Anda di halaman 1dari 116

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA

2019

MODUL
PENUNTUTAN

DISUSUN OLEH :
TIM PENYUSUN MODUL
BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2019
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

A. Latar Belakang ......................................................... 1

B. Deskripsi Singkat ...................................................... 1

C. Tujuan Pembelajaran ................................................ 1

D. Indikator Keberhasilan .............................................. 2

E. Pokok / Sub Pembahasan ....................................... 3

BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP DAN DASAR

HUKUM PENUNTUTAN ...................................................... 6

A. Dasar Hukum Penuntutan ........................................ 6

B. Pengertian Penuntutan ............................................ 6

C. Ruang Lingkup Penuntutan ...................................... 7

D. Instruksional ............................................................ 8

E. Latihan ...................................................................... 8

BAB III PEMERIKSAAN TAMBAHAN ........................................ 9

A. Dasar Hukum ........................................................... 9

B. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Dalam

Pemeriksaan Tambahan ........................................... 11

C. Letak Pemeriksaan Tambahan ................................. 11

D. Syarat Atau Kondisi Kapan Pemeriksaan

i
Tambahan Dilakukan ................................................ 11

E. Prosedur Pemeriksaan Tambahan ........................... 12

F. Latihan …………………………………………………… 15

BAB IV PRAPERADILAN ............................................................ 16

A. Dasar Hukum…………………………………………16

B. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Dalam Pra


Peradila………………………………………………..17

C. Fungsi dan Letak PraPeradilan Secara Administratif


dan Yuridis…………………………………………….18

D. Prosedur dan Hukum Acara Pemeriksaan


Praperadilan…………………………………………...18

E. Pelaksanaan Putusan PraPeradilan………………...21

F. Permintaan Ganti Kerugian atau Rehabilitasi Akibat


Tidak sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan
Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena
Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Hukum Atau
Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau
Penuntutan…………………………………………….22

G. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian


atau Rehabilitasi Akibat Tidak sahnya Penahanan,
Penghentian PenuntutanYang Berdasarkan Undang-
Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai Orangnya
atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian
Penyidikan Atau Penuntutan ………………………..24

H. Latihan…………………………………………………25

BAB V PENERIMAAN DAN PENELITIAN TERSANGKA ............ 26

A. Dasar Hukum …………………………………………26

B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka…26

C. Latihan…………………………………………………27

ii
BAB VI PENERIMAAN DAN PENELITIAN BARANG BUKTI ...... 28

A. Dasar Hukum………………………………………….28

B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti .28

C. Latihan …………………………………………………29

BAB VII PENANGGUHAN PENAHANAN ................................... 31

A. Dasar Hukum …………………………………………31

B. Prosedur Penangguhan Penahanan………………..32

C. Latihan…………………………………………………33

BAB VIII PEMBANTARAN PENAHANAN .................................... 35

A. Dasar Hukum …………………………………………35

B. Prosedur Pembantaran Penahanan………………..36

C. Latihan…………………………………………………37

BAB IX PELIMPAHAN PERKARA KE PENGADILAN ................. 38

A. Kompetensi Pengadilan………………………………38

B. Komponen Pelimpahan………………………………40

C. Acara Pemeriksaan…………………………………...40

D. Prosedur Pelimpahan Perkara Ke Pengadilan…….42

E. Dalam Hal Perkara Tidak Termasuk Wewenang


Pengadilan Negeri Dimana BP Di Limpahkan,
Sehingga Ditolak Oleh Pengadilan Karena Bukan
Kompetensinya………………………………………. 42

F. Latihan…………………………………………………43

iii
BAB X EKSEPSI / KEBERATAN ................................................ 44

A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Eksepsi ………….44

B. Tanggapan JPU Terhadap Eksepsi ………………..44

C. Putusan Sela dan Upaya JPU……………………….45

D. Latihan…………………………………………………45

BAB XI TEKNIK PEMERIKSAAN DAN PEMBUKTIAN

DI PENGADILAN .......................................................... 46

I. Teknik Pemeriksaan…………………………………46

1.1. Prinsip Pemeriksaan Sidang Di Pengadilan.47


1.2. Acara Pemeriksaan Biasa…………………...49
1.3. Acara Pemeriksaan Singkat………………….57
1.4. Acara Pemeriksaan Cepat…………………...58
1.5. Latihan…………………………………………59

II. Pembuktian……………………………………………..59

II.1 Pengertian………………………………………59
II.2 Sistem Teori Pembuktian dan Kekuatan
Pembuktian masing-masing alat bukti ………60
II.3 Prinsip Pembuktian…………………………….63
II.4. Alat Bukti ……………………………………….64
II.5. Beban Pembuktian Terbalik Dan Terbalik
Terbatas ………………………………………..75
II.6 Latihan………………………………………….77

BAB XII SURAT TUNTUTAN PIDANA ........................................ 78

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penuntutan………78

B. Sistematika Surat Tuntutan…………………………80

C. Replik / Jawaban Atas Pembelaan Pledoi…………85

D. Rangkuman……………………………………………86

E. Diskusi dan Praktek Membuat Tuntutan Pidana dan


Replik…………………………………………………..86

iv
F. Latihan………………………………………………..86

G. Balikan dan Tindak Lanjut………………………….87

BAB XIII MENGHENTIKAN PENUNTUTAN ............................... 88

A. Alasan Penghentian Penuntutan…………………..88

B. Mengesampingkan Perkara Untuk Kepentingn


Umum…………………………………………………89

C. Perbedaan Penghentian Penuntutan dengan


Penyampingan Perkara Untuk Kepentingan Umum 90

D. Latihan…………………………………………………90

BAB XIV PUTUSAN PENGADILAN ............................................ 91

A. Proses Pengambilan Putusan……………………….91

B. Jenis Putusan………………………………………….92

C. Jenis Pidana…………………………………………...92

D. Latihan…………………………………………………94

BAB XV PENUTUP……………………………………………..... 95

A. Kesimpulan …………………………………………...95

B. Implikasi.................................................................... 95

C. Tindak Lanjut……………………………………………. 96

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 97

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan yang dilakukan untuk
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan tetap menghargai nilai dan
prinsip hukum dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai lembaga pemerintahan
yang melaksanakan tugas penuntutan, maka penuntutan yang dilaksanakan
Kejaksaan perlu diarahkan dalam rangka mengikuti re-orientasi pembaruan hukum
pidana, mempertimbangkan tingkat ketercelaan, sikap batin pelaku, kepentingan
hukum yang dilindungi, kerugian atau akibat yang ditimbulkan, serta memperhatikan
rasa keadilan masyarakat termasuk kearifan lokal.
Sebagai implementasi dari pelaksanaan kewenangan Kejaksaan di bidang
penuntutan maka Diklat pembentukan Jaksa diharapkan dapat membentuk Jaksa
yang mampu melaksanakan penuntutan yang mengakomodasi tujuan hukum dan
pertimbangan dimaksud dengan tetap menyesuaikan dengan perkembangan hukum
dan masyarakat.

B. Deskripsi Singkat
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan. Ruang lingkup materi penuntutan dalam modul ini akan memberikan
pengetahuan dan keterampilan teknis terkait pekerjaan Penuntut Umum di tahap
penuntutan yang dimulai dari pemeriksaan tambahan, praperadilan, penerimaan dan
penelitian Tersangka (tahap II), penerimaan dan penelitian barang bukti (tahap II),
penangguhan penahanan, pembantaran penahanan, pelimpahan perkara ke
pengadilan, pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti, penyusunan tuntutan pidana, pengesampingan perkara
demi kepentingan umum sampai dengan penerbitan surat ketetapan penghentian
penuntutan (SKPP).

C. Tujuan Pembelajaran
1. Tujuan Instruksional Umum / Kompetensi Dasar.

Modul Penuntutan 1
Setelah mengikuti pembelajaran dan pelatihan peserta Diklat mampu membuat surat
ketetapan penghentian penuntutan, pemeriksaan tambahan, praperadilan, membuat
surat pelimpahan perkara ke pengadilan, menyusunperlawanan dan pendapat
penuntut umum terhadap keberatan penasihathukum, menyusun surat tuntutan
pidana dan replik atas pembelaan terdakwa atau penasihat hukum.
2. Tujuan Instruksional Khusus
a. Peserta mampu memahami pengertian, ruang Iingkup, dan dasar hukum
penuntutan.
b. Peserta Peserta mampu memahami pemeriksaan tambahan,
c. Peserta mampu memahami praperadilan,
d. Peserta mampu memahami penerimaan dan penelitian Tersangka (tahap II),
e. Peserta mampu memahami penerimaan dan penelitian barang bukti (tahap II),
f. Peserta mampu memahami penangguhan penahanan, pembantaran penahanan,
g. Peserta mampu memahami pelimpahan perkara ke pengadilan,
h. Peserta mampu memahami penghentian penuntutan,
i. Peserta mampu memahami pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti,
j. Peserta mampu memahami penyusunan tuntutan pidana,
k. Peserta mampu memahami pengesampingan perkara demi kepentingan umum
l. Peserta mampu memahami penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan
(SKPP).

D. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan mampu :
a. Memahami pengertian, ruang lingkup dasar hukum penuntutan.
b. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pemeriksaan tambahan,
c. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur praperadilan,
d. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerimaan dan penelitian
Tersangka (tahap II),
e. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerimaan dan penelitian
barang bukti (tahap II),
f. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penangguhan penahanan,
g. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pembantaran penahanan,
h. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pelimpahan perkara ke
pengadilan
i. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penghentian penuntutan
Modul Penuntutan 2
j. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pemanggilan saksi, ahli,
terdakwa, terpidana tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti,
k. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penyusunan tuntutan
pidana,
l. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pengesampingan perkara
demi kepentingan umum
m. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerbitan surat
ketetapan penghentian penuntutan (SKPP).

E. Pokok / Sub Pokok Bahasan


a. Pengertian, ruang lingkup dan dasar hukum penuntutan.
1. Dasar Hukum Penuntutan
2. Pengertian Penuntutan.
3. Ruang Lingkup Penuntutan.
b. Pemeriksaan Tambahan
1. Dasar Hukum;
2. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan tentang Pemeriksaan Tambahan;
3. Letak Pemeriksaan Tambahan;
4. Syarat Pemeriksaan Tambahan.
c. Praperadilan
1. Dasar Hukum;
2. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Praperadilan;
3. Fungsi dan Letak Praperadilan Secara Adminitratif dan Yuridis ;
4. Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan;
5. Pelaksanaan Putusan Praperadilan;
6. Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat Tidak Sahnya
Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan Lain 1 Tanpa
Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai
Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau
Penuntutan;
7. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat
Tidak Sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan

1
Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksa
hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan
secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa
hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang
melawan hukum.
Modul Penuntutan 3
Lain2 Tanpa Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan
Mengenai Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan
Atau Penuntutan
d. Penerimaan dan Penelitian Tersangka (Tahap II)
Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka (Tahap II)
e. Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (Tahap II)
Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (Tahap II)
f. Penangguhan Penahanan
1. Dasar Hukum;
2. Prosedur Penangguhan Penahanan.
g. Pembantaran
1. Dasar Hukum;
2. Prosedur Pembantaran Penahanan.
h. Pelimpahan perkara
1. Kompetensi pengadilan
2. Komponen pelimpahan
3. Acara pemeriksaan
i. Eksepsi/Keberatan
1. Pengertian dan ruang lingkup eksepsi
2. Pendapat JPU terhadap eksepsi
3. Putusan sela dan upaya JPU
j. Teknik pemeriksaan dan pembuktian di Pengadilan
1. Pemeriksaan saksi
2. Pemeriksaan ahli
3. Pemeriksaan barang bukti
4. Pemeriksaan harta kekayaan (asset)
5. Petunjuk
6. Pemeriksaan terdakwa
7. Alat bukti di luar KUHAP
8. Pembuktian terbalik
k. Surat tuntutan pidana
1. Pengertian dan ruang lingkup surat tuntutan

2
Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP: Yang dimaksud dengan “kerugian
karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan
penyitaan yang tidak sah. Termasuk penahanan tanpa alasan yaitu penahanan yang lebih lama dari pada
pidana yang dijatuhkan.
Modul Penuntutan 4
2. Substansi surat tuntutan
3. Tekhnik penyusunan surat tuntutan
4. Pembuatan replik
g.Penghentian Penuntutan
1. Alasan penghentian penuntutan
2. Pengenyampingan perkara (deponering)

F. Petunjuk Belajar dan Latihan


a. Baca dan kuasai setiap bab
b. Lanjutkan bab berikut dengan cara yang sama
c. Lakukan diskusi kelompok
d. Presentasi hasil diskusi keiornpok
e. Tanya jawab dan curah pendapat
f. Latihan dengan menggunakan format formulir perkara

G. Metoda Pembelajaran dan Pelatihan


a. Ceramah
b. Diskusi / tugas kelompok
c. Presentasi hasil tugas kelompok
d. Tanya jawab / diskusi kelas
e. Tugas baca dan latihan

H. Media
a. White board
b. OHP
C. Power poin / laptop / proyektor
d. Alat tulis
e. Berkas perkara

Modul Penuntutan 5
BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP DAN DASAR HUKUM
PENUNTUTAN

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu:
1. Memahami pengertian penuntutan
2. Memahami ruang lingkup penuntutan

A. DASAR HUKUM PENUNTUTAN


1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP):
a. Pasal 137, mnegatur:
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
b. Pasal 140 ayat (1), mengatur:
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
c. Pasal 143 ayat (1), mengatur:
Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan
permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan.
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan RI :
a. Pasal 30, ayat (1) huruf a mengatur:
Di bidang pidana, kejaksaan membunyai tugas dan wewenang melakukan
penuntutan.
b. Pasal 35 huruf a, mengatur:
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan
kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang
Kejaksaan

B. PENGERTIAN PENUNTUTAN
1. Secara Yuridis
Penuntutan secara yuridis adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkarapidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut
Modul Penuntutan 6
carayang di atur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya diperiksadan
diputus oleh Hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP).
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka secara teknis yuridis, penuntutandimulai
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan oleh penuntut umum.
2. Secara Administratif, Penuntutan sudah dimulai sejak diterimanya penyerahan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (penyerahan tahap II) dimana
berkas perkara, tersangka dan barang bukti telah dimasukkan dalam buku register
perkara (RP.9). Sejak saat itulah perkara sudah berada dalam tahap penuntutan,
meskipun penuntut umum belum melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan.
Dengan mengacu kepada pengertian penuntutan secara administratif di atas, maka
pengertian penuntutan termasuk penghentian penuntutan, karena suatu perkara
pidana baru dapat dihentikan penuntutannya, setelah perkara tersebut beralih
tanggung jawab dari penyidik kepada penuntut umum, dan dari situlah penuntut
umum segera menentukan sikap apakah berkas perkara tersebut memenuhi syarat
untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan sebagaimana ditentukankan
dalam Pasal 139 KUHAP.

C. RUANG LINGKUP PENUNTUTAN


Sesuai dengan pengertian Penuntutan yang dianut secara administrative
berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1
November 2001, maka Penuntutan terhitung sejak penerimaan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti (Penyerahan Tahap II) dan setelah dicatat dalam Register
Perkara (RP-9), Register Barang Bukti (RB-1) dan Register Tahanan (RT 17)
Oleh karena itu ruang lingkup penuntutan yang dianut dalam pembelajaran ini,
meliputi:
a. Pemeriksaan Tambahan
b. Praperadilan
c. Penerimaan dan Penelitian Tersangka (tahap II), pasal 8 ayat (3) KUHAP
d. Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (tahap II)
e. Penangguhan Penahanan
f. Pembantaran Penahanan
g. Pelimpahan perkara ke Pengadilan
h. Penghentian Penuntutan
i. Pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti
j. Penyusunan tuntutan pidana, Pasal 182 KUHAP
Modul Penuntutan 7
k. Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum

D. INSTRUKSIONAL
1. Widyaiswara / Peserta mampu menjelaskan pengertian dan ruang lingkup penuntutan
2. Widyaiswara / Peserta menjelaskan pokok dan sub pokok bahasan serta memotivasi
peserta mencapai indikator keberhasilan.

E. LATIHAN
1) Jelaskan ruang lingkup penuntutan menurut teknis yuridis maupun secara
administratif?
2) Jelaskan ruang lingkup Penuntutan?
3) Jelaskan dasar hukum Penuntutan?

Modul Penuntutan 8
BAB III
PEMERIKSAAN TAMBAHAN

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu :
1. Memahami dasar hukum pemeriksaan tambahan;
2. Memahami hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tambahan;
3. Memahami pada tahapan apa pemeriksaan tambahan dilaksanakan;
4. Memahami dalam hal apa, syarat atau kondisi apa pemeriksaan tambahan dapat
dilaksanakan; serta
5. Mempraktekkan pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya

A. Dasar Hukum
KUHAP tidak mengatur secara eksplisit ketentuan terkait pemeriksaan
tambahan, meskipun dengan membaca ketentuan terkait penelitian berkas perkara
hingga dinyatakan lengkap, dalam pasal 138 KUHAP yang menyatakan,
“(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap
atau belum; (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat
belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.”

Maka apabila ketentuan itu dibaca dalam landasan filosofi hak asasi manusia
untuk mempercepat akses seorang tersangka segera mendapat kepastian akan
nasibnya, ruang untuk bolak-baliknya berkas perkara itu seharusnya ada
batasannya. Pengaturan terkait batas waktu 7 (tujuh) hari untuk menentukan sikap
dan 14 (empat belas hari) untuk melengkapi kekurangan berkas perkara sesuai
petunjuk Penuntut Umum yang tidak diikuti dengan ketentutan yang bersifat lebih
tegas mengenai berapa kali hal itu dapat dilakukan menyebabkan aparat penegak
hukum kemudian mengartikan bahwa proses penelitian dan pengembalian berkas
perkara untuk dilengkapi itu dapat berlangsung berkali-kali. Padahal apabila
dihubungkan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang hukum pidana
untuk melakukan pemeriksaan tambahan, maka dalam hal setelah 14 (empat belas)
Modul Penuntutan 9
hari Penyidik tidak juga dapat melengkapi berkas perkara, Penuntut Umum dapat
melanjutkan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik dengan melakukan
pemeriksaan tambahan.
Pemeriksaan tambahan diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4401);
b. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum kepada Kepala Kejaksaan
Tinggi Seluruh Indonesia Nomor: B-536/E/11/1993 tanggal 1 Nopember 1993
perihal Melengkapi Berkas Perkara Dengan Melakukan Pemeriksaan
Tambahan.
c. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994
tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan


Republik Indonesia, mengatur3:
“Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan
penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu
dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik”.

Kemudian ditambahkan dalam penjelasan pasal, yang mengatur syarat atau


dalam hal apa pemeriksaan tambahan dilakukan, sebagai berikut:
“Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Tidak dilakukan terhadap tersangka;

3
Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Modul Penuntutan 10
2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat
meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan
negara;
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
diselesaikan ketentuan pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik”.

B. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Pemeriksaan Tambahan


a. Apabila pemerksaan tambahan tidak dilaksanakan, maka alat bukti tidak dapat
dikumpulkan secara optimal;
b. Pemeriksaan tambahan dilaksanakan atas usul JPU P-16, apabila syarat-
syaratnya terpenuhi dan setelah mendapat persetujuan Kepala Kejaksaan
Negeri;
c. Pemeriksaan tambahan dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti
sehingga ada penilaian bahwa sudah terdapat fakta yang dapat meyakinkan
Hakim.

C. Letak Pemeriksaan Tambahan


Pemeriksaan tambahan berada dalam tahap penuntutan yang didahului dengan
pengambilan keputusan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atas usul Penuntut Umum
(dalam hal ini JPU P-16) pada Berita Acara Pendapat Hasil Penelitian Berkas
Perkara (P-24) dan check list terhadap berkas perkara hasil penyidikan, yang setelah
dikembalikan dengan petunjuk sebanyak 2 (dua) kali ternyata setelah ke-2 (dua)
kalinya Penyidk mengembalikan berkas perkara, belum juga dapat melengkapi
petunjuk Penuntut Umum

D. Syarat atau Kondisi Kapan Pemeriksaan Tambahan Dilakukan


Pemeriksaan tambahan dilaksanakan apabila masih dalam batas waktu 14
hari penyidikan tambahan sejak diterimanya pengembalian berkas perkara (BP)
dengan petunjuk (P-19) kedua, Penyidik mengembalikan BP, namun pada P-19
kedua itu pun Penyidik belum dapat memenuhi baik sebagian atau seluruh petunjuk
JPU P-16.
Apabila perkara yang sampai dengan petunjuk yang ke-2 itu ternyata
merupakan perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara, JPU P-16
Modul Penuntutan 11
kemudian meneliti kembali berkas perkara yang belum lengkap tersebut. Dalam hal
JPU P-16 menemukan syarat atau kondisi sebagai berikut:
a. Ada dugaan tindak pidana;
b. Ada minimal 1 (satu) alat bukti baik terhadap perbuatan pidana maupun terhadap
pertanggungjawaban pidana;
c. Ada Berita Acara Pemeriksaan Tersangka,
maka JPU P-16 dapat mengusulkan kepada Kajari untuk melakukan
pemeriksaan tambahan
Usul JPU P-16 untuk melakukan pemeriksaan tambahan dituangkan dalam
Berita Acara Pendapat Hasil Penelitian BP (P-24) dan check list kemudian
diserahkan kepada Kepala seksi bidang tindak pidana terkait/Asisten pada bidang
terkait/Direktur pada direktorat terkait. Kepala seksi bidang tindak pidana
terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait akan memberikan
saran/pendapat dalam P-24 dan check list atas usul JPU P-16 melakukan
pemeriksaan tambahan kemudian meneruskan kepada Kepala Kejaksaan
Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung Muda untuk mendapatkan petunjuk.
Atas usul JPU P-16 dan saran/pendapat Kepala seksi bidang tindak pidana
terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait, sebelum
mengambil keputusan Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa
Agung Muda dapat melakukan 3 (tiga) opsi yang dicantumkan sebagai petunjuk
dalam P-24 dan check list, sebagai berikut:
a. setuju dilakukan pemeriksaan tambahan dan memerintahkan Kepala seksi
bidang tindak pidana terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat
terkait untuk membuat Surat Penyerahan tersangka dan barang bukti (untuk
dilakukan pemeriksaan tambahan P-22)
b. Dilakukan ekspos terlebih dahulu dengan atau tanpa Penyidik; atau
c. Dalam hal Kajari tidak setuju, agar JPU P-16 mengembalikan BP dengan
format surat biasa disertai petunjuk agar Penyidik menentukan sikap
sebagaimana pasal 109 ayat (2) KUHAP.

