Anda di halaman 1dari 160

BUNGA RAMPAI

Potensi Budidaya
Ikan Lokal Prospektif:
BAUNG Hemibagrus nemurus
BUNGA RAMPAI
Potensi Budidaya
Ikan Lokal Prospektif:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Dewan Penyunting:
Prof Dr Ir Brata Pantjara, MP
Prof Dr Ir Rudhy Gustiano, MSc
Ir Anang Hari Kristanto, MSc, PhD
Dr drh Angela Mariana Lusiastuti, MSi

Penyunting Pelaksana:
Deni Radona, SPi, MSi
Vitas Atmadi Prakoso, SPi, MSc
MH Fariduddin Ath-Thar, SPi, MSi

Penerbit IPB Press


Jalan Taman Kencana No. 3,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/10.2019
Judul Buku:
BUNGA RAMPAI POTENSI BUDIDAYA IKAN
LOKAL PROSPEKTIF: BAUNG Hemibagrus nemurus
Penulis:
Tim Penulis
Dewan Penyunting:
Prof Dr Ir Brata Pantjara, MP
Prof Dr Ir Rudhy Gustiano, MSc
Ir Anang Hari Kristanto, MSc, PhD
Dr drh Angela Mariana Lusiastuti, MSi
Penyunting Pelaksana:
Deni Radona, SPi, MSi
Vitas Atmadi Prakoso, SPi, MSc
MH Fariduddin Ath-Thar, SPi, MSi
Penyunting Bahasa:
Bayu Nugaraha
Mutia Rizqydiani
Korektor
Dwi M Nastiti
Penata Isi dan desain Sampul:
Makhbub Khoirul Fahmi
Jumlah Halaman:
148 + 10 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Oktober 2019
PT Penerbit IPB Press
Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
www.ipbpress.com

ISBN: 978-602-440-942-5

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku


tanpa izin tertulis dari penerbit
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................ v
PRAKATA.................................................................................................vii
PROLOG................................................................................................... ix
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN
Brata Pantjara, Anang Hari Kristanto,
Rudhy Gustiano, dan Reza Samsudin ............................................................1

KEANEKARAGAMAN IKAN BAUNG


Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)
Rudhy Gustiano, Vitas Atmadi Prakoso,
Muhammad Hunaina Fariduddin Ath-thar, dan Irin Iriana Kusmini...........15

MANAJEMEN INDUK IKAN BAUNG


Anang Hari Kristanto, Muhammad Hunaina Fariduddin Ath-Thar,
Otong Zenal Arifin, dan Brata Pantjara.......................................................27

TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG


Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin,
Vitas Atmadi Prakoso, dan Deni Radona......................................................39

PEMELIHARAAN LARVA DAN BENIH IKAN BAUNG


(Hemibagrus nemurus)
Irin Iriana Kusmini, Deni Radona,
Anang Hari Kristanto, dan Vitas Atmadi Prakoso..........................................55

NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG


Mas Tri Djoko Sunarno, Reza Samsudin,
Deisi Heptarina, dan Muhamad Sulhi..........................................................71
vi Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

PARAMETER KUALITAS AIR OPTIMUM


UNTUK INDUK IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)
Yohanna R Widyastuti, Lies Setijaningsih,
Adang Saputra, dan Nurhidayat..................................................................85

KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA


UNTUK BENIH IKAN BAUNG
Ani Widiyati, Adang Saputra, Tri Heru Prihadi, dan Yosmaniar....................95

PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN IKAN BAUNG


(Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA
Taukhid, Desy Sugiani, dan Tuti Sumiati...................................................107

APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN


IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)
Angela Mariana Lusiastuti, Nunak Nafiqoh, dan Septyan Andriyanto..........129

EPILOG..................................................................................................147
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga buku bunga rampai dengan judul
“Potensi Budidaya Ikan Lokal Prospektif: Baung Hemibagrus nemurus”
telah terselesaikan. Buku bunga rampai ini merupakan hasil dari berbagai
kajian riset dan pengalaman peneliti di Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar dan Penyuluhan Perikanan Bogor.
Budidaya ikan baung telah berkembang di masyarakat sejak beberapa tahun
silam karena mempunyai pangsa pasar yang baik. Ketersediaan benih yang
berkualitas dan berkecukupan sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan
budidaya. Untuk itu, pengelolaan induk ikan baung dalam menghasilkan telur
dan sperma yang berkualitas, serta teknik pemijahan buatan dan kelengkapan
panti benih yang memadai dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan
benih ikan baung yang berkualitas. Berbagai aktivitas sangat penting dan
menjadi perhatian utama dalam penyediaan benih, misalnya pemilihan induk
yang akan digunakan dalam pemijahan, sistem pemeliharaan induk, teknik
pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air, nutrisi induk ikan baung,
parasit dan penyakit, serta predator ataupun pesaingnya telah dibahas dalam
buku bunga rampai ini.
Semoga buku bunga rampai ini bermanfaat dan dapat menjadi acuan dalam
meningkatkan ketersediaan benih ikan baung secara nasional.

Kepala Pusat Riset Perikanan

Waluyo Sejati Abutohir, SH, MM


PROLOG

Arah dan kebijakan perbenihan nasional telah ditetapkan dalam Undang-


Undang No 31 Tahun 2004 jo. UU 45/2009 tentang perikanan dan diatur
dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/PERMEN-KP/2016,
yaitu tentang cara pembenihan ikan yang baik, pedoman dan tata cara
mengembangbiakkan ikan melalui manajemen induk, pemijahan, penetasan
telur, dan pemeliharaan larva atau benih dalam lingkungan terkontrol
melalui penerapan teknologi yang memenuhi kriteria dan persyaratan teknis,
manajemen, keamanan pangan, dan lingkungan. Untuk membangun sektor
perikanan, khususnya perikanan budidaya diperlukan ketersediaan benih
secara kontinu. Benih yang diperlukan harus memenuhi persyaratan untuk
budidaya dalam menunjang industri perikanan.
Bunga rampai ini disusun dengan maksud untuk menyajikan informasi
tentang perbenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus) yang diharapkan dapat
mendukung pengembangan perikanan budidaya secara nasional. Karena
teknologi perbenihan ikan baung cukup kompleks, terutama dalam mengurangi
tingkat kanibalisme di tingkat larva, berbagai upaya perlu dilakukan, seperti
pemberian shelter, penyeragaman ukuran, dan pemberian pakan yang kontinu.
Artikel-artikel dalam bunga rampai ini membahas berbagai isu terkait
perbenihan ikan baung. Karena itu, bunga rampai ini diberi judul “Potensi
budidaya ikan lokal prospektif: Baung Hemibagrus nemurus”. Dalam
buku ini disajikan 12 artikel termasuk prolog dan epilog. Artikel pertama
membahas prospek perbenihan ikan baung dalam mendukung industri
perikanan. Pengembangan budidaya dan usaha pelestarian ikan baung akan
terlaksana apabila tersedia benih yang berkualitas secara kontinu, penggunaan
pakan yang tepat dan pencegahan penyakit, serta terjaganya lingkungan hidup
yang baik untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhannya. Ketersediaan
induk dan benih ikan berkualitas baik masih terbatas. Artikel selanjutnya
membahas tentang keanekaragaman ikan baung yang termasuk dalam genus
Hemibagrus dan merupakan anggota famili Bagridae. Famili ini merupakan
salah satu famili ikan berkumis (catfish) yang hidup di air tawar dan payau
x Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

di Asia dan Afrika. Artikel berikutnya membahas tentang manajemen induk


dan benih, pakan, kualitas air, pencegahan, dan pengendalian penyakit pada
ikan baung. Manajemen induk yang tepat akan menghasilkan kualitas telur,
sperma, larva, benih yang baik, serta dapat meminimalkan kematian induk
melalui pengaturan kualitas air, pemberian pakan yang tepat, dan pencegahan
penyakit.

Editor
PROSPEK PERBENIHAN
1.

IKAN BAUNG DALAM


MENDUKUNG INDUSTRI
PERIKANAN
Brata Pantjara, Anang Hari Kristanto,
Rudhy Gustiano, dan Reza Samsudin

Salah satu sumber daya perikanan perairan umum di Indonesia yang


mempunyai peluang dan prospek cukup cerah untuk pengembangan budidaya
air tawar adalah ikan baung (Hemibagrus nemurus). Di Jawa Barat, ikan baung
mempunyai harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga ikan mas.
Ikan baung sangat diminati masyarakat karena rasa dagingya yang lezat,
tekstur dagingnya sangat lembut dan gurih, serta tidak memiliki duri halus
(sedikit durinya). Selain itu, ikan baung mempunyai nilai gizi dan protein
yang cukup tinggi sehingga sangat baik untuk dikonsumsi.
Ikan baung cenderung ada kemiripan dengan ikan patin, namun perbedaan
yang mudah dikenali dari kedua jenis ikan ini antara lain ikan patin memiliki
tubuh yang lebih panjang, sedangkan baung lebih pendek. Perbedaan lainnya
yaitu pada sirip ikan patin berbentuk agak runcing, sedangkan sirip baung
lebih condong ketumpul. Selain itu, bagian kepala ikan patin lebih kecil
dibandingkan kepala ikan baung yang cenderung lebih besar dan pipih. Bila
dilihat dari tingkat kekerabatannya, ikan baung masih tergolong satu famili
dengan ikan lele (Muflikhah et al. 1998; Samuel et al. 1995). Bobot baung
dewasa berkisar dari 2–5 kg, namun baung yang hidup di alam bobotnya bisa
mencapai lebih dari 5 kg. Di alam liar maupun di kolam pembudidayaan,
ikan baung  mempertahankan dirinya dengan cara mematil menggunakan
pangkal sungut dan kepalanya. Patilan baung lebih beracun daripada patilan
ikan lele. Oleh karena itu, biasanya para pemancing atau pembudidaya
baung menggunakan sarung tangan supaya tidak terkena patil yang beracun
tersebut.
2 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Ikan baung termasuk ke dalam hewan nokturnal atau hewan yang aktif di
malam hari. Dengan demikian, baung baru mencari makan pada malam hari,
sedangkan ketika siang hari biasanya berdiam diri di sarang atau di lubang-
lubang berlumpur di tepi sungai. Di habitat aslinya, ikan  baung termasuk
golongan omnivora atau pemakan segala. Oleh karena itu, kehidupannya
di alam liar biasanya memakan ikan-ikan kecil, serangga, lumut, dan cacing.
Ikan baung dapat hidup pada suhu 20–33°C. Faktor yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan ikan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, kecernaan
makanan, laju pencernaan, frekuensi pemberian pakan, penyerapan zat
makanan, serta efisiensi dan konversi pakan (Ibrahim et al. 2008; Izquierdo
et al. 2001; Millamena et al. 2002).
Ikan baung banyak ditemukan di perairan Kalimantan, Sumatera, Jawa, hingga
beberapa daerah di wilayah Indonesia timur. Ikan ini dapat dibudidayakan
di kolam maupun keramba jaring apung Ikan baung (Suhenda et al. 2010).
Di perairan umum, ikan baung dapat ditemukan di rawa, danau, dan waduk,
namun baung sebenarnya lebih suka hidup di perairan yang memiliki arus
cukup deras, seperti sungai sehingga ikan tersebut lebih banyak hidup
di sungai. Ikan baung memiliki berbagai keunggulan, yaitu toleransi terhadap
kualitas air dan penyakit relatif tinggi, toleransi terhadap berbagai kondisi
lingkungan, efisien dalam membentuk protein kualitas tinggi dari berbagai
bahan organik, serta memiliki kemampuan tumbuh yang baik (Khairuman
dan Amri 2010; Nwadukwe dan Ayinla 2004).
Ekspor perikanan Indonesia sudah terdistribusi di berbagai negara. Pada skala
ekonomi makro, data International Trade Center (2017) menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu tahun 2012–2016, total nilai ekspor komoditas perikanan
nasional mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 2%. Tahun 2016
total nilai ekspor komoditas perikanan nasional mencapai ± US$2,9 miliar.
Dari nilai tersebut, subsektor perikanan budidaya mendominasi dengan
memberikan  share sebesar 60,03% terhadap total nilai ekspor perikanan
nasional. Di samping itu, pendapatan domestik bruto (PDB) perikanan
berdasarkan harga berlaku dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2012–
2016) menunjukkan tren peningkatan dengan rata-rata kenaikan per tahun
sebesar 14,6% dan memiliki kinerja pertumbuhan yang lebih besar dibanding
sektor lainnya. Sementara itu, produksi ikan baung secara nasional belum
3
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN

banyak informasinya, namun produksi ikan lainnya di Indonesia, misalnya


tilapia terus meningkat setiap tahunnya, kenaikan rata-rata produksi yaitu
17,98% per tahun, sedangkan nilai produksi rata-rata naik 24,91% per
tahun.
Ekspor ikan baung Indonesia sudah dilakukan bersamaan dengan tilapia
ke Amerika Serikat dan Kanada, sedangkan untuk kawasan Eropa ke Jerman,
Belanda, Prancis, dan Belgia (Anonim 2017). Beberapa permasalahan terkait
dengan pengembangan usaha pembenihan ikan baung di daerah, antara
lain benih masih mengandalkan hasil penangkapan dari alam. Untuk itu,
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat
kebijakan mengenai pembenihan yang tertuang dalam Undang-Undang No
31 Tahun 2004 jo. UU 45/2009 tentang perikanan dan diatur dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/PERMEN-KP/2016 (Anonim 2004;
2016). Pengembangan budidaya dan usaha pelestarian ikan termasuk ikan
baung dapat terlaksana apabila tersedianya benih yang berkualitas, penggunaan
pakan yang tepat, pencegahan penyakit, serta kondisi lingkungan yang baik
untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan budidaya. Selama ini,
produksi benih ikan baung dari Unit Pembenihan masih mengandalkan pada
musim hujan. Di musim kemarau, induk ikan air tawar umumnya kurang
produktif karena sediaan nutrien yang kurang, terutama protein dan asam
lemak. Izquierdo et al. (2001) melaporkan bahwa nutrien menentukan
keberhasilan reproduksi dan meningkatkan derajat sintasan larva.
Pemerintah mendukung secara penuh pembudidaya ikan yang telah
tergabung dengan kelembagaan agar lebih mudah mengontrolnya, efektif,
dan berkelanjutan dalam kemandirian usaha. Hal ini terbukti dengan
banyaknya pembudidaya yang telah mampu secara mandiri mengembangkan
usahanya di beberapa daerah. Dengan demikian, perencanaan program KKP
yang dilakukan sudah mempertimbangkan prinsip bottom-up, yaitu program
didasarkan pada penilaian kebutuhan masyarakat, pendekatan solusi, dan
partisipasi masyarakat.

PELUANG USAHA PERBENIHAN IKAN BAUNG


Peluang usaha perbenihan ikan baung di masa mendatang memiliki prospek
yang baik. Bisnis benih ikan baung sudah lama dilakukan oleh pembudidaya
dan mempunyai peluang cukup besar, walaupun masih berfluktuasi karena
4 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

kebutuhan benih untuk menunjang budidaya pembesaran sampai saat ini


belum terpenuhi. Bisnis perbenihan budidaya ikan baung memerlukan modal
yang kecil tidak seperti pada pembesaran karena tidak memerlukan lahan yang
luas. Ketersediaan benih ikan baung yang berkualitas dan berkesinambungan
sangat diharapkan guna menunjang keberhasilan budidaya pembesaran
(Hardjamulia dan Suhenda 2000). Benih dengan kualitas baik kurang banyak
tersedia di pasaran disebabkan sulitnya mendapatkan induk matang gonad.
Selain itu, daya tetas telur ikan baung masih rendah, yaitu sebesar 34,5%
(Muflikhah et al. 1998).
Teknologi perbenihan ikan baung cukup sederhana karena bahan dan
peralatan untuk menunjang kegiatan tersebut banyak dijual di pasaran dan
sudah dilakukan masyarakat. Selain kolam, hal penting yang dibutuhkan
antara lain pengadaan induk ikan baung dan kelengkapan lainnya, seperti
selang, paralon, timba, jaring, terpal,  wadah jerigen, pompa air, perlengkapan
aerasi,  dan lainnya. Pemasaran benih untuk dijual ke masyarakat tergantung
pada lokasi dan peminat, namun sampai saat ini konsumennya cukup besar
karena ikan baung digemari masyarakat mulai dari konsumsi rumah tangga
hingga berbagai usaha kuliner.

DUKUNGAN RISET PERBENIHAN


Beberapa peneliti telah melakukan serangkaian riset perbenihan, antara lain
seleksi induk, pematangan gonad ikan melalui aplikasi hormon, persyaratan
sperma yang baik, teknik pengambilan sperma dan telur, teknologi
pendederan, teknik penetasan, serta monitoring penyakit dan perbaikan pakan
induk baung. Seleksi induk dengan cara induk ikan baung yang terpilih dari
hasil seleksi, terutama dilihat dari morfologi ikan. Induk betina matang gonad
dicirikan oleh perut yang membesar, tubuh agak kusam, gerakan lamban dan
genitalnya berwarna kemerahan (Bobe dan Labbé 2010), sedangkan induk
jantan dicirikan dengan gerakannya yang lincah, tubuhnya memerah dan lebih
terang, serta memiliki genital berwarna kemerahan dan agak membengkak.
Penggunaan hormon berfungsi untuk memacu pematangan telur (Brain
dan Amy 1980). Subagja et al. (2006) menyatakan bahwa pemijahan ikan
secara buatan dengan rangsangan hormon dapat meningkatkan produksi
benih. Hormon yang sering digunakan, yaitu LHRHa dengan komposisi
salmon gonadotropin releasing hormone analog (sGnRHa) dengan konsentrasi
5
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN

20 µg/mL dan antidopamin (domperidone) dengan konsentrasi 10 mg/mL,


serta aplikasinya dilakukan melalui penyuntikan. Selain LHRHa, penyuntikan
dapat menggunakan larutan kelenjar hypofisa dari ikan mas. Prosedur yang
dilakukan adalah menyiapkan induk betina ikan mas matang gonad ukuran
400–600 g dan diambil hypofisanya dengan cara memotong ikan secara
vertikal tepat di belakang tutup insang, kemudian kelenjar hypofisa diambil
dan dimasukan ke dalam gelas dan digerus. Selanjutnya, ditambah 1 mL
aquabides dan diaduk sampai merata. Larutan hypofisa disuntikan ke dalam
tubuh induk betina. Pematangan gonad ikan baung dapat dilakukan di kolam
tanah dengan sistem air mengalir. Untuk perbenihan, diperlukan sebanyak 300
ekor induk ukuran 0,7–1,0 kg. Induk jantan dan betina dipelihara terpisah.
Kondisi sperma sangat penting untuk mendapatkan benih yang berkualitas
(Bobe dan Labbé 2010). Sperma disiapkan sebelum pengeluaran telur
dengan ditempatkan pada cawan yang ditambah larutan infus natrium
klorida. Pengeluaran telur ikan baung dilakukan secara perlahan pada bagian
perut ke arah lubang telur. Sperma dan telur diaduk sampai merata dengan
menggunakan bulu ayam, kemudian ditambahkan larutan natrium chlorida
dan diaduk kembali hingga merata. Telur yang telah terbuahi, kemudian
diaktivasi dengan menambahkan air dan sperma yang tidak membuahi
dibuang sehingga telur yang telah bersih siap ditetaskan.
Berbagai faktor yang perlu diperhatikan dalam penetasan telur Ikan baung
di antaranya suhu pada waktu masa inkubasi telur (Brazil dan Wolters 2002;
Okunsebor et al. 2015). Woynarovich dan Horvath (1980) melaporkan bahwa
semakin tinggi suhu penetasan, semakin cepat telur akan menetas, namun
juga akan menyebabkan larva lahir prematur sehingga larva tersebut tidak
dapat hidup dengan baik. Penetasan telur ikan baung dilakukan di bak beton,
bak fiber, atau akuarium dan dilengkapi dengan aerasi untuk menambah
oksigen pada media. Penetasan telur ikan baung dilakukan dalam bak tembok
dan sebaiknya kolam dilengkapi dengan sistem air mengalir selama proses
penetasan. Penetasan telur di bak fiber dan akuarium disesuaikan dengan
ukuran atau volume, serta ukuran ikan dan jumlah ikan. Sintasan larva ikan
yang tinggi dapat diperoleh dengan memasang hapa halus yang ukurannya
sama dengan bak dan diberi pemberat agar hapa tenggelam. Telur yang
sudah disiapkan hingga merata ke seluruh permukaan hapa. Larva yang telah
menetas diberi pakan naupli artemia. Pemanenan dilakukan panen pada
hari ke-7 dengan menggunakan gayung plastik dan larva ini siap ditebar
6 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

ke kolam penederan pertama. Larva ikan baung yang dihasilkan dari induk
generasi kedua (G2) hasil domestikasi mempunyai sintasan yang lebih tinggi
dibandingkan larva yang berasal dari induk di alam karena menurunnya
tingkat kanibalisme. Hal positif lainnya adalah parameter bioreproduksi
induk ikan baung G2 hasil domestikasi tidak mengalami penurunan kualitas
(Prakoso et al. 2019 unpublished).
Pendederan untuk penyediaan benih ikan baung dapat dilakukan dengan tiga
tahapan pendederan yang masing-masing segmen pendederan mempunyai
nilai jual di pasaran. Pendederan pertama, dapat dilakukan di kolam
beton atau kolam dengan substrat tanah. Bentuk kolam persegi panjang
atau bujur sangkar dengan ukuran 250–500 m2 atau disesuaikan dengan
luasan lahan yang tersedia. Persiapan kolam untuk pendederan I dengan
melakukan pengeringan kolam tanah untuk mengurangi toksisitas dan pada
kolam beton tidak diperlukan pengeringan hanya pembersihan lumut yang
menempel pada dinding kolam dan kotoran lainnya. Penumbuhan pakan
alami (plankton) pada kolam dasar tanah dengan memberikan pupuk pupuk
organik sebanyak 0,2–0,3 kg/m2. Kedalaman air kolam ± 20 cm dan air
ditinggikan kedalamannya secara bertahap hingga air mencapai kedalaman
± 40 cm selama 5–7 hari. Penebaran larva ikan baung sebanyak 100–150 ekor
/m2 atau 4–6 ekor/L. Waktu penebaran dilakukan pada pagi hari. Pemberian
pakan berupa pelet yang dihaluskan (tepung pelet) sebanyak 1–2 kg dilakukan
setelah dua hari larva ditebar di kolam. Lama pemeliharaan pada pendederan
I sekitar 21 hari. Pada segmen pendederan I, benih ikan baung sudah dapat
dijual dan sudah ada pangsa pasar, namun masih sedikit pembeli. Pendederan
kedua juga dapat dilakukan pada kolam beton atau kolam tanah. Ukuran
kolam dan persiapan kolam budidaya hampir sama dengan pendederan I.
Penebaran benih sebanyak 60–80 ekor/m2 benih hasil pendederan I yang
terseleksi. Pemberian pakan sebanyak 2–4 kg tepung pelet atau pelet yang
telah direndam yang diberikan setiap hari. Pendederan II dengan lama
pemeliharaan selama 30 hari. Pada segmen pendederan kedua, benih ikan
baung mulai banyak peminat dan sudah ada pangsa pasar dan cukup banyak
pembeli karena digunakan untuk usaha bisnis pendederan ikan yang cukup
memberikan keuntungan.
7
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN

Pendederan ketiga, sebaiknya dilakukan pada kolam tanah. Ukuran kolam


disesuaikan dengan luas lahan, namun ukuran yang ideal antara 400–800 m2.
Persiapan kolam yang dilakukan hampir sama dengan yang dilakukan pada
pendederan I maupun II. Penebaran benih sebanyak 30–50 ekor/m2 benih
hasil pendederan II yang terseleksi. Pemberian pakan dosis 4–6% dari bobot
ikan per hari. Lama pemeliharaan 3–4 minggu. Pada segmen pendederan
ketiga, benih ikan baung sudah banyak pembeli untuk digunakan pada
budidaya pembesaran. Pada segmen pendederan ini, ukuran benih ikan lebih
besar dan sehat, serta benih ikan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan
bila ditebar untuk budidaya pembesaran di kolam. Monitoring penyakit yang
sering menyerang ikan baung adalah  Ichthyopthirius multifiliis  atau lebih
dikenal dengan white spot (bintik putih). Pencegahan penyakit pada benih
ikan baung dapat dilakukan dengan persiapan kolam yang mantap dan
penggunaan air yang baik kualitasnya dalam arti tidak tercemar dari limbah
atau tidak banyak mengandung bahan organik. Sebaiknya, air yang masuk
dalam kolam budidaya pendederan berasal dari air dari petak tandon yang
sudah di treatment. Pengobatan dilakukan dengan menebarkan garam dapur
sebanyak 200 gr/m3 setiap 10 hari selama pemeliharan atau merendam ikan
yang sakit ke dalam larutan oksitetrasiklin 2 mg/L.
Faktor utama dari pakan menentukan keberhasilan reproduksi dan
meningkatkan sintasan larva. Menurut Wooton (1979), jumlah telur ikan
ditentukan oleh faktor lingkungan dan distribusi atau penggunaan energi
pakan. Kualitas dan jumlah pakan mempunyai peranan penting bagi
pematangan gonad dalam menghasilkan telur dengan kualitas baik (daya
tetas tinggi). Pertumbuhan dan pematangan gonad terjadi apabila terdapat
kelebihan energi yang diperoleh dari makanan untuk pertumbuhan tubuh.
Demikian pula dengan protein yang merupakan salah satu nutrien penting
dalam mendukung pertumbuhan dan reproduksi ikan. Riset perbaikan pakan
induk baung untuk reproduksi telah dilakukan Sunarno et al. (2018), di BBI
Ciherang. Bobot induk baung yang digunakan dalam penelitian berkisar
682,74 ± 177,59 g. Induk yang matang gonad berbobot 730,16 ± 223,98
g dan fekunditas yang diperoleh disajikan pada Tabel 1.1. Nilai indeks
kematangan gonad (IKG) induk baung tersebut pada kondisi pakan tidak
terkontrol sekitar 5,36 ± 4,20%. Nilai IKG tersebut tergolong normal untuk
kondisi di alam.
8 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Tabel 1.1 Kondisi awal induk ikan baung (H. nemurus) sebelum diberi pakan
perlakuan
Bobot induk (g) Berat gonad IKG FR HR
Awal Akhir (g) (%) (%) (%)
Kisaran 413,20–1.110 401,90–1.012,80 2,50–106,50 0,4–13,81 90 80
Rerata ± st dev 730±223,98 689,15 ± 207,80 41,01± 36,34 5,36 ± 4,20 90 80
Sumber: Sunarno et al. (2018)

Pada kondisi ini, induk ikan baung sulit beradaptasi karena konsumsi pakan
hariannya yang relatif rendah. Fluktuasi pakan harian pada induk ikan baung
pada pakan yang diberikan dan tidak direspons oleh ikan akan mengendap
di dasar wadah dan berpotensi mencemari perairan. Hasil pengamatan
induk yang matang gonad, pemijahan, dan pengukuran performa reproduksi
tercantum pada Tabel 1.2. Induk ikan baung pada pakan uji mempunyai
fekunditas tertinggi, kemudian diikuti oleh kontrol. Induk ikan baung diberi
pakan uji (109.722 butir), selanjutnya pakan kontrol (38.010 butir).

Tabel 1.2 Performa reproduksi induk ikan baung (H. nemurus) pada berbagai
suplementasi asam lemak
Pakan
Parameter Satuan Pakan uji
komersial
Pertumbuhan mutlak g 96 120
Jumlah ikan memijah Ekor 1 1
Jumlah telur Butir 105.618 109.722
Fekunditas total - 10.604 11.969
Derajat pembuahan % 92 96
Derajat penetasan % 86 92
Produksi larva selama 25 hari - 90.831 18.653
Produksi larva per 100 g induk 9.120 2.035
Diameter telur (mm) mm 0,32 0,34
Indek kematangan gonad (%) % 9,44 12,93
Sumber: Sunarno et al. (2018)

Dilaporkan oleh Sunarno et al. (2018) bahwa pemijahan ikan dilakukan dua
kali dengan selang waktu 25 hari. Tingkat pembuahan telur meningkat pada
pakan uji (96%), kemudian pakan komersial (92%). Tingkat penetasan telur
tertinggi pada pakan uji (92%), kemudian kontrol (86%).
9
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN

DUKUNGAN PEMERINTAH DALAM PERBENIHAN


Pembenihan ikan merupakan proses dalam menghasilkan benih ikan
melalui pengelolaan terhadap induk, teknik pemijahan, penetasan telur, dan
pemeliharaan larva atau benih pada lingkungan yang terkontrol (Anonim
2016). Kebijakan Pemerintah dalam upaya peningkatan produksi perikanan
secara nasional diarahkan pada keinginan mewujudkan kemandirian,
kedaulatan, kesejahteran, dan keberlanjutan. Untuk itu, aspek pelestarian
sumberdaya perikanan yang ada dan lingkungan menjadi hal penting dalam
upaya pemanfaatan potensi, agar nilai ekonomi sumberdaya perikanan
budidaya mampu dinikmati sampai generasi yang akan datang. Akuakultur
di masa depan dihadapkan pada dua tantangan besar, yaitu pemenuhan
kebutuhan pangan dan perubahan lingkungan global. Perubahan iklim
dan lingkungan global mengancam eksistensi sumberdaya alam pada sektor
yang berbasis pangan, termasuk perikanan budidaya (Anonim 2015). Oleh
karena itu, penting untuk mengedepankan aspek pelestarian sumberdaya
dan lingkungan, serta pengelolaan budidaya yang bertanggung jawab untuk
menyelamatkan nilai ekonomi agar dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Pengembangan budidaya dan usaha pelestarian ikan baung akan terlaksana
apabila tersedia benih berkualitas secara kontinu, penggunaan pakan yang
tepat dan pencegahan penyakit, serta terjaganya lingkungan hidup yang baik
untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhannya. Ketersediaan induk dan
benih ikan berkualitas baik masih terbatas. Untuk itu, perlu strategi untuk
pengembangan pembenihan ikan baung tersebut. Demikian pula, pembenih
ikan baung belum sepenuhnya menerapkan standar prosedur operasional
(SOP), tata laksana pembinaan, pengawasan, dan monev perbenihan belum
berjalan optimal. Berdasarkan kebijakan pembenihan yang tercantum dalam
UU 31 Tahun 2004 jo. UU 45/2009 tentang perikanan Pasal 7 poin e, Pasal
14.1, dan Pasal 15 bahwa urusan perbenihan (induk dan benih Ikan) menjadi
kewenangan pemerintah dalam mengatur pemasukan dan pengeluaran,
mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah, dan alokasi ikan “tertentu”.
Peraturan Menteri KP yang menyangkut perbenihan diatur dalam KP No
35/PERMEN-KP/2016 tentang cara pembenihan ikan yang baik (CPIB).
CPIB adalah pedoman dan tata cara mengembangbiakkan ikan dengan cara
melakukan manajemen induk, pemijahan, penetasan telur, dan pemeliharaan
10 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

larva atau benih dalam lingkungan yang terkontrol, melalui penerapan


teknologi yang memenuhi kriteria dan persyaratan teknis, manajemen,
keamanan pangan, dan lingkungan (Anonim 2004; 2016).
Strategi yang harus dilakukan dalam jangka pendek adalah membangun dan
mengoptimalkan broodstock center untuk menghasilkan induk dan benih yang
berkualitas. Penerapan CPIB tidak boleh diabaikan agar dapat memenuhi
produksi benih yang berstandar dan bersertifikasi. Hal ini juga harus
mendapat dukungan dari pemerintah yang ada di provinsi maupun kabupaten
dan kota agar penerapan CPIB wajib dilakukan untuk menghasilkan benih
yang berkualitas. Selain itu, hatchery skala rumah tangga (HSRT) atau unit
perbenihan rakyat (UPR), serta pembinaan kelompok yang mandiri dan
profesional harus diberdayakan dan diawasi secara kontinu. Pemerintah harus
meningkatkan fasilitas bangunan, serta rehabilitasi sarana dan prasarana untuk
Balai Benih Ikan (BBI). Pentingnya sharing informasi untuk pengembangan
jejaring pada instansi dan lembaga, serta stakeholder lainnya terkait dengan
perbenihan ikan baung. Perlu adanya program pemanfaatan dan revitalisasi,
serta operasionalisasi unit hatchery pemerintah dan swasta yang terkesan
mangkrak dan kurang termanfaatkan.

PENGUATAN KELEMBAGAAN PERBENIHAN


SKALA MIKRO
Pengawasan dalam proses penyediaan benih yang berkualitas sampai ke
masyarakat perlu dilakukan. Penerapan teknologi perbenihan di unit
perbenihan rakyat, terutama ikan baung hasil domestikasi dan dukungan dari
bidang riset lainnya, seperti aquaculture engineering. Peran pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten/kota, dan UPTD dalam pembinaan pembenihan sangat
diperlukan agar kegiatan dapat berjalan baik.
PUSAT INDUK/
PEMULIAAN
BROODSTOCK UPT/UPTD
GENETIKA
CENTER

MASYARAKAT/
HATCHERY
PEMBUDIDAYA

Gambar 1.1 Diagram penyediaan benih yang berkualitas pada hatchery


11
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN

Tingkat pusat atau UPT yang bertanggung jawab dalam pembuatan dan
penerapan SOP; melakukan kegiatan pengembangan di beberapa lokasi yang
terpilih, meliputi pembinaan, pengawasan, monitoring, dan evaluasi terhadap
kegiatan perbenihan, sosialisasi sertifikasi, distribusi induk, dan calon induk.
Tercapainya penyediaan benih harus diimbangi dengan permintaan masyarakat
atas kebutuhan benih. Perbenihan akan berkembang dan berkelanjutan
apabila permintaan benih ikan baung oleh masyarakat cukup banyak. Untuk
itu, dukungan masing-masing daerah di tingkat provinsi sangat dibutuhkan.
Dukungan pemerintah pada perbenihan ikan baung diprioritaskan pada
kelembagaan atau kelompok pembudidaya ikan yang sudah ditetapkan agar
lebih tepat sasaran, berkelanjutan, dan berdampak pada usaha yang mandiri
untuk kesejahteraan masyarakat.
Strategi untuk mencapai kelembagaan yang kuat dapat dilakukan melalui
pendampingan teknologi kepada masyarakat, misalnya dengan pelatihan,
bimbingan, pembinaan, kegiatan diseminasi, atau membuat demplot di
beberapa daerah karena masing-masing daerah mempunyai kondisi lahan yang
berbeda sehingga perlu penanganan yang spesifik. Bimbingan pada kelompok
melalui organisasi kelompok mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi,
serta budaya masyarakat. Pembinaan kemitraan melalui inti plasma, perbankan,
antarkelompok binaan dan penguatan modal usaha, serta pemberian bantuan
paket sarana produksi bagi kelompok pemula sehingga sesuai dengan
sasaran yang diinginkan pemerintah. Saat ini, banyak pembudidaya atau
kelompok pembudidaya secara mandiri mengembangkan usahanya. Untuk
itu, pemerintah mengarahkan kelompok pembudidaya yang telah tergabung
dengan kelembagaan pembudidaya ikan yang kuat dan mandiri dengan
harapan peranan kelembagaannya lebih efektif dan berkesinambungan, serta
berdampak positif bagi kemandirian usaha. Pemerintah dalam mengajukan
program kegiatan didasari pada penilaian kebutuhan masyarakat (need
assessment), pendekatan solusi (solution approach), dan partisipasi masyarakat
(social participatory). Langkah ini sangat penting sebagai faktor utama dalam
membangun pengembangan komunitas (community development) yang efektif
dan secara langsung mendorong pemberdayaan dalam meningkatkan kapasitas
usaha pembudidaya ikan dan upaya kelompok pembudidaya mendapatkan
kemudahan akses terhadap input produksi, teknologi, dan informasi pasar
sehingga mampu mandiri.
12 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Gambar 1.2 Dukungan pemerintah terhadap penguatan


kelembagaan kelompok pembudidaya

Keterlibatan berbagai pihak mulai dari perguruan tinggi, lembaga


swadaya masyarakat (LSM), kementerian/lembaga lain, serta pihak terkait
lainnya untuk melakukan pengawalan sekaligus pembinaan kepada para
kelompok pembudidaya di sentra-sentra produksi sehingga mampu
mewujudkan community development. Upaya pendampingan dan pengawalan
dari berbagai pihak yang terkait harus didorong dengan kerja sama.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Keputusan bersama DPR RI dan Keputusan
Presiden RI. 86 Hlm.
Anonim. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
nomor 45/Permen-KP/2015 tentang perubahan atas peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan nomor 25/Permen-KP/2015 tentang rencana
strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015–2019.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 92 Hlm.
Anonim. 2016. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia no 35/Permen-KP/2016 tentang cara pembenihan ikan yang
baik. Kementerian Kelautan dan Perikanan, (KKP). 19 Hlm.
13
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN

Anonim. 2017. Tilapia jadi komoditas unggulan perikanan budidaya. Diakses


pada tanggal 4 Juli 2017. https://news.kkp.go.id/index.php/tilapia-jadi-
komoditas-unggulan-perikanan-budidaya/.
Bobe J, Labbé C. 2010. Egg and sperm quality in fish. General and Comparative
Endocrinology 165(3): 535–548.
Brain FD, Amy C. 1980. Induced fish breeding in South East Asia. Working
report, Singapore. 25–28th November 1980. 10RC: 178.
Brazil BL, Wolters WR. 2002. Hatching success and fingerling growth of
channel catfish cultured in ozonated hatchery water. N Am J Aquac 64:
144–149.
Gustiano R, Kusmini II, Ath-thar MHF. 2015. Mengenal Sumber Daya
Genetik Ikan Spesifik Lokal Air Tawar Indonesia untuk Pengembangan
Budidaya. Bogor: IPB Press.
Okunsebor SA, Ofojekwu PC, Kakwi DG, Audu BS. 2015. Effect of
temperature on Fertilization, Hatching and Survival Rates of
Heterobranchus bidorsalis Eggs and Hatchlings. British Journal of Applied
Science & Technology 7(4): 372–376.
Hardjamulia A, Suhenda N. 2000. Evaluasi sifat reproduksi dan sifat
gelondongan generasi pertama empat strain ikan baung (Mystus
nemurus) di karamba jaring apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
6(3–4): 24–35.
Ibrahim MSA, Mona HA, Mohammed A. 2008. Zooplankton as live food for
fry and fingerlings of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) and Catfish
Clarias gariepinus in Concrete ponds. Central Laboratory for Aquaculture
Research (CLAR), Abbassa, Sharkia, Egypt. 8th International Symposium
on Tilapia in Aquaculture 757–769.
Izquierdo MS, Fernandez H, Palacios, Tacon AGJ. 2001. Effect of
broodstock nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture
197: 25–42.
Khairuman, Amri K. 2010. Ikan Baung, Peluang Usaha Dan Teknik Budidaya
Intensif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 88 Hlm.
14 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Millamena OM, Colloso RM, Pascual FP. 2002. Nutrition in Tropical


Aquaculture: essentials of fish nutrition, feeds, and feeding of tropical
aquatic species. Tigbauan, Iloilo, Philippines: SEAFDEC Aquaculture
Department. 221 p.
Muflikhah N, Syarifah N, Aida SN. 1998. Domestikasi Ikan Baung (Mystus
nemurus). Jurnal Litbang Pertanian XVII(2). Jakarta. 72 Hlm.
Nwadukwe FO, Ayinla OA. 2004. Growth and survival of hybrid catfish
fingerlings under three dietary treatments in concrete tanks. Azazeb
6: 102–106.
Prakoso VA, Subagja J, Arifin OZ. 2019. Keragaan Bioreproduksi Induk Ikan
Baung Lokal dan Hasil Domestikasi serta Pertumbuhan Benih yang
Dihasilkannya. Unpublished.
Samuel, Adjie S, Akrimi. 1995. Beberapa aspek biologi ikan baung (Mystus
nemurus) di daerah aliran sungai Batanghari, Provinsi Jambi. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia 28: 1–13.
Sunarno MTD, Sulhi M, Samsudin R, Heptarina D, Sumiati T, Saputra
A, Prakoso VA, Nugraha A, Hendra, Kumarasetya A. 2018. Aplikasi
Pakan Formula Induk Untuk Peningkatan Performa Reproduksi Induk
Dan Produksi Ikan Baung. Laporan Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar dan Penyuluhan perikanan, Bogor. 15 Hlm
Subagja J, Cahyanti W, Nafiqoh N, Arifin OZ. 2015. Keragaan bioreproduksi
dan pertumbuhan tiga populasi ikan baung (Hemibagrus nemurus Val.
1840). Jurnal Riset Akuakultur 10(1): 25–32.
Subagja J, Arifin OZ, Prakoso VA, Suhud EH. 2017. Pengaruh padat tebar
berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan baung (Hemibagrus nemurus)
hasil domestikasi. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Ikan dan
Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan Bogor 12–13 September 2017.
Suhenda N, Samsudin R, Nugroho E. 2010. Pertumbuhan benih ikan
baung (Hemibagrus nemurus) dalam keramba jaring apung yang diberi
pakan buatan dengan kadar protein berbeda. Jurnal Iktiologi Indonesia
10(1): 65–71.
Woynarovich E, Horvath L. 1980. The Artificial Propagation of Warm-Water
Finfish. A Manual for Extention, FAO. Fisheries Technical Paper No.
201. 385 p.
2.KEANEKARAGAMAN
IKAN BAUNG
Hemibagrus nemurus
(Valenciennes 1840)
Rudhy Gustiano, Vitas Atmadi Prakoso,
Muhammad Hunaina Fariduddin Ath-thar,
dan Irin Iriana Kusmini

Ikan baung khususnya jenis Hemibagrus nemurus merupakan salah satu jenis
komoditas air tawar yang relatif mahal di Indonesia. Menurut Gustiano et
al. (2015) ikan ini merupakan salah satu sumber daya genetik dari 22 jenis
ikan air tawar yang dapat digunakan untuk diversifikasi usaha budidaya.
Penurunan populasi ikan baung di alam terjadi akibat eksploitasi secara
berlebihan dan intensifikasi usaha budidaya menggunakan benih dari alam.
Beberapa alasan ikan baung menjadi komoditas andalan karena kualitas dan
kuantitas dagingnya mendukung kuliner di daerah Sumatera dan Kalimantan,
serta harga yang cukup menjanjikan berkisar antara Rp45.000–60.000/kg di
tingkat penghasil. Hasil analisis komoditas melaporkan bahwa ikan baung
menduduki posisi kelima dari 15 komoditas yang dikaji di Kalimantan Selatan
(Sukadi et al. 2009). Di Indonesia, upaya budidaya ikan baung pertama
dilaporkan oleh Gaffar et al. (1992). Pada tahun 2007, produksi baung
dunia sebesar 3.477 ton dengan nilai USD7.718.000 yang dihasilkan oleh
Indonesia dan Malaysia. Secara statistik, Malaysia telah tercatat lebih dahulu
memproduksi ikan baung oleh FAO pada tahun 1993 sebesar 29 ton dengan
nilai sebesar USD74.000. Dalam periode tahun 1994–1996, terjadi lonjakan
peningkatan produksi sebesar 300–500%. Peningkatan produksi terus terjadi
dalam kurun waktu 1997–2003, hingga mencapai angka produksi sebesar
1,366 ton dengan nilai USD3,088. Sementara Indonesia baru tercatat sebagai
negara produser ikan baung oleh FAO sejak tahun 2004 dengan nilai produksi
16 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

sebesar 541 ton senilai USD842,000. Produksi meningkat pada tahun 2007
menjadi 2,277 ton dengan nilai USD4,691.000. Berdasarkan data yang
dilaporkan FAO pada tahun 2007, Indonesia adalah negara penghasil ikan
baung nomor satu di dunia.

