Anda di halaman 1dari 271

Pengelolaan

Sumber Daya Alam


UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang
terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan
ajar; dan
iv. Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pengelolaan
Sumber Daya Alam

Dr. Iswandi U., S.Pd., M.Si.


Dr. Indang Dewata, M.Si.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Iswandi U.
Indang Dewata

Desain Cover :
Dwi Novidiantoko

Sumber :
www.shutterstock.com

Tata Letak :
Titis Yuliyanti

Proofreader :
Avinda Yuda Wati

Ukuran :
xvi, 253 hlm, Uk: 15.5x23 cm

ISBN :
978-623-02-1828-6

Cetakan Pertama :
November 2020

Hak Cipta 2020, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2020 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur pada Allah Swt. penulis sampaikan


atas rahmat-Nya buku Pengelolaan Sumber Daya Alam ini dapat
penulis selesaikan. Selain itu, terima kasih yang mendalam
penulis aturkan kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendorong dalam penyelesaian buku ini.
Buku ini penulis buat untuk tujuan membantu praktisi
lingkungan, ilmuan geografi, dan pemerhati lingkungan untuk
memahami pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Isi buku ini dikelompokkan atas tiga bagian besar, yakni
pemahaman konsep sumber daya alam, keberadaan dan
permasalahan sumber daya alam, dan permodelan pengelolaan
sumber daya alam berkelanjutan. Buku ini merupakan
kumpulan dari artikel, tulisan, penelitian, dan pengalaman
peneliti sebagai dosen dan pakar geografi lingkungan.
Buku ini penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan,
semoga ke depan buku ini dapat disempurnakan atas masukan
dan kritikan dari pembaca. Semoga buku ini menambah
khasanah ilmu dan amal ibadah bagi penulis.

Penulis

Iswandi U.

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................. v


DAFTAR ISI............................................................................. vi
DAFTAR TABEL ........................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................... xi

BAB I SUMBER DAYA ALAM ..........................................1


1.1. Definisi Sumber Daya Alam ...................................... 1
1.2. Klasifikasi Sumber Daya Alam................................. 2
1.3. Prinsip Pemanfaatan Sumber Daya Alam ................. 5

BAB II PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM


PANAS BUMI GEOTHERMAL ............................... 6
2.1. Panas Bumi (Geothermal)........................................ 8
2.2. Temperatur Reservoir ............................................. 8
2.3. Manifestasi Panas Bumi .......................................... 9
2.4. Sistem Panas Bumi di Indonesia ............................. 12
2.5. Kebijakan Energi Panas Bumi Nasional .................. 16
2.6. Distribusi, Klasifikasi dan Potensi Energi
Panas Bumi ........................................................... 20
2.7. Pemanfaatan Energi Panas Bumi di
Indonesia ............................................................... 21
2.8. Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas
Bumi ..................................................................... 22
2.9. Pengembangan Energi Panas Bumi yang
Berkelanjutan ....................................................... 23
2.10. Limbah Cair Panas Bumi ....................................... 26

vi
BAB III SUMBER DAYA AIR DAN
PENGELOLAANNYA ..........................................29
3.1. Pengertian Sumber Daya Air ................................. 33
3.2. Pengelolaan Sumber Daya Air ............................... 33
3.3. Penggunaan Sumber Daya Air ............................... 35
3.4. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air .................................................... 37
3.5. Permasalahan Sumber Daya Air di Indonesia......... 38
3.6. Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan ......... 43
3.7. Pengelolaan Sumber Daya Air Melalui
Pendekatan Kearifan Lokal .................................... 47

BAB IV PEMANFAATAN SINAR MATAHARI


SEBAGAI ENERGI ALTERNATI DALAM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM ................ 51
4.1. Pengertian Panas Matahari ................................... 52
4.2. Matahari sebagai Sumber Energi........................... 54
4.3. Potensi Panas Matahari di Indonesia ..................... 65
4.4. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) .............. 66
4.5. Panas Matahari untuk Pertanian ........................... 67
4.6. Pertanian Rumah Kaca .......................................... 70
4.7. Energi Alternatif Matahari serta Kelebihan
dan Kekurangannya ............................................... 71
4.8. Sumber Panas Matahari Mengalahkan
Sumber Panas Lain................................................ 72
4.9. Manfaat Sumber Energi Cahaya Matahari
bagi Kehidupan ..................................................... 74
4.10. Manfaat Matahari bagi Kehidupan Manusia .......... 77

BAB V UPAYA KONSERVASI SUMBER DAYA DAN


STRATEGI PEMBANGUNAN LINGKUNGAN
BERKELANJUTAN ............................................ 80
5.1. Pendahuluan ......................................................... 80

vii
5.2. Konsepsi Umum tentang Lahan ............................. 86
5.3. Sistem Sumber Daya Lahan ................................... 88
5.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan ................................... 92
5.5. Pengolahan Lahan ................................................. 93
5.6. Strategi Pembangunan Lingkungan
Berkelanjutan ....................................................... 99

BAB VI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM


MIGAS ............................................................ 103
6.1. Pendahuluan ........................................................ 103
6.2. Ketersediaan Sumber Daya Alam Migas................106
6.3. Sumber daya Alam Dipegang Pihak Asing ............. 107
6.4. Infrastruktur ...................................................... 108
6.5. Pengelolaan Sumber Daya Alam Migas .................109
6.6. Secara Teknisi tentang Migas ............................... 113
6.7. Ketersediaan Sumber Daya Minyak dan Gas
di Indonesia ......................................................... 114
6.8. Peran Sektor Migas dalam Sosial-Ekonomi ........... 115
6.9. Migas dan Pembangunan Berkelanjutan ............... 118
6.10. Pengembangan Industri Migas di Dunia ............... 119
6.11. Isu Terkini tentang Pengelolaan Migas
di Indonesia ......................................................... 122
6.12. Sumber Daya Migas terhadap Lingkungan............ 125

BAB VII PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM


BERBASIS SISTEM .......................................... 127
7.1. Ilmu Sistem ......................................................... 127
7.2. Karakteristik dan Klasifikasi Sistem ..................... 132
7.3. Pendekatan Sistem............................................... 136
7.4. Berpikir Sistem (System Thinking) ....................... 141
7.5. Tingkat Berpikir Sistem ....................................... 144
7.6. Permodelan Sistem .............................................. 147
7.7. Konstruksi Model Dinamik ................................... 159

viii
7.8. Pendekatan Sistem sebagai Alat Mengambil
Keputusan............................................................166
7.9. Analisis Kebutuhan dalam Sistem Dinamik ........... 174
7.10. Prinsip Dasar Sistem Dinamik ............................. 184
7.11. Komputerisasi Model Sistem Dinamik dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam ........................... 187
7.12. Simulasi Model ....................................................199
7.13. Fungsi-Fungsi dalam Simulasi ............................. 202

BAB VIII PENATAAN PEMANFAATAN LAHAN


BERKELANJUTAN ........................................... 210

DAFTAR PUSTAKA................................................................ 225


PROFIL PENULIS................................................................... 251

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Baku Mutu Limbah Bagi Usaha Panas Bumi ............. 28


Tabel 2. Arsen (As) Pada Air Tanah ...................................... 28
Tabel 3. Status industri gas bumi dunia ............................... 120
Tabel 4. Masalah Pengambil Keputusan ............................... 167
Tabel 5. Analisis Kebutuhan terhadap Stakeholders
Pendidikan Tinggi Negeri ....................................... 177
Tabel 6. Analisis Kebutuhan terhadap Stakeholders
Pengembangan Objek Wisata Bahari
Berkelanjutan ........................................................ 178
Tabel 7. Simbol Aplikasi Program Powersim ........................ 189

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sumber daya tumbuhan ...................................... 2


Gambar 2. Penambangan minyak dan gas alam .................... 3
Gambar 3. Energi matahari sebagai sumber daya
alam ................................................................... 4
Gambar 4. Siklus hidrologi ................................................. 31
Gambar 5. Pencemaran air sungai...................................... 41
Gambar 6. Pemanfaatan energi matahari untuk solar
cell ................................................................... 54
Gambar 7. Pengeringan menggunakan energi
matahari ........................................................... 68
Gambar 8. Kerangka pengelolaan terpadu sumber
daya lahan dan air (PTSDLA) .......................... 100
Gambar 9. Sektor hulu dan hilir gas bumi ......................... 110
Gambar 10. Pengertian sistem ............................................ 127
Gambar 11. Sistem kota ...................................................... 129
Gambar 12. Siklus hidrologi sebagai sistem ........................130
Gambar 13. Sistem dalam penggunaan lahan ...................... 132
Gambar 14. Karakteristik suatu sistem ............................... 133
Gambar 15. Interaksi antar sub sistem penduduk,
ekonomi, dan lingkungan ................................ 134
Gambar 16. Sistem tertutup ................................................ 135
Gambar 17. Sistem terbuka ................................................ 136
Gambar 18. Tahapan analisis sistem .................................. 140
Gambar 19. Kerangka berpikir sistem ................................. 141
Gambar 20. Struktur sistem pada bencana banjir................ 142
Gambar 21. Proses berpikir ................................................ 143
Gambar 22. Tingkatan berpikir sesorang ............................ 145
Gambar 23. Tingkatan berpikir sistem ................................ 147

xi
Gambar 24. Peta zona rawan banjir contoh model
ikonik .............................................................. 148
Gambar 25. Data rata-rata curah hujan di kota padang
contoh model analog........................................ 149
Gambar 26. Perkiraan masa depan sumber daya,
populasi, polusi, dan pangan per kapita
dalam ilmu sistem ........................................... 153
Gambar 27. Kota hitam (black box) dari sistem
pengelolaan kawasan permukiman
berkelanjutan .................................................. 155
Gambar 28. Uji validitas model terhadap penduduk ............ 158
Gambar 29. Umpan balik positif ......................................... 161
Gambar 30. Perilaku model umpan balik positif .................. 161
Gambar 31. Simpul positif dengan variabel kompleks ......... 162
Gambar 32. Umpan balik negatif ........................................ 163
Gambar 33. Perilaku umpan balik negatif ........................... 163
Gambar 34. Umpan balik yang kompleks pada kajian
demografi ........................................................ 164
Gambar 35. Perilaku model umpan balik yang
kompleks pada kasus demografi ...................... 165
Gambar 36. Umpan balik kompleks pada kasus
penduduk pertanian dan lingkungan ................ 166
Gambar 37. Diagram pengambilan keputusan dengan
intuisi.............................................................. 168
Gambar 38. Diagram pengambilan keputusan dengan
analisis keputusan ........................................... 169
Gambar 39. Siklus data, informasi, keputusan dan aksi ...... 170
Gambar 40. Langkah-langkah siklus analisis
keputusan........................................................ 171
Gambar 41. Kebakaran lahan gambut ................................. 173
Gambar 42. Diagram sebab akibat (causal loop)
pengelolaan Waduk Cirata Purwakarta ............ 181

xii
Gambar 43. Diagram sebab akibat (causal loop)
pertumbuhan penduduk, industri,
pemerintah, dan perguruan tinggi ...................182
Gambar 44. Diagram sebab akibat (causal loop)
penduduk dan kebutuhan lahan sawah............ 184
Gambar 45. Prinsip hubungan sebab akibat dan umpan
balik dalam siklus hidrologi ............................. 185
Gambar 46. Aspek penting dalam sistem dinamik ............... 187
Gambar 47. Tampilan awal program Powersim.................. 189
Gambar 48. Contoh causal loop pada kasus demografi ........ 191
Gambar 49. Pembuatan teks variabel .................................. 192
Gambar 50. Ikon define text ................................................ 192
Gambar 51. Mengubah tampilan pada ikon style dan
shape ............................................................... 193
Gambar 52. Garis penghubung antar variabel untuk
membentuk causal loop.................................... 193
Gambar 53. Editing garis pada difine line............................194
Gambar 54. Hasil pengeditan garis pada define line ............194
Gambar 55. Membentuk lengkungan dalam pembuatan
hubungan causal loop....................................... 195
Gambar 56. Causal loop variabel jumlah penduduk
dengan kelahiran ............................................. 195
Gambar 57. Rate atau flow sebagai interflow ......................196
Gambar 58. Hubungan level dan auxelery pada
struktur sistem dinamik.................................. 197
Gambar 59. Define variable ................................................. 197
Gambar 60. Perubahan pada kota level sebagai
indikator data benar ...................................... 198
Gambar 61. Pembuatan constanta ...................................... 198
Gambar 62. Difine variable constanta ..................................199
Gambar 63. Pembuatan grafik simulasi.............................. 200
Gambar 64. Setup simulasi .................................................201

xiii
Gambar 65. Grafik simulasi ................................................ 201
Gambar 66. Simulasi grafik dan tabel ................................ 202
Gambar 67. Fungsi graph................................................... 203
Gambar 68. Edit graph/vector............................................ 203
Gambar 69. Angka kelahiran pada simulasi fungsi
graph .............................................................. 204
Gambar 70. Jumlah penduduk akibat fungsi graph ............. 204
Gambar 71. Fungsi if pada pertumbuhan penduduk ........... 205
Gambar 72. Simulasi jumlah penduduk dengan fungsi
if .................................................................... 206
Gambar 73. Simulasi fungsi if pada kelahiran .................... 206
Gambar 74. Grafik perbandingan antara tanpa adanya
intervensi (a) dengan adanya intervensi
pemerintah (b) dalam penurunan angka
kelahiran ........................................................ 207
Gambar 75. Fungsi Step..................................................... 208
Gambar 76. Input fungsi Step ............................................ 208
Gambar 77. Perubahan pada auxelery bila fungsi Step
diinputkan dengan benar ................................ 209
Gambar 78. Simulasi fungsi step pada jumlah
penduduk dan kelahiran ................................. 209
Gambar 79. Administrasi Gunung Sinabung ........................ 213
Gambar 80. Peta kontur wilayah penelitian ........................ 214
Gambar 81. Aktivitas pertanian pascaletusan Gunung
Sinabung ......................................................... 215
Gambar 82. Zonasi bahaya Gunung Sinabung...................... 216
Gambar 83. Peta kemampuan lahan pada lereng
Gunung Marapi................................................ 218
Gambar 84. Peta kemampuan lahan dan bahaya
bencana pada lereng Gunung Marapi .............. 220
Gambar 85. Zona rawan banjir daerah aliran sungai
Pasaman ..........................................................222

xiv
Gambar 86. Grafik hubungan driver power dengan
dependence ..................................................... 224
Gambar 87. Struktur arahan kebijakan penataan DAS
Pasaman ......................................................... 224

xv
xvi
BAB I
SUMBER DAYA ALAM

Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran


yang sangat strategis dalam mengamankan kelangsungan
pembangunan dan keberlanjutan kehidupan bangsa dan negara.
Bidang ini menjadi tulang punggung sebagai penyedia pangan,
energi, air, dan penyangga sistem kehidupan. Kebijakan dan
capaian bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup
merupakan modal utama pembangunan untuk meningkatkan
daya saing ekonomi sekaligus menjaga kualitas lingkungan
hidup.

1.1. Definisi Sumber Daya Alam


a. Sumber daya alam ialah suatu sumber daya yang
terbentuk karena kekuatan alamiah, misalnya tanah, air
dan perairan, udara dan ruang, mineral tenaga alam,
panas bumi dan gas bumi, angin, pasang surut/arus laut
(Daryanto1995: 36).
b. Menurut Sukanto Reksodiprodjo (1990: 5), Sumber daya
alam adalah sesuatu yang berguna dan mempunyai nilai di
dalam kondisi di mana kita menemukannya. Sumber daya
alam meliputi semua yang terdapat di bumi baik yang
hidup maupun benda mati yang berguna bagi manusia,
terbatas jumlahnya dan pengusahaannya memenuhi
kriteria–kriteria teknologi, ekonomi, sosial dan
lingkungan.
Berdasarkan definisi tersebut terdapat beberapa makna
yang tersirat, yaitu:

1
a. Sesuatu yang belum diketahui dan atau tidak diketahui,
belum dapat disebut sebagai sumber daya alam.
b. Sumber daya alam bersifat dinamis, hal ini dapat
diartikan bahwa nilai yang melekat pada suatu sumber
daya alam dapat berubah-ubah sesuai ruang dan waktu.
c. Sumber daya alam terjadi secara alami, hal ini bermakna
sesuatu sumber daya alam tidak dapat terbentuk sebagai
campur tangan manusia dalam proses pembentukannya.
d. Sumber daya alam bersifat jamak, karena mempunyai
dimensi jumlah, kualitas, ruang, dan waktu.

1.2. Klasifikasi Sumber Daya Alam


Sumber daya alam dapat digolongkan menjadi beberapa
macam. Berikut ini akan disajikan beberapa penggolongan
sumber daya alam berdasarkan pada sifat, potensi dan jenisnya.
1. Berdasarkan Sifat, berdasarkan sifatnya, sumber daya
alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai berikut:
a. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable),
misalnya: Hewan, tumbuhan, mikroba, air dan tanah.
Disebut terbarukan karena dapat melakukan reproduksi
dan memiliki daya regenerasi (pulih kembali).

Gambar 1. Sumber daya tumbuhan

2
b. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-
renewable), misalnya: minyak bumi, gas bumi, batu bara,
dan bahan tambang lainnya.
c. Sumber daya alam yang tidak habis, misalnya udara,
matahari, energi pasang surut, energi laut dan air dalam
siklus hidrologi.

2. Berdasarkan Potensi, menurut potensi penggunaannya,


sumber daya alam dibagi beberapa macam, antara lain
sebagai berikut.
a. Sumber daya alam materi; merupakan sumber daya alam
yang dimanfaatkan dalam bentuk fisiknya. Misalnya, batu,
besi, emas, kayu, serat kapas, kaca, dan rosela.
b. Sumber daya alam energi; merupakan sumber daya alam
yang dimanfaatkan sebagai sumber energi. Misalnya batu
bara, minyak bumi, gas bumi, air terjun, sinar matahari,
energi pasang surut air laut, dan kincir angin.
c. Sumber daya alam ruang; merupakan sumber daya alam
yang berupa ruang atau tempat hidup, misalnya area
tanah (daratan) dan angkasa.

Gambar 2. Penambangan minyak dan gas alam

3
3. Berdasarkan Jenis, berdasarkan jenisnya sumber daya
alam dibagi dua sebagai berikut:
a. Sumber daya alam nonhayati (abiotik); disebut juga
sumber daya alam fisik, yaitu sumber daya alam yang
berupa benda-benda mati. Misalnya: bahan tambang,
tanah, air, dan kincir angin.
b. Sumber daya alam hayati (biotik); disebut juga sumber
daya alam yang berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan,
tumbuhan, mikroba, dan manusia

4. Berdasarkan Undang-Undang No.11 tahun 1976 tentang


pertambangan, sumber daya alam berdasarkan Undang-
Undang Nomor 11 tahun 1976 dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Golongan A meliputi bahan tambang strategis yang
berperan penting dalam kelangsungan kehidupan negara,
b. Golongan B termasuk bahan tambang vital yang
merupakan bahan galian yang berperan penting dalam
kegiatan perekonomian negara akan dikuasai oleh negara,
dan
c. Golongan C meliputi bahan tambang yang tidak termasuk
ke dalam golongan A dan golongan B.

Gambar 3. Energi matahari sebagai sumber daya alam

4
1.3. Prinsip Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Pemanfaatan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan
seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Dalam hal ini
diperlukan adanya ekoefisiensi (ekonomi efisiensi) dengan
memperhatikan hubungan ekologis untuk mengurangi kerugian
bagi keberlangsungan pembangunan maupun ekosistem. Dalam
pemanfaatan sumber daya alam, maka terdapat beberapa
prinsip dalam menciptakan keberlanjutan, antara lain:
a. Selektif, selektif dilakukan dengan membuat perancangan
yang matang dalam menggunakan sumber daya alam
karena harus sesuai kebutuhan,
b. Kelestarian, sumber daya alam memang digunakan dalam
jangka waktu yang panjang sehingga perlu terpelihara
kelestariannya,
c. Penghematan, seperti halnya selektif, dalam
menggunakan sumber daya alam membutuhkan
perancangan yang matang sehingga tidak terjadinya
pemborosan yang akan mengganggu kuantitas/kualitas
dari sumber daya alam, dan
d. Memperbaharui, adapun kegiatan yang dapat dilakukan
untuk memperbaharui sumber daya alam adalah
reboisasi, penangkaran hewan/tumbuhan, penanaman
ladang secara bergilir, dan pengolahan tanah pertanian
yang baik.

5
BAB II
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
PANAS BUMI GEOTHERMAL

Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa


ketergantungan pada energi fosil sebagai sumber energi utama
akan bersifat tidak sustainable dalam jangka panjang bagi
penyediaan kebutuhan energi nasional. Ketergantungan yang
amat besar pada energi fosil juga mulai mengancam kesehatan
keuangan negara. Dikhawatirkan program-program
pembangunan yang semestinya menjadi prioritas, seperti
infrastruktur dan subsidi di bidang pendidikan dan kesehatan
terpaksa dikorbankan.
Isu perubahan iklim juga mengubah paradigma banyak
negara, termasuk Indonesia akan perlunya keberpihakan
kebijakan pada energi terbarukan untuk mengurangi secara
bertahap ketergantungan pada peran energi fosil. Dampak
energi fosil yang buruk pada lingkungan dan andilnya terhadap
fenomena perubahan iklim yang disebabkan efek rumah kaca
menyebabkan pergeseran paradigma tersebut. Energi alternatif
yang menyimpan potensi paling besar bagi kelangsungan energi
nasional adalah energi panas bumi atau geothermal.
Indonesia memiliki sumber daya alam panas bumi yang
berpotensi karena secara geografis menjadi tempat pertemuan
lempeng Australia, Eurasia dan Pasifik. Indonesia dilalui sabuk
vulkanik yang membentang dari Pulau Sumatera hingga Irian
Jaya dengan 117 pusat gunung berapi aktif yang membentuk
jalur gunung api sepanjang kurang lebih 7.000 km. Subduksi
antara Lempeng Eurasia dan Australia sepanjang 4000 km

6
berperan pada pembentukan 200 gunung berapi dan 100
lapangan panas bumi di Indonesia. Kegiatan vulkanik dari
gunung berapi yang mengitari wilayah Indonesia menghasilkan
energi panas bumi yang sangat berlimpah.
Pemerintah menetapkan rencana peningkatan
pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia secara bertahap,
dari 807 MW pada tahun 2005 hingga 9500 MW pada tahun
2025, yaitu 5% dari bauran energi tahun 2025 atau setara 167,5
juta barel minyak. Kapasitas pembangkit listrik panas bumi
Indonesia baru mencapai 1.169 MW, pada tahun 2014
kapasitasnya meningkat menjadi 4.733 MW, yaitu 2.137 MW
untuk area Jawa-Bali dan 2.596 MW untuk area luar Jawa-Bali.
Dilihat dari sisi potensi, Indonesia diperkirakan mempunyai
sumber daya panas bumi dengan potensi listrik sebesar 27.510
MW, sekitar 40% potensi panas bumi dunia, dengan potensi
cadangan 14.172 MW, terdiri dari cadangan terbukti 2.287 MW,
cadangan mungkin 1.050 MW dan cadangan terduga 10.835
MW. Listrik yang digunakan di Indonesia sebagian besar
memanfaatkan energi konvensional.
Potensi keseluruhan energi panas bumi Indonesia yang
merupakan 40% dari potensi energi panas bumi dunia,
menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi energi
panas bumi terbesar dunia. Solusi kebutuhan energi listrik ke
depan dapat bertumpu pada pengoptimalan energi panas bumi.
Energi panas bumi dapat digunakan sebagai pengganti tenaga
listrik yang menggunakan bahan bakar minyak sehingga dapat
dijadikan sumber energi alternatif untuk menghemat cadangan
minyak nasional Pengembangan potensi panas bumi menjadi
sumber energi alternatif pengganti tenaga listrik berbahan
bakar minyak, diperlukan eksplorasi pendahuluan di antaranya
adalah dengan menentukan kandungan mineral batuan di
daerah panas bumi dan prospek pemanfaatan panas bumi.

7
2.1. Panas Bumi (Geothermal)
Panas bumi (geothermal) adalah sebuah sumber energi
panas yang terdapat dan terbentuk di dalam kerak bumi. Panas
bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air
panas, uap air dan batuan bersama mineral dan gas yang secara
genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem
panas bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses
penambangan. Jumlah kandungan panas yang tersimpan dalam
bumi dan membentuk sistem panas bumi yang telah ada sejak
bumi terbentuk. Sistem panas bumi mencakup sistem
hidrotermal yang merupakan sistem tata air, proses pemanasan
dan kondisi panas bumi adalah sebuah sumber energi panas
yang terdapat dan terbentuk di dalam kerak bumi.
Panas bumi secara umum sistem di mana air yang
terpanasi terkumpul sehingga sistem panas bumi mempunyai
persyaratan seperti harus tersedianya air, batuan pemanas,
batuan sarang, dan batuan penutup. Sumber daya panas bumi
berkaitan dengan mekanisme pembentukan magma dan
kegiatan vulkanisme. Sumber panas bumi dapat ditemui di
banyak tempat di muka bumi. Namun daerah panas bumi yang
memiliki temperatur tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk
pembangkit listrik tidak tersedia di banyak tempat. Ada
beberapa jenis reservoir panas bumi, yaitu reservoir
hidrotermal (hydrothermal reservoir), reservoir bertekanan
tinggi (geopressured reservoir), reservoir batuan panas kering
(hot dry rock reservoir) dan reservoir magma.

2.2. Temperatur Reservoir


Temperatur reservoir tergantung dari intensitas panas
yang merambat dari batuan sumber panas, sifat termal batuan,
seperti kemampuan batuan merambatkan panas dan
menyimpan panas (konduktivitas dan kapasitas panas batuan),

8
kemampuan batuan mengalirkan fluida (permeabilitas batuan).
Karena keanekaragaman sifat batuan, tentunya temperatur dari
satu tempat ke tempat lain tidak sama, unik, dalam satu
reservoir temperatur tidak homogen dan juga berbeda antara
satu reservoir dengan reservoir lainnya.
Berdasarkan pada besarnya temperatur, sistem panas
bumi di bedakan atas:
a. Sistem panas bumi bertemperatur rendah, yaitu suatu
sistem yang reservoirnya mengandung fluida dengan
temperatur lebih kecil dari 1250 C.
b. Sistem panas bumi bertemperatur sedang, yaitu suatu
sistem yang reservoirnya mengandung fluida
0 0
bertemperatur antara 125 C dan 225 C.
c. Sistem panas bumi bertemperatur tinggi, yaitu suatu
sistem yang reservoirnya mengandung fluida.

2.3. Manifestasi Panas Bumi


Manifestasi panas bumi di permukaan diperkirakan
terjadi karena adanya perambatan panas dari bawah
permukaan atau karena adanya rekahan-rekahan yang
memungkinkan fluida panas bumi (uap dan air panas) mengalir
ke permukaan. Manifestasi permukaan adalah tanda-tanda
alam yang nampak di permukaan tanah sebagai petunjuk awal
adanya aktivitas panas bumi di bawah permukaan tanah.
Bentuk manifestasi permukaan antara lain:
a. Tanah Panas (Warm Ground) yaitu adanya sumber daya
panas bumi di bawah permukaan dapat ditunjukkan
antara lain dari adanya tanah yang mempunyai
temperatur lebih tinggi dari temperatur tanah di
sekitarnya. Hal ini terjadi karena adanya perpindahan
panas secara konduksi dari batuan bawah permukaan ke
batuan permukaan.

9
b. Tanah Beruap (Steaming Ground) merupakan jenis
manifestasi di mana uap panas (steam) keluar dari
permukaan tanah. Uap tersebut berasal dari suatu lapisan
tipis dekat permukaan yang mengandung air panas yang
mempunyai temperatur sama atau lebih besar dari titik
didihnya. Jika gradien temperatur lebih besar dari 3000
C/m, maka steaming ground sangat berbahaya bagi
makhluk hidup karena temperatur yang sangat tinggi
menyebabkan tumbuh tumbuhan tidak dapat hidup.
c. Kolam Air Panas merupakan salah satu petunjuk adanya
sumber daya panas bumi di bawah permukaan. Kolam air
panas terbentuk karena adanya aliran air panas dari
bawah permukaan melalui rekahan-rekahan batuan. Pada
permukaan air terjadi penguapan yang disebabkan karena
adanya perpindahan panas dari permukaan air ke
atmosfer. Panas yang hilang ke atmosfer sebanding
dengan luas area kolam, temperatur pada permukaan dan
kecepatan angin.
d. Kolam Lumpur Panas (Mud Pool), ketampakannya sedikit
mengandung uap dan gas CO2, tidak terkondensasi,
umumnya fluida berasal dari kondensasi uap.
Penambahan cairan lumpur menyebabkan gas CO2 keluar.
Mud vulkano adalah tipe dari kolam lumpur panas, di
mana gas keluar dari satu celah dengan temperatur lebih
kecil dari titik didih. Lumpur terdapat dalam keadaan cair
karena kondensasi uap panas, sedangkan letupan-letupan
yang terjadi adalah karena pancaran CO2.
e. Air Panas (Hot Springs) merupakan salah satu petunjuk
adanya sumber daya panas bumi di bawah permukaan.
Mata air panas terbentuk karena adanya aliran air panas
dari bawah permukaan melalui rekahan-rekahan batuan.
Temperatur 5000 C disebut warm springs. Temperatur

10
>5000 C disebut hot springs. Hot springs biasanya agak
asam, bila netral umumnya berasosiasi dengan sistem air
panas jenuh dengan silika dan menghasilkan endapan
sinter. Endapan teras travetin biasanya berhubungan
dengan karbonat yang terkandung dalam fluida.
f. Fumarol adalah lubang kecil yang memancarkan uap
panas kering (dry steam) atau uap panas yang
mengandung butiran-butiran air (wet steam). Apabila uap
tersebut mengandung gas H2S maka manifestasi
permukaan tersebut disebut solfatar. Fumarol yang
memancarkan uap dengan kecepatan tinggi dapat
dijumpai di daerah tempat terdapatnya sistem dominasi
uap. Uap tersebut mengandung SO2 yang hanya stabil
pada temperatur yang sangat tinggi (>50000 C). Fumarol
yang memancarkan uap dengan kandungan asam boric
tinggi umumnya disebut soffioni.
g. Geiser merupakan mata air panas yang menyembur ke
udara secara intermittent (pada selang waktu tidak tentu)
dengan ketinggian air sangat beraneka ragam, yaitu dari
kurang dari satu meter hingga ratusan meter. Selang
waktu penyemburan air (erupsi) juga beraneka ragam,
yaitu dari beberapa detik hingga beberapa hari. Lamanya
air menyembur ke permukaan juga sangat beraneka
ragam, yaitu dari beberapa detik hingga beberapa jam.
Geiser merupakan manifestasi permukaan dari sistem
dominasi air.
h. Silika sinter merupakan endapan silika di permukaan
yang berwarna kuning keperakan. Umumnya dijumpai di
sekitar mata air panas dan lubang geiser yang
menyemburkan air yang bersifat netral. Apabila laju
aliran air panas tidak terlalu besar umumnya di sekitar
mata air panas tersebut terbentuk teras-teras silika yang

11
berwarna keperakan (silica sinter terrace atau sinter
platform). Silika sinter merupakan manifestasi
permukaan dari sistem panas bumi yang didominasi air.

2.4. Sistem Panas Bumi di Indonesia


Posisi kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan
antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia Australia, Pasifik)
memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Subduksi antara
lempeng benua dan samudera menghasilkan suatu proses
peleburan magma yang berperan dalam pembentukan jalur
gunung api yang dikenal sebagai lingkaran api (ring of fire).
Berdasarkan asosiasi terhadap tatanan geologi, sistem panas
bumi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu:
vulkanik dan non-vulkanik.
Sistem panas bumi di Indonesia sampai saat pada
umumnya merupakan sistem panas bumi hidrotermal.
Keberadaan sumber daya panas bumi secara sederhananya
dapat ditunjukkan oleh adanya manifestasi permukaan seperti
air panas dan solfatara, yaitu hembusan yang mengandung gas
belerang. Manifestasi permukaan dapat dianggap sebagai
bocoran dari suatu kantong atau reservoir panas bumi yang
berada di bawah permukaan.
Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil dalam
memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri masih tinggi.
Energi fosil memberikan kontribusi 94,3% dari total kebutuhan
energi nasional yang sebesar 1.357 juta SBM (setara barel
minyak), sedangkan sisanya sebesar 5,7% dipenuhi dari energi
baru terbarukan. Berdasarkan jumlah tersebut, minyak bumi
memberikan kontribusi 49,7%, gas bumi 20,1%, dan batubara
sebesar 24,5%. Sebagian dari minyak bumi untuk memenuhi
kebutuhan negeri harus diimpor, baik dalam bentuk minyak
mentah maupun dalam bentuk produk minyak. Jumlah

12
cadangan sumber energi fosil, terutama minyak bumi, terus
turun karena upaya untuk melakukan penambahan cadangan
baru belum mampu mengimbangi laju kecepatan penurunan
cadangan yang sudah ada sebagai akibat dari eksploitasi yang
telah dilakukan. Kondisi ini menjadikan Indonesia rentan
terhadap fluktuasi ketersediaan dan harga energi yang terjadi
di pasar energi internasional (Dewan Energi Nasional, 2014).
Berdasarkan paparan mengenai sebagian minyak bumi yang
semestinya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri harus
diimpor. Hal ini sangat tidak mendukung ketersediaan
ketahanan energi di dalam negeri (Dewan Energi Nasional,
2014).
Kegiatan eksploitasi terhadap sumber daya alam selama
ini menyebabkan krisis energi pada sumber daya fosil. Hal
tersebut berbahaya terhadap keberlanjutan pembangunan dan
tidak terpenuhinya kebutuhan energi dalam negeri yang
memiliki pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat
setiap tahunnya. Perlunya langkah tepat untuk mengatasi
kebutuhan energi dalam negeri sekaligus untuk meningkatkan
kemakmuran masyarakat secara lebih merata.
Ketergantungan terhadap energi fosil perlu diakhiri
dengan memanfaatkan potensi energi alternatif yang ada di
seluruh wilayah Indonesia seperti tenaga air, angin, panas
bumi, dan biomassa. Potensi energi alternatif yang sangat
menjanjikan untuk dimanfaatkan adalah panas bumi, karena
negara Indonesia memiliki cadangan terbesar di dunia yakni
40%, selain itu penggunaan panas bumi sangat efisien dan
ekonomis serta ramah lingkungan dibandingkan dengan energi
fosil.
Potensi energi terbarukan di Indonesia cukup besar
namun pemanfaatannya sampai saat ini masih kecil. Hal ini
disebabkan oleh biaya investasi awal dan biaya operasional

13
lebih mahal, sehingga harga energinya menjadi mahal dan tidak
dapat bersaing dengan harga energi konvensional yang masih
disubsidi. Potensi energi geothermal untuk pembangkit listrik di
Indonesia diperkirakan sebesar 29 Gigawatt, hampir setara
dengan total pasokan listrik nasional saat ini. Menurut Badan
Geologi (2010), bahwa Indonesia baru mengembangkan energi
panas bumi untuk pembangkit listrik sebesar 1.189 MW (4,3%).
Sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang juga
ramah lingkungan, energi panas bumi sangat berpotensi
sebagai alternatif pengganti sumber energi fosil yang tidak
terbarukan dan menghasilkan dampak lingkungan berupa emisi
gas rumah kaca (CO2). Pengembangan pemanfaatan energi
panas bumi memiliki nilai strategis dalam penghematan
penggunaan energi fosil yang berarti berpotensi dalam
penghematan devisa negara untuk pembiayaan impor energi,
khususnya bahan bakar minyak, sekaligus untuk mengurangi
dampak lingkungan akibat eksploitasi energi fosil. Pemerintah
perlu mendorong pemanfaatan energi panas bumi dengan
berbagai usaha, baik dalam penyempurnaan kebijakan tata
kelola di sisi hulu maupun pemanfaatan energi panas bumi di
sisi hilir.
Panas bumi adalah bentuk energi terbarukan yang
menghasilkan sedikit emisi gas rumah kaca dan dapat
memberikan kestabilan dan keamanan energi. Energi panas
bumi, bahkan meskipun kecil, dapat menjadi solusi nyata untuk
masyarakat luas yang membutuhkan listrik di masa depan.
Energi panas bumi juga dapat memberikan kontribusi untuk
kemandirian energi masyarakat pada desa-desa terpencil juga
untuk melindungi masyarakat pedesaan terhadap tingginya
harga minyak bumi. Energi panas bumi juga bisa memfasilitasi
peluang ekonomi dalam menyediakan energi untuk keperluan
alternatif seperti produksi pangan. Panas bumi memainkan
peran yang semakin penting dalam penyediaan energi dunia.

14
Panas bumi memiliki banyak keuntungan jika
dibandingkan dengan energi bahan bakar fosil yang diturunkan
secara tradisional atau bahkan beberapa jenis energi alternatif
lainnya, panas bumi dapat menyediakan energi pada tingkat
yang konstan dan tidak tergantung pada cuaca atau
pertimbangan musim. Panas bumi dapat melengkapi sumber
energi baru dan terbarukan lainnya seperti tenaga air, angin
dan surya, pengembangan panas bumi, setelah pembangunan
PLTP akan menghasilkan emisi udara yang sangat rendah atau
bahkan dapat diabaikan. Panas bumi memiliki jejak permukaan
kecil dibandingkan dengan beberapa jenis energi lainnya.
Mengusahakan produksi energi panas bumi untuk
menggantikan listrik atau panas produksi yang ada dari bahan
bakar berbasis karbon dapat membantu Pemerintah dalam
komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (US
Departement of Energy, 2014).
Indonesia akan mengalami kesulitan untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas jika tidak ditopang oleh
ketersediaan pasokan listrik yang andal dan ramah lingkungan.
Pada sisi lain, kondisi krisis listrik yang terjadi di banyak
daerah meski di lokasi yang menghasilkan listrik sekalipun
masyarakat tetap mengalami gangguan kelistrikan, ini menjadi
tantangan besar bagi PLN yang mendapat mandat untuk
ketersediaan listrik nasional secara memadai. Ada indikasi, di
masa depan, peranan sektor swasta dalam memasok kebutuhan
listrik nasional akan semakin meningkat. Demikian juga dengan
mulai terbuka nya peranan swasta dalam membangun jaringan
transmisi dan distribusi akan semakin besar guna mendorong
pembangunan sektor ketenagalistrikan.
Indonesia selama ini belum memiliki cadangan penyangga
energi yang dapat memberikan jaminan keamanan energi
dalam waktu tertentu apabila terjadi kondisi krisis dan darurat

15
energi. Pemerintah sudah membuat kebijakan yang menyokong
ketahanan energi nasional, contohnya upaya pencarian
(eksplorasi) baru untuk menemukan cadangan minyak dan gas
baru untuk mengantisipasi menurunnya produksi migas ke
depan. Pemerintah juga sudah berupaya mencari sumber-
sumber energi hijau yaitu energi baru dan terbarukan di
antaranya panas bumi.
Fenomena berkurangnya produksi sumber daya energi
primer seperti minyak, gas bumi dan batubara sudah dirasakan
Indonesia selama satu dekade terakhir. Faktanya Indonesia
telah berubah menjadi net importir minyak sejak tahun 2004,
ratusan titik-titik baru yang dieksplorasi untuk mencari sumber
minyak dan gas namun upaya tersebut belum menemukan hasil
yang memuaskan. Oleh karena itu pemerintah mulai melirik
sumber energi baru dan terbarukan seperti panas bumi, hidro,
biofuel, biomassa, namun kendala pemanfaatan energi baru dan
terbarukan tersebut cukup besar, misalnya harga yang masih
tinggi di atas harga listrik atau minyak yang disubsidi.
Indonesia tahun 2025 harus menggunakan panas bumi, semua
kegiatan harus memanfaatkan energi baru terbarukan.

2.5. Kebijakan Energi Panas Bumi Nasional


Pemerintah sudah sangat berupaya untuk membebaskan
Indonesia dari krisis listrik, dan berupaya mencari alternatif
penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT). Upaya
memenuhi kebutuhan energi nasional telah ditempuh
pemerintah lewat jalan berliku. Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang
Panas Bumi yang menjadi acuan pemerintah dalam pengelolaan
panas bumi, namun banyak sekali halangan dan hambatan yang
terjadi karena berbagai istilah atau tumpang tindihnya
peraturan dari pihak terkait pengelolaan panas bumi.

16
Indonesia selama ini belum memiliki cadangan penyangga
energi yang dapat memberikan jaminan keamanan dalam
waktu tertentu apabila terjadi kondisi krisis dan darurat energi.
Di sinilah pentingnya pemerintah membuat kebijakan energi
nasional yang dapat memberikan peranan penting dalam
mencapai kedaulatan energi. Pemerintah harus kreatif dan adil
dalam membuat kebijakan yang menyokong ketahanan energi
nasional. Dibutuhkan stimulasi kepada sektor-sektor potensial
yang mendukung terciptanya bauran energi dan upaya
pencarian (eksplorasi) baru untuk menemukan cadangan baru.
Kebijakan energi nasional juga harus berpihak kepada
pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) karena kebutuhan teknologi yang lebih maju diperlukan
dalam mengoptimalisasi produksi energi yang sudah ada dan
dalam rangka pencarian sumber yang baru. Perencanaan energi
jangka panjang, peran investor sangatlah penting, iklim
investasi dan kebijakan pemerintah yang mendukung sangat
dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan suplai energi begitu
juga dengan ketersediaan infrastruktur, diperlukan birokrasi
satu jendela agar efektivitas dalam berinvestasi tidak
mengalami gangguan.
Tenaga listrik merupakan salah satu faktor pendukung
pembangunan nasional. Hal tersebut menyebabkan,
pembangunan ketenagalistrikan ditempatkan pada prioritas
yang sangat penting. Sebagai salah satu hasil pemanfaatan
kekayaan alam yang menguasai hidup orang banyak, listrik
merupakan salah satu upaya untuk menyejahterakan
masyarakat. Ketersediaan tenaga listrik yang dipergunakan
secara luas dan merata untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Sampai tahun 2004, sebanyak 252 area panas bumi telah
di identifikasi melalui inventarisasi dan eksplorasi. Sebagian

17
besar dari jumlah area tersebut terletak di lingkungan vulkanik,
sisanya berada di lingkungan batuan sedimen dan metamorf.
Dari jumlah lokasi tersebut mempunyai total potensi sumber
daya dan cadangan panas bumi sebesar sekitar 27.35 MWe. Dari
total potensi tersebut hanya 3% (807 MWe) yang telah
dimanfaatkan sebagai energi listrik dan menyumbangkan
sekitar 2% dalam pemakaian energi listrik nasional.
Saat ini pengusahaan pemanfaatan energi panas bumi
diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang
Panas bumi. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 Tentang
Panas Bumi diundangkan dengan mencabut Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2003 Tentang panas Bumi. Semangat
mendorong pemanfaatan energi panas bumi begitu jelas dalam
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 Tentang Panas Bumi.
Adapun beberapa konsep dan pokok-pokok pengaturan
yang terkandung dalam Undang-Undang ini, di antaranya
meliputi:
a. Bahwa pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan
dalam pengertian kegiatan pertambangan;
b. Landasan filosofis kegiatan usaha panas bumi sebagai
bagian pemanfaatan dari sumber daya alam bertumpu
pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Panas Bumi
sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam
Wilayah hukum Indonesia merupakan kekayaan nasional
yang dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk
kemakmuran Rakyat. Oleh karena itu dalam Undang-
Undangan ini dinyatakan bahwa Panas Bumi merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai Negara yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.

18
c. Pengaturan mengenai kewenangan penyelenggaraan
Panas Bumi baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun
Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten Kota.
d. Kewenangan Pemerintah untuk melakukan Eksplorasi,
Eksploitasi dan pemanfaatan yang dapat dilaksanakan
oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Layanan
Umum.
e. Adanya pengaturan yang lebih rinci mengenai
pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung
maupun pemanfaatan tidak langsung;
f. Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin Usaha
Pertambangan Panas Bumi akibat dari perubahan yang
semula dilakukan oleh Pemerintah Daerah beralih menjadi
kewenangan Pemerintah;
g. Pengaturan bonus produksi pengusahaan panas bumi
(production bonus) yang didasarkan kepada persentase
tertentu dari pendapatan kotor sejak unit pertama
berproduksi;
h. Pengaturan ketentuan peralihan yang lebih jelas untuk
pengelolaan wilayah kerja panas bumi yang telah ada
sebelum diterbitkannya Undang-Undang ini.
Sebagai tindak lanjutnya, Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2014 ini mengamanatkan pembentukan beberapa
Peraturan Pemerintah, yang secara garis besar dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) Peraturan Pemerintah, yaitu:
1. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Bonus Produksi
Pengusahaan Panas Bumi.
2. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan
Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
3. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan
Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung.

19
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4327), dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi ini.

2.6. Distribusi, Klasifikasi dan Potensi Energi Panas Bumi


Sekitar 80% lokasi panas bumi di Indonesia berasosiasi
dengan sistem vulkanik aktif seperti Sumatra (81 lokasi), Jawa
(71 lokasi), Bali dan Nusa Tenggara (27 lokasi), Maluku (15
lokasi), dan terutama Sulawesi Utara (7 lokasi). Sedangkan
yang berada di lingkungan non vulkanik aktif yaitu di Sulawesi
(43 lokasi), Bangka Belitung (3 lokasi), Kalimantan (3 lokasi),
dan Papua (2 lokasi). Dari 252 lokasi panas bumi yang ada,
hanya 31% yang telah disurvei secara rinci dan didapatkan
potensi cadangan. Di sebagian besar lokasi terutama yang
berada di daerah terpencil masih dalam status survei
pendahuluan sehingga didapatkan potensi sumber daya.
Total potensi panas bumi dari 252 lokasi sebesar 27.357
MWe terdiri dari sumber daya sebesar 14.007 MWe dan
cadangan sebesar 13.350 MWe. Data potensi ini merupakan
data dari Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DIM)
dan institusi lain yang bergerak di bidang panas bumi. Hal ini
menjadi kendala dalam penghitungan neraca potensi karena
dengan sumber data yang berbeda kemungkinan dihitung
dengan metode yang juga berbeda. Sedangkan dalam
penghitungan yang dilakukan oleh DIM juga masih sangat
subjektif. Kendala-kendala yang masih dijumpai dalam
penghitungan potensi panas bumi antara lain dalam penentuan
temperatur reservoir dan luas daerah prospek. Penghitungan

20
temperatur dengan metode geotermometri yang berbeda akan
menghasilkan temperatur yang berbeda pula. Demikian juga
dengan penentuan luas prospek yang dapat ditentukan dengan
zona tahanan jenis rendah, gradien tahanan jenis dan
pendekatan geologi. Namun demikian data potensi ini bersifat
dinamis yang akan berubah dan dimutakhirkan setiap waktu
sesuai dengan tingkat kegiatan eksplorasi yang dilakukan baik
oleh pemerintah maupun oleh pengembang.

2.7. Pemanfaatan Energi Panas Bumi di Indonesia


Apabila ditinjau dari total potensi yang ada, pemanfaatan
energi panas bumi di Indonesia masih sangat kecil yaitu sekitar
3%. Pemanfaatan ini juga masih terbatas untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan menghasilkan energi
listrik sebesar 807 MWe yang sebagian besar masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa (97%). Beberapa lapangan panas
bumi yang telah dimanfaatkan sebagai PLTP terletak di Jawa
Barat (Gunung Salak 330 MWe, Wayang Windu 110 MWe,
Kamojang 235 MWe, dan Darajat 145 MWe), Jawa Tengah
(Dieng 60 MWe), Sumatera Utara (Sibayak 12 MWe), Sulawesi
Utara (Lahendong 120 MWe), Lampung (Ulubelu 220 MWe) dan
Sumatera Barat (Muara Laboh 85 MWe).
Energi panas bumi di Indonesia sangat beragam, sehingga
selain pemanfaatan tidak langsung (PLTP), dapat dimanfaatkan
secara langsung (direct uses) seperti untuk industri pertanian
(antara lain untuk pengeringan hasil pertanian, sterilisasi
media tanaman, dan budidaya tanaman tertentu). Dibandingkan
dengan negara lain (China, Korea, New Zealand) pemanfaatan
langsung di Indonesia masih sangat terbatas terutama hanya
untuk pariwisata yang umumnya dikelola oleh daerah
setempat. Untuk mengembangkan pemanfaatan energi panas
bumi secara langsung di Indonesia masih diperlukan riset dan
kajian lebih lanjut.

