TENGAH ARUS
PERUBAHAN
ILMU HUKUM DI
TENGAH ARUS
PERUBAHAN
Editor
Dr. Rachmad Safa’aat, S.H., M.Si.
Penyelia Bahasa
Setiyono Wahyudi, D.Ng.
Cover Design:
Yudista
Layout :
Dayat
Penerbit
Surya Pena Gemilang
Anggota IKAPI Jatim
Jln. Rajawali Tutut Arjowinangun 12
Malang - Jawa Timur
Tlp. 082140357082
Fax. (0341) 751205
e-mail: graha@penagemilang.com
Juni 2016
ISBN: 978-602-6854-11-7
Satjipto Rahardjo
Rachmad Safa’at
rachmad.safaat@yahoo.com
Catatan Penyunting
Rachmad Safa’at
Bagian 1
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan ..... 1
Bab 1 Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan ..... 3
Bab 2 Berpikir Hukum secara Sosial ..................... 19
Bab 3 Kemajemukan sebagai Konsep Hukum ....... 31
Bab 4 Filsafat Penelitian Hukum secara Sosial .... 41
Bab 5 Hidup di Luar Hukum Negara (‘Keboromo’,
’Comas’, dan ‘ Pasargada’) ............................ 55
Bagian 2
Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum ....................... 65
Bab 1 Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum .......... 67
Bab 2 Berpikir dalam Hukum ................................. 85
Bab 3 Hukum di Mata Bukan Ahli Hukum ............ 101
Bab 4 Memunculkan Kekuatan Hukum ................. 111
Bab 5 Perjalanan Panjang “Rule of Law” ................ 121
Bagian 1 1
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
2 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 1
I
lmu Hukum di
Tengah Arus
Perubahan
Ilmu hukum adalah produk (konstruksi) intelektual
manusia Ia sudah hadir sejak ratusan tahun lalu. Sebagai
produk intelektual ia mengalami perkembangan yang terus-
menerus, dari masa lalu, sekarang, dan di masa-masa
mendatang.
Bagian 1 3
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
tata negara, hukum acara, dan lain-lain semuanya diterima
dan diperlakukan ibarat sebuah stetoskop bagi seorang
dokter.
Begitu juga dengan pembedaan antara hukum publik
dan hukum privat. Padahal semua bukan sesuatu yang
absolut-alami, seperti seorang fisikawan menghadapi
alam. Hukum adalah suatu konstruksi manusia dan
sebaiknya para calon doktor memahaminya sebagai hal
yang demikian.
Ilmu hukum yang harus mengawal hukum terus
mengalami perkembangan dan perubahan sampai dengan
hari ini. Dalam kaitan tersebut akan tampak sekali bahwa
hukum itu tidak otonom, seperti halnya bebatuan dan
pohon dalam alam. Yang alami adalah hasrat manusia
untuk hidup dalam dunia yang penuh suasana ketertiban.
Hukum adalah bagian dari pranata untuk hidup secara
tertib. Hukum adalah untuk manusia.
Oleh karena itu, setiap kali manusia menghendaki
dan membutuhkan hukum akan berubah. Hukum menjadi
tunduk pada kehidupan sosial manusia yang jauh lebih
luas.
Ilmu hukum yang umumnya dikenal dan dipelajari
di dunia sudah memulai perjalanannya sejak abad perte-
ngahan di Eropa. Bahkan, kita dapat lebih mundur lagi
sampai pada kerajaan Romawi. Oleh karena pada saat itu
orang juga sudah mempelajari bahan-bahan yang ada, yaitu
hukum yang dibuat oleh para kaisar (imperial enact-
ments). Kita mengenal Codex Justinianus (533-534) dan
Corpus Juris Civilis, yaitu hukum yang berlaku bagi warga
Romawi. Bagi yang bukan orang Romawi berlaku fas gen-
tium. Kodifikasi kaisar Justinianus ini menunjukkan suatu
perkembangan yang tinggi di bidang hukum (high level of
juristic development). Ada codex (kumpulan putusan-
putusan raja), institut (buku ajar untuk pendidikan hukum)
dan digest (tulisan para yuris). Akan tetapi, kerajaan
Romawi kemudian ambruk (476). Dengan ambruknya
Bagian 1 5
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
tahun tanpa ada yang mengganggu dan mempersoalkan.
Sekarang ia harus dapat menunjukkan sertifikat
pemilikan yang dibuat oleh negara. Sertifikat itu
merupakan simbol bahwa hukum sudah diangkat ke
tingkat abstraksi intelektual yang lebih tinggi. Ia juga
dapat disebut sebagai hukum yang sudah diilmiahkan,
dikonsepkan secara rasional, dan terukur yang disebut
“gejuridiseerd recht” atau “geleerd recbi”. Hukum menjadi
tidak alami lagi, karena semuanya sudah “gejuridiseerd’’’.
Orang tidak lagi dengan mudah berbicara tentang
penguasaan faktual atas tanah, melainkan diabstraksikan
menjadi konsep hukum tentang kepemilikan, tentang alas
hak, dan sebagainya. Kata tidak lagi leluasa membaca
hukum melalui interaksi faktual antarmanusia, melainkan
hukum hanya dapat dibaca melalui kitab-kitab undang-
undang.
Ada hal lain lagi yang perlu kita perhatikan. Sejak
hukum ini dikonsepkan, disistematiskan, dan sebagainya
maka tidak semua orang dapat dengan mudah mengetahui
hukum. Untuk itu, diperlukan pembelajaran khusus dalam
upaya mengetahui konsep, asas, prosedur, dan lain-lain.
Tidak seperti di masa lalu, orang langsung mengetahui
hukum yang berlaku di masyarakat. Sekarang terdapat
jurang yang memisahkan antara “pengetahuan hukum
versi rakyat” dan “pengetahuan hukum yang sudah
diilmiahkan”. Hukum menjadi terkucil (insulated)dari
pengetahuan orang banyak. Bagi rakyat, hukum sudah
menjadi dunia yang esoterik, dunia yang hanya dapat
dimasuki melalui inisiasi khusus, yaitu dengan belajar
hukum.
Oleh karena terjadi konseptualisasi, sistematisasi,
dan strukturasi maka bahasa hukum muncul menjadi
bahasa yang khas (private language) yang tidak dimengerti
oleh rakyat biasa yang tidak belajar hukum. Hukum yang
semula alami sekarang sudah berubah menjadi “a highly
artificial body of doctrines”.
Bagian 1 7
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
rn dengan sejumlah persoalan yang harus diselesaikannya.
Mereka tidak perlu mulai dari nol (beginning from scratch),
tetapi cukup melihat ke dalam kekayaan yang dimiliki
oleh hukum Romawi tersebut.
Banyak konsep penting yang bersifat sentral dalam
hukum modern, seperti hak-hak individu, pemisahan
antara aturan hukum dan yang bukan, dan konsep tentang
hukum sebagai penjaga kemerdekaan dan keamanan
langsung bersumber dari hukum Romawi. Hukum Romawi
yang terhimpun dalam tiga buku ajar Justinianus (Insti-
tutes ofjustinians) adalah “tentang orang”, “tentang
barang”, dan “tentang kewajiban”. Ketiganya merupakan
inti dari hukum Romawi. Kehadiran hukum publik melalui
ekspansi dari pemerintahan tidak mengubah pandangan
dasar tersebut (Merryman, 1969).
Ilmu hukum menciptakan suatu sistem hukum yang
menjadi sandaran bagi pengadministrasian ketertiban
dalam masyarakat. Pembedaan antara sektor publik dan
privat oleh hukum publik dan hukum privat adalah karya
ilmu hukum yang demikian itu. Pada perkembangannya,
keduanya dianggap sebagai dua “dunia” yang secara
inheren berbeda. Oleh karena itu, secara jelas harus
dibedakan dan hukum harus diklasifikasikan dalam dua
sistem tersebut. Di sini kembali kita melihat bagaimana
artifisalnya dunia buatan ilmu hukum itu.
Pengilmiahan dalam cara berhukum (verweten-
schappelijking van het rechtsbedrijf) membawa studi
hukum pada keadaan yang tidak sederhana karena
merupakan perpaduan dari teori dan praksis (theoretisch-
praktisch complex) (Bergh, 1980). Sekaligus kita
dihadapkan pada dunia kenyataan dan dunia teori.
Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan atau
persoalan yang dilematis, yaitu “apakah hukum itu untuk
sistem hukum atau untuk masyarakat?”
Pengilmiahan hukum berjalan dan berkembang
sedemikian rupa sehingga seolah-olah ilmu hukum telah
menciptakan suatu dunia baru di atas yang lama yang lebih
Bagian 1 9
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
demikian, maka dalam perkembangannya putusan-
putusan hukum itu tidak lagi semata-mata dibuat
berdasarkan logika atau silogisme melainkan merupakan
suatu “lompatan” (een sprong).
Diktum Holmes yang terkenal lebih mempertajam
apa yang disebut sebagai lompatan tersebut mengatakan
bahwa membuat putusan hukum itu bukan bermain-main
dengan logika, melainkan berdasarkan pengalaman sang
hakim yang membuat putusan. Kita mengetahui bahwa
pengalaman itu tidak matematis melainkan penuh dengan
pilihan-pilihan baru yang tidak selalu ada dalam
perundang-undangan (Holmes, 1963, “....to represent a gen-
eral view of the Common Law. To accomplish the task, other
tools are needed besides logic. It is something to show that
the consistency of a system requires a particular result,
but it is not all. The life of the law has not been logic: it has
been experience. The felt necessities of the time, the preva-
lent moral and political theories, intuitions of public policy,
avowed or unconscious, even the prejudices which judges
share with their fellowmen, have had a good deal more to
do than the syllogism in determining the rules by which
men should be governed. The law embodies the story of a
nation’s development through many centuries, and it can
not be death with as if it contained only axioms and corol-
laries of a book mathematics...”)
Penulis berpendapat, masyarakat merupakan
rujukan yang utama (the primacy), bukan konsep, doktrin,
sistem rasional dari ilmu hukum. Dengan perkataan lain,
ilmu hukum mengikuti masyarakat. Oleh karena itu,
produk konstruksi apa pun yang dihasilkan, setiap saat
mengalami semacam referendum oleh masyarakat sebagai
penggunanya. Tidak ada pengilmiahan hukum
(verwetenschappelijking van het recht) yang otonom dan
mutlak, melainkan selalu terbuka dan diuji oleh
masyarakat dalam hal kemanfaatannya.
Bagian 1 11
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
suatu institut yang bersifat protagonis.
Gagasan hukum progresif mendapatkan “teman”
yang juga memikirkan perlu dilakukannya perubahan
dalam ilmu hukum, yaitu gagasan yang dikembangkan oleh
fakultas hukum Universitas Erasmus, Rotterdam,
Belanda. Inti gagasan tersebut, yakni ilmu hukum
hendaknya peka terhadap perubahan (beweging) sehingga
perlu dikedepankan kesadaran bahwa posisi hukum
dikualifikasikan sebagai “hukum dalam perubahan” (recht
in beweging). Pada peringatan lustrumnya yang ke-6 (1963-
1993), fakultas tersebut menerbitkan sebuah kumpulan
tulisan yang berjudul “Geintegreerde recbtswetenschap”
(ilmu hukum yang dipersatukan) (Foque, 1994). Oleh
karena isi buku tersebut berhubungan erat dengan topik
yang sedang dibicarakan, maka akan dibicarakan agak
panjang. Di samping itu, kita juga mendapat banyak
pembelajaran tentang pendidikan hukum sekalipun pada
dasarnya Fakultas Hukum Undip, termasuk Program
Doktornya, memang memiliki visi yang sama (Program
Doktor, 1995).
Rupa-rupanya, sudah sejak masa persiapan (1959-
1963) pendirian fakultas hukum (faculteit der rechtsge-
leerdheid) Universitas Erasmus memiliki gagasan yang
bersifat alternatif terhadap arus utama (mainstream)
pendidikan hukum. Mereka menghendaki agar para ahli
hukum tidak hanya memiliki bekal pengetahuan tentang
hukum (juridische bagage) karena dengan demikian
mereka harus mengalami banyak keterbatasan dalam
praktik nantinya. Hukum tidak sekadar penerapan (louter
toepassen) peraturan terhadap fakta. Hukum merupakan
awal atau pintu masuk untuk melakukan musyawarah
lebih lanjut guna menemukan kesepakatan (waarin
opnieuw overleg kan worden opgestart en overeenstemming
tot stand kan wodengebrachf). Bagi kultur hukum Barat,
pandangan tersebut merupakan sesuatu yang sangat
mengejutkan. Suatu pembelajaran hukum yang hanya
Bagian 1 13
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
pada munculnya bidang-bidang hukum yang bersifat
fungsional, seperti hukum lingkungan, hukum kesehatan,
dan hukum bangunan {bouwrecht). Di sini legitimitas
batas-batas yang mudah menjadi sirna.
Kompleksitas dalam masyarakat sekarang sulit
untuk diwadahi dan diselesaikan melalui konstruksi
perbedaan posisi yang hierarkis antara penguasa dan
warga negara. Mempertahankan penguasa di satu pihak
berhadapan dengan warga negara di lain pihak secara
diametral merupakan apa yang mereka namakan “berpikir
hukum secara tertutup” (gesloten rechtsdenken). Pendapat
dalam komunitas Erasmus menghendaki diakhirinya
berpikir dalam kerangka suatu teori hukum
(rechtstheoretisch) yang menerima kemutlakan kedaulatan
subjek hukum, apakah itu di pihak penguasa maupun
warga negara. Penolakan terhadap pemisahan secara
kategoris tersebut dapat menciptakan suatu prasyarat
teoretis maupun metodologis untuk dapat melihat pikiran
dan tindakan kita dalam kerangka ketergantungan yang
kompleks antara kepentingan umum dan individual,
antara penguasa dan warga negara, antara negara dan
masyarakat. Para pemikir di Erasmus, barangkali
menunjukkan pendapatnya pada batas-batas yang semakin
tipis antara negara dan masyarakat dalam konteks
masyarakat merdeka (civil society).
Ilmu hukum, menurut penulis memikul tugas untuk
memberikan pencerahan. Pada waktu hukum, dalam hal
ini momenklatur hukum, kosa kata konsep, dan doktrin
hukum dihadapkan pada perubahan-perubahan sosial
besar dalam masyarakat. Dengan keadaan tersebut,
mulailah terjadi kesulitan-kesulitan dalam penegakan
hukum. Dengan menggunakan nomenklatur lama, seperti
hukum publik, hukum privat, hukum perdata, hukum
pidana, hukum tata pemerintahan, dan lain-lain memang
proses hukum tetap dijalankan dan putusan-putusan
hukumpun dilahirkan. Meskipun demikian, hal itu tidak
Bagian 1 15
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
ranah hukum semakin meluas dan intensif.
