Anda di halaman 1dari 20

Pendahuluan

1. Latar Belakang dan Konteks Permasalahan

Berangkat dari pernyataan Lesslie Newbigin yang dikutip oleh Daniel Lucas

Lukito, “There can never be a culture-free gospel”, “Yet the gospel, which is from the

beginning to the end embodied in culturally conditioned forms” (Lukito 1999, 230),

maka dapat dimaknai bahwa Injil tidak terlepas dari budaya. Dari awalnya, Injil selalu

disampaikan dalam kemasan budaya di mana Injil itu diberitakan. Injil yang berasal

dari Allah selalu terkait dan bersentuhan dengan konteks dunia dan kemanusiaan.

Bahkan ketika Allah berinkarnasi, Ia juga mengenakan tubuh manusia (Yoh. 1:1-

2,14), kemudian berangkat dari realitas dunia manusia untuk menyelamatkan dunia

dan manusia. Itu artinya Injil selalu terkait atau tidak dapat dipisahkan dari budaya.

Perjumpaan antara Injil (disebut unsur “asing”) dan budaya (disebut unsur

“asli” yang menjadi sasaran Injil) (Yewangoe 2002, 80) merupakan isu yang menarik

untuk diperbincangkan. Injil tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan ia hadir

dalam dunia yang telah memiliki nilai-nilai budaya sebagai identitasnya. Karena itu,

perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan sering menimbulkan persoalan: apakah Injil

menguasai budaya atau sebaliknya budaya menguasai Injil ataukah terjadi dialog

antarkeduanya untuk kekayaan bersama? Tegas Aritonang, upaya dan proses

berteologi secara kontekstual, termasuk di Indonesia, mencerminkan pergumulan dan

ketegangan yang terus menerus. Tidak ada jawaban final yang dapat diberikan

terhadap setiap isu dan kasus perjumpaan antara Injil atau iman Kristen dengan

budaya atau kepercayaan suku mana pun (Aritonang 1999, 275). Itu berati,

perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan merupakan persoalan yang telah dan akan

1
2

terus terjadi dalam sejarah, selama Injil masih berada di tengah-tengah kebudayaan

dunia (Yewangoe 1995, 207).

Bahkan Richard Niebuhr ketika berbicara tentang perjumpaan antara Injil dan

Kebudayaan cenderung mengatakan, perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan

merupakan the enduring problem (masalah yang tak berkesudahan) (Niebuhr 1956,

1). Melihat problem itu, Niebuhr kemudian mencetuskan lima tipologi relasi Injil dan

Kebudayaan.1 Kelima tipologi yang dimasud adalah: Pertama, Christ Against

Culture (Kristus melawan atau menentang kebudayaan). Tipologi ini bersifat radikal,

di mana dunia dipandang jahat, karena itu dunia yang jahat harus ditolak. Di dalam

dunia yang jahat, tidak ada unsur kebudayaan yang dapat digunakan sebagai wahana

untuk menyampaikan Injil. Bahkan Injil Kristus diproklamirkan untuk melawan

kebudayaan. Ketaatan kepada Kristus membuat manusia harus menolak segala

sesuatu yang berhubungan dengan dunia.

Kedua, Christ of Culture (Kristus dari atau milik kebudayaan). Tipologi ini

bersifat akomodatir, di mana dalam tipologi ini tidak ada pertentangan antara Injil dan

Kebudayaan. Injil bahkan diakomodasikan ke dalam kebudayaan. Melalui tipologi ini,

para pelaku budaya menginterpretasikan kebudayaan melalui Kristus, kemudian

menyimpulkan bahwa segala unsur kebudayaan sangat bersesuaian dengan Injil. Di

sisi lain, para pelaku budaya juga memahami Kristus melalui kebudayaan. Mereka

memilih ajaran Alkitab dan perilaku Kristus kemudian menyatakannya sesuai dengan

kebudayaan mereka. Jadi melalui tipologi ini, Kristus diharmonisasikan dengan

kebudayaan.

1
Kelima tipologi ini penulis ringkas dari (Niebuhr 1956, 45-229; Niebuhr.., 53-258; Brownlee 2004,
181-201; Yewangoe 2002, 80-82).
3

Ketiga, Christ above Culture (Kristus di atas kebudayaan). Tipologi ini

bersifat sintesis, di mana tipologi ini memilik kesamaan dengan tipologi kedua di atas.

Dalam tipologi ini, Injil dilihat sebagai sesuatu yang relevan dengan kebudayaan,

tetapi di sisi lain, Injil juga dilihat mengatasi kebudayaan. Tipologi ini menempatkan

Kristus sebagai Tuhan atas kebudayaan.

Keempat, Christ and Culture in Paradox (Kristus dan kebudayaan dalam

paradoks). Tipologi ini bersifat dualis, di mana Luther pada abad ke-16 menjadi

wakilnya. Dalam tipologi ini, manusia mengakui dan hidup dalam dua kerajaan, yaitu:

kerajaan Allah dan kerajaan masyarakat. Tetapi di antara dua kerajaan itu tidak

berhubungan bahkan bertentangan satu sama lain.

Kelima, Christ Transforms Culture (Kristus sebagai pembaru kebudayaan).

Agustinus pada abad ke-5 dan Calvin pada abad ke-16 mewakili tipologi ini. Tipologi

ini melihat bahwa ada pertentangan antara Injil dan Kebudayaan, karena kebudayaan

dilihat sebagai sesuatu yang telah jatuh dalam dosa. Akan tetapi, orang Kristen tidak

perlu memisahkan diri dari dunia, karena Injil dapat mengubah kebudayaan dan

masyarakat. Jadi tipologi ini melihat Kristus sebagai penebus yang memperbaharui

masyarakat.

