Anda di halaman 1dari 76

i

KEPERAWATAN
KESEHATAN
JIWA

Dr. Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M.Sc.


Ashri Maulida Rahmawati
Ainun Najib Febrya Rahman
Dessy Dwicahyaningrum
Vivi Sovianti
Wandria Robi Ardi
Maeliya Unayah
Dian Nur Kumalasari
KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

Penulis : Dr. Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M.Sc


Ashri Maulida Rahmawati
Ainun Najib Febrya Rahman
Dessy Dwicahyaningrum
Vivi Sovianti
Wandria Robi Ardi
Maeliya Unayah
Dian Nur Kumalasari

Cetakan Pertama, Agustus 2020


21x30 cm
vi + 68 halaman

ISBN : 978-602-5669-79-8

Copyright © 2020
Hak Cipta dilindungi Undang - Undang
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit.

Penerbit
CV. Tigamedia Pratama
Jl. Bulusan VI No. 42 Tembalang
Semarang 50277
www.tigamedia.id
ii
PRAKATA

Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Penyayang krena tanpa karunia-Nya, mustahillah naskah buku ini dapat
terselesaikan. Buku ini ditulis berdasarkan fenomena pentingngnya kesehatan jiwa
terutama dalam bidang keperawatan. Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana
seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya

Terselesaikannya penulisan buku ini juga tidak terlepas dari bantuan


beberapa pihak. Karena itu, penulis menyampaikan terima kasih. Penulis berharap
buku ini dapat memberikan manfaat dalam pelayanan keperawatan dan
pendidikan. Dengan segala pengharapan dan keterbukaan, penulis menyampaikan
rasa terima kasih dengan setulus-tulusnya. Kritik merupakan perhatian agar dapat
menuju kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap agar buku ini dapat
membawa manfaat kepada pembaca

iii
Daftar Isi

Prakata .............................................................................................................. iii


Daftar Isi ........................................................................................................... iv
Daftar Gambar ................................................................................................. v
BAB I Teori model keperawatan .................................................................... 1
A. Pengantar dan perkembangan teori dan model keperawatan ................ 1
B. Teori keperawatan King ......................................................................... 3
C. Teori Keperawatan Peplau ..................................................................... 9
D. Teori Psikoanalisa Sigmund Freud ........................................................ 12
E. Teori Adaptasi Calista Roy .................................................................... 15
F. Teori Self Care Orem ............................................................................. 20

BAB II Model sehat sakit ................................................................................ 25

A. Definisi sehat sakit ................................................................................. 25


B. Rentang sehat sakit ................................................................................. 26
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi sehat ............................................... 26
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi sakit ................................................ 27
E. Dampak sakit .......................................................................................... 27
F. Model stress ........................................................................................... 29
G. Mekanisme koping ................................................................................. 31

BAB III Therapeutic Use of self...................................................................... 35


A. Therapeutic use of self dalam keperawatan ........................................... 35
B. Self awareness ........................................................................................ 36
C. Teori model kesadaran diri Johari Window .......................................... 40
D. Komponen utama hubungan terapeutik ................................................. 43
E. Penilaian hasil proses interaksi .............................................................. 47

BAB IV Kebijakan terkait pelayanan kesehatan jiwa ................................. 48


A. Kebijakan terkait pelayanan kesehatan/ keperawatan jiwa .................... 48
B. Hak asasi manusia dan kaidah etik terkait dengan klien gangguan
kesehatan jiwa ........................................................................................ 56
C. Contoh kasus penyelesaian masalah hak asasi manusia dan kaidah etik
terkait dengan klien gangguan kesehatan jiwa ....................................... 57
Daftar Pustaka .................................................................................................. 65

iv
Daftar Gambar

1.1 Skema Goal Attaintment Imogene King ...................................................... 8

1.2 Skema Hubungan Interpersonal Peplau ....................................................... 11


1.3 Skema Struktur Kepribadian Manusia Sigmund Freud ............................... 14

1.4 Diagram Teori Roy ...................................................................................... 18

1.5 Framework Teori Roy .................................................................................. 18

1.6 Framework Teori Self Care.......................................................................... 22

1.7 Supportive Educative Orem ......................................................................... 23

2.1 Rentang Sehat Sakit ..................................................................................... 26

3.1 Bagan Proses Pembelajaran Self Awareness ................................................ 38

3.2 Johari Window ............................................................................................. 40

3.2 Komponen hubungan Terapeutik ................................................................. 46

v
BAB I
Teori Model Keperawatan

A. Pengantar dan Perkembangan Teori dan Model Keperawatan


Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang
didasarkan pada ilmu keperawatan. Pada perkembangannya ilmu keperawatan
selalu mengikuti perkembangan ilmu lain, mengingat ilmu keperawatan
merupakan ilmu terapan yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman.
Demikian juga dengan pelayanan keperawatan, kedepan diharapkan harus
mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional sesuai
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat serta teknologi bidang kesehatan yang
selalu berkembang (McClelland, 2002).
Teori keperawatan adalah usaha-usaha untuk menguraikan atau
menjelaskan fenomena mengenai keperawatan. Teori keperawatan digunakan
untuk menyusun suatu model konsep dalam keperawatan sehingga model
keperawatan ini mengandung arti aplikasi dari struktur keperawatan itu
sendiri. Dalam model praktik keperawatan mengandung komponen dasar
seperti adanya keyakinan dan nilai yang mendasari sebuah model, adanya
tujuan praktek yang ingin dicapai dalam memberikan pelayanan kepada
kebutuhan semua pasien serta adanya pengetahuan dan keterampilan dalam
hal ini dibutuhkan oleh perawat dalam mengembangkan tujuannya (Smith, M.
& Parker, 2015).
Pada tahun 1971 Imogene M. King memperkenalkan suatu model
konseptual yang terdiri dari tiga sistem yang saling berinteraksi. Model
keperawatan terakhir dari King memadukan tiga sistem interaksi yang dinamis
yaitu personal, interpersonal, dan sosial yang mengarah pada teori pencapaian
tujuan (Sieloff, 2015).
Imogene M. King dalam Theory Goal Attainment tahun 1971 menyatakan
teori ini bermanfaat untuk pengembangan pengetahuan ilmiah dalam
keperawatan dengan mengintepretasikan makna pada persepsi dan
memungkinkan mengeneralisaikan tentang orang, benda, dan banyak hal.

1
Pemiikiran Imogene M. King terhadap keperawatan sangat dipengaruhi
dengan apa yang dia lihat sebagai kelangkaan teori dalam disiplin. Prinsip
dasar dari sistem konseptual King adalah manusia, manusia merupakan sebuah
sistem terbuka dalam interaksi konstan dengan lingkungan (Malinski, Frey,
Sieloff, & Norris, 2002).
Pengetahuan keperawatan ilmiah dihasilkan dari pengembangan dan
pemanfaatan teori keperawatan. Keragaman teori keperawatan memberikan
pemahaman dan menstimulasi perawat dalam berinovasi. Salah satunya adalah
teori Imogene King. Tujuan dari Teori keperawatan Imogene M. King (1971)
dalam Caceres (2015) yang dikenal dengan Goal Attainment Theory adalah
membantu kembali klien beradaptasi positif dengan lingkugan dengan
menggunakan komunikasi. (Williams et al., 2009).
Pada tahun 1952 Hidegard E. Peplau memperkenalkan suatu model
keperawatan yang dikenal dengan istilah keperawatan psikodinamik.
Keperawatan psikodinamik merupakan kemampuan seorang perawat untuk
memahami tingkah lakunya guna membantu orang lain, mengidentifikasi
kesulitan yang dirasakannya, dan untuk menerapkan prinsip hubungan
manusia pada permasalahan yang timbul di semua level pengalaman (Smith,
M. & Parker, 2015).
Sigmund Freud mengembangkan teori Psikoanalisis yang dipandang
sebagai teknik terapi dan sebagai aliran psikologi. Sebagai aliran psikologi,
psikoanalisis banyak berbicara mengenai kepribadian, khususnya dari segi
struktur, dinamika, dan perkembangannya. Pada tahun 1923 Freud
mengenalkan tiga model struktural dalam teori psikoanalisis, yaitu: Id, Ego,
dan Super Ego. Freud berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu sistem
yang terdiri dari tiga unsur yang masing-masing memiliki asal, aspek, fungsi,
prinsip operasi, dan perlengkapan sendiri (Horrocks, 2001).

2
B. Teori keperawatan King
1. Sejarah
Imogene M. King lahir pada tanggal 30 Januari 1923 di West
Point, Iowa. Karir keperawatan Imogene dimulai pada tahun 1945 setelah
lulus dari St John's Hospital School of Nursing, St Louis, Missouri. Beliau
bekerja sebagai staf perawat medis bedah sambil kuliah di Bachelor of
Science dalam keperawatan di St Louis University pada tahun 1948.
Beliau menyelesaikan Master of Science dalam keperawatan di St Louis
University (Malinski et al., 2002).
Pada tahun 1959 King melanjutkan pendidikan di Columbia
University, New York dan mendapatkan gelar Doktor Pendidikan pada
tahun 1961. Pada tahun 1972 beliau kembali ke Loyola University of
Chicago mengajar mahasiswa pascasarjana dan menerbitkan teori tentang
keperawatan: Sistem, Konsep, Proses (1981). King dikenal pada tahun
2005, dengan kepeloporannya dalam gerakan teori keperawatan. King
memiliki artikel berjudul Perawatan Teori: Masalah dan Kemajuan dalam
jurnal diedit oleh Dr. Rogers. Buku-buku karya King yang diterbitkan
sejak tahun 1961-1981yaitu : Toward a theory for nursing: General
Concept of Human Behavior (1961-1966), A Theory for Nursing: System,
Concept, Process (1981),Curriculum and Instruction In Nursing (1986)
(Sieloff, 2015).
2. Teori Goal Attainment Imogene M.King
Pada tahun 1971 Imogene M. King memperkenalkan suatu model
konseptual yang terdiri dari tiga sistem yang saling berinteraksi. Model
keperawatan terakhir dari King memadukan tiga sistem interaksi yang
dinamis yaitu personal, interpersonal, dan sosial yang mengarah pada teori
pencapaian tujuan:
a. Sistem Personal (individu)
Untuk sistem personal konsep yang relevan adalah persepsi diri,
petumbuhan dan perkembangan, citra tubuh, dan waktu.

3
1) Persepsi
Persepsi adalah gambaran seseorang tentang objek, orang dan
kejadian- kejadian. Persepsi berbeda antara satu orang dengan
orang lain dan hal ini tergantung dengan pengalaman masa lalu,
latar belakang, pengetauhan dan status emosi. Karakteristik
persepsi adalah universal atau dialami oleh semua, selektif untuk
semua orang, subjektif atau personal.
2) Diri
Diri adalah bagian dalam diri seseorang yang berisi benda-benda
dan orang lain. Diri adalah individu atau bila seseorang berkata
“AKU”. Karakteristik diri adalah individu yang dinamis, sistem
terbuka dan orientasi pada tujuan.
3) Pertumbuhan dan Perkembangan
Tumbuh kembang meliputi perubahan sel, molekul dan perilaku
manusia. Perubahan ini biasanya terjadi dengan cara yang tertib,
dan dapat diprediksikan walaupun individu itu bervariasi, dan
sumbangan fungsi genetik, dan pengalaman yang berarti. Tumbuh
kembang dapat didefinisikan sebagai proses kehidupan seseorang
dimana dia bergerak dari potensial untuk mencapai aktualisasi diri.
4) Citra Tubuh
King mendefinisikan citra diri yaitu bagaimana orang merasakan
tubuhnya dan reaksi - reaksi lain untuk penampilanya.
5) Ruang
Semua orang punya konsep ruang, personal atau subjektif,
individual, situasional, dan tergantung dengan hubunganya dengan
situasi, jarak dan waktu, transaksional, atau berdasarkan pada
persepsi individu terhadap situasi. Definisi secara operasioanal,
ruang meliputi ruang yang ada untuk semua arah, didefinisikan
sebagai area fisik yang disebut teritorial dan perilaku orang yang
menempatinya.

4
6) Waktu
King mendefisikan waktu sebagai lama antara satu kejadian
dengan kejadian yang lain merupakan pengalaman unik setiap
orang dan hubungan antara satu kejadian dengan kejadian yang lain
b. Sistem Interpersonal
King mengemukakan sistem interpersonal terbentuk oleh interaksi
antara manusia. Interaksi antar dua orang disebut DYAD, tiga orang
disebut TRIAD, dan empat orang disebut GROUP. Konsep yang
relevan dengan sistem interpersonal adalah interkasi, komunikasi,
transaksi, peran dan stress.
1) Interaksi
Interaksi didefinisikan sebagai tingkah laku yang dapat di
observasi oleh dua orang atau lebih di dalam hubungan timbal
balik.
2) Komunikasi
King mendefinisikan komunikasi sebagai proses dimana informasi
yang diberikan dari satu orang ke orang lain baik langsung maupun
tidak langsung. Ciri-ciri komunikasi adalah verbal, nonverbal,
situasional, perseptual, transaksional, tidak dapat diubah, bergerak
maju dalam waktu, personal, dan dinamis. Komunikasi dapat
dilakukan secara lisan maupun tertulis dalam menyampaikan ide -
ide satu orang keorang lain. Aspek perilaku nonverbal yang sangat
penting adalah sentuhan. Aspek lain dari perilaku adalah jarak,
postur, ekspresi wajah, penampilan fisik dan gerakan tubuh.
3) Transaksi
Ciri-ciri transaksi adalah unik, karena setiap individu mempunyai
realitas personal berdasarkan persepsi mereka. Dimensi temporal -
spatial, mereka mempunyai pengalaman atau rangkaian - rangkaian
kejadian dalam waktu.

