Anda di halaman 1dari 133

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR

PADA LAYANAN PINJAMAN UANG BERBASIS FINANCIAL


TECHNOLOGY
HALAMAN JUDUL

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

MUHAMMAD YUSUF
NIM : 11150480000189

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
ABSTRAK

MUHAMMAD YUSUF. NIM 11150480000189. PERLINDUNGAN HUKUM


TERHADAP DEBITUR PADA LAYANAN PINJAMAN UANG BERBASIS
FINANCIAL TECHNOLOGY. PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
1440 H/2019 M. x + 98 halaman + 4 halaman daftar pustaka.+ 24 halaman
lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan
hukum, penyelesaian sengketa serta langkah dan tindakan preventif debitur pada
layanan pinjaman uang berbasis Financial Technology atau Fintech P2PL.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan
menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan
pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan pada
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa keuangan, Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/ POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Metode pendekatan kasus
berdasarkan wawancara dan data laporan OJK sebagai regulator .
Hasil dari penelitian ini mengungkap bahwa banyak debitur yang menjadi
korban merupakan pengguna layanan Fintech ilegal atau tidak berizin. Dalam
upaya perlindungan terhadap debitur pada penyelenggaraan layanan ini OJK
menjalin kerja sama dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia
(AFPI) dalam hal penetapan batas atas bunga pinjaman serta code of conduct
terhadap proses penagihan pinjaman yang selama ini belum diatur, selain itu OJK
bekerjasama dengan Kemkominfo secara rutin terus memblokir penyelenggara
Fintech P2PL ilegal, serta membuka layanan informasi dan pengaduan konsumen.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Financial Technology, Fintech P2PL

Pembimbing : Hidayatulloh, M.H.


Daftar Pustaka : Tahun 1993-2019

v
KATA PENGANTAR

ِ ‫َّللاِ ال هر ْح َم ِن ال هر ِح‬
‫يم‬ ‫س ِم ه‬
ْ ِ‫ب‬
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT.
Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP DEBITUR PADA LAYANAN PINJAMAN UANG BERBASIS
FINANCIAL TECHNOLOGY”. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkankan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Beserta para keluarga,
sahabat yang telah membawa kita ke luar dari zaman kegelapan menuju zaman
yang beradab saat ini. Semoga kita diberikan syafaat nya pada yaumil akhir kelak.
Aamiin.

Dalam proses penulisan skripsi ini, mungkin tidak akan sempurna dan
tidak dapat dicapai dengan maksimal tanpa adanya bantuan, dukungan, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan
segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya sebagai peneliti ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi dan
Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Hidayatulloh, M.H. Dosen pembimbing skripsi peneliti, saya ucapkan
banyak terima kasih atas kesempatan waktu, arahan, dan kritik, serta saran
yang diberikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan
sebaik-baiknya
4. Direktorat Pengaturan, Perizinan, Pengawasan Financial Technology (DP3F)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah memberikan kesempatan kepada

vi
peneliti untuk melakukan audiensi dan wawancara, sehingga skripsi ini dapat
di selesaikan dengan baik
5. Pimpinan dan staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. yang telah
memberikan fasilitas dan layanan yang sangat baik, sehingga peneliti dapat
memperoleh referensi untuk melengkapi data studi kepustakaan pada
penulisan skripsi ini.
6. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
menyelesaikan penelitian ini.

Demikian, peneliti ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala
dukungan semua pihak yang membantu dalam proses penelitian skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkhusus peneliti.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta 20 Juni 2019

Muhammad Yusuf

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. .. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .............. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7
D. Metode Penelitian................................................................. 8
E. Sistematika Penulisan .......................................................... 12

BAB II TINJAUAN UMUM FINANCIAL TECHNOLOGY ............ 15


A. Kerangka Konseptual ........................................................... 15
1. Financial Technology ..................................................... 15
a. Pengertian Fintech .................................................... 15
b. Perkembangan Fintech ............................................. 16
c. Jenis-jenis Fintech .................................................... 18
d. Manfaat Fintech ....................................................... 21
2. Fintech Peer To Peer Lending (P2PL) ........................... 22
a. Pengertian Fintech P2PL .......................................... 23
b. Perbedaan Fintech P2PL dengan Bank .................... 24
c. Pihak yang Terlibat dalam Fintech P2PL................. 26
d. Cara kerja Fintech P2PL .......................................... 31
e. Keuntungan Penggunaan Fintech P2PL ................... 33
f. Resiko Penggunaan Fintech P2PL ........................... 35

viii
B. Kerangka Teori..................................................................... 36
1. Teori Perlindungan Hukum ............................................ 36
2. Teori Kepastian Hukum ................................................. 38
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu................................... 39

BAB III REGULASI DAN PELAKSANAAN PINJAMAN


UANG BERBASIS FINTECH DI INDONESIA .................... 42
A. Regulasi Pinjaman Uang Berbasis Fintech di Indonesia...... 42
B. Pelaksanaa Pinjaman Uang Berbasis Fintech di Indonesia .. 58

BAB IV PERLINDUNGAN DAN PENYELESAIAN HUKUM SERTA


TINDAKAN PREVENTIF TERHADAP DEBITUR PADA
LAYANAN PINJAMAN UANG BERBASIS FINANCIAL
TECHNOLOGY ........................................................................ 65
A. Unsur-unsur Perlindungan Hukum Terhadap Debitur
pada Layanan Pinjaman Uang Berbasis
Financial Technology........................................................... 65
B. Upaya dan Penyelesaian Hukum yang dapat ditempuh
Debitur Apabila Mengalami Permasalahan pada
Layanan Pinjaman Uang Berbasis Financial Technology ... 83
C. Upaya dan Tindakan Preventif Agar Terhindar dari Jerat
Layanan Pinjaman Uang Berbasis Financial Technology ... 88

BAB V PENUTUP .................................................................................. 91


A. Kesimpulan .......................................................................... 91
B. Rekomendasi ........................................................................ 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 94
LAMPIRAN .................................................................................................. 99

ix
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 : Cara Kerja Penyelenggara Fintech P2PL ..................... 31


2. Gambar 2 : 4 Langkah Pendanaan Fintech P2PL ............................. 32
3. Gambar 3 : Alur Proses Pendaftaran dan Perizinan Penyelenggara
Fintech P2PL ................................................................. 50
4. Gambar 4 : Profil dan Perkembangan Fintech Lending di
Indonesia ....................................................................... 59
5. Gambar 5 : Jumlah Akumulasi Rekening Pemberi Pinjaman
Berdasarkan Provinsi ..................................................... 60
6. Gambar 6 : Jumlah Akumulasi Rekening Penerima Pinjaman
Berdasarkan Provinsi ..................................................... 61
7. Gambar 7 : Jumlah Akumulasi Rekening Penyaluran Pinjaman
Berdasarkan Provinsi ..................................................... 61
8. Gambar 8 : Akses Perizinan Aplikasi Fintech P2PL Legal ............. 73
9. Gambar 9 : Akses Perizinan Aplikasi yang Beresiko ...................... 74

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk
terbesar ke-4 di dunia yang saat ini sedang dalam proses pembangunan
infrastruktur untuk menunjang kesiapan dalam menghadapi Revolusi Industri
4.0. Di era ini kegiatan ekonomi akan banyak dilakukan secara digital atau
berbasis internet. Kehadiran ekonomi digital tentu akan membawa iklim baru
dalam kegiatan industri yang saat ini kehadirannya mulai dirasakan oleh
masyarakat, hal ini didorong oleh perkembangan teknologi yang pesat.
Pesatnya perkembangan teknologi turut membawa perubahan terhadap
gaya hidup masyarakat yang kini beragam hal dapat dilakukan secara cepat
dan mudah dengan layanan berbasis online atau menggunakan internet, baik
dalam hal berbelanja, memesan transportasi, atau melakukan transaksi
keuangan, yang saat ini kehadirannya mulai populer di tengah masyarakat
karena didukung dengan banyak bermunculannya startup atau perusahaan
rintisan yang menawarkan beragam layanan digital seperti pembayaran,
investasi, pinjaman, maupun pembiayaan. Hadirnya layanan jasa keuangan
berbasis teknologi ini memunculkan istilah baru yakni Financial Technology.
Financial Technology atau disingkat Fintech dapat diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia menjadi teknologi keuangan. Secara sederhana,
Fintech dapat diartikan sebagai pemanfaatan dari perkembangan teknologi
informasi untuk meningkatkan layanan di industri keuangan.
Kehadiran Fintech merupakan jawaban bagi masyarakat yang belum
tersentuh dengan layanan jasa perbankan sehingga mendatangkan kemudahan
bagi setiap lapisan masyarakat untuk mendapatkan layanan jasa keuangan
yang praktis dan cepat.
Fintech merupakan implementasi dari pemanfaatan teknologi untuk
peningkatan layanan jasa perbankan dan keuangan yang umumnya dilakukan
oleh perusahaan rintisan (Startup) dengan memanfaatkan teknologi software,

1
2

internet, komunikasi, dan komputasi terkini. Konsep ini mengadaptasi


perkembangan teknologi yang dipadukan dengan bidang finansial sehingga
bisa menghadirkan proses transaksi keuangan yang lebih praktis, aman serta
modern. Adapun bentuk-bentuk dari layanan Fintech yang ditawarkan
meliputi; Pembayaran (Digital Wallets, P2P Payments), Investasi (Equity
Crowdfunding, Peer to Peer Lending), Pembiayaan (Crowdfunding,
Microloans, Credit Facilities), Asuransi (Risk Management), Lintas – Proses
(Big Data Analysis, Predicitive Modeling), Infrastruktur (Security).1
Kemunculan perusahaan-perusahaan berbasis Fintech terutama yang
yang menawarkan layanan pinjam meminjam uang atau Peer To Peer
Lending (P2PL) saat ini semakin mendapatkan perhatian publik dan regulator
diantaranya Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal tersebut tertuang dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam POJK
tersebut mengatur tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi atau bisa disebut dengan Fintech Peer To Peer Lending. Layanan
ini merupakan suatu terobosan dimana banyak masyarakat Indonesia yang
belum tersentuh layanan perbankan (unbanked people) akan tetapi sudah
melek akan teknologi. Layanan Fintech berbasis P2PL menjadi salah satu
solusi terbatasnya akses layanan keuangan di tanah air dan mewujudkan
inklusi keuangan melalui sinerginya dengan institusi-institusi keuangan dan
perusahaan-perusahaan teknologi lainnya.2
Pesatnya perkembangan Fintech tak lantas membawa dampak positif
saja, akan tetapi banyak permasalahan-permasalahan yang muncul, terutama
dari layanan pinjaman uang berbasis Fintech atau Fintech Peer To Peer
Lending (P2PL). Mudahnya syarat dalam pengajuan pinjaman membuat
banyak orang tergiur untuk mengajukan pinjaman, dimana hanya

1
Nofie Iman, Financial Technology dan Lembaga Keuangan Keuangan ( Yogyakarta :
Gathering Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri, 2016), h. 6-7
2
Reynold Wijaya, P2P Lending Sebagai Wujud Baru Inklusi Keuangan, diterima dari:
http://nasional.kompas.com/read/2016/11/26/060000226/.p2.lendingsebagai-
wujudbaru.inklusi.keuangan diakses pada 19 November 2018
3

bermodalkan foto KTP dan mengisi data pribadi saja, setiap orang dapat
dengan mudah mendapatkan dana secara cepat, namun dari kemudahan
tersebut debitur dapat terjebak dalam jerat bunga pinjaman yang tinggi, hal
ini disebabkan belum adanya aturan mengenai batas atas bunga yang
ditetapkan terhadap layanan ini, serta tindakan penagihan pinjaman yang
dilakukan secara intimidatif yang saat ini menimbulkan keresahan di
masyarakat.
Banyaknya aduan terkait tindakan intimidasi dan teror yang dialami
debitur pada proses penagihan pinjaman oleh perusahaan penyelenggara
Fintech P2PL kini menjadi sorotan publik dan menuai persoalan serius yang
harus segera ditangani. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta maupun
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sudah menerima banyak
pengaduan dari debitur sebagai konsumen jasa keuangan yang menjadi
korban. Dari banyaknya laporan yang masuk didominasi oleh laporan terkait
kasus penagihan secara intimidatif, penyalahgunaan dan penyebaran data
pribadi, hingga mencekiknya tingkat bunga pinjaman.3 Tidak cermatnya
debitur dalam memperhatikan risiko pada saat mengajukan pinjaman seperti
tidak membacanya klausula baku secara seksama, memahami besaran suku
bunga, denda apabila melewati tempo pembayaran maupun mengecek
legalitas izin perusahaan penyelenggara Fintech P2PL menjadi faktor
banyaknya aduan terkait permasalahan layanan berbasis Fintech ini. Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menghimbau masyarakat agar
berhati-hati dalam melakukan pinjaman dari perusahaan Fintech berbasis
aplikasi ini dikarenakan banyaknya aduan debitur terkait cara penagihan
pinjaman yang sering dilakukan adalah dengan cara mengancam, pelecehan
hingga penyalahgunaan data pribadi debitur dengan mengkases kontak dan
menagih lewat orang yang nomornya disimpan di kontak debitur.4

3
Mochammad Januar Rizki, Mari Kenali Mekanisme Penagihan yang terdapat di
Perusahaan Fintech, diterima dari : https://www.hukumonline.com/berita/baca/l-
t5b98fc52d2e40/mari-kenali-mekanisme-penagihan-yang-tepat-di-perusahaan-fintech diakses
pada 19 November 2018
4
Danang Sugianto, YLKI Sebut Banyak Aduan Soal Aplikasi Utang Online, diterima dari :
https://finance.detik.com/moneter/d-4105636/ylki-sebut-banyak-aduan-soal-aplikasi-utang-online
diakses pada 19 November 2018
4

Penagihan secara intimidatif sebenarnya merupakan perbuatan yang


terlarang dilakukan di perusahaan penyelenggara Fintech P2PL. Ketentuan
tersebut tercantum dalam kode etik dan perilaku atau Code of Conduct
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech). Dalam kode perilaku tersebut
mewajibkan seluruh perusahaan penyelenggara Fintech P2PL
mengedepankan itikad baik dalam penagihan pinjaman kepada debitur.
Dalam kode perilaku tersebut juga mewajibkan perusahaan penyelenggara
Fintech P2PL memiliki dan menyampaikan prosedur penyelesaian dan
penagihan kepada debitur yaitu peminjam dan pemberi pinjaman saat terjadi
gagal bayar pinjaman. Setiap penyelenggara wajib menyampaikan kepada
debitur mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam hal terjadi
keterlambatan pinjaman atau kegagalan pembayaran pinjaman.
Langkah-langkah penagihan tersebut antara lain pemberian surat
peringatan, persyaratan penjadwalan atau restrukturisasi pinjaman,
korespondensi dengan penerima pinjaman secara jarak jauh (desk collection),
termasuk via telepon, email, atau bentuk percakapan lainnya. Perusahan
penyelenggara Fintech P2PL juga harus memberi tahu kepada debitur
mengenai jadwal kunjungan atau komunikasi dengan tim penagihan,
penghapusan pinjaman.
Apabila menggunakan pihak ketiga dalam penagihan, perusahaan
penyelenggara Fintech P2PL harus menggunakan pihak yang tidak tergolong
dalam daftar hitam otoritas (harus tersertifikasi) ataupun dari Asosiasi.
Kemudian, perusahaan penyelenggara Fintech P2PL juga dilarang
menggunakan cara intimidatif, kekerasan fisik dan mental ataupun cara-cara
lain yang menyinggung SARA atau merendahkan harkat, martabat, serta
harga diri Penerima Pinjaman, di dunia fisik maupun di dunia maya (cyber
bullying) baik terhadap debitur selaku penerima pinjaman, harta bendanya,
ataupun kerabat dan keluarganya.5

5
Mochammad Januar Rizki, Mari Kenali Mekanisme Penagihan yang terdapat di
Perusahaan Fintech, diterima dari :
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b98fc52d2e40/mari-kenali-mekanisme-penagihan-
yang-tepat-di-perusahaan-fintech/ diakses pada 19 November 2018,
5

Pengaturan mengenai Layanan Pinjaman Uang berbasis Fintech atau


Fintech P2PL tidak terlepas dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
Nomor 77/ POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi, lalu POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, Surat Edaran OJK
(SEOJK) Nomor 18/SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola dan Manajemen
Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
Dari sisi regulasi, OJK tengah berencana mengamandemen sejumlah
aturannya agar beleid terkait dengan industri Fintech dapat selaras dengan
kondisi lapangan. POJK Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan belum memasukkan Fintech berbasis Peer
To Peer lending sebagai pelaku usaha jasa keuangan. Banyak orang belum
memahami bahwa Fintech P2PL belum termasuk di dalamnya. Namun
demikian, Fintech P2PL harus mengikuti ketentuan perlindungan konsumen
yang sudah dikeluarkan OJK agar tidak ada kekosongan hukum yakni dengan
POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
Berdasarkan POJK Nomor 77/2016, perusahaan penyelenggara Fintech
P2PL dapat dijatuhi sanksi jika melakukan pelanggaran yang ditetapkan
mulai dari peringatan tertulis, denda uang, pembatasan kegiatan usaha,
pembekuan usaha sampai dengan pencabutan izin usaha.
Sementara Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) berencana akan
membangun mekanisme pusat data digital bersama, yang antara lain berisi
daftar peminjam bermasalah. Nantinya, data ini bisa digunakan secara
bersama-sama oleh industri keuangan dalam rangka mengevaluasi kualitas
kredit tiap nasabah. Aftech juga akan membuat beberapa program sertifikasi
6

bagi para pegawai dan anggota asosiasi, antara lain berupa program sertifikasi
di bidang penagihan pinjaman.6
Semakin berkembangnya layanan Fintech khususnya terkait Peer To
Peer lending (P2PL) atau pinjamanan secara online turut membawa manfaat
terutama kemudahan dalam mendapatkan pinjaman dana secara cepat, guna
turut serta dalam membangun pertumbuhan ekonomi namun disisi lain turut
membawa permasalahan-permasalahan baru yang muncul. Banyaknya aduan
terkait tidakan intimidatif, pelecehan, penyalahgunaan data pribadi debitur
maupun tindak pidana lainnya menjadikan latar belakang peneliti untuk
mengkaji lebih dalam mengenai aspek perlindungan hukum terkait
permasalahan ini dan menuangkannya dalam sebuah penelitian dalam bentuk
skripsi yang berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
DEBITUR PADA LAYANAN PINJAMAN UANG BERBASIS
FINANCIAL TECHNOLOGY

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan di dalam latar
belakang, maka identifikasi masalah meliputi:
a. Mekanisme dan konsep dari pinjaman uang berbasis Financial
Technology
b. Regulasi terhadap kegiatan layanan pinjaman uang berbasis
Financial Technology .
c. Aspek perlindungan hukum terhadap debitur sebagai konsumen
sektor jasa keuangan pada layanan pinjaman uang berbasis
Financial Technology
d. Bentuk-bentuk permasalahan dan cara penyelesaian masalah layanan
pinjaman uang berbasis Financial Technology

6
Fintech Lending langgar aturan lakukan persekusi digital, diterima dari
https://www.indotelko.com/kanal?c=id&it=fintech-lending-persekusi-digital diakses pada 20
November 2018
7

e. Kepastian hukum terkait layanan pinjaman uang berbasis Financial


Technology.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan penelitian ini,
peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga permbahasannya
lebih jelas dan terarah. Di sini peneliti akan fokus membahas mengenai
upaya dan bentuk perlindungan hukum terhadap debitur pada layanan
pinjaman uang berbasis Financial Technology.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas, maka penelitian yang akan dirumuskan yaitu masalah
terkait Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pada Layanan Pinjaman
Uang Berbasis Financial Technology dalam bentuk pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimana ketentuan perlindungan hukum terhadap debitur terkait
layanan pinjaman uang berbasis Financial Technology ?
b. Bagaimana upaya dan proses penyelesaian hukum yang dapat
ditempuh debitur terkait permasalahan hukum yang dialami ?
c. Bagaimana upaya dan tindakan preventif agar terhindar dari
permasalahan layanan pinjaman uang berbasis Financial
Technology?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1) Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan ketentuan perlindungan
hukum terhadap debitur sebagai konsumen sektor jasa keuangan
terkait layanan pinjaman uang berbasis Financial Technology.
b) Untuk mengetahui bagaimana upaya dan proses penyelesaian hukum
yang dapat ditempuh debitur apabila memiliki permasalahan hukum
terhadap penggunaan layanan pinjaman berbasis Financial
Technology.
8

c) Untuk memberikan pemahaman terkait tindakan preventif agar


terhindar dari permasalahan pada layanan pinjaman uang berbasis
Financial Technology.

2) Manfaat Penelitian
Secara garis besar, manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dibidang hukum bisnis terutama sektor
keuangan berbasis Financial Technology khususnya Peer To Peer
Lending yang hingga saat ini terus berkembang.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum
bagi peneliti khususnya mengenai Fintech yang terus berkembang di
Indonesia, serta diharapkan dapat membantu jika suatu saat di
hadapkan pada kasus serupa dengan permasalahan hukum yang
terkait dengan layanan berbasis Fintech.

D. Metode Penelitian
Penelitian (research) sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan
suatu masalah atau mencari jawaban dari persoalan yang dihadapi secara
ilmiah, menggunakan cara berpikir reflektif, berpikir keilmuan dengan
prosedur yang sesuai dengan tujuan dan sifat penyelidikan.7
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
normatif. Pendekatan tersebut mengacu kepada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.8
Maka pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-
undangan (statue approach) yakni pendekatan dengan menggunakan

7
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta : Kencana, 2014), h. 24
8
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, cet.2, … h. 105
9

legislasi dan regulasi, dan Pendekatan Konsep (conceptual approach)


yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang ada. Dalam hal ini objek
normatif yuridis terletak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan serta POJK Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis
Teknologi Informasi.
Pada dasarnya penelitian ini berupaya untuk menjelaskan mengenai
aspek perlindungan hukum terkait layanan pinjaman berbasis teknologi
yang saat ini mulai ramai di masyarakat.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
empiris, artinya penelitian dilakukan dengan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum.9 Penelitian normatif
adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah sistem
norma dengan demikian tidak membutuhkan populasi dan sampel karena
jenis penelitian ini meninjau pada aspek pemahaman suatu norma hukum
yang terdapat di dalam perundang-undangan serta norma-norma yang
hidup dan berkembang di masyarakat. Peneliti juga mencari fakta-fakta
yang akurat tentang peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian.

3. Data Penelitian
Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk
menjawab masalah penelitian. Maka oleh karena itu data yang peneliti
gunakan untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam
penelitian ini ialah sebagai berikut:
a) Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan.

9
Soerjono soekanto, Sri Mamudji Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta : Rajawali Pers, 2006) h. 13
10

b) Bahan Hukum Sekunder berupa data-data yang diperoleh peneliti


dari wawancara, penelitian kepustakaan, dan dokumentasi yang
merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah
tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya
disediakan di perpustakaan atau milik pribadi peneliti.10 Bahan
hukum sekunder dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku
teks, kamus hukum, jurnal hukum.
c) Bahan Non-Hukum adalah bahan di luar bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-hukum
dapat berupa buku-buku mengenai ilmu Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat, atau laporan penelitian non–hukum tersebut dimaksud untuk
memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

4. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat beberapa sumber data yang
digunakan diantaranya adalah:
a. Data Primer
Dalam hal penelitian ini yang termasuk data primer ialah :
1) Undang-Undang:
a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa keuangan;
b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik;
2) Peraturan Lain:
a) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/
POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi;

10
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat Cet.3, (Jakarta : Rajawali Press, 1990),h.1
11

b) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor


18/SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola dan Manajemen
Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
c) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;
d) Peraturan Mentri Kominfo Nomor 20 Tahin 2016 Tentang
Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik.

b. Data Sekunder
Data sekunder antara lain mencakup audiensi dan wawancara
dengan Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator pada
penyelenggaraan layanan pinjaman uang berbasis Financial
Technology, dan didukung dokumen resmi, buku-buku, hasil
penelitian yang berwujud laporan,11 atau berupa publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Data primer diperoleh melalui hasil studi kepustakaan yaitu
pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari
berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan
dalam penelitian dan data sekunder yaitu melakukan wawancara dan
serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca dan
mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
c. Data Tersier
Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari
bahan sekunder dan bahan primer diantaranya, kamus, ensiklopedia
dan sumber-sumber sejenis yang diakses melalui Internet.