Diakui bahwa kelima tipologi Niebuhr di atas, telah diterapkan dalam segala

bidang kehidupan manusia. Namun, apakah kelima tipologi Niebuhr dapat

mengurangi atau menghentikan persoalan hubungan Injil dan Kebudayaan?

Jawabannya tentu tidak. Karena, beberapa tahun kemudian, muncul berbagai

pandangan yang mengkritisi karya klasik Niebuhr tentang Kristus dan Kebudayaan.

Ada banyak nama yang bisa saja disebutkan di sini sebagai pengkritik dari karya
4

Niebuhr.2 Namun, dalam bagian ini penulis hanya mengangkat dua nama sebagai

pengkritik dan sekaligus yang telah mencetuskan tipologi baru sebagai hasil dari

kritikan mereka terhadap karya Niebuhr.3

Nama pertama yang disebut di sini adalah Rick Allbee. Allbee adalah seorang

asisten profesor di Heartland Community College. Ia mengkritisi lima tipologi

Niebuhr, kemudian menawarkan tipologi barunya, yaitu: Kristus bersaksi kepada

kebudayaan dalam memahami hubungan Kristus dan kebudayaan. Bagi Allbee,

tipologi ini sangat fundamental dan alkitabiah; berbasis kristologis; sudah

dipraktekkan oleh gereja mula-mula; dan memberikan tempat bagi penginjilan

personal. Kehadiran tipologi Kristus bersaksi kepada kebudayaan, bukan hanya

bertujuan untuk mengatasi kelima tipologi Niebuhr, tetapi juga diharapkan dapat

menggabungkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam kelima tipologi Niebuhr,

sekaligus dapat menolak kelemahan-kelemahan yang ada dalam kelima tipologi

tersebut (Adiprasetya 2011, 17-33).

2
Salah satu pengkritik yang sering digunakan pemikirannya adalah John Howard Yoder. Ia
mengeluarkan tulisannya pada tahun 1958, kemudian diterbitkan pada tahun 1996 dengan judul
“Authentic Transformation: A New Vision of Christ and Culture”. Yoder mengatakan bahwa dari
kelima tipologi yang ditawarkan oleh Niebuhr, ia sendiri lebih condong kepada tipologi yang kelima,
yaitu Kristus sebagai pengubah kebudayaan. Lebih lanjut, ada tiga poin kritik Yoder kepada Niebuhr,
yaitu: (1) Masalah pendefinisian budaya dan konsistensi logis. Meskipun Niebuhr mendefinisikan
budaya secara luas, mencakup setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat, namun Niebuhr melihat
budaya sebagai “monolitis”. Bagi Yoder, budaya yang dimasudkan Niebuhr adalah posisi mayoritas
dalam kehidupan sosial (the majority position of a given society). Karena itu, tipologi radikal Niebuhr
yang menolak kebudayaan sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa masyarakat itu menolak,
melainkan sebuah tindakan yang dominan dari masyarakat yang dominan; (2) Masalah inkonsistensi.
Di mana, pengkategorisasian yang dilakukan Niebuhr, di satu sisi sesuai dengan tipologi yang satu dan
di sisi lain, kelompok itu juga tidak sesuai dengan tipologi yang lain. (3) Masalah teologi. Yoder
mengkritisi argumentasi Niebuhr karena mengutip pendapat sejarawan Yahudi (Rabbi Joseph
Klausner) yang menyebutkan bahwa kedatangan Yesus adalah untuk menghapus (abolish) kebudayaan.
Di mana, Kristus menuntun manusia untuk jauh dari keragaman budaya. Namun, Niebuhr juga tidak
menyebutkan bahwa gereja sebagai sebuah pemerintahan alternatif, komunitas yang telah dibaharui
dan sebuah budaya baru yang berpengaruh. Persoalan teologis lain adalah konsep Niebuhr tentang
Trinitas, yang merupakan pemahaman sabellianism atau modalism, yang memahami bahwa Tuhan
pada hakikatnya adalah satu, namun secara berturut-turut bermanifestasi dalam rupa Allah Bapa, Anak
dan Roh Kudus (Adiprasetya 2011, 387-401). Inilah beberapa dasar kritikan Yoder yang sering
digunakan dalam mengkritisi kelima tipologi Niebuhr.
3
Semua pendapat mereka, penulis ambil dari materi kuliah Teologi Kontekstual, asuhan bapak Joas
Adiprasetya, pada tanggal 16 Maret 2011, jam 09.30 – 12.00.
5

Berikutnya Craig A. Carter dalam karyanya The Legacy of an Inadequate

Christology: Yoder’s Critique of Niebuhr’s Christ and Culture, ia menyoroti tipologi

Niebuhr yang dilihatnya mengalami defisiensi dalam hal kristologi dan juga

eklesiologi. Carter juga berangkat dari kritikan Yoder gurunya, lalu menyatakan

bahwa dalam menyikapi hubungan Kristus dan kebudayaan pada masa kini, sebaiknya

kita terlebih dahulu melihat hubungan antara gereja dengan lingkungan sosial

sekitarnya. Carter kemudian menawarkan empat tipologi dalam menyikapi hubungan

Kristus dan kebudayaan, yaitu: Kristus melegitimasi kebudayaan (Christ legitimizing

culture), Kristus terpisah dari kebudayaan (Christ separating from culture), Kristus

memanusiakan kebudayaan (Christ humanizing culture) dan Kristus mentransformasi

kebudayaan (Christ transforming culture) (Adiprasetya 2011, 387-401).

