Anda di halaman 1dari 136

cover_kebatalan perjanjian_v4_arsip_dpn.

pdf 1 12/15/10 4:48 PM

CM

MY

CY

CMY

Elly Erawati
Herlien Budiono
PENJELASAN HUKUM
TENTANG KEBATALAN
PERJANJIAN

buku-5.indd 1 12/13/2010 11:00:01 PM


Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010

Penulis: Elly Erawati, Herlien Budiono Editor: Sebastian Pompe


Pengulas: Didi Dermawan Gregory Churchill
Ahli Internasional: Prof. Dr. Jaap Hijma Mardjono Reksodiputro
Pelaksana Penelitian: Komisi Hukum Nasional (KHN) Binziad Kadafi
Peneliti: Frans Hendra Winarta Fritz Edward Siregar
A.F. Elly Erawaty Harjo Winoto
Mujahid A. Latief
T. Rifqy Thantawi Fisella Mutiara A.L.Tobing
M. Djodi Santoso
Hardian Aprianto
Aryanti Hoed
Ikhwan Fakhrojih
Diani Indah Rachmitasari
Totok Suryawan Wibowo
Yuniarti Widyaningsih
Jamil Burhan

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fo-
tokopi, mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan

buku-5.indd 2 12/13/2010 11:00:01 PM


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................... v

Ringkasan Eksekutif ................................................................................................... 1

Dokumen Penjelas ....................................................................................................... 3

Perspektif Internasional ......................................................................................... 35

Laporan Penelitian . ..................................................................................................... 45

A. Analisis Peraturan Perundang-undangan


tentang Topik Kebatalan Perjanjian . ................................................................. 45
1. Tidak Terpenuhinya Persyaratan yang Ditetapkan oleh Undang-Undang
untuk Jenis Perjanjian Formil, yang Berakibat Perjanjian Batal Demi
Hukum ............................................................................................................................... 46
2. Tidak Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian ............................................................ 48

B. Analisis Literatur tentang Topik Kebatalan Perjanjian ............................. 61


1. Tidak Terpenuhinya Persyaratan yang Ditetapkan oleh Undang-Undang
untuk Jenis Perjanjian Formil, yang Berakibat Perjanjian Batal Demi
Hukum ............................................................................................................................... 61

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian iii

buku-5.indd 3 12/13/2010 11:00:01 PM


2. Tidak Terpenuhinya Syarat Sahnya Perjanjian ..................................................... 64

C. Analisis Putusan Pengadilan tentang


Topik Kebatalan Perjanjian ......................................................................... 85

Daftar Putusan ....................................................................................................................... 107

Daftar Literatur . .................................................................................................................... 109


A. Daftar Literatur Penelitian .......................................................................................... 109
B. Daftar Skripsi, Tesis, dan Disertasi ............................................................................ 112
C. Daftar Artikel/Makalah . ............................................................................................... 115

Daftar Peraturan Perundang-undangan ................................................................... 117


A. Pengaturan Batal Demi Hukum dalam Peraturan Perundang-
Undangan di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW
(Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan
Presiden) dari Tahun 1945 Hingga 2009 yang Masih Berlaku ............... 117
1. Undang-Undang ............................................................................................................ 117
2. Peraturan Pemerintah .................................................................................................. 119
3. Keputusan Presiden ...................................................................................................... 120

B. Identifikasi Pengaturan Batal Demi Hukum dalam Peraturan
Perundang-undangan di Luar Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata/BW (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
dan Keputusan Presiden) dari Tahun 1945 Hingga 2009
yang Masih Berlaku .................................................................................................... 120
1. Mengisi Kebutuhan Pengaturan Substansi Batal Demi Hukum
yang Tidak Terdapat di Dalam BW ........................................................................... 122
2. Keadaan yang Mengakibatkan Atau Tata Cara Terjadinya Atau Akibat
yang Ditimbulkan Batal Demi Hukum ................................................................... 124
3. Kewenangan untuk Menyatakan Batal Demi Hukum ...................................... 125
Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 127

iv Dokumen
Daftar Isi Penjelas

buku-5.indd 4 12/13/2010 11:00:02 PM


KATA PENGANTAR
PENJELASAN HUKUM TENTANG KEBATALAN PERJANJIAN

Ketidakpastian hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada zaman modern


ini. Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang mencakup
keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian hukum juga merupakan hambatan
untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil.
Singkat kata, jika seseorang ditanya apa hukum Indonesia tentang subjek tertentu,
sangat sulit bagi orang tersebut untuk menjelaskannya dengan pasti, apalagi
bagaimana hukum tersebut nanti diterapkan. Ketidakpastian ini banyak yang
bersumber dari hukum tertulis yang umumnya tidak jelas dan kontradiktif satu sama
lain. Selain itu, ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi pemerintah
maupun pengadilan. Yang menjadi garis bawah dari ketidakpastian hukum adalah
lemahnya lembaga dan profesi hukum. Itu dapat kita lihat di lingkungan peradilan,
di mana hakim terus-menerus tidak menjaga konsistensi dalam putusan mereka.
Advokasi pun tidak berhasil untuk betul-betul menjaga standar profesi mereka.
Ketidakpastian hukum juga bersumber dari dunia akademik yang ternyata kurang
berhasil untuk membangun suatu disiplin ilmiah terpadu dalam analisis peraturan
perundangan dan putusan pengadilan. Lemahnya ‘legal method’ di dunia akademik
adalah alasan pokok kenapa akuntabilitas pengadilan dan lembaga negara tetap
lemah.
Proyek restatement ini merupakan upaya untuk menjawab isu ketidakpastian
hukum tersebut. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mewujudkan suatu
gambar yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern.
Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Tujuan
kedua dari proyek ini adalah untuk membangun kembali ‘the legal method’, yaitu
sistem penelitian dan diskursus hukum yang riil oleh kalangan universitas, institusi
penelitian dan organisasi swadaya masyarakat. Tentunya restatement ini tidak
dimaksudkan sebagai kata terakhir atau tertinggi untuk suatu topik hukum yang
dibahas di dalamnya. Namun, restatement ini bisa memperkaya nuansa hukum
Indonesia, terutama karena analisisnya bersandarkan pada putusan pengadilan dan
literatur yang berwibawa mulai Indonesia merdeka. Ahli hukum, hakim, dan advokat
jelas mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau menolak hasil analisis dalam
restatement ini, namun kami berharap supaya restatement ini bisa mencapai suatu
kepastian hukum lebih besar untuk topik-topik tertentu, terutama dalam struktur

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian v

buku-5.indd 5 12/13/2010 11:00:02 PM


analisis terhadap disiplin hukum tertentu, agar pembahasan tentang topik tersebut
mampu menapak suatu tingkatan intelektual yang lebih tinggi.
Alasan kami memilih topik kebatalan perjanjian sebagai salah satu pokok
bahasan restatement adalah pentingnya arti restatement sebagai satu rujukan
yang mendalam dan sistematik tentang suatu topik yang masih mengandung
ketidakpastian di dalamnya. Salah satu isu dalam hukum perdata yang masih
mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi adalah masalah kebatalan
khususnya masalah batal demi hukum (null and void).
Akhir kata, kami berharap “mimpi” kami untuk mewujudkan koherensi,
konsistensi dan kesesuaian diskursus hukum perdata dapat terakomodasi dengan
baik dalam program restatement ini sehingga mempunyai faedah bagi para
stakeholders.

Hormat kami,

Sebastiaan Pompe
Program Manager

vi Dokumen
Kata Pengantar
Penjelas

buku-5.indd 6 12/13/2010 11:00:02 PM


RINGKASAN EKSEKUTIF

Restatement penting artinya sebagai satu rujukan yang mendalam dan sistematik tentang
suatu topik yang masih mengandung ketidakpastian di dalamnya. Salah satu isu dalam
hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi adalah
masalah kebatalan, khususnya masalah batal demi hukum (null and void).
Kebatalan menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. Menurut
Prof. Subekti, keempat syarat tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu syarat
subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sementara syarat objektif
meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan/
dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan tidak terpenuhinya
syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau
perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak
ada dasar bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam
bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu adalah null and void.
Sementara menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, berdasarkan sifat
kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Yang
dimaksud dengan kebatalan mutlak dan kebatalan relatif menurut Prof. Dr. R. Wirjono
Prodjodikuro, S.H., adalah suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu
perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Perjanjian
seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapa pun juga, sedangkan
pembatalan relatif (relatief nietigheid), yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang
tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.
Batal demi hukum selain karena tidak terpenuhinya unsur objektif, juga karena
undang-undang merumuskan secara konkret tiap-tiap perbuatan hukum (terutama
perjanjian formil) yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut adalah
batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya). Menurut R.
Setiawan, dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan istilah,
misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang dimaksudkan
adalah dapat dibatalkan. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 1446 BW.
Mr. A. Pitlo berpendapat bahwa dalam soal nulitas (kebatalan), alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang terdapat dalam sekian banyak variasi, dan beraneka
ragamnya corak alasan-alasan yang dapat menjadi landasan kebatalan. Masalah yang
muncul dalam soal kebatalan, khususnya mengenai batal demi hukum, antara lain

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 1

buku-5.indd 1 12/13/2010 11:00:02 PM


pengertian, batasan, dan unsur-unsur untuk menyatakan tidak terpenuhinya syarat
objektif, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal. Yang dimaksud hal tertentu adalah suatu
perjanjian harus memiliki objek yang diperjanjikan dan objek tersebut harus ditentukan
jenisnya. Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan yang dapat dijadikan sebagai objek perjanjian sehingga barang-barang
yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek perjanjian.
Dalam hal batal demi hukum karena peraturan perundang-undangan menentukan
demikian, berdasarkan penelusuran, didapatkan sejumlah peraturan perundang-
undangan yang menentukan batal demi hukum, yaitu berupa Undang-Undang (UU),
Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) dari tahun 1945 sampai
dengan 2009. Berdasarkan hasil penelusuran awal tim peneliti, terdapat 22 UU, 13 PP, dan
4 Keppres yang memuat secara tegas ketentuan tentang batal demi hukum. Isu menarik
dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang batal demi
hukum adalah peraturan perundang-undangan tingkat mana yang seharusnya dapat
mengatur tentang ketentuan batal demi hukum, apakah setiap tata urutan perundang-
undangan berwenang mengatur tentang batal demi hukum. Dalam perkembangannya,
setelah dilakukan seleksi terhadap jumlah tersebut, hanya beberapa UU yang termasuk
berkaitan erat dengan tema penelitian.
Tim peneliti juga telah melakukan pengumpulan dan analisis awal terhadap
putusan-putusan yang menyatakan batal demi hukum. Jumlah putusan yang diteliti,
antara lain Yurisprudensi MA RI tahun 1969 sampai dengan tahun 2008 berjumlah 17
yurisprudensi yang menyatakan suatu kebatalan. Dari jumlah tersebut, 11 yurisprudensi
menyatakan suatu perjanjian itu batal demi hukum, sedangkan sisanya menyatakan dapat
dibatalkan. Selain itu, tim peneliti juga telah melakukan pengumpulan dan analisis awal
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang putusannya
menyatakan bahwa suatu perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum, dari tingkat PN,
PT sampai MA sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2008 sejumlah 49 putusan. Dalam
perkembangannya, setelah dilakukan seleksi terhadap jumlah tersebut, hanya sedikit
putusan yang termasuk berkaitan erat dengan tema penelitian.
Sebagian besar putusan merupakan kasus jual-beli dan kasus sewa-menyewa
tanah atau bangunan rumah, serta kasus utang piutang dengan jaminan tanah atau
bangunan rumah. Sebagian besar putusan menyatakan bahwa suatu perjanjian itu
dinyatakan batal demi hukum karena tidak terpenuhinya unsur sebab yang halal, yaitu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sebagai contoh adalah Putusan
MA No. 381/PK/PDT/1986 dan Yurisprudensi MA No. Reg. 3597 K/PDT/1985, yaitu tentang
perjanjian jual-beli tanah dengan hak membeli kembali yang dilakukan oleh para pihak
di dalam kasus tersebut dinyatakan batal demi hukum karena jual-beli tanah dengan hak
membeli kembali tidak dikenal dalam hukum adat. Jual-beli dengan hak membeli kembali
merupakan bentuk perjanjian menurut Pasal 1519 BW, sedangkan jual-beli tanah/rumah
harus mengikuti ketentuan di dalam UU Pokok Agraria yang dikuasai hukum adat, dan
hukum adat tidak mengenal bentuk jual-beli dengan hak membeli kembali.

2 Dokumen Penjelas
Ringkasan Eksekutif

buku-5.indd 2 12/13/2010 11:00:02 PM


DOKUMEN PENJELAS
TENTANG KEBATALAN PERJANJIAN

A. Maksud dan Tujuan Penulisan Restatement


Penulisan restatement hukum tentang kebatalan dalam perjanjian ini dimaksudkan
untuk menyatakan atau menegaskan kembali secara tertulis apa yang merupakan
kaidah atau norma hukum tentang persoalan kebatalan dalam perjanjian, sesuai
dengan hukum tertulis, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
(KUH Perdata), yang dikuatkan oleh keputusan hakim dan pendapat para ahli
hukum di bidang hukum perdata. Dengan demikian, diharapkan restatement ini
dapat dimanfaatkan sebagai rujukan bagi para praktisi dan akademisi hukum ketika
mereka menghadapi persoalan mengenai kebatalan dalam perjanjian. Oleh karena
itu, restatement ini bukan merupakan norma hukum baru, melainkan pengulangan
kembali norma hukum yang telah ada untuk mempertegas atau memperjelas.

B. Metode Penulisan Restatement


Restatement ini ditulis berdasarkan hasil penelitian normatif terhadap (1) KUH
Perdata sebagaimana diterbitkan dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia Menurut Sistem Engelbrecht, Vol. 1, PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
Cetakan I, Jakarta, 2006; (2) pendapat para ahli hukum perdata yang ditulis dalam
buku teks ataupun artikel ilmiah; (c) beberapa putusan hakim yang telah menjadi
yurisprudensi. Hasil penelitian tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk draf
oleh seorang penulis untuk kemudian diperiksa isi dan sistematikanya oleh seorang
praktisi yang juga sebagai akademisi hukum perdata untuk dipastikan kebenaran
dan ketepatannya. Draf tersebut kemudian didiskusikan dalam forum diskusi (focused
group discussion) dan kemudian dipresentasikan melalui forum seminar, keduanya
dihadiri oleh para pakar hukum, seperti pengacara, konsultan hukum, notaris,
hakim, corporate lawyers, dan dari kalangan akademisi. Setelah melalui serangkaian
uji publik tersebut, draf restatement diedit dan ditulis ulang sehingga menghasilkan
naskah final restatement sebagaimana berikut ini.
Karena topik restatement ini hanyalah tentang persoalan kebatalan dalam
perjanjian maka isinya tidak berupa penegasan kembali beberapa persoalan
elementer yang berkait dengan persoalan pokok, seperti tentang arti dan jenis
perjanjian, perbedaan dan keterkaitan antara perjanjian dengan perikatan, maupun
tentang unsur atau bagian perjanjian. Penulisan berbagai persoalan tersebut hanya
akan tepat apabila restatement ini tentang Hukum Kontrak secara utuh.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 3

buku-5.indd 3 12/13/2010 11:00:02 PM


C. Luas Lingkup Isi Restatement
Dalam Buku III KUH Perdata ditemukan banyak pasal yang menyebut kata “batal,
batalnya, membatalkan, pembatalan, kebatalan, dan batal demi hukum”. Sehubungan
dengan hal itu maka isi keseluruhan restatement ini akan menegaskan kembali:
1. Pengertian beberapa istilah, yaitu ‘batal’, ‘batal demi hukum’, ‘dapat dibatalkan’,
‘membatalkan’, ‘pembatalan’, dan ‘kebatalan’.
2. Dalam hal apa atau kondisi bagaimana suatu perjanjian yang menimbulkan
perikatan bagi pihak yang membuatnya akan batal demi hukum atau dapat
dibatalkan.
3. Siapa yang dapat meminta atau menuntut pembatalan suatu perjanjian, syarat agar
tuntutan tersebut berhasil, dan siapa yang berwenang membatalkan perjanjian.
4. Batas waktu penuntutan pembatalan suatu perjanjian.
5. Akibat hukum dari perjanjian yang batal demi hukum atau yang dapat
dibatalkan.

Frasa ‘batal demi hukum’ merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna
‘tidak berlaku, tidak sah menurut hukum’. Dalam pengertian umum, kata batal (saja)
sudah berarti tidak berlaku, tidak sah.1 Jadi, walaupun kata‘batal’sesungguhnya sudah
cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya
frasa ‘batal demi hukum’ lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak
sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya
tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif seseorang atau menurut kesusilaan/
kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau
tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit, berdasarkan peraturan
perundang-undangan) memang begitulah adanya. Dengan demikian, ‘batal demi
hukum’ menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut
terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan
atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.
Frasa ‘dapat dibatalkan’ sangat berbeda maknanya dengan frasa ‘batal demi
hukum’ sebab ‘dapat dibatalkan’ menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif
untuk membatalkan sesuatu, atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis,
tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan.
Kecuali itu, frasa ‘dapat dibatalkan’ juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok

1 Arti lain dari lema atau kata ‘batal’ dalam Bahasa Indonesia adalah tidak jadi dilangsungkan, ditunda,
urung, tidak berhasil, gagal. Lihat, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, 2008.

4 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 4 12/13/2010 11:00:02 PM


persoalan tidak selalu harus dibatalkan, tetapi bila dikehendaki maka sesuatu
itu dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, bila sesuatu hal ‘dapat
dibatalkan’ maka bisa terjadi dua kemungkinan:
1. sesuatu itu benar-benar menjadi batal karena dinyatakan pembatalannya akibat
adanya permintaan untuk membatalkan, atau
2. sesuatu itu tidak jadi batal karena tidak dimintakan pembatalan sehingga tidak
ada pernyataan batal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa 2008), pada lema ‘batal’
tercantum bentuk derivasinya, yaitu membatalkan dan pembatalan, tidak tercantum
bentuk derivasi ‘kebatalan’.2 Hal ini berbeda dengan lema absah, yang bentuk
derivasinya mengabsahkan, pengabsahan, dan keabsahan. Tampaknya, bentuk
derivasi ‘kebatalan’ dianggap tidak lazim dalam Bahasa Indonesia, berbeda dengan
‘keabsahan’ yang mungkin lebih banyak digunakan dalam bahasa lisan maupun
tulis. Namun demikian, karena dalam Hukum Perjanjian selalu ditemukan persoalan
tentang perjanjian yang dapat dibatalkan dan yang batal demi hukum, agar isi
restatement ini mencakup kedua hal itu, istilah yang dipakai adalah ‘kebatalan’
sebagai kata benda yang berarti ‘sifat yang batal’.3

D. Isi Restatement
1. Hal atau Kondisi yang Menyebabkan Batalnya Perjanjian
Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUH Perdata, terdapat
beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan
ke dalam lima kategori sebagai berikut:
a. tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk
jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum;
b. tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
1) perjanjian batal demi hukum, atau
2) perjanjian dapat dibatalkan;
c. terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;
d. pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;

2 Ibid.
3 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa: 2008), keabsahan adalah kata benda yang
berarti sifat yang sah, atau kesahan. Ibid.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 5

buku-5.indd 5 12/13/2010 11:00:02 PM


e. pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang-
undang.

2. Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void; Nietig)


Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan
para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan
hukum, telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.4
Berikut ini restatement tentang alasan mengapa perjanjian batal demi hukum.

a. Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak Terpenuhi


Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya
ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara
pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana
diwajibkan melalui per­aturan perundang-undangan, berakibat perjanjian
formil batal demi hukum. Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil
sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para
pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya formalitas tertentu
yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.5 Formalitas
tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat
dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik ataupun akta di bawah
tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau
pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik
menurut undang-undang.
Beberapa contoh perjanjian di bidang Hukum Kekayaan yang harus
dilakukan dengan Akta Notaris sebagai berikut.6

Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau surat
penagihan utang atas tunjuk dari tangan ke tangan: Pasal 1682 dan 1687
KUH Perdata.

Pendirian perseroan terbatas: Pasal 7 butir 1 UU No 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.

4 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Cetakan V, 1978, hlm. 19.


5 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra
Aditya Bakti, 2009, hlm. 47–48; Subekti, ibid., hlm. 15.
6 Herlien Budiono, ibid., hlm. 47–48; Subekti, Catatan No. 4, hlm. 15. Cessie (Pasal 613 KUH Perdata)
dan dading (Pasal 1851 KUH Perdata) dapat dibuat dengan akta otentik ataupun di bawah tangan sebab
KUH Perdata hanya mensyaratkan pembuatan dalam bentuk tertulis.

6 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 6 12/13/2010 11:00:02 PM


• Jaminan fidusia: Pasal 5 butir 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia.
• Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi:
Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
• Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT): Pasal 15 ayat (1) UU
No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah. SKMHT dapat pula dibuat dengan Akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 15 ayat (1) UU tersebut.

Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus


dipenuhi untuk perjanjian formil di atas, memang merupakan pengecualian
dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku secara umum.7
Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk
dengan adanya kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian,
agar perjanjian itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal
1320 KUH Perdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil
karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus
dipatuhi. Jadi, perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan
pada asas konsensualisme.
Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu
yang diwajibkan oleh UU tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perbuatan hukum
tersebut batal demi hukum.8 Hal ini ditegaskan, antara lain, dalam:

1) Pasal 617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap akta dengan
mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau
dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman
kebatalan”.
2) Pasal 1682 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada statu hibah, kecuali yang
disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan
selainnya dengan status akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris
itu”.
3) Pasal 22 KUHDagang yang menyebut “Tiap firma harus didirikan dengan
akta otentik, tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk
merugikan pihak ketiga”.