21
2.8. Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi
Mengacu pada UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas
Bumi, bahwa Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi
adalah wilayah yang ditetapkan dalam Izin Usaha
Pertambangan (IUP). Pembuatan dan penetapan WKP panas
bumi merupakan wewenang pemerintah pusat dalam hal ini
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Sedangkan
kewenangan pemberi perizinan tergantung dari letak di mana
WKP tersebut berada. Jika WKP terletak di dalam suatu
kabupaten, wewenang perizinan ada di pemerintah kabupaten.
Apabila WKP berada di lintas kabupaten maka wewenang ada di
pemerintah daerah provinsi. Pemerintah pusat hanya
memberikan perizinan untuk WKP di lintas provinsi. WKP akan
ditawarkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya melalui mekanisme lelang.
Tata cara lelang untuk WKP panas bumi akan diatur oleh
Peraturan Pemerintah (PP) yang saat ini masih berupa
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang panas bumi
dan dalam proses penyelesaian. Untuk memberikan informasi
mengenai status WKP yang ada, maka WKP panas bumi
dikelompokkan menjadi:
a. WKP tahap produksi, yaitu WKP yang telah dieksploitasi
dan menghasilkan energi listrik.
b. WKP tahap eksplorasi/pengembangan, yaitu WKP yang
berada dalam tahapan eksplorasi atau dalam tahapan
pengembangan.
c. WKP yang ditawarkan (open area), yaitu WKP yang berada
dalam tahapan eksplorasi dan masih menjadi milik
pemerintah.
Sampai saat ini terdapat 33 WKP panas bumi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Sebanyak 15 WKP tersebut
merupakan milik Pertamina (perkiraan potensi 7.500 MWe)

22
dan 6 WKP di antaranya merupakan WKP tahap produksi, yang
menghasilkan total energi listrik sebesar 807 MWe. Sedangkan
18 WKP yang telah ditetapkan dan merupakan WKP tahap
eksplorasi, oleh Pertamina diserahkan kembali kepada
pemerintah dengan perkiraan potensi sekitar 3.900 MWe.
Sejumlah peta saran WKP baru untuk 28 lokasi panas bumi pun
telah dibuat.
Perkiraan letak dan luas WKP masing–masing didasarkan
pada posisi zona prospek dan besarnya potensi energi panas
bumi. WKP baru ini terutama untuk daerah panas bumi yang
telah disurvei rinci dan sebagian terletak di kawasan Indonesia
timur. Dengan luas untuk setiap WKP tidak lebih dari 200.000
ha diharapkan zona prospek panas bumi berada di dalam WKP
tersebut. Peta saran WKP ini juga bersifat dinamis, karena
posisi dan luasnya akan dapat berubah tergantung dari
perubahan ketersediaan data kepanasbumian dan status
penyelidikan di daerah panas bumi tersebut (tahap eksplorasi
atau tahap pengembangan). Perkiraan total potensi dari WKP
baru ini sekitar 2.000 MWe. Dengan adanya promosi WKP
panas bumi di kawasan Indonesia timur di harapkan
pengembangan panas bumi untuk PLTP di daerah ini dapat
segera terealisasi. Hal ini mengingat kawasan timur seperti
Nusa Tenggara Timur sampai saat ini hanya dapat
mengandalkan bahan bakar diesel untuk pembangkit listrik
karena faktor alamnya tidak memungkinkan adanya
pembangkit geohidro.

2.9. Pengembangan Energi Panas Bumi yang Berkelanjutan


Aktivitas dalam masyarakat serta sektor industri nasional,
sangat tergantung terhadap tersedianya energi listrik. Hal ini
yang menyebabkan ketergantungan terhadap ketersediaan
energi listrik semakin hari semakin meningkat. Oleh karena itu

23
sektor ketenagalistrikan mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam menentukan upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta mendorong berjalannya roda perekonomian
nasional.
Sehubungan dengan peranan strategis sektor
ketenagalistrikan, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk
mengusahakan energi listrik dapat tersedia dalam jumlah yang
cukup dengan mutu dan tingkat keandalan yang baik. Akan
tetapi, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan
pertumbuhan ekonomi menyebabkan permintaan terhadap
energi listrik pun semakin hari semakin meningkat. Di sisi lain,
pasca krisis ekonomi melanda Indonesia beberapa tahun lalu,
pembangunan beberapa pembangkit yang semula sudah
direncanakan menjadi terkendala. Selain hal tersebut di atas,
kendala lain muncul karena keterbatasan dana dari pemerintah
untuk berinvestasi pada sektor ketenagalistrikan terutama
pembangunan pembangkit baru. Investasi dari pihak swasta
yang diharapkan bisa berjalan dengan baik menjadi terhambat
karena adanya permintaan suatu prasyarat kondisi tertentu.
Permasalahan yang kompleks tersebut pada akhirnya
menyebabkan penambahan pasokan tenaga listrik tidak mampu
mengimbangi tingginya pertumbuhan permintaan akan tenaga
listrik, sehingga menyebabkan terjadinya kondisi krisis
penyediaan tenaga listrik di beberapa daerah. Kondisi tersebut
mengakibatkan terhambatnya perkembangan ekonomi daerah
dan nasional. Sejalan dengan UU No.30 tahun 2007 tentang
energi, maka keamanan dan keberlanjutan pasokan energi
domestik menjadi sesuatu yang perlu diupayakan secara
sinergis antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Hal
ini dikarenakan jika tidak ada antisipasi keamanan dan
keberlanjutan pasokan energi dari awal maka akan membawa
konsekuensi yang lebih mahal di masa yang akan datang.

24
Mengatasi krisis penyediaan energi dan menghindari
dampak kerusakan lingkungan hidup akibat global warming
maka dibutuhkan sumber energi alternatif yang baru dan
terbarukan serta lebih ramah lingkungan. Pemanfaatan dan
pengembangan energi terbarukan menjadi semakin penting
mengingat semakin terbatasnya sumber energi fosil atau
sumber energi non-terbarukan. Melalui Perpres No 5 tahun
2006 tentang Kebijakan Energi strategi pengelolaan energi
nasional 2006-2025, di mana dalam peraturan tersebut
disebutkan bahwa dalam pasokan energi nasional harus
dipenuhi 17% energi terbarukan. Hal tersebut menyatakan
dengan jelas bagaimana peranan energi terbarukan di masa
yang akan datang.
Energi baru dan terbarukan (EBT) yang tersedia di
Indonesia adalah panas bumi, tenaga air, biomasa, energi
matahari dan energi kelautan. Kepulauan Indonesia terletak di
salah satu kerangka tektonik yang paling aktif di dunia, terletak
di antara perbatasan Indo-Australia, Pasifik, Filipina dan
lempeng tektonik Eurasia. Posisi strategis tersebut menjadikan
Indonesia sebagai negara paling kaya dengan energi panas
bumi yang tersebar di 285 titik daerah sepanjang busur
vulkanik dengan total potensi sebesar 29.215 GWe (Badan
Geologi Kementerian ESDM, 2011). Menurut Laporan yang
dikeluarkan oleh WWF pada tahun 2012 dengan judul “Igniting
the Ring of Fire: A Vision for Developing Indonesia’s Geothermal
Power” Indonesia memiliki potensi energi panas bumi terbesar
di dunia, dengan setidaknya 29 Giga Watt total potensi panas
bumi.
Dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan sekitar 1,2 Giga
Watt. Kebijakan Energi Nasional telah menargetkan agar panas
bumi dapat menyokong 5% bauran energi nasional pada 2025,
namun hingga saat ini panas bumi baru berkontribusi 3%
dengan perkembangan yang lambat. Beragam kendala dan

25
tantangan dihadapi dalam pengembangan panas bumi, baik dari
sisi kebijakan dan regulasi, pengaturan institusi, isu koordinasi
lintas sektor, otonomi daerah, sumber daya manusia, isu tata
kelola (good governance), dan hal-hal teknis, seperti: akurasi
data, proses tender, pelibatan masyarakat dalam proses
pembangunan, negosiasi harga, perijinan, dan lainnya. Artikel
ini membahas bagaimana pembangunan energi panas bumi
yang berkelanjutan di Indonesia. Pengembangan energi panas
bumi sebagai salah satu energi terbarukan menjadi sangat
penting untuk didiskusikan terkait dengan cadangan energi
fosil yang terbatas, harga energi yang fluktuatif karena
dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi dunia serta
meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat pembakaran bahan
bakar fosil.

2.10. Limbah Cair Panas Bumi


Panas bumi merupakan salah satu energi terbarukan yang
ada di Indonesia yang telah dimanfaatkan untuk pembangkit
listrik tenaga panas bumi (PLTP). Sampai dengan Desember
2015, menurut Saefulhak (2015) lapangan panas bumi di
Indonesia telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik
sebanyak 10 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan
total kapasitas terpasang dari PLTP sebesar 1438,5MW.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014
tentang Panas Bumi. Panas Bumi adalah sumber energi panas
yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan
bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik
tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi. Secara
umum pemanfaatan panas bumi terdiri atas dua jenis, yaitu
pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung. Panas
bumi telah dimanfaatkan sampai dengan saat ini, baik untuk
pemanfaatan langsung maupun pemanfaatan tidak langsung

26
yaitu untuk pembangkit listrik (Fridleifsson, 2001).
Pemanfaatan langsung panas bumi dapat dimanfaatkan untuk
berbagai macam kegiatan, antara lain pertanian, perikanan dan
wisata. Pemanfaatan langsung panas bumi temperatur 20ºC
hingga lebih dari 100ºC. Sesuai perkembangan teknologi saat
ini, pemanfaatan langsung panas bumi ini dapat juga untuk
pembangkit listrik. Air panas yang berasal dari manifestasi
panas bumi dapat digunakan untuk menghasilkan listrik.
Operasional PLTP tidak memerlukan energi primer untuk
menggerakkan turbin, hal ini karena uap air diekstraksi dari
perut bumi melalui sumur produksi. Uap yang dihasilkan oleh
sumur dipisahkan oleh separator, sehingga menghasilkan uap
dan brine. Brine merupakan fasa cair dari hasil pemisahan uap
panas bumi diseparator. Uap dipergunakan untuk memutar
turbin. Setelah memutar turbin uap tersebut terkondensasi
menjadi air. Air hasil kondensasi ini seharusnya diinjeksikan
kembali ke dalam reservoir untuk menjaga keberlanjutan
reservoir sehingga sumber daya panas bumi dapat terus terjaga
keberlanjutannya. Ketika air dan brine yang dihasilkan oleh
PLTP ini tidak diinjeksikan kembali, maka air dan brine
tersebut menjadi limbah.
Untuk melindungi lingkungan dari pencemaran limbah
PLTP, pemerintah telah mengatur baku mutu limbah yang
dihasilkan oleh PLTP. Pengaturan baku mutu limbah ini melalui
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2010
tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan
Minyak dan Gas serta Panas Bumi. Baku mutu limbah PLTP
menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun
2010 seperti tabel di bawah ini:

27
Tabel 1. Baku Mutu Limbah Bagi Usaha Panas Bumi

Tabel 2. Arsen (As) Pada Air Tanah

28
BAB III
SUMBER DAYA AIR DAN
PENGELOLAANNYA

Keberlanjutan ekosistem menjadi salah satu isu penting di


dalam platform Sustainable Development Goals (SDGs) yang
telah dicanangkan untuk menggantikan platform lama yaitu
MDGs. SDGs memiliki 17 tujuan yang bersifat komprehensif dan
inklusif. Tujuan nomor 15 dari SDGs adalah life and land
(Kehidupan di darat) yang artinya melindungi, merestorasi dan
meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan,
mengelola lahan secara lestari, menghentikan penggurunan,
memulihkan degradasi lahan, serta menghentikan kehilangan
keanekaragaman hayati.
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun
kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan
membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat.
Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat
mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas
lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban
sosial.
Sumber daya air merupakan sumber daya alam yang
terbaharui dan secara alamiah berada di dalam wilayah
hidrografis yang disebut daerah aliran sungai yang mengikuti
siklus hidrologis. Ketersediaan sumber daya air dalam setiap
daerah aliran sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan
hidrogeologi setempat sehingga mengakibatkan adanya daerah
aliran sungai dengan ketersediaan air yang melimpah dan

29
daerah aliran sungai yang sangat kekurangan air (2). Manusia
mungkin dapat hidup beberapa hari tanpa makan, akan tetapi
manusia tidak akan bertahan selama beberapa hari jika tidak
minum karena sudah mutlak bahwa sebagian besar zat
pembentuk tubuh manusia itu terdiri dari 73% adalah air.
Oleh karena itulah air sangat berfungsi dan berperan bagi
kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Penting bagi kita sebagai
manusia untuk tetap selalu melestarikan dan menjaga agar air
yang kita gunakan tetap terjaga kelestariannya dengan
melakukan pengelolaan air yang baik seperti penghematan,
tidak membuang sampah dan limbah yang dapat membuat
pencemaran air sehingga dapat mengganggu ekosistem yang
ada.
Selain merupakan sumber daya alam, air juga merupakan
komponen ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, yang dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal ini tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pasal 33 UUD
1945 mengatur tentang pengertian perekonomian pemanfaatan
SDA, dan prinsip perekonomian nasional. Mengingat
pentingnya kebutuhan akan air bersih, maka sangatlah wajar
apabila sektor air bersih mendapatkan prioritas penanganan
utama karena menyangkut kehidupan orang banyak. Adanya
Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang air memang
jelas bahwa air harus di jaga dan dilindungi agar air tersebut
akan tetap ada dan lestari.
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus
dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung
jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu,
pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan
kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan

30
berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap
kearifan lokal dan kearifan lingkungan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan
kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian
produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah
bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut
dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan
risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rosi, dkk. di
sungai Babon bahwa parameter BOD dan COD di beberapa titik
telah melebihi baku mutu yang dipersyaratkan. Nilai indeks
pencemaran dari hulu ke hilir cenderung semakin meningkat,
melebihi baku mutu yang di tetapkan untuk baku mutu air
kriteria sungai Kelas II. Sungai babon telah mengandung residu
insektisida endosulfan dengan konsentrasi berkisar antara 0,6–
3,0 μg/L.

Gambar 4. Siklus hidrologi

31
Penelitian Diba, dkk. juga menyatakan bahwa secara
umum pada titik sampel tiga yaitu bagian tengah hingga hilir
DAS Batang Arau melebihi baku mutu air untuk parameter
kualitas air sungai BOD, COD, dan TSS disebabkan oleh di
sekitar daerah ini terdapat pemukiman dan kawasan industri.
seiring dengan penelitian oleh Erliza, dkk. yang menyatakan
bahwa kualitas perairan Sungai Batang Arau dikategorikan
dalam kondisi yang kurang baik, dilihat dari kondisi fisik yang
banyak sekali sampah dan nilai DO yang rendah (< 5 mg/L)
sudah tidak memenuhi syarat untuk kehidupan biota. Nilai BOD
Sungai Batang Arau berkisar (0,2-2,1 mg/L), nilai COD
mengindikasikan bahwa bahan organik yang diuraikan secara
kimia dinilai cukup tinggi.
Air sungai yang tercemar juga akan memberikan dampak
risiko terhadap masyarakat apabila dijadikan sumber air baku.
Kawasan Industri Jababeka Tbk. menggunakan sistem proses
oksidasi, flokulasi koagulasi, sedimentasi filtrasi dan post
klorinasi. Bahan baku yang digunakan adalah air sungai atau
air permukaan yang bersumber dari waduk Jatiluhur yang
mengalir di saluran Tarum Barat. Perkembangan pemukiman
dan peningkatan kegiatan industri di hulu Sungai Citarum dan
di sekitar saluran Tarum Barat menyebabkan penurunan
kualitas air akibat pencemaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita lihat bagaimana
kondisi sumber daya air yang sudah sebagian besar mengalami
penurunan kualitas di mana yang seharusnya dikelola secara
menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan dengan
tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang
berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai
yang diamanatkan oleh undang-undang. Kebijakan pengelolaan
sumber daya air mencakup aspek konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air,

32
dan sistem informasi sumber daya air yang disusun dengan
memperhatikan kondisi wilayah masing-masing.

3.1. Pengertian Sumber Daya Air


Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air mendefinisikan bahwa sumber daya air adalah
air, sumber air, daya air yang terkandung di dalamnya. Air
adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air
permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di
darat. Dan daya air adalah potensi yang terkandung dalam air
dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat
ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia
serta lingkungannya.

3.2. Pengelolaan Sumber Daya Air


Pengelolaan sumber daya air menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air adalah upaya
merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Pengelolaan sumber daya air dilakukan berdasarkan asas;
a. Kemanfaatan umum,
b. Keterjangkauan,
c. Keadilan,
d. Keseimbangan,
e. Kemandirian,
f. Kearifan lokal,
g. Wawasan lingkungan,
h. Kelestarian,
i. Keberlanjutan,
j. Keterpaduan dan keserasian,
k. Transparansi dan akuntabilitas.

33
Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu,
dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kebijakan
pengelolaan sumber daya air mencakup aspek konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air,
pengendalian daya rusak air, dan sistem informasi sumber daya
air yang disusun dengan memperhatikan kondisi wilayah
masing-masing.
Sumber Daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan serta diwujudkan
secara selaras. Pengelolaan sumber daya air didasarkan pada
wilayah sungai dengan memperhatikan keterkaitan penggunaan
air permukaan dan air tanah dengan mengutamakan
pendayagunaan air permukaan.
Dalam pengelolaan sumber daya air berdasarkan wilayah
sungai sedikitnya memperhatikan beberapa hal yaitu;
a. Daerah aliran sungai secara alamiah.
b. Karakteristik fungsi sumber air.
c. Daya dukung sumber daya air.
d. Kekhasan dan aspirasi daerah dan masyarakat sekitar
dengan melibatkan para pemangku kepentingan terkait.
e. Kemampuan pendanaan.
f. Perubahan iklim.
g. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
h. Pengembangan teknologi.
i. Jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi
pertumbuhannya.
Sumber daya air merupakan sumber daya alam yang
terbaharui dan secara alamiah berada di dalam wilayah
hidrografis yang disebut daerah aliran sungai yang mengikuti
siklus hidrologis. Ketersediaan sumber daya air dalam setiap

34
daerah aliran sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan
hidrogeologi setempat sehingga mengakibatkan adanya daerah
aliran sungai dengan ketersediaan air yang melimpah dan
daerah aliran sungai yang sangat kekurangan air.
Sumber daya air merupakan salah satu sumber daya
alam yang mempunyai sifat mengalir dan dinamis serta
berinteraksi dengan sumber daya lain sehingga membentuk
suatu sistem. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya air
akan berdampak pada kondisi sumber daya lainnya dan
sebaliknya Oleh karena itu, agar pengelolaan berbagai sumber
daya tersebut dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat
secara optimal, diperlukan suatu acuan pengelolaan terpadu
antar instansi dan antarwilayah, yaitu berupa pola pengelolaan
sumber daya air.
Tahapan pengelolaan sumber daya air meliputi:
a. Perencanaan Pengelolaan sumber daya air.
b. Pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dan
pelaksanaan nonkonstruksi.
c. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air.
d. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan sumber daya air.

3.3. Penggunaan Sumber Daya Air


Pada dasarnya penggunaan sumber daya air untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat
dapat dilakukan tanpa izin penggunaan Sumber Daya Air untuk
kebutuhan bukan usaha. Namun, dalam hal penggunaan sumber
daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
dilakukan pengubahan kondisi alami sumber air atau ditujukan
untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah
besar, penggunaannya harus dilakukan berdasarkan izin
penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan bukan usaha.
Penggunaan Air untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian

35
rakyat juga harus dilakukan berdasarkan izin penggunaan
sumber daya air untuk kebutuhan bukan usaha apabila
dilakukan dengan cara mengubah kondisi alami sumber air atau
digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang
sudah ada.
Penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha
diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip:
a. Tidak mengganggu, tidak mengesampingkan, dan tidak
meniadakan hak rakyat atas air.
b. Pelindungan negara terhadap hak rakyat atas air.
c. Kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi
manusia.
d. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air
bersifat mutlak.
e. Prioritas utama penggunaan sumber daya air untuk
kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik
desa.
f. Pemberian izin penggunaan sumber daya air untuk
kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan
dengan syarat tertentu dan ketat.
Untuk terselenggaranya pengelolaan sumber daya air
secara berkelanjutan, penerima manfaat jasa pengelolaan
sumber daya air, pada prinsipnya wajib menanggung biaya
pengelolaan sesuai dengan manfaat yang diperoleh. Kewajiban
itu tidak berlaku bagi pengguna Air untuk kebutuhan pokok
sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan selain untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat
yang bukan kegiatan usaha. Pengelolaan Sumber Daya Air
melibatkan kepentingan banyak pihak yang sering kali tidak
sejalan dan menimbulkan potensi konflik. Untuk mengatasi hal
tersebut, diperlukan koordinasi untuk mengintegrasikan

36
kepentingan antarsektor dan antarwilayah serta untuk
merumuskan kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Air secara
sinergis.

3.4. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian


Pencemaran Air
Air sebagai komponen lingkungan hidup akan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air
yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi
lingkungan hidup menjadi buruk, sehingga akan mempengaruhi
kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan
makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan
menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung
dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya
akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural
resources depletion).
Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat
penting maka harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Hal ini berarti bahwa penggunaan air
untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan
secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan
generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola
agar tersedia dalam jumlah yang aman, baik secara kuantitas
maupun kualitasnya dan bermanfaat bagi kehidupan dan peri
kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya agar tetap
berfungsi secara ekologis, guna menunjang pembangunan yang
berkelanjutan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Penngendalian
Pencemaran Air, klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4
(empat) kelas:

37
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut.
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk
mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.

3.5. Permasalahan Sumber Daya Air di Indonesia


Sumber Daya Air merupakan salah satu unsur utama
untuk kelangsungan hidup manusia, di samping itu air juga
mempunyai arti penting dalam rangka meningkatkan taraf
hidup manusia di bumi, bukan hanya manusia tetapi air
merupakan elemen yang sangat signifikan bagi kehidupan
mahluk hidup baik seperti hewan dan tumbuhan. Bisa
dipastikan bahwa kehidupan mahluk di bumi ini memerlukan
air untuk kelangsungan hidupnya. Manusia pun juga seperti itu
entah sekarang atau pun kehidupan yang akan datang pasti
akan membutuhkan air untuk kehidupannya.
Selain merupakan sumber daya alam, air juga merupakan
komponen ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan

38
manusia dan makhluk hidup lainnya, yang dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal ini tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pasal 33 UUD
1945 mengatur tentang pengertian perekonomian pemanfaatan
SDA, dan prinsip perekonomian nasional. Mengingat
pentingnya kebutuhan akan air bersih, maka sangatlah wajar
apabila sektor air bersih mendapatkan prioritas penanganan
utama karena menyangkut kehidupan orang banyak. Adanya
Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang air memang
jelas bahwa air harus di jaga dan dilindungi agar air tersebut
akan tetap ada dan lestari.
Potensi dan ketersediaan air di Indonesia saat ini
diperkirakan sebesar 15.000 meter kubik per kapita per tahun.
Jauh lebih tinggi dari rata-rata pasokan dunia yang hanya
8.000 m3/kapita/tahun. Pulau Jawa pada tahun 1930 masih
mampu memasok 4.700 m3/kapita/tahun, saat ini total
potensinya sudah tinggal sepertiganya, yakni tinggal 1500
m3/kapita/tahun. Pada tahun 2020 total potensinya
diperkirakan tinggal 1200 m3/kapita/tahun. Dari potensi alami
ini, yang layak dikelola secara ekonomi hanya 35%, sehingga
potensi nyata tinggal 400 m3/kapita/tahun, jauh di bawah
angka minimum PBB, yaitu sebesar 1.000 m3/kapita/tahun.
Padahal dari jumlah 35% tersebut, sebesar 6% diperlukan
untuk penyelamatan saluran dan sungai-sungai, sebagai
maintenance low.
Oleh karena itulah air sangat berfungsi dan berperan bagi
kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Penting bagi kita sebagai
manusia untuk tetap selalu melestarikan dan menjaga agar air
yang kita gunakan tetap terjaga kelestariannya dengan
melakukan pengelolaan air yang baik seperti penghematan,
tidak membuang sampah dan limbah yang dapat membuat

39
pencemaran air sehingga dapat mengganggu ekosistem yang
ada.
Jimly Asshiddiqie mengatakan Pembangunan nasional
berkelanjutan pada prinsipnya merupakan konsep
pembangunan yang diselenggarakan untuk memenuhi
kebutuhan generasi masa sekarang tanpa harus mengorbankan
hak-hak pemenuhan kebutuhan generasi masa mendatang.
Pengelolaan berwawasan lingkungan hidup adalah pengelolaan
yang memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya
dukung lingkungan. Keseimbangan ekosistem ini juga bertujuan
untuk menjaga dari kelangkaan. Adapun pengelolaan yang
berkelanjutan ini ditujukan untuk kepentingan generasi
sekarang dan juga kepentingan generasi yang akan datang.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya pencemaran
pada sungai- sungai yang disebabkan oleh berbagai aktivitas
manusia. Kualitas air sungai Pesanggrahan yang melewati
wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta arah hulu ke hilir
telah mengalami penurunan kualitas dengan status tercemar
ringan sampai sedang dan kemampuan daya tampung beban
pencemaran Sungai Pesanggarahan untuk parameter BOD dan
TSS telah terlampaui berdasarkan Baku Mutu dalam PP
82/2001 untuk kelas II Hasil pengujian air sungai di Asam
Binatur di Desa Jenggot menunjukkan konsentrasi COD (50
ppm) dan BOD5 (17,5 ppm) di atas standar kualitas (25 ppm
dan 3 ppm). Konsentrasi BOD5 (5,2 ppm) dalam pengujian air
sungai Pekalongan di Desa Kauman berada di atas standar
kualitas (3 ppm).

40
Gambar 5. Pencemaran air sungai

Kondisi air sungai Metro Kota Kepanjen untuk konsentrasi


BOD di semua titik pantau dari hulu ke hilir dan konsentrasi
TSS di hilir sungai pada titik pantau 3 telah melebihi kriteria
mutu air kelas II yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2008 . Begitupun
kondisi Sungai Blukar dari hulu ke hilir telah mengalami
penurunan kualitas air sungai yang ditunjukkan parameter BOD
dan COD melebihi baku mutu di titik 3,4,5,6 dan 7 berdasarkan
baku mutu air sungai kelas II menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 82 tahun 2001.
Begitupun dengan kondisi air laut di mana hasil penelitian
menunjukkan bahwa air laut dari wilayah perairan paling barat
Semarang telah terkontaminasi pestisida organoklorin. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi
ditemukan pada beberapa pestisida seperti Heptachlor, Aldrin,
Endosulfan, Endrin, dan pp-DDT. Bila dibandingkan dengan
baku mutu dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk

41
kehidupan organisme laut dan wisata masih dikategorikan
tinggi dan terkontaminasi pestisida organoklorin.
Berdasarkan data BLH, beban pencemaran air sungai di
Kota Tangerang telah terjadi pencemaran tingkat sedang di
mana aliran Sungai Cisadane dan anak sungai seperti Kali Sabi,
Cirarab dan Mookervart serta Kali Angke telah mengalami
pencemaran dari berbagai sumber seperti industri dan limbah
rumah tangga. Di Kota Tangerang terdapat pula daerah yang
kesulitan air bersih akibat pencemaran air tanah seperti di
Neglasari yang sudah tercemar dengan air lindi sampah dan
limbah industri rumah tangga seperti rumah potong hewan dan
sebagainya.
Manusia merupakan faktor utama penyebab banyaknya
kerusakan lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya air
dan tanah seperti sedimentasi sungai dan waduk, pencemaran
tanah, dan lain sebagainya. Tidak disadari, kegiatan hidup
manusia sehari-hari akan merusak lingkungan yang disebabkan
oleh tekanan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan.
Interaksi antara manusia dan lingkungannya tidak selalu
berdampak positif bagi lingkungan. Interaksi tersebut menurut
Suparmini, dkk. (2013) dapat menimbulkan dampak negatif
yang dapat menimbulkan bencana, malapetaka, dan kerugian-
kerugian lainnya.
Masalah utama yang dihadapi berkaitan dengan sumber
daya air adalah kuantitas air yang sudah tidak mampu
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air
untuk keperluan domestik yang semakin menurun dari tahun ke
tahun. Kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain
berdampak negatif terhadap sumber daya air, termasuk
penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan
gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi mahluk hidup yang
bergantung pada sumber daya air.

42
3.6. Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan
Hakikatnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Ibarat suatu
sistem, maka keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Secara umum, pembangun bertujuan untuk meningkatkan mutu
hidup rakyat dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat yang lebih
baik. Dalam upaya memperbaiki mutu hidup rakyat,
sebagaimana tujuan dari pembangunan maka kemampuan
lingkungan hidup diupayakan dalam rangka menghindari
terjadinya kepunahan kehidupan. Dengan kata lain, apabila
terjadi kerusakan, maka ke depannya kehidupan manusia akan
mengalami kesulitan yang banyak.
Ketersediaan air secara nasional di Indonesia mencapai
694 miliar kubik per tahun. Potensi sumber daya air yang besar
ini tidak menyebar secara merata di wilayah Indonesia.
Penyebaran yang tidak merata ditambah dengan konsentrasi
jumlah penduduk yang tinggi menyebabkan Pulau Jawa telah
mengalami defisit ketersediaan sumber daya air. Potensi
ketersediaan air ini pada dasarnya dapat dimanfaatkan, namun
faktanya baru 23% yang sudah dimanfaatkan. Pemenuhan
kebutuhan baku rumah tangga, kota dan industri mencapai
20% dan sisanya dimanfaatkan untuk kebutuhan irigasi.
Dilihat dari hasil data ketersediaan air yang ada di 7
pulau-pulau besar yang ada di Indonesia Pulau Jawa mengalami
permasalahan paling tinggi di mana terlihat dari tingginya
tingkat kebutuhan air tidak sebanding dengan ketersediaan air
yang ada, sehingga akan berdampak kepada ketahanan pangan
dan juga kondisi kesejahteraan masyarakat khususnya petani,
dengan hal tersebut ada strategi dalam upaya peningkatan
penyediaan air dan produktivitas air yaitu dengan cara
konservasi ekosistem hidrologis daerah aliran sungai (DAS),
peningkatan efisiensi pemanfaatan air pertanian, redistribusi

43
aset infrastruktur irigasi dengan mekanisme pendanaan dan
insentif yang sesuai serta adanya harmonisasi antar sektor dan
wilayah setempat dalam pengelolaan sumber daya air
pertanian.
Peningkatan eksploitasi sumber air bersih yang berasal
dar air tanah jika tidak diatur dengan baik, maka akan
menimbulkan degradasi kualitas dan kuantitas air bersih. Oleh
karena itu manajemen pengelolaan air bersih menjadi sangat
penting. Manajemen pengelolaan air bersih mencakup
pengolahan sumber air baku, pengaliran serta pembagian air
bersih sampai ke wilayah pelayanan. Sistem pengelolaan
sumber daya air secara terpadu akan mampu memberikan
pasokan air yang lebih adil bagi konsumen. Penyelenggaraan
sistem penyediaan air bersih di Indonesia pada umumnya
dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Pengendalian daya rusak air perlu dilakukan terpadu,
menyeluruh, dan terkoordinasi serta mencakup upaya
pencegahan, penanggulangan, pemulihan dan/atau perbaikan
akibat bencana dengan mengutamakan upaya pencegahan.
Upaya pencegahan dilakukan dengan peringatan dini,
pemindahan, dan/atau penyelamatan penduduk yang bermukim
di kawasan rawan bencana, serta penyebarluasan informasi
dan penyuluhan kepada masyarakat. Upaya penanggulangan
diutamakan untuk keselamatan jiwa manusia dengan prioritas
pemenuhan kebutuhan dasar dan bersifat segera.
Pengembangan sumber daya air dilaksanakan untuk
meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air melalui
pengembangan kemanfaatan sumber daya air dan/atau
peningkatan ketersediaan air dan kualitas air. Pengembangan
sumber daya air diselenggarakan berdasarkan rencana
pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah
yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan:

44
a. Daya dukung sumber daya air.
b. Kekhasan dan aspirasi daerah dan masyarakat setempat.
c. Kemampuan pembiayaan.
d. Kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.
Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud
meliputi: (a) Air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan
sumber air permukaan lain; (b) Air tanah pada cekungan air
tanah; (c) Air hujan; dan (d) Air laut yang berada di darat.
Kebijakan pengelolaan sumber daya air dimaksudkan sebagai
arahan strategis yang menjadi dasar dalam mengintegrasikan
kepentingan pengembangan wilayah administrasi dengan
pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah sungai.
Kebijakan pengelolaan sumber daya air disusun dengan
memperhatikan kondisi wilayah administratif, seperti,
perkembangan penduduk, ekonomi, sosial budaya, dan
kebutuhan air.
Untuk terselenggaranya pengelolaan sumber daya air
secara berkelanjutan, penerima manfaat jasa pengelolaan
sumber daya air, pada prinsipnya, wajib menanggung biaya
pengelolaan sesuai dengan manfaat yang diperoleh. Kewajiban
itu tidak berlaku bagi pengguna air untuk kebutuhan pokok
sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan selain untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat
yang bukan kegiatan usaha.
Menurut Prof. Bambang Istijono Pengelolaan sumber daya
air berbasis wilayah sungai bermakna merencanakan,
melaksanakan, memantau, mengevaluasi penyelenggaraan yang
dapat dirincikan menjadi:
a. Konservasi dan pemanfaatannya diaplikasikan dalam
porsi alokasi air dan evaluasinya (untuk irigasi, air
baku/PDAM, energi, navigasi/transportasi, akuatik
habitat, wisata air dan kesehatan masyarakat).

45
b. Rekayasa sungai (river engineering); pengendalian
banjir/restorasi sungai, waduk, embung, bending,
cekdam/sabodam, sudetan, kolam retensi/retarding basin,
collection pond.
c. Rekayasa muara sungai dan pantai (coastal engineering).
d. Pemantauan kualitas air/remedial action plan peningkatan
kualitas air (flushing/penggelontoran, water treatment
plan, pengelolaan limbah).
Upaya untuk mempertahankan keberlanjutan adalah
melalui konservasi sumber daya air. Upaya-upaya yang dapat
dilakukan dalam rangka pengelolaan sumber daya air yang
berkelanjutan di antaranya;
a. Integrated Water Resources Management (IWRM)
Menurut Budi Santoso (2006) dalam Sugeng Pratikno
(2017), Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu atau IWRM
merupakan suatu proses koordinasi dalam pengembangan
dan pengelolaan sumber daya air dan lahan serta sumber
daya lainnya dalam suatu wilayah sungai, untuk
mendapatkan manfaat ekonomi dan kesejahteraan sosial
yang seimbang tanpa meninggalkan keberlanjutan
ekosistem.
b. Pengembangan Agrogeokonservasi
c. Pengkajian Pemulihan Sungai
d. Pengkajian Pemanenan Air di DAS hulu
e. Pengkajian Retarding Bazin
f. Pengkajian Mitigasi Bencana Banjir dan Kekeringan
dengan Analisis Spasial Banjir
g. Pengkajian Mitigasi Bencana Longsor dan Erosi
Berdasarkan Karakteristik Fisiografi
h. Wastewater Treatment Technology

46
3.7. Pengelolaan Sumber Daya Air Melalui Pendekatan
Kearifan Lokal
Dalam rangka upaya konservasi air dapat dilakukan
dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal, Maridi (2015)
mengatakan Pelestarian nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran
agama yang berkaitan dengan perlindungan sumber daya alam
dan lingkungan merupakan salah satu wujud konservasi secara
tradisional yang dilakukan oleh masyarakat. Nilai-nilai kearifan
lokal dan ajaran agama penting untuk disemai dan
disebarluaskan, agar manusia merasa bahwa menjaga alam dan
lingkungan adalah bagian dari ajaran agama sehingga alam
dapat memberikan kekayaannya untuk kemakmuran umat
manusia yang mau berupaya untuk menjaga dan menghormati
hak-hak alam.
Nilai-nilai kearifan lokal diwariskan kepada generasi
penerus melalui pendidikan informal, yaitu melalui keluarga
dan masyarakat. Melalui sosialisasi, dan enkulturasi
masyarakat Desa Tegalwaton terutama Dusun Jubug
mengetahui dan menjalankan apa yang menjadi pedoman
mereka dalam bermasyarakat. Hal tersebut diperkuat oleh
Rahayu, dkk. (2014) yang menjelaskan bahwa kearifan lokal
sebagai bentuk budaya masyarakat diajarkan kepada generasi
selanjutnya secara turun temurun melalui lembaga nonformal.
Adanya budaya pamali dalam pengelolaan Hutan Adat
Reban Bela yang terbukti menjaga kelestarian ekosistem di
dalamnya maka, sumber daya air yang ada di dalamnya pun
terjaga dengan baik, kearifan lokal yang berupa budaya pamali
berhasil menjaga kelestarian hutan dan sumber daya air di
Desa Lenek Daya, Kearifan lokal ini merupakan suatu bentuk
aplikasi konservasi hutan dan air(31). Sistem pengelolaan lubuk
larangan yang telah diterapkan oleh masyarakat merupakan
sebuah kearifan masyarakat yang bersifat partisipatif, adaptif

47
dan berkelanjutan dalam pelestarian sumber daya perikanan
sungai khususnya ikan lokal. Pengelolaan seperti ini sangat
efektif dan efisien karena masyarakat secara otonomi menjaga
dan mengelolanya sehingga masyarakat tersebut lebih memiliki
dan rasa tanggung jawab atas sumber daya yang ada di
sekitarnya.
Lubuk larangan dianggap sebagai bentuk kearifan lokal
yang bertujuan menjamin pemanfaatan dan perlindungan
sumber daya ikan (terutama sumber daya ikan di perairan
umum daratan). Parwati (2012) mengemukakan bahwa ada tiga
komponen yang berlaku di dalam pengelolaan lubuk larangan:
mitos, ketentuan hukum adat dan kelembagaan adat. Kearifan
lokal pengelolaan sumber daya ikan seharusnya juga
memberikan dampak yang nyata terhadap keberlanjutan
populasi dari spesies-spesies yang dimanfaatkan dan dikelola.
Pola kehidupan masyarakat Desa Margodadi adalah
masyarakat yang religius, yang spiritualis, bernorma, bernilai
dan berbudaya yang membentuk sebuah peradaban manusia
yang berkualitas tinggi. Sumber Daya Alam dan Lingkungan
dapat dimanfaatkan dengan baik tanpa merusak, Dengan
demikian kesejahteraan manusia berasal dari isi alam semesta.
Untuk itu sumber daya alam dan lingkungan perlu dilestarikan.
Begitupun dengan kehidupan masyarakat di Desa Pisak
yang memiliki Sungai Tanggi yang melewati kawasan hutan
yang mencakup Desa Pisak, sungai Tanggi sendiri memiliki
berbagai macam habitat berupa ikan, udang dan hewan-hewan
lainnya, terdapat larangan-larangan yang diterapkan
masyarakat desa untuk memanfaatkan hasil sungai di
antaranya dilarang menggunakan racun atau Tuba, bom ikan
dan sejenisnya yang dapat merusak ekosistem sungai dan
kualitas air sungai Tanggi, Masyarakat Desa biasanya
menggunakan alat yang ramah lingkungan seperti pancing, jala,

48
bubu, dan panah. Alat-alat tersebut bersifat ramah lingkungan
tidak merusak ekosistem sungai, sehingga ekosistem dapat
terjaga kelestariannya.
Aulia (2010) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan
lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma,
kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang
bermacam-macam ini mempengaruhi fungsi kearifan lokal
menjadi beragam pula. Kearifan lokal berfungsi untuk
konservasi dan pelestarian SDA, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan
dan sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
Tindakan dalam menjaga mata air yang dilakukan oleh
masyarakat yaitu tindakan pengelolaan mata air. Manik (2012)
menyatakan pengelolaan didefinisikan sebagai upaya yang
dilakukan manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam
dalam suatu wilayah sehingga dapat berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Reza dan Hidayati (2017)
menyatakan upaya merencanakan, melaksanakan, memantau,
dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air
dan pengendalian daya rusak air adalah pengelolaan sumber
daya air. Kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat dalam pengelolaan mata air ini antara lain
menanam tanaman bambu, gotong royong membersihkan mata
air yang didahului dengan melakukan tradisi adat.
Kearifan lokal sebagai fondasi bukan berarti harus
mengesampingkan para pembuat kebijakan. Namun, yang perlu
dipertajam adalah sinergisitas antara masyarakat lokal dengan
pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap kondisi lingkungan
Indonesia saat ini sudah memberikan progres yang baik. Dalam
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 dinyatakan bahwa
dalam pengelolaan potensi alam, undang-undang ini
memberikan ruang khusus terhadap pengelolaan dalam

49
perspektif kearifan lokal. Di mana dalam Pasal 10 ayat (2)
disebutkan bahwa dalam penyusunan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) salah satu poin
pentingnya adalah dengan memperhatikan kearifan lokal.
Pengelolaan potensi alam berbasis kearifan lokal merupakan
implikasi positif yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009.
Ada tiga fenomena utama yang terjadi dalam pengelolaan
sumber daya air di Indonesia, yang pertama adalah permintaan
terhadap air dari berbagai sektor kehidupan cenderung
semakin meningkat, kedua adalah penurunan kondisi sumber
daya air itu sendiri dan yang ketiga adalah ketidakmampuan
dalam kerangka kebijakan, kerangka hukum, kerangka
kelembagaan dan kapasitas sumber daya manusia dalam
menyikapi fenomena pengelolaan sumber daya air yang terjadi.
Pengelolaan sumber daya air secara terpadu adalah suatu
proses yang mengedepankan pembangunan dan pengelolaan
sumber daya air secara terkoordinasi lintas sektor melalui
pendekatan yang berbasis kearifan lokal khususnya dalam
melakukan konservasi pada daerah tangkapan air yang
merupakan aspek penting dalam pengelolaan sumber daya air
yang berkelanjutan.

50
BAB IV
PEMANFAATAN SINAR MATAHARI
SEBAGAI ENERGI ALTERNATI DALAM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Indonesia merupakan salah satu Negara yang terletak di


khatulistiwa serta Negara beriklim tropis sehingga matahari
bersinar sepanjang tahun. Kondisi ini dapat menjadikan
matahari alternatif sumber energi masa depan. Makhluk hidup
dalam kesehariannya pasti memerlukan berbagai kebutuhan
hidup, di bumi sebagai alam yang kita tempati memiliki
berbagai macam sumber daya alam yang dapat digunakan
makhluk hidup dalam menunjang kebutuhan hidupnya.
Kita sebagai manusia pun tidak luput dari penggunaan
sumber daya alam mulai dari kebutuhan sandang, pangan
maupun papan. Baik itu penggunaan secara langsung maupun
dengan pengolahan terlebih dahulu. Untuk dapat mengolah
sumber daya alam manusia dengan akal pikirannya berpikir
dan belajar cara mengolah sumber daya menjadi dapat dipakai
sesuai yang diharapkan. Sumber daya alam memiliki fungsi dan
karakteristik tertentu dan tidak semua sumber daya alam
memiliki karakteristik yang sama, karakteristik tersebut
berupa fisik, sifat, struktur dan lainnya. Sumber daya alam
tidak semua bisa digunakan dengan cara yang sama semua
memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda dalam
memenuhi kebutuhan makhluk hidup.
Matahari atau Surya adalah bintang di pusat Tata Surya.
Bentuknya nyaris bulat dan terdiri dari plasma panas

51
bercampur medan magnet. Diameternya sekitar 1.392.684 km,
kira-kira 109 kali diameter Bumi, dan massanya (sekitar
2×1030 kilogram, 330.000 kali massa Bumi) mewakili kurang
lebih 99,86 % massa total Tata Surya.
Secara kimiawi, sekira tiga perempat massa Matahari
terdiri dari hidrogen, sedangkan sisanya didominasi helium.
Sisa massa tersebut (1,69%, setara dengan 5.629 kali massa
Bumi) terdiri dari elemen-elemen berat seperti oksigen,
karbon, neon, besi, dan lain-lain. Matahari terbentuk sekitar
4,6 miliar tahun yang lalu akibat peluruhan gravitasi suatu
wilayah di dalam sebuah awan molekul besar. Sebagian besar
materi berkumpul di tengah, sementara sisanya memimpin
menjadi cakram beredar yang kelak menjadi Tata Surya. Massa
pusatnya semakin panas dan padat dan akhirnya memulai fusi
termonuklir di intinya. Diduga bahwa hampir semua bintang
lain terbentuk dengan proses serupa. Klasifikasi bintang
Matahari, berdasarkan kelas spektrumnya, adalah bintang deret
utama G (G2V) dan sering digolongkan sebagai katai kuning
karena radiasi tampaknya lebih intens dalam porsi spektrum
kuning-merah. Meski warnanya putih, dari permukaan Bumi
Matahari tampak kuning dikarenakan pembauran cahaya biru
di atmosfer. Menurut label kelas spektrum, G2 menandakan
suhu permukaannya sekitar 5778 K (5505 °C) dan V
menandakan bahwa matahari, layaknya bintang-bintang lain,
merupakan bintang deret utama, sehingga energinya diciptakan
oleh fusi nuklir nukleus hidrogen ke dalam helium. Di intinya,
matahari memfusi 620 juta ton metrik hidrogen setiap detik.

4.1. Pengertian Panas Matahari


Panas matahari adalah energi yang berupa panas dan
cahaya yang dipancarkan matahari. Panas matahari merupakan
salah satu sumber energi terbarukan yang paling penting.

52
Indonesia mempunyai potensi energi surya yang melimpah.
Namun melimpahnya sumber panas matahari di Indonesia
belum dimanfaatkan secara optimal.
Matahari adalah sumber energi yang memancarkan energi
sangat besarnya ke permukaan bumi. Per meter persegi
permukaan bumi menerima hingga 1000 watt panas matahari.
Sekitar 30% panas matahari tersebut dipantulkan kembali luar
angkasa, dan sisanya diserap oleh awan, lautan, dan daratan.
Jumlah energi yang diserap oleh atmosfer, lautan, dan daratan
bumi sekitar 3.850.000 eksajoule (EJ) per tahun. Untuk
melukiskan besarnya potensi energi surya, energi surya yang
diterima bumi dalam waktu satu jam saja setara dengan jumlah
energi yang digunakan dunia selama satu tahun lebih.
Berbagai sumber energi terbarukan lainnya, semisal
energi angin, biofuel, air, dan biomassa, berasal dari panas
matahari. Bahkan sumber energi fosil pun terbentuk lewat
bantuan panas matahari. Hanya energi panas bumi dan pasang
surut saja yang relatif tidak memperoleh energi dari matahari.
Pemanfaatan potensi energi matahari hanya dapat dilakukan
pada waktu tertentu saja di mana energi matahari hanya dapat
digunakan di saat cerahnya matahari. Biasanya energi matahari
digunakan secara langsung pada saat matahari cerah seperti
pada pemanas air, pemanas udara dan pengering. Hal ini
mengakibatkan banyak energi matahari yang tidak terpakai
pada waktu matahari cerah, maka hal ini merupakan suatu
kerugian di mana energi matahari yang tersedia tidak
digunakan secara efektif. Masalah penggunaan energi pada
waktu yang lain adalah perlunya penyimpanan energi tersebut
sebelum digunakan. Dengan demikian diperlukan suatu sistem
penyimpan energi termal yang meliputi teknik, material dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan proses penyimpanan
energi.