Melihat berbagai kritik di atas, tampaknya persoalan Kristus dan Kebudayaan

tidak akan pernah selesai. Pada satu sisi, kritik-kritik itu menunjukkan bahwa

persoalan Kristus dan kebudayaan sangat kompleks, bergantung dari sudut mana

seseorang mau mengkritisi dan menanggapi persoalan tersebut. Pada sisi lain, kritik

terhadap karya klasik Niebuhr “Christ and Culture” juga menunjukkan bahwa buku

ini telah menjadi momentum berpikir bagi para teolog untuk mengkritisi,

mendiskusikan, dan melanjutkan pemikiran Niebuhr, yang dalam bahasa Martin L.

Sinaga disebut sebagai cara terbaik untuk menghormati pemikiran seseorang (Sinaga

2004, 19). Dengan demikian, suatu teori akan selalu terbuka untuk dikritisi secara

ilmiah untuk menghasilkan teori-teori yang baru, akan tetapi bagi penulis teori baru

yang dihasilkan, tidak hanya dapat menggugurkan atau menghancurkan teori yang

lama, melainkan sebaliknya dapat semakin memperkaya teori yang mendahuluinya.

Terkait dengan relasi Injil dan Kebudayaan, kehadiran teori-teori baru menunjukan
6

bahwa Kristus dan Injil tidak pernah kuno (Yewangoe 2002, 82) dalam sejarah dunia

ini.

Selanjutnya, persoalan relasi Injil dan Kebudayaan juga telah terlihat pada

awal kehadiran gereja. Kurt Aland dalam bukunya A History of Christianity, vol.1

menjelaskan, gereja lahir dan berkembang dalam dunia yang sudah memiliki agama,

kebudayaan, dan struktur sosial. Perjumpaan itu tidak saja menunjukkan kelebihan

gereja tetapi juga telah membuat gereja menyerap unsur-unsur positif dari: agama

tradisional, Yudaisme, dan dunia Yunani-Romawi (Hellenisme) (Aland 1980, 4-31;

bnd. Van den End 2000, 2-11; Kristiyanto 2002, 18-19). Unsur-unsur yang diserap

antara lain: Warisan Yahudi (kitab PL dan tradisi Paskah); Perayaan Natal tanggal 25

Desember dari dunia paganisme sebagai perayaan bagi dewa “Matahari” (Yewangoe

2002, 94); di mana struktur organisasi gereja di Jerman disesuaikan dengan struktur

suku-suku German (Aland 1980, 226-227); filsafat platonisme juga sangat

berpengaruh bagi kekristenan dalam hal, hubungan antara kekekalan dan waktu, apa

yang sejati dan apa yang kelihatan, realitas dan bayang-bayang (berperan dalam

teologi transubstansiasi). Selanjutnya, banyak istilah dalam filsafat Yunani yang

digunakan dalam teologi Kristen, misalnya: keberadaan tertinggi, hakikat, prinsip dan

penggerak yang tidak bergerak. Itulah sebabnya Yustinus dan Clemens menganggap

filsafat Yunani sebagai “guru” yang membawa orang-orang kafir kepada Kristus

(Bosch 2001, 303-305; Aland 1980, 12).

Jan S. Aritonang, ketika menjelaskan istilah perjumpaan (encounter) dalam

bukunya Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, menyatakan bahwa

istilah perjumpaan itu mengandaikan adanya dua pihak yang setara atau sederajat

berjumpa secara seimbang, baik dalam arti fisikal maupun dalam arti konseptual

(perjumpaan gagasan, wawasan, wacana, dan pemahaman yang bersumber dari atau
7

didasarkan pada keyakinan dan penghayatan agama masing-masing) (Aritonang 2010,

1). Lebih lanjut Aritonang menjelaskan bahwa perjumpaan itu dapat bermakna ganda:

persesuaian (kecocokan, keakraban) ataupun bentrokan (konflik atau sengketa). Yang

pasti, di dalam perjumpaan itu berlangsung dialog, yang pada gilirannya melahirkan

sesuatu yang baru atau suatu perubahan, baik pada diri zending sendiri maupun pada

manusia atau masyarakat yang dijumpai dalam konteks kehadirannya, meskipun

disadari hasilnya tidak memuaskan kedua belah pihak (Aritonang 1988, 3; Aritonang

2010, 2). Itu berarti, Injil dan Kebudayaan mestinya dapat berdialog untuk saling

memperkaya dan dapat menciptakan sesuatu yang berguna bagi perkembangan

masyarakat; bukan sebaliknya untuk saling menaklukkan (menguasai).

Sebelum Injil menyentuh suatu daerah atau masyarakat, Allah telah terlebih

dahulu bekerja di dalam dan melalui budaya suatu masyarakat untuk menata dan

memelihara masyarakat tersebut. Cara berpikir seperti inilah yang terus

dikembangkan oleh Eben Nuban Timo sehingga ia sangat memperhatikan kebudayaan

daerah-daerah di Timor untuk mengembangkan teologi kontekstual.4 Menurutnya,

Allah adalah Tuhan atas bangsa-bangsa, karena itu, Ilham-ilham Allah tidak bisa

dibatasi hanya pada satu bangsa saja. Ilham Allah juga terdapat dalam budaya, tradisi

