MODUL
DISUSUN OLEH :
3. Tujuan Pembelajaran.........................................................................................2
4. Indikator Keberhasilan..................................................................................... 3
1. Pasal 21 ........................................................................................................... 53
2. Pasal 22 ........................................................................................................... 53
3. Pasal 23 …...................................................................................................... 54
4. Pasal 24 …...................................................................................................... 58
BAB IV PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GUGATAN
PERDATA ......................................................................................................... 60
1. Latar belakang
Dalam proses Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) pada Badan
Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia (BADIKLAT) sangat diperlukan
tersedianya materi pembelajaran dan alat bantu yang memadai untuk memudahkan bagi
Widyaiswara menyampaikan materi kepada peserta Diklat secara efektif dan efisien
sehingga tujuan Diklat dapat tercapai se1cara optimal dan dapat diterapkan dalam lingkup
kerja.
Modul tindak pidana korupsi sebagai bahan ajar ini, lebih menitik beratkan pada
penyampaian substansi hukum pidana korupsi materiil untuk dijadikan referensi dalam
menunjang pelaksanaan tugas-tugas penanganan perkara tindak pidana korupsi
khususnya tugas penyelidikan dan penyidikan. Oleh karena modus tindak pidana korupsi
cenderung selalu berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan
politik, para Widyaiswara perlu selalu melakukan penyesuaian dan pemutakhiran materi,
metode pembelajaran dan pembahasan contoh-contoh kasus yang berkembang dalam
praktek sehingga peserta Diklat dapat mengikuti perkembangan hukum dalam
prakteknya.
2. Deskripsi Singkat.
Modul ini diberikan kepada peserta Diklat PPPJ yang dimaksudkan untuk
membangun kompetensi agar para peserta Diklat mampu memahami substansi Tindak
Pidana Korupsi materiil dengan baik dan benar. Adapun isi modul ini meliputi Pengertian
Korupsi, Sejarah Peraturan Tindak Pidana Korupsi, Subjek Hukum, Unsur-unsur Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Modus Operandi dalam praktek, Tindak Pidana yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi, Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi melalui
Gugatan Perdata, Tindak Pidana Korupsi yang menimbulkan Tindak Pidana Pencucian
Uang, Upaya Penyelamatan Keuangan Negara, Pentingnya alat bukti petunjuk dalam
pengungkapan perkara Suap dan Konvensi Internasional Mengenai Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
3. Tujuan pembelajaran
Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan peserta Diklat PPJ mampu memahami dan
menerapkan hukum pidana korupsi materiil dengan baik dan benar, serta dapat
menerapkan di lingkungan kerja.
4. Indikator Keberhasilan\
1. Pengertian Korupsi;
2. Sejarah Peraturan Tindak Pidana Korupsi;
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi;
4. Hukuman Penuh untuk Percobaan, Perbantuan dan Permufakatan
Tindak Pidana Korupsi;
5. Uraian unsur-unsur pasal demi pasal Tindak Pidana Korupsi dikaitkan
dengan modus operandi dalam praktek.
4.3.6. Pentingnya Alat Bukti Petunjuk Berupa Hasil Rekaman atau Sadapan
Dalam Pengungkapan Perkara Suap.
Dalam pembuktian kasus suap sangat sulit tanpa adanya alat bukti petunjuk
berupa rekaman atau sadapan
Untuk mencapai hasil yang optimal, peserta Diklat perlu mengikuti beberapa
petunjuk, yaitu :
4.4.1. Pertama-tama peserta diklat memahami pokok mata ajar dan sub mata ajar
dengan mempelajari peraturan perUndang-Undangan dan referensi
pendukungnya.
4.4.5. Hasil tersebut diatas sebagai tolak ukur terhadap keberhasilan pembelajaran.
Indikator keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran bab ini, peserta diklat diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengertian korupsi.
2. Menjelaskan sejarah peraturan Tindak Pidana Korupsi.
3. Menjelaskan subjek hukum Tindak Pidana Korupsi.
4. Menjelaskan Percobaan, Perbantuan atau Permufakatan Tindak Pidana Korupsi.
5. Menjelaskan uraian unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi dikaitkan dengan modus
operandi dalam praktek.
1. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin "corruptio" atau ”corruptus” Selanjutnya
disebutkan bahwa "corruption" itu berasai dari kata asal "corrumpere", suatu bahasa latin
yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyakan bahasa Eropa, seperti Inggris;
corruption dan corrupt. Dalam bahasa Perancis; corruption, dan bahasa Belanda;
corruptie. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke
bahasa Indonesia; "korupsi."1
• Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri
sendiri, kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung
atau tidak langsung menyebutkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara;
• Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah
dari keuangan negara atau daerah ataupun suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau
kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau
tidak langsung membawa keuntungan keuangan materil baginya.
Hampir tidak ada definisi korupsi yang lengkap. Alatas dan Onghokham (1983)
mendefinisikan korupsi berupa penyelewengan uang negara, pungutan liar atau pemerasan,
uang pelicin, menarik keuntungan dari wewenang. Menurut Juniadi Suwartojo (1995)
korupsi adalah tindakan seseorang yang melanggar norma-norma dengan tujuan
1 Andi hamzah, pemberantasan Korupsi ditinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana universitas Trisakti, 2002), hal 7
"corruption (L. corruptio), the act of corrupting, or the stare of being corrupt; putrefactive
decomposition; put id matter; moral perversion of integrity; corrupt or dishonest
proceedings; bribery; perversion from a state of "purity," debasement; as of a language;
debased form of a word ”
Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.3 Istilah Korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia; “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya”.4
Pengertian korupsi secara yuridis baik jenis maupun unsurnya telah diatur secara
tegas dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).
Menurut kedua macam peraturan itu tentang perbuatan korupsi digolongkan pada
dua macam yaitu Perbuatan Korupsi Pidana dan Perbuatan Korupsi Bukan Pidana.
Kedua peraturan ini kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PERPPU) Tahun 1960 Nomor 24 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang Ditetapkan dan DiUndangkan pada tanggal 9
Juni 1960, kemudian oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 24 Prp - Tahun 1960, sebagai pengganti dari Peraturan Penguasa Perang
Pusat.
5 Soedjono Dirdjodsworo, “Fungsi PerUndang-Undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi Di Indonesia”. Disertai Doktor
Universitas Diponegoro, Semarang, 1983, hal 5.
6 Ibid , hal. 6
1) Tindakan seseorang yang dengan atau karena suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau daerah atau merugikan keuangan
suatu badan yang menerima bantuan dan keuangan Negara atau daerah atau badan
hukum lainnya yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
Negara atau masyarakat.
2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan
dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3) Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai 21 peraturan ini, dalam pasal
209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP."
7 Dirdjosisworo, Ibid.
Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah orang yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana.
Kemudian terdapat secara khusus didalam pasal-pasal tertentu bahwa subjeknya adalah
pegawai negeri, sehingga subjek hukum dalam tindak pidana Korupsi meliputi :
Dari segi tata bahasa, setiap orang itu berarti "siapa saja" tidak terbatas pada sekelompok
atau golongan profesi saja. Seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan
Dari rumusan Pasal 1 ayat (1) sub a tidak ada satu perkataanpun yang membatasi
subjeknya. Siapa saja dapat menjadi subjek itu asalkan dia melakukan perbuatan melawan
hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan ncgara atau perekonomian Negara
sebagaimana dirumuskan Pasal 1 ayat (1) sub a UU No.3/1991. Bukan hanya terbatas pada
pegawai negeri, swasta pun dapat menjadi subjek hukum karena Pasal 1 ayat (1) sub a itu
Karena adanya perbedaan penafsiran antara para ahli hukum dalam UU No. 3
Tahun 1971, maka daiam UU No. 30 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 diperjelas,
kapan subyek hukum dapat berlaku kepada siapa saja tanpa ada kualitas tertentu, dan juga
kapan subyek hukum dari pasal tersebut harus merupakan seorang pegawai negeri atau
penyelenggara negara.
a. Pegawai Negeri
“Pegawai negeri yang dimaksud oleh Undang-Undang ini meliputi juga orang-orang yang
menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah atau yang menerima gaji atau
upah dari suatu badan-badan hukum yang menerima bantuan dan keuangan negara atau
daerah, atau badan hukum iain yang mempergunakan modal Dan kelonggaran-kelonggaran
dari negara atau masyarakat”.
Pegawai negeri yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian
yaitu dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:
Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan
perUndang-Undang yang berlaku.
Jenis Pegawai Negeri dirumuskan dalam Pasal 2 (1) Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Sedangkan yang dimaksud Pegawai Negeri dalam Pasal 92 KUHP, sebagai berikut:
(1) Yang disebut Pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum begitu, juga orang-orang yang, bukan
karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk Undang-Undang badan
pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas
nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan waterchap, dan semua kepada
rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan
yang sah.
