Penulis:
Sitti Muhsinah, Suci Tuty Putri, Rusna Tahir, Siti Latipah
Satriani, Nurhusna, Donny Richard Mataputun, Mukhamad Rajin
Melva Epy Mardiana Manurung, Rasdiyanah Muhlis
Penerbit
Yayasan Kita Menulis
Web: kitamenulis.id
e-mail: press@kitamenulis.id
WA: 0821-6453-7176
IKAPI: 044/SUT/2021
Sitti Muhsinah., dkk.
Pengantar Keperawatan Kritis
Yayasan Kita Menulis, 2023
xiv; 184 hlm; 16 x 23 cm
ISBN: 978-623-342-728-9
Cetakan 1, Februari 2023
I. Pengantar Keperawatan Kritis
II. Yayasan Kita Menulis
Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah AWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, buku Pengantar Keperawatan Kritis dapat selesai dan
diterbitkan untuk pembaca budiman. Penulisan buku ini dilakukan dalam
rangka menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat akan mutu
pendidikan dan pelayanan rumah sakit khususnya dalam pelayanan
Keperawatan Kritis.
Secara umum, buku ini sangat bagus dan cukup mudah untuk dipahami,
dalam proses pembelajaran baik bagi mahasiswa maupun dosen dalam
memahami tentang keperawatan kritis. Dalam tatanan praktik klinik buku
ini juga bisa menjadi referensi pemberian asuhan keperawatan baik bagi
perawat maupun mahasiswa praktik klinik keperawatan kritis. Buku ini
tentunya belum sempurna karna kesempurnaan hanya milik Allah SWT,
vi Pengantar Keperawatan Kritis
Penulis
Daftar Isi
1.1 Pendahuluan
Sejak pandemi COVID-19 terjadi peningkatan perawatan untuk pasien kritis di
seluruh dunia. Perawatan pada pasien kritis adalah proses merawat pasien yang
kondisinya mengancam jiwa atau berisiko perburukan. Perawatan kritis identik
dengan perawatan intensif. Perawatan kritis dilakukan secara multidisiplin dan
interprofesional terhadap manajemen pasien komprehensif yang memiliki atau
berisiko mengalami perburukan, akut, dan kerusakan organ yang mengancam
nyawa (Kayambankadzanja, et al., 2022).
Pasien kritis mendapat perawatan di Intensive Care Unit (ICU) yang mana
merupakan ruangan perawatan khusus dengan rasio staf yang tinggi,
pemantauan lanjutan, dan dukungan fungsi organ. Perawatan pasien yang
efektif menuntut adanya pendekatan terpadu mengenai sistem pencegahan,
early warning and response systems, pendekatan multidisiplin sebelum dan
selama dirawat ICU, serta tindak lanjut yang komprehensif atau perawatan
paliatif berkualitas baik (Jackson and Cairns, 2020).
Oleh karena itu pemahaman tentang konsep dasar keperawatan kritis dan
prinsip utama keperawatan kritis sangat penting bagi tenaga kesehatan
khususnya perawat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pasien kritis.
Pengelolaan pasien kritis tidak terbatas perawatan pasien di rumah sakit yang
2 Pengantar Keperawatan Kritis
memiliki ruang ICU atau UGD sj tetapi pada rumah sakit yang tidak memiliki
ruangan perawatan bagi pasien kritis dengan memadai.
Gambar 1.2: The Synergy Model dalam perawatan pasien (Sole, Klein and
Moseley, 2013)
Karakteristik pasien menjangkau kontinum sehat sakit. Adapun 8 karakteristik
pasien kritis (AACN, 2000) sebagai berikut:
1. Resiliency. Pasien memiliki kapasitas untuk kembali ke tingkat
fungsi restoratif dengan menggunakan mekanisme koping
kompensasi; kemampuan untuk bangkit kembali dengan cepat
2. Vulnerability: kerentanan terhadap tekanan aktual atau potensial yang
merugikan pasien
3. Stabilitas: kemampuan untuk mempertahankan kondisi stabil
4. Kompleksitas: keterikatan rumit dari dua atau lebih sistem (misalnya
tubuh, keluarga, dan terapi)
5. Resource Availability: ketersediaan sumber daya (misalnya teknis,
keuangan, pribadi, psikologis, sosial) yang dibawa oleh pasien,
keluarga, dan komunitas ke situasi tersebut.
6. Partisipasi pasien dan keluarga dalam aspek perawatan.
7. Partisipasi pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan
8. Prediktabilitas: karakteristik sumatif yang memungkinkan seseorang
memperkirakan lintasan penyakit tertentu
10 Pengantar Keperawatan Kritis
NO Kompetensi Penjelasan
2 Advokasi dan Agen Bekerja atas nama orang lain dan mewakili
moral kepentingan pasien/ keluarga dan staf perawat;
melayani sebagai agen moral dalam
mengidentifikasi dan membantu menyelesaikan
masalah etika dan klinis di dalam dan di luar
pengaturan klinis
2.1 Pendahuluan
Insiden luka bakar meskipun jarang terjadi dalam dekade terakhir namun
memerlukan perhatian dan penangan yang serius berkaitan dengan
keberlangsungan hidup penderita. Banyak luka bakar yang dapat dicegah dan
perawat memiliki peran untuk mencegah terjadinya luka bakar dengan
mengajarkan konsep pencegahan dan mempromosikan undang-undang yang
berkaitan dengan keselamatan kebakaran. Di Amerika Serikat sekitar 2 juta
orang memerlukan penanganan luka bakar setiap tahun, sekitar 4500 orang
meninggal akibat luka bakar ini(American Burn Association, 2000). Sebagian
luka bakar terjadi dirumah, biasanya di dapur saat memasak dan di kamar
mandi atau penggunaan listrik yang tidak tepat disekitar sumber air. Luka
bakar juga dapat terjadi akibat cedera yang berhubungan dengan pekerjaan.
Hanya sedikit dari kejadian luka bakar yang memerlukan perawatan dan
penangan intensif (intensive care unit). Keadaan luka inhalasi dapat
menyebabkan efek berbahaya hingga kematian. Sebagian besar dampak luka
14 Pengantar Keperawatan Kritis
Klasifikasi Karakteristik
luka bakar
Luka Bakar - Luka bakar derajat dua dengan kurang dari 15% luas
Ringan permukaan tubuh total(LPTT) pada dewasa atau kurang dari
10% LPTT pada anak.
- Luka bakar derajat tiga kurang dari 2% LPTT, tidak
melibatkan area khusus (mata, telinga, wajah, tangan, kaki
dan perineum)
- Tidak termasuk cedera listrik, cedera inhalasi, trauma
bersamaan dan pasien berisiko.
Luka Bakar - Luka bakar derajat dua, 15%-25% LPTT pada orang
Sedang dewasa atau 10-20% pada anak
- Luka bakat derajat tiga kurang dari 10%
- Tidak termasuk cedera listrik, cedera inhalasi,
16 Pengantar Keperawatan Kritis
Luka Bakar - Luka bakar tingkat dua melebihi 25% LPTT pada orang
Berat dewasa atau 20% pada anak.
- Semua luka bakar derajat tiga melebihi 10% LPTT
- Semua luka bakar area khusus (mata, telinga, wajah,
tangan, kaki dan perineum)
- Semua cedera listrik, cedera inhalasi, trauma bersamaan
dan pasien berisiko.
2.3 Patofisiologi
Panas yang mengenai tubuh tidak hanya kerusakan lokal tetapi memiliki efek
systemic. Efek luka bakar dapat menguasai hampir seluruh sistem tubuh,
terutama terhadap masalah cairan dan elektrolit, kardiovaskular, dan respirasi.
Luka bakar yang tidak lebih dari 25% luas permukaan tubuh total(LPTT)
biasanya menyebabkan respon local, namun jika lebih dari 25% dapat
menyebabkan respon lokal dan sistemik. Respon sistemik terjadi karena
adanya pelepasan cytokin dan mediator lainnya kedalam sirkulasi sistemik.
Pelepasan mediator local dan perubahan dari aliran darah, edema jaringan, dan
infeksi dapat menyebabkan progresivitas dari luka bakar (Jechke et al., 2012;
Smeltzer et al., 2008).
lebih besar dari oksigen. Pemberian oksigen 100% sangat penting untuk
mempercepat pembuangan karbon monoksisa dari molekul hemoglobin.
Indikator kemungkinan kerusakan paru antara lain sebagai berikut: Riwayat
luka bakar yang terjadi di ruangan tertutup, luka bakar pada wajah atau leher,
rambut hidung hangus, suara serak, perubahan suara, batuk kering, stridor,
batuk berdarah, sesak nafas atau takipneas dan tanda lain penurunan kadar
oksigen(hipoksemia), eritema dan lepuh pada mukosa mulut atau faring.
2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan luka bakar harus direncanakan sesuai dengan kedalaman luka
bakar, luas cedera dan respon sistemik.
Secara umum penatalaksanaan luka bakar meliputi(Ignatavicius et al., 2017;
Jechke et al., 2012; Sole et al., 1998)
1. Airway Management
Manajemen jalan nafas meliputi pembuatan intubasi jalan nafas
endotrakeal. Jika diperlukan maka dilaksanakan trakeostomi. Secara
umum, pasien dengan luka bakar wajh dan leher memerlukan intubasi
dalam 1 hingga 2 jam. Dalam kondisi distress pernafasan yang
berkembangan, intubasi dan pemberian ventilasi mekanik dapat
dilakukan. Positive end-expiratory pressure (PEEP) dapat digunakan
untuk mencegah kolaps alveoli dan kegagalan respirasi.
Bronkodilator juga dapat diberikan untuk mengatasi bronkospasme
yang berat. Keracunan CO di atasi dengan memberikan 100%
oksigen hingga carboxyhemoglobin kembali normal.
20 Pengantar Keperawatan Kritis
2. Terapi Cairan
Memberikan terapi cairan dengan intravena adalah Langkah penting
untuk resusitasi cairan dan administrasi obat. Sedikitnya 2 jalur IV
dapat diberikan pada pasien dengan luka bakar 15% atau lebih. Untuk
luka bakar lebih dari 30%, pertimbangkan untuk pemberian central
line. Pergantian cairan dengan caira kristaloid , albumin, atau
kombinsi keduanya.
Formula Parkland sering digunakna untuk menghitung penggantian
cairan, namun perlu di catat bahwa titrasi bergantung respon pasien
(output urine dan tanda-tanda vital). Pergantian cairan dihitung
berdasarkan berat badan dan LPTT (contoh 0,3-0,5/kg/%LPTT).
Menurut perhitungan Parkland (Baxter)*
Total kebutuhan cairan = 4 ml Ringer laktat per kilogram(Kg) berat
badan per persentase luas permukaan total tubuh luka bakar.
Penerapan
½ total kebutuhan cairan dalam 8 jam pertama
¼ total kebutuhan cairan dalam 8 jam kedua
¼ total kebutuhan cairan dalam 8 jam terakhir
3. Perawatan Luka
Perawatan luka penting dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
gangguan sistemik lainnya. Perawatan dapat dilakukan dengan
pembersihan dan debridement di tempat khusus brankar mandi atau
di tempat tidur pasien atau stetcher. Lebih lanjut, bedah debridement
di lakukan di ruang operasi. Infeksi dapat menyebabkan sepsis lebih
lanjut pada jaringan luka. Sumber infeksi dapat berasal dari flora
pasien, seperti kulit, system respirasi dan pencernaan.
