Penulis:
Janes Jainurakhma, Dewi Damayanti, Agustina Boru Gultom,
Andria Pragholapati, Melva Epy Mardiana Manurung,
Fitrian Rayasari, Rini Rahmasari, Anis Laela Megasari,
Novita Verayanti Manalu, Sulastyawati, Cicielia
Penerbit
Yayasan Kita Menulis
Web: kitamenulis.id
e-mail: press@kitamenulis.id
WA: 0821-6453-7176
IKAPI: 044/SUT/2021
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan banyak anugerah, limpahan rahmat dan keberkahan kepada
seluruh akademisi Keperawatan yang telah bekerja keras mencurahkan segala
pengetahuan dan kemampuannya dalam menyelesaikan buku “Konsep dan
Sistem Keperawatan Gawat Darurat”. Keperawatan gawat darurat dalam
praktik profesional wajib memperhatikan holistic aspek (bio-psiko-sosio-
spiritual-cultural) dengan mengedepankan life support pada keselamatan dan
kestabilannya kondisi pasien.
Materi yang tersaji dalam buku ini sedikit banyak membahas asuhan
keperawatan gawat darurat pada klien kondisi gawat darurat dengan segala
macam keunikan dan karakteristik klien yang dihadapi dengan
mengedepankan manajemen safety di departemen kegawatdaruratan.
Besar harapan kami, karya ini mampu menjadi salah satu sumber acuan
literatur bagi praktisi keperawatan kegawatdaruratan, peneliti dan atau
mahasiswa profesi keperawatan, baik saat praktik profesi dan atau saat
melakukan asuhan keperawatan di area perawatan kegawatdaruratan. Kritik
dan saran yang membangun dari pembaca kami butuhkan untuk
menyempurnakan buku edisi I ini. Semoga buku ini mampu memberikan
kontribusi yang positif terhadap perkembangan keperawatan gawat darurat.
Tim Penulis,
Daftar Isi
1.1 Pendahuluan
Kondisi gawat darurat dapat terjadi di manapun baik di luar maupun dari
dalam rumah sakit, dapat terjadi pada siapa saja (tidak berbatas usia), bersifat
mengancam keselamatan dan kehidupan korban, dapat terjadi kapanpun
(Jainurakhma et al., 2020). Penanganan kegawatdaruratan membutuhkan
ketenangan, keluasan pengetahuan yang didapatkan oleh seorang tenaga
kesehatan dari pengalaman ataupun dari peningkatan ketrampilan dan ilmu
kedaruratan dengan tetap mengedepankan keamanan baik dari petugas
kesehatan, pasien, dan lingkungan pada saat memberikan asuhan keperawatan
gawat darurat. Seorang petugas dalam memberikan bantuan kegawatdaruratan
wajib memperhatikan holistic aspek (bio-psiko-sosio-spiritual-cultural) dengan
mengedepankan pemantauan tanda vital korban yang terdiri atas airway-
breathing-circulation, yang berfokus pada keselamatan dan kestabilannya (life
support) (Jainurakhma, et al., 2013; Wahyuningsih et al., 2020; Kurniati et al.,
2018).
Pertolongan kegawatdaruratan yang berkualitas membutuhkan kecermatan,
kecepatan, ketepatan dari petugas kesehatan yang dilakukan secara sendiri
ataupun kerjasama tim, sehingga tercipta kepuasan dari klien maupun
keluarga. Kepuasan klien dan keluarga terhadap pelayan professional petugas
kesehatan saat penanganan kegawatdaruratan dipengaruhi oleh banyak faktor,
2 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Prinsip praktik kegawatdaruratan adalah cepat dan tepat, dapat dilakukan oleh
siapa saja yang menemukan kejadian atau korban kegawatdarurat pertama kali,
di mana tindakan tersebut dapat berupa mencari pertolongan, melakukan
transportasi, dan menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan, hingga kemampuan
melakukan basic life support dan advanced life support.
angka harapan hidupnya relatif rendah, yang mengancam kondisi dari organ
vital (paru, jantung, otak. Cardio pulmonary resuscitation (CPR) merupakan
salah satu tindakan resusitasi penyelamatan jiwa, dalam pelaksanaan CPR
perlu adanya teamwork yang di dalam pelaksanaannya terdapat leader dan
anggota tim lainnya yang berfungsi dalam pendokumentasian, teknisi, bagian
sirkulasi. Pembagian tugas dalam proses resusitasi untuk megatur tugas,
menjaga standarisasi aktivitas, mencegah kelalaian, meningkatkan kecepatan
dalam penyelamatan pasien, mengurangi beban kerja dan stress saat
memberikan bantuan pada klien dengan kondisi kritis (Mellick dan Adams,
2009; Jainurakhma et al., 2021; Walker, 2011).
2.1 Pendahuluan
Untuk meningkatkan pelayanan publik pemeritah dalam beberapa tahun
terakhir mengembangkan berbagai macam kebijakan yang menghasilkan
berbagai macam program dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
untuk masyarakat terlebih khusus pada pelaksaan pelayanan gawat darurat
sehari-hari (Pieter a, Rares & Pioh a, 2021).
Maka pada tahun 2013 pemerintah mengeluarkan produk kebijakannya berupa
Instruksi Presiden RI Nomor 4 tahun 2013 tentang Program Dekade Aksi
Keselamatan Jalan. Kebijakan ini dihasilkan dengan melewati beberapa
pertemuan internasional dan nasional salah satunya tentang Improving Global
oad Safety melalui program Decade of action for Road Safety 2011-2020 yang
pada hakekatya merupakan hasil dari rangkaian kebijakan yang sudah ada
sebelumnya. Di mana pada Instruksi Presiden ini memiliki beberapa poin yang
dikhususkan dan salah satunya adalah bidang kesehatan. Yang pada
penjelasannya bahwa institusi kesehatan ditekankan untuk dapat meningkatkan
aktivitas penanganan pra kecelakaan, yaitu peningkatan pelayanan kesehatan
12 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Adapun alur Penyelenggaraan SPGDT melalui call center 119 dan PSC
adalah:
1. Operator call center di Pusat Komando Nasional (National Command
Center) akan menerima panggilan dari masyarakat di seluruh
Indonesia.
2. Operator call center akan menyaring panggilan masuk tersebut.
3. Operator call center akan mengindentifikasikan kebutuhan layanan
dari penelepon.
4. Telepon yang bersifat gawat darurat akan diteruskan/dispatch ke PSC
kabupaten/kota.
5. Selanjutnya penanganan gawat darurat yang dibutuhkan akan
ditindaklanjuti oleh PSC kabupaten/kota.
Bab 2 Pengelolaan Sistem Kegawatdaruratan 21
Dalam situasi gawat darurat, penanganan cepat dan tepat pasien gawat darurat
membutuhkan manajemen yang tepat. Disamping lebih efisien dibutuhkan
suatu koordinasi antar unit pelayanan di mana pasien itu didiagnosa ke tempat
di mana pasien tersebut akan dirujuk untuk penanganan lebih tepat dan efisien
(Wiratama, 2018). Berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 4 tahun 2013
tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan untuk pilar ke V Menteri
Kesehatan, yang bertanggung jawab meningkatkan penanganan pra
kecelakaan meliputi promosi dan peningkatan kesehatan pengemudi pada
keadaan/situasi khusus dan penanganan pasca kecelakaan dengan Sistem
Penanggulangan Gawa Darurat Terpadu (SPGDT). Untuk mendukung
terlaksana SPGDT tersebut, maka dibentuk Pusat Komando Nasional
22 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
3.1 Pendahuluan
Gawat darurat merupakan keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan
medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan
(Peraturan Menteri Kesehatan RI No.19 Tahun 2016). Kejadian tersebut dapat
melibatkan secara fisik dan akibatnya berpotensi berbahaya bahkan merusak
atau dapat terjadinya kematian.
Ada empat tingkatan kondisi kegawatdaruratan, mulai dari tingkat terendah
sampai tingkat tertinggi. Tingkat terendah dapat digambarkan sebagai
kecelakaan atau serangan tunggal seperti kecelakaan penumpang mobil
tunggal atau seorang yang mengalami serangan jantung. Tingkat kedua adalah
kejadian yang terjadi pada satu lokasi kecamatan atau kabupaten yang dapat
ditangani tanpa memerlukan sumber daya yang signifikan dari luar. Tingkat
ketiga merupakan insiden atau kejadian bencana besar. Hal tersebut harus
ditangani dengan menggunakan sumber daya secara regional atau lintas
provinsi. Pada tingkat ini, penanganan kegawatdaruratan memerlukan tingkat
koordinasi yang lebih tinggi. Tingkat terakhir dari kegawatdaruratan adalah
bencana nasional (atau internasional), merupakan suatu peristiwa
24 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
kegawatdaruratan yang begitu besar dan serius dan hanya dapat ditangani
dengan partisipasi penuh dari pemerintah nasional, bahkan kemungkinan
memerlukan juga bantuan internasional (Alexander,D., 2014). Oleh karena itu,
suatu keadaan kegawatdaruratan yang merupakan kejadian luar biasa adalah
keadaan yang melebihi kemampuan sumber daya dan organisasi secara normal
untuk mengatasinya maka dapat disebut dengan sebutan bencana. Hal ini dapat
dijelaskan secara rinci dari (Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahun
2007), yang menyatakan bahwa bencana adalah adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007).
Keperawatan gawat darurat merupakan perawatan terhadap individu dari
segala rentang usia yang mengalami perubahan kesehatan fisik, emosional atau
psikologis, baik aktual maupun potensial yang memerlukan intervensi lebih
lanjut. Asuhan keperawatan gawat darurat adalah asuhan yang bersifat akut
atau bersifat utama, penanganan dengan kondisi yang tiba-tiba melalui
berbagai pengaturan situasi. Ruang lingkup praktik keperawatan gawat darurat
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, tindakan dan
evaluasi. Penyelesaian masalah pasien bisa hanya memerlukan perawatan yang
minimal atau tindakan penyelamatan nyawa dan dukungan hidup lanjutan,
pendidikan pasien dan atau keluarga, rujukan yang tepat dan pengetahuan
tentang implikasinya dalam aspek legal. Pemberian perawatan yang bersifat
gawat darurat dilakukan pada dapat waktu dan lokasi seseorang memerlukan
pengkajian cepat dan stabilisasi penyakit atau cedera dari berbagai aspek yang
dialami orang tersebut (ENA, 2020)
3.3 Prinsip
Prinsip penanganan kegawatdaruratan merupakan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan atau kerangka kerja dalam melakukan penanganan
gawat darurat. Prinsip tersebut harus dipertimbangkan secara keseluruhan
untuk memfasilitasi pencapaian tujuan penanganan gawat darurat yang
diharapkan. Prinsip bertujuan untuk mendukung perbaikan rancangan
kebijakan, program, prosedur, pedoman, kegiatan secara bersama-sama dalam
penanganan kegawatdaruratan.
Setiap negara memiliki perbedaan dalam prinsip penanganan
kegawatdaruratan. Negara Indonesia memiliki beberapa prinsip penanganan
gawat darurat dan bencana (Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahun
2007)
3.3.2 Prioritas
Bila kondisi kegawadaruratan atau bencana terjadi, maka kegiatan penanganan
harus menetapkan prioritas dan diutamakan untuk penyelamatan kehidupan
manusia. Penentuan prioritas masalah kegawadaruratan atau bencana dapat
menggunakan sistem triase. Triase merupakan suatu upaya untuk memilah
pasien yang akan ditangani didasarkan pada penentuan pasien mana yang perlu
ditangani segera dan yang masih dapat menunggu. Salah satu yang dapat
digunakan untuk menentukan kondisi masalah gawat darurat adalah dengan
menggunakan Australian Triase Scale (ATS) yang meliputi 5 prioritas.
Sebagai prioritas pertama adalah kondisi yang langsung mengancam jiwa,
kedua yaitu yang tidak langsung mengancam jiwa, ketiga merupakan
berpotensi mengancam jiwa, keempat yaitu kondisi bisa lebih parah dan
kelima ialah masalah tidak gawat. Contoh lain dalam penentuan kondisi gawat
darurat adalah Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) yang membagi
kondisi pasien dalam level berdasarkan warna dan kecepatan pengkajian ulang
terhadap klien. Untuk level 1 dengan kondisi resusitasi di beri warna biru
dengan waktu perawatan terus menerus. Untuk level 2 dengan kondisi
emergensi atau gawat diberi warna merah dengan waktu 15 menit. Untuk level
3 dengan kondisi darurat diberi warna kuning dengan waktu 30 menit. Untuk
level 4 dengan kondisi tidak gawat diberi warna hijau dengan waktu 60 menit.
Sedangkan untuk level 5 dengan kondisi tidak darurat dengan warna putih
dengan waktu 120 menit (Association Emergency Nurses., 2018).
kelola, dan juga diperlukan dalam kebutuhan perubahan budaya yang ada.
Koordinasi merupakan faktor penentu penting dalam sebuah kebijakan efektif.
Oleh karena itu, pembuat kebijakan dapat memilih untuk mengatasi masalah
koordinasi terlebih dahulu sebelum mengharapkan kebijakan yang efektif
dapat terjadi (Dan,S., 2017).
Koordinasi yang baik dan saling mendukung merupakan dasar penanganan
kegawatdaruratan atau bencana. Kepemimpinan dalam penanganan diperlukan
dalam menyinkronkan semua kegiatan dalam penanganan gawat darurat atau
bencana oleh setiap tenaga kesehatan yang ambil bagian dalam mencapai
tujuan bersama yang diharapkan.
Keterpaduan dapat diartikan sebagai adanya rasa memiliki dan percaya yang
dirasakan antar anggota di dalam kelompok atau tim. Penelitian telah
menunjukkan bahwa adanya keterpaduan memiliki makna yang signifikan
untuk pencegahan dropout tim, mendorong peningkatan umpan balik dan
perbaikan gejala dari tim itu sendiri. Melalui riset, keterpaduan berhubungan
positif dengan hasil dari tim, namun keterpaduan sebenarnya lebih kompleks
dan lebih mudah dipahami dalam hubungannya dengan struktur tim, interaksi
verbal dan pemeliharaan serta iklim emosional (Wagoner,S,L., 2012).