E. Prosedur Pemeriksaan Tambahan


Prosedur pemeriksaan tambahan dijabarkan dalam Surat Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia Nomor: B-
536/E/11/1993 tanggal 1 Nopember 1993 perihal Melengkapi Berkas Perkara
Dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan dan saat ini sedang disusun dalam
bentuk Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum
Modul Penuntutan 12
oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum agar dapat menjadi suatu rangkaian
aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang harus dijalankan atau dieksekusi
dengan cara yang baku (sama) agar selalu memperoleh hasil yang sama dari
keadaan yang sama.
Pemeriksaan tambahan dilaksanakan dalam hal Kepala Kejaksaan
Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung Muda setuju melakukan pemeriksaan
tambahan dan memerintahkan Kepala seksi bidang tindak pidana terkait/Asisten
pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait untuk membuat Surat Penyerahan
tersangka dan barang bukti (untuk dilakukan pemeriksaan tambahan P-22),
kemudian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Setelah menerima surat pengantar surat pengantar penyerahan tersangka dan
barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan tambahan dari Penyidik berdasarkan P-
22, Kepala Kejaksaan Negeri menerbitkan Surat Perintah Melengkapi Berkas
Perkara (P-25)
2. Penuntut Umum yang mendapatkan surat perintah untuk melakukan pemeriksaan
tambahan (JPU P-25) adalah penuntut umum yang ditunjuk untuk melakukan
pemeriksaan tambahan, dimana penunjukannya diprioritaskan kepada penuntut
umum yang melakukan pemantauan perkembangan penyidikan (JPU P-16)
dimana JPU P-16 dimaksud telah melakukan penelitian BP dan menemukan
syarat atau kondisi agar perkara dapat dilakukan pemeriksaan tambahan
3. Setelah mendapatkan P-25, JPU P-25 melakukan pemeriksaan tambahan
4. Pemeriksaan tambahan dilakukan menurut tata cara penyidikan sesuai hukum
acara pidana yang berlaku kecuali melakukan pemeriksaan Tersangka4.
5. Dalam hal dilakukan penahanan terhadap Tersangka, maka jangka waktu
penahanan yang digunakan adalah jangka waktu penahanan penuntutan5

4
Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan: ““Untuk melengkapi berkas
perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Tidak dilakukan terhadap tersangka;
2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat,
dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara;
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan pasal 110 dan
138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik”.

5
Pasal 25 (1) KUHAP: Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari; (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1)
apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari;
Modul Penuntutan 13
6. Setelah dilakukan pemeriksaan tambahan, menuangkan hasil pemeriksaan
tambahan dalam Berita Acara pendapat (hasil pemeriksaan tambahan) dan
menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari)
7. Atas Berita Acara pendapat (hasil pemeriksaan tambahan) Kajari dapat
memberikan disposisi dilaksanakan atau tidak dilaksanakan gelar perkara dalam
kartu penerus disposisi
8. Dalam hal dilaksanakan gelar perkara, Kajari memerintahkan Kasi Pidum untuk
menyiapkan gelar perkara dengan/tanpa mengundang peserta gelar perkara dari
luar (penyidik/ahli)
9. JPU P-25 melaksanakan gelar perkara dengan dihadiri oleh peserta ekspose
seperti Kajari, Kasi Pidum, Kasubsi Pratut, Kasubsi Tut dan peserta ekspose
undangan lainnya
10. Pelaksanaan gelar perkara menghasilkan 2 (dua) alternatif kondisi yaitu:
a. Pemeriksaan tambahan lengkap;
b. Pemeriksaan tambahan tidak lengkap
11. Dalam hal hasil ekspose menyatakan pemeriksaan tambahan lengkap, maka
JPU P-25:
a. membuat berita acara hasil ekspose
b. menyusun hasil pemeriksaan tambahan dalam bentuk BP yang terpisah
dari BP Penyidik dibuat 2 (dua) rangkap
c. membuat nota dinas hasil pemeriksaan tambahan lengkap
d. membuat Berita acara pendapat (Resume) (BA-14)
e. menyerahkan kelengkapan berkas pemeriksaan tambahan kepada Kajari
f. melimpahkan perkara ke pengadilan setelah menerima perintah Kasi Pidum
atas disposisi Kajari.
12. Dalam hal hasil ekspose menyatakan pemeriksaan tambahan tidak lengkap,
maka JPU P-25:
a. membuat berita acara hasil ekspose sebanyak 3 (tiga) rangkap. 3 (tiga)
rangkap BA hasil ekspose untuk: Kajati (sebagai lampiran pemberitahuan
penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati); JPU P-25
(yang ada disposisi Kajari pada KPD) dan Kajari (sebagai arsip)
b. membuat konsep pemberitahuan penghentian penuntutan kepada Kajati
yang ditandatangani oleh Kajari
c. menyusun hasil pemeriksaan tambahan dalam bentuk BP yang terpisah dari
BP Penyidik dibuat 1 (satu) rangkap
d. membuat Berita acara pendapat (Resume) (BA-14)
Modul Penuntutan 14
e. membuat konsep Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan untuk
ditandatangani oleh Kajari atas perintah Kasi Pidum setelah menerima
disposisi dari Kajari

F. LATIHAN
1. Tindakan penyidikan apa saja yang dapat dilakukan Penuntut Umum dalam
pemeriksaan tambahan?
2. Pada tahap apa pemeriksaan tambahan dilakukan?
3. Dalam hal/kondisi apa pemeriksaan tambahan dilakukan?
4. Apa yang terjadi jika pemeriksaan tambahan tidak dilakukan?
5. Apakah pemeriksaan tambahan dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan
lengkap? Apa alasan Saudara?

Modul Penuntutan 15
BAB IV
PRAPERADILAN

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu :
1. Memahami dasar hukum Praperadilan;
2. Memahami hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam Praperadilan;
3. Memahami fungsi praperadilan, pada tahap apa praperadilan dilaksanakan serta pada
siapa yang bertanggungjawab secara administratif; serta
4. Mempraktekkan Praperadilan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya

A. Dasar Hukum
1. Pasal 77 sampai dengan 83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3209);
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal
19 April 2012;
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2012 tanggal
28 Oktober 2014;
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015 tanggal
9 November 2016;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92
Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
6. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan;
7. Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi
Tersangka Yang Melarikan Diri Atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang
(DPO);
8. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994 tentang
Administrasi Perkara Tindak Pidana.

Modul Penuntutan 16
B. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Praperadilan
1. Apabila prosedur Praperadilan tidak dilaksanakan, maka Kejaksaan sebagai Turut
Termohon atau Termohon II tidak dapat membuktikan prosedur penanganan perkara
terkait penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan telah sah
sesuai ketentuan undang-undang;
2. Praperadilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di
pengadilan Negeri, jika perkara pokok sudah mulai diperiksa maka Praperadilan
gugur6;
3. Putusan praperadilan tidak bisa diajukan banding 7;
4. Putusan praperadilan tidak bisa diajukan kasasi8;
5. Putusan praperadilan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali9;
6. Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang
larangan Peninjauan Kembali putusan praperadilan, maka dalam hal putusan
praperadilan ditemukan indikasi penyeludupan hukum tidak dapat diajukan
Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2014, khusus hal dimaksud dicabut dan dinyatakan tidak berlaku10;
7. Dengan berlakunya Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Larangan
Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri Atau Sedang Dalam
Status Daftar Pencarian Orang (DPO), maka dalam hal tersangka melarikan diri atau
dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO), tidak dapat diajukan permintaan
praperadilan, baik dimohonkan oleh tersangka, penasehat hukum atau keluarganya,

6
Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang menentukan bahwa apabila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai praperadilan belum selesai, maka praperadilan tersebut
gugur.
7
Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 19 April 2012: Pasal
83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat karena Menurut Mahkamah, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai
peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik
serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding
kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP.
8
Pasal 45A Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
menentukan larangan diajukan kasasi terhadap putusan Praperadilan
9
Pasal 3 Perma Nomor 4 Tahun 2016: (1) Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali (2)
Permohonan peninjauan kembali terhadap praperadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan
Ketua Pengadilan negeri dan berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung (3) Penetapan Ketua Pengadilan
Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan upaya hukum.
10
Pasal 6 Perma juga mencabut SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar
Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, khususnya mengenai peninjauan
kembali terhadap putusan Praperadilan dalam hal ditemukan indikasi penyeleundupan hukum, dicabut dan
dinatakan tidak berlaku.
Modul Penuntutan 17
dan terhadap putusan yang menyatakan permohonan praperadilan tersebut tidak
dapat diterima, tidak dapat diajukan upaya hukum.

C. Fungsi dan Letak Praperadilan Secara Adminitratif dan Yuridis


Pemeriksaan praperadilan dilakukan untuk memeriksa dan memutus sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan sebagaimana dalam pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan
Tersangka, penggeledahan dan penyitaan (vide Putusan MK No. 21/PUU-XII/2012
tanggal 28 Oktober 2014), ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Mekanisme praperadilan yang melibatkan Kejaksaan sebagai turut Termohon
atau Termohon II dapat terjadi pada tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan.
Apabila Kejaksaan menjadi turut Termohon atau Termohon II karena penangkapan,
penahanan atau penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik, maka
sehingga secara administrasi praperadilan menjadi tanggung jawab Kasubdit
Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus, sedangkan dalam hal
Kejaksaan menjadi Termohon karena penghentian penuntutan dalam tahap
penuntutan, maka secara administrasi menjadi tanggung jawab Kasubsi Penuntutan.
Registrasi praperadilan menjadi kebutuhan di Kejaksaan meskipun tidak diatur
dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang
Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994
tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Regster praperadilan harus
mengakomodir prapreadilan pada tahap penyidikan, penuntutan dan pelaksanakan
putusan praperadilan sehingga dibutuhkan 3 (tiga) register yaitu:
1. Register praperadilan tahap penyidikan secara administratif menjadi tanggung
jawab Kasubdit Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus.
2. Register praperadilan tahap penuntutan secara administratif menjadi tanggung
jawab Kasubsi Penuntutan.
3. Register praperadilan dengan objek praperadilan permintaan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi secara administratif menjadi tanggung jawab Kasubsi Eksekusi dan
Eksaminasi.

D. Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan


1. setelah menerima surat panggilan sidang praperadilan dari Pengadilan dengan
permohonan praperadilan dari Pemohon sebagai lampiran, Kepala Kejaksaan
Negeri menerbitkan Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum Untuk Sidang
Modul Penuntutan 18
Praperadilan11, namun dalam Penunjukan JPU-Prapid, sedapat mungkin bukan
JPU P-16A, karena JPU P-16A dalam sidang praperadilan dapat memberikan
keterangan sebagai pejabat yang berwenang untuk menjelaskan prosedur yang
menjadi materi praperadilan sebagaimana dalam pasal 82 ayat (1) huruf b
KUHAP12. Hal ini berbeda dengan petunjuk Surat JAM Pidum Nomor:
B-249/E/5/1996 tanggal 15 Mei 1996 perihal Penugasan Jaksa dalam
Praperadilan yang pada angka 3 ketentuannya lebih mengutamakan Jaksa yang
ditugasi melakukan penelitian terhadap berkas perkara dalam tahap
Prapenuntutan sehingga diharapkan penguasaan atas perkaranya akan lebih
baik dan pada Jaksa lainnya. Jaksa P-16 justru tidak ditunjuk sebagai Jaksa
Prapid karena Jaksa P-16 lebih dibutuhkan untuk memberikan keterangan di
depan persidangan sebagai pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP untuk menjelaskan tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan atau benda yang disita termasuk atau tidak alat pembuktian
2. Kasubdit Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus mencatat surat
panggilan sidang praperadilan pada register praperadilan tahap penyidikan,
sedangkan Kasubsi Penuntutan mencatatnya pada register praperadilan tahap
penuntutan, kemudian menyerahkan Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum
Untuk Sidang Praperadilan yang telah ditandatangi Kajari kepada JPU
Praperadilan (JPU Prapid);
3. Setelah menerima Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum Untuk Sidang
Praperadilan, JPU Prapid menyiapkan tanggapan atas permohonan
praperadilan;
4. Dalam hal surat panggilan sidang praperadilan diterima tanpa lampiran
permohonan praperadilan, maka pada saat sidang hari pertama praperadilan,

11
Surat JAM Pidum Nomor: B-249/E/5/1996 tanggal 15 Mei 1996 perihal Penugasan Jaksa dalam Praperadilan
angka 2: Tidaklah tepat kalau penugasan Jaksa yang menangani masalah Praperadilan dituangkan dalam
bentuk ”Surat Kuasa Khusus” yang dipakai dalam proses perkara perdata dan tata usaha negara. Akan lebih
tepat apabila penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk ”Surat Perintah" sebagaimana terlampir (template
Surat Perintah terlampir); 3: Dalam menghadapi pemeriksaan sidang Praperadilan hendaknya lebih diutamakan
untuk Jaksa yang ditugasi melakukan penelitian terhadap berkas perkara dalam tahap Prapenuntutan sehingga
diharapkan penguasaan atas perkaranya akan lebih baik dan pada Jaksa lainnya.

12
Pasal 82 ayat (1) huruf b: dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan
baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang
Modul Penuntutan 19
JPU Prapid mengajukan penundaan sidang dengan alasan belum menerima
permohonan praperadilan;
5. JPU Prapid menghadiri sidang praperadilan sesuai jadwal sidang;
6. JPU Prapid membacakan tanggapan atas permohonan praperadilan;
7. JPU Prapid menghadirkan pejabat yang berwenang memberikan keterangan di
hadapan sidang praperadilan, termasuk alat bukti lain yang relevan;
8. JPU Prapid membacakan kesimpulan Termohon
9. Persidangan perkara praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal karena sifat
pemeriksaannya tergolong singkat dan pembuktiannya hanya memeriksa aspek
formil
10. Pemeriksaan praperadilan paling lama 7 (tujuh) hari sebagaimana dalam pasal
82 ayat (1) huruf c KUHAP
11. Frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” dimaknai permintaan praperadilan
gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama
terhadap pokok perkara (vide Putusan MK No. 102/PUU-XIII/2015 tanggal 9
November 2016);
12. Dalam hal hakim menghendaki dipanggilnya pejabat yang berwenang untuk
memberi keterangan di hadapan sidang pengadilan, JPU-Prapid menghadirkan
pejabat yang relevan dengan permohonan materi praperadilan (seperti: JPU P-
16A / atasan JPU P-16A, Penyidik/ atasan penyidik, atau pejabat terkait lainnya)
13. JPU-Prapid membuktikan telah ada 2 (dua) alat bukti terhadap13:
 perbuatan pidana dan/atau
 pertanggunggjawaban pidana14
Hanya untuk membuktikan aspek formil yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua)
alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara

13
Sehubungan dalam menetapkan, menangkap dan menahan tersangka hanya dapat dilakukan berdasarkan
minimal 2 (dua) alat bukti (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2012 Tanggal 28 Oktober
2014 Tentang frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” pada pasal 1
angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP) maka sebelum melakukan penahanan, Penyidik harus
melampirkan surat Penetapan Tersangka, sebagai hasil penyidikan dalam surat permintaan perpanjangan
penahanannya untuk membuktikan bahwa ketika menahan Tersangka, Penyidik sudah memiliki 2 (dua) alat
bukti yang cukup (vide Putusan Praperadilan Nomor: 04/Pid. Prad/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Februari 2015),
dimana sebelumnya ketika menyampaikan dimulainya Penyidikan, Penyidik belum dapat menetapkan siapa
tersangkanya

14
pandangan dualistis melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, di
mana pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yakni dalam
tindak pidana hanya dicakup criminal act dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana.

Modul Penuntutan 20
14. Penilaian aspek formil terhadap alat bukti adalah apakah alat bukti tersebut telah
dilakukan berdasarkan cara yang sah (lawful legal evidence) dan terpenuhi
syarat administratifnya
15. JPU Prapid membuat laporan hasil persidangan praperadilan dan laporan
Penuntut Umum setelah putusan praperadilan atau laporan Penuntut Umum
setelah penetapan praperadilan (ganti kerugian & rehabilitasi);
16. Petikan putusan praperadilan diterbitkan segera setelah putusan diucapkan dan
salinan putusan diberikan 14 hari sejak putusan diucapkan (vide SEMA No. 1
Tahun 2011 tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun
2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan)
17. Setelah 14 hari, pengadilan belum menyampaikan putusan, JPU-Prapid
mengambil sikap untuk proaktif menghubungi panitera pengadilan atau
berkoordinasi dengan hakim/Ketua Pengadilan Negeri dan apabila dipandang
perlu membuat surat permintaan salinan putusan karena pengadilan belum
menyampaikan salinan putusan setelah lewat 14 hari yang ditandatangani oleh
Kajari dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Tinggi
18. JPU Prapid melaksanakan putusan praperadilan
19. Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya
penetapan Tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik untuk
menetapkan yang bersangkutan sebagai Tersangka lagi setelah memenuhi
paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti
sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara (vide pasal 2 ayat (3)
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan)

E. Pelaksanaan Putusan Praperadilan


1. Dalam hal penahanan ditetapkan tidak sah, JPU Prapid segera membebaskan
tersangka sesudah putusan praperadilan diucapkan dengan membuat Berita
Acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10) dan Berita Acara
pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)15;

15
Pasal 82 dan 83 ayat (1) huruf a KUHAP: Dalam hal putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan
menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut
umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka

Modul Penuntutan 21
2. Dalam hal penghentian penyidikan ditetapkan tidak sah, kemudian Penyidik
menindaklanjuti dengan melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan, maka JPU
P-16 menerima berkas perkara (Tahap I) dan meneliti berkas perkara;
3. Dalam hal penghentian penuntutan ditetapkan tidak sah, maka Kajari
memberikan pendapat pada Laporan Penuntut Umum setelah putusan
praperadilan dan mendisposisi pada Kasi Pidum untuk membuat konsep
permintaan persetujuan JA RI atas putusan praperadilan;
4. Berdasarkan jawaban JA RI atas surat permintaan persetujuan JA RI,
sebagaimana huruf c, JPU Prapid menindaklanjuti tindakan hukum sebagai
berikut :
a. Dalam hal JA RI setuju, Penuntut Umum melanjutkan penuntutan dengan
melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan;
b. Dalam hal JA RI tidak setuju, Penuntut Umum melanjutkan penuntutan
dengan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan, kemudian menarik
surat dakwaan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai,
untuk mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutannya (vide pasal
144 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP);
5. Dalam hal penetapan Tersangka ditetapkan tidak sah, maka JPU Prapid segera
membebaskan Tersangka sesudah putusan praperadilan diucapkan dengan
membuat Berita Acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10)
dan Berita Acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)16.

F. Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat Tidak Sahnya


Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan Lain17 Tanpa
Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai
Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau
Penuntutan
1. Permintaan Ganti Kerugian

16
Ibid
17
Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksa
hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan
secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa
hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang
melawan hukum.
Modul Penuntutan 22
6. Jangka waktu pengajuan tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka, Terdakwa,
Terpidana atau ahli warisnya dilakukan18:
A. Dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal sejak
tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap diterima;
B. Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara
yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, maka
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal
pemberitahuan penetapan praperadilan.
7. JPU Prapid mengikuti persidangan tuntutan ganti rugi sebagaimana acara
praperadilan.
8. Besarnya ganti kerugian untuk perkara yang dihentikan pada tingkat
penyidikan atau tingkat penuntutan, ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili
atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan paling sedikit Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). (vide pasal 9 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
9. Besarnya ganti kerugian yang mengakibatkan luka berat dan cacat sehingga
tidak bisa melakukan pekerjaan paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh
lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah). (vide pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana).
10. Besarnya ganti kerugian yang mengakibatkan mati paling sedikit Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,-
(enam ratus juta rupiah) (vide pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana).

18
Pasal 77 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
mengatur perubahan tentang ganti kerugian dalam pelaksanaan KUHAP
Modul Penuntutan 23
11. Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian diberikan kepada
pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan (vide pasal 10
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
12. Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan (vide pasal 10
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
13. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian
diterima oleh Menteri Keuangan RI. (vide pasal 11 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
2. Permintaan Rehabilitasi
a. Jangka waktu pengajuan permintaan rehabilitasi selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan
atau penahanan diberitahukan kepada Pemohon.
b. JPU Prapid mengikuti persidangan permintaan rehabilitasi sebagaimana
acara praperadilan.

G. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat


Tidak Sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan
Lain19 Tanpa Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan
Mengenai Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan
Atau Penuntutan
a. Dalam hal tuntutan ganti kerugian dikabulkan dalam penetapan Pengadilan
Negeri, maka :

19
Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP: Yang dimaksud dengan “kerugian
karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan
penyitaan yang tidak sah. Termasuk penahanan tanpa alasan yaitu penahanan yang lebih lama dari pada
pidana yang dijatuhkan.
Modul Penuntutan 24
i. JPU Prapid menerima salinan penetapan mengenai ganti kerugian dalam
waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan dari Pengadilan bersama
dengan penyidik, dan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
ii. Setelah menerima salinan penetapan, JPU Prapid membuat Laporan
Penuntut Umum setelah penetapan praperadilan (ganti kerugian &
rehabilitasi) secara berjenjang;
iii. Kajari membuat surat permohonan pembayaran ganti kerugian akibat
tidak sahnya penahanan secara berjenjang kepada JA RI melalui Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) dengan melampirkan
penetapan mengenai ganti kerugian.
iv. JA RI meneruskan kepada Jaksa Agung Muda Pembinaan untuk
membuat surat permintaan pembayaran ganti kerugian berdasarkan
putusan praperadilan kepada Menteri Keuangan RI.
v. Setelah ganti kerugian disetujui dan dikirimkan kepada Kejaksaan Negeri
yang bersangkutan, JPU Prapid melaksanakan penetapan hakim
menyerahkan uang ganti kerugian kepada Pemohon dengan membuat
Berita Acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)
b. Dalam hal permintaan rehabilitasi akibat putusan praperadilan menetapkan tidak
sahnya penahanan atau kekeliruan orang, maka :
i. Setelah menerima salinan putusan praperadilan JPU Prapid “Memulihkan
hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya”, JPU Prapid membuat Berita Acara pelaksanaan putusan
pengadilan (BA-17).
ii. Penetapan rehabilitasi diumumkan pada papan pengumuman pengadilan
oleh Panitera.

H. LATIHAN
1. Bagaimana cara melaksanakan putusan praperadilan atas rehabilitasi ?
2. Bagaimana hukum acara/prosedur permintaan rehablitasi?
3. Bagaimana hukum acara/prosedur permintaan ganti rugi?
4. Bagaimana Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan?
5. Bagaimana melaksanakan tuntutan ganti rugi yang dikabulkan oleh Pengadilan?

