Anda di halaman 1dari 37

PELAKSANAAN FIAT EKSEKUSI TERHADAP OBJEK HAK

TANGGUNGGAN SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI PADA


KSPPS ANUGERAH TEMANGGUNG

PROPOSAL TESIS

Diajukan Kepada Program Studi Magister Ilmu Hukum


Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung (UNISSULA) Semarang
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Menyelesaikan Program Magister Ilmu Hukum

Oleh :
Fathul Hadi
NIM: 20302200020

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SULTAN AGUNG
SEMARANG
2023
A. Latar Belakang Masalah

Koperasi Syariah merupakan salah satu lembaga keuangan syariah non

bank yang tumbuh pesat di Indonesia. Pesatnya pertumbuhan Koperasi

Syariahmengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sangat membutuhkan

keberadaannya, sebagai bagian dari lembaga keuangan alternatif yang

memberikan layanan (jasa) dengan konsep bagi hasil berdasarkan prinsip-

prinsip syariah yang sejalur dengan penerapan ekonomi syariah, apalagi

secara faktual mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, yang diakui atau

tidak turut andil mendorong pertumbuhan Koperasi Syariah di berbagai

daerah di Indonesia1.

Pesatnya perkembangan Koperasi Syariah di Indonesia tidak terlepas dari

besarnya porsi masyarakat kelas menengah dan bawah di Indonesia. Data dari

Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) per 1 April

2019, Dari total sekitar 265 juta penduduk, 40% merupakan masyarakat kelas

menengah dan 20% digolongkan sebagai kelas bawah, ditambah sebanyak

kurang lebih 25,67 juta jiwa dikategorikan sebagai penduduk miskin atau

9,66% jumlah penduduk. Inilah yang menjadikan keberadaan Koperasi

Syariah relevan dan sangat diterima oleh masyarakat Indonesia.

Dalam menjalankan bisnisnya Koperasi Syariah seringkali menghadapi

potensi terjadinya sengketa dengan anggota atau para pihak yang terlibat

dalam sebuah akad yang dilakukan oleh Koperasi Syariah. Setiap jenis

sengketa yang terjadi, Koperasi Syariah sebagai lembaga penyedia jasa di


1
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta: UII Press,
2002), h.126.

1
bidang ekonomi mikro syariah membutuhkan pemecahan dan penyelesaian

secara cepat dengan hasil penyelesaian yang mampu memenuhi rasa keadilan

bagi kedua belah pihak.

Upaya musyawarah dengan melakukan mediasi, negosiasi hingga

tawaran restrukturiasi ataupun penjadwalan ulang (rescheduling) sebagai cara

utama dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah atau wanprestasinya

nasabah, namun tak jarang upaya tersebut mengalami jalan buntu, maka

menempuh jalur peradilan (litigasi) adalah cara terakhir yang tentu akan

ditempuh oleh Koperasi Syariah ataupun Lembaga Keuangan Syariah (LKS)

lainnya.

Namun demikian, sebagai upaya terakhir (optimum remidium), upaya

litigasi tak jarang membutuhkan waktu yang lama dan tentu biaya yang tak

murah. Namun demikian upaya litigasi ini bagaimanapun harus ditempuh

guna memastikan hak-hak keuangan Koperasi Syariah menjadi terpenuhi

serta nasabah dipaksa untuk memenuhi kewajibannya.

Dalam konteks ini, hukum ekonomi syariah di Indonesia mengalami

dinamika dalam memecahkan persoalan umatnya terutama terkait sengketa

ekomomi syariah. Proses panjang peradilan dalam memeriksa dan memutus

perkara ekonomi syariah menjadi tantangan bagi dunia peradilan untuk

kemudian berinovasi menciptakan sarana beracara yang lebih cepat dan

efektif melalui apa yang disebut small claim court atau lazim disebut gugatan

sederhana melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.2 Tahun 2015

jo PERMA No. 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan

2
Sederhana serta PERMA No.14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian

Sengketa Ekonomi Syariah.

Selain itu bagi Koperasi Syariah pemegang hak tanggungan berupa

jaminan sertifikat tanah atas akad yang disepakati antara Koperasi Syariah

dengan anggotanya berdasarkan PERMA No.14 Tahun 2016 dapat langsung

mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama tanpa harus melalui

proses persidangan panjang yang kemudian lazim disebut permohonan fiat

eksekusi.

Penelitian ini akan mengurai bagaimana pelaksanaan fiat eksekusi oleh

Koperasi Syariah terhadap anggotanya yang melakukan wanprestasi atas akad

yang disepakati.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan dalam pendahuluan diatas, maka

penulis memfokuskan dan membatasi penelitian ini dalam rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah model penyelesaian sengketa melalui mekanisme fiat

eksekusi terhadap nasabah wanprestasi pada lembaga keuangan Koperasi

Syariah?

2. Bagaimana pelaksanaan fiat eksekusi dalam Penetapan Pengadilan Agama

Temanggung Nomor 01/Pdt.Eks/2023/PA.Tmg?

3
3. Bagaimanakah Efektifitas penggunaan model penyelesaian sengketa

melalui mekanisme fiat eksekusi terhadap nasabah wanprestasi bagi

lembaga keuangan Koperasi Syariah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemaparan latar belakang dan rumusan masalah di

atas,maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dari perspektif hukum sekaligus memahami

bagaimanakah model penyelesaian sengketa melalui mekanisme fiat

eksekusi terhadap nasabah wanprestasi pada lembaga keuangan Koperasi

Syariah menurut ketentuan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan fiat eksekusi dalam Penetapan Pengadilan

Agama Temanggung Nomor 01/Pdt.Eks/2023/PA.Tmg

3. Untuk mengetahui dari perspektif hukum sekaligus memahami seberapa

efektifitas penggunaan model penyelesaian sengketa melalui mekanisme

fiat eksekusi terhadap nasabah wanprestasi bagi lembaga keuangan

Koperasi Syariah.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan

praktis antara lain :

1. Manfaat teoritis penelitian ini sebagai usaha pengembangan ilmu

pengetahuan dibidang hukum khususnya dalam penyelesaian sengketa

ekonomi syariah, dan apabila dibutuhkan dapat dijasikan perangsang

4
untuk dilakukannya pengembangan penelitian selanjutnya pada topic ini

dengan objek yang berbeda.

