Anda di halaman 1dari 85

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019

MODUL

TINDAK PIDANA KORUPSI

DISUSUN OLEH :

TIM PENYUSUN MODUL

BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2019
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................
TIM PENYUSUN MODUL .......................................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1. Latar Belakang ............................................................................................... 1

2. Deskripsi Singkat ........................................................................................... 2

3. Tujuan Pembelajaran.........................................................................................2

4. Indikator Keberhasilan..................................................................................... 3

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok................................................................3

BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI .......................................................................... 7

1. Pengertian Korupsi ......................................................................................... 7

2. Sejarah Peraturan Tindak Pidana Korupsi...................................................... 8

3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi …..................................................... 11

4.Hukuman penuh untuk percobaan, perbantuan, Pemufakatan Tindak Pidana


Korupsi ............................................................................................................... 22

5. Unsur-unsur Pasal dalam Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Modus


Operandi dalam Praktek ..................................................................................... 24

BAB III TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA


KORUPSI

1. Pasal 21 ........................................................................................................... 53

2. Pasal 22 ........................................................................................................... 53

3. Pasal 23 …...................................................................................................... 54

4. Pasal 24 …...................................................................................................... 58
BAB IV PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GUGATAN
PERDATA ......................................................................................................... 60

BAB V TINDAK PIDANA KORUPS YANG MENIMBULKAN TINDAK PIDANA


PENCUCIAN UANG ........................................................................................ 63

BAB VI UPAYA PENYELEMATAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK


PIDANA KORUPSI .......................................................................................... 65

BAB VII PENTINGNYAALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENGUNGKAPAN


PERKARA SUAP ............................................................................................. 67

BAB VIII KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PEMBERATASAN TINDAK


PIDANA KORUPSI ....................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 76


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Dalam proses Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) pada Badan
Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia (BADIKLAT) sangat diperlukan
tersedianya materi pembelajaran dan alat bantu yang memadai untuk memudahkan bagi
Widyaiswara menyampaikan materi kepada peserta Diklat secara efektif dan efisien
sehingga tujuan Diklat dapat tercapai se1cara optimal dan dapat diterapkan dalam lingkup
kerja.

Sebagaimana yang menjadi parameter yang telah disepakati, bahwa pencapaian


tujuan Diklat adalah peserta Diklat mampu memahami dan menguasai materi Diklat
sehingga terjadi peningkatan kompetensi profesional untuk diterapkan dalam pelaksanaan
tugas. Oleh karena itu dengan modul ini Widyarswara diharapkan memiliki standar acuan
pelaksanaan pembelajaran sehingga tidak terjadi disparitas perbedaan materi dan metode
pembelajaran antara satu Widyaiswara dengan Widyaiswara lainnya yang eksesnya akan
merugikan peserta Diklat.

Bahwa pengadaan bahan Diklat di lingkungan Badiklat, pada hakekatnya adalah


untuk menunjang kebutuhan aktual institusi yang dalam hal ini meliputi kebutuhan
Bidang Pembinaan, Pengawasan, Intelijen, Pidana Umum, Pidana Khusus dan Datun.
Dalam konteks untuk menunjang kebutuhan aktual Bidang Tindak Pidana Khusus yang
mempunyai tugas pokok penanganan perkara tindak pidana korupsi mulai dari
penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan upaya hukum dan eksekusi,
tentunya dibutuhkan modul tindak pidana korupsi yang representatif sebagai kerangka
acuan dari para peserta Diklat dalam mengikuti proses pembelajaran.

Modul tindak pidana korupsi sebagai bahan ajar ini, lebih menitik beratkan pada
penyampaian substansi hukum pidana korupsi materiil untuk dijadikan referensi dalam
menunjang pelaksanaan tugas-tugas penanganan perkara tindak pidana korupsi
khususnya tugas penyelidikan dan penyidikan. Oleh karena modus tindak pidana korupsi
cenderung selalu berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan
politik, para Widyaiswara perlu selalu melakukan penyesuaian dan pemutakhiran materi,
metode pembelajaran dan pembahasan contoh-contoh kasus yang berkembang dalam
praktek sehingga peserta Diklat dapat mengikuti perkembangan hukum dalam
prakteknya.

Tindak Pidana Korupsi 1


Untuk membentuk Jaksa baru yang siap menjadi Penyidik dan Penuntut Umum,
diharapkan materi pembelajaran lebih banyak praktek atau simulasi tindakan Penyidikan
dan Penuntutan.

2. Deskripsi Singkat.

Modul ini diberikan kepada peserta Diklat PPPJ yang dimaksudkan untuk
membangun kompetensi agar para peserta Diklat mampu memahami substansi Tindak
Pidana Korupsi materiil dengan baik dan benar. Adapun isi modul ini meliputi Pengertian
Korupsi, Sejarah Peraturan Tindak Pidana Korupsi, Subjek Hukum, Unsur-unsur Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Modus Operandi dalam praktek, Tindak Pidana yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi, Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi melalui
Gugatan Perdata, Tindak Pidana Korupsi yang menimbulkan Tindak Pidana Pencucian
Uang, Upaya Penyelamatan Keuangan Negara, Pentingnya alat bukti petunjuk dalam
pengungkapan perkara Suap dan Konvensi Internasional Mengenai Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Metode yang dipergunakan dalam proses pembelajaran adalah penyampaian


materi (ceramah), tanya jawab, diskusi, contoh kasus dan praktek atau simulasi.

3. Tujuan pembelajaran

Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan peserta Diklat PPJ mampu memahami dan
menerapkan hukum pidana korupsi materiil dengan baik dan benar, serta dapat
menerapkan di lingkungan kerja.

4. Indikator Keberhasilan\

Secara spesifik kemampuan yang diperoleh setelah pembelajaran adalah peserta


diharapkan dapat :

4.1. Menjelaskan pengertian Korupsi.


4.2. Menjelaskan Sejarah peraturan Tindak Pidana Korupsi.
4.3. Menjelaskan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi.
4.4. Menjelaskan Unsur-unsur pasal Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan
modus operandi dalam praktek.
4.5. Menjelaskan tentang Tindak Pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana
Korupsi yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
4.6. Menjelaskan Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi melalui Gugatan Perdata.
4.7. Menjelaskan pengertian Tindak Pidana Korupsi yang menimbulkan Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Tindak Pidana Korupsi 2
4.8. MenjeIaskan Upaya Penyelematan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi.
4.9. Menjelaskan tentang Pentingnya Alat Bukti Petunjuk berupa rekaman dalam
pengungkapan perkara Suap.
4.10. Menjelaskan tentang Hukuman penuh untuk Percobaan, Perbantuan dan
Permufakatan Tindak Korupsi.
4.11. Menjelaskan tentang Konvensi Internasional mengenai Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

4.3. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok.

4.3.1. Tindak Pidana Korupsi.

Bagian ini memberikan pengayaan wawasan bagi peserta menyangkut


masalah Tindak Pidana Korupsi yang diuraikan secara komprehensif dengan
submateri :

1. Pengertian Korupsi;
2. Sejarah Peraturan Tindak Pidana Korupsi;
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi;
4. Hukuman Penuh untuk Percobaan, Perbantuan dan Permufakatan
Tindak Pidana Korupsi;
5. Uraian unsur-unsur pasal demi pasal Tindak Pidana Korupsi dikaitkan
dengan modus operandi dalam praktek.

4.3.2. Tindak Pidana Yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi.

Pembelajaran pada bagian ini untuk memberikan pemahaman mengenai


Tindak Pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana
dalam pasal 21, 22, 23 dan 24 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU No.20 Tahun 2001.

4.3.3. Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi melalui Gugatan Perdata.

Pembelajaran ini untuk memberikan pemahaman cara penyelesaian tindak


pidana korupsi, apabila telah secara nyata ditemukan kerugian Negara,
tetapi salah satu unsur tidak terpenuhi, atau tersangkanya meninggal dunia
atau terdakwanya meninggal dunia, sebagaimana dalam pasal 32, 33, 34 dan
38C UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20
Tahun 2001.

Tindak Pidana Korupsi 3


4.3.4. Tindak Pidana Korupsi yang menimbulkan Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU).

Pembelajaran pada bagian ini untuk memberikan pemahaman tentang aliran


dana dan penggunaan/penempatan uang hasil korupsi, sehingga dapat
dipahami bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana pencucian uang
(TPPU).

Dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi hendaknya tersangka


dikenakan juga tindak pidana pencucian uang, hal tersebut untuk
memudahkan penyitaan terhadap harta milik tersangka dan untuk
mengembalian kerugian keuangan Negara.

4.3.5. Upaya Penyelamatan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi.

Pembelajaran pada bagian ini untuk memberikan pemahaman cara


melakukan pelacakan asset atau harta benda milik tersangka untuk
dilakukan penyitaan atau pemblokiran dalam rangka menyelamatkan
keuangan Negara.

4.3.6. Pentingnya Alat Bukti Petunjuk Berupa Hasil Rekaman atau Sadapan
Dalam Pengungkapan Perkara Suap.

Pembelajaran pada bagian ini untuk memberikan pemahaman mengenai


pengungkapan kasus suap dengan alat bukti rekaman atau sadapan.

Dalam pembuktian kasus suap sangat sulit tanpa adanya alat bukti petunjuk
berupa rekaman atau sadapan

4.3.7. Konvensi Internasional mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembelajaran pada bagian ini untuk memberikan pemahaman tentang


Konvensi Internasional mengenai Pemberantassan Tindak Pidana Korupsi
khusunya terkait pengembalian tersangka/terdakwa dan asset hasil korupsi.

4.4. Petunjuk belajar

Untuk mencapai hasil yang optimal, peserta Diklat perlu mengikuti beberapa
petunjuk, yaitu :

4.4.1. Pertama-tama peserta diklat memahami pokok mata ajar dan sub mata ajar
dengan mempelajari peraturan perUndang-Undangan dan referensi
pendukungnya.

Tindak Pidana Korupsi 4


4.4.2. Kemudian peserta Diklat mempeiajari Modul tindak pidana korupsi ini
dengan seksama dan sungguh-sungguh.

4.4.3. Peserta Diklat mengikuti seluruh proses pembelajaran bersama Widyaiswara


di ruang kelas dengan tanya jawab secara interaktif dan diskusi untuk
memperjelas pendalaman materi modul simulasi dan praktek.

4.4.4. Peserta Diklat mengerjakan soal-soal ujian

4.4.5. Hasil tersebut diatas sebagai tolak ukur terhadap keberhasilan pembelajaran.

Tindak Pidana Korupsi 5


BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI

Indikator keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran bab ini, peserta diklat diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengertian korupsi.
2. Menjelaskan sejarah peraturan Tindak Pidana Korupsi.
3. Menjelaskan subjek hukum Tindak Pidana Korupsi.
4. Menjelaskan Percobaan, Perbantuan atau Permufakatan Tindak Pidana Korupsi.
5. Menjelaskan uraian unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi dikaitkan dengan modus
operandi dalam praktek.

1. Pengertian Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin "corruptio" atau ”corruptus” Selanjutnya
disebutkan bahwa "corruption" itu berasai dari kata asal "corrumpere", suatu bahasa latin
yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyakan bahasa Eropa, seperti Inggris;
corruption dan corrupt. Dalam bahasa Perancis; corruption, dan bahasa Belanda;
corruptie. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke
bahasa Indonesia; "korupsi."1

Pengertian Korupsi berdasarkan Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku


Penguasa Militer No.Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi adalah :

• Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri
sendiri, kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung
atau tidak langsung menyebutkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara;

• Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah
dari keuangan negara atau daerah ataupun suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau
kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau
tidak langsung membawa keuntungan keuangan materil baginya.

Hampir tidak ada definisi korupsi yang lengkap. Alatas dan Onghokham (1983)
mendefinisikan korupsi berupa penyelewengan uang negara, pungutan liar atau pemerasan,
uang pelicin, menarik keuntungan dari wewenang. Menurut Juniadi Suwartojo (1995)
korupsi adalah tindakan seseorang yang melanggar norma-norma dengan tujuan

1 Andi hamzah, pemberantasan Korupsi ditinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana universitas Trisakti, 2002), hal 7

Tindak Pidana Korupsi 6


memperoleh keuntungan pribadi dan merugikan negara/masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung. Menurut Bank Dunia (2001), korupsi didefinisikan sebagai
penyalahgunaan kedudukan publik untuk kepentingan pribadi. Sedangkan Transparency
lnternational mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang dan jabatan
kantor pelayanan publik untuk kepentingan pribadi. Melanie Manion (1997) menyebutkan
korupsi sebagai penyalahgunaan urusan publik untuk keuntnngan pribadi dengan cara
melawan hukum dan aturan formil lainnya.2

The New Grolier Webster International Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai :

"corruption (L. corruptio), the act of corrupting, or the stare of being corrupt; putrefactive
decomposition; put id matter; moral perversion of integrity; corrupt or dishonest
proceedings; bribery; perversion from a state of "purity," debasement; as of a language;
debased form of a word ”

Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.3 Istilah Korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia; “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya”.4

Pengertian korupsi secara yuridis baik jenis maupun unsurnya telah diatur secara
tegas dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Sejarah Peraturan Tindak Pidana Korupsi

Hukum pidana yang hingga kini dipergunakan dan diberlakukan di Indonesia


memang merupakan peninggalan dari masa penjajahan Beianda yang berabad-abad
lamanya, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan oleh
Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda pada Tahun 1886 yaitu Wv5 voor Nederlandsch indic
yang diberlakukan pada Tahun 1915 dan sejak Tahun 1946 WvS ini telah diUndangkan
melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana yang diberlakukan di
Indonesia. Barulah melalui UU No. 73 Tahun 1958, tepatnya tanggal 29 September 1958
dinyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga
2 A. Kholik, Fenomena Korupsi disektor Republik, http://www.stei.ac.id/Fenomenaokorupsi%di%Sektor%
RepublikoKholik.doc+korporasi&hl diakses 15 Juli 2003
3 Hamzah, lbid., hal 7.

4 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).

Tindak Pidana Korupsi 7


sejak itu berlaku satu KUHP. Selanjutnya KUHP berfungsi sebagai hukum pidana materil
umum yang memuat berbagai macam tindak pidana dan asas-asas hukum pidana materil.

Pemberantasan perbuatan korupsi sudah dilakukan sejak dekade pertama setelah


kemerdekaan karena korupsi pada waktu itu telah dikatakan merajalela, dan usaha untuk
menanggulanginya mengalami kemacetan, maka dibuatlah Peraturan Penguasa Militer
No.Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi yang diumumkan dan dikeluarkan
pada tanggai 9 April 1957. Peraturan bermaksud menetapkan suatu tata kerja yang dapat
melancarkan usaha-usaha memberantas apa yang dinamakan Korupsi (yang waktu itu
masih merupakan suatu wacana).

Upaya pemberantasan korupsi selanjutnya diperbaiki dengan dikeluarkannya


peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer di daerah kekuasaan
Angkatan Darat nomor Prt/PM06/ 1957 tentang Pemberantasan Korupsi.5 Peraturan ini
kemudian berkembang sampai pada tahap penerapan hukum formil, dengan ditetapkannya
Peraturan Penguasa Perang Pusat nomor Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta
Benda.6

Menurut kedua macam peraturan itu tentang perbuatan korupsi digolongkan pada
dua macam yaitu Perbuatan Korupsi Pidana dan Perbuatan Korupsi Bukan Pidana.

Kedua peraturan ini kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PERPPU) Tahun 1960 Nomor 24 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang Ditetapkan dan DiUndangkan pada tanggal 9
Juni 1960, kemudian oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 24 Prp - Tahun 1960, sebagai pengganti dari Peraturan Penguasa Perang
Pusat.

Dan penjelasan mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dapat


diketahui bahwa Undang-Undang ini dibuat untuk ikhwal yang memaksa dan masih
bersifat darurat. Dalam Undang-Undang ini masih diatur mengenai perbuatan Korupsi
pidana dan bukan pidana,

Dalam Penjelasan Peraturan Pemenntah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun


1960, yang dimaksud dengan “Perbuatan Korupsi Pidana” adalah apabila terjalin unsur-
unsur kejahatan atau pelanggaran sehingga berdasarkan itu dapat dipidana dengan
hukuman badan dan atau denda yang cukup berat disamping perampasan harta benda hasil

5 Soedjono Dirdjodsworo, “Fungsi PerUndang-Undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi Di Indonesia”. Disertai Doktor
Universitas Diponegoro, Semarang, 1983, hal 5.
6 Ibid , hal. 6

Tindak Pidana Korupsi 8


korupsinya. Sedangkan yang dimaksud dengan "Perbuatan Korupsi Bukan Pidana" adalah
apabila terdapat unsur "perbuatan melawan hukum". Perbuatan korupsi ini tidak diancam
dengan pidana, melainkan diadakannya badan yang dapat melakukan perampasan harta
benda hasil korupsi tersebut yaitu Pengadilan Tinggi yang mengadilinya atas gugatan
Badan Koordinasi Penilik Harta Benda. Selanjutnya Penjelasan tersebut mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan unsur “perbuatan melawan hukum” tersebut adalah
"onrechtmatige daad" sebagaimana tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum perdata. Pasal ini menyebutkan bahwa perbuatan melawan hukum adalah
perbuatan atau kelalaian seseorang yang oleh karenanya melanggar hak orang lain atau
bertentangan kewajibannya sendiri menurut hukum atau dengan norma-norma adat
kesopanan yang lazim ataupun bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup
untuk bertindak prihatin terhadap orang lain atau barang c.q. haknya."