(2) Yang disebut pejabat dan hakim. termasuk juga hakim wasit, yang disebut hakim
termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan adminitratif, serta ketua-ketua
dan anggota-anggota pengadilan agama.
b. Penyelenggara Negara
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN
sudah dibubarkan dianggap tidak ada.
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
c. Korporasi
Pada awalnya di Indonesia hanya dikenal satu subyek hukum, yaitu orang sebagai subyek
hukum. Beban tugas mengurus pada suatu badan hukum berada pada pengurusnya,
korporasi bukanlah suatu subyek hukum pidana. Pendapat ini kemudian berkembang
menjadi pengakuan bahwa korporasi dapat menjadi peiaku tindak pidana, namun
pertanggungjawaban pidananya tetap berada pada pengurusnya. Pidana baru bisa dihapus
jika pengurus dapat membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat.8 Hal ini seperti yang dianut
8 Mardjono Reksodiputro (a), Buku Keiga : Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,( Jakarta Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997). Hal.7
Menurut Pasal 59 KUHP, subjek hukum korporasi tidak dikenal. Apabila pengurus
korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan
untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya
kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 59 KUHP adalah
sebagai berikut:
Dari membaca Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah
dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya,
maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus
dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi atau untuk
kepentingan Korporasi, atau bertujuan untukn memberikan manfaat bagi korporasi dan
bukan bagi pribadi pengurus.9
Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi
oleh dua azas, yaitu azas “societas deliquere non potest” dan “actus non facit reum, nisi
mens sit rea”. Azas “societas deliquere non potest” atau “universitas deliquere non
potest” berarti bahwa badan badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini
merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan
menurut hukum pidana selalu disyaratkan sebagai kesalahan manusia. Sehingga korporasi
yang menurut teori tiksi (fiction theory) merupakan subjek hukum (perdata), tidak diakui
dalam hukum pidana.10 Para pembuat KUHP berpendapat bahwa hanya manusia yang
dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas “actus non facit
reum, nisi mens sit rea”.11 atau nulla poena sine culpa”. Azas ini berarti bahwa “an act
does not make a man guilty of crime, unkess his be also guilty”. Atau dalam bahasa
Belanda dikenal dengan ungkapan “Geen straf zonder schuld”. Terjemahan bahasa
Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”. Yang dimaksud dari azas ini adalah
untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena melakukan suatu
perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu
9 Sutan Remy Sjandeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Jakarta: Grafitipers,2006), hal.30
10 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi,(Malang: Averroes Press,2002),hal. 15-16
11 Azaz ini pertama kali dinyatakan oleh Edwar Coke pada Tahun 1797, http://en.wikipedia.ordwiki/EdwardCoke, diakses pada tanggal 19
november 2006.
Azas “tiada pidana tanpa kesalahan” pada umumnya diakui sebagai prinsip umum
diberbagai negara. Namun tldak banyak Undang-Undang hukum pidana materil di berbagai
negara yang merumuskan secara tegas azas ini dalam Undang-Undangnya. Biasanya
perumusan azas ini terlihat dalam perumusan mengenal pertanggungjawaban pidana,
khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.13 Dalam
peraturan perUndang-Undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada:
Barang Siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman:
Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan
atas dirinya.
Rancangan KUHP (RKUHP) versi 2005 juga telah mencatumkan azas ini dalam Pasal 37
ayat (1), yaitu "tiada seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahan".14
Berkaitan dengan azas tersebut diatas, dalam hukum pidana dikenal istilah actus reus dan
mens rea. Actus Reus atau disebut juga elemen luar (external elements) dari kejahatan
adalah istilah latin untuk perbuatan lahiriah yang terlarang (guilty act). Untuk
membuktikan bahwa seorang adalah benar bersalah dan memiliki tanggung jawab pidana
atas perbuatannya maka harus terdapat perbuatan lahiriah yang terlarang (actus revs) dan
terdapat sikap batin yang jahat/tercela (mens rea).15
12 Sjandeini, op.cit,hal.33.
13 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana,(Jakarta : Rjawali Prs,1994),hal.88.
14 Direktorat Jenderal Peraturan PerUndang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rancangan KUHP, Jakarta: 2005.
15 Barda Nawawi Arief dalam bukunya perbandingan Hukum Pidana (Jakarta: Rajwali Pers,1994), hal.26. mengartikan mens rea menjadi
sikap batin yang jahat/tercela. Sedangkan Remy dalam bukunya tindak pidana korporasi, hal.22, menggunakan istilah sikap kalbu untuk
mengartikan mens rea.
1. Perbuatan dari si terdakwa (line Conduct of the accused person). Perbuatan ini dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi (commisions) dan omisi (omissions).16
2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu (its result/consequences); dan
3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana (surrounding
circumstances which are included iin the definition of the offence).17
Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu (guilty mind). Sikap
kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Intention (kesengajaan)
2. Recklessness (kesembronoan), atau sering disebut juga dengan istilah willful blindness.
Dikatakan terdapat recklessness jlka seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko
yang tidak dibenarkan.18
3. Criminal negligence (kealpaan/kekurang hati-hatian).19
Dalam hukum pidana Indonesia mens rea hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu
kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Jika seseorang hanya memiliki sikap batin
yang jahat tetapi tidak pernah melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu
perilaku, baik yang terlihat sebagai melakukan perbuatan tertentu (commission) atau
sebagai tidak berbuat sesuatu (ommission) tidak dapat dikatakan orang tersebut telah
melakukan suatu tindak pidana.20
Pada awalnya di Indonesia dianut pendapat bahwa beban tugas mengurus (zorgplicht)
suatu "kesatuan orang" atau korporasi harus berada pada pengurusnya, korporasi
bukan subyek hukum pidana.22 Berdasarkan Pasal 59 KUHP hingga saat ini masih
dianut pengurus Korporasi melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban
pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Selain
Pasal 59 yang terdapat dalam buku I, terdapat tiga pasai lain daiam buku II KUHP
yang menyangkut korporasi. Pasal tersebut adalah Pasal 169 KUHP tentang turut Serta
dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan Pasal 399 KUHP tentang Pengurus atau
komisaris perseroan terbatas maskapai Indonesia atau perkumpulan koperasi. Namun
pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana ternyata banyak diatur dalam
Undang-Undang pidana diluar KUHP.23
Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia dimulai pada Tahun
1955, yaitu melalui Pasal 15 Undang-Undang No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Menurut Undang-
Undang tersebut badan hukum, perseroan, perserikatan yang lainnya atau yayasan
telah dijadikan subyek hukum pidana yang dapat dituntut dan dipidana.24
Pendapat ini didasari oleh; pertama, apabila hanya pengurus yang dibebani
pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah
menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah nntuk dan
atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk mengurangi kerugian finansial bagi
25 Reksodiputro (b), op. cit, hal. 72.,dan Setiyono, op. cit., hal. 15-22.
26 Sjandeini, op. cit, hal. 62.
Dalam tindak pidana korupsi, korporasi dapat sebagai pelaku apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama. Kalau orang itu ada hubungan kerja atau yang lainnya,
boleh jadi Ia sebagai pemodal atau pemegang saham ataupun mungkin sebagai
pegawai pada korporasi dan menerima gaji atau upah dari korporasi itu. Orang-orang
tersebut dalam kegiatan usaha korporasi mereka itu dapat bertindak sendiri atau
bersama-sama. Kemudian diantara mereka itu akan dipilih dan diangkat sebagai
pengurus sehingga mereka merupakan organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang besangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk
mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan Ikut memutuskan
kebijakan korporasi. Kemungkinan dalam memutuskan suatu kebijakan tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Apabila korporasi tersebut dalam
kegiatan usahanya menerima bantuan dari keuangan negasa atau daerah, maka orang
yang menerima gaji atau upah tersebut berkedudukan sebagai pegawai negeri.
Pengurus dalam korporasi yang seperti ini yang memiliki kewenangan dan
memutuskan kebijakan korporasi dan menyimpang dari anggaran dasar atau ketentuan
Undang-Undang yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau daerah,
maka dapat dikualifikasikan sebagai melakukan pidana korupsi dan apabila tindak
pidana korupsi ini oleh atau nama korporasi ini, maka tuntutan dan penjatuhan pidana
dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengawasnya. Bilamana tuntutan pidana
dilakukan terhadap korporasi tersebut, maka korporasi itu diwakili oleh pengurusnya.
Selanjutnya pengurus yang mewakili korporasi itu dapat diwakili oleh orang lain.