Perkembangan terjadi pada hukum dan sistem
hukum sebagai “gejuridiseerd recbt” atau “geleerd recbt”
sehingga kita dihadapkan pada bahan hukum (legal stuff)
yang semakin menggunung. Keadaan tersebut memaksa
baik para pembelajar maupun para praktisi hukum untuk
semakin berkonsentrasi pada penggarapan dan
penerapan bahan hukum tersebut.
Sebagai akibat lain, yakni menjadi semakin lebar
jurang antara bahan hukum atau hukum positif dengan
dunia empiris. Pada waktu perhatian kita dihisap oleh
hukum tersebut maka tren melupakan dan mengabaikan
dunia empiris menjadi semakin besar. Hukum semakin
tampil dalam wajahnya sebagai hukum yang dijuridiskan
“gejuridiseed recbt” daripada tampil sebagai realitas
hubungan antarmanusia. Menjadi susah sekali untuk
melepaskan diri dari skema-skema yang merupakan
produk penghukuman (juridisering) terhadap realitas
empiris dan menjenguk serta berurusan dengan realitas
empiris tersebut. Hukum sudah semakin bergeser men-
jadi hukum sebagaimana ditampilkan pada layar konsep,
skema, dan doktrin “gejuridiseerd recbt”. Berbagai definisi,
konsep, doktrin, konstruksi, taksonomi, nomenklatur
hukum yang sebenarnya lebih merupakan suatu
konstruksi mental dan intelektual diterima sebagai suatu
realitas.
Oleh karena orang menjadi lebih sibuk melihat
hukum dalam tampilan seperti itu maka perhatian
terhadap fungsi hukum yang sebenarnya menjadi
terdorong ke belakang. Hukum adalah naskah, bukan
realitas kehidupan manusia. Praksis hukum menjadi
praksis yang lebih sibuk mengoperasikan skema-skema
hukum (rules and logic) daripada bertanya apakah fungsi
hukum dalam masyarakat sudah berjalan dengan baik.
Apabila hal itu terjadi, sesungguhnya kita sudah terjebak
ke dalam paham “manusia adalah untuk hukum”.
Menurut hemat penulis, pemikiran Rotterdam
Bagian 1 17
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
ratusan tahun memang sama sekali tidak mudah.
Kehidupan sosial kita sudah terlalu dalam tertanam (em-
bedded) dalam sistem hukum yang ada. Oleh karena itu,
alih-alih berbuat produktif, mengubah struktur dan sistem
hukum yang sudah berlaku lama dapat menimbulkan hasil
yang kontra produktif. Kita dapat mulai dengan
melakukan pembaruan dalam hal-hal tertentu yang “tidak
berbahaya”.
Satu hal yang perlu selalu kita pegang yakni kesa-
daran bahwa kita sama sekali tidak boleh meninggalkan
fungsi utama hukum, yaitu untuk melayani manusia.
Setiap kali fungsi tersebut terusik maka kita perlu
melakukan sesuatu yang kreatif untuk mengatasinya.
Penulis berharap bahwa komunitas pembelajaran
hukum pada program doktor kita ini dapat menjadi tempat
pesemaian bagi pikiran-pikiran kreatif yang ingin mendu-
dukkan hukum sebagai institut yang mengabdi kepada
manusia dan kemanusiaan.
Berpikir Hukum
Secara Sosial
Bagian 1 19
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
sangat terkenal yang berupa penghimpunan peraturan-
peraturan dalam kitab-kitab, seperti Codex Justinianus,
Codex Juris Civilis (Baca Bacaan No. 23).
Pada waktu itu konsep, doktrin, dan asas dibuatnya
sehingga menjadikan hukum sebagai suatu institut yang
canggih {sophisticated). Akan tetapi, justru dari kecang-
gihan tersebut membuat hukum jauh dari jangkauan rakyat
biasa. Untuk mendiaminya, secara khusus orang harus
belajar agar dapat masuk ke dalam dunia hukum yang
sudah dipenuhi oleh berbagai konstruksi {man made con-
struction) hukum (Bergh, 1980). Hukum menjadi dunia
esoterik yang hanya dapat dimasuki dan dimengerti oleh
mereka yang sengaja belajar.
Puncak perkembangan hukum seperti itu terjadi
pada abad ke-19 atau yang dikenal sebagai Era Kodifikasi.
Dalam abad ke-19 dunia mengalami kemajuan kehidupan
yang sangat pesat dan pada gilirannya juga memicu
pembuatan hukum yang ekstensif. Pada perkembangan-
nya, bidang-bidang hukum baru bermunculan, seperti
hukum perniagaan {Wetboek van Koophandel), hukum laut,
dan lain-lain. Kodifikasi itu tidak hanya menghimpun
peraturan-peraturan yang tersebar itu ke dalam kitab-
kitab hukum, melainkan juga pembakuan dalam berpikir
sehingga ada suatu cara berpikir yang khas, yaitu cara
berpikir hukum {rechtsdenken, legal reasoning) (Rahardjo,
2006).
Dalam suasana seperti itu, karena sudah menjadi
sangat teknis maka dunia hukum menjadi sangat tertutup
dari kehidupan sosial di luarnya. Hukum menciptakan
konsepnya sendiri untuk melihat kehidupan sosial
tersebut. Terma demi terma diciptakan secara khusus
untuk memberi nama pada entitas-entitas dalam masya-
rakat. Kejadian dan proses-proses dalam masyarakat yang
sudah ada dan berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu
tersebut diberi nama baru dan definisi baru oleh hukum.
Dunia hukum semakin menjadi dunia yang didefinisikan
Bagian 1 21
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Fenomena yang berbeda tersebut akan dijabarkan
lebih lanjut (elaborated further) pada waktu membicara-
kan cara-cara berpikir hukum.
Hukum semakin menjadi suatu tipe penataan
masyarakat yang sangat khas (distinct), terutama sejak
kelahiran sistem hukum modern di dunia. Oleh karena
kekhasan tersebut, Roberto Mangabeira Unger (Unger,
1976) menyebut sistem hukum modern itu sebagai ‘the le-
gal system’’. Artinya, tidak ada sistem hukum lain yang
layak disebut ‘legal system’’, kecuali sistem hukum mod-
ern tersebut.
Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Scholten, masa
kepastian abad ke-19 sudah lewat. Waktu sudah lewat bagi
orang untuk meyakini bahwa hakim hanyalah “mulut yang
menyuarakan undang-undang”. Seperti dikatakan oleh
Scholten, sekarang orang tidak hanya berbicara mengenai
penerapan hukum (rechtstoepassing) yang mekanistis,
melainkan penemuan hukum (rechtsvinding) yang lebih
kreatif.
Sesudah membicarakan berbagai sistem hukum di
dunia yang pernah tampil dalam arena sejarah, Unger
mengatakan bahwa di antara berbagai sistem hukum di
dunia, mulai dari yang ‘define’ dan ‘princely’ ada satu yang
sangat istimewa, yaitu sistem hukum modern tersebut.
“There is a third and still narrower concept of law ... it
appeared and survives only under special circumstances.
It may be called the legal order or legal system. Law as
legal order is committed to being general and autonomous
as well as public and positive.”
Dari keseluruhan aspek otonomi hukum, salah
satunya yakni otonom dalam metodologi. “Law is autono-
mous in methodological level when the ways in which these
specialized institutions justify their acts differ from the
kinds of justification used in other disciplines or practices.”
Metodologi khusus inilah yang kita pakai sebagai pintu
Bagian 1 23
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Kedua, metode hukum modern sarat dengan
prosedur, yaitu mulai dari siapa yang dapat berperkara,
apa syarat-syaratnya, sampai pada birokrasi.
Ketiga, cara berpikir hukum menggarap bahan
hukum dengan menggunakan logika semata. Oleh
Scholten, bahan hukum tersebut disebut sebagai ‘logische
figuren’, tidak berbeda dengan angka-angka dalam
matematika. Bahan tersebut seperti pasal-pasal undang-
undang, konsep, pengertian (begrip), asas, fiksi.
Keempat, metode untuk memproses bahan-bahan
tersebut adalah logika, ‘syllogism’ (Holmes), ‘hanteren van
logiscbe figurerC (Scholten). Dalam konteks yang lebih
umum, Nonet dan Selznick menggunakan istilah ‘neces-
sary connections’ (Nonet &c Selznick necessary connec-
tions between law and coercion, law and state, law and
rules, or law and aspiration,...”).
Cara berpikir hukum yang diuraikan tersebut
merupakan model spesifik yang digunakan oleh para ahli
hukum (lawyer). Cara berpikir seperti itu disamakan atau
diidentikkan dengan ilmu hukum. Ilmu hukum seperti itu
dikenal sebagai ‘analytical jurisprudence’ atau ‘rechts-
dogmatiek’ (Bid.)
Cara berhukum dan berpikir hukum tersebut yang
menyebabkan hukum menjadi suatu fenomena esoterik
yang tidak mudah dimasuki dan dipahami oleh orang biasa.
Menurut van den Bergh, hukum sudah menjadi ‘geleerd
recbf, tidak lagi alami. Ilmu hukum menjadi ilmu yang
mewadahi medan kehidupan manusia yang unik. Dalam
keadaan ekstrem, ilmu hukum tersebut dikenal sebagai
Begriffs-jurisprudenz, yaitu ilmu tentang konsep atau
pengertian hukum. Ia sudah sangat jauh dari realitas
kehidupan manusia sehari-hari.
Dunia hukum sudah menjadi terkucil (isolated) dan
esoteric. Oleh karena dengan cara seperti itu hukum
memang telah menciptakan suatu dunia tersendiri di luar
dunia yang alami. Barangkali, bolehlah dunia hukum itu
disebut sebagai “dunia maya” (virtual reality). Maya atau
Bagian 1 25
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
at dalam teks sering masih membuka perdebatan atau
selisih pendapat sehingga pekerjaan “mencocokkan” tidak
sesederhana seperti yang diperkirakan orang. Pekerjaan
menghukumi suatu kejadian bukan hanya didasarkan pada
bunyi teks karena orang juga dapat mengartikan teks itu
dengan lebih halus. Inilah yang disebut sebagai metode
penghalusan hukum (recbtsverfijning) (Rahardjo, 2006).
Melalui penghalusan itu muncul makna lain dari teks asli
sehingga terhadap fakta itu tidak dapat begitu saja
diterapkan bunyi teks yang lama (“... van een aflezen van
een regel uit de wet geen sprake kan zijn, ... dat door
verfijning van algemeen geformuleerde regels nieuwe
worden gevonden, dat hier geheel iets anders geschiedt dan
het brengen van een geval onder een in de wet gereed
liggenden regel.”)
Holmes yang termasuk dalam barisan mereka me-
nolak untuk berpikir logis dan silogistis semata, berpen-
dapat agar dalam mengambil putusan hukum atau berpikir
seorang hakim berusaha mendapat masukan yang luas,
berupa (1) the felt necessities of tbe time; (2) the prevalent
moral and political theories; (3) intuitions of public policy,
avowed or uncon-scious; (4) (even) the prejudices which
judges share with their fellowmen. Masukan tersebut lebih
penting daripada hanya mengandalkan silogisme.
Persoalan dalam menjalankan dan mengerjakan
hukum sebagaimana diuraikan tersebut ternyata bukan
hanya persoalan yang dimonopoli oleh orang-orang
hukum. Komunitas ilmu-ilmu sosial yang pekerjaannya
sangat dekat dengan hukum dan sering harus banyak
berhadapan dengan hukum, rupanya tidak dapat menahan
diri untuk melakukan “campur tangan” terhadap hukum.
Mereka harus berhadapan dengan hukum sebagai
suatu fakta besar yang tidak dapat diabaikan. Hukum
merupakan otoritas besar yang menata kehidupan
manusia bermasyarakat. Hal itu berarti menundukkan
perilaku dan hubungan antarmanusia di bawah kekuatan
memaksa hukum. Di sinilah ‘the legal’ dan ‘the social’
Bagian 1 27
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
pakan problem sosial yang sekaligus harus ditangani
dengan cara-cara hukum. Dari optik dan perspektif ilmu
sosial, penanganan oleh hukum itu dilihat sebagai kaku
dan tidak peka terhadap kompleksitas dan variasi.
Keadaan tersebut menjadikan para koruptor atau penja-
hat dapat cepat berlindung di balik skema dan prosedur
yang notabene kaku tersebut. Para advokat yang melaku-
kan pembelaan mengetahui benar celah itu dan kemudian
memanfaatkannya. Di sini, kita bukan lagi berbicara
tentang realitas sosial, tetapi tentang hukum positif,
tentang skema undang-undang, tentang prosedur. Celah
sedikit saja dalam perundang-undangan dan prosedur
sudah menjadi alasan untuk mementahkan perburuan
terhadap koruptor. Ini bukan sesuatu yang salah, oleh
karena aturan main dan kultur sistem peradilan memang
begitu.
Strategi ilmu sosial atau ‘developmental model’ Nonet
dan Selznick menyarankan agar pengadilan bersedia
untuk menerima pencerahan yang datang dari ilmu-ilmu
sosial. Memberikan komentar terhadap praksis sistem
peradilan di Amerika Serikat, Nonet dan Selznick
mengatakan/’Tfcere had long been a sense that lawmak-
ing, judging, policing, and regulation were all too easy di-
vorced from the realities of social experience and from the
idea of justice itself.”
Bagi hukum, hal itu merupakan tantangan besar
karena akan mengubah cara berpikir dan bekerja para ahli
hukum yang sudah mapan selama berabad-abad. Cara
berpikir hukum yang padat undang-undang dan prosedur,
yang bersifat kaku dan kurang peka terhadap komplek-
sitas dan variasi memerlukan penyadaran dan pence-
rahan.
Pada program doktor ilmu hukum inilah yang dapat
dijadikan laboratorium dan bengkel kerja yang sangat
bagus untuk mengelaborasi gagasan berhukum dan
berpikir hukum secara sosial. Sesungguhnya, masalah
Bagian 1 29
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
30 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 3
K
emajemukan
sebagai Konsep
Hukum
Bagian 1 31
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Menengok ke Dalam Dunia Ahli Hukum
Tradisi para ahli hukum (lawyer) menghendaki agar
hukum memiliki serba kepastian yang tinggi. Hal itu
sangat penting bagi mereka karena berkaitan erat dengan
pekerjaan mereka. Para ahli hukum tidak dapat bekerja
atau tampil secara tidak pasti. Bagi mereka, hukum sudah
diibaratkan sebagai stetoskop para dokter.
