Anda di halaman 1dari 70

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

KASUS KILANG MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR.


(Studi Kasus Kilang Minyak Montara Di Laut Timor)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
FATHURRAHMAN AHMAD FAUZI
NIM :
11130480000020

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M
i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah


SWT karena hanya berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis berhasil
menyelesaikan skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL
TERHADAP KASUS KILANG MINYAK MONTARA”. Ucapan terima kasih ini
saya tujukan kepada berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
telah membantu penyelesaian penulisan karya tulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, serta Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.AC. Dosen Pembimbing saya, atas
ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung dan
mengarahkan peneliti dalam penyusunan skripsi ini.
4. Berbagai Lembaga atau Institusi yang telah membuat Jurnal, Laporan,
ataupun sebuah penelitian terdahulu sehingga penulis bisa melakukan
penelitian dan memahami masalah yang terjadi dari berbagai perspektif.
Antara lain, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian
Perhubungan, International Maritime Organization, Montara Commission of
Inquiry o the Australian Government, Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi di
Laut Timor.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan.

v
6. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian karya tulisnya.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk penelitian lanjutan di
masa mendatang.
Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.

Jakarta, 14 Februari 2018

Penulis

vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ ……….i

LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ………ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ………iii

ABSTRAK……………… ........................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................... v

DAFTAR ISI ............................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................................ 7
1. Identifikasi Masalah .......................................................................... 7
2. Pembatasan Masalah........................................................................... 7
3. Perumusan Masalah ............................................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................................ 7
1. Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
2. Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
D. Metode Penelitian ................................................................................... .8
1. Tipe Penelitian……………………………………… ....................... .8
2. Pendekatan Masalah .......................................................................... .8
3. Bahan Hukum ..................................................................................... 9
4. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 10
5. Analisis Data ..................................................................................... 10
6. Teknik Penulisan ............................................................................... 10
E. Sistematika Penelitian............................................................................ 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 12


A. Kerangka Konseptual............................................................................ 12
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Laut Internasional ...................... 12
2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Lingkungan Internasional ......... 16
3. Tinjauan Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional .. 17
4. Teori Tanggung Jawab Negara ........................................................ 21
5. Teori Tanggung Jawab Mutlak ........................................................ 21
6. Teori Kerjasama Internasional......................................................... 22
7. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Fiqih Biah .......................... 23
8. Tinjauan Umum Mengenai Pencemaran Laut ................................. 25
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................... 27
BAB III PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERKAIT
PENCEMARAN LINGKUNGAN LINTAS BATAS MARITIM DI
LAUT TIMOR .......................................................................................... 29
A.Gambaran Umum tentang Pencemaran Lingkungan Lintas Batas
Maritim Yang Terjadi di Laut Timor. .................................................... 29
B.Pengaturan Hukum Internasional Terkait Dengan Pencemaran
Lingkungan Lintas Batas Maritim Yang Terjadi di Laut Timor. ........... 36
BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PENCEMARAN
LINGKUNGAN LINTAS BATAS MARITIM DI LAUT TIMOR ..... 39
A. Tindakan Preventif Yang Telah Dilakukan Oleh Pihak-Pihak Terkait . 39
1. Penanganan dari Pemerintah Australia ............................................. 39
2. Penanganan dari Pemerintah Indonesia ............................................ 42
3. Penanganan dari pihak PIT Exploration&Production Australasia... 44
B. Perjanjian Bilateral Antara Indonesia dan Australia Terkait
Pencemaran Laut .................................................................................. 45
C. Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor ............... 46
D. Analisis Sistematika Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum
Internasional ......................................................................................... 48
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 55
A. Kesimpulan ........................................................................................... 55
B. Rekomendasi ......................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 57
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup


bersama dengan benda–benda tak-hidup lainnya.1 Lingkungan hidup merupakan
salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Selain menjadi tempat tinggal
bagi manusia, lingkungan hidup juga menjadi penyedia sumber daya untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.2 Salah satu bagian dari lingkungan hidup
guna memenuhi kebutuhan manusia adalah laut. Dimana saat ini laut merupakan
salah satu penentu dari kesejahteraan manusia. Hal ini disebabkan karena pada
wilayah laut tersebut telah ditemukan sumber kekayaan alami, antara lain berupa
minyak, timah, gas bumi, dan sumber hayati dan nabati berupa ikan dan
sebagainya. Laut memiliki peran yang besar dalam penyediaan sumber daya alam
yang tidak terbatas bagi manusia dan dapat dikelola untuk memberikan manfaat
yang besar bagi manusia. Namun selalu ada akibat yang ditimbulkan dari
pengelolaan lingkungan laut tersebut yang mungkin dapat ditimbulkan untuk
membahayakan kelestarian laut itu sendiri.
Hukum lingkungan internasional adalah keseluruhan kaedah, azas–azas,
lembaga–lembaga, dan proses–proses yang mewujudkan kaedah tersebut dalam
kenyataan.3 Hukum atau keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah
keseluruhan kaedah dan azas yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian

1
Otto Soemarwoto, Ekologi: Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Djambatan,
1991), h.48.
2
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.4.
3
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional: Buku I, (Bandung: Binacipta,
1982), h.vii.

1
2

internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan


hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara
termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan
internasional.4 Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan
Bangsa–Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea) tahun 1982
yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undanng-Undang Nomor 17 Tahun
1985 Tentang Pengesahan United Nation Convention on the Law Of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Maka Indonesia
mendapatkan wewenang untuk memanfaatkan, melindungi dan memelihara
sumber–sumber kekayaan yang berada di laut.5
Salah satu masalah terbesar dalam pelestarian lingkungan laut adalah
adanya pencemaran. Masalah pencemaran lingkungan laut saat ini telah menjadi
masalah global yang mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Hal tersebut
terjadi karena dampak yang diakibatkan oleh aktifitas suatu negara dalam
melakukan pengelolaan laut mulai mengganggu ketersediaan sumber daya alam
tersebut baik negara pantai itu sendiri ataupun bagi negara–negara lain. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kerusakan yang terjadi terhadap lingkungan laut tidak lain
disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat
dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi baik di penambangan minyak atau sektor
mineral lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pencegahan dan
penanggulangan dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan dan manfaat laut
demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.6

4
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional: Perspektif Bisnis Internasional,
(Bandung: Rafika Aditama, 2003), h.1.
5
Andi Iqbal Burhanuddin, The Sleeping Giant, Potensi dan Permasalahan Kelautan,
(Surabaya: Brillian internasional, 2011), h. vii.
6
Achmad Santosa, Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan, (Jakarta: Asa Prima Pustaka,
2016), h.4.
3

Dalam bukunya, Churchill dan Lowe menjabarkan penyebab pencemaran


laut menjadi pencemaran yang berasal dari kapal, pencemaran akibat dumping,
pencemaran akibat aktivitas eksplorasi dan eksploitasi dasar laut serta pencemaran
yang bersumber dari darat dan udara.7 Salah satu contohnya adalah masalah
pencemaran yang disebabkan oleh minyak bumi, yang mana permasalahan ini
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Mengingat posisi geografis dari
negara Indonesia yang terletak dekat dengan jalan terdekat penghubung urat nadi
angkutan minyak bumi terbesar di Timur Tengah dengan industri besar
konsumennya antara lain negara Jepang, Amerika Serikat dan sebagainya.8 Tidak
dapat dipungkiri bahwa laut sangat riskan dari aktifitas manusia, yang seringkali
dieksploitasi oleh tangan–tangan yang tidak bertanggung jawab.
Dalam pasal 193 United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982
terkandung prinsip penting yang menyatakan setiap negara mempunyai hak untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi laut sesuai dengan kebijakan lingkungan
mereka dan dengan kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan laut.
Telah dijelaskan pula didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang
Kelautan pada pasal 1 ayat 10 bahwa perlindungan lingkungan laut merupakan
suatu upaya yang dilakukan untuk melestraikan sumber daya laut dan mencegah
terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan laut yang meliputi
konservasi laut, pengendalian pencemaran laut, penanggulangan bencana kelautan,
pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta kerusakan bencana.
Tercantum pada pasal 192 United Nation Convention on the Law Of the
Sea 1982 yang mengatur mengenai penemaran pada laut lepas bahwa:

7
R. R. Churchill dan A. V. Lowe, The Law of the Sea Third Edition, (United Kingdom:
Manchester University Press, 1999), h. 329-330.
8
Mochtar Kusumaatmaja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumannya, (Bandung: Orasi,
1977), h. 177.
4

“negara–negara diwajibkan untuk melindungi dan memelihara


lingkungan kelautan sesuai dengan aturan–aturan internasional dan
perundang–undangan nasional.”
Selain pasal 192 United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982,
perlindungan lingkungan laut terutama dalam hal ini pencemaran karena tumpahan
minyak juga diatur dalam instrumen hukum internasional lainnya. Diantaranya
pasal 24 “Geneve Convention on the High Seas 1958” mengenai rezim laut lepas
yang berbunyi :
“every state shall draw up regulations to prevent pollution of the seas
by the discharge oil from ships of pipelines or resulting from the
exploitation and exploration of the seabed and its subsoil taking
account to the existing treaty provisions on the subject”
(setiap negara wajib mengadakan peraturan–peraturan untuk mencegah
pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa
laut atau yang disebabkan oleh eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dan tanah
dibawahnya dengan memperhatikan ketentuan–ketentuan perjanjian internasional
yang ada mengenai masalah ini).
Penjelasan yang tertuang pada asas ke-7 “Stockholm Declaration
(Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment) 1972”
juga mengatur tentang kewajiban negara untuk mencegah pencemaran laut, yang
berbunyi:
“state shall take all possible steps to prevent pollution of the seas by
substance that are liable to create hazard to human health, to harm
living resources and marine live,, to damage amenities or to interfere
with other legitimate uses of the sea.”
(negara berkewajiban untuk mengambil tindakan–tindakan guna menccegah
penemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia,
sumber kekayaan hayati laut terhadap penggunaan lingkungan laut).
5

Salah satu kasus yang paling umum terjadi dalam hal kerusakan dan
pencemaran lingkungan adalah pencemaran laut akibat eksploitasi minyak dan gas
bumi (MIGAS) dalam tahap transportasi laut ke darat atau darat ke laut seperti
yang terjadi pada tahun 1967, kapal tanker pembawa minyak Torrey Canyon
menabrak Seven Stones Reef antara Isles of Scilly dan Land’s End, sehingga
mengakibatkan kerugian yang besar. Namun, tidak sedikit juga kasus terjadinya
blowout dianjungan MIGAS pada tahap eksploitasi di tengah laut maupun lepas
pantai. Terjadinya blowout dari anjungan pengeboran Ixtoc One di Teluk Mexico
pada tahun 1979 yang disebut-sebut sebagai salah satu pencemaran laut terparah
yang pernah terjadi. Minyak yang tak berhenti mengalir selama kurang lebih
sembilan bulan sebelum akhirnya sumur bisa ditutup. Dampak dari hal tersebut
meluas pada lingkungan perairan, industri perikanan, dan pariwisata Amerika
Serikat. Sebelas tahun kemudian pada tahun 1989, terjadi pencemaran laut dari
Exxon Valdez daerah Selatan Alaska yang disebabkan oleh tumpahnya 240.000
barel (11 juta gallon) minyak ke daerah Prince William Sound. Dengan terjadinya
ini, ekosistem sekitarnya rusak sehingga keanekaragama hayati di laut seperti
anjing laut, ikan-ikan, bahkan burung-burung terkena imbasnya. Proses
pembersihan minyak dari laut dapat terselesaikan dengan lancar namun tidak sama
halnya dengan penyelesaian kasus ini dari segi hukum, lebih dari 100 Lawfirm
berpartisipasi dalam lebih dari 200 gugatan di pengadilan dengan lebih dari 30.000
kalim.9 Sebagai respon dari pencemaran laut yang besar ini, Amerika Serikat
memberikan denda kepada Exxon Shipping Company, pemilik dari Exxon Valdez,
serta perusahaan induknya Exxon Corporation dengan masing-masing lima
tuntutan pidana. Lalu, pada tanggal 20 April 2010 juga terjadi kasus pencemaran
dan kerusakan lingkungan laut oleh minyak (oil spill) yang disebut sebagai tragedi
Deepwater Horizon yang cukup menyita perhatian. Terjadi sebuah ledakan di

9
Martha Williams, “Mess of Lawsuits is Proving Stickier than Valdez Oil Spill”, (Seattle
Times, Juli 26, 1991), h. A1.
6