Rumusan mengenai tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang ini adalah :

1) Tindakan seseorang yang dengan atau karena suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau daerah atau merugikan keuangan
suatu badan yang menerima bantuan dan keuangan Negara atau daerah atau badan
hukum lainnya yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
Negara atau masyarakat.
2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan
dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3) Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai 21 peraturan ini, dalam pasal
209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP."

Ketentuan dalam Pasal 17 adalah sama dengan ketentuan Pasal 41 Prt/Peperpu/013/


1958, yaitu penyuapan aktif yang merupakan pasangan dan pasal 518 KUHP. Berdasarkan
peraturan tersebut, maka seorang yang memberi hadiah atau janji kepada seseorang pejabat
(dalam arti luas) dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya yang oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan itu dipidana.7

Sekalipun Undang-Undang No 24 Prp. Tahun 1960 tentang pengusutan,


penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi relatif telah memenuhi ketentuan
sebagai saran hukum untuk menanggulangi korupsi, namun setelah diterapkan dalam kurun
waktu sepuluh Tahun Undang-Undang ini mengalami kebijaksanaan penggantian. Karena
beberapa faktor yang cukup kuat baik yang timbul dalam bentuk reaksi sosial terhadap

7 Dirdjosisworo, Ibid.

Tindak Pidana Korupsi 9


masih berjangkitnya korupsi dalam rentang waktu sekitar Tahun 1960-an, serta tanggapan
pemerintah yang sejalan dengan aspirasi rakyat tersebut, maka Undang-Undang No 24 Prp.
Tahun 1960, kemudian diganti dengan Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diUndangkan pada tanggal 29 Maret 1971.

Dalam kurun waktu 28 Tahun, dengan mempertimbangkan berbagai perkembangan


hukum dalam praktek, kemudian Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selanjutnya untuk penyempurnaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dilakukan penambahan dan pengurangan dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terpisahkan
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200.

3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi.

Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah orang yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi menggunakan istilah setiap orang, yang kemudian dalam Pasal 1 ke 3
diatur bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan termasuk
korporasi.

Kemudian terdapat secara khusus didalam pasal-pasal tertentu bahwa subjeknya adalah
pegawai negeri, sehingga subjek hukum dalam tindak pidana Korupsi meliputi :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;


b. Setiap orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi,

Dari segi tata bahasa, setiap orang itu berarti "siapa saja" tidak terbatas pada sekelompok
atau golongan profesi saja. Seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan

Tindak Pidana Korupsi 10


tindak pidana yang telan ditentukan dalam suatu ketentuan hukum pidana maka orang itu
telah memenuhi persyaratan untuk didakwa melakukan tindak pidana. Dalam hal ini,
penegak hukum wajib untuk memprosesnya untuk diajukan ke pengadiian. Itulah pegangan
penuntut umum untuk mengajukan seseorang ke pengadilan dan mendakwanya telah
melakukan tindak pidana. Rumusan delik yang telah ditentukan Undang-Undanglah yang
harus dipenuhinya

Pada saat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 diUndangkan, terdapat perbedaan


pendapat khususnya mengenai penerapan subjek dalam Pasal 1 ayat (1) sub a dan b.
Pendapat pada umumnya menyatakan bahwa hanya pegawai negeri (yang pengertiannya
diperluas dengan Pasal 2) sajalah yang dapat menjadi subjek dalam Pasal 1 ayat (1) sub a
dan b. Perbedaan pendapat ini diakibatkan o!eh beberapa hal. Pertama, UU No. 3 Tahun
1971 adalah pengganti UU No. 24 (Prp) Tahun 1960 yang subjeknya pegawai negeri.
Kedua, penjelasan umum yang diantaranya menyatakan,“... berdasarkan pengalaman-
pengalaman selama ini, orang- orang bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum
administrasi, dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan negara, badan yang
menerima bantuan negara, dapat melakukan perbuatan tersebut".

Bunyi Pasal 2 UU No.3/1971 telah mengakibatkan perbedaan pendapat tentang subjek


hukum UU No.3/1971 antara yang berpendapat subjek itu hanya pegawai negeri dengan
perluasan Pasal 2 dan terbatas pada badan hukum seperti Badan Usaha Milik Negera
(BUMN), dan yang berpendapat subjek itu dapat juga swasta yang bukan pegawai negeri.
Pendapat pertama didasarkan pada penjelasan umum yang menyatakan “pengertian
pegawai negeri dalam Undang-Undang ini sebagai subjek tindak pidana korupsi…”. Ini
diartikan subjek itu hanya pegawai negeri dan yang yang disamakan dengan itu,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2. Pasal 2 ini secara sistematik diartikan hanya
pegawai negeri saja subjek dari tindak pidana yang perbuatan materilnya dirumuskan
dalam Pasal 2 Undang-Undang itu.

Pendapat Kedua mendasarkan pendapatnya pada ketentuan "barang siapa" yang


dapat berarti siapa saja. Bahkan, dengan menghubungkan "barang siapa" itu dengan
penafsiran Pasal 2 dan penjelasannya, dapat diartikan bahwa swasta itu pun dapat juga
menjadi subjek dari Pasal 1 ayat (1) sub b, bukan hanya subjek Pasal 1 ayat (1) sub a.

Dari rumusan Pasal 1 ayat (1) sub a tidak ada satu perkataanpun yang membatasi
subjeknya. Siapa saja dapat menjadi subjek itu asalkan dia melakukan perbuatan melawan
hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan ncgara atau perekonomian Negara
sebagaimana dirumuskan Pasal 1 ayat (1) sub a UU No.3/1991. Bukan hanya terbatas pada
pegawai negeri, swasta pun dapat menjadi subjek hukum karena Pasal 1 ayat (1) sub a itu

Tindak Pidana Korupsi 11


telah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung ("MA") surat putusan No. 471
K/Kr/1979).

Perkembangan selanjutnya, dengan putusan-putusan MA yang sudah merupakan yurispru-


densi tetap, subjek khususnya untuk Pasal 1 ayat (1) sub a sudah berkembang tidak lagi
hanya pegawai negeri (dan yang diperluas dengan Pasal 2) tetapi dapat juga pihak swasta.
Sementara itu, untuk Pasal 1 ayat (1) sub b masih dianut pendirian "subjeknya hanyalah
pegawai negeri dengan tambahan pengertian seperti diatur dalam Pasal 2". Bagaimanapun,
hukum harus berkembang sesuai dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat tempat hukum
itu diperlakukan. Perkembangan itu apabila tidak melalui perubahan Undang-Undang,
dapat juga melalui penafsiran-penafsiran yang menjadi tugas hakim, yang lazim dikatakan
sebagai penemuan dalil hukum (rechtsvinding). Perkembangan atas siapa saja yang dapat
menjadi subjek itu terjadi juga dalam Pasal 1 ayat (1) sub b. Walaupun masih belum dapat
disebut sebagai yurisprudensi tetap, telan ada putusan MA yang menerima swasta sebagai
subjek dan Pasal 1 ayat (1) sub b.

Karena adanya perbedaan penafsiran antara para ahli hukum dalam UU No. 3
Tahun 1971, maka daiam UU No. 30 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 diperjelas,
kapan subyek hukum dapat berlaku kepada siapa saja tanpa ada kualitas tertentu, dan juga
kapan subyek hukum dari pasal tersebut harus merupakan seorang pegawai negeri atau
penyelenggara negara.

a. Pegawai Negeri

Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971,


menyatakan :

“Pegawai negeri yang dimaksud oleh Undang-Undang ini meliputi juga orang-orang yang
menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah atau yang menerima gaji atau
upah dari suatu badan-badan hukum yang menerima bantuan dan keuangan negara atau
daerah, atau badan hukum iain yang mempergunakan modal Dan kelonggaran-kelonggaran
dari negara atau masyarakat”.

Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 ke 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meliputi :

a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian;


b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

Tindak Pidana Korupsi 12


d. orang yang menerirna gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dan
keuangan negara atau daerah, atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Pegawai negeri yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian
yaitu dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:

Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan
perUndang-Undang yang berlaku.

Jenis Pegawai Negeri dirumuskan dalam Pasal 2 (1) Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

Sedangkan yang dimaksud Pegawai Negeri dalam Pasal 92 KUHP, sebagai berikut:

(1) Yang disebut Pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum begitu, juga orang-orang yang, bukan
karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk Undang-Undang badan
pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas
nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan waterchap, dan semua kepada
rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan
yang sah.

(2) Yang disebut pejabat dan hakim. termasuk juga hakim wasit, yang disebut hakim
termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan adminitratif, serta ketua-ketua
dan anggota-anggota pengadilan agama.

(3) Semua anggota angkatan perang juga dianggap sebagai pejabat

b. Penyelenggara Negara

Pengertian Penyelenggara Negara dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang


Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, meliputi:

1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;

Tindak Pidana Korupsi 13


2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Penjelasan Angka 6 mengatakan : Yang dimaksud dengan "pejabat negara yang


lain" dalam ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
yang berkedudukan sebagi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur,
dan Bupati/Walikotamadya.

Penjelasan Angka 7 mengatakan Yang dimaksud dengan "pejabat lain yang


memiliki fungsi strategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam
melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yang meliputi:

1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN
sudah dibubarkan dianggap tidak ada.
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.

c. Korporasi

Pada awalnya di Indonesia hanya dikenal satu subyek hukum, yaitu orang sebagai subyek
hukum. Beban tugas mengurus pada suatu badan hukum berada pada pengurusnya,
korporasi bukanlah suatu subyek hukum pidana. Pendapat ini kemudian berkembang
menjadi pengakuan bahwa korporasi dapat menjadi peiaku tindak pidana, namun
pertanggungjawaban pidananya tetap berada pada pengurusnya. Pidana baru bisa dihapus
jika pengurus dapat membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat.8 Hal ini seperti yang dianut

8 Mardjono Reksodiputro (a), Buku Keiga : Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,( Jakarta Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997). Hal.7

Tindak Pidana Korupsi 14


oleh Undang-Undang KUHP. Dalam KUHP hanya mengenal manusia sebagai peiaku
tindak pidana, tidak terdapat satu pasalpun yang menentukan pelaku tindak pidana selain
manusia (natural person).

Menurut Pasal 59 KUHP, subjek hukum korporasi tidak dikenal. Apabila pengurus
korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan
untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya
kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 59 KUHP adalah
sebagai berikut:

“Dalam hal-hal mana pelanggaran ditentukan pidanya diancamkan kepada pengurus,


anggota-anggota badan pengurus atau komisaris komisaris, maka tidak dipidana
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris' yang ternyata tidak ikut campur
tangan melakukan pelanggaran."

Dari membaca Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah
dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya,
maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus
dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi atau untuk
kepentingan Korporasi, atau bertujuan untukn memberikan manfaat bagi korporasi dan
bukan bagi pribadi pengurus.9

Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi
oleh dua azas, yaitu azas “societas deliquere non potest” dan “actus non facit reum, nisi
mens sit rea”. Azas “societas deliquere non potest” atau “universitas deliquere non
potest” berarti bahwa badan badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini
merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan
menurut hukum pidana selalu disyaratkan sebagai kesalahan manusia. Sehingga korporasi
yang menurut teori tiksi (fiction theory) merupakan subjek hukum (perdata), tidak diakui
dalam hukum pidana.10 Para pembuat KUHP berpendapat bahwa hanya manusia yang
dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas “actus non facit
reum, nisi mens sit rea”.11 atau nulla poena sine culpa”. Azas ini berarti bahwa “an act
does not make a man guilty of crime, unkess his be also guilty”. Atau dalam bahasa
Belanda dikenal dengan ungkapan “Geen straf zonder schuld”. Terjemahan bahasa
Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”. Yang dimaksud dari azas ini adalah
untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena melakukan suatu
perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu
9 Sutan Remy Sjandeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Jakarta: Grafitipers,2006), hal.30
10 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi,(Malang: Averroes Press,2002),hal. 15-16
11 Azaz ini pertama kali dinyatakan oleh Edwar Coke pada Tahun 1797, http://en.wikipedia.ordwiki/EdwardCoke, diakses pada tanggal 19
november 2006.

Tindak Pidana Korupsi 15


kesalahannya (culpability atau blameworthiness) baik dalam perilaku maupun pikirannya.
Atau menurut Sutan Remy Sjandeini azas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana
apabila dalam melakukan perbuatan yang menurut Undang-Undang pidana merupakan
tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja dan bukan karena
kelalaiannya.12

Azas “tiada pidana tanpa kesalahan” pada umumnya diakui sebagai prinsip umum
diberbagai negara. Namun tldak banyak Undang-Undang hukum pidana materil di berbagai
negara yang merumuskan secara tegas azas ini dalam Undang-Undangnya. Biasanya
perumusan azas ini terlihat dalam perumusan mengenal pertanggungjawaban pidana,
khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.13 Dalam
peraturan perUndang-Undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada:

Pasal 44 ayat (1) KUHP:

Barang Siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman:

Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan
atas dirinya.

Rancangan KUHP (RKUHP) versi 2005 juga telah mencatumkan azas ini dalam Pasal 37
ayat (1), yaitu "tiada seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahan".14

Berkaitan dengan azas tersebut diatas, dalam hukum pidana dikenal istilah actus reus dan
mens rea. Actus Reus atau disebut juga elemen luar (external elements) dari kejahatan
adalah istilah latin untuk perbuatan lahiriah yang terlarang (guilty act). Untuk
membuktikan bahwa seorang adalah benar bersalah dan memiliki tanggung jawab pidana
atas perbuatannya maka harus terdapat perbuatan lahiriah yang terlarang (actus revs) dan
terdapat sikap batin yang jahat/tercela (mens rea).15

12 Sjandeini, op.cit,hal.33.
13 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana,(Jakarta : Rjawali Prs,1994),hal.88.
14 Direktorat Jenderal Peraturan PerUndang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rancangan KUHP, Jakarta: 2005.
15 Barda Nawawi Arief dalam bukunya perbandingan Hukum Pidana (Jakarta: Rajwali Pers,1994), hal.26. mengartikan mens rea menjadi
sikap batin yang jahat/tercela. Sedangkan Remy dalam bukunya tindak pidana korporasi, hal.22, menggunakan istilah sikap kalbu untuk
mengartikan mens rea.

Tindak Pidana Korupsi 16


Actus reus tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga
mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:

1. Perbuatan dari si terdakwa (line Conduct of the accused person). Perbuatan ini dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi (commisions) dan omisi (omissions).16
2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu (its result/consequences); dan
3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana (surrounding
circumstances which are included iin the definition of the offence).17

Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu (guilty mind). Sikap
kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Intention (kesengajaan)
2. Recklessness (kesembronoan), atau sering disebut juga dengan istilah willful blindness.
Dikatakan terdapat recklessness jlka seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko
yang tidak dibenarkan.18
3. Criminal negligence (kealpaan/kekurang hati-hatian).19

Dalam hukum pidana Indonesia mens rea hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu
kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Jika seseorang hanya memiliki sikap batin
yang jahat tetapi tidak pernah melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu
perilaku, baik yang terlihat sebagai melakukan perbuatan tertentu (commission) atau
sebagai tidak berbuat sesuatu (ommission) tidak dapat dikatakan orang tersebut telah
melakukan suatu tindak pidana.20

Terdapat pengecualian dalam aturan umum bahwa untuk menentukan seorang


bersalah Jaksa Penuntut Umum harus dapat membuktikan mens rea, pengecualian itu
adalah dengan doktrin strict liability. Doktrin ini mengatakan bahwa seseorang dapat
dinyatakan bersalah atas suatu perbuatan tanpa perlu dibuktikan adanya sikap batin yang
jahat/tercela dalam perbuatannya atau pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Dalam
hubungannya dengan azas "tiada pidana tanpa kesalahan", maka konsekuensinya bahwa
hanya sesuatu yang memiliki batin sajalah yang dapat dibebani pertanggungjawaban
pidana. Karena hanya manusia yang memiliki batin, dan korporasi tidak, maka hanya
manusia saja (naturlijke person) yang dapat dibebani tanggung jawab pidana.21 Bagi

16 “Actus Reus”, http://en.wikipedia.org/wiki/ActusReus, loc.cit


17 Arief,op.cit. hal. 26.
18 Arief, op.cit, hal. 27. Reckleness yang dikenal di Iggris dapat disampaikan dengan bewuste shuld (kealpaan/kesalahan yang disadari)
atau dalam beberapa hal dapat disamakan dengan dolus evantualis.25
19 “Mens Rea”, http://en.wikipedia.org/wiki/MensRea, diakses pada tanggal 19 November 2006
20 Sjandeini, op.cit,hal. 26.
21 Sjandeini, Ibid., hal. 31.

Tindak Pidana Korupsi 17


korporasi, unsur kesalahan ini sulit diterapkan, karena Korporasi bukanlah manusia.
Korporasi tidak memiliki batin dan karena itu sulit untuk mengetahui niatnya. Namun,
apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya karena sulitnya
membuktikan kesalahan, maka akan terjadi kekebalan hukum terhadap korporasi, padahal
korporasi juga banyak melakukan tindak pidana.

- Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Dalam Peraturan PerUndang-Undangan


Indonesia.