Dua pendekatan untuk perawatan luka bakar adalah (1) metode
terbuka dan (2) penggunaan beberapa ganti balutan (metode tertutup).
Dalam metode terbuka, luka bakar pasien ditutupi dengan
antimikroba topical dan tidak membalut lukanya. Pendekatan ini
biasanya terbatas untuk perawatan luka bakar wajah. Dalam
pergantian balutan ganda, atau metode tertutup, balutan kasa steril
diresapi dengan atau diletakkan di atas antimikroba topikal. Dressing
Bab 2 Asuhan Keperawatan Klien dengan Luka Bakar dan Skingraft 21
ini berubah dari setiap 12 jam hingga sekali setiap 14 hari tergantung
produknya. Paling pusat luka bakar menggunakan teknik
tertutup.(Ignatavicius et al., 2017)
Penutupan kulit permanen adalah tujuan utama perawatan luka bakar.
Jarang ada cukup kulit yang tidak terbakar di luka bakar mayor (lebih
dari 50%) untuk pencangkokan kulit segera. Dalam situasi ini,
diperlukan metode penutupan luka sementara. Allograft (homograft)
kulit (dari mayat donor kulit) dapat digunakan, bersama dengan kulit
biosintetik yang lebih baru pilihan. Pendekatan pengobatan bervariasi
di antara pusat luka bakar.
diberi ventilasi
mekanik. Kaji respons
terhadap analgesik.
3. Berikan dukungan 3. Dukungan emosional
emosional dan sangat penting untuk
kepastian. mengurangi ketakutan dan
kecemasan meningkatkan
presepsi nyeri.
Diagnosa Keperawatan: Kecemasan berhubungan dengan ketakutan dan
dampak emosional luka bakar
Tujuan: Meminimalkan kecemasan pasien dan keluarga
1. Kaji pemahaman 1. Strategi penanggulangan ● Pasien dan
pasien dan keluarga yang sukses sebelumnya keluarga
tentang luka bakar, dapat dipupuk untuk mengungkapk
keterampilan koping, digunakan dalam krisis an
dan dinamika saat ini. Penilaian pemahaman
keluarga. memungkinkan tentang
perencanaan intervensi perawatan
individual. luka bakar
darurat
● Mampu
menjawab
2. Mengindividualisasika 2. Reaksi luka bakar sangat pertanyaan
n respons terhadap bervariasi. Intervensi sederhana
tingkat koping pasien harus sesuai dengan
dan keluarga. tingkat koping pasien
dan keluarga saat ini.
3. Jelaskan semua 3. Peningkatan pemahaman
prosedur kepada mengurangi rasa takut
pasien dan keluarga akan hal yang tidak
dengan jelas dan diketahui. Tingkat
sederhana. kecemasan yang tinggi
dapat mengganggu
pemahaman penjelasan
yang kompleks.
4. Pertahankan pereda 4. Nyeri meningkatkan
nyeri yang adekuat. kecemasan.
Bab 2 Asuhan Keperawatan Klien dengan Luka Bakar dan Skingraft 27
Gagal Pernapasan
Akut
1. Kaji peningkatan 1. Tanda- tanda tersebut
● Nilai gas
dispnea, stridor, mencerminkan status
darah arteri
perubahan pola pernapasan yang
dalam batas
pernapasan. memburuk.
yang dapat
2. Pantau oksimetri nadi, 2. Tanda-tanda tersebut
diterima:
darah arteri nilai gas mencerminkan
PO2>80 mm
untuk menurunkan penurunan oksigenasi
Hg, PCO2
PO2 dan saturasi status.
<50 mm Hg
oksigen, dan 3. X-ray dapat
● Bernafas
meningkatkan PCO2. mengungkapkan cedera
secara
3. Pantau hasil rontgen paru.
spontan
dada. 4. Manifestasi tersebut
dengan
dapat mengindikasikan
volume tidal
4. Kaji adanya hipoksia serebral.
yang adekuat
kegelisahan, 5. Gagal napas akut
● Hasil rontgen
kebingungan, mengancam jiwa, dan
dada normal
kesulitan menjawab intervensi segera
● Tidak adanya
pertanyaan, atau diperlukan.
tanda
penurunan tingkat 6. Intubasi memungkinkan
hipoksia
kesadaran. ventilasi mekanis.
serebral
5. Segera laporkan status Escharotomi
pernapasan yang memungkinkan ekskursi
memburuk ke dokter. dada yang lebih baik
28 Pengantar Keperawatan Kritis
dengan pernapasan.
6. Bersiaplah untuk
membantu intubasi
atau eskarotomi sesuai
indikasi.
Syok Distributif
1. Kaji penurunan 1. Tanda dan gejala tersebut ● Haluaran urin
haluaran urin, tekanan dapat mengindikasikan antara 0,5 dan
baji arteri pulmonal syok distributif dan 1,0 mL / kg /
dan arteri pulmonalis, volume intravascular jam
tekanan darah, dan yang tidak adekuat. ● Tekanan
curah jantung, atau darah dalam
peningkatan denyut rentang
nadi. normal pasien
2. Kaji adanya edema 2. Saat cairan berpindah ke (biasanya
progresif saat terjadi ruang interstisial pada >90/60 mm
perpindahan cairan. syok luka bakar, terjadi Hg)
edema dan dapat ● Denyut
mengganggu perfusi jantung dalam
jaringan. rentang
3. Sesuaikan resusitasi 3. Resusitasi cairan yang normal pasien
cairan bekerja sama optimal mencegah syok (biasanya
dengan dokter sebagai distributif dan <110/menit)
respons terhadap meningkatkan pasien ● Tekanan dan
temuan logika fisio. hasil. curah jantung
tetap dalam
batas normal
membantu jaringan.
eskarotomi.
Ileus Paralitik
1. Pertahankan selang 1. Tindakan ini meredakan ● Tidak ada
nasogastric dengan distensi lambung dan distensi
hisapan intermiten perut, juga mencegah abdomen
rendah sampai bising muntah. ● Bunyi usus
usus melanjutkan. normal dalam
2. Auskultasi bising 48 jam
usus, distensi 2. Saat bising usus
abdomen. berlanjut, pemberian
makan dapat dimulai
secara perlahan. distensi
abdomen mencerminkan
dekompresi yang tidak
adekuat.
Ulkus Curling
1. Kaji aspirasi lambung 1. PH asam menunjukkan ● Tidak ada
untuk pH dan darah. perlunya antasida atau distensi
penghambat histamin. abdomen
Darah menunjukkan ● Bunyi usus
kemungkinan perdarahan normal dalam
lambung. 48 jam
2. Kaji feses untuk darah 2. Darah dalam tinja dapat ● Aspirasi
samar. mengindikasikan tukak lambung dan
lambung atau duodenum. feses tidak
3. Berikan penghambat 3. Obat-obatan semacam mengandung
histamin dan antasida itu mengurangi darah
sesuai resep. keasaman lambung dan
risiko ulserasi.
Perawatan luka bakar memerlukan tindakan yang cepat dan tepat untuk
meminimalisir dampak lokal dan sistemik yang mungkin terjadi. Perawatan
intensif pada kasus luka bakar mayor diperlukan untuk menghindari risiko
kematian. Peran perawat sangat penting untuk mengkaji dan menangani
kondisi luka bakar pasien. Perawatan di mulai pada fase kegawatdaruratan atau
kritis, fase akut dan rehabilitasi.
Bab 3
Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Ventilasi Mekanik
3.1 Pendahuluan
Intensive Care Unit (ICU) diketahui sebagai salah satu unit di rumah sakit (RS)
yang menyediakan perawatan intensif di mana terapi dan perawatan fokus
pada penyelamatan nyawa pasien-pasien dalam kondisi kritis mengancam
jiwa. Penatalaksanaan kasus kompleks yang dialami pasien di ICU melalui
kolaborasi tenaga-tenaga profesional berbagai disiplin ilmu dan memerlukan
dukungan teknologi mutakhir melalui ketersediaan berbagai alat supporting
life, terapi kuratif yang agresif dan pemantauan intensif (Tahir, Mediani,
Emaliyawati, & Iqra, 2021). Salah satu komponen peralatan penunjang dalam
memberikan perawatan pasien kritis di ICU adalah alat bantu pernapasan atau
disebut dengan ventilasi mekanik.
Ventilasi mekanik menjadi bukti kemutakhiran teknologi dalam memberikan
dukungan kehidupan jangka pendek bagi pasien-pasien sakit kritis dengan
berbagai indikasi. Ventilasi mekanik memberikan ferforma dalam menyokong
fungsi fisiologi pernapasan mulai dari prinsip kerja sampai pengaturan fungsi
dasar pernapasan (Pham, Brochard, & Slutsky, 2017). Ventilasi mekanik
diberikan pada pasien yang mengalami gangguan dalam pemenuhan
32 Pengantar Keperawatan Kritis
kebutuhan oksigenasi sebagai akibat dari patologi sistem respirasi dan atau
komplikasi dari kegagalan sistem tubuh lainnya.
Ventilasi mekanik digunakan sebagai terapi yang pasti diberikan pada pasien
dalam kondisi kritis karena hipoksemia. Perawatan ventilasi mekanik
dilakukan di ruang perawatan intensif dengan dukungan tenaga kesehatan
yang memahami masalah dan kebutuhan perawatan spesifik pasien dengan
masalah utama oksigenasi, memahami prinsip-prinsip perawatan, kompetensi
kolaborasi interprofesional, pencegahan komplikasi dan perawatan pasca
penggunaan ventilasi mekanik.
Pasien kritis merupakan pasien dengan kondisi kesehatan yang berpotensial
terancam jiwanya. Kondisi kesehatan yang semakin kritis, membuat kondisi
kesehatan pasien rapuh, tidak stabil dan kompleks. Dengan demikian, pasien
kritis membutuhkan asuhan perawatan yang intensif di ruang ICU. Kebutuhan
pasien akan pelayanan ruang intensif terus meningkat seiring bertambahnya
kasus penyakit degeneratif dan kasus trauma. Perawatan pasien di ruang
intensif mencakup tindakan resusitasi, dukungan kehidupan untuk
mempertahankan fungsi vital dan fisiologis yakni jalan napas, pernapasan,
sirkulasi, dan dukungan nutrisi.
5. Pressure Support
Mode ini memberikan tekanan saat klien menarik napas untuk
mengurangi kerja pernapasan.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama yang dirasakan klien saat pengkajian, nyeri
biasanya merupakan keluhan utama
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui
metode PQRST atau CPOT dalam bentuk narasi
d. Riwayat Kesehatan Lalu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
penyakit sebelumnya seperti hipertensi, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi penyakit keturunan
dan menular.
2. Pemeriksaan Fisik Khusus
a. Airway
Pengakjian meliputi penilaian terhadap kepatenan jalan napas,
obstruksi jalan napas berupa sekret, darah, atau benda asing
b. Breathing
Pengkajian meliputi penilaian terhadap spontanitas pernapasan,
frekuensi pernapasan, irama napas, bunyi napas tambahan,
retraksi dada, batuk, penggunaan alat bantu napas, mode alat
bantu napas
c. Circulation
Pengkajian meliputi penilaian terhadap frekuensi nasi, irama
nadi, turgor kulit, capillary refill time, adanya perdarahan aktif
atau tidak, haluaran urin, dan fluktuasi hemodinamik
d. Disability
Pengkajian meliputi penilaian terhadap tingkat kesadaran
berdasarkan Glasgow Coma Scale, refleks cahaya, refleks pupil
dan rentang gerak motorik
3. Pemeriksaan Fisik head to toe yang dilakukan secara komprehensif
pada seluruh sistem tubuh
38 Pengantar Keperawatan Kritis
rentang usia, kasus ini sering terjadi pada wanita antara 15-35 tahun dan pada
pria sampai 40 tahun. (Price dan Wilson, 1995).
