Potensi Budidaya
Ikan Lokal Prospektif:
BAUNG Hemibagrus nemurus
BUNGA RAMPAI
Potensi Budidaya
Ikan Lokal Prospektif:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Dewan Penyunting:
Prof Dr Ir Brata Pantjara, MP
Prof Dr Ir Rudhy Gustiano, MSc
Ir Anang Hari Kristanto, MSc, PhD
Dr drh Angela Mariana Lusiastuti, MSi
Penyunting Pelaksana:
Deni Radona, SPi, MSi
Vitas Atmadi Prakoso, SPi, MSc
MH Fariduddin Ath-Thar, SPi, MSi
C.01/10.2019
Judul Buku:
BUNGA RAMPAI POTENSI BUDIDAYA IKAN
LOKAL PROSPEKTIF: BAUNG Hemibagrus nemurus
Penulis:
Tim Penulis
Dewan Penyunting:
Prof Dr Ir Brata Pantjara, MP
Prof Dr Ir Rudhy Gustiano, MSc
Ir Anang Hari Kristanto, MSc, PhD
Dr drh Angela Mariana Lusiastuti, MSi
Penyunting Pelaksana:
Deni Radona, SPi, MSi
Vitas Atmadi Prakoso, SPi, MSc
MH Fariduddin Ath-Thar, SPi, MSi
Penyunting Bahasa:
Bayu Nugaraha
Mutia Rizqydiani
Korektor
Dwi M Nastiti
Penata Isi dan desain Sampul:
Makhbub Khoirul Fahmi
Jumlah Halaman:
148 + 10 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Oktober 2019
PT Penerbit IPB Press
Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
www.ipbpress.com
ISBN: 978-602-440-942-5
DAFTAR ISI................................................................................................ v
PRAKATA.................................................................................................vii
PROLOG................................................................................................... ix
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN
Brata Pantjara, Anang Hari Kristanto,
Rudhy Gustiano, dan Reza Samsudin ............................................................1
EPILOG..................................................................................................147
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga buku bunga rampai dengan judul
“Potensi Budidaya Ikan Lokal Prospektif: Baung Hemibagrus nemurus”
telah terselesaikan. Buku bunga rampai ini merupakan hasil dari berbagai
kajian riset dan pengalaman peneliti di Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar dan Penyuluhan Perikanan Bogor.
Budidaya ikan baung telah berkembang di masyarakat sejak beberapa tahun
silam karena mempunyai pangsa pasar yang baik. Ketersediaan benih yang
berkualitas dan berkecukupan sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan
budidaya. Untuk itu, pengelolaan induk ikan baung dalam menghasilkan telur
dan sperma yang berkualitas, serta teknik pemijahan buatan dan kelengkapan
panti benih yang memadai dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan
benih ikan baung yang berkualitas. Berbagai aktivitas sangat penting dan
menjadi perhatian utama dalam penyediaan benih, misalnya pemilihan induk
yang akan digunakan dalam pemijahan, sistem pemeliharaan induk, teknik
pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air, nutrisi induk ikan baung,
parasit dan penyakit, serta predator ataupun pesaingnya telah dibahas dalam
buku bunga rampai ini.
Semoga buku bunga rampai ini bermanfaat dan dapat menjadi acuan dalam
meningkatkan ketersediaan benih ikan baung secara nasional.
Editor
PROSPEK PERBENIHAN
1.
Ikan baung termasuk ke dalam hewan nokturnal atau hewan yang aktif di
malam hari. Dengan demikian, baung baru mencari makan pada malam hari,
sedangkan ketika siang hari biasanya berdiam diri di sarang atau di lubang-
lubang berlumpur di tepi sungai. Di habitat aslinya, ikan baung termasuk
golongan omnivora atau pemakan segala. Oleh karena itu, kehidupannya
di alam liar biasanya memakan ikan-ikan kecil, serangga, lumut, dan cacing.
Ikan baung dapat hidup pada suhu 20–33°C. Faktor yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan ikan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, kecernaan
makanan, laju pencernaan, frekuensi pemberian pakan, penyerapan zat
makanan, serta efisiensi dan konversi pakan (Ibrahim et al. 2008; Izquierdo
et al. 2001; Millamena et al. 2002).
Ikan baung banyak ditemukan di perairan Kalimantan, Sumatera, Jawa, hingga
beberapa daerah di wilayah Indonesia timur. Ikan ini dapat dibudidayakan
di kolam maupun keramba jaring apung Ikan baung (Suhenda et al. 2010).
Di perairan umum, ikan baung dapat ditemukan di rawa, danau, dan waduk,
namun baung sebenarnya lebih suka hidup di perairan yang memiliki arus
cukup deras, seperti sungai sehingga ikan tersebut lebih banyak hidup
di sungai. Ikan baung memiliki berbagai keunggulan, yaitu toleransi terhadap
kualitas air dan penyakit relatif tinggi, toleransi terhadap berbagai kondisi
lingkungan, efisien dalam membentuk protein kualitas tinggi dari berbagai
bahan organik, serta memiliki kemampuan tumbuh yang baik (Khairuman
dan Amri 2010; Nwadukwe dan Ayinla 2004).
Ekspor perikanan Indonesia sudah terdistribusi di berbagai negara. Pada skala
ekonomi makro, data International Trade Center (2017) menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu tahun 2012–2016, total nilai ekspor komoditas perikanan
nasional mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 2%. Tahun 2016
total nilai ekspor komoditas perikanan nasional mencapai ± US$2,9 miliar.
Dari nilai tersebut, subsektor perikanan budidaya mendominasi dengan
memberikan share sebesar 60,03% terhadap total nilai ekspor perikanan
nasional. Di samping itu, pendapatan domestik bruto (PDB) perikanan
berdasarkan harga berlaku dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2012–
2016) menunjukkan tren peningkatan dengan rata-rata kenaikan per tahun
sebesar 14,6% dan memiliki kinerja pertumbuhan yang lebih besar dibanding
sektor lainnya. Sementara itu, produksi ikan baung secara nasional belum
3
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN
ke kolam penederan pertama. Larva ikan baung yang dihasilkan dari induk
generasi kedua (G2) hasil domestikasi mempunyai sintasan yang lebih tinggi
dibandingkan larva yang berasal dari induk di alam karena menurunnya
tingkat kanibalisme. Hal positif lainnya adalah parameter bioreproduksi
induk ikan baung G2 hasil domestikasi tidak mengalami penurunan kualitas
(Prakoso et al. 2019 unpublished).
Pendederan untuk penyediaan benih ikan baung dapat dilakukan dengan tiga
tahapan pendederan yang masing-masing segmen pendederan mempunyai
nilai jual di pasaran. Pendederan pertama, dapat dilakukan di kolam
beton atau kolam dengan substrat tanah. Bentuk kolam persegi panjang
atau bujur sangkar dengan ukuran 250–500 m2 atau disesuaikan dengan
luasan lahan yang tersedia. Persiapan kolam untuk pendederan I dengan
melakukan pengeringan kolam tanah untuk mengurangi toksisitas dan pada
kolam beton tidak diperlukan pengeringan hanya pembersihan lumut yang
menempel pada dinding kolam dan kotoran lainnya. Penumbuhan pakan
alami (plankton) pada kolam dasar tanah dengan memberikan pupuk pupuk
organik sebanyak 0,2–0,3 kg/m2. Kedalaman air kolam ± 20 cm dan air
ditinggikan kedalamannya secara bertahap hingga air mencapai kedalaman
± 40 cm selama 5–7 hari. Penebaran larva ikan baung sebanyak 100–150 ekor
/m2 atau 4–6 ekor/L. Waktu penebaran dilakukan pada pagi hari. Pemberian
pakan berupa pelet yang dihaluskan (tepung pelet) sebanyak 1–2 kg dilakukan
setelah dua hari larva ditebar di kolam. Lama pemeliharaan pada pendederan
I sekitar 21 hari. Pada segmen pendederan I, benih ikan baung sudah dapat
dijual dan sudah ada pangsa pasar, namun masih sedikit pembeli. Pendederan
kedua juga dapat dilakukan pada kolam beton atau kolam tanah. Ukuran
kolam dan persiapan kolam budidaya hampir sama dengan pendederan I.
Penebaran benih sebanyak 60–80 ekor/m2 benih hasil pendederan I yang
terseleksi. Pemberian pakan sebanyak 2–4 kg tepung pelet atau pelet yang
telah direndam yang diberikan setiap hari. Pendederan II dengan lama
pemeliharaan selama 30 hari. Pada segmen pendederan kedua, benih ikan
baung mulai banyak peminat dan sudah ada pangsa pasar dan cukup banyak
pembeli karena digunakan untuk usaha bisnis pendederan ikan yang cukup
memberikan keuntungan.
7
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN
Tabel 1.1 Kondisi awal induk ikan baung (H. nemurus) sebelum diberi pakan
perlakuan
Bobot induk (g) Berat gonad IKG FR HR
Awal Akhir (g) (%) (%) (%)
Kisaran 413,20–1.110 401,90–1.012,80 2,50–106,50 0,4–13,81 90 80
Rerata ± st dev 730±223,98 689,15 ± 207,80 41,01± 36,34 5,36 ± 4,20 90 80
Sumber: Sunarno et al. (2018)
Pada kondisi ini, induk ikan baung sulit beradaptasi karena konsumsi pakan
hariannya yang relatif rendah. Fluktuasi pakan harian pada induk ikan baung
pada pakan yang diberikan dan tidak direspons oleh ikan akan mengendap
di dasar wadah dan berpotensi mencemari perairan. Hasil pengamatan
induk yang matang gonad, pemijahan, dan pengukuran performa reproduksi
tercantum pada Tabel 1.2. Induk ikan baung pada pakan uji mempunyai
fekunditas tertinggi, kemudian diikuti oleh kontrol. Induk ikan baung diberi
pakan uji (109.722 butir), selanjutnya pakan kontrol (38.010 butir).
Tabel 1.2 Performa reproduksi induk ikan baung (H. nemurus) pada berbagai
suplementasi asam lemak
Pakan
Parameter Satuan Pakan uji
komersial
Pertumbuhan mutlak g 96 120
Jumlah ikan memijah Ekor 1 1
Jumlah telur Butir 105.618 109.722
Fekunditas total - 10.604 11.969
Derajat pembuahan % 92 96
Derajat penetasan % 86 92
Produksi larva selama 25 hari - 90.831 18.653
Produksi larva per 100 g induk 9.120 2.035
Diameter telur (mm) mm 0,32 0,34
Indek kematangan gonad (%) % 9,44 12,93
Sumber: Sunarno et al. (2018)
Dilaporkan oleh Sunarno et al. (2018) bahwa pemijahan ikan dilakukan dua
kali dengan selang waktu 25 hari. Tingkat pembuahan telur meningkat pada
pakan uji (96%), kemudian pakan komersial (92%). Tingkat penetasan telur
tertinggi pada pakan uji (92%), kemudian kontrol (86%).
9
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN
MASYARAKAT/
HATCHERY
PEMBUDIDAYA
Tingkat pusat atau UPT yang bertanggung jawab dalam pembuatan dan
penerapan SOP; melakukan kegiatan pengembangan di beberapa lokasi yang
terpilih, meliputi pembinaan, pengawasan, monitoring, dan evaluasi terhadap
kegiatan perbenihan, sosialisasi sertifikasi, distribusi induk, dan calon induk.
Tercapainya penyediaan benih harus diimbangi dengan permintaan masyarakat
atas kebutuhan benih. Perbenihan akan berkembang dan berkelanjutan
apabila permintaan benih ikan baung oleh masyarakat cukup banyak. Untuk
itu, dukungan masing-masing daerah di tingkat provinsi sangat dibutuhkan.
Dukungan pemerintah pada perbenihan ikan baung diprioritaskan pada
kelembagaan atau kelompok pembudidaya ikan yang sudah ditetapkan agar
lebih tepat sasaran, berkelanjutan, dan berdampak pada usaha yang mandiri
untuk kesejahteraan masyarakat.
Strategi untuk mencapai kelembagaan yang kuat dapat dilakukan melalui
pendampingan teknologi kepada masyarakat, misalnya dengan pelatihan,
bimbingan, pembinaan, kegiatan diseminasi, atau membuat demplot di
beberapa daerah karena masing-masing daerah mempunyai kondisi lahan yang
berbeda sehingga perlu penanganan yang spesifik. Bimbingan pada kelompok
melalui organisasi kelompok mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi,
serta budaya masyarakat. Pembinaan kemitraan melalui inti plasma, perbankan,
antarkelompok binaan dan penguatan modal usaha, serta pemberian bantuan
paket sarana produksi bagi kelompok pemula sehingga sesuai dengan
sasaran yang diinginkan pemerintah. Saat ini, banyak pembudidaya atau
kelompok pembudidaya secara mandiri mengembangkan usahanya. Untuk
itu, pemerintah mengarahkan kelompok pembudidaya yang telah tergabung
dengan kelembagaan pembudidaya ikan yang kuat dan mandiri dengan
harapan peranan kelembagaannya lebih efektif dan berkesinambungan, serta
berdampak positif bagi kemandirian usaha. Pemerintah dalam mengajukan
program kegiatan didasari pada penilaian kebutuhan masyarakat (need
assessment), pendekatan solusi (solution approach), dan partisipasi masyarakat
(social participatory). Langkah ini sangat penting sebagai faktor utama dalam
membangun pengembangan komunitas (community development) yang efektif
dan secara langsung mendorong pemberdayaan dalam meningkatkan kapasitas
usaha pembudidaya ikan dan upaya kelompok pembudidaya mendapatkan
kemudahan akses terhadap input produksi, teknologi, dan informasi pasar
sehingga mampu mandiri.
12 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Keputusan bersama DPR RI dan Keputusan
Presiden RI. 86 Hlm.
Anonim. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
nomor 45/Permen-KP/2015 tentang perubahan atas peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan nomor 25/Permen-KP/2015 tentang rencana
strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015–2019.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 92 Hlm.
Anonim. 2016. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia no 35/Permen-KP/2016 tentang cara pembenihan ikan yang
baik. Kementerian Kelautan dan Perikanan, (KKP). 19 Hlm.
13
PROSPEK PERBENIHAN IKAN BAUNG
DALAM MENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN
Ikan baung khususnya jenis Hemibagrus nemurus merupakan salah satu jenis
komoditas air tawar yang relatif mahal di Indonesia. Menurut Gustiano et
al. (2015) ikan ini merupakan salah satu sumber daya genetik dari 22 jenis
ikan air tawar yang dapat digunakan untuk diversifikasi usaha budidaya.
Penurunan populasi ikan baung di alam terjadi akibat eksploitasi secara
berlebihan dan intensifikasi usaha budidaya menggunakan benih dari alam.
Beberapa alasan ikan baung menjadi komoditas andalan karena kualitas dan
kuantitas dagingnya mendukung kuliner di daerah Sumatera dan Kalimantan,
serta harga yang cukup menjanjikan berkisar antara Rp45.000–60.000/kg di
tingkat penghasil. Hasil analisis komoditas melaporkan bahwa ikan baung
menduduki posisi kelima dari 15 komoditas yang dikaji di Kalimantan Selatan
(Sukadi et al. 2009). Di Indonesia, upaya budidaya ikan baung pertama
dilaporkan oleh Gaffar et al. (1992). Pada tahun 2007, produksi baung
dunia sebesar 3.477 ton dengan nilai USD7.718.000 yang dihasilkan oleh
Indonesia dan Malaysia. Secara statistik, Malaysia telah tercatat lebih dahulu
memproduksi ikan baung oleh FAO pada tahun 1993 sebesar 29 ton dengan
nilai sebesar USD74.000. Dalam periode tahun 1994–1996, terjadi lonjakan
peningkatan produksi sebesar 300–500%. Peningkatan produksi terus terjadi
dalam kurun waktu 1997–2003, hingga mencapai angka produksi sebesar
1,366 ton dengan nilai USD3,088. Sementara Indonesia baru tercatat sebagai
negara produser ikan baung oleh FAO sejak tahun 2004 dengan nilai produksi
16 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
sebesar 541 ton senilai USD842,000. Produksi meningkat pada tahun 2007
menjadi 2,277 ton dengan nilai USD4,691.000. Berdasarkan data yang
dilaporkan FAO pada tahun 2007, Indonesia adalah negara penghasil ikan
baung nomor satu di dunia.
Pada Tabel 2.1, ikan baung menunjukkan peningkatan lebih dari 1000 kali
dalam waktu 14 tahun, 29 ton pada tahun 1993 menjadi 3.477 ton pada tahun
2007. Sangatlah ironis informasi produksi dan perkembangan budidaya ikan
baung di Indonesia masih langka dibandingkan dengan di Malaysia hingga
saat ini. Hal ini diduga produksi ikan baung di Indonesia masih mengandalkan
hasil tangkapan dari alam, baik untuk ukuran ikan konsumsi maupun ukuran
benih untuk kegiatan budidaya. Oleh karena itu, budidaya ikan baung harus
segera dibenahi untuk meningkatkan dan mempertahankan keunggulan
potensi yang sudah ada pada ikan ini. Ilustrasi pola produksi dalam usaha
budidaya ikan baung di Indonesia ditampilkan dalam Gambar 2.1.