Tabel 2.1 Produksi ikan baung, Hemibagrus nemurus di dunia


Negara Unit 1993 2003 2004 2005 2006 2007
Indonesia (t) 541 128 991 2,277
USD’000 842 90 694 4,691

Malaysia (t) 29 1,366 1,231 1,327 1,316 1,200


USD’000 74 3,088 2,782 3,497 3,237 3,027

Total (t) 29 1,366 1,772 1,455 2,307 3,477


USD’000 74 3,088 3,624 4,397 3,931 7,718
Sumber: Fisheries and Aquaculture Statistics (FAO 2008)

Pada Tabel 2.1, ikan baung menunjukkan peningkatan lebih dari 1000 kali
dalam waktu 14 tahun, 29 ton pada tahun 1993 menjadi 3.477 ton pada tahun
2007. Sangatlah ironis informasi produksi dan perkembangan budidaya ikan
baung di Indonesia masih langka dibandingkan dengan di Malaysia hingga
saat ini. Hal ini diduga produksi ikan baung di Indonesia masih mengandalkan
hasil tangkapan dari alam, baik untuk ukuran ikan konsumsi maupun ukuran
benih untuk kegiatan budidaya. Oleh karena itu, budidaya ikan baung harus
segera dibenahi untuk meningkatkan dan mempertahankan keunggulan
potensi yang sudah ada pada ikan ini. Ilustrasi pola produksi dalam usaha
budidaya ikan baung di Indonesia ditampilkan dalam Gambar 2.1.
17
KEANEKARAGAMAN IKAN BAUNG
Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)

Sumber benih
(Jawa Barat dan Kalimantan Selatan)

Panti Benih Alam

Budidaya
(Sumatera, Jawa dan Kalimantan)

Kolam Karamba

KJA

KONSUMSI

Ikan Segar Rumah Makan Olahan

Gambar 2.1 Alur sistem budidaya dan


usaha ikan baung, Hemibagrus
nemurus

MENGENAL IKAN BAUNG


Ikan baung, Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840) termasuk dalam genus
Hemibagrus yang merupakan anggota famili Bagridae. Famili ini merupakan
salah satu famili ikan berkumis (catfish) yang hidup di air tawar dan payau di
Asia dan Afrika, berisi banyak anggota dengan 20 genera, dan lebih dari 200
18 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

spesies (www.fishbase.org). Ciri-ciri umum Bagridae adalah sebagai berikut:


terdapat jari-jari sirip keras di sirip punggung, jari-jari sirip lunak 6 atau 7.
Sirip pengendali sangat beragam ukurannya. Jari-jari keras sirip dada bergerigi,
memiliki dua pasang kumis (Nelson 1994). Genus Hemibagrus Bleeker 1862
memiliki sinonim sebagai Mystus Scopoli 1777 atau Macrones Dumeril 1856.
Distribusi genus Hemibagrus ditampilkan dalam Gambar 2.2. Ikan baung
yang umum dikenal masyarakat, diketahui terdapat tiga nama sinonim yang
dikenal sebagai Bagrus nemurus (Valenciennes 1840), Macrones nemurus
(Valenciennes 1840), dan Mystus nemurus (Valenciennes 1840) (Tabel 2.2).

Gambar 2.2 Distribusi genus Hemibagrus (Berra 2001)

Di Indonesia, genus Hemibagrus memiliki sepuluh spesies atau jenis yang


disajikan dalam Tabel 2.2. Semua jenis Hemibagrus sering kali disebut sebagai
ikan baung sebagaimana Hemibagrus nemurus.

Tabel 2.2 Daftar spesies baku dalam genus Hemibagrus di Indonesia


(fishbase.org)
No. Nama Baku Sinonim
1. Hemibagrus nemurus  Bagrus nemurus Valenciennes 1840
(Valenciennes 1840) Macrones nemurus (Valenciennes 1840)
Mystus nemurus (Valenciennes 1840)
Bagrus hoevenii (non-Bleeker 1846)
Mystus johorensis (non-Herre 1940)
19
KEANEKARAGAMAN IKAN BAUNG
Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)

Tabel 2.2 Daftar spesies baku dalam genus Hemibagrus di Indonesia


(fishbase.org) (lanjutan)
No. Nama Baku Sinonim
2. Hemibagrus planiceps Bagrus planiceps Valenciennes 1840
(Valenciennes 1840) Macrones planiceps (Valenciennes 1840)
Mystus planiceps (Valenciennes 1840)
3. Hemibagrus Bagrus hoevenii Bleeker 1846
hoevenii (Bleeker 1846) Bagrus nemurus (non-Valenciennes 1840)
4. Hemibagrus wyckii Bagrus wyckii (Bleeker 1858)
(Bleeker 1858) Macrones wyckii (Bleeker 1858)
Mystus wyckii (Bleeker 1858)
Hemibagrus wycki (Bleeker 1858)
Mystus wicki (Bleeker 1858)
Mystus wycki (Bleeker 1858)
5. Hemibagrus bongan Macrones bongan (Popta 1904)
(Popta 1904) Hemibagrus nemurus (nonValenciennes 1840)
6. Hemibagrus fortis Macrones fortis Popta 1904
(Popta 1904) Macrones howong Popta 1904
Macrones bo Popta 1904
Macrones kajan Popta 1904
Macrones fortis capitulum Popta 1904
Hemibagrus capitulum Popta 1904
7. Hemibagrus olyroides Mystus olyroides Roberts 1989
(Roberts 1989)
8 Hemibagrus velox Bagrus planiceps (non-Valenciennes 1840)
(Tan dan Ng 2000) Hemibagrus planiceps (non-Valenciennes 1840)
Macrones planiceps (non-Valenciennes 1840)
Mystus planiceps (non-Valenciennes 1840)
9. Hemibagrus caveatus
(Ng Wirjoatmodjo dan -
Hadiaty 2001)
10. Hemibagrus lacustrinus
-
(Ng dan Kottelat 2013)
20 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Kunci identifikasi buatan


genus Hemibagrus di Indonesia
(Modifikasi Ng dan Kottelat 2013; Robert 1989)
1a. Memiliki 43–46 vertebrae, dasar-sirip lemak atau pengendali
(adipose fin) pendek (<19% SL).............................................................2
1b. Tubuh memanjang dengan 47–51 vertebrae..........................................5
2a. Sirip ekor berwarna kemerahan atau jingga waktu hidup,
sisi tubuh memiliki garis hitam tipis vertikal
dan garis tipis gurat sisi............................................Hemibagrus caveatus
2b. Tubuh polos tanpa ada ciri khusus sepanjang gurat sisi, sirip ekor
berwarna abu-abu waktu hidup.............................................................3
3a. Hamparan gigi premaxillary (premaxillary tooth band)
nampak ketika mulut ditutup, sirip ekor lonjong,
terdapat batas hitam menyolok sekitar sirip ekor,
sirip ekor berbentuk segitiga....................................Hemibagrus hoevenii
3b. Hamparan gigi premaxillary (premaxillary tooth band) tidak nampak
ketika mulut ditutup, sirip ekor membulat, batas hitam sekitar sirip
ekor memudar atau tidak ada................................................................4
4a Seluruh cabang dari jari-jari keras sirip punggung sama panjang,
memiliki batas membulat ke arah sirip......................... Hemibagrus fortis
4b. Bagian depan cabang dari jari-jari keras sirip punggung lebih
panjang dari bagian lainnya, memiliki batas bergerigi yang jelas
ke arah sirip, sirip dorsal di luar perpanjangan filamen tidak
menyentuh adipose fin, bagian atas kepala
relatif rata............................................................... Hemibagrus nemurus
5a. Dasar adipose fin panjang (>20% SL), sirip punggung pendek dan
lemah poorly serta tidak memiliki gerigi pada bagian sisi belakang,
sirip ekor memanjang dan bagian atasnya berbentuk pisau,
berwarna cokelat gelap............................................ Hemibagrus olyroides
5b. Sirip punggung panjang dan kuat (12–16%SL), memiliki 10–12
gerigi pada bagian sisi belakang.............................................................6
21
KEANEKARAGAMAN IKAN BAUNG
Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)

6a. Kepala lebar dan pipih, berwarna terang pada bagian utama
sirip ekor, daerah humeral berwarna krem, sungut maxila
menyentuh bagian tengah dasar sirip punggung......... Hemibagrus wyckii
6b. Dasar sirip lemak pendek (<19% SL), tubuh tanpa garis hitam
pada gurat sisi.......................................................................................7
7a. Jarak sirip punggung ke sirip lemak 8–11% SL, bagian belakang
sirip punggung menyentuh atau melebihi awal
sirip lemak........................................................... Hemibagrus lacustrinus
7b. Jarak sirip punggung ke sirip lemak 11–18% SL, bagian belakang
sirip punggung menyentuh atau melebihi awal sirip lemak....................8
8a. jarak antar bola mata 32–37% cHL........................Hemibagrus planiceps
8b. Jarak antar bola mata 28–34% cHL, panjang moncong 33–41%SL,
sirip lemak relatif pendek......................................................................9
9a. Alat kelamin jantan tidak menyentuh sirip dubur,
bagian atas sirip ekor ke arah belakang membulat,
tidak memiliki perpanjang sirip................................. Hemibagrus bongan
9b. Alat kelamin jantan menyentuh sirip dubur, bagian atas sirip ekor
lonjong, memiliki perpanjang sirip............................... Hemibagrus velox
22 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)

B C

Gambar 2.3 Ikan baung, Hemibagrus nemurus (salah satu contoh ikan
Hemibagrus di Indonesia) A. seluruh tubuh; B. bagian kepala;
C. gigi premaxillary (sumber: Bleeker 1862)
23
KEANEKARAGAMAN IKAN BAUNG
Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)

Gambar 2.4 Hemibagrus nemurus, 400 mm SL, 23 Mei 2010, Waduk Gajah
Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia (Sumber: fishbase.
org)

Deskripsi asli: Bagrus nemurus Valenciennes, in Cuvier dan Valenciennes


1840. P: 423. (type locality: Jawa).
Diagnosis: Memiliki 43–46 vertebrae, dasar sirip lemak pendek (<19% SL),
tubuh polos tanpa ada ciri khusus sepanjang gurat sisi, sirip ekor berwarna
abu-abu waktu hidup, hamparan gigi premaxillary (premaxillary tooth band)
tidak nampak ketika mulut ditutup, sirip ekor membulat, bagian depan cabang
dari jari-jari keras sirip punggung lebih panjang dari bagian lainnya, memiliki
batas bergerigi yang jelas ke arah sirip, sirip dorsal di luar perpanjangan filamen
tidak menyentuh sirip lemak atau pengendali, bagian atas kepala relatif rata.
Nama umum: Ikan baung atau dikenal secara internasional sebagai Asian
redtail catfish, di Indonesia dikenal dengan nama lokal sebagai duri, patik,
baung, tagih, ririgi, baung putih.
Keterangan umum: Secara umum, ikan baung dicirikan dengan jari-jari
keras sirip punggung 2, jari-jari sirip lunak enam atau tujuh; jari-jari lunak
sirip dubur 10–13. Warna tubuh cokelat, sering diikuti warna kehijauan
berkilat. Sirip berwarna abu-abu hingga ungu pudar. Sirip perut bersekat-
24 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

sekat dibagian dalamnya. Dasar sirip pengendali lebih pendek dari sirip
punggung dan kurang lebih sebanding dengan sirip dubur. Sungut (kumis)
dua pasang; sungut hidung memanjang melebihi belakang mata, sedangkan
sungut dari sudut bibir melebihi pangkal sirip perut. Kepala agak mendatar
daripada menonjol; sirip punggung tidak menyentuh sirip pengendali; sirip
dada lunak bagian depan; terdapat sembilan sirip dubur yang bercabang. Ikan
ini dimanfaatkan secara komersial sebagai ikan konsumsi atau ikan hias.
Ekologi dan tingkah laku: Pada umumnya, ikan ini hidup di sungai besar
yang berlumpur atau lunak dan ada aliran yang tidak terlalu deras (Gustiano
et al. 2015). Ikan baung sering berpindah dari habitat sungai ke daerah
genangan atau banjir di sekitar hutan di musim penghujan untuk memijah.
Makanan ikan baung berupa udang-udangan dan ikan. Sebagai ikan karnivor,
ikan baung termasuk salah satu pemangsa level atas dalam rantai makanan.
Panjang total maksimum adalah 65,0 cm. Ikan baung merupakan salah satu
ikan yang bernilai tinggi sebagai ikan konsumsi.
Distribusi: Ikan baung di Indonesia memiliki sebaran di Pulau Jawa (Gambar
2.5).

Gambar 2.5 Distribusi ikan baung di


indonesia memiliki sebaran
di Pulau Jawa
25
KEANEKARAGAMAN IKAN BAUNG
Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)

DAFTAR PUSTAKA
Berra TM. 2001. Freshwater Fish  distribution. San Diego: Academic Press,
xxxv+604pp.
Bleeker P. 1858a. Enumeratios [Ecierum piscium javanensium hucusque
cognitarium. Naturkundig Tijdshcrift voor Nederlandshc Indie
15: 359–456.
Bleeker P. 1858b. […eenige vischsoorten, hem toegezonden van
Banjoewangi…, eenige andere, verzameld te Buitenzorg, …reptilian,
te Buitenzorg verzameld…]. Naturkundig Tijdshcrift voor Nederlandshc
Indie 16: 47–49.
Bleeker P. 1858c. […eenige slangen en vischen, gevangen in de omstreken
van Montrado de gawezen hoofplats der chinezen ter westkust van
Borneo…]. Naturkundig Tijdshcrift voor Nederlandshc Indie 16:
196–197.
Bleeker P. 1858d. […vischsoorten uit de rivier van Palembang…], Naturkundig
Tijdshcrift voor Nederlandshc Indie 16: 263–266.
Bleeker P. 1858e. Ichyyologiae archipeagii indici prodromus. Volume 1 Siluri
DE vischen van den indischen archipel beschreven en toegelicht Deel 1
siluri. Acta Societatis Scientarum Indo-Nederlandicae 4(2): i–xii + 1–370.
[Preprint published in1858, journal in 1859; also Published by Lange,
Batavia i–xii + 1–370].
Bleeker P. 1858f. Zevende bijdrage tot de kennis den vischfauna van Sumatra
Visschen van Palembang. Acta Societatis Scientarum Indo-Nederlandicae
4(2): I–xii + 1–370. [Preprint published in1858, journal in 1859].
Bleeker P. 1858g. Twaalfde bijdrage tot de kennis den vischfauna van Borneo
Visschen van Singkawang. Acta Societatis Scientarum Indo-Nederlandicae
5(7): 1–10. [Preprint published in1858, journal in 1859].
Bleeker P. 1862. Atlas ichthyologique des Indes orientales néêrlandaises: publié
sous les auspices du gouvernement colonial néêrlandais. II. Siluroide,
Chacoïdes et Heterobranchoïdes. 112 pls. 49–101.
Cuvier G, Valenciennes A. 1840. Histoire Naturelle Des Poissons, 14. Pitois-
Levrault, Paris. 464 pp, pls 389–420.
26 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Fisheries and Aquaculture


Statistics.
Gaffar AK, Muflikhah N. 1992. Pemijahan buatan dan pemeliharaan larva
ikan baung. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar
254–257.
Gustiano R, Kusmini II, Ath-thar MHF. 2015. Mengenal sumber daya genetik
ikan spesifik lokal air tawar Indonesia untuk pengembangan budidaya.
Bogor: IPB Press, 51p. ISBN 978-979-493-779-2.
Nelson JS. 1994. Fishes of the World. NY, USA: John Willey and Sons.Inc.
600p.
Ng HH, Kottelat M. 2013. Revision of The Asian Catfish Genus Hemibagrus
Bleeker 1862 (Teleostei: Siluriformes: Bagridae). The Raffles Bulletin of
Zoology 61(1): 205–291.
Roberts TR. 1989. The freshwater fishes of  western Borneo  (Kalimantan
Barat, Indonesia). Mem. Calif. Acad. Sci 14: 1–210.
Sukadi MF, Kristanto AH, Nugroho E, Komarudin O, Widiyati A, Gustiano
R, Djajasewaka H, Kusmini II. 2009. Kandidat komoditas ikan lokal
air tawar potensial untuk pengembangan budidayanya di Kalimantan
Selatan In: Sudradjat et al. (eds). Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur (Buku 1), 365–373.
MANAJEMEN
3.

INDUK IKAN BAUNG


Anang Hari Kristanto,
Muhammad Hunaina Fariduddin Ath-Thar,
Otong Zenal Arifin, dan Brata Pantjara

Ikan baung (Hemibagrus nemurus) termasuk dalam ikan ekonomis penting


yang mendiami perairan umum yang menyebar di Asia. Ikan baung terdapat
di sungai Mekong, sungai Chao Phraya, dan sungai Xe Bangfai, Semenanjung
Malaysia, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (http://www.fishbase.se/summary/
Hemibagrus-nemurus). Ikan baung merupakan bahan baku untuk membuat
ikan asap dan pindang yang digemari oleh masyarakat Sumatera, khususnya
masyarakat Jambi (Nasution et al. 1993). Di Jawa Barat, jenis ikan baung
dikenal dengan nama ikan tagih. Kajian terhadap aspek sumber daya di alam,
telah dilakukan sejak tahun 1995 oleh beberapa peneliti (Samuel et al. 1995),
sedangkan kajian terkait aspek pembenihan ikan baung dilakukan sejak tahun
1992 (Gaffar dan Muflikhah 1992; Muflikhah dan Gaffar 1992; Muflikhah
et al. 1993; Hardjamulia dan Suhenda 2000). Muflikhah dan Gaffar (1992);
Muflikhah dan Aida (1996) telah melakukan aspek kajian pembesaran
ikan baung sejak tahun 1992. Budidaya ikan baung mulai berkembang di
masyarakat, dicirikan dengan permintaan benih ikan baung untuk kegiatan
pembesaran. Kebutuhan benih di Provinsi Riau untuk keperluan budidaya
lebih sejuta per tahun (Roza et al. 2014). Ketersediaan benih berkualitas
dalam jumlah yang mencukupi merupakan dasar dan kebutuhan utama
dalam budidaya ikan baung yang berkelanjutan. Benih ikan baung dapat
tersedia setiap saat, bila mana manajemen induk ikan baung diterapkan
sesuai kaidah. Manajemen induk ikan baung melibatkan semua tindakan
yang diterapkan oleh pembudidaya untuk mendapatkan ikan baung yang
dibudidayakan matang gonad dan menghasilkan telur, serta dapat dibuahi
28 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

oleh sperma dari induk ikan baung jantan. Penggunaan teknik pemijahan
buatan dan kelengkapan panti benih yang memadai dapat membantu dalam
memenuhi kebutuhan benih ikan baung yang berkualitas (Kristanto et al.
2016) dan Radona et al. (2018). Keberhasilan pemijahan ikan baung yang
dilakukan oleh pembudidaya tergantung dari kualitas induk yang dipijahkan.
Kualitas induk ikan baung dapat ditingkatkan melalui menajemen induk yang
baik. Kegiatan manajemen induk ikan baung meliputi penyediaan induk dan
transportasi induk asal alam ke wadah budidaya, pemilihan induk ikan baung
yang akan digunakan dalam pemijahan, sistem pemeliharaan induk, teknik
pemberian pakan serta pengelolaan kualitas air, nutrisi induk ikan baung,
parasit dan penyakit, serta predator dan pesaingnya.

PENYEDIAAN INDUK DAN PENGANGKUTAN


INDUK IKAN BAUNG
Penggunaan induk baung hasil domestikasi sangat dianjurkan dalam
pengadaan induk. Apabila induk yang terdomestikasi tidak tersedia, induk hasil
penangkapan dari alam dapat dipergunakan sebagai indukan dengan input
teknologi domestikasi. Transportasi induk ikan baung dari alam maupun yang
telah terdomestikasi, dapat dilakukan melalui udara maupun kendaraan darat
dengan sistem transportasi tertutup. Apabila sampai di tempat penampungan,
induk ikan baung diberikan potasium permanganat, kemudian ditampung
dalam wadah yang dilengkapi air mengalir pada kondisi fotoperiod alami
dengan suhu air 27–28oC, serta kandungan oksigen yang mencukupi antara
7–8 ppm. Proses aklimatisasi ini dilakukan untuk membiasakan induk ikan
baung pada lingkungan budidaya yang baru (Adebiyi et al. 2013).

PEMILIHAN INDUK IKAN BAUNG


Pemuliaan ikan baung sampai saat ini belum dilakukan oleh pembudidaya.
Hal ini karena pemuliaan memerlukan waktu yang cukup panjang dan
kebutuhan sarana perkolaman yang cukup banyak. Induk ikan baung hasil
domestikasi dapat digunakan dalam produksi benih. Pemilihan induk ikan
baung yang akan digunakan dalam pemijahan dapat mengacu pada Bromage
dan Roberts (2001). Induk ikan baung yang dipilih, sebaiknya tidak cacat
bawaan dan tidak terinfeksi penyakit. Pembudidaya harus mempunyai
29
MANAJEMEN INDUK IKAN BAUNG

kemampuan mendiagnosa dan memberikan tindakan pencegahan terhadap


serangan penyakit bila diperlukan. Induk ikan baung jantan dipilih
berdasarkan kriteria panjang papilla genitalia. Ikan yang dipergunakan bila
panjang papilla sudah melewati pangkal sirip anal dan induk ikan baung
betina yang dipilih mempunyai tubuh gemuk dan melebar, warna kulit
terlihat kusam, alat kelaminnya berwarna merahan (Subagja et al. 2015).
Induk jantan dan betina terbesar yang tertangkap pada saat penangkapan
pertama dengan jaring dapat digunakan sebagai induk terpilih. Hal ini karena
selain induk tersebut mudah tertangkap, sifat mudah tertangkap ini dapat
diturunkan kepada generasi berikutnya, juga dapat menghindari terpilihnya
induk yang mempunyai pertumbuhan lambat pada saat penangkapan induk
berikutnya. Induk ikan baung jantan mencapai kematangan gonad pertama
pada saat berumur 1 tahun, sedangkan betina berumur 1,5 tahun. Induk ikan
baung yang digunakan dalam pemijahan dipasangkan minimal 50 pasang
untuk menjaga tidak terjadi inbreeding. Pemasangan induk betina dari kolam
induk betina dengan jantan dari kolam lain perlu dipertimbangkan bila
menggunakan jumlah induk yang sedikit.

PEMELIHARAAN INDUK IKAN BAUNG


Pemeliharaan induk ikan baung dapat dilakukan di kolam, keramba, atau
wadah fiber. Induk ikan baung akan memberikan benih ikan dengan kualitas
baik perlu ditangani secara seksama. Pada pemeliharaan secara terpisah, padat
tebar yang dapat digunakan untuk induk 0,5 ekor per m2. Induk baung yang
dipelihara di kolam ukuran 100 m2 dapat ditebar dengan kepadatan 50 ekor.
Kolam yang digunakan mempunyai kedalaman 1–1,5 m dengan kondisi air
masuk dan pengeluaran yang baik. Lokasi kolam induk, berbentuk persegi
atau disesuaikan dengan ruang yang tersedia. (Muflikhah et al. 1994). Induk
ikan baung, bisa juga dipelihara dalam wadah pemeliharaan berupa waring
berukuran masing-masing 2 m x 2 m x 1,25 m yang diletakkan di dalam
kolam tembok berukuran 200 m2 dengan kedalaman air 1,25 m. Kualitas
air diupayakan dalam kondisi yang baik, seperti yang disyaratkan dalam
pemeliharaan induk, terutama untuk kandungan oksigen terlarut. Untuk itu
pada malam hari digunakan aerasi dengan pompa air. Ikan uji adalah ikan
baung jantan yang berumur minimal dua tahun sebanyak 25 ekor dengan
bobot antara 187–338,5 g, serta ikan baung betina yang telah matang
gonad.
30 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Pemeliharaan induk ikan baung telah dilakukan oleh Subagja et al. (2015)
di kolam tembok luasan 20 m2 dan diisi ikan sebanyak 20 ekor dengan
rasio pemeliharaan 15 ekor betina dan 5 ekor jantan. Ikan diberi pakan
buatan kadar protein 28–30%, diberikan sebanyak 3% dari biomassa yang
didistribusikan dua kali sehari, yaitu pagi hari sekitar pukul 8.00 dan sore hari
pukul 18.00. Pemeliharaan induk ikan baung dapat juga dilakukan di keramba
yang ditempatkan dalam kolam atau diletakkan di sungai. Pemeliharaan
induk ikan baung dalam keramba dapat dilakukan dengan padat tebar 32
ekor per keramba yang berukuran 1 m x 1 m x 1,5 m dengan pemberian
pakan komersil yang mengandung 41% protein dengan pemberian 1,5% dari
biomas per hari. Pemberian ikan rucah dapat digunakan untuk mempercepat
tingkat kematangan gonad dengan dosis pemberian 6% sekali setiap minggu
(Muflikhah et al. 2005). Pemeliharan ikan baung di kolam mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pemeliharaan induk ikan
baung dikolam, antara lain pencemaran yang terjadi terhadap air kolam sedikit,
bila air berasal dari mata air, bila kolam dipupuk, pakan alami dapat tumbuh
sehingga dapat meningkatkan produktivitas ikan yang dipelihara. Kekurangan
yang dijumpai pada pemeliharaan di kolam, antara lain kebutuhan air untuk
penggantian tergantung dari musim, serta perubahan kualitas air pada siang
dan sore bisa sangat ekstrem tergantung dari alkalinitas air akibat limbah
pakan dan feses sehingga terjadi endapan yang perlu diangkat secara berkala.
Bila pemeliharaan induk ikan baung di karamba, mempunyai kelebihan
penggunaan padat tebar ikan bisa tinggi dengan volume air yang kecil.
Selain itu, pemeliharaan ikan baung di karamba memerlukan teknologi yang
sederhana dan relatif murah, serta pengelolaan dan manajemen pemberian
pakan dan penangkapan induk untuk pengecekan tingkat kematangan gonad
relatif mudah. Beberapa kendala yang sering dijumpai pemeliharaan ikan di
karamba adalah kematian masal akibat cemaran air dan karamba terbawa
banjir (Slembrouck et al. 2005).

TEKNIK PEMBERIAN PAKAN DAN KEBUTUHAN


NUTRISI DALAM MANAJEMEN INDUK
Ikan baung termasuk ikan yang mencari makan dibagian dasar atau badan
air bila dipelihara dalam lingkungan budidaya. Penggunaan pakan tenggelam
akan membantu induk baung dalam mendapatkan makanan. Oleh karena
itu, pakan tenggelam yang diberikan harus tidak mudah larut dalam air dan
31
MANAJEMEN INDUK IKAN BAUNG

mempunyai nilai kecernaan yang baik. Pemberian pakan induk ikan baung
dilakukan sehari dua kali dan diberikan selama enam hari dalam seminggu.
Untuk tujuan pengosongan lambung dan memacu nafsu makan, pemberian
pakan tidak diberikan selama satu hari dalam seminggu. Pemberian pakan
dilakukan secara perlahan agar induk ikan baung terbiasa dan pakan tidak
banyak terbuang pada dasar perairan. Selain itu, pembudidaya dapat sekaligus
melihat perilaku induk ikan baung yang diberi makan. Pakan yang diberikan
terhadap induk ikan baung, perlu dievaluasi jumlah takaran yang diberikan
setiap bulannya, penyesuaian takaran yang diberikan dilakukan dengan
mengambil sampel induk ikan baung sebanyak 10% dari populasi dan
mengukur berat dari induk ikan baung yang diperoleh, kemudian perhitungan
pemberian takaran pakan mengikuti hasil kalkulasi yang baru.
Evaluasi penyesuaian takaran diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan
dan proses kematangan gonad induk ikan baung. Pada proses pemeliharaan
induk ikan baung, sering kali dijumpai jenis ikan lain yang hidup dalam wadah
pemeliharaan yang sama. Ikan ini mengganggu karena pada saat pemberiaan
pakan, ikan jenis lain akan mengambil porsi pakan induk baung. Ikan jenis
lain masuk ke wadah pemeliharaan dapat melalui saluran masuk, baik dalam
bentuk telur yang kemudian menetas di dalam kolam atau juga larva atau
benih yang terbawa air yang masuk ke kolam induk. Oleh karena itu, jenis
ikan liar, harus sering dibersihkan secara berkala (Slembrouck et al. 2005).
Produksi telur dan larva berkualitas dari induk ikan baung dapat dicapai
melalui penanganan biologi reproduksi, pengelolaan metabolisme tubuh, dan
lingkungan akuatik yang baik. Pakan induk merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam kemampuan ikan untuk reproduksi. Keberhasilan program
domestikasi menyebabkan ikan baung yang awalnya bersifat omnivor dapat
diberikan pakan komersil berupa pelet dengan kandungan protein 30%.
Pakan diberikan sebanyak 2% dari bobot badan per hari dengan frekuensi
dua kali sehari (Hardjamulia dan Suhenda 2000). Abidin et al. (2006)
menyatakan kebutuhan protein induk ikan baung sebesar 35% yang berasal
dari sumber hewani (tepung ikan dan tepung hasil limbah) dan protein dari
tanaman (kedelai, biji minyak, dan sereal). Energi berasal dari lemak 3–8%
(minyak sayur atau lemak dari limbah). Pakan komersil ini dapat mendukung
pertumbuhan dan meningkatkan kualitas telur yang dihasilkan. Asam lemak
esensial tidak dapat diproduksi di dalam tubuh ikan baung. Oleh karena itu,
kebutuhan akan asam lemak dapat di berikan melalui pakan (Bautista dan
32 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

La Crus 1988). Suhenda et al. (2009) menyatakan kebutuhan lemak untuk


induk ikan baung sebesar 8% dalam ransum pakannya. Menurut Izquierdo et
al. (2001), lemak dan komposisi asam lemak pakan merupakan faktor utama
yang menentukan keberhasilan reproduksi dan sintasan larva karena asam
lemak yang terkandung dalam telur berpengaruh terhadap stadia awal dari
embriogenesis dan akan menentukan apakah embrio itu akan berkembang
atau tidak (Mokoginta 1991). Pemberian vitamin C dan E yang tepat dalam
pakan induk merupakan salah satu cara meningkatkan kematangan gonad
dan peningkatan produksi benih ikan baung. Vitamin C dan E mempunyai
peranan penting menjaga ketersediaan nutrisi sebagai sumber energi yang
dibutuhkan untuk reproduksi (Khaidir 2001).

PENGELOLAAN KUALITAS AIR


Kolam induk ikan baung pada saat awal pengisian digunakan air yang
mempunyai kualitas baik, namun pemberian pakan yang tidak termakan
oleh induk akan memicu pembusukan. Pembusukan bahan organik akan
mengurangi kualitas air yang dicirikan dengan rendahnya kandungan
oksigen, tingginya kandungan amonia dan nitrit, serta karbon dioksida dan
terkadang terdapat asam sulfit menyebabkan induk ikan menjadi stres. Hal ini
membuka peluang untuk masuknya penyakit dan parasit. Selain itu, kolam
menjadi blooming akibat kandungan nitrogen dan fosfor yang dihasilkan dari
pembusukan sisa pakan yang menyebabkan kebutuhan oksigen lebih tinggi
di malam hari. Kualitas air yang menurun secepatnya harus diatasi melalui
pengurangan pemberian pakan, pemberian aerasi untuk meningkatkan
kandungan oksigen, atau melakukan oksidasi kimia untuk mengurangi nilai
Biology Oxygen Demand (BOD) melalui pemberian potasium permanganat
atau membuang air kolam pada bagian dasar kolam dan mengganti air.

PREDATOR DAN KOMPETITOR (PESAING)


Predator dapat merupakan masalah utama penyebab hilangnya induk ikan
baung dan kompetitor dapat menyebabkan pengurangan jumlah dan kualitas
telur. Predator utama pada induk ikan baung adalah ikan gabus dan berang-
berang. Sementara itu, ikan kompetitornya antara lain ikan gabus dan lele.
Pencegahan berang-berang dapat dilakukan dengan memagar sekeliling
kolam. Pencegahan kompetitor dapat dilakukan pada saat persiapan kolam
33
MANAJEMEN INDUK IKAN BAUNG

induk sebelum diisi dengan air, kolam dikeringkan dan dijemur, diberi
kapur, kemudian diisi air dengan kedalaman 10 cm. Penambahan air sampai
kedalaman yang diinginkan dilakukan tiga atau empat hari setelah organisme
yang tidak diinginkan mati.

PENANGANAN STRES PADA INDUK


Penanganan induk ikan baung perlu dilakukan dengan saksama untuk
mengurangi stres. Induk biasanya ditangkap menggunakan jaring atau serokan.
Penanganan induk yang baik pada saat menangkap tidak akan menimbulkan
stres. Induk ikan baung biasanya ditangkap pada saaat sampling bulanan
untuk menyesuiakan pemberian pakan, pengecekan kondisi induk matang
gonad, dan pemberian penanda. Stres pada ikan baung dapat muncul pada
saat penangkapan guna pengukuran berat dan pengecekan tingkat kematangan
gonad. Stres yang ditimbulkan akan memengaruhi selera makan, yang akan
berakibat terhadap perkembangan gonad, hal ini akan berpengaruh terhadap
keberhasilan pemijahan. Ikan baung hasil domestikasi mempunyai tingkat
stres yang berbeda dibandingkan ikan baung yang ditangkap dari alam dan
dipelihara di kolam atau keramba.