4
Di samping Eben Nuban Timo, ada juga beberapa tokoh di Nusa Tenggara Timur (termasuk
zendeling Barat) yang memiliki cara berpikir yang sama, yang kemudian mulai berteologi secara
kontekstual melalui budaya, sejarah dan agama masyarakat di NTT. Tokoh-tokoh yang dimaksud
antara lain: Middelkoop (ada beberapa karyanya yang terkait dengan kebudayaan orang NTT,
khususnya suku Timor asli “Atoin Meto”. Dapat dipelajari dalam bukunya: Middelkoop, P. 1982. Atoni
Pah Meto: pertemuan Injil dan kebudayaan di kalangan suku Timor asli, terj. Jakarta:BPK Gunung
Mulia); Benyamin Fobia (Ia membahas Madah dalam Filipi 2:6-11, dikaitkan dalam konteks
kesusastraan suci di NTT, ikatan sosial keagamaan, keberadaan tertinggi dan peranannya di NTT.
Fobia, Benyamin. 1991. Madah Tua Berkumandang. Disertasi., STT Jakarta); dan Albinus Lodewyk
Netti (Ia juga membahas kontekstualisasi Injil dalam budaya di Timor melalui thesis dan disertasi
doktoralnya. Netti, Albinus Lodewyk. 1987. Ibadah dan Tata Ibadah GMIT: suatu tinjauan theologis
tentang Ibadah dan Tata Ibadah Minggu yang dapat dipakai oleh GMIT pada waktu ini. Thesis M.Th.,
STT Jakarta. Dan Netti, Albinus Lodewyk. 1998. Ibadah dan Misi. Disertasi Dr., STT Jakarta). Dengan
demikian, mereka sepakat bahwa budaya itu sangat penting bagi inkulturasi Injil Kristus, akan tetapi
upaya inkulturasi ini harus dilakukan dengan hati-hati agar dapat dipertanggungjawabkan keotentikan
kebenaran teologisnya serta tidak membuat Injil terserap masuk dalam budaya sehingga seakan-akan
budaya menguasai Injil.
8

dan agama setiap bangsa, termasuk dalam kebudayaan dan agama setiap suku-suku di

NTT. Bagi Timo, tugas gereja adalah melakukan dialog yang dinamis, dialektis dan

berkesinambungan antara Firman Allah dan kebudayaan.5 Agar melalui dialog yang

dinamis, dialektis dan berkesinambungan antara Injil dan Kebudayaan itu, gereja

dapat melahirkan teologi Kristen yang kontekstual (Timo 2006, ix-xi).

Dengan demikian, apakah perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan lokal

berujung pada sikap menolak Injil atau Kebudayaan, oleh karena anggapan bahwa

kehadiran Injil atau Kebudayaan dipandang dapat merugikan atau menghancurkan

laju perkembangan salah satu di antara Injil atau Kebudayaan? Atau sebaliknya, telah

terjadi titik-titik perjumpaan yang dialogis antara Injil dan Kebudayaan, yang

kemudian dapat ditunjukkan melalui berdirinya gereja di suatu wilayah tertentu,

masuknya pendidikan, diterimanya warisan budaya dalam gereja dan

dikembangkannya bentuk-bentuk teologi kontekstual dari budaya di mana Injil

berada? Sepanjang pengamatan penulis, titik-titik perjumpaan inilah yang sering

terjadi dalam sejarah gereja ketika terjadi perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan

lokal. Tidak tertutup kemungkinan kenyataan itu terjadi dalam sejarah gereja di Alor

pada umumnya dan Lawahing khususnya. Karena itu, melalui tesis ini, penulis akan

meneliti seluk-beluk perjumpaan Injil dan kebudayaan Lawahing, dan melihat

dampaknya bagi keberlangsungan kebudayaan lokal dan keberlangsungan Injil atau

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) di Alor.

5
Hal senada juga diungkapkan oleh Fransisca Widyawati dalam disertasinya The Development of
Catholicism in Flores, Eastern Indonesia: Manggarai Identity, Religion and Politic bahwa, harus ada
relasi agama dan kebudayaan lokal yang bersifat mutual dan dinamis. Menurutnya, perjumpaan dan
dialog antar agama dan kebudayaan merupakan suatu hal yang bersifat dinamis dan mutualis. Ini dapat
menjadi sesuatu yang positif karena perjumpaan dan dialog antara dua entitas yang berbeda dapat
saling mendukung dan memperkaya kedua entitas itu. Sebaliknya, pola relasi yang dominatif hanya
akan menegasikan makna eksistensi kedua entitas tadi dan menciptakan ruang kosong dalam
perjumpaan dan dialog. Dengan demikian, menurut Widyawati, perkembangan iman Katolik di
Manggarai merupakan salah satu contoh hubungan yang dinamis dan mutualis dalam perjumpaan dan
dialog antar agama dan kebudayaan lokal (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta website 2011).
9

Pertanyaan sekarang adalah: kapan masyarakat di Alor mengalami perjumpaan

dengan Injil Kristus? Menurut F.D. Wellem, agama Kristen Protestan menjamah

pulau Alor pada dasawarsa pertama abad ke-20. Ini ditentukan oleh dua informasi

penting, yaitu: informasi yang pertama dikatakan bahwa yang membawa Injil ke Alor-

Pantar adalah dua orang narapidana (Heo dan Mengga, mereka adalah orang Kristen)

yang dipindahkan dari penjara di Baa ke penjara di pantai Makassar, Alor Kecil, Alor.

Berkat pekerjaan mereka, dalam hal ini, beribadah dalam penjara dan pemberitaan

Injil kepada sesama narapidana, maka ada beberapa orang Alor menerima Kristus

sebagai Tuhan dan Juruselamat. Informasi yang kedua yaitu bahwa pada tanggal 22

Agustus 1901 Pdt. J.F. Niks, pejabat pendeta pembantu di Timor mengunjungi Alor-

Pantar. Dalam kunjungannya itu, ia membaptis seorang yang bernama William

Hatsarani. Itulah sebabnya tanggal 22 Agustus 1901, telah ditetapkan sebagai hari

lahirnya Gereja Protestan di Alor-Pantar (Wellem 2011, 114-115).