2. Manfaat praktis penelitian ini secara langsung bagi penulis adalah

sebagai syarat memperoleh gelar strata dua (S2) pada Program Magister

Ilmu Hukum UNISSULA Semarang, dan bagi yang berkepentingan lain

dapat dijasikan bahan informasi, komparasi, serta referensi maupun

pengetahuan tentang model penyelesaian sengketa melalui mekanisme

fiat eksekusi terhadap nasabah wanprestasi pada lembaga keuangan

Koperasi Syariah.

E. Kerangka Konseptual

1. Wanprestasi

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)

No: 129/DSN-MUI/VII/2019 Tentang Biaya Riil Sebagai Ta’widh Akibat

Wanprestasi menerangkan bahwa yang dimaksud dengna wanprestasi atau

cidera janji adalah melakukan sesuatu yang tidak boleh/tidak semestinya

dilakukan (al-ta'addi), tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan

(al-taqshir), atau menyalahi apa yang telah disepakati (mukhalafat al-

syuruth) yang dapat berupa:

a. tidak membayar kewajiban sama sekali;

b. membayar kewajiban tepat waktu tapi jumlahnya kurang dari yang

disepakati;

5
c. membayar kewajiban dengan jumlah yang sesuai dengan kesepakatan

tapi melampaui waktu yang disepakati;

d. membayar kewajiban melampaui waktu yang disepakati dengan jumlah

yang kurang dari yang disepakati;

e. meliputi arfiara lain tidak menunaikan kewajiban baik berupa utang (al-

dain), ujrah, realisasi bagi hasil atas keuntungan usaha yangnyata-nyata

menjadi hak LKS maupun kerugian akibat dari tidak jadinya akad yang

didahului pemesanan (wa'ad) pembelian barang 2.

2. Hak Tanggungan

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas

tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.3

Dalam penjelasan umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor

4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

yang Berkaitan Dengan Tanah, Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas

tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan

diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam

arti, bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan

2
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No: 129/DSN-
MUI/VII/2019 Tentang Biaya Riil Sebagai Ta’widh Akibat Wanprestasi
3
Undang-undang No. 4 Tahun 1996, Pasal 1 angka 1.

6
berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,

dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain. Namun

demikian, Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak

mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-

ketentuan hukum yang berlaku.

3. Fiat Eksekusi

Pasal 224 H.I.R. dan Pasal 258 R.Bg. adalah ketentuan eksekusi yang

ditujukan bagi grosse acte hipotik (sekarang Sertifikat Hak Tanggungan)

dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua grosse acte tersebut memang

dimaksudkan mempunyai hak eksekutorial, yang berarti kedua grosse acte

tersebut mempunyai kekuatan sebagai suatu putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap, maka eksekusinya tunduk dan patuh

sebagaimana pelaksanaan suatu putusan pengadilan yang harus

dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan hukum

acara perdata. Pemahaman tersebut jelas sangat bertentangan dengan

makna parate executie yang merupakan sarana eksekusi yang mudah,

murah, tanpa mengikuti aturan dalam hukum acara perdata dan tanpa

membutuhkan fiat pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung No.14 Tahun 2016 menegaskan bahwa

pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia

berdasarkan akad syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama.

7
4. Koperasi Syariah

Koperasi Syariah merupakan koperasi yang menjalankan usaha di

bidang simpan pinjam dan pembiayaan yang menggunakan prinsip-prinsip

syariah. Di masa lalu koperasi syariah identik dengan baitul maal

wattamwil (BMT), namun demikian dalam perkembangannya koperasi

syariah tumbuh sangat beragam dengan variasi nama yang tidak seragam,

diantaranya berjenis Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Koperasi Serba

Usaha Syariah (KSUS) dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) 4 dan

terakhir bertransformasi menjadi Koperasi Simpan Pinjam dan

Pembiayaan Syariah (KSPPS).

F. Kerangka Teoritis

1. Teori Akad Syariah

Akad berasal dari bahasa arab al-aqdu dalam bentuk jamak disebut

al-uqud yang berarti ikatan atau ”tali sampul”. Pengertian akad secara

terminologi hukum fiqih adalah perikatan antara ijab (penawaran) dengan

qabul (penerimaan) secara yang dibenarkan syara dan yang menetapkan

keridlaan kedua belah pihak5.

Secara linguistik, menurut Ibn Taimiyah akad memiliki makna

“ar-rabthu” yang berarti menghubungkan atau mengaitkan, mengikat

antara beberapa ujung sesuatu. Dalam arti luas, akad dapat dapat diartikan

4
Thalis Noor Cahyadi, Pengawasan dan Perlindungan Hukum atas Dana Masyarakat yang
Disimpan di KSUS BMT ISRA, Tesis Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta
Program Pascasarjana FH UII, 2012, hal.35.
5
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.
21.

8
sebagai ikatan antara beberapa pihak. Makna linguistik ini lebih dekat

dengan makna istilah fiqh yang bersifat umum, yakni keinginan seseorang

untuk melakukan sesuatu, baik keinginan itu bersifat pribadi seperti talaq,

sumpah ataupun terkait dengan keinginan pihak lain untuk

mewujudkannya seperti jual beli, sewa menyewa dan lainnya 6.

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II Bab I

Pasal 20 menyebutkan bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu

perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak

melakukan perbuatan hukum tertentu7. Sedangkan menurut Peraturan

Mahkamah Agung No. 14 Tahun 2016 menggunakan istilah akad ekonomi

syariah yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dua pihak atau lebih atas

dasar sukarela yang menimbulkan hak dan kewajiban berdasarkan prinsip

syariah8.

Menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Akad ialah p erikatan ijab

(penawaran) dengan qabul (penerimaan) dengan cara-cara yang

disyari‟atkan yang mempunyai dampak hukum pada yang diakadkan itu9.

Menurut istilah, akad memiliki makna khusus. Menurut Zuhaili,

akad adalah hubungan/keterkaitan antara ijab dan qabul atas diskursus

yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.


6
Dimyauddin Djuwaeni, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
h. 47.
7
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES)
8
Pasal 1 angak 3 Perma Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah.
9
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu‟amalah, h.10.

9
Dengan ungkapan lain, akad merupakan keterkaitan antara keinginan

kedua pihak yang dibenarkan oleh syara dan akan menimbulkan implikasi

hukum tertentu10.

Menurut Syamsul Anwar, akad adalah pertemuan ijab dan kabul

sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu

akibat hukum pada objeknya.11 Dari definisi tersebut memperlihatkan

bahwa, pertama akad merupakan keterkaitan ijab dan kabul yang berakibat

timbuknya hukum, Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak

karena akad adalah pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak dari

satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga tujuan

akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum berupa hak dan

kewajiban.

Tujuan akad, dapat dikategorikan lima hal yaitu :12

a. Pemindahan milik dengan imbalan ataupun tanpa imbalan (at-tamlik)

b. Melakukan pekerjaan (al-‘amal)

c. Melakukan persekutuan (al-isytirak)

d. Melakukan pendelegasian (al-tafwid})

e. Melakukan penjaminan (al-taus|iq )

Akad atau perjanjian Islam dilakukan berdasarkan asas yaitu 13:


10
Dimyauddin Djuwaeni, Pengantar Fiqh Muamalah, h.48.
11
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 83-92.
12
Ibid, h. 70.
13
Ibid. Lihat juga, Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 26-28. Lihat Juga, Hasanudin, Bentuk-bentuk
Perikatan dalam Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung RI, 2006), h. 144-146.
Lihat juga, Pasal 21 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum

10
a. Asas kebebasan berakad (al-h}urriyyah) artinya suatu prinsip hukum

yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apa

pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam

peraturan syari’ah.

b. Asas kerelaan (al-ridha) artinya asas ini menyatakan segala bentuk

transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan semua pihak.

c. Asas maslahat atau tidak memberatkan artinya akad yang dibuat

bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan tidak boleh

menimbulkan kerugian (madharat) atau keadaan yang memaksa

(masyaqqah). Maslahat ini khususnya, maslahah al-daruriyah pada

terpeliharanya harta.

d. Asas keadilan (al-’adalah) artinya akad harus adil bagi semua pihak.

e. Asas tertulis (al-kita>bah) artinya akad dibuat, disepakati dan

ditandatangani secara tertulis.

f. Asas al-iba>hah yaitu hukumnya boleh, karena pada dasarnya segala

sesuatu adalah boleh sampai dengan ada dalil yang melarangnya.

g. Asas janji itu mengikat. Hal ini sesuai dengan ‫ان‬LL‫د ك‬LL‫وأوفوا بالعهد ان العه‬

‫ مسئوال‬14

Ekonomi Syari’ah.
14
QS. Al-Isra (17) : 34

11
h. Asas menepati janji (ama>nah) yaitu setiap akad wajib dilaksanakan

oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh yang

bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.

i. Asas kehati-hatian (ikhtiyati) yaitu setiap akad dilakukan dengan

pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

j. Asas tidak berubah (luzum) yaitu setiap akad dilakukan dengan tujuan

yang jelas dan perhitungan yang cermat yaitu sehingga terhindar dari

praktik spekulasi atau maisir.

k. Asas saling menguntungkan yaitu setiap akad dilakukan untuk

memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik

manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

l. Asas kesetaraan (taswiyah) yaitu para pihak dalam setiap akad memiliki

kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang

seimbang.

m. Asas transparansi yaitu setiap akad dilakukan dengan

pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.

n. Asas kemampuan yaitu setiap akad dilakukan sesuai dengan

kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan

bagi yang bersangkutan.

o. Asas kemudahan (taysir) yaitu setiap akad dilakukan dengan cara saling

memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat

melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

12
p. Asas itikad baik yaitu akad dilakukan dalam rangka menegakan

kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk

lainnya.

q. Asas sebab yang halal yaitu tidak bertentangan dengan hukum, tidak

dilarang oleh hukum dan tidak haram.

Sedangkan rukun dan syarat terbentuknya akad adalah15 :

a. Para pihak yang membuat akad (al-aqida>n), harus memenuhi dua

syarat yaitu tamyiz dan berbilang (al-ta’addud).

b. Pernyataan kehendak para pihak (sig}at ’aqd), harus memenuhi dua

syarat yaitu adanya persesuaian antara ijab dan qabul atau dengan kata

lain tercapai kata sepakat dan adanya kesatuan majelis akad.

c. Objek akad (mah{allul’aqd), harus memenuhi tiga syarat yaitu objek

dapat diserahkan, objek tertentu atau dapat ditentukan dan objek dapat

ditransaksikan.

d. Tujuan akad (maudu’al-aqd), hanya membutuhkan satu syarat yaitu

tidak bertentangan dengan syara’.

Selanjutnya hukum akad terbagi dalam tiga kategori yaitu 16:

a. Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

15
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian, h. 97-98. Hal ini sesuai dengan pasal 1320 KUH
Perdata, yang menjelaskan tentang syarat sahnya perjanjian adalah kecakapan, kata sepakat, objek
perjanjian dan klausa yang halal.
16
Pasal 28 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah. Lihat juga, Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2000), h. 238. Menjelaskan berdasarkan keabsahannya akad terbagi menjadi dua yaitu akad sahih
(nafiz dan mauquf) dan akad tidak sahih (batil dan fasid).

13
b. Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-

syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut

karena pertimbangan maslahat.

c. Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-

syaratnya.