Modul Penuntutan 25
BAB V
PENERIMAAN DAN PENELITIAN TERSANGKA (TAHAP II)

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:
1. Menjelaskan prosedur penerimaan dan penelitian tersangka (Tahap II);
2. Membuat Nota Pendapat Penahanan.

A. Dasar Hukum
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 3209):
Penyerahan berkas perkara dilakukan:
b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum

B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka


1. JPU P-16A meneliti tersangka yang dituangkan dalam Berita Acara Penerimaan Dan
Penelitian Tersangka (Tahap II) (BA-4);
2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai penahanan status penahanan. Nota
pendapat berisi pendapat JPU P-16A untuk melanjutkan penahanan atau tidak
dilakukan penahanan;
3. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat kepada Kasubsi Penuntutan
untuk diberikan saran/pendapat dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) untuk
memberikan pendapat;
4. Kasubsi Penuntutan mencatat nota pendapat JPU P-16A dalam Register Perkara
Tahap Penuntutan (RP-9);
5. Kajari apabila menyetujui penahanan terhadap tersangka, kemudian mendisposisi
Kasi Pidum untuk membuat konsep Surat Perintah Penahanan/Pengalihan Jenis
Penahanan (T-7) dan kepada JPU P-16A untuk membuat Berita Acara perintah
penahanan/penahanan lanjutan (BA-7) atau Berita Acara pelaksanaan pengalihan
jenis penahanan (BA-8);
6. T-7 dengan tembusan Ketua PN akan didistribusikan bersamaan dengan pelimpahan
BP;

Modul Penuntutan 26
7. Kasubsi Penuntutan kemudian mencatat T-7 pada Register tahanan tahap
penuntutan serta mengkompilir T-7 beserta BA-4 dan Nota Pendapat Penahanan
yang telah disetujui Kajari untuk diserahkan kepada JPU P-16A sebagai bagian dari
bendel berkas perkara;
8. JPU P-16 menggandakan BA-7 atau BA-8 serta Surat Dakwaan (P-29) masing-
masing sebanyak 1 (satu) rangkap untuk persiapan pelimpahan perkara.

C. LATIHAN
1. Bagaimana prosedur penerimaan dan penelitian Tersangka (Tahap II)?Jelaskan !
2. Apa saja kelengkapan dokumen formil/administrasi yang harus dikompilir dalam
berkas perkara pada saat tahap penerimaan dan penelitian Tersangka (Tahap II )?
3. Apa alternatif tindak lanjut dari pendapat Kajari terkait nota pendapat penahanan
yang dibuat oleh JPU P-16?

Modul Penuntutan 27
BAB VI
PENERIMAAN DAN PENELITIAN BARANG BUKTI (TAHAP II)

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:
9. Menjelaskan prosedur penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II);
10. Membuat Nota Pendapat Barang Bukti

A. Dasar Hukum
Pasal 8 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 3209):
1. Penyerahan berkas perkara dilakukan:
Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum

B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti


1. JPU P-16A meneliti benda sitaan/barang bukti yang dituangkan dalam Berita Acara
Penerimaan Dan Penelitian Benda Sitaan/Barang Bukti (BA-5). Setelah itu
diserahkan kepada Kasubsi Barang Bukti (Kasubsi BB). Dalam hal penelitian barang
bukti, JPU P-16A dapat dibantu oleh Kasubsi Tut:
2. Kasubsi Barang Bukti (Kasubsi BB) kemudian mencatat BA-5 dalam register barang
bukti serta menyerahkannya kepada Kasi Barang Bukti dan Barang Rampasan (Kasi
BB BR);
3. Kasi BB BR kemudian membuat konsep analisis rantai pengelolaan dan penyelesain
(chain of custody) benda sitaan/barang bukti/ temuan/rampasan yang kemudian
diserahkan kepada JPU P-16A untuk diberi pendapat, serta Kasi Pidum untuk
memperoleh saran, selanjutnya Kajari untuk memberikan petunjuk;
4. Kasubsi BB kemudian menyerahkan BA-5 kepada JPU P-16A untuk dikompilir
dengan Berkas Perkara (BP);
5. JPU P-16 A menggandakan BA-5 untuk persiapan pelimpahan perkara

Modul Penuntutan 28
C. LATIHAN
1. Bagaimana prosedur penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II)? Jelaskan!
2. Apa saja kelengkapan dokumen formil/administrasi yang harus dikompilir dalam
berkas perkara pada saat tahap penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II )?

Modul Penuntutan 29
BAB VII
PENANGGUHAN PENAHANAN

Indikator Keberhasilan :

Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:


1. Menjelaskan jaminan apa saja yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan penangguhan
penahanan
2. Menjelaskan prosedur jaminan penangguhan penahanan
3. Menjelaskan prosedur pelaksanaan penangguhan penahanan

A. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 3209);
Pasal 31 ayat (1)
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau
hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan
penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
berdasarkan syarat yang ditentukan;
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa
melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP,
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Pasal 35 (Jaminan Uang)
(1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di kepaniteraan
pengadilan negeri.
Penjelasan
i. Penyerahan uang jaminan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dilakukan
sendiri oleh pemberi jaminan dan untuk itu panitera memberikan tanda terima.
Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
ii. Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang dikeluarkan
instansi yang bersangkutan.

Modul Penuntutan 30
iii. Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuan angka 8 huruf f
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983.
Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan untuk menjadi
dasar bagi pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat
penetapan penangguhan penahanan.

(2) Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 (tiga)
bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor
ke Kas Negara.

3. Pasal 36 (Jaminan Orang)


(1) Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri
maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan
membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Penjelasan
Jumlah uang sebagaimana dimaksud dalam ayat ini ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, pada waktu menerima
permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan orang.
(2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke Kas Negara melalui
panitera pengadilan negeri.
(3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud ayat (1)
jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas
Negara melalui panitera pengadilan negeri. Menurut Pasal 15 dan Pasal 137
KUHAP, penuntut umum melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
yang terjadi di dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkaranya ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
Catatan
i. Jaminan orang dapat merupakan penasehat hukum tersangka/terdakwa,
keluarga tersangka atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun
dengan tersangka/terdakwa.
ii. Harus ada “pernyataan” Penjamin bahwa Ia “bersedia” dan bertanggung jawab
memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.
iii. Penjamin harus disebutkan lengkap Identitasnya

Modul Penuntutan 31
iv. Lembaga/Instansi yang memiliki kewenangan menahan, menetapkan besarnya
uang yang harus ditanggung penjamin, sebagai “uang tanggungan” (apabila
tersangka/terdakwa melarikan diri).
v. Timbulnya kewajiban orang yang menjamin menyetor uang tanggungan yang
ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan:
1. Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri; dan
2. setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;
vi. Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang yang menjamin
melalui panitera Pengadilan Negeri;
vii. Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut,
jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas
Negara melalui panitera pengadilan negeri.

4. Surat JAM Pidum kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia Nomor:
B-675/E/EPO/1994 Perihal Permohonan Penangguhan Penahanan/Tahanan Luar dan
Wajib lapor
5. Pada intinya mengatur bahwa permohonan penangguhan penahan/tahanan luar
dilakukan denan memperhatikan hal-hal berikut :
(1) Permohonan Penangguhan penahanannya hanya dilakukan terhadap tersangka
yang dalam status tahanan. Dengan demikian tidak dibenarkan adanya surat
permohonan penangguhan penahanan atau permohonan untuk ditahan luar/
tidak ditahan dalam hal tersangka tidak dalam status tahanan tidak dilahan;
(2) Perubahan status tersangka yang diserahkan Penyidik kepada Kejaksaan hanya
dapat dilakukan apabila benar-benar beralasan. Dengan demikian akan dapat
dicegah terjadinya rekayasa penahanan dimana disangkakan/didakwakan pasal-
pasal yang memungkinkan tersangka/terdakwa dapat ditahan padahal
sebenarnya perbuatan yang disangkakan tidak dapat dilakukan penahanan.
(3) Kewajiban melapor hanya dapat dibebankan kepada tersangka yang dalam
status tahanan rumah, tahanan kota dan yang ditangguhkan penahanannya;

B. Prosedur Penangguhan Penahanan


1. Setelah menerima surat permohonan penangguhan penahanan, Kepala
Kejaksaan Negeri (Kajari) mendisposisi JPU P-16A untuk membuat nota pendapat
mengenai penangguhan penahanan
2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai penangguhan penahanan
3. Nota pendapat JPU P-16A mengenai penangguhan penahanan dilakukan dengan:
Modul Penuntutan 32
(1) Melampirkan surat permohonan penangguhan penahanan dari Tersangka
(2) Permohonan penangguhan penahanan disetujui JPU P16A dengan atau
tanpa jaminan (pasal 31 ayat (1) KUHAP)
(3) Ada persetujuan dari Tersangka yang ditahan untuk mematuhi syarat dan
jaminan yang ditetapkan d. Tersangka wajib lapor, tidak keluar rumah atau
kota (penjelasan pasal 31 ayat (1) KUHAP)
4. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat mengenai penangguhan
penahanan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) untuk
meminta saran/pendapat, lalu meneruskannya kepada Kajari
5. Kajari memberikan pendapat setuju atau tidak setuju.
6. Apabila Kajari memberikan pendapat setuju, sekaligus mendisposisi Kasi Pidum
untuk membuat Surat perintah penangguhan penahanan/pengeluaran dari
tahanan/pencabutan penangguhan penahanan (T-8)
7. Setelah Surat perintah penangguhan penahanan/pengeluaran dari
tahanan/pencabutan penangguhan penahanan (T-8) ditandatangani oleh Kajari,
Kepala Sub Seksi Penuntututan (Kasubsi Tut) mencatat nomor dan tanggal T-8
pada Register tahanan tahap penuntutan (RT-3)
8. Setelah T-8 beserta nota pendapat mengenai penangguhan penahanan dan surat
permohonan penangguhan penahanan diserahkan oleh Kasubsi Tut kepada JPU
P-16A, maka JPU P-16A membuat dan menandatangani Berita acara
pelaksanaan perintah penangguhan penahanan (BA-9) dan Berita acara
pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10)
9. JPU P16A kemudian dibantu oleh Pengawal Tahanan mengeluarkan Tersangka
dari tahanan serta menyerahkan BA-9 dan BA-10 kepada Kepala Rutan dan
Tersangka untuk ditandatangani
10. Menyertakan Berkas Perkara (BP) dengan T-8, BA-9, BA-10, surat permohonan
penangguhan penahanan dan nota pendapat mengenai penangguhan penahanan
(menjadi satu kelengkapan dengan seluruh administrasi penanganan perkara
dalam kompilir berkas perkara)

C. Latihan
1. Jelaskan jaminan apa saja yang dapat dilakukan dalam penangguhan
penahanan?
2. Apa yang dilakukan JPU P-16A apabila menerima surat permohonan
penangguhan penahanan?

Modul Penuntutan 33
3. Bagaimana cara membuat Berita acara pelaksanaan perintah penangguhan
penahanan (BA-9) dan Berita acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari
tahanan (BA-10)?

Modul Penuntutan 34
BAB VIII
PEMBANTARAN PENAHANAN

Indikator Keberhasilan :

Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:


1. Menjelaskan dalam keadaan apa pembantaran penahanan dapat dilakukan
2. Menjelaskan prosedur pembantaran penahanan
3. Mengetahui keadaan-keadaan yang dipertimbangkan dalam membuat nota pendapat
pembantaran penahanan

A.Dasar Hukum
1. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4401);
Pembantaran dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung kepada Terdakwa untuk
berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri atau dalam keadaan
tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri vide
2. Surat Edaran Nomor: SE- 001/A/J.A/03/2004 Tentang Pemberian Ijin Berobat Ke Luar
Negeri Bagi Tersangka/Terdakwa Perkara Pidana
a. Dalam hal Terdakwa berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam
negeri dapat berdasarkan izin tertulis Kejaksaan Negeri setempat atas nama
Jaksa Agung.
b. Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung melalui jalur
berjenjang ( Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung Muda
Pidana Umum).
c. Dalam hal Terdakwa berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit luar
negeri, syarat untuk dilakukan perawatan di rumah sakit luar negeri :
i. Surat permohonan diajukan oleh Terdakwa atau keluarganya dengan
pernyataan Jaminan dari Keluarga terdakwa.
ii. Surat rekomendasi Dokter spesialis penyakit Terdakwa
iii. Surat keterangan resmi dari rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk untuk
dapat memberikan rujukan berobat ke luar negeri dengan penjelasan
bahwa rumah sakit di Indonesia belum dapat memberikan pelayanan
medis/pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh Terdakwa.
iv. Informasi rumah sakit luar negeri yang ditunjuk, Nama, Alamat Lengkap
Rumah Sakit dan kontak yang dapat dihubungi.
Modul Penuntutan 35
v. Surat keterangan resmi dari rumah sakit luar negeri yang ditunjuk bahwa
Tersangka/Terdakwa dapat dirawat kembali di Indonesia setelah proses
pelayanan medis/pengobatan.
vi. Jaksa P-16A wajib melakukan pemantauan dan meminta pekembangan
hasil pengobatan terdakwa dari rumah sakit luar negeri yang ditunjuk
sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali dan meminta penjelasan masih
perlu atau tidak Terdakwa dirawat di rumah sakit luar negeri.
vii. Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa Agung
tembusan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa Agung Muda
Pidana Umum.
3.Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 1 Tahun 1989 Tentang Pembantaran
(Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang Dirawat Nginap di
Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi yang Berwenang
Menahan.
d. Proses pembantaran dihitung semenjak secara nyata Terdakwa dirawat inap
pada rumah sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala
Rumah Sakit di tempat Terdakwa ditahan vide Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1989 tentang pembantaran (Stuiting) tenggang waktu
penahanan bagi Terdakwa.
e. Pembantaran dilakukan tidak hanya untuk dirawat inap pada rumah sakit
namun juga untuk dirawat inap pada rumah sakit jiwa.

B. Prosedur Pembantaran Penahanan


1. Setelah menerima surat permohonan pembantaran penahanan dan surat
keterangan sakit dokter pemerintah dari Tersangka/keluarga Tersangka, Kepala
Kejaksaan Negeri (Kajari) mendisposisi JPU P-16A untuk membuat nota pendapat
mengenai pembantaran penahanan
2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai pembantaran penahanan
3. JPU P-16A sebelum menuangkan pendapatnya dalam nota pendapat mengenai
pembantaran penahanan dapat mencari dan/atau mendatangkan dokter yang lain
terkait kesehatan Tersangka untuk memberikan pendapatnya (sebagai second
opinion )
4. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat mengenai pembantaran
penahanan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) untuk
meminta saran/pendapat, lalu meneruskannya kepada Kajari
5. Kajari memberikan pendapat setuju atau tidak setuju
Modul Penuntutan 36
6. Apabila Kajari memberikan pendapat setuju, sekaligus mendisposisi Kasi Pidum
untuk membuat Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari
Pencabutan Pembantaran Penahanan
7. Setelah Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan
Pembantaran Penahanan ditandatangani oleh Kajari, Kepala Sub Seksi
Penuntututan (Kasubsi Tut) mencatat nomor dan tanggal Surat Perintah
Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan Pembantaran
Penahanan pada Register tahanan tahap penuntutan (RT-3);
8. Setelah Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan
Pembantaran Penahanan beserta nota pendapat mengenai pembantaran
penahanan dan surat permohonan pembantaran penahanan diserahkan oleh
Kasubsi Tut kepada JPU P-16A, maka JPU P-16A membuat dan menandatangani
Berita Acara pelaksanaan perintah pembantaran/pencabutan pembantaran
penahanan;
9. JPU P16A kemudian dibantu oleh Pengawal Tahanan mengeluarkan Tersangka
dari tahanan serta menyerahkan Berita Acara pelaksanaan perintah
pembantaran/pencabutan pembantaran penahanan kepada Kepala Rutan dan
Tersangka untuk ditandatangani
10. Menyertakan Berkas Perkara (BP) dengan Surat Perintah Pembantaran
Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan Pembantaran Penahanan, Berita Acara
pelaksanaan perintah pembantaran/pencabutan pembantaran penahanan surat
permohonan penangguhan penahanan dan nota pendapat mengenai
pembantaran penahanan (menjadi satu kelengkapan dengan seluruh administrasi
penanganan perkara dalam kompilir berkas perkara)

C. Latihan
1. Jelaskan bagaimana pembantaran penahanan diperhitungkan dengan masa
penahanan?
2. Bagaimana prosedur pengajuan permohonan tersangka yang hendak berobat ke
luar negeri?
3. Bagaimana prosedur pembantaran penahanan?
4. Bagaimana cara membuat nota pendapat mengenai pembantaran penahanan?

Modul Penuntutan 37
BAB IX
PELIMPAHAN PERKARA KE PENGADILAN

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pengertian pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa dan acara
pemeriksaan singkat
2. Memahami komponen pelimpahan perkara
3. Memahami pelimpahan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang mengadili
(kewenangan mengadili)
4. Memahami perlawanan terhadap penetapan pengadilan tidak berwenang mengadili
5. Membuat surat pelimpahan perkara ke pengadilan

Menurut Pasal 15 dan Pasal 137 KUHAP, penuntut umum melakukan penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana yang terjadi di dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkaranya ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Menurut Pasal 4 ayat (3) UU No. 16 tahun 2004, daerah hukum Kejaksaan Negeri
meliputi wilayah hukum kabupaten dan / atau kota.
Jadi penuntut umum menuntut tindak pidana yang terjadi di dalam daerah hukum
Kejaksaan Negeri dimana ia bertugas.
Menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP, penuntut umum melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai
dengan surat dakwaan. (dalam hal acara pemeriksaan biasa).

A. Kompetansi Pengadilan
1. Kompetensi Relatif
Sama halnya dengan kewenangan penuntut umum, menuntut pelaku tindak
pidana yang terjadi di dalam daerah hukum Kejaksaan Negeri, maka Pengadilan
Negeri juga berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang
dilakukan didalam daerah hukumnya (Pasal 84 ayat (1) KUHAP) kecuali dalam hal,
yaitu :
1. Pengadilan negeri yang didalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan atau ditahan, berwenang mengadili
perkara tersebut dengan ketentuan apabila tempat kediaman sebagian besar saksi
yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri dimana terdakwa
Modul Penuntutan 38
berada daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerah
hukumnya tindak pidana dilakukan (Pasal 84 ayat (2) KUHAP).
Contoh : tindak pidana terjadi di Universitas Indonesia di Depok, maka menurut
Pasal 84 ayat (1) KUHAP, Pengadilan Negeri Depok yang berwenang mengadili,
akan tetapi karena terdakwa bertempat tinggal di Pasar Minggu dan saksi-saksi
yang ada dalam berkas perkara lebih banyak bertempat tinggal lebih dekat ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan daripada ke PN Depok maka Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut.
2. Dalam hal seorang melakukan beberapa tindak pidana yang satu sama lain ada
sangkut pautnya yang dilakukan dalam daerah hukum pengadilan negeri yang
berbeda-beda, maka dibuka kemungkinan semua perkara tersebut digabung
dalam satu surat dakwaan (dakwaan kumulasi) kemudian perkaranya dilimpahkan
dan diadili oleh salah satu pengadilan negeri saja (azas cepat sederhana dan
biaya murah) (lihat Pasal 84 ayat (4) KUHAP).
3. Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri mengadili
Suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan
Negeri setempat, Mahkamah Agung menetapkan dengan menunjuk pengadilan
negeri lain untuk mengadili perkara tersebut (Pasal 85 KUHAP, Pasal 1 (2) UU No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4. Dalam hal seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili
menurut hukum Rl, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang
menjadi (Pasal 86 KUHAP, jo Pasal 5 KUHP)

2. Kompetensi Absolut.
Dalam hal kompetensi absolut, hanya mungkin terjadi dalam hal tindak pidana
dilakukan oleh orang yang termasuk lingkungan peradilan umum atau lingkungan
peradilan militer. Apabila yang melakukan tindak pidana adalah seorang militer maka
ia dituntut dan diadili oleh Pengadilan Militer yang termasuk dalam lingkungan
Peradilan Militer (UU No. 31 tahun 1997), sedangkan apabila tindak pidana dilakukan
oleh orang selain dari militer dituntut dan diadili oleh Pengadilan Negeri yang
termasuk dalam lingkungan Peradilan Umum.
Dalam hal tindak pidana dilakukan secara bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer yaitu
Pengadilan Negeri kecuali Ketua Mahkamah Agung menentukan lain (Pasal 89
KUHAP, jo Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman).

Modul Penuntutan 39
B. Komponen Pelimpahan
Adapun komponen pelimpahan perkara ke pengadilanmeliputi :
a. P-31 : Surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa:
b. P-32 : Surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat:
c. P-33 : Tanda terima surat pelimpahan perkara:
d. P-34 : Tanda terima penyerahan barang bukti:
e. P-16.A: Surat perintah penunjukan JPU untuk penyelesaian perkara tindak pidana:
f. T-7 : Surat perintah penahanan/pengalihan jenis penahanan:
g. P-29: Surat Dakwaan;
h. P-30 : Catatan Penuntut Umum; dan
i. Berkas perkara

C. Acara Pemeriksaan
1. Acara Pemeriksaan Biasa
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa perkara tersebut memenuhi
syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, ia segera membuat surat dakwaan dan
melimpahkan perkaranya ke pengadilan negeri yang berwenang.
Apabila dalam daerah hukum Pengadilan Negeri belum ada rubasan maka
seyogyanya barang bukti dalam perkara tersebut juga diserahkan ke pengadilan (P.
34) karena menurut Pasa| 44 ayat (2) KUHAP, penyimpanan benda sitaan (barang
bukti) dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.
Harus diperhatikan bahwa menurut Pasal 143 ayat (4) KUHAP, turunan
surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan harus disampaikan kepada tersangka
dan penyidik. Bagi tersangka untuk mempersiapkan diri pada waktu pemeriksaan di
pengadilan baik untuk menyusun keberatan atas surat dakwaan (Pasal 156 (1)
KUHAP) maupun untuk mengajukan alat bukti, sedangkan bagi penyidik untuk
mengetahui bahwa hasil penyidikannya telah diajukan ke pengadilan dengan pasal
yang ia sangkakan sama atau tidak sama dengan pasal yang didakwakan penuntut
umum.
Dalam hal tersangka tidak menerima turunan surat pelimpahan perkara dan
surat dakwaan pada saat yang bersamaan dengan pelimpahan perkaranya ke
pengadilan maka ia berhak untuk menolak pemeriksaan hari itu dengan alasan untuk
mempelajari perkaranya terlebih dahulu.

