anti korupsi
Edukasi Pencegahan
Melalui Street Law
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
klinik hukum
anti korupsi
Edukasi Pencegahan
Melalui Street Law
Tim Penyusun:
I Gst. A.A. Dike Widhiyaastuti
I Made Walesa Putra
I Putu Rasmadhi Arsa Putra
I Gst. Ketut Ariawan
I Ketut Rai Setiabudhi
Gde Artha
Wayan Suardana
Dewa Gede Dana Sugama
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2016
iii
klinik hukum
anti korupsi
Edukasi Pencegahan
Melalui Street Law
Tim Penyusun:
I Gst. A.A. Dike Widhiyaastuti
I Made Walesa Putra
I Putu Rasmadhi Arsa Putra
I Gst. Ketut Ariawan
I Ketut Rai Setiabudhi
Gde Artha
Wayan Suardana
Dewa Gede Dana Sugama
Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana Denpasar,
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar - Bali Telp. (0361) 255128
unudpress@gmail.com http://penerbit.unud.ac.id
Cetakan Pertama:
2016, xii + 105 hlm, 15 x 23 cm
ISBN: 978-602-294-158-3
Hak Cipta pada Penulis.
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
iv
KATA PENGANTAR
berbagi dan mengembangkan pengetahuan serta membangkitkan
kesadaran masyarakat dengan cara mengedukasi pencegahan
korupsi secara langsung. Dengan disertai contoh-contoh kasus
sangat membantu mempermudah memahami dan mendalami
materi, buku ini juga berisikan soal latihan sebagai evaluasi hasil
pembelajaran setiap babnya.
vi
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
vii
Pada akhirnya kami ucapkan selamat atas diterbitkan buku
ini, semoga buku ini memperkaya literatur hukum bermutu dan
memberikan konstribusi positif dalam upaya penanggulangan
tindak pidana korupsi yang pada akhirnya membantu
perkembangan hukum Indonesia.
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................v
ix
BAB IV ASAS-ASAS HUKUM PIDANA FORMIL
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI...................................... 34
A. Pengantar.................................................................................... 34
B. Sistem Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi............. 35
C. Peradilan In Absentia................................................................. 37
D. Pengembalian Asset Hasil Korupsi......................................... 38
E. Perluasan Alat Bukti Petunjuk................................................. 40
F. Kerahasiaan Bank Tidak Berlaku Bagi Tindak
Pidana Korupsi.......................................................................... 41
G. Putusan Bebas Tidak Menghapus Hak Menuntut
Kerugian Terhadap Keuangan Negara.................................. 41
BAB VIII MEKANISME PENGADAAN BARANG
DAN JASA PEMERINTAH............................................................ 65
xi
BAB XIV STREET LAW KLINIK ANTI KORUPSI
PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT SERTA SOSIALISASI AKSES
MEMPEROLEH KEADILAN........................................................ 93
A. Proposal Penelitian.................................................................... 93
B. Pelaksanaan Penelitian ............................................................ 95
C. Pendukung Kegiatan Penyuluhan.......................................... 95
D. Penyuluhan hukum (Street Law)............................................. 96
E. Pelaporan.................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 99
xii
BAB I
PERKEMBANGAN KLINIK HUKUM
ANTI KORUPSI
nilai dan keahlian praktis yang memampukan mahasiswa untuk
memberikan pelayanan hukum dan menciptakan keadilan sosial.
CLE disebut juga sebagai experiential learning atau learning by doing
yaitu cara belajar dengan lebih banyak memberikan pengalaman
pada mahasiswa dengan melatih kemampuan praktiknya. CLE
sebagai metode pendidikan hukum modern mengedepankan
ketrampilan praktik di lapangan (mitra kerja) dan melatih
mahasiswa untuk memiliki kemampuan legal analysis, skills
development dan professionalism. Pembelajaran klinik hukum
dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu planning component
(komponen pembelajaran), experiential component (komponen
praktik) dan reflection component (komponen refleksi). Dengan
adanya 3 (tiga) tahapan proses pembelajaran ini mahasiswa
akan memiliki pengetahuan (knowledge), kemampuan (skill) dan
nilai (value) sehingga akan mampu membentuk mahasiswa yang
berkompeten dan siap bersaing.
Sasaran pembelajaran dalam klinik hukum adalah gejala
sosial yang berkaitan dengan hukum dan keadilan sosial serta
berkaitan dengan kemampuan melihat pasar kebutuhan tentang
pembelajaran hukum professional yang aplikatif. Dengan
demikian mahasiswa akan mampu memberikan pelayanan
hukum di masa mendatang. Oleh karena itu pembelajaran
dengan metode hukum klinis pada dasarnya bertujuan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pencapaian
keadilan sosial. Untuk memaksimalkan hasil akhir, pembelajaran
dengan metode hukum klinis dapat dilakukan dengan cara in
house clinic, ex house clinic dan combination in house and ex house
clinic serta street law clinic.
Klinik hukum anti korupsi juga memiliki hasrat yang sama
dalam memberikan pengetahuan kepada mahasiswa dengan
menerapkan metode pembelajaran klinis hukum yang interaktif
reflektif dan ditambah dengan adanya street law clinic.
B. PERKEMBANGAN SAAT INI
law adalah metode pendekatan penyelesaian permasalahan
hukum, sebagai misal korupsi terjadi karena adanya budaya
permisif dalam masyarakat. Street law akan mendekati
masyarakat dan memberikan edukasi kepada masyarakat untuk
tidak membiasakan mengembangkan budaya permisif terhadap
perbuatan-perbuatan yang tergolong korupsi. Dalam konteks
ini, street law mengembangkan sikap yang berkaitan dengan skill
building (membangun keahlian), practical legal content (konten
kemampuan praktis) dan connection to the community (hubungan
masyarakat). Kesemuanya itu dapat diperoleh dengan melakukan
beberapa metode pembelajaran street law seperti:
a. Each One Teach One : satu mahasiswa akan mengajar satu
mahasiswa lainnya
b. Case Study : mahasiswa akan melakukan studi kasus dan
mengaplikasikan peraturan hukum dalam kasus tersebut.
c. Think, Pair And Share : mengajarkan mahasiswa berbagi dan
bekerja sama dan “Berpikir sendiri lebih dahulu/inisiatif)
d. Jigsaw : mengajar mahasiswa bekerja sama mempelajari
sekelompok besar informasi dlm waktu singkat
e. Pro se court : Moot Court
f. Brainstorming : Curah Pendapat
g. Legislative Hearing : role play (bermain peran)
h. Small group work (kerja kelompok)
BAB II
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF UMUM
A. PERKEMBANGAN KORUPSI
dan Schramm juga menemukan bahwa di era dinasti Qin, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana-nya telah memuat pidana
yang kaku dan terperinci bagi tindak pidana korupsi. Seluruh
penemuan ini menunjukkan bahwa korupsi telah ada sejak jaman
dahulu dan telah menjadi musuh bersama bagi setiap manusia.
Di Indonesia, korupsi dikatakan telah ada sejak jamannya
kerajaan-kerajaan. Ditengarai para adipati pada jaman-jaman
tersebut telah terbiasa melakukan pemotongan terhadap
utpeti yang dikumpulkan rakyat sebelum diserahkan kepada
raja. Seorang sejarahwan UGM, Suhartono dalam Seminar
Hasil Penelitian Lintas Klaster Humaniora juga menguraikan
bagaimana korupsi di Indonesia telah terangkai sejak jaman
feodalisme. Menurut pandangannya, birokrasi tradisional
yang terbentuk pada jaman feodalisme merupakan benih
awal terbentuknya mental korupsi di Indonesia dan korupsi
tradisional ini dipandang wajar dan tidak dipermasalahkan
karena merupakan hak penguasa sehingga tidak ada kontrol
pengawasan. Suhartono juga menambahkan tentang kronologis
korupsi di Indonesia disebabkan karena struktur masyarakat
yang ada, keberlangsungan secara sosio kultural hampir tidak
mengalami perubahan secara signifikan sehingga korupsi dapat
berlangsung selama puluhan abad.
Pandangan lain tentang sejarah korupsi di Indonesia
dikemukakan Theodore M Smith yang menganalisa bahwa
sebagian besar permasalahan korupsi di Indonesia disebabkan
karena faktor kultural, ekonomi dan politik. Faktor utama
penyebab maraknya korupsi di Indonesia adalah faktor sejarah
yang dipengaruhi oleh watak kolonialisme, faktor kebudayaan
yang menjadi implikasi negative dari sistem feodalisme,
faktor ekonomi yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat
Ibid.
Suhartono dalam https://ugm.ac.id/id/berita/433-sejarawan.ugm:.korupsi.
warisan.dari.penyakit.sosial.orang.indonesia, diunggah tanggal 26 Agus-
tus 2008
Theodore M Smith dikutip dalam Mochtar Lubis dan James Scott oleh
http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/22/korupsi-birokrasi-sebuah-wari-
san-kolonial-471739.html , diunggah tanggal 22 Juni 2012
kesejahteraan, faktor struktur pemerintahan yang sentralistik
dan faktor politik yang kotor oleh karena kepentingan dana bagi
partai-partai yang ingin memenangkan pemilu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korupsi di
Indonesia terjadi sebagai bentuk implikasi negative atas pola-
pola penguasa di Indonesia sejak jaman feodalisme. Diperburuk
kemudian dengan kedatangan kolonialisme yang mengembangkan
birokrasi modern. Didukung oleh sikap permisif masyarakat
terhadap kesewenang-wenangan penguasa dan pandangan-
pandangan yang disisipi tentang nilai-nilai tradisional tentang
pemimpin pun menambah buruk angka korupsi di Indonesia.
LATIHAN. DISKUSIKAN.
Bagaimana sejarah korupsi secara global dan
kemudian telusuri apakah sejarah korupsi secara
global tersebut ada pengaruhnya terhadap sejarah
korupsi di Indonesia?
Selanjutnga dalam Webster’s New American Dictionary, kata
“corruption” diartikan sebagai “decay” (lapuk), “contamination“(k
emasukan sesuatu yang merusak) dan “impurity” (tidak murni)
sedangkan kata “corrupt” dijelaskan sebagai “to become rotten or
putrid” (menjadi busuk, lapuk atau buruk), juga “to induce decay in
something originally clean and sound” (memasukkan sesuatu yang
busuk atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang semula bersih dan
bagus).
Henry Campbell Black, mengartikan korupsi sebagai “an
act done with an intent to give some advantage inconsistent with
official duty and the rights of others”, (terjemahan bebasnya: suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan
hak-hak dari pihak lain). Termasuk dalam pengertian “corruption”
menurut Black adalah perbuatan seseorang pejabat yang secara
melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan
suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.