Deepwater Horizon, sebuah anjungan pengeboran minyak yang terletak di 66


kilometer lepas pantai Louisiana, Amerika Serikat. Ledakan pada sumur yang
dioperasikan oleh British Petroleum (BP), sebuah perusahaan minyak dari Inggris,
yang akhirnya menewaskan 11 orang pekerja. Titik ledakan tepat pada kepala
sumur di kedalaman 1.500 meter di bawah permukaan laut.
Kasus-kasus tersebut merupakan permasalahan yang cukup menyita
perhatian dunia. Kemudian, pada tanggal 21 Agustus 2009 juga terjadi kasus
serupa kebocoran akibat meledaknya kilang minyak dan gas lepas pantai
Perusahaan PIT Exploration and Production Australasia yang merupakan
perusahaan Thailand dan bagian dari grup perusaahan PIT Expliration and
Production Public Company Limited serta selaku pemilik dan operator ladang
minyak dan gas Montara Sea Drill Norway Pty Ltd yang terletak di Blok Atlas
Barat Laut Timor. Diperkirakan, sebanyak 500 ribu berel minyak tumpah setiap
harinya selama 74 hari. Selain tumpahanya minyak, disertai pula dengan adanya
zat timah hitam bercampur bubuk kimia dipersant jenis Corexit yang beracun
untuk menenggelamkan tumpahan miyak ke dasar Laut Timor.
Saat ini ratusan ribu masyarakat NTT berdomisili di sepanjang garis pantai
selatan dan utara Pulau Timor, Rote Ndao, Sabu Raija, Alor, Sumba dan Flores
serta Lembata sudah tidak dapat membudidayakan rumput laut yang biasa disebut
“emas hijau” karena wilayah perairan budidaya mereka sudah terkontaminasi
dengan minyak mentah, zat timah hitam dan bubuk kimia, serta rusaknya terumbu
karang yang diperkirakan seluas 65.000 hektare, yang menyebabkan sekitar 18.000
nelayan laut kehilangan mata pencahariaannya serta petaka bagi lingkungan global
dan perubaan iklim. Masyarakat Timor bekerjasama dengan Yayasan Peduli Timor
Barat, terus melakukan upaya untuk mendapatkan apa yang menjadi hak mereka,
agar Pemerintah Australia dan Indonesia dapat mengambil langkah–langkah
pertanggungjawaban. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui secara
mendalam mengenai pelaksanaan penanggulangan pencemaran lingkungan laut
7

dari aspek penegakan hukum lingkungan international. Sehingga penulis


mengambil judul.

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS


KILANG MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah
Identifikasi Masalah dalam Skripsi ini meliputi:
a. Hukum internasional tentang pencemaran lingkungan,
b. Kasus kilang minyak montara yang terjadi di laut timor,
c. Penyelesaian sengketa kasus kilang minyak montara.

2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian peneliti menjadi efektif, tepat sasaran dan tidak
melebar maka peneliti hanya membatasi penelitian ini hanya pada tinjauan
hukum internasional terkait penanggulangan dan penyelesaian sengketa kasus
Kilang Minyak Montara di Laut Timor.

3. Perumusan Masalah
Bagaimana penyelesaian sengketa yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan sengketa kasus pencemaran kilang minyak montara di Laut
Timor berdasarkan Hukum Internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sistematika
penyelesaian sengketa kasus kebocoran kilang minyak montara di Laut Timor
berdasarkan Hukum Internasional.
8

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan untuk


pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum lingkungan dan hukum
internasional.
b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran


dalam praktik penyelesaian sengketa yang saat ini masih terus berlangsung di
Laut Timor bagi masyarakat maupun pemerintah.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yuridis


normatif yang bersumber dari studi kepustakaan.

1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan sifat penelitian deskriptif analitis dengan
judul Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Kilang Minyak Montara
Di Laut Timor. Dalam kaitannya, peneliti mengacu kepada peraturan
perundang–undangan, norma–norma serta gejala hukum yang ada di
masyarakat dan juga menggambarkan peraturan perundang–undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum
positif yang diangkat sebagai penelitian.10

2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yuridis
normatif berupa penafsiran hukum, kontruksi hukum, filsafat hukum
(kepastian hukum). Yang mana dalam suatu penelitian hukum normatif tentu
10
Ronny Haditjo Soemitro, Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cetakan ke-4,
(Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1990), h. 97-98.
9

harus menggunakan pendekatan perundang–undangan karena yang akan


diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema
sentral suatu penelitian.

3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan hukum.11 Bahan
hukum yang terdapat pada penelitian ini antara lain Convention on the
Highseas 1958, International Convention on Civil Liability for Oil
Pollution Damage 1969, International Convention on Establishment of an
International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971,
Stockholm Declaration 1972, United Nation Convention on the Law of the
Sea 1982, Rio Declaration 1992, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan Presiden Nomor 106
Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak
di Laut.

b. Bahan Hukum Sekunder

11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana 2010) h. 141
10

Bahan hukum sekunder yang peneliti gunakan dalam penelitian ini


terdiri dari buku buku yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan, Hukum
Internasional, dan Konvensi Persatuan Bangsa Bangsa khususnya yang
berkaitan dengan bidang kelautan, Jurnal-jurnal hukum yang terdapat pada
situs internet dan juga skripsi dan tesis tentang hukum lingkungan.

c. Bahan non Hukum


Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti
kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan lain-lain.

4. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi
kepustakaan. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
melakukan penelitian data sekunder berupa buku, jurnal, artikel ataupun
literatur lainnya.

5. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini baik penelitian kepustakaan
maupun penelitian lapangan dianalisis secara Normatif Kualitatif. Normatif
karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai
hukum positif. Kualitatif, karena merupakan analisis data yang berasal dari
berbagai literatur. Dengan demikian merupakan analisis data tanpa
mempergunakan rumus dan angka.

6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi
ini disesuaikan kaidah-kaidah penelitian karya ilmiah dan buku “Pedoman
Penelitian Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.
11

E. Sistematika Penelitian

Dalam memaparkan isi penelitian ini secara menyeluruh maka peneliti


menggunakan sistematika penelitian skripsi sebagai berikut:

BAB 1, Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menjelaskan terkait latar


belakang masalah, perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II, KAJIAN PUSTAKA. Dalam bab ini peneliti menjelaskan
tinjauan umum tentang hukum laut dan hukum lingkungan internasional,
tinjauan mengenai penyelesaian sengketa internasional, teori tanggung jawab
negara dan tanggung jawab mutlak, teori kerjasama internasional, hukum
lingkungan dalam perspektif fiqh bi’ah, tinjauan mengenai pencemaran laut, dan
tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III, Pengaturan Hukum Internasional Terkait Pencemaran
Lingkungan Lintas Batas Maritim di Laut Timor. Dalam bab ini peneliti
menjelaskan tentang gambaran umum tentang pencemaran lingkungan lintas batas
maritim yang terjadi di Laut Timor dan pengaturan hukum internasional terkait
dengan pencemaran lingkungan lintas batas maritim yang terjadi di Laut Timor.
BAB IV Analisis Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan
Lintas Batas Maritim di Laut Timor. Dalam bab ini peneliti menjelaskan
tentang sistematika dan mekanisme mengenai penyelesaian sengketa pencemaran
lingkungan lintas batas maritim di Laut Timor berdasarakan Hukum Lingkungan
Internasional.
BAB V Penutup. Dalam bab ini peneliti memaparkan kesimpulan dan
rekomendasi penelitian berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan.
12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Laut Internasional


Laut terutama lautan samudera, mempunyai sifat istimewa bagi
manusia. Begitu pula hukum laut, karena hukum pada umumnya adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai
anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-
anggota masyarakat itu. Laut adalah suatu keluasan air yang meluas diantara
berbagai benua dan pulau-pulau di dunia.1 Melalui laut, masyarakat
internasional dan subjek-subjek hukum internasional lainnya yang memiliki
kepentingan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam hal
pelayaran, perdagangan sampai penelitian ilmu pengetahuan Dengan
demikian pada hakekatnya, segala peraturan hukum yang berlaku dalam tiap-
tiap negara, selayaknya terhenti berlaku apabila melewati batas menginjak
pada laut. Tetapi bagi manusia yang berdiam di tepi laut, sejak dahulu kala
dirasakan dapat dan berhak menguasai sebagian kecil dari laut yang terbatas
pada pesisir itu. Ini justru karena didasarkan tidak ada orang lain yang berhak
atas laut selaku suatu keluasan air. Maka ada kecenderungan untuk
memperluas lingkaran berlakunya peraturan-peraturan hukum di tanah pesisir
itu sampai meliputi sebagian dari laut yang berada di sekitarnya. Sampai
berapa jauh kearah laut peraturan-peraturan hukum dari tanah pesisir ini
berlaku, adalah hal yang mungkin menjadi soal, terutama apabila tidak jauh
dari tanah pesisir itu ada tanah pesisir dibawah kekuasaan negara lain. Maka
dengan ini sudah mulai tergambar suatu persoalan internasional, apabila orang

1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1984), h 8.
13

menaruh perhatian pada hukum mengenai laut. Maka dapat dimaknai bahwa
hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan
kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi
nasionalnya (national jurisdiction). Pentingnya laut dalam hubungan antar
bangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan
hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut yaitu sebagai
jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sumber tenaga. Di samping itu
hukum laut juga mengatur kompetisi antara negara-negara dalam mencari dan
menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara negara-
negara maju dan berkembang.2
Hukum laut internasional terdiri dari hukum laut internasional publik
(international law of the sea) dan hukum laut internasional perdata (maritime
law). Hukum Laut Internasional yang bersifat publik atau yang biasa disebut
United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) menghasilkan peraturan
tentang laut teritorial, zona tambahan, selat-selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional, perairan negara kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif,
landas kontinen, laut lepas, perbudakan, pembajakan, perdagangan narkotika
dan psikotropika, penyiaran gelap dari laut lepas, pengejaran seketika, kabel-
kabel dan pipa-pipa bawah laut, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan
hayati, pulau-pulau, laut tertutup atau setengah tertutup, hak negara daratan
untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan transit, kawasan dasar laut dan
dasar samudera dan tanah di bawahnya, pelestarian dan perlindungan
lingkungan hidup, riset ilmu kelautan, pengembangan dan alih teknologi, dan
penyelesaian sengketa-sengketa Sedangkan dalam Guide Line for Maritime
Legislation sebagai hasil dari The Legal Expert Meeting on a Model Maritime

2
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika
Global,(Bandung: Alumni, 2011), h 307.
14

Code for the ESCAP Region, menyebutkan bahwa ruang lingkup hukum laut
internasional perdata atau hukum maritim sedemikian luas yaitu:
a. Regulasi Ekonomi,
b. Kebangsaan Kapal,
c. Pendaftaran Kapal dan Hak Atas Kapal,
d. Keamanan,
e. Navigasi,
f. Pengawakan,
g. Manajer Kapal,
h. Agen,
i. Buruh Pelabuhan,
j. Penerus Muatan,
k. Kontrak Mengenai Kapal,
l. Hipotek Kapal dan Piutang Maritim,
m. Tanggung Jawab dan Batasan Tanggung Jawab Maritim,
n. Angkutan dan Kontrak lainnya,
o. Asuransi Laut,
p. Kecelakaan di Laut,
q. Polusi,
r. Pengangkutan Barang Berbahaya,
s. Penipuan di Bidang Maritim,
t. Pemeriksaan di Laut, dan
u. Penyelesaian Sengketa Maritim.3
Sementara hukum laut intrnasional perdata merupakan serangkaian
aturan-aturan hukum yang digunakan untuk mengatur hubungan keperdaraan
antara pihak-pihak yang berada di dalam dua yuridiksi negara yang berbeda
dalam bidang maritim. (Tatley, 2000; 780).