53
4.2. Matahari sebagai Sumber Energi
Berikut beberapa contoh matahari sebagai sumber energi
bagi berlangsungnya kehidupan, antara lain:
1. Pemanas Air
Pada era modern saat ini banyak ditemukan pemanas air
yang menggunakan energi matahari, pemanas tersebut
biasanya tersimpan di atap rumah guna mendapatkan sinar
matahari secara maksimal. Pemanas air dengan teknik
pemanasan menggunakan sinar matahari ini sangat efisien
karena sama sekali tidak menggunakan bahan bakar minyak,
tanpa listrik, tidak menimbulkan polusi, tetapi air menjadi
panas berkat adanya kolektor pengumpul/penyerap panas
matahari. Air dingin akan melewati kolektor dan menyerap
panas dari kolektor untuk selanjutnya air yang telah panas
disimpan dalam tangki air panas.

Gambar 6. Pemanfaatan energi matahari untuk solar cell

Menunjukkan mekanisme kerja pemanas air tenaga surya,


di mana terdapat sebuah pompa yang mengalirkan air dingin
masuk melalui bagian bawah kolektor sehingga berubah

54
menjadi air panas yang keluar melalui bagian atas kolektor
menuju tangki penampungan air panas yang sudah di rancang
untuk mencegah radiasi panas keluar. Tetapi, pemanas air
tenaga surya yang akan dibuat tidak menggunakan pompa
dalam mengalirkan air, tetapi menggunakan prinsip kerja
thermoshipon. Prinsip thermosiphon adalah metode pasif
pertukaran panas secara konveksi yang menyebabkan air
dengan suhu lebih tinggi akan terdorong oleh air dengan suhu
lebih rendah akibat perbedaan massa jenisnya. Sehingga sistem
pemanas air tenaga surya tersebut tidak memerlukan energi
listrik untuk bekerja. Pemanas air tenaga surya seperti yang
diperlihatkan dalam Gambar memiliki ruang kolektor yang
dibuat sehitam mungkin agar terjadi penyerapan maksimal dari
panas matahari yang masuk melewati kaca kristal di atasnya.

2. Pembangkit Listrik
Selain untuk pemanas air, cahaya matahari mempunyai
potensi yang dapat dirubah menjadi energi listrik. Alat yang
digunakan untuk mengubah cahaya matahari menjadi listrik ini
adalah panel surya/solar sel. Teknologi Solar Energy yang
umum saat ini yaitu solar cell, terdiri dari beberapa komponen
utama yaitu panel surya sebagai penerima radiasi matahari,
baterai tempat penyimpanan listrik, dan alat pengontrol
pengubah energi matahari menjadi energi listrik. Prinsip dasar
dari solar cell ini cukup sederhana, yaitu mengubah energi dari
matahari menjadi energi listrik yang bisa dimanfaatkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sumber energi yang digunakan berasal
dari matahari yang tak akan pernah habis sampai akhir zaman,
sehingga dapat dikatakan sumber energi matahari adalah
sumber energi yang kekal abadi bagi kita.
Solar sel ini terbuat dari bahan dasar utama berupa
silikon melalui proses yang rumit dan ditempatkan dibalik kaca

55
atau bahan transparan lainnya. Panel surya dalam bentuk
miniatur biasa kita jumpai dalam kalkulator yang menggunakan
tenaga dari cahaya sebagai sumber listriknya. Sel surya atau
fotovoltaik dapat berupa alat semikonduktor penghantar aliran
listrik yang dapat secara langsung mengubah energi surya
menjadi bentuk tenaga listrik secara efisien. Efek fotovoltaik ini
ditemukan oleh Becquerel pada tahun 1839, di mana Becquerel
mendeteksi adanya tegangan foto ketika sinar matahari
mengenai elektroda pada larutan elektrolit. Alat ini digunakan
secara individual sebagai alat pendeteksi cahaya pada kamera
maupun digabung seri maupun paralel untuk memperoleh
suatu harga tegangan listrik yang dikehendaki sebagai pusat
penghasil tenaga listrik. Bahan dasar silikon. Bahan ini terbuat
dari silikon berkristal tunggal. Bahan ini sampai saat ini masih
menduduki tempat paling atas dari urutan biaya pembuatan
bila dibandingkan energi listrik yang diproduksi oleh pesawat
konvensional.
Sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi, jenis-
jenis teknologi sel surya pun berkembang dengan berbagai
inovasi. Ada yang disebut sel surya generasi satu, dua, tiga dan
empat, dengan struktur atau bagian-bagian penyusun sel yang
berbeda pula. Gambar di atas menunjukkan ilustrasi sel surya
dan juga bagian-bagiannya. Secara umum terdiri dari:
a. Substrat/Metal backing
Substrat adalah material yang menopang seluruh
komponen sel surya. Material substrat juga harus
mempunyai konduktivitas listrik yang baik karena juga
berfungsi sebagai kontak terminal positif sel surya,
sehinga umumnya digunakan material metal atau logam
seperti aluminium atau molibdenum. Untuk sel surya
dyesensitized (DSSC) dan sel surya organik, substrat juga
berfungsi sebagai tempat masuknya cahaya sehingga

56
material yang digunakan yaitu material yang konduktif
tapi juga transparan seperti Indium Tin Oxide (ITO) dan
Flourine Doped Tin Oxide (FTO).
b. Material semikonduktor
Material semikonduktor merupakan bagian inti dari sel
surya yang biasanya mempunyai tebal sampai beberapa
ratus mikrometer untuk sel surya generasi pertama
(silikon), dan 1-3 mikrometer untuk sel surya lapisan
tipis. Material semikonduktor inilah yang berfungsi
menyerap cahaya dari sinar matahari. Energi radiasi
matahari dapat diubah menjadi arus listrik searah dengan
menggunakan lapisan-lapisan tipis silikon (Si) murni atau
bahan semikonduktor lainnya. Untuk pemakaian sebagai
semikonduktor, silikon harus dimurnikan hingga kurang
dari satu atom pengotoran per 1010 atom silikon. Bentuk
kristalisasi demikian akan terjadi bilamana silikon cair
menjadi padat disebabkan karena tiap atom mempunyai
elektron valensi, demikian terjadinya suatu bentuk kristal
di mana tiap atom silikon yang bertegangan saling
memiliki salah satu elektron valensinya.
c. Kontak metal/contact grid
Selain substrat sebagai kontak positif, di atas sebagian
material semikonduktor biasanya dilapiskan material
metal atau material konduktif transparan sebagai kontak
negatif.
d. Lapisan antireflektif
Refleksi cahaya harus diminimalisir agar mengoptimalkan
cahaya yang terserap oleh semikonduktor. Oleh karena itu
biasanya sel surya dilapisi oleh lapisan anti-refleksi.
Material anti-refleksi ini adalah lapisan tipis material
dengan besar indeks refraktif optik antara semikonduktor
dan udara yang menyebabkan cahaya dibelokkan ke arah

57
semikonduktor sehingga meminimumkan cahaya yang
dipantulkan kembali.
e. Enkapsulasi/cover glass
Bagian ini berfungsi sebagai enkapsulasi untuk
melindungi modul surya dari hujan atau kotoran.

3. Proses Fotosintesis
Cahaya matahari merupakan sumber utama energi bagi
kehidupan, tanpa adanya cahaya matahari kehidupan tidak
akan ada. Bagi pertumbuhan tanaman ternyata pengaruh
cahaya selain ditentukan oleh kualitasnya ternyata ditentukan
intensitasnya. Intensitas cahaya adalah banyaknya energi yang
diterima oleh suatu tanaman per satuan luas dan per satuan
waktu (kal/cm2/hari). Dengan demikian pengertian intensitas
yang dimaksud sudah termasuk lama penyinaran, yaitu lama
matahari bersinar dalam satu hari. Pada dasarnya intensitas
cahaya matahari akan berpengaruh nyata terhadap sifat
morfologi tanaman. Hal ini dikarenakan intensitas cahaya
matahari dibutuhkan untuk berlangsungnya penyatuan CO2 dan
air untuk membentuk karbohidrat.
Oksigen yang kita hirup di udara dihasilkan oleh
tumbuhan. Bagian penting dari makanan kita juga disediakan
oleh tumbuhan. Setiap tahun, seluruh tumbuhan di muka bumi
dapat menghasilkan zat-zat atau bahan-bahan sebanyak 200
miliar ton. Berbeda dari sel manusia dan hewan, sel tumbuhan
dan organisme berklorofil dapat memanfaatkan langsung
energi matahari. Tumbuhan dan organisme berklorofil
mengubah energi matahari menjadi energi kimia dan
menyimpannya sebagai nutrisi dengan cara yang sangat
khusus. Proses ini disebut “fotosintesis”.
Fotosintesis merupakan proses biologi yang dilakukan
tanaman dan organisme berklorofil untuk menunjang proses

58
hidupnya yakni dengan memproduksi gula (karbohidrat) pada
tumbuhan hijau dengan bantuan energi sinar matahari, yang
melalui sel-sel yang berespirasi, energi tersebut akan
dikonversi menjadi energi ATP sehingga dapat digunakan bagi
pertumbuhannya.
Reaksi umum dari proses fotosintesis adalah:
6 H2O + 6 CO2 C6H12O6 + 6 O2
Cahaya Proses fotosintesis adalah reaksi yang hanya akan
terjadi dengan keberadaan sinar matahari, baik kualitas
maupun kuantitasnya. Hasil dari fotosintesis seperti yang
sudah tersebut di atas adalah C6H12O6 atau dengan sebutan
umum yaitu gula (karbohidrat).

4. Keberlangsungan Ekosistem
Matahari berperan terhadap keberlangsungan ekosistem.
Karbohidrat merupakan jenis molekul yang paling banyak
ditemukan di alam. Karbohidrat terbentuk pada proses
fotosintesis sehingga merupakan senyawa perantara awal
dalam penyatuan karbon dioksida, hidrogen, oksigen, dan
energi matahari ke dalam bentuk hayati. Pengubahan energi
matahari menjadi energi kimia dalam reaksi biomolekul
menjadikan karbohidrat sebagai sumber utama energi
metabolit untuk organisme hidup.
Manfaat Ruang Terbuka Hijau, baik secara langsung
maupun tidak, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi
ekologis. Penyeimbang antara lingkungan alam dengan
lingkungan buatan, yaitu sebagai “penjaga” fungsi kelestarian
lingkungan pada media air, tanah dan udara serta konservasi
sumber alam hayati flora dan fauna. Dari karbohidrat hasil
fotosintesis dalam tanaman inilah yang merupakan dasar dari
perkembangan kehidupan makhluk hidup dalam suatu

59
ekosistem yang kemudian masuk pada piramida makanan dan
rantai makanan dalam suatu ekosistem yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Komunitas dari suatu ekosistem berinteraksi satu sama
lain dan juga berinteraksi dengan lingkungan abiotik.
Interaksi suatu organisme dengan lingkungannya terjadi
untuk kelangsungan hidupnya. Kelangsungan hidup
organisme memerlukan energi.
b. Energi untuk kegiatan hidup diperoleh dari bahan organik
yang disebut energi kimia. Bahan organik dalam
komponen biotik awalnya terbentuk dengan bantuan
energi cahaya matahari dan unsur-unsur hara, seperti
karbon dan nitrogen.
c. Bahan organik yang mengandung energi dan unsur-unsur
kimia ditransfer dari suatu organisme ke organisme lain
melalui interaksi makan dan dimakan. Peristiwa makan
dan dimakan antar organisme dalam suatu ekosistem
membentuk struktur trofik yang terdiri dari tingkat-
tingkat trofik di mana setiap tingkat trofik merupakan
kumpulan berbagai organisme dengan sumber makanan
tertentu.
d. Tingkat trofik pertama adalah kelompok organisme
autotrof yaitu organisme yang dapat membuat bahan
organik sendiri dengan bantuan cahaya matahari yaitu
tumbuhan dan fitoplankton. Organisme autotrof disebut
Produsen. Produsen pada ekosistem darat adalah
tumbuhan hijau sedangkan pada ekosistem perairan
adalah fitoplankton, ganggang dan tumbuhan air.
e. Tingkat trofik kedua dari struktur trofik suatu ekosistem
ditempati oleh berbagai organisme yang tidak dapat
membuat bahan organik sendiri. Organisme tersebut
tergolong organisme heterotrof. Bahan organik diperoleh

60
dengan memakan organisme atau sisa-sisa organisme lain
sehingga organisme heterotrof disebut juga konsumen.
Pada tingkat trofik kedua dari struktur trofik suatu
ekosistem adalah Konsumen primer (herbivora).

5. Proses Pengeringan
Radiasi matahari selain untuk mengeringkan pakaian
yang kita jemur, juga dapat untuk pengeringan produk
pertanian. Dalam hal ini, energi surya dapat dimanfaatkan ke
dalam dua bentuk yaitu pemanfaatan secara termal dan
pemanfaatan untuk listrik. Pada bidang pertanian pemanfaatan
energi surya termal biasa digunakan pada proses pengeringan
bahan pertanian. Pengeringan bisa dilakukan secara alami
(penjemuran) maupun secara buatan. Terdapat berbagai tipe
pengering surya yang telah berkembang saat ini, salah satunya
adalah pengeringan yang menggunakan kolektor berbentuk
bangunan yang disebut dengan efek rumah kaca (ERK) yang
telah dikembangkan di IPB oleh Kamaruddin dan para kolega
penelitinya sejak tahun 1993 sampai saat ini secara
berkesinambungan.
Pada prinsipnya pengeringan efek rumah kaca yaitu sinar
matahari yang memiliki radiasi gelombang panjang masuk
untuk kemudian diserap oleh absorber atau komponen lain di
dalam bangunan pengering sehingga suhu absorber dan
komponen tersebut akan meningkat. Radiasi yang dipancarkan
oleh absorber/komponen dalam pengering dalam bentuk
gelombang panjang sehingga sulit untuk menembus dinding
transparan. Dengan demikian, terjadi peningkatan suhu udara
pengering dan udara dihembuskan melalui produk yang akan
dikeringkan. Udara yang telah lembap kemudian dikeluarkan
dari bangunan pengering.

61
Pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan Desa Oesapa
Kupang sangat potensial dan beragam, baik dari usaha
perikanan (tangkap, budidaya dan pengolahan). Dengan potensi
yang sedemikian melimpah, nelayan di pesisir pantai Oesapa
Kupang, akan dapat dengan mudah menangkap banyak ikan.
Ikan yang diperoleh tidak semua dijual ke pasar tetapi
dikeringkan untuk dibuat ikan asin. Kendala atau kesulitan
mereka selain pemasaran untuk pengusaha pengasinan ikan
berskala kecil, terletak pada pengering ikan. Mereka pada
umumnya masih menggunakan cara tradisional dalam
mengeringkan ikan hasil tangkapan dan masih
menggantungkan diri pada alam, yaitu sinar matahari. Untuk
musim kemarau, di mana matahari berlimpah dan tidak ada
awan yang menutup matahari, usaha pengeringan mereka
berjalan dengan baik. Nelayan dapat menghasilkan ikan kering
dengan berbagai jenis dan ukuran, hasil yang diperoleh 1 ton
sedangkan jika pada musim penghujan, di mana matahari
bersinar tidak terlalu baik dan sering terjadi mendung,
pendapatan mereka menurun drastis. Ikan yang dijemur akan
kering sesuai dengan tingkat kekeringan tertentu yang
diinginkan pasar setelah berhari-hari di jemur dan mereka
hanya menghasilkan ikan asin hanya setengah ton, sehingga
harga jual ikan asin pada saat musim hujan sangat tinggi.

6. Kesehatan
a. Sinar matahari menghasilkan vitamin D
Vitamin D membuat tulang dan gigi menjadi kuat. Vitamin
ini juga mengurangi risiko kanker, diabetes, dan serangan
jantung. Setiap orang memerlukan vitamin D mulai dari
bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Vitamin D
terdapat pada susu, roti, gandum, beras merah, taoge,
kacang panjang, kacang hijau, kacang merah. Tetapi

62
sumber vitamin D yang terbaik adalah sinar matahari.
Tubuh kita membuat vitamin D ketika kulit terkena sinar
matahari.
Menurut Dokter Anak dari Chicago, Amerika Serikat,
anak-anak memerlukan vitamin D lebih banyak, yaitu
kira-kira 400 unit vitamin D setiap hari atau paling
sedikit 4 gelas susu. Jadi, anak-anak dianjurkan untuk
bermain di bawah matahari. Waktu terbaik untuk
mendapatkan sinar matahari adalah di pagi hari hingga
pukul 09.00 pagi. Setelah itu, terlalu banyak sinar
matahari dapat menyebabkan kanker kulit. Pada waktu
berkas sinar ultraviolet disaring di kulit. Ia mengubah
simpanan kolesterol di kulit menjadi vitamin D.
Menghadapkan sebagian dari tubuh ke sinar matahari
selama 5 menit memberikan 400 unit vitamin D.
b. Sinar matahari mengurangi kolesterol darah
Dengan mengubah kolesterol di bawah kulit menjadi
vitamin D, menyebabkan tubuh memberikan peringatan
kepada kolesterol yang ada dalam darah untuk keluar dari
darah menuju ke kulit, sehingga mengurangi kolesterol
dalam darah.
c. Sinar matahari menjadi penawar infeksi dan pembunuh
bakteri
Matahari dapat membunuh bakteri penyakit, virus dan
jamur. Hal itu berguna untuk perawatan TBC, erisipelas,
keracunan darah, peritonitis, pneumonia, mumps, asma
saluran pernapasan. Bahkan beberapa dari virus penyebar
kanker dibinasakan oleh sinar ultraviolet ini. Infeksi
jamur, termasuk candida, bereaksi terhadap sinar
matahari. Bakteri di udara dibinasakan dalam waktu 10
menit oleh sinar matahari.

63
d. Sinar matahari mengurangi gula darah
Cahaya matahari bagaikan insulin yang memberikan
kemudahan penyerapan glukosa masuk ke dalam sel-sel
tubuh. Ini merangsang tubuh untuk mengubah gula darah
(glukosa) menjadi gula yang tersimpan (glycogen), yang
tersimpan di hati dan otot, sehingga menurunkan gula
darah.
e. Sinar Matahari meningkatkan kebugaran pernafasan
Sinar matahari dapat meningkatkan kapasitas darah
untuk membawa oksigen dan menyalurkannya ke
jaringan-jaringan. Faktor lain yang bisa membantu
meningkatkan kebugaran pernafasan ialah bahwa
glikogen bertambah di hati dan otot setelah berjemur
matahari.
Tanaman sebagai penghasil oksigen (O2) terbesar dan
penyerap Karbondioksida (CO2) dan zat pencemar udara
lainnya, khusus di siang hari, merupakan pembersih udara yang
sangat efektif melalui mekanisme penyerapan (absorbsi) dan
penjerapan (adsorpsi) dalam proses fisiologis, yang terjadi
terutama pada daun dan permukaan tumbuhan (batang, bunga,
buah).
a. Sinar matahari menolong dalam membentuk dan
memperbaiki tulang-tulang
Dengan bertambahnya tingkat vitamin D dalam tubuh
karena terkena sinar matahari, bisa meningkatkan
penyerapan kalsium. Ini menolong pembentukan dan
perbaikan tulang dan mencegah penyakit seperti rakitis
dan osteomalacia (pelembutan tulang tidak Normal).
b. Sinar matahari meningkatkan beberapa jenis kekebalan
Sinar matahari menambah sel darah putih terutama
limfosit, yang digunakan untuk menyerang penyakit.
Antibodi (gamma globulins) bertambah. Pengaruh ini

64
bertahan sampai 3 minggu. Nitrofil membunuh kuman-
kuman lebih cepat setelah pernafasan dengan sinar
matahari. Sepuluh menit di bawah sinar ultraviolet satu
atau dua kali setiap minggu dapat mengurangi flu
30-40 %.

4.3. Potensi Panas Matahari di Indonesia


Indonesia berada di garis khatulistiwa, sehingga potensi
panas matahari di Indonesia cukup tinggi. Karena matahari
terus ada sepanjang tahun, dengan rata–rata bersinar 6 hingga
8 jam per hari. Sedangkan rata–rata lama penyinaran ideal
yang dapat memproduksi listrik pada panel surya adalah 4
hingga 5 jam per hari. Wilayah paling barat dan timur memiliki
potensi penyinaran ideal yang paling besar, yaitu 5 jam. Dengan
area meliputi di barat adalah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Riau, dan Kepulauan Riau, Jambi dan sebagian Bengkulu.
Sedangkan di area timur melingkupi seluruh Papua, Maluku,
Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan sebagian
Sulawesi dengan rata-rata penyinaran 4,5–4,8 jam.
Sedangkan untuk daerah pulau Jawa, Jakarta memiliki
lama penyinaran paling kecil, hanya sekitar 3–3,5 jam per hari.
Disusul Bandung dan Bogor. Potensi energi terbesar ada di
daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan rata–rata lama
penyinaran 4 jam per hari. Sedangkan Pulau Kalimantan
potensinya cukup baik yaitu antara 4–4,5 jam penyinaran per
hari. Variasi perbedaan di pulau ini pun tidak terlampau besar.
Berdasarkan data dari Dewan Energi Nasional, potensi
panas matahari di Indonesia mencapai rata–rata 4,8
kWh/m2/hari, setara 112.000 GWp jika dibandingkan dengan
potensi luasan lahan di Indonesia atau sepuluh kali lipat dari
potensi Jerman dan Eropa. Menurut Meita Rumbayan,
Asifujiang Abudureyimu, Ken Nagasaka dalam jurnal yang

65
berjudul “Mapping of solar energy potential in Indonesia using
artificial neural network and geographical information system”.
Indonesia memiliki potensi panas matahari rata–rata 5
kWh/m2/hari. Berikut potensi panas matahari yang bisa di
aplikasikan di Indonesia:

4.4. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)


Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) adalah
pembangkit listrik yang menggunakan panas matahari untuk
mengubah panas matahari menjadi energi listrik. Pembangkit
listrik ini merupakan bentuk pemanfaatan salah satu sumber
energi alternatif yang ramah lingkungan. Berbagai aplikasi
PLTS dapat diterapkan untuk penerangan, memasok daya
peralatan yang jauh dari jaringan listrik konvensional.
Sel surya menerima penyinaran matahari dalam satu hari
sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan sinar matahari memiliki
intensitas yang besar ketika siang hari dibandingkan dengan
pagi hari. Dengan besarnya rata–rata potensi panas matahari di
Indonesia, sudah selayaknya pengembangan pembangkitan
Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi prioritas. Teknologi PLTS
telah mengalami kemajuan yang pesat, efisiensi panel yang
semakin tinggi dan biaya investasi yang semakin murah dapat
menjawab tantangan penyediaan energi yang merata di Negara
kepulauan, Indonesia. Karena keberadaan energi untuk
menyokong fungsi pembangunan dan kemandirian kedaulatan
Negara, sudah tidak dapat dipungkiri. Terlebih, sudah banyak
contoh nyata dari Negara–Negara maju mengenai aplikasi PLTS
untuk menyuplai kebutuhan listrik mereka.
Dalam perencanaan sistem PLTS untuk daerah Banda Aceh
digunakan data isolasi matahari terendah. Berdasarkan data
BMG Aceh 2009-2010 yaitu pada bulan November yang
besarnya 2,48 h. energi yang dihasilkan modul surya per hari

66
tergantung pada insolasi matahari. Untuk insolasi tertinggi
menghasilkan energi sebesar 65928 Wh dan insolasi terendah
menghasilkan energi 29620 Wh. Sistem PLTS dapat dipasang di
mana saja seluruh wilayah Indonesia selama lokasi terkena
langsung sinar matahari dan tidak terhalang oleh bayangan
benda apapun. Bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan, panas
matahari dapat menjadi sumber energi utama di masa depan.
Apalagi dengan beberapa keunggulan seperti panas matahari
merupakan sumber yang hampir tak terbatas dan ramah
lingkungan. Pemanfaatan Sun Tracking otomatis pada
pembangkit listrik tenaga surya dapat meningkatkan unjuk
kerja panel dan meningkatkan daya listrik dengan keluaran
rata–rata mencapai hampir 2 kali lebih besar dari panel surya
statis.

4.5. Panas Matahari untuk Pertanian


Energi surya dapat dimanfaatkan ke dalam dua bentuk
yaitu pemanfaatan secara termal dan pemanfaatan untuk
listrik. Pada bidang pertanian pemanfaatan energi surya termal
biasa digunakan pada proses pengeringan bahan pertanian.
Pengeringan bisa dilakukan secara alami (penjemuran) maupun
secara buatan Terdapat berbagai tipe pengering surya yang
telah berkembang saat ini, salah satunya adalah pengeringan
yang menggunakan kolektor berbentuk bangunan yang disebut
dengan efek rumah kaca ERK) yang telah dikembangkan di IPB
oleh Kamaruddin dan para kolega penelitinya sejak tahun 1993
sampai saat ini secara berkesinambungan.
Pada prinsipnya pengeringan efek rumah kaca yaitu sinar
matahari yang memiliki radiasi gelombang panjang masuk
untuk kemudian diserap oleh absorber atau komponen lain di
dalam bangunan pengering sehingga suhu absorber dan
komponen tersebut akan meningkat. Radiasi yang dipancarkan

67
oleh absorber/komponen dalam pengering dalam bentuk
gelombang panjang sehingga sulit untuk menembus dinding
transparan. Dengan demikian, terjadi peningkatan suhu udara
pengering dan udara dihembuskan melalui produk yang akan
dikeringkan. Udara yang telah lembap kemudian dikeluarkan
dari bangunan pengering.

Gambar 7. Pengeringan menggunakan energi matahari

Pupuk harganya relatif mahal dan apabila digunakan


secara berlebihan akan merusak lingkungan, sedangkan apabila
kurang dari jumlah seharusnya hasilnya tidak efektif. Untuk itu
perlu diteliti jumlah pupuk yang diserap oleh tanaman dan
berapa yang dibuang ke lingkungan. Penelitian ini dilakukan
dengan cara memberi label pupuk yang digunakan dengan
suatu isotop, seperti nitrogen-15 atau phosphor-32. Pupuk
tersebut kemudian diberikan pada tanaman dan setelah periode
waktu dilakukan pendeteksian radiasi pada tanaman tersebut.

68
Seperti diketahui, radiasi pengion mempunyai
kemampuan untuk mengubah sel keturunan suatu mahluk
hidup, termasuk tanaman. Dengan berdasar pada prinsip
tersebut, maka para peneliti dapat menghasilkan jenis tanaman
yang berbeda dari tanaman yang telah ada sebelumnya dan
sampai saat ini telah dihasilkan 1800 jenis tanaman baru.
Varietas baru tanaman padi, gandum, bawang, pisang, cabe dan
biji-bijian yang dihasilkan melalui teknik radioisotop
mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap hama dan
lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim yang
ekstrem.
Di seluruh dunia, hilangnya hasil panen akibat serangan
hama serangga kurang lebih 25-35%. Untuk memberantas
hama serangga sejak lama para petani menggunakan
insektisida kimia. Akhir-akhir ini insektisida kimia dirasakan
menurun keefektifannya, karena munculnya serangga yang
kebal terhadap insektisida. Selain itu insektisida juga mulai
dikurangi penggunaannya karena insektisida meninggalkan
residu yang beracun pada tanaman. Salah satu metode yang
mulai banyak digunakan untuk menggantikan insektisida dalam
mengendalikan hama adalah teknik serangga mandul.
Teknik serangga mandul dilakukan dengan mengiradiasi
serangga menggunakan radiasi gamma untuk
memandulkannya. Serangga jantan mandul tersebut kemudian
dilepas dalam jumlah besar pada daerah yang diserang hama.
Apabila mereka kawin dengan serangga betina, maka tidak
akan dihasilkan keturunan. Dengan melepaskan serangga
jantan mandul secara berulang, populasi hama serangga akan
turun secara menyolok. Teknik ini telah digunakan secara
intensif di banyak negara penghasil pertanian seperti Amerika
Selatan, Mexico, Jamaika dan Libya.

69
Kerusakan makanan hasil panen dalam penyimpanan
akibat serangga, pertunasan dini atau busuk, dapat mencapai
25-30%. Kerugian ini terutama diderita oleh negara-negara
yang mempunyai cuaca yang panas dan lembap. Pengawetan
makanan banyak digunakan dengan tujuan untuk menunda
pertunasan pada umbi-umbian, membunuh serangga pada biji-
bijian, pengawetan hasil laut dan hasil peternakan, serta
rempah-rempah.
Pada teknik pengawetan dengan menggunakan radiasi,
makanan dipapari dengan radiasi gamma berintensitas tinggi
yang dapat membunuh organisme berbahaya, tetapi tanpa
mempengaruhi nilai nutrisi makanan tersebut dan tidak
meninggalkan residu serta tidak membuat makanan menjadi
radioaktif. Teknik iradiasi juga dapat digunakan untuk
sterilisasi kemasan. Di banyak negara kemasan karton untuk
susu disterilkan dengan teknik radiasi.

4.6. Pertanian Rumah Kaca


Pertanian rumah kaca sudah banyak digunakan di negara-
negara maju yang mempunyai empat musim. Untuk negara
tropis dengan dua musim seperti di Indonesia, pengoperasian
rumah kaca mempunyai sedikit perbedaan dengan negara
dengan empat musim. Di daerah tropis, energi untuk pemanas
lebih sedikit sedangkan untuk keperluan ventilasi akan lebih
besar. Karena di daerah tropis mempunyai intensitas sinar
matahari yang relatif tinggi, maka penggunaan sel surya untuk
substitusi listrik dari jaringan listrik PLN (Perusahaan Listrik
Negara) memungkinkan untuk direalisasikan.
Jenis tanaman yang cocok untuk pertanian rumah kaca
biasanya adalah:
a. Tanaman yang mempunyai siklus hidup pendek, seperti:
melon, semangka, dan sayuran.

70
b. Penanaman bibit pohon tanaman keras yang siklus
hidupnya panjang, seperti kayu jati, sengon, dan pohon
untuk hutan tanaman industri.

4.7. Energi Alternatif Matahari serta Kelebihan dan


Kekurangannya
Berikut ini ada beberapa kelebihan panas matahari di
antaranya sebagai berikut:
1. Ramah lingkungan
Kelebihan energi alternatif surya atau matahari yaitu
ramah lingkungan. Energi matahari tidak menghasilkan
limbah atau sisa pembuangan yang berbahaya bagi
lingkungan. Tidak hanya dalam jangka yang pendek
semata tetapi dalam jangka panjang.
2. Gratis
Selain tidak terbatas, energi matahari ini tersedia dalam
jumlah banyak dan dapat digunakan secara gratis. Dengan
begitu, untuk dapat menggunakannya tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk membelinya. Anda hanya perlu
menggunakannya sesuai dengan kebutuhan dan
mengolahnya menjadi energi yang siap pakai. Berbeda
dengan minyak bumi yang dijual dengan harga yang
relatif mahal.
3. Melimpah
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, energi
alternatif dari matahari ini tidak akan habis. Namun
selain itu, energi matahari ini juga tersedia dalam jumlah
yang sangat banyak atau melimpah.
Namun selain kelebihan, panas matahari ini juga memiliki
kekurangan sebagai berikut:
1. Salah satunya yaitu tidak dapat diandalkan setiap saat
contohnya yaitu ketika musim hujan tiba. Ketika hujan,

71
langit akan mendung dan menutupi sinar matahari.
Akibatnya energi matahari tidak dapat digunakan,
kebutuhan akan energi pun juga tidak akan terpenuhi.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa energi matahari
tidak dapat diandalkan, mengingat ada banyak hal yang
membutuhkan energi untuk mengerjakannya.
2. Energy yang belum efisien serta penyimpanannya
mengalami beberapa kendala. Karena alasan-alasan
tersebutlah kenapa energi matahari masih belum
digunakan atau dimanfaatkan secara optimal.
Bagaimanapun, energi matahari ini tetap dimanfaatkan
oleh masyarakat Indonesia sebaik mungkin. Contohnya
yaitu adanya PLTS atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
Ada beberapa PLTS di Indonesia, antara lain yaitu di Bali
dan Flores. Dengan mengandalkan energi alternatif
matahari tersebut, kebutuhan listrik dapat terpenuhi.

4.8. Sumber Panas Matahari Mengalahkan Sumber Panas


Lain
Sumber panas matahari adalah merupakan sumber energi
terbesar di muka bumi ini yang berpotensi mengalahkan
sumber energi lain yang ada. Saat ini energi nuklir, angin dan
air masih menjadi sumber energi yang banyak digunakan di
berbagai negara termasuk di Indonesia. Namun demikian tidak
sedikit negara yang telah memanfaatkan energi surya ini .
Sumber energi matahari tidak hanya dapat dimanfaatkan
oleh manusia saja, namun bahkan tumbuhan yang ada di
sekitar kita berfotosintesis dengan bantuan sinar matahari.
Secara umum tenaga matahari dapat diubah secara langsung
menjadi sumber panas dan energi listrik yang dapat kita
manfaatkan dalam berbagai bidang. Benda yang saat ini umum
menggunakan tenaga listrik dan sangat sering digunakan orang
adalah kalkulator.

72
Kalkulator ini dibekali dengan solar sel kecil yang mampu
menyimpan energi matahari sehingga kalkulator bisa
digunakan sepanjang hari. Bahkan ketika cuaca mendung dan
sedang hujan, kita masih bisa menggunakannya. Karena dalam
solar sel kecil ini telah tersimpan energi matahari sehingga kita
bisa menggunakannya dengan baik sepanjang hari.
Menggunakan solar sel ini sangat praktis dan tahan lama jika
dibandingkan dengan penggunaan kalkulator baterai biasa.
Sumber energi matahari kini juga mulai dijadikan sebagai
penyedia listrik yaitu dengan menggunakan photovoltaic.
Bahkan kini telah diciptakan mobil dengan kekuatan tenaga
surya meskipun belum bisa beredar dengan baik di Indonesia.
Dengan adanya mobil tenaga surya ini sebenarnya akan
membuat pemakaian bahan bakar minyak lebih hemat. Dan
bahkan telah dikembangkan pula mesin pendingin dengan
kekuatan tenaga surya, sehingga hal ini akan sangat membantu
bagi daerah-daerah yang masih belum listrik belum bisa masuk.
Jika bisa memanfaatkan tenaga surya dengan baik, maka
tenaga surya ini bisa menggantikan kedudukan listrik bahkan
akan tahan lebih lama. Hal ini telah berlaku untuk negara
Amerika dan juga China dan bahkan Indonesia juga bisa
melakukannya jika memiliki tenaga ahli, karena di negara kita
energi akan matahari sangat berlimpah melihat negara kita
hanya terdapat dua musim. Untuk menampung energi matahari
ini kita membutuhkan solar photovoltaic atau dalam bahasa
Indonesia kita sebut dengan panel surya.
Setelah diadakan sebuah penelitian dan penghitungan
oleh ahlinya, dikabarkan bahwa panel surya tersebut mampu
mengalahkan energi lain karena dihasilkan energi listrik
sebesar 16% pada 2050. Hasil ini tentu lebih besar jika
dibandingkan dengan energi yang dihasilkan oleh pembangkit
listrik tenaga air, tenaga nuklir, dan juga tenaga angin.

73
Sehingga sumber energi matahari menjadi terobosan baru yang
dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang sangat lama.
Hal ini tentu saja tidak hanya berlaku di luar negeri,
namun bahkan di Indonesia yang merupakan konsumen tenaga
surya terbesar di dunia. Bahan baku panel surya yang
melimpah ruah di Indonesia ini sangat disayangkan jika tidak
digunakan dengan sebaik-baiknya. Bahkan setelah peneliti
senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yaitu DR
Achiar Oemry menyatakan bahwa negara kita bisa 100% tidak
tergantung pada bahan bakar fosil dengan adanya sumber
energi matahari yang melimpah ruah.

4.9. Manfaat Sumber Energi Cahaya Matahari bagi


Kehidupan
Matahari sebagai sumber energi cahaya terbesar,
memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia
di dunia, antara lain:
1. Membantu proses fotosintesis
Cahaya matahari merupakan sumber utama kehidupan
makhluk hidup, salah satunya adalah kehidupan bagi
tanaman atau tumbuhan untuk membantu proses
fotosintesis. Tanpa adanya matahari sendiri, maka
tanaman atau tumbuhan di bumi akan mati. Sebagai
timbal baliknya, ketika tidak ada tumbuhan di bumi ini
maka manusia akan musnah akibat tidak adanya suplai
oksigen dari tumbuhan.
Proses fotosintesis pada tumbuhan sendiri akan
menghasilkan oksigen, yang sangat penting bagi
pernafasan manusia. Dengan begitu, kehidupan manusia
pun tergantung dari asupan oksigen yang terhirup. Maka
wajar, jika matahari ini memiliki peranan yang begitu

74
penting sama halnya dengan peranan air untuk kehidupan
manusia.
2. Membantu penerangan
Tanpa adanya cahaya matahari, dunia akan gelap gulita.
Sehingga kita tak akan bisa melihat apapun yang ada di
lingkungan sekitar kita. Dengan adanya energi cahaya
matahari ini, maka kita bisa melihat lingkungan sekitar.
Maka dari itu, cahaya sangat penting peranannya sebagai
media penerangan. Selain cahaya matahari, cahaya dari
lampu juga berfungsi sebagai penerangan saat malam
hari. Cahaya dari lampu juga membantu Anda untuk dapat
belajar di malam hari.
3. Menjemur pakaian
Dengan adanya cahaya matahari sendiri, maka pakaian
yang dicuci bisa langsung kering tanpa mesin pengering.
Cahaya matahari sebagai media untuk menjemur pakaian
dengan mudah dan alami, dengan bantuannya inilah
pakaian akan mudah kering saat dijemur di bawah terik
sinar matahari. Memakai bantuan sinar matahari ini tentu
tak perlu membayar mahal untuk membeli mesin cuci
sekaligus pengering pakaiannya, karena matahari ini bisa
kita dapatkan secara gratis.
4. Menghasilkan energi listrik
Sebagai sumber dari cahaya, matahari juga bisa
menghasilkan energi listrik. Energi listrik inilah yang
nantinya dipergunakan untuk cahaya di malam hari.
Selain itu dengan energi listrik, kita bisa menggunakan
elektronik dan alat-alat rumah tangga dengan nyaman.
Energi listrik yang berasal dari bantuan matahari atau sel
surya ini tentunya lebih ramah lingkungan. Tak hanya itu
saja, matahari juga termasuk energi terbarukan yang
ketersediaannya tidak terbatas.

75
5. Membantu proses pertumbuhan kecambah
Selain bermanfaat bagi kehidupan manusia, energi cahaya
juga sangat bermanfaat untuk tumbuhan. Jika kecambah
kekurangan cahaya, maka tanaman tersebut akan kering,
kurus, daunnya berwarna kuning pucat dan juga tipis.
Berbeda dengan kecambah yang cukup cahaya matahari,
maka tanaman tersebut akan memiliki daun yang tebal,
hijau dan tumbuh subur. Hal ini dikarenakan kecambah
tersebut akan lebih maksimal dalam proses fotosintesis
untuk menghasilkan makanan dan zat energi.
6. Sebagai sumber nutrisi terbaik
Manfaat energi cahaya berikutnya adalah sebagai sumber
nutrisi terbaik. Pada sebuah percobaan, tumbuhan yang
disimpan di dalam ruang tertutup dengan bantuan cahaya
buatan, memiliki energi dan nutrisi yang buruk tidak
sebaik nutrisi dan energi yang dihasilkan oleh cahaya
matahari langsung.
7. Membantu pertumbuhan bunga dan daun
Selanjutnya adalah energi cahaya dapat membantu
pertumbuhan bunga dan juga daun. Seperti yang Anda
ketahui panjang gelombang energi matahari memiliki
warna merah. Warna merah yang ada di gelombang
matahari tersebut akan diserap oleh tumbuhan yang pada
akhirnya hal ini akan berdampak pada pertumbuhan
bunga. Sehingga tanaman yang sering terpapar sinar
matahari akan cepat berbunga dan tumbuh tinggi serta
lebat.
8. Menjaga temperatur tumbuhan
Cahaya matahari juga dapat menjaga temperatur
tumbuhan agar tetap seimbang dan stabil. Jika temperatur
tumbuhan rendah maka proses penguapan akan menjadi
lama, hal ini tentu saja dapat membuat tumbuhan mati

76
lemas. Dan sebaliknya jika suhu terlalu tinggi maka
proses penguapan akan dipercepat. Hal ini akan
menyebabkan tumbuhan menjadi kering.
9. Mengeringkan tanah
Pada beberapa tumbuhan, cahaya matahari sangat
bermanfaat dalam proses perkembangbiakan. Cahaya
matahari diperlukan dalam proses pengeringan tanah.
Sehingga biji bunga yang jatuh ke tanah yang kering akan
tumbuh dengan subur. Contohnya yaitu biji bunga
matahari. Meskipun begitu, tak berarti biji bunga
matahari tidak bisa tumbuh di tanah yang lembap, tetapi
ia akan cepat layu dan akhirnya akan mati.

4.10. Manfaat Matahari bagi Kehidupan Manusia


Di atas telah kita bahas mengenai manfaat sumber cahaya
matahari bagi kehidupan, berikut ini ada beberapa manfaat
matahari bagi kehidupan manusia di antaranya:
1. Membantu proses pengeringan
Untuk manfaat yang satu ini, sudah tidak perlu diragukan
lagi, kita semua telah kita ketahui secara pasti. Dengan
panas matahari, kita dapat mengeringkan pakaian yang
kita cuci dan mendapatkan manfaat berlebih jika kita juga
memanfaatkan matahari untuk membantu proses
pengeringan kerupuk, ikan asin, serta membantu dalam
proses pemanenan garam. Matahari juga membantu
proses terbentuknya awan dengan menguapkan
permukaan yang berair sehingga air tersebut menguap
dan mengkristal membentuk awan. Setelah awan
terbentuk, matahari terus menyinarinya dan membuatnya
kembali mencair menjadi peristiwa alam yang kita sebut
hujan.

77
2. Mengatur tata surya
Karena matahari merupakan pusat dari tata surya, maka
planet dan satelitnya berevolusi sambil berotasi
mengelilingi matahari. Hal ini dikarenakan oleh gaya
gravitasi matahari yang menarik planet sedemikian
hingga planet-planet berevolusi mengelilinginya dan
membentuk tatanan tata surya yang kita sebut galaksi
Bimasakti.
3. Membantu kita beristirahat dengan lebih baik
Beberapa sumber menyebutkan bahwa jika seseorang
terpapar sinar matahari selama kurang lebih 6 jam setiap
harinya, individu tersebut akan menjadi segar di petang
hari, terutama jika individu tersebut terpapar sinar
matahari di sore hari. Sedangkan setelah petang, semakin
malam agak larut, individu akan merasa mengantuk
seiring dengan mereka terpapar cahaya lampu atau
cahaya buatan lain yang membuat mereka merasa
mengantuk, sehingga dapat beristirahat dengan baik.
4. Membantu membakar lemak
Manfaat matahari bagi kehidupan yang lainnya adalah
membantu membakar lemak. Lemak yang dimaksud tidak
hanya lemak yang berada di bawah jaringan kulit, tetapi
juga lemak yang pada akhirnya akan berujung pada
penyakit jantung dan kolesterol. Lemak akan perlahan
luruh dan menjauhkan pula berbagai macam penyakit
akibat lemak. Selain itu, cahaya matahari juga sedang
diteliti karena ada asumsi bahwa matahari dapat
memaksimalkan fungsi metabolisme tubuh.
5. Membantu mengatur masa hidup manusia
Seperti topik yang kita bahas dalam bahasan ini yaitu
manfaat matahari bagi kehidupan, matahari juga
mempunyai manfaat untuk mengatur masa hidup

78
manusia. Yang mengatur masa hidup manusia yang
dimaksudkan di sini adalah matahari melalui siklusnya.
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa siklus
matahari yang nantinya mempengaruhi intensitas cahaya
matahari yang sampai ke bumi. Hal ini sekaligus juga
mempengaruhi genom manusia yang menentukan
lamanya seseorang hidup, berdasarkan pada di siklus
matahari yang mana seseorang lahir.
6. Sumber Energi Paling Besar
Matahari merupakan sumber energi paling besar bagi
alam semesta/tata surya, terutama bagi bumi, seluruh
makhluk yang ada di bumi tidak akan dapat hidup tanpa
matahari. Matahari merupakan sumber energi yang paling
besar.