Pengertian yang dikemukakan oleh Henry Campbell Black ini
menunjukkan arti korupsi tidak semata-mata soal perbuatan
yang memberikan keuntungan tetapi juga soal pelanggaran
hukum dalam upaya seseorang untuk memperoleh keuntungan
yang berlawanan dengan kewajibannya. Dalam konteks ini
Henry Campbell Black melihat korupsi itu adalah persoalan hak
dan kewajiban yang dirugikan dan dimanfaatkan.
Berbeda dengan A.S Hornby yang nampaknya memberikan
kualifikasi sedikit lebih sempit tentang korupsi dengan
mengartikannya sebagai suatu pemberian atau penawaran dan
penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes),
serta kebusukan atau keburukan (decay). Hornby memandang
dalam korupsi ada 3 (tiga) persoalan penting yaitu pemberian,
penawaran dan penerimaan yang ditujukan untuk memperoleh
Elwi Danil, 2010, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 3
Black’s Law Dictionary with Pronouncation, 1983, Minn West Publishing
co, St. Paul, h. 182
Op. Cit., hlm. 4
sesuatu yang mengarah pada sesuatu yang busuk dan buruk.
Senada dengan Hornby adalah Wertheim yang kemudian
memberikan pemahaman yang lebih spesifik tentang korupsi
berbentuk penyuapan. Menurutnya seorang pejabat dikatakan
melakukan tindak pidana korupsi, adalah apabila menerima
hadiah dari seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar
mengambil keputusan yang menguntungan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang pengertian ini juga mencakup
perbuata menawarkan hadiah, atau bentuk balas jasa yang
lain. Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas jasa karena
sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah dilaksanakan
seseorang, juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai perbuatan
korupsi. Di samping itu, masih termasuk ke dalam pengertian
korupsi adalah penggunaan uang negara yang berada di bawah
pengawasan pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepentingan
pribadi yang bersangkutan. Dalam hal yang terakhir ini, para
pejabat pemerintah dianggap telah melakukan penggelapan
uang negara dan masyarakat.
Pendapat Wertheim ini diperluas lagi oleh David H Baley10
yang memberikan pengertian lebih luas tentang makna korupsi.
David H Baley mengatakan bahwa korupsi yang dikaitkan
dengan penyuapan adalah suatu istilah umum yang meliputi
penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pertimbangan
keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang. Batasan
yang luas dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang
memungkinkan dimasukkannya penyuapan, pemerasan,
penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik
sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan nepotisme ke
dalam korupsi. Dalam pandangannya, menilai bahwa kerugian
yang terjadi dalam keuangan negara dan masyarakat sebagian
besar dibentuk oleh pola-pola korupsi tersebut secara tidak
langsung.
Terkait dengan itu Robert Klitgaard memandang bahwa
korupsi itu ada ketika seseorang secara tidak halal meletakkan
kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, serta cita-cita
yang menurut sumpah yang akan dilayaninya.11 Melihat korupsi
itu muncul dalam berbagai bentuk dan terejawantah dari
persoalan yang sepele sampai pada persoalan yang besar. Korupsi
dapat menyangkut penyalahgunaan instrument-instrument
kebijakan seperti soal tariff, pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan
perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut
keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman
dan sebagainya. Di samping itu, ditegaskan pula bahwa korupsi
itu dapat terjadi tidak saja di sector pemerintahan, tapi juga di
sector swasta, bahkan sering terjadi sekaligus di kedua sektor
tersebut.12
Apa yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard nampaknya
juga terekam oleh David M. Chalmer yang memberikan pengertian
korupsi dalam berbagai bidang termasuk masalah penyuapan
yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan
menyangkut bidang kepentingan umum.13
Berdasarkan keseluruhan pendapat tersebut di atas harus
dipahami bahwa dalam memahami korupsi, cara pandang
setiap orang akan berbeda-beda, artinya tidak akan sama
persis satu dengan yang lainnya. Kondisi ini sangat tergantung
pada iklim politik, budaya, kesadaran hukum masyarakat dan
perkembangan sistem hukum masing-masing. Oleh karena itu
tidak jarang dijumpai adanya pengertian yang berbeda-beda
dalam memahami korupsi. Tidak jarang terjadi pula pandangan
mengenai perbuatan yang dianggap sebagai korupsi di suatu
negara namun di negara lain belum tentu itu termasuk dalam
perbuatan korupsi bisa jadi hanya penggelapan atau penyuapan
biasa. Oleh karena itu harus dipahami bahwa dalam memahami
11 Robert Klitgaard, 1998, Memahami Korupsi, terjemahan Hermoyo, Yayasan
Obor, Jakarta, h. xix
12 Ibid.
13 Op.Cit., h. 4
10
makna korupsi sangat tergantung dari politik hukum pidana
yang dianut oleh suatu negara.
Terkait dengan ini mengutip John A Gardiner dan David J
Olson dalam bukunya “Theft of the City”, Reading on Corruption
in Urban America sebagaimana dikutip Soedjono Dirdjosisworo,
memberi pemahaman secara umum dari sumber-sumber
pengertian korupsi, dengan pengelompokan sebagai berikut :
a. Pengertian korupsi yang dijelaskan dalam Oxford English
Dictionary;
b. Rumusan menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial;
c. Rumusan yang lebih memberikan penekanan pada jabatan
dalam pemerintahan;
d. Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar;
e. Rumusan korupsi yang berorientasi kepada kepentingan
umum.
11
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan,
kecuali ia telah begitu merajalela, dan begitu mendalam
berurat akar, sehingga individu-individu yang berkuasa,
atau mereka yang berada daalam lingkungannya tidak
tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
timbale balik;
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya
berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan
berlindung di balik pembenaran hukum;
e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang
menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka
yang mampu untuk memengaruhi keputusan-keputusan
itu;
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan
kepercayaan;
h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang
kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu;
i. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas
dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.15
12
compaign practices. Political bribery erat kaitannya dengan
kekuasaan legislative selaku badan pembentuk undang-undang.
Dalam gambarannnya badan legislative ini dikendalikan oleh
sesuatu kepentingan terkait dengan dana pemilihan umum yang
sering dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan tertentu yang
bertindak sebagai donatur. Dalam konteks ini para pengusaha
umumnya dan pemilik perusahaan khususnya memiliki harapan
dengan donasi yang telah diberikan, maka anggota legislative
akan membuatkan suatu peraturan yang akan menguntungkan
mereka, bisnis dan usahanya. Lain halnya dengan political
kickbacks yang merupakan suatu kegiatan yang berhubungan
dengan sistem kontrak pekerjaan antara pejabat pelaksana atau
terkait dengan pengusaha guna mendapatkan keuntungan yang
lebih banyak bagi kedua pihak. Dalam artian pengusaha maupun
pejabat akan sama-sama memperoleh keuntungan dari hubungan
kerjasama yang mereka buat tersebut. Sedikit berbeda denga
Election fraud yang merupakan kegiatan korupsi yang langsung
berkaitan dengan kecurangan-kecurangan dalam pemilu baik itu
yang dilakukan oleh calon penguasa ataupun anggota parlemen
atau bahkan lembaga pelaksana pemilu sendiri. Dekat dengan
pengertian election fraud adalah corrupt campaign practice yang
merupakan tipologi korupsi yang berkaitan dengan kampanye
pemilihan umum dengan menggunakan fasilitas negara bahkan
penggunaan uang negara oleh calon penguasa pada saat ia masih
memegang kekuasaaan. 16
Selanjutnya tipologi dari Benveniste yang melihat korupsi
dari berbagai aspek sehingga beliau menggambarkan tipologi
korupsi tersebut ke dalam 4 (empat) jenis yaitu:
a. Discretionary corruption, yakni korupsi yang dilakukan
karena adanya kebebasa dalam menentukan kebijaksanaan,
sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik
yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum,
peraturan, dan regulasi tertentu.
16 OpCit., h. 9 - 10
13
c. Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang
dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun
discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan
kelompok.17
17 Op.Cit., h. 11 - 12
14
Dengan memahami pengertian dan ciri serta tipologi
korupsi tersebut diatas, akan dapat membantu pemahaman
tentang korupsi dalam deskripsi pemahaman yang lebih luas.
Korupsi bukanlah kejahatan sederhana selayaknya pencurian,
penggelapan, pemerasan ataupun pungutan liar pada umumnya
karena korupsi melibatkan banyak kepentingan dan rata-rata
kepentingan tersebut mengalami kerugian materiil maupun
immaterial oleh karena adanya perbuatan korupsi.
LATIHAN. DISKUSIKAN.
Sebab-sebab terjadinya korupsi secara global dan
sebab-sebab terjadinya korupsi di Indonesia.
15
internasional peserta konvensi merasa prihatin atas kegawatan
atau keseriusan dari masalah-masalah dan ancaman-ancaman
yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap masalah stabilitas dan
keamanan masyarakat yang akan melemahkan lembaga-lembaga
dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilann, serta
membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi
hukum. Oleh karena itu perlu diyakininya suatu pendekatan
komprehensif dan multidisipliner untuk mencegah dan
memerangi korupsi secara efektif.18
Menurut perspektif hukum pidana, korupsi tergolong sebagai
tindak pidana atau kejahatan yang sangat berbahaya baik itu
bagi masyarakat, bangsa dan juga negara. Di samping persoalan
kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, terdapat
persoalan yang jauh lebih besar dan lebih membahayakan bagi
kelangsungan penyelenggaraan negara yaitu berkaitan dengan
hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Dalam
konteks ini negara bisa mengalami ketidakseimbangan dan
ketidakharmonisan hubungan dengan rakyat.
Hal tersebut dapat menjadi indikator tentang seberapa
berbahayanya tindak pidana korupsi jika dibiarkan berkembang
secara terus menerus. Sifat berbahaya dari tindak pidana korupsi
dan efek yang luas terhadap kehidupan bernegara dan masyarakat
ini juga ditegaskan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa
ke-9 di Kairo. Hasil kongres di Kairo ini kemudian dibicarakan
oleh Commition on Crime Prevention and Criminal Justice di Wina
dan menghasilkan resolusi tentang actions agains corruptions yang
menegaskan korupsi merupakan masalah serius karena dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak
nilai-nilai demokrasi dan moralitas (underminded the values of
democracy and morality) dan membahayakan pembangunan sosial,
ekonomi, dan politik (jeopardized social, economic and political
development).19
18 Op.Cit., h. 64
19 Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yog-
yakarta, h. 88
16
Dengan demikian dapat dipahami adapun sifat extraordinary
crime dari tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian
keuangan negara yang berdampak pada kerugian perekonomian
suatu bangsa. Dalam konteks ini korban dari kerugian keuangan
negara berimbas sangat luar biasa. Selain itu sifat extraordinary
crime dari korupsi juga dapat dilihat dari praktik yang dilakukan.
Kebanyakan menunjukkan korupsi yang berlangsung sistemik
dan meluas sehingga kerugian tidak hanya dialami oleh negara
dalam bentuk kerugian keuangan negara tetapi juga memberikan
kerugian kepada hak-hak warga negara.
