Anda di halaman 1dari 82

IMPLIKASI DOKTRIN KEPENTINGAN YANG SEWAJARNYA PADA

MEDIA STREAMING ONLINE YOUTUBE.COM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
PANJI RYSTHO RAMADHAN
NIM: 11150480000065

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H / 2019M

i
ABSTRAK

Panji Rystho Ramadhan. NIM 11150480000065. Implikasi Doktrin Kepentingan


Yang Sewajarnya Pada Media Streaming Online Youtube.com. Program Studi
Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2019M. Ix + 70 halaman
Studi ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana YouTube menetapkan
batasan dari doktrin kepentingan yang sewajarnya menurut Undang-Undang Hak
Cipta Nomor 28 Tahun 2014 di Indonesia dan Sumber Hukum Pendukung
lainnya.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dan menggunakan
pendekatan penelitian empiris-normatif. Penelitian yang dilakukan dengan
melakukan pengkajian terhadap wawancara kepada koresponden dari YouTube
Asia Pasifik, peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal yang
berhubungan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa YouTube yang sebenarnya merupakan
anak Perusahaan dari Google menetapkan aturan dan perlindungan kepada
pencipta dengan menghabiskan jutaan dollar demi mengembangkan sistem yang
dapat efektif memenuhi kebutuhan dalam perlindungan karya intelektual dari
Audio hingga Visual. Dalam aturannya tersebut dikenal dengan penggunaan
sewajarnya yang dalam aturan tersebut, YouTube tidak memberikan penjelasan
batasan dari kata sewajarnya itu apa sehingga menimbulkan banyak polemik
dalam banyak karya yang di publikasikan di YouTube. Namun ditemukan apabila
YouTube memberikan Batasan Tersebut melalui pencipta aslinya dengan syarat
bahwa pencipta tersebut harus bersikap adil sebelum menuntut karya seseorang
yang dikiranya termasuk ke dalam golongan Kepentingan yang wajar.

Kata Kunci: Hak Cipta, Kepentingan yang Sewajarnya, YouTube.

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag.


2. Asrori S. Karni, S.Ag, M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 - Tahun 2017

v
KATA PENGANTAR

‫الرِح ِيم‬
َّ ‫الر ْْح ِن‬ ِ ‫بِس ِم‬
َّ ‫هللا‬ ْ
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas
berkat dan rahmat Nya yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti,
sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Implikasi Doktrin
Kepentingan yang Sewajarnya pada media streaming online YouTube.com”.
Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman
kegelapan ke zaman yang terang benderang ini .
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, berbagai hambatan, rintangan, ujian,
dan tantangan telah dilewati peneliti selama proses penyelesaian studi. Peneliti
banyak mendapatkan bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak,
sehingga dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.
3. Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag. dan Asrori S. Karni, S.Ag., M.H. pembimbing
skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi, sehingga dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. Karena, Tanpa
bantuannya dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti, maka
skripsi ini tidak akan dapat dilanjutkan untuk diteliti oleh peneliti.

vi
5. Narasumber khususnya Deo Nathaniel selaku Youtube Partner Operations
Manager yang telah membantu dalam memberikan informasi yang memadai
untuk peneliti guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Pihak-Pihak yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun secara
tidak langsung dalam pembuatan skripsi ini.

Jakarta, 20 Juli 2019

Panji Rystho Ramadhan

vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ............................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Indentifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 8
D. Metode Penelitian .......................................................................... 9
E. Sistematika Penulisan ................................................................... 14
BAB II: KEPENTINGAN YANG SEWAJARNYA ...................................... 16
A. Kerangka Konseptual .................................................................... 16
1. Hak Kekayaan Intelektual ........................................................ 16
2. Pengertian Hak Cipta serta Fungsinya .................................... 16
3. Pengertian Kepentingan yang Sewajarnya / Fair use ............. 18
4. Perbedaan Plagiarisme dan Doktrin Kepentingan yang
Sewajarnya ............................................................................... 19
5. Perkembangan Kepentingan yang Sewajarnya / Fair use ...... 20
6. Kepentingan yang Sewajarnya di Amerika dan Indonesia ..... 21
B. Kerangka Teoritis .......................................................................... 24
1. Teori Tujuan Hukum................................................................ 24
a. Teori Keadilan Hukum ..................................................... 26
b. Teori Kepastian Hukum .................................................... 27
c. Teori Kemanfaatan Hukum................................................ 30
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 32

viii
BAB III: KEPENTINGAN YANG SEWAJARNYA MENURUT
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, KONVENSI
INTERNASIONAL, DAN YOUTUBE DI INDONESIA ............. 35
A. Kepentingan Sewajarnya di Indonesia ......................................... 35
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta ..... 35
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 ................................... 36
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 ................................. 37
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 ................................. 39
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 ................................. 42
B. Kepentingan Sewajarnya Menurut Konvensi Internasional ......... 43
1. Konvensi Berne ........................................................................ 43
a. Pembatasan-Pembatasan dalam Konvensi Berne .............. 43
b. Pengecualian-Pengecualian dalam Konvensi Berne .......... 43
2. Konvensi Rome ........................................................................ 46
3. TRIPs Agreement ..................................................................... 47
C. Kepentingan Sewajarnya menurut YouTube ............................... 48
BAB IV: BATASAN KEPENTINGAN YANG SEWAJARNYA PADA
YOUTUBE.COM ............................................................................. 51
A. Makna Kepentingan yang Sewajarnya Menurut Youtube di
Indonesia ...................................................................................... 51
B. Penyelesaian Sengketa Kepentingan yang Sewajarnya ................ 57
BAB V: PENUTUP .......................................................................................... 66
A. Kesimpulan ................................................................................... 66
B. Rekomendasi ................................................................................. 67
Daftar Pustaka ................................................................................................. 68
Lampiran .......................................................................................................... 72

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses Globalisasi yang sangat pesat dengan kentalnya istilah


Millenial pada zaman sekarang membuat segala sesuatu itu berbasis
melalui teknologi, terutama di bidang internet dan program komputer.
Indonesia sebagai Negara hukum pun tidak ketinggalan dalam menangani
kemajuan zaman yang semakin modern ini dengan memperbaharui
Undang-Undangnya termasuk Undang-Undang mengenai Hak Kekayaan
Intelektual. Kebutuhan penegakan Undang-Undang HKI semakin
dibutuhkan akibat semakin berkembangnya teknologi dan semakin
mudahnya penyebaran suatu karya yang melanggar hak ekslusif dari
pemilik hak cipta yang dilindungi oleh Undang-Undang melalui satu klik
dari gawai yang sudah semakin canggih dan mudahnya mendapatkan
akses makin mempermudah seseorang melanggar Undang-Undang Hak
Cipta bahkan tanpa disadari oleh oknum tersebut.

Proses globalisasi membawa akibat tolak ukur utama hubungan antar


bangsa atau Negara tidak lagi ideologi, melainkan ekonomi yakni
keuntungan atau hasil nyata apa yang dapat diperoleh dari adanya
hubungan tersebut.1 Menurut Gatot Soepramono, seseorang yang
menciptakan sesuatu merupakan hasil karya ciptaannya pada umumnya
selain untuk digunakan sendiri, juga kemudian diperbanyak untuk dapat
dimanfaatkan kepada orang lain. Sebuah hasil karya cipta biasanya dapat
diperbanyak oleh orang lain karena orang yang menciptakan
kemampuannya terbatas, sehingga tidak mampu dikerjakan sendiri dalam
jumlah yang banyak sesuai permintaan masyarakat. Dari permintaan
tersebut maka pencipta akan mendapatkan keuntungan berlipat.

1
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2008), h. 158

1
2

Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang berasal dari karya,


karsa, dan daya cipta kemampuan intelektualitas manusia yang memiliki
manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia dan
mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari hasil karya, karsa, dan daya
cipta intelektualitas manusia tersebut dapat berupa ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan sastra. Inovasi atau hasil kreasi dari suatu pekerjaan
dengan memakai kemampuan intelektualnya adalah wajar bila penemu
ataupun pencipta memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa
materi atau bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan
diakui atas hasil karyanya. Dengan inovasi yang telah mendapat
perlindungan hukum, penemu akan mendapatkan keuntungan apabila
dimanfaatkan. Keuntungan tersebut dapat berupa pembayaran royalti dan
tehnical fee, dengan adanya imbalan ataupun pengakuan atas kreasi, karya,
karsa dan cipta manusia di dalam peraturan HKI, diharapkan mampu
membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan
atau inovasi baru yang berkelanjutan2.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014


Tentang Hak Cipta (UUHC), Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta
yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu
ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak cipta
memiliki hak eksklusif di dalamnya yaitu hak yang semata-mata
diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada orang lain yang
boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin dari pemegangnya.
Pemanfaatan hak tersebut meliputi kegiatan menerjemahkan,
mengadaptasi, mengaransemen, mengalih wujudkan, menjual,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada
publik, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan ciptaan kepada

2
Mastur, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Dibidang Paten, (Jurnal Ilmiah
Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 1 Januari 2012), h. 65
3

publik melalui sarana apapun.3 Lanjut pada penjelasan di pasal 4


dijelaskan “Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" adalah hak yang hanya
diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat
memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang
bukan pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak
ekonomi.” Di Indonesia, sumber utama hukum Hak Cipta adalah Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1987, kemudian diperbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1987, diubah kembali menjadi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1997, kemudian diubah menjadi Nomor 19 Tahun 2002,
dan yang terakhir adalah Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang
Hak Kekayaan Intelektual yang dipakai sampai saat ini.4

HKI ada karena kepedulian pemerintah sebagai cara untuk


melindungi kekayaan intelektual, seperti Hak Cipta, Paten, Merk, Rahasia
dagang, Industri, dan lain sebagainya termasuk perlindungan varietas
tanaman. Beberapa alasan mengapa HKI harus dilindungi, Pertama, Hak
yang diberikan kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni
dan sastra, ataupun inventor di bidang teknologi baru yang mengandung
langkah inventif, merupakan wujud dari pemberian suatu penghargaan dan
pengakuan atas keberhasilan manusia dalam melahirkan karya-karya
inovatifnya. Konsekuensi hukumnya maka kepada penemu dan pencipta
tersebut harus diberikan perlindungan hukum. Lisensi adalah suatu bentuk
pemberian izin untuk memanfaatkan suatu hak atas kekayaan intelektual
yang dapat diberikan oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi agar
penerima lisensi dapat melakukan suatu bentuk kegiatan usaha, baik dalam
bentuk teknologi atau pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk
memproduksi menghasilkan, menjual, atau memasarkan barang tertentu,
maupun yang akan dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa

3
Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, (Yogyakarta : PT. Pustaka Yustisia,
2010), h. 49
4
Isnaini, Yusran, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 2
4

tertentu, dengan mempergunakan hak kekayaan intelektual yang


dilisensikan tersebut. Untuk keperluan tersebut penerima lisensi
diwajibkan untuk memberikan kontra prestasi dalam bentuk pembayaran
royalti yang juga dikenal dengan license fee.5

Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 terdapat larangan


mengenai penyebaran konten karya siaran tanpa izin dengan tujuan
komersial. Undang-undang hak cipta mengkategorikan perbuatan-
perbuatan yang dianggap tidak melanggar hak cipta atau hak terkait
apabila: Pertama, penyebarluasan konten hak cipta dan/atau hak terkait
melalui media teknologi informasi dan komunikasi tidak bersifat
komersial. Kedua, dalam hal pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak
terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah
melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan LMK
(Lembaga Manajemen Kolektif). Ketiga, jika mencantumkan sumbernya.6

Namun, ternyata hak eksklusif pemilik hak cipta tidak sepenuhnya


mutlak karena adanya konsep atau doktrin Fair dealing atau fair use yang
memperbolehkan tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang oleh hukum
hak cipta diperkenankan untuk dilakukan oleh siapapun juga tanpa perlu
adanya persetujuan pencipta atau pemegang hak cipta sehingga tidak
melanggar hukum hak cipta. Pengaturan dan praktik- praktik dari konsep
fair use/fair dealing ini berbeda-beda di setiap negara, khususnya dalam
menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai kepentingan yang sewajarnya atau fair use/fair dealing.7 Putusan-
putusan pengadilan Amerika Serikat mencoba mengategorikan perbuatan-
perbuatan apa saja yang dapat disebut sebagai kepentingan yang
sewajarnya (fair use/fair dealing) dalam hukum hak cipta. Selain melalui

5
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Lisensi, ( Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada,
2001), h. 10
6
Edwita Ristyan, “perlindungan hukum hak terkait terhadap karya siaran skysports yang
dipublikasikan melalui situs internet”, (Jurnal Hukum volume 1 nomor 1 2017), h. 4
7
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Edisi Kedua, Cetakan ke-3, (Bandung: Alumni, 2005),
h. 114-115
5

putusan pengadilan, Amerika Serikat sendiri juga memiliki perundang-


undangan yang mengatur mengenai Hak Cipta, yaitu Copyright Law yang
diatur oleh Copyright Act 1976.8 Doktrin kepentingan yang sewajarnya di
Amerika Serikat sendiri diatur dalam Section 107 Copyright Act 1976

Pada Pasal 44 dan 46 Undang-Undang 28 Tahun 2014 Tentang Hak


Kekayaan Intelektual menyeebutkan ”kepentingan yang wajar” namun
makna dan batasan dari kata tersebut dijelaskan adalah kepentingan yang
didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas
suatu Ciptaan. Namun kata sewajarnya ini tidak dijabarkan secara jelas
dalam Undang-Undang tersebut, sehingga terdapat ke tidakjelasan makna
yang dapat memicu permasalahan kedepannya nanti. Dalam media online
seperti Youtube juga dijelaskan pada situs resminya mengenai kepentingan
yang sewajarnya namun batasan-batasan yang disebutkan berdasarkan
doktrin yang berlaku di Amerika, yaitu selama video yang diedarkan
memuat makna dan arti yang baru dan asli. Di Indonesia sendiri
permasalahan semacam ini sering terjadi pada Youtube, namun tidak
sampai diperkarakan melalui pengadilan. Pihak Youtube akan menjadi
pihak ketiga dalam menangani kasus ini. Merujuk kepada Pasal 46 Ayat 2
Butir e Undang-Undang Hak Cipta yang berbunyi “Penggandaan untuk
kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan
kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.”
Apabila melihat pada Pasal 46 ini, ciptaan yang dimaksud mengacu
kepada definisi ciptaan pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Hak Cipta,
yaitu hasil setiap karya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi,
kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk
nyata. Implementasi doktrin kepentingan yang sewajarnya ini di lapangan
belum terlihat secara spesifik, ditambah awamnya pengetahuan
masyarakat mengenai doktrin ini.

8
Martine Courant Rife, “The fair use doctrine: History, application, and implications for
(new media) writing teachers,” Jurnal internasional Vol.24 No.2 2007, h. 164
6

Banyaknya masyarakat modern yang ingin menjadi seorang Youtuber


demi mendapatkan uang dengan mudah menjadi peluang yang sangat
menjanjikan untuk mereka karena sudah melihat kesuksesan youtuber
papan atas seperti Atta Halilintar dan Ria Ricis yang menghasilkan ratusan
juta hingga milyaran rupiah apabila dilihat melalui socialblade.com namun
banyak yang tidak mengetahui dan belum paham bahwa menjadi seorang
Youtuber akan berurusan dengan Hak Kekayaan Intelektual dan
bagaimana cara mencegahnya dari gesekan antar pelaku dan pencipta pun
belum diketahui batasan dengan pastinya. Kasus salah satu Youtuber
bernama Samudera Hakim menjadi contoh karena menggunakan karya
milik seseorang seperti lagu atau potongan film yang menimbulkan
gesekan antara pencipta dan pelaku yang mengakibatkan kerugian di salah
satu pihak karena tidak ada aturan batasan yang jelas terhadap doktrin
kepentingan yang sewajarnya ini.

