Anda di halaman 1dari 164

ILMU HUKUM DI

TENGAH ARUS
PERUBAHAN

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN i


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
ii ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.

ILMU HUKUM DI
TENGAH ARUS
PERUBAHAN

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN iii


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Prof. Dr. Satjipto Raharjdo, S.H.

Ilmu Hukum Di Tengah Arus Perubahan

Editor
Dr. Rachmad Safa’aat, S.H., M.Si.

Penyelia Bahasa
Setiyono Wahyudi, D.Ng.

Cover Design:
Yudista

Layout :
Dayat

Penerbit
Surya Pena Gemilang
Anggota IKAPI Jatim
Jln. Rajawali Tutut Arjowinangun 12
Malang - Jawa Timur
Tlp. 082140357082
Fax. (0341) 751205
e-mail: graha@penagemilang.com

Jumlah: xxv + 138 hlm.


Ukuran: 14 x 21 cm

Juni 2016

ISBN: 978-602-6854-11-7

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

iv ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Kata Sambutan
dari Penulis

Buku ini memuat kumpulan tulisan sebagai tambahan


bacaan bagi para mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum pada
Universitas Diponegoro. Di samping memberi kuliah secara reguler
dalam Ilmu Hukum dan Teori Hukum, secara berkala penulis juga
menulis mengenai berbagai masalah untuk menambah bacaan bagi
para mahasiswa calon doktor.
Karya penulis pada buku kedua yang berjudul Lapisan-Lapisan
dalam Studi Hukum ini berisi kumpulan risalah yang disunting
oleh seorang kandidat doktor yakni Bapak Rachmad Safa’at.
Sedangkan karya penulis yang pertama, berjudul Hukum dalam
Jagad Ketertiban terbit pada tahun 2006 dan disunting oleh Bapak
Mompang Panggabean yang juga seorang kandidat doktor.
Rupanya ada kebutuhan dan kehausan di kalangan akademis
yang lebih luas daripada komunitas Program Doktor Ilmu Hukum
di Universitas Diponegoro akan risalah-risalah dan topik-topik
seperti yang disajikan dalam buku ini. Risalah-risalah dalam buku
ini tidak ditulis untuk kalangan pembaca yang luas, melainkan
untuk mereka yang sedang belajar pada Program Doktor Ilmu
Hukum di Universi­tas Diponegoro. Oleh karena itu, diharapkan
publik atau masyarakat luas yang membaca buku ini memahami
karya penulis yang demikian.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Rachmad Safa’at yang telah berjerih payah menyunting karya
penulis ini dan juga kepada Penerbit Bayumedia yang bersedia
bekerja sama untuk menerbitkannya.

Pleburan, Desember 2008

Satjipto Rahardjo

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN v


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
vi ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Kata Pengantar
Cetakan Kedua
Buku yang ada di tangan pembaca ini, semula
berjudul Lapisan-lapisan Dalam Studi Hukum. Terbitan
pertama tahun 2008 oleh penerbit Bayumedia Malang.
Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, buku ini
sudah habis di pasaran. Respons dan apresiasi kalangan
akademisi, mahasiswa, dan dosen terhadap buku ini sang-
at besar. Sampai saat ini, permintaan untuk memeroleh
buku ini, dari mahasiswa dan dosen ke editor terus meng-
alir. Atas animo dan desakan yang kuat dari para pengge-
mar buku Prof. Dr. Satjipto Raharjo, S.H., (beliau
meninggal tanggal 9 Januari 2010) maka buku ini, oleh
editor buku dicetak ulang dalam upaya memenuhi
tuntutan dari para pecinta buku (pemikiran) beliau.
Secara subtansial, buku ini tidak ada perubahan yang
berarti, hanya ada sedikit perubahan pada judul buku dan
sistematika penyajian. Pada cetakan kedua ini bagian 1
dipindah ke bagian 2 dan sebaliknya. Judul semula
Lapisan Lapisan Dalam Studi Hukum berubah menjadi
Ilmu Hukum Di Tengah Arus Perubahan. Judul ini, seng-
aja dipilih oleh editor didasarkan pada beberapa pertim-
bangan. Pertama, judul pertama buku ini, tidak banyak
dipahami oleh kalangan para penstudi hukum. Bahkan,
mereka acapkali mempertanyakan, apakah secara
keilmuan studi hukum itu berlapis-lapis dan setiap lapi-
san memiliki materi muatan yang spesifik? Pertanyaan
ini memerlukan penjelasan yang panjang yang patut
dijawab oleh para penganut aliran hukum progresif.
Sebenarnya, jika pembaca membaca lebih lanjut substansi
buku ini, maupun pada buku cetakan pertama, semua
pertanyaan tersebut sudah dijawab dengan jelas dan

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN vii


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
terang oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, S.H. Namun,
menghindari perdebatan yang panjang itu, maka buku ini
tampil dengan judul baru yang diambil dari substansi
bagian kedua buku ini. Kedua, untuk menarik perhatian
para pembaca buku dari kalangan para yuris yang belum
mendapatkan buku cetakan pertama. Judul baru ini, lebih
mempresentasikan isi buku yang lebih mengedepankan
pembahasannya tentang keterkaitan perkembangan studi
hukum dengan perkembangan hukum di masyarakat yang
berubah sangat cepat yang patut disikapi oleh para yuris.
Kehadiran buku edisi revisi ini, setidaknya meng-
hapus keingintahuan para mahasiswa dan dosen hukum
atau kalangan akademisi bidang ilmu hukum generasi baru
yang belum mengenal pribadi dan pikiran pikiran Prof.
Tjip (panggilan akrab beliau selama hidup) di bidang ilmu
hukum. Meskipun masih banyak buku beliau yang bisa
dibaca, kehadiran buku ini setidaknya ikut memberikan
semangat baru para penulis buku di bidang ilmu hukum
yang saat ini mulai “sepi” (untuk mengatakan tidak banyak
terbit buku baru di bidang hukum).
Semoga buku ini bermanfaat dan menjadi amal
ibadah almarhum Prof. Tjip, yang pahalanya terus
mengalir jika dibaca dan dikembangakan oleh para
pembaca buku ini. Kritik dan saran yang konstruktif dari
para pembaca yang budiman tetap kami tunggu untuk
perbaikan buku ini.

Malang, 9 Juni 2016


Editor

Rachmad Safa’at
rachmad.safaat@yahoo.com

viii ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Satjipto Rahardjo
Kearifan Sang Profesor Bidang
Sosiologi Hukum

Catatan Penyunting

Sejak tahun 1981, saya diterima sebagai mahasiswa ilmu


hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Pada saat
itu, para dosen pengasuh mata kuliah lebih banyak mengajarkan
bagaimana belajar membaca, memahami, mengerti, dan mene-
mukan kembali hukum dalam perundang-undangan. Dengan demi-
kian tidak heran, lebih dari 90% kurikulum Sarjana SI pada saat
itu syarat dengan mata kuliah yang sifatnya sangat normatif. Tidak
ada penjelasan lebih jauh dari para dosen maupun pengelola pembe-
lajaran, mengapa “struktur kurikulum” bagi Sarjana SI seperti itu?
Setiap memasuki ujian akhir semester, saya dan kawan-
kawan harus berhadapan dengan setumpuk buku yang isinya sangat
normatif dan peraturan perundang-undangan yang harus dibaca
dan dihafalkan di luar kepala. Mulai dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Perdata,
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan setumpuk perundang-
undangan. Buku-buku tersebut saya deret di meja belajar yang ha-
rus dibaca, dihafal, dan dimengerti isinya. Maklum soal ujian acap
kali menanyakan pasal-pasal dan meminta penjelasan atas pasal
tersebut. Jadi, bagi kami pusing, stres, bahkan sifat apatis selalu
saja menyelimuti benak kepala.
Keadaan itu berubah ketika saya memasuki semester lima.
Saya memilih dan menempuh mata kuliah Sosiologi Hukum, yang
saat itu diasuh oleh salah seorang dosen muda bernama Koesno
Adi. Salah satu buku yang diwajibkan untuk dibaca adalah tulisan
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., yang berjudul Hukum dan Ma-
syarakat. Dari mata kuliah itu, saya sedikit memperoleh pencerahan
bahwa pembelajaran ilmu hukum tidak semata-mata mempelajari
setumpuk, peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu yakni
belajar melihat, mengamati, dan menganalisis perilaku hukum

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN ix


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
individu dan masyarakat. Sejak saat itu, muncul kegandrungan
untuk mendalami perkembangan masyarakat dan pengaruhnya
terhadap perubahan dan perilaku hukumnya. Saat itu, juga muncul
keinginan yang kuat untuk bertemu dan berdiskusi tentang berbagai
perkembangan dalam studi hukum dengan Sang Profesor yaitu
Prof, Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Pada tahun 2007, ketika ada tawaran bea siswa I-MHERE
(Indonesia-Managing Higher Education for Relevance and Effici-
ency) dari Universitas Brawijaya untuk studi lanjut S3, saya
mencoba menangkap peluang tersebut untuk mewujudkan
keinginan saya yang telah lama terpendam, yakni bertemu dengan
Sang Profesor. Alhamdulillah keinginan tersebut terwujud dan saya
diterima sebagai mahasiswa S3, Angkatan ke-XIII Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro tempat Sang Profesor
mengajar dan mengabdikan diri. Melalui Mata Kuliah Ilmu dan
Teori Hukum I dan II saya mulai mengenal, mendalami, dan
memahami pemikiran-pemikiran Sang Profesor.
Selama mengenal beliau, dalam diri Prof. Tjip (panggilan
akrab Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.) saya menemukan berbagai
kearifan di dalamnya, yaitu Kearifan Sang Profesor, khususnya
dalam bidang ilmu dan teori hukum yang sangat jarang saya
temukan dalam perjumpaan saya selama ini dengan profesor yang
lain. Berbagai kearifan itu muncul dalam perilaku, tutur kata
sehari-hari, setiap perkuliahan, dan pemikiran beliau. Dalam
perilaku, beliau dikenal sebagai sosok yang santun, menyenangkan,
mudah akrab, dan sangat menghargai pemikiran orang lain serta
mahasiswanya meskipun itu sangat berseberangan dengan pemi-
kiran beliau.
Tutur kata beliau sangat menyejukkan lawan bicara, bahkan
tidak jarang menyegarkan, karena setiap tutur kata beliau selalu
diselingi hal-hal yang lucu dan segar yang membuat lawan bicara
tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Dengan demikian, suasana
kuliah pun terdengar sangat cair dan terbuka. Berhadapan dengan
pemikiran mahasiswa yang beragam dalam tingkat pemahaman
di bidang teori hukum dan ilmu hukum beliau selalu menyatakan
bahwa “We are the equals” sehingga setiap mahasiswa selalu dihar-
gai pemikirannya dan tidak segan-segan mempertanyakan kembali
secara kritis pemikiran Sang Profesor.Lebih lanjut dikatakan,
“Tuan-tuan dan saya mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada

x ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
yang lebih tahu tentang teori hukum dan ilmu hukum. Pemahaman
tuan-tuan tentang teori hukum dan ilmu hukum pada abad kedua
puluh satu ini harus terus dikembangkan dan harus berbeda dengan
pemahaman orang tentang hukum pada abad ke VII, XV, dan Abad
ke XIX.” Demikian tutur beliau dalam mengawali perkuliahan.
Kearifan yang lain saya jumpai selama perkuliahan
berlangsung yang sangat mengagumkan saya dan teman-teman
seangkatan. Setiap mengawali perkuliahan beliau selalu memba-
gikan materi kuliah berupa bahan bacaan mahasiswa PDIH Undip
dan artikel koran Kompas yang selalu aktual dan beliau tulis sendiri
sebagai bahan diskusi. Dalam benak kami selalu muncul perta-
nyaan, bagaimana beliau mengatur waktu untuk menyempatkan
membaca sekaligus menulis di tengah kesibukan beliau. Padahal,
tidak jarang kita temukan lebih dari 20 buku yang dirujuk untuk
sebuah artikel bahan bacaan yang disodorkan kepada mahasiswa
program doktor ilmu hukum. Dalam usianya yang menginjak 79
tahun beliau masih sempat bahkan, sangat produktif menulis bahan
bacaan perkuliahan, artikel koran, bahkan buku. Hal yang demi-
kian itu sulit dicari sandingannya.
Apabila kata kearifan dalam terminologi bahasa diberi makna,
kebijaksanaan atau kecendikiaan (baca Thesaurus Bahasa Indone-
sia yang ditulis oleh Eko Endarmoko, hal. 34, Terbitan Gramedia,
2007), maka kita akan menemukan kebijaksanaan dan kecendikiaan
dalam setiap pemikiran beliau di bidang ilmu dan teori hukum di
dalam setiap bahan bacaan mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum UNDIP, artikel koran, dan buku-buku yang ditulisnya.
Seluruh isi tulisan beliau merupakan hasil sebuah kontemplasi yang
tajam dan mendalam tentang perkembangan ilmu hukum dan teori
hukum.
Dalam perspektif pemikiran beliau, hukum tidaklah statis,
tetapi dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.
Menurut Prof. Tjip “Studi Hukum sampai saat ini belum final.
Perubahan dan transformasi paradigmatig terus berlangsung dari
abad ke abad, mulai dari paradigma positivism, socio-legal dan
sekarang menuju pada paradigma yang lebih baru yaitu deep ecol-
ogy. Setiap tahap perubahan paradigma memiliki implikasi peru-
bahan pada tataran ontology, epistemology dan axiology. Pembe-
lajaran ilmu hukum di masa mendatang ditantang untuk mampu
menerjemahkan dan mengoperasionalkan paradigma deep ecology

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN xi


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
dalam konteks kehidupan sejagad. Untuk itu diperlukan kearifan
holistis dan ekologi dalam (deep ecology) di tengah-tengah jagad
kehidupan”.
Dengan demikian, seluruh materi perkuliahan ilmu dan teori
hukum yang berlangsung pada angkatan ke-XIII, tahun 2007 secara
substansial syarat dengan kontemplasi pemikiran Prof. Tjip atas
perubahan dan transformasi paradigma dalam studi hukum yang
berkembang sampai saat ini. Dalam konteks itulah penyunting men-
coba mendeskripsikan intisari pemikiran beliau yang telah
disampaikan dalam perkuliahan dan bahan bacaan yang disodorkan
kepada Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro.
Istilah paradigma saat ini menjadi sangat popular di kalangan
masyarakat, khususnya kalangan akademisi meskipun dengan
pemaknaan yang berbeda. Seperti halnya istilah teori, istilah
paradigma telah menjadi kosa kata yang memadati pemikiran
akademisi dan ilmuwan di setiap waktu bahkan setiap kesempatan.
Apabila ditelusuri lebih cermat, istilah itu acapkali digunakan sejak
bergulirnya reformasi, khususnya dalam berbagai seminar, simpo-
sium, lokakarya, diskusi, masyarakat awam, dalam debat ilmiah,
atau debat kusir. Dengan demikian, bila berbicara paradigma semua
orang merasa tahu dan akhirnya mungkin saja semua sesungguh-
nya tidak tahu, sebenarnya apa paradigma itu (Salman dan
Sutanto,2004:67).
Paradigma dalam bahasa Inggris paradigm, berasal dari
bahasa Yunani paradeigma yang terdiri atas dua suku kata para
dan dekynai. Suku kata para berarti di samping, di sebelah.
Sedangkan, dekynai artinya memperlihatkan, maksudnya model
contoh, arketipe, ideal. Menurut Oxford English Dictionary, para-
digm atau paradigma adalah contoh atau pola. Akan tetapi, dalam
komunitas ilmiah paradigma dipahami sebagai sesuatu yang lebih
konseptual dan signifikan, meskipun bukan sesuatu yang tabu
untuk diperdebatkan (Salman dan Susanto, 2004). Pakar fisika,
Liek Wilardjo menyebut Ordering be-lief frame work, ketika berbi-
cara tentang paradigma, yaitu suatu kerangka keyakinan dan komit-
men para intelektual. Lebih lanjut dikatakan bahwa paradigma
berarti asumsi-asumsi dasar yang diyakini ilmuwan dan
menentukan cara dia memandang gejala yang ditelaahnya. Ia dapat
meliputi kode etik maupun pandangan dunia yang memengaruhi

xii ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
jalan pikir dan perilaku ilmuwan dalam berolah ilmu (Wilardjo,
1990:134).
Dalam konteks ilmiah, paradigma acapkali juga dipahami
sebagai suatu citra yang fundamental dari pokok permasalahan
dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya
dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemu-
kakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menaf-
sirkan jawaban yang diperolehnya. Dengan demikian, paradigma
adalah ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar,
tempat orang bertolak menjelajah dunia dengan wawasannya
(world-view) (Salim,2001: 33).
Selanjutnya, paradigma juga diartikan sebagai (a) a set of
assumption and (b) beliefs concerning, yaitu asumsi yang dianggap
benar (secara given atau terberi). Untuk dapat sampai pada asumsi
itu harus ada perlakuan empiris (melalui pengamatan) yang tidak
terbantahkan: acceptedassume to be true (Bhaskara, 1989:88-90).
Secara umum, paradigma dapat diartikan sebagai seperang-
kat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang
dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian itu seja-
lan dengan Guba yang dikonsepsikan oleh Thomas S. Kuhn dalam
bukunya yang terkenal, yakni The Struktural ofScientific Revolu-
tion sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu
tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun dalam
penyelidikan ilmiah. (Guba, 1990). Dengan demikian, paradigma
dapat dikatakan sebagai a mental window, tempat terdapat frame
yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena masyarakat
pendukung paradigma telah memiliki kepercayaan.
Dalam gagasan Thomas S. Kuhn, tidak diketemukan makna
teknis apa yang disebut dengan paradigma itu? Akan tetapi, sesuai
dengan pandangan atau teori yang dikembangkannya, paradigma
selalu dikaitkan dengan revolusi keilmuan. Menurut Thomas S.
Kuhn, aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang
mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun
dan terarah pada saat suatu paradigma tunggal dianut oleh suatu
masyarakat ilmiah. Suatu paradigma terdiri atas asumsi-asumsi
teoretis yang umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik untuk
penerapannya yang diterima para anggota suatu masyarakat
ilmiah.
Dalam ranah akademis, ilmuwan mempraktikkan apa yang

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN xiii


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
disebut Kuhn dengan ilmu biasa {normal science). Para ilmuwan
akan menjelaskan dan mengembangkan paradigma dalam usaha
untuk mempertanggungjawabkan dan menjabarkan perilaku
beberapa aspek yang relevan dengan dunia nyata ini. Dalam berbuat
demikian mereka akan tidak terelakkan mengalami kesulitan dan
menjumpai falsifikasi-falsifikasi. Selanjutnya, apabila sudah bebas
dari kesulitan semacam itu, maka berkembanglah keadaan krisis
keilmuan (abnormal science). Krisis keilmuan teratasi bila lahir
paradigma yang baru sepenuhnya dan menarik makin banyak
kepercayaan para ilmuwan, sampai akhirnya paradigma yang telah
menimbulkan problem itu dilepaskan. Paradigma baru yang penuh
dengan janji dan tidak terkurung oleh kesulitan-kesulitan yang
tidak dapat diatasi, sekarang lantas membimbing aktivitas ilmiah
yang baru dan biasa sampai akhirnya ia pun jatuh ke dalam
kesukaran yang serius dan timbullah suatu krisis baru yang diikuti
oleh revolusi baru (Kuhn, 1970, A.F Charlmers,1983 dan Ritzer,
1992).
Konsep paradigma yang diperkenalkan oleh Kuhn kemudian
dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya A Sociology of
Sociology, yang terbit Tahun 1970. Setelah karya itu kemudian
istilah paradigma dipakai dan muncul dalam beberapa pemikir lain
seperti Jenies Bayer Lodahl dan Gerald Gordon (1972) dalam The
Struktur of Science, kemudian Derek Philips (1972) dalam artikel
berjudul Paradigm Falsification and Sociology, menyusul tulisan
Andrew Effrat (1972) Power to the Paradigm
Secara substansial, konsep paradigm Kuhn lebih
menitikberatkan pada suatu yang bersifat metateoretik. Namun
demikian, bila ditelaah secara mendalam, paling tidak menurut
Erlyn Indarti (2000) dalam makalahnya yang berjudul Paradigma
: Jati Diri Cendikia, ada beberapa hal yang dapat diambil dari
pandangan Kuhn tersebut:
a. Paradigma dilihat sebagai model, percontohan, representative,
tipikal, karakteristik atau ilustrasi dari solusi permasalahan
atau pencapaian dalam suatu bidang ilmu pengetahuan.
Pemahaman paradigma berkembang luas meliputi buku-buku
klasik di mana model atau percontohan yang telah diterima
tersebut pertama kali muncul.
b. Paradigma tidak hanya terbentuk oleh teori-teori semata, tetapi
merupakan suatu masterpiece yang mencakup semua unsur

xiv ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
praktik-praktik ilmiah lilmu pengetahuan di dalam sejumlah
area of inquiry atau bidang studi/penelitian yang terspesialisasi.
Paradigma akan menggariskan parameter-parameter penting
mana yang akan diukur, mendefinisikan standar ketepatan
yang dibutuhkan, menunjukkan cara bagaimana (hasil)
observasi akan diinterpretasikan, serta metode eksperimen
mana yang akan dipilih untuk diterapkan.
c. Makna paradigma meliputi keseluruhan koleksi, kelompok,
kombinasi, paduan, campuran dari komitmen yang diterima,
diakui dan diyakini, dianut, dipegang, dipakai atau diterapkan
bersama oleh anggota-anggota komunitas ilmu pengetahuan
tertentu. Lebih luas oleh Kuhn disebut sebagai discipline ma-
trix, yakni sudut pangkal, wadah, tempat, cetakan, sumber
atau kandungan di/dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan
bermula. Bagi Kuhn paradigma sebagai suatu disciplinary
matrix menempati posisi yang betul-betul sentral di dalam
operasi kognitif dari komunitas ilmiah ter-sebut.

Perkembangan paradigma ilmu pengetahuan yang ditulis


oleh Kuhn secara sederhana dan mudah dimengerti dipaparkan oleh
Satjipto Rahardjo. Menurutnya, Perkembangan ilmu pengetahuan
tidak datar-datar saja, tetapi penuh gejolak, demikian halnya
dengan paradigma keilmuan. Selanjutnya, dikatakan bahwa
paradigma adalah nilai, konsep yang paling mendasar yang
mengikat semua disiplin keilmuan pada suatu waktu. Dengan
demikian, semua science mendapat inspirasi merujuk ke paradigma
tersebut. Pada tahap inilah tercapai situasi normal science. Dalam
perkembangannya, situasi normal science tidak bertahan lama,
kemudian masuk dalam situasi pada perubahan paradigma (para-
digm shift) yang selanjutnya menuju pada situasi abnormal sci-
ence. Situasi abnormal science terjadi bila paradigma lama tidak
mampu mewakili dan dijadikan dasar dari disiplin-disiplin ilmu
yang berkembang sehingga muncul paradigma baru yang pada
gilirannya menyebabkan lahirnya normal science yang
meninggalkan paradigma lama (menjadi klasik).
Perubahan, transformasi bahkan revolusi paradigmatis di
bidang keilmuan juga terjadi dan melanda disiplin ilmu hukum.
Pernyataan pentingnya perubahan dan transformasi paradigma di
bidang ilmu hukum secara kritis telah disampaikan oleh beberapa

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN xv


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
ilmuwan, khususnya kalangan ahli hukum (lawyers). Misalnya,
Charles Stamford dalam bukunya The Disorder ofLaw: A Critical
of Legal Theory, dikatakan bahwa hukum harus juga dihadapkan
pada keadaan yang full disorder. Demikian juga Hans Kelsen dalam
bukunya Reine Rechtslehre menyatakan bahwa ilmu hukum tidak
boleh tertinggal, ilmu hukum digarap dan diikat dengan paradigma.
Senada dengan pernyataan Charles Stamford dan Hans
Kelsen, seorang ilmuwan fisika Fritjof Capra juga menyatakan
bahwa sejak akhir dekade abad kedua puluh, manusia menemukan
dirinya dalam keadaan krisis dunia yang mendalam, demikian
Fritjof Capra. Lebih lanjut dikatakan bahwa krisis tersebut adalah
kompleks, berdimensi banyak, dan setiap sisinya menyentuh seka-
lian aspek kehidupan kita. Ia menyentuh kesehatan dan kehidupan,
kualitas lingkungan, hubungan-hubungan sosial, ekonomi, tekno-
logi, dan politik. Selanjutnya, Capra mengatakan bahwa perkem-
bangan ilmu pengetahuan saat ini mengalami krisis sebagaimana
dinyatakan oleh Fritjof Capra dalam bukunya The TurningPoint.
Dengan bagus, Fritjof Capra, sebagaimana dikutip oleh Satjipto
Raharjo mengatakan bahwa kita sekarang berada pada titik pusaran
balik (turning point). Capra mengatakan, bahwa kita sekarang
berada dalam keadaan krisis multidimensional, yaitu intelektual,
moral, dan spiritual. Lebih lanjut dikatakannya, “To understand
our multifaceted cultural crisis we need to adopt an extremely broad
view and see our situation in the con­text of human cultural evolu­
tion.” (Capra, 1983). Lalu dengan bernas dikatakannya, “.. have
brought about a profound change in our world view; from the mecha-
nistic conception of Descartes and Newton to a holistic and eco-
logical view,…”.
Selanjutnya, dikatakan oleh Capra bahwa struktur dari dunia
fisik tidak lagi mekanis, bukan lagi seperti mesin, melainkan sudah
menjadi kenyataan yang nonmekanis. Jaringan kosmik dipahami
sebagai sesuatu yang secara intrinsik adalah dinamis. Setiap
deskripsi mengenai fenomena alam harus memperhitungkan teori
relativitas. Memang ada stabilitas, tetapi stabilitas itu berada dalam
keseimbangan yang dinamis. Kita berada pada the turning point,
demikian Capra menyatakan.
Menurut Prof. Tjip, baik itu Capra, atau Hans Kelsen maupun
Charles Stamford atau yang lain, mereka menunjukkan betapa
dunia kita dipenuhi oleh kompleksitas, relativitas, ketidakstabilan,

xvi ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
dan hal-hal yang seperti itu. Kita memerlukan pendekatan yang
beda, yang bersifat holistis, demikian Capra. Perubahan-perubahan
tidak terbatas dalam bidang ilmu pengetahuan fisika, melainkan
sudah melebar kepada proses berpikir manusia secara umum,
termasuk di dalamnya ilmu hukum (Rahardjo, 2007).
Gelombang pemikiran yang bersifat transformatif
paradigmatig dalam dunia keilmuan yang berimplikasi pada studi
hukum sebagaimana ditulis dalam buku ini ternyata tidak eksklusif
ditujukan dan diperlukan bagi mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum UNDIP.
Menurut pengamatan dan pemikiran kami (Mahasiswa
Angkatan XIII), bahan bacaan ini juga ditujukan pada kalangan
akademis yang lebih luas, profesional, pendidik, para ahli hukum
maupun perangkat penegak hukum bahkan masyarakat awam.
Pemahaman hukum yang komprehensif, integral, dan holistis
sangat diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya
masyarakat Indonesia yang saat ini memasuki tahap reformasi di
segala bidang.
Berangkat dari dasar pemikiran itulah, kemudian saya dan
teman-teman angkatan XIII Periode Tahun 2007/2008 PDIH
UNDIP, khususnya Agus Nurudin seorang pengacara yang selalu
gelisah dengan profesinya, Tisnanta seorang filsuf muda dari Lam-
pung yang selalu berpikiran nyeleneh serta teman-teman yang lain,
seperti Hidayatullah, Abd. Jamil, Rohidin, Sukresno, dan Sri Endah
Wahyuningsih yang selalu mencoba berijtihad dalam mengaitkan
paradigma perkembangan hukum Islam ke dalam ilmu dan teori
hukum. Demikian juga Saudari Reni Widyastuti, Danang Wahyu,
Erdianto, Hibnu Nugroho, Muhammad Akib, Murzal, Ni Ketut
Supasti Dharmawan, Nur Sulistyo, Retno Saraswati, Ridwan, Sri
Lestariningsih, Theresia Anita Christiani, Tunjung Hening Sita
Buana, Umbu Lily Pakuwali, Udiyo Basuki, Winanrno, Yanto
Supriadi serta Yohanes Suhardin dengan segala antusiasme
meminta kepada Sang Profesor agar seluruh bahan bacaan
mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
yang disampaikan pada Angkatan XIII mulai dari September 2007
sampai September 2008 mulai dari Nomor 22 sampai 31 dapat
diterbitkan menjadi buku. Alhamdulillah permintaan tersebut
dikabulkan oleh Sang Profesor. “Silakan dibukukan dan diterbit-
kan”, ujar beliau saat kami memohon.

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN xvii


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Ide atau gagasan menjadikan bahan bacaan kuliah ini menjadi
buku juga diilhami oleh Saudara Mompang L. Panggabean yang
telah menyunting bahan bacaan perkuliahan Prof. Tjip pada masa
perkuliahannya dengan judul buku Hukum dalam Jagad Ketertiban
yang diterbitkan oleh UKI Press Jakarta Tahun 2006. Saudara
Mompang L. Panggabeaan selalu disebut-sebut sebagai asisten parti-
kelir dan memiliki peran dan kesan khusus di hati Sang Profesor.
Selang beberapa lama setelah Prof. Tjip menyetujui dan
mengamini seluruh bahan ajar untuk Angkatan XIII dijadikan buku.
Saya bertemu dengan Direktur Penerbit Buku PT Bayumedia yang
berada di Kota Malang, Mas Chamim Thohari untuk menerima
naskah buku untuk diterbitkan. Setelah melalui proses editing dan
penyuntingan yang cermat dan teliti jadilah draft buku dengan judul
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum. Judul buku ini diambil dari
salah satu bahan bacaan beliau yang juga dimuat dalam buku ini.
Draft buku ini kemudian sempat dibaca ulang oleh Prof. Tjip
pertengahan Oktober 2008. Secara substansial draf buku ini diterima
dengan sedikit revisi di dalamnya dengan disertai satu permintaan
agar saya sebagai penyunting juga menyertakan Catatan
Penyunting dalam penerbitan buku ini. Permintaan ini merupakan
Kearifan Sang Profesor di sisi yang lain. Beliau memberikan
kepercayaan penuh pada saya sebagai mahasiswanya yang
merupakan seorang pemula dalam pembelajaran ilmu dan teori
hukum. Konsistensi beliau ketika mengatakan We are the Equals
telah diwujudkan dalam permintaan beliau kepada saya untuk
menyunting buku ini.
Materi buku ini secara garis besarnya dibagi dalam dua
bagian, yaitu Bagian Pertama tentang Lapisan-Lapisan dalam Studi
Hukum dan Bagian Kedua tentang Dinamika Studi Hukum dalam
Arus Perubahan. Pada bagian pertama berisi: (1) lapisan-lapisan
dalam studi hukum, (2) berpikir dalam hukum, (3) hukum di mata
bukan ahli hukum, (4) memunculkan kekuatan hukum dan, (5)
perjalanan panjang “Rule of Law”. Sedangkan pada bagian kedua
berisi tentang : (1) ilmu hukum di tengah arus perubahan, (2)
berpikir hukum secara sosial, (3) kemajemukan sebagai konsep
hukum, (4) filsafat penelitian hukum secara sosial, serta (5) hidup
di luar hukum negara (“Keboromo”, “Comas” dan “Pasargada” ).
Ternyata, buku yang ada di hadapan kita ini bukan karya
beliau yang terakhir. Dalam pertemuan dengan beliau di rumahnya,

xviii ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
tepatnya tanggal 16 November 2008, Sang Profesor menyatakan
“Saya akan menyiapkan sebuah tulisan yang lain untuk diterbitkan
sebagai buku”. Lebih lanjut dikatakan buku tersebut akan mengkaji
keterkaitan perilaku yang baik dan hukum yang baik. Dari ucapan
dan tindakan beliau, ternyata tidak salah kalau para mahasiswanya
memberikan julukan pada beliau sebagai “Sang Guru” yang memiliki
berbagai kearifan sebagai seorang guru besar yang tidak pernah
berhenti berpikir dan berkarya. Ide dan gagasan beliau tentang
hukum progresif terus mengalir seperti air sungai tanpa dapat
dibendung untuk menemukan muara makna hukum yang sebenar-
benarnya bagi kemaslahatan manusia dan keberlanjutan alam
semesta.
Dalam kesempatan ini tidak berlebihan bila penyunting
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Saudara Setiyono
Wahyudi yang telah melakukan penyuntingan agar buku ini mudah
dibaca dan dipahami oleh khalayak umum. Kepada Bayumedia
Publishing yang telah menerima dan membiayai penerbitan buku
ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat,
khususnya bagi pengembangan studi hukum di berbagai perguruan
tinggi hukum di masa-masa mendatang.

Malang, 25 Desember 2008


Penyunting,

Rachmad Safa’at

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN xix


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
xx ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Pustaka Rujukan

Agus, Salim (Ed.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial


(Dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana.
Bergh, G.C.J.J, van den, Geleerd recht, Een gescbiedenis van de
Europese rechtswetenschap in vogelvlucht. Deventer : Kluwer,
1980.
Black, Donald. 1989. Sosiological Justice. N.Y. : Oxford University
Press.
Capra, Fritjof. 1975. The Tao of Physics : An Exploration of the
Parallels Between Modern Physics and Easter Mysticism,
terjemahan dalam bahasa Indonesia. Yogyakarta : Jalasutra.
___________. 1983.The Turning Point - Science and the
RisingCulture. London: Flaminggo.
___________. 1997.The “Web of Life - A New Scientific Under-
standing of Living System. N.Y. Anchor Books.
Derek, Philips. 1972. Dalam “Paradigm Falsification and Sociology”,
Acta Sociologica 16.
Dworkin, Ronald. 1996. Freedom’s Law, The Moral Reading of the
Constitution, Cambridge. Mass. : Harvard University Press.
Effrat, Andrew. 1972. “Power to the Paradigms: An Editorial
Intro­duction’” Sociological inquiry 42.
Endarnoko, Eko. 2007. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Foque, Rene, & Ladan Rudoph, & Rood-Pijpers, Elly, & Zijderveld.
1994. (reds), Geintegreerde rechtswetenshap. Arnhem: Gouda
Quint,.
Friedmann, Wolfgang. 1953. Legal Theory. London : Steven and
Sons Ltd.
Friedrich, Robert. 1970. A Sociology of Sociology. New York: Free
Press.
Hart, H.L.A. 1972. The Concept of Law. London: Oxford Univer­sity
Press.
Holmes, Oliver Wendell. 1963. The Common Law. Boston : Little
Brown.