Pada awalnya di Indonesia dianut pendapat bahwa beban tugas mengurus (zorgplicht)
suatu "kesatuan orang" atau korporasi harus berada pada pengurusnya, korporasi
bukan subyek hukum pidana.22 Berdasarkan Pasal 59 KUHP hingga saat ini masih
dianut pengurus Korporasi melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban
pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Selain
Pasal 59 yang terdapat dalam buku I, terdapat tiga pasai lain daiam buku II KUHP
yang menyangkut korporasi. Pasal tersebut adalah Pasal 169 KUHP tentang turut Serta
dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan Pasal 399 KUHP tentang Pengurus atau
komisaris perseroan terbatas maskapai Indonesia atau perkumpulan koperasi. Namun
pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana ternyata banyak diatur dalam
Undang-Undang pidana diluar KUHP.23

Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia dimulai pada Tahun
1955, yaitu melalui Pasal 15 Undang-Undang No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Menurut Undang-
Undang tersebut badan hukum, perseroan, perserikatan yang lainnya atau yayasan
telah dijadikan subyek hukum pidana yang dapat dituntut dan dipidana.24

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, menurut Mardjono Reksodiputro


terdapat tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana,
yaitu:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak


pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Sehingga apabila suatu
tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap
22 Mardjono Reksodiputro (b), Buku Kesatu: Kemajuan Pembangunan Ekonomi don kejahatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997). hai. 69
23 Walaupun pengaturan korporasl sebagai subyek hukum pidana belah dimulal sejak Tahun 1955 dan helah banyak diatur dalam
UndangrUndang pidana diluar KUHP, pada praktaek penegakan hukum di Indonesia penulis belum menemukan sétu tindak pidana yang
diajukan ke persidangan dengan korpomsi sebagai terdakwa, kecuali untuk tindak pidana linkungan hidup dan tindak pidana pemutanan
24 Reksodiputro(b), loc.cit

Tindak Pidana Korupsi 18


dilakukan oleh pengurus korporasi. Hal ini serupa dengan apa yang diatur dalam
Pasal 59 KUHP, dimana pengurus yang tidak memenuhi kewajiban yang
sebenarnya merupakan Kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggung jawab.

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;

Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab ditandai


dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan Undang-Undang bahwa suatu
tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi, akan tetapi tanggung jawab untuk itu
menjadi tanggungjawab pengurus korporasi asal saja dinyatakan secara tegas dalam
peraturan tersebut, contoh Undang-Undang yang menganut sistem
pertanggungjawaban yang kedua ini adalah Pasal 27 ayat (1) UU No. 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan. Perburuhan, Pasal 4 ayat (1) UU No. 38
Tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah, Pasal 35 UU No. 3
Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan.

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

Sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung


jawab merupakan tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka
kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya
menurut hukum pndana. Peraturan perUndang-Undangan yang menempatkan
Korporasi sebagai subyek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggung
jawabkan adalah dalam Pasal 15 UU No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Perumusan serupa
terdapat juga dalam Pasal 39 UU No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, UU
No, 24 Tahun 1992 tentang Perasuransian, Pasal 108 UU No. 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan dan juga dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
dan UU No. 8 Tahun 1998 tentang perlindungan konsumen.25

Selain tiga Sistem pertanggungjawaban Korporasi yang telah disebutkan diatas,


terdapat satu sistem pertanggungjawaban korporasi yang rnenurut Sutan Remy Sjandeini
harus ada dan diterapkan, yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak
pidana dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana.26

Pendapat ini didasari oleh; pertama, apabila hanya pengurus yang dibebani
pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah
menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah nntuk dan
atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk mengurangi kerugian finansial bagi

25 Reksodiputro (b), op. cit, hal. 72.,dan Setiyono, op. cit., hal. 15-22.
26 Sjandeini, op. cit, hal. 62.

Tindak Pidana Korupsi 19


Korporasi. Kedua, apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi
sedang pengurus tidak harus memikul tanggungjawab, maka sistem ini akan dapat
memungkinkan pengurus bersikap "lempar batu sembunyi tangan." Dan, ketiga,
pembebanan pertanggung jawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan
secara pengganti. Segala berbuatan hukum, dalam lapangan keberdataan maupun pidana,
dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi Dalam hal perbuatan
hukum itu merupakan tindak pidana, actus reus dan mens rea tindak pidana itu ada pada
pada manusia pelaku.27

- Korporasi Sebagai Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

Yang dimaksud dengan korporasi dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi,


dirumuskan dalam Pasal 1 sub 1, berikut ini Korporasi adalah kumpulan orang dan
atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.

Dalam tindak pidana korupsi, korporasi dapat sebagai pelaku apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama. Kalau orang itu ada hubungan kerja atau yang lainnya,
boleh jadi Ia sebagai pemodal atau pemegang saham ataupun mungkin sebagai
pegawai pada korporasi dan menerima gaji atau upah dari korporasi itu. Orang-orang
tersebut dalam kegiatan usaha korporasi mereka itu dapat bertindak sendiri atau
bersama-sama. Kemudian diantara mereka itu akan dipilih dan diangkat sebagai
pengurus sehingga mereka merupakan organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang besangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk
mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan Ikut memutuskan
kebijakan korporasi. Kemungkinan dalam memutuskan suatu kebijakan tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Apabila korporasi tersebut dalam
kegiatan usahanya menerima bantuan dari keuangan negasa atau daerah, maka orang
yang menerima gaji atau upah tersebut berkedudukan sebagai pegawai negeri.
Pengurus dalam korporasi yang seperti ini yang memiliki kewenangan dan
memutuskan kebijakan korporasi dan menyimpang dari anggaran dasar atau ketentuan
Undang-Undang yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau daerah,
maka dapat dikualifikasikan sebagai melakukan pidana korupsi dan apabila tindak
pidana korupsi ini oleh atau nama korporasi ini, maka tuntutan dan penjatuhan pidana
dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengawasnya. Bilamana tuntutan pidana
dilakukan terhadap korporasi tersebut, maka korporasi itu diwakili oleh pengurusnya.
Selanjutnya pengurus yang mewakili korporasi itu dapat diwakili oleh orang lain.

27 Ibid., hal. 62-63.

Tindak Pidana Korupsi 20


Didalam persidangan pengadilan korupsi, pengurus korporasi yang mewakili
korporasi ataupun dia sendiri yang sebagai terdakwanya dapat diperintahkan oleh
hakim untuk menghadap sendiri di pengadilan dan dalam hal sudah dipanggil ke
sidang pengadilan dengan secara patut, tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut,
maka hakim dapat pula memerintahkan agar pengurus tersebut dibawa ke sidang
pengadilan. Bilamana korporasi berposisi sebagai terdakwa dalam perkara korupsi,
maka surat panggilan untuk menghadap atau menghadiri (relaas) dialamatkan kepada
pengurus bertempat tinggal atau dialamat pengurus berkantor dan penyerahan surat
panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di
tempat pengurus berkantor.

Pasal 20 ayat (7) menyebutkan "Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu
pertiga)". Timbul pertanyaan dalam hal ini yaitu Apakah ketentuan mengenai pidana
pokok denda yang diatur dalam Pasal 30 KUHP berlaku bagi korporasi ? Yang
dimaksudkan dalam hal ini adaiah apabila hukuman denda tidak dibayar apakah lalu
diganti dengan hukuman kurungan? Mengingat terpidana adalah korporasi yang
merupakan rechtspersoon, maka terhadap Korporasi penjatuhan hukumannya sudah
ditekankan dalam ayat diatas yaitu hanya pidana denda saja. Berarti tidak ada
hukuman penggantinya, kalau tidak dibayar dendanya walaupun tidak ditentukan
dalam ayat itu ataupun tidak ada Penjelasan terhadap ayat tersebut, telapi tidak
menutup kemungkinan dapat diselesaikan secara perdata. Mengenai hukuman
tambahannya, dapat juga diterapkan sesuai ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1).

Pemidanaan badan hukum atau korporasi dimungkinkan dalam perkara korupsi


sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999. Hal ini
menyimpang dari ketentuan pidana umum yang selalu menunjuk orang sebagai subyek
hukum. Hampir semua perumusan delik dalam KUHP dimulai dengan kata-kata
"barang siapa" atau dalam Pasal 341 dan 342 KUHP yang dimulai dengan kata-kata
"seorang ibu" yang menunjuk manusia sebagai subyek hukum. Pengertian korporasi
dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 merupakan pengertian korporasi dalam
arti luas. Disebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang atau kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

4. Hukuman Penuh untuk Percobaan, Perbantuan, atau Permufakatan Tindak Pidana


Korupsi.

Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tindak Pidana Korupsi 21


tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, disebutkan : “Setiap orang yang melakukan percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana
dengan pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Hal ini menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 ayat (1) KUHP
yang menentukan hukuman maksimal bagi percobaan dan pembantuan tindak pidana, yaitu
hukuman maksimal tindak pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiganya.

Percobaan dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 syaratnya sama dengan percobaan dalam tindak pidana umum sebagaimana
diatur dalam pasal 53 KUHP, dengan syarat sebagai berikut :

1. Adanya niat;
2. Adanya permulaan pelaksanaan;
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Perbantuan sebagaimana dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 didasarkan
sama dengan ketentuan pasal 56 KUHP, yaitu orang yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana dan keterangan dalam melakukan tindak pidana korupsi.

Permufakatan jahat sebagaimana dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 harus melihat
pasal 88 KUHP, dengan unsur yang harus dipenuhi :

1. Adanya dua orang atau lebih;


2. Adanya kesepakatan;
3. Adanya kehendak akan/untuk melakukan kejahatan.

Dalam permufakatan jahat disini dimaksudkan kejahatan belum diwujudkan, bahkan


permulaan pelaksanaanpun belum ada, baru berbentuk pertemuan-pertemuan, usulan dalam
perbincangan dan tanggapan.

Dapat digambarkan dalam praktek bahwa permufakatan jahat lebih awal atau lebih rendah
dalam prosentase dari suatu tindak pidana selesai atau masih dalam percobaan, misalnya
tindak pidana selesai sama dengan 100 %, percobaan sama dengan 50 %, sedangkan
permufakatan jahat sama dengan 20 % sampai 30 %.

Tindak Pidana Korupsi 22


Bentuk permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi berupa suap, cukup
dengan pertemuan beberapa orang merencanakan untuk mengumpulkan uang dalam
rangka diberikan kepada pejabat agar keinginan dapat dipenuhi.

5. Unsur-unsur Pasal dalam Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Modus Operandi
dalam Praktek.

Untuk memahami tindak pidana korupsi secara benar diperlukan pengetahuan dan
pengalaman dalam praktek terkait unsur-unsur dari pasal demi pasal dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Unsur-unsur pasal demi pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 2 ayat (1).


1. Unsur “setiap orang”.
2. Unsur “secara melawan hukum”.
3. Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi”.
4. Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

Unsur “Setiap Orang”.

Setiap orang telah dibahas pada uraian Subjek Hukum di atas, namun unsur setiap orang
dalam pasal 2 ayat (1) tidak mensyaratkan kriteria tertentu, sehingga siapa saja termasuk
Penyelenggara Negara, Pegawai Negeri, Swasta.

Unsur “Melawan hukum”.

• Terjemahan dari Wederrechtelijk pengertian umum melawan hukum adalah


bertentangan dengan hukum, bertentangan dengan hak orang lain atau tanpa hak
sendiri.

• Perbuatan melawan hukum formil dan materiil.

• Perbuatan melawan hukum formil adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan hukum tertulis.

Tindak Pidana Korupsi 23


• Perbuatan melawan hukum materiil adalah suatu perbuatan yang dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat.

• Perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif dipidana.

• Perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi negatif tidak dipidana (Prof.
Komariah Emong Sapardjaja).

• Putusan MK No.003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 : menyatakan ukuran


kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat ukurannya
tidak pasti, sehingga bertentangan dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum
yang adil (pasal 28 D ayat (1) UUD 1945), (harus melawan hukum formil).

• Putusan MK tersebut telah dibantah oleh putusan MA No.2065 K/Pid/2006 tanggal 21


Desember 2006 atas nama Drs. Kuntjoro Hendrartono, MBA, menyatakan : MA tetap
memberi makna perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) UU
No.31/1999 baik dalam arti formil maupun materiil walaupun oleh putusan MK
No.003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, penjelasan pasal 2 ayat (1) UU
N0.20/2001 jo UU No.31/1999 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasan :

Berdasarkan doctrine sens-clair (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan


penemuan hukum, dengan memperhatikan pasal 28 ayat (1) UU No.4/2004, hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat karena menurut pasal 16 ayat (1) UU No.4/2004, pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan mengadilinya.

• Unsur melawan hukum ini antara lain dapat diberikan contoh, sebagai berikut :

1. Penyalahgunaan APBN/APBD.

a. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

- Pasal 3 ayat (6) : semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran
yang menjadi kewajiban daerah dalam Tahun anggaran yang bersangkutan
harus dimasukkan dalam APBD.

- Pasal 10 ayat (1) huruf b : Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah


sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c dilaksanakan oleh

Tindak Pidana Korupsi 24


Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah.

- Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) : APBD disusun untuk kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai rencana kerja pemerintah
dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

b. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

- Pasal 3 ayat (2) : Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi
Pemerintah Daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.

- Pasal 3 ayat (3) : Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang


berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk
membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.

- Pasal 17 ayat (1) : Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran


melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan
anggaran yang telah disahkan.

- Pasal 17 ayat (2) : Untuk keperluan pelaksanaan kegiatan sebagaimana


tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran, Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berwenang mengadakan
ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah
ditetapkan.

c. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

- Pasal 192 ayat (4) : Kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan DPRD,
dan pejabat daerah lainnya, dilarang melakukan pengeluaran atas beban
anggaran belanja daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam
APBD.

d. PP No. 105 Tahun 2000 : Pengelolaan dan Pertanggung jawaban


Keuangan Daerah.

- Pasal 10 ayat (3) : Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang


berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak
cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut.

- Pasal 12 ayat (2) : Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak


tersangka adalah untuk penanganan bencana alam, bencana sosial dan

Tindak Pidana Korupsi 25


pengeluaran tidak tersangka lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka
penyelenggaraan kewenangan Pemerintah daerah.

- Pasal 25 : Tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD


tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang
APBD dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah.

- Pasal 27 ayat (1) : Setiap pembebanan APBD harus didukung oleh bukti-
bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang
menagih.

e. PP No. 58 Tahun 2005 : Pengelolaan Keuangan Daerah.

- Pasal 4 ayat (1) : Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, efisien, ekonomis, efektif,
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan,
kepatutan dan manfaat untuk masyarakat.

- Pasal 54 ayat (1) : SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban


anggaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya,
dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD.

- Pasal 61 ayat (1) : Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang
lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.

- Pasal 65 ayat (1) : Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan


berdasarkan SPM yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran.

f. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 : Pedoman Pengurusan,


Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah,
Pelaksanaan Tata Usaha Daerah dan Penyusunan Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
- Pasal 7 ayat (1) : Belanja Tidak Tersangka dianggarkan untuk pengeluaran
penanganan bencana alam, bencana sosial atau pengeluaran lainnya yang
sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan
pemerintahan daerah.

- Pasal 7 ayat (2) : Pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan dalam


rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), yaitu:

Tindak Pidana Korupsi 26


a. pengeluaran-pengeluaran yang sangat dibutuhkan untuk penyediaan
sarana dan prasarana langsung dengan pelayanan masyarakat, yang
anggarannya tidak tersedia dalam Tahun Anggaran yang
bersangkutan; dan

b. pengembalian atas kelebihan penerimaan yang terjadi dalam Tahun


Anggaran yang telah ditutup dengan didukung bukti-bukti yang sah.

- Pasal 49 ayat (1) : Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD


tidak dapat dilakukan sebelum rancangan Peraturan Daerah Tentang
APBD disahkan dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah.

- Pasal 49 ayat (5) : Setiap pengeluaran kas harus didukung oleh bukti yang
lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.

- Pasal 50 : Setiap orang yang diberi kewenangan menandatangani dan atau


mengesahkan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran kas
bertanggungjawab atas kebenaran dan akibat dari penggunaan bukti
tersebut.

- Pasal 51 ayat (1) : Untuk melaksanakan pengeluaran kas, Pengguna


Anggaran mengajukan SPP kepada pejabat yang melaksanakan fungsi
perbendaharaan.

- Pasal 55 ayat (1) : Pengguna Anggaran dilarang melakukan tindakan yang


mengakibatkan beban APBD jika dana untuk pengeluaran tersebut tidak
tersedia atau dananya tidak cukup tersedia.

- Pasal 55 ayat (2) : Pengguna Anggaran dilarang melakukan pengeluaran-


pengeluaran atas beban Belanja Daerah untuk tujuan lain dari pada yang
ditetapkan.

- Pasal 57 ayat (1) : Pengguna Anggaran wajib mempertanggungjawabkan


uang yang digunakan dengan cara membuat SPJ yang dilampiri dengan
bukti-bukti yang sah.

g. Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan


Keuangan Daerah.

Tindak Pidana Korupsi 27


- Pasal 122 Ayat (6) : pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran
belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup
tersedia dalam APBD.

- Setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung dengan bukti
yang lengkap dan sah.

2. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
(KLDI) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.