Kebutuhan mereka mendorong timbulnya suatu
“dunia para ahli hukum” yang khas dan esoterik. Alam
sosial yang tergelar di sekeliling mereka ditata kembali,
dirumuskan kembali, direduksi dengan membuat konsep-
konsep, entitas, asas, dan doktrin, serta logika berpikir
yang khas. Di samping manusia sebagai makhluk hidup
yang nyata diciptakanlah “badan hukum” (rechtspersoon).
Badan hukum merupakan suatu konstruksi artifisial yang
mereduksi manusia sebagai suatu skema dan menja-
dikannya pelaku dalam hukum.
Banyak hal yang sudah menjadi pengetahuan awam
tanpa harus belajar lebih dahulu, seperti jual-beli, sewa-
menyewa, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain ditata
dan dirumuskan kembali oleh hukum, seperti tertera
dalam berbagai kitab undang-undang. Orang harus belajar
lagi untuk mengenali “pencurian-dalam-baru” dan
seterusnya.
Tradisi dan kultur para ahli hukum tersebut men-
dapatkan legitimasi dari aliran positivisme hukum. Aliran
itu mempersepsikan dan memperlakukan hukum sebagai
satuan yang sangat konkretempiris. Menurut Paul
Scholten, persepsi tersebut melihat hukum sebagai
“logische figuren”, entitas yang konkret sehingga peker-
jaan para ahli hukum adalah “banteren van logische figu-
ren” dan menggarap entitas-entitas dengan logika
(Scholten, 1954).
Bagi mereka undang-undang adalah barang konkret
dan pekerjaan berhukum (lawyering) adalah menggarap
Bagian 1 33
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Dalam sejarah dicatat bahwa tipe hukum tersebut
kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Penye-
baran itu secara fisik berupa penerimaan hukum yang
berasal dari Barat di atas sistem hukum yang selama itu
sudah digunakan oleh masyarakat setempat atau lokal.
Hal itu menyiratkan pengunggulan sistem hukum Barat
di atas hukum lokal.
Dapat dikatakan bahwa perlahan-lahan kita meng-
gunakan standar Barat apabila berbicara hukum di dunia.
Kita memiliki pengalaman saat Van Vollenhoven menge-
cam kawan-kawannya agar tidak menggunakan kaca mata
Barat jika berbicara mengenai hukum di Hindia-Belanda
(Nederlandsch-Indie) atau Indonesia waktu itu. Dengan
menggunakan optik seperti itu mereka tidak akan mene-
mukan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, ucapan
Vollenhoven,”geen juristenrecht voor de Indonesiers” (or-
ang Indonesia tidak mengenal hukum yang dipakai oleh
para juris, yang notabene adalah hukum Barat) menjadi
terkenal. Pada waktu itu Vollenhoven sudah merasakan
ada sesuatu yang tidak benar dengan pemaksaan penggu-
naan hukum Barat atau standar Barat dalam berhukum
di Indonesia.
Bagian 1 35
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
ranah kesenian telah merambah ke seluruh penjuru ilmu
pengetahuan, termasuk ilmu hukum. Hukum dan
pascamodernisme ini sudah dibicarakan pada risalah yang
lalu.
Pascamodernisme telah menjungkirbalikkan banyak
hal yang telah dianggap mapan dalam era modernisme.
Dalam konteks itu, yang berhubungan dengan pembica-
raan kita adalah modernisme sebagai penggantian cara-
cara pengorganisasian sosial secara tradisional oleh biro
kratisasi dan rasionalisasi masyarakat. Dalam modernis-
me hukum dikonsepkan melalui akal pikiran serta menjadi
instrumen yang kering-kerontang. Pascamodernisme
membongkar semua hal tersebut. Hukum modern yang
telah memorak-porandakan tatanan sosial lama oleh An-
thony Giddens disebut sebagai “‘ disembedding”, yaitu “the
disembedding of the social system, ... the ‘lifting ouf of so-
cial relations from local contexts of interaction and their
restructuring across indefinite spans of time-space”
(Giddens, 1990).
Mengikuti pikiran Alan Hunt (Hunt, 1990), maka
lewat Abad Pencerahan (enlightenment) hukum diberi
tempat istimewa (privileged position), yaitu sebagai
penjaga batas antara rakyat dan negara dan antara sesama
individu yang dituangkan dalam hak-hak hukum. Hukum
disebut sebagai suatu fenomena tunggal (unitary) yang
disebut “the Law”. Hukum adalah hukum negara yang
mengekspresikan kedaulatan suatu nation state yang
dibekali dengan penataan secara rasional yang dianggap
sebagai suatu cara yang paling maju. Hukum telah menjadi
suatu teologi dengan kekuasaan yang bersumber dari
hukum sendiri (selfreferential). Pascamodernisme menolak
konsep pencerahan tersebut dan menurunkan posisi tinggi
yang telah diberikan kepada hukum. Hukum tidak lagi
dikehendaki untuk menjalankan peran sentral dan
dianggap sebagai simbol rasionalitas dan peradaban.
Bagian 1 37
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
dunia diarahkan pada suatu “universal homogenisastion”.
Akan tetapi, dengan perubahan menuju optik baru
tersebut, yang melihat sistem-sistem hukum yang dimiliki
oleh bangsa-bangsa di dunia sebagai sesuatu yang “cul-
ture-specific”, maka teori pengharmonisan mulai digugat.
Sejak hukum itu adalah khas secara kultural maka suatu
teori yang peka terhadap kemajemukan hukum mulai
dibangun. Optik yang digunakan tidak lagi normatif
melainkan lebih sosiologis, tidak lagi preskriptif
melainkan deskriptif, yaitu “how to understand law itself
and its various manifestations in a truly global context.”
Jika Menski mengutarakan secara akademis maka
Pilippe Sands mengatakannya dalam konteks interaksi
kekuatan antara negara-negara di dunia (Sands, 2005).
Dengan caranya sendiri, Philippe Sands, seorang
guru besar dalam hukum internasional mengatakan
bahwa dunia kita akan menjadi “a lawless world” apabila
satu negara dibiarkan mendominasi praktik hukum di
dunia. Sands mengatakan bahwa Amerika dengan modal
kekuatannya dapat malang melintang di dunia, yang
menyebabkan dunia tidak memiliki hukum, kecuali jika
sejalan dengan keinginan dan kepentingannya (negara
adikuasa tersebut). Mengutip Honore de Balzac, Sands
mengatakan bahwa hukum di dunia sudah berubah
menjadi seperti sarang laba-laba, “Les lois sont des toiles
d’araignees a tavers lesquelles passent les grosses mouches
et ou restent les petites” (Hukum seperti sarang laba-laba,
menangkap serangga-serangga kecil dan membiarkan
yang besar-besar lolos).
Menurut Menski, kita harus mengubah cara melihat
sistem-sistem hukum di dunia dan memberikan ruang
lebih luas bagi kehadiran sistem-sistem hukum di dunia
untuk “ada secara bersama-sama”, tanpa satu pun sistem
hukum boleh mendominasi dan memaksa yang lain.
Keangkuhan Barat sudah harus ditinggalkan. “We may
find it hard to accept this today, because they often do not
Bagian 1 39
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
40 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 4
F
ilsafat Penelitian
Hukum secara
Sosial
Dewasa ini sudah lazim di kalangan para calon doktor
hukum untuk mencantumkan istilah ‘socio-legal’ sebagai
salah satu tipe penelitian yang mereka gunakan. Risalah
ini membicarakan latar filosofis dari tipe penelitian tersebut.
Bagian 1 41
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Menurut Unger, hanya sistem hukum modernlah
yang boleh menyandang sebutan sistem hukum yang
sebenarnya.
Sejak saat itu, hukum perundang-undangan benar-
benar merupakan suatu sistem hukum yang disting (dis-
tinct) yang berbeda dari “sistem-sistem hukum” yang
pernah ada. Oleh karena itu, hukum (modern) hanya boleh
dibuat oleh suatu badan pembuat hukum yang memang
diberi wewenang penuh untuk membuat hukum. Hukum
adalah peraturan khusus yang dibuat oleh badan tersebut,
lembaga hukum yang lain hanya dapat diawaki oleh
personel-personel yang memiliki kualifikasi tertentu,
serta dijalankan oleh mesin administrasi yang khusus.
Hukum juga dijalankan menurut cara berpikir yang khusus
didasarkan pada perundang-undangan yang telah dibuat.
Hal ini dikenal sebagai berpikir menurut “rules and logic”.
Dengan ciri-ciri tersebut maka hukum benar-benar
menjadi suatu institut yang esoterik. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika keadaan tersebut mengundang
semua pemerhati hukum yang serius untuk meneliti
bangunan hukum tersebut.
Meskipun demikian, tidak semua penataan hukum
di dunia sudah benar-benar dilakukan sebagai bagian dari
“full fledged legislation” tersebut, yang juga dapat
dinamakan peraturan yang dibuat oleh negara (“state-
based legislation”). Di luar produk legislasi formal masih
terdapat dan diterapkan peraturan yang dibuat secara
bebas oleh para anggota masyarakat. Oleh karena itu,
ketika peneliti Belanda datang di Indonesia dan ingin
mengetahui hukum di Hindia-Belanda mereka tidak
menemukannya. Hal itu karena dalam penelitian mereka
menggunakan teleskop Belanda atau Barat. Dengan
kondisi itu, Van Vollenhoven pun kemudian turun tangan
mengoreksi rekan-rekannya. Pernyataan Vollenhoven
yang terkenal pada waktu itu adalah “Geen juristenrecht
voor de Indonesiers” (untuk orang Indonesia jangan
Bagian 1 43
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Hubungan harmonis antara manusia dan alam
dipatahkan oleh pernyataan Descartes yang mengung-
gulkan rasio manusia ketika berhadapan dengan alam.
Melalui paradigma Cartesian tersebut maka rasio
manusia mendapat lisensi untuk menelisik secara habis-
habisan terhadap alam yang ada di hadapannya. Melalui
dikotomi antara manusia dan alam tidak ada lagi keragu-
raguan manusia untuk menggunakan akal pikirannya
dalam menyingkap rahasia alam. Keadaan itu mencapai
puncaknya pada Era Fisika Isaac Newton di abad ke-17.
Hans Kelsen mentransformasi paradigma Cartesian
tersebut ke dalam ilmu hukum. Di situ rasio manusia
kembali diunggulkan untuk menelisik objek yang
dihadapinya yang berupa bangunan peraturan. Sedangkan,
hal yang tidak berbentuk peraturan harus dikesam-
pingkan, seperti filsafat dan psikologi. Misalnya, fisika
Newton melihat alam sebagai sebuah mesin besar.
Demikian pula halnya Kelsen melihat hukum. Hukum
menjadi suatu “logische Stufenbau”. Konon, Kelsen
membangun teorinya didorong oleh keinginan agar ilmu
hukum tidak tertinggal oleh ilmu-ilmu kealaman yang
sedang berjaya pada waktu itu. Ilmu-ilmu kealaman
memperlihatkan “keunggulannya” di antara disiplin sains
yang lain. Keunggulan itu tecermin lewat (semacam)
pembakuan istilah ilmu pengetahuan dalam “ilmu
pengetahuan dan teknologi” (science and technology) yang
mengesankan bahwa watak keilmuan hanya ada pada
ilmu-ilmu kealaman yang berperan besar dalam kemajuan
teknologi. Misalnya, August Comte menamakan sosiologi
sebagai “the pbysics ofsociety”. Dengan demikian, ilmu
hukum Kelsen juga dapat disebut “the pbysics of law”.
Di sini diperoleh bukti bahwa kemajuan yang dicapai
dalam satu bidang sains berimbas pada bidang lain.
Kemajuan dalam bidang fisika yang mewakili “science and
technology” dapat memicu positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial dan humaniora, termasuk ilmu hukum. Uraian me-
ngenai ilmu hukum Kelsenian mewakili positivisme
Bagian 1 45
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
lengkapan “peraturan dan logika” (rules and logic) semata.
Sebaliknya, pikiran-dalam melihat kehidupan di balik
skema-skema peraturan itu. Paham ini berkeyakinan
bahwa masih ada kehidupan lain di belakang peraturan
yang tidak dapat direnggut dari kesatuannya dengan
dunia peraturan. Apabila hal itu terjadi maka hukum akan
menjadi skema-skema yang kosong, sebuah skeleton
belaka, tanpa darah-dan-daging.
Menjelang peralihan abad ke-20 telah terjadi
perubahan besar dalam masyarakat, antara lain
disebabkan oleh industrialisasi. Struktur masyarakat
industri sangat berbeda dari masyarakat sebelumnya.
Sebagian orang mengatakan bahwa masyarakat yang
tadinya lebih alami berubah menjadi masyarakat yang
sangat dikonstruksikan (geconstrueerde maat-schappij)
(Beus & Doorn, 1986). Kendati masyarakat berubah besar,
namun tidak demikian dengan hukum. Hukum sebagai
skema-skema yang final (finite) sangat kaku sehingga sulit
berubah. Oleh karena itu, dijumpai keadaan yang sangat
menarik. Pada saat itu, substansi berubah tetapi hukum
yang mengaturnya tetap. Keadaan seperti itu dibahas oleh
Kari Renner dengan sangat menarik (Renner, 1969).
Dalam era industri, konsep hak milik yang semula
merupakan hak manusia atas barang telah berubah. Dalam
era industri buruh tidak lagi hadir sebagai manusia yang
penuh, tetapi telah direduksi menjadi barang atau unsur
produksi, seperti tanah, bangunan, dan mesin. Meskipun
demikian, konsep hukum mengenai pemilikan tidak
berubah.