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN xxi


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Hunt, Alan. 1978. The SociologicalMovement inLaw. London: The
Macmillan Press.
Indarti, Erlyn. 2000. “Paradigma: Jati Diri Cendekia”, Makalah
disampaikan dalam diskusi Ilmiah Program Doktor Ilmu
Hukum, Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang,
Jum’at 1 Nopember.
Kelsen, Hans. 1976. Reine Rechtslehre. Wien: Franz Deuticke.
Kuhn, Thomas S. 1963. The Structure of Scientific Revolution.
Chi­cago: University of Chicago Press.
Lodahl, Jenies Bayer, dan Gordon, Gerald. 1972. Dalam “The
Struc­ture Scientific Fields and the Functioning of University
Gradu-ate Departements” American Sosiological Review 37.
Nonet, Philippe, & Selnick Philip. 1978. Law and Society in Transi-
tion, Toward Responsive Law. N .Y.: Harper Colophon Books.
Prigogine, Ilya & Stengers, Isabelle. 1985. Order Out of Chaos.
Lon­don: Flamingo, 1985.
Rahardjo, Satjipto. 2007. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis
tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Kompas: Jakarta.
________________. 2008. “Filsafat Penelitian Hukum Secara
Sosial”, Makalah Bacaan mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro dalam Mata Kuliah Ilmu
Hukum dan Teori Hukum No. 29.
________________. 2008. “Berpikir dalam Hukum” Makalah
Bacaan mahasiswa Prog ram Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro dalam Mata Kuliah Ilmu Hukum
dan Teori Hukum No. 30.
_______________. 2008. “Lapis-Lapis Dalam Studi Hukum”
Makalah Bacaan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Uni­versitas Diponegoro dalam Mata Kuliah Ilmu Hukum
dan Teori Hukum No. 31.
Ritzes, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda. Jakarta: Rajawali Press.
Salman, S. H.R. Otje & Susanto Anton F. 2004. Teori Hukum:
Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung:
Rafika Aditama.
Sampford, Charles. 1989. The Dis-Order of Law: A Critique of Legal
Theory. Basil Blackwell.
Schölten, Paul. 1954. “Algemeen Deel” dari Asser’s Handleiding tot
de beoefening van het Nederlandsch Burgerlijk Recht, Zwolle:

xxii ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
WE.J.Tjeenk Willinks.
Simpson, Brian. “The Common Law and Legal Theory”, dalam
Le­gal Theory and Common Law (William Twining, ed.), pp.
8-25.
Sinzheimer, Hugo. 1935. De taak derrechtssociologie. Haarlem:
H.D. Tjeenk Willink & Zoon.
Unger, Roberto Mangabeira. 1976. Law in Modern Society. London:
The Free Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam dan Huma.
__________________. 2008. Hukum dalam Masyar akat,
Perkembangan dan Masalahnya: Sebuah Pengantar ke Arah
Kajian Sosiologi Hukum. Malang: Bayumedia.
Wilarjo, Like. 1990. Realita dan Desiderata. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Wilson, Edward O. 1998. Consilience - The Unity of Knowledge,
NY: Alfred Knopf.

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN xxiii


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
xxiv ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Daftar Isi
Kata Sambutan dari Penulis ...................................... v
Kata Pengantar Cetakan Kedua ............................... vii
Catatan Penyunting ................................................... vii
Pustaka Rujukan ........................................................ xxi
Daftar Isi ............................................................ xxv

Bagian 1
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan ..... 1
Bab 1 Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan ..... 3
Bab 2 Berpikir Hukum secara Sosial ..................... 19
Bab 3 Kemajemukan sebagai Konsep Hukum ....... 31
Bab 4 Filsafat Penelitian Hukum secara Sosial .... 41
Bab 5 Hidup di Luar Hukum Negara (‘Keboromo’,
’Comas’, dan ‘ Pasargada’) ............................ 55

Bagian 2
Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum ....................... 65
Bab 1 Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum .......... 67
Bab 2 Berpikir dalam Hukum ................................. 85
Bab 3 Hukum di Mata Bukan Ahli Hukum ............ 101
Bab 4 Memunculkan Kekuatan Hukum ................. 111
Bab 5 Perjalanan Panjang “Rule of Law” ................ 121

Daftar Pustaka ........................................................... 133

ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN xxv


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
xxvi ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bagian 1
Dinamika Studi Hukum dalam
Arus Perubahan

Bagian 1 1
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
2 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 1

I
lmu Hukum di
Tengah Arus
Perubahan
Ilmu hukum adalah produk (konstruksi) intelektual
manusia Ia sudah hadir sejak ratusan tahun lalu. Sebagai
produk intelektual ia mengalami perkembangan yang terus-
menerus, dari masa lalu, sekarang, dan di masa-masa
mendatang.

Sebagai seorang calon doktor, para mahasiswa


dituntut untuk memahami hukum lebih daripada seorang
yang belajar untuk menjadi seorang ahli hukum
profesional {profesional lawyer). Seperti berkali-kali
dibicarakan dalam kelas, pemahaman seorang calon
doktor hukum tidak boleh dangkal atau melihat hukum
dari permukaan saja (prima facie), melainkan harus
menukik ke dalam untuk mencari kebenaran tentang
hukum itu. Dengan demikian, pikiran dan tinjauan
seorang calon doktor akan menukik jauh ke dalam
sehingga tidak ada masalah hukum yang tidak
dipertanyakan dengan kata mengapa dan mengapa.
Pada peringkat pembelajaran profesional, hukum
akan dilihat dan diterima sebagai alat yang final (finite)
untuk bekerja. Hukum perdata, hukum pidana, hukum

Bagian 1 3
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
tata negara, hukum acara, dan lain-lain semuanya diterima
dan diperlakukan ibarat sebuah stetoskop bagi seorang
dokter.
Begitu juga dengan pembedaan antara hukum publik
dan hukum privat. Padahal semua bukan sesuatu yang
absolut-alami, seperti seorang fisikawan menghadapi
alam. Hukum adalah suatu konstruksi manusia dan
sebaiknya para calon doktor memahaminya sebagai hal
yang demikian.
Ilmu hukum yang harus mengawal hukum terus
mengalami perkembangan dan perubahan sampai dengan
hari ini. Dalam kaitan tersebut akan tampak sekali bahwa
hukum itu tidak otonom, seperti halnya bebatuan dan
pohon dalam alam. Yang alami adalah hasrat manusia
untuk hidup dalam dunia yang penuh suasana ketertiban.
Hukum adalah bagian dari pranata untuk hidup secara
tertib. Hukum adalah untuk manusia.
Oleh karena itu, setiap kali manusia menghendaki
dan membutuhkan hukum akan berubah. Hukum menjadi
tunduk pada kehidupan sosial manusia yang jauh lebih
luas.
Ilmu hukum yang umumnya dikenal dan dipelajari
di dunia sudah memulai perjalanannya sejak abad perte-
ngahan di Eropa. Bahkan, kita dapat lebih mundur lagi
sampai pada kerajaan Romawi. Oleh karena pada saat itu
orang juga sudah mempelajari bahan-bahan yang ada, yaitu
hukum yang dibuat oleh para kaisar (imperial enact-
ments). Kita mengenal Codex Justinianus (533-534) dan
Corpus Juris Civilis, yaitu hukum yang berlaku bagi warga
Romawi. Bagi yang bukan orang Romawi berlaku fas gen-
tium. Kodifikasi kaisar Justinianus ini menunjukkan suatu
perkembangan yang tinggi di bidang hukum (high level of
juristic development). Ada codex (kumpulan putusan-
putusan raja), institut (buku ajar untuk pendidikan hukum)
dan digest (tulisan para yuris). Akan tetapi, kerajaan
Romawi kemudian ambruk (476). Dengan ambruk­nya

4 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
kerajaan tersebut maka berhenti pula studi-studi hukum
yang dilakukan.
Baru sesudah empat abad kemudian, studi hukum
marak dan berjaya kembali dan orang berbicara mengenai
kebangun-an kembali hukum Romawi. Bologna (1085) lalu
menjadi pusat pembelajaran hukum Romawi yang mulai
marak itu. Di sini bahan hukum Romawi dipelajari kembali
secara teoretis, sistematis, metodologis dengan mempe-
lajari makna dari kata-kata. Universitas menjadi pusat
pembelajaran dan para guru besar memberikan fatwa-
fatwanya. Itulah yang diterima sebagai produk hukum.
Sejak hukum dipelajari secara ilmiah maka
terjadilah momentum pergeseran yang penting, yaitu
lahirnya suatu rezim hukum produk intelektual.
Sebelumnya, hukum sudah ada dan berjalan dalam
masyarakat, jauh mendahului hukum sebagai produk ilmu.
Melalui pengilmiahan hukum (juridisering), maka praksis
yang dijalankan selama itu diangkat menjadi bentuk-
bentuk yang abstrak. Hal itu terjadi melalui
konseptualisasi aktivitas hukum, sistematis, pembuatan
asa, doktrin, dan pembangunan suatu struktur. Kemudian
muncullah bentuk hukum baru di samping hukum lama
yang sudah dijalankan selama ratusan tahun. Hukum tidak
lagi muncul dan ada secara alami, tidak memerlukan
pembelajaran (ongeleerd recht), melainkan sudah berubah
menjadi “hukum yang harus dipelajari” (geleerd recht).
Orang tidak dapat mengetahui hukum, kecuali harus
belajar secara khusus.
Misalnya, pada zaman dulu orang dengan sederhana
dapat menduduki sebidang tanah dan kemudian mengolah
tanah. Tidak ada persoalan dengan kejadian tersebut.
Akan tetapi, sejak hukum itu menjadi produk intelektual
atau diilmiahkan serta menjadi “geleerd recht”, maka
persoalannya menjadi tidak sederhana lagi. Orang tidak
dapat lolos hanya dengan mengatakan bahwa ia telah
menduduki dan mengolah tanah tersebut selama puluhan

Bagian 1 5
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
tahun tanpa ada yang mengganggu dan mempersoalkan.
Sekarang ia harus dapat menunjukkan sertifikat
pemilikan yang dibuat oleh negara. Sertifikat itu
merupakan simbol bahwa hukum sudah diangkat ke
tingkat abstraksi intelektual yang lebih tinggi. Ia juga
dapat disebut sebagai hukum yang sudah diilmiahkan,
dikonsepkan secara rasional, dan terukur yang disebut
“gejuridiseerd recht” atau “geleerd recbi”. Hukum menjadi
tidak alami lagi, karena semuanya sudah “gejuridiseerd’’’.
Orang tidak lagi dengan mudah berbicara tentang
penguasaan faktual atas tanah, melainkan diabstraksikan
menjadi konsep hukum tentang kepemilikan, tentang alas
hak, dan sebagainya. Kata tidak lagi leluasa membaca
hukum melalui interaksi faktual antarmanusia, melainkan
hukum hanya dapat dibaca melalui kitab-kitab undang-
undang.
Ada hal lain lagi yang perlu kita perhatikan. Sejak
hukum ini dikonsepkan, disistematiskan, dan sebagainya
maka tidak semua orang dapat dengan mudah mengetahui
hukum. Untuk itu, diperlukan pembelajaran khusus dalam
upaya mengetahui konsep, asas, prosedur, dan lain-lain.
Tidak seperti di masa lalu, orang langsung mengetahui
hukum yang berlaku di masyarakat. Sekarang terdapat
jurang yang memisahkan antara “pengetahuan hukum
versi rakyat” dan “pengetahuan hukum yang sudah
diilmiahkan”. Hukum menjadi terkucil (insulated)dari
pengetahuan orang banyak. Bagi rakyat, hukum sudah
menjadi dunia yang esoterik, dunia yang hanya dapat
dimasuki melalui inisiasi khusus, yaitu dengan belajar
hukum.
Oleh karena terjadi konseptualisasi, sistematisasi,
dan strukturasi maka bahasa hukum muncul menjadi
bahasa yang khas (private language) yang tidak dimengerti
oleh rakyat biasa yang tidak belajar hukum. Hukum yang
semula alami sekarang sudah berubah menjadi “a highly
artificial body of doctrines”.

6 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Perkembangan hukum menjadi suatu rumpun besar
doktrin, konsep, dan asas terutama terjadi dalam
komunitas yang disebut civil law system yang berakar
pada hukum Romawi-Jerman. Indonesia sebagai bekas
jajahan Belanda, termasuk dalam rumpun itu.
Perkembangan tersebut berbeda dari komunitas “the com-
mon law system’” di Inggris yang lebih didasarkan pada
tradisi. Oleh karena mendasarkan pada tradisi maka
hukum di Inggris tidak mengalami juridisering yang
begitu maju seperti hukum Romawi. Tidak ada perbedaan
antara “yang hukum” (legal) dan “yang di luar hukum” (ex-
tra legal). Keduanya berkelindan dengan erat (intimately
as­sociated). Di Inggris, pendidikan hukum juga
merupakan hal yang relatif baru. Sampai dengan abad ke-
19 Inggris tidak mengenal pendidikan hukum yang for-
mal dan profesional. Masa keemasan keilmuan hukum (le-
gal scholarship) baru terjadi pada tahun-tahun 1850-1907.
Pada dasarnya, perkembangan ilmu hukum hingga
menjadi “highly aritificial system of doctrines” dapat
ditemukan terjadi sejak zaman Romawi. Sumbangan
hukum Romawi antara lain dapat ditemukan dalam
membuat definisi-definisi yang akurat terhadap peris-
tilahan hukum (terminological pre­cision). Kamus Hukum
Romawi telah mencapai tingkat kejernihan dan ketepatan
yang sangat tinggi (Kritzer, 2005). Banyak istilah hukum
sekarang yang berasal dari masa Romawi. Pada dasarnya,
konsep-konsep seperti hukum kontrak Prancis diambil
dari hukum Romawi.Hukum Prancis dan Jerman
mengenal istilah obligation yang bewrasal dari istilah
hukum Romawi, obligatio. Sumbangan lain adalah
kepraktisan dan kecanggihannya sejak hukum Romawi
dikembangkan dalam suasana menghadapi persoalan-
persoalan sosial dan perdagangan yang kompleks. Dengan
pengembangan tersebut, hukum Romawi telah
memberikan banyak sumbangan kepada negara-negara
Eropa, yaitu ketika negeri-negeri itu memasuki era mode-

Bagian 1 7
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
rn dengan sejumlah persoalan yang harus diselesaikannya.
Mereka tidak perlu mulai dari nol (beginning from scratch),
tetapi cukup melihat ke dalam kekayaan yang dimiliki
oleh hukum Romawi tersebut.
Banyak konsep penting yang bersifat sentral dalam
hukum modern, seperti hak-hak individu, pemisahan
antara aturan hukum dan yang bukan, dan konsep tentang
hukum sebagai penjaga kemerdekaan dan keamanan
langsung bersumber dari hukum Romawi. Hukum Romawi
yang terhimpun dalam tiga buku ajar Justinianus (Insti-
tutes ofjustinians) adalah “tentang orang”, “tentang
barang”, dan “tentang kewajiban”. Ketiganya merupakan
inti dari hukum Romawi. Kehadiran hukum publik melalui
ekspansi dari pemerintahan tidak mengubah pandangan
dasar tersebut (Merryman, 1969).
Ilmu hukum menciptakan suatu sistem hukum yang
menjadi sandaran bagi pengadministrasian ketertiban
dalam masyarakat. Pembedaan antara sektor publik dan
privat oleh hukum publik dan hukum privat adalah karya
ilmu hukum yang demikian itu. Pada perkembangannya,
keduanya dianggap sebagai dua “dunia” yang secara
inheren berbeda. Oleh karena itu, secara jelas harus
dibedakan dan hukum harus diklasifi­kasikan dalam dua
sistem tersebut. Di sini kembali kita meli­hat bagaimana
artifisalnya dunia buatan ilmu hukum itu.
Pengilmiahan dalam cara berhukum (verweten-
schappelijking van het rechtsbedrijf) membawa studi
hukum pada keadaan yang tidak sederhana karena
merupakan perpaduan dari teori dan praksis (theoretisch-
praktisch complex) (Bergh, 1980). Sekaligus kita
dihadapkan pada dunia kenyataan dan dunia teori.
Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan atau
persoalan yang dilematis, yaitu “apakah hukum itu untuk
sistem hukum atau untuk masyarakat?”
Pengilmiahan hukum berjalan dan berkembang
sedemikian rupa sehingga seolah-olah ilmu hukum telah
menciptakan suatu dunia baru di atas yang lama yang lebih

8 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
alami. Keadaan menjadi tambah parah manakala orang
tidak menyadari bahwa hukum adalah suatu konstruksi
mental, suatu karya intelektual manusia, suatu “juridi-
sering”, dan bukan realitas. Di sini sesuatu yang abstrak
telah diperlakukan sebagai nyata. Sikap ekstrem tersebut,
misalnya terjadi pada mazab dalam ilmu hukum yang
dikenal sebagai begriffsjurisprudenz, yang juga disebut
sebagai ilmu hukum tentang konsep-konsep. Batas-batas
antara konstruksi dengan realitas menjadi kabur.
Sekarang kita melompat ke abad 21. Pada abad ini
hukum masih saja tetap menjalani perkembangannya.
Seperti dikemukakan pada awal risalah ini,
perkembangan itu terus terjadi yang disebabkan oleh
kepatuhan hukum pada dinamika kehidupan manusia.
Lingkungan manusia abad pertama, saat hukum dan ilmu
hukum Romawi dijalankan, niscaya jauh berbeda daripada
lingkungan hidup manusia di abad ke-21 ini.
Hukum Romawi yang kemudian ambruk dan
sesudah itu mengalami kebangkitan kembali melalui
pembelajaran hukum di universitas Bologna telah
menghasilkan banyak produk konsep dan doktrin funda-
mental yang masih dipakai hingga sekarang. Kita masih
berhukum atas dasar pembagian ranah hukum ke dalam
publik dan privat. Hukum pidana dan perdata masih
menjadi basis untuk menata dan menyelesaikan problem
kemasyarakatan.
Kendatipun demikian, tidak berarti segalanya tetap
berjalan mulus seperti keadaan sekian ratus tahun yang
lalu. Antara ilmu hukum di abad ke-19 dan ke-20 saja
sudah terdapat perbedaan signifikan. Seperti dikatakan
oleh Paul Scholten, cara berhukum yang dominan di abad
ke-19 ibarat mengotak-atik hukum sebagai data
kuantitatif yang digarap secara logis (“hanteren van
logiscbe figuren”) (Scholten, 1954). Hukum dianggap
sebagai unit-unit matematis yang oleh hukum digarap
dengan menggunakan logika semata. Alih-alih berbuat

Bagian 1 9
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
demikian, maka dalam perkembangannya putusan-
putusan hukum itu tidak lagi semata-mata dibuat
berdasarkan logika atau silogisme melainkan merupakan
suatu “lompatan” (een sprong).
Diktum Holmes yang terkenal lebih mempertajam
apa yang disebut sebagai lompatan tersebut mengatakan
bahwa membuat putusan hukum itu bukan bermain-main
dengan logika, melainkan berdasarkan pengalaman sang
hakim yang membuat putusan. Kita mengetahui bahwa
pengalaman itu tidak matematis melainkan penuh dengan
pilihan-pilihan baru yang tidak selalu ada dalam
perundang-undangan (Holmes, 1963, “....to represent a gen-
eral view of the Common Law. To accomplish the task, other
tools are needed besides logic. It is something to show that
the consistency of a system requires a particular result,
but it is not all. The life of the law has not been logic: it has
been experience. The felt necessities of the time, the preva-
lent moral and political theories, intuitions of public policy,
avowed or unconscious, even the prejudices which judges
share with their fellowmen, have had a good deal more to
do than the syllogism in determining the rules by which
men should be governed. The law embodies the story of a
nation’s development through many centuries, and it can
not be death with as if it contained only axioms and corol-
laries of a book mathematics...”)
Penulis berpendapat, masyarakat merupakan
rujukan yang utama (the primacy), bukan konsep, doktrin,
sistem rasional dari ilmu hukum. Dengan perkataan lain,
ilmu hukum mengikuti masyarakat. Oleh karena itu,
produk konstruksi apa pun yang dihasilkan, setiap saat
mengalami semacam referendum oleh masyarakat sebagai
penggunanya. Tidak ada pengilmiahan hukum
(verwetenschappelijking van het recht) yang otonom dan
mutlak, melainkan selalu terbuka dan diuji oleh
masyarakat dalam hal kemanfaatannya.

10 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Pengilmiahan hukum itu tidak pernah berhenti,
semata-mata berdasarkan alasan bahwa masyarakat selalu
bergerak dan berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena
itu, apabila kita berpendapat bahwa konsep, peristilahan,
terma, doktrin, dan struktur adalah final dan mutlak maka
ilmu hukum pelan-pelan akan terbuang sebagai ilmu yang
tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Pada waktu kita berdiri di abad ke-21 ini maka kita
akan melihat panorama yang sangat berbeda daripada
masyarakat dunia abad ke-19. Selama dua abad tersebut,
dunia telah berubah dengan sangat intensif. Dengan
demikian, seluruh perlengkapan sosial yang digunakan,
asumsi-asumsi yang dipakai, idiom-idiom yang ada
menjadi tertinggal oleh perubahan. Alvin Toffler telah
membuat suatu trilogi bagus yang merangkum dan
menggambarkan perubahan di dunia dan bagaimana
akibatnya (Toffler 1970, 1980, 1990). Capra juga membuat
simpulan yang sangat bagus pada waktu menulis “The
Turning Poinf (Capra, 1982). Menurut Capra, sejak awal
abad ke-20 dunia mengalami krisis hebat yang sudah
merambah masuk ke ranah intelektual, moral, dan spiri-
tual. Untuk itu, semua membutuhkan suatu penyesuaian
kreatif yang baru. Paradigma lama tidak dapat dipakai
lagi.
Ilmu hukum tidak dikecualikan karena juga berada
di tengah-tengah dan turut menerima imbas dari hiruk-
pikuk perubahan dunia tersebut. Menjadi sangat
anakronis apabila ilmu hukum tetap tenang-tenang saja
di tengah gejolak perubahan tersebut, seolah-olah sebuah
kerajaan yang tidak dapat dijamah oleh apa yang terjadi
di luarnya. Terlebih lagi, apabila hal itu dilihat dari
perspektif hukum progresif. Ciri atau karakteristik yang
kuat dari hukum progresif terletak pada wataknya sebagai
“hukum yang membebaskan” (Rahardjo, 2005). Dengan
watak pembebasan itu, paham hukum progresif sangat
peka terhadap perubahan dan ide perubahan serta
berkehendak kuat (eager) untuk membuat hukum menjadi

Bagian 1 11
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
suatu institut yang bersifat protagonis.
Gagasan hukum progresif mendapatkan “teman”
yang juga memikirkan perlu dilakukannya perubahan
dalam ilmu hukum, yaitu gagasan yang dikembangkan oleh
fakultas hukum Universitas Erasmus, Rotterdam,
Belanda. Inti gagasan tersebut, yakni ilmu hukum
hendaknya peka terhadap perubahan (beweging) sehingga
perlu dikedepankan kesadaran bahwa posisi hukum
dikualifikasikan sebagai “hukum dalam perubahan” (recht
in beweging). Pada peringatan lustrumnya yang ke-6 (1963-
1993), fakultas tersebut menerbitkan sebuah kumpulan
tulisan yang berjudul “Geintegreerde recbtswetenschap”
(ilmu hukum yang dipersatukan) (Foque, 1994). Oleh
karena isi buku tersebut berhubungan erat dengan topik
yang sedang dibicarakan, maka akan dibicarakan agak
panjang. Di samping itu, kita juga mendapat banyak
pembelajaran tentang pendidikan hukum sekalipun pada
dasarnya Fakultas Hukum Undip, termasuk Program
Doktornya, memang memiliki visi yang sama (Program
Doktor, 1995).
Rupa-rupanya, sudah sejak masa persiapan (1959-
1963) pendirian fakultas hukum (faculteit der rechtsge-
leerdheid) Universitas Erasmus memiliki gagasan yang
bersifat alternatif terhadap arus utama (mainstream)
pendidikan hukum. Mereka menghendaki agar para ahli
hukum tidak hanya memiliki bekal pengetahuan tentang
hukum (juridische bagage) karena dengan demikian
mereka harus mengalami banyak keterbatasan dalam
praktik nantinya. Hukum tidak sekadar penerapan (louter
toepassen) peraturan terhadap fakta. Hukum merupakan
awal atau pintu masuk untuk melakukan musyawarah
lebih lanjut guna menemukan kesepakatan (waarin
opnieuw overleg kan worden opgestart en overeenstemming
tot stand kan wodengebrachf). Bagi kultur hukum Barat,
pandangan tersebut merupakan sesuatu yang sangat
mengejutkan. Suatu pembelajaran hukum yang hanya

12 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
berkonsentrasi pada pemberian pengetahuan dan
keterampilan hukum (juridische kennis en vaardigheden)
akan kurang membantu memberikan penglihatan (inzicht)
terhadap kenyataan dalam masyarakat, berfungsinya
hukum, dan efek yang ditimbulkan oleh campur tangan
hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
pandangan sosiologis dalam berpikir juridis.
Komunitas Erasmus Rotterdam berpendapat bahwa
pemisahan antara ilmu pengetahuan normatif dan ilmu
pengetahuan kemasyarakatan hanya akan memiskinkan
kedua disiplin ilmu tersebut. Meskipun para ahli hukum
dan ahli ilmu sosial bekerja dalam ranah yang berbeda,
namun tidak ada tembok prinsipil yang memisahkan
mereka (...., maar wier respectieve domeinsspecifiteit geen
principíele onderlinge scbeidingsmuren impliceert). Ini
mengingatkan kita kepada Nonet dan Selznick yang
menyarankan agar praksis hukum menggunakan strategi
ilmu sosial (Nonet & Selznick, 1978).
Panitia Erasmus menyarankan agar kurikulum
fakultas hukum lebih diintegrasikan, baik antara mata
kuliah hukum sendiri (integrasi internal), maupun
integrasi antara ilmu hukum dengan disiplin-disiplin ilmu
sosial di luarnya (integrasi eksternal). Di dalam fakultas
dibentuk proyek-proyek yang bersifat melampaui bidang
atau lintas bidang (vakgroepso-verscbrijdende
onderzoeksproject) untuk meneliti kemungkinan
ditemukannya kesamaan landasan (gemeensckappelijke
noemer) pada waktu berpikir dalam konteks hubungan
hukum (m termen van rechtsbetrekkingen) guna melakukan
integrasi terhadap masing-masing bidang (hukum pidana,
hukum perdata, hukum tata pemerintahan).
Kita sudah tidak lagi berada di abad ke-19 yang
mempertahankan batas-batas klasik antara hukum publik
dan hukum privat atau yang dikenal bagaikan “garis batas
ajaib” (de magische lijn). Batas-batas yang nyaris mutlak
tersebut menjadi problematis pada saat dunia dihadapkan

Bagian 1 13
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
pada munculnya bidang-bidang hukum yang bersifat
fungsional, seperti hukum lingkungan, hukum kesehatan,
dan hukum bangunan {bouwrecht). Di sini legitimitas
batas-batas yang mudah menjadi sirna.
Kompleksitas dalam masyarakat sekarang sulit
untuk diwadahi dan diselesaikan melalui konstruksi
perbedaan posisi yang hierarkis antara penguasa dan
warga negara. Mempertahankan penguasa di satu pihak
berhadapan dengan warga negara di lain pihak secara
diametral merupakan apa yang mereka namakan “berpikir
hukum secara tertutup” (gesloten rechtsdenken). Pendapat
dalam komunitas Erasmus menghendaki diakhirinya
berpikir dalam kerangka suatu teori hukum
(rechtstheoretisch) yang menerima kemutlakan kedaulatan
subjek hukum, apakah itu di pihak penguasa maupun
warga negara. Penolakan terhadap pemisahan secara
kategoris tersebut dapat menciptakan suatu prasyarat
teoretis maupun metodologis untuk dapat melihat pikiran
dan tindakan kita dalam kerangka ketergantungan yang
kompleks antara kepentingan umum dan individual,
antara penguasa dan warga negara, antara negara dan
masyarakat. Para pemikir di Erasmus, barangkali
menunjukkan pendapatnya pada batas-batas yang semakin
tipis antara negara dan masyarakat dalam konteks
masyarakat merdeka (civil society).
Ilmu hukum, menurut penulis memikul tugas untuk
memberikan pencerahan. Pada waktu hukum, dalam hal
ini momenklatur hukum, kosa kata konsep, dan doktrin
hukum dihadapkan pada perubahan-perubahan sosial
besar dalam masyarakat. Dengan keadaan tersebut,
mulailah terjadi kesulitan-kesulitan dalam penegakan
hukum. Dengan menggunakan nomenklatur lama, seperti
hukum publik, hukum privat, hukum perdata, hukum
pidana, hukum tata pemerintahan, dan lain-lain memang
proses hukum tetap dijalankan dan putusan-putusan
hukumpun dilahirkan. Meskipun demikian, hal itu tidak

14 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
sama artinya dengan mengatakan bahwa hukum telah
berhasil menyelesaikan problem sosial.
Di tengah-tengah perubahan besar dunia sekarang
ini sebaiknya kita belajar membedakan antara
“menyelesaikan problem hukum” dan “menyelesaikan
problem sosial”. Apabila kita tidak peka terhadap
perbedaan antara keduanya maka hukum akan banyak
gagal dalam turut menyelesaikan problem sosial. Kejadian
seperti itu telah ditulis dengan baik oleh Nonet dan
Selznick pada saat mengecam praksis hukum di Amerika
Serikat yang gagal menyelesaikan problem-problem sosial
baru yang muncul di negeri itu pada tahun 60-an (Nonet
& Selznick, 1978). Hukum memang telah menyelesaikan
problem hukum, tetapi bukan atau belum menyelesaikan
problem sosial. Kegagalan hukum Amerika Serikat untuk
menyelesaikan problem-problem sosial baru yang muncul
tersebut menyebabkan terjadinya krisis hukum di negeri
tersebut dan menjadi alasan Nonet dan Selznick menulis
bukunya. David M. Trubek bahkan mengajukan
pertanyaan dramatis “Is law dead ?” (Trubek, 1972).
Indonesia juga dihadapkan pada perubahan-
perubahan yang sama seperti negara-negara lain karena
memang berada di satu bumi yang sama. Kompleksitas
kehidupan kemerosotan kualitas lingkungan dan lain-lain
sama-sama dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Di
tengah-tengah semua itu, hukum menjadi salah satu
sarana yang diandalkan untuk mengarungi samudra
kehidupan dengan baik dan selamat.
Dari abad ke abad hukum semakin menjadi rumit
atau kompleks. Di satu pihak kehidupan fisik dan sosial
manusia memang semakin berkembang ketika bidang-
bidang baru muncul, misalnya yang terakhir di bidang
teknologi informasi. Di pihak lain, hukum yang diandalkan
selalu diminta untuk campur tangan menciptakan
ketertiban yang baru. Kombinasi keduanya menyebabkan

Bagian 1 15
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
ranah hukum semakin meluas dan intensif.
Perkembangan terjadi pada hukum dan sistem
hukum sebagai “gejuridiseerd recbt” atau “geleerd recbt”
sehingga kita dihadapkan pada bahan hukum (legal stuff)
yang semakin menggunung. Keadaan tersebut memaksa
baik para pembelajar maupun para praktisi hukum untuk
semakin berkonsentrasi pada penggarapan dan
penerapan bahan hukum tersebut.
Sebagai akibat lain, yakni menjadi semakin lebar
jurang antara bahan hukum atau hukum positif dengan
dunia empiris. Pada waktu perhatian kita dihisap oleh
hukum tersebut maka tren melupakan dan mengabaikan
dunia empiris menjadi semakin besar. Hukum semakin
tampil dalam wajahnya sebagai hukum yang dijuridiskan
“gejuridiseed recbt” daripada tampil sebagai realitas
hubungan antarmanusia. Menjadi susah sekali untuk
melepaskan diri dari skema-skema yang merupakan
produk penghukuman (juridisering) terhadap realitas
empiris dan menjenguk serta berurusan dengan realitas
empiris tersebut. Hukum sudah semakin bergeser men-
jadi hukum sebagaimana ditampilkan pada layar konsep,
skema, dan doktrin “gejuridiseerd recbt”. Berbagai definisi,
konsep, doktrin, konstruksi, taksonomi, nomenklatur
hukum yang sebenarnya lebih merupakan suatu
konstruksi mental dan intelektual diterima sebagai suatu
realitas.
Oleh karena orang menjadi lebih sibuk melihat
hukum dalam tampilan seperti itu maka perhatian
terhadap fungsi hukum yang sebenarnya menjadi
terdorong ke belakang. Hukum adalah naskah, bukan
realitas kehidupan manusia. Praksis hukum menjadi
praksis yang lebih sibuk mengoperasikan skema-skema
hukum (rules and logic) daripada bertanya apakah fungsi
hukum dalam masyarakat sudah berjalan dengan baik.
Apabila hal itu terjadi, sesungguhnya kita sudah terjebak
ke dalam paham “manusia adalah untuk hukum”.
Menurut hemat penulis, pemikiran Rotterdam

16 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
tentang ilmu hukum yang dipersatukan (geintegreerde
rechtsweten-schap) bertolak dari kerisauan bahwa rezim
penerapan hukum menjadi lebih penting daripada
mengurusi nasib manusia. Bertolak dari hal itu mereka
mulai mempertanyakan keabsahan konvensi-konvensi
yang diterima dalam hukum dan ilmu hukum selama ini.
Mereka bertanya, benarkah pemisahan secara mutlak
antara ranah hukum publik dan privat selama ratusan
tahun (yang sudah menciptakan “batas ajaib”) tersebut?
Apakah hukum pidana, hukum perdata, hukum tata
pemerintahan memang tidak dapat bertemu atau berdiri
di atas platform tertentu yang sama? Apakah tidak ada
realitas hubungan hukum (rechtsbetrkking) yang dapat
mempersatukan sub-subdisiplin hukum tersebut?
Dalam rangka pemikiran hukum progresif
diperlukan semangat pembebasan untuk dapat melihat
kekurangan dan kegagalan hukum (sebagaimana adanya
sekarang) dalam fungsi memberikan perlindungan dan
pelayanan terhadap manusia.
Dengan demikian, meskipun hukum tetap
diperlukan dalam masyarakat, namun hukum juga perlu
melihat kembali pada apa yang dilakukannya selama ini.
Artinya, apakah hukum sudah mampu memberikan
panduan terhadap masyarakat dan menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial yang disodorkan kepadanya
dengan baik.
Saat ini, kita berada dalam suasana kontemplatif
seperti itu. Posisi dalam ilmu hukum yang demikian,
kiranya dapat dikaitkan dengan pikiran Fritjof Capra
mencapai suasana “turning point” yang dihadapi oleh dunia
(kita sebagaimana telah disinggung sebelumnya). Untuk
itu, dibutuhkan pikiran-pikiran kreatif agar kehidupan
manusia yang sudah mengalami banyak perubahan
mendalam tidak menjadi mandek.
Pekerjaan untuk mengubah sistem, konsep, doktrin,
nomenklatur hukum yang sudah digunakan selama

Bagian 1 17
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
ratusan tahun memang sama sekali tidak mudah.
Kehidupan sosial kita sudah terlalu dalam tertanam (em-
bedded) dalam sistem hukum yang ada. Oleh karena itu,
alih-alih berbuat produktif, mengubah struktur dan sistem
hukum yang sudah berlaku lama dapat menimbulkan hasil
yang kontra produktif. Kita dapat mulai dengan
melakukan pembaruan dalam hal-hal tertentu yang “tidak
berbahaya”.
Satu hal yang perlu selalu kita pegang yakni kesa-
daran bahwa kita sama sekali tidak boleh meninggalkan
fungsi utama hukum, yaitu untuk melayani manusia.
Setiap kali fungsi tersebut terusik maka kita perlu
melakukan sesuatu yang kreatif untuk mengatasinya.
Penulis berharap bahwa komunitas pembelajaran
hukum pada program doktor kita ini dapat menjadi tempat
pesemaian bagi pikiran-pikiran kreatif yang ingin mendu-
dukkan hukum sebagai institut yang mengabdi kepada
manusia dan kemanu­siaan.