Dasar hukum dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah :


a. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Pemerintah;
b. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 perubahan pertama;
c. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 perubahan kedua;
d. Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 perubahan ketiga;
e. Peraturan Presiden Nomor 04 Tahun 2015 tentang perubahan keempat
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Metode penentuan penyedia barang/jasa :


• Swakelola adalah Pengadaan Barang/Jasa yang direncanakan, dikerjakan,
diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi
pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat.
• Pelelangan Umum adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh
semua Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang memenuhi
syarat.
• Pelelangan Terbatas adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi dengan jumlah Penyedia yang mampu melaksanakan diyakini
terbatas dan untuk pekerjaan yang kompleks.
• Pelelangan Sederhana adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa
Lainnya untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).

Tindak Pidana Korupsi 28


• Penunjukan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa
dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa (Keadaan
Tertentu : darurat, rahasia; Pengadaan Khusus : Pekerjaan komplek, tarif
resmi, tunggal, paten).

Penunjukan Langsung (PL)


Pengadaan barang/jasa pemerintah dengan metode Penunjukan Langsung
(PL) hanya dapat dilaksanakan apabila memenuhi ketentuan Keadaan
Tertentu atau Barang Khusus.
Keadaan tertentu :
- Penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan dan segera (tidak dapat
ditunda)
- Penyiapan konferensi yang mendadak yang dihadiri Presiden/Wakil;
- Kegiatan pertahanan negara, keamanan dan ketertiban masyarakat;
- Kegiatan bersifat rahasia untuk intelijen;
- Barang spesifik, hanya 1 penyedia barang, hak paten;
- Jasa konsultansi hukum meliputi konsultan hukum/advokat atau
pengadaan arbiter untuk menghadapi gugatan atau tuntutan hukum dari
pihak kepada pemerintah.
- Pengadaan prasarana, sarana dan utilitis umum di lingkungan perumahan
masyarakat berpenghasilan rendah oleh pengembang yang bersangkutan;

Barang Khusus :
- Tarif resmi pemerintah;
- Pekerjaan konstruksi yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi
dan satu kesatuan tanggungjawab atas resiko kegagalan bangunan yang
tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya;
- Bersifat kompleks, teknologi khusus dan hanya 1 penyedia yang mampu;
- Pengadaan dan distribusi bahan obat dan alat kesehatan habis pakai, jenis
dan harganya ditetapkan oleh Menteri;
- Pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah
yang telah dipublikasikan secara luas;
- Sewa hotel/penginapan/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan lanjutan
sewa tersebut;
- Pengadaan dan penyaluran benih unggul yang meliputi benih padi,
jagung dan kedelai, serta pupuk yang meliputi Urea, NPK dan ZA kepada

Tindak Pidana Korupsi 29


petani dalam rangka menjamin ketersediaan benih dan pupuk secara tepat
dan cermat untuk pelaksanaan peningkatan ketahanan pangan. (Perpres
No.172/2014)

• Pengadaan Langsung adalah Pengadaan Barang/Jasa langsung kepada


Penyedia Barang/Jasa, tanpa melalui Pelelangan/Seleksi/Penunjukan
Langsung.
Ketentuan Pengadaan Langsung adalah :
- Maksimal 200 juta;
- Tanpa melalui pelelangan atau PL (membeli langsung kepada penjual);
- Harga yang berlaku di pasar;
- Kebutuhan operasional;
- Teknologi sederhana;
- Resiko kecil;
- Usaha perorangan/kecil.

3. Penyaluran dana bantuan sosial.


Ketentuan terkait penyaluran dana Bansos :
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011.
- Peraturan Gubernur.
- Juklak dan Juknis.

Modus Operandi :
- Bagi-bagi uang kepada orang kedekatannya pejabat.
- Memerintahkan kepada pejabat terkait untuk diberikan kepada lembaga yang
tidak terdaftar (fiktif).
- Mendapatkan bagian dari dana yang disalurkan.
- Calon penerima Bansos tidak terdaftar atau telah ditentukan, foto copy KTP
asal-asalan.
- Proposal dibuatkan oleh petugas Dinas;
- Tidak dilakukan verifikasi;
- Penerima dana telah dipotong;
- Penggunaan dana tidak sesuai proposal.

4. Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Tindak Pidana Korupsi 30


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak, meliputi :
- penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;
- penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
- penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;
- penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;
- penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan
denda administrasi;
- penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;
- penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Seluruh penerimaan PNBP wajib disetor langsung ke kas negara. (asas
universalitas)
Seluruh penerimaan PNBP dikelola dalam sistem APBN
Modus Operandi :
- Menaikkan tarif.
- Tidak menyetorkan atau menyetorkan sebagian ke kas negara.
- Tidak diberikan bukti pembayaran.

Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi”.
• Dari sudut bahasa/harfiah memperkaya ialah bertambah kekayaannya atau
menjadi kaya. (riil ada penambahan materi/harta/uang).
Penambahan kekayaan tersebut harus berhubungan dengan perbuatan melawan
hukum, jadi bukan merupakan keuntungan yang sah yang menjadi haknya.
• Diri sendiri adalah tersangka/terdakwa.
• Orang lain adalah tersangka splitsing (dipisahkan) atau yang tidak ada hubungan
dengan perbuatan melawan hukum.
• Korporasi yang terkait tersangka.
• Nilai atau jumlah kekayaan yang diperoleh baik untuk diri sendiri atau orang lain
atau koorporasi ada hubungannya dengan kerugian keuangan Negara, sedangkan
pengenaan pembayaran uang pengganti sesuai pasal 18 ayat (1) huruf b UU TPK
adalah sesuai dengan yang diperoleh terdakwa.
• Juknis Nomor : B-116/A/JA/07/2015 tangal 31 Juli 2015 tentang Penyelamatan
kerugian keuangan negara dalam penanganan dan penyelesaian TPK.
• PERMA Nomor 5 Tahun 2014 tentang pidana tambahan uang pengganti dalam
TPK :
• Uang pengganti dapat dikenakan pada pasal 2 - 20.
• Uang pengganti tidak dapat dijatuhkan secara tanggung renteng.

Tindak Pidana Korupsi 31


• Terpidana diberi kesempatan untuk membayar/ melunasi uang pengganti.
• Satu bulan sebelum Terpidana selesai menjalani pidana pokok (penjara), Kajari
menetapkan lamanya pidana penjara pengganti uang pengganti yang harus dijalani
setelah ada pembayaran sebagian UP atau adanya BB yang diperhitungkan
sebagai pembayaran uang pengganti.

Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.


• Kata dapat, diartikan formil, sehingga tidak harus telah terjadi (potensi) adanya
kerugian Negara, namun dalam praktek bahwa kerugian keuangan negara harus
riil, karena memperkaya harus riil ada yang diperkara.

• Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban .
• Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

Pasal 2 ayat (2).


• Dalam hal tindak pidana ayat (1) dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
• Yang dimaksud keadaan tertentu adalah tindak pidana yang dilakukan terhadap
dana untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, akibat
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan
pengulangan TPK.

PASAL 3
1. Unsur “setiap orang”.
2. Unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi”.
3. Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan”.
4. Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

Tindak Pidana Korupsi 32


Unsur “setiap orang”.
• Unsur ini sama dengan unsur dalam pasal 2 ayat (1), namun diipersyaratkan
subjek hukum orang perseorangan yang mempunyai jabatan atau kedudukan
tertentu, khususnya jabatan pada pemerintahan.

Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.
• Menguntungkan mempunyai arti lebih luas dari memperkaya.
• Menguntungkan artinya memperoleh keuntungan.
• Keuntungan dalam arti tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi
segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang termasuk hak dan kesempatan.

Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada


padanya karena jabatan atau kedudukan”.

• Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan.


Misalnya PPK atau Panitia (Pokja ULP) dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah.
• Menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.
Peluang atau waktu dalam jabatan digunakan untuk melakukan penyimpangan
diluar jabatan.
Misalnya penyidik mengambil sepeda motor tetapi tidak disita dan tidak dijadikan
barang bukti.
• Menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan.
Sarana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai
maksud dan tujuan.
Misalnya rumah dan mobil dinas disewakan.

Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

• Unsur ini sama dengan unsur dalam pasal 2 ayat (1).

Pasal 4 : Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara


tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

• Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak


menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 dan pasal 3.

Tindak Pidana Korupsi 33


• Pengembalian kerugian keuangan negara pada tahap penyelidikan dapat
dipertimbangkan untuk tidak ditingkatkan ke tahap penyidikan.
• Pengembalian kerugian keuangan negara pada tahap penyidikan atau penuntutan
hanya dapat dipertimbangkan sebagai hal-hal yang meringankan.
• Dalam hal tersangka/terdakwa lebih dari satu orang, pengembalian kerugian
keuangan negara harus dikaitkan dengan yang diperoleh para tersangka/terdakwa.
(Pasal ayat (1) huruf b).
• Dalam tahap penyidikan, penyidik harus berupaya memperoleh data/fakta harta
benda tersangka dan aliran dana kepada pihak lain. (Juknis No.116/A/JA/07/2016
tanggal 31 Juli 2016 tentang penyelamatan kerugian keuangan negara dalam
penanganan TPK).

PASAL 5.

Tindak pidana suap merupakan tindak pidana yang berada dalam satu jenis (genus)
dengan tindak pidana korupsi dan merupakan jenis tindak pidana yang sudah sangat
tua. Penyuapan sebagai istilah sehari-hari yang dituangkan dalam Undang-Undang
adalah sebagai suatu hadiah atau janji (“giften”atau “beloften”) yang diberikan atau
diterima.28

Oemar Seno Adji membagi penyuapan menjadi dua bagian yaitu:

a. penyuapan aktif
b. penyuapan pasif

Penyuapan aktif (active omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai
pemberi hadiah atau janji (Pasal 209 dan Pasal 210 KUHP), sedang penyuapan pasif
(passive omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai penerima hadiah
atau janji (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP).

Pasal 209 KUHP berpasangan dengan Pasal 419 KUHP dan, Pasal 210 berpasangan
dengan Pasal 420 KUHP. Sedang Pasal 418 KUHP tidak ada pasangannya dalam
KUHP, tatapi pasangannya diciptakan dalam Pasal 1 ayat (1) sub d UU No. 3 Tahun
1971 atau dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal-pasal KUHP itu semua sudah
dihisap oleh Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan
demikian sudah dengan sendirinya menjadi tindak pidana korupsi. Pasal-pasal KUHP
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah
dinyatakan tidak berlaku atau dengan kata lain telah dihapus dan KUHP sehingga
dalam KUHP tidak ada lagi, dan materi/substansi/rumusan dari pasal KUHP yang
28 Seno Adji, Herziening Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1981

Tindak Pidana Korupsi 34


dihapus itu menjadi materi/substansi/ rumusan dalam pasal Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001. Rumusan ketentuan penyuapan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 merupakan ketentuan yang satu sama lain saling berpasangan
yakni penyuapan aktif dan pasif.

a. Penyuapan Aktif

a. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merumuskan
penyuapan yang kualifikasinya dan rumusan unsurnya berasal dari Pasal 209
KUHP.

Dalam rumusan delik Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tidak sepenuhnya mengambil alih rumusan delik dalam
Pasal 209 ayat (1) ke I dan ke 2 KUHP. Perbedaan terletak pada Pasal 5 ayat (1)
huruf a; unsur “dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya”, sedang
pada Pasal 209 (1) ke-1 KUHP unsur “dengan maksud supaya digerakkan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya”.

Jadi pada Pasal 5 ayat (1) huruf a sipenyuap sudah memenuhi unsur cukup
dengan mengutarakan dan melaksanakan maksudnya untuk memberi atau
menjanjikan suatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, adalah
tidak penting apakah pegawai negeri atau penyelenggara negara itu sungguh-
sungguh telah berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan pada Pasal 209 ayat (1) ke-
1 KUHP orang yang disuap harus bergerak untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu sesuai dengan keinginan sipenyuap.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terdiri dari dua ayat, dalam ayat
(1) merupakan penyuapan aktif karena subyek hukumnya adalah setiap orang
yang memberi hadiah atau janji (huruf a) dan setiap orang yang memberi hadiah
(huruf b), sedangkan ayat (2) merupakan penyuapan pasif karena subyek
hukumnya adalah pegawai negeri atau peyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b.
Pasal 5 ayat ( 1) huruf a dan huruf b berasal dari Pasal 209 ayat (1) ke 1 dan ke 2
KUHP yang berpasangan dengan Pasal 419 ke I dan ke 2 KUHP, hal ini berarti
Pasal 5 ayat (2) sama dengan Pasal 419 ke 1 dan ke 2 KUHP yang dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dirumuskan daiam Pasal 12 huruf a dan
huruf b (penyuapan pasif).

Tindak Pidana Korupsi 35


Jika dibandingkan antara Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b dengan Pasal 12
huruf a dan huruf b, maka akan tampak bahwa keduanya berpasangan,
Maksudnya Pasal 5 ayat (1) pelakunya adalah orang yang menyuap (penyuapan
aktif) sedang Pasal 12 huruf a dan huruf b pelakunya si penerima (penyuapan
pasif). Sedangkan antara Pasal 5 ayat (2), yang juga merupakan pasangan dengan
ayat (1) tidak identik dengan Pasal 12 huruf a waktu sama-sama penyuapan
pasif, karena pada Pasal S ayat (2) orang yang menerima tidak perlu sungguh-
sungguh akan berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan
kewajibannya, sedang pada Pasai 12 huruf a si penerima bergerak (sesuai dengan
keinginan si pemberi) agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b yang merupakan penyuapan aktif, pada huruf
a unsur-unsurnya adalah:

a. setiap orang, yang dimaksud adalah sebagai pelakunya atau subyek


hukumnya yaitu dapat orang-perseorangan atau dapat juga korporasi; yang
dimaksud korporasi adalah kumpulan orang atau harta kekayaan yang
berbadan hukum ataupun bukan berbadan hukum.
b. memberi atau menjanjikan sesuatu, maksudnya sesuatu disini yang akan
diberikan atau dijanjikan itu dapat berupa barang/benda yang bergerak atau
tidak bergerak atau yang berwujud ataupun yang tidak berwujud ;
c. kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, pegawai negeri yang
dimaksudkan disini adalah menurut pengertian dalam Pasal 1 UU No. 31
Tahun 1999 dan penyelenggara negara menurut pengertian Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
d. berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, maksudnya pegawai
negeri atau penyelenggara negara itu dalam melaksanakan jabatannya itu
harus berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang diatur dalam
ketentuan peraturan perUndang-Undangan atau kebaikan yang diatur oleh
departemen/ lembaga/badan/ komisi.
e. yang bertentangan dengan kewajibannya, maksudnya pegawai negeri dalam
berbuat atau tidak berbuat sebagaimana tersebut diatas itu merupakan
kewajiban yang harus dikerjakan tetapi karena adanya pengaruh tadi
(adanya pemberian atau janji) agar melaiaikan kewajibannya sehingga
menjadi bertentangan dengan kewajibannya.

Disini maksud si penyuap untuk memberi atau menjanjikan sesuatu itu agar
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Pemberian atau janji tersebut
Tindak Pidana Korupsi 36
diberikan oleh si penyuap sebelum pegawai negeri atau penyelenggara negara
(yang disuap) melakukan sesuatu yang diinginkan oleh si penyuap.

Adalah menjadi tidak penting apakah pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut benar-benar telah melaksanakan apa yang diinginkan oleh si penyuap
asal si penyuap sudah mengutarakan dan melaksanakan maksudnya berarti delik
tersebut telah dilakukan.

Kalau si penerima setelah menerima pemberian tetapi tidak melaksanakan apa


yang diinginkan oleh si penyuap, maka dalam hal demikian dapat dikatakan ada
percobaan penyuapan. Walau demikian tidak mengurangi ancaman pidananya,
karena dalam tindak pidana korupsi percobaan diperlakukan sama dengan delik
yang selesai dilakukan.

PASAL 5 ayat (1) huruf a.

1. Unsur “setiap orang”.


2. Unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara”.
3. Unsur “dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya”.

Untuk memudahkan pemahaman suap dalam pasal ini adalah bahwa dalam memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara dengan maksud
agar memenuhi keinginan dari pemberi.

PASAL 5 ayat (1) huruf b


1. Unsur “setiap orang”.
2. Unsur “memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara”.
3. Unsur “karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”.

Untuk memudahkan pemahaman suap dalam pasal ini adalah bahwa pemberian
sesuatu setelah keinginannya dipenuhi oleh yang diberi.
Membaca rumusan unsur, dapat disimpulkan bahwa pemberian sesuatu itu dilakukan
setelah pegawai negeri atau penyelenggara Negara melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh si penyuap. Biasanya pemberian diberikan sebagai ucapan terima

Tindak Pidana Korupsi 37


kasih atau sebagai balas jasa. Oleh karena itu dalam ayat (2) ini tidak ada elemen
“menjanjikan" melainkan hanya "memberi saja, tidak seperti dalam ayat (1).

Perbedaan antara huruf a dan huruf b adalah huruf a dalam memberi sesuatu sebelum
permintaan/keinginan dikabulkan/dipenuhi, sedangkan huruf b dalam memberikan
sesuatu setelah keinginannya dipenuhi.

PASAL 5 ayat (2)


1. Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.
2. Unsur “menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau huruf b”.

