MODUL
DISUSUN OLEH :
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….iv
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan Pembelajaran……………………………………….........................3
Fasilitas / Media…………………………………………………………….5
- Pencurian……………………………………………………………….6
- Pemerasan……………………………………………..........................10
- Penggelapan……………………………………………....... ………...12
iv
- Penipuan……………………………………………………………….13
- Penadahan……………………………………………………………..14
- Perjudian………………………………………………………………15
- Perusakan Barang……………………………………………………..17
- Penghinaan…………………………………………………………….18
- Penganiayaan………………………………………………………….22
- Penganiyaan Ringan…………………………………………………..23
- Perzinahan…………………………………………………....………..27
- Perkosaan……………………………………………………………...28
- Perbuatan Cabul……………………………………………………….30
- Pembunuhan………………………………………………...................31
- Makar………………………………………………………………….37
- Permufakatan Jahat……………………………………………………37
v
- Penodaan Bendera Kebangsaan Dan Lambang Negara.........................40
- Pemalsuan Surat………………………………………….....................74
- Peniadaan Pidana……………………………………….......................82
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...97
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. DESKRIPSI SINGKAT
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
D. POKOK BAHASAN
E. FASILITAS / MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran ini anatara lain :
1. Naskah Pegangan Peserta (Modul);
2. Proyektor
3. Kasus-kasus berkaitan dengan materi ajar
1. Pencurian ternak
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau
gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan
kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang;
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal
dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
Pencurian yang dirumuskan dalam Pasal 363 KUHP disebut dengan Pencurian
Berat yaitu pencurian dalam bentuk pokok sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
362 KUHP ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 363 Ayat (1) KUHP dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pencurian ternak;
Obyek dari pencurian disini ialah berupa hewan ternak.
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa
laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru
hara, pemberontakan atau bahaya perang;
Keadaaan-keadaan tersebut diatas merupakan keadaan bencana dan dapat
dipastikan pada saat itu orang-orang dalam kondisi panik dan cemas hingga
mereka kurang memperhatikan barang-barang kepunyaannya. Oleh karena itu
dalam keadaan seperti itu akan mempermudah tindakan pencurian.
3. Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang
ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau
tidak dikehendaki oleh yang berhak;
Rumah merupakan tempat kediaman atau tempat tinggal. Disamping rumah,
gerbong kereta api, perahu atau setiap bangunan yang dibuat sedemikian rupa
untuk tempat kediaman termasuk juga dalam pengertian rumah.
Pekarangan tertutup ialah sebidang tanah yang mempunyai tanda-tanda batas
yang nyata yang menunjukkan bahwa tanah dapat dibedakan dari bidang-bidang
tanah sekelilingnya. Tanda-tanda batas itu dapat juga berupa saluran air,
tumpukan batu-batu, pagar bambu, dsb.14)
Pemerasan
Pasal 368 KUHP
(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
(2) Ketentuan Pasal 365 ayat (2), (3) dan (4) berlaku bagi kejahatan ini.
Bagian inti delik dari pasal ini sama dengan delik pemerasan (Pasal 368 KUHP),
ditambah satu bagian inti lagi yaitu ”dengan ancaman akan membuka rahasia”. Jadi
paksaannya itu berupa akan membuka rahasia korban jika tidak diberi sesuatu atau
seterusnya itu. Dalam bahasa Belanda delik ini dikenal dengan Chantage.
Penipuan
Pasal 378 KUHP
”Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara
paling lama empat tahun”.
Penadahan
Pasal 480 KUHP
“Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah :
1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah
atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan,
menggadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan
penadahan;
2. barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda yang diketahuinya,
atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.”
Perjudian
Pasal 303 KUHP
(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda
sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa dengan tidak
berhak :
Ke-1. dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi sebagai
mata pencahariannya, atau dengan sengaja turut campur dalam
perusahaan main judi;
ke-2. dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi kepada
umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan perjudian
itu, biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam
hal memakai kesempatan itu;
ke-3. turut main judi sebagai mata pencaharian.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat
dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.
(3) Main judi berarti tiap-tiap permainan, yang kemungkinan akan menang pada
umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu
bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Main judi
mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau
permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau
main itu, demikian juga segala pertaruhan lain.
Permainan dengan kartu yang tidak dapat digolongkan dalam judi ialah : bridge,
domino, dsb yang tidak ada taruhan uangnya, sedangkan yang dapat digolongkan
kedalam judi ialah dadu, tombola, totalisator pada pacuan kuda, pertandingan sepak
bola, togel, dsb.
Permainan dengan kartu yang tidak dapat digolongkan dalam judi ialah : bridge,
domino, dsb yang tidak ada taruhan uangnya, sedangkan yang dapat digolongkan
kedalam judi ialah dadu, tombola, totalisator pada pacuan kuda, pertandingan sepak
bola, togel, dsb.
Perusakan Barang
Pasal 406 KUHP
(1) “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusakkan, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan
sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan delapan bulan atau
dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Hukuman yang sama dijatuhkan kepada mereka yang dengan sengaja dan
secara melawan hukum, membunuh, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai
lagiatau menghilangkan seekor hewan yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain.