18 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 2

Berpikir Hukum
Secara Sosial

Cara berpikir hukum itu ternyata cukup beragam. Ada cara


berpikir yang boleh disebut standar bagi para ahli hukum,
yaitu yang mengolah bahan hukum positif semata-mata
dengan menggunakan logika. Dalam risalah ini ditampilkan
cara berpikir yang tidak termasuk dalam arus utama, yaitu
yang disebut berpikir hukum secara sosial

Sudah sepantasnya jika para calon doktor memiliki


pemahaman yang luas mengenai bagaimana cara berpikir
hukum. Dimulai dari teks, hukum memandu kehidupan
manusia bermasyarakat hampir dalam seluruh aspeknya,
seperti pribadi, sosial, ekonomi, dan politik. Pada
akhirnya, dengan modal teks itu hukum harus
menghukumi masyarakat. Di sini kita dihadapkan pada
hukum yang sudah bukan teks lagi, melainkan sesuatu
yang lebih konkret, yaitu putusan-putusan hukum. Dalam
proses pengonkretan itulah dijumpai berbagai cara
berpikir. Para calon doktor pantas untuk menge­tahuinya.
Hukum merupakan suatu institut publik yang
memiliki sejarah sangat panjang, yang menjorok jauh
sampai ke masa sebelum Masehi. Pada waktu itu, di masa
Kerajaan Romawi para ahli hukum sudah menyibukkan
diri dengan menggarap bahan hukum yang ada. Hasilnya

Bagian 1 19
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
sangat terkenal yang berupa penghimpunan peraturan-
peraturan dalam kitab-kitab, seperti Codex Justinianus,
Codex Juris Civilis (Baca Bacaan No. 23).
Pada waktu itu konsep, doktrin, dan asas dibuatnya
sehingga menjadikan hukum sebagai suatu institut yang
canggih {sophisticated). Akan tetapi, justru dari kecang-
gihan tersebut membuat hukum jauh dari jangkauan rakyat
biasa. Untuk mendiaminya, secara khusus orang harus
belajar agar dapat masuk ke dalam dunia hukum yang
sudah dipenuhi oleh berbagai konstruksi {man made con-
struction) hukum (Bergh, 1980). Hukum menjadi dunia
esoterik yang hanya dapat dimasuki dan dimengerti oleh
mereka yang sengaja belajar.
Puncak perkembangan hukum seperti itu terjadi
pada abad ke-19 atau yang dikenal sebagai Era Kodifikasi.
Dalam abad ke-19 dunia mengalami kemajuan kehidupan
yang sangat pesat dan pada gilirannya juga memicu
pembuatan hukum yang ekstensif. Pada perkembangan-
nya, bidang-bidang hukum baru bermunculan, seperti
hukum perniagaan {Wetboek van Koophandel), hukum laut,
dan lain-lain. Kodifikasi itu tidak hanya menghimpun
peraturan-peraturan yang tersebar itu ke dalam kitab-
kitab hukum, melainkan juga pembakuan dalam berpikir
sehingga ada suatu cara berpikir yang khas, yaitu cara
berpikir hukum {rechtsdenken, legal reasoning) (Rahardjo,
2006).
Dalam suasana seperti itu, karena sudah menjadi
sangat teknis maka dunia hukum menjadi sangat tertutup
dari kehi­dupan sosial di luarnya. Hukum menciptakan
konsepnya sendiri untuk melihat kehidupan sosial
tersebut. Terma demi terma diciptakan secara khusus
untuk memberi nama pada entitas-entitas dalam masya-
rakat. Kejadian dan proses-proses dalam masyarakat yang
sudah ada dan berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu
tersebut diberi nama baru dan definisi baru oleh hukum.
Dunia hukum semakin menjadi dunia yang didefinisikan

20 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
kembali oleh hukum.
Keadaan dan kejadian tersebut terutama terjadi
pada kelompok negara yang disebut civil law. Inggris
sebagai negara dengan sistem common law tidak
membangun sistem hukumnya seperti pada negara-negara
Civil Law. Inggris lebih membangun hukumnya dari
bawah, dari masyarakat, dari tradisi. Konsep-konsep
hukum di Inggris adalah ‘lay conceptions’, dibuat sendiri
oleh rakyat. Dengan demikian, masyarakat dan hukum
tidak bertolak belakang dan mengalami keterasingan yang
satu terhadap yang lain. Apa yang menjadi hukum itu
dipungut dari tradisi dan proses-proses yang lebih bersifat
alami (Twining, 1986). “In the common law system no very
clear distinction exists between saying, that a particular
solu­tion to a problem is in accordance with the law, and
saying that it is the rational, or fair, or just solution.”
(Simpson, 1986). Di sini terletak perbedaan mendasar
antara sistem-sistem civil law dan common law. Kita
bersyukur bahwa di dunia ada sistem-sistem hukum yang
bertolak-belakang, yang satu berangkat dari alam dan yang
lain artifisial. Dengan demikian, kita mengetahui ada
alternatif dalam cara berhukum. Dengan keras Inggris
menolak waktu civil law diperkenalkan ke negara tersebut
karena dianggap hanya akan merusak kesinambungan
tradisi yang merupakan basis dari sistem hukumnya.
Sistem hukum tidak harus merupakan sesuatu yang
secara sadar dibuat oleh manusia (artifisialarticulated).
Tidak dibedakan antara praksis hukum yang dilakukan
oleh rakyat sendiri dan praksis yang rasional dan adil.
Lebih lanjut Brian Simpson mengatakan,”... legal
justificarory reasoning does not depend upon a finite-closed
scheme of permissible justifi­cation, nor does it employ con­
ceptions which are insulated wholly from lay conceptions.”
Tidak ada konsep dan istilah hukum yang sama sekali
asing bagi rakyat. “The legal and extra-legal worlds are
intimately associated...”. Itulah sistem common law.

Bagian 1 21
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Fenomena yang berbeda tersebut akan dijabarkan
lebih lanjut (elaborated further) pada waktu membicara-
kan cara-cara berpikir hukum.
Hukum semakin menjadi suatu tipe penataan
masyarakat yang sangat khas (distinct), terutama sejak
kelahiran sistem hukum modern di dunia. Oleh karena
kekhasan tersebut, Roberto Mangabeira Unger (Unger,
1976) menyebut sistem hukum modern itu sebagai ‘the le-
gal system’’. Artinya, tidak ada sistem hukum lain yang
layak disebut ‘legal system’’, kecuali sistem hukum mod-
ern tersebut.
Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Scholten, masa
kepastian abad ke-19 sudah lewat. Waktu sudah lewat bagi
orang untuk meyakini bahwa hakim hanyalah “mulut yang
menyuarakan undang-undang”. Seperti dikatakan oleh
Scholten, sekarang orang tidak hanya berbicara mengenai
penerapan hukum (rechtstoepassing) yang mekanistis,
melainkan penemuan hukum (rechtsvinding) yang lebih
kreatif.
Sesudah membicarakan berbagai sistem hukum di
dunia yang pernah tampil dalam arena sejarah, Unger
mengatakan bahwa di antara berbagai sistem hukum di
dunia, mulai dari yang ‘define’ dan ‘princely’ ada satu yang
sangat istimewa, yaitu sistem hukum modern tersebut.
“There is a third and still narrower concept of law ... it
appeared and survives only under special circumstances.
It may be called the legal order or legal system. Law as
legal order is committed to being gen­eral and autonomous
as well as public and positive.”
Dari keseluruhan aspek otonomi hukum, salah
satunya yakni otonom dalam metodologi. “Law is autono-
mous in methodological level when the ways in which these
specialized institutions justify their acts differ from the
kinds of justification used in other disciplines or practices.”
Metodologi khusus inilah yang kita pakai sebagai pintu

22 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
masuk ke dalam cara berpikir hukum.
Paul Scholten, raksasa pemikir hukum Belanda,
melihat adanya perubahan dalam cara orang menjalankan
hukum (rechtsbeoefening) dan dalam cara berpikirnya
(Scholten, 1954). Dalam abad ke-19, orang berpikir dengan
penuh kepastian. Dalam keadaan yang demikian, maka
penalaran hukum berupa “hanteren van logische figuren”,
yaitu memproses hukum seperti orang mengerjakan tugas
matematik.
Bahan yang diproses dengan berpikir matematis
atau logis merupakan konsep, pengertian, doktrin, asas,
fiksi yang sudah dibuat oleh hukum sendiri. Hukum
bermain dalam medan dan entitas yang diciptakan sendiri.
Semua itu dilakukan semata-mata dengan bantuan logika.
Oliver Wendell Holmes mengatakan sebagai membuat
putusan hukum berdasarkan silogisme (“syllogism in de-
termining the rules by which men should be governed”)
(Holmes, 1963).
Hal itulah oleh Unger disebut sebagai metodologi
spesifik yang berbeda dari disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Metodologi yang khas tersebut juga menjadi ‘trade mark’
berpikir para ahli hukum.
Pertama, mereka “membersihkan” medan dari
definisi-definisi yang lama dan digantikan oleh definisi
yang mereka buat sendiri. Definisi lama tersebut diberikan
dan dibuat oleh masyarakat sendiri, misalnya pencurian,
penipuan, penyiksaan, dan lain-lain sudah dikenal oleh
rakyat sejak ratusan tahun, dirumuskan ulang oleh
mereka, dan akhirnya menjadi pengertian dan konsep
baru. Pencurian dirumuskan secara lebih jelimet (meticu-
lous) dan itulah yang menjadi pegangan dalam membuat
putusan hukum. Jika pengertian pencurian yang lama
ditangkap dengan rasa dan moral, maka pencurian dalam
sistem hukum modern menggunakan parameter yang
lebih rinci, eksak, dan diproses dengan menggunakan
logika semata.

Bagian 1 23
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Kedua, metode hukum modern sarat dengan
prosedur, yaitu mulai dari siapa yang dapat berperkara,
apa syarat-syaratnya, sampai pada birokrasi.
Ketiga, cara berpikir hukum menggarap bahan
hukum dengan menggunakan logika semata. Oleh
Scholten, bahan hukum tersebut disebut sebagai ‘logische
figuren’, tidak berbeda dengan angka-angka dalam
matematika. Bahan tersebut seperti pasal-pasal undang-
undang, konsep, pengertian (begrip), asas, fiksi.
Keempat, metode untuk memproses bahan-bahan
tersebut adalah logika, ‘syllogism’ (Holmes), ‘hanteren van
logiscbe figurerC (Scholten). Dalam konteks yang lebih
umum, Nonet dan Selznick menggunakan istilah ‘neces-
sary connec­tions’ (Nonet &c Selznick necessary connec-
tions between law and coercion, law and state, law and
rules, or law and aspiration,...”).
Cara berpikir hukum yang diuraikan tersebut
merupakan model spesifik yang digunakan oleh para ahli
hukum (lawyer). Cara berpikir seperti itu disamakan atau
diidentikkan dengan ilmu hukum. Ilmu hukum seperti itu
dikenal sebagai ‘analytical jurisprudence’ atau ‘rechts-
dogmatiek’ (Bid.)
Cara berhukum dan berpikir hukum tersebut yang
menyebabkan hukum menjadi suatu fenomena esoterik
yang tidak mudah dimasuki dan dipahami oleh orang biasa.
Menurut van den Bergh, hukum sudah menjadi ‘geleerd
recbf, tidak lagi alami. Ilmu hukum menjadi ilmu yang
mewa­dahi medan kehidupan manusia yang unik. Dalam
keadaan ekstrem, ilmu hukum tersebut dikenal sebagai
Begriffs-jurisprudenz, yaitu ilmu tentang konsep atau
pengertian hukum. Ia sudah sangat jauh dari realitas
kehidupan manusia sehari-hari.
Dunia hukum sudah menjadi terkucil (isolated) dan
esoteric. Oleh karena dengan cara seperti itu hukum
memang telah menciptakan suatu dunia tersendiri di luar
dunia yang alami. Barangkali, bolehlah dunia hukum itu
disebut sebagai “dunia maya” (virtual reality). Maya atau

24 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
tidak, para ahli hukum menerimanya sebagai suatu hal
yang biasa dan mereka bergerak di dalam ranah tersebut.
Itulah dunia para ahli hukum, inilah ‘lawyer’s law’.
Di luar dunia hukum para ahli hukum tersebut
dijumpai pula suatu cara berpikir hukum yang lain. Hal
itu dapat dimengerti dan tidak dapat dibendung karena
dirasakan hukum sudah menjadi sesuatu yang terlalu
“dibuat-buat” (artificially sophisticated) dan tidak “mem-
bumi” lagi. Dorongan itu semakin dirasakan manakala
hukum tidak hanya berfungsi menyelesaikan perkara
hukum melainkan juga problem sosial.
Hukum yang hanya berkutat dalam ranahnya sendiri
dengan menggunakan persepsi dan logikanya sendiri sulit
diharapkan mampu menyelesaikan problem sosial.
Paul Scholten memberikan tempat yang sangat
terhormat pada penilaian (waardeering) dalam berhukum.
Hal itu berarti bahwa kita tidak boleh hanya menggunakan
logika dalam berhukum. Di atas itu ada cara berhukum
yang dilakukan dengan perasaan (gefueblsmaessig).
Scholten mengatakan bahwa setiap putusan hukum adalah
suatu “lompatan” (een sprong). Pendapat tersebut juga de-
kat dengan pendapat Ronald Dworkin tentang cara mem-
baca teks hukum sebagai suatu ‘moral reading’ (Dworkin,
1996; Rahardjo, 2007). Dalam kaitan dengan pembacaan
serta pemahaman terhadap Konstitusi Amerika Serikat,
Dworkin mengatakan, “We must try to find language of
our own tbat best captures, in terms we find clear, the con-
tent ofwhat the ‘framers’ intended to say.”
Sejak hukum itu tampil dalam rumusan tertulis atau
teks dan teks tersebut dipakai untuk menghukumi
kejadian nyata dalam masyarakat, maka menjadi penting
untuk mencocokkan teks tersebut dengan fakta di
masyarakat. Pada dasarnya, membuat putusan hukum
adalah melakukan pekerjaan seperti itu.
Meskipun demikian, Scholten mengatakan bahwa
apa yang terjadi tidak sesederhana itu. Makna yang dimu-

Bagian 1 25
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
at dalam teks sering masih membuka perdebatan atau
selisih pendapat sehingga pekerjaan “mencocokkan” tidak
sesederhana seperti yang diperkirakan orang. Pekerjaan
menghukumi suatu kejadian bukan hanya didasarkan pada
bunyi teks karena orang juga dapat mengartikan teks itu
dengan lebih halus. Inilah yang disebut sebagai metode
penghalusan hukum (recbtsverfijning) (Rahardjo, 2006).
Melalui penghalusan itu muncul makna lain dari teks asli
sehingga terhadap fakta itu tidak dapat begitu saja
diterapkan bunyi teks yang lama (“... van een aflezen van
een regel uit de wet geen sprake kan zijn, ... dat door
verfijning van algemeen geformuleerde regels nieuwe
worden gevonden, dat hier geheel iets anders geschiedt dan
het brengen van een geval onder een in de wet gereed
liggenden regel.”)
Holmes yang termasuk dalam barisan mereka me-
nolak untuk berpikir logis dan silogistis semata, berpen-
dapat agar dalam mengambil putusan hukum atau berpikir
seorang hakim berusaha mendapat masukan yang luas,
berupa (1) the felt necessities of tbe time; (2) the prevalent
moral and political theories; (3) intuitions of public policy,
avowed or uncon-scious; (4) (even) the prejudices which
judges share with their fellowmen. Masukan tersebut lebih
penting daripada hanya mengandalkan silogisme.
Persoalan dalam menjalankan dan mengerjakan
hukum sebagaimana diuraikan tersebut ternyata bukan
hanya persoalan yang dimonopoli oleh orang-orang
hukum. Komunitas ilmu-ilmu sosial yang pekerjaannya
sangat dekat dengan hukum dan sering harus banyak
berhadapan dengan hukum, rupanya tidak dapat menahan
diri untuk melakukan “campur tangan” terhadap hukum.
Mereka harus berhadapan dengan hukum sebagai
suatu fakta besar yang tidak dapat diabaikan. Hukum
merupakan otoritas besar yang menata kehidupan
manusia bermasyarakat. Hal itu berarti menundukkan
perilaku dan hubungan antarmanusia di bawah kekuatan
memaksa hukum. Di sinilah ‘the legal’ dan ‘the social’

26 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
berhadapan, bersinggungan, dan bahkan bertabrakan satu
sama lain. Keadaan tersebut terjadi karena keduanya
memiliki optik yang berbeda terhadap objek yang sama,
yaitu kehidupan bermasyarakat manusia.
Para ahli ilmu sosial yang mengamati dan mem-
pelajari masyarakat sebagai realitas menemukan betapa
kompleksnya kehidupan tersebut. Nonet dan Selznick
mengatakan bahwa ilmuwan sosial melihat kejadian dan
proses dalam masyarakat sebagai satu rangkaian-
kelanjutan (continuum) dan kaya dengan variasi. Mereka
tidak dapat menutup mata terhadap hal-hal dan keadaan
tersebut.
Di sisi lain, sebagaimana telah diuraikan terdahulu
hukum menciptakan dunianya sendiri dengan cara
mereduksi realitas yang penuh dalam pasar kehidupan
masyarakat menjadi skema-skema yang final. Dalam teks
dan dokumen hukum realitas tersebut didefinisikan
kembali ke dalam pengertian dan konsep baru untuk
selanjutnya digarap dengan menggunakan logika.
Putusan-putusan hukum umumnya didasarkan pada cara
penggarapan seperti itu. Dari situlah para ahli ilmu sosial
dan ahli hukum mulai bersimpangan jalan (dalam risalah
ini memang dibicarakan pula cara-cara bertindak yang
berbeda, seperti yang dilakukan oleh Paul Scholten, O.W.
Holmes, dan Ronald Dworkin.)
Sebagai contoh, kita dapat mengatakan bahwa dari
kacamata hukum perkara sudah diputus atau disele-
saikan, tetapi itu belum tentu sama dengan mengatakan
bahwa problem sosial telah dipecahkan.
Kegelisahan mengenai adanya cara-cara berbeda
dalam menyelesaikan problem sosial, biasanya dialami
oleh bangsa-bangsa yang sedang menghadapi problem
sosial yang besar, seperti Indonesia dewasa ini. Hukum
memang dijalankan. tetapi tidak kunjung menyelesaikan
problem sosial yang dihadapi. Untuk Indonesia, perkara
korupsi dapat dipakai sebagai contoh tentang sasaran
hukum yang sangat alot penanganannya. Korupsi meru-

Bagian 1 27
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
pakan problem sosial yang sekaligus harus ditangani
dengan cara-cara hukum. Dari optik dan perspektif ilmu
sosial, penanganan oleh hukum itu dilihat sebagai kaku
dan tidak peka terhadap kompleksitas dan variasi.
Keadaan tersebut menjadikan para koruptor atau penja-
hat dapat cepat berlindung di balik skema dan prosedur
yang notabene kaku tersebut. Para advokat yang melaku-
kan pembelaan mengetahui benar celah itu dan kemudian
memanfaatkannya. Di sini, kita bukan lagi berbicara
tentang realitas sosial, tetapi tentang hukum positif,
tentang skema undang-undang, tentang prosedur. Celah
sedikit saja dalam perundang-undangan dan prosedur
sudah menjadi alasan untuk mementahkan perburuan
terhadap koruptor. Ini bukan sesuatu yang salah, oleh
karena aturan main dan kultur sistem peradilan memang
begitu.
Strategi ilmu sosial atau ‘developmental model’ Nonet
dan Selznick menyarankan agar pengadilan bersedia
untuk menerima pencerahan yang datang dari ilmu-ilmu
sosial. Memberikan komentar terhadap praksis sistem
peradilan di Amerika Serikat, Nonet dan Selznick
mengatakan/’Tfcere had long been a sense that lawmak-
ing, judging, policing, and regulation were all too easy di-
vorced from the realities of social experience and from the
idea of justice itself.”
Bagi hukum, hal itu merupakan tantangan besar
karena akan mengubah cara berpikir dan bekerja para ahli
hukum yang sudah mapan selama berabad-abad. Cara
berpikir hukum yang padat undang-undang dan prosedur,
yang bersifat kaku dan kurang peka terhadap komplek-
sitas dan variasi memerlukan penyadaran dan pence-
rahan.
Pada program doktor ilmu hukum inilah yang dapat
dijadikan laboratorium dan bengkel kerja yang sangat
bagus untuk mengelaborasi gagasan berhukum dan
berpikir hukum secara sosial. Sesungguhnya, masalah

28 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
pokok bukan terletak pada penggunaan ilmu sosial atau
tidak, melainkan mencari alternatif terhadap cara
berhukum selama ini yang sangat didominasi oleh
‘juristerij’ (Bld.) yang berkutat pada pikiran normatif,
dogmatis, dan skema-skema hukum yang final (finite
scheme). Secara kebetulan ilmu-ilmu sosial menawarkan
jalan alternatif tersebut dan menunjukkan kelemahan
bekerjanya hukum secara tradisional-konvensional.

Bagian 1 29
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
30 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 3

K
emajemukan
sebagai Konsep
Hukum

Sekarang sudah terjadi perubahan penting dalam


pemahaman hukum, yaitu dari konsep tunggal menuju
majemuk. Sejak program doktor itu sangat kuat berurusan
dengan konsep-konsep, maka sudah sepantasnyalah apabila
perubahan tersebut diikuti dengan saksama oleh komunitas
para calon doktor....

Para ahli hukum (lawyer) memiliki kultur yang khas.


Masyarakat umum tidak dapat memahami kultur tersebut,
kecuali jika mereka mempelajari hukum dengan sengaja.
Banyak konsep, logika, dan prosedur yang khusus dicipta-
kan dalam dunia para ahli hukum sehingga bagi orang
awam hukum dianggap sebuah dunia esoterik.
Dramawan Inggris, William Shakespeare, menyuruh
salah seorang pelakunya, dalam lakon Henry IV mengu-
capkan kalimat, “The first thing we do, let’s kill all the law-
yers”. Hal itu terjadi karena kejengkelan Shakespeare
terhadap esoterisitas dunia para ahli hukum, terutama
dengan kekhasan cara berpikir mereka.

Bagian 1 31
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Menengok ke Dalam Dunia Ahli Hukum
Tradisi para ahli hukum (lawyer) menghendaki agar
hukum memiliki serba kepastian yang tinggi. Hal itu
sangat penting bagi mereka karena berkaitan erat dengan
pekerjaan mereka. Para ahli hukum tidak dapat bekerja
atau tampil secara tidak pasti. Bagi mereka, hukum sudah
diibaratkan sebagai stetoskop para dokter.
Kebutuhan mereka mendorong timbulnya suatu
“dunia para ahli hukum” yang khas dan esoterik. Alam
sosial yang tergelar di sekeliling mereka ditata kembali,
dirumuskan kembali, direduksi dengan membuat konsep-
konsep, entitas, asas, dan doktrin, serta logika berpikir
yang khas. Di samping manusia sebagai makhluk hidup
yang nyata diciptakanlah “badan hukum” (rechtspersoon).
Badan hukum merupakan suatu konstruksi artifisial yang
mereduksi manusia sebagai suatu skema dan menja-
dikannya pelaku dalam hukum.
Banyak hal yang sudah menjadi pengetahuan awam
tanpa harus belajar lebih dahulu, seperti jual-beli, sewa-
menyewa, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain ditata
dan dirumuskan kembali oleh hukum, seperti tertera
dalam berbagai kitab undang-undang. Orang harus belajar
lagi untuk mengenali “pencurian-dalam-baru” dan
seterusnya.
Tradisi dan kultur para ahli hukum tersebut men-
dapatkan legitimasi dari aliran positivisme hukum. Aliran
itu mempersepsikan dan memperlakukan hukum sebagai
satuan yang sangat konkretempiris. Menurut Paul
Scholten, persepsi tersebut melihat hukum sebagai
“logische figuren”, entitas yang konkret sehingga peker-
jaan para ahli hukum adalah “banteren van logische figu-
ren” dan menggarap entitas-entitas dengan logika
(Scholten, 1954).
Bagi mereka undang-undang adalah barang konkret
dan pekerjaan berhukum (lawyering) adalah menggarap

32 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
barang yang konkret bagaikan orang memainkan angka-
angka. Cara bekerja tersebut secara ekstrem dilakukan
oleh aliran yang bernama Begriffsjurisprudenz. Aliran itu
juga dikenal sebagai analytical jurisprudence atau rechts-
dogmatiek (Bid.).
Dalam cara kerjanya, orang sudah tidak membeda-
kan antara hukum sebagai alam abstrak, konsep, doktrin,
fiksi melainkan menganggapnya sebagai hal yang benar-
benar nyata.

Hukum yang Eurosentris


Perkembangan hukum, dunia hukum, dan cara ber-
hukum yang eurosentris berkembang sangat pesat di
Eropa daratan. Sudah sejak sebelum Masehi penyeleng-
garaan hukum (rechtsbeoefening) dijalankan. Pada zaman
Romawi ilmu hukum berkembang pesat. Kodifikasi-
kodifikasi, seperti Codex Justinianus dan Corpus Juris
Civilis menunjukkan betapa pengusahaan hukum sudah
berkembang dengan pesat pada masa itu. Tidak mungkin
ada kodifikasi apabila jumlah bahan hukum masih sedikit.
Dengan demikian, tidak diperlukan penghimpunan bahan-
bahan itu dalam kitab-kitab hukum. Jumlah bahan hukum
yang masif tersebut juga menandakan bahwa pembuatan
peraturan, perumusan hukum, sistematisasi hukum, dan
lain-lain berlangsung dengan sangat marak.
Satu hal penting untuk dicatat yakni bahwa
dinamika pengusahaan hukum berlangsung dalam suatu
wilayah tertentu di dunia, yaitu di Eropa atau Barat {Oc-
cident). Jika kita menggunakan optik sosial dalam berilmu
hukum (“the juris prudence of law and society”, Tamanaha,
2006) maka kita akan mengatakan bahwa pengusahaan
hukum tersebut berlangsung dalam habitat dan
lingkungan Eropa. Hukum dan ilmu hukum yang
dikembangkan dalam lingkungan seperti itu sarat dengan
muatan sosial dan politik Barat.

Bagian 1 33
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Dalam sejarah dicatat bahwa tipe hukum tersebut
kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Penye-
baran itu secara fisik berupa penerimaan hukum yang
berasal dari Barat di atas sistem hukum yang selama itu
sudah digunakan oleh masyarakat setempat atau lokal.
Hal itu menyiratkan pengunggulan sistem hukum Barat
di atas hukum lokal.
Dapat dikatakan bahwa perlahan-lahan kita meng-
gunakan standar Barat apabila berbicara hukum di dunia.
Kita memiliki pengalaman saat Van Vollenhoven menge-
cam kawan-kawannya agar tidak menggunakan kaca mata
Barat jika berbicara mengenai hukum di Hindia-Belanda
(Nederlandsch-Indie) atau Indonesia waktu itu. Dengan
menggunakan optik seperti itu mereka tidak akan mene-
mukan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, ucapan
Vollenhoven,”geen juristenrecht voor de Indonesiers” (or-
ang Indonesia tidak mengenal hukum yang dipakai oleh
para juris, yang notabene adalah hukum Barat) menjadi
terkenal. Pada waktu itu Vollenhoven sudah merasakan
ada sesuatu yang tidak benar dengan pemaksaan penggu-
naan hukum Barat atau standar Barat dalam berhukum
di Indonesia.

Ilmu Hukum Baru


Ilmu hukum tradisional membicarakan hukum
semata-mata dalam konteks hukum. Ilmu hukum yang
baru tidak berhenti hanya pada membincangkan hukum,
melainkan dikaitkan dengan habitat sosial di tempat
hukum itu berada (Tamanaha, 2006). Dalil atau landasan
yang digunakan oleh ilmu hukum generasi baru tersebut
mengatakan bahwa sistem hukum merupakan bentuk khas
dari kehidupan sosial di situ (a peculiar form of social life).
Ilmu hukum yang baru tersebut menolak penggu-
naan satu standar dalam berhukum di dunia. Berdasarkan
landasan tersebut maka seluruh sistem hukum yang ada

34 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
di dunia memiliki hak yang sama untuk diterima dan
dijalankan.
Ilmu hukum dan masyarakat melihat hukum yang
dilepaskan dari konteks sosialnya sebagai suatu ilmu
hukum yang kering dan tidak utuh. Ilmu hukum menjadi
ilmu tentang skema-skema atau skeleton saja. Dengan
demikian, menjadi tugas ilmu hukum untuk menyatukan
kembali skeleton tersebut dengan “darah-dan-dagingnya”
sehingga gambar tentang hukum menjadi utuh (kembali).
Ilmu hukum baru tersebut oleh Werner Menski
disebut sebagai “plurality-conscious jurisprudence”
(Menski, 2006). (Mengenai kemajemukan tersebut akan
diuraikan lebih lanjut di bawah). Menurut Menski, orang
telah mengeksploitasi glo­balisasi terlalu jauh sehingga
mengabaikan dimensi lokal hukum. Globalisasi telah
meminggirkan glokalisasi (glocalization) atau kemaje-
mukan global. Menski mengecam bahwa suatu tatanan
hukum universal telah terbentuk sebagai suatu angan-
angan kosong belaka (wishful thinking). Gagasan tersebut
telah mendorong para mahasiswa untuk mengamini
kepedulian terhadap penjagaan (safeguarding) hak-hak
asasi manusia dan standar hukum universal di bawah
panji-panji “rule of law’ dan ‘good governance’.
Dengan demikian, jika kita berbicara mengenai
pembangunan dan pembaruan hukum {law reform) maka
kita tidak boleh lagi melihatnya dari standar tertentu,
yang notabene standar yang bias, karenaEurofWestern-
centric itu. “... (T)hat law reform would ideally have to con-
sider socio-cultural facts, but this conclusion is significantly
not drawn, because the authors are thinking about Euro-
pean civilization and its glo­bal claims to superiority. “

Pascamodernisme dan Hukum


Gelombang pikiran pascamodern yang dimulai dari

Bagian 1 35
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
ranah kesenian telah merambah ke seluruh penjuru ilmu
pengetahuan, termasuk ilmu hukum. Hukum dan
pascamodernisme ini sudah dibicarakan pada risalah yang
lalu.
Pascamodernisme telah menjungkirbalikkan banyak
hal yang telah dianggap mapan dalam era modernisme.
Dalam konteks itu, yang berhubungan dengan pembica-
raan kita adalah modernisme sebagai penggantian cara-
cara pengorgani­sasian sosial secara tradisional oleh biro­
kratisasi dan rasionalisasi masyarakat. Dalam modernis-
me hukum dikonsepkan melalui akal pikiran serta menjadi
instrumen yang kering-kerontang. Pascamodernisme
membongkar semua hal tersebut. Hukum modern yang
telah memorak-porandakan tatanan sosial lama oleh An-
thony Giddens disebut sebagai “‘ disembedding”, yaitu “the
disembedding of the social system, ... the ‘lifting ouf of so-
cial relations from local contexts of interaction and their
restructuring across indefinite spans of time-space”
(Giddens, 1990).
Mengikuti pikiran Alan Hunt (Hunt, 1990), maka
lewat Abad Pencerahan (enlightenment) hukum diberi
tempat istimewa (privileged position), yaitu sebagai
penjaga batas antara rakyat dan negara dan antara sesama
individu yang dituangkan dalam hak-hak hukum. Hukum
disebut sebagai suatu fenomena tunggal (unitary) yang
disebut “the Law”. Hukum adalah hukum negara yang
mengekspresikan kedaulatan suatu nation state yang
dibekali dengan penataan secara rasional yang dianggap
sebagai suatu cara yang paling maju. Hukum telah menjadi
suatu teologi dengan kekuasaan yang bersumber dari
hukum sendiri (selfreferential). Pascamodernisme menolak
konsep pencerahan tersebut dan menurunkan posisi tinggi
yang telah diberikan kepada hukum. Hukum tidak lagi
dikehendaki untuk menjalankan peran sentral dan
di­anggap sebagai simbol rasionalitas dan peradaban.