17
KEANEKARAGAMAN IKAN BAUNG
Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)
Sumber benih
(Jawa Barat dan Kalimantan Selatan)
Budidaya
(Sumatera, Jawa dan Kalimantan)
Kolam Karamba
KJA
KONSUMSI
6a. Kepala lebar dan pipih, berwarna terang pada bagian utama
sirip ekor, daerah humeral berwarna krem, sungut maxila
menyentuh bagian tengah dasar sirip punggung......... Hemibagrus wyckii
6b. Dasar sirip lemak pendek (<19% SL), tubuh tanpa garis hitam
pada gurat sisi.......................................................................................7
7a. Jarak sirip punggung ke sirip lemak 8–11% SL, bagian belakang
sirip punggung menyentuh atau melebihi awal
sirip lemak........................................................... Hemibagrus lacustrinus
7b. Jarak sirip punggung ke sirip lemak 11–18% SL, bagian belakang
sirip punggung menyentuh atau melebihi awal sirip lemak....................8
8a. jarak antar bola mata 32–37% cHL........................Hemibagrus planiceps
8b. Jarak antar bola mata 28–34% cHL, panjang moncong 33–41%SL,
sirip lemak relatif pendek......................................................................9
9a. Alat kelamin jantan tidak menyentuh sirip dubur,
bagian atas sirip ekor ke arah belakang membulat,
tidak memiliki perpanjang sirip................................. Hemibagrus bongan
9b. Alat kelamin jantan menyentuh sirip dubur, bagian atas sirip ekor
lonjong, memiliki perpanjang sirip............................... Hemibagrus velox
22 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
B C
Gambar 2.3 Ikan baung, Hemibagrus nemurus (salah satu contoh ikan
Hemibagrus di Indonesia) A. seluruh tubuh; B. bagian kepala;
C. gigi premaxillary (sumber: Bleeker 1862)
23
KEANEKARAGAMAN IKAN BAUNG
Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840)
Gambar 2.4 Hemibagrus nemurus, 400 mm SL, 23 Mei 2010, Waduk Gajah
Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia (Sumber: fishbase.
org)
sekat dibagian dalamnya. Dasar sirip pengendali lebih pendek dari sirip
punggung dan kurang lebih sebanding dengan sirip dubur. Sungut (kumis)
dua pasang; sungut hidung memanjang melebihi belakang mata, sedangkan
sungut dari sudut bibir melebihi pangkal sirip perut. Kepala agak mendatar
daripada menonjol; sirip punggung tidak menyentuh sirip pengendali; sirip
dada lunak bagian depan; terdapat sembilan sirip dubur yang bercabang. Ikan
ini dimanfaatkan secara komersial sebagai ikan konsumsi atau ikan hias.
Ekologi dan tingkah laku: Pada umumnya, ikan ini hidup di sungai besar
yang berlumpur atau lunak dan ada aliran yang tidak terlalu deras (Gustiano
et al. 2015). Ikan baung sering berpindah dari habitat sungai ke daerah
genangan atau banjir di sekitar hutan di musim penghujan untuk memijah.
Makanan ikan baung berupa udang-udangan dan ikan. Sebagai ikan karnivor,
ikan baung termasuk salah satu pemangsa level atas dalam rantai makanan.
Panjang total maksimum adalah 65,0 cm. Ikan baung merupakan salah satu
ikan yang bernilai tinggi sebagai ikan konsumsi.
Distribusi: Ikan baung di Indonesia memiliki sebaran di Pulau Jawa (Gambar
2.5).
DAFTAR PUSTAKA
Berra TM. 2001. Freshwater Fish distribution. San Diego: Academic Press,
xxxv+604pp.
Bleeker P. 1858a. Enumeratios [Ecierum piscium javanensium hucusque
cognitarium. Naturkundig Tijdshcrift voor Nederlandshc Indie
15: 359–456.
Bleeker P. 1858b. […eenige vischsoorten, hem toegezonden van
Banjoewangi…, eenige andere, verzameld te Buitenzorg, …reptilian,
te Buitenzorg verzameld…]. Naturkundig Tijdshcrift voor Nederlandshc
Indie 16: 47–49.
Bleeker P. 1858c. […eenige slangen en vischen, gevangen in de omstreken
van Montrado de gawezen hoofplats der chinezen ter westkust van
Borneo…]. Naturkundig Tijdshcrift voor Nederlandshc Indie 16:
196–197.
Bleeker P. 1858d. […vischsoorten uit de rivier van Palembang…], Naturkundig
Tijdshcrift voor Nederlandshc Indie 16: 263–266.
Bleeker P. 1858e. Ichyyologiae archipeagii indici prodromus. Volume 1 Siluri
DE vischen van den indischen archipel beschreven en toegelicht Deel 1
siluri. Acta Societatis Scientarum Indo-Nederlandicae 4(2): i–xii + 1–370.
[Preprint published in1858, journal in 1859; also Published by Lange,
Batavia i–xii + 1–370].
Bleeker P. 1858f. Zevende bijdrage tot de kennis den vischfauna van Sumatra
Visschen van Palembang. Acta Societatis Scientarum Indo-Nederlandicae
4(2): I–xii + 1–370. [Preprint published in1858, journal in 1859].
Bleeker P. 1858g. Twaalfde bijdrage tot de kennis den vischfauna van Borneo
Visschen van Singkawang. Acta Societatis Scientarum Indo-Nederlandicae
5(7): 1–10. [Preprint published in1858, journal in 1859].
Bleeker P. 1862. Atlas ichthyologique des Indes orientales néêrlandaises: publié
sous les auspices du gouvernement colonial néêrlandais. II. Siluroide,
Chacoïdes et Heterobranchoïdes. 112 pls. 49–101.
Cuvier G, Valenciennes A. 1840. Histoire Naturelle Des Poissons, 14. Pitois-
Levrault, Paris. 464 pp, pls 389–420.
26 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
oleh sperma dari induk ikan baung jantan. Penggunaan teknik pemijahan
buatan dan kelengkapan panti benih yang memadai dapat membantu dalam
memenuhi kebutuhan benih ikan baung yang berkualitas (Kristanto et al.
2016) dan Radona et al. (2018). Keberhasilan pemijahan ikan baung yang
dilakukan oleh pembudidaya tergantung dari kualitas induk yang dipijahkan.
Kualitas induk ikan baung dapat ditingkatkan melalui menajemen induk yang
baik. Kegiatan manajemen induk ikan baung meliputi penyediaan induk dan
transportasi induk asal alam ke wadah budidaya, pemilihan induk ikan baung
yang akan digunakan dalam pemijahan, sistem pemeliharaan induk, teknik
pemberian pakan serta pengelolaan kualitas air, nutrisi induk ikan baung,
parasit dan penyakit, serta predator dan pesaingnya.
Pemeliharaan induk ikan baung telah dilakukan oleh Subagja et al. (2015)
di kolam tembok luasan 20 m2 dan diisi ikan sebanyak 20 ekor dengan
rasio pemeliharaan 15 ekor betina dan 5 ekor jantan. Ikan diberi pakan
buatan kadar protein 28–30%, diberikan sebanyak 3% dari biomassa yang
didistribusikan dua kali sehari, yaitu pagi hari sekitar pukul 8.00 dan sore hari
pukul 18.00. Pemeliharaan induk ikan baung dapat juga dilakukan di keramba
yang ditempatkan dalam kolam atau diletakkan di sungai. Pemeliharaan
induk ikan baung dalam keramba dapat dilakukan dengan padat tebar 32
ekor per keramba yang berukuran 1 m x 1 m x 1,5 m dengan pemberian
pakan komersil yang mengandung 41% protein dengan pemberian 1,5% dari
biomas per hari. Pemberian ikan rucah dapat digunakan untuk mempercepat
tingkat kematangan gonad dengan dosis pemberian 6% sekali setiap minggu
(Muflikhah et al. 2005). Pemeliharan ikan baung di kolam mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pemeliharaan induk ikan
baung dikolam, antara lain pencemaran yang terjadi terhadap air kolam sedikit,
bila air berasal dari mata air, bila kolam dipupuk, pakan alami dapat tumbuh
sehingga dapat meningkatkan produktivitas ikan yang dipelihara. Kekurangan
yang dijumpai pada pemeliharaan di kolam, antara lain kebutuhan air untuk
penggantian tergantung dari musim, serta perubahan kualitas air pada siang
dan sore bisa sangat ekstrem tergantung dari alkalinitas air akibat limbah
pakan dan feses sehingga terjadi endapan yang perlu diangkat secara berkala.
Bila pemeliharaan induk ikan baung di karamba, mempunyai kelebihan
penggunaan padat tebar ikan bisa tinggi dengan volume air yang kecil.
Selain itu, pemeliharaan ikan baung di karamba memerlukan teknologi yang
sederhana dan relatif murah, serta pengelolaan dan manajemen pemberian
pakan dan penangkapan induk untuk pengecekan tingkat kematangan gonad
relatif mudah. Beberapa kendala yang sering dijumpai pemeliharaan ikan di
karamba adalah kematian masal akibat cemaran air dan karamba terbawa
banjir (Slembrouck et al. 2005).
mempunyai nilai kecernaan yang baik. Pemberian pakan induk ikan baung
dilakukan sehari dua kali dan diberikan selama enam hari dalam seminggu.
Untuk tujuan pengosongan lambung dan memacu nafsu makan, pemberian
pakan tidak diberikan selama satu hari dalam seminggu. Pemberian pakan
dilakukan secara perlahan agar induk ikan baung terbiasa dan pakan tidak
banyak terbuang pada dasar perairan. Selain itu, pembudidaya dapat sekaligus
melihat perilaku induk ikan baung yang diberi makan. Pakan yang diberikan
terhadap induk ikan baung, perlu dievaluasi jumlah takaran yang diberikan
setiap bulannya, penyesuaian takaran yang diberikan dilakukan dengan
mengambil sampel induk ikan baung sebanyak 10% dari populasi dan
mengukur berat dari induk ikan baung yang diperoleh, kemudian perhitungan
pemberian takaran pakan mengikuti hasil kalkulasi yang baru.
Evaluasi penyesuaian takaran diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan
dan proses kematangan gonad induk ikan baung. Pada proses pemeliharaan
induk ikan baung, sering kali dijumpai jenis ikan lain yang hidup dalam wadah
pemeliharaan yang sama. Ikan ini mengganggu karena pada saat pemberiaan
pakan, ikan jenis lain akan mengambil porsi pakan induk baung. Ikan jenis
lain masuk ke wadah pemeliharaan dapat melalui saluran masuk, baik dalam
bentuk telur yang kemudian menetas di dalam kolam atau juga larva atau
benih yang terbawa air yang masuk ke kolam induk. Oleh karena itu, jenis
ikan liar, harus sering dibersihkan secara berkala (Slembrouck et al. 2005).
Produksi telur dan larva berkualitas dari induk ikan baung dapat dicapai
melalui penanganan biologi reproduksi, pengelolaan metabolisme tubuh, dan
lingkungan akuatik yang baik. Pakan induk merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam kemampuan ikan untuk reproduksi. Keberhasilan program
domestikasi menyebabkan ikan baung yang awalnya bersifat omnivor dapat
diberikan pakan komersil berupa pelet dengan kandungan protein 30%.
Pakan diberikan sebanyak 2% dari bobot badan per hari dengan frekuensi
dua kali sehari (Hardjamulia dan Suhenda 2000). Abidin et al. (2006)
menyatakan kebutuhan protein induk ikan baung sebesar 35% yang berasal
dari sumber hewani (tepung ikan dan tepung hasil limbah) dan protein dari
tanaman (kedelai, biji minyak, dan sereal). Energi berasal dari lemak 3–8%
(minyak sayur atau lemak dari limbah). Pakan komersil ini dapat mendukung
pertumbuhan dan meningkatkan kualitas telur yang dihasilkan. Asam lemak
esensial tidak dapat diproduksi di dalam tubuh ikan baung. Oleh karena itu,
kebutuhan akan asam lemak dapat di berikan melalui pakan (Bautista dan
32 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
induk sebelum diisi dengan air, kolam dikeringkan dan dijemur, diberi
kapur, kemudian diisi air dengan kedalaman 10 cm. Penambahan air sampai
kedalaman yang diinginkan dilakukan tiga atau empat hari setelah organisme
yang tidak diinginkan mati.
akhir, ditandai dengan warna telur yang berwarna kuning. Bila telur masih
berwarna putih, menandakan telur masih belum matang, sebaliknya bila
ukuran telur besar dan berwarna bening menandakan telur telah memasuki
fase over riping. Telur yang mempunyai ukuran yang sama dengan sedikit
basah, mudah dipisahkan satu dengan lainnya, dan telah mencapai ukuran
1,5 mm menandakan induk ikan siap menerima rangsangan hormon. Ikan
jantan yang siap untuk pemijahan dipilih berdasarkan kriteria panjang genital
papilla yang sudah melewati pangkal sirip anal. Ikan jantan, matang kelamin
dilihat dari ujung papila berwarna kemerah-merahan serta keluarnya cairan
kalau dilakukan pengalinan.
Penandaan (tagging) sangat diperlukan dalam manajemen induk. Hal ini karena
penggunaan tanda pada setiap ekor ikan dapat diikuti tingkat perkembangan,
baik pertumbuhan dan gonadnya. Pemberian tanda pada ikan juga dapat
membantu pembudidaya dalam mengikuti kejadian yang dilakukan induk
ikan baung, seperti serangan penyakit, penanganan pengobatan, frekuensi
penggunaan induk untuk pemijahan, kualitas dan jumlah telur yang dihasilkan,
serta jumlah larva yang diperoleh. Penggunaan penanda dapat menggunakan
metode sederhana, seperti pengguntingan sirip dan pewarnaan dengan cap
menggunakan alat dipanaskan atau PIT tagging (passive inductance transponder
tagging) yaitu tanda pengenal untuk ikan berdasarkan metode elektronik. PIT
tag mempunyai beberapa keuntungan, antara lain mudah digunakan, tidak
membahayakan bagi ikan, serta penggunaan kode yang unik, namun mudah
di baca serta tidak mudah rusak. Pemberian penanda dilakukan setelah ikan
dibius dengan menggunakan jarum penyuntik yang telah diberi PIT tag. PIT
tag disuntikkan di bagian akhir sirip dorsal (punggung). Jarum suntik yang
telah berisi PIT tag setelah disuntikan kedalam tubuh ikan, nomor yang tertera
dalam PIT tag dapat dibaca dengan menggunakan PIT tag reader. Manajemen
induk merupakan aspek penting dalam budidaya ikan baung. Manajemen
induk yang tepat akan menghasilkan kualitas telur, sperma, dan larva yang
baik, serta dapat meminimalkan kematian induk melalui pengaturan kualitas
air, pemberian pakan yang tepat, dan pencegahan penyakit.
35
MANAJEMEN INDUK IKAN BAUNG
DAFTAR PUSTAKA
Adebiyi FA, Siraj SS, Harmin SA, Christianus A. 2013. Induced spawning
of a river catfish Hemibagrus nemurus (Valenciennes 1840). Pertanika
Journal of Tropical Agricultural Science 36(1): 71–78.
Abidin MZ, Hashim R, Chung AC. S. 2006. Influence of dietary protein
levels on growth and egg quality in broodstock female bagrid catfish
(Mystus nemurus Cuv. & Val.). Short Communication. Aquaculture
Research 37: 416–418.
Bromage NR, Roberts RJ. 2001. Broodstock management and egg and larval
quality. Institute of Aquaculture. University of Sterling. 414p.
Bautista MN, De La Crus MC. 1988. Linoleic (n-6) and linolenic (n-3) acids
in the diet of fingerling milkfish Chanos chanos forskal, Aquaculture 71:
347–358.
Gaffar AK, Muflikhah N. 1992. Pemijahan buatan dan pemeliharaan larva
ikan baung. pros. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar
1991/1992. Balitkanwar Bogor. 254–257 p.
Hardjamulia A, Suhenda N. 2000. Evaluasi sifat reproduksi dan sifat
gelondongan empat strain ikan baung (Mystus nemurus) di keramba
jaring apung di Waduk Cirata. Prosiding Hasil Penelitian Balai Penelitian
Perikanan Air Tawar 1999/2000. Sukamandi.
Izquierdo MS, Fernandes-Palacios H, Tacon AGJ. 2001. Effect of broodstock
nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture 197: 25–
42.
Khaidir A. 2001. Pengaruh vitamin C dalam bentuk L-Askorbil-2-fosfat
Magnesium sebagai sumber vitamin C dalam pakan terhadap kualitas
telur ikan patin (Pangasius hypophthalmus) [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian BogorSekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 62 p.
Kristanto AH, Subagja J, Ath-thar MHF, Arifin OZ, Prakoso VA, Cahyanti
W. 2016. Pengaruh suhu inkubasi induk dan pemberian naungan pada
larva terhadap produksi benih ikan baung, Jakarta; Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur 2016, pp. 166–167.