5
4) Peran
Peran melibatkan sesuatu yang memiliki timbal balik dimana
seseorang pada suatu saat sebagai pemberi dan disaat yang lain
sebagai penerima ada tiga elemen utama peran yaitu, peran berisi
set perilaku yang di harapkan pada orang yang menduduki posisi di
sosial sistem, set prosedur atau aturan yang ditentukan oleh hak
dan kewajiban yang berhubungan dengan prosedur atau organisasi,
dan hubungan antara dua orang atau lebih berinteraksi untuk tujuan
pada situasi khusus.
5) Stress
Definisi stress menurut King adalah suatu keadaan yang dinamis
dimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya untuk
memelihara keseimbangan pertumbuhan, perkembangan dan
perbuatan yang melibatkan pertukaran energi dan informasi antara
seseorang dengan lingkungannya untuk mengatur stressor. Stress
adalah suatu yang dinamis sehubungan dengan sistem terbuka yang
terus-menerus terjadi, pertukaran dengan lingkungan, intensitasnya
bervariasi, ada dimensi yang temporal-spatial yang dipengaruhi
oleh pengalaman lalu, individual, personal, dan subjektif.
c. Sistem Sosial
Merupakan sistem dinamis yang akan menjaga keselamatan
lingkungan. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi perilaku
masyarakat, interaksi, persepsi, dan kesehatan. Sistem sosial dapat
mengantarkan organisasi kesehatan dengan memahami konsep
organisasi, kekuasaaan, status, dan pengambilan keputusan.
1) Organisasi
Organisasi bercirikan struktur posisi yang berurutan dan aktivitas
yang berhubungan dengan pengaturan formal dan informal
seseorang dan kelompok untuk mencapai tujuan personal atau
organisasi.

6
2) Otoritas
King mendefinisikan otoritas atau wewenang, bahwa wewenang itu
aktif, proses transaksi yang timbal balik dimana latar belakang,
persepsi, nilai-nilai dari pemegang mempengaruhi definisi, validasi
dan penerimaan posisi di dalam organisasi berhubungan dengan
wewenang.
3) Kekuasaan
Kekuasaan adalah universal, situasional, atau bukan sumbangan
personal, esensial dalam organisasi, dibatasi oleh sumber-sumber
dalam suatu situasi, dinamis dan orientasi pada tujuan.
4) Pembuatan Keputusan
Pembuatan atau pengambilan keputusan bercirikan untuk mengatur
setiap kehidupan dan pekerjaan, orang, universal, individual,
personal, subjektif, situasional, proses yang terus menerus, dan
berorientasi pada tujuan.
5) Status
Status bercirikan situasional, posisi ketergantungan, dan dapat
diubah. King mendefinisikan status sebagai posisi seseorang
didalam kelompok atau kelompok dalam hubungannya dengan
kelompok lain. Di dalam organisasi dan mengenali bahwa status
berhubungan dengan hak-hak istimewa, tugas-tugas, dan kewajiban
(McClelland, 2002).

7
3. Skema Teori Goal Attainment Imogene M.King

Gambar 1.1 Skema Goal Attaintment Imogene King

Terdapat tiga variabel yang menjadi fokus utama pada Teori King
yaitu: sistem personal, sistem interpersonal, dan sistem sosial. Sistem
personal menggambarkan individu sebagai makhluk sosial, mempunyai
indera, merasakan, mengendalikan, bertujuan, dan berfokus pada tindakan
yang akan dilakukan. Dalam sistem personal terdapat 6 konsep yang
menjadi tolak ukur dalam menilai interaksi, yaitu: persepsi diri, citra
tubuh, tumbuh kembang, waktu dan ruang. Sistem interpersonal terdiri
dari hubungan antara individu satu dengan individu lainnya yang saling
berinteraksi. Dalam memahami proses interaksi didasari oleh beberapa
konsep, seperti: peran, interaksi, komunikasi, transaksi dan tingkat stress.
Sistem sosial terbentuk berdasarkan kekuatan dinamis yang membentuk
masyarakat dan lingkungan, sehingga dapat berpengaruh dalam perilaku
sosial, interaksi, persepsi, dan kesehatan (Malinski et al., 2002).

8
4. Konsep Teori Goal Attainment Pada Keperawatan Jiwa
Teori King menjelaskan bahwa terdapat tiga variabel yang menjadi
fokus utama yaitu: sistem personal, sistem interpersonal, dan sistem sosial.
Pengaplikasian teori King dalam keperawatan jiwa bertujuan untuk
membantu perawat dalam mengenal permasalahan kliennya secara
keseluruhan terutama dalam menangani pasien risiko perilaku kekerasan.
Interaksi yang terjalin dengan baik antara perawat dan klien dapat
membantu perawat untuk memonitor sampai sejauh mana kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan pada klien. Perawat dalam hal ini harus
mahir dalam berkomunikasi dan menjalin interaksi dengan klien dalam
menerapkan intervensi agar kemampuan klien dalam mengontrol perilaku
kekerasan meningkat (Sukartini, Sitorus, Waluyo, & Darmawan, 2015).

C. Teori Keperawatan Peplau


1. Sejarah
Hildegard Peplau lahir di Reading Pensylvania 1 September
1909. Lulus Diploma Keperawatan dari Pottstown, Pensylvania pada tahun
1931. Lulus BA dari Bennington College bidang interpersonal psychology
pada tahun 1943, dan lulus MA bidang keperawatan jiwa pada tahun 1947.
Peplau memiliki pengalaman kerja dibidang keperawatan baik di salah
satu rumah sakit swasta maupun pemerintah. Dia telah mengajar di bidang
keperawatan jiwa selama beberapa tahun. Hildegard Peplau menerbitkan
bukunya mengenai hubungan antar pribadi (interpersonal) dalam
keperawatan, sehubungan dengan bukunya “teori parsial untuk praktik
keperawatan”. Peplau membahas mengenai tahap-tahap proses hubungan
antar pribadi, peran dalam kerja keperawatan, dan metode-metode dalam
mempelajari keperawatan sebagai satu proses interpersonal (Wakhid et al.,
2013).
2. Teori Hubungan Interpersonal Hildegard E.Peplau
Pada tahun 1952 Hidegard E. Peplau memperkenalkan suatu model
keperawatan yang dikenal dengan istilah keperawatan psikodinamik.

9
Keperawatan psikodinamik merupakan kemampuan seorang perawat
untuk memahami tingkah lakunya guna membantu orang lain,
mengidentifikasi kesulitan yang dirasakannya, dan untuk menerapkan
prinsip hubungan manusia pada permasalahan yang timbul di semua level
pengalaman. Model keperawatan dari Peplau memadukan empat fase
keperawatan dalam hubungan interpersonal yang dinamis yaitu fase
orientasi, fase identifikasi, fase eksplorasi, dan fase resolusi/terminasi:
a. Fase orientasi
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan
bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk
berperan serta secara efektif dalam pemberian asuhan keperawatan
pada klien. Tahap ini ditandai dengan perawat melakukan kontrak awal
untuk membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data.
b. Fase identifikasi
Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan
memberikan asuhan keperawatan tanpa adanya penolakan dari pasien
sehingga perawat dapat mengorientasi kembali perasaan dan
menguatkan bagian yang positif dan kepribadian pasien. Respon
pasien pada fase identifikasi dapat berupa:
1) Partisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat
2) Individu mandiri terpisah dari perawat
3) Individu yang tidak berdaya dan sangat tergantung pada perawat
c. Fase eksplorasi
Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai
hubungan sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini
merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini
perawat membantu klien dalam meberikan gambaran kondisi klien dan
seluruh aspek yang terlibat didalamnya.

10
d. Fase resolusi
Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini
memungkinkan adanya penguatan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi.

Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan


dimana perawat membimbing pasien dari rasa ketergantungan yang tinggi
menjadi interaksi yang saling tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya
seorang perawat berusaha mendorong kemandirian pasien (Smith, M. &
Parker, 2015).
3. Skema Teori Hubungan Interpersonal Hildegard E.Peplau

Gambar 1.2 Skema Hubungan Interpersonal Peplau

Dari empat tahap orientasi, identifikasi, eksploitasi, dan resolusi


seperti yang dibahas diatas. Proses keperawatan didefinisikan sebagai
“aktivitas” yang disengaja dimana praktik keperawatan didekati secara
tertib dan sistematis. Dalam penerapan teori ini berfokus pada interaksi

11
terapeutik yang meliputi: observasi, komunikasi, dan rekaman sebagai alat
dasar yang digunakan oleh perawat (Suhariyanto et al., 2019).
4. Konsep Teori Hubungan Interpersonal Pada Keperawatan Jiwa
Pengaplikasian teori Peplau dalam keperawatan jiwa bertujuan
untuk membantu pasien skizofrenia dalam memberikan perawatan
kesehatan. Perawatan yang diberikan dapat dilihat sebagai proses
antarpribadi karena melibatkan interaksi antara dua atau lebih individu
dengan tujuan bersama. Dalam keperawatan, tujuan bersama ini
memberikan insentif untuk proses terapi dimana perawat dapat
menghormati pasien sebagai individu. Seorang individu belajar dalam
bereaksi terhadap rangsangan (Hidayat & Keliat, 2015).

D. Teori Psikoanalisa Sigmund Freud


1. Sejarah
Sigmund Freud dilahirkan pada 6 Mei 1856 di Moravia, sebuah
kota kecil di Austria. Setelah tamat dari sekolah menengah di Wina, Freud
masuk fakultas kedokteran Universitas Wina dan lulus sebagai dokter
tahun 1881. Tahun 1886 ia menjalani praktik sebagai dokter, namun ia
tetap melakukan penelitian dan menulis. Teori Psikoanalisis sendiri
mengalami perkembangan sejalan dengan berjalannya waktu. Menurut
Freud, psikoanalisis mempunyai tiga arti. Pertama, istilah psikoanalisis
digunakan untuk menunjukkan sebuah metode penelitian terhadap proses-
proses psikis yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian
ilmiah. Kedua, istilah ini menunjukkan suatu tekhnik untuk
menyembuhkan gangguan-gangguan kejiwaan yang dialami pasien
neurosis. Ketiga, istilah yang sama juga dalam arti lebih luas lagi untuk
menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui
metode dan tekhnik tersebut (McClelland, 2002)
2. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Pada tahun 1923 Freud mengenalkan tiga model struktural dalam
teori psikoanalisis, yaitu: Id, Ego, dan Super Ego. Freud berpendapat

12
bahwa kepribadian merupakan suatu system yang terdiri dari tiga unsur
ini, yang masing-masing memiliki asal, aspek, fungsi, prinsip operasi, dan
perlengkapan sendiri.
a. Id
Id adalah sistem kepribadian yang asli (default) dari manusia sejak
lahir. Bagian ini berisi insting, impuls, dan drives. Id memiliki peran
yang lebih besar dalam kepribadian manusia, bahkan lebih dari 50%
dibanding ego dan super ego. Id berada di area Unconscious, ia
memiliki subjektifitas yang tidak pernah disadari sepanjang usia dan
memiliki sifat pleasure principle, yaitu memperoleh kenikmatan dan
menghindari rasa sakit. Id tidak dapat membedakan dan menilai benar-
salah, sering disebut juga dengan moral. Id hanya tahu memenuhi
kebutuhan. Ia bahkan tidak tahu bahwa khayalan yang diciptakan tidak
benar-benar memenuhi kebutuhannya atau tidak.
b. Ego
Ego sangat berperan penting terhadap terlaksana atau tidaknya
dorongan pemenuhan kebutuhan yang muncul pada id. Ego adalah
struktur kepribadian yang berperan sebagai pemberi keputusan
berdasarkan prinsip realita (reality principle). Ia akan mencari jalan
yang paling realistis untuk memenuhi kebutuhan Id, ego juga akan
mempertimbangkan insting mana yang akan terlebih dahulu
dipuaskan/diprioritaskan. Ego memahami bahwa ada nilai-nilai moral.
Nilai dan norma ini terdapat dalam super ego.
c. Super ego
Secara sederhana super ego adalah moral dan etik dari kepribadian.
Prinsip yang dipakai super ego adalah idealis (idealistic principle), ia
juga memiliki kesamaan dengan Id yaitu bersifat tidak realistis.
Perbedaannya adalah ia berada pada ranah kesadaran seperti ego,
namun juga berbeda dari ego karena ia tidak realistis. Super ego
mendorong manusia untuk hidup secara sempurna dan ideal, tentu saja
hal tersebut mustahil. Super ego dengan nilai moralnya bertentangan

13
dengan id dengan prinsip kenikmatan, ia sering kali mengontrol atau
menghalangi sepenuhnya impuls dan dorongan yang muncul melalui
Id (Horrocks, 2001).
3. Skema Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Gambar 1.3 Skema Struktur Kepribadian Manusia Sigmund Freud

Dua hal yang mendasari teori psikoanalisa Freud adalah asumsi


determinisasi psikis dan asumsi motivasi tidak sadar. Asumsi
determinisasi psikis (psychic determinism) meyakini bahwa segala sesuatu
yang dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan individu mempunyai arti dan
maksud, dan itu semuanya secara alami sudah ditentukan. Adapun asumsi
motivasi tidak sadar (unconscious motivation) meyakini bahwa sebagian
besar tingkah laku individu (seperti perbuatan, berpikir, dan merasa)
ditentukan oleh motif tidak sadar. Freud membagi struktur kepribadian
menjadi tiga, dan tiga struktur itu menjadi konsep utama yang ada pada
teori psikoanalisa. Perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara
ketiga komponen tersebut. Konsep-konsep utama yang terdapat di
psikoanalisa itu adalah struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego, dan
superego.(McClelland, 2002)

4. Konsep Teori Psikoanalisis Pada Keperawatan Jiwa


Pengaplikasian teori Freud dalam keperawatan jiwa bertujuan
untuk membantu pasien perilaku kekerasan dalam mengontrol emosinya

14
yang berlebih. Perawatan yang diberikan dapat dilihat sebagai proses
untuk mengontrol perilaku yang tidak diinginkan. Perawat dalam hal ini
harus mahir dalam berkomunikasi dan menjalin interaksi dengan klien
dalam menerapkan intervensi agar kemampuan klien dalam mengontrol
perilaku kekerasan meningkat (Horrocks, 2001).