Pada saat itu sulit untuk memercayai bahwa hukum
memang mencerminkan realitas dalam masyarakat. Lebih-
lebih jika terjadi pada bangsa-bangsa yang mempunyai
“civil law countries”, termasuk Indonesia. Hukum di
negara-negara tersebut sangat ditentukan oleh produk
legislasinya. Ini berbeda dari “common law countries” yang
pada dasarnya hukumnya berlandaskan tradisi. Oleh
Bagian 1 47
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
regarded as the exclusive preserve of legal professionals,
... There has emerged a sociological movement in law which
has had its common and explicit goal the assault on the
legal exclucivism ...” Dengan demikian, ilmu hukum yang
terlalu ketat melihat hukum sebagai “peraturan dan
logika” sendirilah yang mendorong orang untuk melongok
sesuatu di balik tembok peraturan atau perundang-
undangan tersebut. Dari keadaan tersebut, terasa ada
sesuatu yang hilang dalam studi hukum.
Sebagaimana diuraikan di muka, kita dapat juga
melihatnya dalam konteks perkembangan sains pada
umumnya. Sains, Khususnya fisika, yang selama ratusan
tahun didasarkan pada pikiran Cartesian dan epistemo-
logi Baconian, akhirnya memuncak pada fisika Newtonian
yang melihat alam dengan pandangan dunia mekanistik.
Model sains itu akhirnya harus digantikan oleh yang lebih
baru dengan paradigma baru. Sains baru tersebut melihat
lubang-lubang dalam teori besar Newton sehingga tidak
dapat menjelaskan fenomena alam secara lengkap.
Sebagai contoh, fenomena cahaya dan listrik belum dapat
dijelaskan melalui fisika Newton. Penjelasannya harus
menunggu teori-teori baru, seperti relativitas Einstein dan
teori kuantum. Sains yang lebih baru tersebut mening-
galkan cara melihat alam secara terpecah dan terkotak
{fragmented) dan atomistik, yang dibangun dari blok-blok
yang terpisah, untuk digantikan oleh paradigma holistis
dan ekologis (“ekologi-dalam”, “deep ecology”).
Alam lalu dipandang sebagai sesuatu yang kompleks,
rumit, dan memperlihatkan interelasi-interdependensi
yang rumit antara unsur-unsurnya. Alam tidak dapat lagi
dilihat secara mekanistik, melainkan proses yang rumit.
Untuk itu, paham Cartesian-Newtonian tidak mampu
menjelaskan dan menjangkaunya. Alam bukan terdiri atas
blok-blok unsur yang terkota-terpisah, berdiri sendiri,
melainkan sebuah proses yang rumit. Dari situ lahirlah
pandangan dan teori relativitas. Sementara itu, para
Bagian 1 49
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
terhadap keterkaitan sistemik antara sektor-sektor
kehidupan manusia akan menjadi ilmu yang terkucilkan
(insulated, isolated) dari komunitas besar sains dan akan
menjadi ilmu yang kurang autentik untuk abad ke-21. Ilmu
hukum yang hanya melihat ke dalam (internal structure)
dapat menjadi batu sandungan pada waktu ilmuwan dunia
bekerja bahu-membahu secara sistemik dan holistis.
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Edward O. Wil-
son, “Given that human action comprises events of physi-
cal causation, why should be social sciences and humani-
ties be impervious to consilience with the natural sciences?
(T)rue reform will aim at the consilience of science with
social sciences and humanities in scholarship and teach-
ing.” (Wilson, 1998). Menurut Wilson, “The greatest enter-
prise of the mind has always been and always will be the
attempted linkage of the sciences and humanities.” Lebih
lanjut dikatakan, “The ongoing fragmentation of knowledge
and resulting chaos in philosophy are not reflections of the
real world but artifacts of scholarship.” Perkembangan
ilmu-ilmu kealaman telah menjadi sedemikian rupa
sehingga telah menjangkau perbatasannya dengan ilmu-
ilmu sosial dan humaniora. Sementara itu, menurut Wil-
son, para ilmuwan sosial masih sibuk berbicara hanya
dengan sesamanya dan belum diakarkan pada biologi dan
psikologi. “But never ...social scientists been able to embed
their narratives in the physical realities of human biology
and psychology, ...”
“Hingar-bingar” dalam sains tersebut pada akhirnya
menggedor juga pintu ilmu hukum untuk bangun. Ilmu
hukum tidak dapat lebih lama melihat ke dalam,
sedangkan biolog seperti Wilson dengan lantang
mengatakan bahwa untuk tidak menjadi ilmu yang kasar
dan dangkal (banal) maka ilmu-ilmu sosial dan humaniora
perlu mengakarkan diri pada biologi dan psikologi.
Abad ke-21 mengisyaratkan bahwa kehidupan
manusia setidaknya sudah berlangsung selama dua ribu
Bagian 1 51
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
jujur, sesungguhnya sekarang ini hampir tidak ada pembi-
caraan atau penulisan mengenai hukum yang hanya
berkonsentrasi pada peraturan atau teks. Semua sudah
menyinggung realitas sehingga keluar dari teks undang-
undang.
Sekalian praksis dalam ilmu hukum dan penelitian
hukum berdiri di atas pundak pengalaman di masa lalu.
Sains memang berkembang seperti itu. Sains abad ke-21
berdiri di atas pundak abad ke-20 dan demikian
seterusnya. Fisika Einstein tidak akan ada tanpa didahului
oleh era Newtonian, Cartesian, dan seterusnya. Demikian
pula dengan ilmu hukum ketika satu aliran pemikiran
pada suatu waktu berdiri di atas yang sebelumnya.
Pikiran Kelsenian kita hargai pada waktunya, tetapi
sekarang kita sudah berada pada era post-Kelsenian.
Seperti juga ilmu kealaman yang kini sudah menjadi lebih
arif daripada fisika Newtonian yang hanya mekanistik dan
bahwa sekalian proses dapat dirunut kembali ke belakang
secara eksak (reversible). Fisika sekarang sudah menjadi
lebih kaya karena dapat mengetahui ada proses yang dapat
dirunut kembali ke belakang, tetapi ada juga yang tidak
(irreversible).
Ilmu hukum sekarang tidak puas hanya dengan
pikiran Kelsenian yang melihat proses hukum secara
mekanistik. Di abad ke-19, yaitu pada era hukum
mekanistik berlangsung, hakim hanyalah mulut undang-
undang (“la bouche qui prononcent les paroles de la loi”).
Bangunan hukum Kelsenian sama dengan pikiran
Newtonian yang melihat alam sebagai bangunan besar
yang disusun dari blok ke blok secara mekanistis. Akan
tetapi, seperti diuraikan sebelumnya, orang sekarang
sudah melihat masyarakat sebagai sesuatu yang kompleks,
relatif, dan tidak dapat dipahami secara matematis.
Sehubungan dengan keadaan tersebut, Oliver Wendell
Holmes mempunyai cara sendiri untuk berkomentar, yaitu
dengan mengatakan, “The law embodies the story of a
Bagian 1 53
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
54 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 5
H
idup di Luar
Hukum Negara
(‘Keboromo’,
‘Comas’, dan ‘Pasargada’)
Bagian 1 55
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Keberlakuan hukum tidak dapat dilepaskan dari
otoritas di belakangnya. Dengan kata lain, hukum
membutuhkan otoritas. Dengan demikian, tidak pernah
lekang dari adu kekuatan (power relations) dalam
masyarakat. Pada waktu mengajukan tipologi hukum,
Nonet dan Selznick memusatkan perhatiannya pada posisi
otoritas (authority) dalam masyarakat. Tipe hukum yang
mengandalkan paksaan/kekuasaan bertumpu pada
otoritas yang belum tertata secara organisatoris dengan
baik sehingga harus mengandalkan kekuasaan.
Kekuatan atau keperkasaan otoritas tidak selalu
stabil, melainkan fluktuatif, naik dan turun. Sekitar abad
ke-I8 muncul fenomena negara modern, yaitu sebuah
kekuasaan politik di satu wilayah tertentu yang memono-
poli kekuasaan di situ. Kekuasaan yang hegemonial mero-
bohkan pusat-pusat kekuasaan yang sudah ada sebelumnya
untuk diisap habis oleh negara tersebut. Dalam bahasa
retorika disebut kedaulatan (sovereignty). Konsep
kedaulatan atau kedaulatan negara hanya mengakui
kehadiran satu kekuasaan dalam wilayah tertentu.
Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang sah (legal),
sedangkan apabila muncul kekuasaan lain maka kekua-
saan tersebut tidak sah (illegal). Oleh karena itu, atas na-
ma hukum atau kekuasaan yang sah otomatis kekuasaan
itu tidak diakui dengan segala akibatnya. Konsep kedaul-
atan negara juga membawa konsep yang lain, yaitu kedau-
latan hukum negara. Apabila masih ada kekuasaan-
kekuasaan pada tingkat lokal yang tetap berdiri, maka
itu tidak lain karena legalitas yang diberikan oleh hukum
negara (...(so) important for state organizations since the
sixteenth century to seek predominance, to make or autho-
rize all the rules, and to move up to the scale of state at-
tributes...) (Midgal, 1988).
Pada kenyataannya, keadaan tersebut tidak sese-
derhana itu. Kekuasaan sosiologis yang dipinggirkan
tetap bertahan dan sesekali muncul pada saat kekuasaan
Bagian 1 57
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
Secara retorika hukum apa yang terjadi di Keboromo
tidak sah karena melakukan tindakan main hakim sendiri
(eigenricbting). Apa yang selesai secara hukum tidak begitu
saja selesai pula secara ilmu. Ilmu yang berburu kebenaran
tetap akan mempertanyakan mengapa kejadian seperti
itu dapat muncul. Ilmu pengetahuan melihat kejadian
tersebut belum selesai karena merasa masih mengemban
tugas untuk menj elaskannya.
Di Keboromo dapat kita saksikan tentang bagaimana
tugas-tugas yang seharusnya dijalankan oleh kekuasaan
yang sah diambil alih oleh komunitas lokal. Masyarakat
di situ melihat bahwa orang-orang yang melakukan
korupsi diajukan ke pengadilan untuk menerima huku-
man berupa pemidanaan. Itu adalah pelajaran resmi yang
mereka ketahui dan baca di media massa. Tentunya
mereka juga sudah mengetahui dari berita-berita bahwa
korupsi sekarang sedang diberantas oleh negara. Mereka
mengetahui korupsi adalah kejahatan yang harus
diberantas dan itulah yang mereka lakukan dengan
menggelar “Pengadilan Komunitas Kedungombo”. Mereka
melakukan itu dan berhasil mengembalikan uang yang
ditilep oleh sejumlah pamong desa ke kas desa. Yang lebih
penting yakni mereka meyakini tindakan mereka adalah
benar. Sementara itu, retorika hukum akan mengatakan
dan menyatakan bahwa tindakan itu salah, yang tentunya
disejajarkan dengan illegal logging dan yang lain-lain.
Ilmu hukum dan praksis tradisional tidak
mempunyai konsep dan teori untuk menangani kejadian
tersebut. Kejadian tersebut hanya dapat dihadapi oleh
teori-teori yang sedang muncul (emergent theory) atau
teori-teori alternatif, seperti “The Non-systematic Theory
of Law” (Charles Sampford, 1989) dan “The Paradigmatic
Transition” (Boaventura de Sousa Santos, 1995), yang akan
dibicarakan lebih lanjut di belakang nanti.
Cerita berikutnya diambil dari buku yang ditulis oleh
Hernando de Soto, seorang advokat di Peru (Soto, 1991).
Bagian 1 59
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
but. Semua pintu menjadi tertutup dan hanya melayani
para penduduk kota yang asli. Oleh Hernando de Soto
ditulis, “... sistem yang ada tidak dirancang untuk
menerima mereka, ... makin banyak hambatan yang
dipasang untuk merintangi mereka, ... mereka harus
berjuang untuk memperoleh hak dari pihak-pihak yang
mempunyai kedudukan yang kukuh dan tidak mau
memberi. ... mereka disingkirkan agar tidak dapat
menikmati manfaat dan fasilitas yang ditawarkan sistem
hukum, dan akhirnya satu-satunya jaminan bagi
kebebasan dan kemakmuran bagi mereka terletak dalam
tangan mereka sendiri.”
Ketertutupan hukum bagi kaum imigran menye-
babkan mereka harus bertahan hidup dengan mengem-
bangkan cara hidup sendiri di luar hukum yang berlaku.
“Jika mereka harus hidup, berdagang, mengolah bahan
mentah, mengangkut, atau bahkan mengonsumsi (pendu-
duk kota yang baru itu) harus melakukannya dengan
melanggar hukum.”
Kaum migran yang sudah berubah dari petani
menjadi orang kota harus beralih pekerjaan untuk
bertahan hidup. Mereka bukan lagi bertani, tetapi
membuat rumah, menawarkan jasa, menjadi pengusaha
yang harus mengembangkan usahanya. Mereka sudah
menjadi wiraswasta, entrepreneur. Akan tetapi, seperti
diutarakan, kaum migran tersebut tidak mendapat
pelayanan dari hukum yang berlaku. Hal itu disebabkan
oleh sulitnya menembus cara-cara berusaha menurut
hukum yang berlaku maka para migran hanya dapat
bergerak dalam sektor informal sehingga sektor informal
di Peru semakin berkembang. Oleh karena negara tidak
memiliki kekuasaan yang cukup untuk memaksakan
kebijaksanaan formalnya. Sektor-sektor informal yang
berkembang yakni di bidang perumahan, perdagangan,
dan transportasi. Tidak seluruhnya pemerintah lepas
tangan menghadapi usaha yang dilakukan oleh kaum
Bagian 1 61
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
bertahan hidup di Brasilia mereka harus mengembangkan
suatu siasat sedemikian rupa sehingga mereka dapat
hidup dalam suatu suasana yang tertib (securing the mini-
mal social ordering ofcommunity relations). Siasat itu
dilakukan dengan membangun suatu Hukum Pasargada
atau tata-tertib Parsargada (Pasargada legality). Dihadap-
kan pada hukum negara yang mendominasi seluruh negara
maka hukum Pasargada yang diciptakan sendiri oleh para
gelandangan itu dinamakan oleh Santos sebagai
hukumnya kaum yang tertindas (the laiv of the oppressed).
Dengan demikian, dalam satu wilayah yang sama dijumpai
tidak hanya ada satu sistem hukum, tetapi lebih dari itu.
Bagi hukum Pasargada, hukum negara merupakan
kekayaan yang sewaktu-waktu (bagian dari itu) dapat
dipinjam untuk kepentingan pengaturan di Pasargada.
Keadaan itu juga kita lihat pada pengadilan Keboromo,
yang meminjam legalitas dari pengadilan di Indonesia. Hal
itu berarti bahwa antara hukum Pasargada dan hukum
negara tidak selalu berada dalam posisi saling menolak
atau menghindar (avoidance), tetapi juga merangkul (ad-
aptation). Hal itu terlihat pada sikap Pemerintah Brasilia
yang membiarkan kehadiran komunitas gelandangan,
kendatipun dikualifikasikan sebagai tidak sah (illegal).