5. Teknik Pengumpulan Data


Tenik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
studi kepustakaan dan case approach (pendekatan kasus). Studi
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia,
2005), h.12
12

kepustakaan dilakukan dengan mencari refrensi untuk mendukung materi


penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar
perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, undang undang dan hasil dokumen
dari audiensi dan wawancara dengan Otoritas Jasa keuangan. pendekatan
kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus
yang berkaitan dengan laporan yang diterima.

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data


Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum
diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya
akan diketahui mengenai bentuk dan upaya perlindungan hukum yang
dapat ditempuh debitur pada layanan pinjaman berbasis Financial
Technology.

7. Pedoman Penelitian
Pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini
berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-
masing bab terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan
yang menjadi objek penelitian. Urutan masing-masing bab dijabarkan sebagai
berikut :
13

BAB I PENDAHULUAN
Membahas mengenai latar belakang penelitian, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan, dan daftar
pustaka.
BAB II TINJAUAN UMUM FINANANCIAL TECHNOLOGY
Pada bab ini, akan diuraikan dua pokok pembahasan yang
mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya pembahasan terkait
tinjauan umum tentang Financial Technology dan teori-teori yang
berkaitan dengan pembahasan yang tertuang dalam penelitian ini.
Selanjutnya akan dijelaskan terkait review (tinjauan ulang) studi
terdahulu, agar tidak ada persaman terhadap materi muatan dan
pembahasan dalam skripsi ini dengan apa yang ditulis oleh pihak
lain.
BAB III REGULASI DAN PELAKSANAAN LAYANAN PINJAMAN
UANG BERBASIS FINANCIAL TECHNOLOGY DI
INDONESIA
Pada bab ini peneliti akan menguraikan beberapa data yang
berhubungan erat dengan apa yang menjadi titik fokus pembahasan
dalam tulisan ini, yakni penulis akan menjabarkan terkait regulasi
atau aturan terhadap layanan pinjaman uang berbasis Fintech di
Indonesia, selain itu peneliti juga akan memaparkan mengenai
kondisi pelaksanaannya yang saat ini mulai mendapatkan perhatian
dari berbagai pihak.
BAB IV PERLINDUNGAN DAN PENYELESAIAN HUKUM SERTA
TINDAKAN PREVENTIF TERHADAP DEBITUR PADA
LAYANAN PINJAMAN UANG BERBASIS FINANCIAL
TECHNOLOGY
Pada bab ini peneliti akan membahas dan menjawab permasalahan
pada penelitian ini diantaranya menjelaskan serta menganalisis
terkait ketentuan-ketentuan perlindungan hukum, penyelesaian
14

hukum yang dapat ditempuh debitur serta tindakan preventif dalam


menggunakan layanan pinjaman uang berbasis Financial
Technology.

BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan
rekomendasi. Kesimpulan merupakan hasil dari penyederhanaan
dari hasil analisis atau jawaban terhadap inti dari masalah
penelitian berdasarkan data yang diperoleh. Rekomendasi
merupakan masukan atau saran yang dijabarkan oleh peneliti.
BAB II
TINJAUAN UMUM FINANCIAL TECHNOLOGY

A. Kerangka Konseptual
Adapun yang menjadi kerangka konseptual peneliti sebagai berikut :
1. Financial Technology (Fintech)
Perkembangan teknologi digital turut serta mengubah pola hidup
masyarakat termasuk dalam hal bertransaksi, kini masyarakat dapat
menikmati layanan jasa keuangan dimana saja dan kapanpun hanya
dalam satu genggaman melalui smartphone, dimana masyarakat dapat
melakukan beragam hal seperti pembayaran, melakukan investasi,
asuransi hingga mengajukan pinjaman uang. Hadirnya produk layanan
jasa keuangan berbasis teknologi ini kini mulai populer dimasyarakat
dengan istilah Financial Technology yang selanjutnya di singkat dengan
istilah Fintech.

a. Pengertian Fintech
Fintech atau singkatan dari Financial Technology dapat
diartikan dalam Bahasa Indonesia menjadi teknologi finansial atau
teknologi keuangan. Secara sederhana, Fintech merupakan wujud
pemanfaatan dari perkembangan teknologi informasi untuk
meningkatkan layanan di industri keuangan. Definisi lainnya dari
Fintech adalah variasi model bisnis dan perkembangan teknologi
yang memiliki potensi untuk meningkatkan industri layanan
keuangan.1
Menurut Stein dan Dhar, definisi dari Fintech merupakan
sebuah inovasi dari sektor finansial yang melibatkan model bisnis
yang terintegrasi dengan teknologi yang dapat memfasilitasi
pengguna tanpa perantara orang lain, mengubah cara perusahaan
yang sudah ada dalam menyediakan produk dan layanan dan sisi lain

1
International Organization of Securities Commissions, IOSCO Research Report On
Financial Technologies (Fintech), 2017. h.4

15
16

memberikan peluang untuk pertumbuhan inklusif.2 Secara


kesimpulan Fintech merupakan hasil gabungan antara layanan jasa
keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis
dari konvensional menjadi moderat, yang awalnya dalam
bertransaksi harus bertatap-muka dan membawa sejumlah uang
tunai, kini dapat melakukan transaksi jarak jauh secara nontunai
dalam waktu yang sangat singkat.3

b. Perkembangan Fintech
Fintech telah berevolusi dalam 3 (tiga) periode, seperti yang
dapat diilustrasikan melalui tabel berikut:4
Date 1866-1967 1967-2008 2008 - Current
Era Fintech 1.0 Fintech 2.0 Fintech 3.5 Fintech 3.5
Geogra Global/Developed Global/Devel Developed Emerging/Deve
phy oped loping
Key Infrastructur/Comput Traditional/In Mobile/Start-up/New Entrans
Elemen erisation ternet
t
Shift Linkages Digitaliztion 2008 Last mover
Origin Financial advantage
crisis/Smart
phone

Tabel : Periode Perkembangan Fintech

2
Dhar, V., Stein, R. M. (2017). FinTech platforms and strategy. Communications of the
ACM, (10), 32-35. diterima dari https://doi.org/10.1145/3132726 di akses pada 6 Maret 2019
3
Edukasi Financial Technology, diterima dari https://www.bi.go.id/id/edukasi-
perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-jasa-sp/fintech/Pages/default.aspx di akses pada 6
Maret 2019
4
Arner, Professor Doughlas. “Fintech: Evolution And Regulation”. 2017. Presentation,
Diterima dari http://law.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0011/1978256/D-ArnerFintech-
Evolution-MelbourneJune-2016.pdf diakses pada 6 Maret 2019
17

Periode pertama terjadi pada kurun waktu 1866-1967, dimana


di dalam periode ini sektor keuangan dan teknologi pertama kalinya
dikombinasikan dalam rangka memperluas jangkauan jasa keuangan.
Dalam periode ini, untuk pertama kalinya dibangun infrastruktur
keuangan dan teknologi yang dapat mempermudah layanan
keuangan untuk dilakukan, seperti pembangunan infrastruktur
Transatlantic Cable (kabel komunikasi bawah laut), Telex (jaringan
teleprinter yang mirip dengan jaringan telepon dan dapat digunakan
untuk mengirim surat) dan Fedwire (Real Time Gross Settlement
System/RTGS bank sentral yang digunakan di Amerika).
Periode 1967-2008 merupakan periode kedua yang disebut
sebagai era Fintech 2.0. Tahun ini merupakan tahun transisi
perubahan dari era teknologi analog ke digital. Periode ini
merupakan inovasi keuangan yang paling penting dimana terdapat
peningkatan penggunaan produk dan jasa keuangan yang
dikombinasikan dengan penggunaan teknologi yang mendukungnya.
Inovasi keuangan yang dibangun di era ini sedikit banyak
mempengaruhi perilaku konsumen keuangan, terutama dengan
mengurangi aktivitas konsumen keuangan untuk berkunjung ke
lembaga jasa keuangan. Beberapa inovasi keuangan yang terdapat di
dalam periode ini adalah Automatic Teller Machine (ATM), SWIFT
(untuk mempermudah transfer luar negeri), telepon seluler, dan
pengunaan internet banking seiring dengan meningkatnya penetrasi
internet secara global di periode ini. Perkembangan dan peningkatan
penggunaan layanan keuangan dengan inovasi teknologi di era ini
didominasi oleh lembaga jasa keuangan tradisional.
Dari tahun 2008 hingga saat ini, merupakan periode ketiga dari
perkembangan Fintech. Berdasarkan Doughlas W. Arner, periode ini
terbagi ke dalam dua era Fintech, yaitu 3.0 dan 3.5. Peningkatan
penggunaan jasa keuangan di dalam era ini meningkat sangat tajam
dikarenakan adanya peningkatan jumlah penggunaan smartphone
18

dan didukung dengan inovasi produk dan jasa keuangan yang


semakin mempermudah konsumen keuangan untuk menggunakan
produk dan/atau jasa keuangan. Di dalam era ini, ketergantungan
konsumen terhadap teknologi digital sangatlah tinggi. Oleh karena
itu di dalam periode ini, terdapat lonjakan jumlah perusahaan Start-
up di sektor jasa keuangan yang memanfaatkan teknologi digital
untuk memberikan layanan dengan lebih cepat, praktis dan mudah
bagi para konsumen. Terdapat pula beberapa Start-up di seluruh
dunia yang beroperasi dengan sebelumnya bekerjasama dengan para
lembaga jasa keuangan tradisional, seperti bank konvensional.
Peningkatan penggunaan Fintech di masa ini dapat terlihat dari
semakin banyaknya perusahaan Start-up dan lembaga jasa keuangan
tradisional yang saling berlomba dalam mengembangkan aplikasi
mobile dan website yang dapat mengakomodir kebutuhan konsumen
keuangan tanpa mengharuskan konsumen untuk bepergian hanya
untuk menggunakan atau membeli produk dan jasa keuangan.5

c. Jenis-Jenis Fintech
Berkembangnya teknologi infomasi dan komunikasi turut serta
membawa perkembangan terhadap layanan Fintech, jenis-jenis
Fintech pun semakin beragam dalam menawarkan layanan jasa
keuangan hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang
semakin banyak terhadap layanan keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membedakan jenis Fintech,
yaitu Fintech 2.0 dan Fintech 3.0. Sebenarnya, bank pun juga
menawarkan produk dan layanan Fintech, yaitu jenis layanan
Fintech 2.0. dimana perbedaanya yaitu :6

5
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, (Jakarta : Departemen Perlindungan Konsumen - Otoritas
Jasa Keuangan, 2017) h.9 -10
6
Reynold Wijaya, Fintech dan Bank: Pesaing atau Masa Depan Keuangan, diterima dari
https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/fintech/17/12/21/p1aftp408-fintech-dan-bank-
pesaing-atau-masa-depan-keuangan diakses pada 17 Maret 2019
19

1) Fintech 2.0 adalah lembaga keuangan yang sudah mendapatkan


lisensi sebagai perusahaan keuangan, yang berinovasi
menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan akses
pasarnya. Contoh nyatanya adalah kartu kredit, mesin ATM,
atau digital banking.
2) Jenis Fintech lainnya adalah Fintech 3.0, yaitu perusahaan yang
memberikan layanan keuangan yang didukung teknologi terkini
bagi konsumen. Berbeda dengan bank, jenis Fintech 3.0 ini
belum memiliki lisensi jasa keuangan, namun proses regulasinya
juga tetap diatur oleh OJK.
Fintech 3.0 ini yang sekarang menarik perhatian media dan
masyarakat Fintech 3.0 banyak bergerak di bidang Crowdfunding,
Peer To Peer Lending, Payments, e-wallet, Market Agregator,
Investments, dan lain-lain.
Berikut ini adalah jenis-jenis Fintech 3.0 yang saat ini hadir
dan berkembang di Indonesia :7
1) Crowdfunding dan Peer To Peer Lending
Perusahaan Fintech berjenis Crowdfunding dan Peer To
Peer Lending menawarkan jasa untuk mempertemukan pemilik
dana dengan pengusaha startup atau pelaku Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah/UMKM yang membutuhkan dana. Bedanya,
Peer To Peer Lending yaitu kegiatan di mana kreditur dan
debitur melakukan praktik pinjam meminjam tanpa bertemu
muka. Sementara pada Crowdfunding, sejumlah pemilik dana
akan membiayai proyek atau bisnis seseorang secara bersama
seperti patungan.
2) Payment, Clearing dan Settlement
Fintech jenis ini bergerak di bidang pembayaran, baik
yang diselenggarakan perbankan atau dilakukan Bank Indonesia.
7
Eka Utami, Jenis-Jenis Usaha Fintech Yang Ada Di Indonesia, diterima dari
https://www.qerja.com/journal/view/12876-jenis-jenis-usaha-fintech-yang-ada-di-indonesia-eu01/
diakses pada 13 Maret 2019
20

Keberadaan Fintech ini jelas bisa memudahkan pengguna untuk


melakukan transaksi pembayaran yang praktis, cepat, aman dan
nyaman.
Adapun contoh dari Jenis Fintech Payment gateway
seperti Doku dan Midtrans sangat berguna untuk mendukung
bisnis e-Commerce. Payment Gateway menghubungkan bisnis
e-Commerce dengan berbagai bank sehingga penjual dan
pembeli bisa melakukan transaksi dengan cepat dan aman.
Sementara contoh dari jenis layanan Fintech e-wallet
seperti GoPay, OVO, Dana, dan T-Cash (yang sekarang berubah
menjadi LinkAja). Jenis Fintech e-wallet memungkinkan
pengguna menyimpan uang di aplikasi untuk digunakan
bertransaksi sewaktu-waktu diperlukan. Pemakaian e-wallet
mudah sehingga pengguna tidak perlu repot menggunakan alat
pembayaran tunai dan berurusan dengan uang kembalian.

3) Market Aggregator
Fintech Market Aggregator memiliki simpanan data
tentang berbagai produk keuangan yang tersedia di pasar. Portal
Market Agregator akan membantu masyarakat untuk
menentukan pilihan pada satu produk keuangan tertentu.
Caranya dengan menyajikan data olahan tentang berbagai aspek
produk keuangan sepeerti harga, fitur, dan manfaat.
Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membuat kartu
kredit, maka bisa mengunjungi portal Cekaja, KreditGogo, atau
Cermati, memasukkan data pribadi yang dibutuhkan. Kemudian,
Market Aggregator tersebut akan menampilkan seluruh
penyedia layanan kartu kredit, dan memberikan data aspek
setiap kartu kredit. Dengan begitu, pengguna bisa menimbang
dan memilih produk yang tepat sesuai kebutuhan.
21

4) Manajemen Risiko dan Investasi


Fintech Manajemen Risiko dan Investasi juga bisa
membantu pengguna mengambil keputusan terkait langkah
finansial tertentu. Layanan yang ditawarkan Fintech ini seperti
perencana keuangan dalam bentuk perangkat lunak.
Dengan memanfaatkan layanan Fintech ini, seseorang
yang memiliki dana bisa mengatur keuangan dan menaruhya di
instrumen investasi atau asuransi yang tepat. Beberapa contoh
Fintech Manajemen Risiko dan Investasi adalah Bareksa,
Cekpremi, dan Rajapremi.8

d. Manfaat Fintech
Keberadaan Fintech sangat mempengaruhi gaya hidup
masyarakat ekonomi. Perpaduan antara efektivitas dan teknologi
memiliki dampak positif bagi masyarakat pada umumnya.
Terdapat beberapa manfaat adanya Fintech di lingkungan
masyarakat yakni :9
1) Manfaat bagi konsumen
Dampak Fintech turut membawa iklim usaha semakin
ketat, terkhusus perusahaan penyedia jasa keuangan, maupun
perbankan mulai bersaing dalam menawarkan produknya
kepada konsumen. kondisi ini tentu akan menguntungkan bagi
konsumen dalam mendapatkan layanan yang lebih baik, selain
itu konsumen juga akan di untungkan dengan semakin
banyaknya pilihan karena tumbuhnya pemain baru atau Start-
up yang hadir menawarkan produk yang kompetitif, serta
harga yang relatif lebih murah dan terjangkau.

8
Eka Utami, Jenis-Jenis Usaha Fintech Yang Ada Di Indonesia, diterima dari
https://www.qerja.com/journal/view/12876-jenis-jenis-usaha-fintech-yang-ada-di-indonesia-eu01/
diakses pada 13 Maret 2019
9
Ellen Chandra, Definisi Fintech, diterima dari https://www.finansialku.com/definisi-
fintech-adalah/ , diakses pada 20 Maret 2019
22

2) Manfaat bagi pelaku usaha atau penyelenggara Fintech


Perkembangan teknologi dan informasi tentu juga
membawa manfaat bagi pelaku usaha atau penyelenggara
Fintech dalam menjalankan usahanya. Dengan sistem digital
dan komputerisasi akan menyederhanakan rantai transaksi,
menekan biaya operasional dan biaya modal, karena bisa
dilakukan secara efisien, serta semua alur informasi akan
sangat mudah untuk dikontrol dan diakses oleh pelaku usaha
dalam menjalankan usahanya.
3) Manfaat Fintech bagi negara
Kehadiran Fintech juga turut membawa manfaat bagi
suatu negara yakni dapat mendorong transmisi kebijakan
ekonomi, meningkatkan kecepatan perputaran uang, sehingga
meningkatkan ekonomi masyarakat.
Munculnya perusahaan-perusahaan baru dapat
membantu perluasan lapangan kerja dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tersebut
mendatangkan manfaat kedua yaitu peningkatan taraf hidup
masyarakat. Fintech dapat menjangkau masyarakat yang tidak
dapat dijangkau oleh perbankan konvensional. Selain itu,
Fintech juga dapat meningkatkan ekonomi secara makro.10

2. Fintech Peer To Peer Lending (P2PL)


Dari jenis-jenis Fintech yang sebelumya telah peneliti jabarkan di
atas, disini peneliti akan mengulas secara mendalam tentang Fintech
Peer To Peer lending atau Fintech P2PL sesuai dengan fokus utama
penelitian terkait layanan pinjaman uang berbasis Financial Technology.

10
Bank Indonesia, Edukasi Financial Technology, diterima dari
https://www.bi.go.id/id/edukasi-perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-jasa-
sp/fintech/Pages/default.aspx diakses pada 21 Maret 2019
23

a. Pengertian Fintech P2PL


Secara definisi, Peer To Peer Lending (P2PL) atau biasa juga
disebut sebagai social lending atau person-to-person lending
merupakan salah satu bentuk crowdfunding berbasis utang berupa
praktik pemberian pinjaman uang antar individu dimana peminjam
dan pemberi pinjaman dipertemukan melalui platform yang
diberikan oleh perusahaan penyelenggara P2PL. P2PL memberikan
wadah bagi seseorang yang ingin meminjam uang dari seseorang
yang tidak pernah temui secara langsung sebelumnya. Begitu juga
dengan kreditur, dapat memberikan pinjaman kepada seseorang yang
tidak dikenal dan informasi yang diketahui bisa hanya berdasarkan
rekam jejak kredit dari peminjam.
Layanan P2PL berbeda dengan layanan pinjam meminjam
uang sebagaimana diatur pada Pasal 1754 KUH Perdata. Pada
perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana diatur pada Pasal
1754 KUH Perdata para pihak yang terlibat adalah pemberi pinjaman
dan penerima pinjaman dimana para pihak ini memiliki hubungan
hukum secara langsung melalui perjanjian pinjam meminjam.
Pemberi pinjaman berkewajiban untuk memberikan kepada pihak
lain suatu jumlah tertentu barang yang habis pakai karena pemakaian
dengan syarat bahwa penerima pinjaman akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Sedangkan dalam layanan P2PL pemberi pinjaman tidak bertemu
langsung dengan penerima pinjaman, bahkan diantara para pihak
dapat saja tidak saling mengenal karena dalam sistem P2PL terdapat
pihak lain yakni platform atau penyelenggara P2PL yang
menghubungkan kepentingan antara para pihak ini.11
Seiring berkembangnya teknologi Internet, praktik P2PL lebih
umum dilakukan secara online, atau biasa dikenal dengan Fintech.