Jenis tindak pidana yang dimaksudkan menyangkut harga diri dan kehormatan
orang, kesehatan orang, kemerdekaan orang maupun nyawa orang yang banyak
ditemui dan terjadi dalam masyarakat. Tindak pidana tersebut berupa
penghinaan, penganiayaan, perkosaan, pencabulan, kelalaian yang
menyebabkan orang luka atau meninggal, perzinahan, dan pembunuhan.
Penghinaan
Pasal 310 KUHP
(1) “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduh sesuatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam pidana karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(2) “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan, atau ditempel dimuka umum, maka diancam dengan pencemaran
tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(3) “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.”
Dalam tindak pidana menista dengan surat (smaadschrift) dan pada umumnya
dalam tindak pidana penghinaan yang dimuat dalam buku II Bab XVI KUHP, tidak
perlu adanya animus in juriandi, yakni niat untuk menghina. Berikut ini penjelasan
mengenai inti delik dalam penghinaan, yaitu:
apabila syarat tuduhan tidak berisikan suatu tuduhan tentang sesuatu hal dengan
maksud untuk diketahui umum.
Pada ayat (4) diberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan
penganiayaan, yaitu “dengan sengaja merusak kesehatan orang”. Kalau demikian,
maka penganiayaan itu tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang tidak bisa
bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian itu.
Penganiayaan Ringan
Pasal 352 KUHP
(1) Kecuali yang disebut di dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan,
jabatan atau pencaharian diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Sama dengan Pasal 351 KUHP, pasal ini pun tidak membuat pengertian
atau rumusan tentang apa yang dimaksud dengan “penganiayaan”. Yang
membedakan kedua rumusan ialah rumusan pasal ini disebut penganiayaan ringan.
Kesengajaan disini ditujukan kepada melukai berat orang. Jadi, disini ada
bentuk khusus penganiayaan berupa kesengajaan yang ditujukan untuk melukai
berat orang dan tidak termasuk mencederai. Bukan berarti terjadinya nyeri, tetapi
luka berat. Luka berat menurut Hoge Raad diartikan “luka yang sedemikian rupa
yang tetap membawa akibat yang serius atau membawa akibat kerusakan pada
badan” (Hoge Raad, 8 Januari 1917, p.175).
Perzinahan
Pasal 284 KUHP
(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan :
ke-1. a. laki-laki yang beristeri yang berzina sedang diketahuinya, bahwa Pasal
27 KUH Perdata berlaku baginya;
b. Perempuan yang bersuami yang berzina;
ke-2. a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya
bahwa yang turut bersalah itu bersuami.
b. perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu,
padahal diketahuinya, bahwa yang turut bersalah itu beristeri dan Pasal
27 KUH Perdata berlaku bagi yang turut bersalah itu.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami atau isteri yang terhina dan
dalam hal bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 KUH Perdata kalau dalam waktu
tiga bulan sesudah pengaduan itu ia memasukkan permintaan untuk bercerai
atau hal dibebaskan dari kewajiban berdiam serumah oleh karena hal itu juga.
(3) Bagi pengaduan itu tidak berlaku pasal 72, 73 dan 75.
(4) Pengaduan itu dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Kalau bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 KUH Perdata, maka pengaduan itu
tiada diindahkan sebelum perkawinan diputuskan karena perceraian, atau
sebelum keputusan yang membebaskan mereka dari kewajiban berdiam
serumah menjadi tetap.
Menurut pengertian umum, zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh perkawinan. Akan
tetapi menurut pasal ini zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau
Perkosaan
Pasal 285 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Sebenarnya jarang delik kesusilaan itu terjadi concursus, tetapi pada Pasal
285 KUHP terjadi concursus dengan Pasal 289 KUHP, yaitu dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan berbuat cabul dengan dia (J.M.
van Bemmelen-W.F.C. van Hattum, 1954 : Ibid). Jadi Pasal 285 KUHP merupakan
lex specialis, sedangkan perbuatan cabul merupakan legi generali (Hoge Raad, 19
Maret 1946, No. 259). Kalau dalam persetubuhan itu ada dua laki-laki yang
terlibat, yang satu memaksa sedangkan yang lain melakukan persetubuhan, maka
keduanya dipidana sebagai peserta (deelnemer) (T.J. Noyon-Langemeijer-
Remmilink. Komentar atas artikel 242 Sr).
Perbuatan Cabul
Pasal 289 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang anak
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena menyerang
kehormatan, kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Pembunuhan
Pasal 338 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
bersalah melakukan pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”
Sebenarnya rumusan ini tidak memuat bagian inti tersendiri, tetapi tetap
mengacu kepada pembunuhan yang tercantum di dalam Pasal 338 KUHP. Hanya
ditambah dengan satu bagian inti yang terdiri dari beberapa alternatif. Oleh karena
itu, dalam pembuktian tetap dirumuskan tentang adanya kesengajaan yang ditujukan
kepada perampasan nyawa orang lain atau ditambah dengan diikuti, disertai, atau
didahului oleh suatu delik, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan
atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri atau
peserta lain daripada dalam hal tertangkap basah, ataupun untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum.