3
Syafinaldi, "Hukum laut internasional", (Pekanbaru: URI Press, 2009), h. 12.
15

Kemudian terkait hukum dan lingkungan merupakan dua hal yang


tidak dapat dipisahkan, bahkan dalam kajian yang lebih jauh lagi, hukum
lingkungan telah masuk kedalam sendi-sendi internasional, hal ini terjadi
ketika pembangunan mengarah kepada kerusakan lingkungan dan dibarengi
dengan kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya menjaga lingkungan
tersebut. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, hukum lingkungan internasional
adalah keseluruhan kaedah, azas-azas, lembaga-lembaga, dan proses-proses
yang mewujudkan kaedah tersebut dalam kenyataan.4 Hukum atau
keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan
azas yang terkadung dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum
kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh
masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara termasuk subjek-
subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam kehidupan
bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan
internasional.
Perkembangan hubungan internasional dan hukum internasional
selama beberapa dekade terakhir ini telah mendefinisikan langkah maju dari
hukum yang hanya saling hidup berdampingan dan aturan hukum yang abstain
menuju kerja sama hukum yang positif, yaitu dengan negara-negara menjadi
lebih bergantung satu sama lain dalam dunia yang semakin kompleks dengan
masalah lingkungan dan sosialnya. Peningkatan jumlah isu-isu internasional
membutuhkan peraturan internasional dan kerjasama untuk dapat
mengaturnya, dan bidang hukum lingkungan internasional adalah salah satu
isu kunci dari perkembangan isu saat ini.5

4
Mochtar Kusuma Atmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, (Bandung : Binacipta,
1982), h. vii.
5
Jurgen Friedrich, International Environmental “soft law”,( New York, Springer, 2013), h. 1.
16

2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Lingkungan Internasional


Hukum lingkungan internasional adalah salah satu cabang ilmu yang
mulai berkembang sejak tahun 60-an, United Nations Conference on the
Human Environment yang lebih dikenal dengan Konferensi Stockholm yang
diadakan di Stockholm pada tahun 1972 merupakan konferensi dengan isu
lingkungan hidup internasional yang pertama kali dilaksanakan. Konferensi
Stockholm merupakan titik balik dalam perkembangan politik lingkungan
hidup internasional.6 Yang pada akhirnya Konferensi Stockholm melahirkan
konsep “Hanya Ada Satu Bumi” (Only One Earth).
Penting untuk menyadari bahwa hukum lingkungan internasional
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum publik internasional.
Prinsip-prinsip hukum publik internasional seperti kewajiban untuk
bernegosiasi dengan itikad baik, prinsip bertetangga baik dan pemberitahuan
(notification), dan tugas untuk menyelesaikan sengketa secara damai juga
berlaku pada hukum lingkungan internasional. Pada saat yang sama,
pengembangan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional dan
konsepnya dapat mempengaruhi perkembangan prinsip-prinsip di bidang
hukum internasional. Dalam penerapan dan, dimana relevansi, konsolidasi dan
pengembangan lebih lanjut dari prinsip-prinsip dan konsep-konsep hukum
lingkungan internasional yang tercantum pada bab 3 Training Manual on
International Environmental Law, dan juga dari prinsip-prinsip hukum
internasional lainnya, akan berperan dalam mengejar tujuan pembangunan
berkelanjutan.7

6
John Baylis, Steve Smith, The Globalization of World Politics (3rd ed), (Oxford University
Press, 2005), h. 454-455.
7
Lal Kurukulasiruya, Nicholas A Robinson, United Nation Environment Programme,
Training Manual on International Environmental Law, (Kenya: Division of Environmental Policy &
Law, 2006), h. 24.
17

3. Tinjauan Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau perbantahan.8
Kata sengketa, perselisihan, pertentangan di dalam Bahasa Inggris sama
dengan “conflict” atau “dispute”.9 Keduanya mengandung pengertian tentang
adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak atau lebih, tetapi
keduanya dapat dibedakan. Kosa kata “conflict” dalam Bahasa Indonesia
diserap menjadi konflik, sedangkan kosa kata “dispute” diterjemahkan dengan
kata sengketa.
Konflik atau sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan
pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam
pengadilan.10 Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan
persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan yang dilakukan
secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang, lingkungan
yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun sosial.11 Sebuah konflik
berkembang menjadi sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung
kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.
Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah yang dipergunakan secara
bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils12

8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 643.
9
John.M. Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris,
(Jakarta: Gramedia, 1996), h. 138.
10
Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 433.
11
Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1982), h.
103.
12
Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: Refika
Aditama, 2006), h. 224.
18

memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan


suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan
penolakan di pihak lain. Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan
yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi
pada lingkup internasional. Dan di dalam bukunya Huala Adolf menyebutkan
bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara
mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau
tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.13
Hukum internasional pada umumnya membedakan sengketa
internasional atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat
hukum. Sengketa politik ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan
tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, misalnya atas dasar politik atau
kepentingan nasional lainnya. Atas sengketa yang tidak bersifat hukum ini,
penyelesaiannya adalah secara politik. Sedangkan sengketa hukum ialah
sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah
diakui oleh hukum internasional.14
Diakui bahwa tidaklah selalu mudah untuk membedakan apakah suatu
sengketa bersifat politik atau bersifat hukum. Tiap-tiap sengketa internasional
sekaligus mempunyai aspek politik maupun yuridik, hanya saja penonjolan
aspeknya berbeda dari suatu sengketa ke sengketa yang lain. Pembedaan jenis
sengketa ini dianggap perlu untuk mendapatkan cara penyelesaian yang lebih
sesuai. Jadi untuk sengketa yang bersifat politik maka penyelesaiannya
melalui prosedur politik, sedangkan untuk sengketa yang bersifat hukum

13
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h. 2.
14
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, (Bandung: Alumni, 2011), h. 195.
19

penyelesaiannya juga melalui prosedur hukum. Perbedaan kedua cara


penyelesaian sengketa ini terletak pada tingkat kekuatan mengikat dari
keputusan yang diambil.
Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara politik
hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa.
Usul-usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara-negara yang
bersengketa dan tidak harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum.
Konsiderasi-konsiderasi politik dan kepentingan-kepentingan lainnya dapat
juga menjadi dasar pertimbangan dalam penyelesaian sengketa secara hukum
mempunyai sifat mengikat dan membatasi kedaulatan negara-negara yang
bersengketa. Ini disebabkan karena keputusan yang diambil hanya didasarkan
atas prinsip-prinsip hukum internasional.15
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Charter of the United
Nation) 1945 mengatur 2 bentuk penyelesaian sengketa internasional, yaitu
penyelesaian sengketa secara damai dan penggunaan kekerasan. Dalam pasal
33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan antara lan:
a. Perundingan (Negotiation) yaitu perundingan antara pihak-pihak yang
bersengketa untuk memperoleh penyelesaian secara damai.
b. Penyelidikan (Enquiry) yaitu upaya lanjutan yang dilakukan apabila
tidak tercapainya kesepakatan danatara pihak-pihak yang bersengketa
pada tahap negosiasi, upaya ini memerlukan pihak ketiga agar dapat
melihat permasalahan sengketa dari sudut yang berbeda guna
memberikan penjelasan mengenai kedudukan kepada masing-masing
pihak.

15
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global,.. h. 196.
20

c. Mediasi (Mediation) yaitu suatu upaya menyelesaikan sengketa


malalui pihak ketiga yang dapat merupakan Negara, individu, ataupun
organisasi-organisasi internasional.
d. Konsiliasi (Conciliation) yaitu upaya yang tidak jauh berbeda dengan
mediasi namun sifatnya lebih formal dibandingkan dengan mediasi
karena konsiliasi adalah suatu cara penyelesaiaan seengketa oleh pihak
ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak yang
bersengketa.
e. Arbitrase (Arbitration) yaitu suatu upaya penyelesaian sengketa secara
sukarela diserahkan kepada pihak ketiga yang bersifat netral dan
putusan yang dikeluarkan oleh pihak ketiga bersifat mengikat.
f. Pengadilan Internasional (International Court of Justice) yaitu metode
terakhir yang dapat digunakan apabila upaya-upaya yang telah
ditempuh sebelumnya tidaklah mencapai suatu kesepakatan.
g. Organisasi Internasional yaitu organisasi yang dibentuk berdasarkan
persetujuan antar pemerintah atau antar negara atau organisasi
internasional yang dibebani tugas khusus dan hendak mencapai tujuan
khusus. Dalam kasus ini ITLOS (International Tribunal for The Law
of the Sea) merupakan organisasi yang tepat dalam menyelesaikan
kasus ini.
Dari metode penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Charter of
the United Nation art.33 di atas, kemudian dikelompokkan kembali menjadi 2
(dua) bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara Diplomatik dan penyelesaian
sengketa secara Hukum. Penyelesaian sengketa secara diplomatik berupa,
negosiasi, penyelidikan, mediasi, dan konsiliasi. Sedangkan penyelesaian
sengketa secara hukum berupa, arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan. Selain itu, di dalam hukum internasional publik juga dikenal
penyelesaian sengketa menggunakan jasa baik atau good offices yang dapat
pula dikategorikan dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik
21

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan


mekanisme penyelesaian sengketa damai yang di terapkan dalam penyelesaian
sengketa antara Australia dan Indonesia.

4. Teori Tanggung Jawab Negara


Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada
adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada
di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang
membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas
negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap orang berhak
atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya.16 Teori tanggung jawab negara menyatakan bahwa suatu negara
bertanggung jawab kepada negara lain bilamana tindakan yang terjadi di
negaranya menyebabkan kerugian bagi negara lain tersebut. Dapat pula
diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan terhadap setiap
kerugian yang timbul dari akibat setiap kegiatan, baik yang timbul dari
kegiatan yang dilarang maupun yang tidak dilarang oleh hukum internasional,
termasuk kewajiban untuk mencegah timbulnya kerugian dalam hal dimana
kerugian tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pembayaran ganti rugi.17

5. Teori Tanggung Jawab Mutlak


Tanggung jawab mutlak atau strict liability diartikan sebagai
kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah
satu ciri utamanya tidak adanya persyaratan perlu adanya kesalahan. Hal yang
senada dikemukakan pula oleh James E. Krier dalam tulisannya 'Environment
Litigation and the Burden of Proff", bahwa strict liability dapat merupakan
bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan,
16
Hendriati Trianita, Deklarasi Universal Hak Asasi, (Jakarta: KOMNAS HAM, 2000), h. 36.
17
Ida Bagus Wyasa Putra, Tanggung Jawab Negara terhadap Dampak Komersialisasi Ruang
Angkasa, (Bandung: Rafika Aditama, 2001), h. 61.
22

karena banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan


kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya,
untuk mana dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan.18
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan
bentuk tanggung jawab Perusahaan PIT Exploration and Production
Australasia dan Pemerintah Australia kepada Indonesia atas meledaknya
kilang minyak Montara dimana Pemerintah Australia merupakan regulator
dan Perusahaan PIT Exploration and Production Australasia sebagai operator
dalam pengeboran minyak mentah di Anjungan Montara, yang mana
tumpahan minyaknya hingga ke perairan Indonesia serta berdampak buruk
dan dapat merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati bawah laut di Laut
Timor.

6. Teori Kerjasama Internasional


Teori kerjasama internasional muncul karena keadaan, kebutuhan,
kemampuan serta potensi dari suatu negara yang berbeda-beda. Hal ini
menyebabkan suatu negara bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat
memenuhi kepentingan nasionalnya di luar negeri.19 Menurut Michael Haas,
Kerjasama adalah upaya saling membantu, bekerjasama, dan bersatu padu
dalam melaksanakan suatu kegiatan/aktivitas/event tertentu. Kerjasama
internasional dapat dilakukan jika suatu negara sekurang-kurangnya memiliki
dua syarat utama, yaitu adanya keharusan menghargai kepentingan masing-
masing negara yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama

18
Hendrik Salmon, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum
Lingkungan, (Ambon: Fakultas Hukum Univ. Pattimura, 2013), h. 5.
19
Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan
Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), h. 15.
23

negara-negara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi setiap persoalan


yang timbul dalam perjanjian tersebut.20

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan


kerjasama yang dilakukan antara negara Indonesia dan negara Australia,
dalam menangani pencemaran laut lintas batas negara.

7. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Fiqih Biah


Sejauh yang kita fahami fiqih adalah tatanan ilmu yang dominan
dalam mengatur hidup manusia dimuka bumi, secara garis besar pembahasan
dalam ilmu fiqih yang terkait dalam penataan kehidupan manusia yaitu:
a. Rub’u al ibadat, yaitu bagian yang menata antara manusia selaku
makhluk dengan Allah SWT sang khaliknya,
b. Rub’u al Mu’amalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia
dengan sesamanya,
c. Rub’u al munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia
dalam lingkungan keluarga,
d. Rub’u al Jinayat, yaitu bagian yang menata tertib dalam kegiatan
manusia yang menjamin keselamatan dan ketentraman dalam
kehidupan.
Empat garis besar ini dalam kebutuhannya menata bidang - bidang
pokok dari kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan suatu lingkungan
kehidupan bersih, sehat, sejahtera, aman, dan bahagia lahir batin serata di
dunia dan di akhirat, yang dalam istilah agama lazim disebut sa’adat at darayn
(kebahagiaan dunia akhirat).21

20
Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan
Masa Depan,... h. 16.
21
Alie Yafie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, (Jakarta:Tama Printing 2006), h. 40.
24