7 Subekti, Ibid.
8 Subekti, ibid.; Herlien Budiono, Ibid.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 7

buku-5.indd 7 12/13/2010 11:00:02 PM


4) Pasal 15 ayat (6) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
menyebutkan bahwa “(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum”.
5) Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa: “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam hal para pihak tidak dapat
menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta
notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memuat: (a) masalah yang dipersengketakan; (b) nama lengkap
dan tempat tinggal para pihak; (c) nama lengkap dan tempat tinggal
arbiter atau majelis arbitrase; (d) tempat arbiter atau majelis arbitrase
akan mengambil keputusan; (e) nama lengkap sekretaris; (f) jangka
waktu penyelesaian sengketa; (g) pernyataan kesediaan dari arbiter; (h)
pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase. (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

b. Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak


Terpenuhi
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai
syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal
tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman9 dan Herlien Boediono10
sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditor
dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti.11 Objek perjanjian berupa barang,
sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 ayat (1).12

9 Mariam Darus Badrulzaman, “Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul Kompilasi Hukum Per-
ikatan, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 79–80.
10 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 106–110.
11 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 18.
12 Istilah barang dalam ketiga pasal tersebut harus ditafsirkan secara ekstensif sehingga mencakup penger-
tian objek perjanjian yang prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, dengan demikian dapat men-
cakup pengertian jasa juga. Hal ini penting karena dalam transaksi bisnis modern, objek perjanjian tidak
hanya terbatas pada barang, tetapi juga berupa jasa.

8 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 8 12/13/2010 11:00:02 PM


Pasal 1332: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok persetujuan”.
Pasal 1333 “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan
atau dihitung”.
Pasal 1334 ayat (1) “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat
menjadi pokok suatu persetujuan”.

Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk sahnya
perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat
ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:13
1) dapat diperdagangkan;
2) dapat ditentukan jenisnya;
3) dapat dinilai dengan uang, dan
4) memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan.

Selain itu, objek perjanjian dapat juga berupa barang yang baru akan ada,
sebagaimana disebut dalam Pasal 1334 ayat (1).14 Maksudnya adalah ketika
perjanjian dibuat barang yang diperjanjikan itu belum ada sebab mungkin
belum dibuat atau sedang dalam proses pembuatan, dan bukan berarti bahwa
barang tersebut tidak ada.
Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya,
atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau
yang tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa objek
yang jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak.
Perjanjian yang tidak jelas objeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga ipso
jure batal demi hukum.
Syarat objektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab atau kausa
yang halal. Tidak ada penjelasan dalam KUH Perdata tentang makna ‘sebab yang

13 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 107.


14 Namun, pasal ini juga menyebutkan “Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan
yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun
dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan
itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176, dan 178 yang dilarang oleh un-
dang-undang untuk dijadikan pokok perjanjian adalah benda-benda yang berada di luar perdagangan
dan warisan yang belum terbuka”. Artinya, perjanjian dengan objek warisan yang belum jatuh terbuka
adalah batal demi hukum.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 9

buku-5.indd 9 12/13/2010 11:00:02 PM


halal’ itu, tetapi para ahli hukum sepakat memaknainya sebagai isi atau dasar
perjanjian,15 bukan sebagai penyebab ataupun motif dibuatnya perjanjian.16
Perjanjian yang dibuat tanpa adanya sebab yang halal maka perjanjian tersebut
tidak sah, tidak berkekuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH
Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. 17
Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal
sehingga terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUH Perdata
merupakan kausa yang “dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum”. Perjanjian seperti ini tidak boleh
atau tidak dapat dilaksanakan sebab melanggar hukum atau kesusilaan atau
ketertiban umum. Kondisi semacam itu menurut Subekti, sudah sangat jelas
dapat diketahui seketika oleh hakim dan juga oleh umum sehingga untuk
alasan ketertiban dan keamanan umum maka perjanjian semacam itu dengan
sendirinya batal demi hukum.18

Untuk mengetahui ketentuan manakah dalam peraturan perundang-


undangan yang bersifat memaksa sehingga tidak boleh disimpangi para pihak,
perlu diperhatikan apakah rumusan ketentuan itu menyebut secara eksplisit akibat
hukum bila apa yang diatur dalam perundang-undangan itu dilanggar. Terdapat
beberapa UU yang secara jelas dan eksplisit menyatakan bahwa menjadikan apa
yang terlarang menurut UU sebagai kausa perjanjian, berakibat perjanjian itu batal
demi hukum. Berikut ini beberapa di antaranya:

1) UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


Pasal 26 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap jual-beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain

15 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 18 dan Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 113.
16 Subekti, ibid.; Mariam Darus Badrulzaman, Catatan No. 9 di atas, hlm. 81.
17 Pasal 1335 seperti dipatahkan oleh Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Jika tak dinya-
takan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau jika ada sebab lain yang tidak dilarang
selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Namun, menurut Herlien Boediono,
Pasal 1336 dimaksudkan untuk perjanjian yang kausanya tidak dinyatakan secara eksplisit oleh para
pihak atau kausanya berbeda dari apa yang dinyatakan, namun tetap merupakan sebab yang halal se-
hingga perjanjian seperti itu tetap sah. Tampaknya, latar belakang rumusan pasal ini berkaitan dengan
pengakuan utang. Dalam perjanjian pengakuan utang asal mula timbulnya utang tidak disebut secara
eksplisit, atau dikenal sebagai utang tanpa kausa. Lihat, Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm.
112.
18 Subekti, Catatan No. 4, hlm. 19.

10 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 10 12/13/2010 11:00:02 PM


yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak
milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran
yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”.
2) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 124: “(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi
hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan”.

Pasal 127: “(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/
buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2)
Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka
ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang
berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama”.

3) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Pasal 12: “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera
janji, batal demi hukum”.
Pasal 20: “(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) batal demi hukum”.

4) UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia


Pasal 32: “Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal
demi hukum”.

Pasal 33: “Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima


Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila
debitor cidera janji, batal demi hukum”.
5) UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 18: “(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum” .

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 11

buku-5.indd 11 12/13/2010 11:00:03 PM


6) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Pasal 33: ”(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas
dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan
bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama
orang lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam
modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan
batal demi hukum”.
7) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 37: ”(2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun
tidak langsung, yang bertentangan dengan ayat (1) batal karena hukum.
(3) Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat
pembelian kembali yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)” .
8) UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 27: ”(1) Saham penyelenggara yang berbentuk badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah yang berkaitan dengan pelayanan
publik dilarang dipindahtangankan dalam keadaan apa pun, baik
langsung maupun tidak langsung melalui penjualan, penjaminan atau
hal-hal yang mengakibatkan beralihnya kekuasaan menjalankan korporasi
atau hilangnya hak-hak yang menjadi milik korporasi sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan. (2) Perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal demi hukum”.
9) UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten
Pasal 66: “(1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun
sebagian karena: a. pewarisan, b. hibah, c. wasiat, d. perjanjian tertulis,
atau e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, dan huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain
yang berkaitan dengan Paten itu. (3) Segala bentuk pengalihan Paten
sebagimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat dan diumumkan dengan
dikenai biaya. (4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal ini tidak sah dan batal demi hukum”.

c. Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang
Melakukan Perbuatan Hukum
Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handeling­son­
bekwaamheid) harus dibedakan dengan ketidakwenangan seseorang untuk
melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). Mereka yang tidak

12 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 12 12/13/2010 11:00:03 PM


berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang-
undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.19 Jadi, seseorang yang
oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan
hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia juga tidak cakap. Dengan kata lain, orang
yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan tindakan
hukum ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan tindakan
hukum tertentu menurut undang-undang.
Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-
undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum. Artinya,
ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang
atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat
memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak tersebut adalah
mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan undang-undang
tertentu, dikategorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
tertentu.
Dapat pula terjadi seseorang dinyatakan tidak wenang melakukan
perbuatan hukum tertentu karena menurut undang-undang, orang tersebut
tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan tertentu. Contoh: UU No. 23 tahun
1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 55 yang berbunyi: “(4) Bank Indonesia
dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kecuali di pasar sekunder. (5) Perbuatan hukum Bank
Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dinyatakan batal demi hukum”. Pasal 56:
“(1) Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. (2) Dalam
hal Bank Indonesia melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perjanjian pemberian kredit kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum”.

d. Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi


Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu
yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam
perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi
maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan
dari syarat tangguh, yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi
di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat lahirnya per­

19 Lihat, Pasal 907, 1467, 1468, 1469, 1470, 1471 KUH Perdata. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas,
hlm. 105.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 13

buku-5.indd 13 12/13/2010 11:00:03 PM


janjian yang bersangkutan. Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam
Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebut bahwa “Suatu perikatan adalah
bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan
memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan
itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan
itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu”.
Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan
pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH
Perdata adalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan bahwa
“Semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung
pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu
perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan
perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah”. Alasan dari ketentuan
ini masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian
semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal
aneh kalau tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan
terjadi bila orang itu tidak menghendakinya.
Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan
sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan
yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi
hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata yang berbunyi “Semua
syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu
yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh
UU adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya
tak berlaku.” Aturan ini mirip dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian,
yaitu syarat kausa yang halal.
Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena
syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan
pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain,
perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal
perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima
prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal
1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa “Suatu syarat batal
adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa
segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu
perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan
kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang
dimaksudkan terjadi”.

14 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 14 12/13/2010 11:00:03 PM


3. Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable atau Vernietigbaar)
Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum
dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi
apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak dan
kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Berikut ini restatement
tentang hal tersebut.

a. Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang Mem­buatnya
Unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak
yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan
dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang
menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.
Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau
kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat sehingga terancam
kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328
sebagai berikut.

Pasal 1321: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1322: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan,
kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi
pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika
kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang
bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu
diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan”.
Pasal 1324: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa
hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila
perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa
dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang
dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia,
kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan”.
Pasal 1323: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan
suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan,
juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan
dalam persetujuan yang dibuat itu”.
Pasal 1325: “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila
dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 15

buku-5.indd 15 12/13/2010 11:00:03 PM


juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis
ke atas maupun ke bawah”.
Pasal 1328: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan
suatu persetujuan bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak
adalah sedemikian rupa sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan
mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak
dapat hanya dikira-kira melainkan harus dibuktikan”.

Subekti menjelaskan bahwa kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf
tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat
yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai
orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.20 Mariam Darus Badrulzaman
menguraikan bahwa kekhilafan dapat terjadi mengenai orang yang dinamakan
error in persona, dan kekhilafan atau kesesatan mengenai hakikat barangnya yang
disebut error in substantia.21 Lebih lanjut, menurut Herlien Budiono, kekhilafan
atau kekeliruan atau kesesatan itu dapat bersifat sebenarnya dan dapat pula
bersifat semu.22 Kekeliruan yang sebenarnya terjadi dalam hal antara kehendak
dan pernyataan para pihak saling berkesesuaian, namun kehendak salah satu
pihak atau kedua pihak terbentuk secara cacat. Artinya, perjanjian memang
telah terbentuk namun terjadinya perjanjian itu berada di bawah pengaruh
kekeliruan atau kesesatan sehingga bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya
maka tidak akan terbentuk perjanjian.23 Subekti juga menyebutkan bahwa
“kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak
khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.”
24
Dalam kekeliruan yang bersifat semu, menurut Herlien Budiono, sebenarnya
tidak terbentuk perjanjian sebab pada situasi seperti itu belum terbentuk
kata sepakat di antara para pihak sehingga belum memenuhi unsur subjektif
pertama untuk sahnya perjanjian.25
Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan
atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan
hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut

20 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22.


21 Mariam Darus Badrulzaman, Catatan No. 9 di atas, hlm. 75.
22 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 98.
23 Ibid.
24 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22–23.
25 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 98.

16 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 16 12/13/2010 11:00:03 PM


hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah
ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara
bebas.26 Ancaman itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga
meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak
tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa
adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat
dilakukan oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam
perjanjian tersebut, hal ini terlihat dari Pasal 1323 KUH Perdata.27
Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik
orang tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan milik pihak
ketiga.28 Hal ini tampak dari ketentuan dalam Pasal 1325. Namun demikian, perlu
diperhatikan bahwa pembuat undang-undang membedakan antara paksaan
yang membuat perjanjian mengandung unsur cacat kehendak dari pihak
yang membuatnya sehingga terancam pembatalan, dengan rasa takut karena
hormat kepada anggota keluarga dalam garis lurus ke atas. Hal ini tampak dari
bunyi Pasal 1326, yaitu bahwa “Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau
keluarga lain dalam garis lurus ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk
membatalkan persetujuan”. Alat atau sarana yang dipakai untuk mengancam
dapat berupa sarana yang tergolong legal ataupun illegal, misalnya senjata
tajam atau pistol, sedangkan sarana yang legal, misalnya ancaman penyitaan
harta benda ataupun ancaman kepailitan.29
Penipuan terjadi bila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan
palsu atau tidak benar disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk membujuk
pihak lawan agar memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu bertindak
aktif untuk menjerumuskan pihak lawan.30 Herlien Budiono juga menjelaskan
bahwa penipuan terjadi tidak saja jika suatu fakta tertentu dengan sengaja
disembunyikan atau tidak diungkap, tetapi juga bila suatu informasi yang keliru
sengaja diberikan, atau bisa juga terjadi dengan tipu daya lainnya.31 Dalam hal
penipuan ini, jarang terjadi bahwa si pelaku hanya melakukan kebohongan suatu
hal, melainkan ia melakukan suatu rangkaian kebohongan. Hal ini tampak dari

26 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22; Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 97–98.
27 Subekti, Ibid.
28 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 97.
29 Ibid.
30 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22.
31 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 99.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 17

buku-5.indd 17 12/13/2010 11:00:03 PM


pilihan frasa dalam pasal di atas, yaitu ‘tipu muslihat’. Untuk menetapkan dan
membuktikan adanya hubungan kausalitas antara penipuan dan dilakukannya
perbuatan hukum berupa membuat persetujuan, harus dapat ditunjukkan
bahwa tanpa adanya penipuan itu, persetujuan untuk membuat perjanjian
tidak akan pernah dilakukan.
Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada
kehendak pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah
dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata
yang menegaskan bahwa “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan
atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya”. Kalimat terakhir
pasal itu, yaitu ‘menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya’ menunjukkan
bahwa perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya
tidak otomatis batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, tetapi menjadi
batal apabila ada penuntutan untuk membatalkannya.
Subekti mengatakan bahwa ketidakbebasan seseorang dalam memberikan
persetujuan pada sebuah perjanjian, memberikan hak kepada pihak
yang tidak bebas dalam menyatakan kesepakatannya itu untuk meminta
pembatalan perjanjian.32 Lebih lanjut, disebutkan bahwa “dengan sendirinya
harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang tersebut tidak boleh minta
pembatalan itu; hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak, yaitu
pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan tersebut”.33

b. Dapat Dibatalkan Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap Melakukan
Tindakan Hukum
Syarat subjektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah kecakapan para pihak
untuk membuat perjanjian. Pada prinsipnya, setiap orang sepanjang tidak
ditentukan lain oleh undang-undang, dianggap cakap atau mampu melakukan
tindakan hukum yang dalam konteks ini adalah membuat perjanjian sehingga
menimbulkan perikatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata
yang berbunyi “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,
terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap”. Orang yang oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap, dilarang melakukan tindakan hukum

32 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 23.


33 Ibid.

18 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 18 12/13/2010 11:00:03 PM


termasuk membuat perjanjian.34 Pasal 1330 KUH Perdata menyebut bahwa
“Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah
a. orang-orang yang belum dewasa;
b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan”.

Mereka ini, kecuali melalui perwakilan, dinyatakan tidak dapat melakukan


tindakan hukum. Orang yang dapat mewakili mereka melakukan tindakan hukum
adalah orang tua atau wali yang sah menurut undang-undang, atau pengampu
dalam hal orang yang tidak cakap itu berada di bawah pengampuan.35
Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat
oleh mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan
bahwa “(1) Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau
orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan
atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal,
semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya; (2) Perikatan
yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum
dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum,
sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka”.
Walaupun Pasal 1446 ayat (1) menyebutkan bahwa perikatan tersebut
batal demi hukum, para ahli hukum berpendapat bahwa frasa ‘batal demi
hukum’ itu tidak tepat. Mereka berpendapat akibat hukum dari perjanjian
seperti itu yang benar adalah ‘dapat dibatalkan’. Hal ini ditegaskan oleh Subekti,
Mariam Darus Badrulzaman, dan Herlien Budiono. Menurut Subekti, “Perjanjian
yang tidak memenuhi syarat subjektif, tidak begitu saja dapat diketahui
oleh Hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan bila
dimajukan kepada Hakim mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan sehingga
memerlukan pembuktian. Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan
mengenai syarat subjektif, oleh undang-undang diserahkan kepada pihak yang
berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak.

34 Istilah undang-undang di sini dipakai karena Pasal 1329 KUH Perdata menyebutnya demikian. Namun,
sebaiknya perlu diingat bahwa undang-undang lebih sempit maknanya daripada perundang-undangan
sebab yang terakhir ini mencakup peraturan hukum yang tidak hanya berupa undang-undang.
35 Perwalian untuk anak di bawah umur atau belum dewasa dapat dibedakan menjadi perwalian menurut
undang-undang (Pasal 50 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 345 KUH Per-
data), perwalian orang tua atas anak yang diakui, perwalian berdasarkan penetapan hakim (Pasal 331a
KUH Perdata), perwalian menurut wasiat (Pasal 51 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
juncto Pasal 355–357 KUH Perdata). Sumber: Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 103–104.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 19

buku-5.indd 19 12/13/2010 11:00:03 PM


Jadi, perjanjian yang demikian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat
dimintakan pembatalan.”36
Mariam Darus Badrulzaman juga menegaskan bahwa “karena alasan-alasan
yang dapat menimbulkan kebatalan suatu perikatan ialah kalau perikatan
tersebut cacat pada syarat-syarat objektif saja. Oleh karena itu, kata-kata batal
demi hukum pada Pasal 1446 KUH Perdata itu harus dibaca dengan dapat
dibatalkan”.37 Dengan kata lain, sebenarnya yang dimaksud dengan batal demi
hukum dalam Pasal 1446 ayat (1) KUH Perdata adalah dapat dibatalkan. Herlien
Budiono juga memberi penegasan sekaligus menambah penjelasan dengan
menyebut bahwa “Perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak wenang galibnya
batal demi hukum (nietig), sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh mereka
yang tidak cakap tidak ipso jure batal, tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar)”.38
Artinya, harus dibedakan antara orang yang tidak wenang melakukan tindakan
hukum dengan orang yang tidak cakap melakukan tindakan hukum.39 Perjanjian
yang dilakukan oleh orang yang masuk kategori pertama, berakibat batal demi
hukum. Sementara perjanjian yang dibuat oleh orang yang masuk kelompok
kedua berakibat dapat dibatalkan.
Tampaknya, pendapat para ahli hukum di atas paralel dan memang kuat
apabila melihat ketentuan dalam Pasal 1331 KUH Perdata yang berbunyi “Oleh
karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk
membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka
buat dalam hal kuasa itu tidak dikecualikan oleh UU. Orang-orang yang cakap
untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas
dasar ketidakcakapan anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh
di bawah pengampuan, dan perempuan-perempuan yang bersuami”. Pasal 1331
ini merujuk ke ‘pasal yang lalu’, yaitu Pasal 1330 yang menyebutkan bahwa
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh
satu) tahun dan sebelumnya belum kawin”. Dengan demikian, kalimat ‘orang-
orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat
persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan ....’, bermakna bahwa
orang yang belum dewasa (yang berarti tidak cakap hukum) yang membuat
persetujuan, boleh menuntut pembatalan. Konsekuensinya, perjanjian seperti

36 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22.


37 Mariam Darus Badrulzaman, Catatan No. 9 di atas, hlm. 147.
38 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 106.
39 Tentang hal ini, lihat kembali penjelasan nomor 20–21 dari restatement ini.

20 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 20 12/13/2010 11:00:03 PM


itu dapat dimintakan pembatalannya, dan bukannya secara otomatis batal demi
hukum.
Jadi, apabila syarat subjektif untuk sahnya perjanjian tidak terpenuhi, baik
itu karena dibuat oleh pihak yang tidak cakap hukum atau karena tidak adanya
kehendak bebas atau kesepakatan, sesungguhnya ‘nasib’ perjanjian seperti itu
tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan satu pihak untuk menaatinya,
yaitu pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum atau pihak yang
tidak memiliki kehendak bebas tersebut. Apabila pihak ini menerima, dan
tidak menuntut pembatalan perikatan maka perjanjian tersebut tetap akan
mengikat. Sebaliknya, apabila pihak tersebut menuntut pembatalan perikatan,
perjanjian tersebut menjadi batal. Perjanjian seperti itu selalu terancam dengan
pembatalan.

c. Penuntutan Pembatalan, dan Penguatan atau Penetapan, atas ‘Perjanjian


yang Dapat Dibatalkan’
Terhadap perjanjian yang dapat dibatalkan karena dibuat tanpa memenuhi
unsur subjektif pertama ataupun kedua untuk sahnya perjanjian, dapat
dilakukan penuntutan pembatalan, atau penguatan/penetapan sehingga
membuat perjanjian tersebut tetap berlaku dan memiliki kekuatan mengikat.
Berikut ini restatement tentang kedua hal ini.