36 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Hukum yang oleh pascamodernisme diturunkan dari
singgasananya telah menurunkan pula kekuasaan hukum
negara sebagai satu-satunya kekuasaan yang diberi wewe-
nang untuk menata masyarakat. Hukum negara bukan lagi
satu-satunya.
Optik Baru: Kemajemukan sebagai Konsep
Menyusul perubahan yang digerakkan oleh pikiran
pascamodernisme maka pelan-pelan hukum Barat sudah
tidak lagi diterima sebagai satu-satunya standar dalam
berhukum di dunia.
Sesuatu yang baru muncul di kalangan para pem-
belajar hukum pada ranah global atau mereka yang
melakukan kajian terhadap sistem-sistem hukum secara
komparatif. Di kalangan mereka, pandangan pasca-
modernisme telah mengubah peta teori dalam studi
komparatif tersebut menjadi suatu “globality-conscious le-
gal theory” yang bersifat peka terhadap kemajemukan (plu-
rality-sensitive) (Menski, 2006).
Teori tersebut mengakhiri metode mempelajari
sistem-sistem hukum di dunia dengan menggunakan satu
standar dominan, yaitu hukum Barat. Sehubungan dengan
perubahan tersebut, Menski mengatakan, “As Western aca-
demics we seem, by our own histories and training, to be
too wedded to ways of perceiving and studying law tbat do
not take sufficient account of the culture-specific
embeddedness of legal phenomena in the worid.” Pendapat
Menski tersebut hanya menggarisbawahi apa yang juga
sering kita diskusikan, yaitu hukum itu adalah bentuk
penampilan khas dari suatu komunitas sosial tertentu.
Oleh karena memutus ikatan antara hukum dengan habi-
tat atau lingkungan sosialnya, secara teori adalah salah.
Di masa-masa lalu, di bawah dominasi kajian-kajian
hukum yang berkiblat ke Barat (“EurofWestern-centric”)
maka kajian komparatif terhadap sistem-sistem hukum

Bagian 1 37
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
dunia diarahkan pada suatu “universal homogenisastion”.
Akan tetapi, dengan perubahan menuju optik baru
tersebut, yang melihat sistem-sistem hukum yang dimiliki
oleh bangsa-bangsa di dunia sebagai sesuatu yang “cul-
ture-specific”, maka teori pengharmonisan mulai digugat.
Sejak hukum itu adalah khas secara kultural maka suatu
teori yang peka terhadap kemajemukan hukum mulai
dibangun. Optik yang digunakan tidak lagi normatif
melainkan lebih sosiologis, tidak lagi preskriptif
melainkan deskriptif, yaitu “how to understand law itself
and its various manifestations in a truly global context.”
Jika Menski mengutarakan secara akademis maka
Pilippe Sands mengatakannya dalam konteks interaksi
kekuatan antara negara-negara di dunia (Sands, 2005).
Dengan caranya sendiri, Philippe Sands, seorang
guru besar dalam hukum internasional mengatakan
bahwa dunia kita akan menjadi “a lawless world” apabila
satu negara dibiarkan mendominasi praktik hukum di
dunia. Sands mengatakan bahwa Amerika dengan modal
kekuatannya dapat malang melintang di dunia, yang
menyebabkan dunia tidak memiliki hukum, kecuali jika
sejalan dengan keinginan dan kepentingannya (negara
adikuasa tersebut). Mengutip Honore de Balzac, Sands
mengatakan bahwa hukum di dunia sudah berubah
menjadi seperti sarang laba-laba, “Les lois sont des toiles
d’araignees a tavers lesquelles passent les grosses mouches
et ou restent les petites” (Hukum seperti sarang laba-laba,
menangkap serangga-serangga kecil dan membiarkan
yang besar-besar lolos).
Menurut Menski, kita harus mengubah cara melihat
sistem-sistem hukum di dunia dan memberikan ruang
lebih luas bagi kehadiran sistem-sistem hukum di dunia
untuk “ada secara bersama-sama”, tanpa satu pun sistem
hukum boleh mendominasi dan memaksa yang lain.
Keangkuhan Barat sudah harus ditinggalkan. “We may
find it hard to accept this today, because they often do not

38 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
follow us and our ideas, but develop their own hybrid meth-
ods of dealing with legal issues.” Globalisasi sekarang tidak
hanya suatu gerakan yang menuju pada suatu tatanan
hukum dunia yang seragam hanya semata-mata karena
kehadiran dari “strong ideological impact of existing
Eurocentric and uniformising scholarship in the fields of
legal theory, comparative law and increasingly interna-
tional law. “

Pemikiran Hukum yang Tercerahkan


Perubahan serta optik baru tersebut, ternyata
memberikan dampak pula terhadap pendidikan dan
pembelajaran hukum dan lebih jauh lagi kepada para
pengajarnya. Pembelajaran hukum dan para pengajar
hukum memerlukan pencerahan mengenai konsep baru
tersebut, sebelum mereka mampu meneruskan kepada
para mahasiswa. Hal itu disebabkan perubahan menuju
pada teori hukum yang mengalami kepekaan baru, yaitu
plurality-sensitive, culture-specific, locality-coloured,
globality-conscious legal education (Menski, 2006). Suatu
generasi baru ahli hukum dan pemikir hukum yang sadar
akan konsep kemajemukan ini perlu dilahirkan lebih
dahulu.
Di Indonesia, perubahan tersebut dapat dirumuskan
sebagai suatu perubahan dari “hukum yang berbasis
negara” menjadi “hukum yang berbasis masyarakat”. Ilmu
hukum baru yang muncul dari situ adalah suatu “general
jurisprudence of law and society” (Tamanaha, 2006;
Rahardjo, 2006). Untuk masuk ke dalam ranah pemikiran
yang demikian itu, para pembelajar hukum perlu
menanggalkan nalar pemikiran (mindset) yang positivistik,
kolonial, dan menggantikannya dengan yang majemuk.

Bagian 1 39
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
40 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 4

F
ilsafat Penelitian
Hukum secara
Sosial
Dewasa ini sudah lazim di kalangan para calon doktor
hukum untuk mencantumkan istilah ‘socio-legal’ sebagai
salah satu tipe penelitian yang mereka gunakan. Risalah
ini membicarakan latar filosofis dari tipe penelitian tersebut.

Sudah sejak berabad-abad penelitian terhadap


hukum dilakukan. Sudah selayaknya dan sangat masuk
akal jika tipe penelitian itu dimulai dari substansi hukum
itu sendiri (yang jelas-jelas ada di depan mata). Dalam
konteks tersebut, kaidah dan peraturan diteliti untuk
memuaskan keingintahuan manusia tentang hukum,
seperti orang meneliti alam, tumbuh-tumbuhan, dan
binatang di sekelilingnya. Sehubungan dengan hal
tersebut, di bagian belakang akan dibahas penelitian
terhadap hukum yang disebut “meneliti dalam batas-batas
ranah hukum” (“alles binnen de kader van het reckt”).
Pada waktu hukum mulai dituangkan dalam bentuk
tertulis dan digunakan secara sengaja untuk mengatur
kehidupan manusia maka hukum mulai memasuki suatu
“full scale legislation”. Ini terjadi ketika peradaban hukum
memasuki (apa yang disebut oleh Roberto Mangabeira
Unger) sebagai era “the legal system” (Unger, 1976).

Bagian 1 41
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Menurut Unger, hanya sistem hukum modernlah
yang boleh menyandang sebutan sistem hukum yang
sebenarnya.
Sejak saat itu, hukum perundang-undangan benar-
benar merupakan suatu sistem hukum yang disting (dis-
tinct) yang berbeda dari “sistem-sistem hukum” yang
pernah ada. Oleh karena itu, hukum (modern) hanya boleh
dibuat oleh suatu badan pembuat hukum yang memang
diberi wewenang penuh untuk membuat hukum. Hukum
adalah peraturan khusus yang dibuat oleh badan tersebut,
lembaga hukum yang lain hanya dapat diawaki oleh
personel-personel yang memiliki kualifikasi tertentu,
serta dijalankan oleh mesin administrasi yang khusus.
Hukum juga dijalankan menurut cara berpikir yang khusus
didasarkan pada perundang-undangan yang telah dibuat.
Hal ini dikenal sebagai berpikir menurut “rules and logic”.
Dengan ciri-ciri tersebut maka hukum benar-benar
menjadi suatu institut yang esoterik. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika keadaan tersebut mengundang
semua pemerhati hukum yang serius untuk meneliti
bangunan hukum tersebut.
Meskipun demikian, tidak semua penataan hukum
di dunia sudah benar-benar dilakukan sebagai bagian dari
“full fledged legislation” tersebut, yang juga dapat
dinamakan peraturan yang dibuat oleh negara (“state-
based legislation”). Di luar produk legislasi formal masih
terdapat dan diterapkan peraturan yang dibuat secara
bebas oleh para anggota masyarakat. Oleh karena itu,
ketika peneliti Belanda datang di Indonesia dan ingin
mengetahui hukum di Hindia-Belanda mereka tidak
menemukannya. Hal itu karena dalam penelitian mereka
menggunakan teleskop Belanda atau Barat. Dengan
kondisi itu, Van Vollenhoven pun kemudian turun tangan
mengoreksi rekan-rekannya. Pernyataan Vollenhoven
yang terkenal pada waktu itu adalah “Geen juristenrecht
voor de Indonesiers” (untuk orang Indonesia jangan

42 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
dipakai “lawyer’s law”). Dalam kapasitas tersebut,
sesungguhnya Vollenhoven sesungguhnya telah
menerapkan suatu tipe dan metode studi hukum yang
berbeda dari arus utama (mainstream) ilmu hukum waktu
itu. Sayangnya, Vollenhoven sebagai peneliti hukum
belum menelisik dengan baik.
Tidak mengherankan jika pada awal-awal studi
hukum, perhatian ilmu hukum tersedot untuk meneliti
massa perundang-undangan sehingga segala aktivitas
keilmuan terpusat pada ranah tersebut dan tidak keluar
dari situ (Dit alles, binnen het recht) (Gijssels & Hoecke,
1982). Studi terhadap hukum yang demikian, lazim
disebut sebagai rechtsdog-matiek atau analytical jurispru-
dence. Masa perundang-undangan dipilah-pilah (splitsing)
dan digabung-gabung (samenvoeging). Cara kerja tersebut
sama dengan cara kerja sains menurut model Cartesian
(sebagaimana akan dibicarakan di bawah nanti). Dalam
studi hukum tersebut diberikan pada legalitas dan bukan
legitimitas. Objeknya adalah peraturan (rules) dan
metodenya logika (logic). Paul Scholten menyebut cara
yang demikian itu sebagai “banteren van logische figuren”
(Scholten, 1954).
Karya Hans Kelsen merupakan contoh yang baik
tentang bagaimana hukum dalam kualitasnya sebagai
bangunan peraturan yang unik dipelajari. Ia menepis
masuknya faktor-faktor lain yang menyebabkan orang
kurang dapat melihat hukum sebagai struktur bangunan
peraturan yang disting. Dengan pernyataan tersebut,
Kelsen disebut sebagai pelopor aliran hukum murni (Reine
Recbtslehre). Abad ke-19 merupakan era yang subur bagi
perkembangan aliran tersebut. Sebelum itu, perkembang-
an sains berlangsung dengan cepat dan mengagumkan,
yaitu sejak Rene Descartes dan Francis Bacon membangun
mazhab keilmuannya (Capra, 2000). Di abad ke-14 kedua-
nya melahirkan paradigma baru dalam sains yang
mengakhiri sains lama yaitu sejak Aristoteles.

Bagian 1 43
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Hubungan harmonis antara manusia dan alam
dipatahkan oleh pernyataan Descartes yang mengung-
gulkan rasio manusia ketika berhadapan dengan alam.
Melalui paradigma Cartesian tersebut maka rasio
manusia mendapat lisensi untuk menelisik secara habis-
habisan terhadap alam yang ada di hadapannya. Melalui
dikotomi antara manusia dan alam tidak ada lagi keragu-
raguan manusia untuk menggunakan akal pikirannya
dalam menyingkap rahasia alam. Keadaan itu mencapai
puncaknya pada Era Fisika Isaac Newton di abad ke-17.
Hans Kelsen mentransformasi paradigma Cartesian
tersebut ke dalam ilmu hukum. Di situ rasio manusia
kembali diunggulkan untuk menelisik objek yang
dihadapinya yang berupa bangunan peraturan. Sedangkan,
hal yang tidak berbentuk peraturan harus dikesam-
pingkan, seperti filsafat dan psikologi. Misalnya, fisika
Newton melihat alam sebagai sebuah mesin besar.
Demikian pula halnya Kelsen melihat hukum. Hukum
menjadi suatu “logische Stufenbau”. Konon, Kelsen
membangun teorinya didorong oleh keinginan agar ilmu
hukum tidak tertinggal oleh ilmu-ilmu kealaman yang
sedang berjaya pada waktu itu. Ilmu-ilmu kealaman
memperlihatkan “keunggulannya” di antara disiplin sains
yang lain. Keunggulan itu tecermin lewat (semacam)
pembakuan istilah ilmu pengetahuan dalam “ilmu
pengetahuan dan teknologi” (science and technology) yang
mengesankan bahwa watak keilmuan hanya ada pada
ilmu-ilmu kealaman yang berperan besar dalam kemajuan
teknologi. Misalnya, August Comte menamakan sosiologi
sebagai “the pbysics ofsociety”. Dengan demikian, ilmu
hukum Kelsen juga dapat disebut “the pbysics of law”.
Di sini diperoleh bukti bahwa kemajuan yang dicapai
dalam satu bidang sains berimbas pada bidang lain.
Kemajuan dalam bidang fisika yang mewakili “science and
technology” dapat memicu positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial dan humaniora, termasuk ilmu hukum. Uraian me-
ngenai ilmu hukum Kelsenian mewakili positivisme

44 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
tersebut.
Abad ke-19 dapat dikatakan sebagai zaman keema-
san ilmu hukum. Pada saat itu, bidang-bidang berkembang
pesat sesuai dengan perkembangan perekonomian dan
kehidupan sosial pada umumnya. Bidang-bidang hukum
baru yang muncul menyebabkan massa perundang-
undangan juga kian menumpuk sehingga mendorong
dilakukannya kodifikasi. Pada abad tersebut, para
ilmuwan hukum merasa yakin akan masa keemasan
tersebut. Dengan keyakinan itu, ilmuwan berani
meramalkan bahwa ilmu hukum sudah mencapai puncak
perkembangannya. Untuk masa mendatang tidak akan
ada lagi perkembangan baru.
Pada kenyataannya, perkiraan tersebut tidak
berjalan lama, perkiraan tersebut meleset sejak memasuki
abad ke-20. Paul Scholten mengatakan, bahwa “Van de
rustige verzekerdheid van velen in de 19de eeuw,... , is niet
zo heel veel overgebleven” (masa-masa penuh kepastian
abad kesembilan belas tidak banyak lagi tersisa). Abad
ke-20 mengalami perubahan besar. Bahkan, perubahan
terjadi juga pada paradigma dalam sains. Fisika Newton
yang berjaya selama abad ke-17 sampai abad ke-19 yang
dibangun di atas fondasi paradigma Cartesian dan Baco-
nian menghadapi tantangan besar yang akhirnya meng-
goyahkan paradigma tersebut (Capra, 1975, 1982, 1997).
Para fisikawan dan ilmuwan lain pasca-Newton mene-
mukan fenomena-fenomena dalam alam yang tidak dapat
dijelaskan oleh fisika Newton yang reduksionistik,
mekanistik, dan atomistik. Untuk itu, kredo sains
sekarang adalah “dari mekanistik ke pandangan dunia
yang ekologis dan holistis”.
Dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan juga semakin
disadari bahwa betapa kompleksnya masyarakat. Untuk
itu, tidak boleh menyikapi hanya dari sudut pikiran yang
datar (linear) (Zohar Sc” Marshall, 2000). Dalam konteks
itu, pikiran-datar yakni melihat hukum hanya dengan per-

Bagian 1 45
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
lengkapan “peraturan dan logika” (rules and logic) semata.
Sebaliknya, pikiran-dalam melihat kehidupan di balik
skema-skema peraturan itu. Paham ini berkeyakinan
bahwa masih ada kehidupan lain di belakang peraturan
yang tidak dapat direnggut dari kesatuannya dengan
dunia peraturan. Apabila hal itu terjadi maka hukum akan
menjadi skema-skema yang kosong, sebuah skeleton
belaka, tanpa darah-dan-daging.
Menjelang peralihan abad ke-20 telah terjadi
perubahan besar dalam masyarakat, antara lain
disebabkan oleh industrialisasi. Struktur masyarakat
industri sangat berbeda dari masyarakat sebelumnya.
Sebagian orang mengatakan bahwa masyarakat yang
tadinya lebih alami berubah menjadi masyarakat yang
sangat dikonstruksikan (geconstrueerde maat-schappij)
(Beus & Doorn, 1986). Kendati masyarakat berubah besar,
namun tidak demikian dengan hukum. Hukum sebagai
skema-skema yang final (finite) sangat kaku sehingga sulit
berubah. Oleh karena itu, dijumpai keadaan yang sangat
menarik. Pada saat itu, substansi berubah tetapi hukum
yang mengaturnya tetap. Keadaan seperti itu dibahas oleh
Kari Renner dengan sangat menarik (Renner, 1969).
Dalam era industri, konsep hak milik yang semula
merupakan hak manusia atas barang telah berubah. Dalam
era industri buruh tidak lagi hadir sebagai manusia yang
penuh, tetapi telah direduksi menjadi barang atau unsur
produksi, seperti tanah, bangunan, dan mesin. Meskipun
demikian, konsep hukum mengenai pemilikan tidak
berubah.
Pada saat itu sulit untuk memercayai bahwa hukum
memang mencerminkan realitas dalam masyarakat. Lebih-
lebih jika terjadi pada bangsa-bangsa yang mempunyai
“civil law countries”, termasuk Indonesia. Hukum di
negara-negara tersebut sangat ditentukan oleh produk
legislasinya. Ini berbeda dari “common law countries” yang
pada dasarnya hukumnya berlandaskan tradisi. Oleh

46 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Brian Simpson dikatakan, “In the common law system no
clear distinction exists between saying that a particular
solution to a problem is in accordance with the law, and
saying that it is the rational, or fair, or just solution.”
(Simpson, 1986). Tidak ada perbedaan antara bahasa,
konsep, definisi hukum, dan bahasa rakyat biasa. “The le-
gal and the extra-legal worlds are intimately associated,
not separated
Hukum modern memang penuh dengan fiksi,
konstruksi, definisi, dan konseptusalisasi yang semakin
menjauhkan dan mengasingkan hukum dari realitas
kehidupan sehari-hari. Hukum menjadi dunia yang
esoterik. Tragisnya, hukum menjadi bukan monopoli para
ahli hukum (lawyers) dan hanya berlaku serta digunakan
dalam kalangan mereka. Hukum juga digunakan dan
menjadi milik masyarakat luas dan rakyat biasa yang tidak
tahu kerumitan teknis hukum. Lebih parah lagi, dalam
doktrin tersebut dikatakan bahwa “Setiap orang dianggap
mengetahui undang-undang”.
Hukum yang esoterik itu tidak dapat memperta-
hankan keistimewaannya lebih lama berhadapan dengan
serbuan masyarakat yang berubah. Konsep-konsep harus
didefinisikan kembali agar mampu mengakomodasi
perubahan-perubahan yang terjadi. Hugo Sinzheimer
berbicara tentang “ambruknya pandangan dunia klasik
dalam ilmu hukum” (het verval van het klassieke
wereldbeeld der jurisprudentie) (Sinzheimer, 1935).
Sinzheimer mengatakan bahwa karena penataan hukum
yang bertumpu pada individu mulai digantikan oleh
satuan-satuan kolektif. Dengan demikian, terjadilah
“pemasyarakatan dari hukum” (vermaatschappelijking
van het recht). Alan Hunt menamakan fenomena tersebut
sebagai “the sociological movement in law” (Hunt, 1978).
Buku tersebut diawali dengan kata-kata, “The twentieth
century has produced a movement towards the sociologi-
cally oriente’d study of law. Study of law can no longer be

Bagian 1 47
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
regarded as the exclusive preserve of legal professionals,
... There has emerged a sociological movement in law which
has had its common and explicit goal the assault on the
legal exclucivism ...” Dengan demikian, ilmu hukum yang
terlalu ketat melihat hukum sebagai “peraturan dan
logika” sendirilah yang mendorong orang untuk melongok
sesuatu di balik tembok peraturan atau perundang-
undangan tersebut. Dari keadaan tersebut, terasa ada
sesuatu yang hilang dalam studi hukum.
Sebagaimana diuraikan di muka, kita dapat juga
melihatnya dalam konteks perkembangan sains pada
umumnya. Sains, Khususnya fisika, yang selama ratusan
tahun didasarkan pada pikiran Cartesian dan epistemo-
logi Baconian, akhirnya memuncak pada fisika Newtonian
yang melihat alam dengan pandangan dunia mekanistik.
Model sains itu akhirnya harus digantikan oleh yang lebih
baru dengan paradigma baru. Sains baru tersebut melihat
lubang-lubang dalam teori besar Newton sehingga tidak
dapat menjelaskan fenomena alam secara lengkap.
Sebagai contoh, fenomena cahaya dan listrik belum dapat
dijelaskan melalui fisika Newton. Penjelasannya harus
menunggu teori-teori baru, seperti relativitas Einstein dan
teori kuantum. Sains yang lebih baru tersebut mening-
galkan cara melihat alam secara terpecah dan terkotak
{fragmented) dan atomistik, yang dibangun dari blok-blok
yang terpisah, untuk digantikan oleh paradigma holistis
dan ekologis (“ekologi-dalam”, “deep ecology”).
Alam lalu dipandang sebagai sesuatu yang kompleks,
rumit, dan memperlihatkan interelasi-interdependensi
yang rumit antara unsur-unsurnya. Alam tidak dapat lagi
dilihat secara mekanistik, melainkan proses yang rumit.
Untuk itu, paham Cartesian-Newtonian tidak mampu
menjelaskan dan menjangkaunya. Alam bukan terdiri atas
blok-blok unsur yang terkota-terpisah, berdiri sendiri,
melainkan sebuah proses yang rumit. Dari situ lahirlah
pandangan dan teori relativitas. Sementara itu, para

48 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
kimiawan menyumbang kerumitan alam dengan
menunjukkan bahwa tidak semua proses dalam alam itu
dapat dirunut kembali (irreversible), seperti pandangan
mekanik Newton menyatakan bahwa proses yang telah
terjadi dapat diruntut balik (reversible) (Prigogine &
Stengers, 1985). Untuk lebih jelasnya dikutip pendapat
dua kimiawan, yaitu Ilya Prigogine dan Isabelle Stengers
yang menyatakan, “Our vision of nature is undergoing a
radical change toward the multiple, the temporal, and the
complex. For a long time a mechanistic world view domi-
nated Western science. In this view the world appeared as
a vast automaton. We now understand that we live in a
pluralistic world. It is true that there are phenomena that
appear to us as deterministic and reversible ... But there
are also irreversible processes that involve an arrow of
time.”
Pembicaraan yang panjang mengenai perkembangan
yang terjadi pada sains di luar hukum berfungsi sebagai
introduksi ke dalam transformasi wacananya ke dalam
ranah ilmu hukum. Dalam hal ini, penulis setuju dengan
pendapat Capra yang mengatakan, “The more we study
the major problems of our time, the more we come to realize
that they cannot be understood in isolation. They are sys-
temic problems, which means that they are interconnected
and interdependent.’” (Capra, 1997). Capra mencontohkan
bahwa problem kependudukan berkaitan dengan kemis-
kinan. Kemusnahan spesies binatang dan tanaman akan
terus berlangsung selama rakyat di bagian selatan dunia
terjebak dalam utang. Kerusakan dan kemerosotan
sumber daya alam yang bergabung dengan kemiskinan
menyebabkan ambruknya komunitas lokal dan kekerasan
antarsuku.
Kita yang bergerak dalam ranah hukum dan ilmu
hukum tidak dapat melepaskan diri dari problem sistemik
tersebut. Oleh karena itu, ilmu hukum yang tidak peka

Bagian 1 49
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
terhadap keterkaitan sistemik antara sektor-sektor
kehidupan manusia akan menjadi ilmu yang terkucilkan
(insulated, isolated) dari komunitas besar sains dan akan
menjadi ilmu yang kurang autentik untuk abad ke-21. Ilmu
hukum yang hanya melihat ke dalam (internal structure)
dapat menjadi batu sandungan pada waktu ilmuwan dunia
bekerja bahu-membahu secara sistemik dan holistis.
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Edward O. Wil-
son, “Given that human action comprises events of physi-
cal causation, why should be social sciences and humani-
ties be impervious to consilience with the natural sciences?
(T)rue reform will aim at the consilience of science with
social sciences and humanities in scholarship and teach-
ing.” (Wilson, 1998). Menurut Wilson, “The greatest enter-
prise of the mind has always been and always will be the
attempted linkage of the sciences and humanities.” Lebih
lanjut dikatakan, “The ongoing fragmentation of knowledge
and resulting chaos in philosophy are not reflections of the
real world but artifacts of scholarship.” Perkembangan
ilmu-ilmu kealaman telah menjadi sedemikian rupa
sehingga telah menjangkau perbatasannya dengan ilmu-
ilmu sosial dan humaniora. Sementara itu, menurut Wil-
son, para ilmuwan sosial masih sibuk berbicara hanya
dengan sesamanya dan belum diakarkan pada biologi dan
psikologi. “But never ...social scientists been able to embed
their narratives in the physical realities of human biology
and psychology, ...”
“Hingar-bingar” dalam sains tersebut pada akhirnya
menggedor juga pintu ilmu hukum untuk bangun. Ilmu
hukum tidak dapat lebih lama melihat ke dalam,
sedangkan biolog seperti Wilson dengan lantang
mengatakan bahwa untuk tidak menjadi ilmu yang kasar
dan dangkal (banal) maka ilmu-ilmu sosial dan humaniora
perlu mengakarkan diri pada biologi dan psikologi.
Abad ke-21 mengisyaratkan bahwa kehidupan
manusia setidaknya sudah berlangsung selama dua ribu

50 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
tahun lebih dan sepanjang ribuan tahun itu manusia
melihat banyak kejadian, perubahan, keambrukan, dan
kebangunan kembali. Peninggalan sejarah dan legasi
kepustakaan mengisyaratkan bahwa dari generasi ke
generasi dan dari abad ke abad (tbrougb tbe ages) manusia
menjadi semakin kaya secara spiritual. Dalam berilmu
hukum seharusnya juga menjadi semakin kaya. Sampai
hari ini, manusia abad ke-21 adalah yang paling kaya,
dewasa, dan cerdas. Perjalanan berilmu hukum telah
memberi pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman
baru terhadap ilmu tersebut. Scholten menyatakan bahwa
“het rustige verzekerdheid van de 19 de eeuw is nu niet
heel veel overgebleven”. Pernyataan tersebut, sangat
mencerahkan kita dengan pandangan progresif yang
hakikatnya cara berhukum dan berilmu hukum itu
mengalir terus meninggalkan yang lama dan memasuki
yang baru.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, tipe penelitian
secara sosial terhadap hukum (socio-legal research)
sesungguhnya merupakan jawaban dari komunitas ilmu
hukum terhadap berbagai tantangan. Hukum sebagaimana
tampil dalam bentuk peraturan, teks, dan dokumen
sesungguhnya mereduksi kenyataan menjadi skema-
skema belaka. Apabila hal itu tetap dipertahankan, penulis
menyatakan agar ilmu hukum lebih baik diganti menjadi
“ilmu (tentang) peraturan” saja. Sedangkan, ilmu hukum
kita artikan sebagai ilmu yang mempelajari hukum secara
utuh. Artinya, hukum tidak hanya dilihat sebagai pera-
turan, tetapi juga realitas yang lebih utuh.
Penelitian hukum secara sosial sesungguhnya
meneriakkan suatu keluhan bahwa hukum sudah
direduksi menjadi teks. Dengan demikian, menjadi tidak
utuh lagi. Apakah hal itu mampu membuka pintu terhadap
pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, ekonomis,
atau yang lain semuanya bertujuan untuk mengutuhkan
kembali hukum yang sudah diredusasi. Apabila kita mau

Bagian 1 51
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
jujur, sesungguhnya sekarang ini hampir tidak ada pembi-
caraan atau penulisan mengenai hukum yang hanya
berkonsentrasi pada peraturan atau teks. Semua sudah
menyinggung realitas sehingga keluar dari teks undang-
undang.
Sekalian praksis dalam ilmu hukum dan penelitian
hukum berdiri di atas pundak pengalaman di masa lalu.
Sains memang berkembang seperti itu. Sains abad ke-21
berdiri di atas pundak abad ke-20 dan demikian
seterusnya. Fisika Einstein tidak akan ada tanpa didahului
oleh era Newtonian, Cartesian, dan seterusnya. Demikian
pula dengan ilmu hukum ketika satu aliran pemikiran
pada suatu waktu berdiri di atas yang sebelumnya.
Pikiran Kelsenian kita hargai pada waktunya, tetapi
sekarang kita sudah berada pada era post-Kelsenian.
Seperti juga ilmu kealaman yang kini sudah menjadi lebih
arif daripada fisika Newtonian yang hanya mekanistik dan
bahwa sekalian proses dapat dirunut kembali ke belakang
secara eksak (reversible). Fisika sekarang sudah menjadi
lebih kaya karena dapat mengetahui ada proses yang dapat
dirunut kembali ke belakang, tetapi ada juga yang tidak
(irreversible).
Ilmu hukum sekarang tidak puas hanya dengan
pikiran Kelsenian yang melihat proses hukum secara
mekanistik. Di abad ke-19, yaitu pada era hukum
mekanistik berlangsung, hakim hanyalah mulut undang-
undang (“la bouche qui prononcent les paroles de la loi”).
Bangunan hukum Kelsenian sama dengan pikiran
Newtonian yang melihat alam sebagai bangunan besar
yang disusun dari blok ke blok secara mekanistis. Akan
tetapi, seperti diuraikan sebelumnya, orang sekarang
sudah melihat masyarakat sebagai sesuatu yang kompleks,
relatif, dan tidak dapat dipahami secara matematis.
Sehubungan dengan keadaan tersebut, Oliver Wendell
Holmes mempunyai cara sendiri untuk berkomentar, yaitu
dengan mengatakan, “The law embodies the story of a

52 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
nation’s development through many centuries, and it can
not be dealt with as if it contained only the axioms and
corollaries of a book of mathematics.” (Holmes, 1963).
Rupanya ilmu hukum sekarang tidak puas hanya
menjadi “ilmu hukum” (jurisprudence), melainkan lebih
daripada itu. Keinginan tersebut, misalnya, tecermin pada
buku tulisan Brian Z. Tamanaha yang berjudul “A Gen-
eral Jurisprudence of Law and Society” (Tamanaha, 2006).
Ilmu hukum tidak berhenti pada studi mengenai teks dan
dokumen, melainkan “hukum dalam konteks masyarakat”.
Di sini perkembangan ilmu hukum sudah menjawab
tantangan garis depan sains yang pahamnya sudah berge-
ser “dari mekanistik ke holistis”. Ilmu hukum mengatakan
sebagai pergeseran “dari teks ke konteks sosial”.
Berdasarkan kompleksitas tersebut, maka pada
waktu akan melakukan penelitian seharusnya orang juga
sudah siap untuk melihat dan menerima kenyataan yang
kompleks itu. Untuk itu, ukuran yang dipakai juga tidak
dapat linier, melainkan perlu memotret kompleksitas
tersebut. Itulah suatu penelitian yang sekarang dikenal
sebagai penelitian terhadap hukum secara sosial (socio-
legal researcb). Penelitian hukum secara sosial tidak lain
bertujuan membawa kita pada pemahaman hukum secara
lebih menyeluruh, utuh, bukan teks, skema, atau “bangkai
hukum” saja. Pada hakikatnya, yang ingin diamati dan
diketahui bukan sekadar bagaimana hukum menyuruh dan
memerintah, tetapi juga bagaimana kelanjutan dari perin-
tah hukum itu. Ingin juga diketahui apakah peraturan itu
efektif, positif, produktif, atau malah mengganggu dan
merusak. Ingin diketahui pula bagaimana hukum itu
diterima dan dipahami oleh masyarakat setempat dan
lain-lain keinginan tahu di luar hukum sebagai teks.
Dengan penelitian yang demikian itu, maka kualitas
pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap
hukum juga menjadi meningkat.

Bagian 1 53
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
54 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 5

H
idup di Luar
Hukum Negara
(‘Keboromo’,
‘Comas’, dan ‘Pasargada’)

Hukum memang ibarat air, selalu mengalir untuk


menemukan jalannya sendiri menuju laut. Jalan menuju
laut itu dapat lancar dan dapat pula penuh hambatan, tetapi
hukum tetap akan mengalir dan berusaha menemukan
jalannya sendiri, kendati pun itu merupakan jalan lain, atau
alternatif. Risalah ini ingin mengantarkan para calon doktor
untuk melihat dan memahami betapa kompleks cara orang
hidup dalam dunia hukum itu.

Hukum negara dengan dukungan legitimasi formal


dan fasilitas fisik memang mendominasi, tetapi hal itu
tidak menghapuskan sama sekali kehadiran sumber-
sumber yang lain. Pemahaman mengenai hukum oleh para
(calon) doktor sudah sepantasnya menukik sampai pada
kenyataan yang kompleks.
Program doktor kita dinamakan ‘Program Doktor
Ilmu Hukum’. Oleh karena itu, sudah sepantasnya yang
dibicarakan adalah hukum dalam arti yang luas dan bukan
sebatas pada hukum negara.

Bagian 1 55
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Keberlakuan hukum tidak dapat dilepaskan dari
otoritas di belakangnya. Dengan kata lain, hukum
membutuhkan otoritas. Dengan demikian, tidak pernah
lekang dari adu kekuatan (power relations) dalam
masyarakat. Pada waktu mengajukan tipologi hukum,
Nonet dan Selznick memusatkan perhatiannya pada posisi
otoritas (authority) dalam masyarakat. Tipe hukum yang
mengandalkan paksaan/kekuasaan bertumpu pada
otoritas yang belum tertata secara organisatoris dengan
baik sehingga harus mengandalkan kekuasaan.
Kekuatan atau keperkasaan otoritas tidak selalu
stabil, melainkan fluktuatif, naik dan turun. Sekitar abad
ke-I8 muncul fenomena negara modern, yaitu sebuah
kekuasaan politik di satu wilayah tertentu yang memono-
poli kekuasaan di situ. Kekuasaan yang hegemonial mero-
bohkan pusat-pusat kekuasaan yang sudah ada sebelumnya
untuk diisap habis oleh negara tersebut. Dalam bahasa
retorika disebut kedaulatan (sovereignty). Konsep
kedaulatan atau kedaulatan negara hanya mengakui
kehadiran satu kekuasaan dalam wilayah tertentu.
Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang sah (legal),
sedangkan apabila muncul kekuasaan lain maka kekua-
saan tersebut tidak sah (illegal). Oleh karena itu, atas na-
ma hukum atau kekuasaan yang sah otomatis kekuasaan
itu tidak diakui dengan segala akibatnya. Konsep kedaul-
atan negara juga membawa konsep yang lain, yaitu kedau-
latan hukum negara. Apabila masih ada kekuasaan-
kekuasaan pada tingkat lokal yang tetap berdiri, maka
itu tidak lain karena legalitas yang diberikan oleh hukum
negara (...(so) important for state organiza­tions since the
sixteenth century to seek predominance, to make or autho-
rize all the rules, and to move up to the scale of state at-
tributes...) (Midgal, 1988).
Pada kenyataannya, keadaan tersebut tidak sese-
derhana itu. Kekuasaan sosiologis yang dipinggirkan
tetap bertahan dan sesekali muncul pada saat kekuasaan

56 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
negara melemah (Midgal, 1988). Bahkan, untuk tujuan-
tujuan tertentu (seperti akan diuraikan di bawah)
kekuasaan sosiologis yang tidak sah itu terkadang
“dipelihara” dan dibiarkan hidup oleh negara.
Menurut Midgal, adu kekuatan akan terjadi secara
terus-menerus antara kekuasaan negara dan kekuatan-
kekuatan komunitas pada aras lokal, seperti dikatakan
oleh Midgal, “These struggles are over ivbetber the state
will be able to displace or barness other organizations -
families, clans, multinational corporations, domestic en-
terprises, tribes, patron-client dyads - which make rules
against the wishes and goals o f state leaders.”
Kenyataan juga menunjukkan tentang keperkasaan
dan keunggulan hukum negara berhadapan dengan ranah
yang lain. Hukum negara menjelajahi dan memasuki
hampir setiap ranah kehidupan, pribadi, sosial, ekonomi,
dan lain-lain. Dengan demikian, hukum sudah menjadi
standar penormaan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Mereka yang tidak mengetahui secara persis apa
hukumnya dalam suatu perkara, tetap mengakui bahwa
hukum itu ada dan siap untuk menghukum perilaku serta
hubungan-hubungan yang mereka lakukan.
Sebagai contoh, di Keboromo, Jawa Tengah. Pada
suatu saat warga desa mencium “bau korupsi” yang
dilakukan oleh perangkat desa. Korupsi ini menyangkut
pembelian tanah desa yang akan digunakan oleh negara
untuk keperluan publik. Uang harga pembelian itu tidak
masuk ke kas desa, melainkan ke dalam kantong pribadi
perangkat desa. Melihat keadaan tersebut, dengan dipim-
pin oleh seorang warga, digelarlah sebuah sidang yang
mengadili mereka yang melakukan korupsi tersebut.
Sidang berlangsung selama sembilan jam dan berakhir
dengan pengakuan para pelaku korupsi serta kesediaan
untuk mengembalikan uang tersebut ke kas desa. Oleh
warga desa, urusan berikutnya diserahkan kepada Polri.