79
BAB V
UPAYA KONSERVASI SUMBER DAYA DAN
STRATEGI PEMBANGUNAN
LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

5.1. Pendahuluan
Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat
ini, khususnya sektor pertanian, telah membuktikan bahwa
berbagai kendala masih dihadapi, terutama di wilayah
pertanian lahan kering-kritis yang kondisinya sangat beragam.
Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektare lahan kering,
di mana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai
tipe usaha tani lahan kering (Manuwoto, 1991).
Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan
bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah
rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi
rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-
kebijakan penajaman teknologi pemanfaatan sumber daya
lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang
operasional. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam
pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah (i)
teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (ii)
ekonomis menguntungkan, (iii) sosial tidak bertentangan dan
bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman
lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara
berkelanjutan (Satari, dkk., 1991).
Dimensi politik pengelolaan sumber daya alam termasuk
sumber daya lahan dan air baik sendiri maupun secara terpadu

80
semakin mendapat perhatian yang luas untuk dipelajari. Dalam
pengertian umum politik adalah seni dan ilmu yang mengatur
negara (Molle, 2008). Politik dalam pengertian yang lain adalah
hubungan yang kompleks dan agregat antara orang-orang
dalam suatu masyarakat yang memperjuangkan kewenangan
dan kekuasaan. Melalui politik kepentingan kelompok maupun
individu mengalami proses mediasi. Penggunaan istilah good
water governance menunjukkan adanya dimensi politik dalam
pengelolaan sumber daya air. Demikian pula krisis air sering
dikaitkan dengan crisis of governance menunjukkan bahwa
masalah air tidak semata mata masalah pengelolaan sumber
daya air atau masalah operasi dan pemeliharaan infrastruktur
sumber daya air tetapi masalah yang terkait dengan struktur
sosial politik.
Keterkaitan antara lahan dan air terefleksi dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Pasal 47 menyebutkan secara eksplisit tentang
Hak Guna Air yaitu hak mengenai air yang tidak berada di atas
tanah miliknya. Jika mengenai air yang berada di atas tanah
miliknya, hal itu sudah termasuk dalam isi dari pada hak milik
atas tanah. Sebaliknya UU No. 11 Tahun 1974 yang dalam
banyak hal mewarisi Algemene Water Reglement tahun 1936
tidak menyebut istilah Hak Guna Air. Penyebutan Hak Guna Air
baru muncul pada Peraturan Pemerintah no 22 tahun 1982 yang
menyatakan bahwa hak atas air adalah hak guna air walaupun
peraturan tersebut tidak mengatur bagaimana hak guna air
dilaksanakan. U U no 7 tahun 2004 menetapkan perlunya Hak
Guna Air yang dewasa ini sedang ditindaklanjuti melalui
Peraturan Pemerintah.
Perspektif politik bolehlah dikatakan bahwa UU no 5
tahun 1960 telah bersikap progresif dengan membedakan
antara air yang ada di atas tanah yang melekat pada

81
kepemilikan tanah dan air yang diluar usaha tani yang perlu
diatur penggunaannya. Dari segi politik sehari hari (daily
politics) air yang berada pada lahan usaha tani menjadi
kewenangan petani untuk mengaturnya sedangkan air yang
dari luar usaha tani perlu diatur hak penggunaannya. Dalam
kehidupan politik sehari hari air juga diatur secara kolektif oleh
kelompok tani baik di dalam desa maupun antar desa.
Undang-undang biasanya menjadi acuan dalam politik
birokrasi dan politik kebijakan. Kedua kategori politik tersebut
saling mempengaruhi dan memerlukan proses negosiasi dalam
perumusannya. Dalam proses perumusan kebijakan yang
melibatkan berbagai pihak seperti halnya perumusan kebijakan
tentang irigasi dapat terjadi bahwa politik kebijakan yang
dihasilkan melalui proses negosiasi bertentangan dengan
kepentingan birokrasi tertentu atau politik birokrasi suatu
lembaga pemerintahan yang mempunyai mandat untuk
melaksana-kan kebijakan.
Oleh karena itu dapat terjadi pelaksanaan kebijakan
menjadi tidak efektif dan muncul maneuver politik lebih lanjut
untuk menyelaraskan rumusan kebijakan dengan kepentingan
birokrasi. Baik politik birokrasi maupun politik kebijakan akan
disoroti lebih lanjut dalam tulisan ini. Dalam perkembangan
lebih lanjut politik kebijakan dalam negeri juga dipengaruhi
oleh politik internasional.
Menurut Sanders (1991), kunci untuk menyelesaikan
konflik pengelolaan lahan dan problematik degradasi sumber
daya lahan terletak pada kebijakan dan kelembagaan yang
didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu.
Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan
sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem
pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen
(pemilik lahan dan tenaga kerja), kredit pedesaan, kebijakan

82
pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat
guna yang site-spesific, serta program penelitian dan
penyuluhan. Hal ini membawa konsekuensi yang sangat berat,
yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan
kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan
lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang
lebih baik pada permukaan lahan.
Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi
pengembangan kebijakan-kebijakan lokal ini adalah (1)
tersedianya Data-base Management System tentang sumber
daya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumber daya ekonomi
lainnya, (2) mekanisme analisis kendala dan problematik, dan
(3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware,
software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana
pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan
mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut,
maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan
lahan harus diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan
pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari para
pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga
kerja), dan (3) pengembangan kelembagaan penunjang,
terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah.
Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi
tanah dan rehabilitasi lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan
lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat lapangan,
yaitu (1) program ini harus merupakan bagian integral dari
program pembangunan pertanian yang lebih luas, dan harus
dimulai dengan peningkatan produksi, (2) program ini harus
bersifat bottom-up yang dirancang dengan melibatkan
kepentingan petani, (3) asistensi teknis melalui program jangka
panjang, (4) suatu aktivitas konservasi dan pengelolaan lahan
harus mampu menunjukkan benefit jangka pendek, dan (5)

83
degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui
batas ambangnya.
Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa
implikasi kebijakan yang penting adalah (1) para perencana
program harus menguasai pengetahuan tentang “sistem
pertanian berkelanjutan” dan komponen-komponen
penggunaan lahan yang relevan, (2) para pelaksana program
harus mampu “berkomunikasi dengan petani” dalam rangka
untuk mengakomodasikan pandangan, persepsi dan
kepentingan petani; (3) para perencana dan pelaksana program
harus menyadari bahwa proses perubahan berlangsung secara
lambat dan lama, sehingga diperlukan “komitmen jangka
panjang”; (4) para perencana harus mampu
mengidentifikasikan “kebutuhan petani dan alternatif
solusinya” yang terkait langsung dengan problem pengelolaan
lahan, dan (5) para perencana harus mengetahui “sebab-sebab
terjadinya permasalahan” pengelolaan lahan dan
menelusurinya.
Integrasi antara kepentingan konservasi dengan
kebutuhan petani merupakan kunci utama keberhasilan
program konservasi tanah dan pengelolaan lahan pertanian.
Collison (1982) mengemukakan empat sasaran prioritas yang
harus diikuti dalam merancang program usaha tani konservasi,
yaitu (1) memenuhi obligasi-obligasi sosial-budaya dari
masyarakat, (2) menyediakan suplai pangan yang dapat
diandalkan oleh petani, (3) menyediakan tambahan pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat dihasilkan
oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra “cash
resources”. Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi
atau daerah pegunungan, Dimyati Nangju (1991)
mengemukakan tiga faktor dominan yang sangat berpengaruh,
yaitu (1) tekanan penduduk atas sumber daya lahan, (2) praktik

84
pengelolaan kesuburan tanah, dan (3) strategi dan kebijakan
pembangunan yang dikhususkan bagi daerah pegunungan.
Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan sistem
pertanian di daerah pegunungan, Jodha (1990) mengemukakan
enam spesifikasi penting, yaitu (1) aksesibilitas, (2) fragilitas,
(3) marginalitas, (4) heterogenitas dan diversitas, (5)
suitabilitas ekologis, dan (6) sejarah mekanisme adaptasi
manusia.
Pemulihan kualitas air sebagai bagian dari pengendalian
sumber daya air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar
sesuai dengan baku mutu peruntukannya. Pengendalian bahan
pencemar yang berasal dari berbagai sumber pencemar yang
masuk ke dalam sumber air dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi intrinsik sumber air dan baku
mutu air yang ditetapkan. Pencemaran sungai dapat terjadi
langsung dari outfalls saluran pembuangan atau limbah
industri sebagai point source dan limpasan dari pertanian atau
perkotaan sebagai nonpoint source. Dampak polutan pada
kualitas air sungai tergantung pada jenis polutan, beban
maksimum harian dan karakteristik sungai (Karamouz, et al.,
2003).
Pencemaran non-point source merupakan tantangan besar
karena sumber yang tersebar dan bervariasi terhadap musim
dan cuaca, serta sumber ini sering diabaikan oleh manusia
(Zhang & Wang 2012). Faktor pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan produksi sumber pangan menjadi dasar manusia
mengabaikan kualitas lingkungan. Dilema perubahan proporsi
luas dan jenis penggunaan lahan di suatu daerah aliran sungai
akan mempengaruhi kualitas air. Beberapa fungsi lanskap
memiliki manfaat yang benar-benar penting bagi manusia
terutama terkait dengan ketersediaan sumber daya alam dan
jasa ekosistem, seperti sumber pangan, tempat tinggal, dan

85
sumber daya air. Beberapa fungsi tersebut dapat sinergis, dan
beberapa fungsi tersebut juga dapat merugikan atau bahkan
menjadi sumber konflik. Beberapa fungsi yang secara spasial
dan temporal terpisah dapat menjadi efektif di lokasi yang
sama pada waktu yang sama (Bolliger, et al., 2011).
Penelitian ini membangun target indikator melalui
analisis keterkaitan perilaku penggunaan lahan dan kualitas air
menggunakan hubungan statistik. Analisis sistem hidrologi
dilakukan dengan menggambarkan kondisi biofisik DAS dalam
proses transformasi hidrologi. Pemilihan jenis model
diperlukan untuk menentukan model yang paling sesuai dengan
keadaan DAS sehingga dapat membantu mengajukan suatu
strategi pengelolaan daerah aliran sungai yang berkelanjutan
serta dampak potensial yang ditimbulkan dari perilaku
penggunaan lahan terhadap penurunan kualitas lingkungan.

5.2. Konsepsi Umum tentang Lahan


Di Indonesia sendiri paruh terakhir abad 19 dapat
dianggap sebagai uji coba infrastruktur yang kemudian
dilanjutkan dalam skala besar pada paruh pertama abad 20.
Untuk mengatasi masalah kelembagaan pengelolaan setelah
melalui pengkajian dan ujicoba pada tiga dasawarsa pertama
abad 20 barulah ditetapkan undang-undang pada tahun 1936
yang disebut Algemene Water Reglement (AWR) yang berlaku di
Jawa dan Madura. Selanjutnya, Operasi dan Pemeliharaan
irigasi di desentralisasi ke tingkat provinsi melalui Provinciale
Water Reglement (PWR). Walaupun dari segi pengembangan
infrastruktur dan birokrasi, generasi pertama pembangunan
irigasi publik menunjukkan keberhasilan seperti misalnya
meluasnya areal irigasi secara cepat, yaitu dari areal irigasi
seluas sekitar satu juta ha pada permulaan abad 20 menjadi
sekitar 3,5 juta ha pada tahun 1949 (Burger, 1975) namun

86
pembangunan irigasi tersebut juga menimbulkan polemik
antara para ahli di bidang teknik pengairan dan ahli di bidang
pertanian. Boeke, salah seorang pakar ekonomi yang
berdomisili di Bogor, yang terkenal dengan pandangan ekonomi
dualistik, dalam ceramahnya di Bandung sangat menentang
pembangunan irigasi skala besar di pulau Jawa (Both,1977).
Menurut Boeke pembangunan irigasi malahan menimbulkan
kemiskinan karena meningkatnya penduduk pulau Jawa dengan
sangat cepat. Dengan perkataan lain pembangunan irigasi di
pulau Jawa tidak berhasil melepaskan diri dari Perangkap
Malthus yaitu meningkatnya permintaan pangan lebih cepat
dari peningkatan penyediaan.
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan
bumi beserta segenap karakteristik-karakteristik yang ada
padanya dan penting bagi peri kehidupan manusia (Christian
dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land
dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi,
mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap
atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah
tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief,
hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang
ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang;
yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan
oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang
(Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat
dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i)
komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan,
dan (ii) komponen fungsional yang sering disebut kualitas
lahan. Kualitas lahan ini pada hakikatnya merupakan
sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang
menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO,
1976).

87
Lahan sebagai suatu “sistem” mempunyai komponen-
komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya
menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponen-komponen
lahan ini dapat dipandang sebagai sumber daya dalam
hubungannya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sys (1985) mengemukakan enam
kelompok besar sumber daya lahan yang paling penting bagi
pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi geologis, (iii)
tanah, (iv) air, (v) vegetasi, dan (vi) anasir artifisial (buatan).
Dalam konteks pendekatan sistem untuk memecahkan
permasalahan- permasalahan lahan, setiap komponen lahan
atau sumber daya lahan tersebut di atas dapat dipandang
sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari
sistem lahan. Selanjutnya setiap subsistem ini tersusun atas
banyak bagian-bagiannya atau karakteristik- karakteristiknya
yang bersifat dinamis (Soemarno, 1990).

5.3. Sistem Sumber Daya Lahan


Sebagai suatu ekosistem alam, lahan pertanian
mempunyai komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi. Interaksi-interaksi yang berlangsung di dalam
ekosistem ini menimbulkan beberapa proses kunci, seperti
proses perkembangan tanah (tercermin dalam tingkat
kesesuaian lahan), proses erosi dan limpasan permukaan,
proses produksi tanaman dan ternak, dan proses-proses sosial-
ekonomi. Proses perkembangan tanah di alam terjadi secara
terus menerus, dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling
berinteraksi satu sama lain. Beberapa faktor yang sangat
penting adalah iklim, organisme, batuan induk, topografi, dan
waktu. Interaksi faktor-faktor ini menentukan laju pelapukan
batuan induk yang hasil-hasilnya akan menyusun salah satu
dari komponen-komponen tanah. Sifat-sifat komponen tanah

88
ini selanjutnya akan menentukan tipe tanah dan tingkat
kesesuaiannya bagi tanaman (Buol, Hole, dan McCracken,
1980).
Sumber daya lahan mencakup semua karakteristik dan
proses-proses serta fenomena-fenomena lahan yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Salah
satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah penggunaan
sumber daya lahan dalam tipe-tipe pemanfaatan lahan (land
utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil-hasil
pertanian dan ternak (Hardjowigeno, 1985). Upaya
pemanfaatan lahan pertanian pada hakikatnya ditujukan untuk
mendapatkan hasil-hasil dari komoditas pertanian. Aktivitas
pengelolaan sumber daya lahan dalam hal ini pada dasarnya
merupakan upaya penyesuaian antara kondisi lahan yang ada
dengan persyaratan bagi komoditas pertanian (Sitorus, 1985).
Kondisi lahan ini menjadi kendala yang membatasi kemampuan
dan kesesuaian sumber daya lahan terhadap persyaratan
penggunaan dan pemanfaatan lahan. Secara lebih operasional,
konsepsi tentang kondisi lahan ini dapat dijabarkan dalam
konsepsi kualitas lahan yang dapat dievaluasi secara lebih
kuantitatif dan lebih objektif (Soemarno, 1990; Janssen, 1991).
Hubungan antara kondisi lahan dengan respons tanaman dalam
upaya pengelolaan lahan akan menentukan tingkat
produktivitas lahan (Wood dan Dent, 1983). Berbagai teknik
telah dikembangkan untuk memperkirakan tingkat
produktivitas lahan melalui proses evaluasi lahan. Hasil
evaluasi ini penting dalam rangka perencanaan dan
pengelolaan sumber daya lahan (Sys, 1985; Soemarno, 1990).
Salah satu bentuk pengelolaan lahan yang terkenal adalah
menggunakan lahan sebagai komponen sistem usaha tani.
Suatu sistem usaha tani komoditas pada kenyataannya
sangatlah kompleks (subsistem sumber daya alam, dan

89
subsistem sosial-ekonomi-budaya), bersifat dinamis, dan
senantiasa berinteraksi dengan sistem-sistem lain. Pendekatan
sistemik dipersyaratkan demi keberhasilan penelaahan usaha
tani komoditas dalam kerangka pewilayahannya (Dent dan
Young, 1971; Shanner, et al., 1982, dan Wright, 1971). Melalui
serangkaian analisis sistem dapat ditelaah struktur sistem
dalam upaya mendapatkan struktur yang optimal, sehingga
dengan menyimulasi input sistem diharapkan dapat diperoleh
output yang diharapkan. Implikasi lebih lanjut ialah
dimungkinkannya rekayasa agroteknologi arahan bagi setiap
sistem usaha tani komoditas di suatu wilayah pengembangan
(Soemarno, 1988).
Ciri pembangunan yang diwariskan sejak generasi
pertama adalah pendekatan pembangunan yang sentralistik.
Ciri-ciri lainnya yang muncul adalah biaya investasi per satuan
luas yang semakin mahal (Pasandaran, 2008). Walaupun
pemerintah juga melakukan kooptasi pengelolaan irigasi yang
sebelumnya dikelola masyarakat namun pertumbuhan areal
irigasi pada kurun waktu generasi kedua relatif menurun. Kalau
pada penghujung generasi pertama (tahun 1949) areal irigasi
yang diwariskan adalah seluas 3,5 juta ha maka pada tahun
2000 areal irigasi diperkirakan sekitar 5 juta ha, hanya terjadi
peningkatan sekitar 50 persen. Hal ini terjadi karena
persaingan yang semakin meningkat dalam penggunaan lahan
dan air yang menyebabkan wilayah sungai tertutup untuk
perluasan areal irigasi dan terjadinya konversi lahan irigasi. Di
pihak lain secara global antara tahun 1950 dan 2000 terjadi
peningkatan luas irigasi lebih dari tiga kali lipat yaitu dari 80
juta ha menjadi 270 juta ha (FAO, 2000).
Faktor pemicu ketiga adalah ketersediaan anggaran
pembangunan karena pada hakikatnya kebijakan pengelolaan
sumber daya air sangat bertumpu pada kebijakan investasi di

90
bidang infrastruktur. Misalnya kebijakan pembangunan
pertanian untuk mencapai swasembada beras yang
dicanangkan sejak awal pelita pertama sangat dipengaruhi oleh
investasi di bidang pengairan seperti rehabilitasi dan perluasan
irigasi, pengendalian banjir, dan perluasan areal rawa dan
pasang surut.
Sebelum tercapainya swasembada beras investasi di
bidang pengairan meningkat cepat karena didukung oleh
pendapatan yang diperoleh dari minyak bumi. Pada tahun
1980-an misalnya lebih dari separuh pengeluaran pemerintah
untuk sektor pertanian adalah untuk investasi irigasi. Investasi
publik tersebut mencakup 85 persen areal irigasi dan 75 persen
produksi padi Indonesia (Rosegrant and Pasandaran, 1995).
Investasi di bidang pengairan setelah tercapainya
swasembada beras pada tahun 1984 mengalami penurunan
karena berkurangnya APBN sebagai akibat menurunnya harga
minyak bumi. Kecenderungan tersebut mendorong munculnya
kebijakan yang lebih memperkuat kemampuan kelembagaan
pengelolaan irigasi. Seperti yang telah disinggung dalam
pendahuluan tulisan ini kemudian dibangun upaya untuk
memperkuat pengelolaan irigasi melalui sector adjustment loan
dari World Bank yang memungkinkan dilaksanakannya suatu
program pengelolaan irigasi yang dianggap lebih efisien pada
penghujung tahun 1980-an.
Ciri lain dari investasi generasi kedua adalah rendahnya
kualitas infrastruktur. Di samping kualitas konstruksi yang
rendah, operasi dan pemeliharaan sistem irigasi juga kurang
memadai. Sebagai akibatnya siklus rehabilitasi irigasi menjadi
pendek dan walaupun telah dilakukan penguatan kelembagaan
dan upaya-upaya operasi dan pemeliharaan yang efisien
langkah-langkah kebijakan tersebut belum berhasil mencegah
siklus pendek rehabilitasi irigasi. Apakah ada politik birokrasi

91
yang terkait dengan masalah tersebut dapat menjadi subjek
penelitian tersendiri.
Baik generasi pertama maupun generasi kedua
pembangunan irigasi di Indonesia memberikan pelajaran
berharga dalam menuju pembangunan sumber daya air dan
pertanian masa depan. Ada momentum dan faktor pemicu yang
perlu dipelajari dengan baik untuk merumuskan langkah-
langkah kebijakan yang mendukung terwujudnya kesejahteraan
masyarakat, keadilan sosial, dan keberlanjutan pembangunan.

5.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan


Kesesuaian lahan pada hakikatnya merupakan
penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu
penggunaan tertentu (Sitorus, 1985). Dalam bidang pertanian,
kesesuaian lahan dikaitkan dengan penggunaannya untuk usaha
pertanian. Brinkman dan Smyth (1973) telah menemukan
beberapa kualitas lahan yang menentukan tingkat kesesuaian
lahan bagi tanaman. Kualitas lahan ini adalah ketersediaan air
tanah, ketersediaan unsur hara, daya menahan unsur hara,
kemasaman, ketahanan terhadap erosi, sifat olah tanah, kondisi
iklim, dan kondisi daerah perakaran tanaman. Konsepsi ini
telah dikembangkan lebih lanjut oleh Soepraptohardjo dan
Robinson (1975), yang telah mengemukakan beberapa faktor
penting lainnya, yaitu kedalaman efektif tanah, tekstur tanah di
daerah perakaran, pori air tersedia, batu-batu di permukaan
tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah, keracunan hara,
kemiringan, erodibilitas tanah, dan keadaan agro klimat.
Suatu bagan umum untuk evaluasi lahan pertanian telah
dikembangkan oleh FAO (1976). Menurut bagan ini istilah lahan
mengandung makna lingkungan fisik yang mencakup iklim,
relief, tanah, air, dan vegetasi. Proses evaluasi lahan pada
hakikatnya melibatkan klasifikasi interpretatif, baik yang

92
bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Sistem evaluasi lahan
dengan komputer (Land Evaluation Computer System, LECS)
pada dasarnya merupakan penjabaran dari kerangka evaluasi
lahan (Framework for Land Evaluation, FAO, 1976). Penggunaan
fasilitas komputer dalam analisis kesesuaian lahan sangat
diperlukan karena: (i) melibatkan banyak data yang meliputi
berbagai unit lahan, berbagai taraf pengelolaan, jenis-jenis
tanaman pertanian dan tanaman hutan; (ii) penilaian dilakukan
secara kuantitatif untuk menyatakan tingkat kesesuaian
tanaman; dan (iii) pemodelan diperlukan untuk lebih
memahami interaksi yang rumit dalam sistem pertanian (Wood
dan Dent, 1983).

5.5. Pengolahan Lahan


Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan
manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis
dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang
bersifat materiel maupun spiritual yang berasal dari lahan
tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use
(Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya
pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor
pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini
seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai
dengan kapabilitasnya. Dalam hubungannya dengan
penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai
lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap
pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan
(iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar
apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya
semakin dekat dengan pasar (Norton, 1984).
Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan
suatu sistem pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usaha

93
tani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan-persyaratan
agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air).
Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam
pengembangan komoditas pertanian lahan kering.
Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan
menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan
mengakibatkan biaya sosial yang berupa kemerosotan kualitas
sumber daya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973). Di lokasi-
lokasi tertentu, seperti lahan kering-kritis di bagian hulu DAS,
biaya sosial tersebut dapat bersifat internal seperti kemunculan
tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedimentasi di
berbagai fasilitas perairan (Rauschkolb, 1971).
Soekardi dan Eswaran (1991) mengemukakan beberapa
ciri dan proses yang berlangsung dalam ekosistem pegunungan
(highland areas) yang dapat menjadi kendala atau penunjang
pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri
ekosistem yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform,
dan (3) sumber daya tanah. Sedangkan dua proses yang terkait
dengan ciri-ciri tersebut adalah proses geomorfik dan proses-
proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian
tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000
mm, temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu tanah
isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini
biasanya variasi rezim lengas tanah adalah Udik dan Ustik.
Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai
keunggulan komparatif bagi pengembangan berbagai jenis
penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan sistem
pertanaman (cropping systems). Potensi seperti ini pada
kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah
untuk “menggarap” lahan secara lebih intensif. Pada akhirnya
hal ini akan dapat mengakibatkan munculnya “kesenjangan”
yang semakin besar antara intensitas penggunaan sumber daya

94
dengan karakteristik sumber daya. Apabila kesenjangan ini
melampaui daya dukung sumber daya, maka laju degradasi
akan dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan
strategi petani di daerah pegunungan untuk berjuang
mempertahankan kehidupannya biasanya bertumpu pada tiga
prinsip dasar yang spesifik, yaitu (1) untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya, petani mengelola sumber daya lahannya
dengan berbagai aktivitas produksi tanaman, ternak,
hortikultura dan kehutanan; (2) petani menghindari risiko
kegagalan dan bencana melalui pengembangan metode-metode
indigenos dalam mengelola lahannya, dan (3) teknologi yang
mudah, low input dan small scale lebih disenangi karena
keterbatasan penguasaan pengetahuan, teknologi dan kapital
(Dimyati Nangju, 1991).
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi
kesesuaian agroekologis lahan untuk penggunaan pertanian
masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka
metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa
metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan
untuk kepentingan ini (FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983).
Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi,
sedangkan aspek sosial ekonomi budaya masih belum
dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya,
pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usaha tani lahan
kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga
belum melibatkan secara langsung aspek-aspek agroekologis.
Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi
lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan
metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada
musim, memerlukan waktu lama dan sumber daya penunjang
yang cukup banyak (P3HTA, 1987).

95
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang
berupa material, teknologi, manajemen dan unsur-unsur agro
ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran
yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil
sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat
berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang
dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya
diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya
eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990).
Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai
mempunyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita
oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran
sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti
bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas
tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam
kelestarian bangunan-bangunan tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek
eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai.
Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat
bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990).
Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau
menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Di samping
itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut
relatif sangat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan
penerimaan usaha tani. Dalam kondisi seperti ini diperlukan
campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien
(1972) mengemukakan beberapa macam campur tangan
pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu (i)
larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak
atau subsidi, (v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau
hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efe eksternalitas
dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi

96
sumber daya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap
proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai
efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan
intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataannya sangat
beragam (Suwardjo dan Saefuddin, 1988).
Kondisi sumber daya lahan kering yang sangat beragam
dan kondisi iklim yang berfluktuasi menjadi faktor pembatas
yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi
pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987, Ispandi, 1990; dan
Sembiring, 1990). Khusus dalam hal konservasi tanah dan air,
kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas
hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi (Suwardjo
dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti ini maka tindakan
konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usaha
tani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usaha
tani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan
pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman
tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/
tanaman hijauan pakan (Anwarhan, Supriadi, dan Sugandi,
1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola
usaha tani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi
informasi bahwa pola tanam introduksi: jagung + kacang tanah
(atau kedelai) + ubi kayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang
hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam
memanfaatkan sumber daya pertanian dan lebih produktif
daripada pola tanam tradisional (P3HTA, 1987). Suatu peluang
yang tampaknya cukup besar di lahan kering adalah usaha tani
tanaman pisang dan kelapa (Nuhardiyati, 1988; Djumali dan
Sasa, 1988). Kedua jenis komoditas ini ternyata mampu
menyuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan
kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

97
Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan
produktivitas kedua tanaman ini secara signifikan. Penelitian-
penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah,
laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan
diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup
banyak dan harus mengikuti irama musiman (Thamrin, 1990;
Soelaiman, 1990).
Selain itu, penelitian-penelitian ini masih belum
menganalisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara
terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis
kepekaan erosi dan limpasan permukaan terhadap variasi
bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka
panjangnya. Tampaknya kom- ponen teknologi sistem usaha
tani lahan kering yang cukup baik untuk menunjang program
intensifikasi adalah ternak (Hardianto, 1990a; Hardianto, 1990
b; dan Lubis, 1990). Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang
berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu
memberikan manfaat ganda, yaitu mengurangi bahaya erosi
dan limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan.
Khusus jenis rumput setaria ternyata mempunyai peluang yang
cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering, karena
mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminansia
serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras
yang baik. Usaha tani domba ternyata mampu memberikan
sumbangan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa
mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor
utama yang sangat berpengaruh adalah jumlah dan jenis
(kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak (Syam, 1988). Dari
hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya
pengelolaan lahan kering-kritis dalam suatu sistem pertanian
harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan

98
kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi
tanah dan air secara memadai. Beberapa peneliti telah mencoba
mengembangkan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering
secara lokal (Toha, 1990; Hardianto, 1990; dan Rachman,
1990). Tampaknya para peneliti ini menghadapi kesulitan
dalam menyusun pola tanam yang tepat karena keterbatasan
informasi sumber daya lahan yang bersifat lokal, demikian juga
informasi tentang kesesuaiannya.

5.6. Strategi Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan


Permasalahan lingkungan yang terjadi di indonesia
khusus Cekungan Bandung merupakan dampak dari kurang
terpadunya perencanaan tata ruang yang selama ini dirancang
berdasarkan batas-batas administrasi. Berbagai permasalahan
lingkungan tersebut tidak dapat diselesaikan secara parsial
karena satu aspek lingkungan akan berdampak pada aspek
lainnya. Karena itu, perlu disusun strategi lingkungan untuk
mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi di Cekungan
Bandung secara menyeluruh dan terpadu. Strategi tersebut
meliputi:
a. Perombakan kebijakan dan institusi.
b. Pengendalian pencemaran.
c. Rehabilitasi lahan.
d. Pemberdayaan masyarakat (agar lebih peka).

99
Gambar 8. Kerangka pengelolaan terpadu sumber daya lahan
dan air (PTSDLA)

Pada masing-masing pilar yang didukung melalui


kerangka keterpaduan ada fokus kepentingan yang
diperjuangkan. Misalnya pilar perbaikan efisiensi terkait
dengan alokasi sumber daya. Dengan semakin meningkatnya
pertumbuhan ekonomi akan terjadinya realokasi sumber daya
lahan dan air dari suatu sektor ke sektor lainnya yang dianggap
lebih efisien dalam penggunaan sumber daya. Sebagai
akibatnya terjadi konversi lahan dan realokasi air misalnya dari
sektor pertanian ke sektor industri.
Demikian pula sektor swasta mulai ikut dalam
pengelolaan sumber daya karena adanya peluang-peluang
keuntungan yang diperoleh dari usaha penyediaan jasa sumber
daya lahan dan air. Juga dengan semakin langkanya sumber
daya, kepentingan memperoleh dukungan sumber daya lahan
dan air dalam melangsungkan usaha melalui privatisasi

100
semakin dominan. Di pihak lain ada golongan masyarakat yang
tersisihkan sebagai akibat pembangunan ekonomi. Golongan
masyarakat miskin menjadi sulit dalam mengakses lahan dan
air. Oleh karena itu upaya reformasi agraria menjadi semakin
relevan apabila keadilan sosial perlu diwujudkan dalam
pembangunan bangsa. Demikian pula akses terhadap air bagi
golongan masyarakat miskin baik untuk keperluan irigasi
maupun untuk keperluan domestik menjadi semakin menonjol.
Dalam memenuhi target pengurangan kemiskinan dalam
rangka millenium development goal, pilar kedua, perbaikan
akses terhadap sumber daya lahan dan air semakin relevan dan
menjadi komitmen berbagai negara yang terlibat.
Kepentingan untuk mewariskan sumber daya lingkungan
secara berlanjut menjadi pilar ketiga yang perlu diperhatikan.
Pada hakikatnya pengelolaan sumber daya lahan dan air
diperlukan untuk memungkinkan berfungsinya jasa ekosistem
secara penuh termasuk di dalamnya jasa untuk memelihara
warisan budaya. Masyarakat petani adalah pengguna jasa
ekosistem terbesar karena sebagian besar sumber daya lahan
dan air digunakan untuk keperluan pertanian. Oleh karena itu
potensi yang ada pada masyarakat tani dalam mengelola
ekosistem pertanian harus dapat dimanfaatkan secara penuh
termasuk warisan budaya berupa kapital sosial dan teknologi
serta praktik usaha tani yang ada pada mereka. Teknologi yang
berasal dari luar sepanjang tidak membahayakan lingkungan
besar kemungkinan bahwa teknologi dan praktik tersebut
berlanjut.
Ketiga pilar tersebut yang terkait satu dengan lainnya
dalam suatu kesatuan ekosistem seperti DAS dikelola
berdasarkan mekanisme yang memperhatikan keragaman ciri-
ciri ekosistem dan usaha pertanian. Keragaman kelembagaan
yang ada pada masyarakat dalam mengelola sumber daya lahan

101
dan air dapat menjadi driving force pengelolaan terpadu apabila
hubungan interaktif antarlembaga dapat diperkuat. Demikian
pula pengetahuan dan teknologi yang berasal dari luar
masyarakat tani sepanjang dapat diintegrasikan dengan
pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masyarakat tani dapat
mempererat keterkaitan dan keterpaduan pengelolaan.
Kerangka pengelolaan terpadu dengan ciri-ciri seperti yang
telah dikemukakan di atas adalah suatu konsep ideal yang
dapat juga dianggap sebagai suatu visi dalam mengelola sumber
daya lahan dan air. Seperti yang biasanya terjadi selama ini
konsep ideal semacam ini sulit diwujudkan. Belum ada contoh
keberhasilan yang dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan
terpadu sumber daya air apalagi pengelolaan terpadu sumber
daya lahan dan air, hal ini terjadi karena kompleksnya
persoalan yang dihadapi termasuk warisan sistem birokrasi
pemerintahan yang tidak menunjang dan pola pikir yang
berlainan (divergent) dalam mengelola sumber daya tersebut.
Terlepas dari upaya memperkuat politik birokrasi yang
cenderung sentralistik dalam pengelolaan sumber daya air,
Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air
sebenarnya telah memberikan landasan hukum bagi
pendekatan keterpaduan yang merefleksikan ketiga pilar
tersebut di atas. Undang-undang tersebut mengakui adanya
hak-hak tradisional masyarakat dalam pemanfaatan air dan
juga memberikan landasan hukum bagi konservasi sumber daya
air, yang pada hakikatnya merefleksikan konservasi lahan dan
air. Oleh karena itu konsep keterpaduan tersebut sebaiknya
dilihat dalam perspektif jangka panjang yang mencakup upaya-
upaya perubahan pola pikir sebagai suatu kondisi yang
diperlukan bagi perubahan-perubahan struktural dan langkah-
langkah kebijakan selanjutnya.

102
BAB VI
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
MIGAS

6.1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya
alam yang berlimpah di dunia. Kekayaan sumber daya alam
Indonesia meliputi berbagai sektor seperti perikanan,
pertanian, keanekaragaman hayati, serta kandungan minyak
dan gas dalam bumi. Negara Indonesia dilimpahkan sumber
daya yang berlimpah mengingat posisi negara Indonesia berada
di garis khatulistiwa dan sebagian besar wilayah Indonesia
adalah wilayah perairan.
Telah banyak peraturan yang membahas mengenai
sumber daya alam serta lingkungan, di antaranya yaitu UU No.
22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, UU No. 40 Tahun
2007 tentang perseroan terbatas, No.32 Tahun 2009 tentang
pengelolaan lingkungan hidup, serta ada Peraturan Presiden
Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut, ada Peraturan Menteri
Perhubungan No. 58 Tahun 2013 tentang penanggulangan
pencemaran di perairan dan pelabuhan, dan peraturan-
peraturan lainnya terkait dengan sumber daya dan
penanggulangan pencemaran lingkungan hidup.
Contoh kasus kondisi tatanan tektonik dan geologi Aceh
memiliki prospek untuk dilakukan eksplorasi dan
pengembangan serta produksi Minyak dan Gas Bumi, baik di
Wilayah Darat maupun di Wilayah Laut. Penemuan cadangan
Minyak dan Gas baru di Aceh diharapkan dapat meningkatkan

103
Penerimaan Negara dan Penerimaan Pemerintah Aceh dalam
membangun infrastruktur dan Ketahanan Energi Aceh untuk
melahirkan kembali industri-industri skala internasional.
Ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam
Minyak dan Gas Bumi di Aceh, kewenangan pengelolaan Migas
pada Wilayah Laut 12 (dua belas) sampai dengan 200 (dua
ratus) mil laut yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
dikelola dan dilaksanakan Pemerintah Pusat dengan
mengikutsertakan Pemerintah Aceh. Tafsir dalam 3 (tiga)
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003,20/PUU-
V/2007 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-X/2012
tentang Uji Materiel Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa penguasaan
negara terhadap sumber daya alam dan cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dimaknai sebagai mandat yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengadakan kebijakan,
pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan, untuk
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh pemerintah,
maka pembahasan mengenai sumber daya alam dan kaitannya
dengan keberlanjutan itu sangat penting. Keberadaan sumber
daya alam migas di Indonesia menjadi potensi untuk diolah dan
dipergunakan dengan bijak. Potret migas di Indonesia memiliki
tempat tersendiri di dunia. Nasir (2014) menyatakan khusus
untuk minyak mentah, Indonesia dapat dikatakan sebagai
produsen minyak, bahkan pernah menjadi salah satu anggota
organisasi produsen minyak mentah dunia yaitu OPEC. Pada
tahun 2012, Indonesia menempati posisi ke-24 dari 53 negara
didunia sebagai produsen minyak, dan kedua di Asia Pasifik.

104
Berbeda dalam pernyataan Fandhitya dan Tri (2011)
sekarang Indonesia mengalami turun naiknya laju
pertumbuhan produksi membuat Indonesia harus mengimpor
minyak bumi. Pada tahun 2008 sebanyak 154 juta barel
diimpor, sedangkan jumlah ekspor hanya 117 juta barel. Karena
jumlah impor lebih besar daripada ekspor maka Indonesia
menjadi negara net importer minyak bumi. Hal ini
menyebabkan Indonesia bergantung dengan negara lain.
Kondisi tersebut membuat Indonesia perlu fokus terhadap
pengelolaannya karena mengingat sumber daya migas bukanlah
sumber daya yang ada secara terus menerus yakni sumber daya
yang tidak terbaharukan, apabila 10 tahun ke depan sudah
tidak ditemukan lagi sumber migas dalam bumi Indonesia maka
pembangunan keberlanjutan akan sulit dicapai. Sebagian besar
pembangunan membutuhkan sumber daya migas sebagai
penggerak produksi.
Selain permasalahan-permasalahan sumber daya migas,
dalam makalah ini juga akan dibahas mengenai kondisi terkini
atau isu terkini mengenai sumber daya migas seperti kajian
mengenai tabung gas elpiji 3 kg, serta perkembangan
pengelolaan minyak dan gas di berbagai negara di belahan
dunia. Selain itu juga akan dikemukakan mengenai tantangan
Indonesia terhadap pengelolaan minyak dan gas, mengingat
pengelolaan dari dulu sampai sekarang yang diketahui adalah
masalah infrastruktur yang memadai, baik dari segi sumber
daya manusia, pembiayaan, maupun sistem teknologi yang pas.
Pengelolaan migas juga tidak bisa dilihat dari hanya satu
sisi, karena pengelolaan sumber daya migas berbicara dari
sektor hulu sampai hilir, dari sumber mentah menjadi
konsumsi masyarakat luas. Maka dalam makalah intinya adalah
mencoba mengungkapkan gambaran pengelolaan sumber daya
migas di Indonesia serta kondisi yang terkait di dalamnya.

105
6.2. Ketersediaan Sumber Daya Alam Migas
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya
alam, salah satunya yaitu sumber daya migas. Luas wilayah
yang tersebar di 30 provinsi lebih membuat Indonesia memiliki
potensi sumber daya yang cukup luas pula. Berdasarkan data
yang diperoleh dari pusat data dan teknologi informasi
Kementerian ESDM tahun 2016, riau menempati urutan
pertama dalam provinsi penghasil minyak terbesar di Indonesia
pada tahun 2016., Sembilan lainnya yaitu Papua Barat,
Lampung, jambi, DKI Jakarta, Kepri, Jawa Barat, Palembang,
Kalimantan Timur, dan Jawa Timur. Untuk lebih lengkapnya
dapat dilihat gambar berikut ini.
Kegiatan eksplorasi dan produksi migas saat ini
terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia, yaitu Sumatera,
Jawa, Madura, dan Kalimantan. Hasil analisis diperoleh 3
kategori cekungan untuk dikembangkan. Kategori pertama
terdiri atas 7 cekungan yang terbukti telah ditemukan
hidrokarbon, yaitu cekungan Laut Timor, Bone, Makassar
Selatan, Banggai, Seram, Salawati dan Bintuni. Kategori kedua
terdiri atas 16 cekungan yang terbukti ditemukan adanya
rembesan minyak atau gas dan oil shows pada sumur migas,
dan Prioritas ketiga terdiri atas 24 cekungan yang merupakan
cekungan frontier.

106
Sumber: Diolah dari Data Ditjen Migas

6.3. Sumber daya Alam Dipegang Pihak Asing


Meskipun yang telah kita ketahui bahwa ada 10 provinsi
yang memiliki sumber daya migas terbanyak namun tidak
banyak memberikan dampak positif terhadap masyarakat.
Terlebih karena sumber daya di Indonesia berupa minyak bumi
dan gas alam saat ini mayoritas dikuasai oleh pihak asing. Hal
ini dikarenakan besarnya modal yang dibutuhkan dan
minimnya sumber daya manusia yang menguasai teknologi
terkait eksploitasi migas. Pasca konferensi Time Life Corp di
Geneva dan diberlakukannya UU Penanaman Modal Asing pada
tahun 1967 korporasi Asing mulai mengeksploitasi Migas di
Indonesia.
Awalnya beberapa korporasi multinasional Migas seperti
Total, British Petroleum, Exxon Mobil hanya mengelola sektor
hulu bisnis migas. Namun, UU nomor 22/2001 tentang migas,
membuat korporasi asing berpeluang untuk berbisnis di sektor
hilir. Buktinya adalah saat ini SPBU Shell, Petronas dan Total

107
sudah berdiri di beberapa kota besar Indonesia. Akhir Mei
2009, data Departemen ESDM menunjukkan 69,9 persen
dominasi asing dalam industri migas Indonesia, sekitar 70
persen di antaranya perusahaan asal AS seperti Chevron,
Conoco Philips dan Exxon Mobil. Perusahaan migas nasional
hanya sebesar 29,1 persen dalam industri migas.

6.4. Infrastruktur
Permasalahan selanjutnya yaitu mengenai infrastruktur.
Tentunya infrastruktur yang mendukung kegiatan operasional
dalam pengelolaan sumber daya migas tidak berjumlah sedikit,
butuh pembiayaan yang expensive. Berbagai upaya dilakukan
pemerintah. Upaya tidak hanya berorientasi pada hasil berupa
angka namun pola pikir terhadap keberlanjutan. Pemerintah
melalui Kementerian ESDM berkomitmen untuk meningkatkan
pemanfaatan sumber energi domestik di antaranya gas bumi
yang memiliki cadangan terbukti sekitar 100 Triliun Standar
Cubic Feet (TCF) sebagai energi bersih dan ramah lingkungan.
Hal tersebut sejalan dengan Nawacita Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla tahun 2014–2019, yaitu mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik yang juga dituangkan dalam
beberapa paket kebijakan ekonomi.
Dari sisi investor, dibutuhkan semacam guidelines untuk
memetakan kondisi gas bumi update di tanah air. Maka, NGI
2018–2027 pun diluncurkan. NGI merupakan gambaran
pasokan dan kebutuhan gas bumi nasional jangka panjang yang
mencakup berbagai skenario proyeksi yang mungkin akan
terjadi di masa mendatang. Dengan demikian, sektor lain,
seperti industri, ketenagalistrikan dan kegiatan ekonomi
lainnya mendapatkan gambaran pengembangan lebih jelas.

108
6.5. Pengelolaan Sumber Daya Alam Migas
Undang-Undang No. 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan
Gas Bumi berisikan semangat untuk memajukan sektor hilir
minyak dan gas bumi Indonesia, antara lain dengan membuka
peluang bagi lebih banyak pelaku untuk berusaha di sektor hilir
minyak dan gas bumi, serta mengembangkan BPH MIGAS.
Untuk mempromosikan persaingan usaha yang wajar, sehat dan
transparan, setiap Badan Usaha dapat melakukan kegiatan
usaha di bidang hilir minyak dan gas bumi (pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan dan niaga) setelah mendapatkan
izin usaha dari Pemerintah.
Dalam tulisan Nugroho (2004) menggambarkan rantai
nilai industri gas bumi dimulai dari hulu ke hilir. Kegiatan hulu
(oleh sebuah perusahaan eksplorasi/eksploitasi gas) dimulai
dengan upaya mendapatkan izin/konsesi atau kontrak kerja
sama untuk melakukan eksplorasi atau pencarian gas di suatu
wilayah tertentu. Di Indonesia, izin atau kontrak kerja sama
untuk mendapatkan Wilayah Kerja Pertambangan tersebut
sekarang dapat diperoleh melalui lelang (tender) yang
dilakukan oleh Menteri Energi dan Sumber daya dan Mineral
(Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi) berdasarkan skema
perjanjian bagi hasil (production sharing contract).
Perlakuan CO2 dapat meningkatkan produktivitas gas
dengan faktor sekitar 1,39 dibandingkan dengan mode banjir
air. Hasil ini dapat membantu insinyur reservoir dan spesialis
untuk mengembalikan produktivitas kondensat gas yang hilang.
Bila kegiatan eksplorasi memberikan hasil yang positif, maka
ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan produksi/eksploitasi
gas bumi, minyak bumi serta produk ikutannya. Hasil produksi
dari lapangan gas tersebut dikumpulkan, kemudian disalurkan
ke kilang gas untuk diproses atau dikirim ke tujuan penjualan.
Di kilang/pabrik gas, gas dari lapangan produksi tersebut

109
dimurnikan atau diproses menjadi LNG (liquefied natural gas)
dan LPG (liqufied petroleum gas). Selanjutnya, gas yang telah
diproses ini, melewati jaringan transportasi yang telah
dibangun, dijual kepada konsumen besar (wholesale) dan
seterusnya kepada konsumen kecil (retail). Lebih detail dapat
dilihat pada Gambar berikut ini.

Gambar 9. Sektor hulu dan hilir gas bumi


Sumber: SKK Migas

Pembahasan mengenai infrastruktur industri hilir


Indonesia menunjukkan bahwa infrastruktur industri hilir gas
bumi Indonesia, khususnya jaringan transmisi dan
distribusinya, masih sangat terbatas. Keterbatasan
infrastruktur ini dapat dipahami karena alasan biaya investasi
yang sangat mahal untuk mengembangkannya (terutama untuk

110
menghubungkan pusat-pusat produksi gas yang berjarak sangat
jauh dengan pusat-pusat konsumsi di pulau Jawa), di samping
itu karena kebijakan pengembangan industri gas bumi yang
dilakukan selama ini memang masih bertumpu pada
pengembangan sisi hulu dengan produksi gas ditujukan untuk
ekspor. Di samping itu, pengusahaan sisi hilir gas bumi
Indonesia dalam banyak segi masih dicirikan oleh karakteristik
pengusahaan monopoli, didominasi oleh Badan Usaha Milik
Negara, dengan sebuah BUMN beroperasi secara terintegrasi
vertikal.
Ekstraksi cairan minyak bumi dilakukan dengan
pengeboran sumur. Teknik pengeboran telah berkembang dari
waktu ke waktu untuk mengatasi beberapa tantangan
sementara beberapa masalah masih berlaku dengan praktik
pengeboran yang saat ini digunakan seperti kehilangan
sirkulasi, waktu rakitan lubang bawah, masalah pipa dan
stabilitas lubang sumur. Di dalam metode, pengeboran dan
casing lubang bor dilakukan secara bersamaan, yang
meningkatkan efisiensi pengeboran dengan mengurangi NPT.
Ini telah terbukti bermanfaat dalam mengendalikan kehilangan
sirkulasi dan meningkatkan stabilitas lubang sumur dengan
efek 'Plesteran', pekerjaan semen berkualitas tinggi dan
peningkatan keselamatan. Ini menggunakan rig yang lebih kecil
dan lebih sedikit bahan bakar sehingga mengurangi jejak
karbon di lingkungan. Makalah ini mempelajari kontrol sumur
yang komprehensif dan pertimbangan desain casing string.
Industri minyak dan gas terlibat dalam rantai pasokan
global yang mencakup transportasi domestik dan internasional,
pemesanan dan visibilitas inventaris dan kontrol, penanganan
bahan, fasilitasi impor/ekspor, dan teknologi informasi. Dengan
demikian, industri ini menawarkan model klasik untuk
menerapkan teknik manajemen rantai pasokan. Dalam rantai

111
pasokan, perusahaan terkait dengan pemasok hulu dan
distributor hilirnya sebagai bahan, informasi, dan aliran modal
melalui rantai pasokan.
Sebagian besar studi mengenai pembentukan dan
stabilitas emulsi fokus pada pengkondisian dan manajemen
minyak mentah di fasilitas permukaan. Karena banyak dari
minyak mentah yang diproduksi adalah dalam bentuk stabil
emulsi, sering diklaim bahwa emulsi ini dibentuk melalui choke
dan penyempitan aliran lainnya dalam minyak peralatan
lapangan. Fakta bahwa emulsi dapat terbentuk di dalam sumur
itu sendiri. Untuk memahami mekanika aliran emulsi dalam
media berpori, Akhirnya formasi emulsi di reservoir untuk
tujuan pemulihan minyak yang ditingkatkan.
Baja karbon telah digunakan dalam industri minyak dan
gas sejak sekitar tahun 1975, paduan tahan korosi (CRA) mulai
dipertimbangkan dalam sistem jalur aliran minyak dan gas
untuk mengurangi kerusakan korosi. Proses pemilihan materi
disajikan dalam format tabulasi yang menggabungkan
kelebihan dan kekurangan sebagai fungsi dari mekanisme
korosi yang sedang dipertimbangkan. Sedangkan untuk aditif
paling efisien untuk mengubah dingin sifat aliran dari bahan
bakar diesel tertentu adalah Etanol.
Dari contoh kasus yang ada di belahan bumi lain,
pendekatan pembelajaran mesin dibangun dan diuji melalui
sampel data direkam dari reservoir minyak Teluk Persia utara.
Hasil yang didapat dari mesin model yang digunakan dalam
penelitian tersebut adalah rata-rata simpangan absolut antara
pendekatan estimasi dan data aktual yang relevan ditemukan
kurang dari 1% untuk hibridisasi. Hasil yang dilaporkan dalam
makalah ini menunjukkan bahwa implikasi dari mesin
hibridisasi dalam estimasi porositas dan permeabilitas dapat
menghasilkan konstruksi yang lebih mumpuni terhadap model
reservoir statis dalam rencana simulasi.

112
Peningkatan kekuatan tekan, penurunan porositas dan
permeabilitas dalam semen. Penggabungan nano-silika
memastikan tepat sementasi dan integritas sumur yang lebih
besar. Nano-silika membantu mengurangi waktu Tunggu di
Semen (WOC) dan karena itu mengurangi biaya modal
keseluruhan. Nano-silika sangat direkomendasikan untuk
sumur lepas pantai yang dalam suhu tinggi dan tekanan tinggi
yang sering dijumpai.