Korupsi di Indonesia jika dilihat dari sisi kualitas dan
kuantitas telah menampakkan wujudnya bukan sebagai kejahatan
biasa selayaknya pencurian, penggelapan, dan lain-lain. Korupsi
telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau disebut
dengan Extra Ordinary Crimes.20
Menurut Elwi Danil ada beberapa alasan-alasan yang
memposisikan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa yaitu :
a. Karena masalah korupsi sudah berurat akar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Korupsi
tidak saja merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, tapi juga telah “memorak porandakan” tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kondisi itu
telah memprihatinkan masyarakat internasional;
b. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan
sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat, karena
sebagian besar masyarakat tidak dapat menikmati hak yang
seharusnya dia peroleh;
c. Karena korupsi itu telah mengalami perkembangan dan
pertumbuhan yang sangat pesat, maka masalahnya tidak
lagi merupakan masalah hukum semata, tapi korupsi itu
sudah dirasakan sebagai pelanggaran terhadap hak sosial
dan ekonomi masayrakat sebagai bagian dari hak asasi
manusia;
20 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System), Program Magister Ilmu Hukum, Semarang, h. 92.
17
d. Karena adanya perlakuan diskriminatif di dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi;
e. Karena korupsi bukan lagi hanya berkaitan dengan sektor
publik; melainkan sudah merupakan kolaborasi antara
sektor publik dengan sektor swasta.
18
BAB III
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA INDONESIA
19
undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak
waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap
perlu diciptakan sautu peraturan khusus untuk segera
menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila
dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada akan mengalami
kesulitan dalam pembuktian.21
20
umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 63 ayat (2) yang
menyebutkan “jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Sehubungan dengan itu diketahui bahwa produk perundang-
undangan di Indonesia sebagian besar masih merupakan warisan
dari kolonial yang jika diberlakukan saat ini menimbulkan banyak
masalah yuridis. Oleh karena itu saat ini muncul fenomena
legislative dalam hal kebijakan formulasi guna menghindari
tidak dapat bekerjanya suatu undang-undang terhadap suatu
perbuatan yang telah melanggar kepentingan hukum orang
lainnya.
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut
UU PTPK) merupakan salah satu undang-undang pidana khusus
sebagai bentuk adanya kebijakan formulasi terhadap Undang-
undang tindak pidana korupsi No. 3 Tahun 1971. Kekhususan ini
dapat terlihat dalam beberapa hal yang diatur dalam UU PTPK
itu sendiri seperti :
1. Perubahan perumusan tindak pidana
2. Perubahan ancaman pidana
3. Diperkenalkannya ancaman pidana minimum khusus
4. Perluasan pengertian pegawai negeri
5. Perluasan konsep pelanggaran
6. Penambahan pidana tambahan
7. Korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi
8. Adanya koordinasi Jaksa Agung TPK dengan Peradilan
Umum dan Peradilan Militer
9. Peran serta masyarakat.
21
1. Bahwa pengecualian terhadap undang-undang yang bersifat
umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan
dirinya, yaitu Undang-undang.
2. Bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam undang-
undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya
berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dari bagian
yang tidak dikecualikan tetapa berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksanaan undang-undang khusus
tersebut.23
23 Ibid.
22
dan jalan kehidupan bangsa Indonesia.24 Jauh sebelum komentar
sinis tersebut dilontarkan, Muhammad Hatta, salah seorang
tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, pernah melontarkan
penilaian yang sama dengan mengatakan bahwa korupsi
cenderung sudah membudaya, atau sudah menjadi bagian dari
kebudayaan bangsa Indonesia.25
Apa yang dikhawatirkan Bung Hatta pada sekitar akhir
tahun 60-an itu, sampai dewasa ini telah semakin menjadi sebuah
fakta yang amat sulit dibantah. Skala korupsi yang terjadi telah
menjadi semakin “menggurita”. Korupsi di Indonesia, tidak
saja telah membudaya, namun juga telah melembaga. Perilaku
menyimpang itu telah mengalami proses institusionalisasi,
sehingga hampir-hampir tidak ada lembaga negara yang steril dari
perilaku menyimpang tersebut.26 Hal ini jika diseksamai dapat
memberikan penilaian kurang baik terhadap upaya penegakan
hukum di Indonesia. Penilaian kurang baik ini wujudnya pun
bisa bermacam-macam salah satunya adalah ketidakpercayaan
terhadap kemampuan hukum khususnya hukum pidana dalam
melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak
pidana korupsi. Berbicara mengenai hukum di Indonesia, patut
diketahui bahwa ada beberapa pengaturan tindak pidana korupsi
yang pernah diupayakan oleh pemerintah Indonesia dalam
rangka mencegah dan memberantas korupsi antara lain :
1. Peraturan Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957
merupakan peraturan yang menjadi tonggak awal
pengaturan korupsi di Indonesia.
2. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tanggal
22 Mei 1957.
3. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM 011/1957 yang
dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 1957 sebagai dasar hukum
24 Amien Rais, Pengantar dalam Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti
(ed), Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Me-
dia, Yogyakarta dalam Elwi Danil, OpCit., h. 65
25 Mubyarto, 1995, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Medika, Yogyakarta,
dalam Elwi Danil, Op.Cit.
26 Elwi Danil., Op.Cit.
23
penguasa militer melakukan penyitaan dan perampasan
harta benda yang mencurigakan.
4. Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Nmor Prt/
Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda
(hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan
Darat)
5. Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Nomor Prt/zl/17
tanggal 17 April 1958 khusus bagi pengusutan, penuntutan
dan pemeriksaan perbuatan korupsi dan penilikan harta
benda yang dilakukan di daerah-daerah yang dikuasai
Angkatan Laut.
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu)
Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, LN Nomor 72 Tahun
1960 jo. UU Nomor 24 Prp Tahun 1960.
7. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, LNRI Tahun 1971 Nomor 19.
8. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
24
pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi.
Ditambah dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang
adil dan makmur sebagai tujuan kebangsaan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus diberantas. Dan
masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan yang mendorong
pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di samping peraturan tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, pemerintah juga secara substansial menyiapkan
peraturan-peraturan lain yang kedepannya akan menyokong
bekerjanya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
1. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
2. UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi
3. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
4. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
5. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
6. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption 2003.
25
C. TINDAK PIDANA KORUPSI
26
e. Pasal 7 ayat (2)
f. Pasal 12 huruf h
6. Korupsi Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
7. Tindak Pidana Gratifikasi
8. Percobaan, Permufakatan Jahat dan Pembantuan Melakukan
Tindak Pidana Korupsi
a. Percobaan Melakukan Tindak Pidana Korupsi
b. Permufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana
Korupsi
c. Pembantuan Melakukan Tindak Pidana Korupsi
9. Tindak Pidana Lain Terkait Tindak Pidana Korupsi
a. Pasal 21
b. Pasal 22
c. Pasal 23
d. Pasal 24
27
kerugian pada masyarakat. Inilah yang kemudian ingin disikapi
oleh beberapa undang-undang khusus seperti UU Korupsi.
Pada UU Korupsi, diketahui bahwa subjek tindak pidana
bukan hanya manusia tetapi juga badan hukum atau korporasi.
Dalam Pasal 1 ayat (3) UU Korupsi menunjukkan bahwa makna
“setiap orang” dalam UU Korupsi tidak hanya mengacu pada
orang perorangan tetapi juga badan hukum atau korporasi. Jadi
korporasi dalam hal ini diartikan sebagai sekumpulan orang
atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Dengan demikian jelaslah bahwa
subjek tindak pidana korupsi menurut UU Korupsi adalah
manusia atau badan hukum.
Terkait dengan perbuatan pidana oleh korporasi, UU Korupsi
memberikan beberapa kriteria perbuatan pidana yang dilakukan
oleh korporasi.
Pasal 20 ayat (2) UU Korupsi menyebutkan bahwa “tindak
pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-
sama”. Jadi jika pasal ini diuraikan ada 2 (dua) kriteria untuk
menyatakan korporasi melakukan tindak pidana korupsi jika :
1) Dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hukum;
2) Bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
28
dilakukan oleh pegawai asal saja perbuatan tersebut masih dalam
ruang lingkup fungsi-fungsi kewenangan korporasi.27
2) Teori Identifikasi
Teori ini pada intinya menyatakan bahwa korporasi dapat
melakukan perbuatan pidana secara langsung melalui orang-
orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dan
dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Perbuatan yang
dilakukan oleh anggota-anggota tertentu dari korporasi, selama
perbuatan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai
perbuatan dari korporasi itu sendiri. Oleh karena itu, bila
perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian, atau, jika
anggota tertentu korporasi itu melakukan tindak pidana, maka
sesungguhnya perbuatan pidana tersebut merupakan tindak
pidana yang dilakukan korporasi, yang pada akhirnya korporasi
juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbautan pidana
yang dilakukan. Korporasi dianggap melakukan suatu tindak
pidana jika orang diidentifikasi dengan korporasi bertindak
dalam ruang lingkup jabatannya. Namun, jika orang tersebut
melakukan tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pribadi,
maka perbuatan tersebut bukan perbuatan korporasi.28
Berdasarkan kedua teori tersebut, dapat diketahui bahwa
ada kemungkinan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek
pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi sepanjang
ia memenuhi syarat yang dikehendaki oleh teori-teori tersebut.
Permasalahan selanjutnya adalah permasalahan
pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.
Pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh orang
perseorangan tetap mengambil dan mengikuti asas-asas yang
27 Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahat-
an, Cetakan Pertama, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lem-
baga Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta, h. 107-108 dalam Mahrus
Ali, 2016, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, h. 46
28 Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawa-
ban Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, h. 26 dalam Mahrus Ali,
Ibid., h. 47
29
terkandung dalam Hukum Pidana Indonesia. Artinya untuk
pertanggungjawaban pidana tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh orang tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan
pidana pada umumnya. Ini akan sedikit berbeda manakala
pertanggungjawaban pidana tindak pidana korupsi itu dikaitkan
dengan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa dalam
perkembangan hukum pidana di Indonesia, ada tiga sistem
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana,
yaitu:
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah
yang bertanggungjawab;
2) Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang
bertanggungjawab;
3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.29
30
ke pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 ayat (5) UU Korupsi.
Hal sebagaimana tersebut di atas menunjukkan bahwa
ketika suatu korporasi melakukan tindak pidana korupsi maka
pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus
korporasi. Konstruksi pengaturan dalam UU Korupsi ini
menyebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
korporasi cenderung tidak dijatuhi pidana dan yang dijatuhi
pidana adalah pengurusnya.
31
1) Pidana pokok seperti pidana seumur hidup, pidana penjara
dan pidana denda; serta
2) Pidana tambahan seperti :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana, begitu pula
barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu
atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu.
32
LATIHAN. PELAJARI DAN BUAT RINGKASAN.
1. Telusuri dan deskripsikan pasal-pasal yang
memuat ancaman pidana minimum khusus
dan maksimum khusus serta temukan pasal-
pasal yang tidak memuat ancaman pidana
minimum khusus.
2. Perhatikan dan analisa perumusan ancaman
pidana dalam UU Korupsi, apakah termasuk
perumusan ancaman pidana secara alternative
atau kumulatif ataukah gabungan.
3. Analisislah tentang pidana bagi percobaan,
pembantuan dan permufakatan jahat, apakah
pidana yang dijatuhkan sama dengan delik
yang sudah selesai.
4. Analisislah bilamana ada perbuatan-
perbuatan yang dianggap menghalangi
penanganan tindak pidana korupsi; dan
5. Pahami tentang konsep dan makna
pembayaran uang pengganti dalam tindak
pidana korupsi
33
BAB IV
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA FORMIL
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENGANTAR
34
Seperti mengenai penanganan perkara korupsi secara
khusus ditangani oleh suatu komisi yang disebut dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat
(1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan
Pengadilan Tipikor. Komisi Pemberantasan Korupsi ini memiliki
tugas dan wewenag melakukan koordinasi dan supervisi,
termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Artinya, dalam proses penanganan tindak pidana
korupsi akan dikerjakan oleh institusi khusus ini. Untuk
ketentuan mekanisme dan kewenangannya dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana
korupsi diatur secara jelas dalam UU No. 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adanya ketentuan ini menunjukkan adanya penyimpangan
pada KUHAP sebagai asas umum dalam hukum acara dimana
KUHAP menentukan bahwa kewenangan penyelidikan dan
penyidikan suatu perkara pidana adalah pihak kepolisian.
Sedangkan kewenangan untuk melakukan penuntutan ada di
tangan kejaksaan. Demikian pula mengenai pemeriksaan perkara
korupsi yang dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
oleh hakim tindak pidana korupsi juga bertentangan dengan
pemeriksaan perkara yang diatur oleh KUHAP yang menentukan
untuk setiap perkara pidana diperiksa di Pengadilan Negeri.
35
Ketiga teori tersebut secara umum mendeskripsikan tentang
bagaimana membuktikan kebenaran dari sesuatu hal dan bukti-
bukti apa yang dapat dipergunakan. KUHAP sebagai hukum
acara pidana juga merupakan hukum yang memuat tentang
sistem pembuktian pada faktanya menganut teori sistem
pembuktian menurut undang-undang yang negative. Meskipun
seringkali dalam praktik peradilan, teori sistem pembuktian
yang dipergunakan adalah sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif.
Terkait pembuktian, KUHAP menentukan bahwa
pembuktian dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya
disingkat JPU), sebagaimana tertuang dalam Pasal 137 KUHAP.
Artinya, dalam proses pemeriksaan persidangan dan dalam
upaya memberikan keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah,
JPU-lah yang harus membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan
demikian, JPU harus mempersiapkan bukti-bukti yang dapat
dipergunakannya untuk memberikan keyakinan pada hakim
tentang kesalahan terdakwa.
Hal tersebut berbeda dengan pembuktian dalam tindak
pidana korupsi, dimana pembuktian dilakukan oleh terdakwa
dan terdakwa harus dapat membuktikan bahwa perbuatannya
tidak mengandung kesalahan, apabila terdakwa tidak dapat
membuktikan dirinya tidak bersalah maka ia akan tetap dipidana.
Model pembuktian oleh terdakwa ini lazim dikenal sebagai model
pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal
12B, Pasal 37, Pasal 37A, dan Pasal 38B.
Model pembalikan beban pembuktian ini berkembang di
negara-negara dengan latar belakang Common Law System atau
negara-negara penganut Case Law. Model pembalikan beban
pembuktian ini hanya diterapkan pada kasus-kasus tertentu
seperti gratifikasi yang berindikasi suap.
Secara umum, hukum pidana formal baik itu dalam sistem
Common Law ataupun sistem Civil Law memberikan kewajiban
dalam hal pembuktian kepada jaksa penuntut umum. Namun
dalam beberapa situasi tertentu dimungkinkan untuk menerapkan
36
model pembalikan beban pembuktian yang dikenal dengan istilah
reversal burden of proof khususnya dalam kasus-kasus tertentu dan
tidak dilakukan secara menyeluruh serta tetap didasarkan pada
batas-batas semininal mungkin untuk tidak merusak konsep
perlindungan dan penghargaan terhadap HAM. Dalam hal ini
terlihat bahwa sistem pembalikan beban pembuktian ini berada
diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana
secara universal sebagaimana diungkap oleh Indriyanto Seno
Adjie.30
DISKUSIKAN.
Telusuri bunyi Pasal 12b, Pasal 37, Pasal 37A dan
Pasal 38B kemudian pelajari benarkah pasal-pasal
tersebut menunjukkan UU Korupsi menganut
sistem beban pembuktian terbalik?
C. PERADILAN IN ABSENTIA
37
surat yang dibacakan dalam sisdang sebelumnya dianggap
sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
3. Pasal 38 ayat (3): putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa diumumkan oeh penuntut umum pada papan
pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah atau
diberitahukan pada kuasanya.
4. Pasal 38 ayat (4): terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan
banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
LATIHAN. DISKUSIKAN
Bandingkan Pasal 38 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU
Korupsi dengan Pasal 154 ayat (3), (4) dan (6)
KUHAP
38
ataupun instansi terkait yang dirugikan. Gugatan yang dapat
dilakukan adalah gugatan perdata dan ditujukan kepada pelaku
tindak pidana korupsi maupun ahli warisnya. Selain itu juga perlu
diketahui bahwa upaya pengembalian asset korupsi ini dapat
dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme yaitu mekanisme perdata
dengan diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara dan mekanisme
pidana dengan melakukan penyitaan dan perampasan.
Dari kedua mekanisme pengembalian asset korupsi tersebut
diketahui bahwa mekanisme perdata sedikit jauh lebih mahal
dari mekanisme pidana yang dilakukan dengan cara melakukan
penyitaan atau perampasan terhadap asset korupsi. Selain itu dalam
mekanisme perdata banyak dijumpai kelemahan-kelemahan dari
negara korban seperti misalnya tidak dapat mengontrol gugatan
perdata, tidak adanya jaminan berhasilnya gugatan, tidak dapat
membekukan asset sehingga masih bisa disalurkan lagi (dicuci/
money laundering), tidak ada kekuatan memaksa seperti layaknya
dalam hukum pidana dalam mengakses semua data terkait asset
tersebut.
Kontekstual demikian jelas berbeda dengan mekanisme
pidana dalam pengembalian asset hasil korupsi yang dapat
ditempuh melalui tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan menyimpan asset hasil korupsi dibawah penguasaannya
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan yang umum disebut dengan penyitaan. Dalam hal ini
negara dapat melakukan paksaan terhadap pelaku terkait asset
hasil korupsi yang berada ditangannya.
Dari uraian tersebut ada beberapa hal penting yang harus
diingat berkaitan dengan pengembalian asset hasil korupsi
antara lain :
1. Pengembalian asset korupsi merupakan bentuk penegakan
hukum yang dapat dilakukan negara dalam upaya
mengembalikan kerugian yang dialami oleh negara;
2. Ada dua mekanisme pengembalian asset korupsi yang
dapat dilakukan yaitu melalui mekanisme perdata maupun
mekanisme pidana;
39
3. Pengembalian asset hasil korupsi ini ditujukan untuk
mengembalikan kerugian negara dan mencegah
digunakan atau dimanfaatkannya asset korupsi tersebut
untuk melakukan tindak pidana lainnya seperti money
laundering.
LATIHAN. DISKUSIKAN
Perhatikan Pasal 26A UU Korupsi dengan Pasal
88 ayat (2) KUHAP, apakah benar ada perluasan
dalam hal alat bukti petunjuk.
40
F. KERAHASIAAN BANK TIDAK BERLAKU BAGI
TINDAK PIDANA KORUPSI
41
Pengaturan KUHAP ini disimpangi oleh UU Korupsi
khususnya dalam Pasal 32 ayat (2) yang menentukan bahwa
putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak
menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap
keuangan negara. Artinya setiap perkara tindak pidana korupsi
yang diberikan putusan bebas tetap akan dituntut atas kerugian
terhadap keuangan negara yang terjadi.
LATIHAN. DISKUSIKAN
Carilah kasus korupsi yang berkaitan dengan
putusan bebas yang tidak menghapuskan hak
untuk menuntut kerugian terhadap keuangan
negara.
42
BAB V
HUKUM ACARA TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENGANTAR
43
Ada yang berargumen bahwa wewenang KPK yang begitu
besar dikhawatirkan dapat menimbulkan tumpang tindih
tugas dan wewenang dengan lembaga lain. Terkait hal ini ada
banyak argumentasi-argumentasi yang sifatnya pro dan kontra
terhadap KPK. Namun jika mendasarkan diri pada UU Komisi
Pemberanatasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), kekhawatiran
tentang tumpang tindih ini sebetulnya tidaklah perlu.
Pasal 11 UU KPTPK menegaskan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyidikan,
penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara,
dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara;
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan /
atau
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,
(satu milyar rupiah).
44
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian
atau kejaksaan, penanganan tindak pidana
korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
45
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dan Pasal 39 ayat (3)
menyebutkan mereka yang diangkat dan ditugaskan sebagai
anggota KPK baik itu polisi ataupun jaksa akan diberhentikan
sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama masa
kerja sebagai KPK.
Berikut dirinci beberapa pengaturan terkait penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana
korupsi yang diatur dalam UU KPTPK:
a. Penyelidikan
Berkaitan dengan penyelidikan tindak pidana korupsi,
UU KPTPK dalam Pasal 44 ayat (1) menentukan jika
penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan
bukti permulaan yang cukup untuk adanya dugaan tindak
pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal ditemukannya bukti permulaan
yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada KPK.
Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada oleh Pasal
44 ayat (2) UU KPTPK apabila telah ditemukan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas
ada informasi atau data yang diucapkan, dikirm, diterima
atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau
optic.
Bilamana kemudian penyelidik dalam melakukan
penyelidikannya tidak menemukan bukti permulaan yang
cukup maka penyelidik dapat melaporkan kepada KPK
sehingga KPK dapat mengeluarkan surat penghentian
penyelidikan, ini sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat
(3) UU KPTPK. Jadi menurut pasal ini pula KPK hanya
diperbolehkan untuk mengeluarkan surat penghentian
penyelidikan dan bukan surat penghentian penyidikan dan
penuntutan (SP3).
b. Penyidikan
a). Dalam hal penyidikan UU KPTPK Pasal 38 ayat (2)
menentukan bahwa dalam hal penyidikan tindak pidana
korupsi, ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak
berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi.
46
b). KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan
atau SP3, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU KPTPK.
Hal ini juga menegaskan bahwa dalam penanganan
kasus tindak pidana korupsi oleh penyidik KPK tidak
dikenal istilah SP3, jadi berbeda dengan KUHAP yang
memungkinkan penyidik ataupun penuntut umum
untuk mengeluarkan SP3.
c). Terkait tidak wenangnya KPK mengeluarkan SP3 dan
agar kasus korupsi tersebut tetap tertangani maka KPK
melakukan penyidikan sendiri lebih lanjut ataupun
KPK dapat melimpahkan kasus tersebut kepada
penyidik kepolisian atau kejaksaan sebagaimana
disebut dalam Pasal 44 ayat (4) UU KPTPK dan menurut
Pasal 44 ayat (5) jika penyidikan tersebut dilimpahkan
kepada kepolisian atau kejaksaan maka kedua instansi
ini diwajibkan untuk melakukan koordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.
d). Menurut Pasal 46 ayat (1) Dalam hal seseorang
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK maka terhitung
sejak tanggal penetapannya tersebut, segala prosedur
pemeriksaan tersangka yang ada dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lain dinyatakan
tidak berlaku dan pemeriksaan terhadap tersangka
ini dilakukan dengan tidak mengurangi hak-haknya
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 46 ayat (2).
e). Pasal 47 ayat (1) menyebutkan bahwa penyidik
KPK dapat melakukan penyitaan terhadap bukti
permulaan yang dianggapnya kuat tanpa adanya izin
dari Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas
penyidikannya tersebut dan penyidik KPK ketika
melakukan penyitaan wajib membuat berita acara
penyitaan pada hari penyitaan sebagaimana ditentukan
lebih lanjut dalam Pasal 47 ayat (2) dan melengkapi
berita acara penyitaan tersebut dengan hal-hal yang
47
ditentukan dalam Pasal 47 ayat (3), selanjutnya dalam
Pasal 47 ayat (4) penyidik KPK diwajibkan untuk
memberikan salinan berita acara penyitaan kepada
tersangka dan keluarganya.
f. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka berdasarkan
Pasal 48 UU KPTPK diwajibkan untuk memberikan
keterangan kepada penyidik mengenai seluruh harta
benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diketahui atau diduga
memiliki hubungan dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan tersangka.
g. Apabila kemudian penyidikan telah dianggap cukup
maka Pasal 49 menentukan bahwa penyidik KPK
harus membuat berita acara dan disampaikan kepada
pimpinan KPK untuk segera ditindak lanjuti.
h. Dalam suatu hal tindak pidana korupsi terjadi dan
KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan proses
penyidikan tersebut kemudian dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan maka menurut Pasal 50 ayat (1) kedua
instansi tersebut wajib untuk memberitahukan kepada
KPK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
dimulai sejak dilakukan penyidikan. Penyidikan yang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan menurut
Pasal 50 ayat (2) wajib dilakukan koordinasi secara terus
menerus dengan KPK.
i. Bilamana KPK telah memulai melakukan penyidikan
menurut Pasal 50 ayat (3), pihak kepolisian dan
kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
Dan bilamana penyidikan dilakukan secara bersamaan
oleh KPK maupun oleh kepolisian menurut Pasal 50
ayat (4) maka yang harus menghentikan penyidikan
adalah kepolisian dan kejaksaan
Demikian beberapa hal penting yang berkaitan dengan
pengaturan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi
yang diatur dalam UU KPTPK.
48
c. Penuntutan
Mengenai penuntutan dalam kasus tindak pidana korupsi,
UU KPTPK mengaturnya dalam Pasal 51 dan Pasal 52.
a). Pasal 51 ayat (2) menyebutkan bahwa penuntut umum
melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana
korupsi.
b). Pasal 52 ayat (1) menentukan bahwa penuntuk umum
setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas
perkara tersebut ke Pengadilan Negeri dan dalam Pasal
52 ayat (2) disebutkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri
wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari PK
untuk diperiksa dan diputus.
C. PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
49
pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi, dan
tindak pidana lainnya yang secara tegas dinyatakan undang-
undang lain sebagai tindak pidana korupsi.
Mengenai pemeriksaan persidangan tindak pidana korupsi
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 UU No. 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan
pada hukum acara yang berlaku, terkecuali ditentukan lain
oleh UU No. 46 Tahun 2009. Ini artinya mekanisme beracara
yang dipergunakan dalam persidangan tindak pidana korupsi
adalah KUHAP terkecuali UU No. 46 Tahun 2009 menentukan
lain. Sehubungan dengan ini ada beberapa ketentuan-ketentuan
mengenai alat bukti yang diatur dalam UU No. 46 Tahun 2009
yaitu mengenai alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan
yang ditegaskan harus diperoleh secara sah menurut undang-
undang dan penentuan sah atau tidaknya alat bukti yang dibawa
penuntut umum maupun terdakwa, akan ditentukan oleh hakim
pengadilan tipikor.
Jadi mengenai mekanisme beracara dalam pemeriksaan
persidangan tindak pidana korupsi pada dasarnya tetap
mengacu pada KUHAP sebagai induk peraturan hukum acara
di Indonesia.
50
BAB VI
KEWENANGAN LEMBAGA-LEMBAGA PEN-
EGAK HUKUM DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENGANTAR
51
masyarakat sehingga ada pro terhadap KPK dan ada yang kontra
terhadap KPK.
Sehubungan dengan itu berikut akan diuraikan sekilas
mengenai kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum
yang diberikan wewenang untuk memeriksa dan menangani
tindak pidana korupsi.
B. KEPOLISIAN
52
Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut
UU POLRI) yang menyebutkan bahwa kepolisian berwenang
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi maka
kewenangan polisi untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terbatas. Jadi hanya dapat dilakukan apabila tidak
melanggar ketentuan dalam Pasal 11 UU KPTPK. Secara tegasnya
kewenangan kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi apabila:
1. Tidak melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
2. Perkara korupsi tidak mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat; dan /atau
3. Tidak menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
53
C. KEJAKSAAN
54
Sedangkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Pasal 30 menyebutkan mengenai tugas dan
wewenang kejaksaan di bidang pidana yaitu :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan
keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
55
Dengan demikian kewenangan kejaksaan dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi pada dasarnya sama
dengan kewenangan jaksa dalam pemberantasan tindak pidana
lainnya yaitu melakukan penuntutan. Kewenangan melakukan
penuntutan ini pun terbatas hanya pada perkara-perkara tindak
pidana korupsi yang:
1. Tidak melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
2. Tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dan
3. Tidak menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).
56
diperuntukkan untuk menangani tindak pidana korupsi dengan
spesialisasi terkait kewenangan yang luas, independen dari
kekuasaan dan mampu mengoptimalisasi pemberantasan korupsi
secara efektif, intensif, professional dan berkesinambungan. Oleh
karena itu pemerintah pun merasa perlu untuk membuat suatu
lembaga independen yang khusus menangani korupsi dengan
nomenklatur Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Berbicara mengenai tugas dan wewenang KPK berdasarkan
ketentuan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPTPK, ada 5
(lima) tugas utama KPK yang haus dilaksanakan yaitu :
1. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
5. Melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
57
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan
tindak pidana korupsi.
58
LATIHAN. DISKUSIKAN
59
BAB VII
MEMAHAMI MAKNA KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENGANTAR
60
negara” ditujukan untuk memberi penekanan bahwa tindak
pidana korupsi termasuk dalam klasifikasi delik formil yang
tidak mensyaratkan pada akibat yang ditimbulkan dan cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan.
Namun pada kenyataannya kata “dapat” justru menimbulkan
permasalahan dikarenakan ketidakpastian yang ditimbulkan dan
kemungkinan terjadi analogi meluas yang tidak diperkenankan
oleh asas legalitas. Hal-hal inilah yang menyebabkan hingga
saat ini masih terdapat ketidakseragaman pandangan dalam
penegakan hukum pidana yang berimbas pada perlu tidaknya
kerugian keuangan negara itu dibuktikan atau cukup ditunjukkan
adanya potensi kerugian.
61
a) Hak negara untuk memungut pajak. Mengeluarkan dan
mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;
b) Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan
umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak
ketiga;
c) Penerimaan negara;
d) Pengeluaran negara; penerimaan daerah;
e) Pengeluaran daerah;
f) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri
atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang
barang serta hak-hak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/
atau kepentingan umum.
62
b) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan
yang mneyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan negara.
63
pengelolaan keuangan negara yaitu BPK, BPKP dan Inspektorat
baik itu ditingkat pusat maupun di daerah.
Dengan demikian, kerugian keuangan negara dalam
perspektif UU PTPK disebabkan karena adanya perbuatan
melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan wewenang
yang dilakukan seseorang berkaitan dengan sarana dan prasarana
serta jabatannya pada suatu waktu dalam upayanya memperkaya
diri sendiri, orang ataupun korporasi.
64
BAB VIII
MEKANISME PENGADAAN BARANG
DAN JASA PEMERINTAH
65
proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diperlukan upaya
untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta
prinsip persaingan/kompetisi yang sehat dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang sumber pendanaannya berasal dari
APBN/APBD, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau
dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari
segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas
Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
dimaksud, mutlak diperlukan seperangkat instrumen untuk
dijadikan pedoman pengaturan mengenai tata cara Pengadaan
Barang dan Jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai
dengan tata kelola yang baik.
Dengan pengaturan mengenai tata cara Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah diharapkan akan dapat meningkatkan iklim
investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara, dan percepatan
pelaksanaan APBN/ APBD, di samping pula untuk meningkatkan
keberpihakan terhadap industri nasional dan usaha usaha kecil,
serta menumbuhkan industri kreatif, inovasi, dan kemandirian
bangsa dengan mengutamakan penggunaan industri strategis
dalam negeri.
Selanjutnya, ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah diarahkan pula untuk meningkatkan ownership
Pemerintah Daerah terhadap proyek/ kegiatan yang
pelaksanaannya dilakukan melalui skema pembiayaan bersama
(cofinancing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa Pengadaan Barang/Jasa adalah
kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/
Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya (K/
L/D/I) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan
sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa.
Instrumen pengatur mekanisme tentang pengadaan barang
dan jasa pemerintah, di Indonesia, telah mengalami beberapa
kali perubahan. Perubahan dimaksud, bertujuan untuk lebih
menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada dalam
66
instrumen pengatur sebelumnya. Instrumen pengatur mekanisme
tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah telah mengalami
perubahan seperti berikut:
1. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 Tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
3. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
4. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 Tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
5. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
67
rencana pengadaan barang/jasa. Perpres Nomor 70 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, pada prinsipnya
menentukan mekanismenya mensyaratkan pengumuman
RUP setelah adanya persetujuan dari DPR atau DPRD, sesuai
dengan sumber pendanaan, penyediaan dana pendukung
serta pemberhentian pejabat pelaksana pengadaan yang tidak
terikat tahun anggaran. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 25 ayat (1) yang menentukan: “ PA pada K/L/
I mengumumkan RUP setelah Rencana Kerja Dan Anggaran
disetujui oleh DPR untuk pengadaan yang bersumber dari
APBN. Sedangkan untuk pengadaan yang bersumber dari APBD
diumumkan setelah Rencana Keuangan Tahunan Pemerintah
Daerah dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah
dan DPRD”. Masa berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010, LKPP
(Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) pernah
mengeluarkan pedoman perencanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah di lingkungan kementrian/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah/instusi lainnya, yang dalam garis besarnya
membatasi ruang lingkup pedoman umum perencanaan
pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai berikut :
1. Identifikasi kebutuhan barang/jasa;
2. Penyusunan dan penetapan rencana penganggaran;
3. Penetapan kebijakan umum tentang pemaketan pekerjaan;
4. Penetapan kebijakan umum tentang cara pengadaan, yang
meliputi:
a. Pengadaan dengan cara Swakelola; dan
b. Pengadaan dengan menggunakan Penyedia Barang/Jasa.
5. Penetapan kebijakan umum tentang pengorganisasian
pengadaan;
6. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK);
7. Penyusunan jadwal kegiatan pengadaan;
8. Pengumuman Rencana Umum Pengadaan;
68
Sedangkan untuk Persiapan Pelaksanaan Pengadaan Barang/
Jasa, yang meliputi:
1. Persiapan Pelaksanaan Pengadaan Swakelola
a. Pelaksanaan Swakelola oleh K/L/D/I Penanggungjawab
Anggaran;
b. Pelaksanaan Swakelola oleh Instansi Pemerintah Lain
Pelaksana Swakelola;
c. Pelaksanaan Swakelola oleh Kelompok Masyarakat
Pelaksana Swakelola;
2. Persiapan Pelaksanaan Pengadaan Melalui Penyedia Barang/
Jasa
a. Perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b. Pemilihan sistem Pengadaan Barang/Jasa;
1) Penetapan metode pemilihan Penyedia Barang/
Jasa
2) Penetapan metode penyampaian dokumen
penawaran
3) Penetapan metode evaluasi penawaran
4) Penetapan jenis kontrak
c. Penetapan metode penilaian kualifikasi Penyedia
Barang/Jasa.
d. Penyusunan jadwal pemilihan Penyedia Barang/Jasa
e. Penyusunan dokumen Pengadaan Barang/Jasa.
f. Penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
69
secara pembiayaan bersama (co-financing), sepanjang
diperlukan.
2. Rencana pengadaan tersebut akan menjadi bagian Rencana
Kerja Anggaran (RKA) dari K/L/D/I.
3. Kegiatan penyusunan rencana pengadaan meliputi:
a. Identifikasi dan analisis kebutuhan;
b. Penyusunan dan penetapan rencana penganggaran;
c. Penetapan kebijakan umum; dan
d. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK).
70
BAB IX
PRAKTIK KLINIK ANTI KORUPSI
BERPIKIR, BERPASANGAN DAN BERBAGI
(THINK, PAIR, SHARE)
B. PROSEDUR
71
C. KASUS/SKENARIO SITUASI
72
proyek pemerintah dan bahkan telah melakukan pencucian
uang senilai Rp. 20,8 miliar. Dalam putusan hakim, Anas
Urbaningrum divonis hukuman dengan pidana penjara
selama 8 tahun dan denda sebesar Rp. 300.000.000,00
ditambah dengan keharusan untuk membayar uang
pengganti kerugian negara sebesar Rp. 57,5 miliar.
Pertanyaan:
a. Gratifikasi adalah menerima hadiah. Sesederhana
itukah?
b. Adakah kaitannya antara uang pengganti kerugian
dengan besar kecilnya jumlah atau nilai kerugian
keuangan negara?
73
BAB X
PRAKTIK HUKUM PERAN (ROLE PLAY)
KLINIK ANTI KORUPSI
STUDI KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
DI BIDANG ADMINISTRASI NEGARA
31 Abdul Latif, 2014, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi,
Prenada Media Group, Jakarta, h. 215.
74
ketentuan dari undang-undang yang memuat dasar hukum
dari wewenang itu;
3) Seorang pejabat pemerintahan melaksanakan suatu
wewenang dengan suatu tujuan lain daripada yang nyata-
nyata dikehendaki oleh undang-undang dengan wewenang
itu.32
75
Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Hal tersebut tidak perlu dibuktikan lagi, karena
penyalahgunaan wewenang tidak terbukti maka secara mutatis
mutandis unsur melawan hukum tidak terbukti.34
Dalam realitasnya pandangan tersebut kurat tepat, karena
tidak semua perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan
perbuatan melawan hukum. Hal ini disimak dalam pertimbangan
putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966, bahwa suatu
tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum, bukan hanya berdasarkan ketentuan dalam perundang-
undangan, melainkan juga berdasarkan asas keadilan atau
asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, dalam
banyak perkara yang terjadi, misalnya faktor-faktor negara tidak
dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri
tidak mendapat untung.35
Contoh yang tepat mengenai detournement de pouvoir
dikemukakan Laica Marzuki seperti dalam hal pengalihan
anggaran untuk pembangunan sekolah, untuk kemudian
dijadikan sebagai anggaran pembangunan jembatan. Dalam
contoh tersebut tampak adanya perbuatan menyimpang dari
peraturan dasarnya, yaitu tindakan mengalihkan anggaran
sekolah menjadi anggaran pembangunan jembatan. Kendatipun
perbuatan tersebut, telah menyimpang dari peraturan dasarnya,
namun tidak dapat dipandang sebagai perbuatan melanggar
hukum atau melawan hukum, karena tujuan akhir dari tindakan
pengalihan tersebut, adalah juga untuk kepentingan umum.
Membangun sekolah dimaksudkan untuk kepentingan umum
demikian pula halnya dengan pembangunan jembatan adalah
untuk kepentingan umum. Jadi tujuan akhir dari kegiatan
tersebut, meskipun dialihkan dari anggaran semula tetap
memenuhi sasarannya, yaitu untuk kepentingan umum.36
76
Klasifikasi Risiko Tindak Pidana Korupsi Pengelola Keuangan
Negara
Risiko merupakan akibat yang kurang menyenangkan
(merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau
tindakan, dalam hal ini, Risiko jabatan dapat juga terjadi pada
lingkungan penanggungjawab dan pengelola keuangan negara
atau daerah. Berhubungan dengan pengujian pengelolaan dan
tanggungjawab keuangan negara terdapat klasifikasi Risiko baik
disengaja atau karena ketidaktahuan, Risiko-Risiko tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:37
Risiko 1 (R1) Risiko pejabat paling tinggi terkena “perbuatan
merugikan keuangan negara yang akhirnya menjadi tindak
pidana korupsi” pada umumnya mereka yang memegang
jabatan dan tanggungjawab keuangan negara/daerah yang
strategis, serta banyak yang menjadi terdakwa dalam putusan
pengadilan. Antara lain adalah: Pertama, Jabatan Menteri/
pimpinan lembaga atau kepala satuan kerja pemerintah daerah
sebagai “pengguna anggaran”. Kedua; Pejabat Pembuat
Komitmen atau PPK (PPK masuk pada klasifikasi R.1 karena
secara aturan yang bertanggungjawab secara materiil dan formal
artinya quality control kelengkapan dan kebenaran administrasi
pertanggungjawaban maupun kebenaran materiil pekerjaan
menjadi tanggungjawabnya. Ketiga; Pejabat Kepala Daerah
(sebenarnya secara yuridis formal kewenangan kepala daerah
dalam hal keuangan daerah telah didistribusikan kepada kepala
SKPD dan Bendahara, tetapi terkadang kepala daerah yang
terkena masalah tindak pidana korupsi karena “ikut terlibat
aktif” dalam menentukan pemenang lelang, ikut terlibat aktif
dalam menentukan pekerjaan dan perintah pencairan dana).
Keempat; Pelaksanaan pekerjaan atau pemborong pekerjaan,
(permasalahan pemborong pekerjaan jika melakukan pekerjaan
dengan benar dan baik tidak akan ada masalah serius, tetapi jika
77
pemborong terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi pada
ranah pelaksanaan pekerjaan, biasanya ada mark up pekerjaan,
kekurangan volume, kualitas barang lebih rendah, atau bahkan
pekerjaan dilakukan secara fiktif).
Risiko 2 (R2), risiko pejabat yang cukup strategis terkena
“perbuatan merugikan keuangan negara yang akhirnya menjadi
tindak pidana korupsi”, pada umumnya mereka yang memegang
jabatan dan tanggungjawab keuangan negara/daerah yang
“ikut menentukan” pelaksanaan keuangan negara, serta cukup
banyak yang menjadi terdakwa dalam putusan pengadilan.
Antara lain adalah: Pertama; Anggota DPR/DPRD (Panitia
Anggaran mengusul dan menetapkan anggaran, sebenarnya
jika hanya mengusul dan menetapkan anggara dalam kerangka
meluruskan program pembangunan pemerintah, masih dalam
batas kewajaran, hal ini tidak ada masalah, tetapi jika didasari
kepentingan memperoleh keuntungan fee, pekerjaan dan lainnya
dengan modus mark up sehingga merugikan keuangan negara,
maka anggota DPR/DPRD yang melakukan “perbuatan pidana”
tersebut akan naik kelas bukan saja Risiko 2 tetapi menjadi Risiko
1 sebagai pelaku utama). Kedua; Panitia Pengadaan Barang dan
Jasa atau PPBJ (permasalahan yang sering terjadi dengan PPBJ
adalah lemahnya proses dan penentuan harga perhitungan
sendiri atau owners estimate pengadaan barang dan jasa
yang menjadi tanggungjawabnya, sehingga “menguntungkan
pelaksana pekerjaan dan merugikan keuangan negara”,
permasalahan lain adalah proses dan penentuan “pemenang
lelang atau pemenang pengadaan barang dan jasa”, sehingga
memenangkan peserta yang tidak layak menang, permasalahan
pokoknya terkadang proses seleksi yang tidak profesional dan
tidak independen). Ketiga; Pejabat Penanggungjawab Teknis
Pekerjaan atau PPTK (permasalahan sering terjadi adalah
PPTK ikut menyetujui pekerjaan yang melanggar hukum
dan merugikan keuangan negara karena mendapat fee atau
ucapan terima kasih dari pemborong) dan Keempat; Bendahara
Penerima/Pengeluaran (permasalahan yang dihadapi bendahara
78
adalah ikut menyetujui dokumen pencairan “menandatangani
kuitansi” yang melanggar hukum atau fiktif, pekerjaan kurang,
karena bendahara menandatangani kuitansi sebagai dasar
pencairan sehingga pemborong dapat dibayar secara penuh,
dalam kondisi ini bendahara secara hukum pidana di kualifikasi
sebagai “melengkapi perbuatan pidana atau voltooid”, padahal
bendahara berhak menolak jika dokumen tidak lengkap atau
diduga bermasalah, hanya terkadang karena perintah pimpinan,
bendahara takut jabatannya hilang).
Risiko 3 (R.3) Risiko cukup rendah, biasa jabatan yang
ikut melengkapi perbuatan pidana, (karena tindakannya
atau persetujuannya sehingga perbuatan pidana menjadi
lengkap) pada umumnya mereka yang memegang jabatan dan
tanggungjawab keuangan satuan kerja perencanaan (pengusul
spesifikasi barang/HPS), Panitia Penerima Barang, Unit Pelaksana
Teknis Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Konsultan Pengawas
(Kegiatan Teknis) termasuk instansi terkait yang mengeluarkan
surat rekomendasi sehingga kegiatan menjadi lengkap.
79
yang berlaku dan bagi hakim sebagai bahan pertimbangan
dalam menetapkan keputusannya.
3) Dalam hal kasus yang terjadi ternyata merupakan kasus
perdata atau lainnya (kekurangan perbendaharaan atau
kelalaian PNS), maka perhitungan kerugian keuangan
negara digunakan sebagai bahan gugatan/penuntutan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
4) Bukti-bukti dalam perhitungan kerugian keuangan negara.
LATIHAN. DISKUSIKAN
Siapa yang berwenang melakukan pemeriksaan
kerugian keuangan negara, jelaskan.
80
B. KASUS POSISI
81
PERTANYAAN:
1) Buatlah Surat Dakwaan Kasus Korupsi Proyek Pelebaran
Jalan!
2) Bagaimana Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Kasus
Korupsi Proyek Pelebaran Jalan?
3) Uraikan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Kasus
Korupsi Proyek Pelebaran Jalan?
4) Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan
putusan Korupsi Proyek Pelebaran Jalan?
82
hukumnya mengajukan nota keberatan);
3) Sidang ketiga, dengan agenda pembacaan tanggapan atas
Nota Keberatan penasehat hukum oleh penuntut umum,
maupun Jawaban Kedua dari penasehat hukum atas
tanggapan penuntut hukum dimaksud;
4) Sidang keempat, dengan agenda pembacaan Putusan Sela
oleh hakim (berkaitan adanya keberatan atas kewenangan
relatif maupun absolut);
5) Sidang kelima, dengan agenda pembuktian yang dihadirkan
oleh penuntut umum;
6) Sidang keenam, dengan agenda pembuktian yang
meringankan bagi diri terdakwa yang dihadirkan oleh
penasehat hukum;
7) Sidang ketujuh, dengan agenda pemeriksaan terdakwa;
8) Sidang kedelapan, dengan agenda pembacaan surat Surat
Tuntutan (requisitoir) oleh penuntut umum;
9) Sidang kesembilan, dengan agenda pembacaan Nota
Pembelaan (pleidooi) oleh penasehat hukum;
10) Sidang kesepuluh, dengan agenda pembacaan Tanggapan
atas Nota Pembelaan (replik) oleh penuntut umum;
11) Sidang kesebelas, dengan agenda pembacaan tanggapan
atas tanggapan Nota Pembelaan (duplik) oleh penasehat
hukum;
12) Sidang kedua belas, dengan agenda pembacaan putusan
oleh hakim.
83
BAB XI
PRAKTIK KLINIK MENENTUKAN PILIHAN
DAN PENDAPAT (TAKE A STAND)
A. PETUNJUK
B. PROSEDUR
84
sampai nanti mereka mulai menentukan pilihannya.
3. Dosen akan menanyakan pendapat masing-masing
mahasiswa atau yang mewakili terkait pilihannya tersebut
dan mahasiswa harus menguraikan alasan-alasan yang
didasarkan pada landasan teoritis maupun landasan
hukum.
4. Tidak ada benar salah dalam penentuan pilihan, mahasiswa
hanya diharapkan mau berkontribusi mengemukakan
pendapatnya.
5. Di akhir kegiatan dosen akan memberikan kesimpulan dan
rangkuman.
85
BAB XII
PRAKTIK BERMAIN PERAN (ROLE PLAY)
SIDANG DENGAR PENDAPAT LEGISLATIF
A. PETUNJUK
86
meja untuk para legislator, meja untuk notulen rapat dan
podium atau meja untuk pemimpin sidang.
3. Perhatikan dan pelajari peran-peran yang dapat anda
mainkan berikut:
a) Legislator
Setiap kelompok mahasiswa dapat memilih satu orang
rekannya untuk menjadi legislator dan mewakili
mereka dalam sidang dengar pendapat. Legislator yang
terpilih akan menentukan rekan lainnya untuk menjadi
pemapar permasalahan.
b) Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah mereka yang tidak
terpilih sebagai legislator. Kelompok kepentingan
adalah mereka yang memiliki kepentingan dengan
diadakannya sidang dengar pendapat ini. Kelompok
kepentingan harus disetting sedemikian rupa
sehingga akan terbagi dalam kelompok pendukung
dan bukan pendukung kebijakan yang dipaparkan
oleh legislator. Kelompok kepentingan juga harus
memilih satu orang rekannya untuk menjadi pemapar.
c) Notulen Rapat
Dipilih dari salah satu orang mahasiswa yang tugasnya
mencatat jalannya persidangan dan segala rekomendasi
yang diusulkan dan disetujui.
d) Pencatat Waktu
Diadakan untuk mengatur waktu pemaparan yang
memastikan bahwa setiap kelompok memiliki
kesempatan untuk memaparkan pendapatnya.
4. Instruksi pelaksanaan sidang dengar pendapat
a) Ketua sidang akan memanggil anggota sidang
dan menyatakan sidang akan dimulai, kemudian
menyebutkan tujuan persidangan tersebut serta
mengumumkan urutan dan batas waktu dari setiap
pemapar untuk menyampaikan pendapatnya;
b) Pemapar akan didengar saat menguraikan
permasalahannya dan anggota sidang akan memberikan
87
pertanyaan, sanggahan dan rekomendasi kepada
pemapar.
5. Tugas Dosen di akhir kegiatan
a) Diskusikan setiap fakta-fakta dan argument yang
dipaparkan dalam sidang dengar pendapat yang telah
berlangsung;
b) Diskusikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam
sidang dengar pendapat yang telah berlangsung;
c) Diskusikan komentar-komentar dari narasumber;
d) Diskusikan tentang pandangan siswa terhadap kegiatan
tersebut dan berikan pemahaman tentang korelasi
antara permasalahan-permasalahan publik (tindak
pidana korupsi) dengan kebijakan publik.
B. KASUS
88
1. Ada keputusan dari ULP yang memenangkan sejumlah
perusahaan yang mengajukan tawaran untuk melaksanakan
sejumlah proyek dengan nilai maksimal yang fantastis
sementara beberapa perusahaan lain yang mengajukan nilai
yang lebih rendah dinyatakan kalah tender.
2. Mencermati syarat-syarat administrasi yang diajukan
oleh masing-masing perusahaan diketahui bahwa syarat
administrasi yang paling sesuai dan tepat adalah syarat yang
diajukan oleh perusahaan yang dinyatakan kalah tender.
3. Pada tahun 2015 PT. RKL yang memenangkan tender
pengerjaan paket jalan hotmix sebesar Rp. 40 miliar
melakukan kesalahan fatal terkait pengerjaannya paket
jalan hotmix yang tidak terselesaikan dan tidak ada teguran
teknis dari dinas-dinas terkait. Padahal seharusnya setiap
perusahaan yang gagal melakanakan proyek harusnya
ditegur dan tidak diikutkan dalam pelelangan paket proyek
di tahun depan dalam hal ini tahun 2016.
4. Ijin operasi Aspal Mixing Plant PT RKL telah lama dicabut
oleh BPLH berdasarkan surat pencabutan ijin usaha yang
dikeluarkan BLPH. Fakta yang dijumpai PT RKL adalah
nama perusahaan lain namun manajemen perusahaan
ditempati oleh orang-orang dari PT CBD dan ijin AMP yang
digunakan adalah ijin AMP dari PT CBD.
89
Petunjuk teknis untuk mahasiswa dalam melaksanakan Role
Play Sidang Dengar Pendapat :
1. Lakukan pembagian kelompok dan tiap kelompok terdiri
dari 5 (lima) orang mahasiswa dan lakukan pembagian
peran sebagai Komisi C DPRD Kota A terdiri dari satu orang
anggota DPRD, satu orang notulen dan satu orang pencatat
waktu sebagai pimpinan sidang dengar pendapat, 1 orang
dari Pihak ULP, 1 orang Dinas PUTAMBEN, dan 1 orang
PT RKL sebagai terduga pelaku korupsi pengadaan barang
dan jasa sebagai pemapar, BPLH serta anggota masyarakat
sebagai pemberi rekomendasi.
2. Persiapkan materi pemaparan tentang permasalahan yang
diangkat yaitu “dugaan memperkaya diri sendiri” melalui
pelelangan proyek pengerjaan jalan. Materi pemaparan
isinya adalah pendapat-pendapat yang melawan fakta-fakta
yang dijumpai oleh karena itu materi pemaparan harus sesuai
dengan peran yang diambil. Dalam konteks ini kemampuan
mempertahankan argumentasi hukum sangat diutamakan.
3. Sidang akan dilaksanakan sesuai prosedur sidang dengar
pendapat yang sesungguhnya oleh karena itu sangatlah baik
jika mengundang salah seorang anggota DPRD kota untuk
hadir sebagai narasumber.
4. Beberapa hal yang harus diperhatikan mahasiswa adalah
role play sidang dengar pendapat ini tidak mengharuskan
ada putusan pasti yang diperoleh. Jadi role play sidang
dengar pendapat ini dibuat untuk melatih kemampuan soft
dan hard skill mahasiswa dalam membangun argumentasi
hukum dan logika hukum serta kemampuan menganalisis
situasi sembari melatih membangun sifat profesionalisme.
Oleh karenanya tidak dipersoalkan apakah role play sidang
dengar pendapat ini akan berakhir tanpa keputusan apa-
apa dan dosen hanya akan memberikan ringkasan atau
rangkuman dari hasil pelaksanaan role play sidang dengar
pendapat.
90
BAB XIII
PRAKTIK KLINIK REKAM SIDANG
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. TUJUAN
B. PROSEDUR
91
Tindak Pidana Korupsi.
Berikut
Berikut adalah
adalahadalah
Berikut beberapa
beberapa dokumentasi
dokumentasi
beberapa kegiatan
kegiatan rekam
dokumentasi rekam sidang
sidangrekam
kegiatan di
di Pengadilan
Pengadilan
sidang
Tindak
Tindak di Pengadilan
Pidana
Pidana Korupsi.
Korupsi. Tindak Pidana Korupsi.
C.
C. TUGAS
TUGAS
Buat
Buat Eksaminasi
Eksaminasi Putusan
Putusan Pengadilan
Pengadilan Tindak
Tindak Pidana
Pidana Korupsi
Korupsi dan
dan rangkailah
rangkailah
dengan
dengan sebuah
sebuah Focus
Focus Group
Group Discussion
Discussion yang
yang akan
akan membahas
membahas tentang
tentang eksaminasi
eksaminasi
putusan.
putusan.