PERKEMBANGAN INDUK MATANG GONAD


Kematangan gonad diamati secara periodik (setiap satu bulan) dengan
mengukur diameter sampel oosit dari masing-masing induk betina. Induk
ikan baung matang gonad dapat dikenali melalui bentuk luarnya sebagai
berikut: induk betina yang matang kelamin ditunjukkan dengan perut
yang membengkak, terutama di daerah urogenital serta perkembangan
oosit. Pengamatan tingkat kematangan gonad betina ikan baung dilakukan
melalui perkembangan oosit dengan mengukur diameter telur. Induk ikan
yang terpilih diambil telurnya menggunakan kateter. Jenis kateter yang
digunakan mempunyai ukuran bervariasi dan terbuat dari polypropilene dan
berbentuk tabung. Kateter dimasukkan ke dalam genital papila sedalam 5–8
cm, kemudian diambil beberapa telur. Telur yang diperoleh diamati di bawah
mikroskop dengan pembesaran 25 kali. Pengamatan diameter telur sebanyak
10–25 butir dilakukan setiap bulan sehingga akan diperoleh diameter rataan
serta distribusi ukuran telur dalam satuan mm. Indikasi yang diperlukan
untuk menentukan keadaan telur yang siap dan telah berada pada posisi
34 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

akhir, ditandai dengan warna telur yang berwarna kuning. Bila telur masih
berwarna putih, menandakan telur masih belum matang, sebaliknya bila
ukuran telur besar dan berwarna bening menandakan telur telah memasuki
fase over riping. Telur yang mempunyai ukuran yang sama dengan sedikit
basah, mudah dipisahkan satu dengan lainnya, dan telah mencapai ukuran
1,5 mm menandakan induk ikan siap menerima rangsangan hormon. Ikan
jantan yang siap untuk pemijahan dipilih berdasarkan kriteria panjang genital
papilla yang sudah melewati pangkal sirip anal. Ikan jantan, matang kelamin
dilihat dari ujung papila berwarna kemerah-merahan serta keluarnya cairan
kalau dilakukan pengalinan.
Penandaan (tagging) sangat diperlukan dalam manajemen induk. Hal ini karena
penggunaan tanda pada setiap ekor ikan dapat diikuti tingkat perkembangan,
baik pertumbuhan dan gonadnya. Pemberian tanda pada ikan juga dapat
membantu pembudidaya dalam mengikuti kejadian yang dilakukan induk
ikan baung, seperti serangan penyakit, penanganan pengobatan, frekuensi
penggunaan induk untuk pemijahan, kualitas dan jumlah telur yang dihasilkan,
serta jumlah larva yang diperoleh. Penggunaan penanda dapat menggunakan
metode sederhana, seperti pengguntingan sirip dan pewarnaan dengan cap
menggunakan alat dipanaskan atau PIT tagging (passive inductance transponder
tagging) yaitu tanda pengenal untuk ikan berdasarkan metode elektronik. PIT
tag mempunyai beberapa keuntungan, antara lain mudah digunakan, tidak
membahayakan bagi ikan, serta penggunaan kode yang unik, namun mudah
di baca serta tidak mudah rusak. Pemberian penanda dilakukan setelah ikan
dibius dengan menggunakan jarum penyuntik yang telah diberi PIT tag. PIT
tag disuntikkan di bagian akhir sirip dorsal (punggung). Jarum suntik yang
telah berisi PIT tag setelah disuntikan kedalam tubuh ikan, nomor yang tertera
dalam PIT tag dapat dibaca dengan menggunakan PIT tag reader. Manajemen
induk merupakan aspek penting dalam budidaya ikan baung. Manajemen
induk yang tepat akan menghasilkan kualitas telur, sperma, dan larva yang
baik, serta dapat meminimalkan kematian induk melalui pengaturan kualitas
air, pemberian pakan yang tepat, dan pencegahan penyakit.
35
MANAJEMEN INDUK IKAN BAUNG

DAFTAR PUSTAKA
Adebiyi FA, Siraj SS, Harmin SA, Christianus A. 2013. Induced spawning
of a river catfish Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840). Pertanika
Journal of Tropical Agricultural Science 36(1): 71–78.
Abidin MZ, Hashim R, Chung AC. S. 2006. Influence of dietary protein
levels on growth and egg quality in broodstock female bagrid catfish
(Mystus nemurus Cuv. & Val.). Short Communication. Aquaculture
Research 37: 416–418.
Bromage NR, Roberts RJ. 2001. Broodstock management and egg and larval
quality. Institute of Aquaculture. University of Sterling. 414p.
Bautista MN, De La Crus MC. 1988. Linoleic (n-6) and linolenic (n-3) acids
in the diet of fingerling milkfish Chanos chanos forskal, Aquaculture 71:
347–358.
Gaffar AK, Muflikhah N. 1992. Pemijahan buatan dan pemeliharaan larva
ikan baung. pros. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar
1991/1992. Balitkanwar Bogor. 254–257 p.
Hardjamulia A, Suhenda N. 2000. Evaluasi sifat reproduksi dan sifat
gelondongan empat strain ikan baung (Mystus nemurus) di keramba
jaring apung di Waduk Cirata. Prosiding Hasil Penelitian Balai Penelitian
Perikanan Air Tawar 1999/2000. Sukamandi.
Izquierdo MS, Fernandes-Palacios H, Tacon AGJ. 2001. Effect of broodstock
nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture 197: 25–
42.
Khaidir A. 2001. Pengaruh vitamin C dalam bentuk L-Askorbil-2-fosfat
Magnesium sebagai sumber vitamin C dalam pakan terhadap kualitas
telur ikan patin (Pangasius hypophthalmus) [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian BogorSekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 62 p.
Kristanto AH, Subagja J, Ath-thar MHF, Arifin OZ, Prakoso VA, Cahyanti
W. 2016. Pengaruh suhu inkubasi induk dan pemberian naungan pada
larva terhadap produksi benih ikan baung, Jakarta; Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur 2016, pp. 166–167.
36 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Muflikhah N, Gaffar AK, Jahri M. 1994. Pembenihan ikan baung (Mystus


nemurus) dengan cara hypofisasis. Buletin Penelitian Perikanan Darat
12(2): 29–32.
Muflikhah N, Gaffar AK. 1992. Pengaruh perbedaan padat tebar terhadap
pertumbuhan ikan baung (Mystus nemurus) di kolam stagnan. Buletin
Penelitian Perikanan Darat 11(2): 129–133.
Muflikhah N, Yosmaniar, Jahri M. 1993. Pematangan gonad dan pemijahan
buatan ikan baung (Mystus nemurus). Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Perikanan Air Tawar. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 243–247.
Muflikhah N, Aida SN. 1996. Pengaruh frekuensi pemberian pakan yang
berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan
baung (Mystus nemurus). Prosiding Lolitkanwar 2: 108–111.
Muflikhah N, Nurdawati S, Aida SN. 2005. Pengaruh pakan yang berbeda
terhadap pemantangan gonad ikan baung (Mystus nemurus) dalam
keramba, kualitas telur dan sintasan larva. Jurnal ilmu Perikanan 7(1):
19–24.
Mokoginta I. 1991. Kebutuhan ikan lele (Clarias batrachus) akan asam lemak
esensial bagi perkembangan induk. Direktorat Pembinaan, Penelitian
dan Pengabdian Pada Masyarakat, Fakultas Perikanan, IPB. 46 hlm.
Nasution Z, Utomo AD, Prasetyo D, Yusuf S. 1993. Kajian ekonomi pada
sumber daya perikanan baung di DAS Batanghari, Provinsi Jambi.
Laporan Rakernis Balitkanwar Sukamandi 24–26 Mei 1993.
Radona D, Subagja J, Prakoso VA, Kusmini II, Kristanto AH. 2018. Biologi
reproduksi dan tingkat keberhasilan pemijahan ikan baung populasi
Cirata dengan inkubasi suhu. Jurnal Riset Akuakultur 13(2): 131–136.
Roza M, Manurung R, Budhi A, Sinwanus B, Heltonika. 2014. Kajian
pemeliharaan ikan baung (Hemibagrus nemurus) dengan padat tebar
yang berbeda pada keramba jaring apung di Waduk Sungai Paku,
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Acta Aquatica 1(1): 2–6.
37
MANAJEMEN INDUK IKAN BAUNG

Subagja J, Cahyanti W, Nafiqoh N, Arifin OZ. 2015. Keragaan bioreproduksi


dan pertumbuhan tiga populasi ikan baung (Hemibagrus nemurus Val.
1840). Jurnal Riset Akuakultur 10(1): 25–32.
Suhenda N, Samsudin R, Kristanto AH. 2009. Peranan lemak pakan dalam
mendukung perkembangan embrio, derajat penetasan telur, dan
sintasan larva ikan baung (Mystus nemurus). Jurnal Riset Akuakultur,
4(2): 201–211.
Slembrouck J, Komarudin O, Maskur, Legendre M. 2005. Technical manual
for artificial propagation of the Indonesian catfish (Pangasius djambal).
IRD-DKP, Karya Pratama. 131 hlm.
Samuel, Adjie S, Akrimi. 1995. Beberapa aspek biologi lkan baung (Mystus
nemurus) di daerah aliran sungai Batanghari, Provinsi Jambi. Oseanologi
dan Limnologi di lndonesia 28: 1–13.
TEKNOLOGI REPRODUKSI
4.

IKAN BAUNG
Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin,
Vitas Atmadi Prakoso, dan Deni Radona

Pada tahun 2017, rata-rata harian konsumsi protein per kapita masyarakat
Indonesia hanya berada diangka 46,49 kg per tahun (BPS 2017a). Sementara
itu, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi ikan segar
pada tahun 2017 sebesar 1,323 kg (BPS 2017b). Seiring dengan tumbuhnya
perekonomian Indonesia, kesadaran masyarakat akan konsumsi ikan
semakin tinggi. Demikian pula dengan adanya program Gemar Makan
Ikan yang dikampanyekan KKP, angka konsumsi akan terus bergerak naik.
Budidaya  ikan air tawar dari sisi produksi, pada tahun 2017 produksi
perikanan nasional mencapai 23,26 juta ton. Dari jumlah tersebut, produksi
perikanan tangkap sebanyak 6,04 juta ton dan produksi perikanan budidaya
17,22 juta ton (BPS 2017a). Kenaikan produksi budidaya ikan dalam kolam
air tawar cukup pesat, yaitu berkisar 11% setiap tahun. Hal ini menunjukkan
ada gairah besar di masyarakat untuk mengembangkan usaha budidaya ikan
air tawar. Tentunya pertumbuhan produksi ini mengacu pada permintaan
pasar yang terus meningkat, sejalan dengan penambahan jumlah jenis ikan
yang dibudidayakan. Jenis ikan air tawar yang baru mulai dilirik untuk
dikembangkan dimasyarakat sebagai komoditas budidaya beberapa spesies
berasal dari ikan perairan umum, salah satunya yaitu ikan baung.
Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan salah satu komoditas ikan air
tawar yang ekonomis penting di indonesia dan telah mendapatkan popularitas
di kalangan konsumen dalam negeri, serta di wilayah asia tenggara. Ikan ini
memiliki kualitas daging baik dan nilai gizi tinggi sehingga akan berdampak
terhadap harga jual yang tinggi dibandingkan dengan dari jenis ikan “catfish”
air tawar lainnya. Namun, komersialisasi dan budidaya masif terhadap spesies
ini masih terbatas. Hal ini karena belum didukung oleh keberadaan panti
40 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

benih yang memproduksi benih baung. Di sisi lain, induk ikan baung yang
sudah dipergunakan untuk proses penyediaan benih masih berasal dari
indukan alam sehingga masih banyak permasalahan dalam penyesuaian
dengan lingkungan budidaya. Dengan demikian, penyediaan benih baung
untuk budidaya pembesaran sebagian besar masih mengandalkan tangkapan
benih dari alam.
Penggunaan induk baung yang berasal dari alam seringkali belum teradaptasi
pada kondisi lingkungan baru. Dengan demikian, faktor alamiah masih
sangat dominan dalam memengaruhi proses reproduksi induk. Beberapa
parameter yang berpengaruh pada proses reproduksi di antaranya kondisi
suhu lingkungan, fotoperiod, faktor sosial (kepadatan) dan curah hujan, serta
pakan alami. Hal ini didukung dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Alawi et al. (1992) dan Handoyo et al. (2010). Di alam, siklus reproduksi
ikan baung umumnya terjadi pada musim hujan dengan puncak pemijahan
pada bulan Oktober–Desember. Salah satu strategi untuk menggantikan
sinyal lingkungan yang kebutuhan ikan baung untuk bereproduksi pada
kondisi lingkungan budidaya, dapat dilakukan melalui pemberian hormon
reproduksi. Teknologi ini mudah dan efektif diaplikasikan kepada pengelola
panti benih dalam upaya pecepatan reproduksi benih.

PERKEMBANGAN TEKNIK PEMIJAHAN


Ikan baung termasuk jenis ikan yang sangat digemari oleh masyarakat.
Budidaya ikan baung di Indonesia pertama kali dicoba sejak tahun 1983 (Rifai
et al. 1988) dan pada tahun 1991 pemijahan sudah dilakukan secara buatan
dengan menggunakan hormon ekstrak kelenjar hifopisa ikan mas Cyprinus
carpio dan Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dengan nama dagang
Pregnyl (Gaffar dan Muflikhah 1992). Pada sekitar tahun 2000, pemijahan
dilakukan dengan menggunakan rangsangan Luteunizing Hormon Realising
Hormon (LHRH) analog kombinasi dengan antidopamin, kemudian dikemas
dengan nama komersial, yaitu “LHRHa”. Aplikasi penggunaan LHRHa sejak
beredar dipasaran telah banyak dipergunakan untuk proses pemijahan dan
berdampak pada akselerasi teknik pemijahan secara buatan pada jenis ikan
air tawar. Pemakaian hormon reproduksi ini relatif praktis dan efesien dalam
pemakaiannya untuk proses ovulasi. Meskipun ada beberapa pengecualian
penggunaannya sedikit lebih tinggi dari dosis anjuran, terutama bila terapkan
pada ikan-ikan baru didomestikasi dan pemakaian di luar musim reproduksi.
41
TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG

Salah satu contoh dosis LHRHa yang digunakan untuk pemijahan induk
ikan baung dari alam yang baru diadaptasikan pada lingkungan budidaya,
menggunakan dosis 0,6–0,7 mL/kg bobot induk (Subagja et al. 2015),
sedangkan dosis anjurannya 0,5 mL/kg..
Penguasaan teknik produksi benih masih didominasi oleh Jawa Barat dan
Kalimantan Selatan yang memiliki keunggulan teknologi perbenihan
dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini karena keberadaan institusi
pemerintah di bidang perikanan yang berperan aktif dan lebih maju, sedangkan
untuk kegiatan budidaya skala pembesaran memiliki cakupan wilayah yang lebih
luas di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Di Pulau Jawa, usaha pembesaran
ikan baung terkonsentrasi di beberapa waduk besar, antara lain Waduk Cirata
di Jawa Barat dan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Di Pulau Sumatera,
usaha budidaya terkonsentrasi di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan
Lampung. Budidaya di Pulau Sumatera lebih banyak diusahakan di kolam dan
sungai. Di Pulau Kalimantan, usaha budidaya ikan baung banyak dilakukan
di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, teknik pemeliharaan
di lokasi tersebut lebih banyak dilakukan dalam keramba di sungai.

PEMBENIHAN IKAN BAUNG


Pembenihan ikan baung dapat dilakukan secara semi-alami dan buatan.
Perkembangan gonad akan sempurna ketika umur ikan di atas satu tahun
pemeliharaan.

Ciri-ciri Induk Baung


Secara umum, ukuran induk baung yang baik digunakan untuk proses
pemijahan berkisar 400–700 g. Ikan baung jantan dan betina cukup mudah
dibedakan dengan melihat tanda-tanda pada tubuh. Induk jantan ditandai
dengan tubuh ramping dan panjang, warna kulit lebih cerah dibanding warna
ikan betina, serta memiliki alat kelamin dengan ujung genital papilla yang
meruncing mengarah ke pangkal sirip anal. Ciri lain apabila diurut terkadang
keluar cairan berwarna putih. Persyaratan ikan jantan yang telah matang atau
dewasa dicirikan dengan panjang genetal papila sudah mencapai atau melebihi
pangkal sirip anal. Ciri induk betina ditandai dengan tubuh lebih gemuk
dan lebih melebar terkesan tampak lebih pendek, warna kulit agak kusam
dibanding dengan ikan jantan, alat kelamin betina berwarna kemerahan,
serta bentuknya membulat dan hanya sedikit menonjol. Induk betina yang
42 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

sudah matang dicirikan dengan perutnya yang gendut, permukaan kulit


lebih lembut, bila bagian perut dilakukan pemijatan terkadang keluar telur
berwarna kecokelatan (Gambar 4.1).

Jantan Betina
Gambar 4.1 Perbedaan morfologi kelamin antara Induk jantan dan betina
ikan baung

Pemeliharaan dan Pematangan Gonad Induk


Pemeliharaan induk baung merupakan tahap awal yang harus dilakukan dengan
tujuan untuk menghasilkan induk yang matang gonad. Kematangan gonad
sangat dipengaruhi oleh faktor umur dan lingkungan. Umumnya, ikan jantan
matang gonad lebih awal dari pada ikan betina. Selain umur dan lingkungan,
pakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap proses
kematangan gonad, khususnya pada perkembangan ikan betina. Selain itu,
pakan akan berpengaruh terhadap fekunditas dan kualitas telur, serta sebagai
bahan dasar untuk sintesis vitelogenin dan hormon. Menurut Tang et al.
(2000), pakan yang optimal dalam pematangan gonad memiliki kandungan
protein sebesar 35%, lebih lanjut Suhenda et al. (2009) menyatakan bahwa
pakan yang mengandung lemak sebesar 6% akan menghasilkan perkembangan
embrio yang optimal, derajat pembuahan (>95%), derajat penetasan (>90%),
43
TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG

dan sintasan (>95%). Untuk induk jantan, pematangan gonad bisa dipercepat
melalui implantasi hormon 17α-metil testosteron dengan dosis optimal
200 mg/kg (Sularto et al. 2010).
Pemeliharaan induk ikan baung dapat dilakukan di kolam tanah, beton, atau
fiber. Untuk pemeliharaan di kolam, sebagai contoh dengan menggunakan
kolam berukuran 5 x 2 m dan ke dalam air kolam 1 m, perlu dilakukan
pengeringan terlebih dahulu selama 2–3 hari, kemudian kolam diisi dan
dialirkan secara kontinu. Pemeliharaan induk baung dilakukan terpisah
antara jantan dan betina agar mempermudah dalam proses pengecekan.
Kepadatan optimal pemeliharaan induk, yaitu 2 ekor/m3. Kolam dilengkapi
dengan saluran pemasukan (inlet) dan saluran pengeluaran (outlet). Selama
pemeliharaan, induk diberi pakan berupa pelet komersil dengan kandungan
protein berkisar antara 28–32%, kandungan lemak berkisar antara 6–8%.
Pakan diberikan sebanyak 3% dari bobot bimassa dengan frekuensi pemberian
tiga kali sehari (pagi, siang, dan sore).

Pemilihan Induk Matang Gonad


Seleksi atau pemilihan induk dilakukan untuk menentukan induk ikan baung
yang sudah layak untuk dipijahkan. Untuk memudahkan proses seleksi induk,
sebaiknya induk ikan baung diberi penanda (tagging). Penggunaan penanda
elektronik lebih praktis dan tidak mengganggu aktivitas induk, berikut cara
pemasangan penanda pada induk (Gambar 4.2)

A B

Gambar 4.2 Penanda elektronik (Chip electronic tag) dan jarum implanter
A) Penyisipan penanda pada induk ikan baung; B) intramuscular
pada bagian punggung sebelah kanan sirip dorsal
44 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Induk ikan baung sebelum diperlakukan pemasangan penanda atau pada


aktivitas pemilihan induk, sebaiknya dilakukan pembiusan terlebih dahulu
menggunakan obat anastesi. Bisa menggunakan 2-phenoxyethanol dengan
dosis 0,3 mL/L air atau stabilizer dengan dosis 1 mL/L air dengan lama
waktu pembiusan sekitar 3–5 menit. Setelah pingsan, induk diangkat dan
siap dilakukan pemasangan penanda. Kriteria induk baung betina yang
sudah matang gonad (TKG IV) dapat diketahui melalui pengecekan sampel
telur yang diambil secara kanulasi dan mengukur oosit hasil sampling
menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan lensa mikrometer. Oosit
yang matang memiliki diameter telur rata-rata 1,5–1,8 mm. Telur berwarna
kuning kecokelatan dan mudah dipisahkan satu sama lain. Induk yang sudah
terpilih, kemudian ditampung dalam wadah atau akuarium, dan sebelumnya
ditimbang bobotnya bertujuan untuk menentukan jumlah hormon yang akan
disuntikkan. Untuk menghindari luka akibat gigitan, penampungan induk
betina hanya dimasukkan satu ekor induk per wadah. Wadah penampungan
induk ini, sebaiknya dilengkapi dengan aerasi untuk suplai oksigen.

Gambar 4.3 Teknik kanulasi untuk melihat


tingkat kematangan gonad induk
betina dari observasi terhadap
diameter telur sampel
45
TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG

Gambar 4.4 Penimbangan bobot induk


betina terpilih untuk dipijahkan
guna penentuan dosis hormon

Pemijahan Ikan Baung


Proses pemijahan ikan baung belum bisa dilakukan secara alami sehingga
pemijahan baung dilakukan secara buatan (induced breeding). Aktivitasnya
diawali dengan penyuntikan hormon, stripping, pembuahan telur, dan
inkubasi telur. Demikian juga dengan sperma dari ikan jantan diperoleh dari
hasil pembedahan. Setiap pemijahan dilakukan dengan rasio 1:3 (satu ekor
jantan membuahi tiga ekor betina).

Teknik penyuntikan
Setelah induk dipilih dan ditempatkan pada wadah, selanjutnya adalah
penyuntikan hormon, jenis hormon yang biasa dipergunakan adalah HCG
dan LHRHa. Strategi pertama, penyuntikan hormon pada induk yang sudah
matang akhir. Hormon yang ini praktis digunakan sebagai perangsang ovulasi
atau spermiasi dengan dosis 0,6 mL/kg untuk induk betina dan 0,2 mL/kg
untuk induk jantan. Penyuntikan dilakukan dua kali menggunakan sGnRHa
+ domperidone. Penyuntikan pertama dan kedua diberikan sebanyak 30%
dan 70% dari dosis total dengan interval waktu penyuntikan 6–7 jam. Untuk
menghindari luka pada induk pascapemijahan, hendaknya penyuntikan
pertama dan kedua dilakukan di tempat yang berbeda (punggung kiri dan
kanan). Penyuntikan ikan jantan hanya dilakukan satu kali penyuntikan
46 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

menggunakan sGnRHa + domperidone, diberikan minimal 10 jam sampai


dengan saat diambil spermanya (satu jam sebelum penyuntikan kedua pada
ikan betina).
Strategi kedua dilakukan apabila induk ikan baung belum sepenuhnya
matang gonad akhir. Hormon untuk induksi digunakan HCG (Human
chorionic gonadotropin) dipergunakan untuk proses penyuntikan pendahuluan
(priming injection) diaplikasikan 24 jam sebelum dilakukan penyuntikan
ovulasi menggunakan LHRHa, proses sama dengan tahapan strategi pertama.
Hormon yang digunakan dilarutkan dengan aquabides steril dengan
perbandingan 1:1. Penyuntikan dilakukan secara intramuscular (dibelakang
sirip punggung) dengan sudut penyuntikan 45o atau di bagian sisi kanan dan
kiri dari sirip punggung.

24
4. 4. 10-12
Jam Jam
4. Pengecekan 4. HCG 500IU/Kg Ovaprim
4.

Ovulasi
Induk (0.6 mL/kg)
4.

(Stripping)
Gambar 4.5 Proses pemijahan buatan ikan baung melalui strategi kedua
priming injection dan dilanjutkan dengan penyuntikan akhir

Teknik stripping
Induk ikan baung yang telah disuntik hormon akan mengalami ovulasi
setelah 7–9 jam setelah penyuntikan pada suhu air 26–29oC. Induk betina
yang sudah siap ovulasi dicirikan tidak aktif bergerak dan perut sangat
mengembang. Bisa dilakukan pengecekan, yaitu dengan cara melakukan
pengurutan secara perlahan. Apabila telur sudah keluar, menandakan ikan
siap ovulasi. Tahap selanjutnya adalah melakukan stripping ikan betina. Ikan
betina yang siap ovulasi diangkat dari wadah, kemudian badan ikan dibalut
kain sekaligus dikeringkan, kemudian dilakukan pengurutan secara perlahan
diawali menekan pada pangkal urogenital. Telur mulai keluar dan ditampung
menggunakan mangkuk. Setelah telur keluar mulai lancar, pengurutan
47
TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG

selanjutnya bisa dilakukan pada bagian perut atas diurut ke belakang. Telur
hasil stripping lalu ditimbang, dengan syarat baskom yang dipergunakan
sudah diketahui bobotnya (Gambar 4.6). Total telur yang dihasilkan adalah
selisih bobot telur yang dihasilkan dikurangi dengan bobot waskom (ova
somatik). Menurut Suhenda et al. (2004), indeks ovasomatik ikan baung
mencapai 14,7%. Sebelum melakukan stripping ikan betina, langkah yang
harus dilakukan adalah menyiapkan sperma.

Gambar 4.6 Teknik stripping ikan baung

Teknik pengambilan sperma


Ikan jantan yang sebelumnya sudah disuntik dianastesi dengan obat bius
dan dibunuh dengan cara menusuk bagian otaknya menggunakan scapel.
Setelah mati, segera dilakukan pembedahan, testisnya diangkat/dikeluarkan
dari rongga perut, kemudian bersihkan dari darah yang melekat dengan
menempelkan tisu pada testis. Kemudian, testis dipotong-potong halus
menggunakan gunting. Hasil rajangan tadi diperas menggunakan kain trikot
sambil dibilas menggunakan larutan infus (NaCl fisiologis), sperma hasil
perasan ditampung menggunakan gelas. Sperma dari satu induk jantan bisa
membuahi tiga ekor induk betina. Teknik pengambilan sperma ditampilkan
pada Gambar 4.7.
48 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Gambar 4.7 Preparasi sperma ikan baung dari induk jantan yang telah
disuntik LHRHa

Agar sperma bertahan lebih lama, gelas yang berisi larutan sperma disimpan
diatas wadah yang telah dialasi es batu (suhu 6oC) atau setara suhu
refrigerator.

Pembuahan
Campurkan larutan sperma ke dalam telur lalu aduk hingga rata menggunakan
bulu ayam sebagai alat pengaduk. Telur dan sperma yang sudah tercampur
lalu diaktifasi dengan cara menambahkan air bersih dan diaduk kembali
menggunakan bulu ayam supaya pembuahannya merata. Setelah itu, telur
dibilas dengan air bersih sampai tidak ada lagi sisa sperma yang menempel.
Proses fertilisasi (pembuahan) akan berlangsung cepat karena sperma ikan
baung akan aktif bergerak dan bertahan hidup hampir tiga menit setelah
terkena air (Gambar 4.8).

Gambar 4.8 Pencampuran telur dan


sperma ikan baung
49
TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG

Penetasan telur
Telur ikan baung bersifat menempel pada substrat (adhesive), pada proses
inkubasi telur bisa menggunakan substrat penempel, atau langsung ditebar ke
dasar wadah (Gambar 4.9). Telur akan menetas optimal pada suhu 28oC. Telur
yang terbuahi berwarna bening atau transparan, sedangkan telur yang tidak
terbuahi berwarna putih pucat. Fekunditas induk ikan baung bisa mencapai
60.000 butir/ekor dengan nilai derajat pembuahan sebesar 70–80%, derajat
penetasan sebesar 30–80% dan kelangsungan hidup sebesar 50–60% (Subagja
et al. 2012). Untuk hasil yang lebih baik dan menghindari jamur pada
telur, sebaiknya dilakukan treatment dengan direndam emolin dengan dosis
0,05 mL/liter air. Bahan kimia ini mudah didapat di toko kimia atau apotek.

Gambar 4.9 Inkubasi telur ikan baung di


dalam tangki fiber glas

Penetasan di bak tembok


Penetasan telur ikan baung dilakukan dalam bak tembok dengan cara
menyiapkan sebuah bak tembok ukuran panjang 2 m, lebar 1 m, dan tinggi
0,4 m (ukuran fleksibel). Bak penetasan dikeringkan selama 2–4 hari. Bak
diisi dengan air setinggi 30 cm. Hapa halus yang berukuran sama dipasang
dan diberi pemberat agar hapa tenggelam (misalnya kawat behel yang diberi
selang). Sebaiknya, bak dilengkapi dengan sistem aerasi dengan kecepatan
yang cukup. Telur yang telah dibuahi dan dibilas, kemudian ditebar pada
kakaban/substrat penempel tebar telur hingga merata ke seluruh permukaan
50 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

substrat, telur akan menetas dalam 2–3 hari pada suhu 26–29oC. Substrat
penempel bisa menggunakan kasa tray, telur ikan baung yang bagus ditandai
dengan daya rekat pada substrat.

Penetasan di Akuarium
Pada umumnya, penetasan telur ikan baung lebih banyak dilakukan di
akuarium. Akuarium disiapkan dengan ukuran tertentu dan sebaiknya
disterilisasi. Selanjutnya, akuarium diisi air setinggi 30 cm. Masing-masing
akuarium dipasang dua buah titik aerasi dan dihidupkan selama proses
penetasan. Telur ditebarkan hingga merata ke seluruh permukaan dasar
akuarium dan biarkan telur menetas dalam 2–3 hari pada suhu 26–30oC.

Gambar 4.10 Penebaran telur pada dasar akuarium (kiri), akuarium tempat
pemeliharaan larva menggunakan sistem air resirkulasi (kanan)

Penetasan di wadah fiber


Penetasan telur ikan baung juga bisa dilakukan di fiber. Secara teknis caranya
hampir sama dengan penetasan menggunakan akuarium atau bak tembok.
Telur ikan baung bisa langsung ditebar ke dasar tangki atau terlebih dulu
ditebar ke substrat penempel telur.
51
TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG

Gambar 4.11 Penetasan telur menggunakan substrat kasa (kiri), dan di


tetaskan dalam akuarium unit resirkulasi (kanan)

Pemanenan Larva
Pemanenan larva dilakukan setelah 24 jam telur menetas. Pada periode
tersebut, cadangan makanan berupa kuning telur (yolk sack) pada larva sudah
mulai menipis. Umumnya, larva akan menetas dan berenang pada permukaan
wadah. Substrat diambil dari wadah penetasan sehingga yang tersisa hanya
larva yang menetas saja karena telur yang tidak menetas akan tetap menempel
pada substrat. Larva ikan baung yang baru menetas memiliki panjang
0,5 cm dengan bobot 0,7 mg. Larva dapat dilakukan pemanenan menggunakan
scope net fitoplankton yang memiliki botol, larva akan terkumpul di dalam
botol, kemudian dipindahkan ke tempat pemeliharaan.

Pemeliharaan Larva
Larva merupakan fase kritis bagi ikan, yaitu fase awal di mana perkembangan
organ mulai terbentuk. Pada kondisi larva, ikan akan mudah mengalami
kematian pada kondisi kualitas air yang buruk. Pemeliharaan larva, biasanya
dilakukan di ruangan tertutup agar suhu tetap terjaga. Pemeliharaan larva bisa
dilakukan di akuarium, fiber, bak semen, dan bak plastik. Untuk pemeliharaan
larva agar terkontrol, sebaiknya dilakukan di akuarium berukuran
60 x 50 x 40 cm (ukuran akuarium bisa disesuaikan) dengan ketinggian
air sekitar 30 cm. Dari hasil penelitian Muflikhah (1994), kepadatan yang
baik adalah 5 ekor/L diperoleh sintasan hingga 75%. Namun, seiring
dengan berkembangnya pengetahuan dalam teknologi pengelola unit-unit
pembenihan, padat penebaran sudah bisa mencapai 50 ekor/Liter. Larva
yang baru menetas belum dapat diberi pakan dari luar karena larva ikan
52 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

baung masih memiliki cadangan kuning telur (yolk sack) selama 2–3 hari.
Selain itu, larva ikan baung baru bisa membuka mulut pada umur tiga hari
(Handoyo et al. 2010). Setelah itu, larva diberi pakan alami berupa Artemia
sampai umur sepuluh hari. Artemia sangat diperlukan karena pakan alami
yang memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva ikan baung.
Artemia mengandung enzim yang berperan sebagai enzim pencernaan larva.
Artemia diberikan setiap tiga jam sekali dengan cara at satiasi.
Larva ikan baung memiliki sifat kanibalisme yang tinggi sehingga
membutuhkan penanganan pemberian pakan yang tepat dan kecukupan.
Pada umur >10 hari, larva sudah bisa diberi pakan cacing sutra (Tubifex sp.).
Adapun pakan cacing sutra diberikan dalam cara dicincang sampai halus.
Cacing sutra dimasukkan ke dalam scope net halus dan kemudian dibilas
dengan air bersih sampai air bilasan tidak berwarna merah. Kemudian, pakan
tersebut dilarutkan ke dalam air dan disebarkan ke dalam wadah pemeliharaan
larva. Selama pemeliharaan larva, dilakukan penyiponan dan pergantian air
2–3 hari sekali sebanyak 75% agar kondisi air tetap terjaga. Pemeliharaan
benih sampai ukuran 2,5 cm memerlukan waktu sampai satu bulan. Benih
ikan baung yang sudah siap dipasarkan dipelihara ke wadah yang lebih luas
agar mencapai ukuran 4–5 cm. Ukuran tersebut merupakan ukuran yang
umum pada segmen benih ikan baung.

Gambar 4.12 Benih baung ukuran 1,5–2 cm pada kondisi pemeliharaan


dalam wadah akuarium menggunakan sistem air resirkulasi
53
TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017a. Produksi Perikanan Indonesia.  Diambil
dari https://www. bps. go. id.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017b. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk
Indonesia. Badan Pusat Statistik. 81 hlm.
Gaffar AK, Muflikah N. 1992. Penelitian budi daya ikan baung. Prosiding
Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1991/1992. Bogor: Balai Penelitian
Perikanan Air Tawar.
Hardjamulia A, Suhenda N. 2000. Evaluasi sifat reproduksi dan sifat
gelondongan generasi pertama empat strain ikan baung (Mystus nemurus)
di keramba jaring apung. Jurnal Penelitian Perikanan lndonesia 6(3–4):
24–35.
Kristanto AH, Subagja J, Ath-thar MHF, Arifin OZ, Prakoso VA, Cahyanti
W. 2016. Pengaruh suhu inkubasi induk dan pemberian naungan pada
larva terhadap produksi benih ikan baung, Jakarta; Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur 2016, pp. 166–167.
Subagja J, Cahyanti W, Nafiqoh N, Arifin OZ. 2015. Keragaan bioreproduksi
dan pertumbuhan tiga populasi ikan baung (Hemibagrus nemurus Val.
1840). Jurnal Riset Akuakultur 10(1): 25–32.
Subagja J, Sularto, Slembrouck J. 2007. Milt-Egg ratio in artificial fertilization
of Pangasiid catfish injected by gonadotropin releasing hormone analog
(GnRH-a) and domperidone mixture. Jurnal Akuakultur Indonesia,
2(2): 55–59.
Suhenda N, Samsudin R, Subagja J. 2009. Peningkatan produksi benih baung
(Mystus nemurus) melalui perbaikan kadar lemak pakan induk. Berita
Biologi 9(5): 539–546.
Sularto, Dewi RRSPS, Khasani I. 2010. Pengaruh implantasi hormon 17
-metil testosteron terhadap pematangan gonad dan fertilitas sperma
ikan baung (Mystus nemurus). Jurnal Riset Akuakultur 5(1): 53–57.
Tang UM. 2000. Teknik Budidaya Ikan Baung. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Pekanbaru: Unri. 76 hlm.
PEMELIHARAAN LARVA
5.

DAN BENIH IKAN BAUNG


(Hemibagrus nemurus)
Irin Iriana Kusmini, Deni Radona,
Anang Hari Kristanto, dan Vitas Atmadi Prakoso

Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan salah satu jenis ikan yang
sangat digemari dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Ikan ini tergolong
ke dalam jajaran ikan air tawar kelas satu karena bernilai ekonomis.
Sekarang ini harga jual ikan baung segar di pasar tradisional dapat mencapai
Rp50.000–70.000/kg, sedangkan ikan asap baung (ikan salai) dapat mencapai
Rp150.000–250.000/kg. Suksesnya budidaya pembesaran ikan baung sangat
dipengaruhi oleh benih ikan baung baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dari segi kuantitas benih ikan baung mengalami permasalahan, yaitu masih
sangat rendahnya jumlah benih yang dihasilkan dan lambatnya pertumbuhan
benih ikan baung. Selain itu juga dipengaruhi adanya sifat kanibalisme pada
benih ikan baung, yang terjadi pada stadia larva dan benih (Heltonika et al.
2017). Fase larva merupakan fase yang rentan akan kematian disebabkan larva
sangat sensitif, baik dari kualitas air, asupan nutrisi dari pakan, dan adanya
sifat kanibalisme. Sunarti (2003) menyatakan bahwa tingkat kelangsungan
hidup larva ikan baung selama pemeliharaan 7 hari adalah 71,67%, kemudian
menurun menjadi 65,35% ketika berumur 20 hari.
Pada stadia larva, baik morfologi, anatomi, maupun fisiologi ikan baung
masih sangat sederhana. Tubuh larva tampak transparan, sirip dada dan
ekor sudah ada tetapi bentuknya belum sempurna. Sirip hanya berbentuk
tonjolan, mulut dan rahang belum berkembang, serta usus masih merupakan
lambung lurus. Sistem pernafasan dan peredaran darah belum sempurna.
Pakan diperoleh dari sisa kuning telur yang belum habis terserap. Untuk
mendukung dan meningkatkan pembenihan ikan baung, dalam tulisan ini
56 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

akan dibahas mengenai pemeliharaan larva dan benih baung yang berisi
tentang perkembangan dan perilaku larva ikan baung, pemanenan larva,
pemeliharaan ikan baung, teknik budidaya dan manajemen kualitas air,
pakan dan cara pemberian pakan pada larva ikan baung, serta pendederan
dan pembesaran ikan baung yang dapat dimanfaatkan untuk pembudidaya
ikan baung.

PERKEMBANGAN DAN PERILAKU


LARVA IKAN BAUNG
Perkembangan larva dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pralarva dan
pascalarva. Pralarva merupakan tahap dari mulai menetas hingga habisnya
kuning telur. Adapun ciri-ciri pralarva sebagai berikut: masih adanya kantung
kuning telur (yolk sac), tubuh transparan dengan beberapa pigmen yang belum
diketahui fungsinya, adanya sirip dada dan sirip ekor (caudal fin) walaupun
bentuknya belum sempurna, mulut dan rahang belum berkembang, serta
ususnya masih merupakan tabung halus. Pada saat tersebut pakan didapatkan
dari kantung kuning telur yang belum habis terserap. Masa pascalarva ikan
merupakan masa dari habisnya kantung kuning telur sampai terbentuk
organ-organ baru atau penyempurnaan organ-organ yang ada. Pada akhir
fase tersebut, secara morfologi larva telah memiliki bentuk tubuh hampir
seperti induknya. Pada tahap ini sirip punggung (dorsal fin) sudah mulai
dapat dibedakan, sudah ada garis bentuk sirip ekor (caudal fin), dan larva ikan
sudah lebih aktif berenang. Pada masa akhir pascalarva tersebut, larva secara
morfologi sudah mempunyai bentuk menyerupai individu dewasa (Effendie
2002).
Pola tingkah laku larva bisa berubah pada stadium atau tahapan yang berbeda.
Larva ikan tertentu yang awalnya aktif berenang vertikal berubah menjadi
lemah dan lambat laun tergeletak di dasar tanpa bergerak, sedangkan yang
lainnya mulai bergerak secara cepat atau tiba-tiba melompat (Majumdar 1985).
Larva ikan dibagi dalam beberapa kategori. Berdasarkan aktif tidaknya, larva
ikan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu larva aktif dan larva pasif. Sementara
dilihat dari tingkah lakunya, larva dibedakan menjadi larva yang berenang
secara vertikal, larva yang menempel diam pada objek, larva menggantung
yang ekornya bergetar terus menerus, dan larva yang menggeletak diam di
57
PEMELIHARAAN LARVA DAN BENIH IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)

dasar (Waynarovich dan Hovath 1980). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen


ketika sistem pernapasannya belum berkembang, larva memanfaatkan sistem
kapiler pada permukaan kantung kuning telur untuk mendapatkan oksigen
dari air. Masuknya oksigen ke dalam tubuh larva berlangsung melalui proses
difusi. Oksigen merupakan faktor lingkungan yang bersifat akut, dampaknya
bersifat cepat dan massal. Kematian larva pada pembenihan seringkali
disebabkan oleh kekurangan oksigen lokal. Di wadah pemeliharaan, biasanya
larva kekurangan oksigen meskipun aliran aerasi dan air terus berlangsung.
Daerah demikian disebut death point area (daerah titik mati air). Larva yang
memiliki tingkah laku pasif dan terbatas sebaiknya tidak dipelihara dalam
wadah berbentuk persegi.
Larva ikan baung yang baru menetas langsung mengalami pigmentasi mata,
sirip dada, sirip ekor, dan sungut sudah terbentuk. Setelah 26 jam, mulut
mulai membuka. Pada umur 52 jam larva mulai makan, dan pada saat
tersebut bukaan mulut mencapai 0,55 mm. Ketika berumur >72 jam, kuning
telur telah habis sehingga pergerakan larva makin aktif berenang di dasar dan
dinding wadah pemeliharaan. Larva baung mempunyai kebiasaan menyebar
pada malam hari dan hidup berkelompok, serta membentuk gumpalan
terutama pada siang hari sehingga dapat menyebabkan kematian larva yang
berada di bagian dalam karena kekurangan oksigen. Oleh karena itu sistem
aerasi harus selalu diperhatikan agar kandungan oksigen terlarut di dalam air
tetap tinggi. Menyebarnya larva ikan baung dalam wadah budidaya sangat baik
bagi larva. Hal ini mengingat jika ikan baung memiliki tingkat kanibal yang
cukup tinggi, berakibat pada peluang larva untuk selamat dari pemangsaan
larva yang lain lebih besar (Khairuman et al. 2008). Secara keseluruhan,
penyebab kematian larva ikan baung selama pemeliharaan disebabkan oleh
keterlambatan pemberian pakan sehingga menimbulkan sifat kanibalisme
larva. Selain itu kematian larva yang tinggi dikarenakan pada fase kritis stadia
larva terjadi peralihan pemanfaatan makanan dari kuning telur (endogenous
feeding) ke pemanfaatan pakan dari luar (exogenous feeding). Hutapea (2001)
menyatakan bahwa besarnya nilai mortalitas larva ikan baung terjadi saat
masa kuning telur habis dan larva mulai mencari makanan dari luar. Jenis
makanan yang baik dan pemberian pakan tepat waktu merupakan faktor
penentu keberhasilan pembenihan.
58 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

PEMANENAN LARVA
Fekunditas ikan baung pada induk betina yang bobotnya 327 g sebanyak
20.815 butir telur, sedangkan pada ikan baung yang bobotnya 1.584 g
sebanyak 87.118 butir. Ikan betina yang matang kelamin mempunyai
indeks gonad somatik (ISG)= 5–10% (Radona et al. 2018). Pemanenan larva
dilakukan setelah 24 jam telur menetas. Hal ini karena cadangan makanan
berupa kantung kuning telur pada larva sudah mulai menipis. Umumnya
larva akan menetas dan berenang pada permukaan wadah. Cara memanennya
adalah dengan cara mengambil substrat dari wadah penetasan sehingga yang
tersisa hanya larva yang menetas saja karena telur yang tidak menetas akan
tetap menempel pada substrat. Larva ikan baung yang baru menetas memiliki
panjang 0,5 cm dengan bobot 0,7 mg.