(“Despite its repressive policy of community control, the state
has tolerated a settlement it defines as illegal, by that con-
tinuing tolerance, it has allowed the settlement to acquire
a status we may call a legal or extralegal).
Menurut Santos, dengan bersikap “menghindar dan
merangkul” seperti itu menunjukkan bahwa kehadiran
hukum Pasargada juga memiliki fungsi sendiri yang dapat
membantu kontrol yang dilakukan oleh hukum negara.
Pembiaran dan pengakuan seperti itu meringankan
hukum dan institut pengadilan negara dari beban untuk
berurusan dengan konflik-konflik di kalangan komunitas
Pasargada. “By providing Pasar-gadians with peaceful
Bagian 1 63
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
nya kita hanya mempelajari skeleton hukum atau
“bangkai-bangkai” hukum, bukan hukum dalam realitas
yang penuh. Akhir-akhir ini kecenderungan menuju ilmu
hukum yang lebih lengkap seperti itu tampak menguat,
seperti buku Brian Z. Tamanaha yang diberi judul
menarik, “A General Jurisprudence of Law and Society”
(Tamanaha, 2006).
Ilmu hukum itu sungguh mempunyai fungsi dan
beban yang penting, yaitu memandu kehidupan bangsa
dengan cerdas. Oleh karena itu, hukum juga perlu
membaca kehadiran hukum dalam masyarakat dengan
cerdas pula.
Bagian 1 65
Dinamika Studi Hukum dalam Arus Perubahan
66 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 1
L
apisan-Lapisan
dalam Studi
Hukum
Sudah sepantasnya apabila pemahaman tentang hukum bagi
para calon doktor itu menembus sampai ke kedalaman yang
jauh, bukan pemahaman yang tipis dan dangkal. Hukum
itu tak dapat ditarik keluar dari kehidupan manusia dan
diamati, dianalisis sebagai suatu entitas tertutup. Maka kita
perlu terus mencari tahu sampai sejauh mana hukum itu
menembus kedalaman.
Bagian 2 67
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
***
***
Bagian 2 69
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
mengerut dan meruncing. Itu pun kemudian disusul lagi
menjadi melebar untuk kemudian meruncing lagi.
Mungkin ini merupakan versi lain dari penjelasan Tho-
mas S. Kuhn mengenai struktur revolusi dalam sains
(Kuhn, 1963). Sebagaimana diketahui, Kuhn membedakan
antara perubahan-perubahan biasa dan yang paradigma-
tik. Perubahan yang terakhir itu merupakan perubahan
radikal dalam pemikiran mengenai sains yang mampu
menggoyahkan landasan bangunan sains sehingga menjadi
ambruk untuk digantikan oleh yang baru (Kuhn, 1963).
Dalam sains Aristotelian ruh dan materi itu tidak
dapat dipisahkan. Selama ribuan tahun, keduanya menjadi
landasan ilmu pengetahuan sampai zaman renaisans abad
ke-17 yang ditandai dengan pembebasan diri dari penga-
ruh Aristoteles. Dalam pembagian Cartesian, yang mela-
hirkan sains modern terjadi dualisme ruh dan materi.
Dunia materi itu adalah barang mati, yaitu terdiri atas
blok-blok yang dirakit menjadi mesin yang besar. Inilah
pandangan mekanistik model Newton yang berjaya selama
abad-abad 17, 18, dan 19 (Capra, W75). Paradigma Carte-
sian-Newtonian ini kemudian runtuh digantikan oleh
paradigma baru yang holistis.
***
***
Bagian 2 71
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
sosial sehingga memungkinkan ketersediaan suatu
kelompok disiplin yang mendukung usaha untuk keluar
dari wilayah positivisme-analitis.
***
Sebagai bukti, tahun 1970-an menjadi saksi marak-
nya studi hukum secara sosial tersebut. Berbagai pusat
studi yang mencerminkan perluasan studi tersebut didiri-
kan di berbagai universitas (dengan sendirinya terdapat
resistensi karena studi yang positivistik-analitis itu telah
berjaya untuk waktu yang sangat lama. Studi dan peneli-
tian hukum itu adalah kajian terhadap hukum positif, titik.
Itulah kira-kira kredo mereka.)
Abad ke-21 ditandai oleh perkembangan sains (the
state of tbe art in science), sudah jauh lebih maju lagi. Deng-
an demikian, studi hukum perlu juga memanfaatkan
perkembangan tersebut. Sains telah mengalami per-
kembangan yang sangat pesat daripada beberapa abad
yang lalu yang pada waktu itu belum mencerminkan per-
kembangan sejati. Kita perlu menunjuk perubahan yang
terjadi secara lebih spesifik dan kualitatif. Mengetahui
perubahan-perubahan yang konkret itu baik, tetapi lebih
baik lagi kalau kita mampu menukik sampai ke dasar yang
menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Inilah yang
saya sebut sebagai kualitatif itu. Kita tidak boleh hanya
memerhatikan potongan-potongan kecil perubahan,
melainkan menukik sampai ke sumber kekuatan yang
mendorong perubahan tersebut.
***
Bagian 2 73
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
tersebut perubahan paradigma muncul. “The new para-
digm may be called a holistic worldview, seeing the world
as an integrated whole rather than a dissociated collection
of parts.” Capra berbicara mengenai konsep “deep ecol-
ogy”, “Deep ecological awareness recognizes the fundamen-
tal interdependence of all phenomena and the fact that, as
individuals and societies, we are all imbedded in (and ul-
timately dependent on) the cyclical processes of nature.”
Pada pembahasan terdahulu sudah dikatakan bahwa
pandangan holistis menyambung pada konsep “consilience”
Wilson yang berpuncak pada “the unity of knowledge”.
***
***
Bagian 2 75
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
terhadap hukum menjadi terbalik dari cara pemahaman
tersebut. Sudah seharusnya kita membuang paham bahwa
hukum itu independen uari terisolasi dari lingkungannya.
Dengan dan dalam pemahaman baru tersebut, hukum
merupakan satu titik dari rangkaian panjang proses jagad
kita yang terdiri atas rangkaian ranjang kehidupan orga-
nisme, sistem sosial, dan ekologi. Sekalian unsur itu erat
berkaitan satu sama lain, yang satu menjadi masukan (in-
put) bagi yang lain. Dengan demikian, terjadilah struktur
dan proses saling mengumpan.
Pemahaman baru sebagaimana dikemukakan oleh
Capra tidak sekadar menunjukkan bahwa entitas-entitas
di dunia, baik organisme maupun sistem sosial saling
bergantung (interdependent), tetapi lebih daripada itu.
Keadaan saling rergantung tersebut ditunjukkan dengan
jelas dan bagaimana terjadinya. Misalnya, pada saat Capra
berbicara tentang fenomena “multiple feetback”. Inilah
yang secara serius menohok pemahaman kita tentang
jagad kehidupan (the universe).
Sebagai pembelajar hukum yang selalu melihat “the
state of the art in seience”, yang tidak ingin melihat dan
memahami nukum secara isolated, secluded, maka pikiran
Capra tersebut sudah menjadi keharusan untuk
direnungkan dan dilihat kaitannya dengan hukum dan
ilmu hukum.
Menurut Capra, seluruh entitas, baik biologi, fisika
(physics) maupun sosial memiliki kemampuan untuk
mengorganisasi dirinya (self-organizing). Dalam konteks
tersebut institut hukum mampu melakukan pengorga-
nisasian diri secara otonom. Hukum ada di masyarakat
sebagai suatu bentuk institut yang mampu mengorganisasi
dirinya. Pada saat itu hukum juga menjadi bergantung
pada asupan-asupan (feedback) dari entitas kehidupan
lain. Jadi, masing-masing entitas dalam jagad kehidupan
saling menghidupi. Apabila saran Capra diikuti maka
sekarang ada agenda baru bagi para ilmuwan, yaitu untuk
***
Bagian 2 77
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
Pada tingkat sains sekarang, “Yet undeniably each stands
apart in the contemporary academic mind. Each has its
own practitioners, language, modes of analysis, and stan-
dards of validation.” Kritik Wilson terhadap pengotakan
antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam ‘dinyatakan
dengan kata-kata, “Given that human action comprises
events of physical causation, why should the social science
and humanities be impervious to consilience with the natu-
ral sciences-” Dewasa ini, banyak permasalahan di dunia
tidak dapat dipecahkan oleh disiplin ilmu yang berdiri
sendiri. “Most of the issues that vex humanity daily - eth-
nic conflict, arm escalation, overpopulation, abortion, en-
vironment, endemic poverty ... — cannot be solved without
integrating knowledge from the natural sciences with that
of the social sciences and humanities.” Oleh karena itu,
Wilson menyarankan agar batas-batas antardisiplin ilmu
dicairkan. “Only fluency across the boundaries will pro-
vide a clear view of the world as it really is, not as seen
through the lens of ideologies and religious dogmas or com-
manded by myopic response to immediate need .” Kita tidak
dapat memperoleh gambaran yang utuh dan berimbang
apabila bertolak dari disiplin ilmu yang terpisah-pisah.
“A balanced perspective cannot be acquired by studying
disciplines in pieces but through pursuit of the consilience
among them... To the extent that the gaps between the great
branches of learning can be narrowed, diversity and depth
of knowledge will increase.”
Wilson menggunakan istilah “perjalanan” (journey)
untuk menggambarkan proses bekerjanya ilmu-ilmu alam
sampai ke ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Menurutnya,
perjalanan itu berkelok-kelok bagaikan melalui sebuah
labyrinth. “Near the entrance of the labyrinth of empirical
knowledge is physics, comprising one. gallery, then a few
branching galleries that all searches undertaking the jour-
ney must follow. In the deep interior is a nebula of path-
ways through the social sciences, humanities, art, and re-
Bagian 2 79
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
dalam daging realitas, baik sosial, organisme, maupun
kehidupan lingkungan (ecology). Perundang-undangan,
penegakan hukum (law enforcement) dan putusan hakim
menggiring dan mengontrol masyarakat sebagaimana
dikehendaki oleh hukum.
***
Sebagaimana diuraikan terdahulu, pekerjaan yang
sudah berlangsung ribuan tahun tersebut sekarang
berbalik menjadi sorotan dan kritik yang tajam oleh
paham-paham baru dalam sains umum. Dengan sorotan
itulah hukum tidak dapat lagi mempertahankan
eksklusivismenya lebih lama.
Kritik terhadap eksklusivisme hukum sesungguhnya
bukan hal yang baru. Tiga puluh tahun yang lalu orang
sudah berbicara mengenai serangan terhadap eksklu-
sivisme hukum itu. “The study of law can no longer be re-
garded as the exclusive preserve of legal professionals,
whether practitioners or academics. There has emerged a
sociological movement in law which has had as its com-
mon and explicit goal the assault on legal exclusivism”
(Hunt, 1978). Sosiologi, dalam hal ini sosiologi hukum
merupakan disiplin yang berdiri paling depan dalam
membuka tabir eksklusivisme tersebut. Status, hubungan,
proses yang kemudian canggih dan rapi ditata oleh hukum
selama ribuan tahun itu, diurai dan dicairkan oleh
sosiologi hukum. Hukum tidak lagi tampil sebagai skema-
skema abstrak, melainkan realitas. Menurut Donald
Black, “Sociology changes our perception of judgment it-
self... Sociology makes relational discrimination visible, a
possible frontier of modern morality. It raises relational
consciousness, and consciousness of everything social.”
(Black, 1989).
Sementara itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick
lebih jauh lagi menghendaki agar pekerjaan hukum itu
***
Bagian 2 81
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
hukum dewasa ini perlu ditinjau kembali, seperti pengota-
kan antara hukum publik dan privat dan antara sub-
subdisiplin ilmu hukum (pidana, perdata, tata negara, dan
seterusnya). Lebih dari itu adalah pengotakan antara ilmu
hukum dan ilmu-ilmu sosial. Mereka mengatakan bahwa
hukum (di Belanda) merupakan suatu “recht in beweging”
(hukum yang sedang bergerak).
***
Sekarang kita dapat melihat dengan jelas bahwa
secara umum studi hukum itu berlapis-lapis. Di lapisan
puncak terdapat studi hukum profesional (professional
study, professional education). Kita boleh menggunakan
perumpamaan yang sudah lazim digunakan, yaitu puncak
gunung es dan tubuh puncak itu sendiri. Puncak gunung
es yang menyembul di atas permukaan laut adalah sosok
studi hukum yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu
dan menjadi cap dagang dari studi hukum. Masyarakat
atau para konsumen biasanya hanya mengenal tipe studi
tersebut (lawyer’s law).
Di bawah puncak yang menyembul terdapat badan
gunung es yang jauh lebih besar. Pergerakan-pergerakan
dari badan gunung es niscaya berimbas pada puncak kecil
yang menyembul keluar tersebut. Badan gunung es itulah
yang sedang kita bicarakan. Studi holistis seperti itu
seharusnya menjadi ciri dan menjiwai studi hukum pada
program doktor. Akan tetapi, kenyataannya karakter
studi hukum kita tidak mampu melihat bahwa hukum
sebagai institut yang terisolasi dan tidak sejalan semangat
sains umum dewasa ini (tbe state of tbe art in science).
Sekarang ada sebuah agenda sains yang besar yang
harus dihadapi calon doktor, yaitu bagaimana melihat
hukum dalam konteks kehidupan sejagad. Hukum
memang satu institut yang berbeda dari yang lain, tetapi
Bagian 2 83
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
84 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 2
B erpikir dalam
Hukum
Di kalangan komunitas akademis sering disebut-sebut
tentang cara berpikir hukum sebagai suatu cara berpikir
yang khas. Risalah ini ingin menjelajahi dan menelisik lebih
lanjut masalah tersebut, khususnya dalam konteks
perkembangan sains pada umumnya
Bagian 2 85
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
realitas kehidupan itu sendiri. Dengan demikian, yang
dilihat dan dibicarakan hukum adalah konsep dan definisi
yang bersifat artifisial. Di samping substansi tersebut
peraturan juga berisi tentang prosedur. Peraturan
substantif dan prosedural menjadi landasan dan titik tolak
penting dan hanya dari situlah kehidupan hukum
dibangun. Dengan demikian, para ahli hukum (latvyer)
memiliki “kacamata” sendiri dalam melihat (realitas)
kehidupan manusia di masyarakat. Peraturan, konsep,
definisi, dan prosedur selanjutnya diproses dengan
menggunakan logika. Dari situlah berpikir hukum mulai
menjadi khas atau disting.
Sesungguhnya, dunia para ahli hukum merupakan
sebuah “dunia asing” yang disebut sebagai “tke strange in-
ner world oftbe latvyer” di tengah-tengah “dunia realitas”
sebagaimana dikenal umum (Allot, 2002). Para ahli hukum
memiliki konsep sendiri mengenai kenyataan yang
berkaitan dengan realitas kehidupan profesionalnya (“re-
ality oftheir Professional lives”). Realitas para ahli hukum
melampaui {transient) realitas total tetapi pada waktu
yang sama tidak dapat dilepaskan dari relitas total
tersebut. Philip Allott menyebut empat karakteristik
filsafat para ahli hukum sebagai berikut. Pertama, “créâtes
a model of the law in terms of which the peculiar phenom-
ena of the law may be seen to be orderly and rational”.
Kedua, “stressing familiar axiomatic, so that other legal
phenomena become explicable more or less derivatively”.
Ketiga, “They depend on the introspection of the lawyer....to
look at the legal phenomena and to assent to reasonable
explanations when he hears them”. Keempat, “Their value
is pragmatic {helping the law to improve its functioning)
or heuristic (helping the law to improve its self-examina-
tion)”.
Para ahli hukum tidak melihat realitas dalam masya-
rakat sebagai realitas, melainkan selalu dilihat dari sisi
optik hukum, peraturan, skema-skema final, konsep, dan
Bagian 2 87
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
suatu tipe hukum yang untuk memahaminya orang harus
belajar secara khusus (Bergh, G.C.J.J. Van den, 1980).
Cara berpikir hukum seperti itu sangat dekat dengan
metode berpikir Cartesian dalam sains klasik (abad ke-
14). Metode tersebut membangun pemahaman mengenai
alam dari blok-blok secara logis-matematis yang
pemahaman substansinya (dalam hal ini fisika) secara
mekanistik. Pandangan dan cara berpikir seperti itu
mencapai puncaknya pada fisika Newtonian (abad ke-19).
Dalam ilmu hukum, cara berpikir tersebut mencapai
puncaknya pada abad ke-19 yang disebut sebagai era
kodifikasi. Penyebutan seperti itu kita baca sebagai
konsolidasi dari massa konsep, definisi, dan prosedur yang
membanjir pada abad tersebut. Tidak mengherankan jika
era tersebut melahirkan banyak pemikir-pemikir positi-
vis, seperti Hans Kelsen dan aliran seperti Begriffsjuris-
prudenz. Positivisme juga mengonsolidasikan kehadiran
dari massa peraturan yang sudah disistematiskan
sehingga tidak mengherankan jika pekerjaan para
positivis tersebut mempertahankan massa peraturan yang
ada atu disebut juga hukum positif. Berbagai asas, fiksi,
dan teori diciptakan untuk melegitimasi orde hukum
peraturan tersebut. Mereka juga melihat dunia dan
tatanan hukum sebagai bangunan yang disusun dari blok
ke blok secara logis-rasional. Teori Stugenbau Kelsen yang
sering disebut sebagai “logische Stufentheorie” serta
berpikir Kelsenian merupakan contoh positivisme abad
ke-19.
Hukum yang mengatur masyarakat diposisikan
sebagai checkpoint untuk menentukan legalitas dari segala
sesuatu. Proses hukum adalah mengecek apakah suatu
kejadian masuk dalam jangkauan peraturan tertentu. Jika
hubungan antara fakta yang diketengahkan dengan
peraturan maka proses hukum berhenti sampai di situ
dan tidak dapat berproses lebih lanjut. Dari keadaan itu
Bagian 2 89
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
peraturan sudah diterapkan pada fakta tertentu maka
hukum sudah dijalankan. Di sini, momentum yang krusial
terjadi saat memutuskan apakah suatu peraturan dapat
diterapkan pada suatu fakta tertentu yang disodorkan,
bukan soal kebenaran dan keadilan. Paul Scholten
mengatakan sebagai “toepassing van regels op feiten en de
regels geeft alleen de wetn (penerapan peraturan terhadap
fakta dan yang namanya peraturan itu hanya undang-
undang). Dengan demikian, maka undang-undanglah yang
memonopoli kebenaran dan keadilan. Ilmu hukum lalu
berbicara tentang adanya “formal justice” dan “substan-
tial justice”. Scholten menyatakan “Niet bij onjuistheid in
bet algemeen wordt een uitspraak vernietigd, dock alien
bij schennis of verkeerde toepassing van de wet” (suatu
putusan itu bukan dinilai dari kaca mata kebenaran secara
umum, melainkan hanya dari pelanggaran terhadap
undang-undang atau kesalahan menerapkannya).
Hal tersebut oleh William T. Pizzi dikatakan sebagai
“trials without truth’” (Pizzi, 1999). Pizzi menunjuk
kelemahan sistem peradilan Amerika Serikat yang
terletak pada kecintaan dan kecanduan bangsa itu pada
prosedur atau sering dikatakan sebagai “procedure junk-
ies”. Dalam praktiknya, hakim di negeri itu sangat sibuk
menjalankan aturan main sehingga melupakan yang lain.
Hakim sudah seperti wasit sepakbola (American football),
kesibukannya dihabiskan untuk menjaga aturan main.
“The flow of the trial is interrupted and even its purpose is
forgotten as judges struggle to make perfect rulings, becom-
ing little referees concerned only with rules and rulings”.
Sebagai contoh, Pengadilan di Amerika Serikat gagal
mengetahui bahwa ia harus menyelesaikan satu tugas
yang tidak dapat diselesaikan dengan menjaga ketepatan
(precision). Sementara itu, yang diharapkan oleh rakyat
adalah mereka memiliki kepercayaan bahwa pengadilan
benar-benar menentukan kesalahan (guilt) atau
Bagian 2 91
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
dalam dunia sains pada umumnya.
Pada kenyataannya, perkembangan dalam dunia
sains terjadi secara menyebar, yaitu dimulai dari satu titik
kemudian meluas ke berbagai titik disiplin ilmu yang lain.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia
fisika juga memasuki ranah biologi, misalnya ketika fisika
membicarakan teori sistem. Sementara itu, antara fisika
dan kimia juga terjadi pertukaran. Kimia menyumbang
pemikiran bahwa tidak semua proses dalam alam itu
dapat dirunut balik secara eksak sama (revesible).
Menurut ilmu kimia ada proses-proses yang ridak dapat
dirunut balik (irreversible) karena mengikuti ranah panah
waktu (arrow oftime). Begitu prosesnya berjalan maka
kejadian itu tidak dapat dirunut kembali seperti jarum
jam. Dari keadaan tersebut, ilmu hukum dalam berpi-
kirnya juga perlu melihat pada apa yang terjadi, pada garis
depan sains, serta pengaruhnya terhadap ilmu hukum dan
lebih spesifik lagi pada cara berpikir hukum.
Menurut penulis, belum pernah ada penelitian yang
saksama mengenai interaksi berpikir hukum dengan
disiplin lain, kendatipun data-data untuk itu sebetulnya
tidak sedikit. Bagi komunitas ilmu hukum progresif
merupakan tugas penting untuk melakukan pembebasan,
yaitu arogansi dari komunitas hukum, baik profesional
maupun akademis. Apabila disiplin-disiplin ilmu lain juga
melakukan pembebasan dari cara berpikir yang lama ke
yang baru, mengapa ilmu hukum tidak melakukan hal itu.
Pembebasan dan pembaruan dilakukan bukan asal
berubah, melainkan karena memang diperlukan. Ilmu
fisika, kimia, psikologi mengalami perkembangan dalam
cara berpikir sehingga menjadi lebih mampu untuk
memberikan penjelasan.
Kembali pada hukum, dalam beberapa risalah
terdahulu telah dibicarakan bahwa dari waktu ke waktu
ilmu hukum membutuhkan perkembangan. Hukum yang
Bagian 2 93
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
kita berbicara dalam bahasa konsep hukum. “But when
we indulge in more abstract reflection this commonsense
understanding fades”. Berpikir yang semata-mata
mengikuti logika tidak dapat menangkap kenyataan bahwa
kejadian-kejadian berlangsung dalam satu kesinambungan
(continuum). Berpikir secara logis dan kategoris lalu
menjadi penghambat. “Instead of recognizing that any theo
retical polarity is a way of identifying a continuum, the
categories are taken to be empirically as well as logically
disjunctive”. Oleh kedua penulis tersebut, hal itu disebut
sebagai “fallacy of misplaced concreteness”. Seraya
menyarankan pendekatan secara ilmu sosial, Nonet dan
Selznick mengatakan, “A social science approach treats
legal experience as variable and contextual. That canon is
violated when law is characterized unidimensionally or is
said to possess invariant attributes”. Hukum, proses
hukum, dan tatanan hukum memiliki banyak dimensi.
Oleh karena itu, tidak dapat diselesaikan dengan berpikir
secara kategoris yang final, “we take the view that a legal
order has many dimensions and that inquiry is best served
when we treat those dimensions as variables”. Berpikir
yang meyakini kepastian-kepastian secara kaku
hubungan-hubungan yang harus diterima adalah berpikir
secara linier seperti menarik garis lurus antara dua titik
“Instead of talking about necessary connections between
law and coercion, law and state, law and rules, or law and
moral aspiration, we should consider to what extend and
under what conditions those connection occur”.
Saran-saran Nonet dan Selznick mengingatkan kita
pada perkembangan dalam ilmu fisika yang meninggalkan
berpikir mekanistik dan deterministik menuju komplek-
sitas, relativitas, ekologis, dan holistis (baca: seri buku-
buku Capra).
Sampai di sini kita mengetahui bahwa berpikir
hukum Nonetian itu berbeda dari berpikir hukum
Bagian 2 95
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
ilmu hukum. Komunitas hukum tidak dapat lebih lama
bersikukuh bertahan pada pikiran yang mengatakan
bahwa cara berpikir hukum itu adalah khas (disting).
Menurut penulis, perkembangan berpikir dalam
sains tidak dapat dibiarkan berada di luar komunitas hu-
kum. Hukum tidak akan mampu menghadapi kehidupan
yang semakin kompleks dan saling bergantung bila selalu
mengisolasi diri. Alih-alih mengatur dan memfasilitasi
kehidupan sehingga menjadi produktif, hukum malah
menjadi suatu anomali. Berpikir dalam sains yang sudah
menjadi holistis dan ekologis seyogyanya juga mengoreksi
cara berpikir hukum yang bertolak dari dunia konsep dan
definisi yang artifisial itu.
Meskipun hukum berangkat dari teks-teks tertulis,
tetapi melihat dan memperlakukan masyarakat semata-
mata sebagai konsep dan definisi yang telah dituliskan
dalam teks berbeda dari memakai teks sebagai pintu
masuk untuk menghadapi kenyataan. Sehubungan dengan
masalah yang sedang dibicarakan di Fakultas Hukum
Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda, berkembang
suatu cara berpikir hukum yang sangat menarik (Foque
et al, 1994).
Secara umum, Fakultas Hukum Universitas
Erasmus menolak pikiran dan pembelajaran yang memi-
sahkan ilmu hukum dari ilmu-ilmu sosial. Mengingat, hal
itu akan merugikan para lulusannya ketika terjun dalam
praktik. Pada suatu titik mereka mengemukakan
pendapat yang sangat menarik tentang bagaimana hukum
atau undang-undang seharusnya dijalankan. Mereka
menyarankan agar hukum, peraturan, dan undang-undang,
hanya berfungsi memberikan panduan yang terbuka, tidak
pasti, deterministik, dan final. Berpikir hukum seperti
itu sangat menarik karena mengingatkan pada cara
berpikir hukum kita, seperti dalam hukum adat yang
cenderung luwes. Di sini, “doktrin Rotterdam” dan
“doktrin Indonesia” mendekat satu pada yang lain, yaitu
Bagian 2 97
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
galkan “kepompong undang-undangnya” dan memperkaya
diri dengan dimensi kemasyarakatan, seperti buku yang
ditulis oleh Brian Z. Tamanaha dengan judul sugestif “A
General Jurisprudence o f Law and Society” (Tamanaha,
2006). Dalam buku tersebut, Tamanaha mengajukan tesis
yang dinamakan “mirror thesis”. Pada tesis tersebut,
hukum bukan sesuatu yang artifisial, melainkan sekadar
pencerminan dari masyarakatnya. Tamanaha menolak
ilmu hukum klasik yang mengejar ciri-ciri universal
sehingga melahirkan sebuah “ilmu hukum dunia” (tbe quest
ofa universal jurisprudence), sebuah “social institution
found in ail societies and exhibiting a core similar features”.
Dewasa ini, orang lebih melihat adanya relativisme
kultural dan pascamodernisme yang “privilège tbe local,
suggesting that nothing is universal, and suggest that noth-
ing is universal, and challenge the very ability to construct
generally applicable Standard”. Sangat menarik untuk
dikaji sinyalemen Tamanaha yang menyatakan bahwa
dunia mulai menolak penggunaan satu standar tunggal
dalam hukum. Dengan sinyalemen tersebut, tentunya
akan berimbas pula pada cara berpikir hukum.
Hal tersebut mengingatkan kita pada kritik yang
dilakukan terhadap sains klasik yang mengejar universa-
litas. Prigogine dan Stengers mengutarakannya sebagai
“They sought al embracing schemas, universal unifying
frameworks, within which everything that exists should be
shown to be system-atically-i.e., logically or causally - in-
terconnected, vast structures in which there should be no
gaps left open…, where everything that occurs should be…
Wholly explicable in terms of immutable general laws”
(Prigogine &c Stengers, 1985).
Meskipun dengan sedikit variasi, dapat dikatakan
bahwa dewasa ini ilmu hukum dan berpikir dalam hukum
sudah memperlihatkan perubahan dan perkembangan
Bagian 2 99
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
100 ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bab 3
H
ukum di Mata
Bukan Ahli
Hukum
Hukum itu beredar dalam masyarakat yang tidak hanya
terdiri atas para ahli-hukum saja (lawyer). Mereka yang
bukan ahli-hukum juga harus berhadapan dengan hukum
itu dalam kehidupan sehari-hari. Risalah ini melihat
bagaimana hukum itu diterima di kalangan mereka yang
bukan ahli hukum.
Bagian 2 101
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
dalam wilayah tersebut memiliki kesadaran hukum.
Hukum berlaku untuk semua orang yang berada
dalam wilayahnya. Untuk itu, konsep kedaulatan hukum
menjadi landasannya. Oleh karena itu, siapa pun yang
hidup dalam wilayah tersebut harus bertunduk terhadap
kekuasaan hukum. Kata “siapa pun” di sini tidak mem-
beda-bedakan antara mereka yang mengetahui hukum
atau tidak. Hukum adalah untuk orang yang mengetahui
hukum dan sekaligus yang tidak mengetahui.
Dalam konteks tersebut, sesungguhnya dapat juga
dikatakan bahwa terjadi semacam adu kekuatan (power
relations) secara diam-diam antara kedua kelompok
tersebut. Dalam rumusan yang lebih konkret dapat dika-
takan telah terjadi adu kekuatan antara para profesional
dan nonprofesional; antara para lawyer dan nonlawyer.
Secara diam-diam masing-masing kelompok mengaku
(claiming) sebagai memiliki hak untuk turut berbicara
(zeggenschap) mengenai hukum.
Keadaan tersebut merupakan hal yang lazim di
tengah-tengah kehadiran kaum dan komunitas
profesional. Kaum profesional dengan pengetahuan dan
pembelajarannya yang sangat spesialistis menjadi
komunitas yang tertutup. Hal itu terjadi disebabkan oleh
penciptaan dan penggunaan kata, istilah, dan konsep yang
khas sebagaimana dibutuhkan oleh profesi yang
bersangkutan. Hal itu tidak hanya terjadi pada komunitas
para ahli hukum, tetapi juga para dokter, dan lain-lain
(Ding-wall & Lewis, 1983). Dari keadaan tersebut,
kemudian terciptalah dua dunia yang sangat berbeda,
kendati membicarakan hal yang sama, seperti hukum,
keadilan, dan kesehatan.
Dalam pasar masyarakat, para profesional hukum
merebut keunggulan, terutama dengan bantuan negara.
Negara modern meminta bantuan komunitas para ahli
hukum profesional untuk menjalankan hukum negara.
Negara modern memberikan legalitas formal pada hukum
Bagian 2 103
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
negara. Hukum negara masih merangkul para pendatang
dengan melakukan pembiaran terhadap mereka, demi
alasan efisiensi.
Untuk keperluan tersebut kita perlu waspada
terhadap rakyat biasa yang dari luarnya tampak sebagai
mematuhi dan menjalankan hukum. Bagaimana mereka
yang tidak mengetahui hukum mampu mematuhi hukum?
Apa yang ada dalam pikiran selama mereka menjalankan
dan mematuhi hukum? Ilmu hukum dituntut untuk secara
jujur menjawab dan menjelaskannya. Untuk menunjukkan
kemungkinan terjadinya fenomena “menjalankan hukum
tanpa mengetahui hukum” tersebut. Berikut disampaikan
sebuah cerita tentang pengalaman hukum Millie Simpson,
seorang warga negara Amerika Serikat biasa (Ewick &C
Silbey, 2001).
Hampir selama sembilan tahun, Millie Simpson,
setiap hari bekerja, menjalani rute perjalanan dari
apartemennya menuju kediaman keluarga Carol Richard.
Millie bekerja membersihkan rumah (domestic bouse-
keeper) Carol Richard. Pada akhir Oktober 1989, Millie
meninggalkan pesan kepada Richard bahwa untuk
beberapa lama tidak dapat menggunakan mobilnya dan
harus menggunakan kereta api. Dengan demikian, untuk
sementara waktu tidak dapat menjalankan tugasnya
dengan baik. Apa gerangan yang terjadi?
Beberapa bulan sebelum itu, selama beberapa
minggu, Millie memarkir mobilnya di depan aparte-
mennya. Untuk mengatasi hal itu, setiap hari diantar dan
dijemput oleh seorang teman dengan mobil tersebut. Hal
itu terjadi karena Millie kehabisan uang untuk membayar
asuransi mobilnya. Ia tidak mau menggunakan mobil tanpa
perlindungan asuransi. Untuk mengatasi hal itu, ia ingin
mengumpulkan uang lebih dahulu.
Pada suatu pagi polisi datang dengan memberikan
surat panggilan {summonses). Dalam surat itu dikatakan
Bagian 2 105
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
hari persidangan yang lain. Dari uraian tersebut terdapat
ketidaksesuaian antara pernyataan Millie dan rekaman
resmi yang mengatakan bahwa Millie mengaku bersalah
(did pleadguilty). Hakim juga menanyakan apakah ia ingin
didampingi oleh seorang pembela umum? Setelah mengisi
beberapa formulir di ruang lain, Millie diberi seorang
pembela. Beberapa minggu kemudian, karena tidak
mendengar kabar dari pembelanya, Millie datang kembali
ke pengadilan (sekali lagi) tanpa didampingi pembela.
Di hadapan hakim terdapat setumpuk kertas,
menurut pikiran Millie kertas-kertas tersebut berisi
semua informasi yang telah diberikan pada persidangan
yang lalu. Sebagai hasilnya, tidak seperti pada persidang-
an pertama, dalam persidangan kedua ini Millie
menceritakan apa yang terjadi dengan mobilnya. Tanpa
pembicaraan lebih lanjut, Millie mengakui (claims) bahwa
hakim menyatakan ia bersalah dengan mengatakan bahwa
SIM-nya dinyatakan tidak berlaku selama satu tahun dan
harus membayar denda $ 300 serta ia harus menjalani
pelayanan publik (community service) selama 15 jam.
Bertepatan dengan detik itu, sesudah hakim selesai
dengan putusannya, si pembela umum muncul.
Sesudah Bob Richards mendengar apa yang terjadi
secara rinci, yang salah satunya ada keterlibatan anak
teman Mille, apa yang telah dilakukan oleh Millie dan
tanggung jawabnya, dan ketidakterlibatan pembela umum,
keluarga Richards memutuskan mencari seorang advokat
yang dapat menolong Millie. Bob Richards menghubungi
kantor advokat perusahaannya. Seorang advokat
kemudian menemui Millie. Sesudah menyelidiki kasusnya
melalui rekaman pengadilan dan dari rekaman tersebut
diketahui bahwa Millie telah mengaku bersalah, advokat
David Stone mengajukan mosi agar perkara dibuka
kembali dan menarik kembali pengakuan bersalah. David
Stone datang ke pengadilan dan menyatakan di atas
rekaman (on the record) bahwa Millie telah tampil di
Bagian 2 107
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
pernah belajar hukum. Millie membuat penafsiran sendiri
tentang segala hal yang telah dijalankannya. Ia membuat
penafsiran sendiri seraya menjalankan perintah dari para
aktor hukum yang dihadapinya. Millie menerima sekalian
perintah itu menurut pemahamannya sendiri, menurut
asumsinya, pikirannya, dan kepercayaannya sendiri.
Makna dari hukum menurut orang awam berbeda
dari yang ada di kepala para ahli hukum. Hal tersebut
tampak sekali pada waktu majikannya, Bob Richards
meminta bantuan seorang advokat untuk mendampingi
Millie. Sesudah mempelajari semua dokumen rekaman
pengadilan, advokat David Stone segera melihat apa yang
tidak dapat dilihat oleh Millie sebagai orang awam dalam
hukum. Stone menyadari bahaya yang sama sekali tidak
disadari oleh Millie. Bahaya itu datang karena hukum itu
memiliki konsep, struktur, dan logika sendiri. Millie
bertindak dengan kesadaran hukum, tetapi kesadaran
hukum sebagaimana dibangunnya sendiri berdasarkan
“pengetahuan, asumsi, dan kepercayaan” yang dimiliki.
Millie tidak menyadari bahwa hakim itu adalah status,
kewenangan, dan di belakangnya ada hukum yang
memiliki konsep, prosedur, dan logika sendiri. Oleh
Elwick dan Silbey itu disebut sebagai “ways in which
people make sense of law and legal institutions” atau “the
understandings which give meaning of people’s experiences
and actions”.
Menurut penelitian Elwick dan Silbey, di mata
Millie, semua hal yang berlangsung di pengadilan
dianggapnya sama dengan kejadian-kejadian biasa yang
dialami sehari-hari, yaitu suatu ranah {space) di mana
kejadian-kejadian itu menimpa orang. Apa yang dilakukan
oleh hakim, misalnya membaca surat-surat dan
mengerjakan apa yang dikatakan di situ. Ia tidak mengerti
bahwa hakim sedang mengerjakan tugas untuk memeriksa
dan mengadili perkara. Ia tidak mengerti bahwa
berhubungan dengan dan memasuki pengadilan adalah
Bagian 2 109
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
secara jujur dan menjelaskannya. Mereka memiliki
semacam tugas untuk mengerti hukum sebaik-baiknya,
yaitu sedalam dan seluas mungkin. Kasus Millie
memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai
kompleksitas dari kesadaran hukum dan sebagai ilmuwan
kita perlu mengerti hal itu pula. Dari perspektif keilmuan
tidak ada tempat bagi para profesional hukum untuk
memonopoli kebenaran.
M
emunculkan
Kekuatan
Hukum
Risalah ini membicarakan tentang kekuatan bekerjanya
hukum. Teks hukum hanya salah satu faktor dalam
bekerjanya hukum. Faktor yang lain adalah manusia yang
menjalankan hukum itu. Keterlibatan manusia dalam
hukum itu masih dikesampingkan dalam pembelajaran
hukum.
Bagian 2 111
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
menjadi andalan dalam bernegara hukum tidak mampu
berbicara dan membedakan antara keadaan biasa dan luar
biasa. Teks itu diam, statis, dan status quo sentris. Teks
hukum tidak memiliki kepekaan untuk merasakan adanya
sesuatu yang berubah. Hukum tidak mampu mengubah
dirinya sendiri. Hukum tetap memuat teks yang sama,
kecuali diubah oleh legislatif.
Hukum tidak dapat menyadari bahwa kalimat-
kalimatnya sudah tidak mampu lagi untuk menghadapi
situasi atau tantangan yang berubah. Hanya manusialah
yang dapat merasakan bahwa hukum sekarang
dihadapkan pada keadaan luar biasa. Akan tetapi, manusia
tidak dapat bertindak menurut kemauannya sendiri,
melainkan harus melalui jalur hukum. Perbincangan
menjadi sangat menarik ketika manusia ditarik pada dua
arah yang berlawanan, yaitu teks dan aksi. Sulit atau tidak
ilmu hukum tetap dituntut untuk memberikan panduan
terhadap praksis hukum dalam situasi luar biasa.
Seharusnya hukum memiliki tungkai atau meka-
nisme otomatis yang menjadikan dirinya mampu segera
memberi respons terhadap tantangan yang diajukan
kepadanya oleh masyarakat. Akan tetapi, kenyataannya
tidak demikian, ia tidak memiliki mekanisme. Bahkan,
para legalis dan status quois mengatakan, selama teks
tidak berubah dan diubah kita tidak dapat berbuat apa-
apa.
Dalam keadaan yang demikian itu, ilmu hukum perlu
menengok kembali ke dalam kurikulum yang ada selama
ini. Apakah kurikulum pembelajaran hukum menyediakan
tempat untuk membicarakan masalah kekuatan hukum?
Seperti berulang kali penulis katakan, dalam keterpu-
rukan Indonesia justru merupakan sebuah laboratorium
hukum yang sangat baik dan berkualitas dunia. Tinggal
bagaimana kita bersungguh-sungguh menikmati dan
memanfaatkan hal tersebut untuk membangun hukum
kita.
Bagian 2 113
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
terhadap prestasi hukum. Harapan yang keliru seperti
itu terjadi karena sikap menganggap sepele kekuatan
hukum. Kekuatan hukum menjadi sesuatu yang tidak
perlu diangkat sebagai permasalahan tersendiri yang
memerlukan pengkajian bersungguh-sungguh. Permasa-
lahan hukum dianggap selesai dengan dibuatnya peratu-
ran, prosedur, dan institut.
Sekalian yang berhubungan dengan hukum dikelola
secara formal, lat face value’, atau ‘prima facie’. Seperti
telah dikatakan, semua itu terjadi karena pembelajaran
hukum kita yang dangkal. Pembelajaran tersebut lebih
didasarkan pada fokus dan pembacaan-pembacaan
terhadap hukum tekstual. Oleh karena itu, keterpurukan
hukum kita hendaknya mampu diubah menjadi berkah,
yaitu untuk mengkaji hukum lebih dalam daripada
sekadar permukaannya.
Salah satu cara untuk melakukan studi hukum yang
menukik lebih dalam adalah kajian mengenai apa yang
ingin penulis sebut sebagai studi terhadap “kekuatan yang
tersembunyi dalam hukum”. Kita perlu mengubah
pembelajaran hukum kita yang didominasi oleh teks
menjadi pembelajaran yang melibatkan dimensi psikologis
dari hukum atau teks hukum.
Penulis tidak setuju dengan para sosiolog hukum
yang beraliran positivis, yang mengatakan bahwa hukum
adalah realitas empiris dan sama sekali tidak mengan-
dung tujuan dan moral (Black, 1989). Aliran sosiologi
hukum ini juga disebut sebagai ‘sosiologi hukum murni’.
Sosiologi hukum harus menjadi ilmu yang murni, yaitu
yang hanya berurusan dengan fakta empiris. Hukum
dilihat sebagai data yang harus dapat dikuantifikasikan.
Di sini, para sosiolog tidak ada bedanya dari para positivis,
seperti Hans Kelsen, yang mengatakan bahwa negara dan
hukum adalah undang-undang yang tertulis hitam-putih.
Tidak ada dimensi filosofis, moral, dan lain-lain di situ.
Bagian 2 115
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
Masalah yang ingin diajukan di sini tidak hanya
berhenti pada pemahaman lebih dalam terhadap teks-teks
hukum, melainkan lebih dari itu, kepada bagaimana
praksis akan dilakukan sesudah itu. Di sinilah perubahan
besar akan terjadi, yaitu perubahan dalam kultur para
penegak hukum.
Praksis hukum selama ini mengikuti cara “mene-
gakkan hukum menurut bunyi teks” {black-letter law) yang
hanya menurut kata-kata dan kalimat dalam teks. Dengan
demikian, praksis abad ke-19 masih menguasai pemikiran
dan praksis hukum sampai hari ini. Sekarang, bagaimana
jika cara berhukum diproyeksikan terhadap gagasan atau
pemahaman yang baru, yaitu menukik sampai pada
kedalaman makna hukum?