E. Teori Adaptasi Calista Roy

1. Sejarah
Sister Callista Roy sangat dihormati pada teori keperawatannya,
penulis, dosen dan peneliti. Beliau seorang profesor dan peneliti
keperawatan di Universitas Boston. Roy bertanggung jawab sebagai
profesor penelitian keperawatan di almamaternya, di Universitas Mount
Saint Mary’s, Los Angeles, California dan sebagai perawat peneliti senior
di pusat penelitian Yvove L. Munn, Rumah Sakit Pusat Massachusetts
Boston. Roy menjadi suster di St. Joseph Corondelet lebih dari 50 tahun
(McClelland, 2002).
Roy diakui dunia di bidang keperawatan dan dianggap sebagai
tokoh keperawatan yang hebat. Sebagai seorang peneliti, Roy sangat
menekankan komitmen utamanya dalam mendefinisikan dan
mengembangkan pengetahuan keperawatan dengan teori adaptasi sebagai
sumber ilmu untuk meningkatkan praktek keperawatan pada individu dan
kelompok. Roy lahir di Los Angeles California. Roy adalah putri tertua
dari keluarga dengan 7 anak laki-laki dan 7 anak perempuan. Ibunya juga
seorang perawat yang selalu mencari tahu tentang pasien, cara perawatan
dan apa yang bisa diberikan perawat kepada pasien (McClelland, 2002).
Roy lulus sarjana keperawatan di Universitas Mount St. Mary’s,
Los Angeles, dan meraih gelar master sosiologi di Universitas California,
Los Angeles. Beliau adalah seorang sarjana senior di Australia. Mentor
penting yang sangat mempengaruhi kehidupannya antara lain Dorothy E.
Johnson, Ruth Wu, Connie Robinson dan Barbara Smith Moran

15
(McClelland, 2002). Roy dikenal karena mengembangkan model adaptasi
dalam kerangka kerja pada teori, praktek dan penelitian.
2. Teori Keperawatan Pendekatan Model Adaptasi Roy
Teori Roy memiliki konsep adaptasi manusia. Konsepnya yaitu
meliputi keperawatan manusia, kesehatan dan lingkungan, yang saling
berhubungan dengan adaptasi sebagai konsep sentralnya. Manusia
mendapat stimulus lingkungan secara terus-menerus. Yang pada akhirnya,
manusia akan memberikan respons dan adaptasi. Respons tersebut dapat
berupa respons adaptif atau respon maladaptif. Respons adaptif dapat
meningkatkan integritas dan akan membantu manusia tersebut dalam
mencapai tujuan adaptasi, yaitu bertahan hidup, tumbuh, berkembang biak,
menguasai, serta transformasi seseorang dan lingkungannya. Respons
maladaptif yaitu apabila seseorang gagal meraih tujuan adaptasi atau
mengancam pencapaian tujuan (McClelland, 2002).
Keperawatan memiliki tujuan dalam membantu usaha adaptasi
seseorang yaitu dalam mengelola lingkungannya. Hasilnya adalah
seseorang tersebut akan mencapai tingkat kesejahteraan optimal. Sebagai
suatu system yang terbuka, manusia menerima input dan stimulus, baik
dari lingkungan dan dalam diri sendiri.
Tingkat adaptasi seseorang ditentukan oleh kombinasi efek
stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi akan terjadi pada saat
seseorang berespons positif terhadap perubahan lingkungan. Respons
adaptif akan meningkatkan integritas seseorang, yang membawanya
menuju sehat. Sedangkan respons maladaptif mengarah pada gangguan
integritas seseorang (McClelland, 2002).
Terdapat dua subsistem saling berhubungan, yaitu subsistem proses
kontrol/ primer, terdiri dari: mekanisme koping, regulator dan kognator.
Subsistem efektor/ sekunder, terdiri dari: fungsi fisiologis, konsep diri,
fungsi peran dan interdependen.
Fungsi fisiologis merupakan cara manusia berinteraksi dengan
lingkungannya melalui proses fisiologis dalam memenuhi kebutuhan

16
dasar, yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, serta
perlindungan. Konsep diri merupakan kebutuhan untuk mengetahui siapa
diri ini dan bagaimana bertindak di masyarakat. Kesatuan keyakinan dan
perasaan yang dimiliki individu tentang dia atau dirinya pada waktu
tertentu. Fungsi peran merupakan peran primer, sekunder dan tersier yang
ditampilkan idividu di masyarakat. Suatu peran adalah harapan mengenai
bagaimana seseorang dalam berperilaku terhadap orang lain. Sedangkan
interdependen merupakan interaksi seseorang di masyarakat. Tugas
interdependen yaitu sebagai seseorang dalam memberi dan menerima
cinta, rasa hormat dan nilai.
Manfaat dari keempat mode adaptif tersebut adalah mencapai
integritas fisiologis, psikososial dan sosial. Empat mode adaptif akan
saling berkaitan melalui persepsi. Tujuan dari keperawatan menurut Roy
yaitu adaptasi pada keempat mode adaptif dalam sehat dan sakit seseorang.
Penentuan intervensi ketika perawat mengelola stimulus yaitu dengan cara
menghilangkan, menaikkan, menurunkan atau mengubah stimulus
tersebut. Penentuan intervensi tersebut dapat ditemukan didalam daftar
hipotesis yang berhubungan dengan praktik yang dihasilkan dari model
Roy.
Pada saat menggunakan proses keperawatan enam langkah Roy,
perawat menampilkan enam fungsi, antara lain (McClelland, 2002):
a. Mengkaji perilaku pasien yang terwujud dalam empat mode adaptif
b. Mengkaji stimulus perilaku tersebut dan mengkategorikan pada
stimulus fokal, kontekstual dan residual
c. Membuat pernyataan dan diagnosis keperawatan dari status adaptif
pasien
d. Menetapkan tujuan untuk meningkatkan adaptasi
e. Menerapkan intervensi yang mempunyai tujuan mengelola stimulus
dalam peningkatan adaptasi
f. Mengevaluasi apakah tujuan adaptif telah terpenuhi

17
Dengan mengubah stimulus, bukan pasiennya, perawat yang
meningkatkan interaksi antara manusia dan lingkungannya, sehingga
meningkatkan kesehatan.
3. Skema Model Adaptasi Roy

Gambar. 1.4. Diagram Teori Roy

Gambar.1.5 Framework Teori Roy

Stimulus fokal adalah stimulus internal atau eksternal pada


manusia yang muncul dengan tiba-tiba. Stimulus kontekstual adalah
stimulus lain yang muncul pada situasi dan ikut menjadi akibat dari
stimulus fokal. Semua faktor lingkungan yang muncul bagi seseorang dari

18
dalam atau sesuatu yang bukan pusat perhatian atau energi orang tersebut.
Stimulus residual adalah faktor lingkungan dari dalam ataupun bukan dari
dalam manusia yang memiliki dampak tak jelas pada situasi saat ini.
Proses koping adalah berbagai cara, baik yang bersifat intrinsik dan
dari luar, untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berubah. Mekanisme
koping intrinsik adalah mekanisme koping yang didapat secara genetik
atau secara umum bagi spesies, dan dipandang sebagai proses otomatis,
manusia tidak perlu berfikir dalam menggunakan cara-cara tersebut
(McClelland, 2002). Mekanisme koping yang didapat merupakan
mekanisme yang didapat/ dikembangkan melalui strategi-strategi tertentu
misalnya: belajar. Pengalaman yang dihadapi selama hidup
menyumbangkan pembentukan respons tertentu terhadap stimulus.
Subsistem regulator adalah proses koping utama yang melibatkan
sistem syaraf, kimiawi dan hormonal. Subsistem kognator adalah proses
koping utama yang melibatkan empat saluran kognitif-emosi: proses
persepsi dan informasi, belajar, menilai dan emosi.
Respon adaptif adalah respons yang meningkatkan integritas dalam
mencapai tujuan sistem manusia. Respons maladaptif adalah respons yang
tidak turut meningkatkan integritas dalam mencapai tujuan sistem manusia
(McClelland, 2002).
4. Konsep Teori Adaptasi Roy pada keperawatan jiwa
Penerapan teori adaptasi Roy, diterapkan dengan baik untuk
mengatasi masalah pasien dengan resiko perilaku kekerasan. Pada pasien
tersebut diterapkan asertiveness training. Stimulus fokal pada pasien yaitu
perilaku kekerasan atau semua respon pasien terhadap penyakitnya
tersebut. Stimulus kontekstual yaitu karakteristik pasien (Erwina, 2012).
Sedangkan faktor predisposisi dan presipitasi merupakan stimulus
kontekstual dan residual.
Mekanisme koping yang dimiliki pasien merupakan proses kontrol
pada teori adaptasi Roy. Kognator pasien yaitu masalah kongitif dan emosi
pasien. Pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan membuktikan bahwa

19
mekanisme tersebut tidak mampu menghasilkan adaptasi yang baik, yang
menimbulkan perilaku kekerasan. Tindakan keperawatan sangat penting,
agar mekanisme koping pasien dapat diperkuat, yaitu kognator pada pasien
untuk menyelesaikan masalah (Erwina, 2012). Jadi, teori adaptasi Roy
mampu menyelesaikan masalah pasien dengan resiko perilaku kekerasan,
karena pada teori ini mengandung pengembangan adaptasi individu
terhadap stressor yang muncul.

F. Teori Self Care Orem


1. Sejarah
Dorothea E. Orem merupakan salah satu ahli teori keperawatan
terkemuka di Amerika. Orem lahir di Batimore, Maryland pada tahun
1914. Orem menerima pendidikan keperawatan pada sekolah keperawatan
Providence Hospital di Washington DC. Setelah lulus pada tahun 1934,
Orem bekerja sebagai pengawas di ruang operasi dan emergency. Pada
tahun 1939 Orem menerima gelar sarjananya di Catholic University of
America dan menerima gelar master pada tahun 1946 di universitas yang
sama (McClelland, 2002).
Orem mendedikasikan hidupnya dalam menciptakan dan
mengembangkan struktur teoritis untuk meningkatkan praktek
keperawatan. Orem melihat pengetahuan keperawatan sebagai konsep
struktur dan unsur-unsur dari perawatan dirinya.
2. Teori Keperawatan Pendekatan Orem
Teori keperawatan Orem disebut sebagai teori perawatan diri.
Orem percaya bahwa keperawatan tidak hanya apa dan mengapa, tetapi
juga siapa dan bagaimana. Teori Orem terdiri dari: teori perawatan diri,
teori defisit perawatan diri dan teori sistem keperawatan.
Teori perawatan diri, menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana
seseorang merawat diri mereka sendiri. Perawatan diri yaitu fungsi
regulasi manusia bahwa individu harus dengan pertimbangan, melakukan
sendiri atau harus dilakukan bagi mereka dalam mempertahankan hidup,

20
kesehatan, perkembangan dan kesejahteraan. Perawatan diri merupakan
sistem tindakan. Penjabaran dari konsep perawatan diri, permintaan
perawatan diri dan agen perawatan diri memberikan pondasi dalam
memahami persyaratan tindakan dan keterbatasan tindakan seseorang yang
dapat mengambil manfaat dari keperawatan (McClelland, 2002).
Teori defisit perawatan diri, menggambarkan dan menjelaskan
mengapa orang dapat dibantu melalui keperawatan. Defisit perawatan diri
yaitu hubungan antara kemampuan aksi setiap individu dan tuntutan untuk
perawatan. Defisit perawatan diri adalah sebuah konsep abstrak yang
dinyatakan dalam hal keterbatasan tindakan, memberikan panduan
pemilihan metode untuk membantu dan memahami peran pasien dalam
perawatan diri.
Teori sistem keperawatan, menggambarkan dan menjelaskan
hubungan yang harus dilakukan dan dipelihara untuk menghasilkan
keperawatan. Sistem keperawatan adalah sistem tindakan yang dibentuk
(dirancang dan diproduksi) oleh perawat melalui pelaksanaan agen
keperawatan mereka untuk orang-orang dengan keterbatasan kesehatan
yang diturunkan atau kesehatan yang terkait dalam perawatan diri atau
ketergantungan perawatan. Agen keperawatan meliputi konsep tindakan
kesengajaan, termasuk intensionalitas dan pelaksanaan dari diagnosis
resep dan regulasi. Sistem keperawatan dapat dihasilkan untuk individu,
untuk orang-orang yang merupakan unit ketergantungan perawatan, untuk
kelompok yang anggotanya memiliki tuntutan perawatan diri terapeutik
dengan komponen yang sama atau yang memiliki keterbatasan yang sama
untuk keterlibatan dalam perawatan diri atau ketergantungan perawatan,
dan untuk keluarga atau unit-unit multi-person yang lain.