4.1.2 Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada
tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan
neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai 90
% reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu.
Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap
lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi
neuromuscular.(Narayanaswami et al., 2021)
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang
menyerang salah satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul
neuromukular-reseptor yang bereaksi terhadap neurotransmiter acetycholine.
Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot terganggu. Apa penyebab
tubuh untuk menyerang reseptor acetylcholine sendiri-reaksi autoimun-tidak
diketahui. Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus
kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem
kekebalan belajar bagaimana membedakan antara tubuh dan zat asing.
Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine.
Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar thymus bisa memerintahkan sel
sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine.
Orang bisa mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini. sekitar
65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran
kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus
(thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa
orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor
acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan
dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang
ini bisa memerlukan pengobatan berbeda (Dresser et al., 2021).
4.1.3 Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin
(Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat
reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah: Kelainan autoimun: direct
Bab 4 Asuhan KeperawatanMyastenia Gravis dan Tetanus Generalista 47
4.1.6 Penatalaksanaan
Menurut (Narayanaswami et al., 2021) penatalaksanaan pada pasien dengan
miastenia gravis adalah:
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
2. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Bab 4 Asuhan KeperawatanMyastenia Gravis dan Tetanus Generalista 49
4.1.8 Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat.
Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis.
(Dresser et al., 2021), yaitu:
Krisis miastenik; Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang
memuncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot
interkostal menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini, dibutuhkan antikolinesterase
yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak
memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan
stres seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan, atau selama
kehamilan, serta infeksi. Tindakan terhadap kasus ini adalah: kontrol jalan
napas, pemberian anti kolinesterase, bila diperlukan: obat imunosupresan dan
plasmaferesis. Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan
buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu,
karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan
dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-
obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat
diturunkan. (Safa et al., 2019)
Krisis kolinergik; Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-
obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja
telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan
karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan
dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan
sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial.
Status hiperkolinergik ditandai dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi
pupil, bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare, serta dapat pula timbul
gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini adalah: kontrol jalan napas,
penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan
atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine,
pasien harus diawasi secara ketat, karena sekret saluran napas dapat menjadi
Bab 4 Asuhan KeperawatanMyastenia Gravis dan Tetanus Generalista 51
kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat
bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat
diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah bila diperlukan: obat
imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg
intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis
miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat
gejala-gejala krisis kolinergik (Safa et al., 2019).
Diagnosa keperawatan:
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan
otot pernafasan
2. Risiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan
kontrol tonus otot fasial atau oral
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis
4.2.2 Penyebab
Spora bacterium clostridium tetani (C. Tetani). Kuman ini mengeluarkan toxin
yang bersifat neurotoksik (tetanospasmin) yang menyebabkan kejang otot dan
saraf perifer setempat. Termasuk bakteri gram positif. Bentuk: batang.
Terdapat: di tanah, kotoran manusia dan binatang (khususnya kuda) sebagai
spora, debu, instrument lain. Spora bersifat dorman dapat bertahan bertahun-
tahun (> 40 tahun).
54 Pengantar Keperawatan Kritis
4.2.4 Diagnosis
1. Riwayat dan temuan secara fisik: kenaikan tonus otot skelet: trismus,
kontraksi otot-otot kepala/wajah dan mulut, perut papan
2. Pemeriksaan laboratorium: kultur luka (mungkin negative)
3. Test tetanus anti bodi
4. Tes lain untuk menyingkirkan penyakit lain seperti meningitis, rabies,
epilepsy dll
4.2.6 Penatalaksanaan
1. Netralisasi toksin dengan tetanus antitoksin (TAT)
a. Hiperimun globulin (paling baik), dosis: 3.000-6.000 unit IM
Waktu paruh: 24 hari, jadi dosis ulang tidak diperlukan
Tidak berefek pada toksin yang terikat di jaringan saraf; tidak
dapat menembus barier darah-otak
b. Pemberian ATS (anti tetanus)
ATS profilaksis diberikan untuk (luka yang kemungkinan
terdapat clostridium: luka paku berkarat), luka yang besar, luka
yang terlambat dirawat, luka tembak, luka yang terdapat diregio
leher dan muka, dan luka-luka tusuk atau gigitan yang dalam)
yaitu sebanyak 1500 IU – 4500 IU ATS terapi sebanyak > 1000
IU, ATS ini tidak berfungsi membunuh kuman tetanus tetapi
56 Pengantar Keperawatan Kritis
4.2.7 Komplikasi
Hipertensi, Kelelahan, Asfiksia, Aspirasi pneumonia, Fraktur dan robekan otot
4.2.8 Pencegahan
Imunisasi tetanus, dipertimbangkan proteksi terhadap tetanus selama 10 tahun
setelah suntikan, DPT vaksin pada bayi dan anak-anak, ada juga yang
menganjurkan dilakukan imunisasi setiap interval 5 tahun, membersihkan
semua jenis luka setelah injuri terjadi, sekecil apapun, melahirkan di tempat
yang terjaga kebersihannya
5.1 Pendahuluan
virus baru yang dinamai severe acute respi ratory syndrome coronavirus-2
(SARS- ratory syndrome yang telah berlangsung sejak tahun 2019 sampai
sekarang, terdapat lebih dari 112 juta kasus ditemukan pada 210 negara di
seluruh dunia dengan lebih dari 2,49 juta kematian. Covid- 19 tidak hanya
mengganggu organ perna- pasan tetapi juga beberapa organ sekaligus. Lebih
jauh, terdapat laporan peningkatan angka kejadian nyeri pada pasien Covid-19,
termasuk adanya nyeri kronis pada pasien yang telah dinyatakan sembuh dari
Covid- 19. Infeksi SARS-CoV-2 dapat menyebabkan badai sitokin atau
cytokine storm yang berperan dalam patomekanisme nyeri termasuk nyeri
kronis. Nyeri ini sendiri, merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
beban penyakit secara global (The Global Burden of Disease Study).2 Di
seluruh dunia, beban yang disebabkan oleh nyeri kronis meningkat. Sekitar 1,9
60 Pengantar Keperawatan Kritis
load pada tubuh pasien. Pada beberapa kasus lain, tingginya virulensi pada
pasien juga mengindikasikan adanya timulus sistemik yang intens dan
lonjakan katekolamin yang dapat melemahkan sinyal nosiseptif sehingga
pasien berangsur angsur tidak dapat merasakan nyeri. Sebagian besar pasien
yang dirawat karena gangguan pernapasan dan gejala dengan penyakit terkait
virus lainnya mengalami nyeri yang signifikan dengan gejala nyeri kronis yang
sangat beragam.
Gejala nyeri yang paling umum ialah mialgia, artralgia, dan nyeri kepala.
Infeksi virus mampu menyebabkan nyeri otot karena aktivasi sitokin dan
stimulasi reseptor adrenergik yang terdapat pada serat otot polos dan rangka.11
Artralgia mungkin terjadi akibat inflamasi sendi yang diinduksi oleh virus atau
invasi virus langsung pada sendi.11 Nyeri kepala disebabkan oleh banyak
faktor antara lain gangguan miofasial, stres psikologis, dan patologi vascular
(misalnya arteritis temporalis, perdarahan kecil, tromboembolisme,
vasospasme,dan aneurisma) yang umum terjadi pada infeksi Covid-19. Nyeri
dada dapat terjadi akibat infeksi langsung paru-paru maupun respons inflamasi
akibat infeksi.11 Selain itu, nyeri dapat menjadi penanda keparahan virulensi
atau viral load yang tinggi yan kemudian dapat berkembang menjadi nyeri
kronis. Pasien yang mengalami nyeri secara signifikan lebih rentan masuk
ruang perawatan intensif atau intensive care unit (ICU) dan memiliki
mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Nyeri kronis saat infeksi dapat
menyebabkan depresi yang mengganggu Kesehatan mental sehingga modulasi
nyeri menjadi tidak normal. Jalur serotonergik spesifik dari nukleus rafe
dorsalis ke habenula lateralis melalui amigdala sentral diidentifikasi sebagai
sirkuit saraf kunci yang mengatur gejala depresi pada nyeri kronis. Jalur ini
mungkin mengalami gangguan pada pasien Covid-19 sehingga dalam jangka
panjang menyebabkan nyeri kronis.
Perubahan rutinitas sehari-hari akan memengaruhi intensitas nyeri dan tekanan
emosional. Kondisi yang kemudian secara signifikan memediasi kon disi
tersebut ialah usia lanjut, halangan dalam menerima perawatan medis,
perubahan dalam rutinitas sehari-hari, dan berkurangnya dukungan sosial.
Drozdzal et al9 mencoba menjelaskan patomekanisme nyeri dari sudut
pandang biologis dan mengabaikan faktor psikososial agar dapat lebih
memahami mekanisme biologis yang ter jadi. Diduga nyeri kronis mungkin
melibatkan ekspresi berlebihan dari sitokin-sitokin proin flamasi, seperti tumor
necoris factor-α (TNF-α) dan prostaglandin E (PGE2) dalam cairan
serebrospinal dan jaringan otot. Penelitian Drozdzal et al9 hanya difokuskan
Bab 5 Asuhan Keperawatan dengan kasus Sitoksin Storm di Ruang Intensive Khusus 63
terhadap dua jenis Abas et al: Chronic pain in post covid-19 patients nyeri
kronis, yaitu nyeri kepala kronis dan mialgia. Nyeri kepala dihipotesiskan
terjadi karena mekanisme inflamasi dan proses yang diperantarai sistem imun
(semacam hipersensitivitas). Nyeri sentral dapat diinduksi melalui sel-sel yang
angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) positif di kornu dorsalis medulla
spinalis melalui penurunan fungsi ACE2 yang kemudian menghasilkan
akumulasi angioten sin II dan penurunan angiotensin 1-7. Akumulasi ini
menyebabkan sensasi nyeri,baik munculnya nyeri neuropatik maupun
peningkatan transmisi nyeri dari jaringan nosisep tik yang mengalami
kerusakan.Jaringan nosiseptik yang paling umum mengalami kerusakan ialah
otot yang memberikan gejala mialgia. Mialgia merupakan salah satu gejala
paling umum saat menderita Covid-19 dan dapat menetap sampai beberapa
bulan setelahnya. Mial gia selama infeksi virus paling sering diperantarai oleh
interleukin-6 (IL-6), yang pada upre gulation regulasi naiknya menyebabkan
nyeri otot dan sendi. Mialgia pada pasien Covid-19 mungkin mencerminkan
peradangan umum dan respons sitokin (IL-6, IL-10, dan TNF-α), terutama
pasien dengan perjalanan penyakit sedang atau berat. Infeksi Covid-19
menyebabkan adanya perubahan nosiseptor. Beberapa ligan yang berpotensi
memodulasi neuron sensorik danbadai sitokin ditemukan pada pasien
yangtelah terinfeksi sehingga menyebabkan nyerikronis.Hasil ini ditemukan
berdasarkan analisis (ribonukleat acid squence) RNA-seqpada pasien yang tlah
dinyatakan bebas dari infeksi. Adanya badai sitokin akibat infeksi dapat
menjadi factor pen dorong potensial yang memengaruhi sistem neuropati serta
hipersensitivitas saraf sehingga pasien post-Covid-19 masih merasakan nyeri
Keterbatasan penelitian ini yang dapat memenga ruhi hasil penelitian antara
lain kecermatan dan pemilihan referensi sumber sesuai kata kunci maupun
kriteria yang telah ditentukan.