Pasal 20 ayat (7) menyebutkan "Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu
pertiga)". Timbul pertanyaan dalam hal ini yaitu Apakah ketentuan mengenai pidana
pokok denda yang diatur dalam Pasal 30 KUHP berlaku bagi korporasi ? Yang
dimaksudkan dalam hal ini adaiah apabila hukuman denda tidak dibayar apakah lalu
diganti dengan hukuman kurungan? Mengingat terpidana adalah korporasi yang
merupakan rechtspersoon, maka terhadap Korporasi penjatuhan hukumannya sudah
ditekankan dalam ayat diatas yaitu hanya pidana denda saja. Berarti tidak ada
hukuman penggantinya, kalau tidak dibayar dendanya walaupun tidak ditentukan
dalam ayat itu ataupun tidak ada Penjelasan terhadap ayat tersebut, telapi tidak
menutup kemungkinan dapat diselesaikan secara perdata. Mengenai hukuman
tambahannya, dapat juga diterapkan sesuai ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1).
Hal ini menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 ayat (1) KUHP
yang menentukan hukuman maksimal bagi percobaan dan pembantuan tindak pidana, yaitu
hukuman maksimal tindak pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiganya.
Percobaan dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 syaratnya sama dengan percobaan dalam tindak pidana umum sebagaimana
diatur dalam pasal 53 KUHP, dengan syarat sebagai berikut :
1. Adanya niat;
2. Adanya permulaan pelaksanaan;
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Dapat digambarkan dalam praktek bahwa permufakatan jahat lebih awal atau lebih rendah
dalam prosentase dari suatu tindak pidana selesai atau masih dalam percobaan, misalnya
tindak pidana selesai sama dengan 100 %, percobaan sama dengan 50 %, sedangkan
permufakatan jahat sama dengan 20 % sampai 30 %.
5. Unsur-unsur Pasal dalam Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Modus Operandi
dalam Praktek.
Untuk memahami tindak pidana korupsi secara benar diperlukan pengetahuan dan
pengalaman dalam praktek terkait unsur-unsur dari pasal demi pasal dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Setiap orang telah dibahas pada uraian Subjek Hukum di atas, namun unsur setiap orang
dalam pasal 2 ayat (1) tidak mensyaratkan kriteria tertentu, sehingga siapa saja termasuk
Penyelenggara Negara, Pegawai Negeri, Swasta.
• Perbuatan melawan hukum formil adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan hukum tertulis.
• Perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi negatif tidak dipidana (Prof.
Komariah Emong Sapardjaja).
• Unsur melawan hukum ini antara lain dapat diberikan contoh, sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan APBN/APBD.
- Pasal 3 ayat (6) : semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran
yang menjadi kewajiban daerah dalam Tahun anggaran yang bersangkutan
harus dimasukkan dalam APBD.
- Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) : APBD disusun untuk kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai rencana kerja pemerintah
dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
- Pasal 3 ayat (2) : Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi
Pemerintah Daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.
- Pasal 192 ayat (4) : Kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan DPRD,
dan pejabat daerah lainnya, dilarang melakukan pengeluaran atas beban
anggaran belanja daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam
APBD.
- Pasal 27 ayat (1) : Setiap pembebanan APBD harus didukung oleh bukti-
bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang
menagih.
- Pasal 4 ayat (1) : Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, efisien, ekonomis, efektif,
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan,
kepatutan dan manfaat untuk masyarakat.
- Pasal 61 ayat (1) : Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang
lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.
- Pasal 49 ayat (5) : Setiap pengeluaran kas harus didukung oleh bukti yang
lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.
- Setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung dengan bukti
yang lengkap dan sah.
Barang Khusus :
- Tarif resmi pemerintah;
- Pekerjaan konstruksi yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi
dan satu kesatuan tanggungjawab atas resiko kegagalan bangunan yang
tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya;
- Bersifat kompleks, teknologi khusus dan hanya 1 penyedia yang mampu;
- Pengadaan dan distribusi bahan obat dan alat kesehatan habis pakai, jenis
dan harganya ditetapkan oleh Menteri;
- Pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah
yang telah dipublikasikan secara luas;
- Sewa hotel/penginapan/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan lanjutan
sewa tersebut;
- Pengadaan dan penyaluran benih unggul yang meliputi benih padi,
jagung dan kedelai, serta pupuk yang meliputi Urea, NPK dan ZA kepada
Modus Operandi :
- Bagi-bagi uang kepada orang kedekatannya pejabat.
- Memerintahkan kepada pejabat terkait untuk diberikan kepada lembaga yang
tidak terdaftar (fiktif).
- Mendapatkan bagian dari dana yang disalurkan.
- Calon penerima Bansos tidak terdaftar atau telah ditentukan, foto copy KTP
asal-asalan.
- Proposal dibuatkan oleh petugas Dinas;
- Tidak dilakukan verifikasi;
- Penerima dana telah dipotong;
- Penggunaan dana tidak sesuai proposal.
Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi”.
• Dari sudut bahasa/harfiah memperkaya ialah bertambah kekayaannya atau
menjadi kaya. (riil ada penambahan materi/harta/uang).
Penambahan kekayaan tersebut harus berhubungan dengan perbuatan melawan
hukum, jadi bukan merupakan keuntungan yang sah yang menjadi haknya.
• Diri sendiri adalah tersangka/terdakwa.
• Orang lain adalah tersangka splitsing (dipisahkan) atau yang tidak ada hubungan
dengan perbuatan melawan hukum.
• Korporasi yang terkait tersangka.
• Nilai atau jumlah kekayaan yang diperoleh baik untuk diri sendiri atau orang lain
atau koorporasi ada hubungannya dengan kerugian keuangan Negara, sedangkan
pengenaan pembayaran uang pengganti sesuai pasal 18 ayat (1) huruf b UU TPK
adalah sesuai dengan yang diperoleh terdakwa.
• Juknis Nomor : B-116/A/JA/07/2015 tangal 31 Juli 2015 tentang Penyelamatan
kerugian keuangan negara dalam penanganan dan penyelesaian TPK.
• PERMA Nomor 5 Tahun 2014 tentang pidana tambahan uang pengganti dalam
TPK :
• Uang pengganti dapat dikenakan pada pasal 2 - 20.
• Uang pengganti tidak dapat dijatuhkan secara tanggung renteng.
• Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban .
• Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
PASAL 3
1. Unsur “setiap orang”.
2. Unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi”.
3. Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan”.
4. Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.
• Menguntungkan mempunyai arti lebih luas dari memperkaya.
• Menguntungkan artinya memperoleh keuntungan.
• Keuntungan dalam arti tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi
segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang termasuk hak dan kesempatan.
PASAL 5.
Tindak pidana suap merupakan tindak pidana yang berada dalam satu jenis (genus)
dengan tindak pidana korupsi dan merupakan jenis tindak pidana yang sudah sangat
tua. Penyuapan sebagai istilah sehari-hari yang dituangkan dalam Undang-Undang
adalah sebagai suatu hadiah atau janji (“giften”atau “beloften”) yang diberikan atau
diterima.28
a. penyuapan aktif
b. penyuapan pasif
Penyuapan aktif (active omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai
pemberi hadiah atau janji (Pasal 209 dan Pasal 210 KUHP), sedang penyuapan pasif
(passive omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai penerima hadiah
atau janji (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP).
Pasal 209 KUHP berpasangan dengan Pasal 419 KUHP dan, Pasal 210 berpasangan
dengan Pasal 420 KUHP. Sedang Pasal 418 KUHP tidak ada pasangannya dalam
KUHP, tatapi pasangannya diciptakan dalam Pasal 1 ayat (1) sub d UU No. 3 Tahun
1971 atau dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal-pasal KUHP itu semua sudah
dihisap oleh Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan
demikian sudah dengan sendirinya menjadi tindak pidana korupsi. Pasal-pasal KUHP
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah
dinyatakan tidak berlaku atau dengan kata lain telah dihapus dan KUHP sehingga
dalam KUHP tidak ada lagi, dan materi/substansi/rumusan dari pasal KUHP yang
28 Seno Adji, Herziening Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1981
a. Penyuapan Aktif
Dalam rumusan delik Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tidak sepenuhnya mengambil alih rumusan delik dalam
Pasal 209 ayat (1) ke I dan ke 2 KUHP. Perbedaan terletak pada Pasal 5 ayat (1)
huruf a; unsur “dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya”, sedang
pada Pasal 209 (1) ke-1 KUHP unsur “dengan maksud supaya digerakkan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya”.