Pasal 340 KUHP inipun rumusannya sama dengan rumusan Pasal 338 KUHP
ditambah dengan satu lagi bagian inti, yaitu dipikirkan lebih dahulu (met voor
bedachterade). Sebelumnya telah diuraikan bahwa yang menentukan adanya unsur
ini adalah keadaan hati untuk melakukan pembunuhan, walaupun keputusan yang
diambil dalam hati itu sekejap saja dengan pelaksanaannya.
Jadi rumusan deliknya sama dengan rumusan delik dalam Pasal 338 KUHP,
hanya ditambah dengan bagian inti :
1. Atas permintaan orang itu sendiri (yang dibunuh)
2. Permintaan itu dengan kesungguhan hati.
Harus ada permintaan yang jelas dinyatakan oleh orang yang dibunuh, dan
permintaan itu sungguh-sungguh, bukan main-main atau dalam keadaan kurang
sadar.
Tidak disebut “dengan sengaja” dalam pasal ini tidak berarti tidak diisyaratkan
adanya kesengajaan. Kesengajaan sudah terbenih di dalam rumusan itu sendiri.
Sering pembunuhan atas permintaan sendiri ini terjadi karena orang itu sakit
keras, sehingga tidak tahan penderitaan lebih lama, dan memohon dihentikan infus
atau bantuan pernafasan (jadi, dilakukan oleh dokter atau perawat) yang disebut
euthanasia.
Bagian inti delik (Delckt bestanddelen) Pasal 347 ayat (1) KUHP :
1. Sengaja.
2. Menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan.
3. Tanpa persetujuan.
Masing-masing ada keadaan memperberat pidana yang tercantum di dalam ayat
(2)nya, yaitu jika perempuan itu mati. Jadi, disini ada masalah kausalitas antara
perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan yang menyangkut perlakuan
terhadap tubuh perempuan itu dan kematiannya.
Makar
Permufakatan jahat
Pasal 110 KUHP:
(1) Permufakatan untuk melakukan salah satu dari kejahatan-kejahatan seperti
yang dimaksudkan di dalam pasal-pasal 104, 106, 107 dan 108 dihukum
dengan hukuman paling lama enam tahun.
(2) Hukuman yang sama dapat dikenakan juga terhadap mereka, yang dengan
maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah salah satu dari kejahatan-
kejahatan seperti yang diatur dalam pasal-pasal 104 – 108 KUHP:
1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan kejahatan itu, untuk memberikan
bantuan atau untuk memberikan kesempatan, sarana atau keterangan;
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap
bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian
lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau
kedudukan menurut Hukum Tata Negara.
Pada dasarnya pasal ini sama dengan Pasal 156 hanya pelaksanaannya
berbeda. Pasal 157 termasuk salah satu delik penyebaran (Verspreidings-delict).
Apa yang dimaksud penyebaran secara terbuka mempertunjukan dan secara
terbuka menempelkan yang artinya bahwa tulisan atau lukisan ditempatkan
sedemikian rupa sehingga umum dapat melihatnya. Jika ditempatkan disuatu tempat
yang dikelilingi pagar akan tetapi dapat dilihat oleh umum dari luar pagar juga
termasuk dalam pengertian mempertunjukan secara terbuka. Menempelkan secara
terbuka berarti tulisan atau lukisan dapat dilihat oleh umum. Supaya isinya tenar
berarti supaya diketahui oleh umum dan ketenarannya berganda berarti supaya
yang sudah tenar menjadi tenar lagi
Pencantuman “dengan maksud” disini selain menguatkan unsur
kesengajaan yang tersirat pada tindakannya juga merupakan tujuan sipenindak agar
isinya itu tenar karenanya untuk penerapan pasal ini tidak mesti sudah terwujud
ketenarannya.
Seperti halnya Pasal 137, 144, 155, 157, 163, 208, 282, 310 (2), 390 dan
534 delik ini termasuk delik penyebaran (verspreidings delict).
Pada dasarnya makna delik ini sama saja dengan delik tersebut hanya pada Pasal
160 caranya berbeda.
Apa yang dimaksud dengan menyebarkan secara terbuka mempertunjukkan atau
menempelkan supaya tenar dan supaya ketenarannya berganda.
Penyebaran suatu tulisan/lukisan berarti bahwa ada beberapa tulisan atau lukisan.
Dengan perkataan lain tidaklah mungkin menyebarkan hanya satu tulisan saja.
Berpindah-pindahnya hanya satu tulisan dari satu tangan ke tangan lainnya tidak
termasuk cakupan pengertian penyebaran. Penyebaran dapat terjadi dimuka umum
atau tidak dimuka umum. Penyebaran dapat juga terjadi melalui kantor pos atau
kantor yang berfungsi serupa dalam hal ini dapat timbul persoalan apakah Kepala
Kantor Pos tersebut telah turut serta atau membantu penindak ?.
Unsur kesalahan si Petindak tersirat pada tindakannya yang berupa menyebarkan
tulisan-penghasutan, mempertunjukkan suatu tulisan-penghasutan dimuka umum
dan lain sebagainya, yang setidak-tidaknya mengetahui isi tulisan penghasutan. Jadi
tidak harus dia sendiri yang membuat tulisan-penghasutan itu, tetapi ia mengetahui
isinya.
Pasal ini termasuk delik penyebaran yang pada dasarnya sama maknanya dengan
delik tersebut dalam Pasal 162 hanya caranya yang berbeda (Lihat uraian dalam
Pasal 162 dan 161).