5.2 Definisi
Badai sitokin pada infeksi COVID-19 adalah keadaan di mana terjadi respons
imun yang berlebihan terhadap adanya stimulus dari luar dengan patogenesis
yang kompleks. Badai sitokin menyebabkan terjadinya perburukan penyakit
yang terjadi secara cepat dengan angka mortalitas yang tinggi. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa progresivitas penyakit berkaitan erat dengan adanya
peningkatan sitokin pada pasien pneumonia akibat SARS-CoV2. Terapi yang
64 Pengantar Keperawatan Kritis
5.3 Patogenesis
Penularan virus SARS-CoV-2 melalui droplet, kontak langsung, dan fomites.
Dimediasi oleh transmembrane protease serine-type 2 (TMPRSS2), protein
SARS-CoV-2 S berikatan dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2
(ACE2) untuk masuk dan menginfeksi sel. Entri virus diikuti dengan replikasi
translasi genom RNA. Sintesis asam ribonukleat terjadi pada membran sel
untuk memediasi replikasi virus dan membentuk virus baru. Enzim pengubah
angiotensin 2 terdapat pada mukosa mulut dan hidung, nasofaring, paru-paru,
lambung, usus halus, dan usus besar. kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati,
ginjal, otak, pembuluh darah sel endotel dan sel otot polos.3 Multiplikasi
berkembang di saluran pernapasan bagian bawah dan mukosa gastrointestinal
menyebabkan viremia ringan. Dengan kekebalan yang memadai untuk
menangani proses infeksi, pasien mungkin tampak tanpa gejala.Respon
antivirus yang efektif dari imunitas bawaan dan adaptif inang sangat penting
untuk mengendalikan replikasi virus, membatasi penyebaran virus, peradangan
dan membersihkan sel yang terinfeksi. Respon bawaan yang cepat dan
terkoordinasi dengan baik adalah garis pertahanan pertama melawan infeksi
virus. Namun, disregulasi dan respon imun yang berlebihan
pada sel manusia. Reseptor ini banyak terdapat di paru-paru manusia dan usus
kecil
mengganggu proses replikasi virus dan pelepasannya dari sel inang. Biasanya
dikombinasikan dengan ritonavir yang dapat meningkatkan aktivitas antivirus
lopinavir. Regimen yang dianjurkan adalah lopinavir 200 mg/ritonavir 50 mg,
2 tablet dua kali sehari selama 14 hari atau selama 7 hari setelah menjadi
asimtomatik. Favipiravir obat antivirus oral, adalah prodrug sintetik dari
nukleotida purin. Ini mengalami ribosilasi dan fosforilasi intraseluler menjadi
bentuk aktif favipirapir ribofuranosyl-5'-triphosphate (favipirapir-RTP).
Favipirapir-RTP dapat menghambat aktivitas RNA-dependent RNA
polymerase (RdRp), sehingga terjadi penghambatan transkripsi dan replikasi
genom virus. Favipiravir diberikan secara oral selama 7 – 10 hari, maksimal 14
hari dengan loading dose 1600 mg setiap 12 jam untuk hari pertama,
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 600 mg setiap 12 jam (hari ke 2 sampai
7 atau 10). Remdesivir adalah prodrug analog adenosin yang mengalami
metabolisme menjadi C-adenosin nukleosida trifosfat anolaque aktif. Bentuk
aktif (Favipirapir-RTP) bersaing dengan adenosin trifosfat dan bergabung
dengan untai RNA, menyebabkan terminasi dini atau sintesis RNA dan
menghentikan replikasi RNA. Dosis awal adalah dosis pemuatan tunggal 200
mg, diikuti dengan infus harian 100 mg selama 9 hari. mengakibatkan
penghambatan transkripsi dan replikasi genom virus. Favipiravir diberikan
secara oral selama 7 – 10 hari, maksimal 14 hari dengan loading dose 1600 mg
setiap 12 jam untuk hari pertama, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 600
mg setiap 12 jam (hari ke 2 sampai 7 atau 10). Remdesivir adalah prodrug
analog adenosin yang mengalami metabolisme menjadi C-adenosin nukleosida
trifosfat anolaque aktif.
Bentuk aktif (Favipirapir-RTP) bersaing dengan adenosin trifosfat dan
bergabung dengan untai RNA, menyebabkan terminasi prematur atau sintesis
RNA dan menghentikan replikasi RNA. Dosis awal adalah dosis pemuatan
tunggal 200 mg, diikuti dengan infus harian 100 mg selama 9 hari.
mengakibatkan penghambatan transkripsi dan replikasi genom virus.
Favipiravir diberikan secara oral selama 7 – 10 hari, maksimal 14 hari dengan
loading dose 1600 mg setiap 12 jam untuk hari pertama, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 600 mg setiap 12 jam (hari ke 2 sampai 7 atau 10).
Remdesivir adalah prodrug analog adenosin yang mengalami metabolisme
menjadi C-adenosin nukleosida trifosfat anolaque aktif. Bentuk aktif
(Favipirapir-RTP) bersaing dengan adenosin trifosfat dan bergabung dengan
untai RNA, menyebabkan terminasi prematur atau sintesis RNA dan
menghentikan replikasi RNA. Dosis awal adalah dosis pemuatan tunggal 200
mg, diikuti dengan infus harian 100 mg selama 9 hari. maksimal 14 hari
Bab 5 Asuhan Keperawatan dengan kasus Sitoksin Storm di Ruang Intensive Khusus 67
dengan loading dose 1600 mg setiap 12 jam untuk hari pertama, dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 600 mg setiap 12 jam (hari ke 2 sampai 7 atau 10).
Remdesivir adalah prodrug analog adenosin yang mengalami metabolisme
menjadi C-adenosin nukleosida trifosfat anolaque aktif. Bentuk aktif
(Favipirapir-
5.5 Perlakuan
Obat untuk pengobatan infeksi COVID-19 sebagian besar berasal dari studi
observasional dengan sedikit uji klinis tanpa memberikan bukti berkualitas
tinggi. Berdasarkan pedoman WHO untuk manajemen klinis COVID-19,
pengobatan dengan antivirus dan imunomodulator harus dalam konteks uji
klinis. Oleh karena itu untuk aspek hukum, di luar uji klinis, terapi investigasi
harus diberikan dengan kriteria sebagai berikut: pengobatan telah disarankan
oleh komite penasehat ilmiah yang memenuhi syarat berdasarkan analisis
risiko manfaat yang menguntungkan, serta komite etik yang memenuhi syarat
telah disetujui. penggunaan tersebut, persetujuan pasien diperoleh dan
penggunaan darurat obat dipantau dan hasilnya didokumentasikan dan
dibagikan secara tepat waktu dengan komunitas medis dan ilmiah yang lebih
luas.1Pada prinsipnya, pengobatan badai sitokin terutama berfokus pada
imunosupresi bersamaan dengan tindakan pengendalian pada faktor pemicu.
Obat yang diberikan pada infeksi COVID-19 terdiri dari terapi antivirus,
kortikosteroid, antibiotik, profilaksis tromboemboli vena dan terapi dengan
imunomodulator (klorokuin/hidroksi klorokuin, azitromisin, tocilizumab,
imunoglobulin intravena (IVIG), terapi plasma convalescen dan terapi sel
punca). Selain perawatan medis tersebut, perawatan suportif dengan terapi
oksigen, ventilasi non-invasif, dan dukungan ventilasi harus dilakukan secara
bersamaan sesuai dengan tingkat keparahan penyakitnya.
Klorokuin dan Hidroksiklorokuin Chloroquine dan hydroxychloroquine telah
digunakan dalam mengobati infeksi COVID-19 dengan tindakan sebagai
berikut:
1. Efek imunomodulator melalui penghambatan produksi sitokin. Ini
dapat menghambat jalur pensinyalan TLR-7 dan TLR-9 dan
menurunkan sekresi sitokin proinflamasi (IL-6, TNF-α, IL-1 dan
IFN-γ);
68 Pengantar Keperawatan Kritis
harus didasarkan pada diagnosis klinis, epidemiologi lokal dan data kerentanan
dan pedoman pengobatan nasional. Antibiotik harus diberikan sesegera
mungkin (dalam waktu 1 jam setelah penilaian awal jika memungkinkan),
idealnya dengan kultur darah yang diperoleh terlebih dahulu. Terapi antibiotik
empiris harus dikurangi berdasarkan hasil mikrobiologi dan penilaian klinis.
Tinjau secara teratur kemungkinan pengalihan rute pemberian intravena ke
oral dan berikan pengobatan yang ditargetkan berdasarkan hasil mikrobiologis.
penggunaan administrasi IVIG mungkin berguna bahkan pada fase yang lebih
lambat. Mekanisme utamanya adalah melawan efek buruk dari respon imun
yang tidak teratur. Kemanjuran terapi ini dikaitkan dengan konsentrasi NAbs
dalam plasma dari donor yang pulih. Imunomodulasi adalah kemungkinan
tindakan lain dari plasma pemulihan dengan mengendalikan sistem kekebalan
tubuh yang terlalu reaktif.
Manfaat terapi plasma konvalesen lebih besar bila digunakan secara tepat
waktu pada fase viremik awal karena tindakan utamanya adalah melalui
netralisasi langsung virus, sedangkan penggunaan administrasi IVIG mungkin
berguna bahkan pada fase yang lebih lambat. Mekanisme utamanya adalah
melawan efek buruk dari respon imun yang tidak teratur. Tocilizumab adalah
penghambat reseptor IL-6, yang bertindak untuk mengganggu sinyal IL-6 ke
sel efektor kekebalan, sehingga menurunkan aktivasi kekebalan dan
meredakan proses inflamasi. Dosis yang dianjurkan adalah 4-8 mg/kg BB.
Dosis yang dianjurkan adalah 400 mg dengan larutan garam 0,9% yang
diencerkan menjadi 100 ml. Waktu infus lebih dari 60 menit. Untuk pasien
dengan kemanjuran dosis pertama yang buruk, dosis tambahan dapat diberikan
dengan dosis yang sama dengan dosis awal setelah 12 jam. Tidak lebih dari 2
dosis harus diberikan. Dosis tunggal maksimum adalah 800 mg.
teoritis, plasma konvalesen cocok untuk mengobati penyakit pada fase gejala
awal.17 Keputusan untuk pengobatan pasien COVID-19 dengan plasma
pemulihan harus disetujui oleh spesialis perawatan kritis. Pengobatan ini
direkomendasikan untuk kasus konfirmasi (hasil positif dengan tes PCR) atau
kasus probable (bukti klinis/radiologis sesuai dengan COVID-19, tetapi hasil
tes PCR belum tersedia), pasien dengan COVID-19 yang
khusus, dan tetap merupakan sumber daya yang sangat terbatas. Oleh karena
itu penggunaannya sebagai penyelamat harus disediakan untuk pasien yang
dipilih dengan hati-hati.