Keterpaduan mengandung arti bahwa penanganan kegawatdaruratan atau
bencana dilaksanakan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan
pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
3.3.6 Kemitraan
Kemitraan mengandung maksud adanya pertukaran pengetahuan, pengalaman,
kompetensi antara berbagai profesi atau organisasi baik publik maupun swasta
dalam penanganan gawat darurat dan bencana. Dalam konsep kemitraan
Bab 3 Prinsip Penanganan Kegawatdaruratan 31
3.3.7 Pemberdayaan
Pemberdayaan merupakan konsep utama dalam domain pelayanan terhadap
manusia khususnya pelayanan dalam kondisi gawat darurat dan bencana.
Secara dasar, semua sistem pelayanan terhadap manusia bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan manusia yang menerima pelayanan tanpa
menumbuhkan kondisi ketergantungan selamanya dalam penerimaan
pelayanan. Sistem pemberdayaan dalam penanganan gawat darurat dan
bencana dirancang untuk meningkatkan kelangsungan dan keamanan hidup di
tingkat individu dan juga keluarga serta mempromosikan stabilisasi di tingkat
masyarakat (Veenema,T,G., 2019)
3.3.8 Non-diskriminasi
Keanekaragaman merupakan suatu fakta yang menunjukkan beragam
perbedaan satu dengan yang lain mengenai karakteristik, kualitas, atau elemen
yang berbeda dari seorang atau sekelompok individu. Perbedaan tersebut
meliputi nilai dan pola kepercayaan baik yang terlihat maupun tidak terlihat
serta karakteristik seperti usia, kelas atau kasta, budaya, etnis, jenis kelamin,
kebangsaan, ras, agama, orientasi seksual keterbatasan tertentu. Sebagai
perawat profesional adalah hal penting untuk mengenali dan menerima
keanekaragaman perbedaan dalam diri orang atau kelompok yang dilayani
(ENA, 2020).
Diskriminasi ada di dalam seluruh proses upaya untuk memusnahkan suatu
kelompok tertentu secara sistematis dan disengaja. Korban atau pengungsi bisa
saja mengalami proses ini, dan akan berlanjut setelah satu tindakan
diskriminasi dilakukan. Sedangkan non-diskriminasi merupakan payungnya
suatu hak setiap manusia, prinsip dasar dan bersifat umum yang berkaitan
32 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
3.3.9 Nonproletisi
Menurut KBBI, proletisi adalah memberikan sumbangan dengan
menyebarkan keyakinan atau agama pemberi sumbangan. Sehingga non
proletisi mengandung arti ketika memberi sumbangan kepada seseorang atau
kelompok tidak diperbolehkan untuk menyebarkan keyakinan atau agama
pemberi sumbangan. Hal ini juga berlaku ada saat melaksanakan penanganan
kegawatdaruratan atau bencana terutama pada saat pemberian bantuan dan
pelayanan kegawatdaruratan atau bencana dilarang untuk menyebarkan agama
atau keyakinan tertentu.
Bab 4
Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu (SPGDT)
4.1 Pendahuluan
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah sebuah
sistem yang merupakan koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) dan
didukung berbagai kegiatan profesi disiplin dan multi profesi untuk
menyelenggarakan pelayanan terpadu penderita gawat darurat baik dalam
keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan bencana (DepKes RI, 2006
Tentang SPGDT-Google Cendekia, n.d.)
Sistem ini telah diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1985,
yang merupakan sistem pelayanan pasien gawat darurat dari tempat kejadian
sampai ke sarana pelayanan kesehatan, yang berpedoman pada respon cepat
yang menekankan pada time saving is life and limb saving. Implementasi
SPGDT dapat dibagi dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu-
Sehari-hari (SPGDT-S) dan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu-
Bencana (SPGDT-B) (DepKes RI, 2006 Tentang SPGDT-Google Cendekia,
n.d.)
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu/Integrated Emergency
Management System (IEMS) mengacu pada pendekatan semua bahaya untuk
34 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
koordinasi, arah dan pengendalian bencana terlepas dari jenis, asal, ukuran,
dan kompleksitasnya. Pada awal 1980-an, istilah ini diciptakan oleh Badan
Manajemen Darurat Federal, FEMA, Amerika Serikat (CHAPTER 3 –
Integrated Emergency Management: Guidance and Principles | Ready
Scotland, n.d.).
Saat ini istilah Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu terkadang juga
digunakan untuk sistem manajemen darurat berbasis komputer yang
memungkinkan pengelolaan semua skala insiden dengan mendorong
kolaborasi dan berbagi informasi. Saat terjadi keadaan darurat atau bencana
lembaga dari yurisdiksi yang berbeda dan tingkat pemerintah perlu bekerja
sama. Keadaan darurat dan bencana besar mengabaikan batas kota, kabupaten,
dan negara bagian. Pengambilan keputusan yang cepat diperlukan. Tanpa
perencanaan dan koordinasi, operasi darurat dapat mengalami salah arah dan
kesalahan yang serius.
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu menyediakan kerangka kerja
konseptual untuk mengatur dan mengelola upaya perlindungan darurat.
Kerangka kerja ini mengatur kapan dan bagaimana pejabat dan lembaga lokal
akan bekerja sama untuk menangani berbagai keadaan darurat, mulai dari
bencana alam hingga terorisme (7.3 Emergency Management | GEOG 882:
Geographic Foundations of Geospatial Intelligence, n.d.). Intervensi perawatan
darurat efektif dan hemat biaya dan pemberian perawatan darurat terintegrasi
dapat menyelamatkan nyawa dan memaksimalkan dampak, di seluruh sistem
kesehatan. Perawatan darurat yang dirancang dengan baik memfasilitasi
pengenalan tepat waktu, pengobatan dan, bila diperlukan, perawatan lanjutan
orang sakit akut, pada tingkat yang sesuai dari sistem kesehatan. Jutaan
kematian dan cacat jangka panjang akibat cedera, infeksi, gangguan mental
dan kondisi darurat lainnya dapat dicegah setiap tahun, jika layanan perawatan
darurat yang efektif tersedia dan pasien mencapainya tepat waktu (Strategic
Directions to Integrate Emergency Care Services into Primary Health Care in
the South-East Asia Region, n.d.).
Bab 4 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) 35
Kegiatan-kegiatan ini tidak berdiri sendiri dan masing-masing terkait erat satu
sama lain. SGPT harus terintegrasi baik di dalam maupun di antara organisasi.
Ini harus menjadi bagian integral dari bagaimana sebuah organisasi berfungsi
sebagai lawan menjadi fungsi diskrit dalam organisasi itu.
38 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
4.3.1 Penilaian
Penilaian risiko merupakan komponen integral dari manajemen risiko dan
aktivitas utama dalam proses perencanaan darurat. Aspek awal penilaian
didasarkan pada konsep antisipasi. Tujuannya, pada tahap ini, adalah agar
responden secara sistematis mengidentifikasi bahaya dan ancaman baru atau
yang berubah dari lingkungan lokal dan lebih luas. Proses ini, kadang-kadang
dikenal sebagai pemindaian cakrawala, dapat mencakup faktor politik,
lingkungan, sosial, teknologi, ekonomi, dan hukum.
Setelah mengidentifikasi bahaya dan ancaman yang relevan, responden harus
menilai kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut dan potensi dampaknya
terhadap masyarakat. Proses ini memungkinkan responden dan orang lain
untuk mengukur risiko dan mendasarkan prioritas perencanaan dengan tepat.
Penting bahwa responden memiliki pemahaman yang realistis tentang bahaya
dan/atau ancaman yang harus mereka persiapkan. Dengan demikian, penilaian
adalah bagian penting dari persiapan.
Penilaian memainkan peran kunci dalam persiapan dan respons di mana,
misalnya, proses penilaian risiko dinamis memberi responden apresiasi
berkelanjutan terhadap potensi atau risiko aktual selama keadaan darurat.
Selain itu, penilaian memainkan peran seputar masalah jangka panjang yang
terkait dengan pemulihan, memberikan informasi bagi pengambil keputusan
seputar opsi pemulihan dan potensi dampak masyarakat dari opsi tersebut.
Bab 4 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) 39
4.3.2 Pencegahan
Mempersiapkan bimbingan pemerintah pusat terutama berkaitan dengan
mengembangkan ketahanan dan menangani konsekuensi daripada penyebab.
Dalam mengadopsi pendekatan semua risiko untuk mengembangkan respons
kita terhadap keadaan darurat, masalah pencegahan tidak dibahas secara rinci.
Namun, pencegahan harus dilihat sebagai elemen utama dari Manajemen
Darurat Terpadu untuk sedapat mungkin mengurangi ancaman dan bahaya.
Hal ini sangat penting sehubungan dengan keamanan dan ketahanan
infrastruktur yang sangat penting untuk penyampaian layanan penting kepada
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Membangun ketahanan infrastruktur penting adalah sangat penting jika kita
ingin mengurangi kerentanan terhadap serangan berbahaya dan bahaya alam
serta menciptakan layanan, sistem, dan jaringan penting kita tahan terhadap
semua ancaman dan bahaya.
4.3.3 Persiapan
Persiapan adalah tugas dan aspek kunci dari upaya responden untuk
melindungi masyarakat. Ini mencakup kegiatan perencanaan, pelatihan dan
latihan.
Proses penilaian risiko yang kuat memastikan bahwa setiap perencanaan
selanjutnya didasarkan pada fondasi yang kuat. Rencana dapat bersifat spesifik
atau generik serta bersifat tunggal atau multi-lembaga. Jika memungkinkan,
rencana harus sederhana dan harus menawarkan fleksibilitas dan kemampuan
beradaptasi. Mereka harus memasukkan pertimbangan kesinambungan bisnis
40 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
4.3.4 Respon
Respons yang efektif sebagian besar mencerminkan kesiapan organisasi
sebelum keadaan darurat. Sebuah organisasi yang telah berkomitmen untuk
program persiapan jauh lebih mungkin untuk merespon dengan cara yang
efektif. Sementara tanggap darurat awal biasanya dipimpin oleh layanan
darurat, pengalaman menunjukkan bahwa keadaan darurat, bahkan dalam
Bab 4 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) 41
4.3.5 Pemulihan
Keadaan darurat telah menunjukkan pentingnya melibatkan masyarakat dalam
pemulihannya sendiri. Komunikasi yang efektif dan dukungan untuk kegiatan
swadaya merupakan pertimbangan penting bagi responden. Mereka yang
mengoordinasikan pemulihan harus tetap sadar bahwa berbagai komunitas di
dalam suatu wilayah dapat terpengaruh secara berbeda dan bahwa komunitas
situasi baru dapat diciptakan oleh keadaan darurat itu sendiri.
Pemulihan membahas dampak keadaan darurat terhadap manusia, fisik,
lingkungan dan ekonomi. Pemulihan harus menjadi bagian integral dari
respons gabungan karena tindakan yang diambil setiap saat dapat
memengaruhi hasil jangka panjang bagi masyarakat. Ini juga harus mencakup
tanggapan yang efektif terhadap kebutuhan psikososial dan kesehatan mental
orang-orang yang terkena dampak keadaan darurat, termasuk responden dan
sukarelawan.
Kemampuan beradaptasi
Sementara pendekatan semua risiko efektif, perlu dicatat juga bahwa setiap
keadaan darurat akan memiliki aspek unik, beberapa di antaranya mungkin
tidak terduga. Dalam konteks ini, kemampuan untuk menjadi fleksibel dan
mudah beradaptasi adalah kualitas yang sangat penting.
Keadaan darurat tidak selalu dapat diprediksi secara akurat dan responden
harus selalu siap untuk menyesuaikan rencana agar sesuai dengan situasi yang
terjadi dengan cara yang tidak terduga. Fleksibilitas ini akan memastikan
bahwa insiden ditangani dengan cara yang sesuai dengan keadaan daripada
secara kaku mengikuti rencana yang merugikan respons.
Responden harus menyadari, bagaimanapun, bahwa membelok secara
substansial dari rencana yang disepakati memang membawa beberapa risiko di
sekitar potensi kesenjangan dalam pelatihan dan pengetahuan personel.
Panduan yang jelas kepada staf akan meminimalkan risiko ini.
Dengan cara yang sama, lembaga mitra cenderung memiliki harapan
berdasarkan rencana yang telah disepakati sebelumnya. Jika rencana ini tidak
diikuti maka komunikasi dengan lembaga mitra, yang penting dalam semua
insiden, menjadi vital.
Arah
Perlu ada kepemilikan yang jelas, dan komitmen terhadap, ketahanan dan
perencanaan kontinjensi dari manajemen senior semua organisasi yang
berperan. Membangun tanggap darurat yang tangguh bukan hanya domain
perencana darurat tetapi harus dilihat sebagai bagian integral dari tata kelola
perusahaan dan perencanaan bisnis di semua tingkatan.
Ketika keadaan darurat terjadi, mereka yang bertanggung jawab untuk
mengelola fase respons dapat menghadapi tuntutan dan tekanan yang saling
bertentangan. Banyak organisasi mungkin terlibat, seringkali dengan peran dan
tanggung jawab tertentu. Meskipun penting bagi manajer untuk menetapkan
tujuan dan sasaran yang jelas untuk respons, hal ini harus dilakukan bersama
dengan tujuan lembaga mitra lainnya untuk menghindari kerja berbasis silo
dan memaksimalkan manfaat dari pendekatan multi-lembaga terpadu.
Ketika tujuan langsung dari fase respons tercapai, tujuan yang lebih luas dari
fase pemulihan akan menjadi lebih penting. Proses audit yang jelas seputar
biaya dan pengambilan keputusan akan menjadi penting bagi semua lembaga
44 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
yang terlibat, terutama dalam konteks pemulihan biaya. Proses tanya jawab
yang kuat mendukung identifikasi potensi peningkatan kinerja. Ini umumnya
disebut sebagai “pelajaran yang diidentifikasi” dan ketentuan harus dibuat
untuk memasukkan pelajaran tersebut ke dalam perencanaan masa depan.
Keputusan yang dibuat oleh mereka yang memberi arahan kemungkinan akan
menjadi subyek pengawasan pada fase pasca-insiden. Rekaman atau
pencatatan keputusan ini dan, jika sesuai, alasan di baliknya dapat menjadi
subjek investigasi selama penyelidikan berikutnya. Pencatatan yang akurat
dalam hal ini akan membantu mereka yang terlibat.
Subsidiaritas
Pengaturan SPGDT penanggap lokal adalah dasar untuk menangani keadaan
darurat dengan pengendalian operasi dilaksanakan pada tingkat praktis
terendah. Koordinasi dan dukungan kegiatan lokal harus pada tingkat tertinggi
yang diperlukan dan kedua prinsip tersebut harus saling memperkuat.