Bagian 1 57
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Secara retorika hukum apa yang terjadi di Keboromo
tidak sah karena melakukan tindakan main hakim sendiri
(eigenricbting). Apa yang selesai secara hukum tidak begitu
saja selesai pula secara ilmu. Ilmu yang berburu kebenaran
tetap akan mempertanyakan mengapa kejadian seperti
itu dapat muncul. Ilmu pengetahuan melihat kejadian
tersebut belum selesai karena merasa masih mengemban
tugas untuk menj elaskannya.
Di Keboromo dapat kita saksikan tentang bagaimana
tugas-tugas yang seharusnya dijalankan oleh kekuasaan
yang sah diambil alih oleh komunitas lokal. Masyarakat
di situ melihat bahwa orang-orang yang melakukan
korupsi diajukan ke pengadilan untuk menerima huku-
man berupa pemidanaan. Itu adalah pelajaran resmi yang
mereka ketahui dan baca di media massa. Tentunya
mereka juga sudah mengetahui dari berita-berita bahwa
korupsi sekarang sedang diberantas oleh negara. Mereka
mengetahui korupsi adalah kejahatan yang harus
diberantas dan itulah yang mereka lakukan dengan
menggelar “Pengadilan Komunitas Kedungombo”. Mereka
melakukan itu dan berhasil mengembalikan uang yang
ditilep oleh sejumlah pamong desa ke kas desa. Yang lebih
penting yakni mereka meyakini tindakan mereka adalah
benar. Sementara itu, retorika hukum akan mengatakan
dan menya­takan bahwa tindakan itu salah, yang tentunya
disejajarkan dengan illegal logging dan yang lain-lain.
Ilmu hukum dan praksis tradisional tidak
mempunyai konsep dan teori untuk menangani kejadian
tersebut. Kejadian tersebut hanya dapat dihadapi oleh
teori-teori yang sedang muncul (emergent theory) atau
teori-teori alternatif, seperti “The Non-systematic Theory
of Law” (Charles Sampford, 1989) dan “The Paradigmatic
Transition” (Boaventura de Sousa Santos, 1995), yang akan
dibicarakan lebih lanjut di belakang nanti.
Cerita berikutnya diambil dari buku yang ditulis oleh
Hernando de Soto, seorang advokat di Peru (Soto, 1991).

58 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Comas, yang dipakai dalam judul risalah ini adalah nama
dari suatu tempat pemukiman komunitas informal dan
dipakai untuk mewakili komunitas-komunitas informal
lain di Peru, seperti Independencia, San Juan del
Miraflores, dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan de
Soto dibantu oleh peneliti dari Tnstitute for Liberty and
Democracy’ (ILD).
Sejarah munculnya pemukiman (settlement) tersebut
dimulai sejak para petani Peru melakukan migrasi ke kota-
kota yang menyebabkan penduduk kota-kota di Peru
antara tahun 1940-198 lmeningkat dari 2,4 juta menjadi
11,6 juta.
Politik kesejahteraan pemerintahan Peru dilakukan
dengan memberi bantuan kepada para petani di tempat
masing-masing agar menjadi sejahtera. Dengan demikian,
bantuan tersebut diberikan kepada mereka dalam posisi
terpencil di daerah pertanian jauh dari pusat-pusat kota.
Akan tetapi, sekarang petani itu berdatangan ke kota-kota
yang jumlahnya dari tahun ke tahun menjadi semakin
besar.
Bagi para migran, kota merupakan kehidupan
tertutup dan tidak memberikan sambutan hangat terhadap
kedatangan mereka. Kota-kota memiliki peraturan-
peraturan yang memberikan fasilitas dan jaminan
kehidupan bagi para penduduk kota. Semua berjalan baik
sampai dengan datangnya serbuan petani migran itu.
Hukum yang ada tidak melihat dan memedulikan
kehadiran para migran dan tetap bersikukuh pada sistem
hukum yang lama yang memberikan pelayanan kepada
penduduk kota. Para migran dibiarkan berada “di luar
hukum”.
Pada mulanya, saat migrasi petani ke kota masih
dalam jumlah kecil dan terbatas hukum masih mampu
merangkul para pendatang (dalam arti mentolerir). Akan
tetapi, pada saat jumlah itu semakin besar, maka hukum
mulai melakukan penolakan terhadap para migran terse-

Bagian 1 59
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
but. Semua pintu menjadi tertutup dan hanya melayani
para penduduk kota yang asli. Oleh Hernando de Soto
ditulis, “... sistem yang ada tidak dirancang untuk
menerima mereka, ... makin banyak hambatan yang
dipasang untuk merintangi mereka, ... mereka harus
berjuang untuk memperoleh hak dari pihak-pihak yang
mempunyai kedudukan yang kukuh dan tidak mau
memberi. ... mereka disingkirkan agar tidak dapat
menikmati manfaat dan fasilitas yang ditawarkan sistem
hukum, dan akhirnya satu-satunya jaminan bagi
kebebasan dan kemakmuran bagi mereka terletak dalam
tangan mereka sendiri.”
Ketertutupan hukum bagi kaum imigran menye-
babkan mereka harus bertahan hidup dengan mengem-
bangkan cara hidup sendiri di luar hukum yang berlaku.
“Jika mereka harus hidup, berdagang, mengolah bahan
mentah, mengangkut, atau bahkan mengonsumsi (pendu-
duk kota yang baru itu) harus melakukannya dengan
melanggar hukum.”
Kaum migran yang sudah berubah dari petani
menjadi orang kota harus beralih pekerjaan untuk
bertahan hidup. Mereka bukan lagi bertani, tetapi
membuat rumah, menawarkan jasa, menjadi pengusaha
yang harus mengembangkan usahanya. Mereka sudah
menjadi wiraswasta, entrepreneur. Akan tetapi, seperti
diutarakan, kaum migran tersebut tidak mendapat
pelayanan dari hukum yang berlaku. Hal itu disebabkan
oleh sulitnya menembus cara-cara berusaha menurut
hukum yang berlaku maka para migran hanya dapat
bergerak dalam sektor informal sehingga sektor informal
di Peru semakin berkembang. Oleh karena negara tidak
memiliki kekuasaan yang cukup untuk memaksakan
kebijaksanaan formalnya. Sektor-sektor informal yang
berkembang yakni di bidang perumahan, perdagangan,
dan transportasi. Tidak seluruhnya pemerintah lepas
tangan menghadapi usaha yang dilakukan oleh kaum

60 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
migran, tetapi mereka tetap tidak memiliki status hukum
yang sama dengan “status yang dinikmati orang-orang
yang mendapat perlindungan dan manfaat dari seluruh
sistem hukum Peru”.
Berkembangnya sektor informal, seperti perumahan
disebabkan oleh saluran yang ada untuk memperoleh
tanah sangat dibatasi. Dengan pembatasan itu menye-
babkan orang menduduki tanah dan membangun rumah
di atasnya secara tidak sah. Dengan demikian, perkem-
bangan sektor informal merupakan respons dan reaksi
terhadap ketertutupan hukum yang menjadikan kaum
imigran menjadi kaum yang dipencilkan atau dikucilkan.
Proses seperti itu juga terjadi pada saat kita membicara-
kan komunitas favela (squatter settlement) bernama (sama-
ran) ‘Pasargada’ di Rio de Janeiro, Brasil seperti diuraikan
sebagai berikut.
Bonaventura de Sousa Santos, melakukan penelitian
di salah satu favela yang diberi nama samaran ‘Pasargada’
(Santos, 1995). Seperti di Peru, Pasargada di Brasilia juga
merupakan salah satu pemukiman komunitas kaum gelan-
dangan (favela). Pemukiman tersebut diketahui mulai
muncul tahun 1932 yang berupa shacks (gubuk-gubuk).
Mereka menduduki tanah milik perorangan, tetapi tidak
jelas tanah itu milik siapa dan bagaimana prosesnya
sehingga kemudian menjadi tanah negara. Dari sejumlah
kecil gubuk-gubuk itu kemudian berkembang menjadi
18.000 (1950), berlipat dua kali (1957), dan menjadi 50.000
(1970).
Seperti “rekan-rekannya” di Peru, komunitas
Pasargada merupakan sebuah komunitas di luar hukum.
Mereka tidak dapat menikmati pelayanan hukum karena
memang hukum negara tidak membiarkan mereka masuk
(inaccessibility of the state legal system). Hukum negara
tidak menjangkau sampai ke dalam komunitas Pasargada
sehingga mereka memulai kehidupan dengan suasana
tanpa aturan atau tanpa ketertiban. Untuk dapat tetap

Bagian 1 61
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
bertahan hidup di Brasilia mereka harus mengembangkan
suatu siasat sedemikian rupa sehingga mereka dapat
hidup dalam suatu suasana yang tertib (securing the mini-
mal social ordering ofcommunity relations). Siasat itu
dilakukan dengan membangun suatu Hukum Pasargada
atau tata-tertib Parsargada (Pasargada legality). Dihadap-
kan pada hukum negara yang mendominasi seluruh negara
maka hukum Pasargada yang diciptakan sendiri oleh para
gelandangan itu dinamakan oleh Santos sebagai
hukumnya kaum yang tertindas (the laiv of the oppressed).
Dengan demikian, dalam satu wilayah yang sama dijumpai
tidak hanya ada satu sistem hukum, tetapi lebih dari itu.
Bagi hukum Pasargada, hukum negara merupakan
kekayaan yang sewaktu-waktu (bagian dari itu) dapat
dipinjam untuk kepentingan pengaturan di Pasargada.
Keadaan itu juga kita lihat pada pengadilan Keboromo,
yang meminjam legalitas dari pengadilan di Indonesia. Hal
itu berarti bahwa antara hukum Pasargada dan hukum
negara tidak selalu berada dalam posisi saling menolak
atau menghindar (avoidance), tetapi juga merangkul (ad-
aptation). Hal itu terlihat pada sikap Pemerintah Brasilia
yang membiarkan kehadiran komunitas gelandangan,
kendatipun dikualifikasikan sebagai tidak sah (ille­gal).
(“Despite its repressive policy of community control, the state
has tolerated a settlement it defines as illegal, by that con-
tinuing tolerance, it has allowed the settlement to acquire
a status we may call a legal or extralegal).
Menurut Santos, dengan bersikap “menghindar dan
merangkul” seperti itu menunjukkan bahwa kehadiran
hukum Pasargada juga memiliki fungsi sendiri yang dapat
membantu kontrol yang dilakukan oleh hukum negara.
Pembiaran dan pengakuan seperti itu meringankan
hukum dan institut pengadilan negara dari beban untuk
berurusan dengan konflik-konflik di kalangan komunitas
Pasargada. “By providing Pasar-gadians with peaceful

62 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
means of dispute prevention and settle­ment, Pasargada
law neutralizes potential violence, enhances the possibil-
ity of orderly life, and thus instills a respect for law and
order that may carry over when Pasargadians go into town
and interact with official society.”
Dalam studi hukum, Program Doktor Undip tidak
hanya terfokus pada hukum negara karena programnya
tidak menyandang nama ‘hukum negara’, melainkan
‘hukum’. Itu berarti bahwa pembelajaran hukum meliputi
ranah hukum negara maupun di luar itu. Hal itu sangat
penting bagi para calon doktor karena sebagai seorang
doktor dalam ilmu hukum maka pengetahuannya harus
luas dan dalam, yang meliputi baik hukum negara maupun
hukum-hukum yang lain.
Studi yang dilakukan oleh de Soto di Peru dan Santos
di Brasilia boleh memberi ilham kepada kita untuk lebih
memerhatikan kenyataan kehidupan hukum di sekeliling
kita. Kota-kota besar, seperti Jakarta, sudah menampil-
kan potret serius dari para migran yang membanjiri met-
ropolitan itu. Akan tetapi, masih sedikit (atau belum ada)
yang melakukan studi seperti itu.
Menurut hemat penulis, untuk sebagian penting,
kekurangan tersebut disebabkan oleh motor pendorong
yang kurang kuat. Apabila studi hukum secara positivistis
tetap dominan maka orang akan kurang terdorong untuk
memerhatikan realitas dunia dan kehidupan hukum yang
kompleks.
Dengan demikian, studi hukum di Indonesia menjadi
studi yang terbatas, yaitu kajian terhadap hukum negara
semata. Hal itu membuat ilmu hukum kurang mampu
memberikan panduan pada masyarakat yang harus
menghadapi kenyataan yang lebih kompleks, yaitu
kehadiran hukum lain di luar hukum negara.
Jika kita hanya mempelajari hukum sebagai skema-
skema (baca: hukum perundang-undangan) maka hakikat-

Bagian 1 63
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
nya kita hanya mempelajari skeleton hukum atau
“bangkai-bangkai” hukum, bukan hukum dalam realitas
yang penuh. Akhir-akhir ini kecenderungan menuju ilmu
hukum yang lebih lengkap seperti itu tampak menguat,
seperti buku Brian Z. Tamanaha yang diberi judul
menarik, “A General Jurisprudence of Law and Society”
(Tamanaha, 2006).
Ilmu hukum itu sungguh mempunyai fungsi dan
beban yang penting, yaitu memandu kehidupan bangsa
dengan cerdas. Oleh karena itu, hukum juga perlu
membaca kehadiran hukum dalam masyarakat dengan
cerdas pula.

64 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bagian 2
Lapisan-Lapisan dalam
Studi Hukum

Bagian 1 65
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
66 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 1

L
apisan-Lapisan
dalam Studi
Hukum
Sudah sepantasnya apabila pemahaman tentang hukum bagi
para calon doktor itu menembus sampai ke kedalaman yang
jauh, bukan pemahaman yang tipis dan dangkal. Hukum
itu tak dapat ditarik keluar dari kehidupan manusia dan
diamati, dianalisis sebagai suatu entitas tertutup. Maka kita
perlu terus mencari tahu sampai sejauh mana hukum itu
menembus kedalaman.

Masalah yang sedang dibicarakan pada bab ini


termasuk kategori konsep hukum, khususnya bagaimana
memersepsikan institut yang namanya hukum. Bagai-
mana kita melihat hukum, itulah yang dimaksud dengan
konsep mengenai hukum. Dari batasan itu kita akan
berbicara tentang studi terhadap hukum. Dalam kepusta-
kaan akan dijumpai puluhan, bahkan ratusan atau
mungkin lebih konsep-konsep hukum. Hal itu karena or-
ang dalam memahami hukum masuk dari sudut (angle)
yang berbeda-beda. Dari sudut yang berbeda tersebut
menyebabkan orang melakukan studi secara berbeda pula.
Dari kondisi tersebut, Program Doktor Ilmu Hukum
Undip memilih melakukan studi sesuai dengan perkem-
bangan sains umum {general science) di dunia.

Bagian 2 67
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
***

H.L.A. Hart membuat teori yang kemudian menjadi


sangat terkenal dan mewakili kaum positivis (Hart, 1972).
Dari teori tersebut, dijelaskan bagaimana hukum muncul
dan memperoleh legalitas. Dalam teori itu, Hart membagi
tampilan hukum dalam dua kelompok, yaitu “primary
rules of obligation” (hukum yang muncul alami) dan “sec-
ondary rules of obligation” (struktur hukum perundang-
undangan). Dengan cara tersebut Hart membangun
legitimitas hukum positif. Dengan teori itu orang digiring
untuk melihat apa yang pantas disebut hukum. Dengan
begitu Hart sudah memberikan sumbangan penting bagi
positivisme. Konsep Hart sangat membantu para profe-
sional hukum yang membutuhkan legitimasi teori untuk
menjalankan pekerjaannya. Dalam melihat dan mengon-
sepsikan hukum, Friedrich Cari von Savigny berbeda dari
Hart. Terkenal dictum Savigny yang mengatakan, “hukum
itu tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang
bersama-sama dengan masyarakatnya dan akan punah pu-
la bersama punahnya masyarakat itu”. Bersama-sama
dengan Puchta, Savigny membangun aliran kultur dan
sejarah (Friedmann, 1953).
Kaum positivis yang lain, yakni Hans Kelsen, Ronald
Dworkin, Lon L. Fuller, dan lain-lain, meskipun dengan
kandungan yang berbeda, namun mereka tetap berpijak
pada penjelasan dan legitimasi hukum positif, misalnya
Dworkin dan Fuller. Sementara itu, Hans Kelsen mem-
bangun ilmu nukum yang diharapkan mampu berdiri
sejajar dengan ilmu-ilmu alam yang saat ini sedang ber-
kembang pesat. Oleh karena Itu, ilmu hukum harus
dibersihkan dari aspek-aspek noneksak dan nonkuanti-
tatif, seperti filsafat, sosiologi, dan lain-lain. Hukum
merupakan bangunan yang eksakkuantitatif, tersusun
tidak lain dari perundang-undangan. Kelsen menyebut
teori­nya sebagai “Reine Rechtslehre” atau “Theorie des

68 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
positiven Wechts” (Kelsen, 1976). Teori itu hanya ingin
melihat objeknya dalam kategori apa, bagaimana {was zu
dem exakt als Recht bestimmten Gegegnstaend gehoert).
Ilmu hukum harus dibersihkan dari hal-hal yang asing bagi
bangunan perundang-undangan yang eksak itu (die
Rechtswissenschaft von allen ihr fremden Elementen
befreien).

***

Dalam risalah yang membicarakan bagaimana orang


melihat dan mempelajari hukum, penulis memanfaatkan
informasi-informasi baru kepustakaan. Secara umum
dapat dikatakan bahwa metode sains dalam waktu-waktu
terakhir mengalami perubahan yang sangat mendasar.
Secara jelas, Fritjof Capra mengatakan bahwa kita seka-
rang berada pada titik pusaran balik (turning point). Capra
mengatakan bahwa sekarang berada dalam keadaan krisis
multidimensional, seperti intelektual, moral, dan spiri-
tual. Lebih lanjut dikatakannya, “To understand our mul-
tifaceted cultural crisis we need to adopt an extremely broad
view and see our situation in the context of human cultural
evolution.” (Capra, 1983). Lalu dengan bernas dikatakan-
nya, “... have brought about a profound change in our world
view, from tbe mecha-nistic conception of Descartes and
Newton to a holistic and ecological view,...” Ada dua buku
utama yang mengilhami dan menggerakkan penulis untuk
menulis tentang “lapisan-lapisan dalam studi hukum”,
yaitu ‘Cosilience’ (Wilson, 1998) dan ‘The Web of Life’
(Capra, 1997).
Dalam konteks tersebut, penulis melihat pemikiran
tentang hukum yang berkembang secara dinamis dari abad
ke abad. Kurve perkembangan tersebut silih berganti
antara menyebar dan mengerut (kontraksi). Pada suatu
masa keadaan tersebut dapat menjelma menjadi pikiran
yang umum dan dengan demikian longgar untuk kemudian

Bagian 2 69
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
mengerut dan meruncing. Itu pun kemudian disusul lagi
menjadi melebar untuk kemudian meruncing lagi.
Mungkin ini merupakan versi lain dari penjelasan Tho-
mas S. Kuhn mengenai struktur revolusi dalam sains
(Kuhn, 1963). Sebagaimana diketahui, Kuhn membedakan
antara perubahan-perubahan biasa dan yang paradigma-
tik. Perubahan yang terakhir itu merupakan perubahan
radikal dalam pemikiran mengenai sains yang mampu
menggoyahkan landasan bangunan sains sehingga menjadi
ambruk untuk digantikan oleh yang baru (Kuhn, 1963).
Dalam sains Aristotelian ruh dan materi itu tidak
dapat dipisahkan. Selama ribuan tahun, keduanya menjadi
landasan ilmu pengetahuan sampai zaman renaisans abad
ke-17 yang ditandai dengan pembebasan diri dari penga-
ruh Aristoteles. Dalam pembagian Cartesian, yang mela-
hirkan sains modern terjadi dualisme ruh dan materi.
Dunia materi itu adalah barang mati, yaitu terdiri atas
blok-blok yang dirakit menjadi mesin yang besar. Inilah
pandangan mekanistik model Newton yang berjaya selama
abad-abad 17, 18, dan 19 (Capra, W75). Paradigma Carte-
sian-Newtonian ini kemudian runtuh digantikan oleh
paradigma baru yang holistis.

***

Dalam ‘The Web of Life’, Capra secara jelas melakukan


eksplorasi terhadap berbagai sistem kehidupan di dunia.
Eksplorasi tersebut dilihatnya sebagai satu jaringan besar
kehidupan (web of life). Sistem kehidupan atau ‘living or-
ganism’ merupakan ‘organismms’ , ‘social systems’ dan ‘eco-
systems’. Dari masing-masing sistem kehidupan tersebut
kemudian dapat dilakukan suatu studi, tetapi masing-
masing tidak dapat dipelajari dan dipahami secara
terisolasi. Keadaan tersebut menurut Capra dikatakan
sebagai “They are systemic promkms, which means that
they are interconnected and inter-Sependentr. Hal itu

70 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
mengingatkan pada konsep “‘consilience” Liward Wilson
(Wilson, 1998). Akan tetapi, Wilson menolak pemisahan
yang ketat antara ilmu-ilmu alam (fisika, kimia, dan
biologi) dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pemisahan
seperti itu hanya akan menimbulkan pendangkalan dalam
masing-masing ranah studi tersebut. Ilmu-ilmu alam yang
perkembangannya sangat cepat tersebut harus didorong
ke ranah ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Di sisi lain, ilmu-
ilmu sosial dan humaniora harus berakarkan pada ilmu-
ilmu alam.
Dari informasi tersebut, penulis melihat kehadiran
suatu lapisan studi paling dasar yang nantinya menjadi
basis studi hukum sebagai suatu institut dalam
masyarakat yang berdiri sendiri. Menurut hemat penulis,
tidak bijak jika kita tidak mampu melihat informasi
tersebut sebagai suatu masukan yang penting bagi studi
hukum.

***

Studi sosial terhadap hukum atau studi hukum


merupakan awal pembuka pintu bagi pendalaman studi
terhadap hukum. Studi tersebut menggunakan berbagai
nama, seperti “socio-legal approack”, “law and society”, “the
sociological movement in law” dan lain-lain. Dalam
sejarahnya, bibit-bibit studi itu sudah diketemukan,
seperti dalam ajaran Puchta dan Von Savigny dan aliran
realisme.
Dikatakan sebagai “pembuka pintu” karena kebe-
radaannya hanya merupakan isyarat belaka, yakni bahwa
studi hukum tidak sekadar berputar-putar dalam ranah
perundang-undangan. Akan tetapi, perlu meluas lebih
jauh sampai pada pertanyaan mengenai fungsi hukum
dalam masyarakat. Pembuka pintu pertama adalah
pengaitan antara hukum dengan ilmu-ilmu sosial. Hal
tersebut berkaitan dengan kemajuan dalam ilmu-ilmu

Bagian 2 71
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
sosial sehingga memungkinkan ketersediaan suatu
kelompok disiplin yang mendukung usaha untuk keluar
dari wilayah positivisme-analitis.

***
Sebagai bukti, tahun 1970-an menjadi saksi marak-
nya studi hukum secara sosial tersebut. Berbagai pusat
studi yang mencerminkan perluasan studi tersebut didiri-
kan di berbagai universitas (dengan sendirinya terdapat
resistensi karena studi yang positivistik-analitis itu telah
berjaya untuk waktu yang sangat lama. Studi dan peneli-
tian hukum itu adalah kajian terhadap hukum positif, titik.
Itulah kira-kira kredo mereka.)
Abad ke-21 ditandai oleh perkembangan sains (the
state of tbe art in science), sudah jauh lebih maju lagi. Deng-
an demikian, studi hukum perlu juga memanfaatkan
perkembangan tersebut. Sains telah mengalami per-
kembangan yang sangat pesat daripada beberapa abad
yang lalu yang pada waktu itu belum mencerminkan per-
kembangan sejati. Kita perlu menunjuk perubahan yang
terjadi secara lebih spesifik dan kualitatif. Mengetahui
perubahan-perubahan yang konkret itu baik, tetapi lebih
baik lagi kalau kita mampu menukik sampai ke dasar yang
menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Inilah yang
saya sebut sebagai kualitatif itu. Kita tidak boleh hanya
memerhatikan potongan-potongan kecil perubahan,
melainkan menukik sampai ke sumber kekuatan yang
mendorong perubahan tersebut.

***

Kita sekarang memasuki ranah filsafat ilmu penge-


tahuan. Ternyata, di sini telah terjadi perubahan kualitatif
yang kcsar dan mendasar yang sering disebut sebagai
sebuah rerubahan paradigmatis. Keadaan tersebut

72 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
dimulai dengan perubahan terhadap cara kita melihat dan
memahami alam. Fritjof Capra menamakannya “the new
scientific understanding of life”; Ilya Prigogine dan Isabelle
Stengers menyebutnya “ man’s new dialogue with
nature”(Prigogine & Stengers, 1985).
Sains yang melihat dunia secara mekanistik, sebagai
mesin, seperti sebuah automaton yang besar, yang Berjaya
selama ratusan tahun sejak abad ke-17, pelan-pelan mulai
ambruk. Keadaan tersebut oleh Prigogine dan Stengers
dikatakan sebagai “our vision of nature is undergoing a
radical change toward the multiple, the temporal, and the
complex. .. We now understand that we live in a pluralistic
world.” Dunia dan alam tidak lagi tampil di hadapan kita
sebagai sesuatu yang deterministik dan dapat diputar
kembali (reversible). Memang ada proses yang dapat
diputar kembali secara eksak seperti bandul jam dan
gerakan bumi memutari matahari. Akan tetapi, di luar
itu terdapat juga proses-proses yang tidak dapat diulang
kembali (irreversible), yang mengikuti jarum waktu (But
there are also irreversible processes that involve the arrow
of time).
Dengan kekayaan informasinya, Fritjof Capra
mencoba menyusun satu gambaran yang lengkap
mengenai pemahaman terhadap dunia dan alam dewasa
ini. Dunia tidak lagi dilihat sebagai blok-blok yang terpi-
sah satu dari yang lain, melainkan sebagai satu kesatuan
atau jaringan kesatuan yang padu. Keadaan tersebut
menurut penulis merupakan sumbangan besar yang
diberikan Capra untuk meluruskan dan mencerahkan
pemahaman mengenai hidup dan kehidupan. Dengan pe-
nuh determinasi, Capra mengatakan bahwa persepsi kita
mengenai realitas sekarang berubah secara mendasar.
Kehidupan, apakah itu organisme, sistem sosial, maupun
sistem-lingkungan dalam segala tingkatannya tidak dapat
dipahami dalam keadaan terisolasi. Kita berhadapan
dengan persoalan-persoalan sistemik. Dari keadaan

Bagian 2 73
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
tersebut perubahan paradigma muncul. “The new para-
digm may be called a holistic worldview, seeing the world
as an integrated whole rather than a dissociated collection
of parts.” Capra berbicara mengenai konsep “deep ecol-
ogy”, “Deep ecological awareness recognizes the fundamen-
tal interdependence of all phenomena and the fact that, as
individuals and societies, we are all imbedded in (and ul-
timately dependent on) the cyclical processes of nature.”
Pada pembahasan terdahulu sudah dikatakan bahwa
pandangan holistis menyambung pada konsep “consilience”
Wilson yang berpuncak pada “the unity of knowledge”.

***

Ilmu hukum tidak dapat mengabaikan dan menutup


telinga terhadap perubahan fundamental yang terjadi
dalam sains. Di manakah kita akan menempatkan sistem
hukum, kalau tidak di dalam alur besar “deep ecology”
tersebut. Pada awalnya, kita berpandangan bahwa hukum
merupakan suatu institut yang otonom, secluded, isolated,
dan esoteric sehingga masih dapat dimaklumi karena
perkembangan sains belum seperti sekarang. Akan tetapi,
jika cara kita melihat dan memahami alam dan dunia (uni-
verse) sudah berubah secara mendasar, tentunya juga
perlu meninjau kembali tempat hukum di dunia. Hukum
dan ilmu hukum yang masih terus-menerus melihat ke
dalam dirinya (alles binnen de kader van bet recht) dapat
dikatakan lebih merupakan pembodohan daripada
pencerahan.
Apabila keadaan tersebut dibiarkan, kita akan
menjadi sangat bodoh dan tertinggal (retarded) jika ilmu
dan studi hukum tidak ditanamkan dalam arus besar
ekologi dalam itu. Hukum yang menempatkan dirinya di
luar itu merupakan sebuah anomali besar. Seorang yang
dengan arogan masih tetap melihat hukum sebagai sebuah
mesin mandiri telah melihat dan memahami hukum secara

74 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
salah dengan sekalian akibatnya.
Apakah hukum sebagai suatu institut lalu menjadi
hilang? Tidak! Hukum tetap ada dan menjalankan fungsi-
nya dengan cara-cara yang khas. Roberto Mangabeira
Unger mendeskripsikan hukum sebagai sebuah institut
yang khas (distinct) (Unger, 1976). Kekhasan tersebut
terletak pada hukum yang “general and autonomous” dan
“public and positive”. Sifat otonom hukum itu terletak
pada aspek-aspek substantif, institusional, metodologis,
dan okupasional. Karakteristik yang menyebabkan hukum
itu hadir di masyarakat sebagai institut yang khas, sama
sekali tidak berubah. Yang baru adalah bagaimana kita
melihat tempat hukum yang demikian itu sebagai sebuah
institut yang menjadi bagian dari suatu rangkaian besar
dan panjang dari proses ekologi.

***

Sebelum kita memperoleh gambaran informasi


keadaan hukum abad ke-21 perlu kiranya melihat hukum
sebagai institut yang otonom dan terisolasi dari kehidupan
sebuah jagad (universe). Jagad mencakup seluruh kehidu-
pan yang ada di dalamnya, baik organisme, sistem sosial,
maupun ekologi.
Menurut pemikiran hukum klasik, dalam keadaan
yang terisolasi dan independen hukum boleh berpikir dan
bertindak apa pun, tanpa perlu memikirkan dan memer-
hatikan hal-hal lain. Pemikiran seperti itu sejalan dengan
pikiran Cartesian dan Newtonian dalam sains. Kelsen
menerapkan pandangan tersebut dalam ilmu hukum
sehingga melihat hukum hanya sebagai bangunan blok
(building-block) dari perundangan-undangan. Semua
aspek yang mengganggu dan mencemari hukum sebagai
bangunan logis perundang-undangan harus dibuang.
Setelah memperoleh berbagai informasi mutakhir
dalam sains, tentu pemahaman (understanding) kita

Bagian 2 75
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
terhadap hukum menjadi terbalik dari cara pemahaman
tersebut. Sudah seharusnya kita membuang paham bahwa
hukum itu independen uari terisolasi dari lingkungannya.
Dengan dan dalam pemahaman baru tersebut, hukum
merupakan satu titik dari rangkaian panjang proses jagad
kita yang terdiri atas rangkaian ranjang kehidupan orga-
nisme, sistem sosial, dan ekologi. Sekalian unsur itu erat
berkaitan satu sama lain, yang satu menjadi masukan (in-
put) bagi yang lain. Dengan demikian, terjadilah struktur
dan proses saling mengumpan.
Pemahaman baru sebagaimana dikemukakan oleh
Capra tidak sekadar menunjukkan bahwa entitas-entitas
di dunia, baik organisme maupun sistem sosial saling
bergantung (interdependent), tetapi lebih daripada itu.
Keadaan saling rergantung tersebut ditunjukkan dengan
jelas dan bagaimana terjadinya. Misalnya, pada saat Capra
berbicara tentang fenomena “multiple feetback”. Inilah
yang secara serius menohok pemahaman kita tentang
jagad kehidupan (the universe).
Sebagai pembelajar hukum yang selalu melihat “the
state of the art in seience”, yang tidak ingin melihat dan
memahami nukum secara isolated, secluded, maka pikiran
Capra tersebut sudah menjadi keharusan untuk
direnungkan dan dilihat kaitannya dengan hukum dan
ilmu hukum.
Menurut Capra, seluruh entitas, baik biologi, fisika
(physics) maupun sosial memiliki kemampuan untuk
mengorganisasi dirinya (self-organizing). Dalam konteks
tersebut institut hukum mampu melakukan pengorga-
nisasian diri secara otonom. Hukum ada di masyarakat
sebagai suatu bentuk institut yang mampu mengorganisasi
dirinya. Pada saat itu hukum juga menjadi bergantung
pada asupan-asupan (feedback) dari entitas kehidupan
lain. Jadi, masing-masing entitas dalam jagad kehidupan
saling menghidupi. Apabila saran Capra diikuti maka
sekarang ada agenda baru bagi para ilmuwan, yaitu untuk

76 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
seorang yang melekekologi (eco-literacy).
Memahami jagad kehidupan sebagai suatu jaringan
antara entitas atau sesama penghuni dalam jagad tersebut
menjadi masalah yang sangat penting. Apa yang kita
lakukan dalam ranah entitas kita masing-masing seperti
hukum, tidak boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga
dapat memutus jaringan dan menimbulkan gangguan (ob-
struction) terhadap keutuhan dan keberlangsungan jagad
kehidupan. Pemahaman terhadap permasalahan tersebut
memberikan pesan penting terhadap hukum, yaitu agar
hukum dapat menyesuaikan diri pada jagad kehidupan
dan tidak merusak jaringan jagad kehidupan tersebut. Hal
itu merupakan lapisan paling dasar dalam studi hukum.
Studi hukum yang dicerahkan oleh wawasan ekologi-
dalam tersebut selalu berhati-hati menjaga kelestarian
jagad kehidupan.

***

Apa yang dibahas dalam tataran tersebut merupakan


lapisan yang paling dasar dari studi dan ilmu hukum. Hal
itu merupakan basis yang harus dilihat dan diingat oleh
hokum.
Edward O. Wilson, seorang ahli biologi memberikan
simpulan yang sama dengan Capra (Wilson, 1998). “The
greatest enterprise of the mind has always been and al-
ways will be See Mempted linkage of the sciences and hu-
manities. “ Wilson menolak cara kerja sains Cartesian yang
mencacah-cacah objeknya menjadi kepingan fragmentasi
yang bertujuan menemukan kebenaran yang dicari. Itu
bukan kebenaran, melainkan hanya bangunan artifisial
yang dibuat oleh para ilmuwan “The ongoing fragmenta-
tion of knowledge and resulting chaos in philosophy are
not the reflections of the real world but ‘acts of scholarship”.
Wilson mengatakan ada empat ranah, yaitu (1) ‘environ-
mental policy’; (2) ‘ethics’; (3) ‘social science’ dan ‘biology’.