Secara normatif, sebagai pewaris nabi dalam tugas membimbing umat,


ulama dalam struktur sosial berfungsi sebagai elit keagamaan dan ikut
berperan strategis dalam menentukan arah kehidupan masyarakatnya. Fiqih
Biah (Fiqih Lingkungan) membahas tentang norma–norma berlingkungan
hidup secara islam yang dapat mempegaruhi latar berfikir manusia.22
Kerangka dasar pemahaman fiqih lingkungan tidak dijelaskan secara
terperinci dalam bab tersendiri melainkan masih tersebar dalam kajian
beberapa ilmu fiqih. Hal ini terlihat jelas dimana fiqih mengajarkan kepada
kita tentang pola tahapan yang diawali dari kebersihan dan diakhiri dengan
tertib dalam menjalankan. Didukung dengan kebebasan dari rasa takut akan
kekhawatiran dan didasarkan pada prinsip kemaslahatan, keadilan,
kerahmatan, dan kearifan dari kehidupan manusia. Melihat hal tersebut
persoalan fiqih lingkungan bukan hanya mengkaji masalah sampah dan
pengrusakan alam semesta, namun lebih cenderung kepada sebuah kriktik
dimana kita melihat akan adanya perbedaan yang mendalam dalam
menafsirkan antara kebutuhan dan melestarikan. Kecenderungan manusia
dalam memuja ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan mereka lupa
akan tugas mereka dimuka bumi sebagai khalifah yang mana tidak hanya
memanfaatkan sumber daya alam yang ada, tetapi juga harus melestarikan
agar dapat digunakan secara terus menerus.
Secara umum kita pahami bahwa kebutuhan manusia tidak akan ada
habisnya. Eksplorasi besar-besaran ditunjukkan dengan pemanfaatan
teknologi yang membantu manusia dalam merusak alam. Dimulai dari
revolusi dunia barat yang telah mampu menemukan teknologi yang dapat
digunakan sebagai alat untuk pengolahan alam, namun manusia
mengesampingan teknologi yang bermanfaat untuk melestarikan alam. Alasan

22
Sukarni, Fiqih Lingkungan Hidup Perspektif Ulama Kalimantan Selatan, (Kementerian
Agama RI, 2011), h. 1
25

pemenuhan kebutuhan menjadi ukuran utama dalam perkembangan teknologi


pengolahan hasil sumber daya alam.
Berangkat dari hal itu, fiqih yang memiliki norma-norma yang
menjabarkan nilai-nilai Alqur’an dan Al Sunnah harus dapat memberikan
sumbangan yang bersifat riil dalam membentuk pola pikir manusia yang
mampu mengatur tatanan kehidupan manusia yang mampu mengatur tatanan
kehidupannya dalam hal pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
Hal ini akan mengangkat tatanan hidup manusia kearah yang lebih baik dan
tidak hanya memenntingkan ego manusia dalam eksplorasi alam, namun lebih
kepada pemanfaatan yang disertai dengan pelestarian sumber daya alam.
Dari pemikiran ini maka fiqih lingkungan cenderung pada tatanan
yang mengatur kehidupan manusia dengan alam semesta, baik dalam hal
pemanfaatan dan juga pelestariannya. Hal ini yang akan menunjukkan
eksistensi manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang berdasarkan Al Qur’an
dan Al Sunnah. Sebab islam berbicara tentang alam mulai dari
pembentukannya yang tidak memiliki kekurangan apapun dalam
pemanfaatannya sampai pada hari akhir sebagai bentuk kerusakan bagi umat
manusia.

8. Tinjauan Umum Mengenai Pencemaran Laut


Pencemaran dapat diartikan sebagai bentuk Environmental
impairment, yakni adanya gangguan, perubahan, atau perusakan.23
Pencemaran Laut merupakan masalah yang dihadapi bersama oleh masyarakat
internasional. Pengaruhnya bukan saja menjangkau seluruh kegiatan yang
berlangsung di laut, melainkan juga menyangkut kegiatan-kegiatan yang
berlangsung di wilayah pantai, termasuk muara-muara sungai yang
berhubungan dengan laut. Pada dasarnya laut itu mempunyai kemampuan

23
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam penegakan hukum lingkungan Indonesia,
(Bandung: Alumni , 2001), h. 154.
26

alamiah untuk menetralisir zat-zat pencemar yang masuk ke dalamnya.24 Akan


tetapi apabila zat-zat pencemar tersebut melebihi batas kemampuan air laut
untuk menetralisirnya, maka kondisi itu dikategorikan sebagai pencemaran.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran adalah masuknya atau
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energy dan/atau komponen lain kedalam
lingkungan dan/atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia
atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai peruntukkannya.
Selain itu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999
Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Pengrusakan Lingkungan Laut,
pencemaran merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,
energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan
manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau
fungsinya.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja Pencemaran Laut adalah perubahan
pada lingkungan laut yang terjadi akibat dimasukkannya oleh manusia secara
langsung maupun tidak bahan-bahan enerji ke dalam lingkungan laut
(termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat yang demikian buruknya
sehingga merupakan kerugian terhadap kekayaan hayati, bahaya terhadap
kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan

24
Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Aspek hukum Kerjasama Regional dan

Internasional dalam Pencegahan Pencemaran Laut, (Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional,


1998), h.15.
27

dan lain-lain penggunaan laut yang wajar, pemburukan dari kualitas air laut
dan menurunnya tempat-tempat permukiman dan rekreasi.25
Sedangkan menurut UNCLOS 1982 (United Nation Convention On
The Law Of The Sea) Pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan
laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk
sehingga dapat merusak sumber daya hayati laut (marine living resources),
bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut
termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, menurunkan kualitas
air laut dan mutu kegunaan serta manfaatnya.
Sejalan dengan itu juga maka pencemaran laut intinya adalah
menurunnya kualitas air laut karena aktivititas manusia baik disengaja
maupun tidak disengaja memasukkan zat-zat pencemar dalam jumlah tertentu
ke dalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) sehingga menimbulkan
akibat yang negatif bagi sumber daya hayati dan nabati di laut, kesehatan
manusia, aktivitas di laut, dan bagi kelangsungan hidup dari sumber daya
hidup di laut.26

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


1. Luspina Dwi Aryani, Analisis Penerapan Prinsip Good Corporate Govvernance
Dalam Praktik Corporate Social Responsibility, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009 dalam skripsi ini membahas tentang penerapan
prinsip Good Corporate Governance dan pelaksanaan Corporate Social
Responsibility oleh Bank Mandiri dan BNI. Dalam penelitian ini, peneliti
mencari apakah prinsip God Corporate Governance telah diimplementasikan

25
Mochtar Kusumaatmadja, Bunga rampai Hukum Laut, (Bandung: Bina Cipta, 1978), h.
177.
26
Juajir Sumardi,. Hukum Pencemaran Laut Transnasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti ,
1996), h. 29.
28

dengan baik dalam praktik Corporate Social Responsibility Bank Mandiri dan
Bank BNI. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian yang peneliti
lakukan adalah fokus pada bagaimana kedua negara menanggulangi
pencemaran yang terjadi dan seperti apa penyelesaian sengketa berdasarkan
tinjauan hukum internasional.
2. Siti Kemala Nuraida, Tindakan Preventif dan Tanggung Jawab Negara dalam
Pencemaran Laut Lintas Batas Akibat Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi
(MIGAS) Lepas Pantai, Universitas Indonesia, 2012 dalam skripsi ini peneliti
menemukan bahwa untuk dapat mengatasi pencemaran laut di wilayanya, setiap
negara peserta United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982
diwajibkan untuk memiliki pengaturan nasionalnya masing-masing dan untuk
dapat melihat praktik prinsip tindakan preventif dan prinsip
pertanggungjawaban negara dalam pencemaran lintas batas maritim. Perbedaan
dengan penelitain peneliti adalah peneliti tidak hanya berfokus kepada satu
peraturan saja tetapi peraturan-peraturan terkait penanggulangan pencemaran
lintas batas maritim dan cara menyelesaikan sengketa.
3. Buku berjudul Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Mineral dan
Batubara ditulis oleh Ahmad Redi diterbitkan oleh Sinar Grafika Jakarta 2017
menjabarkan berbagai konflik dan upaya penyelesaian konflik yang terjadi
dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara.
4. Jurnal Hukum Dampak Pencemaran Lingkungan Laut Terhadap Indonesia
Akibat Tumpahan Minyak Montara Di Laut Timor, Vol.2, No.2, Agustus 2016
yang ditulis oleh Ni Putu Suci Meinarni mahasiswi STIKI INDONESIA
menemukan telah terjadi pencemaran di Laut Timor yang mengandung minyak
mentah (crude oil) yang memiliki karakteristik yang sama dengan contoh
minyak yang berasal dari Montara Welhead Platform berdasarkan hasil
Chromatogram pada hasil GC. Ditemukannya korelasi antara minyak yang ada
I Montara dengan minyak ya g ditemukan di perairan Indonesia, menyebabkan
terganggunya ekosistem dan perairan laut Timor yang berdampak pada wilayah
29

Pengelolaan Perikanan (WPP) seluas 70.841,76 km², Taman Nasional Laut


Sawu seluas 34.089,87 km², pengembangan daerah perikanan seluas 135.799,93
km², wilayah distribusi dugong (duyung) seluas 15.712,11 km², wilayah
distribusi kura-kura laut seluas 4.096,0 km², dan wilayah terumbu karang seluas
944,90 km². Hal ini disebabkan oleh meledaknya lading minyak Montara milik
PITEP AA yang menyebabkan dampak langsung maupun tak langsung dan
penyelesaian sengketa yang ditempuh sampai saat ini antara pihak yang terlibat
dalam sengketa yaitu, Indonesia dan PITEP AA ialah jalur diplomasi.
Perbedaan dengan penelitian peneliti ini adalah jurnal hukum ini menjelaskan
apa yan menjadi dampak akibat pencemaran lintas batas maritim yang terjadi
sedangkan peneliti membahas tentang bagaimana penanggulangan dan
penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan berdasarkan tinjauan hukum
internasional.
30

BAB III

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERKAIT PENCEMARAN


LINGKUNGAN LINTAS BATAS MARITIM DI LAUT TIMOR

A. Gambaran Umum tentang Pencemaran Lingkungan Lintas Batas Maritim


Yang Terjadi di Laut Timor.

Laut adalah kumpulan air asin yang sangat luas yang memisahkan benua
yang satu dengan benua yang lainnya, dan juga memisahkan pulau yang satu
dengan yang lainnya.27 Laut Timor adalah perpanjangan Samudera Hindia yang
terletak antara pulau Timor, kini terbagi antara Indonesia dan Timtim, dan Northen
Territory Australia. Di timur berbatasan dengan Laut Arafuru, secara teknis
perpanjangan Samudera Pasifik. Laut Timor Sea memiliki 2 teluk kecil di pesisir
Australia Utara, Teluk Joseph Bonaparte dan Teluk Van Diemen. Kota Australia
Darwin ialah satu-satunya kota besar yang terletak di tepi laut adjoin.28 Laut ini
memiliki luas 480 km (300 mil), meliputi daerah sekitar 610.000 km persegi
(235.000 mil persegi). Titik terdalamnya ialah Palung Timor di utara laut ini, yang
mencapai kedalaman 3.300 m (10.800 kaki). Bagian lainnya lebih dangkal, dengan
rata-rata kedalaman yang kurang dari 200 m (650 kaki). Merupakan tempat utama
untuk badai tropis dan topan. Sejumlah pulau terletak di laut ini, termasuk Pulau
Melville di laut lepas pantai Australia dan Kepulauan Ashmore dan Cartier yang
diperintah Australia. Diperkirakan penduduk asli Australia mencapai Australia
dengan “loncatan pulau” menyeberangi Laut Timor. Di dasar Laut Timor terdapat
cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar. Australia dan Timor Timur telah
mengalami pertentangan panjang atas hak eksploitasi di daerah yang terkenal

27
A. Muthalib Tahar, Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982 dan perkembangan
Hukum Laut di Indonesia, (Lampung: Fakultas Hukum Internasional UNILA Bagian Hukum
Internasional, 2007), h. 1.
28
Wikipedia, “Laut Timor”, sebagaimana dimuat dalam,
http://id.wikipedia.org/wiki/LautTimor, diakses pada tanggal 15 Oktober 2017.
31

sebagai Celah Timor. Klaim wilayah Australia meluas ke sumbu batimetrik (garis
kedalaman punggung laut terbesar) di Palung Timor. Ini melengkapi klaim
territorial Timor Timur, yang mengikuti bekas koloninya Portugal dalam
mengklaim bahwa garis yang membagi itu harus ditengah-tengah kedua negara.
Kilang minyak montara terletak di Kimberley Coast, 690 km sebelah barat
dari Darwin. Rig dan 250 km sebelah utara dari Trusscott Airbase yang digunakan
untuk pengeboran West Atlas yang dikelola oleh PIT Exploration and Production
Australasia, yang merupakan anak perusahaan dari PTT Exploration and
Production yang juga merupakan anak perusahaan dari PTT, perusahaan MIGAS
negara milik Thailand.