Pasal 5 ayat (2) yang mengatur pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana yang disebut dalam ayat (1) huruf a dan
huruf b, perbuatan ini termasuk dalam apa yang diistilahkan dengan penyuapan pasif.
Hukuman pidana yang dapat dijatuhkan sama dengan ancaman pidana yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (1). Pasal 5 ayat (2) merupakan ketentuan yang baru dan
merupakan pengembangan dari Pasal 5 ayat (1), yang sebelumnya tidak diatur oleh
UU No. 31 Tahun 1999.

Dalam Pasal 5 ayat (2) terdapat dua jenis perbuatan penerimaan yaitu berupa
pemberian atau janji yang diterima sebelum berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang
diistilahkan sebagai penerimaan dimuka (down payment) - ayat(1) huruf a - dan
penerimaan setelah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang diistilahkan sebagai
ucapan terima kasih (thanks giving) - ayat (1) huruf b. Perbedaan kedua perbuatan
penyuapan ini terletak pada waktu pemberian atau janji itu diterima. Pada huruf a,
pegawai negeri atau penyelenggara negara telah menerima pemberian atau janji
terlebih dahulu sebelum ia berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya atau
singkatnya pemberian atau janji tersebut diterima terlebih dahulu sebelum ia berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. Sedang pada huruf b pegawai negeri atau penyelenggara
negara telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya baru ia
menerima pemberian atau janji tersebut atau singkatnya pemberian atau janji itu
diterima belakangan setelah melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Perbedaan
Iainnya bahwa pada huruf a, aturan/ketentuan hams berbuat atau tidak berbuat dalam
jabatannya, sedang pada huruf b aturan/ ketentuan harus dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya. Persamaannya bahwa pemberian atau janji itu berkaitan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 5 ayat (2) dalam rumusan unsur perbuatannya merujuk pada Pasal 5 ayat (1)
huruf a atau b, sedang ancaman pidananya merujuk pada ayat (1). Sehingga dalam

Tindak Pidana Korupsi 38


membuat surat dakwaan, yang menggunakan Pasal 5 ayat (2) maka harus
menyebutkan unsur perbuatan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) secara
lengkap sebagai berikut.

a. "Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pernberian atau
janji dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan
paling tama 5 (lima) Tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah)."

b. "Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak diiakukan dalam jabatannya, (dipidana dengan
pidana penjara paling singkai; 1 (satu) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)."

Ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 30 Tahun 2001 sering
disamakan dengan Pasal 12 huruf a dan b. Sebenarnya antara Kedua pasal tersebut
terdapat perbedaan:

a. Pasal 5 ayat (2) deliknya dolus (dengan maksud), sedang pada Pasal 12 huruf a dan
huruf b deliknya proparte dolus proparte culpa (satu pasal mengandung
kesengajaan dan kealpaan (dolus dan culpa) ditandai dengan kata; pada hal
diketahui atau patut diduga). .

b. Pada Pasal 12 huruf a ada unsur "untuk menggerakkan" sedang pada pasal 5 ayat
(2) tidak ada unsur demikian,
c. pada Pasal 5 ayat (2) yang berhubungan dengan ayat (1) huruf a ada unsur "berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya", sedang pada Pasal 12 huruf a ada
unsur "agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya".

PASAL 6 :
(1) Unsur “Setiap orang”
a. Unsur “memberi atau menjanjikan kepada hakim”
Unsur “dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diadili”.
b. Unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Advokat”

Tindak Pidana Korupsi 39


Unsur “dengan maksud mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan”.
(2) Unsur “Hakim atau Advokat”
Unsur “menerima pemberian atau janji sebagaimana dalam ayat (1) huruf a dan
huruf b”.

Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan penyuapan aktif, karena pelakunya adalah
setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim (huruf a) dan setiap
orang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perUndang-Undang ditentukan menjadi advokat (huruf b). Pasal 6 ayat (1)
berpasangan dengan Pasal 6 ayat (2) yang merupakan penyuapan pasif karena pelakunya
adalah hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau hurut b. Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001 memiliki perbedaan
dengan Pasal 6 UU Nomor 31 Tahun 1999, karena Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tidak sepenuhnya mengambil alih rumusan unsur Pasal 210 KUHP. Pasal 210 KUHP
terdiri atas dua ayat, dimana ayat (1) rnerupakan rumusan pokok dan ayat (2) merupakan
delik yang dikualifisir (delik yang diperberat dari rumusan pokoknya). Sedangkan dalam
Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2001 bukan merupakan delik yang dikualifisir.

Pasal 210 KUHP merupakan penyuapan aktif karena pelakunya memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada seorang hakim dan kepada seorang penasihat hukum (dalam UU No. 20
Tahun 2001 disebut dengan istilah advokat), dikatakan berpasangan dengan Pasal 420
KUHP yang merupakan penyuapan pasif karena pelakunya adalah seorang hakim dan
barangsiapa menurut ketentuan Undang-Undang menjadi penasihat untuk menghadiri
sidang pengadilan menerima hadiah atau janji.

Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b itu berasal dari Pasal 210 ayat (1) ke 1 dan ke 2 KUHP,
sedang Pasal 6 ayat (1) berpasangan dengan ayat (2) nya. Pasal 210 KUHP berpasangan
dengan Pasal 420 KUHP, dengan demikian Pasal 6 ayat (2) sama dengan Pasal 420 KUHP.
Sedangkan Pasal 420 ayat (1) dan (2) KUHP dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 menjelma menjadi Pasal 12 huruf c dan huruf d.

Pasal 6 ayat (2) merupakan ketentuan yang baru dan merupakan pengembangan dari Pasal
6 ayat (1), yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Pasal ini dalam rumusan unsur perbuatan dan ancaman pidananya merujuk pada Pasal 6
ayat (1) huruf a atau b. Sehingga jika unsur perbuatan ini mau diterapkan dalam surat
dakwaan, maka unsur-unsurnya harus disebutkan secara lengkap dengan memasukkan
unsur dan ayat yang ditunjuk, secara lengkap sebagai berikut.

a. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, dipidana dengan pidana

Tindak Pidana Korupsi 40


penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 15 (lima belas) Tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta).

b. Bagi advokat yang menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Mengenai pemberian atau janji bagi hakim atau advokat ini, tidak dipermasalahkan kapan
diterimanya pemberian atau janji tersebut. Yang penting dari rumusan pasal ini bahwa
pemberian tersebut diberikan dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan suatu perkara
yang sedang ditangani oleh seorang hakim atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan oleh advokat dalam perkara yang ditanganinya. Kesulitan dalam
penerapan pasal ini adalah sulit dalam hal ini membuktikan seorang advokat menerima
suap, sebab memang seorang advokat akan menerima fee/honor dari kliennya. Tentunya
hal ini sangat subyektif sekali, apakah seorang advokat akan mau mengakui bahwa
penerimaan pemberian atau janji itu adalah suap.

PASAL 7.
Perbuatan curang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Rumusan Pasal 7 berasal dari Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP sebagaimana disebutkan
oleh Pasal 7 dalam UU No. 31 Tahun 1999.

Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang
kualifikasinya adalah melakukan perbuatan curang bagi pemborong, ahli bangunan dan
pengawas, sehingga membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan
keselamatan negara. Contoh perbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong dalam
melakukan pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau menyalahi ketentuan yang
sudah diatur dan disepakati yang tertuang dalam surat perjanjian kerja atau leveransir
bahan bangunan yang dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sebenarnya perbuatan ini, dalam kaitan perjanjian jual-beli (dalam lingkup hukum perdata)
apabila salah satu tidak memenuhi perjanjian wanprestasi. Tetapi hal ini dimasukkan dalam
ranah hukum pidana karena perbuatan curang itu bersifat menipu, dan lebih khusus lagi
dijadikan tindak pidana korupsi.

Tindak Pidana Korupsi 41


Perbuatan curang tidak perlu mengakibatkan bangunan itu roboh atau Negara menjadi
betul-betul bahaya, karena dalam unsurnya dikatakan “dapat membahayakan keamanan
orang atau barang dan membahayakan keselamatan Negara”. Oleh karena rumusan
deliknya ini adalah delik formil bukan materil.

Pasal 7 ayat (1) huruf c mengubah unsur “Angkatan laut atau Angkatan baru dalam Pasal
388 ayat (1) dengan memperluas unsurnya disesuaikan dengan keadaan sekarang menjadi:
“Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia". Tentara
Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, angkatan Laut, dan Angkatan Udara, kalau
dalam Pasal 388 ayat (1) tidak termasuk Angkatan Udara.

PASAL 8.
• Unsur “Pegawai negeri atau selain pegawai negeri”,
• Unsur “bertugas menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau
sementara waktu”,
• Unsur “dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan untuk diambil atau digelapkan orang lain
atau membantu perbuatan tersebut”.
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 kejahatan jabatan diatur dalam Pasal 8, 9, dan 10, Rumusan
Pasal 8 merujuk pada Pasal 415 KUHP mengenai pejabat atau pegawai negeri yang
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, membiarkan
atau membantu, dikenakan pidana minimal maksimal dan kumulatif/ alternatif. Pidana
penjara lebih ringan dan pidana denda lebih berat dari pada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi.

Termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh Pasal 8 adalah :

a. menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya;


b. membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain;
c. membantu dalam melakukan perbuatan tersebut

Yang dimaksud dengan menggelapkan dalam pasal ini tidak berbeda artinya dengan
mengaku/seolah-olah sebagai milik sendiri dalam Pasal 372 KUHP yang dikualifikasi
dengan penggelapan. Oleh kerana itu agar dapat dikenai pidana perbuatan menggelapkan
tersebut diatas disamakan dengan perbuatan yang disebutkan dalam Pasal 372 KUHP
tetapi Khusus pada Pasal 8 adalah untuk uang atau surat berharga saja. Di Negeri Belanda
ketika membentuk KUHP ada pembicaraan di Parlemen yang disimpulkan bahwa
perbuatan si pelaku dalam pasal 415 bukan memiliki, melainkan mempergunakan untuk
lain tujuan daripada yang seharusnya, dan ia mendapatkan keuntungan dari apa yang
dilakukannya tersebut. Misalnya, apabila ada uang yang dimaksudkan untuk membeli radio
untuk keperluan dinas, dipakai untuk membeli mesin Tik, juga untuk keperluan dinas.

Tindak Pidana Korupsi 42


Dalam hal itu sama sekali tidak ada keuntungan bagi si pegawai negeri.29 Contoh seperti
itu dapat terjadi dalam hal pengalihan pengadaan barang, dalam DIP (Daftar Isian Proyek)
tercantum untuk pengaaaan komputer, tetapi dipergunakan untuk membeli lap top untuk
keperluan dinas, si pelaku sama sekali tidak mengambil untung. Dalam kedua hal ini
terhadap pelakunya cukup diperingatkan dan dikenakan hukuman administrasi.

PASAL 9.
• Unsur “Pegawai negeri atau selain pegawai negeri“,
• Unsur “bertugas menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau
sementara waktu”,
• Unsur “dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi”.

Pasal 9 merujuk pada Pasal 416 KUHP mengenai pejabat atau pegawai negeri yang
memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Dikenakan pidana minimal maksimal dan kumufatif, pidana penjara lebih ringan dan
pidana denda lebih berat dan pada UU No. 3 Tahun 1971. Perbuatan yang dilarang pada
Pasal 9 adalah memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi, Pasal ini memiliki kemiripan dengan Pasal 263 KUHP yang dikualifikasikan
sebagai pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP pelakunya adalah sembarang orang
(tidak perlu memiliki kualifikasi tertentu) sedang dalam Pasal 9 pelakunya haruslah
seorang pegawai negeri.

PASAL 10.
• Unsur “Pegawai negeri atau selain pegawai negeri”,
• Unsur “bertugas menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau
sementara waktu”,
a. Unsur “menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak
dapat dipakai, barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang yang
dikuasai karena jabatannya”.
b. Unsur “membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau
daftar tersebut”,
c. Unsur “membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merukkan
atau membuat tidak dapat dipakai, akta, surat atau daftar tersebur”.

29 Prodjodikom, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung Cct. Pertama, Edisi Ketiga, Juni 2003

Tindak Pidana Korupsi 43


Rumusan Pasal 10 merujuk pada Pasal 417 KUHP mengenai pejabat atau pegawai negeri
yang menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat atau daftar, yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di
muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya atas membiarkan atau
membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Dikenakan pidana minimal
maksimal, dan kumulatif/alternatif, pidana penjara lebih ringan dan pidana denda lebih
berat dan pada UU No. 3 Tahun 1971. Termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh Pasal
10 adalah:

a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai


barang, akta, surat atau daftar, yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya
b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan;
c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.

Perubahan yang penting untuk diperhatikan dalam Pasal 8, 9, dan 10 UU No. 20 Tahun,
2001 adalah perubahan mengenai subyek hukumnya. Dalam Pasal 8, 9, dan 10 UU No. 31
Tahun 1999 subyek hukumnya adalah "Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 KUHP". Subyek hukum
"setiap orang" yang dimaksud adalah orang perorangan atau termasuk korporasi (Pasal 1
angka 3 UU No. 31 Tahun 1999). Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2001 subyek
hukumnya dikerucutkan karena dikaitkan dengan Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417
KUHP yang subyek hukumnya menyebutkan "pegawai negeri" (ada KUHP yang lain
menggunakan istilah "pejabat". Pegawai negeri dan pejabat sebagai terjemahan dari
“ambtenar”). Sedang Pasal 8, 9, dan 10 UU No. 20 Tahun 2001 subyek hukumnya
menggunakan istilah yangl spesifik yaitu “pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara
waktu". Jadi disini ada dua subyek hukum, tetapi dipilih yang mana (bersifat alternatif)
apakah subyek hukumnya pegawai negeri" atau "orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu".

Siapakah yang dimaksud dengan "orang selain pegawai negeri yang ditugaskan men-
jalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu"? Menurut
Noyon-Langemeyer30 yang menceritakan berdasarkan surat Penjelasan pada KUHP
Belanda sering barang-barang itu dipercayakan kepada orang-orang yang bukan pegawai

30 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (halaman 234)

Tindak Pidana Korupsi 44


negeri seperti pegawai-pegawai dari suatu bank atau anggota-anggota dari suatu panitia
negara atau, sarjana-sarjana yang ditugasi untuk mengadakan penelitian-penelitian ilmiah.

PASAL 11.
• Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara”
• Unsur “menerima hadiah atau janji”
• Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungannya dengan jabatannya”

Rumusan delik dalam Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 418 KUHP yang
merupakan kejahatan jabatan, dan ditarik menjadi tindak pidana Korupsi oleh Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sejak Peraturan Penguasa Perang Pusat
No.PRT/PEPERPU/013/1958.

Jika membaca kedua pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur antara kedua
pasal tersebut adalah sama. Mengenai waktu penerimaan hadiah atau janji, dalam Pasal 11
tidak dipermasalahkan apakah sesudah atau sebelum seorang pegawai negeri atau
penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Unsur utama adalah
penerimaan itu berkaitan dengan kekuasaan atau kewenangan jabatan pegawai negeri atau
penyelenggara yang bersangkutan, ataupun mungkin pegawai negeri atau penyelenggara
negara tidak mempunyai kekuasaan atau kewenangan yang dimaksud tetapi menurut
pikiran sipemberi hadiah atau janji bahwa sipenerima mempunyai kekuasaan atau
kewenangan jabatan.

PASAL 12.
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001
yang dalam rumusan deliknya menunjuk pada Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425,
atau Pasal 435 KUHP.

Perbedaan perumusan antara Pasal 12 huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 419
KUHP terletak pada unsur kesengajaannya, sebagai berikut; pada Pasal 12 huruf a dan b
terdapat unsur "diketahui atau patut diduga", sedangkan pada Pasal 419 angka 1 dan 2
digunakan unsur "diketahuinya". Sedang pada Pasal 12 huruf b ada unsur "diketahui atau
patut diduga", pada Pasal 419 angka 2 ada unsur "mengetahui lebih jauh, antara Pasal 12
huruf a dan huruf b terdapat perbedaan:

a. mengenai unsurnya, pada huruf a; hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, pada humf b; hadiah

Tindak Pidana Korupsi 45


tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah mclakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya

b. mengenai waktu penerimaan hadiah atau janji, pada huruf a; hadiah atau janji diterima
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara sebelum melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, sedang pada huruf b; hadiah itu diterima oleh
pegawai negeri atau penyelenggara negara setelah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya. Sebenarnya pada perbedaan unsur yang pertama dan kedua
itu sudah tampak mengenai tanda waktu sebelum atau sesudah, yaitu pada huruf a;
adanya kata "janji" ini menunjukkan bahwa penerimaan tersebut adalah sebelum
melakukan, sebab tidak mungkin "janji" itu terjadi Setelah melakukan, ditambah unsur
"untuk menggerakkan". Lalu pada huruf b tidak ada unsur “janji" dan penerimaan itu
dhakukan "sebagai akibat atau disebabkan karena telah", maka penerimaan itu
dilakukan setelahnya. Kalaupun terjadi penerimaan suap sebelumnya, hal itu seperti
pembayaran lebih dulu (deposit). Sedangkan jika penerimaan suap dilakukan
setelahnya, maka hal itu dianggap sebagai ucapan terima kasih.