21
3. Skema Model Orem

Gambar 1.6 Framework Teori Self Care

Orem menggambarkan sistem keperawatan sebagai sistem


tindakan, yaitu suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang dibentuk
untuk suatu tujuan. Ini merupakan gabungan dari semua tindakan nyata
dari perawat yang diselesaikan atau akan diselesaikan untuk atau dengan
agen perawatan diri untuk meningkatkan kehidupan, kesehatan dan
kesejahteraan.
Penentuan defisit perawatan diri, perawat mengembangkan salah
satu dari tiga jenis sistem keperawatan, yaitu: wholly compensatory
system, partly compensatory system, dan supportive educative system
(McClelland, 2002). Jika hanya perawat yang bertanggung jawab pada
perawatan diri pasien, maka wholly compensatory system dirancang. Jika
pasien memiliki beberapa kemampuan untuk melakukan tindakan
perawatan diri, maka perawat dan pasien berbagi tanggung jawab, yaitu
partly compensatory system. Dan jika pasien dapat melakukan semua
tindakan perawatan diri, maka tindakan perawat diperlukan sebagai
dukungan, yaitu supportive educative system.

22
Gambar 1.7 Supportive Educative Orem

5. Konsep Teori Perawatan Diri Orem pada Keperawatan Jiwa


Defisit perawatan diri pada pasien skizofrenia tidak dapat
dipandang remeh. Oleh karena itu, perawat wajib memberikan pelayanan
pasien dengan profesional. Perawatan diri berdasarkan teori Orem dapat
dilakukan pada unit rehabilitasi pasien dengan skizofrenia. Pada pasien
tersebut, kebutuhan perawatan diri sangat dibutuhkan, akibat dari
penyakitnya yang menyebabkan kerusakan kognitif, afek dan perilaku
pasien. Pada konteks rehabilitasi pasien skizofrenia, teori Orem sangat
sesuai pada tujuan rehabilitasi, yaitu membantu dalam memandirikan
pasien seoptimal mungkin (Susanti, 2010).

23
Pada pasien dengan defisit perawatan diri, biasanya terjadi
ketidakmampuan saat melakukan satu dari kebutuhan dasar, seperti:
mandi, berpakaian/ berhias, makan dan eliminasi (Susanti, 2010). Prinsip
dasar yang harus diterapkan perawat dalam merawat pasien skizofrenia,
antara lain: mengembangkan kemandirian pasien, komunikasi terapeutik
saat berinteraksi dengan pasien dan tindakan kolaborasi dengan tim
kesehatan lain. Dalam meningkatkan kemandirian pasien skizofrenia,
diperlukan fleksibilitas perawat dalam menyediakan kesempatan pasien
untuk berhasil sangat penting. Untuk memperbaiki orientasi realita pasien
skizofrenia diperlukan komunikasi terapeutik, yang diharapkan dapat
berdampak positif. Sedangkan kolaborasi dengan tim kesehatan lain,
merupakan tantangan tersendiri bagi perawat, yang harus ditingkatkan.

24
BAB II
Model Sehat Sakit

A. Definisi sehat sakit


1. Sehat
a. Menurut Neuman
sehat adalah keadaan dinamis yang berubah secara terus menerus
sesuai dengan adaptasiindividu terhadap berbagai perubahan pada
lingkungan internal dan eksternalnya untuk mempertahankan kondisi
fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan dan spiritual
(Neuman, Betty M., Fawcett, 2011).
b. World Health Organization (WHO)
Membuat defenisi universal yang menyatakan bahwa pengertian sehat
adalah suatu keadaan kondisi fisik, mental, spiritual dan kesejahteraan
sosial yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari
penyakit atau kecacatan (Charlier et al., 2017).
c. Menurut Pender
Sehat adalah aktualisasi (perwujudan) yang diperoleh individu melalui
kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain, perilaku yang sesuai
dengan tujuan, perawatan diri yang kompeten. Sedangkan penyesuaian
diperlukan untuk mempertahankan stabilitas dan integritas social
(Pender, Nola J, Carolyn L. Murdaugh, 2014).
2. Sakit
a. Menurut Neuman
Sakit merupakan proses dimana fungsi individu dalam satu atau lebih
dimensi yang mengalami perubahan atau penuruan dibandingkan
kondisi individu sebelumnya (Neuman, Betty M., Fawcett, 2011).
b. Menurut Potter & Perry
Sakit adalah suatu keadaan dimana fungsi fisik, emosional, intelektual,
sosial, perkembangan atau spiritual seseorang berkurang atau

25
terganggu bila di bandingkangkan kondisi sebelumnya (Potter, Perry,
Stockert, & Hall, 2013).
d. World Health Organization (WHO)
Suatu kondisi cacat atau kelainan yang disebabkan oleh gangguan
penyakit, emosional, intelektual, dan social (World Healt
Organization, 2015).

B. Rentang sehat sakit

Gambar 2.1 Rentang Sehat Sakit

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi sehat


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah:
1. Status perkembangan
a. Kemampuan mengerti tentang keadaan sehat dan kemampuan
berespon terhadap perubahan dalam kesehatan dikaitkan dengan usia.
Contoh: bayi dapat merasakan sakit, tapi tidak dapat mengungkapkan
dan mengatsainya.
b. Pengetahuan perawat tentang status perkembangan individu
memudahkan untuk melaksanakan pengkajian terhadap individu dan
membantu mengantisipasi perilaku-perilaku selanjutnya
2. Pengaruh sosiokultural
Masing-masing kultur punya pandangan tentang sehat yang diturunkan
dari orang tua pada anaknya. Contoh: Orang Cina, sehat adalah
keseimbangan antara Yin dan Yang Orang dengan ekonomi rendah
memandang flu sesuatu yang biasa dan merasa sehat

26
3. Pengalaman masa lalu
a. Seseorang dapat merasakan nyeri/sakit atau disfungsi (tidak berfungsi)
keadaan normal karena pengalaman sebelumnya
b. Membantu menentukan defenisi seseorang tentang sehat
4. Harapan seseorang tentang dirinya
Seseorang mengharapkan dapat berfungsi pada tingkat yang tinggi baik
fisik maupun psikososialnya jika mereka sehat (Irwan, 2017).

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi sakit


Perilaku sakit juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Untuk membuat rencana perawatan yang individual, perawat perlu memahami
pengaruh dari berbagai faktor ini:
1. Faktor internal
Faktor internal yang dapat mempengaruhi perilaku pada saat klien
sakit yaitu persepsi mereka terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami.
Perilaku sakit klien dapat juga disebabkan oleh riwayat penyakit
sebelumnya. Selain itu, dalam sistem yang ada pada saat ini kadang
kadang beberapa profesi pelayanan kesehatan tidak mempunyai motivasi
yang tinggi untuk tetap terlibat dalam perawatan.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi sakit klien, terdiri dari gejala
yang dapat dilihat, kelompok sosial, latar belakang budaya, faktor
ekonomi, kemudahan akses kedalam sistem pelayanan kesehatan,
dukungan sosial (Irwan, 2017).

E. Dampak Sakit
1. Dampak sakit pada peran keluarga
Setiap orang mempunyai berabagai peran dalam kehidupannya,
seperti pencari nafkah, pengambil keputusan, seorang professional atau
sebagai orangtua. Ketika terjadi suatu penyakit, peran peran klien denan
keluarganya mungkin akan berubah.

27
2. Perubahan perilaku dan emosi
Setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda beda terhadap
kondisi sakit atau terhadap ancaman penyakit. Reaksi perilaku dan emosi
individu bergantung pada asal penyakit, setiap klien menghadapi penyakit
tersebut, reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan
berbagai variable dari perilaku sakit.
3. Dampak penyakit dari citra tubuh
Beberapa penyakit dapat mengakibatkan perubahan pada
penampilan fisik, dan pasien dan keluarga akan bereaksi dengan cara yang
berbeda beda terhadap berbagai perubahan tersebut. Reaksi klien dan
keluarga terhadap perubahan gambaran tubuh bergantung pada beberapa
hal berikut ini:
a. Jenis perubahan ( mis: kecacatan fisik)
b. Kapasitas Adaptasi
c. Kecepatan perubahan
d. Dukungan yang tersedia
4. Dampak pada konsep diri
Konsep diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri,
mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahan pada
seluruh aspek kepribadinnya. Konsep diri berperan penting dalam
hubungan seseorang dengan anggota keluarganya yang lain. Klien yang
mengalami perubahan konsep diri karena kondisi sakitnya mungkin tidak
lagi mampu memenuhi harapan keluargnya, yang akhirnya akan
menimbulkan ketegangan atau konflik. Dalam memberikan perawatan,
perawat mampu mengobservasi perubahan pada konsep diri klien atau
pada konsep diri anggota keluarga.
5. Dampak pada dinamika keluarga
Dinamika keluarga merupakan proses dimana keluarga melakukan
fungsi, mengambil keputusan, memberi dukungan kepada anggota
keluarganya, dan melakukan koping terhadap perubahan dan tantangan
hidup sehari-hari. Pada beberapa kasus penyakit yang berkepanjangan,

28
sering kali keluarga harus membuat pola fungsi yang baru, yang
merupakan suatu perubahan yang dapat menimbulka stress emosional dan
menyebabkan tanggungjawab yang bertentangan atau menyebabkan koflik
pada saat pengambilan keputusan (Irwan, 2017).

F. Model Stres
Stress merupakan pengalaman hidup yang pasti dialami setiap
individu(Labola, 2018). Stress adalah suatu respon stimulus atau reaksi yang
mempengaruhi dimensi kehidupan seseorang(Lumban Gaol, 2016).
Beberapa hal yang harus diamati dalam model stres adaptasi adalah faktor
predisposisi dan faktor presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor risiko yang menjadi sumber
terjadinya stres yang memengaruhi individu dalam menghadapi stres baik
yang biologis, psikososial, dan sosiokultural. Faktor ini akan memengaruhi
individu dalam memberikan arti dan nilai terhadap stres pengalaman stres
yang dialaminya. faktor predisposisi meliputi hal sebagai berikut (Yusuf,
A.H & ,R & Nihayati, 2015);
a. Biologi : genetik, status nutrisi, kepekaan biologis, dan
kesehatan.
b. Psikologis : kecerdasan, keterampilan verbal, moral, personal,
pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis,
dan kontrol.
c. Sosiokultural : usia, gender, pendidikan, pendapatan, okupasi,
posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman
sosial, dan tingkatan sosial.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus yang memperberat keadaan dan
mengancam individu. Faktor presipitasi ini dapat bersifat biologis,
psikologis, dan sosiokultural. Waktu merupakan dimensi yang juga
memengaruhi terjadinya stres, yaitu berapa lama dan berapa frekuensi

29
terjadinya stres. Adapun faktor presipitasi yang sering terjadi adalah
sebagai berikut (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015):
3. Penilaian terhadap Stresor
Penilaian kognitif (cognitive appraisal) berlangsung terus-menerus
sepanjang kehidupan. Penilaian kognitif merupakan proses evaluasi yang
menentukan mengapa atau dalam keadaan seperti apa suatu interaksi
antara manusia dan lingkungannya dapat menimbulkan stress. Penilaian
primer dan penilaian sekunder merupakan suatu proses yang tidak
terpisah, mereka berhubungan dan membentuk derajat stress serta
kekuatan dan kualitas reaksi emosional saling mempengaruhi antara kedua
proses ini sehingga saling menjadi sangat kompleks. Penilaian kognitif
turut berperan pada faktor penilaian kembali (reappraisal) (Laqueur &
Laqueur, 2018).
a. Reaksi primer
Penilaian primer (primary appraisal) Penilaian primer merupakan
suatu proses mental yang berhubungan dengan aktivitas evaluasi
terhadap situasi yang dihadapi. Proses ini terjadi untuk menentukan
apakah stimulus atau situasi yang dihadapi individu berada dalam
kategori tertentu. Penilaian primer ini terdiri dari tiga kategori, yaitu:
1) Irrelevant (tidak relevan) : situasi yang terjadi tidak berpengaruh
pada kesejahteraan individu, situasi tersebut dianggap tidak
bermakna sehingga dapat diabaikan.
2) Benign positive reappraisal (penilaian positif): situasi yang terjadi
dirasakan dan dihayati sebagai hal yang positif dan dianggap dapat
meningkatkan kesejahteraan individu.
3) Stressful appraisal (penilaian yang menimbulkan stress): situasi
yang terjadi menimbulkan makna gangguan, kehilangan, ancaman,
dan tantangan bagi individu.
b. Reaksi Sekunder
Penilaian sekunder (Secondary appraisal) Penilaian sekunder
(Secondary appraisal) merupakan proses yang digunakan untuk

30
menentukan apa yang dapat atau harus dilakukan untuk meredakan
stress yang sedang dihadapi. Pada tahap inilah individu akan memilih
cara yang menurutnya efektif untuk meredakan stress. Proses ini
mencakup :
1) Evaluasi mengenai coping stress yang digunakan yang dinilai
paling efektif dalam menghadapi situasi tertentu dengan
mempertimbangkan konsekuensi yang muncul sehubungan dengan
coping tersebut.
2) Evaluasi terhadap potensi-potensi yang dimiliki individu yang
dapat mendukung upaya coping stress. Proses ini berusaha
mempertimbangkan berbagai sumber yang dimiliki individu
dengan memperhitungkan tuntutan yang ada dalam menentukan
coping stress yang digunakan.