Hal yang menarik lainnya adalah doktrin kepentingan yang wajar


berasal dari tradisi common law dan diadopsi ke dalam sistem hukum
Indonesia yang merupakan civil law, berlaku untuk seluruh ciptaan
(works) sebagaimana yang dinyatakan oleh Pasal 40 Undang-Undang Hak
Cipta Nomor 28 Tahun 2014? Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat
praktik pengadilan yang ada, namun, sayangnya, sampai saat sekarang
belum ada perkara yang masuk pengadilan menggunakan doktrin
kepentingan yang wajar ini. Oleh karena itu dengan latar belakang ini
peneliti ingin melihat bagaimana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
mengakomodir tentang batasan doktrin kepentingan yang sewajarnya
dalam media internet terutama dalam kasus kali ini yaitu media streaming
online Youtube yang dimiliki oleh perusahaan Google.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Peneliti mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
7

a. Aturan Hukum di Indonesia mengenai batasan doktrin kepentingan


yang sewajarnya pada media streaming online.
b. Pandangan Youtube terhadap doktrin kepentingan yang sewajarnya
di Indonesia.
c. Perbedaan doktrin kepentingan sewajarnya di Amerika dan
Indonesia.
d. Permasalahan kepentingan yang sewajarnya ini sudah sering terjadi
dan bagaimana Youtube menanggapinya.
e. Hukum di Indonesia mengenai permasalahan kepentingan yang
sewajarnya di Youtube.
2. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan luasnya pembahasan dari penelitian yang


terkait dengan topik pembahasan, maka diperlukan adanya pembatasan
masalah agar penelitian dapat dilakukan secara mendalam, fokus,
tuntas dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Oleh karena itu,
penelitian ini lebih memfokuskan kepada analisis mengenai
implementasi doktrin kepentingan yang sewajarnya dalam media
streaming online Youtube.

3. Perumusan Masalah

Dari apa yang sudah dijelaskan dan dipaparkan oleh peneliti, jelas
bahwa semakin majunya zaman maka semakin mudahnya seseorang
dalam membajak karya orang lain dan di YouTube sendiri belum
memiliki batasan terhadap makna ‘’sewajarnya’’ pada doktrin
kepentingan yang sewajarnya yang kerap terjadi di Youtube. Masalah
utama yang jadi fokus pembahasan adalah batasan kepentingan yang
sewajarnya di Youtube.com. Dari apa yang sudah diuraikan mengenai
masalah utama yang ingin diteliti, Peneliti menyusun rincian
permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
8

a. Apa batasan minimal yang Google Indonesia terapkan dalam


menentukan kepentingan yang sewajarnya pada Youtube
Indonesia?
b. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa terkait Hak Cipta
pada Youtube Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Penelitan ini bertujuan untuk meneliti permasalahan tentang batasan
kepentingan yang sewajarnya dalam media streaming Youtube. Secara
khusus tujuan penelitian ini juga bertujuan untuk menjawab pertanyaan
penelitian mengenai:
1. Untuk mengetahui dan memahami batasan doktrin kepentingan
yang sewajarnya yang dianut oleh YouTube Indonesia
2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa hak cipta
dengan pembelaan kepentingan yang sewajarnya dalam media
Youtube.
2. Penelitian ini bermanfaat untuk:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi
merintis pemikiran dalam segi keilmuan yang berkaitan dengan
Ilmu Hukum. Memperkaya referensi bahan kajian Ilmu Hukum
Bisnis pada khususnya.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti,
selain itu penelitian ini bermanfaat sebagai wadah dalam
mengembangkan pola pikir peneliti serta mengetahui
kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
3. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih
gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
9

Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif.


Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
penelitian yang menghasilkan data dekriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam
penelitian kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi
suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti
hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif dan
tipe penelitian hukum empiris. Adapun pengertian penelitian hukum
normatif dan penelitian empiris adalah mengkaji pelaksanaan atau
implementasi ketentuan hukum positif (perUndang–Undangan) dan
kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang
terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.9

Peneliti menggunakan beberapa pendekatan masalah. Dengan


pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk mencari
jawabannya10.

a. Pendekatan perundang-undangan

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

3) Copyright Law of the United States tahun 1976

4) KUH Perdata

5) WIPO Copyright Treaty

b. Studi kasus

9
Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 53
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), h. 93
10

Dalam proposal ini menggunakan kasus klaim hak cipta


content creator Youtube terhadap oknum yang menyebarkan
konten pemilik asli tanpa izin namun masih dalam kepentingan
yang sewajarnya.

c. Pendekatan konseptual

Pada penelitian ini peneliti menemukan beberapa definisi-


definisi berdasarkan Undang-Undang dan pendapat para ahli
berkaitan dengan judul skripsi ini.

3. Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan untuk menunjang keakuratan
penelitian hukum ini adalah data hukum sekunder yang mencakuo
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. dan bahan hukum
tersier. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara
studi kepustakaan, hal itu dilakukan untuk mendapatkan landasan
teoritis berupa pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para ahli atau
pihak yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik
dalam bentuk ketentuan formal maupun data-data dalam naskah resmi
yang ada. Selanjutnya peneliti akan melakukan kunjungan dan
wawancara terhadap pihak Youtube demi mendapatkan kejelasan
mengenai batasan kepentingan yang sewajarnya pada Youtube
Indonesia.

4. Sumber Penelitian

Yang dimaksud dengan sumber penelitian adalah subjek dari mana


data dapat diperoleh. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
penelitian sumber data sekunder, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer


11

Bahan hukum primer yaitu berbagai dokumen yang tertulis,


sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian skripsi
ini adalah:
1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

2) Copyright Law of the United States

3) Youtube Copyright Agreement

4) WTO

5) WIPO Copyright Treaty

b. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat
kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis, serta memahami bahan hukum primer. Bahan
hukum sekunder ini diperoleh melalui buku, majalah, surat
kabar, internet, hasil-hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil
penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan
informasi tentang bahan hukm primer dan bahan hukum
sekunder,11 misalnya: kamus hukum, kamus bahasa inggris-
indonesia supaya melancarkan pemahaman isi konvensi
tersebut.
Untuk menentukan keabsahan (truthworthiness) data
diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan
digunakan untuk mengetahui kualitas penelitian dan hal ini
didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria
yang digunakan untuk uji keabsahan, yaitu credibility,
transferability, dependability, dan confirmability.

11
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2007), h. 52
12

5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Alat-alat pengumpulan data, pada umumnya dikenal tiga jenis alat


pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka,
pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview.
Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan untuk memperoleh data,
maka alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara
dan studi dokumen.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunkan metode pengumpulan


data melalui studi dokumen dan melakukan wawancara yaitu dengan
pihak Youtube.com dan pemilik Hak Cipta atas video dan melakukan
penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang
berkaitan dengan kepentingan yang sewajarnya, pendapat ahli, artikel,
kamus, dan juga berita yang peneliti peroleh dari internet. Serta
peneliti akan melakukan wawancara dengan pihak Youtube sebagai
penyedia jasa streaming.

6. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh


peneliti. Jadi, subjek penelitian itu merupakan sumber yang digali
untuk mengungkap fakta-fakta di lapangan. Penentuan subjek
penelitian dalam penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian
kuantitatif.

Subjek penelitian menurut Arikunto, sesuatu yang sangat penting


kedudukannya di dalam penelitian, subjek penelitian harus ditata
sebelum peneliti siap untuk mengumpulkan data. Subjek penelitian
dapat berupa benda, hal atau orang. Dengan demikian subjek
penelitian pada umumnya manusia atau apa saja yang menjadi urusan
manusia. Penentuan subjek dalam penelitian ini digunakan untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan secara jelas dan mendalam.
Subjek peneliti disini adalah karyawan Youtube.com
13

7. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti


untuk mendapatkan serta mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk
mejawab masalah penelitian. Dalam penelitian kualitatif data yang
didapatkan haruslah jelas, mendalam, dan spesifik. Pengolahan data
merupakan suatu teknik dalam penelitian kualitatif yang dilakukan
setelah data lapangan terkumpul. Pengolahan data dapat dilakukan
dengan cara: (a) persiapan, (b) penyeleksian. Persiapan dilakukan
dengan menyiapkan seluruh data lapangan, baik yang berupa rekaman,
catatan lapangan, maupun foto. Data yang berupa rekaman suara
ditranskrip atau disalin dalam bentuk tulisan, sedangkan data yang
berupa foto dideskripsikan sesuai gambar. Setelah semua terkumpul,
peneliti memulai menyeleksi data sesuai dengan objek penelitian.

8. Metode Analisis Data

Analisis data kualitatif yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan


bekerjanya data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskanya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat di tuliskan dalam
penelitian.12
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara
deskriptif analitis yang bertujuan untuk memberikan gambaran dan
memaparkan objek penelitian berdasarkan kenyataan secara
sistematis.13 Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan
tinjauan terhadap batasan kepentingan yang sewajarnya pada Youtube

12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2008), h. 248
13
Roni Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1998), h. 97
14

berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan


berdasarkan konvensi internasional yang diratifikasi oleh Indonesia.

9. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam


skripsi ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”

E. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian skripsi ini disusun dan dibagi kedalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab agar lebih konkret dalam
pembahasannya. Adapun urutan dan pokok pembahasan masing-masing
bab, sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang,


pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.

BAB II : Merupakan kajian yang berisi kerangka teori dan kerangka


konseptual mengenai Hak kekayaan intelektual, Hak cipta,
doktrin kepentingan yang sewajarnya Indonesia dan Amerika
serikat, pengertian kepentingan yang sewajarnya, dan
perkembangan kepentingan yang sewajarnya di Indonesia
dan Amerika Serikat menurut Hukum yang berlaku di dua
Negara tersebut.

BAB III : Pada bab ini peneliti akan melakukan kajian terkait
kepentingan yang sewajarnya di Indonesia menurut Undang-
Undang Hak Cipta, Konvensi Internasional, dan menurut
Youtube.com.
15

BAB IV: Peneliti akan melakukan analisis untuk menjawab pertanyaan


penelitian dan masalah yang terdapat di dalam rumusan
masalah, serta menganalisa terkait masalah hukum yang
terjadi.

BAB V : Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan yang


dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan
perumusan masalah yang telah ditetapkan dan rekomendasi
yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan
pengulasannya dalam skripsi.
BAB II
KEPENTINGAN YANG SEWAJARNYA

A. Kerangka konseptual
1. Hak kekayaan intelektual

Menurut definisi dari Djumhanna dan Djubaedillah, HKI


merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif kemampuan
daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam
berbagai bentuk, yang bermanfaat dalam menunjang kehidupan
manusia karena memiliki nilai ekonomis. Bentuk nyata dari
kemampuan tersebut misalnya dalam bidang teknologi, ilmu
pengetahuan, seni dan sastra.1

Pendapat ahli lain yang bernama Budi Agus Riswandi dan M.


Syamsyudin menyatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual adalah Hak
atas kekayaan yang timbul dan lahir karena kemampuan intelektualitas
manusia sebagai pencipta.2

2. Pengertian Hak cipta serta fungsinya


Hak cipta yang merupakan cabang ilmu hak kekayaan intelektual
memiliki makna yang lebih luas serta cakupan yang lebih luas.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 soal hak cipta maka
pengertian hak cipta adalah adalah hak eksklusif pencipta yang timbul
secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan
diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prinsip dalam membedakan perlindungan Hak Cipta dengan
perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual lainnya adalah bahwa hak

1
Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah,Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h.20-21
2
Budi Agus Riswandi, M. Syamsudin, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 31

16
17

cipta melindungi karya sastra (literary works) dan kaya seni (artistic
work) dengan segala bentuk perkembangannya di dunia ini.3 Pemilik
hak cipta akan dilindungi hak-haknya oleh Undang-Undang dan
Negara serta dapat memonopoli ciptaannya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi atas ciptaannya selama tidak melanggar peraturan
yang berlaku di Negara Indonesia.
Pendapat ahli bernama Volmar pun berpendapat bahwa
penggunaan wewenang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang- undang sudah pasti tidak memperoleh
perlindungan hukum.4 Seperti yang jelas diuraikan pada pasal 1 butir 1
Undang-Undang hak cipta bahwa hak cipta merupakan hak ekslusif
sang pencipta dan tidak dapat digunakan oleh orang lain kecuali
seizing pemilik hak cipta tersebut. Hak cipta itu otomatis timbul
dimulai dari ciptaan tersebut lahir.5
Pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
dijelaskan bahwa ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi,
kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian
yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Jadi dapat dtarik kesimpulan
bahwa sesuatu dianggap ciptaan bila bersifat otentik dan memiliki
unsur intelektual didalamnya serta memiliki perbedaan dan keunikan
tersendiri dan yang pasti adalah ciptaan itu milik pribadi sendiri. Jika
merujuk dari Undang-Undang hak cipta Amerika serikat tahun 1976
maka tidak diatur dengan jelas bagaimana pengertian ciptaan itu
sendiri, namun perlindungan atas hak cipta memiliki unsur-unsur
ciptaan yang meliputi:

3
Suyud Margono, Hukum Hak Cipta Indonesia, Teori dan Analisis Harmonisasi Ketentuan
World Trade Organization/WTO-TRIPs Agreement, (Bogor: Graha Indonesia, 2010), h. 21
4
Vollmar, HFA, terjemahan I.S. Adiwimarta, Pengantar Studi Hukum Perdata, (I),
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 9
5
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 63
18

a. Ciptaan haruslah orisinal, dalam pengertian bahwa ciptaan


tersebut bukanlah salinan dari sumber atau ciptaan lain
yang menjiplak ciptaan orang lain.
b. harus merupakan suatu ekspresi nyata, bukan hanya sebuah
"ide"
c. harus difiksasi ke dalam media ekspresi yang nyata.6

3. Pengertian Doktrin Kepentingan yang sewajarnya / fair use


Kata "doktrin" pertama-tama mengacu pada penulisan hukum
profesional dalam dogmatika hukum, yang tugasnya adalah
mensistematiskan dan menafsirkan hukum yang valid. Berdasarkan
pengertian tersebut, doktrin adalah ajaran para akhli (hukum) tetapi
bukan karya akademik non hukum meskipun mungkin dilakukan oleh
hakim, tetapi statusnya bukan doktrin yang merupakan sumber hukum
(legal materials atau authorities), tetapi bahan-bahan non Hukum.
Definisi kepentingan yang wajar tidaklah dijelaskan dalam Undang-
Undang Hak Cipta namun menurut Eddy Damian dengan adanya
pengaturan hukum kepentingan yang sewajarnya (fair use/fair dealing),
Hukum Hak Cipta memperkenankan seseorang (pihak ketiga)
menggunakan atau mengeksploitasi suatu ciptaan tanpa perlu izin dari
Pencipta selama masih dalam batas-batas yang diperkenankan atau
kepentingan yang sewajarnya. Namun beda lagi menurut ahli bernama
Paul Goldstein, beliau berpendapat bahwa defini fair use didefinisikan
"a privilege in others than the owner of a copyright to use the
copyrighted material in a reasonable manner without his consent,
notwithstanding the monopoly granted to the owner by the copyright."
Berdasarkan definisi tersebut, fair use adalah doktrin atau prinsip
yang memperbolehkan pihak lain untuk menggunakan kreasi hak cipta
tertentu untuk kepentingan atau tujuan yang spesifik. Sebagai contoh,