PEMELIHARAAN LARVA IKAN BAUNG


Larva merupakan fase kritis bagi ikan, yaitu fase awal di mana perkembangan
organ mulai terbentuk. Pada kondisi larva, ikan akan mudah mengalami
kematian pada kondisi yang buruk. Pemeliharaan larva biasanya dilakukan
di ruangan tertutup (indoor) agar suhu tetap terjaga. Pemeliharaan larva bisa
dilakukan di akuarium, fiber, bak semen, dan bak plastik. Untuk pemeliharaan
larva sampai umur dua bulan agar terkontrol dan menghindari penyakit,
kanibalisme, dan hama, sebaiknya dilakukan di akuarium berukuran 60 x
50 x 40 cm (ukuran akuarium bisa disesuaikan) dengan ketinggian air sekitar
15–30 cm.
Larva yang baru menetas belum dapat diberi pakan dari luar karena larva
ikan baung masih memiliki cadangan kuning telur (yolk sac) selama 2–3 hari.
Larva ikan baung saat menetas tidak memiliki mulut, gelembung renang
belum terisi, alat pencernaan belum sempurna dan ukuran kantung kuning
telur berpacu pada perkembangannya, serta selalu tanpa pigmentasi. Pada saat
kemampuan larva masih sangat terbatas, ternyata kuning telur merupakan
sumber nutrien dan energi utama bagi larva. Oleh karena itu volume kuning
telur dan ukuran tubuh dapat menunjukkan keberhasilan larva melewati fase
kritis dalam siklus hidupnya.
59
PEMELIHARAAN LARVA DAN BENIH IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)

MANAJEMEN KUALITAS AIR UNTUK


PEMELIHARAAN LARVA
Padat penebaran yang tinggi menyebabkan kebutuhan oksigen dan pakan
semakin besar, begitu pula untuk buangan metabolisme sepeti feses, amonia,
dan karbondioksida juga bertambah banyak. Kualitas air pemeliharaan
dapat menurun dengan cepat akibat adanya feses dan buangan metabolik
ikan, serta sisa pakan. Hal ini tampak dari menurunnya kualitas air akibat
penurunan pH air yang terlalu cepat dan tingginya kadar amonia selama
pemeliharaan. Menurunnya kualitas air tersebut menyebabkan ikan menjadi
stres. Cara yang dapat digunakan untuk menjaga kualitas air pada budidaya
ikan adalah dengan menggunakan sistem resirkulasi. Sistem resirkulasi adalah
memanfaatkan air yang telah digunakan dalam suatu unit budidaya yang
telah terpolusi kemudian dialirkan kembali ke dalam suatu unit perlakuan
(Handajani dan Hastuti 2002). Sistem resirkulasi dapat menghemat air
dan mempermudah pengontrolan lingkungan budidaya. Prinsip resirkulasi
bertujuan untuk meningkatkan oksigen terlarut, mengurangi kadar amonia,
dan mengurangi limbah organik yang dihasilkan ikan. Dengan prinsip ini,
kualitas air diharapkan akan tetap baik untuk kehidupan ikan dan air tidak
perlu diganti dalam waktu ±3 bulan, kecuali bila dianggap perlu (Chotimah
et al. 2018).
Penggunaan sistem resirkulasi pada pemeliharan benih ikan baung dengan
padat penebaran yang tinggi dapat meningkatkan nilai kualitas air. Dengan
demikian, ikan yang dipelihara tidak akan stres sehingga pertumbuhannya
menjadi cepat. Hasil penelitian Chotimah et al. (2018) menunjukkan bahwa
pemeliharaan ikan baung dengan sistem resirkulasi dengan padat tebar 400
ekor/m3 menghasilkan pertumbuhan bobot mutlak, panjang mutlak, laju
pertumbuhan spesifik terbaik sebesar 12,57 g; 4,33 cm; 5,32 % dengan
pertumbuhan bobot rata-rata sebesar 15,67 g dan sintasan sebesar 100 %.
60 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

NILAI KUALITAS AIR PEMELIHARAAN


BENIH IKAN BAUNG
Pengukuran kualitas air diperlukan untuk menunjang kegiatan budidaya
ikan. Hal ini karena selain faktor genetik, lingkungan sangat memengaruhi
keberhasilan dalam proses pertumbuhan ikan. Oliveira et al. (2012)
menyatakan performa pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi suhu, pH, dan
oksigen terlarut. Adapun nilai-nilai kualitas dari beberapa kegiatan penelitian
disajikan pada Tabel 5.1 di bawah ini.

Tabel 5.1 Nilai kualitas air pada beberapa kegiatan pemeliharaan ikan
baung
Parameter
No. Oksigen Referensi
Suhu (°C) pH
terlarut (mg/L)
1. 28–31 6,0–7,0 4,0–6,0 Kusmini dan Radona (2019)
2. 23–28 6,0–8,0 4,0–8,0 Kusmini et al. (2018)
3. 26–27 6,5–7,4 4,0–5,2 Chotimah et al. (2018)

PAKAN DAN CARA PEMBERIAN PAKAN LARVA


IKAN BAUNG
Larva ikan baung baru bisa membuka mulut pada umur 3 hari (Handoyo et al.
2010). Larva ikan baung yang diberi pakan infusoria selama 3–4 hari kemudian
diberi pakan artemia sampai dengan umur 21 hari lebih baik pertumbuhannya
daripada pascalarva yang diberi pakan infusoria selama 15 hari (Muflikhah
2002). Artemia sangat diperlukan karena merupakan jenis pakan alami yang
memiliki ukuran sesuai dengan bukaan mulut larva ikan baung. Artemia
mengandung enzim yang berperan sebagai enzim pencernaan larva. Artemia
diberikan setiap 3 jam sekali dengan cara sekenyang-kenyangnya. Tang et
al. (2000) menyatakan bahwa salah satu makanan alami yang digunakan
untuk makanan benih yang telah berumur 5 hari adalah cacing sutra atau
T. tubifex. Pada umur 11–30 hari, perkembangan saluran pencernaan sudah
lengkap sehingga pada saat tersebut T. tubifex yang panjangnya 20 mm dapat
dimanfaatkan oleh benih ikan baung dan lebih banyak dikonsumsi.
61
PEMELIHARAAN LARVA DAN BENIH IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)

Menurut Tang et al. (2000), ikan baung termasuk ikan pemakan segala
(omnivora) dengan kecenderungan memakan anak ikan, udang, remis, cacing-
cacing, dan rumput lunak atau mengarah ke pemakan daging (carnivora).
Sementara menurut Windy (2015) kebiasaan makan ikan baung di Sungai
Bingai terdiri dari makanan utama, yaitu ikan, makanan pelengkap yaitu serat
tumbuhan, dan makanan tambahan yaitu insekta, Planaria sp., Thiara scabra,
Faunus ater, dan Nodilittorina pyramidali.

CARA PEMBERIAN PAKAN LARVA


Larva ikan baung memiliki sifat kanibalisme yang tinggi sehingga
membutuhkan penanganan pemberian pakan yang tepat. Vaas et al. (1953)
mengatakan bahwa makanan ikan baung antara lain ikan, udang, insekta,
dan larva. Salah satu faktor penyebab tingginya mortalitas larva dan benih
ikan baung adalah ketersedian pakan. Sehubungan dengan hal tersebut,
untuk meningkatkan usaha pembenihan yang perlu diperhatikan adalah dari
segi pakan dan pemberian pakan pada fase larva menuju ke fase benih. Cara
pemberian pakan dengan cacing sutra sebagai berikut: cincang cacing dengan
pisau sampai halus, masukkan ke dalam net halus dan bilas dengan air bersih
sampai air bilasan tidak berwarna merah, larutkan ke dalam air dan sebarkan
ke dalam wadah pemeliharaan larva. Selama pemeliharaan larva dilakukan
penyiponan dan pergantian air 2–3 hari sekali sebanyak 75% agar kondisi air
tetap terjaga.

PENDEDERAN I IKAN BAUNG


Pendederan merupakan proses pemeliharaan benih setelah larva. Pendederan
I bisa dilakukan pada kolam, akuarium, dan fiber. Pada pendederan I, ukuran
larva ikan bisa mencapai sekitar 2 cm. Ikan baung dapat dipelihara dalam
berbagai wadah pemeliharaan seperti keramba, kolam, dan keramba jaring
apung. Kedalaman air 15 cm adalah yang terbaik dalam pemeliharaan larva
ikan baung terhadap pertumbuhan berat mutlak dan pertumbuhan panjang
mutlak dengan persentase pertumbuhan berat sebesar 0,32 g, persentase
pertumbuhan panjang mutlak sebesar 1,79 mm, dan tingkat kelangsungan
hidup (SR) 64,75% (Rachimi et al. 2015).
62 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Pemeliharaan benih di kolam tanah


Sebelum dilakukan penebaran benih, perlu dilakukan persiapan kolam
yang meliputi pengeringan dan penjemuran kolam, perbaikan pematang,
pengolahan tanah dasar kolam, pemupukan, serta pembuatan caren
(kemalir). Pengeringan kolam dan penjemuran selama 3 hari bermanfaat
untuk membunuh bibit-bibit penyakit atau hama-hama yang ada di dalam
kolam. Pengolahan dasar kolam dilakukan dengan cara membalikkan tanah
dasar kolam, lalu dibuatkan kemalir dengan kemiringan 0,5–1% ke arah
pintu pengeluaran. Untuk menumbuhkan pakan alami, kolam sebaiknya
dipupuk menggunakan kotoran ayam sebanyak 500–1.000 g/m2 tergantung
kesuburan tanah atau pemupukan menggunakan pupuk urea + TSP dengan
perbandingan 2:1 dosis yang digunakan 40 g/m2. Pupuk tersebut disebarkan
merata di dasar kolam. Pada hari keempat kolam diisi air secara bertahap
sampai mencapai ketinggian 90 cm. Setelah itu, kolam didiamkan selama 3–4
hari agar ekosistem kolam dapat mencapai keseimbangan dan Moina sp. dapat
berkembang biak. Sebelum benih ikang baung ditebar di kolam, terlebih
dahulu dilakukan pengukuran kualitas air, yang meliputi suhu, oksigen, dan
pH.
Penebaran benih dilakukan pada hari ke-3 setelah penebaran Moina sp.
Penebaran benih dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari benih
stres. Pengambilan benih dilakukan dengan menguras sebagian air akuarium,
lalu benih ditangkap menggunakan serokan halus dan ditampung di dalam
ember atau baskom plastik. Setelah itu, penebaran dilakukan secara hati-hati
di bagian tepi kolam. Caranya dengan menenggelamkan ember ke dalam
air kolam sehingga benih-benih ikan baung akan keluar dengan sendirinya.
Penebaran benih tidak boleh dilakukan dengan cara menggerojokkan air dari
ember langsung ke dalam kolam karena dapat mengakibatkan benih baung
mengalami stres.
Padat tebar benih 50–100 ekor/m2 dengan ukuran benih rata-rata 2,4 cm. Jika
kolam diyakini kurang subur, padat tebar benih dikurangi menjadi 20–50 ekor/
m2. Pemeliharaan benih dilakukan selama empat minggu. Pakan yang dapat
diberikan selama pemeliharaan bisa berupa pakan komersial (pelet) dengan
kadar protein 28–30% sebanyak 25–100% total biomassa/hari. Sebelum
diberikan, sebaiknya pelet ini dihancurkan. Pemberian pakan dilakukan
tiga kali sehari, yaitu pada pagi, siang, dan sore hari. Hasil penelitian Roza
63
PEMELIHARAAN LARVA DAN BENIH IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)

et al. (2014) mengungkapkan bahwa pemeliharaan ikan baung pada tingkat


padat tebar yang tinggi dengan ukuran KJA 16 m2 masih memungkinkan
dengan pakan yang diberikan berupa ad-libitum. Padat tebar optimal untuk
pertumbuhan benih ikan baung di kolam beton yaitu 15 ekor/m3 (Subagja et
al. 2017).

Pemeliharaan benih di akuarium dan fiber


Akuarium dan fiber (ukuran fleksibel) terlebih dahulu dibersihkan. Setelah
akuarium dan fiber siap, kemudian larva ditebar dengan kepadatan 50 ekor/
m3. Setiap akuarium dan fiber diberi sistem aerasi. Pakan yang diberikan
selama pemeliharaan adalah pelet komersial yang berbentuk crumble dengan
kandungan protein 28–32% yang diberikan secara ad-libitum dengan
frekuensi tiga kali sehari (pagi, siang, dan sore). Pemeliharan pada pendederan
I dilakukan selama 30 hari. Untuk menjaga kondisi air selama pemeliharaan,
dilakukan penyiponan dan pergantian air 2–3 hari sekali sebanyak 75%.

PENDEDERAN II IKAN BAUNG


Pada pendederan I larva ikan baung sudah berukuran 3–5 cm, kemudian
dilanjutkan pemeliharaannya ke kolam tanah, yaitu pada fase pendederan
II. Tahap persiapan dilakukan terlebih dahulu, yaitu pengolahan tanah dan
pemupukan. Padat tebar yang optimal pada pendederan II sebanyak 30 ekor/
m3. Penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari agar larva tidak menjadi
stres karena terik matahari. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan adalah
pelet komersial yang berbentuk crumble dengan kandungan protein 28–32%
dengan dosis sebanyak 30–40% dari total biomassa dan diberikan tiga kali
sehari (pagi, siang, dan sore). Pemeliharaan dilakukan selama dua bulan.
Untuk mencapai target ukuran 1–2 cm pada umumnya dibutuhkan waktu
selama sebulan, dan untuk mencapai ukuran 3–5 cm dibutuhkan waktu dua
bulan. Sementara untuk mencapai ukuran 5–8 cm dibutuhkan waktu selama
tiga bulan, dan untuk mencapai ukuran 10–12 cm dibutuhkan waktu selama
lima bulan.  Hasil penelitian Kusmini et al. (2018) menyebutkan bahwa
pendederan ikan baung antar generasi (G1, G2, dan G3) yang dipelihara
selama 45 hari di kolam tanah dan kolam beton menunjukkan generasi kedua
lebih unggul daripada generasi kesatu dan ketiga (Gambar 5.1 dan 5.2).
64 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Gambar 5.1 Pertumbuhan bobot dan panjang ikan baung


G1,G2, dan G3 di kolam tanah setiap 15 hari
(pemeliharaan 45 hari)

Gambar 5.2 Pertumbuhan bobot dan panjang ikan baung


G1, G2, dan G3 di kolam beton setiap 15 hari
(pemeliharaan 45 hari)

Selanjutnya benih dipelihara di tempat pembesaran hingga menjadi ukuran


konsumsi, yaitu kira-kira selama 6 bulan dari benih. Sementara jika akan
dijadikan calon induk, ikan dipelihara lagi selama 3 bulan.
65
PEMELIHARAAN LARVA DAN BENIH IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)

PEMBESARAN IKAN BAUNG


Pembesaran ikan baung biasanya dilakukan setelah benih didederkan terlebih
dahulu. Namun, ada juga pembudidaya yang langsung memeliharanya di
kolam pembesaran tanpa melalui pendederan. Pembesaran ikan baung dapat
dilakukan di berbagai media seperti di kolam air tergenang (kolam tanah,
tembok, atau beton), kolam rawa, di karamba jaring apung (KJA), atau di
karamba. Kolam yang digunakan untuk pembesaran ikan baung disesuaikan
dengan lahan yang tersedia. Biasanya, kolam pembesaran yang digunakan
memiliki luas minimum 100 m2. Sementara itu, jaring yang digunakan untuk
memelihara ikan baung di KJA harus memiliki ukuran mata 2,5 cm dengan
jaring polyetilen nomor 240 D/12. Berdasarkan pengalaman para petani, jika
ikan baung yang akan dipelihara berukuran 20–100 g/ekor, mata jaring yang
digunakan berukuran 2 inci. Sebelum penebaran benih, kolam pembesaran
harus dikeringkan terlebih dahulu selama 5–7 hari dengan tujuan untuk
membunuh bibit-bibit penyakit, memberantas hama, dan memudahkan
pemupukan untuk menumbuhkan pakan alami. Pupuk yang digunakan
berupa pupuk kandang sebanyak 500 g/m2 dan kapur pertanian sebanyak 15
g/m2. Pupuk dan kapur pertanian tersebut disebar rata di permukaan dasar
kolam. Setelah itu, pintu pengeluaran air kolam ditutup, sementara pintu
pemasukan air dibuka sambil dipasang saring untuk menjaga agar ikan-ikan
liar tidak bisa masuk. Ketinggian air di dalam kolam sebaiknya dipertahankan
75–100 cm.
Penebaran benih ikan baung dilakukan 7 hari setelah pemupukan, saat pakan
alami telah tersedia. Benih ditebar pada pagi atau sore hari saat suhu udara
masih rendah agar benih tidak mengalami stres. Untuk setiap kolam seluas 100
m2 dapat ditebarkan benih baung sebanyak 50 ekor dengan ukuran rata-rata
45 g per ekor. Selama pemeliharaan, ikan baung diberi pakan tambahan berupa
pakan buatan komersial. Pakan komersial yang umum digunakan adalah pelet
dengan kandungan protein minimum 25%. Namun, lebih baik diberi pakan
yang kandungan proteinnya 28%. Sementara itu, pakan tambahan alternatif
yang diberikan bisa berupa campuran antara ikan rucah dan dedak halus.
Pakan tambahan ini diberikan sebanyak 3% per hari dari berat total ikan.
Lama pemeliharaan sangat tergantung dari ukuran benih yang ditebarkan.
Untuk pembesaran di KJA, jika benih yang ditebar berukuran 30–50 g/ekor,
dalam waktu empat bulan pemeliharaan akan mencapai bobot 150–200 g/
66 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

ekor atau 5 ekor/kg. Pada pembesaran di kolam, bobot benih menjadi 113 g/
ekor dan jika dipelihara selama empat bulan, ukurannya akan menyamai ikan
baung yang dipelihara di KJA dengan syarat pakan yang diberikan memiliki
kandungan protein sesuai yang dianjurkan. Pemanenan ikan baung harus
dilakukan secara berhati-hati untuk menghindari terjadinya stres atau luka-
luka sehingga mutu ikan tetap bagus dan harga jualnya tetap tinggi.

MANAJEMEN PAKAN BENIH IKAN BAUNG


Bentuk pakan
Berdasarkan bentuknya, pakan dapat berbentuk larutan, tepung halus, tepung
kasar, butiran, remahan, dan lembaran. Pakan bentuk pelet terdiri atas dua
jenis, yaitu pelet tenggelam dan pelet terapung. Pelet tenggelam merupakan
jenis pakan yang cocok digunakan untuk ikan baung karena kebiasaan
makannya di dasar perairan. Bentuk pakan buatan tergantung pada kebiasaan
makan dan ukuran benih (ukuran bukaan mulut). Benih ukuran 30–60 hari
dapat diberi pakan berbentuk tepung kasar dan benih berumur 60–120 hari
dapat diberi pakan berbentuk remahan. Sementara ikan yang berumur 120
hari ke atas sudah dapat diberi pakan berupa pelet.

Jumlah pakan
Jumlah pakan yang diberikan per hari biasanya dihitung berdasarkan bobot
badan (% bobot badan). Jumlah pakan disarankan 20–50% untuk benih,
36–60% untuk ukuran 3–50 g, 30–34% untuk ikan ukuran 50–200 g, dan
2–3% untuk ikan lebih besar dari 200 g. Semakin besar ukuran ikan, semakin
berkurang persentase pemberian pakan. Ikan dengan ukuran relatif besar
memiliki laju metabolisme yang makin lambat sehingga memerlukan sedikit
pakan.

Waktu pemberian pakan


Pemberian pakan yang sering dengan jumlah yang sedikit untuk setiap
kali pemberian lebih menguntungkan bagi ikan daripada pemberian
pakan dalam jumlah banyak tetapi jarang. Pemberian pakan sebaiknya
juga mempertimbangkan laju pengosongan lambung. Bagi ikan baung,
pengosongan lambung pada umur 1 bulan adalah selama 5–6 jam. Ikan baung
67
PEMELIHARAAN LARVA DAN BENIH IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)

akan makan jika jumlah pakan dalam lambungnya kira–kira tinggal ¼ bagian.
Berdasarkan hal tersebut, ikan baung sebaiknya diberi pakan sebanyak 4–5
kali sehari. Namun, pada budidaya yang sederhana pemberian pakan malam
hari sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, pemberian pakan pada ikan
baung dianjurkan 3 kali sehari, yakni pagi hari, siang hari, dan sore hari.

Cara pemberian pakan


Pemberian pakan pada ikan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni
pemberian pakan menggunakan tangan dan pemberian pakan menggunakan
alat. Pemberian pakan menggunakan tangan lebih praktis dan ekonomis
karena pakan cukup ditebarkan secara merata ke seluruh permukaan kolam.
Pemberian pakan tersebut disarankan untuk ditebarkan pada tempat–tempat
tertentu sesuai dengan kebiasaan ikan makan. Pemberian pakan pada
pemeliharaan ikan di karamba sebaiknya diletakkan dalam wadah pakan
yang diletakkan di dasar karamba untuk mencegah terbuangnya pakan
keluar karamba. Pemberian pakan di kolam air tenang dilakukan di dekat
pintu pengeluaran air, agar sisa-sisa pakan yang tidak habis termakan mudah
terbuang bersama air melalui pintu air. Sementara pemberian pakan di kolam
air deras, sebaiknya dilakukan di tempat yang arusnya paling lemah dan
jauh dari pintu pengeluaran untuk menghindari hanyutnya pakan oleh arus.
Pemberian pakan dengan alat dapat dilakukan dengan alat otomatis ataupun
alat yang sederhana. Pemberian pakan dengan alat otomatis biasanya dilakukan
di negara-negara maju yang menggunakan panel-panel khusus dengan sistem
komputer. Pemberian pakan dengan alat sederhana dapat digunakan pada
pembesaran ikan di karamba ataupun kolam.

DAFTAR PUSTAKA
Chotimah S, Rusliandi, Tang UM. 2018. Pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan baung (Mystus nemurus C.V) dengan padat tebar berbeda
pada sistem resirkulasi. Budidaya Perairan 5: 1–13.
Effendie MI. 1992. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka
Nusatama. 163 p.
Handoyo B, Setiowibowo C, Yustiran Y. 2010. Cara Mudah Budidaya dan
Peluang Bisnis Ikan Baung dan Jelawat. Bogor (ID): IPB Press. 161 p.
68 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Handajani H, Hastuti SD. 2002. Budidaya Perairan. Malang (ID): Penerbit


Bayu Media dan UMM Press. 201 p.
Heltonika B, Karsih OR. 2017. Pemeliharaan benih ikan baung (Mystus
nemurus C.V) dengan teknologi photoperiod. Berkala Perikanan
Terubuk 45(1): 125–137.
Kusmini II, Radona D. 2019. Performa tiga generasi ikan baung Hemibagrus
nemurus hasil domestikasi pada fase pendederan satu. Jurnal Iktiologi
Indonesia 19(2), in press.
Kusmini II, Kristanto AH, Subagja J, Prakoso VA, Putri FP. 2018. Respon
dan pola pertumbuhan benih ikan baung dari tiga generasi dipelihara
pada wadah budidaya yang berbeda. Jurnal Riset Akuakultur 13(3):
201–211.
Khairuman SP, Amri K. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi.
Pengenalan Jenis dan Teknik Budidaya Ikan Air Tawar Ekonomis Penting.
Agromedia. 14–24 p.
Majumdar NN. 1985. Textbook of Vertebrates Embriology. New Delhi (IN):
Tata Mc Graw Hill.
Muflikhah N. 2002. Pemanfaatan infusoria untuk meningkatkan kelangsungan
hidup larva ikan. Prosiding 2 Aplikasi Biologi dalam Peningkatan
Kesejahteraan Manusia dan Kualitas Lingkungan. Seminar Nasional
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, 204–212.
Oliviera EG, Pinheiro AB, Oliviera VQ, Junior AR, Moraes MG, Rocha
IR, Sousa RR, Costa FH. 2012. Effect of stocking density on the
performance of juvenile pirarucu (Arapaima gigas) in cages. Aquaculture
370: 96–101.
Rachimi F, Susanto D. 2015. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva
ikan baung (Mystus nemurus) dengan kedalaman air yang berbeda.
Majalah Ilmiah Al Ribaath 12(2): 68–76.
Radona D, Subagja J, Prakoso VA, Kusmini II, Kristanto AH. 2018. Biologi
reproduksi dan tingkat keberhasilan pemijahan ikan baung populasi
Cirata dengan inkubasi suhu. Jurnal Riset Akuakultur 13(2): 131–136.
69
PEMELIHARAAN LARVA DAN BENIH IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)

Roza M, Manurung R, Budhi A, Sinwanus, Heltonika B. 2014. Kajian


pemeliharaan ikan baung (Hemibagrus nemurus) dengan padat tebar
yang berbeda pada keramba jaring apung di Waduk Sungai Paku,
Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Acta Aquatica 1: 2–6.
Subagja J, Arifin OZ, Prakoso VA, Suhud EH. 2017. Pengaruh padat tebar
berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan baung (Hemibagrus nemurus)
hasil domestikasi. Simposium Nasional Ikan dan Perikanan. Bogor 12-
13 September 2017.
Tang UM, Affandi R, Widjajakusuma R, Setijanto H, Rahardjo MF. 2000.
Aspek biologi dan kebutuhan lingkungan benih ikan baung. Prosiding
Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan. 6 Juni 2000. p141–
146.
Vaas KF, Sahlan M, Wiraatmadja G. 1953. On the ecology and fisheries of
some inland waters along the rivers Ogan and Komring in South East
Sumatera. Cont. Inl. Fish. Res. Sta. Jakarta 3: 1–31.
Woynarovich E, Horvath L. 1980. The artificial propagation of warm-water
fin fish. a manual for extention, FAO. Fisheries Technical Paper No. 201.
385 p.
NUTRISI DAN PEMBERIAN
6.

PAKAN INDUK IKAN BAUNG


Mas Tri Djoko Sunarno, Reza Samsudin,
Deisi Heptarina, dan Muhamad Sulhi

Sekitar 39 juta ha luas daratan Indonesia ditutupi perairan umum daratan,


terdiri atas danau, waduk, sungai/anak sungai, dan rawa banjiran yang dihuni
lebih dari 1.200 jenis ikan (Kottelat et al. 1996), sebagian besar tersebar dalam
wilayah Paparan Sunda (Sumatera, Kalimantan, Jawa). Berbagai jenis ikan
tersebut dimanfaatkan sebagai sumber makanan harian masyarakat yang tinggal
di sekitar perairan (Subagja et al. 2003), di antaranya bernilai ekonomis. Jenis
ikan ekonomis tersebut antara lain adalah ikan baung (Hemibagrus nemurus).
Ikan baung mempunyai pasar domestik dan ekspor ke negara tetangga, seperti
Malaysia dan Brunei. Sebagian besar kebutuhan pasar ikan baung diperoleh
dari hasil tangkapan dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal ini
menyebabkan penurunan produksi dan bahkan mengancam kelestarian ikan
baung. Salah satu upaya untuk pengembangan budidaya ikan baung adalah
melalui program domestikasi (Subagja et al. 2004; Hardjamulia et al. 1991).
Domestikasi merupakan upaya penjinakan suatu jenis ikan hingga dapat
tumbuh dan berkembang secara cepat dalam wadah budidaya. Proses
domestikasi ini dapat diawali melalui pemijahan ikan untuk mendapatkan
keturunan atau perbaikan genetik. Pemijahan ikan baung secara terkontrol
telah berhasil dilakukan sejak pertengahan tahun 1980 (Sunarno 2009). Hingga
saat ini, keberhasilan pemijahan ikan baung masih terbatas selama musim
pemijahan. Salah satu faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan induk
matang gonad ikan baung selama musim kemarau karena penggunaan pakan
induk komersial. Hal ini menunjukkan bahwa pakan induk komersial tersebut
tidak mengandung nutrien sesuai dengan kebutuhan ikan. Keberhasilan
pemijahan bergantung pada ketersediaan ikan yang matang gonad. Proses
pematangan gonad ikan ini membutuhkan pakan yang mengandung nutrien
72 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

lengkap dan seimbang, serta sesuai bagi ikan baung yang berukuran relatif
besar, usia dewasanya lebih dari dua tahun, pemijahannya bergantung
ketersediaan lingkungan yang menunjang proses pemijahan, dan ketersediaan
pakan bagi keberlangsungan hidup anakannya. Proses adaptasi induk ikan
baung dan pemenuhan kebutuhan nutrisi sesuai dengan perkembangan gonad
berpengaruh terhadap keberhasilan pemijahan ikan tersebut.
Penyediaan nutrisi pakan secara tepat (kualitas dan jumlah) akan mendukung
perkembangan gonad (telur dan sperma) secara optimum tanpa dipengaruhi
oleh musim seperti kasus pada ikan jelawat (Sunarno 1991). Ketepatan
penyediaan pakan yang mengandung nutrien lengkap dan berimbang akan
mempercepat proses demestikasi ikan (Watanabe et al. 1984; Watanabe
1988a,b), serta mendapatkan produksi benih ikan tersebut secara massal.
Ketersediaan benih ikan baung secara massal akan mendukung pengembangan
budidaya ikan baung yang selama ini telah dilakukan, khususnya di sekitar
habitat ikan tersebut (Sumatra dan Kalimantan) (Sunarno 2009), serta
mendukung penebaran kembali ikan tersebut di alam dan penekanan
eksploitasinya. Tulisan ini mengulas nutrisi dan pemberian pakan pada
induk ikan baung, yang meliputi kebiasaan makanan, kebutuhan nutrisi dan
pemberian pakan, serta aplikasi pakan induk secara langsung pada pengguna
utama.

KEBIASAAN MAKANAN IKAN BAUNG


Di alam, ikan akan mencari makanan sesuai dengan kebutuhannya.
Ketersediaan makanan di alam berbeda, bergantung kepada musim dan
kondisi perairan. Habitat induk baung berupa sungai dan anak sungai, rawa
banjiran (flood plain), dan danau oxbow yang terletak di bagian tengah hingga
hilir dari sistem daerah aliran sungai. Perairan tersebut mempunyai tingkat
kesuburan tertinggi dibandingkan wilayah lainnya dan merupakan habitat
berbagai jenis ikan dengan berbagai ukuran (Utomo et al. 2005; Nasution
dan Sunarno 2005; Rupawan dan Sunarno 2006). Faktor biotik dan abiotik
akan memengaruhi kelimpahan sumber daya makanan bagi ikan baung di
perairan habitatnya (Effendi 1997). Sumber makanan bagi ikan terdapat di
bagian permukaan, tengah, dan dasar dari badan air. Dari bentuk mulutnya,
ikan baung cenderung mencari makanan di bagian dasar perairan (Saanin
1984; Kottelat et al. 1996). Ikan baung memakan berbagai bentos, moluska,
73
NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG

ikan kecil, udang kecil, serasah, dan sisa hewan yang tidak bisa teridentifikasi
lagi (Aida 2011; Elinah et al. 2016). Bila hidup di air keruh, ikan baung akan
aktif sepanjang hari. Selain itu, baung juga memiliki sifat suka bersembunyi
di dalam lubang di tepi sungai.
Ketersediaan makanan di perairan berbeda antara musim kemarau dan
penghujan. Selama musim kemarau, berbagai jenis makanan akan terbawa ke
bagian perairan yang dalam (lubuk) dan merupakan sumber makanan bergizi
bagi ikan, termasuk baung. Semakin banyak mendapat makanan, semakin
tinggi pertumbuhan bobotnya. Ikan baung yang pertama kali matang
gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang
memengaruhinya (Tang dan Affandi 2001). Semakin besar ukuran ikan baung,
semakin agresif mencari makanannya. Pada kondisi makanan berlimpah,
berat gonad ikan baung betina berkisar 10–25% dan jantan berkisar 5–10%
dari total bobot tubuh (Gupta dan Banerjee 2013; Gupta 2015; Elliot 1979;
Wooton 1979). Jika makanan tidak cukup, ukuran ikan baung mencapai
matang gonad relatif lebih kecil (panjang 20 cm; bobot 90 g) (Elinah et al.
2016; Heltonika 2009; Nugroho et al. 2005) bila dibandingkan ukuran ikan
yang berada di perairan lebih subur (Aida 2011). Pada musim memijah, pola
pertumbuhan ikan baung betina berbeda dengan jantan. Oleh karena itu, jenis
makanan yang dimakan ikan baung dapat digunakan sebagai dasar penentuan
kebutuhan nutrisi dan pemberian pakan dalam wadah terkontrol.

KEBUTUHAN NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN


Nutrisi induk
Nutrisi ikan terdiri atas protein-asam amino esensial, lemak-asam lemak
esensial, karbohidrat dan berbagai vitamin, serta mineral (NRC 2011; Halver
dan Hardy 2002; Halver 1988; Watanabe 1988a). Protein, lemak, dan
karbohidrat merupakan sumber energi. Protein lebih mudah dicerna daripada
lemak sehingga sebagian besar protein digunakan sebagai sumber energi. Jika
kekurangan energi, lemak, dan protein tubuh akan digunakan sebagai sumber
energi, mengakibatkan ikan tidak tumbuh dan menjadi kurus. Apabila energi
yang tersedia tidak mencukupi, telur akan mengalami peningkatan atresia
(Wooton 1979; Hardjamulia dan Atmawinata 1986). Kelebihan energi akan
menyebabkan penumpukan lemak tubuh yang akan menghalangi proses
74 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

pengeluaran telur pada induk ikan. Oleh karena itu, imbangan antara energi
dan nutrien diperlukan untuk menghasilkan performa pertumbuhan dan
reproduksi induk ikan (Watanabe et al. 1984; Woynarovich dan Horvath
1980). Nutrien yang berperan nyata terhadap performa repoduksi ikan adalah
protein dan asam amino esensial, lemak/asam lemak esensial, vitamin E, dan
vitamin C.
Protein merupakan komponen utama jaringan dan organ tubuh ikan, begitu
juga senyawa nitrogen lain seperti asam nukleat, enzim, hormon, dan vitamin.
Protein dibutuhkan secara terus-menerus untuk mendukung pertumbuhan
daging, gonad, dan perbaikan jaringan yang rusak. Protein ini terdiri atas
asam-asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino esensial tidak dapat
disintesis dalam tubuh sehingga perlu diberikan melalui pakan. Kebutuhan
protein pada ikan disesuaikan menurut spesiesnya dan pada umumnya
berkisar antara 25–40%. Proses pematangan gonad pada ikan jelawat dan
baung membutuhkan protein berkisar 35–40% (Patmasothy 1985; Sunarno
dan Reksalegora 1982; Sunarno 1989; Sunarno et al. 1988; Ondara dan
Sunarno 1987; Abidin et al. 2006; Begum et al. 2008; Aryani dan Suharman
2015; Ng et al. 2001; Suhenda et al. 2009).
Menurut Watanabe (1988), fungsi lemak selain sebagai sumber energi
juga digunakan untuk struktur sel dan mempertahankan integritas pada
biomembran. Lemak dan komposisi asam lemak diidentifikasi sebagai faktor
utama yang menentukan keberhasilan reproduksi dan meningkatkan derajat
kelangsungan hidup larva (Izquierdo et al. 2001). Pada beberapa spesies, asam
lemak tidak jenuh HUFA (High Unsaturated Fatty Acid) dapat meningkatkan
fekunditas, fertilisasi, dan kualitas telur. HUFA dan PUFA (Poly Unsaturated
Fatty Acid) berperan dalam proses metabolisme, komponen membran, senyawa
awal prostaglandin, seperti tromboksan, prostasiklin, dan leukotrin. Lemak
telur ikan yang matang gonad berkisar 2–10% dari berat telur (Elliot 1979;
Furuita et al. 2000; Furuita et al. 2002). Semakin tinggi kandungan lemak telur,
semakin banyak gelembung yang berisi lemak netral (triacyl gliserol dan wax
ester). Lemak netral berfungsi sebagai energi metabolisme bagi embrio selama
perkembangan, sementara fosfolipid berguna untuk penyediaan asam lemak
esensial yang diendapkan menjadi membran sel sebagai jaringan. Efisiensi
fertilisasi telur meningkat sebanding dengan induk ikan yang mendapatkan
asam lemak esensial (Leray et al. 1985). Kekurangan asam lemak esensial akan
menimbulkan gejala abnormal. Vitelus pada larva yang berasal dari induk yang
75
NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG

mendapat pakan tanpa asam lemak esensial lebih cepat habis dibandingkan
dengan larva yang berasal dari induk yang mendapatkan asam lemak esensial.
Asam lemak esensial pada ikan air tawar di daerah tropik dapat dipenuhi
dari linoleat (18:3n-6) atau linolenat (18:3n-3) atau kombinasi keduanya.
Kombinasi asam lemak esensial linoleat dan linolenat pada induk ikan baung
adalah 1:1 (Suhenda et al. 2009).
Tubuh ikan relatif kecil mengandung karbohidrat. Peran karbohidrat pakan
pada ikan masih diperdebatkan. Namun, fakta menunjukkan bahwa ikan
yang hidup di perairan tropis dan di air tawar lebih mampu memanfaatkan
karbohidrat. Kekurangan karbohidrat akan menyebabkan peningkatan
katabolisme protein dan lemak untuk mensuplai energi dan menyediakan
metabolisme lanjutan (intermedier) untuk sintesis senyawa biologi penting
lainnya. Keberadaan enzim amilase dalam saluran pencernaan ikan berperan
penting dalam pemanfaatan karbohidrat. Secara umum, ikan air tawar
memerlukan karbohidrat sekitar 20%. Vitamin dan mineral merupakan
elemen mikro yang diperlukan sebagai katalisator untuk menunjang
pertumbuhan atau reproduksi ikan. Vitamin menjadi esensial apabila tubuh
tidak dapat mensintesisnya. Kebutuhan vitamin bervariasi menurut spesies,
ukuran, dan umur. Kecukupan vitamin A, C, E, dan mineral Zn dalam pakan
memengaruhi perkembangan gonad (telur dan sperma) induk ikan. Vitamin
C atau asam askorbat (AAs) berperan dalam berbagai reaksi hidroksilasi
triptofan, tirosin, lisin, fenilalanin, dan prolin. AAs sangat mudah teroksidasi
menjadi dehidro-asam askorbat (d-AAs). Reaksi ini bersifat dua arah sehingga
dapat kembali menjadi bentuk AAs, tetapi oksidasi d-AAs bersifat satu arah
menghasilkan asam diketogulonat yang merupakan bentuk tidak aktif dan
tidak mempunyai aktivitas secara biologi. Sekitar 50% AAs akan hilang
selama proses pembuatan dan penyimpanan pakan (NRC 2011). Oleh karena
itu, penggunaan AAs dalam formula pakan perlu ditingkatkan dua kali dari
kebutuhan ikan.
Vitamin E (α-tokoferol) dibutuhkan sebagai bahan struktur somatik, gonadik,
dan penentu kualitas telur. Apabila oosit atau telur dalam perkembangannya
tidak memperoleh α-tokoferol secara cukup, telur akan menjadi busuk, diameter
telur relatif kecil dan derajat penetasan rendah, serta selanjutnya menurunkan
derajat kelangsungan hidup larva. Kandungan α-tokoferol berperan dalam
melindungi unit-unit oosit atau telur akibat kerusakan oleh proses oksidasi.
76 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Keberadaan α-tokoferol ini mencegah teroksidasnya asam lemak tidak jenuh


terutama asam lemak esensial. Selanjutnya, akan meningkatkan reproduksi
ikan. Penggunaan α-tokoferol dalam pakan secara cukup akan menghasilkan
peningkatan performa reproduksi ikan baung (Aryani 2001). Vitamin E dan
asam lemak esensial dibutuhkan secara bersamaan untuk pematangan gonad
ikan. Dosis vitamin E bergantung kepada kandungan asam lemak esensial
yang ada dalam pakan tersebut. Semakin tinggi kandungan asam lemaknya,
semakin tinggi kebutuhan vitamin E.
Mineral berperan dalam pembentukan gigi dan tulang, menjaga keseimbangan
asam basa, proses osmotik, pembekuan darah, fungsi otot, dan sebagai
kofaktor dalam reaksi enzimatik. Mineral ini dapat diperoleh dari lingkungan
perairan. Kekurangan fosfor menyebabkan tulang belakang bengkok dan
rapuh, serta peningkatan kandungan lemak daging. Beberapa kelainan yang
timbul akibat defisiensi vitamin E dapat dicegah dengan pemberian asam
amino yang mengandung sulfur dan selenium. Penambahan Zn dalam pakan
dapat meningkatkan kestabilan tokoferol plasma. Namun, ikan mempunyai
kemampuan untuk mendapatkan Zn dari dalam air melalui insang, ginjal,
kulit, lapisan mukosa rongga mulut, dan bahan pakan, antara lain tepung ikan,
tepung biji sereal, kulit biji gandum, beras gilingan, tepung kepiting, tepung
bunga matahari, tepung jagung, dan ZnSO4 serta Zn(NO3)2. Defisiensi Zn
ini akan memengaruhi konsentrasi Zn pada ovarium dan testes ikan.
Informasi nutrien pada ikan dibutuhkan dalam proses pembuatan formulasi
pakan (Sunarno et al. 2011). Besaran penggunaan bahan baku dalam formulasi
pakan akan menentukan kualitas pakan. Bahan baku tesebut dikelompokkan
sebagai sumber protein/asam amino esensial, lemak/asam lemak esensial,
sumber energi, sumber vitamin dan mineral, serat sumber suplemen, serta
sumber perekat. Bahan baku tersebut dipilih dengan menggunakan parameter
berbentuk tepung, mudah dicerna ikan, dan dibuat dua kali, terutama bahan
sumber vitamin yang mudah hilang pada saat proses pembuatan pakan dan
penyimpanan. Tepung ikan dengan kandungan protein sekitar 50–55%
merupakan sumber protein dan asam amino esensial. Sumber protein lainnya
antara lain adalah tepung bungkil kedelai sebagai komplemen asam amino
esensial tepung ikan dan tepung daging tulang. Minyak ikan dan minyak
jagung merupakan bahan baku sumber lemak dan asam lemak esensial.
Perekat pakan dapat menggunakan dedak dan tapioka. Untuk memenuhi
kebutuhan vitamin dan mineral pakan, vitamin dan mineral komersial, serta
77
NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG

suplemen lainnya dapat dimasukkan dalam komposisi pakan. Keberadaan


bahan attraktan dalam pakan menjadi kunci bagi ikan untuk memakan pakan
yang diberikan. Pakan berkualitas akan berdampak positif bilamana pakan
tersebut diberikan secara benar dan tepat.