G. Mekanisme koping
1. Sumber Koping
Sumber koping merupakan segala sesuatu yang dimiliki individu
bersifat fisik ataupun non-fisik untuk membangun koping. Sumber koping
menurut (Maryam, 2017) sebagai berikut;
a. Kondisi kesehatan
Kesehatan sangat diperlukan agar dapat menghadapi atau
menyelesaikan masalah dengan baik supaya individu memiliki koping
yangbaik pula
b. Kepribadian
Kepribadian merupakan bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan misalnya bentukan diri dari keluarganya di masa kecil dan
bawaan dari sejak dilahirkan contohnya orang tua membiasakan
anaknya untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri.
c. Konsep diri
Konsep diri dari individu akan memantu menekan stressor yang
dihadapi dan meningkatkan koping

31
d. Dukungan sosial
Dukungan emosional yang diberikan keluarga kerabat dan lingkungan
dari individu yang sedang mengalami stees
e. Aset ekonomi
Aset berperan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan individu supaya
mudah untuk melakukan koping
2. Defence Mechanisms
Setiap orang menggunakan mekanisme pertahanan dan membantu
seseorang mengatasi stres dalam tingkat ringan sampai dengan sedang.
Ego oriented reaction dilakukan pada tingkat tidak sadar.(Thoits, 2011)
Mekanisme pertahanan(Cramer, 2015).
a. Psychotic defenses
1) Penyangkalan / denial (dari realitas eksternal)
Menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi
pada dirinya.
2) Distorsi
Berfikir secara berlebihan dan tidak rasional mengenai suatu
masalah yang sedang dihadapi
b. Immature defenses
1) Agresi pasif
Tindakan permusuhan terhadap seseorang yang di ekpresikan
secara tidak langsung
2) Memberontak (acting out)
Mengutarakan perasaan bila keinginan terhambat
3) Regresi
Sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti
anak kecil.
4) Proyeksi
Menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau
melampiaskan kesalahannya kepada orang lain

32
5) Fantasi
Tindakan berkhayal untuk memberikan pelarian dari kenyataan
6) idealisasi
Memunculkan logika rasional yang bisa diterima dari pada alasan
yang sesungguhnya
c. Neurotic (intermediate) defenses
1) intelektualisasi/ disosialisasi)
Fokus pada hal-hal uang dipikirkan dari pada merasakan emosi
2) Isolasi
Individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu
dengan masalah yang dihadapi.
3) Represi
Masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatannya dan hanya
mengingat waktu-waktu yang menyenangkan.
4) Penyusunan reaksi
Membentuk reaksi yang dianggap baik
5) Pemindahan (displacement)
Reaksi emosi terhadap seseorang kemudian diarahkan kepada
seseorang lain
6) Somatisasi
Memiliki kecentrungan dan kesulitan dalam berkomunikasi
7) Pelepasan atau penebusan (undoing)
Tingkah laku untuk menutupi ketidakmampuan dengan
menonjolkan sifat yang baik, karena frustasi dalam suatu bidang
maka dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang lain.
Kompensasi timbul karena adanya perasaan kurang mampu.
8) Rasionalisasi
Menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan diterima
oleh orang lain untuk menutupi ketidakmampuan dirinya. Dengan
rasionalisasi kita tidak hanya dapat membenarkan apa yang kita

33
lakukan, tetapi juga merasa sudah selayaknya berbuat demikian
secara adil.
d. Mature defenses
1) Suppression (penekanan)
Memaksa melupakan trauma dalam ingatan
2) Altruism
Memperhatikan kesejahtraan orang lain tanpa mempedulikan diri
sendiri
3) Humor
Menertawakan peristiwa atau permasalah yang dialami
4) Sublimasi
Mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau
kemampuan dengan sikap positif.

34
BAB III
Therapeutic Use of self

A. Therapeutic Use of Self dalam Keperawatan


Dalam keperawatan konsep therapeutic use of self dikembangkan oleh
para praktisi keperawatan yang memiliki ketertarikan terhadap psikoterapi.
Therapeutic use of self dalam keperawatan menyoroti perilaku perawat yang
menggunakan dirinya sendiri secara terapeutik, secara sadar menggunakan
kepribadian dan pengetahuannya dengan tujuan untuk memberikan perubahan
pada seseorang yang sakit (Freshwater, 2006).
Therapeutic use of self merupakan istilah yang digunakan untuk
merangkum peran therapist dalam bekerja secara sadar dengan sisi
interpersonal dari hubungan terapeutik untuk memfasilitasi pengalaman dan
hasil yang optimal dari pasien (Solman & Clouston, 2016). Perawat dalam
therapeutic use of self dibingkai sebagai media yang terikat dalam praktik
klinis yang dijadikan sebagai alat utama untuk membawa perubahan pada
pasien (Knight, 2012).
Penggunaan diri secara terapeutik melibatkan komunikasi verbal dan
nonverbal. Therapeutic use of self merupakan sebuah pendekatan yang
disengaja dan direncanakan dimana perawat mengkomunikasikan rasa peduli
dan ingin membantu, berkomitmen untuk membantu dan mendampingi pasien
agar pasien dapat menolong diri sendiri (Ariani, 2018).
Inti dari konsep Therapeutic use of self adalah self awareness atau
kesadaran diri yang memungkinkan pendekatan dengan klien menggunakan
rasa empati dan penerimaan, membentuk lingkungan yang terbuka dan tidak
mengancam untuk mendapatkan data yang akurat. Tiga teknik penting dalam
Therapeutic use of self adalah menunjukkan sikap empati, penerimaan, dan
menghargai orang lain (Morton, 2005).
1. Empati
Empati merupakan kemampuan untuk memahami perasaan orang
lain, Empati dapat menciptakan hubungan saling percaya sehingga dapat

35
mendorong klien menjadi lebih terbuka, mau membagikan informasi yang
bersifat pribadi kepada perawat. Perawat dapat menggunakan kalimat yang
menunjukkan bahwa perawat memahami apa yang dirasakan klien seperti
“Saya memahami apa yang anda rasakan” atau “Hal itu pasti membuat
anda khawatir”.
2. Penerimaan
Penerimaan merupakan hal yang penting dalam hubungan perawat
dengan pasien. Perawat harus mampu menunjukkan sikap menerima
dengan tetap netral dan tidak menghakimi. Perawat bisa menunjukkan
sikap penerimaan dengan kalimat netral seperti “saya mengerti” atau
perilaku nonverbal seperti mengangguk, dan mempertahankan kontak
mata.
3. Menghargai orang lain
Perawat harus mampu memberikan ketenangan kepada pasien
dengan rasa dihargai. Perawat dapat mendengarkan secara aktif apa yang
klien sampaikan, memberikan penghargaan verbal atau nonverbal kepada
klien.

B. Self Awareness

“Barangsiapa yang mengenal orang lain, dia orang yang bijaksana.


Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, dia tercerahkan”
- Lao Tzou

Self awareness dalam psikologi diartikan sebagai dengan akal pikiran yang
dimilik, manusia mengetahui apa yang dilakukan dan mengapa ia
melakukannya. Self awareness dalam bahasa Arab disebut makrifat al-nafs
yang kemudian ditafsirkan oleh beberapa tokoh dan para ilmuwan sebagai
pengetahuan tentang diri. Dari segi bahasa self awareness dapat diterjemahkan
sebagai mengenal diri; paham diri; relasi dengan diri; introspeksi dengan diri;
dan penemuan jatidiri (Makmun, 2017).

36
Kepribadian manusia muncul dari dalam jiwa, bukan dari luar. Manusia
sejak lahir telah diberikan kemampuan untuk dapat membentuk kepribadian.
Unsur pembentuk perilaku adalah kesadaran diri atau self awareness yang
dapat menjadi pengarah atau pembatas dimana dengan kesadaran diri yang
baik individu mampu melepaskan diri dari berbagai macam pengaruh
lingkungan (Makmun, 2017).
Self awareness atau kesadaran diri dan perkembangan diri perawat perlu
ditingkatkan agar therapeutic use of self bisa menjadi lebih efektif. Kesadaran
diri merupakan langkah pertama dari penguasaan diri dimana dengan
kesadaran diri perawat dapat menyadari perilaku negative yang menghalangi
untuk memperoleh reaksi positif dari lawan bicaranya (Elfiky, 2009). Perawat
perlu menganalisa dan mengintrospeksi diri sebelum berkomunikasi dan
memberikan pelayanan kepada klien. perawat perlu bertanya pada dirinya
sendiri mengenai siapakah saya? perawat seperti apakah saya? apa yang akan
saya lakukan kepada pasien? dan masih banyak lagi (Muhith & Siyoto, 2018).
Terdapat empat elemen penting dalam proses pembelajaran self awareness
diantaranya adalah (Elfiky, 2009):
1. Inkompetensi tanpa sadar (tidak menyadari ketidakmampuan)
Individu tidak menyadari ketidaktahuannya. Dalam komunikasi
banyak orang tidak mengetahui bahwa dirinya menunjukkan perilaku
negative yang akan menghalangi untuk dapat berkomunikasi selaras
dengan orang lain.
2. Inkompetensi sadar (menyadari ketidakmampuan)
Pada elemen dan tahapan ini individu mulai menyadari
ketidakmampuannya. Dalam hal berkomunikasi individu perlu menyadari
bahwa perilaku negatif yang dimiliki dapat menghalangi reaksi positif dari
lawan bicaranya. Halangan tersebut dapat berupa terlalu banyak bicara,
kurang tersenyum, terlalu membela diri, dan suka berdebat. Dengan
menyadari halangan - halangan tersebut individu dapat meningkatkan
kemampuannya dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga dapat
terbentuk hubungan yang selaras.

37
3. Kompetensi sadar (menyadari kemampuan)
Pada tahap dan elemen ini individu mulai bertindak untuk
mengembangkan kompetensi atau kemampuan yang diperlukan untuk
membangun komunikasi yang baik seperti melatih kemampuan untuk
mendengarkan.
4. Kompetensi tanpa sadar
Kebiasaan timbul dari upaya mengulang – ulang keterampilan atau
perilaku tertentu. Elemen ini merupakan tahap akhir dari proses
pembelajaran self awareness. Individu yang dulunya cenderung
mendominasi pembicaraan dapat berubah menjadi pendengar yang baik
dengan otomatis karena kebiasaan yang dilakukan terus menerus akan
menjadi bagian dari kepribadian seseorang.

Inkompetensi tanpa sadar


(tidak menyadari kebodohan, perilaku negatif,
kekurangan)

Inkompetensi Sadar
(menyadari kebodohan, perilaku negatif,
kekurangan)

Kompetensi Sadar
(mengetahui bagaimana dan apa yang harus
dilakukan)

Kompetensi Tanpa sadar


(melakukan dengan otomatis)

Gambar 3.1 Bagan Proses Pembelajaran Self Awareness

Self awareness merupakan prasyarat untuk memahami kenekaragaaman


bentuk dan kepribadian klien. Self awareness dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya gangguan pada konsep diri (Harahap & Putra, 2019).
Perawat dapat memanfaatkan kompetensinya untuk memfasilitasi klien

38
mengakses kesembuhannya dengan ketulusan dan keilkhlasan hati yang
perawat miliki (Muhith & Siyoto, 2018).
Seorang perawat harus memiliki kepribadian introvert yang cukup untuk
dapat membangun self awareness yang tinggi sehingga dapat dengan mudah
terhubung dengan orang lain. seorang perawat dengan self awareness yang
terbatas akan berada dalam kondisi denial sehingga mencoba bekerja diluar
batasan kompetensi yang dimiliki (Wosket, 2016). Untuk mencapai Self
awareness yang tinggi ada beberapa komponen yang harus diperhatikan,
diantaranya adalah:
1. Komponen Psikologi
Komponen Psikologi memandang diri baik dari aspek emosi, motivasi,
konsep diri, dan kepribadian diri sendiri.
2. Komponen Fisik
Komponen fisik memandang diri sendiri dari aspek gambaran diri kita
yang sebenarnya, potensi fisik, dan sensasi tubuh.
3. Komponen Lingkungan
Komponen lingkungan berorientasi pada lingkungan sosiokultural,
hubungan dengan orang lain, dan pengetahuan mengenai hubungan
manusia dengan alam
4. Komponen Filosofi
Komponen filosofi mencakup arti hidup atau makna hidup seseorang
seperti apa untuk apa ia hidup, apa tujuan hidup yang individu tersebut
ingin dicapai
Berdasarkan keempat komponen yang disebutkan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa untuk mencapai tingkat kesadaran diri yang baik perawat
harus memiliki sensitifitas dan kesadaran mengenai status psikologis yang
sedang dialami, kemampuan dan kemauan yang dimiliki, suasana lingkungan
yang ditempati, serta prinsip hidup yang dipegang dan dikendalikan. Semakin
sadar dan sensitif individu terhadap dirinya sendiri maka kemampuan untuk
melakukan therapeutic use of self akan menjadi lebih efektif.

39
Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan self awareness diantaranya
adalah (Stuart, 2013):
1. Bertanya pada diri sendiri, dengan bertanya “siapakah saya?”, mencari tau
kelemahan dan kemampuan diri, mimpi serta target perbaikan diri.
2. Mendengarkan orang lain, dengan membiarkan orang menilai tentang diri
kita sehingga kita mendapatkan feedback dari orang lain.
3. Aktif mencari informasi mengenai diri sendiri. Misalnya dengan
memaknai peristiwa yang terjadi untuk memperoleh informasi diri.
4. Melihat sisi diri yang berbeda, yaitu dengan melihat diri dari kacamata
orang lain
5. Meningkatkan keterbukaan diri, dengan memaknai setiap interaksi yang
diperoleh

C. Teori Model Kesadaran Diri Johari Window


Johari Window merupakan sebuah kaca jendela yang terdiri dari empat
bagian yang menggambarkan tentang perilaku, pikiran, dan perasaan
seseorang terhadap dirinya sendiri (Harahap & Putra, 2019). Johari Window
merupakan sebuah alat yang dapat digunakan untuk mempelajari lebih banyak
tentang diri sendiri yang dapat merepresentasikan sebaik mana seseorang
dalam mengetahui dirinya sendiri dan mengkomunikasikan dengan orang lain
(Ariani, 2018).