5.8 Prognosa
Secara umum, prognosis ARDS pada infeksi COVID-19 bergantung pada
tingkat keparahan penyakit. Pasien dengan ARDS ringan biasanya memiliki
hasil yang baik dengan perawatan medis dan suportif dini. Kondisi pasien
mungkin reversibel jika terapi yang diberikan menunjukkan respon yang dapat
diterima. Namun, ARDS karena badai sitokin dapat menjadi parah dan
mengancam jiwa, menyebabkan kegagalan multi-organ bahkan dengan
perawatan medis yang agresif. Gangguan neurologis yang terjadi pada sindrom
ini mungkin bersifat reversibel tetapi dapat mengindikasikan komplikasi
berbahaya dari edema serebral atau kematian batang otak.
6.1.2 Penyebab
Berbagai peristiwa pemicu dapat menyebabkan kegawatdaruratan hipertensi.
Sebagian besar kedaruratan hipertensi terjadi pada pasien yang sudah
didiagnosis dengan hipertensi kronis. Ketidakpatuhan dengan obat
antihipertensi dan penggunaan simpatomimetik adalah dua penyebab yang
lebih umum. Ini menyebabkan peningkatan tekanan darah yang cepat di luar
kapasitas autoregulasi system tubuh.
Tingkat hipertensi merupakan hipertensi darurat. Tingkat kenaikan di atas garis
dasar kemungkinan merupakan kontributor yang lebih penting dan
menjelaskan mengapa pasien tanpa hipertensi kronis dapat menunjukkan
tanda-tanda darurat hipertensi pada tingkat yang jauh lebih rendah, sementara
pasien dengan hipertensi jangka panjang dapat mentolerir tekanan darah yang
sangat tinggi tanpa berkembang menjadi disfungsi organ akut (Froehlich,
Maggio, et al. 2018).
6.1.4 Penilaian
Pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah yang nyata,
anamnesis dan pemeriksaan yang cermat diperlukan untuk menentukan pasien
mana yang benar-benar mengalami hipertensi darurat. Gejala seperti sakit
kepala, pusing, perubahan status mental, sesak nafas, nyeri dada, penurunan
produksi urin, muntah, atau perubahan penglihatan memerlukan evaluasi lebih
lanjut. Sumber timbulnya hipertensi mendadak juga harus diselidiki untuk
pengobatan langsung. Temuan pemeriksaan yang diharapkan bervariasi
tergantung pada organ target spesifik yang paling terpengaruh. Dengan
disfungsi jantung, ronchi dapat terdengar pada auskultasi paru, distensi vena
jugularis atau edema perifer dapat dicatat, dan bunyi jantung tambahan dapat
terlihat. Pada kejadian hipertensi dengan onset yang sangat cepat, sering
terlihat dengan penyalahgunaan simpatomimetik, dispnea yang nyata tanpa
adanya edema perifer akibat flash pulmonary edema dapat ditemui (Shao,
Bab 6 Asuhan Keperawatan Krisis Hipertensi dan Ketoasidosis Diabetikum 77
6.1.5 Evaluasi
Evaluasi hipertensi emergensi juga tergantung pada gejala dan tanda yang ada.
Setelah ditentukan bahwa hipertensi darurat benar hadir atau kemungkinan,
laboratorium seperti panel metabolik, urinalisis, peptida B-natriuretik, dan
enzim jantung mungkin berguna. EKG direkomendasikan pada setiap pasien
yang dicurigai mengalami iskemia jantung. Computed tomography (CT)
kepala direkomendasikan pada pasien dengan keluhan atau tanda neurologis
akut pada pemeriksaan. Rontgen dada terbukti bermanfaat pada pasien dengan
sesak napas. Rontgen dada juga dapat menunjukkan pelebaran mediastinum
dalam pengaturan atau diseksi aorta, tetapi ini adalah penanda yang relatif
tidak sensitif, dan CT angiografi dada dan perut harus diperoleh untuk
menyingkirkan atau mengkonfirmasi diseksi dan untuk menentukan luasnya
dari robekan intimal (Watson, Broscious, et al. 2018)
6.2.3 Penyebab
DKA dapat terjadi pada pasien dengan diabetes melitus, paling sering
dikaitkan dengan defisiensi insulin relatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh
pencetus stres fisiologis atau dalam beberapa kasus, mungkin merupakan
presentasi klinis awal pada pasien dengan diabetes yang sebelumnya tidak
terdiagnosis. Beberapa faktor risiko yang lebih umum yang dapat memicu
perkembangan hiperglikemia ekstrim dan ketoasidosis selanjutnya adalah
infeksi, ketidakpatuhan terhadap terapi insulin, penyakit akut utama seperti
infark miokard, sepsis, pankreatitis, stres, trauma, dan penggunaan obat-obatan
tertentu. seperti glukokortikoid atau agen antipsikotik atipikal yang berpotensi
memengaruhi metabolisme karbohidrat (Chua, et al. 2011)
AKA terjadi pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol kronis. Pasien dapat
memiliki riwayat penggunaan alkohol yang lama dan mungkin juga
mengalami pesta mabuk-mabukan. Asam asetat adalah produk metabolisme
alkohol dan juga substrat untuk ketogenesis. Konversi menjadi asetil KoA dan
selanjutnya masuk ke berbagai jalur atau siklus, salah satunya jalur ketogenesis
ditentukan oleh ketersediaan insulin sebanding dengan hormon kontra-
regulasi, (Howard & Bokhari, 2022). Dalam kondisi normal, sel
mengandalkan glukosa darah bebas sebagai sumber energi utama, yang diatur
dengan insulin, glukagon, dan somatostatin. Seperti namanya, ketoasidosis
kelaparan adalah respons tubuh terhadap hipoglikemia puasa yang
berkepanjangan, yang menurunkan sekresi insulin, mengarahkan biokimia
menuju lipolisis dan oksidasi asam lemak produk sampingan untuk
memastikan sumber bahan bakar bagi tubuh.
semua usia dan terutama pada pecandu alkohol kronis tetapi jarang pada
peminum berat. Untuk ketosis kelaparan, ketosis ringan umumnya
berkembang setelah puasa 12 hingga 14 jam. Jika tidak ada sumber makanan,
seperti dalam kasus kekurangan sosial-ekonomi yang ekstrim atau gangguan
makan, ini akan menyebabkan biokimia tubuh berubah dari ketosis menjadi
ketoasidosis secara progresif, seperti yang dijelaskan di bawah ini. Hal ini
dapat dilihat pada cachexia karena keganasan yang mendasari, pasien dengan
disfagia pasca operasi atau pasca radiasi, dan asupan oral yang buruk
berkepanjangan (Seckold, et al. 2019)
6.2.5 Pemeriksaan
Pasien dengan DKA mungkin memiliki segudang gejala pada presentasi,
biasanya dalam beberapa jam setelah kejadian. Gejala hiperglikemia yang
umum, termasuk poliuria, polidipsia, dan terkadang presentasi yang lebih
parah termasuk penurunan berat badan yang tidak disengaja, muntah,
kelemahan, dan perubahan mental. Dehidrasi dan kelainan metabolisme
memburuk dengan tekanan osmolar yang tidak terkontrol secara progresif,
yang dapat menyebabkan kelesuan, obtundasi, dan bahkan dapat menyebabkan
gagal napas, koma, dan kematian. Nyeri perut juga merupakan keluhan umum
pada DKA. Pasien AKA biasanya datang dengan nyeri perut dan muntah
setelah menghentikan alkohol secara tiba-tiba. Pada pemeriksaan fisik,
sebagian besar pasien dengan ketoasidosis datang dengan gambaran
hipovolemia akibat kehilangan cairan dan elektrolit gastrointestinal atau ginjal.
Dalam kasus yang parah, pasien mungkin mengalami hipotensi dan syok yang
nyata. Mereka mungkin memiliki upaya pernapasan yang cepat dan dalam
sebagai mekanisme kompensasi, yang dikenal sebagai pernapasan Kussmaul.
Mereka mungkin memiliki bau buah yang berbeda pada nafas mereka,
terutama karena produksi aseton. Mungkin ada defisit neurologis pada DKA,
tetapi lebih jarang pada AKA. Pasien AKA mungkin memiliki tanda-tanda
penarikan seperti hipertensi dan takikardia. Ada tanda-tanda pengecilan otot
pada pasien dengan ketoasidosis kelaparan seperti massa otot yang buruk,
lemak tubuh minimal, tonjolan tulang yang jelas, pengecilan temporal,
kerusakan gigi, jarang, tipis, rambut kering dan tekanan darah rendah, denyut
nadi, dan suhu (George, et al. 2018)
84 Pengantar Keperawatan Kritis
6.2.6 Evaluasi
Evaluasi laboratorium awal pasien dengan dugaan DKA meliputi kadar
glukosa darah, keton, nitrogen urea darah, kreatinin, elektrolit, anion gap yang
dihitung, gas darah arteri, osmolalitas, hitung darah lengkap dengan
diferensial, kultur darah dan studi urin termasuk keton, urinalisis, kultur urin,
rontgen dada, dan elektrokardiogram. Hiperglikemia adalah temuan khas pada
presentasi dengan DKA, tetapi pasien dapat hadir dengan kisaran nilai glukosa
plasma. Meskipun kadar keton umumnya meningkat pada DKA, pengukuran
negatif pada awalnya tidak mengesampingkan diagnosis karena pengukuran
laboratorium keton sering menggunakan reaksi nitroprusida, yang hanya
memperkirakan kadar asetoasetat dan aseton yang mungkin tidak meningkat
pada awalnya karena beta-hidroksibutirat adalah keton utama yang
ditinggikan. Kesenjangan anion meningkat, seperti yang disebutkan di atas
karena keton adalah anion yang tidak terukur. Leukositosis dapat
mengindikasikan patologi infeksius sebagai pemicu dan biakan dikirim dari
darah, urin, atau sampel lain sesuai indikasi klinis. Natrium serum biasanya
relatif rendah karena pergeseran pelarut (air) dari ruang intraseluler ke
ekstraseluler karena tarikan osmotik dari hiperglikemia, dan karenanya,
natrium serum yang normal atau meningkat menandakan penurunan volume
yang parah. Kadar kalium serum dapat meningkat karena pergeseran dari
kompartemen intraseluler untuk ditukar dengan asam tanpa adanya insulin dan
kalium normal atau rendah, yang menunjukkan penurunan cadangan tubuh
secara keseluruhan dan kebutuhan selanjutnya untuk koreksi sebelum memulai
terapi insulin. suhu (George, et al. 2018)
Pada AKA, transaminitis, dan hiperbilirubinemia akibat hepatitis alkoholik
bersamaan juga dapat terjadi. Tingkat alkohol itu sendiri tidak perlu
ditinggikan karena ketoasidosis yang lebih parah terlihat begitu tingkatnya
turun, dan respons kontra-regulasi dimulai dan mendorong metabolisme ke
arah lipolisis. Hipokalemia dan peningkatan celah anion biasanya terlihat
dengan mekanisme yang mirip dengan yang terlihat pada DKA.
Hipomagnesemia dan hipofosfatemia adalah masalah umum yang terlihat pada
evaluasi laboratorium karena penurunan asupan makanan dan peningkatan
kehilangan. Seperti disebutkan di atas, pengukuran langsung serum beta-
hidroksibutirat lebih sensitif dan spesifik daripada pengukuran keton urin.