Pemberian pakan
Selain kualitas, jumlah pakan harian yang diberikan mempunyai peranan
penting bagi pematangan gonad (daya tetas tinggi). Beberapa faktor
yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian pakan adalah kualitas air,
terutama suhu air, kandungan oksigen terlarut, alkalinitas dan pH air, serta
kepadatan. Pada kondisi lingkungan optimum, nafsu makan pada ikan
menjadi optimum. Kekurangan pakan akan mengurangi laju pertumbuhan
ikan dan sebaliknya, kelebihan pakan akan menghasilkan penumpukan sisa
pakan dalam lingkungan perairan yang akan menurunkan kualitas air. Hal
demikian akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan ikan. Jika kondisi
lingkungan tersedia secara optimum, pemberian pakan secara tepat terkait
dengan ukuran ikan.
Semakin besar ukuran ikan, relatif semakin kecil jumlah pakan yang diberikan.
Jumlah pakan ini terkait dengan ukuran lambung ikan tersebut. Nafsu makan
pada ikan akan timbul pada saat lambung hampir kosong. Induk ikan yang
mempunyai ukuran lambung relatif besar akan membutuhkan waktu relatif
lebih lama daripada ikan kecil. Oleh karena itu, waktu pemberian pakannya
akan relatif lebih sedikit daripada ikan kecil. Untuk induk ikan, pemberian
pakan dapat dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Jumlah pakan
yang diberikan sekitar 2% dari bobot tubuh per hari atau secara ad-libitum.

APLIKASI PAKAN INDUK IKAN BAUNG


Budidaya ikan baung telah berkembang di beberapa wilayah yang merupakan
habitat ikan tersebut, seperti di Kabupaten Kampar Riau. Benih ikan sudah
diproduksi secara terkontrol, namun terbatas selama musim penghujan. Hal
ini menjadi salah satu faktor penghambat pengembangan budidaya ikan
baung. Dukungan riset nutrisi mempunyai posisi strategis dalam mendukung
penyediaan induk yang siap pijah dan peningkatan kualitas larvanya. Riset
dasar kebutuhan nutrien, khususnya protein dan vitamin, telah dilakukan di
panti benih dan menunjukkan hasil yang dapat meningkatkan performa induk
78 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

ikan dan kualitas benih. Pengujian pakan induk baung dilakukan tahun 2017
di Balai Pelestarian Perikanan Perairan Umum dan Ikan Hias, Dinas Perikanan
dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Pakan induk disusun atas berbagai bahan
baku untuk mendapatkan kandungan protein 35% dan energi 4.361 kal per
kg pakan (Tabel 6.1). Berbagai bahan baku tersebut dicetak dalam bentuk
pakan pelet tenggelam dengan diameter 3 mm. Pakan diberikan kepada induk
baung dengan kisaran ukuran 400–1.100 g per ekor secara ad-libitum pada
pagi dan sore hari. Pada kondisi pemeliharaan menggunakan bak di hatchery,
induk ikan baung sulit beradaptasi. Hal ini dapat dilihat pada konsumsi
pakan hariannya yang relatif rendah. Fluktuasi pakan harian pada induk ikan
baung menunjukkan bahwa pakan yang diberikan tidak direspons oleh ikan
dan akan mengendap di dasar wadah, serta berpotensi mencemari perairan.
Induk ikan akan kekurangan pakan dan mudah terserang penyakit seperti
yang terjadi pada ikan pada setiap bak. Induk ikan baung secara perlahan
mengalami kematian. Wadah pemeliharaan induk menggunakan bak semen
di luar hatchery menghasilkan performa induk lebih baik (Gambar 6.1).

Tabel 6.1 Komposisi bahan baku pakan induk ikan baung


Bahan baku Persentase (%)
Tepung ikan 25,00
Tepung daging tulang 10,00
Dedak padi 11,00
Tepung bungkil kedelai 30,00
Tapioka 12,97
Minyak jagung 2,00
Minyak ikan 1,00
Minyak CPO 4,60
Suplemen 3,43
Jumlah 100,00
79
NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG

Tabel 6.1 Komposisi bahan baku pakan induk ikan baung (lanjutan)
Bahan baku Persentase (%)
Kadar proksimat (%):
Protein kasar 35,41
Lipid kasar 13,15
Serat kasar 2,64
Abu 14,31
Bahan ekstrak tanpa – N 34,44
Energi kasar (kkal/100 g) 463,12
Keterangan: Suplemen terdiri atas premix, Choline khlorid, dikalsium pospat, vit C, vit E,
NaCl, *Premix, 0.5 kg megandung: 5.5 juta IU vitamin A, 1.1 juta IU vitamin D3,
22,000 mg, vitamin B, 750 mg vitamin E, 1.0 mg vitamin K, 1000 mg vitamin
B6, 6 mcg vitamin B12, 25,000 mg calcium pantothenate, 10 mg nicotinamide,
150 g choline chloride, 27,000 mg Mn, 1000 mg I, 7500 mg Fe, 5000 mg Zn,
2000 mg Cu, 450 mg Co, 500 g Ca, 300 g P, 10 g L-lysine, 10 g DL-methionine,
50 ppm selenium

Gambar 6.1 Kolam semen untuk pemeliharaan induk ikan baung


(H. nemurus)

Berdasarkan aplikasi pakan induk, induk ikan baung dapat matang gonad
setelah diberi pakan selama 20–30 hari. Dari populasi 550 ekor induk betina
ikan baung, sebanyak 20% matang gonad dan siap dipijahkan pada bulan
pertama dan minimum 50% nya pada bulan berikutnya. Bobot induk betina
yang siap mijah lebih besar dari 450 g per ekor, dengan diameter telur 0,7–0,8
cm dengan fekunditas total per 600 g induk telur adalah sekitar 106.000
butir atau sekitar 107 butir per g induk. Tingkat pembuahan dan penetasan
telur ikan baung berkisar 80–90%, sementara nilai survival activity index
(SAI) (Gambar 6.2) berkisar sepuluh jam dengan tingkat 60% larvanya
masih bertahan hidup, artinya bahwa cadangan nutrisi dari kuning telur larva
mencukupi kebutuhan nutrisi larva dalam waktu 2 (dua) minggu.
80 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Gambar 6.2 SAI larva induk ikan baung yang diberi pakan
formula

Pakan induk tersebut dapat mempercepat rematurasi gonad ikan baung dari
90 menjadi 43 hari dibandingkan dengan pakan kontrol. Performa reproduksi
induk juga menunjukkan peningkatan, di mana nilai fekunditas ikan baung
mengalami kenaikan sebesar 18,50–22,00% dibandingkan pakan komersial.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin MZ, Hashim R, Chien ACS. 2006. Influence of dietary protein
levels on growth and egg quality in broodstock female bagrid (Mystus
nemurus Cuv Val). Shorth Communication. Aquaculture Research 37:
416–418.
Aida SN. 2011. Panjang-berat, kebiasaan makan dan faktor kondisi ikan
baung (Mystus nemurus) di Sungai Batanghari, Jambi. 2011. Prosiding
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan.
Universitas Gadjah Mada. BP-12.
Aryani N, Suharman I. 2015. Effect of dietary protein level on the reproductive
performance of female of green catfish (Hemibagrus nemurus Bagridae).
Aquaculture Research and Development 6(11): 1–5.
Aryani N. 2001. Penggunaan vitamin E pada pakan untuk pematangan gonad
ikan baung (Mystus numerus CV). Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan
6(1): 28–36.
81
NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG

Begum M, Pal HK, Islam MA, Alam MJ. 2008. Formulation of quality fish
feeds from indegenous raw materials and their effect on growth and
maturity of Mystus gulio. Journal of Bangladesh Agriculture University
6(2): 355–360.
Effendi M. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka
Nusantara. 163p.
Elinah, Datu DTFL, Ernawati Y. 2016. Kebiasaan makan dan luas relung
ikan-ikan indigenous yang ditemukan di Waduk Penjalin Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 21(2): 98–103.
Elliot JM. 1979. Energetic of freshwater teleost, p. 9–61. In Miller PJ (Ed).
Fish Phenology Adaptive. London (ID): Academic Press. Inc.
Furuita H, Tanaka H, Yamamoto T, Shiraishi M, Takeuchi T. 2000. Effects
of n-3 HUFA level in broodstock diet on the reproductive performance
and egg and larva quality of the Japanese flounder, Paralichthys olivaceus.
Aquaculture 187: 387–398.
Furuita H, Tanaka H, Yamamoto T, Suzuki N, Takeuchi T. 2002. Effects of
high levels n-3 HUFA in broodstock diet on the egg quality and egg
fatty acid composition of the Japanese flounder, Paralichthys olivaceus.
Aquaculture 210: 323–333.
Gupta S, Banerjee S. 2013. Studies on reproductive biology of Mystus
tengara (Ham. Buch. 1822), a freshwater catfish of West Bengal,
India. International Journal of Aquatic Biology 1(4): 175–184.
Gupta S. 2015. An overview on feeding and breeding biology of Mystus
tengara (Ham-Buch 1822), a freshwater catfish of Indian Subcontinent.
World Journal of Fish and Marine Sciences 7(3): 195–204.
Halver JE. 1988. Fish Nutrition. London (ID): Academic Press, Inc. 798p.
Halver JE, Hardy RW. 2002. Fish Nutrition, 3rd Edition. San Diego (US):
Academic Press. 824p.
Hardjamulia A, Atmawinata S. 1986. Teknik hipofisasi beberapa jenis ikan air
tawar. Dalam Cholik F (Eds). Pros. Lokakarya Nasional Teknologi Tepat
Guna Bagi Pengembangan Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor 28–31
Juni 1980. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor.
82 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Hardjamulia A, Sunarno MTD, Subagyo. 1991. Kebutuhan penelitian untuk


mendukung pengelolaan dan pengembangan budidaya air tawar dalam
pembangunan jangka panjang ke dua. Prosiding Forum II Perikanan
1991 Juni 18–21. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan; 241–251.
Heltonika B. 2009. Kajian makanan dan kaitannya dengan reproduksi ikan
senggaringan (Mystus ngiriceps) di Sungai Klawing, Purbalingga, Jawa
Tengah. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Izquierdo MS, Fernandes-Palacios H, Tacon AGJ. 2001. Effect of broodstock
nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture 197: 25–
42.
Kottelat M, Anthony J, Sri NK, Soetikno W. 1996. Freshwater Fishes of Western
Indonesia and Sulawesi. Jakarta (ID): Periplus Edition.
Leray C, Nonnotte G, Roubaud P, Leger C. 1985. Incidence of (n-3) essential
fatty acid deficiency on trout reproductive processes. Reproduction
Nutrition Development 25: 567–581.
Nasution Z, Sunarno MTD. 2005. Pengelolaan perairan umum sungai dan
rawa banjiran secara terpadu dan berkelanjutan. Prosiding Forum Perairan
Umum I 2005, 437–448.
Ng WK, Soon SC, Hasyim R. 2001. The dietary protein requirement of a
Bagrid catfish, Mystus nemurus (Cuvier and Valenciennes), determined
using semi purified diets of varying protein level. Aquaculture Nutrition
7(1): 45–51.
[NRC] National Research Council. 2011. Nutrient Requirements of Fish and
Shrimp. Washington DC (US): National Academy of Science.
Nugroho E, Subagja J, Wartono H, Kurniasih T. 2005. Keragaman genetik
dan morfometrik pada ikan tagih dari Jambi, Wonogiri dan Jatiluhur.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2(2): 1–12.
Ondara, Sunarno MTD. 1987. Pemijahan ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni
Blkr.) dengan suntikan hormon dalam sangkar terapung di Danau
Teluk, Jambi. Bulletin Penelitian Perikanan Darat 6(1): 21–28.
83
NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG

Patmasothy S. 1985. The effect of three diets with variable protein levels on
ovary development and fecundity in Leptobarbus hoevenii. In Cho CY et
al. [eds]. Finfish Nutrition in Asia: Methodological Approaches to Research
and Development. Ottawa (CA): International Development Research
Centre.
Rupawan, Sunarno MTD. 2006. Karakteristik habitat dan keragaman jenis
ikan di suaka perikanan Propinsi Kalimantan Selatan. Prosiding Forum
Perairan Umum Indonesia III 2006, 56–64.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta (ID):
Binacipta.
Subagja, Kumari K, Sunarno MTD. 2003. Ikan air tawar sebagai ketahanan
pangan di Sumatera Selatan. Prosiding Semiloka Nasional Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi
2003 Mei 2–3. Palembang (ID): Universitas Tridinanti.
Subagja, Kumari K, Sunarno MTD. 2004. Ikan perairan umum sebagai
kandidat ikan budidaya di lahan rawa Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Lokakarya Nasional Hasil Litkaji Teknologi Pertanian Spesifik
Lokasi 2004 Juni 28–29. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, 629–636.
Suhenda N, Samsudin R, Subagja J. 2009. Peningkatan produksi benih tagih
(Mystus nemurus) melalui perbaikan kadar lemak pakan induk. Berita
Biologi 9(5): 539–546.
Sunarno MTD, Reksalegora O, Nurdawati S. 1988. Penelitian pembenihan
ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni BLKR.) dengan cara hipofisasi.
Bulletin Penelitian Perikanan Darat 7(2): 102–108.
Sunarno MTD, Reksalegora O. 1982. Pematangan calon induk ikan jelawat
(Leptobarbus hoeveni Blkr.) di Danau Mudung, Jambi. Pewarta BPPD
1982 3(1): 30–31.
Sunarno MTD, Sulhi M, Samsudin R, Heptarina D. 2011. Teknologi Pakan
Ikan Ekonomis dan Efisien Berbasis Bahan Baku Lokal. Bogor (ID): PT
Penerbit IPB Press. 54p.
Sunarno MTD. 1989. Pengamatan fekunditas ikan jelawat (Leptobarbus
hoeveni Blkr.). Bulletin Penelitian Perikanan Darat 8: 26–30.
84 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Sunarno MTD. 1991. Pengembangan domestikasi ikan jelawat (Leptobarbus


hoeveni Blkr.) di Kalimantan Barat. Prosiding Puslitbangkan No. 20. TKI
PLHP/91. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
137–142.
Sunarno MTD. 2009. Beberapa jenis ikan asli perairan umum daratan
sebagai kandidat komoditas restoking dan budidaya. Prosiding Forum
Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan II; 2009. Jakarta (ID): Pusat Riset
Perikanan Tangkap, 1–17.
Tang UM, Affandi R. 2001. Biologi Reproduksi Ikan. Riau (ID): Pusat
Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan Universitas Riau.
Utomo AD, Sunarno MTD, Susilo A. 2005. Teknik peningkatan produksi
perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka
perikanan. Prosiding Forum Perairan Umum 185–192.
Watanabe TA, Arakawa T, Kitajima C, Fujita S. 1984. Effect of nutritional
quality of broodstock diets on reproduction of red sea bream. Nippon
Suisan Gakkaishi 50: 495–501.
Watanabe T. 1988a. Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo (JP: JICA. The
General Aquaculture Course. Dept. of Agriculture Bioscience. 233p.
Watanabe T. (1988b). Nutritional energetics. In: Watanabe T. (ed). Fish
Nutrition and Mariculture. Tokyo (JP): JICA, 79–92.
Wooton RJ. 1979. Energy cost production and environmental determinant of
fecundity in teleost fishes p. 133-159. In Miller PJ. (Eds). Fish Phenology,
Anabolic Adaptive In Teleost. London (UK): Academic Press Inc.
Woynarovich E, Horvath L. 1980. The artificial propagation of warmwater
fish. A manual for extention FAO, Fishes Technical Paper, No. 201.
7.PARAMETER KUALITAS AIR
OPTIMUM UNTUK INDUK
IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)
Yohanna R Widyastuti, Lies Setijaningsih,
Adang Saputra, dan Nurhidayat

Pengamatan parameter kualitas air dalam wadah pemeliharaan induk ikan


baung sangat perlu diperhatikan. Demikian juga dengan daerah penangkapan
baung di alam yang akan digunakan sebagai induk sangat perlu diperhatikan
kondisinya, terutama kualitas air, sedimen, serta bahan pencemar yang
dapat memengaruhi kesehatan induk dan reproduksinya. Parameter kualitas
air yang dapat memengaruhi induk baung, di antaranya suhu, tingkat
keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), salinitas, padatan tersuspensi total
(TSS), dan amonia. Suhu air pada suatu perairan dapat dipengaruhi oleh
musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu
dalam satu hari, penutupan awan, aliran, dan kedalaman air. Peningkatan
suhu air mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan
volatisasi, serta penurunan kelarutan gas dalam air, seperti O2, CO2, N2, CH4
dan sebagainya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Tingkat keasaman atau
pH (potential of hydrogen) merupakan skala logaritma untuk konsentrasi
ion hidrogen (H+). Nilainya berkisar dari 0 (paling asam, paling banyak ion
hidrogen) sampai 14 (paling alkalin, paling sedikit ion hidrogen).
Nilai netral adalah 7, yaitu ion hidrogen seimbang dengan ion hidroksil (OH-)
dalam air (Boyd 1982). Oksigen digunakan ikan untuk bernapas. Sumber
oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer
(sekitar 21%), serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton
(Kordi dan Tancung 2007). Salinitas perairan menggambarkan kandungan
86 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

garam dalam suatu perairan. Pada umumnya salinitas dipengaruhi oleh tujuh
ion utama, yaitu: natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg),
klorit (Cl), sulfat (SO4), dan bikarbonat (HCO3) (Kamler 1992 dalam Sukendi
2003). Padatan tersuspensi total atau sering disebut TSS (total suspended solid)
merupakan bahan-bahan tersuspensi dalam air yang menyebabkan kekeruhan
air, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil
dari sedimen (Effendi 2000). Di air terdapat amonia yang terionisasi dan
amonia yang tidak terionisasi. Amonia bebas bersifat toksik, sementara NH4
terionisasi tidak bersifat toksik. Amonia adalah produk akhir dari dekomposisi
protein pakan ikan dan pembusukan senyawa organik oleh mikroba dalam air
(Effendi 2000).

KEBUTUHAN DASAR KUALITAS AIR


UNTUK INDUK BAUNG
Ikan baung (Hemibagrus nemurus) tergolong benthopelagik dan hidup di
perairan tawar dan payau. Secara umum, ikan baung terdistribusi di beberapa
negara Asia (Gustiano et al. 2015). Di wilayah Indonesia, ikan baung banyak
ditemui di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Ikan baung banyak ditemukan di
rawa, danau, waduk, dan perairan lainnya. Sampai saat ini, ikan baung sudah
menjadi komoditas ikan budidaya dan dapat dipelihara secara terkontrol di
kolam atau karamba jaring apung (KJA), serta sudah teradaptasi terhadap
pakan buatan (Hardjamulia dan Suhenda 2000). Menurut Roza et al. (2014),
budidaya ikan baung dalam keramba banyak ditemui di Sumatera Selatan,
Jambi, dan Riau. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa ikan baung
yang dipelihara di keramba selama empat bulan mencapai ukuran rata-rata
100,96 g dan sudah dapat digunakan sebagai induk.
Umumnya ikan baung jantan dan betina mulai matang gonad ketika beratnya
mencapai 90 g dan panjang total rata-rata 20 cm. Ikan baung lebih cepat
matang gonad dibandingkan ikan lele dan patin (Madsuly 1977). Secara
alamiah, ikan baung betina matang gonad pada bulan Maret–Oktober,
sementara jantan mencapai tingkat matang gonad IV pada bulan Oktober–
Desember (Madsuly 1977). Tingkat fekunditas ikan baung yang berasal dari
tangkapan di alam berkisar 1.365–160.235 butir (Hartoto 1984).
87
PARAMETER KUALITAS AIR OPTIMUM
UNTUK INDUK IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Kondisi daerah penangkapan baung asal alam yang akan digunakan sebagai
induk sangat perlu diperhatikan tentang kualitas air, sedimen, dan bahan
pencemar yang dapat memengaruhi kesehatan induk dan reproduksinya.
Hasil penelitain Rinaldi et al. (2018) menyebutkan, daging ikan baung di
hulu Sungai Kuantan, Kabupatan Sijunjung, Padang telah mengandung
logam berat Cu, Zn, Hg, dan Pb dengan kadar melampaui standar nilai baku
mutu yang telah ditetapkan dalam PP RI No 82 Tahun 2001 tentang Batas
Maksimum Kandungan Logam Berat dalam Daging Ikan. Induk baung dari
Sungai Kampar Kanan, Riau dapat di pergunakan untuk tujuan domestikasi
dan budidaya karena memiliki karakteristik morfometrik yang lebih baik
dibandingkan dengan wilayah lainya (Aryani et al. 2017).
Kolam budidaya induk ikan baung dapat berupa kolam tanah atau tembok,
serta memiliki saluran pemasukan dan pengeluaran air dengan ukuran kolam
sekitar 50 m2. Induk baung dipelihara dengan kepadatan 3–5 ekor/m2. Induk
betina dan jantan dapat disatukan, karena untuk ikan baung tidak pernah
terjadi pemijahan secara liar. Namun demikian, ikan baung sudah dapat
dipijahkan secara terkontrol menggunakan hormonal.

PENGAMATAN PARAMETER KUALITAS AIR


Suhu
Suhu perairan merupakan salah satu faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap aktivitas ikan untuk pertumbuhan, pernapasan, dan reproduksi.
Suhu memegang peran penting dalam perkembangan jaringan daging dan otot
ikan (Sfakianasis et al. 2011; Johnston et al. 2009). Oleh karena itu, suhu air
yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mengakibatkan pertumbuhan
pada ikan menjadi terhambat (Kossakowski 2008). Suhu perairan optimum
untuk pemeliharaan induk ikan baung sekitar 27°C (Ali dan Junianto 2014).
Ikan baung dapat hidup di perairan dari muara sampai ke bagian hulu sungai,
bahkan dapat hidup juga pada areal sub-optimal (lahan marjinal).
Meskipun demikian, suhu air optimum merupakan kunci untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik. Selain itu, suhu air pada pemeliharaan induk ikan
baung dapat meningkatkan metabolisme. Energi yang dihasilkan dari proses
metabolisme mampu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai
perubahan yang terjadi. Suhu air yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan
88 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

berpengaruh terhadap berbagai ukuran, efisiensi penggunaan kuning telur,


pertumbuhan, kecepatan makan, waktu metamorfosis, tingkah laku, kecepatan
berenang, penyerapan, laju pengosongan lambung, dan metabolisme (Blaxter
1988). Pengaruh suhu air pada pemeliharaan induk ikan baung selain terhadap
pertumbuhan dan metabolisme, juga berpengaruh terhadap waktu masa
inkubasi telur. Woynarovich dan Horvath (1980) mengemukakan bahwa
semakin tinggi suhu media penetasan akan mempercepat proses penetasan
telur, namun suhu air yang terlalu tinggi akan mengakibatkan abnormalitas
pada larva.

Tingkat keasaman (pH)


Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 7–8,5 (Effendi 2000). Menurut Boyd (1982), kisaran pH
6,5–9 cocok untuk produksi ikan. Kenaikan pH pada perairan umum, seperti
sungai atau rawa yang merupakan media habitat alamiah ikan baung, akan
diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam
berat yang dapat berpengaruh bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup
induk ikan baung. Pembesaran ikan baung pada perairan yang bersifat asam
lebih berpotensi tercemar logam berat dibandingkan yang berada dalam air
dan sedimen. Kisaran nilai pH 6,0–8,5 tercatat sebagai tingkat keasaman
optimum untuk pemeliharaan induk baung. Hasil penelitian Erlangga (2007)
menunjukkan bahwa ikan baung mampu tumbuh dan berkembang dengan
baik di sepanjang Sungai Kampar, Provinsi Riau yang memiliki nilai pH air
4,5–6. Muflikhah dan Aida (1994) menyatakan bahwa kisaran pH yang baik
untuk induk ikan baung 5–7.

Oksigen terlarut
Ikan baung hidup optimal pada kadar oksigen antara 5–6 mg/L (Tang 2003).
Menurut Effendi (2000), kandungan oksigen terlarut dalam air >4 mg/L
dibutuhkan untuk ikan baung. Induk ikan baung membutuhkan kadar oksigen
tinggi karena kadar oksigen terlarut yang optimum dapat mempercepat proses
elemen-elemen meristik embrio (Kossakowski 2008). Selain memengaruhi
proses rematurasi, oksigen terlarut menjadi stressor untuk induk ikan yang
dipelihara secara terkontrol. Menurut Adebayo (2006), stres pada akhirnya
akan memengaruhi beberapa parameter reproduksi, yaitu fertilisasi, persentase
penetasan, abnormalitas larva, sintasan, dan mortalitasnya (Tabel 7.1).
89
PARAMETER KUALITAS AIR OPTIMUM
UNTUK INDUK IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Tabel 7.1 Pengaruh stres pada induk ikan baung akibat kekurangan oksigen
Lama kurang % Keberhasilan
oksigen Fertilisasi Penetasan Larva cacat Sintasan Mortalitas
0 jam 75 65 13,2 77,5 22,5
4 jam 47,5 29,5 28,14 52,5 47,5
Sumber: Adebayo (2006)

Salinitas
Variasi salinitas di lingkungan hidup ikan baung mulai dari daerah estuaria
hingga perairan tawar/kolam menyebabkan ikan tersebut mempunyai
toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebih besar dibandingkan ikan tawar
lainya. Induk baung hasil tangkapan alam memerlukan waktu adaptasi secara
bertahap untuk dibudidayakan di kolam secara terkontrol. Pengaruh salinitas
terhadap induk ikan baung berhubungan dengan daya tetas telur yang
dihasilkan. Kadar salinitas 2 ppt merupakan salinitas terbaik untuk penetasan
telur ikan baung. Kondisi ini sesuai hasil penelitian Hadid et al. (2014)
dengan persentase penetasan telur mencapai 85,33%. Sungai Kampar dengan
salinitas berkisar 0–0,5‰ merupakan salah satu perairan dengan populasi
ikan baung tertinggi (Erlangga 2007). Kondisi ini menggambarkan induk
ikan baung dapat dipelihara dan dipijahkan di kolam air tawar.

Padatan tersuspensi total (TSS)


Padatan tersuspensi total dalam kolom air berasal dari komponen hidup,
seperti plankton, bakteri, dan fungi, maupun komponen mati, seperti detritus
dan partikel anorganik. Distribusi padatan tersuspensi merupakan salah satu
faktor penting dalam menentukan kualitas air di perairan pantai dan estuaria.
Pada ekosistem perairan, konsentrasi TSS yang tinggi dapat menyebabkan
turunnya daya penetrasi cahaya ke dalam kolom air secara langsung sehingga
dapat mengganggu proses fotosintesis oleh klorofil, yang pada akhirnya
mengakibatkan rendahnya produktivitas primer perairan tersebut. Induk ikan
baung membutuhkan perairan dengan tingkat TSS rendah. Padatan tersuspensi
tinggi akan berakibat buruk bagi tubuh ikan baung yang tidak bersisik dan
terhadap insangnya. Kekeruhan yang tinggi akan mengganggu penglihatan
ikan dan menyebabkan nafsu makan berkurang. Kisaran kandungan TSS di
perairan Sungai Kampar adalah 0,009–0,065 mg/L (Erlangga 2007). Kisaran
90 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

tersebut merupakan kondisi optimum untuk kehidupan ikan baung. Dalam


kriteria kualitas air, kandungan TSS dengan nilai <4 mg/L termasuk dalam
kriteria sangat baik untuk ikan baung.

Amonia
Kadar amonia dalam air tawar dapat bersifat racun bagi ikan apabila
jumlahnya >0,2 mg/L (Effendi 2000). Menurut Boyd (1982), tingkatan
amonia untuk jangka pendek berada di antara 0,6–2,0 mg/L. Menurut Modu
et al. (2012), kolam induk ikan baung dengan kadar total amonia nitrogen
(TAN) 2,1–3,05 mg/L menyebabkan perubahan kondisi sel insang rusak dan
iritasi (Gambar 7.1).

A B
Gambar 7.1 Histologi insang sehat (A) dan perubahan sel rusak serta iritasi
akibat kadar TAN yang tinggi pada insang induk ikan baung (B)
(Sumber: Modu et al. 2012)

Interaksi yang tidak seimbang antara faktor lingkungan dengan kondisi ikan
dan organisme parasit akan memicu munculnya serangan penyakit pada ikan.
Insang ikan sangat sensitif terhadap perubahan fisik dan kimia dari media
akuatik dan terhadap setiap perubahan dalam lingkungannya (Ogundiran et
al. 2009). Hasil penelitian Modu et al. (2012) mencantumkan perubahan
bentuk insang dan terjadinya nekrosis yang diakibatkan terserang monogeneans
parasit (Gambar 7.2). Parasit tersebut muncul dikarenakan kualitas air kolam
ikan baung yang buruk akibat kadar amonia yang melebihi ambang batas
optimum. Kondisi tersebut memicu peningkatan infeksi penyakit, yaitu
parasit dan beberapa mikroba. Parasit monogeneans adalah jenis parasit ikan
yang sering ditemukan menyerang insang dan sirip ikan (Jiri et al. 2004).
91
PARAMETER KUALITAS AIR OPTIMUM
UNTUK INDUK IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Gambar 7.2 Parasit monogeneans pada insang induk ikan


baung (Sumber: Modu et al. 2012)

Kualitas perairan yang baik merupakan syarat utama dalam pengelolaan induk
ikan baung. Lingkungan dapat meningkatan performa reproduksi induk ikan
baung sehingga penyediaan benih dalam kelangsungan budidaya terpenuhi.
Parameter kualitas air utama yang berpengaruh pada manajemen pengelolaan
induk ikan baung adalah suhu, tingkat keasaman (pH), oksigen terlarut,
salinitas, padatan tersuspensi total (TSS), dan amonia.

DAFTAR PUSTAKA
Adebayo OT. 2006. Reproductive performance of african clariid catfish Clarias
gariepinus broodstocks on varying maternal stress. Journal of Fisheries
International 1: 17–20.
Ali M, Junianto RS. 2014. Pengaruh lanjut suhu pada penetasan telur terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan baung Hemibagrus
nemurus. Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub Optimal 301–308.
Aryani N, Hasibuan S, Mardiah A, Syandri H. 2017. Morphometric
characteristics of Asian catfish, Hemibagrus wyckii (Bleeker, 1858)
(Bagridae), from the Riau Province of Indonesia. Pakistan Journal of
Biological Sciences 20(8): 382–389.
92 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Blaxter JHS. 1988. Development: eggs and larvae. In Hoar WS, Randall DJ.
(Eds). Fish Physiology. Vol. III. pp. 177–252.
Boyd CE. 1982. Water quality management in aquaculture and fisheries
science. Amsterdam (NL): Elsevier Scientific Publishing Company.
312 p.
Canter LW, Hill LG. 1981. Handbook of Variable for Environmental Impact
Assessment. Michigan (US): Ann Arbor Science Publisher.
Effendi H. 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB Bogor. 257 p.
Elliot JM. 1979. Energetic of freshwater teleost. In Miller PJ. (Ed). Fish
Phenology Anabolic Adaptive in Teleost. London (UK): Academy Press
Inc. pp. 9–61.
Erlangga. 2007. Efek pencemaran perairan sungai Kampar di Provinsi Riau
terhadap ikan baung Hemibagrus nemurus. [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Gustiano R, Kusmini II, Ath-thar MHF. 2015. Mengenal Sumber Daya
Genetik Ikan Spesifik Lokal Air Tawar Indonesia untuk Pengembangan
Budidaya. Bogor (ID): IPB Press. 51 hlm.
Hadid Y, Syaifudin M, Amin M. 2014. Pengaruh salinitas terhadap daya tetas
telur ikan baung (Hemibagrus nemurus, Blkr). Jurnal Akuakultur Rawa
Indonesia 2(1): 78–92.
Hardjamulia A, Suhenda N. 2000. Evaluasi sifat reproduksi dan sifat
gelondongan generasi pertama empat populasi ikan baung (Hemibagrus
nemurus) di keramba jaring apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
6(3–4): 24–35.
Hartoto DI. 1984. Beberapa aspek fekunditas ikan ikan tawar di lubuk linpam
Sumatera Selatan, Suku Bagridae, Ikan Beringu, Mytus nigriceps, C.V.
Berita Biologi 2(2): 153–156.
Izquierdo MS, Fernandez-Palacios H, Tacon AGJ. 2001. Effect of broodstock
nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture 197(1–4):
25–42.
93
PARAMETER KUALITAS AIR OPTIMUM
UNTUK INDUK IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Jiri J, Serge M, Andreand S, Milan G. 2004. Reproductive barriers between


congeneric monogenean parasites (Dactylogyrus: Monogenea):
Attachment apparatus morphology or copulatory organ incompatibility.
Parasitology 92: 95–105.
Johnston IA, Lee HT, Macqueen DJ, Paranthaman K, Kawashima C, Anwar A,
Kinghorn JR, Dalmay T. 2009. Embryonic temperature affects muscle
fibre recruitment in adult zebrafish: genome-wide changes in gene and
microRNA expression associated with the transition from hyperplastic
to hypertrophic growth phenotypes. Journal of Experimental Biology
212: 1781–1793.
Kordi MGH, Tancung AB. 2007. Pengelolaan Kualitas Air. Jakarta (ID): PT
Rineka Cipta.
Kossakowski MK. 2008. The influence of temperature during the embryonic
period on larval growth and development in carp, Cyprinus carpio L.,
and grass carp, Ctenopharyngodon idella (Val.): Theoretical and practical
aspects. Arch. Pol. Fish 16: 231–314.
Madsuly T. 1977. Laporan petemakan ikan tagih (Macrones nemurus) di
Kabupaten DTII Sumedang. (Tidak diterbitkan). Sumedang (ID):
Dinas Perikanan Kabupaten Sumedang.15 hlm.
Modu BM, Saiful M, Kartini M, Kasim Z, Hassan M, Shaharom-Harrison
FM. 2012. Effects of water quality and monogenean parasite in the gills
of freshwater cat fish, “Hemibagrus nemurus” Valenciennes 1840. Current
Research Journal of Biological Sciences 4(3): 242–246.
Muflikhah N, Aida SN. 1994. Pengaruh perbedaan jenis pakan terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan ikan baung Mystus nemurus di kolam
rawa. Kumpulan Riset Komoditas Baung 1978-1995. Palembang (ID):
Loka Penelitian Perikanan Air Tawar Mariana.
Renaldi, Syandri A, Aswad D. 2018. Kandungan logam berat dalam air dan
ikan baung (Hemibagrus nemurus C.V) di kawasan konservasi sungai
Batang Kuantan Kec Sijunjung, Kab. Sijunjung. Prosiding Hasil
Penelitian Mahasiswa FPIK. Univ Bung Hatta 12(1): 1–11.
94 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Romimohtarto K, Juwana S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang


Biota Laut. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi-LIPI. 527 hlm.
Roza M, Manurung AR, Budhi A, Sinwanus, Heltonika B. 2014. Kajian
pemeliharaan ikan baung Hemibagrus nemurus dengan padat tebar yang
berbeda pada keramba jaring apung di waduk Sungai Paku, Kabupaten
Kampar, Propinsi Riau. Acta Aquatica 1: 2–6.
Sfakianakis DG, Leris I, Laggis A, Kentouri M. 2011. The effect of rearing
temperature on body shape and meristic characters in zebrafish Danio
rerio juveniles. Environmental Biology of Fishes Journal 92: 197–205.
Suhenda N, Samsudin R, Nugroho E. 2010. Pertumbuhan ikan baung
(Hemibagrus nemurus) dalam keramba jarring apung yang diberi pakan
buatan dengan kadar protein berbeda. Jurnal Iktiologi Indonesia 10:
65–71.
Sukendi. 2003. Vitelogenesis dan manipulasi fertilisasi pada ikan. Bagian
bahan mata kuliah reproduksi ikan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Tang MU. 2003. Teknik Budidaya Ikan Baung (Mystus nemurus C.V.).
Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius. 64 hlm.
Woynarovich E, Horvath L. 1980. The artificial propagation of warm water
fish. A manual for extention FAO, Fishes Technical Paper, 201: 285 p.
KUALITAS AIR
DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG
Ani Widiyati, Adang Saputra, Tri Heru Prihadi, dan Yosmaniar

Kegiatan budidaya ikan baung sangat potensial untuk dikembangkan karena


ikan ini disukai oleh masyarakat, serta mempunyai respons yang baik terhadap
teknologi budidaya secara intensif dengan padat tebar tinggi dan pemberian
pakan buatan (Masrizal et al. 2001). Selanjutnya menurut Muflikhah et al.
(1998), ikan baung dapat dipelihara dalam berbagai wadah pemeliharaan,
seperti keramba, kolam, dan juga keramba jaring apung. Menurut Boyd
(1990), intensifikasi budidaya ikan melalui padat tebar dan laju pemberian
pakan yang tinggi dengan berbagai wadah pemeliharaan budidaya dapat
menimbulkan masalah pada kualitas air. Meskipun ikan memakan sebagian
besar pakan yang diberikan, namun persentase terbesar diekskresikan menjadi
buangan metabolik (nitrogen) yang dapat mencemari media budidaya.
Kegiatan pemeliharaan benih merupakan salah satu upaya untuk penyediaan
benih yang berkualitas, baik dalam jumlah maupun waktu yang tepat. Salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi benih dalam kegiatan
pemeliharaan benih adalah kualitas air pada lingkungan budidaya. Kualitas air
memiliki peran dalam peningkatan produktivitas pada sistem budidaya ikan
(Gorder 2003). Penyediaan kualitas air yang optimum pada pemeliharaan
ikan merupakan faktor penentu karena air merupakan media untuk tumbuh
dan reproduksi (Bardach et al. 1972). Oleh karena itu, perhatian yang
cermat terhadap masalah kualitas air merupakan kebutuhan yang mutlak
dalam pelaksanaan budidaya ikan secara intensif (Boyd 1990). Selanjutnya,
diperlukan pengelolaan kualitas air budidaya ikan pada fase pemeliharaan,
kondisi lingkungan diatur sedemikian rupa sehingga selalu pada kisaran yang
masih dapat ditolerir, baik untuk pertumbuhan maupun untuk kelangsungan
96 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

hidup ikan. Secara umum, parameter kualitas air terbagi menjadi parameter
fisika, biologi, dan kimia (Forteath et al. 1993). Untuk keberlanjutan
kegiatan pemeliharaan benih ikan baung, perlu pengelolaan kualitas air dari
parameter fisika, kimia, dan biologi. Sasaran pengelolaan kualitas air adalah
untuk memperbaiki dan menstabilkan kelayakan kualitas air sehingga tidak
melebihi ambang batas toleransi.

ASPEK FISIKA, KIMIA, DAN BIOLOGI AIR


UNTUK PEMELIHARAAN BENIH
Beberapa aspek penting parameter fisika kualitas air untuk pemeliharaan benih
ikan baung, yaitu suhu air, cahaya matahari, padatan tersuspensi, dan debit
air. Parameter kimia terdiri atas oksigen terlarut, karbon dioksida terlarut,
pH, nitrit, nitrat, total fosfat, alkalinitas, dan amonia. Parameter biologi
yaitu jumlah serta jenis fitoplankton dan zooplankton. Ketiga parameter
tersebut perlu diukur dan diketahui secara rutin karena berpengaruh terhadap
keberlanjutan hidup benih ikan baung.