6.6. Secara Teknisi tentang Migas


Penelitian dilakukan di Cina Selatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa efek selip mendominasi dan meningkatkan
gas permeabilitas inti tanpa fraktur. Efek Forchheimer terjadi
dan mengarah pada pengurangan permeabilitas. Perbandingan
bioremediasi EK dengan metode bioremediasi menunjukkan
bahwa bioremediasi EK secara signifikan mengurangi waktu
biodegradasi untuk DSO.
Stabilisasi deposisi asphaltene terganggu dengan adanya
poliakrilamida kationik. Selain itu, mekanisme berbasis
elektrostatik dan asam menunjukkan efek perlambatan. Laju
aliran adalah parameter lain, yang diperhitungkan selain
faktor-faktor lain. Menerapkan teknik ini, kecepatan optimisasi
meningkat tiga kali sementara akurasi hasil tetap konstan.
Perbedaan antara hasil optimasi dalam keadaan kontinu dan
diskrit adalah kurang dari 3%. Selain itu, hasil simulasi proses
SAGD cepat dengan dua siklus disajikan dalam hal distribusi RF,
CSOR, suhu dan tekanan, dan oli yang dihasilkan dari SAGD dan
injeksi uap ke sumur offset.
Teknik pemulihan minyak (EOR), sering digambarkan
sebagai waterflooding salinitas rendah (LS). Pada awalnya, efek
salinitas pada tegangan antarmuka (IFT) dan sudut kontak
dievaluasi dengan sampel minyak mentah. Kemudian untuk
mencapai hasil yang lebih akurat dalam mengamati

113
minyak/antarmuka air, percobaan IFT serupa juga dilakukan
pada minyak sintetis yang mengandung aspal. Empat larutan
air garam termasuk Air Laut (SW), pengenceran dan air
formasinya (FW) digunakan untuk berbagai percobaan.
(Rostami, P., Mehraban, M. F., Sharifi, M., Dejam, M., &
Ayatollahi, S. (2019). Effect of water salinity on oil/brine
interfacial behaviour during low salinity waterflooding: A
mechanistic study. Petroleum, 5(4), 367-374.).

6.7. Ketersediaan Sumber Daya Minyak dan Gas di


Indonesia
1. Produksi minyak
Biro riset FEUI menyatakan Di Indonesia, energi migas
masih menjadi andalan utama perekonomian Indonesia, baik
sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi
dalam negeri. Pembangunan prasarana dan industri yang
sedang giat-giatnya dilakukan di Indonesia, membuat
pertumbuhan konsumsi energi rata-rata mencapai 7% dalam 10
tahun terakhir. Peningkatan yang sangat tinggi, melebihi rata-
rata kebutuhan energi global, mengharuskan Indonesia untuk
segera menemukan cadangan migas baru, baik di Indonesia
maupun ekspansi ke luar negeri.
Cadangan terbukti minyak bumi dalam kondisi depleting,
sebaliknya gas bumi cenderung meningkat. Perkembangan
produksi minyak Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
penurunan, sehingga perlu upaya luar biasa untuk menemukan
cadangan-cadangan baru dan peningkatan produksi. Ketika
keberadaan hidrokarbon sudah ditemukan dengan suatu sumur
eksplorasi, maka langkah selanjutnya adalah memperkirakan
jumlah hidrokarbon yang dimaksud. Dalam perhitungan ini
banyak sekali variabel yang uncertainly-nya (ketidakpastian)
tinggi, seperti ketebalan, saturasi, pelamparan dsb. Oleh sebab
itu perlu dilakukan simulasi agar mendapatkan hasil yang lebih

114
signifikan. Simulasi Monte Carlo adalah suatu teknik
pemodelan perhitungan dengan mengakomodir variabel-
variabel yang mempunyai harga tidak pasti. Hasil akhir dari
perhitungan dengan simulasi Monte Carlo adalah mendapatkan
harga yang sifatnya optimis, menengah dan pesimis. Dalam
dunia perminyakan sering disebut sebagai cadangan proven,
probable dan possible.

2. Produksi gas
Sampai dengan pertengahan tahun 1970-an, gas dianggap
bukan sebagai komoditas yang menguntungkan, sehingga hanya
digunakan pada kebutuhan yang terbatas. Infrastruktur
transmisi dan distribusi gas pada periode tersebut juga
terbatas. Seiring dengan kemajuan teknologi dan permintaan
gas yang meningkat di pasar dunia, maka eksploitasi gas mulai
dilaksanakan dan Indonesia termasuk salah satu eksportir gas
terbesar di dunia.
Sumber daya minyak dan gas berlokasi di 60 basin yang
terbentuk dari endapan di seluruh Indonesia. Hanya 38 basin
yang sudah dieksplorasi. Ada 15 basin yang sudah memproduksi
hidrokarbon: 3 di bagian Timur Indonesia, bernama basin
Salawati dan Bintuni di Papua, dan basin Bula di Maluku. Kedua
belas basin lainnya berlokasi di bagian barat Indonesia.
Delapan basin memiliki hidrokarbon, namun belum
memproduksi. Basin yang lainnya, kebanyakan terletak di
sebelah timur Indonesia, sudah dibor namun tidak berujung
pada suatu pencarian.

6.8. Peran Sektor Migas dalam Sosial-Ekonomi


Seperti yang kita ketahui pertumbuhan ekonomi
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk menjalankan aktivitas
ekonomi manusia membutuhkan berbagai sumber daya

115
termasuk sumber daya manusia itu sendiri. Melalui teori
pertumbuhan yang dikembangkan oleh Solow (1956), menurut
Solow secara tradisional pertumbuhan ekonomi dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu capital (tanah dan peralatan), manusia
(tenaga kerja), dan teknologi. Ketiga unsur tersebut dapat
mempengaruhi tingkat pertumbuhan perekonomian yang
bersifat sustainable atau berkelanjutan.

Dampak ekonomi
Pusat data dan teknologi informasi energi dan sumber
daya mineral kementerian ESDM tahun 2016 mengkaji tentang
dampak kegiatan usaha hulu migas terhadap perekonomian
regional wilayah kerja migas ((studi kasus Provinsi Jambi),
hasil penelitian menunjukkan secara umum lebih dari separuh
masyarakat setuju (setuju dan sangat setuju) bahwa adanya
kegiatan migas memberikan dampak terhadap ekonomi
masyarakat. Sementara itu, dampak ekonomi yang cenderung
paling banyak dirasakan oleh masyarakat adalah bidang
kesempatan kerja.
Lebih dari 75% masyarakat setuju bahwa adanya kegiatan
migas memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat di
sekitar wilayah kerja migas dengan rincian 70% mengakui
setuju dan 20% mengakui sangat setuju. Selain itu, dua dampak
ekonomi yang paling banyak dirasakan oleh masyarakat adalah
upah sesuai harapan dan peningkatan aktivitas usaha. Pada
dampak ekonomi berupa upah sesuai harapan, 67% masyarakat
mengakui setuju dan 17% masyarakat mengakui sangat setuju
mengenai dampak tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan Susetyo (2007) tentang
dampak eksploitasi energi migas bagi ekonomi daerah, studi
kasus di Sumatera Selatan. Eksploitasi sumber energi primer
(migas) belum menimbulkan percepatan pertumbuhan ekonomi

116
lokal karena ‘multiplier effect’ tidak sepenuhnya dinikmati oleh
masyarakat lokal. Hal ini tampak dari identifikasi besarnya
produksi lifting tidak transparan, pemerintah lokal tidak diberi
wewenang sama sekali untuk mengetahui besarnya produksi
energi migas, masyarakat lokal masih menikmati iklim
investasi migas seperti masa kolonial yang menimbulkan
“enclaves”, dan masyarakat lokal masih sangat apriori terhadap
pembangunan sektor energi migas yang masih tersentralisasi.
Eksploitasi sumber energi primer (migas) belum
menimbulkan percepatan pertumbuhan ekonomi lokal karena
‘multiplier effect’ tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat
lokal. Hal ini tampak dari identifikasi besarnya produksi lifting
tidak transparan, pemerintah lokal tidak diberi wewenang
sama sekali untuk mengetahui besarnya produksi energi migas,
masyarakat lokal masih menikmati iklim investasi migas
seperti masa kolonial yang menimbulkan “enclaves”, dan
masyarakat lokal masih sangat apriori terhadap pembangunan
sektor energi migas yang masih tersentralisasi.

Dampak sosial
Masih data dari pusat kajian Kementerian ESDM yang
mengkaji mengenai dampak migas terhadap kehidupan
masyarakat di Provinsi Jambi. Dampak sosial yang paling
banyak dirasakan oleh masyarakat di sana adalah
pemberdayaan kesehatan dan pendidikan. Lebih dari 75%
masyarakat merasakan dampak sosial tersebut. Sementara itu,
dampak sosial yang paling sedikit dirasakan oleh masyarakat
adalah kualitas tenaga kesehatan. Tidak lebih dari 50%
masyarakat yang merasakan dampak sosial berupa peningkatan
kualitas tenaga kesehatan setelah adanya kegiatan migas.
Selain itu ada dampak yang ketiga yaitu pengembangan
wilayah. dampak pengembangan wilayah yang paling banyak

117
dirasakan oleh masyarakat adalah peningkatan jumlah
penduduk, jaringan telekomunikasi lebih baik, dan penambahan
infrastruktur jalan.

6.9. Migas dan Pembangunan Berkelanjutan


Penelitian tentang pembangunan berkelanjutan yang
dikaitkan dengan energi dilakukan oleh Garg, et al. (2004).
Penelitian ini mengamati tiga Negara yaitu China, India dan
Afrika Selatan. Kesimpulan yang dihasilkan mempertegas
bahwa energi, terutama yang bersumber dari fuel fosil
memegang peranan penting dalam menentukan produktivitas.
Produktivitas merupakan faktor pendorong terjadinya
pembangunan dan sekaligus menjadi kendala untuk
terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
Kedaulatan permanen atas sumber daya alam termasuk di
dalamnya kekayaan minyak dan gas bumi (migas) dijamin
sebagai salah satu bentuk kedaulatan yang dimiliki oleh setiap
bangsa. Hal itu diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB dan
berbagai instrumen hukum internasional lainnya. Persoalan
kedaulatan yang termasuk di dalamnya adalah aspek
pengelolaan sumber daya alam merupakan aspek krusial yang
akan di hadapi oleh setiap negara termasuk Indonesia di dalam
percaturan global yang semakin kompetitif.
Dalam prinsip kedaulatan hukum internasional dikenal
adanya tiga aspek kedaulatan yang dapat dibagi atas:
kedaulatan eksternal, kedaulatan internal, dan kedaulatan
teritorial. Berdasarkan analisis dari ketiga aspek kedaulatan
tersebut dan kemudian disandingkan dengan amanah konstitusi
pada Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, Indonesia sebagai
negara yang memiliki kekayaan migas belum mampu secara
optimal untuk menunjukkan eksistensinya sebagai negara yang
berdaulat dan memiliki penguasaan penuh terhadap
pengelolaan sumber daya alam, khususnya migas.

118
Sumber daya migas merupakan sumber daya alam yang
tidak terbarukan, oleh sebab itu tidak bisa disamakan dengan
sumber daya lainnya seperti pertanian/hasil alam yang dapat
diperbaharui dengan menanam kembali. Sifat sumber daya
migas yang terbatas dapat menjadi kategori masalah yang
serius jika eksploitasi dilakukan terus menerus dan tidak ada
pengelolaan yang tepat. Akibatnya ketersediaan sumber daya
migas untuk yang akan datang akan menipis dan itu berarti
tidak berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan yang diharapkan tidak
terwujud. Keberlanjutan juga berkaitan dengan alat teknologi,
saat ini konsumsi migas tiap hari meningkat otomatis
pengurangan sumber daya terjadi. Apabila dalam 5 atau 10
tahun ke depan tidak ditemukan lagi tempat cadangan minyak
mentah maka bukan tidak mungkin akan habis, namun jika ada
teknologi dan bisa menemukan cadangan minyak untuk
persediaan maka dapat bertahan 20 tahun ke depan.
Dalam perspektif Islam, migas merupakan sumber daya
alam dalam wilayah kepemilikan publik (collective property).
Oleh karena itu, akses kepemilikannya terbuka bagi masyarakat
(kaum muslimin), namun regulasinya diatur oleh negara
dengan amanah (trust) dan profesional (technically well
manage). Juga, kekayaan ini merupakan salah satu sumber
pendapatan negara, di mana Negara dapat mengelola dan
membelanjakannya untuk kepentingan publik secara adil
dengan kontrol dari rakyat.

6.10. Pengembangan Industri Migas di Dunia


Berikut merupakan data perkembangan industri migas di
beberapa negara di dunia. Beberapa di antaranya telah terjadi
perubahan sistem serta pengelolaan yang beragam pada tiap
negara. Untuk lebih jelasnya tersedia pada tabel berikut ini.

119
Tabel 3. Status industri gas bumi dunia
Negara Status Industri Gas Bumi
Belgia Perusahaan gas nasional, Distrigaz, sebagian telah
diswastakan. Belgia adalah pusat penyebaran (hub)
jaringan gas Eropa.
Perancis Gas de France adalah perusahaan negara yang
memonopoli usaha di bidang gas. Walaupun dikelola
oleh negara, namun sangat efisien.
Jerman Industri gas buminya sangat kompetitif, dikelola oleh
sektor swasta.
Italia Industri gas buminya dikelola oleh negara. SNAM
adalah perusahaan transportasi pipa nasional,
sedangkan AGIP adalah produsen minyak dan gas
bumi milik negara.
Belanda Gasunie dimiliki oleh negara 50 persen dan swasta 50
persen, memiliki monopoli transportasi pipa namun
kompetitornya mulai tumbuh.
Spanyol Gas Natural pada awalnya adalah perusahaan negara
namun kini telah diswastakan. Pemerintah
mengarahkan pada liberalisasi industri.
Inggris Industri gas buminya telah diswastakan dan
diliberalisasi.
Jepang Jaringan transmisi dan distribusinya belum terbangun
dengan baik. Mengandalkan impor LNG dan
pengembangan industri di sekitar terminal LNG.
Sumber: Andrej Juris, 1999, Market development in the UK natural
gas industry; dan ttp://www. naturalgas.org

Perkembangan industri hilir gas bumi di Indonesia sampai


saat ini masih dapat digolongkan ke dalam model “industri gas
dalam transisi”, yang berarti masih dalam tahap awal atau
mengandung potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut.
Untuk sementara juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
model tunggal yang sesuai untuk semua negara. Struktur
industri hilir gas bumi suatu negara sangat tergantung pada
kondisi negara tersebut baik dari aspek pemerintah, regulasi,

120
ketersediaan sumber energi, pasar, konsumen serta
perkembangan sektor swastanya.
Perkembangan struktur industri gas yang sehat adalah
yang menuju ke arah kompetisi dan menghindarkan praktik
monopoli atau dominasi yang berlebihan dari suatu pelaku
usaha. Untuk itu, peran produsen hulu, produsen hilir,
transportasi dan niaga perlu dipisahkan secara lebih tegas.
Infrastruktur yang berkarakteristik monopoli alamiah seperti
jaringan transmisi gas dan fasilitas penyimpanan harus
memberlakukan sifat open access, artinya dapat dipergunakan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Peranan Badan
Pengatur yang kuat sangat diperlukan untuk membimbing
perilaku berusaha yang sehat dan agar proses transformasi
industri menjadi lebih efisien.
Brunei Darussalam merupakan negara yang kaya akan
sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber
pendapatan negaranya sangat bergantung pada sektor migas.
Ketika harga minyak dunia turun, hal ini juga berpengaruh
pada perekonomian Brunei Darussalam sehingga pemerintah
Brunei Darussalam memangkas anggaran pertahanannya pada
tahun 2015 sebesar 25%. Namun, pada tahun 2018, anggaran
pertahanan Brunei Darussalam mencapai B$ 492,754,700,
meningkat 12,9% dari anggaran tahun sebelumnya.
Besaran anggaran pertahanan suatu negara akan
mempengaruhi kekuatan pertahanan, termasuk aktivitas
diplomasi pertahanan di dalamnya. Konsep yang digunakan
untuk menganalisis studi ini adalah konsep diplomasi
pertahanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
key results area dalam pertahanan Brunei Darussalam, yaitu
integritas wilayah, kapasitas militer, mendukung pendekatan
whole-of-nation, diplomasi pertahanan yang efektif,
keterlibatan militer dalam misi internasional, sumber daya

121
manusia berkualitas tinggi, dan image pertahanan yang
berwibawa dan kredibel.
Proyeksi volume dan nilai ekspor dan impor non-migas
Indonesia ke Afrika Selatan secara umum memiliki tren
meningkat dari 2018 sampai dengan tahun 2027. Proyeksi
peningkatan terbesar terjadi pada proyeksi nilai impor non-
migas Indonesia ke Afrika Selatan dari tahun 2018 sampai
tahun 2027 sebesar 37%, sedangkan proyeksi peningkatan
terendah terjadi pada proyeksi volume ekspor non-migas yaitu
sebesar 21,4%. Temuan yang sama terjadi pada perhitungan
Koefisien Keragaman (KK).
Angka terbesar untuk keempat variabel yang diproyeksi
yaitu 11% untuk nilai impor non-migas Indonesia ke Afrika
Selatan, sedangkan angka KK terendah yaitu 6,1% untuk
volume ekspor non-migas Indonesia ke Afrika Selatan. Angka
KK atau fluktuasi nilai dan volume impor di atas nilai 9% patut
diantisipasi apabila memang barang yang diimpor merupakan
barang konsumsi, apabila barang yang diimpor merupakan
bahan baku dan barang modal perlu dipastikan bahwa ada
peningkatan nilai tambah yang terjadi sehingga manfaat
tersebut bisa didapat oleh masyarakat Indonesia baik dalam
penyerapan tenaga kerja maupun kesejahteraan ekonomi.

6.11. Isu Terkini tentang Pengelolaan Migas di Indonesia


Saat ini (Production Sharing Contract) KPS yang
beroperasi di wilayah Laut Natuna merupakan investor asing
dengan bentuk Badan Usaha Tetap (BUT), sedangkan BUMN
Pertamina maupun perusahaan swasta nasional lainnya belum
dapat memainkan peran sebagai pemain utama (main player).
Dengan demikian tantangan ke depan adalah bagaimana
meningkatkan kemampuan daerah dan nasional agar dapat
menjadi tuan rumah khususnya di daerahnya sendiri dan

122
negara umumnya sekaligus dapat bersaing dengan investor
asing.
Pada eksploitasi migas di lepas pantai Laut Natuna dan
yang paling strategis adalah kemampuan pendanaan yang kuat.
Meningkatkan produksi migas agar dapat mengoptimalkan
kontribusi APBD Kepulauan Natuna khususnya dan APBN secara
umum, serta memberikan nilai tambah pada masyarakat di
sekitar kegiatan diimplementasikan dengan ditingkatkannya
jumlah sumur pengembangan (development well) dan
diimplementasikannya teknologi EOR (Enhance Oil Recovery).
Pember-dayaan ekonomi masyarakat Kepulauan Natuna dari
hasil migas, BUMN PT Pertamina didorong menjadi perusahaan
kelas dunia (first class company) agar mampu bersaing dengan
Badan Usaha Tetap dalam KPS di bidang hulu migas lepas
pantai wilayah Laut Natuna.
Pelaksanaan penerapan kontrak kerja sama tersebut
menganut sistem national sovereignity, sehingga dalam
penerapannya, masing-masing negara memiliki bentuk praktik
yang berbeda sesuai dengan perkembangan sistem kontrak
minyak dan gas bumi. Ada beberapa faktor yang mendorong
transisi kebijakan kontrak minyak bumi; 1) faktor bisnis; 2)
faktor ekonomi; 3) kepentingan nasional; dan 4) komitmen
pasca pemilihan.
Secara parsial variabel ekspor migas berpengaruh
signifikan terhadap cadangan devisa di Indonesia, namun
sebaliknya variabel ekspor non migas tidak berpengaruh
signifikan terhadap cadangan devisa di Indonesia. Artinya, jika
ekspor migas naik, maka akan meningkatkan cadangan devisa
dan ekspor non migas naik belum bisa menandakan untuk
cadangan devisa akan naik. Suatu aplikasi yang dapat
menggambarkan kondisi migas di Indonesia di antaranya yaitu
GIS, Disimpulkan, SIG mampu mengorganisasi dan

123
mengintegrasikan banyak data untuk penyiapan wilayah migas,
evaluasi, meningkatkan akurasi dan kecepatan dalam
perhitungan luas wilayah dan sumber daya migas, pemilihan
lokasi penyimpanan CO2, hingga dapat mempercepat
pengembangan wilayah migas berwawasan lingkungan.
Dalam jurnal migas issue 02 tentang ketahanan energi
diungkapkan bahwa telah dilakukan pengkajian formula baru
harga subsidi LPG 3 Kg. pemerintah sedang merevisi formula
harga untuk LPG 3 kilogram, formula harga diyakini bisa
membuat harga LPG 3 kg menjadi lebih efisien dan lebih
realistis. Direktur Jenderal (Dirjen) Minyak dan Gas Bumi
(Migas) Djoko Siswanto mengungkapkan, revisi formula harga
BBM saat ini masih difinalisasi oleh Pemerintah.
Prosesnya sedang dalam kajian Kementerian Keuangan
untuk mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. Biarpun
subsidi lebih sedikit, namun Djoko menyebut harga untuk solar
dan LPG 3 kg tidak akan mengalami perubahan. Begitu juga
dengan harga premium karena telah ditetapkan oleh
pemerintah. Sebelumnya, Pemerintah mengumpulkan seluruh
data harga LPG dari kilang dalam negeri, impor maupun swasta
dalam negeri. Selain itu juga data komponen biaya, seperti
asuransi, transportasi, penyimpanan, pengangkutan dan
distribusi. Data tersebut selanjutnya diperinci lagi dengan
mengacu pada kondisi yang sebenarnya sehingga harga LPG
nantinya akan lebih realistis.
Adapun saat ini harga LPG 12 kg yang tidak subsidi sekitar
Rp144 ribu per tabung. Sementara itu, elpiji tiga kilogram yang
subsidi mencapai Rp20 ribu. Dalam APBN 2018 subsidi elpiji
hanya dipatok 6,450 juta MT atau Rp94,53 triliun. Sedangkan
tahun 2019 akan ditetapkan kg sebesar Rp68.332,3 miliar.
Alokasi subsidi tersebut termasuk perhitungan carry over ke
tahun berikutnya sebesar Rp5.000,0 miliar (Direktoral jenderal
migas tahun 2018).

124
6.12. Sumber Daya Migas terhadap Lingkungan
Untuk sektor transportasi harus dibahas kebijakannya
karena berdampak langsung terhadap lingkungan. Alasan
mengapa sektor transportasi harus dikurangi yaitu pertama,
untuk jangka panjang terhadap perubahan iklim, transportasi
sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim karena
menyumbang emisi terhadap lapisan ozon sehingga membuat
suhu bumi meningkat. Kedua, kebijakan terhadap pengurangan
emisi seperti menggabungkan sistem perdagangan hulu dengan
standar efisiensi karbon mirip dengan standar CAFE.
Pendekatan ini merupakan langkah bagi produsen untuk
memproduksi kendaraan yang lebih efisien. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi GRK emisi.
Emisi gas rumah kaca yang berlebihan ke atmosfer telah
menghasilkan perubahan iklim yang progresif dan pemanasan
global dalam beberapa dekade terakhir. Ada banyak pendekatan
yang dikembangkan untuk mengurangi emisi Karbon Dioksida
(CO2) ke atmosfer, di antaranya teknik Carbon Capture and
Storage (CCS) diakui sebagai metode yang paling menjanjikan.
Makalah ini memberikan wawasan yang lebih dalam tentang
teknologi CCS di mana CO2 ditangkap dan disimpan dalam
formasi geologi yang dalam untuk menstabilkan suhu bumi.
Bahwa cara terbaik untuk mengelola emisi diperhatikan dua
sektor berikut yaitu sistem perdagangan dan energi listrik.
Masalah penyediaan kebutuhan energi bahan bakar
minyak pada akhirnya bukan semata-mata terletak pada
menipisnya cadangan minyak di dalam negeri. Lebih dari
sekadar masalah teknis, terganggunya stabilitas keamanan
pasokan bahan bakar minyak di dalam negeri sesungguhnya
berakar pada kegagalan kebijakan pemerintah. Kenyataan ini
memberikan pelajaran bahwa kebijakan liberalisasi yang
membuka ruang selebar-lebarnya bagi pihak asing untuk

125
memasuki sektor-sektor ekonomi strategis seperti di antaranya
pada sektor bahan bakar minyak telah membuat pengelolaan
komoditas energi tersebut menjadi tergantung pada kendali
pihak asing.
Pada akhirnya ketergantungan membuahkan kerentanan,
sebagaimana kini sering dialami. Kalau saja pasar bahan bakar
minyak di dalam negeri termasuk aktivitas eksplorasi dan
eksploitasinya sepenuhnya dipegang oleh BUMN, barangkali
kelangkaan komoditas bahan bakar minyak tak terlalu
membuat bangsa ini menjadi terpuruk. Dalam konteks inilah,
berbagai kontrak kerja sama dengan pihak asing dalam
pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui amat mendesak
untuk ditinjau kembali. Sudah saatnya, negara lebih
mempercayakan pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui
kepada putra-putri bangsa sendiri.

126
BAB VII
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
BERBASIS SISTEM

7.1. Ilmu Sistem


Ilmu sosial, teknik dan lingkungan merupakan suatu
bidang ilmu yang memiliki permasalahan yang kompleks.
Kompleksnya masalah ilmu sosial, teknik dan lingkungan maka
membutuhkan suatu pendekatan yang mengakomodasi semua
elemen-elemen yang terkait. Ilmu sistem merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan untuk pendekatan yang memiliki
tingkat kompleksitas yang tinggi. Manusia selalu dihadapkan
pada pengambilan keputusan dalam kehidupannya dan dalam
mengatasi permasalahan kompleks yang dihadapinya.
Kompleksnya persoalan yang terjadi pada kehidupan manusia
maka mendorong manusia untuk berpikir sistem.

Elemen

Tujuan/Sub
Tujuan

Interaksi
Sumber : Marimin dan Nurul (2013)

Gambar 10. Pengertian sistem

127
Sistem secara harfiah berasal dari bahasa Latin yaitu
systema atau bahasa Yunani disebut sustema. Kedua kata
tersebut memiliki makna tidak jauh dari sistem. Sistem dapat
didefinisikan suatu kesatuan usaha terdiri dari bagian-bagian
yang saling terkait secara teratur dan berusaha mencapai
tujuan dalam lingkungan yang kompleks. Pengertian tersebut
mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antar-
bagian. Hal ini menunjukkan kompleksitas dari sistem meliputi
kerja sama antarbagian interdependen satu sama lain.
Hubungan yang teratur dan terorganisir merupakan hal
penting. Selain itu, adanya sistem memudahkan dalam
mencapai tujuan. Pencapaian tersebut menyebabkan timbulnya
dinamika serta perubahan-perubahan yang terus menerus
sehingga perlu dikembangkan dan dikendalikan. Pengertian
secara skematik dapat disajikan pada Gambar 10 (Marimin dan
Nurul Maghfiroh 2013).
Eriyatno (2012) membuat ilustrasi pengertian sistem
dengan perumpamaan peta. Dua buah kota yakni kota A dan
kota B dihubungkan dengan jalan raya. Kota-kota yang
dihubungkan dalam sebuah elemen-elemen yang dihubungkan
dengan jaringan-jaringan transportasi. Kota-kota yang
dihubungkan dengan sistem jaringan jalan raya merupakan
satu kesatuan yang utuh (unity). Gambar 11 merupakan
ilustrasi sebuah sistem pada sebuah kota. Oleh karena itu,
Menetsch dan Park (1979) dan Eriyatno (2012) mendefinisikan
sistem sebagai suatu gugusan dari elemen yang saling
berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan
atau suatu gugusan dari tujuan-tujuan.

128
Kota A Kota B

Sumber : Eriyatno (2012)

Gambar 11. Sistem kota

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa


lingkungan tempat tinggal kita ini merupakan suatu sistem.
Sebagai contoh siklus hidrologi merupakan sebuah sistem.
Energi matahari menyinari bumi mendorong terjadinya
penguapan. Penguapan yang berasal dari air laut, danau dan
sungai (evaporasi) dan tumbuh-tumbuhan (transpirasi).
Kumpulan uap air membentuk awan, dan turun dalam bentuk
hujan atau salju. Air hujan yang sampai ke permukaan bumi
sebagian mengalir masuk ke sungai dan kembali ke laut, dan
sebagian yang lain tersimpan pada akar tanaman dan masuk
dalam tanah menjadi air tanah permukaan dan air tanah dalam.
Air tanah permukaan dan air yang tersimpan pada akar
tanaman perlahan-lahan akan kembali ke sungai dan sebagian
yang lain akan menguap ke atmosfer. Gambar 12 merupakan
siklus hidrologi sebagai suatu sistem.

129
Gambar 12. Siklus hidrologi sebagai sistem

Siklus hidrologi sebagai suatu sistem maka terdapat


elemen-elemen yang saling terkait. Beberapa elemen yang
saling berinteraksi dalam siklus hidrologi di antaranya energi
matahari, air permukaan, awan, dan hutan. Karena siklus
hidrologi merupakan suatu sistem, maka perubahan dari setiap
elemen akan mempengaruhi dari sistem tersebut. Perubahan
penggunaan lahan misalnya, penyempitan kawasan hutan
menyebabkan terjadinya gangguan pada siklus hidrologi.
Konversi kawasan hutan menjadi penggunaan lain
menyebabkan peningkatan kandungan emisi karbon di bumi.
Selain itu, fungsi hutan tidak hanya sebagai penyerap emisi
karbon, namun juga berfungsi sebagai sumber penguapan
(transpirasi) dan penyimpan air saat terjadinya hujan. Dampak
buruk dari peningkatan emisi karbon menyebabkan
penyimpangan iklim dan naiknya suhu permukaan bumi.

130
Pada kasus lain sistem pada ilmu geografi dan lingkungan
ini dapat digambarkan. Jumlah penduduk dunia saat ini sekitar
7,1 miliar. Jumlah tersebut terus meningkat dari waktu ke
waktu, dan capaian untuk menjadi 1 miliar membutuhkan
periode waktu semakin pendek yakni 13- 11 tahun. Indonesia
merupakan negara yang memiliki penduduk rangking ke empat
dunia dengan jumlah penduduk 238 juta jiwa. Indonesia
berkontribusi sebesar 16 persen dari total jumlah penduduk
dunia.
Pertumbuhan penduduk sebagai sebuah sistem, maka
pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol dan berkualitas
rendah berdampak buruk terhadap lingkungan. Dengan jumlah
penduduk yang banyak maka kebutuhan lahan akan mengalami
peningkatan. Jumlah kawasan tempat tinggal (lahan terbangun)
akan semakin luas. Selain itu, dengan peningkatan jumlah
penduduk maka limbah baik dari rumah tangga dan industri
dengan sendirinya akan mengalami peningkatan. Pada akhirnya
akan terjadi malapetaka terhadap lingkungan.
Sadyohutomo (2008) mengungkapkan keterkaitan antara
elemen pertumbuhan penduduk, peningkatan ekonomi dengan
penurunan kualitas lingkungan. Peningkatan pertumbuhan
penduduk pada suatu wilayah dan diikuti dengan peningkatan
kualitas hidup (peningkatan ekonomi), maka akan mendorong
kebutuhan pemanfaatan lahan. Lahan-lahan akan digunakan
untuk kawasan terbangun misalnya untuk permukiman,
pendidikan, tempat hiburan. Peningkatan kebutuhan akan
mendorong konflik antar penggunaan lahan, hal ini akan
menyebabkan akan terjadinya degradasi lingkungan (Gambar
13).

131
Peningkatan
Peningkatan
Jumlah
Kualitas Hidup
Penduduk

Konflik Antar Peningkatan


Penggunaan Kebutuhan
Lahan Lahan Luas lahan
terbatas

Sumber : Sadyohutomo (2008)


Degradasi
Lingkungan

Gambar 13. Sistem dalam penggunaan lahan

7.2. Karakteristik dan Klasifikasi Sistem


Sifat-sifat dasar suatu sistem antara lain: (1) berorientasi
pada pencapaian tujuan; (2) Menyeluruh (holistik); (3)
Keterbukaan terhadap lingkungan; (4) Transformasi (proses
perubahan dari input menjadi output), (5) memiliki hubungan
antar bagian; (6) Sistem terdiri dari beberapa macam; dan (7)
adanya mekanisme pengendalian.
Karakteristik sistem merupakan suatu sistem yang
memiliki sifat-sifat tertentu yang mencirikan sebagai sebuah
sistem. Sifat-sifat tersebut dapat menggambarkan sistem secara
logika. Ika (2000) dan Kholil dkk. (2014) menyatakan bahwa
sistem dapat dibedakan dalam subsistem-subsistem
(komponen), batasan sistem (boundary), lingkungan luar
sistem (environment), penghubung (interface), masukan

132
(input), pengolahan (process), keluaran (output), sasaran
(objective), dan tujuan (goal).

Interface
Lingkungan luar

Input Sub Sub


sistem sistem

Proses

Sub Sub
sistem sistem

Output

Batasan sistem
Sumber : Eka (2000) dan Kholil dkk (2014)

Gambar 14. Karakteristik suatu sistem

Berdasarkan karakteristik sistem dapat disederhanakan


dengan contoh yang dikemukakan Sadyohutomo (2008) bahwa
terdapat tiga sub sistem yaitu penduduk, ekonomi, dan kualitas
lingkungan. Ketiga subsistem atau elemen tersebut saling
berinteraksi atau interface di dalam batasan sistem (boundary).
Pada masing-masing sub sistem memiliki boundary tertentu.
Pada sub sistem penduduk terjadi proses kelahiran, kematian
dan migrasi, ketiga proses tersebut akan menghasilkan atau
output berupa jumlah penduduk pada waktu tertentu.
Selanjutnya, pada sub sistem ekonomi terjadi peningkatan
kesejahteraan penduduk, output yang terjadi yakni adanya
peningkatan kebutuhan lahan. Pada subsistem kualitas
lingkungan terjadi proses perubahan penggunaan lahan,
dampak perubahan penggunaan lahan menimbulkan terjadinya
peningkatan dan luasan lingkungan mengalami banjir dan
genangan (Gambar 14).

133
Kelahiran,
kematian,
migrasi
Pertumbuhan
Ekonomi
Proses
Proses
Pertumbuhan
Penduduk
Peningkatan
kebutuhan lahan

Penduduk Ekonomi

Lingkungan

Konversi lahan

Proses

Bencana
lingkungan

Gambar 15. Interaksi antar sub sistem penduduk, ekonomi,


dan lingkungan

Berdasarkan beberapa sudut pandang sistem dapat


diklasifikasikan atas beberapa macam, yaitu:
1. Sistem alami (natural system) dan sistem buatan manusia
(human made system).
Sistem alami merupakan suatu sistem yang terjadi dialam
tanpa ada campur tangan manusia. Sistem ini merupakan
proses alamiah yang terjadi dilingkungan sekitar misalnya
proses terjadinya hujan. Sebaliknya merupakan sistem buatan
manusia, sistem ini merupakan produk manusia. Misalnya
proses pendinginan suhu pada ruangan atau kamar. Untuk
membuat udara sejuk manusia menggunakan kipas atau AC.

134
2. Sistem tertentu (deterninistic system) dan sistem tak
tentu (probabilitic system).
Sistem tertentu merupakan suatu sistem yang tingkah
laku sistem sudah dapat diprediksi atau diduga. Misalnya suatu
bak tampungan air yang diisi menggunakan pipa dan mesin
pompa tertentu akan dapat diprediksi waktu lama mengisi bak.
Sedangkan sistem tak tentu merupakan suatu sistem yang tidak
dapat diprediksi dan mengandung unsur probabilitas yang
cukup tinggi. Misalnya permainan lempar dadu.

3. Sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open


system).
Sistem tertutup merupakan suatu sistem yang tidak
dipengaruhi oleh faktor dari luar sistem, namun hanya
dipengaruhi oleh sistem itu sendiri. Sistem tertutup merupakan
suatu sistem yang tidak berhubungan dengan lingkungan luar
sistem. Meskipun dalam kenyataannya tidak ada sistem yang
benar-benar tertutup, yang ada hanya relatif tertutup. Gambar
16 merupakan bentuk mekanisme sistem tertutup.

Tujuan

Mekanisme
Pengendalian

Input Transformasi Output

Sumber : Kholil dkk. (2014)

Gambar 16. Sistem tertutup

135
Gambar 17 merupakan mekanisme sistem terbuka, di
mana sistem terbuka mendapat input atau pengaruh dari luar
lingkungan sistem. Misalnya suhu pada suatu ruangan akan
dipengaruhi oleh arus listrik, ukuran ruangan, dan jumlah
orang yang menempati ruangan. Artinya suhu ruangan akan
dipengaruhi oleh tiga elemen tersebut. Semakin banyak jumlah
dan besar ukuran ruangan maka suhu ruangan semakin panas.

Input Transformasi Output

Sumber : Kholil dkk. (2014)

Gambar 17. Sistem terbuka

4. Sistem abstrak (abstract system) dan sistem fisik


(physical system)
Sistem abstrak merupakan sistem yang tidak jelas dan
bersifat gagasan atau ide. Meskipun sistem ini tidak tampak
namun keberadaannya tidak bisa dihilangkan. Misalnya sistem
kepercayaan terhadap tuhan. Sedangkan sistem fisik
merupakan sistem dalam suatu rangkaian yang saling terkait
yang memiliki materi. Misalnya sistem transportasi kereta
listrik.

7.3. Pendekatan Sistem


Pendekatan sistem telah digunakan manusia untuk
menyelidiki dan menjelaskan kompleksitas dalam suatu
lingkungan dinamis yang saling berhubungan, dan
mengorganisasi tindakan dalam rangka transformasi menuju
keadaan lebih baik seperti yang diinginkan. Pendekatan sistem

136
merupakan suatu cara untuk menyelesaikan persoalan yang
dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap sejumlah
kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu
operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno, 1999 dan
Djakapermana, 2010). Lukas (1993) menyatakan pendekatan
sistem digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan
permasalahan yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak
yang berkepentingan, sehingga menghasilkan sesuatu yang
lebih bermanfaat. Permasalahan yang diselesaikan dengan
pendekatan sistem seyogyanya memiliki masalah yang
kompleks, dinamis, dan probabilistik. Memiliki masalah
kompleks dalam arti terdapatnya interaksi antar elemen yang
cukup rumit. Permasalahan yang dinamis memiliki makna
bahwa faktor yang ada berubah menurut waktu. Probabilistik
dapat berarti diperlukan fungsi peluang dalam inferensi
kesimpulan maupun rekomendasi. Selain itu, pendekatan
sistem merupakan kerangka pemikiran yang berorientasi pada
pencarian keterpaduan antar komponen melalui pemahaman
yang utuh.
Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan analisis
organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik
tolak. Dengan demikian, manajemen sistem dapat diterapkan
dengan memfokuskan kepada berbagai ciri dasar sistem yang
perubahan dan geraknya akan mempengaruhi keberhasilan
suatu sistem.
Pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu:
mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan
solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan membuat
suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara
rasional (Eriyatno, 1999). Dalam kaitan dengan solusi
penyelesaian masalah, terdapat tiga pola pikir dasar yang
menjadi pegangan dalam pendekatan sistem, yaitu:

137
a. Sibernetik, yaitu orientasi pada tujuan.
b. Holistik, merupakan cara pandang yang utuh dan
menyeluruh terhadap totalitas sistem.
c. Efektif, di mana suatu sistem harus mementingkan hasil
guna yang operasional serta dapat dilaksanakan, bukan
sekadar pendalaman teoretis.
Metodologi sistem terdiri dari enam tahapan analisis yang
meliputi: (1) analisis kebutuhan; (2) identifikasi sistem; (3)
formulasi masalah; (4) pembentukan alternatif sistem; (5)
determinasi dari realisasi fisik, sosial politik; dan (6)
penentuan kelayakan. Analisis kebutuhan merupakan
permulaan pengkajian dari suatu sistem. Analisis ini akan
dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang ada, kemudian
dilakukan tahapan pengembangan terhadap kebutuhan-
kebutuhan tersebut. Gambar 18 merupakan tahapan-tahapan
metodologi sistem.
Identifikasi sistem menghasilkan spesifikasi yang
terperinci tentang peubah yang menyangkut rancangan dan
proses pengendalian. Identifikasi sistem ditentukan dan
ditandai dengan adanya determinasi kerja sistem. Hal ini akan
membantu dalam mengevaluasi sistem. Teknik dan metode
pengambilan keputusan yang layak untuk mendukung
perumusan operasionalisasi sistem mulai diidentifikasi dan
dianalisis.
Pendekatan sistem diperlukan karena persoalan yang
dihadapi makin lama semakin kompleks,, dinamis, dan
probabilistik sehingga interdepensi berbagai komponen dalam
mencapai tujuan sistem semakin rumit. Masalah-masalah yang
dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dengan menggunakan
peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tetapi
memerlukan peralatan yang lebih komprehensif, yang dapat
mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu

138
permasalahan, serta dapat mengarahkan pemecahan secara
menyeluruh.
Pendekatan sistem sangat penting untuk menonjolkan
tujuan yang hendak dicapai, tidak terikat pada prosedur
koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri.
Dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional
seringkali mengarah pada cara-cara koordinasi dan kontrol,
seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal
tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah cara
untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan
lingkungan yang dihadapi.
Konsep sistem sangat berguna sebagai cara berpikir
dalam suatu kerangka analisis. Konsep tersebut memberikan
pengertian lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem
dalam mencapai tujuannya, sehingga kaitan antar faktor-faktor
makin lama semakin erat. Hal ini merupakan gambaran
kompleksitasnya elemen-elemen lingkungan.

139
MULAI

ANALISIS
KEBUTUHAN

Persiapan
IDENTIFIKASI
MASALAH

FORMULASI
MASALAH

IDENTIFIKASI SISTEM
1. Causal loop (diagram lingkar)
2. Block box (Diagram input-
output)
3. Diagram alir
Permodelan

IDENTIFIKASI SISTEM
1. Operasi Matematik
2. Program

VALIDASI

Eksekusi Model

LAYAK
Tidak

Ya

IMPLEMENTASI Tindak lanjut

EVALUASI

Gambar 18. Tahapan analisis sistem

140
Karakter
- Sintesa
- Dinamik
- Stokastik

Berfikir Sistem

Struktur Falsafah
- Elemen - Sibernetik
- Konektivitas - Holistik
- Tujuan - Efektifitas

Sumber : Eriyatno (2012)

Gambar 19. Kerangka berpikir sistem

7.4. Berpikir Sistem (System Thinking)


Berpikir sistem adalah cara berpikir yang tidak hanya
melihat sesuatu masalah atau kejadian terjadi secara sendiri
semata, tetapi dengan melihat keterkaitan dengan masalah atau
kejadian lain. Eriyatno (2012) menyatakan proses berpikir
keilmuan dari satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lain dapat
ditinjau dari falsafah, karakter, dan struktur (Gambar 19).
Falsafah sistem pada proses berpikir dalam kajian
kesisteman mempunyai tiga pencirian yaitu sibernetik, holistik,
dan efektivitas. Sibernetik atau goal oriented yaitu manakala
seseorang mulai berpikir menelaah suatu sistem maka harus
menetapkan tujuan-tujuan, baik tujuan dari sistem itu sendiri
maupun tujuan dari pengkajian yang dilakukan. Holistik berarti
cara pandang yang utuh dan tidak mereduksi persoalan yang
dihadapi. Holistik juga memiliki makna bahwa sistem
merupakan satu kesatuan yang utuh, bukan bersifat parsial-

141
parsial. Efektif bahwa berpikir sistem lebih mengedepankan
proses ilmiah dan bersifat kontekstual serta dapat
dioperasionalkan. Dengan berpikir sistem menuntun cara cepat
untuk mengambil keputusan.

Kerusakan
Bencana
pada hulu
Banjir
sungai
Perubahan
Penggunaan
lahan

Deforestasi

Peningkatan
Kayu Kebutuhan
Penduduk

Jumlah
Lahan
Penduduk
Pertanian
Meningkat

Gambar 20. Struktur sistem pada bencana banjir

Berdasarkan struktur bahwa pendekatan sistem memiliki


komponen elemen, konektivitas, dan tujuan. Dalam pendekatan
sistem merupakan kumpulan dari elemen atau subsistem,
kemudian antar elemen tersebut saling berinteraksi atau
konektivitas. Pendekatan sistem mengedepankan pada
pencapaian tujuan, maka pada proses berpikir sistem harus
memiliki tujuan dari masalah yang akan diselesaikan.
Proses berpikir sistem memiliki tiga karakter, yaitu:
sintesis, dinamik, dan stokastik. Sintesis dalam berpikir sistem

142
merupakan proses penggabungan dari elemen-elemen yang
terkait dengan sistem. Dalam berpikir sistem bukan memilah
dari perihal yang diamati, namun semua elemen yang terkait
akan berkontribusi dalam suatu sistem. Karakter dinamik
merupakan dalam berpikir sistem memiliki makna semua
elemen atau sub sistem akan mengalami perubahan
berdasarkan waktu. Stokastik merupakan semua gejala alamiah
di mana yang pasti adalah ketidakpastian.

Masalah

Proses
Berfikir

Pengumpulan Upaya
Data/ Memecahkan
Informasi Masalah

Sumber : Dewey (1993) dan Kholil (2014)

Gambar 21. Proses berpikir

Gambar 21 merupakan proses berpikir sistem seseorang


dalam menghadapi masalah. Upaya terpenting untuk
penyelesaian masalah sangat tergantung pada data atau
informasi yang dimiliki. Semakin banyak data dan informasi
yang dimiliki sesorang dalam berpikir sistem, maka keputusan
yang akan diambil semakin tepat dan berkualitas. Informasi
atau data yang baik harus memiliki kualitas informasi yang
akurat, tepat waktu, relevan, dan ekonomis. Informasi yang

143
akurat berarti informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan
dan tidak menyesatkan bagi orang yang menerima informasi
tersebut. Komponen akurat meliputi kelengkapan
(completennes), kebenaran (correctness), dan keamanan
(security). Informasi tepat waktu memiliki arti bahwa
informasi atau data yang diterima merupakan data yang
terbaru dan tidak terlambat. Saat ini mahalnya nilai informasi
disebabkan harus cepat informasi tersebut didapat. Semakin
lama informasi maka informasi tersebut menjadi usang dan
berkualitas rendah. Informasi relevan memiliki makna bahwa
informasi tersebut harus sesuai dan bermanfaat bagi si
penerima informasi. Informasi ekonomis dapat diartikan bahwa
informasi yang dihasilkan mempunyai manfaat yang lebih besar
dibandingkan dengan biaya mendapatkannya.

7.5. Tingkat Berpikir Sistem


Tingkatan berpikir sesorang dipengaruhi oleh
pengetahuannya, artinya semakin banyak pengetahuan yang
dimilikinya maka akan semakin tinggi tingkat pemikiran
seseorang. Biasanya tingkat pendidikan berbanding lurus
dengan tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan ilmiah
merupakan suatu hubungan yang terdiri atas pertanyaan atau
persoalan dengan data. Mudah atau sulitnya mengumpulkan
bukti tidak menentukan suatu subjek ilmiah atau tidak.
Bloom (1981) dan Kholil (2014) membedakan enam
tingkatan berpikir seseorang, yaitu:
a. Pengetahuan (knowledge), berpikir pada tingkat ini
sebatas hanya untuk mengetahui semata. Pada tingkatan
ini pertanyaan sangat mendasar, yakni: siapa, apa, di
mana, dan kapan.
b. Pemahaman (comprehension), berpikir pada tingkatan ini
lebih tinggi dari pengetahuan. Pada tingkatan ini dicirikan
dengan compare, illustrate, explain, dan interprate.