Modul Penuntutan 40
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari
penuntut umum, Ketua PN mempelajari apakah perkara tersebut termasuk
Wewenang mengadili pengadilan yang dipimpinnya.
Apabila Ketua PN berpendapat bahwa perkara tersebut tidak termasuk
wewenang mengadili pengadilan negeri yang dipimpinnya, ia menyerahkan surat
pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang dianggap berwenang.
Surat pelimpahan perkara bersama dengan komponennya diserahkan kembali
kepada penuntut umum, selanjutnya Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
menyampaikan kepada Kejaksaan Negeri di tempat pengadilan yang tercantum
dalam surat penetapan. Turunan surat penetapan tersebut disampaikan kepada
tersangka atau kuasanya dan kepada penyidik.
Dalam hal penuntut umum tidak menerima penetapan Ketua PN yang
bersangkutan; ia dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Tinggi yang
membawahi Pengadilan Negeri yang mengeluarkan penetapan dalam waktu tujuh
hari setelah penetapan diterima. Perlawanan disampaikan kepada PN yang
mengeIuarkan penetapan.
Dalam hal pengadilan tinggi menerirna perlawanan penuntut umum, dengan
surat penetapan memerintahkan pengadilan negeri semula untuk menyidangkan
perkara tersebut. Sebaliknya dalam hal pengadilan tinggi menguatkan penetapan
pengadilan negeri; maka pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara tersebut
kepada pengadilan negeri yang berwenang; tembusan penetapan pengadilan tinggi
disampaikan kepada penuntut umum untuk dikoordinasikan dengan Kejaksaan
Negeri yang berwenang menuntut.
2. Acara Pemeriksaan Singkat
Dalam hal perkara pidana tidak termasuk yang diperiksa dengan acara
pemeriksaan cepat menurut Pasal 205 KUHAP dan menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana maka
perkara tersebut diajukan untuk diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat.Contoh
pencurian biasa atau penganiayaan biasa yang terdakwa mengaku, saksi-saksi
membenarkan barang bukti dapat dieksekusi segera setelah putusan dijatuhkan.
Dalam acara pemeriksaan Singkat tidak ada surat pelimpahan perkara dan
tidak ada surat dakwaan (P. 30) karena penuntut umum menghadapkan terdakwa
saksi-saksi, ahli (kalau ada) dan barang bukti yang diperlukan pada hari sidang yang
telah ditentukan.

Modul Penuntutan 41
Dalam praktek masih dikenal adanya pelimpahan perkara acara
pemeriksaan Singkat (P. 32) maksudnya tidak lain untuk mempermudah pemeriksaan
baik bagi hakim maupun bagi penuntut umum itu sendiri.
3. Acara Pemeriksaan Cepat
Pada acara pemeriksaan cepat khususnya dalam acara pemeriksaan tindak
pidana ringan sama sekali tidak dikenal surat pelimpahan perkara, karena menurut
Pasal 205 ayat (2) KUHAP, penyidik atas kuasa penuntut umum (kuasa Undang-
Undang) menghadapkan terdakwa, saksi-saksi, barang bukti ke sidangpengadilan
yang telah ditentukan sebelumnya.

D. PROSEDUR PELIMPAHAN PERKARA KE PENGADILAN


a. Setelah Kasubsi Penuntutan (Kasubsi Tut) menerima Berita Acara perintah
penahanan/penahanan lanjutan (BA-7) atau Berita Acara pelaksanaan pengalihan
jenis penahanan (BA-8), Berita Acara Penerimaan Dan Penelitian Benda
Sitaan/Barang Bukti (BA-5), Berita Acara Penitipan Barang Bukti (BA-6) (jika ada)
dan Surat dakwaan (P-29) dari JPU P-16A, kemudian membuat konsep Surat
pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa (P-31) atau Surat Pelimpahan
Perkara Acara Pemeriksaan Singkat (APS) (P-32) dan menyerahkan kepada
Kepaka Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) untuk dikoreksi dan diparaf
hingga ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari);
b. Kasubsi Tut kemudian mencatat P-31 atau P-32 pada kolom 11 dalam Register
perkara tahap penuntutan (RP-9), mengarsip P-31 atau P-32, memilah tembusan
surat dan mendistribusikan dengan buku ekspedisi;
c. Kasubsi Tut membuat 3 (tiga) rangkap tanda terima surat pelimpahan perkara (P-
33) dan tanda terima penyerahan barang bukti (P-34);
d. JPU P-16A dibantu Kasubsi Tut melimpahkan ke pengadilan dengan tanda terima
berupa : 1 (satu) rangkap BP asli disertakan P-31 atau P-32, 2 (dua) rangkap P-29/
Catatan Penuntut Umum {(P-30) (jika APS)}, Surat perintah penunjukan JPU untuk
penyelesaian perkara tindak pidana (P-16A), Surat perintah penahanan/pengalihan
jenis penahanan (T-7), BA-7 atau BA-8, BA-5, BA-6, P-33 dan P-34.

E. Dalam hal perkara tidak termasuk wewenang Pengadilan Negeri dimana BP


dilimpahkan, sehingga ditolak oleh pengadilan karena bukan kompetensinya
i. Kepala Urusan Tata Usaha (Kaur TU) menerima surat penetapan
Pengadilan Negeri (PN) karena tidak berwenang mengadili dari Pengadilan

Modul Penuntutan 42
ii. Kepala Kejaksaan Negeri memberi disposisi kepada JPU P-16A untuk
membuat pendapat hukum melaksanakan penetapan atau melakukan
perlawanan
iii. JPU P-16A kemudian membuat nota dinas berisi pendapat hukum terhadap
surat penetapan PN kemudian meminta saran dan paraf dari Kasi Pidum
serta pendapat dari Kajari;
iv. JPU P-16 melimpahkan BP kepada Kejari di tempat PN yang tercantum
dalam surat penetapan PN, atau membuat Surat perlawanan JPU terhadap
penetapan Ketua PN (P-40) yang ditujukan kepada Ketua PT
v. P-40 ditandatangani oleh JPU P-16A dan disampaikan ke Ketua PT melalui
Ketua PN paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat penetapan PN
sebagaimana dimaksud dalam pasal 149 ayat (1) huruf a KUHAP

F. LATIHAN
1. Apa perbedaan antara pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa dengan
acara pemeriksaan singkat ?Jelaskan !
2. Jelaskan dalam hal apa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan.
Sebutkan dasar hukumnya !
3. Dalam hal apa pengadilan negeri berwenang mengadili perkara pidana yang terjadi
di luar daerah hukumnya?. Sebutkan dasar hukumnya !
4. Jelaskan tindakan penuntut umum terhadap penetapan hakim yang menyatakan
pengadilan tidak berwenang mengadili !
5. Latihan membuat surat pelimpahan perkara, P. 31.

Modul Penuntutan 43
BAB X
EKSEPSI/KEBERATAN

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat;
1. Memahami pengertian dan ruang lingkup eksepsi
2. Mampu membuat tanggapan terhadap eksepsi
3. Memahami putusan sela atas keberatan.
4. Mampu membuat perlawanan terhadap putusan sela (Pasal 156 ayat 3 KUHAP)

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Eksepsi.


Eksepsi adalah tangkisan/keberatan tersangka/penasihat hukum atas surat dakwaan
penuntut umum yang disampaikan di sidangpengadilan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP).
Ruang lingkup eksepsi (Pasal 156 ayat (1) KUHAP), ada 3 macam keberatan yaitu:
a. Keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili.
Eksepsi kompetensi dibagi menjadi dua yaitu kompetensi absolut (wewenang
mengadili 4 lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan
tata usaha negara, dan peradilan militer) dan kompetensi relatif (wilayah hukum dari
suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama)
b. Keberatan atas dakwaan tidak dapat diterima.
- Nebis in idem (dakwaan untuk perkara yang sama yang telah diputus dan
berkekuatan hukum tetap);
- Perkara daluwarsa/ telah lewat waktu (Pasal 78-82 KUHP)
- Tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sedang dalam pemeriksaan di
pengadilan negeri lain;
- Tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata yang harus
diselesaikan secara perdata;
c. keberatan surat dakwaan harus dibatalkan.
- hal ini terjadi apabila surat dakwaan tidak memenuhi syarat materiil (Pasal 143 ayat
(2) huruf b KUHAP).
B. Tanggapan JPU terhadap eksepsi
Kerangka pendapat penuntut umum terhadap keberatan tersangka / penasihat hukum.
1. Pendahuluan, meliputi :
a. Prakata
b. Obyek yang dapat diajukan keberatan
Modul Penuntutan 44
2. Materi Keberatan
Hanya menanggapi sepanjang keberatan termasuk dalam salah satu atau lebih obyek
keberatan
3. Analisis alasan keberatan
a. Apakah termasuk obyek keberatan atau bukan
b. Analisis agar keberatan tersebut ditolak / tidak diterima
4. Kesimpulan / Pendapat
a. Menolak semua keberatan terdakwa / Penasihat hukum.
b. Menyatakan pengadilan negeri berwenang mengadili perkaranya atau kewenangan
melakukan penuntutan terhadap perkara tersebut belum hapus, atau surat
dakwaanpenuntut umum / sah dan memenuhi syarat sebagai dasar pemeriksaan di
sidangpengadilan
c. Melanjutkan memeriksa perkara terdakwa.
5. Penutup.
Diberi tanggal dan ditandatangani penuntut umum

C. Putusan Sela dan Upaya JPU.


Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai pokok
perkara.Putusan sela diberikan setelah adanya keberatan-keberatan dari terdakwa dan/atau
penasihat hukumnya setelah penuntut umum menyatakan pendapatnya atau jawabannya.
Putusan sela berupa:
- Keberatan terdakwa dan/atau penasihat hukum diterima, sehingga perkara tersebut
tidak bisa diperiksa lebih lanjut. Terhadap putusan sela ini, penuntut umum dapat
mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi (Pasal 156 ayat (3) KUHAP)
- Keberatan terdakwa dan/atau penasihat hukum tidak dapat diterima atau diputus setelah
selesai pemeriksaan bersama dengan pokok perkara. Hal ini berarti bahwa sidang tetap
dilanjutkan.

D. LATIHAN
1. Sebutkan 3 macam obyek keberatan/eksepsi !.
2. Jelaskan bagaimana sikap penuntut umum apabila hakim menetapkan pengadilan
tidak berwenang mengadili, dakwaan tidak diterima atau dakwaan batal.
3. Buat kerangka pendapat penuntut umum terhadap keberatan terdakwa / PH.
Modul Penuntutan 45
BAB X
TEKNIK PEMERIKSAAN DAN PEMBUKTIAN DI PENGADILAN

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu :

1. Memahami jenis acara pemeriksaan di sidangpengadilan


2. Memahami prinsip-prinsip pemeriksaan di sidangpengadilan
3. Memahami syarat sah pemanggilan dan membuat surat panggilan
4. Memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan saksi, ahli, terdakwa, surat dan
barang bukti
5. Memahami perkara yang dapat diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat dan acara
pemeriksaan cepat
6. Membuat nota perlawanan dan pendapat penuntut umum terhadap keberatan terdakwa
7. Sistem pembuktian dan kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti
8. Memahami jenis alat bukti dan nilai masing-masing alat bukti
9. Menentukan dalam hal apa keterangan saksi, terdakwa, surat menjadi petunjuk
10. Menjelaskan nilai pembuktian berita acara pemeriksaan saksi yang dibacakan di
sidangpengadilan.
11. Memahami prinsip-prisip pembuktian.

I. TEKNIK PEMERIKSAAN
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang KUHAP dikenal ada tiga (3)
macam acara pemeriksaan di sidangpengadilanyaitu :
1. Acara Pemeriksaan Biasa;
Perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa adalah semua jenis
perkara pidana yang tidak diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat dan acara
pemeriksaan cepat. Dengan perkataan lain, perkara yang diperiksa dengan acara
pemeriksaan biasa adalah perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan penerapan
hukumnya, juga perkara-perkara penting dan yang menarik perhatian masyarakat
(pembunuhan, perkosaan dll)
2. Acara Pemeriksaan Singkat;
Perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat adalah perkara
kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk dan tidak diperiksa dengan acara
pemeriksaan cepat yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan
hukumnya mudah dan sifatnya sederhana (pencurian biasa, penganiayaan, dll).

Modul Penuntutan 46
3. Acara Pemeriksaan Cepat;
Acara pemeriksaan cepat terdiri dari dua macam :
a. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Tipiring).
Yaitu perkara kejahatan atau pelanggaran yang di ancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda yang tidak termasuk pelanggaran
lalu lintas jalan dan penghinaan ringan (semua kejahatan ringan dan pelanggaran
perda dll).
b. Acara Pemeriksaan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Yaitu semua perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan
lalu lintas jalan; dengan tidak mempersoalkan jenis dan berat ancaman pidananya
(kejahatan tidak termasuk).

I.1. PRINSIP PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN


Sebelum kita membahas masing-masing acara pemeriksaan di sidangpengadilan,
perlu terlebih dahulu membahas prinsip pemeriksaan di sidangpengadilan, yang berlaku
terhadap semua acara pemeriksaan di atas. Adapun prinsip pemeriksaan di
sidangpengadilan antara Iain :
1. Hakim memimpin sidangpengadilan
Artinya semua yang terjadi selama pemeriksaan di sidang harus atas persetujuan,
sepengetahuan atau kebijaksanaan hakim ketua sidang
2. Pemeriksaan dibuka dan terbuka untuk umum
Kecuali dalam pemeriksaan delik kesusilaan dan dalam pengadilan anak pemeriksaan
dilakukan acara tertutup, tetapi pembacaan dakwaan dan pembacaan putusan tetap
terbuka untuk umum.
3. Pemeriksaan secara Iisan dan dalam bahasa Indonesia
Kecuali apabila terdakwa, saksi ternyata bisu atu tuli tetapi bisa menulis maka
pertanyaan diajukan secara tertulis dan jawabannya pun tertulis baik pertanyaan
maupun jawaban harus dibacakan di depansidang terbuka untuk umum.
Dalam hal terdakwa atau saksi tidak bisa berbahasa Indonesia, Ketua Sidang
menunjuk juru bahasa yang bersumpah atau berjanji sesuai agamanya sebelum
menterjemahkan semua yang harus diterjemahkan
4. Pemeriksaan dilakukan secara bebas

Modul Penuntutan 47
Selama pemeriksaan baik saksi, ahli, terdakwa harus memberikan keterangan tanpa
paksaan atau tekanan ataupun ancaman baik phisik maupun psikis, tidak boleh
diajukan pertanyaan yang menjerat atau menyesatkan, terdakwa mempunyai hak
ingkar atau menyangkal dan diam.
5. Pemeriksaan dan putusan dengan hadirnya terdakwa
Dalam hal terdakwa sudah pernah hadir mengikuti sidang kemudian tidak hadir lagi
(melarikan diri) maka pemeriksaan dilanjutkan dan diputus diluar hadirnya terdakwa
(SEMA). Dalam hal terdakwa meninggal sebelum tuntutan pidana dibacakan, putusan
pengadilan : ” tuntutan tidak dapat diterima".
Dalam perkara korupsi, kalau terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di
sidang tanpa alasan yang sah maka perkara diperiksa dan diputus tanpa hadirnya
terdakwa.
4. Pemeriksaan lebih dahulu memeriksa saksi
Yang pertama kali diperiksa adalah korban yang menjadi saksi, akan tetapi kalau
korban tidak hadir pada sidang pertama dapat dilanjutkan dengan memeriksa saksi
yang sudah hadir. Saksi a de charge kalau ada diperiksa setelah semua saksi a charge
selesai diperiksa.
5. Anak umur dibawah 17 tahun tidak boleh menghadiri sidang
Yang dilarang apabila anak itu sebagai pengunjung sidang, akan tetapi sebagai saksi
atau terdakwa ia harus hadir.
6. Mengenakan pakaian sidang (toga)
Baik hakim, penuntut umum dan penasehat hukum wajib mengenakan toga selama
pemeriksaan berlangsung kecuali dalam pengadilan anak semua harus berpakaian
biasa yang sopan. Dalam acara pemeriksaan singkat penasihat hukum tidak wajib
memakai toga (SEMA)
7. Hakim tidak boleh menunjukkan sikap di sidang tentang keyakinan salah tidaknya
terdakwa. Prinsip ini juga berlaku bagi penuntut umum asas praduga tak bersalah
sampai putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.
8. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara pidana yang ia sendiri berkepentingan
Iangsung atau tidak langsung. Menurut pasal 220 ayat (4) KUHAP, ketentuan ini
berlaku juga bagi penuntut umum.
9. Hakim penuntut umum, panitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara
apabila terikat hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat ketiga atau
Modul Penuntutan 48
hubungan suami isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau dengan
penasehat hukumnya.
Apabila ia tidak mengundurkan diri atau diganti sementara perkara telah diputus,
maka perkara wajib diadili ulang dengan susunan yang Iain.

I.2. ACARA PEMERIKSAAN BIASA (PASAL 152 S/D 202 KUHAP)


Dalam hal pengadilan setelah menerima surat pelimpahan perkara berpendapat
bahwa perkara itu masuk wewenangnya, maka hakim yang ditunjuk segera menetapkan
hasil sidang.
Dengan surat penetapan hakim yang ditunjuk memerintahkan kepada penuntut
umum untuk memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidag pengadilan. Dalam
hal hakim menetapkan supaya terdakwa ditahan maka penuntut umum wajib
melaksanakan sesuai dengan bunyi penetapan dan membuat berita acara penahanan,
untuk kemudian melaporkan pelaksanaannya kepada hakim melalui paniteranya.
1. Panggilan datang ke sidang (Pasal 145, 146 KUHAP)
Guna membikin terang suatu tindak pidana baik karena melaksanakan penetapan
hakim atau memanggil terdakwa, saksi, ahli atau juru bahasa untuk datang ke
sidangpengadilan.
Saksi, ahli atau juru bahasa tanpa alasan yang sah menolak menjadi saksi, ahli atau
juru bahasa dapat dituntut pidana menurut Pasal 224 KUHP.
Syarat suratpanggilan :
a. Dibuat secara tertulis dan ditandatangani penuntut umum yang isinya
menyebutkan secara jelas untuk dan dalam hal apa ia dipanggil, serta
menyebutkan hari, tanggal, jam dan tempat pemeriksaan (pengadilan negeri) (P.
37).
b. Surat panggilan disampaikan langsung ke tempat kediaman terdakwa, saksi atau
ahli dan dibuatkan bukti tanda terima panggilan (relaas). Dan dalam hal tertentu
dapat disampaikan melalui atasan saksi (P. 38).
c. Dalam hal terdakwa ditahan surat panggilan disampaikan melalui Kepala Rutan.
d. Khusus untuk panggilan ahli harus ditujukan kepada institusinya dan ahli datang
ke sidang dengan surat tugas / penunjukkan dari instansinya
e. Surat panggilan harus sudah diterima minimal tiga hari antara diterimanya
panggilan dan hari ia harus memenuhi panggilan
Modul Penuntutan 49
f. Saksi yang tidak datang memenuhi panggilan, dipanggil sekali lagi dan dapat
diperintahkan kepada petugas untuk membawa
g. Tanda terima disampaikan kepada hakim melalui panitera pengganti yang
bersangkutan.
Tidak dipenuhinya ketentuan butir a sampai e diatas menyebabkan panggilan
tidak sah atau tidak mempunyai akibat hukum.

2. Pemeriksaan Sidang Hari Pertama (Pasal 154, 155 KUHAP)


Pada permulaan sidang hakim ketua sidang memerintahkan penuntut umum
menghadirkan terdakwa ke ruang sidang, kalau tidak hadir karena ia tidak ditahan,
memerintahkan untuk dipanggil sekali lagi dan kalau tetap tidak hadir ia dihadirkan
secara paksa pada sidang pertama berikutnya.
Pada permulaan sidang hakim Ketua Sidang menanyakan identitas terdakwa
yang harus sama dengan identitas pada BAP tersangka dan pada surat dakwaan. Dan
dalam hal tidak memenuhi syarat formil surat dakwaan tersebut menyebabkan surat
dakwaan dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Setelah hakim ketua sidang mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan
segala sesuatu yang terjadi di sidang, ia minta kepada penuntut umum membacakan
surat dakwaannya, apabila terdakwa menyatakan ia tidak mengerti maka penuntut
umum memberi penjelasan yang diperlukan, bukan membaca kembali surat dakwaan
yang telah dibacakan tetapi menjelaskan secara singkat. Oleh sebab itu dakwaan
tidak perlu dirumuskan panjang lebar.
3. Pendapat penuntut umum terhadap Keberatan Terdakwa atau Penasehat
Hukum (Pasal 156 KUHAP)
Terdakwa atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan terhadap surat
dakwaan yang telah dibacakan hanya dalam tiga hal, yaitu :
a. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya.
Dikatakan pengadilan tidak berwenang mengadili apabila tindak pidana yang
didakwakan tidak dilakukan didalam daerah hukum pengadilan yang
bersangkutan atau tidak termasuk salah satu dari ketentuan Pasal 84 ayat (2), ayat
(4), Pasal 85 dan Pasal 86 KUHAP yang telah dibahas pada bab sebelumnya.
b. Dakwaan tidak dapat diterima

Modul Penuntutan 50
Dikatakan dakwaan tidak dapat diterima apabila kewenangan melakukan
penuntutan telah hapus, sebagaimana diatur pada Bab VIII Buku I KUHP yaitu:
1) Pasal 75 dan karena pengaduan telah dicabut dalam tenggang waktu yang
ditentukan undang-undang.
2) Pasal 76; telah nebis in idem ;
3) Pasal 77, terdakwa telah meninggal dunial;
4) Pasal 78, perkaranya telah daluarsa;
5) Pasal 82, telah dibayarnya denda maksimal secara sukarela terhadap tindak
pidana yang hanya diancam pidana denda saja dan
Adapun terhadap tindak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang
dilakukan bukan termasuk obyek keberatan karena sudah termasuk pokok perkara
yang harus diputus dengan putusan "lepas dari segala tuntutan hukum”.
c. Surat dakwaan harus dibatalkan
Surat dakwaan harus dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat akta dan syarat
materil surat dakwaan. Dalam hal tidak memenuhi syarat formil surat dakwaan
dapat dibatalkan.
Selain dari tiga alasan tersebut keberatan harus ditolak atau tidak diterima,
seperti halnya karena merupakan perkara perdata masalah penangkapan / penahanan
yang tidak sah dan lain-Iain.
penuntut umum dalam pendapatnya harus bisa meyakinkan hakim bahwa
pengadilan tersebut berwenang mengadili atau kewenangan melakukan penuntutan
terhadap perkaranya belum hapus atau surat dakwaanpenuntut umum telah memenuhi
syarat dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Dalam hal keberatan diterima maka penuntut umum mengajukan perlawanan
ke pengadilan tinggi yang membawahkan pengadilan negeri tersebut. Akan tetapi
apabila penuntut umum menyadari kekeliruannya atau membenarkan keputusan
hakim; maka dalam hal keputusan menyatakan surat-dakwaan dibatalkan atau batal
demi hukum penuntut umum dapat memperbaiki surat dakwaannya untuk kemudian
dilimpahkan kembali ke pengadilan negeri yang sama dengan surat pelimpahan
perkara yang baru.
Akan tetapi kalau keputusan berbunyi dakwaan tidak diterima karena
kewenangan melakukan penuntutan telah hapus dan hal tersebut dibenarkan penuntut

Modul Penuntutan 51
umum, maka terhadap perkara tersebut tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan
dengan alasan apapun.
Dalam hal penuntut umum membenarkan bahwa perkara termasuk wewenang
pengadilan negeri lain, maka Kepala Kejaksaan Negeri menyerahkan berkas perkara
tersebut bersama dengan tersangka dan barang buktinya ke kejaksaan negeri setempat
untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri yang ditunjuk dalam surat keputusan hakim.