6
Paul Goldstein, Copyright, Volume I, (Canada: Little, Brown , & Company,1989), h. 61
19

membuat konteks dengan menggunakan bagian dari buku tanpa


mencari otorisasi dari pemegang hak cipta. Namun apabila pemilik
hak cipta merasa keberatan dengan penggunaan ciptaannya oleh pihak
lain tanpa seizin pihak pertama sebagai pemegang hak cipta, maka
pihak yang digugat dapat menggunakan tindakan preventif dengan
menyatakan bahwa hal tersebut masuk ke dalam fair use.
Di Negara civil law seperti belanda tidak mengenal adanya konsep
fair use atau fair dealing, akan tetapi di Negara belanda terdapat aturan
pembatasan lain yang disebut dengan De beperkingen van het
auteursrecht atau pembatasan hak cipta.
Di Negara persemakmuran lainnya, istilah fair use diubah menjadi
fair dealing, dimana sebuah pengecualian terbatas pada ekslusivitas
kekayaan intelektual yang memungkinkan untuk mereproduksi atau
studi pribadi terhadap material yang dilindungi, serta dengan
pengakuan yang tepat atau wajar. Beberapa hal yang memungkinkan
untuk dilakukan fair dealing adalah reproduksi atas sastra, drama,
musik atau karya seni untuk tujuan penelitian atau tujuan non
komersial dimana tidak melanggar hak cipta yang telah diakui.7

4. Perbedaan Plagiarisme dan Doktrin Kepentingan Yang


Sewajarnya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Plagiat adalah adalah
penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari
orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri
tanpa menyebutkan atau mencantumkan sumber aslinya kecuali sudah
termasuk dalam domain publik atau milik Negara maka tidak apa-apa.
Plagiat juga mempunyai arti sebagai perbuatan secara sengaja atau
tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit
atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau
7
Budi Agus Riswandi, “Pembatasan dan Pengecualian Hak Cipta di Era Digital”,
(Yogyakarta: PT. Citra adiya Bakti, 2017), h. 4
20

seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai
karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.
Menurut Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, Plagiator
dapat terjerat pidana apabila pencipta asli melaporkannya karena
merupakan delik aduan menurut pasal 120 Undang-Undang Hak Cipta
yang memenuhi syarat seperti merugikan hak ekonomi dari pencipta
dengan pidana paling lama 4 (empat) Tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000.00,- (Satu Milyar Rupiah). Namun
sejauh ini belum ada kasus plagiarisme yang masuk dalam tuntutan
pengadilan.
Apabila dibandingkan dengan doktrin kepentingan yang
sewajarnya, maka plagiarisme sangat berbeda. Doktrin kepentingan
yang sewajarnya ini membolehkan seseorang menggunakan sebagian
karya milik orang lain dengan syarat mencantumkan sumber asli serta
tidak melanggar hak menikmati ekonomi dari pencipta asli dan sudah
mendapat persetujuan dari pencipta yang asli sebagaimana telah diatur
dalam pasal 43 sampai 49 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta. Namun, apabila pencantuman sumber merupakan
bagian substansial yang merupakan ciri khas dari pencipta asli, maka
ada kemungkinan akan terancam pelanggaran hak cipta apabila
pencipta asli merasa kepentingannya dirugikan.

5. Perkembangan kepentingan yang sewajarnya / fair use


Doktrin fair use atau fair dealing adalah akses publik yang
dikembangkan dalam rezim common law system. Objek perlindungan
difokuskan pada ciptaan.8 Hasil kreasi karya cipta manusia selalu
berkembang dengan bentuk-bentuk baru, sebagai contoh adalah
eksistensi internet yang kemudian mampu melahirkan blog, website
dan sebagainya. Sama halnya dengan hasil kreasi karya cipta manusia

8
Henry Soelistyo, “Plagiarisme: pelanggaran hak cipta dan etika”, (Yogyakarta: PT.
Kanisius, 2011), h.98
21

yang selalu berkembang, penerapan doktrin fair use juga ikut


berkembang mengikuti hasil kreasi karya cipta manusia itu sendiri,
sebagai contoh pada kehidupan sehari hari sebagai masyarakat yang
menyebarkan video milik orang lain ke jejaring sosial media masi
dikatakan sebagai kepentingan yang sewajarnya apabila yang
menyebarkan video tersebut tidak mengambil keuntungan.
Kasus lainnya seperti mahasiswa yang memfotokopi hasil karya
buku milik seseorang demi kepentingan pendidikan sebagaimana pada
pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta yang menyebutkan
diperbolehkan selama sumbernya tertulis dan tidak merugikan
kepentingan sewajarnya pemilik hak cipta. Namun secara umumnya
doktrin kepentingan yang sewajarnya ini digunakan oleh
mahasiswa/peneliti atau bahkan pihak-pihak yang ingin menciptakan
hasil kreasi yang baru.9 Kualifikasi tidak dianggap sebagai
pelanggaranjuga diterapkan pada tindakan pengambilan ciptaan pihak
lain, baik seluruhnya maupun sebagian guna pembelaan di dalam
maupun di luar pengadilan. Demikian pula untuk keperluan ceramah
yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, dan
pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran. Selain itu,
perbanyakan dalam huruf braile untuk para tuna netra, kecuali yang
bersifat komersial.10

6. Kepentingan yang Sewajarnya di Amerika dan Indonesia

Kepentingan yang sewajarnya di Amerika diatur dalam Undang-


Undang Hak Cipta tahun 1976 pada section 107 yang berbunyi
“"Notwithstanding the provisions of sections 106 and 106A, the fair
use of a copyrighted work, including such use by reproduction in

9
Robert Kasunic, “Fair use and the educator’s rights to photocopy copyrighted material
from classroom use”, The Journal of College and University Law, Vo. 19 No. 3 1993
10
Henry Soelistyo, “Plagiarisme: pelanggaran hak cipta dan etika”, (Yogyakarta: PT.
Kanisius, 2011), h.98
22

copies or phonorecords or by any other means specified by that


section, for purposes such as criticism, comment, news reporting,
teaching (including multiple copies for classroom use),

scholarship, or research, is not an infringement of copyright: 1)


the purpose and character of the use, including whether such use is of
a commercial nature or is for nonprofit educational purposes; (2) the
nature of the copyrighted work; (3) the amount and substantiality of
the portion used in relation to the copyrighted work as a whole;

and (4) the effect of the use upon the potential market for or value
of the copyrighted work." (Tanpa mengesampingkan ketentuan dalam
bagian 106 dan 106A, kepentingan yang sewajarnya dari suatu ciptaan,
termasuk penggunaan dengan reproduksi dalam salinan atau media
rekaman suara atau alat lain yang dispesifikasi oleh bagian tersebut,
untuk tujuan seperti kritik, komentar, laporan berita, pengajaran
(termasuk beberapa salinan untuk penggunaan dalam kelas), keilmuan,
atau penelitian, bukanlah suatu pelanggaran dari hak cipta

1. Tujuan dan karakter dari suatu penggunaan, termasuk


apakah penggunaan tersebut bersifat komersial atau untuk
tujuan pendidikan yang nirlaba;

2. Sifat dari suatu ciptaan;

3. Jumlah dan kekukuhan dari bagian yang digunakan dalam


kaitannya dengan ciptaan secara keseluruhan;

4. Efek dari penggunaan terhadap pasar potensial bagi suatu


ciptaan atau nilai dari suatu ciptaan");

Dalam menentukan suatu kepentingan yang sewajarnya, hakim


pengadilan Amerika Serikat akan mengelaborasi fakta dengan empat
faktor di atas. Faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan secara
23

keseluruhan dalam suatu perkara. Berdasarkan praktik pengadilan


Amerika Serikat, faktor keempat adalah faktor terpenting.11

Indonesia mengatur tentang hal-hal yang tidak melanggar aturan


hak cipta dan tertera pada pasal 44 yang berbunyi:

(1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau


pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan
atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta;
b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan,
legislatif, dan peradilan;
c. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan
ilmu pengetahuan; atau
d. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut
bayaran dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pencipta.
(2) Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna
netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan
dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku
audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai
pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau
dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
(3) Dalam hal Ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dianggap
11
Roger E. Schechter and John R. Thomas, Intellectual Property: The Law of Copyrights,
Patents, and Trademarks, (St. Paul: West Group, 2003), h. 227
24

sebagai pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan berdasarkan


pertimbangan pelaksanaan teknis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi akses terhadap
Ciptaan bagi penyandang tuna netra, penyandang kerusakan
penglihatan dan keterbatasan dalam membaca dan
menggunakan huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dari paparan tersebut maka jelas bahwa selama tidak melanggar 4
poin di atas tidak akan disebut sebagai pelanggaran hak cipta
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang no 28 tahun 2014.

B. Kerangka Teoritis

1. Teori Tujuan Hukum


Teori tujuan hukum menurut Gustav Radburch, terdiri dari
Keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Menurutnya keadilan haruslah
ditempatkan pada posisi pertama dan utama daripada kemanfaatan dan
kepastian. Secara historis, pada awalanya Gustav Radburch tidak
menempatkan keadilan pada posisi pertama, namun menempatkan
pada posisi 2 setelah kepastian. Namun, ia melihat kenyataan bahwa
dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi
menyalahgunakan hukum tersebut dengan melegalisasi praktek-
praktek yang tidak berperikemanusiaan pada perang dunia kedua.
Melihat keadaan tersebut, Radburch pun akhirnya meralat teorinya
tersebut dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum
yang lain. Bahwa sejatinya hukum dibuat untuk menciptakan suatu
ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan mengenai
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang,
sehingga setiap orang memperoleh keadilan. Bahkan dapat dikatakan
bahwa seluruh sejarah filsafat hukum memberikan tempat yang
25

istimewa kepada keadilan sebagai tujuan hukum. Keadilan dan


Kepastian merupakan dua nilai yang diterapkan di dalam hukum.
Menurut Gustav Radburch, hukum harus mengandung tiga nilai
identitas yang melekat di dalam hukum itu sendiri, yakni adanya
keadilan hukum (gerechtigheit) yang ditinjau melalui sudut filosofis
hukum itu sendiri. Adanya kemanfaatan hukum (zwechmatigheid)
yang dintinjau melalui sudut sosiologis. Dan yang terakhir yakni
adanya kepastian hukum (rechtmatigheid) yang ditinjau melalui sudut
yuridis. Radburch mengatakan bahwa ketiga nilai dasar dalam tujuan
hukum tersebut tidak selalu berada dalam kesatuan yang harmonis satu
sama lain. Pada faktanya keadilan bisa bertabrakan dengan
kemanfaatan dan kepastian hukum. Selain itu, tuntutan kemanfaatan
bisa juga bertabrakan dengan keadilan dan kepastian hukum dan
seterusnya.
Pada dasarnya, hukum memiliki posisi strategis dan dominan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum
dapat berperan baik di masyarakat, jika sistem dan instrumen
pelaksanaannya dilengkapi dengan jelas kewenangan-kewenangan
dalam melakukan penegakan hukum. Gustav Radbruch mengatakan
bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat unsur
keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Artinya, meskipun ketiga
unsur tersebut merupakan nilai dasar hukum, namun pada dasarnya
masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lain,
sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan
menyebabkan adanya ketegangan dan menyebabkan adanya
ketegangan antara ketiga nilai tersebut. Karenanya, nilai keadilan juga
menjadi dasar dari hukum sebagai suatu kesatuan hukum itu sendiri.
Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus
konstitutif bagi hukum. Dalam hal ini, keadilan menjadi landasan
moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif.
Karenanya, kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan
26

konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum.


Artinya, ketika di dalam hukum tidak terdapat suatu keadilan, itu
merupakan suatu aturan yang tidak layak menjadi hukum.12

a. Teori Keadilan Hukum


Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti
tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang
benar, sepatutnya, tidak sewenangwenang.dapat disimpulkan
bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan
dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia,
keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan
sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya,
memperlakukan dengan tidak pandang bulu atau pilih kasih
melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak
dan kewajibannya. semua orang diperlakukan sama sesuai
dengan hak dan kewajibannya.13
Keadilan menurut Aristoteles diuraikan secara mendasar
dalam Buku ke-5 buku Nicomachean Ethics.14 Untuk
mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas
tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah
tersebut, (2) apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim
apakah keadilan itu terletak.
Keadilan dalam arti umum sering diartikan sebagai suatu
sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang
melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah
keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang

12
Setiyono, Terciptanya Rasa Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan dalam Kehidupan
Masyarakat, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XIV, Nomor 2 , November 2016, h. 1574
13
Manullang E.fernando M, menggapai hukum berkeadilan, (Jakarta: buku kompas,
2007), h.57
14
Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/
pag/Aristoteles-nicomachaen.html. (Diakses pada 6 mei 2019)
27

bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.


Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan
terhadap obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa berlaku
dua dalil, yaitu;
i. Jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi
buruk juga diketahui;
ii. kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada
dalam kondisi “baik”.15
Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah
orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan
orang yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah
orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair.
Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka
semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan
aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah
untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka,
semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.16

b. Teori Kepastian Hukum


Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara
hakiki harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan
pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif bukan
sosiologi. Kepastian Hukum secara Normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur
secara pasti dan Logis.17

15
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009), h. 115-116
16
Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/
pag/Aristoteles-nicomachaen.html. (Diakses pada 6 mei 2019)
17
Cst Kansil, Kamus istilah Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2009), h. 385
28

Kepastian Hukum sebagai salah satu tujuan hukum dan dapat


dikatakan upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari
kepastian hukum adalah pelaksanaan dan penegakan hukum
terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.
Adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakan apa
yang akan terjadi jika melakukan tindakan hukum itu, kepastian
sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan. Kepastian salah
satu ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk
norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat di gunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang.18
Jelas dalam artian tidak menimbulkan keraguan (multi-tafsir)
dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma
lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik Norma.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang
jelas, tepat, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaan nya tidak
dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah
dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang
tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang
dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Kepastian
hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum
terutama untuk norma hukum tertulis.19 Teori kepastian menurut
ahli hukum :
1) Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua
segi, pertama mengenai soal dapat dibentuknya
(bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal yang konkret.
Artinya pihak-pihak yang mencari Keadilan ingin

18
Cst Kansil, Kamus Istilah Hukum…. h. 270
19
Memahami Kepastian dalam Hukum (http//ngobrolinhukum.wordpress.com diakses
pada tanggal 06-05-2019 pukul : 17:00 WIB)
29

mengetahui hukum dalam hal yang khusus sebelum


memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti
keamanan hukum. Artinya perlindungan bagi para pihak
terhadap kesewenangan Hakim. Dalam paradigma
positivisme defenisi hukum harus melarang seluruh aturan
yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari
otoritas yang berdaulat, kepastian hukum harus selalu
dijunjung tinggi apapun akibatnya dan tidak ada alasan
untuk tidak menjunjung hal tersebut karena dalam
paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum.20
2) Menurut Jan Michiel otto, kepastian hukum yang
sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Namun
Otto memberikan batasan kepastian hukum yang lebih jauh
yang mendefenisikan kepastian hukum sebagai
kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu yaitu :
i. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih),
konsisten dan mudah diperoleh (accessible);
ii. Instansi-instansi penguasa (pemerintahan)
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara
konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
iii. Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku
mereka terhadap aturanaturan tersebut;
iv. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak
berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut
secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum dan, Keputusan peradilan secara
konkret dilaksanakan.21

20
L.j Van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, (Bandung: PT.REVIKA Aditama, 2006), h. 82
21
L.j Van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir…. h. 84
30

Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukum yang


diberikan tugas untuk itu harus menjamin “kepastian hukum” demi
tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam
kehidupan masyarakat dan akan saling berbuat sesuka hati serta
bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan
kehidupan berada dalam suasana “social disorganization atau
kekacauan sosial”.22

c. Teori Kemanfaatan Hukum


Aliran Utilitarianisme mempunyai pandangan bahwa tujuan
hukum adalah memberikan kemanfaatan kepada sebanyak-
banyaknya orang. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai
kebahagiaan (happines), sehingga penilaian terhadap baik-buruk
atau adil-tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum
itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Dengan
demikian berarti bahwa setiap penyusunan produk hukum
(peraturan perundang-undangan) seharusnya senantiasa
memperhatikan tujuan hukum yaitu untuk memberikan
kebahagiaan sebanyakbanyaknya bagi masyarakat. Menurut para
ahli Hukum :
1) Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham membangun sebuah teori hukum
komprehensif di atas landasan yang sudah diletakkan,
tentang asas manfaat. Bentham merupakan tokoh radikal
dan pejuang yang gigih untuk hukum yang
dikodifikasikan, dan untuk merombak hukum yang
baginya merupakan sesuatu yang kacau.