Jadi pada Pasal 5 ayat (1) huruf a sipenyuap sudah memenuhi unsur cukup
dengan mengutarakan dan melaksanakan maksudnya untuk memberi atau
menjanjikan suatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, adalah
tidak penting apakah pegawai negeri atau penyelenggara negara itu sungguh-
sungguh telah berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan pada Pasal 209 ayat (1) ke-
1 KUHP orang yang disuap harus bergerak untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu sesuai dengan keinginan sipenyuap.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terdiri dari dua ayat, dalam ayat
(1) merupakan penyuapan aktif karena subyek hukumnya adalah setiap orang
yang memberi hadiah atau janji (huruf a) dan setiap orang yang memberi hadiah
(huruf b), sedangkan ayat (2) merupakan penyuapan pasif karena subyek
hukumnya adalah pegawai negeri atau peyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b.
Pasal 5 ayat ( 1) huruf a dan huruf b berasal dari Pasal 209 ayat (1) ke 1 dan ke 2
KUHP yang berpasangan dengan Pasal 419 ke I dan ke 2 KUHP, hal ini berarti
Pasal 5 ayat (2) sama dengan Pasal 419 ke 1 dan ke 2 KUHP yang dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dirumuskan daiam Pasal 12 huruf a dan
huruf b (penyuapan pasif).
Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b yang merupakan penyuapan aktif, pada huruf
a unsur-unsurnya adalah:
Disini maksud si penyuap untuk memberi atau menjanjikan sesuatu itu agar
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Pemberian atau janji tersebut
Tindak Pidana Korupsi 36
diberikan oleh si penyuap sebelum pegawai negeri atau penyelenggara negara
(yang disuap) melakukan sesuatu yang diinginkan oleh si penyuap.
Adalah menjadi tidak penting apakah pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut benar-benar telah melaksanakan apa yang diinginkan oleh si penyuap
asal si penyuap sudah mengutarakan dan melaksanakan maksudnya berarti delik
tersebut telah dilakukan.
Untuk memudahkan pemahaman suap dalam pasal ini adalah bahwa dalam memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara dengan maksud
agar memenuhi keinginan dari pemberi.
Untuk memudahkan pemahaman suap dalam pasal ini adalah bahwa pemberian
sesuatu setelah keinginannya dipenuhi oleh yang diberi.
Membaca rumusan unsur, dapat disimpulkan bahwa pemberian sesuatu itu dilakukan
setelah pegawai negeri atau penyelenggara Negara melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh si penyuap. Biasanya pemberian diberikan sebagai ucapan terima
Perbedaan antara huruf a dan huruf b adalah huruf a dalam memberi sesuatu sebelum
permintaan/keinginan dikabulkan/dipenuhi, sedangkan huruf b dalam memberikan
sesuatu setelah keinginannya dipenuhi.
Pasal 5 ayat (2) yang mengatur pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana yang disebut dalam ayat (1) huruf a dan
huruf b, perbuatan ini termasuk dalam apa yang diistilahkan dengan penyuapan pasif.
Hukuman pidana yang dapat dijatuhkan sama dengan ancaman pidana yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (1). Pasal 5 ayat (2) merupakan ketentuan yang baru dan
merupakan pengembangan dari Pasal 5 ayat (1), yang sebelumnya tidak diatur oleh
UU No. 31 Tahun 1999.
Dalam Pasal 5 ayat (2) terdapat dua jenis perbuatan penerimaan yaitu berupa
pemberian atau janji yang diterima sebelum berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang
diistilahkan sebagai penerimaan dimuka (down payment) - ayat(1) huruf a - dan
penerimaan setelah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang diistilahkan sebagai
ucapan terima kasih (thanks giving) - ayat (1) huruf b. Perbedaan kedua perbuatan
penyuapan ini terletak pada waktu pemberian atau janji itu diterima. Pada huruf a,
pegawai negeri atau penyelenggara negara telah menerima pemberian atau janji
terlebih dahulu sebelum ia berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya atau
singkatnya pemberian atau janji tersebut diterima terlebih dahulu sebelum ia berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. Sedang pada huruf b pegawai negeri atau penyelenggara
negara telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya baru ia
menerima pemberian atau janji tersebut atau singkatnya pemberian atau janji itu
diterima belakangan setelah melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Perbedaan
Iainnya bahwa pada huruf a, aturan/ketentuan hams berbuat atau tidak berbuat dalam
jabatannya, sedang pada huruf b aturan/ ketentuan harus dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya. Persamaannya bahwa pemberian atau janji itu berkaitan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 5 ayat (2) dalam rumusan unsur perbuatannya merujuk pada Pasal 5 ayat (1)
huruf a atau b, sedang ancaman pidananya merujuk pada ayat (1). Sehingga dalam
a. "Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pernberian atau
janji dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan
paling tama 5 (lima) Tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah)."
b. "Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak diiakukan dalam jabatannya, (dipidana dengan
pidana penjara paling singkai; 1 (satu) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)."
Ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 30 Tahun 2001 sering
disamakan dengan Pasal 12 huruf a dan b. Sebenarnya antara Kedua pasal tersebut
terdapat perbedaan:
a. Pasal 5 ayat (2) deliknya dolus (dengan maksud), sedang pada Pasal 12 huruf a dan
huruf b deliknya proparte dolus proparte culpa (satu pasal mengandung
kesengajaan dan kealpaan (dolus dan culpa) ditandai dengan kata; pada hal
diketahui atau patut diduga). .
b. Pada Pasal 12 huruf a ada unsur "untuk menggerakkan" sedang pada pasal 5 ayat
(2) tidak ada unsur demikian,
c. pada Pasal 5 ayat (2) yang berhubungan dengan ayat (1) huruf a ada unsur "berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya", sedang pada Pasal 12 huruf a ada
unsur "agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya".
PASAL 6 :
(1) Unsur “Setiap orang”
a. Unsur “memberi atau menjanjikan kepada hakim”
Unsur “dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diadili”.
b. Unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Advokat”
Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan penyuapan aktif, karena pelakunya adalah
setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim (huruf a) dan setiap
orang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perUndang-Undang ditentukan menjadi advokat (huruf b). Pasal 6 ayat (1)
berpasangan dengan Pasal 6 ayat (2) yang merupakan penyuapan pasif karena pelakunya
adalah hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau hurut b. Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001 memiliki perbedaan
dengan Pasal 6 UU Nomor 31 Tahun 1999, karena Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tidak sepenuhnya mengambil alih rumusan unsur Pasal 210 KUHP. Pasal 210 KUHP
terdiri atas dua ayat, dimana ayat (1) rnerupakan rumusan pokok dan ayat (2) merupakan
delik yang dikualifisir (delik yang diperberat dari rumusan pokoknya). Sedangkan dalam
Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2001 bukan merupakan delik yang dikualifisir.
Pasal 210 KUHP merupakan penyuapan aktif karena pelakunya memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada seorang hakim dan kepada seorang penasihat hukum (dalam UU No. 20
Tahun 2001 disebut dengan istilah advokat), dikatakan berpasangan dengan Pasal 420
KUHP yang merupakan penyuapan pasif karena pelakunya adalah seorang hakim dan
barangsiapa menurut ketentuan Undang-Undang menjadi penasihat untuk menghadiri
sidang pengadilan menerima hadiah atau janji.
Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b itu berasal dari Pasal 210 ayat (1) ke 1 dan ke 2 KUHP,
sedang Pasal 6 ayat (1) berpasangan dengan ayat (2) nya. Pasal 210 KUHP berpasangan
dengan Pasal 420 KUHP, dengan demikian Pasal 6 ayat (2) sama dengan Pasal 420 KUHP.
Sedangkan Pasal 420 ayat (1) dan (2) KUHP dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 menjelma menjadi Pasal 12 huruf c dan huruf d.
Pasal 6 ayat (2) merupakan ketentuan yang baru dan merupakan pengembangan dari Pasal
6 ayat (1), yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Pasal ini dalam rumusan unsur perbuatan dan ancaman pidananya merujuk pada Pasal 6
ayat (1) huruf a atau b. Sehingga jika unsur perbuatan ini mau diterapkan dalam surat
dakwaan, maka unsur-unsurnya harus disebutkan secara lengkap dengan memasukkan
unsur dan ayat yang ditunjuk, secara lengkap sebagai berikut.
a. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, dipidana dengan pidana
b. Bagi advokat yang menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Mengenai pemberian atau janji bagi hakim atau advokat ini, tidak dipermasalahkan kapan
diterimanya pemberian atau janji tersebut. Yang penting dari rumusan pasal ini bahwa
pemberian tersebut diberikan dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan suatu perkara
yang sedang ditangani oleh seorang hakim atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan oleh advokat dalam perkara yang ditanganinya. Kesulitan dalam
penerapan pasal ini adalah sulit dalam hal ini membuktikan seorang advokat menerima
suap, sebab memang seorang advokat akan menerima fee/honor dari kliennya. Tentunya
hal ini sangat subyektif sekali, apakah seorang advokat akan mau mengakui bahwa
penerimaan pemberian atau janji itu adalah suap.
PASAL 7.