Sebagian besar insiden ditangani di tingkat lokal dengan sedikit atau tanpa
keterlibatan regional atau pemerintah. Namun, dalam keadaan darurat
pengaturan harus dibuat untuk memberi tahu Pemerintah sesegera mungkin
untuk melakukannya. Ketika keadaan darurat berkembang, pemerintah akan
membutuhkan informasi yang terperinci dan terkini tentang kemajuan efektif
dari tanggapan.
Kontinuitas
Penting bahwa organisasi mengembangkan individu dengan keahlian dalam
konteks ketahanan. Personel ini akan memastikan bahwa etos profesional
mendukung pendekatan organisasi terhadap masalah ketahanan. Akan tetapi,
ketahanan tidak bergantung pada sejumlah besar ahli kontinjensi sipil. Apa
yang dilakukan individu dalam peran mereka sehari-hari harus menjadi dasar
peran mereka dalam keadaan darurat.
Oleh karena itu, perencanaan harus memastikan bahwa, sedapat mungkin,
individu, organisasi, dan kelompok organisasi menggunakan keterampilan
yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat pada
saat krisis. Sumber daya manusia mungkin memerlukan pelatihan tambahan
untuk memenuhi tuntutan beberapa keadaan darurat. Persyaratan pelatihan ini
akan dipandu oleh pengalaman dan pengetahuan dalam organisasi responden
dan umumnya akan dimediasi melalui kader ahli ketahanan. Sifat multi-
Bab 4 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) 45
Integrasi
Pengalaman menunjukkan bahwa keadaan darurat, terlepas dari skalanya, akan
melibatkan sejumlah lembaga mitra yang menjalankan fungsi yang berbeda.
Seiring dengan meningkatnya skala keadaan darurat, demikian pula
kompleksitas respons dan tingkat koordinasi dan dukungan yang lebih tinggi
yang diperlukan.
Kelompok multi-lembaga yang berkumpul untuk mengoordinasikan tanggap
darurat disebut sebagai Kemitraan Ketahananan dan organisasi harus
memastikan keterwakilan yang tepat untuk mengelola respons dengan sebaik-
baiknya. Tidak perlu semua organisasi diwakili pada tingkat atau pangkat yang
sama tetapi semua peserta dalam pertemuan multi-lembaga harus
diberdayakan untuk mengambil keputusan dan jika perlu berkomitmen sumber
daya atas nama organisasi mereka. Diharapkan Kemitraan Ketahanan, pada
tingkat apa pun, harus terdiri dari individu-individu yang ditempatkan paling
baik untuk memberikan hasil yang diperlukan dan tanggapan yang paling
efektif.
Arahan yang jelas selama persiapan harus memastikan bahwa struktur dan
prosedur manajemen darurat telah disepakati sebelumnya dan didukung oleh
pelatihan dan latihan. Konsistensi dalam struktur yang dibentuk oleh setiap
Kemitraan Ketahanan akan memfasilitasi kerja sama yang lebih erat lintas
batas dan di dalam Pemerintah.
Selama fase respons, struktur ini akan membantu responden untuk mengelola
sifat multi-agensi dari respons, membuat keputusan bersama, dan bertindak
secara terpadu. Selama proses pemulihan, sifat bersama dari pengaturan
48 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Pada fase pemulihan, jalur komunikasi yang jelas dengan publik akan
memastikan bahwa mereka merasa terlibat sebagai peserta dalam proses
pemulihan. Pemerintah memainkan peran penting dalam komunikasi publik.
Selain responden lokal dan banyak organisasi lainnya, pemerintah berada pada
posisi yang tepat untuk memberikan saran dan informasi tentang keadaan
darurat. Untuk mendukung hal ini, proses komunikasi yang kuat antara
responden dan Pemerintah membantu memastikan kejelasan dan pemberian
saran dan informasi yang efektif baik kepada publik maupun kepada media.
Dalam keadaan darurat, publik akan sering beralih ke Pemerintah dan
responden untuk informasi dan kepastian tentang keadaan darurat dan
tanggapannya. Mereka yang terlibat dalam hal ini harus terlibat lebih awal dan
efektif untuk memastikan bahwa pesan-pesannya konsisten dan dapat
membantu masyarakat secara maksimal. Masyarakat yang mengetahui dan
mengalami kegawatdaruratan medis dapat melaporkan dan/atau meminta
bantuan melalui Call Center 119.
50 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Bab 5
Kondisi Maternal Neonatus
yang Berisiko
Kegawatdaruratan
5.1 Pendahuluan
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-
tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011).
Kegawatdaruratan juga dapat terjadi pada obstetri dan neonatal yang dapat
mengancam jiwa seseorang selama kehamilan, bahkan sampai kelahiran.
Sangat banyak sekali penyakit serta gangguan selama kehamilan yang bisa
mengancam keselamatan ibu maupun bayi yang akan dilahirkan. Tidak jarang
tanda-tanda kegawatdaruratan sering tidak dikenali oleh Ibu, sehingga dapat
berujung fatal. Kegawatan tersebut harus segera ditangani, karena jika lambat
dalam menangani akan menyebabkan kematian pada ibu dan bayi baru lahir.
Prinsip dasar dalam menangani kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal
adalah penentuan permasalahan utama (diagnosa) dan tindakan
pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang serta tidak
panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungikin
dalam kepanikan.
52 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Autogen (kuman masuk dari tempat lain dalam tubuh) 3). Endogen
(dari jalan lahir sendiri)
Berdasarkan kuman-kuman infeksi post partum disebabkan antara
lain:
a. Streptococcus haematilicus aerobic, dapat ditularkan dari
penderita lain, alat- alat yang tidak steril, tangan penolong dan
sebagainya.
b. Staphylococcus aurelis, banyak ditemukan sebagai penyebab
infeksi di rumah sakit.
c. Escherichia coli, sering berasal dari kandung kemih dan rektum
menyebabkan infeksi terbatas.
d. Clostridium welchii, sering ditemukan pada abortus kriminalis
dan partus yang ditolong dukun dari luar rumah sakit.
3. Tanda dan gejala yang timbul pada infeksi post partum antara lain
demam, nyeri di daerah infeksi, terdapat tanda kemerahan pada
daerah yang terinfeksi, fungsi organ terganggu. Gejala yang timbul
bervariasi, bergantung pada lokasi di mana infeksi terjadi.
a. Infeksi lokal, warna kulit berubah, timbul nanah, bengkak pada
luka, lokea bercampur nanah, mobilitas terbatas, suhu tubuh
meningkat.
b. Infeksi umum: lemah, suhu badan meningkat, tekanan darah
menurun, nadi meningkat, pernafasan meningkat dan sesak,
penurunan kesadaran hingga koma, gangguan involusi uteri,
lokea berbau, bernanah dan kotor.
4. Jenis-Jenis Infeksi Post partum
a. Endometritis infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari
rahim). Infeksi ini dapat terjadi sebagai kelanjutan infeksi pada
serviks atau infeksi tersendiri dan terdapat benda asing dalam
Rahim. Infeksi endometrium sering terjadi setelah lepasnya
plasenta, lebih sering terjadi pada proses kelahiran caesar, setelah
proses persalinan yang terlalu lama atau pecahnya membran yang
terlalu dini. Infeksi ini juga sering terjadi bila ada plasenta yang
tertinggal di dalam rahim, mungkin pula terjadi infeksi dari luka
54 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
pada leher rahim, vagina atau vulva. Tanda dan gejala berupa
sedikit demam, nyeri yang samar-samar pada perut bagian bawah
dan kadang- kadang keluar nanah dari vagina dengan berbau khas
yang tidak enak, menunjukkan adanya infeksi pada endometrium.
b. Miometritis (infeksi otot rahim) adalah radang miometrium.
Miometrium adalah tunika muskularis uterus. Gejalanya berupa
demam, nyeri tekan pada uterus, perdarahan pada vagina dan
nyeri perut bagian bawah, lokea berbau.
c. Parametritis (infeksi daerah di sekitar rahim) atau disebut juga
sellulitis pelvika adalah radang yang terjadi pada parametrium
yang disebabkan oleh invasi kuman. Penjalaran kuman sampai ke
parametrium terjadi pada infeksi yang lebih berat. Infeksi
menyebar ke parametrium lewat pembuluh limfe atau melalui
jaringan di antara kedua lembar ligamentum latum. Parametrium
dapat juga terjadi melalui salfingo-ooforitis. Parametritis
umumnya merupakan komplikasi yang berbahaya dan merupakan
sepertiga dari sebab kematian karena kasus infeksi
(Prawirohardjo. S, 2007). Penyebab parametritis yaitu kuman-
kuman memasuki endometrium (biasanya pada luka insersio
plasenta) dalam waktu singkat dan menyebar ke seluruh
endometrium.
d. Syok bacteremia disebabkan oleh bakteri yang melepaskan
endotoksin, bisa mempresipitasi syok bakteremia (septik). Ibu
hamil, terutama mereka yang menderita diabetes mellitus atau ibu
yang memakai obat imunosupresan, berada pada tingkat risiko
tinggi, demikian juga mereka yang menderita endometritis
selama periode post partum. Temuan laboratorium menunjukkan
bukti-bukti infeksi, biakan darah menunjukkan bakteremia,
biasanya konsisten dengan hasil enterik gram negatif,
pemeriksaan tambahan dapat menunjukkan hemokonsentrasi,
asidosis, dan koagulopati. Perubahan EKG menunjukkan adanya
perubahan yang mengindikasikan insufisiensi miokard, bukti-
bukti hipoksia jantung, paru-paru, ginjal dan neurologis bisa
Bab 5 Kondisi Maternal Neonatus yang Berisiko Kegawatdaruratan 55
6) Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu yang rendah. b. Faktor Bayi: 1)
Asfiksia perinatal. 2) Berat badan lahir rendah. 3) Bayi kurang bulan.
4) Kelainan bawaan. Perawatan tali pusat, sterilisasi peralatan, dan
pencucian tangan adalah hal yang sangat penting, sedang jas praktek
tidak secara konsisten selalu menunjukkan efektivitasnya (Behrman,
2015).
4. Kelainan kongenital juga dikenal sebagai cacat lahir, kelainan
bawaan, atau cacat bawaan. Didefinisikan sebagai kelainan struktural
atau fungsional, termasuk gangguan metabolisme, yang muncul pada
saat kelahiran. Kelainan kongenital diperkirakan terjadi pada 1 dari
33 bayi dan menyebabkan 3,2 juta kelahiran cacat setiap tahun.
Diperkirakan 270.000 neonatus bayi meninggal selama 28 hari
pertama kehidupan disebabkan kelainan kongenital setiap tahunnya
(Kemenkes, 2018). Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan
yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik
maupun non genetic. Anomali kongenital disebut juga cacat lahir,
kelainan kongenital atau kelainan bentuk bawaan (Effendi, 2014).
kelainan kongenital atau kelainan bawaan dapat terkait dengan
beberapa faktor berikut ini. (1) Faktor genetik. Cacat lahir akibat
faktor genetik dapat diturunkan dari salah satu atau kedua orang tua,
namun bisa juga tidak diturunkan dari orang tua. Beberapa contoh
kelainan kongenital akibat faktor genetik adalah. Sindrom Down.
Sindrom Prader-Willi. Sindrom Marfan. Faktor lingkungan. Kelainan
kongenital akibat faktor lingkungan terjadi akibat infeksi, paparan zat
kimia, atau efek samping obat-obatan pada masa kehamilan. Faktor-
faktor tersebut bisa menyebabkan cacat lahir yang parah, bahkan
sampai keguguran. Jenis kelainan bawaan yang bisa dialami bayi
akibat paparan faktor di atas pada masa kehamilan adalah. Katarak,
tuli, dan kelainan jantung, akibat infeksi rubella atau campak Jerman.
Bab 5 Kondisi Maternal Neonatus yang Berisiko Kegawatdaruratan 61
6.1 Pendahuluan
Kegawatdaruratan adalah situasi yang terjadi secaramendadak, tidak
diharapkan dan tidak direncanakan, disebabkan oleh agent eksternal. Salah
satu kegawatdaruratan di rumah tangga atau dilingkungan rumah tinggal
adalah cedera atau injuri. Cedera atau injury akan menyebabkan kerusakan
baik fisik maupun psikologis (Potter & Porry, 2011; WHO, 2006 dalam Atak,
et all,2010). Cedera dapat terjadi di mana saja termasuk di lingkungan sekitar
rumah. Departemen of Health Social Services and Public Savety United
Kingdom (DHSSPS UK) (2015), menguraikan yang termasuk dalam
lingkungan sekitar rumah tinggal di antaranya adalah lingkungan di dalam
rumah dan di luar rumah yang meliputi halaman, taman atau kebun dan jalan
yang ada di sekeliling rumah. The National Safety Council (NSC) di Amerika
mencatat kejadian cedera/ injuri di rumah menduduki urutan pertama di tahun
2020, meningkat dimasa Pandemi Covid dibandingkan tahun 2019. Sebanyak
156.300 penduduk mengalami kematian akibat cedera yang bisa dicegah
dirumah dan dikomunitas terjadi selama tahun 2020 dengan jenis cedera
terbanyak keracunan (62%), jatuh (25%) dan tersedak (3%), (NSC Injury
Facts, 2021). Di Indonesia kasus, cidera sebagai akibat dari kecelakaan yang
64 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
6.2.1 Jatuh
Jatuh merupakan penyebab tertinggi kecelakaan di rumah tinggal dan
sekitarnya. RISKESDAS (2013), mencatat penyebab tertinggi dari cedera
adalah jatuh mencapai 40,9%. Begitu juga di Amerika, penyebab kedua
tertinggi kematian akibat cedera di rumah karena jatuh, mencapai 25%, (NSC
Injury Facts, 2021)
Jatuh dapat terjadi karena tergelincir dari ketinggian, terpeleset, atau karena
beban yang berat pada tubuh sehingga mengakibatkan gangguan
keseimbangan. Penyebab jatuh pada kelompok anak usia 1-3 tahun terjadi dari
faktor anak, di mana usia toddler merupakan masa berkembangnya motorik
kasar, namun demikian keseimbangan tubuh belum sepenuhnya sempurna.
Gangguan keseimbangan sering kali membuat anak terjatuh. Pada usia
prasekolah dan sekolah terjadi jatuh karena aktivitas bermain dengan
menggunakan fisik, seperti naik sepeda, memanjat, berlari main bola bahkan
66 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
6.2.3 Tersedak
Tersedak atau aspirasi adalah masuknya benda asing dalam bentuk padat
maupun cair kedalam saluran pernafasan yang mengakibatkan hambatan pada
proses bernafas (Potter & Perry, 2011). Kelompok umur terbanyak yang
mengalami maslah tersedak adalah pada kelompok usia anak dibawah 5 tahun.