1) Penuntutan Pembatalan Perjanjian ‘Yang Dapat Dibatalkan’


Pihak-pihak yang tidak memiliki kehendak bebas ketika membuat perjanjian
karena ada paksaan, atau kekeliruan/kekhilafan, atau penipuan, dapat menuntut
pembatalan terhadap perjanjian tersebut dalam kurun waktu tidak lebih
dari 5 tahun terhitung sejak hari ketika paksaan itu berhenti, atau dalam hal
kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.
Batas waktu penuntutan pembatalan perjanjian ini dapat lebih pendek apabila
hal ini diatur demikian oleh undang-undang. Norma hukum ini ditemukan
dalam Pasal 1454 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi “Bila suatu tuntutan untuk
pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan UU
khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah lima tahun.
Waktu tersebut mulai berlaku ... dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu berhenti;
dalam hal penyesatan atau penipuan sejak hari diketahuinya penyesatan atau
penipuan itu”.
Pihak-pihak yang ketika membuat perjanjian tidak memiliki kecakapan
hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dapat menuntut pembatalan

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 21

buku-5.indd 21 12/13/2010 11:00:03 PM


perjanjian yang dibuatnya itu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1331 KUH
Perdata sebagai berikut “... orang yang tidak cakap membuat persetujuan boleh
menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat...”. Pihak ini, dalam hal
seorang anak yang belum dewasa, adalah sang anak itu sendiri apabila ia sudah
mencapai usia dewasa atau orang tua atau walinya. Apabila pihak yang tidak
cakap melakukan tindakan hukum tersebut adalah orang yang berada di bawah
pengampuan, pihak yang berhak meminta pembatalan perikatan adalah sang
pengampunya.
Kemudian, Pasal 1450 KUH Perdata juga menyebutkan bahwa “Dengan
alasan telah dirugikan, orang-orang dewasa, dan juga anak-anak yang belum
dewasa bila mereka dapat dianggap sebagai orang dewasa, hanyalah dapat
menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal-hal khusus
yang ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan kata lain, menurut Subekti,
perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif berupa kecakapan melakukan
tindakan hukum dari si pembuat perjanjian, tetap mengikat selama tidak
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
tersebut.40
Pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat menuntut
pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya dalam jangka waktu maksimum
5 tahun, terhitung sejak tanggal kedewasaan dalam hal pihak tersebut
belum dewasa ketika membuat perjanjian, atau sejak tanggal pencabutan
pengampuan dalam hal pihak tersebut berada dalam pengampuan ketika
membuat perjanjian. Norma ini ditemukan dalam Pasal 1454 KUH Perdata
yang berbunyi “Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan
tidak dibatasi dengan suatu ketentuan UU khusus mengenai waktu yang lebih
pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai berlaku dalam
hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaan, dalam hal pengampuan sejak hari
pencabutan pengampuan...dstnya”.
Walaupun pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat
meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya, hal ini tidak berlaku
apabila perikatan itu ternyata diterbitkan dari suatu kejahatan atau pelanggaran
atau yang telah menerbitkan kerugian bagi orang lain. Hal ini ditemukan dalam
ketentuan Pasal 1447 KUH Perdata yang berbunyi “Ketentuan pasal yang lalu tidak
berlaku untuk perikatan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran atau
dari suatu perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Begitu juga

40 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 19.

22 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 22 12/13/2010 11:00:03 PM


kebelumdewasaan tidak dapat diajukan sebagai alasan untuk melawan perikatan
yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa dalam perjanjian perkawinan
dengan mengindahkan ketentuan Pasal 151, atau dalam persetujuan perburuhan
dengan mengingat ketentuan Pasal 1601 g, atau persetujuan perburuhan yang
tunduk pada ketentuan Pasal 1601 h”.
Harus diperhatikan pula bahwa batas waktu 5 tahun yang ditetapkan
dalam Pasal 1454 KUH Perdata hanya berlaku untuk penuntutan pembatalan,
dan tidak berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan di depan hakim sebagai
pembelaan atau tangkisan. Untuk hal terakhir ini, dapat dilakukan kapan saja.
Artinya, terbuka 2 cara untuk meminta pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian.41 Pertama, pihak yang
berkepentingan dapat secara aktif bertindak sebagai penggugat agar perjanjian
tersebut dibatalkan. Kedua, pihak yang berkepentingan menunggu sampai ia
digugat di muka hakim untuk memenuhi isi perjanjian tersebut. Pada saat itulah,
dia di depan hakim dapat mengemukakan bahwa ketika membuat perjanjian
itu, ia belum cakap hukum, atau dia memberi persetujuan karena paksaan,
kekhilafan, atau penipuan sehingga kemudian dia meminta agar perjanjian
tersebut dibatalkan oleh hakim.42 Dalam situasi terakhir inilah tidak berlaku
batas waktu 5 tahun tersebut. Norma hukum ini tampak dalam Pasal 1454 ayat
(2) KUH Perdata yang menyebutkan: “Waktu tersebut di atas, yaitu waktu yang
ditetapkan untuk mengajukan tuntutan, tidak berlaku terhadap kebatalan yang
diajukan sebagai pembelaan atau tangkisan yang selalu dapat dikemukakan”.

2) Penguatan/Penetapan Perjanjian ‘Yang Dapat Dibatalkan’


Apabila jangka waktu lima tahun dalam Pasal 1454 terlewati, namun mereka
yang berada dalam keadaan paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun tidak
cakap melakukan perbuatan hukum, tidak mengajukan pembatalan perjanjian,
akibatnya perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak walau
tidak memenuhi unsur subjektif sahnya perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1327 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Pembatalan suatu persetujuan
berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi bila setelah paksaan berhenti
persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau
jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh UU untuk dapat dipulihkan
seluruhnya ke keadaan sebelumnya”.

41 Ibid., hlm. 24.


42 Ibid.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 23

buku-5.indd 23 12/13/2010 11:00:03 PM


Demikian pula bila setelah paksaan atau kekhilafan atau penipuan itu
berakhir pihak yang berada di bawah paksaan, kekhilafan atau penipuan
tersebut kemudian membenarkan persetujuan yang telah diberikannya, baik
secara tegas ataupun diam-diam maka penuntutan pembatalan perjanjian
menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diatur dalam Pasal 1456 KUH Perdata yang
menegaskan bahwa “Tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan,
gugur jika perikatan itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam, sebagai
berikut ... oleh orang yang mengajukan alasan adanya paksaan, penyesatan atau
penipuan, setelah paksaan itu berhenti atau setelah penyesatan atau penipuan itu
diketahuinya”.
Hal yang sama juga berlaku untuk perjanjian yang dibuat oleh pihak
yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Apabila perjanjian seperti ini
dikuatkan sendiri secara tegas ataupun diam-diam oleh mereka yang tidak
cakap hukum itu, perjanjian tersebut menjadi tetap berlaku dan mengikat para
pihak. Pihak yang tidak cakap hukum yang melakukan penegasan/penguatan/
penetapan perjanjian tersebut adalah (a) bila ketika membuat perjanjian dia
adalah anak-anak maka penegasan tersebut dilakukan ketika dia dewasa; (b) bila
ketika membuat perjanjian dia berada di bawah pengampuan maka penegasan
dilakukan setelah pengampuannya dihapuskan.
Penegasan atas perjanjian yang dapat dibatalkan ini dapat dilakukan
secara tegas melalui pembuatan akta pengesahan ataupun akta penguatan
sebagaimana diharuskan oleh KUH Perdata. Hal ini diatur dalam Pasal 1892 KUH
Perdata yang berbunyi “(1) Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu
perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau
penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum
bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan
dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang
sedianya dapat menjadi dasar tuntutan tersebut; (2) Jika tidak ada akta penetapan
atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela
setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah;
(3) Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela
dalam bentuk dan pada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap
sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi)
yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi
hak-hak pihak ketiga”.
Jadi, menurut Pasal 1892, perbuatan hukum yang dapat dibatalkan
karena adanya cacat yang tidak berakibat batal demi hukum, masih dapat

24 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 24 12/13/2010 11:00:04 PM


disahkan melalui penetapan ataupun penguatan dengan akta yang bentuknya
diharuskan oleh undang-undang.43 Akta penetapan atau akta penguatan harus
mencantumkan isi pokok perbuatan dan alasan yang menyebabkan dapat
dituntutnya pembatalan serta maksud untuk memperbaiki cacat yang sedianya
menjadi dasar tuntutan pembatalan.44 Akta semacam itu mengakibatkan
dilepaskannya hak untuk membatalkan perbuatan hukum yang sedianya
dapat diajukan. Dengan demikian, perbuatan hukum yang sebenarnya dapat
dibatalkan tersebut menjadi sah sejak perbuatan hukum tersebut dilakukan.45
Melalui akta penguatan atau akta penetapan itulah maka perjanjian yang
sebenarnya terancam pembatalan itu menjadi sah terhitung sejak perjanjian
tersebut dibuat. Hal ini tidak berlaku untuk perjanjian yang terancam batal
demi hukum. Artinya, untuk perjanjian semacam ini tidak mungkin dapat
dilakukan pengesahan, penguatan ataupun penetapan melalui akta tertentu.
Jadi, simpulannya sebagai berikut.
(a) Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap dan/atau perjanjian yang
dibuat tanpa adanya kesepakatan atau kehendak bebas dari para pihaknya,
masih dapat dikuatkan melalui akta penguatan atau akta penetapan.
(b) Perjanjian formil yang tidak memenuhi syarat sah, perjanjian yang dibuat
oleh orang yang tidak berwenang, perjanjian yang tidak mempunyai objek
tertentu, perjanjian yang tidak memiliki kausa yang halal, tidak mungkin
dapat disahkan atau dikuatkan dalam bentuk akta apa pun.
(c) Demikian pula perjanjian yang batal akibat terpenuhinya syarat batal, atau
batal akibat terjadinya wanprestasi,46 ataupun batal akibat terjadinya keadaan
memaksa,47 tidak mungkin dapat disahkan atau dikuatkan kembali.

4. Perjanjian Batal Karena Wanprestasi atas Dasar Kelalaian


Sebagai Syarat Batal
Pada bagian kelima dari Bab I dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang
Perikatan Bersyarat, yang beberapa pasalnya telah dijelaskan dalam nomor 22–
24 di atas, masih terdapat ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267. Kedua pasal ini

43 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm., 211.


44 Ibid.
45 Ibid.
46 Lihat, No. 46–49 dari restatement.
47 Lihat, No. 50 dari restatement.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 25

buku-5.indd 25 12/13/2010 11:00:04 PM


sebenarnya berisi tentang pembatalan perjanjian timbal balik akibat salah satu
pihak wanprestasi karena kelalaiannya. Penempatan kedua pasal dengan topik
tersebut dalam bagian tentang perikatan bersyarat menimbulkan kritik,48 tetapi juga
ditemukan alasan pembenarnya.49 Tampaknya, pembuat KUH Perdata menganggap
bahwa kelalaian debitur sehingga wanprestasi tergolong sebagai suatu syarat batal
yang dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik.
Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, dalam perikatan yang timbul dari perjanjian
timbal balik apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dijanjikan dalam perjanjian itu, kreditor atas dasar wanprestasi dari debitor berhak
untuk memilih apakah (a) memaksa debitor untuk memenuhi perjanjian apabila
hal itu masih dapat dilakukan, atau (b) menuntut pembatalan perjanjian disertai
penggantian biaya, kerugian, dan bunga dari pihak debitor. Hal ini ditegaskan dalam
pasal tersebut yang berbunyi “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi,
dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu
masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian
biaya, kerugian dan bunga”.
Pasal di atas jelas terkait dengan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyebutkan
bahwa “(1) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal
balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. (2) Dalam hal demikian
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
pengadilan. (3) Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai
tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. (4) Jika syarat batal tidak
dinyatakan dalam persetujuan maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan
tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi
jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Dari ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat disimpulkan hal
berikut.
Kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan
perjanjian sepihak.50
Wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat batal dalam perjanjian
timbal balik, dan wanprestasi tersebut terjadi bukan karena keadaan memaksa atau

48 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 196.


49 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 48.
50 Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi atau kewajiban hanya pada satu
pihak. Contoh: perjanjian hibah, perjanjian penanggungan, perjanjian pemberian kuasa tanpa upah,
perjanjian pinjam pakai, perjanjian penitipan barang tanpa biaya, perjanjian pinjam-meminjam tanpa
bunga.

26 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 26 12/13/2010 11:00:04 PM


keadaan di luar kekuasaan (force majeure atau overmacht), tetapi terjadi karena
kelalaian pihak tergugat.
Akibat wanprestasi tersebut penggugat dapat menuntut pembatalan perjanjian
di depan hakim, dengan demikian perjanjian tersebut tidak batal demi hukum.
Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata yang menempatkan wanprestasi sebagai
syarat batal, sebagaimana pengertian syarat batal dalam Pasal 1253 KUH Perdata,
dianggap tidak tepat. Alasannya adalah kepatutan dan logika, yakni tidak akan selalu
adil menghukum debitor yang wanprestasi karena kelalaiannya dengan pembatalan
perjanjian. Terhadap kritik ini, Subekti, justru menjelaskan bahwa ketentuan kedua
pasal tersebut sebenarnya tidak salah.51 Mengapa demikian? Sebab sekalipun
wanprestasi dianggap sebagai syarat batal sehingga menyebabkan perjanjian
berakhir, berakhirnya perjanjian itu bukan karena demi hukum, melainkan harus
melalui pernyataan pembatalan oleh hakim. Hal ini jelas terlihat dari Pasal 1266
ayat (2) KUH Perdata: ”Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan”. Bahkan, ayat (3) pasal ini juga
menegaskan bahwa perjanjian itu tetap bukan batal demi hukum, melainkan dapat
dibatalkan, sekalipun di dalam perjanjian itu dicantumkan soal wanprestasi sebagai
syarat batal. Kemudian, ayat (4) menambahkan bila wanprestasi sebagai syarat
batal tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim memiliki kebijakan berdasarkan
pertimbangan keadaan memberi jangka waktu maksimum 1 (satu) bulan bagi
pihak yang wanprestasi untuk memenuhi kewajibannya. Dalam konteks terakhir
ini, bahkan menurut Subekti,52 hakim berhak pula untuk mempertimbangkan dan
menilai besar kecilnya kelalaian debitur yang wanprestasi itu dibandingkan dengan
akibat pembatalan perjanjian yang akan menimpa debitur itu. Dengan kata lain,
ketika hakim harus memutuskan gugatan pembatalan perjanjian karena wanprestasi
sebagai syarat batal, ia harus memperhatikan berbagai asas hukum perjanjian yang
lazim, salah satunya adalah asas itikad baik.
Namun demikian, pendapat Subekti di atas, tampaknya kini justru
dikesampingkan. Menurut Herlien Budiono misalnya, Pasal 1266 dan 1267
KUH Perdata bukan ketentuan hukum yang bersifat memaksa sehingga dapat
disimpangi oleh para pihak yang membuat perjanjian.53 Namun, penyimpangan
itu tampaknya hanya untuk soal ‘perantaraan putusan hakim’, bukan tentang soal
wanprestasi sebagai syarat batalnya perjanjian. Artinya, para pihak dengan tegas

51 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 48.


52 Ibid., hlm. 49.
53 Herlien Budiono, Catatan No. 4 di atas, hlm. 199–200.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 27

buku-5.indd 27 12/13/2010 11:00:04 PM


dapat mengesampingkan Pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) sehingga pembatalan
perjanjian akibat terjadinya wanprestasi dari salah satu pihak tidak perlu dimintakan
kepada hakim. Akibatnya, perjanjian seperti itu akan otomatis batal demi hukum.54
Pengesampingan Pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) yang berakibat pelepasan hak
para pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian di depan hakim, secara tegas
harus dicantumkan di dalam akta perjanjian yang bersangkutan.55

5. Perjanjian Batal Karena Wanprestasi Akibat dari Keadaan


Memaksa
Apabila wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik
terjadi akibat dari keadaan memaksa (force majeure atau overmacht), perjanjian
menjadi batal. Namun demikian, menjadi kewenangan hakimlah untuk menilai
apakah benar telah terjadi keadaan memaksa atau bukan. Untuk itu, hakim
akan membuat putusan yang bersifat deklaratoir. Jadi, keadaan memaksa juga
dapat menjadi syarat batal bagi sebuah perjanjian, tetapi syarat ini tidak perlu
diperjanjikan oleh para pihak.56 Ada beberapa contoh dalam KUH Perdata yang
mengatur tentang keadaan memaksa yang membuat perjanjian menjadi batal,
misalnya Pasal 1545 tentang musnahnya objek tukar-menukar, Pasal 1553 tentang
musnahnya barang yang disewakan, Pasal 1607 tentang musnahnya pekerjaan di
luar kelalaian pemborong, dan Pasal 462 tentang berakhirnya carter kapal karena
kapal musnah.57

6. Akibat Pembatalan Perjanjian


Secara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal demi hukum
pada akhirnya akan berakibat sama, yakni perjanjian-perjanjian itu menurut hukum
dinilai tidak memiliki efek hukum. Perjanjian yang batal demi hukum tidak lantas
berarti perjanjiannya tidak ada atau dianggap tidak ada sebab bagaimanapun
perjanjian itu telah ada atau telah terjadi, hanya menurut hukum perjanjian
semacam itu tidak diberi akibat atau tidak berefek. Pada keadaan seperti itu, hukum
menilai bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula seperti pada saat

54 Ibid.
55 Ibid.
56 Ibid., hlm. 197–198.
57 Ibid., hlm. 198.

28 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 28 12/13/2010 11:00:04 PM


perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup. Karena perjanjian
tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan prestasi, dan kepada
pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak
diwajibkan. Pembayaran yang tidak diwajibkan seperti ini, menurut Pasal 1359 harus
dikembalikan. Pasal 1359 berbunyi “Tiap pembayaran mengandaikan adanya suatu
utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali.
Terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan
penuntutan kembali”.
Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum yang kemudian
dimintakan pembatalannya oleh orang yang bersangkutan di depan Hakim,
mengakibatkan ‘kembalinya’ barang dan orang yang bersangkutan dalam keadaan
seperti sebelum perjanjian dibuat. Dengan kata lain, batalnya perikatan membuat
keadaan kembali seperti kondisi semula ketika perikatan belum terjadi. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 1451 yang berbunyi “Pernyataan batalnya perikatan-
perikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-orang tersebut dalam Pasal 1330,
mengakibatkan pulihnya barang-barang dan orang-orang yang bersangkutan dalam
keadaan seperti sebelum perikatan dibuat, dengan pengertian bahwa segala sesuatu
yang telah diberikan atau dibayar kepada orang yang tak berwenang, akibat perikatan
itu, hanya dapat dituntut kembali, bila barang yang bersangkutan masih berada
di tangan orang yang tidak berwenang itu, atau bila ternyata bahwa orang ini telah
mendapat keuntungan dari apa yang telah diberikan atau dibayar itu, atau bila apa
yang telah dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya.”
Kemudian, khusus untuk perjanjian yang dibuat oleh orang yang berada
di bawah paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, hal yang sama seperti di atas
disebutkan dalam Pasal 1452, yakni “Pernyataan batal yang berdasarkan adanya
paksaan, penyesatan atau penipuan, juga mengakibatkan barang dan orang yang
bersangkutan pulih dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat.”
Apabila pihak-pihak yang tidak cakap hukum, dan/atau yang tidak memiliki
kehendak bebas, ketika membuat perjanjian mengajukan tuntutan pembatalan
perjanjian yang telah dibuatnya itu, mereka juga wajib untuk mengganti biaya,
kerugian, dan bunga kepada pihak lawan jika memang ada alasan untuk itu. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 1453 yang berbunyi “Dalam hal-hal tersebut dalam Pasal
1446 dan 1449, orang yang terhadapnya tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu
perikatan dikabulkan, wajib juga mengganti biaya, kerugian, dan bunga, jika ada
alasan untuk itu.”

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 29

buku-5.indd 29 12/13/2010 11:00:04 PM


7. Pembatalan Perjanjian Oleh Pihak Ketiga (Actio Pauliana)
Dalam uraian no. 35–39 telah disebutkan tentang siapa atau pihak mana yang berhak
meminta pembatalan perjanjian karena tidak terpenuhinya syarat subjektif sahnya
perjanjian dan tentang batas waktu untuk meminta pembatalan. Namun, masih
ada satu hal lain yang relevan dengan persoalan siapa saja yang berhak meminta
pembatalan atas suatu perjanjian atau perbuatan hukum tertentu, yaitu ketentuan
Pasal 1341 KUH Perdata yang dalam hukum perjanjian disebut mengatur tentang
actio pauliana.
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak
dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan
dalam Pasal 1317”. Kemudian, Pasal 1341 menyebutkan bahwa “(1) Meskipun
demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak
diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang merugikan
kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang
yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu
mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. (2) Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga
dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi objek dari tindakan yang tidak
sah, harus dihormati. (3) Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-
cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan
tindakan itu debitur mengetahui, bahwa dengan cara demikian dia merugikan para
kreditur tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau
tidak”.
Terhadap kedua pasal di atas, Herlien Budiono menegaskan bahwa58
Pengertian kreditor dalam Pasal 1341 mencakup tidak hanya orang yang berhak
atas pembayaran utang saja, tetapi juga orang yang berhak untuk memperoleh
prestasi yang dijanjikan orang lain (yakni debitor) terhadapnya, seperti prestasi
untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Pasal 1341 ditujukan untuk melindungi kepentingan kreditor dari tindakan
debitor yang sebenarnya tidak diwajibkan oleh undang-undang dan merugikan
kreditor. Dengan demikian, dapat terjadi bahwa seorang pihak ketiga (kreditor) yang
sebenarnya bukan merupakan pihak yang membuat perjanjian dengan debitor,
ternyata meminta pembatalan perjanjian yang dibuat oleh debitor tersebut dengan
orang lain (yang merupakan pihak kedua dalam perjanjian dengan sang debitor itu),

58 Ibid., hlm. 161–165.

30 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 30 12/13/2010 11:00:04 PM


dengan alasan perjanjian tersebut bukanlah sesuatu yang diwajibkan oleh undang-
undang kepada debitor untuk melakukannya, dan juga perjanjian itu merugikan
kepentingan kreditor. Hak menggugat yang dimiliki pihak ketiga untuk meminta
pembatalan perjanjian yang dibuat oleh orang lain inilah yang dinamakan actio
pauliana.

8. Pembatalan Perjanjian Oleh Pihak yang Berwenang Karena


UU
Selain beberapa hal atau kondisi tertentu yang dapat mengakibatkan batalnya
perjanjian seperti dijelaskan di atas, masih ada satu kondisi ‘khusus’ lagi, yaitu
pembatalan perjanjian oleh pihak tertentu atas kuasa undang-undang yang secara
eksplisit menyatakan hal tersebut. Maksudnya, terdapat norma hukum dalam sebuah
UU yang menyatakan bahwa lembaga atau pejabat publik tertentu berdasarkan UU
tersebut berwenang untuk membatalkan perjanjian tertentu. Hal ini ditemukan
dalam peraturan berikut ini:

a. UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).


• Pasal 6 ayat (2): “LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan
Bank Gagal dengan kewenangan:

c. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah


setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan
pihak ketiga yang merugikan bank”.

• Pasal 26: Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 25, LPS dapat melakukan tindakan sebagai
berikut:

g. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah


kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut
LPS merugikan bank.