Pada dasarnya format akad (perjanjian) dibedakan menjadi dua

macam yaitu tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang

dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis. Sedangkan perjanjian lisan

adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan

(cukup kesepakatan para pihak)17.

Ada tiga format atau bentuk perjanjian tertulis yaitu18 :

a. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para yang

bersangkutan saja.

b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para

pihak.

c. Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta

notariel.

Demikian akad syariah merupakan kesepakatan atau hubungan

antara dua pihak yang diungkapkan dalam suatu ijab dan qobul untuk

17
Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan, Cet. V (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h. 42-43. Lihat juga, Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia, Buku Kesatu, Cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.32-33.
18
Ibid.

14
melakukan maupun tidak melakukan sesuatu, serta menimbulkan hak dan

kewajiban diantara keduanya.19

2. Jenis Akad Syariah

1. Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fi al-ardh yaitu

bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh, yang berasal dari

kata al-Qath’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian

hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian dari

labanya.20

Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, qiradh atau mudharabah adalah

seseorang memberikan modal kepada orang lain untuk diperniagakan

dan dipersekutui untung atau laba, diharuskan. Hukum tersebut

disepakati oleh para mudjtahidin, begitu juga Imam Malik, Ahmad dan

Abu Hanifah. Namun, menurut para mudjtahidin qiradh dengan mata

uang (bukan mata uang perak) adalah tidak sah. Sedangkan Asyhab dan

Abu Yusuf membolehkan, jika mata uang tersebut laku.21

Pada dasarnya mudharabah dapat dikategorikan sebagai salah

satu musyarakah, namun para cendekiawan fiqh Islam menempatkan

19
Nurlailiyah Aidatus Sholihah dan Fikry Ramadhan Suhendar, “Konsep Akad Dalam
Lingkup Ekonomi Syariah”, Jurnal Ilmiah Indonesia, Vol. 4, No. 12, (Desember 2019), h. 140 pp
137-150.
20
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (ttp.: Dar al-Fikr, 1984), h.212.
21
Ash-Shiddieqy, T.M., Hasbi, Hukum-hukum Fiqih Bulan Bintang, Jakarta, 1970, h. 426.

15
mudharabah dalam posisi yang khusus dan memberikan landasan

hukum tersendiri.22

Mudharabah bisa juga disebut sebagai muamalat, yaitu akad

antara kedua belah pihak, kemudian salah satu pihak mengeluarkan

sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan. Dan

keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan awal. Dengan ijma’

ulama, maka mudharabah itu diperbolehkan.23

Mengenai pembagian keuntungan, Ibnu Rusyd berkata, “Para

ulama sepakat bahwa pelaksana (mudha>rib) tidak boleh menganbil

keuntungan yang menjadi bagiannya, tanpa dihadiri oleh pemilik modal

(shahibul ma>l).” Karena kehadiran shahibul ma>l merupakan

prasyarat dalam pemecahan harta (keuntungan).

Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudha>rib,

maka mudharabah dibedakan menjadi dua macam, yaitu mudharabah

mutlaqah, artinya mudha>rib diberi kewenangan untuk menentukan

pilihan investasi yang dikehendaki dan mudharabah muqayyadah,

artinya alokasi investasi ditentukan oleh pihak pertama (pemilik dana)

sedangkan mudharib bertindak sebagai pelaksana atau pengelola dana

tersebut.

Aplikasi dalam dunia perbankan, mudharabah biasanya

diterapkan dalam sisi penghimpunan dana seperti tabungan dan

deposito berjangka. Sedangkan pada sisi pembiayaan digunakan pada


22
Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1999), h.19.
23
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 212.

16
produk-produk pembiayaan modal kerja pada bidang jasa dan

perdagangan

2. Musyarakah

Syirkah berarti ikhtilath (percampuran). Menurut para fuqaha

(Imam Hanafi), syirkah berarti akad antara orang Arab yang berserikat

dalam hal modal/keuntungan.24 Sedangkan menurut ahli fiqh lain,

syirkah adalah percampuran hak dari dua (lebih) orang menjadi satu,

sehingga diusahakan dengan satu nama.25 Definisi lain mengenai

syirkah adalah perjanjian antara pihak-pihak yang menyertakan modal

dalam suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau

kerugian sesuai dengan nisbah yang disepakati.26

Yang dimaksud dengan kata al-khulatha dalam ayat di atas adalah

mereka yang berserikat.27 Syirkah terdiri dari 2 kelompok, yaitu:

a. Syirkah Amlak adalah lebih dari satu orang memiliki suatu jenis

barang tanpa akad (bisa bersifat ikhtiari atau jabari).28 Hukum

dari syirkah tersebut bahwa partner tidak berhak bertindak dalam

penggunaan milik partner lainnya tanpa izin dari yang

bersangkutan.

24
Ibid.,
25
Ibid.,
26
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah (Jakarta: Alvabet, 2002), h. 20.
27
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 294.
28
Ikhtiari adalah bahwa dua orang dihibahkan/diwariskan sesuatu, kemudian mereka
menerrima, maka barang yang dihibahkan/diwariskan milik mereka berdua. Sedangkan jabari
adalah sesuatu yang berstatus sebagai milik lebih dari satu orang (umum), tanpa adanya usaha dari
mereka dalam proses pemilikan barang tersebut. Misalnya: harta warisan, syirkah berlaku untuk
barang warisan, tanpa ada usaha dari pemilik. Ibid, h. 294.

17
b. Syirkah ‘Uqud adalah bahwa dua orang (lebih) melakukan akad

untuk bergabung dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya

berupa keuntungan. Syirkah ‘Uqud terdiri dari 4 kelompok,

yaitu: syirkah ‘inan, muwafadhah, ‘abdan dan wujuh.29 Menurut

Imam Hanafi keempat syirkah tersebut diperbolehkan, jika

syarat-syaratnya terpenuhi. Kemudian menurut Imam Syafi’i

membatalkan semua, kecuali syirkah ‘inan. Sedangkan Hambali

membolehkan semuanya, kecuali syirkah muwafadlah. Dan

menurut Imam Maliki membolehkan semuanya, kecuali syirkah

wujuh.30 Adapun rukun dari dari syirkah adalah ijab dan qabul.31

Selanjutnya aplikasi musyārakah dalam dunia perbankan, biasanya

digunakan untuk pembiayaan proyek tertentu. Pada lembaga keuangan

khusus yang diperbolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan

perusahaan, maka ditetapkanlah skema modal ventura.