Sumber: BRKP 2010, Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut, Deputi
Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
32

Sejalan dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, kemudahan yang


diperoleh manusia untuk mencapai suatu tujuan dengan melalui lautan dapat juga
menimbulkan akibat-akibat yang merugikan lingkungan hidup di laut. Kenyataan
itu bukan hanya disebabkan karena pelayaran oleh kapal-kapal yang semakin
banyak tetapi juga kapal-kapal yang berlayar tersebut kurang memperhatikan
aspek pencemaran yang diakibatkannya. Selain itu, kenyataan tersebut juga
disebabkan karena pencemaran yang terjadi akibat eksplorasi dan eksploitasi
minyak di lautan.
Pada hari Jumat tanggal 21 Agustus 2009, sumur dari kilang minyak
montara meledak dan menumpahkan minyak mentah dan gas bumi yang sudah
tidak dapat dibendung di dalam sumur. Diperkirakan tumpahan ini akan berlanjut
selama 7 sampai 8 minggu kedepan terhitung dari terjadinya tumpahan minyak
mentah dan gas bumi ke laut. Tumpahan yang bersumber dari Ladang Montara
(The Montara Well Head Platform) di Blok “West Atlas Laut Timor” perairan
Australia bocor dan menumpahkan minyak jenis light crude oil, dengan
kandungan sulfur 0,5% hydrogen sulfide dan carbon dioxide, lebih rendah dari
kandungan sulfur dalam sour crude oil.
Pada tanggal 30 Agustus 2009, dilihat dari gambar hasil penangkapan
melalui satelit, oil slick dan oil sheen telah meluas sebesar 2.500 mi dari laut,
tercemar sampai ke wilayah “marine life superhighway” yang merupakan jalur
migrasi fauna laut seperti paus dan kura-kura. Pada tanggal 3 September 2009, oil
slick dan oil sheen sudah meluas hingga 5.800 mi dan memasuki perairan
Indonesia.
Pada tanggal 1 September 2009, dimulai upaya penanggulangan berupa
pengeboran untuk sumur baru dengan tujuan menghentikan luapan minyak. Dua
bulan setelah terjadinya tumpahan minyak, yaitu sekitar tanggal 21 Oktober 2009,
upaya penanggulangan yang dilakukan untuk menghentikan bocornya minyak
33

tersebut gagal. Beberapa hari setelahnya dilakukan upaya untuk memindahkan oil
slick ke arah selatan dari kilang minyak.
Pada awal bulan November 2009, upaya yang dilakukan untuk mencegat
sumur membuahkan hasil. Dengan menggunakan rig West Triton, sumur akhirnya
berhasil ditutup dengan semen setebal 1.400 meter. Setelah proses ini selesai, rig
West Trioton dikembalikan kepada Singapura. Namun, terjadi kebakaran saat
dilakukannya pengeboran yang berasal dari sumur H1 dari kepala sumur di kilang
minyak. Dua hari setelah insiden tersebut yaitu tanggal 3 November 2009,
kebakaran berhasil dipadamkan dengan penumpukan 3.400 barel lumur padat dan
tumpahan minyak akhirnya dapat dihentikan.
Namun tumpahan minyak ini telah mengakibatkan kerugian ekonomi,
sosial, dan lingkungan yang berdampak turunan. Bencana ini merugikan ribuan
nelayan dan pembudidaya rumput laut NTT, menurunkan fungsi kelautan,
mematikan biota laut dan menurrunkan keanekaragaman hayati.
Tumpahan minyak dari kilang minyak montara yang mencemari perairan
laut Indonesia sebagaimana yang telah dipaparkan diatas telah bertentangan
dengan ketentuan untuk memelihara lingkungan hidup manusia termasuk juga
lingkungan laut yang telah ditetapkan dalam prinsip pertama Konerensi Stokholm
pada tahun 1972 yang menyatakan:
“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate
conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of
dignity and well-being and he bears a solemn responsibility to protect
and improve the environment for present and future generations. In
this respect, policies promoting or perpetuating apartheid, racial
segregation, discrimination, colonial and other forms of oppressions
and foreign domination stand condemned and must be eliminated.”
Prinsip tersebut mengakui bahwa adanya hak asasi manusia atau setiap
orang untuk hidup di suatu lingkungan yang baik sertta sehat juga mewajibkan
34

untuk memelihara lingkungan hidup manusia tersebut sedemikian rupa hingga


dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang.
Dampak tumpahan minyak dari kilang minyak montara yang mencemari
perairan laut Indonesia juga mengganggu kedaulatan wilayah laut Indonesia
sebagai negara pantai yang diatur di dalam pasal 2 United Nation Convention on
the Law Of the Sea 1982 dimana hak dan kedaulatan suatu negara pantai tidak
hanya terbatas pada wilayah daratan maupun perairan pedalaman saja, melainkan
juga hak dan kedaulatan meliputi wilayah laut territorial.
Dengan terjadinya tumpahan minyak di laut maka menimbulkan akibat
langsung atau seketika maupun tidak langsung. Sebagai akibat langsung dari
pencemaran itu yakni:
1. Kerusakan Ekosistem Laut yang ada di Perairan Laut Indonesia.
2. Di bidang perikanan, hilangnya kesempatan nelayan untuk menangkap
ikan.
3. Rusaknya pertanian dan peternakan laut, seperti pengambilan rumput
laut dan ganggang laut, peternakan kerang, ikan, udang dan lain
sebagainya.
4. Dampak terhadap kesehatan warga NTT yang semakin menurun.
Terdapat tiga sektor yang terdampak kerusakan lingkungan yang terjadi.
Ketiganya adalah kerusakan hutan mangrove seluas 1.200 hektare, kerusakan
padang lamun seluas 1.400 hektare, dan kerusakan terumbu karang seluas 700
hektare.29 Berdasarkan pengamatan Pusat Komando dan Pengendali Nasional
Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut Timor pada
Bulan Mei 2010 ditemukan data sebagai berikut:
1. Bahwa kadar total PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) air laut
berkisar antara 54,6 – 213.7 µg/1, dimana sudah menunjukkan nilai di

29
Kata Data, “Sidang Perdana Kasus Tumpahan Minyak Montara Digelar Bulan Ini”,
sebagaimana dimuat dalam, www.katadata.co.id, diakses pada tanggal 17 Oktober 2017.
35

atas ambang batas baku mutu perairan. PAH, yang merupakan


komponen minyak mentah sangat beracun, yang PAH bias memberi
dampak kronik yang menahun, hingga dapat menyebabkan kanker
(karsinogenik).
2. Efek PAH terhadap ikan, secara langsung PAH dapat langsung
mematikan insang atau paru-paru tersumbat sehingga ikan muda lebih
muda terpapar. Pada kondisi kronis bias terjadi iritasi kulit dan mata.
PAH juga menyebabkan kerusakan saluran pernafasan, hati, ginjal dan
sistem reproduksi, serta kualitas hidup dan generasi berikutnya.
3. PAH pada konsentrasi 10 210 ppm dapat menyebabkan bio-akumulasi
dan perubahan perilaku, sementara pada konsentrasi >1000 ppm dapat
menyebabkan kematian biota laut. Karena PAH bersifat bio-akumulasi
maka patut diwaspadai apabila PAH ini terakumulasi di tubuh manusia
yang mengkonsumsi ikan.
4. Gas Hydrocarbon dalam volume yang besar, dapat mengakibatkan
kerusakan ekosistem perairan di Laut Timor. Berbagai perubahan yang
terjadi mengindikasikan telah terjadi gangguan lingkungan perairan
sebagai habitat ikan, alga dan rumput laut. Ribuan sampai jutaan ikan
diduga akan berimigrasi akibat perubahan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya, dapopulasi rumput laut menurun sebagai dampak
pencemaran.
Menurut Ferdi Tanoni Kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat luar
biasa, baik dilihat dari sisi biofisik, dampak psikologis dan sosial ekonomi. Tidak
hanya banyak biota laut terancam, ribuan warga, terutama nelayan yang tinggal di
sekitar pesisir Pulau Timor dan Pulau Rote pun terpukul, demikian tambahnya.
Ferdi juga menekankan bahwa hasil tangkapan ikan mereka turun drastis dan
banyak diantara mereka tidak bisa lagi melaut karena lahan garapan di laut mereka
tercemar berat. Yang paling berbahaya dan sangat dikhawatirkan adalah ancaman
serius bagi kesehatan masyarakat yang mendiami Timor Barat dan kepulauan
36

sekitarnya bila mengkonsumsi ikan yang tercemar, demikian ditekankan oleh


Ferdi.30

B. Pengaturan Hukum Internasional Terkait Dengan Pencemaran Lingkungan


Lintas Batas Maritim Yang Terjadi di Laut Timor.

Berikut beberapa pengaturan di dalam Hukum Internasional terhadap


pencemaran minyak di kawasan laut suatu negara terkait kasus meledaknya kilang
minyak Montara milik PIT Exploration and Production Australasia yang terjadi di
Laut Timor yang akan dijabarkan sebagai berikut.
1. Pengaturan menurut Convention on the High Seas 1958
Pasal 24 Konvensi Laut Lepas tahun 1958 menyatakan sebagai
berikut:
“Every State shall draw up regulations to prevent pollution of the seas
by the discharge of oil from shops or pipelines or resulting from the
exploitation and exploration of the seabed and its subsoil, taking
account of existing treaty provisions on the subject.”
Ketentuan di atas menyatakan bahwa setiap negara wajib membuat
peraturan-peraturan untuk mencegah terjadinya pencemaran laut yang
disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut atau yang
disebabkan oleh eksploitasi dan eksplorasi dasar laut dan tanah di bawahnya,
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan terkait yang ada di dalam
perjanjian internasional tersebut.
2. Pengaturan menurut Declaration of the United Nations Conference on the
Human Environment (Stockholm Declaration) 1972
Konferensi Stockholm pada tahun 1972 menyepakati beberapa dasar
atau prinsip terkait keberlangsungan lingkungan hidup untuk mencegah dan
30
KKP, “P3SDLP akan analisa ulang tumpahan minyak Montara di Pulau Rote” sebagaimana
dimuat dalam, www.kkp.go.id , diakses pada tanggal 27 Oktober 2017.
37

mengatasi pencemaran lingkungan seperti yang tertera di dalam prinsip ke 7


yang berbunyi sebagai berikut:
“States shall take all possible steps to prevent pollution o the sea by
substances that are liable to create hazards to human health, to harm
living resources and marine life, to damage amenities or to interfere
with other legitimate uses o the sea.”
Prinsip tersebut mewajibkan kepada semua negara yang meratifikasi
konferensi tersebut untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah
pencemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia,
sumber kekayaan hayati terhadap penggunaan lingkungan laut. Prinsip ke 13
juga menyebuttkan:
“in order to achieve a more rational management of resources and
thus to improve the environment, states should adopt an integrated and
coordinated approach to their development planning so as to ensure
that development is compatible with the need to protect and improve
environment for the benefit of their population.”
Prinsip tersebut menyatakan bahwa untuk mencapai pengelolaan yang
lebih rasional dan dengan demikian dapat memperbaiki lingkungan, negara
harus mengadopsi pendekatan terpadu dan terkoordinasi untuk penyusunan
perencanaan pembangunan nasional yang kompatibel dengan kebutuhan untuk
melindungi dan memperbaiki lingkungan demi kepentingan nasional. Terkait
tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pencemaran laut dapat di
lihat di dalam prinsip ke 22 konferensi stokholm yang berbunyi sebagai
berikut:
“States shall cooperate to develop further the international law
regarding liability and compensation for the victims of pollution and
other environmental damage caused by activities within the
jurisdiction or control of such states to areas beyond their
jurisdiction.”
38

Prinsip tersebut jelas menyatakan bahwa agar dapat dilaksanakan


secara efektif maka, haruslah ada kerja sama antara negara-negara untuk
mengembangkan hukum internasional yang mengatur ganti rugi yang
disebabkan oleh pencemaran yang terjadi di laut.
3. Pengaturan menurut United Convention on The Law of The Sea 1982
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut atau
yang biasa disebut United Nation Convention on the Law Of the Sea
merupakan suatu perjanjian atau konvensi yang melatarbelakangi hak dan
obligasi dari suatu negara dan organisasi internasional lainnya pada bidang
kemaritiman. Pencemaran laut dijelaskan pada Pasal 1 ayat (4) United Nation
Convention on the Law Of the Sea sebagai berikut:
”Pollution of the marine environment means the introduction by man,
directly or indirectly, of substance or energy into the marine
environment including estuaries, which results or is likely to result in
such deleterious effects as harm to living resources and marine life,
hazards to human health, hindrance to marine activities including
fishing and other legitimate uses of the sea, impairment of quality or
use of sea water and of armenities.”
Dapat disimpulkan bahwa, pencemaran laut adalah dimasukkannya
secara langsung atau tidak langsung oleh manusia kedalam lingkungan laut
yang akhirnya menyebabkan kualitas lingkungan laut menurun, sehingga
membahayakan sumber hayati yang ada di laut, kesehatan manusia, serta
mengganggu dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan lingkungan
laut. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur di bagian XII
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 secara singkat
menyatakan negara peserta berkewajiban untuk melindungi dan memelihara
lingkungan laut.
39