11
Ratna H., Juliyani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending,
(Yogyakarta : Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Universitas Islam Indonesia, 2018) h. 322
24

Perusahaan yang bergerak di bidang Fintech P2PL berbeda dengan


bank atau institusi keuangan konvensional lainnya. Di sini,
perusahaan atau penyelenggara Fintech P2PL hanya menjamin
hubungan antara peminjam (debitur) dan pemberi pinjaman
(kreditur).
Setidaknya ada beberapa hal yang dilakukan oleh
penyelenggara Fintech P2PL, yaitu memastikan bahwa peminjam
memiliki kelayakan untuk mengajukan kredit; membantu kreditur
untuk mencari orang yang membutuhkan pinjaman; membantu
dalam proses administrasi; mengurus arus dana antara peminjam dan
pemberi pinjaman; serta melakukan proses penagihan ketika terjadi
gagal atau telat bayar.
Pasar Fintech P2PL sudah berkembang pesat di beberapa
negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di Asia, Tiongkok
dan Singapura pun sudah mulai mengadopsi Crowdfunding.
Sedangkan di Indonesia, praktik ini belum populer, namun menurut
Kementerian Keuangan Republik Indonesia memiliki potensi yang
sangat besar untuk menjadi instrumen pengumpulan dana investasi.12

b. Perbedaan Fintech P2PL dengan Bank


Meskipun perusahaan penyelenggara Fintech P2PL memiliki
kemiripan dengan perbankan yang menerima uang dari deposan dan
menyalurkannya melalui fasilitas kredit atau pembiayaan,
perusahaan penyelenggara Fintech P2PL bukanlah perbankan.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, bank merupakan badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau

12
Peer to Peer Lending: Potensi Crowdfunding yang Belum Tersentuh, diterima dari
https://www.investree.id/blog/marketplace-lending/peer-to-peer-lending-potensi-crowdfunding-
yang-belum-tersentuh diakses pada 20 Maret 2019
25

bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup


rakyat banyak.
Dalam sistem perbankan, hubungan hukum antara nasabah
penyimpan dana dan bank didasarkan atas perjanjian antara nasabah
penyimpan dana dan bank. Simpanan sendiri merupakan dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito (berjangka),
sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.13 Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
menyatakan bahwa LPS berfungsi untuk menjamin simpanan
nasabah dan turut serta secara aktif dalam memelihara sistem
perbankan sesuai dengan kewenangannya.14
Dengan model bisnisnya yang menjalankan kegiatan pinjam-
meminjam yang mirip dengan kegiatan yang dilakukan perbankan,
Fintech P2PL berbeda dengan Bank, berikut adalah perbedaan
Fintech P2PL dengan bank:15
1) Lembaga jasa keuangan lainnya
Menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016, kegiatan
Penyelenggara Fintech P2PL dikategorikan sebagai “Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya”. Dengan demikian, Penyelenggara
Fintech P2PL bukan merupakan bank, dan tidak mengikuti
aturan di industri perbankan.
2) Tidak dijamin LPS
Menurut Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS
hanya menjamin dana simpanan nasabah di bank. Dalam hal ini,

13
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
h. 242
14
Jonker Sihombing, Penjaminan Simpanan Nasabah Perbankan, PT Alumni, Bandung,
2010, h. 58.
15
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
26

Fintech P2PL bukan merupakan bank, dan tidak melakukan


bisnis perbankan, sehingga dana Lender tidak dijamin oleh LPS.
3) Terjadi secara daring (Online)
Proses bisnis industri Fintech P2PL dilakukan secara online
dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informatika.
Sedangkan proses bisnis bank masih memerlukan tatap muka.
4) Hanya sebagai Platform
Penyelenggara Fintech P2PL hanya bertindak sebagai pengelola
platform pada transaksi pinjam meminjam, dimana dana
Pemberi Pinjaman disalurkan kepada Penerima Pinjaman yang
sesuai dengan kriterianya, melalui escrow account
Penyelenggara. Di sisi lain, bank mengelola dana masyarakat
yang dititipkan dalam bentuk simpanan.
5) Perjanjian langsung antara debitur dan kreditur
Pada transaksi pinjam meminjam melalui Fintech P2PL,
kreditur atau pemberi pinjaman dapat memilih debitur atau
penerima pinjaman, dan kemudian mengadakan perjanjian
pinjam meminjam dengan difasilitasi oleh Penyelenggara
Fintech P2PL. Sedangkan pada bank, keputusan kredit ada pada
bank.
6) Proses cepat
Pemanfaatan data dan teknologi informasi membuat waktu yang
dibutuhkan Penyelenggara Fintech P2PL menyetujui
permohonan pinjaman untuk ditampilkan di platform lebih
cepat. Sedangkan di Bank, proses persetujuan pinjaman paling
cepat dilakukan dalam kurun waktu mingguan bahkan bulanan.

c. Pihak Yang Terlibat Dalam Fintech P2PL


Penyelenggaraan Fintech P2PL berbeda dengan perjanjian
pinjam meminjam uang sebagaimana diatur pada Buku III KUH
Perdata yang hanya melibatkan pihak pemberi pinjaman dan pihak
27

penerima pinjaman, dalam layanan Fintech P2PL atau Layanan


Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi melibatkan
berbagai pihak yaitu:16
1. Pihak Penyelenggara layanan Fintech P2PL
Pengertian penyelenggara layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi telah diatur dalam Pasal 1 angka 6
POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Penyelenggara dalam
ketentuan tersebut adalah badan hukum Indonesia yang
menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi. Menurut Pasal 2
Ayat (2) bentuk Bentuk badan hukum penyelenggara dapat
berupa perseroan terbatas atau koperasi.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, penyelenggara
Fintech P2PL haruslah badan hukum dan tidak dapat dilakukan
oleh orang-perorangan maupun kegiatan usaha non badan
hukum seperti Maatschap, Firma, ataupun CV. Badan hukum
yang dapat bertindak sebagai penyelenggara Fintech P2PL
hanyalah perseroan terbatas yang telah mendapatkan
pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau Koperasi.
Ditinjau dari kapasitas hukum, tentu badan hukum memiliki
kedudukan yang lebih baik jika dibandingkan dengan
perusahaan non badan hukum mengingat badan hukum
merupakan subjek hukum atau pendukung hak dan kewajiban
yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas nama badan
hukum tersebut. Dengan ketentuan ini pula jelas bahwa yayasan
maupun badan hukum lainnya tidak dapat menjalankan kegiatan
Fintech P2PL. Persyaratan penyelenggara dalam bentuk badan
hukum perseroan terbatas atau koperasi ini telah sesuai dengan

16
Ratna H., Juliyani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending,
(Yogyakarta : Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Universitas Islam Indonesia, 2018) h. 322
28

tujuan kepastian hukum bagi para pihak dalam kegiatan usaha


Fintech P2PL dimana Fintech P2PL merupakan kegiatan usaha
yang bersifat mencari keuntungan (profit oriented) dan
melibatkan banyak pihak.
2. Pihak Penerima Pinjaman (Debitur)
Penerima pinjaman atau debitur sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 7 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi
adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang
karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi. Pasal 15 penerima pinjaman dalam sistem
Peer To Peer lending harus berasal dan berdomisili di wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penerima
pinjaman dapat berupa orang perseorangan Warga Negara
Indonesia atau Badan Hukum Indonesia.
Berdasarkan ketentuan di atas, penerima pinjaman dalam
Fintech P2PL bukanlah perorangan WNA ataupun badan hukum
asing. Namun, ketentuan tersebut belumlah cukup mengingat
dalam ketentuan tersebut hanya disebutkan bahwa penerima
pinjaman adalah pihak yang mempunyai utang tanpa
menyebutkan dengan siapa penerima pinjaman mengikatkan diri
dalam perjanjian utang-piutang atau pinjam meminjam. Hal ini
seolah-olah penerima pinjaman memiliki perjanjian pinjam
meminjam dengan penyelenggara Fintech P2PL dimana hal
tersebut mirip dengan kegiatan usaha perbankan dalam
menerima dan menyalurkan dana ke masyarakat.
3. Pihak Pemberi Pinjaman (Kreditur)
Pemberi pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 8 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi adalah orang,
badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang
29

karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis


teknologi informasi. Pemberi pinjaman dapat berasal dari dalam
dan / atau luar negeri. Pasal 16 pemberi pinjaman terdiri dari
orang perseorangan warga negara Indonesia, orang
perserorangan warga negara asing, badan hukum
Indonesia/asing, dan/atau lembaga internasional.
Pemberi pinjaman dalam skema Peer To Peer Lending
lebih luas jika dibandingkan dengan penyelenggara Peer To
Peer Lending. Dalam hal ini, orang perorangan baik WNI
maupun WNA dapat bertindak selaku pemberi pinjaman. Hal
yang perlu diperhatikan agar kegiatan usaha Peer To Peer
Lending memberikan kepastian hukum bagi para pihak yaitu
diperlukan pemberlakuan sistem “Know Your Customer” guna
menghindari tindakan pencucian uang.
4. Bank
Pasal 24 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi
menentukan bahwa penyelenggara wajib menggunakan escrow
account dan virtual account dalam rangka layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi. Selain itu,
penyelenggara juga wajib menyediakan virtual account bagi
setiap pemberi pinjaman dan dalam rangka pelunasan pinjaman,
penerima pinjaman melakukan pembayaran melalui escrow
account penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account
pemberi pinjaman.
Escrow account adalah rekening yang dibuka secara
khusus untuk tujuan tertentu guna menampung dana yang
dipercayakan kepada Bank Indonesia berdasarkan persyaratan
tertentu sesuai dengan perjanjian tertulis.17

17
Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 tentang Perubahan Atas
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening
Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern
30

Virtual account adalah nomor identifikasi pelanggan


perusahaan (end user) yang dibuat oleh Bank untuk selanjutnya
diberikan oleh perusahaan kepada pelanggannya (perorangan
maupun non perorangan) sebagai identifikasi penerimaan
(collection).18
Tujuan penggunaan virtual account dan escrow account
dalam hal ini yaitu larangan bagi penyelenggara dalam
melakukan penghimpunan dana masyarakat melalui rekening
penyelenggara. Guna mendukung penggunaan virtual account
dan escrow account tersebut maka penyelenggara harus
bekerjasama dengan pihak bank.
5. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang
menyatakan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Lebih jelas Pasal 6 menyatakan bahwa OJK melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan terhadap : (a) kegiatan jasa
keuangan di sektor Perbankan; (b) kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal; dan (c) kegiatan jasa keuangan di sektor
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Apabila mengacu pada kedua
pasal tersebut, OJK adalah instansi yang melakukan pengaturan
dan pengawasan terhadap tumbuh kembangnya Fintech, salah

18
“Mandiri Virtual Account” diterima dari : https://www.bankmandiri.co.id/virtual-
account diakses pada tanggal 20 Maret 2019
31

satunya Fintech P2PL yang merupakan bagian Industri


Keuangan Non-Bank (IKNB) yang diawasi oleh OJK.19
OJK dalam sistem penyelenggara Fintech P2PL ini
bertindak selaku pemberi persetujuan pengajuan pendaftaran
dan perizinan penyelenggaraan sistem serta selaku pihak yang
harus mendapatkan laporan berkala atas penyelenggaraan sistem
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi.

d. Cara Kerja Fintech P2PL


Pada praktiknya, sistem Fintech P2PL ini sangat mirip dengan
konsep marketplace yang menyediakan wadah sebagai tempat
pertemuan antara pembeli dengan penjual, dimana Peer to Peer
Lending menghubungkan antara pemberi pinjaman dengan pencari
pinjaman yang dilakukan secara online.

Transaksi Perjanjian

Gambar 1 : Cara Kerja Penyelenggaraan Fintech P2PL

Terdapat 4 langkah pendanaan pada Fintech Peer To Peer


Lending :20
1. Registrasi Keanggotaan
Pengguna baik pemberi pinjaman (kreditur/lender) maupun
penerima pinjaman (debitur/borrower) melakukan registrasi

19
Ernasari,dkk. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 77/POJK.01/2016), Diponogoro law
Journal Vol.6, 2017
20
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
32

secara online melalui komputer atau smartphone pada halaman


website atau aplikasi penyelenggara Fintech P2PL.
2. Pengajuan Pinjaman
Debitur mengajukan pinjaman secara online kepada
penyelenggara Fintech P2PL melalui halaman website maupun
aplikasi, lalu penyelenggara Fintech P2PL menawarkan kepada
kreditur untuk memilih dan memberikan pinjaman kepada
debitur yang di inginkan berdasarkan pertimbangan risiko.
3. Pelaksanaan Pinjaman
Debitur dan kreditur menandatangani perjanjian pinjam
meminjam atau sepakat menyetujui perjanjian yang dikelola
oleh penyelenggara Fintech P2PL, dan dana kreditur pemberi
pinjaman di teruskan ke debitur penerima pinjaman melalui
virtual accout penyelenggara Fintech P2PL
4. Pembayaran Pinjaman
Debitur atau penerima pinjaman membayar beserta biaya dan
bunga yang disepakati dalam perjanjian melalui virtual account
5. Debitur atau penerima pinjaman membayar pinjaman beserta
biaya dan bunga yang disepakati dalam perjanjian melalui
virtual accout bank penyelenggara Fintech P2PL kemudian
penyelenggara meneruskan pembayaran beserta retrun yang
diterima kepada kreditur pemberi pinjaman.

Gambar 2 : 4 langkah Pendanaan Fintech P2PL


33

Dalam penyelenggaraan Fintech P2PL yang terdiri dari


Pihak borrower atau penerima pinjaman (debitur) dan pihak lender
atau pemberi pinjman (kreditur) terdapat beberapa hal yang
dilalukan kedua belah pihak ketika menggunakan layanan Fintech
P2PL.21
1) Pihak Penerima Pinjaman (Debitur)
Sebagai debitur penerima pinjaman, yang perlu lakukan
debitur ketika akan mengajukan pinjaman melalui Platform
Fintech P2PL diantaranya melakukan registrasi akun dari
aplikasi penyedia layanan, kemudian mengisi dan melengkapi
semua dokumen yang diminta, pada umumnya terdiri dari data
pribadi, NIK, laporan keuangan, serta mengunggah foto KTP
dan foto debitur dengan memegang KTP untuk keperluan
verifikasi data, kemudian debitur mengisi pengajuan pinjaman
berupa nominal beserta jangka waktu pinjaman.
2) Pihak Pemberi Pinjaman (Kreditur)
Sebagai kreditur yang memberikan pinjaman, setelah registrasi
pendaftaran akun pada Platform Fintech P2PL nantinya
melakukan penelusuran terhadap data-data pengajuan
pinjaman di dashboard yang telah disediakan. Kreditur akan
melakukan pertimbangan terhadap relevansi data dari setiap
pengajuan pinjaman meliputi kebenaran data pribadi, kontak
darurat yang dapat dihubungi, jumlah pendapatan, riwayat
keuangan, serta tujuan peminjaman.
e. Keuntungan Penggunaan Fintech P2PL
1) Pihak Penerima Pinjaman (Debitur)
Meminjam uang di bank atau institusi keuangan
konvensional lainnya mungkin menjadi hambatan bagi
peminjam karena berbagai macam persyaratan yang disyaratkan
21
Walter Pinem, Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Peer to Peer Lending (P2P
Lending), diterima dari https://koinworks.com/blog/ketahui-tentang-peer-peer-lending/ diakses
pada 21 Maret 2019
34

oleh bank seringkali tidak dapat dipenuhi peminjam. Hadirnya


Platform Fintech P2PL menjadi solusi mempertemukan antara
penerima dengan pemberi pinjaman secara marketplace yang
dikelola oleh penyelenggara Fintech P2PL sehingga peminjam
dapat mencari kreditur yang bersedia meminjamkan uangnya.
Peminjam pun bisa melihat pinjaman dengan bunga pinjaman
yang paling sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum adanya Platform Fintech P2PL, peminjam
membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mencari
pinjaman. Bahkan ketika akan mengajukan pinjaman di bank,
dibutuhkan beberapa berkas sebagai persyaratan yang cukup
rumit, selain itu juga memerlukan banyak waktu hingga
pinjaman tersebut cair, atau jika debitur ingin mencari pinjaman
melalui seseorang yang sekiranya mau meminjamkan uang akan
sangat sulit untuk mencarinya.
Dengan adanya Fintech P2PL yang dapat mempertemukan
antara pemberi dan penerima pinjaman yang dilakukan secara
online dapat memberikan kemudahan dalam hal percepatan
inklusi keuangan dimana debitur dapat mencari pinjaman secara
mudah dan kreditur dapat memberikan pinjaman dengan
mendapatkan return dari bunga pinjaman yang kompetitif.22
2) Pihak Pemberi Pinjaman (Kreditur)
Lender atau kreditur pemberi pinjaman dapat memperoleh
keuntungan atau return atas pemberian pinjamannya, namun
tidak hanya itu, lender atau kreditur juga memiliki kebebasan
dalam menentukan risiko atas pinjaman yang diberikannya. Di
sini lender atau kreditur dapat memberikan pinjaman kepada
peminjam yang memiliki risiko gagal bayar rendah hingga
tinggi. Lender atau kreditur yang tertarik dengan memberikan
22
Peer to Peer Lending: Potensi Crowdfunding yang Belum Tersentuh, diterima dari
https://www.investree.id/blog/marketplace-lending/peer-to-peer-lending-potensi-crowdfunding-
yang-belum-tersentuh diakses pada 20 Maret 2019
35

pinjaman dengan risiko tinggi dapat mengenakan bunga


pinjaman yang lebih tinggi, atau juga dapat
mengkombinasikannya dengan memberikan pinjaman dengan
risiko yang rendah dan tinggi.
Tanpa Platform P2PL, lender atau kreditur mungkin
kesulitan dalam mencari orang-orang yang sedang
membutuhkan pinjaman.23

f. Risiko Penggunaan Fintech P2PL


Selain memperhatikan keuntungan yang didapat dalam
menggunakan layanan Fintech P2PL baik debitur maupun kreditur
perlu memperhatikan serta mempertimbangkan risiko yang dihadapi
dalam menggunakan Platform ini.
1) Pihak Peminjam (Debitur)
Mudahnya mengajukan pinjaman melalui Fintech P2PL
menjadikan jalan pintas untuk mendapatkan dana secara mudah
dan cepat, namun di balik kelebihannya, peminjam atau debitur
tentu perlu memperhatikan kekurangan ataupun risiko sebelum
melakukan pinjaman melalui Platform ini, diantaranya, jika
debitur atau pihak peminjam telat membayar, maka tagihan akan
sangat signifikan, akibat denda yang cukup besar, sehingga
jumlah yang harus dibayar nantinya bisa melejit tinggi. Jenis
pinjaman ini hanya cocok untuk jangka pendek, sebab semakin
lama jangka waktu pinjaman, tagihan akan terus naik. Selain itu,
bunga pinjaman Fintech P2PL melonjak naik saat kelayakan
kredit si peminjam jatuh atau risiko gagal bayar tinggi.
2) Pihak Pemberi Pinjaman (Kreditur)
Tidak seperti menyimpan uang di bank yang dapat diambil
kapan saja, maka perlu dipertimbangkan sebelum melakukan
23
Peer to Peer Lending: Potensi Crowdfunding yang Belum Tersentuh, diterima dari
https://www.investree.id/blog/marketplace-lending/peer-to-peer-lending-potensi-crowdfunding-
yang-belum-tersentuh diakses pada 20 Maret 2019
36

investasi melalui Platfom Fintech P2PL bahwa dana investasi


tidak dapat ditarik secara bebas kapanpun, melainkan harus
sesuai tempo waktu atau perjanjian yang ditentukan, selain itu
ada kemungkinan bahwa si peminjam akan gagal dalam
mengembalikan uang pinjamannya, sehingga dana yang
dipinjamkan bisa lenyap. Namun hal ini sudah diatasi oleh
mayoritas penyelenggara Platform Fintech P2PL dengan
jaminan yang diberikan kepada lender atau kreditur sebagai
pendana.24

B. Kerangka Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Pengertian perlindungan adalah tempat untuk berlindung, hal
(perbuatan dan sebagainya),25 sedangkan pengertian hukum adalah
keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia
dalam masyarakat dan bertujuan untuk memelihara ketertiban serta
meliputi berbagai lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya
kaidah sebagai suatu kenyataan dalam hukum.26 Secara sederhana
perlindungan hukum merupakan bentuk aturan atau kaidah yang
bertujuan melindungi atau memberikan perlindungan berupa hukum.
sedangkan Terkait dengan teori perlindungan hukum, ada beberapa ahli
yang menjelaskan bahasan ini, antara lain yaitu Fitzgerald, Satjipto
Raharjo, Phillipus M Hanjon dan Lily Rasyidi
Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari
Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyrakat karena dalam
suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu

24
Walter Pinem, Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Peer to Peer Lending (P2P
Lending), diterima dari https://koinworks.com/blog/ketahui-tentang-peer-peer-lending/ di akses
pada 21 Maret 2019
25
Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008) h.841
26
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung : Alumni, 2002, h. 2
37

dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain


pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan
manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan
kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan
hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat
tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap
mewakili kepentingan masyarakat.27
Menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan
resprensif. Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah
bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan
perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.28
Selanjutnya Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum
adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM)
yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum.29
Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa
hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya
tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga predektif dan
antipatif.30

27
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53
28
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, … h. 54
29
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, … h. 69
30
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung : Remaja
Rusdakarya, 1993), h. 118
38

Dari uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa


perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan
yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik
itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif,
baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan
peraturan hukum.

2. Teori Kepastian Hukum


Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma.
Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya”
atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa
yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia
yang deliberative. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu
maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu
menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan
tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.31
Kepastian hukum secara normatif dapat dilihat ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti yang mengatur mengenai
sesuatu hal secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multi tafsir) dan menjadi suatu sistem norma dengan
norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,
konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi oleh
keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan

31
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Kencana, 2000), h. 158
39

bukanlah sekedar tuntutan moral melainkan secara faktual mencirikan


hukum.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu:
1) Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan.
2) Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.32 Jika dikaitkan antara
kepastian hukum dengan asas ketertiban umum dalam pelaksanaan
putusan arbitrase Internasional maka asas tersebut haruslah mampu
menjabarkan apa saja arti dari ketertiban umum itu secara pasti
dalam Peraturan Perundang-undangan. Karena sesuai dengan
Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Urutan
Perundang-Undangan, materi muatan suatu pasal dalam Undang-
Undang haruslah memenuhi unsur kepastian hukum untuk
menciptakan ketertiban di masyarakat.

C. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu


1. Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Dalam
Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To Peer
Lending Di Indonesia.33 Skripsi yang di tulis oleh Alfhica Rezita Sari,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada tahun 2018. Pada
skripsi tersebut membahas tentang perlindungan hukum terhadap
penyelenggara Fintech berbasis Peer To Peer Lending atas kerugian

32
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1999), h. 23
33
Alfhica Rezita Sari, Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Dalam
Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending Di Indonesia (Yogyakarta
: Universitas Islam Indonesia, 2018)
40

akibat gagal bayar nasabah sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti


yakni dari sudut pandang debitur penerima pinjaman yang memerlukan
perlindungan hukum dari penyelenggaraan layanan pinjaman berbasis
Financial Technology. Persamaan dengan penelitian peneliti yakni,
membahas terkait permasalahan Pinjam meminjam uang berbasis
Financial Technology, namun terdapat perbedaan dimana penelitian
peneliti akan membahas terkait perlindungan hukum terhadap debitur
sebagai penerima pinjaman, sedangkan pada skripsi ini membahas
kreditur sebagai pemberi pinjaman.

2. Aspek Perlindungan Hukum Atas Data Pribadi Nasabah Pada


Penyelenggaraan Layanan Internet Banking (Studi Kasus Pada Pt.
Bank Syariah Mandiri Cabang Ulee Kareng).34 Skripsi yang ditulis
oleh Muilyati, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh
tahun 2017. Pada skripsi tersebut membahas tentang aspek hukum bank
dalam melindungi nasabah pengguna layanan internet banking yang
mana dikaitkan dengan hukum perlindungan konsumen, telekomunikasi,
dan undang undang transaksi elektronik. Persamaan dengan penelitian
yang akan peneliti bahas yakni terkait perlindungan pengguna jasa
layanan keuangan, adapun perbedaannya yakni pada skripsi tersebut
membahas tentang nasabah perbankan, sedangkan perbedaannya pada
penelitian peneliti membahas tentang perlindungan tindakan intimidasi
berupa penyebaran data pribadi pada layanan pinjaman berbasis
Financial Technology.

3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di


35
Indonesia. Buku ini ditulis oleh Ahmadi Miru, Terbitan PT. Raja
Grafindo Persada Jakarta merupakan buku cetakan ke – 1, bulan Oktober
Tahun 2011. Pada pada buku tersebut memiliki persamaan mengenai

34
Muilyati, Aspek Perlindungan Hukum Atas Data Pribadi Nasabah Pada
Penyelenggaraan Layanan Internet Banking (Studi Kasus Pada Pt. Bank Syariah Mandiri Cabang
Ulee Kareng), (Banda Aceh : UIN Ar-Raniry, 2017)
35
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011)
41

perlindungan hukum bagi konsumen serta menjelaskan cara penyelesaian


nya, sedangkan perbedaanya dengan penelitian yang akan peneliti teliti
yakni lebih fokus terkait perlindungan konsumen sektor jasa keuangan
berbasis Financial Technology yang tidak dibahas oleh buku tersebut.

4. Perlindungan Konsumen Pada Fintech (Kajian Perlindungan


Konsumen Sektor Jasa Keuangan).36 Jurnal ini disusun oleh oleh
Departemen perlindungan konsumen OJK dan tulis oleh Rudi Saleh
Susetyo, dkk. Merupakan cetakan ke-1 : Desember 2017. Terdapat
persamaan pada jurnal ini dengan penelitian yang akan peneliti teliti
yakni, pada jurnal ini membahas terkait pengertian jenis dan pengaturan
Fintech, adapun perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti teliti
yakni akan lebih fokus terkait perlindungan hukum terhadap pinjaman
berbasis Financial Technology Peer To Peer Lending, dimana hal ini
tidak dibahas di dalam jurnal ini.