• Pasal 52 ayat (1): ”Untuk kepentingan aset atau kewajiban bank dalam
likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan
niaga atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan
berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha”.
Pasal 52 ayat (2): ”Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah perbuatan hukum bank yang bersangkutan yang
wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang”.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 31

buku-5.indd 31 12/13/2010 11:00:04 PM


b. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan

• Pasal 37 A:
1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan
yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank
Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
2. Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan
program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan
diserahkan kepada badan dimaksud.
3. Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain,
yaitu
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah
kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut
pertimbangan badan khusus merugikan bank.

Dari dua contoh UU di atas tampak bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
tim likuidasi bank gagal, dan ’badan khusus ad hoc penyehatan perbankan’ masing-
masing memiliki kewenangan untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh
pihak lain, yaitu bank yang berada dalam masalah seperti bank gagal atau tidak
sehat. Ketentuan dalam UU yang secara khusus memberi mandat atau kewenangan
kepada lembaga khusus untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh pihak lain
seperti tercantum di atas mirip dengan norma hukum dalam KUH Perdata tentang
actio pauliana. Namun demikian, tampak sedikit perbedaan, yaitu norma hukum
actio pauliana mensyaratkan bahwa pembatalan perjanjian oleh pihak ketiga dapat
dilakukan apabila pihak ketiga itu mengalami kerugian akibat dari perjanjian tersebut
yang bukan merupakan perbuatan yang diwajibkan oleh hukum atau undang-
undang. Dalam UU tentang LPS ataupun Perbankan di atas, kewenangan LPS dan
badan khusus penyehatan perbankan untuk membatalkan perjanjian yang dibuat
pihak lain, yaitu bank gagal, tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan
LPS ataupun badan khusus tersebut, tetapi pertimbangan bahwa perjanjian itu
merugikan pihak bank gagal.
Perbedaan lain adalah tampaknya ketentuan dalam kedua UU di atas lebih
didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi kepentingan publik, dalam
hal ini kepentingan keuangan negara karena kedua UU di atas mengatur tentang

32 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 32 12/13/2010 11:00:04 PM


perbankan yang memperoleh fasilitas penjaminan oleh Pemerintah, dan tentang
perlunya menyehatkan perbankan yang sedang mengalami kesulitan sehingga
dapat membahayakan ekonomi nasional.

9. Putusan Hakim tentang Kebatalan Perjanjian yang Menjadi Yurisprudensi


Sejak tahun 1960-an hingga dekade pertama abad ke-21, ditemukan banyak putusan
hakim tertinggi, yaitu Mahkamah Agung (MA) yang dinyatakan sebagai yurisprudensi
oleh MA sendiri di bidang hukum perdata, khususnya hukum perjanjian. Namun
demikian, sangat sedikit di antara yurisprudensi itu yang relevan dengan persoalan
kebatalan perjanjian. Lebih sedikit lagi, yurisprudensi yang memuat pertimbangan
hakim (ratio decidendi) yang memperjelas, memperkuat, atau membantah sebuah
norma hukum ataupun doktrin hukum tentang kebatalan perjanjian. Oleh sebab
itu, untuk memperkuat penulisan restatement ini telah diteliti kurang lebih hampir
100 putusan hakim, termasuk di dalamnya sekitar 20 yurisprudensi, yang kemudian
ternyata hanya berhasil menemukan 2 yurisprudensi yang relevan, yakni59
a. Putusan MA No. 147K/SIP/1979 tanggal 25 September 1980 tentang perjanjian
jual beli tanah dan rumah yang ternyata tidak memenuhi syarat objektif sahnya
perjanjian, yaitu unsur kausa yang halal. Dalam perjanjian yang menjadi pokok
perkara, kausa atau objeknya dilarang oleh Pasal 5 juncto 21 UU No. 5 tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
b. Putusan MA No. 522K/Pdt/1990 tanggal 29 April 1992 tentang perjanjian jual
beli tanah yang juga tidak memenuhi syarat objektif untuk sahnya perjanjian.
Dalam perjanjian yang menjadi pokok perkara, kausanya dilarang oleh Stb tahun
1875 No. 179 tentang Larangan Pengasingan Tanah, yang berlaku sebelum UU
No. 5 tahun 1960 diberlakukan.

Kedua yurisprudensi MA di atas memperkuat norma hukum dalam KUH Perdata


tentang syarat sahnya perjanjian serta akibat hukumnya bila syarat tersebut tidak
terpenuhi. Dengan kata lain, kedua yurisprudensi di atas merupakan contoh riil
dan praktis bagaimana Hakim mengaplikasikan dan menafsirkan norma hukum
perjanjian dalam suatu perkara hukum. Di sisi lain, sangat disayangkan bahwa
hingga restatement ini ditulis, tidak ditemukan yurisprudensi ataupun putusan hakim
(yang bukan berupa yurisprudensi) yang relevan dengan pembatalan perjanjian
sebagai akibat dari tidak terpenuhinya syarat subjektif untuk sahnya perjanjian.
Padahal apabila yurisprudensi semacam itu dapat ditemukan maka akan membantu

59 Lihat, putusan MA secara lengkap dalam Lampiran dari restatement ini.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 33

buku-5.indd 33 12/13/2010 11:00:04 PM


memperkuat dan memperjelas norma hukum dalam KUH Perdata tentang perjanjian
yang dapat dibatalkan.
Pada lampiran dari restatement ini juga disertakan yurisprudensi, yaitu Putusan
MA No. 1180K/SIP/1971 tanggal 12 April 1972 tentang perjanjian jual-beli mesin
generator yang mengharuskan terjadinya impor barang dengan pembayaran
uang yang meningkat jumlahnya akibat terjadinya perubahan kurs mata uang.
Yurisprudensi ini memang tidak langsung relevan dengan topik restatement ini, tetapi
cukup bernilai karena hakim dalam pendapatnya menegaskan bahwa kausa yang
halal dalam sebuah perjanjian berbeda maknanya dengan norma hukum tentang
keadaan memaksa. Kausa yang halal dinilai atau ditetapkan pada saat perjanjian
dibuat, sementara persoalan keadaan memaksa dinilai atau ditetapkan pada saat
perjanjian dilaksanakan. Pendapat hakim dalam yurisprudensi ini bermanfaat untuk
memperjelas makna dari kausa yang halal yang merupakan syarat objektif untuk
sahnya perjanjian.

34 Dokumen Penjelas

buku-5.indd 34 12/13/2010 11:00:04 PM


PERSPEKTIF INTERNASIONAL

NULLITY AND ANNULLABILITY


ACCORDING TO THE CIVIL CODE
OF THE NETHERLANDS
Indonesian Restatement Project/June 2010
Oleh: Prof. Dr. Jaap Hijma

Table of contents
Introduction
The concepts of nullity and annullability Nullity
Conflicts with mandatory law
Conflicts with good morals or public order
Consequences of a nullity
Mitigation of (the consequences of ) a nullity annullability
Grounds for annullability
Consequences of annullability and annulment
Mitigation of (the consequences of ) an annullability

A. Introduction

1. The concepts of nullity and annullability


1.1. Dutch law principally distinguishes nullity (= voidity) from annullability (=
voidability).1
Nullity (voidity) is chosen whenever, in short, public aims or public interests are
at stake. Nullities operate automatically. An invocation by one of the parties is not
necessary; the court can apply the nullity of its own accord (ex officio). Regarding the
nullity as such, an eventual court decision has a declaratory character.
Problems typically suitable for nullity are: non-compliance with a required
form (art. 3:39 DCC2,) the violation of a mandatory statutory provision (art. 3:40 par. 2
DCC), the violation of good morals (art. 3:40 par. 1 DCC), the violation of public order
(art. 3:40 par. 1 DCC).

1 ‘Nullity’ and ‘voidity’ I consider interchangeable, as well as ‘annullability’ and ‘voidability’; I will use
the former terms.
2 DCC refers to the (new) Dutch Civil Code.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 35

buku-5.indd 35 12/13/2010 11:00:04 PM


1.2. Annullability (voidability) is chosen when solely the interests of one of the
parties need to be protected. An annullability does not operate automatically,
but only strikes if it is activated by the protected party. An annullable juridical act
can be annulled in two ways: either by means of an extra-juridical declaration
issued by the protected party, or by means of a court decision (art. 3:49 DCC). In
the latter case too, an invocation by the protected party is essential; the court
cannot annul of its own accord. After annulment the contract is considered
null, with retroactive effect to the time it was concluded (art. 3:53 DCC). As long
as the contract is not annulled however it is valid and binding.
Underlying idea is that when only the interests of one of the parties are at
stake, it can be left to the protected party to decide whether the contract shall stand
or fall.
Problems typically suitable for annullability are: incapacity (art. 3:32 DCC),
fraud, duress, undue influence (art. 3:44 DCC), mistake (art. 6:228 DCC), unreasonably
onerous general conditions (art. 6:233 sub a DCC).
1.3. The concepts of nullity and annullability not only refer to contracts, but also
to other types of juridical acts, including unilateral acts. Therefore most of the
relevant provisions are located in the General Part of Patrimonial Law (Book
3 DCC).3 According to practice, this contribution will be primarily focused on
contracts.

B. NULLITY
2. Conflicts with mandatory law
2.1 Under the former Civil Code Dutch law, following French law, embraced the
concept of a(n) ‘(un)lawful cause’ ((on)geoorloofde oorzaak). The new Dutch
Civil Code (DCC) no longer mentions this requirement. Instead of posing
such a general validity demand, the new Code simply specifies a number of–
fundamental–borders which the contracting parties are not allowed not cross:
mandatory law, good morals, public order. A contract contrary to one of these
three will, as a rule, be null (art. 3:40 DCC).
2.2 Art. 3:40 par. 2 DCC reads: A juridical act which violates a mandatory statutory
provision becomes a nullity; if, however, the provision is intended solely for the

3 For nullity and annullability see: Asser/Hartkamp & Sieburgh 6-III* Asser series, Algemeen overeen-
komstenrecht, Deventer: Kluwer 2010, Chapters 23―25; Hijma, Van Dam, Van Schendel & Valk, Re-
chtshandeling en Overeenkomst, Deventer: Kluwer 2007, Chapter 5 (by Van Dam); Hijma, Nietigheid
en vernietigbaarheid van rechtshandelingen, diss. Leiden, Deventer: Kluwer 1988.

36 Perspektif Internasional

buku-5.indd 36 12/13/2010 11:00:04 PM


protection of one of the parties to a multilateral juridical act, the act may only
be annulled; in both cases this applies to the extent that the provision does not
provide otherwise.4
2.3 The documentary history of art. 3:40 par. 2 DCC demonstrates that the cited
provision has a rather limited scope.5 In the first place, art. 3:40 par. 2 is written
with a view to cases wherein the conclusion of the contract is forbidden. If the
content or the necessary implication of the contract is forbidden art. 3:40 par.
2 is not applicable (but art. 3:40 par. 1 presumably is6.) In the second place,
art. 3:40 par. 2 exclusively covers conflicts with provisions constructed at the
highest national level (wetten in formele zin). Legislation made by a provincial
or a municipality is not maintained by par. 2, but–indirectly–by par. 1 of art.
3:40 DCC.
2.4 It is self-evident that art. 3:40 par. 2 only refers to mandatory law. In practice
it is not always perfectly clear whether a violated provision has a mandatory
character or not.7 As a general rule, the law of obligations and the law of
contracts are considered non-mandatory (so: merely supplementary). Two
groups of exceptions to this rule are recognized.
Firstly, provisions will be mandatory if the interests of third persons are at
stake (see e.g. art. 6:250 DCC). In connection herewith, property law provisions are
considered mandatory.
Secondly, provisions will be mandatory if they specifically aim the protection
of a weak type of party against a strong type of party. Examples of the latter are: the
protection of consumer/buyers against professional sellers (art. 7:5 ff DCC, consumer
sale), the protection of lessees against lessors (title 7.4 DCC, contract of lease and
hire), the protection of employees against employers (title 7.10 DCC, contract of
employment).
2.5 The violation of a mandatory statutory provision covered by art. 3:40 par. 2 DCC
will generally result in a nullity. The article recognizes two kinds of exceptions
to this rule.
The first exception concerns provisions which are intended solely for the

4 In this contribution I mainly follow the English translation by Haanappel: Haanappel c.s., New Neth-
erlands Civil Code, Deventer/Boston: Kluwer Law & Taxation 1990.
5 Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW (Parl. Gesch. Nieuw BW), Boek 3, Deventer: Kluwer
1981, p. 189―192.
6 See infra, no. 3.
7 On this subject: Loth, Dwingend en aanvullend recht, Deventer: Kluwer 2009.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 37

buku-5.indd 37 12/13/2010 11:00:04 PM


protection of one of the parties. An example is art. 7:6 DCC regarding consumer sales.
Art. 7:6 par. 1 DCC ordains that in a consumer sale there may be no limitations on or
exclusions of the legal rights and remedies of the buyer. Evidently this prohibition
is written with the singular aim of protecting the buyer’s interests. Therefore,
annullability is the suitable remedy;8 a nullity would overreach itself.
The second exception is found in art. 3:40 par. 3 DCC, which establishes the
possibility that a violated provision does not purport to invalidate juridical acts in
conflict therewith. In such cases, the remedies mentioned in art. 3:40 par. 2 DCC do
not apply. Art. 3:40 lid 3 is written with a view to so-called leges imperfectae, which
e.g. do not carry any civil law remedy but only a public law one (like a fine for one or
both of the parties).
2.6 Non-compliance with form prescriptions is especially regulated by art. 39 DCC,
reading: ‘Save as otherwise provided by the law, juridical acts which have not
been performed in the required form are a nullity’. The phrase ‘save as otherwise
provided’ holds no limitation to explicit statutory provisions; the law can also
provide otherwise in an implicit way.9

3. Conflicts with good morals or public order


3.1 Art. 3:40 par. 1 DCC reads: A juridical act which by its content or necessary
implication is contrary to good morals or public order, is a nullity.
3.2 Good morals and public order are, necessarily, rather vague concepts. ‘Good
morals’ refers primarily to ethical issues; ‘public order’ refers primarily to the
way public life is organized. In practice the criterion of public order is especially
relevant regarding contracts concluded by a government body, e.g. by a
municipality. The concepts of good morals and public order do not exclude
one another; quite often they show an overlap. Together they embody the–
unwritten–fundamental requirements of human conduct, which are current in
a certain society at a certain period in time.
3.3 Art. 3:40 (1) DCC distinguishes the content of a contract from the necessary
implication of a contract. ‘Content’ means: the mutual obligations of the parties,
upon which they have agreed (e.g. the delivery of goods, the rendering of a
service). Whenever the fulfillment of one of these obligations infringes upon
good morals or public order, the contract will be a nullity, regardless whether
the parties were aware of the infringement.

8 See infra, no. 3.


9 For an example: HR 5-10-2001, NJ 2002, 410 (Van der Vijver/Stoll), in the matter of a testament not
mentioning the year it was drawn up.

38 Perspektif Internasional

buku-5.indd 38 12/13/2010 11:00:05 PM


3.4 ‘Necessary implication’ (strekking) is a complex, two-headed, concept. In the
first place, it comprises the necessary consequences of the contract, foreseeable
for both parties.10
The second component of the concept of ‘necessary implication’ is concerned with
the aims of the parties. This component is more visible in the Dutch word ‘strekking’
than in its English translation (necessary implication). If the parties conclude the
contract with a common motive which is against public order or good morals, the
contract will be a nullity. The same applies when only one of the parties had such a
wrong motive, provided this one-sided motive was recognizable to the other party.
An example of the latter: a knife is sold; the buyer plans to use it to kill his neighbor.
If the seller recognizes this intolerable aim the contract will be null (void). If the seller
does not recognize the buyer’s reprehensible aim however, the contract will be valid
and binding.

4. Consequences of a nullity
4.1 A null contract does not give rise to the obligations the parties aimed at. Neither
party can be held to perform. When one of them performs nevertheless, this
performance lacks a legal basis. The performing party can demand restitution
because of undue performance (art. 6:203 ff DCC). If property is transferred on
the basis of a null contract, the seller retains ownership; the property never
reaches the buyer (art. 3:84 par. 1 DCC).
4.2 Sometimes a null contract is performed by both parties. If afterwards the issue
of nullity is raised, both parties can file a claim for restitution. Where one of
the prestations cannot, by its nature, be reversed, and where this prestation
should not be valued in monetary terms at law, an action to reverse a counter-
prestation or to be imbursed the value thereof is also excluded, to the extent
that it would, for that reason, be contrary to reasonableness and fairness
(redelijkheid en billijkheid; ‘goede trouw’) (art. 6:211 par. 1 DCC).
An illustration: A and B agree that A will pay B money for threatening C.
Afterwards A demands the restitution of his money, arguing the underlying contract
A-B is null. This claim of A’s could be met, whereas B’s counter-claim to restitution
(regarding his activities c.q. the financial value thereof ) cannot. Ultimately A could
get what he wanted without paying at all, which is an unreasonable result. The cited
article prevents such an outcome.

10 Famous is HR 11-5-1951, NJ 1952, 128 (Burgman/Aviolanda), in the matter of the sale of combs by
an airplane-constructor (who altered his factory without the required government permit).

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 39

buku-5.indd 39 12/13/2010 11:00:05 PM


5. Mitigation of (the consequences of) a nullity
5.1 Formerly a void contract was considered non-existent; it had no juridical
consequences whatsoever. Nowadays the concept of nullity (voidity) has
become increasingly complex.
The Dutch Supreme Court (Hoge Raad der Nederlanden) has expressed that one
of the general principles underlying the new Civil Code is, that–as a rule–nullities will
not intervene beyond their purport.11 This underlying principle notably comes to light
through partial nullity (art. 3:41 DCC), conversion (art. 3:42 DCC) and convalescence
(art. 3:58 DCC).
5.2 Partial nullity. The nullity of part of a juridical act does not affect the rest of the
act, to the extent that, taking into consideration the content and necessary
implication of the act, the parts are so inextricably related so as not to be
severable (art. 3:41 DCC). If the parts are not inextricably related, the null part
can and will be separated from the remainder; the remainder of the contract
stays valid and binding. Before art. 3:41 DCC was enacted, the Supreme Court
(Hoge Raad) already applied the same formula.12
In practice, the concept of partial nullity is especially important regarding
general contract conditions. If one of a company’s set of conditions is null, the
company often argues that it would never have concluded the contract without this
specific condition, claiming it shall be ‘all or nothing’. Art. 3:41 DCC however is not
dependant of the hypothetic consent of the parties. ‘Inextricably linked’ allows for
the use of more objective points of view. As a rule, almost every general condition
will be considered to be severable: when one condition is null, the remainder of the
contract stays untouched.13
5.3 Conversion. When the necessary implication of a juridical act which is a nullity
corresponds to such a degree to that of another juridical act, considered as
valid, so as to imply that the latter juridical act would have been performed had
the former been abandoned because of its invalidity, then the former shall be
given the effect of the latter juridical act, unless this would be unreasonable to
an interested person not party to the juridical act (art. 3:42 DCC).14

11 HR 17-02-2006, NJ 2006, 379 (Royal & Sun/Universal Pictures).


12 HR 16-11-1984, NJ 1985, 624 (Buena Vista).
13 Cf. art. 3.16 of the Unidroit Principles of International Commercial Contracts, Roma 2004.
14 Likewise, before the new Code was enacted: HR 23-1-1981, NJ 1981, 284 (Neon-Brabant/Mulders).

40 Perspektif Internasional

buku-5.indd 40 12/13/2010 11:00:05 PM


Whereas the concept of partial nullity tackles a problem of quantity, the doctrine
of conversion tackles a problem of quality. Conversion supposes that the parties
could have pursued their goal(s) successfully by means of contract type X, while they
actually chose contract type Y, which is unsuitable and therefore encumbers nullity.
In such a case, the null contract of type Y will–automatically–be ‘converted’ into a
valid contract of type X. Examples of such a conversion under Dutch law are rather
scarce.15
5.4 Convalescence. When a legal condition for the validity of a juridical act is fulfilled
only after its performance and, during the period between the act and the
fulfilment of the legal condition, all directly interested parties who could have
invoked such defect have treated the act as valid, the juridical act is thereby
ratified (art. 3:58 DCC).
In the legislator’s view, such a convalescence has retro-active effect.16 From a
theoretical point of view the possibility of a convalescence is important; in practice
the phenomenon is scarce.17

C. ANNULLABILITY
6. Grounds for annullability
6.1 The main grounds for annullability under Dutch law are:
-- incapacity of one of the parties (art. 3:32 DCC);
-- duress (art. 3:44 par. 2 DCC);
-- fraud (art. 3:44 par. 3 DCC);
-- abuse of circumstances (undue influence) (art. 3:44 par. 4 DCC);
-- ‘actio Pauliana’ (art. 3:45 ff DCC);
-- error (mistake) (art. 6:228 DCC);
-- unreasonably onerous general conditions (art. 6:233 sub a DCC).
6.2 Regarding the (in)capacity of the parties, art. 3:32 par. 1 DCC reads: Every
natural person has the capacity to perform juridical acts, to the extent that the
law does not provide otherwise.
The law does provide otherwise for minors (unmarried persons under 18; art. 1:234
DCC) and for persons under legal restraint (art. 1:381 DCC). Such incapable persons

15 A famous judgment is HR 21-1-1944, NJ 1944, 120 (Van de Water/Van Hemme), in a matter of mar-
riage articles.
16 Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW, Boek 3, p. 247-251.
17 On convalescence: Potjewijd, Bekrachtiging en convalescentie, Deventer: Kluwer 2002.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 41

buku-5.indd 41 12/13/2010 11:00:05 PM


have a legal representative (parent, guardian, curator) to serve their interests. A contract
concluded by the incapable person himself is annullable (art. 3:32 par. 2 DCC).
This structural incapacity has to be distinguished from a specific disqualification.
Certain persons are disqualified to be a party to certain juridical acts; for instance a
judge cannot acquire property in respect of which a procedure is pending before his
court (art. 3:43 par. 1 sub a DCC). Such disqualifications serve public interests (e.g.
integrity). Therefore the appropriate remedy is not annullability, but a nullity (art. 3:43
par. 1 in fine DCC reads: ‘... are a nullity and oblige the acquirer to pay damages’).