•1 •2
Semi
Public
Public
Self
Self

Unkn Privat
own e self

•4 •3

Gambar 3.2 Johari Window

40
1. Public Self
Pada area public self atau area terbuka kelebihan dan kekurangan
perilaku individu, perasaan dan pikiran dapat diketahui oleh individu dan
ditampilkan pada orang lain. Area terbuka atau public self akan dijadikan
sebagai sarana untuk mempertemukan keinginan individu dan orang lain.
Hubungan saling percaya akan membuat area ini semakin melebar melalui
hubungan saling percaya maka komunikasi terapeutik akan menjadi lebih
efektif. Sebaliknya, jika area public self ini menyempit maka akan menjadi
hambatan bagi perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik karena
proses komunikasi menjadi tertutup sehingga perawat mengalami
kesulitan untuk menggali data kepada pasien.
Salah satu kelemahan individu yang area public self terlalu lebar
adalah tidak bisa melihat orang yang tepat untuk mengungkapkan
perasaan, pikiran atau perilaku nya sehingga dapat menimbulkan masalah.
Selain itu individu public self terlalu lebar juga tidak bisa membedakan
berbagai informasi yang boleh diungkapkan dan informasi yang
seharusnya dirahasiakan.
2. Semi Public Self
Semi Public self dapat disebut sebagai area buta dimana perilaku,
perasaan, kebiasaan, pikiran, dan kemampuan tertentu baik positif maupun
negatif yang dimiliki seseorang dapat diketahui oleh orang lain namun
tidak disadari oleh dirinya sendiri. Dalam area buat dapat terjadi dimana
perawat tidak dapat mengakui kelemahannya yang mungkin dapat
merugikan pasien misalnya sering menginterupsi, membantah, maupun
membanggakan diri sendiri.
3. Private self
Private self atau area tersembunyi menggambarkan situasi dimana
individu menyadari semua perasaan, pikiran, dan peilaku namun orang lain
tidak mengetahui karena secara sadar ditutupi atau disembunyikan dari
orang lain. Adanya area tersembunyi berkaitan dengan dua konsep yang
bertolak belakang yaitu over disclose dan under disclose. Over disclose

41
adalah sikap terlalu terbuka dimana individu terlalu banyak
mengungkapkan sesuatu sehingga hal yang seharusnya disembunyikan
namun diutarakan, sebaliknya under disclose merupakan sikap terlalu
menyembunyikan sesuatu yang seharusnya diutarakan. Klien dengan
wilayah tersembunyi mempengaruhi tindakan dalam berhubungan dengan
orang lain dimana individu cenderung sulit bagi perawat untuk
mendapatkan data yang akurat. Ketrampilan berkomunikasi yang baik
sangat dibutuhkan oleh perawat untuk dapat menggali data yang akurat
dari klien. perawat harus menunjukkan sikap sebagai orang yang bisa
dipercaya untuk dapatmenjaga rahasia klien.
4. Unknown
Unknown area atau area tidak dikenal merupakan wilayah yang
sangat kritis dalam komunikasi. Kondisi ini disebabkan karena individu
tidak mengenal dirinya sendiri dan orang lain tidak bisa mengenal individu
tersebut. Pada klien dengan gangguan jiwa seringkali terjadi individu tidak
menyadari dan tidak mengetahui tindakan yang sedang dilakukan, motif,
kebutuhan yang tidak disadari atau didesak ke dalam bawah sadar
sehingga tidak dapat dikenal lagi dan orang lain pun tidak dapat
mengetahui apa kemauan dari individu tersebut. sikap yang diperlukan
oleh perawat dalam area ini adalah mencoba untuk mengetahui jalan,
bentuk, dan isi pikir dari individu tersebut sehingga perawat dapat
mengembalikan klien pada kondisi pemikiran yang realistis tanpa
menentang keyakinan atau perasaannya.
Tiga prinsip yang yang dapat dipelajari dari Johari Window adalah sebagai
berikut:
1. Perubahan pada salah satu kuadran akan mempengaruhi kuadran atau area
yang lain.
2. Jika pada kuadran 1 yaitu public self adalah kuadran yang paling kecil,
menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi dan kesadaran diri
individu berada pada tingkat kurang.

42
3. Kuadran atau area 1 yaitu public self yang paling besar dimiliki oleh
individu dengan tingkat kesadaran diri yang tinggi.

D. Komponen utama dalam hubungan terapeutik


Kunci dalam membina hubungan terapeutik antara perawat dengan pasien
adalah perawat menggunakan diri sendiri secara terapeutik. Oleh karena itu,
dalam membina hubungan terapeutik seorang perawat harus memiliki kualitas
diri yang bagus. Kualitas diri yang harus dimiliki oleh perawat untuk membina
hubungan terapeutik sebagai berikut (Sarfika, Maisa, & Windy Freska, 2018;
Stuart, 2013):
1. Kesadaran diri (self awareness)
Perawat sebagai penolong harus mampu menjawab pertanyaan
“siapakah saya?”, “perawat seperti apakah saya ini?”. Perawat harus
belajar untuk menghadapi kondisi emosional pribadi seperti kecemasan,
kesedihan, kemarahan yang mungkin terjadi pada klien dalam menghadapi
masalah kesehatannya. Perawat harus mampu memahami perasaan,
perilaku, dan pikiran secara peribadi maupun sebagai pemberi asuhan
keperawatan dan memperhatikan kebutuhan biologis, psikologis, dan
sosial-kultural klien dari sudut pandang klien.
2. Klarifikasi nilai
Klarifikasi nilai adalah metode agar individu mampu menemukan
nilai-nilai dengan mengkaji, mengeksplorasi, dan menentukan nilai-nilai
pribadi serta bagaimana nilai-nilai tersebut digunakan dalam mengambil
keputusan. Perawat yang sadar terhadap nilainya, akan lebih sensitif dalam
melakukan tindakan. Langkah-langkah proses klarifikasi nilai diantaranya
yaitu:
a. Memilih (choosing): kebebasan untuk memilih dari beberapa alternatif
setelah memperlihatkan secara teliti konsekuensi-konsekuensi dari
setiap alternative

43
b. Memberikan penghargaan (prizing): memberikan penghargaan dan
merasa gembira dengan pilihannya. Keinginan untuk mempertahankan
pilihan didepan umum.
c. Tindakan (acting): mengerjakan sesuatu dengan pilihannya dan
mengulanginya pada beberapa pola kehidupan yang lain
3. Eksplorasi perasaan
Mengungkapkan perasaan merupakan hal yang perlu dilakukan
agar perawat terbuka dan sadar terhadap perasaannya sehingga dapat
mengontrol perasaannya. Individu yang tidak mampu mengungkapkan
perasaannya dapat merusak interaksinya dengan orang lain. Eksplorasi
adalah tehnik untuk menggali perasaan, pikiran dan pengalaman klien. Hal
ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin,
menutup diri atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan
tehnik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut,
tertekan dan terancam. Eksplorasi perasaan bertujuan untuk mencari atau
menggali lebih jauh atau lebih dalam masalah yang dialami klien. Tehnik
ini bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan gambaran yang detail
tentang masalah yang dialami klien.
Agar perawat dapat berperan efektif dan terapeutik harus
menganalisa dirinya melalui eksplorasi perasaan. Seluruh prilaku dan
pesan yang disampaikan perawat (verbal dan non verbal ) hendaknya
bertujuan terapeutik untuk klien.dengan mengenal dan menerima diri
sendiri, perawat akan mampu mengenal dan menerima keunikan
klien.analisa hubungan intim yang terapeutik antara perawat klien perlu
dilakukan untuk evaluasi perkembangan hubungan dan menentukan tehnik
dan keterampilan yang tepat dalam setiap tahap untuk mengatasi masalah
klien dengan prinsip disini dan saat ini (here and now).
Eksplorasi perasaan yaitu mengkaji atau menggali perasaan-
perasaan yang muncul sebelum dan sesudah berinteraksi dengan orang
lain, dimana eksplorasi perasaan membantu seseorang untuk
mempersiapkan objektif secara komplit dan sikap yang sangat

44
berpengaruh.ini menggambarkan tentang ketidakbenaran. Objektif yang
komplit dan sikap yang sangat berpengaruh dijabarkan sebagai seseorang
adalah tidak responsif, kesalahan, mudah ditemui, tidak mengenai orang
tertentu dimana mutu hubungan terapeutik perawat sangat terbuka, sadar
dan kontrol diri, akal, perasaan dimana dapat membantu pasien.
4. Role model
Berperan sebagai role model artinya menggunakan diri sebagai alat
melalui contoh yang ditampilkan oleh perawat. Perawat yang memiliki
kepribadian yang baik dapat melakukan tindakan secara profesional
maupun model yang baik bagi klien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kekuatan model peran dalam membentuk perilaku adaptif dan maladaptif.
Jadi, perawat memiliki kewajibab untuk menjadi model peran yang adaptif
dan menumbuhkan perilaku produktif kepada klien.
5. Altruisme
Altruisme merupakan tindakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa
pamrih atau mengharapkan imbalan dari orang lain. Altruisme memberikan
perhatian penuh kepada klien, memberikan pertolongan dengan segera
pada saat klien tidak mampu melakukan suatu tindakan. Altruisme
merupakan lawan dari egoisme. Perawat yang mempunyai karakter
altruisme akan merasakan kepuasaan pribadi dalam melakukan setiap
asuhan keperawatan kepada kliennya. perawat yang memiliki jiwa
altruisme akan mampu menjawab pertanyaan “kenapa saya ingin
membantu orang lain?”. Altruisme terbentuk jika ada ketertarikan untuk
membantu orang lain karena didasari cinta dan kemanusiaan.
Perilaku yang menunjukkan altruisme menurut teori Myers
diantaranya yaitu:
a. Memberikan perhatian terhadap orang lain.
Membantu orang lain karena atas dasar kasih sayang, pengabdian,
kesetiaan yang diberikan tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan
balasan dari orang lain

45
b. Membantu orang lain.
Membantu orang lain atas dasar keinginan yang tulus dan dari hati
nurani tanpa adanya paksaan dan pengaruh dari orang lain
c. Meletakkan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri sendiri.
Ketika membantu orang lain, segala kepentingan pribadi
dikesampingkan dan lebih mengutamakan kepentingan orang lain atau
kepentingan umum.
6. Etik dan bertanggung jawab
Perawat sebagai profesi mempunyai kode etik dan tanggung jawab tertentu
yang menggambarkan nilai-nilai dalam melakukan asuhan keperawatan.
Perawat perlu memahami dan menggunakan kode etik pada setiap tugas-
tugasnya.

Klarifikasi
nilai

Etik dan
Eksplorasi
tanggung
perasaan
jawab
Self
awareness

Altruisme Role model

Gambar 3.2 Komponen hubungan Terapeutik

46
E. Penilaian hasil proses interaksi
Penilaian hasil proses interaksi dilakukan dengan melakukan evaluasi hasil
hubungan terapeutik dengan pasien. Hal – hal yang perlu diperhatikan oleh
perawat dalam tahapan ini adalah sebagai berikut (Sarfika et al., 2018):
1. Melakukan evaluasi objektif dengan mengevaluasi pencapaian tujuan
interaksi yang telah dilakukan
2. Melakukan evaluasi subjektif dengan menanyakan perasaan klien setelah
berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu.
3. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan
4. Melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya meliputi topik yang akan
dibahas atau dilaksanakan, waktu, dan tempat pertemuan.

47
BAB IV
Kebijakan Terkait Pelayanan Kesehatan Jiwa

A. Kebijakan terkait pelayanan kesehatan/ keperawatan jiwa


Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya(O’Brien, Kennedy,
& Ballard, 2014). Kebijakan terkait pelayanan kesehatan/keperawatan jiwa
telah diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2014
tentang Kesehatan Jiwa yang terdiri dari 10 Bab dan 91 pasal. Upaya
kesehatan jiwa memiliki tujuan sebagai berikut (Undang - Undang Republik
Indonesia No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, 2014):
1. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik,
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan
dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa
2. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi
kecerdasan
3. Memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi
OMDK dan ODGJ berdasarkan hak asasi manusia
4. Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif dan
berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif bagi ODMK dan ODGJ
5. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam upaya
kesehatan jiwa
6. Meningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan
7. Memberikan kesempatan kepada ODMK dan ODGJ untuk dapat
memperoleh haknya sebagai warga negara Indonesia

48
Upaya Kesehatan Jiwa
Upaya Kesehatan jiwa dapat dilakukan dengan kegiatan berbagai kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan oleh
pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat. Upaya ini dilaksanakan
secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan sepanjang siklus
kehidupan manusia. Upaya – upaya tersebut diantaranya yaitu:
1. Promotif
Upaya promotif merupakan suatu kegiatan dan/atau rangkaian
kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa yang bersifat promosi
kesehatan jiwa yang ditujukan untuk:
a. Mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat
secara optimal
b. Menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai bagian dari masyarakat
c. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap
kesehatan jiwa dan
d. Meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap
kesehatan jiwa
Upaya romotif dapat dilaksanakan dalam berbagai lingkungan. Upaya
promotif di lingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan
pola komunikasi dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan jiwa yang sehat.
Upaya promotif di lingkungan lembaga pendidikan dilaksanakan
dalam bentuk:
a. Menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan jiwa; dan
b. Keterampilan hidup terkait Kesehatan Jiwa bagi peserta didik sesuai
dengan tahap perkembangannya.