36
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, (Jakarta : Departemen Perlindungan Konsumen - Otoritas
Jasa Keuangan, 2017)
BAB III
REGULASI DAN PELAKSANAAN PINJAMAN UANG BERBASIS
FINTECH DI INDONESIA

A. Regulasi Pinjaman Uang Berbasis Fintech di Indonesia


Perkembangan teknologi informasi membawa era baru peradaban
manusia yang sekarang populer disebut Industri 4.0 dimana era ini turut
mengubah pola dan gaya hidup masyarakat yang kini dilakukan serba online
atau berbasis internet, mulai dari berbelanja, menggunakan jasa transportasi
hingga layanan keuangan atau yang akrab disebut Fintech.
Adapun layanan keuangan berbasis Fintech yang kini populer di
masyarakat adalah pinjaman uang secara online atau Peer To Peer Lending
(P2PL) dimana masyarakat dapat mengajukan pinjaman dengan mudah dan
cepat melalui aplikasi dan internet, selain itu masyarakat juga disuguhkan
dengan banyaknya pilihan aplikator yang menawarkan pinjaman, tentunya hal
ini membuat masyarakat tergiur dan banyak yang tertarik menggunakan
layanan pinjaman uang berbasis Fintech ini.
Perkembangan industri pinjaman uang berbasis Fintech tentu
memerlukan kesiapan dari regulator dan pemerintah di Indonesia dalam
mengaturnya, terutama yang berkaitan dengan aspek kelembagaan, kegiatan
usaha, serta mitigasi risiko.1 Terkait pelaksanaan industri Fintech ini di
Indonesia terdapat beberapa regulator yang mengatur.

1. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)


a. Latar Belakang OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

1
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, (Jakarta : Departemen Perlindungan Konsumen - Otoritas
Jasa Keuangan, 2017) h.48

42
43

keuangan baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa


keuangan non-bank seperti Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.2
OJK adalah yang didirikan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011. Lembaga ini didirikan untuk melakukan
pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu.3
Secara yuridis menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Otoritas Jasa Keuangan, dirumuskan bahwa OJK adalah
lembaga independen bebas campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi tugas dan wewenang, pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang
undang ini.
b. Tujuan Pembentukan OJK
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa OJK dibentuk dengan
tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun
masyarakat.
Dengan pembentukan OJK, maka lembaga ini diharapkan
dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan secara
menyeluruh sehingga meningkatkan daya saing perekonomian.
Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara
lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan
kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap
mempertimbangkan aspek positif globalisasi. OJK dibentuk dan
dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi

2
Otoritas Jasa Keuangan, diterima dari https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-
Keuangan.aspx diakses pada 25 Maret 2019
3
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Grup,
2005),h.221
44

independensi, akuntabilitas, pertanggung jawaban, transparansi, dan


kewajaran (fairness).4
c. Visi dan Misi OJK
Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa
keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat, mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi
pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat
memajukan kesejahteraan umum.
Misi OJK sebagai regulator dan pengawas industri jasa
keuangan adalah:
1) Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor
jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2) Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil serta;
3) Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
d. Fungsi Tugas dan Wewenang OJK
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan.
Sementara berdasarkan Pasal 6 dari Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011, tugas utama dari OJK adalah melakukan pengaturan
dan pengawasan terhadap:
1) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
2) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
3) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Adapun wewenang yang dimiliki OJK adalah sebagai berikut:
1) Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa
Keuangan Bank yang meliputi:

4
Otoritas Jasa Keuangan, diterima dari https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-
Keuangan.aspx diakses pada 25 Maret 2019
45

a) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor


bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan,
kepengurusan dan sumber daya manusia, merger,
konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin
usaha bank;
b) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana,
penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di
bidang jasa;
c) Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank
yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,
kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas
maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan dan pencadangan bank; laporan bank yang
terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem
informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan
standar akuntansi bank;
d) Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-
hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata kelola
bank; prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian
uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan
kejahatan perbankan; serta pemeriksaan bank.
2) Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan
Non-Bank) meliputi:
a) Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
b) Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor
jasa keuangan;
c) Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas
OJK;
d) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan
pihak tertentu;
46

e) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan


pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan;
f) Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta
mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan
dan kewajiban;
g) Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
3) Terkait pengawasan lembaga jasa keuangan (bank dan non-
bank) meliputi:
a) Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
b) Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor
jasa keuangan;
c) Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas
OJK;
d) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan
pihak tertentu; Menetapkan peraturan mengenai tata
cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa
keuangan;
e) Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta
mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan
dan kewajiban;
f) Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
e. Nilai-Nilai OJK
1) Integritas
Bertindak objektif, adil, dan konsisten sesuai dengan kode etik
dan kebijakan organisasi dengan menjunjung tinggi kejujuran
dan komitmen.
47

2) Profesionalisme
Bekerja dengan penuh tanggung jawab berdasarkan kompetensi
yang tinggi untuk mencapai kinerja terbaik.
3) Sinergi
Berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan baik
internal maupun eksternal secara produktif dan berkualitas.
4) Inklusif
Terbuka dan menerima keberagaman pemangku kepentingan
serta memperluas kesempatan dan akses masyarakat terhadap
industri keuangan.
5) Visioner
Memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat kedepan
(Forward looking) serta dapat berpikir di luar kebiasaan (Out of
The Box Thinking).
f. Asas OJK
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Otoritas Jasa
Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:5
1) Asas Independensi, yakni independen dalam pengambilan
keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK,
dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
2) Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa
Keuangan;
3) Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta
memajukan kesejahteraan umum;

5
Otoritas Jasa Keuangan, diterima dari https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-
Keuangan.aspx diakses pada 25 Maret 2019
48

4) Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak


masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa
Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk
rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan;
5) Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian
dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa
Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
6) Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai
moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
7) Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan
Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik.

g. Regulasi OJK Terhadap Layanan Pinjaman Uang Berbasis


Fintech di Indonesia
Seiring dengan tumbuhnya industri layanan keuangan berbasis
teknologi di Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai
regulator, OJK telah menerbitkan peraturan terkait layanan pinjam
meminjam uang berbasis Fintech, sebagai berikut:
1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
Sebagai langkah awal, OJK telah mengeluarkan Peraturan
OJK (POJK) Nomor 77/ POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK
Fintech P2PL) yang kemudian memiliki peraturan turunan
berupa Surat Edaran OJK (SEOJK) nomor 18/ SEOJK.02/2017.
49

POJK ini mengatur mengenai salah satu jenis Fintech yang


berkembang di Indonesia saat ini yaitu Pee to Peer Lending
(Fintech P2PL). Hal tersebut dikarenakan OJK melihat urgensi
hadirnya ketentuan yang mengatur Fintech pinjam meminjam,
memperhatikan masih kuatnya budaya pinjam meminjam
(utang) di masyarakat Indonesia. Selain itu, perusahaan
penyelenggara Fintech dengan skema Peer to Peer Lending
merupakan lingkup kewenangan OJK dikarenakan perusahaan
tersebut memberikan pelayanan jasa keuangan. Namun
perusahaan tersebut belum memiliki landasan hukum
kelembagaan dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Berdasarkan POJK perusahaan Fintech P2PL atau yang
disebut penyelenggara dinyatakan sebagai Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya dengan bentuk perusahaan berupa badan
hukum perseroan terbatas dan koperasi (Pasal 2 Ayat (2)).
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh penyelenggara berupa
menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak
Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang
sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman dan/atau
penyelenggara dapat bekerja sama dengan penyelenggara
layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 5).
Batasan pemberian pinjaman kepada penerima pinjaman diatur
sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (Pasal 6).6

6
Otoritas Jasa Keuangan, diterima dari https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-
Keuangan.aspx diakses pada 25 Maret 2019
50
51

Persyaratan wajib penyelenggaraan Fintech P2P lending


sebagaimana POJK Nomor 77 / POJK.01/2016:7
a) Kejelasaan bentuk badan hukum, kepemilikan, dan
permodalan .
b) Mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.
c) Ketersediaan SDM yang memiliki keahlian atau latar
belakang IT.
d) Dokumen berbentuk elektronik.
e) Terdapat akses informasi untuk penyelenggara pinjaman,
pemberi pinjaman, dan penerima pinjaman.
f) Pusat data dan disaster recovery plan yang ditempatkan di
Indonesia dan memenuhi standar minimum, pengelolaan
risiko, dan pengamanan teknologi informasi, serta
ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan sistem, serta
alih kelola sistem teknologi informasi.
g) Menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data
pribadi, data transaksi dan data keuangan sejak data
diperoleh hingga data dimusnahkan.
h) Sistem pengamanan yang mencakup prosedur, sistem
pencegahan, dan penanggulangan terhadap serangan yang
menimbulkan gangguan, kegagalan, dan kerugian.
i) Penyelenggara menerapkan prinsip dasar dari perlindungan
pengguna (konsumen) di sektor jasa keuangan.
j) Perjanjian dilaksanakan dengan menggunakan tanda tangan
digital.
POJK P2P Lending mengatur bahwa sebelum melakukan
kegiatan usaha, penyelenggara wajib melakukan pendaftaran
dan perizinan (Pasal 7). Pendaftaran dilakukan sebelum
penyelenggara melakukan kegiatan usaha. Setelah terdaftar,

7
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.53-54
52

penyelenggara wajib memberikan laporan secara berkala setiap


tiga bulan kepada OJK. Setelah itu, paling lambat 1 tahun
setelah melakukan pendaftaran, penyelenggara wajib melakukan
perizinan. Dalam hal penyelenggara tidak mengajukan izin
kepada OJK selama jangka waktu yang telah ditentukan, maka
surat tanda pendaftaran penyelenggara dinyatakan batal dan
tidak dapat lagi menyampaikan permohonan pendaftaran kepada
OJK (Pasal 10).
Terkait subyek penerima dan pemberi pinjaman, penerima
pinjaman merupakan perorangan atau badan hukum yang
berasal dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia (Pasal 15).
Sedangkan Pemberi Pinjaman, berdasarkan POJK P2P Lending,
dapat berupa perorangan WNI/WNA, badan hukum
Indonesia/asing, badan usaha Indonesia/asing, dan/ atau
lembaga internasional. Pemberi Pinjaman dapat berasal dari
dalam dan/atau luar negeri (Pasal 16). Perjanjian
penyelenggaraan yang dimaksud dalam POJK ini, dituangkan
dalam dokumen elektronik.
Sehubungan dengan sistem teknologi informasi,
penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada
pemberi dan penerima pinjaman terkait penggunaan dana dan
posisi pinjaman yang diterima. Penyelenggara juga wajib
menggunakan escrow account dan virtual account serta
menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana yang
wajib ditempatkan di Indonesia. Penyelenggara wajib memenuhi
standar minimum sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko
teknologi informasi, pengamanan teknologi informasi,
ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan sistem, serta alih
kelola sistem teknologi informasi.
Sebagai salah satu upaya mitigasi risiko, penyelenggara
juga wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan
53

seluruh data yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data


tersebut dimusnahkan. Penyelenggara wajib pula menyediakan
rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatannya dan melakukan
pengamanan terhadap komponen sistem teknologi informasi
dengan memiliki dan menjalankan prosedur dan sarana untuk
pengamanan.
Di sisi lain, jika ada suatu bank umum yang ingin
menggunakan teknologi informasi sebagai media pemasaran dan
penjualan produknya, maka selain melihat kepada peraturan
mengenai kegiatan usaha bank umum dan RBB, maka bank
umum tersebut harus juga mengacu dan mengikuti ketentuan
POJK Nomor 38/ POJK.03/2016 Tentang Manajemen Risiko
dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum
(POJK MRTI).8
Khusus yang berkaitan dengan aspek perlindungan
Konsumen di sektor jasa keuangan, OJK telah memiliki
peraturan antara lain:
a) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Ketentuan ini terutama berlaku bagi Pelaku Usaha
Jasa Keuangan (PUJK) yang selama ini telah diawasi oleh
OJK dan melaksanakan layanan Fintech. PUJK tersebut
wajib memperhatikan seluruh aspek perlindungan
konsumen dengan menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 yaitu prinsip transparansi, perlakukan
yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan
data/informasi Konsumen, dan penanganan pengaduan serta
penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat,
dan biaya terjangkau.

8
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.56
54

b) POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam


Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan SEOJK
Nomor 18/SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola dan
Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
c) SEOJK Nomor 18/SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola
dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Aspek perlindungan konsumen yang diatur pada
POJK Fintech P2PL mengatur mengenai prinsip dasar
perlindungan pengguna sebagaimana pada POJK Nomor
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan, antara lain:9
Penyelenggara wajib menyediakan dan/atau
menyampaikan informasi terkini yang akurat, jujur, jelas,
dan tidak menyesatkan.
a) Penyelenggara juga wajib menggunakan istilah, frasa,
dan/atau kalimat yang sederhana dalam bahasa
Indonesia yang mudah dibaca dan dimengerti oleh
Pengguna dalam setiap Dokumen Elektronik.
b) Penyelenggara wajib memiliki standar prosedur
operasional dalam melayani Pengguna yang di muat
dalam Dokumen Elektronik.
c) Penyelenggara dilarang dengan cara apapun,
memberikan data dan/atau informasi mengenai
Pengguna kepada pihak ketiga.

9
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan :
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.57
55

2) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK)


Setelah berlakunya POJK Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi, OJK telah mengeluarkan ketentuan tentang
pelaksanaan tata kelola dan manajemen risiko teknologi
informasi pada layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi dalam SEOJK Nomor 18/ SEOJK.02/2017 yang
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu 18 April 2017.
Ruang lingkup yang diatur meliputi:10
a) Penempatan pusat data dan pemulihan bencana serta
rencana pemulihan bencana
b) Tata Kelola Sistem Elektronik dan teknologi Informasi yang
meliputi Rencana Strategis Sistem Elektronik, Sumber Daya
manusia, dan Pengelolaan Perubahan Teknologi Informasi
c) Alih Kelola Teknologi
d) Pengelolaan Data dan Informasi
e) Pengelolaan Risiko Teknologi Informasi
f) Pengamanan Sistem Elektronik
g) Penanganan Insiden dan Ketahanan Terhadap Gangguan
h) Penggunaan Tanda Tangan Elektronik
i) Ketersediaan Layanan dan Kegagalan Transaksi
j) Keterbukaan Informasi Produk dan Layanan

2. Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO)


a. Latar belakang KOMINFO
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
disingkat KOMINFO adalah kementerian dalam Pemerintah
Indonesia yang membidangi urusan komunikasi dan informatika.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sebelumnya bernama

10
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.58
56

Departemen Penerangan (1945-1999), Kementerian Negara


Komunikasi dan Informasi (2001-2005), dan Departemen
Komunikasi dan Informatika (2005-2009). Kementerian Komunikasi
dan Informatika dipimpin oleh seorang Menteri Komunikasi dan
Informatika (Menkominfo)11
b. Tugas dan Fungsi KOMINFO
KOMINFO mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di
bidang komunikasi, dan informatika dalam pemerintahan untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas, KOMINFO menyelenggarakan fungsi:12
1) Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pengelolaan
sumber daya dan perangkat pos dan informatika,
penyelenggaraan pos dan informatika, penatakelolaan aplikasi
informatika, pengelolaan informasi dan komunikasi publik;
2) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya dan
perangkat pos dan informatika, penyelenggaraan pos dan
informatika, penatakelolaan aplikasi informatika, pengelolaan
informasi dan komunikasi publik;
3) Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
pengelolaan sumber daya dan perangkat pos dan informatika,
penyelenggaraan pos dan informatika, penatakelolaan aplikasi
informatika, pengelolaan informasi dan komunikasi publik;
4) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumber daya
manusia di bidang komunikasi dan informatika

c. Regulasi KOMINFO Terhadap Layanan Pinjaman Uang


Berbasis Financial Technology di Indonesia
Layanan pinjaman uang berbasis Fintech (P2PL) merupakan
layanan berbasis transaksi elektronik yang erat kaitannya dengan

11
Profil Kominfo, diterima dari https://www.kominfo.go.id/profil diakses pada 1 April
2019
12
Tugas & Fungsi Kementerian Komunikasi dan Informatika, diterima dari
https://kominfo.go.id/tugas-dan-fungsi diakses pada 1 April 2019
57

KOMINFO sehingga terdapat beberapa regulasi yang dapat


dijadikan sebagai payung hukum terhadap operasional layanan ini.
1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Informasi Transaksi Elekrtonik juga
mewajibkan setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan
sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem secara andal
dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya
sistem elektronik sebagaimana mestinya.
Salah satu perlindungan konsumen yang diatur dalam
Undang-Undang ITE adalah mengenai perlindungan data
pribadi. Undang-Undang ITE mewajibkan penggunaan setiap
informasi melalui media elektronik yang menyangkut data
pribadi seseorang, harus dilakukan atas persetujuan orang yang
bersangkutan.

2) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik


Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Sistem Manajemen
Pengamanan Informasi
Dalam Peraturan Menteri ini diatur tentang sistem
manajeman pengamanan informasi dengan menetapkan
batasan istilah yang digunakan dalam pengaturannya. Materi
pokoknya memuat kategorisasi ; Sistem Elektronik; Standar
Sistem Manajemen Pengamanan Informasi; Penyelenggaraan
Sistem Elektronik; Sertifikat Sistem Manajemen Pengamanan
Informasi; Lembaga Sertifikasi; Penerbitan Sertifikat;
Pelaporan Hasil Sertifikasi; dan Pencabutan Sertifikat;
Penilaian Mandiri Pembinaan; Pengawasan; dan Ketentuan
Sanksi.
58

3) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik


Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan
Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik
Dalam Peraturan Menteri ini diatur tentang perlindungan
data pribadi dalam sistem elektronik dengan menetapkan
batasan istilah yang digunakan dalam pengaturannya.
Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik mencakup
perlindungan terhadap perolehan, pengumpulan, pengolahan,
penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman,
pengiriman, penyebarluasan, dan pemusnahan data pribadi.
Perolehan dan Pengumpulan Data Pribadi, Pengolahan dan
Penganalisisan Data Pribadi, Penyimpanan Data Pribadi,
Penampilan, Pengumuman, Pengiriman, Penyebarluasan,
dan/atau Pembukaan Akses Data Pribadi, Pemusnahan Data
Pribadi, diatur pada Bab II Peraturan Menteri ini terkait
Perlindungan. Selain itu Peraturan Menteri ini juga mengatur
terkait Hak Pemilik Data Pribadi; Kewajiban Pengguna;
Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik; Penyelesaian
Sengketa; Peran Pemerintah dan Masyarakat; Pengawasan; dan
Sanksi Administratif.13

B. Pelaksanaan Pinjaman Uang Berbasis Fintech di Indonesia


Selama Tahun 2018, industri layanan pinjam meminjam uang berbasis
Fintech atau Fintech Peer To Peer Lending (P2PL) menunjukkan kemajuan
yang sangat pesat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukan
akumulasi kredit pinjaman P2PL per Triwulan IV 2018 telah mencapai Rp
22,6 triliun atau meningkat lebih dari 750% dari awal tahun 2018 yang
tercatat Rp 3 triliun, Kemudian pada data terakhir publikasi OJK per
Triwulan I 2019 akumulasi kredit meningkat menjadi 33.2 triliun atau

13
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.62-63
59

meningkat 46.48% dari Triwulan IV 2018 .14 Selain itu, Jumlah perusahaan
penyelenggara kegiatan Fintech P2PL yang berizin atau terdaftar di OJK
juga meningkat, pada data publikasi OJK per Mei 2019 terdapat 113
perusahaan P2PL yang terdaftar.15
Berikut merupakan profil dan perkembangan Fintech P2PL di
Indonesia yang dirilis Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan
Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan:16

Gambar 4 : Profil dan Perkembangan Fintech Lending di Indonesia

14
Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer To Peer Lending) Otoritas Jasa Keuangan Periode
2018-2019, diterima dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/fintech/Pages/Statistik-Fintech-Lending-Periode-Maret-2019.aspx, diakses pada 30 April
2019
15
Data Penyelenggara Fintech (Peer To Peer Lending) terdaftar di OJK per 1 Mei 2019,
diterima dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-
Terdaftar-di-OJK-per-15-Mei-2019.aspx2019.aspx diakses pada 16 Mei 2019
16
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
60
61

Gambar 6 : Jumlah akumulasi rekening penerima pinjaman berdasarkan Provinsi

Berikut merupakan jumlah akumulasi penyaluran pinjaman pada


Fintech P2PL di Indonesia berdasarkan provinsi yang dirilis Direktorat
Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F)
Otoritas Jasa keuangan:18

Gambar 7 : Jumlah akumulasi rekening penerima pinjaman berdasarkan Provinsi

18
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
62

Melihat perkembangan dan kenaikan yang sangat signifikan tersebut,


timbul anggapan bahwa kemunculan P2PL akan mendisrupsi industri
perbankan.
Pada dasarnya P2PL adalah lembaga jasa keuangan yang menyediakan
platform untuk mempertemukan debitur dan kreditur. Dengan pemanfaatan
teknologi, P2PL menawarkan kemudahan layanan pinjam meminjam uang.
Namun demikian, kemudahan tersebut tidak serta merta menjadikan P2PL
bersaing bahkan menggantikan peran perbankan. Sebagai lembaga
intermediasi, bank menghimpun dana kemudian meminjamkannya,
sedangkan P2PL hanya berperan sebagai penyelenggara platform.
Munculnya P2PL di Indonesia merupakan solusi atas keterbatasan bank
dalam upaya peningkatan kredit UMKM. P2PL bertindak sebagai lembaga
jasa keuangan yang memberikan akses bagi UMKM yang sebenarnya layak
mendapatkan pinjaman (creditworthy), tetapi mengalami kesulitan
memperoleh kredit bank. Proses bisnis yang ringkas, cepat, dan transparan
membuat proses pemberian kredit menjadi lebih mudah. Penggunaan
teknologi informasi juga akan membuat pemerataan kredit di seluruh wilayah
Indonesia.
Kehadiran P2PL juga memberikan manfaat lain bagi bank.
Sebagaimana diamandatkan dalam peraturan, P2PL wajib menggunakan
escrow account dan virtual account. Bank memberikan jasa kustodian dengan
menyimpan dana investor dalam virtual account. Bank akan menikmati
keuntungan atas dana mengendap dari penggalangan dana sampai dengan
penyaluran kredit.19
Perkembangan industri P2PL di Indonesia juga akhir-akhir ini dicederai
dengan maraknya pengaduan. Pada 23 Maret 2019 Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta mengumumkan telah menerima sekitar 3000 pengaduan terkait
permasalahan P2PL yang telah mereka terima sejak Mei 2018. Berdasarkan
19
Novel Fernando, Menyongsong Babak Baru "Peer to Peer Lending", diterima dari
https://news.detik.com/kolom/d-4361041/menyongsong-babak-baru-peer-to-peer-lending diakses
pada 2 April 2019
63

pengaduan-pengaduan tersebut, LBH Jakarta menemukan banyak


pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban
pengguna aplikasi pinjaman online atau P2PL ini, sebagian besar mengalami
tindak pidana yang dilakukan oleh penyelenggara aplikasi dan pihak-pihak
yang bekerja sama dengan penyelenggara aplikasi, hal itu meliputi, namun
tidak terbatas pada:
1. Penyebaran data pribadi melalui media elektronik (Pelanggaran Pasal 32
jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik)
2. Pengancaman (Pasal 368 KUHP)
3. Penipuan (Pasal 378 KUHP)
4. Fitnah (Pasal 311 Ayat (1) KUHP)
5. Pelecehan seksual melalui media elektronik (Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal
45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik).
Banyak korban yang melaporkan secara mandiri tindak pidana yang
mereka alami kepada kepolisian, namun laporan tersebut kemudian ditolak
dengan alasan yang beragam. Alasan tersebut termasuk juga tindakan yang
seolah mewajarkan korban mengalami tindak pidana karena mereka belum
bisa membayar pinjaman, dimana pinjam meminjam merupakan
permasalahan hukum yang bukan menjadi ranah tanggung jawab kepolisian.
Lebih lanjut, Pasal 8 Ayat 1 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana
di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa
setiap laporan dan/atau pengaduan yang disampaikan oleh seseorang secara
lisan atau tertulis, karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang,
wajib diterima oleh anggota Polri yang bertugas di SPK.
Selain ditolak, banyak laporan tindak pidana yang sudah diterima pun
“mandek” di kepolisian tanpa alasan yang jelas karena tidak adanya informasi
yang jelas kepada pelapor tentang perkembangan laporan yang disampaikan.
Hal ini jelas tidak sesuai dengan hak pelapor untuk mendapatkan informasi
64

perkembangan perkaranya secara terang sebagaimana diatur dalam Peraturan


Kepala Bagian Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur
Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana.20
Menanggapi hal ini OJK sebagai regulator yang mengatur dan
mengawasi layanan P2PL menghimbau kepada masyarakat agar berhati-hati
dan cermat dalam menggunakan layanan aplikasi pinjaman berbasis Fintech
ini, sebab dari hasil investigasi OJK terkait banyaknya aduan merupakan
aplikasi yang tidak terdaftar dan tidak berizin yang melakukan tindakan-
tindakan pelanggaran. Masyarakat yang menemukan tindakan pelanggaran
terhadap kegiatan layanan P2PL untuk menyampaikan laporannya kepada
OJK Adapun terkait pengaduan konsumen disampaikan kepada OJK melaui
beberapa sarana:21
1. Melalui sarana surat tertulis, konsumen dapat menyampaikan
pengaduannya melalui surat tertulis yang di tujukan kepada :
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Bidang Edukasi dan
Perlindungan Konsumen Menara Radius Prawiro, Lantai 2 Komplek
Perkantoran Bank Indonesia Jl. MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat
10350.
2. konsumen dapat menyampaikan pengaduannya melalui sarana telpon di
nomor 157 pada jam operasional Senin sampai dengan Jumat, Jam 08.00
- 17.00 WIB (Kecuali Hari Libur)
Melalui sarana form pengaduan online, konsumen atau masyarakat dapat
mengirimkan pengaduan melalui form elektronik yang tersedia pada
alamat http://konsumen.ojk.go.id/FormPengaduan