144
c. Penerapan (application), pada berpikir tingkatan ketiga
dicirikan dengan solve, use of, organize, develop.
d. Analisis (analysis), tingkat pemikiran pada level keempat
ini adalah kemampuan untuk menguraikan secara lebih
detil suatu masalah atau peristiwa. Ciri pertanyaan
ditandai dengan beberapa kata kunci, yaitu: analyze,
categorize, compare, contrast, dan discover.
e. Sintesis (systhesis), berpikir secara sintesis merupakan
kemampuan seseorang dalam melakukan penggabungan
dari beberapa gejala atau ciri. Tingkatan berpikir secara
sintesis ditandai dengan kata kunci, antara lain: combine,
compile, create, desigen, dan develop.
f. Menilai (evaluation), menilai merupakan tingkat
pemikiran yang paling tinggi karena untuk menilai
seseorang harus paham apa yang dinilai.

Menilai

Sintesis

Analisis

Penerapan

Pemahaman
Sumber : Bloom (1981) dan Kholil (2014)

Pengetahuan

Gambar 22. Tingkatan berpikir sesorang

Berdasarkan Gambar 22 tingkatan berpikir seseorang


bervariasi, mulai dari tingkatan paling rendah yakni

145
pengetahuan, sampai dengan tingkatan paling tinggi yaitu
menilai. Untuk mencapai tingkatan berpikir tinggi seseorang
dituntut memiliki data dan informasi yang sangat banyak,
karena tidak mungkun seseorang dapat untuk melakukan
penilaian jika tidak punya data dan informasi yang cukup
terhadap apa yang ia nilai.
Pandangan tentang tingkatan berpikir juga dikemukakan
oleh Maani dan Canava (2000) dan Kholil (2014), ia membagi
tingkatan berpikir atas empat tingkatan, yakni: event, patern,
systemic structure, dan mental model (Gambar 23). Event
merupakan cara berpikir yang hanya mampu melihat data dan
fakta atau suatu kejadian, menghubungkan atau melihat
kecenderungannya, tanpa melakukan analisis. Cara berpikir ini
merupakan tingkatan paling rendah. Patern merupakan cara
berpikir yang tidak hanya melihat data dan fakta namun sudah
mampu memikirkan pola-pola yang terjadi dari suatu peristiwa.
Misalnya macet sudah mampu memetakan jam berapa dan titik
macet. Systemic structure merupakan cara berpikir yang sudah
mampu melihat suatu peristiwa atau masalah dengan
mengaitkan dan menghubung-hubungkan dengan masalah
lainnya. Taraf berpikir pada tingkatan ini sudah mampu
menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya masalah. Mental
model merupakan cara berpikir yang tidak hanya melihat suatu
masalah dan mencari faktor–faktor penyebabnya, tetapi juga
mampu menghubungkan dengan suatu nilai tertentu, seperti
kearifan lokal, asumsi-asumsi tertentu.

146
Event

Patern

Systemic
Structures

Mental Model

Sumber : Maani dan Canava (2000)

Gambar 23. Tingkatan berpikir sistem

7.6. Permodelan Sistem


7.6.1. Definisi Model
Permodelan adalah terjemahan bebas dari istilah
modelling. Secara terminologi model dapat diartikan suatu
perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.
Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun
tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab
akibat. Oleh karena itu suatu model adalah suatu abstraksi dari
realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada
realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila
dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji.
Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model
adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan
tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya
dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat di antara
peubah-peubah. Teknik kuantitatif seperti persamaan regresi

147
dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antar
peubah dalam sebuah model.

Gambar 24. Peta zona rawan banjir contoh model ikonik

7.6.2. Jenis Model


Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi,
tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Menurut
kategori umum jenis model dapat dibedakan atas beberapa
jenis, yaitu:
a. Model Ikonik (Model Fisik)
Model ikonik merupakan perwakilan fisik dari beberapa
hal, baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda.
Model ikonik mempunyai karakteristik yang sama dengan hal
yang diwakili, dan terutama amat sesuai untuk menerangkan
kejadian pada waktu yang spesifik. Model ikonik dapat dimensi
dua (foto, peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototip mesin,
alat). Apabila model berdimensi lebih dari tiga maka tidak
mungkin lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga diperlukan

148
kategori model simbolik. Gambar 24 peta zona rawan banjir
merupakan contoh dari model ikonik.

b. Model Analog (Model Diagramatik)


Model analog dapat mewakili situasi yang bersifat
dinamik. Situasi dinamik merupakan suatu keadaan yang
berubah menurut waktu, misalnya jumlah penduduk. Pada
pendekatan sistem model ini lebih sering digunakan
dibandingkan model ikonik, karena dapat mengambarkan
karakteristik kejadian yang dikaji. Model analog banyak
berkesesuaian dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara
sifat dan kelompok yang berbeda. Dengan melalui transformasi
sifat menjadi analognya, maka kemampuan untuk membuat
perubahan dapat ditingkatkan. Gambar 25 data rata-rata curah
hujan di Kota Padang merupakan contoh model analog.

6000
Curah Hujan (mm/tahun)

5000

4000

3000

2000

1000

0
1985
1987
1975
1977
1979
1981
1983

1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007

Tahun

Gambar 25. Data rata-rata curah hujan di kota padang contoh


model analog

149
c. Model Simbolik (Model Matematik)
Pada hakikatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada
model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji.
Format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol dan
rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu
persamaan (equation). Contoh persamaan model simbolik yakni
persamaan penentuan erosi tanah.
A = R. K. LS. C. P
Di mana:
A = berat tanah yang hilang per hektare (ton/ha per tahun)
R = faktor curah hujan
K = faktor erodibilitas tanah
LS = faktor lereng
C = faktor penutup tanah
P = faktor praktis pengontrol erosi

Permodelan mencakup suatu pemilihan dan karakteristik


dari perwakilan abstrak yang paling tepat pada suatu yang
terjadi. Pada umumnya, model matematis dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni model statik dan
model dinamik. Model statik memberikan informasi tentang
peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu.
Model dinamik merupakan jenis model mampu menelusuri
jalur waktu dari peubah-peubah model.
Berdasarkan jenis model dapat bedakan atas empat jenis,
yaitu: model fisik, model naratif, model grafik, dan model
matematik. Model fisik merupakan suatu model yang
menggambarkan entitas dalam bentuk tiga dimensi. Model fisik
ini memiliki ukuran yang lebih kecil dari model aslinya. Model
naratif merupakan model dengan mengambarkan entitas secara
lisan atau tulis. Model grafik merupakan model yang entitasnya

150
diwakili oleh garis atau simbol dengan penjelasan naratif,
misalnya laporan pertumbuhan ekonomi penduduk. Model
matematis yaitu model yang disajikan dengan menggunakan
rumus matematis atau persamaan.
Sifat model juga tergantung pada teknik permodelan yang
dipakai. Model yang mendasar pada teknik peluang dan
memperhitungkan adanya ketidakmenentuan (uncertatinty)
disebut model probabilitik atau model stokastik. Pada ilmu
sistem, model ini sering dipakai karena perihal yang dikaji yang
dikaji menggandung keputusan yang tidak tentu. Sedangkan
lawan dari model tersebut adalah model deterministik. Model
deterministik merupakan model kuantitatif yang tidak
mempertimbangkan peluang kejadian.

7.6.3. Tahap Permodelan


Para ahli penelitian operasional ilmu sistem menyarankan
bahwa untuk mengawali permodelan dilakukan penguraian
seluruh komponen yang akan mempengaruhi efektivitas dari
operasi sistem. Setelah identifikasi komponen tersebut lengkap,
langkah selanjutnya menyaring komponen mana yang akan
dipakai dalam pengkajian tersebut. Hal ini umumnya sulit
karena daya interaksi peubah yang seringkali mengaburkan
proses isolasi satu peubah. Peubah yang dipandang tidak
penting ternyata mempengaruhi hasil studi setelah proses
pengkajian selesai. Untuk menghindari hal ini, diperlukan
percobaan pengujian data guna memilih komponen kritis.
Setelah itu dibentuk gugusan persamaan yang dapat dievaluasi
dengan mengubah-ubah komponen tertentu pada batas yang
ada.
Model secara umum memiliki tiga jenis kegunaannya,
yaitu: mempermudah pengertian, mempermudah komunikasi,
dan memperkirakan masa depan. Mempermudah pengertian

151
maksudnya ialah bahwa suatu model pasti akan lebih
sederhana daripada entitasnya. Entitas lebih mudah dimengerti
jika elemen-elemennya ada hubungannya disajikan secara
sederhana. Mempermudah komunikasi dapat diartikan bahwa
suatu model digunakan pada umumnya setelah pemecahan
masalah atau problem solver akan mengomunikasikan hasil dan
putusannya kepada pihak-pihak yang terhubung maka model
sistem sangat digunakan agar mempermudah jalur komunikasi.
Memperkirakan masa depan bermakna khusus dalam model
matematis, model ini dapat memperkirakan hal yang akan
terjadi di masa depan, namun tidak 100 persen akurat karena
banyak data yang dimasukkan ke dalam model biasanya
didasarkan atas berbagai asumsi, pertimbangan, dan intuisi
untuk mengevaluasi model. Meadows dkk. (1972) membuat
perkiraan masa depan berdasarkan asumsi-asumsi yang telah
dibangun. Gambar 26 menunjukkan terdapat empat elemen
yang saling terkait, yaitu: sumber daya, pangan per kapita,
populasi penduduk, dan polusi. Jumlah ketersediaan sumber
daya yang terdapat di bumi memiliki keterbatasan, ada batasan
sumber daya tersebut akan habis atau berkurang jumlahnya.
Disisi lain jumlah populasi manusia mengalami peningkatan.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah
pangan per kapita meningkat. Luas lahan pertanian bersifat
terbatas, tidak semua lahan dapat dimanfaatkan dan sesuai
untuk kegiatan pertanian. Pada titik tertentu akan menjadi
masalah dengan meningkatnya angka kematian penduduk
akibat kekurangan pangan dan masalah kesehatan yang timbul
akibat polusi lingkungan.

152
Su
m
Tingkat kematian tinggi akibat
be kekurangan pangan dan ketidak
rd
ay
layakan kesehatan

Po
pu
la
si
a
a pi t
erk
a nP
ng
Pa Po
lus
i

Waktu
Sumber : Meadows dkk. (1972)

Gambar 26. Perkiraan masa depan sumber daya, populasi,


polusi, dan pangan per kapita dalam ilmu sistem

Eriyatno (2012) mengemukakan bahwa permodelan


sistem dapat di bedakan atas tujuh tahapan, yaitu:
1. Tahap Seleksi Konsep
Tahap awal dari permodelan abstrak adalah melakukan
seleksi alternatif konsepsi dari tahap evaluasi kelayakan.
Seleksi dilakukan untuk menentukan alternatif-alternatif yang
bermanfaat dan bernilai cukup untuk dilakukan permodelan
abstraknya. Hal ini erat kaitannya dengan biaya dan kinerja
dari sistem yang dihasilkan.

2. Tahap Rekayasa Model


Langkah mula dari permodelan adalah menetapkan jenis
model abstrak yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan
karakteristik sistem. Setelah itu, tugas tahap permodelan

153
terpusat pada pembentukan model abstrak yang realistik.
Dalam hal ini terdapat dua cara pendekatan untuk membentuk
suatu model abstrak, yang pada beberapa kasus tertentu kedua
pendekatan dapat dipakai secara bersama-sama. Kedua
pendekatan tersebut adalah pendekatan kota gelap (black box)
dan pendekatan struktur. Pendekatan kotak gelap merupakan
identifikasi model suatu sistem dilakukan dari informasi yang
menggambarkan perilaku terdahulu dari sistem yang sedang
berjalan. Melalui berbagai teknik statistik dan matematik,
model diturunkan dan dicari yang paling cocok dengan data
operasional. Sedangkan pendekatan struktur merupakan
metode yang dimulai dengan mempelajari secara teliti struktur
sistem dari teori-teori guna menentukan komponen basis
sistem serta keterkaitannya. Melalui permodelan karakteristik
dari komponen sistem serta memformulasikan kendala-kendala
yang disebabkan adanya keterkaitan antar komponen, maka
model keseluruhan secara berantai dibentuk. Tahap
permodelan ini mencakup juga penelaahan teliti tentang:
a. Asumsi model.
b. Konsistensi internal pada struktur model.
c. Data input untuk pendugaan parameter.
d. Hubungan fungsional antar peubah kondisi aktual.
e. Memperbandingkan model dengan kondisi aktual sebaik
mungkin.

154
Input Tidak Output Yang
Input Lingkungan
Terkontrol Diinginkan
- Jumlah Penduduk Terkendali
- Jumlah Penduduk - UU No 1 tahun 2011 - Rasio Permukiman Terkendali
- Laju Lahan Terbangun - UU No 32 tahun 2009 - Penguatan Komitmen Pemerintah
- Peran serta Stakeholder - UU No 26 tahun 2007 - Penurunan Kualitas Lingkungan
- Kualitas Lingkungan
Terkendali

Pengelolaan Kawan
Permukiman Berkelanjutan

Output Yang Tidak Output Yang Tidak


Diinginkan Diinginkan
- Daya tampung kawasan - Degradasi kualitas lingkungan
- Jumlah penduduk Umpan meningkat
- Komitmen pemerintah Balik - Rasio permukiman meningkat
- RTRW, rencana rinci, dan peraturan - Jumlah penduduk tidak terkendali
zonasi - Tidak ada komitmen pemerintah

Sumber : Trilusianthy JH. (2014)

Gambar 27. Kota hitam (black box) dari sistem pengelolaan


kawasan permukiman berkelanjutan

3. Tahap Implementasi Komputer


Pada tahapan ini, model abstrak diwujudkan pada
berbagai bentuk persamaan, diagram alir, dan diagram blok.
Tahap ini seolah-olah membentuk model dari satu model, yaitu
tingkat akstraksi lain yang ditarik dari dunia nyata. Hal yang
penting di sini adalah memilih teknik dan bahasa komputer
yang digunakan untuk implementasi model. Kebutuhan ini akan
mempengaruhi:
a. Ketelitian hasil komputasi.
b. Biaya dari mengoperasikan model.
c. Kesesuaian dengan komputer yang tersedia.
d. Efektivitas proses pengambilan keputusan yang akan
menggunakan hasil model tersebut.

155
Setelah program komputer dibuat untuk model abstrak di
mana format input/output telah dirancang serta memadai,
maka sampailah pada tahap pembuktian (verifikasi) bahwa
model komputer tersebut mampu melakukan simulasi dari
model abstrak yang dikaji. Pengujian ini mungkin berbeda
dengan uji validitas model itu sendiri.

4. Tahap Validasi
Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model
sistem tersebut di atas merupakan perwakilan yang sah dari
realitas yang dikaji, di mana dapat dihasilkan kesimpulan yang
meyakinkan. Validasi adalah suatu proses interaktif yang
berupa pengujian berturut-turut sebagai proses
penyempurnaan model komputer. Umumnya validasi dimulai
dengan uji sederhana seperti pengamatan di atas:
a. Tanda aljabar (sign).
b. Tingkat kepangkatan dari besaran (order of magnitude).
c. Format respons (linier, eksponensial, logaritma, dan
sebagainya).
d. Arah perubahan peubah apabila input atau parameter
diganti-ganti.
e. Nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter
sistem.
Setelah uji-uji tersebut, dilakukan pengamatan lanjutan
sesuai dengan uji model. Apabila model mempernyatakan
sistem yang sedang berjalan, maka dipakai uji statistik untuk
mengetahui kemampuan model di dalam mereproduksi perilaku
terdahulu dari sistem. Uji statistik dapat memakai perhitungan
koefisien determinasi, pembuktian hipotesis melalui analisis
sidik ragam dan sebagainya. Seringkali dijumpai kesulitan pada
tahap ini karena kurang data yang tersedia guna melakukan
validasi. Pada permasalahan yang kompleks dan mendesak,

156
maka disarankan validasi parsial, yaitu tidak dilakukan
pengujian keseluruhan sistem. Hal ini mengakibatkan
rekomendasi untuk pemakaian model yang terbatas dan bila
perlu menyarankan penyempurnaan model pada pengkajian
selanjutnya.
Trilusianthy (2014) mengemukakan uji validitas selain
menguji kesesuaian antara perilaku output model dengan
perilaku data empirik, juga untuk menghindari terjadinya
kesalahan dalam struktur model yang dibangun. Uji validasi
dilakukan dengan menggunakan uji statistik sebagai berikut:
a. Absolute mean error (AME) yaitu penyimpangan (selisih)
antara nilai rata-rata (mean) dengan hasil simulasi
terhadap nilai aktual,
b. Absolute variation error (AVE) yaitu penyimpangan nilai
variasi (variance) simulasi terhadap aktual. Batas
penyimpangan yang dapat diterima atau ditolerir adalah
antara 5–10 %.
Uji validitas menggunakan metode statistik AME dan AVE
dilakukan terhadap elemen penduduk. Hasil pengujian terhadap
validitas kinerja untuk elemen penduduk menunjukkan bahwa
antara model dengan data empirik terdapat kesesuaian dalam
ambang batas yang diperbolehkan. Hasil AME sebesar
0.0047dan AVE sebesar 0.0086 yang berarti nilai tersebut
masih berada dalam batas penyimpangan yaitu kurang dari 10
%. Dengan demikian model ini mampu menyimulasikan
perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan.

5. Analisis Sensitivitas
Tujuan utama dalam analisis ini pada proses permodelan
adalah untuk menentukan peubah keputusan mana yang cukup
penting untuk ditelaah lebih lanjut pada aplikasi model. Peubah
keputusan ini dapat berupa parameter rancang bangun atau

157
input peubah keputusan. Analisis ini mampu menghilangkan
faktor yang kurang penting, sehingga pemusatan studi lebih
dapat ditekankan pada peubah keputuan kunci serta
meningkatkan efisiensi dari proses pengambil keputusan. Pada
beberapa kasus, dengan mengetahui peubah yang kurang
mempengaruhi kinerja sistem, maka akan didapatkan lebih
banyak keleluasaan dari kendala sistem.

1.000.000
Jumlah Penduduk

900.000
800.000
700.000
600.000
500.000
400.000
300.000
200.000
100.000
0
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun

Penduduk Aktual Penduduk Simulasi

Gambar 28. Uji validitas model terhadap penduduk

6. Analisis Stabilitas
Sistem dinamik sudah sering diketemukan mempunyai
perilaku tidak stabil yang destruktif untuk beberapa nilai
parameter sistem. Analisis untuk identifikasi batas kestabilan
dari sistem diperlukan agar parameter tidak diberi nilai yang
bisa mengarah pada perilaku tidak stabil apabila terjadi
perubah struktur dan lingkungan sistem. Perilaku tidak stabil
ini dapat berupa fluktuasi acak yang tidak mempunyai pola
ataupun nilai output yang eksplosif sehingga besarannya tidak
realitis lagi. Analisis stabilitas dapat menggunakan teknik

158
analitis berdasarkan teori keseimbangan, atau melakukan
simulasi secara berulang kali untuk mempelajari batas
stabilitas sistem.

7. Aplikasi Model
Para pengambil keputusan merupakan tokoh utama dalam
tahap ini, di mana model dioperasikan untuk mempelajari
secara mendetail kebijakan yang dipermasalahkan. Mereka
berlaku sebagai pengarah pada proses kreatif interaktif, yang
mencakup pula para analis sistem serta spesialis dari berbagai
bidang keilmuan. Hasil dari proses permodelan abstrak adalah
gugusan mendetail dari spesifikasi manajemen. Informasi yang
timbul setelah proses ini dapat merupakan indikasi akan
kebutuhan untuk pengulangan kembali proses analisis sistem
dan permodelan sistem. Pada kasus tertentu, pengulangan itu
bisa hanya mengubah asumsi model namun pada hal lain dapat
juga berarti merancang suatu model abstrak yang baru sama
sekali. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pendekatan sistem
dalam suatu lingkungan dinamik merupakan suatu proses yang
berkesinambungan, mencakup penyesuaian dan adaptasi
melalui lintasan waktu.

7.7. Konstruksi Model Dinamik


Tahap kunci dalam melakukan analisis sistem dinamik
adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model
akan memberikan gambaran bentuk dan perilaku sistem
(Muhammadi dkk., 2001 dan Djakapernana, 2010). Perilaku
tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik
(causal loops) yang menyusun struktur model. Perilaku model
dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model, yang
dapat dipahami dari simulasi model. Dengan simulasi akan
didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi

159
dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan
perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan.
Untuk memahami struktur dan perilaku sistem digunakan
diagram sebab-akibat (causal loops) dan diagram alir (flow
chart). Dengan diagram lingkar sebab akibat dibuat dengan
cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam
sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis
panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat
berlaku dua arah, jika kedua variabel saling mempengaruhi.
Pada sistem dinamis, diagram lingkar sebab akibat akan
digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang
akan disimulasikan dengan menggunakan program model
sistem dinamis.
Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu hubungan positif dan hubungan negatif.
Hubungan positif adalah hubungan sebab akibat di mana
semakin besar nilai faktor penyebab, maka akan semakin besar
nilai faktor akibat. Hubungan negatif adalah hubungan sebab
akibat di mana semakin besar nilai faktor penyebab, maka
semakin kecil nilai dari faktor akibat. Akibat dari suatu sebab
dapat mempengaruhi kembali sebab tersebut, sehingga terdapat
hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan
hubungan sebab akibat yang lain. Dalam hal ini, terbentuk
untaian tertutup yang disebut loop. Akibat dicatu balikkan ke
penyebabnya, terbentuk untaian catu balik atau feed back loop.

160
+

Simpanan Positif
Jumlah Jumlah
Penduduk Kelahiran

Gambar 29. Umpan balik positif


Simpanan

Waktu

Gambar 30. Perilaku model umpan balik positif

Gambar 29 merupakan bentuk umpan balik hubungan


positif, yang dicirikan dengan adanya hubungan saling
memperkuatkan satu dengan yang lainnya, membentuk simpul
positif. Jika jumlah penduduk meningkat maka jumlah yang
lahir akan meningkat, peningkatan kelahiran akan
meningkatkan jumlah penduduk. Model umpan balik positif

161
perilaku model membentuk grafik pertumbuhan yang
eksponensial (Gambar 30). Dalam kenyataannya hubungan
sebab akibat yang membentuk simpul itu tidak sederhana,
namun bisa melibatkan banyak variabel. Bentuk hubungan
dengan simpul dengan variabel lebih kompleks disajikan pada
Gambar 31.
Umpan balik negatif merupakan umpan balik yang dapat
memberikan dampak penurunan pada dirinya sendiri, atau
menghambat pertumbuhan. Umpan balik negatif ini dalam
proses mencapai tujuan akan baik pada titik maksimum atau
titik nol. Ciri dari umpan balik ini adalah sistem akan berubah
sesuai dengan penurunan waktu menuju stabil equilibrium.
Umpan balik negatif memiliki tanda dalam suatu loop yakni
tandan positif (+) dan tanda negatif (-) dalam suatu simpul
negatif. Gambar 32 merupakan contoh simpul negatif.

Pekerjaan

+ +

Simpal Positif
Tingkat
Pendidikan Pendapatan

+ Kemampuan
+
menyekolahkan
keluarga

Gambar 31. Simpul positif dengan variabel kompleks

162
+

Simpanan
Jumlah Negatif Jumlah
Penduduk Kematian

Gambar 32. Umpan balik negatif

Pada Gambar 32 umpan balik negatif dapat memberikan


makna bahwa jumlah penduduk pada suatu wilayah akan
mengalami pengurangan dengan meningkatnya jumlah angka
kematian. Penurunan jumlah penduduk akibat angka kematian
dapat digambarkan dalam grafik seperti pada Gambar 33.
Gambar 33 menunjukkan perilaku umpan balik negatif bahwa
jumlah penduduk akan berkurang dengan peningkatan angka
kematian.
Simpanan

Waktu

Gambar 33. Perilaku umpan balik negatif

163
+
+

Simpul
Jumlah Simpul Positif Jumlah Negatif Jumlah
Kelahiran Penduduk Kematian

+ -

Gambar 34. Umpan balik yang kompleks pada kajian demografi

Pada model yang lebih kompleks umpan balik positif dan


negatif sering terjadi dalam satu loop. Dalam kasus demografi
misalnya jumlah penduduk alami dapat dipengaruhi oleh
kelahiran dan kematian. Angka kelahiran menyebabkan
terjadinya penambahan jumlah penduduk, namun angka
kematian dapat menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah
penduduk. Angka kelahiran merupakan hubungan sebab akibat
positif dan angka kematian merupakan hubungan sebab akibat
negatif. Gambar 34 disajikan kedua bentuk hubungan tersebut
dalam satu loop.
Hubungan umban balik dalam banyak kasus demografi
menunjukkan bahwa angka kelahiran sering lebih tinggi
dibandingkan angka kematian, hal ini berpengaruh terhadap
perilaku model. Gambar 35 merupakan perilaku model apabila
jumlah kelahiran lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
kematian.

164
Angka
Kelahiran

Jumlah
Penduduk
Jumlah

Angka
Kematian

Waktu

Gambar 35. Perilaku model umpan balik yang kompleks pada


kasus demografi

Bentuk hubungan yang kompleks dapat terjadi pada kasus


penduduk, pertanian, dan lingkungan. Gambar 36 menunjukkan
bentuk hubungan ketiga elemen tersebut. Peningkatan jumlah
penduduk akan berdampak terhadap kebutuhan pangan, pada
sisi lain bahwa lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian
sangat terbatas. Selain terbatasnya lahan konversi lahan
pertanian juga terjadi, lahan sawah beralih fungsi menjadi
kawasan permukiman dan industri. Hal ini tentu akan menjadi
pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan, dan dengan
penurunan kualitas lingkungan akan mendorong munculnya
berbagai penyakit. Berkembangnya berbagai macam penyakit
akibat penurunan kualitas lingkungan akan berdampak
terhadap jumlah penduduk yang menderita.

165
+ Kebutuhan
Pangan +
Jumlah
Penduduk Pembukaan
lahan pertanian
dan industri

+
Simpul Positif
dan Negatif
+
Jumlah
Penyakit

Pencemaran
Lingkungan
-
Kualitas
Lingkungan
-

Gambar 36. Umpan balik kompleks pada kasus penduduk


pertanian dan lingkungan

7.8. Pendekatan Sistem sebagai Alat Mengambil Keputusan


Seorang peneliti, pemerintah, pengusaha, dan pimpinan
dihadapkan pada berbagai masalah yang kompleks. Dalam
banyak hal, sering pengambil keputusan dihadapkan pada
berbagai kondisi, antara lain: unik, tidak pasti, dinamis, jangka
panjang, dan kompleks. Kondisi unik suatu masalah mungkin
tidak mempunyai preseden dan di masa depan mungkin tidak
akan berulang kembali. Kondisi tidak pasti merupakan faktor-
faktor yang diharapkan mempengaruhi dan memiliki kadar
informasi sangat rendah. Kondisi jangka panjang memiliki
implikasi jangkauan yang cukup jauh ke depan dan melibatkan
sumber-sumber yang banyak. Kondisi kompleks yaitu
preferensi pengambilan keputusan atas risiko dan waktu
memiliki peran yang besar, komponen dan keterkaitannya
sering bersifat dinamik berubah menurut waktu. Sifat

166
karakteristik permasalahan dapat digolongkan dalam empat
kategori, yaitu: direktif, strategis, taktis, dan operasional
dengan ciri-ciri khas disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Masalah Pengambil Keputusan


Jangka Lingkungan Sifat
Direktif Panjang Dinamis dan Arahan-arahan
probalistik intuitif strategis yang
kadang bersifat
intuitif
Strategis Panjang Dinamis dan Tidak bisa
mempengaruhi diprogram karena
faktor-faktor preferensi
dengan kepastian pengambil
yang sangat rendah keputusan perlu
masukan secara
utuh
Taktis Menengah Dinamis dan Bisa dibuat
dan mempengaruhi program dengan
Pendek faktor-faktor masukan
dengan asumsi preferensi
kepastian yang pengambil
tinggi keputusan
Operasional Pendek Dianggap statik dan Bisa dibuat
tidak program karena
mempengaruhi sifat berulang
faktor-faktor
Sumber: Marimis dan Maghfiroh (2011)

Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan normatif.


Dalam pendekatan ini, kriteria yang tepat untuk menyatakan
bahwa suatu keputusan itu baik apabila seluruh informasi telah
dimanfaatkan secara penuh, dasar-dasar rasionalitasnya telah
diikuti dengan baik, dan proses perpindahan dari satu tahap ke
tahapan telah berjalan dengan konsisten dan benar.

167
Pada prinsipnya terdapat dua basis dalam pengambilan
keputusan, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan intuisi
dan pengambilan keputusan rasional berdasarkan hasil analisis
keputusan (Mangkusubroto dan Trisnadi 1995 dan Marimin dan
Maghfiroh 2011). Skema pengambilan keputusan dengan intuisi
disajikan pada Gambar 37. Unsur intuisi sesorang memiliki
peran besar dalam sebuah pengambilan keputusan. Logika
bahwa keputusan tersebut telah dipilih atau diambil tidak dapat
diperiksa secara logis. Skema pengambilan keputusan dengan
analisis keputusan disajikan pada Gambar 38. Komponen dan
langkah utama mirip dengan pengambilan keputusan
menggunakan intuisi, kecuali pada tahap analisis keputusan
yang secara normatif tergambar jelas. Alasan alternatif terpilih
dapat ditelusuri dengan jelas dan mudah dimengerti. Teknik
yang dipakai dalam analisis dapat dipelajari dan diterapkan
pada kasus yang berbeda, baik perihal maupun lokasi dan
waktunya.

LINGKUNGAN
Kecerdasan Pilihan
Tidak pasti Intuisi
Kompleks Logika
Persepsi Informasi tidak
Dinamis Keputusan Hasil
Persaiangan dapat
Terbatas Falsafah diperiksa
Preferensi

Bingung dan Rasa Tidak Dipuji/ Sukses/


Berfikir Aksi
cemas enak dicela Tidak

REAKSI
Sumber : Mangkusubroto dan Trisnandi (1985)

Gambar 37. Diagram pengambilan keputusan dengan intuisi

168
LINGKUNGAN Alternatif-alternatif
Kecerdasan Penetapan
Pilihan
Tidak pasti kemungkinan
Kompleks Persepsi Struktur model
Dinamis Informasi Logika Keputusan Hasil
Penetapan nilai
Persaiangan
Preferensi waktu
Terbatas Falsafah
Preferensi Preferensi risiko

Sensitifitas Nila
Informasi

Bingung dan Dipuji/ Pandangan Sukses/


Berfikir Aksi
cemas dicela ke dalam Tidak

REAKSI
Sumber : Mangkusubroto dan Trisnandi (1985)

Gambar 38. Diagram pengambilan keputusan dengan analisis


keputusan

Mengambil atau membuat keputusan merupakan suatu


proses yang dilaksanakan seseorang berdasarkan pengetahuan
dan informasi yang ada pada pengambil keputusan pada waktu
tertentu dengan harapan bahwa sesuatu akan terjadi.
Keputusan dapat diambil dari alternatif-alternatif keputusan
yang ada. Alternatif keputusan tersebut dapat dilakukan dengan
adanya informasi yang diolah dan disajikan dengan dukungan
sistem penunjang keputusan. Informasi terbentuk dari adanya
data yang terdiri dari bilangan dan terms yang sesusun, diolah
dan disajikan dengan dukungan sistem informasi. Kemudian
keputusan yang diambil perlu ditindaklanjuti dengan aksi yang
dalam pelaksanaannya perlu mengacu pada standar prosedur
operasional dan akan membentuk kembali data, begitu
seterusnya yang terjadi dalam siklus data, informasi, keputusan
dan aksi, seperti yang disajikan pada Gambar 39.

169
Informasi
SIM DSS

Bilangan dan Alternatif


Terms putusan

Data MONEY

SIM : Sistem Informasi Manajemen


DSS : Desicion Support System
SOP : Standar Operasional Procedure
MONEY: Monitoring dan Evaluasi

Keputusan

Aksi SOP Sumber : Marimin (2004)

Gambar 39. Siklus data, informasi, keputusan dan aksi

Sekitar abad 19 di Eropa Selatan berkembang wabah


penyakit yang disebabkan oleh tikus. Penyakit ini mudah
menyerang manusia, dalam beberapa hari saja menyebabkan
meninggal dunia. Ribuan orang meninggal akibat wabah
penyakit tersebut, dan masyarakat beranggapan kematian
tersebut akibat serangan iblis. Aksi yang dilakukan masyarakat
saat itu menutup pintu rumah mereka dan mengung diri dalam
rumah. Pada akhirnya penyakit tersebut hilang pada wilayah
tersebut. Dalam kejadian tersebut ada aksi yang benar, namun
informasi data dan terms yang salah. Putusan masyarakat
menutup pintu dan mengurung dalam rumah benar, namun
penyakit tersebut hilang akibat manusia tidak bersentuhan
dengan tikus dan tikus tidak bisa masuk dalam rumah. Akibat
kelaparan tikus melakukan migrasi ke tempat lain dan sebagian
meninggal karena kelaparan.
Pengambilan keputusan dapat melalui dua kerangka kerja,
yakni pengambilan keputusan tanpa percobaan dan pengambil
keputusan dengan percobaan. Pengambilan keputusan tanpa
berdasarkan eksperimen, dilakukan dengan cara menyusun

170
secara sistematis cara kerja umum sebelum mencari solusi bagi
masalah yang diharapkan. Teori ini berkembang sejalan dengan
pendekatan statistik di mana secara sederhana, keputusan yang
dihasilkan diupayakan mempunyai pengaruh kesalahan
seminimal mungkin. Semakin kompleksnya permasalahan yang
akan diselesaikan, maka pendekatan statistik menjadi tidak
cocok.

Informasi Awal

Tahap Tahap
Deterministik Probabilitik
Tahap Pengambil Tindakan
(perumusan (penetapan
Informasional Keputusan
alternatif dan nilai dan
kriteria) variasi)

Pengumpulan
Informasi Baru Informasi Baru
Pengumpulan
Informasi
Sumber : Marimin (2004)

Gambar 40. Langkah-langkah siklus analisis keputusan

Dalam kehidupan sehari-hari pengambil keputusan sering


menggunakan intuisi, padahal kita mengetahui bahwa dengan
intuisi banyak sekali kekurangan, sehingga dikembangkan
sistematika baruh yang disebut dengan analisis keputusan.
Terdapat tiga aspek yang memiliki peranan dalam analisis
keputusan, yaitu kecerdasan, persepsi, dan falsafah. Setelah
menggunakan kecerdasan, persepsi, dan falsafah untuk
membuat model, menentukan nilai kemungkinan, menetapkan
nilai pada hasil yang diharapkan dan menjadi preferensi
terhadap waktu dan preferensi terhadap risiko maka untuk
sampai pada suatu keputusan diperlukan logika. Langkah-
langkah siklus analisis keputusan disajikan pada Gambar 40.

171
Informasi awal yang dikumpulkan, dilakukan
pendefinisian dan penghubungan variabel-variabel yang
mempengaruhi keputusan pada deterministik. Setelah itu,
dilakukan penetapan nilai untuk mengukur tingkat kepentingan
variabel-variabel tersebut tanpa memperhatikan unsur
ketidakpastian. Pada tahap probabilistik, dilakukan penetapan
nilai ketidakpastian secara kuantitatif yang meliputi variabel-
variabel yang sangat berpengaruh. Setelah didapatkan nilai –
nilai variabel, selanjutnya dilakukan peninjauan terhadap nilai-
nilai tersebut pada tahap informasional untuk menentukan
variabel atau elemen kunci pada variabel-variabel yang cukup
berpengaruh, sehingga didapatkan suatu keputusan.
Suatu keputusan yang dihasilkan dari tahap informasional
dapat langsung ditindaklanjuti berupa tindakan, atau dapat
dikaji ulang dengan mengumpulkan informasi tambahan
dengan tujuan untuk mengurangi kadar ketidakpastian. Dan
jika hal ini terjadi, maka akan kembali mengikuti ketiga
tahapan tersebut.
Pulau Sumatera beberapa bulan yang lalu dihebohkan
dengan banyak kasus kebakaran hutan pada lahan gambut.
Asap yang dihasilkan telah mengganggu sistem transportasi,
kesehatan, dan pertanian. Kasus asap tersebut tidak hanya
dampaknya dalam negeri semata, namun sampai ke negara
tetangga yang menyebabkan adanya komplain bahkan
mengganggu hubungan antar negara. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi masalah kebakaran hutan di banyak
tempat di Pulau Sumatera. Sebenarnya kalau kita amati secara
teliti, maka ada patern (pola) kapan masyarakat melakukan
pembakaran hutan yakni setiap awal musim kemarau. Karena
ada informasi pola kapan masyarakat melakukan pembakaran,
maka pengambil keputusan yakni pemerintah dapat
menentukan alternatif atau langkah antisipasi, memetakan

172
siapa pelaku pembakaran hutan (masyarakat atau pengusaha).
Dengan dapat memetakan pelaku, lokasi, dan dampak yang
ditimbulkan bahkan upaya antisipasi untuk mengatasi
kebakaran hutan secara berkelanjutan, wewenang selanjutnya
pengambil keputusan apa tindakan dan aksi yang akan
dilakukan.

Gambar 41. Kebakaran lahan gambut

Pengambil keputusan yakni pemerintah daerah, apabila


salah dalam pengumpulan informasi maka akan melahirkan
putusan yang salah juga. Jika salah akan dicela, namun jika
putusan benar maka akan dipuji. Maka banyak dijumpai kepala
daerah yang banyak menghasilkan putusan yang benar dan
berpihak pada rakyat, akan dipuji dan disebut sepanjang
zaman. Namun, tak jarang juga putusan yang salah menjadi
dicaci dan dicemoohkan masyarakat. Putusan yang benar tentu
tidak akan menerima mentah semua informasi, namun harus
adanya logika untuk menghasilkan putusan yang benar.

173
7.9. Analisis Kebutuhan dalam Sistem Dinamik
Analisis kebutuhan perangkat lunak diturunkan dari
analisis kebutuhan masing-masing stakeholder. Suatu analisis
kebutuhan yang dibangun tidak tepat akan menghasilkan
perangkat lunak yang tidak berguna. Analisis kebutuhan dapat
didefinisikan sebagai kebutuhan yang terkait dengan analisis
sistem. Analisis kebutuhan merupakan pekerjaan–pekerjaan
penentuan kebutuhan atau kondisi yang harus dipenuhi dalam
suatu kajian, dengan pertimbangan berbagai kebutuhan yang
disinggung antar multistakeholders. Definisi lain
mengungkapkan analisis kebutuhan merupakan suatu proses
menemukan, memperbaiki, memodelkan, dan
menypesifikasikan kebutuhan dari masing-masing stakeholders.
Djakapermana (2010) mengemukakan bahwa dalam
analisis sistem terdapat beberapa langkah utama, yaitu:
1. Analisis Kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi
kebutuhan dari semua stakeholders dalam sistem,
2. Formulasi Masalah, merupakan kombinasi dari semua
permasalahan yang ada dalam suatu sistem,
3. Identifikasi Sistem, bertujuan untuk menentukan
variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi
kebutuhan semua stakeholders dalam sistem,
4. Permodelan Abstrak, merupakan tahapan mencakup suatu
proses interaksi antara analis sistem dengan pembuat
keputusan, yang menggunakan model untuk
mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan
variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem,
5. Implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan
wujud fisik dari sistem yang diinginkan, dan
6. Operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem
dan pada tahapan ini pula seringkali terjadi modifikasi-
modifikasi tambahan, karena cepatnya perubahan
lingkungan di mana sistem tersebut berfungsi.

174
Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari
suatu sistem, yang dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan
pelaku yang mempengaruhi dalam sistem. Kemudian dilakukan
tahapan pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang
dideskripsikan. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi
antar respons yang timbul dari seorang pengambil keputusan
terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat meliputi hasil
suatu survei, pendapat ahli, diskusi, dan observasi. Pelaku
sistem mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan
fungsi dan tujuannya masing-masing dalam sistem.
Kebutuhan sistem dapat diklasifikasikan atas beberapa
kategori. Kebutuhan berdasarkan identifikasi dapat dibedakan
atas dua kelompok, yaitu: kebutuhan umum (common problems)
merupakan kebutuhan yang beridentifikasi dan dapat
digunakan secara umum; dan kebutuhan yang saling
bertentangan (conflict of interest) merupakan kebutuhan yang
hanya menguntungkan sekelompok atau sepihak tertentu saja
dan cenderung merugikan pihak lain. Pandangan lain
membedakan kebutuhan atas dua bagian, yaitu:
1. Kebutuhan Fungsional, merupakan kebutuhan
menyangkut pendefinisian layanan yang harus disediakan,
reaksi sistem terhadap input, dan hal yang harus
dilakukan oleh sistem secara khusus. Kebutuhan
fungsional ini sering juga disebut sebagai kebutuhan
sistem yang dilihat dari sisi pengguna (users).
2. Kebutuhan Nonfungsional, merupakan kebutuhan yang
dilihat dari adanya kendala pada pelayanan atau fungsi
sistem, seperti kendala waktu, kendala proses
pengembangan, standar, dan lain sebagainya.

175
7.9.1. Identifikasi Kebutuhan Stakeholder dalam Pendekatan
Sistem
Dalam pendekatan sistem dinamik, stakeholders dapat
ditetapkan melalui dua cara yaitu:
1. Pemahaman terhadap aliran kegiatan, maksudnya bahwa
stakeholder yang terlibat dalam sistem adalah pelaku yang
memahami dan mempengaruhi aliran dari sebuah sistem.
2. Wawancara dengan pakar pada masing-masing bidang,
melalui wawancara seorang pakar dengan mudah
diidentifikasi keterlibatannya dalam suatu sistem.
Secara umum pakar dapat ditentukan berdasarkan tiga
aspek, yaitu pendidikan, pengalaman, dan fungsional. Tingkat
pendidikan seseorang akan dapat menentukan tingkat
kepakaran, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan seorang,
maka semakin baik untuk dijadikan pakar. Biasanya tingkat
pendidikan berbanding lurus dengan pengetahuan terhadap
suatu bidang. Pengamalan sesorang dalam suatu bidang dapat
dijadikan sebagai dasar seseorang untuk dijadikan sebagai
pakar. Batasan waktu seseorang dapat dikatakan
berpengalaman adalah minimal 5 tahun. Fungsional dapat juga
dijadikan suatu dasar penentuan pakar. Meskipun seseorang
tidak memiliki tingkat pendidikan tinggi (sarjana), namun
seseorang menduduki jabatan fungsional tertentu, atau sebagai
profesi pada bidang tertentu maka mereka layak untuk
digunakan sebagai pakar.
Dalam contoh sistem pendidikan tinggi, maka dapat
diidentifikasi stakeholder yang terlibat, antara lain: Mahasiswa,
Dosen, Orang tua/wali orang tua, Tenaga Administrasi, Pelaku
usaha (users), dan Pemerintah. Analisis kebutuhan terhadap
masing-masing dilakukan melalui wawancara dan observasi.
Beberapa kebutuhan dari setiap stakeholder disajikan pada
Tabel 5.

176
Pada Tabel 5 terlihat bahwa masing-masing stakeholders
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda satu dengan yang
lainnya. Masing-masing stakeholders berkeinginan semua
kebutuhannya terlaksana. Untuk itu, perlu adanya usaha dan
upaya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Contoh lain analisis kebutuhan pada pengembangan objek
wisata bahari berkelanjutan. Pada kasus pengembangan objek
wisata bahari berkelanjutan dapat diidentifikasi stakeholders
yang terlibat, yaitu: pemerintah, masyarakat, pengunjung,
perguruan tinggi, dan pelaku industri. Hasil identifikasi
kebutuhan masing-masing stakeholder disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Analisis Kebutuhan terhadap Stakeholders Pendidikan


Tinggi Negeri
No Stakeholders Kebutuhan
1 Mahasiswa - Ketersediaan sarana pendukung kuliah
yang lengkap
- Biaya pendidikan yang terjangkau
- Kualitas tenaga pendidik
- Sistem pelayanan yang baik
- Masa studi yang terencana
- Lulusan cepat bekerja
2 Dosen - Kesempatan studi lanjut
- Sistem karier yang jelas
- Suasana kerja yang kondusif
- Gaji dan insentif yang memadai
3 Orang tua/wali - Sistem pendidikan yang berkualitas
- Lulusan cepat bekerja
- Biaya pendidikan yang terjangkau
- Lulusan tepat waktu
- Kualitas pendidikan dan pengajaran
yang baik
4 Tenaga - Sistem karier yang jelas
Administrasi - Lingkungan kerja yang kondusif
- Kesempatan mendapatkan pelatihan
- Apresiasi sistem gaji yang rasional

177
No Stakeholders Kebutuhan
5 Pelaku Usaha - Lulusan yang cakap, terampil dan
berkualitas
- Lulusan yang memiliki integritas
tinggi
- Lulusan yang memiliki etos kerja
tinggi
- Lulusan yang memiliki skill yang
diandalkan
6 Pemerintah - Meningkatkan prestasi anak bangsa
- Menurunkan tingkat pengangguran
- Tata kelola perguruan tinggi yang baik
- Sistem pendidikan yang berkualitas
- Lulusan yang diserap dunia kerja

Tabel 6. Analisis Kebutuhan terhadap Stakeholders


Pengembangan Objek Wisata Bahari Berkelanjutan

No Stakeholder Kebutuhan
1 Pemerintah - Banyaknya kunjungan wisata baik
domestik maupun mancanegara
- Lingkungan tetap terjaga
- Peningkatan PAD dari kunjungan
wisatawan
2 Masyarakat - Peningkatan ekonomi masyarakat
akibat kunjungan wisatawan
- Terbukanya peluang usaha akibat
banyaknya kunjungan wisatawan
- Membuka lapangan pekerjaan
3 Pengunjung - Memberikan kepuasan untuk
menikmati keindahan wisata pantai
- Objek wisata yang aman, bersih,
terkelola dengan baik
- Tersedia berbagai hiburan dan atraksi
yang menarik
- Ongkos wisata yang murah
4 Perguruan Tinggi - Terjaganya lingkungan hidup alami
- Menjadi objek kajian dan penelitian
5 Industri - Wisatawan berkunjung dalam waktu
yang lama

178
- Wisatawan banyak menghabiskan
untuk berbelanja baik untuk makanan,
minuman, cendera mata, dan pakaian
- Semakin banyak dan meningkatnya
kunjungan wisatawan

7.9.2. Identifikasi dan Formulasi Masalah dalam Sistem Dinamik


Identifikasi masalah merupakan langkah yang
menentukan dalam analisis sistem. Permasalahan dibentuk oleh
pemahaman tentang keterkaitan dan interaksi antara
komponen pembentuk sistem. Model mental tradisional pada
masa lalu hanya menekankan satu atau sekelompok subsistem
secara sekuensial. Keterkaitan dan interaksi antar komponen
tersebut dipandang sebagai suatu proses berurutan dari
masukkan (input) dan keluaran (output) yang membentuk
sebuah model prediktif tentang bagaimana kondisi di masa
akan datang. Hal ini mengarahkan pengembangan suatu
pendekatan terpisah-pisah dari permasalahan, dan seringkali
hanya menekankan pada salah satu entitas.
Sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu, bahwa
kebutuhan masing-masing stakeholders berbeda-beda
berdasarkan kepentingan atau tujuan masing-masing dapat
diakomodir di dalam suatu model. Sistem dinamik dapat
membantu para pengambil kebijakan dalam menyelesaikan
permasalahan terutama dalam kebutuhan stakeholders.
Kholil dkk. (2014) menyatakan bahwa masalah dalam
sistem dinamik disebabkan oleh struktur internal sistem, bukan
pengaruh luar sistem. Eriyatno (1998) menyatakan bahwa
pendekatan sistem merupakan metode pemecahan masalah
yang dimulai dari identifikasi dan analisis kebutuhan serta
diakhiri dengan sistem operasional yang efektif.
Dalam dunia nyata (real world) pemikiran atau
pendekatan sistem dinamik ini banyak terjadi, antara satu

179
kejadian dengan kejadian lainnya saling terkait dan tak dapat
dipisahkan. Hubungan antara satu kejadian dengan kejadian
lainnya dapat membuat suatu rangkaian sebab akibat, yang
selanjutnya dapat dibuat berbagai skenario untuk
mengujicobakan sebab akibat tersebut.
Metode sistem dinamik erat hubungannya dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang tendensi-tendensi dinamis
sistem yang kompleks. Pola-pola tingkah laku yang
dibangkitkan oleh sistem dengan bertambahnya waktu.
Penggunaan metodologi sistem dinamik lebih ditekankan
kepada tujuan-tujuan peningkatan pemahaman tentang
bagaimana tingkah laku muncul dari struktur kebijakan yang
efektif. Persoalan yang dapat dengan tepat dimodelkan
menggunakan metode sistem dinamik adalah masalah yang
mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu) dan
fonomena yang mengandung paling sedikit satu struktur uman
balik (feedback structure).
Sebuah contoh Kasus Waduk Cirata Purwakarta, waduk
tersebut dibangun pada tahun 1988 dengan luas 6000 Ha.
Fungsi utama adalah sebagai penyedia air untuk pembangkit
listrik tenaga air (PLTA) di Kabupaten Purwakarta. Namun
masyarakat sekitar memanfaatkan waduk itu sebagai tempat
budi daya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA).
Daya tampung ideal hanya 12.000 keramba, namun
berkembang menjadi 53.000 keramba dengan melibatkan tidak
kurang sekitar 50 petani sebagai tenaga kerja. Berdasarkan
kasus tersebut didapatkan hubungan sebab akibat atau causal
loop diagram disajikan pada Gambar 42.