Parameter fisika
Suhu perairan merupakan salah satu faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap aktivitas ikan, terutama untuk pertumbuhan, pernapasan, dan
reproduksi (Huet 1994). Pada ikan tanpa sisik seperti ikan baung, perubahan
suhu sangat berpengaruh pada kehidupan ikan karena suhu air berpengaruh
terhadap suhu tubuh dan proses metabolismenya. Menurut Tang (2003),
suhu 25°C memberikan hasil terbaik bagi kelangsungan hidup larva ikan
baung. Bunasir et al. (2005) menyatakan suhu untuk perawatan larva dan
pertumbuhan benih ikan baung berkisar antara 27–30°C. Menurut Ali dan
Junianto (2014), suhu yang optimal untuk kelangsungan hidup larva sampai
benih ikan baung adalah 27°C.
Salah satu faktor fisika yang penting pada kolam pemeliharaan benih ikan
baung adalah intensitas cahaya yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat memengaruhi tingkah laku ikan. Beberapa jenis ikan menyukai intensitas
cahaya rendah, tetapi ada juga ikan yang menyukai intensitas cahaya tinggi
(Boeuf dan Le-Bail 1999). Pada ikan gilthead seabream (Sparus aurata L), waktu
penyinaran dalam waktu yang lebih lama dapat meningkatkan pertumbuhan
97
KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG

serta efisiensi pakan (Vardar dan Yildirim 2012), dan meningkatkan sintasan
benih pada mirror carp (Cyprinus carpio) (Yagci dan Yigit 2009) dan rainbow
trout (Oncorhynchus mykiss) (Sonmez et al. 2009; Barimani et al. 2013).
Sementara pada ikan nokturnal, lama penyinaran yang diminimalkan dapat
meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan, serta warna tubuh pada benih
African catfish (Clarias gariepinus) (Mustapha et al. 2012). Dari beberapa
hasil penelitian pengaruh cahaya terhadap ikan budidaya memperlihatkan
keperluan intensitas dan lama penyinaran yang berbeda-beda. Hasil penelitian
Heltonika dan Karsih (2017) memperlihatkan jika larva ikan baung dipelihara
dalam kondisi 24 jam gelap menghasilkan laju pertumbuhan terbaik, baik
dari segi panjang maupun bobot. Selanjutnya dikatakan hal ini diduga karena
larva/benih ikan baung termasuk jenis ikan yang bersifat nokturnal.
Limbah budidaya ikan terdeteksi ada yang menjadi padatan terlarut dan
padatan tersuspensi. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan
dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju
fotosintesis fitoplankton sehingga produktivitas primer perairan menurun,
yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai
makanan. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi
penetrasi cahaya ke dalam air. Nilai padatan terlarut yang baik untuk media
pemeliharaan benih ikan adalah 25–100 JTU (Jackson Turbidity Unit) dan
padatan tersuspensi adalah 250–100 JTU (Sutisna dan Sutarmanto 1995).
Secara umum debit air pada pemeliharaan benih ikan akan berpengaruh
terhadap penyebaran pakan alami, mikroba, serta limbah budidaya. Debit
air akan menimbulkan arus pada media pemeliharaan, semakin kuat arus
semakin cepat kotoran terbawa sehingga kualitas air menjadi baik. Arus yang
terlalu kuat mengakibatkan benih ikan baung mudah hanyut, sementara arus
yang lemah berakibat tidak terangkutnya kotoran/feses. Pengukuran debit air
diperlukan untuk mengatur pola air pada kolam pemeliharaan benih. Menurut
Sutisna dan Sutarmanto (1995), debit air yang sesuai untuk pemeliharaan
benih ikan air tawar adalah 1,5 L/detik/1000 m2. Debit yang paling optimal
terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih adalah 0,03 L/detik.
98 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Parameter kimia
Parameter kimia air yang melebihi baku mutu akan menjadi racun untuk
ikan. Menurut Boyd (2015) dan Sulastri et al. (2007), konsentrasi parameter
kimia air disarankan tidak melebihi ambang batas optimum karena dapat
menjadi racun untuk ikan yang dipelihara. Parameter kimia air yang bersifat
toksik terhadap ikan, antara lain pH dan oksigen terlarut. Konsentrasi pH air
memegang peran penting terhadap metabolisme dan proses fisiologis (Abbink
et al. 2011; Kwong et al. 2014), sintasan (Hamid et al. 1994), serta kerusakan
insang (Kwong et al. 2014). Setiap jenis ikan memiliki kisaran toleransi pH
air berbeda. Kisaran pH air optimum untuk budidaya ikan berkisar 4,25–
9,4 (Oliveira et al. 2012; Courtenay dan Williams 2004). Konsentrasi pH
air optimum pada pemeliharaan benih ikan baung berkisar antara 5,5–6,5
(Heltonika dan Karsih 2017).
Ikan baung merupakan ikan yang biasa hidup di perairan yang mempunyai
arus deras. Umumnya ikan baung memerlukan oksigen tinggi untuk menjaga
homeostasis pada siklus hidupnya. Rendahnya kandungan oksigen terlarut
dapat memengaruhi fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan
dapat mengakibatkan kematian. Ikan memiliki batas ideal oksigen terlarut
yang berperan sebagai faktor pembatas pada siklus hidupnya. Kisaran oksigen
terlarut optimum pada pemeliharaan ikan yaitu 3–7 mg/L (Mallya 2017).
Kisaran oksigen terlarut optimum pada pemeliharaan benih ikan baung
berkisar antara 3,7–5,6 mg/L (Heltonika dan Karsih 2017). Nilai kisaran
oksigen terlarut mengalami penurunan sejalan dengan waktu pemeliharaan
ikan. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya waktu pemeliharaan, akumulasi
feses, urin, dan pakan yang tidak termakan semakin tinggi sehingga oksigen
terlarut mengalami penurunan karena digunakan oleh bakteri nitrifikasi dan
denitrifikasi untuk mengurai limbah tersebut.
Salah satu permasalahan pada budidaya ikan secara intensif adalah tingginya
limbah nitrogen beserta turunannya, seperti nitrit (NO2-N), nitrat (NO3-N),
dan amonia (NH3-N) yang dihasilkan dari feses, urin, serta sisa pakan yang
tidak termakan. Pakan buatan mengandung unsur nitrogen (N) dan fosfat
(P) yang berfungsi untuk pertumbuhan ikan. Parameter kimia air optimum
untuk pemeliharaan benih ikan baung, yaitu: nitrit (0,07–0,71 mg/L), nitrat
(0,10–1,43 mg/L), dan amonia (0,02–0,72 mg/L). Menurut standar baku
mutu kualitas air kelas II PP No. 82 tahun 200 untuk kegiatan perikanan,
kandungan nitrit 0,06 mg/L, nitrat 10 mg/L, dan amonia ≤0,02 mg/L.
99
KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG

Konsentrasi nitrit dalam air berasal dari proses nitrifikasi (bantuan bakteri
anaerob), di mana amonia dirubah menjadi nitrit kemudian nitrat. Laju
produksi nitrit tergantung pada jumlah populasi bakteri dalam air. Apabila
pH air rendah dan temperatur tinggi, produksi asam nitrit lebih tinggi. Nitrit
dapat mengoksidasi ion ferro dalam hemoglobin menjadi ion ferri yang mampu
merubah hemoglobin menjadi methemoglobin (Colt dan Armstrong 1981).
Nitrat adalah produksi dari nitrit di dalam proses nitrifikasi dan merupakan
bentuk oksidasi terbanyak dari nitrogen dalam air. Alga dan diatom, serta
tumbuhan lainnya dengan mudah berasimilasi dengan ion nitrat dalam air.
Daya racun nitrat kurang kuat bila dibandingkan dengan nitrit dan amonia.
Meskipun demikian, nitrat bisa menjadi salah satu masalah potensial di dalam
sistem resirkulasi. Pengaruh nitrat terutama pada osmoregulasi dan transpor
oksigen. Nitrat adalah oksidator yang mampu mengubah hemoglobin menjadi
ferrihemoglobin (methemoglobin), serta dapat merusak darah, hati, pusat
hematopoetik, filamen insang, dan tingkah laku yang tidak normal.
Amonia merupakan buangan metabolik yang pada kensentrasi tertentu sangat
beracun bagi ikan (Benli et al. 2008). Sumber amonia di perairan berasal dari
pemecahan nitrogen organik (protein, urea, feses) dan nitrogen anorganik
yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba atau jamur
(Boyd 2015). Peningkatan amonia melebihi 0,3 mg/L berdampak terhadap
penurunan oksigen terlarut dan meningkatkan konsentrasi karbondioksida
dalam darah. Menurut Boyd (2015), konsentrasi amonia optimal untuk
budidaya ikan di perairan yang tidak tercemar <0,25 mg/L dan perairan
tercemar konsentrasinya di bawah 1,0 mg/L. Konsentrasi amonia optimum
untuk pemeliharaan benih ikan baung berkisar 0,02–0,72 mg/L.
Alkalinitas air menggambarkan jumlah ion karbonat dan bikarbonat yang
ada di perairan. Konsentrasi tersebut menunjukkan kapasitas air untuk
menetralkan asam atau basa serta sebagai penyangga terhadap pertumbuhan
pH. Konsentrasi alkalinitas perairan >200 mg/L menggambarkan perairan
tersebut stabil terhadap perubahan perubahan asam atau basa. Konsentrasi
alkalinitas >100 mg/L disebut sebagai perairan alkalin dan nilai alkalinitas
<100 mg/L adalah tingkat alkalinitas sedang. Untuk kehidupan ikan, alkalintas
optimal berkisar >60 dan <200 mg/L. Konsentrasi alkalinitas sebesar 500
mg/L kurang baik untuk budidaya ikan baung karena memengaruhi proses
osmoregulasi, juga mengakibatkan tingginya nilai kesadahan.
100 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Parameter biologi
Parameter biologi pada budidaya ikan dapat digunakan sebagai indikator
biologis, yaitu untuk menilai secara makro perubahan keseimbangan ekologi,
khususnya pada budidaya ikan yang dilakukan secara alami/semi alami.
Parameter ini banyak berpengaruh dalam pengelolaan kualitas air, seperti
plankton, alga, tanaman air, dan bentos. Jasad renik dalam perairan berpengaruh
terhadap kehidupan ikan. Parameter biologi sangat perlu untuk dipahami oleh
pembudidaya ikan karena beberapa jasad renik bermanfaat untuk budidaya
ikan, khususnya larva untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Sifat biologi
air yang banyak berperan dan perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi
budidaya ikan adalah produktivitas primer. Hal ini karena produktivitas
primer berperan sebagai pakan alami serta penyedia oksigen terlarut dalam air
bagi ikan untuk respirasi.
Sukendi (2001) menyebutkan, di perairan makanan utama benih ikan baung
adalah Arthropoda terutama dari jenis insekta dan Oligochaeta. Sementara
makanan pelengkap adalah detritus, serta makanan tambahan adalah ikan
dan tanaman air. Komposisi komunitas makrobenthos merupakan salah satu
indikator terbaik untuk menjelaskan kualitas suatu lingkungan, terutama
melalui kekayaan spesiesnya dengan kata lain status komunitas benthos dapat
dipakai sebagai indikator. Kelimpahan plankton yang terdiri dari fitoplankton
dan zooplankton sangat diperlukan untuk mengetahui kesuburan suatu
perairan yang akan dipergunakan untuk kegiatan budidaya. Plankton sebagai
organisme perairan tingkat rendah melayang-layang di air dalam waktu yang
relatif lama mengikuti pergerakan air. Plankton pada umumnya sangat peka
terhadap perubahan lingkungan (suhu, pH, salinitas, gerakan air, dan cahaya
matahari).
Fitoplankton dari kelas Chlorophyceae menyumbang oksigen terlarut
terbesar pada lingkungan perairan (Rissik dan Suthers 2009). Melalui proses
fotosintesis, mereka mampu memanen energi dari matahari, menggunakan
zat yang diperoleh dalam air untuk berkembang biak, serta menyediakan
makanan dan energi untuk berbagai spesies hewan. Selain itu, produk utama
fotosintesis mereka adalah oksigen yang dilepaskan ke dalam air sebagai
komponen penting lain untuk biota di habitat ini. Menurut FAO (2014),
aktivitas respirasi fitoplankton yang berlebihan akan berpengaruh terhadap
kualitas air, seperti terhadap pH, DO, dan nitrogen. Respirasi oleh ikan
101
KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG

akan menurunkan pH melalui pelepasan karbon dioksida ke dalam air,


sebaliknya fotosintesis plankton akan menghilangkan karbon dioksida dari
air dan meningkatkan pH. Pengaruh fitoplankton pada pH mengikuti pola
harian, di mana pH naik di siang hari karena adanya proses fotosintesis dan
menurunkan kandungan asam karbonat dan pada malam hari melepaskan
asam karbonat. Pada budidaya ikan sistem resirkulasi, plankton akan tersaring
oleh filter. Apabila fitoplankton dalam kolam tumbuh berlebihanhingga warna
air menjadi hijau pekat sebaiknya dilakukan pemfilteran, selanjutnyza akan
tumbuh zooplankton yang akan menjadi makanan benih ikan baung. Populasi
zooplankton dipengaruhi oleh ketersediaan fitoplankton dan jenis ikan yang
memakannya. Zooplankton dan fitoplankton merupakan pakan alami ikan.
Keperluan pakan alami bagi pembenihan ikan sangat penting karena larva ikan
sangat menyukai pakan tersebut. Plankton mempunyai kandungan protein
yang sangat tinggi untuk pertumbuhan larva dan ukurannya sesuai dengan
bukaan mulut larva. Semakin tinggi populasi zooplankton dan fitoplankton,
maka dapat dipastikan pertumbuhan benih akan tinggi.

PENGELOLAAN KUALITAS AIR UNTUK


PEMELIHARAAN BENIH
Pemeliharaan benih sistem indoor
Pemeliharaan benih ikan baung, dapat dilakukan secara indoor (intensif )
dan outdoor (intensif dan semi intensif ). Sebelum air digunakan untuk
pemeliharaan benih, perlu dilakukan aerasi selama 1–3 hari untuk membuang
zat-zat beracun dalam air dan meningkatkan kualitas air. Kebersihan dan
sterilisasi wadah dilakukan untuk membunuh bakteri dengan klorinasi. Untuk
keberlanjutan kualitas air yang baik selama kegiatan pemeliharaan benih,
perlu dilakukan pemantauan dan rekayasa pada media pemeliharaan.
Pada pemeliharaan benih sistem indoor, untuk meningkatkan dan menstabilkan
suhu dilakukan dengan menggunakan pemanas ruangan atau pemanas
air. Untuk pengaturan cahaya ruangan diperlukan cahaya matahari untuk
menghangatkan ruangan pada ruang indoor dengan cara menggunakan atap
transparan. Untuk menurunkan padatan terlarut dan tersuspensi, dilakukan
dengan pemeliharaan benih menggunakan sistem resirkulasi. Demikian
juga untuk pengelolaan parameter kimia di indoor, seperti meningkatkan
102 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

kandungan oksigen terlarut, menstabilkan pH, dan menurunkan kandungan


senyawa nitrogen dapat dilakukan dengan sistem resirkulasi menggunakan
filter biologi. Teknologi pemeliharaan benih ikan baung dengan penggunaan
probiotik lingkungan mampu mendegradasi nitrogen dan fosfor sehingga
media pemeliharaan ikan menjadi tidak beracun. Selain itu, teknologi
penggunaan bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengatasi
masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pengolahan
limbah domestik secara konvensional (Avnimelech et al. 1992).

Pemeliharaan benih sistem outdoor


Pemeliharaan benih sistem outdoor lebih sulit untuk dibuat rekayasa lingkungan
dibandingkan pemeliharaan benih sistem indoor. Untuk mempertahankan
kestabilan suhu air dan menangkal intensitas sinar matahari yang terlalu
tinggi, kolam outdoor yang tidak terlalu luas dapat diberi naungan atap plastik
transparan, atau paranet. Sementara pada kolam yang lebih luas, perlu diberi
naungan langsung di perairan dengan memasukkan tanaman air. Untuk
menurunkan jumlah total padatan dan tersuspensi dengan cara memasukkan
tanaman air, seperti enceng gondok sehingga padatan tersuspensi/dalam
media budidaya akan terperangkap oleh akar enceng gondok dan mengendap
ke dasar perairan.
Pengaturan debit air dilakukan dengan cara pengaturan air masuk dan keluar
kolam dengan pemasangan paralon untuk saluran masuk dan keluar. Untuk
kegiatan pembenihan, debit air tidak perlu tinggi karena pakan ikan selain
pakan buatan juga masih mengandalkan pakan alami (fito dan zooplankton).
Jika debit air yang masuk ke kolam pemeliharaan tinggi, benih dan pakan
alami, serta mikroba yang diperlukan untuk kehidupan benih ikan akan
hanyut keluar dari kolam. Pada pemeliharaan benih semi intensif, pengaturan
debit air juga untuk mempertahankan kelimpahan plankton. Apabila kolam
pemeliharaan benih mengalami blooming plankton, debit air kolam perlu
diperbesar untuk membuang kelebihan plankton. Manipulasi lingkungan
untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas air pada pemeliharaan
benih ikan baung secara outdoor dapat dilakukan dengan menggunakan
sistem akuaponik. Berdasarkan uraian di atas maka beberapa aspek penting
kualitas air untuk pemeliharaan benih ikan baung yang perlu diperhatikan
adalah parameter fisika (suhu air, cahaya matahari, padatan tersuspensi, dan
103
KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG

debit air), parameter kimia (oksigen terlarut, karbon dioksida terlarut, pH,
nitrit, nitrat, total fosfat, alkalinitas, dan amonia), dan parameter biologi
(plankton). Parameter tersebut perlu diukur dan diketahui secara rutin karena
berpengaruh terhadap keberlanjutan hidup benih ikan baung.

DAFTAR PUSTAKA
Abbink W, Garcia AB, Roques JAC, Partridge GJ, Kloet K, Schneider O.
2011. The effect of temperature and pH on the growth and physiological
response of juvenile yellowtail kingfish Seriola lalandi in recirculating
aquaculture systems. Aquaculture 333: 130–135.
Ali M, Junianto RS. 2014. Pengaruh lanjut suhu pada penetasan telur terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan baung (Hemibagrus
nemurus). Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub Optimal Palembang,
301–308.
Avnimelech Y, Diab S, Kochva M, Mokady S. 1992. Control and utilization
of inorganic nitrogen in intensive fish culture pond. Aquaculture and
Fisheries Management 23: 421–430.
Bardach JE, Ryther JH, McLarney WO. 1972. Aquaculture: The farming and
husbandry of freshwater and marine organisms. New York. London.
Sydney. Toronto. 868p.
Barimani S, Kazemi MB, Hazaei K. 2013. Effects of different photoperiod
regimes on growth and feed conversion rate of young Iranian and
French rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). World Applied Sciences
Journal 21: 1440–1444.
Benli ACK, Kokasal G, Ozkul A. 2008. Sublethal ammonia exposure of Nile
tilapia Oreochromis niloticus L: Effects on gill, liver and kidney histology.
Chemosphere 72: 1355–1358.
Boeuf G, Le Bail PY. 1999. Does light have an influence on fish growth?
Aquaculture 177: 129–152.
Boyd CE. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Springer Science 2:
133–136.
Boyd CE. 2015. Water Quality: An Introduction, Second Edition. New York
(US): Springer Science.
104 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Bunasir S, Firdausi P, Widodo MN, Fahmi, Fauzan G. 2005.


Teknologi  budidaya ikan baung (Mystus nemurus C.V) skala usaha.
Makalah Seminar  Pertemuan Lintas UPT Lingkup Ditjen Perikanan
Budidaya, 11–14 Juli 2005 di Manado. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya.
Colt JE, Armstrong DA. 1981. Nitrogen toxicity to crustaceans, fish, and
molluscs.
Courtenay WR, Williams JD. 2004. Snakehead Pisces, Channidae: A Biological
Synopsis and Risk Assesment. US Geological Survey, US Geological
Survey Circular, Denver, Colo, USA. 155 p.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelola Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Jakarta (ID): Penerbit Kanisius. 258 p.
FAO. (2014). Small scale aquaponic food production integrated and fish
farming. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 589: 21-
34.
Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius.
192p.
Forteath N, Wee L, Frith M. 1993. The biological filter-structure and
function, p: 55-63. In Hart P, O’Sullivan D. (Eds). Recirculation System:
Design, Contruction and Management. Launceston (AU): University of
Tasmania. 134p.
Gorder SV. 2003. Small-scale aquaculture and aquaponics. Aquaponics Journal
7: 14–17.
Hamid SN, Fortes RD, Estepa FR. 1994. Effect of pH and ammonia on
survival and growth of the early larval stages of Penaeus monodon
Fabricius. Aquaculture 125: 67–72.
Heltonika B, Karsih OR. 2017. Pemeliharaan benih ikan baung (Hemibagrus
nemurus) dengan teknologi photoperiod. Berkala Perikanan Terubuk
45(1): 125–137.
Huet M. 1994. Textbook of Fish Culture Breeding and Cultivation of Fish.
Fishing News Book. 438p.
105
KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG

Kelabora DM. 2010. Pengaruh suhu terhadap kelangsungan hidup dan


pertumbuhan larva ikan mas (Cyprinus carpio). Berkala Perikanan
Terubuk 38(1): 71–81.
Kwong RWM, Kumai Y, Perry SF. 2014. The physiology of fish at low pH:
the zebrafish as a model system. Journal of Experimental Biology 217:
651–662.
Mallya YJ. 2017. The effects of dissolved oxygen on fish growth in aquaculture.
UNU-Fisheries Training Programme. 30p.
Masrizal, Azhari W, Azhar. 2001. Pengaruh suhu yang berbeda terhadap
hasil penetasan telur ikan patin (Pangasius sutchi Fow). Padang (ID):
Universitas Andalas.
Muflikhah N, Syarifah N, Aida SN. 1998. Domestikasi ikan baung (Mystus
nemurus). Jurnal Litbang Pertanian XVII(2): 72p.
Mustapha MK, Okafor BU, Olaoti KS, Oyelakin OK. 2012. Effects of three
different photoperiods on the growth and body coloration of juvenile
African catfish, (Burchell). Archives of Polish Fisheries 20: 55–59.
Oliveira EG, Pinheiro AB, Oliveira VQ, Junior AR, Moraes MG, Rocha
IR, Sousa RR, Costa FH. 2012. Effect of stocking density on the
performance of juvenile pirarucu Arapaima gigas in cages. Aquaculture
370: 96–101.
Putra I, Setiyanto DD, Wahyuningrum D. 2011. Pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan nila Oreochromis niloticus dalam sistem
resirkulasi. Jurnal Perikanan dan Kelautan 16(1): 56–63.
Rissik D, Suthers IM. 2009. The importance of plankton. In Suthers I, Rissik
D. (Eds). Plankton: A Guide to Their Ecology and Monitoring for Water
Quality. CSIRO Publishing. 1–3.
Setiyanto DD, Dongoran RK, Supriyono E. 2005. Pengaruh alkalinitas
terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan patin siam
(Pangasius sp). Jurnal Akuakultur Indonesia 4: 53–56.
Sonmez AY, Hisar O, Hisar SA, Alak G, Aras MS, Yanik T. 2009. The effects
of different photoperiod regimes on growth, feed conversion rate and
survival of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) fry. Journal of Animal
and Veterinary Advances 8: 760–763.
106 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Sukendi. 2002. Biologi reproduksi dan pengendaliannya upaya pembenihan


ikan baung (Mystus nemurus CV). [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sulastri, Meutia AA, Suryono T. 2007. Komposisi fitoplankton dan peluang
blooming Microcystis aeruginosa di Waduk Karangkates. Jawa Timur.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33: 1–16.
Sutisna DH, Sutarmanto R. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Yogyakarta
(ID): Penerbit Kanisius. 258p.
Tang UM. 2003. Teknik Budidaya Ikan Baung. Yogyakarta (ID): Penerbit
Kanisius. 85p.
Vardar H, Yıldırım S. 2012. Effects of long-term extended photoperiod on
somatic growth and husbandry parameters on cultured gilthead sea
bream (Sparus aurata, L.) in the net cages. Turkish Journal of Fisheries
and Aquatic Sciences 12: 225–231.
Yagci DD, Yigit M. 2009. Influence of increased photoperiods on growth,
feed consumption and survival of juvenile mirror carp (Cyprinus carpio
Linnaeus, 1758). Journal of Fisheries Sciences.com 3(2): 146–152.
PENYAKIT POTENSIAL
9.

PADA PEMBENIHAN IKAN


BAUNG (Hemibagrus nemurus)
DAN PENGENDALIANNYA
Taukhid, Desy Sugiani, dan Tuti Sumiati

Kegiatan budidaya ikan baung (Hemibagrus nemurus) di masyarakat terus


berkembang, baik yang dilakukan secara intensif maupun ekstensif. Selain
di kolam pekarangan, kolam irigasi, dan kolam tadah hujan, pembudidayaan
ikan baung dalam karamba jaring apung (KJA) di danau/waduk serta sungai
juga telah terbukti sebagai usaha ekonomi rakyat yang potensial dan terus
berkembang. Suhenda et al. (2010) menyatakan bahwa peningkatan animo
masyarakat terhadap jenis ikan ini harus dibarengi dengan pasokan benih yang
memenuhi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Pemenuhan terhadap ketiga
persyaratan tersebut memerlukan adanya program dan produksi benih ikan
baung yang terstandar dan terintegrasi, mulai dari sistem manajemen induk,
lingkungan/rekayasa budidaya, pakan, dan kesehatan. Terkait dengan masalah
kesehatan, secara konseptual munculnya penyakit pada ikan merupakan hasil
interaksi yang kompleks antara 3 biosistem dalam lingkungan budidaya, yaitu
ikan yang lemah akibat berbagai cekaman (stressor), patogen yang virulen,
dan kualitas lingkungan yang memburuk. Taukhid et al. (2012) dan Taukhid
(2017) menyatakan bahwa selama ini pengendalian penyakit pada budidaya
ikan lebih mengandalkan pada penggunaan bahan kimia/obat/antibiotik
yang sejatinya memiliki dampak negatif, baik terhadap lingkungan perairan,
ikan, maupun konsumen. Walaupun pada kondisi tertentu penggunaan
bahan-bahan pengendali penyakit tersebut masih diperlukan. Namun,
untuk menghindari munculnya dampak negatif yang ditimbulkan, sebelum
melakukan pengobatan perlu mempertimbangkan kaidah-kaidah pengobatan
penyakit ikan yang baik dan benar.
108 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Review penyakit potensial pada pembenihan ikan baung ini disarikan dari
kajian referensi serta hasil riset yang dilakukan Balai Riset Perikanan Budidaya
Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP). Menurut Taukhid (2017),
berdasarkan data/informasi dari kompilasi hasil pemeriksaan laboratoris pada
benih ikan baung, jenis-jenis penyakit infeksius utama yang sering ditemukan
dan mengakibatkan kematian antara lain: parasit (protozoa dan trematoda),
jamur, dan bakteri. Sementara penyakit non-infeksius yang sering terjadi
antara lain akibat kondisi kualitas air (suhu, oksigen terlarut, pH, amonia,
alkalinitas, dan kesadahan), serta malnutrisi. Selain pemaparan tentang jenis-
jenis penyakit potensial, alternatif pencegahan dan pengendaliannya juga
disampaikan secara teknis dan aplikatif.

PENYAKIT PADA PEMBENIHAN IKAN BAUNG


Gangguan penyakit pada pembenihan ikan baung linier dengan sistem
budidaya yang diterapkan. Semakin intensif sistem budidaya yang diterapkan,
maka semakin kompleks pula penyakit yang muncul, demikian pula sebaliknya.
Secara umum, penyakit pada pembenihan ikan baung dapat dikelompokkan
menjadi 2, yaitu penyakit infeksi dan non-infeksi.

1. Penyakit infeksi pada pembenihan ikan baung


Beberapa jenis penyakit infeksi yang potensial pada pembenihan ikan baung
sudah dimulai sejak stadia larva di unit pembenihan hingga ukuran siap tebar
di unit pembesaran. Pada stadia larva hingga ukuran benih sering ditemukan
adanya infeksi parasit (protozoa: Trichodina spp., Ichthyophthirius multifiliis,
Epistylis spp., Oodinium spp., dan metazoa: Dactylogyrus spp., Gyrodactylus
spp.), infeksi jamur (Saprolegniaceae), dan beberapa jenis bakteri: Aeromonas
hydrophila, A. sobria, Flavobacterium columnare, Pseudomonas spp., dan
beberapa jenis bakteri patogen lainnya (Lerssutthichawal 2008; Faruk dan
Anka 2017; Taukhid et al. 2018).
1.1 Parasit
Infeksi patogen parasitik jarang mengakibatkan wabah penyakit yang
sporadis. Namun pada intensitas serangan yang tinggi, hal itu bisa
saja terjadi. Akibat yang ditimbulkannya secara ekonomis cukup
merugikan. Selain dapat mengakibatkan kematian, hal tersebut juga
dapat menurunkan laju pertumbuhan, rasio konversi pakan yang kurang
109
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

efisien, menurunkan performance, serta ketahanan tubuh ikan sehingga


sering dimanfaatkan sebagai jalan masuk (port of entry) bagi infeksi
sekunder oleh patogen lain, seperti jamur dan bakteri (Faruk dan Anka
2017; Taukhid et al. 2018).
1.1.a Protozoa
Beberapa jenis protozoa parasitik yang umum menginfeksi dan
menimbulkan kerugian signifikan pada pembenihan ikan baung di
Indonesia, antara lain: Trichodina spp., Trichodinella spp., Tripartiella
spp., Ichthyopthirius multifiliis, dan/atau umum disebut “penyakit gatal”.
Infeksi jenis-jenis protozoa parasitik tersebut umumnya lebih banyak
ditemukan pada media budidaya yang mengandung total bahan organik
tinggi, relatif stagnan, serta padat tebar tinggi dan status kesehatan benih
yang kurang prima akibat nutrisi yang kurang berimbang. Trichodina
spp. sering ditemukan menginfeksi kulit, sirip, dan insang benih ikan
baung. Sementara dari genus Trichodinella spp. dan Tripartiella spp.
umumnya hanya ditemukan pada insang ikan. Ketiga genus protozoa
tersebut menempel dan merusak sel epitel atau epidermal pada tubuh
benih ikan sehingga menimbulkan iritasi yang serius dan selanjutnya
digunakan sebagai pintu masuk bagi bakteri atau jamur. Gejala klinis
yang dapat digunakan sebagai diagnosa presumtif akibat infeksi parasit
ini, antara lain ikan tampak pucat, nafsu makan menurun, gerakan
lambat, dan sering menggosok-gosokkan tubuhnya pada dinding kolam.
Pada infeksi lanjut, sirip kuncup, megap-megap dan meloncat-loncat ke
permukaan air, serta adanya hemoragi/pendarahan pada pangkal sirip
(Lom dan Dykova 1992; Faruk dan Anka 2017; Taukhid 2017).
Ichthyophthirius multifiliis atau biasa disebut ”Ich” atau “penyakit bintik
putih” merupakan salah satu jenis parasit yang paling sering menjadi
kendala pada pembenihan ikan baung. Parasit tersebut lebih sering
muncul pada saat suhu air budidaya relatif rendah secara berkelanjutan
(22–27°C) sehingga sering disebut “parasit musim dingin”. Sifat
serangannya sangat sporadis karena memiliki kemampuan multiplikasi
yang sangat cepat, dan kematian yang diakibatkannya dapat mencapai
100% dari seluruh populasi dalam tempo yang relatif singkat. Gejala
klinis yang dapat digunakan sebagai diagnosa presumtif akibat infeksi
parasit ini, antara lain: (1) Ikan tampak pucat, nafsu makan berkurang,
gerakan lambat dan sering menggosok-gosokkan tubuhnya pada dinding
110 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

kolam. Pada infeksi lanjut, ikan tampak megap-megap dan meloncat-


loncat ke permukaan air untuk mengambil oksigen; dan (2) Gejala khas
infeksi parasit ini adalah adanya bercak-bercak putih pada permukaan
tubuh ikan.
1.1.b Metazoa
Parasit dari golongan metazoa yang sering dilaporkan menginfeksi dan
menimbulkan kerugian pada pembenihan ikan baung di Indonesia adalah
cacing monogenea (Dactylogyrus spp., Gyrodactylus spp.,) atau sering
disebut cacing insang dan cacing kulit/sirip. Cacing insang (Dactylogyrus
sp.) merupakan cacing kecil yang bersifat ektoparasit, berkembang biak
dengan cara bertelur, dan dalam siklus hidupnya hanya memerlukan satu
inang yaitu ikan, dan organ yang menjadi target infeksi adalah insang
ikan. Penularan terjadi secara horizontal, terutama pada saat cacing dalam
fase berenang bebas (Onchomiracidium) yang sangat infektif. Gejala
klinis akibat infeksi kelompok parasit ini yang dapat digunakan sebagai
diagnosa presumtif, antara lain: (1) Ikan tampak lemah, tidak nafsu
makan, pertumbuhan lambat, tingkah laku dan berenang tidak normal,
disertai produksi lendir yang berlebihan. Ikan sering terlihat mengumpul
di sekitar air masuk, karena pada daerah ini kualitas air terutama kadar
oksigen lebih tinggi; dan (2) Insang tampak pucat dan membengkak
sehingga operkulum terbuka. Kerusakan pada insang menyebabkan ikan
sulit bernapas sehingga tampak megap-megap seperti gejala kekurangan
oksigen (Lerssutthichawal dan Hong 2005; Maika et al. 2013; Solichah
et al. 2014; Faruk dan Anka 2017; Taukhid 2017).
Cacing kulit (Gyrodactylus sp.) bentuknya mirip Dactylogryrus sp. Namun
apabila diamati secara mikroskopis terlihat perbedaan yang sangat
signifikan. Beberapa karakter yang paling mudah untuk membedakan
Gyrodactylus sp. dengan Dactylogyrus sp., antara lain tonjolan pada ujung
kepala hanya 2 buah, tidak memiliki mata, dan berkembang biak dengan
cara beranak (keturunan ke-1 dan bahkan keturunan ke-2 kadang dapat
dilihat dengan jelas). Organ yang menjadi target infeksi adalah kulit dan
sirip ikan. Gejala klinis akibat infeksi parasit ini yang dapat digunakan
sebagai diagnosa presumtif diagnosa, antara lain: (1) Ikan tampak lemah,
tidak nafsu makan, pertumbuhan lambat, tingkah laku dan berenang
tidak normal, disertai produksi lendir yang berlebihan; (2) Peradangan
pada kulit sehingga tubuh ikan tampak gelap, sering menggosok-gosokkan
111
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

badannya pada benda di sekitarnya, dan sering disertai warna kemerahan


di sekitar lokasi penempelan parasit; dan (3) Pada infeksi berat, terkadang
parasit ini dapat dilihat dengan mata telanjang di permukaan kulit ikan.
Cacing tersebut menempel dan merusak sel epitel atau epidermal tubuh
ikan sehingga menimbulkan iritasi yang serius dan selanjutnya digunakan
sebagai pintu masuk bagi bakteri atau jamur.
1.2 Jamur
Infeksi jamur pada pembenihan ikan baung umumnya merupakan infeksi
sekunder, meskipun ada beberapa jenis jamur yang bersifat obligate parasite
seperti Aphanomycosis. Namun selama ini belum ada laporan penyakit
pada ikan baung yang disebabkan oleh jenis jamur tersebut. Penyakit
jamur yang sering dilaporkan menjadi kendala pada pembenihan ikan
baung adalah dari famili Saprolegniaceae (Saprolegnia sp. dan Achlya sp.)
(Lerssutthichawal 2008; Taukhid et al. 2018).
Saprolegniasis disebabkan oleh jamur Saprolegnia sp. dan Achlya
sp. Beberapa faktor yang memicu terjadinya infeksi jamur, antara
lain: penanganan yang kurang baik (terutama transportasi) sehingga
menimbulkan luka pada tubuh ikan, kekurangan gizi, suhu, dan oksigen
terlarut yang rendah, bahan organik tinggi, kualitas telur buruk/tidak
terbuahi, kepadatan telur pada saat penetasan terlalu tinggi, serta
adanya iritasi/luka akibat infeksi parasit. Penyakit ini terutama menular
melalui spora di air. Gejala klinis yang dapat digunakan sebagai diagnosa
sementara adalah terlihat adanya benang-benang halus menyerupai kapas
yang menempel pada telur atau luka pada bagian eksternal ikan.
1.3 Bakteri
Lusiastuti dam Taukhid (2013) dan Taukhid et al. (2015) menyatakan
bahwa penyakit bakterial merupakan jenis penyakit yang banyak
dilaporkan sebagai penyebab kegagalan usaha perikanan. Dua jenis
penyakit bakterial yang sering ditemukan pada pembenihan ikan baung
adalah “penyakit merah” dan “penyakit columnaris”. Penyakit merah
disebabkan oleh bakteri gram negatif (Aeromonas hydrophila dan/atau ko-
infeksi A. hydrophila dan A. sobria). Infeksi bakteri ini biasanya berkaitan
dengan kondisi stres akibat berbagai faktor seperti kepadatan, malnutrisi,
penanganan kurang baik (handling and transportation), infeksi parasit,
eutrofik, oksigen rendah, kualitas air yang buruk, fluktuasi suhu air yang
112 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

signifikan, pemijahan, dan lain-lain. Sifat serangan umumnya sub-akut


sampai akut, namun apabila kondisi lingkungan terus merosot pada saat
terjadi kasus, kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%. Gejala
klinis “penyakit merah” sangat bervariasi. Mula-mula warna tubuh kusam/
gelap, nafsu makan menurun, mengumpul dekat saluran pembuangan,
kulit kasat, dan ekses lendir. Selanjutnya terlihat perdarahan pada tubuh
ikan, baik pada pangkal sirip, ekor, sekitar anus, dan bagian tubuh yang
lain. Kemudian sisik lepas, luka, dan akhirnya menjadi borok. Pada
infeksi berat, perut lembek, dan bengkak (dropsy) yang berisi cairan
merah kekuningan. Ikan mati lemas sering ditemukan di permukaan
maupun dasar kolam.
Penyakit columnaris atau luka kulit, sirip, dan insang disebabkan oleh
infeksi bakteri Flavobacterium columnare (sebelumnya dikenal Flexibacter
columnaris). Seperti halnya penyakit merah, infeksi bakteri F. columnare
umumnya berkaitan dengan kondisi stres akibat berbagai faktor, fluktuasi
suhu air yang signifikan, dan kualitas air yang buruk. Kasus penyakit ini
sering terjadi pada kelompok ikan yang baru datang (pascatransportasi).
Gejala klinis awal biasanya terjadi luka di sekitar mulut, kepala, badan, atau
sirip yang berwarna putih kecokelatan, kemudian berkembang menjadi
borok. Infeksi di sekitar mulut terlihat seperti diselaputi benang (thread-
like) sehingga awalnya disebut penyakit “jamur mulut” (mouth fungus)
meskipun penyebab yang sebenarnya adalah bakteri. Di bagian pinggir
luka tertutup oleh lendir berwarna kuning cerah. Apabila bakteri tersebut
menginfeksi insang, respons pertama adalah ekses lendir, kerusakan dimulai
dari ujung filamen insang, dan merambat ke bagian pangkal, akhirnya
filamen membusuk dan rontok (gill rot). Selain insang, apabila bakteri ini
menginfeksi sirip maka sering dicirikan dengan rontok sirip (fin rot). Sifat
serangan umumnya sub akut sampai akut, apabila insang yang dominan
sebagai organ target, ikan mati lemas dan kematian yang ditimbulkannya
dapat mencapai 100%.

2. Penyakit non-infeksi pada pembenihan ikan baung


2.1 Penyakit akibat faktor lingkungan
Penyakit non-infeksi akibat faktor lingkungan pada pembenihan ikan
baung yang sering menjadi pemicu terjadinya cekaman (stress), bahkan
mengakibatkan kematian, antara lain: deplesi oksigen terlarut, fluktuasi
113
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

suhu dan pH, serta tingginya kadar amonia dalam media pemeliharaan
(Taukhid et. al. 2018). Meskipun penyakit akibat faktor lingkungan
tidak menular, namun efeknya cukup serius karena dampak negatif
(fisiologis) serta kematian yang terjadi berlangsung sangat singkat dan
umumnya mematikan seluruh populasi ikan. Kisaran parameter kualitas
air (fisika-kimia) yang optimal untuk pembenihan ikan baung disajikan
pada Tabel 9.1.