20
Laporan LBH Jakarta Terkait Tindak Pidana Korban Pinjaman Online, diterima dari
https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-pinjol/ diakses pada 3 April
2019
21
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
BAB IV
PERLINDUNGAN DAN PENYELESAIAN HUKUM SERTA TINDAKAN
PREVENTIF TERHADAP DEBITUR PADA LAYANAN PINJAMAN
UANG BERBASIS FINANCIAL TECHNOLOGY

A. Unsur-Unsur Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pada Layanan


Pinjaman Uang Berbasis Financial Technology
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum, sedangkan Menurut Philipus M.
Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan
harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang
dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan.1 Ada 4 (empat) unsur-unsur perlindungan hukum yaitu :2
1. Adanya perlindungan dari pemerintah kepada warganya
2. Jaminan kepastian hukum. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Pasal 28 D Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di depan hukum.
3. Berkaitan dengan hak-hak kewarganegaraan
4. Adanya sanksi bagi pihak yang melanggarnya.
Seiring dengan tumbuh pesatnya bisnis layanan keuangan berbasis
teknologi atau akrab disebut Financial Technology, tentu harus diimbangi
juga dengan hadirnya regulasi dan pengawasan yang jelas terhadap
berjalannya bisnis tersebut. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21

1
Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, diterima dari
https://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada 4 Juni
2019
2
Hakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan Hukum, diterima dari
https://www.slideshare.net/Lisastwt/hakikat-pentingnya-perlindungan-dan-penegakkan-hukum
diakses pada 10 Juni 2019

65
66

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan bahwa
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Lebih jelas Pasal 6 menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan
dan pengawasan terhadap : (a) kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
(b) kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan (c) kegiatan jasa
keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Apabila mengacu pada kedua pasal
tersebut, OJK adalah instansi yang melakukan pengaturan dan pengawasan
terhadap tumbuh kembangnya industri Fintech, salah satunya layanan
pinjaman uang berbasis Fintech atau Fintech P2PL yang merupakan bagian
Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang diawasi oleh OJK.3
Perlindungan hukum terhadap debitur pada layanan pinjam uang
berbasis Financial Technology atau bisa disebut Fintech P2PL saat ini
menjadi sorotan seiring dengan banyaknya aduan di masyarakat. Pada
dasarnya layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi ini diharapkan
dapat membantu masyarakat dalam mengajukan pinjaman secara mudah,
cepat dan praktis, serta turut membantu perekonomian dengan percepatan
inklusi keuangan berbasis teknologi.
Dalam hal upaya perlindungan konsumen terhadap penyelenggaraan
Fintech P2PL di Indonesia saat ini terdapat peraturan yang mengatur terhadap
penyelenggaraan kegiatan ini, pelaku usaha atau penyelenggara Fintech P2PL
wajib memperhatikan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan pada Peraturan
OJK Nomor 77/POJK.07/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan OJK ini meliputi kelembagaan,
pendaftaran, perizinan, batasan pemberian pinjaman dana, tata kelola
teknologi informasi penyelenggara, batasan kegiatan, manajemen resiko,
laporan serta edukasi perlindungan konsumen.

3
Ernasari,dkk. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 ), Diponogoro law Journal Vol.6,
2017
67

Meskipun sudah dikeluarkannya peraturan yang mengatur tentang


kegiatan pinjaman uang berbasis teknologi ini melalui POJK Nomor 77
Tahun 2016 bukan berarti kegiatannya tanpa masalah, banyak permasalahan
yang muncul hingga menjadi pemberitaan nasional karena banyaknya aduan
di masyarakat. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Pada 23 Maret 2019
mengumumkan telah menerima sekitar 3000 pengaduan terkait permasalahan
penyelenggaran Fintech P2PL yang telah mereka terima sejak Mei 2018.
Berdasarkan pengaduan-pengaduan tersebut, LBH Jakarta menemukan
banyak pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban
pengguna aplikasi pinjaman online atau Fintech P2PL ini, sebagian besar
mengalami tindak pidana yang dilakukan oleh penyelenggara dan pihak-pihak
yang bekerja sama dengan penyelenggara aplikasi Fintech P2PL, hal itu
meliputi, namun tidak terbatas pada :
1. Penyebaran data pribadi melalui media elektronik (Pelanggaran Pasal 32
jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik)
2. Pengancaman (Pasal 368 KUHP)
3. Penipuan (Pasal 378 KUHP)
4. Fitnah (Pasal 311 Ayat (1) KUHP)
5. Pelecehan seksual melalui media elektronik (Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal
45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik).4
Menanggapi permasalahan ini OJK sebagai regulator melakukan
investigasi dalam mengungkap permasalahan yang terjadi, dan dari hasil
investigasi tersebut ditemukan banyaknya debitur yang menjadi korban
merupakan pengguna aplikasi pinjaman yang tidak legal atau tidak terdaftar
izin usahanya di OJK. OJK menghimbau kepada masyarakat untuk berhati-
hati dalam melakukan pengajuan pinjaman diantaranya sebelum mengajukan

4
Laporan LBH Jakarta, Tindak Pidana Korban Pinjaman Online, diterima dari
https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-pinjol/ diakses pada 9 Mei
2019
68

pinjaman perlu mencari tahu terlebih dahulu mengenai izin usaha dari
penyelenggara Fintech P2PL yang akan dipilih, apakah legal atau tidak.5
OJK melalui Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi bekerjasama
dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terus
melakukan pemantauan terhadap penyelenggara Fintech P2PL dan
melakukan pemblokiran secara berkala terhadap situs dan aplikasi Fintech
P2PL ilegal yang beroperasi, hal ini dalam rangka upaya perlindungan
terhadap konsumen jasa keuangan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), sejak 2018 hingga Maret 2019, sebanyak 803 Fintech P2PL telah
diblokir. Pemblokiran ini dilakukan melalui Kemenkominfo.6
Dari hasil audiensi dan wawancara peneliti bersama Direktorat
Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech (DP3F) Otoritas Jasa
keuangan (OJK) menjelaskan kepada peneliti bahwa OJK sebegai regulator
terus berupaya dan berkomitmen khususnya direktorat DP3F yang menaungi
kegiatan industri keuangan non bank sektor Fintech dalam memberikan
edukasi dan perlindungan konsumen.
Menanggapi permasalahan pada Fintech P2PL yang saat ini ramai
diperbincangkan, OJK telah melakukan penelusuran untuk mengetahui
penyebab dari banyaknya laporan yang merasa menjadi korban terhadap
layanan Fintech P2PL ini, dan hasilnya dari laporan tersebut yang masuk di
OJK adalah debitur yang menggunakan aplikasi pinjaman ilegal atau yang
tidak berizin. Adapun penyebab banyaknya korban Fintech P2PL ilegal
tersebut berawal dari banyak debitur yang tergiur ketika mendapatkan SMS
Spam maupun iklan pada saat browsing internet yang menawarkan pinjaman
online yang menggiurkan, dari hal ini biasanya debitur penasaran melakukan
coba-coba untuk mengajukan pinjaman tetapi tidak memperhartikan syarat
dan ketentuan pinjaman maupun resiko yang akan diterima. Dari hasil coba-

5
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
6
Pemerintah Pastikan Fintech P2P Lending Ilegal Kena Blokir, Diterima dari
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190509194845-78-393543/pemerintah-pastikan-
fintech-p2p-lending-ilegal-kena-blokir diakses pada 9 Mei 2019
69

coba ini ternyata beberapa debitur merasa ketagihan dan melakukan


pinjaman kembali namun di aplikasi lain yang berbeda, dan hal inilah yang
menjadikan banyaknya debitur mulai terjerat hutang dan akhirnya gagal bayar
karena tidak hanya mencoba pada satu aplikasi pinjaman saja, bahkan ada
laporan dimana debitur mengajukan pinjaman pada lebih dari 10 aplikasi
pinjaman yang berbeda dimana karena berawal dari meminjam satu lalu
menutupinya dengan meminjam di aplikasi lain dan terus menerus hingga
terlilit hutang.
banyaknya debitur yang mencoba menghindari penagihan atau
collection mengakibatkan penyelenggara Fintech P2PL ilegal melakukan
upaya penagihan yang disertai tindakan melawan hukum, seperti diantaranya
melakukan ancaman, meneror dengan melakukan telepon berkali-kali bahkan
menyalahgunakan data pribadi debitur untuk menagih hutang.7
Pasal 1 Peraturan Mentri Komunikasi dan Informatika Nomor 20
Tahun 2016 menyebutkan data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang
disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya,
sedangkan data perseorangan tertentu adalah setiap keterangan yang benar
dan nyata yang melekat dan dapat diidentifikasi, baik langsung maupun tidak
langsung, pada masing-masing individu yang pemanfaatannya sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dapat dikatakan bahwa identitas dalam melakukan perjanjian
pinjaman Fintech P2PL termasuk kedalam kategori data pribadi, yang
dimiliki oleh pemilik data atau debitur pada penyelenggaraan perjanjian
pinjaman Fintech P2PL
Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Mentri Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, menyebutkan
perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik mencakup perlindungan
pada saat:

7
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
70

1. Perolehan dan pengumpulan;


2. Pengolahan dan penganalisisan;
3. Penyimpanan;
4. Penampilan, pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan/atau
pembukaan akses; dan
5. Pemusnahan.
Atas dasar Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik Pasal 2 Ayat (2),
penyelenggara Fintech P2PL sebagai mana pelaku usaha yang
menyelenggarakan usahanya berbasis sistem elektronik diberikan kewajiban
untuk menjaga kerahasiaan data konsumen sejak data diperoleh sampai
dengan data tersebut dimusnahkan. Penyelenggara Fintech P2PL tentunya
wajib melakukan perlindungan data pribadi berdasarkan asas perlindungan
data pribadi yang baik, meliputi:
1. Penghormatan terhadap data pribadi sebagai privasi;
2. Data pribadi bersifat rahasia sesuai persetujuan dan/atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Berdasarkan persetujuan;
4. Relevansi dengan tujuan perolehan, pengumpulan, pengolahan,
penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman,
dan penyebarluasan;
5. Kelaikan sistem elektronik yang digunakan;
6. Iktikad baik untuk segera memberitahukan secara tertulis kepada pemilik
data pribadi atas setiap kegagalan perlindungan data pribadi;
7. Ketersediaan aturan internal pengelolaan perlindungan data pribadi;
8. Tanggung jawab atas data pribadi yang berada dalam penguasaan
pengguna;
9. Kemudahan akses dan koreksi terhadap data pribadi oleh pemilik data
pribadi; dan
10. Keutuhan, akurasi, dan keabsahan serta kemutakhiran data pribadi.
71

Penggunaan dan pengungkapan data konsumen atau debitur oleh


penyelenggara Fintech P2PL, termasuk pengungkapan pada pihak ketiga,
hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan konsumen atau debitur
bersangkutan. Pengecualian atas persetujuan dilakukan dalam hal
pengungkapan dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Hal
tersebut sejalan pula dengan ketentuan dalam Pasal 26 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagai berikut:
“Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan,
penggunaan, setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut
data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang
bersangkutan.’
Pemilik data pribadi, menurut Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Nomor 20 Tahun 2016, berhak atas kerahasiaan data miliknya;
berhak mengajukan pengaduan dalam rangka penyelesaian sengketa data
pribadi; berhak mendapatkan akses untuk memperoleh historis data
pribadinya; dan berhak meminta pemusnahan data perseorangan tertentu
miliknya dalam sistem elektronik. Hal terkait hak ini diatur dalam Pasal 26.
Setiap penyelenggaran sistem elektronik wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pemilik data pribadi jika terjadi kegagalan perlindungan
rahasia data pribadi. Adapun informasi yang harus disampaikan antara lain:8
1. Alasan atau penyebab kegagalan perlindungan rahasia data pribadi dapat
dilakukan secara elektronik,
2. Harus dipastikan telah diterima oleh Pemilik Data Pribadi jika kegagalan
tersebut mengandung potensi kerugian bagi yang bersangkutan,
3. Pemberitahuan tertulis dikirimkan kepada Pemilik Data Pribadi paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak diketahui adanya kegagalan tersebut.

8
Jamin Perlindungan Data Pribadi, Kominfo Beri Sanksi Terhadap Penyalahgunaan oleh
Pihak Ketiga diterima dari : https://kominfo.go.id/content/detail/12865/siaran-pers-no-
85hmkominfo042018-tentang-jamin-perlindungan-data-pribadi-kominfo-beri-sanksi-terhadap-
penyalahgunaan-oleh-pihak-ketiga/0/siaran_pers diakses pada 10 Juni 2019
72

Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai kerahasian data oleh


penyelenggara Fintech P2PL dikenakan sanksi administrasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 47 POJK Nomor 77 Tahun 2016 dari mulai peringatan
tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan ijin. Dari sisi
konsumen, berdasarkan Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elekronik, setiap orang yang dilanggar
haknya berdasarkan ketentuan dalam Ayat (1) (penggunaan informasi melalui
media elektronik yang menyangkut data pribadi) dapat mengajukan gugatan
atas kerugian yang timbul, jika terbukti ada pelanggaran penyalahgunaan data
pribadi oleh pihak ketiga dan memenuhi unsur pidana penyalagunaan
informasi data pribadi dan menyebabkan kerugian, maka dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Dalam hal upaya perlindungan terhadap debitur atau konsumen, OJK
sebagai regulator telah menuangkan prinsip dasar yang sesuai dengan
ketentuan Pasal 29 POJK 77/2016, Penyelenggara wajib menerapkan prinsip
dasar dari perlindungan Pengguna yaitu:
a. Transparansi;
b. Perlakuan yang adil;
c. Keandalan;
d. Kerahasiaan dan keamanan data; dan
e. Penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya
terjangkau. Selain itu wajib juga memperhatikan ketentuan Peraturan
perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, POJK Perlindungan Konsumen dan POJK Layanan
Pengaduan Konsumen.
Dalam upaya memberikan kerahasiaan dan keamanan data sesuai
dengan prinsip dasar perlindungan pengguna Fintech P2PL yang tertuang
pada Pasal 29 POJK 77/2016 untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi,
OJK telah melakukan pembatasan akses terhadap setiap penyelenggara
73
74
75

seluruh biaya lain maksimum 100% dari nilai prinsipal pinjaman. Contohnya,
bila melakukan pinjaman Rp1 juta, maka maksimum jumlah yang
dikembalikan adalah Rp2 juta. Besar bunga yang telah disepakati anggota
AFPI adalah 0,8% per hari dan batasan sebesar 0,8% ini terdiri dari bunga,
biaya transfer antar bank, biaya verifikasi, denda dan lainnya.10
Biaya pinjaman dan bunga pada Fintech P2PL bila dibandingkan
dengan jenis-jenis pinjaman lainnya memang cenderung lebih tinggi, hal ini
wajar mengingat risiko pada penyelenggaraan Fintech P2PL cukup tinggi.
Perjanjian pada pinjaman Fintech P2PL adalah perjanjian perdata antara
pemberi dan penerima pinjaman. Apabila tidak sepakat dengan besarnya
bunga (biaya pinjaman), sebaiknya tidak melakukan transaksi. Tetapi apabila
sudah sepakat, maka ada kewajiban dari masing-masing pihak.
Selain mengatur dan menyepakati besaran bunga dengan
penyelenggara Fintech P2PL Mulai Februari 2019 lalu, Asosiasi Fintech
Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga telah melakukan sertifikasi tenaga
penagihan atau debt collector. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya
pelanggaran-pelanggaran dalam proses penagihan pinjaman pada Fintech
P2PL yang beberapa waktu lalu sempat ramai diadukan masyarakat.
Tidak hanya melakukan sertifikasi kepada tenaga penagih atau debt
collector, AFPI juga akan melakukan pembekalan kepada seluruh stakeholder
pelaku bisnis pinjaman berbasis Fintech P2PL, mulai dari jajaran direksi,
komisaris, pemegang saham, serta pihak lain yang terlibat.11
OJK saat ini melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara Fintech
P2PL melalui 3 (tiga) metode, yaitu:12

10
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
11
Mutia Fauzia, Hindari Pelanggaran, Penagih Utang Pinjaman Online Akan Disertifikasi
diterima dari : https://ekonomi.kompas.com/read/2019/02/04/164716126/hindari-pelanggaran-
penagih-utang-pinjaman-online-akan-disertifikasi diakses pada 9 Juni 2019
12
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
76

1. Offsite, melalui laporan-laporan yang disampaikan penyelenggara


Fintech P2PL kepada OJK. Terdapat beberapa jenis laporan
penyelenggara Fintech P2PL kepada OJK yaitu meliputi :
a. Laporan Berkala :
1) Laporan Bulanan
2) Laporan Triwulanan
3) Laporan Tahunan
b. Laporan lainnya seusai yang diperintahkan dalam Surat Tanda
Terdaftar dan kode etik asosiasi, antara lain:
1) Perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris;
2) Penambahan atau perubahan atas produk atau layanan Sistem
Elektronik;
3) Perubahan nama dan alamat perusahaan; dan
4) Kerjasama dengan pihak ketiga yang bersifat material (misal:
penagihan dan pemasaran).
Selain melalui laporan juga rencana implementasi host-to-host
dengan server Perusahaan dengan memanfaatkan Struktur Elemen
Database sebagaimana dimaksud dalam Formulir 3C POJK 77/2016.

2. Market Conduct (Semi SRO), sesuai ketentuan Pasal 48, seluruh


Penyelenggara wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang telah
ditunjuk oleh OJK. OJK telah menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan
Bersama Indonesia (AFPI) pada tanggal 17 Januari 2019. AFPI memiliki
Code of Conduct dan memberikan beberapa pengaturan yang belum
diatur OJK, diantaranya batas maksimal bunga dan tata cara penagihan.
OJK rutin bertemu AFPI minimal 1 kali setiap minggu, kehadiran AFPI
sebagai mitra strategis OJK bagi seluruh penyelenggara Fintech P2PL
dalam menjalankan fungsi dan pengawasan penyelenggara Fintech P2PL
sesuai dengan penunjukan OJK Nomor S-5/D.05 IKNB/2019
77

3. Onsite, melalui mekanisme pemeriksaan langsung baik yang dilakukan


secara rutin maupun sewaktu-waktu.
Memperhatikan kajian pemetaan potensi risiko dari proses bisnis
Fintech P2PL yang telah ada, beberapa temuan kegiatan operasi intelijen
yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Market Conduct OJK maka
setidaknya terdapat 4 (empat) aspek perlindungan konsumen pada
penyelenggaraan Fintech P2PL yang harus menjadi perhatian baik bagi
pemerintah maupun regulator di sektor jasa keuangan, yaitu :13
kelengkapan informasi dan transparansi produk/layanan, penanganan
pengaduan dan penyelesaian sengketa konsumen, pencegahan penipuan
dan keandalan sistem layanan, dan perlindungan terhadap data pribadi
(cybersecurity). ke-empat hal tersebut perlu dipastikan agar benar-benar
diterapkan secara seksama oleh penyelenggara Fintech P2PL.
1. Kelengkapan Informasi dan Transparansi Produk/Layanan,
Dalam BAB VII POJK Nomor 77/POJK.07/ 2016 memuat
terkait Edukasi dan Perlindungan Pengguna Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dimana dijelaskan
dalam beberapa Pasal.
Pasal 29
Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan
Pengguna yaitu:
a) Transparansi
b) Perlakuan yang adil
c) Keandalan
d) Kerahasiaan dan keamanan data; dan
e) Penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat dan
biaya terjangkau
Artinya dalam Pasal tersebut pelaku usaha atau penyelenggara
layanan Fintech P2PL wajib menyediakan informasi secara lengkap,
13
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.65
78

up-to-date, dan transparan terkait produk atau layanan yang


ditawarkan kepada konsumen dan masyarakat. Karena hal sangat
krusial dalam pengambilan keputusan dan untuk membangun
kepercayaan konsumen. Kurangnya informasi dan kejelasan tentang
produk dan layanan dapat mengakibatkan kekeliruan pemahaman
konsumen dan masyarakat tentang fitur produk yang ditawarkan,
seperti syarat dan ketentuan produk, manfaat, biaya, dan risiko.
Pelaku usaha Fintech P2PL harus memastikan bahwa
informasi yang diberikan bersifat transparan sehingga hal tersebut
dapat memberikan kesempatan bagi konsumen atau debitur untuk
memahami dan memilih produk dengan baik serta menghindarkan
diri dari risiko yang mereka ingin hindari, seperti misleading
advertisement dan penipuan.
Aspek kelengkapan informasi dan transparansi pada kegiatan
layanan Fintech P2PL harus meliputi : biaya-biaya dan kewajiban
yang akan dikenakan kepada debitur, transparansi syarat dan
ketentuan penggunaan produk/layanan, pemberitahuan kepada
konsumen atau debitur.
Apabila terdapat perubahan biaya, syarat dan ketentuan,
kejelasan informasi dari periklanan produk yang dipasarkan seperti
pengunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dalam
media periklanan yang digunakan, seperti website perusahaan,
brosur, iklan media masa, online, dan sebagainya.
Pelaku usaha atau penyelenggara Fintech P2PL harus
menginformasikan syarat dan ketentuan produk/layanan dalam
perjanjian sejelas-jelasnya dengan bahasa yang mudah dimengerti,
mengingat tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia secara
umum relatif masih rendah. Hal ini di sebutkan dalam POJK Nomor
77 Tahun 2016 Pasal 32
79

Ayat (1)
Penyelenggara wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau
kalimat yang sederhana dalam bahasa Indonesia yang mudah
dibaca dan dimengerti oleh Pengguna dalam setiap Dokumen
Elektronik.
Ayat (2)
Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dapat disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan.