22
L.j Van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir…. h. 85
31

Ia merupakan pencetus sekaligus pemimpin aliran


kemanfaatan. Menurutnya hakikat kebahagiaan adalah
kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan.
Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The
Greatest Happines for the greatest number”Dengan kata-
kata Bentham sendiri, inti filsafat disimpulkan sebagai
berikut :
Alam telah menempatkan manusia di bawah
kekuasaan, kesenangan dan kesusahan. Karena
kesenangan dan kesusahan itu kita mempunyai
gagasangagasan, semua pendapat dan semua ketentuan
dalam hidup kita dipengaruhinya. Siapa yang berniat
untuk membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak
mengetahui apa yang ia katakan. Tujuannya hanya
untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan
perasaan-perasaan yang selalu ada dan tak tertahankan
ini seharusnya menjadi pokok studi para moralis dan
pembuat undang-undang. Prinsip kegunaan
menempatkan tiap sesuatu di bawah kekuasaan dua hal
ini.23
2) John Stuar Mill (1806-1873)
Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah John
Stuar Mill. Sejalan dengan pemikiran Bentham, Mill
memiliki pendapat bahwa suatu perbuatan hendaknya
bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagian.
Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia
untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita,
baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang
mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan

23
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=20&cad=rja&u
act= 8&ve (diakses pada tanggal 06-05-2019 pada pukul : 18 : 00 wib )
32

mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi


kesejahteraan umat manusia.Mill setuju dengan Bentham
bahwa suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada
pencapaian kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah
salah apabila menghasilkan sesuatu yang merupakan
kebalikan dari kebahagiaan. Lebih lanjut, Mill menyatakan
bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada
kegunaannya, akan tetapi bahwa asal-usul kesadaran akan
keadilan itu tidak diketemukan pada kegunaan, melainkan
pada dua hal yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri
dan perasaan simpati. Menurut Mill keadilan bersumber
pada naluri manusia untuk menolak dan membalas
kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh
siapa saja yang mendapat simpati dari kita. Perasaan
keadilan akan memberontak terhadap kerusakan,
penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual,
melainkan lebih luas dari itu sampai kepada orang lain
yang kita samakan dengan diri kita sendiri, sehingga
hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang
sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.24
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi milik Adella Farah Fadhilah25
Pada skripsi ini memang ada persamaan mengenai Hak Kekayaan
Intelektual, namun tidak membahas soal kepentingan yang sewajarnya
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014. Skripsi
yang fokus pada hak cipta ini berlandaskan hukum Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2014 soal Hak cipta. Oleh karena itu terdapat
perbedaan yang signifikan antara skripsi saya yang membahas

24
Amiruddin & Zainuddin, Pengantar Metode penelitian hukum, (Jakarta: Raja grafindo
persada, 2004), h. 24
25
Adella Farah Fadhilah, Skripsi: “Penegakan Hukum Atas Pelanggaran Hak Cipta
Terhadap Vcd/Dvd Bajakan”, (Jakarta: UIN Jakarta, 2018)
33

persoalan HKI khususnya di kerancuan bahasa “kepentingan yang


sewajarnya” yang bisa dianggap sebagai pembajakan.
2. Skripsi Milik Riviantha Putra26
Pada skripsi ini peneliti membahas soal perlindungan Undang-Undang
Hak Cipta kepada pemiliik Hak Cipta dengan menganalisa putusan
mahkamah agung untuk memperkuat data penelitiannya, memang
terdapat persamaan dalam skripsi ini mengenai perlindungan hukum
atas pencipta, namun pada skripsi ini tidak membahas kepentingan
sewajarnya dari pemilik Hak Cipta yang membedakan antara
penelitian ini dengan milik saya. Peneliti membahas soal perlindungan
untuk lagu di Internet namun hanya sebatas perlindungannya saja.
3. Skripsi Milik Kurnialif Triono27
Pada skripsi ini peneliti memfokuskan penelitiannya dengan
bagaimana pengaturan Hukum Indonesia mengenai Lisensi dan
perlindungan bagi pemilik lisensi. Dalam skripsi ini tidak dibahas
sama sekali mengenai kepentingan sewajarnya walaupun memiliki
persamaan yang membahas Hak Kekayaaan Intelektual.
4. Buku milik Tomi Suryo Utomo28
Di dalam buku ini tidak menjelaskan secara khusus makna kata
sewajarnya dari doktrin kepentingan yang ingin saya cari terutama
dalam media streaming Youtube.com sehingga berbeda dengan apa
yang ingin peneliti temukan dan cari pada pokok penelitian mengenai
batasan kepentingan yang sewajarnya.
5. Jurnal milik Retno Sari Widawati29

26
Riviantha Putra, Skripsi: “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Lagu dan Musik di
Media Internet ”, (Jakarta: UIN Jakarta, 2014)
27
Kurnialif Triono, Skripsi: “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Cipta Terhadap
Pemberian Lisensi Karya Cipta Lagu“, (Jakarta: UIN Jakarta, 2015)
28
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010)
29
Retno Sari Widowati, Penerapan Prinsip Fair Use Dalam Hak Cipta Terkait Dengan
Kebijakan Perbanyakan Buku Di Perpustakaan Perguruan Tinggi (Studi Perbandingan Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta Di Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Dan Australia),
Jurnal Ilmiah Universitas Brawijaya, Volume I, Nomor I , Agustus 2015
34

Pada jurnal ini membahas soal bagaimana doktrin fair use mengatur
dalam undang-undang di Indonesia dan Australia namun dalam jurnal
ini tidak disebutkan bagaimana batasan dalam doktrin tersebut, serta
bagaimana sebuah doktrin kepentingan yang sewajarnya ini memberi
batasan bagi subjek yang ingin menggunakan karya tersebut dengan
mengutip sebagian lalu digunakan untuk kepentingan komersial.
BAB III
KEPENTINGAN SEWAJARNYA MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN, KONVENSI INTERNASIONAL, DAN
YOUTUBE DI INDONESIA

A. Kepentingan Sewajarnya di Indonesia


Sejak Tahun 1886, di kalangan negara-negara di kawasan barat Eropa
telah diberlakukan Konvensi Berne, yang ditujukan bagi perlindungan
ciptaan-ciptaan di bidang sastra dan seni. Kecenderungan negara-negara Eropa
Barat untuk menjadi peserta pada Konvensi ini, hal ini yang mendorong
kerajaan Belanda untuk memperbaharui undang-undang hak ciptanya yang
sudah berlaku sejak 1881 dengan suatu undang-undang hak cipta baru pada
tanggal 1 November Tahun 1912, yang dikenal dengan Auteurswet 1912.
Tidak lama setelah pemberlakuan undang-undang ini, kerajaan Belanda
mengikatkan diri pada Konvensi Bern 1886.1
Konvensi internasional pertama yang mengatur mengenai hak cipta dan
fair use adalah Konvensi Berne karena itu sebelum konvensi tersebut, tiap-tiap
negara menggunakan hukum nasionalnya masing-masing. Konsekuensinya,
sebagai contoh: suatu karya cipta yang dipublikasikan di Inggris oleh British
national akan dilindungi oleh hak cipta di sana, tetapi dapat disalin dan dijual
oleh orang lain di Perancis, seperti juga, suatu karya cipta yang di Perancis
oleh French national di lindungi oleh hak cipta Perancis, tetapi dapat disalin
dan dijual oleh orang lain di Inggris.2

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta


Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut Auteurswet 1912
Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 dan sekaligus mengundangkan

1
Suyud Margono, “Hukum Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi
Ketentuan World Trade Organization/WTO- TRIPs Agreement”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
h. 53.
2
Sudjana, “Implikasi Doktrin “Fair Use” Terhadap Pengembangan Ilmu Pengetahuan1
Oleh Dosen Atau Peneliti Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta”, (Jurnal Hukum VEJ Vol. 4 nomor 2
tahun 2018), h. 497

35
36

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimuat


dalam Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15. Undang-Undang ini
pada prinsipnya peraturannya sama dengan Auteurswet 1912 namun
disesuaikan dengan keadaan Indonesia pada saat itu. Dalam
pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 ini ternyata banyak
dijumpai terjadinya pelanggaran terutama dalam bentuk tindak pidana
pembajakan terhadap hak cipta, yang telah berlangsung dari waktu ke
waktu dengan semakin meluas dan sudah mencapai tingkat yang
membahayakan dan merugikan kreatifitas untuk mencipta, yang dalam
pengertian yang lebih luas juga akan membahayakan sendi kehidupan
dalam arti seluas-luasnya.3
Doktrin kepentingan yang sewajarnya juga pertama hadir dalam
Undang-Undang ini walaupun belum sempurna dan tidak mendapat
penjelasan secara terperinci. Dalam pasal 19 disebutkan:
“Dalam hal suatu potret dibuat :
a. tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;
b. tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret;
c. tidak untuk kepentingan yang dipotret;
maka pemegang hak cipta atas potret itu tidak boleh mengumumkannya,
apabila pengumuman itu bertentangan dengan doktrin kepentingan yang
sewajarnya dari orang yang dipotret, atau apabila ia sudah meninggal
dunia, kepentingan yang wajar dari salah seorang ahliwarisnya.”

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987


Dalam memenuhi tuntutan penyempurnaan atas Undang- Undang Hak
Cipta 1982 tersebut, maka pada tanggal 23 September 1987 Pemerintah
atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, diundangkanlah Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Di dalam Undang- Undang
3
Rachmadi Usman, “Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia”, (Bandung: Alumni, 2003), h. 59
37

Nomor 7 Tahun 1987 skala perlindungan pun diperluas, diantara


perubahan mendasar yang terjadi di dalamnya adalah masa berlaku
perlindungan karya cipta diperpanjang menjadi 50 Tahun setelah
meninggalnya si pencipta. Karya-karya seperti rekaman dan video
dikategorikan sebagai karya-karya yang dilindungi. Selain itu salah satu
kelemahan dari Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1982 dalam
menanggulangi pelanggaran hak cipta karena peraturan pidananya sebagai
delik aduan. Penyidik baru dapat melakukan penangkapan terhadap
pelakunya setelah adanya pengaduan dari pihak korban. Oleh karena itu,
dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1987 peraturan pidananya diubah
menjadi delik biasa. Warga masyarakat dapat melaporkan adanya
peristiwa pelanggaran hak cipta tanpa perlu ada pengaduan dari korban,
penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya.4
Dalam Undang-Undang ini tidak banyak yang diubah, dan mengenai
doktrin kepentingan yang wajar juga tidak diubah melainkan masih sama
dengan apa yang tertera di Undang-Undang Nomo 6 Tahun 1982 yaitu
penggunaan karya seseorang apabila hanya 10% maka tidak dianggap
dengan pelanggaran hak cipta, sehingga perubahan yang signifikan adalah
periode perlindungan atas hak cipta yang bertambah menjadi 50 Tahun
dari yang sebelumnya hanya 25 Tahun setelah meninggalnya pencipta.

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta juga mencakup
mengenai kepentingan sewajarnya di dalam pasal 14 butir c Ayat (2) yang
berbunyi: “pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran
dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi pencipta.”
Adapula dalam bagian Penjelasan di dalam angka 6 yang berbunyi:

4
Gatot Supramono, “Hak Cipta dan Aspek- Aspek Hukumnya”, (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), h. 5
38

“Perubahan pada Pasal ini dilakukan dengan menghapus batasan atau


ukuran 10% dalam ketentuan pemakaian ciptaan yang tidak dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta. Penghapusan pembatasan ini perlu
dilakukan karena ukuran kuantitatif untuk menentukan pelanggaran Hak
Cipta sulit diterapkan. Dalam hal ini penilaian akan lebih tepat apabila
didasarkan pada ukuran kualitatif. Misalnya, mengambil bagian yang
paling penting atau khas atau menjadi ciri dari ciptaan, meski pemakaian
itu kurang dari 10%. Pemakaian seperti itu secara substantif merupakan
pelanggaran Hak Cipta. Selanjutnya, pemakaian ciptaan juga tidak
dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila sumbernya disebut atau
dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan
yang bersifat non-komersial termasuk untuk kegiatan sosial. Misalnya
kegiatan dalam lingkup pendidikan, kegiatan penelitian dan
pengembangan, untuk lingkup ilmu pengetahuan dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari penciptaannya. Termasuk dalam
pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau
pementasan yang tidak dipungut bayaran. Khusus untuk pengutipan karya
tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus
dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-
kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika
ada.
Adapun ukuran mengenai kepentingan yang wajar dari pencipta harus
dinilai dari hak pencipta terutama dalam menikmati manfaat ekonomi dari
ciptaan yang bersangkutan. Apabila terjadi sengketa mengenai ukuran
kepentingan yang wajar penyelesaiannya ditentukan oleh pengadilan.
Di samping itu, perubahan juga dilakukan dalam pembatasan untuk
perbanyakan ciptaan di luar program komputer. Tujuannya untuk
mempertegas bahwa perbanyakan suatu ciptaan tidak boleh melebihi
jumlah yang diperlukan sesuai dengan maksud perbanyakan tersebut.
Dalam kaitannya dengan program komputer perlu ditegaskan bahwa
pemilik karya cipta ini hanya boleh membuat satu salinan atau copy yang
39

semata-mata digunakan untuk cadangan program komputer yang


bersangkutan. Ketentuan ini juga berlaku bagi perpustakaan umum,
lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang
semata-mata dipergunakan untuk keperluan aktivitasnya.”