49
Upaya promotif di lingkungan tempat kerja dapat dilaksanakan dalam
bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa,
serta menciptakan tempat kerja yang kondusif untuk perkembangan jiwa
yang sehat agar tercapai kinerja yang optimal.
Upaya promotif di lingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk
komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa, serta
menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif untuk pertumbuhan
dan perkembangan jiwa yang sehat.
Upaya promotif di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan
dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
Kesehatan Jiwa dengan sasaran kelompok pasien, kelompok keluarga, atau
masyarakat di sekitar fasilitas pelayanan kesehatan.
Upaya promotif di media massa dilaksanakan dalam bentuk:
a. penyebarluasan informasi bagi masyarakat mengenai Kesehatan Jiwa,
pencegahan, dan penanganan gangguan jiwa di masyarakat dan
fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa;
b. pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwa dan ODGJ dengan
tidak membuat program pemberitaan, penyiaran, artikel, dan/atau
materi yang mengarah pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap
ODGJ; dan
c. pemberitaan, penyiaran, program, artikel, dan/atau materi yang
kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan Kesehatan Jiwa.
Upaya promotif di lingkungan lembaga keagamaan dan tempat ibadah
dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
Kesehatan Jiwa yang diintegrasikan dalam kegiatan keagamaan.
Upaya promotif di lingkungan lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan dilaksanakan dalam bentuk:
a. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman warga binaan
pemasyarakatan tentang kesehatan jiwa
b. Pelatihan kemampuanadaptasi dalam masyarakat dan

50
c. Menciptakan suasana kehidupan yang kondusif untuk kesehatan jiwa
warga binaan pemasyarakatan

2. Preventif
Upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah
terjadinya masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. Upaya preventive
ditujukan untuk:
a. mencegah terjadinya masalah kejiwaan;
b. mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa;
c. mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara
umum atau perorangan; dan/atau
d. mencegah timbulnya dampak masalah psikososial.
Upaya preventif dapat dilaksanakan dilingkungan keluarga,
lembaga dan masyarakat. Upaya preventif di lingkungan keluarga
dilaksanakan dalam bentuk pengembangan pola asuh yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan jiwa, komunikasi, informasi, dan edukasi
dalam keluarga, serta kegiatan lain sesuai dengan perkembangan
masyarakat.
Upaya preventif di lingkungan lembaga dapat dilaksanakan dalam
bentuk menciptakan lingkungan lembaga yang kondusif bagi
perkembangan Kesehatan Jiwa, memberikan komunikasi, informasi, dan
edukasi mengenai pencegahan gangguan jiwa; serta menyediakan
dukungan psikososial dan Kesehatan Jiwa di lingkungan lembaga.
Lingkungan masyarakat dapat melaksanakan upaya preventif
dalam bentuk menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif,
memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan
gangguan jiwa; serta menyediakan konseling bagi masyarakat yang
membutuhkan.
3. Kuratif
Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan
terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan

51
yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di
lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat. Upaya kuratif Kesehatan
Jiwa ditujukan untuk:
a. penyembuhan atau pemulihan;
b. pengurangan penderitaan;
c. pengendalian disabilitas; dan
d. pengendalian gejala penyakit.
4. Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif Kesehatan Jiwa merupakan kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk
mencegah atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial,
memulihkan fungsi okupasional, dan mempersiapkan dan memberi
kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat. Upaya rehabilitatif ODGJ
meliputi:
a. rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial
Upaya rehabilitasi psikiatrik dan psikososial dilaksanakan sejak
dimulainya pemberian pelayanan Kesehatan Jiwa terhadap ODGJ.
b. rehabilitasi sosial.
Upaya rehabilitasi sosial dilakukan secara persuasif, motivatif, atau
koersif, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun panti sosial. Upaya
rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk:
1) motivasi dan diagnosis psikososial;
2) perawatan dan pengasuhan;
3) pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
4) bimbingan mental spiritual;
5) bimbingan fisik;
6) bimbingan sosial dan konseling psikososial;
7) pelayanan aksesibilitas;
8) bantuan sosial dan asistensi sosial;
9) bimbingan resosialisasi;
10) bimbingan lanjut; dan/atau

52
11) rujukan.

Sistem Pelayanan Kesehatan Jiwa


Untuk melaksanakan Upaya Kesehatan Jiwa, Pemerintah
membangun sistem pelayanan Kesehatan Jiwa yang berjenjang dan
komprehensif yang terdiri dari pelayanan Kesehatan Jiwa dasar; dan
pelayanan Kesehatan Jiwa rujukan. Pelayanan Kesehatan Jiwa dasar
merupakan pelayanan Kesehatan Jiwa yang diselenggarakan terintegrasi
dalam pelayanan kesehatan umum di Puskesmas dan jejaring, klinik
pratama, praktik dokter dengan kompetensi pelayanan Kesehatan Jiwa,
rumah perawatan, serta fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan
fasilitas rehabilitasi berbasis masyarakat. Pelayanan Kesehatan Jiwa
rujukan terdiri atas pelayanan Kesehatan Jiwa di rumah sakit jiwa,
pelayanan Kesehatan Jiwa yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan
umum di rumah sakit, klinik utama, dan praktik dokter spesialis
kedokteran jiwa

Sumber Daya dalamUpaya kesehatan Jiwa


Sumber daya dalam Upaya Kesehatan Jiwa terdiri atas sumber
daya manusia di bidang Kesehatan Jiwa, fasilitas pelayanan di bidang
Kesehatan Jiwa, perbekalan Kesehatan Jiwa, teknologi dan produk
teknologi Kesehatan Jiwa; serta pendanaan Kesehatan Jiwa. Tenaga lain
yang terlatih di bidang Kesehatan Jiwa berperan sebagai mitra tenaga
kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa dalam
menyelenggarakan Upaya Kesehatan Jiwa
Pemerintah menyusun perencanaan, pengadaan dan peningkatan
mutu, penempatan dan pendayagunaan, serta pembinaan sumber daya
manusia di bidang Kesehatan Jiwa, dalam rangka penyelenggaraan
program Kesehatan Jiwa yang berkesinambungan. Perencanaan sumber

53
daya manusia di bidang Kesehatan Jiwa dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:
a. jenis upaya penyelenggaraan Kesehatan Jiwa yang dibutuhkan oleh
masyarakat;
b. jumlah fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa; dan
c. jumlah tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa
yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan Kesehatan Jiwa.

Fasilitas Pelayanan di Bidang Kesehatan Jiwa


Fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa meliputi fasilitas
pelayanan kesehatan; dan fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan
fasilitas pelayanan berbasis masyarakat. Fasilitas pelayanan di bidang
Kesehatan Jiwa meliputi Puskesmas dan jejaring, klinik pratama, dan
praktik dokter dengan kompetensi pelayanan Kesehatan Jiwa, rumah sakit
umum, rumah sakit jiwa, dan rumah perawatan menyelenggarakan
pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan
berbasis masyarakat meliputi praktik psikolog, praktik pekerja sosial, panti
sosial, pusat kesejahteraan sosial, pusat rehabilitasi sosial, rumah
pelindungan sosial, pesantren/institusi berbasis keagamaan, rumah
singgah, dan lembaga kesejahteraan sosial. Fasilitas ini
menyelenggarakan pelayanan kuratif harus bekerja sama dengan fasilitas
pelayanan kesehatan.

Tugas, Tanggung Jawab, dan Wewenang Pemerintah


Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertugas dan bertanggung
jawab mengadakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Kesehatan
Jiwa kepada masyarakat secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan
penatalaksanaan terhadap ODGJ yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau
mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum

54
Dalam melaksanakan Upaya Kesehatan Jiwa Pemerintah
berwenang:
a. menyusun program;
b. mengintegrasikan Upaya Kesehatan Jiwa ke dalam sistem pelayanan
kesehatan;
c. mengatur dan menjamin ketersediaan sumber daya dalam Upaya
Kesehatan Jiwa; dan
d. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Upaya Kesehatan
Jiwa.
Dalam melaksanakan Upaya Kesehatan Jiwa sebagaimana
dimaksud Pemerintah Daerah berwenang:
a. mengadakan dan mendayagunakan sumber daya manusia di bidang
Kesehatan Jiwa yang akan bekerja di fasilitas pelayanan di bidang
Kesehatan Jiwa
b. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Upaya Kesehatan
Jiwa dan sumber daya dalam Upaya Kesehatan Jiwa

Peran Serta Masyarakat


Masyarakat dapat berperan serta dalam Upaya Kesehatan Jiwa.
Peran serta masyarakat dapat dilakukan secara perseorangan dan/atau
berkelompok. Peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan cara:
a. memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas, serta sarana dan prasarana
dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa;
b. melaporkan adanya ODGJ yang membutuhkan pertolongan;
c. melaporkan tindakan kekerasan yang dialami serta yang dilakukan
ODGJ;
d. menciptakan iklim yang kondusif bagi ODGJ;
e. memberikan pelatihan keterampilan khusus kepada ODGJ;
f. memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya peran
keluarga dalam penyembuhan ODGJ; dan
g. mengawasi fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa.

55
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan,
penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan
pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap ODMK dan
ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ,
dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

B. Hak asasi manusia dan kaidah etik terkait dengan klien gangguan
kesehatan jiwa
Kaidah etik terkait hak - hak klien dengan gangguan jiwa mengacu pada
Undang Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan Jiwa yang
Memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi
OMDK dan ODGJ berdasarkan hak asasi manusia pada Bab V pasal 68 -70
yang memuat tentang:
1. Hak dan Kewajiban Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK)
Orang Dengan masalah Kejiwaan memiliki kewajiban untuk
memelihara kesehatan jiwanya dengan cara menjaga perilaku, kebiasaan,
gaya hidup yang sehat, dan meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan sosial. Selain itu ODMK juga memiliki hak antara lain:
a. mendapatkan informasi yang tepat mengenai Kesehatan Jiwa;
b. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan
kesehatan yang mudah dijangkau;
c. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar
pelayanan Kesehatan Jiwa;
d. mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan
jiwanya termasuk tindakan yang telah maupun yang akan diterimanya
dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa;
e. mendapatkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan jiwa; dan
f. menggunakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan pertumbuhan
dan perkembangan jiwa.
2. Hak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

56
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) memiliki hak yang diatur
dalam perundang – undangan diantaranya yaitu:
a. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan
kesehatan yang mudah dijangkau;
b. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar
pelayanan Kesehatan Jiwa;
c. mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuai
dengan kebutuhannya;
d. memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan
terhadapnya;
e. mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan
jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang
akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang
Kesehatan Jiwa;
f. mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan,
eksploitasi, serta diskriminasi;
g. mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguan jiwa;
dan
h. mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan
kepadanya.

C. Contoh kasus penyelesaian masalah hak asasi manusia dan kaidah etik
terkait dengan klien gangguan kesehatan jiwa
1. Contoh kasus
TEMPO.CO,Semarang - Sebanyak 511 kasus pemasungan
terhadap orang dengan gangguan jiwa terjadi di Jawa Tengah sejak
Januari hingga September 2019. Dari jumlah tersebut,115 orang di
antaranya berhasil dibebaskan.
Catatan jumlah pemasungan orang di Jawa Tengah cukup tinggi
selama dua tahun terakhir. Pada 2018, sebanyak 654 kasus pemasungan
terjadi berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jateng.Sementara
pada 2017 ditemukan 364 kasus pemasungan."Karena semakin
pedulinya masyarakat sekitar untuk melaporkan,"kata Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Jateng, Yulianto Prabowo, Rabu 6 November 2019.

57
Menurut dia, pemasungan terjadi karena keluarga tidak memahami cara
pengobatan orang dengan gangguan jiwa. Sehingga keluarga memilih
menyembunyikan dibandingkan membawa ke rumah sakit."Kami
memberi pemahaman kepada keluarga untuk melepas.Setelah dilepas
proses pertama dibawa ke rumah sakit. Setelah dinyatakan sehat secara
medis,nanti kita rujuk kembali ke keluarga atau ke
panti,"tuturnya.Yulianto mengaku terus berupaya mewujudkan Provinsi
Jateng bebas pasung pada orang dengan gangguan jiwa.Di antaranya
melalui kolaborasi dengan Dinas Sosial untuk bekerja sama
dalam penemuan penderita,Penanganan medis,hingga pelayanan
rehabilitasi.Bentuk kolaborasi tersebut yaitu dengan menjemput orang
dengan gangguan jiwa dibawa ke rumah sakit jiwa.Mereka akan
mendapat penanganan di RSJ dan rehabilitasi. "Jika dirasa sudah bisa
mandiri,dikembalikan ke keluarga atau masyarakat,"kata Kepala Dinas
Sosial Provinsi Jateng,Yusadar Armunanto.Menurut dia,selama ini
penanganan tersebut terkendala daya tampung panti yang terbatas dan
keluarga yang menolak menerima kembali setelah purna bina dari panti
atau RSJ. Serta perubahan waktu perawatan pasien di RSJ membuat
pelayanan kesehatan kurang maksimal.(Nashr, 2019)
2. Analisa Kasus
Pemasungan di Indonesia menjadi masalah yang perlu
diperhatikan, Pemerintah melalui Menteri Kesehatan RI, pada tanggal 10
Oktober 2010 telah meluncurkan program bebas pasung yang akan dicapai
pada tahun 2014. Namun, direvisi kembali menjadi Program Indonesia
Bebas Pasung 2019.
Perawat kesehatan jiwa komunitas berperan sebagai pemberi
layanan asuhan keperawatan, pendidik dan koordinator kegiatan dalam
pelaksanaan program bebas pasung. Layanan kesehatan terhadap penderita
pasung bukan hanya sekedar melepas tetapi harus dilanjutkan dengan
asuhan keperawatan dan pengobatan, setelah itu dilanjutkan dengan latihan
self care, sehingga dapat mandiri dan dapat bekerjadan produktif kembali.
Program bebas pasung akan terlaksana apabila perawat memiliki motivasi
bekerja dalam melaksanakan program bebas pasung. Peran perawat
sebagai koordinator program bebas pasung, membuat perawat dalam satu
posisi penting (Rahman, Marchira, & Rahmat, n.d.).

