adalah seseorang yang
menduduki jabatan di bawah menteri yang secara teknis bertugas membantu menteri
selaku pemegang saham pada Persero yang bersangkutan. Namun demikian, dalam hal
203
Periksa Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih
dahulu mendapat persetujuan menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS
mengenai: 204
a) perubahan jumlah modal;
b) perubahan anggaran dasar;
c) rencana penggunaan laba;
d) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran
e) Persero;
f) investasi dan pembiayaan jangka panjang;
g) kerja sama Persero;
h) pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;
i) pengalihan aktiva.
Meskipun kedudukan menteri selaku wakil pemerintahan telah dikuasakan kepada
perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS, untuk hal-hal tertentu
penerima kuasa wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Menteri sebelum hal-
hal dimaksud diputuskan dalam RUPS. Hal ini perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Menteri mengingat sifatnya yang sangat starategis bagi kelangsungan Persero.
b) Direksi Persero
Direksi adalah organ BUMN (Perseroa dan Perum) yang bertanggung jawab atas
pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dilakukan
oleh RUPS. Dalam hal mentri bertindak bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan
pemberhentian Direksi ditetapkan oleh mentri. Dalam kedudukan selaku RUPS,
pengengkatan dan pemberhentian cukup dilakukan dengan keputusan mentri. Keputusan
mentri tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan yang diambil
secara sah dalam RUPS.
204
Periksa Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
Calon anggota Direksi yang telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan
wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai
anggota Direksi. Yang dimaksud dengan kontrak manajeman adalah statement of corporate
intent (SCI) yang, antara lain, berisikan janji-janji atau pernyataan direksi untuk memenuhi
segala target-target yang ditetapkan oleh pemegang saham. Kontrak manajeman tersebut
diperbaharui setiap tahun untuk disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan
perusahaan. 206
Masa jabatan anggota Direksi ditetapkan lima tahun dan dapat diangkat kembali
untuk satu kali masa jabatan, dimana pengangkatannya dapat dipertimbangkan untuk
diangkat kembali berdasarkan penilaian kinerja pada periode sebelumnya. Dalam hal
205
Periksa Pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara berikut penjelasannya
206
Periksa Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
Ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh Direksi dalam menjalankan
tugasnya, yaitu: 210
207
Periksa Pasal 16 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara
208
Periksa Pasal 17 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
209
Periksa Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
210
Periksa Pasal 21 s/d 23 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
c) Komisaris Persero
211
Periksa Pasal 25 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
212
Periksa Pasal 27 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
213
Periksa Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara
Masa jabatan anggota Komisaris ditetapkan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Dalam hal Komisaris terdiri atas lebih dari
seorang anggota, salah seorang anggota Komisaris diangkat sebagai komisaris utama.
Pengangkatan anggota Komisaris tidak bersamaan waktunya dengan pengangkatan
anggota Direksi, kecuali pengangkatan untuk pertama kalinya pada waktu pendirian, dan
214
anggota Komisaris sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS
dengan menyebutkan alasannya. 215
Selain itu, agar Komisaris dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan
tugas dan fungsinya, Komisaris mempunyai wewenang sebagai berikut : 218
214
Periksa Pasal 28 ayat (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
215
Periksa Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
216
Periksa Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
217
Periksa Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
218
Periksa Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
219
Periksa Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
220
Periksa Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
221
Periksa Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk memanfaatan
umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus
mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. 222 Pendirian Perum
diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji
bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. Perum yang didirikan tersebut
memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang
pendiriannya. 223
222
Periksa Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara. Bandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 yang mengatur pengertian Perum
yang memiliki redaksi dan muatan yang sangat sederhana. Pasal 1 butir 1 PP dimaksud menyebutkan bahwa
Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum, adalah badan usaha milik Negara sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan
Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.
223
Periksa Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara
Pengusulan pendirian Perum kepada Presiden oleh Menteri, dapat dilakukan atas
inisiatif Menteri dan dapat pula atas inisiatif dari Menteri Teknis dan/atau dari Menteri
Keuangan sepanjang memenuhi kriteria tersebut diatas.
Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga
yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Perum dibedakan dengan Perusahaan Perseroan karena sifat usahanya. Perum dalam
usahanya lebih berat pada pelayanan demi kemanfaatan umum, baik pelayanan maupun
penyediaan barang dan jasa. Namun demikian, sebagai badan usaha diupayakan untuk
tetap mandiri dan untuk itu Perum perlu mendapat laba agar dapat hidup berkelanjutan. 224
Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas,
dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha
lain. Yang dimaksud dengan penyertaan modal disini adalah penyertaan langsung Perum
dalam kepemilikan saham pada badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas, baik yang
sudah berdiri maupun yang akan didirikan. 225
3) Organ Perum
a) Mentri
Salah satu organ Perusahaan Umum (Perum) adalah Mentri. Yang dimaksud
dengan menteri menurut undang-undang ini adalah mentri yang ditunjuk dan/atau diberi
kuasa untuk mewakili pemerintah sebagai pihak yang memiliki modal pada Perum dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan.
224
Periksa Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara dan Penjelasannya
225
Periksa Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara dan Penjelasannya
Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat
Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara
yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri: 227
a) Baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum
semata-mata untuk kepentingan pribadi;
b) Terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau
c) Langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan
Perum
Mengingat modal Perum pada dasarnya merupakan kekayaan negara yang telah
dipisahkan, pemilik modal hanya bertanggung jawab sebesar nilai penyertaan yang
disetorkan dan tidak meliputi harta kekayaan negara di luar modal tersebut. Jika terjadi
tindakan diluar mekanisme korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ini, tanggung
jawab secara terbatas tersebut menjadi hilang.
226
Periksa Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara dan Penjelasannya
227
Periksa Pasal 39 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Yang dapat diangkat sebagai anggota Direksi adalah orang perseorangan yang
mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan atau Perum dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah
dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Selain
kriteria tersebut, anggota Direksi diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas,
kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk
memajukan dan mengembangkan Perum. Pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui
mekanisme uji kelayakan dan kepatutan. Calon anggota Direksi yang telah dinyatakan
lulus uji kelayakan dan kepatutan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum
ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota Direksi. Sedangkan masa jabatan anggota
Direksi ditetapkan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan. Apabila Direksi terdiri atas lebih dari seorang anggota, salah seorang anggota
Direksi diangkat sebagai direktur utama.
a) Direksi wajib mencurahkan tenaga, pikiran, dan perhatian secara penuh pada tugas,
kewajiban, dan pencapaian tujuan Perum.
b) Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang merupakan
rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan Perum yang hendak dicapai
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Rancangan rencana jangka panjang yang telah
ditandatangani bersama dengan Dewan Pengawas disampaikan kepada Menteri
untuk mendapatkan pengesahan. Dewan Pengawas sebelum menandatangani
rancangan rencana jangka panjang yang disampaikan oleh Direksi, wajib
membahas secara bersama-sama dengan Direksi. Dengan ditandatangani bersama,
semua anggota Direksi dan Dewan Pengawas bertanggung jawab atas isi rancangan
rencana jangka panjang yang dimaksud.
c) Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang
merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang.
d) Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan
kepada Menteri untuk memperoleh pengesahan.
e) Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Perum ditutup, Direksi wajib
menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri untuk memperoleh pengesahan.
Laporan tahunan tersebut ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan Dewan
Pengawas. Dalam hal ada anggota Direksi atau Dewan Pengawas tidak
menandatangani laporan tahunan dimaksud, maka harus disebutkan alasannya
secara tertulis.