Perbuatan curang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Rumusan Pasal 7 berasal dari Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP sebagaimana disebutkan
oleh Pasal 7 dalam UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang
kualifikasinya adalah melakukan perbuatan curang bagi pemborong, ahli bangunan dan
pengawas, sehingga membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan
keselamatan negara. Contoh perbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong dalam
melakukan pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau menyalahi ketentuan yang
sudah diatur dan disepakati yang tertuang dalam surat perjanjian kerja atau leveransir
bahan bangunan yang dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sebenarnya perbuatan ini, dalam kaitan perjanjian jual-beli (dalam lingkup hukum perdata)
apabila salah satu tidak memenuhi perjanjian wanprestasi. Tetapi hal ini dimasukkan dalam
ranah hukum pidana karena perbuatan curang itu bersifat menipu, dan lebih khusus lagi
dijadikan tindak pidana korupsi.
Pasal 7 ayat (1) huruf c mengubah unsur “Angkatan laut atau Angkatan baru dalam Pasal
388 ayat (1) dengan memperluas unsurnya disesuaikan dengan keadaan sekarang menjadi:
“Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia". Tentara
Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, angkatan Laut, dan Angkatan Udara, kalau
dalam Pasal 388 ayat (1) tidak termasuk Angkatan Udara.
PASAL 8.
• Unsur “Pegawai negeri atau selain pegawai negeri”,
• Unsur “bertugas menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau
sementara waktu”,
• Unsur “dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan untuk diambil atau digelapkan orang lain
atau membantu perbuatan tersebut”.
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 kejahatan jabatan diatur dalam Pasal 8, 9, dan 10, Rumusan
Pasal 8 merujuk pada Pasal 415 KUHP mengenai pejabat atau pegawai negeri yang
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, membiarkan
atau membantu, dikenakan pidana minimal maksimal dan kumulatif/ alternatif. Pidana
penjara lebih ringan dan pidana denda lebih berat dari pada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi.
Yang dimaksud dengan menggelapkan dalam pasal ini tidak berbeda artinya dengan
mengaku/seolah-olah sebagai milik sendiri dalam Pasal 372 KUHP yang dikualifikasi
dengan penggelapan. Oleh kerana itu agar dapat dikenai pidana perbuatan menggelapkan
tersebut diatas disamakan dengan perbuatan yang disebutkan dalam Pasal 372 KUHP
tetapi Khusus pada Pasal 8 adalah untuk uang atau surat berharga saja. Di Negeri Belanda
ketika membentuk KUHP ada pembicaraan di Parlemen yang disimpulkan bahwa
perbuatan si pelaku dalam pasal 415 bukan memiliki, melainkan mempergunakan untuk
lain tujuan daripada yang seharusnya, dan ia mendapatkan keuntungan dari apa yang
dilakukannya tersebut. Misalnya, apabila ada uang yang dimaksudkan untuk membeli radio
untuk keperluan dinas, dipakai untuk membeli mesin Tik, juga untuk keperluan dinas.
PASAL 9.
• Unsur “Pegawai negeri atau selain pegawai negeri“,
• Unsur “bertugas menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau
sementara waktu”,
• Unsur “dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi”.
Pasal 9 merujuk pada Pasal 416 KUHP mengenai pejabat atau pegawai negeri yang
memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Dikenakan pidana minimal maksimal dan kumufatif, pidana penjara lebih ringan dan
pidana denda lebih berat dan pada UU No. 3 Tahun 1971. Perbuatan yang dilarang pada
Pasal 9 adalah memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi, Pasal ini memiliki kemiripan dengan Pasal 263 KUHP yang dikualifikasikan
sebagai pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP pelakunya adalah sembarang orang
(tidak perlu memiliki kualifikasi tertentu) sedang dalam Pasal 9 pelakunya haruslah
seorang pegawai negeri.
PASAL 10.
• Unsur “Pegawai negeri atau selain pegawai negeri”,
• Unsur “bertugas menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau
sementara waktu”,
a. Unsur “menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak
dapat dipakai, barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang yang
dikuasai karena jabatannya”.
b. Unsur “membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau
daftar tersebut”,
c. Unsur “membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merukkan
atau membuat tidak dapat dipakai, akta, surat atau daftar tersebur”.
29 Prodjodikom, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung Cct. Pertama, Edisi Ketiga, Juni 2003
Perubahan yang penting untuk diperhatikan dalam Pasal 8, 9, dan 10 UU No. 20 Tahun,
2001 adalah perubahan mengenai subyek hukumnya. Dalam Pasal 8, 9, dan 10 UU No. 31
Tahun 1999 subyek hukumnya adalah "Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 KUHP". Subyek hukum
"setiap orang" yang dimaksud adalah orang perorangan atau termasuk korporasi (Pasal 1
angka 3 UU No. 31 Tahun 1999). Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2001 subyek
hukumnya dikerucutkan karena dikaitkan dengan Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417
KUHP yang subyek hukumnya menyebutkan "pegawai negeri" (ada KUHP yang lain
menggunakan istilah "pejabat". Pegawai negeri dan pejabat sebagai terjemahan dari
“ambtenar”). Sedang Pasal 8, 9, dan 10 UU No. 20 Tahun 2001 subyek hukumnya
menggunakan istilah yangl spesifik yaitu “pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara
waktu". Jadi disini ada dua subyek hukum, tetapi dipilih yang mana (bersifat alternatif)
apakah subyek hukumnya pegawai negeri" atau "orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu".
Siapakah yang dimaksud dengan "orang selain pegawai negeri yang ditugaskan men-
jalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu"? Menurut
Noyon-Langemeyer30 yang menceritakan berdasarkan surat Penjelasan pada KUHP
Belanda sering barang-barang itu dipercayakan kepada orang-orang yang bukan pegawai
PASAL 11.
• Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara”
• Unsur “menerima hadiah atau janji”
• Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungannya dengan jabatannya”
Rumusan delik dalam Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 418 KUHP yang
merupakan kejahatan jabatan, dan ditarik menjadi tindak pidana Korupsi oleh Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sejak Peraturan Penguasa Perang Pusat
No.PRT/PEPERPU/013/1958.
Jika membaca kedua pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur antara kedua
pasal tersebut adalah sama. Mengenai waktu penerimaan hadiah atau janji, dalam Pasal 11
tidak dipermasalahkan apakah sesudah atau sebelum seorang pegawai negeri atau
penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Unsur utama adalah
penerimaan itu berkaitan dengan kekuasaan atau kewenangan jabatan pegawai negeri atau
penyelenggara yang bersangkutan, ataupun mungkin pegawai negeri atau penyelenggara
negara tidak mempunyai kekuasaan atau kewenangan yang dimaksud tetapi menurut
pikiran sipemberi hadiah atau janji bahwa sipenerima mempunyai kekuasaan atau
kewenangan jabatan.
PASAL 12.
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001
yang dalam rumusan deliknya menunjuk pada Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425,
atau Pasal 435 KUHP.
Perbedaan perumusan antara Pasal 12 huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 419
KUHP terletak pada unsur kesengajaannya, sebagai berikut; pada Pasal 12 huruf a dan b
terdapat unsur "diketahui atau patut diduga", sedangkan pada Pasal 419 angka 1 dan 2
digunakan unsur "diketahuinya". Sedang pada Pasal 12 huruf b ada unsur "diketahui atau
patut diduga", pada Pasal 419 angka 2 ada unsur "mengetahui lebih jauh, antara Pasal 12
huruf a dan huruf b terdapat perbedaan:
a. mengenai unsurnya, pada huruf a; hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, pada humf b; hadiah
b. mengenai waktu penerimaan hadiah atau janji, pada huruf a; hadiah atau janji diterima
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara sebelum melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, sedang pada huruf b; hadiah itu diterima oleh
pegawai negeri atau penyelenggara negara setelah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya. Sebenarnya pada perbedaan unsur yang pertama dan kedua
itu sudah tampak mengenai tanda waktu sebelum atau sesudah, yaitu pada huruf a;
adanya kata "janji" ini menunjukkan bahwa penerimaan tersebut adalah sebelum
melakukan, sebab tidak mungkin "janji" itu terjadi Setelah melakukan, ditambah unsur
"untuk menggerakkan". Lalu pada huruf b tidak ada unsur “janji" dan penerimaan itu
dhakukan "sebagai akibat atau disebabkan karena telah", maka penerimaan itu
dilakukan setelahnya. Kalaupun terjadi penerimaan suap sebelumnya, hal itu seperti
pembayaran lebih dulu (deposit). Sedangkan jika penerimaan suap dilakukan
setelahnya, maka hal itu dianggap sebagai ucapan terima kasih.