7. Consequences of annullability and annulment


7.1 As long as the ground for annulment is not invoked by the protected party, the
contract is perfectly valid and binding.
7.2 Its annullability puts the fate of the contract into the hands of the protected
party; the contract’s future is insecure.
This insecurity comes to an end in case of prescription. According to art. 3:52
par. 1 DCC, the prescription period for actions to annul a juridical act–including extra-
juridical declarations (art. 3:52 par. 2 DCC)–is three years. Afterwards, the annulment
ground may still be invoked at law as a defense against a claim by the other party
(art. 3:51 par. 2 DCC).
Every power to invoke a ground for annulment lapses when the protected
person confirms the contract (art. 3:55 par. 1 DCC). This power also lapses when
the other party has given notice to the protected person, requiring him within a
reasonable period to choose between confirmation and annulment, and that person
has made no choice within that period (art. 3:55 par. 2 DCC). By giving such a notice,
the other party forces the protected person to make up his mind.
7.3 When an annullable contract is annulled, the annulment has retroactive effect
to the time the contract was concluded (art. 3:53 par. 1 DCC). Therefore the
consequences of an annulment are identical to the consequences of an initial
nullity.18 When a performance was delivered, in retrospect this performance
lacked a legal basis: the performing party is entitled to demand restitution
because of undue performance (art. 6:203 ff DCC). When property was transferred,
in retrospect the property never left the seller (art. 3:84 par. 1 DCC).
7.4 An annulment, like a nullity, can give rise to restitution. The Civil Code knows
other phenomena giving rise to restitution, like the fulfillment of a resolutory
condition (art. 6:24 DCC) and the setting aside of a contract because of non-

18 See supra, no. 4.

42 Perspektif Internasional

buku-5.indd 42 12/13/2010 11:00:05 PM


performance (art. 6:265 DCC). These phenomena are kept apart from nullity
and annullability however, because they relate to (the performance of ) a valid
contract. Non-performance does not carry invalidity.

8. Mitigation of (the consequences of) annullability


8.1 The concepts of partial nullity, conversion and convalescence are applicable
not only when a contract is null and void, but also after the annulment of an
annullable contract.19
8.2 Specifically concerning annullabilities, the Dutch Civil Code introduces a few
more in-between-solutions.
According to art. 3:53 par. 2 DCC, the court may, upon request, refuse to give
effect to an annulment in whole or in part, if the juridical act has already produced
consequences which can only be undone with great difficulty. By means of this
article e.g. the retroactive effect of the annulment can be limited by the court.
According to art. 6:230 par. 2 DCC, instead of pronouncing the annulment
because of mistake the court may, upon the demand of one of the parties, modify
the effects of the contract to remove the detriment. Dutch law thus embraces
the possibility that a contract is neither upheld nor annulled, but lives on with an
adapted content, established by the court according to reasonableness and fairness
(redelijkheid en billijkheid, ‘goede trouw’). This possibility exists with error or mistake
(dwaling, art. 6:230 DCC) and with undue influence (misbruik van omstandigheden,
art. 3:54 par. 2 DCC).

19 See e.g. Hijma & Olthof, Compendium van het Nederlands vermogensrecht, Deventer: Kluwer 2008,
no. 59.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 43

buku-5.indd 43 12/13/2010 11:00:05 PM


buku-5.indd 44 12/13/2010 11:00:05 PM
LAPORAN PENELITIAN

A. Analisis Peraturan Perundang-


undangan tentang Topik Kebatalan
Perjanjian
Terdapat beberapa istilah dalam sistem hukum perdata Indonesia, yaitu ‘batal’,
‘batal demi hukum’, ‘dapat dibatalkan’, ‘membatalkan’, ‘pembatalan’, dan ‘kebatalan’.
Terdapat beberapa dasar atas kebatalan suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.

1. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk


jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum.

2. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:


a. perjanjian batal demi hukum, atau
b. perjanjian dapat dibatalkan.

3. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat.

4. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana.

5. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang-


undang.

Frasa ‘batal demi hukum’ merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna ‘tidak
berlaku, tidak sah menurut hukum’. Dalam pengertian umum, kata batal (saja) sudah
berarti tidak berlaku, tidak sah. Jadi, walaupun kata ‘batal’ sesungguhnya sudah
cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya
frasa ‘batal demi hukum’ lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak
sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya
tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif seseorang atau menurut kesusilaan/
kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau
tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit, berdasarkan peraturan
perundang-undangan) memang begitulah adanya. Dengan demikian, ‘batal demi
hukum’ menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut
terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan
atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 45

buku-5.indd 45 12/13/2010 11:00:05 PM


1. Tidak Terpenuhinya Persyaratan yang Ditetapkan oleh
Undang-Undang untuk Jenis Perjanjian Formil, yang Berakibat
Perjanjian Batal Demi Hukum
Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya
ketentuan hukum tentang misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan
perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui
peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian formil batal demi hukum.
Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak
hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang
juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian
tersebut sah demi hukum. Formalitas tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau
format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta
otentik ataupun akta di bawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta
yang dibuat oleh Notaris atau pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk
membuat akta otentik menurut undang-undang.
Berikut beberapa contoh perjanjian di bidang Hukum Kekayaan yang harus dilakukan
dengan Akta Notaris.
• Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan
utang atas tunjuk dari tangan ke tangan: Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata.
• Pendirian perseroan terbatas: Pasal 7 butir 1 UU No 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
• Jaminan fidusia: Pasal 5 butir 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
• Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi: Pasal
9 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
• Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT): Pasal 15 ayat (1) UU No.
4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah. SKMHT dapat pula dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 15 ayat (1) UU tersebut.

Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus dipenuhi


untuk perjanjian formil di atas, memang merupakan pengecualian dari asas
konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku secara umum. Sebab,
menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk dengan adanya
kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah
maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun, asas

46 Laporan Penelitian

buku-5.indd 46 12/13/2010 11:00:05 PM


tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang
diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi. Jadi, perjanjian formil memang
tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme.

Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu yang
diwajibkan oleh UU tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perbuatan hukum tersebut
batal demi hukum. Hal ini ditegaskan, antara lain, dalam:

a. Pasal 617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap akta dengan
mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau
dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman
kebatalan”.
b. Pasal 1682 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada status hibah, kecuali yang
disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya
dengan statu akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu”.
c. Pasal 22 KUH Dagang yang menyebut “Tiap firma harus didirikan dengan akta
otentik, tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak
ketiga”.
d. Pasal 15 ayat (6) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, menyebutkan bahwa
“(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang
ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal
demi hukum.”
e. Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa: “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui
arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam
hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk
akta notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memuat: a. masalah yang dipersengketakan; b. nama lengkap dan tempat tinggal
para pihak; c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d.
tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. nama lengkap

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 47

buku-5.indd 47 12/13/2010 11:00:05 PM


sekretaris; f. jangka waktu penyelesaian sengketa; g. pernyataan kesediaan dari
arbiter; h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (4)
Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
batal demi hukum”.

2. Tidak Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian


a. Syarat Objektif Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. suatu pokok persoalan tertentu, dan
4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Dalam diskursus ilmu hukum perdata, syarat 1dan 2 digolongkan sebagai syarat
subjektif artinya bergantung pada subjek yang mengikat dirinya, sementara syarat
3 dan 4 digolongkan sebagai syarat objektif, yaitu kondisi atas terjadinya suatu
perjanjian.

Syarat objektif pertama adalah perjanjian mengatur suatu pokok persoalan


tertentu/terdapat suatu objek perjanjian. Berikut adalah beberapa pasal KUH
Perdata tentang hal-hal yang merupakan suatu pokok persoalan/objek perjanjian.

Pasal 1332: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat men-
jadi pokok persetujuan”.

Pasal 1333:”Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak
tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Pasal 1334 ayat (1): “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
pokok suatu persetujuan”.

Objek perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan
1334 ayat (1).

48 Laporan Penelitian

buku-5.indd 48 12/13/2010 11:00:05 PM


Pasal 1332: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat men-
jadi pokok persetujuan”.

Pasal 1333: “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak
tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Pasal 1334 ayat (1): “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
pokok suatu persetujuan”.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk
sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat
ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:20
- dapat diperdagangkan,
- dapat ditentukan jenisnya,
- dapat dinilai dengan uang, dan
- memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan.

Syarat objektif kedua adalah perjanjian tidak memuat suatu sebab yang
dilarang. Berikut adalah beberapa pasal KUH Perdata tentang sebab-sebab yang
dilarang.

Pasal 1335: Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Pasal 1337: Dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan


kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Beberapa pasal di luar KUH Perdata yang mengatur tentang suatu sebab yang
dilarang dan sebab-sebab yang dilarang tersebut menyebabkan perjanjian tersebut
batal demi/karena hukum.

20 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, halaman 107.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 49

buku-5.indd 49 12/13/2010 11:00:05 PM


a. UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Pasal 26 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap jual-beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak
milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya
jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah
diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”.

b. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Pasal 124: “(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan
yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.”

Pasal 127: ”(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/
buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2). Dalam
hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam
perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan
dalam perjanjian kerja bersama”.

Pasal 153 ayat (2)


Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

c. UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta


Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Pasal 12: “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera
janji, batal demi hukum”.

Pasal 20: “(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) batal demi hukum”.

50 Laporan Penelitian

buku-5.indd 50 12/13/2010 11:00:05 PM


d. UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Pasal 32: “Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi
hukum”.

Pasal 33: “Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima


Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila
debitor cidera janji, batal demi hukum”.

e. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 18: “(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”.

f. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Pasal 33: “(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas
dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa
kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang
lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum”.

g. UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Pasal 37: “(2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang bertentangan dengan ayat (1) batal karena hukum. (3) Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali
yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.

h. UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Pasal 27: “(1) Saham penyelenggara yang berbentuk badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah yang berkaitan dengan pelayanan
publik dilarang dipindahtangankan dalam keadaan apa pun, baik langsung
maupun tidak langsung melalui penjualan, penjaminan atau hal-hal yang
mengakibatkan beralihnya kekuasaan menjalankan korporasi atau hilangnya

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 51

buku-5.indd 51 12/13/2010 11:00:05 PM


hak-hak yang menjadi milik korporasi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan batal demi hukum.”

i. UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten

Pasal 66: “(1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun
sebagian karena: a. pewarisan, b. hibah, c. wasiat, d. perjanjian tertulis, atau
e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. (2)
Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan
dengan Paten itu. (3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. (4)
Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan
batal demi hukum”.

j. Perpu Nomor 7 Tahun 1962 tentang Penggunaan dan Pengawasan


Atas Penggunaan Dana-Dana Investasi

Pasal 5

“Setiap perjanjian yang diadakan oleh perusahaan/badan termaksud


yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini adalah batal karena
hukum”.

k. UU No. 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan


Bersenjata Republik Indonesia

Pasal 12 ayat 3

“Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak, yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d batal
demi hukum”.

Pasal 18 ayat 2

“Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan yang disyaratkan
batal demi hukum”.

52 Laporan Penelitian

buku-5.indd 52 12/13/2010 11:00:05 PM


l. UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa

Pasal 9 pada dasarnya menyatakan bahwa perjanjian untuk mengadakan


arbitrase setelah sengketa muncul yang tidak dibuat secara tertulis
dinyatakan batal demi hukum.

b. Syarat Subjektif Perjanjian


Terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian
yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi apabila perjanjian
tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan
para pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Akibat hukumnya adalah perjanjian
tersebut dapat dibatalkan (voidable atau vernietigbaar).

1) Cacat pada Pihak yang Membuat Perjanjian


Pada prinsipnya, setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-
undang, dianggap cakap atau mampu melakukan tindakan hukum yang dalam
konteks ini adalah membuat perjanjian sehingga menimbulkan perikatan. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata yang berbunyi “Setiap orang adalah
cakap untuk membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap”. Orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap, dilarang melakukan tindakan hukum termasuk membuat perjanjian.21
Pasal 1330 KUH Perdata menyebut bahwa “Tidak cakap untuk membuat
persetujuan-persetujuan adalah:

1. orang-orang yang belum dewasa,


2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan”.

Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat oleh
mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan
bahwa “(1) Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau

21 Istilah undang-undang di sini dipakai karena Pasal 1329 KUH Perdata menyebutnya demikian. Namun,
sebaiknya perlu diingat bahwa undang-undang lebih sempit maknanya daripada perundang-undangan
sebab yang terakhir ini mencakup peraturan hukum yang tidak hanya berupa undang-undang.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 53

buku-5.indd 53 12/13/2010 11:00:06 PM


orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan
atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal,
semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya (2) Perikatan
yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum
dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum,
sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka”.

Contoh pasal yang mengatur tentang kecakapan bertindak.

Pasal 1446 ayat (1) KUH Perdata


“Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-
orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tun-
tutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-
mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya (2) Perikatan yang dibuat
oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah
disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan terse-
but tidak melampaui batas kekuasaan mereka”.

Pasal 1331 KUH Perdata


“Oleh karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap
untuk membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mer-
eka buat dalam hal kuasa itu tidak dikecualikan oleh UU. Orang-orang yang cakap
untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas
dasar ketidakcakapan anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di
bawah pengampuan, dan perempuan-perempuan yang bersuami”.

Pasal 55 ayat (4) UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia


“Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara seba-
gaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali di pasar sekunder. (5) Perbuatan hukum
Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dinyatakan batal demi hukum”.

Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia


“Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. (2) Dalam hal Bank
Indonesia melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian
pemberian kredit kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum”.

54 Laporan Penelitian

buku-5.indd 54 12/13/2010 11:00:06 PM


2) Tidak Adanya Kata Sepakat

Unsur subjektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak


yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan
dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang
menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.
Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau
kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat sehingga terancam
kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328
sebagai berikut.

Pasal 1321: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Pasal 1322: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan,


kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok
persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu
hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk
mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena
diri orang yang bersangkutan”.

Pasal 1324: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa
hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan
itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam
mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin, dan kedudukan
orang-orang yang bersangkutan”.

Pasal 1323: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu
persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga
bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam
persetujuan yang dibuat itu”.

Pasal 1325: “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila
dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 55

buku-5.indd 55 12/13/2010 11:00:06 PM


bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas
maupun ke bawah”.

Pasal 1328: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu


persetujuan bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian
rupa sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian
itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira melainkan
harus dibuktikan”.

Tentang kekhilafan, kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal
yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari
barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa
diadakan perjanjian itu. Perjanjian memang telah terbentuk, namun terjadinya
perjanjian itu berada di bawah pengaruh kekeliruan atau kesesatan sehingga
bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya maka tidak akan terbentuk perjanjian.
Kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf
mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.

Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan atau
rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum
mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum
sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan
dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman
itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak
orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi
cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman,
kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat dilakukan oleh
pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam perjanjian tersebut.
Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik orang
tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan milik pihak ketiga
(Pasal 1325 KUH Perdata). Namun, perlu diperhatikan bahwa pembuat undang-
undang membedakan antara paksaan yang membuat perjanjian mengandung
unsur cacat kehendak dari pihak yang membuatnya sehingga terancam
pembatalan, dengan rasa takut karena hormat kepada anggota keluarga dalam

56 Laporan Penelitian

buku-5.indd 56 12/13/2010 11:00:06 PM


garis lurus ke atas. Hal ini tampak dari bunyi Pasal 1326, yaitu “Rasa takut karena
hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis lurus ke atas, tanpa
disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan”.

Terkait penipuan, penipuan terjadi bila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan palsu atau tidak benar disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk
membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu
bertindak aktif untuk menjerumuskan pihak lawan. Akibat hukum bagi perjanjian
yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya
sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan
pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Perikatan
yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan
untuk membatalkannya”.

3) Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi


Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu
yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian
itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian
tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh,
yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi di masa depan itu benar
terjadi adanya maka justru membuat lahirnya perjanjian yang bersangkutan.
Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata yang
menyebut bahwa “Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada
suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara
menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun
dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa
itu”.

Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada


kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH Perdata
adalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan bahwa “Semua
perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung pada
kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu perbuatan

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 57

buku-5.indd 57 12/13/2010 11:00:06 PM


yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu
telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah”. Alasan dari ketentuan ini masuk
akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian semata-mata
hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal aneh kalau tak
dapat disebut sia-sia sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu
tidak menghendakinya.

Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu
yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan
yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi
hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata yang berbunyi “Semua
syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu
yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh
UU adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak
berlaku”. Aturan ini mirip dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian, yaitu
syarat kausa yang halal.

Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat
batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada
kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain,
perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal
perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima
prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal
1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa “Suatu syarat batal
adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa
segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu
perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan
kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang
dimaksudkan terjadi”.

4) Pembatalan oleh Pihak Ketiga Atas Dasar Actio Pauliana


Pembatalan oleh pihak ketiga berdasarkan actio pauliana diatur dalam Pasal
1341 KUH Perdata.

Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan

58 Laporan Penelitian

buku-5.indd 58 12/13/2010 11:00:06 PM


tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang
ditentukan dalam Pasal 1317”. Kemudian, Pasal 1341 menyebutkan bahwa “(1)
Meskipun demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala
tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa
pun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut
dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak,
mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. (2)
Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang
menjadi objek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati. (3) Untuk mengajukan
batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur
menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui
bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah
orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak”.

5) Pembatalan oleh Pihak yang Diberi Wewenang Khusus Berdasarkan


Undang-Undang
Selain beberapa hal atau kondisi tertentu yang dapat mengakibatkan batalnya
perjanjian seperti dijelaskan di atas, masih ada satu kondisi ‘khusus’ lagi, yaitu
pembatalan perjanjian oleh pihak tertentu atas kuasa undang-undang yang
secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maksudnya, terdapat norma hukum
dalam sebuah UU yang menyatakan bahwa lembaga atau pejabat publik
tertentu berdasarkan UU tersebut berwenang untuk membatalkan perjanjian
tertentu. Hal ini ditemukan dalam peraturan berikut ini:

a. UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

• Pasal 6 ayat (2): “LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank
Gagal dengan kewenangan:

meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap


kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga
yang merugikan bank”.

• Pasal 26: Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 25, LPS dapat melakukan tindakan sebagai berikut:

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 59

buku-5.indd 59 12/13/2010 11:00:06 PM


meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak
bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan
bank.

• Pasal 52 ayat (1): “Untuk kepentingan aset atau kewajiban bank dalam
likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan niaga
atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset
atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha”.

Pasal 52 ayat (2): “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) adalah perbuatan hukum bank yang bersangkutan yang wajib
dilakukan berdasarkan Undang-Undang”.

b. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan

Pasal 37 A:

1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan


yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank
Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.

2. Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program


penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan kepada
badan dimaksud.

3. Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank


khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain, yaitu
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak
yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan
badan khusus merugikan bank.

60 Laporan Penelitian

buku-5.indd 60 12/13/2010 11:00:06 PM


B. Analisis Literatur tentang Topik Kebatalan
Perjanjian
Analisis literatur ini dilakukan dengan bersandar pada beberapa isu berikut ini:
1. tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk
jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum,
2. tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
a. perjanjian batal demi hukum, atau
b. perjanjian dapat dibatalkan.
3. terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat, dan
4. pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana.

1. Tidak Terpenuhinya Persyaratan yang Ditetapkan oleh


Undang-Undang untuk Jenis Perjanjian Formil, yang Berakibat
Perjanjian Batal Demi Hukum
Walaupun terdapat konsensualisme/kesepakatan di antara para pihak, suatu
perjanjian tidak serta merta sah di hadapan hukum, jika terdapat syarat formil yang
tidak dipenuhi.

a. Subekti22
Terhadap Asas Konsensualisme yang dikandung oleh Pasal 1320 KUH Perdata, ada
pengecualiannya, yaitu oleh undang–undang telah ditetapkan suatu formalitas
untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya, untuk perjanjian penghibahan benda
tak bergerak, di mana harus dilakukan dengan akta notaris. Selanjutnya, perjanjian
perdamaian, harus dibuat secara tertulis, dan sebagainya. Perjanjian-perjanjian
tersebut dinamakan perjanjian “Formil”, dan apabila perjanjian yang itu tidak
memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang maka perjanjian-
perjanjian tersebut akan “batal demi hukum”.

b. Herlien Boediono23
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak dari pihak-pihak.
Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak
secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka.

22 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Jakarta: Intermasa, 1998.


23 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 61

buku-5.indd 61 12/13/2010 11:00:06 PM


Di dalam sistem hukum Romawi, perjanjian baru dianggap terbentuk jika kebendaan
yang bersangkutan diserahkan. Hukum Romawi berpegang teguh pada aturan
bahwa semua perjanjian, dengan memperhatikan beberapa pengecualian khusus,
harus memenuhi sejumlah persyaratan sebelum dapat dikatakan telah terbukti.
Sekalipun ada kecenderungan untuk memberikan pengakuan terhadap asas
konsensualisme tersebut, aturan umum, nudus consensus obligat pada waktu itu
dianggap tidak berlaku.

Perkembangan dari hukum pada umumnya ataupun hukum kontrak pada


khususnya selain itu juga sangat dipengaruhi oleh hukum gereja (hukum kononik)
yang berkembang pada Abad Pertengahan di Eropa. Gereja sebagai institusi politik,
tidak saja menyediakan sakramen (upacara gereja), tetapi sekaligus juga menjaga
ketertiban umum. Pada zaman itu, tuan-tuan tanah lokal tiada hentinya saling
berperang. Akibat terlalu sibuk berebut kekuasaan, acapkali urusan menjalankan
kekuasaan administrasi atau menjaga dan memelihara kepentingan hukum atau
ketertiban masyarakat menjadi terabaikan. Gerejalah ysng kemudian menjadi satu-
satunya otoritas yang berhasil menjaga kepentingan dan ketertiban umum. Bahkan
karena pengaruhnya, berhasil mempersatukan dunia (peradaban) Barat.