Selanjutnya, tutur Wellem, perkembangan Gereja Protestan di Alor-Pantar

tidak terlepas dari peran pemerintah Belanda, pendeta Belanda, pendeta pribumi, guru

jemaat rangkap guru sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan. Itu berarti

perjumpaan Injil dan Budaya lokal di Alor melibatkan banyak pihak termasuk orang

asli Alor. Namun, Wellem sendiri mengakui bahwa perkembangan kekristenan di

Alor-Pantar, yang ditandai dengan banyaknya baptisan massal, di satu sisi dapat

meningkatkan jumlah orang Kristen di Alor, tetapi tidak serta merta menjamin mutu

atau kualitas orang Kristen di Alor. Karena sampai saat ini masih banyak orang

Kristen di Alor-Pantar yang masih cinta dengan agama tradisional mereka. Inilah

pekerjaan rumah para pendeta (dan seluruh warga gereja) di Alor-Pantar untuk

menjadikan seluruh Alor menjadi Kristen (Wellem 2011, 115-123).


10

Sedangkan tentang suku Alor Lawahing, yang menjadi fokus penelitian

penulis, dapat secara singkat penulis jelaskan: Suku ini sejak dulu telah memiliki

pemahaman tentang hidup yang utuh sebagai satu kesatuan. Bagi mereka tidak ada

pemisahan antara hal-hal yang bersifat profan atau yang bersifat jasmani, dan hal-hal

yang sakral atau yang bersifat rohani. Kehidupan dipandang sebagai satu keutuhan

dan dipercaya bahwa ada pribadi yang mengaturnya. Pribadi itu memiliki kuasa

tertinggi yang tidak dimiliki oleh manusia. Pribadi itu disebut Lahtal atau Lahatala

(Tuhan Yang Tertinggi). Di samping itu, masyarakat Lawahing juga percaya adanya

para perantara, yang dapat menyelesaikan persoalan hidup yang tidak terlalu sulit.

Sedangkan persoalan yang sulit, seperti sakit penyakit dan kematian, mereka langsung

berhubungan dengan Lahatala tanpa perantara. Para perantara yang dimaksud adalah:

Mou Maha-maha (dewa yang bertugas untuk menyampaikan informasi kepada bulan

dan matahari), Ul (Bulan) dan Fed (Matahari) (Depdikbud 1983/1984, 21-23).

Keyakinan bahwa Lahatala adalah pribadi yang berkuasa dan yang selalu

berurusan dengan dunia jasmani dan rohani, membuat suku Lawahing melihat seluruh

alam semesta ini menjadi bagian dari manusia yang harus dihargai, bila perlu

disembah untuk kekuatan diri manusia. Keyakinan akan Lahatala yang agung itu,

membuat masyarakat mendekati seluruh peristiwa dalam dunia ini dengan upacara-

upacara pemujaan. Baik itu upacara adat perkawinan, upacara menolak bala, dan

upacara memanggil hujan. Segala sesuatu yang dikerjakan dalam dunia, selalu

dihubungkan dengan Lahatala sebagai pencipta, pemilik, dan pemelihara dunia

(Depdikbud 1983/1984, 21-23). Jika konsep tentang Lahatala yang menjiwai seluruh

kehidupan masyarakat Lawahing berjumpa dengan Injil, apakah yang terjadi? Apakah

kebudayaan dan agama suku Alor Lawahing dianggap sesat sehingga harus

ditinggalkan? Ataukah Injil menyerap unsur-unsur positif dari kebudayaan dan agama
11

suku Alor Lawahing untuk kepentingan pemberitaan Injil dan perkembangan

masyarakat Lawahing?

2. Perumusan Masalah

Pekabaran Injil yang diselenggarakan oleh para zendeling Belanda di Alor-

Pantar, berjumpa dengan budaya lokal di Alor pada umumnya dan Lawahing pada

khususnya. Tentu dalam perjumpaan itu kadang terjadi keakraban namun tidak

menutup kemungkinan terjadi penolakan. Tetapi yang pasti (merujuk pada pernyataan

Aritonang) di dalam perjumpaan itu berlangsung dialog, yang dapat melahirkan

sesuatu yang baru, baik pada diri zendeling (pemberita Injil) maupun pada masyarakat

yang dijumpainya (dalam hal ini masyarakat Alor Lawahing) (Aritonang 1988, 3).

Menurut Ariarajah, pada saat Injil dibawa ke Asia (termasuk ke Indonesia),

Afrika, Amerika Latin dan Pasifik oleh misi Katolik Roma (sejak abad ke-16) dan

Protestan pada abad ke-19 dan ke-20, sebagian besar pelayanan pekabaran Injil

disertai kolonisasi dan westernisasi. Kepercayaan diri yang dimiliki para kolonialis

berdasar pada rasa superior dalam kebudayaan dan agama. Kenyataan ini menjadikan

mereka dalam banyak hal menolak kebudayaan masyarakat di mana Injil diberitakan

(Ariarajah 1997, 3). Hal senada juga diungkapkan oleh Th. van den End, para

misionaris Barat pada umumnya menganggap budaya dan agama mereka lebih

superior dibanding budaya dan agama lokal. Bagi misionaris Eropa, kemanusiaan,

budaya dan agama harus membuat kemajuan moral dan ilmiah. Tentu ini hanya

menunjuk pada Eropa yang telah menerima Injil Kristus. Sedangkan, kemanusiaan,

budaya dan agama lokal dianggap tidak membawa kemajuan moral dan ilmiah,

bahkan belum menerima Injil. Itulah sebabnya budaya dan agama lokal tetap
12

tertinggal dan rendah. Karena itu, para misionaris berusaha menerapkan model

budaya Barat di setiap budaya lokal bahkan membawa masyarakat lokal pada pola

gereja bergaya Barat (Van den End 2008, 145-146; bnd. Wellem 2004, 2). Perasaan

superior inilah yang dibawa oleh para zending Barat ke Indonesia dalam

memberitakan Injil di kabupaten Alor, yang bagi penulis merupakan masalah

mendasar dalam perjumpaan Injil dan Budaya Alor Lawahing.