Penyebab tersedak pada kelompok ini adalah makanan, minuman bahkan
mainan. Tersedak pada orang dewasa dan lansia meskipun jumlahnya tidak
sebanyak kelompok anak, namun dampak henti nafas yang ditimbulkan akan
sama. Penyebab pada orang dewasa di antaranya adalah aspirasi cairan pada
kondisi penurunan kesadaran dan makanan padat.
6.2.4 Keracunan
Keracunan merupakan kejadian kegawatdaruratan yang sering terjadi di rumah
tangga. Di masa Pandemi Covid 19, NSF 2020 mencatat penyebab kematian
terbanyak di Amerika pada cedera di rumah disebabkan keracunan, mencapai
62%. Keracunan disebabkan oleh kontak dengan zat yang membahayakan
tubuh baik disengaja maupun tidak sengaja, masuk melalui saluran
pencernaan, inhalasi/pernafasan maupun dari kulit. Toksik atau racun yang
masuk ke dalam tubuh dapat berefek secara langsung merusak organ yang
kontak langsung atau akan terakumulasi di ginjal, hati, sampai ketulang yang
akan membahayakan dalam jangka waktu yang lama. Zat beracun yang masuk
ke dalam tubuh dapat berasal dari makanan atau minuman, obat obatan, cairan
pembersih, pembasmi serangga dan alkohol. Keracunan yang bersumber dari
makanan atau minuman di lingkungan rumah tinggal dapat terjadi pada
individu atau sekelompok orang, dan mengenai semua kelompok usia.
Keracunan pada pembasmi serangga atau alkohol lebih banyak mengenai
orang dewasa dan beberapa kejadian dilakukan secara sengaja (Potter & Perry,
2011). Racun yang masuk ke dalam organ pencernaan atau pernafasan dapat
menimbulkan nyeri pada organ yang terkena, rasa terbakar pada selaput lendir
mulut, kerongkongan dan lambung. Jika racun mengenai jalan nafas dapat
menyebabkan kerusakan pada selaput lendir berakibat menjadi sesak nafas.
68 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
terjadi cedera dapat dilakukan dengan bidai papan atau karton keras
yang digunakan sebagai penahan. Immobilisasi bertujuan untuk
mencegah terjadinya cedera tambahan dan mengurangi nyeri yang
dapat diakibatkan dari pergerakan. Kompres dingin dapat dilakukan
untuk mengurangi pembengkakan. Segera ditindaklanjuti dengan
membawa korban ke pelayanan kesehatan atau pertolongan oleh
tenaga medis.
3. Sprain (Terkilir)
Sprain atau terkilir atau keseleo adalah cidera berupa peregangan dan
atau robekan karena kekuatan yang berlebihan pada otot, tendon
(jaringan yang menghubungkan otot dengan tulang) atau ligamen
(jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang lainnya).
Kondisi yang sering menjadi penyebab adalah olahraga atau kegiatan
fisik yang terlalu berat. Secara umum gejala yang muncul dari cidera
ini di antaranya Pain (nyeri), bengkak, ekimosis/memar, Parestesia
atau dingin dan mati rasa di kaki, ketidakmampuan untuk
menggerakkan area sprain atau seperti beban berat pada sendi.
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan. Sprain dibedakan
berdasarkan kerusakan dan ketidakstabilan sendi. Grade 1, kerusakan
ringan dengan sendi yang stabil. Grade 2, terdapat robekan parsial,
sendi stabil dan Grade 3, terdapat robekan signifikan dan didapatkan
ketidakstabilan sendi.
Selai Sprain, cedera jaringan lunak lain adalah Strain. Starin
merupakan peregangan atau robekan pada otot atau tendon akibat
kekuatan yang berlebihan. Strain biasanya terjadi pada kekuatan yang
berlebihan dengan kekakuan otot, misalnya olahraga yang tidak
diawali dengan pemanasan, atau kerja berat dengan tiba-tiba. Strain
dibedakan juga berdasarkan beratnya cedera seperti sprain. Grade 1,
terjadi peregangan beberapa serat otot. Grade 2, robekan sebagian
ligamen ditandai dengan memar, nyeri sedang dan pembengkakan.
Grade 3 ruptur oto komplit dan mungkin robekan fasia. Jika
didapatkan korban yang mengalami cedera sprain dan strain dapat
dilakukan pertolongan pertama sebagai berikut:
72 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
c. Luka terbuka
Merupakan kerusakan integritas kulit yang menyebabkan
perdarahan dan keluarnya darah dari permukaan tubuh.
Kerusakan kulit bisa terjadi dari yang ringan seperti luka lecet
atau goresan dengan rembesan darah, hingga luka terbuka dalam
yang menyebabkan darah mengalir. Prinsip utama dalam
melakukan penatalaksanaan luka terbuka adalah menghentikan
perdarahan dan mencegah atau mengatasi paparan dengan
berbagai benda/kotoran, mikroorganisme yang dapat
menyebabkan risiko infeksi. Pertolongan segera yang dilakukan
pada luka yang tidak dalam dan luas serta tidak ada perdarahan
yang banyak adalah sebagai berikut:
1) Cuci luka dengan luka dengan air mengalir. Keringkan
dengan tissu atau kain kering bersih.
2) Jika luka terjadi karena serpihan gelas atau kayu, usahakan
ambil serpihannya dengan penjepit/pinset yang telah
dibersihkan dan disteril terlebih dahulu.
3) Jika didapatkan pendarahan, hentikan dengan menekan
permukaan luka menggunakan kain kasa atau kain yang
bersih selama beberapa detik.
4) Berikan antiseptik, seperti Betadyn dan jika luka kecil, tidak
perlu ditutup
Jika luka luas, dalam dan di dapatkan ada perdarahan yang
mengalir deras atau memancar
5) lakukan penekanan pada area perdarahan dengan
menggunakan kain tebal yang bersih
6) Tinggikan area perdarahan, lebih tinggi dari lokasi jantung
7) Balut luka dengan pembalut elastic.
8) Segera bawa ke pelayanan kesehatan terdekat
panas, benda panas, bahan kimia, aliran listrik, dll. Jadi luka bakar bukan
hanya disebabkan oleh kobaran api. Untuk melakukan pertolongan yang tepat,
perlu diketahui derajat, dan luas luka bakar.
1. Derajat I/luka bakar ringan: luka bakar ringan merupakan kerusakan
jaringan di lapisan kulit terluar atau epidermis. Kondisi yang
menyebabkan luka bakar derajat ini adalah kulit terkena sengatan
sinar matahari atau terkena uap air panas, minyak/air pasa yang
memercik. Pada luka derajat 1 ini lapisan epidermis kemerahan, tidak
ada bula/ melepuh dan tidak terkelupas.
2. Derajat II/luka bakar sedang: luka bakar yang menyebabkan
kerusakan pada lapisan dermis atau di bawah kulit. Pada luka derajat
II ini akan ditandai dengan kulit kemerahan, timbulnya bula pada
kulit, atau gelembung yang berisi cairan, kulit mengelupas dan
tampak permukaan dermis berwana merah muda, bahkan dapat
terjadi rembesan darah dari kapiler yang terkena. Penyebab dari luka
bakar derajat II di antaranya kontak langsung dengan sumber panas
seperti air atau minyak panas, api, logam panas dalam waktu lebih
lama.
3. Derajat III/luka bakar parah: luka bakar mengenai lapisan kulit
bahkan sampai jaringan dibawah kulit seperti fasia, otot, pembuluh
darah dan tulang. Tanda dari luka bakar derajat III, luka akan
berwarna putih, kulit rusak, korban sering tidak merasakan nyeri
karena ujung saraf juga mengalami kerusakan. Penyebab dari luka
bakar pada derajat ini adalah sumber panas dengan suhu tinggi,
jumlah yang banyak serta waktu kontak yang lama, seperti tersiram
minyak atau air mendidih dalm jumlah banyak, api yang mengenai
tubuh dan pakaian atau perhiasan yang melekat ditubuh sebagai
sumber panas.
7.1.1 Klasifikasi
1. Hipertensi maligna
Hipertensi berat (umumnya derajat 3) dengan perubahan gambaran
funduskopi (perdarahan retinadan atau papiledema), mikroangiopati
dan koagulasi intravaskular diseminasi serta ensefalopati (terjadi
pada sekitar 15% kasus), gagal jantung akut, penurunan fungsi ginjal
akut. Gambaran dapat berupa nekrosis fibrinoid arteri kecil di ginjal,
retina dan otak. Makna maligna merefleksikan prognosis buruk
apabila tidak ditangani denganbaik.
2. Hipertensi berat dengan kondisi klinis lain, dan memerlukan
penurunan tekanan darah segera, seperti diseksi aorta akut, iskemi
miokard akut atau gagal jantung akut.
3. Hipertensi berat mendadak akibat feokromositoma, berakibat
kerusakan organ.
4. Ibu hamil dengan hipertensi berat atau preeklampsia.
7.1.2 Patofisiologi
Patofisiologi hipertensi emergensi hingga kini masih belum jelas. Kegagalan
autoregulasi normal dan peningkatan mendadak resistensi vaskular sistemik
biasanya merupakan tahap awal penyakit. Peningkatan resistensi vaskular
sistemik terjadi akibat pelepasan vasokonstriktor humoral oleh dinding
pembuluh yang tertekan. Peningkatan akut tekanan darah melebihi kontrol
autoregulasi endotel tonus vaskular akan meningkatkan tekanan mekanis pada
dinding vaskular disertai kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas
kapiler. Peningkatan permeabilitas ini menyebabkan kebocoran plasma yang
akhirnya menimbulkan aktivasi trombosit, inisiasi kaskade koagulasi, deposisi
fibrin, dan perekrutan mediator inflamasi. Vasokonstriksi yang tidak tepat dan
Bab 7 Kegawatdaruratan Sistem Kardiovaskuler 83
7.1.3 Etiologi
Beberapa faktor yang bisa menyebabkan penyakit hipertensi emergensi
sebagai berikut:
1. Mengkonsumsi obat simpatomimetik atau obat peningkatan tekanan
darah sementara, seperti dekongestan dan kokain.
2. Menderita penyakit gangguan saraf pusat yang dapat memicu tekanan
darah tinggi. Di antaranya adalah perdarahan intrakranial atau stroke.
3. Adanya penumpukan cairan di dalam paru-paru, sehingga fungsinya
terganggu (edema paru akut).
4. Lapisan dalam dinding aorta mengalami kerusakan sehingga adanya
gangguan peredaran darah (diseksi aorta).
5. Adanya masalah pada ginjal (skleroderma, glomerulonefritis akut).
6. Preeklamsia.
7. Kecemasan.
84 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
7.1.4 Gejala
Penderita hipertensi emergensi biasanya tidak menyadari gejala-gejala spesifik.
Hal ini dikarenakan kemunculannya secara tiba-tiba, namun lain halnya jika
mengalami kerusakan organ. Gejala yang biasanya dirasakan ketika terdapat
kerusakan organ yaitu sakit kepala yang terasa tiba-tiba sebelum terjadinya
lonjakan tekanan darah, gangguan terhadap penglihatan, biasanya penglihatan
mulai kabur, nyeri dada hingga sesak napas, perut terasa mual dan tidak jarang
menyebabkan muntah, pembengkakan atau penumpukan cairan pada jaringan
tubuh tertentu, mengalami mati rasa atau anggota tubuh terasa lemas,
perubahan kondisi mental seperti tiba-tiba mengalami kebingungan, penurunan
kesadaran, mengalami kejang kesulitan dalam berbicara, serta punggung terasa
sakit.
7.1.5 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi terkait hipertensi emergensi yaitu
edema paru, angina, stroke, gagal ginjal, kerusakan pada mata, hingga gagal
jantung.
7.1.7 Penatalaksanaan
Prinsip tatalakasana hipertensi emergensi menurut Indonesian Society of
Hypertension (InaSH) 2019, beberapa pertimbangan strategi penatalaksanaan
antara lain:
1. Konfirmasi organ target terdampak, tentukan penatalaksanaan
spesifik selain penurunan tekanan darah. Temukan faktor pemicu lain
kenaikan tekanan darah akut, misalnya kehamilan, yang dapat
memengaruhi strategi penatalaksanaan.
2. Tentukan kecepatan dan besaran penurunan tekanan darah yang
aman.
3. Tentukan obat antihipertensi yang diperlukan. Obat intravena dengan
waktu paruh pendek merupakan pilihan ideal untuk titrasi tekanan
darah secara hatihati, dilakukan di fasilitas kesehatan yang mampu
melakukan pemantauan hemodinamik kontinyu.
7.2.1 Klasifikasi
1. Acute surgical tamponade
Meliputi keadaan antegrade aortic dissection, iatrogenic, dan trauma
tembus jantung. Pada keadaan ini, tamponade jantung dapat
menyebabkan mekanisme kompensasi menyeluruh yang cepat.
Timbunan darah dan clot sebesar 150 cc dapat menyebabkan
kematian secara cepat. Pada keadaan kronis, timbunan darah dapat
mencapai 1 liter.
2. Medical tamponade
Meliputi keadaan efusi perikardial akibat perikarditis akut,
perikarditis karena keganasan atau gagal ginjal.
3. Low-pressure tamponade
Keadaan ini terjadi pada dehidrasi berat.
Bab 7 Kegawatdaruratan Sistem Kardiovaskuler 87
7.2.2 Patofisiologi
Proses patofisiologis yang mendasari untuk pengembangan tamponade adalah
karena berkurangnya tekanan diastolik mengisi distending transmural tidak
cukup untuk mengatasi tekanan intrapericardial meningkat. Takikardia adalah
respon jantung awal untuk perubahan ini untuk mempertahankan curah
jantung. Aliran balik vena sistemik juga diubah selama tamponade. Jantung
dikompresi pada seluruh siklus jantung karena tekanan intrapericardial
meningkat, aliran balik vena sistemik terganggu dan terjadi kolaps ventrikel
kanan dan atrium kanan. Karena vaskular paru adalah sirkuit yang luas dan
memenuhi persyaratan, darah cenderung terakumulasi di sirkulasi vena,
dengan mengorbankan pengisian ventrikel kiri. Hal ini menyebabkan
berkurangnya cardiac output dan aliran balik vena.