Bagian 2 77
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
Pada tingkat sains sekarang, “Yet undeniably each stands
apart in the contemporary academic mind. Each has its
own practitioners, language, modes of analysis, and stan-
dards of validation.” Kritik Wilson terhadap pengotakan
antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam ‘dinyatakan
dengan kata-kata, “Given that human action comprises
events of physical causation, why should the social science
and humanities be impervious to consilience with the natu-
ral sciences-” Dewasa ini, banyak permasalahan di dunia
tidak dapat dipecahkan oleh disiplin ilmu yang berdiri
sendiri. “Most of the issues that vex humanity daily - eth-
nic conflict, arm escalation, overpopulation, abortion, en-
vironment, endemic poverty ... — cannot be solved without
integrating knowledge from the natural sciences with that
of the social sciences and humanities.” Oleh karena itu,
Wilson menyarankan agar batas-batas antardisiplin ilmu
dicairkan. “Only fluency across the boundaries will pro-
vide a clear view of the world as it really is, not as seen
through the lens of ideologies and religious dogmas or com-
manded by myopic response to immediate need .” Kita tidak
dapat memperoleh gambaran yang utuh dan berimbang
apabila bertolak dari disiplin ilmu yang terpisah-pisah.
“A balanced perspective cannot be acquired by studying
disciplines in pieces but through pursuit of the consilience
among them... To the extent that the gaps between the great
branches of learning can be narrowed, diversity and depth
of knowledge will increase.”
Wilson menggunakan istilah “perjalanan” (journey)
untuk menggambarkan proses bekerjanya ilmu-ilmu alam
sampai ke ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Menurutnya,
perjalanan itu berkelok-kelok bagaikan melalui sebuah
labyrinth. “Near the entrance of the labyrinth of empirical
knowledge is physics, comprising one. gallery, then a few
branching galleries that all searches undertaking the jour-
ney must follow. In the deep interior is a nebula of path-
ways through the social sciences, humanities, art, and re-

78 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
ligion. If the thread of connecting causal explanations has
been well laid, it is nonetheless possible to follow any path-
way quickly in reverse, back through the behavioral sci-
ences to biology, chemistry, and finally physics.”
Seperti juga para ilmuwan masa kini, pasca-Carte-
sian dan Newtonian yang meninggalkan fragmentasi dan
cara kerja analitis, Wilson mengatakan, bahwa tantangan
besar yang dihadapi oleh sains dewasa ini adalah ‘scien-
tific holis’ “The greatest challenge today, not just in cell
biology and ecology but in all of science, is the accurate
and complex description of complex systems. They think
they know most of the elements and forces. The next task is
to reassemble them,... that capture the key properties of the
entire ensembles. Success in this enterprise will be mea-
sured by the power researches acquire to predict emergent
phenomena when passing from general to more specific lev-
els of organization. That in simplest term is the great chal-
lenge of scientific holism. “
Dengan menyerap berbagai informasi tersebut, studi
hukum perlu mendefinisikan dan mendeskripsikan
bagaimana pemahaman dan penelitian akan dikerjakan
di waktu mendatang.
Sistem hukum memang sudah hadir di dunia sejak
ribuan tahun silam. Kenyataan tersebut menunjukkan
bahwa institut hukum itu memang diperlukan dalam
masyarakat. Bahkan, sudah mencapai tingkat sedemikian
rupa sehingga menjadi suatu institut yang sangat artifisial
(highly artificial). Hukum membuat sendiri definisi,
konsep, doktrin serta asas yang selanjutnya digunakan
untuk menjalankan profesi hukum (highly profession).
Dengan demikian, sistem hukum menciptakan suatu dunia
baru di luar dunia realitas yang menjadi lahan garapan
ilmu kealaman. Maka sebuah dunia artifisial berjalan ber-
dampingan dengan dunia realitas. Tidak hanya itu, karena
perjalanan keduanya juga saling bersilangan. Apa yang
dikerjakan oleh hukum itu menusuk dan mengiris ke

Bagian 2 79
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
dalam daging realitas, baik sosial, organisme, maupun
kehidupan lingkungan (ecology). Perundang-undangan,
penegakan hukum (law enforcement) dan putusan hakim
menggiring dan mengontrol masyarakat sebagaimana
dikehendaki oleh hukum.

***
Sebagaimana diuraikan terdahulu, pekerjaan yang
sudah berlangsung ribuan tahun tersebut sekarang
berbalik menjadi sorotan dan kritik yang tajam oleh
paham-paham baru dalam sains umum. Dengan sorotan
itulah hukum tidak dapat lagi mempertahankan
eksklusivismenya lebih lama.
Kritik terhadap eksklusivisme hukum sesungguhnya
bukan hal yang baru. Tiga puluh tahun yang lalu orang
sudah berbicara mengenai serangan terhadap eksklu-
sivisme hukum itu. “The study of law can no longer be re-
garded as the exclusive preserve of legal professionals,
whether practitioners or academics. There has emerged a
sociological movement in law which has had as its com-
mon and explicit goal the assault on legal exclusivism”
(Hunt, 1978). Sosiologi, dalam hal ini sosiologi hukum
merupakan disiplin yang berdiri paling depan dalam
membuka tabir eksklusivisme tersebut. Status, hubungan,
proses yang kemudian canggih dan rapi ditata oleh hukum
selama ribuan tahun itu, diurai dan dicairkan oleh
sosiologi hukum. Hukum tidak lagi tampil sebagai skema-
skema abstrak, melainkan realitas. Menurut Donald
Black, “Sociology changes our perception of judgment it-
self... Sociology makes relational discrimination visible, a
possible frontier of modern morality. It raises relational
consciousness, and consciousness of everything social.”
(Black, 1989).
Sementara itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick
lebih jauh lagi menghendaki agar pekerjaan hukum itu

80 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
dilakukan dengan siasat sosial (social strategy). Menu-
rutnya, penyelesaian melalui proses dan logika hukum
kurang mampu menyelesaikan problem sosial. Hukum
hanya sibuk melakukan penyelesaian berdasarkan perun-
dang-undangan dan logika hukum. Sementara itu, yang
dihadapi adalah kehidupan yang kompleks yang tidak
dapat diselesaikan dengan menggunakan logika hukum
dan hukum sebagai suatu finite scheme. Kehidupan yang
kompleks itu tidak dapat diselesaikan dengan silogisme
dan skema-skema yang kaku (rigid) (Nonet & Seznick,
1978).

***

Pikiran-pikiran mutakhir sudah bergerak lebih maju


lagi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, jangkauan
hukum sudah sampai pada dimensi jagad (universe).
Pembedahan eksklusivisme hukum (hanya) melalui optik
sosiologis tidak dapat mewadahi perspektif kehidupan
sejagad itu. Kehidupan sejagat yang dilihat dari kacamata
‘ekologi dalam’ (deep ecology) melibatkan semua entitas
kehidupan di dunia tanpa ada yang tercecer, yaitu mulai
dari organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Semua
terhubung menjadi satu sebagai satu kesatuan kehidupan.
Tidak hanya ilmu hukum, tetapi juga yang lain perlu
mencari orientasi baru dalam disiplin dan studi masing-
masing sesuai dengan perubahan pemikiran mendasar
dalam sains tersebut.
Paradigma baru yang muncul selanjutnya adalah
holistis yang memerlukan suatu ilmu hukum dengan
penataan yang baru. Contoh lain mengenai perubahan
tersebut adalah gagasan komunitas akademis Universi-
tas Erasmus, Rotterdam tentang “geintegreerde
recbtswetenscbap” (ilmu hukum yang terintegrasi) (Foque
et al, 1994). Mereka berpendapat bahwa nomenklatur ilmu

Bagian 2 81
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
hukum dewasa ini perlu ditinjau kembali, seperti pengota-
kan antara hukum publik dan privat dan antara sub-
subdisiplin ilmu hukum (pidana, perdata, tata negara, dan
seterusnya). Lebih dari itu adalah pengotakan antara ilmu
hukum dan ilmu-ilmu sosial. Mereka mengatakan bahwa
hukum (di Belanda) merupakan suatu “recht in beweging”
(hukum yang sedang bergerak).

***
Sekarang kita dapat melihat dengan jelas bahwa
secara umum studi hukum itu berlapis-lapis. Di lapisan
puncak terdapat studi hukum profesional (professional
study, professional education). Kita boleh menggunakan
perumpamaan yang sudah lazim digunakan, yaitu puncak
gunung es dan tubuh puncak itu sendiri. Puncak gunung
es yang menyembul di atas permukaan laut adalah sosok
studi hukum yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu
dan menjadi cap dagang dari studi hukum. Masyarakat
atau para konsumen biasanya hanya mengenal tipe studi
tersebut (lawyer’s law).
Di bawah puncak yang menyembul terdapat badan
gunung es yang jauh lebih besar. Pergerakan-pergerakan
dari badan gunung es niscaya berimbas pada puncak kecil
yang menyembul keluar tersebut. Badan gunung es itulah
yang sedang kita bicarakan. Studi holistis seperti itu
seharusnya menjadi ciri dan menjiwai studi hukum pada
program doktor. Akan tetapi, kenyataannya karakter
studi hukum kita tidak mampu melihat bahwa hukum
sebagai institut yang terisolasi dan tidak sejalan semangat
sains umum dewasa ini (tbe state of tbe art in science).
Sekarang ada sebuah agenda sains yang besar yang
harus dihadapi calon doktor, yaitu bagaimana melihat
hukum dalam konteks kehidupan sejagad. Hukum
memang satu institut yang berbeda dari yang lain, tetapi

82 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
tidak berarti hukum akan terus hidup dalam suasana
isolasi dan eksklusivisme. Kearifan holistis dan ekologi
dalam (deep ecology) mengingatkan kita pada suatu
kewaspadaan bahwa hukum adalah hanya satu noktah
kecil di tengah-tengah jagad kehidupan itu.
Filsafat pembelajaran hukum pada program doktor
melupakan pembelajaran keilmuan dan bukan kepro-
fesionalan. Pada konteks ini sudah selayaknya kita selalu
berpijak pada permasalahan, pertanyaan-pertanyaan
keilmuan, dan bukan praktis. Kita bergerak pada lapisan
yang paling dalam, sedangkan studi profesional berada
pada lapisan paling atas, di permukaan air, atau mem-
bicarakan puncak dari gunung es.

Bagian 2 83
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
84 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 2

B erpikir dalam
Hukum
Di kalangan komunitas akademis sering disebut-sebut
tentang cara berpikir hukum sebagai suatu cara berpikir
yang khas. Risalah ini ingin menjelajahi dan menelisik lebih
lanjut masalah tersebut, khususnya dalam konteks
perkembangan sains pada umumnya

Dalam komunitas akademis hukum atau dalam


lingkungan para ilmuwan hukum dikenal istilah “berpikir
secara hukum” (legal thinking). Dengan demikian, ada
semacam kebanggaan profesi dan akademis yang
menunjukkan bahwa hukum adalah suatu ranah disting
(distinct) dan tidak dapat didekati (approach) dengan cara
lain, kecuali “cara hukum”. Dengan demikian, sampai pada
cara berpikirnya pun memiliki kekhasan tersendiri.
Sampai untuk urusan ini, kalangan di luar hukum tidak
usah ikut campur tangan karena mereka hanya akan
mengacaukan cara berpikir yang disting itu.
Menurut penulis, cara berpikir hukum yang disting
itu adalah berpikir datar dan lurus (linear) pada aras
peraturan dan logika. Peraturan tersebut berisi konsep
dan definisi tentang banyak hal dalam kehidupan individu
dan kemasyarakatan, seperti perdagangan, perkawinan,
kepemilikan, kejahatan, dan lain-lain. Dengan demikian,
kehidupan manusia yang diatur oleh hukum atau
peraturan dapat berupa konsep dan definisi, bukan

Bagian 2 85
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
realitas kehidupan itu sendiri. Dengan demikian, yang
dilihat dan dibicarakan hukum adalah konsep dan definisi
yang bersifat artifisial. Di samping substansi tersebut
peraturan juga berisi tentang prosedur. Peraturan
substantif dan prosedural menjadi landasan dan titik tolak
penting dan hanya dari situlah kehidupan hukum
dibangun. Dengan demikian, para ahli hukum (latvyer)
memiliki “kacamata” sendiri dalam melihat (realitas)
kehidupan manusia di masyarakat. Peraturan, konsep,
definisi, dan prosedur selanjutnya diproses dengan
menggunakan logika. Dari situlah berpikir hukum mulai
menjadi khas atau disting.
Sesungguhnya, dunia para ahli hukum merupakan
sebuah “dunia asing” yang disebut sebagai “tke strange in-
ner world oftbe latvyer” di tengah-tengah “dunia realitas”
sebagaimana dikenal umum (Allot, 2002). Para ahli hukum
memiliki konsep sendiri mengenai kenyataan yang
berkaitan dengan realitas kehidupan profesionalnya (“re-
ality oftheir Professional lives”). Realitas para ahli hukum
melampaui {transient) realitas total tetapi pada waktu
yang sama tidak dapat dilepaskan dari relitas total
tersebut. Philip Allott menyebut empat karakteristik
filsafat para ahli hukum sebagai berikut. Pertama, “créâtes
a model of the law in terms of which the peculiar phenom-
ena of the law may be seen to be orderly and rational”.
Kedua, “stressing familiar axiomatic, so that other legal
phenomena become explicable more or less derivatively”.
Ketiga, “They depend on the introspection of the lawyer....to
look at the legal phenomena and to assent to reasonable
explanations when he hears them”. Keempat, “Their value
is pragmatic {helping the law to improve its functioning)
or heuristic (helping the law to improve its self-examina-
tion)”.
Para ahli hukum tidak melihat realitas dalam masya-
rakat sebagai realitas, melainkan selalu dilihat dari sisi
optik hukum, peraturan, skema-skema final, konsep, dan

86 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
definisi sebagaimana dibuat sebelumnya. Cara berhukum
dan berpikir hukum yang seperti itu mencabut hukum dari
habitat dan akar budayanya (“De jurist beziet en beoordeelt
de feiten altijd in het licht yan…den begrippen die er op
worden losgelaten, van de cultúrele belangen die
verdedigd… en van de warden en normen die gerespecteerd
moeten worden” (Foque et al, 1994). Pemikiran Rotterdarm
tidak ingin menerima bekerjanya peraturan hukum secara
final determinatif sehingga menepis cara berhukum dan
berpikir hukum yang lain. Mereka ingin melihat konsep-
konsep yuridis selalu berada dalam proses untuk menjadi.
Oleh karena itu, harus tetap dijaga agar statusnya tetap
seperti itu (“juridische concepten en normen in een
permanente staat van wording verkeren”). Dalam konteks
berpikir hukum pengertian hukum dan dogma hukum
tidak dilihat sebagai hal yang terpaku secara kaku
(gefixeerde essenties), melainkan ruang-ruang kosong (lege
plekken), terbuka (open ruimien) dan bukan merupakan
ranah yang sudah dipastikan (gedetermineerde plaatsen).
Dengan demikian, menurut “aliran Rotterdam” undang-
undang tidak berisi ketentuan yang “pasti harus dijalan-
kan”, melainkan suatu “kaidah pembuka” saja untuk
kemudian dimusyawarahkan (overleg) tentang bagaimana
seyogyanya kaidah tersebut dilaksanakan.
Hukum yang menjadi disting tersebut sudah dipupuk
sejak zaman Romawi oleh para ahli hukum (yuris) Romawi.
Mereka telah mengolah peraturan atau teks-teks hukum
begitu canggih (sophisticated) sehingga memunculkan
suatu dunia hukum yang semakin menjauh dari realitas
(....ontwikkelden de Romainse juristen een wijze van
rechtsbeoefening, die geleidelijk een abstracte karakter
heeft verkregen) (Foque et al, 1994). Hukum yang sudah
berubah menjadi teks-teks yang artifisial dan canggih
tersebut oleh van den Bergh dinamakan “geleerd recht”,

Bagian 2 87
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
suatu tipe hukum yang untuk memahaminya orang harus
belajar secara khusus (Bergh, G.C.J.J. Van den, 1980).
Cara berpikir hukum seperti itu sangat dekat dengan
metode berpikir Cartesian dalam sains klasik (abad ke-
14). Metode tersebut membangun pemahaman mengenai
alam dari blok-blok secara logis-matematis yang
pemahaman substansinya (dalam hal ini fisika) secara
mekanistik. Pandangan dan cara berpikir seperti itu
mencapai puncaknya pada fisika Newtonian (abad ke-19).
Dalam ilmu hukum, cara berpikir tersebut mencapai
puncaknya pada abad ke-19 yang disebut sebagai era
kodifikasi. Penyebutan seperti itu kita baca sebagai
konsolidasi dari massa konsep, definisi, dan prosedur yang
membanjir pada abad tersebut. Tidak mengherankan jika
era tersebut melahirkan banyak pemikir-pemikir positi-
vis, seperti Hans Kelsen dan aliran seperti Begriffsjuris-
prudenz. Positivisme juga mengonsolidasikan kehadiran
dari massa peraturan yang sudah disistematiskan
sehingga tidak mengherankan jika pekerjaan para
positivis tersebut mempertahankan massa peraturan yang
ada atu disebut juga hukum positif. Berbagai asas, fiksi,
dan teori diciptakan untuk melegitimasi orde hukum
peraturan tersebut. Mereka juga melihat dunia dan
tatanan hukum sebagai bangunan yang disusun dari blok
ke blok secara logis-rasional. Teori Stugenbau Kelsen yang
sering disebut sebagai “logische Stufentheorie” serta
berpikir Kelsenian merupakan contoh positivisme abad
ke-19.
Hukum yang mengatur masyarakat diposisikan
sebagai checkpoint untuk menentukan legalitas dari segala
sesuatu. Proses hukum adalah mengecek apakah suatu
kejadian masuk dalam jangkauan peraturan tertentu. Jika
hubungan antara fakta yang diketengahkan dengan
peraturan maka proses hukum berhenti sampai di situ
dan tidak dapat berproses lebih lanjut. Dari keadaan itu

88 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
apabila tidak ada sebutan “hukum sebagai mesin besar”
yang mengingatkan kita pada berpikir Cartesian yang
mekanistik.
Pemrosesan hukum sebagaimana diuraikan dila-
kukan tersebut dengan menggunakan logika yang
berkualitas IQ atau “linear thinking” (Zohar & Marshall,
2000). Menurut Paul Scholten, cara berpikir tersebut
disebut sebagai “hanteren van logische figuren” (menanga-
ni soal yang logis). Sebagai akibat kesuksesan dan
perkembangan yang luar biasa dalam ilmu-ilmu kealaman
di abad ke-18 dan ke-19 tersebut maka cara berpikir
dalam ilmu alam yang Cartesian dan Baconian (dari
Francis Bacon) segera menjadi simbol dari berpikir dan
metode sains. Berpikir Cartesian merupakan mekanistik
dan fragmentaris. Apabila dalam ilmu hukum ada Hans
Kelsen, maka August Comte, bapak sosiologi modern, juga
menyebut sosiologi sebagai “the physics of society”.
Scholter menyebut berpikir linier sebagai “Wetstoe-
passing”, yaitu menerapkan peraturan terhadap fakta
tertentu. Cara bertindak seperti itu juga dikenal sebagai
menjalankan hukum diibaratkan mengoperasikan “mesin
otomat” yang sederhana (simple) dan lurus. Melangkah
lebih jauh lagi, aliran Begriffsjurisprudenz dengan mem-
persepsikan dunia hukum sebagai lahan konsep dan
definisi hukum secara mutlak. Di sini sudah tidak ada lagi
perbedaan atau batas-batas antara konsep yang artifisial
dengan realitas. Konsep dianggapnya sebagai realitas
mutlak. Kita sama sekali tidak berhadapan dengan dunia
yang benar-benar nyata, melainkan konsep-konsep yang
diterima dan diperlakukan seperti hal-hal yang nyata.
Proses hukum yang diartikan sebagai penerapan
peraturan terhadap suatu fakta menyebabkan ukuran
keadilan dan kebenaran menjadi tergusur keluar. Dalam
konteks hukum dan proses hukum cukup diukur dari
sudut apakah peraturan telah diterapkan. Apabila

Bagian 2 89
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
peraturan sudah diterapkan pada fakta tertentu maka
hukum sudah dijalankan. Di sini, momentum yang krusial
terjadi saat memutuskan apakah suatu peraturan dapat
diterapkan pada suatu fakta tertentu yang disodorkan,
bukan soal kebenaran dan keadilan. Paul Scholten
mengatakan sebagai “toepassing van regels op feiten en de
regels geeft alleen de wetn (penerapan peraturan terhadap
fakta dan yang namanya peraturan itu hanya undang-
undang). Dengan demikian, maka undang-undanglah yang
memonopoli kebenaran dan keadilan. Ilmu hukum lalu
berbicara tentang adanya “formal justice” dan “substan-
tial justice”. Scholten menyatakan “Niet bij onjuistheid in
bet algemeen wordt een uitspraak vernietigd, dock alien
bij schennis of verkeerde toepassing van de wet” (suatu
putusan itu bukan dinilai dari kaca mata kebenaran secara
umum, melainkan hanya dari pelanggaran terhadap
undang-undang atau kesalahan menerapkannya).
Hal tersebut oleh William T. Pizzi dikatakan sebagai
“trials without truth’” (Pizzi, 1999). Pizzi menunjuk
kelemahan sistem peradilan Amerika Serikat yang
terletak pada kecintaan dan kecanduan bangsa itu pada
prosedur atau sering dikatakan sebagai “procedure junk-
ies”. Dalam praktiknya, hakim di negeri itu sangat sibuk
menjalankan aturan main sehingga melupakan yang lain.
Hakim sudah seperti wasit sepakbola (American football),
kesibukannya dihabiskan untuk menjaga aturan main.
“The flow of the trial is interrupted and even its purpose is
forgotten as judges struggle to make perfect rulings, becom-
ing little referees concerned only with rules and rulings”.
Sebagai contoh, Pengadilan di Amerika Serikat gagal
mengetahui bahwa ia harus menyelesaikan satu tugas
yang tidak dapat diselesaikan dengan menjaga ketepatan
(precision). Sementara itu, yang diharapkan oleh rakyat
adalah mereka memiliki kepercayaan bahwa pengadilan
benar-benar menentukan kesalahan (guilt) atau

90 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
ketidaksalahan (innocence) dengan tingkat ketepatan yang
tinggi. Jadi, bukan urusan mempertahankan aturan main.
Oleh Pizzi kecenderungan tersebut dirumuskan sebagai
“procedure above all else not substantiive accuracy”.
Memasuki abad ke-20, Scholten mengatakan bahwa
ketenangan abad ke-19 yang penuh dengan rasa kepastian
sudah tidak banyak tersisa lagi (“van de rustige
verzekerdheid van velen de 19 eeuw, ...is niel zo heel veel
overgebleven”). Berpikir hukum tidak boleh dikatakan
sederhana, lurus, dan teknis ibarat memencet tombol
mesin otomat. Memasuki abad ke-20 bermunculan aktor-
aktor baru dalam hukum. Dengan munculnya aktor-aktor
baru tersebut mengguncang (ketenangan) dan kepastian
abad sebelumnya. Hal yang paling utama adalah industri-
alisasi telah melahirkan aktor-aktor baru berupa kolek-
tiva-kolektiva. Sedangkan, hukum abad ke-19 didominasi
oleh pelaku individu. Perubahan tersebut memancing
“vermaatschappelijking van bet recht” (hukum sudah
dimasuki oleh masyarakat, hukum sudah dimasya-
rakatkan). Tatanan dan kepastian lama sudah diting-
galkan dan yang baru mulai disusun. Tatanan sederhana
yang terdiri atas individu-individu telah dirobohkan
dengan masuknya aktor yang kolektiva-kolektiva
tersebut. Pada perkembangannya, hukum menghadapi
keadaan yang lebih kompleks.
Diproyeksikan pada ilmu kealaman, maka peralihan
dari berpikir sederhana ke berpikir kompleks tersebut
akan meninggalkan jejak-jejak pergumulan berpikir yang
sangat menarik (Capra, 2000, 1983 dan 1997; Prigogine &
Strengers, 1985; McFadden, 2000). Secara singkat terjadi
perubahan dari berpikir Cartesian yang mekanistik ke
berpikir holistis-ekologis. Bagi para calon doktor hukum,
pergumulan tersebut sangat penting diikuti. Apabila ilmu
hukum tidak ingin disebut sebagai ilmu yang tertinggal
karena tidak mengamati perkembangan apa yang terjadi

Bagian 2 91
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
dalam dunia sains pada umumnya.
Pada kenyataannya, perkembangan dalam dunia
sains terjadi secara menyebar, yaitu dimulai dari satu titik
kemudian meluas ke berbagai titik disiplin ilmu yang lain.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia
fisika juga memasuki ranah biologi, misalnya ketika fisika
membicarakan teori sistem. Sementara itu, antara fisika
dan kimia juga terjadi pertukaran. Kimia menyumbang
pemikiran bahwa tidak semua proses dalam alam itu
dapat dirunut balik secara eksak sama (revesible).
Menurut ilmu kimia ada proses-proses yang ridak dapat
dirunut balik (irreversible) karena mengikuti ranah panah
waktu (arrow oftime). Begitu prosesnya berjalan maka
kejadian itu tidak dapat dirunut kembali seperti jarum
jam. Dari keadaan tersebut, ilmu hukum dalam berpi-
kirnya juga perlu melihat pada apa yang terjadi, pada garis
depan sains, serta pengaruhnya terhadap ilmu hukum dan
lebih spesifik lagi pada cara berpikir hukum.
Menurut penulis, belum pernah ada penelitian yang
saksama mengenai interaksi berpikir hukum dengan
disiplin lain, kendatipun data-data untuk itu sebetulnya
tidak sedikit. Bagi komunitas ilmu hukum progresif
merupakan tugas penting untuk melakukan pembebasan,
yaitu arogansi dari komunitas hukum, baik profesional
maupun akademis. Apabila disiplin-disiplin ilmu lain juga
melakukan pembebasan dari cara berpikir yang lama ke
yang baru, mengapa ilmu hukum tidak melakukan hal itu.
Pembebasan dan pembaruan dilakukan bukan asal
berubah, melainkan karena memang diperlukan. Ilmu
fisika, kimia, psikologi mengalami perkembangan dalam
cara berpikir sehingga menjadi lebih mampu untuk
memberikan penjelasan.
Kembali pada hukum, dalam beberapa risalah
terdahulu telah dibicarakan bahwa dari waktu ke waktu
ilmu hukum membutuhkan perkembangan. Hukum yang

92 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
harus dihadapi oleh ilmu hukum abad ke-21 berbeda dari
abad ke-19. Misalnya, dari sisi substansi ditanyakan
apakah hukum itu telah berubah. Pertanyaan-pertanyaan
baru kemudian muncul. Fungsi hukum yang dikenal sejak
lama dipertanyakan kembali dan seterusnya. Berdasarkan
perubahan-perubahan tersebut, maka cara berpikir hukum
berubah pula.
Pada waktu hukum Amerika Serikat dihadapkan
pada munculnya persoalan-persoalan sosial baru pada
tahun 60-an, maka bangsa itu mulai merasakan
keterbatasan hukumnya untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan dengan memuaskan (Nonet & Selznick, 1978).
Philippe Nonet dan Philip Selnick menunjuk ketidak-
lenturan cara berpikir hukum sebagai akibat dari hukum
kurang dapat menyelesaikan persoalan baru yang muncul.
Cara berpikir hukum begitu kaku sehingga hanya mampu
menangani persoalan yang ada. Persoalan tersebut
memiliki pola (pattern), manakala pola itu berubah maka
berubah pula suatu persoalan (baca “The Importance of
Pattern” dalam Capra, 1997). Melihat kondisi itu, Nonet
dan Selznick menyarankan agar berpikir hukum bersedia
membuka diri terhadap berpikir dalam ilmu-ilmu sosial.
“There had long been a sense that law making, judging,
policing, and regulation were all to easily divorced from
the reality of social experience and from the ideal of justice
itself. Telah terjadi hambatan besar dalam cara berpikir
hukum sehingga kurang mampu menghadapi realitas
sosial yang kompleks dan dinamis, terletak pada
kekakuannya (baca, “berpikir silogistis”). “A major obsta-
cle, is a failure to grasp the significance of variation. In
empirical studies, and in practical experienced. It seem
easy enough to recognize that aspects of the world occur in
greater or lesser degree in a variety of mixes, and with
varying effects”. Hukum yang cara berpikirnya berdasar-
kan abstraksi (baca: konsep, definisi), tidak mudah
menghadapi variasi karena akan menjadi hilang begitu

Bagian 2 93
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
kita berbicara dalam bahasa konsep hukum. “But when
we indulge in more abstract reflection this commonsense
understanding fades”. Berpikir yang semata-mata
mengikuti logika tidak dapat menangkap kenyataan bahwa
kejadian-kejadian berlangsung dalam satu kesinambungan
(continuum). Berpikir secara logis dan kategoris lalu
menjadi penghambat. “Instead of recog­nizing that any theo­
retical polarity is a way of identifying a continuum, the
categories are taken to be empirically as well as logically
disjunctive”. Oleh kedua penulis tersebut, hal itu disebut
sebagai “fallacy of misplaced concreteness”. Seraya
menyarankan pendekatan secara ilmu sosial, Nonet dan
Selznick mengatakan, “A social science approach treats
legal experience as variable and contextual. That canon is
violated when law is characterized unidimensionally or is
said to possess invariant attributes”. Hukum, proses
hukum, dan tatanan hukum memiliki banyak dimensi.
Oleh karena itu, tidak dapat diselesaikan dengan berpikir
secara kategoris yang final, “we take the view that a legal
order has many dimensions and that inquiry is best served
when we treat those dimensions as variables”. Berpikir
yang meyakini kepastian-kepastian secara kaku
hubungan-hubungan yang harus diterima adalah berpikir
secara linier seperti menarik garis lurus antara dua titik
“Instead of talking about necessary connec­tions between
law and coercion, law and state, law and rules, or law and
moral aspiration, we should consider to what extend and
under what conditions those connection occur”.
Saran-saran Nonet dan Selznick mengingatkan kita
pada perkembangan dalam ilmu fisika yang meninggalkan
berpikir mekanistik dan deterministik menuju komplek-
sitas, relativitas, ekologis, dan holistis (baca: seri buku-
buku Capra).
Sampai di sini kita mengetahui bahwa berpikir
hukum Nonetian itu berbeda dari berpikir hukum

94 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Kelsenian yang mekanistis, yang hanya menggunakan
logika. Berpikir Nonetian lebih dekat dengan berpikir
hukum secara Holmestian yang menolak dominasi
silogisme (Holmes, 1963). Holmes mengatakan, “The life
of the law have had a good deal more to do than the syllo-
gism in determining the rules by which men should be gov-
erned The law can not be death with as if it contained only
the axioms and corollaries of a book of mathematics”.
Berpikir hukum secara Holmesian dan Nonetian
menggugat cara berpikir hukum yang didasarkan pada
hubungan-hubungan matematis. Hal itu memang dapat
dilakukan, seperti yang diuraikan sebelumnya, hukum
dipersepsikan sebagai satuan konsep dan definisi yang
eksak. Tidak ada masalah bila hukum yang dipersepsikan
sedemikian itu digarap dengan menggunakan logika
semata.
Memasuki abad ke-20 kehidupan menjadi tidak
sederhana lagi. Pada bacaan sebelumnya sudah diuraikan
bagaimana ilmu-ilmu kealaman menghadapi perubahan
kualitas kehidupan. Perubahan itu dirumuskan sebagai
pergerakan dari “berpikir mekanistik” ke “berpikir
holistis dan ekologis”. Dalam psikologi juga terjadi
perkembangan baru, yaitu munculnya kecerdasan
emosional (Goleman, 1985) dan terakhir kecerdasan spiri-
tual (Zohar & Marshall, 2000). Dalam biologi dilahirkan
berpikir sistemik (Capra, 2997). Kita dapat menarik
persamaan antara titik-titik perkembangan dalam depan
sains tersebut sebagai respons terhadap tantangan
persepsi kehidupan yang baru. Prigogine dan Stengers
menyebutnya “man s new dialog with naturé” (Prigogine
&c Stengers, 1985) dan Capra menamakannya u a
newscientific understanding of’ living systems” (Capra,
1997).
Menurut penulis, sudah waktunya melakukan
peninjauan kembali terhadap konsep berpikir hukum yang
selama ini ada, diterima, dan dilakukan dalam komunitas

Bagian 2 95
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
ilmu hukum. Komunitas hukum tidak dapat lebih lama
bersikukuh bertahan pada pikiran yang mengatakan
bahwa cara berpikir hukum itu adalah khas (disting).
Menurut penulis, perkembangan berpikir dalam
sains tidak dapat dibiarkan berada di luar komunitas hu-
kum. Hukum tidak akan mampu menghadapi kehidupan
yang semakin kompleks dan saling bergantung bila selalu
mengisolasi diri. Alih-alih mengatur dan memfasilitasi
kehidupan sehingga menjadi produktif, hukum malah
menjadi suatu anomali. Berpikir dalam sains yang sudah
menjadi holistis dan ekologis seyogyanya juga mengoreksi
cara berpikir hukum yang bertolak dari dunia konsep dan
definisi yang artifisial itu.
Meskipun hukum berangkat dari teks-teks tertulis,
tetapi melihat dan memperlakukan masyarakat semata-
mata sebagai konsep dan definisi yang telah dituliskan
dalam teks berbeda dari memakai teks sebagai pintu
masuk untuk menghadapi kenyataan. Sehubungan dengan
masalah yang sedang dibicarakan di Fakultas Hukum
Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda, berkembang
suatu cara berpikir hukum yang sangat menarik (Foque
et al, 1994).
Secara umum, Fakultas Hukum Universitas
Erasmus menolak pikiran dan pembelajaran yang memi-
sahkan ilmu hukum dari ilmu-ilmu sosial. Mengingat, hal
itu akan merugikan para lulusannya ketika terjun dalam
praktik. Pada suatu titik mereka mengemukakan
pendapat yang sangat menarik tentang bagaimana hukum
atau undang-undang seharusnya dijalankan. Mereka
menyarankan agar hukum, peraturan, dan undang-undang,
hanya berfungsi memberikan panduan yang terbuka, tidak
pasti, deterministik, dan final. Berpikir hukum seperti
itu sangat menarik karena mengingatkan pada cara
berpikir hukum kita, seperti dalam hukum adat yang
cenderung luwes. Di sini, “doktrin Rotterdam” dan
“doktrin Indonesia” mendekat satu pada yang lain, yaitu

96 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
hukum “memberikan ketentuan-ketentuan untuk dibica-
rakan, dimusyawarahkan lebih lanjut, bukan sesuatu yang
mutlak dan final untuk secara deterministik dilaksa-
nakan.
Lebih jauh lagi, seperti diuraikan terdahulu, berpikir
hukum memiliki basis kultural sendiri. Itu perlu diberi
pengakuan dan pengesahan. Berpikir hukum yang linier,
yang didasarkan pada konsep, definisi, pengertian-
pengertian hukum yang telah dibuat adalah abstrak
karena tercabut dari basis budayanya. Dalam sains
mutakhir cara-cara seperti itu sudah ditinggalkan dan
digantikan dengan metode holistis dan ekologis.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebaiknya cara
berpikir hukum juga mulai memutar haluan. Hal itu
semata-mata karena garis depan sains memang sedang
berubah, tetapi demi kepentingan hukum itu sendiri.
Hukum yang sudah dipersonifikasikan melalui konsep-
konsep abstrak sulit untuk menjadi fasilisator bagi proses
dalam masyarakat yang memiliki akar budaya sendiri.
Untuk Indonesia, hal itu menjadi lebih penting dan
mendesak karena struktur majemuk masyarakatnya yang
membutuhkan sistem hukum yang berwatak “plurality-
conscious” dan “plurality-sensitive” (Menski, 2006).
Kita sebaiknya mulai berpikir untuk mengembang-
kan cara berpikir hukum yang lebih holistis-ekologis
daripada hanya asyik bermain-main dengan hukum seperti
di abad ke-19 yang berdasarkan pada konsep artifisial dan
logika semata. Seharusnya, hukum sudah tidak lagi dilihat
sebagai bangunan yang disting, ranah yang esoterik,
melainkan lebih sebagai bangunan sosial-kultural. Apabila
pada Zaman Romawi hukum itu memasuki masyarakat
dengan menciptakan suatu dunia konsep artifisial abstrak
maka sejak dekade terakhir abad ke-20 masyarakatlah
yang memasuki hukum (vermaat-schappelijking van het
recbt, sociological movement in law). Mengikuti isyarat
perkembangan tersebut, ilmu hukum pun sudah mening-

Bagian 2 97
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
galkan “kepompong undang-undangnya” dan memperkaya
diri dengan dimensi kemasyarakatan, seperti buku yang
ditulis oleh Brian Z. Tamanaha dengan judul sugestif “A
General Jurisprudence o f Law and Society” (Tamanaha,
2006). Dalam buku tersebut, Tamanaha mengajukan tesis
yang dinamakan “mirror thesis”. Pada tesis tersebut,
hukum bukan sesuatu yang artifisial, melainkan sekadar
pencerminan dari masyarakatnya. Tamanaha menolak
ilmu hukum klasik yang mengejar ciri-ciri universal
sehingga melahirkan sebuah “ilmu hukum dunia” (tbe quest
ofa universal jurisprudence), sebuah “social institution
found in ail societies and exhibiting a core similar features”.
Dewasa ini, orang lebih melihat adanya relativisme
kultural dan pascamodernisme yang “privilège tbe local,
suggesting that nothing is universal, and suggest that noth-
ing is universal, and challenge the very ability to construct
generally applicable Standard”. Sangat menarik untuk
dikaji sinyalemen Tamanaha yang menyatakan bahwa
dunia mulai menolak penggunaan satu standar tunggal
dalam hukum. Dengan sinyalemen tersebut, tentunya
akan berimbas pula pada cara berpikir hukum.
Hal tersebut mengingatkan kita pada kritik yang
dilakukan terhadap sains klasik yang mengejar universa-
litas. Prigogine dan Stengers mengutarakannya sebagai
“They sought al embracing schemas, universal unifying
frameworks, within which everything that exists should be
shown to be system-atically-i.e., logically or causally - in-
terconnected, vast structures in which there should be no
gaps left open…, where everything that occurs should be…
Wholly explicable in terms of immutable general laws”
(Prigogine &c Stengers, 1985).
Meskipun dengan sedikit variasi, dapat dikatakan
bahwa dewasa ini ilmu hukum dan berpikir dalam hukum
sudah memperlihatkan perubahan dan perkembangan

98 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
penting. Berpikir hukum tradisional juga mengejar
universalitas yaitu dengan menggunakan logika
memproses peraturan yang sarat dengan konsep dan
definisi artifisial. Mengikuti cara berpikir dalam psikologi
yang telah berkembang dan diperkaya dengan EQ (emo-
tional quotient) dan SQ (spiritual quotient) maka berpikir
dalam hukum juga menjadi variatif. Berpikir hukum yang
sesungguhnya sejak memasuki abad ke-20 juga sudah
meninggalkan berpikir logis tertutup sebagai satu-
satunya standar. Dengan perkembangan dalam psikologi
tersebut semakin memperoleh dukungan dan pembena-
rannya.