Beberapa peneliti di Alor-Pantar secara keseluruhan menyatakan, pada awal

perjumpaan antara Injil dan budaya Alor, budaya Alor umumnya dianggap kafir

(penyembahan berhala), karena itu harus dibakar atau dihancurkan. J.A. Adang dalam

“Ovo Min Ai Vetang” Hidup dan Karya Pelayanan Pdt. J.A. Adang, S.Th

menjelaskan:

…. Dalam Informasi dimaksud digambarkan juga bahwa pekerjaan penginjilan


menimbulkan kecemasan. Sebab, banyak bangunan dan barang-barang bernilai budaya
dan sejarah dimusnahkan jika ada yang ingin menjadi Kristen. Hal itu dijadikan sebagai
syarat pertobatan. Kita sulit untuk melacak keadaan di waktu lalu. Bagaimana sikap
pemberita Injil dan pendekatannya terhadap kebudayaan setempat. Demikian pula kita
sulit untuk merekonstruksi sikap penerimaan dan penolakan terhadap Injil dan penginjil
(Adang 2007. 52).

Dengan demikian, zendeling Barat masih sangat kental dengan pemikiran bahwa

segala sesuatu yang berhubungan dengan Barat lebih superior dibanding dengan

kebudayaan lokal. Namun sangat disayangkan, kelalaian dan keterlambatan gereja

(yaitu: Gereja Protestan di Alor-Pantar, GMIT, dan orang Kristen di Alor-Pantar)

dalam mendokumentasikan semua peristiwa sejarah, berdampak pada keterbatasan

literatur yang menjelaskan sejarah perjumpaan antara Injil dan kebudayaan Alor, yaitu

bagaimana sikap para zendeling terhadap budaya dan bagaimana sikap masyarakat

terhadap zendeling. Akibatnya, gereja pada masa kini kehilangan informasi yang

penting tentang perjumpaan itu.


13

Senada dengan Adang di atas, Susanne Rodemeier, ketika mengadakan

penelitian di Alor-Pantar (tepatnya di Tanjung Muna) menegaskan, sikap Protestan,

setidaknya di kepulauan Alor, sangat berbeda dengan Katolik dan Islam yang

menerima kebudayaan setempat. Menurutnya, pada tahun 1930 para misionaris

Protestan Calvinis melarang segala bentuk ibadah leluhur dan menghancurkan

sebagian besar peninggalan leluhur. Mereka secara drastis menuntut masyarakat untuk

menyangkal para leluhur melalui penghancuran benda-benda pusaka, serta

menghilangkan semua ritual tradisonal masyarakat. Akibatnya, masyarakat Alor

menjadi 'diam' dalam perjalanan waktu, mereka berhenti menceritakan cerita

tradisional dan cerita lokal mereka serta tidak lagi menyanyikan lagu-lagu ritual yang

dikaitkan dengan tarian tertentu. Inilah salah satu alasan mengapa mitos jarang

diceritakan dan pengetahuan tentang tradisi lokal sekarang sangat fragmentaris

(Rodemeier 2010, 177-178).

Selanjutnya, menurut penulis, baptisan massal yang dilayankan oleh para

zendeling di Alor-Pantar, dapat disebut sebagai sarana untuk menghancurkan atau

membakar semua benda-benda penyembahan termasuk patung-patung berhala.

Baptisan massal juga merupakan sarana untuk mencegah orang Alor masuk Islam dan

juga mencegah kepercayaan kepada agama suku (Enklaar 2003, 82-84; bnd.

Departemen Koperasi Inspektorat Jenderal 1990, 83). Benar bahwa gereja

membutuhkan komitmen dan keseriusan dari para calon baptis yang ingin menjadi

Kristen, dengan cara meninggalkan (membakar) semua bentuk berhala, sebagai tanda

putusnya hubungan dengan agama suku. Namun kemudian Wellem menegaskan,

meskipun intensitas baptisan massal di Alor-Pantar semakin tinggi, bahkan hampir

seluruh Alor-Pantar telah menjadi Kristen, toh pada kenyataannya sisa-sisa

kepercayaan agama suku (seperti: perdukunan, suanggi, penyembahan berhala, dll.)


14

masih melekat dalam kehidupan orang Alor-Pantar (Wellem 2011, 123). Karena itu,

menurut penulis, kekristenan seharusnya lebih terbuka terhadap budaya dan

kepercayaan masyarakat Alor, kemudian secara kritis mempelajari bahkan berdialog

secara dinamis dengan bentuk-bentuk dan nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan

lokal di Alor. Agar gereja tidak cepat menyimpulkan bahwa semua kebudayaan dan

kepercayaan lokal di Alor-Pantar adalah kafir/non-Kristen.

Ketika kita melihat semua bentuk bangunan gereja di Alor, yang dibangun

amat besar dan menjulang tinggi, maka pertanyaan yang muncul adalah: apakah

semua bentuk gedung gereja itu mencerminkan bentuk-bentuk kebudayaan Alor?

Menurut Cooley, karena gereja-gereja di Timor pada waktu itu dianggap sebagai

bagian (“filial”) dari Gereja Belanda, maka semua yang berhubungan dengan gereja,

termasuk bentuk-bentuk bangunan gereja, perabot dan peralatan gereja lainnya,

berorientasi pada Eropa (Cooley 1976, 29 & 30-31). Di sinilah letak persoalannya,

yaitu bahwa gereja-gereja di Alor-Pantar tidak membangun gedung gereja sesuai

dengan pola rumah adat di Alor. Karena membangun gedung gereja dengan pola

rumah adat Alor, tidak saja dapat membangkitkan memori masyarakat Alor akan

warisan kebudayaannya, tetapi sekaligus sebagai bentuk penghargaan gereja terhadap

warisan budaya lokal.