Selanjutnya, Pasal 12 huruf c dan d UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 12 huruf c dan d UU
No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 KUHP. Namun, tetap terdapat perbedaan antara
perumusan kedua pasal tersebut. Perbedaan terletak pada unsur kesengajaannya. Pada
Pasal 12 huruf c dan huruf d terdapat unsur "padahal diketahui atau patut diduga" sedang
pada Pasal 420 (1) angka 1 dan angka 2 digunakan unsure "padahal diketahui". Kemudian,
terdapat juga perbedaan pada redaksi/frasa "mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili" (Pasal 12 huruf c) redaksi/frasa "mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili" (Pasal 12 huruf d) dengan redaksi/frasa "mempengaruhi
putusan perkara yang menjadi tugasnya" (Pasal 420 (1) angka 1), dan redaksi/frasa
mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh Pengadilan itu (Pasal 420
(1) angka 2). Pasal 12 huruf c dan huruf d sama halnya dengan Pasal 6 ayat (2) yaitu
penyuapan pasif yang dilakukan oleh hakim dan advokat,

Huruf a.
1. Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.
2. Unsur “yang menerima hadiah atau janji”.
3. Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.

Pasal 12 huruf a ini rumusannya sama dengan pasal 5 ayat (2) jo pasal 5 ayat (1) huruf a
namun ancaman pidana berbeda.

Tindak Pidana Korupsi 46


Huruf b.
1. Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.
2. Unsur “yang menerima hadiah”.
3. Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.

Pasal 12 huruf a ini rumusannya sama dengan pasal 5 ayat (2) jo pasal 5 ayat (1) huruf a
namun ancaman pidana berbeda.
Ditemukan dalam praktek terdapat perbedaan dalam pertimbangan hukum, pada pasal 12
huruf a apabila orang yang memberikan uang karena digerakkan oleh orang yang akan
diberi uang, sedangkan pada pasal 5 ayat (2) adalah pemberian murni dari yang memberi.

Huruf c.
1. Unsur ”hakim”
2. Unsur “yang menerima hadiah atau janji”.
3. Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili”.

Huruf d.
1. Unsur “advokat menghadiri sidang pengadilan”.
2. Unsur “menerima hadiah atau janji”.
3. Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili”.

Huruf e.
1. Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.
2. Unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
3. Unsur “secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri”.

Pasal-Pasal mengenai pemerasan terkenal dengan nama “knevelarij” yang berarti


permintaan memaksa atau pemerasan yang dilakukan ketika menjalankan tugas. knevelarij
berasal dari kata knevelen, secara harfiah berarti suatu perbuatan memasukkan secara
memaksa suatu benda, contohnya memasukkan sebatang kayu atau potongan kain kedalam

Tindak Pidana Korupsi 47


mulut seseorang sehingga orang itu tidak dapat berbicara, atau mengikat badan atau tangan
seseorang dengan tali. Dan arti harfiah yang seperti ini laiu dikatakan bahwa knevelarij
merupakan arti kiasan bagi perbuatan yang memeras rakyat untuk memberikan uang.
Mengenai pemerasan dirumuskan daiam Pasal 12 huruf e, f, dan g UU No. 20 Tahun 2001.
Rumusan Pasal ini merupakan perbaikan dari Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999.

Pasal ini menunjuk kepada Pasal 419, Pasal 420 KUHP mengenal penyuapan yang sudah
dibicarakan didepan. Selanjutnya Pasal 423 KUHP rnengenai pejabat atau pegawai negeri
yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan suatu untuk
membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi diri sendiri, dan juga Pasal 425 KUHP mengenai pejabat atau pegawai negeri pada
waktu menjalankan tugas, telah : ke-1: meminta, menerima, atau memotong pembayaran,
seolah-olah hutang kepadanya, kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum, pada hal
diketahui bahwa tidak demikian adanya; ke-2 : telah meminta atau menerima pekerjaan
atau penyerahan, seolah-olah merupakan hutang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa
tidak demikian adanya; ke-3 seolah-olah sesuai dengan aturan-aturan yang bersangkutan
telah menggunakan tanah negara yang diatasnya ada hak-hak pakai Indonesia, dengan
merugikan yang berhak, padahal diketahui bahwa itu bertentangan dengan paraturan
tersebut. Kemudian Pasal 435 KUHP mengenai pejabat yang turut serta dalam
pemborongan sedangkan dia ditugasi untuk mengawasi. Ancaman pidana yang digunakan
adalah sistem minimal-maksimal dan kumulatif. Ancaman pidana penjaranya maksimal
sama dengan UU No. 3 Tahun 1971, sedang ancaman pidana dendanya jauh lebih besar.

Pasal 12 huruf e menunjuk pada Pasal 423 KUHP, Pasal 12 huruf f, rumusannya
mengambil dari Pasal 425 ayat (1) KUHP dan Pasal 12 huruf g rumusannya dari Pasal 425
ayat (2) KUHP. Perbuatan dalam Pasal 12 huruf f atau Pasal 425 ayat (1) tidak hanya dapat
dilakukan oleh pegawai negeri yang dalam jabatannya berkewajiban atau berwenang
menarik iuran uang, seperti misalnya pegawai kantor pajak, tetapi juga oleh seorang
pegawai negeri yang sama sekali tidak berkewajiban atau wewenang untuk itu. Hanya saja,
penarikan uang dan sebagainya itu harus dihubungkan dengan suatu pekerjaan dalam
jabatannya, seolah-olah pada pekerjaan itu melekat suatu pembayaran uang yang harus
dilayani. Termasuk pada golongan ini adalah perbuatan yang kerap dilakukan yaitu
perbuatan pemungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri.

Huruf f.
• Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara,
• Pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum,
Tindak Pidana Korupsi 48
• Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya,
• Padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Huruf g.
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara,
• Pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau
penyerahan barang,
• Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
• Padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Huruf h.
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara,
• Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang diatasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan,
• Telah merugikan orang yang berhak,
• Padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan peraturan
perUndang-Undangan.

Dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun


1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan seperti judul diatas
dirumuskan dalam Pasal 12 huruf h. Rumusan Pasal ini mengambil dari Pasal 425 ayat (3)
KUHP. Bagi pelakunya (seorang pejabat) Pasal 425 ini dikatakan melakukan pemerasan
tetapi tidak disertai dengan kekerasan atas ancaman kekerasan sebagaimana pemerasan
(afpersing) dalam Pasal 368 KUHP. Sedang Pasal 423 KUHP pelakunya (seorang pejabat)
sudah memaksa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, ditambah lagi dengan menyalahgunakan kekuasaannya. Jadi disini
melawan hukumnya dan menyalahgunakan kekuasaannya harus dibuktikan semua.
Kekuasaan yang disalahgunakan delik pejabat tersebut adalah kekuasaan yang melekat
pada jabatan pegawai negeri itu. Sampai dimana dapat dikatakan ada suatu penyalah-
gunaan kekuasaan bergantung kepada kedudukan in concreto dan seorang penguasa
terhadap orang yang dipaksakan. Pada umumnya rasa terpaksa ini dapat dianggap ada
apabila secara hierarkis seorang penguasa berkedudukan cukup lebih tinggi dari seseorang
yang dipaksakan sehingga dapat dimengerti bahwa paksaan yang bersangkutan dituruti.
Dalam Pasal 12 huruf i, huruf g dan huruf h tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
pegawai negeri atau penyelenggara Negara pada waktu menjalankan tugas.

Huruf i.
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara,

Tindak Pidana Korupsi 49


• Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan,
• Yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan seperti
tersebut pada judul diatas dirumuskan dalam Pasal 12 huruf i. Rumusan Pasal ini diambil
dari Pasal 435 KUHP. Jadi kalau ada seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang turut serta melakukan pekerjaan pemborongan sedang yang bersangkutan justru
ditugasi untuk mengurus atau mengawasinya. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara
tersebut dikatakan melakukan tindak pidana korupsi.

Pasal 12 A.
• Ayat (1). Ketentuan mengenai pidana dan pidana denda dalam pasal 5 – 12 tidak
berlaku bagi TPK yang nilainya kurang dari 5 juta rupiah.
• Ayat (2). Pelaku TPK sebagaimana ayat (1) dipidana penjara maks 3 Tahun dan denda
maks 50 juta rupiah.

Pasal 12 B ayat (1).


• Unsur “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap”.
• Unsur “apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya”.

Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membakukan
pengertian Gratifikasi seperti berikut ini Gratifikasi adalah pemberian datam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan
fasilitas lainnya. (Penjelasan Pasal 128 ayat (1).

Pasal 12 B ayat (2).


a. Yang nilainya 10 juta keatas pembuktian bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima.
b. Yang nilainya kurang dari 10 juta pembuktian sebagai suap oleh PU.

Tindak Pidana Korupsi 50


Pasal 12 C.
(1) Ketentuan pasal 12 B (1) tidak berlaku jika penerima melaporkan ke KPK.
(2) Laporan paling lambat 30 hari kerja.
(3) KPK paling lambat 30 hari kerja menetapkan sebagai milik penerima atau milik
negara.

Pasal 13.
1. Unsur “setiap orang”.
2. Unsur “yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri”.
3. Unsur “dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut”.

Hanya orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri sajalah yang dapat
dijerat dengan Pasal 13 UU No. 20 Tahun 2001. Pasal ini berasal dari Pasal 1 ayat (1)
huruf d UU No. 3 Tahun 1971, dengan ancaman pidana diatur dalam Pasal 28 UU No. 3
Tahun 1971. Pasal 1 ayat (1) huruf d Jo Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1971 ini berasal dari
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak pidana Korupsi. seaangkan, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 24 Prp
Tahun 1960 berasal dan Pasal 41 Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor
PRT/PEPERPUJO13/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan
Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda.

Dalam pasal ini pemberian atau janji bukan untuk meminta/kehendak sesuatu tetapi hanya
memandang jabatan atau kedudukan yang diberi.

Tindak Pidana Korupsi 51


BAB III

TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN


DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Indikator keberhasilan :

Setelah mengikuti pembelajaran Bab ini, peserta Diklat diharapkan dapat menjelaskan tentang
Tindak Pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam pasal 21
(mencegah, merintangi, menggagalkan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang), pasal 22
(tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan secara tidak benar tentang harta
benda, keadaan keuangan di Bank, sebagai saksi atau ahli), pasal 23 (pelanggaran pasal 220,
231, 421, 429, 430 KUHP) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001.

Didalam Bab ini membicarakan tentang :

1. Pasal 21

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua
betas) Tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Rumusan perbuatan yang dilarang berbeda dengan yang dirumuskan dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang ditulis dengan menghalangi, atau
mempersulit, sedang dalam Pasal diatas ditulis dengan mencegah, menghalangi, atau
menggagalkan. Dengan demikian perbuatan pidananya lebih luas dan lebih terfokus dan
pada sekedar menghalang atau mempersulit, karena perbuatan yang belakangan
pemunculannya bisa mencegah, menghalagi atau menggagalkan. Mengenai ancaman
pidana penjara maksimalnya sama, pada Undang-Undang yang terdahulu belum mengenal
minimal, sedang pidana dendanya jauh lebih banyak kalau dilihat dan angkanya, tetapi
mungkin kalau dilihat dari nilai rupiahnya pada Tahun itu sudah cukup tinggi mungkin
sepadan dengan nilai rupiah sekarang.

2. Pasal 22

Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36 yang
dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar,

Tindak Pidana Korupsi 52


dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua
belas) Tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal ini menyebutkan kepada orang-orang yang harus memenuhi kewajibannya dalam hal-
hal yang ditentukan oleh Pasal-Pasal tarsebut, yaitu dalam tingkat penyidikan tersangka
wajib memberi keterangan tidak terkecuali tentang seluruh harta bendanya, tetapi juga
harta benda isteri atau suami, anak dan juga setiap orang atau korporasi, yang diketaui atau
diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukannya (Pasal 28).
Kewajiban bank untuk memberi keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa apabila diminta oleh penyidik, penuntut unum dan hakim, dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh Gubernur Bank Indonesia,

Disamping itu juga pemblokiran rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang
diduga diperoleh dan korupsi yang dimaksud dengan "rekening simpanan" adalah dana
yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana dalam bentuk giro, deposite, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan ini, termasuk penitipan (castodian) dan penyimpanan barang atau
surat berharga (safe- deposit box). Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk
bunga, deviden, bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh dan simpanan
tersebut (Pasal 29). Kewajiban saksi atau ahil untuk memberi keterangan, kecuali ayah,
ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri, suami, anak dan cucu terdakwa. Orang-orang
yang dibebaskan ini dapat pula menjadi saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui
secara tegas oleh terdakwa. Sebaliknya tanpa persetujuan pun mereka dapat memberikan
keterangan sebagai saksi tanpa disumpah (Pasal 35). Kewajiban memberi keterangan juga
berlaku terhadap mereka yang menurut pekerjaannya, harkat, dan martabatnya atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut
keyakinananya harus menyimpan rahasianya. Yang dimaksud dengan "petugas agama"
adalah hanya petugas Agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang
dipercayakan untuk menyimpan rahasia. Ketentuan seperti ini berlangsung dalam tingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan.

3. Pasal 23

Dalam perkara Korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 KUHP, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah).

Tindak Pidana Korupsi 53


Ketentuan dalam Pasal ini sama halnya dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971, yang berbeda hanya dalam sistem pemidanaannya yaitu dalam Undang-Undang yang
belakangan menggunakan sistem minimal/maksimal dan peningkatan dendanya.

Uraian selanjutnya dari Pasal-pasal KUHP dimaksud adalah seperti berikut :

Pasal 220 KUHP :

“Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa dilakukan suatu perbuatan


pidana, padahal mengetahui bahwa tidak dilakukan itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu Tahun empat bulan.”

Pasal ini mengatur tentang seseorang yang mengadukan orang lain telah melakukan suatu
perbuatan tindak pidana Korupsi, pada hal si pelapor tahu bahwa yang diadukan tidak
pernah berbuat Korupsi. Sehingga dapat dikatakan pelapor telah memfitnah seseorang
dengan melaporkan telah melakukan korupsi, tetapi dengan syarat bahwa si pelapor dengan
sengaja melaporkannya karena Ia tahu kalau sipelapor tidak melakukan Korupsi. Seperti
situasi sekarang banyak sekali laporan-laporan yang dilayangkan kepada instansi penegak
hukum yang alamat pengirimnya tidak jelas, setelah dilakukan penelitian ternyata
pengaduan tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali, seolah-olah isinya hanya
balas dendam saja. Karena fitnah ini mengenai tindak pidana Korupsi, maka si pemfitnah
dikatakan melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

Pasai 231 KUHP :

(1). Barangsiapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita menurut ketentuan
Undang-Undang atau yang dititipkan (sequestratie) atas perintah hakim ; atau dengan
mengetahui, bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat Tahun.

(2). Dengan pidana yang sama diancam : Barangsiapa dengan sengaja menghancurkan,
merusak atau membikin tak dapat dipakai barang yang disita rnenurut ketentuan
Undang-Undang.

(3). Penyimpanan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan
salah satu kejahatan itu, atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu diancam
dengan pidana penjara paling lama lima Tahun.

(4). Jika salah satu perbuatan dilakukan karena kealpaan penyimpan barang, pidana adalah
kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak seratus dua puluh rupiah.

Yang diaiur oleh Pasal ini adaiah mengenai barang-barang yang disita menurut ketentuan
peraturan perUndang-Undangan dan barang yang dititipkan atas perintah hakim dalam

Tindak Pidana Korupsi 54


Tindak pidana korupsi, tetapi kemudian (dalam ayat 1) terhadap barang-barang tersebut
oleh seseorang telah ditarik dengan sengaja atau mengetahui seseorang telah menarik
barang tersebut, selanjutnya terhadap barang-barang yang ditarik tersebut disembunyikan.
Tindak pidana lainnya, terhadap barang-barang yang disita tersebut lalu dihancurkan,
dirusak atau dibuat tak dapat dipakai (ayat 2). Ancaman pidana terhadap ayat ( 1) dan ayat
(2) tersebut paling Iama 4 (empat) Tahun. Tindak pidana yang lainnya lagi yaitu bagi
Penyimpan barang, yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan penarikan
dan: penyembunyian atau penghancuran, perusakan atau membuat tak dapat dipakai, atau
sebagai pembantu menolong penarikan dan penyembunyian atau penghancuran, perusakan
atau membuat tak dapat dipakai, diancam pidana penjara paling lama lima Tahun (ayat 3).
Kalau salah satu perbuatan tersebut diatas dilakukan oleh Penyimpan barang karena
kealpaannya, maka diancam pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling
banyak seratus dua puluh rupiah. Tetapi karena tindak pidana ini berkaitan dengan tindak
pidana korupsi, maka menurut ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ancaman pidana berubah menjadi hukuman
penjara selama-lamanya 6 (enam) Tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 4 (empat) juta
rupiah. Tidak terkecuali termasuk juga yang dilakukan dengan kealpaan tersebut diatas.

Pasal 421 KUHP:

“Seorang pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk


melakukan, tidak melakukan alau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua Tahun delapan bulan.”

Rumusan delik pasal ini sudah jelas bahwa pejabat dengan menyalahgunakan kekuasaan
yang ada padanya karena jabatannya memaksa seseorang untuk memenuhi segala
keinginannya. Karena delik ini berkaitan dengan tindak pidana korupsi lalu menjadi tindak
pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan ancaman hukumannya seperti
yang telah ditentukan oleh Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun, 1071 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.

Pasal 422 KUHP:

“Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana; menggunakan sarana paksaan baik
untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat Tahun.”