Fase perubahan hemodinamik pada tamponade antara lain:
1. Tahap I
Akumulasi cairan perikardial menyebabkan peningkatan kekakuan
ventrikel, memerlukan tekanan pengisian yang lebih tinggi. Selama
fase ini, tekanan ventrikel kiri dan kanan mengisi lebih tinggi dari
tekanan intrapericardial.
2. Tahap II
Dengan akumulasi cairan lebih lanjut, tekanan perikardial meningkat
di atas tekanan pengisian ventrikel, sehingga curah jantung
berkurang.
3. Tahap III
Terjadi penurunan output jantung lanjut, karena equilibrium tekanan
perikardial dan pengisian ventrikel kiri.
7.2.3 Etiologi
Tamponade jantung biasanya disebabkan oleh tekanan yang sangat kuat pada
jantung. Tekanan ini dihasilkan oleh darah atau cairan tubuh lain yang
memenuhi ruang perikardium, yaitu ruang antara otot jantung dan selaput tipis
yang membungkus jantung (perikardium). Ketika cairan tersebut menekan
jantung, maka ventrikel atau bilik jantung tidak dapat mengembang
sepenuhnya. Kondisi ini menyebabkan semakin sedikit darah yang masuk ke
jantung dan semakin sedikit darah yang mengandung oksigen untuk dipompa
88 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
7.2.4 Gejala
Tamponade jantung memiliki gejala-gejala yaitu hipotensi, nyeri dada yang
menyebar hingga leher, bahu, punggung, atau perut, sesak napas, cemas dan
gelisah, pusing, pingsan, atau kehilangan kesadaran, rasa tidak nyaman yang
muncul ketika duduk atau condong ke depan, lemas, pucat, pembengkakan di
tungkai atau perut, jantung berdebar (Fogoros, 2020).
Tamponade jantung biasanya memiliki tiga tanda yang dapat dikenali oleh
dokter. Tanda-tanda ini dikenal dengan istilah Beck’s triad. Tanda tersebut
meliputi:
1. Tekanan darah rendah dan denyut nadi lemah karena volume darah
yang dipompa jantung berkurang.
2. Detak jantung cepat disertai suara jantung yang melemah akibat
adanya timbunan cairan di dalam ruang perikardium.
3. Pembuluh darah vena di leher menonjol karena kesulitan
mengembalikan darah ke jantung.
7.2.5 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi karena tamponade jantung adalah:
1. Gagal jantung
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi disebabkan oleh tamponade
jantung adalah gagal jantung. Gangguan ini merupakan suatu kondisi
ketika jantung tidak lagi mampu memompa darah yang kaya oksigen
ke seluruh tubuh secara efisien. Hal ini dapat menyebabkan gangguan
di seluruh tubuh.
Bab 7 Kegawatdaruratan Sistem Kardiovaskuler 89
2. Edema Paru
Komplikasi lainnya yang dapat terjadi ketika kamu mengalami
tamponade jantung adalah edema paru. Hal ini terjadi ketika cairan
yang bertumpuk pada jantung pindah ke paru-paru dan dapat
menyebabkan penumpukan cairan pada paru-paru sehingga
menyebabkan sesak napas.
3. Syok
Syok adalah kondisi yang mengancam jiwa dan terjadi ketika tubuh
tidak mendapatkan aliran darah yang cukup. Kurangnya aliran darah
berarti sel dan organ tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang
cukup untuk berfungsi dengan baik. Hal ini juga dapat menyebabkan
banyak organ menjadi rusak. Syok yang terjadi membutuhkan
perawatan segera dan bisa menjadi lebih buruk dengan sangat cepat.
Sebanyak 1 dari 5 orang yang mengalami syok dapat mengalami
kematian mendadak.
4. Kematian
Seseorang yang mengalami tamponade jantung mungkin saja
mengalami kematian. Pasalnya, jantung bisa saja berhenti berdetak
karena tekanan yang terlalu kuat. Hal ini dapat menyebabkan
gangguan pada detak jantung, sehingga mungkin saja berhenti
berdetak dan berakhir pada kematian.
3. Elektrokardiografi (EKG)
Didapatkan PEA (Pulseless Electric Activity).
4. Echocardiografi
5. USG FAST untuk mendeteksi cairan di rongga perikardium.
7.2.7 Penatalaksanaan
Untuk mengurangi tekanan di jantung, ada beberapa prosedur yang dapat
dilakukan antara lain:
1. Pericardiocentesis (punksi perikardium)
Pericardiocentesis adalah prosedur yang dilakukan untuk
mengeluarkan cairan dari ruang perikardium dengan menggunakan
jarum.
atau gejala lebih tinggi pada perempuan yaitu 0,5% dan 1,5%. Sedangkan,
pada laki-laki adalah 0,4% dan 1,3% (Riskesdas, 2013).
Infark Miokard Akut (IMA) didefinisikan sebagai iskemia miokard yang
terjadi karena oklusi total dari arteri koroner yang disebabkan karena pecahnya
plak pada pembuluh darah. Setelah oklusi koroner terjadi, kematian jaringan
miokard menyebar dari lapisan endokardial hingga ke lapisan epikardial
seiring berjalannya waktu (Minatoguchi, 2019; Longo, 2019).
7.3.1 Klasifikasi
Infark Miokard Akut (IMA) diklasifikasikan menjadi dua yakni berdasarkan
spektrum klinis dan dalam strategi pengobatannya. Pada klasifikasi
berdasarkan
spektrum klinis data Electrocardiogram (ECG) pasien dibagi menjadi 2 tipe
yaitu ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) dan Non ST-
Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI).
1. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
STEMI merupakan keadaan darurat yang mengancam jiwa yang
diakibatkan karena oklusi trombotik lengkap dari arteri yang
berhubungan dengan infark. Risiko kematian pada pasien STEMI
memiliki jangka yang cukup pendek dengan persentase sekitar 30%
dari seluruh pasien dengan STEMI dan sisanya (70%) memiliki risiko
kematian >5% (Kingma Jr, 2018).
2. Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
NSTEMI biasanya terjadi dengan mengembangkan oklusi parsial dari
arteri koroner mayor atau oklusi lengkap arteri koroner minor yang
sebelumnya terkena aterosklerosis. Hasil EKG akan menunjukkan
segmen ST yang tertekan atau penyisipan gelombang T. Pada pasien
yang menunjukkan tanda-tanda NSTEMI wajib melakukan tes
troponin jantung yang dikombinaskan dengan pemeriksaan EKG. Tes
troponin jantung perlu dilakukan untuk membedakan antara NSTEMI
dengan unstable angina (UA). NSTEMI memiliki pola yang spesifik
pada nilai-nilai troponin jantung yang terdiri dari peningkatan akut
dan diikuti oleh penurunan bertahap yang konsisten (Cohen &
Visveswaran, 2020)
Bab 7 Kegawatdaruratan Sistem Kardiovaskuler 93
7.3.2 Patofisiologi
Sebagian besar IMA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus) yang
akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun
parsial, atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang
lebih distal. Selain itu, terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu
disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang
disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia
dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard) (PERKI, 2018).
Sel-sel jantung dapat bertahan dari iskemia selama 15 menit sebelum akhirnya
mati. Ketika jantung tidak mendapatkan darah dan oksigen, sel jantung akan
menggunakan metabolisme anaerob, menciptakan lebih sedikit adenosine
trifosfat (ATP) dan lebih banyak asam laktat sebagai hasil sampingannya. Sel
96 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
7.3.3 Etiologi
Penyebab umum dari penyakit kardiovaskular adalah aterosklerosis. Secara
khusus aktivitas fisik, asupan makanan berkalori tinggi, lemak jenuh, dan
konsumsi gula sering dikaitkan dengan perkembangan aterosklerosis dan
gangguan metabolisme lainnya seperti sindrom metabolik, diabetes melitus,
dan hipertensi. Studi cohort seperti Framingham Heart Study dan National
Health and Nutrition Examination Survey III (NHANES III) juga telah
menemukanm hubungan dan nilai prediksi yang kuat antara dislipidemia,
tekanan darah tinggi, merokok, dan intoleransi glukosa dengan penyakit
kardiovaskular (Olvera, Ballard, Jan, 2020).
Bab 7 Kegawatdaruratan Sistem Kardiovaskuler 97
7.3.4 Gejala
Beberapa gejala klasik dari serangan jantung adalah nyeri dada yang khas,
terjadi terus-menerus seperti ditindih benda berat dan tidak membaik selama
30-60 menit, lokasi di bawah tulang dada dengan penjalaran ke lengan kiri,
punggung bagian atas, leher, hingga rahang bawah, mual dan muntah, sesak
napas, pusing, lelah, keringat dingin, dan rasa berdebar pada dada. Selain
gejala klasik yang dikeluhkan oleh pasien, beberapa tanda objektif dapat
terlihat dalam pemeriksaan fisik atau pemeriksaan penunjang lain yaitu
gangguan irama jantung atau aritmia, tekanan darah umumnya tinggi atau
rendah pada kondisi syok, dapat terjadi pelebaran pembuluh darah vena pada
leher yang menandakan adanya gagal jantung, suara napas abnormal pada
bagian bawah paru-paru yang didengar melalui stetoskop, pembengkakan,
kebiruan pada kuku ataupun bibir, dan dingin pada tangan dan kaki. Hal yang
perlu diperhatikan adalah gejala-gejala klasik dari serangan jantung bisa tidak
muncul pada perempuan dan pasien usia tua. Pada beberapa kasus ringan,
infark miokard seringkali dianggap sebagai gangguan lambung.
7.3.5 Komplikasi
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (2018)
memaparkan bahwa ada beberapa komplikasi IMA antara lain:
1. Gagal Jantung
Pada fase akut dan subakut setelah IMA-EST (Infark Miokard Akut
Elevasi Segmen ST) seringkali dijumpai terjadinya disfungsi
miokardium. Gagal jantung dapat terjadi karena konsekuensi dari
98 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
7.3.7 Penatalaksanaan
1. Terapi Non Farmakologi
Revaskularisasi bedah berperan penting dalam pengobatan Stable
Ischemic Heart Disease (SIHD).
Bab 7 Kegawatdaruratan Sistem Kardiovaskuler 101
8) Antiplatelet
Umumnya terapi antiplatelet dapat berfungsi untuk mencegah
stent trombosis (ST) dan infark miokard yang berulang pada
pasien sindrom koroner akut yang telah menjalani PCI untuk
penyakit arteri koroner yang stabil.
104 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Bab 8
Kegawatdaruratan Sistem
Pernafasan
8.1 Pendahuluan
Sistem pernapasan merupakan salah satu sistem vital manusia. Seseorang yang
mengalami gangguan pernapasan dapat mengalami kondisi dekompensasi
yang tentunya dapat membahayakan kondisi bahkan mengancam jiwa.
Kondisi yang dapat mengancam jiwa akibat adanya masalah sistem
pernapasan sering disebut sebagai kegawatdaruratan pernapasan.
Kegawatdaruratan sistem pernapasan masih menjadi penyebab mordibitas dan
mortalitas. Kegawatdaruratan pernapasan dapat berasal dari penyakit pada
saluran napas, pembuluh darah toraks, dan parenkim paru. Tanda dan gejala
terjadinya kegawatdaruratan sistem pernapasan dapat dilihat ketika paru-paru
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh sehingga
oksigenasi jaringan dan karbon homeostasis dioksida tidak terjadi
(Jainurakhma et al., 2021).
Salah satu contoh masalah sistem pernapasan yang dapat mengganggu jiwa
yaitu obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas merupakan suatu kondisi
yang dapat mengakibatkan penurunan PaO dan kemungkinan menjadi
2
8.2.1 Patogenesis
Patogenesis ARDS trebagi dalam beberapa kondisi, di antaranya (Meyer,
Gattinoni and Calfee, 2021):
1. Peradangan berlebih
Cedera paru-paru akut didahului oleh disregulasi inflamasi. Antigen
produk dari mikroba akan mengikat reseptor Tolllike (TLR) dan
mengaktifkan sistem imun (sistem imun bawaan). Sistem kekebalan
akan bekerja melalui pembentukan neutrofil ekstraseluler perangkap
dan pelepasan histon. Keduanya mekanisme ini berguna untuk
menangkap patogen tetapi dapat memperburuk kondisi alveolar
Bab 8 Kegawatdaruratan Sistem Pernafasan 107
Gambar 8.1: Kondisi alveoli pada penderita ARDS (Meyer, Gattinoni and
Calfee, 2021)
3. Permeabilitas Epitel
Epitel paru juga memiliki ikatan epitel cadherin (E-cadherin) yang
berguna untuk mempertahankan permeabilitas endotel. Permeabilitas
E-cadherin lebih rendah dari itu dari VE-cadherin. Migrasi neutrofil
menyebabkan apoptosis dan kerusakan intraseluler dan dapat
mengarah ke kehancuran dan peningkatan permeabilitas epitel.
Riwayat genetik dan Faktor lingkungan seperti polusi udara perokok
aktif dan pasif dapat berdampak pada terjadinya dan tingkat
keparahan ARDS.
108 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
8.2.2 Patofisiologi
Terdapat tiga fase terjadinya ARDS, yaitu (Diamond et al., 2022):
1. Fase Eksudatif
Fase ini ditandai dengan edema paru dan peradangan neutrofil.
Kerusakan ke alveolus menyebabkan pembentukan membran hialin.
Edema paru dapat menyebabkan atelektasis dan penurunan fungsi
paru. Hiperkapnia terjadi sebagai akibatnya hipoksemia, takipnea,
dispnea, dan peningkatan ruang mati alveolus. Pernafasan peristiwa
kegagalan biasa terjadi selama ini fase.7 Pada pemeriksaan radiologi,
bilateral kekeruhan yang menyebabkan edema paru dapat ditemukan.
Bab 8 Kegawatdaruratan Sistem Pernafasan 109
2. Fase Proliferatif
Fase ini biasanya terjadi pada hari ke 7 sampai 21. Beberapa pasien
sembuh, tetapi beberapa akan mengalami kerusakan paru secara
progresif dan bahkan fibrosis paru.
3. Fase fibrotik
Sebagian besar pasien akan mengalami pemulihan dalam 3-4 minggu.
Meskipun demikian, beberapa pasien berkembang fibrosis progresif
dan membutuhkan waktu penyembuhan yang lama serta
membutuhkan dukungan ventilasi dengan atau tanpa suplementasi
oksigen. Pada fase ini paru mengalami penurunan fungsi, dapat
terkadi pneumotoraks, bahkan kegagalan fungsi organ.