4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002


Pengaturan Hak Cipta melalui Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1997
telah memuat beberapa penyesuaian Pasal yang sesuai dengan Perjanjian
TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan
untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak
cipta, termasuk upaya umtuk memajukan perkembangan karya intelektual
yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya bangsa Indonesia.
Dengan memperhatikan hal tersebut dipandang perlu untuk mengganti
Undang-Undang Hak Cipta dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta. Perkembangan di bidang perdagangan dan
industry juga telah berubah dan berkembang dengan sangat pesat,
sehingga diperlukan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait,
maka untuk menjawab perkembangan tersebut diperlukan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor
19 Tahun 20025.
Doktrin kepentingan yang wajar dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 ada di bagian kelima dari pasal 14 hingga pasal 19 yang
masuk kedalam pembatasan Hak Cipta. Menurut laporan tim naskah
akademik rancangan Undang-Undang tentang Cipta halaman 31 sampai
33, Secara eksplisit Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, menetapkan
bahwa dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau
dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran suatu hak cipta:
perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer secara terbatas
dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan

5
Soedjono Dirdjosisworo, “Kontrak Bisnis”, (Bandung: Universitas Katolik Parahyangan,
2003), h. 3
40

umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat


dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan
akitivitasnya (Pasal 15 huruf e).
Dalam konteks ini, kalau perbanyakan ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra yang lain dapat dilakukan untuk kepentingan
lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, tetapi hal tersebut tidak
berlaku untuk program komputer, karena sudah termasuk kategori
pelanggaran hak cipta. Menyangkut program komputer. UUHC hanya
membolehkan pembuatan salinan cadangan suatu program komputer yang
dilakaukan semata-mata untuk digunakan sendiri (Pasal 15 huruf g).
Dalam konteks HKI, klausul dalam Pasal 15 Undang-Undang Hak
Cipta lazim dikenal dengan “fair use”. Istilah ini dalam Bahasa Indonesia
sering diterjemahkan dengan “penggunaan yang adil” atau “kepentingan
yang wajar”. Ketentuan ini merupakan lingkup pembatasan dan
pengecualian yang dimungkinkan oleh article 13 Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang menyatakan
bahwa: “Members shall confine limitations or exceptions to exclusive
rights to certain special cases which do not conflict with a normal
exploitation of the work and do not unreasonably prejudice the legitimate
interests of the right holder”.
Demikian halnya dengan article 9 (2) Berne Convention yang
menegaskan “authorises national legislation to permit the reproduction of
protected works in certain special cases” provided two condition are
fulfilled: (a) the “reproduction does not conflict with a normal
explaitation of the work: and (b) such reproduction “does not
anreasonably the legitimate interest of the author”. Both conditions have
to be fulfilled”.
Persoalannya dalam konteks Pasal 15 huruf e UUHC, telah terjadi
pengecualian terhadap pengecualian. Artinya kalau sebelumnya
pembatasan tersebut merupakan “privilege” bagi masyarakat untuk dapat
memperbanyak suatu ciptaan secara terbatas, maka dengan adanya
41

pengecualian tersebut, privilege tersebut menjadi hilang sama sekali,


kendatipun hanya dilakukan oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu
pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang non komersial
semata-mata untuk keperluan aktivitasnya.
Perbanyakan suatu ciptaan dalam konteks Pasal 15 huruf e di atas,
sebenarnya belum tentu pada kemungkinan orang untuk bisa mengakses
suatu kode program komputer, tetapi bisa juga hanya peluang untuk
menggandakan (copy) program komputer yang diperoleh dalam jumlah
lisensi yang terbatas. Karena bila kita merujuk pada ketentuan umum Pasal
1 angka 6, maka yang disebut perbanyakan adalah penambahan jumlah
suatu ciptaan, baik keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial
dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama,
termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
Sayangnya, kita tidak dapat melihat keterangan yang lebih detail
terhadap klausul ini, karena dalam bagian penjelasan hanya disebut “cukup
jelas”. Kalau mengikuti logika hukum yang terdapat dalam UUHC,
sepanjang penggandaan suatu program komputer bukan bersifat komersial
apalagi untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan dan pendidikan,
seyogianya masih merupakan lingkup “fair use” dan tidak dapaat
dipidana. Interpretasi seperti ini sebenarnya telah sesuai dengan ketentuan
pidana yang terdapat dalam Pasal 72 Ayat (3) UUHC, yang menegaskan
bahwa pelanggaran hak cipta yang dapat dipidana adalah apabila
memperbanyak penggunaan suatu program komputer untuk kepentingan
komersial.
Pada penjelasan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini dijelaskan
sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan kepentingan yang wajar dari
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta adalah suatu kepentingan yang
didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas
suatu Ciptaan.”
Penjelasan tersebut menekankan bahwa apabila seseorang melanggar
hak ekonomi pencipta maka sudah termasuk kedalam pelanggaran hukum.
42

5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014


Di dalam Undang-Undang Hak Cipta terbaru Indonesia yaitu Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014, Doktrin kepentingan yang sewajarnya
tercantum di dalam pasal 43 butir D yang berbunyi: “Pembuatan dan
penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan
komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan
Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak
keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.” Penyebarluasan
tulisan, artikel atau jurnal melalui upload (diunggah) ke dalam media
internet oleh akademisi atau peneliti yang di dalamnya memuat pendapat
atau tulisan pihak lain tidak dikategorikan sebagai pelanggaran selama
masyakat atau publik yang hendak mengunduhnya (download) tidak harus
membayar royalti. Namun, dalam praktek ketentuan bahwa “selama
Penciptanya menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan
penyebarluasan tersebut” sulit untuk dilakukan karena kenyataannya,
pencipta tidak pernah mengajukan keberatan selama namanya
dicantumkan dalam karya tersebut.6
Di dalam pasal 44 Ayat 1 (d) UUHC disebutkan: “Pertunjukan atau
pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.” Dengan demikian,
makna pasal tersebut intinya adalah “merupakan pelanggaran tidak
termasuk fair use” apabila tidak menyebutkan sumbernya secara lengkap.7
Dalam pasal 46 juga disebutkan doktrin kepentingan yang wajar, terutama
dalam pasal 46 ayat 2 (e) yang berbunyi: “Penggandaan untuk
kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan
kepentingan yang sewajarnya dari pencipta atau pemegang Hak Cipta.”

6
Sudjana, “Implikasi Doktrin “Fair Use” Terhadap Pengembangan Ilmu Pengetahuan1
Oleh Dosen Atau Peneliti Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta”, (Jurnal Hukum VEJ Vol. 4 nomor 2
tahun 2018), h. 503
7
Sudjana, “Implikasi Doktrin “Fair Use” Terhadap Pengembangan Ilmu Pengetahuan1
Oleh Dosen Atau Peneliti Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta”… h. 506
43

Penjelasan Kepentingan yang wajar dalam Undang-Undang Nomor 28


Tahun 2014 adalah: “Yang dimaksud dengan "kepentingan yang wajar
dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta" adalah kepentingan yang
didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas
suatu Ciptaan.”

B. Kepentingan Sewajarnya Menurut Konvensi Internasional


1. Konvensi Berne
Di dalam pasal-pasal yang tercantum dalam konvensi Berne. ketentuan
terhadap pembatasan dan/atau pengecualian dimulai dalam Pasal 2
mendefinisikan karya sastra dan seni, tetapi memberikan sejumlah
keterbatasan dan pengecualian terhadap perlindungan karya-karya ini.
a. Pembatasan-pembatasan dalam konvensi Berne
1. Naskah-naskah resmi Hal ini diatur dalam Pasal 2 Ayat (4)
sebagai berikut: bahwa dalam hal perundang-undangan
negara-negara uni untuk menetapkan perlindungan yang
diberikan pada naskah-naskah resmi dari sumber legislatif,
administratif dan hukum, serta terjemahan resmi dari
naskah-naskah tersebut.
2. Berita dan informasi pers Pasal 2 Ayat (8) menyatakan
bahwa: Perlindungan terhadap Konvensi ini tidak berlaku
terhadap berita harian atau fakta-fakta lain yang memiliki
karakter informasi pers.
3. Pidato politik dan pembelaan dalam proses peradilan Hal ini
diatur dalam Pasal 2bis (1): bahwa adanya kewenangan
negara untuk mengeluarkan keseluruhan atau sebagian dari
objek perlindungan hak cipta terhadap karya cipta yang
berbentuk pidato politik dan pembelaan-pembelaan yang
dikemukakan dalam proses peradilan
b. Pengecualian-Pengecualian dalam Konvensi Berne
1. Kutipan
44

Hal ini diatur dalam Pasal 10 Ayat (1): bahwa


diperbolehkannya membuat kutipan-kutipan dari suatu karya
cipta yang telah secara hukum dibuat untuk umum dengan
ketentuan bahwa perbuatan tersebut dilakukan sesuai dengan
penggunaan yang adil/prakter yang jujur dan batasnya tidak
melebihi yang dibenarkan oleh tujuan dari karya cipta yang
di kutip termasuk kutipan dari artikel surat kabar dan
majalah dalam bentuk ringkasan pers.
2. Kepentingan pengajaran
Hal ini diatur dalam Pasal 10 Ayat (2): bahwa diperbolehkan
untuk menggunakan karya sastra dan seni untuk batas yang
dibenarkan oleh tujuan tersebut,atas karyakarya seni dan
sastra dengan cara gambar untuk pengajaran selama
pemberian tersebut digunakan sesuai dengan praktek yang
jujur. Namun di dalam penggunaan terhadap kutipan dan
untuk kepentingan mengajar, pada Pasal 10 Ayat (3)
menjelaskan bahwa dimana penggunaan dari karya-karya
cipta sehubungan dengan ayat (1) dan (2) pada Pasal 10 ayat
(3) menjelakan bahwa penyebutan dibuat atassumber dan
atas nama pencipta atau pengarangnya.
3. Penggunaan artikel koran dan majalah
Hal ini diatur dalam Pasal 10bis Ayat (1): bahwa
penggunaan atas karya cipta diperbolehkan reproduksi
melalui penerbitan, penyiaran atau mempublikasikan kepada
masyarakat melalui kabel terhadap artikel yang diterbitkan
dalam koran atau jurnal yang membahas mengenai masalah
ekonomi, politik, atau masalah agama dan melakukan
penyiaran atas karya cipta sejenis dalam hal reproduksi,
penyiaran, atau publikasi tersebut tidak secara tegas
dilarang. Dengan syarat sumber harus disebutkan.
4. Penggunaan karya dalam pelaporan Peristiwa
45

Hal ini diatur dalam Pasal 10bis Ayat (2): bahwa dalam
konvensi ini memberikan syarat dimana dengan tujuan
pelaporan kejadian-kejadian terkini melalui sarana fotografi,
sinematografi, penyiaran atau mengumumkan kepada publik
melalui kabel,dapat tidaknya karya-karya cipta sastra atau
seni yang dilihat atau didengar selama kejadian tersebut
direproduksi dan di buat untuk umum.
5. Kuliah, ceramah dan karya cipta sejenis
Hal ini diatur dalam Pasal 2bis Ayat (2): memungkinkan
negara-negara anggota peserta konvensi untuk mengatur
kondisi di mana jenis-jenis karya cipta secara lisan
disampaikan dapat digunakan untuk tujuan pelaporan
diperbolehkan untuk reproduksi oleh penerbitan, penyiar dan
dipublikasikan kepada masyarakat.
6. Penyiaran dan hak-hak yang terkait
Pasal 11bis mengatur tentang hak penyiaran dan komunikasi
umum, namun Pasal 11bis Ayat (2) memberikan
pengecualian dalam Ayat 1 Pencipta dari karya cipta sastra
dan seni memiliki hak eksklusif dalam hal:
a. penyiaran dari karya ciptanya atau mengumumkan
kepada masyarakat dengan nirkabel, suara atau
gambar;
b. setiap pengumuman kepada masyarakat dengan
kabel atau dengan penyiaran ulang dari penyiaran
karya cipta tersebut.
c. Pengumuman kepada masyarakat dengan pengeras
suara atau dengan alat transmisi yang sejenis, suara
atau gambar dan penyiaran karya cipta tersebut.
Dalam hal untuk menentukan hak–hak yang dimiliki
dalam ayat (1) dijelaskan bahwa selama tidak dalam
keadaan yang merugikan hak moral dari pencipta
46

atau tidak mendapatkan suatu keuntungan dalam arti


dengan tujuan komersial, maka hal tersebut
diperbolehkan. Namun ketentuan ini berlaku apabila
negara peserta telah menetukan hak-hak tersebut.
7. Rekaman musik
Hal ini diatur dalam Pasal 13 Ayat (1): bahwa setiap negara
dapat menetukan perlindungan bagi dirinya sendiri dan hak
eksklusif diberikan kepada pencipta musik dan pada penulis
lagu untuk mensyaratkan lisensi terhadap karya cipta
tersebut. namun hak eksklusif tersebut tidak berlaku apabila
seseorang tidak menggunakan karya cipta tersebut untuk
mendapatkan sebuah imbalan atau untuk kepentingan
komersial.
8. Selanjutnya mengenai ketentuan pengecualian dan
pembatasan tedapat dalam Pasal 9 Ayat (2) yang berbunyi:
a. Pengecualian diberikan terhadap kasus-kasus
tertentu yang bersifat khusus;
b. Pegecualian yang diberikan tidak bertentangan
dengan penggunaan secara wajar dari ciptaan yang
dilindungi;
c. Pengecualian yang diberikan tidak dengan tanpa
alasan mencederai kepentingan yang sah dari
pemegang hak cipta.
2. Konvensi Rome
Menurut pasal-pasal yang dijelaskan dalam Konvensi Roma Tahun
1961 mengenai perlindungan yang diberikan kepada pelaku, produser
rekaman dan badan-badan penyiaran, berdasarkan pada ketentuan Pasal 15
Ayat (1) menjelaskan bahwa tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta
apabila:
a. Pemakaian untuk kepentingan pribadi;
47

b. Penggunaan ringkasan untuk keperluan


pelaporan peristiwa actual.
c. Perekaman yang bersifat sementara oleh
organisasi penyiaran dengan menggunakan
fasilitas dan peralatan sendiri.
d. Penggunaan yang semata mata untuk
pendidikan atau riset ilmu pengetahuan.
3. TRIPs Agreement
Perjanjian ini mengadopsi doktrin Three-Step-Test atau tiga langkah
pengujian sebagai acuan aturan untuk melindungi karya cipta dari
pencipta. Doktrin Three-Step-Test ini memiliki keterkaitan dengan
pembatasan dan pengecualian atas reproduksi dari hak cipta. Akan tetapi
menurut pasal 26 Ayat (2) dan pasal 30 TRIPs Agreement, doktrin Three-
Step-Test pada perjanjian ini diperluas, dimana pada awal mulanya hanya
terkait dengan hak reproduksi, dalam perjanjian ini diperluas menjadi hak
eksklusif pencipta.
Tiga langkah pengujian yang terkait dengan pembatasan dan
pengecualian hak cipta (TRIPs Art. 13) adalah sebagai berikut:
a. Suatu karya sastra dan seni dapat diperbolehkan untuk
direproduksi di suatu kondisi atau kasus-kasus tertentu.
Maksud dari kondisi atau kasus-kasus tertentu adalah dalam hal
melakukan reproduksi karya cipta tersebut dilakukan sebatas untuk
kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, penelitian, dan
pengembangan serta kegiatan lain yang bersifat nonkomersial.
b. Selama reproduksi tersebut tidak bertentangan dengan
eksploitasi atau penggunaan yang wajar atas suatu karya.
Terkait dengan seberapa banyak suatu karya dapat direproduksi
tidak diatur dengan jelas dalam perjanjian ini, akantetapi, ada hak
moral dari pencipta yang harus dihormati dan dijaga. Penggunaan
ciptaan pihak lain yang sudah melebihi setengah dari bagian
substansial dari karya tersebut, dianggap sebagai pelanggaran hak
48

cipta dan hal itu dikatakan sebagai tindakan eksploitasi atas suatu
karya cipta.
c. Selama tidak secara tidak wajar merugikan kepentingan
pengarang/pencipta.
Tidak diatur secara lebih rinci lagi terkait batasan penggunaan
ciptaan pihak lain untuk direproduksi, namun para negara anggota
telah bersepakat bahwa diperbolehkan untuk dilakukan reproduksi
atas suatu karya dengan tidak melanggar kepentingan yang wajar
dari pencipta. Kepentingan yang wajar dalam hal ini dikaitkan
dengan hak ekonomi, artinya, jika dalam mereproduksi suatu karya
itu ada unsur materi di dalamnya, maka pihak yang mereproduksi
wajib meminta 76 izin terlebih dulu kepada penciptanya sebagai
pemegang hak eksklusif atas suatu karya cipta.