Pasal ini muncul pada Tahun 1925 untuk mengatasi perbedaan pendapat
tentang pertanggunganjawab pidana bagi seorang penggerak seperti yang diatur
dalam Pasal 55 terutama dalam hal yang digerakkan itu tidak melakukan kejahatan
yang dikehendaki si penggerak. Disatu pihak para sarjana berpendapat bahwa
pertangungjawaban si penggerak terkait pada apakah si tergerak melakukan
kejahatan itu atau tidak (onzelfstandige vorm van deelneming) sedangkan di pihak
lain berpendapat bahwa pertanggungjawaban si penggerak adalah mandiri tidak
terkait pada apakah si tergerak melakukan kejahatan itu atau tidak (zelfstandige
vorm van deelneming). Kedua belah pihak masing masing mempunyai alasan dan
bahkan dasar yang kuat, sehingga untuk pemecahannya disisipkan Pasal 163 bis
dimana unsur kesalahannya berupa kesengajaan yang tersirat pada tindakan
Mengenai wajib lapor sebagai norma tanpa sanksi diatur dalam Pasal 108
KUHAP. Pada ayat pertama antara lain ditentukan “setiap orang yang menyaksikan
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) berhak
melaporkannya kepada penyelidik/penyidik. Pada ayat kedua antara lain ditentukan
“Setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak
milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik/penyidik”.
Selanjutnya dalam ayat ketiga ditentukan setiap Pegawai Negeri dalam rangka
melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang
merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik.
Terlepas dari tiadanya sanksi pidana terhadap ketentuan tersebut terasa
ada yang kurang pas yaitu :
a. Pada ayat (1) ditentukan hak setiap orang yang menyaksikan suatu tindak
pidana untuk melaporkannya. Ini berarti bukan kewajiban.
b. Pada ayat (2) ditentukan kewajiban setiap orang yang mengetahui adanya
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran)
tertentu untuk melaporkannya.
c. Pada ayat (3) ditentukan kewajiban Pegawai Negeri mengenai pelaporan ini
ternyata lebih sedikit cakupannya (hanya tindak pidana dalam rangka
pelaksanaan tugasnya)
Apabila ketentuan Pasal 108 KUHAP ini dihubungkan dengan Pasal 164,
165 KUHP jelas terlihat ketidakserasiannya. Pada Pasal 164 dan 165 KUHP tidak
dibedakan subjek maupun objeknya. Apabila pelakunya Seorang Pegawai Negeri
jika memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 52 maka dapat dijuntokan pada
Pasal 52 KUHP.
Untuk kesengajaan petindak mencakup tindakan penglalaian
pemberitahuannya, kecukupan materi yang dilaporkannya, alamat pelapor dan
waktu yang tepat, berarti ia menyadari bahwa ia telah melalaikan, menyadari tidak
cukup materi yang diberikan dan sebagainya.
Baik mengenai subjek cakupan unsur kesengajaan bersifat melawan hukum dan
tindakan yang ditentukan Pasal 165 sama dengan Pasal 164 karenanya
pembahasan tersebut Pasal 164 dapat juga diterapkan Pasal 165 ini.
Perbedaan yang paling utama ialah :
Ketentuan ini melindungi hak menempati rumah (huisrecht) yang diperolehnya dari
kenyataan menempati suatu rumah. Pertanyaan apakah penempatan ini
berdasarkan suatu hak tidaklah penting dan Pasal 167 sering dinamakan dengan
delik peresahan ketenangan rumah (huisvredebdreuk).5)
Menurut H.R. 16 Oktober 1916 ketentuan ini ditujukan terhadap perkosaan hak
seseorang terhadap beradanya disuatu tempat tanpa hak.Dengan “halaman” tidaklah
diartikan halaman dari suatu rumah.Suatu kuburan merupakan suatu “halaman”.
Menurut H.R. 7 Juni 1941 seorang laki-laki yang semenjak beberapa lama bertempat
tinggal dirumah lain, terhadap istrinya yang menempati rumah bersama dahulu, tidak
berhak selaku penyewa memasuki rumah itu secara paksa.
Unsur kesalahan adalah dolus yang tersirat pada tindakannya yang dilarang yaitu
memaksa masuk atau berada disitu dan tidak pergi dengan segera atas permintaan
dari/atas nama yang berhak. Dolus ini tidak mencakup dari tindakan itu, yang
karenanya ditempatkan/dirumuskan didepan tindakan yang mengandung unsur dolus
tersebut.
Penerapan delik ini harus dibuktikan sesuai dengan kenyataan, artinya
sipetindak harus mengetahui/menyadari apakah tindakannya itu bertentangan
dengan hak orang lain, bertentangan dengan hukum atau tidak. Misalnya apakah si
Tempat dimana para Anggota DPRD bersidang yakni melakukan tugasnya menurut
hukum publik adalah terbuka untuk umum.Jika karena penundaan sidang umum
DPRD telah selesai maka umum tidak berhak lagi untuk tetap berada dalam ruangan
itu dan atas permintaan pejabat yang berwenang, dalam hal ini walikota wajib
meninggalkan ruangan tersebut.