8.2.3 Penatalaksanaan
Target utama pengelolaan penderita ARDS adalah mengembangkan alveoli
secara optimal untuk mempertahankankan gas arteri dan oksigenasi jaringan
yang adekuat, keseimbangan cairan dan asam basa serta sirkulasi yang
memadai sampai integritas membran kapiler utuh kembali. Selain itu juga
ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor pencetus dan hal-hal lain serta
memberikan terapi penunjang. Ventilasi selalunya diberikan melalui oro
trakeal intubasi atau dengan trakeostomi apabila terdapat ventilasi untuk
jangka masa yang panjang yaitu lebih dari 2 minggu (Griffiths et al., 2019).
110 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Gambar 8.4: Tanda Tiga Serangkai Asthma: Kontraksi otot, Inflamasi airway
dan Peningkatan Mukus
Bab 8 Kegawatdaruratan Sistem Pernafasan 111
8.3.2 Patofisiologi
Terjadinya asma bronchial melibatkan beberapa komponen yaitu penyempitan
jalan napas, hiperresponsif dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran
pernafasan:
Penyempitan Saluran Napas
Dasar terjadinya asma bronchial adalah penyempitan saluran pernapasan.
Terdapat beberapa penyebab terjadinya penyempitan saluran pernapasan, di
antaranya kontraksi, edema, dan penebalan otot polos pada saluran pernapasan,
hingga adanya hipersekresi mucus. Adanya kontraksi otot polos ini disebabkan
adanya respon dari mediator bronkonstriktor dan neurotransmitter.
Edema pada saluran napas muncul akibat proses inflamasi. Penebalan dindng
saluran pernapasan terjadi akibat perubahan struktur saluran napas, yang biasa
disebut ”remodelling”. Proses inflamasi pada saluran pernapasan dapat
menyebabkan kerusakan secara fisiologis. Meskipun demikian pada tahap
awal tubuh dapat melakukan pemulahan (healing process) dan dapat
menghasilkan perbaikan (repair) serta dapat mengalami pergantian sel-sel yang
mati atau rusak dengan sel-sel yang baru.
Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak
dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak
dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Kedua proses
tersebut sangat berkontribusi pada proses inflamasi maupun penyembuhan
asma. Bukan hanya itu, proses tersebut juga dapat menyebabkan perubahan
struktur kompleks yang biasa disebut airway remodelling. Kondisi
patofisiologis yang dapat menyebabkan terjadinya asma bronchial adalah
adanya hiperreaktivitas pada saluran napas. Hiperaktivitas ini ditandai dengan
adanya penyempitan saluran respiratorik yang terjadi secara berlebih.
Perubahan otot polos pada saluran pernapasan sehingga menyebabkan
perubahan kontraktilitas diduga yang menjadi penyebab terjadinya kondisi
hiperaktivitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama
112 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
8.3.3 Penatalaksanaan
Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan di antaranya (Drake, Simpson
and Fowler, 2019):
1. Edukasi
Edukasi merupakan salah satu tindakan promotive yag dapat
dilakukan dalam tatalaksana pengobatan asma bronchial. Edukasi
yang dapat diberikan di antaranya tentang pemahaman asma itu
sendiri, cara identifikasi gejala, tujuan pengobatan, cara mengontrol
factor pencetus, pengobatan dan pencegahan efek samping dari
pengobtatan, serta yang tidak kalah penting yaitu terkait tatacara
penanganan serangan asma di rumah.
2. Penilaian Derajat Asma
Penilaian derajat asma penting dilakukan. penilaian ini dapat
dilakukan secara berkala antara 1-6 bulan. Pasien dapat melakukan
monitoring secara mandiri.
Bab 8 Kegawatdaruratan Sistem Pernafasan 113
8.4 Pneumotoraks
8.4.1 Penatalaksanaan
Pneumotoraks didefinisikan kondisi di mana terdapat udara bebas dalam
rongga pleura. Ini terjadi ketika udara terakumulasi antara pleura parietal dan
visceral di dalam dada. Akumulasi udara dapat memberikan tekanan pada
paru-paru dan membuatnya kolaps. Derajat kolaps menentukan gambaran
klinis pneumotoraks. Udara dapat masuk ke rongga pleura melalui dua
mekanisme, baik melalui trauma yang menyebabkan komunikasi melalui
dinding dada atau dari paru melalui ruptur pleura visceral. Ada dua jenis
pneumotoraks: traumatis dan atraumatik. Dua subtipe pneumotoraks
atraumatik adalah primer dan sekunder (Hallifax and Janssen, 2019).
Pneumotoraks spontan primer (PSP) terjadi secara otomatis tanpa peristiwa
pemicu yang diketahui, sedangkan pneumotoraks spontan sekunder (SSP)
terjadi setelah penyakit paru yang mendasarinya. Pneumotoraks traumatis
dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau tembus. Pneumotoraks dapat
diklasifikasikan lebih lanjut sebagai sederhana, tegang, atau terbuka.
Pneumotoraks sederhana tidak menggeser struktur mediastinum, seperti
114 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
8.4.3 Patofisiologi
Gradien tekanan di dalam toraks berubah dengan pneumotoraks. Biasanya
tekanan ruang pleura negatif bila dibandingkan dengan tekanan atmosfer.
Ketika dinding dada mengembang ke luar, paru-paru juga mengembang ke
luar karena tegangan permukaan antara pleura parietal dan visceral. Paru-paru
memiliki kecenderungan untuk kolaps karena elastic recoil. Ketika ada
komunikasi antara alveoli dan ruang pleura, udara mengisi ruang ini mengubah
gradien, keseimbangan unit kolaps paru tercapai, atau ruptur tertutup.
Pneumotoraks membesar, dan paru-paru mengecil karena kapasitas vital ini,
dan tekanan parsial oksigen menurun. Presentasi klinis pneumotoraks dapat
berkisar dari tanpa gejala hingga nyeri dada dan sesak napas. Tension
pneumothorax dapat menyebabkan hipotensi berat (syok obstruktif) dan
bahkan kematian. Peningkatan tekanan vena sentral dapat menyebabkan
distensi vena leher, hipotensi. Pasien mungkin mengalami takipnea, dispnea,
takikardia, dan hipoksia (Huan, Sidhu and Thomas, 2021).
Pneumotoraks spontan pada sebagian besar pasien terjadi karena pecahnya
bula atau bleb. Pneumotoraks spontan primer didefinisikan sebagai terjadi
pada pasien tanpa penyakit paru yang mendasari tetapi pasien ini memiliki
bula asimtomatik atau blebs pada torakotomi. Pneumotoraks spontan primer
terjadi pada orang muda yang tinggi dan kurus karena peningkatan gaya geser
atau lebih banyak tekanan negatif pada puncak paru. Peradangan paru-paru
dan stres oksidatif sangat penting untuk patogenesis pneumotoraks spontan
primer. Perokok saat ini telah meningkatkan sel-sel inflamasi di saluran udara
kecil dan berada pada peningkatan risiko pneumotoraks.
Pneumotoraks spontan sekunder terjadi dengan adanya penyakit paru yang
mendasarinya, terutama penyakit paru obstruktif kronik; lainnya mungkin
termasuk tuberkulosis, sarkoidosis, fibrosis kistik, keganasan, fibrosis paru
idiopatik, dan pneumonia pneumocystis jiroveci.
Pneumotoraks iatrogenik terjadi karena komplikasi prosedur medis atau
bedah. Thoracentesis adalah penyebab paling umum. Pneumotoraks traumatis
dapat terjadi akibat trauma tumpul atau tembus, ini sering membuat katup satu
arah di ruang pleura (membiarkan aliran udara masuk tetapi tidak mengalir
keluar) dan karenanya kompromi hemodinamik. Tension pneumothorax paling
sering terjadi di ICU, pada pasien dengan ventilasi tekanan positif.
116 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
8.4.4 Penatalaksanaan
Manajemen tatalaksana pneumotoraks tergantung pada kondisi klinis yang
ditunjukkan pasien. Pada pasien yang mengalami kondisi ketidakstabilan
pneumotoraks dapat diberikan dekompresi jarum dengan angiokateter
berukuran 14-16 dengan panjang 4,5 cm tepat di atas tulang rusuk, yaitu di
ruang interkostal kedua di garis midklavikula. Setelah pneumotoraks stabil
maka dapat dilakukan pemasangan thoracostomy. Pemasangan thoracostomy
dilakukan tepat di atas tulang rusuk, ruang interkostal kelima anterior garis
midaksilaris ukuran thoracostomy yang dipilih menyesuaikan dengan Ukuran
tinggi dan berat badan pasien dan apakah ada kondisi hemothorax terkait.
Luka terbuka "open pneumotoraks” dapat diobati awalnya dengan dressing
oklusif tiga sisi. Setelah kondisi stabil, maka dapat dilakukan perawatan lanjut
yaitu torakostomi. Pada pasien pneumotoraks spontan primer kecil tanpa gejala
(kedalaman kurang dari 2 cm) biasanya dipulangkan dengan tindak lanjut
rawat jalan setelah 2-4 minggu. Jika pasien muncul gejala, maka dapat
diberikan tindakan aspirasi jarum. Ketika kondisi pasien sudah membaik dan
residu berkurang (<2cm) maka pasien dapat dilakukan rawat jalan, namun jika
belum memungkinkan maka dapat dilakukan tindakan pemasangan
thorakostomi tabung.
Pada pneumotoraks spontan sekunder dengan kedalaman kurang 1 cm serta
tidak dispnea maka dapat diberikan intervensi pemberian oksigen tingkat
tinggi dan dilakukan observasi delama 24 jam. Namun ketika
ukuran/kedalaman pneumotoraks antara 1-2cm dilakukan aspirasi jarum, maka
terlihat ukuran sisa pneumotoraks, jika kedalaman setelah aspirasi jarum
kurang dari 1cm dilakukan penanganan dengan inhalasi dan observasi oksigen
dan jika lebih dari 2cm, tabung thoracostomy dilakukan. Dalam kasus
kedalaman lebih dari 2cm atau sesak napas, dilakukan torakostomi tabung.
Udara dapat direabsorbsi dari rongga pleura dengan kecepatan 1,5%/hari.
Menggunakan oksigen tambahan dapat meningkatkan laju reabsorpsi ini.
Dengan meningkatkan fraksi konsentrasi oksigen inspirasi, nitrogen dari udara
atmosfer dipindahkan mengubah gradien tekanan antara udara di ruang pleura
dan kapiler. Pneumotoraks pada foto toraks kira-kira 25% atau lebih besar
biasanya memerlukan pengobatan dengan aspirasi jarum jika bergejala dan
jika gagal maka dilakukan tube thoracostomy.
Bab 9
Kegawatdaruratan pada Klien
dengan Intoksikasi
9.1 Pendahuluan
Toksikologi adalah salah satu bidang yang paling penting dan dinamis saat ini,
karena dihadapkan dengan pengelolaan keracunan, overdosis obat, dan efek
obat yang merugikan. Penyalahgunaan resep obat dan obat-obatan terlarang
terus berlanjut. Karena proses persetujuan obat lebih cepat, seringkali tidak
sampai agen telah digunakan untuk beberapa waktu, bahkan selama periode
pasca pemasaran (Burkhart et al., 1992).
Mendefinisikan kejadian keracunan pada manusia tidaklah mudah. Ada
banyak sumber data tentang overdosis obat dan penyalahgunaan zat. Namun,
ada juga laporan pasien mabuk yang meninggal karena trauma, tenggelam, dan
kebakaran tidak secara konsisten dimasukkan dalam kumpulan data nasional
mana pun, begitu pula pasien dengan komplikasi medis akibat terapi, seperti
kemoterapi atau anestesi. Morbiditas yang dihasilkan dari penyalahgunaan
kronis (misalnya, penyakit jantung akibat penyalahgunaan kokain atau nikotin
dan sirosis akibat penyalahgunaan alkohol) atau paparan industri, dan efek
jangka panjang dari bahaya lingkungan, tidak dikompilasi secara ketat dan
mungkin tidak mungkin untuk diukur (Kirshenbaum et al., 1990).
118 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Digitalis Digoxin
Lead DMSA (succimer) CaNa2 EDTA Pantau tes fungsi hati, tambahkan BAL
jika timbal kadar > 70 g/dL pada anak-
120 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Antidepresan trisiklik Natrium bikarbonat Berikan jika interval QRS 100 msec;
pertahankan pH serum pada 7,45–7,55;
menghindari alkalosis parah
obat dapat terjadi. Hipotermia sering terjadi dan dapat terjadi karena
paparan dingin, hipoglikemia, atau overdosis sejumlah obat
penenang, terutama barbiturat, etanol, karbamazepin, narkotika, dan
fenotiazin. Bradikardia dapat terlihat dengan overdosis digitalis, agen
kolinergik, blocker, dan calcium channel blocker, tetapi juga dapat
terlihat dengan hipotermia atau trauma sumsum tulang belakang.
Hipertensi adalah karakteristik intoksikasi dengan kokain, amfetamin,
fensiklidin, dan simpatomimetik (Menzies et al., 1988).
3. Kulit
Kulit harus diperiksa untuk mencari jejak jarum, luka bakar, memar,
atau laserasi. Jejak jarum mungkin terbatas pada selangkangan atau
area lain yang tidak mudah terlihat. Penampilan "lobster rebus"
menunjukkan konsumsi insektisida bubuk kecoak yang mengandung
asam borat. Pembilasan umum menunjukkan reaksi alergi, overdosis
niasin, keracunan antikolinergik, keracunan ikan scombroid, atau
reaksi alkohol-disulfiram.
Diaforesis menunjukkan hipoglikemia, keracunan salisilat atau
organofosfat, hipertiroidisme, penghentian obat atau alkohol, atau
syok akibat jantung atau penyebab lain. Penyakit kuning dapat terjadi
setelah overdosis asetaminofen, aspirin, besi, karbon tetraklorida,
jamur, tembaga, atau fosfor. Petechiae dan ekimosis menunjukkan
overdosis coumadin. Bula mungkin sekunder untuk hipoksia kulit
atau tekanan berkepanjangan dan terlihat setelah overdosis obat
penenang-hipnotis (terutama overdosis barbiturat), keracunan karbon
monoksida, dan luka bakar termal. Bullae juga dapat mengikuti
envenomation ular derik. Lesi bulosa atau pembengkakan jaringan
lunak harus segera dievaluasi untuk rhabdomyolysis, temuan sesekali
pada pasien setelah koma berkepanjangan atau hipertermia berat,
seperti penyalahgunaan kokain.