4. Pemeriksaan Saksi (Pasal 159 S/d 174 KUHAP)


Telah disinggung sebelumnya bahwa menjadi saksi merupakan salah satu
kewajiban setiap orang, menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan
ketentuan undang-undang yang berlaku (penjelasan Pasal 159 (2) KUHAP).
Namun menurut Pasal 168 KUHAP, tidak dapat didengar dan dapat
mengundurkan diri dari kewajiban menjadi saksi yaitu :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas, ke bawah atau kesamping
sampai dengan sederajat ketiga dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai
terdakwa (ayah, ibu, kakak, nenek, buyut, anak, cucu, cicit, paman, bibi, keponakan
dan saudara dari terdakwa baik dari garis keturunan ibu maupun dari garis
keturunan ayah)
b. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang sama-sama sebagai
terdakwa.
Dalam perkara korupsi hanya dibatasi sampai dengan derajat kedua dari
terdakwa dan suami atau isteri dari terdakwa.
Menurut Pasal 170 KUHAP, ada juga orang yang dapat minta kepada hakim
untuk dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi, yaitu :
a. orang yang karena pekerjaan, atau
b. orang yang karena jabatan, atau
c. orang yang karena harkat martabatnya diwajibkan menyimpan rahasia tentang hal
yang dipercayakan kepadanya.
Yang dimaksud dengan karena harkat dan martabat adalah petugas
agama.Dalam perkara korupsi yang dapat dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi
hanya petugas agama katholik saja
Sehubungan dengan adanya hak untuk menolak menjadi saksi, maka di
tingkat pra penuntutan kewajiban penuntut umum untuk meneliti BAP dari saksi
Modul Penuntutan 52
apakah saksi ada hubungan keluarga dengan terdakwa, kalau ada agar dipertegas oleh
penyidik apakah saksi tersebut akan tetap mau menjadi saksi di pengadilan.
Orang yang dapat didengar keterangannya sebagai saksi ialah orang yang
melihat sendiri atau mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu perkara pidana
atau yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Oleh sebab itu kepada
saksi tidak boleh diajukan pertanyaan yang bersifat pendapat, kesimpulan atau yang
didengar dari pengetahuan orang lain yang disebut dengan "testimonium de auditu”.
Pada hari sidang pemeriksaan saksi, hakim ketua sidang meneliti apakah
semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memerintahkan untuk mencegah jangan
sampai berhubungan antara satu dengan yang lain sebelum memberikan keterangan di
sidang keterangan saksi harus diberikan secara bebas dan obyektif.
Oleh sebab itu penuntut umum memperhatikan dan mencegah jangan sampai
ada saksi yang hadir di ruang sidang sebelum memberikan keterangan di sidang.
Saksi diperiksa seorang demi seorang dan yang pertama kali diperiksa adalah
saksi korban untuk kemudian sesuai urutan yang dipandang perlu oleh penuntut
umum.
Sebelum memberikan keterangan saksi wajib bersumpah terlebih dahulu
bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari
sebenarnya menurut cara agama masing-masing.
Dalam hal saksi menolak untuk bersumpah atau berjanji tanpa alasan yang sah
ia dapat disandera di Rutan paling lama empat belas hari. Kalau ia tetap menolak
untuk bersumpah atau berjanji maka ia tetap diperiksa keterangannya bukan
merupakan alat bukti seperti akan diterangkan nanti.
Dilain pihak ada juga orang yang oleh undang-undang dilarang atau
dibenarkan untuk tidak bersumpah / berjanji sebelum memberikan keterangan sebagai
saksi, yaitu :
a. Keluarga sedarah atau semenda sampai dengan sederajat ketiga dengan terdakwa
atau suami istri terdakwa meskipun telah bercerai, tetapi bersedia menjadi saksi
akan tetapi tidak dikehendaki oleh penuntut umum dan / atau terdakwa.
b. Anak yang menjadi saksi yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum kawin.
c. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa yang kadang-kadang ingatannya baik
kembali yang disebut "psychopaat”

Modul Penuntutan 53
Nanti juga kita lihat bahwa keterangannya bukan mempunyai nilai Sebagai
alat bukti keterangan saksi.
Dalam hal saksi memberikan keterangan di Sidang berbeda dengan
keterangannya dalam BAP saksi, maka menurut Pasal 163 KUHAP ia diperingatkan
dan kalau keterangannya juga berbeda dengan keterangan saksi yang diberikan di
Sidang di bawah sumpah atau janji atau berbeda dengan alat bukti Sah yang lain, maka
penuntut umum dapat minta kepada hakim ketua Sidang agar saksi tersebut ditahan
dan dituntut karena melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu. (Pasal
174 KUHAP.
Hakim Ketua Sidang, Hakim Anggota, Penuntut Umum, Penasihat Hukum
dan juga Terdakwa secara berurutan mengajukan pertanyaan kepada saksi dan saksi
menjawab sepanjang belum ditanyakan dan belum dijawab. Oleh karena yang harus
membuktikan dakwaan adalah penuntut umum, maka ia harus siap untuk mengajukan
pertanyaan pertama kali, dan pada saat itu benar-benar menggunakan kesempatan
untuk mendapatkan fakta sesuai yang ada dalam surat dakwaan sepanjang yang saksi
ketahui. Sebaliknya apabila dari pertanyaan-pertanyaan hakim ketua dan atau hakim
anggota fakta yang diperlukan dari saksi tersebut dianggap sudah cukup, maka ketika
ia diberi kesempatan untuk bertanya ia tidak perlu bertanya lagi.
Setiap kali saksi selesai memberikan keterangan hakim ketua Sidang
menanyakan kepada terdakwa tentang pendapatnya mengenai keterangan saksi
tersebut.
Setelah saksi selesai memberikan keterangan ia tetap berada di ruang Sidang
kecuali hakim ketua Sidang membolehkan meninggalkan Sidang setelah mendengar
pendapat penuntut umum dan penasehat hukum.
Dalam hal ada saksi yang tidak termasuk dalam surat pelimpahan perkara
(berKas perkara) yang oleh penuntut umum dipandang panting untuk didengar
keterangannya, maka atas permintaan penuntut umum hakim ketua Sidang wajib
mendengar keterangan saksi tersebut.Hal ini berlaku juga bagi terdakwa atau penasihat
hukumnya.
Setelah semua saksi dari penuntut umum selesai diperiksa, hakim ketua
Sidang memberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya untuk
mengajukan saksi a de charge.

Modul Penuntutan 54
Jika saksi sudah memberikan keterangan di penyidikan, karena halangan yang
sah tidak bisa hadir di Sidang atau tidak dipanggil karena tempat tinggalnya jauh, atau
sebab lain, maka keterangannya dalam BAP Saksi dibacakan.

5. Pemeriksaan Ahli (Pasal 179 dan 180 KUHAP)


Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduk persoalan yang timbul di
Sidangpengadilan, hakim ketua Sidang karena kewenangannya atau karena atas
permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dapat minta
keterangan ahli dari seorang ahli.
Orang yang diminta pendapatnya Sebagai ahli wajib datang memberikan
keterangan di Sidang sekalipun di penyidikan ia telah memberikan keterangan baik di
depan penyidik dalam bentuk BAP ahli maupun dalam bentuk ”laporan ahli".
Yang dapat memberikan keterangan Sebagai ahli ialah seorang yang memiliki
keahlian khusus dalam bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana.
Sebelum memberikan keterangan di Sidangpengadilan ahli wajib bersumpah
atau berjanji menurut keyakinan agamanya, sekalipun ketika diperiksa di penyidikan
ia telah bersumpah sebelum memberikan keterangan atau keterangan yang diberikan
dalam bentuk laporan ahli telah diberikan dibawah sumpah atau dikuatkan dengan
sumpah
Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum keberatan dengan keterangan ahli
yang diajukan penuntut umum, ia melalui hakim ketua sidang atau atas Kewenangan
hakim ketua Sidang sendiri dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang.
Penelitian ulang dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang
berbeda atau boleh instansi lain yang mempunyai Wewenang untuk itu.
penuntut umum sendiri juga benwenang untuk mengajukan ahli yang tidak
tercantum dalam surat pelimpahan perkara.
Apabila keterangan ahli yang diajukan penuntut umum berbeda dengan
pendapat ahli yang diajukan oleh penasihat hukum, maka penuntut umum dalam surat
tuntutannya nanti harus hisa meyakinkan hakim bahwa pendapat ahli yang
menguntungkan penuntutan yang benar

Modul Penuntutan 55
Dalam hal ahli telah memberikan keterangan di penyidikan berhalangan hadir
atau tidak dipanggil karena tempat tinggalnya jauh maka keterangannya dalam BAP
ahli atau dalam laporan ahli dibacakan sidang (nanti merupakan alat bukti surat).
Semua ketentuan yang telah dibahas mengenai saksi berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan sebagai ahli( pasal 179 ayat (2) KUHAP).

6. Pemeriksaan Surat dan Barang Bukti (Pasal 181 KUHAP)


Setiap surat, pembukuan atau dokunnen lain yang telah disita oleh penyidik
secara sah diajukan dan dibacakan di Sidangpengadilan ditunjukan kepada saksi, ahli
dan terdakwa untuk diminta tanggapannya mengenai isi surat tersebut
Demikian juga halnya dengan barang bukti yang telah disita secara sah
diajukan di Sidang dan diperlihatkan, baik kepada saksi yang terkaif dengan barang
bukti tersebut maupun kepada terdakwa dan.selanjutnya minta keterangan atau
tanggapan mengenai barang bukti tersebut.
Seperti akan dijelaskan nanti bahwa fungsi barang bukti diajukan ke
sidangpengadilan adalah untuk :
a. Memberi status terhadap barang bukti tersebut.
b. Untuk dijadikan alat bukti.
Oleh sebab itu surat atau barang bukti yang tidak diajukan ke sidangpengadilan tidak
akan dipertimbangkan hakim dalam putusannya.

7. Pemeriksaan Terdakwa (Pasal 175 s/d 178 KUHAP)


Terdakwa mempunyai hak ingkar dan hak menolak menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya, dalam hal terjadi demikian ia diperingatkan dan setelah itu
pemeriksaan dilanjutkan. Keterangan terdakwa apa yang terdakwa nyatakan di Sidang
sepanjang mengenai apa yang ia ketahui, ia lakukan sendiri atau yang ia alami sendiri.,
Dalam hal terdakwa menyangkal di Sidang maka keterangannya dalam berita
acara pemeriksaan, di penyidikan dibacakan dan keterangannya dalam BAP tersangka
dan BA-15 dijadikan alat bukti apabila bersesuaian dengan keterangan saksi yang
diberikan di bawah sumpah di pengadiian, akan dibahas pada bab berikutnya. Untuk itu
tidak ada faedahnya memanggil dan memeriksa penyidik yang memeriksa ketika di
penyidikan.

Modul Penuntutan 56
Jika tersangka beningkah laku yang tidak patut yang menganggu ketertiban
Sidangia diperingatkan dan kalau tidak diindahkan ia dikeluarkan dari ruang Sidang
dan pameriksaan pada saat itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.

8. Pemeriksaan dinyatakan selesai.


Setelah pemeriksaan terdakwa dan barang bukti selesai, maka hakim ketua
sidang menyatakan pemeriksaan selesai. Namun demikian, apabila dianggap perlu baik
karena kewenangan hakim ketua sidang atau karena atas permintaan penuntut umum
atau terdakwa sidang dapat dibuka sekali lagi sebelum hakim mengadakan musyawarah
untuk mengambil putusan.

I.3. ACARA PEMERIKSAAN SINGKAT (Pasal 203 dan 204 KUHAP)


Perkara pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan Singkat ialah kejahatan
atau pelanggaran yang tidak diperiksa dengan acara cepat dan yang menurut penuntut
umum pembuktian dan penerapan hukumnya mudah Serta sifatnya sederhana.
Sebagai Contoh: Pencurian pasal 362 atau penganiayaan pasal 351 KUHP yang
terdakwanya mengaku, saksi-saksi membenarkan, barang bukti ada dan dapat di eksekusi
segera putusan mempunyai kekuatan hukum tetap,
Dalam acara pemeriksaan singkat berlaku ketentuan yang mengatur acara
pemeriksaan biasa, kecuali :
a. Tidak dikenal surat pelimpahan perkara karena penuntut umum pada nan Sidang yang
telah ditentuka menghadapkan terdakwa, saksi, ahli, juru bahasa (kalau diperlukan) dan
barang bukti ke Sidangpengadilan. Bahwa dalam praktek dikenal (P-32) tujuannya
untuk memperlancar pemeriksaan perkaranya.
b. Karena tidak ada pelimpahan perkara maka tidak ada juga surat dakwaan yang ada
adalah Catatan tindak pidana yang didakwakan yang diberitahukan dengan lisan dan
dicatat dalam berita acara Sidang Sebagai pengganti surat dakwaan.
Dalam praktek dikenal (P. 30) tujuannya untuk mempermudah penuntut umum
menjelaskan tindak pidana yang didakwakan.
c. Hakim dapat memerintahkan penuntut umum melakukan pemeriksaan tambahan dalam
waktu empat belas hari.
d. Putusan hanya dicatat dalam berita acara Sidang Dalam praktek acara pemeriksaan
Singkat dilakukan dengan hakim tunggal dan apabila pemeriksaan tidak bisa
Modul Penuntutan 57
dilaksanakan pada hari itu atau dakwaannya dibuat dalam bentuk alternatif, subsidiair
atau Kumulasi, hakim biasanya menganjurkan agar diajukan dengan acara pemeriksaan
biasa.
Dalam hal perkara tersebut jelas dan ringan yang seharusnya diperiksa dengan acara
pemeriksaan cepat, maka hakim minta persetujuan terdakwa untuk melanjutkan
pemeriksaan tersebut dengan acara pemeriksaan singkat.

I.4. ACARA PEMERIKSAAN CEPAT (PASAL 205 S/D 216 KUHAP)


1. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Pasal 205 s/d 210 KUHAP).
Yang diperiksa dengan acara tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam
pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan penghinaan ringan (mengenai
ancaman pidana denda tidak lagi berpegang pada Rp.7.500,-).
Jadi semua tindak pidana ringan diadili dengan acara pemeriksaan cepat.Dalam
acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak dihadiri penuntut umum karena penyidik
atas kuasa penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan berwenang tiga hari
setelah berkas selesai dibuat dengan menghadapkan terdakwa, saksi, ahli, juru bahasa
dan barang bukti.
Pengadilan mengadili dengan hakim tunggal dan putusannya tidak dapat
diajukan banding, kecuali terhadap putusan perampasan kemerdekaan
Saksi diperiksa dengan tidak disumpah dan dengan satu alat bukti saja hakim
yakin atas kesalahan tersebut.

2. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan (Pasal 211 S/d 216
KUHAP, jo UU No, 22 I 2009)
Yang diperiksa dengan acara pemeriksaan ini ialah semua pelanggaran tertentu
terhadap perundang-undangan lalu lintas jalan.
Jadi kalau perkaranya merupakan kejahatan meskipun teroantum dalam undang-undang
lalu Iintas jalan tidak diadili dengan acara pemeriksaan ini.
Terdakwa hadir di ruang sidang pada hari, tanggal, jam tersebut pada surat tilang dan
dapat menunjuk seorang untuk mewakilinya
Pemeriksaan dapat dilakukan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan
disampaikan kepada terpidana.

Modul Penuntutan 58
Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan berupa putusan
perampasan kemerdekaan terdakwa dapat melakukan perlawanan ke pengadilan yang
menjatuhkan putusan tersebut dalam waktu tujuh hari setelah putusan diterima.Jika
putusan pengadilan tetap merupakan putusan perampasan kemerdekaan, terdakwa
dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi, yang putusannya merupakan putusan
akhir, tidak bias diajukan kasasi.
Dalam hal putusan berupa putusan denda maka narus dibayar seketika, atau diganti
dengan pidana kurungan pengganti denda yang lamanya disebut dalam amar putusan.
Dalam acara pemeriksaan ini tidak ada terlibat penuntut umum yang ada adalah jaksa
eksekutor menerima pembayaran denda dan biaya perkara Serta mengembalikan
barang bukti pada hari itu juga.
Putusan pengadilan dalam acara pemeriksaan Cepat tidak dibuat tersendiri tetapi hanya
dicatat dalam berkas perkara atau register perkara.

I.5. LATIHAN
1. Sebutkan tiga macam acara pemeriksaan di pengadilan dan sebutkan perbedaan antara
acara pemeriksaan yang satu dengan yang lain.
2. Jelaskan minimal sepuluh prinsip pemeriksaan di pengadilan
3. Apa syarat pemanggilan dan apa akibatnya kalau syarat itu tidak dipenuhi
4. Apa sikap penuntut umum apabila hakim menetapkan pengadilan tidak berwenang
mengadili.
5. Buat kerangka pendapat penuntut umum terhadap keberatan penasihat hukum
6. Apa syarat untuk menjadi saksi dan siapa saja yang tidak boleh didengar
keterangannya sebagai saksi
7. Siapa saja yang diperiksa sebagai saksi tidak disumpah ?.
8. Apa fungsi barang bukti diajukan dan diperiksa di sidangpengadilan ?.
9. Apa tindakan penuntut umum kalau terdakwa menyangkal di siding ?.

II. PEMBUKTIAN
II.1. Pengertian
Pembuktian merupakan titik sentral hukum acara pidana, sejak
tingkatpenyidikan, pra penuntutan, membuat surat dakwaan, pemeriksaan di

Modul Penuntutan 59
sidangpengadilan, tuntutan pidana, putusan pengadilan bahkan sampai tingkat
upayahukum yang dipermasalahkan adalah masalah pembuktian.
Pembuktian, ialah serangkaian tindakan aparat peradilan untuk mencari
bukti permulaan, bukti dan alat bukti dalam hal dan menurut cara yang di atur
olehundang-undang guna menentukan apakah suatu peristiwa dapat dilakukan
penyidikan, menentukan tindak pidana yang terjadi dan siapa tersangkanya
dandengan alat bukti diperoleh keyakinan benar terjadi tindak pidana dan
siapapelakunya.
Menurut M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya "Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP" :
“Pembuktian adalah ketentuan-ke-tentuan yang berisi penggarisan dan
pedomantentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan-kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga
merupakanketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-
undang danyang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan terdakwa.”
Pengertian menurut M. Yahya Harahap adalah pembuktian khusus di
pemeriksaan di sidang pengadilan tidak termasuk pembuktian di tingkat
penyelidikandan di tingkat penyidikan.
Pada tahap penyelidikan tugas pokok penyelidik adalah mencari bukti
permulaan gunamenentukan apakah peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
bias dilakukan penyidikanpada tahap penyidikan penyidik mencari
danmengumpulkan bukti dan dengan bukti-bukti tersebut menentukan
ataumembuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan menemukantersangkanya
sedangkan di sidang pengadilanpenuntut umum, terdakwa dan hakimmencari dan
memperoleh alat bukti dan dengan alat bukti tersebut penuntut umum dan hakim
yakin telah terjadi tindak pidana dan terdakwa terbuktibersalah melakukannya atau
sebaliknya.

II.2. Sistem Atau Teori Pembuktian Dan Kekuatan Pembuktian Masing-Masing


Alat Bukti
1. Sistem atau Teori Pembuktian
Dikenal empat teori atau Sistem pembuktian, yaitu

Modul Penuntutan 60
a. Conviction intime atau Sistem Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
belaka. Artinya bersalah tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnyapenilaian
keyakinan hakim semata-mata.
b. Positief Wettelijk atau Sistem pembuktian menurut undang-undang
Secarapositif. Artinya bersalah tidaknya terdakwa semata-mata didasarkan
atas ada tidaknya alat bukti dan menurut undang-undang Sistem ini
mengesampingkan keyakinan hakim.
c. Laconviction Raisonee atau sistem pembuktian berdasar keyakinan hakimatas
alasan logis. Sistem ini juga menganut keyakinan hakim akan
tetapikeyakinannya tersebut harus didasarkan atas alasan - alasan yang
logis.Jadi raisoning itu harus reasonable.
d. Negatief Wettelijk Stelsel atau Sistem Pembuktian berdasar undang-undang
secaranegatif.
Artinya terdakwa baru dinyatakan bersalah jika hakim yakin
dankeyakinannyaitu harus didasarkan atas alat-alat bukti alat yang sah
menurut undang-undang.
Jadi sistem ini merupakan perpaduan antara Conviction intime dan Positief
Wettelijk Stelsel.
Dari empat sistem ini yang dianut hakim dan penuntut umum dalammemutus
dan menuntut terdakwa adalah sistem Negatief Wettelijk Stelsel.Hal ini
didasarkan pada Pasal 183 KUHAP dan Pasal 8 ayat (3) UU No. 16Tahun
2004 tentang Kejaksaan Rl.
Bunyi Pasal 183 KUHAP:
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabiladengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperolehkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Bunyi Pasal 8 ayat (3) UU No. 16 tahun 2004:


"Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,Jaksa
melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah".
Jadi baik hakim maupun penuntut umum menganut sistem pembuktian
undang-undang secara negatif.Kekeliruan sebagian penuntut umum
Modul Penuntutan 61
dalammenyusun tuntutan pidana karena seolah-olah yang
membuktikankesalahan terdakwa adalah alat bukti petunjuk, bukan keyakinan
yangdiperoleh dari alat-alat bukti yang sah.
Yang dimaksud dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
adalahharus ada minimal dua alat bukti sah yang saling bersesuaian antara
satudengan yang lain baru hakim juga penuntut umum boleh
yakin.Sebaliknya meskipun telah diperoleh lebih dari dua alat bukti hakim
tidak wajib untukmeyakini fakta atau kejadian yang diperoleh dari alat bukti-
alat buktitersebut karena hakim bebas untuk menilai setiap alat bukti
untukmembentuk keyakinannya atau tidak.

2. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti( bewijs kracht )


Di atas telah disinggung bahwa hakim bebas untuk menilai
kebenaransetiap alat bukti untuk membentuk keyakinannya.Dalam perkara
pidana setiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan
tidaksempurna.Hakim bebas menilai kebenaran fakta yang diperoleh dari
alatbukti tersebut meskipun dari segi formalitas alat bukti sah menurut undang-
undang.
Lain halnya dalam perkara perdata di mana hakim menganut
sistempembuktian undang-undang secara positif, di sini hakim tidak boleh
menilaikebenaran suatu alat bukti.Apa yang diakui oleh tergugat harus diterima
hakim sebagai suatu kebenaran, dalam perkara pidana pengakuanterdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan ia bersalah. dalam perkaraperdata surat otentik
merupakan alat bukti sempurna, hakim harusmenerima isi akta otentik sebagai
suatu kebenaran kecuali bisa dibuktikanbahwa akta itu palsu. Dalam perkara
pidana hakim bebas menilaikebenaran alat bukti surat sekalipun akta otentik.
Jadi dalam perkara perdata yang menganut sistem pembuktian positif
wettelijk theorie, alat bukti yang memenuhi syarat formalitas
mempunyaikekuatan pembuktian sempurna sebaliknya dalam perkara pidana
yang menganut sistem Negatief Wettelijk Theorie mempunyai kekuatan
pembuktian bebas.
Di sinilah tugas penuntut umum bukan sekadar hanya mengumpulkan
alatbukti akan tetapi yang penting adalah bagaimana agar supaya dengan alat
Modul Penuntutan 62
bukti tersebut hakim bisa yakin. Caranya adalah bagaimanapenuntut umum bisa
membuktikan bahwa fakta itu adalah benar karena telah diperoleh dari
persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Dalam praktek hal-hal yang demikian jarang dianalisis penuntut
umumdalam surat tuntutannya. penuntut umum dalam uraian
tuntutannyamembuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti, bukan
dengankeyakinan yang diperoleh dari alat bukti.

II.3. Prinsip Pembuktian, antara lain :


1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (notoire
feiten)Maksudnya suatu keadaan atau kejadian A atau peristiwa yang sudah
merupakan pengetahuan atau pendapat umum bahwa keadaan, kejadianatau
peristiwa itu selalu akan terjadi demikian, atau berakibat demikian.
Contoh :
a. Korban disulut dengan api mengakibatkan luka bakar, tidak perludibuktikan
apakah api bisa membakar;
b. Seorang ibu karena takut akan melahirkan anak; tidak perlu dibuktikanapakah
ibu itu perempuan;
2. Satu saksi, bukan saksi (Unnus Testis Nullus Testis)
Keterangan satu orang: saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahanterdakwa,
akan tetapi keterangan dua orang saksi merupakan dua alatbukti. Prinsip ini
sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari sistern pembuktian Negatief
Wettelijk yang dianut KUHAP.
3. Keterangan Saksi dan Terdakwa tidak sah kalau diperoleh dari pertanyaanyang
menjerat atau menyesatkan
Pertanyaan kepada terdakwa seolah-olah Sudah mengakui perbuatanpadahal hal
itu belum pernah diakui sebelumnya.
Pertanyaan kepada saksi seolah-olah sudah dinyatakan sebelumnyapadahal hal
itu belum pernah dinyatakan sebelumnya.
Contoh :
a. Kepada terdakwa ditanyakan dimana barang itu saudara simpan; padahalia
belum pernah mengakui mengambil barang itu.
Modul Penuntutan 63
b. Kepada saksi ditanyakan dimana saudara beli barang itu, padahal saksibelum
pernah mengakui memiliki barang tersebut.
4. Keterangan saksi yang diperoleh dari pengetahuan orang lain bukan alat
bukti(testimonium de auditu)
Saksi menerangkan sesuatu bukan dari penginderaannya sendiri akan
tetapidiketahui atau diperoleh dari orang lain.
5. Keterangan atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup membuktikan tindak
pidana yang didakwakan.
Prinsip ini juga merupakan konsekuensi logis dari sistem membuktikannegatief
wettelijk stelsel.
Lain halnya dalam acara pemeriksaan cepat dimana dengan satu alat buktisaja
(pengakuan terdakwa saja) sudah cukup meyakinkan atas kesalahanterdakwa
(Penjelasan pasal 184 KUHAP).
6. Keterangan terdakwa hanya berlaku (mengikat) bagi dirinya sendiri
Dalam hal terjadi delik penyertaan dimana para terdakwa diajukan bersama-
sama maka keterangan terdakwa yangsatu tidak dapatdigunakan membuktikan
kesalahan terdakwa yang lain.Pada dasarnya KUHAP tidak mengenal istilah
saksi mahkota untuk ituperlu dicatat Putusan Mahkamah Agung RI, dalam kasus
kematian gadisMarsinah di Sidoarjo, masing-masing dalam perkara:
a. No. 1174 K/Pid/1994, an terdakwa Ny. Mutiari, SH
b. No. 429 K/Pid/1995, an terdakwa Yudi Susanto
c. No. 391 K/Pid/1991, an terdakwa Yudi Astono
d. No. 1590 WPid/1994, an terdakwa Karjono Wongso
e. No. 1592 K/Pid/1994, an terdakwa Bambang Wuryanto, Cs
f. No. 1706 K/Pid/1994, an terdakwa Suwono Cs.
Semua terdakwa tersebut di atas dinyatakan tidak bersalah dandibebaskan dari
semua dakwaan, dengan salah satu pertimbangannya antara lain bahwayudex
factie salah menerapkan hukum pembuktian dalam masing-masingperkaranya
dengan dakwaan yang sama, dipecah-pecah hal demikianbertentangan KUHAP
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
7. Alat bukti saksi diperoleh dari atau berdasarkan sumpah janji atau dikuatkan
dengan sumpah.

Modul Penuntutan 64
Dikecualikan dari prinsip ini adalah alat bukti keterangan terdakwa dan,petunjuk
yang diperoleh dari keterangan terdakwa.
Saksi, ahli, juru bahasa sebelum memberikan keterangan atau sebelum
menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia harus bersumpah atauberjanji.

II.4. Alat Bukti ( Bewijs Middel )


Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti sah yaitu :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Keterangan terdakwa
5. Petunjuk

1. Alat Bukti Keterangan Saksi


a. Pengertian keterangan saksi adalah keterangan dari saksi mengenaiSuatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Jadi keterangan saksi sebagai alat bukti, harus :
 Diberikan oleh seorang saksi
 Peristiwanya didengar sendiri oleh saksi, atau dilihat sendiri oleh saksi atau
peristiwa itu dialami sendiri oleh saksi. Jadi keterangan saksi tidak boleh
berupa kesimpulan, pendapat, , asumsi, perkiraan atau hasil pemikiran orang
lain
 Harus bisa menjelaskan alasan pengetahuannya. Hakim akan menilai apakah
keterangan saksi tersebut rasional, logis atau masuk akal. Hakim akan
mengesampingkan keterangan saksi yang menurut penilaiannya tidak logis
dengan memberikan alasan pertimbangannya.
b. Syarat sah Alat Bukti Keterangan Saksi
1. Diberikan di sidangpengadilan
Artinya saksi harus datang memberikan keterangan di sidangpengadilan
2. Sebelum memberikan keterangan saksi harus bersumpah atauberjanji
menurut keyakinan agamanya bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya. Bahwa saksi
Modul Penuntutan 65
dimungkinkan bersumpah lagi setelah memberikan keterangan bukan
sebagai syarat akan tetapi untukmenambah keyakinan hakim
3. Keterangan saksi harus tentang apa yang ia dengar sendiri, atauyang ia lihat
sendiri atau yang ia alami sendiri dan harus bisamenjelaskan alasan
pengetahuannya itu.
4. Keterangan saksi harus dalam hal dan menurut cara yang diaturdalam
undang-undang artinya saksi harus memberikan keterangandalam keadaan
bebas, tidak boleh ditekan, dipaksa, diintimidasi dan lain-lain untuk
menerangkan sesuatu. Tidak boleh diajukan pertanyaan yang menjerat dan
harus dalam bahasa Indonesiaatau melalui penerjemah.
c. Nilai keterangan saksi sebagai alat bukti
1. Hanya keterangan saksi yang memenuhi syarat-syarat diatas yangdapat
diterima sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.
2. Keterangan saksi mempunyai nilai sama dengan bukti keterangansaksi
Saksi tidak datang ke sidangpengadilan, keterangannya dipenyidikan telah
diberikan di bawah sumpah, dibacakan disidangpengadilan (pasal :116
(1),162 (1)(2)
3. Keterangan saksi sebagai alat bukti petunjuk
 Saksi tidak datang ke sidangpengadilan, keterangannya di penyidikan
diberikan tidak di bawah sumpah / janji, dibacakan di sidang bersesuaian
dengan keterangan saksi yang diberikan di pengadilan dibawah sumpah.
 Saksi memberikan keterangan di sidang tidak di bawah sumpah karena
undang-undang membenarkan tidak bersumpah, keterangannya
bersesuaian dengan keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah
dipengadilan
 Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau peristiwa yang ada hubungannya satu dengan yang lain,
sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau peristiwa tertentu.
 Keterangan saksi melalui teleconference, yang diberikan di bawah sumpah
sepanjang bersesuaian dengan keterangan saksi yang diberikan di
pengadilan di bawah sumpah

Modul Penuntutan 66
4. Sekadar menambah keyakinan hakim
Saksi memberikan keterangan tidak disumpah tanpa alasan yang
sah,keterangannya bersesuaian dengan keterangan saksi yang diberikandi
bawah sumpah tidak mempunyai nilai pembuktian (bukan alat
bukti)nilainya sekadar menambah keyakinan hakim.
5. Tidak mempunyai nilai pembuktian sama sekali
 Keterangan saksi yang diperoleh dari pengetahuan orang lain
(testimonium de auditu)
 Keterangan saksi berdiri sendiri berbeda dengan keterangan saksi yang
lain atau dengan alat bukti sah yang lain
 Keterangan saksi yang merupakan keterangan palsu
 BAP saksi tidak diberikan di bawah sumpah dibacakan di sidang
keterangan berbeda dengan keterangan saksi yang diberikan di sidang di
bawah sumpah
d. Cara menilai kebenaran keterangan saksi
1. Bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain
2. Bersesuaian dengan alat bukti sah yang lain
3. Alasan yang digunakan saksi memberikan keterangan
4. Cara nidup dan kesusilaan saksi dan segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itudipercaya
e. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Keterangan Saksi
Alat bukti keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian bebas
tidaksempurna dan oleh karenanya tidak mengikat hakim.Hakim bebas
untukmenilai kebenaran suatu keterangan saksi. Tugas penuntut umumlahuntuk
meyakinkan hakim atas kebenaran keterangan saksi

2. Alat Bukti Keterangan Ahli


a. Pengertian
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu tentang hal yangdiperlukan
untuk membuat terang suatu perkara guna kepentinganpemeriksaan.

Modul Penuntutan 67
Keahlian khusus bisa diperoleh berdasarkan keilmuan melalui
pendidikanformal seperti halnya dokter ahli forensik, akan tetapi dapat juga
diperoleh berdasarkan pengalaman yang secara terus menerus bisa
membuktikan kebenaran pendapatnya.
Menurut HIR keterangan ahli bukan merupakan alat bukti yang sah, ia
hanya dapat digunakan untuk menambah keyakinan hakim, itulah sebabnya
maka menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP petunjuk tidak bisadiperoleh dari
keterangan ahli, karena pasal 188 ayat (2) KUHAP mengadopsipasal 311 HIR.
Keterangan ahli hanya diperlukan apabila penyidik, penuntut umum
danhakim menganggap perlu untuk menjernihkan suatu persoalan yangtimbul
dalam suatu perkara.Jadi kalau persoalannya sudah jelas tidakdiperlukan lagi
keterangan seorang ahli.
b. Syarat sah alat bukti keterangan ahli
1). Diberikan oleh seorang ahli
Ahli tersebut bisa dari kalangan akademisi, lembaga, instansi
atauperorangan
2). Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu
Untuk memberikan keterangan mengenai luka, keracunan ataumati harus
oleh dokter ahli kedokteran kehakiman, keteranganyang diberikan dokter
atau ahli lainnya hanya disebut keterangan, bukan keterangan ahli
3). Bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan
Seorang yang telah bersumpah ketika memberikan keterangan didepan
penyidik dan ketika ia dipanggil menjadi ahli di sidangpengadilan, sebelum
memberikan keterangan disidang ia wajib bersumpah lagi.
4). Menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya
Yang dimaksud dengan menurut pengetahuannya adalah menurutdisiplin
ilmunya. Lafas sumpah seorang ahli, bahwa ia bersumpah atau berjanji akan
memberikan keteranganyang sebaik-baiknyadan sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
c.Nilai Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti
1. Menurut Pasal 186 KUHAP; keterangan ahli apa yang ahli nyatakan di
sidangpengadilan

Modul Penuntutan 68
Jadi ahli yang sudah memberikan keterangan di penyidikan atau telah
memberikan keterangan dalam bentuk laporan ahli harus hadir
disidangpengadilan
Jadi ahli yang sudah memberikan keterangan dalam bentuk laporan ahli
harus hadir di sidangpengadilandengan membawa data-datayang diperlukan,
keterangan yang diberikan merupakan alat buktiketerangan ahli.Apabila
tidak hadir di sidang pengadilan maka laporan ahli tersebut menjadi alat
bukti surat (pasal 187c KUHAP)
2. Menurut Penjelasan Pasal 186 KUHAP; keterangan ahli dapat jugaSudah
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
diterangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat denganmengingat
sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan
Laporan ahli tersebut dibacakan di Sidangpengadilan karena ahliyang
bersangkutan tidak datang ke Sidang diperoleh alat buktiketerangan ahli.
3. Ahli tidak datang disidang, BAP ahli di penyidikan ,yang telah diberikan
dibawah sumpah, dibacakan di Sidang nilainya sama dengan alat
buktiketerangan ahli (Pasal 120 (2), Pasal 179 (2), jo Pasal 162 (2)
KUHAP).Dalam praktek persidangan keterangan ahli baik dalam bentuk
laporan ahli maupun dalam BAP ahli yang sudah diberikan di bawahsumpah
dibacakan di Sidang dianggap Sebagai alat bukti surat (Pasai187 C, akan
dibahas dibawah nanti).
Dalam praktek seorang ahli dipanggil dalam surat panggilan Sebagaisaksi
ahli, surat panggilan ini tidak sah karena undang-undang tidak mengenal
saksi ahli, yang ada saksi atau ahli.
d. Kekuatan Pembukti Alat BuktiKeterangan Ahli
Sama halnya dengan alat bukti keterangan saksi, kekuatan
pembuktianketerangan ahli juga mempunyai kekuatan pembuktian bebas
tidaksempurna, karenanya tidak mengikat hakim.
Di atas sudah dijelaskan bahwa menurut HIR keterangan ahli olehhakim
digunakan sekadar menambah keyakinan, bukan membentukkeyakinan
sebagaimana alat bukti sah lainnya.

3. Alat Bukti Surat


Modul Penuntutan 69
a. Pengertian
KUHAP tidak memberikan pengertian apa itu surat, Pasal 187 KUHAPhanya
mengaturjenis surat sebagai alat bukti.
Surat ialah semua benda yang berisi tanda baca yang dapat dimengertiyang
dipergunakan untuk mengemukakan isi pikiran.
Menurut Undang-Undang No 11 tahun 2008, tentang informasi danTransaksi
Elektronik, termasuk pengertian surat adalah setiap informasielektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpandalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnyayang dapat dilihat, ditampilkan
dan / atau didengar melalui komputer atausistem elektronik (termasuk dan
tidak terbatas pada tulisan, suara,gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapatdipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Selain dalam tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik :
dokumen elektronik hanya merupakan alat bukti petunjuk.
b. Syarat sah Alat Bukti Surat
Surat Sebagai alat Abukti surat menurut Pasal 184 ayat (1) c KUHAP,adalah :
1) Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
Meliputi semua jenis surat yang dibuat oleh pejabat dalam jabatannya yang-
untuk menduduki jabatan tersebut harus bersumpah lebihdahulu, atau dapat
juga surat itu dibuat lebih dahulu kemudian iabersumpah membenarkan isi
surat tersebut.
2) Dibuat oleh pejabat yang benwenang
Meliputi pejabat umum, pejabat struktural, atau pejabat fungsional dalam
hal lni seorang ahli.
3) Untuk keperluan pembuktian
Guna membuktikan Suatu, hal, kejadian atau peristiwa.
c. Jenis surat Sebagai alat bukti surat
1). Surat menurut pasal 187 a KUHAP, yaitu :
 Dibuat alat pejabat umum
Contoh : Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Catatan Sipil, dll
 Dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
 Dibuat dalam bentuk berita acara atau dalam bentuk resmi lainnya
Modul Penuntutan 70
 Isinya memuat keterangan atau kejadian yang didengar, dilihat atau
dialami sendiri
 Disertai alasan yang jelas tentang keterangannya
Contoh : Akta Notaris, Akta PPAT, Akta Kelahiran, Berita Acara Lelang
Negara dll (semua jenis Akta Otentik)
2). Surat menurut Pasal 187 b KUHAP, yaitu 3
 Dibuat oleh Pejabat Struktural atau pejabat lainnya
 Dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
 Dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan atau menurut tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya
 Diperuntukkan untuk membuktikan suatu hal atau suatu kejadian
Contoh :Surat Perintah Perjalanan Dinas dan semua Surat Keputusan
pejabat yang berwenang, ijazah, Passpor, SIM, KTP dan IMB dan
sebagainya
3).Surat menurut Pasal 187 c KUHAP, yaitu :
 Dibuat oleh seorang ahli
 Mempunyai keahlian khusus dalam bidang tertentu
 Dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
 Mengenai Suatu hal atau kejadian tertentu
 Harus diminta secara resmi dari padanya oleh yang berwenang
Contoh : Laporan Kerugian Keuangan Negara oleh Pejabat BPKP.
Visum et Re-pertum oleh Dokter Ahli Kedokteran Kehakiman
Tata Cara memperoleh keterangan dalam bentuk laporan :
- Permintaan diajukan secara tertulis
- Kepada ahli yang mempunyai keahlian khusus (melaluiinstansinya)
- Menyebutkan secara tegas untuk keperluan apa pemeriksadilakukan,
disertai data -data pendukung
- Ahli membuat pendapat hasil pemeriksaan dalam bentuk laporanahli
yang dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
Sumpah
4). Surat lainnya, pasal 187 d KUHAP

Modul Penuntutan 71
Semua jenis surat selain surat jenis a,b dan c di atas, bukanmerupakan alat
bukti surat menurut Pasal 184 ayat (1) c KUHAP,karena tidak dibuat
berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkandengansumpah.
Menurut Pasal 187 d KUHAP; suratlain yang hanya berlaku jika
adahubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Maksudnya surat selain dari surat jenis pada Pasal 187 a,b dan cbukan alat
bukti surat tetapi dapat merupakan alat bukti petunjukapabila isi surat itu
ada hubungan dengan alat bukti sah, karenadibenarkan oleh saksi atau
terdakwa atau bersesuaian berhubungan dengan alat bukti surat.
Contoh : - Perjanjian dibawah tangan
- Surat kuitansi
- Visum et epertum oleh dokter umum
d. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat
Juga merupakan / mempunyai kekuatan pembuktian bebas tidaksempurna
sekalipun itu akta otentik hakim bebas menilai keabsahan isiSuatu surat otentik
untuk membentuk keyakinannya

4. Alat Bukti Keterangan Terdakwa


a. Pengertian
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di Sidangpengadilan
tentang perbuatan yang ia lakukan sendiri atau yang iaketahui sendiri atau
alami sendiri ; demikian bunyi Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Keterangan terdakwa Sebagai alat bukti baik yang bersifatpengakuan atau
penyangkalan yang dianggap benar ialah yangdidukung atau bersesuaian
dengan alat bukti Sah yang lain.
Lain halnya menurut HIR, yang merupakan alat bukti sah adalahpengakuan
tertuduh, ini sejalan dengan asas inquisatoir yang dianut HIR.
b. Syarat Sah Alat Bukti Keterangan Terdakwa
1). Terdakwa diperiksa tidak bersumpah atau berjanji
Hal ini Sebagai perwujudan dari hak-hak tersangka dan terdakwa yang
berhak menyangkal atau mengingkari sesuatu, berhak untuk tidak
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Modul Penuntutan 72
2). Namun demikian, terdakwa tetap harus berlaku tertib dan sopanselama
pemeriksaan berlangsung Dalam hal tetap bertingkah lakutidak tertib dan
tidak patut ia dikeluarkan dari ruang Sidang dan pemeriksaan dilanjutkan
di luar hadirnya terdakwa
3). Diberikan dalam keadaan bebas baik phisik maupun psikis
c. Nilai Pembuktian Keterangan Terdakwa
1). Keterangan terdakwa Sebagai alat bukti hanya berlaku untuk dirinya sendiri.
2). Dalam hal delik penyertaan yang diadili bersama-Sama,
keteranganterdakwa tidak boleh digunakan membuktikan kesalahan
terdakwa yang lain.
3). Dalam hal terdakwa menyangkal di Sidang, keterangannya dalam BAP
tersangka dan / atau BA - 15 dibacakan di Sidang; dan kalauketerangan
dalam BAP tersangka / BA - 15 yang bersesuaiandengan keterangan Saksi
yang diberikan di bawah sumpah, maka,keterangan terdakwa yang diberikan
di luar Sidang merupakan alat bukti petunjuk.
d. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Sama halnyadengan alat-alat bukti sah yang lain yang telah dibahassebelumnya
keterangan terdakwa Sebagai alat bukti mempunyaikekuatan pembuktian
bebas. Terserah kepada hakim untuk menilaisekalipun terdakwa mengakui
perbuatan yang didakwakan.