Pasal ini bagi pejabat penyidik yang melakukan pemeriksaan tindak pidana korupsi dengan
menggunakan sarana fisik umpamanya dengan memukul atau menendang atau membentak,
mengancam yang menimbulkan rasa takut dan lain-lain tindakan kekerasan yang tujuan
untuk memeras pengakuan atau mendapatkan keterangan, maka dinyatakan telah
melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, ancaman pidana
Tindak Pidana Korupsi 55
berubah menjadi selama-lamanya 6 (enam) Tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 4
(empat) juta rupiah.

Pasal 429 KUHP:

1) Seorang pejabat yang, dengan melampaui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-
cara yang ditentukan dalam peraturan umum, memaksa masuk kedalam rumah,
ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai oleh orang lain, atau jika berada
disitu secara melawan hukum, tidak segera pergi atau permintaan yang berhak atau
atas nama orang itu diancam dengan pidana penjara paling lama satu Tahun empat
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah,

2) Diancam dengan pidana yang sama seorang pejabat yang pada waktu menggeledah
rumah, dengan melampaui kekuasaannya atau tanpa mengindahkan cara-cara yang
ditentukan dalam peraturan umum, memeriksa atau merampas surat-surat, buku-buku
atau kertas-kertas lain.

Pasal ini mengatur tentang larangan bagi pejabat yang melaksanakan tugas penggeledahan
atau penyitaan untuk tidak melampaui kekuasaannya dan tak melakukan perbuatan yang
melawan hukum seperti memaksa masuk kedalam rumah, ruangan atau pekarangan
tertutup dan tidak segera pergi atas permintaan yang berhak dan juga telah memeriksa atau
merampas surat-surat, buku-buku atau kertas-kertas lain, lagi pula pejabat tersebut tidak
dapat menunjukkan/ dibekali surat penugasan dan surat perintah penggeledahan/penyitaan.
Kalau perbuatan ini dilakukan dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi, maka menjadi
tindak pidana yang berkaitan dengan perkara korupsi dan ancaman pidananya berubah
menjadi hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) Tahun dan/atau denda setinggi-
tingginya 4 (empat) juta rupiah.

Pasal 430 KUHP:

1) Seorang pejabat yang dengan melampaui kekuasaannya, menyuruh memperlihatkan


kepadanya atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket, yang diserahkan
kepada lembaga pengangkutan umum atau kabar kawat yang dalam tangan pejabat
telegrap untuk keperluan umum, diancam pidana penjara paling lama dua Tahun
delapan bulan.

2) Pidana yang sama dijatuhkan kepada pejabat yang dengan melampaui kekuasaannya,
menyuruh seorang pejabat telepon atau orang lain yang ditugasi pekerjaan telepon
untuk keperluan umum, memberi keterangan kepadanya tentang suatu percakapan
yang dilakukan dengan perantaraan lembaga itu.

Tindak Pidana Korupsi 56


Substansi Pasal ini sebagai kelanjutan dan Pasal 429 yaitu dalam rangkaian tugas
pejabat (penyidik) yang melakukan tugas penggeledahan/penyitaan terhadap barang-
barang pos, telegram dan percakapan telepon terhadap pejabat tersebut dikenakan
larangan untuk berbuat yang melampaui kekuasaannya seperti menyuruh
memperlihatkan atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket, atau berita
telegram, ataupun tentang suatu percakapan melalui telpon. Kalau ini dalam kaitannya
dengan pemeriksaan tindak pidana korupsi, maka kualifikasinya menjadi tindak pidana
yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Ancaman pidananya berubah menjadi
hukuman penjara selama-Iamanya 6 (enam) Tahun dan/atau denda setinggi-tingginya
4(empat) juta rupiah.

4. Pasal 24

Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal ini menunjak kepada Pasal 31 yang dalam ayat (1) mengatur dalam tingkat
penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan
dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal
lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Yang dimaksud
dengan "pelapor" dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada
penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor
sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.

Sedang Pasal 31 ayat (2) menyebutkan bahwa "Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut".
Timbul pernyataan siapa yang memberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut
tentang adanya larangan tersebut, sebab Undang-Undang ini tidak menyebutkan tentang
pejabat yang berwenang memberitahukan tentang hal ini. Untuk menjawab pertanyaan ini
dapat dikaitkan dalam tingkat maria pemeriksaan ini dilakukan, kalau dalam tingkat
penyidikan tentunya penyidik yang mempunyai kewajiban untuk memberitahukan adanya
larangan ini, demikian pula halnya kalau dalam tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan
tentunya hakim ketua sidang yang mempunyai kewajiban untuk memberitahukan larangan
ini.

Timbul pertanyaan yang lain yaitu bagaimana halnya kalau yang menyebut nama atau
alamat pelapor adalah penyidik, penuntut umum atau hakim sendiri, apakah juga dikenal
ancaman pidana seperti tersebut diatas? Jawabnya tentunya dapat saja. Sebab yang dilarang

Tindak Pidana Korupsi 57


itu tidak hanya saksi tetapi juga orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana
korupsi, dan pejabat-pejabat tersebut termasuk dalam kelompok yang terakhir.

Tindak Pidana Korupsi 58


BAB IV
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
MELALUI GUGATAN PERDATA

Indikator keberhasilan :

Setelah mengikuti pembelajaran Bab ini, peserta Diklat diharapkan dapat menjelaskan tentang
tindak lanjut penyelesaian Tindak Pidana Korupsi yang secara nyata telah timbul adanya
kerugian Negara, tetapi salah satu unsurnya tidak dapat dibuktikan, atau tersangkanya atau
terdakwanya meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam pasal 31, 32, 34, 38C UU No.31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001.

Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 disebutkan apabila hasil penyidikan
tidak memberikan cukup bukti adanya tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata terdapat
kerugian negara, maka penyidik menyerahkan hasil penyidikannya kepada pengacara negara
untuk dilakukan gugatan secara perdata sedangkan dalam Pasal 32 ayat (2) disebutkan
putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian
terhadap keuangan negara. Kedua ketentuan tersebut tidak dikenal dalam hukum acara pidana
biasa, kecuali dalam Pasal 67 KUHAP yang menyebutkan terdakwa atau penuntut umum
berhak untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya masalah
penetapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Selain itu menurut Pasal 100
ayat (1) KUHAP jika terjadi penggabungan perkara perdata dan perkara pidang, maka
penggabungan tersebut dengan sendirinya terjadi dalam perneriksaan tingkat banding.
Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 31 Tahun 1999 tersebut tampaknya
dimaksudkan untuk memaksimalkan upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak
pidana korupsi bahkan terhadap tersangka atau terdakwa yang pada saat proses penyidikan
atau persidangan meninggal dunia, tetap dapat dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris
tersangka atau terdakwa tersebut, sebagaimana diatur datam Pasal 33 dan 34 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 76, 77, dan 78 KUHP, yang
menyebabkan tersangka atau terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum adalah ne bis in
idem, tersangka atau terdakwa meninggal dunia, dan tindak pidana yang bersangkutan sudah
kadaluarsa.

Penanganan perkara korupsi tidak selalu harus diselesaikan menggunakan hukum


pidana. Dalam keadaan tertentu, suatu perkara korupsi dapat diselesaikan dengan
menggunakan mekanisme hukum perdata. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 menyatakan bahwa apabila telah terdapat kerugian negara sedangkan salah satu atau

Tindak Pidana Korupsi 59


lebih unsur tindakan pidana korupsi tidak cukup bukti maka penyidik dapat menyerahkan
kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk ditindaklanjuti melalui
proses gugatan perdata. Perihal secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara menurut
penjelasan Pasal 32 ayat (1) adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

Ketentuan Pasal 32 ayat (1) ini terkait dengan kewenangan penyidik sebagaimana
diatur di dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut, penyidik dapat
menghentikan penyidikan dengan aiaslan:

1. tidak terdapat cukup bukti;


2. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; atau
3. penyidikan dihentikan demi hukum.

Dua alasan lain yang terkait dengan penghentian penyidikan tidak menjadi alasan
penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilanjutkan
melalui gugatan perdata. Penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum terkait dengan
ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perihal hapusnya
kewenangan melakukan penuntutan karena tersangka meninggal dunia (Pasal 77) atau karena
kadaluarsa penuntutan (Pasal 78).

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak bertujuan menghukum dengan pidana


badan saja tetapi juga memiliki tujuan pengembalian aset negara yang dikorupsi. Hal ini
terilhat dari ketentuan pasal 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa putusan bebas dalam perkara
tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut ganti kerugian. Dalam hal
tersangka meninggal dunia, baik pada tingkat penyidikan ataupun pemeriksaan di sidang
pengadilan maka upaya pengembalian kerugian negara tidak berhenti. Pengajuan gugatan
ditujukan kepada ahli waris tersangka pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini diatur di dalam
ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UU No. 31 Tahun 1999.

Pasal 33

Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara
hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi
yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Pasal 34

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sldang pengadilan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugiaan keuangan negara, maka penuntut umum segera
menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau

Tindak Pidana Korupsi 60


diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya.

Alasan pengajuan gugatan perdata pada umumnya didasarkan pada dua hal yaitu
karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 dan
1366 KUHPerd gugatan perdata dapat dilakukan karena perbuatan hukum yang dilakukan
secara sengaja atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kelalaian/kealpaan.

Pengaturan tentang pengembalian aset juga diatur di dalam Pasal 38 B UU No. 20


Tahun 2001 perihal perampasan harta benda yang diduga berasal dari Tindak pidana korupsi.
Perampasan diajukan oleh Penuntut Umum apabila terdakwa tidak dapat membuktikan nama
benda yang diperoleh bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Apabila dikemudian hari
diketahui terdapat harta benda yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi tetapi
belum dirampas untuk negara maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap
terpidana atau ahli warisnya. Pengajuan gugatan perdata ini dapat dilakukan dengan
menunjuk kuasa untuk mewakili negara. Kuasa yang dimaksud tidak dibatasi hanya pada
Jaksa Pengacara Negara tetapi dapat ditunjuk penerima kuasa selain Jaksa Pengacara Negara.
Ketentuan Pasal 38 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa:

Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih
terdapat hasta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak
pidana Korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana
dan atau ahli warisnya."

Gugatan diajukan kepada terpidana atau ahli warisnya, namun tidak menutup
kemungkinan untuk mengajukan gugatan kepada pihak Iain yang diduga menguasai asset
hasil korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Pengajuan gugatan kepada pihak lain yang
diduga menguasai harta benda hasil tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan Pasal
37A. Ketentuan tersebut mewajibkan kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya, harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Hal ini untuk
menunjukan bahwa terdapat kemungkinan terdakwa tidak mau menyerahkan harta hasil
tindak pidana korupsi dengan cara dialihkuasakan kepada pihak lain. Oleh karena itu gugatan
yang diajukan seharusnya memjuk putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait
dengan perampasan harta benda sebagaimana diatur dalam Pasal 37A UU No. 20 Tahun 2001

Tindak Pidana Korupsi 61


BAB V

TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENIMBULKAN TINDAK


PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)

Indikator keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran Bab ini, peserta Diklat diharapkan dapat :
1. Menjelaskan upaya melakukan pelacakan harta benda atau asset milik tersangka baik
yang diduga hasil kejahatan (korupsi atau tindak pidana lain) maupun bukan hasil
kejahatan.
2. Menjelaskan harta yang disita dan harta yang diblokir.
3. Menjelaskan harta yang disita sebagai hasil korupsi atau merupakan pencucian yang.

Dalam tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan Negara cukup besar,
maka diperlukan bagi Tersangka untuk menyimpan, mengalihkan, menggunakan uang
hasil korupsi tersebut agar tidak diketahui pihak lain.
Upaya tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang, sehingga dalam
menyidik tindak pidana korupsi harus selalu dicari fakta tentang aliran atau penggunaan
uang untuk dilakukan penyitaan.
Selain itu apabila terdapat harta milik tersangka yang diperkirakan tidak wajar bila
dibandingkan dengan penghasilan tersangka juga dapat dilakukan penyitaan dengan dasar
tindak pidana pencucian uang.

Terkait TPPU berikut unsur-unsur yang harus dipenuhi :

Pasal 3
 Unsur “Setiap orang”
 Unsur “menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain”
 Unsur “Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana”
 Unsur “dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan”

Pasal 4
 Unsur “Setiap Orang”
 Unsur “menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya”
 Unsur “Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana”

Tindak Pidana Korupsi 62


Pasal 5
(1) Unsur “Setiap Orang”
Unsur “menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan”
Unsur “diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 6
(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap
Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah;
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Pasal 7
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling
banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi
juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.

Tindak Pidana Korupsi 63


BAB VI
UPAYA PENYELAMATAN KEUANGAN NEGARA
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya di bidang penindakan,


hendaknya tidak hanya menghukum terdakwa setelah dinyatakan terbukti oleh pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi upaya untuk pengembalian atau
penyelamatan kerugian keuangan Negara harus diprioritaskan pada tahap penyidikan.
Berdasarkan Petunjuk Teknis (Juknis) Jaksa Agung RI Nomor : B-
116/A/JA/07/2015 tanggal 31 Juli 2015 tentang Penyelamatan keuangan Negara dalam
penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, diberikan petunjuk agar
Penyidik hendaknya berupaya maksimal untuk memperoleh data/fakta tentang harta benda
Tersangka dan aliran dana kepada pihak lain yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
maupun yang tidak berkaitan dengan tindak pidana korupsi, namun tindakan penyitaan yang
dilakukan penyidik hanya sebatas harta benda yang berhubungan atau merupakan hasil tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh Tersangka, sedangkan harta benda milik Tersangka yang
tidak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi hanya dilakukan pemblokiran untuk
dilakukan penyitaan pada tahap eksekusi jika terpidana tidak dapat melunasi uang pengganti
yang dibebankan kepadanya.
Harta benda yang disita pada tahap penyidikan sebagai barang bukti, apabila
berdasarkan fakta persidangan bahwa barang bukti tersebut merupakan hasil tindak pidana
korupsi, maka dalam tuntutannya dirampas untuk Negara dan diperhitungkan sebagai
pembayaran uang pengganti yang dibebankan kepada Terdakwa.
Upaya tersebut dapat dilakukan, apabila tahap penyidikan, penyidik segera
menelusuri dan menemukan harta benda milik Tersangka sebelum Tersangka berusaha
mengalihkan ke pihak lain.
Hal tersebut untuk memudahkan dalam tahap eksekusi, sehingga dengan telah selesainya
penanganan perkara tindak pidana korupsi, tidak lagi adanya tunggakan PNBP tentang uang
pengganti.
Apabila Terpidana tidak/belum melunasi uang pengganti atau pada saat penyidikan tidak
diperoleh harta benda milik Tersangka yang disita sebagai barang bukti, maka setelah putusan
memperoleh kekuatan hokum tetap Jaksa Eksekutor wajib melakukan pencarian secara terus
menerus harta benda milik Terpidana.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana
Tambahan Uang Pengganti dalam tindak pidana korupsi, yang dijadikan dasar Petunjuk
Teknis tersebut, yang menyatakan bahwa Terpidana apabila belum melunasi uang pengganti
yang dibebankan kepadanya, diberikan kesempatan untuk melunasi baik setelah selesai
menjalani pidana pokok maupun saat menjalani pidana penjara pengganti uang pengganti.

Tindak Pidana Korupsi 64


Pembayaran tersebut tetap dipertimbangkan untuk mengurangi pidana penjara sebagai
pengganti uang pengganti.
Dalam perhitungan tersebut, Kajari menerbit Surat Penetapan Pidana Penjara Pengganti yang
harus dijalani oleh Terpidana.

Tindak Pidana Korupsi 65


BAB VII
PENTINGNYA ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENGUNGKAPAN
PERKARA SUAP

Alat bukti dalam tindak pidana sebagaimana dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdiri dari :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Alat bukti petunjuk sebagaimana dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP diperoleh adanya
persesuaian antara :
1. Keterangan saksi;
2. Surat;
3. Keterangan terdakwa.
Alat bukti petunjuk sebagaimana dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP tersebut, khusus dalam
perkara tindak pidana korupsi sesuai pasal 26 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari :
1. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat
optic atau yang serupa;
2. Rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibawa atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka
atau perforasi yang memiliki makna.
Dalam perkara suap dan pemberian hadiah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1),
ayat (2), pasal 12 huruf a dan huruf b, pasal 11, pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi, baik yang memberi maupun yang menerima dapat
dikenakan pidana, sehingga tidak mungkin yang memberi tersebut melaporkan kepada aparat
penegak hokum. Dengan demikian pengungkapan kasus suap adalah sulit, apalagi
mendapatkan alat buktinya.
Dalam perkebangannya, pihak yang dimintai uang dan pihak terkait mulai berani melaporkan
kepada aparat penegak hukum (KPK), sehingga KPK dapat melakukan penyadapan hingga
akhirnya pihak penerima dapat dilakukan penangkapan.
Hasil penyadapan tersebut merupakan alat bukti petunjuk untuk pengungkapan kasus suap
yang sangat efektif.

Tindak Pidana Korupsi 66


Kewenangan untuk melakukan penyadapan dalam tindak pidana korupsi pada tahap
penyidikan hanya dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan
pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana
korupsi.