BAB IV

ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PENCEMARAN LINGKUNGAN


LINTAS BATAS MARITIM DI LAUT TIMOR

A. Tindakan Preventif Yang Telah Dilakukan Oleh Pihak-Pihak Terkait

1. Penanganan dari Pemerintah Australia


Pada 5 November 2009 atau 2 hari setelah kebocoran dapat diatasi,
Menteri Sumber Daya dan Energi Australia, the Hon Martin Ferguson AM
MP, membuat komisi Montara dan menyetujui Mr David Borthwick AO PSM
sebagai Commissioner atau ketua untuk menyelidiki kasus ini. Di waktu yang
sama, komisi ini juga bertugas membuat amandemen (perubahan) di Undang
Undang Perminyakan di lepas pantai Australia: Offshore Petroleum and
Greenhouse Gas Storage Act 2006 (OPGGS Act) yang akan diperkenalkan
dan telah mendapat dukungan dari seluruh anggota parlemen pada September
2009.1
Dari segi operasional, penanganan dari pemerintah Australia dilakukan
melalui AMSA (Australian Maritime Safety Authority). Australian Maritime
Safety Authority ini sendiri adalah merupakan badan nasional Australia yang
bertanggung jawab atas keselamatan maritime, perlindugan lingkungan laut,
pencarian dan penyelamatan penerbangan maritim. Tindakan yang diambil
Australian Maritime Safety Authority dalam meminimalisir akibat dari
tumpahan minyak pada tahap awal berupa melemparkan dispersan untuk
meningkatkan evaporasi secara alamidan pelapukan minyak. Metode ini juga
digunakan dalam penanganan kasus Teluk Meksiko pada tahun 2010 karena
merupakan metode yang efektif untuk menghilangkan tumpahan minyak dan

1
Majalah PSM HSE ALERT, “Montara Kasus Yang Hampir Terlupakan”, sebagaimana
dimuat dalam, psm-hse-alert.com , diakses pada tanggal 24 Desember 2017.
40

meminimalisir akibatnya. Menurut data yang dihimpun dari Montara


Commission Inquiry Report, dalam tindakan untuk menetralisir dampak
pencemaran minyak montara pihak Australian Maritime Safety Authority
menggunakan 7 (tujuh) zat dispersan seperti Slickgone LS, Slickgone LTSW,
Tergo-R40, Shell VDC, Corexit EC9500, Corexit EC9527A, dan Ardrox 6120
yang dalam penggunannya berjumlah sebagai berikut.

Tabel
Dispersan Jumlah yang digunakan
(Liter)
Slickgone LS 63.415
Slickgone LTSW 38.000
Tergo-R40 1.000
Shell VDC 5.000
Corexit EC9500 17.000
Corexit EC9527A 27.720
Ardrox 6120 32.000
Sumber : West Timor Care Foundation.

Dispersan ini sendiri adalah cairan kimiawi yang dapat mempercepat


proses emulsifikasi minyak dalam air dengan cara disemprotkan agar minyak
yang telah tercampur dengan air dapat dihilangkan. Dispersan dianggap
sebagai sarana yang cukup aman bagi lingkungan dibandingkan minyak
mentah dan juga sesuai dengan ketentuan international best practice for oil
spill response. Dispersan yang digunakan dipilih sesuai dengan kecocokan
akan tipe minyak yang bocor dari sumur Montara dan dengan tujuan
perlindungan lingkungan. Hal ini merupakan hasil uji protokol ketat yang
41

dilakukan Australian Maritime Safety Authority untuk memenuhi standar


prosedur.
Namun, penggunaan dispersan ini sebenarnya dilarang oleh Kerajaan
Inggris sejak tahun 1998 sehingga Australia sebagai Negara Persemakmuran
Inggris seharusnya taat pada aturan ini. Dan hal ini telah bertentangan dengan
pasal 195 United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 yang
mengatur bahwa dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut negara
harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan baik seccarra
langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu daerah
lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam pencemaran yang lain dan
penggunaan zat-zat yang berbahaya lainnya.
Dari tahap teknis, Pemerintah Australia melalui Geoscience Australia
menyediakan sarana pemberian saran teknis yang bersifat independen terkait
pengeboran, tipe-tipe dan ketersediaan rig, serta kajian untuk mencari
kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh untuk menghentikan
blowout dan akibat lain yang berpotensi merusak lingkungan laut.
Pada tanggal 24 November 2010, Komisi Penyelidikan Montara atau
Montara Commission of Inquiry yang dibentuk oleh Menteri Sumber Daya
dan Energi Australia YM Dr. Darwin Saleh pada tanggal 5 November 2009
mengeluarkan laporan yang berisi 100 penemuan dan 105 rekomendasi.
Disebutkan juga bahwa akar dari penyebab terjadinya blowout berupa;
a. Failure to maintain two well barriers,
(kegagalan untuk menjaga posisi kedua pembatas)
b. Failure to verify barriers,
(kegagalan mengecek pembatas)
c. Poor management of change control,
(buruknya manajemen untuk mengatur peubahan)
d. Lack of personnel competence, which led to deficient decision making.
42

(kurangnya kompetensi dari tenaga kerja, sehingga menyebabkan


keputusan tidak berjalan dengan baik).
Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Australia dalam melakukan
penanganan di atas sudah sejalan dengan prinsip ke 17 dan prinsip ke 21
Konferensi Stockholm serta Rio Delaration pada tahun 1992 yang pada
intinya menyatakan bahwa setiap negara wajib membentuk suatu badan
nasional yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perencanaan,
pengelolaan atau pemnatauan dari pemanfaatan atau penggunaan sumber
kekayaan alam dengan cara yang berorientasi pada ekologi agar tidak
menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain.
Komisi yang dibentuk oleh Pemerintah Australia mengadakan sidang
terbuka (public hearing) di Canberra pada tanggal 15 Maret sampai dengan 16
April 2010.Terkait dengan perizinan, pada bulan Februari 2011 Pemerintah
Australia menyatakan bahwa izin beroperasi untuk PIT Exploration and
Production Australasia tidak dicabut namun PIT Exploration and Production
Australasia hanya diperbolehkan untuk beroperasi di bawah pengawasan
ketat.

2. Penanganan dari Pemerintah Indonesia


Pemerintah Indonesia telah melakukan implementasi perlindungan
lingkungan laut dari pencemaran melalui peraturan yang terdapat dalam,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999
Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres Nomor
109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan
Minyak di Laut (PKDTML).
43

Berdasarkan Nota Diplomatik Kedutaan Besar Australia pada tanggal 3


September 2009, jejak tumpahan minyak memasuki wilayah ZEE Indonesia
pada tanggal 30 Agustus 2009. Berkenaan dengan hal itu, berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut, Menteri Perhubungan Freddy Numberi
selaku Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan
Minyak di Laut pada saat itu telah melakukan beberapa upaya dalam
menangani tumpahan minyak di Laut Timor. Upaya-upaya tersebut berupa2;
a. Membentuk Posko Daerah Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut
serta mengaktifkan Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operas
Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut (Puskodalnas),
b. Melakukan observasi dan pengambilan sumber air laut, biota (ikan), dan
sedimen serta gumpalan minyak (tarball) di Laut Timor dan melakukan
uji ccoba laboraturium dan analisis sampel, dan
c. Melakukan survei dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat
tumpahan minyak di Laut Timor.
Kemudian langkah yang diambil oleh Tim Nasional adalah menghitung
dan menyusun klaim seluruh biaya operasional penanggulangan tumpahan
minyak dan penanggulangan dampak lingkungan serta biaya kerugian sosial,
ekonomi, dan lingkungan akibat tumpahan minyak di Laut Timor kepada
pihak yang dianggap bertanggung jawab.
Dengan total luas tumpahan minyak yang tersebar di Laut Timor
wilayah Republik Indonesia seluas 16.420 km, kerugian sosial, ekonomi, dan
lingkungan diperkirakan sejumlah Rp 42.167.198.497,00- untuk kerugian
yang dialami secara langsung (direct loss value) dan potensi kerugian total
(total value loss) sejumlah Rp 27.004.104.423,00-. Sedangkan biaya
2
Sesuai dengan Laporan Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut Timor Perairan
Indonesia Akibat Kebocoran Montara Welhead Patorm Australia (UM.07/2/6a-Phb-2010) dari Menteri
Perhubungan Indonesia Kepada Presiden Republik Indonesia pada tanggal 5 Maret 2010.
44

operasional penanggulangan yang telah dilaksanakan oleh Tim Nasional


sejumlah Rp 897.052.545,00-. Berikut opsi mekanisme pengajuan klaim yang
dibuat dan disepakati oleh Tim Nasional yang dapat dilakukan oleh Pemeritah
Indonesia, antara lain:
a. Pengajuan klaim akan diajukan oleh Tim Nasional kepada pihak
pencemar yaitu PIT Exploration and Production Australasia,
b. Pengajuan klaim akan diajukan oleh Tim Nasional melalui kuasa hukum
yang ditunjuk kepada pihak pencemar yaitu PIT Exploration and
Production Australasia,
c. Pengajuan klaim akan diajukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTT
melalui kuasa hukum yang ditunjuk kepada pihak pencemar yaitu PIT
Exploration and Production Australasia.

3. Penanganan dari pihak PIT Exploration and Production Australasia


Seperti yang sudah di jelaskan di dalam bab sebelumnya perusahaan
PTT Exploration and Production Australasia merupakan perusahaan Thailand
dan bagian dari grup perusahaan PIT Exploration and Production Public
Company Limited serta selaku pemilik dan operator ladang minyak dan gas
Montara Sea Drill Norway Pty Ltd di Blok Atlas Barat Laut Timor.
Pada tanggal 21 Agustus 2009, PIT Exploration and Production
Australasia menyetujui pelaksanaan tanggung jawab secara penuh terhadap
biaya yang ditanggung untuk tindakan penanganan dan penanggulangan.
Namun, dalam insiden ini PIT Exploration and Production Australasia
beranggapan bahwa penyebab dari kebocoran yang terjadi atas meledaknya
kilang minyak montara adalah hilangnya kendali akan sumur yang disebabkan
oleh actor integritas dari sumur, termasuk ukuran pembatas sumur yang tidak
sesuai dan jumlah kill luid atau air laut yang tidak sesuai untuk mengatur
tekanan dari penampung.
45

Setelah beberapa saat tertutupnya sumur pada bulan November 2009,


PIT Exploration and Production Australasia mulai mengembangkan Rencana
Aksi Montara (Montara Action Plan) untuk mengetahui akar permasalahan
dari insiden ini. Montara Action Plan berfokus kepada jangka pendek,
menengah, dan panjang untuk belajar dari empat area kunci yaitu,
pemerintahan, organisasi, system teknis, dan manajemen keselamatan,
keamanan, kesehatan, dan lingkungan.
PIT Exploration and Production Australasia juga menyepakati untuk
mengembangkan sebuah program monitoring untuk segala akibat jangka
panjang yang diakibatkan oleh tumpahan minyak. Program ini merupakan
program kerjasama antara PIT Exploration and Production Australasia
dengan Departemen Pelestarian, Lingkungan, Perairan, Populasi, dan
Masyarakat (DSEWPaC). Segala penemuan secara independen dikaji oleh
panel DSEWPaC sebelum akhirnya dipublikasikan melalui situs resmi
DSEWPaC. PIT Exploration and Production Australasia juga sepakat untuk
membiayai penelitian-penelitian indipenden selama paling tidak dua tahun.

B. Perjanjian Bilateral Antara Indonesia dan Australia Terkait Pencemaran


Laut

Pada tahun 1997, Indonesia dan Australia membuat nota kesepahaman


terkait dengan pencemaran laut akibat tumpahan minyak (Memorandum of
Understanding between Governments of Australia and Indonesia on Oil Pollution
Preparedness and Response). Memorandum of Understanding ini didasarkan atas
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi OPRC pada tahun 1990 yang
bertujuan untuk tetap mempertahakan kerjasama yang telah terjalin antara
Indonesia dengan Australia termasuk dalam menangani pencemaran laut yang
terjadi di antara wilayah kedua negara tersebut.
46

Dengan adanya Memorandum of Understanding tersebut maka dibentuklah


sebuah Action Plan yang disebut dengan Australia/Indonesia Oil Spill Response
Action Plan. Didalam Action Plan tersebut diatur beberapa hal yang bersifat teknis
dalam menanggulaingi pencemaran laut yang terjadi. Antara lain, memberikan
bantuan apabila terjadi pencemaran yang tidak dapat ditangani sendiri berupa
personel dari negara tersebut dan peralatan yang memadai kepada negara yang
membutuhkan bantuan, penggantian biaya penanganan atas permintaan pihak lain,
dan pengaturan mengenai perpindahan minyak yang sudah berhasil dikumpulkan.

C. Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor

Sebagai tindak lanjut penyelesaian ganti rugi Pencemaran Laut Timor oleh
PIT Exploration and Production Thailand sebagai pemegang saham PIT
Exploration and Production Australasia, telah dilakukan serangkaian perundingan
antara Pemerintah Indonesia dengan PIT Exploration and Production Australasia
yang telah menghasilkan Draft Memorandum of Understanding penyelesaian
kompensasi atas pencemaran di Laut Timor. Pada pertemuan yang dimulai pada 27
Juli 2010, 26 Agustus 2010, 19 November 2010, baru pada pertemuan tanggal 17-
18 Desember 2010. Dari hasil rangkaian pertemuan tersebut PIT Exploration and
Production Australasia mengakui bahwa minyak masuk ke Perairan Indonesia dan
mencemari perairan laut lepas, akan tetapi tetap menyangkal minyak sampai ke
garis pantai (coastline). Selanjutnya kedua belah pihak setuju bahwa untuk
membuktikan bahwa minyak sampai ke garis pantai dengan pembuktian simulasi
oil spill modeling dimana hasil dari Tim Nasional menunjukan minyak sampai ke
garis pantai. Pada Pertemuan tanggal 4 Maret 2011, ada terobosan baru kearah
penyelesaian sengketa yaitu dengan proposal PIT Exploration and Production
Australasia yang dikenal dengan Dual Track. Pada Tanggal 28 Juni 2011 kedua
belah pihak sepakat untuk mengimplementasikan dual track dalam suatu
Memorandum of Understanding. Namun rencana penandatanganan Memorandum
47

of Understanding tersebut di atas tertunda karena alasan pergantian kabinet yang


mengakibatkan pergantian menteri energi yang berimplikasi pergantian CEO PIT
Exploration and Production Australasia. Namun demikian, pada perundingan yang
dilanjutkan pada taggal 14 Juli 2011 di Singapura masih terdapat beberapa
Pending Issues, yaitu mmengenai pembentukan Neutral Committee, Governing
Law dan penentuan besaran Corporate Social Responsibility.3
Setelah terjadi kevakuman hampir 1 tahun karena alasan seperti tersebut di
atas, ada perkembangan yang menggembirakan di mana Pemerintah Indonesia
melalui Pak Hassan Wirajuda dan PIT Exploration and Production Australasia
melalui mantan Dubesnya Mr. Vasin melakukan perundingan guna mencari
resolusi bagi penyelesaian kasus ini. Pertemuan ini menghasilkan kesepekatan
guna melanjutkan pertemuan antara Pemerintah Indonesia dengan PIT Exploration
and Production Australasia pada tanggal 11 Juli 2012 di Bangkok. Dari hasil
pertemuan tersebut, terjadi deadlock antara Pemerintah Indonesia dengan PIT
Exploration and Production Australasia. PIT Exploration and Production
Australasia tidak punya itikad baik dalam perundingan dengan Pemerintah
Indonesia guna menyelesaikan permasalahan pencemaran di Laut Timor, sehingga
dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PIT Exploration and
Production Australasia tanggal 11 Juli 2012 di Bangkok tidak menghasilkan
kesepakatan yang substansi. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya
yang selalu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan konstruktif, pertemuan kali ini
merupakan titik puncak yang lebih meyakinkan delegasi Pemeritah Indonesia
bahwa PIT Exploration and Production Australasia telah mengingkari
kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, dan PIT Exploration and Production

3
Sesuai dengan Memorandum Akhir Tugas Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional, Periode September 2010-Januari 2014.
48

Australasia tidak punya itikad baik terhadap rakyat Indonesia (terutama rakyat di
pesisir NTT) yang menderita akibat pencemaran minyak di Laut Timor.4
Kemudian pada tanggal 11 Januari 2013 Tim Advokasi dan Menteri
Perhubungan RI mengadakan rapat khusus. Dari hasil rapat tersebut ditentukan
bahwa agar Pemerintah Indonesia segera menyelesaiakan tuntutan ganti rugi atas
pencemaran Laut Timor ke tingkat hukum (litigasi) melalui pengadilan di
Indonesia. Kemudian penetapan Kementerian Lingkungan Hidup (sekarang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai Focal Point, penetapan
Jaksa Pengacara Negara, dan penyiapan Anggaran Litigasi.

D. Analisis Sistematika Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum


Internasional

Dalam kasus meledaknya kilang minyak montara pada tanggal 21 Agustus


2009, terdapat dua gugatan yang diajukan kepada PIT Exploration and Production
Australasia yaitu, pertama gugatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan
yang kedua gugatan class action yang berasal dari Yayasan Peduli Timor Barat.
Dalam gugatan yang di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada tanggal 3 Mei 2017 dibawah Register Perkara Nomor
241/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst Pemerintah Indonesia melalui Jaksa Pengacara Negara
(JPN) atas nama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bawah
Komando Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenko Maritim), kejaksaan
dan kementerian serta lembaga terkait mendaftarkan gugatan tersebut ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya pemerintah mengajukan
permohonan ganti rugi materiil secara tunai melalui Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan senilai Rp 23,1 trilliun, juga meminta pihak PIT Exploration
and Production Australasia membayar biaya pemulihan lingkungan hidup ats
4
Sesuai dengan Laporan Perkembangan Penyelesaiaan Kasus umpahan Minyak di Laut
Timor oleh Tim Advokasi Tuntutn Ganti Rugi di Laut Timor pada bulan Agustus 2012.
49

pencemaran yang disebabkan meledakya kilang minyak montara senilai Rp 4,4


trilliun. Sebagai dasar gugatan JPN menggunakan UU Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. menggugat tiga
perusahaan minyak Thailand yaitu The Petroleum Authority of Thailand
Exploration and Production Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP AA)
sebagai tergugat I, The Petroleum Authority of Thailand Exploration and
Production Public Company Limited (PTTEP) selaku tergugat II, dan The
Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited (PTT) sebagai tergugat
III. Pemerintah menuntut para tergugat untuk bertanggung jawab atas kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh tumpahnya minyak mentah. Adapun tergugat I
adalah operator kilang minyak. Sementara itu, tergugat II adalah head office atau
induk usahanya dan tergugat III merupakan pemilik atau owner.
Sidang perdana dlaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2017, namun
tergugat 1 tidak menghadiri persidangan dikarenakan tidak sampainya surat
panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meski satu tergugat tidak datang,
sidang tetap berjalan.5 Sidang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 November
2017 tanpa dihadiri kembali oleh tergugat. Dan tergugat berjanji menghadiri
persidangan dengan agenda mediasi tahap kedua yang akan dilaksanakan pada
tanggal 16 Januari 2018.6 Kemudian dalam persidangan yang diadakan pada
tanggal 6 Februari 2018, Kuasa Hukum dalam hal ini Jaksa Pengacara Negara
mencabut gugatan yang disampaikan secara lisan dalam peersidangan dengan
alasan akan memperbaiki Gugatannya terlebih dahulu.7

5
Kata Data, “Sidang Tumpahan Minyak Montara Mulai Berjalan”, sebagaimana dimuat
dalam, katadata.co.id , diakses pada tanggal 25 Desember 2017.
6
Metro TV News, “Tergugat Kasus Montara Berjanji Hadiri Proses Mediasi”, sebagaimana
dimuat dalam, news.metrotvnews.com , diakses pada tanggal 25 Desember 2017.
7
Sesuai dengan Penetapan Cabut Gugatan yang dikabulkan pada tanggal 6 Februari 2018.
50

Langkah gugatan yang dilakukan para petani rumput laut yang diadvokasi
Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) pimpinan Ferdi Tanoni ini, dilakukan karena
upaya damai yang dilakukan kedua belah pihak selalu tidak membuahkan hasil,
sehingga gugatan secara class action dinilai paling memadai untuk menjawab
keluh kesah para petani rumput laut di NTT. Gugatan secara class action itu
diwakili oleh Daniel Sanda, seorang petani rumput laut asal Pulau Rote di wilayah
Kabupaten Rote Ndao yang letaknya paling selatan Indonesia, dan berbatasan
langsung dengan Benua Australia. Daniel Sanda didampingi Ketua Tim Advokasi
dari YPTB Ferdi Tanoni dan Ben Slade dari Kantor Pengacara Maurice Blackburn
Lawyers, sebuah kantor pengacara tertua dan terbesar di Australia yang didirikan
pada 1919 serta Greg Phelps dari Ward Keller, sebuah kantor pengacara terbesar
di Australia Utara, saat mendaftar gugatan class action di Pengadilan Federal
Australia di Kota Sydney.8
Pengadilan Federal Australia di Sydney sidang gugatan class action para
petani rumput laut Indonesia asal Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22 Agustus
2016) setelah menerima daftar gugatan tersebut pada 3 Agustus 2016. Pada
tanggal 20 Oktober 2016 diadakan sidang pemeriksaan yang dipimpin oleh Hakim
Griffiths. Sidang pemeriksaan tersebut membahas pertanyaan prosedural apakah
anggota kelompok dalam gugatan telah "memulai" suatu proses hukum untuk
tujuan bagian 44 dari Undang-Undang Batasan (NT) dan oleh karena itu meminta
perpanjangan periode pembatasan sesuai dengan Undang-Undang tersebut.9 Pada
tanggal 24 Januari 2017, Hakim Griffiths memutuskan untuk memenangkan petani
rumput laut asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pengadilan Federal
Australia soal keabsahan penggugat mengajukan class action dalam perkara

8
.Hukum Online, “Pengadilan Australia Terima Gugatan Petani Rumput Laut Indonesia”,
sebagaimana dimuat dalam, www.hukumonline.com , diakses pada tanggal 20 Desember 2017.
9
.Maurice Blackburn, “Current Class Action: Montara Oil Spill Class Action”, sebagaimana
dimuat dalam, www.mauriceblackburn.com.au , diakses pada tanggal 22 Desember 2017.
51

pencemaran kilang minyak Montara di NTT. Dalam sidang di Sydney, hakim


tunggal Griffiths J dalam putusannya memenangkan warga NTT, Daniel
Aristabulus Sanda, untuk berhak mewakili seluruh petani rumput melawan PIT
Exploration and Production (PTTEP) Australasia dalam gugatan class action di
pengadilan Australia.
Dalam amar putusannya setebal 22 halaman di bawah file nomor 1245 of
2016, hakim Griffiths J yang mempertimbangkan keberatan yang diajukan oleh
PIT Exploration and Production Australasia serta memperhatikan berbagai bukti
yang diajukan pengacara Daniel Astabulus Sanda, maka Hakim Griffiths J
memutuskan menolak seluruh keberatan yang diajukan oleh PIT Exploration and
Production Australasia.10
Terkait dalam hal penyelesaian sengketa seperti ini, Piagam PBB
sebenarnya sudah mengatur mengenai penelesaiaan sengketa dalam pasal 33 yang
menyatakan:
“the parties to any dispute, the continuance o which is likely to endanger
the maintenance of international peace and security, shall, first of all seek
a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration,
judicial settlement, resort to regional agencies or arrangement or other
peaceful means of their own choice.”
Yang kemudian juga diperkuat adanya Resolusi Majelis Umum (MU)
Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2625 2 Oktober 1970 mengenai General
Assembly Declaration on Principles of International law concerning Friendly
Relations and Corporation among States in accordance with the Charter of the
United Nation.
Selanjutnya dengan disahkannya UNCLOS 1982 sistematika penyelesaian
sengketa di laut sudah diatur sedemikian rupa melalui Undang-Undang No 17

10
Kompas, “Gugatan Petani Rumput Laut NTT Dikabulkan Pengadilan Australia”,
sebagaimana dimuat dalam, regional.kompas.com , diakses pada tanggal 22 Desember 2017.
52

Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Conention on the Law of the Sea.
Negara-negara pihak Konvensi dapat membiarkan suatu sengketa tidak
terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju untuk itu. Jika pihak lain tidak setuju
maka mekanisme prosedur memaksa konvensi akan diberlakukan.11 Dalam
penyelesaian sengketa hukum laut UNCLOS 1982 membuat aturan yang sangat
fleksibel dimana negara yang berselisih diberi kebebasan yang besar untuk
memilih cara penyelesaian sengketa mereka. Diantaranya ada proses penyelesaian
yang tidak mengikat para pihak dan penyelesaian perselisihan yang mengikat para
pihak. Selain itu juga terdapat beberapa batasan dan pengecualian bagi negara
peserta Konvensi atas pilihan penyelesaian mengikat.
Dalam UNCLOS 1982 Bab XV Bagian 1, mengenai Penyelesaian
Sengketa (Settlement Disputes) mengharuskan negara-negara peserta untuk
menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara damai sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penyelesaian melalui cara-cara damai ini menurut
pasal 33 ayat 1 adalah dengan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi,
konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau
pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih
sendiri oleh pihak bersengketa. Namun, apabila pihak-pihak yang bersengketa
tidak bisa menyelesaikannya melalui cara-cara yang sudah ditetapkan pada Bagian
1, penyelesaian sengketa bisa ditempuh melalui prosedur wajib yang menghasilkan
keputusan mengikat yang diatur dalam UNCLOS Bab XV Bagian 2. Pihak-pihak
bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya dengan menunjuk pihak ketiga
untuk interpretasi dan penerapan Konvensi melalui Mahkamah Internasional
Hukum Laut, Mahkamah Internasional dan Mahkamah arbitrase khusus.
Dalam analisis peneliti menemukan bahwa berdasarkan teori tanggung
jawab negara atau yang biasa disebut state sovereignty merupakan prinsip