36 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
IKAN BAUNG
Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin,
Vitas Atmadi Prakoso, dan Deni Radona
Pada tahun 2017, rata-rata harian konsumsi protein per kapita masyarakat
Indonesia hanya berada diangka 46,49 kg per tahun (BPS 2017a). Sementara
itu, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi ikan segar
pada tahun 2017 sebesar 1,323 kg (BPS 2017b). Seiring dengan tumbuhnya
perekonomian Indonesia, kesadaran masyarakat akan konsumsi ikan
semakin tinggi. Demikian pula dengan adanya program Gemar Makan
Ikan yang dikampanyekan KKP, angka konsumsi akan terus bergerak naik.
Budidaya ikan air tawar dari sisi produksi, pada tahun 2017 produksi
perikanan nasional mencapai 23,26 juta ton. Dari jumlah tersebut, produksi
perikanan tangkap sebanyak 6,04 juta ton dan produksi perikanan budidaya
17,22 juta ton (BPS 2017a). Kenaikan produksi budidaya ikan dalam kolam
air tawar cukup pesat, yaitu berkisar 11% setiap tahun. Hal ini menunjukkan
ada gairah besar di masyarakat untuk mengembangkan usaha budidaya ikan
air tawar. Tentunya pertumbuhan produksi ini mengacu pada permintaan
pasar yang terus meningkat, sejalan dengan penambahan jumlah jenis ikan
yang dibudidayakan. Jenis ikan air tawar yang baru mulai dilirik untuk
dikembangkan dimasyarakat sebagai komoditas budidaya beberapa spesies
berasal dari ikan perairan umum, salah satunya yaitu ikan baung.
Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan salah satu komoditas ikan air
tawar yang ekonomis penting di indonesia dan telah mendapatkan popularitas
di kalangan konsumen dalam negeri, serta di wilayah asia tenggara. Ikan ini
memiliki kualitas daging baik dan nilai gizi tinggi sehingga akan berdampak
terhadap harga jual yang tinggi dibandingkan dengan dari jenis ikan “catfish”
air tawar lainnya. Namun, komersialisasi dan budidaya masif terhadap spesies
ini masih terbatas. Hal ini karena belum didukung oleh keberadaan panti
40 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
benih yang memproduksi benih baung. Di sisi lain, induk ikan baung yang
sudah dipergunakan untuk proses penyediaan benih masih berasal dari
indukan alam sehingga masih banyak permasalahan dalam penyesuaian
dengan lingkungan budidaya. Dengan demikian, penyediaan benih baung
untuk budidaya pembesaran sebagian besar masih mengandalkan tangkapan
benih dari alam.
Penggunaan induk baung yang berasal dari alam seringkali belum teradaptasi
pada kondisi lingkungan baru. Dengan demikian, faktor alamiah masih
sangat dominan dalam memengaruhi proses reproduksi induk. Beberapa
parameter yang berpengaruh pada proses reproduksi di antaranya kondisi
suhu lingkungan, fotoperiod, faktor sosial (kepadatan) dan curah hujan, serta
pakan alami. Hal ini didukung dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Alawi et al. (1992) dan Handoyo et al. (2010). Di alam, siklus reproduksi
ikan baung umumnya terjadi pada musim hujan dengan puncak pemijahan
pada bulan Oktober–Desember. Salah satu strategi untuk menggantikan
sinyal lingkungan yang kebutuhan ikan baung untuk bereproduksi pada
kondisi lingkungan budidaya, dapat dilakukan melalui pemberian hormon
reproduksi. Teknologi ini mudah dan efektif diaplikasikan kepada pengelola
panti benih dalam upaya pecepatan reproduksi benih.
Salah satu contoh dosis LHRHa yang digunakan untuk pemijahan induk
ikan baung dari alam yang baru diadaptasikan pada lingkungan budidaya,
menggunakan dosis 0,6–0,7 mL/kg bobot induk (Subagja et al. 2015),
sedangkan dosis anjurannya 0,5 mL/kg..
Penguasaan teknik produksi benih masih didominasi oleh Jawa Barat dan
Kalimantan Selatan yang memiliki keunggulan teknologi perbenihan
dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini karena keberadaan institusi
pemerintah di bidang perikanan yang berperan aktif dan lebih maju, sedangkan
untuk kegiatan budidaya skala pembesaran memiliki cakupan wilayah yang lebih
luas di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Di Pulau Jawa, usaha pembesaran
ikan baung terkonsentrasi di beberapa waduk besar, antara lain Waduk Cirata
di Jawa Barat dan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Di Pulau Sumatera,
usaha budidaya terkonsentrasi di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan
Lampung. Budidaya di Pulau Sumatera lebih banyak diusahakan di kolam dan
sungai. Di Pulau Kalimantan, usaha budidaya ikan baung banyak dilakukan
di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, teknik pemeliharaan
di lokasi tersebut lebih banyak dilakukan dalam keramba di sungai.
Jantan Betina
Gambar 4.1 Perbedaan morfologi kelamin antara Induk jantan dan betina
ikan baung
dan sintasan (>95%). Untuk induk jantan, pematangan gonad bisa dipercepat
melalui implantasi hormon 17α-metil testosteron dengan dosis optimal
200 mg/kg (Sularto et al. 2010).
Pemeliharaan induk ikan baung dapat dilakukan di kolam tanah, beton, atau
fiber. Untuk pemeliharaan di kolam, sebagai contoh dengan menggunakan
kolam berukuran 5 x 2 m dan ke dalam air kolam 1 m, perlu dilakukan
pengeringan terlebih dahulu selama 2–3 hari, kemudian kolam diisi dan
dialirkan secara kontinu. Pemeliharaan induk baung dilakukan terpisah
antara jantan dan betina agar mempermudah dalam proses pengecekan.
Kepadatan optimal pemeliharaan induk, yaitu 2 ekor/m3. Kolam dilengkapi
dengan saluran pemasukan (inlet) dan saluran pengeluaran (outlet). Selama
pemeliharaan, induk diberi pakan berupa pelet komersil dengan kandungan
protein berkisar antara 28–32%, kandungan lemak berkisar antara 6–8%.
Pakan diberikan sebanyak 3% dari bobot bimassa dengan frekuensi pemberian
tiga kali sehari (pagi, siang, dan sore).
A B
Gambar 4.2 Penanda elektronik (Chip electronic tag) dan jarum implanter
A) Penyisipan penanda pada induk ikan baung; B) intramuscular
pada bagian punggung sebelah kanan sirip dorsal
44 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Teknik penyuntikan
Setelah induk dipilih dan ditempatkan pada wadah, selanjutnya adalah
penyuntikan hormon, jenis hormon yang biasa dipergunakan adalah HCG
dan LHRHa. Strategi pertama, penyuntikan hormon pada induk yang sudah
matang akhir. Hormon yang ini praktis digunakan sebagai perangsang ovulasi
atau spermiasi dengan dosis 0,6 mL/kg untuk induk betina dan 0,2 mL/kg
untuk induk jantan. Penyuntikan dilakukan dua kali menggunakan sGnRHa
+ domperidone. Penyuntikan pertama dan kedua diberikan sebanyak 30%
dan 70% dari dosis total dengan interval waktu penyuntikan 6–7 jam. Untuk
menghindari luka pada induk pascapemijahan, hendaknya penyuntikan
pertama dan kedua dilakukan di tempat yang berbeda (punggung kiri dan
kanan). Penyuntikan ikan jantan hanya dilakukan satu kali penyuntikan
46 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
24
4. 4. 10-12
Jam Jam
4. Pengecekan 4. HCG 500IU/Kg Ovaprim
4.
Ovulasi
Induk (0.6 mL/kg)
4.
(Stripping)
Gambar 4.5 Proses pemijahan buatan ikan baung melalui strategi kedua
priming injection dan dilanjutkan dengan penyuntikan akhir
Teknik stripping
Induk ikan baung yang telah disuntik hormon akan mengalami ovulasi
setelah 7–9 jam setelah penyuntikan pada suhu air 26–29oC. Induk betina
yang sudah siap ovulasi dicirikan tidak aktif bergerak dan perut sangat
mengembang. Bisa dilakukan pengecekan, yaitu dengan cara melakukan
pengurutan secara perlahan. Apabila telur sudah keluar, menandakan ikan
siap ovulasi. Tahap selanjutnya adalah melakukan stripping ikan betina. Ikan
betina yang siap ovulasi diangkat dari wadah, kemudian badan ikan dibalut
kain sekaligus dikeringkan, kemudian dilakukan pengurutan secara perlahan
diawali menekan pada pangkal urogenital. Telur mulai keluar dan ditampung
menggunakan mangkuk. Setelah telur keluar mulai lancar, pengurutan
47
TEKNOLOGI REPRODUKSI IKAN BAUNG
selanjutnya bisa dilakukan pada bagian perut atas diurut ke belakang. Telur
hasil stripping lalu ditimbang, dengan syarat baskom yang dipergunakan
sudah diketahui bobotnya (Gambar 4.6). Total telur yang dihasilkan adalah
selisih bobot telur yang dihasilkan dikurangi dengan bobot waskom (ova
somatik). Menurut Suhenda et al. (2004), indeks ovasomatik ikan baung
mencapai 14,7%. Sebelum melakukan stripping ikan betina, langkah yang
harus dilakukan adalah menyiapkan sperma.
Gambar 4.7 Preparasi sperma ikan baung dari induk jantan yang telah
disuntik LHRHa
Agar sperma bertahan lebih lama, gelas yang berisi larutan sperma disimpan
diatas wadah yang telah dialasi es batu (suhu 6oC) atau setara suhu
refrigerator.
Pembuahan
Campurkan larutan sperma ke dalam telur lalu aduk hingga rata menggunakan
bulu ayam sebagai alat pengaduk. Telur dan sperma yang sudah tercampur
lalu diaktifasi dengan cara menambahkan air bersih dan diaduk kembali
menggunakan bulu ayam supaya pembuahannya merata. Setelah itu, telur
dibilas dengan air bersih sampai tidak ada lagi sisa sperma yang menempel.
Proses fertilisasi (pembuahan) akan berlangsung cepat karena sperma ikan
baung akan aktif bergerak dan bertahan hidup hampir tiga menit setelah
terkena air (Gambar 4.8).
Penetasan telur
Telur ikan baung bersifat menempel pada substrat (adhesive), pada proses
inkubasi telur bisa menggunakan substrat penempel, atau langsung ditebar ke
dasar wadah (Gambar 4.9). Telur akan menetas optimal pada suhu 28oC. Telur
yang terbuahi berwarna bening atau transparan, sedangkan telur yang tidak
terbuahi berwarna putih pucat. Fekunditas induk ikan baung bisa mencapai
60.000 butir/ekor dengan nilai derajat pembuahan sebesar 70–80%, derajat
penetasan sebesar 30–80% dan kelangsungan hidup sebesar 50–60% (Subagja
et al. 2012). Untuk hasil yang lebih baik dan menghindari jamur pada
telur, sebaiknya dilakukan treatment dengan direndam emolin dengan dosis
0,05 mL/liter air. Bahan kimia ini mudah didapat di toko kimia atau apotek.
substrat, telur akan menetas dalam 2–3 hari pada suhu 26–29oC. Substrat
penempel bisa menggunakan kasa tray, telur ikan baung yang bagus ditandai
dengan daya rekat pada substrat.
Penetasan di Akuarium
Pada umumnya, penetasan telur ikan baung lebih banyak dilakukan di
akuarium. Akuarium disiapkan dengan ukuran tertentu dan sebaiknya
disterilisasi. Selanjutnya, akuarium diisi air setinggi 30 cm. Masing-masing
akuarium dipasang dua buah titik aerasi dan dihidupkan selama proses
penetasan. Telur ditebarkan hingga merata ke seluruh permukaan dasar
akuarium dan biarkan telur menetas dalam 2–3 hari pada suhu 26–30oC.
Gambar 4.10 Penebaran telur pada dasar akuarium (kiri), akuarium tempat
pemeliharaan larva menggunakan sistem air resirkulasi (kanan)
Pemanenan Larva
Pemanenan larva dilakukan setelah 24 jam telur menetas. Pada periode
tersebut, cadangan makanan berupa kuning telur (yolk sack) pada larva sudah
mulai menipis. Umumnya, larva akan menetas dan berenang pada permukaan
wadah. Substrat diambil dari wadah penetasan sehingga yang tersisa hanya
larva yang menetas saja karena telur yang tidak menetas akan tetap menempel
pada substrat. Larva ikan baung yang baru menetas memiliki panjang
0,5 cm dengan bobot 0,7 mg. Larva dapat dilakukan pemanenan menggunakan
scope net fitoplankton yang memiliki botol, larva akan terkumpul di dalam
botol, kemudian dipindahkan ke tempat pemeliharaan.
Pemeliharaan Larva
Larva merupakan fase kritis bagi ikan, yaitu fase awal di mana perkembangan
organ mulai terbentuk. Pada kondisi larva, ikan akan mudah mengalami
kematian pada kondisi kualitas air yang buruk. Pemeliharaan larva, biasanya
dilakukan di ruangan tertutup agar suhu tetap terjaga. Pemeliharaan larva bisa
dilakukan di akuarium, fiber, bak semen, dan bak plastik. Untuk pemeliharaan
larva agar terkontrol, sebaiknya dilakukan di akuarium berukuran
60 x 50 x 40 cm (ukuran akuarium bisa disesuaikan) dengan ketinggian
air sekitar 30 cm. Dari hasil penelitian Muflikhah (1994), kepadatan yang
baik adalah 5 ekor/L diperoleh sintasan hingga 75%. Namun, seiring
dengan berkembangnya pengetahuan dalam teknologi pengelola unit-unit
pembenihan, padat penebaran sudah bisa mencapai 50 ekor/Liter. Larva
yang baru menetas belum dapat diberi pakan dari luar karena larva ikan
52 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
baung masih memiliki cadangan kuning telur (yolk sack) selama 2–3 hari.
Selain itu, larva ikan baung baru bisa membuka mulut pada umur tiga hari
(Handoyo et al. 2010). Setelah itu, larva diberi pakan alami berupa Artemia
sampai umur sepuluh hari. Artemia sangat diperlukan karena pakan alami
yang memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva ikan baung.
Artemia mengandung enzim yang berperan sebagai enzim pencernaan larva.
Artemia diberikan setiap tiga jam sekali dengan cara at satiasi.
Larva ikan baung memiliki sifat kanibalisme yang tinggi sehingga
membutuhkan penanganan pemberian pakan yang tepat dan kecukupan.
Pada umur >10 hari, larva sudah bisa diberi pakan cacing sutra (Tubifex sp.).
Adapun pakan cacing sutra diberikan dalam cara dicincang sampai halus.
Cacing sutra dimasukkan ke dalam scope net halus dan kemudian dibilas
dengan air bersih sampai air bilasan tidak berwarna merah. Kemudian, pakan
tersebut dilarutkan ke dalam air dan disebarkan ke dalam wadah pemeliharaan
larva. Selama pemeliharaan larva, dilakukan penyiponan dan pergantian air
2–3 hari sekali sebanyak 75% agar kondisi air tetap terjaga. Pemeliharaan
benih sampai ukuran 2,5 cm memerlukan waktu sampai satu bulan. Benih
ikan baung yang sudah siap dipasarkan dipelihara ke wadah yang lebih luas
agar mencapai ukuran 4–5 cm. Ukuran tersebut merupakan ukuran yang
umum pada segmen benih ikan baung.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017a. Produksi Perikanan Indonesia. Diambil
dari https://www. bps. go. id.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017b. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk
Indonesia. Badan Pusat Statistik. 81 hlm.
Gaffar AK, Muflikah N. 1992. Penelitian budi daya ikan baung. Prosiding
Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1991/1992. Bogor: Balai Penelitian
Perikanan Air Tawar.
Hardjamulia A, Suhenda N. 2000. Evaluasi sifat reproduksi dan sifat
gelondongan generasi pertama empat strain ikan baung (Mystus nemurus)
di keramba jaring apung. Jurnal Penelitian Perikanan lndonesia 6(3–4):
24–35.
Kristanto AH, Subagja J, Ath-thar MHF, Arifin OZ, Prakoso VA, Cahyanti
W. 2016. Pengaruh suhu inkubasi induk dan pemberian naungan pada
larva terhadap produksi benih ikan baung, Jakarta; Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur 2016, pp. 166–167.
Subagja J, Cahyanti W, Nafiqoh N, Arifin OZ. 2015. Keragaan bioreproduksi
dan pertumbuhan tiga populasi ikan baung (Hemibagrus nemurus Val.
1840). Jurnal Riset Akuakultur 10(1): 25–32.
Subagja J, Sularto, Slembrouck J. 2007. Milt-Egg ratio in artificial fertilization
of Pangasiid catfish injected by gonadotropin releasing hormone analog
(GnRH-a) and domperidone mixture. Jurnal Akuakultur Indonesia,
2(2): 55–59.
Suhenda N, Samsudin R, Subagja J. 2009. Peningkatan produksi benih baung
(Mystus nemurus) melalui perbaikan kadar lemak pakan induk. Berita
Biologi 9(5): 539–546.
Sularto, Dewi RRSPS, Khasani I. 2010. Pengaruh implantasi hormon 17
-metil testosteron terhadap pematangan gonad dan fertilitas sperma
ikan baung (Mystus nemurus). Jurnal Riset Akuakultur 5(1): 53–57.
Tang UM. 2000. Teknik Budidaya Ikan Baung. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Pekanbaru: Unri. 76 hlm.
PEMELIHARAAN LARVA
5.
Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan salah satu jenis ikan yang
sangat digemari dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Ikan ini tergolong
ke dalam jajaran ikan air tawar kelas satu karena bernilai ekonomis.
Sekarang ini harga jual ikan baung segar di pasar tradisional dapat mencapai
Rp50.000–70.000/kg, sedangkan ikan asap baung (ikan salai) dapat mencapai
Rp150.000–250.000/kg. Suksesnya budidaya pembesaran ikan baung sangat
dipengaruhi oleh benih ikan baung baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dari segi kuantitas benih ikan baung mengalami permasalahan, yaitu masih
sangat rendahnya jumlah benih yang dihasilkan dan lambatnya pertumbuhan
benih ikan baung. Selain itu juga dipengaruhi adanya sifat kanibalisme pada
benih ikan baung, yang terjadi pada stadia larva dan benih (Heltonika et al.
2017). Fase larva merupakan fase yang rentan akan kematian disebabkan larva
sangat sensitif, baik dari kualitas air, asupan nutrisi dari pakan, dan adanya
sifat kanibalisme. Sunarti (2003) menyatakan bahwa tingkat kelangsungan
hidup larva ikan baung selama pemeliharaan 7 hari adalah 71,67%, kemudian
menurun menjadi 65,35% ketika berumur 20 hari.
Pada stadia larva, baik morfologi, anatomi, maupun fisiologi ikan baung
masih sangat sederhana. Tubuh larva tampak transparan, sirip dada dan
ekor sudah ada tetapi bentuknya belum sempurna. Sirip hanya berbentuk
tonjolan, mulut dan rahang belum berkembang, serta usus masih merupakan
lambung lurus. Sistem pernafasan dan peredaran darah belum sempurna.
Pakan diperoleh dari sisa kuning telur yang belum habis terserap. Untuk
mendukung dan meningkatkan pembenihan ikan baung, dalam tulisan ini
56 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
akan dibahas mengenai pemeliharaan larva dan benih baung yang berisi
tentang perkembangan dan perilaku larva ikan baung, pemanenan larva,
pemeliharaan ikan baung, teknik budidaya dan manajemen kualitas air,
pakan dan cara pemberian pakan pada larva ikan baung, serta pendederan
dan pembesaran ikan baung yang dapat dimanfaatkan untuk pembudidaya
ikan baung.
PEMANENAN LARVA
Fekunditas ikan baung pada induk betina yang bobotnya 327 g sebanyak
20.815 butir telur, sedangkan pada ikan baung yang bobotnya 1.584 g
sebanyak 87.118 butir. Ikan betina yang matang kelamin mempunyai
indeks gonad somatik (ISG)= 5–10% (Radona et al. 2018). Pemanenan larva
dilakukan setelah 24 jam telur menetas. Hal ini karena cadangan makanan
berupa kantung kuning telur pada larva sudah mulai menipis. Umumnya
larva akan menetas dan berenang pada permukaan wadah. Cara memanennya
adalah dengan cara mengambil substrat dari wadah penetasan sehingga yang
tersisa hanya larva yang menetas saja karena telur yang tidak menetas akan
tetap menempel pada substrat. Larva ikan baung yang baru menetas memiliki
panjang 0,5 cm dengan bobot 0,7 mg.
Tabel 5.1 Nilai kualitas air pada beberapa kegiatan pemeliharaan ikan
baung
Parameter
No. Oksigen Referensi
Suhu (°C) pH
terlarut (mg/L)
1. 28–31 6,0–7,0 4,0–6,0 Kusmini dan Radona (2019)
2. 23–28 6,0–8,0 4,0–8,0 Kusmini et al. (2018)
3. 26–27 6,5–7,4 4,0–5,2 Chotimah et al. (2018)
Menurut Tang et al. (2000), ikan baung termasuk ikan pemakan segala
(omnivora) dengan kecenderungan memakan anak ikan, udang, remis, cacing-
cacing, dan rumput lunak atau mengarah ke pemakan daging (carnivora).
Sementara menurut Windy (2015) kebiasaan makan ikan baung di Sungai
Bingai terdiri dari makanan utama, yaitu ikan, makanan pelengkap yaitu serat
tumbuhan, dan makanan tambahan yaitu insekta, Planaria sp., Thiara scabra,
Faunus ater, dan Nodilittorina pyramidali.
ekor atau 5 ekor/kg. Pada pembesaran di kolam, bobot benih menjadi 113 g/
ekor dan jika dipelihara selama empat bulan, ukurannya akan menyamai ikan
baung yang dipelihara di KJA dengan syarat pakan yang diberikan memiliki
kandungan protein sesuai yang dianjurkan. Pemanenan ikan baung harus
dilakukan secara berhati-hati untuk menghindari terjadinya stres atau luka-
luka sehingga mutu ikan tetap bagus dan harga jualnya tetap tinggi.
Jumlah pakan
Jumlah pakan yang diberikan per hari biasanya dihitung berdasarkan bobot
badan (% bobot badan). Jumlah pakan disarankan 20–50% untuk benih,
36–60% untuk ukuran 3–50 g, 30–34% untuk ikan ukuran 50–200 g, dan
2–3% untuk ikan lebih besar dari 200 g. Semakin besar ukuran ikan, semakin
berkurang persentase pemberian pakan. Ikan dengan ukuran relatif besar
memiliki laju metabolisme yang makin lambat sehingga memerlukan sedikit
pakan.
akan makan jika jumlah pakan dalam lambungnya kira–kira tinggal ¼ bagian.
Berdasarkan hal tersebut, ikan baung sebaiknya diberi pakan sebanyak 4–5
kali sehari. Namun, pada budidaya yang sederhana pemberian pakan malam
hari sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, pemberian pakan pada ikan
baung dianjurkan 3 kali sehari, yakni pagi hari, siang hari, dan sore hari.
DAFTAR PUSTAKA
Chotimah S, Rusliandi, Tang UM. 2018. Pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan baung (Mystus nemurus C.V) dengan padat tebar berbeda
pada sistem resirkulasi. Budidaya Perairan 5: 1–13.
Effendie MI. 1992. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka
Nusatama. 163 p.
Handoyo B, Setiowibowo C, Yustiran Y. 2010. Cara Mudah Budidaya dan
Peluang Bisnis Ikan Baung dan Jelawat. Bogor (ID): IPB Press. 161 p.
68 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
lengkap dan seimbang, serta sesuai bagi ikan baung yang berukuran relatif
besar, usia dewasanya lebih dari dua tahun, pemijahannya bergantung
ketersediaan lingkungan yang menunjang proses pemijahan, dan ketersediaan
pakan bagi keberlangsungan hidup anakannya. Proses adaptasi induk ikan
baung dan pemenuhan kebutuhan nutrisi sesuai dengan perkembangan gonad
berpengaruh terhadap keberhasilan pemijahan ikan tersebut.
Penyediaan nutrisi pakan secara tepat (kualitas dan jumlah) akan mendukung
perkembangan gonad (telur dan sperma) secara optimum tanpa dipengaruhi
oleh musim seperti kasus pada ikan jelawat (Sunarno 1991). Ketepatan
penyediaan pakan yang mengandung nutrien lengkap dan berimbang akan
mempercepat proses demestikasi ikan (Watanabe et al. 1984; Watanabe
1988a,b), serta mendapatkan produksi benih ikan tersebut secara massal.
Ketersediaan benih ikan baung secara massal akan mendukung pengembangan
budidaya ikan baung yang selama ini telah dilakukan, khususnya di sekitar
habitat ikan tersebut (Sumatra dan Kalimantan) (Sunarno 2009), serta
mendukung penebaran kembali ikan tersebut di alam dan penekanan
eksploitasinya. Tulisan ini mengulas nutrisi dan pemberian pakan pada
induk ikan baung, yang meliputi kebiasaan makanan, kebutuhan nutrisi dan
pemberian pakan, serta aplikasi pakan induk secara langsung pada pengguna
utama.
ikan kecil, udang kecil, serasah, dan sisa hewan yang tidak bisa teridentifikasi
lagi (Aida 2011; Elinah et al. 2016). Bila hidup di air keruh, ikan baung akan
aktif sepanjang hari. Selain itu, baung juga memiliki sifat suka bersembunyi
di dalam lubang di tepi sungai.
Ketersediaan makanan di perairan berbeda antara musim kemarau dan
penghujan. Selama musim kemarau, berbagai jenis makanan akan terbawa ke
bagian perairan yang dalam (lubuk) dan merupakan sumber makanan bergizi
bagi ikan, termasuk baung. Semakin banyak mendapat makanan, semakin
tinggi pertumbuhan bobotnya. Ikan baung yang pertama kali matang
gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang
memengaruhinya (Tang dan Affandi 2001). Semakin besar ukuran ikan baung,
semakin agresif mencari makanannya. Pada kondisi makanan berlimpah,
berat gonad ikan baung betina berkisar 10–25% dan jantan berkisar 5–10%
dari total bobot tubuh (Gupta dan Banerjee 2013; Gupta 2015; Elliot 1979;
Wooton 1979). Jika makanan tidak cukup, ukuran ikan baung mencapai
matang gonad relatif lebih kecil (panjang 20 cm; bobot 90 g) (Elinah et al.
2016; Heltonika 2009; Nugroho et al. 2005) bila dibandingkan ukuran ikan
yang berada di perairan lebih subur (Aida 2011). Pada musim memijah, pola
pertumbuhan ikan baung betina berbeda dengan jantan. Oleh karena itu, jenis
makanan yang dimakan ikan baung dapat digunakan sebagai dasar penentuan
kebutuhan nutrisi dan pemberian pakan dalam wadah terkontrol.
pengeluaran telur pada induk ikan. Oleh karena itu, imbangan antara energi
dan nutrien diperlukan untuk menghasilkan performa pertumbuhan dan
reproduksi induk ikan (Watanabe et al. 1984; Woynarovich dan Horvath
1980). Nutrien yang berperan nyata terhadap performa repoduksi ikan adalah
protein dan asam amino esensial, lemak/asam lemak esensial, vitamin E, dan
vitamin C.
Protein merupakan komponen utama jaringan dan organ tubuh ikan, begitu
juga senyawa nitrogen lain seperti asam nukleat, enzim, hormon, dan vitamin.
Protein dibutuhkan secara terus-menerus untuk mendukung pertumbuhan
daging, gonad, dan perbaikan jaringan yang rusak. Protein ini terdiri atas
asam-asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino esensial tidak dapat
disintesis dalam tubuh sehingga perlu diberikan melalui pakan. Kebutuhan
protein pada ikan disesuaikan menurut spesiesnya dan pada umumnya
berkisar antara 25–40%. Proses pematangan gonad pada ikan jelawat dan
baung membutuhkan protein berkisar 35–40% (Patmasothy 1985; Sunarno
dan Reksalegora 1982; Sunarno 1989; Sunarno et al. 1988; Ondara dan
Sunarno 1987; Abidin et al. 2006; Begum et al. 2008; Aryani dan Suharman
2015; Ng et al. 2001; Suhenda et al. 2009).
Menurut Watanabe (1988), fungsi lemak selain sebagai sumber energi
juga digunakan untuk struktur sel dan mempertahankan integritas pada
biomembran. Lemak dan komposisi asam lemak diidentifikasi sebagai faktor
utama yang menentukan keberhasilan reproduksi dan meningkatkan derajat
kelangsungan hidup larva (Izquierdo et al. 2001). Pada beberapa spesies, asam
lemak tidak jenuh HUFA (High Unsaturated Fatty Acid) dapat meningkatkan
fekunditas, fertilisasi, dan kualitas telur. HUFA dan PUFA (Poly Unsaturated
Fatty Acid) berperan dalam proses metabolisme, komponen membran, senyawa
awal prostaglandin, seperti tromboksan, prostasiklin, dan leukotrin. Lemak
telur ikan yang matang gonad berkisar 2–10% dari berat telur (Elliot 1979;
Furuita et al. 2000; Furuita et al. 2002). Semakin tinggi kandungan lemak telur,
semakin banyak gelembung yang berisi lemak netral (triacyl gliserol dan wax
ester). Lemak netral berfungsi sebagai energi metabolisme bagi embrio selama
perkembangan, sementara fosfolipid berguna untuk penyediaan asam lemak
esensial yang diendapkan menjadi membran sel sebagai jaringan. Efisiensi
fertilisasi telur meningkat sebanding dengan induk ikan yang mendapatkan
asam lemak esensial (Leray et al. 1985). Kekurangan asam lemak esensial akan
menimbulkan gejala abnormal. Vitelus pada larva yang berasal dari induk yang
75
NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG
mendapat pakan tanpa asam lemak esensial lebih cepat habis dibandingkan
dengan larva yang berasal dari induk yang mendapatkan asam lemak esensial.
Asam lemak esensial pada ikan air tawar di daerah tropik dapat dipenuhi
dari linoleat (18:3n-6) atau linolenat (18:3n-3) atau kombinasi keduanya.
Kombinasi asam lemak esensial linoleat dan linolenat pada induk ikan baung
adalah 1:1 (Suhenda et al. 2009).
Tubuh ikan relatif kecil mengandung karbohidrat. Peran karbohidrat pakan
pada ikan masih diperdebatkan. Namun, fakta menunjukkan bahwa ikan
yang hidup di perairan tropis dan di air tawar lebih mampu memanfaatkan
karbohidrat. Kekurangan karbohidrat akan menyebabkan peningkatan
katabolisme protein dan lemak untuk mensuplai energi dan menyediakan
metabolisme lanjutan (intermedier) untuk sintesis senyawa biologi penting
lainnya. Keberadaan enzim amilase dalam saluran pencernaan ikan berperan
penting dalam pemanfaatan karbohidrat. Secara umum, ikan air tawar
memerlukan karbohidrat sekitar 20%. Vitamin dan mineral merupakan
elemen mikro yang diperlukan sebagai katalisator untuk menunjang
pertumbuhan atau reproduksi ikan. Vitamin menjadi esensial apabila tubuh
tidak dapat mensintesisnya. Kebutuhan vitamin bervariasi menurut spesies,
ukuran, dan umur. Kecukupan vitamin A, C, E, dan mineral Zn dalam pakan
memengaruhi perkembangan gonad (telur dan sperma) induk ikan. Vitamin
C atau asam askorbat (AAs) berperan dalam berbagai reaksi hidroksilasi
triptofan, tirosin, lisin, fenilalanin, dan prolin. AAs sangat mudah teroksidasi
menjadi dehidro-asam askorbat (d-AAs). Reaksi ini bersifat dua arah sehingga
dapat kembali menjadi bentuk AAs, tetapi oksidasi d-AAs bersifat satu arah
menghasilkan asam diketogulonat yang merupakan bentuk tidak aktif dan
tidak mempunyai aktivitas secara biologi. Sekitar 50% AAs akan hilang
selama proses pembuatan dan penyimpanan pakan (NRC 2011). Oleh karena
itu, penggunaan AAs dalam formula pakan perlu ditingkatkan dua kali dari
kebutuhan ikan.
Vitamin E (α-tokoferol) dibutuhkan sebagai bahan struktur somatik, gonadik,
dan penentu kualitas telur. Apabila oosit atau telur dalam perkembangannya
tidak memperoleh α-tokoferol secara cukup, telur akan menjadi busuk, diameter
telur relatif kecil dan derajat penetasan rendah, serta selanjutnya menurunkan
derajat kelangsungan hidup larva. Kandungan α-tokoferol berperan dalam
melindungi unit-unit oosit atau telur akibat kerusakan oleh proses oksidasi.
76 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Pemberian pakan
Selain kualitas, jumlah pakan harian yang diberikan mempunyai peranan
penting bagi pematangan gonad (daya tetas tinggi). Beberapa faktor
yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian pakan adalah kualitas air,
terutama suhu air, kandungan oksigen terlarut, alkalinitas dan pH air, serta
kepadatan. Pada kondisi lingkungan optimum, nafsu makan pada ikan
menjadi optimum. Kekurangan pakan akan mengurangi laju pertumbuhan
ikan dan sebaliknya, kelebihan pakan akan menghasilkan penumpukan sisa
pakan dalam lingkungan perairan yang akan menurunkan kualitas air. Hal
demikian akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan ikan. Jika kondisi
lingkungan tersedia secara optimum, pemberian pakan secara tepat terkait
dengan ukuran ikan.
Semakin besar ukuran ikan, relatif semakin kecil jumlah pakan yang diberikan.
Jumlah pakan ini terkait dengan ukuran lambung ikan tersebut. Nafsu makan
pada ikan akan timbul pada saat lambung hampir kosong. Induk ikan yang
mempunyai ukuran lambung relatif besar akan membutuhkan waktu relatif
lebih lama daripada ikan kecil. Oleh karena itu, waktu pemberian pakannya
akan relatif lebih sedikit daripada ikan kecil. Untuk induk ikan, pemberian
pakan dapat dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Jumlah pakan
yang diberikan sekitar 2% dari bobot tubuh per hari atau secara ad-libitum.
ikan dan kualitas benih. Pengujian pakan induk baung dilakukan tahun 2017
di Balai Pelestarian Perikanan Perairan Umum dan Ikan Hias, Dinas Perikanan
dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Pakan induk disusun atas berbagai bahan
baku untuk mendapatkan kandungan protein 35% dan energi 4.361 kal per
kg pakan (Tabel 6.1). Berbagai bahan baku tersebut dicetak dalam bentuk
pakan pelet tenggelam dengan diameter 3 mm. Pakan diberikan kepada induk
baung dengan kisaran ukuran 400–1.100 g per ekor secara ad-libitum pada
pagi dan sore hari. Pada kondisi pemeliharaan menggunakan bak di hatchery,
induk ikan baung sulit beradaptasi. Hal ini dapat dilihat pada konsumsi
pakan hariannya yang relatif rendah. Fluktuasi pakan harian pada induk ikan
baung menunjukkan bahwa pakan yang diberikan tidak direspons oleh ikan
dan akan mengendap di dasar wadah, serta berpotensi mencemari perairan.