Yang dimaksud ruangan untuk dinas umum ialah setiap ruangan yang
digunakan pemerintah untuk melayani rakyat umum atau badan-badan umum seperti
kantor kas negara, kantor pos telegram dan telepon, kantor tempat
pelaporan/pengaduan, kantor pengadilan, kantor untuk rapat, dsb. Dalam hal ini
harus diperhatikan peraturan pada kantor-kantor tersebut yang mungkin berbeda
satu sama lain. Jika untuk memasuki kantor tersebut harus antri dan tegas diawasi
pelaksanaannya maka penyelonong dapat dipandang sebagai memaksa masuk dan
apabila diluar pengetahuan si petugas si petindak sudah ada didalam dengan cara
Pasal 173 dan Pasal 174 dapat merupakan menampung bagi suatu tindakan yang
kepadanya tidak dapat diterapkan ketentuan Pasal 146, 147 dan pasal-pasal yang
sepadan di Undang-undang Pemilu.
Sesuai dengan makna dari Pasal 28 UUD 45 yang sekarang sudah diamandemen
dalam hubungannya dengan pokok pikiran bahwa negara kita adalah berkedaulatan
rakyat, maka pada dasarnya untuk mengadakan suatu rapat tidak diperlukan adanya
suatu ijin terlebih dahulu naun untuk pengadaan rapat tertentu atau pengadaan rapat
dalam keadaan darurat dipandang perlu diadakan pembatasan yang karenanya
memerlukan ijin. Pembatasan tersebut diatur dalam :
a. Peraturan perkumpulan dan rapat Stb 1919/27 Pasal 5 dst.
Delik ini ialah delik sengaja yang tersirat pada tindakan merintangi dengan
kekerasan/ancaman kekerasan.Tindakan merintangi disini adalah melawan hukum
jika pertemuan keagamaan atau upacara keagamaan itu diijinkan.Sedangkan
merintangi pemakaman jenazah adalah juga melawan hukum jika pemakaman itu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau kebiasaan.
Pengertian merintangiadalah membuat tidak mungkin (untuk sementara)
memasuki suatu tempat sedangkan yang dimaksud dengan menghalangi ialah
mempersulit untuk memasukinya. Untuk penerapan pasal ini harus semua para
peziarah atau para pengusung dan pengantar terintangi atau dihalangi. Hanya
beberapa orang saja yang dirintangi/dihalangi sudah membuat sempurna delik ini.
Yang dimaksud dengan pertemuan keagamaan yang bersifat umum bukan
saja yang dilakukan didalam gedung atau ruangan tetapi juga di lapangan terbuka.
Penggunaan predikat yang diijinkan disini tidak berarti harus selalu ada surat ijin
tertulis, tergantung kepada peraturan yang sudah ada misalnya tidak perlu pada
setiap sembahyang Jumat di masjid, setiap pertemuan keagamaan di gereja
ataupun di rumah-rumah penganut agama itu harus selalu ada surat ijin. Pertemuan
itu dipandang sudah diijinkan kecuali ada larangan tersendiri atau secara khusus.
Pengertian Pemakaman jenazah disini harus turut diartikan “Kremasi
jenazah” (pembakaran jenazah) seperti yang terjadi di Bali. Dalam pengertian ini
Berbeda dengan Pasal 175 dimana unsur sengaja itu tersirat pada
tindakannya yang dikuatkan oleh caranya melakukan tindakan tersebut, maka untuk
Pasal 167 ini unsur secara sengaja dicantumkan secara tegas. Hal ini memberikan
kesempatan bagi seorang atau petugas memperingatkan seseorang yang
menimbulkan kekacauan atau menimbulkan suara gaduh untuk menghentikan
perbuatannya tersebut jika disitu ada pertemuan keagamaan dan seterusnya.Jika si
petindak tidak mengetahui/menyadari bahwa disitu ada pertemuan keagamaan dan
dia menimbulkan suara gaduh, maka pasal ini belum dapat diterapkan. Tetapi
setelah kepadanya diberitahukan hal itu namun ia masih tetap melakukan
perbuatannya berarti ia telah mengetahui adanya pertemuan keagamaan tersebut,
maka sejak saat itu telah sempurna terjadi delik ini.
Tindakan yang dilarang adalah mengganggu, yang dimaksud mengganggu adalah
perbuatan si petindak itu terutama mengakibatkan para peserta pertemuan/upacara
tersebut tidak dapat memusatkan atau tidak bisa dengan tenang/baik mengikuti
jalannya pertemuan/upacara tersebut.
Delik ini adalah delik sengaja yang tersirat pada tindakannya itu sendiri
namun mengenai apakah si petindak harus mengetahui bahwa petugas agama itu
diijinkan atau tidak dalam menjalankan tugas tersebut, para sarjana yang beraliran
legalistik berpendapat harus diketahuinya, sedangkan para sarjana yang lebih luwes
berpendapat, tidak dipersyaratkan diketahui lebih dahulu.
Pada butir ke 1 yang dimaksud dengan mengejek (bespotten),
merendahklan atau menertawakan ialah suatu tingkah laku, gerakan, dialek, cara
bicara, dsb dari si objek dan tidak menyangkut kepribadian atau kesusilaannya.