3. Wadiah

Kata wadi’ah berasal dari kata wada’a asy-syai’, yang berarti

meninggalkan atau sebagai sesuatu yang ditinggalkan seseorang kepada

orang lain untuk dijaga. Disebut sebagai qadi’ah karena ia


29
Pengertian syirkah ‘inan adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang,
kemudian mereka memperdagangkannya dengan keuntungan dibagi dua dan tidak disyaratkan
jumlah modalnya sama atau wewenang dan keuntungan. Kemudian syirkah muwafadlah adalah
bergabungnya dua atau lebih, untuk melakukan kerja bersama dalam satu urusan, dengan
ketentuan modal, wewenang dan agama yang sama. Syirkah wujuh adalah bahwa dua orang (lebih)
membeli sesuatu tanpa permodalan, yang ada hanya berpegang kepada nama baik dan kepercayaan
pedagang kepada mereka. Sedangkan syirkah ‘abdan (syirkah fisik) adalah bahwa dua orang atau
lebih berpendapat untuk menerima pekerjaan, dengan ketentuan upah yang mereka terima dibagi
sesuai dengan kesepakatan. Syirkah ini disebut sebagai syirkah a’mal (syirkah kerja) atau syirkah
shana’i (syirkah para tukang) maupun syirkah taqabbul (syirkah penerimaan). Ibid., h. 295-297.
30
Ibid., hlm. 295
31
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 295.

18
meninggalkannya kepada orang yang menerima titipan.32 Wadi’ah

adalah amanat yang ada pada orang yang dititipkan, sehingga dia

berkewajiban menjaga dan mengembalikan jika diminta oleh

pemiliknya.

Hukum menitipkan dan menerima titipan adalah jaiz.33 Orang yang

merasa sanggup menerima amanat tersebut, lebih baik menerimanya.

Menurut ar-Rafi’i, orang yang merasa sanggup hendaknya menerima

dengan syarat: tidak memberatkan pada dirinya sendiri dan tidak

memungut biaya pemeliharaannya.34

Berdasarkan kewenangan yang diberikan, maka wadi’ah

dibedakan menjadi dua macam, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan

wadi’ah yad al- dhamanah. Wadi’ah yad al-amanah berarti penerima

titipan tidak berhak menggunakan dana atau barang titipan tersebut

untuk didayagunakan. Sedangkan wadi’ah yad ad-dhamanah adalah

memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk

mendayagunakan barang atau dana yang dititipkan tersebut. Aplikasi

dalam dunia perbankan biasanya diterapkan untuk penghimpunan dana

seperti giro (current account) dan tabungan berjangka (saving

account).35

4. Jual beli

32
Ibid. h. 235.
33
Ibid.
34
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta,
1994), h.179.
35
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, h. 24.

19
1) Murābahah (defered payment sale)

Murābahah adalah pembelian barang dengan pembayaran

ditangguhkan (1 bulan, 3 bulan, 1 tahun dst). Sedangkan pembiayaan

murābahah adalah pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam

rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).36

Adapun dasar-dasar perniagaan seperti yang tercantum dalam

surat an-Nisa’ ayat 29 adalah: 1). saling meridhai antara penjual

dengan pembeli, sedangkan tindak penipuan, pendustaan atau

pemalsuan itu diharamkan, 2). semua yang ada di dunia perniagaan

dan apa yang terkandung di dalam maknanya merupakan kebathilan

(tidak kekal). Hendaknya tidak melalaikan orang yang berakal, demi

mempersiapkan kehidupan di dunia maupun di akhirat nantinya, dan

3). bahwa semua jenis perniagaan itu mengandung kebathilan. Oleh

karena itu, perlu toleransi jika teradi penambahan harga, karena

kepandaian pedagang dalam menawarkan barang dagangannya, bukan

karena pemalsuan atau penipuan.37

Selanjutnya, aplikasi dalam dunia perbankan biasanya

diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang

investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui Letter of

Credit (L/C).

2) Salam

36
Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, h.25.
37
Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, alih bahasa Bahrun Abubakar dan
Hery Noer Aly (Semarang: Toha Putra, 1986), h. 27-28.

20
Secara etimologis, salam berarti salaf (pendahuluan). Sedangkan

bai’as-Salam adalah akad jual beli suatu barang, di mana harga

dibayar segera dan barangnya diserahkan kemudian, sesuai dengan

jangka waktu yang disepakati.38

Jumhur ulama berpendapat, perlunya menuliskan tempo dalam

jual beli salam, karena salam tidak boleh berlangsung sekarang.

Sedangkan menurut Imam Syafi’i hal tersebut boleh (seketika),

kalrena lebih utama dan untuk menghindari terjadinya penipuan.

Pendapat tersebut juga dibenarkan oleh as-Syaukani.39

Aplikasi dalam dunia perbankan sering digunakan pada

pembayaran para petani jangka pendek dan pada pembiayaan barang-

barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi). Adapun

harga yang dibayarkan bukan berupa utang, melainkan dalam bentuk

tunai dan segera dibayarkan. Karena bank tidak bermaksud melakukan

salam untuk memperoleh barang, melainkan menjual barang tersebut

untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, transaksi dalam bentuk

salam yang dilakukan oleh bank, selalu diikuti dengan transaksi

penjualan kepada pihak atau nasabah lain.40

3) Istishna’

Bai’al-Istishna’ adalah akad jual beli antara pemesan/pembeli

(mustashni’) dengan produsen/penjual (shani’), di mana barang yang

38
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 171.
39
Ibid., h.172.
40
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah , h.27.