Induk ikan akan kekurangan pakan dan mudah terserang penyakit seperti
yang terjadi pada ikan pada setiap bak. Induk ikan baung secara perlahan
mengalami kematian. Wadah pemeliharaan induk menggunakan bak semen
di luar hatchery menghasilkan performa induk lebih baik (Gambar 6.1).
Tabel 6.1 Komposisi bahan baku pakan induk ikan baung (lanjutan)
Bahan baku Persentase (%)
Kadar proksimat (%):
Protein kasar 35,41
Lipid kasar 13,15
Serat kasar 2,64
Abu 14,31
Bahan ekstrak tanpa – N 34,44
Energi kasar (kkal/100 g) 463,12
Keterangan: Suplemen terdiri atas premix, Choline khlorid, dikalsium pospat, vit C, vit E,
NaCl, *Premix, 0.5 kg megandung: 5.5 juta IU vitamin A, 1.1 juta IU vitamin D3,
22,000 mg, vitamin B, 750 mg vitamin E, 1.0 mg vitamin K, 1000 mg vitamin
B6, 6 mcg vitamin B12, 25,000 mg calcium pantothenate, 10 mg nicotinamide,
150 g choline chloride, 27,000 mg Mn, 1000 mg I, 7500 mg Fe, 5000 mg Zn,
2000 mg Cu, 450 mg Co, 500 g Ca, 300 g P, 10 g L-lysine, 10 g DL-methionine,
50 ppm selenium
Berdasarkan aplikasi pakan induk, induk ikan baung dapat matang gonad
setelah diberi pakan selama 20–30 hari. Dari populasi 550 ekor induk betina
ikan baung, sebanyak 20% matang gonad dan siap dipijahkan pada bulan
pertama dan minimum 50% nya pada bulan berikutnya. Bobot induk betina
yang siap mijah lebih besar dari 450 g per ekor, dengan diameter telur 0,7–0,8
cm dengan fekunditas total per 600 g induk telur adalah sekitar 106.000
butir atau sekitar 107 butir per g induk. Tingkat pembuahan dan penetasan
telur ikan baung berkisar 80–90%, sementara nilai survival activity index
(SAI) (Gambar 6.2) berkisar sepuluh jam dengan tingkat 60% larvanya
masih bertahan hidup, artinya bahwa cadangan nutrisi dari kuning telur larva
mencukupi kebutuhan nutrisi larva dalam waktu 2 (dua) minggu.
80 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Gambar 6.2 SAI larva induk ikan baung yang diberi pakan
formula
Pakan induk tersebut dapat mempercepat rematurasi gonad ikan baung dari
90 menjadi 43 hari dibandingkan dengan pakan kontrol. Performa reproduksi
induk juga menunjukkan peningkatan, di mana nilai fekunditas ikan baung
mengalami kenaikan sebesar 18,50–22,00% dibandingkan pakan komersial.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin MZ, Hashim R, Chien ACS. 2006. Influence of dietary protein
levels on growth and egg quality in broodstock female bagrid (Mystus
nemurus Cuv Val). Shorth Communication. Aquaculture Research 37:
416–418.
Aida SN. 2011. Panjang-berat, kebiasaan makan dan faktor kondisi ikan
baung (Mystus nemurus) di Sungai Batanghari, Jambi. 2011. Prosiding
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan.
Universitas Gadjah Mada. BP-12.
Aryani N, Suharman I. 2015. Effect of dietary protein level on the reproductive
performance of female of green catfish (Hemibagrus nemurus Bagridae).
Aquaculture Research and Development 6(11): 1–5.
Aryani N. 2001. Penggunaan vitamin E pada pakan untuk pematangan gonad
ikan baung (Mystus numerus CV). Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan
6(1): 28–36.
81
NUTRISI DAN PEMBERIAN PAKAN INDUK IKAN BAUNG
Begum M, Pal HK, Islam MA, Alam MJ. 2008. Formulation of quality fish
feeds from indegenous raw materials and their effect on growth and
maturity of Mystus gulio. Journal of Bangladesh Agriculture University
6(2): 355–360.
Effendi M. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka
Nusantara. 163p.
Elinah, Datu DTFL, Ernawati Y. 2016. Kebiasaan makan dan luas relung
ikan-ikan indigenous yang ditemukan di Waduk Penjalin Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 21(2): 98–103.
Elliot JM. 1979. Energetic of freshwater teleost, p. 9–61. In Miller PJ (Ed).
Fish Phenology Adaptive. London (ID): Academic Press. Inc.
Furuita H, Tanaka H, Yamamoto T, Shiraishi M, Takeuchi T. 2000. Effects
of n-3 HUFA level in broodstock diet on the reproductive performance
and egg and larva quality of the Japanese flounder, Paralichthys olivaceus.
Aquaculture 187: 387–398.
Furuita H, Tanaka H, Yamamoto T, Suzuki N, Takeuchi T. 2002. Effects of
high levels n-3 HUFA in broodstock diet on the egg quality and egg
fatty acid composition of the Japanese flounder, Paralichthys olivaceus.
Aquaculture 210: 323–333.
Gupta S, Banerjee S. 2013. Studies on reproductive biology of Mystus
tengara (Ham. Buch. 1822), a freshwater catfish of West Bengal,
India. International Journal of Aquatic Biology 1(4): 175–184.
Gupta S. 2015. An overview on feeding and breeding biology of Mystus
tengara (Ham-Buch 1822), a freshwater catfish of Indian Subcontinent.
World Journal of Fish and Marine Sciences 7(3): 195–204.
Halver JE. 1988. Fish Nutrition. London (ID): Academic Press, Inc. 798p.
Halver JE, Hardy RW. 2002. Fish Nutrition, 3rd Edition. San Diego (US):
Academic Press. 824p.
Hardjamulia A, Atmawinata S. 1986. Teknik hipofisasi beberapa jenis ikan air
tawar. Dalam Cholik F (Eds). Pros. Lokakarya Nasional Teknologi Tepat
Guna Bagi Pengembangan Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor 28–31
Juni 1980. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor.
82 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Patmasothy S. 1985. The effect of three diets with variable protein levels on
ovary development and fecundity in Leptobarbus hoevenii. In Cho CY et
al. [eds]. Finfish Nutrition in Asia: Methodological Approaches to Research
and Development. Ottawa (CA): International Development Research
Centre.
Rupawan, Sunarno MTD. 2006. Karakteristik habitat dan keragaman jenis
ikan di suaka perikanan Propinsi Kalimantan Selatan. Prosiding Forum
Perairan Umum Indonesia III 2006, 56–64.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta (ID):
Binacipta.
Subagja, Kumari K, Sunarno MTD. 2003. Ikan air tawar sebagai ketahanan
pangan di Sumatera Selatan. Prosiding Semiloka Nasional Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi
2003 Mei 2–3. Palembang (ID): Universitas Tridinanti.
Subagja, Kumari K, Sunarno MTD. 2004. Ikan perairan umum sebagai
kandidat ikan budidaya di lahan rawa Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Lokakarya Nasional Hasil Litkaji Teknologi Pertanian Spesifik
Lokasi 2004 Juni 28–29. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, 629–636.
Suhenda N, Samsudin R, Subagja J. 2009. Peningkatan produksi benih tagih
(Mystus nemurus) melalui perbaikan kadar lemak pakan induk. Berita
Biologi 9(5): 539–546.
Sunarno MTD, Reksalegora O, Nurdawati S. 1988. Penelitian pembenihan
ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni BLKR.) dengan cara hipofisasi.
Bulletin Penelitian Perikanan Darat 7(2): 102–108.
Sunarno MTD, Reksalegora O. 1982. Pematangan calon induk ikan jelawat
(Leptobarbus hoeveni Blkr.) di Danau Mudung, Jambi. Pewarta BPPD
1982 3(1): 30–31.
Sunarno MTD, Sulhi M, Samsudin R, Heptarina D. 2011. Teknologi Pakan
Ikan Ekonomis dan Efisien Berbasis Bahan Baku Lokal. Bogor (ID): PT
Penerbit IPB Press. 54p.
Sunarno MTD. 1989. Pengamatan fekunditas ikan jelawat (Leptobarbus
hoeveni Blkr.). Bulletin Penelitian Perikanan Darat 8: 26–30.
84 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
garam dalam suatu perairan. Pada umumnya salinitas dipengaruhi oleh tujuh
ion utama, yaitu: natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg),
klorit (Cl), sulfat (SO4), dan bikarbonat (HCO3) (Kamler 1992 dalam Sukendi
2003). Padatan tersuspensi total atau sering disebut TSS (total suspended solid)
merupakan bahan-bahan tersuspensi dalam air yang menyebabkan kekeruhan
air, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil
dari sedimen (Effendi 2000). Di air terdapat amonia yang terionisasi dan
amonia yang tidak terionisasi. Amonia bebas bersifat toksik, sementara NH4
terionisasi tidak bersifat toksik. Amonia adalah produk akhir dari dekomposisi
protein pakan ikan dan pembusukan senyawa organik oleh mikroba dalam air
(Effendi 2000).
Kondisi daerah penangkapan baung asal alam yang akan digunakan sebagai
induk sangat perlu diperhatikan tentang kualitas air, sedimen, dan bahan
pencemar yang dapat memengaruhi kesehatan induk dan reproduksinya.
Hasil penelitain Rinaldi et al. (2018) menyebutkan, daging ikan baung di
hulu Sungai Kuantan, Kabupatan Sijunjung, Padang telah mengandung
logam berat Cu, Zn, Hg, dan Pb dengan kadar melampaui standar nilai baku
mutu yang telah ditetapkan dalam PP RI No 82 Tahun 2001 tentang Batas
Maksimum Kandungan Logam Berat dalam Daging Ikan. Induk baung dari
Sungai Kampar Kanan, Riau dapat di pergunakan untuk tujuan domestikasi
dan budidaya karena memiliki karakteristik morfometrik yang lebih baik
dibandingkan dengan wilayah lainya (Aryani et al. 2017).
Kolam budidaya induk ikan baung dapat berupa kolam tanah atau tembok,
serta memiliki saluran pemasukan dan pengeluaran air dengan ukuran kolam
sekitar 50 m2. Induk baung dipelihara dengan kepadatan 3–5 ekor/m2. Induk
betina dan jantan dapat disatukan, karena untuk ikan baung tidak pernah
terjadi pemijahan secara liar. Namun demikian, ikan baung sudah dapat
dipijahkan secara terkontrol menggunakan hormonal.
Oksigen terlarut
Ikan baung hidup optimal pada kadar oksigen antara 5–6 mg/L (Tang 2003).
Menurut Effendi (2000), kandungan oksigen terlarut dalam air >4 mg/L
dibutuhkan untuk ikan baung. Induk ikan baung membutuhkan kadar oksigen
tinggi karena kadar oksigen terlarut yang optimum dapat mempercepat proses
elemen-elemen meristik embrio (Kossakowski 2008). Selain memengaruhi
proses rematurasi, oksigen terlarut menjadi stressor untuk induk ikan yang
dipelihara secara terkontrol. Menurut Adebayo (2006), stres pada akhirnya
akan memengaruhi beberapa parameter reproduksi, yaitu fertilisasi, persentase
penetasan, abnormalitas larva, sintasan, dan mortalitasnya (Tabel 7.1).
89
PARAMETER KUALITAS AIR OPTIMUM
UNTUK INDUK IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)
Tabel 7.1 Pengaruh stres pada induk ikan baung akibat kekurangan oksigen
Lama kurang % Keberhasilan
oksigen Fertilisasi Penetasan Larva cacat Sintasan Mortalitas
0 jam 75 65 13,2 77,5 22,5
4 jam 47,5 29,5 28,14 52,5 47,5
Sumber: Adebayo (2006)
Salinitas
Variasi salinitas di lingkungan hidup ikan baung mulai dari daerah estuaria
hingga perairan tawar/kolam menyebabkan ikan tersebut mempunyai
toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebih besar dibandingkan ikan tawar
lainya. Induk baung hasil tangkapan alam memerlukan waktu adaptasi secara
bertahap untuk dibudidayakan di kolam secara terkontrol. Pengaruh salinitas
terhadap induk ikan baung berhubungan dengan daya tetas telur yang
dihasilkan. Kadar salinitas 2 ppt merupakan salinitas terbaik untuk penetasan
telur ikan baung. Kondisi ini sesuai hasil penelitian Hadid et al. (2014)
dengan persentase penetasan telur mencapai 85,33%. Sungai Kampar dengan
salinitas berkisar 0–0,5‰ merupakan salah satu perairan dengan populasi
ikan baung tertinggi (Erlangga 2007). Kondisi ini menggambarkan induk
ikan baung dapat dipelihara dan dipijahkan di kolam air tawar.
Amonia
Kadar amonia dalam air tawar dapat bersifat racun bagi ikan apabila
jumlahnya >0,2 mg/L (Effendi 2000). Menurut Boyd (1982), tingkatan
amonia untuk jangka pendek berada di antara 0,6–2,0 mg/L. Menurut Modu
et al. (2012), kolam induk ikan baung dengan kadar total amonia nitrogen
(TAN) 2,1–3,05 mg/L menyebabkan perubahan kondisi sel insang rusak dan
iritasi (Gambar 7.1).
A B
Gambar 7.1 Histologi insang sehat (A) dan perubahan sel rusak serta iritasi
akibat kadar TAN yang tinggi pada insang induk ikan baung (B)
(Sumber: Modu et al. 2012)
Interaksi yang tidak seimbang antara faktor lingkungan dengan kondisi ikan
dan organisme parasit akan memicu munculnya serangan penyakit pada ikan.
Insang ikan sangat sensitif terhadap perubahan fisik dan kimia dari media
akuatik dan terhadap setiap perubahan dalam lingkungannya (Ogundiran et
al. 2009). Hasil penelitian Modu et al. (2012) mencantumkan perubahan
bentuk insang dan terjadinya nekrosis yang diakibatkan terserang monogeneans
parasit (Gambar 7.2). Parasit tersebut muncul dikarenakan kualitas air kolam
ikan baung yang buruk akibat kadar amonia yang melebihi ambang batas
optimum. Kondisi tersebut memicu peningkatan infeksi penyakit, yaitu
parasit dan beberapa mikroba. Parasit monogeneans adalah jenis parasit ikan
yang sering ditemukan menyerang insang dan sirip ikan (Jiri et al. 2004).
91
PARAMETER KUALITAS AIR OPTIMUM
UNTUK INDUK IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)
Kualitas perairan yang baik merupakan syarat utama dalam pengelolaan induk
ikan baung. Lingkungan dapat meningkatan performa reproduksi induk ikan
baung sehingga penyediaan benih dalam kelangsungan budidaya terpenuhi.
Parameter kualitas air utama yang berpengaruh pada manajemen pengelolaan
induk ikan baung adalah suhu, tingkat keasaman (pH), oksigen terlarut,
salinitas, padatan tersuspensi total (TSS), dan amonia.
DAFTAR PUSTAKA
Adebayo OT. 2006. Reproductive performance of african clariid catfish Clarias
gariepinus broodstocks on varying maternal stress. Journal of Fisheries
International 1: 17–20.
Ali M, Junianto RS. 2014. Pengaruh lanjut suhu pada penetasan telur terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan baung Hemibagrus
nemurus. Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub Optimal 301–308.
Aryani N, Hasibuan S, Mardiah A, Syandri H. 2017. Morphometric
characteristics of Asian catfish, Hemibagrus wyckii (Bleeker, 1858)
(Bagridae), from the Riau Province of Indonesia. Pakistan Journal of
Biological Sciences 20(8): 382–389.
92 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Blaxter JHS. 1988. Development: eggs and larvae. In Hoar WS, Randall DJ.
(Eds). Fish Physiology. Vol. III. pp. 177–252.
Boyd CE. 1982. Water quality management in aquaculture and fisheries
science. Amsterdam (NL): Elsevier Scientific Publishing Company.
312 p.
Canter LW, Hill LG. 1981. Handbook of Variable for Environmental Impact
Assessment. Michigan (US): Ann Arbor Science Publisher.
Effendi H. 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB Bogor. 257 p.
Elliot JM. 1979. Energetic of freshwater teleost. In Miller PJ. (Ed). Fish
Phenology Anabolic Adaptive in Teleost. London (UK): Academy Press
Inc. pp. 9–61.