4. Nafas
Penting untuk mencium bau nafas pasien. Alkohol adalah bau yang
paling umum terdeteksi pada napas pasien mabuk di unit gawat
darurat. Identifikasi yang akurat dari bau lain sangat bervariasi di
128 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
8. Abdomen
Abdomen seperti papan pada pasien dengan riwayat gigitan laba-laba
merupakan karakteristik envenomation janda hitam. Pemeriksaan
abdomen pada pasien overdosis sering menunjukkan ileus adinamik.
Pada pasien dengan nyeri perut, pembedahan perut harus
disingkirkan. Hepatomegali menunjukkan kongesti hati (misalnya,
dengan toksisitas pirolizidin).
9. Penilaian Neurologis
Semua pasien harus menjalani pemeriksaan neurologis yang cermat.
Isu yang menjadi perhatian utama adalah trauma kepala dan trauma
medula spinalis pada pasien koma. Pemeriksaan neurologis serial
adalah kunci untuk penilaian yang tepat (lihat diskusi tentang koma
di bagian Tingkat Kesadaran).
10. Ekstremitas
Ekstremitas harus dievaluasi untuk mendeteksi tromboflebitis, fraktur
atau dislokasi, atau insufisiensi vaskular. Rhabdomyolysis dan
sindrom kompartemen merupakan perhatian yang pasti pada pasien
overdosis, terutama pada pasien dengan koma berkepanjangan atau
trauma yang mendasarinya.
seperti hematoma subdural; (2) lesi batang otak (jarang); atau (3)
gangguan metabolisme yang secara luas menekan atau mengganggu
fungsi otak.
Salah satu manifestasi keracunan akut yang paling umum adalah
koma. Prinsip-prinsip manajemen koma relatif mudah. Pasien dalam
keadaan koma harus distabilkan pada awalnya dengan pemasangan
jalan napas, oksigenasi yang tepat dengan oksimetri nadi kontinu,
penyisipan jalur IV dengan salin normal, dan resusitasi, jika perlu
(lihat bagian sebelumnya tentang Manajemen Darurat). Evaluasi
klinis pasien koma sangat berharga tidak hanya dalam menentukan
kedalaman koma dan menilai trauma, tetapi juga dalam memberikan
dasar untuk penilaian klinis berulang. Koma dapat dinilai baik
dengan menggunakan AVPU sederhana (Alert, responsive only to
Verbal stimuli, responsive only to Painful stimuli, Unresponsive) atau
skala koma Glascow.
Penyebab utama koma pada pasien yang terlihat di unit gawat darurat
termasuk keracunan (misalnya, keracunan karbon monoksida),
overdosis obat, trauma kepala, kecelakaan serebrovaskular, anoksia,
infeksi (misalnya, meningitis), dan diabetes dan gangguan sistemik
lainnya seperti gagal ginjal, koma hepatik, dan aritmia jantung.
Dokter harus mengesampingkan setiap kondisi sebelum menegakkan
diagnosis keracunan. Lesi struktural supratentorial ditandai dengan
perkembangan tanda yang cepat, termasuk perubahan pola
pernapasan, pandangan terputus-putus, tanda lateralisasi, atau
hilangnya gerakan mata boneka.
Penyebab metabolik koma dapat ditunjukkan dengan menetapnya
refleks cahaya pupil; depresi pernapasan dan kesadaran yang lebih
menonjol daripada tanda-tanda neurologis lainnya; kondisi mental
yang telah diubah sebelumnya; asterixis atau fasikulasi, atau
keduanya; adanya refleks ciliospinal; dan tanda-tanda ekstrakranial,
seperti ikterus. Penilaian berulang pada pasien koma sangat penting
untuk manajemen keracunan yang tepat.
Bab 9 Kegawatdaruratan pada Klien dengan Intoksikasi 131
2. Pupil
Evaluasi murid pasien sangat membantu. Pupil terfiksasi titik tengah
atau dilatasi pupil unilateral menunjukkan adanya lesi struktural.
Pupil pinpoint menunjukkan overdosis opiat, klonidin, insektisida
organofosfat, agen saraf (misalnya, sarin), kloral hidrat, fenotiazin,
atau nikotin. Pupil yang melebar tidak spesifik.
3. Gerakan Mata
Gangguan gerakan mata (misalnya, hilangnya gerakan mata boneka)
menunjukkan lesi struktural. Nistagmus menunjukkan intoksikasi
dengan fenitoin, fensiklidin, karbamazepin, dan, kadang-kadang,
etanol.
4. Pernapasan
Penting untuk diperhatikan pola pernapasan yang tidak normal.
Apnea pasca hiperventilasi, pernapasan Cheyne-Stokes, dan
pernapasan apneustik sangat menunjukkan bahwa lesi struktural
adalah penyebab koma pasien. Hiperventilasi neurogenik sentral
adalah presentasi klasik cedera batang otak. Pernapasan kussmaul
dapat terjadi setelah keracunan salisilat atau dinitrofenol.
Hiperventilasi kompensasi dapat menyertai keracunan metanol atau
etilen glikol atau asidosis metabolik penghasil toksin lainnya. Henti
pernapasan adalah presentasi umum pada pasien yang telah
menggunakan depresan sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan
disfungsi multisistemik akibat cedera hipoksia berat.
5. Fungsi Motorik
Dekortikasi dan deserebrasi menunjukkan adanya lesi struktural.
Penting untuk disadari bahwa pasien dengan keracunan atau
overdosis obat (misalnya, keracunan tetrodotoxin) mungkin tampak
mati otak; memiliki pupil yang tetap dan melebar; berada dalam
koma yang tidak responsif; dan tidak memiliki respons kalori dingin,
namun pulih sepenuhnya pada waktunya.
132 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
Bab 10
Konsep Keperawatan Intensif
No Kemampuan Pelayanan
Primer Sekunder Tersier
3 Terapi oksigen Terapi oksigen Terapi oksigen
4 Pemasangan kateter vena Pemasangan kateter vena Pemasangan kateter vena
sentral sentral dan arteri sentral dan arteri, Swan
Ganz dan ICP monitor
5 Pemantauan EKG, Pemantauan EKG, Pemantauan EKG
pulsoksimetri dan tekanan pulsoksimetri dan tekanan pulsoksimetri, tekanan
darah non invasif darah non invasif dan darah non invasif dan
invasif invasif, Swan Ganz dan
ICF serta ECHO monitor
6 Pelaksanaan terapi secara Pelaksanaan terapi secara Pelaksanaan terapi secara
titrasi titrasi titrasi
7 Pemberian nutrisi enteral Pemberian nutrisi enteral Pemberian nutrisi enteral
dan parenteral dan parenteral dan parenteral
8 Pemeriksaaan Pemeriksaaan Pemeriksaaan
laboratorium khusus laboratorium khusus laboratorium khusus
secara cepat dan secara cepat dan secara cepat dan
menyeluruh menyeluruh menyeluruh
9 Memberikan tunjangan Memberikan tunjangan Memberikan tunjangan
fungsi vital dengan alat- fungsi vital dengan alat- fungsi vital dengan alat-
alat Portabel selama alat Portabel selama alat Portabel selama
transportasi pasien gawat transportasi pasien gawat transportasi pasien gawat
10 Melakukan fisioterapi Melakukan fisioterapi Melakukan fisioterapi
dada dada dada
11 - Melakukan prosedur Melakukan prosedur
isolasi isolasi
12 - Melakukan hemodialisis Melakukan hemodialisis
intermittent dan kontinyu intermittent dan kontinyu
Hal ini sedikit berbeda dengan klasifikasi menurut Rab (2007), yang membagi
ICU menjadi 3 tingkatan dengan kriteria seperti dibawah ini:
1. ICU tingkat I; terdapat di rumah sakit kecil yang dilengkapi dengan
perawat, ruangan observasi, monitor, resusitasi dan ventilator jangka
pendek yang tidak lebih dari 24 jam. ICU ini sangat bergantung
kepada ICU yang lebih besar.
2. ICU tingkat II; terdapat pada rumah sakit umum yang lebih besar di
mana dapat dilakukan ventilator yang lebih lama yang dilengkapi
dengan dokter tetap, alat diagnosa yang lebih lengkap, laboratorium
patologi dan fisioterapi.
142 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
3. ICU tingkat III; merupakan ICU yang terdapat di rumah sakit rujukan
di mana terdapat alat yang lebih lengkap antara lain hemofiltrasi,
monitor invasif termasuk kateterisasi dan monitor intrakranial. ICU
ini dilengkapi oleh dokter spesialis dan perawat yang lebih terlatih
dan konsultan dengan berbagai latar belakang keahlian.
saat kritis, selanjutnya sesuai kondisi pasien. Hal yang perlu dikaji
adalah yang terkait dengan kondisi spesifik pasien, perawatan yang
sudah didapat dan respon terhadap terapi, beberapa di antaranya
adalah tanda-tanda vital, status neurologis, parameter hemodinamik,
parameter pernafasan, pengaturan ventilasi, masukan dan luaran, data
laboratorium serta obat-obatan yang didapat (Varon and Acosta,
2010).
Bab 11
Kegawatdaruratan Sistem
Muskuloskeletal dan Fraktur
11.1 Pendahuluan
Tingginya mobilitas penduduk khususnya di perkotaan dan meningkatnya
moda transportasi sangat berisiko terjadinya kecelakaan. Di Indonesia
berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2018 jumlah kasus kecelakaan masih
tinggi, dan korban yang mengalami patah tulang (fraktur) mencapai 9,2%. dan
mengakibatkan meningkatnya kasus kegawatdaruratan pada musculoskeletal
agar tidak terjadi komplikasi ataupun kecacatan dan kematian diperlukan
penanganan segera, tepat dan komprehensif (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018).
Pada kondisi kegawatdaruratan survey primer yang tepat dapat
menyelamatkaan nyawa sesorang dan survey sekunder yang komprehensif dan
tepat akan mencegah risiko kecacatan serta menyelamatkan fungsi organ yang
mengalami trauma. Kegawatdaruratan pada system musculoskeletal antara lain
fraktur, kompartemen sindrom akut, dislokasi sendi, sprain dan sprain.
146 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
11.2 Fraktur
Fraktur merupakan diskontinuitas tulang yang disebabkan karena adanya
trauma langsung atau tidak langsung yang timbul secara tiba-tiba. (Kristanti,
2016).
Fraktur merupakan kerusakan jaringan tulang atau tulang rawan, di mana
kerusakan jaringan tergantung dari jenis, kekuatan dan mekanisme trauma.
Fraktur tertutup adalah patah tulang namun kulita tampak utuh, tidak ada
perlukaaan ataupun berhubungan dengan lingkungan eksternal.
Fraktur terbuka adalah diskontinuitas tulang disertai adanya luka terbuka
berhubungan dengan lingkungan terdapt jaringan lunak dibawahnya sekitar
daerah patahan terjadi kerusakan serta terdapat hematoma (Bucholz, R.W.,
Heckman, J.D., 2006)
11.2.1 Penyebab
Fraktur dapat disebabkan (1) Kekerasan secara langsung pada tempat
terjadinya benturan/kekerasan menyebabkan patah tulang (2) Kekerasan tidak
langsung benturan/kekerasan bagian yang lemah pada jalur hantaran vector
menyebabkan patah tulang (3) akibat tarikan otot, yang diakibatkan gerakan
pemluntiran, tekukan, penekanan ataupun kombinasi ketiganya. (4)
osteoporosis cenderung terjadi pada lansia yang sering diawali adanya trauma
11.2.3 Patofisiologi
Fraktur adalah gangguan pada tulang yang disebabkankarena adanya trauma
langsung dan tidak langsung. Pergeseran fragmen tulang menimbulkan nyeri
dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada sumsum tulang dan
pelepasan kotekolamin yang dapat mengakibatkan metabolisme asam lemak
dan dapat menyebabkan terjadinya emboli. Spasme otot dapat meningkatkan
tekanan kapiler dan hilangnya protein plasma karena pelepasan histamin dan
menyebabkan edema,
Kerusakan jaringan lunak pada patah tulang terbuka memiliki tiga unsur, yaitu
kontaminasi luka karena terekspos dengan lingkungan eksternal, stipping dan
devaskularisasi yang menyebabkan jaringan lunak sekitar tulang mengalami
kerusakan dan meningkatkan risiko infeksi. Hilangnya jaringan lunak sekitar
area yang patah memengaruhi pada proses penyembuhan tulang dan metode
stabilisasi tulang. Putusnya arteri atau vena saat terjadi fraktur dapat
menyebabkan kehilangan volume darah yang berisiko terjadi shock
hypovolemia.
11.2.5 Komplikasi
Komplikasi fraktur dapat dibedakan antara lain yang terjadi segera setelah
kejadian selama 24 jam dan komplikasi yang lambat terjadi setelah beberapa
hari atau beberapa minggu setelah cidera, antara lain:
Bab 11 Kegawatdaruratan Sistem Muskuloskeletal dan Fraktur 149
11.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kedaruratan yang perlu diperhatikan untuk pertolongan
pertama pada patah tulang terbuka adalah kita harus evaluasi survei primer
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure). Identifikasi
cedera yang dapat membahayakan nyawa. Setelah pasien stabil dapat
dilakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki untuk menemukan adanya
cedera di lokasi lain. Status neurovaskuler juga harus diperiksa dengan
seksama (Koval, 2006).
Prinsip penatalaksanaan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang
keposisi semula(reposisi) dan mempertahankan posisi tersebut selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi).
Pada fraktur terbuka untuk mencegah terjadinya infeksi perlu dilakukan
pembalutan luka segera, stabilisasi fraktur. pemberian antibiotic dan anti
tetanus, debridement luka. Stabilisasi fraktur dengan gips sebagai temporary
splinting untuk mencegah terjadinya pergeseran fragmen -fragmen tulang yang
patah supaya tidak merusak jaringan sekitarnya.
Bab 11 Kegawatdaruratan Sistem Muskuloskeletal dan Fraktur 151
11.3 Dislokasi
Dislokasi sendi adalah tergesernya permukaan tulang yang membentuk
persendian terhadap tulang lainnya ((De Jong W, Syamsuhidayat,
Karnadiharja W Prastyono, 2010)
Menurut (Bruner&Suddarth,2013 ) dislokasi merupakan kondisi cidera pada
struktur ligament pada area sekitar sendi akibat gerakan memutar atau
menjepit sehingga sendi tidak lagi saling berhubungan (tulang lepas dari sendi)
Dislokasi adalah terlepasnya jaringan tulang dari kesatuan sendi dapat terjadi
secara komplet atau tidak komplet (bergeser saja). Cidera pada sendi dapat
terjadi pada permukaan tulang yang membuat persendian dan tulang rawan,
ligament yang rupture secara partial atau total.