Bagian 2 99
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
100 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 3

H
ukum di Mata
Bukan Ahli
Hukum
Hukum itu beredar dalam masyarakat yang tidak hanya
terdiri atas para ahli-hukum saja (lawyer). Mereka yang
bukan ahli-hukum juga harus berhadapan dengan hukum
itu dalam kehidupan sehari-hari. Risalah ini melihat
bagaimana hukum itu diterima di kalangan mereka yang
bukan ahli hukum.

Sejak hukum menempatkan diri sebagai konstruksi


yang canggih maka tidak semua orang mampu memahami
hukum dengan baik, apalagi menjalankannya. Orang harus
mengalami inisiasi lebih dahulu sebelum memasuki dunia
hukum. Akan tetapi, memahami atau tidak, menjalani
inisiasi atau tidak semua orang dihadapkan pada
kenyataan bahwa mereka harus hidup dalam sebuah dunia
yang sarat dengan hukum yang mengatur kehidupan
mereka.
Para profesional hukum cenderung untuk member-
lakukan dan memaksakan (imposing) tatanan hukum
kepada semua orang yang berada dalam suatu wilayah (ter-
ritory) negara. Oleh karena itu, mereka wajib tunduk pada
hukum yang berlaku di situ. Untuk kepentingan tersebut,
para profesional menuntut agar semua orang yang hidup

Bagian 2 101
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
dalam wilayah tersebut memiliki kesadaran hukum.
Hukum berlaku untuk semua orang yang berada
dalam wilayahnya. Untuk itu, konsep kedaulatan hukum
menjadi landasannya. Oleh karena itu, siapa pun yang
hidup dalam wilayah tersebut harus bertunduk terhadap
kekuasaan hukum. Kata “siapa pun” di sini tidak mem-
beda-bedakan antara mereka yang mengetahui hukum
atau tidak. Hukum adalah untuk orang yang mengetahui
hukum dan sekaligus yang tidak mengetahui.
Dalam konteks tersebut, sesungguhnya dapat juga
dikatakan bahwa terjadi semacam adu kekuatan (power
relations) secara diam-diam antara kedua kelompok
tersebut. Dalam rumusan yang lebih konkret dapat dika-
takan telah terjadi adu kekuatan antara para profesional
dan nonprofesional; antara para lawyer dan nonlawyer.
Secara diam-diam masing-masing kelompok mengaku
(claiming) sebagai memiliki hak untuk turut berbicara
(zeggenschap) mengenai hukum.
Keadaan tersebut merupakan hal yang lazim di
tengah-tengah kehadiran kaum dan komunitas
profesional. Kaum profesional dengan pengetahuan dan
pembelajarannya yang sangat spesialistis menjadi
komunitas yang tertutup. Hal itu terjadi disebabkan oleh
penciptaan dan penggunaan kata, istilah, dan konsep yang
khas sebagaimana dibutuhkan oleh profesi yang
bersangkutan. Hal itu tidak hanya terjadi pada komunitas
para ahli hukum, tetapi juga para dokter, dan lain-lain
(Ding-wall & Lewis, 1983). Dari keadaan tersebut,
kemudian terciptalah dua dunia yang sangat berbeda,
kendati membicarakan hal yang sama, seperti hukum,
keadilan, dan kesehatan.
Dalam pasar masyarakat, para profesional hukum
merebut keunggulan, terutama dengan bantuan negara.
Negara modern meminta bantuan komunitas para ahli
hukum profesional untuk menjalankan hukum negara.
Negara modern memberikan legalitas formal pada hukum

102 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
modern, seperti pengadilan negara yang diawaki oleh
kaum profesional (Unger, 1976).
Hukum sudah menjadi dunia yang khas dan esoterik
yang hanya dapat dilayani oleh mereka yang menerima
pembelajaran khusus. Para nonprofesional tidak mungkin
memasuki dan menembus dunia hukum yang sudah
menjadi esoterik. Mereka hanya dapat melakukan dengan
bantuan para profesional sebagai pawangnya.
Para profesional hukum mengakui bahwa dunia dan
pekerjaan hukum hanya dapat dilayani oleh mereka
sehingga semua orang harus tunduk pada otoritas mereka.
Akan tetapi, pada kenyataannya mayoritas penduduk In-
donesia bukan ahli hukum. Hukum tidak dapat menolak
kehadiran mereka yang berarti pula mengandung penga-
kuan terhadap keawaman mereka. Ternyata Indonesia
juga tetap bertahan (survive) sebagai negara hukum,
kendati 90% lebih penduduk Indonesia terdiri atas orang
biasa (bukan ahli hukum).
Keadaan tersebut menarik bagi ilmu hukum untuk
mengamati hubungan kekuatan antara komunitas ahli
hukum dan di luarnya. Ilmu hukum tidak dapat menga-
baikan atau mengorup realitas tersebut dan tugasnya
adalah untuk mengabarkan kejadian tersebut serta
kemudian menjelaskannya secara teoretis.
Dalam risalah-risalah terdahulu telah dibicarakan
tentang bagaimana hukum mendapat serbuan orang-or-
ang “dari luar hukum”. Mereka masuk ke dalam
masyarakat yang diatur oleh hukum dengan cara dan
pikiran mereka sendiri. Oleh karena dikucilkan sebagai
adresat hukum, maka mereka “memaksa” masuk dengan
membawa dan menggunakan ukuran dan kaidah mereka
sendiri. Dari kondisi tersebut, muncullah “hukum
Pasargada” dan “legalitas Pasargada”. Dalam hukum ini
kita dapat menyaksikan kekurangperkasaan hukum
negara, kendati sudah mendapatkan legitimasi dari

Bagian 2 103
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
negara. Hukum negara masih merangkul para pendatang
dengan melakukan pembiaran terhadap mereka, demi
alasan efisiensi.
Untuk keperluan tersebut kita perlu waspada
terhadap rakyat biasa yang dari luarnya tampak sebagai
mematuhi dan menjalankan hukum. Bagaimana mereka
yang tidak mengetahui hukum mampu mematuhi hukum?
Apa yang ada dalam pikiran selama mereka menjalankan
dan mematuhi hukum? Ilmu hukum dituntut untuk secara
jujur menjawab dan menjelaskannya. Untuk menunjukkan
kemungkinan terjadinya fenomena “menjalankan hukum
tanpa mengetahui hukum” tersebut. Berikut disampaikan
sebuah cerita tentang pengalaman hukum Millie Simpson,
seorang warga negara Amerika Serikat biasa (Ewick &C
Silbey, 2001).
Hampir selama sembilan tahun, Millie Simpson,
setiap hari bekerja, menjalani rute perjalanan dari
apartemennya menuju kediaman keluarga Carol Richard.
Millie bekerja membersihkan rumah (domestic bouse-
keeper) Carol Richard. Pada akhir Oktober 1989, Millie
meninggalkan pesan kepada Richard bahwa untuk
beberapa lama tidak dapat menggunakan mobilnya dan
harus menggunakan kereta api. Dengan demikian, untuk
sementara waktu tidak dapat menjalankan tugasnya
dengan baik. Apa gerangan yang terjadi?
Beberapa bulan sebelum itu, selama beberapa
minggu, Millie memarkir mobilnya di depan aparte-
mennya. Untuk mengatasi hal itu, setiap hari diantar dan
dijemput oleh seorang teman dengan mobil tersebut. Hal
itu terjadi karena Millie kehabisan uang untuk membayar
asuransi mobilnya. Ia tidak mau menggunakan mobil tanpa
perlindungan asuransi. Untuk mengatasi hal itu, ia ingin
mengumpulkan uang lebih dahulu.
Pada suatu pagi polisi datang dengan memberikan
surat panggilan {summonses). Dalam surat itu dikatakan

104 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
bahwa Millie telah meninggalkan tempat kecelakaan
(scène of accident) dan mengendarai mobil yang tidak
diasuransikan. Millie tidak percaya terhadap hal itu,
kemudian ia menjelaskan kepada polisi bahwa ia tidak
mengendarai mobil itu karena tidak diasuransikan.
Meskipun demikian, polisi tetap menyerahkan surat
tersebut. Waktu polisi pergi, Millie sangat risau, jangan-
jangan polisi tidak akan memproses alasan-alasan yang
dikemukakannya. Millie kemudian menyelidiki apa yang
sebenarnya yang telah terjadi. Dari penyelidikan yang
dilakukan, Millie menemukan bahwa tanpa sepenge-
tahuan ibunya, anak temannya telah mengambil kunci
mobil dan mengendarai mobil Millie. Akan tetapi, anak
itu sedang naas, ia menabrak sebuah mobil yang diparkir
di belakangnya. Anak itu kemudian berkeliling-keliling
dengan mobil Millie. Setelah puas, sebelum polisi datang
dan atau sebelum Millie mengetahui bahwa mobil itu
hilang dari tempatnya, anak itu mengembalikan mobil
yang sudah penyok di bagian belakangnya pada tempat
semula.
Millie datang di pengadilan pada hari yang telah
ditentukan dalam surat panggilan. Hakim menanyakan,
apakah ia akan mengakui kesalahannya (plead guilty)}
Akan tetapi, Millie menolak dan mengatakan dirinya
tidak bersalah. Millie berpikir bahwa hakim merasa heran
(surprised); hakim menanyakan apakah mobilnya
diasuransikan dan apakah ia meninggalkan tempat
kejadian kecelakaan. Millie mengakui bahwa mobilnya
tidak diasuransikan, tetapi ia tidak mengendarai mobil
itu. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa dirinya tidak
terlibat dan tidak meninggalkan tempat kejadian.
Mobilnya telah digunakan oleh anak temannya tanpa
memperoleh izin dan kemudian terlibat dalam kecelakaan.
Menurut Millie, hakim mengatakan bahwa ia akan
mencatat pengakuan Millie sebagai “tidak bersalah sebab
ia tidak mengendarai mobilnya” dan ia akan menentukan

Bagian 2 105
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
hari persidangan yang lain. Dari uraian tersebut terdapat
ketidaksesuaian antara pernyataan Millie dan rekaman
resmi yang mengatakan bahwa Millie mengaku bersalah
(did pleadguilty). Hakim juga menanyakan apakah ia ingin
didampingi oleh seorang pembela umum? Setelah mengisi
beberapa formulir di ruang lain, Millie diberi seorang
pembela. Beberapa minggu kemudian, karena tidak
mendengar kabar dari pembelanya, Millie datang kembali
ke pengadilan (sekali lagi) tanpa didampingi pembela.
Di hadapan hakim terdapat setumpuk kertas,
menurut pikiran Millie kertas-kertas tersebut berisi
semua informasi yang telah diberikan pada persidangan
yang lalu. Sebagai hasilnya, tidak seperti pada persidang-
an pertama, dalam persidangan kedua ini Millie
menceritakan apa yang terjadi dengan mobilnya. Tanpa
pembicaraan lebih lanjut, Millie mengakui (claims) bahwa
hakim menyatakan ia bersalah dengan mengatakan bahwa
SIM-nya dinyatakan tidak berlaku selama satu tahun dan
harus membayar denda $ 300 serta ia harus menjalani
pelayanan publik (community service) selama 15 jam.
Bertepatan dengan detik itu, sesudah hakim selesai
dengan putusannya, si pembela umum muncul.
Sesudah Bob Richards mendengar apa yang terjadi
secara rinci, yang salah satunya ada keterlibatan anak
teman Mille, apa yang telah dilakukan oleh Millie dan
tanggung jawabnya, dan ketidakterlibatan pembela umum,
keluarga Richards memutuskan mencari seorang advokat
yang dapat menolong Millie. Bob Richards menghubungi
kantor advokat perusahaannya. Seorang advokat
kemudian menemui Millie. Sesudah menyelidiki kasusnya
melalui rekaman pengadilan dan dari rekaman tersebut
diketahui bahwa Millie telah mengaku bersalah, advokat
David Stone mengajukan mosi agar perkara dibuka
kembali dan menarik kembali pengakuan bersalah. David
Stone datang ke pengadilan dan menyatakan di atas
rekaman (on the record) bahwa Millie telah tampil di

106 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
pengadilan beberapa minggu lalu tanpa didampingi oleh
pembela. Sekalipun ia mengaku mengetahui apa yang
terjadi, tetapi sesungguhnya ia tidak menyadari betapa
serius tuduhan yang diberikan dan juga tidak menyadari
implikasi dari tuduhan bersalah (of being found guilty).
Stone juga menghubungi kejaksaan yang bersikap netral
dan bersedia untuk membuka kembali perkara asal hakim
menghendakinya.
Empat atau lima minggu kemudian Stone dan Millie
tampil di depan hakim Tyler, hakim yang sama yang
menyatakan Millie bersalah dan yang juga telah ditemui
oleh Stone untuk membuka kembali perkara. Dalam
persidangan tersebut, Stone mengemukakan kembali
fakta-fakta yang telah dikemukakan oleh Millie sejak
awal, yaitu bahwa seseorang telah menggunakan
mobilnya, telah terlibat kecelakaan, dan melarikan diri
dari tempat kejadian, tetapi itu bukan Millie Simpson.
Tidak ada saksi yang dipanggil, tidak ada bukti-bukti yang
mendukung diajukan, dan Millie tidak diminta untuk
bersaksi. Pengadilan menyatakan Millie tidak bersalah
dan menutup perkara. Denda yang sudah terlanjur
dibayar dikembalikan dan SIM-nya diberlakukan kembali.
Cerita Millie Simpson telah diuraikan secara
lengkap dengan tujuan agar kita dapat mengikuti dengan
baik apa yang telah terjadi. Apa yang dapat ditangkap dari
cerita tersebut? Millie adalah satu dari sekian ratus juta
manusia biasa yang sehari-hari berhadapan dengan hukum
dan terlibat di dalamnya. Mereka tidak memperoleh pem-
belajaran hukum secara khusus, tetapi langsung
menceburkan diri ke dalam kehidupan hukum sehari-hari.
Itulah yang terjadi pada Millie Simpson. Tanpa berbekal
hukum pengetahuan yang memadai ia terlibat dalam suatu
kasus hukum yang membawanya berkenalan dengan
pengadilan, hakim, advokat, dan praksis lainnya. Millie
dengan tegar menjalani peranannya di situ. Hal itu tentu
akan berbeda caranya menghayatinya, seandainya ia

Bagian 2 107
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
pernah belajar hukum. Millie membuat penafsiran sendiri
tentang segala hal yang telah dijalankannya. Ia membuat
penafsiran sendiri seraya menjalankan perintah dari para
aktor hukum yang dihadapinya. Millie menerima sekalian
perintah itu menurut pemahamannya sendiri, menurut
asumsinya, pikirannya, dan kepercayaannya sendiri.
Makna dari hukum menurut orang awam berbeda
dari yang ada di kepala para ahli hukum. Hal tersebut
tampak sekali pada waktu majikannya, Bob Richards
meminta bantuan seorang advokat untuk mendampingi
Millie. Sesudah mempelajari semua dokumen rekaman
pengadilan, advokat David Stone segera melihat apa yang
tidak dapat dilihat oleh Millie sebagai orang awam dalam
hukum. Stone menyadari bahaya yang sama sekali tidak
disadari oleh Millie. Bahaya itu datang karena hukum itu
memiliki konsep, struktur, dan logika sendiri. Millie
bertindak dengan kesadaran hukum, tetapi kesadaran
hukum sebagaimana dibangunnya sendiri berdasarkan
“pengetahuan, asumsi, dan kepercayaan” yang dimiliki.
Millie tidak menyadari bahwa hakim itu adalah status,
kewenangan, dan di belakangnya ada hukum yang
memiliki konsep, prosedur, dan logika sendiri. Oleh
Elwick dan Silbey itu disebut sebagai “ways in which
people make sense of law and legal institutions” atau “the
understandings which give meaning of people’s experiences
and actions”.
Menurut penelitian Elwick dan Silbey, di mata
Millie, semua hal yang berlangsung di pengadilan
dianggapnya sama dengan kejadian-kejadian biasa yang
dialami sehari-hari, yaitu suatu ranah {space) di mana
kejadian-kejadian itu menimpa orang. Apa yang dilakukan
oleh hakim, misalnya membaca surat-surat dan
mengerjakan apa yang dikatakan di situ. Ia tidak mengerti
bahwa hakim sedang mengerjakan tugas untuk memeriksa
dan mengadili perkara. Ia tidak mengerti bahwa
berhubungan dengan dan memasuki pengadilan adalah

108 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
memasuki suatu dunia dengan tatanannya sendiri dan
masing-masing pihak dalam peradilan menempati
kedudukan dan memiliki status hukum masing-masing
pula. Millie tidak membedakan kehadirannya di
pengadilan dengan kehadirannya dalam gereja dan
hubungannya dengan sang majikan. “For Millie, things sim-
ply happened within this terrain; they did not need :o be
explained.”
Orang hukum selalu berpikir dalam konteks dan
dengan latar belakang sejumlah perundang-undangan,
prosedur, konsep, definisi, dan status tertentu. Mereka
menghendaki atau mereka berpikir bahwa setiap orang
harus berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam
pikirannya tersebut. Inilah konsep para profesional
mengenai kesadaran hukum. Belajar dari Kasus Millie
Simpson tersebut dapat diketahui bahwa ada jenis
kesadaran hukum yang lain yang tidak ada hubungannya
dengan tatanan hukum dan kesadaran itulah yang
menggerakkan Millie. Ia datang ke pengadilan karena
dipanggil. Ia melihat pengadilan sebagai ruang biasa,
seperti pasar, gereja, dan lain-lain. Ia melihat hakim ada
di situ dengan tugas membaca setumpuk surat-surat di
meja dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya.
Ia membangun sendiri suatu kesadaran berdasarkan
penafsirannya terhadap apa yang dilihatnya terjadi di
ruang pengadilan. Millie melihat pengadilan dan proses
peradilan dari kaca matanya sendiri. Para profesional
hukum tidak mau dan merasa tidak perlu tahu tentang
kenyataan tersebut. Tugas mereka adalah men­jalankan
hukum dan tidak ada kepedulian terhadap orang-orang
seperti Millie. Di sisi lain, apa yang tidak penting bagi
para profesional merupakan sesuatu yang sangat penting
bagi para ilmuwan. Tugas para ilmuwan adalah tidak
terutama untuk membuat putusan dan memaksakan (im-
posing) sesuatu tetapi lebih pada memotret kenyataan

Bagian 2 109
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
secara jujur dan menjelaskannya. Mereka memiliki
semacam tugas untuk mengerti hukum sebaik-baiknya,
yaitu sedalam dan seluas mungkin. Kasus Millie
memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai
kompleksitas dari kesadaran hukum dan sebagai ilmuwan
kita perlu mengerti hal itu pula. Dari perspektif keilmuan
tidak ada tempat bagi para profesional hukum untuk
memonopoli kebenaran.

110 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 4

M
emunculkan
Kekuatan
Hukum
Risalah ini membicarakan tentang kekuatan bekerjanya
hukum. Teks hukum hanya salah satu faktor dalam
bekerjanya hukum. Faktor yang lain adalah manusia yang
menjalankan hukum itu. Keterlibatan manusia dalam
hukum itu masih dikesampingkan dalam pembelajaran
hukum.

Dimensi kekuatan hukum masih belum menjadi


masalah substansial dalam kajian dan pembelajaran
hukum selama ini. Peranan teks hukum atau perundang-
undangan masih sangat diutamakan sehingga belajar
hukum hampir identik dengan belajar teks perundang-
undangan.
Ilmu pengetahuan selalu diharapkan dapat memberi
panduan pada saat masyarakat dan bangsa dalam meng-
hadapi persoalan, apalagi persoalan besar. Ilmu penge-
tahuan hukum juga akan selalu dicari masyarakat sebagai
sumber yang mampu memberi panduan, pemecahan, dan
jalan keluar di saat menghadapi persoalan besar maupun
kecil.
Kesulitan muncul pada waktu Indonesia berada
dalam krisis dan keadaan luar biasa. Teks hukum yang

Bagian 2 111
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
menjadi andalan dalam bernegara hukum tidak mampu
berbicara dan membedakan antara keadaan biasa dan luar
biasa. Teks itu diam, statis, dan status quo sentris. Teks
hukum tidak memiliki kepekaan untuk merasakan adanya
sesuatu yang berubah. Hukum tidak mampu mengubah
dirinya sendiri. Hukum tetap memuat teks yang sama,
kecuali diubah oleh legislatif.
Hukum tidak dapat menyadari bahwa kalimat-
kalimatnya sudah tidak mampu lagi untuk menghadapi
situasi atau tantangan yang berubah. Hanya manusialah
yang dapat merasakan bahwa hukum sekarang
dihadapkan pada keadaan luar biasa. Akan tetapi, manusia
tidak dapat bertindak menurut kemauannya sendiri,
melainkan harus melalui jalur hukum. Perbincangan
menjadi sangat menarik ketika manusia ditarik pada dua
arah yang berlawanan, yaitu teks dan aksi. Sulit atau tidak
ilmu hukum tetap dituntut untuk memberikan panduan
terhadap praksis hukum dalam situasi luar biasa.
Seharusnya hukum memiliki tungkai atau meka-
nisme otomatis yang menjadikan dirinya mampu segera
memberi respons terhadap tantangan yang diajukan
kepadanya oleh masyarakat. Akan tetapi, kenyataannya
tidak demikian, ia tidak memiliki mekanisme. Bahkan,
para legalis dan status quois mengatakan, selama teks
tidak berubah dan diubah kita tidak dapat berbuat apa-
apa.
Dalam keadaan yang demikian itu, ilmu hukum perlu
menengok kembali ke dalam kurikulum yang ada selama
ini. Apakah kurikulum pembelajaran hukum menyediakan
tempat untuk membicarakan masalah kekuatan hukum?
Seperti berulang kali penulis katakan, dalam keterpu-
rukan Indonesia justru merupakan sebuah laboratorium
hukum yang sangat baik dan berkualitas dunia. Tinggal
bagaimana kita bersungguh-sungguh menikmati dan
memanfaatkan hal tersebut untuk membangun hukum
kita.

112 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Apabila kurikulum hukum memang menyediakan
pembelajaran tentang kekuatan hukum, maka jauh hari
ia sudah akan memisahkan antara teks hukum dengan
kekuatan yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi,
kurikulum konvensional tidak memuat pembelajaran yang
seperti itu.
Dalam suasana keterpurukan tersebut terasa sekali
kekurangan untuk menyadari adanya (apa yang ingin saya
sebut sebagai) ‘kekuatan hukum’. Dari pengamatan selama
ini ilmu dan praksis hukum di Indonesia masih melihat
kekuatan hukum sebagai sesuatu yang taken for granted,
yaitu dianggap ada dengan sendirinya tanpa perlu dikaji
lebih jauh. Begitu ada hukum atau undang-undang, maka
tugas hukum sudah selesai dan semuanya menjadi beres.
Secara implisit orang sebetulnya mengatakan bahwa
kekuatan hukum terletak pada kehadiran undang-undang.
Kekuatan hukum hadir bersamaan dengan kehadiran
teks-teks hukum.
Pemahaman tersebut membawa kita pada doktrin
‘kepastian hukum’ yang otomatis. Dengan demikian,
kepastian hukum lalu menjadi sesuatu yang taken for
granted (ada dengan sendirinya) pula. Perundang-
undangan, kepastian hukum, menjadi barang-barang yang
beredar dalam pasar hukum, tanpa dikaji lebih lanjut.
Penulis belum melihat orang yang melakukan studi
khusus mengenai fenomen kepastian hukum itu (Rahardjo,
2007).
Kekurangan-kekurangan tersebut berimbas pada
harapan-harapan hukum yang keliru. Legislatif telah
memproduksi sejumlah besar undang-undang, menyiap-
kan sistem, dan prosedur serta membangun institut-
institut hukum, bahkan, sekarang, juga dibuat komisi-
komisi yang mengawal jalannya sistem tersebut. Hukum,
sistem, dan administrasi yang sudah dibangun dan
disiapkan itu akhirnya melahirkan harapan yang keliru

Bagian 2 113
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
terhadap prestasi hukum. Harapan yang keliru seperti
itu terjadi karena sikap menganggap sepele kekuatan
hukum. Kekuatan hukum menjadi sesuatu yang tidak
perlu diangkat sebagai permasalahan tersendiri yang
memerlukan pengkajian bersungguh-sungguh. Permasa-
lahan hukum dianggap selesai dengan dibuatnya peratu-
ran, prosedur, dan institut.
Sekalian yang berhubungan dengan hukum dikelola
secara formal, lat face value’, atau ‘prima facie’. Seperti
telah dikatakan, semua itu terjadi karena pembelajaran
hukum kita yang dangkal. Pembelajaran tersebut lebih
didasarkan pada fokus dan pembacaan-pembacaan
terhadap hukum tekstual. Oleh karena itu, keterpurukan
hukum kita hendaknya mampu diubah menjadi berkah,
yaitu untuk mengkaji hukum lebih dalam daripada
sekadar permukaannya.
Salah satu cara untuk melakukan studi hukum yang
menukik lebih dalam adalah kajian mengenai apa yang
ingin penulis sebut sebagai studi terhadap “kekuatan yang
tersembunyi dalam hukum”. Kita perlu mengubah
pembelajaran hukum kita yang didominasi oleh teks
menjadi pembelajaran yang melibatkan dimensi psikologis
dari hukum atau teks hukum.
Penulis tidak setuju dengan para sosiolog hukum
yang beraliran positivis, yang mengatakan bahwa hukum
adalah realitas empiris dan sama sekali tidak mengan-
dung tujuan dan moral (Black, 1989). Aliran sosiologi
hukum ini juga disebut sebagai ‘sosiologi hukum murni’.
Sosiologi hukum harus menjadi ilmu yang murni, yaitu
yang hanya berurusan dengan fakta empiris. Hukum
dilihat sebagai data yang harus dapat dikuantifikasikan.
Di sini, para sosiolog tidak ada bedanya dari para positivis,
seperti Hans Kelsen, yang mengatakan bahwa negara dan
hukum adalah undang-undang yang tertulis hitam-putih.
Tidak ada dimensi filosofis, moral, dan lain-lain di situ.

114 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Black mengatakan, “... since sociology -like any sci-
ence-can only deal with facts, it cannot access the effective-
ness of law or anything else. A scientific critique of law is
illogical and impossible, a contradiction in terms.” Lebih
lanjut ia menulis, “The sociology of law could be truly sci-
entific in spirit and method, unconcerned with policy and
uncontami-nated by practical considerations.” Pembicaraan
mengenai masalah kekuatan yang terkandung dalam
hukum tidak mendapat tempat di sini. Hukum dilihat dari
luar, bukan dari dalam.
Untuk kepentingan ini, penulis lebih cenderung
pada aliran dalam sosiologi hukum yang memberikan
tempat pada nilai-nilai. Justru hukum menjadi hukum
karena mengandung dan mengekspresikan nilai-nilai dan
cita-cita. Aliran itu biasa disebut sebagai idealis yang
menolak cara berhukum minimalis. Cara berhukum
idealis menghendaki agar ideal yang ada di dalam teks
menjadi manifes atau terwujudkan. Saya menamakan cara
berhukum yang demikian sebagai ubeyond the call of rules”.
Di sini hukum dilihat dari dalam. Oleh karena itu, kita
dapat berbicara adanya kekuatan dari hukum.
Untuk melakukan kajian dan pemahaman hukum
yang menukik, kita perlu berangkat dari keyakinan bahwa
hukum mengandung kedalaman tertentu daripada yang
dapat dibaca dari teksnya saja. Membaca teks saja, seperti
umumnya pembelajaran di fakultas-fakultas hukum tidak
sama dengan membaca kedalaman kandungan teks
tersebut. Ini penting dalam kaitan dengan penggunaan
doktrin kepastian hukum (seperti disinggung di atas).
Permasalahan menjadi melebar karena munculnya
pertanyaan apakah kepastian hukum itu dilihat dari bunyi
teks ataukah dari kedalaman makna teks? Apabila kita
berbicara mengenai kekuatan yang tersembunyi dalam
hukum, maka kita menolak pembacaan hukum hanya
sebagai pembacaan teks atau yang saya sebut sebagai
“mengeja undang-undang” itu.