5. Alat Bukti Petunjuk


a. Pengertian
Menurut pasal 188 ayat 1 KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadianatau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu denganyang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwatelah terjadi
Suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Pengertian ini tidak Sinkron dengan sistem pembuktian negatif wettlijkbahwa
yang membuktikan telah terjadi tindak pidana dan siapapelakunya adalah
keyakinan hakim, bukan alat bukti, apalagi hanyadengan alat bukti petunjuk
saja.
Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat bukti petunjuk diperoleh
dariketerangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Modul Penuntutan 73
Ketentuan inipun menjadi pertanyaan; kenapa petunjuk tidak dapatdiperoleh
dari keterangan ahli. Dalam praktek banyak petunjuk yangdiperoleh dari
keterangan ahli yang kemudian dapat membuktikan bahwaterdakwa terbukti
melakukan tindak pidana yang didakwakan;
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa terjadi kekeliruan pembuat
undang-undang mengadopsi langsung pasal 311 HIR menjadi pasal 188ayat (2)
KUHAP di mana Pasal 311 HIR tidak menjadikan keteranganahli Sebagai
sumber petunjuk karena HIR tidak mengakui keterangan ahliSebagai alat bukti
sah; sementara Pasal 18.4 ayat (1) KUHAP menempatkan keterangan ahli
sebagai alat bukti, sehingga seharusnyapasal 188 ayat (2) KUHAP menjadikan
keterangan ahli sebagai sumberpetunjuk disamping alat bukti Sah yang lain.
Dalam praktek uraian tuntutan penuntut umum juga tidak tepat yang berbunyi
kurang lebih ”berdasarkan alat bukti keterangan saksi-saksi,keterangan
terdakwa, suratyang saling bersesuaian antara satu denganyang lain diperoleh
petunjuk bahwa terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana yang
didakwakan.
Semestinya berbunyi , berdasarkan alat bukti keterangan saksi-saksi,surat dan
keterangan terdakwa yang saling bersesuaian antara satudengan yang lain telah
diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut ........... danseterusnya
Jadi apa itu petunjuk ?
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karenapersesuaian
antara satu dengan yang lain atau dengan tindak pidana itusendiri yang
diperoleh dari alat bukti yang sah membenarkan adanyasatu kejadian atau
keadaan tertentu.
Petunjuk bukan alat bukti yang berdiri sendiri, tetapi harus dilahirkan dari alat
bukti sah yang lain.
b. Jenis / Macam Alat Bukti Petunjuk
Di depan telah diberikan Contoh-Contoh petunjuk yang diperoleh
dariketerangan saksi, surat dan terdakwa.
Contoh :
1). Petunjuk diperoleh dari keterangan saksi

Modul Penuntutan 74
Saksi memberikan keterangan dipengadilan tidak disumpah,keterangannya
bersesuaian dengan keterangan saksi yang diberikandipengadilan di bawah
sumpah.
2). Petunjuk diperoleh dari surat
Surat perjanjian di bawah tangan atau kuitansi yang isinyadibenarkan oleh
saksi dan atau terdakwa, maka surat itu merupakanalat bukti petunjuk.
3). Petunjuk diperoleh dari keterangan terdakwa
Terdakwa menyangkal di sidang; keterangannya dalam BAPtersangka atau
BA-15 bersesuaian dengan keterangan saksi yang memberikan keterangan
di sidang di bawah sumpah
4). Petunjuk diperoleh dari keterangan ahli berdasar Pasal 187 c KUHAP.
 Visum et repertum dibuat oleh dokter umum, isinya bersesuaian dengan
luka yang dialami korban atau dibenarkan terdakwa.
 Ahli balistik yang berpendapat bahwa proyektil (peluru) yang menembus
dada korban, identik dengan proyektil seperti yang dijadikan barang
bukti
 Ahli daktiloksopi berpendapat tulisan tangan yang diduga palsu identik
dengan tulisan tangan pembanding
 Ahli kedokteran kehakiman; berpendapat darah yang ada pada golok
identik dengan darah korban; petunjuk golok itu yang digunakan
membacok korban.
5). Dalam perkembangan teknologi informatika yang begitu pesat;dalam tindak
pidana korupsi, pencucian uang dan narkotika;dokumen elektronik dan
informasi elektronik diterima ataumerupakan alat bukti petunjuk.
c. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Petunjuk
Kalau kekuatan pembuktian alat bukti sah yang merupakan induk darialat bukti
petunjuk mempunyai kekuatan perpbuktian bebas makapetunjuklsebagai
anaknya tentunya lebihi bebas lagi.
Oleh sebab itu penuntut umum jangan terlalu tergesa-gesamenggunakan alat
bukti petunjuk untuk meyakinkan hakim.
Hakim sendiri oleh undang-undang melalui Pasal 188 ayat (3) yangdiadopsi
dari pasal 312 HIR, mengingatkan hakim agar dalam menilaikekuatan

Modul Penuntutan 75
pembuktian petunjuk dilakukan dengan arif lagi bijaksana penuhkecermatan
dan kesaksamaan berdasarnya hati nuraninya
Artinya kalau alat bukti sah lainnya sudah cukup untuk bisameyakinkan diri
penuntut umum dan hakim atas kesalahan terdakwa tidak usah lagi
menggunakan alat bukti petunjuk ; jangan gara-gara nila setitik rusak susu
sebelanga.

II.5. BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DAN TERBALIK TERBATAS


Menurut Pasal 66 KUHAP, tersangka dan terdakwa tidak dibebanikewajiban
pembuktian. Artinya bukan terdakwa yang harus membuktikanbahwa dirinya tidak
bersalah; melainkan penuntut umum.Jadi kalau penuntut umum tidak bisa
membuktikan dakwaannya melalui teknik pembuktian yangtelah dibicarakan maka
terdakwa oleh hakim dibebaskan.
1. Beban Pembuktian Terbalik
a. Menurut Pasal 12 B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001; gratifikasi yang nilainya
Rp 10 juta atau lebih, yang membuktikan bahwa gratifikasi itubukan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi.Jadi kalau yang menerima gratifikasi
tidak bisa membuktikan bahwa gratitikasi itu bukan suap berarti terbukti ia
menerima suap.
b. Menurut Pasal 38B UU No. 20 Tahun 2001; setiap orang yang
didakwamelakukan salah “satu‘tindak pidana korupsi yang disebutkan secara
limitatif, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta miliknya yang
belumdidakwakan tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Kalauterdakwa tidak bisa membuktikan bahwa harta itu diperoleh bukan
karenatindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga
daritindak pidana korupsi.Menurut Pasal 38A UU No, 20 tahun 2001;
pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada
saat pemeriksaandi Sidangpengadilan artinya beban pembuktian terbalik tidak
boleh diterapkan ditingkat penyidikan
2. Beban Pembuktian Terbalik Terbatas
Menurut Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999, terdakwa mempunyai
hakuntuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
dalamhal la dapat membuktikan maka keterangannya tersebut digunakan
Modul Penuntutan 76
Sebagai hal yang menguntungkan baginya. Redaksi kalimat terakhir
diubaholeh UU No. 20 tahun 2001 menjadi maka pembuktian
tersebutdipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwadakwaan tidak terbukti.
Menurut Pasal 37 (4) UU No. 31 tahun 1999 yang diambil alih
Pasal37A ayat (2) UU No. 20 tahun 2001 dalam hal terdakwa tidak
dapatmembuktikan tentang kekayaan 2 yang tidak seimbang
denganpenghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka
keterangantersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwaterdakwa lelah melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut Penjelasan Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999; ketentuan
inimerupakan penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukanbahwa
Jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana bulanterdakwa.
Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa iatidak melakukan
tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapatmembuktikan hal tersebut tidak
berarti ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih
tetap diwajibkan untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan ini merupakan
pembuktian terbalik terbatas,karena Jaksa masih tetap membuktikan
dakwaannya.
Ketentuan Pasal 37 ayat (4) UU No, 31 tahun 1999 dan Pasal 37Aayat
(2) UU No. 20 tahun 2001, sekaligus merupakan aiat bukti petunjuk dalam
tindak pidana korupsi.
II.6. LATIHAN
1. penuntut umum dan juga Hakim menganut sistem pembuktian Undang-
Undangsecara negatif dalam membuktikan kesalahan terdakwa; jelaskan alasan
saudara!
2. Jelaskan hubungan sistem pembuktian negatief wettelijk dengan
kekuatanpembuktian alat bukti !
3. Jelaskan syarat keterangan saksi sebagai alat bukti keterangan saksi, dandalam
apa keterangan saksi Sebagai alat bukti petunjuk!
4. Jelaskan orang yang dapat mengundurkan diri dari kewajiban menjadi saksidan
orang yang dapat minta dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi!

Modul Penuntutan 77
5. Jelaskan saksi yang boleh diperiksa dengan tidak disumpah, apa
nilaipembuktiannya!
6. Jelaskan prosedur cara memperoleh laporan ahli!
7. Jelaskan tiga cara memperoleh keterangan ahli!
8. Jelaskandalam hal apa ketarangan ahli disebut Sebagai alat bukti surat!
9. Jelaskan syarat surat Sebagai alat bukti surat!
10. Jelaskan apa tindakan saudara kalau terdakwa menyangkal di sidangpengadilan!
11. Jelaskan apa itu alat bukti petunjuk!
12. Berikan beberapa contoh petunjuk diperoleh dari keterangan ahli, dari surat dan
terdakwa!
13. Jelaskan apa yang saudara ketahui mengenai beban pembuktian terbalik
danpembuktian terbalik terbatas!

Modul Penuntutan 78
BAB XII
SURAT TUNTUTAN PIDANA
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diktat diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengenaan tuntutan pidana penuntut umum dan replik
2. Memahami cara membuat tuntutan pidana yang membuktikan unsur~unsurtindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa
3. Mampu membuat Replik / Jawaban

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PENUNTUTAN


1. Pengertian
Tuntutan pidana/rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian sufatdakwaan
berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dankesimpulan penuntut
umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengantuntutan pidana (Suharto. RM. 2006
1162).
Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukantuntutan
pidana.(Pasal182 ayat (1) huruf a KUHAP).
Makna dari ketentuan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP di atas ialahbahwa
tuntutan pidana penuntut umum tidak termasuk di dalampemeriksaan
pengadilan.Pemeriksaan di sidangpengadilan adalahpemeriksaan terhadap alat-alat bukti
yaitu saksi-saksi, ahli, sgrat, petunjukdan pemeriksaan terdakwa Serta barang
bukti.Namun demikianpemeriksaan dapat dibuka kembali apabila dianggap perlu
olehhakim/majelis hakim.
Di dalam menyusun tuntutan pidana, penuntut umum terikat pada surat dakwaan
yang dibacakan pada awal sidang, karena surat dakwaan adalahdasar pemeriksaan
sidang dan merupakan batas / ruang lingkuppemeriksaan Sidang, Surat dakwaan juga
menjadi dasar penilaian hakim /majelis hakim terhadap fakta-fakta yang terungkap di
persidangan.
Kebenaran bahwa surat dakwaan adalah dasar tuntutan pidana dapatterlihat
dalam hal Sebagai berikut :

Modul Penuntutan 79
1. Dalam surat tuntutan pidana, tindakpidana yang didakwakan kepada terdakwa
diuraikan kembali sebelumdiketengahkan hasil-hasil pemeriksaan Sidang dalam
tuntutan pidanatersebut.
2. Fakta-fakta hasil pemeriksaan Sidang, tidak lain daripada hasilpembuktian
penuntut umum atas apa yang telah didakwakannya dalamsurat dakwaan yang
dibacakannya di awal persidangan.
3. Dalampembahasan yuridis yang merupakan bagian inti daripada tuntutan
pidana,penuntut umum menguraikan segala fakta yang terungkap di
persidangandan kemudian mempertemukan fakta-fakta itu dengan unsur-unsur
tindakpidana yang didakwakan dalam surat dakwaan.
4. Setelah dari hasilpembahasan yuridis dengan penggunaan fakta-fakta yang
terungkap dipersidangan, penuntut umum secafa konkrit telah memperoleh
gambaranselengkapnya tentang tindak pidana dilakukan, bagaimana tindak pidana
itudilakukan beserta akibat-akibatnya, barang bukti apa saja yang diajukandalam
persidangan dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan Sebagaipelaku tindak
pidana itu, maka penuntut umum menunjuk kembali kepadadakwaannya dan
menyatakan dakwaan yang mana yang terbukti dan yangmana yang tidak terbukti
atau tidak diperlukan Iagi.
5. Pada saat penuntut umum meminta hukuman yang akan dijatuhkan kepada
terdakwa, sekalilagi penuntut umum menunjuk kepada kualifikasi tindak pidana
yangterbukti sesuai dengan dakwaannya. (Harun M. Husein 1990 : 186-187).
2. Fungsi Surat Tuntutan.
Fungsi surat tuntutan dapat dilihat dari segi Kepentingan berbagai pihakyaitu :
a. Kepentingan bagi penuntut umum
Surat tuntutan dijadikan Sebagai landasan / dasar oleh penuntut umumdalam
menuntut terdakwa di Sidangpengadilan.Tuntutan terhadapterdakwa ada tiga
kemungkinan yaitu 1 dituntut bebas, dituntut lepas darisegala tuntutan hukum atau
dituntut terbukti melakukan tindak pidana.
b. Kepentingan bagi terdakwa / penasihat hukum
Surat tuntutan menjadi bahan pembelaan bagi terdakwa / penasihathukum karena
terdakwa / penasihat hukum dapat mengajukan jawabanuntuk melemahkan analisis
penuntut umum yang ada dalam surattuntutan.
c. Kepentingan bagi hakim /majelis hakim
Modul Penuntutan 80
Surat tuntutan menjadi bahan pertimbangan / bahan penilaian bagi hakim / majelis
hakim dalam menjatuhkan putusannya.
B. Sistematika Surat Tuntutan
BAB I Pendahuluan
Pendahuluan berisi antara lain :
1. Prakata
2. Uraian latar belakang jenis tindak pidana yang terjadi secara umum
3. Identitas terdakwa
4. Status tahanan
5. Tindak pidana yang didakwakan
6. Uraian pelimpahan perkara
BAB II Fakta Sidang
Dari hasil pemeriksaan di Sidang diperoleh fakta-fakta melaluiketerangan saksi-
saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwadan barang bukti Sebagai
berikut:
1. Keterangan saksi
Yang perlu diperhatikan oleh penuntut umum terhadap keterangansaksi
Supaya mempunyai nilai pembuktian adalah :
a. Keterangan yang diberikan di Sidangpengadilan dibawah sumpah /janji
tentang yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri denganmenyebutkan
alasannya tentang apa yang terjadi, siapa yangmelakukannya, kapan dan
dimana kejadiannya, bagaimana Caraperbuatan dilakukan apa akibat dari
perbuatan itu.
b. Jangan menggunakan kesaksian testomonium de auditu,pendapat,
kesimpulan
c. Tanggapan terdakwa yang menguatkan kesaksian dicantumkan dalam
keterangan setiap saksi.
2. Keterangan Ahli, yang perlu diperhatikan oleh penuntut umum;
a. Apakah keterangan ahli tersebut diberikan di pengadilan dibawahsumpah
/janji; atau apakah keterangan ahli yang dibacakan diSidangpengadilan
sudah diberikan dibawah sumpah /janji.
b. Apa kesimpulan atau pendapat ahli tersebut
3. Surat; yang harus diperhatikan oleh penuntut umum:
Modul Penuntutan 81
a. Apakah surat itu dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah.
b. Apakah surat itu diajukan dan dibacakan di Sidangpengadilan,apa
tanggapan saksi dan /terdakwa tentang isi surat tersebut
4. Barang bukti, yang harus diperhatikan oleh penuntut umum ;
a. Apakah barang bukti telah disita secara sah
b. Apakah diajukan di sidangpengadilan dan apa tanggapan saksidan / atau
terdakwa terhadapbarang bukti tersebut
c. Jenis dan kepunyaan siapa barang bukti tersebut
5. Keterangan terdakwa; yang harus diperhatikan :
Fakta-fakta apa yang disangkal dan yang diakui di persidangan.
BAB III Analisis Fakta
Analisis terhadap fakta / kejadian yang didukung alat bukti yangmemenuhi
syarat dan benar yang dapat digunakan untukmembuktikan fakta perbuatan
yang memenuhi unsur delik yang didakwakan.
1. Keterangan saksi
Yang perlu diperhatikan dalam menganalisis keterangan saksi
agarmempunyai nilai pembuktian adalah :
a. Keterangan saksi yang sudah memenuhi syarat
b. Keterangan saksi bersesuaian dengan keterangan saksi atau alatbukti yang
lain
c. BAP saksi yang dibacakan di sidang apakah sudah di berikan dibawah
sumpah atau tidak di penyidikan dan bersesuaian denganketerangan saksi
yang diberikan disidang dibawah sumpah
d. Kesaksian berantai / ketting bewijs
e. Berikan argumentasi yang melemahkan nilai pembuktian saksi a de charga
2. Keterangan Ahli
a. Dalam bentuk laporan atau diberikan di sidangpengadilan
b. Diberikan di bawah sumpah atau tidak
c. Lemahkan keterangan ahli yang diajukan terdakwa / penasihat hukum
kalau melemahkan pembuktian penuntut umum
d. Apakah keterangan ahli bersesuaian dengan keterangan saksi;dan apakah
dibenarkan atau disangkal olenterdakwa
Modul Penuntutan 82
3. Keterangan terdakwa
Yang perlu dianalisis terhadap keterangan terdakwa adalah :
a. Keterangan yang bersifat pengakuan
b. Kalau bersifat menyangkal, usahakan buktikan melalui alat-alatbukti yang
lain bahwa terdakwa berbohong.
c. Kalau terdakwa menyangkal, analisis bahwa keterangan terdakwadalam
BAP yang dibacakan di Sidang bersesuaian denganketerangan saksi yang
diberikan di bawah sumpah di Sidangpengadilan untuk dijadikan alat
bukti petunjuk.
d. Keterangan terdakwa yang satu tidak boleh digunakan untukmembuktikan
perbuatan / kesalahan terdakwa yang lain, keterangan terdakwa hanya
berlaku untuk dirinya sendiri.
4.Surat
Yang perlu diperhatikan dalam menganalisa bukti suratadalah :
a. Buktikan bahwa surat tersebut ada hubungannya dengan tindakpidana
yang didakwakan kepada terdakwa
b. Memenuhi Syarat penyitaan
c. Surat telah dibacakan di Sidangpengadilan
d. Dibuat oleh pejabat yang benwenang berdasarkan sumpah jabatan
e. Berita acara pemeriksaan tersangka / saksi bukan alat bukti surat
5. Barang bukti
Yang perlu diperhatikan dalam menganalisis barang bukti adalah :
a. Mernenuhi Syarat penyitaan yaitu ada izin dari ketua pengadilannegeri dan
ada berita acara penyitaan dari penyidik
b. Diajukan dan diperiksa di Sidang
c. Dibenarkan oleh saksi dan terdakwa
d. Tentukan status barang bukti : dirampas untuk negara, dirampas untuk
dimusnahkan atau,dikembalikan kepada yang berhak(disebutkan
namanya).
6. Petunjuk
Yang perlu diperhatikan dalam menganalisis alat bukti petunjukadalah :
a. Diperoleh dari alat bukti yang sah, berupa keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa.
Modul Penuntutan 83
b. Bersesuaian dengan alat bukti yang sah
c. Bersasuaian dengan keterangan saksi yang disumpah di sidangpengadilan
7. Dari alat bukti Sah dan benar yang bersesuaian antara yang satu dan yang
lain diperoleh fakta hukum (simpulkan semuafakta / kejadian yang akan
digunakan membuktikan unsur delik yangdidakwakan atau yang Sinkron
dengan fakta dalam surat dakwaan)
BAB IV Analisis Yuridis
1. Perhatikan bentuk dakwaan apakah disusun secara (tunggal,subsider,
alternatif, kumulatif atau gabungan) kemudian analisis masing-masing unsur
deliknya dengan mengkaitkan dengan faktahukum yang telah diperoleh dari
analisis fakta tersebut di atas.
2. Untuk membuktikan unsur "barang siapa atau setiap orang", yang dibuktikan
apakah benar terdakwa yang melakukan perbuatan yangdidakwakan. Jadi
bukan membuktikan pertanggungjawabanpidananya.
Pertanggungjawaban pidananya dibuktikan setelah semua unsurdelik telah
dibuktikan satu persatu
3. Dalam hal dakwaan disusun secara alternatif ; maka penuntut umumcukup
memilih salah satu dakwaan yang dianggap terbukti. Kalaudakwaan disusun
secara subsidiair maka penuntut umum harus membuktikan dakwaan primer
terlebih dahulu, kalau dakwaan primer tidak terbukti, baru dakwaan subsider
dibuktikan, apabila dakwaandisusun secara kumulasi maka semua dakwaan
harus dibuktikan satupersatu dan dipertanggungjawabkan satu persatu pula.
4. Dalam hal semua unsur delik telah dibuktikan sebutkan kualifikasi delik
yang terbukti tersebut, kemudian baru dibuktikan apakah ketikaterdakwa
melakukan tindak pidana tersebut ia harusdipertanggungjawabkan atau tidak.
Kalau tidak bisa dipertanggungjawabkan ia harus dituntut "lepas,dari segala
tuntutan hukum”.
5. Kemudian analisis mengenai surat dan / atau barang bukti untukmenentukan
status surat / barang bukti tersebut
6. Analisis mengenai apakah terdakwa ditangkap dan ditahan untuk
diperhitungkan dengan lamanya ia dijatuhi pidana
7. Semua hal-hal yang dituntut dalam amar tuntutan harus dianalisisdalam
analisis yuridis.
Modul Penuntutan 84
BAB V Hal-hal yang Memberatkan.
Sebelum penuntut umum mengajukan tuntutannya terlebih
dahulumengemukakakn nal-hal yang memberatkan, misalnya :
1. Terdakwa berbelit-belit di sidangpengadilan
2. Terdakwa tidak menyesali perbuatannya
3. Terdakwa sebagai abdi negara, seharusnya memberikan contohkepada
masyarakat, bukan sebaliknya melakukan perbuatan yangmerusak citra
pegawai negeri pada umumnya.
4. Terdakwa mengikutsertakan anak di bawah umur
5. Dilakukan dengan cara yang sadis
6. Menimbulkan korban / akibat yang luas
7. dsb
BAB VI Hal-hal yang Meringankan
Hal-hal yang meringankan yaitu:
1. Terdakwa dalam keadaan hamil
2. Terdakwa dalam keadaan jiwa yang terguncang
3. Terdakwa memberikan ganti rugi yang layak / perbaikan kerusakansecara
sukarela
4. Terdakwa sudah beramai dengan saksi korban di persidangan
5. Terdakwa menyesali perbuatannya
6. Terdakwa masih muda dan berkelakuan baik menurut penilaianBapas
7. dll
BAB VII Tuntutan
Berdasarkan uraian di atas dengan berdasarkan perundang-undangan
yang berhubungan dengan perkara ini (sebutkan pasal-pasal), kami penuntut
umum pada Kejaksaan Negeri…………...………..