Tabel 9.1 Kisaran kualitas air (fisika-kimia) determinan yang optimal untuk
pembenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus)
Kisaran Lebih rendah dari Lebih tinggi dari
Parameter
optimal kisaran optimal kisaran optimal
Oksigen ≥4 mg/L 0–1,5 mg/L merupakan Trauma emboli gas
terlarut hingga level konsentrasi lethal, (gas bubble trauma)
(mg/L) jenuh untuk terutama apabila apabila kadar oksigen
telur, larva, dan berlangsung lama super-saturasi hingga
benih mencapai 300% atau
1,4–5 mg/L-ikan bertahan
lebih
Sejalan dengan hidup, tetapi nafsu makan
pertumbuhan menurun, rasio konversi
ikan, alat pakan tinggi, tumbuh
pernafasan lambat, stres, peka
tambahan terhadap infeksi patogen.
berkembang
Penumpukan limbah
dan mampu
toksik karena proses
mengambil
dekomposisi tidak
oksigen dari
berlangsung (non-oxidised)
permukaan
air pada saat
konsentrasi
oksigen di
dalam air
relatif rendah.
Namun,
idealnya pada
pembesaran,
konsentrasi
oksigen terlarut
tetap pada level
optimal
114 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Tabel 9.1 Kisaran kualitas air (fisika-kimia) determinan yang optimal untuk
pembenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus) (lanjutan)
Kisaran Lebih rendah dari Lebih tinggi dari
Parameter
optimal kisaran optimal kisaran optimal
Suhu (oC) 26–32°C <15°C pertumbuhan ikan Kelarutan oksigen
terhenti dan mungkin lebih rendah, stres
dapat mengakibatkan dan pada suhu
kematian ekstrem panas dapat
mengakibatkan
15–26°C nafsu makan dan
kematian ikan
pertumbuhan menurun,
rasio konversi pakan tinggi
Umumnya ikan lebih
stress pada suhu rendah,
sehingga lebih rentan
terhadap penyakit
Pada suhu rendah, proses
dekomposisi bahan
organik melambat, dan
berisiko terjadinya lewat
subur (eutrophication)
pH 6,5–9 < 4, berpotensi 9–11 stres berat
(maksimum) mematikan ikan (acid bagi ikan, laju
death point) pertumbuhan rendah
4–6, ikan mampu > 11, berpotensi
bertahan hidup tetapi mematikan ikan
stres, lambat tumbuh, (alkaline death point).
nafsu makan menurun, Semua organisme
dan FCR tinggi dalam kolam, termasuk
bakteri akan mati pada
Proporsi Total Ammonium
pH tersebut
Nitrogen (TAN) dalam
bentuk terionisasi lebih Proporsi Total
tinggi, dan sifat toksiknya Ammonium Nitrogen
lebih rendah (TAN) dalam bentuk
tidak terionisasi
pH rendah merupakan
lebih tinggi, dan sifat
indikator tingginya kadar
toksiknya lebih tinggi
karbon dioksida terlarut
115
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

Tabel 9.1 Kisaran kualitas air (fisika-kimia) determinan yang optimal untuk
pembenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus) (lanjutan)
Kisaran Lebih rendah dari Lebih tinggi dari
Parameter
optimal kisaran optimal kisaran optimal
Alkalinitas Alkalinitas Fluktuasi pH ekstrem, Penyangga pH air,
dan >20 ppm ikan stres fluktuasi kecil
Kesadahan Kesadahan >20
Ikan dalam kondisi Ikan umumnya
(mg/L) ppm
tercekam (fisiologi) “nyaman”
Total alkalinitas
dan total Produksi primer kolam Produksi primer relatif
kesadahan rendah, miskin pakan tinggi (pakan alami
lebih dari 60 alami melimpah, untuk
ppm masih benih)
ditoleransi oleh Untuk hatchery patin,
benih baung sebaiknya dihindari
Total Tidak lebih Ikan nyaman apabila Lebih peka terhadap
Ammonia dari 0,3 mg/L kadar amonia sangat infeksi parasit
Nitrogen dalam bentuk rendah (terutama trematoda)
(TAN) toksik (amonia) Ikan kesulitan untuk
(mg/L) Proporsi mengeluarkan amonia
TAN dalam dari darah karena
bentuk amonia kadar amonia di air
cenderung sudah tinggi
meningkat
sejalan dengan
kenaikan pH di
atas 7
Sumber: Taukhid (2017)

2.1.a Deplesi oksigen


Kekurangan oksigen terlarut sering menjadi masalah pada pembenihan
ikan baung. Pada sistem pembenihan yang sepenuhnya dilakukan secara
indoor, kondisi ini umumnya terjadi akibat peningkatan biomassa sebagai
konsekuensi dari pertumbuhan ikan yang tidak diimbangi dengan
peningkatan pasokan oksigen. Sementara pada sistem pembenihan yang
dilakukan secara outdoor, kondisi ini umumnya terjadi menjelang pagi
hari di kolam/bak yang memiliki populasi fitoplankton tinggi, atau pada
saat tekanan atmosfer rendah dan tidak ada cahaya matahari karena
tertutup awan dalam tempo yang cukup lama.
116 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

2.1.b Fluktuasi suhu air yang ekstrem


Perubahan suhu air yang ekstrem akan merusak keseimbangan hormonal
dan fisiologis tubuh ikan, serta pada umumnya ikan tidak mampu untuk
beradaptasi terhadap perubahan ini yang berakibat stres bahkan kematian
mendadak. Sebagian besar ikan budidaya memiliki kemampuan yang
tinggi untuk hidup pada kisaran suhu air yang cukup luas yang sulit
untuk ditoleransi adalah fluktuasi suhu yang tinggi dalam tempo yang
relatif singkat. Kondisi ini sangat sensitif, terutama bagi larva dan benih
ikan.
2.1.c Keracunan nitrit
Keracunan nitrit atau methemoglobinemia atau penyakit darah cokelat
adalah penyakit yang disebabkan oleh konsentrasi nitrit yang tinggi di
dalam air. Sumber nitrit terutama berasal dari hasil metabolisme protein
pakan oleh ikan. Unsur nitrogen yang dihasilkan oleh tubuh ikan adalah
amonia. Pada saat amonia dilepas ke air, selanjutnya dioksidasi oleh
bakteri Nitrosomonas yang mampu merubah amonia menjadi nitrit. Nitrit
selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Apabila
pakan ikan terlalu intensif atau Nitrobacter kurang efektif mengoksidasi
nitrit menjadi nitrat, konsentrasi nitrit meningkat dan selanjutnya
menjadi masalah bagi ikan. Nitrit akan bersifat toksik bagi ikan pada
konsentrasi 0,5 ppm.
Gejala klinis yang tampak pada kondisi keracunan nitrit, antara lain ikan
terlihat lemas, meloncat ke permukaan air atau berkumpul di saluran
pemasukan air, dan insang berwarna merah kecokelatan karena darah
tidak berfungsi membawa oksigen sehingga ikan seperti tercekik.
2.1.d Keracunan amonia
Amonia terdapat dalam dua bentuk, yaitu yang tidak terionisasi dan
sangat beracun (NH3), serta yang terionisasi dan kurang beracun (NH4+).
Mekanisme keracunan amonia berlangsung seperti halnya keracunan
nitrit, umumnya akibat pemberian pakan yang berlebihan atau bahan
organik. Sementara populasi bakteri pengurai nitrogen yang ada tidak
mencukupi. Daya racun amonia sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu
air. Semakin tinggi pH atau suhu air, maka makin tinggi pula daya racun
amonia.
117
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

Gejala klinis yang tampak pada kondisi keracunan amonia secara umum
hampir sama dengan keracunan nitrit, yaitu ikan terlihat lemas dan
meloncat ke permukaan air atau berkumpul di saluran pemasukan air
karena lapisan epitel pada filamen insang tidak berfungsi melakukan
proses difusi.
2.1.e Emboli gas (Gas Bubble Disease)
Emboli gas adalah kondisi di mana konsentrasi gas lewat jenuh yang
ada dalam air keluar dari larutan dan membentuk emboli gas dalam
tubuh ikan. Emboli gas tersebut mungkin terjadi di bawah kulit atau
dalam pembuluh darah. Emboli di bawah kulit merusak kekompakan
kulit sebagai pertahanan utama terhadap infeksi patogen serta menjaga
keseimbangan osmotik. Sementara emboli pada pembuluh darah akan
membendung aliran darah, terutama pada insang ikan.
2.2 Penyakit malnutrisi
Penyakit akibat malnutrisi umumnya jarang menunjukkan gejala yang
spesifik sehingga relatif sulit dalam mendiagnosis penyebab utamanya.
Meskipun demikian, defisiensi unsur tertentu dalam diet pakan berakibat
kelainan morfologis dan fungsi fisiologis, misalnya: (1) Defisiensi asam
pantothenic adalah penyakit proliferasi jaringan insang ikan, dengan
gejala klinis: insang terlihat lunak dan kesulitan bernapas yang diikuti
dengan kematian; (2) Defisiensi vitamin A sering menunjukkan gejala:
pertumbuhan lamban, kornea mata lunak, mata menonjol/buta,
serta terjadi perdarahan pada kulit dan ginjal; (3) Defisiensi vitamin
B-1 (Thiamin) sering menunjukkan gejala: kehilangan nafsu makan,
perdarahan dan penyumbatan pembuluh darah, serta nervous; (4)
Defisiensi asam lemak esensial sering menunjukkan gejala: erosi sirip,
infiltrasi lemak dalam kulit, serta minimnya pigmentasi pada tubuh
ikan.
Defisiensi vitamin C merupakan penyakit yang umum terjadi, akibat
yang paling populer adalah “broken back syndrome” seperti skoliosis
dan lordosis. Vitamin C sangat berperan dalam: (1) proses osifikasi
atau konversi tulang rawan menjadi tulang sejati, (2) sebagai ko-enzim
reaksi biokimia dalam tubuh, (3) meningkatkan ketahanan tubuh
(imunitas) terhadap penyakit infeksius, (4) mencegah pengaruh negatif
akibat gangguan lingkungan atau stres, serta (5) mempercepat proses
penyembuhan luka.
118 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

2.3 Penyakit genetis


Perkawinan sekerabat (inbreeding) yang berlangsung terus menerus
berdampak pada penurunan variasi genetik dalam tubuh ikan, antara
lain: (1) pertumbuhan yang lambat (kuntet) dan variasi ukuran yang
luas (blantik), (2) lebih sensitif terhadap infeksi patogen, (3) organ
tubuh invalid, seperti operkulum yang tidak tertutup sempurna, tubuh
bengkok, atau tidak memiliki salah satu sirip.

PENGENDALIAN PENYAKIT
PADA PEMBENIHAN IKAN BAUNG
Beberapa teknik pengendalian untuk mengurangi kerugian pada saat terjadi
kasus penyakit infeksius pada pembenihan ikan baung menurut Taukhid
(2018), sejatinya dapat dilakukan melalui beberapa tindakan, antara lain:
(1) Mengurangi porsi pakan. Pada saat terjadi kasus penyakit infeksius,
multiplikasi organisme patogen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan
organik, baik yang berasal dari pakan yang tidak termakan ataupun dari
kotoran ikan; (2) Mengurangi kepadatan ikan per satuan luas dan/atau volume
air. Pengurangan kepadatan berdampak langsung terhadap level cekaman
dan konsentrasi patogen dalam populasi ikan tersebut. Menjaga/menambah
kadar oksigen terlarut di atas konsentrasi sub-optimal dapat meningkatkan
kenyamanan dan mempercepat proses penyembuhan; (3) Menstabilkan
fluktuasi parameter kualitas air, terutama suhu dan pH antara siang dan
malam. Suhu air yang terlalu panas mempercepat proses multiplikasi bakteri
dan dapat mengakibatkan ikan tercekam. Pada kondisi kolam yang terkendali,
dapat dilakukan pergantian air yang cukup dan/atau sistem resirkulasi, atau
memberikan sebagian penutup (sunscreens) pada kolam pemeliharaan; (4)
Pengobatan dengan bahan kimia/antibiotik.
Berdasarkan pengalaman, penggunaan bahan kimia/antibiotik untuk
pengendalian penyakit infeksius pada pembenihan ikan baung dapat
memberikan hasil yang baik apabila dilakukan sedini mungkin pada saat gejala
klinis sudah tampak pada kurang dari 10% populasi. Pembudidaya sering
melaporkan bahwa penggunaan bahan kimia/antibiotik hanya membantu
selama periode aplikasi. Setelah aplikasi berakhir, kematian yang terjadi justru
semakin meningkat. Fenomena ini yang sering memicu pembudidaya untuk
mengaplikasikan bahan kimia/antibiotik pada periode yang panjang dengan
dosis yang lebih tinggi dari yang direkomendasikan.
119
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

3.1 Pengobatan penyakit pada benih ikan baung


3.1.1 Prinsip-prinsip pengobatan penyakit ikan
Taukhid (2018) menyatakan bahwa tindak pengobatan merupakan
salah satu dari sekian banyak cara pengendalian penyakit, dan sebaiknya
tindakan ini selalu menjadi pilihan terakhir setelah usaha pencegahan
gagal dilakukan. Sebelum melakukan tindak pengobatan, maka perlu
mempertimbangkan beberapa hal untuk memperoleh hasil yang paling
optimal, antara lain:
(1) Ketepatan diagnosa terhadap patogen penyebab penyakit. Hasil
diagnosa yang salah mengakibatkan tindak pengobatan yang sia-
sia. Sering terjadi, pembudidaya ikan hanya mengandalkan satu
jenis obat/antibiotik (misalnya obat A) untuk menanggulangi
segala macam masalah penyakit yang terjadi pada ikan yang
dibudidayakan. Diagnosa yang tepat dan cepat memudahkan kita
untuk mengambil tindakan yang tepat dan efisien.
(2) Jenis obat/antibiotik yang hendak digunakan. Dosis efektif serta
dampak terhadap lingkungan perairan juga harus diketahui.
Dosis obat yang diberikan harus sesuai dengan petunjuk, karena
penggunaan dosis yang terlalu rendah kemungkinan besar tidak
akan efektif untuk menanggulangi penyakit begitu pula sebaliknya,
penggunaan dosis yang terlalu tinggi hanyalah pemborosan.
Pembudidaya juga sebaiknya mengetahui dampak negatif dari
obat yang digunakan terhadap lingkungan perairan dan kesehatan
manusia sehingga aplikasinya lebih hati-hati.
(3) Kemudahan memperoleh obat/antibiotik serta harga yang
terjangkau. Sering terjadi, berdasarkan hasil riset, jenis obat/
antibiotik tertentu memiliki efektivitas yang baik. Namun untuk
mendapatkan jenis obat tersebut tidaklah mudah dan harganya
relatif mahal. Apabila hal ini terjadi, maka sebaiknya pembudidaya
segera menentukan pilihan untuk mencari jenis obat/antibiotik
yang memiliki potensi yang hampir sama namun mudah diperoleh
dan harganya relatif murah.
120 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

(4) Withdrawal time, yaitu batas akhir pemberian obat sebelum


ikan boleh dipanen/dikonsumsi. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari residu antibiotik pada daging ikan. Waktu tenggang
ini umumnya berkisar antara 2–4 minggu, tergantung jenis
antibiotik.
(5) Kemungkinan keberhasilan (probability of success) dari tindak
pengobatan. Hal ini lebih didasarkan pada pengalaman empiris,
intensitas serangan penyakit, serta kondisi ikan. Apabila intensitas
serangan masih rendah dan kemungkinan keberhasilan tinggi,
segeralah lakukan upaya pengobatan. Namun, apabila dalam
satu populasi ikan intensitas penyerangan sudah lebih dari 75%,
dan jika dilakukan pengobatan tingkat keberhasilannya sangat
kecil, serta secara ekonomi tidak menguntungkan karena biaya
pengobatan lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual ikan,
segeralah dilakukan pemanenan apabila ukurannya sudah layak
jual. Namun apabila tidak layak jual, segeralah lakukan eradikasi
total.
(6) Teknik pengobatan yang hendak diterapkan. Sedikitnya, ada tiga
keuntungan dari penggunaan obat/antibotik yang rasional, yaitu
(1) efektivitas obat terhadap patogen target, (2) terhindarinya
resistensi mikroba terhadap antibiotik, dan (3) keuntungan
ekonomis.
3.1.2 Teknik pengobatan penyakit ikan
Banyak metode yang dapat dilakukan untuk melakukan pengobatan
ikan. Aplikasi metode disesuaikan dengan keadaan/sistem budidaya
(akuarium, kolam, atau karamba), jumlah, ukuran dan umur ikan, serta
pertimbangan ekonomi. Teknik pengobatan melalui perendaman (bath
treatment) dan pemberian obat melalui pakan (per oral) merupakan cara
yang paling umum dilakukan. Meskipun teknik pengobatan melalui
penyuntikan juga sering dilakukan, terutama terhadap ikan yang
berukuran relatif besar, ekonomis tinggi, dan jumlahnya relatif sedikit.
Taukhid (2018) merangkum teknik pengobatan penyakit ikan yang
dianggap cukup aplikatif diterapkan pada budidaya ikan air tawar.
121
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

3.1.2.a Melalui perendaman


Pengobatan dengan cara perendaman dapat dilakukan secara langsung
di kolam, akuarium, atau secara tidak langsung dengan menggunakan
wadah lain. Teknik pengobatan melalui perendaman sendiri sebetulnya
dapat dibagi menjadi beberapa teknik, antara lain:
(1) Pencelupan (dips), pengobatan dilakukan pada dosis obat yang
tinggi misalnya dalam larutan lysol 0,2% atau 2.000 ppm selama
5–15 detik yang bertujuan untuk pengendalian protozoa dan
Gyrodactylus; atau larutan PK pada konsentrasi 1.000 ppm selama
30 detik untuk menanggulangi infeksi Argulus sp. serta beberapa
jenis protozoa.
(2) Perendaman jangka pendek (short bath), pengobatan dilakukan
pada dosis obat relatif tinggi dalam tempo yang agak lama, misalnya
dalam larutan garam dapur pada konsentrasi 2–5 % selama 10–15
menit untuk menanggulangi beberapa ekto parasit seperti protozoa,
cacing, dan jamur untuk ikan-ikan berukuran besar. Sementara
untuk ikan-ikan kecil konsentrasinya lebih rendah, yaitu antara
1–1,5% selama 20 menit untuk tujuan serupa. Bahan kimia yang
sering digunakan untuk pengobatan dengan teknik ini antara lain:
formalin dan methylene blue, tentu saja dengan dosis efektif yang
berbeda-beda.
(3) Perendaman jangka panjang (long bath), umumnya dilakukan di
dalam akuarium, wadah lain (bak beton, kontainer, dan lain-lain),
atau kolam dan secara singkat akan dijelaskan sebagai berikut.
Perendaman secara langsung di kolam dilakukan dengan cara
menuangkan larutan obat ke dalam kolam sesuai dosis yang telah
ditentukan. Sementara perendaman tidak langsung dilakukan dengan
cara mengambil ikan yang sakit dari kolam, kemudian direndam di
dalam wadah lain (misalnya bak beton, kontainer yang terbuat dari fiber
glass atau ember). Perendaman secara langsung biasanya dilakukan bila
jumlah ikan yang sakit cukup banyak. Sebaliknya bila jumlah ikan yang
sakit relatif sedikit, perendaman dapat dilakukan dalam wadah lain.
Khusus pengobatan yang dilakukan secara langsung di kolam, terutama
kolam tanah, meskipun aplikasinya relatif mudah dan diperlukan
lebih sedikit proses penanganan, namun sebetulnya tidak mudah
122 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

untuk menghitung secara tepat berapa jumlah obat yang seharusnya


dimasukkan ke dalam kolam. Karena aplikasi teknik ini tidak hanya
sulit dalam proses pencampuran agar konsentrasi obat merata di setiap
kolom air, tetapi juga kemungkinan terjadinya perubahan komposisi
obat sebagai hasil interaksi antara air kolam dengan obat atau antara
obat dengan substrat, serta unsur-unsur organik dan anorganik yang
ada di dalamnya. Tentu saja, obat/antibiotik yang dimasukkan ke dalam
kolam tidak hanya beraksi terhadap ikan dan patogen yang menjadi
target pengobatan, namun juga terhadap organisme lain yang sebetulnya
turut mendukung keseimbangan ekosistem kolam. Untuk menghindari
masalah-masalah tersebut, pengobatan melalui teknik perendaman
tidak langsung nampaknya dapat dijadikan pilihan.
Dosis pengobatan melalui teknik perendaman biasanya dinyatakan
dalam satuan ppm (part per million); 1 ppm = 1 mg obat/L air atau 1
gram obat/m3 air untuk obat serbuk/padat, sementara untuk obat bentuk
cair 1 ppm = 1 mL obat/m3 air. Sering pula dosis obat dinyatakan dalam
persen larutan (%). Misalnya betadin 10%, artinya betadin 10 bagian
dicampur dengan air 90 bagian atau 1:10.
Apabila sediaan obat (stock solution) telah diketahui konsentrasinya,
misalnya larutan methylene blue 10.000 ppm (mg/L), maka untuk
membuat larutan agar sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan
dapat dilakukan pengenceran dengan menggunakan formulasi V1.N1
= V2.N2, di mana V1 = volume obat (stock solution) yang harus
ditambahkan, N1 = konsentrasi awal obat yaitu 10.000 ppm, V2 =
volume air yang hendak dicampur dengan obat, dan N2 = konsentrasi
akhir yang ingin dicapai sesuai dengan dosis pengobatan efektif.
Lama perendaman tergantung pada jenis dan konsentrasi obat.
Perendaman di kolam ada yang dapat dilakukan terus menerus tanpa
perlu menganti air kolam (indefinite treatment) dan ada pula yang harus
mengganti air kolam setelah waktu tertentu, misalnya beberapa jam
atau beberapa hari setelah aplikasi. Pergantian air dilakukan dengan cara
membuang air yang mengandung obat dan menggantinya dengan air
baru, dan volumenya berkisar antara 25–75%.
123
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

Selain itu, sebelum aplikasi obat secara langsung, baik di kolam ataupun
di wadah lain, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu langkah-langkah
sebagai berikut:
(1) Tidak memberi pakan kepada ikan selama 6–24 jam sebelum
aplikasi obat. Memuasakan ikan sebelum pengobatan bertujuan
untuk mengurangi konsumsi oksigen dan produksi amonia.
Beberapa jenis obat/antibiotik bersifat mereduksi kemampuan air
untuk mengikat oksigen terlarut. Hal ini juga untuk mengantisipasi
efek negatif akibat aplikasi obat terhadap ikan (stres), di mana
pada kondisi tersebut ikan memerlukan oksigen yang lebih tinggi
dibandingkan pada kondisi normal. Apabila memungkinkan,
tingkat kesadahan dan pH air juga sebaiknya diperhatikan karena
kesadahan dan pH air yang rendah umumnya akan meningkatkan
sifat toksik beberapa jenis obat.
(2) Menggunakan wadah plastik untuk mencampur obat terlebih
dahulu, hindari penggunaan wadah yang terbuat dari logam
galvanis untuk mencampur obat.
(3) Mengecek kembali perhitungan dosis obat yang tepat sesuai
dengan volume air yang hendak dimasuki obat.
(4) Melakukan pengobatan pada saat suhu air terendah, umumnya
pada pagi atau malam hari.
(5) Melakukan percobaan pengobatan pada skala kecil terlebih dahulu
(ember/bak) dengan beberapa ekor ikan, sebelum melakukan
pengobatan yang sesungguhnya pada wadah yang lebih besar
(kolam).
(6) Apabila ikan terinfeksi patogen yang kompleks, misalnya parasit
insang dan bakteri, maka pengobatan untuk membasmi parasit
tersebut harus didahulukan. Setelah terlihat berhasil, barulah
dilakukan untuk jenis patogen lainnya.
(7) Evaluasi hasil percobaan pengobatan selama 12–24 jam, sebelum
betul-betul melakukan pengobatan di kolam.
(8) Perhatikan kondisi ikan secara rutin selama pengobatan dan segera
ambil tindakan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
(keracunan, overdosis, kematian, dan lain-lain).
124 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

(9) Pengobatan ulang sebaiknya hanya dilakukan apabila memang


benar-benar diperlukan.
3.1.2.b Melalui pakan
Pengobatan melalui pakan merupakan salah satu metode yang sering
dilakukan karena sedikit sekali menimbulkan stres pada ikan. Tetapi pada
kenyataannya, metode ini hanya efektif pada tahap awal infeksi patogen,
di mana ikan masih memiliki nafsu makan. Pada infeksi lanjut, nafsu
makan ikan sangat rendah dan bahkan sama sekali tidak mau makan
sehingga tidak dapat dilakukan pengobatan melalui teknik ini.
Pengobatan melalui pakan ini biasanya digunakan untuk obat-obatan
jenis antibiotik. Dosis obat biasanya dinyatakan dalam mg obat/kg pakan
(bila ikan berukuran kecil dan dalam jumlah banyak) atau mg obat/kg
bobot tubuh ikan (bila ikan berukuran besar). Contoh penghitungan
obat yang diberikan melalui pakan dengan dosis obat mg/kg pakan dan
dosis obat dalam satuan mg/kg bobot tubuh ikan.
Contoh penghitungan obat yang diberikan melalui pakan dengan dosis
obat mg/kg pakan.
1. Hasil diagnosa telah diketahui bahwa populasi ikan yang sakit
terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Langkah pengobatan akan
dilakukan melalui pakan dengan menggunakan oksitetrasiklin
(OTC) pada dosis 50 mg/kg pakan, dan pemberian obat akan
dilakukan selama 10 hari berturut-turut.
2. Data ikan
Jumlah ikan 10.000 ekor, bobot rata-rata 50 g/ekor = total biomassa
500 kg
Pakan yang diberikan sebanyak 3% bobot biomassa/hari = 3% x
500 kg = 15 kg/hari
Jumlah obat (OTC) yang diperlukan untuk 10 hari pengobatan =
10 x (50 mg x 15) = 7.500 mg = 7,5 g
Penghitungan obat yang diberikan melalui pakan dengan dosis obat
mg/kg bobot tubuh ikan pada prinsipnya adalah sama dengan contoh
penghitungan di atas, faktor yang menjadi variabel adalah bobot tubuh
ikan.
125
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

Sedikitnya ada tiga keunggulan dari teknik pengobatan melalui pakan


bila dibandingkan dengan teknik pegobatan melalui perendaman,
yaitu (1) jumlah obat yang dibutuhkan relatif lebih sedikit, (2) efek
negatif terhadap lingkungan perairan juga relatif lebih kecil, dan (3)
dapat diaplikasikan pada ikan yang dipelihara dalam karamba jaring
apung di perairan umum (danau, waduk, sungai), di mana hal ini sulit
dilakukan melalui teknik perendaman secara langsung. Namun karena
salah satu kendala aplikasi obat melalui pakan adalah tergantung pada
nafsu makan ikan yang diobati, maka berikut adalah strategi pengobatan
melalui pakan.
(1) Segeralah dilakukan pengobatan apabila terlihat adanya gejala
penyakit (tentu saja setelah ada hasil diagnosa, atau paling tidak
presumtif diagnosa). Tidak hanya infeksi patogen bakterial yang
dapat diobati dengan teknik ini, karena akibat infeksi patogen
parasitikpun dapat dilakukan pengobatan melalui pakan.
(2) Apabila diduga akibat infeksi patogen bakterial, gunakan jenis
antibiotik yang memiliki spektrum luas (broad spectrum) dan dosis
yang relatif tinggi. Hal ini untuk mengantisipasi bahwa terkadang
jenis antibiotik yang memiliki efektivitas tinggi tidak mudah
diperoleh secara bebas dan cepat, dan untuk memperolehnya
memerlukan izin dari otoritas dokter hewan atau pihak yang telah
ditunjuk.
(3) Pelaku budidaya harus mampu melakukan sendiri teknik
mencampur obat ke dalam pakan yang hendak diberikan. Teknik
yang umum dilakukan adalah mencampur obat dengan minyak
sayur, kemudian dicampur dengan pakan dan dikeringkan
(diangin-anginkan) sebelum diberikan kepada ikan. Sebaiknya
pencampuran obat dilakukan tidak terlalu lama dari jadwal
pemberian pakan, karena jenis-jenis antibiotik tertentu menurun
efektivitasnya dalam 24 jam setelah dicampur dengan pakan.
3.1.2.c Aplikasi langsung ke tubuh ikan (penyuntikan dan oles)
Penyuntikan (injection)
Apabila ikan yang sakit jumlahnya relatif sedikit dan ukuran ikan
cukup besar, maka pengobatan dengan cara penyuntikan (injection)
merupakan alternatif pengobatan yang dapat dilakukan. Keuntungan
126 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

pengobatan melalui penyuntikan adalah penggunaan obat sangat efisien


dan ketepatan dosisnya dapat diandalkan. Penghitungan dosis obat
untuk teknik ini umumnya dinyatakan dalam satuan mg obat/kg bobot
tubuh.
Ada dua cara penyuntikan yang biasa dilakukan, yaitu dimasukkan ke
rongga perut (intra peritoneal, IP) dan dimasukkan ke otot/daging (intra
muscular, IM). Penyuntikan secara IP biasanya dilakukan di bagian
perut, di antara kedua sirip perut atau sedikit di depan anus, dengan
sudut kemiringan jarum suntik (needle) kira-kira 30°.
Penyuntikan secara IM biasanya dilakukan di bagian punggung, pada
ikan yang bersisik biasanya dilakukan di sela-sela sisik ke 3–5 dari kepala,
dengan sudut kemiringan jarum suntik kira-kira 30–40°. Penyuntikan
secara IP secara teoritis memberikan hasil yang lebih baik karena obat
akan terdistribusi lebih cepat. Namun cara ini memerlukan keterampilan
khusus, terutama pada saat menusukkan jarum ke rongga perut. Apabila
jarum yang masuk terlalu dalam dan sudut kemiringannya tidak tepat,
ada kemungkinan obat akan masuk ke usus atau gonad, dan dapat
menusuk organ-organ internal lainnya.
Sementara penyuntikan secara IM, meskipun distribusi obat relatif
lebih lambat namun pelaksanaannya lebih mudah dan aman. Satu hal
yang perlu diperhatikan, di dalam cairan obat yang telah dimasukkan ke
dalam alat suntik tidak boleh ada gelembung udara karena hal ini dapat
berakibat fatal yaitu mematikan ikan. Jarum suntik yang digunakan
berukuran relatif kecil (nomor 22–27½, tergantung ukuran ikan) dan
untuk mengurangi stres serta mempermudah penanganan ikan yang
hendak diobati, sebaiknya sebelum penyuntikan dilakukan pembiusan
(anestesi) terlebih dahulu.
Ada beberapa jenis anestesi yang sering digunakan untuk membius
ikan, antara lain benzocaine (ethyl aminobenzoate) pada dosis 30–40
ppm, methyl quinoline pada dosis 75–150 ppm, dan phenoxyethanol
(2-phenoxyethanol) pada dosis 250–300 ppm. Phenoxyethanol pada
dosis tersebut sering tidak menunjukkan efek bius, tetapi ikan hilang
keseimbangannya dan tidak mampu berenang.
127
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA

3.1.3 Desinfeksi
Desinfeksi dimaksudkan untuk mensuci-hamakan seluruh komponen
yang hendak digunakan dalam proses produksi ikan, meliputi peralatan,
kolam/wadah, air yang hendak digunakan, ikan dan telurnya, pelaksana,
dan lain-lainnya. Sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk membunuh
semua jenis mikroorganisme (parasit, bakteri, virus, jamur, serta
organisme pengganggu lainnya), maka dosis bahan kimia (desinfektan)
yang diterapkan umumnya relatif tinggi. Desinfeksi juga dapat diartikan
untuk memutus rantai penularan (horizontal and vertical transmission),
misalnya telur-telur ikan yang hendak ditetaskan dapat didesinfeksi
dengan larutan methylene blue 3–5 ppm atau betadin 1%. Pada saat
transportasi ikan tanpa pembiusan, ikan biasanya mengalami stres
sehingga lebih mudah terinfeksi patogen. Apalagi bila di dalam wadah
pengangkutan terdapat ikan yang sakit. Untuk mencegah penularan
selama transportasi, sering digunakan larutan Acriflavin 4 ppm atau
garam dapur 250–750 ppm.
Jenis-jenis desinfektan yang sering digunakan dalam budidaya ikan
jumlahnya cukup banyak, dari yang mudah diperoleh dan relatif murah
hingga yang sulit diperoleh dan relatif mahal harganya. Aplikasi dapat
dilakukan melalui perendaman, penaburan, penyemprotan, dan bahkan
ada yang melalui pengelapan (terutama untuk bak beton/ akuarium/
fiber glass tank).

DAFTAR PUSTAKA
Faruk AR, Anka IZ. 2017. An overview of diseases in fish hatcheries and
nurseries. Fundamental and Applied Agriculture 2(3): 311–316.
Lerssutthichawal T, Hong SLL. 2005. Diversity of freshwater monogeneans
from siluriform fishes of Thailand. In Walker P, Lester R, Bondad-
Reantaso MG. (Eds). Diseases in Asian Aquaculture V. Manila (PH):
Fish Health Section, Asian Fisheries Society. pp. 217–225.
Lerssutthichawal T. 2008. Diversity and distribution of external parasites
from potentially cultured freshwater fishes in Nakhonsithammarat,
southern Thailand. pp. 235–244. In Bondad-Reantaso MG, Mohan
CV, Crumlish M, Subasinghe RP. (Eds.). Diseases in Asian Aquaculture
VI. Manila (H): Fish Health Section, Asian Fisheries Society. 505p.
128 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Lom J, Dykova I. 1992. Protozoan Parasites of Fishes. Development in


Aquaculture and Fisheries Science 26. Elsevier Amsterdam – London –
New York – Tokyo. 315p.
Lusiastuti AM, Taukhid. 2013. Direktori Herbal untuk Pengelolaan Kesehatan
Ikan Air Tawar. Bogor (ID): PT IPB Press.
Maika N, Kaur P, Borana K. 2013. Distribution of helminth parasites in
Bagridae catfishes (Order Siluriformes). JECET 2(2): 262–266.
Solichah L, Taukhid, Wibawa GS. 2014. Inventarisasi dan identifikasi patogen
potensial yang menginfeksi ikan rainbow (Melanotaenia sp.). Jurnal
Riset Akuakultur 9(1): 87–97.
Suhenda N, Samsudin R, Nugroho E. 2010. Pertumbuhan benih ikan baung
(Hemibagrus nemurus) dalam karamba jarring apung yang diberi pakan
buatan dengan kadar protein berbeda. Jurnal Iktiologi Indonesia 10(1):
65–71.
Taukhid Taslihan A, Lusiastuti AM. 2012. Prospek vaksinasi pada perikanan
budidaya di Indonesia. Prosiding Indoaqua-Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur 2012. 805–814.
Taukhid, Purwaningsih U, Sugiani D, Sumiati T, Lusiastuti AM. 2015.
Efikasi vaksin in-aktif bakteri Aeromonas hydrophila-AHL0905-2
(HYDROVAC) dan Streptococcus agalactiae-N14G (STREPTOVAC)
untuk pencegahan penyakit bakterial pada budidaya ikan air tawar.
Jurnal Riset Akuakultur 10(4): 541–551.
Taukhid. 2017. Penyakit dan vaksinasi pada budidaya ikan air tawar. Makalah
pada Pelatihan Pengelolaan Kesehatan Ikan bagi Pembudidaya Ikan Air
Tawar. Bogor (tidak dipublikasikan).
Taukhid. 2018. Pengenalan dan pengobatan penyakit ikan air tawar. Makalah
pada Pelatihan Pengelolaan Kesehatan Ikan bagi Pembudidaya Ikan Air
Tawar. Bogor (tidak dipublikasikan).
Taukhid, Lusiastuti AM, Hastuti MS, Rahman A, Setyowati D, Sugiani D,
Sukowati AS. 2018. Buku Saku Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan.
Jakarta (ID): Direktorat Kawasan dan Kesehatan Ikan, Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. 234p.
APLIKASI VAKSIN
10.

DAN PROBIOTIK PADA


PEMBESARAN IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)
Angela Mariana Lusiastuti, Nunak Nafiqoh,
dan Septyan Andriyanto

Vaksin adalah suatu produk biologi yang terbuat dari mikroorganisme


(bakteri atau virus dan produknya), komponen mikroorganisme yang telah
dilemahkan, dimatikan atau rekayasa genetika, dan berguna untuk merangsang
kekebalan tubuh secara aktif. Vaksinasi merupakan suatu upaya preventif
untuk meningkatkan kekebalan pada tubuh ikan secara aktif terhadap suatu
penyakit sehingga apabila ikan terpapar mikroorganisme patogen, tubuh ikan
akan mampu melawan infeksi jenis patogen tersebut (Ellis 1998). Vaksinasi
didasarkan pada prinsip: ketika mikroorganisme patogen (misalnya bakteri
atau virus) menginfeksi inang, maka sistem kekebalan tubuh inang bereaksi
untuk mengeliminasinya. Bila ikan terpapar kembali dengan mikroorganisme
yang sama, maka sistem kekebalan inang memberikan respons imun yang
lebih baik karena sudah ‘mengenal’ antigen tersebut. Hal ini yang disebut
sebagai respons memori atau kekebalan adaptif. Vaksinasi meniru mekanisme
infeksi patogen dan merangsang sistem kekebalan ikan dalam melawan
patogen tersebut, tetapi vaksin tidak menyebabkan penyakit.
Probiotik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang mempunyai efek
menguntungkan pada inang dengan memodifikasi komunitas mikroba di
dalam tubuh inang, memperbaiki kualitas pakan atau meningkatkan nilai
nutrisinya, meningkatkan respons inang terhadap penyakit atau memperbaiki
kualitas lingkungan media budidaya (Verschuere et al. 2000). Keuntungan
yang diperoleh inang dari probiotik melalui produksi komponen penghambat
130 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

patogen, kompetisi pada sisi perlekatan saluran cerna, nutrisi dan sumber
energi, memperoleh nutrien dan enzim untuk digesti saluran cerna,
meningkatkan respons imun, memperbaiki kualitas air, berinteraksi dengan
fitoplankton, dan mempunyai aktivitas sebagai antivirus (Verschuere et al.
2000; Sahu et al. 2008; Son et al. 2009; Chiu et al. 2010; Sun et al. 2010).
Bakteri probiotik diduga dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk
perbaikan pertumbuhan dan kelulushidupan, pencegahan, serta pengendalian
berbagai jenis penyakit di akuakultur (Son et al. 2009; Chiu et al. 2010; Sun et
al. 2010). Probiotik sebagai alternatif untuk mengganti penggunaan antibiotik
dan bahan kimia lain yang tidak hanya membunuh dan menghambat patogen
pada ikan tetapi juga semua bakteri yang menguntungkan dalam media
budidaya (Sahu et al. 2008).
Menurut Rainboth (1996), Hemibagrus nemurus atau Asian redtail catfish
diidentifikasi sebagai Mystus nemurus, serta secara lokal disebut sebagai ikan
baung. H. nemurus sebagai ikan akuarium bernilai ekonomis dan secara
komersial dibudidayakan sebagai ikan konsumsi dalam perdagangan karena
bergizi tinggi dan dagingnya mempunyai rasa yang enak (Chong et al. 2000).
Namun, penyakit menjadi kendala utama pada budidaya dan memengaruhi
perkembangan ekonomi serta sosio-ekonomi di berbagai negara (Subasinghe
2005). Penyakit bakterial merupakan penyebab infeksi utama pada jenis
ikan catfish (Al‐Dohail et al. 2009). Patogen dari genus Aeromonas umum
ditemukan pada ikan air tawar di Malaysia, seperti A. hydrophila (69,6%), A.
caviae (8,7%), dan A. sobria (21,7%) (Freshwater Fisheries Research Centre
2004).