Penjelasan
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mudah dibaca dan dimengerti”
meliputi penggunaan huruf, tulisan, simbol, diagram, tanda,
istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram yang dapat
memberikan kemudahan, kejelasan, dan pemahaman bagi
Pengguna.
Kewajiban penggunaan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang
sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dibaca dan
dimengerti dilakukan atas dokumen yang:
a. memuat hak dan kewajiban Pengguna;
b. dapat digunakan Pengguna untuk mengambil keputusan; dan
c. memuat persyaratan dan dapat mengikat Pengguna secara
hukum.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “bahasa lain”, yaitu bahasa yang dapat


digunakan yaitu bahasa daerah atau bahasa asing yang mudah
dimengerti oleh Konsumen. Dalam hal terdapat perbedaan
penafsiran antara bahasa Indonesia dengan bahasa lain dalam
setiap dokumen, penafsiran yang digunakan adalah bahasa
Indonesia.
80

Apabila terdapat perubahan terhadap biaya yang dikenakan


atau syarat dan ketentuan terkait produk yang dipasarkan,
penyelenggara Fintech P2PL seharusnya menginformasikan hal
tersebut kepada konsumen melalui berbagai jalur komunikasi hingga
konsumen tersebut terinformasikan dengan baik. Perjanjian juga
dilarang menyatakan adanya pengalihan tanggung jawab atau
kewajiban dari pelaku Fintech P2PL kepada konsumen (klausula
eksonerasi).
Penyelenggara Fintech P2PL juga harus menghindarkan
penggunaan iklan yang berpotensi menciptakan pemahaman yang
keliru bagi konsumen dan masyarakat. Layanan Fintech P2PL
memang dapat memberikan banyak manfaat kemudahan dan
kenyamanan, namun layanan tersebut tidak dapat menghilangkan
biaya dan potensi risiko dari penggunaan produk dan layanan
keuangan itu sendiri.
Salah satu contoh bahasa periklanan yang dapat memberikan
gambaran yang keliru pada masyarakat adalah penawaran pinjaman
secara online atau melalui pesan singkat SMS yang dikirimkan
secara acak. Masyarakat hanya diinformasikan mengenai kemudahan
dan kepraktisan dalam mengajukan pinjaman secara online, namun
sejak awal tidak diinfokan mengenai besarnya kewajiban biaya
bunga dari besarnya pinjaman. Jika kondisi ini tidak diperhatikan,
maka dikhawatirkan akan muncul kebiasaan masyarakat yang mudah
berutang tanpa memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
membayar kembali (irresponsible lending). Untuk itu penyelenggara
layanan wajib ikut bertanggungjawab terhadap iklan produk yang
dipasarkan dan regulator wajib memonitor dengan seksama terhadap
informasi dan iklan yang disampaikan ke masyarakat.
Bagi masyarakat dan konsumen wajib disediakannya informasi
yang mudah diakses untuk meminta informasi sejelas-jelasnya dari
penyelenggara layanan Fintech sehingga pemahaman konsumen
81

terhadap produk lengkap dan tercipta awareness konsumen terhadap


biaya dan risiko yang akan timbul dari penggunaan produk
(menghindari informasi asimetris). 14

2. Penanganan Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen,


Permasalahan dan pengaduan dari konsumen merupakan salah
satu hal yang pasti akan dihadapi oleh penyelenggara Fintech P2PL,
sehingga aspek penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa
merupakan hal yang wajib disediakan. Untuk itu penyelenggara
layanan harus memiliki mekanisme penerimaan pengaduan dan
penyelesaian sengketa. Pelaksanaan hal tersebut nantinya akan
meningkatkan kepercayaan konsumen. Selain itu, pelaku yang telah
memiliki mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian
sengketa yang efektif akan memiliki peluang untuk
menyempurnakan produk/layanannya, karena dari data pengaduan
yang diterima dapat dianalisa penyebabnya dan hal tersebut dapat
memacu upaya perbaikan dan pengembangan produk/layanan.
Penyelenggara layanan Fintech P2PL setidaknya harus :
a) Menyediakan jalur atau kanal kontak penerimaan pengaduan
yang mudah diakses oleh konsumen, seperti telepon, e-mail,
instant messaging, dan surat;
b) Memiliki unit atau fungsi serta prosedur standar penanganan
pengaduan konsumen. Prosedur tersebut harus memperhatikan
pengaturan perlindungan konsumen yang ada pada POJK terkait
dan diinformasikan kepada konsumen;
c) Menyediakan dan menginformasikan kepada konsumen jika
terdapat mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (alternative
dispute resolution) yang dapat digunakan apabila penyelesaian

14
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.66-68
82

pengaduan dan sengketa secara internal tidak menghasilkan


kesepakatan.15

3. Pencegahan Penipuan dan Keandalan Sistem Layanan


Pencegahan penipuan atau fraud melalui Fintech P2PL
merupakan hal penting yang harus diperhatikan regulator seiring
dengan makin berkembangnya keragaman tawaran produk/layanan.
Upaya penipuan di Fintech P2PL dapat berbentuk seperti
penyalahgunaan situs layanan (phising), peretasan terhadap sistem
keamanan, dan pemasaran produk/layanan yang menipu. Dengan
banyaknya layanan Fintech P2PL yang menggunakan media seperti
situs jejaring dan aplikasi dalam melakukan promosi dan pemasaran
produk/layanannya, maka potensi kerentanan terjadinya penipuan
juga akan meningkat.
Para penyelenggara Fintech P2PL wajib memastikan
sistemnya andal. Penyelenggara wajib memiliki aplikasi dan sistem
keamanan yang aman dan tersertifikasi agar terhindar dari upaya
peretasan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Penyelenggara
layanan wajib melakukan pemeriksaan dan penyempurnaan sistem
secara berkesinambungan karena baik teknologi maupun bentuk
ancamannya juga terus berkembang. Peran dari regulator adalah
memastikan bahwa sistem keamanan dan aplikasi layanan Fintech
selalu dilakukan upaya perbaikan yang diperlukan dan tersertifikasi
keandalannya.16

4. Perlindungan Terhadap Data Pribadi (Cybersecurity)


Aspek perlindungan terhadap data pribadi menjadi salah satu
hal penting yang harus diperhatikan penyelenggara layanan dan
regulator. Hal karena penyalahgunaan data pribadi terhadap
konsumen atau debitur dapat berdampak pada pencurian identitas,
penyalahgunaan profil konsumen, penawaran produk kepada

15
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.72-73
16
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.73-74
83

konsumen yang datanya tercuri, hingga berdampak pada risiko dan


kerugian yang lebih besar lainnya seperti ketidakpercayaan
masyarakat terhadap layanan Fintech.
Keamanan dan pemeliharaan data pribadi konsumen harus
dilakukan dengan baik dikarenakan data tersebut bersifat digital
sehingga relatif mudah untuk dicuri data dan hilang. Namun patut
diperhatikan juga jika data pribadi dapat disalahgunakan oleh pihak
internal. Terkait dengan upaya perlindungan terhadap data pribadi
dapat dilakukan dengan fokus terhadap hal-hal sebagai berikut :
a) Penyelenggara Fintech P2PL wajib melakukan enkripsi data
terhadap data yang berkaitan dengan konsumen;
b) Penyelenggara Fintech P2PL wajib menjaga keamanan data
konsumen;
c) Penyelenggara Fintech P2PL wajib melakukan manajemen
akses data;
d) Konsumen atau debitur mempunyai hak untuk meminta
penjelasan dari pelaku terkait penggunaan informasi dan data
yang telah diberikannya.17
B. Upaya dan Penyelesaian Hukum yang dapat ditempuh Debitur Apabila
Mengalami Permasalahan Pada Layanan Pinjaman Uang Berbasis
Financial Technology
Dalam pelaksanaan pinjaman uang berbasis Financial Technology atau
Fintech P2PL terdapat hubungan hukum para pihak meliputi Pemberi
pinjaman atau kreditur, pelaku usaha atau penyelenggara, dan penerima
pinjaman atau debitur. Hubungan hukum ialah hubungan yang terhadapnya
hukum meletakkan “hak” pada satu pihak dan meletakan “kewajiban” pada
pihak lainnya.18 Dimana hubungan hukum dalam pelaksanaan Fintech P2PL
lahir dari suatu perjanjian.

17
Sarwin Kiko Napitupulu,dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, ... h.75
18
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta : Prestasi Pustaka
Publisher, 2006), h 221.
84

Secara konvensional, perjanjian dapat terjadi melalui tindakan langsung


ataupun tidak langsung dari kedua belah pihak yang masing-masing berperan
baik bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri atau sebagai bertindak
untuk dan atas nama sebuah perusahaan yang diwakilinya. Dimana pihak
pertama melakukan penawaran (offeror) diterima oleh penerima (offeree)
dengan kondisi-kondisi hukum yang jelas serta bertujuan menciptakan suatu
hubungan hukum (rechtsbetrekking) kondisi-kondisi yang dimaksud adalah
adanya kesepakatan, kecakapan, objek tertentu dan sebab yang halal.19
Layanan Fintech P2PL Berdasarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
timbul karena perjanjian pinjam meminjam uang. Menurut Pasal 1754 KUH
Perdata, perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan
mutu yang sama pula.
Subjek dalam perjanjian pinjam meminjam uang adalah pemberi
pinjaman (kreditur) dan penerima pinjaman (debitur). Sementara objek dalam
perjanjian pinjam meminjam uang adalah semua barang-barang yang habis
dipakai dengan syarat barang tersebut harus tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Pada dasarnya pihak penerima pinjaman (debitur) berkewajiban untuk
membayar utang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Jika debitur
terlambat membayar utang dan sudah jatuh tempo, maka hal ini dapat
dikenakan denda sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dan jika debitur
masih tidak mempunyai iktikad baik untuk membayar utang, kreditur berhak
untuk menggugat debitur atas dasar wanprestasi (cidera janji). Langkah
hukum dan solusi yang tepat atas permasalahan ini mengenai permasalahan
pinjaman yang sudah jatuh tempo berdasarkan perjanjian yang tudah

19
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta : Prestasi Pustaka
Publisher, 2006), h. 5
85

disepakati, debitur memang harus bertanggung jawab, yaitu dengan


mengusahakan penyelesaian utang tersebut. Adapun apabila debitur memiliki
permasalahan tidak dapat melunasi pinjaman sesuai waktu yang diperjanjikan
maka debitur dapat hubungi penyelenggara Fintech P2PL atau pihak pemberi
pinjaman pada aplikasi tersebut, untuk membicarakan mengenai penyelesaian
tunggakan tersebut. Debitur juga dapat berupaya untuk meyakinkan pihak
penyelenggara untuk menempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih
dahulu dengan tidak menyelesaikan pinjaman yang bermasalah kepada pihak
ketiga atau kepada debt collector. Selain upaya-upaya tersebut, debitur
diharapkan tidak menghindar dari kewajiban dan tidak berupaya
menghilangkan jejak.
Fintech P2PL merupakan bagian dari (Fintech startup) yang termasuk
kedalam kategori non PUJK (Pelaku Usaha Jasa Keuangan), sampai dengan
saat ini kategori ini belum ditentukan mengenai mekanisme penyelesaian
sengketa konsumen jika pengaduan atau permasalahannya tidak dapat
diselesaikan oleh penyelenggara Fintech itu sendiri. Berbeda dengan
Penyelesaian sengketa pada Fintech yang dikategorikan sebagai PUJK
(Fintech 2.0) yang mana mekanisme penyelesaiannya dapat dilakukan
melalui internal PUJK (mekanisme Internal Dispute Resolution), Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS), dan fasilitasi terbatas dari OJK.
Sehingga hal ini yang menjadi kelemahan dalam upaya penyelesaian sengketa
pada Fintech non PUJK termasuk diantaranya sengketa pada Fintech P2PL
yang belum memiliki kepastian hukum yang jelas.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa
saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.20

20
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1999), h. 23
86

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma, norma


adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen,
dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-
Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan
sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-
aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.21
Dalam upaya menjamin kepastian hukum saat ini OJK bersama dengan
asosiasi dan penyelenggara Fintech P2PL yang saat ini telah terdaftar sedang
menyusun mengenai standar mekanisme pelaksanaan Internal Dispute
Resolution (IDR) dan Alternative Dispute Resolution (ADR). Tujuannya agar
konsumen pengguna layanan P2PL mendapatkan kejelasan atau kepastian
hukum atas penanganan pengaduan dan sengketanya.Selain itu, salah satu hal
yang dapat dipertimbangkan untuk pelaksanaan penanganan pengaduan dan
penyelesaian sengketa pada penyelenggaraan Fintech P2PL adalah Online
Dispute Resolution (ODR). ODR merupakan sistem penyelesaian sengketa
yang memanfaatkan sarana teknologi informasi, contohnya seperti telepon,
email, aplikasi, webchat, dan video conference. 22
Adapun upaya yang dapat ditempuh debitur bila mengalami
permasalahan hukum pada penyelenggaraan Fintech P2PL terutama dari
maraknya kasus pada saat penagihan pinjaman, dimana debitur banyak yang
mengalami intimidasi baik disertai dengan ancaman atau tindak kekerasan
lainnya maka debitur yang menjadi korban dapat melakukan upaya hukum
sebagai berikut :

21
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Kencana, 2000), h. 158
22
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) Otoritas Jasa keuangan
87

1. Upaya yang dapat ditempuh debitur korban penyelenggara Fintech


P2PL legal yang berizin OJK
Apabila pada saat penagihan pinjaman, debitur mengalami tindakan
intimidasi baik berupa teror, ancaman, penyalahgunaan data pribadi,
kekerasan maupun tindakan melawan hukum lainnya, maka debitur
korban penerima pinjaman pada Fintech P2PL legal dapat melakukan
upaya hukum dengan melakukan pengaduan melalui AFPI (Asosiasi
Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) yang merupakan asosiasi resmi
yang di tunjuk oleh OJK terhadap penyelenggara Fintech P2PL legal.
Adapun pengaduan dapat dilakukan dengan beberapa cara : pertama
dapat melalui laman website www.afpi.or.id/pengaduan dan mengisi
form pelaporan yang tersedia, kedua dapat dapat melalui email dengan
mengirimkan dokumen dan bukti-bukti pengaduan melalui alamat email :
pengaduan@afpi.or.id, ketiga dapat menghubungi melalui kontak APFI
di 150-505.
Laporan yang masuk kepada APFI nantinya akan di proses dengan
menindaklanjuti penyelenggara dan apabila terbukti ditemukannya
pelanggaran maka APFI akan meminta pertanggungjawaban
penyelenggara dengan memfasilitasi mempertemukan debitur dengan
penyelenggara, dan sesuai code of conduct AFPI apabila penyelenggara
melanggar ketentuan yang berlaku maka penyelenggara Fintech P2PL
tersebut dapat dikeluarkan dari APFI dan sekaligus secara otomatis di
cabut izin usahanya dari OJK.
2. Upaya yang dapat ditempuh debitur korban penyelenggara Fintech
P2PL ilegal yang tidak berizin OJK
Adapun upaya yang dapat dilakukan apabila debitur merupakan
korban dari penyelenggara Fintech P2PL ilegal yang tidak berizin OJK,
maka debitur dapat melakukan pelaporan kepada OJK, dengan
menghubungi kontak OJK di nomor telpon 157 atau melalui email
konsumen@ojk.go.id agar OJK dapat memblokir akses pada Fintech
P2PL ilegal tersebut melalui SWI (Satgas Waspada Investasi) yang
88

bekerjasama dengan Kemkominfo. Tetapi tidak hanya itu, debitur yang


menjadi korban penyelenggara Fintech P2PL ilegal juga harus
melakukan pelaporan ke kepolisan terkait tindakan pidana yang dialami.
Selain itu juga bisa meminta bantuan hukum melalui asosiasi ataupun
Lembaga Bantuan Hukum bila diperlukan. Ketua Dewan Komisioner
OJK, Wimboh Santoso meminta kepada masyarakat untuk melakukan
pinjaman hanya kepada Fintech P2PL legal yang sudah mengantongi izin
OJK, sebab OJK tidak bisa memonitor fintech-fintech di luar itu.
Masyarakat yang merasa dirugikan harus lapor ke polisi bila ditemukan
tindakan pidana.23
OJK tidak bisa berbuat apapun bila masyarakat merasa dirugikan
oleh perusahaan penyelenggara Fintech P2PL ilegal atau tidak terdaftar
di OJK. Pasalnya, OJK tidak pernah membuat komitmen apapun dengan
Fintech P2PL ilegal tersebut.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengakui,
tidak mudah membasmi Fintech ilegal terutama yang berasal dari luar
negeri sebab Fintech tersebut bekerja secara virtual dan berganti-ganti
nama dengan mudah.24 Sehingga bisa saja Fintech ilegal tersebut sudah
diblokir tetapi beroperasi kembali dengan nama yang berbeda.

C. Upaya dan Tindakan Preventif Agar Terhindar dari Jerat Layanan


Pinjaman Uang Berbasis Financial Technology
Selain memahami upaya dan langkah-langkah penyelesaian hukum
pada penyelenggaraan Fintech P2PL masyarakat atau debitur perlu
memahami upaya dan langkah-langkah preventif agar terhindar dari
permasalahan-permasalahan pada penyelenggaraan Fintech P2PL: 25

23
Diterima dari https://www.cnbcindonesia.com/fintech/20190219155915-37-
56416/terganggu-fintech-ilegal-bos-ojk-lapor-polisi diakses pada 10 Juni 2019
24
Revitalisasi pelaksanaan tugas Satgas Waspada Investasi, diterma dari
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Download/375, diakses pada 11 Juni 2019
25
Artikel Genk157 Edisi 1/2019, Pinjam Online Itu Mudah, Tapi Harus Teliti dan Bijak,
Kajian Perlindungan Konsumen OJK, 2019
89

1) Pastikan meminjam di perusahaan yang telah terdaftar atau berizin dari


Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Debitur perlu memastikan dan memperhatikan dengan seksama
legalitas penyelenggara Fintech P2PL sebelum mengajukan pinjaman
dengan mencari tahu legalitas dan izin penyelenggara dengan mengakses
website publikasi OJK dengan alamat : https://www.ojk.go.id dan
mencari laman “Perusahaan Fintech Terdaftar dan Berizin di OJK”.
Lebih jelasnya, calon pengguna juga dapat menghubungi call center OJK
dengan nomor 157.
2) Meminjam sesuai kebutuhan dan kemampuan
Debitur harus bijak dan menyadari kemampuan finansial pada saat
akan mengajukan pinjaman. Debitur juga perlu untuk
mempertimbangkan kembali, apakah benar-benar membutuhkan
pinjaman tersebut atau tidak, sehingga sangat dianjurkan agar meminjam
sesuai kebutuhan dan menghitung kemampuan untuk membayarnya
kembali. Sebaiknya perlu di perhatikan jumlah pinjaman total seseorang
tidak melebihi 30-40% dari penghasilan yang didapatnya per bulan. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindarkan kesulitan dalam membayar
kewajiban dan tagihan di kemudian waktu.
3) Membaca dan memahami seluruh informasi, kewajiban serta syarat dan
ketentuan yang tercantum pada kontrak
Sebelum kesepakatan pemberian pinjaman terjadi, sebaiknya
debitur memastikan telah membaca dan memahami semua informasi
secara seksama yang tertuang pada kontrak penyelenggara Fintech P2PL.
Informasi yang wajib diperhatikan antara lain adalah ;
a) Besarnya tingkat bunga pinjaman yang dikenakan,
b) Biaya-biaya yang harus dibayar, jatuh tempo pembayaran cicilan,
c) Syarat dan ketentuan,
d) Keamanan data,
e) Kontak layanan konsumen, dan informasi lainnya yang mungkin
perlu dipahami.
90

4) Selalu ingat kewajiban membayar cicilan


Debitur harus sadar dan paham bahwa ketika melakukan pinjaman
maka terdapat kewajiban-kewajiban yang perlu diketahui dan wajib
dipenuhi. Salah satu kewajiban yang terpenting adalah kewajiban
membayar cicilan secara tepat waktu sebagaimana disebutkan di kontrak
perjanjian ketika mengajukan pinjaman pada Fintech P2PL. Debitur
wajib memahami berapa besarnya cicilan dan kapan harus membayarnya.
Jika melewati tenggat waktu yang disepakati, debitur harus memahami
berapa denda yang harus dibayarnya. Keberadaan platform Fintech P2PL
memang sangat memudahkan terutama bagi seseorang yang sedang
membutuhkan dana darurat atau modal pengembangan usaha. Namun
perlu diingat bahwa meminjam bukan hanya soal uang yang cepat cair
saja, tapi juga ada kewajiban kewajiban yang harus dipenuhi.
Dengan upaya dan tindakan preventif diatas diharapkan debitur
dapat menjadi peminjam yang teliti dan bijak, sehingga proses
peminjaman berlangsung lancar dan debitur mendapatkan manfaat yang
optimal dan terhindar dari permasalahan dan sengketa pada
penyelenggaraan Fintech P2PL.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti kaji
pada setiap sub bab pembahasan, maka dalam hal ini peneliti memberikan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam hal upaya Perlindungan Hukum terhadap debitur pada layanan
pinjaman uang berbasis Financial Technology atau Fintech P2PL
terdapat peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur tehadap
penyelenggaraan kegiatan ini, pelaku usaha atau penyelenggara Fintech
P2PL wajib memperhatikan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan pada
Peraturan OJK Nomor 77/POJK.07/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam peraturan ini
meliputi; kelembagaan; pendaftaran; perizinan; batasan pemberian
pinjaman dan;, tata kelola teknologi informasi penyelenggara; batasan
kegiatan; manajemen risiko; laporan, serta edukasi perlindungan
konsumen. Menurut ketentuan Pasal 29 POJK 77/2016 Penyelenggara
wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu:
a. Transparansi;
b. Perlakuan yang adil;
c. Keandalan;
d. Kerahasiaan dan keamanan data dan;
e. Penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya
terjangkau. Selain itu wajib juga memperhatikan ketentuan Peraturan
perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, POJK Perlindungan Konsumen dan POJK Layanan
Pengaduan Konsumen.

91
92

Apabila ditemukan pelanggaran sesuai Pasal 47 POJK 77/2016


Penyelenggara apabila melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha; dan
d. Pencabutan izin.

2. Upaya hukum dan penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh debitur


apabila mengalami permasalahan pada layanan pinjaman uang berbasis
Financial Technology apabila penyelenggara merupakan penyelenggara
berizin maka debitur dapat melaporkan kepada APFI yang merupakan
asosiasi resmi yang telah ditunjuk oleh OJK, namun apabila debitur
merupakan korban dari penyelenggara ilegal atau tidak berizin maka
selain melaporkan kepada OJK agar dapat dilakukan pemblokiran debitur
juga harus melaporkan ke pihak kepolisian terkait tindak pidana yang
dialami serta meminta bantuan lembaga hukum.
3. Agar debitur atau konsumen terhidar dari jerat hutang dan permasalahan
lainnya pada layanan pinjaman uang berbasis Fintech ini maka debitur
perlu memperhatikan tindakan-tindakan preventif seperti memastikan
menggunakan layanan pinjaman dari penyelenggara yang legal atau
terdaftar OJK, membaca dan memahami seluruh informasi serta syarat
ketentuan, melakukan pinjaman sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan, serta ingat akan kewajiban membayar pinjaman dan tidak
menghindar ketika penagihan.