Erlangga. 2007. Efek pencemaran perairan sungai Kampar di Provinsi Riau
terhadap ikan baung Hemibagrus nemurus. [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Gustiano R, Kusmini II, Ath-thar MHF. 2015. Mengenal Sumber Daya
Genetik Ikan Spesifik Lokal Air Tawar Indonesia untuk Pengembangan
Budidaya. Bogor (ID): IPB Press. 51 hlm.
Hadid Y, Syaifudin M, Amin M. 2014. Pengaruh salinitas terhadap daya tetas
telur ikan baung (Hemibagrus nemurus, Blkr). Jurnal Akuakultur Rawa
Indonesia 2(1): 78–92.
Hardjamulia A, Suhenda N. 2000. Evaluasi sifat reproduksi dan sifat
gelondongan generasi pertama empat populasi ikan baung (Hemibagrus
nemurus) di keramba jaring apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
6(3–4): 24–35.
Hartoto DI. 1984. Beberapa aspek fekunditas ikan ikan tawar di lubuk linpam
Sumatera Selatan, Suku Bagridae, Ikan Beringu, Mytus nigriceps, C.V.
Berita Biologi 2(2): 153–156.
Izquierdo MS, Fernandez-Palacios H, Tacon AGJ. 2001. Effect of broodstock
nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture 197(1–4):
25–42.
93
PARAMETER KUALITAS AIR OPTIMUM
UNTUK INDUK IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)
hidup ikan. Secara umum, parameter kualitas air terbagi menjadi parameter
fisika, biologi, dan kimia (Forteath et al. 1993). Untuk keberlanjutan
kegiatan pemeliharaan benih ikan baung, perlu pengelolaan kualitas air dari
parameter fisika, kimia, dan biologi. Sasaran pengelolaan kualitas air adalah
untuk memperbaiki dan menstabilkan kelayakan kualitas air sehingga tidak
melebihi ambang batas toleransi.
Parameter fisika
Suhu perairan merupakan salah satu faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap aktivitas ikan, terutama untuk pertumbuhan, pernapasan, dan
reproduksi (Huet 1994). Pada ikan tanpa sisik seperti ikan baung, perubahan
suhu sangat berpengaruh pada kehidupan ikan karena suhu air berpengaruh
terhadap suhu tubuh dan proses metabolismenya. Menurut Tang (2003),
suhu 25°C memberikan hasil terbaik bagi kelangsungan hidup larva ikan
baung. Bunasir et al. (2005) menyatakan suhu untuk perawatan larva dan
pertumbuhan benih ikan baung berkisar antara 27–30°C. Menurut Ali dan
Junianto (2014), suhu yang optimal untuk kelangsungan hidup larva sampai
benih ikan baung adalah 27°C.
Salah satu faktor fisika yang penting pada kolam pemeliharaan benih ikan
baung adalah intensitas cahaya yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat memengaruhi tingkah laku ikan. Beberapa jenis ikan menyukai intensitas
cahaya rendah, tetapi ada juga ikan yang menyukai intensitas cahaya tinggi
(Boeuf dan Le-Bail 1999). Pada ikan gilthead seabream (Sparus aurata L), waktu
penyinaran dalam waktu yang lebih lama dapat meningkatkan pertumbuhan
97
KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG
serta efisiensi pakan (Vardar dan Yildirim 2012), dan meningkatkan sintasan
benih pada mirror carp (Cyprinus carpio) (Yagci dan Yigit 2009) dan rainbow
trout (Oncorhynchus mykiss) (Sonmez et al. 2009; Barimani et al. 2013).
Sementara pada ikan nokturnal, lama penyinaran yang diminimalkan dapat
meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan, serta warna tubuh pada benih
African catfish (Clarias gariepinus) (Mustapha et al. 2012). Dari beberapa
hasil penelitian pengaruh cahaya terhadap ikan budidaya memperlihatkan
keperluan intensitas dan lama penyinaran yang berbeda-beda. Hasil penelitian
Heltonika dan Karsih (2017) memperlihatkan jika larva ikan baung dipelihara
dalam kondisi 24 jam gelap menghasilkan laju pertumbuhan terbaik, baik
dari segi panjang maupun bobot. Selanjutnya dikatakan hal ini diduga karena
larva/benih ikan baung termasuk jenis ikan yang bersifat nokturnal.
Limbah budidaya ikan terdeteksi ada yang menjadi padatan terlarut dan
padatan tersuspensi. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan
dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju
fotosintesis fitoplankton sehingga produktivitas primer perairan menurun,
yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai
makanan. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi
penetrasi cahaya ke dalam air. Nilai padatan terlarut yang baik untuk media
pemeliharaan benih ikan adalah 25–100 JTU (Jackson Turbidity Unit) dan
padatan tersuspensi adalah 250–100 JTU (Sutisna dan Sutarmanto 1995).
Secara umum debit air pada pemeliharaan benih ikan akan berpengaruh
terhadap penyebaran pakan alami, mikroba, serta limbah budidaya. Debit
air akan menimbulkan arus pada media pemeliharaan, semakin kuat arus
semakin cepat kotoran terbawa sehingga kualitas air menjadi baik. Arus yang
terlalu kuat mengakibatkan benih ikan baung mudah hanyut, sementara arus
yang lemah berakibat tidak terangkutnya kotoran/feses. Pengukuran debit air
diperlukan untuk mengatur pola air pada kolam pemeliharaan benih. Menurut
Sutisna dan Sutarmanto (1995), debit air yang sesuai untuk pemeliharaan
benih ikan air tawar adalah 1,5 L/detik/1000 m2. Debit yang paling optimal
terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih adalah 0,03 L/detik.
98 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Parameter kimia
Parameter kimia air yang melebihi baku mutu akan menjadi racun untuk
ikan. Menurut Boyd (2015) dan Sulastri et al. (2007), konsentrasi parameter
kimia air disarankan tidak melebihi ambang batas optimum karena dapat
menjadi racun untuk ikan yang dipelihara. Parameter kimia air yang bersifat
toksik terhadap ikan, antara lain pH dan oksigen terlarut. Konsentrasi pH air
memegang peran penting terhadap metabolisme dan proses fisiologis (Abbink
et al. 2011; Kwong et al. 2014), sintasan (Hamid et al. 1994), serta kerusakan
insang (Kwong et al. 2014). Setiap jenis ikan memiliki kisaran toleransi pH
air berbeda. Kisaran pH air optimum untuk budidaya ikan berkisar 4,25–
9,4 (Oliveira et al. 2012; Courtenay dan Williams 2004). Konsentrasi pH
air optimum pada pemeliharaan benih ikan baung berkisar antara 5,5–6,5
(Heltonika dan Karsih 2017).
Ikan baung merupakan ikan yang biasa hidup di perairan yang mempunyai
arus deras. Umumnya ikan baung memerlukan oksigen tinggi untuk menjaga
homeostasis pada siklus hidupnya. Rendahnya kandungan oksigen terlarut
dapat memengaruhi fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan
dapat mengakibatkan kematian. Ikan memiliki batas ideal oksigen terlarut
yang berperan sebagai faktor pembatas pada siklus hidupnya. Kisaran oksigen
terlarut optimum pada pemeliharaan ikan yaitu 3–7 mg/L (Mallya 2017).
Kisaran oksigen terlarut optimum pada pemeliharaan benih ikan baung
berkisar antara 3,7–5,6 mg/L (Heltonika dan Karsih 2017). Nilai kisaran
oksigen terlarut mengalami penurunan sejalan dengan waktu pemeliharaan
ikan. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya waktu pemeliharaan, akumulasi
feses, urin, dan pakan yang tidak termakan semakin tinggi sehingga oksigen
terlarut mengalami penurunan karena digunakan oleh bakteri nitrifikasi dan
denitrifikasi untuk mengurai limbah tersebut.
Salah satu permasalahan pada budidaya ikan secara intensif adalah tingginya
limbah nitrogen beserta turunannya, seperti nitrit (NO2-N), nitrat (NO3-N),
dan amonia (NH3-N) yang dihasilkan dari feses, urin, serta sisa pakan yang
tidak termakan. Pakan buatan mengandung unsur nitrogen (N) dan fosfat
(P) yang berfungsi untuk pertumbuhan ikan. Parameter kimia air optimum
untuk pemeliharaan benih ikan baung, yaitu: nitrit (0,07–0,71 mg/L), nitrat
(0,10–1,43 mg/L), dan amonia (0,02–0,72 mg/L). Menurut standar baku
mutu kualitas air kelas II PP No. 82 tahun 200 untuk kegiatan perikanan,
kandungan nitrit 0,06 mg/L, nitrat 10 mg/L, dan amonia ≤0,02 mg/L.
99
KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG
Konsentrasi nitrit dalam air berasal dari proses nitrifikasi (bantuan bakteri
anaerob), di mana amonia dirubah menjadi nitrit kemudian nitrat. Laju
produksi nitrit tergantung pada jumlah populasi bakteri dalam air. Apabila
pH air rendah dan temperatur tinggi, produksi asam nitrit lebih tinggi. Nitrit
dapat mengoksidasi ion ferro dalam hemoglobin menjadi ion ferri yang mampu
merubah hemoglobin menjadi methemoglobin (Colt dan Armstrong 1981).
Nitrat adalah produksi dari nitrit di dalam proses nitrifikasi dan merupakan
bentuk oksidasi terbanyak dari nitrogen dalam air. Alga dan diatom, serta
tumbuhan lainnya dengan mudah berasimilasi dengan ion nitrat dalam air.
Daya racun nitrat kurang kuat bila dibandingkan dengan nitrit dan amonia.
Meskipun demikian, nitrat bisa menjadi salah satu masalah potensial di dalam
sistem resirkulasi. Pengaruh nitrat terutama pada osmoregulasi dan transpor
oksigen. Nitrat adalah oksidator yang mampu mengubah hemoglobin menjadi
ferrihemoglobin (methemoglobin), serta dapat merusak darah, hati, pusat
hematopoetik, filamen insang, dan tingkah laku yang tidak normal.
Amonia merupakan buangan metabolik yang pada kensentrasi tertentu sangat
beracun bagi ikan (Benli et al. 2008). Sumber amonia di perairan berasal dari
pemecahan nitrogen organik (protein, urea, feses) dan nitrogen anorganik
yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba atau jamur
(Boyd 2015). Peningkatan amonia melebihi 0,3 mg/L berdampak terhadap
penurunan oksigen terlarut dan meningkatkan konsentrasi karbondioksida
dalam darah. Menurut Boyd (2015), konsentrasi amonia optimal untuk
budidaya ikan di perairan yang tidak tercemar <0,25 mg/L dan perairan
tercemar konsentrasinya di bawah 1,0 mg/L. Konsentrasi amonia optimum
untuk pemeliharaan benih ikan baung berkisar 0,02–0,72 mg/L.
Alkalinitas air menggambarkan jumlah ion karbonat dan bikarbonat yang
ada di perairan. Konsentrasi tersebut menunjukkan kapasitas air untuk
menetralkan asam atau basa serta sebagai penyangga terhadap pertumbuhan
pH. Konsentrasi alkalinitas perairan >200 mg/L menggambarkan perairan
tersebut stabil terhadap perubahan perubahan asam atau basa. Konsentrasi
alkalinitas >100 mg/L disebut sebagai perairan alkalin dan nilai alkalinitas
<100 mg/L adalah tingkat alkalinitas sedang. Untuk kehidupan ikan, alkalintas
optimal berkisar >60 dan <200 mg/L. Konsentrasi alkalinitas sebesar 500
mg/L kurang baik untuk budidaya ikan baung karena memengaruhi proses
osmoregulasi, juga mengakibatkan tingginya nilai kesadahan.
100 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Parameter biologi
Parameter biologi pada budidaya ikan dapat digunakan sebagai indikator
biologis, yaitu untuk menilai secara makro perubahan keseimbangan ekologi,
khususnya pada budidaya ikan yang dilakukan secara alami/semi alami.
Parameter ini banyak berpengaruh dalam pengelolaan kualitas air, seperti
plankton, alga, tanaman air, dan bentos. Jasad renik dalam perairan berpengaruh
terhadap kehidupan ikan. Parameter biologi sangat perlu untuk dipahami oleh
pembudidaya ikan karena beberapa jasad renik bermanfaat untuk budidaya
ikan, khususnya larva untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Sifat biologi
air yang banyak berperan dan perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi
budidaya ikan adalah produktivitas primer. Hal ini karena produktivitas
primer berperan sebagai pakan alami serta penyedia oksigen terlarut dalam air
bagi ikan untuk respirasi.
Sukendi (2001) menyebutkan, di perairan makanan utama benih ikan baung
adalah Arthropoda terutama dari jenis insekta dan Oligochaeta. Sementara
makanan pelengkap adalah detritus, serta makanan tambahan adalah ikan
dan tanaman air. Komposisi komunitas makrobenthos merupakan salah satu
indikator terbaik untuk menjelaskan kualitas suatu lingkungan, terutama
melalui kekayaan spesiesnya dengan kata lain status komunitas benthos dapat
dipakai sebagai indikator. Kelimpahan plankton yang terdiri dari fitoplankton
dan zooplankton sangat diperlukan untuk mengetahui kesuburan suatu
perairan yang akan dipergunakan untuk kegiatan budidaya. Plankton sebagai
organisme perairan tingkat rendah melayang-layang di air dalam waktu yang
relatif lama mengikuti pergerakan air. Plankton pada umumnya sangat peka
terhadap perubahan lingkungan (suhu, pH, salinitas, gerakan air, dan cahaya
matahari).
Fitoplankton dari kelas Chlorophyceae menyumbang oksigen terlarut
terbesar pada lingkungan perairan (Rissik dan Suthers 2009). Melalui proses
fotosintesis, mereka mampu memanen energi dari matahari, menggunakan
zat yang diperoleh dalam air untuk berkembang biak, serta menyediakan
makanan dan energi untuk berbagai spesies hewan. Selain itu, produk utama
fotosintesis mereka adalah oksigen yang dilepaskan ke dalam air sebagai
komponen penting lain untuk biota di habitat ini. Menurut FAO (2014),
aktivitas respirasi fitoplankton yang berlebihan akan berpengaruh terhadap
kualitas air, seperti terhadap pH, DO, dan nitrogen. Respirasi oleh ikan
101
KUALITAS AIR DAN PENGELOLAANNYA
UNTUK BENIH IKAN BAUNG
debit air), parameter kimia (oksigen terlarut, karbon dioksida terlarut, pH,
nitrit, nitrat, total fosfat, alkalinitas, dan amonia), dan parameter biologi
(plankton). Parameter tersebut perlu diukur dan diketahui secara rutin karena
berpengaruh terhadap keberlanjutan hidup benih ikan baung.
DAFTAR PUSTAKA
Abbink W, Garcia AB, Roques JAC, Partridge GJ, Kloet K, Schneider O.
2011. The effect of temperature and pH on the growth and physiological
response of juvenile yellowtail kingfish Seriola lalandi in recirculating
aquaculture systems. Aquaculture 333: 130–135.
Ali M, Junianto RS. 2014. Pengaruh lanjut suhu pada penetasan telur terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan baung (Hemibagrus
nemurus). Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub Optimal Palembang,
301–308.
Avnimelech Y, Diab S, Kochva M, Mokady S. 1992. Control and utilization
of inorganic nitrogen in intensive fish culture pond. Aquaculture and
Fisheries Management 23: 421–430.
Bardach JE, Ryther JH, McLarney WO. 1972. Aquaculture: The farming and
husbandry of freshwater and marine organisms. New York. London.
Sydney. Toronto. 868p.
Barimani S, Kazemi MB, Hazaei K. 2013. Effects of different photoperiod
regimes on growth and feed conversion rate of young Iranian and
French rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). World Applied Sciences
Journal 21: 1440–1444.
Benli ACK, Kokasal G, Ozkul A. 2008. Sublethal ammonia exposure of Nile
tilapia Oreochromis niloticus L: Effects on gill, liver and kidney histology.
Chemosphere 72: 1355–1358.
Boeuf G, Le Bail PY. 1999. Does light have an influence on fish growth?
Aquaculture 177: 129–152.
Boyd CE. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Springer Science 2:
133–136.
Boyd CE. 2015. Water Quality: An Introduction, Second Edition. New York
(US): Springer Science.
104 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Review penyakit potensial pada pembenihan ikan baung ini disarikan dari
kajian referensi serta hasil riset yang dilakukan Balai Riset Perikanan Budidaya
Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP). Menurut Taukhid (2017),
berdasarkan data/informasi dari kompilasi hasil pemeriksaan laboratoris pada
benih ikan baung, jenis-jenis penyakit infeksius utama yang sering ditemukan
dan mengakibatkan kematian antara lain: parasit (protozoa dan trematoda),
jamur, dan bakteri. Sementara penyakit non-infeksius yang sering terjadi
antara lain akibat kondisi kualitas air (suhu, oksigen terlarut, pH, amonia,
alkalinitas, dan kesadahan), serta malnutrisi. Selain pemaparan tentang jenis-
jenis penyakit potensial, alternatif pencegahan dan pengendaliannya juga
disampaikan secara teknis dan aplikatif.
suhu dan pH, serta tingginya kadar amonia dalam media pemeliharaan
(Taukhid et. al. 2018). Meskipun penyakit akibat faktor lingkungan
tidak menular, namun efeknya cukup serius karena dampak negatif
(fisiologis) serta kematian yang terjadi berlangsung sangat singkat dan
umumnya mematikan seluruh populasi ikan. Kisaran parameter kualitas
air (fisika-kimia) yang optimal untuk pembenihan ikan baung disajikan
pada Tabel 9.1.