Gereja sadar bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membuat ketentuan-


ketentuan yang didukung ancaman sanksi. Berkenaan dengan itu, gereja tidak saja
dapat mengggunakan hukum yang bersifat duniawi, tetapi juga rohani. Alat paksa
yang didayagunakan gereja ialah ex communication (pengecualian dari komunitas).
Pada waktu itu, berkembang kebiasaan untuk menggunakan sumpah sebagai cara
formil untuk menegaskan adanya perjanjian. Kira-kira pada abad ke-13, di bawah
pengaruh para teolog moral, secara perlahan berkembang pandangan bahwa
kesepakatan atau perjanjian yang tidak dikukuhkan dengan sumpah juga memiliki
kekuatan mengikat. Dengan adanya asas nudus consensus obligat, hukum kontrek
memasuki tahapan yang sama sekali baru.

Pada dasarnya, UU memberikan suatu pengecualian dengan menentukan selain


adanya kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu bagi pembentukan
beberapa jenis perjanjian tertentu. Adakalanya untuk sahnya beberapa perjanjian,
UU menghendaki agar perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk tertentu. Dalam hal
ini, wajib dibuat akta di bawah tangan atau akta otentik.

62 Laporan Penelitian

buku-5.indd 62 12/13/2010 11:00:06 PM


Tujuan pembuat UU dengan membuat pengecualian di atas adalah untuk memberikan
perlindungan kepada pihak lemah, terhadap dirinya sendiri, atau terhadap pihak
lawan, satu dan lain dengan mengingat sifat terbukanya perjanjian. Singkat kata,
tujuannya ialah memberikan jaminan kepastian hukum dan keseimbangan dalam
lalu lintas pergaulan hukum. Tujuan lain dari persyaratan demikian adalah untuk
memberikan suatu kekhidmatan pada perjanjian atau semacam jaminan untuk
akibatnya di kemudia hari.

Akta untuk perjanjian formil adalah syarat mutlak bagi keabsahan pembuatan
hukum yang bersangkutan. Sementara untuk perjanjian yang tidak digolongkan
pada perjanjian formil, fungsi akta adalah sekadar sebagai alat bukti. Dengan
perkataan lain, untuk perbuatan hukum yang tidak digolongkan pada perjanjian
formil, tetapi oleh para pihak dibuat dalam bentuk tertulis, fungsi akta dalam hal ini
adalah sebagai alasan alat bukti.

Di dalam praktik kerap terjadi penafsiran keliru mengenai kewajiban memenuhi


bentuk tertentu untuk perjanjian formil dan apa akibatnya jika kewajiban tersebut
dilanggar. Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Fidusia,
pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam
bahasa Indonesia. Jaminan fidusia yang dibuat tidak dalam bentuk akta notaris
dalam bahasa Indonesia secara yuridis dogmatis menjadi nonexistent dengan
akibat hukumnya adalah batal. Namun, ada pihak-pihak yang menafsirkannya
berbeda. Mereka dengan mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata berpendapat bahwa perjanjian tersebut tetap sah dan berdalih bahwa
semua perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Betul bahwa pada prinsipnya ketentuan perundang-undangan berkenaan dengan
perjanjian dikategorikan sebagai hukum yang bersifat mengatur.

Kehendak bebas tersebut masih “dibatasi”, yaitu harus pula “dibuat secara sah”. Berarti
bahwa kebebasan tersebut sepanjang menyangkut pembuatan fidusia sebagai
perjanjian formil dibatasi oleh adanya keharusan yang bersifat memaksa. Jaminan
fidusia baru dianggap absah apabila dibuat dalam bentuk akta notaris dalam bahasa
Indonesia sesuai bunyi ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU tentang Fidusia.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 63

buku-5.indd 63 12/13/2010 11:00:06 PM


c. Kartini Muljadi24
Selain ketidakpemenuhannya syarat objektif dalam suatu perjanjian yang berakibat
batal demi hukum, undang-undang juga merumuskan secara konkret untuk tiap-
tiap perbuatan hukum (terutama pada perjanjian formil) yang mensyaratkan
dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang
jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum (tidak memiliki
kekuatan dalam pelaksanaannya) (hlm. 142).

2. Tidak Terpenuhinya Syarat Sahnya Perjanjian


a. Subekti25
Empat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut tercantum dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai
orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat
terakhir dinamakan syarat- syarat objektif karena mengenai perjajiannya sendiri atau
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau dengan nama lain dinamakan perizinan, dimaksudkan


bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Untuk syarat yang
kedua, yaitu setiap orang yang membuat perjanjian itu harus cakap, yang dimaksud
di sini pada asasnya adalah setiap orang yang sudah dewasa atau akil balik dan sehat
pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut
sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu
1) orang-orang yang belum dewasa,
2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
3) orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang
dipikul oleh seseorang yang mengadakan suatu perjanjian, yaitu seperti orang

24 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya), Cetakan II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
25 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Jakarta: PT Intermasa, 1998.

64 Laporan Penelitian

buku-5.indd 64 12/13/2010 11:00:06 PM


yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum, tidak dapat berbuat bebas
dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan, dan
kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Sebagai syarat
ketiga, disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu,
artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul
suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit
harus ditentukan jenisnya. Sementara itu, berpindahnya hak milik barang itu atau
barang itu sudah berada di tangannya berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak
diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja
kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Sebagai syarat keempat, yaitu “suatu
sebab yang halal” yang dimaksud dalam hal ini adalah yang dimaksudkan dengan
sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.

Apabila keempat syarat sahnya perjanjian tersebut tidak terpenuhi maka ada
beberapa hal yang dapat terjadi, yaitu sebagai berikut.

Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam
hal syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan,
dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu
perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar bagi para pihaknya
untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa
perjanjian yang demikian itu adalah “null and void”. Sementara dalam hal suatu syarat
subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi maka perjanjiannya bukan batal demi hukum,
tetapi salah satu pihaknya mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu
dibatalkan. Dalam hal ini, pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak
yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Hal
ini biasa dikatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat tersebut tetap mengikat para
pihaknya selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak
meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, keberlakuan perjanjian seperti itu
tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.

Semua perjanjian adalah batal jika pelaksanaannya semata-mata bergantung pada


kemauan orang yang terikat. Suatu syarat yang berada dalam kekuasaan orang
yang terikat (debitur), dinamakan syarat Potestatif. Begitu pula ada suatu ketentuan
dalam Hukum Perjanjian bahwa semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 65

buku-5.indd 65 12/13/2010 11:00:06 PM


yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan, atau
sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal dan berakibat bahwa
perjanjian yang digantungkan padanya tidak mempunyai sesuatu kekuatan hukum
apa pun. Jika suatu perjanjian digantungkan pada syarat bahwa sesuatu peristiwa
akan terjadi di dalam suatu waktu tertentu, syarat tersebut harus dianggap tidak
terpenuhi apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak terjadinya peristiwa
yang dimaksud.

Dalam Hukum Perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga
saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi
akan menghentikan perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, seperti yang diatur
di dalam Pasal 1265 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:

“Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan


perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula,
seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia
mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya,
apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi”.

Dengan demikian, syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan


apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.

b. Herlien Boediono26
Herlien Boediono membagi penjelasan tentang syarat sah perjanjian dan
keterkaitannya dengan kebatalan hukum sebagai berikut.
1. Sepakat Mereka yang Mengingatkan Dirinya
a. Pengertian Sepakat
Syarat pertama untuk terjadinya perjanjian ialah “sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya”. Sepakat tersebut mencakup pengertian tidak saja
“sepakat” untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan
prestasi. Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak

26 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan ke- 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.

66 Laporan Penelitian

buku-5.indd 66 12/13/2010 11:00:06 PM


saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yang telah
diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak yang memuat hak atau kewajiban
satu pihak untuk mendapatkan/memberikan prestasi, tetap mensyaratkan
adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Lain halnya dengan tindakan
hukum sepihak. UU tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
kata “sepakat”. Akan tetapi, ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata justru
menyebutkan hal-hak “sepakat” tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan
karena “kekhawatiran atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Jika salah satu pihak mengambil keputusan yang “cocok” dengan lawannya
untuk melakukan jual-beli, misalnya, syarat utama untuk terbentuknya
suatu perjanjian telah dipenuhi. Untuk adanya kesepakatan tidaklah cukup
bahwa keputusan sudah diambil oleh para pihak. Keputusan atau kehendak
tersebut bagaimanapun juga harus disampaikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain secara timbal balik.

b. Teori Kehendak
Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan.
Pengingkaran bahwa orang yang melakukan tindakan hukum memiliki
otonomi, tidak akan memecahkan masalah apa pun. Justru hal tersebut
hanya menafikkan hukum keperdataan. Kehendak sebagai batu penjuru
dan seluruh hukum keperdataan masih diakui sebagai ajaran yang berlaku
di dunia belahan Barat. Menurut teori ini, faktor yang menentukan adanya
perjanjian adalah kehendak. Namun, suatu kehendak harus dinyatakan dan
dengan demikian hubungan alamiah antara kehendak dan pernyataan
terwujud. Konsekuensi dari ajaran ini adalah jika pernyataan dari seseorang
tidak sesuai dengan keinginannya, tidak akan terbentuk perjanjian. Untuk
terbentuknya perjanjian, kehendak harus dianyakan. Sebaliknya, tidaklah
mungkin ada pernyataan tanpa didahului kehendak untuk membentuk
perjanjian.

c. Teori Pernyataan
Teori ini berpendapat bahwa pembentukan kehendak adanya peruses
yang terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang. Karenanya, pihak lawan tidak
mungkin mengetahui apa yang sebenarnya berlangsung di dalam benak
seseorang. Konsekuensi logis darinya ialah suatu kehendak yang tidak
dapat dikenali oleh pihak luar tidak mungkin menjadi dasar terbentuknya

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 67

buku-5.indd 67 12/13/2010 11:00:07 PM


perjanjian. Kekuatan mengikat perjanjian dikaikan pada fakta bahwa
pihak yang bersangkutan telah memilih melakukan tindakan tertentu dan
tindakan tersebut mengarah atau memunculkan keterikatan. Tindakan
menjadi dasar bagi keterikatan karena “kehendak yang tertuju pada suatu
akibat hukum tertentu sebagaimana terejawantahkan dalam pernyataan”.
Terikatnya individu dilandaskan pada pernyataan individu tersebut, tanpa
perlu memperlihatkan bahwa dalam perjanjian selalu ada dua atau lebih
orang yang masing-masing membuat pernyataan. “Bukan kata-kata yang
menentukan, melainkan tujuan yang hendak dicapai melalui pilihan
pernyataan”. Demikian menurut Hijman.

d. Teori Kepercayaan
Teori ini beranjak dari teori pernyataan, tetapi yang diperlunak. Tidak semua
pernyataan melahirkan perjanjian. Pernyataan yang melahirkan perjanjian
hanyalah pernyataan kepada pihak lain yang menurut kebiasaan di dalam
masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan
memang benar dikehendaki.

Schoordijk berpendapat bahwa kekuatan mengikat perjanjian harus dicari


dalam kepercayaan yang dimunculkan atau dibangkitkan pada pihak
lawan. Kepercayaan tersebut tertuju pada suatu perilaku faktual tertentu,
“Hidup saya kuarahkan pada tujuan itu,” ungkapan ini digunakan Schoordijk
untuk menunjuk pada kekuatan mengikat dan akibat darinya berupa
kepercayaan (pengharapan) yang dimunculkan pada pihak lawan. Suatu
perjanjian terbentuk bukan sekadar dari pernyataan-pernyataan, baik yang
mengungkapkan kehendak par apihak maupun melalui kehendak itu sendiri.
Terbentuknya perjanjian justru bergantung pada kepercayaan yang muncul
pada pihak lawan sebagai akibat pernyataan dari yang diungkapkan.

Ketiga teori tersebut mempunyai segi positif dan negative. Oleh karena itu,
tidak dapat diterapkan secara konsekuen tanpa adanya koreksi. KUH Perdata
disusun beranjak dari teori kehendak yang diikuti hingga pertengahan abad
yang lalu. Teori-teori lainnya yang menolak teori kehendak sebenarnya
sebagai pengecualian diterapkan untuk hal-hal tertentu, demikian Asser
Rutten. Namun, ahli-ahli hukum berbeda pendapat tentang teori-teori di
atas.

68 Laporan Penelitian

buku-5.indd 68 12/13/2010 11:00:07 PM


2. Pernyataan Tidak Diinginkan
a. Vis Absoluta
Paksaan dapat terjadi karena paksaan secara fisik ataupun psikis. Paksaan
secara fisik terjadi dalam hal, misalnya, tangan seseorang dipegang untuk
memaksakannya menandatangani suatu akta. Sementara paksaan secara
psikis dapat dilakukan dengan mengancam atau menakut-nakuti seseorang
untuk melakukan sesuatu. Misalnya, orang lain (anggota keluarga) akan
dicederai. Paksaan psikis diatur di dalam Pasal 1324 KUH Perdata. Dalam
hal adanya paskaan, tidak terjadi kesepakatan. Satu dan lain hal disebabkan
tidak adanya kehendak yang tertuju pada akibat hukum. Adanya paksaan
demikian yang tanpanya tidak akan dibuat perjanjian harus dibuktikan.

b. Gangguan Kejiwaan
Oleh UU, akibat hukum dari tindakan hukum yang dilakukan oleh orang
yang sakit jiwa hanya diatur jika mereka itu ditaruh di bawah pengampunan
atau curatele (Pasal 433 KUH Perdata dan seterusnya). Tindakan mereka akan
tunduk pada aturan umum dan asas-asas hukum mereka yang digolongkan
“terganggu kejiwaannya”, baik karena mabuk, di bawah pengaruh narcose
atau hypnose, kepikunan, maupun dalam keadaan emosional tinggi–
singkatnya semua peristiwa atau keadaan yang menyebabkan seseorang
tidak dapat menyatakan kehendaknya dengan benar atau sadar akan akibat
hukumnya–tidaklah dapat diminta pertanggungjawaban hukum atas apa
yang dilakukannya.

c. Terlepas Bicara atau Salah Menulis


Dalam perspektif kepercayaan berlaku ketentuan umum bahwa walaupun
maksud dan ucapan tidak saling bersesuaian, perjanjian tetap terjadi, asalkan
pernyataan yang diberikan memberi kesan bahwa memang demikianlah
yang dimaksudkan oleh yang bersangkutan. Teori kepercayaan dianggap
berhasil memberi solusi dan kepastian hukum.

d. Keliru dalam Menyampaikan Berita


Pernyataan yang benar, tetapi keliru penyampaiannya mungkin terjadi
jika perjanjian dilakukan melaui seorang wakil. Pada dasarnya, berlaku
ketentuan yang sama dengan kekeliruan yang terjadi karena terlepas
bicara atau salah menulis. Perjanjian tetap terjadi jika pernyataan yang

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 69

buku-5.indd 69 12/13/2010 11:00:07 PM


diberikan karena salahnya sendiri dan memberi kesan kepada pihak lawan
bahwa memang itulah yang dimaksud. Jika kekeliruan terletak pada wakil
yang menyampaikan, kesalahan tidak dapat dibebankan pada pihak yang
menyuruh. Artinya, risiko dipikul oleh wakilnya tersebut.

e. Menandatangani Suatu Surat/Akta yang Tidak Dimengerti/Diketahui Isinya


Di dalam kehidupan sehari-hari, sering kali perjanjian dilakukan dengan
menggunakan modal baku/standar. Di dalam perjanjian baku, isi perjanjian
telah disusun secara terperinci, misalnya, polis asuransi, syarat-syarat
angkutan, sewa beli, dan leasing. Perjanjian baku atau perjanjian standar
sering kali ditandatangani tanpa dibaca atau diketahui keseluruhannya
oleh penanda tangan. Ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus
Badrulzaman adalah
- isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditor yang posisinya relatif
kuat dari debitor,
- debitor sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu,
- terdorong oleh kebutuhannya, debitor terpaksa menerima perjanjian
itu,
- bentuknya tertulis, dan
- dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

Menjadi pertanyaan, apakah dalam hal ini telah terjadi pernyataan yang
tidak dikehendaki? Penjelasannya adalah sebagai berikut. Walaupun pihak
menandatangani akta yang tidak dibaca atau diketahui isinya, baik sebagian
maupun seluruhnya, ia telah berkehendak dan sadar telah “menundukkan
dirinya” atas isi akta tersebut berlaku bagi dirinya. Di sini dikatakan bahwa
telah terjadi “penundukan atas kehendak sendiri secara umum”. Dalam hal
ini, dianggap tidak terjadi deskripsi antara kehendak dan pernyataan, orang
menghendaki apa yang dinyatakannya. Hampir selalu perjanjian baku/standar
ditandatangani tanpa dibaca terlebih dahulu atau diketahui isinya. Namun,
kenyataan telah ditandatanganinya akta perjanjian baku menimbulkan
kepercayaan pada pihak lawan bahwa penanda tangan betul mengetahui
serta menghendaki apa yang telah dinyatakannya dengan ditandatangani
aktanya. Hal tersebut berlaku juga untuk formulir yang telah ditandatangani
tanpa diisi secara lengkap. Yurisprudensi di Belanda (sejak 1926) telah
mengakui sahnya akta-akta perjanjian baku/standar dan orang tidak dapat
menyangkal akan hal tidak diketahui apa yang telah ditandatangani.

70 Laporan Penelitian

buku-5.indd 70 12/13/2010 11:00:07 PM


3. Pernyataan Dikehendaki, Tetapi Tidak Dalam Arti yang
Dimaksudkan Pihak Lawan
a. Pernyataan Tidak Cukup Jelas Atau Disalahartikan
Secara umum dapat dikatakan bahwa pernyataan yang tidak cukup jelas atau
disalahartikan mengakibatkan tidak terbentuknya perjanjian. Satu dan lain
hal karena tidak adanya kesepakatan. Hanya dalam hal pihak, kepada siapa
pernyataan disampaikan, tidak memiliki alasan untuk tidak menerima atau
adanya kesan bahwa demikianlah kehendak pihak lawan sebagaimana telah
dinyatakan maka terbentuklah perjanjian. Singkatnya, perjanjian tetap dianggap
terjadi jika kesalahmengertian tersebut seluruhnya karena kurang teliti atau
teledor dalam memberikan penjelasan sewaktu menyatakan kehendak. Kita
perlu membedakan penjelasan salah pengertian dalam arti ada pernyataan
yang disalahartikan dengan salah mengerti motivasi para pihak berdasarkan apa
perjanjian itu dibuat. Untuk yang disebut terakhir, diterapkan ajaran berkenaan
dengan cacat pada kehendak, yaitu cacat yang terjadi karena kekeliruan. Salah
pengertian dapat diselesaikan dengan mengacu pada penafsiran perjanjian
(Pasal 1342–1351 KUH Perdata).

b. Pernyataan Diterima oleh Orang yang Berbeda dari yang Dituju


Surat penawaran yang sedianya adalah untuk A ternyata disampaikan kepada
B. Apakah dalam hal ini jika B menerima penawaran tersebut dapat terbentuk
perjanjian? Apakah B seharusnya mengerti bahwa penawaran tersebut bukan
untuknya? Dalam hal ini sebenarnya tidak ada kekeliruan dari pihak yang
menyatakan, yakni jika yang bersangkutan yakin bahwa penawaran telah
disampaikan kepada yang benar. Ajaran cacat pada kata sepakat karena
kekeliruan harus diterapkan di sini.

4. Pernyataan Sesuai dengan yang Dimaksudkan, Tetapi Tidak


Menginginkan Akibat Hukumnya
a. Maksud yang Ditahan
Dalam hal ini kita berbicara tentang orang yang menyatakan suatu maksud. Namun,
ia sebenarnya tidak menginginkan akibatnya (dan hanya disimpan di dalam
hatinya sendiri). Dalam kenyataan tidak dapat dipungkiri telah ada pernyataan.
Artinya, orang terkait pada pernyataan yang telah diberikan, sedangkan pihak
lawan berpegang pada kepercayaan yang ditimbulkan oleh pernyataan yang

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 71

buku-5.indd 71 12/13/2010 11:00:07 PM


diberikan, termasuk pada maksud yang terkandung di dalamnya. Dalam hal
demikian, berdasarkan teori kepercayaan telah terbentuk perjanjian.

b. Senda Gurau yang Tidak Diketahui Pihak Lawan


Pernyataan yang diberikan sebagai senda gurau pada dasarnya akan diterima
sebagaimana adanya. Guyonan dianggap mengena apabila senda gurau tersebut
setelah beberapa waktu menyebabkan orang baru sadar dan mulai curiga, ragu-
ragu apakah pernyataan tersebut benar atau main-main. Bergantung pada
pihak lawan, apakah pernyataan tersebut diterima secara serius atau seyogianya
ia harus lebih bijak di dalam menerima “penawaran” yang disampaikan sebagai
senda gurau itu. Penilaian harus dilakukan, apakah kita berhadapan dengan
senda gurau yang jelas atau senda gurau yang samar-samar dan tidak jelas.
Senda gurau yang berada dalam kawasan yang meragukan harus dianggap
sama dengan keadaan mengenai reservation mentalis.

c. Perbuatan Pura-Pura
Perbuatan pura-pura yang terejahwantah ke dalam perjanjian pura-pura
atau perjanjian simulasi sebenarnya merupakan penyimpangan dari maksud
tujuan menimbulkan akibat hukum. Penyimpangan terhadap “kesepakatan
yang tercapai” telah dilakukan antara para pihak untuk secara diam-diam dan
secara sadar melakukan tindakan hukum tertentu yang menyimpang dari apa
yang seharusnya terjadi. Dapat dikatakan di sini bahwa para pihak melakukan
“persekongkolan”.

5. Terjadinya Kata Sepakat


Galibnya kata sepakat tercapai melalui atau dengan pernyataan kehendak dari
orang-orang atau pihak yang bertindak. Pernyataan atau kehendak tersebut
harus tertuju pada akibat hukum yang ingin ditimbulkan. Dengan kata lain, pihak
yang bertindak memunculkan kepercayaan pada lainnya bahwa kehendaknya
itu tertuju pada terbentuknya perjanjian.