B. Rekomendasi
Kompleksnya permasalahan pada penyelenggaraan pinjaman uang
berbasis Financial Technology atau Fintech P2PL dikarenakan masih
barunya layanan ini hadir di masyarakat serta belum adanya aturan yang kuat
dan komprehensif dalam mengatur penyelenggaraan kegiatan ini, serta
kurangnya edukasi di masyarakat dalam memanfaatkan dan menggunakan
93

layanan ini dengan bijak. Adapun rekomendasi peneliti terhadap regulator


yaitu :
1. Mendorong segera dibuatnya mekanisme penyelesaian sengketa
konsumen terhadap kegiatan non PUJK yang di dalamnya termasuk
penyelenggaraan pinjaman uang berbasis Financial Technology atau
Fintech P2PL
2. Membuat peraturan dimana penyelenggara atau pemberi pinjaman tidak
dapat beroperasi tanpa mendapatkan lisensi atau izin dari OJK,
mengingat banyaknya penyelenggara ilegal yang belum mendapatkan
izin OJK tapi sudah beroperasi
3. Menerapkan plafon suku bunga beserta mekanisme terkait proses
penagihan tanpa alih-alih menyerahkannya kepada asosiasi
4. Memberikan sanksi secara eksplisit kepada penyelenggara baik yang
berizin maupun tidak berizin
5. Mendorong segera diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Data
Pribadi, mengingat saat ini sudah mulai masuk kedalam revolusi industri
4.0 yang pada pilarnya mengandalkan bigdata.

Dan rekomendasi peneliti kepada konsumen atau debitur penerima


pinjaman :
1. Memastikan melakukan pinjaman pada penyelenggara yang telah
terdaftar atau berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
2. Membaca dan memahami seluruh informasi, kewajiban serta syarat dan
ketentuan yang tercantum pada kontrak perjanjian pinjaman
3. Melakukan pinjaman sesuai kebutuhan dan kemampuan
4. Selalu ingat atas kewajiban untuk membayar cicilan sesuai perjanjian
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2010


Gazali, Djoni S. Rachmadi Usman. Hukum Perbankan. Jakarta : Sinar Grafika.
2016
Iman, Nofie. Financial Technology dan Lembaga Keuangan. Yogyakarta :
Gathering Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri. 2016
Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. 2008
Kiko, Sarwin. Napitupulu,dkk. Perlindungan Konsumen Pada Fintech Kajian
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Jakarta : Departemen
Perlindungan Konsumen OJK. 2017
Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum Dalam Pembangunan. Bandung : Alumni,
2002
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana. 2008
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2000
Rasjidi, Lili. I.B Wysa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja. Bandung :
Rusdakarya. 1993
Riswandi , Budi Agus. Aspek Hukum Internet Banking. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 2006
Sidablok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti. 2014
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia.
2005 Sihombing, Jonker. Penjaminan Simpanan Perbankan. Bandung : PT.
Alumni. 2010
Soekanto, Soerjono. Sri Mamudji. Penalitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2003
Syahrani , Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung : Penerbit Citra
Aditya Bakti 1999
Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta : Prestasi
Pustaka Publisher. 2006

94
95

Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian


Gabungan. Jakarta : Kencana. 2014

JURNAL

Ernasari,dkk. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial


Technology ( PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR
77/POJK.01/2016), Diponogoro law Journal Vol.6. 2017
H, Ratna. Juliani PR. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer
Lending. Yogyakarta : Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. Universitas
Islam Indonesia. 2018
IOSCO Research Report On Financial Technologies (Fintech). International
Organization of Securities Commissions. 2017.
Pinjam Online Itu Mudah, Tapi Harus Teliti dan Bijak!. Arrtikel GENK 157 ED
1/2019, Kajian Perlindungan Konsumen OJK. 2019

INTERNET

Arner, Professor Doughlas. Fintech: Evolution And Regulation. 2017. Diterima


dari : http://law.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0011/1978256/D-
ArnerFintech-Evolution-MelbourneJune-2016.pdf diakses pada 6/3/2019

Bank Indonesia. Edukasi Financial Technology, diterima dari :


https://www.bi.go.id/id/edukasi-perlindungan-konsumen/edukasi/produk-
dan-jasa-sp/fintech/Pages/default.aspx. diakses pada 21/3/2019

Bank Mandiri. Virtual Account. diterima dari


https://www.bankmandiri.co.id/virtual-account diakses pada tanggal
20/3/2019.

Chandra, Ellen. Definisi Fintech. diterima dari :


https://www.finansialku.com/definisi-fintech-adalah/. diakses pada
20/3/2019

Data Penyelenggara Fintech (Peer To Peer Lending) terdaftar di OJK per 1 Mei
2019, diterima dari : https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-
kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-15-
Mei-2019.aspx2019.aspx. diakses pada 16/5/2019

FAQ Otoritas Jasa Keuangan. diterima dari https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-


Otoritas-Jasa-Keuangan.aspx diakses pada 25/3/2019
96

Fauzia ,Mutia. Hindari Pelanggaran, Penagih Utang Pinjaman Online Akan


Disertifikasi diterima : dari
https://ekonomi.kompas.com/read/2019/02/04/164716126/hindari-
pelanggaran-penagih-utang-pinjaman-online-akan-disertifikasi. diakses
pada 9/6/2019

Fauziah Hadi, Penerapan Financial Technology (Fintech) sebagai Inovasi


Pengembangan Keuangan Digital di Indonesia, diterima dari :
http://temilnas16.forsebi.org/penerapanfinancial-technology-fintech-
sebagai-inovasi-pengembangan-keuangan-digital-di-indonesia/. diakses
pada 18/11/2018

Fernando, Novel. Menyongsong Babak Baru "Peer to Peer Lending". diterima


dari : https://news.detik.com/kolom/d-4361041/menyongsong-babak-baru-
peer-to-peer-lending. diakses pada 2 April 2019

Hakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan Hukum. diterima dari :


https://www.slideshare.net/Lisastwt/hakikat-pentingnya-perlindungan-dan-
penegakkan-hukum. diakses pada 10/6/2019
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/RS1_2017_1_34_Bab2.p
df

Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer To Peer Lending) Otoritas Jasa Keuangan
Periode 2018-2019. diterima dari :
https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/fintech/Pages/Statistik-Fintech-Lending-Periode-Maret-2019.aspx.
diakses pada 30/4/2019

Indotelko. Fintech Lending langgar aturan lakukan persekusi digital. diterima


dari : https://www.indotelko.com/kanal?c=id&it=fintech-lending-
persekusi-digital. diakses pada 20/11/2018

Investree.id. Peer to Peer Lending: Potensi Crowdfunding yang Belum Tersentuh,


diterima dari https://www.investree.id/blog/marketplace-lending/peer-to-
peer-lending-potensi-crowdfunding-yang-belum-tersentuh. diakses pada
20/3/2019

Jamin Perlindungan Data Pribadi, Kominfo Beri Sanksi Terhadap


Penyalahgunaan oleh Pihak Ketiga diterima dari
https://kominfo.go.id/content/detail/12865/siaran-pers-no-
85hmkominfo042018-tentang-jamin-perlindungan-data-pribadi-kominfo-
beri-sanksi-terhadap-penyalahgunaan-oleh-pihak-ketiga/0/siaran_pers.
diakses pada 10/6/2019

Laporan LBH Jakarta Terkait Tindak Pidana Korban Pinjaman Online. diterima
dari : https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-
pinjol/. diakses pada 3/4/2019
97

Pemerintah Pastikan Fintech P2P Lending Ilegal Kena Blokir, Diterima dari :
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190509194845-78-
393543/pemerintah-pastikan-fintech-p2p-lending-ilegal-kena-blokir.
diakses pada 9/5/2019

Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli. diterima dari :


https://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-
ahli/. diakses pada 4/6/2019

Pinem, Walter. Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Peer to Peer Lending
(P2P Lending). diterima dari : https://koinworks.com/blog/ketahui-
tentang-peer-peer-lending/. diakses pada 21/3/2019

Profil Kominfo. diterima dari : https://www.kominfo.go.id/profil. diakses pada


1/4/2019

Revitalisasi Pelaksanaan Tugas Satgas Waspada Investasi, diterma dari :


https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Download/375. diakses
pada 11/6/2019

Rizki, Muhammad Januar. Mari Kenali Mekanisme Penagihan yang terdapat di


Perusahaan Fintech. diterima dari :
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b98fc52d2e40/mari-kenali-
mekanisme-penagihan-yang-tepat-di-perusahaan-fintech. diakses pada
19/11/2018

Sugianto, Danang. YLKI Sebut Banyak Aduan Soal Aplikasi Utang Online.
diterima dari : https://finance.detik.com/moneter/d-4105636/ylki-sebut-
banyak-aduan-soal-aplikasi-utang-online. diakses pada 19/11/ 2018

Tugas & Fungsi Kementerian Komunikasi dan Informatika, diterima dari :


https://kominfo.go.id/tugas-dan-fungsi. diakses pada 1 April 2019

Utami,Eka. Jenis-Jenis Usaha Fintech Yang Ada di Indonesia. diterima dari :


https://www.qerja.com/journal/view/12876-jenis-jenis-usaha-fintech-yang-
ada-di-indonesia-eu01/. diakses pada 13/3/2019

Wijaya,Reynold. P2P Lending Sebagai Wujud Baru Inklusi Keuangan. diterima


dari :
http://nasional.kompas.com/read/2016/11/26/060000226/.p2p.lending.seba
gai.wujud.baru.inklusi.keuangan diakses pada 19/11/2018
98

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik

AUDIENSI & INTERVIEW


Audiensi dan Interview Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Techonolgy (DP3F) dengan Ibu Isye Nur Isyroh dan Bapak
Bagas Setiaji, Kantor IKNB OJK Gedung Wisma Mulia II Jl. Jendral Gatot
Subroto Jakarta, 23 Mei 2019
99

LAMPIRAN
100
101
102

TRANSKIP HASIL AUDIENSI DAN PRESENTASI PEMAPARAN


MATERI BERSAMA DIREKTORAT PENGATURAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Fintech ini terbagi menjadi bebrapa kategori yakni diantaranya ada


Payment atau pembayaran, perbankan, asuransi pasar modal dan macam-macam
lainnya itu juga kalau dicocokan dengan teknologi beberapa kegiatan lainnya
dapat dikatakan dengan Fintech juga termasuk m-banking atau internet banking
pun bisa dikatakan Fintech. Juga karena layanan keuangan berbasis teknologi
sebelum startup yang sekaramg sekarang
Ada bebeberapa disposisi pengaturan Fintech, terkait Fintech pembayaran
atau Payment atau uang elektronik diatur oleh BI bukan melalui OJK contohnya
seperti e-Money, Gopay, OVO, Dana linkaja dan lainnya, termasuk card payment
lainnya seperti kartu debit maupun kartu kredit.
Kemudian Fintech Crowdfunding atau pembiayaan, diatur oleh OJK salah
satunya adalah P2PL, Crowdfunding jesnisnya merupakan longbase atau jangka
panjang yang diatur oleh POJK Nomor 7 yang yuridiksinya di OJK wilayah
pengaturannaya terdapat pada DP3F. Saat ini POJK tersebut membang hanya
mengatur pada layanan P2PL saja,
Fintech selanjutnya adalah equity base crowdfunding sistemnya loan
meminjamkan dana nanti ada imbal hasilnya baik berupa atau kalo yang syariah
bagi hasil atau mudharabah, namun apabila Equity maka sistemnya adalah share
atau kepemilikan saham, namun kalo mendapatkannya cash atau tunai yakni
devident
Untuk Fintech selanjutnya adalah social base crowdfunding contohnya
adalah kitabisa.com dimana sistemnya melakukan penggalangan dana namun
sistemnya untuk kegiatan sosial dan donasi saja, secara hukum Fintech ini tidak
diatur oleh OJK, namun seharusnya masuk pada wilayahnya kementrian sosial,
Jenis lainnya adalah digital banking dimana kegiatan perbankan yang
beropasi secara digital seperti dari mulai membuka rekening, hingga segala
kegaian transaksi dan pelayanan lainnnya yang berbasis digital berbasis apps dan
103

ini diatur oleh POJK Nomor 12 tahun 2018 Tentang Perbankan Digital jadi
kurang lebih peraturan tersebut memuat tentang layanan jasa keuangan berbasis
teknologi informasi
Jenis selanjutnya adalah capital market yakni layanan sekuritas pasar
modal atau saham yang berbasis internet hal ini sebenarnya sudah sangat lama di
implementasi karena dengan menggunakan layanan berbasis internet atau digital
akan memudahkan dalam melakukan trading saham atau kegiatan lainnya dipasar
modal
Selanjutntya ada insurrance technology termasuk layanan Fintech yang
bergerak dibidang asuransi dimana layanan kegiatan dari penyedia jasa asusansi di
lakukan secara teknologi termasuk dari pemasaran maupun hal lainnya termasuk
klaim dan lainnya dan di indonesia terdapat marketplace yang memuat banyak
penyedia jasa asuransi seperti pasarpolis.com
Fintech Peer To Peer Lending

Perbedaan Fintech P2PL dengan bank adalah

Sebenarnya terdapat detail dari POJK Nomor 77 yang mengatur bahwa


tidak boleh menyimpan uang pada layanan Fintech P2PL karena tidak boleh ada
kegiatan lain selain kegiatan Peer To Peer Lending, memang secara spesifik
belum jelas terkait boleh atau tidaknya menaruh uang pada layanan Peer To Peer
Lending. Memang secara bisnis ada kegiatan pengumpulan uang atau
crowndfunding, namun apakah kegiatannya sama seperti perbankan ?
jawabannya adalah beda
Bedanya dengan bank

1. Dari segi model Fintech P2PL hanya mempertemukan saja secara perdata
(melakukan perjanjian antara lender dengan borrower) dimana dalam hal
ini lender setelah melakukan registrasi akan mendapatkan form untuk
melakukan pemilihan akan meminjamkan dana kepada siapa yang
tentunya dengan beberpa pertimbangan resiko. Sehingga setelah
melakukan pemberian pinjaman si lender tidak bisa mengambil uangnya
104

kapan saja, harus sesuai dengan tenor waktu dan di tentukan, beda dengan
bank dimana kita bisa menyimpan uang dan mengambil kapanpun
2. Bank dijamin oleh LPS karena bank merupakan lembaga simpanan
sedangkan Fintech P2PL tidak, namun retun dari Fintech P2PL lebih
tinggi karena resikonya juga lebih tinggi
3. Dalam POJK 77 Finteh disebut sebagai lembaga jasa keuangan lainnya,
berbeda dengan perbankan yang merupakan lembaga jasa keuangan yang
diatur oleh undaang-undang Fintech P2PL saat ini baru diatur oleh
Peraturan OJK saja

Tahun 2018 Fintech P2PL menjadi ramai dan booming karena terdapat
banyak pemberitaan mengenai permasalahan bocornya data debitur maupun
ancaman dan intimidasi padasaat penagihan pinjaman hingga bunga yang tinggi
hal ini atau kasus ini yang di amati dan selidiki OJK adalah kasus kasus dari
debitur yang menggunakan aplikasi pinjaman Fintech P2PL yang Ilegal yang
tidak terdaftar di OJK
Cara sistem kerja dari Fintech P2PL yang ilegal memang bianya
melakukan kegiatannya dengan menawarkan pinjaman melalui blast sms atau
adsense yang menarik sehingga banyak yang tergiur untuk mendapatkan dana
secara cepat, mereka memberikan suku bunga yang sangat tinggi sebenarnya hal
ini menjadikan si Fintech P2PL ilegal ini walaupun dana pinjaman macet dari 20-
30 persen mereka masih tetep akan untung, dan dia biasanya menyamarkan
identitasnya
Sebenarnya peran OJK dalam hal menerima pengaduan Fintech P2PL
yang terdaftar tentu OJK akan melayaninya dan apabila ditemukan hal hal yang
melanggar ketentuan dan etik akan OJK tindak dan berikan sanksi, pengaduan
pengaduan terkait Fintech P2PL bisa disampaikan melalui
1. Pintu Edukasi dan Perlindungan Konsumen kita mempunyai EPK melalui
call center OJK di 157
105

2. Kita juga melakukan sosialisasi dengan penyelenggara dan masyarakat


umum lainnya terkit hal terkait Fintech P2PL ini karena dari banyak hasil
investigasi OJK kebanyakan kasus ini terjadi oleh pengguna yang kurang
bertanggung jawab dan menggunakan apliasi ilegal yang tidak terdaftar
pada OJK, dimana menurut penelusuran OJK banyak yang menjadi korban
tersebut awalnya coba coba melakukan pinjaman pada banyak aplikasi
tetapi dengan niat dan itikad kurang baik untuk tidak mengembalikannya,
mereka melalukan banyak pinjaman di banyak aplikasi secara sekaligus
tanpa memikirkan resiko yang akan di terima bahkan cenderung
bersembunyi menghilangkan jejak, dan hal inilah yang menjadikan
beberapa penyelenggara aplkasi ilegal menindak lanjutinya dengan cara-
cara repsesif yang kurang baik.

3. Arahan kami kepada debitur sebelum melakukan pengaduan kepada OJK


sebaiknya dapat melakukan mediasi atau penyelesaian terlebih dahulu
dengan penyelenggara aplikasi Fintech P2PL untuk dibicarakan kenapa
bisa terjadi hal seperti ini. Pada Fintech P2PL legal seharusnya ada
perjanjian atau klausula baku yang harus di pahami dan disetujui pada saat
akad perjanjian sehingga debitur bisa memahami hak maupun
kewajibannya dan ketika ada suatu hal yang melannggar dari ketentuan
dan perjanjian tersebut maka bisa di laporkan kepada OJK agar Fintech
P2PL yang terdaftar tersebut segera di tindak dan diberikan sanksi sesuai
peraturan yang berlaku. Selain datang langsung ke OJK, debitur yang
memiliki permasalahan dengan layanan Fintech P2PL
dapat melakukan pelaporan kepada asosiasi, dimana saat ini OJK telah
menunjuk dan memberi wewenang terkait layanan Fintech P2PL sesuai
dengan POJK Nomor 77 kepada APFI (Asosiasi Pendanaan Fintech
Indonesia) dimana nantinya apabila Fintech yang dilaporkan bermasalah
merupakan anggota dari APFI dan terbukti melanggar Code of Conduct
maka APFI akan memberikan sanksi tegas bahkan mengeluarkan dari
keanggotaan APFI, dan sesuai dengan POJK Nomor 77 Pasal 48 yang
106

menyatakan bahwa setiap penyedia Fintech P2PL yang terdaftar wajib


bergabung dengan asosiasi yang di tunjuk oleh OJK, maka apabila Fintech
P2PL dikeluarkan dari keanggotaan dari APFI maka izin usahanya dari
OJK pun akan dicabut.
Sebagai Asosiasi yang ditunjuk oleh OJK, APFI senantiasa harus selalu
memberikan laporan secara rutin kepada OJK terkait permasalahan dan
penyelesaian yang terjadi sehingga APFI dan OJK menjadi mitra strategis
dalam mewadahi Fintech P2PL di Indonesia.

Terkait permasalahan data pengguna saat ini OJK dalam rangka


melindungi debitur dari tindak penyalahgunaan data, OJK sudah
membatasi Permission atau akses izin aplikasi yang di install di ponsel
debitur yakni dari akhir tahun 2018 lalu OJK memberikan surat perintah
kepada aplikasi penyelenggara Fintech P2PL yang terdaftar untuk tidak
mengakses kontak, dan hanya meminta izin 3 hal saja yakni kamera,
microphone dan Gps saja yang dibutuhkan untuk verifikasi pada saat
pengajuan pinjaman.
Memang secara hukum surat edaran ini sifatnya lemah, namun hal ini
karena kebutuhan yang mendesak mengngat untuk membuat peraturan
baru membutuhkan waktu yang panjang maka surat perintah ini menjadi
alternatif dan preventif untuk mengurangi tindakan penyalahgunan data
yang banyak diadukan masyarkat.

Penyelesaian sengketa Fintech P2PL kepada siapadulu tuntutannya, kalo si


borrower dananya hilang, kalo misal si penyelenggara tidak melakukan
tindakan diluar hukum semisal tidak melakukan fraud tetapi akibat kredit
macet maka ini salahnya lender atau peminjam.
Tetapi kalau misal kesalahan si penyelenggara maka penyelenggara bisa
dituntut, semisal tanggal 23 mau membayar tetapi apps tidak dapat diakses
maka salahnya si penyelenggara
107

Metode OJK mengawasi Fintech P2PL agar patuh terhadap Undang-


Undang, Peraturan Pemerintah juga termasuk perturan dibawah Undang
undang, dalam hal ini OJK bermitra dengan beberapa kementrian salah
satunya Kemkominfo dalam hal untuk melakukan pemblokiran terhadap
aplikasi-aplikasi ilegal atau yang di cabut ijin usahanya akibat pelanggaran
yang telah dilaporkan dan di tindak lanjuti.
Pegawasan dilakukan dengan cara
1. Offsite yakni pengawasan melalui pelaporan dari penyelenggara yang
masuk ke OJK dan di evaluasi mulai dari perkembangan,
2. Onsite pemeriksaan langsung kekantor dengan melakukan visit dan
melakukan pengawasan secara langsung

Selain itu, saat ini OJK tengah melakukan pengembangan terhadap


PUSDAPIL pusat data pengembangan Fintech Peer To Peer Lending harapannya
arahnya bisa melakukan pengawasan secara realtime atau mendekati realitme
kepada data data dari penyelenggara Saat ini masih tengah proses pengembangan.
AFPI didirikan bukan oleh ojk tapi dari dari beberapa kumpulan
penyelenggara, dan saat ini APFI ditunjuk oleh OJK sebagai amanat dari Peratiran
OJK Nomor 77 Pasal 48 sebagai asosiasi yang menjadi mitra OJK dalam
mengawasi dan mengatur kegiatan layanan Fintech P2PL di Indonesia
108

Lampiran Tanya-Jawab

A. Pertanyaan Kategori Umum Tentang Layanan Pinjaman Uang


Berbasis Fintech atau Fintech P2PL
1. Apa itu Fintech ?
Fintech adalah sebuah inovasi pada industri jasa keuangan yang
memanfaatkan penggunaan teknologi. Produk fintech biasanya berupa
suatu sistem yang dibangun guna menjalankan mekanisme transaksi
keuangan yang spesifik, antara lain pembayaran (payment), pendanaan
(funding) seperti pinjam-meminjam, perbankan (digital banking), Pasar
Modal (capital market), perasuransian (insurtech), jasa pendukung
(supporting fintech); dan lainnya (inovasi keuangan digital).
2. Apa itu Fintech Peer-to-Peer Lending (Fintech P2P ?
Fintech P2PL atau disebut juga Fintech Peer-to-Peer Lending (P2PL)
atau Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
(LPMUBTI) adalah salah satu inovasi pada sektor jasa keuangan
dengan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman
dan penerima pinjaman melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa
harus bertemu langsung. Mekanisme transaksi pinjam meminjam
dilakukan melalui sistem yang telah disediakan oleh Penyelenggara
Fintech P2PL, baik melalui aplikasi maupun laman website.
3. Apa beda Fintech dengan Fintech P2PL ?
Fintech bersifat umum dan tidak terbatas pada satu industri jasa
keuangan tertentu. Fintech Lending/P2PL terbatas pada inovasi jasa
keuangan pada transaksi pinjam meminjam saja.
4. Siapa Penyelenggara Fintech P2PL ?
Penyelenggara Fintech P2PL dapat berupa suatu badan hukum atau
koperasi yang memiliki sistem untuk melaksanakan mekanisme
transaksi pinjam meminjam secara online, baik melalui aplikasi maupun
laman website.
109

5. Bagaimana cara kerja Fintech P2PL ?


Penyelenggara Fintech P2PL hanya berperan sebagai perantara yang
mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Pemberi
pinjaman dan penerima pinjaman terlebih dahulu harus melakukan
registrasi dan mengisi data diri yang diperlukan sebelum dapat
mengajukan pemberian pinjaman ataupun permohonan pinjaman.
6. Apakah ada peraturan terkait Fintech P2PL ?
Peraturan terkait Fintech P2PL tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).
7. Apa saja yang diatur dalam POJK 77/2016 ?
Ketentuan Umum, Penyelenggaraan, Pengguna Jasa LPMUBTI,
Perjanjian, Mitigasi Risiko, Tata Kelola Sistem TI, Edukasi dan
Perlindungan Pengguna LPMUBTI, Tanda Tangan Elektronik, Prinsip
dan Teknis Pengenalan Nasabah, Larangan, Laporan Berkala, Sanksi,
Ketentuan Lain, Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup.
8. Apakah Fintech P2PL harus terdaftar atau berizin ?
Penyelenggara Fintech P2PL harus mendapatkan tanda terdaftar
sebelum menjalankan kegiatan operasionalnya. Maksimal 1 (satu) tahun
setelah mendapatkan tanda terdaftar, Penyelenggara wajib mengjukan
permohonan perizinan ke OJK.
9. Apakah perbedaan Penyelenggara Fintech P2PL terdaftar dengan
berizin ?
Keduanya dapat menjalankan kegiatan operasional sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Penyelenggara terdaftar dapat menjalankan
kegiatan operasional hingga 1 (satu) tahun setelah mendapat tanda
terdaftar dan selanjutnya wajib mengajukan permohonan perizinan,
apabila tidak mengajukan permohonan perizinan maka Penyelenggara
terdaftar harus mengembalikan tanda terdaftarnya kepada OJK.
Sementara Penyelenggara berizin tidak memiliki masa kadaluwarsa atas
tanda berizin yang dimilikinya.
110

10. Apakah ada Fintech P2PL ?


Fintech P2PL ilegal adalah yang telah menyelenggarakan kegiatan
usahanya namun belum terdaftar/berizin dari regulator yang berwenang.
Salah satu risiko terbesar bagi masyarakat dengan adanya Fintech P2PL
ilegal adalah penyalahgunaan data pribadi digital, dimana Fintech ilegal
akan mengakses dan mengambil seluruh data pribadi digital Pengguna
yang berada di dalam handphone diantaranya daftar kontak, riwayat
kontak, galeri, foto, dan sms.