Tabel 9.1 Kisaran kualitas air (fisika-kimia) determinan yang optimal untuk
pembenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus)
Kisaran Lebih rendah dari Lebih tinggi dari
Parameter
optimal kisaran optimal kisaran optimal
Oksigen ≥4 mg/L 0–1,5 mg/L merupakan Trauma emboli gas
terlarut hingga level konsentrasi lethal, (gas bubble trauma)
(mg/L) jenuh untuk terutama apabila apabila kadar oksigen
telur, larva, dan berlangsung lama super-saturasi hingga
benih mencapai 300% atau
1,4–5 mg/L-ikan bertahan
lebih
Sejalan dengan hidup, tetapi nafsu makan
pertumbuhan menurun, rasio konversi
ikan, alat pakan tinggi, tumbuh
pernafasan lambat, stres, peka
tambahan terhadap infeksi patogen.
berkembang
Penumpukan limbah
dan mampu
toksik karena proses
mengambil
dekomposisi tidak
oksigen dari
berlangsung (non-oxidised)
permukaan
air pada saat
konsentrasi
oksigen di
dalam air
relatif rendah.
Namun,
idealnya pada
pembesaran,
konsentrasi
oksigen terlarut
tetap pada level
optimal
114 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Tabel 9.1 Kisaran kualitas air (fisika-kimia) determinan yang optimal untuk
pembenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus) (lanjutan)
Kisaran Lebih rendah dari Lebih tinggi dari
Parameter
optimal kisaran optimal kisaran optimal
Suhu (oC) 26–32°C <15°C pertumbuhan ikan Kelarutan oksigen
terhenti dan mungkin lebih rendah, stres
dapat mengakibatkan dan pada suhu
kematian ekstrem panas dapat
mengakibatkan
15–26°C nafsu makan dan
kematian ikan
pertumbuhan menurun,
rasio konversi pakan tinggi
Umumnya ikan lebih
stress pada suhu rendah,
sehingga lebih rentan
terhadap penyakit
Pada suhu rendah, proses
dekomposisi bahan
organik melambat, dan
berisiko terjadinya lewat
subur (eutrophication)
pH 6,5–9 < 4, berpotensi 9–11 stres berat
(maksimum) mematikan ikan (acid bagi ikan, laju
death point) pertumbuhan rendah
4–6, ikan mampu > 11, berpotensi
bertahan hidup tetapi mematikan ikan
stres, lambat tumbuh, (alkaline death point).
nafsu makan menurun, Semua organisme
dan FCR tinggi dalam kolam, termasuk
bakteri akan mati pada
Proporsi Total Ammonium
pH tersebut
Nitrogen (TAN) dalam
bentuk terionisasi lebih Proporsi Total
tinggi, dan sifat toksiknya Ammonium Nitrogen
lebih rendah (TAN) dalam bentuk
tidak terionisasi
pH rendah merupakan
lebih tinggi, dan sifat
indikator tingginya kadar
toksiknya lebih tinggi
karbon dioksida terlarut
115
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA
Tabel 9.1 Kisaran kualitas air (fisika-kimia) determinan yang optimal untuk
pembenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus) (lanjutan)
Kisaran Lebih rendah dari Lebih tinggi dari
Parameter
optimal kisaran optimal kisaran optimal
Alkalinitas Alkalinitas Fluktuasi pH ekstrem, Penyangga pH air,
dan >20 ppm ikan stres fluktuasi kecil
Kesadahan Kesadahan >20
Ikan dalam kondisi Ikan umumnya
(mg/L) ppm
tercekam (fisiologi) “nyaman”
Total alkalinitas
dan total Produksi primer kolam Produksi primer relatif
kesadahan rendah, miskin pakan tinggi (pakan alami
lebih dari 60 alami melimpah, untuk
ppm masih benih)
ditoleransi oleh Untuk hatchery patin,
benih baung sebaiknya dihindari
Total Tidak lebih Ikan nyaman apabila Lebih peka terhadap
Ammonia dari 0,3 mg/L kadar amonia sangat infeksi parasit
Nitrogen dalam bentuk rendah (terutama trematoda)
(TAN) toksik (amonia) Ikan kesulitan untuk
(mg/L) Proporsi mengeluarkan amonia
TAN dalam dari darah karena
bentuk amonia kadar amonia di air
cenderung sudah tinggi
meningkat
sejalan dengan
kenaikan pH di
atas 7
Sumber: Taukhid (2017)
Gejala klinis yang tampak pada kondisi keracunan amonia secara umum
hampir sama dengan keracunan nitrit, yaitu ikan terlihat lemas dan
meloncat ke permukaan air atau berkumpul di saluran pemasukan air
karena lapisan epitel pada filamen insang tidak berfungsi melakukan
proses difusi.
2.1.e Emboli gas (Gas Bubble Disease)
Emboli gas adalah kondisi di mana konsentrasi gas lewat jenuh yang
ada dalam air keluar dari larutan dan membentuk emboli gas dalam
tubuh ikan. Emboli gas tersebut mungkin terjadi di bawah kulit atau
dalam pembuluh darah. Emboli di bawah kulit merusak kekompakan
kulit sebagai pertahanan utama terhadap infeksi patogen serta menjaga
keseimbangan osmotik. Sementara emboli pada pembuluh darah akan
membendung aliran darah, terutama pada insang ikan.
2.2 Penyakit malnutrisi
Penyakit akibat malnutrisi umumnya jarang menunjukkan gejala yang
spesifik sehingga relatif sulit dalam mendiagnosis penyebab utamanya.
Meskipun demikian, defisiensi unsur tertentu dalam diet pakan berakibat
kelainan morfologis dan fungsi fisiologis, misalnya: (1) Defisiensi asam
pantothenic adalah penyakit proliferasi jaringan insang ikan, dengan
gejala klinis: insang terlihat lunak dan kesulitan bernapas yang diikuti
dengan kematian; (2) Defisiensi vitamin A sering menunjukkan gejala:
pertumbuhan lamban, kornea mata lunak, mata menonjol/buta,
serta terjadi perdarahan pada kulit dan ginjal; (3) Defisiensi vitamin
B-1 (Thiamin) sering menunjukkan gejala: kehilangan nafsu makan,
perdarahan dan penyumbatan pembuluh darah, serta nervous; (4)
Defisiensi asam lemak esensial sering menunjukkan gejala: erosi sirip,
infiltrasi lemak dalam kulit, serta minimnya pigmentasi pada tubuh
ikan.
Defisiensi vitamin C merupakan penyakit yang umum terjadi, akibat
yang paling populer adalah “broken back syndrome” seperti skoliosis
dan lordosis. Vitamin C sangat berperan dalam: (1) proses osifikasi
atau konversi tulang rawan menjadi tulang sejati, (2) sebagai ko-enzim
reaksi biokimia dalam tubuh, (3) meningkatkan ketahanan tubuh
(imunitas) terhadap penyakit infeksius, (4) mencegah pengaruh negatif
akibat gangguan lingkungan atau stres, serta (5) mempercepat proses
penyembuhan luka.
118 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
PENGENDALIAN PENYAKIT
PADA PEMBENIHAN IKAN BAUNG
Beberapa teknik pengendalian untuk mengurangi kerugian pada saat terjadi
kasus penyakit infeksius pada pembenihan ikan baung menurut Taukhid
(2018), sejatinya dapat dilakukan melalui beberapa tindakan, antara lain:
(1) Mengurangi porsi pakan. Pada saat terjadi kasus penyakit infeksius,
multiplikasi organisme patogen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan
organik, baik yang berasal dari pakan yang tidak termakan ataupun dari
kotoran ikan; (2) Mengurangi kepadatan ikan per satuan luas dan/atau volume
air. Pengurangan kepadatan berdampak langsung terhadap level cekaman
dan konsentrasi patogen dalam populasi ikan tersebut. Menjaga/menambah
kadar oksigen terlarut di atas konsentrasi sub-optimal dapat meningkatkan
kenyamanan dan mempercepat proses penyembuhan; (3) Menstabilkan
fluktuasi parameter kualitas air, terutama suhu dan pH antara siang dan
malam. Suhu air yang terlalu panas mempercepat proses multiplikasi bakteri
dan dapat mengakibatkan ikan tercekam. Pada kondisi kolam yang terkendali,
dapat dilakukan pergantian air yang cukup dan/atau sistem resirkulasi, atau
memberikan sebagian penutup (sunscreens) pada kolam pemeliharaan; (4)
Pengobatan dengan bahan kimia/antibiotik.
Berdasarkan pengalaman, penggunaan bahan kimia/antibiotik untuk
pengendalian penyakit infeksius pada pembenihan ikan baung dapat
memberikan hasil yang baik apabila dilakukan sedini mungkin pada saat gejala
klinis sudah tampak pada kurang dari 10% populasi. Pembudidaya sering
melaporkan bahwa penggunaan bahan kimia/antibiotik hanya membantu
selama periode aplikasi. Setelah aplikasi berakhir, kematian yang terjadi justru
semakin meningkat. Fenomena ini yang sering memicu pembudidaya untuk
mengaplikasikan bahan kimia/antibiotik pada periode yang panjang dengan
dosis yang lebih tinggi dari yang direkomendasikan.
119
PENYAKIT POTENSIAL PADA PEMBENIHAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DAN PENGENDALIANNYA
Selain itu, sebelum aplikasi obat secara langsung, baik di kolam ataupun
di wadah lain, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu langkah-langkah
sebagai berikut:
(1) Tidak memberi pakan kepada ikan selama 6–24 jam sebelum
aplikasi obat. Memuasakan ikan sebelum pengobatan bertujuan
untuk mengurangi konsumsi oksigen dan produksi amonia.
Beberapa jenis obat/antibiotik bersifat mereduksi kemampuan air
untuk mengikat oksigen terlarut. Hal ini juga untuk mengantisipasi
efek negatif akibat aplikasi obat terhadap ikan (stres), di mana
pada kondisi tersebut ikan memerlukan oksigen yang lebih tinggi
dibandingkan pada kondisi normal. Apabila memungkinkan,
tingkat kesadahan dan pH air juga sebaiknya diperhatikan karena
kesadahan dan pH air yang rendah umumnya akan meningkatkan
sifat toksik beberapa jenis obat.
(2) Menggunakan wadah plastik untuk mencampur obat terlebih
dahulu, hindari penggunaan wadah yang terbuat dari logam
galvanis untuk mencampur obat.
(3) Mengecek kembali perhitungan dosis obat yang tepat sesuai
dengan volume air yang hendak dimasuki obat.
(4) Melakukan pengobatan pada saat suhu air terendah, umumnya
pada pagi atau malam hari.
(5) Melakukan percobaan pengobatan pada skala kecil terlebih dahulu
(ember/bak) dengan beberapa ekor ikan, sebelum melakukan
pengobatan yang sesungguhnya pada wadah yang lebih besar
(kolam).
(6) Apabila ikan terinfeksi patogen yang kompleks, misalnya parasit
insang dan bakteri, maka pengobatan untuk membasmi parasit
tersebut harus didahulukan. Setelah terlihat berhasil, barulah
dilakukan untuk jenis patogen lainnya.
(7) Evaluasi hasil percobaan pengobatan selama 12–24 jam, sebelum
betul-betul melakukan pengobatan di kolam.
(8) Perhatikan kondisi ikan secara rutin selama pengobatan dan segera
ambil tindakan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
(keracunan, overdosis, kematian, dan lain-lain).
124 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
3.1.3 Desinfeksi
Desinfeksi dimaksudkan untuk mensuci-hamakan seluruh komponen
yang hendak digunakan dalam proses produksi ikan, meliputi peralatan,
kolam/wadah, air yang hendak digunakan, ikan dan telurnya, pelaksana,
dan lain-lainnya. Sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk membunuh
semua jenis mikroorganisme (parasit, bakteri, virus, jamur, serta
organisme pengganggu lainnya), maka dosis bahan kimia (desinfektan)
yang diterapkan umumnya relatif tinggi. Desinfeksi juga dapat diartikan
untuk memutus rantai penularan (horizontal and vertical transmission),
misalnya telur-telur ikan yang hendak ditetaskan dapat didesinfeksi
dengan larutan methylene blue 3–5 ppm atau betadin 1%. Pada saat
transportasi ikan tanpa pembiusan, ikan biasanya mengalami stres
sehingga lebih mudah terinfeksi patogen. Apalagi bila di dalam wadah
pengangkutan terdapat ikan yang sakit. Untuk mencegah penularan
selama transportasi, sering digunakan larutan Acriflavin 4 ppm atau
garam dapur 250–750 ppm.
Jenis-jenis desinfektan yang sering digunakan dalam budidaya ikan
jumlahnya cukup banyak, dari yang mudah diperoleh dan relatif murah
hingga yang sulit diperoleh dan relatif mahal harganya. Aplikasi dapat
dilakukan melalui perendaman, penaburan, penyemprotan, dan bahkan
ada yang melalui pengelapan (terutama untuk bak beton/ akuarium/
fiber glass tank).
DAFTAR PUSTAKA
Faruk AR, Anka IZ. 2017. An overview of diseases in fish hatcheries and
nurseries. Fundamental and Applied Agriculture 2(3): 311–316.
Lerssutthichawal T, Hong SLL. 2005. Diversity of freshwater monogeneans
from siluriform fishes of Thailand. In Walker P, Lester R, Bondad-
Reantaso MG. (Eds). Diseases in Asian Aquaculture V. Manila (PH):
Fish Health Section, Asian Fisheries Society. pp. 217–225.
Lerssutthichawal T. 2008. Diversity and distribution of external parasites
from potentially cultured freshwater fishes in Nakhonsithammarat,
southern Thailand. pp. 235–244. In Bondad-Reantaso MG, Mohan
CV, Crumlish M, Subasinghe RP. (Eds.). Diseases in Asian Aquaculture
VI. Manila (H): Fish Health Section, Asian Fisheries Society. 505p.
128 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
patogen, kompetisi pada sisi perlekatan saluran cerna, nutrisi dan sumber
energi, memperoleh nutrien dan enzim untuk digesti saluran cerna,
meningkatkan respons imun, memperbaiki kualitas air, berinteraksi dengan
fitoplankton, dan mempunyai aktivitas sebagai antivirus (Verschuere et al.
2000; Sahu et al. 2008; Son et al. 2009; Chiu et al. 2010; Sun et al. 2010).
Bakteri probiotik diduga dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk
perbaikan pertumbuhan dan kelulushidupan, pencegahan, serta pengendalian
berbagai jenis penyakit di akuakultur (Son et al. 2009; Chiu et al. 2010; Sun et
al. 2010). Probiotik sebagai alternatif untuk mengganti penggunaan antibiotik
dan bahan kimia lain yang tidak hanya membunuh dan menghambat patogen
pada ikan tetapi juga semua bakteri yang menguntungkan dalam media
budidaya (Sahu et al. 2008).
Menurut Rainboth (1996), Hemibagrus nemurus atau Asian redtail catfish
diidentifikasi sebagai Mystus nemurus, serta secara lokal disebut sebagai ikan
baung. H. nemurus sebagai ikan akuarium bernilai ekonomis dan secara
komersial dibudidayakan sebagai ikan konsumsi dalam perdagangan karena
bergizi tinggi dan dagingnya mempunyai rasa yang enak (Chong et al. 2000).
Namun, penyakit menjadi kendala utama pada budidaya dan memengaruhi
perkembangan ekonomi serta sosio-ekonomi di berbagai negara (Subasinghe
2005). Penyakit bakterial merupakan penyebab infeksi utama pada jenis
ikan catfish (Al‐Dohail et al. 2009). Patogen dari genus Aeromonas umum
ditemukan pada ikan air tawar di Malaysia, seperti A. hydrophila (69,6%), A.
caviae (8,7%), dan A. sobria (21,7%) (Freshwater Fisheries Research Centre
2004).
baung melalui vaksinasi tidak hanya ditentukan oleh keampuhan dari vaksin
yang digunakan, tetapi juga sangat ditentukan oleh bagaimana dan kapan
sebaiknya vaksin itu diberikan.
Beberapa hal yang perlu diketahui berkaitan dengan aplikasi vaksin pada ikan
baung, antara lain:
1. Vaksin harus diberikan melalui teknik yang direkomendasikan oleh
produsen, misalnya melalui perendaman, dan/atau pakan, dan/atau
penyuntikan.
2. Pemberian vaksin yang pertama kali (priming) umumnya hanya mampu
memberikan level proteksi untuk periode 2–3 bulan setelah pemberian
sehingga untuk mendapatkan level proteksi yang lebih lama diperlukan
vaksinasi ulang (booster).
3. Vaksinasi harus mempertimbangkan umur/ukuran ikan yang rentan
terhadap jenis penyakit yang menjadi target untuk dicegah, serta saat/
musim munculnya penyakit tersebut sehingga pemberian vaksin dapat
memberikan manfaat (efektif dan protektif ) yang maksimal pada saat
penyakit tersebut muncul.
4. Prosedur transportasi, penyimpanan, dan aplikasi vaksin sesuai dengan
yang direkomendasikan oleh produsen.