a) Dewan Pengawas
Dewan Pengawas adalah organ Perum yang bertugas melakukan pengawasan dan
memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Perum. 230
228
Periksa Pasal 48 s/d Pasal 51 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara
229
Periksa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
230
Periksa Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
231
Periksa Pasal 56 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
232
Periksa Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara
233
Periksa Pasal 57 ayat (3), (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara
Selain itu, agar Komisaris dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan
tugas dan fungsinya, Komisaris mempunyai wewenang sebagai berikut : 237
234
Periksa Pasal 58 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
dan Penjelasannya
235
Periksa kembali Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
236
Periksa Penjelasan kembali Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
237
Periksa kembali Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
a) Anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik
swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau
b) Jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
238
Periksa Pasal 60 dan 61 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
239
Periksa Pasal 62 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
240
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari
Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan
dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
241
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan
Penggabungan atau peleburan suatu BUMN dapat dilakukan dengan BUMN lain
yang telah ada. Suatu Persero dapat melakukan penggabungan atau peleburan diri dengan
Persero lainnya atau Perum yang telah ada atau sebaliknya. Penggabungan dan peleburan
BUMN dapat dilakukan tanpa diadakan likuidasi lebih dulu. Dengan adanya
penggabungan tersebut, Persero atau Perum yang menggabungkan diri menjadi bubar.
Sedangkan dengan adanya peleburan, BUMN yang saling meleburkan diri menjadi bubar
dan membentuk BUMN baru. 243
Suatu BUMN dapat mengambil alih BUMN dan/atau PT lainnya. Perbuatan hukum
yang dilakukan oleh BUMN untuk mengambil alih BUMN lainnya atau Perseroan
Terbatas, baik seluruh atau sebagian besar saham/modal yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut. 244
pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir
karena hukum.
242
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
Perseroan tersebut.
243
Periksa Pasal 63 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara
244
Periksa Pasal 63 ayat (2) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara
245
Periksa Pasal 65 ayat (2) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara
246
Periksa Pasal 66 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Mengenai maksud dan tujuan BUMN, periksa kembali Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa maksud dan tujuan BUMN
adalah: menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat; dan mengejar
keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
Pada setiap BUMN dibentuk satuan pengawasan intern yang merupakan aparat
pengawas intern perusahaan. Satuan pengawasan intern tersebut dipimpin oleh seorang
kepala yang bertanggung jawab kepada direktur utama. 248 Satuan pengawasan intern
dibentuk untuk membantu direktur utama dalam melaksanakan pemeriksaan intern
keuangan dan pemeriksaan operasional BUMN serta menilai pengendalian, pengelolaan
dan pelaksanaannya pada BUMN yang bersangkutan serta memberikan saran-saran
perbaikannya. Karena satuan pengawasan intern bertugas untuk membantu direktur utama,
dan pertanggungjawabannya juga diberikan kepada direktur utama.
247
Periksa Penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara
248
Periksa Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
249
Periksa Pasal 67 dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
250
Periksa Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
251
Periksa Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
252
Periksa Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
2) Privatisasi
Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya,
kepada pihak lain dalam rangaka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar
manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat. 254 Privatisasi dilakukan dengan maksud untuk : 255
Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah
perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero. 256
Dengan demikian maksud dan tujuan privatisasi pada dasarnya adalah untuk meningkatkan
peran Persero dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum dengan memperluas
kepemilikan masyarakat atas Persero, serta untuk menunjang stabilitas perekonomian
nsional.
256
Periksa Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
257
Periksa Pasal 75 dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
258
Periksa Pasal 76 dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
259
Periksa Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
260
Periksa Pasal 78 dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
a) Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik
secara horisontal maupun vertikal;
b) Hubungan antara pihak dengan karyawan, Direktur atau Komisaris dari pihak
tersebut;
c) Hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota
Direksi atau Komisaris yang sama;
d) Hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsaung,
mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
e) Hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun
tidak langsung, oleh pihak yang sama; atau
f) Hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.
261
Periksa Pasal 84 dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/pembangunan_jangka_menengah/Bab%2019%20Peningk
atan%20Pengelolaan%20BUMN.pdf
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/rencana_kerja_pemerintah/Bab%2020%20Narasi.pdf
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5527/
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5653/
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Pemeritah Nomor 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero)
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (Perum)
Keputusan Mentri Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-117/M-MBU/2002 Tentang
Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN)