Anda di halaman 1dari 119

klinik hukum

anti korupsi
Edukasi Pencegahan
Melalui Street Law


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
klinik hukum
anti korupsi
Edukasi Pencegahan
Melalui Street Law

Tim Penyusun:
I Gst. A.A. Dike Widhiyaastuti
I Made Walesa Putra
I Putu Rasmadhi Arsa Putra
I Gst. Ketut Ariawan
I Ketut Rai Setiabudhi
Gde Artha
Wayan Suardana
Dewa Gede Dana Sugama

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2016

iii
klinik hukum
anti korupsi
Edukasi Pencegahan
Melalui Street Law

Tim Penyusun:
I Gst. A.A. Dike Widhiyaastuti
I Made Walesa Putra
I Putu Rasmadhi Arsa Putra
I Gst. Ketut Ariawan
I Ketut Rai Setiabudhi
Gde Artha
Wayan Suardana
Dewa Gede Dana Sugama

Cover & Ilustrasi:


Repro

Design & Lay Out:


I Putu Mertadana

Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana Denpasar,
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar - Bali Telp. (0361) 255128
unudpress@gmail.com http://penerbit.unud.ac.id

Cetakan Pertama:
2016, xii + 105 hlm, 15 x 23 cm

ISBN: 978-602-294-158-3
Hak Cipta pada Penulis.
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

iv
KATA PENGANTAR

P uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang


Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan buku yang berjudul “Klinik Hukum Anti Korupsi
Edukasi Pencegahan Melalui Street Law”. Penyusunan buku
ini lebih bertujuan memberikan bimbingan keilmuan praktik
kepada mahasiswa baik dari keterampilan hard skill maupun soft
skill berkenaan Klinik Hukum Anti Korupsi khususnya dalam
melakukan pencegahan tindak pidana korupsi.

Buku ini berisikan; Pertama, planning component yang


tercermin pada materi-materi tentang Tindak Pidana Korupsi dan
Perkembangannya, sampai dengan Hukum Acara Tindak Pidana
Korupsi serta; Kedua, experiential component yang ditujukan untuk
mengembangkan kreativitas dan profesionalisme mahasiswa
dengan menggunakan metode-metode pembelajaran dalam Street
Law Clinic antara lain; Praktik Hukum Peran (Role Play), Berpikir,
Berpasangan dan Berbagi (Think, Pair, Share), Menentukan Pilihan
dan Pendapat (Take a Stand), serta Penyuluhan Hukum (Street
Law).

Metode penyuluhan hukum atau Street Law dikedepankan


karena dirasakan sesuai untuk perluasan pengetahuan anti
korupsi yang efektif serta berimplikasi positif baik untuk
masyarakat maupun mahasiswa anak didik yang melakukan
penyuluhan hukum. Harapannya mahasiswa dapat belajar,


berbagi dan mengembangkan pengetahuan serta membangkitkan
kesadaran masyarakat dengan cara mengedukasi pencegahan
korupsi secara langsung. Dengan disertai contoh-contoh kasus
sangat membantu mempermudah memahami dan mendalami
materi, buku ini juga berisikan soal latihan sebagai evaluasi hasil
pembelajaran setiap babnya.

Atas budi baik Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana,


Ketua Unit Klinik Hukum serta seluruh Pengajar dan Pengelola
Unit Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana yang
mendukung dalam penyusunan materi buku ini. Demikian
kesempatan dan dukungan yang diberikan Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.

Pada akhirnya kami menyadari buku “Klinik Hukum Anti


Korupsi Edukasi Pencegahan Melalui Street Law” masih banyak
kekurangan, masukan dan saran dari berbagai pihak akan sangat
berguna untuk penyempurnaan buku ini kedepannya.

Denpasar, 15 Oktober 2016


Tim Penulis

vi
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA

D engan senang hati saya memenuhi permintaan penulis


untuk memberikan sambutan pada buku yang berjudul
“Klinik Hukum Anti Korupsi Edukasi Pencegahan melalui Street
Law”, yang membawa perkembangan terhadap upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sejak gagasan metode Klinik Hukum dikembangkan pada


fakultas hukum, telah mendapatkan tanggapan yang baik dari
civitas akademika. Buku ini berisikan metode pembelajaran
melalui Klinik Hukum terkait Anti Korupsi dengan memaparkan
materi tindak pidana korupsi, penanggulangannya, serta
perkembangannya dalam Hukum Pidana Nasional.

Buku ini menjadi pedoman bagi mahasiswa mengkaji


penanggulangan korupsi mulai dari pencegahan sampai dengan
pemberantasannya. Dengan memberikan gambaran perlunya
ditanamkan budaya anti korupsi sejak dini dalam keluarga, dunia
pendidikan formal maupun nonformal di dalam masyarakat.
Sehingga mahasiswa, dapat menularkan kesadaran anti korupsi
dengan cara penyuluhan hukum (streetlaw) sebagai metode yang
dikedepankan, kepada seluruh lapisan masyarakat.

Kami mengapresiasi diterbitkan buku ini, tidak hanya


mendukung pengembangan ilmu hukum pidana namun juga
memberikan jawaban pemasalahan-permasalahan hukum terkait
korupsi dewasa ini.

vii
Pada akhirnya kami ucapkan selamat atas diterbitkan buku
ini, semoga buku ini memperkaya literatur hukum bermutu dan
memberikan konstribusi positif dalam upaya penanggulangan
tindak pidana korupsi yang pada akhirnya membantu
perkembangan hukum Indonesia.

Denpasar, 21 Oktober 2016


Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum


NIP. 19650221 199003 1 005

viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................v

SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS UDAYANA
Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H.................................... vii

BAB I PERKEMBANGAN KLINIK HUKUM


ANTI KORUPSI................................................................................. 1
A. Riwayat Klinik Hukum Anti Korupsi...................................... 1
B. Perkembangan Saat Ini............................................................... 3

BAB II KORUPSI DALAM PERSPEKTIF UMUM..................... 5


A. Perkembangan Korupsi.............................................................. 5
B. Pengertian dan Tipologi Korupsi.............................................. 7
C. Korupsi : Extraordinary Crime Atau Kejahatan Luar Biasa... 15

BAB III KORUPSI DALAM PERSPEKTIF


HUKUM PIDANA INDONESIA.................................................. 19
A. Korupsi sebagai Tindak Pidana Khusus................................ 19
B. Peraturan Perundang-undangan Korupsi di Indonesia...... 22
C. Tindak Pidana Korupsi............................................................. 26
D. Subjek dan Pertanggungjawaban Pidana Tindak
Pidana Korupsi.......................................................................... 27
E. Pidana dan Pemidanaan dalam Tindak Pidana Korupsi.... 31

ix
BAB IV ASAS-ASAS HUKUM PIDANA FORMIL
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI...................................... 34
A. Pengantar.................................................................................... 34
B. Sistem Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi............. 35
C. Peradilan In Absentia................................................................. 37
D. Pengembalian Asset Hasil Korupsi......................................... 38
E. Perluasan Alat Bukti Petunjuk................................................. 40
F. Kerahasiaan Bank Tidak Berlaku Bagi Tindak
Pidana Korupsi.......................................................................... 41
G. Putusan Bebas Tidak Menghapus Hak Menuntut
Kerugian Terhadap Keuangan Negara.................................. 41

BAB V HUKUM ACARA TINDAK PIDANA KORUPSI........ 43


A. Pengantar.................................................................................... 43
B. Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan
dalam Tindak Pidana Korupsi................................................ 45
C. Pemeriksaan Persidangan........................................................ 49

BAB VI KEWENANGAN LEMBAGA-LEMBAGA PENEGAK


HUKUM DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA
KORUPSI........................................................................................... 51
A. Pengantar.................................................................................... 51
B. Kepolisian................................................................................... 52
C. Kejaksaan.................................................................................... 54
D. Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk)................................. 56

BAB VII MEMAHAMI MAKNA KERUGIAN KEUANGAN


NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI................... 60
A. Pengantar.................................................................................... 60
B. Makna dan Pengertian Kerugian Keuangan Negara........... 61


BAB VIII MEKANISME PENGADAAN BARANG
DAN JASA PEMERINTAH............................................................ 65

BAB IX PRAKTIK KLINIK ANTI KORUPSI


BERPIKIR, BERPASANGAN DAN BERBAGI
(THINK, PAIR, SHARE).................................................................. 71
A. Tujuan Metode Berpikir, Berpasangan dan Berbagi............ 71
B. Prosedur...................................................................................... 71
C. Kasus/skenario Situasi.............................................................. 72

BAB X PRAKTIK HUKUM PERAN (ROLE PLAY)


KLINIK ANTI KORUPSI STUDI KASUS TINDAK
PIDANA KORUPSI DI BIDANG ADMINISTRASI
NEGARA .......................................................................................... 74
A. Tindak Pidana Korupsi Bidang Administrasi Negara......... 74
B. Kasus Posisi................................................................................ 81
C. Praktik Hukum Peran (Role Play)............................................ 82

BAB XI PRAKTIK KLINIK MENENTUKAN PILIHAN


DAN PENDAPAT (TAKE A STAND)............................................ 84
A. Petunjuk...................................................................................... 84
B. Prosedur...................................................................................... 84
C. Tentukan Pilihanmu dan Berargumenlah!!!!!........................ 85

BAB XII PRAKTIK BERMAIN PERAN (ROLE PLAY)


SIDANG DENGAR PENDAPAT LEGISLATIF . ...................... 86
A. Petunjuk...................................................................................... 86
B. Kasus .......................................................................................... 88

BAB XIII PRAKTIK KLINIK REKAM SIDANG


TINDAK PIDANA KORUPSI....................................................... 91
A. Tujuan.......................................................................................... 91
B. Prosedur...................................................................................... 91
C. Tugas........................................................................................... 92

xi
BAB XIV STREET LAW KLINIK ANTI KORUPSI
PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT SERTA SOSIALISASI AKSES
MEMPEROLEH KEADILAN........................................................ 93
A. Proposal Penelitian.................................................................... 93
B. Pelaksanaan Penelitian ............................................................ 95
C. Pendukung Kegiatan Penyuluhan.......................................... 95
D. Penyuluhan hukum (Street Law)............................................. 96
E. Pelaporan.................................................................................... 98

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 99

LAMPIRAN I : SILABUS ........................................................... 103

xii
BAB I
PERKEMBANGAN KLINIK HUKUM
ANTI KORUPSI

A. RIWAYAT KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI

K eberadaan klinik hukum anti korupsi pada dasarnya


tidak bisa dilepaskan dari perkembangan klinik hukum
itu sendiri. Klinik hukum pernah diupayakan pada tahun 1970-
an dan kembali digiatkan pada tahun 2012 melalui adanya suatu
kerjasama antara Fakultas-Fakultas Hukum dari Universitas
negeri ternama di Indonesia dengan suatu lembaga pendanaan
asing. Hasil dari kerjasama itu adalah pembentukan suatu cara
belajar baru di setiap fakultas yang disebut dengan klinik hukum
dan memasukkan klinik hukum sebagai bagian dari kurikulum
pembelajaran. Klinik hukum anti korupsi adalah salah satu
bentukan kurikulum yang diinginkan dan wajib dibentuk di
fakultas hukum. Mengingat persoalan korupsi adalah persoalan
yang tiada akhir di Indonesia sehingga dirasa penting untuk
melahirkan klinik hukum anti korupsi yang bisa memberi
pembelajaran sekaligus pengalaman pada mahasiswa tentang
anti korupsi. Dengan demikian diharapkan klinik hukum anti
korupsi akan mampu melahirkan mahasiswa yang anti korupsi
dan memiliki komitmen untuk melakukan pencegahan korupsi
dan metode pembelajaran pendidikan hukum klinis adalah upaya
yang bisa dilakukan untuk memberikan pendidikan hukum anti
korupsi.
Metode pembelajaran klinis atau yang umum disebut dengan
Clinical Legal Education (CLE). Clinical Legal Education adalah
sebuah program pendidikan yang didasarkan pada metode
pengajaran yang interaktif dan reflektif berisikan pengetahuan,


nilai dan keahlian praktis yang memampukan mahasiswa untuk
memberikan pelayanan hukum dan menciptakan keadilan sosial.
CLE disebut juga sebagai experiential learning atau learning by doing
yaitu cara belajar dengan lebih banyak memberikan pengalaman
pada mahasiswa dengan melatih kemampuan praktiknya. CLE
sebagai metode pendidikan hukum modern mengedepankan
ketrampilan praktik di lapangan (mitra kerja) dan melatih
mahasiswa untuk memiliki kemampuan legal analysis, skills
development dan professionalism. Pembelajaran klinik hukum
dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu planning component
(komponen pembelajaran), experiential component (komponen
praktik) dan reflection component (komponen refleksi). Dengan
adanya 3 (tiga) tahapan proses pembelajaran ini mahasiswa
akan memiliki pengetahuan (knowledge), kemampuan (skill) dan
nilai (value) sehingga akan mampu membentuk mahasiswa yang
berkompeten dan siap bersaing.
Sasaran pembelajaran dalam klinik hukum adalah gejala
sosial yang berkaitan dengan hukum dan keadilan sosial serta
berkaitan dengan kemampuan melihat pasar kebutuhan tentang
pembelajaran hukum professional yang aplikatif. Dengan
demikian mahasiswa akan mampu memberikan pelayanan
hukum di masa mendatang. Oleh karena itu pembelajaran
dengan metode hukum klinis pada dasarnya bertujuan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pencapaian
keadilan sosial. Untuk memaksimalkan hasil akhir, pembelajaran
dengan metode hukum klinis dapat dilakukan dengan cara in
house clinic, ex house clinic dan combination in house and ex house
clinic serta street law clinic.
Klinik hukum anti korupsi juga memiliki hasrat yang sama
dalam memberikan pengetahuan kepada mahasiswa dengan
menerapkan metode pembelajaran klinis hukum yang interaktif
reflektif dan ditambah dengan adanya street law clinic.


B. PERKEMBANGAN SAAT INI

Selama 4 (empat) tahun berjalannya klinik hukum anti


korupsi terjadi banyak perkembangan-perkembangan yang
menunjukkan bahwa klinik hukum anti korupsi pun berproses.
Dengan kata lain tidak kaku dan selalu terbuka pada perubahan-
perubahan. Hal tersebut juga merupakan refleksi dari suatu
pendidikan hukum modern yang cenderung lebih demokratis,
terbuka dan ramah.
Pada mulanya klinik hukum anti korupsi diampu oleh
dosen-dosen senior yang memiliki kompetensi di bidang korupsi.
Dosen-dosen senior tersebut bahkan terlibat dalam suatu pusat
kajian anti korupsi yang notabene banyak melakukan pengkajian,
pengamatan, dan pendidikan anti korupsi. Ditahun ketiga terjadi
penambahan dosen yang rata-rata dapat dikategorikan dosen
muda yang juga memiliki kompetensi di bidang hukum pidana
dan hukum acara pidana serta telah memiliki dasar pembelajaran
hukum klinis karena telah mengikuti Training on Trainer (ToT)
Clinical Legal Education dan tergabung dalam persatuan klinik
hukum se-Indonesia bernama Indonesian Networking Clinical Legal
Education (INCLE).
Dalam perkembangannya klinik hukum anti korupsi
selalu mendapatkan mahasiswa dengan jumlah yang variatif
namun sesuai dengan konsep pembelajaran hukum klinis
yang menghendaki jumlah mahasiswa tiap kelas maksimal
20 (duapuluh) orang, dengan jumlah pengajar kurang dari 10
(sepuluh) orang. Kompetensi mahasiswa yang mengikuti klinik
hukum anti korupsi pun sangat baik mengingat adanya proses
seleksi bagi mahasiswa klinik sehingga mahasiswa mampu
melakukan setiap proses pembelajaran dengan baik. Capaian
akhir yang diperoleh mahasiswa juga sangat baik terukur dari
kemampuan argumentasi dan penguasaan materi selama
perkuliahan.
Klinik hukum anti korupsi saat ini menggiatkan mahasiswa
untuk melakukan street law clinic, yaitu suatu metode pendidikan
hukum dengan cara menyentuh langsung akar persoalan. Street


law adalah metode pendekatan penyelesaian permasalahan
hukum, sebagai misal korupsi terjadi karena adanya budaya
permisif dalam masyarakat. Street law akan mendekati
masyarakat dan memberikan edukasi kepada masyarakat untuk
tidak membiasakan mengembangkan budaya permisif terhadap
perbuatan-perbuatan yang tergolong korupsi. Dalam konteks
ini, street law mengembangkan sikap yang berkaitan dengan skill
building (membangun keahlian), practical legal content (konten
kemampuan praktis) dan connection to the community (hubungan
masyarakat). Kesemuanya itu dapat diperoleh dengan melakukan
beberapa metode pembelajaran street law seperti:
a. Each One Teach One : satu mahasiswa akan mengajar satu
mahasiswa lainnya
b. Case Study : mahasiswa akan melakukan studi kasus dan
mengaplikasikan peraturan hukum dalam kasus tersebut.
c. Think, Pair And Share : mengajarkan mahasiswa berbagi dan
bekerja sama dan “Berpikir sendiri lebih dahulu/inisiatif)
d. Jigsaw : mengajar mahasiswa bekerja sama mempelajari
sekelompok besar informasi dlm waktu singkat
e. Pro se court : Moot Court
f. Brainstorming : Curah Pendapat
g. Legislative Hearing : role play (bermain peran)
h. Small group work (kerja kelompok)

Inilah perkembangan yang dapat diceritakan tentang klinik


hukum anti korupsi yang selalu mengedepankan pembelajaran
interaktif reflektif yang terbuka, ramah dan mengedukasi anti
korupsi melalui street law clinic.


BAB II
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF UMUM

A. PERKEMBANGAN KORUPSI

K orupsi pada dasarnya telah ada sejak jaman dahulu,


sebagaimana halnya pandangan tua tentang kejahatan
yang menyebutkan bahwa kejahatan dikatakan memiliki
usia yang sama dengan manusia maka demikian pula halnya
korupsi. Eksistensi korupsi dapat dikatakan sama tuanya
dengan eksistensi manusia itu sendiri. Dengan kata lain manusia
pada hakikatnya telah membawa bibit-bibit korupsi di dalam
dirinya sejak ia dilahirkan. Tidak salah jika kemudian korupsi
disebut-sebut sebagai fenomena tanpa batas yang akan terus
melingkari kehidupan manusia sebagai suatu pribadi dan akan
mempengaruhi kehidupan sosialnya.
Dalam sejarah korupsi, beberapa sarjana menemukan bahwa
korupsi telah terjadi sejak jaman dahulu. Daniel Kaufamann dan
Vito Tanzi sebagai contoh, mereka menemukan pengaturan tentang
korupsi dalam Arthasastra (salah satu kitab penting agama Hindu
yang diperkirakan berusia 2400 tahun). Disebutkan disana, salah
seorang penasihat Raja Chandragupta Maurya yaitu Kautilya
mengatakan korupsi tidak dapat dielakkan dan pentingnya
untuk mengendalikan korupsi. Selanjutnya Macmullen dan
Wilson juga menengarai korupsi telah menjatuhkan kekaisaran
Roma dan Yunani. Sarjana lain bernama Lambsdorff, Taube

 http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1739962, Mark Jor-


gensen Farrales, 2005, What is Corruption A History of Corruption Studies and
The Great Definition Debates, University of California, San Diego, diunggah
tanggal 8 September 2016 pukul 12.00 WITA


dan Schramm juga menemukan bahwa di era dinasti Qin, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana-nya telah memuat pidana
yang kaku dan terperinci bagi tindak pidana korupsi. Seluruh
penemuan ini menunjukkan bahwa korupsi telah ada sejak jaman
dahulu dan telah menjadi musuh bersama bagi setiap manusia.
Di Indonesia, korupsi dikatakan telah ada sejak jamannya
kerajaan-kerajaan. Ditengarai para adipati pada jaman-jaman
tersebut telah terbiasa melakukan pemotongan terhadap
utpeti yang dikumpulkan rakyat sebelum diserahkan kepada
raja. Seorang sejarahwan UGM, Suhartono dalam Seminar
Hasil Penelitian Lintas Klaster Humaniora juga menguraikan
bagaimana korupsi di Indonesia telah terangkai sejak jaman
feodalisme. Menurut pandangannya, birokrasi tradisional
yang terbentuk pada jaman feodalisme merupakan benih
awal terbentuknya mental korupsi di Indonesia dan korupsi
tradisional ini dipandang wajar dan tidak dipermasalahkan
karena merupakan hak penguasa sehingga tidak ada kontrol
pengawasan. Suhartono juga menambahkan tentang kronologis
korupsi di Indonesia disebabkan karena struktur masyarakat
yang ada, keberlangsungan secara sosio kultural hampir tidak
mengalami perubahan secara signifikan sehingga korupsi dapat
berlangsung selama puluhan abad.
Pandangan lain tentang sejarah korupsi di Indonesia
dikemukakan Theodore M Smith yang menganalisa bahwa
sebagian besar permasalahan korupsi di Indonesia disebabkan
karena faktor kultural, ekonomi dan politik. Faktor utama
penyebab maraknya korupsi di Indonesia adalah faktor sejarah
yang dipengaruhi oleh watak kolonialisme, faktor kebudayaan
yang menjadi implikasi negative dari sistem feodalisme,
faktor ekonomi yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat
 Ibid.
 Suhartono dalam https://ugm.ac.id/id/berita/433-sejarawan.ugm:.korupsi.
warisan.dari.penyakit.sosial.orang.indonesia, diunggah tanggal 26 Agus-
tus 2008
 Theodore M Smith dikutip dalam Mochtar Lubis dan James Scott oleh
http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/22/korupsi-birokrasi-sebuah-wari-
san-kolonial-471739.html , diunggah tanggal 22 Juni 2012


kesejahteraan, faktor struktur pemerintahan yang sentralistik
dan faktor politik yang kotor oleh karena kepentingan dana bagi
partai-partai yang ingin memenangkan pemilu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korupsi di
Indonesia terjadi sebagai bentuk implikasi negative atas pola-
pola penguasa di Indonesia sejak jaman feodalisme. Diperburuk
kemudian dengan kedatangan kolonialisme yang mengembangkan
birokrasi modern. Didukung oleh sikap permisif masyarakat
terhadap kesewenang-wenangan penguasa dan pandangan-
pandangan yang disisipi tentang nilai-nilai tradisional tentang
pemimpin pun menambah buruk angka korupsi di Indonesia.

LATIHAN. DISKUSIKAN.
Bagaimana sejarah korupsi secara global dan
kemudian telusuri apakah sejarah korupsi secara
global tersebut ada pengaruhnya terhadap sejarah
korupsi di Indonesia?

B. PENGERTIAN DAN TIPOLOGI KORUPSI

Memahami makna korupsi tidak bisa dilakukan hanya


dengan menggunakan satu jenis pendekatan saja. Dengan kata
lain untuk memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang
makna korupsi diperlukan pula pengertian-pengertian korupsi
dari berbagai sudut pandang ilmu. Hal ini akan membantu
dalam memahami korupsi. Sehubungan dengan itu berikut akan
diuraikan beberapa pandangan-pandangan yang menggunakan
pendekatan multidisipliner dalam memahami korupsi.
Dilihat dari segi terminology, korupsi dikatakan berasal dari
kata “corruptio” atau “corruptus” yang dalam bahasa latin berarti
kerusakan atau kebobrokan. Kata “corruptio” ditengarai berasal
dari bahasa latin kuno “corrumpere”. Corruptio juga sering dipakai
untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang busuk.


Selanjutnga dalam Webster’s New American Dictionary, kata
“corruption” diartikan sebagai “decay” (lapuk), “contamination“(k
emasukan sesuatu yang merusak) dan “impurity” (tidak murni)
sedangkan kata “corrupt” dijelaskan sebagai “to become rotten or
putrid” (menjadi busuk, lapuk atau buruk), juga “to induce decay in
something originally clean and sound” (memasukkan sesuatu yang
busuk atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang semula bersih dan
bagus).
Henry Campbell Black, mengartikan korupsi sebagai “an
act done with an intent to give some advantage inconsistent with
official duty and the rights of others”, (terjemahan bebasnya: suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan
hak-hak dari pihak lain). Termasuk dalam pengertian “corruption”
menurut Black adalah perbuatan seseorang pejabat yang secara
melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan
suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.
Pengertian yang dikemukakan oleh Henry Campbell Black ini
menunjukkan arti korupsi tidak semata-mata soal perbuatan
yang memberikan keuntungan tetapi juga soal pelanggaran
hukum dalam upaya seseorang untuk memperoleh keuntungan
yang berlawanan dengan kewajibannya. Dalam konteks ini
Henry Campbell Black melihat korupsi itu adalah persoalan hak
dan kewajiban yang dirugikan dan dimanfaatkan.
Berbeda dengan A.S Hornby yang nampaknya memberikan
kualifikasi sedikit lebih sempit tentang korupsi dengan
mengartikannya sebagai suatu pemberian atau penawaran dan
penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes),
serta kebusukan atau keburukan (decay). Hornby memandang
dalam korupsi ada 3 (tiga) persoalan penting yaitu pemberian,
penawaran dan penerimaan yang ditujukan untuk memperoleh

 Elwi Danil, 2010, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 3
 Black’s Law Dictionary with Pronouncation, 1983, Minn West Publishing
co, St. Paul, h. 182
 Op. Cit., hlm. 4


sesuatu yang mengarah pada sesuatu yang busuk dan buruk.
Senada dengan Hornby adalah Wertheim yang kemudian
memberikan pemahaman yang lebih spesifik tentang korupsi
berbentuk penyuapan. Menurutnya seorang pejabat dikatakan
melakukan tindak pidana korupsi, adalah apabila menerima
hadiah dari seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar
mengambil keputusan yang menguntungan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang pengertian ini juga mencakup
perbuata menawarkan hadiah, atau bentuk balas jasa yang
lain. Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas jasa karena
sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah dilaksanakan
seseorang, juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai perbuatan
korupsi. Di samping itu, masih termasuk ke dalam pengertian
korupsi adalah penggunaan uang negara yang berada di bawah
pengawasan pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepentingan
pribadi yang bersangkutan. Dalam hal yang terakhir ini, para
pejabat pemerintah dianggap telah melakukan penggelapan
uang negara dan masyarakat.
Pendapat Wertheim ini diperluas lagi oleh David H Baley10
yang memberikan pengertian lebih luas tentang makna korupsi.
David H Baley mengatakan bahwa korupsi yang dikaitkan
dengan penyuapan adalah suatu istilah umum yang meliputi
penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pertimbangan
keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang. Batasan
yang luas dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang
memungkinkan dimasukkannya penyuapan, pemerasan,
penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik
sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan nepotisme ke
dalam korupsi. Dalam pandangannya, menilai bahwa kerugian
yang terjadi dalam keuangan negara dan masyarakat sebagian
besar dibentuk oleh pola-pola korupsi tersebut secara tidak
langsung.

 Wertheim dalam Elwi Danil, Op. Cit., h. 5


 Op.Cit., h. 6
10 Op.Cit.


Terkait dengan itu Robert Klitgaard memandang bahwa
korupsi itu ada ketika seseorang secara tidak halal meletakkan
kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, serta cita-cita
yang menurut sumpah yang akan dilayaninya.11 Melihat korupsi
itu muncul dalam berbagai bentuk dan terejawantah dari
persoalan yang sepele sampai pada persoalan yang besar. Korupsi
dapat menyangkut penyalahgunaan instrument-instrument
kebijakan seperti soal tariff, pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan
perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut
keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman
dan sebagainya. Di samping itu, ditegaskan pula bahwa korupsi
itu dapat terjadi tidak saja di sector pemerintahan, tapi juga di
sector swasta, bahkan sering terjadi sekaligus di kedua sektor
tersebut.12
Apa yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard nampaknya
juga terekam oleh David M. Chalmer yang memberikan pengertian
korupsi dalam berbagai bidang termasuk masalah penyuapan
yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan
menyangkut bidang kepentingan umum.13
Berdasarkan keseluruhan pendapat tersebut di atas harus
dipahami bahwa dalam memahami korupsi, cara pandang
setiap orang akan berbeda-beda, artinya tidak akan sama
persis satu dengan yang lainnya. Kondisi ini sangat tergantung
pada iklim politik, budaya, kesadaran hukum masyarakat dan
perkembangan sistem hukum masing-masing. Oleh karena itu
tidak jarang dijumpai adanya pengertian yang berbeda-beda
dalam memahami korupsi. Tidak jarang terjadi pula pandangan
mengenai perbuatan yang dianggap sebagai korupsi di suatu
negara namun di negara lain belum tentu itu termasuk dalam
perbuatan korupsi bisa jadi hanya penggelapan atau penyuapan
biasa. Oleh karena itu harus dipahami bahwa dalam memahami
11 Robert Klitgaard, 1998, Memahami Korupsi, terjemahan Hermoyo, Yayasan
Obor, Jakarta, h. xix
12 Ibid.
13 Op.Cit., h. 4

10
makna korupsi sangat tergantung dari politik hukum pidana
yang dianut oleh suatu negara.
Terkait dengan ini mengutip John A Gardiner dan David J
Olson dalam bukunya “Theft of the City”, Reading on Corruption
in Urban America sebagaimana dikutip Soedjono Dirdjosisworo,
memberi pemahaman secara umum dari sumber-sumber
pengertian korupsi, dengan pengelompokan sebagai berikut :
a. Pengertian korupsi yang dijelaskan dalam Oxford English
Dictionary;
b. Rumusan menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial;
c. Rumusan yang lebih memberikan penekanan pada jabatan
dalam pemerintahan;
d. Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar;
e. Rumusan korupsi yang berorientasi kepada kepentingan
umum.

Dari kategori perumusan secara umum yang dilihat dengan


pengelompokkan seperti dikemukakan John A. Gardiner dan
David J Olson itu, Soedjono Dirdjosisworo sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat
dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintahan, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan
keluarga dan klik, golongan ke dalam kedinasan dibawah
kekuasaan jabatannya.14
Sehubungan dengan itu, dipahami bahwa korupsi memiliki
ciri dan tipologinya masing-masing. Berikut akan diuraikan
beberapa ciri dan tipologi korupsi menurut pandangan beberapa
ahli.
Ciri dan tipologi pertama dapat dilihat dari pendapat Syed
Hussein Alatas yang mengungkapkan beberapa ciri-ciri korupsi
yaitu:

14 Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam


Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 18-20 dalam
Elwi Danil, Op. Cit., h. 8-9

11
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan,
kecuali ia telah begitu merajalela, dan begitu mendalam
berurat akar, sehingga individu-individu yang berkuasa,
atau mereka yang berada daalam lingkungannya tidak
tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
timbale balik;
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya
berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan
berlindung di balik pembenaran hukum;
e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang
menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka
yang mampu untuk memengaruhi keputusan-keputusan
itu;
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan
kepercayaan;
h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang
kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu;
i. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas
dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.15

Ciri-ciri sebagaimana disebut masih bisa diperluas lagi


namun ciri-ciri menurut Syed Hussein Alatas ini telah cukup
menggambarkan sifat khas dari korupsi dan ketika melakukan
pengklasifikasian suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi
sekurang-kurangnya haruslah memenuhi ciri-ciri tersebut diatas.
Dengan demikian pemahaman tentang korupsi yang sempit pun
akan dapat dihindari.
Piers Beirne dan James Messerschmidt memandang
korupsi sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan kekuasaan
sehingga mereka pun memberikan 4 (empat) tipologi korupsi
yaitu political bribery, political kickbacks, election fraud dan corrupt

15 Elwi Danil., Op.Cit., h. 7

12
compaign practices. Political bribery erat kaitannya dengan
kekuasaan legislative selaku badan pembentuk undang-undang.
Dalam gambarannnya badan legislative ini dikendalikan oleh
sesuatu kepentingan terkait dengan dana pemilihan umum yang
sering dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan tertentu yang
bertindak sebagai donatur. Dalam konteks ini para pengusaha
umumnya dan pemilik perusahaan khususnya memiliki harapan
dengan donasi yang telah diberikan, maka anggota legislative
akan membuatkan suatu peraturan yang akan menguntungkan
mereka, bisnis dan usahanya. Lain halnya dengan political
kickbacks yang merupakan suatu kegiatan yang berhubungan
dengan sistem kontrak pekerjaan antara pejabat pelaksana atau
terkait dengan pengusaha guna mendapatkan keuntungan yang
lebih banyak bagi kedua pihak. Dalam artian pengusaha maupun
pejabat akan sama-sama memperoleh keuntungan dari hubungan
kerjasama yang mereka buat tersebut. Sedikit berbeda denga
Election fraud yang merupakan kegiatan korupsi yang langsung
berkaitan dengan kecurangan-kecurangan dalam pemilu baik itu
yang dilakukan oleh calon penguasa ataupun anggota parlemen
atau bahkan lembaga pelaksana pemilu sendiri. Dekat dengan
pengertian election fraud adalah corrupt campaign practice yang
merupakan tipologi korupsi yang berkaitan dengan kampanye
pemilihan umum dengan menggunakan fasilitas negara bahkan
penggunaan uang negara oleh calon penguasa pada saat ia masih
memegang kekuasaaan. 16
Selanjutnya tipologi dari Benveniste yang melihat korupsi
dari berbagai aspek sehingga beliau menggambarkan tipologi
korupsi tersebut ke dalam 4 (empat) jenis yaitu:
a. Discretionary corruption, yakni korupsi yang dilakukan
karena adanya kebebasa dalam menentukan kebijaksanaan,
sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik
yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum,
peraturan, dan regulasi tertentu.

16 OpCit., h. 9 - 10

13
c. Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang
dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun
discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan
kelompok.17

Tipologi terakhir yang diuraikan disini adalah tipologi dari


Vito Tanzi yang memberikan deskripsi tipologi korupsi sebagai
berikut:
1. Korupsi transaksi, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan
diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan
kedua belah pihak.
2. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan
pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang
terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku
korupsi.
3. Korupsi investif, yaiut korupsi yang berawal dari tawaran
yang merupakan investasi untuk mengatisipasi adanya
keuntungan di masa datang.
4. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena
perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik
maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat.
5. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang
pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan
sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai
kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.
6. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan
korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan
kekerasan.
7. Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam
rangka mempertahankan diri dari pemerasan.

17 Op.Cit., h. 11 - 12

14
Dengan memahami pengertian dan ciri serta tipologi
korupsi tersebut diatas, akan dapat membantu pemahaman
tentang korupsi dalam deskripsi pemahaman yang lebih luas.
Korupsi bukanlah kejahatan sederhana selayaknya pencurian,
penggelapan, pemerasan ataupun pungutan liar pada umumnya
karena korupsi melibatkan banyak kepentingan dan rata-rata
kepentingan tersebut mengalami kerugian materiil maupun
immaterial oleh karena adanya perbuatan korupsi.

LATIHAN. DISKUSIKAN.
Sebab-sebab terjadinya korupsi secara global dan
sebab-sebab terjadinya korupsi di Indonesia.

C. KORUPSI : EXTRAORDINARY CRIMEATAU KEJAHATAN


LUAR BIASA

Korupsi menjadi suatu hal yang menarik sekali untuk


diperhatikan dan dibicarakan tidak hanya oleh khalayak lokal,
nasional tetapi juga global. Persoalan korupsi memang bukan
persoalan sederhana. Korupsi menyebabkan suatu negara
mengalami keterbelakangan dan juga kemunduran dalam hal
kesejahteraan. Ini dikarenakan korupsi kerap kali merampas
hak-hak rakyat khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan.
Kondisi ini sangat memprihatinkan sehingga menarik perhatian
seluruh masyarakat dunia.
Memasuki abad ke 21, perhatian masyarakat dunia terhadap
masalah korupsi dirasakan kian meningkat. Terutama United
Nation atau PBB yang sering mengadakan kongres-kongres
internasional yang mengangkat isu tentang korupsi. Keprihatinan
ini pun diwujudkan dengan mendeklarasikan United Declarations
Convention Against Corruption (UNCAC) dan disahkan di Merida
Mexico pada tahun 2003. Secara tegas dalam bagian pembukaan
Konvensi UNCAC tersebut dinyatakan bahwa masyarakat

15
internasional peserta konvensi merasa prihatin atas kegawatan
atau keseriusan dari masalah-masalah dan ancaman-ancaman
yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap masalah stabilitas dan
keamanan masyarakat yang akan melemahkan lembaga-lembaga
dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilann, serta
membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi
hukum. Oleh karena itu perlu diyakininya suatu pendekatan
komprehensif dan multidisipliner untuk mencegah dan
memerangi korupsi secara efektif.18
Menurut perspektif hukum pidana, korupsi tergolong sebagai
tindak pidana atau kejahatan yang sangat berbahaya baik itu
bagi masyarakat, bangsa dan juga negara. Di samping persoalan
kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, terdapat
persoalan yang jauh lebih besar dan lebih membahayakan bagi
kelangsungan penyelenggaraan negara yaitu berkaitan dengan
hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Dalam
konteks ini negara bisa mengalami ketidakseimbangan dan
ketidakharmonisan hubungan dengan rakyat.
Hal tersebut dapat menjadi indikator tentang seberapa
berbahayanya tindak pidana korupsi jika dibiarkan berkembang
secara terus menerus. Sifat berbahaya dari tindak pidana korupsi
dan efek yang luas terhadap kehidupan bernegara dan masyarakat
ini juga ditegaskan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa
ke-9 di Kairo. Hasil kongres di Kairo ini kemudian dibicarakan
oleh Commition on Crime Prevention and Criminal Justice di Wina
dan menghasilkan resolusi tentang actions agains corruptions yang
menegaskan korupsi merupakan masalah serius karena dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak
nilai-nilai demokrasi dan moralitas (underminded the values of
democracy and morality) dan membahayakan pembangunan sosial,
ekonomi, dan politik (jeopardized social, economic and political
development).19

18 Op.Cit., h. 64
19 Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yog-
yakarta, h. 88

16
Dengan demikian dapat dipahami adapun sifat extraordinary
crime dari tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian
keuangan negara yang berdampak pada kerugian perekonomian
suatu bangsa. Dalam konteks ini korban dari kerugian keuangan
negara berimbas sangat luar biasa. Selain itu sifat extraordinary
crime dari korupsi juga dapat dilihat dari praktik yang dilakukan.
Kebanyakan menunjukkan korupsi yang berlangsung sistemik
dan meluas sehingga kerugian tidak hanya dialami oleh negara
dalam bentuk kerugian keuangan negara tetapi juga memberikan
kerugian kepada hak-hak warga negara.
Korupsi di Indonesia jika dilihat dari sisi kualitas dan
kuantitas telah menampakkan wujudnya bukan sebagai kejahatan
biasa selayaknya pencurian, penggelapan, dan lain-lain. Korupsi
telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau disebut
dengan Extra Ordinary Crimes.20
Menurut Elwi Danil ada beberapa alasan-alasan yang
memposisikan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa yaitu :
a. Karena masalah korupsi sudah berurat akar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Korupsi
tidak saja merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, tapi juga telah “memorak porandakan” tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kondisi itu
telah memprihatinkan masyarakat internasional;
b. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan
sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat, karena
sebagian besar masyarakat tidak dapat menikmati hak yang
seharusnya dia peroleh;
c. Karena korupsi itu telah mengalami perkembangan dan
pertumbuhan yang sangat pesat, maka masalahnya tidak
lagi merupakan masalah hukum semata, tapi korupsi itu
sudah dirasakan sebagai pelanggaran terhadap hak sosial
dan ekonomi masayrakat sebagai bagian dari hak asasi
manusia;

20 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System), Program Magister Ilmu Hukum, Semarang, h. 92.

17
d. Karena adanya perlakuan diskriminatif di dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi;
e. Karena korupsi bukan lagi hanya berkaitan dengan sektor
publik; melainkan sudah merupakan kolaborasi antara
sektor publik dengan sektor swasta.

Dengan memahami korupsi sebagai kejahatan luar biasa


(extra ordinary crime) maka akan dapat dipahami pentingnya
melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak
pidana korupsi. Baik itu secara represif dengan menggunakan
upaya hukum (penal) ataupun secara preventif dengan
menggunakan upaya non hukum (non penal).

18
BAB III
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA INDONESIA

A. KORUPSI SEBAGAI TINDAK PIDANA KHUSUS

M emahami korupsi sebagai tindak pidana khusus di


Indonesia merupakan suatu upaya lanjutan dalam
memahami korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extra
ordinary crime.
Di Indonesia, tindak pidana khusus umumnya diatur dengan
undang-undang pidana khusus. Sederhananya, undang-undang
pidana khusus ini mempunyai ciri mengatur hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil yang berada di luar kodifikasi
atau KUHP dan KUHAP. Undang-undang pidana khusus ini
memuat norma, sanksi dan asas-asas hukum pidana materiil
maupun formil yang secara khusus menyimpang dari norma,
sanksi dan asas-asas hukum pidana materiil maupun formil yang
umum.

Undang-undang pidana khusus dapat tercipta karena:


1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di
dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman,
terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat, sesuatu
yang semula dianggap bukan sebagai tindak pidana, karena
perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi
termasuk tindak pidana dan diatur dalam suatu perundang-
undangan hukum pidana.
2. Undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi
terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi
dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan

19
undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak
waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap
perlu diciptakan sautu peraturan khusus untuk segera
menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila
dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada akan mengalami
kesulitan dalam pembuktian.21

Dasar hukum penyimpangan ini ada pada Pasal 103 KUHP


yang menentukan “ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai
dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan
yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”
Menurut Andi Hamzah, bunyi Pasal 103 ini memiliki maksud
ialah Pasal 1 sampai dengan Pasal 85 Buku I KUHP tentang
Ketentuan Umum (atau asas-asas) berlaku juga bagi perbuatan
yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang atau
peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang atau peraturan
itu menyimpang.22 Selanjutnya Andi Hamzah menegaskan bahwa
hal yang paling penting untuk diketahui ialah penyimpangan-
penyimpangan dalam undang-undang yang bersangkutan dari
ketentuan umum atau asas-asas hukum pidana. Penyimpangan-
penyimpangan sebagaimana dimaksud tersebut menjadi ciri
khas dari undang-undang pidana khusus dan penyimpangan
tersebut memberi dampak kepada asas-asas umum dalam KUHP.
Undang-undang pidana khusus dapat mengesampingkan KUHP
bilamana ia menentukan lain dari yang ditentukan oleh KUHP
atau dalam adagium disebut lex specialis derogate legi generali.
Bahkan dalam perlakuannya,undang-undang yang bersifat
khusus lebih diutamakan dibandingan dengan hukum pidana
21 Loebby Loqman, 2004, Perkembangan Asas Legalitas dalam hukum Pidana
Indonesia, Makalah, h. 98
22 Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasi-
onal dan Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 1

20
umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 63 ayat (2) yang
menyebutkan “jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Sehubungan dengan itu diketahui bahwa produk perundang-
undangan di Indonesia sebagian besar masih merupakan warisan
dari kolonial yang jika diberlakukan saat ini menimbulkan banyak
masalah yuridis. Oleh karena itu saat ini muncul fenomena
legislative dalam hal kebijakan formulasi guna menghindari
tidak dapat bekerjanya suatu undang-undang terhadap suatu
perbuatan yang telah melanggar kepentingan hukum orang
lainnya.
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut
UU PTPK) merupakan salah satu undang-undang pidana khusus
sebagai bentuk adanya kebijakan formulasi terhadap Undang-
undang tindak pidana korupsi No. 3 Tahun 1971. Kekhususan ini
dapat terlihat dalam beberapa hal yang diatur dalam UU PTPK
itu sendiri seperti :
1. Perubahan perumusan tindak pidana
2. Perubahan ancaman pidana
3. Diperkenalkannya ancaman pidana minimum khusus
4. Perluasan pengertian pegawai negeri
5. Perluasan konsep pelanggaran
6. Penambahan pidana tambahan
7. Korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi
8. Adanya koordinasi Jaksa Agung TPK dengan Peradilan
Umum dan Peradilan Militer
9. Peran serta masyarakat.

Hal-hal yang diatur ini tidak diatur di dalam KUHP sehingga


memungkinkan bagi UU PTPK untuk mengesampingkan
ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam KUHP. Namun
demikian, pemberlakuan lex specialis derogate legi generalis harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :

21
1. Bahwa pengecualian terhadap undang-undang yang bersifat
umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan
dirinya, yaitu Undang-undang.
2. Bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam undang-
undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya
berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dari bagian
yang tidak dikecualikan tetapa berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksanaan undang-undang khusus
tersebut.23

LATIHAN. ANALISA DAN DISKUSIKAN :


1. Korupsi dikatakan sebagai kejahatan extra
ordinary crime.
2. UU Korupsi dikatakan sebagai UU Khusus.
3. Analisis dan deskripsikan kekhususan-
kekhususan yang ada dalam UU Korupsi

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KORUPSI DI


INDONESIA

Di Indonesia, masalah korupsi konon telah terjadi sejak


masanya kerajaan-kerajaan di Indonesia. Para pejabat kerajaan
konon biasa mempraktekkan perilaku korupsi tradisional. Sampai
kemudian masuknya penjajah VOC yang juga mempraktekkan
perilaku korupsi birokratif. Perilaku-perilaku ini nampaknya
berkembang terus dan dipelajari oleh setiap manusia Indonesia
sehingga manusia Indonesia cenderung permisif terhadap
perilaku yang menjurus pada perbuatan korupsi. Terkait itu,
sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negeri ini
pernah berkomentar dengan mengatakan bahwa “corruption is way
of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan

23 Ibid.

22
dan jalan kehidupan bangsa Indonesia.24 Jauh sebelum komentar
sinis tersebut dilontarkan, Muhammad Hatta, salah seorang
tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, pernah melontarkan
penilaian yang sama dengan mengatakan bahwa korupsi
cenderung sudah membudaya, atau sudah menjadi bagian dari
kebudayaan bangsa Indonesia.25
Apa yang dikhawatirkan Bung Hatta pada sekitar akhir
tahun 60-an itu, sampai dewasa ini telah semakin menjadi sebuah
fakta yang amat sulit dibantah. Skala korupsi yang terjadi telah
menjadi semakin “menggurita”. Korupsi di Indonesia, tidak
saja telah membudaya, namun juga telah melembaga. Perilaku
menyimpang itu telah mengalami proses institusionalisasi,
sehingga hampir-hampir tidak ada lembaga negara yang steril dari
perilaku menyimpang tersebut.26 Hal ini jika diseksamai dapat
memberikan penilaian kurang baik terhadap upaya penegakan
hukum di Indonesia. Penilaian kurang baik ini wujudnya pun
bisa bermacam-macam salah satunya adalah ketidakpercayaan
terhadap kemampuan hukum khususnya hukum pidana dalam
melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak
pidana korupsi. Berbicara mengenai hukum di Indonesia, patut
diketahui bahwa ada beberapa pengaturan tindak pidana korupsi
yang pernah diupayakan oleh pemerintah Indonesia dalam
rangka mencegah dan memberantas korupsi antara lain :
1. Peraturan Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957
merupakan peraturan yang menjadi tonggak awal
pengaturan korupsi di Indonesia.
2. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tanggal
22 Mei 1957.
3. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM 011/1957 yang
dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 1957 sebagai dasar hukum

24 Amien Rais, Pengantar dalam Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti
(ed), Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Me-
dia, Yogyakarta dalam Elwi Danil, OpCit., h. 65
25 Mubyarto, 1995, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Medika, Yogyakarta,
dalam Elwi Danil, Op.Cit.
26 Elwi Danil., Op.Cit.

23
penguasa militer melakukan penyitaan dan perampasan
harta benda yang mencurigakan.
4. Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Nmor Prt/
Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda
(hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan
Darat)
5. Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Nomor Prt/zl/17
tanggal 17 April 1958 khusus bagi pengusutan, penuntutan
dan pemeriksaan perbuatan korupsi dan penilikan harta
benda yang dilakukan di daerah-daerah yang dikuasai
Angkatan Laut.
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu)
Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, LN Nomor 72 Tahun
1960 jo. UU Nomor 24 Prp Tahun 1960.
7. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, LNRI Tahun 1971 Nomor 19.
8. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan yang terakhir yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo.


UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi merupakan salahsatu bentuk pembaharuan substansi
hukum pidana terkait korupsi. Undang-undang ini tercipta
karena banyaknya kelemahan yuridis dalam UU No. 3 Tahun
1971 yang menyebabkan UU No. 3 Tahun 1971 dipandang tidak
mampu menjangkau kejahatan korupsi di Indonesia. Selain itu
dapat dijumpai pula dalam konsideran UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan bahwa undang-undang ini dibentuk
dengan suatu kesadaran dan pengakuan bahwa tindak pidana
korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Di samping itu,
korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan

24
pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi.
Ditambah dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang
adil dan makmur sebagai tujuan kebangsaan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus diberantas. Dan
masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan yang mendorong
pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di samping peraturan tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, pemerintah juga secara substansial menyiapkan
peraturan-peraturan lain yang kedepannya akan menyokong
bekerjanya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
1. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
2. UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi
3. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
4. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
5. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
6. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption 2003.

TUGAS. PELAJARI DAN BUAT RINGKASAN.


Cari dan telusuri peraturan-peraturan mengenai
korupsi yang pernah ada di Indonesia dari dulu
hingga sekarang.

25
C. TINDAK PIDANA KORUPSI

UU PTPK menguraikan beberapa jenis delik atau tindak


pidana korupsi antara lain :
1. Korupsi yang Mensyaratkan Adanya Kerugian Negara
a. Pasal 2 ayat (1)
b. Pasal 3
2. Tindak Pidana Penyuapan
a. Penjelasan Umum
b. Pasal 5 ayat (1) huruf a
c. Pasal 5 ayat (1) huruf b
d. Pasal 5 ayat (2)
e. Pasal 6 ayat (1) huruf a
f. Pasal 6 ayat (1) huruf b
g. Pasal 6 ayat (2)
h. Pasal 11
i. Pasal 12 huruf a
j. Pasal 12 huruf b
k. Pasal 12 huruf c
l. Pasal 12 huruf d
m. Pasal 13
3. Korupsi Penyalahgunaan Jabatan
a. Pasal 8
b. Pasal 9
c. Pasal 10 huruf a
d. Pasal 10 huruf b
e. Pasal 10 huruf c
4. Tindak Pidana Pemerasan
a. Pasal 12 huruf e
b. Pasal 12 huruf f
c. Pasal 12 huruf g
5. Tindak Pidana Kecurangan
a. Pasal 7 ayat (1) huruf a
b. Pasal 7 ayat (1) huruf b
c. Pasal 7 ayat (1) huruf c
d. Pasal 7 ayat (1) huruf d

26
e. Pasal 7 ayat (2)
f. Pasal 12 huruf h
6. Korupsi Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
7. Tindak Pidana Gratifikasi
8. Percobaan, Permufakatan Jahat dan Pembantuan Melakukan
Tindak Pidana Korupsi
a. Percobaan Melakukan Tindak Pidana Korupsi
b. Permufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana
Korupsi
c. Pembantuan Melakukan Tindak Pidana Korupsi
9. Tindak Pidana Lain Terkait Tindak Pidana Korupsi
a. Pasal 21
b. Pasal 22
c. Pasal 23
d. Pasal 24

D. SUBJEK DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


TINDAK PIDANA KORUPSI

Sampai saat ini, Hukum Pidana Indonesia masih menganut


paham bahwa delik atau tindak pidana itu hanya dapat dilakukan
oleh manusia atau natuurlijk persoon. Dengan demikian, menurut
Hukum Pidana Indonesia hanya manusia sajalah yang dapat
menjadi pelaku tindak pidana.
Dalam perkembangan hukum pidana pada dasarnya
ada pemikiran baru yang berpandangan bahwa subjek tindak
pidana bukan hanya manusia saja tetapi juga badan hukum atau
korporasi. Pemikiran ini timbul ketika ada korporasi-korporasi
yang melakukan tindak pidana namun tidak dapat diproses
secara pidana karena tidak termasuk dalam subjek hukum pidana
padahal tidak jarang korporasi banyak memperoleh keuntungan-
keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan baik oleh
pengurusnya atau oleh korporasi melalui kebijakan pengurusnya.
Tidak jarang pula perbuatan korporasi menimbulkan kerugian-

27
kerugian pada masyarakat. Inilah yang kemudian ingin disikapi
oleh beberapa undang-undang khusus seperti UU Korupsi.
Pada UU Korupsi, diketahui bahwa subjek tindak pidana
bukan hanya manusia tetapi juga badan hukum atau korporasi.
Dalam Pasal 1 ayat (3) UU Korupsi menunjukkan bahwa makna
“setiap orang” dalam UU Korupsi tidak hanya mengacu pada
orang perorangan tetapi juga badan hukum atau korporasi. Jadi
korporasi dalam hal ini diartikan sebagai sekumpulan orang
atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Dengan demikian jelaslah bahwa
subjek tindak pidana korupsi menurut UU Korupsi adalah
manusia atau badan hukum.
Terkait dengan perbuatan pidana oleh korporasi, UU Korupsi
memberikan beberapa kriteria perbuatan pidana yang dilakukan
oleh korporasi.
Pasal 20 ayat (2) UU Korupsi menyebutkan bahwa “tindak
pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-
sama”. Jadi jika pasal ini diuraikan ada 2 (dua) kriteria untuk
menyatakan korporasi melakukan tindak pidana korupsi jika :
1) Dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hukum;
2) Bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.

Ada 2 (dua) teori yang dapat dipergunakan sebagai pijakan


yuridis untuk menjelaskan persoalan di atas, yaitu :
1) Teori Pelaku Fungsi (functioneel daaderschap)
Teori ini berpandangan bahwa dalam lingkungan sosial
ekonomi pembuat (korporasi) tidak perlu selaku melakukan
perbuatan itu secara fisik, tetapi dapat saja perbuatan tersebut

28
dilakukan oleh pegawai asal saja perbuatan tersebut masih dalam
ruang lingkup fungsi-fungsi kewenangan korporasi.27

2) Teori Identifikasi
Teori ini pada intinya menyatakan bahwa korporasi dapat
melakukan perbuatan pidana secara langsung melalui orang-
orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dan
dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Perbuatan yang
dilakukan oleh anggota-anggota tertentu dari korporasi, selama
perbuatan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai
perbuatan dari korporasi itu sendiri. Oleh karena itu, bila
perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian, atau, jika
anggota tertentu korporasi itu melakukan tindak pidana, maka
sesungguhnya perbuatan pidana tersebut merupakan tindak
pidana yang dilakukan korporasi, yang pada akhirnya korporasi
juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbautan pidana
yang dilakukan. Korporasi dianggap melakukan suatu tindak
pidana jika orang diidentifikasi dengan korporasi bertindak
dalam ruang lingkup jabatannya. Namun, jika orang tersebut
melakukan tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pribadi,
maka perbuatan tersebut bukan perbuatan korporasi.28
Berdasarkan kedua teori tersebut, dapat diketahui bahwa
ada kemungkinan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek
pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi sepanjang
ia memenuhi syarat yang dikehendaki oleh teori-teori tersebut.
Permasalahan selanjutnya adalah permasalahan
pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.
Pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh orang
perseorangan tetap mengambil dan mengikuti asas-asas yang
27 Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahat-
an, Cetakan Pertama, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lem-
baga Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta, h. 107-108 dalam Mahrus
Ali, 2016, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, h. 46
28 Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawa-
ban Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, h. 26 dalam Mahrus Ali,
Ibid., h. 47

29
terkandung dalam Hukum Pidana Indonesia. Artinya untuk
pertanggungjawaban pidana tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh orang tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan
pidana pada umumnya. Ini akan sedikit berbeda manakala
pertanggungjawaban pidana tindak pidana korupsi itu dikaitkan
dengan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa dalam
perkembangan hukum pidana di Indonesia, ada tiga sistem
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana,
yaitu:
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah
yang bertanggungjawab;
2) Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang
bertanggungjawab;
3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.29

Terkait pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana


korupsi, UU Korupsi telah menentukan dalam Pasal 20 ayat (1)
bahwa “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau
atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan pengurusnya”.
Ini artinya bahwa menurut UU Korupsi, korporasi dan pengurus
dapat dituntut pertanggungjawaban secara pidana bilamana
melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam hal tuntutan pidana suatu tindak pidana korupsi itu
ditujukan pada korporasi maka menurut Pasal 20 ayat (3) maka
korporasi diwakilkan oleh pengurusnya. Tentang siapa yang akan
mewakili korporasi pada sidang pengadilan diatur dalam Pasal 20
ayat (4) dan disebutkan bahwa pengurus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dapat diwakilkan oleh orang lain dan Hakim dapat
memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri
29 Mardjono Reksodiputro, 1989, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam
Tindak Pidana Korporasi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan
Korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November 1989 dalam Mahrus Ali,
Ibid.

30
ke pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 ayat (5) UU Korupsi.
Hal sebagaimana tersebut di atas menunjukkan bahwa
ketika suatu korporasi melakukan tindak pidana korupsi maka
pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus
korporasi. Konstruksi pengaturan dalam UU Korupsi ini
menyebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
korporasi cenderung tidak dijatuhi pidana dan yang dijatuhi
pidana adalah pengurusnya.

E. PIDANA DAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK


PIDANA KORUPSI

Pidana dan pemidanaan merupakan masalah pokok dalam


hukum pidana selain tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui
konsep pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi.
Permasalahan pidana umumnya berkaitan dengan jenis pidana,
lamanya pidana dan aturan pelaksanaan pidana. Sehubungan
dengan itu maka sub ini pun akan membahas tentang ketiga hal
tersebut dalam UU Korupsi.
Mengenai jenis pidana jika mengacu pada Pasal 10 KUHP
terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok
terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana denda, dan
pidana kurungan sedangkan pidana tambahan terdiri atas
pencabutan hak-hak tertentu, pengumuman putusan hakim dan
perampasan barang-barang tertentu. Selain pidana pokok dan
pidana tambahan, KUHP juga mengenal tindakan atau maatregel
yang umumnya dijatuhkan pada perbuatan-perbuatan pidana
yang dilakukan oleh anak dibawah umur dan mereka yang
kurang mampu dipertanggungjawabkan.
Terkait pidana dalam UU Korupsi dapat ditelusuri bahwa
jenis pidana yang dapat dijatuhkan antara lain :

31
1) Pidana pokok seperti pidana seumur hidup, pidana penjara
dan pidana denda; serta
2) Pidana tambahan seperti :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana, begitu pula
barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu
atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu.

Jika diseksamai, pidana-pidana dalam UU Korupsi


menunjukkan ciri khusus berupa ancaman pidana minimum
khusus yang tidak dikenal dalam KUHP. Sebagaimana diketahui
KUHP hanya mengenal ancaman pidana minimum umum
selama 1 hari dan pidana maksimum umum serta pidana
maksimum khusus. Adanya ancaman pidana minimum khusus
menunjukkan bahwa UU Korupsi melakukan penyimpangan
yang dibenarkan berdasarkan Pasal 103 KUHP terhadap
ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP. Satu hal yang dapat
dimaklumi dari adanya pengaturan ancaman minimum khusus
dalam UU Korupsi adalah untuk menghindari keleluasaan
penuntut umum dalam menetapkan tuntutannya serta
membatasi saat hendak menjatuhkan pidananya. Dengan kata
lain ancaman pidana minimum khusus dapat mencegah atau
mengurangi ketidakadilan dalam penetapan pidana walaupun
memungkinkan terjadinya disparitas pidana.

32
LATIHAN. PELAJARI DAN BUAT RINGKASAN.
1. Telusuri dan deskripsikan pasal-pasal yang
memuat ancaman pidana minimum khusus
dan maksimum khusus serta temukan pasal-
pasal yang tidak memuat ancaman pidana
minimum khusus.
2. Perhatikan dan analisa perumusan ancaman
pidana dalam UU Korupsi, apakah termasuk
perumusan ancaman pidana secara alternative
atau kumulatif ataukah gabungan.
3. Analisislah tentang pidana bagi percobaan,
pembantuan dan permufakatan jahat, apakah
pidana yang dijatuhkan sama dengan delik
yang sudah selesai.
4. Analisislah bilamana ada perbuatan-
perbuatan yang dianggap menghalangi
penanganan tindak pidana korupsi; dan
5. Pahami tentang konsep dan makna
pembayaran uang pengganti dalam tindak
pidana korupsi

33
BAB IV
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA FORMIL
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. PENGANTAR

S ebagaimana diketahui, UU Korupsi di Indonesia


merupakan undang-undang yang khusus. Artinya,
sebagai undang-undang yang khusus, UU Korupsi memiliki
sifat-sifat yang “khusus” yang dimiliki oleh undang-undang
khusus baik itu dalam hukum pidana materiilnya maupun
hukum pidana formilnya.
Beberapa kekhususan dalam hukum pidana formil yang
ditunjukkan oleh UU Korupsi antara lain:
1. Adanya institusi khusus yang menangani tindak pidana
korupsi yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK);
2. Adanya prioritas penanganan tindak pidana korupsi;
3. Pembalikan beban pembuktian;
4. Pengembalian asset hasil korupsi;
5. Peradilan in absentia;
6. Perluasan alat bukti;
7. Tidak berlakunya kerahasiaan bank dalam tindak pidana
korupsi;
8. Putusan bebas tidak serta merta menghapus hak menuntut
kerugian terhadap keuangan negara.

Meskipun dalam UU Korupsi terdapat kekhususan dalam


hukum formilnya perlu diketahui bahwa asas-asas hukum formil
yang berlaku dalam KUHAP tetap menjadi induk peraturan
bagi UU Korupsi, hanya saja asas-asas dalam KUHAP tersebut
disimpangi sehingga UU Korupsi menjadi lex specialis.

34
Seperti mengenai penanganan perkara korupsi secara
khusus ditangani oleh suatu komisi yang disebut dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat
(1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan
Pengadilan Tipikor. Komisi Pemberantasan Korupsi ini memiliki
tugas dan wewenag melakukan koordinasi dan supervisi,
termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Artinya, dalam proses penanganan tindak pidana
korupsi akan dikerjakan oleh institusi khusus ini. Untuk
ketentuan mekanisme dan kewenangannya dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana
korupsi diatur secara jelas dalam UU No. 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adanya ketentuan ini menunjukkan adanya penyimpangan
pada KUHAP sebagai asas umum dalam hukum acara dimana
KUHAP menentukan bahwa kewenangan penyelidikan dan
penyidikan suatu perkara pidana adalah pihak kepolisian.
Sedangkan kewenangan untuk melakukan penuntutan ada di
tangan kejaksaan. Demikian pula mengenai pemeriksaan perkara
korupsi yang dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
oleh hakim tindak pidana korupsi juga bertentangan dengan
pemeriksaan perkara yang diatur oleh KUHAP yang menentukan
untuk setiap perkara pidana diperiksa di Pengadilan Negeri.

B. SISTEM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA


KORUPSI

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui ada 3


(tiga) teori tentang sistem pembuktian dalam hukum pembuktian
yaitu :
1. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif;
2. Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim; dan
3. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negative.

35
Ketiga teori tersebut secara umum mendeskripsikan tentang
bagaimana membuktikan kebenaran dari sesuatu hal dan bukti-
bukti apa yang dapat dipergunakan. KUHAP sebagai hukum
acara pidana juga merupakan hukum yang memuat tentang
sistem pembuktian pada faktanya menganut teori sistem
pembuktian menurut undang-undang yang negative. Meskipun
seringkali dalam praktik peradilan, teori sistem pembuktian
yang dipergunakan adalah sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif.
Terkait pembuktian, KUHAP menentukan bahwa
pembuktian dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya
disingkat JPU), sebagaimana tertuang dalam Pasal 137 KUHAP.
Artinya, dalam proses pemeriksaan persidangan dan dalam
upaya memberikan keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah,
JPU-lah yang harus membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan
demikian, JPU harus mempersiapkan bukti-bukti yang dapat
dipergunakannya untuk memberikan keyakinan pada hakim
tentang kesalahan terdakwa.
Hal tersebut berbeda dengan pembuktian dalam tindak
pidana korupsi, dimana pembuktian dilakukan oleh terdakwa
dan terdakwa harus dapat membuktikan bahwa perbuatannya
tidak mengandung kesalahan, apabila terdakwa tidak dapat
membuktikan dirinya tidak bersalah maka ia akan tetap dipidana.
Model pembuktian oleh terdakwa ini lazim dikenal sebagai model
pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal
12B, Pasal 37, Pasal 37A, dan Pasal 38B.
Model pembalikan beban pembuktian ini berkembang di
negara-negara dengan latar belakang Common Law System atau
negara-negara penganut Case Law. Model pembalikan beban
pembuktian ini hanya diterapkan pada kasus-kasus tertentu
seperti gratifikasi yang berindikasi suap.
Secara umum, hukum pidana formal baik itu dalam sistem
Common Law ataupun sistem Civil Law memberikan kewajiban
dalam hal pembuktian kepada jaksa penuntut umum. Namun
dalam beberapa situasi tertentu dimungkinkan untuk menerapkan

36
model pembalikan beban pembuktian yang dikenal dengan istilah
reversal burden of proof khususnya dalam kasus-kasus tertentu dan
tidak dilakukan secara menyeluruh serta tetap didasarkan pada
batas-batas semininal mungkin untuk tidak merusak konsep
perlindungan dan penghargaan terhadap HAM. Dalam hal ini
terlihat bahwa sistem pembalikan beban pembuktian ini berada
diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana
secara universal sebagaimana diungkap oleh Indriyanto Seno
Adjie.30

DISKUSIKAN.
Telusuri bunyi Pasal 12b, Pasal 37, Pasal 37A dan
Pasal 38B kemudian pelajari benarkah pasal-pasal
tersebut menunjukkan UU Korupsi menganut
sistem beban pembuktian terbalik?

C. PERADILAN IN ABSENTIA

Secara umum, peradilan in absentia merupakan suatu


proses peradilan dalam perkara acara pidana yang tidak dihadiri
oleh terdakwa. Ketentuan mengenai peradilan in absentia tidak
ditemukan dalam KUHAP Indonesia namun dalam UU Korupsi
ada pengaturan tentang peradilan in absentia yakni dalam Pasal
38 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Korupsi yang masing-
masing berbunyi sebagai berikut :
1. Pasal 38 ayat (1): dalam hal terdakwa telah dipanggil secara
sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang
sah maka perkara dapat diperiksa dan dapat diputus tanpa
kehadirannya.
2. Pasal 38 ayat (2): dalam terdakwa hadir pada sidang
berikutnya sebelum putusan dijatuhkan maka terdakwa
wajib diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat-
30 Indriyanto Seno Adjie, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Cet.
Pertama, Prof. Oemar Seno Adjie dan Rekan, Jakarta, h. 132

37
surat yang dibacakan dalam sisdang sebelumnya dianggap
sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
3. Pasal 38 ayat (3): putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa diumumkan oeh penuntut umum pada papan
pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah atau
diberitahukan pada kuasanya.
4. Pasal 38 ayat (4): terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan
banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).

LATIHAN. DISKUSIKAN
Bandingkan Pasal 38 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU
Korupsi dengan Pasal 154 ayat (3), (4) dan (6)
KUHAP

D. PENGEMBALIAN ASSET HASIL KORUPSI

Pengembalian asset korupsi secara umum dikatakan sebagai


upaya negara untuk mengembalikan kerugian yang dialami
oleh negara karena terjadinya tindak pidana korupsi. Jadi
negara sebagai korban tindak pidana korupsi dapat melakukan
perampasan dan menghilangkan hak atas asset hasil tindak
pidana korupsi dari pelaku melalui proses dan mekanisme
perdata maupun pidana. Asset hasil korupsi sebagaimana
dimaksud dapat dilacak, dibekukan, disita dan diserahkan dan
dikembalikan kepada negara sebagai korban tindak pidana
korupsi. Dengan demikian, diharapkan pengembalian asset
korupsi ini dapat mengembalikan kerugian yang dialami oleh
negara sebagai negara korban tindak pidana korupsi.
Persoalan pengembalian asset hasil korupsi ini telah diatur
dalam UU Korupsi yang tertuang dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal
34 dan Pasal 38. Pasal-pasal sebagaimana dimaksud menjadi dasar
hukum bagi negara yang diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara

38
ataupun instansi terkait yang dirugikan. Gugatan yang dapat
dilakukan adalah gugatan perdata dan ditujukan kepada pelaku
tindak pidana korupsi maupun ahli warisnya. Selain itu juga perlu
diketahui bahwa upaya pengembalian asset korupsi ini dapat
dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme yaitu mekanisme perdata
dengan diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara dan mekanisme
pidana dengan melakukan penyitaan dan perampasan.
Dari kedua mekanisme pengembalian asset korupsi tersebut
diketahui bahwa mekanisme perdata sedikit jauh lebih mahal
dari mekanisme pidana yang dilakukan dengan cara melakukan
penyitaan atau perampasan terhadap asset korupsi. Selain itu dalam
mekanisme perdata banyak dijumpai kelemahan-kelemahan dari
negara korban seperti misalnya tidak dapat mengontrol gugatan
perdata, tidak adanya jaminan berhasilnya gugatan, tidak dapat
membekukan asset sehingga masih bisa disalurkan lagi (dicuci/
money laundering), tidak ada kekuatan memaksa seperti layaknya
dalam hukum pidana dalam mengakses semua data terkait asset
tersebut.
Kontekstual demikian jelas berbeda dengan mekanisme
pidana dalam pengembalian asset hasil korupsi yang dapat
ditempuh melalui tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan menyimpan asset hasil korupsi dibawah penguasaannya
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan yang umum disebut dengan penyitaan. Dalam hal ini
negara dapat melakukan paksaan terhadap pelaku terkait asset
hasil korupsi yang berada ditangannya.
Dari uraian tersebut ada beberapa hal penting yang harus
diingat berkaitan dengan pengembalian asset hasil korupsi
antara lain :
1. Pengembalian asset korupsi merupakan bentuk penegakan
hukum yang dapat dilakukan negara dalam upaya
mengembalikan kerugian yang dialami oleh negara;
2. Ada dua mekanisme pengembalian asset korupsi yang
dapat dilakukan yaitu melalui mekanisme perdata maupun
mekanisme pidana;

39
3. Pengembalian asset hasil korupsi ini ditujukan untuk
mengembalikan kerugian negara dan mencegah
digunakan atau dimanfaatkannya asset korupsi tersebut
untuk melakukan tindak pidana lainnya seperti money
laundering.

E. PERLUASAN ALAT BUKTI PETUNJUK

UU Korupsi menunjukkan kekhususan dalam hal alat bukti


dengan melakukan perluasan terhadap alat bukti petunjuk
sebagaimana diatur dalam Pasal 26A yang menyatakan:
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga
dapat diperoleh dari :
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optic atau yang serupa dengan itu, dan
b. Dokumen yakni setiap rekaman data/atau informasi yang
dapatdibuat, dilihat, dibaca, dan/didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang diatas kertas, benda fisik selain kertas, maupun
yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan foto, huruf, tanda, angka atau
perforesi yang memiliki makna.”

LATIHAN. DISKUSIKAN
Perhatikan Pasal 26A UU Korupsi dengan Pasal
88 ayat (2) KUHAP, apakah benar ada perluasan
dalam hal alat bukti petunjuk.

40
F. KERAHASIAAN BANK TIDAK BERLAKU BAGI
TINDAK PIDANA KORUPSI

Kekhususan lain yang diatur dalam UU Korupsi berkaitan


dengan persoalan kerahasiaan bank. Dalam UU Korupsi,
kerahasiaan bank sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 UU
No. 10 Tahun 1998 mengenai Perbankan tidak berlaku. UU
Korupsi melakukan penerobosan terhadap ketentuan Pasal
10 UU Perbankan terkait kepentingan penanganan tindak
pidana korupsi berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Korupsi yang
menyatakan “untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum
atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa”. Pasal 29 ayat (1)
ini menjadi dasar hukum tidak berlakunya kerahasiaan bank
dalam perkara tindak pidana korupsi. Selanjutnya penerobosan
terhadap ketentuan Pasal 40 UU Perbankan juga dipertegas
kembali dalam Pasal 29 ayat (2) UU Korupsi yang menentukan
tentang permintaan keterangan kepada Bank dapat diajukan
kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G. PUTUSAN BEBAS TIDAK MENGHAPUS HAK


MENUNTUT KERUGIAN TERHADAP KEUANGAN
NEGARA

Secara umum, putusan bebas dapat diartikan bahwa terdakwa


tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan. Jika menilik pengaturan Pasal
191 ayat (1) KUHAP diketahui bahwa putusan bebas terhadap
terdakwa dapat dijatuhkan dalam 2 (dua) hal yaitu:
a. Dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan;
b. Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

41
Pengaturan KUHAP ini disimpangi oleh UU Korupsi
khususnya dalam Pasal 32 ayat (2) yang menentukan bahwa
putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak
menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap
keuangan negara. Artinya setiap perkara tindak pidana korupsi
yang diberikan putusan bebas tetap akan dituntut atas kerugian
terhadap keuangan negara yang terjadi.

LATIHAN. DISKUSIKAN
Carilah kasus korupsi yang berkaitan dengan
putusan bebas yang tidak menghapuskan hak
untuk menuntut kerugian terhadap keuangan
negara.

42
BAB V
HUKUM ACARA TINDAK PIDANA KORUPSI

A. PENGANTAR

H ukum acara tindak pidana korupsi pada dasarnya


tetap didasarkan pada asas-asas dalam KUHAP
sebagai induk peraturan hukum acara di Indonesia. Mengingat
tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang
artinya memiliki aturan-aturan khusus baik itu dalam hukum
pidana materiil maupun dalam hukum pidana formil-nya maka
dapat diketahui bahwa hukum acara tindak pidana korupsi juga
memiliki kekhususan-kekhususan, termasuk dalam konteks
penyidikan, penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan
persidangan.
Selain memberlakukan KUHAP sebagai induk peraturan
hukum acara, UU Korupsi juga memiliki peraturan hukum
acara-nya sendiri dalam menyelesaikan perkara-perkara korupsi.
Sebagaimana diketahui, ada 4 (empat) lembaga atau institusi
yang berperan aktif dalam melakukan penegakan hukum tindak
pidana korupsi yaitu KPK, Polisi, Kejaksaan dan Hakim.
Polisi, Kejaksaan dan Hakim merupakan lembaga atau
institusi penegakan hukum yang terintegrasi dalam sistem
peradilan pidana Indonesia. Sedangkan KPK atau Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga atau institusi
yang dibentuk atas kehendak dari UU Korupsi dalam upayanya
melakukan pemberantasan korupsi secara independen. Seringkali
dijumpai adanya permasalahan antara lembaga-lembaga atau
institusi tersebut terkait penanganan dan pemberantasan korupsi,
bahkan memunculkan istilah “cicak” dan “buaya”.

43
Ada yang berargumen bahwa wewenang KPK yang begitu
besar dikhawatirkan dapat menimbulkan tumpang tindih
tugas dan wewenang dengan lembaga lain. Terkait hal ini ada
banyak argumentasi-argumentasi yang sifatnya pro dan kontra
terhadap KPK. Namun jika mendasarkan diri pada UU Komisi
Pemberanatasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), kekhawatiran
tentang tumpang tindih ini sebetulnya tidaklah perlu.
Pasal 11 UU KPTPK menegaskan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyidikan,
penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara,
dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara;
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan /
atau
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,
(satu milyar rupiah).

Selain itu perlu diperhatikan juga pengaturan dalam


Pasal 9 UU KPTPK yang mengatur tentang alasan-alasan
yang membenarkan KPK untuk mengambilalih penyidikan,
penyelidikan dan penuntutan, antara lain karena:
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-
larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang
sesungguhnya;
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi;
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislative;
atau

44
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian
atau kejaksaan, penanganan tindak pidana
korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 dan Pasal 9 tersebut


terlihat bahwa sesungguhnya tugas dan wewenang KPK itu
terbatas dalam menangani tindak pidana korupsi. Artinya
polemik terkait tumpang tindih KPK dan lembaga penegak
hukum lainnya sebetulnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
Berikut akan diuraikan mengenai mekanisme penyidikan,
penyelidikan dan pemeriksaan persidangan bagi tindak pidana
korupsi baik menurut KUHAP maupun menurut UU KPTPK.

B. PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN


DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Secara umum, disamping menggunakan mekanisme


penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tersendiri dengan
berdasar pada UU Korupsi, mekanisme penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi juga tetap didasarkan
pada mekanisme penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
dalam KUHAP sebagai induk peraturan hukum acara di
Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 26 UU Korupsi
dan dipertegas kembali dalam Pasal 39 ayat (1) UU KPTPK yang
menyatakan bahwa “Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Untuk pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan, Pasal 39 ayat (2) UU KPTPK menentukan bahwa
tindakan penyelidikan, penyidikan akan dilakukan oleh

45
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dan Pasal 39 ayat (3)
menyebutkan mereka yang diangkat dan ditugaskan sebagai
anggota KPK baik itu polisi ataupun jaksa akan diberhentikan
sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama masa
kerja sebagai KPK.
Berikut dirinci beberapa pengaturan terkait penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana
korupsi yang diatur dalam UU KPTPK:
a. Penyelidikan
Berkaitan dengan penyelidikan tindak pidana korupsi,
UU KPTPK dalam Pasal 44 ayat (1) menentukan jika
penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan
bukti permulaan yang cukup untuk adanya dugaan tindak
pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal ditemukannya bukti permulaan
yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada KPK.
Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada oleh Pasal
44 ayat (2) UU KPTPK apabila telah ditemukan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas
ada informasi atau data yang diucapkan, dikirm, diterima
atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau
optic.
Bilamana kemudian penyelidik dalam melakukan
penyelidikannya tidak menemukan bukti permulaan yang
cukup maka penyelidik dapat melaporkan kepada KPK
sehingga KPK dapat mengeluarkan surat penghentian
penyelidikan, ini sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat
(3) UU KPTPK. Jadi menurut pasal ini pula KPK hanya
diperbolehkan untuk mengeluarkan surat penghentian
penyelidikan dan bukan surat penghentian penyidikan dan
penuntutan (SP3).
b. Penyidikan
a). Dalam hal penyidikan UU KPTPK Pasal 38 ayat (2)
menentukan bahwa dalam hal penyidikan tindak pidana
korupsi, ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak
berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi.

46
b). KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan
atau SP3, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU KPTPK.
Hal ini juga menegaskan bahwa dalam penanganan
kasus tindak pidana korupsi oleh penyidik KPK tidak
dikenal istilah SP3, jadi berbeda dengan KUHAP yang
memungkinkan penyidik ataupun penuntut umum
untuk mengeluarkan SP3.
c). Terkait tidak wenangnya KPK mengeluarkan SP3 dan
agar kasus korupsi tersebut tetap tertangani maka KPK
melakukan penyidikan sendiri lebih lanjut ataupun
KPK dapat melimpahkan kasus tersebut kepada
penyidik kepolisian atau kejaksaan sebagaimana
disebut dalam Pasal 44 ayat (4) UU KPTPK dan menurut
Pasal 44 ayat (5) jika penyidikan tersebut dilimpahkan
kepada kepolisian atau kejaksaan maka kedua instansi
ini diwajibkan untuk melakukan koordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.
d). Menurut Pasal 46 ayat (1) Dalam hal seseorang
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK maka terhitung
sejak tanggal penetapannya tersebut, segala prosedur
pemeriksaan tersangka yang ada dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lain dinyatakan
tidak berlaku dan pemeriksaan terhadap tersangka
ini dilakukan dengan tidak mengurangi hak-haknya
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 46 ayat (2).
e). Pasal 47 ayat (1) menyebutkan bahwa penyidik
KPK dapat melakukan penyitaan terhadap bukti
permulaan yang dianggapnya kuat tanpa adanya izin
dari Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas
penyidikannya tersebut dan penyidik KPK ketika
melakukan penyitaan wajib membuat berita acara
penyitaan pada hari penyitaan sebagaimana ditentukan
lebih lanjut dalam Pasal 47 ayat (2) dan melengkapi
berita acara penyitaan tersebut dengan hal-hal yang

47
ditentukan dalam Pasal 47 ayat (3), selanjutnya dalam
Pasal 47 ayat (4) penyidik KPK diwajibkan untuk
memberikan salinan berita acara penyitaan kepada
tersangka dan keluarganya.
f. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka berdasarkan
Pasal 48 UU KPTPK diwajibkan untuk memberikan
keterangan kepada penyidik mengenai seluruh harta
benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diketahui atau diduga
memiliki hubungan dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan tersangka.
g. Apabila kemudian penyidikan telah dianggap cukup
maka Pasal 49 menentukan bahwa penyidik KPK
harus membuat berita acara dan disampaikan kepada
pimpinan KPK untuk segera ditindak lanjuti.
h. Dalam suatu hal tindak pidana korupsi terjadi dan
KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan proses
penyidikan tersebut kemudian dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan maka menurut Pasal 50 ayat (1) kedua
instansi tersebut wajib untuk memberitahukan kepada
KPK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
dimulai sejak dilakukan penyidikan. Penyidikan yang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan menurut
Pasal 50 ayat (2) wajib dilakukan koordinasi secara terus
menerus dengan KPK.
i. Bilamana KPK telah memulai melakukan penyidikan
menurut Pasal 50 ayat (3), pihak kepolisian dan
kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
Dan bilamana penyidikan dilakukan secara bersamaan
oleh KPK maupun oleh kepolisian menurut Pasal 50
ayat (4) maka yang harus menghentikan penyidikan
adalah kepolisian dan kejaksaan
Demikian beberapa hal penting yang berkaitan dengan
pengaturan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi
yang diatur dalam UU KPTPK.

48
c. Penuntutan
Mengenai penuntutan dalam kasus tindak pidana korupsi,
UU KPTPK mengaturnya dalam Pasal 51 dan Pasal 52.
a). Pasal 51 ayat (2) menyebutkan bahwa penuntut umum
melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana
korupsi.
b). Pasal 52 ayat (1) menentukan bahwa penuntuk umum
setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas
perkara tersebut ke Pengadilan Negeri dan dalam Pasal
52 ayat (2) disebutkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri
wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari PK
untuk diperiksa dan diputus.

C. PEMERIKSAAN PERSIDANGAN

Mengenai pemeriksaan persidangan tindak pidana korupsi


ada satu kekhususan mengenai pengadilan yang berwenang
untuk memeriksa perkara tindak pidana korupsi yaitu pengadilan
tindak pidana korupsi.
Pengadilan tindak pidana korupsi merupakan pengadilan
yang dibentuk secara khusus untuk memeriksa perkara tindak
pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Pengadilan ini
merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan
peradilan umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU
No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan mengenai tempat kedudukan pengadilan ini Pasal
3 UU No. 46 Tahun 2009 menentukan bahwa pengadilan ini
bertempat di setiap ibukota kabupaten yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum pengadilan negeri bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009 engadilan ini
merupakan satu-satunya pengadilan yang diberikan wewenang
untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi dengan
kualifikasi tindak pidana seperti yang disebut dalam Pasal 6 UU
No. 46 Tahun 2009 yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana

49
pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi, dan
tindak pidana lainnya yang secara tegas dinyatakan undang-
undang lain sebagai tindak pidana korupsi.
Mengenai pemeriksaan persidangan tindak pidana korupsi
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 UU No. 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan
pada hukum acara yang berlaku, terkecuali ditentukan lain
oleh UU No. 46 Tahun 2009. Ini artinya mekanisme beracara
yang dipergunakan dalam persidangan tindak pidana korupsi
adalah KUHAP terkecuali UU No. 46 Tahun 2009 menentukan
lain. Sehubungan dengan ini ada beberapa ketentuan-ketentuan
mengenai alat bukti yang diatur dalam UU No. 46 Tahun 2009
yaitu mengenai alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan
yang ditegaskan harus diperoleh secara sah menurut undang-
undang dan penentuan sah atau tidaknya alat bukti yang dibawa
penuntut umum maupun terdakwa, akan ditentukan oleh hakim
pengadilan tipikor.
Jadi mengenai mekanisme beracara dalam pemeriksaan
persidangan tindak pidana korupsi pada dasarnya tetap
mengacu pada KUHAP sebagai induk peraturan hukum acara
di Indonesia.

LATIHAN. PELAJARI DAN DISKUSIKAN


UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, mengenal ada istilah hakim
karier dan hakim ad hoc. Apa yang dimaksud
dengan hakim karier dan hakim ad hoc? Apakah
ada perbedaannya dengan hakim umum?

50
BAB VI
KEWENANGAN LEMBAGA-LEMBAGA PEN-
EGAK HUKUM DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

A. PENGANTAR

M enilik pada peraturan perundang-undangan yang


berlaku, diketahui ada 3 (tiga) lembaga penegak
hukum yang dilibatkan dalam melakukan penanganan tindak
pidana korupsi yaitu kepolisian, kejaksaan dan KPK. Ketiga
lembaga penegak hukum ini masing-masing telah memiliki
dasar hukumnya masing-masing dalam melakukan penanganan
tindak pidana korupsi, Kepolisian dengan UU No. 2 Tahun 2002,
Kejaksaaan dengan UU No. 16 Tahun 2004 dan KPK dengan UU
No. 30 Tahun 2002.
Penanganan tindak pidana korupsi seringkali diberitakan
mengalami benturan-benturan atau istilahnya “tumpang tindih”
dalam hal kewenangan antar lembaga penegak hukum. Kondisi
tentunya menimbulkan tanda tanya pada masyarakat mengenai
konsep penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku
di Indonesia termasuk hal musabab terjadinya tumpang tindih
dalam hal kewenangan melakukan penanganan tindak pidana
korupsi.
Ada yang menengarai terjadinya tumpang tindih
kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi ini
disebabkan oleh besarnya kewenangan yang diberikan negara
kepada KPK dan pemberian kewenangan yang besar ini dinilai
sangat mengkhawatirkan dapat menimbulkan perebutan
kewenangan dalam memeriksa perkara korupsi. Argumentasi-
argumentasi yang berupaya menguatkan pandangan ini pun
seringkali diluncurkan dan menimbulkan kebingungan dalam

51
masyarakat sehingga ada pro terhadap KPK dan ada yang kontra
terhadap KPK.
Sehubungan dengan itu berikut akan diuraikan sekilas
mengenai kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum
yang diberikan wewenang untuk memeriksa dan menangani
tindak pidana korupsi.

B. KEPOLISIAN

Pada dasarnya, tugas dan fungsi kepolisian selain diatur


dalam KUHAP juga diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam rangka pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi, Presiden memberikan
instruksi khusus kepada kepolisian melalui Instruksi Presiden
No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
dengan menginstruksikan kepada Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk :
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap
tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan
menyelamatkan uang negara;
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka
penegakan hukum;
c. Meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik
Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan
Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan
hukum dan pengembaliann kerugian negara akibat tindak
pidana korupsi.

Secara spesifik, tugas dan fungsi kepolisian dalam


pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
dalam hal penyelidikan dan penyidikan sebagaimana telah diatur
dalam KUHAP yang ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 8
dan 9 serta Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No.2 Tahun 2002 tentang

52
Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut
UU POLRI) yang menyebutkan bahwa kepolisian berwenang
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi maka
kewenangan polisi untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terbatas. Jadi hanya dapat dilakukan apabila tidak
melanggar ketentuan dalam Pasal 11 UU KPTPK. Secara tegasnya
kewenangan kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi apabila:
1. Tidak melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
2. Perkara korupsi tidak mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat; dan /atau
3. Tidak menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Dalam praktik penanganan tindak pidana korupsi umumnya


hanya poin c yang diikuti sedangkan poin a dan b sangat jarang
bahkan tidak pernah diperhatikan. Jadi kepolisian dikatakan
hanya berwenang menangani perkara korupsi yang besaran
kerugian yang dialami negara adalah dibawah 1 milyar rupiah.
Disamping itu jika diperhatikan nilai 1 milyar tersebut hanya
terkait Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi dan nilai 1 milyar ini tidak
berlaku bagi KPK jika perkara yang ditangani tidak termasuk
dalam unsur delik Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi.
Dengan demikian jelas bahwa batas kewenangan kepolisian
dalam menangani perkara tindak pidana korupsi dikonstruksikan
untuk kerugian-kerugian negara yang berada di bawah 1 milyar.

53
C. KEJAKSAAN

Kejaksaan adalah salah satu institusi penegakan hukum


dalam sistem peradilan pidana yang memegang peranan dalam
hal penuntutan dan pembuatan dakwaan serta surat tuntutan.
Terkait dengan perannya yang demikian dalam beberapa literature
disebutkan jaksa adalah tokoh utama dalam penyelenggaraan
peradilan pidana. Menilik KUHAP sebagai induk peraturan
hukum acara yang mengelola penyelenggaraan peradilan pidana,
Jaksa diberikan kewenangan sebagai penuntut umum yakni yang
melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang didakwa telah
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya.
Berdasarkan Pasal 14 KUHAP, jaksa selaku penuntut umum,
dalam melakukan penuntutan diberikan wewenang antara lain:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110
ayat (3) dan ayat (4) KUHAP;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah
status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan har dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi
untuk datapang sidang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup semua perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggungjawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan
undang-undang (KUHAP)

54
Sedangkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Pasal 30 menyebutkan mengenai tugas dan
wewenang kejaksaan di bidang pidana yaitu :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan
keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.

Terkait kewenangannya dalam pemberantasan tindak


pidana korupsi, Presiden menginstruksikan kepada Kepala
Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal ini Jaksa Agung dengan
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, untuk :
1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap
tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan
menyelamatkan uang negara;
2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap
penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh jaksa/penuntut
umum dalam rangka penegakan hukum;
3. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Republik
Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan
Institusi Negara terkait dengan upaya penegakan hukum
dan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi.

55
Dengan demikian kewenangan kejaksaan dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi pada dasarnya sama
dengan kewenangan jaksa dalam pemberantasan tindak pidana
lainnya yaitu melakukan penuntutan. Kewenangan melakukan
penuntutan ini pun terbatas hanya pada perkara-perkara tindak
pidana korupsi yang:
1. Tidak melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
2. Tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dan
3. Tidak menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).

Jadi syarat untuk kewenangan kejaksaan dalam menuntut


tindak pidana korupsi pun hampir sama dengan syarat untuk
kewenangan kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan
penyidikan perkara tindak pidana korupsi dan nilai satu
milyar menjadi ukuran yang paling sering dipergunakan dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.

D. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi atau sering disingkat


dengan KPK merupakan lembaga atau institusi yang dibentuk
lantaran kurang efektifnya lembaga penegak hukum lain dalam
melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Banyaknya hambatan yang timbul dalam penanganan
tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan cara-cara lama,
belum lagi adanya kemungkinan keterlibatan aparat penegak
hukum dalam penanganan perkara korupsi seakan menambah
daftar panjang alasan pembentukan lembaga ini.
Disamping itu disadari bahwa penanganan tindak pidana
korupsi memerlukan cara-cara dan teknik-teknik yang khusus
sehingga diperlukan adanya suatu lembaga yang secara khusus

56
diperuntukkan untuk menangani tindak pidana korupsi dengan
spesialisasi terkait kewenangan yang luas, independen dari
kekuasaan dan mampu mengoptimalisasi pemberantasan korupsi
secara efektif, intensif, professional dan berkesinambungan. Oleh
karena itu pemerintah pun merasa perlu untuk membuat suatu
lembaga independen yang khusus menangani korupsi dengan
nomenklatur Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Berbicara mengenai tugas dan wewenang KPK berdasarkan
ketentuan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPTPK, ada 5
(lima) tugas utama KPK yang haus dilaksanakan yaitu :
1. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
5. Melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.

Untuk menunjang tugas KPK tersebut, UU KPTPK


memberikan kewenangan-kewenangan terhadap KPK yang
secara tegas diuraikan dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13
dan Pasal 14 UU KPTPK.
Pasal 7 UU KPTPK misalnya memberikan kewenangan
hukum kepada KPK untuk melakukan koordinasi dengan
institusi lain berupa:
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi terkait;

57
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan
tindak pidana korupsi.

Masih banyak lagi kewenangan-kewenangan yang diberikan


kepada KPK oleh UU KPTPK dalam melakukan pencegahan dan
pemberantasan serta penanganan tindak pidana korupsi. Hal
inilah yang dikhawatirkan akan melahirkan tumpang tindih
dalam hal tugas dan kewenangan antara KPK dengan lembaga
penegak hukum lainnya.
Kekhawatiran ini sesungguhnya tidak perlu menjadi
polemic berkepanjangan apabila masing-masing aparat penegak
hukum menyadari batas-batas kewenangannya masing-masing.
Dalam penanganan tindak pidana korupsi, KPK sama dengan
kepolisian dan kejaksaan yang memiliki batas-batas kewenangan
yang telah diatur dalam undang-undang. Batas kewenangan
KPK dalam menangani tindak pidana korupsi telah diatur dalam
Pasal 11 UU KPTPK sebagaimana telah diuraikan pada bab
sebelumnya. Bilamana KPK melakukan pengambilalihan perkara
tindak pidana korupsi, hal tersebut dibenarkan oleh UU KPTPK
Pasal 9 sebagaimana telah disebut dalam bab sebelumnya yang
menyebutkan tentang alasan-alasan pengambilalihan perkara
tindak pidana korupsi oleh KPK.
Dengan demikian perlu disadari bersama bahwa
sesungguhnya kewenangan KPK dalam penanganan tindak
pidana korupsi sifatnya juga sangat terbatas sehingga sebetulnya
tidak akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Hal
ini sebetulnya telah ditegaskan dalam Pasal 6 UU KPTPK juga
menyatakan bahwa pengaturan kewenangan KPK dalam UU
KPTPK dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi tumpang
tindih kewenangan dengan berbagai instansi terkait lainnya.

58
LATIHAN. DISKUSIKAN

Munculnya istilah “cicak” dan “buaya” dalam


penanganan tindak pidana korupsi menunjukkan
adanya permasalahan dalam hal kewenangan
dalam penanganan tindak pidana korupsi. Benar
atau tidak? Diskusikan.

59
BAB VII
MEMAHAMI MAKNA KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI

A. PENGANTAR

P ersoalan kerugian keuangan negara dalam tindak


pidana korupsi seringkali menjadi suatu perdebatan
dalam persidangan tindak pidana korupsi. Tidak hanya dalam
persidangan tindak pidana korupsi, bahkan di kalangan
akademisi sendiri tidak terdapat keseragaman pemahaman
tentang kerugian keuangan negara. Terutamanya mengenai
apakah kerugian keuangan negara tersebut perlu dibuktikan
secara nyata ataukah cukup ditunjukkan dengan adanya potensi
kerugian keuangan negara.
Persoalan kerugian keuangan negara memang erat kaitannya
dengan pengaturan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi.
Kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi bahkan
telah disepakati oleh para ahli hukum pidana mutlak harus
dibuktikan. Hal ini juga diperkuat dengan dikeluarkannya
keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 003/
PUU-IV/2-2006. Namun demikian persoalan kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi masih saja tetap menjadi
perdebatan.
Hal tersebut dikarenakan oleh frase kata “dapat” yang
terdapat dalam pengaturan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Korupsi yang mutlak harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum
sebagai unsur delik. Kata “dapat” dalam kedua pasal tersebut
dirasakan kurang memberikan kepastian dan rumusannya
menjadi sangat luas. Pada mulanya frasa kata “dapat” diletakkan
diawal kata “merugikan keuangan negara dan perekonomian

60
negara” ditujukan untuk memberi penekanan bahwa tindak
pidana korupsi termasuk dalam klasifikasi delik formil yang
tidak mensyaratkan pada akibat yang ditimbulkan dan cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan.
Namun pada kenyataannya kata “dapat” justru menimbulkan
permasalahan dikarenakan ketidakpastian yang ditimbulkan dan
kemungkinan terjadi analogi meluas yang tidak diperkenankan
oleh asas legalitas. Hal-hal inilah yang menyebabkan hingga
saat ini masih terdapat ketidakseragaman pandangan dalam
penegakan hukum pidana yang berimbas pada perlu tidaknya
kerugian keuangan negara itu dibuktikan atau cukup ditunjukkan
adanya potensi kerugian.

B. MAKNA DAN PENGERTIAN KERUGIAN KEUANGAN


NEGARA

Kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur


penting dalam tindak pidana korupsi. Dalam menentukan adanya
kerugian keuangan negara, sangatlah penting untuk memahami
terlebih dahulu definisi dari keuangan negara.
Secara umum keuangan negara dapat dipahami sebagai
segala bentuk kekayaan yang dimiliki oleh negara yang
dipergunakan untuk pengelolaan dan penyelenggaraan negara.
Keuangan negara memegang peranan yang penting bagi
kemaslahatan negara dan juga rakyat di negara tersebut. Dengan
kata lain, keuangan negara adalah roda penggerak kehidupan
bernegara.
Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara mendefinisikan keuangan negara sebagai semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 2 UU No. 17 tahun
2003 disebutkan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 meliputi :

61
a) Hak negara untuk memungut pajak. Mengeluarkan dan
mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;
b) Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan
umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak
ketiga;
c) Penerimaan negara;
d) Pengeluaran negara; penerimaan daerah;
e) Pengeluaran daerah;
f) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri
atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang
barang serta hak-hak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/
atau kepentingan umum.

Pengertian keuangan negara yang dirumuskan dalam Pasal


1 angka 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 menunjukkan
adanya pemahaman yang luas mengenai pengertian keuangan
negara. Keuangan negara tidak hanya dalam bentuk hak namun
juga kewajiban, tidak hanya keuangan negara yang tidak
dipisahkan tetapi juga keuangan negara yang disahkan dalam
bentuk penyertaan modal. Dengan demikian uang negara yang
berada di perusahaan-perusahaan milik negara sekalipun telah
dipisahkan dan dimasukkan sebagai bagian dari modal usaha
tetap dianggap sebagai bagian dari keuangan negara.
Hal senada juga dikemukakan oleh UU Korupsi yang
memasukkan keuangan negara yang dipisahkan dalam bentuk
penyertaan modal usaha sebagai bagian penting dari pengertian
keuangan negara, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan
umum UU Korupsi yang menyebutkan bahwa keuangan negara
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang
dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena:
a) Berada dalam penguasaan,pengurusan dan
pertanggungjawaban pejabat negara, baik ditingkat pusat
maupun daerah;

62
b) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan
yang mneyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan negara.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengertian


keuangan negara adalah segala kekayaan negara yang tidak
hanya berupa uang tetapi juga segala bentuk hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dan diukur dengan nilai uang, termasuk
didalamnya adalah keuangan negara yang dihasilkan oleh dari
APBN, APBD, BUMN, BUMD dan lain-lain.
Pentingnya makna keuangan negara bagi pengelolaan
dan penyelenggaraan negara tersebut menyebabkan keuangan
negara menjadi objek vital yang sangat strategis. Segala bentuk
macam kerugian yang dialami oleh keuangan negara dapat
mempengaruhi tata kelola kehidupan bernegara, termasuk
ketika kerugian keuangan negara itu ditimbulkan oleh adanya
perbuatan korupsi yang dipandang akan memberikan implikasi
meluas kepada seluruh aspek bidang kehidupan masyarakat di
negara tersebut dan juga negara pada umumnya. Oleh karena
itu dalam UU PTPK khususnya dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal
3, kerugian keuangan negara menjadi unsur utama yang harus
dipenuhi dalam tindak pidana korupsi.
Sayangnya, UU PTPK tidak memberikan perumusan yang
jelas dan tegas mengenai apa yang dimaksud dengan kerugian
keuangan negara. Pasal 32 UU PTPK hanya menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah
kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk. Mengenai instansi yang berwenang yang dimaksud pun
tidak terdapat kejelasan lebih lanjut dan jika menelusuri beberapa
perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia maka ada
beberapa instansi yang berwenang dalam penyelenggaraan dan

63
pengelolaan keuangan negara yaitu BPK, BPKP dan Inspektorat
baik itu ditingkat pusat maupun di daerah.
Dengan demikian, kerugian keuangan negara dalam
perspektif UU PTPK disebabkan karena adanya perbuatan
melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan wewenang
yang dilakukan seseorang berkaitan dengan sarana dan prasarana
serta jabatannya pada suatu waktu dalam upayanya memperkaya
diri sendiri, orang ataupun korporasi.

LATIHAN. DISKUSIKAN DAN ANALISIS


Sumber-sumber kerugian keuangan negara yang
dapat dialami oleh negara secara umum dan
sumber-sumber kerugian keuangan negara yang
dimaksud oleh UU PTPK

64
BAB VIII
MEKANISME PENGADAAN BARANG
DAN JASA PEMERINTAH

D i dalam bagian konsideran Perpres No. 54 Tahun 2010


dijelaskan bahwa tata pemerintahan yang baik dan bersih
(Good Governance and Clean Government) adalah seluruh aspek
yang terkait dengan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan
yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melalui
institusi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip Good
Governanceand Clean Government, Pemerintah harus melaksanakan
prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara
efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan
yang baik dan tidak berpihak (independen), serta menjamin
terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait
(stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.
Sebagaimana pula digariskan dalam prinsip-prinsip Pengadaan
Barang/Jasa pemerintah sebagaimana ditentukan, yakni:
1. Efisien :
2. Efektif ;
3. Transparan ;
4. Terbuka ;
5. Bersaing ;
6. Adil/tidak diskriminatif ; dan
7. Akuntabel.

Peningkatan kualitas pelayanan publik melalui


penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, perlu
didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel. Untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui

65
proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diperlukan upaya
untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta
prinsip persaingan/kompetisi yang sehat dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang sumber pendanaannya berasal dari
APBN/APBD, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau
dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari
segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas
Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
dimaksud, mutlak diperlukan seperangkat instrumen untuk
dijadikan pedoman pengaturan mengenai tata cara Pengadaan
Barang dan Jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai
dengan tata kelola yang baik.
Dengan pengaturan mengenai tata cara Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah diharapkan akan dapat meningkatkan iklim
investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara, dan percepatan
pelaksanaan APBN/ APBD, di samping pula untuk meningkatkan
keberpihakan terhadap industri nasional dan usaha usaha kecil,
serta menumbuhkan industri kreatif, inovasi, dan kemandirian
bangsa dengan mengutamakan penggunaan industri strategis
dalam negeri.
Selanjutnya, ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah diarahkan pula untuk meningkatkan ownership
Pemerintah Daerah terhadap proyek/ kegiatan yang
pelaksanaannya dilakukan melalui skema pembiayaan bersama
(cofinancing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa Pengadaan Barang/Jasa adalah
kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/
Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya (K/
L/D/I) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan
sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa.
Instrumen pengatur mekanisme tentang pengadaan barang
dan jasa pemerintah, di Indonesia, telah mengalami beberapa
kali perubahan. Perubahan dimaksud, bertujuan untuk lebih
menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada dalam

66
instrumen pengatur sebelumnya. Instrumen pengatur mekanisme
tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah telah mengalami
perubahan seperti berikut:
1. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 Tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
3. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
4. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 Tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
5. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah

Secara prosedural, mekanisme pengadaan barang dan jasa


pemerintah pada saat diberlakukannya Perpres No. 54 Tahun
2010, dimulai dari tahapan perencanaan umum pengadaan,
persiapan pelaksanaan pengadaan sehingga dihasilkan dokumen
rencana umum pengadaan dan dokumen pengadaan barang/
jasa. Mekanisme dimaksud, misalnya di dalam Perpres 54 tahun
2010 Bab III, Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa Pengguna
Anggaran (PA) memiliki tugas dan kewenangan menetapkan
Rencana Umum Pengadaan dan mengumumkan secara luas
Rencana Umum Pengadaan paling kurang di website K/L/D/I,
Pasal 11 ayat (1) bahwa PPK menetapkan rencana pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa, serta Pasal 17 ayat (2) bahwa ULP/
Pejabat Pengadaan menyusun rencana pemilihan Penyedia
Barang/Jasa dan menetapkan Dokumen Pengadaan. Merujuk
dari penjelasan pada bab dan pasal tersebut diatas, maka para
Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Unit Layanan Pengadaan
(ULP)/Pejabat Pengadaan di lingkungan Kementerian/Lembaga/
Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya (K/L/D/I),
dapat menggunakan Pedoman Umum Perencanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah ini sebagai acuan di dalam menyusun

67
rencana pengadaan barang/jasa. Perpres Nomor 70 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, pada prinsipnya
menentukan mekanismenya mensyaratkan pengumuman
RUP setelah adanya persetujuan dari DPR atau DPRD, sesuai
dengan sumber pendanaan, penyediaan dana pendukung
serta pemberhentian pejabat pelaksana pengadaan yang tidak
terikat tahun anggaran. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 25 ayat (1) yang menentukan: “ PA pada K/L/
I mengumumkan RUP setelah Rencana Kerja Dan Anggaran
disetujui oleh DPR untuk pengadaan yang bersumber dari
APBN. Sedangkan untuk pengadaan yang bersumber dari APBD
diumumkan setelah Rencana Keuangan Tahunan Pemerintah
Daerah dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah
dan DPRD”. Masa berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010, LKPP
(Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) pernah
mengeluarkan pedoman perencanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah di lingkungan kementrian/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah/instusi lainnya, yang dalam garis besarnya
membatasi ruang lingkup pedoman umum perencanaan
pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai berikut :
1. Identifikasi kebutuhan barang/jasa;
2. Penyusunan dan penetapan rencana penganggaran;
3. Penetapan kebijakan umum tentang pemaketan pekerjaan;
4. Penetapan kebijakan umum tentang cara pengadaan, yang
meliputi:
a. Pengadaan dengan cara Swakelola; dan
b. Pengadaan dengan menggunakan Penyedia Barang/Jasa.
5. Penetapan kebijakan umum tentang pengorganisasian
pengadaan;
6. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK);
7. Penyusunan jadwal kegiatan pengadaan;
8. Pengumuman Rencana Umum Pengadaan;

68
Sedangkan untuk Persiapan Pelaksanaan Pengadaan Barang/
Jasa, yang meliputi:
1. Persiapan Pelaksanaan Pengadaan Swakelola
a. Pelaksanaan Swakelola oleh K/L/D/I Penanggungjawab
Anggaran;
b. Pelaksanaan Swakelola oleh Instansi Pemerintah Lain
Pelaksana Swakelola;
c. Pelaksanaan Swakelola oleh Kelompok Masyarakat
Pelaksana Swakelola;
2. Persiapan Pelaksanaan Pengadaan Melalui Penyedia Barang/
Jasa
a. Perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b. Pemilihan sistem Pengadaan Barang/Jasa;
1) Penetapan metode pemilihan Penyedia Barang/
Jasa
2) Penetapan metode penyampaian dokumen
penawaran
3) Penetapan metode evaluasi penawaran
4) Penetapan jenis kontrak
c. Penetapan metode penilaian kualifikasi Penyedia
Barang/Jasa.
d. Penyusunan jadwal pemilihan Penyedia Barang/Jasa
e. Penyusunan dokumen Pengadaan Barang/Jasa.
f. Penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

Di dalam Peraturan Kepala LKPP sebagai Petunjuk Teknis


Perpres No. 12 Tahun 2012 mekanisme tersebut masih tetap
dimulai dari identifikasi kebutuhan barang dan jasa, dengan
mekanisme kerja sebagai berikut :
1. Pengguna Anggaran (PA) menyusun dokumen rencana
pengadaan barang/jasa, yang mencakup:
a. Kegiatan dan anggaran Pengadaan Barang/Jasa yang
akan dibiayai oleh K/L/D/I sendiri; dan/atau
b. Kegiatan dan anggaran Pengadaan Barang/Jasa yang
akan dibiayai berdasarkan kerjasama antar K/L/D/I

69
secara pembiayaan bersama (co-financing), sepanjang
diperlukan.
2. Rencana pengadaan tersebut akan menjadi bagian Rencana
Kerja Anggaran (RKA) dari K/L/D/I.
3. Kegiatan penyusunan rencana pengadaan meliputi:
a. Identifikasi dan analisis kebutuhan;
b. Penyusunan dan penetapan rencana penganggaran;
c. Penetapan kebijakan umum; dan
d. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK).

70
BAB IX
PRAKTIK KLINIK ANTI KORUPSI
BERPIKIR, BERPASANGAN DAN BERBAGI
(THINK, PAIR, SHARE)

A. TUJUAN METODE BERPIKIR, BERPASANGAN DAN


BERBAGI

M etode ini berguna untuk mengajarkan bagaimana


bekerjasama dalam kelompok kecil. Metode ini
memungkinkan mahasiswa untuk “berpikir” terlebih dahulu
sebelum menyampaikan argumentasi hukumnya. Metode ini
dapat membantu mengembangkan keterampilan persuasive dan
keterampilan berdebat. Terutamanya metode ini meningkatkan
penggunaan berpikir kritis.

B. PROSEDUR

1. Dosen akan melempar sebuah pertanyaan diskusi atau situasi


hipotesis kepada mahasiswa. Setelah mengklarifikasikan
pertanyaan atau fakta dalam situasi yang diberikan, para
mahasiswa akan diberi waktu untuk berpikir sendiri-sendiri
dan membangun argumentasinya sendiri.
2. Mahasiswa kemudian akan dipasangkan dengan mahasiswa
lainnya dan mereka akan diminta untuk mendiskusikan
ide-ide atau gagasan-gagasan mereka. Mahasiswa harus
mencoba untuk mencapai kesepakatan tentang apa yang
akan menjadi argumentasi mereka.
3. Setiap pasangan akan saling membagikan jawaban mereka
berikut pertimbangannya kepada dosen dan kelas.
4. Kelas dapat memberikan sanggahan ataupun rekomendasi.
5. Diakhir kegiatan dosen akan membuat kesimpulan yang
berupa rangkuman dari seluruh kegiatan diskusi.

71
C. KASUS/SKENARIO SITUASI

1. Kasus mantan Menteri Agama Surya Dharma Ali dalam


kasus Haji yang diduga telah merugikan negara sebesar
Rp. 27.283.090.068 dan didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) jo.
Pasal 18 atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Pertanyaan:
a. Apa arti kata “atau” dalam dakwaan tersebut di atas?
b. Apakah kerugian negara dalam kasus tersebut
dibuktikan berdasarkan kerugian yang nyata (actuall
loss) ataukah cukup dengan adanya potensi kerugian
(potential loss)?
2. Pegawai negeri yang menyalahgunakan uang atau setidak-
tidaknya membiarkan terjadinya penyalahgunaan uang,
serta melakukan pemalsuan bukti pemeriksaan administrasi
disebut melakukan penyalahgunaan jabatan.
Pertanyaan:
a. Siapa saja yang dimaksud dengan pegawai negeri?
b. Apakah penyalahgunaan jabatan ini termasuk dalam
kategori tindak pidana korupsi?
3. Seorang Bupati dan istrinya dicurigai karena memiliki
jumlah asset yang tidak wajar selaku penyelenggara negara.
Berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan KPK yang
bekerjasama dengan PPATK, dijumpai fakta bahwa asset-
asset tersebut diperoleh dengan jalan tidak halal yaitu dengan
melakukan pemalakan terhadap beberapa perusahaan-
perusahaan kontraktor.
Pertanyaan:
a. Apakah pemalakan sama dengan pemerasan?
b. Apakah pemerasan merupakan salah satu bentuk
tindak pidana korupsi?
4. Menerima hadiah yang juga dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi, contohnya dapat dipelajari dari kasus
Anas Urbaningrum yang menerima hadiah dari berbagai

72
proyek pemerintah dan bahkan telah melakukan pencucian
uang senilai Rp. 20,8 miliar. Dalam putusan hakim, Anas
Urbaningrum divonis hukuman dengan pidana penjara
selama 8 tahun dan denda sebesar Rp. 300.000.000,00
ditambah dengan keharusan untuk membayar uang
pengganti kerugian negara sebesar Rp. 57,5 miliar.
Pertanyaan:
a. Gratifikasi adalah menerima hadiah. Sesederhana
itukah?
b. Adakah kaitannya antara uang pengganti kerugian
dengan besar kecilnya jumlah atau nilai kerugian
keuangan negara?

73
BAB X
PRAKTIK HUKUM PERAN (ROLE PLAY)
KLINIK ANTI KORUPSI
STUDI KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
DI BIDANG ADMINISTRASI NEGARA

A. TINDAK PIDANA KORUPSI BIDANG ADMINISTRASI


NEGARA

P emerintah dituntut memberikan pelayanan secara


optimal, transparan dan akuntabel (optimalization of
public service) dalam pelaksanaan tugas pembangunan khususnya
berkaitan kebijakan pengelolaan keuangan negara, dengan tujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan pembangunan
nasional.
Tindakan pemerintah haruslah diarahkan pada tujuan yang
telah di tetapkan oleh peraturan yang menjadi dasarnya. Dalam
hal pemerintah menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan,
pemerintah telah melakukan tindakan yang “ondoelmatig”.
Menurut praktik Conseil d’Etat di Perancis, tindakan yang
demikian disebut “detournement de pouvoir”.31
Tindak pemerintah dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan
wewenang (detournement de pouvoir) apabila:
1) Seorang pejabat pemerintahan menggunakan suatu
wewenang dengan suatu tujuan yang nyata-nyata bukan
untuk kepentingan umum melainkan dengan suatu tujuan
pribadi atau tujuan politik;
2) Seorang pejabat pemerintahan menggunakan suatu
wewenang dengan suatu tujuan (yang harus nyata dari
surat-surat yang bersangkutan) bertentangan dengan

31 Abdul Latif, 2014, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi,
Prenada Media Group, Jakarta, h. 215.

74
ketentuan dari undang-undang yang memuat dasar hukum
dari wewenang itu;
3) Seorang pejabat pemerintahan melaksanakan suatu
wewenang dengan suatu tujuan lain daripada yang nyata-
nyata dikehendaki oleh undang-undang dengan wewenang
itu.32

Kebijakan atau tindakan pemerintah yang diberi atribut


untuk kepentingan tertentu, menjadi titik rawan terjadinya
penyalahgunaan wewenang, sebagaimana tampak dalam kasus
korupsi dewasa ini. Bahkan data korupsi yang ditangani KPK,
telah memetakan wilayah yang menjadi titik rawan korupsi
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Kendatipun
berbeda modusnya namun semuanya melekat pada penggunaan
kewenangan bebas, antara lain:
1) Korupsi di wilayah kewenangan, khususnya penyalahgunaan
wewenang dan tindakan sewenang-wenang;
2) Korupsi fiskal atau anggaran. Pos belanja anggaran barang
dan jasa seperti pengadaan infra struktur, ATK dan proyek
pembangunan fisik. Nilai pos anggaran ini tergolong besar
dan selama era reformasi terus meningkat.33

Dalam praktik tidak selamanya penyalahgunaan wewenang


dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Bahwa
dalam tindak pidana korupsi, unsur melawan hukum merupakan
genusnya, sedangkan unsur penyalahgunaan wewenang adalah
speciesnya. Dengan demikian setiap perbuatan penyalahgunaan
wewenang sudah pasti melawan hukum. Dalam pemeriksaan
pengadilan jika ternyata unsur delik pada Pasal 3 UU No 31 Tahun
1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, tidak terbukti, apakah perlu dibuktikan Pasal 2 UU No 31

32 Philipus M.Hadjon, 1987, Pengertian-Pengertian Dasar tentang Tindak Pemer-


intahan (Makalah) dalam Pelatihan Dosen Hukum Adminitrasi, Surabaya.
h.12
33 Kastorius Sinaga, 2008, Titik Rawan Penyimpangan Polisi, Forum Keadilan
No.25, Jakarta, h. 14.

75
Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Hal tersebut tidak perlu dibuktikan lagi, karena
penyalahgunaan wewenang tidak terbukti maka secara mutatis
mutandis unsur melawan hukum tidak terbukti.34
Dalam realitasnya pandangan tersebut kurat tepat, karena
tidak semua perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan
perbuatan melawan hukum. Hal ini disimak dalam pertimbangan
putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966, bahwa suatu
tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum, bukan hanya berdasarkan ketentuan dalam perundang-
undangan, melainkan juga berdasarkan asas keadilan atau
asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, dalam
banyak perkara yang terjadi, misalnya faktor-faktor negara tidak
dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri
tidak mendapat untung.35
Contoh yang tepat mengenai detournement de pouvoir
dikemukakan Laica Marzuki seperti dalam hal pengalihan
anggaran untuk pembangunan sekolah, untuk kemudian
dijadikan sebagai anggaran pembangunan jembatan. Dalam
contoh tersebut tampak adanya perbuatan menyimpang dari
peraturan dasarnya, yaitu tindakan mengalihkan anggaran
sekolah menjadi anggaran pembangunan jembatan. Kendatipun
perbuatan tersebut, telah menyimpang dari peraturan dasarnya,
namun tidak dapat dipandang sebagai perbuatan melanggar
hukum atau melawan hukum, karena tujuan akhir dari tindakan
pengalihan tersebut, adalah juga untuk kepentingan umum.
Membangun sekolah dimaksudkan untuk kepentingan umum
demikian pula halnya dengan pembangunan jembatan adalah
untuk kepentingan umum. Jadi tujuan akhir dari kegiatan
tersebut, meskipun dialihkan dari anggaran semula tetap
memenuhi sasarannya, yaitu untuk kepentingan umum.36

34 Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan


Keuangan Daerah yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Universitas Air-
langga, Surabaya, h. 222.
35 Chaidir Ali, 1979, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pidana Korupsi,
Bina Cipta, Bandung, h. 10.
36 Abdul Latif, Op.Cit., h. 224.

76
Klasifikasi Risiko Tindak Pidana Korupsi Pengelola Keuangan
Negara
Risiko merupakan akibat yang kurang menyenangkan
(merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau
tindakan, dalam hal ini, Risiko jabatan dapat juga terjadi pada
lingkungan penanggungjawab dan pengelola keuangan negara
atau daerah. Berhubungan dengan pengujian pengelolaan dan
tanggungjawab keuangan negara terdapat klasifikasi Risiko baik
disengaja atau karena ketidaktahuan, Risiko-Risiko tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:37
Risiko 1 (R1) Risiko pejabat paling tinggi terkena “perbuatan
merugikan keuangan negara yang akhirnya menjadi tindak
pidana korupsi” pada umumnya mereka yang memegang
jabatan dan tanggungjawab keuangan negara/daerah yang
strategis, serta banyak yang menjadi terdakwa dalam putusan
pengadilan. Antara lain adalah: Pertama, Jabatan Menteri/
pimpinan lembaga atau kepala satuan kerja pemerintah daerah
sebagai “pengguna anggaran”. Kedua; Pejabat Pembuat
Komitmen atau PPK (PPK masuk pada klasifikasi R.1 karena
secara aturan yang bertanggungjawab secara materiil dan formal
artinya quality control kelengkapan dan kebenaran administrasi
pertanggungjawaban maupun kebenaran materiil pekerjaan
menjadi tanggungjawabnya. Ketiga; Pejabat Kepala Daerah
(sebenarnya secara yuridis formal kewenangan kepala daerah
dalam hal keuangan daerah telah didistribusikan kepada kepala
SKPD dan Bendahara, tetapi terkadang kepala daerah yang
terkena masalah tindak pidana korupsi karena “ikut terlibat
aktif” dalam menentukan pemenang lelang, ikut terlibat aktif
dalam menentukan pekerjaan dan perintah pencairan dana).
Keempat; Pelaksanaan pekerjaan atau pemborong pekerjaan,
(permasalahan pemborong pekerjaan jika melakukan pekerjaan
dengan benar dan baik tidak akan ada masalah serius, tetapi jika

37 Helnold Ferry Makawimbang, 2015, Memahami dan Menghindari Perbuatan


Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang,
Thafa Media, Yogyakarta, h.229.

77
pemborong terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi pada
ranah pelaksanaan pekerjaan, biasanya ada mark up pekerjaan,
kekurangan volume, kualitas barang lebih rendah, atau bahkan
pekerjaan dilakukan secara fiktif).
Risiko 2 (R2), risiko pejabat yang cukup strategis terkena
“perbuatan merugikan keuangan negara yang akhirnya menjadi
tindak pidana korupsi”, pada umumnya mereka yang memegang
jabatan dan tanggungjawab keuangan negara/daerah yang
“ikut menentukan” pelaksanaan keuangan negara, serta cukup
banyak yang menjadi terdakwa dalam putusan pengadilan.
Antara lain adalah: Pertama; Anggota DPR/DPRD (Panitia
Anggaran mengusul dan menetapkan anggaran, sebenarnya
jika hanya mengusul dan menetapkan anggara dalam kerangka
meluruskan program pembangunan pemerintah, masih dalam
batas kewajaran, hal ini tidak ada masalah, tetapi jika didasari
kepentingan memperoleh keuntungan fee, pekerjaan dan lainnya
dengan modus mark up sehingga merugikan keuangan negara,
maka anggota DPR/DPRD yang melakukan “perbuatan pidana”
tersebut akan naik kelas bukan saja Risiko 2 tetapi menjadi Risiko
1 sebagai pelaku utama). Kedua; Panitia Pengadaan Barang dan
Jasa atau PPBJ (permasalahan yang sering terjadi dengan PPBJ
adalah lemahnya proses dan penentuan harga perhitungan
sendiri atau owners estimate pengadaan barang dan jasa
yang menjadi tanggungjawabnya, sehingga “menguntungkan
pelaksana pekerjaan dan merugikan keuangan negara”,
permasalahan lain adalah proses dan penentuan “pemenang
lelang atau pemenang pengadaan barang dan jasa”, sehingga
memenangkan peserta yang tidak layak menang, permasalahan
pokoknya terkadang proses seleksi yang tidak profesional dan
tidak independen). Ketiga; Pejabat Penanggungjawab Teknis
Pekerjaan atau PPTK (permasalahan sering terjadi adalah
PPTK ikut menyetujui pekerjaan yang melanggar hukum
dan merugikan keuangan negara karena mendapat fee atau
ucapan terima kasih dari pemborong) dan Keempat; Bendahara
Penerima/Pengeluaran (permasalahan yang dihadapi bendahara

78
adalah ikut menyetujui dokumen pencairan “menandatangani
kuitansi” yang melanggar hukum atau fiktif, pekerjaan kurang,
karena bendahara menandatangani kuitansi sebagai dasar
pencairan sehingga pemborong dapat dibayar secara penuh,
dalam kondisi ini bendahara secara hukum pidana di kualifikasi
sebagai “melengkapi perbuatan pidana atau voltooid”, padahal
bendahara berhak menolak jika dokumen tidak lengkap atau
diduga bermasalah, hanya terkadang karena perintah pimpinan,
bendahara takut jabatannya hilang).
Risiko 3 (R.3) Risiko cukup rendah, biasa jabatan yang
ikut melengkapi perbuatan pidana, (karena tindakannya
atau persetujuannya sehingga perbuatan pidana menjadi
lengkap) pada umumnya mereka yang memegang jabatan dan
tanggungjawab keuangan satuan kerja perencanaan (pengusul
spesifikasi barang/HPS), Panitia Penerima Barang, Unit Pelaksana
Teknis Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Konsultan Pengawas
(Kegiatan Teknis) termasuk instansi terkait yang mengeluarkan
surat rekomendasi sehingga kegiatan menjadi lengkap.

Perhitungan Kerugian Keuangan Negara


Perhitungan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana
korupsi baru dapat dilakukan setelah ditentukan unsur melawan
hukumnya sebagai penyebab timbulnya kerugian keuangan
negara. Tujuan dilakukannya perhitungan jumlah kerugian
keuangan negara antara lain38:
1) Untuk menentukan jumlah uang pengganti/tuntutan ganti
rugi yang harus diselesaikan oleh pihak yang terbukti
bersalah bila kepada terpidana dikarenakan pidana
tembahan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 UU 31
Tahun 1999.
2) Sebagai salah satu patokan/acuan bagi Jaksa untuk melakukan
penuntutan mengenai berat/ringannya hukuman yang perlu
dijatuhkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan

38 Abdul Latif, 2014,Op.Cit, h. 365.

79
yang berlaku dan bagi hakim sebagai bahan pertimbangan
dalam menetapkan keputusannya.
3) Dalam hal kasus yang terjadi ternyata merupakan kasus
perdata atau lainnya (kekurangan perbendaharaan atau
kelalaian PNS), maka perhitungan kerugian keuangan
negara digunakan sebagai bahan gugatan/penuntutan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
4) Bukti-bukti dalam perhitungan kerugian keuangan negara.

Unsur penting dalam melakukan perhitungan kerugian


keuangan negara adalah “kewenangan mengakses dan
mendapatkan data” untuk meminta dokumen keuangan negara
yang diatur oleh undang–undang dalam proses pemeriksaan
keuangan negara. Hal yang disebut dimuat dalam Pasal 10 UU No
15 tahun 2004, lebih lanjut disebutkan dalam praktek pelaksanaan
tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara, diatur bahwa pemeriksa dapat: meminta dokumen yang
wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain, mengakses semua
data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi dan segala
jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari
entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang
dipandang perlu dalam pelaksanaan, melakukan penyegelan
tempat penyimpanan uang, barang dan dokumen pengelolaan
keuangan negara dan meminta keterangan kepada seseorang
serta memotret, merekam, dan/atau mengambil sampel sebagai
alat bantu pemeriksaan”.39

LATIHAN. DISKUSIKAN
Siapa yang berwenang melakukan pemeriksaan
kerugian keuangan negara, jelaskan.

39 Helnold Ferry Makawimbang, Op.Cit, h. 202.

80
B. KASUS POSISI

Tersangka Nonim diajukan dipersidangan Pengadilan Negeri


oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan perkara pada pokoknya
sebagai berikut:
Tersangka Nonim selaku Pimpinan Kegiatan pada Proyek
Pelebaran Jalan Kabupaten yang diangkat sesuai surat keputusan
resmi dari pemerintah daerah. Bersama-sama dengan Tersangka
Samar yang akan disidangkan, secara berturut-turut melakukan
serangkaian perbuatan yang saling berhubungan satu dengan
yang lain, sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut
(Voorgezette Handeling) secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, perbuatan mana dilakukan dengan cara:
Dalam proyek pelebaran jalan kabupaten, untuk Lapisan
Pondasi Bawah (LPB) menggunakan Spesifikasi Material
berupa “batu kerikil sungai tersaring” sesuai dengan kontrak
kerja yang ditandantangani Tersangka Samar selaku Pengguna
Barang dan Jasa dengan 15 Kontrator. Namun ternyata 10
kontraktor pelaksanaan proyek tidak menggunakan batu kerikil
tersaring tetapi menggunakan “pecahan batu gunung”. Jumlah
keseluruhannya adalah Rp.1.200.000.000,- (Satu Milyar Dua
Ratus Juta Rupiah).
Walaupun ada 10 kontraktor menggunakan pecahan batu
gunung sebagai LPB tersangka Nonim selaku pemimpin kegiatan
dan tersangka Samar selaku pengguna barang dan jasa tidak
pernah melakukan peneguran baik secara lisan maupun tertulis,
bahkan telah bertindak memberi persetujuan untuk dilakukan
pembayaran yang diajukan oleh 10 kontraktor tersebut sehingga
kualitas pekerjaan proyek pelebaran jalan hasilnya tidak sesuai
dengan yang diharapkan dalam kontrak kerja.
Sebagai akibat perbuatan tersangka Nonim dan Samar maka
negara atau pemerintah Kabupaten menderita kerugian sebesar
Rp.1.200.000.000,- (Satu Milyar Dua Ratus Juta Rupiah).

81
PERTANYAAN:
1) Buatlah Surat Dakwaan Kasus Korupsi Proyek Pelebaran
Jalan!
2) Bagaimana Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Kasus
Korupsi Proyek Pelebaran Jalan?
3) Uraikan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Kasus
Korupsi Proyek Pelebaran Jalan?
4) Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan
putusan Korupsi Proyek Pelebaran Jalan?

C. PRAKTIK HUKUM PERAN (ROLE PLAY)

Mahasiswa Klinik Hukum Anti Korupsi ditugaskan untuk


mengimplementasikan kasus posisi yang telah dibahas dan
diskusikan dengan Role Play. Sebagai sebuah konsep pembelajaran
keterampilan hukum maka dengan berpraktik langsung
merupakan tahapan baku yang tidak dapat dihindarkan. Adapun
pengalaman yang disasar adalah keterampilan memerankan
dimensi kerja setiap personel penegak hukum (penyidik, advokat,
penuntut umum, hakim) maupun personel non penegak hukum
(panitera/panitera pengganti, rohaniawan, petugas kejaksaan,
protokoler) yang terlibat pada sebuah proses persidangan,
melalui role play peradilan semu lengkap dengan masing-msing
berkasnya.
Apabila melihat persidangan senyatanya di Pengadilan
menerapkan pembagian masing-masing alur persidangan begitu
rigid dan runtut, dalam rangkaian agenda persidangan seperti
diuraikan berikut:40
1) Sidang pertama, dengan agenda pembacaan Surat Dakwaan
oleh penuntut umum;
2) Sidang kedua, dengan agenda pembacaan Nota Keberatan
(eksepsi) oleh penasehat hukum (jika terdakwa atau penasehat

40 Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati, 2011, Moot Court Membedah


Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum Progresif, CV.Mefi Caraka,
Surakarta, h. 163-164.

82
hukumnya mengajukan nota keberatan);
3) Sidang ketiga, dengan agenda pembacaan tanggapan atas
Nota Keberatan penasehat hukum oleh penuntut umum,
maupun Jawaban Kedua dari penasehat hukum atas
tanggapan penuntut hukum dimaksud;
4) Sidang keempat, dengan agenda pembacaan Putusan Sela
oleh hakim (berkaitan adanya keberatan atas kewenangan
relatif maupun absolut);
5) Sidang kelima, dengan agenda pembuktian yang dihadirkan
oleh penuntut umum;
6) Sidang keenam, dengan agenda pembuktian yang
meringankan bagi diri terdakwa yang dihadirkan oleh
penasehat hukum;
7) Sidang ketujuh, dengan agenda pemeriksaan terdakwa;
8) Sidang kedelapan, dengan agenda pembacaan surat Surat
Tuntutan (requisitoir) oleh penuntut umum;
9) Sidang kesembilan, dengan agenda pembacaan Nota
Pembelaan (pleidooi) oleh penasehat hukum;
10) Sidang kesepuluh, dengan agenda pembacaan Tanggapan
atas Nota Pembelaan (replik) oleh penuntut umum;
11) Sidang kesebelas, dengan agenda pembacaan tanggapan
atas tanggapan Nota Pembelaan (duplik) oleh penasehat
hukum;
12) Sidang kedua belas, dengan agenda pembacaan putusan
oleh hakim.

83
BAB XI
PRAKTIK KLINIK MENENTUKAN PILIHAN
DAN PENDAPAT (TAKE A STAND)

A. PETUNJUK

M etode ini adalah metode pembelajaran dalam klinik anti


korupsi dengan menekankan pada proses penentuan
pilihan dan menyatakan pendapat atas pilihan tersebut. Dalam
metode ini, mahasiswa memiliki hak berupa kebebasan untuk
menentukan pilihannya, bertahan dalam pilihannya ataupun
berpindah pada pilihan lain dengan menyatakan pendapatnya atau
argumentasinya terkait proses pemilihan yang dilakukannya.
Metode ini mengajarkan mahasiswa untuk memiliki sikap dan
kematangan dalam menentukan sesuatu dan mempertahankannya
berdasarkan landasan-landasan yang sifatnya yuridis maupun
teoritis. Metode ini tidak mewajibkan ada jawaban yang “paling
benar” melainkan mewajibkan adanya perbedaan pendapat dan
membiarkannya demikian adanya. Metode ini mengajarkan nilai
demokratis, keterbukaan dan profesionalisme.

B. PROSEDUR

1. Dosen akan menguraikan beberapa skenario situasi dan


meminta mahasiswa berpikir sejenak kemudian beranjak
menentukan pilihannya.
2. Dosen akan membagi kelas pada kelompok setuju di sebelah
kanan dan tidak setuju disebelah kiri. Mahasiswa yang
telah menentukan pilihan setuju dipersilahkan bergerak ke
sebelah kanan dan yang tidak setuju bergerak ke sebelah kiri.
Untuk mereka yang tidak melakukan pilihan sama sekali
atau belum menentukan pilihan tetap berada di zonaa bebas

84
sampai nanti mereka mulai menentukan pilihannya.
3. Dosen akan menanyakan pendapat masing-masing
mahasiswa atau yang mewakili terkait pilihannya tersebut
dan mahasiswa harus menguraikan alasan-alasan yang
didasarkan pada landasan teoritis maupun landasan
hukum.
4. Tidak ada benar salah dalam penentuan pilihan, mahasiswa
hanya diharapkan mau berkontribusi mengemukakan
pendapatnya.
5. Di akhir kegiatan dosen akan memberikan kesimpulan dan
rangkuman.

C. TENTUKAN PILIHANMU DAN BERARGUMENLAH!!!!!

Berikut akan diuraikan beberapa skenario situasi yang akan


dibacakan oleh dosen:
1. Korupsi = extraordinary crime, setuju atau tidak? Alasannya?
2. Korupsi menjadi parah karena adanya sikap permisif dari
masyarakat, ya atau tidak? Alasannya?
3. Sebagian besar kasus korupsi umumnya melibatkan pejabat
negara, ya atau tidak? Alasannya?

85
BAB XII
PRAKTIK BERMAIN PERAN (ROLE PLAY)
SIDANG DENGAR PENDAPAT LEGISLATIF

A. PETUNJUK

S idang dengar pendapat legislative (legislative hearing)


adalah salah satu metode interaktif reflektif yang
mengedepankan praktik bermain peran (role play) sebagai
upaya memantapkan soft skill dan hard skill mahasiswa dalam
melaksanakan street law klinik anti korupsi.
Sidang dengar pendapat legislative ini umum dilaksanakan
oleh DPR untuk mendapatkan informasi dalam menerapkan
undang-undang. Pembelajaran dengan melakukan role play sidang
dengar pendapat legislative ini ditujukan untuk memberikan
kesempatan kepada mahasiswa mendapatkan sebuah pemahaman
tentang tujuan dan prosedur persidangan legislative sekaligus
menelusuri peran dan tanggung jawab daripada legislative.
Dalam konteks ini juga akan ditelusuri adakah kemungkinan
terlibatnya pejabat negara dalam tindak pidana korupsi yang
berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
Prosedur yang harus dilaksanakan dalam sidang dengar
pendapat legislative ini adalah:
1. Undanglah seorang staf atau pejabat lokal yang memiliki
keahlian yang diperlukan dalam proses pembelajaran ini;
bila tidak memungkinkan dapat mengundang seorang
dosen bagian Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi
Negara yang paham tentang prosedur persidangan
legislative.
2. Buatlah suasana ruangan menyerupai ruang sidang
legislative atau aturlah meja untuk 3 (tiga) komponen yaitu

86
meja untuk para legislator, meja untuk notulen rapat dan
podium atau meja untuk pemimpin sidang.
3. Perhatikan dan pelajari peran-peran yang dapat anda
mainkan berikut:
a) Legislator
Setiap kelompok mahasiswa dapat memilih satu orang
rekannya untuk menjadi legislator dan mewakili
mereka dalam sidang dengar pendapat. Legislator yang
terpilih akan menentukan rekan lainnya untuk menjadi
pemapar permasalahan.
b) Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah mereka yang tidak
terpilih sebagai legislator. Kelompok kepentingan
adalah mereka yang memiliki kepentingan dengan
diadakannya sidang dengar pendapat ini. Kelompok
kepentingan harus disetting sedemikian rupa
sehingga akan terbagi dalam kelompok pendukung
dan bukan pendukung kebijakan yang dipaparkan
oleh legislator. Kelompok kepentingan juga harus
memilih satu orang rekannya untuk menjadi pemapar.
c) Notulen Rapat
Dipilih dari salah satu orang mahasiswa yang tugasnya
mencatat jalannya persidangan dan segala rekomendasi
yang diusulkan dan disetujui.
d) Pencatat Waktu
Diadakan untuk mengatur waktu pemaparan yang
memastikan bahwa setiap kelompok memiliki
kesempatan untuk memaparkan pendapatnya.
4. Instruksi pelaksanaan sidang dengar pendapat
a) Ketua sidang akan memanggil anggota sidang
dan menyatakan sidang akan dimulai, kemudian
menyebutkan tujuan persidangan tersebut serta
mengumumkan urutan dan batas waktu dari setiap
pemapar untuk menyampaikan pendapatnya;
b) Pemapar akan didengar saat menguraikan
permasalahannya dan anggota sidang akan memberikan

87
pertanyaan, sanggahan dan rekomendasi kepada
pemapar.
5. Tugas Dosen di akhir kegiatan
a) Diskusikan setiap fakta-fakta dan argument yang
dipaparkan dalam sidang dengar pendapat yang telah
berlangsung;
b) Diskusikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam
sidang dengar pendapat yang telah berlangsung;
c) Diskusikan komentar-komentar dari narasumber;
d) Diskusikan tentang pandangan siswa terhadap kegiatan
tersebut dan berikan pemahaman tentang korelasi
antara permasalahan-permasalahan publik (tindak
pidana korupsi) dengan kebijakan publik.

B. KASUS

Pada hari yang telah ditentukan, Komisi C DPRD Kota A


melakukan rapat sidang dengar pendapat terkait ditemukannya
kejanggalan dalam mekanisme pengadaan barang dan jasa
khususnya tentang mekanisme perekrutan perusahaan
pemenang tender. Kejanggalan ditemukan dalam pemeriksaan
yang dilakukan terhadap sejumlah paket proyek pembangunan
yang bersumber dari APBD Tahun 2016 yang dilakukan oleh Unit
Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (ULP BJ).
Dari salah satu pelelangan pengadaan barang dan jasa yang
dikoordinator oleh ULP BJ ditemukan adanya indikasi kerugian
keuangan negara hingga miliaran rupiah di beberapa titik proyek
pembangunan strategis seperti proyek pembangunan jembatan
oleh Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi Kota
A. Kejanggalan ini dilaporkan oleh beberapa kontraktor yang
merasa dirugikan oleh pelelangan yang diadakan ULP.
Berikut diuraikan beberapa fakta yang ditemukan dalam
Rapat Pertama Dewan dengan para kontraktor dan Badan
Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) terkait pelaporan
tentang kejanggalan pengadaan barang dan jasa:

88
1. Ada keputusan dari ULP yang memenangkan sejumlah
perusahaan yang mengajukan tawaran untuk melaksanakan
sejumlah proyek dengan nilai maksimal yang fantastis
sementara beberapa perusahaan lain yang mengajukan nilai
yang lebih rendah dinyatakan kalah tender.
2. Mencermati syarat-syarat administrasi yang diajukan
oleh masing-masing perusahaan diketahui bahwa syarat
administrasi yang paling sesuai dan tepat adalah syarat yang
diajukan oleh perusahaan yang dinyatakan kalah tender.
3. Pada tahun 2015 PT. RKL yang memenangkan tender
pengerjaan paket jalan hotmix sebesar Rp. 40 miliar
melakukan kesalahan fatal terkait pengerjaannya paket
jalan hotmix yang tidak terselesaikan dan tidak ada teguran
teknis dari dinas-dinas terkait. Padahal seharusnya setiap
perusahaan yang gagal melakanakan proyek harusnya
ditegur dan tidak diikutkan dalam pelelangan paket proyek
di tahun depan dalam hal ini tahun 2016.
4. Ijin operasi Aspal Mixing Plant PT RKL telah lama dicabut
oleh BPLH berdasarkan surat pencabutan ijin usaha yang
dikeluarkan BLPH. Fakta yang dijumpai PT RKL adalah
nama perusahaan lain namun manajemen perusahaan
ditempati oleh orang-orang dari PT CBD dan ijin AMP yang
digunakan adalah ijin AMP dari PT CBD.

Terkait fakta-fakta tersebut, Komisi C DPRD Kota A menduga


ada indikasi kesengajaan yang dilakukan oleh para pihak yaitu
ULP, Dinas PUTAMBEN dan PT RKL untuk memperkaya
diri sendiri. Untuk itulah Komisi C DPRD A memanggil para
pihak untuk mendengar pemaparan mereka terhadap fakta-
fakta tersebut diatas. Dalam konteks pemanggilan ini Komisi C
DPRD juga memanggil BPLH dan masyarakat untuk turut serta
mengawal permasalahan ini.

89
Petunjuk teknis untuk mahasiswa dalam melaksanakan Role
Play Sidang Dengar Pendapat :
1. Lakukan pembagian kelompok dan tiap kelompok terdiri
dari 5 (lima) orang mahasiswa dan lakukan pembagian
peran sebagai Komisi C DPRD Kota A terdiri dari satu orang
anggota DPRD, satu orang notulen dan satu orang pencatat
waktu sebagai pimpinan sidang dengar pendapat, 1 orang
dari Pihak ULP, 1 orang Dinas PUTAMBEN, dan 1 orang
PT RKL sebagai terduga pelaku korupsi pengadaan barang
dan jasa sebagai pemapar, BPLH serta anggota masyarakat
sebagai pemberi rekomendasi.
2. Persiapkan materi pemaparan tentang permasalahan yang
diangkat yaitu “dugaan memperkaya diri sendiri” melalui
pelelangan proyek pengerjaan jalan. Materi pemaparan
isinya adalah pendapat-pendapat yang melawan fakta-fakta
yang dijumpai oleh karena itu materi pemaparan harus sesuai
dengan peran yang diambil. Dalam konteks ini kemampuan
mempertahankan argumentasi hukum sangat diutamakan.
3. Sidang akan dilaksanakan sesuai prosedur sidang dengar
pendapat yang sesungguhnya oleh karena itu sangatlah baik
jika mengundang salah seorang anggota DPRD kota untuk
hadir sebagai narasumber.
4. Beberapa hal yang harus diperhatikan mahasiswa adalah
role play sidang dengar pendapat ini tidak mengharuskan
ada putusan pasti yang diperoleh. Jadi role play sidang
dengar pendapat ini dibuat untuk melatih kemampuan soft
dan hard skill mahasiswa dalam membangun argumentasi
hukum dan logika hukum serta kemampuan menganalisis
situasi sembari melatih membangun sifat profesionalisme.
Oleh karenanya tidak dipersoalkan apakah role play sidang
dengar pendapat ini akan berakhir tanpa keputusan apa-
apa dan dosen hanya akan memberikan ringkasan atau
rangkuman dari hasil pelaksanaan role play sidang dengar
pendapat.

90
BAB XIII
PRAKTIK KLINIK REKAM SIDANG
TINDAK PIDANA KORUPSI

A. TUJUAN

R ekam sidang tindak pidana korupsi adalah proses


pembelajaran klinik hukum anti korupsi yang
mengedepankan pembelajaran mahasiswa pada kemampuan
pengamatan dan analisa terhadap proses pemeriksaan
persidangan tindak pidana korupsi. mahasiswa diharapkan
dapat membangun analisa-analisa hukum yang berkaitan dengan
ketepatan proses tata urutan pemeriksaan persidangan, ketepatan
jaksa dalam proses pembuktian dan penyusunan dakwaan,
pembelaan terdakwa, ketepatan dan kesesuaian putusan hakim
dengan dakwaan jaksa atau pembelaan penasehat hukum, etika
persidangan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hukum
acara pidana bagi tindak pidana korupsi.
Jadi pelaksanaan rekam sidang tindak pidana korupsi ini
dilakukan selain untuk mengedukasi mahasiswa tentang hukum
acara pidana dalam praktik juga melatih mahasiswa mengambil
peran sebagai elemen kontrol sosial dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.

B. PROSEDUR

1. Mahasiswa akan diajak untuk menghadiri persidangan


tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Mahasiswa akan diminta untuk mencatat
pengamatannya dan melakukan pengamatan terhadap
pelaksanaan persidangan.

91
Tindak Pidana Korupsi.

3. Mahasiswa akan diminta untuk membuat laporan terkait


pengamatannya dalam pelaksanaan persidangan

Berikut
Berikut adalah
adalahadalah
Berikut beberapa
beberapa dokumentasi
dokumentasi
beberapa kegiatan
kegiatan rekam
dokumentasi rekam sidang
sidangrekam
kegiatan di
di Pengadilan
Pengadilan
sidang
Tindak
Tindak di Pengadilan
Pidana
Pidana Korupsi.
Korupsi. Tindak Pidana Korupsi.

C.
C. TUGAS
TUGAS

Buat
Buat Eksaminasi
Eksaminasi Putusan
Putusan Pengadilan
Pengadilan Tindak
Tindak Pidana
Pidana Korupsi
Korupsi dan
dan rangkailah
rangkailah
dengan
dengan sebuah
sebuah Focus
Focus Group
Group Discussion
Discussion yang
yang akan
akan membahas
membahas tentang
tentang eksaminasi
eksaminasi
putusan.
putusan.

C. TUGAS

Buat Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


dan rangkailah dengan sebuah Focus Group Discussion yang
C. TUGAS
akan membahas tentang eksaminasi putusan.

Buat Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan rangkailah


93
93
dengan
92 sebuah Focus Group Discussion yang akan membahas tentang eksaminasi

putusan.
BAB XIV
STREET LAW KLINIK ANTI KORUPSI
PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT SERTA SOSIALISASI AKSES
MEMPEROLEH KEADILAN

M ahasiswa Klinik Hukum Anti Korupsi dalam rangka


peningkatan metode eksperiential, ditugaskan
melakukan penelitian serta pengabdian kepada masyarakat serta
sosialisasi akses untuk memperoleh keadilan. Metode ini ditujukan
untuk melengkapi kemampuan mahasiswa khususnya soft skill
dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang anti
korupsi. Dengan mensinergikan Penelitian dengan Pengabdian
kepada masyarakat serta sosialisasi akses memperoleh keadilan,
dalam hal ini penyuluhan yang dilakukan diharapkan dapat
meningkatkan kualitas lulusan yang memiliki kemampuan
penulisan hukum, melakukan penelitian, menganalisasi dan
memecahkan permasalahan hukum serta mampu memahami
dan menghayati perilaku anti korupsi dengan memberikan
suatu pendidikan tentang anti korupsi terhadap masyarakat luas
mengenai seluruh aspek penegakan hukum korupsi mulai dari
pencegahan sampai dengan pemberantasannya serta bagaimana
memperoleh akses keadilan, hingga pada akhirnya mau
membantu upaya pemerintah memerangi perilaku koruptif.
Berikut akan diuraikan beberapa mekanisme tahapan
pelaksanaan street law:

A. PROPOSAL PENELITIAN

Untuk dapat melakukan suatu penelitian, mahasiswa


Klinik Anti Korupsi akan menulis Proposal Penelitian. Proposal
Penelitian diberikan pilihan tema yang terkait juga dengan

93
Penyuluhan (street law) sebagai tujuan akhir setelah penelitian
selesai dilaksanakan. Beberapa pilihan tema antara lain:
1) Penanaman Sejak Dini Sikap/Kesadaran Anti Koruptif di
Kalangan Pelajar;
2) Peran Pemuda/Pemudi dalam Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi;
3) Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi;
4) Pasang Surut Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia;
5) Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Berbagai
Negara;
6) Serta tema lainnya sesuai perkembangan kasus terbaru.

Secara umum tema Proposal yang di ajukan terkait dengan


penegakan hukum bidang korupsi baik upaya pencegahan
maupun pemberantasannya. Berdasarkan tema yang dipilih
mahasiswa akan mengangkat dengan judul sesuai dengan
kesepakatan dalam kelompok-kelompok yang dibentuk.
Sementara itu persyaratan penulisan proposal antara lain:
1) Proposal diketik dengan jarak baris 1,5 spasi menggunakan
huruf Time New Roman 12, kecuali daftar pustaka diketik
dengan jarak baris 1 spasi;
2) Sistematika/format penulisan sesuai dengan penulisan
proposal Skripsi dalam Buku Pedoman Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
3) Proposal dipersentasikan pada Ujian Tengah Semester Mata
Kuliah Klinik Anti Korupsi.

Proposal akan dilakukan penyempurnaan oleh Pengajar


Klinik Anti Korupsi melalui pembahasan dan perbaikan sebelum
mahasiswa melakukan penelitian baik studi kepustakaan
(penelitian normatif) maupun ke lapangan (penelitian empiris).

94
B. PELAKSANAAN PENELITIAN

Pelaksanaan Penelitian dilakukan dengan ketentuan sebagai


berikut:
1) Sistematika/format hasil penelitian sesuai dengan penulisan
proposal Skripsi dalam Buku Pedoman Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
2) Pelaksanaan penelitian harus terdokumentasi dalam bentuk
logbook, meliputi tanggal, kegiatan, dan hasilnya.
3) Mahasiswa wajib mentaati semua prosedur perizinan dan
prosedur pelaksanaan penelitian di tempat penelitian,
dengan tetap menjaga kesopanan, etika serta nama baik
universitas.
4) Mahasiswa selalu melakukan koordinasi dengan memberikan
laporan kemajuan sampai dengan laporan akhir penelitian
kepada Pengajar Klinik Anti Korupsi.

C. Pendukung Kegiatan Penyuluhan

Sebelum dilakukan penyuluhan (street law) yang diangkat


berdasarkan hasil penelitian, mahasiswa terlebih dahulu
diberikan pembekalan pengetahuan tambahan dari pengajar
maupun praktisi hukum terkait, antara lain:
1. Penyaksian Sidang Tindak Pidana Korupsi;
2. Pembekalan Praktisi
Pembekalan keterampilan hukum mahasiswa juga diberikan
dari praktisi dan instansi yang bekerja sama dengan Fakultas
Hukum Universitas Udayana khususnya Unit Klinik Hukum,
sebagai berikut:
1) Komisi Pemberantasan Korupsi;
2) Kepolisian;
3) Kejaksaan;
4) Pengadilan Tipikor;
5) LSM yang aktif menggiatkan Anti Korupsi.
Dengan pembekalan dari praktisi diharapkan melengkapi
pengentahuan mahasiswa khususnya bidang praktik

95
penegakan hukum anti korupsi sebelum diterjunkan ke
lapangan.
3. Persentasi Hasil Penelitian
Sebagai persiapan akhir sebelum dilakukan penyuluhan,
mahasiswa mempersentasikan hasil penelitian yang diperoleh
secara lisan, dimana hal-hal yang perlu diperhatikan:
1) Melatih kesiapan mental mahasiswa pada saat
penyuluhan nanti;
2) Mempresentasikan dengan bahasa yang baik dan
benar;
3) Memperbaiki dan penyempurnaan materi dan hasil
penelitian berdasarkan masukan dari mahasiswa dan
pengajar.

D. Penyuluhan hukum (Street Law)

Setelah melalui beberapa tahapan antara lain penulisan


proposal dan pelaksanaan penelitian serta pembekalan dari
pengajar maupun praktisi, sampai dengan penyajian hasil
penelitian oleh mahasiswa. Mahasiswa telah dianggap siap untuk
melakukan Penyuluhan Hukum Anti Korupsi, sebagai salah satu
perwujudan pengabdian kepada masyarakat.
Penyuluhan hukum dilaksanakan sesuai dengan lokasi
penyuluhan seperti telah disepakai awal perkuliahan dengan
terlebih dahulu memperoleh ijin fakultas dan tempat dilakukan
penyuluhan. Mahasiswa akan didampingi oleh Pengajar Klinik
Anti Korupsi selama pelaksanaan penyuluhan. Pada akhir
pelaksanaan penyuluhan akan diberikan sesi diskusi antara
mahasiswa pelaksana dengan masyarakat atau kelompok sasaran
penyuluhan. Pengajar dan mahasiswa selalu berkoordinasi
mulai dari perancangan sampai dengan pelaksanaan kegiatan
penyuluhan.
Contoh program penyuluhan yang telah dilaksanakan
mahasiswa Klinik Hukum Anti Korupsi sebagaimana dalam
gambar dokumentasi:

96
Penyuluhan Peran Pelajar dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
di SMA Negeri 1 Tabanan
Tanggal 19 Mei 2016

Penyuluhan
Sumber: Peran 1Pelajar
SMA Negeri Tabanandalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
– Bali
di SMA Negeri 1 Tabanan Tanggal 19 Mei 2016
Sumber: SMA Negeri 1 Tabanan – Bali
Pelaksanaan penyuluhan mahasiswa Klinik Anti Korupsi di SMA 1
Tabanan -BaliPelaksanaan penyuluhan
dilaksanakan mahasiswa
pada tanggal Klinik
19 Mei Anti
2016 , Korupsi
Pukul 14:00.
di SMA 1 Tabanan -Bali dilaksanakan pada tanggal 19 Mei
Yang dilaksanakan di ruangan kelas XI IPA 1, registrasi dan pembagian
2016, Pukul 14:00. Yang dilaksanakan di ruangan kelas XI IPA 1,
kudapanregistrasi
di lakukan pukul 13:30
dan pembagian – 14:00,
kudapan sasaran pukul
di lakukan murid13:30
adalah 45 orang
– 14:00,
terdiri sasaran murid
dari kelas 10adalah
dan 4511 orang
yangterdiri dari kelas
mengukuti 10 dan 11 yangPatroli
ekstrakulikuler
mengukuti ekstrakulikuler Patroli Keamanan Sekolah (PKS) dan
Keamanan Sekolah (PKS) dan Palang Merah Remaja (PMR).
Palang Merah Remaja (PMR).
Materi yangyang
Materi pertama Pengenalan
pertama Dasar–Dasar
Pengenalan Korupsi
Dasar–Dasar setelah itu
Korupsi
setelah itu
dilanjutkan dengandilanjutkan dengan
materi yang materi yang
kedua keduadalam
Peran Pelajar Peran Pelajar
Pencegahan
dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak Pidana Korupsi. Antusias para peserta sangat baik danAntusias parahangat
peserta sangat baik dan hangat karena penyuluh menggunakan
karena metode interaktif,
penyuluh menggunakan metode interaktif, jadi dimungkinkan
jadi dimungkinkan terjadi tanya jawab saat

98
97
penyuluh masih menerangkan materi, apabila para peserta
dirasa sudah mulai bosan dalam menyimak materi, maka
penyuluh menggunakan teknik Ice Breaking untuk membuat
suasana cair kembali dan peserta siap untuk menyimak materi
kembali. Setelah selesainya kedua materi, maka di buka sesi tanya
jawab antara penyuluh dan peserta. Setelah sesi tanya – jawab,
dilakukan pemberian hadiah bagi para penanya, peserta teraktif
dan peserta yang berani jujur.
Penutupan acara penyuluhan ini diakhiri dengan adanya
pemberian cendramata dari pihak Klinik Hukum Anti Korupsi
kepada pihak sekolah dalam bentuk pemberian plakat beserta
dengan sertifikat penghargaan karena telah berkerjasama
dengan baik dalam terlaksananya penyuluhan anti korupsi ini
dan terjadinya kesepakatan dan kesepahaman antara pihak
Klinik Hukum Anti Korupsi dengan pihak sekolah SMA Negeri
1 Tabanan untuk memerangi dan mencegah segala praktek
yang berbau Korupsi disekolah mereka dan akan berperan aktif
dalam menyebarkan paham gerakan anti korupsi di sekolah dan
lingkungan mereka.

E. Pelaporan

Pada akhir kegiatan, mahasiswa membuat hasil penelitian


dan laporan pelaksanaan penyuluhan. Di lengkapi dengan
dokumentasi selama kegiatan maka hasil penelitian dan
penyuluhan sebagai kajian yang ilmiah dapat sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Anti
Korupsi.

98
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang republik indonesia nomor 7 tahun 2006 Tentang
pengesahan united nation convention against corruption,
2oo3 (konvensi perserikatan bangsa-bangsa Anti korupsi, 2003.
Undang-undang republik indonesia nomor 30 tahun 2002
Tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penjelasan undang-undang republik indonesia nomor 30 Tahun
2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Undang-undang republik indonesia nomor 31 tahun 1999
Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Undang-undang republik indonesia nomor 20 tahun 2001
Tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Undang-undang republik indonesia nomor 28 tahun 1999
Tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, kolusi dan nepotisme.
Penjelasan undang-undang republik indonesia nomor 28 Tahun
1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan Bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

99
2. Buku
Elwi Danil, 2010, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan
Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Black’s Law Dictionary with Pronouncation, 1983, Minn West
Publishing co, St. Paul.
Robert Klitgaard, 1998, Memahami Korupsi, terjemahan
Hermoyo, Yayasan Obor, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Fungsi Perundang-undangan
Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar
Baru, Bandung.
Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Bahan Kuliah Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System), Program Magister Ilmu
Hukum, Semarang.
Loebby Loqman, 2004, Perkembangan Asas Legalitas dalam
hukum Pidana Indonesia,
Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum
Pidana Nasional dan Internasional, PT. RajaGrafindo
Persada.
Amien Rais, Pengantar dalam Edi Suandi Hamid dan Muhammad
Sayuti (ed), Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di
Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta
Mubyarto, 1995, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Medika,
Yogyakarta, dalam Elwi Danil.
Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi
dan Kejahatan, Cetakan
Pertama, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
(Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta,
Mahrus Ali, 2016, Hukum Pidana Korupsi, UII Press,
Yogyakarta.
Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislatif Tentang SIstem
Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, CV Utomo,
Bandung.

100
Mardjono Reksodiputro, 1989, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi, makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi,
FH UNDIP, Semarang.
Indriyanto Seno Adjie, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban
Pembuktian, Cet. Pertama, Jakarta.
Abdul Latif, 2014, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana
Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta.
Philipus M.Hadjon, 1987, Pengertian-Pengertian Dasar tentang
Tindak Pemerintahan (Makalah) dalam Pelatihan Dosen
Hukum Adminitrasi, Surabaya.
Kastorius Sinaga, 2008, Titik Rawan Penyimpangan Polisi, Forum
Keadilan No.25, Jakarta.
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berimplikasi Tindak Pidana
Korupsi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Chaidir Ali, 1979, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pidana
Korupsi, Bina Cipta, Bandung.
Helnold Ferry Makawimbang, 2015, Memahami dan Menghindari
Perbuatan Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi dan Pencucian Uang, Thafa Media, Yogyakarta.
Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati, 2011, Moot Court
Membedah Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum
Progresif, CV.Mefi Caraka, Surakarta.

3. Website
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1739962,
Mark Jorgensen Farrales, 2005, What is Corruption A History
of Corruption Studies and The Great Definition Debates,
University of California, San Diego, diunggah tanggal 8
September 2016 pukul 12.00 WITA
Suhartono dalam https://ugm.ac.id/id/berita/433-sejarawan.
ugm:.korupsi.warisan.dari.penyakit.sosial.orang.indonesia,
diunggah tanggal 26 Agustus 2008

101
Theodore M Smith dikutip dalam Mochtar Lubis dan James Scott
oleh http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/22/korupsi-
birokrasi-sebuah-warisan-kolonial-471739.html , diunggah
tanggal 22 Juni 2012

102
LAMPIRAN I : SILABUS

SILABUS MATA KULIAH


KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI

1. Fakultas/Program Studi : Hukum / Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Klinik Hukum Anti Korupsi
3. Kode MK : NAK6214
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 2 sks
6. Mata Kuliah Prasyarat :
1. Hukum Pidana
2. Tindak Pidana Khusus
3. Sistem Peradilan Pidana
4. Hukum Acara dan Praktek Peradilan Pidana
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi adalah mata kuliah
pilihan dengan bobot 2 SKS dengan kode (NAK6214). Mata
kuliah klinik ini ditawarkan di setiap semester kepada mahasiswa
yang telah berada minimal di semester 6 yang telah menempuh
mata kuliah Hukum, Hukum Pidana, Tindak Pidana Khusus,
Sistem Peradilan Pidana, Hukum Acara dan Praktek Peradilan
Pidana Pidana serta memiliki IPK minimal 3.00. Mata Kuliah
Klinik Hukum Anti Korupsi menggunakan metode interaktif
dan reflektif dengan komposisi kurikulum sebagai berikut: 30%
Planning Component, 65% Experential Component dan 5% Evaluation
dan Reflection melalui UTS dan UAS.
Klinik Hukum Anti Korupsi menerapkan Model Klinik
diantaranya: Model pertama, gabungan antara In-House Clinic dan
External Clinic serta Street Law Clinic. Dengan model kombinasi ini
diharapkan capaian pembelajaran Klinik Hukum Anti Korupsi
adalah sebagai berikut: mahasiswa diharapkan mampu praktik
membuat dakwaan, dan tuntutan, serta mampu memahami
proses penindakan tindak pidana korupsi. Model yang kedua,
adalah dalam proses pembelajaran Klinik Hukum Anti Korupsi
mahasiswa diarahkan menggunakan model Street Law Clinic,

103
capaian pembelajaran yang ingin dicapai adalah mampu praktik
mensosialisasikan materi-materi hukum Anti Korupsi kepada
anak-anak sekolah, dan masyarakat umum melalui model Street
Law Clinic, mahasiswa diharapkan mampu menumbuhkan
kesadaran tentang pentingnya melakukan pengabdian
masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum
khususnya pelanggaran tindak pidana korupsi di masyarakat,
serta peka terhadap persolan-persoalan Social Justice, Pro Bono
dan Access to Justice.

8. Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran yang ingin dicapai pada akhir
perkuliahan mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi yang
menggunakan model kombinasi In-House Clinic & External
Clinic, adalah mahasiswa diharapkan bisa memahami dan
memiliki kemampuan sebagai aparat penegak hukum berkaitan
dengan proses dan praktik beracara di pengadilan tindak pidana
korupsi, yaitu mulai mampu membuat dakwaan, dan tuntutan,
serta mampu memahami proses penindakan tindak pidana
korupsi. Model kedua, yaitu model Street Law Clinic, capaian
pembelajarannya mahasiswa diharapkan mampu praktik
mensosialisasikan materi-materi hukum pidana khususnya
hokum korupsi kepada anak-anak sekolah melalui model Street
Law Clinic, tumbuh kesadaran tentang pentingnya melakukan
pengabdian masyarakat auntuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum serta timbulnya sengketa hukum di masyarakat, peka
terhadap persolan-persoalan Social Justice, Pro Bono dan Access to
Justice.

9. Bahan Kajian
Bahan kajian mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi
terdiri dari : 1) Pengantar Klinik Hukum Anti Korupsi (Planning
Component), yang meliputi: konsep CLE (Clinical Legal Education),
Karakteristik CLE(Clinical Legal Education)-Klinik Hukum,
komponen-komponen dalam pembelajaran CLE (Clinical Legal

104
Education)-Klinik Hukum , model pembelajaran Klinik Hukum
Anti Korupsi , Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam
melaksanakan perkuliahan Klinik HukumAnti Korupsi dan
kode etik Klinik Hukum Anti Korupsi yang meliputi : kode etik
kelembagaan, kode etik pengajar klinik, kode etik mahasiswa,
kode etik Mitra (Dosen Mitra), dan kode etik klien. 2) Proses
Beracara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dokumen-
dokumen yang diperlukan dalam beracara di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. 4) Proses (Experiential Component) : Kuliah
Praktik di Kantor Kepolisian, Kuliah Praktik diKejaksaan dan
Kuliah Praktik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 4) Kegiatan
Sosialisasi Hukum Melalui Model Street Law Clinic (Planning
Component) meliputi : Konsep street law clinic dan keterkaitannya
dengan social justice dan access to justice, keterkaitan street law clinic
dengan pengabdian kepada masyarakat, persiapan sosialisasi
dan Role Play. 6) Praktik Sosialisasi Hukum Perdata melalui
Model Street Law Clinic (Experiential Component) yang terdiri dari:
pelaksanaan Street Law Clinic di sekolah-sekolah atau masyarakat
dan pembuatan laporan Street Law Clinic sebagai bentuk kegiatan
pengabdian kepada masyarakat.

105
106

Anda mungkin juga menyukai