Sedangkan yang dimaksud menghina (Vide Pasal 310, 315) adalah merendahkan,
menertawakan karakter (watak), kesusilaan, perasaan dari si objek.
Yang dimaksud dengan petugas agama adalah mereka yang ditugaskan
untuk melakukan tugas keagamaan seperti Imam, Khadi, pendakwah, pastor,
pendeta, rohaniawan Islam/Katolik/Kristen/Hindu/Budha dan lain sebagainya yang
antara lain meliputi berkhotbah, memimpin sembahyang, dsb.
Dalam penerapan pasal ini pengejekan dilakukan kepada petugas agama tersebut
ketika ia menjalankan tugas keagamaan. Apakah petugas keagamaan itu
mengetahui atau tidak bahwa ia diejek tidak dipersyaratkan. Pada butir 2 yang
dimaksud mencemoohkan mencakup semua tindakan merendahkan benda-benda
untuk keperluan ibadat .Dalam hal ini dilakukan ditempat ibadat atau pada waktu
ibadat dilakukan.
Pengertian menggali disini, tidak harus yang berada dibawah tanah, tetapi juga yang
bersemanyam dilereng gunung (seperti di tanah toraja) dan termasuk juga dalam
pengertian mengambil disini, selain dari mengambil/membawa pergi suatu jenazah
dari hasil penggalian tersebut, juga jenazah yang berasal dari perumahan/rumah
jenazah seperti yang terdapat di daerah tanah batak, pesemayaman jenazah
sebelum diadakan pembakaran seperti yang terdapat di Bali atau kamar-jenazah
dirumah-rumah sakit dan lain sebagainya.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dalam hal peraturan
undang-undang diharuskan supaya memberi keterangan atas sumpah atau
mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut, dengan sengaja memberi
keterangan palsu atas sumpah, dengan lisan atau surat, oleh dirinya sendiri atau
wakilnya yang khusus ditunjuk untuk itu.
- “Orang yang dalam hal peraturan undang-undang diharuskan memberi
keterangan atas sumpah” misalnya orang yang menjadi saksi dalam perkara
perdata atau perkara pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 147 dan 265
R.I.B. yang menentukan bahwa saksi dalam perkara perdata atau perkara pidana
harus disumpah dulu menurut agamanya.
- “Orang yang dalam hal peraturan undang-undang diharuskan memberi
keterangan yang mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut” misalnya
pembuat berita acara yang akan diteruskan ke Pengadilan.
- “Keterangan Palsu” adalah keterangan yang tidak benar atau bertentangan
dengan keterangan yang sesungguhnya.
- “Keterangan atas sumpah” berarti keterangan yang diberikan oleh orang
(pembuat berita acara) yang sudah disumpah, yakni sumpah jabatan. Apabila ia
belum melakukan sumpah jabatan, pada penutup berita acara yang dibuatnya,
harus dibubuhi dengan kalimat : “berani mengangkat sumpah di kemudian hari”.
- “Kesanggupan atau penguatan yang diperintahkan oleh undang-undang umum”
misalnya janji. Menurut L.N. 1920 No. 69 sumpah itu dilakukan menurut agama
dan keyakinan orang yang bersumpah. Suatu janji dapat disamakan dengan
sumpah.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang atau memalsukan
mata uang atau mata uang kertas negara atau uang kertas bank, dengan maksud
untuk menjalankan atau menyuruh menjalankan mata uang atau mata uang kertas
negara atau uang kertas bank itu sebagai yang asli dan tidak dipalsukan.
- Meniru berarti membuat demikian rupa sehingga menyerupai yang asli.
- Mata uang negara ialah alat pembayaran sah dari negara yang dibuat dari logam.
- Uang kertas negara, ialah alat pembayaran sah dari negara yang dibuat dari
kertas.
- Uang kertas bank, ialah alat pembayaran sah yang dibuat oleh bank yang
ditunjuk oleh pemerintah, terbuat dari kertas.
Dalam pemalsuan alat pembayaran ini, tidak saja meliputi uang Indonesia,
tetapi termasuk juga uang negara asing. Seorang yang melukis uang kertas negara
demikian rapi sehingga sama dengan aslinya, tetapi tidak disertai suatu maksud
untuk menjalankannya sebagai uang kertas yang sah, tidak dapat dituntut dengan
pasal ini.
Termasuk “meniru uang” : mengurangi logam mata uang yang asli, kemudian
menambal dengan logam yang lain, mencetak uang kertas serupa dengan uang
resmi. Orang yang mengurangi logam mata uang, dikenakan pasal 246 KUHP.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja
mengeluarkan, menerima, menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik
Indonesia mata uang dan uang kertas negara atau uang kertas bank yang palsu atau
dipalsukan, dengan maksud untuk diedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai
yang asli dan tidak dipalsukan.
Untuk dapat dituntut dengan pasal ini, orang yang mengeluarkan, menerima,
menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik Indonesia untuk diedarkan atau
menyuruh mengedarkan sebagai mata uang dan uang kertas negara atau uang
kertas bank yang asli dan tidak dipalsukan itu harus mengetahui akan kepalsuannya.
Orang yang mengedarkan uang palsu dengan tidak mengetahui akan kepalsuannya,
tidak dihukum.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang mengurangi harga
mata uang, dengan maksud untuk mengeluarkan atau menyuruh mengeluarkan
mata uang yang sudah berkurang itu sebagai mata uang yang masih utuh.