Namun, di sisi lain, Injil (gereja) telah menunjukkan sikap terbuka terhadap

warisan budaya lokal Alor. Keterbukaan ini terlihat melalui penyerapan Injil atas

konsep Lahtal atau Lahatala yang disembah oleh orang Alor sebagai pencipta dan

penguasa tertinggi. Nama Lahatala atau Lahtal itu kemudian dipakai sebagai sebutan

resmi untuk Allah. Tidak hanya itu, nama Lahatala juga merupakan “titik kuat” bagi

penyebaran Injil di seluruh kepulauan Alor. Ini merupakan model pekerjaan gereja

yang sangat menguntungkan dalam pekabaran Injil di Alor sehingga banyak orang
15

yang kemudian berbalik menjadi Kristen (Adang 2007, 51-52). Tentu masih ada

banyak sikap positif gereja terhadap kebudayaan yang dalam tesis ini tidak menjadi

perhatian penulis. Namun, yang pasti adalah gereja pada dasarnya memiliki dua sikap

terhadap kebudayaan: menolaknya atau sebaliknya membuka diri untuk berdialog

terus menerus dengan kebudayaan untuk kepentingan dan kekayaan bersama.

Penulis menyadari bahwa sangat terbatas literatur yang membahas perjumpaan

Injil dan Budaya Alor Lawahing, karena sejauh pengamatan penulis belum ada orang

yang menulis tentang ini. Meskipun demikian, ada beberapa literatur yang penulis

pakai sebagai pegangan; salah satunya adalah: proyek penelitian yang dikerjakan oleh

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tentang Upacara Tradisional yang

berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan daerah Nusa Tenggara Timur.

Dalam buku ini dijelaskan penelitian terhadap salah satu suku di Alor yaitu Lawahing,

meskipun buku ini merupakan hasil penelitian pada tahun 1983/1984, untuk

menginventarisasi, menggali, menyelamatkan, memelihara serta mengembangkan

warisan budaya bangsa dan tidak membahas tentang titik-titik perjumpaan antara Injil

dan kebudayaan setempat. Karena itu, penulis dalam kesempatan ini hendak

mengangkat bagian ini untuk diteliti atau dikaji secara historis dan teologis sebagai

warisan gereja bagi perkembangan sejarah gereja.

Adapun pertanyaan-pertanyaan yang harus diajukan untuk dikembangkan

dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Apakah Injil menjadi penghambat perkembangan budaya Alor Lawahing?

2. Bagaimana bentuk perjumpaan yang terjadi antara Injil dan budaya Alor

Lawahing?

3. Bagaimana sikap Gereja GMIT terhadap perjumpaan antara Injil dan budaya

Alor Lawahing?
16

3. Pembatasan Masalah

Sejarah perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan merupakan isu yang masih

bersifat umum dan luas jangkauan pembahasannya. Karena itu, dalam tesis ini,

penulis membatasi diri pada perjumpaan antara Injil dan Budaya Alor. Selanjutnya,

ketika penulis melihat kabupaten Alor yang memiliki banyak suku dan bahasanya,

maka penulis juga membatasi penulisan tesis ini pada perjumpaan antara Injil dan

Budaya Alor Lawahing.

Pembatasan ini tidak dibuat dalam segi waktu, melainkan pada aspek-aspek

tertentu dalam kebudayaan Alor Lawahing, seperti: sistem kepercayaan, sistem

kemasyarakatan, dan upacara-upacara adat. Memang pada bagian judul tesis, penulis

menyebutkan periode 1901-2002. Mengapa periode ini penulis pilih dan apakah

peristiwa-peristiwa penting yang terjadi? Penulis memilih tahun 1901 karena tahun ini

merupakan tahun awal kehadiran Injil di Alor-Pantar. Kemudian tahun 2002

merupakan tahun di mana gereja-gereja di Alor-Pantar, bersama sinode GMIT, Gereja

Katolik di Alor, dan Pusat Musik Liturgi di Yogyakarta, bersama-sama menyadari

bahwa budaya merupakan warisan leluhur yang sangat penting bagi pelayanan gereja.

Karena itu, semua nyanyian tradisional Alor-Pantar, dikemas sedemikian rupa

menjadi satu buku nyanyian yang berjudul “JADI SAKSIMU”.

Injil yang dimaksud dalam judul tesis ini adalah sejarah kehadiran gereja

(agama Kristen) di Alor-Pantar pada umumnya dan Lawahing khususnya. Melalui

kehadiran Injil, terjadilah perjumpaan yang intens antara Injil dan budaya lokal di

Alor-Pantar. Pembahasan juga difokuskan pada pekerjaan zendeling Belanda dan

pendeta pribumi yang merupakan penggerak awal perjumpaan antara Injil dan

Kebudayaan Alor Lawahing.


17

4. Hipotesa

Penelitian dan penulisan tentang Sejarah Perjumpaan antara Injil dan Budaya

Alor Lawahing berangkat dari hipotesa berikut:

1. Sampai ± 1950-an kekristenan telah membuat masyarakat Alor Lawahing

tercabut dari akar kebudayaannya.

2. Sejak 1960-an kekristenan memberikan kemampuan pada masyarakat Alor

Lawahing untuk hidup dan berkembang sebagai masyarakat modern yang

tetap memelihara warisan budayanya.

5. Alasan Pemilihan Judul dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan konteks permasalahan di atas, maka tulisan ini

akan diurakan di bawah judul: Perjumpaan antara Injil dan Budaya Alor Lawahing

(suatu studi historis-teologis tentang perjumpaan antara Injil dengan Masyarakat dan

Budaya Alor periode 1901-2002). Penulis tertarik untuk meneliti seluk-beluk

perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan Alor Lawahing, dan melihat dampaknya

bagi keberlangsungan kebudayaan lokal dan keberlangsungan Injil atau gereja-gereja

di Alor Lawahing.