C. TUGAS
putusan.
BAB XIV
STREET LAW KLINIK ANTI KORUPSI
PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT SERTA SOSIALISASI AKSES
MEMPEROLEH KEADILAN
A. PROPOSAL PENELITIAN
93
Penyuluhan (street law) sebagai tujuan akhir setelah penelitian
selesai dilaksanakan. Beberapa pilihan tema antara lain:
1) Penanaman Sejak Dini Sikap/Kesadaran Anti Koruptif di
Kalangan Pelajar;
2) Peran Pemuda/Pemudi dalam Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi;
3) Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi;
4) Pasang Surut Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia;
5) Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Berbagai
Negara;
6) Serta tema lainnya sesuai perkembangan kasus terbaru.
94
B. PELAKSANAAN PENELITIAN
95
penegakan hukum anti korupsi sebelum diterjunkan ke
lapangan.
3. Persentasi Hasil Penelitian
Sebagai persiapan akhir sebelum dilakukan penyuluhan,
mahasiswa mempersentasikan hasil penelitian yang diperoleh
secara lisan, dimana hal-hal yang perlu diperhatikan:
1) Melatih kesiapan mental mahasiswa pada saat
penyuluhan nanti;
2) Mempresentasikan dengan bahasa yang baik dan
benar;
3) Memperbaiki dan penyempurnaan materi dan hasil
penelitian berdasarkan masukan dari mahasiswa dan
pengajar.
96
Penyuluhan Peran Pelajar dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
di SMA Negeri 1 Tabanan
Tanggal 19 Mei 2016
Penyuluhan
Sumber: Peran 1Pelajar
SMA Negeri Tabanandalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
– Bali
di SMA Negeri 1 Tabanan Tanggal 19 Mei 2016
Sumber: SMA Negeri 1 Tabanan – Bali
Pelaksanaan penyuluhan mahasiswa Klinik Anti Korupsi di SMA 1
Tabanan -BaliPelaksanaan penyuluhan
dilaksanakan mahasiswa
pada tanggal Klinik
19 Mei Anti
2016 , Korupsi
Pukul 14:00.
di SMA 1 Tabanan -Bali dilaksanakan pada tanggal 19 Mei
Yang dilaksanakan di ruangan kelas XI IPA 1, registrasi dan pembagian
2016, Pukul 14:00. Yang dilaksanakan di ruangan kelas XI IPA 1,
kudapanregistrasi
di lakukan pukul 13:30
dan pembagian – 14:00,
kudapan sasaran pukul
di lakukan murid13:30
adalah 45 orang
– 14:00,
terdiri sasaran murid
dari kelas 10adalah
dan 4511 orang
yangterdiri dari kelas
mengukuti 10 dan 11 yangPatroli
ekstrakulikuler
mengukuti ekstrakulikuler Patroli Keamanan Sekolah (PKS) dan
Keamanan Sekolah (PKS) dan Palang Merah Remaja (PMR).
Palang Merah Remaja (PMR).
Materi yangyang
Materi pertama Pengenalan
pertama Dasar–Dasar
Pengenalan Korupsi
Dasar–Dasar setelah itu
Korupsi
setelah itu
dilanjutkan dengandilanjutkan dengan
materi yang materi yang
kedua keduadalam
Peran Pelajar Peran Pelajar
Pencegahan
dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak Pidana Korupsi. Antusias para peserta sangat baik danAntusias parahangat
peserta sangat baik dan hangat karena penyuluh menggunakan
karena metode interaktif,
penyuluh menggunakan metode interaktif, jadi dimungkinkan
jadi dimungkinkan terjadi tanya jawab saat
98
97
penyuluh masih menerangkan materi, apabila para peserta
dirasa sudah mulai bosan dalam menyimak materi, maka
penyuluh menggunakan teknik Ice Breaking untuk membuat
suasana cair kembali dan peserta siap untuk menyimak materi
kembali. Setelah selesainya kedua materi, maka di buka sesi tanya
jawab antara penyuluh dan peserta. Setelah sesi tanya – jawab,
dilakukan pemberian hadiah bagi para penanya, peserta teraktif
dan peserta yang berani jujur.
Penutupan acara penyuluhan ini diakhiri dengan adanya
pemberian cendramata dari pihak Klinik Hukum Anti Korupsi
kepada pihak sekolah dalam bentuk pemberian plakat beserta
dengan sertifikat penghargaan karena telah berkerjasama
dengan baik dalam terlaksananya penyuluhan anti korupsi ini
dan terjadinya kesepakatan dan kesepahaman antara pihak
Klinik Hukum Anti Korupsi dengan pihak sekolah SMA Negeri
1 Tabanan untuk memerangi dan mencegah segala praktek
yang berbau Korupsi disekolah mereka dan akan berperan aktif
dalam menyebarkan paham gerakan anti korupsi di sekolah dan
lingkungan mereka.
E. Pelaporan
98
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Perundang-undangan
99
2. Buku
Elwi Danil, 2010, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan
Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Black’s Law Dictionary with Pronouncation, 1983, Minn West
Publishing co, St. Paul.
Robert Klitgaard, 1998, Memahami Korupsi, terjemahan
Hermoyo, Yayasan Obor, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Fungsi Perundang-undangan
Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar
Baru, Bandung.
Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Bahan Kuliah Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System), Program Magister Ilmu
Hukum, Semarang.
Loebby Loqman, 2004, Perkembangan Asas Legalitas dalam
hukum Pidana Indonesia,
Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum
Pidana Nasional dan Internasional, PT. RajaGrafindo
Persada.
Amien Rais, Pengantar dalam Edi Suandi Hamid dan Muhammad
Sayuti (ed), Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di
Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta
Mubyarto, 1995, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Medika,
Yogyakarta, dalam Elwi Danil.
Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi
dan Kejahatan, Cetakan
Pertama, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
(Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta,
Mahrus Ali, 2016, Hukum Pidana Korupsi, UII Press,
Yogyakarta.
Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislatif Tentang SIstem
Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, CV Utomo,
Bandung.
100
Mardjono Reksodiputro, 1989, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi, makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi,
FH UNDIP, Semarang.
Indriyanto Seno Adjie, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban
Pembuktian, Cet. Pertama, Jakarta.
Abdul Latif, 2014, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana
Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta.
Philipus M.Hadjon, 1987, Pengertian-Pengertian Dasar tentang
Tindak Pemerintahan (Makalah) dalam Pelatihan Dosen
Hukum Adminitrasi, Surabaya.
Kastorius Sinaga, 2008, Titik Rawan Penyimpangan Polisi, Forum
Keadilan No.25, Jakarta.
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berimplikasi Tindak Pidana
Korupsi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Chaidir Ali, 1979, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pidana
Korupsi, Bina Cipta, Bandung.
Helnold Ferry Makawimbang, 2015, Memahami dan Menghindari
Perbuatan Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi dan Pencucian Uang, Thafa Media, Yogyakarta.
Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati, 2011, Moot Court
Membedah Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum
Progresif, CV.Mefi Caraka, Surakarta.
3. Website
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1739962,
Mark Jorgensen Farrales, 2005, What is Corruption A History
of Corruption Studies and The Great Definition Debates,
University of California, San Diego, diunggah tanggal 8
September 2016 pukul 12.00 WITA
Suhartono dalam https://ugm.ac.id/id/berita/433-sejarawan.
ugm:.korupsi.warisan.dari.penyakit.sosial.orang.indonesia,
diunggah tanggal 26 Agustus 2008
101
Theodore M Smith dikutip dalam Mochtar Lubis dan James Scott
oleh http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/22/korupsi-
birokrasi-sebuah-warisan-kolonial-471739.html , diunggah
tanggal 22 Juni 2012
102
LAMPIRAN I : SILABUS
103
capaian pembelajaran yang ingin dicapai adalah mampu praktik
mensosialisasikan materi-materi hukum Anti Korupsi kepada
anak-anak sekolah, dan masyarakat umum melalui model Street
Law Clinic, mahasiswa diharapkan mampu menumbuhkan
kesadaran tentang pentingnya melakukan pengabdian
masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum
khususnya pelanggaran tindak pidana korupsi di masyarakat,
serta peka terhadap persolan-persoalan Social Justice, Pro Bono
dan Access to Justice.
8. Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran yang ingin dicapai pada akhir
perkuliahan mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi yang
menggunakan model kombinasi In-House Clinic & External
Clinic, adalah mahasiswa diharapkan bisa memahami dan
memiliki kemampuan sebagai aparat penegak hukum berkaitan
dengan proses dan praktik beracara di pengadilan tindak pidana
korupsi, yaitu mulai mampu membuat dakwaan, dan tuntutan,
serta mampu memahami proses penindakan tindak pidana
korupsi. Model kedua, yaitu model Street Law Clinic, capaian
pembelajarannya mahasiswa diharapkan mampu praktik
mensosialisasikan materi-materi hukum pidana khususnya
hokum korupsi kepada anak-anak sekolah melalui model Street
Law Clinic, tumbuh kesadaran tentang pentingnya melakukan
pengabdian masyarakat auntuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum serta timbulnya sengketa hukum di masyarakat, peka
terhadap persolan-persoalan Social Justice, Pro Bono dan Access to
Justice.
9. Bahan Kajian
Bahan kajian mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi
terdiri dari : 1) Pengantar Klinik Hukum Anti Korupsi (Planning
Component), yang meliputi: konsep CLE (Clinical Legal Education),
Karakteristik CLE(Clinical Legal Education)-Klinik Hukum,
komponen-komponen dalam pembelajaran CLE (Clinical Legal
104
Education)-Klinik Hukum , model pembelajaran Klinik Hukum
Anti Korupsi , Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam
melaksanakan perkuliahan Klinik HukumAnti Korupsi dan
kode etik Klinik Hukum Anti Korupsi yang meliputi : kode etik
kelembagaan, kode etik pengajar klinik, kode etik mahasiswa,
kode etik Mitra (Dosen Mitra), dan kode etik klien. 2) Proses
Beracara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dokumen-
dokumen yang diperlukan dalam beracara di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. 4) Proses (Experiential Component) : Kuliah
Praktik di Kantor Kepolisian, Kuliah Praktik diKejaksaan dan
Kuliah Praktik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 4) Kegiatan
Sosialisasi Hukum Melalui Model Street Law Clinic (Planning
Component) meliputi : Konsep street law clinic dan keterkaitannya
dengan social justice dan access to justice, keterkaitan street law clinic
dengan pengabdian kepada masyarakat, persiapan sosialisasi
dan Role Play. 6) Praktik Sosialisasi Hukum Perdata melalui
Model Street Law Clinic (Experiential Component) yang terdiri dari:
pelaksanaan Street Law Clinic di sekolah-sekolah atau masyarakat
dan pembuatan laporan Street Law Clinic sebagai bentuk kegiatan
pengabdian kepada masyarakat.
105
106