Pasien ketoasidosis kelaparan mungkin lagi memiliki kelainan elektrolit
multipel karena kekurangan gizi kronis, bersamaan dengan kekurangan
Bab 6 Asuhan Keperawatan Krisis Hipertensi dan Ketoasidosis Diabetikum 85
vitamin. PH mungkin tidak serendah DKA atau AKA, dan kadar glukosa
mungkin relatif normal.
7.1 Pendahuluan
Sistem endokrin merupakan salah satu bagian dari berbagai sistem tubuh yang
mempunyai fungsi utama sebagai homeostasis berbagai fungsi tubuh. Hormon
yang dihasilkan dalam organ endokrin sangat berperan dalam aktivitas tubuh.
Hormon insulin misalnya sangat berperan dalam keseimbangan glukosa tubuh.
Kekurangan insulin akan berdampak pada peningkatan glukosa darah
Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan
berbagai organ tubuh. Jika kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka
kadar hormon di dalam darah bisa menjadi tinggi atau rendah, sehingga
mengganggu fungsi tubuh untuk mengendalikan fungsi endokrin, maka
pelepasan setiap hormon harus diatur dalam batas-batas setiap hormon harus
diatur dalam batas-batas yang tepat.
Kelainan metabolisme seringkali disebabkan oleh kelainan genetik yang
mengakibatkan hilangnya enzim tertentu yang diperlukan untuk merangsang
suatu proses proses metabolisme. metabolisme. Pada keadaan keadaan tertentu
92 Pengantar Keperawatan Kritis
tertentu bisa terjadi terjadi kondisi kondisi kelainan kelainan sistem endokrin
yang membutuhkan penanganan segera atau gawat darurat, keadaan gawat
darurat endokrin terjadi karena akibat lebih lanjut dari kelainan fungsi dari
kelenjar dari kelainan fungsi dari kelenjar endokrin. Kondisi kritis adalah suatu
kondisi yang membutuhkan tindakan segera untuk menanggulangi ancaman
terhadap jiwa atau anggota badan seseorang gota badan seseorang yang timbul
secara tiba-tiba, keterlambatan penanganan dapat membahayakan pasien,
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau mengancam kehidupan
Kritis pada sistem endokrin adalah keadaan gawat darurat yang diakibatkan
gangguan dari sistem endokrin, sehingga terjadi kondisi mengancam jiwa
seseorang yang memerlukan pertolongan segera agar tidak terjadi kematian.
Keadaan gawat darurat endokrin bisa diakibatkan oleh karena terganggunya
produksi hormon baik kelebihan maupun kekurangan produksi hormon oleh
suatu kelenjar endokrin.
Kondisi gawat darurat sistem endokrin antara lain:
1. Miksedema / koma miksedema
2. Krisis Tirotosik (Thyroid storm)
3. Krisis Addison
4. Hipoglikemia.
5. Diabetes melitus
6. Diabetik Ketoasidosis (DKA)
7.2.4 Hipoglikemia
1. Definisi
Hipoglikemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh kadar gula
darah (glukosa) yang rendah. Dalam keadaan normal, tubuh
mempertahankan kadar gula darah antara 70-11- mg/dl .
Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut yang dialami
oleh penderita diabetes mellitus. Hipoglikemia disebut juga sebagai
penurunan kadar gula darah yang merupakan keadaan di mana kadar
glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena
ketidak seimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik
dan obat-obatan yang digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai
dengan gejala klinis antara lain penderita merasa pusing, lemas,
gemetar, pandangan menjadi kabur pandangan menjadi kabur dan
gelap, dan gelap, berkeringat dingin, detak berkeringat dingin, detak
jantung meningkat jantung meningkat dan terkadang sampai hilang
kesadaran (syok hipoglikemia) (Setyohadi, 2011)
2. Etiologi
Hipoglikemia bisa disebabkan oleh:
a. Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
b. Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang
diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar
gula darahnya
c. Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal
d. Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan
glukosa di hati.
3. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala Gejala-gejala hipoglikemia terdiri hipoglikemia terdiri
dari tiga dari tiga fase yaitu fase sub luminal sub luminal dengan
kadar gula darah 60-50 mg/dl gejala rasa lapar tiba-tiba. Fase kedua
adalah aktivasi dengan kadar gula darah 50-20 mg/dl yang muncul
gejala adrenergik seperti palpitasi, keringat keringat, tremor,
ketakutan, mual, muntah. Fase ketiga yaitu ketiga yaitu neurologi
dengan kadar dengan kadar gula darah < 20 mg/dl dengan adanya
Bab 7 Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Kritis Sistem Endokrin 105
Pucat Bingung
Keringat Keringat Bicara tidak jelas
dingin
Takikardi Perubahan Perubahan sikap perilaku p
Gemetar Lemah
Lapar Disorientasi
Cemas Penurunan kesadaran
Gelisah Kejang
Sakit kepala
Mengantuk
4. Patofisiologi
Hipoglikemia terjadi terjadi karena ketidak ketidakmampuan
mampuan hati memproduksi memproduksi glukosa yang dapat
disebabkan disebabkan karena penurunan penurunan bahan
pembentuk glukosa, pembentuk glukosa, penyakit hati atau
ketidakseimbangan hormonal. Pada pasien pasien hipoglikemia,
hipoglikemi, terdapat defisit terdapat defisit sel β langerhans, kedua
hormon pengatur insulin dan glukagon dan glukagon benar-benar
terputus. Respon terputus. Respon epinefrin terhadap hipoglikemia
juga semakin melemah. Frekuensi hipoglikemia berat, menurunkan
batas glukosa sampai ke tingkat plasma glukosa yang paling rendah.
Kombinasi Kombinasi dari ketiadaan glukosa dan respon epinefrin
epinefrin yang lemah dapat menyebabkan gejala klinis
ketidaksempurnaan pengaturan glukosa yang meningkatkan risiko
hipoglikemi hipoglikemi berat. Penurunan epinefrin pada
106 Pengantar Keperawatan Kritis
Tes diagnostik Hasil tes menunjukkan diabetes ketika terjadi pada dua
kesempatan terpisah:
1. Kadar glukosa serum puasa lebih dari 126 mg/dL.
2. Tes toleransi glukosa oral 2 jam lebih besar dari 200 mg/dL dengan
beban karbohidrat 75 g.
3. Pengambilan glukosa serum tanpa puasa lebih besar dari 200 mg/dL
setiap saat sepanjang hari.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan yang efektif untuk pasien dengan semua jenis diabetes
adalah untuk mengoptimalkan kontrol glukosa darah dan mengurangi
komplikasi. Perawatan untuk pasien dengan diabetes tipe 1 meliputi:
Penggantian insulin, perencanaan makan, latihan, transplantasi pankreas.
Perawatan untuk pasien dengan diabetes tipe 2 meliputi: Obat anti diabetik oral
untuk merangsang produksi insulin endogen, meningkatkan sensitivitas insulin
dalam sel, menekan glukoneogenesis hati, dan menunda penyerapan
karbohidrat GI.
Terapi insulin jika kontrol tidak tercapai dengan agen oral.
Perawatan untuk pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 meliputi:
1. Pemantauan kadar glukosa darah secara hati-hati.
2. Perencanaan makan individual untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
3. Pengurangan berat badan (untuk pasien obesitas dengan diabetes tipe
(2) atau jatah kalori tinggi tergantung pada tahap pertumbuhan dan
tingkat aktivitas (untuk pasien dengan diabetes tipe (1).
Bab 7 Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Kritis Sistem Endokrin 109
DKA dikategorikan sebagai ringan, sedang, atau berat tergantung pada tingkat
keparahan asidosis metabolik (dinilai dengan pH darah, bikarbonat, keton) dan
dengan adanya perubahan status mental
Penyebab:
DKA dapat terjadi akibat: infeksi, penyakit, operasi, stres, insulin tidak cukup
atau tidak ada. Pasien di unit perawatan kritis mungkin menderita diabetes
tetapi biasanya ada karena operasi atau kondisi medis lainnya.
Bagaimana terjadinya DKA?
Pada DKA, produksi dan pelepasan glukosa ke dalam darah mengalami
peningkatan atau penyerapan glukosa oleh sel-sel menurun. Dengan tidak
adanya insulin endogen, tubuh memecah lemak untuk energi. Dalam
prosesnya, asam lemak berkembang terlalu cepat dan diubah menjadi keton,
mengakibatkan asidosis metabolik yang parah.
Asidosis juga memengaruhi kadar kalium. Untuk setiap 0,1 perubahan pH, ada
timbal balik 0,6 perubahan kalium. Ketika asidosis memburuk, kadar glukosa
darah meningkat dan hiperkalemia memburuk. Siklus berlanjut sampai koma
dan kematian terjadi. Kelebihan molekul glukosa dalam serum memicu
terjadinya osmosis dan perpindahan cairan.
Kenali tanda dan gejala:
Pasien mungkin mengalami onset cepat mengantuk, pingsan, dan koma.
dehidrasi parah, pernapasan cepat dan dalam (pernapasan Kussmaul), bau
nafas buah karena aseton, poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat
badan, pengecilan otot, perubahan penglihatan, infeksi berulang, kram perut,
mual dan muntah, kram kaki.
Berbagai temuan digunakan untuk mendiagnosis DKA:
1. Glukosa serum meningkat (200 sampai 800 mg/dL).
2. Tingkat keton serum meningkat, Tes aseton urin positif.
3. Analisis gas darah arteri (ABG) mengungkapkan metabolisme
asidosis.
4. Awalnya, kadar kalium normal atau hiperkalemia, tergantung pada
tingkat asidosis.
5. Perubahan elektrokardiogram (EKG): hiperkalemia (gelombang T
tinggi, tented dan kompleks QRS melebar); hipokalemia (gelombang
Bab 7 Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Kritis Sistem Endokrin 111
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan untuk pasien dengan DKA termasuk rehidrasi, kontrol
kadar glukosa, dan pemulihan keseimbangan elektrolit dan asam basa. Jika
pasien koma, dukungan jalan napas dan ventilasi mekanis dapat diindikasikan.
1. Perbaiki dehidrasi terlebih dahulu, gunakan cairan intravena
2. Berikan terapi insulin (IV) dan penggantian cairan dan elektrolit
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Saat kadar glukosa darah mendekati 250 mg/dL, berikan cairan IV
berbasis dekstrosa. Untuk mencegah hipoglikemia.
4. Pantau kadar kalium. Saat kadar glukosa darah menjadi normal,
tambahkan kalium seperti yang diperintahkan ke cairan intravena
untuk mencegah hipokalemia.
5. Pantau tingkat ABG. Saat kadar glukosa darah menjadi normal,
asidosis dikoreksi. Kaji tingkat kesadaran pasien.
6. Pantau status pernapasan, termasuk saturasi oksigen. Pantau irama
jantung untuk aritmia.
7. Pantau tanda vital pasien, perubahan mencerminkan status hidrasi.
8. Pantau kadar glukosa darah dan elektrolit serum, kalium dan GDA.
9. Berikan penggantian cairan (IV) awalnya dengan 1 sampai 2 L
normal saline dan kemudian setengah normal saline. Bila kadar
glukosa darah pasien mencapai 250 mg/dL, antisipasi penambahan
glukosa pada cairan pengganti untuk mencegah hipoglikemia.