Selain hal tersebut di atas, beberapa persyaratan umum yang perlu diperhatikan
sebelum melakukan vaksinasi sebagai berikut (Ellis 1998):
1. Ikan minimal berumur 2 minggu atau lebih (apabila diberikan melalui
perendaman dan/atau pakan), karena pada umur kurang dari 2 minggu,
perkembangan organ yang berperan dalam sistem pembentukan antibodi
belum sempurna. Organ-organ yang terlibat dalam sistem kekebalan
tubuh ikan meliputi “reticulo endothelial” (ginjal bagian depan, thymus,
limfa, dan hati), limfosit, plasmosit, dan fraksi serum protein tertentu.
2. Aplikasi vaksin melalui penyuntikan harus menyesuaikan antara ukuran
ikan dan jarum suntik (needle), dosis yang diberikan, serta memastikan
vaksinasi aman secara anatomis (misalnya tidak mengakibatkan abses
atau luka yang serius).
134 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
3. Status kesehatan ikan harus dalam kondisi baik, ikan yang sedang
mengalami cekaman (stres) dan/atau ikan yang sedang sakit misalnya
karena terinfeksi jenis patogen tertentu, sebaiknya tidak divaksinasi
terlebih dahulu sebelum benar-benar sehat.
4. Vaksinasi dilakukan pada suhu ≥25°C karena respons antibodi yang
terbentuk akan lebih cepat dibandingkan dengan suhu air yang lebih
rendah.
5. Air rendaman untuk melakukan vaksinasi dan media budidaya
selama periode induksi kekebalan harus bebas dari cemaran. Air yang
mengandung cemaran akan menghambat proses pembentukan antibodi
(immunosuppressif) dalam tubuh ikan.
Perendaman
Teknik ini sangat ideal untuk benih ikan dalam jumlah cukup banyak.
Perendaman dapat dilakukan dalam bak beton/fiber glass, akuarium, atau
ember plastik. Selama proses vaksinasi, sebaiknya dilengkapi dengan aerasi
dan kepadatan ikan tidak terlalu tinggi (antara 50–100 g/L air). Dosis vaksin
adalah 100 mL dilarutkan dalam 1.000 L air, atau 1 mL vaksin dalam 10 L
air. Pengamatan tingkah laku ikan selama proses vaksinasi dilakukan secara
cermat. Apabila terlihat ikan yang mengalami masalah, segera dipindahkan
ke air segar.
Ikan yang sudah divaksin sesuai dengan waktu perendaman (30–45 menit)
dapat segera dipindahkan ke wadah/kolam pemeliharaan. Air bekas rendaman
vaksin masih dapat digunakan untuk memvaksin ikan lainnya dengan
kepadatan dan periode perendaman yang sama (30–45 menit). Sebelum
sediaan vaksin yang telah dilarutkan dengan air tidak lebih dari 120 menit
(2 jam), larutan vaksin tersebut masih bekerja dengan baik. Namun apabila
pencampuran antara sediaan vaksin dengan air telah melebihi 120 menit,
efektivitas vaksin telah menurun.
135
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)
Penyuntikan
Keuntungan pemberian vaksin melalui penyuntikan adalah 100% vaksin
dapat masuk ke dalam tubuh ikan. Ikan yang akan divaksin harus memiliki
ukuran yang sesuai. Vaksinasi melalui penyuntikan harus dapat memastikan
bahwa ikan harus nyaman selama proses vaksinasi dan pembiusan mungkin
diperlukan. Penyuntikan dilakukan dengan dua cara, yaitu dimasukkan ke
rongga perut (intra peritoneal) dan ke otot/daging (intra muscular). Penyuntikan
secara intra peritoneal (IP) biasanya dilakukan di bagian perut, di antara
kedua sirip perut atau sedikit di depan anus dengan sudut kemiringan jarum
suntik (needle) kira-kira 30°. Penyuntikan secara intra muscular (IM) biasanya
dilakukan di bagian punggung, pada ikan yang bersisik biasanya dilakukan
di sela-sela sisik ke 3–5 dari kepala, dengan sudut kemiringan jarum suntik
sekitar 30–40°. Dosis vaksin Hydrovac yang diberikan melalui penyuntikan
adalah 0,1 mL/ekor ikan atau 0,2 mL/kg bobot tubuh ikan.
Vaksin Hydrovac
Vaksin Hydrovac merupakan vaksin yang dapat diaplikasikan pada ikan
baung. Penemuan vaksin Hydrovac diawali pada tahun 1980-an ketika terjadi
wabah penyakit bakterial pada ikan air tawar yang menyerang beberapa jenis
ikan (lele, mas, gurame, betutu, dan gabus) dari berbagai ukuran. Wabah
tersebut bermula dari daerah Jawa Barat dan akhirnya meluas ke seluruh
wilayah Indonesia dengan tingkat kerugian diperkirakan mencapai ratusan
juta rupiah pada saat itu. Hasil studi epidemiologi disimpulkan bahwa
patogen yang dianggap paling bertanggung jawab atas kasus tersebut adalah
bakteri Aeromonas hydrophila. Sejak saat itu, penelitian dan kajian tentang
biologi, karakterisasi, serta mekanisme serangan penyakit tersebut dilakukan
secara intensif untuk mendapatkan teknologi penanggulangannya yang paling
rasional, murah, aman, efisien, dan efektif. Hingga pada akhirnya ditemukan
vaksin monovalen anti-Aeromonas hydrophila yang mampu bekerja untuk
pencegahan infeksi jenis bakteri tersebut.
Seluruh koleksi isolat bakteri A. hydrophila yang ada di Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP) yang diperoleh
dari beberapa wilayah pengembangan perikanan budidaya air tawar di
Indonesia, diseleksi (screening) dan diuji secara laboratoris untuk tujuan
pembuatan vaksin. Isolat-isolat bakteri tersebut diberi pengkodean sebagai
berikut: jenis bakteri dan jenis ikan yang terinfeksi, kemudian diikuti dengan
waktu isolasi pertama kali dilakukan, serta spesimen ikan yang ke-x, misalnya:
AHM-0605-2 (Aeromonas hydrophila yang diisolasi dari ikan mas dan pertama
kali diisolasi pada bulan Juni tahun 2005 pada spesimen ikan yang ke-2, dan
seterusnya). Pengujian dilakukan terhadap seluruh koleksi isolat bakteri yang
meliputi beberapa aspek, yaitu: (1) Karakterisasi melalui uji bio-kimia; (2)
Patogenisitas terhadap beberapa spesies ikan yang dijadikan model, yaitu ikan
mas, lele dan gurame; (3) Potensi imunogenisitas; serta (4) Potensi reaksi
silang (cross-reactivity) antara satu isolat terhadap isolat-isolat lainnya (Frerichs
dan Millar 1993; Movahedi dan Hampson 2008).
Dari ke-32 isolat bakteri Aeromonas spp. yang merupakan koleksi Balai
Penelitian Perikanan Air Tawar (BALITKANWAR), berdasarkan hasil
karakterisasi melalui uji biokimia diketahui bahwa keseluruhannya merupakan
bakteri A. hydrophila. Di bawah ini adalah beberapa contoh hasil karakterisasi
selengkapnya dari uji biokimia disajikan pada Tabel 10.1.
Tabel 10.1 Hasil uji biokimia terhadap 32 isolat bakteri Aeromonas spp. yang
diperoleh dari kasus penyakit ikan air tawar
(isolat 1–4)
Kode isolat
Karakter
AHM0504-1 AHM0904-1 AHM0305-2 AHM0905-1
Bentuk Batang pendek Batang pendek Batamg pendek Batang pendek
Motilitas + + + +
Gram - - - -
Hidrolisi Esculin + + + +
Voges-Proskauer + + + +
Tumbuh pada 37°C + + + +
Pigmen coklat difus - - - -
β-galactosidase + + + +
Arginine dihydrolase + + + +
Lysine decarboxylase d d + +
138 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Tabel 10.1 Hasil uji biokimia terhadap 32 isolat bakteri Aeromonas spp. yang
diperoleh dari kasus penyakit ikan air tawar (lanjutan)
Kode isolat
Karakter
AHM0504-1 AHM0904-1 AHM0305-2 AHM0905-1
Ornithine - - - -
decarboxylase
Simmons’ citrate d d d d
Produksi H2S + + + +
Urease - - - -
Indol + + + +
Hidrolisis gelatin + + + +
Hidrolisis Aesculin + + + +
Tumbuh pada KCN + + + +
Asam dari:
Arabinose d d + d
Glucose + + + +
Inositol - - - -
Mannitol + + + +
Salicin + + + +
Sorbitol d d d d
Sucrose + + + +
Hemolysis (TSA + + + + +
5% eritrosit darah
kambing )
Aeromonas Aeromonas Aeromonas Aeromonas
hydrophila hydrophila hydrophila hydrophila
Catatan: + (positif ), - (negatif ), d (reaksi bervariasi)
139
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)
Tabel 10.1 Hasil uji biokimia terhadap 32 isolat bakteri Aeromonas spp. yang
diperoleh dari kasus penyakit ikan air tawar (lanjutan)
(isolat 9–12)
Kode isolat
Karakter
AHM0507-3 AHL0905-2 AHL0306-1 AHL0906-1
Bentuk Batang pendek Batang pendek Batang pendek Batang pendek
Motilitas + + + +
Gram - - - -
Hidrolisis Aesculin + + + +
Voges-Proskauer + + + +
Tumbuh pada 37°C + + + +
Pigmen coklat difus - - - -
β-galactosidase + + + +
Arginine dihydrolase + + + +
Lysine decarboxylase + d + d
Ornithine - - - -
decarboxylase
Simmons’ citrate D d d d
Produksi H2S + + + +
Urease - - - -
Indol + + + +
Hidrolisis Gelatin + + + +
Hidrolisi Aesculin + + + +
Tumbuh pada KCN + + + +
Asam dari
Arabinose + + + +
Glucose + + + +
Inositol - - - -
Mannitol + + + +
Salicin + + + +
Sorbitol d d d d
Sucrose + + + +
Hemolisis (TSA + 5% + + + +
eritrosit kambing)
Aeromonas Aeromonas Aeromonas Aeromonas
hydrophila hydrophila hydrophila hydrophila
Catatan: + (positif ), - (negatif ), d (reaksi bervariasi)
140 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
Tabel 10.3 Aplikasi Hydrovac pada ikan gurame dari Padang Pariaman
Sumatera Barat
Umur Ukuran Tingkat
Jenis Ikan Ikan Ikan Kondisi ikan setelah divaksin Kelangsungan
(hari) (inci) Hidup (%)
Gurame 15 0,5 Ikan normal >80
Gurame 20 0,5 Ikan sehat >80
Gurame 30 1 Gerakan kurang lincah, warna >80
sedikit pucat tapi tidak pudar
Gurame 50 1,5 Tidak terjadi gripis pada ekor dan >80
sirip, performa lebih baik
Gurame 60 2 Ikan lebih cepat tumbuh dan >80
lebih sehat
DAFTAR PUSTAKA
Al‐Dohail MA, Hashim R, Aliyu‐Paiko M. 2009. Effects of the probiotic,
Lactobacillus acidophilus, on the growth performance, haematology
parameters and immunoglobulin concentration in African catfish
(Clarias gariepinus, Burchell 1822) fingerling. Aquaculture Research 40:
1642–1652.
Anonim. 2015. Laporan Penggunaan Vaksin dari Dinas Perikanan Se
Indonesia. (Tidak dipublikasi)
Balcázar JL, Blas ID, Ruiz-Zarzuela I, Cunningham D, Vendrell D, Múzquiz
JL. 2006. The role of probiotics in aquaculture. Veterinary Microbiology
114: 173–186.
Chiu CH, Cheng CH, Gua WR, Guu YK, Cheng W. 2010. Dietary
administration of the probiotic, Saccharomyces cerevisiae P13, enhanced
the growth, innate immune responses, and disease resistance of the
grouper, Epinephelus coioides. Fish and Shellfish Immunology 29: 1053–
1059.
Chong LK, Tan SG, Yusoff K, Siraj SS. 2000. Identification and characterization
of Malaysian river catfish, Mystus nemurus (C&V): RAPD and AFLP
analysis. Biochemical Genetics 38(3–4): 63–76.
145
APLIKASI VAKSIN DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN
IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus)
Ellis AE. 1998. Fish Vaccination. London (UK): Academic Press Limited.
255p.
Fidyandini HP. 2015. Evaluasi pemberian probiotik multispesies melalui
media budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) untuk pencegahan
penyakit motile aeromonas septicemia [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Peranian Bogor.
Frerichs GN, Millar SD. 1993. Manual for the Isolation and Identification of
Fish Bacterial Pathogens. Stirling (UK): Pisces Press. 60p.
Freshwater Fisheries Research Centre. 2004. Freshwater fisheries Research
Centre Annual Report 1995. Available: http://www.fri.gov.my/pppat/
page11-1.html [Accessed 12 March 2012].
Gisbert E, Castillo M. 2011. Use of probiotic in aquaculture: Can these
additives be useful? Available: http://www.aquafeed.co.uk/IAF1106
[Accessed 28 May 2013].
Haditomo AC. 2011. Pemberian probiotik pada media budidaya untuk
pengendalian Aeromonas hydrophila pada ikan mas (Cyprinus carpio)
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lusiastuti AM, Sumiati T, Hadie W, Wijaya A. 2011. Kajian aktivitas probion
anti Streptococcus agalactiae pada media pemeliharaan benih ikan nila
Oreochromis niloticus. Prosiding Forum Inovasi teknologi Akuakultur
2011, 649–654.
Liu CH, Chiu CH, Wang SW, Cheng W. 2012. Dietary administration of the
probiotic, Bacillus subtilis E20, enhances the growth, innate immune
responses, and disease resistance of the grouper, Epinephelus coioides.
Fish and Shellfish Immunology 33: 699–706.
Movahedi A, Hampson DJ. 2008. Now ways to identify novel bacterial
antigens for vaccine development. Veterinary Microbiology 131: 1–13.
Nayak SK. 2010. Probiotics and immunity: a fish perspective. Fish and
Shellfish Immunology 29: 2–14.
Newaj-Fyzul A, Al-Harbi AH, Austin B. 2014. Review: developments in the
use of probiotics for disease control in aquaculture. Aquaculture 431:
1–11.
146 Bunga Rampai
POTENSI BUDIDAYA IKAN LOKAL PROSPEKTIF:
BAUNG Hemibagrus nemurus
ikan baung umumnya terjadi pada musim hujan dengan puncak pemijahan
pada bulan Oktober–Desember. Pengelolaan induk merupakan aspek penting
dalam budidaya ikan baung. Pengelolaan induk yang tepat akan menghasilkan
kualitas telur, sperma, dan larva yang baik. Pengelolaan induk bisa dilakukan
secara terkontrol dengan menyediakan pakan yang mengandung nutrien secara
lengkap. Pakan induk ikan baung dapat meningkatkan performa produksi
dan produktivitas induk. Untuk pengembangannya, riset pakan induk ikan
baung perlu digali dengan fokus: (a) penggunaan tepung ikan secara minimum
dalam pakan, (b) substitusi penggunaan minyak ikan dengan minyak nabati,
dan (c) penggunaan suplemen pakan yang dapat meningkatkan performa
reproduksi dan kualitas telur/sperma, percepatan pematangan gonad, dan
rematurasi induk.
Pada budidaya ikan baung, jenis-jenis penyakit infeksius utama yang sering
ditemukan dan mengakibatkan kematian antara lain: parasit (protozoa dan
trematoda), jamur, dan bakteri. Penyakit non-infeksius yang sering terjadi
antara lain akibat kondisi kualitas air (suhu, oksigen terlarut, pH, amonia,
alkalinitas, dan kesadahan), serta malnutrisi (feeding habit and periodicity).
Penggunaan vaksin dan probiotik cukup efektif dalam melindungi ikan
dari serangan penyakit, terutama untuk perlindungan terhadap infeksi
bakteri dan virus kecuali pada benih sebelum umur satu minggu dan ikan
yang mengalami stres. Penyediaan benih ikan baung pada Balai Benih Ikan
(BBI) sangat diperlukan dalam rangka menunjang kebutuhan benih yang
berkualitas untuk mendukung budidaya pembesaran. Beberapa permasalahan
terkait dengan pengembangan usaha pembenihan ikan baung adalah kondisi
kualitas lingkungan yang tidak baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidupnya. Upaya peningkatan produktivitas pada pendederan ikan baung
secara indoor dapat menggunakan teknologi resirkulasi dengan penggunaan
filter biologi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan
membuat kebijakan mengenai pembenihan yang tertuang dalam Undang-
undang No 31 Tahun 2004 jo. UU 45/2009 tentang PERIKANAN
dan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/
PERMEN-KP/2016. Pemerintah mendukung secara penuh pembudidaya
ikan dalam mengembangkan usahanya dengan mempertimbangkan pada
program penilaian kebutuhan masyarakat, pendekatan solusi, dan partisipasi
masyarakat. Selain itu, diprioritaskan pada kelembagaan atau kelompok yang
sudah ditetapkan agar lebih tepat sasaran, berkelanjutan, dan berdampak
pada usaha yang mandiri.