C. Kepentingan Sewajarnya menurut Youtube


Di dalam laman website milik youtube dijelaskan: “Penggunaan yang
diperkenankan (kepentingan yang sewajarnya) merupakan doktrin hukum
yang menyatakan bahwa Anda dapat menggunakan kembali materi yang
dilindungi hak cipta di dalam situasi tertentu tanpa memerlukan izin dari
pemilik hak cipta.”
Dilanjutkan dengan penjelasan arahan atau aturan mengenai doktrin
kepentingan yang wajar bahwasanya “Setiap negara memiliki aturan yang
berbeda tentang kapan materi tanpa izin pemilik hak cipta boleh digunakan.
Misalnya, di Amerika Serikat, karya berupa komentar, kritik, riset,
pengajaran, atau laporan berita kemungkinan dianggap sebagai penggunaan
wajar.
Beberapa negara lain memiliki konsep yang mirip yang
disebut pemanfaatan wajar yang kemungkinan berlaku secara berbeda.”8 Di
amerika serikat, kepentingan yang wajar ini ditentukan oleh hakim, yang
8
https://www.youtube.com/intl/id/yt/about/copyright/fair-use/#yt-copyright-
protection diakses pada tanggal 27 mei 2019
49

menganalisa bagaimana keempat faktor kepentingan yang wajar berlaku pada


kasus tertentu. Berikut empat faktor tersebut:
a. Tujuan dan karakter penggunaannya, meliputi apakah penggunaan
tersebut bersifat komersial atau untuk tujuan pendidikan nonprofit;
Pengadilan biasanya berfokus pada apakah penggunaan tersebut
bersifat "transformatif." Artinya, apakah penggunaan
menambahkan ekspresi atau makna baru pada materi asli, atau
hanya salinan dari aslinya. Penggunaan komersial kemungkinan
kurang dianggap sebagai penggunaan wajar, meskipun monetisasi
video dapat dilakukan dan masih ada manfaat yang dapat diambil
dari penggunaan wajar.
b. Sifat karya yang memiliki hak cipta.
Menggunakan materi dari karya yang sebagian besar merupakan
kenyataan lebih dapat dianggap sebagai penggunaan wajar
dibandingkan dengan menggunakan karya yang benar-benar fiksi.
c. Jumlah dan substansialitas bagian yang digunakan dalam kaitannya
dengan karya berhak cipta secara keseluruhan.
Meminjam sebagian kecil materi dari karya original lebih
cenderung dianggap sebagai kepentingan yang sewajanrya
daripada meminjam bagian yang besar. Namun, dalam situasi
tertentu, pengambilan sebagian kecil materi bisa dianggap bukan
penggunaan yang diperkenankan, yaitu jika yang digunakan
merupakan "inti" dari karya yang dimaksud.
d. Efek dari penggunaan pada potensi pasar, atau nilai dari, karya
berhak cipta.9
Penggunaan yang merugikan kemampuan pemilik hak cipta untuk
mendapatkan keuntungan dari karya aslinya cenderung tidak
dianggap sebagai penggunaan wajar. Pengadilan terkadang

9
https://www.youtube.com/intl/id/yt/about/copyright/fair-use/#yt-copyright-
protection diakses pada tanggal 27 mei 2019
50

membuat pengecualian berdasarkan faktor ini dalam kasus yang


melibatkan parodi.
BAB IV
BATASAN KEPENTINGAN YANG WAJAR PADA YOUTUBE.COM

A. Makna Kepentingan yang Sewajarnya Menurut Youtube di Indonesia


Semakin majunya perkembangan teknologi, maka semakin maju pula cara
seseorang dalam melakukan pembajakan atau penjiplakan suatu karya milik
seseorang tanpa mencantumkan pencipta aslinya. Youtube sebagai tempat
berkumpulnya orang-orang dalam berkarya juga tidak luput dari permasalahan
pembajakan atau penggunaan karya cipta milik orang lain yang dipergunakan
tanpa izin untuk kepentingan pribadi dari oknum yang melakukan itu. Untuk
meminimalisir terjadinya pelanggaran ataupun salah dalam mendakwa karya
seseorang, youtube menerapkan doktrin kepentingan yang wajar yang sudah di
anut oleh hukum di Negara yang menganut common law. Youtube dapat
memberikan keuntungan finansial berupa iklan atau disebut monetisasi yang
disematkan dalam video yang diunggah di dalam kanal youtube.com.
Menurut penjelasan yang tertulis di laman Youtube.com bahwasanya
kepentingan sewajarnya diartikan apabila seseorang pembuat konten
menghasilkan suatu karya baru dengan menggunakan sebagian karya milik
orang lain dengan mencantumkan pemilik asli dari video dan membuat makna
yang berbeda dari hasil video yang dibuat. Youtube juga memperbolehkan
seseorang menggunakan video ciptaan orang lain selama tidak untuk tujuan
komersil dan menyertakan tautan asli dari pencipta video yang digunakan
dalam videonya. Namun bagaimana kepentingan yang wajar ini ditegakkan
akan mengikuti Negara domisili youtube dan pembuat konten ini tinggal, jadi
akan mengikuti aturan yang ada di Indonesia, yang tertulis dan tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
Sebuah cover lagu yang dinyanyikan orang lain juga dapat dikategorikan
kepentingan yang sewajarnya karena dalam detil pada video penyanyian
kembali tersebut sudah tercantum penyanyi aslinya. Bahkan penyanyi aslinya
tidak keberatan apabila lagunya dinyanyikan kembali dalam sebuah video
yang ditayangkan melalui youtube karena merupakan iklan gratis bagi

51
52

pencipta dan penyanyi asli tersebut mendapatkan royalti dari cover lagu
tersebut. Namun, untuk video bertema lain selain cover lagu tidak bisa dengan
sistem bagi royalti. Namun apabila penyanyi tidak senang lagunya
dinyanyikan kembali melalui youtube dengan alasan apapun itu, maka
youtube dapat menindaklanjuti dengan menghapus atau mendemonetisasi
video yang sudah tersiar pada kanal Youtube.
Youtube dapat mengetahui apabila video seseorang menggunakan karya
yang merugikan pencipta aslinya adalah dengan teknologi bernilai milyaran
dollar milik youtube yang bernama klaim Content ID. Klaim ini dikeluarkan
oleh perusahaan yang memiliki hak atas musik, film, acara TV, video game,
atau materi lainnya yang dilindungi hak cipta. Pemilik konten dapat
menetapkan Content ID untuk memblokir materi dari YouTube saat klaim
dibuat. Mereka juga dapat mengizinkan agar video tetap ditayangkan di
YouTube dengan iklan. Pada situasi tersebut, pendapatan iklan akan diberikan
kepada pemilik hak cipta atas konten yang diklaim. Content id ini bekerja
dengan mencocokkan video yang beredar di youtube lengkap dengan suara
dan visualnya lalu mencocokkan dengan database yang dimiliki oleh youtube
untuk mengetahui apakah terdapat kecocokan dengan karya dari pemilik
aslinya dan mengkonfirmasi bahwa apakah sudah mendapatkan izin dari
pencipta aslinya. Selama proses itu, youtube akan menghentikan monetisasi
dari video yang berisi konten milik seseorang yang tidak memiliki izin dengan
pencipta aslinya. Terkadang ada pencipta yang tidak masalah video atau
lagunya digunakan oleh orang lain untuk kepentingan komersil selama
mencantumkan pencipta aslinya.
Dalam sebagian besar kasus, mendapatkan klaim Content ID tidak akan
berdampak buruk pada channel YouTube Kreator. Sederhananya, klaim
tersebut dapat diartikan seperti ini, "Halo, kami menemukan sejumlah konten
milik orang lain dalam video Anda." Keputusan ada di tangan pemilik hak
cipta, apakah ia akan mengizinkan orang lain untuk menggunakan kembali
materi orisinal miliknya atau tidak. Dari pernyataan ini sudah mulai dapat
disimpulkan bahwa batasan dari kepentingan yang sewajarnya tergantung
53

pemilik asli Hak Cipta. Dalam banyak kasus, pemilik hak cipta akan
mengizinkan penggunaan kontennya dalam video YouTube. Sebagai gantinya,
ia akan memasang iklan pada video tersebut. Iklan ini dapat diputar sebelum
atau saat video diputar (jika video tersebut berdurasi lebih dari 10 menit).
Namun apabila pemilik Hak Cipta idak ingin materinya digunakan kembali
oleh orang lain, ia dapat memilih tindakan berikut:1
1. Memblokir video: Terkadang, pemilik hak cipta dapat memblokir
video Anda sehingga orang lain tidak bisa menontonnya. Pemilik
hak cipta dapat memblokir video Anda di seluruh dunia atau hanya
di sejumlah negara.
2. Memblokir platform tertentu: Terkadang, pemilik hak cipta dapat
membatasi tampilan kontennya pada sejumlah aplikasi atau situs.
Pembatasan ini tidak akan memengaruhi ketersediaan video Anda
di YouTube.com.
Apabila content id tidak menemukan kesalahan dalam suatu video, pemilik
asli dari karya yang tidak terdeteksi oleh content id ini dapat melaporkan
langsung ke pihak youtube apabila karyanya digunakan oleh orang lain dan
youtube akan menindak lanjuti dengan memproses laporan tersebut dengan
menginvestigasi secara internal lalu apabila ditemukan dan memang benar
dengan laporan yang ada maka youtube akan menurunkan video tersebut atau
memberi penghasilan uang dari video tersebut kepada pencipta aslinya.
Namun youtube memberikan ekslusifitas pada mitra-mitra besar Youtube
seperti TV atau label musik, sehingga mereka dapat secara otomatis
mengklaim atau menurunkan video yang telah tayang jika diketahui terdapat
konten milik TV atau label music tersebut di dalamnya tanpa izin terlebih
dahulu.
Apabila seorang kreator ingin menolak klaim content ID, maka kreator
dari video tersebut dapat menolaknya dan pemilik hak cipta memiliki waktu
30 hari untuk meresponnya. Namun sebelum mengajukan penolakan klaim,

1
https://support.google.com/youtube/answer/6013276?hl=id (Diakses pada Tanggal 10
Juli 2019 Pukul 19:00WIB)
54

pastikan kreator video memahami cara kerja penggunaan yang sewajarnya dan
domain publik sebelum memutuskan untuk menolak klaim atas dasar salah
satu alasan tersebut. YouTube tidak dapat membantu menentukan apakah
kreator sebaiknya menolak suatu klaim atau tidak. Kreator dapat meminta
saran dari konsultan hukum jika tidak yakin apa yang harus dilakukan.
Penolakan hanya ditujukan untuk kasus saat kreator memiliki semua hak yang
diperlukan atas konten dalam video. Penyalahgunaan yang berulang dan
berniat jahat atas proses penolakan dapat membuat video atau channel kreator
dikenai hukuman.
Karena maraknya kasus tersebut maka banyak pembuat konten yang
merasa bahwa youtube kurang adil karena tidak memiliki batas acuan dari
kepentingan sewajarnya dengan jelas, melainkan hanya mengikuti penciptanya
itu sendiri. Karena contoh seperti kasus Pewdiepie yang merupakan youtuber
nomor satu di dunia, dia menyanyikan sebuah lagu berjudul “despacito” yang
hanya 1 bait dan tidak memiliki makna penjiplakan itu dikenakan dengan
sanksi berupa pencabutan monetisasi dari video tersebut karena pihak label
Sony melayangkan Copyright Strike lalu ditindak begitu saja oleh pihak
Youtube. Oleh karena itu para pembuat konten ingin mengetahui seberapa
batasan dari kepentingan yang sewajarnya yang di anut oleh Youtube agar
mereka tidak perlu menghabiskan puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk
biaya penyelesaian perkara melalui Pengadilan. Contoh lainnya adalah
Youtube seringkali keliru dalam menindaklanjuti video seseorang melalui
laporan dari pihak tidak bertanggung jawab yang bukan merupakan pencipta
asli. Disini seharusnya Youtube menganut asas kehati-hatian dikarenakan
banyak pihak yang dirugikan karena konten videonya dihapus oleh pihak yang
bukan merupakan pencipta aslinya.
Mengenai batasan dari kepentingan yang sewajarnya ini masih kurang
jelas karena di laman Youtube.com tidak dijelaskan secara spesifik, hanya
sebatas tergantung kepada pencipta aslinya karena Youtube akan mengikuti
peraturan yang ada di Indonesia. Namun, menurut hasil wawancara peneliti
dengan pihak youtube yang diwakili oleh saudara Deo Nathaniel selaku
55

Youtube Partner Operations Manager menyatakan bahwa Youtube


memberikan otoritas secara lengkap terhadap pemilik konten atau pencipta
aslinya untuk permasalahan Hak Cipta, yaitu dengan cara mengirimkan
formulir pemberitahuan penghapusan akibat pelanggaran Hak Cipta yang
dapat diunduh di situs Youtube.com pada bagian “creator studio”. Sedangkan
Youtube hanya sebagai wadah atau tempat yang bersifat pasif dan tidak
melakukan penindakan secara langsung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
batasan kepentingan yang sewajarnya disini adalah mengikuti pencipta itu
sendiri. Untuk di Indonesia sendiri pun batasan dari doktrin Kepentingan
sewajarnya ini jika menurut Undang-Undang Hak Cipta yang lama bahwa
batasan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta adalah 10% dari
sebuah ciptaan milik orang lain, namun ketentuan itu dihapuskan karena
banyak sedikitnya itu tergantung kuantitatif dari pemilik asli ciptaan tersebut
apakah mengganggu manfaat ekonominya atau tidak. Sehingga pada
penjelasan di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menjadi kepentingan
yang didasarkan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu Ciptaan.
Apabila mengkomparasi dengan Undang-Undang Hak Cipta Amerika
serikat pasal 107, doktrin kepentingan yang sewajarnya adalah suatu doktrin
dimana seseorang dapat menggunakan karya milik orang lain tanpa meminta
izin dari pencipta aslinya untuk kepentingan kritik, komentar, kebutuhan
untuk berita, mengajar, beasiswa atau kebutuhan penelitian dan semua itu
tidak termasuk dalam pelanggaran kepentingan yang sewajarnya selama
digunakan seutuhnya dan tidak mengurangi porsi dari ciptaan yang
sebenarnya tidak perduli untuk kepentingan komersial ataupun non komersil
selama terdapat unsur diatas maka dianggap telah menciptakan suatu karya
dengan makna yang berbeda serta target pasar yang berbeda maka semua itu
dianggap kepentingan yang sewajarnya.
Untuk batasan dari doktrin kepentingan yang sewajarnya di amerika
sendiri sampai saat ini masih belum dapat ditentukan secara pasti dan harus
melalui Pengadilan dan ditetapkan oleh Hakim, karena apabila terdapat semua
unsur tersebut maka dikatakan bahwa itu merupakan kepentingan yang
56

sewajarnya. Sampai saat ini doktrin kepentingan yang sewajarnya digunakan


oleh banyak Youtuber di Amerika Serikat demi meraih popularitas dengan
membuat video kritik dan komentar atau reaksi terhadap video milik orang
lain, semua ini jelas sangat dibolehkan karena selain telah diatur oleh Undang-
Undang yang ada di Amerika serikat, mereka juga semakin terlindungi karena
adanya FUPA atau Fair Use Protection Account yang dibentuk oleh firma
hukum Morrison/Lee siap melindungi mereka jika terjadi penindasan
terhadap kreator besar atau kecil yang terbelit permasalahan kepentingan yang
sewajarnya ini.
Merujuk dari Teori Keadilan milik Gustav Radburch bahwa adil itu
seharusnya tidak memihak atau tidak berat sebelah kepada pihak manapun,
maka dalam kasus penggunaan sewajarnya ini seharunya Youtube meninjau
kembali dengan teliti apakah sebuah konten yang dilaporkan oleh pencipta
aslinya itu termasuk penggunaan sewajarnya atau memang melanggar. Karena
menurut laman Youtube sendiri hal yang dianggap penggunaan sewajarnya
atau kepentingan yang sewajarnya ini apabila video tersebut memberikan
makna yang berbeda seperti contohnya video komentator atau kritik terhadap
video lain. Faktanya Youtube sering kali mendemonetisasi video kritik atau
komentar terhadap video milik orang lain yang dilaporkan pelanggaran hak
cipta oleh pemilik video asli walaupun semestinya itu merupakan konten
video yang memiliki makna yang berbeda sehingga mengakibatkan kerugian
terhadap pihak yang videonya dihapus atau profitnya dialihkan kepada pihak
pencipta. Dari sini maka Youtube belum menerapkan teori keadilan ini karena
dianggap memihak kepada pihak pencipta tanpa memperhatikan konten yang
dipermasalahi. Dalam hal ini pun Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia
tidak memberikan penjelasan serta batasan dari Kepentingan yang sewajarnya
ini melainkan harus melalui putusan pengadilan yang dapat dilakukan di
pengadilan niaga.
Dalam Teori Kepastian Hukum milik Gustav Radburch juga sudah
ditekankan dan disebutkan bahwa seharusnya hukum itu harus memiliki
kepastian dan tidak menimbulkan keraguan atau multi tafsir terhadap suatu
57

norma, sehingga dalam menentukan batasan dari kepentingan yang


sewajarnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
dapat ditentukan indikator yang menjelaskan mengenai besaran makna kata
sewajarnya di dalam Undang-Undang tersebut sehingga Youtube dapat
bertindak sesuai dengan koridor hukum di Indonesia serta tidak menurunkan
atau menghapus konten-konten yang dianggap melanggar doktrin hukum
kepentingan yang sewajarnya ini. Oleh karena itu sangat penting teori
kepastian hukum ini diterapkan sebaik mungkin sehingga dapat tercapainya
suatu keadilan, karena teori kepastian ini tidak bisa dijauhi atau berpisah dari
suatu norma hukum yang berlaku.