Atas akses dan perolehan data tersebut, data pribadi digital yang diperoleh
Fintech P2PL ilegal banyak disalahgunakan, umumnya dalam banyak kasus
penagihan dimana data pribadi Pengguna digunakan untuk (i) menyebarkan atau
menviralkan berbagai informasi negatif Pengguna kepada seluruh daftar kontak
yang ada di handphone Pengguna dan/atau (ii) melakukan penagihan kepada
seluruh pihak yang ada dalam daftar kontak tersebut.
Berkenaan dengan hal trsebut, dalam menanggulangi Fintech ilegal, OJK
telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) dan Satgas Waspada Investasi (SWI).
Hingga pertengahan Maret
B. Pertanyaan Kategori PenyelenggaraTentang Layanan Pinjaman Uang
Berbasis Fintech atau Fintech P2PL
1. Bagaimana untuk menjadi Penyelenggara dan apa saja syarat-
syarat menjadi Penyelenggara?
Persyaratan untuk menjadi Penyelenggara sebenarnya ada di POJK
77/2016, dan untuk memudahkan Perusahaan dalam menyiapkan
dokumen-dokumen persyaratan administrasi, kami telah menyediakan
checklist dokumen yang harus dipenuhi dalam mengajukan
permohonan pendaftaran dan perizinan bagi penyelenggara LPMUBTI
dan dapat diakses pada website OJK.
111

2. Apakah penyelenggara perlu melakukan pendaftaran di OJK ?


Sesuai Pasal 8 Ayat 1 POJK 77/2016 Pasal 8 Penyelenggara yang
akan melakukan kegiatan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi mengajukan permohonan pendaftaran kepada
OJK. Dalam hal perusahaan anda tidak melakukan pendaftaran dan
melakukan kegiatan usaha dimaksud tanpa izin maka akan masuk
daftar fintech yang tidak terdaftar/berizin dari OJK (fintech ilegal) dan
selanjutnya aplikasi dan sistem elektronik Saudara akan diblokir oleh
instansi terkait.
3. Bagaimana tata cara perizinan dan pendaftaran ke OJK?
a. Calon penyelenggara harus memiliki pemahaman terhadap POJK.
Unduh dan pahami POJK Nomor 77/POJK.01/2016 beserta
Lampirannya.
b. Calon penyelenggara melakukan pengisian atas dokumen
pendaftaran.
Unduh checklist pendaftaran dan lengkapi seluruh berkas sesuai
dengan yanng terdapat pada kolom keterangan.
c. Calon penyelenggara mengirimkan berkas pendaftaran.
Berkas yang sudah lengkap dikirimkan ke Kantor Otoritas Jasa
Keuangan Gedung Wisma Mulia 2 Lt. 17 (mailing room).
d. Proses verifikasi berkas*
Kelengkapan dan kesesuaian berkas akan diperiksa oleh
Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech
(DP3F) OJK.
e. Pelaksanaan Asistensi*
Pembahasan mengenai kekurangan atau perbaikan atas berkas
yang telah dikirim. Calon Penyelenggara diberikan waktu 10
(sepuluh) hari kerja untuk melengkapi dan menyerahkan
kelengkapan dan revisi berkas ke OJK.
112

f. Pelaksanaan Live Demo dan Penilaian Kesesuaian*


Calon penyelenggara akan mempresentasikan model bisnis dan
melakukan simulasi atas sistem elektroniknya, serta dilakukan
penilaian dan uji kesesuaian oleh OJK terhadap Pemilik, Direksi,
dan Dewan Komisaris.
g. Site Visit
OJK akan mengunjungi kantor Calon Penyelenggara dan
memeriksa kesiapan operasional perusahaan.
h. Status Terdaftar
Penyelenggara yang telah memenuhi kriteria dan dapat melewati
seluruh tahapan di atas akan mendapatkan tanda terdaftar di
OJK.
*Untuk tahapan yang diberi tanda bintang (*), apabila dianggap
tidak sesuai oleh OJK, Calon Penyelenggara harus mengulang
dari tahap awal.

4. Apabila perusahaan penyelenggara Fintech P2PL yang telah


terdaftar, apakah akan diumumkan oleh OJK?
OJK secara rutin selalu mengumumkan penyelenggara Fintech
Lending yang terdaftar/berizin di OJK dan dapat diakses di website
OJK dan/atau diumumkan melalui media sosial resmi OJK.
5. Sebagai penyelenggara yang sudah terdaftar, laporan apa saja
yang harus di sampaikan ke OJK?
Terdapat beberapa jenis laporan kepada OJK, yaitu:
a. Laporan Berkala :
1) Laporan Bulanan
2) Laporan Triwunanan
3) Laporan Tahunan
b. Laporan lainnya seusai yang diperintahkan dalam Surat Tanda
Terdaftar dan kode etik asosiasi, antara lain:
1) Perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris;
113

2) Penambahan atau perubahan atas produk atau layanan Sistem


Elektronik;
3) Perubahan nama dan alamat perusahaan; dan
4) Kerjasama dengan pihak ketiga yang bersifat material (misal:
penagihan dan pemasaran).
6. Bagaimana OJK melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara
Fintech P2PL ?
OJK saat ini melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara Fintech
P2PL melalui 3 (tiga) metode, yaitu:
a. Offsite, melalui laporan-laporan yang disampaikan kepada OJK
(FAQ Nomor 38) dan juga rencana implementasi host-to-host
dengan server Perusahaan dengan memanfaatkan Struktur Elemen
Database sebagaimana dimaksud dalam Formulir 3C POJK
77/2016.
Market Conduct (Semi SRO), sesuai ketentuan Pasal 48, seluruh
Penyelenggara wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang telah
b. ditunjuk oleh OJK. OJK telah menunjuk Asosiasi Fintech
Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada tanggal 17 Januari
2019. AFPI memiliki Code of Conduct dan memberikan beberapa
pengaturan yang belum diatur OJK, diantaranya batas maksimal
bunga dan tata cara penagihan. OJK rutin bertemu AFPI minimal
1 kali setiap minggu.
c. Onsite, melalui mekanisme pemeriksaan langsung baik yang
dilakukan secara rutin maupun sewaktu-waktu.

7. Apakah OJK bisa mencabut izin usaha penyelenggara?


Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 POJK 77/2016, dimana atas
pelanggaran kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK ini, OJK
berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara
berupa:
114

a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha; dan
d. pencabutan izin.
8. Apakah OJK mengatur besarnya bunga atau biaya pinjaman?
OJK tidak mengatur besaran bunga dan biaya pinjaman. Biaya
pinjaman diatur oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia
(AFPI). Jumlah total biaya pinjaman tidak melebihi suku bunga flat
0,8% per hari. Juga adanya ketentuan bahwa jumlah total biaya, biaya
keterlabatan, dan seluruh biaya lain maksimum 100% dari nilai
prinsipal pinjaman. Ketentuan ini wajib diiukuti oleh seluruh
penyelenggara yang terdaftar/berizin di OJK. Apabila ada yang
melanggar, maka AFPI dapat memberikan sanksi kepada anggotanya
yang akan dipertimbangkan OJK
dalam pengawasan, termasuk pemberian sanksi kepada penyelenggara
Fintech Lending.
9. Apa asosiasi Penyelenggara Fintech P2PL yang ditunjuk oleh
OJK?
OJK menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia
(AFPI) sebagai asosiasi Fintech peer To Peer Lending di Indonesia.
Penunjukan dilakukan melalui surat S-5/D.05/2019 tanggal 17 Januari
2019. Pada tanggal 8 Maret 2019 dilakukan persemian AFPI oleh
OJK.
10. Berapa batas maksimum pemberian pinjaman oleh Fintech P2PL
kepada setiap Peminjam?
OJK mengatur batasan maksimum pinjaman kepada setiap Penerima
pinjaman, yakni sebesar Rp. 2 Milyar (Pasal 6 POJK 77/2016).
11. Apa saja kegitan usaha yang dapat dilakukan oleh penyelenggara
Fintech P2PL ?
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan penyelenggara terbatas pada :
115

Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan


Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari
pihak Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang
sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman. Penyelenggara
dilarang melakukan kegiatan usaha lain selain kegiatan usaha tersebut
(Pasal 43). Dalam hal pengembangan usaha, penyelenggara tetap
diperkenankan untuk bekerjasama dengan perusahaan lembaga jasa
keuangan dan/atau perusahaan penyelenggara layanan pendukung
berbasis teknologi informasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
12. Apakah Penyelenggara harus memiliki kantor fisik?
Kantor fisik adalah salah satu persyaratan dalam pengajuan
pendaftaran/izin usaha. Selain itu titik dari kantor fisik beserta kantor
cabangnya (bila ada) harus ditampilkan di google maps/aplikasi
sejenis agar memudahkan Pengguna yang ingin melakukan pengaduan
secara langsung.
13. Apakah Penyelenggara harus memilki pelayanan Konsumen?
Sesuai dengan Pasal 38 POJK 77/2016, Penyelenggara wajib memiliki
standar prosedur operasional dalam melayani pengguna yang dimuat
dalam dokumen elektronik. Selain itu Perusahaan juga tunduk pada
POJK 18/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa
Keuangan.
14. Perjanjian apa saja yang diperlukan dalam kegiatan Fintech
Lending
Dalam penyelenggaraan layanan terdapat 2 perjanjian yang wajib ada,
yaitu:
a. Perjanjian Pemberi Pinjaman dengan Penyelenggara; dan
b. Perjanjian Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.
116

Selain itu para pihak harus memiliki akses atau menerima salinan atas
kedua perjanjian tersebut.
15. Apakah Penyelenggara harus memiliki Pusat Data dan Pusat
Pemulihan Data?
Sesuai dengan Pasal 25 POJK 77/2016, Penyelenggara wajib
menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana dan wajib
ditempatkan di Indonesia.
16. Bagaimana ketentuan mengenai perlindungan Pengguna?
Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 POJK 77/2016, Penyelenggara
wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu:
a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data; dan
e. penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat, dan
biaya terjangkau.

Selain itu wajib juga memperhatikan ketentuan Peraturan perundang-


undangan lainnya seperti Undang-Undnag Perlindungan Konsumen,
POJK Perlindungan Konsumen dan POJK Layanan Pengaduan
Konsumen.
17. Apakah penyelenggara wajib melakukan sosialisasi dan edukasi
kepada masyarakat?
Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 POJK 77/2016, Penyelenggara
mendukung pelaksanaan kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi
dan inklusi keuangan. Bentuk dukungan tersebut dituangkan dalam
bentuk sosialisasi dan edukasi. Bagi Penyelenggara yang sudah
terdaftar wajib 12 kali sosialisasi di 12 kota dan provinsi berbeda
dengan proporsi 6 di pulau
Jawa dan 6 di luar Pulau Jawa. Sedangkan Penyelenggara berizin rutin
3 (tiga) kali dalam setahun dengan proporsi 1 kali di Pulau Jawa dan 2
117

kali di luar Pulau Jawa. Materi edukasi paling kurang mencakup


informasi mengenai:
a. Pengelolaan keuangan materi pengelolaan keuangan disesuaikan
dengan sasaran Edukasi Keuangan yang meliputi:
1) Identifikasi kesehatan keuangan pribadi;
2) Tujuan pengelolaan keuangan;
3) Tahapan dalam pengelolaan keuangan;
4) Pencatatan aset/harta yang dimiliki;
5) Pencatatan pemasukan dan pengeluaran (budgeting), termasuk
perpajakan, identifikasi pendapatan dan pengeluaran rutin/non
rutin bulanan/tahunan; dan/atau
6) Perencanaan program untuk tujuan keuangan di masa depan,
b. Jenis industri Jasa Keuangan
Jenis industri jasa keuangan antara lain perbankan, pasar modal,
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, lembaga
penjaminan, dan pergadaian,
c. Produk dan/atau layanan jasa keuangan termasuk karakteristiknya,,
yang terdiri dari :
1) Manfaat, biaya, dan risiko atas produk dan/atau layanan jasa
keuangan, termasuk penghitungan suku bunga/bagi hasil,
keuntungan, inflasi, cara diversifikasi risiko;
2) Hak dan kewajiban komsumen;
3) Informasi terkait dengan mekanisme transaksi produk dan/atau
layanan jasa keuangan;
4) Mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa;
dan
5) Perpajakan terkait produk dan/atau layanan jasa keuangan
18. Apakah saya bertanggung jawab atas kerugian Pengguna?
Sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Penyelenggara wajib bertanggung
jawab atas kerugian Pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau
kelalaian, Direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara.
118

19. Apa saja larangan bagi kegiatan Lending?


(1) Dalam hal Penyelenggara menggunakan perjanjian baku,
perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang
digunakan oleh Penyelenggara dilarang:
1 a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pasal 36

Penyelenggara kepada Pengguna; dan


b. menyatakan bahwa Pengguna tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara
sepihak oleh Penyelenggara dalam periode Pengguna
memanfaatkan layanan.
Penyelenggara dilarang dengan cara apapun, memberikan data
2 Pasal 39
dan/atau informasi mengenai Pengguna kepada pihak ketiga.
Dalam menjalankan kegiatan usaha, Penyelenggara dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha
Penyelenggara yang diatur dalam peraturan OJK ini;
b. bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima
Pinjaman;
c. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas
pemenuhan kewajiban pihak lain;
d. menerbitkan surat utang;
3 Pasal 43
e. memberikan rekomendasi kepada Pengguna;
f. mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau
menyesatkan;
g. melakukan penawaran layanan kepada Pengguna dan/atau
masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa
persetujuan Pengguna; dan
h. mengenakan biaya apapun kepada Pengguna atas pengajuan
pengaduan.
119

20. Apakah ada sanksi bagi saya apabila melanggar Peraturan OJK
77/2016?
Sesuai dengan ketentuan dalam POJK 77/2016, atas pelanggaran
kewajiban dan larangan, OJK berwenang mengenakan sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha; dan
d. pencabutan izin
C. Pertanyaan Kategori Konsumen Tentang Layanan Pinjaman Uang
Berbasis Fintech atau Fintech P2PL
1. Siapa pengguna Fintech P2PL
Penggunanya adalah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Bisa
individu atau badan hukum yang memenuhi kriteria yang telah
ditentukan oleh Penyelenggara Fintech P2P Lending sebagaimana
ketentuan yang berlaku.
2. Apa keuntungan meminjam melalui Fintech P2PL?
Fintech P2PL dapat memberikan penyaluran pendanaan yang cepat,
(sebagian besar) tanpa agunan, dan syarat/proses lebih mudah karena
dapat dilakukan secara remote dengan menggunakan smartphone.
3. Amankah meminjam melalui Fintech P2PL
Debitur atau penerima pinjaman harus senantiasa membaca syarat dan
ketentuan perjanjian yang disepakati. Penerima pinjaman hendaknya
mengajukan pinjaman pada Fintech P2PL yang terdaftar atau berizin
di OJK dan telah melalui proses pemeriksaan SOP keamanan
pengguna sesuai standar yang diberlakukan oleh OJK.
4. Apa yang harus diperhatikan debitur sebelum mengajukan
pinjaman ?
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah apakah Penyelenggara
Fintech P2PL tersebut telah terdaftar/berizin di OJK, ajukan pinjaman
hanya pada penyelenggara yang telah terdaftar/berizin di OJK.
Penerima pinjaman juga harus memperhatikan syarat dan ketentuan
120

serta pasal- pasal dari perjanjian pinjaman. Pengguna harus


memahami besaran biaya pinjaman (bunga) yang akan ditanggung,
serta mekanisme transaksi dari awal hingga pembayaran kembali
(repayment), dan ketentuan lainnya.
5. Apakah data pinjaman debitur tercantum pada SLIK ?
Data pinjaman Fintech P2PL saat ini belum tercantum di SLIK,
namun akan terekam dalam Pusat Data Fintech Lending (PUSDAFIL)
yang memuat informasi mengenai pinjaman bermasalah dari
pengguna dengan pinjaman bermasalah pada penyelenggara Fintech
Lending yang telah terdaftar/berizin di OJK.
6. Mengapa bunga dan biaya biaya pada pinjaman Fintech P2PL
lebih tinggi dibandingkan pinjaman lain ?
Besaran biaya dan bunga pada layanan pinjaman berbasis Fintech
P2PL dapat dibandingkan dengan bunga pinjaman di tempat lain (bisa
lebih tinggi atau lebih rendah). Perjanjian pada Fintech P2PL adalah
perjanjian perdata antara pemberi dan penerima pinjaman. Apabila
tidak sepakat dengan besarnya bunga (biaya pinjaman), sebaiknya
tidak melakukan transaksi. Tetapi apabila sudah sepakat, maka ada
kewajiban dari masing-masing pihak. Asosiasi Fintech Pendanaan
Bersama Indonesia (AFPI) telah mengatur dalam code of conduct
AFPI bahwa jumlah total biaya pinjaman tidak melebihi suku bunga
flat 0,8% per hari. Juga adanya ketentuan bahwa jumlah total biaya,
biaya keterlabatan, dan seluruh biaya lain maksimum 100% dari nilai
prinsipal pinjaman. Contohnya, bila pinjam Rp1 juta, maka
maksimum jumlah yang dikembalikan adalah Rp2 juta.
7. Apa yang harus dilakukan debitur apabila terjadi pinjaman macet
?
Debitur dapat melakukan klarifikasi dengan penyelenggara Fintech
P2PL mengenai alasan keterlambatan pembayaran dan memberikan
komitmen atau kepastian jangka waktu pembayaran kepada
penyelenggara. Memahami bahwa mekanisme tersebut dapat
121

dilakukan apabila tidak menyimpang dari perjanjian yang telah


disepakati pada awal pemberian pinjaman.
8. Apabila dihubungi oleh Debt Collector, apa yang harus debitur
lakukan ?
Debitur telah wanprestasi dan memunggak pembayaran angsuran
pinjaman, hal tersebut merupakan kewajiban debitur yang harus
diselesaikan. Pada umumnya penyelenggara Fintech P2PL akan
memberikan data akurat, penjelasan dan prosedur kepada pihak yang
melakukan penagihan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh Debt Collector, apabila Debt Collector menghubungi
disertai dengan ancaman atau tindak kekerasan lainnya maka
pengguna dapat menghubungi pihak yang berwajib, dalam hal ini
Kepolisian Republik Indonesia. Disamping itu, pengguna atau debitur
juga dapat melaporkan ke AFPI melalui website www.afpi.or.id atau
telepon 150505 (bebas pulsa) atau ke OJK melalui Kontak OJK 157
apabila penyelenggara fintech Lending telah terdaftar/berizin di OJK.
9. Apabila tidak melakukan pinjaman pada layanan Fintech P2PL,
tapi dihubungi oleh Debt Collector apa yang harus dilakukan ?
Hal yang harus dilakukan adalah memberikan penjelasan bahwa anda
tidak memiliki pinjaman dan melakukan klarifikasi pada
penyelenggara Fintech P2PL yang bersangkutan. Apabila Debt
Collector terus menghubungi disertai dengan ancaman atau tindak
kekerasan lainnya maka pengguna dapat menghubungi pihak yang
berwajib, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia. Disamping itu,
pengguna juga dapat melaporkan ke AFPI melalui website
www.afpi.or.id atau telepon 150505 (bebas pulsa) atau ke OJK
melalui Kontak OJK 157 apabila penyelenggara Fintech P2PL telah
terdaftar/berizin di OJK.
122

10. Apa yang harus dilakukan apabila data pribadi disalahgunakan


untuk meminjam pada layanan Fintech P2PL ?
Melaporkan ke Kepolisian RI dan juga dapat melaporkan ke AFPI
melalui website www.afpi.or.id atau telepon 150505 (bebas pulsa)
atau ke OJK melalui Kontak OJK 157 apabila penyelenggara Fintech
P2PL telah terdaftar/berizin di OJK.
11. Apakah aplikasi Fintech P2PL boleh mengkases kontak/gambar
pada ponsel debitur ?
Tidak boleh. Saat ini, yang boleh diakses hanya kamera, mikrofon,
dan lokasi.
12. Apa yang harus dilakukan apabila debitur mengalami kesulitan
dalam melakukan pembayaran ?
Menyatakan alasan keterlambatan pada penyelenggara Fintech P2PL
dan berkomitmen untuk menyelesaikan pembayaran sesuai dengan
kesepakatan dalam surat perjanjian. Daftar pinjaman bermasalah akan
tercatat dalam PUSDAFIL.
13. Apabila terdapat sengketa dengan penyelenggara Fintech P2PL
kemanakah debitur melakukan pengaduan ?
Penyelesaian sengketa dapat diarahkan ke AFPI atau ke OJK untuk
penyelenggara Finteh P2PL telah terdaftar/berizin di OJK.
14. Apa yang harus dilakukan apabila merasa terganggu dengan
penawaran yang dilakukan oleh Penyelenggara Fintech P2PL ?
Pengaduan ke AFPI melalui website www.afpi.or.id atau telepon
150505 (bebas pulsa) atau ke OJK melalui Kontak OJK 157 apabila
penyelenggara Fintech P2PL telah terdaftar/berizin di OJK.
15. Apa resiko apabila melakukan pinjaman pada penyelenggara
Fintech P2PL Ilegal (belum terdaftar atau berizin di OJK)
Segala mekanisme pinjam meminjam yang dilakukan dan pengaduan
pengguna di luar dari kewenangan OJK. Risiko penagihan dan
penyebarluasan data pribadi tidak menjadi tanggung jawab OJK.
123

16. Apabila menemukan Fintech Ilegal kemanakah masyarkat dapat


mengadu
Bila menemukan Fintech ilegal agar dilaporkan ke Satgas Waspada
Investasi (SWI) atau melalui melalui Kontak OJK 157

Anda mungkin juga menyukai