Selanjutnya, Pasal 12 huruf c dan d UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 12 huruf c dan d UU
No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 KUHP. Namun, tetap terdapat perbedaan antara
perumusan kedua pasal tersebut. Perbedaan terletak pada unsur kesengajaannya. Pada
Pasal 12 huruf c dan huruf d terdapat unsur "padahal diketahui atau patut diduga" sedang
pada Pasal 420 (1) angka 1 dan angka 2 digunakan unsure "padahal diketahui". Kemudian,
terdapat juga perbedaan pada redaksi/frasa "mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili" (Pasal 12 huruf c) redaksi/frasa "mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili" (Pasal 12 huruf d) dengan redaksi/frasa "mempengaruhi
putusan perkara yang menjadi tugasnya" (Pasal 420 (1) angka 1), dan redaksi/frasa
mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh Pengadilan itu (Pasal 420
(1) angka 2). Pasal 12 huruf c dan huruf d sama halnya dengan Pasal 6 ayat (2) yaitu
penyuapan pasif yang dilakukan oleh hakim dan advokat,
Huruf a.
1. Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.
2. Unsur “yang menerima hadiah atau janji”.
3. Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Pasal 12 huruf a ini rumusannya sama dengan pasal 5 ayat (2) jo pasal 5 ayat (1) huruf a
namun ancaman pidana berbeda.
Pasal 12 huruf a ini rumusannya sama dengan pasal 5 ayat (2) jo pasal 5 ayat (1) huruf a
namun ancaman pidana berbeda.
Ditemukan dalam praktek terdapat perbedaan dalam pertimbangan hukum, pada pasal 12
huruf a apabila orang yang memberikan uang karena digerakkan oleh orang yang akan
diberi uang, sedangkan pada pasal 5 ayat (2) adalah pemberian murni dari yang memberi.
Huruf c.
1. Unsur ”hakim”
2. Unsur “yang menerima hadiah atau janji”.
3. Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili”.
Huruf d.
1. Unsur “advokat menghadiri sidang pengadilan”.
2. Unsur “menerima hadiah atau janji”.
3. Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili”.
Huruf e.
1. Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.
2. Unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
3. Unsur “secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri”.
Pasal ini menunjuk kepada Pasal 419, Pasal 420 KUHP mengenal penyuapan yang sudah
dibicarakan didepan. Selanjutnya Pasal 423 KUHP rnengenai pejabat atau pegawai negeri
yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan suatu untuk
membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi diri sendiri, dan juga Pasal 425 KUHP mengenai pejabat atau pegawai negeri pada
waktu menjalankan tugas, telah : ke-1: meminta, menerima, atau memotong pembayaran,
seolah-olah hutang kepadanya, kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum, pada hal
diketahui bahwa tidak demikian adanya; ke-2 : telah meminta atau menerima pekerjaan
atau penyerahan, seolah-olah merupakan hutang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa
tidak demikian adanya; ke-3 seolah-olah sesuai dengan aturan-aturan yang bersangkutan
telah menggunakan tanah negara yang diatasnya ada hak-hak pakai Indonesia, dengan
merugikan yang berhak, padahal diketahui bahwa itu bertentangan dengan paraturan
tersebut. Kemudian Pasal 435 KUHP mengenai pejabat yang turut serta dalam
pemborongan sedangkan dia ditugasi untuk mengawasi. Ancaman pidana yang digunakan
adalah sistem minimal-maksimal dan kumulatif. Ancaman pidana penjaranya maksimal
sama dengan UU No. 3 Tahun 1971, sedang ancaman pidana dendanya jauh lebih besar.
Pasal 12 huruf e menunjuk pada Pasal 423 KUHP, Pasal 12 huruf f, rumusannya
mengambil dari Pasal 425 ayat (1) KUHP dan Pasal 12 huruf g rumusannya dari Pasal 425
ayat (2) KUHP. Perbuatan dalam Pasal 12 huruf f atau Pasal 425 ayat (1) tidak hanya dapat
dilakukan oleh pegawai negeri yang dalam jabatannya berkewajiban atau berwenang
menarik iuran uang, seperti misalnya pegawai kantor pajak, tetapi juga oleh seorang
pegawai negeri yang sama sekali tidak berkewajiban atau wewenang untuk itu. Hanya saja,
penarikan uang dan sebagainya itu harus dihubungkan dengan suatu pekerjaan dalam
jabatannya, seolah-olah pada pekerjaan itu melekat suatu pembayaran uang yang harus
dilayani. Termasuk pada golongan ini adalah perbuatan yang kerap dilakukan yaitu
perbuatan pemungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri.
Huruf f.
• Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara,
• Pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum,
Tindak Pidana Korupsi 48
• Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya,
• Padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Huruf g.
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara,
• Pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau
penyerahan barang,
• Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
• Padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Huruf h.
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara,
• Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang diatasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan,
• Telah merugikan orang yang berhak,
• Padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan peraturan
perUndang-Undangan.
Huruf i.
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara,
Pasal 12 A.
• Ayat (1). Ketentuan mengenai pidana dan pidana denda dalam pasal 5 – 12 tidak
berlaku bagi TPK yang nilainya kurang dari 5 juta rupiah.
• Ayat (2). Pelaku TPK sebagaimana ayat (1) dipidana penjara maks 3 Tahun dan denda
maks 50 juta rupiah.
Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membakukan
pengertian Gratifikasi seperti berikut ini Gratifikasi adalah pemberian datam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan
fasilitas lainnya. (Penjelasan Pasal 128 ayat (1).
Pasal 13.
1. Unsur “setiap orang”.
2. Unsur “yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri”.
3. Unsur “dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut”.
Hanya orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri sajalah yang dapat
dijerat dengan Pasal 13 UU No. 20 Tahun 2001. Pasal ini berasal dari Pasal 1 ayat (1)
huruf d UU No. 3 Tahun 1971, dengan ancaman pidana diatur dalam Pasal 28 UU No. 3
Tahun 1971. Pasal 1 ayat (1) huruf d Jo Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1971 ini berasal dari
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak pidana Korupsi. seaangkan, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 24 Prp
Tahun 1960 berasal dan Pasal 41 Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor
PRT/PEPERPUJO13/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan
Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda.
Dalam pasal ini pemberian atau janji bukan untuk meminta/kehendak sesuatu tetapi hanya
memandang jabatan atau kedudukan yang diberi.
Indikator keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran Bab ini, peserta Diklat diharapkan dapat menjelaskan tentang
Tindak Pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam pasal 21
(mencegah, merintangi, menggagalkan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang), pasal 22
(tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan secara tidak benar tentang harta
benda, keadaan keuangan di Bank, sebagai saksi atau ahli), pasal 23 (pelanggaran pasal 220,
231, 421, 429, 430 KUHP) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001.
1. Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua
betas) Tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Rumusan perbuatan yang dilarang berbeda dengan yang dirumuskan dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang ditulis dengan menghalangi, atau
mempersulit, sedang dalam Pasal diatas ditulis dengan mencegah, menghalangi, atau
menggagalkan. Dengan demikian perbuatan pidananya lebih luas dan lebih terfokus dan
pada sekedar menghalang atau mempersulit, karena perbuatan yang belakangan
pemunculannya bisa mencegah, menghalagi atau menggagalkan. Mengenai ancaman
pidana penjara maksimalnya sama, pada Undang-Undang yang terdahulu belum mengenal
minimal, sedang pidana dendanya jauh lebih banyak kalau dilihat dan angkanya, tetapi
mungkin kalau dilihat dari nilai rupiahnya pada Tahun itu sudah cukup tinggi mungkin
sepadan dengan nilai rupiah sekarang.
2. Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36 yang
dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar,
Pasal ini menyebutkan kepada orang-orang yang harus memenuhi kewajibannya dalam hal-
hal yang ditentukan oleh Pasal-Pasal tarsebut, yaitu dalam tingkat penyidikan tersangka
wajib memberi keterangan tidak terkecuali tentang seluruh harta bendanya, tetapi juga
harta benda isteri atau suami, anak dan juga setiap orang atau korporasi, yang diketaui atau
diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukannya (Pasal 28).
Kewajiban bank untuk memberi keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa apabila diminta oleh penyidik, penuntut unum dan hakim, dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh Gubernur Bank Indonesia,
Disamping itu juga pemblokiran rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang
diduga diperoleh dan korupsi yang dimaksud dengan "rekening simpanan" adalah dana
yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana dalam bentuk giro, deposite, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan ini, termasuk penitipan (castodian) dan penyimpanan barang atau
surat berharga (safe- deposit box). Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk
bunga, deviden, bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh dan simpanan
tersebut (Pasal 29). Kewajiban saksi atau ahil untuk memberi keterangan, kecuali ayah,
ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri, suami, anak dan cucu terdakwa. Orang-orang
yang dibebaskan ini dapat pula menjadi saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui
secara tegas oleh terdakwa. Sebaliknya tanpa persetujuan pun mereka dapat memberikan
keterangan sebagai saksi tanpa disumpah (Pasal 35). Kewajiban memberi keterangan juga
berlaku terhadap mereka yang menurut pekerjaannya, harkat, dan martabatnya atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut
keyakinananya harus menyimpan rahasianya. Yang dimaksud dengan "petugas agama"
adalah hanya petugas Agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang
dipercayakan untuk menyimpan rahasia. Ketentuan seperti ini berlangsung dalam tingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan.