Namun, bagaimanakah perjanjian secara nyata terbentuk di antara para pihak/


kapan serta bagaimana terjadi kata sepakat sehingga dikatakan telah terbentuk
perjanjian di antara para pihak? Umumnya, dikatakan bahwa perjanjian terbentuk
jika ada persesuaian pernyataan kehendak atau perjumpaan kehendak dari para

72 Laporan Penelitian

buku-5.indd 72 12/13/2010 11:00:07 PM


pihak. Namun, perlu diperhatikan di sini bahwa sistem hukum yang terwujud
dalam KUH Perdata telah melepaskan diri dari dan karenanya berada dari
sistem hukum Romawi yang merupakan akar dari sistem hukum Barat. Di dalam
sistem hukum Germania dan sistem hukum Romawi, perjanjian baru dianggap
terbentuk secara formal (dengan akta), tetapi juga dengan diserahkannya
kebendaan objek perjanjian (perjanjian riil). Oleh karena itu, dari sudut pandang
sistem hukum Germania dan hukum Romawi, pernyataan-pernyataan tersebut
bukan pokok masalah. Perjanjian terbentuk tatkala para pihak bertemu muka
dengan dibuat aktanya atau penyerahan objek perjanjian.

Satu momen penting dalam proses pembentukan atau penutupan perjanjian


adalah perjumpaan kehendak, saling bertuatnya pernyataan kehendak para
pihak sebagaimana disampaikan satu pihak pada pihak lainnya secara timbal
balik. Dari pernyataan-pernyataan tersebut, masing-masing pihak menurut
hukum mengikatkan diri pada pihak lainnya dan dengan tercapainya “kata
sepakat” perjanjian terbentuk.

Berdasarkan apa yang tersebut di atas, perjanjian terjadi atau terbentuk melalui
proses penawaran yang disampaikan oleh satu pihak yang kemudian diterima
pihak lainnya. Proses penawaran dan penerimaan melandasi terbentuknya
perjanjian.

a. Saat Tercapainya Kata Sepakat


Seperti telah disebutkan sebelumnya, kata sepakat dianggap tercapai pada
saat pihak yang menawarkan mengetahi bahwa pihak lainnya telah menerima
penawarannya, setidaknya ia dianggap patut telah dapat mengetahui telah
diterimanya penawaran. Terbentuknya perjanjian cukup dengan terjadinya
perjumpaan atau persesuaian kehendak, yaitu satu pihak mengajukan
penawaran dan penawaran tersebut diterima oleh pihak lainnya. Dalam hal
para pihak bertemu muka dan melakukan komunikasi lisan secara langsung,
tidak sulit untuk menentukan kapan kata sepakat tercapai. Di sini kata sepakat
dianggap terbentuk pada saat pihak yang menawarkan mengetahui bahwa
penawarannya telah diterima oleh pihak lawannya.

Namun demikian, persoalan munculnya ketika penawaran dan penerimaan


dilakukan secara berbeda, misalnya, melalui komunikasi elektronik jarak

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 73

buku-5.indd 73 12/13/2010 11:00:07 PM


jauh. Ilustrasi dari itu ialah kontrak elektronik. Apakah kata sepakat terbentuk
sejak pihak yang menawarkan menulis surat penawarannya? Pandangan ini
diajukan oleh teori pernyataan. Ataukah kata sepakat terbentuk pada saat
surat penawaran telah dikirimkan? Pandangan ini dilandaskan pada teori
penyampaian/pengiriman. Kemungkinan lain adalah kata sepakat terbentuk
pada saat pihak yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya telah
diterima oleh pihak lainnya. Pandangan ini disebut dengan teori penerimaan.

Dari ketiga teori di atas, dapat dikatakan bahwa teori pernyataan dan teori
penyampaian/pengiriman mengandung banyak kelemahan. Kedua teori
tersebut dianggap tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan. Alhasil,
tidak banyak yang menganut teori ini. Sebaliknya, teori penerimaan adalah teori
yang dianggap paling memenuhi asas kepatutan dan kepantasan sekalipun
tetap memiliki kelemahan.

b. Tempat Terbentuknya Perjanjian


Jika para pihak pada saat terjadinya perjanjian tidak sedang “berhadapan dan
berada pada satu tempat, dikatakan bahwa perjanjian tersebut terbentuk
pada saat kedua pihak berada di dua tempat yang berbeda. Jika dua tempat
berbeda tersebut masih berada di negara yang sama, tentunya tidak akan ada
pengaruhnya. Persoalan baru akan muncul jika dua tempat tersebut ada di dua
negara yang berbeda. Artinya, ada dua sistem hukum yang berlaku. Penentuan
tempat terbentuknya perjanjian penting untuk menentukan hukum manakah
yang berlaku terhadap perjanjian yang telah terbentuk.

Berkenaan dengan hak tersebut, ketentuan Pasal 1346 KUH Perdata membuat
petunjuk umum. Ketentuan ini yang juga berkaitan dengan keterkaitan hukum
perdata internasional, locus regit actu, menetapkan bahwa “Apa yang meragu-
ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri
atau di tempat, di mana persetujuan telah dibuat”.

c. Cacat pada Kehendak


Suatu cacat kehendak terjadi bilamana seseorang telah melakukan suatu
perbuatan hukum, padahal kehendaknya terbentuk secara tidak sempurna.
Perbuatan hukum mensyaratkan adanya kehendak yang tertuju pada suatu
akibat hukum tertentu sebagaimana terwujud dalam suatu pernyataan.
Sekalipun kehendak dan pernyataan berkesesuaian, suatu tindakan hukum
dapat dibatalkan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. KUH Perdata mengatur

74 Laporan Penelitian

buku-5.indd 74 12/13/2010 11:00:07 PM


ikhwal akibat dari kekeliruan/kesesatan, kekerasan/paksaan, dan penipuan dalam
ketentuan Pasal 1322–1328 KUH Perdata. Sementara ikhwal penyalahgunaan
keadaan tidak kita temukan pengaturannya di dalam KUH Perdata.

6. Kecakapan untuk Melakukan Tindakan Hukum


a. Cakap Bertindak
Pemangku atau pengemban hak dan kewajiban adalah subjek hukum dan sebab
itu juga dari kacamata hukum memiliki kewenangan bertindak. Anak yang baru
dilahirkan, bahkan juga anak dalam kandungan yang dari kacamata hukum
dianggap sebagai telah dilahirkan, berkedudukan sebagai subjek hukum.
Sepanjang oleh hukum positif, apabila seseorang diakui sebagai subjek hukum,
ia akan memiliki kewenangan hukum. Di dalam lingkup batas yang ditetapkan
hukum baginya, kewenangan hukum dari subjek hukum tidaklah terbatas.

Dengan kata lain, setiap subjek hukum yang memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum.
Untuk terbentuknya suatu hubungan hukum, disyaratkan ada atau dilakukannya
suatu tindakan hukum yang “menghidupkan” kewenangan tersebut. Siapa yang
dapat dan boleh bertindak serta mengikatkan diri adalah mereka yang cakap
bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum yang membawa
akibat hukum.

Artinya, mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap
adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum.
Kecakapan adalah ketentuan umum, sedangkan ketidakcakapan merupakan
pengecualian darinya. Terminologi yang digunakan UU, kecakapan dan
ketidakcakapan harus dimaknai secara berbeda dari arti umum yang diberikan
padanya dalam pergaulan sehari-hari dan juga tidak merujuk pada sifat alamiah
seseorang.

Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh UU dilarang melakukan
tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu memahami
konsekuensi tindakan-tindakannya. Mereka yang dianggap tidak cakap
adalah orang belum dewasa atau anak-anak di bawah umur dan mereka yang
ditempatkan di bawah pengampunan. Mereka ini, tanpa seizin wakil, yakni
orang tua atau wali mereka menurut perundang-undangan, dinyatakan tidak
dapat melakukan tindakan hukum, terkecuali melalui lembaga perwakilan.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 75

buku-5.indd 75 12/13/2010 11:00:07 PM


b. Perwakilan
- Perwakilan menurut UU (Pasal 50 ayat (1) UUP Jo Pasal 345 KUH Perdata).
Perwakilan orang tua yang hidup terlama: “Salah seorang dari orang tua
yang hidup terlama demi hukum adalah wali atas anak-anaknya yang sah
(sepanjang ia tidak dipecat atau dibebaskan), pemisahan meja dan tempat
tidur tidak berpengaruh terhadap kedudukan sebagai wali”.
- Perwakilan orang tua atas anak yang diakui. “Anak di luar perkawinan berada
di bawah perwakilan ibu (Pasal 43 UUP); anak di luar perkawinan yang diakui
oleh ayahnya, demi undang-undang berada di bawah perwalian ayah yang
mengakui, terkecuali ayah tersebut dipecat atau dibebaskan atau sudah ada
wali orang lain; ayah yang mengakui anak luar kawin, jika sudah ada wali
yang diangkat hakim, ayah yang mengakui anak luar kawin tidak menjadi
wali. Namun, ia dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri
untuk menjadi wali dan jika permohonan tersebut dikabulkan, wali hakim
diberhentikan.
- Perwakilan berdasarkna penetapan hakim (wali datif )–(Pasal 331a KUH
Perdata)
- Perwakilan menurut wasiat (Pasal 51 ayat (1) UUP Jo Pasal 335–357 KUH
Perdata)

c. Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan


Ketidakcakapan melakukan tindakan hukum haruslah dibedakan dengan
ketidakwenangan melakukan tindakan hukum. Namun, pembedaan ini
tidak kita temukan dibuat oleh pembuat UU, tetapi di dalam ilmu hukum.
Tidak berwenang adalah mereka yang oleh UU dilarang melakukan tindakan
hukum tertentu. Di samping pembedaan tersebut, antara ketidakcakapan dan
ketidakwenangan, keduanya juga harus dibedakan dari tujuan dan akibatnya.
Tujuan (pembuat UU) dari pernyataan ketidakcakapan ialah perlindungan dari
pihak yang tidak cakap, ketidakwenangan terutama ditujukan terhadap orang
yang dinyatakan tidak wenang dan tujuannya ialah memberikan perlindungan
kepada pihak lainnya atau juga untuk melindungi kepentingan umum.

d. Tidak Cakap dan Tidak Mampu secara Faktual


Tidak cakap tidaklah sama dengan secara faktual tidak mampu untuk melakukan
tindakan hukum. Misalnya, dalam hal sekalipun orang-orang tertentu tidak
berada di bawah pengampunan, ternyata mereka menderita sakit jiwa,
terhipnotis, atau berada di bawah pengaruh narcoticum. Dalam hal demikian,
orang-orang itu secara faktual tidak mampu menentukan sendiri kehendak

76 Laporan Penelitian

buku-5.indd 76 12/13/2010 11:00:07 PM


mereka, sekalipun tidak dapat digolongkan pada tidak cakap. Mereka pada saat-
saat tertentu dapat memutuskan dan menentukan sendiri kehendak mereka.
Penentuan ketidakcakapan dan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan
tindakan hukum, demi kepastian hukum, dikaitkan pada fakta eksternal yang
mudah dipastikan dan dikenal batas-batasnya secara jelas, misalnya, akta
kelahiran atau pernyataan umum lainnya (putusan pengadilan), surat/akta bukti
pemilikan. Dalam hal ketidakmampuan faktual, keadaan tersebut justru harus
dibuktikan keberadaannya di muka hakim.

7. Suatu Hal Tertentu


a. Objek Perjanjian
Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, objek perjanjian haruslah:
- dapat ditentukan,
- dapat diperdagangkan (diperbolehkan),
- mungkin dilakukan, dan
- dapat dinilai dengan uang.

b. Barang yang Baru Akan Ada


Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat pula menjadi pokok
perjanjian. Kemungkinan ini dibuka di dalam ketentuan Pasal 1334 ayat (1)
KUH Perdata. Pengertian “barang-barang yang baru akan ada” mengacu pada
pengertian bahwa barang tersebut belum ada. Ini terjadi dalam hal orang
memesan pada perusahaan mebel untuk dibuatkan sebuah lemari dan dikenal
dengan sebutan barang yang baru ada bersifat objektif. Sebaliknya, barang yang
akan ada yang bersifat subjektif adalah barang yang belum menjadi miliknya.

8. Suatu Sebab yang Halal


Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau
kuasa yang halal. Ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu
perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal
demi hukum”.

Kuasa yang palsu dapat terjadi jika suatu kuasa yang tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya atau kuasa yang disimulasikan. Kemungkinan juga telah
terjadi kekeliruan terhadap kuasanya. Dengan demikian, yang penting adalah

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 77

buku-5.indd 77 12/13/2010 11:00:07 PM


bukan apa yang dinyatakan sebagai kuasa, melainkan apa yang menjadi kuasa
yang sebenarnya.

a. Ahmadi Miru27
Isu selanjutnya adalah apa akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat sah
perjanjian. Terkait akibat hukum tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian,
Ahmadi Miru berpendapat sebagai berikut.
Istilah batal demi hukum yang disamakan dengan istilah kebatalan adalah
kontrak yang perjanjiannya tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya
kontrak. Yang merupakan syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian adalah
“suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”, misalnya objek kontrak tidak jelas
atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.
Sementara untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, juga digunakan istilah
pembatalan. Pembatalan kontrak sangat terkait dengan pihak yang melakukan
kontrak, maksudnya apabila pihak yang melakukan kontrak tersebut tidak cakap
menurut hukum, baik itu karena belum cukup umur 21 tahun atau karena di
bawah pengam­puan, kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh pihak
yang tidak cakap tersebut apakah diwakili oleh wali atau pengampunya atau
setelah dia sudah berumur 21 tahun atau sudah tidak di bawah pengampuan.
Pembatalan perjanjian dapat juga dilakukan karena salah satu pihak maupun
kedua belah pihak:
- belum dewasa,
- di bawah pengampuan,
- kontrak tersebut dibuat karena adanya paksaan, atau
- kekhilafan/kesesatan atau penipuan.

Pembatalan kontrak berakibat dipulihkannya keadaan sebagaimana sebelum


terjadinya kontrak. Pembatalan perjanjian dan pengembalian kepada keadaan
semula bagi orang yang tidak cakap melakukan kontrak hanya dapat dilakukan
selama barang tersebut masih ada pada pihak lawan atau pihak lawan tersebut
telah memperoleh manfaat daripadanya atau berguna bagi kepentingannya.

27 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Cetakan II, Yogyakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007).

78 Laporan Penelitian

buku-5.indd 78 12/13/2010 11:00:07 PM


b. Hendry P. Panggabean28
Selanjutnya, terdapat syarat sah subjektif perjanjian, yaitu kesepakatan, yang
terkait erat dengan ajaran penyalahgunaan keadaan. Jika syarat sah subjektif
kesepakatan tidak terpenuhi, terhadap perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalan.

Mahkamah Agung di Indonesia ataupun Hoge Raad di Belanda yang mengakui


adanya penyalahgunaan keadaan dalam kasus-kasus tersebut dan bahwa
NBW telah menambahkan ajaran penyalahgunaan keadaan sebagai alasan
hukum keempat untuk pembatalan perjanjian sehingga di dalam NBW
dapat diperinci alasan pembatalan perjanjian itu, dapat diakibatkan karena
ancaman (bedreiging), tipuan (bedrog), penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) berdasarkan Pasal 3: 44 lid 1 NBW dan bisa akibat adanya
kesesatan (dwaling) berdasarkan Pasal 6 : 228 lid 1 NBW.

c. R.M. Suryodiningrat29
R.M. Suryodiningrat lebih lanjut menjelaskan tentang pembedaan kebatalan
dan pembatalan perjanjian.
Pembahasan mengenai kebatalan (nietigheid) atau pembatalan
(vernietigbaarheid) dari perjanjian, hanya diuraikan dalam bagian uraian tentang
hapusnya perikatan. Penulis menguraikan bahwa penggunaan istilah mengenai
kebatalan/pembatalan tidak ada keseragaman, bahkan tidak begitu tegas apa
yang menjadi dasar pembedanya. Hal demikian juga kerap kali muncul dalam
undang-undang yang menggunakan istilah “kebatalan~batal demi hukum”,
sedangkan maksudnya adalah “pembatalan”. Contoh yang diberikan, misalnya
Pasal 1446 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perikatan yang dibuat
oleh orang yang belum dewasa atau yang berada di bawah pengampuan adalah
“batal demi hukum”, sedangkan yang dimaksudkan ialah “pembatalan” yang
terbukti dari kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa harus ada tuntutan
untuk dan atas nama mereka di muka pengadilan agar….(teks terpenggal)

Berdasarkan uraian tersebut, sebenarnya Penulis sudah ingin memberikan


kesimpulan sementara bahwa salah satu pembeda antara “kebatalan~batal

28 Hendry Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) SEBAGAI ALASAN


(BARU) UNTUK PEMBATALAN PERJANJIAN (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), Yogya-
karta: Liberty, 2001.
29 R.M. Suryodiningrat, Azas-Azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1978.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 79

buku-5.indd 79 12/13/2010 11:00:07 PM


demi hukum” dengan “pembatalan” dilihat dari ada/tidaknya tuntutan di muka
pengadilan untuk membatalkan perikatan. “Pembatalan” perjanjian harus ada
tuntutan, sedangkan “kebatalan” ditafsirkan negatif tidak harus ada tuntutan.

Pembedaan antara “kebatalan~batal demi hukum” dengan “pembatalan”,


diuraikan secara ringkas, yang dimulai dengan penjelasan mengenai “kebatalan
(nietigheid)~batal demi hukum”. “Kebatalan~batal demi hukum” yang dengan
kekuatan sendiri membuat perbuatan hukum tidak tercapai maksudnya,
menyebabkan perikatan berakhir dan perbuatan hukum dari semula tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum yang dimaksudkan. Perbuatan hukum
adalah “batal demi hukum” (perikatannya mengalami kebatalan) jika:
- terdapat pelanggaran formalitas, contohnya Pasal 1682 KUH Perdata: Hibah
dianggap “batal demi hukum” apabila hibah tidak dibuat dengan akta notaris;
- melanggar ketertiban umum, contohnya Pasal 1468 KUH Perdata: Pemilikan
hak-hak dan tuntutan-tuntutan hukum karena penyerahan kepada para
hakim, jaksa, panitera dan juru sita pengadilan, pengacara dan notaris
yang sedang menjadi sengketa pengadilan di dalam wilayahnya mereka
melakukan pekerjaan mereka, adalah “batal demi hukum” atau contoh lain
Pasal 1469 KUH Perdata: Pembelian di bawah tangan yang dilakukan oleh
para pegawai yang memangku jabatan umum mengenai barang-barang
yang dijual oleh atau di hadapan mereka untuk dirinya sendiri atau orang-
orang perantara adalah “batal demi hukum”;
- melanggar kesusilaan, contoh: Persetujuan antara suami dan istri yang
ditutup sebelum perceraian, di mana istri melepaskan haknya untuk
memperoleh nafkah dari suami (HR. 11 April 1919, NJ. 1919, 574, W.10442).

d. Hardjan Rusli30
Selanjutnya adalah isu tentang makna dari kata “hal tertentu” dan “sebab/kasus
yang dilarang”. Hardjan Rusli menjelaskannya sebagai berikut.
Kalau dihubungkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan salah
satu syarat sahnya perjanjian adalah “hal” yang tertentu dan kata “hal” ini berasal
dari bahasa Belanda onderwerp yang dapat diartikan pokok uraian atau pokok
pembicaraan (atau pokok persoalan) maka Zaak lebih tepat bila diterjemahkan
sebagai pokok persoalan (arti nomor 4 dalam kamus Prof. Drs. S. Wojowasito)
(hlm. 86).

30 Hardjan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993.

80 Laporan Penelitian

buku-5.indd 80 12/13/2010 11:00:07 PM


Undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan sebab atau
kausa yang dalam bahasa Belanda disebut Oorzaak. Oleh karena itu, banyak
ahli hukum yang mencoba memberikan tafsirannya, antara lain H.F.A. Vollmar
dan Dr.R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. yang menafsirkan sebab (kausa) sebagai
maksud atau tujuan dari perjanjian. Sementara Prof. Subekti menyatakan bahwa
sebab adalah isi perjanjian itu sendiri. Misalnya perjanjian sewa-menyewa,
isinya satu pihak mengingini kenikmatan suatu barang, sedangkan pihak lain
menghendaki uang. Jadi, Prof. Subekti mengatakan sebab sebagai prestasi dan
kontraprestasi (hlm. 91).

Istilah sebab (kausa) dalam bahasa Inggris adalah consideration. Menurut


Arres H.R. 29 Desember 1911, dulu orang menganggap bahwa sebab atau
consideration merupakan kewajiban (promise) saja (hlm 92). Karena pengertian
sebab atau consideration harus merupakan suatu kontrajanji (kewajiban) sudah
tidak diikuti lagi maka sebab yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KHU Perdata
itu adalah sebab perjanjian, yaitu dapat sebagai kewajiban (promise) atau dapat
sebagai prestasi/syarat (performance).

Section 71 (3) Restatement Second menjelaskan tentang apa yang dimaksud


dengan performance/prestasi sebagai:

a. suatu perbuatan (an act) yang bukan suatu janji (kewajiban);


b. tidak berbuat sesuatu (a for bearance); atau
c. penciptakan/kreasi, perubahan/modifikasi atau penghapusan dari suatu
hubungan hukum (hlm. 93).

Salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebab yang halal. Pengertian
sebab yang halal adalah:

a. sebab yang tidak terlarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang;


b. sebab yang sesuai dengan kesusilaan baik;
c. sebab yang sesuai dengan ketertiban umum.
(Pasal 1337 KUH Perdata)

Suatu sebab yang bertentangan dengan undang-undang akan menyebabkan


perjanjiannya menjadi batal bila perjanjian itu menyebabkan timbulnya akibat
yang bertentangan dengan undang-undang atau yang membahayakan
kepentingan umum (public interest/policy) (lihat Arres H.R. 7 Desember 1934,
Hoetink 93).

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 81

buku-5.indd 81 12/13/2010 11:00:07 PM


e. Yanti Ariavianti31
Terkait dengan syarat subjektif sah perjanjian, yaitu “kesepakatan”, Yanti Ariavianti
menjelaskan lebih lanjut tentang dapat dibatalkannya suatu perjanjian ketika
terdapat cacat tersembunyi dalam suatu perjanjian jual-beli.