JENIS VAKSIN YANG DAPAT DIAPLIKASIKAN


PADA IKAN BAUNG
Vaksin harus mampu menginduksi respons imun dalam level yang cukup
untuk melindungi ikan dari serangan patogen tertentu. Kemampuan vaksin
dalam menginduksi kekebalan sangat tergantung dari proses pembuatan
antigennya (Ellis 1998). Berdasarkan proses pembuatan/sediaannya, vaksin
dapat digolongkan menjadi:
1. Vaksin in-aktif, yaitu vaksin yang dibuat dari mikroorganisme yang telah
dimatikan (in-aktif ). Jenis sediaan vaksin yang paling banyak dipakai
untuk vaksinasi ikan adalah bakteri utuh yang diinaktivasi dengan
131
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

menggunakan formalin atau pemanasan. Jenis vaksin ini sangat efektif


menginduksi respons antibodi humoral, tetapi kurang efektif merangsang
kekebalan selular maupun respons mukosal. Beberapa contoh vaksin
jenis ini adalah vaksin Vibrio anguillarum, V. ordalii, V. salmonicida, dan
Yersinia ruckerii.
2. Vaksin hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine), yaitu vaksin yang
dibuat dari mikroorganisme hidup yang dilemahkan. Sistem kekebalan
inang terpapar dengan antigen dalam waktu yang lama sehingga efektif
dalam merangsang sistem kekebalan selular dan menginduksi respons
memori. Namun, kelemahan vaksin jenis ini adalah adanya kemungkinan
mikroorganisme menjadi ganas kembali. Hal inilah yang menyebabkan
vaksin hidup sulit mendapatkan izin untuk digunakan secara komersial.
Namun demikian, dengan kemajuan dalam bidang rekayasa genetik maka
gen penyebab virulensi dapat dihilangkan sehingga kecil kemungkinan
mikroorganime dapat menjadi ganas kembali.
3. Vaksin sub-unit, yaitu vaksin yang dibuat dari bagian/komponen
mikroorganisme misalnya molekul makro kapsul polisakarida, exotoksin,
atau protein rekombinan hasil rekayasa genetik. Vaksin rekombinan
diperoleh dengan mengkloning gen dari suatu patogen ke dalam
bakteri atau jamur. Bakteri/jamur inilah yang menjadi ‘pabrik’ untuk
memproduksi protein imunogenik. Teknologi vaksin rekombinan sangat
cocok dipakai untuk membuat vaksin dari patogen yang sulit dikultur
masal seperti virus, Piscirickettsia, dan Renibacterium salmoninarum.
Vaksin rekombinan yang sudah digunakan secara komersial adalah
vaksin yang menggunakan gen VP2 untuk melindungi ikan salmon dari
virus infectious pancreatic necrosis (IPN) di Norwegia. Gen VP2 adalah
bagian dari komponen mikroorganisme yang digunakan sebagai vaksin
sehingga kekhawatiran mikroorganisme menjadi ganas kembali seperti
pada vaksin hidup dapat dihindari.
4. Vaksin DNA, yaitu vaksin yang dibuat dari DNA (gen) yang mengkode
protein imunogenik dari patogen target. Gen imunogenik dari suatu
patogen dikloning ke dalam plasmid, dan plasmid ini kemudian
disuntikkan ke ikan. Gen akan terekspresi secara extrachromosomal (di
luar kromosom ikan) untuk memproduksi protein imunogenik yang
merangsang sistem kekebalan ikan dan melindungi ikan dari serangan
penyakit tertentu. Plasmid yang mengandung gen yang mengkode
132 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

glikoprotein dan nucleocapsid protein terbukti dapat melindungi ikan


dari serangan penyakit virus, antara lain infectious hematopoietic necrosis
(IHN), viral hemorrhagic septicaemia (VHS), dan koi herpes virus (KHV).
Vaksin DNA dapat menginduksi respons imun spesifik melalui antibodi,
sel T-helper, dan sel sitotoksik. Vaksin DNA mempunyai beberapa
keunggulan dibanding vaksin konvensional, antara lain mudah disimpan
dan dipakai, walaupun biaya risetnya mahal tetapi biaya produksi
vaksinnya murah, dan tidak ada risiko patogen menjadi ganas kembali.
Sampai saat ini, vaksin DNA masih mengalami hambatan dalam hal
perizinan karena adanya anggapan bahwa vaksin DNA adalah GMO
(genetically modified organism).
Tidak semua penyakit dapat dikendalikan dengan vaksin konvensional,
beberapa patogen belum berhasil dibuat vaksinnya sehingga diperlukan
pendekatan baru dalam pengembangan vaksin untuk jenis patogen seperti
itu. Misalnya, antigen Aeromonas salmonicida terbukti sangat lemah dan
tidak dapat memberikan perlindungan ikan yang divaksin terhadap serangan
penyakit furunculosis sehingga perlu ditambahkan adjuvan ke dalam vaksin
untuk meningkatkan tingkat perlindungan (level of protection) dan lamanya
kekebalan (duration of immunity) vaksin tersebut. Cara adjuvan bekerja sebagai
berikut: 1) antigen teremulsi di dalam butiran minyak adjuvan sehingga
adjuvan sebagai depot penyimpanan bagi antigen di dalam butiran minyak.
Pada saat emulsi ini pecah di dalam rongga perut ikan, antigen terlepas secara
perlahan-lahan dalam waktu yang lama dan menghasilkan respons imun yang
lebih kuat pada ikan; 2) adjuvan menimbulkan respons inflamasi (peradangan)
dalam perut ikan sehingga menarik leukosit ke lokasi penyuntikan. Leukosit
akan mengambil antigen dan membawanya ke jaringan limfoid dan berperan
sebagai antigen-presenting cell dan menyajikan antigen ini ke sel limfosit. Sel
limfosit adalah sel yang berperan besar dalam produksi respons imun spesifik
dan memori imunologi terhadap patogen.
Menurut Ellis (1998), vaksin ikan untuk ikan baung yang digunakan harus
memenuhi persyaratan berikut: (a) aman bagi ikan, lingkungan perairan
dan konsumen; (b) harus spesifik untuk patogen tertentu; (c) harus dapat
melindungi ikan (protective duration) dalam waktu yang lama, minimal
selama periode pemeliharaan (siklus produksi); (d) harus mudah didapat,
aplikatif, dan ekonomis; dan (e) telah berlisensi atau memiliki nomor
registrasi. Keberhasilan pencegahan penyakit infeksius pada budidaya ikan
133
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

baung melalui vaksinasi tidak hanya ditentukan oleh keampuhan dari vaksin
yang digunakan, tetapi juga sangat ditentukan oleh bagaimana dan kapan
sebaiknya vaksin itu diberikan.
Beberapa hal yang perlu diketahui berkaitan dengan aplikasi vaksin pada ikan
baung, antara lain:
1. Vaksin harus diberikan melalui teknik yang direkomendasikan oleh
produsen, misalnya melalui perendaman, dan/atau pakan, dan/atau
penyuntikan.
2. Pemberian vaksin yang pertama kali (priming) umumnya hanya mampu
memberikan level proteksi untuk periode 2–3 bulan setelah pemberian
sehingga untuk mendapatkan level proteksi yang lebih lama diperlukan
vaksinasi ulang (booster).
3. Vaksinasi harus mempertimbangkan umur/ukuran ikan yang rentan
terhadap jenis penyakit yang menjadi target untuk dicegah, serta saat/
musim munculnya penyakit tersebut sehingga pemberian vaksin dapat
memberikan manfaat (efektif dan protektif ) yang maksimal pada saat
penyakit tersebut muncul.
4. Prosedur transportasi, penyimpanan, dan aplikasi vaksin sesuai dengan
yang direkomendasikan oleh produsen.
Selain hal tersebut di atas, beberapa persyaratan umum yang perlu diperhatikan
sebelum melakukan vaksinasi sebagai berikut (Ellis 1998):
1. Ikan minimal berumur 2 minggu atau lebih (apabila diberikan melalui
perendaman dan/atau pakan), karena pada umur kurang dari 2 minggu,
perkembangan organ yang berperan dalam sistem pembentukan antibodi
belum sempurna. Organ-organ yang terlibat dalam sistem kekebalan
tubuh ikan meliputi “reticulo endothelial” (ginjal bagian depan, thymus,
limfa, dan hati), limfosit, plasmosit, dan fraksi serum protein tertentu.
2. Aplikasi vaksin melalui penyuntikan harus menyesuaikan antara ukuran
ikan dan jarum suntik (needle), dosis yang diberikan, serta memastikan
vaksinasi aman secara anatomis (misalnya tidak mengakibatkan abses
atau luka yang serius).
134 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

3. Status kesehatan ikan harus dalam kondisi baik, ikan yang sedang
mengalami cekaman (stres) dan/atau ikan yang sedang sakit misalnya
karena terinfeksi jenis patogen tertentu, sebaiknya tidak divaksinasi
terlebih dahulu sebelum benar-benar sehat.
4. Vaksinasi dilakukan pada suhu ≥25°C karena respons antibodi yang
terbentuk akan lebih cepat dibandingkan dengan suhu air yang lebih
rendah.
5. Air rendaman untuk melakukan vaksinasi dan media budidaya
selama periode induksi kekebalan harus bebas dari cemaran. Air yang
mengandung cemaran akan menghambat proses pembentukan antibodi
(immunosuppressif) dalam tubuh ikan.

APLIKASI VAKSIN PADA IKAN


Secara umum, vaksinasi pada ikan dapat diberikan melalui perendaman,
pakan, dan penyuntikan.

Perendaman
Teknik ini sangat ideal untuk benih ikan dalam jumlah cukup banyak.
Perendaman dapat dilakukan dalam bak beton/fiber glass, akuarium, atau
ember plastik. Selama proses vaksinasi, sebaiknya dilengkapi dengan aerasi
dan kepadatan ikan tidak terlalu tinggi (antara 50–100 g/L air). Dosis vaksin
adalah 100 mL dilarutkan dalam 1.000 L air, atau 1 mL vaksin dalam 10 L
air. Pengamatan tingkah laku ikan selama proses vaksinasi dilakukan secara
cermat. Apabila terlihat ikan yang mengalami masalah, segera dipindahkan
ke air segar.
Ikan yang sudah divaksin sesuai dengan waktu perendaman (30–45 menit)
dapat segera dipindahkan ke wadah/kolam pemeliharaan. Air bekas rendaman
vaksin masih dapat digunakan untuk memvaksin ikan lainnya dengan
kepadatan dan periode perendaman yang sama (30–45 menit). Sebelum
sediaan vaksin yang telah dilarutkan dengan air tidak lebih dari 120 menit
(2 jam), larutan vaksin tersebut masih bekerja dengan baik. Namun apabila
pencampuran antara sediaan vaksin dengan air telah melebihi 120 menit,
efektivitas vaksin telah menurun.
135
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Pakan ikan (pelet)


Teknik ini lebih sesuai untuk ikan-ikan yang sudah dipelihara dalam kolam
pemeliharaan ataupun sebagai upaya vaksinasi ulang (booster). Teknik
mencampur vaksin dengan pakan ikan yang umum dilakukan adalah sediaan
vaksin tersebut diencerkan beberapa kali dengan air bersih, kemudian
dimasukkan ke dalam alat semprot. Semprotkan larutan vaksin tersebut ke
pakan secara merata (tidak terlalu basah), dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan, dan selanjutnya langsung diberikan kepada ikan. Vaksin yang telah
disemprotkan ke pakan akan lebih baik apabila diselaputi putih telur terlebih
dahulu, dikeringkan, dan kemudian baru diberikan kepada ikan. Sebaiknya
pencampuran vaksin dilakukan tidak terlalu lama dari jadwal pemberian
pakan. Dosis vaksin yang diberikan melalui pakan adalah 2 mL/kg bobot
tubuh ikan, dan diberikan selama 5–7 hari berturut-turut.

Penyuntikan
Keuntungan pemberian vaksin melalui penyuntikan adalah 100% vaksin
dapat masuk ke dalam tubuh ikan. Ikan yang akan divaksin harus memiliki
ukuran yang sesuai. Vaksinasi melalui penyuntikan harus dapat memastikan
bahwa ikan harus nyaman selama proses vaksinasi dan pembiusan mungkin
diperlukan. Penyuntikan dilakukan dengan dua cara, yaitu dimasukkan ke
rongga perut (intra peritoneal) dan ke otot/daging (intra muscular). Penyuntikan
secara intra peritoneal (IP) biasanya dilakukan di bagian perut, di antara
kedua sirip perut atau sedikit di depan anus dengan sudut kemiringan jarum
suntik (needle) kira-kira 30°. Penyuntikan secara intra muscular (IM) biasanya
dilakukan di bagian punggung, pada ikan yang bersisik biasanya dilakukan
di sela-sela sisik ke 3–5 dari kepala, dengan sudut kemiringan jarum suntik
sekitar 30–40°. Dosis vaksin Hydrovac yang diberikan melalui penyuntikan
adalah 0,1 mL/ekor ikan atau 0,2 mL/kg bobot tubuh ikan.

Periode induksi dan durasi kekebalan spesifik vaksin


Secara teoritis, vaksinasi pada ikan umumnya memerlukan waktu antara 2–3
minggu untuk membentuk/memproduksi kekebalan spesifik (antibodi) sesuai
dengan tipe antigen yang dimasukkan ke dalam tubuh ikan. Hal ini berarti
bahwa apabila persyaratan dan prosedur vaksinasi telah dilakukan dengan
baik dan benar, maka kinerja dari vaksin tersebut baru dapat diandalkan
136 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

setelah 2–3 minggu pascapemberian vaksin. Kinerja vaksin Hydrovac pada


ikan sudah terdeteksi pada awal minggu ke-2 sampai ke-6 dan pada mulai
minggu ke-7 sampai ke-8 sudah mulai mengalami penurunan level proteksi.
Level proteksi dapat ditingkatkan hingga masa pemeliharaan yang lebih lama
(3–8 bulan) melalui vaksinasi ulang (booster) yang diberikan cukup sekali
hingga akhir masa pemeliharaan.

Vaksin Hydrovac
Vaksin Hydrovac merupakan vaksin yang dapat diaplikasikan pada ikan
baung. Penemuan vaksin Hydrovac diawali pada tahun 1980-an ketika terjadi
wabah penyakit bakterial pada ikan air tawar yang menyerang beberapa jenis
ikan (lele, mas, gurame, betutu, dan gabus) dari berbagai ukuran. Wabah
tersebut bermula dari daerah Jawa Barat dan akhirnya meluas ke seluruh
wilayah Indonesia dengan tingkat kerugian diperkirakan mencapai ratusan
juta rupiah pada saat itu. Hasil studi epidemiologi disimpulkan bahwa
patogen yang dianggap paling bertanggung jawab atas kasus tersebut adalah
bakteri Aeromonas hydrophila. Sejak saat itu, penelitian dan kajian tentang
biologi, karakterisasi, serta mekanisme serangan penyakit tersebut dilakukan
secara intensif untuk mendapatkan teknologi penanggulangannya yang paling
rasional, murah, aman, efisien, dan efektif. Hingga pada akhirnya ditemukan
vaksin monovalen anti-Aeromonas hydrophila yang mampu bekerja untuk
pencegahan infeksi jenis bakteri tersebut.

Gambar 10.1 Vaksin Hydrovac


137
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Seluruh koleksi isolat bakteri A. hydrophila yang ada di Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP) yang diperoleh
dari beberapa wilayah pengembangan perikanan budidaya air tawar di
Indonesia, diseleksi (screening) dan diuji secara laboratoris untuk tujuan
pembuatan vaksin. Isolat-isolat bakteri tersebut diberi pengkodean sebagai
berikut: jenis bakteri dan jenis ikan yang terinfeksi, kemudian diikuti dengan
waktu isolasi pertama kali dilakukan, serta spesimen ikan yang ke-x, misalnya:
AHM-0605-2 (Aeromonas hydrophila yang diisolasi dari ikan mas dan pertama
kali diisolasi pada bulan Juni tahun 2005 pada spesimen ikan yang ke-2, dan
seterusnya). Pengujian dilakukan terhadap seluruh koleksi isolat bakteri yang
meliputi beberapa aspek, yaitu: (1) Karakterisasi melalui uji bio-kimia; (2)
Patogenisitas terhadap beberapa spesies ikan yang dijadikan model, yaitu ikan
mas, lele dan gurame; (3) Potensi imunogenisitas; serta (4) Potensi reaksi
silang (cross-reactivity) antara satu isolat terhadap isolat-isolat lainnya (Frerichs
dan Millar 1993; Movahedi dan Hampson 2008).
Dari ke-32 isolat bakteri Aeromonas spp. yang merupakan koleksi Balai
Penelitian Perikanan Air Tawar (BALITKANWAR), berdasarkan hasil
karakterisasi melalui uji biokimia diketahui bahwa keseluruhannya merupakan
bakteri A. hydrophila. Di bawah ini adalah beberapa contoh hasil karakterisasi
selengkapnya dari uji biokimia disajikan pada Tabel 10.1.

Tabel 10.1 Hasil uji biokimia terhadap 32 isolat bakteri Aeromonas spp. yang
diperoleh dari kasus penyakit ikan air tawar
(isolat 1–4)
Kode isolat
Karakter
AHM0504-1 AHM0904-1 AHM0305-2 AHM0905-1
Bentuk Batang pendek Batang pendek Batamg pendek Batang pendek
Motilitas + + + +
Gram - - - -
Hidrolisi Esculin + + + +
Voges-Proskauer + + + +
Tumbuh pada 37°C + + + +
Pigmen coklat difus - - - -
β-galactosidase + + + +
Arginine dihydrolase + + + +
Lysine decarboxylase d d + +
138 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Tabel 10.1 Hasil uji biokimia terhadap 32 isolat bakteri Aeromonas spp. yang
diperoleh dari kasus penyakit ikan air tawar (lanjutan)

Kode isolat
Karakter
AHM0504-1 AHM0904-1 AHM0305-2 AHM0905-1
Ornithine - - - -
decarboxylase
Simmons’ citrate d d d d
Produksi H2S + + + +
Urease - - - -
Indol + + + +
Hidrolisis gelatin + + + +
Hidrolisis Aesculin + + + +
Tumbuh pada KCN + + + +
Asam dari:
Arabinose d d + d
Glucose + + + +
Inositol - - - -
Mannitol + + + +
Salicin + + + +
Sorbitol d d d d
Sucrose + + + +
Hemolysis (TSA + + + + +
5% eritrosit darah
kambing )
Aeromonas Aeromonas Aeromonas Aeromonas
hydrophila hydrophila hydrophila hydrophila
Catatan: + (positif ), - (negatif ), d (reaksi bervariasi)
139
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Tabel 10.1 Hasil uji biokimia terhadap 32 isolat bakteri Aeromonas spp. yang
diperoleh dari kasus penyakit ikan air tawar (lanjutan)

(isolat 9–12)
Kode isolat
Karakter
AHM0507-3 AHL0905-2 AHL0306-1 AHL0906-1
Bentuk Batang pendek Batang pendek Batang pendek Batang pendek
Motilitas + + + +
Gram - - - -
Hidrolisis Aesculin + + + +
Voges-Proskauer + + + +
Tumbuh pada 37°C + + + +
Pigmen coklat difus - - - -
β-galactosidase + + + +
Arginine dihydrolase + + + +
Lysine decarboxylase + d + d
Ornithine - - - -
decarboxylase
Simmons’ citrate D d d d
Produksi H2S + + + +
Urease - - - -
Indol + + + +
Hidrolisis Gelatin + + + +
Hidrolisi Aesculin + + + +
Tumbuh pada KCN + + + +
Asam dari
Arabinose + + + +
Glucose + + + +
Inositol - - - -
Mannitol + + + +
Salicin + + + +
Sorbitol d d d d
Sucrose + + + +
Hemolisis (TSA + 5% + + + +
eritrosit kambing)
Aeromonas Aeromonas Aeromonas Aeromonas
hydrophila hydrophila hydrophila hydrophila
Catatan: + (positif ), - (negatif ), d (reaksi bervariasi)
140 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Tabel 10.1 menunjukkan bahwa isolat AHL0905-2 lebih potensial sebagai


kandidat vaksin dan dipilih untuk diteliti lebih lanjut menjadi vaksin. Inilah
cikal bakal diciptakannya vaksin Hydrovac.

Aplikasi vaksin Hydrovac di lapang untuk ikan air tawar


(Anonim, 2015)
Aplikasi vaksin Hydrovac tahun 2009 dilakukan di beberapa dinas dan UPT
di bawah Dirjen Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan diperoleh
data-data sebagai berikut: bahwa vaksin Hydrovac memberikan hasil yang
menggembirakan bagi para pembudidaya ikan lele, gurame, nila, patin, dan
ikan mas di wilayah Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor
dengan memperoleh tingkat kelangsungan hidup ikan berkisar antara 89–90%
(Taukhid et al. 2012). Laporan dari Dinas Pertanian Kota Metro Lampung
yang mengaplikasikan Hydrovac pada ikan lele dan ikan patin dengan ukuran
5–7 cm melalui rute perendaman memperoleh tingkat kelangsungan hidup
ikan sebesar 90–95%. BBPBAT Sukabumi melaporkan penggunaan vaksin
Hydrovac pada berbagai ukuran dan berat ikan yang diaplikasikan melalui
rute perendaman dan melalui pakan yang disajikan pada Tabel 10.2.

Tabel 10.2 Penggunaan vaksin Hydrovac di wilayah BBPBAT Sukabumi


Jenis Ikan Ukuran Ikan (cm) Berat Ikan Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Lele 4–5 - 82–86
Lele - 100–125 g 97–99
Lele - 200–250 g 97
Lele - 20 g 95
Mas - 1,8–2,5 kg 100

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis melakukan aplikasi


Hydrovac pada ikan lele dan patin. Aplikasi Hydrovac pada ikan gurame
dengan berbagai ukuran yaitu 1–3 cm, 5–8 cm, 8–12 cm sampai gurame
indukan dengan memperoleh tingkat kelangsungan hidup berkisar antara
70–100% telah dilakukan di Kabupaten Ciamis. Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Kalimantan Barat mengaplikasikan Hydrovac pada ikan
nila dan mas pada umur sekitar satu sampai 2 bulan dan melaporkan sangat
baik responsnya dengan tingkat kelangsungan hidup 60–80%.
141
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat melakukan


aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan lele dumbo, gurame, mas, dan nila
dengan kisaran umur 3 minggu sampai 3 bulan menyatakan bahwa nafsu
makan ikan meningkat sehingga pertumbuhannya meningkat sampai 50%.
Tingkat kelangsungan hidup ikan juga dilaporkan mencapai 75–99%. Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung melaporkan respons ikan
lele dumbo dan nila terhadap pakan lebih tinggi setelah divaksin dengan
Hydrovac. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung dan BBI
Punten Kota Batu Jawa Timur melaporkan tingkat kelangsungan hidup ikan
100% setelah divaksin Hydrovac. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Padang Pariaman Sumatera Barat memberikan deskripsi yang rinci pada ikan
gurame dengan umur 15–60 hari dan ukurannya berkisar antara 0,5–2 inci
yang divaksin Hydrovac melalui rute perendaman. Rincian aplikasi Hydrovac
pada ikan gurame dari Padang Pariaman Sumatera Barat disajikan pada
Tabel 10.3.

Tabel 10.3 Aplikasi Hydrovac pada ikan gurame dari Padang Pariaman
Sumatera Barat
Umur Ukuran Tingkat
Jenis Ikan Ikan Ikan Kondisi ikan setelah divaksin Kelangsungan
(hari) (inci) Hidup (%)
Gurame 15 0,5 Ikan normal >80
Gurame 20 0,5 Ikan sehat >80
Gurame 30 1 Gerakan kurang lincah, warna >80
sedikit pucat tapi tidak pudar
Gurame 50 1,5 Tidak terjadi gripis pada ekor dan >80
sirip, performa lebih baik
Gurame 60 2 Ikan lebih cepat tumbuh dan >80
lebih sehat

Dinas Kelautan dan Perikanan Agam, Sumatera Barat melaporkan bahwa


setelah ikan nila dan ikan mas divaksin maka kematian ikan menjadi berkurang,
demikian juga Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bangli Bali, Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, BBI Kepanjen
Malang Jatim, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Jawa Barat
melaporkan hal yang sama juga seperti di atas. Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Bengkulu menyatakan penggunaan vaksin Hydrovac mempunyai
efek positif, yaitu ikan yang terkena mata melotot dapat sembuh dan secara
142 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

umum terjadi kenaikan berat ikan. Provinsi Bengkulu melaporkan FCR-nya


adalah 27–29%. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat
dan Timur, Disperik Provinsi Gorontalo, Disperik Provinsi DI Yogyakarta,
Disperik Provinsi NTB, Disperik dan Peternakan Kabupaten Karawang
Jabar, Disperik Provinsi Jambi, dan BBAP Ujung Batee Aceh semua rata-rata
melaporkan kehebatan vaksin Hydrovac yang sangat efektif diaplikasikan
pada ikan budidaya karena dapat memperoleh tingkat kelangsungan hidup
ikan rata-rata di atas 80%.

Transportasi dan penyimpanan vaksin


Kerusakan vaksin sering terjadi akibat persyaratan pada saat transportasi
dan/atau penyimpanan tidak terpenuhi. Sebagian besar vaksin konvensional
memerlukan suhu rendah sebelum digunakan. Oleh sebab itu, selama
proses transportasi dan penyimpanan harus sesuai dengan rekomendasi dari
produsen. Kesalahan dalam transportasi dan penyimpanan vaksin dapat
menurunkan atau menghilangkan potensi, atau bahkan dapat menimbulkan
dampak negatif apabila diberikan kepada ikan.

Probiotik yang dapat diaplikasikan pada ikan baung


Penelitian tentang probiotik melalui media budidaya di Laboratorium
Kesehatan Ikan–Instalasi Penelitian dan Pengembangan Pengendalian
Penyakit Ikan, BRPBATPP–Kementerian Kelautan dan Perikanan telah
menghasilkan produk biologi, yaitu probiotik PATO AERO 1 dan PATO
AERO 2. Ulkhaq (2014) menyatakan bahwa dengan pemberian probiotik
Bacillus P4I1 dengan dosis 104 cfu/mL pada media air pemeliharaan ikan
lele efektif menekan pertumbuhan A. hydrophila dan mencegah penyakit
Motile Aeromonads Septicemia, dengan meningkatkan respons imun dan
kelangsungan hidup, serta laju pertumbuhan harian ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus). Begitu juga penelitian yang dilakukan Haditomo (2011), dengan
aplikasi probiotik B. firmus pada media budidaya mampu mencegah serangan
A. hydrophila pada ikan mas (Cyprinus carpio). Penambahan probiotik B.
firmus dengan dosis 106 cfu/mL pada media budidaya dengan pemberian
setiap 2 hari sekali selama 2 minggu mampu mencegah dan menanggulangi
serangan A. hydrophila. Tingkat kelangsungan hidup ikan uji dengan
aplikasi probiotik mencapai 100% dan lebih tinggi jika dibandingkan tanpa
penambahan probiotik B. firmus dengan kelangsungan hidup hanya sebesar
143
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

50%. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi A. hydrophila pada media budidaya


penyebab penyakit Motile Aeromonad Septicemia (MAS) pada ikan mas berada
pada kisaran 107–108 cfu/mL, dan apabila ikan berada dalam kondisi stres
maka semakin besar kemungkinan terjadinya kematian. Sementara penelitian
Lusiastuti et al. (2011) menunjukkan bahwa pemberian probiotik B. firmus
dengan dosis 109 cfu/mL dapat meningkatkan ketahanan tubuh benih lele
dumbo dengan kelangsungan hidup tertinggi mencapai 53,33% setelah diuji
tantang dengan A. hydrophila, serta terjadi peningkatan kadar limfosit sebesar
81% dan aktivitas fagosit sebesar 60% setelah pemberian probiotik.
Menurut Fidyandini (2015) bahwa pemberian probiotik multispesies dengan
kombinasi B. substilis ND2 dan Staphyilococcus lentus LIK melalui media
budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) mampu menekan populasi
A. hydrophila hingga 40% dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar
89,33%. Hasil penelitian Lusiastuti et al. (2011) memperlihatkan aktivitas
Bacillus cereus dengan dosis 109 cfu/mL sebagai probion anti Streptococcus
agalactiae yang diaplikasikan pada media pemeliharaan benih ikan nila
(Oreochromis niloticus) dan tanpa penggantian air mampu meningkatkan
kelangsungan hidup mencapai 46%. Selain itu pemberian probiotik juga
meningkatkan indeks fagositosis, baik pada media tanpa maupun dengan
pergantian air, meskipun peningkatan indeks fagositosis masih lebih baik
pada ikan yang dipelihara pada media tanpa pergantian air.
Bacillus subtilis STC sebagai biokontrol dengan mekanisme anti-quorum sensing
dapat menekan penyakit vibriosis pada budidaya udang di mana dengan
penambahan B. subtilis STC ke media pemeliharaan udang dan mampu
mendegradasi AHL (Acyl Homoserine Lactone) yang dihasilkan oleh Vibrio
harveyi BB 120 (Yuniarti et al. 2015). Dalam review-nya, Newaj-Fyzul (2014)
mengkompilasikan beberapa probiotik yang telah diteliti penggunaanya
dalam kegiatan akuakultur dan terbukti untuk menyingkirkan bakteri
patogen tertentu. Probiotik tersebut dari berbagai organisme baik bakteri
ataupun nonbakteri. Ikan baung yang diinfeksi dengan A. hydrophila selama
dua minggu dan diberi pakan dengan 109 cfu/g B. subtilis G1 menghasilkan
tingkat mortalitas yang rendah dibandingkan kontrol (Verschuere et al. 2000;
Balcázar et al. 2006; Sahu et al. 2008). Bakteri probiotik memberikan efek yang
besar pada sistem imun sebagai modulator sistem imun nonspesifik dengan
memperkuat level antibodi dan aktivitas makrofag yang dapat meningkatkan
resistensi terhadap penyakit (Balcázar et al. 2006; Nayak 2010).
144 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Liu et al. (2012) menduga bahwa resistensi terhadap patogen berkorelasi


dengan meningkatnya alternative complementary pathway activities (ACH50)
dan aktivitas lysozyme karena ikan diberi pakan yang mengandung B. subtilis.
Efek probiotik pada pertumbuhan dan resistensi penyakit tergantung dari
jenis spesies ikan, dosis dan lama pemberian pakan, asal strain probiotik,
mekanisme pertahan ikan yang berbeda terhadap patogen yang berbeda,
dan patogenisitas patogen yang berbeda pula (Son et al. 2009; Standen dan
Abid 2011). Perbedaan dari mikrobiota saluran cerna dan fisiologi ikan juga
memengaruhi keberhasilan aplikasi probiotik (Gisbert dan Castillo 2011).
Vaksin dan probiotik efektif dalam melindungi ikan dari serangan penyakit,
terutama untuk perlindungan terhadap infeksi bakteri dan virus. Vaksin
kurang efektif digunakan pada benih sebelum umur satu minggu dan ikan
yang mengalami stres.

DAFTAR PUSTAKA
Al‐Dohail MA, Hashim R, Aliyu‐Paiko M. 2009. Effects of the probiotic,
Lactobacillus acidophilus, on the growth performance, haematology
parameters and immunoglobulin concentration in African catfish
(Clarias gariepinus, Burchell 1822) fingerling. Aquaculture Research 40:
1642–1652.
Anonim. 2015. Laporan Penggunaan Vaksin dari Dinas Perikanan Se
Indonesia. (Tidak dipublikasi)
Balcázar JL, Blas ID, Ruiz-Zarzuela I, Cunningham D, Vendrell D, Múzquiz
JL. 2006. The role of probiotics in aquaculture. Veterinary Microbiology
114: 173–186.
Chiu CH, Cheng CH, Gua WR, Guu YK, Cheng W. 2010. Dietary
administration of the probiotic, Saccharomyces cerevisiae P13, enhanced
the growth, innate immune responses, and disease resistance of the
grouper, Epinephelus coioides. Fish and Shellfish Immunology 29: 1053–
1059.
Chong LK, Tan SG, Yusoff K, Siraj SS. 2000. Identification and characterization
of Malaysian river catfish, Mystus nemurus (C&V): RAPD and AFLP
analysis. Biochemical Genetics 38(3–4): 63–76.
145
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Ellis AE. 1998. Fish Vaccination. London (UK): Academic Press Limited.
255p.
Fidyandini HP. 2015. Evaluasi pemberian probiotik multispesies melalui
media budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) untuk pencegahan
penyakit motile aeromonas septicemia [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Peranian Bogor.
Frerichs GN, Millar SD. 1993. Manual for the Isolation and Identification of
Fish Bacterial Pathogens. Stirling (UK): Pisces Press. 60p.
Freshwater Fisheries Research Centre. 2004. Freshwater fisheries Research
Centre Annual Report 1995. Available: http://www.fri.gov.my/pppat/
page11-1.html [Accessed 12 March 2012].
Gisbert E, Castillo M. 2011. Use of probiotic in aquaculture: Can these
additives be useful? Available: http://www.aquafeed.co.uk/IAF1106
[Accessed 28 May 2013].
Haditomo AC. 2011. Pemberian probiotik pada media budidaya untuk
pengendalian Aeromonas hydrophila pada ikan mas (Cyprinus carpio)
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lusiastuti AM, Sumiati T, Hadie W, Wijaya A. 2011. Kajian aktivitas probion
anti Streptococcus agalactiae pada media pemeliharaan benih ikan nila
Oreochromis niloticus. Prosiding Forum Inovasi teknologi Akuakultur
2011, 649–654.
Liu CH, Chiu CH, Wang SW, Cheng W. 2012. Dietary administration of the
probiotic, Bacillus subtilis E20, enhances the growth, innate immune
responses, and disease resistance of the grouper, Epinephelus coioides.
Fish and Shellfish Immunology 33: 699–706.
Movahedi A, Hampson DJ. 2008. Now ways to identify novel bacterial
antigens for vaccine development. Veterinary Microbiology 131: 1–13.
Nayak SK. 2010. Probiotics and immunity: a fish perspective. Fish and
Shellfish Immunology 29: 2–14.
Newaj-Fyzul A, Al-Harbi AH, Austin B. 2014. Review: developments in the
use of probiotics for disease control in aquaculture. Aquaculture 431:
1–11.
146 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

Rainboth WJ. 1996. Fishes of the Cambodian Mekong. FAO species


identification field guide for fishery purposes. FAO, Rome. 265p.
Sahu MK, Swarnakumar NS, Sivakumar K, Thangaradjou T, Kannan L. 2008.
Probiotics in aquaculture: Importance and future perspectives. Indian
Journal of Microbiology 48: 299–308.
Son VM, Chang CC, Wu MC, Guu YK, Chiu CH, Cheng W. 2009. Dietary
administration of the probiotic, Lactobacillus plantarum, enhanced the
growth, innate immune responses, and disease resistance of the grouper
Epinephelus coioides. Fish and Shellfish Immunology 26: 691–698.
Subasinghe R. 2005. Fish health management in aquaculture. FAO Fisheries
and Aquaculture Iranian Journal of Fisheries Sciences 14(4) 2015 856
Departmen, Rome. Available: http://www.fao.org/fishery/topic/13545/
en [Accessed 5 March 2013].
Sun YZ, Yang HL, Ma RL, Lin WY. 2010. Probiotic applications of two
dominant gut Bacillus strains with antagonistic activity improved the
growth performance and immune responses of grouper Epinephelus
coioides. Fish and Shellfish Immunology 29: 803–809.
Standen B, Abid A. 2011. Evaluation of probiotic bacteria in tilapia
production. Available: http://www.aquafeed.co.uk/IAF1106 [Accessed
28 May 2013].
Taukhid, Taslihan A, Lusiastuti AM. 2012. Prospek vaksinasi pada perikanan
budidaya di Indonesia. Prosiding Indoaqua-Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur 2012, 805–814.
Ulkhaq MF. 2014. Pemberian probiotik bacillus pada media pemeliharaan
ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) untuk pencegahan penyakit motile
aeromonads septicemia [Tesis]. Bogor (ID): Institut Peranian Bogor.
Verschuere L, Rombaut G, Sorgeloos P, Verstraete W. 2000. Probiotic bacteria
as biological control agents in aquaculture. Microbiology and Molecular
Biology Reviews 64: 655–671.
Yuniarti, Maftuch, Soemarno, Aulanni’am. 2015. In vitro and in vivo study
of acyl homoserine lactone degrading Bacillus against Vibrio harveyi.
International Journal of Biosciences 6(2): 338–348.
EPILOG
10.

Kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi perikanan secara


nasional diarahkan pada keinginan mewujudkan kemandirian, kedaulatan,
kesejahteraan, dan keberlanjutan. Untuk itu, aspek pelestarian sumber
daya perikanan yang ada dan lingkungan menjadi hal penting dalam upaya
pemanfaatan potensi, agar nilai ekonomi sumber daya perikanan budidaya
mampu dinikmati sampai generasi yang akan datang. Salah satu ikan lokal
air tawar yang dikembangkan adalah ikan baung (Hemibagrus nemurus). Ikan
ini memiliki nilai ekonomis penting dan telah mendapatkan popularitas di
kalangan konsumen di Indonesia dan Asia Tenggara. Ikan baung dikenal
dengan tiga nama sinonim di masyarakat, yaitu sebagai Bagrus nemurus
(Valenciennes 1840), Macrones nemurus (Valenciennes 1840), dan Mystus
nemurus (Valenciennes 1840). Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan
anggota famili Bagridae. Famili ini merupakan salah satu famili ikan berkumis
(catfish) yang hidup di air tawar dan payau yang tersebar di Asia dan Afrika.
Genus Hemibagrus Bleeker 1862 memiliki sinonim sebagai Mystus Scopoli
1777 atau Macrones Dumeril 1856. Di Indonesia, genus Hemibagrus memiliki
sepuluh spesies. Ikan baung termasuk ikan pemakan segalanya (omnivora)
dengan kecenderungan memakan anak ikan, udang, remis, cacing, dan lumut
atau mengarah ke pemakan daging (carnivora). Selain itu, jenis makanan
yang disukai berupa insekta, Planaria sp., Thiara scabra, Faunus ater, dan
Nodilittorina pyramidali.
Di Indonesia, budidaya ikan baung belum dilakukan secara optimal
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya belum tersedianya jumlah
induk terdomestikasi yang mencukupi sehingga benih yang dihasilkan belum
berkualitas dan tidak kontinu. Selama ini, penyediaan benih baung untuk
kegiatan budidaya sebagian besar masih mengandalkan tangkapan dan
pemijahan menggunakan induk dari alam. Benih ikan baung yang berasal
dari alam masih memiliki tingkat kanibalisme yang tinggi, sedangkan benih
yang diperoleh dari induk hasil domestikasi memiliki tingkat kanibalisme
yang rendah. Selain itu, rendahnya produksi pada kegiatan budidaya ikan
baung dipengaruhi juga oleh faktor alam, di antaranya kondisi lingkungan
(suhu, pH, oksigen terlarut, salinitas, padatan tersuspensi total (TSS), dan
amonia), fotoperiod, padat tebar, dan curah hujan. Di alam, siklus reproduksi
148 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus

ikan baung umumnya terjadi pada musim hujan dengan puncak pemijahan
pada bulan Oktober–Desember. Pengelolaan induk merupakan aspek penting
dalam budidaya ikan baung. Pengelolaan induk yang tepat akan menghasilkan
kualitas telur, sperma, dan larva yang baik. Pengelolaan induk bisa dilakukan
secara terkontrol dengan menyediakan pakan yang mengandung nutrien secara
lengkap. Pakan induk ikan baung dapat meningkatkan performa produksi
dan produktivitas induk. Untuk pengembangannya, riset pakan induk ikan
baung perlu digali dengan fokus: (a) penggunaan tepung ikan secara minimum
dalam pakan, (b) substitusi penggunaan minyak ikan dengan minyak nabati,
dan (c) penggunaan suplemen pakan yang dapat meningkatkan performa
reproduksi dan kualitas telur/sperma, percepatan pematangan gonad, dan
rematurasi induk.
Pada budidaya ikan baung, jenis-jenis penyakit infeksius utama yang sering
ditemukan dan mengakibatkan kematian antara lain: parasit (protozoa dan
trematoda), jamur, dan bakteri. Penyakit non-infeksius yang sering terjadi
antara lain akibat kondisi kualitas air (suhu, oksigen terlarut, pH, amonia,
alkalinitas, dan kesadahan), serta malnutrisi (feeding habit and periodicity).
Penggunaan vaksin dan probiotik cukup efektif dalam melindungi ikan
dari serangan penyakit, terutama untuk perlindungan terhadap infeksi
bakteri dan virus kecuali pada benih sebelum umur satu minggu dan ikan
yang mengalami stres. Penyediaan benih ikan baung pada Balai Benih Ikan
(BBI) sangat diperlukan dalam rangka menunjang kebutuhan benih yang
berkualitas untuk mendukung budidaya pembesaran. Beberapa permasalahan
terkait dengan pengembangan usaha pembenihan ikan baung adalah kondisi
kualitas lingkungan yang tidak baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidupnya. Upaya peningkatan produktivitas pada pendederan ikan baung
secara indoor dapat menggunakan teknologi resirkulasi dengan penggunaan
filter biologi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan
membuat kebijakan mengenai pembenihan yang tertuang dalam Undang-
undang No 31 Tahun 2004 jo. UU 45/2009 tentang PERIKANAN
dan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/
PERMEN-KP/2016. Pemerintah mendukung secara penuh pembudidaya
ikan dalam mengembangkan usahanya dengan mempertimbangkan pada
program penilaian kebutuhan masyarakat, pendekatan solusi, dan partisipasi
masyarakat. Selain itu, diprioritaskan pada kelembagaan atau kelompok yang
sudah ditetapkan agar lebih tepat sasaran, berkelanjutan, dan berdampak
pada usaha yang mandiri.

Anda mungkin juga menyukai