- Yang dapat dikurangi harganya ialah mata uang yang terbuat dari logam, uang
kertas tidak dapat dikurangi. Dan yang biasa dikurangi ialah mata uang yang
terbuat dari emas atau perak.
- Cara mengurangi ialah dengan jalan mengikir mata uang tersebut, sehingga berat
timbangannya berkurang.
- Perbuatan ini dapat dihukum, apabila dilakukan dengan maksud akan
mengedarkan uang yang sudah dikurangi harganya itu sebagai mata uang yang
masih utuh.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah : orang yang dengan sengaja
mengeluarkan, menerima, menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik
Indonesia mata uang yang telah dikurangi harganya, 5 dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai mata uang yang tidak rusak.
Mengedarkannya harus dengan unsur sengaja dan mengetahui bahwa mata uang itu
telah dikurangi harganya.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang menerima mata
uang palsu, dipalsukan atau yang dirusakkan, atau uang kertas negara atau uang
kertas bank yang palsu atau dipalsukan, dengan tidak mengetahui kepalsuan uang
tersebut, kemudian setelah ia mengetahui bahwa uang itu palsu mengedarkannya
kembali sebagai mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank yang tidak
palsu atau dipalsukan, karena ia tidak mau rugi.
Orang yang membeli sesuatu dengan uang palsu tetapi tidak diketahuinya bahwa
uang itu palsu, tidak dapat dihukum.
Perlu diingat bahwa pasal-pasal tentang pemalsuan mata uang ini juga diatur Pasal
IX sampai dengan Pasal XIII Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Pemalsuan Surat
Pasal 263 KUHP
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
- yang dimaksud surat pembukti resmi (akte otentik) ialah surat yang dibuat
menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, misalnya
akte kelahiran;
- Talon adalah bahagian segi yang melekat pada kupon, yang mana sesudah
kupon-kupon yang melekat pada talon itu habis dipakai, harus diserahkan
kembali untuk mendapatkan rangkaian kupon-kupon yang baru;
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang membuat surat keterangan
dokter yang palsu atau memalsukan surat keterangan dokter, dengan maksud akan
memperdayakan kekuasaan umum atau penanggung asuransi.
Menurut L.M. terakhir tahun 1902 No. 449, maka pembawaan ternak dari satu
distrik (bahagian pemerintahan daerah dibawah kabupaten) ke distrik yang lain,
harus disertai surat pengantar yang dikeluarkan oleh Kepala Distrik (Wedana) atau
pegawai yang ditunjuk untuk itu.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialahPegawai yang membuat palsu
surat penghantar itu dan orang yang dengan sengaja memakai surat penghantar
palsu itu, dapat dikenakan pasal ini.
Surat keterangan yang dipalsukan dalam pasal ini ialah surat keterangan yang
pada umumnya banyak diberikan oleh pegawai pamongpraja, termasuk para
pamong desa, kepada penduduk yang akan membawa atau menjual barang-
barangnya, untuk menyatakan bahwa barang tersebut adalah milik dari penduduk itu.
Pemalsuan surat keterangan sejenis ini biasanya dilakukan untuk
memudahkan penjualan barang-barangnya gelap atau yang berasal dari kejahatan.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah “Menyimpan untuk dapat
digunakan oleh si penyimpan”dapat diartikan“menyediakan”.Perampasan barang
dalam pasal ini harus bersifat imperatif (harus dilakukan), bukan fakultatif.
Kejahatan-kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 264 No. 2 – 5, ialah
pemalsuan tentang :
- Surat utang atau surat tanda utang dari suatu negara atau sebagiannya atau dari
suatu lembaga umum;
- Sero atau surat utang, atau surat tanda sero atau surat tanda utang dari suatu
perhimpunan, yayasan, perseroan atau maskapai;
Peniadaan pidana
Pasal 301 (3) KUHP
Ketentuan ayat ini merupakan peniadaan kualifikasi kejahatan pencemaran
atau pencemaran tertulis jika si pelaku melakukan tindakan itu :
a. Secara gamblang demi kepentingan umum
b. Secara gamblang untuk pembelaan diri yang sangat diperlukan (terpaksa)
Dari sudut teori peniadaan pidana, maka Pasal 310 (3) telah meniadakan unsur sifat
melawan hukum dari tindakan pelaku dalam hal tersebut a atau b diatas. Karena
tindakan tersebut atas dasar Pasal 310 (1) ini dinyatakan telah melakukan tindakan
itu, tapi tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis karena adanya
tersebut a atau b maka putusan hakim berbunyi : “ dilepas dari segala tuntutan
“(ontslag van rechtsvervolging), dan bukan “dibebaskan dari tuduhan” (Vrijspraak).
Yang dimaksud secara gamblang demi kepentingan umum ialah bahwa si
petindak memang secara jelas dan tegas menuduhkan sesuatu hal supaya umum
waspada pada oknum yang dicemarkan itu, misalnya;
- Oknum tersebut selaku direktur dari suatu perusahaan jika menghadapi pelamar-
pelamar wanita maka wanita-wanita tersebut tidak pernah lepas dari pelukan atau
cubitannya.