21
akan diperjualbelikan harus terlebih dahulu ditentukan kriterianya

dengan jelas. Ishtisna’ dengan salam sebenarnya hampir sama,

perbedaannya hanya terletak pada cara pembayarannya. Pada salam

pembayarannya harus di muka, sedangkan istishna’ pembayarannya

bisa di awal, di tengah maupun di akhir.41

5. Jasa-Jasa

a) Ijarah (Operational Lease)

Ijarah berasal dari kata Ajru, yang berarti ‘Iwadlu (ganti).

Sedangkan menurut terminologi syara’ ijārah adalah suatu jenis

akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. 42

Pemilik yang menyewakan manfaat disebut mu’ajjir, sedangkan

pihak lain yang memberikan sewa disebut musta’jir. Adapun

barang yang diambil manfaatnya disebut ma’jur dan jasa yang

diberikan sebagai imbalan menyewa disebut ajran/ujrah.43

Para cendekiawan fiqh muslim membagi ijarah menjadi 2

bagian, yaitu menyewa untuk jangka waktu tertentu dan menyewa

untuk suatu proyek atau usaha tertentu. 44 Bentuk yang pertama

banyak diterapkan dalam sewa-menyewa aset/barang, sedangkan

bentuk yang kedua digunakan untuk para staf ahli atau para

41
Ibid., h 28.
42
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 198.
43
Ibid, h. 198.
44
Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, h. 29-
30.

22
pekerja usaha-usaha tertentu. Secara garis besar, nash-nash al-

Qur’ān lebih banyak merujuk pada jenis ijarah yang kedua.

Adapun ijma’ para ulama mengenai ijarah adalah sepakat,

karena tidak ada satupun ulama yang membantahnya. Meskipun

terdapat perbedaan di antara mereka, namun hal itu tidak

dianggap.

Selanjutnya, hikmah disyari’atkannya ijarah karena semua

manusia membutuhkannya bagi kelangsungan hidup mereka. 45

Jika terdapat kesepakatan pemilikan barang pada akhir masa sewa

disebut ijarah mumtahiya bittamilk (financial lease with purchase

option). Aplikasi dalam dunia perbankan adalah leasing, baik

dilakukan dalam bentuk operating lease maupun financial lease.

b) Qardhul Hasan (Benevolent Loan)

Qardhul hasan (Benevolent Loan) adalah suatu pinjaman

lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, dimana

si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali

modal pinjaman.46

Pada dasarnya pinjaman qardh al-h}asan diberikan kepada

mereka yang membutuhkan pinjaman konsumtif jangka pendek

(untuk tujuan yang penting) dan para pengusaha kecil yang

kekurangan dana (lack of fund), tetapi mempunyai prospek bisnis


45
Dalam hal ini manusia membutuhkan tempat tinggal, sebagian dari mereka
membutuhkan orang lain, mereka juga membutuhkan kendaraan/angkutan, kemudian
membutuhkan berbagai peralatan dan membutuhkan lahan untuk bercocok tanam. Sayyid Sabiq,
Fiqh as-Sunnah, h. 200.
46
Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, h. 33.

23
yang baik. Sumber dana untuk pemberian pinjaman tunai

kebajikan ini berasal dari dana yang dikumpulkan oleh Lembaga

Amil Zakat (ZIS).47

c) Waka>lah (Deputyship)

Wakālah atau wikalah bermakna tafwidh, yang berarti

penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat.48 Atau

pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain, dalam

hal-hal yang dapat diwakilkan.49

Islam mensyari’atkan waka>lah karena manusia memang

membutuhkannya. Manusia tidak dapat memenuhi semua

kepentingannya sendiri, mereka selalu membutuhkan orang lain

sebagai delegasi atau wakil untuk kepentingannya.50

d) Kafalah (Guaranty)

Menurut epistemologi, kafalah berarti adh-dhammu

(menggabungkan), dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan

za’amah (tanggungan).51 Sedangkan menurut pengertian syara’

kafalah berarti proses penggabungan tanggungan kafiil menjadi

tanggungan ashiil, dalam tuntutan dengan materi sama/hutang

maupun barang/pekerjaan. Menurut imam-imam lainnya, kafalah

47
Ibid, h. 33-34.
48
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h 226.
49
Ibid, h. 226.
50
Ibid, h. 226.
51
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 283.

24
adalah menggabungkan dua tanggungan dalam

permintaan/hutang.52

Para ulama berijma’ membolehkannya, karena orang-orang

Islam pada zaman Nubuwwah mempraktekkan hal ini dan tidak

ada ulama yang menegur atau melarangnya.53

e) Sharf

Sharf adalah menjual mata uang (emas dan perak) dengan

mata uang lainnya. Menjual emas dengan emas atau perak dengan

perak itu tidak diperbolehkan, kecuali tunai/kontan. Di sisi lain,

menjual emas dengan emas atau perak dengan perak secara

sukatan itu diperbolehkan, tetapi sifat emas/perak keduanya

serupa. Pendapat tersebut disepakati oleh para mudjtahidin.54

f) Hiwalah (Transfer Service)

Kata hiwalah diambil dari kata tahwil, yang berarti intiqal

(perpindahan). Yang dimaksud di sini adalah memindahkan

hutang dari tanggungan muhil (debitur) menjadi tanggungan

52
Istilah-istilah dalam kafalah di antaranya kafiil, ashiil, makful lahu dan makful bihi.
Kafiil adalah orang yang berkewajiban melakukan makful bihi (penanggung) dan semua urusan
harta berada di tangannya. Kemudian ashiil adalah orang yang berhutang (yang ditanggung).
Sedangkan makful lahu adalah orang yang menghutangkan dan makful bihi adalah
orang/barang/pekerjaan yang wajib dipenuhi oleh makful lahu. Ibid.
53
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 283-284.
54
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, h. 369-370.