Tindak Pidana Korupsi 67


BAB VIII
KONVENSI INTERNASIONAL
MENGENAI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Indikator keberhasilan :

Setelah mengikuti pembelajaran Bab ini, peserta diklat diharapkan dapat menjelaskan tentang
Konvensi Internasional mengenai pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Korupsi telah manjadi salah satu perhatian masyarakat dunia karena dampak yang
ditimbulkan sangat besar, khususnya bagi masyarakat miskin di suatu negara. Korupsi telah
dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena pada umumnya dikerjakan secara
sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan stakeholder di suatu daerah, termasuk
melibatkan aparat penegak hukum, dan memiliki dampak "merusak" dalam spektum yang
luas. Karakteristik inilah yang menjadikan pemberantasan korupsi semakin sulit hanya
mengandalkan aparat penegak hukum biasa, terlebih jika korupsi sudah membudaya dan
menjangkiti seluruh aspek dan lapisan masyarakat.

Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi permasalahan


lokal satu negara tertentu, tetapi sudah menjadi fenomena transnasional yang membutuhkan
kerjasama internasional. Oleh karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai perlu
mengesahkan konvensi PBB menentang korupsi atau United Nation Convention Againts
Corruption (UNCAC) dalam Konferensi Diplomatik di Merida, Mexico pada bulan Desember
Tahun 2003. Sidang Majelis Umum PBB dengan Resolusi No. 57/169 telah mengadopsi Draft
Konvensi PBB sebagai dokumen yang sah dan siap ditandatangani oleh nagara peserta
konvensi.

Pemerintah Indonesia turut berperan aktif dalam pertemuan-pertemuan persiapan


negosiasi panitia Adhoc. Beberapa usulan pemerintah Indonesia yang berhasil masuk antara
lain, mengenai partisipasi masyarakat dengan memasukkan juga organisasi kemasyarakatan
ke dalam rumusan Pasal 13. Usulan tersebut dimasukan dengan dasar pemikiran bahwa di
banyak negara berkembang terdapat banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
berperan dalam upaya pemberantasan korupsi. Usulan lain adalah dimasukkannya masalah
pengembalian dan penempatan aset hasil korupsi atas dasar putusan final dari pengadilan di
negara yang diminta diberi peluang juga kepada negara diminta untuk mengenyampingkan
persyaratan Pasal 57 ayat (3) huruf a dan huruf b.

Tindak Pidana Korupsi 68


Pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNCAC pada tanggal 18 April 2006 melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against
Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003). Ratifikasi
tersebut disertai dengan Reservation (pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang
penyelesaian sengketa. Reservation diajukan berdasarakan prinsip untuk tidak menerima
kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional kecuali dengan
kesepakatan para pihak. arti penting ratifikasi ini bagi bangsa Indonesia, antara lain:

1. untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan,


menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di
luar negeri;
2. meningkatkan kerja sama dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik;
3. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan
hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama
penegakan hukum;
4. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi
dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan
5. harmonisasi peraturan perUndang-Undangan nasional dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.

Melalui ratifikasi ini diharapkan adanya kerjasama yang lebih baik dalam upaya
pemberantasan korupsi antara Indonesia dengan negara lain.

Lingkup Konvensi pembukaan dan batang tubuh yang terdiri atas 8 (delapan) bab dan 71
(tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai berikut:

1. BAB I : Ketentuan Umum, memuat Pernyataan Tujuan; Penggunaan Istilah-istilah;


Ruang lingkup Pemberlakuan; dan Perlindungan Kedaulatan.

2. BAB II : Tindakan-tindakan Pencegahan, memuat Kebijakan dan Praktek Pencegahan


Korupsi; Badan atau Badan-badan Pencegahan Korupsi; Sektor Publik; Aturan
Perilaku Bagi Pejabat Publik; Pengadaan Umum dan Pengelolaan Keuangan
Publik; Pelaporan Publik; Tindakan-tindakan yang Berhubungan dengan Jasa-
jasa Peradilan dan Penuntutan; Sektor Swasta; Partisipasi Masyarakat; dan
Tindakan-tindakan untuk Mencegah Pencucian Uang.

3. BAB III : Kriminalitas dan Penegakan Hukum, memuat Penyuapan Pejabat-pejabat


Publik Nasional, Penyuapan Pejabat-pejabat Publik Asing dan Pejabat-pejabat
Organisasi-Organisasi Internasional Publik; Penggelapan, Penyalahgunaan
atau Penyimpangan lain Kekayaan oleh Pejabat Publik; Memperdagangkan
Pengaruh; Penyalahgunaan Fungsi; Memperkaya Diri Secara Tidak Sah;
Tindak Pidana Korupsi 69
Penyuapan di Sektor Swasta; Penggelapan Kekayaan di Sektor Swasta;
Pencucian Hasil-Hasil Kejahatan; Penyembunyian; Penghalangan Jalannya
Proses Pengadilan; Tanggung Jawab Badan-badan Hukum; Keikutsertaan dan
Percobaan; Pengetahuan, Maksud dan Tujuan Sebagai Unsur Kejahatan;
Aturan Pemberantasan; Penuntutan dan Pengadilan, dan Saksi-saksi;
Pembekuan, Penyitaan dan Perampasan; Perlindungan para Saksi, Ahli dan
Korban; Perlindungan bagi Orang-orang yang Melaporkan; Akibat-akibat
Tindakan Korupsi; Kompensasi atas Kerugian; Badan-badan Berwenang
Khusus; Kerja Sama dengan Badan-badan Penegak Hukum; Kerja Sama antar
Badan-badan Berwenang Nasional; Kerja Sama antara Badan-badan
Berwenang Nasional dan Sektor Swasta; Kerahasiaan Bank; Catatan
Kejahatan; dan Yurisdiksi. ’

4. BAB IV : Kerja Sama Internasional, memuat Ekstradisi; Transfer Narapidana; Bantuan


Hukum Timbal Balik; Transfer Proses Pidana; Kerja Sama Penegakan Hukum;
Penyidikan Bersama; dan Teknik-teknik Penyidikan Khusus.

5. BAB V : Pengembalian Aset, memuat Pencegahan dan Deteksi-Transfer Hasil-hasil


Kejahatan; Tindakan-tindakan untuk Pengembalian Langsung atas Kekayaan;
Mekanisme untuk Pengembalian Kekayaan melalui Kerja Sama Internasional
dalam Perampasan; Kerja Sama Internasional untuk Tujuan Perampasan; Kerja
Sama Khusus; Pengembalian dan Penyerahan Aset; Unit Intelijen Keuangan;
dan Perjanjian-perjanjian dan Pengaturan-pengaturan Bilateral dan
Multilateral.

6. BAB VI : Bantuan Teknis dan Pertukaran Informasi, memuat Pelatihan dan Bantuan
Teknis; Pengumpulan, Pertukaran, dan Analisis Informasi tentang Korupsi;
dan Tindakan-tindakan lain; Pelaksanaan Konvensi melalui Pembangunan
Ekonomi dan Bantuan Teknis.

7. BAB VII : Mekanisme-mekanisme Pelaksanaan, memuat Konferensi Negara-negara pihak


pada Konvensi; dan Sekretariat.

8. BAB VIII : Ketentuan-ketentuan Akhir, memuat Pelaksanaan Konvensi; Penyelesaian


Sengketa; Penandatanganan, Pengesahan, Penerimaan, Persetujuan, dan
Aksesi; Pemberlakuan; Amandemen; Penarikan Diri; Penyimpanan dan
Bahasa-bahasa.

Berbagai upaya yang dirumuskan di dalam konvensi ini merupakan terobosan yang
amat penting sebagai bentuk pemberantasan Korupsi. Pembentukan konvensi ini merupakan
perpaduan dari instrumen-instrumen multilateral untuk mencegah dan memberantas korupsi,
antara Iain: The Inter American Convention Against Corruption (Konvensi Antar Negara-
Tindak Pidana Korupsi 70
Negara Amerika dalam Melawan Korupsi) yang diadopsi oleh Organisasi Negara-negara
Amerika pada tanggal 29 Maret 1996, Konvensi mengenai Pemberantasan Korupsi yang
melibatkan Pejabat-Pejabat dari Masyarakat Eropa atau Pejabat-Pejabat dari Negara-Negara
uni Eropa yang diadopsi Oleh Dewan Uni Eropa pada tanggal 26 Mei 1997, Konvensi
mengenai Pemberantasan Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Asing dalam Transaksi Bisnis
Internasionai yang diadopsi oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan
pada tanggal 21 November 1997, Konvensi Hukum Pidana tentang Korupsi yang diadopsi
oleh Komite Menteri-menteri dari Dewan Eropa pada tanggal 27 Januari 1999, konvensi
Hukum Perdata tentang Korupsi yang diadopsi oleh Komite Menteri-menteri dari Dewan
Eropa pada tanggal 4 November 1999, dan Konvensi Uni Afrika tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi yang diadopsi oleh para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
dari Uni Afrika.

Beberapa hal baru yang diatur di dalam konvensi ini antara lain:

1. Pengaturan perihal pencegahan korupsi di sektor swasta. Ketentuan ini mengharuskan


setiap negara mengatur dan meningkatkan standar akuntansi, audit, dan adanya ancaman
sanksi adiministratif ataupun pidana.
2. Pengaturan pencegahan tindak pidana pencucian uang, yang mewajibkan setiap Negara
peserta untuk mengatur pengawasan terhadap bank dan lembaga penyedia jasa keuangan
untuk mencegah terjadinya pencucian uang.
3. Pada bidang kriminalisasi dan penegakan hukum, diatur perihal penyuapan terhadap
pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi internasional
publik sebagai suatu tindak pidana. Tindak pidana tersebut teijadi apabila dilakukan
dengan sengaja, janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik asing
atau seorang pejabat dari suatu organisasi intemasional publik secara langsung atau tidak
langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya.
4. Pengaturan kriminalisasi penyuapan pada sektor swasta memiliki dampak yang signifikan
bagi upaya pemberantasan Korupsi, khususnya di Indonesia. Melalui ketentuan tersebut
dapat dikatakan bahwa perhatian utama kasus Korupsi tidak lagi pada ada atau tidaknya
kerugian keuangan negara. Pengaturan terhadap peningkatan kekayaan secara tidak sah
(illicit enrichment) sebagai suatu tindak pidana. Yang dimaksud dengan peningkatan
kekayaan yang tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat
publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya
yang tidak sah.
5. Pengaturan perihal kriminalisasi penyuapan di sektor swasta Pengaturan kriminalisasi
pencucian hasil kejahatan. Terkait dengan pencucian hasil kejahatan ini, Indonesia telah
mengaturnya di dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
tentang Undak Pidana Pencucian Uang.

Tindak Pidana Korupsi 71


6. Pengaturan perihal perlindungan terhadap saksi, ahli , korban, dan pelapor.
7. Dalam bidang kerjasama internasional terdapat pengaturan perihal pemindahan narapidana
(transfer of sentenced persons) dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual
legal assistance). Terkait dengan pemindahan narapidana, Indonesia belum mengaturnya
dan belum terdapat kasus tersebut. Sedangkan untuk bantuan hukum timbal balik telah
diatur di dalam UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum “Timbal-Balik. Bantuan
timbal balik yang dapat dilakukan menurut Konvensi ini antara lain mendapatkan bukti
atau keterangan dari orang-orang, menjalankan pelayanan dokumen-dokumen yudisial,
melakukan penggeledahan dan perampasan serta pembekuan, memeriksa obyek dan
tempat, memberikan informasi, barang-barang bukti dan penilaian ahli, dan pengembalian
aset.
8. Konvensi ini memberikan peluang bagi negara-neagra peserta untuk melakukan pengalihan
proses pengadilan pidana. Tindakan pengalihan ini diberikan dengan alasan untuk memper-
mudah dan memusatkan penuntutan sepanjang Negara-negara yang terlibat menyetujuinya.
9. Perhatian dalam upaya pemberantasan Korupsi tidak hanya ditujukan pada untuk
menjatuhkan hukuman, tetapi juga berupaya untuk mengembalikan aset yang telah
dikorupsi dan disimpan di suatu negara tertentu. Mekanisme pengembalian aset dapat
dilakukan secara langsung melalui mekanisme pengadilan perdata di masing-masing
negara atau dapat pula dilakukan melalui kerjasama internasional dalam penyitaan.

Tindak Pidana Korupsi 72


Daftar Pustaka

Adji, Indriyanto Seno. sekilas Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH dan Rekan, 2003.
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Cet. ke-1. Jakarta: Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 1994.
Bemmelen, JM. van. Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum. Diterjemahkan
oleh Hasnan. Bandung: Binacipta, 1987.
Dirdjosisworo, Soedjono. "Fungsi PerUndang-Undangan Pidana Dalam Penanggulangan
Korupsi Di Indonesia." Disertasi Doktor Universitas Diponegoro, Semarang, 1983.
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana. Jakarta: Pusat Studi
Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002.
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: PT. Gramidenia,
1984.
Asas-asas Hukum Pidana. Cet. ke-2. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi. (Jakarta: Raja Grafindo, 2006).
Hasibuan, Albert ed. Dua Guru Besar Berbicara tentang Hukum. Bandung: Alumni, 1985.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tala Usaha Negara Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Cet. ke-7. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Hukum Pidana di Indonesia dan
Penearapannya. Jakarta: Stona Grafika, 2002.
Kmash, Dadang. “Karakteristik Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Pemeriksa No. 87, Oktober 2002.
Loqman, Loebby. “Sifat Melawan Hukum dalam Tindak pidana Korupsi” dalam Kapita
Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji .S.H. Cet. ke-1.
Diedit oleh Machrup Elric. Jakarta: GhaLia Indonesia, 1995.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Cet.ke-2. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984.
Masduki, Teten. “Badan Anti Korupsi.” http://www.transparansi.or.id-
/majalah/edisi16/16kaiian 1.html>,
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Cet ke-1. Bandung: Refika
Aditama, 2003.
Prodjohamidjojo, Martiman. Memahami Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia 1. Cet. ke-1.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997.

Tindak Pidana Korupsi 73


Reksodiputro, Mardjono.
 Buku Kelima: Bunga Rampai Permasalahan Dalam sistem Peradilan Pidana,
Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
1997
 Buku Kesatu: Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997.
Shikita. Minoru. Integrated Approach To effective Administration Of Criminal And Juvenile
Justice
Saleh, K, Wantjik. Tindak Pidana Korupsi Cet. ke-3. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1979.
Sapardjaja, Komariah Emong. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum Pidana
Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam
Yurisprudensi Cet.ke-1. Bandung: Alumni, 2002.
Seno Adji, Indriyanto. Korupsi dan Perbuatan Melawan hukum. CV Rizkita,2001
Korupsi dan Hukum Pidana. Cet. ke-2. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum
Prof. Oemar Seno Adji dan Rekan, 2002.
Korupsi kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana.Cet. ke-1. Jakarta: Diedit Media,
2006.
Seno Adji, Oemar. Hukum Pidana Pengembangan. Cet. ke-1. Jakarta: Erlangga, 1985.
Soemadipradja, Achmad S. Pengertian serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya
Tindak Pidana (Dihubungkan Dengan Beberapa Putusan Mahkamah Agung).
Bandung: Armioo, 1983.
Setiyono, H. Kejahatan Korporasi, Malang:Averroes Press, 2002.
Sutan Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Jakarta: Grafitipers, 2006.
Soesilo, R Pelajaran Lengkap Hukum Pidana (Sistem Tanyajawab). Bogor: Politeia, 1981.
Syamsuddin, Amir; Nurhasyim liyas; Yosef B. Badeoda; ed. Putusan kasus Akbar Tanjung
Analisa Yuridis Para Sarjana Hukum Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Utrecht, E..Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. ke-4. Surabaya: Pustaka
Tinta Mas, 1986.
Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000.
Wiyono, R. Tindak Pidana Korupsi diIndonesia. Bandung: Alumni, 1975.

Undang-Undang
 Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981.
 Indonesia. Undang-Undang tentang kejaksaan Republik Indonesia UU Nomor 16
Tahun 2004.

Tindak Pidana Korupsi 74


 Indonesia. Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 LN No. 137 Tahun 2002 , YLN No.
4250.
 Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999.
 Direktorat Jenderal Peraturan PerUndang-Undangan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Rancangan KUHP, Jakarta: 2005.
 Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981.
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Cet. 20.
Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Makalah
 Seno Adji, Indriyanto. "Overheidsbeleid": Arah Tindak Pidana Kompsi?" Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Kebijakan Pemerintah Mendesak Adanya
Aturan yang Melindungi Pejabat Publik sebagai Abdi Negara, Jakarta, 29 Juni
2006.
 Ramelan. Koordinasi dan Pengawasan Antar Instansi Dalam Penyidikan dan
Penuntutan Korupsi Dalam Perpekfif Kejaksaan, Disampaikan pada diskusi panel
"Menuju Pengadilan Anti Korupsi", yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung
dan British Council, pada tanggal 15-16 September 2004, di Jakarta.
Disertasi
Minarno, Nur Basuki. "Penyalahgunaan Wewenang dalam Pengelolaan Keuangan Daerah
yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi." Disertai doktor Universitas Airlangga, Surabaya,
2006.
Rangkuman
Prahassacitta, Vidya, Analisis Yuridis Unsur Menyalahgunakan Kewenangan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 572k/pid/2003. Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok 2007.
Laporan Penilaian Tata Pemerintahan Negara Indonesia partnership for Governance Reform
in Indonesia (Kemitraan Reformasi Tata Pemerintahan Indonesia dan Bank
Pembangunan Asia (ADB).

Tindak Pidana Korupsi 75

Anda mungkin juga menyukai