58
Peran serta masyarakat dalam penanggulangan pemasungan pada
orang dengan gangguan jiwa sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan
Gangguan Jiwa dilaksanakan melalui (Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang
Dengan Gangguan Jiwa, 2017):
a. Keterlibatan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan;
b. Pemberian informasi, edukasi, dan bimbingan;
c. Pemberian dukungan dalam bentuk finansial, materiil, dan sosial;
d. Pembentukan dan pengembangan kelompok bantu diri serta organisasi
konsumen dan keluarga; dan
e. Sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan
kebijakan teknis dan/atau pelaksanaan Penanggulangan Pemasungan
pada ODGJ.
3. Kaidah Etik
Kaidah Etik dalam kasus yang dijelaskan diatas mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang
Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa dengan
tujuan sebagai berikut:
a. Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa masih menjadi
masalah kesehatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan
dan merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia;
b. Untuk mencapai Indonesia bebas pasung perlu dilakukan berbagai
upaya penyelenggaraan penanggulangan pemasungan pada orang
dengan gangguan jiwa;
Dasar hukum dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun
2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan
Gangguan Jiwa adalah:
a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

59
d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
e. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilties
f. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
h. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015- 2019 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 144);
i. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan
Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
j. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat
k. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
l. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga
m. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Pada Bab I Peraturan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54
Tahun 2017 memuat mengenai ketentuan umum pada penanggulangan
pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa yang terdiri dari dua pasal,
isi dari kedua pasal tersebut adalah:
a. Pasal 1
1) Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga

60
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya.
2) Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ
adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala
dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
orang sebagai manusia.
3) Pemasungan adalah segala bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh
keluarga atau masyarakat yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan ODGJ, termasuk hilangnya hak atas pelayanan
kesehatan untuk membantu pemulihan.
4) Penanggulangan Pemasungan adalah upaya pencegahan,
penanganan, dan rehabilitasi bagi ODGJ dalam rangka
penghapusan Pemasungan.
5) Rehabilitasi adalah bagian dari rangkaian proses terapi untuk
pemulihan ODGJ melalui pendekatan secara fisik, psikologis dan
sosial.
6) Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
7) Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
8) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.

61
9) Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

b. Pasal 2
1) Menjamin pelayanan kesehatan bagi ODGJ berdasarkan hak asasi
manusia;
2) Menjamin ODGJ mencapai kualitas hidup yang sebaik-baiknya
dan menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan terhadap Pemasungan dan tekanan akibat Pemasungan;
dan
3) Memberikan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
serta pemangku kepentingan lainnya untuk menghapuskan
Pemasungan pada ODGJ.
Pada Bab II Peraturan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54
Tahun 2017 memuat mengenai penyelenggaraan pada penanggulangan
pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa yang terdiri dari:
a. Pengaturan penanggulangan pemasungan pada ODGJ
1) Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan penanggulangan pemasungan pada ODGJ
secara komprehensif dan berkesinambungan untuk mencapai
penghapusan pemasungan
2) Penyelenggaraan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ
melibatkan masyarakat
3) Dalam menyelenggarakan pemasungan sebagaimana dimaksud
ayat 1 dilakukaan koordinasi dan integrasi dengan lintas program
dan lintas sector
b. Penanggulangan Pemasungan
Penanggulangan pemasungan dapat dilakukan melalui:
1) Pencegahan Pemasungan

62
Pencegahan Pemasungan sebagaimana dimaksud dalam ditujukan
untuk meningkatkan derajat kesehatan ODGJ sehingga dapat
berfungsi optimal baik bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
Pencegahan pemasungan dilakukan melalui kegiatan:
a) Advokasi dan sosialisasi;
b) Fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
c) Penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan
terjangkau;
d) Pemberian tata laksana untuk mengontrol gejala melalui terapi
medikasi maupun non medikasi; dan
e) Pengembangan layanan rawat harian (day care).
2) Penanganan Pemasungan
Penanganan Pemasungan ditujukan dari pemasungan dan
mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan
haknya. Penanganan Pemasungan dilakukan melalui kegiatan:
a) Advokasi dan sosialisasi;
b) Fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
c) Pemeriksaan dan tata laksana awal di komunitas;
d) Rujukan ke rumah sakit umum (RSU) atau rumah sakit jiwa
(RSJ);
e) Kunjungan rumah (home visit) atau layanan rumah (home
care);
f) Pengembangan layanan di tempat kediaman (residensial)
termasuk layanan rawat harian (day care); dan
g) Pengembangan kapasitas tenaga kesehatan dan kader
3) Rehabilitasi Pemasungan
Rehabilitasi ditunjukan untuk mencegah terjadinya kembali praktik
pemasungan pada ODGJ dan pemberdayaan ODGJ dalam proses
reintegrasi kemasyarakat serta peningkatan kualitas hidup.
Rehabilitasi sebagaimana dilakukan melalui kegiatan :
a) Advokasi dan edukasi;

63
b) Fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
c) Penyediaan akses ke layanan kesehatan termasuk jaminan
keberlanjutan terapi baik fisik maupun jiwa;
d) Tata laksana untuk mengontrol gejala melalui terapi medikasi
dan non medikasi;
e) Kunjungan rumah (home visit) atau layanan rumah (home
care);
f) Rehabilitasi vokasional dan okupasional;
g) Fasilitasi ODGJ dalam memperoleh modal usaha mandiri atau
lapangan pekerjaan;
h) Pengembangan layanan di tempat
kediaman (residensial) termasuk layanan rawat harian (day
care);
i) Pengembangan kelompok bantu diri serta organisasi konsumen
dan keluarga; dan
j) Fasilitasi proses kembali (reintegrasi) ke keluarga dan
masyarakat.

64
Daftar Pustaka

Ariani, T. A. (2018). Komunikasi Keperawatam. Malang: UMM Press.


Charlier, P., Coppens, Y., Malaurie, J., Brun, L., Kepanga, M., Hoang-Opermann,
V., … Hervé, C. (2017). A new definition of health? An open letter of
autochthonous peoples and medical anthropologists to the WHO. European
Journal of Internal Medicine, 37. https://doi.org/10.1016/j.ejim.2016.06.027
Cramer, P. (2015). Understanding defense mechanisms. Psychodynamic
Psychiatry, 43(4), 523–552. https://doi.org/10.1521/pdps.2015.43.4.523
Elfiky, I. (2009). Terapi Komunikasi Efektif. Jakarta: PT Mizan Publika.
Erwina, I. (2012). Aplikasi Model Adaptasi Roy pada Klien Resiko Perilaku
Kekerasan dengan Penerapan Asertiveness Training di RS Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor. NERS Jurnal Keperawatan, 8(1), 66.
https://doi.org/10.25077/njk.8.1.66-74.2012
Freshwater, D. (2006). Therapeutic Nursing. India: SAGE Publications.
Harahap, R. A., & Putra, F. E. (2019). Buku Ajar Komunikasi Kesehatan. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Hidayat, F., & Keliat, B. A. (2015). Dan Perilaku Kekerasan Dengan Pendekatan
Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Hubungan Interpersonal Peplau.
3(1), 28–42.
Horrocks, R. (2001). Freud Revisited. Psychoanalytic themes in the postmodern
age. 133-135 ST-Freud Revisited. Psychoanalytic them.
Irwan. (2017). Etika dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: CV. Absolute Media.
Knight, C. (2012). Therapeutic Use of Self: Theoretical and Evidence-Based
Considerations for Clinical Practice and Supervision. Clinical Supervisor,
31(1), 1–24. https://doi.org/10.1080/07325223.2012.676370

65
Labola, Y. A. (2018). Dampak stres terhadap individu dan organisasi serta
pengelolaannya. (February).
Laqueur, W., & Laqueur, W. (2018). Part Four. Young Germany, 131–188.
https://doi.org/10.4324/9781315136028-17
Lumban Gaol, N. T. (2016). Teori Stres: Stimulus, Respons, dan Transaksional.
Buletin Psikologi, 24(1), 1. https://doi.org/10.22146/bpsi.11224
Makmun, H. (2017). Life Skill personal Self Awareness. Yogyakarta: Deepublish.
Malinski, V. M., Frey, M. A., Sieloff, C. L., & Norris, D. M. (2002). King’s
conceptual system and theory of goal attainment: Past, present, and future.
Nursing Science Quarterly, 15(2), 107–112.
https://doi.org/10.1177/089431840201500204
Maryam, S. (2017). Strategi Coping: Teori Dan Sumberdayanya. JURKAM:
Jurnal Konseling Andi Matappa, 1(2), 101.
https://doi.org/10.31100/jurkam.v1i2.12
McClelland, H. M. (2002). Nursing theory: utilization & application (2nd edition).
In Accident and Emergency Nursing (Vol. 10).
https://doi.org/10.1054/aaen.2001.0325
Morton, P. G. (2005). Panduan Pemeriksaan Kesehatan dengan Dokumentasi
SOAPIE (2nd ed.). Jakarta: EGC.
Muhith, A., & Siyoto, S. (2018). Aplikasi Komunikasi Terapeutik Nursing &
Health. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Nashr, J. A. (2019, November). ADA 511 KASUS PASUNG ORANG
GANGGUAN JIWA DI JATENG PADA 2019. Tempo. Retrieved from
https://nasional.tempo.co/read/1269078/ada-511-kasus-pasung-orang-
gangguan-jiwa-di-jateng-pada-2019
Neuman, Betty M., Fawcett, J. (2011). The Neuman Systems Model. In M.
Connor (Ed.), Care Planning (5th Ed).
https://doi.org/10.4324/9781315630106-5
O’Brien, P. G., Kennedy, W. Z., & Ballard, K. A. (2014). keperawatan Kesehatan
Jiwa Psikiatrik. EGC.
Pender, Nola J, Carolyn L. Murdaugh, M. A. P. (2014). Health Promotion in

66
Nursing Practice. In Bulletin of Experimental Biology and Medicine (Vol. 7).
https://doi.org/10.1007/BF00841552
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan
Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa. , Pub. L. No. 14, 2018
(2017).
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamental of
Nursing Eight Edition. In Elsevier (8th Ed).
https://doi.org/10.1109/ISCA.2016.31
Rahman, A., Marchira, C. R., & Rahmat, I. (n.d.). Peran dan motivasi perawat
kesehatan jiwa dalam program bebas pasung : studi kasus di Mataram. 287–
294.
Sarfika, N. R., Maisa, E. A., & Windy Freska. (2018). Keperawatan Dasar Dasar
Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan.
Sieloff, C. (2015). King ’ s Conceptual System and Theory of Goal Attainment :
Past , Present , and Future King ’ s Conceptual System and Theory of Goal
Attainment : Past , Present , and Future. (May 2002).
https://doi.org/10.1177/08943180222108895
Smith, M. & Parker, M. (2015). Choosing, Evaluating, and Implementing Nursing
Theories for Practice. In Nursing Theories and Nursing Practice 4th Ed.
Solman, B., & Clouston, T. (2016). Occupational therapy and the therapeutic use
of self. British Journal of Occupational Therapy, 79(8), 514–516.
https://doi.org/10.1177/0308022616638675
Stuart, G. W. (2013). Principle and Practice of Psychiatric Nursing (10th ed.).
Mosby: Elsevier.
Suhariyanto, Hariyati, T. S., Lestari, A., Purnamaria, M., Dja’afara, C., Nonaria,
L., … Gautami, E. (2019). Peningkatan pendidikan pasien dan keluarga
dengan penguatan peran interpersonal champion promosi kesehatan dengan
pendekatan Teori Peplau. Journal of Hospital Accreditation, 01(1), 8–11.
Sukartini, T., Sitorus, R., Waluyo, A., & Darmawan, E. S. (2015). Adherence in
Pulmonary Tuberculosis Patients Based on King’s Interacting Systems
Theory. Jurnal NERS, 10(2), 289.

67
https://doi.org/10.20473/jn.v10i22015.289-295
Susanti, H. (2010). Defisit Perawatan Diri Pada Klien Skizofrenia: Aplikasi Teori
Keperawatan Orem. Jurnal Keperawatan Indonesia, 13(2), 87–97.
https://doi.org/10.7454/jki.v13i2.237
Thoits, P. A. (2011). Mechanisms linking social ties and support to physical and
mental health. Journal of Health and Social Behavior, 52(2), 145–161.
https://doi.org/10.1177/0022146510395592
Undang - Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Jiwa. , Pub. L. No. 185, 2014 (2014).
Wakhid, A., Yani, A., Hamid, S., Cd, H., Akper, ), & Waluyo, N. (2013).
Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan
Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal
Peplau Di Rs Dr Marzoeki Mahdi Bogor. Mei, 1(1), 34–48.
Williams, J. K., Skirton, H., Paulsen, J. S., Tripp-Reimer, T., Jarmon, L.,
McGonigal Kenney, M., … Honeyford, J. (2009). The emotional experiences
of family carers in Huntington disease. Journal of Advanced Nursing, 65(4),
789–798. https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2008.04946.x
World, H. O. (2015). Definisi Sakit.
Wosket, V. (2016). The therapeutic use of self: Counselling practice, research and
supervision: Classic Edition. In The Therapeutic Use of Self: Counselling
Practice, Research and Supervision: Classic Edition.
https://doi.org/10.4324/9780203772263
Yusuf, A.H, F., & ,R & Nihayati, H. . (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366. https://doi.org/ISBN
978-xxx-xxx-xx-x

68

Anda mungkin juga menyukai