25
muhal’alaih.55Islam membenarkan hiwālah dan membolehkannya

jika diperlukan.

Selanjutnya, aplikasi dalam dunia perbankan berupa

penerapan factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah

yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang

itu kepada bank, post-date check, dimana bank bertindak sebagai

juru tagih, tanpa membayarkan terlebih dahulu piutang tersebut

dan bill discounting.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian menjelaskan semua langkah yang dikerjakan penulis

sejak awal hingga akhir. Pada bagian ini dapat dimuat hal-hal yang berkaitan

dengan anggapan-anggapan dasar atau fakta-fakta yang dipandang benar

tanpa adanya verifikasi dan keterbatasan, yaitu aspek-aspek tertentu yang

dijadikan kerangka berpikir :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang

mengkaji/meneteliti bahan-bahan hukum56. Penelitian hukum seperti itu,

tidak mengunakan penelitian lapangan (field research) karena yang diteliti

adalah bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library

55
Muhil adalah orang yang berhutang, sedangkan muhal adalah orang yang
mengutangkan, dan muhal’alaih adalah orang yang melakukan pembayaran hutang. Sayyid Sabiq,
Fiqh as-Sunnah, h.217.

56
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Banyubiru
publishing, 2006, h. 46.

26
based, focusing on reading and analysis of the primary and secondary

materials. Jika demikian, maka lebih tepat digunakan istilah kajian ilmu

hukum sebagaimana yang dapat ditemukan dalam kepustakaan hukum di

Belanda Istilah “kajian” sama dengan istilah Belanda bedrijven atau

beoefening yang dapat ditemukan dalam karya J.J.H. Bruggink yang

menuliskan; het bedrijven van de rechtswetenschap. Atau, dalam karya jan

Gijssels dan Mark van Hoecke; wetenschaps beoefening dan de beoefening

van de rechtstheorie.57

2. Metode Pendekatan

Metode penelitian ini mengunakan sistem pendekatan yuridis

normatif. Yuridis normatif adalah pendekatan dengan menggunakan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, dalam hal ini ialah

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembatalan Perda.

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) juga Pendekatan

kasus (cases approach), dan Pendekatan analisis konsep hukum

(Analitical and Conceptual Approach).58 Pendekatan tersebut digunakan

untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi yang mengatur

tentang pembatalan Perda, sehingga dapat ditemukan konsistensi dan

kesesuaian antara suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan

perundang-undangan lainnya.

57
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Banyumedia
Publishing, 2006), h. 46.
58
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010,
h. 93.

27
a. (The Statue Approach) peraturan perundang-undangan merupakan titik

fokus dari penelitian tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut :

1) Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di

dalamnya terkait anatara satu dengan yang lainnya secara logis.

2) All-inclusive, artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut

cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada,

sehingga tidak ada kekosongan hukum.

3) Systematic, yaitu bahwa di samping bertautan antara satu dengan

yang lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara

hirarkis.

b. Pendekatan kasus (cases approach), dalam penelitian hukum normatif

bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam pratik hukum.

c. Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual

Approach). Pendekatan analitis ini dilakukan dengan mencari makna

pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-

undangan, dengan begitu peneliti memperoleh gambaran pengertian

atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapan

secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.

Pendekatan konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau

28
pendekatan bagi analitis penelitian hukum, karena akan banyak muncul

konsep-konsep bagi suatu fakta hukum.

Sehingga metode yang digunakan berusaha memahami

persoalan secara keseluruhan (holistic) dan dapat mengungkapkan

rahasia dan makna tertentu yang dilakukan dengan menghimpun data

dalam keadaan sewajarnya (natural setting), mempergunakan cara kerja

yang sistematik, terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara

kualitatif, sehingga tidak kehilangan sifat ilmiahnya59

3. Objek Penelitian

Dalam penelitian hukum normatif Objek penelitian adalah kajian

tentang asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum,

sejarah hukum, dan perbandingan hukum.60

Penelitian ini akan mengambil studi kasus model penyelesaian yang

dilakukan oleh KSPPS Anugerah Temanggung melalui mekanisme fiat

eksekusi terhadap anggotanta yang melakukan perbuatan wanprestasi di

Pengadilan Agama Temangung, Jawa Tengah.

4. Sumber Data

Sebagai penelitian yang bersifat penelitian hukum normatif, secara

umum bahan hukum yang akan dikumpulkan adalah bahan hukum yang

bersumber dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum kepustakaan

59
Hadari Nawawi dan Hilmi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1996), h.175.
60
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 14.

29
seperti, buku, jurnal, essai, karya ilmiah dan bahan hukum dari berbagai

media informasi yang benar, serta apabila dimungkinkan nantinya akan

dimintakan pendapat kepada ahli untuk memperkuat referensi dan juga

digunakan sebagai bahan hukum dalam penelitian ini. Bahan hukum

tersebut antara lain :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan).61 Dalam

penelitian ini bahan hukum primer yang akan digunakan adalah:

HIR/RBG, UU No.7 Tahun 1989 Jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang

Peradilan Agama, UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, UU

No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Peraturan Mahkamah

Agung (PERMA) No.2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah (KHES), PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan, PERMA No.14 Tahun 2016 tentang

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, PERMA No.4

Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana,

Putusan-Putusan Pengadilan Agama.

b. Bahan Hukum Sekunder, Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum

yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (buku

61
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), h. 82.

30
ilmu hukum, jurnal hukum, laporan penelitian hukum, tesis, disertasi

dan media cetak atau elektronik).62

c. Bahan Hukum Tersier, yakni materi materi yang memberi petunjuk

akan penjelasan data dari bahan hukum primer dan sekunder, antara

lain kamus hukum, ensiklopedia hukum, kamus besar bahasa

Indonesia.