B. Penyelesaian Sengketa Kepentingan yang Sewajarnya


Apabila Tergugat yakin bahwa videonya tidak terdapat pelanggaran Hak
Cipta karena video tersebut tidak merugikan kepentingan yang sewajarnya
dari pencipta, maka Youtube memberikan opsi kepada pengguna agar dapat
memberi tanggapan dengan cara:2
1. Login ke YouTube Studio.
2. Dari menu sebelah kiri, pilih Video.
3. Klik klaim Hak Cipta di samping video yang relevan di bagian
kolom Monetisasi jika ada. Jika tidak, Anda akan melihat opsi ini
di bagian kolom Visibilitas.
4. Klik Lihat detail klaim Hak Cipta.
5. Anda akan diarahkan ke halaman Info Hak Cipta Video, tempat
Anda dapat melihat informasi tentang penghapusan.
6. Klik Kirim pemberitahuan tanggapan di bagian PILIH
TINDAKAN.

Youtube akan meneruskan pemberitahuan tanggapan, lalu akan


menyertakan teks lengkap pemberitahuan tersebut, termasuk informasi pribadi
yang pengguna berikan. Dengan mengirimkan pemberitahuan tanggapan,

2
https://support.google.com/youtube/answer/2807684?hl=id
58

berarti pengguna setuju untuk berbagi informasi dengan penggugat. Youtube


tidak akan meneruskan pemberitahuan tanggapan kepada pihak selain
penggugat asli. Penggugat dapat menggunakan informasi ini untuk
mengajukan gugatan hukum terhadap Anda, untuk mencegah agar konten
tidak dipulihkan ke YouTube. Penggugat memiliki waktu 10 hari kerja untuk
menyerahkan bukti kepada Youtube bahwa ia telah mengajukan tuntutan
pengadilan agar konten dihapus. Proses akan mengikuti peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku.

Apabila mengacu pada laman Youtube.com maka ditemukan bahwasannya


Youtube yang berada dibawah Google akan mengikuti segala bentuk aturan
yang berlaku ditempat kedudukannya tersebut. Walau di Indonesia sendiri
Youtube tidak memiliki tim hukum, namun youtube akan tetap mengikuti
hukum yang berlaku di Indonesia dan dalam hal ini adalah mengenai Hak
Cipta yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014.

Ketentuan doktrin kepentingan yang sewajarnya di Indonesia, berkaitan


dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta di Indonesia masih tidak jelas
batasannya sehingga perlu ditafsirkan apabila terjadi sengketa hukum di
kemudian hari. Bambang Pratama berpendapat bahwa batasan makna fair
(wajar, cukup) dapat dipadankan dengan asas kepatutan dalam rezim hukum
kekayaan intelektual di Indonesia.3

Undang-Undang Hak Cipta telah mengatur dan menyediakan dua sarana


hukum yang dapat dipergunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap
Hak Cipta di media internet, yaitu melalui sarana instrumen hukum pidana dan
hukum perdata, bahkan, dalam Undang-Undang Hak Cipta, penyelesaian
sengketa di bidang hak cipta dapat dilakukan di luar pengadilan melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya serta dapat dikaitkan

3
Bambang Pratama, Fair Use VS. Penggunaan yang Wajar Dalam Hak Cipta,
http://BusinessLaw.Binus.ac.id/2015/01/31/Fair-Use-VS-Penggunaan-yang-Wajar-Dalam-Hak-
Cipta/, (diakses pada tanggal 13 september 2019)
59

dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik apabila terdapat unsur pelanggaran lainnya.
Apabila terdapat pelanggaran yang merugikan pencipta maka hukum di
Indonesia mengatur penyelesaian sengketa tersebut dapat melalui arbitrase
atau pengadilan. Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa Hak Cipta
dijelaskan dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 pada
BAB XIV. Karena kepentingan yang sewajarnya ini dianggap sebagai
kepentingan pencipta dalam menikmati Hak Ekonomi maka pasal 113 ayat
(3) dan (4) Undang-undang tentang Hak Cipta yang menyatakan:
(1) Setiap orang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I, untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
60

Sanksi terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) selama ini


belum menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga tingkat
pelanggarannya terus meningkat, meskipun pemerintah sudah memiliki
perangkat undang-undangnya. Kendala lainnya yaitu terbatasnya aparat
penegak hukum yang menangani masalah Hak Kekayaan Intelektual,
ringannya putusan yang dijatuhkan oleh proses peradilan kepada pelanggar,
sehingga tidak menimbulkan efek jera tadi. Serta ditambah minimnya
pengetahuan para pihak yang bersengketa dan sulitnya proses berperkara di
pengadilan sehingga para pihak tidak melaksanakan penyelesaian sengketa di
Pengadilan Niaga.
Dalam hal pelanggaran Hak Cipta terdapat gugatan ganti rugi, peristiwa
ganti rugi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitan
dengan peristiwa yang perlu diungkapkan. Dalam hal ini sang pencipta dari
suatu karya lagu dan musik tidaklah dapat meminta ganti rugi kepada orang
yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang menyebabkan
timbulnya kerugian tersebut. Jadi antara orang yang menderita kerugian
dengan orang membuat peristiwa kerugian itu harus ada hubungan, hubungan
tersebut disebut perikatan.
Apabila mengacu pada teori kepastian hukum dan teori keadilan maka
prosedur penyelesaian ini sudah sesuai, namun mengenai batasan dari
kepentingan yang sewajarnya ini belum sesuai dengan kedua teori tersebut.
Youtube juga seharusnya memberikan pilihan terhadap para pihak yang
bersengketa agar dapat memilih penyelesaian sengketanya, baik melalui
internal, peradilan, atau arbitrase.
Namun kembali diingat bahwa Undang-Undang Hak Cipta tidak
menentukan batasan dari penggunaan sewajarnya sehingga yang dapat
menentukan hanyalah pencipta itu sendiri yang merasa manfaat ekonomi atas
ciptaannya dirugikan atau penetapan dari Pengadilan Niaga. Dalam
menentukan bahwa gugatan tersebut batal karena ternyata perkara tersebut
termasuk kepentingan yang sewajarnya, Undang-Undang di Indonesia tidak
menentukan cara penyelesaiannya dengan pasti maka dari itu penting bagi
61

Hakim untuk melakukan putusan sesuai dengan Penemuan Hukum


(Rechtsvinding).
Pembentukan Hukum menurut Sudikno Mertokusomo adalah apa yang
dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan
hukum oleh Hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk
penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkret.4 Berkaitan dengan
hal tersebut, W Van Gerven memperkenalkan adanya tiga jenis model
pembentukan hukum yaitu:
1. Pembentukan hukum preventif adalah yang dilakukan oleh pakar
hukum perusahaan, notariat dan pakar hukum pemerintahan;
2. Pembentukan hukum reflektif yang dilakukan oleh ilmuwan
hukum dan Guru Besar Hukum;
3. Pembentukan hukum conflichtif adalah yang dilakukan oleh
praktisi hukum seperti halnya hakim, jaksa, dan advokat.5
Istilah ‘yurisprudensi’ diambil dari bahasa Belanda ‘jurisprudentie’ tetapi
tampaknya tidak secara persis dapat dialihbahasakan menjadi ‘jurisprudence’
dalam bahasa Inggris. Istilah yang lazim dipakai untuk yurisprudensi dalam
kosa kata Inggris adalah judge-made law, case law, precedent, atau
precedential decision. Pengadilan juga mulai dibebani untuk menciptakan
hukum melalui berbagai metode penemuan hukum. Bahkan, Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi diberi otoritas untuk melakukan uji
material, yang notabene putusannya terkait langsung dengan peraturan
perundang-undangan yang berimplikasi sebagai aturan general.6
Dalam tradisi common law, pada hakikatnya semua putusan pengadilan
berpotensi untuk menjadi yurisprudensi, atau paling tidak terikat di dalam
rangkaian mata rantai yurisprudensi. Para hakim di sana selalu disibukkan

4
Sudikno Mertokusomo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pusaka, 2014), h. 49
5
Nurul Qamar, Percikan pemikiran tentang hukum (Makassar: Pustaka Refleksi, 2011), h.
43-44
6
Shidarta, mencari jarum ‘kaidah’ di tumpukan jerami ‘Yurisprudensi’, Jurnal yudisial,
Volume 5, Nomor 3, Desember 2012, h. 337
62

pada pencarian dasar preseden atas kasus-kasus yang tengah ditangani. Dalam
hal tidak ditemukan alasan mendasar yang kuat (ratio decidendi) untuk
menyimpang dari preseden, hakim-hakim tesebut akan tetap bertahan
menjustifikasi preseden itu dan memasukkan putusan mereka sendiri ke dalam
rangkaian pembenaran atas preseden tersebut. Dalam hal ini, tingkat
prediktabilitas atau kepastian hukum akan terjaga.7
Hal yang sedikit berbeda terjadi dalam tradisi civil law. Di sini tingkat
prediktabilitas putusan hakim tidak dibangun melalui rangkaian preseden,
melainkan bersandar pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
diformulasikan secara abstrak (in abstracto). Hakim-hakim benalar dengan
menerapkan silogisme yang memposisikan premis mayornya secara konsisten,
berangkat dari pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Ada asumsi
bahwa dengan menggunakan basis premis mayor yang sama, kepastian hukum
akan lebih terjaga daripada menggunakan putusan hakim. Pemikiran seperti
ini sesungguhnya tidak selalu benar.
Kasus antara dua youtuber besar Amerika yang terjadi pada tahun 2016,
yaitu Ethan Klein dari H3H3 Production melawan Matt Hoss yang berakhir ke
pengadilan di Amerika Serikat. Awal mula terjadinya perkara ini yaitu Ethan
Klein membuat sebuah video kritik terhadap video milik Mat Hoss mengenai
parkour, tidak terima dengan kritikan tersebut, Matt Hoss melayangan claim
terhadap video tersebut karena dianggap telah melanggar hak cipta melalui
Youtube. Tidak lama setelah laporan tersebut, Youtube langsung menghapus
video milik Ethan tanpa alasan yang jelas semata-mata hanya ‘video tersebut
mengandung ciptaan milik orang lain’ karena Ethan tidak menerima claim
yang diajukan tersebut, Ethan coba menghubungi pihak Yourube di Amerika
Serikat untuk meminta kejelasan mengenai permasalahannya ini. Selain
menghubungi pihak Youtube, Ethan juga coba menghubungi Matt Hoss secara
personal namun tidak menghasilkan apapun. Setelah perkara tesebut masuk ke
pengadilan, Ethan menghabiskan kurang lebih $100.000 dollar Amerika untuk
7
Shidarta, mencari jarum ‘kaidah’ di tumpukan jerami ‘Yurisprudensi’, Jurnal yudisial,
Volume 5, Nomor 3, Desember 2012, h. 337-338
63

membayar pengacara serta menyelesaikan perkaranya ini. Dengan bantuan


sesama Youtuber yang memberikan sumbangan melalui website gofundme
akhirnya terkumpul lebih dari $150.000 dollar Amerika untuk Ethan
memenangkan tuntutan tersebut. Akhirnya dengan putusan hakim distrik New
York Katherine Forrest yang menyatakan bahwa video milik Ethan
merupakan video komentar kritis yang termasuk ke dalam kepentingan yang
sewajarnya yang telah diatur di dalam Fair Use Act Amerika Serikat.
Untuk di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ditemukan kasus
kepentingan yang sewajarnya yang berkaitan dengan Youtube. Itu
dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia terutama Youtuber
dalam ranah hukum, khususnya hak cipta dan kepentingan yang sewajarnya
atau faktor lainnya adalah, mereka tidak mau menghabiskan uang yang sangat
banyak serta waktu yang lama untuk berperkara di pengadilan atau arbitrase.
Maka dari itu pentingnya sosialisasi dan penetapan batasan dari doktrin
kepentingan yang sewajarnya ini sangat penting demi terciptanya sirkulasi
hukum dan wawasan masyarakat yang semakin luas mengenai Hak Cipta di
Indonesia. Sistem hukum positif Indonesia tidak hanya memiliki satu opsi
untuk menyelesaikan perselisihan hak cipta. Selain mekanisme pidana,
dimungkinkan juga dengan perdata dengan dalih bahwa suatu tindakan telah
dilakukan terhadap hukum perdata (onrechtmatige daad). Penggugat
mengajukan klaimnya ke pengadilan negeri setempat. Ketika kasus ini
disidangkan di pengadilan, hakim tetap berkewajiban untuk memberikan opsi
damai kepada para pihak.
Dengan terjadinya kasus diatas maka sangat penting bagi Youtube untuk
menetapkan batasan dari kepentingan yang sewajarnya dalam aturannya serta
melakukan investigasi lebih lanjut dengan laporan-laporan yang masuk
sehingga tidak perlu terjadi lagi kasus seperti Ethan melawan Matt Hoss yang
menghabiskan ratusan ribu dollar Amerika sehingga akan sangat menghambat
dan merugikan para kreator yang masih baru terjun di dalam Youtube. Dengan
ditegakkannya hukum doktrin kepentingan yang sewajarnya maka dapat
diharapkan kepada para kreator dapat memahami dengan jelas apa saja
64

kriterianya walaupun di Indonesia batasan pastinya tidak terlalu jelas, namun


apabila mengikuti aturan Youtube saat ini maka video berisi komentar kritis
dapat dikategorikan sebagai Kepentingan yang sewajarnya.
Namun karena Youtube merupakan wadah bersosialisasi antar pihak dan
tempat menyebarkan berbagai video yang sifatnya internasional, maka apabila
terdapat sengketa Hak Cipta namun lokasi tergugat dan penggugat di beda
Negara, maka Penggugat harus menghampiri lokasi tergugat untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan tempat tergugat tinggal sesuai dengan
hukum yang berlaku. Namun, apabila lokasi pihak yang bersengketa masih
sama di Indonesia, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan sesuai dengan
prosedur yang ada di Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia.
Sebaiknya Youtube Indonesia memberikan prosedur yang jelas dan sesuai
dengan Undang-Undang di Indonesia, karena selama ini proses penyelesaian
hanya dilakukan sesuai laporan yang masuk dan seringkali bukan pencipta
aslinya yang melakukan klaim hak cipta terhadap suatu visual maupun audio
tersebut, melainkan oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka seharusnya
Youtube harus memberikan prosedur yang jelas terhadap penyelesaian
sengketa dan batasan dalam menentukan kepentingan yang sewajarnya
sehingga para pihak dapat mengetahuinya dan tidak memperkarakannya
melalui pengadilan niaga untuk menentukan apakah kasus tersebut merupakan
kepentingan sewajarnya.
Merujuk pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak
Cipta yang peneliti uraikan diatas, terdapat kelemahan khususnya optimalisasi
dalam penerapan sanksi dan batasan kata “Sewajarnya” dari doktrin
kepentingan yang sewajarnya. Apabila tidak diberikan batasan yang jelas dan
pasti, ini merupakan peluang untuk seseorang menuntut orang lain apabila
terdapat unsur ciptaannya walaupun sudah dicantumkan sumber aslinya,
terlebih karena maraknya masyarakat yang ingin menjadi seorang youtuber
khususnya yang memuat konten kritik dan reaksi yang sangat sering
bergesekan dengan dugaan pelanggaran Hak Cipta.
65