180
Peran serta Penguatan Dukungan
masyarakat kelembagaan Pemerintah Daerah

Keberlanjutan
Upwelling
fungsi ekonomi
Jumlah Industri dan
aktifitas
masyarakat sekitar
Sistem Pengelolaan
KJA

Keberlanjutan PLTA

Jumlah KJA
Kualitas Air

Keberlanjutan Sedimentasi
Fungsi Ekologi

Sumber : Kholil (2012)

Gambar 42. Diagram sebab akibat (causal loop) pengelolaan


Waduk Cirata Purwakarta

Gambar 42 menunjukkan hubungan sebab akibat tersebut


menggambarkan keterkaitan antar peubah-peubah dalam
menjamin keterlanjutan fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial
dari Waduk Cirata. Pengembangan model dinamis cognitive
maping dengan hasil diagram sebab akibat merupakan langkah
yang amat menentukan untuk pengembangan model. Causal
loop diagram dimulai dengan sistem pengelolaan KJA, yang
dipengaruhi dengan peubah dukungan pemda, penguatan
kelembagaan, jumlah industri dan aktivitas masyarakat di
sekitar Waduk Cirata tersebut maka akan mempengaruhi

181
kualitas air, keberlanjutan PLTA, dan keberlanjutan fungsi
ekologi.

Limbah

Pertumbuhan
Penduduk

Perubahan Kualitas
Lahan lingkungan

Industri

Ekologis
Polusi Udara

Perguruan
Tinggi dan
Lembaga Pemerintah
Peneliti

Gambar 43. Diagram sebab akibat (causal loop) pertumbuhan


penduduk, industri, pemerintah, dan perguruan tinggi

Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 238 juta jiwa


berdasarkan sensus 2010. Hampir semua kota dan kabupaten di
Indonesia memiliki angka pertumbuhan antara 1,4-2 persen per
tahun. Dengan meningkatnya jumlah penduduk pertumbuhan
industri dan kawasan permukiman akan meningkat juga.
Peningkatan industri akan menyebabkan bertambahnya
pencemaran terhadap lingkungan berupa limbah dan polusi
udara dari mesin produksi yang digunakan. Di sisi lain, jumlah
penduduk yang tinggi akan menyebabkan limbah rumah tangga
akan meningkat. Perubahan penggunaan lahan, penurunan
kualitas lingkungan, dan pencemaran udara akan berdapat

182
terdapat fungsi ekologi. Pada hubungan sebab akibat tersebut,
pemerintah memiliki peran yang sangat penting untuk
menekan pertumbuhan penduduk, regulasi terhadap industri,
dan pengelolaan penggunaan lahan, buangan limbah, dan
perbaikan kualitas lingkungan. Selian itu, perguruan tinggi dan
lembaga penelitian dapat melakukan sosialisasi kepada
masyarakat, menemukan industri ramah lingkungan, dan
pemberi informasi kepada pemerintah. Hubungan sebab akibat
(causal loop) disajikan pada Gambar 43.
Berdasarkan Gambar 43 terdapat empat stakeholders yang
terkait yaitu penduduk, pelaku industri, pemerintah, dan
perguruan tinggi atau lembaga peneliti. Masing-masing
stakeholders memiliki kebutuhan yang berbeda. Dalam
pendekatan sistem dinamik akan berubah dengan perubahan
waktu, maka pemerintah dan perguruan tinggi atau lembaga
peneliti melakukan intervensi dan kebijakan untuk mencegah
atau memperlambat kerusakan lingkungan untuk masa yang
akan datang.
Daulay (2016) dalam penelitiannya menggambarkan
hubungan sebab akibat (causal loop) antara pertumbuhan
penduduk dan kebutuhan lahan sawah. Di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur telah terjadi perubahan lahan sawah menjadi
perkebunan sawit yang dilakukan banyak petani. Perubahan
lahan sawah menjadi perkebunan sawit dapat dilakukan
kebijakan insentif terhadap lahan sawan dan disentif terhadap
perkebunan sawit. Pertumbuhan penduduk akan mendorong
peningkatan kebutuhan konsumsi. Insentif sebagai upaya
mempertahankan lahan sawah banyak dapat dilakukan, antara
lain: kebijakan subsidi pupuk, pengurangan paja lahan
pertanian sawah, kontrol harga gabah, dan lain sebagainya.
Untuk jangka panjang kebijakan ini akan menekan perubahan
lahan sawah menjadi perkebunan sawit.

183
Populasi
penduduk

Pertumbuhan
Penduduk Konsumsi Beras

Kebutuhan
Lahan Sawah

Produksi Beras
Insentif Indeks
Pertanaman

Sumber : Daulay (2016)


Luas Tanaman
Sawah

Gambar 44. Diagram sebab akibat (causal loop) penduduk dan


kebutuhan lahan sawah

7.10. Prinsip Dasar Sistem Dinamik


Sistem dinamik dibangun dari dinamika, dinamika dapat
diartikan sebagai perubahan dari nilai suatu variabel sistem
terhadap waktu. Terdapat dua ciri utama yang menonjol dalam
sistem dinamik, yaitu:
1. Adanya hubungan sebab akibat antarvariabel-variabel
yang membangun model dinamis tersebut,
2. Adanya umpan balik sebagai respons atas hubungan sebab
akibat tersebut.
Hubungan sebab akibat merupakan inti dari sistem
dinamik. Berpikir sebab akibat adalah kunci dalam

184
mengorganisasi ide-ide dalam sistem dinamik. Biasanya yang
khas dari hubungan sebab akibat adalah menggunakan kata
‘menyebabkan’ untuk menjelaskan hubungan antarkomponen di
dalam sistem (Purnomo 2011).

Energi
Sebab akibat
Matahari

Penguapan
Awan

Umpan Balik
Laut
(feedback)

Hujan

Sungai dan
danau

Gambar 45. Prinsip hubungan sebab akibat dan umpan balik


dalam siklus hidrologi

Selain itu, umpan balik juga sangat penting dalam sistem


dinamik karena berpikir sebab akibat saja tidaklah cukup maka
perlu adanya pemikiran lebih komprehensif. Dalam hal ini,
umpan balik berguna untuk mengatur atau mengendalikan
sistem yang berupa sebab akibat yang terlibat dalam sistem
namun dapat mempengaruhi dirinya sendiri. Prinsip hubungan

185
sebab akibat dan umpan balik disajikan dalam siklus hidrologi
pada Gambar 45.
Selanjutnya, Davidsen (1994) menyatakan bahwa terdapat
empat hal penting yang harus diperhatikan dalam
pengembangan sistem dinamik, yaitu:
1. Sistem atau model dinamis yang dibuat harus benar-benar
merepresentasikan kondisi dunia nyata (real word),
2. Sistem atau model dinamis hanya bersifat spesifik untuk
penyelesaian masalah tertentu saja sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah yang bersifat
umum,
3. Adanya waktu tunda (time delay) yang menyebabkan
pengaruh perubahan suatu variabel dalam sistem terjadi
dalam selang waktu tertentu, dan
4. Fungsi non linear yang menyebabkan pengaruh variabel
terhadap lainnya dalam sistem yang tidak proporsional.
Jika hubungan sebab akibat dalam suatu sistem dapat
diketahui, maka dapat diketahui juga umpan baliknya dalam
bentuk interaksi antar variabel-variabel yang dibangun dalam
suatu sistem dinamik tersebut. Sehingga dapat diketahui pula
cara pengaruhnya terhadap sistem secara keseluruhan
(Djojamartono dkk., 1983). Tiga aspek penting dalam sistem
dinamik disajikan pada Gambar 46.

186
Membuat
batasn sistem
untuk
Fokus pada menentukan
keterkaitan komponen
umpan balik di yang masuk
antara dan tidak
komponen masuk di
Berfikir dalam sistem dalam sistem
terminologi
hubungan
sebab akibat

Gambar 46. Aspek penting dalam sistem dinamik

7.11. Komputerisasi Model Sistem Dinamik dalam


Pengelolaan Sumber Daya Alam
Melakukan permodelan dalam sistem dinamik
memerlukan perangkat lunak (software). Dengan menggunakan
perangkat lunak secara cepat dapat mengetahui atau melihat
perilaku model (behavior) yang sedang dibuat. Dalam buku ini
perangkat lunak yang digunakan berupa program Powersim.
Powersim merupakan salah satu program yang dapat
digunakan untuk melakukan simulasi suatu model dinamik.
Selain itu, dengan menggunakan program Powersim dapat
menyimulasikan model yang kompleksitas dalam dunia nyata.
Suatu model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel
yang saling mempengaruhi antar satu dengan lainnya dalam
satu kurun waktu. Setiap variabel berkorespondensi dengan
suatu besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri.
Semua variabel tersebut memiliki nilai dan sudah merupakan
bagian dari dirinya.

187
Sistem dinamik pertama kali diperkenalkan oleh Jay W.
Forrester pada tahun 1950-an. Jay W. Forrester menggunakan
sistem dinamik pertama kalinya dalam manajemen industri,
namun berkembang dalam merumuskan hukum-hukum ilmiah
yang bersifat universal. Pada awal penggunaan sistem dinamik
mendapat tanggapan dari Club of Rome yang membahas tentang
The Limits of Growth pada tahun 1972. Sistem dinamik sebagai
alat analisis untuk berbagai masalah yang bersifat sistemik,
rumit, dan berubah cepat. Seiring dengan perkembangan
komputer, sistem dinamik dapat mengonstruksikan
permasalahan yang rumit dan kompleks dalam berbagai
disiplin ilmu kedalam dunia nyata dan mudah untuk mengambil
keputusan.
Ilmu lingkungan, geografi, biologi, sosial, ekonomi dan
yang lainnya, merupakan suatu disiplin ilmu yang memiliki
masalah yang kompleks dan berupah oleh waktu. Kompleks dan
berubahnya variabel-variabel yang terkait dalam jangka waktu
lama tidak dapat terjawab dan diselesaikan tanpa
menggunakan pendekatan sistem. Muhammadi, dkk. (2001)
menyatakan bahwa sistem dinamik merupakan sebuah
pendekatan dalam kesisteman yang menyeluruh dan terpadu,
yang mampu menyederhanakan suatu masalah yang rumit
tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari objek yang
menjadi perhatian.

7.11.1.Aplikasi Program Powersim pada Sistem Dinamik


Dalam aplikasi sistem dinamik dapat menggunakan
banyak software, salah satu di antaranya adalah Powersim.
Program Powersim paling banyak digunakan dalam sistem
dinamik disebabkan lebih mudah dalam aplikasinya. Tampilan
awal program Powersim dapat disajikan pada Gambar 47.

188
Gambar 47. Tampilan awal program Powersim

Tabel 7. Simbol Aplikasi Program Powersim

Simbol Nama Keterangan


LEVEL atau Memory of the
STOCK system,
menggambarkan
?
akumulasi material,
Level_1
dapat bertambah
atau berkurang
RATE atau Menggambarkan
FLOW sebagai proses penambahan
? INFLOW materian per satuan
? Level_1
Rate_1 waktu
RATE atau Menggambarkan
FLOW sebagai proses pengurangan
?
Level_1 ? OUTFLOW material per satuan
Rate_1 waktu

189
Simbol Nama Keterangan
CONTSANTA
?
Constant_1

AUXILIARY Variabel yang


digunakan untuk
? memperjelas
Auxiliary_1 hubungan antar
variabel lainnya
FUNGSI Fungsi yang
GRAPH atau menggambarkan
FUNGSI perilaku nonlinear.
NONLINIER Salah satu
GRAPH_FUNCTION
fungsinya adalah
sebagai konverter
dimensi variabel
FUNGSI Menggambarkan
DELAY atau penundaan aliran
DELAY_FUNCTION LEVEL material atau
FUNCTION informasi
MATERIAL Menggambarkan
FLOW aliran material dari
source atau menuju
sink
INFORMATION Menggambarkan
FLOW aliran informasi
dari satu variabel ke
variabel lainnya
DELEYED Menggambarkan
INFORMATION aliran informasi
FLOW yang tertunda dari
satu variabel ke
variabel lainnya

Selain itu, aplikasi program Powersim menggunakan


beberapa simbol atau toolbar. Tabel 4 merupakan simbol yang
paling banyak digunakan dalam aplikasi program Powersim.
Misalnya pada kasus demografi, di mana pada demografi

190
penduduk dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian, dan
migrasi. Kelahiran akan menambah jumlah penduduk, kematian
akan menyebabkan pengurangan penduduk. Selain itu, migrasi
terbagi atas dua yakni outmigrasi dan inmigrasi. Outmigrasi
akan menyebabkan pengurangan penduduk akibat adanya
migrasi yang keluar, sedangkan inmigrasi menyebabkan
terjadinya penambahan jumlah penduduk. Hubungan sebab
akibat (causal loop) dapat disajikan pada Gambar 48.

+ +

Kelahiran Jumlah Kematian


Inmigrasi Penduduk outmigrasi

+ -

Gambar 48. Contoh causal loop pada kasus demografi

Untuk menggambarkan causal loop pada program


Powersim ada beberapa langkah yang akan dilakukan, yaitu:
A
1. Pilihlah icon , untuk menulis teks sebagai variabel
yang digunakan pada causal loop, dan akan muncul
tampilan pada lembar kerja Powersim.
2. Setelah muncul lembar kerja (Gambar 49), kemudian klik
2x sehingga muncul “define text” (Gambar 50). Setelah
muncul define text, lalu ketik teks sesuai dengan causal
loop yang telah dirancang berdasarkan hasil identifikasi
kebutuhan.

191
Gambar 49. Pembuatan teks variabel

Gambar 50. Ikon define text

3. Untuk mengubah bentuk tampilan menjadi lingkaran atau


oval, maka klik “style” menjadi garis dan ikon “shape”
menjadi oval atau bentuk lain.
4. Selanjutnya atur posisi kalimat pada ikon “text layout”
yakni dengan mengatur orientation, aligmen, dan posision.
5. Bila sudah semua selesai, maka klik Ok. Untuk membuat
variabel yang lain lakukan perbanyak dengan klik Ctrl+C
dan klik paste atau Ctrl+V. Kemudian sesuaikan dengan
variabel pada causal loop.

192
Gambar 51. Mengubah tampilan pada ikon style dan shape

Bila semua variabel telah selesai diperbanyak sesuai


dengan causal loop, maka pekerjaan selanjutnya melakukan
bentuk hubungan. Terdapat dua bentuk hubungan pada causal
loop, yaitu hubungan positif (+) dan hubungan negatif. Untuk
membentuk hubungan ada beberapa tahapan yang dilakukan,
yaitu:

1. Klik ikon , akan muncul garis pada layar, dan tarik


garis menghubungkan antar variabel pada causal loop
seperti disajikan pada Gambar 52.

Gambar 52. Garis penghubung antar variabel untuk membentuk


causal loop

193
2. Selanjutnya, klik 2 kali pada garis yang telah terbentuk,
dan akan muncul “define line”, pilih Arrow Heads dan
pada shape pilih Curved Line.

Gambar 53. Editing garis pada difine line

3. Untuk menentukan bentuk hubungan positif atau negatif


pada causal loop, maka klik “Head Label”. Setelah muncul
kotak dialog pada head label, maka ketik tanda (+) untuk
hubungan positif dan tanda (-) untuk bentuk hubungan
negatif.
4. Kalau sudah sesuai, maka klik OK.

Gambar 54. Hasil pengeditan garis pada define line

194
5. Pada lembaran kerja akan muncul seperti pada Gambar
54. Untuk membentuk lengkungan maka tarik garis ke
arah lengkungan yang diinginkan seperti pada Gambar 55.

Jumlah
Kelahiran Penduduk

Gambar 55. Membentuk lengkungan dalam pembuatan


hubungan causal loop

6. Lakukan langkah yang sama sampai membentuk


hubungan causal loop yang sesuai dengan tujuan
penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 56.

Gambar 56. Causal loop variabel jumlah penduduk


dengan kelahiran

Causal loop yang telah terbentuk, maka pekerjaan


selanjutnya adalah membentuk struktur sistem dinamik. Untuk

195
membentuk struktur dalam sistem dinamik harus memahami
bentuk hubungan (causal loop). Misalnya pada jumlah
penduduk akan bertambah apabila jumlah kelahiran bertambah
(meningkat). Jumlah penduduk merupakan “stock atau level”
yang dilambangkan dengan.
Dalam pembuatan struktur pada sistem dinamik dengan
menggunakan program Powersim, terdapat beberapa langkah
yang dilakukan, yaitu:
1. Klik rate atau flow sebagai interflow, maka akan muncul
pada lembar kerja Powersim akan muncul seperti
ditunjukkan pada Gambar 57.

Gambar 57. Rate atau flow sebagai interflow

2. Kemudian klik stok atau level untuk jumlah penduduk,


dan auxelery untuk kelahiran. Gambar 58 menunjukkan
hubungan antara level dan auxelery.
3. Tarik garis hubungan antara level dengan auxelery dengan

cara klik ikon

196
Garis ditarik dari level menuju auxelery, seperti
ditunjukkan pada Gambar 58.

Gambar 58. Hubungan level dan auxelery pada struktur


sistem dinamik

4. Klik 2 x pada stock atau level jumlah penduduk, maka


akan muncul “Define Variable” seperti yang disajikan pada
Gambar 59.

Gambar 59. Define variable

197
5. Stelah muncul kota dialog Define Variable, maka tentukan
Unit of Measure. Misalnya jumlah penduduk unitnya
adalah jiwa. Kemudian tentukan Definition dengan
memasukkan jumlah penduduk. Dan pada Documentation
isilah keterangan dari lavel (misalnya Penduduk Kota
Padang). Setelah semua terisikan maka klik Ok, dan
apabila data dimasukan benar maka pada Level akan
terjadi perubahan seperti yang tampak pada Gambar 60.

?
Berubah
Menjadi
Jumlah_Penduduk Jumlah_Penduduk

Gambar 60. Perubahan pada kota level sebagai indikator


data benar

6. Untuk membuat contanta klik , maka letakan pada


worksheet dan beri nama “angka kelahiran”.

Gambar 61. Pembuatan constanta

198
7. Setelah constanta terbentuk, maka klik 2 x pada constanta.
Pada lembar worksheet muncul “Define Variable”, setelah
muncul kota dialog maka isilah Unit of Measure (misalnya
persen).
8. Selanjutnya, masukan nilai constanta pada Definition
(misalnya 0.025). Setelah itu, isikan Documentation
dengan contoh angka pertumbuhan penduduk Kota
Padang (Gambar 62). Klik Ok bila data sudah dimasukan
secara benar.

Gambar 62. Difine variable constanta

9. Untuk menentukan nilai auxelery, maka klik 2 kali pada


auxelery dan akan muncul kotak “Define Variable”. Setelah
muncul difine variable maka klik pada level jumlah
penduduk dan constanta angka pertumbuhan penduduk.
Kalau sudah, klik Ok.

7.12. Simulasi Model


Simulasi model merupakan tahapan pada sistem dinamik
yang berfungsi untuk melihat dan menguji model. Suatu model

199
dapat dikatakan benar bila model yang dihasilkan dapat
menggambarkan model yang sesuai dengan bentuk sebenarnya.
Jika suatu model yang dihasilkan tidak sesuai dengan kondisi
sebenarnya, maka ada kesalahan dalam pembuatan model.
Dalam sistem dinamik model yang dihasilkan dapat dalam
bentuk grafik dan dalam bentuk tabel. Untuk menyimulasikan
model pertumbuhan penduduk dapat dilakukan dalam beberapa
tahap, antara lain:
1. Klik ikon graf pada tool bar, dan arahkan ke worksheet.
Untuk memunculkan indikator jumlah penduduk pada
grafik, maka klik pada level sampai warna hitam dan tarik
ke grafik. Gambar 63 disajikan pembuatan grafik untuk
simulasi jumlah penduduk.

Gambar 63. Pembuatan grafik simulasi

2. Setelah grafik terbentuk seperti Gambar 63. Langkah


selanjutnya edit terhadap tahun awal dan tahun akhir
yang akan disimulasikan. Klik “simulate” dan pilih
simulation setup dan akan muncul kotak dialog seperti

200
pada Gambar 64. Pada simulation setup lakukan
pengaturan pada start time untuk waktu awal simulasi
dan stop time untuk akhir waktu simulasi. Bila semua
sudah terisi maka klik OK.
3. Untuk menyimulasikan dapat diklik pada simulate pilih
run, maka akan muncul grafik pada pertumbuhan
penduduk.

Gambar 64. Setup simulasi

Gambar 65. Grafik simulasi

201
4. Simulasi tidak hanya dapat disajikan dalam bentuk grafik
saja, namun dapat juga disajikan dalam bentuk tabel.
Untuk menyimulasikan dalam bentuk tabel maka pilih
tabel pada tool bar, dan letakan tabel pada worksheet.
5. Untuk memunculkan jumlah penduduk dan kelahiran,
maka dapat diklaim jumlah penduduk dan tarik kedalam
tabel. Gambar 66 disajikan tabel simulasi jumlah
penduduk.

Gambar 66. Simulasi grafik dan tabel

7.13. Fungsi-Fungsi dalam Simulasi


7.13.1. Fungsi Graph
Fungsi graph digunakan pada data-data yang tidak linear,
misalnya angka kelahiran. Angka kelahiran penduduk pada
suatu wilayah tidak selalu sama setiap tahunnya, bias
meningkat atau sebaliknya akan mengalami penurunan. Untuk
menggunakan fungsi graph dapat dilakukan beberapa tahapan,
yaitu:

202
1. Klik constansta angka kelahiran, dan akan muncul kota
define variable. Setelah muncul pilih Graph sampai muncul
kota dialog Edit Graph/Vector (Gambar 67).

Gambar 67. Fungsi graph

2. Misalnya kita asumsikan pada tahun 2020-2024 terjadi


perubahan angka kelahiran penduduk yang tidak linear.
Kemudian pasca 2024 angka pertumbuhan kelahiran
kembali seperti sebelum tahun 2020.

Gambar 68. Edit graph/vector

203
3. Pada edit graph/vector atur waktu mulai X-Axis Min
menjadi 2020 dan Step 1. Pada Y atur menjadi nilai
sebelum tahun 2020. Artinya setelah tahun 2024 angka
kelahiran normal seperti tahun 2020. Gambar 69 dapat
disajikan persentase angka kelahiran penduduk.

Gambar 69. Angka kelahiran pada simulasi fungsi graph

4. Berdasarkan fungsi graph yang telah diinputkan, maka


pada grafik jumlah penduduk dapat dilihat perubahan
yang terjadi antara tahun 2020-2024. Gambar 70
disajikan simulasi perubahan grafik jumlah penduduk
akibat fungsi graph.

Gambar 70. Jumlah penduduk akibat fungsi graph

204
7.13.2. Fungsi If
Fungsi If dapat digunakan untuk menggambarkan suatu
kondisi untuk kepentingan atau intervensi kebijakan. Misal
pemerintah melakukan intervensi kebijakan KB pada tahun
tertentu. Untuk fungsi if dapat dilakukan dalam beberapa
langkah, antara lain:
1. Klik auxelery kelahiran maka akan muncul define variable.
Setelah muncul kotak dialog, maka pilih indikator
functions, kemudian cari IF dan klik.
2. Pada indikator definition akan muncul kata:
IF(«Condition», «Value1», «Value2»)
3. Contoh, pada tahun 2017-2020 angka pertumbuhan
penduduk sebesar 7 persen. Setelah tahun 2020 ada
kebijakan pemerintah untuk menekan menjadi 4 persen.
Maka dapat dimasukan pada definition sebagai berikut:
IF(Time<= 2020, Angka_kelihiran*Jumlah_Penduduk,
0.04* Jumlah_ Penduduk)

Gambar 71. Fungsi if pada pertumbuhan penduduk

205
4. Berdasarkan input fungsi if dengan data yang telah ada
maka dapat disajikan simulasi jumlah penduduk jika pada
tahun 2025 -2030 terjadi penurunan angka kelahiran
sebesar 4 persen (Gambar 63).

Gambar 72. Simulasi jumlah penduduk dengan fungsi if

5. Selain itu, pada kelahiran simulasi fungsi if dapat


disajikan pada Gambar 72. Pada grafik kelahiran tampak
sekali perbedaan antara jumlah kelahiran sebelum adanya
intervensi dengan setelah adanya intervensi kebijakan
pemerintah.

Gambar 73. Simulasi fungsi if pada kelahiran

206
6. Untuk membandingkan antara kondisi realitas dan kondisi
intervensi kebijakan pemerintah dapat disajikan
perbandingan keduanya pada Gambar 74.

Gambar 74. Grafik perbandingan antara tanpa adanya


intervensi (a) dengan adanya intervensi pemerintah (b) dalam
penurunan angka kelahiran

7.13.3. Fungsi Step


Fungsi step digunakan untuk menggambarkan perubahan
pada konstanta pada suatu waktu. Misalnya pada suatu wilayah
atau desa banyak terjadi kawin atau angka perkawinan
meningkat, artinya pada satu satuan berikutnya akan terjadi
peningkatan angka kelahiran. Untuk menggambarkan keadaan
tersebut dapat digunakan fungsi step. Langka-langkah yang
digunakan dalam aplikasi fungsi step adalah:
1. Klik pada auxelery sampai muncul define variable. Pada
define variable klik fungsi step pada functions. Pada
definition akan muncul fungsi step.

207
Gambar 75. Fungsi Step

2. Masukan logika fungsi step di mana pada tahun 2024 akan


terjadi peningkatan kelahiran sebesar 15 persen.
“Angka_Kelahiran*Jumlah_Penduduk+STEP(0.15*Jumlah_
Penduduk, 2024)”

Gambar 76. Input fungsi Step

208
3. Bila input benar, maka klik ok dan akan terjadi perubahan
pada auxelery seperti disajikan pada Gambar 77.

Gambar 77. Perubahan pada auxelery bila fungsi Step


diinputkan dengan benar

4. Hasil simulasi dapat disajikan pada Gambar 69. Hal ini


dapat ditunjukkan bahwa pada awal tahun pertumbuhan
penduduk sebesar 7 persen, namun pada tahun 2024
terjadi lonjakan menjadi 15 persen. Sehingga terjadi
kenaikan grafik.

Gambar 78. Simulasi fungsi step pada jumlah penduduk dan


kelahiran

209
BAB VIII
PENATAAN PEMANFAATAN LAHAN
BERKELANJUTAN

Pertumbuhan penduduk yang pesat akan mendorong


perubahan penggunaan lahan antara lain untuk tempat tinggal
dan fasilitas pembangunan. Luas daratan permukaan bumi
relatif tetap sedangkan kebutuhan manusia akan ruang tempat
tinggal terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk. Jumlah penduduk dunia saat ini sekitar 7,045 miliar
dan sekitar 6 % di antaranya merupakan penduduk Indonesia.
Angka pertumbuhan penduduk Indonesia periode 1950-2010
yakni sekitar 1,4–2,6 % per tahun. Peningkatan pertumbuhan
penduduk dari waktu ke waktu berdampak terhadap
peningkatan pembangunan. Pembangunan yang pesat telah
menyebabkan perubahan pola penggunaan lahan. Fenomena
tersebut umumnya terjadi pada wilayah perkotaan, di mana
perubahan penggunaan lahan berlangsung dengan sangat
dinamis. Perubahan penggunaan lahan akibat pengembangan
permukiman yang tidak terkendali berdampak terhadap
menurunnya kualitas lingkungan.
Dinamika perubahan penggunaan lahan untuk
permukiman dipengaruhi oleh pergerakan manusia dalam
membangun permukiman serta pindahnya fungsi-fungsi
wilayah, seperti pendidikan, industri, perdagangan, dan lain
sebagainya. Selanjutnya, pesatnya pembangunan akan
menyebabkan perubahan pola penggunaan lahan, di mana
ruang terbangun semakin mendominasi dan mendesak ruang-
ruang alami untuk berubah fungsi. Selain itu, perubahan pola

210
penggunaan lahan mengakibatkan terjadinya fluktuasi daya
dukung sumber daya lahan, sehingga menimbulkan terjadinya
bencana tanah longsor (landslide). Tanah longsor pada
hakikatnya disebabkan oleh ketidakmampuan tanah menahan
beban di atasnya karena tanah sudah mengalami degradasi
sifat-sifat tanah.
Faktor penyebab terjadinya bencana longsor secara umum
dapat dibedakan atas 3, yakni: (1) kondisi alam yang bersifat
statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan karakteristik
sungai, (2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti
perubahan iklim global, pasang-surut, land subsidence,
sedimentasi, dan sebagainya, serta (3) aktivitas sosial-ekonomi
manusia yang sangat dinamis, seperti deforestasi
(penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung,
pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk perumahan,
pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat,
keterbatasan prasarana dan sarana pengendali banjir dan
sebagainya. Bencana longsor dan banjir yang terjadi
belakangan ini banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian
harta benda yang besar. Selain itu, menyisakan pula berbagai
permasalahan, seperti: (1) menurunnya tingkat kesehatan
masyarakat akibat penyebaran wabah penyakit menular
(waterborne diseases), (2) munculnya berbagai kerawanan
sosial, dan (3) menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Longsor merupakan suatu fenomena alam yang selalu
berhubungan dengan datangnya musim hujan, terjadi secara
tiba-tiba dalam waktu yang relatif singkat pada suatu tempat
tertentu dengan tingkat kerusakan yang sangat berat, bahkan
kehilangan nyawa penduduk yang bermukim di sekitarnya.
Bencana longsor selain diakibatkan oleh karakteristik wilayah,
juga disebabkan oleh aktivitas manusia dalam hal pemenuhan
kebutuhannya tanpa memperhatikan keberlanjutan dari sumber

211
daya alam. Dewasa ini, bencana tanah longsor sering terjadi
dan menghancurkan permukiman serta sarana dan prasarana
lainnya. Hal ini menimbulkan kerugian harta dan jiwa
penduduk yang bermukim pada daerah tersebut, sehingga perlu
penataan kembali permukiman penduduk ke kawasan yang
bebas longsor.
Pertumbuhan penduduk dunia saat ini mengalami
peningkatan setiap tahunnya dan membutuhkan periode waktu
yang semakin pendek. Semakin cepatnya pertumbuhan
penduduk dunia berdampak terhadap peningkatan kebutuhan
lahan, khususnya untuk pengembangan kawasan permukiman
dan kawasan pertanian. Keterbatasan ruang permukaan bumi
untuk mendukung kebutuhan lahan untuk permukiman
berdampak terhadap pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan peruntukkannya. Kabupaten sekitar Gunung Sinabung
memiliki angka pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,3
persen per tahun. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
meningkatkan kebutuhan lahan untuk kawasan permukiman
dan pertanian. Sedangkan karakteristik fisik wilayah kawasan
sekitar Gunung Sinabung memiliki banyak faktor pembatas
(limiting factor) untuk dapat dimanfaatkan untuk kawasan
permukiman dan pertanian, yaitu: a) morfologi yang relatif
curam, b) sekitar 70 persen merupakan kawasan hutan primer,
dan c) rawan bencana longsor dan letusan gunung.
Gunung Sinabung terdapat pada Kabupaten Karo Provinsi
Sumatera Utara. Secara administrasi terdapat sebelas
kecamatan yang mengelilingi dan sebagai wilayah terdampak
letusan Gunung Sinabung. Tiga wilayah yang terdampak
terparah yakni Namanteran, Tiganderket, dan Payung. Lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 79.

212
Gambar 79. Administrasi Gunung Sinabung

Wilayah studi memiliki topografi relatif kasar dengan


titik elevasi tertinggi yakni Gunung Sinabung. Sebagian besar
wilayah berdasarkan kemiringan lereng dapat dikategorikan
pada agak curam sampai curam. Berdasarkan jenis tanah
terdapat empat tipe tanah menurut USDA (1971) yakni entisol,
inceptisol, oxisol, dan ultisol. Sebagian besar jenis tanah
merupakan jenis tanah Ultisol. Jenis tanah Ultisol ini memiliki
lapisan solum tanah yang agak tebal, yaitu 90-180 cm dengan
batas-batas antara horizon yang nyata. Warna tanah ini
kemerah-merahan hingga kuning atau kekuning-kuningan.
Struktur B horizonnya adalah gumpak, sedangkan teksturnya
dari lempung berpasir hingga liat sedangkan kebanyakannya
adalah lempung berliat. Konsistensinya adalah gembur di
bagian atas (top soil) dan teguh di bagian lapisan bawah tanah
(sub soil).

213
Gambar 80. Peta kontur wilayah penelitian

Selain tanah ultisol, pada lereng Gunung Sinabung


terdapat juga tipe tanah inceptisol. Tanah yang termasuk ordo
inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang
daripada entisol. Kata inceptisol berasal dari kata inceptum
yang berarti permulaan. Umumnya mempunyai horizon
kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut, sehingga
kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Padanan dengan sistem
klasifikasi lama adalah termasuk tanah aluvial, andosol,
regosol, gleihumus. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pembentukan inceptisol, yaitu: 1) bahan induk yang sangat
resistan; 2) posisi dalam landscape yang ekstrem yaitu daerah
curam atau lembah; dan 3) permukaan geomorfologi yang
muda, sehingga pembentukan tanah belum lanjut.
Aktivitas vulkanik Gunung Sinabung berdampak positif
terhadap pertanian masyarakat. Abu vulkanik pasca letusan

214
gunung api menyebabkan tanah menjadi semakin subur.
Pemanfaatan lahan oleh masyarkat sekitar gunung api
digunakan untuk kawasan perkebunan dan kebun campuran.
Masyarakat memanfaatkan lahan pertanian untuk tanaman
jagung, karet, kopi dan tanaman palawija lainnya.

Gambar 81. Aktivitas pertanian pascaletusan Gunung Sinabung

Gambar 82. disajikan zona bahaya letusan Gunung


Sinabung. Berdasarkan hasil analisis terdapat tiga desa yang
memiliki tingkat bahaya tinggi, yakni: Namanteran,
Tiganderket, dan Payung. Selanjutnya bahwa dampak letusan
gunung Sinabung sebagian besar pada areal perkebunan dan
kebun campuran. Endapan sedimentasi dari abu vulkanik
terbawa oleh aliran sungai, dan endapan ini berdampak
terhadap pertanian sawah dan perikanan masyarakat.

215
Gambar 82. Zonasi bahaya Gunung Sinabung

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang


memiliki banyak fungsi penting dalam ekosistem, yakni: media
pertumbuhan tanaman, habitat organisme tanah, dan filterisasi
air tanah. Karena tanah merupakan sumber daya alam yang
sangat berperang penting dalam keberlanjutan kehidupan
ekosistem, maka dituntut kehati-hatian dalam pengelolaannya.
Pentingnya pengelolaan tanah sebagai sumber daya, karena
tanah atau lahan termasuk sumber daya alam yang tak dapat
diperbaharui (non renewable), jadi kalau tanah mengalami
degradasi makan akan sulit untuk dipulihkan.
Proses pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor
internal yang mendorong pertumbuhan wilayah adalah
pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan perdagangan.
Selanjutnya bahwa pertumbuhan wilayah yang pesat

216
menyebabkan perubahan pola penggunaan lahan, di mana
ruang terbangun semakin mendominasi dan mendesak ruang-
ruang alami untuk berubah fungsi. Perubahan pola penggunaan
lahan mengakibatkan terjadinya fluktuasi daya dukung sumber
daya lahan, sehingga menimbulkan terjadinya bencana alam.
Penelitian Umar, et al. (2017) di Kabupaten Tanah Datar
terdapat sebesar 28,2 persen merupakan kawasan sangat
rawan bencana longsor.
Klasifikasi kemampuan lahan adalah klasifikasi lahan
yang dilakukan dengan metode faktor penghambat. Dengan
metode ini setiap kualitas lahan atau sifat-sifat lahan diurutkan
dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling
kecil hambatan atau ancamannya sampai yang terbesar.
Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas;
penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik dan
berurutan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya.
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak dipakai
di Indonesia dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943).
Menurut sistem ini lahan dikelompokkan dalam tiga kategori
umum yaitu Kelas, Subkelas dan Satuan Kemampuan (capability
units) atau Satuan pengelompokan (management unit).
Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas
faktor penghambat. Jadi kelas kemampuan adalah kelompok
unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat
(degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk
pertanian yang umum (Sys, et al., 1991). Tanah dikelompokkan
dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I
sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat
berturut-turut dari Kelas I sampai kelas VIII.
Tanah pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang
baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai
penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian

217
umumnya (tanaman semusim dan setahun), rumput untuk
pakan ternak, padang rumput atau hutan. Tanah pada Kelas V,
VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-
pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah Kelas V
dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk
beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman
hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai
tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan
air yang baik. Tanah dalam lahan Kelas VIII sebaiknya
dibiarkan dalam keadaan alami.

Gambar 83. Peta kemampuan lahan pada lereng Gunung Marapi

Hasil pemetaan kelas kemampuan lahan dilereng Gunung


Marapi menunjukkan bahwa sekitar 45 persen kawasan

218
tersebut masuk dalam kelas V-VIII, sedangkan sisanya sebesar
55 persen masuk dalam kelas I-IV (Gambar 83). Analisis
kemampuan lahan merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengetahui potensi suatu lahan. Dari analisis ini akan
didapatkan penilaian terhadap potensi lahan yang nantinya
akan menjadi acuan untuk menentukan pengelolaan dan
pemanfaatan lahan yang benar. Selain itu, analisis kemampuan
lahan juga dapat digunakan untuk mendukung proses dalam
penyusunan rencana penggunaan lahan di suatu wilayah.
Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/
11/1980 dan No. 683/Kpts/Um/8/1981 tentang kriteria dan tata
cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi, terdapat tiga
faktor yang mempengaruhi kriteria penetapan fungsi lahan
yang dinilai sebagai penentu kemampuan lahan, yaitu: lereng,
curah hujan, jenis tanah, geologi, dan penggunaan lahan.
Kemampuan lahan di-overlay-kan dengan indeks bahaya
letusan gunung Marapi, maka dapat disimpulkan bahwa
kawasan yang kemampuan lahan kelas V sampai kelas VIII
memiliki tingkat bahaya yang tinggi dan tidak diperuntukkan
untuk kegiatan budidaya dan kawasan permukiman. Pada zona
yang relatif bahaya tinggi diperuntukkan untuk kawasan hutan
lindung dan tanaman hortikultura. Artinya wilayah pada lereng
Gunung Marapi jika terjadi bencana alam tidak akan
menimbulkan risiko korban jiwa dan kerugian arta benda yang
berarti bagi kehidupan masyarakat. Selanjutnya, wilayah yang
memiliki tingkat bahaya rendah berada pada kemampuan lahan
kelas I sampai kelas IV. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 84.

219
Gambar 84. Peta kemampuan lahan dan bahaya bencana pada
lereng Gunung Marapi

Pemanfaatan lahan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan


manusia, karena lahan yang tersedia untuk dapat menampung
kebutuhan manusia bersifat terbatas. Keterbatasan lahan yang
dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia menyebabkan
terjadinya konflik antar pengguna lahan. Selain itu,
pertambahan jumlah penduduk menyebabkan manusia
memanfaatkan sumber daya alam tanpa memperhatikan
kemampuan dan daya dukung lingkungan. Sebagai akibatnya
terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan bencana alam.
Kemampuan lahan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain; bentuk lahan, hidrologi, iklim dan penggunaan
lahan. Kelas kemampuan lahan didasarkan pada intensitas
faktor pembatas (limiting factor). Hal ini dapat diartikan
semakin banyak faktor pembatas maka semakin rendah kelas

220
kemampuan lahan. Karakteristik Lereng Gunung Marapi
memiliki beberapa karakteristik sebagai faktor pembatas,
yaitu: a) sekitar 70 persen merupakan wilayah dengan
kelerengan curam sampai dengan terjal; b) intensitas curah
hujan relatif tinggi yakni rata-rata 3000 mm/tahun; c) jenis
tanah yang peka terhadap erosi; dan d) perilaku masyarakat
dalam pemanfaatan lahan.
Prioritas pengembangan kawasan pada lereng gunung
Marapi pada dasarnya sudah sesuai dengan kemampuan dan
daya dukung lahan. Pada saat ini, pengebangan pemanfaatan
lahan masih berada pada kelas I sampai kelas IV dan berada
pada zona bahaya sedang sampai bahaya rendah. Namun
dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 1,6 persen per
tahun pada wilayah penelitian ke depan akan menuntut untuk
perluasan kebutuhan lahan baik untuk aktivitas pertanian
maupun untuk kawasan permukiman. Hal ini dirorong karena
terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan di wilayah
penelitian, baik disebabkan faktor lereng maupun faktor risiko
bencana letusan Gunung Marapi.
Selanjutnya, bencana banjir merupakan bencana yang
paling sering terjadi dibanyak wilayah di Indonesia. Sekitar 30
persen kejadi bencana alam yang terjadi merupakan bencana
yang disebabkan oleh bencana banjir. Selain itu, diperkirakan
pada tahun 2030 sekitar setengah dari kehidupan planet buni
akan merasakan dampak dari bencana banjir, sehingga
dibutuhkan solusi untuk mitigasi masa depan. Peningkatan
kejadian bencana banjir sangat terkait dengan fenomena
perubahan iklim. Peningkatan suhu permukaan bumi
mendorong percepatan siklus hidrologi, sehingga curah hujan
berlansung lebih lama dan terdistribusi secara merata.
Sehingga menuntuk upaya mitigasi dalam penataan wilayah
rawan banjir.

221
Pembauatan peta zona rawan bencana merupakan salahan
satu bentuk mitigasi yang dilakukan secara non struktural.
Gambar 85 merupakan zonasi rawan banjir DAS Pasaman, hasil
analisis menunjukkan bahwa sekitar 25 persen merupakan zona
bahaya tinggi, 30 persen merupakan bahaya sedang, dan
sisanya sebesar 40 persen merupakan bahaya rendah. Kawasan
yang memiliki kerawan tinggi dimanfaatakan untuk
permukiman, perkebunan, sawah, dan kebun campuran.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi mendorong pergerakan
manusia untuk berpindah dan menempati kawasan berisiko
terhadap bencana. Hal ini disebabkan keterbatasan lahan yang
dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Selain itu, faktor nilai ekonomi lahan yang lebih
rendah menyebabkan mamaksa banyak orang untuk tinggal
pada kawasan rawan bencana.

Gambar 85. Zona rawan banjir daerah aliran sungai Pasaman

222
Penataan DAS Pasaman memiliki permasalahan yang
kompleksitas dan melibatkan banyak stakeholder yang terkait.
Upaya yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah yang
komplek dapat dianalisis dengan pendekatan ISM (Eriyatno dan
Larasati 2013, Umar 2018). Hasil analisis arahan kebijakan
penataan DAS Pasaman terdapat satu elemen yakni elemen E8
(pengerukan sedimen sungai) yang masuk pada kuadran
independen. Elemen independen merupakan elemen yang
memiliki driver power /pendorong yang besar dan dependence
(ketergantungan) yang kecil terhadap elemen lain. Elemen yang
masuk pada kuadran independen merupakan elemen kunci dan
memiliki pengaruh yang besar terhadap elemen lainnya. Hasil
identifikasi masalah penataan ruang yang akan dijadikan
sebagai arahan kebijakan penataan DAS Pasaman terdapat
delapan elemen, yaitu:
E1. Konservasi dan reboisasi bagian upper DAS
E2. Pembuatan bendungan dan situ (penampungan air
sementara)
E3. Perluasan dan perbaikan sistem drainase
E4. Pembuatan bio pori dan sumur resapan
E5. Regulasi pemanfaatan ruang (30%)
E6. Peningkatan sosialisasi kebencanaan
E7. Normalisasi aliran sungai
E8. Pengerukan sedimen sungai
Selanjutnya, hasil penelitian arahan kebijakan penataan
DAS Pasaman terdapat enam elemen yang masuk pada kuadran
lingkage. Elemen yang masuk pada kuadran tersebut memiliki
faktor pendorong yang besar dan kergantungan yang besar.
Selain itu terdapat satu elemen pada kuadran dependen, yakni
elemen E2 (pembuatan bendungandan situ/embung). Elemen
kuadran dependen merupakan elemen yang memiliki faktor
pendorong yang rendah dan ketergantungan yang tinggi

223
terhadap elemen lain. Gambar 86 disajikan grafik hubungan
driver power dengan dependence pada arahan kebijakan
penataan DAS Pasaman.

Gambar 86. Grafik hubungan driver power dengan dependence

Gambar 87. Struktur arahan kebijakan penataan DAS Pasaman

Gambar 87 merupakan struktur arahan kebijakan


penataan DAS Pasaman. Dengan menggunakan pendekatan ISM
terdapat lima prioritas kebijakan. Sebagai arahan kebijakan
utama untuk penataan DAS Pasaman adalah pengerukan
sedimen sungai (E5). Selain itu, tahapan yang kedua sebagai
upaya mengurangi risiko bencana yakni usaha konservasi dan
reboisasi pada hulu sungai serta melakukan sosialisasi untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi
bencana.

224
DAFTAR PUSTAKA

(USDA) United States Departement of Agriculture, 2012. Na-


tional Best Management Practices for Water Quality
Manage-ment on National Forest System Lands. Volume
1: National Core Technical Guide. Forest Services United
States Departe-mentof Agriculture, Washington DC.
A. Manzella, Geothermal energy, Institute of Geosciences and
Earth Resources-Pisa, Italy, EPJ Web of Conferences 148,
2017.
Adrian Rizki Sinuhaji, Yudha Herlambang. Characterizing
Unggaran Geothermal Resource Potential in Central Java:
Application of Gedongsongo Manifestations Evaluation.
KnE Energy, Volume 2 (2015) 1-7.
Agie S. Gizawi, Su Ritohardoyo, Eko Haryono. Kajian Ekologi
Bentanglahan dan Persepsi Masyarakat terhadap
Rencana Eksplorasi Panas Bumi, Fakultas Geografi UGM.
Majalah Geografi Indonesia Vol. 31, No.1, Maret 2017 (1-
11).
Agus Sugiyono. 1998. Kendali Sistem Energi Untuk Pertanian
Rumah Kaca.
Ahmadi, M. A., & Chen, Z. 2019. Comparison of machine
learning methods for estimating permeability and
porosity of oil reservoirs via petro-physical logs.
Petroleum, 5(3), 271-284.
Alahmer, A., Wang, X., & Alam, K. C. A. 2020. Dynamic and
Economic Investigation of a Solar Thermal-Driven Two-
Bed Adsorption Chiller under Perth Climatic Conditions.
Energies (19961073), 13(4), 1005.