- Oknum tersebut suka bikin hutang dimana-mana tapi tidak pernah membayar.
Pada umumnya mengenai ketentuan pada Pasal 312 ini telah dimasukkan
dalam uraian Pasal 311. Yang perlu diingat bahwa Pasal 312 ini tidak hanya
dikaitkan dengan Pasal 311 untuk menentukan adanya fitnah atau tidak, tetapi juga
tertuju kepada Pasal 310 untuk memutuskan apakah hal itu dilakukan demi
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Disini kita lihat
seakan-akan ada pembalikan beban pembuktian (omkeering van bewijslast) yaitu
mengenai tugas pembuktian itu seharusnya menjadi beban dari penuntut umum,
disini terdakwa justru dibebani pembuktian. Hal ini bukanlah pembebanan
pembuktian melainkan memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mengutarakan
1. Putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan yang dalam perkara ini
berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat
tuduhan lebih banyak ditujukan kepada Pasal 310 KUHP.
2. Berdasarkan tuduhan antara lain “bahwa PT. Tjahaja Negeri telah ditutup
terdakwa, dan apabila menyaksikan kematian PT. Tjahaja Negeri tersebut
supaya datang dan bila ada barang-barang yang dipinjamkan oleh PT Tjahaja
Bank Gemary atau barang-barang yang tanggungan PT. Tjahaja agar segera
diangkut demi keamanan barang-barang tersebut.” Terdakwa dinyatakan
bersalah melakukan tindak Pidana 315 KUHP, meskipun kata-kata tersebut lebih
banyak ditujukan terhadap Pasal 310 KUHP (M.A. No. 68 K/Kr/1973 tanggal 16-
12-1976 ) 11)
Dalam perkara ini penuntutan terdakwa atas pasal 315 KUHP dapat dibenarkan,
sekalipun tidak ada pengaduan, tidak ada pengaduan disini adalah karena saksi
yang bersangkutan tidak mengerti/buta hukum dan dalam hal demikian penuntut
umum harus mengusahakan adanya pengaduan itu (M.A. No. 393 K/Kr/1981
tanggal 30-12-1982).
Kata-kata yang bersifat penghinaan terhadap ajaran Ketuhanan yang diberikan oleh
seorang guru besar, bukan merupakan penghinaan pribadi terhadap guru besar itu
(H.R. 24 Pebruari 1902).
Pasal ini mengingatkan dan senada dengan Pasal 310 (1) tentang
pencemaran dan Pasal 310 (2) tentang pencemaran tertulis. Bedanya ialah bahwa
sasaran/objek pada delik ini adalah orang yang sudah mati yang diperandaikan
masih hidup. Karena Pasal 310 ini terdiri dari 3 ayat maka ayat ke 3 tersebut juga
berlaku dalam penerapan pasal ini. Berarti jika si pelaku melakukan delik
pencemaran kepada seorang yang sudah mati demi kepentingan umum dan karena
terpaksa beladiri maka tindakannya itu dikualifikasikan sebagai pencemaran. Namun
dalam penerapan delik ini tidak diberlakukan ketentuan kebolehan pembuktian atas
kebenaran tuduhan, yang dengan demikian benar atau tidaknya yang dituduhkan itu
dalam rangka penentuan telah terjadi fitnah tidak dipersoalkan. Selanjutnya apabila
si pelaku hanya melakukan penghinaan ringan terhadap si orang mati tersebut tidak
dapat diterapkan pasal ini
Delik ini merupakan delik aduan. Yang berhak mengadukan ditentukan
adalah keluarga atau isteri (suami) yang masih hidup dari si mati dan belum bercerai
ketika si mati masih hidup. Mengenai pengertian dari keluarga sedarah atau
semenda dalam garis lurus (tanpa terbatas derajat) ataupun dalam garis
menyimpang yang dibatasi hanya sampai derajat kedua.
Suatu karangan juga merupakan suatu tulisan jika berisikan gambar-gambar. Orang
yang mengedarkannya tidak perlu hendak menghina dengan sengaja; adalah cukup
bahwa ia mempunyai alasan kuat untuk menduga bahwa isinya adalah menghina
(H.R. 7 Juni 1937).
Delik ini termasuk penyebaran (verspreidings misdrijven). Pasal ini tergabung
kejahatan penghinaan terhadap sasaran (objek) yang masih hidup dan kejahatan
pencemaran (saja) terhadap yang sudah mati.
Tindak pidana yang diuraikan dalam buku ini hanya pokok-pokoknya saja
dan hanya mengenai delik-delik tertentu yang kemungkinan besar akan banyak
ditemui dalam praktek di masyarakat. Sudah barang tentu masih jauh dari memadai
untuk dapat diterapkan di dalam kehidupan masyarakat yang setiap waktu
berkembang, baik sebagai subyek kejahatan maupun obyek kejahatannya.
Untuk dapat memahami dengan baik isi buku ini masih diperlukan referensi
yang lain yaitu : asas-asas hukum pidana dan dengan menerapkan contoh-contoh
kasus yang aktual serta yurisprudensi yang berkembang dalam kehidupan peradilan
di Indonesia, baik dari Mahkamah Agung RI maupun Mahkamah Konstitusi.
Selamat belajar, semoga berhasil.