Adanya Potensi gugatan yang ditujukan kepada youtuber yang masih


merintis sangat besar karena lemahnya dan kurangnya pengetahuan hukum
bagi mereka. Youtube akan membantu dan menindak lanjuti orang yang
mengaku-ngaku sebagai pencipta asli, namun kembali apabila orang tersebut
langsung menggugat melewati pengadilan bukan dari sistem Youtube, maka
potensi kerugian yang akan diterima tergugat akan sangat besar. Oleh karena
itu ada baiknya jika badan yang memiliki otoritas segera memberikan batasan
yang bersifat kuantitatif terhadap doktrin Kepentingan yang Sewajarnya ini
yang sifatnya tidak merugikan salah satu pihak yang sebenarnya tidak
melakukan kesalahan. Apabila tidak segera diubah maka masyarakat luas akan
dibayang-bayangi dengan ancaman kerugian mulai dari ratusan hingga
milyaran rupiah seperti pasal yang sudah peneliti uraikan.
Pemerintah seharusnya merevisi ulang ketentuan dan batasan dari doktrin
kepentingan yang sewajarnya ini agar tidak sebatas ketentuan kuantitatif dari
penciptanya saja yang mengakibatkan terjadinya kerancuan atau multi tafsir
dari ketentuan tersebut sehingga dapat merugikan seseorang yang ini berkreasi
dengan kreativitasnya masing-masing. Dengan adanya batasan dari
kepentingan yang sewajarnya maka diharapkan sengketa-sengketa hak cipta
dapat dikurangi serta tidak ada lagi pihak yang memanfaatkan ketentuan multi
tafsir tersebut untuk menindas pihak yang dianggapnya lemah.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian hasil penelitian skripsi yang sudah dijelaskan secara
terperinci dalam bab-bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Batasan Kepentingan yang Sewajarnya menurut Youtube.com
Dari penelitian skripsi yang telah diruaikan dan dijelaskan secara
terperinci di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa Kebijakan Youtube
mengenai Hak Cipta, khususnya doktrin Kepentingan yang Sewajarnya,
Youtube memberikan batasan dari pencipta asli untuk melaporkan apabila
terdapat video yang tidak memenuhi hak ekonomi dalam ciptaannya
tersebut. Tidak perduli apabila sebenarnya video tersebut merupakan video
kritik atau komentator yang sebenarnya termaksud dalam kepentingan yang
sewajarnya sebagaimana di halaman website Youtube disebutkan
“Penggunaan yang diperkenankan merupakan doktrin hukum yang
menyatakan bahwa Anda dapat menggunakan kembali materi yang
dilindungi hak cipta di dalam situasi tertentu tanpa memerlukan izin dari
pemilik hak cipta.” Maka sangat penting untuk Youtube dalam menegakan
doktrin kepentingan yang sewajarnya ini agar dapat berjalan dengan baik
tanpa adanya perkara yang harus masuk pengadilan.

2. Penyelesaian Perkara Kepentingan Yang Sewajarnya


Apabila terdapat perkara dan gugatan untuk menyelesaikan Hak
Kekayaan Intelektual khususnya doktrin kepentingan yang sewajarnya yang
dapat diselesaikan di Pengadilan Niaga. Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta tidak dijelaskan secara merinci. Namun
dikarenakan doktrin ini merupakan hasil karya dari Common Law dan
merupakan aturan tersebut, maka penyelesaian terkait doktrin ini harus
ditentukan oleh Hakim dengan yurisprudensi hakim terdahulu.

66
67

Karena minimnya pengetahuan serta tidak ingin bersengketa melewati


pengadilan, maka banyak Youtuber yang lebih memilih mengalah apabila
videonya dihapus dikarenakan adanya laporan dari pencipta yang merasa
karyanya disalahgunakan oleh Youtuber. Karena ketentuan yang cukup
merepotkan dan menghabiskan banyak uang, maka memang seharusnya
Youtube lebih tanggap dan memperbaiki sistemnya agar sesuatu yang
termasuk ke dalam kepentingan yang sewajarnya tidak dianggap
pelanggaran.

B. Rekomendasi
Dengan pembahasan dan kesimpulan yang peneliti teliti pada skripsi di atas,
maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Memasukan muatan yang mengatur batasan kepentingan yang sewajarnya
terhadap segala aturan perubahannya berdasarkan konvensi internasional
kedalam Undang-Undang Hak Cipta;
2. Merevisi Kepentingan yang sewajarnya pada Pasal 44 dan 46 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan menambahkan
ketentutan batasan terhadap doktrin tersebut;
3. Memberi batasan yang pasti terhadap kata “sewajarnya” dalam doktrin
kepentingan yang sewajarnya yang dimulai dari pasal 43 sampai dengan
49 sehingga ancaman untuk terjerat pidana pada pasal 113 Undang-
Undang Hak Cipta akan ikut menurun;
4. Youtube sebagai badan hukum resmi di Indonesia memberikan batasan
yang jelas serta tahapan penyelesaian melalui jalur litigasi ataupun non-
litigasi mengenai kepentingan yang sewajarnya;
5. Youtube mengikuti aturan hukum yang ada di Indonesia apabila ada
perkara Hak Kekayaan Intelektual terhadap rekan atau Youtubernya
dengan membantu sebaik mungkin dan tidak memutuskan sepihak untuk
menghapus video yang dilaporkan oleh pihak yang mengaku sebagai
pencipta.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amalia, Euis, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009.

Amiruddin dan Zainuddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2004.

Apeldoorn, L.j Van, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir,
Bandung: PT.REVIKA Aditama, 2006.

Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/


pag/Aristoteles-nicomachaen.html. (Diakses pada 6 mei 2019)

Damian, Eddy, Hukum Hak Cipta, Edisi Kedua, Cetakan ke-3, Bandung: Alumni,
2005.

Dirdjosisworo, Soedjono, Kontrak Bisnis, Bandung: Universitas Katolik


Parahyangan, 2003.

Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah,


Teori dan Prakteknya di Indonesia), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1997.

Goldstein, Paul, Copyright, Volume I, Canada: Little, Brown , & Company, 1989.

Hariyani, Iswi, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, Yogyakarta : PT. Pustaka
Yustisia, 2010.

HFA, Vollmar, terjemahan I.S. Adiwimarta, Pengantar Studi Hukum Perdata, (I),
Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Kansil, Cst, Kamus istilah Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2009.

M, Manullang E.fernando, Menggapai hukum berkeadilan, Jakarta: buku kompas,


2007.

68
69

Margono, Suyud, Hukum Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi
Ketentuan World Trade Organization/WTO- TRIPs Agreement, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2011.

Mertokusomo, Sudikno Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta:


Cahaya Atma Pusaka, 2014.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2008.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti, 2004.

Qamar, Nurul, Percikan pemikiran tentang hukum, Makassar: Pustaka Refleksi,


2011

Riswandi, Budi Agus, M. Syamsudin, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya


Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.

Riswandi, Budi Agus, Pembatasan dan Pengecualian Hak Cipta di Era Digital,
Yogyakarta: PT.Citra adiya Bakti, 2017.

Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004

Schechter, Roger E. And John R. Thomas, Intellectual Property: The Law of


Copyrights, Patents, and Trademarks, St. Paul: West Group, 2003.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2007

Soelistyo, Henry, Plagiarisme: pelanggaran hak cipta dan etika, Yogyakarta: PT.
Kanisius, 2011.
70

Soemitro. Roni Hanitjo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998.

Supramono, Gatot, Hak Cipta dan Aspek- Aspek Hukumnya, Jakarta: Rineka
Cipta, 2010.

Usman, Rachmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan


Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: Alumni, 2003.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Lisensi, Jakarta: P.T Raja Grafindo
Persada, 2001.

Yusran, Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2009.

JURNAL

Kasunic, Robert, Fair use and the educator’s rights to photocopy copyrighted
material from classroom use, Jurnal internasional Vol. 19 No. 3 1993

Mastur, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Dibidang Paten, Jurnal


Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 1 Januari 2012.

Rife, Martine Courant, The fair use doctrine: History, application, and
implications for (new media) writing teachers, Jurnal internasional Vol.24
No.2 2007.

Ristyan, Edwita. Perlindungan hukum hak terkait terhadap karya siaran skysports
yang dipublikasikan melalui situs internet, Jurnal Hukum vol. 1 nomor 1
2017.

Setiyono, Terciptanya Rasa Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan dalam


Kehidupan Masyarakat, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Vol. XIV, Nomor 2 ,
November 2016.
71

Shidarta, mencari jarum ‘kaidah’ di tumpukan jerami ‘Yurisprudensi’, Jurnal


yudisial, Vol. 5, Nomor 3, Desember 2012.

Sudjana, Implikasi Doktrin “Fair Use” Terhadap Pengembangan Ilmu


Pengetahuan1 Oleh Dosen Atau Peneliti Dalam Perspektif Hukum Hak
Cipta, Jurnal Hukum VEJ Vol. 4 nomor 2 tahun 2018.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 Tentang


Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

WEBSITE

https://support.google.com/youtube/answer/2807684?hl=id

https://support.google.com/youtube/answer/6013276?hl=id

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=20&cad=
rja&uact= 8&ve (Diakses pada tanggal 06-05-2019 pada pukul : 18 : 00
WIB)

https://www.youtube.com/intl/id/yt/about/copyright/fair-use/#yt-copyright-
protection diakses pada tanggal 27 mei 2019

https://www.youtube.com/intl/id/yt/about/copyright/fair-use/#yt-copyright-
protection diakses pada tanggal 27 mei 2019

Memahami Kepastian dalam Hukum (http//ngobrolinhukum.wordpress.com


diakses pada tanggal 06-05-2019 pukul : 17:00 WIB)
LAMPIRAN

Transkrip Percakapan Antara Peneliti dan Narasumber

P: Peneliti
N: Narasumber

P: Halo kak Deo, sebelumnya terima kasih karena sudah mau di wawancarai untuk
menjadi narasumber skripsi saya. Sebelumnya kalau boleh saya minta kak deo
perkenalkan diri dulu ya dan posisinya sebagai apa di Youtube Asia Pasific.
N: Halo iya Panji sama-sama yaa. Perkenalkan nama saya Deo Nathaniel dan saat
ini posisi saya di YouTube adalah sebagai Youtube Partner Operation Manager
di YouTube Asia Pasific Singapur. Tapi kami menghandle juga untuk Youtube
yang di Indonesia.
P: Oke, makasih kak deo.. jadi langsung ke intinya aja nih, skripsis saya kan
membahas mengenai doktrin kepentingan yang sewajarnya nih dan kebetulan
Youtube juga menganut doktrin tersebut, Cuma tidak memberikan batasan
secara eskplisitnya.. boleh ngga di sharing batasannya dari kepentingan yang
sewajarnya di YouTube Indonesia itu apa?
N: Hmm boleh.. sebenernya semua itu jawabannya ada di website YouTube yaa,
jadi sebenernya kita tuh mengikuti hukum yang ada di Indonesia, dan kebetulan
untuk batasannya sendiri sampai saat ini pihak YouTube itu bertindak sebagai
platform aja jadi tidak melakukan enforcement langsung, sehingga laporan yang
masuk dari pencipta sendiri yang mengisi form klaim hak cipta di website
youtubenya lalu diajukan ke pihak YouTube. Apabila dirasa memang melakukan
kesalahan maka video yang diklaim tersebut akan kita turunkan dan hapus. Tapi
sebelum klaim, pencipta juga harus mengetahui apakah video tersebut termasuk
dalam kepentingan yang sewajarnya atau nggak. Nah kalau kepentingan yang
sewajarnya ini juga ada di website kita dan dikatakan yang termasuk kepentingan
yang sewajarnya ini itu kaya video berbau kritik atau react gitu loh.
P: baiklah, jadi untuk batasannya sendiri dari pencipta itu sendiri ya? Lalu kalau
seperti lagu yang dicover atau lagu yang ada dalam video react itu gimana?
N: untuk permasalahan cover lagu, biasanya dari perusahaan label dan pengcover
tersebut sudah ada perjanjian bagi royalti sehingga aman-aman aja untuk tetap
ada di YouTube, tapi untuk materi lain selain lagu maka tidak bisa seperti ini.
Maka dari itu YouTube punya sistem sendiri bernama Content ID yang bisa
langsung tau apabila terdapat konten yang dirasa melanggar hak cipta. Tapi
apabila klaim kita salah, maka pemilik video bisa melakukan keberatan dengan
mengisi form yang sudah disediakan juga di website.

72
73

P: okedeh kak, nah kalau ada kasus yang bisa masuk pengadilan itu nanti posisi
YouTube di situ menjadi apa?
N: Apabila masuk pengadilan, maka YouTube hanya sebagai pihak penyedia jasa
saja dan dapat memberikan keterangan apabila memang dirasa dibutuhkan di
pengadilan, sampai saat ini belum ada kasus yang masuk sih di pengadilan
Indonesia terkait permasalahan ini. Tapi kalau di luar negeri biasanya ada
pencipta yang menggugat youtuber sehingga masuk ke pengadilan, seperti
kasusnya H3H3 tuh kalau kamu tau. Nah itu sudah sampai masuk pengadilan
dan Youtube hanya sebagai pihak yang memberikan keterangan saja karena
semua aturan sudah kita masukkan ke website kita, namun kembali ke pencipta
aslinya.
P: ohh gitu, okedeh kak kalau begitu, mungkin cukup dari saya untuk wawancara
hari ini, berarti saya tangkep sih youtube hanya sebagai platform yang nggak
melakukan enforcement ya jadi bersifat pasif dan menunggu laporan dari
pencipta aja, tapi pencipta juga harus tau apakah video yang dilaporkan itu
memenuhi kepentingan yang sewajarnya atau enggak. Terus kalau pemilik video
tidak terima dengan klaim yang dituduhkan ke dia, dia bisa lapor keberatan ya
dengan mengajukan klaim juga.
N: Benar sekali..
P: ok deh mungkin cukup dari saya dan terima kasih ya kak karena sudah mau
meluangkan waktunya untuk saya wawancarai..
N: Iya sama sama Panji..

Anda mungkin juga menyukai