3. Pasal 23
Pasal ini mengatur tentang seseorang yang mengadukan orang lain telah melakukan suatu
perbuatan tindak pidana Korupsi, pada hal si pelapor tahu bahwa yang diadukan tidak
pernah berbuat Korupsi. Sehingga dapat dikatakan pelapor telah memfitnah seseorang
dengan melaporkan telah melakukan korupsi, tetapi dengan syarat bahwa si pelapor dengan
sengaja melaporkannya karena Ia tahu kalau sipelapor tidak melakukan Korupsi. Seperti
situasi sekarang banyak sekali laporan-laporan yang dilayangkan kepada instansi penegak
hukum yang alamat pengirimnya tidak jelas, setelah dilakukan penelitian ternyata
pengaduan tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali, seolah-olah isinya hanya
balas dendam saja. Karena fitnah ini mengenai tindak pidana Korupsi, maka si pemfitnah
dikatakan melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
(1). Barangsiapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita menurut ketentuan
Undang-Undang atau yang dititipkan (sequestratie) atas perintah hakim ; atau dengan
mengetahui, bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat Tahun.
(2). Dengan pidana yang sama diancam : Barangsiapa dengan sengaja menghancurkan,
merusak atau membikin tak dapat dipakai barang yang disita rnenurut ketentuan
Undang-Undang.
(3). Penyimpanan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan
salah satu kejahatan itu, atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu diancam
dengan pidana penjara paling lama lima Tahun.
(4). Jika salah satu perbuatan dilakukan karena kealpaan penyimpan barang, pidana adalah
kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak seratus dua puluh rupiah.
Yang diaiur oleh Pasal ini adaiah mengenai barang-barang yang disita menurut ketentuan
peraturan perUndang-Undangan dan barang yang dititipkan atas perintah hakim dalam
Rumusan delik pasal ini sudah jelas bahwa pejabat dengan menyalahgunakan kekuasaan
yang ada padanya karena jabatannya memaksa seseorang untuk memenuhi segala
keinginannya. Karena delik ini berkaitan dengan tindak pidana korupsi lalu menjadi tindak
pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan ancaman hukumannya seperti
yang telah ditentukan oleh Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun, 1071 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.
“Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana; menggunakan sarana paksaan baik
untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat Tahun.”
Pasal ini bagi pejabat penyidik yang melakukan pemeriksaan tindak pidana korupsi dengan
menggunakan sarana fisik umpamanya dengan memukul atau menendang atau membentak,
mengancam yang menimbulkan rasa takut dan lain-lain tindakan kekerasan yang tujuan
untuk memeras pengakuan atau mendapatkan keterangan, maka dinyatakan telah
melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, ancaman pidana
Tindak Pidana Korupsi 55
berubah menjadi selama-lamanya 6 (enam) Tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 4
(empat) juta rupiah.
1) Seorang pejabat yang, dengan melampaui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-
cara yang ditentukan dalam peraturan umum, memaksa masuk kedalam rumah,
ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai oleh orang lain, atau jika berada
disitu secara melawan hukum, tidak segera pergi atau permintaan yang berhak atau
atas nama orang itu diancam dengan pidana penjara paling lama satu Tahun empat
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah,
2) Diancam dengan pidana yang sama seorang pejabat yang pada waktu menggeledah
rumah, dengan melampaui kekuasaannya atau tanpa mengindahkan cara-cara yang
ditentukan dalam peraturan umum, memeriksa atau merampas surat-surat, buku-buku
atau kertas-kertas lain.
Pasal ini mengatur tentang larangan bagi pejabat yang melaksanakan tugas penggeledahan
atau penyitaan untuk tidak melampaui kekuasaannya dan tak melakukan perbuatan yang
melawan hukum seperti memaksa masuk kedalam rumah, ruangan atau pekarangan
tertutup dan tidak segera pergi atas permintaan yang berhak dan juga telah memeriksa atau
merampas surat-surat, buku-buku atau kertas-kertas lain, lagi pula pejabat tersebut tidak
dapat menunjukkan/ dibekali surat penugasan dan surat perintah penggeledahan/penyitaan.
Kalau perbuatan ini dilakukan dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi, maka menjadi
tindak pidana yang berkaitan dengan perkara korupsi dan ancaman pidananya berubah
menjadi hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) Tahun dan/atau denda setinggi-
tingginya 4 (empat) juta rupiah.
2) Pidana yang sama dijatuhkan kepada pejabat yang dengan melampaui kekuasaannya,
menyuruh seorang pejabat telepon atau orang lain yang ditugasi pekerjaan telepon
untuk keperluan umum, memberi keterangan kepadanya tentang suatu percakapan
yang dilakukan dengan perantaraan lembaga itu.
4. Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal ini menunjak kepada Pasal 31 yang dalam ayat (1) mengatur dalam tingkat
penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan
dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal
lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Yang dimaksud
dengan "pelapor" dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada
penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor
sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Sedang Pasal 31 ayat (2) menyebutkan bahwa "Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut".
Timbul pernyataan siapa yang memberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut
tentang adanya larangan tersebut, sebab Undang-Undang ini tidak menyebutkan tentang
pejabat yang berwenang memberitahukan tentang hal ini. Untuk menjawab pertanyaan ini
dapat dikaitkan dalam tingkat maria pemeriksaan ini dilakukan, kalau dalam tingkat
penyidikan tentunya penyidik yang mempunyai kewajiban untuk memberitahukan adanya
larangan ini, demikian pula halnya kalau dalam tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan
tentunya hakim ketua sidang yang mempunyai kewajiban untuk memberitahukan larangan
ini.
Timbul pertanyaan yang lain yaitu bagaimana halnya kalau yang menyebut nama atau
alamat pelapor adalah penyidik, penuntut umum atau hakim sendiri, apakah juga dikenal
ancaman pidana seperti tersebut diatas? Jawabnya tentunya dapat saja. Sebab yang dilarang
Indikator keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran Bab ini, peserta Diklat diharapkan dapat menjelaskan tentang
tindak lanjut penyelesaian Tindak Pidana Korupsi yang secara nyata telah timbul adanya
kerugian Negara, tetapi salah satu unsurnya tidak dapat dibuktikan, atau tersangkanya atau
terdakwanya meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam pasal 31, 32, 34, 38C UU No.31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001.
Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 disebutkan apabila hasil penyidikan
tidak memberikan cukup bukti adanya tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata terdapat
kerugian negara, maka penyidik menyerahkan hasil penyidikannya kepada pengacara negara
untuk dilakukan gugatan secara perdata sedangkan dalam Pasal 32 ayat (2) disebutkan
putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian
terhadap keuangan negara. Kedua ketentuan tersebut tidak dikenal dalam hukum acara pidana
biasa, kecuali dalam Pasal 67 KUHAP yang menyebutkan terdakwa atau penuntut umum
berhak untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya masalah
penetapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Selain itu menurut Pasal 100
ayat (1) KUHAP jika terjadi penggabungan perkara perdata dan perkara pidang, maka
penggabungan tersebut dengan sendirinya terjadi dalam perneriksaan tingkat banding.
Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 31 Tahun 1999 tersebut tampaknya
dimaksudkan untuk memaksimalkan upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak
pidana korupsi bahkan terhadap tersangka atau terdakwa yang pada saat proses penyidikan
atau persidangan meninggal dunia, tetap dapat dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris
tersangka atau terdakwa tersebut, sebagaimana diatur datam Pasal 33 dan 34 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 76, 77, dan 78 KUHP, yang
menyebabkan tersangka atau terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum adalah ne bis in
idem, tersangka atau terdakwa meninggal dunia, dan tindak pidana yang bersangkutan sudah
kadaluarsa.
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) ini terkait dengan kewenangan penyidik sebagaimana
diatur di dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut, penyidik dapat
menghentikan penyidikan dengan aiaslan:
Dua alasan lain yang terkait dengan penghentian penyidikan tidak menjadi alasan
penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilanjutkan
melalui gugatan perdata. Penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum terkait dengan
ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perihal hapusnya
kewenangan melakukan penuntutan karena tersangka meninggal dunia (Pasal 77) atau karena
kadaluarsa penuntutan (Pasal 78).
Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara
hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi
yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sldang pengadilan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugiaan keuangan negara, maka penuntut umum segera
menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau
Alasan pengajuan gugatan perdata pada umumnya didasarkan pada dua hal yaitu
karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 dan
1366 KUHPerd gugatan perdata dapat dilakukan karena perbuatan hukum yang dilakukan
secara sengaja atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kelalaian/kealpaan.
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih
terdapat hasta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak
pidana Korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana
dan atau ahli warisnya."
Gugatan diajukan kepada terpidana atau ahli warisnya, namun tidak menutup
kemungkinan untuk mengajukan gugatan kepada pihak Iain yang diduga menguasai asset
hasil korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Pengajuan gugatan kepada pihak lain yang
diduga menguasai harta benda hasil tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan Pasal
37A. Ketentuan tersebut mewajibkan kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya, harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Hal ini untuk
menunjukan bahwa terdapat kemungkinan terdakwa tidak mau menyerahkan harta hasil
tindak pidana korupsi dengan cara dialihkuasakan kepada pihak lain. Oleh karena itu gugatan
yang diajukan seharusnya memjuk putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait
dengan perampasan harta benda sebagaimana diatur dalam Pasal 37A UU No. 20 Tahun 2001
Indikator keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran Bab ini, peserta Diklat diharapkan dapat :
1. Menjelaskan upaya melakukan pelacakan harta benda atau asset milik tersangka baik
yang diduga hasil kejahatan (korupsi atau tindak pidana lain) maupun bukan hasil
kejahatan.
2. Menjelaskan harta yang disita dan harta yang diblokir.
3. Menjelaskan harta yang disita sebagai hasil korupsi atau merupakan pencucian yang.
Dalam tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan Negara cukup besar,
maka diperlukan bagi Tersangka untuk menyimpan, mengalihkan, menggunakan uang
hasil korupsi tersebut agar tidak diketahui pihak lain.
Upaya tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang, sehingga dalam
menyidik tindak pidana korupsi harus selalu dicari fakta tentang aliran atau penggunaan
uang untuk dilakukan penyitaan.
Selain itu apabila terdapat harta milik tersangka yang diperkirakan tidak wajar bila
dibandingkan dengan penghasilan tersangka juga dapat dilakukan penyitaan dengan dasar
tindak pidana pencucian uang.
Pasal 3
Unsur “Setiap orang”
Unsur “menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain”
Unsur “Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana”
Unsur “dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan”
Pasal 4
Unsur “Setiap Orang”
Unsur “menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya”
Unsur “Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana”
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 6
(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap
Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah;
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Pasal 7
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling
banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi
juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Alat bukti dalam tindak pidana sebagaimana dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdiri dari :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Alat bukti petunjuk sebagaimana dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP diperoleh adanya
persesuaian antara :
1. Keterangan saksi;
2. Surat;
3. Keterangan terdakwa.
Alat bukti petunjuk sebagaimana dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP tersebut, khusus dalam
perkara tindak pidana korupsi sesuai pasal 26 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari :
1. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat
optic atau yang serupa;
2. Rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibawa atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka
atau perforasi yang memiliki makna.
Dalam perkara suap dan pemberian hadiah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1),
ayat (2), pasal 12 huruf a dan huruf b, pasal 11, pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi, baik yang memberi maupun yang menerima dapat
dikenakan pidana, sehingga tidak mungkin yang memberi tersebut melaporkan kepada aparat
penegak hokum. Dengan demikian pengungkapan kasus suap adalah sulit, apalagi
mendapatkan alat buktinya.
Dalam perkebangannya, pihak yang dimintai uang dan pihak terkait mulai berani melaporkan
kepada aparat penegak hukum (KPK), sehingga KPK dapat melakukan penyadapan hingga
akhirnya pihak penerima dapat dilakukan penangkapan.
Hasil penyadapan tersebut merupakan alat bukti petunjuk untuk pengungkapan kasus suap
yang sangat efektif.
Indikator keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran Bab ini, peserta diklat diharapkan dapat menjelaskan tentang
Konvensi Internasional mengenai pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Korupsi telah manjadi salah satu perhatian masyarakat dunia karena dampak yang
ditimbulkan sangat besar, khususnya bagi masyarakat miskin di suatu negara. Korupsi telah
dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena pada umumnya dikerjakan secara
sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan stakeholder di suatu daerah, termasuk
melibatkan aparat penegak hukum, dan memiliki dampak "merusak" dalam spektum yang
luas. Karakteristik inilah yang menjadikan pemberantasan korupsi semakin sulit hanya
mengandalkan aparat penegak hukum biasa, terlebih jika korupsi sudah membudaya dan
menjangkiti seluruh aspek dan lapisan masyarakat.
Melalui ratifikasi ini diharapkan adanya kerjasama yang lebih baik dalam upaya
pemberantasan korupsi antara Indonesia dengan negara lain.
Lingkup Konvensi pembukaan dan batang tubuh yang terdiri atas 8 (delapan) bab dan 71
(tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai berikut:
6. BAB VI : Bantuan Teknis dan Pertukaran Informasi, memuat Pelatihan dan Bantuan
Teknis; Pengumpulan, Pertukaran, dan Analisis Informasi tentang Korupsi;
dan Tindakan-tindakan lain; Pelaksanaan Konvensi melalui Pembangunan
Ekonomi dan Bantuan Teknis.
Berbagai upaya yang dirumuskan di dalam konvensi ini merupakan terobosan yang
amat penting sebagai bentuk pemberantasan Korupsi. Pembentukan konvensi ini merupakan
perpaduan dari instrumen-instrumen multilateral untuk mencegah dan memberantas korupsi,
antara Iain: The Inter American Convention Against Corruption (Konvensi Antar Negara-
Tindak Pidana Korupsi 70
Negara Amerika dalam Melawan Korupsi) yang diadopsi oleh Organisasi Negara-negara
Amerika pada tanggal 29 Maret 1996, Konvensi mengenai Pemberantasan Korupsi yang
melibatkan Pejabat-Pejabat dari Masyarakat Eropa atau Pejabat-Pejabat dari Negara-Negara
uni Eropa yang diadopsi Oleh Dewan Uni Eropa pada tanggal 26 Mei 1997, Konvensi
mengenai Pemberantasan Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Asing dalam Transaksi Bisnis
Internasionai yang diadopsi oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan
pada tanggal 21 November 1997, Konvensi Hukum Pidana tentang Korupsi yang diadopsi
oleh Komite Menteri-menteri dari Dewan Eropa pada tanggal 27 Januari 1999, konvensi
Hukum Perdata tentang Korupsi yang diadopsi oleh Komite Menteri-menteri dari Dewan
Eropa pada tanggal 4 November 1999, dan Konvensi Uni Afrika tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi yang diadopsi oleh para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
dari Uni Afrika.
Beberapa hal baru yang diatur di dalam konvensi ini antara lain:
Adji, Indriyanto Seno. sekilas Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH dan Rekan, 2003.
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Cet. ke-1. Jakarta: Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 1994.
Bemmelen, JM. van. Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum. Diterjemahkan
oleh Hasnan. Bandung: Binacipta, 1987.
Dirdjosisworo, Soedjono. "Fungsi PerUndang-Undangan Pidana Dalam Penanggulangan
Korupsi Di Indonesia." Disertasi Doktor Universitas Diponegoro, Semarang, 1983.
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana. Jakarta: Pusat Studi
Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002.
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: PT. Gramidenia,
1984.
Asas-asas Hukum Pidana. Cet. ke-2. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi. (Jakarta: Raja Grafindo, 2006).
Hasibuan, Albert ed. Dua Guru Besar Berbicara tentang Hukum. Bandung: Alumni, 1985.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tala Usaha Negara Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Cet. ke-7. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Hukum Pidana di Indonesia dan
Penearapannya. Jakarta: Stona Grafika, 2002.
Kmash, Dadang. “Karakteristik Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Pemeriksa No. 87, Oktober 2002.
Loqman, Loebby. “Sifat Melawan Hukum dalam Tindak pidana Korupsi” dalam Kapita
Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji .S.H. Cet. ke-1.
Diedit oleh Machrup Elric. Jakarta: GhaLia Indonesia, 1995.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Cet.ke-2. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984.
Masduki, Teten. “Badan Anti Korupsi.” http://www.transparansi.or.id-
/majalah/edisi16/16kaiian 1.html>,
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Cet ke-1. Bandung: Refika
Aditama, 2003.
Prodjohamidjojo, Martiman. Memahami Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia 1. Cet. ke-1.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997.
Undang-Undang
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981.
Indonesia. Undang-Undang tentang kejaksaan Republik Indonesia UU Nomor 16
Tahun 2004.