Pernyataan bahwa Injil tidak hadir dalam dunia yang hampa, melainkan hadir

dalam dunia yang telah memiliki dan menerapkan sistem dan nilai-nilai budaya,

membuat perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan selalu berada dalam pergumulan

dan ketegangan yang tak berkesudahan atau yang tidak ada jawaban finalnya. Maka

sesungguhnya dialog yang dinamis, konstruktif dan mutual juga harus terjadi terus

menerus [yang oleh Lukito disebut the unending dialogue of Gospel and Culture
18

(Lukito 1999, 227)] antara Injil dan Kebudayaan. Dengan demikian, tugas untuk

meneliti, menginventarisasi dan mempelajari sejarah perjumpaan Injil dan

Kebudayaan adalah panggilan gereja yang mau tidak mau harus dikerjakan. Tentunya

pelaksanaan dari tugas panggilan ini bukan hanya akan bermanfaat bagi

perkembangan pelayanan gereja, tetapi juga dapat saling memperkaya keberadaan

Injil dan Kebudayaan.

Pelaksanaan baptisan massal yang dilakukan oleh para zendeling di Alor-

Pantar, di satu sisi menurut Wellem telah membuat peningkatan dari segi kuantitas,

yaitu hampir seluruh penduduk Alor-Pantar menjadi Kristen, tetapi di sisi lain, belum

ada perkembangan dari segi kualitasnya, karena menurut Wellem, pada kenyataannya

sisa-sisa kepercayaan agama suku masih melekat dalam kehidupan orang Alor-Pantar

(Wellem 2010, 123). Maka menurut penulis, upaya untuk mempelajari sejarah

perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan Alor harus dilakukan oleh gereja-gereja di

Alor, agar gereja dapat menemukan akar persoalan dan juga menemukan solusi

bagaimana menyikapi peningkatan kuantitas orang Kristen yang tidak sebanding

dengan meningkatnya kualitas umat Tuhan di Alor.

Akhirnya, penulis sadari bahwa sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah

dibuat tulisan yang secara khusus mengangkat tema sejarah perjumpaan Injil dan

Budaya Alor Lawahing. Jika ada, sifatnya pun masih tersebar dan sekilas. Itu artinya

studi ini menjadi urgen dan relevan sebagai upaya historis-teologis dari sejarah

perjumpaan Injil dan Budaya Alor di masa awal sejarah gereja, yang diselenggarakan

oleh zendeling Belanda dan pendeta pribumi, dan menjadi refleksi historis bagi GMIT

dalam menjalankan tugas panggilan pelayanannya di kabupaten Alor (khususnya

Lawahing) pada masa kini.


19

6. Metodologi Penelitian

Dalam rangka melaksanakan penulisan ini, maka metode yang dipakai oleh

penulis adalah sebagai berikut:

1. Penelitian kepustakaan (Library Research). Ini dilakukan dengan cara meneliti

dan mempelajari buku-buku atau literatur-literatur yang berbicara mengenai

pokok yang ditulis, yaitu Sejarah Perjumpaan Injil dan Budaya Alor

Lawahing.

2. Penelitian lapangan (Field Research). Ini dilakukan dengan cara: mengadakan

survei ke lapangan untuk memperoleh data lapangan yang objektif dan

mengadakan wawancara dengan sejumlah nara sumber (informan). Untuk

memperoleh data dari para informan ini, penulis melakukan wawancara

terstruktur (pertanyaan terarah).

7. Sistematika Penulisan

Sistematika Tesis ini adalah sebagai berikut:

Pendahuluan : Bagian ini berisikan Latar Belakang dan Konteks Permasalahan,

Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Hipotesa, Alasan

Pemilihan Judul, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab Satu : Bagian ini membahas sistem kebudayaan dan keagamaan masyarakat

Alor Lawahing sebelum mereka berjumpa dengan Injil. Melalui bab

ini akan terlihat konteks yang akan dijumpai oleh para pemberita

Injil ketika mereka memberitakan Injil di antara orang Alor

Lawahing.
20

Bab Dua : Bagian ini membahas kedatangan Injil di NTT dan Alor pada

umumnya dan Alor Lawahing pada khususnya. Melalui bab ini akan

terlihat badan zending apa saja yang membawa Injil masuk ke NTT,

Alor dan Lawahing, serta metode atau pola-pola pendekatan dan

upaya dibidang sosial (pendidikan dan kesehatan) yang telah mereka

upayakan di Alor Lawahing.

Bab Tiga : Bagian ini membahas seluk-beluk atau titik-titik perjumpaan antara

Injil dan Kebudayaan Alor Lawahing, menyangkut kepercayaan

tradisional (konsep Lahatala), ritual dalam bidang pertanian, ritual

dalam tradisi kematian, ritual agama suku dalam menolak bala

(malapetaka), dan upacara adat perkawinan.

Bab Empat : Analisis kritis dan penilaian teologis-misiologis tentang perjumpaan

Injil dan Budaya Alor Lawahing. Di sini dipaparkan faktor-faktor

yang mendukung dan menghambat perjumpaan Injil dan Budaya

Alor Lawahing, serta dampaknya bagi masyarakat dan institusi

GMIT di Lawahing. Dalam bagian ini pula diberikan penilaian

teologis terhadap perjumpaan Injil dan Kebudayaan Lawahing pada

saat Injil masuk dan relevansinya pada masa kini.

Bab Lima : Refleksi teologis, kesimpulan, dan saran. Bagian ini berisi ringkasan

dan pokok-pokok penting yang didapat dari hasil studi Bab I – IV.

Dalam bab ini juga diuraikan refleksi teologis dan saran dari penulis.

Anda mungkin juga menyukai