5. Metode Pengumpulan Data

Bahan hukum yang dikaji dan yang dianalisis dalam penelitian hukum

normatif, meliputi bahan hukum primer, sekunder, tersier. Teknik yang

digunakan dalam mengumpulkan dan menganalisis bahan hukum tersebut

adalah dengan menggunakan studi dokumenter. Studi dokumenter adalah

studi yang mengkaji tentang berbagai dokumen-dokumen.63

Selanjutnya data-data yang diperoleh dalam penelitian ini akan

dikumpulkan melalui observasi64, wawancara bebas mendalam65 dan studi

kepustakaan yang dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Pada tahap awal, selain akan dilakukan studi kepustakaan yakni dengan

menginventarisir peraturan perundang-undangan, buku-buku dan

literatur lain sebagai sumber data sekunder yang berkaitan dengan fokus

permasalahan, juga akan dilakukan observasi awal. Teknik ini


62
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, h. 82.
63
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, h. 19.
64
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1998), h.73
65
Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi (Malang: Yayasan, 1990),
h.80

31
dilakukan untuk memperoleh gambaran umum dan relatif menyeluruh,

tentang apa yang tercakup di dalam fokus permasalahan yang akan

diteliti, dengan demikian diharapkan dapat memperoleh gambaran

yang komprehensif tentang obyek permasalahan yang akan diteliti.

b. Setelah observasi dilakukan, maka selanjutnya akan dilakukan

wawancara yang bersifat bebas dan mendalam dengan cara wawancara

yang tidak terstruktur, agar lebih leluasa dalam memperoleh informasi

dengan mempersiapkan terlebih dahulu gambaran umum pertanyaan-

pertanyaan yang akan diajukan.

c. Studi dokumen, yakni meneliti berbagai dokumen serta bahan-baha

yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

6. Analisa Data

Analisis data diartikan sebagai proses mengorganisasikan dan

mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehinga

dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang

didasarkan oleh data.66 Dalam penelitian ini nantinya akan dilakukan

analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak menggunakan angka,

melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata

atas temuan-temuan dalam bahan hukum primer, sekunder kemudian

diambil maknanya sebagai pernyataan dan kesimpulan.67

66
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, h. 19.
67
Ronny Hanitijio, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, (Jakarta: Ghalia, 1998), h.
98.

32
H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab pokok

yang terbagi dalam sub bab. Sistematiaka tersebut bertujuan untuk

memudahkan penulis dalam memilah dan menganalis temuan dari penelitian

ini serta agar penelitian ini tersusun secara terstuktur dan sistematis.

Bab I merupakan bagian awal yang menjelaskan latar belakang

permasalahan yang akan diteliti, kemudian merumuskannya dalam rumusan

masalah. Agar tujuan dan manfaat penelitian ini tercpai maka harus

mempunyai kebaruan atau berbeda dengan penelitian-penelitian sejenis

sebelumnya yang dituangkan dalam orisinalitas penelitian. Kemudian untuk

memudahkan menganalisis maka dibutuhkan kerangka teori dan

menggunakan metode yang sesuai dengan jenis penelitian ini yaitu normatif

hukum.

Bab II akan menjelaskan dan menguraikan mengenai kajian pustaka

yang di dalamnya mencakup penelitian terdahulu, dan kerangka teori yang

menyajikan landasan teori yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti

yaitu mengenai model fiat eksekusi terhadap anggota yang wanprestasi pada

KSPPS Anugerah Temanggung.

Bab III merupakan bagian yang menguraikan tentang metode penelitian

serta pendekatan dan jenis penelitian. Kemudian dipaparkan pula mengenai

lokasi penelitian data dan teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

33
Pada bab IV, berisikan pemaparan data dan pembahasan data dengan

cara melakukan analisa yuridis hukum terhadap pokok permasalahan yaitu

mengenai model penyelesaian dengketa dan efektifitas penggunaan fiat

eksekusi yang dilakukan oleh KSPPS Anugerah Temanggung terhadap

anggotanya yang melakukan perbuatan wanprestasi.

Pada Bab V berisi kesimpulan dan rekomendasi hasi; penelitian yang

telah dibahas pada bab sebelumnya mengenai model penyelesaian sengketa

melalui fiat eksekusi terhadap nasabah wanprestasi pada KSPPS Anugerah

Temanggung.

I. Jadwal Penelitian

No Kegiatan Bulan Bula Bulan Bula Bulan Bula Bulan


I n II III n IV V n VI VII

1 Perencanaan &
Pembuatan
Proposal

2 Pelaksanaan

3 Analisa Data

4 Finishing

Daftar Pustaka

Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta,
1994.

34
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Citra Media, 2006.
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004.
Ash-Shiddieqy, T.M., Hasbi, Hukum-hukum Fiqih Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Dimyauddin Djuwaeni, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No:
129/DSN-MUI/VII/2019 Tentang Biaya Riil Sebagai Ta’widh Akibat
Wanprestasi
Hadari Nawawi dan Hilmi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1996.
Hasanudin, Bentuk-bentuk Perikatan dalam Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Pusdiklat
Mahkamah Agung RI, 2006.
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Banyubiru publishing, 2006.
Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1999.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang,
1974.
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Yogyakarta:
UII Press, 2002.
Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, alih bahasa Bahrun Abubakar
dan Hery Noer Aly, Semarang: Toha Putra, 1986.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Nurlailiyah Aidatus Sholihah dan Fikry Ramadhan Suhendar, “Konsep Akad
Dalam Lingkup Ekonomi Syariah”, Jurnal Ilmiah Indonesia, Vol. 4, No. 12,
Desember 2019.
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES)
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.
Ronny Hanitijio, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Jakarta: Ghalia,
1998.
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1998.

35
Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Buku
Kesatu, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, Malang:
Yayasan, 1990.
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, ttp.: Dar al-Fikr, 1984.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Studi Tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Thalis Noor Cahyadi, Pengawasan dan Perlindungan Hukum atas Dana
Masyarakat yang Disimpan di KSUS BMT ISRA, Tesis Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta Program Pascasarjana FH UII,
2012.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alvabet, 2002.

36

Anda mungkin juga menyukai