10. Berikan insulin reguler sesuai pesanan, biasanya sebagai dosis bolus
dan kemudian dengan infus, menggunakan pompa infus.
11. Pemasangan ventilator mekanik di ruang ICU diperlukan ketika
gangguan elektrolit menyebabkan penurunan tekanan osmotik koloid
dan pasien mengalami gagal nafas (Ranti, 2022)
112 Pengantar Keperawatan Kritis
Ketika pasien sakit akut dengan gangguan endokrin tiba di unit perawatan
kritis, informasi dapat diperoleh dari riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan
tes diagnostik digunakan untuk mengobati dan menstabilkan pasien.
Setelah pasien stabil, perawat dapat memperoleh data tambahan
1. Riwayat kesehatan
Lakukan tinjauan sistem tubuh yang lengkap. Tanya pasien tentang
pola kesehatan dan penyakit secara keseluruhan.
a. Status kesehatan saat ini
Keluhan umum yang berhubungan dengan gangguan endokrin
meliputi kelelahan, kelemahan, perubahan berat badan,
perubahan status mental, poliuria, polidipsia, dan kelainan
maturitas dan fungsi seksual.
b. Status kesehatan sebelumnya
Bab 7 Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Kritis Sistem Endokrin 113
b. Konsultasi dengan
medis jika tanda dan
gejala hiperglikemia
tetap ada atau
memburuk
c. Fasilitasi ambulasi jika
ada hipotensi
ortostostatik Edukasi
d. Anjurkan
menghindari olahraga
saat kadar glukosa
darah lebih dari 250
mg/dl
e. Anjurkan monitor
kadar glukosa darah
secara mandiri -
Anjurkan kepatuhan
terhadap diet dan olah
raga
f. Ajarkan pengelolaan
diabetes
(mis.penggunaan
insulin, obat oral,
monitor asupan cairan
penggantian
karbohidrat dan
bantuan professional
kesehatan).
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
insulin
b. Kolaborasi pemberian
cairan IV
c. Kolaborasi pemberian
kalium
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018)
Perfusi Perifer Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
tidak efektif (Standar Luaran Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia (
(SLKI) SIKI )
122 Pengantar Keperawatan Kritis
8.1 Pendahuluan
Syok adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa dengan berbagai penyebab
yang mendasarinya. Syok ditandai dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat
dan jika tidak segera dilakukan perawatan akan menyebabkan kematian sel.
Syok memengaruhi semua sistem tubuh, yang dapat berkembang dengan cepat
atau lambat tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Selama syok,
tubuh berjuang untuk bertahan hidup, mengaktifkan semua mekanisme
homeostatisnya untuk mengembalikan aliran darah dan perfusi jaringan
Dalam keadaan Syok aliran darah sistemik tidak cukup untuk memenuhi
oksigen dan nutrisi ke sel dan organ vital. Aliran darah yang memadai ke
jaringan dan sel membutuhkan beberapa komponen, yaitu: pompa jantung
yang memadai, sistem pembuluh darah atau sirkulasi yang efektif, dan volume
darah yang cukup. Ketika salah satu komponen terganggu, aliran darah ke
jaringan menjadi terbatas dan tidak memadai, hal tersebut mengakibatkan
pengiriman oksigen dan nutrisi yang buruk ke sel, kematian sel, disfungsi
organ, kemudian berkembang menjadi kegagalan organ, dan akhirnya
menyebabkan kematian (Bongard, 2008).
124 Pengantar Keperawatan Kritis
Perawat yang merawat pasien dengan syok atau berisiko syok harus
memahami mekanisme terjadi syok, tanda dan gejalanya. Penilaian awal dan
tindakan yang cepat sangat penting agar dapat menyelamatkan dan
memulihkan pasien. Diagnosis dan penatalaksanaan syok adalah di antaranya
tantangan paling umum yang harus dihadapi oleh perawat intensif. (Morton,
2013)
atau anuria. Tindakan koreksi cepat tanda dan gejala dengan rehidrasi
untuk mengembalikan volume darah adalah tindakan penting.
Tingkat keparahan syok hipovolemik tidak hanya bergantung pada
defisit volume tetapi juga pada usia dan status premorbid pasien.
Tingkat di mana volume darah yang hilang adalah faktor kritis dalam
respon kompensasi. Kehilangan volume dalam waktu yang lama,
bahkan pada yang lebih tua, dapat lebih baik ditoleransi daripada
kehilangan cepat. (Bongard, 2008)
Secara klinis, hipovolemik syok diklasifikasikan sebagai ringan,
sedang, atau berat tergantung pada volume darah yang hilang (Tabel
8.1). Sementara klasifikasi ini adalah generalisasi yang berguna,
tingkat keparahan penyakit sebelumnya dapat menyebabkan situasi
kritis pada pasien dengan hanya hipovolemia minimal (ringan).
pucat
● CRT tidak terukur
● Anuria
Pada Syok hipovolemik akan terjadi respons kompensasi pada hampir
semua sistem organ:
a. Efek Kardiovaskular
Pada saat kehilangan volume darah terjadi respon neuroendokrin,
meningkatkan sekresi angiotensin dan vasopressin yang
meningkatkan efek simpatik dan akibatnya terjadi peningkatan
denyut jantung dan vasokonstriksi perifer. Pelepasan adrenergik
menyebabkan penyempitan venula dan vena, yang mengurangi
kapasitas aliran vena dan terjadi perpindahan darah ke arah
jantung untuk meningkatkan pengisian diastolik dan volume
sekuncup. Penyempitan venular adalah satu-satunya mekanisme
kompensasi sirkulasi yang penting pada syok hipovolemik.
Melalui mekanisme homeostatis ini, curah jantung dan tekanan
darah dipertahankan.
Sfingter prekapiler dan vasokonstriksi arteriol menyebabkan
pengalihan aliran darah dan penurunan terbesar terjadi sirkulasi
visceral dan splanchnic. Pada awal syok terjadi penurunan aliran
darah usus dan penurunan hati. Penurunan aliran ke ginjal
menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus dan output urin,
sedangkan penurunan aliran kulit menyebabkan kulit dingin dan
diaporesis. Vasokonstriksi kulit merupakan respon untuk
mengalihkan aliran ke organ kritis seperti otak.
Peningkatan kecepatan aliran dalam mikrosirkulasi meningkatkan
pengiriman oksigen jaringan. Mekanisme pertukaran arus balik
mengendalikan oksigen berdifusi dari arteriol ke venula yang
berdekatan. Penyempitan arteriol meningkatkan kecepatan aliran
dan secara efektif mengurangi oksigen perifer. Dengan cara yang
sama, CO2 berdifusi dari postcapillary venula ke dalam arteriola.
Dengan tidak adanya vasokonstriksi arteriol, difusi tersebut dapat
meningkatkan volume CO2 yang mencapai jaringan dan dapat
memburuk asidosis jaringan.
Bab 8 Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Kritis Dengan Syok 127
f.
Efek Hematologi dan Trombotik
Ketika hypovolemia terjadi karena kehilangan volume cairan
tanpa kehilangan sel darah (emesis, diare, atau luka bakar)
menyebabkaan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas. Hal
tersebut kemudian menyebabkan trombosis mikrovaskular
dengan iskemia bagian distal.
g. Efek Neurologis
Stimulasi simpatik tidak menyebabkan vasokonstriksi yang
signifikan dari pembuluh darah otak. Autoregulasi pasokan darah
otak menjaga aliran tetap konstan selama tekanan arteri tidak
kurang 70 mm Hg. Di bawah level ini, kesadaran bisa hilang
cepat, diikuti dengan penurunan fungsi otonom.
h. Efek Gastrointestinal
Hipotensi menyebabkan penurunan aliran darah splanchnic.
Penurunan oksigen jaringan usus, yang dapat menyebabkan
sindrom iskemia-reperfusi atau translokasi usus bakteri.
3. Manifestasi Klinis
a. Gejala dan Tanda Utama
Tanda dan gejala syok hipovolemik bervariasi sesuai; usia pasien,
kondisi premorbid, tingkat kehilangan volume, dan waktu terjadi
syok. Frekuensi Nadi dan tekanan darah tidak selalu menjadi
indikator yang dapat diandalkan untuk melihat keparahan
hipovolemi. Pasien yang lebih muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan volume oleh vasokonstriksi dan
sedikit meningkatkan denyut nadi. Selanjutnya, hipovolemia
berat bisa mengakibatkan bradikardia. Pemeriksaan tekanan
darah orthostatik sering membantu. Dalam keadaan normal
tekanan darah orthostatik menurun kurang dari 10 mm Hg. Pada
hypovolemia, terjadi penurunan lebih besar dari 10 mm Hg, dan
tekanan tidak kembali normal dalam beberapa menit. Sedangkan
Pasien yang lebih tua, tekanan darah normal saat terlentang
sering menjadi hipotensi saat dibawa ke posisi tegak.
Bab 8 Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Kritis Dengan Syok 131
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Defisit basa dan laktat
adalah ukuran sukses dan lengkap resusitasi. Titik akhir untuk
resusitasi termasuk serum tingkat asam laktat lebih rendah dari 2,5
mmol/L dalam waktu 24 jam setelah cedera dan menormalkan tanda-
tanda vital tanpa perdarahan yang berkelanjutan.
lainnya. Pada dosis ini, keluaran urin dapat meningkat, dan resistensi
vaskular paru menurun. Dosis lebih tinggi dari 0,04 unit/menit dapat
menyebabkan efek vasokonstriksi yang tidak diinginkan.
Agen Antimikroba diberikan setelah identifikasi penyebab sepsis.
Perawat perlu Mengkaji riwayat pasien untuk menentukan
kemungkinan penyebab infeksi. Apabila sumber tidak dapat
diidentifikasi, terapi spektrum luas melalui studi empiris yang efektif
terhadap gram positif, gram negatif, dan bakteri anaerob.
Obat anti hiperglikemia diperlukan untuk mengontrol glukosa darah
tetap di bawah 130 mg/dL. Hiperglikemia umumnya terjadi pada
pasien kritis. Terdapat berbagai faktor berkontribusi hiperglikemia,
yaitu; peningkatan kadar hormon stres, resistensi insulin perifer, obat-
obatan, dan infus dekstrosa. Hiperglikemia memiliki sejumlah efek
merugikan yaitu; penurunan adhesi leukosit, kemotaksis neutrofil,
dan fagositosis. Hiperglikemia juga mungkin bersifat protrombotik.
Kontrol ketat hiperglikemia telah terbukti meningkatkan hasil
perawatan dan mengurangi kegagalan multi-organ. Selain itu, kontrol
ketat telah terbukti mengurangi lama tinggal di ICU, mengurangi
respon inflamasi, mengurangi penggunaan antibiotik, mengurangi
insiden dan durasi polineuropati, dan mengurangi jumlah hari
ventilator.
Kortikosteroid bermanfaat jika diberikan dosis rendah dengan jangka
waktu yang lebih lama. Namun dikontraindikasikan pada pasien
dengan aktif atau risiko perdarahan. Pasien septik memerlukan
dukungan multimodalitas, termasuk gastrointestinal dan ginjal.
Profilaksis untuk mencegah ulserasi lambung harus dilengkapi
dengan blokade reseptor H2 atau pompa proton inhibitor. Selain itu,
fungsi ginjal harus dipantau ketat. Profilaksis yang memadai terhadap
trombosis vena seperti heparin dengan berat molekul rendah.