225
Alanda Idral, Dedi Kusnadi, Ario Mustang, Adang Muchlis,
Penyelidikan Terpadu Geologi, Geokimia dan Geofisika di
Daerah Panas Bumi Bukit Kili Solok, Sumatera Barat:
Potensi Pemanfaatan dan Kendalanya. Kolokium Hasil
Lapangan–DIM, 2005.
Albarbar, A., & Arar, A. 2019. Performance Assessment and
Improvement of Central Receivers Used for Solar
Thermal Plants. Energies (19961073), 12(16), 3079.
Alfa Firdaus, Ambiya Pietoyo, Teknik Industri Universitas
Mercu Buana Jakarta. Analisis Kelayakan Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Studi Kasus:
Kamojang Jawa Barat, Jurnal Ilmiah PASTI Volume VI
Edisi 1–ISSN 2085‐5869.
Amiri, B. J., Nakane K. 2009. Modeling the linkage between
river water quality and landscape metrics in the chugoku
district of Japan. Springer, Water Resour. Manage. 23,
pp. 931–956.
Andiesta El Fandari, Arif Daryanto, Gendut Suprayitno.
Pengembangan Energi Panas Bumi yang Berkelanjutan.
Jurnal Ilmiah Semesta Teknika Vol. 17, No.1, 68-82, Mei
2014.
Anggi Erliza, dkk. 2019. Identifikasi Pencemaran Air di
Sepanjang Aliran Sungai Utama DAS Batang Arau Kota
Padang. Jurnal Kapita Selekta Geografi Vol 2 No. 5.
Anhwange, B. A., Agbaji E. B., Gimba E. C. 2012. Impact
assessment of human activities and seasonal variation
on River Benue, within Makurdi Metropolis.
International Journal of Science and Technology 2(5), pp.
248-254.
Anshar, A. 2017. Penguasaan Negara Atas Migas Sebagai Wujud
Kedaulatan Atas Sumber daya Alam Dalam Perspektif

226
Hukum Internasional Kontemporer. Jurnal IUS Kajian
Hukum dan Keadilan, 5(2), 163-176.
Anwar, A dan E. Rustiadi, 2000, Masalah Pengelolaan Sumber
daya Alam dan Kebijaksanaan Ekonomi bagi Pengendalian
Terhadap Kerusakannya. Lokakarya Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengelolaan Sumber
daya Alam. PEMD-Bappenas Jakarta, 17 Oktober 2000.
Arif Safitra, Ardian Putra. Karakterisasi Fluida Panas Bumi di
Mata Air Panas Panti, Kabupaten Pasaman. Jurnal Fisika
Unand Vol. 7, No. 2, April 2018.
Armin Ramezani. Generating Electricity Using Geothermal
Energy in Iran. Journal of Renewable Energy and
Sustainable Development (RESD) Volume 4, Issue 1, June
2018.
Asep Sugara. 2017. Implementasi Kebijakan Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kali Sabi
di Kota Tanggerang, Jurnal Mozaik Volume IX Edisi 1,
2017 e-ISSN; 2614-8390, p-ISSN; 1858-1269.
Asgari, M., Mokhtarani, B., Ataei, A., & Tabar Heidar, K. 2014.
Effect of electrokinetic on bioremediation of disulfide oil
contaminated soil. Journal of Oil, Gas and Petrochemical
Technology, 1(1), 45-56.
Asnelly, R. (2016). Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Sawah Melalui Kebijakan Insentif Untuk Mewujudkan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur (disertasi). Bogor: Sekolah
Pascarsarjana IPB.
Atzeni, C., Canuti, Nasagli, D., Leva, G., Lusi, S., Maretti, M.
(2003). A Portable Device for Landslide Monitoring
Using Radar Interferometry. Landslide News , 14/15 : 13-
15.

227
Aulia, dkk. 2010. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber
daya Air Di Kampung Kuta. Sodality: Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 4, No.3.
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat.
2004. West Java Annual State of The Environment Report.
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung.
2001. Laporan Status Lingkungan Hidup Kabupaten
Bandung.
Barbara S Zaunbrecher, Johanna Kluge, Martina Ziefle.
Exploring Mental Models of Geothermal Energy among
Laypeople in Germany as Hidden Drivers for Acceptance.
Journal of Sustainable Development of Energy, Water and
Environment Systems, Year 2018, Volume 6, Issue 3, pp
446-463.
Bayoumi, M., & Bianco, V. 2020. Potential of integrating power
generation with solar thermal cooling to improve the
energy efficiency in a university campus in Saudi Arabia.
Energy & Environment, 31(1), 130–154.
Bechtol, V., dan Laurian, L. (2005). Restoring Straightened
Rivers for Sustainable Flood Mitigation. Disaster
Prevention and Management Journal, 6-19.
Berthouex, P. M., Brown L. C. 2002. Statistics for Environ-
mental Engineers. 2nd Ed. Lewis Publishers, Boca Raton.
Bhongade, S., & Parmar, V. P. 2020. Jaya Algorithm-Based
Optimized Automatic Generation Control Scheme for
Interconnected Solar-Thermal Power System. IUP
Journal of Electrical & Electronics Engineering, 13(1), 29–
41.
Biro Riset LM FEUI. Analisis Industri Minyak dan Gas di
Indonesia: Masukan bagi Pengelola BUMN.
Blommestein, Van W.J. 1949. Een Federaal Welvaarts Plan Voor
het Westelijk Gedeelte van Java, dalam De Ingenieur in
Indonesia.

228
Bolliger, J., Battig M., Gallati J., Klay A., Stauffacher M., Kienast
F. 2011. Landscape multifunctionality: a powerful
concept to identify effects of environmental change. Reg.
Envi-ron. Change 11, pp. 203–206. Springer.
Booth, A. 1977. Irrigation in Indonesia, Part II. Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 13 July 1977, hal. 45-77.
Bram Ferdinand Saragih. Program Studi Teknik Geodesi
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Identifikasi
Manifestasi Panas Bumi Dengan Memanfaatkan Kanal
Thermal Pada Cita Landsat Studi Kasus: Kawasan Dieng
Jawa Tengah. Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015.
Burger, D.H. 1975. Sosiologisch-Economische Geschiedenis van
Indonesia, deel ii, dalam Indonesia in de 20e eew, KIT:
Amsterdam.
Carrasco, C., & Rosner, R. 2017. The Chilean electricity sector
confronts climate change. Bulletin of the Atomic
Scientists, 73(6), 395.
Chapala Basin, Mexico. Doctoral Dissesrtation, Wageningen
University, 19 March.
Chima, C. M. 2007. Supply-chain management issues in the oil
and gas industry. Journal of Business & Economics
Research (JBER), 5(6.
Chrisna Adhi Suryono, dkk. 2016. Kajian Awal Kontaminasi
Pestisida Organoklorin dalam Air Laut di Wilayah
Peraiaran Paling Barat Semarang, Buletin Oscanografi
Marina Oktober 2016 Vol 5 No. 2: 101-106.
Dehaghani, A. H. S., & Rahimi, R. 2018. An experimental study
of diesel fuel cloud and pour point reduction using
different additives. Petroleum.
Devi Marisa D.P, Ardian Putra, Robi Irsamukhti, Rudy Martikno,
Jantiur Situmorang, Alfianto Perdana Putra, Muhammad
Tamrin Humaedi, Karakterisasi Feed Zone dan Potensi

229
Produksi Sumur Panas Bumi ML-XX Muara Laboh, Solok
Selatan. Jurnal Fisika Unand Vol. 5, No. 4, Oktober 2016.
Dewan Energi Nasional. 2014. Ketahanan Energi Nasional.
Republik Indonesia.
______. 2019. Indonesia Energy Outlook. Republik Indonesia.
Dewi Liesnoor Setyowati, dkk. 2017. Konservasi Mata Air
Senjoyo Melalui Peran Serta Masyarakat dalam
Melestarikan Nilai Kearifan Lokal. Indonesian Journal of
Conservation Volume 6 Nomor 1.
Dian Oktaviani., dkk. 2016, Penguatan Kearifan Lokal Sebagai
Landasan Pengelolaan Perikanan Perairan Umum
Daratan di Sumatera, Jurnal Kebijakan Perikanan
Indonesia Volume 8 Nomor 1.
Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Bappeda Propinsi Jawa
Barat. 2000. Identifikasi dan Pengendalian Pembangunan
di Daerah Resapan. Departemen Pertambangan dan
Energi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber daya
Mineral.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2018. Mewujudkan
Ketahanan Energi. Jurnal Migas, Issue 2 Juli-Desember
2018.
Djakapermana, R. (2010). Pengembangan Wilayah Melalui
Pendekatan Kesisteman . Bogor (ID): IPB Pr.
Dudley, N, 1992, World-hunger, land reform and organic
agriculture, In Dudley, N., J. Madeley and S. Stolton
(Eds). Land is Life, Landreform and sustainable
agriculture. SEF. pp. 1-42.
Dyah Agustiningsih, dkk. 2012, Analisis Kualitas Air dan
Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar
Kabupaten Kendal, Jurnal PRESIPITASI Vol/9 No. 2
Endar Budi Sasongko, dkk. 2014. Kajian Kualitas Air dan
Penggunaan Sumur Gali oleh Masyarakat di Sekitar

230
Sungai Kaliyasa Kabupaten Cilacap. Jurnal Ilmu
Lingkungan, Volume 12 Issue 2; 72-82.
Eriyatno, dan Larasati, L. (2013). Ilmu Sistem Meningkatkan
Integrasi dan Koordinasi Manajemen. Surabaya (ID):
Guna Widya Pr.
Eriyatno. (1981). Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan
Efektifitas Manajemen. Bogor (ID): IPB Pr.
Fadi Alnaimat, Yasir Rashid. 2019. Thermal Energy Storage in
Solar Power Plants: A Review of the Materials,
Associated Limitations, and Proposed Solutions. Energies
2019, 12, 4164, doi: 10.3390.
Fandhitya, SSA., Tri, MA. 2011. Kebijakan Sektor Hulu dan Hilir
Gas Bumi dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan dalam
Negeri. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol 2 (01).
Fara Diba Nasution, dkk. 2016. Profil Pencemaran Air Sungai di
Muara Batang Arau Kota Padang dari Tinjauan Fisik dan
Kimia, Jurnal Fisika Unand Vol 5 No.
Farida, dkk. 2018. Review; Produktivitas Air dalam Pengelolaan
Sumber daya Air Pertanian di Indonesia, Jurnal Spasial
Nomor 3 Volume 5, 2018; 65-72.
Firda fara karman, A. Ganesa Nawan Surya, dkk. 2015.
Penyimpanan Energy Panas Untuk Meningkatkan Kinerja
Pemanas Air Tenaga Surya Dengan Konsentrator Semi
Silindris. Semarang: Fakultas Teknik Universitas Wahid
Hasyim Semarang.
Food Agriculture Organization (FAO). 2000. The State of Food
and Agriculture: Lessons from the Past 50 years, FAO:
Rome.
Gandhi, P. 2014. Analisis Kualitatif Nilai Ekspor Migas
Indonesia dan Kepemilikkan Blok Migas oleh Perusahaan
Asing di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pertanian, Sumber
daya dan Lingkungan. Hal 87-101.

231
Gardner, D., Tuchman, E., Harkins, R. (2010). A Cross
Curricular, Problem Based Project to Promote
Understanding of Proverty in Urban Communities.
Journal of Social Work Education, 46 (1): , 147-158.
Gatot Soebiyakto. 2011. Optimasi Kerja Kolektor Tipe Seng
Gelombang Menggunakan Heat Storage Pada Alat
Pengering Energi Matahari. PROTON, Vol.3, No. 1/6-12.
______. 2011. Perbandingan Temperatur Panas Kolektor Tipe
Seng Gelombang Menggunakan Heat Storage dan Tanpa
Heat Storage Terhadap Alat Pengering Energi Surya.
Widya Teknika, Vol. 19, No 1, Maret 2011.
Geybi Giandwinuar, Kerjasama Indonesia dan Jerman Dalam
Pengembangan Energi Panas Bumi (Geothermal) Tahun
2010-2012 di Indonesia, Jurusan Ilmu Hubungan n
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau. Jom FISIP Vol 2 No. 1–Februari 2015.
Ghazvini, S., Omidkhah Nasrin, M., & Nikazar, M. 2014. An
Investigation on the Effects of Charged Polyacrylamide
Injection on Asphaltene Deposition in Porous Media.
Journal of Oil, Gas and Petrochemical Technology, 1(1),
57-72.
Giyasir, S. (2005). Gejala Urban Sprawl sebagai Pemicu Proses
Densifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban
Fringe Area). Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Gold, S. (1980). Recreation Planning and Design. New York: Mac
Graw Hill Book Company.
Goldstein B, G Hiriart, R Bertani, C Bromley, L Gutierrez-
Negrin, E Huenges, H Muraoka, A Ragnarsson, J Tester, V
Zui: Geothermal Energy, In IPCC Special Report on
Renewable Energy Sources and Climate Change
Mitigation, 2011.

232
Guido DwiAdmodjo, dkk. 2018. Analisis Kearifan Lokal
Masyarakat Dalam Rangka Menjaga Sumber Daya Air,
Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, Vol 6, No. 1.
Guo, B., & Liu, G. 2011. Applied drilling circulation systems:
hydraulics, calculations and models. Gulf Professional
Publishing.
Hailu, G., Hayes, P., & Masteller, M. 2017. Seasonal Solar
Thermal Energy Sand-Bed Storage in a Region with
Extended Freezing Periods: Part I Experimental
Investigation. Energies (19961073), 10(11), 1873.
______. 2019. Long-Term Monitoring of Sensible Thermal
Storage in an Extremely Cold Region. Energies
(19961073), 12(9), 1821.
Hanifah Dewi Suryandari, Mishbahatul Ishlah, dkk. Perbedaan
Kemampuan Laju Fotosintesis Pada Tumbuhan dalam
Berbagai Kondisi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Hargrave, T. 2000. An upstream/downstream hybrid approach
to greenhouse gas emissions trading. Published for the
Center for Clean Air Policy.
Hartono DM. 2009. Penentuan Indikator Pencemaran Air
Dengan Pendekatan Indek Kualitas Air Pada Air Baku Air
Minum Dari Saluran Tarum Barat. Lingkungan Tropis. 3
(1): 11-22
Helsel, D. R., Hirsch R. M. 2002. Statistical Methods in Water
Resources. US Geological Survey, USA.
Hemant M Dighade, Anand B Prasad, Geothermal Energy–An
Emerging Field for Electrical Power Generation in India.
International Journal of Application or Innovation in
Engineering & Management (IJAIEM), 2013.
Heri, Junial. Pengujian Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Solar Cell Kapasitas 50WP.

233
Herlambang, Arie. 2006. Pencemaran dan Strategi
Penanggulangannya. JAI Vol 2, Nomor 1, 2006.
Hidajat, T. (2012). Model Pengelolaan Kawasan Permukiman
Berkelanjutan Di Pinggiran Kota Metropolitan
Jabodetabek (disertasi). Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana
IPB.
Hilma Meilani, Dewi Wuryandani, Potensi Panas Bumi Sebagai
Energi Alternatif Pengganti Bahan Bakar Fosil Untuk
Pembangkit Tenaga Listrik Di Indonesia. Jurnal Ekonomi
& Kebijakan Publik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010 47–74.
Husna CA. 2018. Strategi Penguatan Pengelolaan bersama
Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Laut. Jurnal Konstitusi,
Volume 15 (01. Hendrik Pristianto, 2010, Pengelolaan
Sumber daya Air yang Berkelanjutan di Kota Sorong,
Jurnal Median Volume 2 Nomor 1.
I., Wayan Agus Gunawan. 2019. Pengaruh Iklim, Sinar Matahari,
Hujan dan Kelembapan Pada Bangunan. Prosiding
Seminar Nasional Arsitektur, Budaya dan Lingkungan
Binaan.
Ika, M. S. 2019. Kontribusi Sumber Daya Alam Dalam Diplomasi
Pertahanan: Studi Kasus Brunei Darussalam. Jurnal
Pertahanan & Bela Negara, 9(2).
Irawan Rahardjo, Ira Fitriana. 2003. Analisis Potensi
Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia.
Iswandi U., dan Dewata, I., 2017. Pendekatan Sistem. Penerbit
Rajawali
Iswandi, U. (2016). Mitigasi Bencana Banjir pada Kawasan
Permukiman Di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat
(disertasi). Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
Iwan, W., Cluff, L., Kimpel, J., Kunreuther, H. (1999). Mitigation
Emerges as Major Strategy for Reducing Losses by
Natural Disaster. Science Journal , 1943-1947.

234
Jasmin Raymond, Michel Malo, Denis Tanguay, Stephen Grasby,
Faisal Bakhteyar, Direct Utilization of Geothermal Energy
from Coast to Coast: a Review of Current Applications
and Research in Canada, Proceedings World Geothermal
Congress 2015 Melbourne, Australia, 19-25 April 2015.
Jati, K., & Salam, A. R. 2018. Proyeksi Ekspor-Impor Non-Migas
Indonesia ke Afrika Selatan. Transparansi: Jurnal Ilmiah
Ilmu Administrasi, 1(1), 120-127.
Jha, A., Robin, B., Jessica, L. (2011). Kota dan Banjir Pandungan
Pengelolaan untuk Risiko Banjir Abat 21. Thailand: NDM
Institut Pr.
Junk, W. J., Bayley P. B., Sparks R. E. 1989. The flood pulse
concept in river flood-plain systems. Di dalam: Dodge
DP, edi-tor. Proceedings of the International Large River
Symposium. Can. Spec. Publ. Fish. Aquat. Sci., pp. 110-
127.
Kadek Cahaya Susila Wibawa. 2019. Mengembangkan
Partisipasi Masyarakat Dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Pembangunan
Berkelanjutan, Administrative Law & Governance Journal
Volume 2 Issue 1, 2019, ISSN 2621-2781 online
Kajian Penyedian dan Pemanfaatan Migas, Batubara, EBT dan
Listrik, Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan
Sumber Daya Mineral Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, 2017.
Karamouz, M., Szidarovszky F., Zahraie B. 2003. Water Re-
sources Systems Analysis. Florida: Lewis Publishers.
Karnawati, D. (2005). Bencana Alam . Yogyakarta (ID): Pustaka
Nasional Pr.
Kaur, E., Palang, H., Soovali, H. (2004). Landscape in Change
Opposing Artitudes in Saaremaa, Estonia. Landscape and
Urban Planning , 109-120.

235
Kebijakan Energi Nasional. 2003–2020. Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Kemenkumham. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, Jakarta
______. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Jakarta
Kemenkumham. 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Jakarta
______. 2015. Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015
tentang Pengusahaan Sumber Daya Air, Jakarta
______. 2019. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air. Jakarta
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 115 tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.
Khairunnisa, N. F. The International Legal Review Of The
Management Of Oil And Gas In Indonesia. Tadulako Law
Review, 1(1).
Kitamura, T. and E. Rustiadi. 1997. Indonesia Model. Center for
Global Environmental Research. ISSN 1341-4356. CGER-
1027-’97
Košičan, J., Pardo, M. Á., & Vilčeková, S. 2020. A Multicriteria
Methodology to Select the Best Installation of Solar
Thermal Power in a Family House. Energies (19961073),
13(5), 1047.
Latuconsina, Husain. 2010. Dampak Pemanasan Global Terhadap
Ekosistem Pesisir dan Lautan. Vol. 3, Edisi 1.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), 2003.
Studi Perubahan Tata Guna Lahan di Cekungan Bandung.
Lilik, R. 2014. Pengelolaan Sumber daya Migas Perspektif Islam.
Al-Qanun, Volume 17 (01)

236
Lin, W.-M., Chang, K.-C., & Chung, K.-M. 2019. The Impact of
Subsidy Programs for Solar Thermal Applications: A Case
Study for a Remote Island. Energies (19961073), 12(20),
3944.
Llamas, J. M., Bullejos, D., & de Adana, M. R. 2017. Techno-
Economic Assessment of Heat Transfer Fluid Buffering
for Thermal Energy Storage in the Solar Field of
Parabolic Trough Solar Thermal Power Plants. Energies
(19961073), 10(8), 1123.
______. 2019. Optimal Operation Strategies into Deregulated
Markets for 50 MWe Parabolic Trough Solar Thermal
Power Plants with Thermal Storage. Energies
(19961073), 12(5), 935.
______. 2019. Optimization of 100 MWe Parabolic-Trough
Solar-Thermal Power Plants Under Regulated and
Deregulated Electricity Market Conditions. Energies
(19961073), 12(20), 3973.
Lovell, S. T., Sullivan W. C. 2006. Environmental benefits of
conservation buffers in the United States: Evidence,
promise, and open questions. Agriculture, Ecosystems
and Environment. 112, pp. 249–260. Elsevier.
Ľudovít Csányi, Vladimír Krištof, Stanislav Kušnír, Matúš Katin,
Martin Marci, Geothermal Energy, Intensive Programme
“Renewable Energy Sources”, May 2010.
Lukitasari, Marheny. Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine Max.
Madiun: IKIP PGRI Madiun.
Ma’arif, S. 2014. Kebijakan Perminyakan Nasional: Dari Kendali
Negara Menuju Kapitalisme Pasar. Jurnal Administrasi
Negara, Volume 3, (01) hal: 46-55.
Mahyudin, dkk. 2015. Analisis Kualitas Air dan Strategi
Pengendalian Pencemaran Air Sungai Metro di Kota
Kepanjen Kabupaten Malang, J-PAI Vol 6, No. 2.

237
Manik, K. 2012. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan
Konservasi Tanah Sebagai Basis Pembangunan
Berkelanjutan. Buku. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
Maridi. 2012. Penanggulangan Sedimentasi Waduk Wonogiri
Melalui Konservasi Sub DAS Keduang dengan Pendekatan
Vegetatif Berbasis Masyarakat. Surakarta: Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Marimin, dan Maghfiroh, N. (2011). Aplikasi Teknik Pengambil
Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor (ID):
IPB Pr.
Marimin. (2004). Teknik dan Aplikasi Pengambil Keputusan
Kriteria Majemuk. Jakarta (ID): Grassindo Pr.
Martínez-Merino, P., Alcántara, R., Aguilar, T., Gallardo, J. J.,
Carrillo-Berdugo, I., Gómez-Villarejo, R., Rodríguez-
Fernández, M., & Navas, J. 2019. Stability and Thermal
Properties Study of Metal Chalcogenide-Based
Nanofluids for Concentrating Solar Power †. Energies
(19961073), 12(24), 4632.
Mira Rosana. 2018. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
yang Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Jurnal Ilmu
Sosial Universitas Pasundan Vol 1 No 1.
Mohammad Bayu Dwicaksono, Chalilullah Rangkuti. 2017.
Perancangan, pembuatan dan Pengujian Kompor Energi
Matahari Portabel Tipe Parabola Kipas. Seminar Nasional
Cendekiawan ke 3 Tahun 2017.
Molle, F. 2008. Nirvana Concepts, Narratives and Policy
Models: Insights from the Water Sector. Water
Alternatives 1(11) 2008: 131–156.
Montañés, R. M., Windahl, J., Pålsson, J., & Thern, M. 2018.
Dynamic Modeling of a Parabolic Trough Solar Thermal
Power Plant with Thermal Storage Using Modelica. Heat
Transfer Engineering, 39(3), 277–292.

238
Moriasi, D. N., Arnold J. G., Van Liew M. W., Bingner R. L.,
Harmel R. D., Veith T. L. 2007. Model evaluation
guidelines for systematic quantification of accuracy in
watershed simula-tions. Transactions of the ASABE
50(3), pp. 885−900. Society of Agricultural and
Biological Engineers, Michigan.
Muhammad Khalid, Mahdi syukri, Mansur Gapy. 2016.
Pemanfaatan Energy Panas Sebagai Pembangkit Listrik
Alternative Berskala Kecil dengan Menggunakan
Termoelektrik. Vol. 1, No. 3, 2016, 57-62.
Muhammad Rasyid Lubis, dkk. 2018. Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Mata Air di Desa Sungai Langka Kecamatan
Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
Jurnal Hutan Tropis Vol 6 No. 1.
Muhammad Reza, dkk. 2017. Kearifan Lokal Suku Sasak dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air Desa Lenek Daya,
Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur, Spectra
Volume XV, 2017 Hal 1-14
Muhammadi, Aminullah, E., Soesilo, B. (2001) . Analisis Sistem
Dinamis: Lingkunan hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen.
Jakarta (ID): UMY Pr
Mutiara Sari, Kerjasama Indonesia dan Islandia Dalam
Pengembangan Energi Panas Bumi (Geothermal) Tahun
2009-2014, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
JOM FISIP Vol. 3 No. 2 Oktober 2016.
Nabil Beithou, Zaid Abu Al-Ganam, Geothermal Energy in
Palestine: Practical Applications, J. Appl. Res. Ind. Eng.
Vol. 4, No. 3 (2017)174–179.
Nandi Haerudin, Vina Jaya Pardede, Syamsurijal Rasimeng,
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Lampung, Analisis
Reservoar Daerah Potensi Panasbumi Gunung Rajabasa

239
Kalianda dengan Metode Tahanan Jenis dan
Geotermometer. Jurnal Ilmu Dasar, Vol. 10 No. 2, Juli
2009: 141-146.
Nasir, M. 2014. Potret Kinerja Migas Indonesia. Kepala Sub
Bidang BUMN Piset dan Peneliti Muda pada Pusat
Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakn Fiskal,
Kementerian Keuangan. Buletin Info Risiko Fiskal (IRF)
Edisi 1 Tahun 2014.
Nugroho, H. 2014. Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi
Indonesia: Tantangan dan Gagasan. Perencanaan
Pembangunan, No IX/04 September.
Nuraini, Cut. 2009. Peran, Fungsi dan Manfaat Perkarangan
Sebagai Salah Satu Model Ruang Terbuka Hijau di
Lingkungan Permukiman Padat Kota. Yogyakarta: UGM.
Olivielauquet, G., Gruau G., Dia A., Riou C., Jaffrezic A., Henin
O. 2001. Release of trace elements in wetlands: role of
seasonal variability. Wat. Res. 35(4), pp. 943-952.
Elsevier. Jurnal Pengelolaan Sumber daya Alam dan
Lingkungan Vol. 4 No. 1 (Juli 2014): 24-34
Pakere, I., & Blumberga, D. 2019. Solar Energy in Low
Temperature District Heating. Environmental & Climate
Technologies, 23(3), 147–158.
Panduan Kelestarian Ekosistem untuk Pemanfaatan Panas Bumi.
WWF Indonesia 2013.
Parwati, A., dkk. 2012. Nilai Pelestraian lingkungan dalam
kearifan lokal lubuk larangan Ngalau Agung di Kampung
Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat.
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan 11 September 2012 (p. 98–103),
Semarang
Pasandaran, E. 2002. Pokok-Pokok Pemikiran tentang
Kebijakan Investasi di Bidang Pengairan, dalam Sutopo
Purwo Nugroho, Seno Adi, Bambang Setiadi (eds.),

240
Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Air di
Indonesia, P3-TPSLK BPPT dan HSF: Jakarta.
______. 2008. Irrigasi Masa Depan. Memperjuangkan
Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan. JKI-
Indonesia.
Patel, D., Thakar, V., Pandian, S., Shah, M., & Sircar, A. 2019. A
review on casing while drilling technology for oil and
gas production with well control model and economical
analysis. Petroleum, 5(1), 1-12.
Paul L Younger. Geothermal Energy: Delivering on the Global
Potential. Energies 2015, 8, 11737-11754.
Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri
Ketenagalistrikan Nasional 2004–2020. Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pemanfaatan Energi Panas Bumi Untuk Ketahanan Energi
Nasional. Pertamina Geothermal Energy. Laporan
Keberlanjutan 2017.
Pemerintah Repoblik Indonesia (ID) [UU] Undang-Undang No
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2011 tentang Kebijakan
Nasional Pengelolaan Sumber daya Air.
Peru Elguezabal, dkk. 2020. Assesment on the Efficiency of an
Active Solar Thermal Façade: Study of the Effect of
Dynamic Parameters and Experimental Analysis When
Coipled/Uncoupled to a Heat Pump. Energies 2020, 13,
597, doi: 10.3390.
Peterson, E. E., Sheldon F., Darnell R., Bunn S. E., Harch B. D.
2010. A comparison of spatially explicit lanscape
representation methods and their relationship to stream
condition. Freshwater Biology, pp. 1-21. Blackwell
Publishing Ltd.

241
Proyogo. (2007). Karakteristik Lahan Wilayah Bencana Longsor
di Sub DAS Kaliputih Kec. Panti Kab. Jember. Seminar
Kongres IX Himpunan Ilmu Tanah Indonesia , 581-583.
Purwatiningsih, A., Masykur. 2012. Eksplorasi dan Eksploitasi
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Laut Natuna
Bagian Utara Laut Yuridiksi Nasional untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Kepulauan
Natuna. Jurnal Reformasi, Volume 2 (02) Juli Desember.
Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber daya
Mineral. Kementerian ESDM. 2016. Dampak Kegiatan
Usaha Hulu Migas terhadap Perekonomian Regional
Wilayah Kerja Migas (Studi Kasus Provinsi Jambi).
Putra, M. U. M., & Damanik, S. 2017. Pengaruh Ekspor Migas
dan Non Migas terhadap Posisi Cadangan Devisa di
Indonesia. Jurnal Wira Ekonomi Mikroskil: JWEM, 7(2),
245-254.
R R Shah, Bala Dutt, Geothermal Energy: An Alternative Source
of Energy. Journal of Engineering Research and
Applications, Vol. 4, Issue 4(Version 5), April 2014.
R., R., & I., T. 2019. Design and Analysis of a Solar Water
Heating System with Thermal Storage for Residential
Applications. Journal of Sustainable Energy, 10(2), 93–
100.
Răboacă, M. S., Badea, G., Enache, A., Filote, C., Răsoi, G., Rata,
M., Lavric, A., & Felseghi, R.-A. 2019. Concentrating
Solar Power Technologies. Energies (19961073), 12(6),
1048.
Rafael Sianipar. 2014. Dasar Perencanaan Pembangkitan
Tenaga Surya. JETRI, Vol 11, No 2, Februari 2014, Hal 61-
78, ISSN 1412-0372
Rahayu, dkk. 2014. Model Pewarisan NilaiNilai Budaya Jawa
melalui Upacara Ritual. Jurnal Ilmu Komunikasi. 12 (01):
55-69

242
Rancangan Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan dan
Pemanfaatan Energi Panas Bumi 2004–2020.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Rancangan Road Map Pengembangan Panas Bumi 2004–2020.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
Randa Permanda, Ardian Putra. Estimasi Karakteristik
Reservoir Panas Bumi dari Sumber Mata Air Panas di
Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan. Jurnal
Fisika Unand Vol. 6, No. 1, Januari 2017.
Rawlings, J. O., Pentula S. G., Dickey D. A. 1998. Applied
Regression Analysis: A Research Tool. 2nd Ed. Spinger-
Verlag New York, Inc., New York.
Raza, A., Gholami, R., Rezaee, R., Rasouli, V., & Rabiei, M. 2019.
Significant aspects of carbon capture and storage–A
review. Petroleum, 5(4), 335-340.
Regina T Mary, Panas Bumi Sebagai Harta Karun untuk Menuju
Ketahanan Energi. Jurnal Ketahanan Vol.23, No.2,
Agustus 2017, Hal 217-237.
Ren, Y., Guo, X., Xie, C., & Wu, H. 2016. Experimental study on
gas slippage of Marine Shale in Southern China.
Petroleum, 2(2), 171-176.
Reza, M., dkk. 2017. Kearifan Lokal Suku Sasak dalam
Pengelolaan Sumber daya Air Desa Lenek Daya
Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. J. PWK
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN. 30(15): 1-14.
Richa Melysa, Fitrianti, Program Studi Teknik Perminyakan
Universitas Islam Riau, Analisis Potensi Daya Listrik
Pada Sumur Produksi Panas Bumi dengan Mengunakan
Metode Back Pressure pada Unit XY. JEEE Vol. 6 No. 1.
Rina Wahyuningsih. Potensi dan Wilayah Kerja Pertambangan
Panas Bumi di Indonesia. Kolokium Hasil Lapangan–DIM,
2005.

243
Rita Dewi Triastianti., dkk. 2017, Konservasi Sumber daya Air
dan Lingkungan Melalui Kearifan Lokal di Desa
Margodadi Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman
Yogyakarta, Kawistara Volume 7 No. 3, 2017 hal: 207-
314 ISSN; 2088-5415 (print) ISSN; 2355-5777 (online).
Rita Juliani, Rahmatsyah. Pola Kandungan Mineral dan Potensi
Panas Bumi Siogung-Ogung Kabupaten Samosir. Jurnal
Generasi Kampus Volume 9, No. 2, September 2016.
Rosegrant, M.W and Pasandaran, E. 1995. Determinant of Public
Investment: Irrigation in Indonesia. Jurnal Agro
Ekonomi, 14(2), 1995, Hal 1-20
Rosi Parbowo, dkk. 2012, Kualitas Air dan Beban Pencemaran
Pestisida di Sungai Babon Kota Semarang, Mediagro Vol
8 No. 1 Hal 9-17
Rostami, P., Mehraban, M. F., Sharifi, M., Dejam, M., &
Ayatollahi, S. 2019. Effect of water salinity on oil/brine
interfacial behaviour during low salinity waterflooding:
A mechanistic study. Petroleum, 5(4), 367-374.
Roziqin. 2015. Pengelolaan Sektor Minyak Bumi di Indonesia
Pasca Reformasi: Analisis Konsep Negara Kesejahteraan.
BPK RI. Jurnal Tata Kelola & Akuntabilitas Keuangan
Negara, Volume 1 (02) hal: 128-140.
Rui, X., Zheng, F., Zheng, T., Ji, X., & Wu, T. 2020. Conceptual
design of a new thermal‐electric conversion device in
lightweight concentrating solar thermal power system.
Energy Science & Engineering, 8(1), 181–202.
Rustiadi, E., Saefulhakim, S., Panuju, D. (2011). Perencanaan
dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Pustaka Obor
Pr.
Saaty, T. (1983). Dicision Making for Leaders: The Analytical
Hierarchy Process for Decision in Complex World.
Pittsburgh: RWS Publication.

244
Saputro, I. R. Kebijakan Indonesia Mengakhiri Kontrak
Kerjasama Sumber Daya Migas Pt Chevron: Kasus Blok
Rokan Riau. Jurnal Demokrasi Dan Otonomi Daerah,
17(2), 117-122
Sidopekso, Satwiko. 2011. Studi Pemanfaatan Energy Matahari
Sebagai Pemanas Air. Vol. 14, No. 1, Januari 2011, hal.
23–26.
Sigit Nuharsanto, Adhy Prayitno. 2017. Sun Tracking Otomatis
Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS. Jom
FTEKNIK, Vol. 4, No. 2, Oktober 2017.
Sigit Setiawan. Energi Panas Bumi Dalam Kerangka MP3EI:
Analisis terhadap Prospek, Kendala, dan Dukungan
Kebijakan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. XX (1)
Tahun 2012.
Smill, V. 2000. Feeding the World. A Challenge for the Twenty-
First Century, MIT Press: Cambridge MA.
Soedomo, M. 2001. Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai
Pencemaran Udara, Penerbit ITB, Bandung, Cetakan
Ketiga.
Somasundaram, S., & Tay, A. A. O. 2019. Performance study and
economic analysis of photo-voltaic thermal system under
real-life thermal loads in tropical climate. Sustainable
Environment Research (2468-2039), 29(1), 1–10.
Strayer, D. L., Beighley R. E., Thompson L. C., Brooks S., Nilsson
C., Pinay G., Naiman R. J. 2003. Effects of land cover on
stream ecosystems: roles of empirical models and
scaling is-sues. Ecosystems 6, pp. 407–423. Spinger-
Verlag.
Su, Z., Tang, Y., Ruan, H., Wang, Y., & Wei, X. 2017.
Experimental and modeling study of CO2-Improved gas
recovery in gas condensate reservoir. Petroleum, 3(1),
87-95.

245
Sudarmadji, dkk. 2016. Model Konservasi Sumber daya Air
Sebagai Upaya Mempertahankan Keberlanjutan Air di
Sub DAS Aek Silang, SPATIAL Wahana Komunikasi dan
Informasi Geografi Volume 5 No. 1, 2016
Sueyoshi, T., & Goto, M. 2019. Comparison among Three Groups
of Solar Thermal Power Stations by Data Envelopment
Analysis. Energies (19961073), 12(13), 2454.
Sugeng Sutikno, 2017. Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu
Integrated Water Resources ManagemenT (IWRM),
Jurnal Mesa Fakultas Teknik Universitas Subang, ISSN;
2355-9241
Suharto, E. (2006). Analisis Kebijakan Publik. Panduan Praktis
Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung (ID):
Alfabeta Pr.
Suliantara, S., & Susantoro, T. 2013. Pemetaan Cekungan Target
Eksplorasi Migas Kawasan Timur Indonesia. Lembaran
Publikasi Minyak dan Gas Bumi, 47(1), 9-17.
Sunarjanto, D., Suliantara, S., Iskandar, U. P., & Nainggolan, M.
T. 2014. Sistem Informasi Geogra untuk Optimasi
Eksplorasi dan Pengembangan Wilayah Migas
Geographic Information System for Optimization
Exploration Oil and Gas Area Development. Lembaran
Publikasi Minyak dan Gas Bumi, 48(1), 1-12.
Suparmini, S., dkk. 2013. Pelestarian Lingkungan Masyarakat
Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Penelitian
Humaniora. 18(1): 8-22.
Suranto, S., & Supit, K. 2007. Estimasi Cadangan Hidrokarbon
Dengan Simulasi Monte Carlo Dalam Rangka Pengelolaan
Sumber daya Migas.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan.
Yogyakarta (ID): Andi Pr.

246
Suryono. (2000). Longsor Lahan Daerah Situraja dan
Sekitarnya, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Bara.
Prosiding Seminar Geomatika , 23-24.
Susetyo, D. 2007. Dampak Eksploitasi Energi Migas bagi
Ekonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume
5 (02) Hal: 88-105.
Sutrisno, N., dkk. 2012. Manajemen Sumber daya Lahan dan Air
Mendukung Keberlanjutan Ketersediaan Pangan.
Kemandirian Pangan Indonesia Dalam Perspektif
Kebijakan MP3EI. Badan LItbang Pertanian Kementrian
Pertanian Republik Indonesia (pp. 458–479).
Thakkar, A., Raval, A., Chandra, S., Shah, M., & Sircar, A. 2019.
A comprehensive review of the application of nano-silica
in oil well cementing. Petroleum.
Thorsten Agemar, JosefWeber, Inga S. Moeck. Assessment and
Public Reporting of Geothermal Resources in Germany:
Review and Outlook. Energies 2018, 11, 332,
www.mdpi.com/journal/energies.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Veraliza, Z., dkk. 2014. Manajemen Kearifan Lokal Lubuk
Larangan Desa Pangkalan Indarung Kabupaten Kuantan
Singingi Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. 8(2),
180–196
Veybi Djoharam, dkk. 2018. Analisis Kualitas Air dan Daya
Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di
Wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jurnal Pengelolaan Sumber
daya Alam dan Lingkungan, Vol 8 No. 1; 127-133 ISSN
2086-4639/e-ISSN 2460-5824
Vippy Dharmawan, Nanik Rachmaniyah. 2016. Adaptasi Iklim
pada Hunian Rumah Tinggal yang Menghadap Matahari.
ISSN 1412-9612.

247
Vishal Ikshvaku, Shamasher Sharma, Vipin Maurya, Ajay Saroj,
Geothermal Energy: An Effective Means of Renewable
Energy Source, International Research Journal of
Engineering and Technology (IRJET), Volume: 05 Issue:
10, Oct 2018.
Vivekananda Das, Rajshahi University of Engineering and
Technology, A Study on the Prospect of Geothermal
Energy in Bangladesh. Global Journal of Researches in
Engineering: F Electrical and Electronics Engineering
Volume 17 Issue 1 Version 1.0 Year 2017.
Vlughter, H. 1949. Honderd Jaar Irrigatie, Voordracht Gehouden
op 18 October 1949 ter Gelegenheid van de Herdenking
van de Overdracht van de Technische Hoge School aan
den Lande in 1924, Druk Voorkink: Bandung.
Wangsaatmaja, S. 2003. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap
Rezim Aliran Air Permukaan serta Kesehatan Lingkungan
Suatu Analisis Kasus DAS Citarum Hulu, Disertasi,
Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi
Bandung
Watung, R. L., Tala’ohu S. H., Agus F. 2004. Fungsi lahan sawah
dalam preservasi air. Di dalam: U. Kurnia, F. Agus, D.
Setyorini, dan A. Setiyanto, editor. Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian, pp.
149-157. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Wester, P. 2008. Shedding the Waters. Institutional Change and
Water Control in the Lerma.
Widiati, A. 1998. Analisis Pengaruh Perubahan Fungsi Ruang
Hidrologi Terhadap Keseimbangan Air: Studi Kasus
Cekungan Bandung. Tesis, Departemen Teknik
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.

248
Winkelman, S., Hargrave, T., & Vanderlan, C. 2000.
Transportation and domestic greenhouse gas emissions
trading. Center for Clean Air Policy, 32.
Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria. INSIST Press.
World Development report. 1990. World Bank. Washington.
World Resources Institute (WRI). 2003. World Resources,
2002–2004, Decisions for the Earth Balance, Voice, and
Power. World Resource Report. World Resources
Institute.
Yuniarto, Tri Edhi Budhi Soesilo, Udi Syahnoedi Hamzah,
Universitas Indonesia. Limbah Cair Panas Bumi dan
Dampaknya Terhadap Lingkungan. Jurnal Matematika,
Saint, dan Teknologi, Volume 17, Nomor 2, September
2016, 99-108.
Yunus, S. (2008). Dinamika Wilayah Peri–Urban Determinasi
Masa Depan Kota. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar Pr.
Yusak Mukkun, Sumartini Dana. Pembuatan Pengering Ikan
Ramah Lingkungan Dengan Menggunakan Panel Surya.
Kupang: Politeknik Negeri Kupang.
Yustika Kusumawardani. 2018. Evaluasi Pengelolaan Sistem
Penyediaan Air Bersih di Kota Madiun, Jurnal Neo
Teknika Vol 4 No. 1, 2018 hal; 1-10.
Zaenur. 2014. The Operating Effectiveness of WTU and WWTP
of Batik in Pekalongan City, International Journal of
Education and Reasearch, Vol 2 No. 12, 2014, ISSN; 2201-
6333 (print), ISSN; 2201-6740 (online).
Zakaria, Z. (2009). Analisis Kestabilan Lereng Tanah. Bandung
(ID): Laboratorium Geologi Teknik Program Studi Teknik
Geologi Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran.
Zhang, W., Li H., Sun D., Zhou L. 2012. A statistical assess-ment
of the impact of agricultural land use intensity on
regional surface water quality at multiple scales. Int. J.
Environ. Res. Public Health.9, pp. 4170-4186.

249
Zhang, Y., Wang Y. 2012. Assessment of the impact of land-use
types on the change of water quality in Wenyu River Wa-
tershed, Beijing, China. Stephen Young (Ed..
International Perspectives on Global Environmental
Change.
Zuidam, V., dan Concelado, Z. (1979). Terrain Analysis and
Classification Using Aerial Photograph. A
Geomorphologycal Approach. Belanda: ITC Textbook

250
PROFIL PENULIS

ISWANDI U.
Lahir di Kota Padang pada tanggal 18 April
1977 sebagai anak keempat dari empat
bersaudara dari pasangan (Alm.) Umar dan
(Alm.) Hasni. Menikah dengan Hilda
Handayani, S.T., M.Si. dan dikaruniai dua
anak, Kanaka Kastara Iswandi dan Keenan
Kastara Iswandi. Penulis menempuh
pendidikan S-1 pada Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang lulus tahun 2001. Pada
tahun 2009, penulis menyelesaikan pendidikan S-2 pada
Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas
Negeri Padang. Tahun 2013-2016, penulis mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S-3 pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPDN.
Tahun 2002-2009, merupakan staf pengajar pada Yayasan
Prayoga Padang. Sejak tahun 2009 sampai sekarang, penulis
bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang. Selain itu, penulis juga
diminta sebagai dosen luar biasa di STKIP PGRI Sumatera Barat
periode 2010-2013 dan Universitas Muhammadiyah Sumatera
Barat periode 2010-2012.
Penulis telah mengeluarkan buku Ekologi dan Ilmu
Lingkungan diterbitkan UNP Press tahun 2012 dan Pendekatan
Sistem dalam Ilmu Sosial, Teknik, dan Lingkungan yang
diterbitkan Rajawali Press tahun 2017. Selain itu, penulis aktif

251
dalam workshop tentang arahan kebijakan dengan pendekatan
AHP, ISM, SWOT, MDS, dan Sistem Dinamik. Artikel ilmiah
internasional dan terakreditasi nasional yang penulis
publikasikan, antara lain a) “Delineation of Flood Hazard Zones
by Using a Multi Criteria Evaluation Approach in Padang West
Sumatera Indonesia” telah diterbitkan pada Journal of
Environment and Earth Science Vol. 4 No. 3 (2016) ISSN: 2224-
3216 (Paper) ISSN: 2225-0948 (Online); b) “Institutional
Hierarchy of Flood Mitigation for Settlement Areas in Padang,
West Sumatera, Indonesia” proses terbit pada Journal of Public
Policy and Administration Research ISSN: 2224-5731 (Paper)
ISSN: 2225-0972 (Online); c) “Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk
Kawasan Permukiman dengan Metode Multi Criteria Evaluation
di Kota Padang”/”Evaluation for Suitability Land of Settlement
Area by Using Multi Criteria Evaluation Method in Padang” pada
JPSL (Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan); d)
“Prioritas Pengembangan Kawasan Permukiman pada Zona
Rawan Banjir di Kota Padang” pada Jurnal Majalah Ilmiah
Globe.

INDANG DEWATA
Lahir di Candung Kabupaten Agam tanggal
18 November 1965. Lulus sarjana (S2) Kimia
Universitas Andalas (UNAND) tahun 1984,
kemudian melanjutkan Magister (S2) Ilmu
Lingkungan Universitas Indonesia tahun
1992, dan tahun 2009 menyelesaikan
program Doktor (S3) Ilmu Lingkungan
Universitas Indonesia.
Tahun 1991 lulus menjadi dosen (PNS) pada Universitas
Jambi, dan semenjak tahun 1997 pindah ke IKIP Padang (UNP)

252
pada program studi Pendidikan Kimia. Pada tahun 2008
tegabung pada staf Program Pascasarjana Universitas Negeri
Padang. Penulis pernah menjabat sebagai kepala Bappedalda
Kota Padang periode 2005-2011 dan kepala Dinas Pendidikan
Kota Padang periode 2011-2014. Kepala PPKLH Universitas
Negeri Padang periode 2015-2024. Selain itu, penulis juga
menjadi Pusat Penelitian Kependudukan dan lingkungan Hidup
Universitas Indonesia periode 2015 sampai sekarang. Selama
berkarir dalam penulis pernah mendapatkan penghargaan
Setya Lencana Pramuka dari Gubenur Provinsi Sumatera Barat
pada tahun 2013
Beberapa penelitian yang pernal dilakukan antara lain:
1. Study on The Air Quality Improvement Analysis By New
Emission Regulation of Vehicle tahun 2004
2. PengendalianLimbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit Di
Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Penerapan
Minimisasi Limbah Cair, AplikasiLahan Berdasarkan
Analisis Biaya dan Manfaat) tahun 2008
3. MitigasiEfekRumahKaca (ERK) Dari Sumber Tidak
Bergerak dan Bergerak di Kota Padang tahun 2009
4. Studi Kompresipitasi Zn+2 Mengggunakan Al(OH)3 sebagai
Kompresipitan tahun 2013
5. Studicoprecipitation Logam-Logam Berat Dalam Sampel
Perairan Mengunkan Al(OH)3 Sebagai Comprecipitan
tahun 2014.
6. Analisis Logam Pb dalam Perairan Sungai Batang Arau
dengan Mengunakan metoda Comprecipitan Al(OH)3 di
Kota Padang tahun 2015.
7. Aplikasi Neomaterial akrilit sebagai Bahan Sensor
Formaldehid untuk Deteksi Cepat Formalin dalam Udang
(Macrobrachium Rosenbergii) tahun 2017.

253

Anda mungkin juga menyukai