11.3.1 Penyebab
Dislokasi dapat disebabkan
1. Trauma langsung (benturan yang keras)
2. Cidera saat berolahraga, tidak melakukan pemanasan yang cukup.
3. Terjatuh contoh jatuh dari tangga, pengaturan posisi.
4. Kelainan sejak lahir
5. Usia: elastisitas tendon dan ligament relative menurun pada usia
diatas 40 tahun
11.3.2 Patofisiologi
Dislokasi dapat terjadi dari berbagai sebab tersebut mengakibatkan timbulnya
trauma jaringan dan tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan struktur
tulang (pemendekan tulang) dan kekakuan pada sendi.
Adanya peningkatan tekanan eksternal mengakibatkan kerusakan pada
ligamen khususnya pada serabut mulai bersifat ringan maupun ligament
mengalami robek sehingga tidak mampu menjaga stabilitas.
Kondisi tersebut mengakibatkan kerusakan atau terputusnya pembuluh darah
dan menyebabkan edema. Sendi mengalami nyeri dan bertambah nyeri saat
sendi digerakkan, nyeri akan terus meningkat selama 2-3jam.
152 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
11.3.4 Komplikasi
Komplikasi dislokasi antara lain (1) cidera saraf, (2) cidera pembuluh darah (3)
fraktur dislokasi (4) syndrom kompartemen (5) kekakuan sendi (6) kelemahan
otot (7) dislokasi berulang.
11.3.5 Penatalaksanaan
1. Reposisi pada sendi yang dislokasi dilakukan pada fase syok local
antar 5-20 menit setelah kejadian karena otot sekitar terjadi relaksasi
dan baal, sehingga tidak harus dengan narcose. Reposisi tertutup
dilakukan dengan cara melakukan Gerakan yang berlawanan dengan
gaya trauma, kontraksi atau tonus otot namun tidak boleh dengan
kekerasan
2. Tindakan pembedahan dilakukan bila reposisi tertutup tidak berhasil
namun dipastikan lebih dulu dengan pemeriksaan radiologi.
3. Analgetik
4. Menurut (manurung, 2018), Nixon (2018) penatalaksanaan
keperawatan dalam mengatasi dislokasi dengan cara “RICE”
Rest: Istirahatkan dengan tujuan agar tidak terjadi kerusakan jaringan
sekitarnya.
Ice: berikan kompres dingin untuk mengurangi nyeri dan mengurang
perdarahan
Compresion: Berikan balutan agar mengurangi inflamasi jaringan dan
perdarahan
Bab 11 Kegawatdaruratan Sistem Muskuloskeletal dan Fraktur 153
11.4.1 Penyebab
Beberapa faktor yang menjadi penyebab sprain dan strain,
1. Penyebab Sprain antaralain: umur karena menurunnya elastisitas dari
ligament dan tendon, cidera akibat jatuh atau pukulan yang keras
pada area sendi, Gerakan memutar yang mendadak dengan teanga
yang berlebih.
2. Penyebab Strain antaralain: gerakan yang dipaksakan melebihi dari
jelajah sendi, penggunaan yang berlebihan atau tekanan yang
berulang-ulang.
11.4.2 Patofisiologi
Sprain terjadi karena robekan ligamen akan menyebabkan eksudasi inflamasi
dan hematoma pada ptongan ligament yang terputus. Granulasi jaringan akan
tumbuh pada jaringan lunak dan pada tulang rawan diarea sekitarnya. Pada
hari ke lima akan membentuk kolagen dan dengan dibantu jaringan fibrosa yan
154 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
vaskuler akan menyatu dengan jaringan sekitarnya dan akan kuat untuk
menahan tegangan otot. Sprain jika difiksasi dapat disembuhkan dalam 2-3
minggu.
Strain terjadi karena kerusakan otot akibat trauma langsung atau tidak
langsung. Otot kontraksi yang berlebihan pada saat otot belum siap untuk
kontraksi, otot tertarik pada arah yang salah. Strain sering terjadi pada otot
lengan (quadriceps) dan otot paha bagian bawah,
11.4.4 Penatalaksanaan
Penalaksanaan Sprain dan Strain pada prinsipnya adalah mengurangi nyeri dan
pembengkakan. Menurut The American Academy of Orthopaedic Surgeons
(2012) dalam Z.Misbah Nurjanah (2022) penanganan sprain dan strain
menggunakan metode RICE (Rest, Ice, Compression and Elevation). Pasien
dianjurkan mengistirahatkan bagian yang cidera selama 48-72 jam, berikan
kompres dingin setiap 2-3 jam, balut dan tinggikan.
Menurut Manurung (2018) setelah fase inflamasi dapat diberikan kompres
hangat selama 15-30 menit sehari 4x untuk mengurangi spasme otot dan
memperbaiki vasodilatasi. Pada Strain yang berat memerlyukan waktu yang
lama untuk proses penyembuhan.
Bab 11 Kegawatdaruratan Sistem Muskuloskeletal dan Fraktur 155
ogi
meningkat
- Keluhan
nyeri
menurun
- Penggunaan
analgesic
menurun.
(Tim Pokja
SLKI, 2019)
D0054.
3 L.05042 I.06171 Dukungan ambulasi
Gangguan Mobilitas fisik
Tindakan:
Mobilitas Fisik
Ekspektasi:
berhubungan Observasi
meningkat
dengan - Identifikasi adanya nyeri
gangguan Kriteria hasil: atau keluhan fisik lainnya
musculoskelet - Pergerakan - Identifikasi toleransi fisik
al, kekakuan ekstremitas melakukan ambulasi
sendi. meningkat - Monitor frekuensi jantung
Gejala dan - Kekuatan dan tekanan darah sebelum
tanda mayor otot memulai ambulasi
Subyektif: meningkat - Monitor kondisi umum
mengeluh sulit - Rentang selama melakukan
menggerakan gerak ambulasi
ekstermitas (ROM) Terapeutik
Obyektif: meningkat - Fasilitasi aktivitas ambulasi
kekuatan otot - Nyeri dengan alat bantu (mis.
menurun, menurun Tongkat, kruk)
rentang gerak - Kecemasan - Fasilitasi melakukan
menurun menurun mobilisasi fisik
Gejala dan - Kaku sendi - Libatkan keluarga untuk
tanda minor menurun membantu pasien dalam
Subyektif: - Gerakan meningkatlkan ambulasi
mengeluh tidak Edukasi
nyeri saat terkoordinasi - Jelaskan tujuan dan prosedur
bergerak, menurun ambulasi
Bab 11 Kegawatdaruratan Sistem Muskuloskeletal dan Fraktur 159
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. Duduk di
tempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi )
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018)
Daftar Pustaka
Bucholz, R.W., Heckman, J.D., and C.-B.C. (2006) Rockwood and Greens
Fracture in Adults. 6th edn. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Burkhart, K. K., Wuerz, R. C., & Donovan, J. W. (1992). Whole-bowel
irrigation as adjunctive treatment for sustained-release theophylline
overdose. Annals of Emergency Medicine, 21(11).
https://doi.org/10.1016/S0196-0644(05)81894-3
Burns, S. (2014) AACN Essentials of Critical Care Nursing. 3rd edn. New York:
Mc Graw Hill Education.
Campbell-Yeo. M. ( 2015). Understanding kangaroo care and its benefits to
preterm infants. Diakses tanggal 2 Oktober 2022.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5683265/
Cao,J.,Zhu,J.,Zhu,X. (2018) Modern Emergency Management. Siangapore:
Springer Nature Singapore.
CHAPTER 3 (2022) Integrated Emergency Management: Guidance and
Principles | Ready Scotland. (n.d.). Retrieved October 29, 2022, from
https://ready.scot/how-scotland-prepares/preparing-scotland-
guidance/philosophy-principles-structure-and-regulatory/chapter-3-
integrated-emergency-management-guidance
Chyka, P. A., Holley, J. E., Mandrell, T. D., & Sugathan, P. (1995). Correlation
of Drug Pharmacokinetics and Effectiveness of Multiple-Dose Activated
Charcoal Therapy. Annals of Emergency Medicine, 25(3).
https://doi.org/10.1016/S0196-0644(95)70295-4
Coelho, C.B.T. and Yankaskas, J.R. (2017) ‘New concepts in palliative care in
the intensive care unit’, Revista Brasileira de Terapia Intensiva, 29(2), pp.
222–230. Available at: https://doi.org/10.5935/0103-507X.20170031.
Cohen, M. & Visveswaran, G., (2020). Defining and managing patients with
non-ST-elevation myocardial infarction: Sorting through type 1 vs other
types. Clinical Cardiology. Issue 43. pp. 242-250.
Critchley, J. A. J. H., & Critchley, L. A. H. (1997). Digoxin toxicity in chronic
renal failure: Treatment by multiple dose activated charcoal intestinal
dialysis. Human and Experimental Toxicology, 16(12).
https://doi.org/10.1177/096032719701601207
164 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat
manurung, N. (2018) Keperawatan Medikal Bedah. 3rd edn. Jakarta: Trans Info
media.
Matthay, M. A. et al. (2019) ‘Acute respiratory distress syndrome’, Nature
reviews Disease primers, 5(1), pp. 1–22.
Mégarbane, B., & Baud, F. J. (2009). Conventional cardiovascular support and
extracorporeal life support in acute poisonings involving Cardiotoxicants.
Clinical Toxicology, 47(5).
Mellick, L.B., Adams, B.D. (2009) 'Resuscitation teams organization for
emergency department: a conceptual review and discussion'. The Open
Emergency Medicine Journal, 2: 18-27.
Menzies, D. G., Busuttil, A., & Prescott, L. F. (1988). Fatal pulmonary
aspiration of oral activated charcoal. British Medical Journal, 297(6646).
https://doi.org/10.1136/bmj.297.6646.459
Meyer, N. J., Gattinoni, L. and Calfee, C. S. (2021) ‘Acute respiratory distress
syndrome’, The Lancet, 398(10300), pp. 622–637.
Minatoguchi, S. (2019). Cardioprotection against acute myocardial infarction.
Singapore: Springer Nature Singapore.
Misbah Nurjannah, Z.A. (2022) ‘Jurnal Kesehatan: Caritas et Fraternitas’,
1(2021), pp. 19–24.
Morrow-Gorton, J., Wolf-Fordham,S.,Snyder,K. (2022) Integrating Mental
Health And Disability Into Public Health Disaster Preparedness And
Response. Cambridge: Elsevier.
Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M., & Gallo, B,M. (2012). Keperawatan
kritis: Pendekatan asuhan holistik. (Edisi 8). Volume 2. Jakarta: EGC.
Morton, Patricia Gonce, Fontaine, Dorrie K. (2013). Critical Care. Holistic
Nursing. WY 154] 610.73'6—dc23. Copyright © Wolters Kluwer Health
Lippincott Williams & Wilkins.
Neuvonen, P. J., Elonen, E., & Mattila, M. J. (1980). Oral activated charcoal and
dapsone elimination. Clinical Pharmacology and Therapeutics, 27(6).
https://doi.org/10.1038/clpt.1980.117
NN (2016) Pedoman Pelayanan Instalasi Rawat Intensif/ ICU. Available at:
https://snars.web.id/rs/pedoman-pelayanan-instalasi-rawat-intensif/.
Daftar Pustaka 171
Andria Pragholapati
Lahir di Bandung, pada 23 Agustus 1988. Riwayat
pendidikan Sarjana, Profesi Ners, dan Magister
Keperawatan di Universitas Padjadjaran (UNPAD)
Bandung. Penulis pernah mengikuti Program
Doktoral Manajemen SDM di TRISAKTI dan
Program Doktoral Pengembangan Kurikulum
Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2022
mendapat Beasiswa Pendidikan Indonesia untuk
Program Doktoral Ilmu Kedokteran dan Kesehatan,
Peminatan Keperawatan di Universitas Diponegoro.
Pengalaman bekerja diawali sebagai Perawat
Homecare hingga pernah menjadi seorang Product
Specialist sebelum akhirnya menjadi Dosen Tetap di Program Studi
Keperawatan Fakultas Pendidikan Olah Raga dan Kesehatan Universitas
Pendidikan Indonesia. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Kendali Mutu
FPOK, yang sebelumnya menjadi Ketua Gugus Kendali Mutu Prodi
Keperawatan FPOK UPI dan Ketua pengembangan kurikulum Keperawatan
UPI. Penulis memiliki lembaga yang bernama lesprivates yang bergerak di
bidang pelatihan dan penelitian. Penulis menikah dengan Putri Yesti Diana, ST
dan dikaruniai putri kembar (Rakana Alkhaleena Andari dan Raina Alisha
Andari) dua orang putra (Mohammed Rafka Abayomi Andari dan Mohammed
Razan Ayres Andari).
Rini Rahmasari
Lahir di Jakarta, pada 11 Oktober 1978. Ia tercatat
sebagai Dosen Keperawatan Medikal Bedah di
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sumber Waras
Jakarta Barat sejak tahun 2019. Sebelumnya ia bekerja
sebagai Head of Nursing Development Departement
di Mayapada Hospital Tangerang.
Jenjang akademik penulis, pertama kali dimulai
dengan menempuh Diploma III Keperawatan di
Akademi Keperawatan RS Pelni Petamburan Jakarta
Barat (2000). Penulis melanjutkan studi Sarjana
Keperawatan dan menyelesaikan pendidikan Profesi Ners di Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia (2005). Penulis kembali mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister Keperawatan dengan
peminatan Keperawatan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia (2021).
Biodata Penulis 181
Sulastyawati
Lahir di Pasuruan, pada 30 November 1978
merupakan anak ke 2 dari pasangan Anwar Mustafa
(ayah) dan Suswati (Ibu). Penulis menyelesaikan
pendidikan Diploma 3 di Akper Depkes Malang
(1996), sedangkan untuk pendidikan S1 (2003) dan
S2 (2015) di FK Universitas Brawijaya Malang. Saat
ini penulis bekerja di Poltekkes Kemenkes Malang
sejak tahun 2005. Sebelumnya penulis pernah bekerja
di Akper Pemda Pamekasan (2003-2005).
182 Konsep dan Sistem Keperawatan Gawat Darurat