142 Pengantar Keperawatan Kritis
c. Kolaborasi Farmakologi
Setelah status volume dioptimalkan, obat-obatan untuk
meningkatkan kemampuan miokardium diperlukan. Inotropik,
vasodilator, dan diuretik semuanya dapat digunakan. (Bongard,
2008)
Dobutamine adalah obat inotropik pilihan untuk pengelolaan
gagal jantung kongestif dan serangan jantung. Sifat agonis β1-
adrenergik memiliki efek kronotropik dan vasokonstriktor perifer
minimal. Memiliki keunggulan signifikan dibandingkan dopamin
dalam hal tidak menyebabkan pelepasan norepinefrin. Karena
efek kronotropiknya yang minimum, dobutamin dapat
meningkatkan kinerja ventrikel tanpa secara signifikan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
146 Pengantar Keperawatan Kritis
9.1 Pendahuluan
Penyakit kritis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa dan tergantung
pada dukungan medis yang intensif agar organ vital tetap dapat berfungsi
(Mebis dan Van den Berghe, 2009). Penyakit kritis seperti penyakit jantung,
kanker, dan stroke adalah penyebab kematian utama didunia. Angka
peningkatan tertinggi terjadi di negara-negara menengah dan miskin. Lebih
dari dua pertiga (70%) dari penduduk dunia diperkirakan akan meninggal
karena penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan
diabetes dan Tahun 2030 diprediksikan terjadi 52 juta kematian setiap tahun
(Senften, J., & Engstrom. A., 2013). Perawat sebagai salah satu tenaga
kesehatan professional harus memiliki kemampuan melakukan tindakan yang
bersifat intelektual, interpersonal, moral, bertanggung jawab dan
berkewenangan melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien kritis dan
menjelang ajal.
150 Pengantar Keperawatan Kritis
10.1 Pendahuluan
Trauma adalah penyebab kematian utama pada manusia antara usia 1 dan 44
tahun. Pada kelompok usia yang lebih tua, penyebab kematian ini hanya
dilampaui oleh kanker dan penyakit kardiovaskular. Bagaimanapun kerugian
akibat trauma dalam hal kehilangan kesempatan hidup produktif, melebihi
kerugian yang ditimbulkan oleh kanker dan penyakit kardiovaskular. (Rice D,
1989). Sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan, trauma telah menjadi
masalah kesehatan dan sosial yang signifikan.
Kemajuan dalam bidang perawatan pasien trauma telah dicapai dalam
beberapa dekade terakhir. Perkembangan pusat-pusat pelayanan trauma telah
menurunkan mortalitas dan morbiditas diantara korban kecelakaan. Perawatan
dan sarana angkutan prarumah sakit yang semakin baik telah menyebabkan
kenaikan jumlah korban kecelakaan dengan keadaan kritis sampai ke rumah
sakit dalam keadaan hidup. Akibatnya, pasien trauma yang tiba di unit
perawatan kritis sekarang ini cenderung mengalami cedera serius yang
158 Pengantar Keperawatan Kritis
5. Penanganan
a. Kontrol nyeri dengan menghambat saraf interkostal, analgesia
yang dikontrol pasien (PCA/ patient-controlled analgesia),
epidural analgetik
b. Hindari penggunaan narkotik, yang dapat memicu depresi
pernapasan dan hipoventilasi
c. Intubasi dan ventilasi mekanis (MV) menggunakan tekanan
positif untuk menjaga kestabilan flail secara internal
6. Intervensi
a. Kaji memar leher dan dada di daerah sabuk pengaman, yang
dapat mengindikasikan cedera/trauma yang berhubungan dengan
tulang dada
b. Palpasi emfisema subkutan (krepitus) pada area dada, yang
menyebabkan udara dari paru-paru keluar melalui kulit yang
mengalami trauma
c. Monitor secara terus-menerus untuk cedera yang lain seperti
kebocoran pembuluh darah atau kontusio paru, flail mungkin
tidak muncul sampai pasien terlihat kesulitan untuk bernapas.
d. Monitor pneumonia dengan menilai suhu, suara crackles, dan
kultur/ sensitivitas sputum. Pneumonia adalah penyebab
komplikasi yang paling sering dari trauma dada
e. Pemberian analgesik sesuai protokol, termasuk PCA dan epidural
untuk mengontrol nyeri yang menyebabkan hipoventilasi.
2. Prognosis
Cedera yang parah pada area trakeobronkial dapat meningkatkan
angka kematian.
3. Interpretasi hasil tes
a. Rontgen sumsum tulang belakang pada level servikal harus
mengesampingkan pada tulang pada sumsum tulang belakang
b. Rontgen kepala dan leher untuk melihat seberapa besar cedera
dan perdarahan
c. MRI pada leher untuk melihat seberapa besar cedera dan
perdarahan
d. Rontgen dada akan memberikan gambaran diagnosis emfisema
subkutan
e. ABG akan membantu mengetahui gangguan pertukaran gas
4. Tanda dan Gejala Klinis
a. sering tidak diketahui dan tidak jelas
b. batuk
c. Hemoptisis
d. Emfisema subkutan
e. Serak
f. Cemas dan kebutuhan pernapasan meningkat
g. Stridor
5. Penanganan
Untuk menjaga kepatenan saluran pernapasan diperlukan trakeostomi
darurat, khususnya jika terjadi pembengkakan yang parah. Ventilasi
mekanis diperlukan jika terjadi gangguan pertukaran gas. Monitor
dan penanganan syok merupakan hal yang simptomatis.
Tabel 10.1: Penanganan
Jechke, M. G., Kamolz, L.-P., Sjöberg, F., & Wolf, S. E. (2012). Handbook of
Burns Vol 1 : Acute Burn Care (Vol. 1).
Kayambankadzanja, R. K. et al. (2022) ‘Towards definitions of critical illness
and critical care using concept analysis’, BMJ Open, 12(9), pp. 1–11. doi:
10.1136/bmjopen-2022-060972.
Kemp HI, Corner E, Colvin LA. (2020) Chronic pain after COVID-19:
implications for rehabilitation. Br J anaesth.;125(4):436-40.
Kolegium Dokter Indonesia, & Ikatan Dokter Indoneisa. (2019). TETANUS
Modul Dasar Penguatan Kompetensi Dokter di Tingkat Pelayanan
Primer. Icd, 1–16.
Li T, Chen X, Zhang C, Zhang Y, Yao W. (2019) An update on reactive
astrocytes in chronic pain. J Neuroim mune Pharmacol
[Internet].;16(140):1-13. Available from: https://jneuro inflammation.
Bbiomedb central.com/track/pdf10.1186/s12974-019-1524-2
Luchtefeld. (1990). Pulmonary Contusion. Focus on Critical Care (17 ed.).
Jakarta: EGC.
Mancini M, K. J. (1991). Decision Making in Trauma Management: A
Multidiciplinary Approach. Philadelphia: BC Decker.
Martinez R, P. P. (1991). Blunt chest trauma: Early Management. Patient Care
(25 ed.). Jakarta: EGC.
Martínez-Díaz AM, Palazón-Bru A, Folgado-de la Rosa DM, Ramírez-Prado
D, Navarro-Juan M, Pérez-Ramírez N, Gil-Guillén VF. (2019 ) A one-
year risk score to predict all-cause mortality in hypertensive inpatients.
Eur J Intern Med. Jan;59:77-83. [PubMed]
Maryanti, Y. (2022). Laporan Kasus: Diagnosis dan Tatalaksana Tetanus
Generalisata. Jurnal Ilmu Kedokteran (Journal of Medical Science),
16(2), 134. https://doi.org/10.26891/jik.v16i2.2022.134-138
Mebis, L & Van den Berghe, G. (2009). The Hypothalamus-Pituitarythyroid
Axis in Critical Illness. Neth J Med 2009; 67: 332-40.
Meier, E. A., Gallegos, J. V., Thomas, L. P. M., Depp, C. A., Irwin, S. A., &
Jeste, D. V. (2016). Defining a good death (successful dying): literature
review and a call for research and public dialogue. The American Journal
of Geriatric Psychiatry, 24(4), 261-271.
Daftar Pustaka 175
Mills SEE, Nicolson KP, Smith BH. (2019) Chronic pain: a review of its
epidemiology and associated factors in population-based studies. Br J
Anaesth.;123(2):e273.
Moore E, M. K. (1991). Trauma. Norwalk, CT, Appleton & Lange. Jakarta:
EGC.
Morton, P.G, Fontaine, D.K.,(2013), Critical care nursing : a holistic approach.
Fontaine10th edition, Lippincott Williams & Wilkins
Narayanaswami, P., Sanders, D. B., Wolfe, G., Benatar, M., Cea, G., Evoli, A.,
Gilhus, N. E., Illa, I., Kuntz, N. L., Massey, J., Melms, A., Murai, H.,
Nicolle, M., Palace, J., Richman, D., & Verschuuren, J. (2021).
International Consensus Guidance for Management of Myasthenia
Gravis: 2020 Update. Neurology, 96(3), 114–122.
https://doi.org/10.1212/WNL.0000000000011124
National Coalition For Hospice And Palliative Care. (2018). Clinical practice
guidelines for quality palliative care (4th editio). Richmond, VA: National
Coalition for Hospice and Palliative Care.
Nyenwe EA, Kitabchi AE. (2016 ) The evolution of diabetic ketoacidosis: An
update of its etiology, pathogenesis and management. Metabolism.
Apr;65(4):507-21. [PubMed]
Paini A, Aggiusti C, Bertacchini F, Agabiti Rosei C, Maruelli G Arnoldi C,
Cappellini S, Muiesan ML, Salvetti M. (2018 ) Definitions and
Epidemiological Aspects of Hypertensive Urgencies and Emergencies.
High Blood Press Cardiovasc Prev. Sep;25(3):241-244. [PubMed]
Panjaitan, D. K., Sinatra, J., & Siahaan, D. L. (2021). Hubungan Penggunaan
Ventilator Mekanik Terhadap Kejadian Ventilator Associated
Pneumonia (VAP). JKM, 14(1), 31-40.
Penatalaksanaan klinis COVID-19 (2020) . Bimbingan Sementara. Jenewa :
Organisasi Kesehatan Dunia;.
Pham, T., Brochard, L. J., & Slutsky, A. S. (2017). Mechanical Ventilation :
State of the art. Mayo Clinic Procedings Vol 92 No 9 Elsevier, 1382-
1400.
PPNI, D. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan (1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
176 Pengantar Keperawatan Kritis
Sejak Tahun 2019 hingga kini Ia berkerja sebagai Staf Dosen Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Ternate. Sejumlah Sertifikat Penghargaan
baik sebagai Pemateri dalam pelatihan maupun seminar Nasional dan
Internasional di bidang Keperawatan telah diraihnya. Pada pelaksanaan
Tridharma Perguruan tinggi Ia telah menghasilkan berbagai Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat yang berkaitan dengan Keperawatan termasuk bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana. Buku Bahan Ajar ini adalah salah
satu wujud dari upaya untuk menerapkan hasil Riset dan Pengabdian
Masyarakat tersebut menjadi penguatan Referensi dalam pembelajaran terkait
yang dapat digunakan oleh Mahasiswa Keperawatan Diploma dan Ners,
maupun Perawat professional di Pelayanan Klinik dan Rumah Sakit.