MENUNTUT
Supaya Pengadilan Negeri ……………………. yang memeriksa danmengadili
perkara terdakwa ……………………. memutus denganmenyatakan :
1. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak
pidana ……………………… (sebutkan kualifikasi deliknya)
Modul Penuntutan 85
2. Menjatuhkan pidana terdakwa dengan pidana penjara selamatahun
…………………….(bulan) dengan dikurangkan sepenuhnya dengan
lamanya terdakwa ditahan dan ditangkap, dan supaya terdakwa tetap ditahan.
3.Menghukum terdakwa membayar denda sebesar Rp…….. (
……………………) subsider……………… …………. bulan kurungan.
4. Terdakwa mengembalikan kerugian keuangan Negara sebesar Rp. (Iihat
Pasal 18 Undang-UndangNomor 31 tahun 1999)
5. Menetapkan barang bukti:
a. Dikembalikan kepada (sebut nama orangnya) atau,
b. Dirampas untuk dimusnahkan, atau
c. Dirampas untuk Negara, atau
d. Dilampirkan dalam berkas perkara atau digunakan bukti untuk perkara
lain.
6. Menetapkan terdakwa membayar biaya perkara (minimal) Rp.500,- maksimal
Rp. 10.000,- untuk semua tingkat pemeriksaan.
BAB VIII Penutup
Demikian tuntutan pidana ini dibacakan dan diserahkan dalamSidang kepada
hakim / ketua majelis, terdakwa dan penasihathukumnya pada hari
ini….Tanggal…………………..bulan………………………………… tahun
……
Penuntut umum
Ttd
Pangkat, Nip,

C. Replik / Jawaban atas Pembelaan / Pleidoi


Replik adalah jawaban atau tanggapan penuntut umum terhadap pembelaan/pledoi
yang diajukan oleh terdakwa/penasihat hukumnya.Setelah pembaelaan/pleodi dibacakan
oleh terdakwa/penasihat hukumnya, hakim/manjelis hakimsegera bertanya kepada
penuntut umum “apakah akan memberi jawaban.
Dalam perkara yang mudah pembuktiannya dan sudah jelas terbukti menurut hasil
perneriksaan di persidangan, biasanya penuntut umum langung memberi tanggapan secara
lisan saat itu juga atau tidak memberi tanggapan, tetapi tetappada tuntutan yang telah
dibacakan. Akan tetapi dalam perkara yang sulit pembuktiannya atau perkara yang
Modul Penuntutan 86
menarik perhatian masyarakat atau perkara yangdilimpah secara biasa dan termasuk
perkara besar, penuntut umum sebaiknyamengajukan jawaban atas pembelaan/replik
seoara tertulis
Replik/jawaban terhadap pembelaan/pleidoi berisi bantahan terhadappoint-point
yang dianggap melemahkan tuntutan pidana penuntut umum.Point-point tersebut dijawab
sesuai dengan alat bukti yang telah diperoleh di persidangan dan dikuatkan dengan
pendapat para ahli, yurisprudensi, teori-teori hukum, doktrin dan lain-lain.Yurisprudensi
yang dikemukakan tentu yang mirip pembuktiannya dengan perkara yang sedang
dibuatkan jawaban terhadap pleidoi.

D. Rangkuman
Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai oleh hakim/majelis hakim,
maka Sidang berikutnya adalah pembacaan tuntutan pidana/rekuisitor penuntut
umum.penuntut umum biasanya meminta waktu kepada hakim/majelis hakim untuk
menyusun tuntutan. Di dalam rekuisitor, penuntut umummengemukakan fakta-fakta yang
terungkap dipersidangan dan menghubungkanfakta tersebut dengan unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan. Keterangansaksi-saksi, keterangan terdakwa, ketefangan ahli,
barang bukti dihubungkansatu Sama lain. Setiap alat bukti dianalisa dan dihubungkan
dengan setiap unsure tindak pidana yang didakwakan. Setelah tuntutan pidana penuntut
umum selesaidibuat, maka tuntutan dibacakan di depanSidangpengadilan.
Terdakwa/penasehat hukum dapat mengajukan pembelaan/pleidoi terhadap tuntutan
pidana penuntut umum.Terhadap pembelaan terdakwa/penasihat hukum, penuntut
umumdapat mengajukan jawaban/replik.
E. Diskusi dan praktek membuat tuntutan pidana dan replik
1. Mambentuk kelompok diskusi.
2. Meneliti tuntutan pidana, pleidoi, dan replik yang bermutu dan mendiskusikannya.
3. Presentasi hasil diskusi oleh masing-masing kelompok.
4. Tanya jawab setelah setiap kelompok selesai presentasi.
5. Setelah diskusi dilanjutkan dengan praktek membuat tuntutan pidana danpraktek
membuat replik.

Modul Penuntutan 87
F. Latihan
Jawablan pertanyaan-pertanyaan dibawah ini secara Singkat namun jelas
1. Apakah benar bahwa tuntutan pidana penuntut umum didasarkan pada surat dakwaan?
Jelaskan.
2. Apa fungsi surat tuntutan pidana penuntut umum ?Jelaskan.
3. Apa alasan/dasar yang biasa digunakan oleh terdakwa/penasihat hukum
dalammelakukan pembelaan? Jelaskan
4. Apa yang dimaksud dengan replik/jawaban terhadap pembelaan?JeIaskan
5. Bagaimana sistimatika surat tuntutan pidana penuntut umum?. Jelaskan
6. Latihan membuat tuntutan pidana
7. Latihan membuat replik/jawaban atas pembelaan/pledoi terdakwa/penuntut umum

G. Balikan dan Tindak Lanjut.


Cocokkan jawaban Anda dengan uraian materi yang terdapat dalam BabVI.apabila
Anda mencapai tingkat penguasaan 80 VI atau lebih, anda dapatmeneruskan ke Bab VII.
Akan tetapi bila tingkat penguasaan Anda masih dibawah80%, Anda harus mengulang
Bab III, terutama bagian yang anda belum kuasai.

Modul Penuntutan 88
BAB XIII
MENGHENTIKAN PENUNTUTAN

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu:
1. Memahami dalam hal apa penghentian penuntutan dapat dilakukan
2. Memahami dalam hal apa Jaksa Agung dapat mengenyampingkan perkara

A. Alasan Penghentian Penuntutan


Di dalam pasal 140 ayat (2) KUHAP, ditentukan ada 3 (tiga) alasan yangmenjadi dasar
menghentikan Penuntutan, yaitu :
a. Tidak terdapat cukup bukti
Dikatakan tidak terdapat cukup bukti apabila dalam perkara tersebut tidak diperoleh
minimal 2 (dua) bukti yang saling bersesuaian satu dengan yanglain.
Bukti yang sah adalah :
1. Keterangan Saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan Saksi ;
2. Keterangan Ahli dalam Berita Acara Pemeriksaan Ahli ;
3. Keterangan Tersangka dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;
4. Suratdan atau barang bukti yang telah disita secara sah berdasarkan izinKetua
Pengadilan dan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan.
b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Adapun kriteria suatu peristiwa pidana bukan merupakan tindak pidana
Apabila perbuatan yang disangkakan terbukti, akan tetapi tersangka tidakdapat
dipertanggungjawabkan karena terdapat alasan pembenar maupun pemaaf, antara lain:
- Orang yang sakit jiwa (Pasal 44 KUHP) ;
- Orang yang melakukan perbuatan karena terpaksa (Overmacht ; Pasal 48KUHP);
- Orang yang melakukan perbuatan karena pembelaan diri (Noodweer +Noodweer
Exces ; Pasal 49 KUHP) ;
- Orang yang melakukan perbuatan yang melaksanakan Undang-Undang (Pasal 50
KUHP) ;
- Orang yang melakukan perbuatan karena Perintah Jabatan yang sah (Pasal 51
KUHP) Dalam hal memenuhi syarat untuk dihentikan penuntutannya, tetapi

Modul Penuntutan 89
tidakdihentikan maka Terdakwa atau Penasihat hukumnya dapat
mengajukankeberatan bahwa dakwaan tidak dapat diterima (lihat Pasal 156 (1)
KUHAP)
c. Perkara Ditutup Demi Hukum
Perkara ditutup demi hukum, karena :
- Tersangka / terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) ;
- Kadaluarsa atau lewat waktu (Pasal 78 KUHP) ;
- Berlakunya Asas Ne Bis In Idem, yakni tidak seorangpun dapat dituntut
untukkedua kalinya karena perbuatannya yang sama, dimana pelakunya telah
mendapatkan suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal
76 KUHP) ;
- Adanya suatu atdoening buiten process atau adanya suatu penyelesaiantidak
melalui proses Pengadilan yakni dengan cara membayar dendatertinggi secara
sukarela kepada penuntut umum dalam perkarapelanggaran yang diancam dengan
pidana denda saja (Pasal 82 KUHP) ;
- Delik aduan yang pengaduannya telah dicabut dalam tenggang waktu
yangdibenarkan Undang-Undang (Pasal 75 dan Pasal 284 ayat (4) KUHP)
- Dalam hal penuntut umum menghentikan Penuntutan harus mempedomani P. 26

B. Mengesampingkan Perkara Untuk Kepentingan Umum


Menurut Pasal 35 C UU No. 16 tahun 2004, tentang Kejaksaan RepublikIndonesia,
Jaksa Agung mempunyai tugas dan Wewenang mengesampingkanperkara demi
kepentingan umum.
Yang dimaksud dengan "Kepentingan Umum” adalah Kepentingan bangsa
dannegara dan / atau "Kepentingan masyarakat luas".
Ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang merupakan danhanya
dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran danpendapat dari badan-
badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungandengan masalah tersebut.
Jaksa Agung harus hati-hati dalam menggunakan kewenangannya ini
karenamasyarakat dapat saja mengajukan Yudicial Review kepada Ketua
MahkamahAgung yang mempunyai Wewenang menilai keabsahan suatu peraturan
dibawah undang-undang.

Modul Penuntutan 90
C. Perbedaan Penghentian Penuntutan dengan Penyampingan Perkara untuk
Kepentingan Umum
Penghentian Penuntutan Pengenyampingan Perkara

1. Wewenang penuntut umum 1. Wewenang Jaksa Agung

2. Melalui pendekatan fungsional 2. Berdasarkan asas oportunitas

3. Dapat dipraperadilkan I (Pasal 80 KUHAP) 3. Tidak dapat dipraperadilankan

4. Dengan penghentian penuntutan dianggap 4. Ada tindak pidana hanya tidak dilakukan
tidak terjadi tindak pidana penuntutan dengan alasan demi
kepentingan umum
5. Dapat dilakukan penuntutan kembali kalau 5. Dalam hal pengenyampingan perkara
diperoleh bukti baru, dalam hal alasan telah sah sudah tidak dapat dilakukan
penghentian karena tidak cukup bukti penuntutan lagi

D. Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan tidak cukupbukti !
2. Jelaskan peristiwa tersebut terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana !
3. Jelaskan dalam hal apa penuntutan dihentikan demi hukum !
4. Jelaskan perbedaan antara penghentian penuntutan dengan pengenyampinganperkara !
5. Latihan membuat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (P. 26)

Modul Penuntutan 91
BAB XIV
PUTUSAN PENGADILAN

Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat :
1. Memahami jenis Putusan pengadilan
2. Mengetahui upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan pengadilantersebut.
3. Memahami jenis-jenis pemidanaan.

A. Proses Pengambilan Putusan.


Setelah pembacaan tuntutan pidana, pembelaan dan jawab menjawab
antarapenuntut umum dan terdakwa / penasihat hukum Selesai, maka Sidangdinyatakan
ditutup dengan ketentuan dapat dibgka sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua
Sidang karena jabatannya maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa /
penasihat hukum dengan memberi alasanya.
Untuk mangambil putusan, hakim mengadakan musyawarah yang didasarkanatas;
surat dakwaan dan Segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan diSidang. Pada
asasnya putusan merupakan hasil permufakatan bulat, dalam haltidak dapat dicapai
permufakatan bulat berlaku ketentuan :
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak
b. Kalau suara terbanyak juga diperoleh, maka putusan yang dipilih adalahpendapat hakim
yang paling menguntungkan terdakwa
Putusan pengadilan harus diucapkan di sidang terbuka untuk umum
denganhadirnya terdakwa kecuali putusan dalam acara pemeriksaan perkarapelanggaran
lalu lintas jalan. Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa,dapat diucapkan dengan
hadirnya terdakwa yang lain.
Segera setelah putusan diucapkan hakim ketua Sidang memberitahukankepada
penuntut umum dan terdakwa mengenai hak-haknya, yaitu :
a. segera manerima atau menolak putusan
b. mempelajari putusan dalam waktu tujuh hari setelah putusan di ucapkan
c. menangguhkan pelaksanaan putusan karena mengajukan grasi
d. menyatakan banding dalam waktu tujuh hari setelah putusan diucapkan
e. mencabut pernyataan menerima atau menolak putusan dalam waktu tujuhhari setelah
putusan di ucapkan

Modul Penuntutan 92
sehubungan dengan huruf e di atas maka jaksa tidak boleh mengeksekusi putusan
sebelum lampau tujuh hari setelah putusan di ucapkan sekalipun terdakwa atau penuntut
umum sebelumnya menerima putusan.

B. Jenis Putusan Pengadilan


1. Putusan Bebas
Dalam hal hakim barpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (salah satu unsur delik tidak
terbukti ) maka terdakwa diputus bebas
2. Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum
Dalam hal hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbuktiakan
tatapi terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka terdakwa dilepas dari segala
tuntutan hukum.
Dalam hal putusan babas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka terdakwa
kalau ditahan harus dibebaskan seketika dan barang bukti dikembalikan pada
kedudukan semula dari mana benda itu disita.
3. Putusan Tuntuntan penuntut umum Tidak Dapat Diterima
Dalam hal yang diputus pengadilan bukan mengenai pokok perkara
akanmenyangkut dakwaan atausurat dakwaan yang sejak semula harus tidak diterima
atau harus dibatalkan
Apabila menyangkutsurat dakwaan dengan pertimbanggan tidak
memenuhisyarat maka hal ini bukan merupakan nebis in idem, karenanya penuntut
umumdapat memperbaiki surat dakwaannya dan melimpahkan perkaranya
kepengadilan dengan surat pelimpahan perkara yang baru.
4. Putusan Pemidanaan
Dalam hal hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah
melakukantindak pidana yang didakwakan maka hakimmenjatuhkan pidana

C. Jenis Pidana
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Berdasarkan Perpres no. 2 Tahun 1964, tanggal 27 April 1964, putusanpemidanaan
dilakukan oleh regu tembak sampai mati
Modul Penuntutan 93
b. Pidana Penjara
 Pidana penjara seumur hidup
Dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan
 Pidana Penjara Sementara
 Paling lama dua puluh tahun
(merupakan altenatif pidana seumur hidup)
 Paling lama lima belas tahun dan paling singkat satu hari
c. Pidana Kurungan
Terhadap tindak pidana tertentu (pelanggaran)
Paling singkat satu hari dan paling lama satu tahun
Dilaksanakan dilembaga pemasarakatan setempat
d. Pidana Bersyarat
Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satutahun ataupidana
kurungan (bukan pidana kurungan pengganti denda), hakim dapatmemerintahkan
bahwa pidana tidak dijalankan kecuali dikemudian hariada putusan lain karena dalam
masa percobaan terpidana melakukantindak pidana lagi atau tidak melaksanakan
syarat khusus yangdiperintahkan.
Masa percobaan bagi kejahatan paling lama tiga tahun dan pelanggaranpaling lama
dua tahun
e. Pidana Denda
Dalam tindak pidana tenentu selain dijatuhkan pidana penjara jugadijatuhkan pidana
denda secara kumulasi.Pelaksanaan pidana denda palinglama satu bulan dan dapat
diperpanjangsatu bulan lagi. Dalam hal denda tidak dibayar diganti dengan pidana
Kurungan pengganti denda paling lama enam bulan (dalam hal tertentu paling lama
delapan bulan
Terhadap putusan acara pemeriksaan cepat pidana denda harus dilunasi seketika
2. Pidana Tambahan
a. Perampasan barang-barang tertentu,
 Dirampas untuk negara
 Dirampas untuk dirusak seningga tidak dapat dipergunakan lagi
 Tetap dilampirkan dalam berkas perkara
 Dikembalikan kepada orang tertentu yangnamanya disebutkan dalamputusan

Modul Penuntutan 94
b. Pencabutan hak-hak tertentu, antara lain:
 Hak perwalian
 Hak melaksanakan pekerjaan tertentu
 Hak melakukan usaha tertentu
 Hak memilih / dipilih
c. Tindakan tata tertib antara lain :
 Penutupan sebagian / seluruh perusahaan
 Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
 Menempatkan perusanaan dibawah pengampuan
 Kewajiban membayar apa yang dilalaikan tanpa hak
 Perbaikan kerusakan akibat tindak pidana
d. Pembayaran uang pengganti
Dalam tindak pidana, korupsi apabila tidak dibayar ada bendanyadisita dan
dijual lelang dan kalau tidak ada harta bendanya lagi yang dapatdisita maka diganti
dengan pidana penjara yang lamanya tidak boleh melebihi ancaman pidana pokok.
Bagaimana melaksanakan pidana pokok maupun pidana tambahanakandibahas
dan didiskusikan tersendiri dalam mata diklat dan dalam modulPelaksanaan Putusan
Pengadilan. Apa yang dibahas dalam bab ini sekadarpenutup modul Penuntutan dan
Sebagai pengantar modul Upaya Hukum danmodul Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
D. Latihan
1. Jelasan proses pengembalian putusan pengadilan dalam menentukan bersalah tidaknya
terdakwa!
2. Jelaskan jenis putusan pengadilan!
3. Jelaskan dalam hal apapengadilan memutus tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima!
4. Jelaskan jenis putusan pemidanaan!
5. Jelaskan dalam hal apa hakim menjatuhkan pidana kurungan!
6. Jelaskan dalam hal apa hakim menjatuhkan pidana bersyarat!
7. Jelasan hak-hak penuntut umum terhadap putusan pengadilan!

Modul Penuntutan 95
BAB XV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tidak semua berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik harus dilimpahkan
kePengadilan. Berkas perkara yang tidak memenuhi syarat dilimpahkan ke
Pengadilandapat dihentikan kepenuntutannya olehpenuntut umum.
2. Surat dakwaan harus ditarik dan dirumuskan dan hasil pemeriksaanpenyidikan dan
merupakan dasar pemeriksaan di Sidangpengadilan dan dasar hukum menjatuhkan
putusan.
3. Turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan harus disampaikankepada
terdakwa maupun kepada penyidik.
4. penuntut umum tidak terlibat dalam pelimpahan acara pemeriksaan cepatkarena atas
kuasa penuntut umum penyidik melimpahkan perkara kePengadilan.
5. Berhasilnya tuntutan pidana tergantung dari penguasaan penuntut umum terhadap
sistem, nilai dan kekuatan pembuktian alat bukti serta teknikpembuktian berdasarkan
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
6. Tuntutan pidana merupakan kesimpulan penuntut umum tentang terbuktitidaknya tindak
pidana yang didakwakan oleh sebab itu dalam menyusunsurat tuntutan dibutuhkan
keterampilan seorang penuntut umum terutama dalam memahami unsur-unsur setiap
tindak pidana dan fakta-fakta yangmendukung setiap unsur tindak pidana tersebut.
7. Replik adalah jawaban penuntut umum terhadap pembelaan terdakwa ataupenasihat
hukum yang memuat argumentasi yang melemahkan pembelaanterdakwa sakaligus
memperkuat tuntutan pidana.
8. Putusan pengadilan merupakan penjabaran tuntutan pidana penuntut umum.

B. Implikasi
Berdasarkan hasil pembelajaran yang dilakukan dalam mata diklatpenuntutan, peserta
diklat dapat memahami:
- pengertian, ruang lingkup dasar hukum penuntutan,
- teori dan teknik membuat surat dakwaan
- komponen pelimpahan perkara dan membuat surat pelimpahan perkara

Modul Penuntutan 96
- obyek keberatan dan cara menyusun pendapat atas keberatan penasihat hukum
- menyusun replik/jawaban atas pembelaan/pledoi
- teknik dan taktik pemeriksaan disidangpengadilan
- teknik pembuktian
- teknik penyusunansurat tuntutan pidana dalam rangka membuktikan dakwaannya.
- dasar hukum dan syarat penghentian penuntutan

C. Tindak Lanjut
Setelah peserta diklat PPJ menjawab pertanyaan-pertanyaan dengansungguh-sungguh
maka sudah dapat diperkirakan penguasaan materi masing-masing bab telah dikuasai,
Apabila tingkat penguasaan peserta diklat sudah mencapai 80% ataulebih, berarti peserta
sudah memahami materi dalam modulpenuntut ini. Akan tetapi apabila tingkat penguasaan
peserta masih di bawah dari 80%, maka peserta diklat harus mengulangi kembali pokok-
pokok bahasan yang peserta diklat belum menguasai.
Semoga peserta diklat berhasil dalam mempelajari mata diklatpenuntutan dan
menerapkannya dalam praktek pelaksanaan tugas sehari hari.

Modul Penuntutan 97
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, A.
2006, Hukum Acara Pidana Indonesia
Jakarta, Sinar Grafika
Harahap, Yahya
1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP II.
Jakarta, Pustaka Kartini W
Nasution, A. Karim
1975, Masalan Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana
Jakarta, Tanpa Penerbit.
Prodjodikoro, Wirjono
1974, Hukum Acara Pidana di Indonesia,
Jakarta, Sumur Bandung
Prodjohamidjojo, Martiman
I 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti
Jakarta, Ghalia Indonesia
1984, Kitab Himpunan Peraturan-Peraturan Tentang Hukum Acara Pidana
Jakarta, Simplex.
Soerodibroto, Soenarto
1979, KUHP Dilengkapi Arrest-Arrest Hode Raad
Jakarta, Tanpa Penerbit
Tresna, R
1972, Komentar Atas HIR
Jakarta, Pradnya Paramita
lchtiar Baru van Hoeve, PT
1989, Himpunan Perundang-undangan RI,
Jakarta, PT. Ichtiar Baru van Hoeve
Husein, Harun
1998, Surat dakwaan
Jakarta, Rieneka Cipta
Kejaksaan Agung RI
2004, Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004
Modul Penuntutan 98
Jakarta, Kejaksaan Agung Rl
Kekuasaan Kehakiman
2009, Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009
Jakarta, Mahkamah Agung
Mahkamah Agung RI
1984, Himpunan Tanya Jawab Tentang Hukum Acara Pidana,
Jakarta, Mahkamah Agung Rl
Varia Peradilan
1995, Majalah Hukum
Jakarta, Ikahi
Kejaksaan Agung
2009, Modul Penuntutan

Modul Penuntutan 99

Anda mungkin juga menyukai