Bagian 2 115
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
Masalah yang ingin diajukan di sini tidak hanya
berhenti pada pemahaman lebih dalam terhadap teks-teks
hukum, melainkan lebih dari itu, kepada bagaimana
praksis akan dilakukan sesudah itu. Di sinilah perubahan
besar akan terjadi, yaitu perubahan dalam kultur para
penegak hukum.
Praksis hukum selama ini mengikuti cara “mene-
gakkan hukum menurut bunyi teks” {black-letter law) yang
hanya menurut kata-kata dan kalimat dalam teks. Dengan
demikian, praksis abad ke-19 masih menguasai pemikiran
dan praksis hukum sampai hari ini. Sekarang, bagaimana
jika cara berhukum diproyeksikan terhadap gagasan atau
pemahaman yang baru, yaitu menukik sampai pada
kedalaman makna hukum?
Pertama, para penegak hukum, di mana pun posisi
mereka, mengidentifikasi diri mereka sebagai kaum vigi-
lantes, orang-orang yang berjihad dalam hukum. Mereka
tidak hanya membaca undang-undang tetapi diresapi
dengan semangat untuk meluapkan keluar makna undang-
undang yang ingin menyejahterakan rakyat. Mereka
bukanlah tipe orang-orang yang “mengangkat pundaknya”
seraya mengatakan, “apa boleh buat, hukumnya memang
begitu”. Dengan demikian, diperlukan predisposisi
progresif dari para penegak hukum.
Kedua, kesadaran dan keyakinan bahwa hukum
menginginkan yang baik terjadi pada rakyat dan masya-
rakat. Hukum bukan semata-mata berupa sederetan kata-
kata dan kalimat. Hukum adalah pesan (message) yang
membutuhkan realisasi. Hukum sebagai ‘kalimat’ dan
sebagai ‘pesan’ adalah dua hal yang sangat berbeda dan
yang pada akhirnya akan menentukan hasil putusan. Di
sini kita memasuki ranah kekuatan hukum yang menjadi
pokok dari risalah ini.
Hukum adalah kekuatan dan kekuatan itu terkan-

116 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
dung di dalam teks, yaitu kata-kata dan kalimat yang
digunakan sebagai tanda yang dapat ditangkap. Kekuatan
itu tidak dapat muncul dengan serta-merta. Yang muncul
serta-merta hanyalah teks. Oleh karena itu, pada hemat
penulis yang dapat segera dipastikan adalah adanya
‘kepastian peraturan’.
Kekuatan hukum yang terpendam tersebut perlu
digali dan dimunculkan. Inilah yang penulis sebut sebagai
berjihad dalam hukum.
Di Amerika Serikat yang sangat mengunggulkan
individu dan kebebasan, ada yang dinamakan ‘exclusion-
ary rules’ (Dershowitz, 1996). Melalui doktrin tersebut,
bagaimanapun kebenaran yang dihadapi apabila
kebenaran itu diperoleh dengan melanggar hak-hak
pribadi, maka kebenaran itu akan ditepis oleh pengadilan.
Hak-hak tersebut, misalnya ‘freedom from unreasonable
government intrusion” dan ‘the integrity of the mind and
body’. Kebenaran lalu menjadi barang nomor dua dengan
mendahulukan hak-hak individu.
William T.Pizzi, seorang mantan jaksa yang
kemudian menjadi profesor mengatakan bahwa sistem
hukum Amerika Serikat terlalu sarat dengan prosedur
sehingga meminggirkan pencarian kebenaran (“..., that
makes it very difficult for trial judges to control that
behavior,and that ends up undervaluing truth.”)(Yazi,
1999).
Apabila ‘exclusionary rules’ tersebut kita proyeksikan
pada masalah yang sedang kita bicarakan, maka dapat
dikatakan bahwa “kepastian kalimat undang-undang”
akan ditepis oleh “kekuatan makna undang-undang”.
Bagaimana hal tersebut diwujudkan dalam penegakan
hukum?
Para penegak hukum yang berjihad untuk memun-
culkan kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan

Bagian 2 117
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
mendorong kata-kata dari teks hukum itu sampai ke titik
paling jauh (ultimate) sehingga kekuatan hukum keluar
dari “persembunyiannya”. Pengadilan tidak lagi semata-
mata menjadi tempat untuk menerapkan undang-undang
melainkan menjadi tempat untuk menguji “sampai sejauh
mana kekuatan kalimat undang-undang” itu. Hakim bukan
lagi “/es bouches, qui prononcent les paroles de la loi “ (mulut
yang mengucapkan kata-kata undang-undang), melainkan
seorang vigilante atau mujtahid.
Ronald Dworkin memberi contoh yang bagus, waktu
membicarakan tentang masalah pornografi di Amerika
Serikat dalam kaitan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Apakah konstitusi Amerika Serikat melarang atau
membolehkan pornografi dalam pers? Tidak ada teks atau
kalimat yang jelas mengenai hal tersebut. Dworkin
merujuk ke Amandemen 1 terhadap konstitusi yang
berbicara tentang kemerdekaan ber­bicara (free speech)
(“The freedom of speech or of the press; or the right of the
people peaceably to assemble, and to petition the Govern-
ment for the redress of grievance.’’’). Hakim harus berani
menguji sejauh mana jangkauan amandemen ter­sebut,
apakah sampai pada masalah pornografi dalam pers?
Apakah amandemen konstitusi tersebut menjangkau
sampai pada masalah pornografi dalam pers? (Dworkin,
1996; Rahardjo, 2007a).
Baru dengan pengerahan usaha para hakim untuk
berani menguji sejauh mana kekuatan suatu teks hukum,
kita benar-benar mengetahui magnituda kekuatan
tersebut. Sebaliknya, apabila hakim hanya membaca teks
maka tidak dapat diketahui seberapa besar kekuatan yang
terkandung dalam hukum itu.
Seperti dikatakan oleh Paul Scholten, masa
keemasan hakim memperlakukan hukum seperti
pekerjaan matematis, yang memproses undang-undang
seperti memproses angka-angka secara logis {banteren

118 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
van logische figuren) sudah lewat (Scholten, 1954).
Pekerjaan hukum itu lebih dari pekerjaan silogisme.
Putusan hukum tidak dibuat semata-mata menurut jalur
logika, melainkan melompat (“/« de beslissing zit altijd ten
slotte een sprong”).
Satu hal yang diangkat oleh Scholten dan sangat
dekat dengan masalah yang sedang kita bicarakan adalah
gagasannya mengenai ‘logische expansiekracht van het
rechf (kekuatan hukum untuk mengembangkan diri). Kita
mengatakan, bahwa ada kekuatan yang tersembunyi
dalam hukum dan itu pula yang dipikirkan oleh Scholten
pada saat berbicara tentang expansiekracht. Menurutnya,
hukum bukan merupakan bangunan logis yang tertutup
(logische geslotenheid).
Gagasan hukum progresif, yang sejak 2002 dicoba
untuk dikembangkan merupakan lahan pesemaian yang
bagus bagi pengembangan kekuatan yang tersimpan
dalam hukum. Hukum progresif menolak cara berhukum
yang menyebabkan hilangnya dinamika hukum. Hukum
menjadi statis dan stagnan manakala kita tidak berusaha
untuk menyiangi dan menyingkirkan hambatan-hambatan
yang menyebabkan hukum menjadi stagnan. Salah satu
hal yang akan terhambat adalah tidak munculnya kekuatan
yang sebenarnya ada secara inheren dalam hukum.
Kekuatan yang tersimpan itu menjadi tidak muncul karena
para penegak hukum sendiri yang menyebabkannya.
Penghambatnya adalah cara-cara berhukum yang hanya
dengan mengeja teks undang-undang.
Tidak muncul atau dimunculkannya kekuatan yang
ada di dalam hukum itu menyebabkan hukum yang seha-
rusnya mampu atau tajam menjadi tumpul dan tidak
mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Seperti dikatakan terdahulu, hukum dan penegakan
hukum juga perlu memasuki ranah psikologi. Di sini
konsep kita adalah bahwa hukum tidak hanya berurusan
dengan peraturan melainkan juga perilaku. Perilaku yang

Bagian 2 119
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan hukum adalah
apa yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai ‘mesu budi’
yaitu mengerahkan kekuatan spiritual kita.
Pekerjaan hukum adalah lebih dari hanya logis-
rasional, melainkan sesuatu yang menuntut kreativitas
dari para pelakunya. Di sinilah pekerjaan memunculkan
kekuatan hukum itu memperoleh tempatnya.

120 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 5

P
erjalanan
Panjang “Rule of
Law”
Hukum dan ilmu hukum sampai kepada kita sesudah
melalui perjalanan panjang mulai sebelum Masehi dan
masih akan meneruskan perjalanannya ke masa mendatang.
Perjalanan panjang itu meninggalkan jejak-jejak
pergolakannya sendiri dengan manusia pada titik sentralnya
Sekarang ia lazim dibicarakan sebagai “the Rule of Law”.

Sudah sejak masa lampau yang jauh menjorok ke


belakang manusia bergumul dengan masalah ketertiban.
Manusia tidak dapat hidup dalam kebersamaan (masya-
rakat) tanpa ketertiban. Kebutuhan untuk hidup dalam
suasana ketertiban itulah yang membawa manusia mema-
suki permasalahan hukum. Apa pun hukum ingin disebut
entah sebagai kebiasaan, tradisi, custom, mores, atau
sebagai sistem perundang-undangan. Hukum merupakan
salah satu persoalan sangat penting dalam kehidupan
manusia.
Masalah hidup dalam ketertiban atau dalam naungan
hukum yang akan dibicarakan sebagai “rule of law’” (ROL)
itu. Sampai hari ini ROL masih tetap menjadi
perbincangan yang hangat di dunia. Ia sudah menjadi

Bagian 2 121
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
semacam nama atau cap dagang pada waktu orang
membicarakan hukum. “The rule of law is the most impor-
tant political ideal today ...” demikian Tamanaha, yang
disambungnya lebih lanjut dengan kata-kata, “... yet there
is much confusion about what it means and how it works’’’
(Tamanaha,2004). ROL memuat banyak kandungan
persoalan, mulai dari bagaimana membuat hukum, sampai
pada bagaimana menghindari dan melepaskan diri dari
jerat hukum. Pendapat Tamanaha tersebut sangat
menarik karena membuka peluang untuk membicarakan
kehadiran ROL secara bebas dan kritis. Pendapat tersebut
{“there is (yet) much confusion what it means and how it
works’”) mengisyaratkan bahwa tidak atau belum ada
pendapat final tentang ROL. Dengan demikian, hal itu
menolak pendapat sebagian orang di dunia bahwa ROL
sudah final dan hanya ada satu konsep yang mutlak untuk
dijadikan standar.
Sebagai catatan, dalam risalah ini ROL dibedakan
dari apa yang dalam kalangan komunitas pembelajar
hukum dinamakan “The ROL” itu. The ROL sudah
menunjuk kepada suatu tipe ROL yang khas (distinct),
seperti antara lain dirumuskan oleh A. V Dicey ke dalam
tiga gagasan, yaitu (1) kedaulatan hukum, (2) persamaan
di hadapan hukum, dan (3) hak asasi manusia. Dikatakan
oleh Dicey, “no man is punishable or can be lawfully made
to suffer in body or goods except for a distinct breach of law
established in the ordinary legal manner before the ordi-
nary Courts of the land. In this sense the rule of law is
contrasted with every system of government based on the
exercise by persons in authority of wide,arbitrary, or dis-
cretionary powers of constraint.” (Tamanaha, 2004).
Dalam risalah itu, ROL dipakai dalam artian generik
yang meliputi sekalian aktivitas manusia untuk menem-
patkan atau menata kehidupan manusia dalam koridor
hukum. Apa pun nama dan bentuknya, ia kita masukkan
ke dalam ROL.

122 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Dalam risalah ini ROL yang kita bicarakan tidak
sebatas sebagai sejarah atau perjalanan hukum, melainkan
juga sebagai potret yang menggambarkan pergulatan
antara manusia dan hukumnya. Benar juga pendapat yang
menyatakan bahwa di mana ada masyarakat maka di situ
ada hukum {ubi societas ibi ius). Kita menafsirkannya
sebagai suatu keniscayaan bahwa manusia atau masya-
rakat manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa ada
ketertiban dan keteraturan di situ dan hukum diandalkan
untuk menciptakannya.
Manusia membutuhkan kehadiran hukum dalam
masyarakat. Mengenai hal tersebut tidak ada pendapat
yang berbeda. Perbedaan baru muncul sesudah hukum itu
ada. Fungsi apa yang akan kita berikan kepada hukum?
Seberapa besar kekuasaan yang kita berikan padanya?
Bagaimana posisinya berhadapan dengan moral? Apakah
hukum melindungi individu atau masyarakat? Siapa yang
harus terikat atau tunduk kepada hukum? Dan, sejumlah
besar persoalan lainnya.
Dengan demikian, sekalipun manusia membutuhkan
hukum, tetapi ia tetap masih harus berjuang menghadapi
hukum yang justru dibutuhkan dan diciptakan sendiri.
Ternyata ROL bukan sesuatu yang sudah final. Di
dalamnya masih bergejolak sejumlah besar persoalan.
Kendatipun ROL sudah memberikan kaidah untuk menata
interaksi antara manusia dalam masyarakat, ia tidak
kuasa mengendalikan interaksi tersebut secara total. Di
dalam ROL terjadi dinamika sosial yang otonom, terlepas
dari kerangka ROL (baca, Rahardjo, 2002 dan 2006).
Kita dapat mencatat berbagai faktor yang kemudian
berinteraksi dan berkompetisi satu sama lain dalam
proses berhukum manusia. Faktor-faktor tersebut antara
lain ideologi, kekuasaan, kepentingan, tradisi, dan
keadilan. Dewasa ini, kita boleh menambahkan aspek
globalisasi. Sekalian faktor tersebut saling berebut tempat
dalam kerangka besar ROL. Dengan demikian, di

Bagian 2 123
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
belakang ROL berkecamuk interaksi serta persaingan dan
adu kekuatan {power relations) antara berbagai faktor
tersebut. Dengan demikian, boleh kiranya dikatakan
bahwa ROL hanyalah merupakan suatu kerangka besar
(framework) yang di dalamnya berinteraksi berbagai
faktor atau kekuatan. Inilah alasan dikatakan mengapa
ROL itu tidak final. Brian Z.Tamanaha mengatakan bahwa
kendatipun sudah merupakan suatu ideal dunia, namun
ROL tetap merupakan sesuatu yang sulit untuk benar-
benar dapat ditangkap. “Notwithstanding its quick and
remarkable ascendance as a global ideal, however, the rule
of law is an exceedingly elusive notion.’” (Tamanaha, 2004).
ROL sudah memulai perjalanannya sejak sebelum
Masehi. Aristoteles, Plato di masa Yunani sudah berkutat
dengan masalah ROL. Plato mendesak agar pemerintah
diikat oleh hukum. “Where the law is subject to some other
authority and has none of its own, the collapse of the state,
... is not far off; but if law is the master of the government
and the government is its slave, then the situation is full of
promise and men enjoy all the blessings that the gods shower
on a state.” (Tamanaha, 2004).
Bangsa Romawi (Roman) juga memberikan kontri-
businya sendiri terhadap tradisi ROL. Cicero, satu abad
sebelum Masehi sudah mengecam raja yang tidak
mematuhi hukum sebagai seorang despot. “How can any-
one be properly called a man who renounces every legal
tie, every civilized partnership with bis own citizens and
indeed with the entire human species.” (Tamanaha 2004).
Dalam kurun waktu 529 sampai 534 terjadilah kodifikasi
oleh Kaisar Justinianus yang terdiri atas tiga bagian, yaitu
Codex (himpunan perundang-undangan kerajaan), Digest
(karya tulis para juris) dan Insitut (kitab ajar hukum).
Sejak keambrukan kerajaan Romawi Barat, maka
tenggelam pula kesibukan dalam mempelajari hukum,
sampai ia muncul kembali pada abad ke-11. Pada tahun
1085, Bologna menjadi pusat kebangunan kembali ilmu

124 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
hukum Romawi dengan mempelajari teks-teks yang
terpendam selama berabad-abad.
Sebagian ahli berpendapat bahwa ROL mulai
mencuat pada Abad Pertengahan seiring dengan
kebangunan kembali studi terhadap hukum Romawi di
Bologna tersebut (Bergh, 1980; Tamanaha, 2004). Ilmu
hukum Romawi dan Jerman menjadi standar bagi ilmu
hukum yang masih terasa sampai hari ini. Oleh Bergh
kemajuan dalam mempelajari teks-teks tersebut disebut
sebagai kemajuan dari “geleerd recht” (“school-rules law”).
Kata “geleerd” mencerminkan betapa canggihnya
pengilmiahan hukum pada waktu itu. Definisi, Konsep-
konsep, kategorisasi disusun seperti pemisahan antara
ranah hukum publik dan hukum privat.
Tidak semua negara di Eropa mengalami pengil-
miahan hukum yang demikian canggih seperti di Eropa
daratan. Inggris mengalami dan menjalani tradisi ROL
yang berbeda. Inggris, yang lebih mendasarkan pada
tradisi dan hukum tradisi memilih untuk tidak melakukan
pengilmiahan terhadap hukumnya, seperti di Eropa
daratan (Simpson, 1986; Sugarman, 1986).
Inggris menolak untuk berhukum secara Eropa atau
Romawi, seperti pada saat civil law diperkenalkan di
Inggris. Mengikuti tradisi hukum Romawi sama artinya
dengan merusak tradisi yang selama ini sudah dijalankan
di Inggris. Bangsa itu membiarkan hukum tumbuh dari
bawah melalui pelestarian tradisi. Rakyatlah pembuat
hukum dan bukan suatu kekuasaan yang khusus, seperti
di Eropa daratan. Oleh karena itu, bangsa itu juga tidak
ingin dipusingkan oleh pengilmiahan hukum atau
menghadirkan suatu “geleerd recbt”. Inggris memilih
tradisi common law, hukum yang tidak dibuat secara
artifisal, melainkan lebih merupakan “people’s law”.
Hukum Inggris adalah “lex non scripta”.
Oleh karena itu, dibanding dengan ROL Eropa atau
civil law atau geleerd recht, hukum Inggris disebut sebagai

Bagian 2 125
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
“irrational, particular, vague, fluid, chaotic, common sense,
pragmatic”. Di negeri itu hukum merupakan lembaga yang
“spontaneous”. Di situ tidak ada “private language of law”
dan “the legal and extra legal are intimately associated”.
Oleh karena itu pula sistem pendidikan hukum di Inggris
sangat terbelakang dan baru ada pada abad ke-19. Kurun
waktu 1850-1907 merupakan masa emas keilmuan hukum
(legal scholarship); pengangkatan dosen-dosen hukum
juga baru terjadi dalam kurun waktu itu.
ROL di Inggris dan Jerman pada hakikatnya berbeda
(Neumann, 1986). Di Jerman ia muncul sebagai rechtsstaat.
Dari segi keilmuan murni maka setiap negara adalah suatu
rechtsstaat, tanpa memedulikan apakah negara itu
demokratis, diktator, fascist, bolshevist atau sebuah
kerajaan yang absolut. Sebagai recbtsstaat, kita harus
menerima kekuasaan raja yang absolut dan kediktatoran
karena keduanya mengalir dari undang-undang dasar
negeri bersangkutan.
Esensi rechtsstaat terletak pada pemisahan antara
struktur politik negara dari penataan hukum di situ {le-
gal organizatiori). Fungsi hukum yakni untuk menjamin
kemerdekaan dan kepastian. Pemfungsian hukum yang
demikian itu merupakan hasil karya dari golongan borjuis
yang kemudian melahirkannegara hukum liberal.
Di Inggris, keadaannya berbeda, di negeri tersebut
ROL tidak dipisahkan dari struktur politik. Doktrin ROL
di Inggris tidak terpisah dari supremasi parlemen. Supre-
masi parlemen merupakan inti (keystone) dari sistem
konstitusi di negeri itu. Parlemen memiliki kekuasaan
demikian besar dan dapat melakukan apa saja, termasuk
pada saat mewujudkan ROL.
Memang ribuan buku dan artikel tentang ROL sudah
ditulis orang. Namun, jika kita simak lebih jauh informasi
itu hampir seluruhnya mengalir dari Barat ke Timur dan
seluruh penjuru dunia. Ini menjadikan ROL berat ke arah
pemahaman yang sepihak. Dari arus informasi tersebut,

126 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
terbentuklah pikiran, bahwa dengan membaca semua
tulisan tentang ROL kita sudah dapat membaca
perjalanan hukum di dunia. Menurut penulis, identifikasi
yang demikian itu tidak benar karena yang kita baca
tergolong informasi yang sepihak, yaitu perjalanan dan
perkembangan hukum di bagian dunia yang disebut Barat.
Pada waktu membicarakan perjalanan ROL maka yang
segera muncul adalah informasi atau cerita sejarah dari
hukum Romawi, hukum Jerman, civil law, common law,
dan sebagainya. Dengan penceritaan yang demikian maka
ROL versi Barat lalu menjadi semacam standar dunia.
Ditinjau dari segi keilmuan, penceritaan tersebut
tentu merupakan kesalahan dan ketidakjujuran yang
besar karena menghilangkan gambar yang utuh ROL di
dunia. Di bagian dunia di luar Barat atau Eropa juga
berkecamuk perjuangan untuk menampilkan ROL yang
juga mereka butuhkan untuk menciptakan ketertiban
(orde) dalam masyarakat.
Cina, Jepang, Indonesia merupakan contoh
terjadinya pergolakan untuk menampilkan ROL di negara
masing-masing (baca antara lain: Hamilton & Sanders,
1992; Angle, 2002; Nasution, 1992).
Informasi yang lengkap datang dari sumber-sumber
di Barat sehingga setiap penekun ilmu hukum selalu
berhadapan dengan ROL (cerita tentang hal itu dipahami
dan berkembang di Barat).
Indonesia masih terus menjadi konsumen dari
pikiran tentang ROL yang dominan. Menurut hemat
penulis, keadaan seperti itu memerlukan koreksi. Alasan
untuk mengemukakan koreksi atau koreksi tersebut
didasarkan pada sekalian uraian yang sudah disampaikan
di muka. Seperti dikatakan oleh Tamanaha, ROL adalah
suatu “elusive concept”, suatu paham yang masih belum
benar-benar jelas. Bahkan, ia masih menyebutnya sebagai
sesuatu yang masih menimbulkan banyak kebingungan
(confusion) tentang apa artinya dan bagaimana ia bekerja.

Bagian 2 127
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
Kita menggunakan istilah “cara berhukum” suatu
bangsa untuk memberikan pengakuan bahwa bangsa-
bangsa itu memiliki semacam hak untuk menempuh
jalannya sendiri dalam berhukum atau ber-ROL. Gagasan
itu didasarkan pada suatu paham bahwa kita berhadapan
dengan kemajemukan (plurality) dalam hukum di dunia.
Kesadaran akan pluralisme, menurut penulis semakin
menjadi tren dunia. Seperti dikatakan oleh Menski,
waktu berbicara tentang “The School of Oriental and Afri-
can Studies (SOAS)” pada the University of London, “It
places legal pluralism more confidently into the main-
stream study of comparative law, addressing some of the
serious deficiencies of comparative law and legal theory in
a global context.” Menski juga mengkritik para akademisi
Barat, “As Western academics we seem, by our own histo-
ries and training, to be too wedded to ways of perceiving
and studying law that do not take sufficient account of the
cultural-specific social embeddedness of legal phenomena
in the world.” Ia juga mengakui, bahwa globalisasi menuju
kepada “uniform world legal order” yang notabene
berpusat pada pemikiran Eropa. “... that globalization is
today not just leading towards a uniform world legal or-
der, given the strong ideological impact of existing
Eurocentric and uniforming scholarship in the fields of le-
gal theory, comparative law and increasing international
law.”(Menski, 2006).
Jepang menjadi contoh yang sangat bagus tentang
bagaimana suatu bangsa bergulat dengan hukumnya yang
didatangkan dari luar (imposed from outside) dan ke-
inginannya untuk menjaga tatanan sosialnya yang asli.
Dalam keadaan yang demikian, Jepang menjadi negara
yang unik dan sulit untuk dipahami dengan menggunakan
standar Barat (Wolferen,1990). Kendatipun disebut
sebagai negara industri modern yang menggunakan
sekalian atribut modern, seperti demokrasi, birokrasi, dan
negara hukum, tetapi Jepang tetap menjadi Jepang dan

128 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
tidak hanyut (transformed) dan menjadi Barat secara to-
tal. “There has been no transformation, - nothing more than
the turning of old abilities into new and larger channels...
Nothing remarkable has been done, however, in directions
foreign to the national genius.” (Hearn, 1998).
Dalam cara berhukum, Jepang banyak melakukan
pembelokan (Japanese twist) sedemikian rupa sehingga
penggunaan hukum modern tidak mengganggu usaha
untuk menjaga kelestarian nilai-nilai Jepang (Ozaki,
1978). L. Craig Parker, Jr. mengatakan bahwa Jepang telah
menciptakan lapisan-lapisan dalam cara berhukum demi
menjaga kelestarian nilai-nilai Jepang (Parker, Jr., 1984).
Lapisan pertama adalah lapisan formal, yang disebut
tatemae. Sekalipun Jepang menggunakan hukum modern,
seperti kontrak yang mengikuti pembuatan kontrak mod-
ern, tetapi hanya sebatas formal saja atau tatemae. Praksis
sesungguhnya dari hukum kontrak mendahulukan cara-
cara Jepang, yaitu lapisan bonne.
Pada waktu menulis tentang kultur hukum di Indo-
nesia, Daniel S.Lev juga menemukan keadaan yang hampir
serupa, sekalipun tidak terstruktur dengan jelas, seperti
di Jepang. Penelitiannya terhadap kultur hukum di Jawa
(dan Bali), menemukan adanya kesenjangan antara
penerimaan hukum modern dan bagaimana hukum itu
dalam kenyataannya dijalankan (Lev, 1972). Orang Jawa
lebih mendahulukan pemeliharaan hubungan personal
antara sesama anggota masyarakat. Konflik sedapat
mungkin dihindari. Hal inilah menyebabkan hukum mod-
ern yang berlaku tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.
ROL telah memberikan ruang yang sangat luas untuk
mendiskusikan tentang bagaimana pergulatan manusia
dengan hukumnya atau hukum yang diciptakannya
sendiri. Kendati manusia bersedia untuk menerima dan
menggunakan hukum untuk menata kehidupan
bersamanya, tetapi sampai hari ini belum ada model final
yang dapat diajukan. Oleh karena itu, penulis menye-

Bagian 2 129
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
butnya sebagai perjalanan dan perjuangan panjang
manusia untuk membiarkan dirinya hidup dalam dan
menggunakan hukum.
Sebagaimana dikatakan oleh Menski sebelumnya,
dunia sekarang sudah lebih toleran mengakui cara berhu-
kum yang berbeda-beda antara bangsa atau komunitas satu
dengan yang lain. Menski menyatakan “We fail to admit
that globalization does not primarily lead to universal ho-
mogenization, but increased legal pluralism ...”
Pergulatan manusia dengan hukumnya, di bawah
payung ROL tidak pernah berhenti sampai hari ini dan
saya kira sampai kapan pun. Hal itu tidak lain karena
dunia dan kehidupan manusia memang dari waktu ke
waktu berubah dan bergerak dinamis.
Risalah ini tidak membicarakan bagaimana
teknologi informasi juga turut memengaruhi cara kita
berhukum karena topik tersebut telah dibicarakan dalam
Risalah No. 4, yang membicarakan tentang hukum dan/
dalam pascamodernisme.
Secara lebih sistematis, pergulatan manusia dengan
hukumnya dapat dibaca dalam risalah-risalah sosiologi
hukum yang menggambarkan betapa intens pergulatan
manusia dengan hukumnya itu (Rahardjo, 2002). Disiplin
ilmu tersebut, yang melihat realitas empiris, tidak dapat
mengabaikan bahwa hukum itu tidak hanya berkutat
dengan masalah aturan (rule) melainkan juga manusia dan
perilakunya (behaviour). Pengamatan sosiologi hukum
menghasilkan simpulan-simpulan seperti “Equal justice
under law, to all who can afford if, “The haves come out
ahead”, “The poor pay more”, “White Justice” dan lain-lain
realitas sosiologis. Simpulan-simpulan tersebut ditarik
dari jejak-jejak pergulatan antara manusia dengan
hukumnya atau dunia ROL.

130 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bagian 2 131
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
132 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Daftar Pustaka
Allott, Philip, The Health of Nations, Society and Law be-
yond theState, Cambridge (UK): Cambridge Univer-
sity Press, 2002.
Angle, Stephen C, Human Rights and Chinese Thought, A
Cross-Cultural Inquiry, Cambridge: Cambridge
University Press, 2002.
Bergh, G.C.J, van den, Geleerd recht, Een geschiedenis van
de Europese rechtswetenschap in vogelvlucht,
Deventer: Kluwer, 1980.
Beus, J.W. de, & Doom, J.A.A. van (red.), De geconstrueerde
samenleving, Amsterdam: Boom Meppelen, 1986.
Black, Donald, Sociological Justice, NY: Oxford Univer-
sity Press, 1989.
Capra, Fritjof, The Tao of Physics: An Exploration of the
Prallels between Modern Physics and Eastern Mys-
ticism, (4 th ed., 2000), terjemahan Indonesia oleh
Aufia Ilhamal Hafizh, Yogyakarta: Jalasutra, 2000.
_______, The Turning Point - Science, Society and the Ris-
ing Culture, London: Flamingo, 1983.
________, The Web of Life, A New Scientific Understand-
ing of Living Systems, NY: Anchor Books, 1997.
________. The Tao of Physics: An Exploration of the Par-
allels between Modern Physics and Easter Mysti-
cism, terjemahan dalam bahasa Indonesia,
Yogyakarta: Jalasutra, tanpa tahun.
Dershowitz, Alan M., Reasonable Doubts, NY: Simon &
Schuster, 1996.
Dingwall, Robert & Lewis, Philip, (eds.), The Sociology of
the Professions, Lawyers, Doctors and Others, Lon-
don: The Macmillan Press, 1983.
Dworkin, Ronald, Law’s Freedom, The Moral Reading of

Daftar Pustaka 133


the Ameri­can Constitution, Cambridge, Mass.:
Harvard University Press, 1996.
Ewick, Patricia & Silbey, Susan S., “Conformity, Contesta-
tion, and Resistance: An Account of Legal Conscious-
ness”, dalam So­ciological Perspectives on Law Vol.
II (Roger Cotterrell, ed.), Aldershot, UK: Ashgate,
2001, pp. 3-22).
Foque, R. & Ladan, R. & Rood-Pijpers, E & Zijdervelt, A.C.
(red.), Geintegreerde rechtswetenschap, Arnhem:
Gouda Quint, 1994
Foque, R. et al (red.), Geintegreerde rechtswetenschap,
Arnhem: Gouda Quint, 1994.
Friedmann, Wolfgang. Legal Theory, London: Steven and
Sons Ltd. 1953.
Giddens, Anthony, The Consequences of Modernity,
Stanford. Cal.: Stanford University Press, 1990.
Gijssels, Jan & Hoecke, Mark van, Wat is rechtsteorie?,
Antwerpen:Kluwer, 1982.
Goleman, Daniel, Emotional Intelligence, NY: Bantam
Books, 1995.
Hamilton,V.Lee & Sanders, Joseph, Everyday Justice,
Responsibility and the Individual in Japan and the
United States, New Haven:Yale University Press,
1992.
Hart, H.L.A. The Concept of Law. London: Oxford Univer-
sity Press. 1972.
Hearn, Lafcadio, Kokoro, Hints and Echoes of Japanese
Inner Life, Tokyo: Charles E.Tuttle, eleventh print-
ing, 1998.
Hoeflich, M.H., Roman and Civil Law, and the Develop-
ment of Anglo-American Jurisprudence in the Nine-
teenth Century, Ath­ens: The University of Georgia
Press, 1997.
Holmes, Oliver Wendell, The Common Law, Boston: Little,
Brown and Company, 1963.
Hunt, Alan, “The Big Fear: “Law Confronts

134 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Postmodernism”, dalam Postmodernism and Law
(Dennis Patteson, ed.), Aldershot: Dartmouth, 1994,
pp. 407-440.
Hunt, Alan, The Sociological Movement in Law, London:
MacMillan Press, 1978.
Kelsen, Hans. 1976. Reine Rechtslehre. Wien: Franz
Deuticke.
Kritzer, Herbert M. (ed.), Legal System of the World-Po-
litical, Social and Cultural Encyclopedia, New
Delhi: Pentagon Press, 2005.
Kuhn, Thomas S. 1963. The Structure of Scientific Revolu-
tions. Chi­cago: University of Chicago Press.
Lev, Daniel S., “Judicial Institutions and Legal Culture in
Indone­sia”, dalam Culture and Politics in Indone-
sia (Claire Holt, ed.), Ithaca, NY: Cornell Univer-
sity Press, 1972, pp. 246-318.
McFadden, Johnjoe, Quantum Evolution, Life in the
Multiverse, London: Flamingo, 2000.
Menski, Werner, Comparative Law in a Global Context,
The Legal Systems of Asia and Africa, Cambridge,
UK: Cambridge Uni­versity Press, 2006.
Merryman, John Henry, The Civil Law Tradition, Stanford,
Cal.: Stanford University Press, 1969.
Midgal, Joel S., Strong Societies and Weak States, State-
Society Rela­tions and State Capabilities in the Third
World, Princeton, New Jersey: Princeton Univer-
sity Press, 1988.
Nasution, Adnan Buyung, The Aspiration for Constitutional
Govern­ment in Indonesia, A Socio­legal Study of the
Indonesian Konstituante 1956-1959, Adnan Buyung
Nasution, 1992.
Neumann, Franz L., The Rule of Law - Political Theory
and the Legal System in Modern Society, Leamington
Spa, UK: Berg Publisher, 1986.
Nonet, Philippe &C Selznick, Philip, Law and Society in

Daftar Pustaka 135


Transition: Toward Responsive Law, NY: Harper
Colophon, 1978.
Ozaki, Robert S., The Japanese, A Cultural Portrait, To-
kyo: Charles E. Tuttle, 1978.
Parker Jr., L. Craig, The Japanese Police System Today,
An American Perspective, Tokyo: Kodansha Inter-
national, 1984.
Pizzi, William T, Trials Without Truth, NY: New York Uni-
versity Press, 1999.
Pizzi,William T., Trials Without Truth, NY: New York Uni-
versity Press, 1999.
Prigogine, Ilya & Stengers, Isabelle, Order Out of Chaos,
Man’s New Dialogue with Nature, London: Fla-
mingo, 1985.
Program Doktor Ilmu Hukum, Merintis Visi Program
Doktor Hukum Universitas Diponegoro, Semarang:
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas
Diponegoro, 1995.
Rahardjo, Satjipto, “Hukum Progresif: Hukum yang
Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif,
Vol. 1 No. 1, him 1-24.
_______,, “Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiri-
tual”, dalam Membedah Hukum Progresif, Jakarta:
Penerbit Kompas, Cetakan ke-dua, 2007b, him. 16-
22).
_______,, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2007.
_______,, Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta: UKI
Press, 2006.
_______,, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
Cetakan ke-enam, 2006.
_______,, Mendudukkan Undang-Undang Dasar,
Semarang, Penerbit Universitas Diponegoro, 2007.
_______,, Senjakala Ilmu Tradisional dan Munculnya Ilmu
Hukum Baru, Bacaan Mahasiswa No. 13, 2006.
_______,, Sosiologi Hukum - Perkembangan, Metode dan

136 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah Uni-
versity Press,2002.
Renner, Karl, “The Development of Capitalist Property and
the Le­gal Institution Complementary to the Prop-
erty Norm”, dalam Sociology of Law (Vilhelm Aubert,
ed.), Harmondsworth, England: Penguin Books,
1969, pp. 33-45.
Sampford, Charles, The Disorder of Law, A Critique of Le-
gal Theory, Oxford: Basil Blackwell, 1989.
Sands, Philippe, Lawless World, America and the Making
and Break­ing of Global Rules, London: Penguin
Books, 2005.
Santos, Boaventura de Sousa, Toward a New Common
Sense - Law, Science and Politics in the Paradig-
matic Transition, NY: Routledge, 1995.
Schölten, Paul, “Algemeen Deel” dari Asser’s inleiding tot
het Nederlandsch burgerlijk recht, Zwolle:
WEJTjeenkWillink, 1954.
Simpson, Brian, The Common Law and Legal Theory,
dalam Legal Theory and Common Law (William
Twining, ed.), Oxford: Basil Blackwell, 1986, pp. 8-
25.
Sinzheimer, Hugo, De taak der rechtssociologie, Haarlem:
H.D. Tjeenk Willink & Zoon, 1935.
Soto, Hernando de, Masih ada Jalan Lain, Revolusi
tersembunyi di negara Dunia Ketiga, (Judul asli
“The Other Path, the Invisible Revolution in the
ThirdWorld”, 1989), Jakarta: Yayasan Obor Indo-
nesia, 1991.
Sugarman, David, Legal Theory, The Common Law Mind
and the Making of the Textbook Tradition, dalam
Legal Theory and Common Law , op cit., pp. 26-80.
Tamanaha, Brian Z., A General Jurisprudence of Law and
Society, Oxford: Oxford University Press, 2006.
_________,, On the Rule of Law - History, Politics, Theory,
Cambridge:CambridgeUniversity Press,2004.

Daftar Pustaka 137


Toffler, Alvin, Powershift - Knowledge, Wealth and Vio-
lence at the Edge of the 21st Century, NY: Bantam
Books, 1990.
______, The Future Shock, NY: Bantam Books, 1970.
______, The Third Wave, NY: Bantam Books, 1980.
Trubek, David M., “Toward a Social Theory of Law: An
Essay on the Study of Law and Development”, dalam
The Yale Law Jour­nal, Vo. 82, No. 1, November 972,
pp. 1-50.
Twining, “William, (ed.), Legal Theory and Common Law,
Oxford: Basil Blackwell, 1986.
Unger, Roberto Mangabeira, Law in Modern Society - To-
ward a Criticism of Social Theory, NY: The Free
Press, 1976.
Wilson, Edward O., Consilience (The Unity of Knowledge),
NY: Alfred A. Knopf, 1998.
Wolferen, Karel van, The Enigma of Japanese Power,
People and Poli­tics in a Stateless Nation, NY: Alfred
A.Knopf, 1990.
Zohar, Danah & Marshall, Ian, SQ, Spiritual Intelligence,
The Ulti­mate Intelligence, London: Bloomsbury,
2000.

138 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN


Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.

Anda mungkin juga menyukai