Pertama, para penegak hukum, di mana pun posisi
mereka, mengidentifikasi diri mereka sebagai kaum vigi-
lantes, orang-orang yang berjihad dalam hukum. Mereka
tidak hanya membaca undang-undang tetapi diresapi
dengan semangat untuk meluapkan keluar makna undang-
undang yang ingin menyejahterakan rakyat. Mereka
bukanlah tipe orang-orang yang “mengangkat pundaknya”
seraya mengatakan, “apa boleh buat, hukumnya memang
begitu”. Dengan demikian, diperlukan predisposisi
progresif dari para penegak hukum.
Kedua, kesadaran dan keyakinan bahwa hukum
menginginkan yang baik terjadi pada rakyat dan masya-
rakat. Hukum bukan semata-mata berupa sederetan kata-
kata dan kalimat. Hukum adalah pesan (message) yang
membutuhkan realisasi. Hukum sebagai ‘kalimat’ dan
sebagai ‘pesan’ adalah dua hal yang sangat berbeda dan
yang pada akhirnya akan menentukan hasil putusan. Di
sini kita memasuki ranah kekuatan hukum yang menjadi
pokok dari risalah ini.
Hukum adalah kekuatan dan kekuatan itu terkan-
Bagian 2 117
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
mendorong kata-kata dari teks hukum itu sampai ke titik
paling jauh (ultimate) sehingga kekuatan hukum keluar
dari “persembunyiannya”. Pengadilan tidak lagi semata-
mata menjadi tempat untuk menerapkan undang-undang
melainkan menjadi tempat untuk menguji “sampai sejauh
mana kekuatan kalimat undang-undang” itu. Hakim bukan
lagi “/es bouches, qui prononcent les paroles de la loi “ (mulut
yang mengucapkan kata-kata undang-undang), melainkan
seorang vigilante atau mujtahid.
Ronald Dworkin memberi contoh yang bagus, waktu
membicarakan tentang masalah pornografi di Amerika
Serikat dalam kaitan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Apakah konstitusi Amerika Serikat melarang atau
membolehkan pornografi dalam pers? Tidak ada teks atau
kalimat yang jelas mengenai hal tersebut. Dworkin
merujuk ke Amandemen 1 terhadap konstitusi yang
berbicara tentang kemerdekaan berbicara (free speech)
(“The freedom of speech or of the press; or the right of the
people peaceably to assemble, and to petition the Govern-
ment for the redress of grievance.’’’). Hakim harus berani
menguji sejauh mana jangkauan amandemen tersebut,
apakah sampai pada masalah pornografi dalam pers?
Apakah amandemen konstitusi tersebut menjangkau
sampai pada masalah pornografi dalam pers? (Dworkin,
1996; Rahardjo, 2007a).
Baru dengan pengerahan usaha para hakim untuk
berani menguji sejauh mana kekuatan suatu teks hukum,
kita benar-benar mengetahui magnituda kekuatan
tersebut. Sebaliknya, apabila hakim hanya membaca teks
maka tidak dapat diketahui seberapa besar kekuatan yang
terkandung dalam hukum itu.
Seperti dikatakan oleh Paul Scholten, masa
keemasan hakim memperlakukan hukum seperti
pekerjaan matematis, yang memproses undang-undang
seperti memproses angka-angka secara logis {banteren
Bagian 2 119
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan hukum adalah
apa yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai ‘mesu budi’
yaitu mengerahkan kekuatan spiritual kita.
Pekerjaan hukum adalah lebih dari hanya logis-
rasional, melainkan sesuatu yang menuntut kreativitas
dari para pelakunya. Di sinilah pekerjaan memunculkan
kekuatan hukum itu memperoleh tempatnya.
P
erjalanan
Panjang “Rule of
Law”
Hukum dan ilmu hukum sampai kepada kita sesudah
melalui perjalanan panjang mulai sebelum Masehi dan
masih akan meneruskan perjalanannya ke masa mendatang.
Perjalanan panjang itu meninggalkan jejak-jejak
pergolakannya sendiri dengan manusia pada titik sentralnya
Sekarang ia lazim dibicarakan sebagai “the Rule of Law”.
Bagian 2 121
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
semacam nama atau cap dagang pada waktu orang
membicarakan hukum. “The rule of law is the most impor-
tant political ideal today ...” demikian Tamanaha, yang
disambungnya lebih lanjut dengan kata-kata, “... yet there
is much confusion about what it means and how it works’’’
(Tamanaha,2004). ROL memuat banyak kandungan
persoalan, mulai dari bagaimana membuat hukum, sampai
pada bagaimana menghindari dan melepaskan diri dari
jerat hukum. Pendapat Tamanaha tersebut sangat
menarik karena membuka peluang untuk membicarakan
kehadiran ROL secara bebas dan kritis. Pendapat tersebut
{“there is (yet) much confusion what it means and how it
works’”) mengisyaratkan bahwa tidak atau belum ada
pendapat final tentang ROL. Dengan demikian, hal itu
menolak pendapat sebagian orang di dunia bahwa ROL
sudah final dan hanya ada satu konsep yang mutlak untuk
dijadikan standar.
Sebagai catatan, dalam risalah ini ROL dibedakan
dari apa yang dalam kalangan komunitas pembelajar
hukum dinamakan “The ROL” itu. The ROL sudah
menunjuk kepada suatu tipe ROL yang khas (distinct),
seperti antara lain dirumuskan oleh A. V Dicey ke dalam
tiga gagasan, yaitu (1) kedaulatan hukum, (2) persamaan
di hadapan hukum, dan (3) hak asasi manusia. Dikatakan
oleh Dicey, “no man is punishable or can be lawfully made
to suffer in body or goods except for a distinct breach of law
established in the ordinary legal manner before the ordi-
nary Courts of the land. In this sense the rule of law is
contrasted with every system of government based on the
exercise by persons in authority of wide,arbitrary, or dis-
cretionary powers of constraint.” (Tamanaha, 2004).
Dalam risalah itu, ROL dipakai dalam artian generik
yang meliputi sekalian aktivitas manusia untuk menem-
patkan atau menata kehidupan manusia dalam koridor
hukum. Apa pun nama dan bentuknya, ia kita masukkan
ke dalam ROL.
Bagian 2 123
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
belakang ROL berkecamuk interaksi serta persaingan dan
adu kekuatan {power relations) antara berbagai faktor
tersebut. Dengan demikian, boleh kiranya dikatakan
bahwa ROL hanyalah merupakan suatu kerangka besar
(framework) yang di dalamnya berinteraksi berbagai
faktor atau kekuatan. Inilah alasan dikatakan mengapa
ROL itu tidak final. Brian Z.Tamanaha mengatakan bahwa
kendatipun sudah merupakan suatu ideal dunia, namun
ROL tetap merupakan sesuatu yang sulit untuk benar-
benar dapat ditangkap. “Notwithstanding its quick and
remarkable ascendance as a global ideal, however, the rule
of law is an exceedingly elusive notion.’” (Tamanaha, 2004).
ROL sudah memulai perjalanannya sejak sebelum
Masehi. Aristoteles, Plato di masa Yunani sudah berkutat
dengan masalah ROL. Plato mendesak agar pemerintah
diikat oleh hukum. “Where the law is subject to some other
authority and has none of its own, the collapse of the state,
... is not far off; but if law is the master of the government
and the government is its slave, then the situation is full of
promise and men enjoy all the blessings that the gods shower
on a state.” (Tamanaha, 2004).
Bangsa Romawi (Roman) juga memberikan kontri-
businya sendiri terhadap tradisi ROL. Cicero, satu abad
sebelum Masehi sudah mengecam raja yang tidak
mematuhi hukum sebagai seorang despot. “How can any-
one be properly called a man who renounces every legal
tie, every civilized partnership with bis own citizens and
indeed with the entire human species.” (Tamanaha 2004).
Dalam kurun waktu 529 sampai 534 terjadilah kodifikasi
oleh Kaisar Justinianus yang terdiri atas tiga bagian, yaitu
Codex (himpunan perundang-undangan kerajaan), Digest
(karya tulis para juris) dan Insitut (kitab ajar hukum).
Sejak keambrukan kerajaan Romawi Barat, maka
tenggelam pula kesibukan dalam mempelajari hukum,
sampai ia muncul kembali pada abad ke-11. Pada tahun
1085, Bologna menjadi pusat kebangunan kembali ilmu
Bagian 2 125
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
“irrational, particular, vague, fluid, chaotic, common sense,
pragmatic”. Di negeri itu hukum merupakan lembaga yang
“spontaneous”. Di situ tidak ada “private language of law”
dan “the legal and extra legal are intimately associated”.
Oleh karena itu pula sistem pendidikan hukum di Inggris
sangat terbelakang dan baru ada pada abad ke-19. Kurun
waktu 1850-1907 merupakan masa emas keilmuan hukum
(legal scholarship); pengangkatan dosen-dosen hukum
juga baru terjadi dalam kurun waktu itu.
ROL di Inggris dan Jerman pada hakikatnya berbeda
(Neumann, 1986). Di Jerman ia muncul sebagai rechtsstaat.
Dari segi keilmuan murni maka setiap negara adalah suatu
rechtsstaat, tanpa memedulikan apakah negara itu
demokratis, diktator, fascist, bolshevist atau sebuah
kerajaan yang absolut. Sebagai recbtsstaat, kita harus
menerima kekuasaan raja yang absolut dan kediktatoran
karena keduanya mengalir dari undang-undang dasar
negeri bersangkutan.
Esensi rechtsstaat terletak pada pemisahan antara
struktur politik negara dari penataan hukum di situ {le-
gal organizatiori). Fungsi hukum yakni untuk menjamin
kemerdekaan dan kepastian. Pemfungsian hukum yang
demikian itu merupakan hasil karya dari golongan borjuis
yang kemudian melahirkannegara hukum liberal.
Di Inggris, keadaannya berbeda, di negeri tersebut
ROL tidak dipisahkan dari struktur politik. Doktrin ROL
di Inggris tidak terpisah dari supremasi parlemen. Supre-
masi parlemen merupakan inti (keystone) dari sistem
konstitusi di negeri itu. Parlemen memiliki kekuasaan
demikian besar dan dapat melakukan apa saja, termasuk
pada saat mewujudkan ROL.
Memang ribuan buku dan artikel tentang ROL sudah
ditulis orang. Namun, jika kita simak lebih jauh informasi
itu hampir seluruhnya mengalir dari Barat ke Timur dan
seluruh penjuru dunia. Ini menjadikan ROL berat ke arah
pemahaman yang sepihak. Dari arus informasi tersebut,
Bagian 2 127
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
Kita menggunakan istilah “cara berhukum” suatu
bangsa untuk memberikan pengakuan bahwa bangsa-
bangsa itu memiliki semacam hak untuk menempuh
jalannya sendiri dalam berhukum atau ber-ROL. Gagasan
itu didasarkan pada suatu paham bahwa kita berhadapan
dengan kemajemukan (plurality) dalam hukum di dunia.
Kesadaran akan pluralisme, menurut penulis semakin
menjadi tren dunia. Seperti dikatakan oleh Menski,
waktu berbicara tentang “The School of Oriental and Afri-
can Studies (SOAS)” pada the University of London, “It
places legal pluralism more confidently into the main-
stream study of comparative law, addressing some of the
serious deficiencies of comparative law and legal theory in
a global context.” Menski juga mengkritik para akademisi
Barat, “As Western academics we seem, by our own histo-
ries and training, to be too wedded to ways of perceiving
and studying law that do not take sufficient account of the
cultural-specific social embeddedness of legal phenomena
in the world.” Ia juga mengakui, bahwa globalisasi menuju
kepada “uniform world legal order” yang notabene
berpusat pada pemikiran Eropa. “... that globalization is
today not just leading towards a uniform world legal or-
der, given the strong ideological impact of existing
Eurocentric and uniforming scholarship in the fields of le-
gal theory, comparative law and increasing international
law.”(Menski, 2006).
Jepang menjadi contoh yang sangat bagus tentang
bagaimana suatu bangsa bergulat dengan hukumnya yang
didatangkan dari luar (imposed from outside) dan ke-
inginannya untuk menjaga tatanan sosialnya yang asli.
Dalam keadaan yang demikian, Jepang menjadi negara
yang unik dan sulit untuk dipahami dengan menggunakan
standar Barat (Wolferen,1990). Kendatipun disebut
sebagai negara industri modern yang menggunakan
sekalian atribut modern, seperti demokrasi, birokrasi, dan
negara hukum, tetapi Jepang tetap menjadi Jepang dan
Bagian 2 129
Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum
butnya sebagai perjalanan dan perjuangan panjang
manusia untuk membiarkan dirinya hidup dalam dan
menggunakan hukum.
Sebagaimana dikatakan oleh Menski sebelumnya,
dunia sekarang sudah lebih toleran mengakui cara berhu-
kum yang berbeda-beda antara bangsa atau komunitas satu
dengan yang lain. Menski menyatakan “We fail to admit
that globalization does not primarily lead to universal ho-
mogenization, but increased legal pluralism ...”
Pergulatan manusia dengan hukumnya, di bawah
payung ROL tidak pernah berhenti sampai hari ini dan
saya kira sampai kapan pun. Hal itu tidak lain karena
dunia dan kehidupan manusia memang dari waktu ke
waktu berubah dan bergerak dinamis.
Risalah ini tidak membicarakan bagaimana
teknologi informasi juga turut memengaruhi cara kita
berhukum karena topik tersebut telah dibicarakan dalam
Risalah No. 4, yang membicarakan tentang hukum dan/
dalam pascamodernisme.
Secara lebih sistematis, pergulatan manusia dengan
hukumnya dapat dibaca dalam risalah-risalah sosiologi
hukum yang menggambarkan betapa intens pergulatan
manusia dengan hukumnya itu (Rahardjo, 2002). Disiplin
ilmu tersebut, yang melihat realitas empiris, tidak dapat
mengabaikan bahwa hukum itu tidak hanya berkutat
dengan masalah aturan (rule) melainkan juga manusia dan
perilakunya (behaviour). Pengamatan sosiologi hukum
menghasilkan simpulan-simpulan seperti “Equal justice
under law, to all who can afford if, “The haves come out
ahead”, “The poor pay more”, “White Justice” dan lain-lain
realitas sosiologis. Simpulan-simpulan tersebut ditarik
dari jejak-jejak pergulatan antara manusia dengan
hukumnya atau dunia ROL.