11
Boer Mauna, Hukum Internasional, Penyelesaian Secara Hukum , Pengertian, Peranan,
Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni 2000), h. 227.
53

fundamental dalam hukum internasional, sehingga apabila terjadi pelanggaran


kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab negara dan dalam kasus ini
berdasarkan teori tersebut maka yang wajib bertanggungjawab atas terjadinya
pencemaran lintas batas maritim adalah Pemerintah Australia. Karena dalam hal
ini yang memberikan izin usaha atas kegiatan usaha yang dilakukan oleh PIT
Exploration and Production Australasia adalah Pemerintah Australia, namun tidak
menggugurkan kewajiban ganti rugi yang harus dilakukan oleh PIT Exploration
and Production Australasia terhadap kelalaiannya. Dalam hal ini sesuai dengan
pasal 60 ayat (4) dan (5) United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982
pihak PIT Exploration and Production Australasia telah lalai dalam menerapkan
safety zone terhadap pencemaran yang terjadi di kilang minyak montara.
Kemudian pelanggaran terhadap pasal 195 United Nation Convention on the Law
Of the Sea 1982 atas tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Australia atas
kewenangan Australian Maritime Safety Authority dengan menggunakan dispersan
dalam menanggulangi tumpahan minyak montara di laut timor. Hal ini menurut
J.G Starke, setiap pelanggaran atas perjanjian menimbulkan suatu kewajiban untuk
memberikan ganti rugi. Kemudian sesuai dengan teori tanggung jawab mutlak
maka Pemerintah Indonesia wajib melakukan penanggulangan atas terjadinya
pencemaran lintas batas maritim walaupun kesalahan tidak terjadi karena kelalaian
Pemerintah Indonesia.
Dalam kasus ini, pemerintah bisa menempuh jalur hukum internasional, di
bidang lingkungan misalnya Rio Declaration on Environment 1992 dan Stockholm
Declaration on Human Environment 1972. Pilihan berikutnya, pemerintah
Indonesia bisa menuntut PIT Exploration and Production Australasia ke jalur
perdata. Pemerintah Indonesia bisa menggugat PIT Exploration and Production
Australasia di Pengadilan Perth atau di Jakarta. Di negara Australia, pihak
Indonesia bisa menggunakan United Nation Convention on the Law Of the Sea
1982, Yurisprudensi Mahkamah Internasional, dan Undang Undang Lingkungan
Hidup Australia.
54

Berkaitan dengan kasus ini, pemerintah Indonesia dapat memilih jalur


hukum melalui International Tribunal for The Law of the Sea. Bila semua jalur
penyelesaian sengketa secara diplomatik telah tertutup, jalur hukum internasional dibawah
payung International Tribunal for The Law of the Sea terbuka untuk penyelesaian
sengketa kasus kilang minyak montara di Laut Timor.
Kendala yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam
United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 terkait kasus penyelesaian
pencemaran lintas batas antara negara Indonesia dan negara Australia antara lain
adalah United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 lebih mengatur
mengenai “Tanggung jawab setiap Negara” tetapi tidak diatur di dalamnya perihal
nilai ganti rugi yang harus diberikan oleh negara yang melakukan pencemaran
menanggulangi masalah ini. Namun di dalam United Nation Convention on the
Law Of the Sea 1982 masih memberikan pilihan peradilan yang fleksibel yaitu
arbitrase.
55

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesuai dengan perumusan masalah dan pembahasan penelitian, maka


peneliti menyimpulkan bahwa sudah ada beberapa konvensi internasional telah
dibentuk dengan beberapa tujuan yaitu untuk menghindari terjadinya hal terkait
pencemaran laut, untuk memberikan pedoman penanganan apabila terjadi
pencemaran laut lintas batas, serta untuk mengatur pertanggungjawaban pihak-
pihak yang bersangkutan. Konvensi-konvensi tersebut adalah antara lain Piagam
PBB, Konvensi OPRC 1990, Konvensi Espoo beserta protokolnya, United Nation
Convntion on the Law Of the Sea 1982 yang mengatur terkait pencegahan,
perlindungan dan pelestarian laut. Dalam konvensi-konvensi tersebut terdapat
penerapan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional seperti prinsip untuk
bekerja sama, prinsip kehati-hatian, prinsip siapa yang mencemar ia yang
membayar, serta prinsip-prinsip lainnya.
Selain ketentuan internasional, terdapat juga ketentuan-ketentuan regional
yang antara lain berupa perjanjian-perjanjian multilateral atau bilateral antar
negara-negara yang memiliki kedekatan geografis ataupun kesamaan, dalam kasus
ini berupa Memorandum of Understanding between Governments of Australia and
Indonesia on Oil Pollution Preparedness and Response. Lalu walaupun terdapat
pengaturan-pengaturan dalam hukum internasional maupun regional, hukum
nasional tetap menjadi acuan utama bagi suatu negara dalam menentukan
kebijakan-kebijakan perairan di wilayahnya.
Dalam praktik penyelesaian sengketa terkait kasus ini sebenarnya sudah
dilakukan secara sistematis berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional. Namun
56

masih amat disayangkan karena masih belum ada yang secara baku menjelaskan
bagaimana sistematika yang seharusnya berlaku. Akan tetapi untuk pencemaran
laut sebagaimana diatur dalam pasal 204 Jo Psl 215 UNCLOS (kasus Montara)
baru merupakan tahap awal yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Australia guna menuju penyelesaian secara damai, dan masih
memerlukan tahapan–tahapan penyelesaian berikutnya, karena Pemerintah
Australia dan PIT Exploration and Production Australasia tidak mengindahkan
langkah negosiasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, termasuk negosiasi
kompensasi ganti rugi terhadap dampak yang ditimbulkannya. Sehingga kasus
tersebut belum dapat diselesaikan hingga kini.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan diatas, disarankan bagi instansi yang berwenang


untuk mengatur lebih lanjut mekanisme mengenai tanggung jawab dan
kompensasi dari pencemaran minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas
lepas pantai serta mengefektifkan dan mengeefisiensikan konvensi internasional
dengan sanksi yang tegas dan batas waktu penyelesaiaan secara jelas. Untuk
Pemerintah Indonesia sendiri dalam megngadopsi ketentuan-ketentuan
internasional, Pemerintah Indonesia harus melengkapi dengan ketentuan-ketentuan
yang dapat menekan pihak lain agar kepentingan nasional terlindungi. Berkaitan
dengan kasus ini, pemerintah Indonesia dapat memilih jalur hukum melalui
International Tribunal for The Law of the Sea. Bila semua jalur penyelesaian sengketa
secara diplomatik telah tertutup, jalur hukum internasional dibawah payung International
Tribunal for The Law of the Sea terbuka untuk penyelesaian sengketa kasus kilang minyak
montara di Laut Timor. Namun di dalam United Nation Convention on the Law Of
the Sea 1982 masih memungkinkan adanya pilihan peradilan yang fleksibel yaitu
arbitrase.
57

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Baylis, John dan Steve Smith, The Globalization of World Politics (3rd ed),
Oxford University Press, 2005.
Burhanuddin, Andi Iqbal, The Sleeping Giant, Potensi dan Permasalahan
Kelautan, Surabaya: Brillian internasional, 2011.
Churchill, R.R. dan A.V. Lowe, The Law of the Sea Third Edition, United
Kingdom: Manchester Uniersity Press, 1999.
Dam, Sjamsumar dan Riswandi, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang,
Perkembangan, dan Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.
Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Aspek hukum Kerjasama
Regional dan Internasional dalam Pencegahan Pencemaran Laut,
Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1998.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Echlos, John. M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia
Inggris, Jakarta: Gramedia, 1996.
Friedrich, Jurgen, International Environmental “soft law”, New York,
Springer, 2013.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Jakarta:
Gramedia, 1982.
Kurukulasiruya, Lal dan Nicholas A Robinson, United Nation Environment
Programme, Training Manual on International Environmental Law,
Kenya: Division of Environmental Policy & Law, 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar Bunga rampai Hukum Laut, Bandung: Bina Cipta,
1978.
--------------, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumannya, Bandung:
Orasi, 1977.
--------------, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Bandung: Binacipta,
1982.
58

Mauna, Boer, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam


Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2011.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana 2010.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Laut Bagi Indonesia, Jakarta: Sumur
Bandung, 1984.
Putra, Ida Bagus Wyasa, Hukum Lingkungan Internasional: Perspektif Bisnis
Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2003.
--------------, Tanggung Jawab Negara terhadap Dampak Komersialisasi
Ruang Angkasa, Bandung: Rafika Aditama, 2001.
Salmon, Hendrik, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam
Penegakan Hukum Lingkungan, Universitas Pattimura: Fakultas
Hukum, 2013.
Santosa, Achmad, Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan, Jakarta: Asa Prima
Pustaka, 2016.
Silalahi, M. Daud, Hukum Lingkungan dalam penegakan hukum lingkungan
Indonesia, Bandung: Alumni , 2001.
Soemarwoto, Otto, Ekologi: Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:
Djambatan, 1991.
Soemitro, Ronny Haditjo, Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
cetakan ke-4, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1990.
Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Sukarni, Fiqih Lingkungan Hidup Perspektif Ulama Kalimantan Selatan,
Kementerian Agama RI, 2011.
Sumardi, Juajir, Hukum Pencemaran Laut Transnasional, Bandung: Citra
Aditya Bakti , 1996.
Syafinaldi, "Hukum laut internasional", Pekanbaru: URI Press, 2009.
Tahar, Abdul Muthalib, Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982
dan perkembangan Hukum Laut di Indonesia, Lampung: Fakultas
Hukum Internasional UNILA Bagian Hukum Internasional, 2007.
Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,
Bandung: RefikaAditama, 2006.
Trianita, Hendriati, Deklarasi Universal Hak Asasi, Jakarta: KOMNAS HAM,
2000.v
Williams, Martha, “Mess of Lawsuits is Proving Stickier than Valdez Oil
Spill”, Seattle: Seattle Times, Juli 26, 1991.
Yafie, Alie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, Jakarta: Tama Printing 2006.
59

B. INTERNET
Alfiansyah, Alvin, “Montara Kasus Yang Hampir Terlupakan”, Juni 2016.
Artikel diakses pada 24 Desember 2017 dari https://psm-hse-
alert.com/wp-content/uploads/2017/06/Montara-Kasus-Yang-Hampir-
terlupakan-.pdf.
Amelia, Anggita Rezki dan Arnold Sirait, “Sidang Tumpahan Minyak
Montara Mulai Berjalan”, 24 Agustus 2017. Artikel diakses pada 25
Desember 2017 dari https://katadata.co.id/berita/2017/08/24/sidang-
tumpahan-minyak-montara-mulai-berjalan.
Bere, Sigiranus Marutho, “Gugatan Petani Rumput Laut NTT Dikabulkan
Pengadilan Australia”, 26 Januari 2017. Artikl diakses pada 22
Desember 2017 dari
http://regional.kompas.com/read/2017/01/26/06114521/gugatan.petani.
rumput.laut.ntt.dikabulkan.pengadilan.australia.
Maurice Blackburn Lawyers, “Current Class Action: Montara Oil Spill Class
Action”. Artikel diakses pada 22 Desember 2017 dari
https://www.mauriceblackburn.com.au/current-class-actions/montara-
oil-spill-class-action/.
Metro TV News, “Tergugat Kasus Montara Berjanji Hadiri Proses Mediasi”,
21 Desember 2017. Artikel diakses pada 25 Desember 2017 dari
http://news.metrotvnews.com/peristiwa/xkEGowrN-tergugat-kasus-
montara-berjanji-hadiri-proses-mediasi.
Novita, Sari, “P3SDLP akan analisa ulang tumpahan minyak Montara di
Pulau Rote”, 10 Agustus 2016. Artikel diakses pada 27 Oktober 2017
dari http://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.php/en/home/1260-p3sdlp-
akan-analisa-ulang-tumpahan-minyak-montara-di-pulau-rote.
Wikipedia, “Laut Timor”. Artikel diakses pada 15 Oktober 2017 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/LautTimor.
Yozami, Mohamad Agus, “Pengadilan Australia Terima Gugatan Petani
Rumput Laut Indonesia”, 3 Agustus 2016. Artikel diakses pada 20
Desember 2017 dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57a1da111792f/pengadilan
-australia-terima-gugatan-petani-rumput-laut-indonesia.
60

C. LAPORAN
Menteri Perhubungan Indonesia, Laporan Penanggulangan Tumpahan Minyak di
Laut Timor Perairan Indonesia Akibat Kebocoran Montara Welhead Patorm
Australia, 2010.
Tim Advokasi Tuntutn Ganti Rugi di Laut Timor, Laporan Perkembangan
Penyelesaiaan Kasus umpahan Minyak di Laut Timor, 2012.
Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Memorandum Akhir Tugas Direktur
Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Periode September 2010 –
Januari 2014, 2014.

Anda mungkin juga menyukai