Pembatalan perjanjian dapat dilakukan oleh pembeli (karena yang diteliti


berhubungan dengan kontrak jual-beli internasional) dengan alasan terdapat
cacat tersembunyi dalam barang yang menjadi objek jual-beli. (Pasal 1502 KUH
Perdata). Namun, berdasarkan hasil penelitian Penulis, pembatalan perjanjian
karena cacat tersembunyi ini, tidak terdapat dalam CISG. Kesimpulan Penulis,
alasan pembatalan kontrak jual-beli internasional dengan alasan cacat
tersembunyi dapat menimbulkan dampak kerugian yang cukup besar bagi para
pihak sehingga tidak tepat kalau perjanjian tersebut serta merta menjadi batal.
Oleh sebab itu, kontrak jual-beli internasionalnya tetap dinyatakan berlaku
(walaupun menurut Pasal 1503 KUH Perdata dinyatakan batal) dan upaya yang
dapat dilakukan lebih baik dengan meminta penggantian barang dan menuntut
ganti rugi kepada pihak lainnya, daripada menyatakan perjanjian tersebut batal
sehingga Penulis menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 1502 KUH Perdata
dapat dikategorikan sebagai salah satu syarat batalnya perjanjian (khususnya
perjanjian jual-beli).

9. Terpenuhinya Syarat Batal pada Jenis Perjanjian yang Bersyarat


a. Subekti32
Dalam Hukum Perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku
surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat
yang apabila terpenuhi akan menghentikan perjanjiannya, dan membawa
segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada
suatu perjanjian, seperti yang diatur di dalam Pasal 1265 KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa:

Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan,
dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak
pernah ada suatu perikatan.

31 Yanti Ariavianti, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Hukum Kontrak Jual-Beli di Dalam Hukum
Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia Dalam Rangka Upaya
Pembangunan Hukum Indonesia di Bidang Kontrak Jual-beli Internasional,” Perpus FH UNPAR.
32 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Jakarta: Intermasa, 1998.

82 Laporan Penelitian

buku-5.indd 82 12/13/2010 11:00:08 PM


Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; ia hanyalah mewajibkan
si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa
yang dimaksudkan terjadi.

b. Herlien Boediono33
Selanjutnya, juga dibahas tentang andil “asas keseimbangan” dalam pembatalan
suatu perjanjian berdasarkan syarat batal yang tercantum dalam perjanjian itu
sendiri.

Alasan pembatalan perjanjian yang termuat di dalam perundang-undangan


menjadi relevan dalam hal suatu perjanjian memuat syarat-syarat batalnya
perjanjian dan selanjutnya pembatalan akan terjadi bila syarat tersebut terpenuhi.
Selain itu, pembatalan perjanjian dapat terjadi karena salah satu pihak diberi
kewenangan membatalkan perjanjian dengan mengeluarkan suatu pernyataan,
yakni jika fakta atau keadaan tertentu terjadi. Pada prinsipnya, kewenangan
pihak dalam kontrak untuk membatalkan perjanjian baik seluruhnya maupun
sebagian, dilandaskan pada asas keseimbangan. Keseimbangan tersebut
haruslah tercapai antara hak atau kewenangan memajukan kepentingan
sendiri berhadapan dengan kewajiban untuk berperilaku dalam hubungan
sosial secara patut. Pembatalan hanya menjadi mungkin bila pilihan tersebut
merupakan opsi yang riil dan secara nyata ada “cacat/penyimpangan yang
mendasar”. Pilihan riil demikian dikatakan muncul bila dalam suatu perjanjian
ada “alternatif yang wajar” membatasi kewenangan membatalkan perjanjian.
Oleh karena itu, seharusnya pembatalan perjanjian merupakan upaya terakhir
bagi para pihak (salah satu pihak) dalam menentukan pilihan tersebut karena
alasan yang wajar dan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak dan
kewenangan yang dimilikinya.

10. Pembatalan oleh Pihak Ketiga Atas Dasar Actio Pauliana


a. Subekti34
Pasal 1340 KUH Perdata menegaskan lagi asas kepribadian suatu perjanjian,
seperti yang sudah dikemukakan oleh Pasal 1315 dengan menyebutkan janji
untuk pihak ketiga sebagai satu-satunya kemungkinan bagi seorang pihak

33 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
34 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Jakarta: Intermasa, 1998.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 83

buku-5.indd 83 12/13/2010 11:00:08 PM


ketiga untuk memperoleh sesuatu manfaat dari suatu perjanjian. Dengan nama
Actio Pauliana oleh Pasal 1341 kepada seorang kreditur diberikan hak untuk
mengajukan pembatalan terhadap segala perbuatan yang tak perlu dilakukan
oleh debiturnya, yang merugikan baginya. Perkataan mengajukan pembatalan
ditafsirkan demikian sehingga kreditur itu tidak usah mengajukan gugatan
membatalkan perbuatan atau perjanjian yang telah dilakukan atau dibuat oleh
debitur-debiturnya, tetapi ia juga boleh menganggap batal semua perbuatan
atau perjanjian tersebut, yang berarti tidak berlaku baginya.

b. Herlien Boediono35
Terdapat perbedaan antara perjanjian atas beban dengan perjanjian cuma-cuma.
Rutten berpendapat bahwa untuk membedakan perjanjian atas beban dengan
perjanjian cuma-cuma cukup menilai apakah salah satu pihak mendasarkan
pada keinginan semata-mata untuk memberi.

Pembedaan antara kedua ragam perjanjian tersebut penting dalam kaitannya


dengan Actio Pauliana (Pasal 1341 KUH Perdata). Salah satu unsur untuk tuntutan
kreditor berdasarkan Actio Pauliana adalah adanya perbuatan yang tidak
diwajibkan atau perbuatan yang dilakukan oleh kreditor dapat digolongkan
sebagai perjanjian cuma-cuma yang merugikan kreditor. Di samping ukuran
kecuma-cumaan, tentunya masih ada unsur lain untuk membuktikan adanya
Actio Pauliana.

c. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja36


Actio Pauliana hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan putusan
Hakim Pengadilan. Dengan demikian, berarti setiap pembatalan perjanjian,
apa pun alasannya, pihak mana pun juga yang mengajukannya, tetap menjadi
wewenang Pengadilan. Dengan dijatuhkannya putusan yang membatalkan
perjanjian atau tindakan yang merupakan kepentingan kreditor (khususnya
harta kekayaan debitor), seluruh orang dan kebendaannya dikembalikan seperti
semula.

35 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
36 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya), Cetakan
II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

84 Laporan Penelitian

buku-5.indd 84 12/13/2010 11:00:08 PM


Yang cukup menarik dalam buku ini, Penulis menghubungkan masalah
pembatalan yang notabene karena adanya Actio Pauliana dengan Undang-
Undang Kepailitan (tidak disebutkan nomornya) Pasal 41 sampai dengan
Pasal 44. Adanya actio pauliana yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan
ini menyebabkan dapat dimintakan pembatalan perbuatan hukum melalui
Pengadilan (Pengadilan Niaga).

Akibat pembatalan terhadap perjanjian yang telah dibuat karena adanya


ketidakcakapan dan yang terjadi karena kekhilafan, paksaan, penipuan,
membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan
sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat.

C. Analisis Putusan Pengadilan tentang


Topik Kebatalan Perjanjian
Pengumpulan data putusan pengadilan dilaksanakan di Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Putusan yang dikumpulkan adalah putusan-putusan di bidang perdata
yang memuat bahwa suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum dan putusan
telah berkekuatan hukum tetap. Pengumpulan data juga dilakukan terhadap
putusan-putusan MA di bidang perdata yang telah menjadi yurisprudensi.

Sementara ini, tim peneliti telah melakukan analisis awal terhadap putusan-
putusan tersebut. Berdasarkan hasil analisis awal terhadap Yurisprudensi MA RI
tahun buku 1969 sampai dengan tahun 2008, tim peneliti telah menyeleksi 17
yurisprudensi yang berkaitan dengan pembatalan perjanjian. Dari 17 yurisprudensi
tersebut, sebanyak 12 yurisprudensi di dalamnya memuat amar putusan yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian itu batal demi hukum. Yurisprudensi lainnya
di dalamnya memuat amar putusan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian itu
dinyatakan batal.

Berikut ini hasil seleksi terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung di bidang


perdata, sejak tahun 1969 sampai dengan 2008:
1. Putusan No. 1180 K/SIP/1971;
2. Putusan No. 76 K/SIP/1973;
3. Putusan No. 147 K/SIP/1973;
4. Putusan No. 3597 K/SIP/1985;

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 85

buku-5.indd 85 12/13/2010 11:00:08 PM


5. Putusan No. 522 K/Pdt/1990;
6. Putusan No. 2370 K/Pdt/1992;
7. Putusan No. 2691 K/Pdt/1996;
8. Putusan No. 701 K/Pdt/1997;
9. Putusan No. 1974 K/Pdt/2001;
10. Putusan No. 1400 K/Pdt/2001;
11. Putusan No. 252 K/Pdt/2002.

Berdasarkan hasil analisis awal terhadap putusan-putusan MA RI yang telah


berkekuatan hukum tetap sejak tahun 1980 sampai 2008, tim peneliti telah
menyeleksi kurang lebih 49 putusan MA di bidang perdata yang telah berkekuatan
hukum tetap, yang di dalamnya memuat amar putusan yang menyatakan bahwa
suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum. Berikut ini hasil seleksi terhadap
putusan MA RI di bidang perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, sejak tahun
1980 sampai 2008:

No. Klasifikasi Tahun No. Perkara Kaidah dan Dasar Hukum


Perkara

1. Perjanjian baru 1949 MA RI No. Reg. 16 C/ Perjanjian dibatalkan karena


Civ./1949 kesepakatan para pihak mem-
buat perjanjian baru.

2. Sebab yang tidak 1951 PT Jakarta No. Perjanjian atas dasar causa
diizinkan 62/1951 Pdt Tanggal yang tidak diperkenankan/
29 Agustus 1951 tidak diizinkan adalah batal se-
luruhnya dan seharusnya oleh
hakim atas kekuasaan jabatan-
nya dibatalkan.

3. Perjanjian ber- 1952 MA RI No. 62 dan 62a Dalam hal perjanjian bersyarat,
syarat K/Sip./1952 perjanjian tidak dapat dilak-
sanakan selama syarat belum
dilaksanakan.

4. Perjanjian menurut 1954 MA RI No. 57/ K./ Menurut Hukum Adat, suatu
Hukum Adat Sip./1953 Tanggal 18 perjanjian yang antara kedua
Maret 1954 belah pihak terjadi perselisih­
an (pinjaman yang akan di­
bayar kembali dengan barang),
tidak dapat dibatalkan dengan
alasan tak menepati perjanjian
tersebut.

86 Laporan Penelitian

buku-5.indd 86 12/13/2010 11:00:08 PM


5. Pemungkiran per- 1956 MA RI No. 152 K/ Pemungkiran suatu perjanjian
janjian Sip./1955 yang tidak sempurna dijalan­
kan tidak dapat dipandang
sebagai suatu pemungkiran
yang sah.

6. Kondisi perang 1957 Yurisprudensi MA Kondisi perang mengaki-


(force majeure) RI Reg. No. 15 K/ batkan pelaksanaan prestasi
Sip./1957 Tanggal 16 secara normal tidak mung-
Desember 1957 kin dilakukan. Debitur tidak
dapat dihukum membayar
cicilan apabila dapat mem-
buktikan bahwa terhalangnya
pelaksanaan prestasi timbul
dari keadaan yang selayaknya
ia tidak bertanggung gugat.
Hanya saja, dalam putusan
tersebut disebutkan bahwa
risiko yang termasuk dalam
overmacht harus dimasukkan
dalam klausula perjanjian.

7. Kebatalan karena 1972 MA RI No. 1180 K/ Unsur paksaan (dwang), yang


paksaan Sip./1971 Tanggal 12 menurut Pasal 1321 jo Pasal
April 1972 1323 BW menghilangkan
adanya perizinan bebas yang
disebutkan oleh Pasal 1320 BW,
merupakan salah satu unsur
untuk sahnya perjanjian. Arti
paksaan diatur dalam Pasal
1324 BW, dan merupakan
suatu persoalan hukum yang
yang menjadi wewenang Ma-
jelis Hakim untuk mempertim-
bangkannya. Syarat penting
dalam Pasal 1324 BW menge-
nai paksaan adalah ketakutan
akan terjadinya suatu kerugian
yang besar dan mendadak
pada dirinya atau kekayaan
orang yang bersangkutan.

8. Perjanjian jual-beli 1980 MA RI No. 147 K/ Perjanjian jual-beli dianggap


Sip./1979 Tanggal 25 tidak sah karena mengandung
September 1980 suatu sebab yang dilarang oleh
undang-undang (ongeoor-
loofde oorzaak), yaitu

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 87

buku-5.indd 87 12/13/2010 11:00:08 PM


dalam kasus ini, ingin me-
nyelundupi ketentuan dalam
Pasal 5 jo 21 Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) yang
menyatakan bahwa hanya WNI
dapat mempunyai hak milik.
Dari kesaksian kuasa penjual
diketahui bahwa para tergu-
gat asal bukan pembeli yang
sebenarnya, melainkan hanya
dipinjam namanya, sedang-
kan pembeli yang sebenarnya
adalah penggugat asal yang
pada waktu itu masih seorang
warga negara asing. Dengan
dibatalkannya akta jual-beli
maka rumah dan tanah seng-
keta (objek jual-beli) kembali
pada pemilik semula.

9. Akibat dari over- 1984 Putusan MA No. 409 Jika dapat dibuktikan bahwa
macht terhadap K/Sip/1983 Tanggal 25 terjadi overmacht maka per-
perjanjian Oktober 1984 janjian dapat dibatalkan dan
debitur tidak dapat dibeban­
kan penggantian kerugian.

10. Akibat dari over- 1984 Putusan MA No. 3389 MA mengakui bahwa mun-
macht terhadap K/PDT/1984 culnya tindakan administratif
perjanjian penguasa yang menentukan
atau mengikat adalah suatu
kejadian yang tidak dapat di-
atasi oleh para pihak dalam
perjanjian dan dianggap seba-
gai overmacht sehingga mem-
bebaskan pihak yang terkena
dampak dari mengganti
kerugian. Overmacht tersebut
bersifat relatif, yang mengaki-
batkan pelaksanaan prestasi
secara normal tidak mungkin
dilakukan, atau untuk semen-
tara waktu ditangguhkan sam-
pai ada perubahan kebijakan
atau tindakan penguasa yang
berpengaruh pada pelaksana­
an prestasi.

88 Laporan Penelitian

buku-5.indd 88 12/13/2010 11:00:08 PM


11. Perjanjian jual-beli 1987 Putusan MA RI No. Jual-beli tanah/rumah sesuai
dengan hak mem- 3597 K/Pdt/1985 dengan UUPA dikuasai oleh
beli kembali Tanggal 7 Mei 1987 hukum adat, dan berdasar-
kan yurisprudensi, hukum
Adat tidak mengenal bentuk
jual-beli dengan hak mem-
beli kembali. Oleh karena itu,
perjanjian antara penggugat
dan tergugat dalam perkara ini
adalah batal demi hukum.
12. Jual-beli tanah 1991 Putusan MA RI No. Akta pelepasan hak dengan
4091 K/PDT/1989 pemberian ganti rugi dinyata-
Tanggal 30 November kan batal demi hukum karena
1991 tidak memenuhi ketentuan
Pasal 1320 BW, dalam hal ini
pihak pelepas hak tidak mem-
punyai hak sedikit pun untuk
menjual, menjaminkan, dan
atau memiliki objek perkara
sehingga perjanjian pelepasan
hak dianggap tidak pernah ter-
jadi.
13. Perjanjian hibah 1991 Putusan MA RI No. Perjanjian pembagian harta
tanah warisan 1479 K/Pdt/1990 warisan yang dituangkan di
Tanggal 8 Oktober dalam akta dinyatakan batal
1991 demi hukum karena tidak sah
dan melawan hukum. Selain
merugikan hak ahli waris yang
berhak, juga tanpa dibuat oleh
dan di hadapan PPAT sesuai PP
No. 10 tahun 1961.
14. 1991 Putusan MA RI No. Dalam kasus ini, perjanjian
1205 K/Pdt/1990 batal demi hukum karena me-
Tanggal 14 Desember langgar Keputusan Presiden
1991 No. 43/1971 dan Keputusan
Presiden No. 38/1978 tentang
larangan mengimpor gula se-
cara perseorangan, melainkan
hanya BULOG yang berwenang.
Kebebasan berkontrak dibatasi
oleh ketentuan perundang-
undangan di Indonesia, artinya
walaupun bebas namun suatu
perjanjian dilarang melanggar
kepatutan, kebiasaan, dan un-
dang-undang (Pasal 1338 dan
1339 BW). Selain itu, sebab

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 89

buku-5.indd 89 12/13/2010 11:00:08 PM


yang halal mengenai objek
juga merupakan salah satu
syarat sahnya perjanjian (1337
BW).

15. Perjanjian jual-beli 1992 Putusan MA RI No. Perjanjian dibuat bukan atas
1535 K/PDT/1990 keinginan diri sendiri, padahal
Tanggal 29 Februari hukum acara perdata men-
1992 syaratkan perjanjian terhadap
semua objek yang bernilai di-
lakukan sendiri oleh pemilik/
diri sendiri (yang berwenang)
atau berdasarkan kuasa khusus
untuk itu. Oleh karena itu, su-
dah selayaknya perjanjian din-
yatakan batal demi hukum.

16. Hak atas tanah 1992 Putusan MA RI No. 1. Jual-beli tanah adat oleh
522K/Pdt/1990 Tang- Pribumi (penduduk asli)
gal 29 April 1992 kepada nonpribumi (Tiong-
hoa, Arab, Eropa) yang ter-
jadi sebelum dibentuknya
UUPA adalah tidak sah dan
batal demi hukum, sesuai
ketentuan Vervreemdings-
verbod St. 1875No.179.

2. Dan dengan dibatalkan-


nya jual-beli tersebut, ber-
dasarkan Pasal VII konversi
UUPA jo Pasal 20 Peraturan
Menteri Agraria No. 1/1960,
tetap menjadi hak Pemilik
asal.

3. Tuntutan atas hak milik


berdasarkan warisan tidak
mengenal lampau waktu,
dan dalam hal ini juga tidak
berlaku asas pelepasan
hak.

4. Sertifikat tanah yang berasal


dari distribusi yang melang-
gar ketentuan-ketentuan
landreform tidak mengikat
dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.

90 Laporan Penelitian

buku-5.indd 90 12/13/2010 11:00:08 PM


17. Sewa menyewa 1994 Putusan MA RI No. 613 Adanya itikad tidak baik dari
K/Pdt/1991 Tanggal 26 pihak pemberi sewa di mana
Februari 1994 pemberi sewa bukanlah pihak
yang berwenang atas tanah
tersebut karena proses pemi-
likannya melalui hibah tidak
memenuhi syarat objektif se­
hingga tindakan pemberi sewa
menyewakan objek kepada
pihak ketiga tidak memenuhi
syarat sebab yang halal, oleh
karenanya perjanjian batal
demi hukum, sejak semula di-
anggap tidak pernah terjadi.
18. Perjanjian jual-beli 1994 Putusan MA RI No. Dalam kasus perjanjian jual-
1405 K/Pdt/1992 Tang- beli, salah satu pihak wan-
gal 15 Agustus 1994 prestasi atau tidak melakukan
kewajibannya, misalnya tidak
membayar cicilan yang diten-
tukan. Pelanggaran terhadap
perjanjian yang belum sele-
sai tersebut harus dinyatakan
batal demi hukum karena tidak
memenuhi syarat objektif per-
janjian. Dengan demikian,
dianggap tidak pernah ada
perikatan dan keadaan dikem-
balikan seperti semula.
19. Perjanjian jual-beli 1994 Putusan MA RI No. Salah satu pihak melakukan
hak sewa 1435 K/Pdt/1992 Tang- wanprestasi maka perjanjian
gal 18 Agustus 1994 dinyatakan batal demi hukum.
Dengan demikian, tidak ada
dasar bagi para pihaknya untuk
saling menuntut di depan ha-
kim. Perjanjian yang demikian
itu dikatakan “null and void”.
20. 1994 Putusan MA RI No. Surat perjanjian jual-beli da-
1421 K/Pdt/1992 Tang- pat dinyatakan batal demi hu-
gal 7 Oktober 1994 kum apabila salah satu pihak
di­nyatakan oleh Pengadilan
telah melakukan perbuatan
melanggar hukum. Dalam ka-
sus ini, tergugat telah melaku-
kan hal yang bertentangan
dengan hak orang lain, yaitu
mengubah nama perusahaan
kapur Tohor Usaha Jaji Lolo mi-
lik penggugat menjadi CV

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 91

buku-5.indd 91 12/13/2010 11:00:08 PM


Buana Industri tanpa sepenge-
tahuan dan seizin pemilik. De­
ngan demikian, syarat objektif
perjanjian tidak terpenuhi,
yaitu sebab yang halal. Perbu­
atan yang telah dilakukan oleh
tergugat telah menunjukkan
adanya itikad tidak baik (Pasal
1338 BW).

21. Utang piutang 1995 Putusan MA RI No. Perjanjian penjaminan utang


2456 K/Pdt/1993 tidak sah jika surat perjan-
Tanggal 31 Maret jian penjaminan adalah surat
1995 blanko.
22. Jual-beli 1998 Putusan MA RI No. Perjanjian mengenai peralihan
2046 K/PDT/1995 hak atas tanah dan bangunan
Tanggal 23 Juni 1998 sengketa yang diterbitkan ber-
dasarkan adanya causa yang
dilarang sehingga kedua akta
tersebut harus dinyatakan
batal demi hukum.
23. Jual-beli 1997 Putusan MA RI No. Dalam hal tidak dapat dibuk-
2370K/PDT/ 1992 tikan bahwa peristiwa yang
Tanggal 19 Septem- terjadi bukanlah jual-beli, me-
ber 1997 lainkan utang piutang maka
jual-beli tetap dianggap sah.
Dengan sahnya jual-beli maka
perbuatan penghibahan ber-
dasarkan akta No. 6/VIII/1983
tanggal 31 Agustus 1982 dan
sertifikat Hak Milik No. 30/
Desa Nagarawangi adalah sah
menurut hukum (Pasal 1457
dan 1458 BW).
24. Jual-beli tanah har- 1998 Putusan MA RI No. Perjanjian lisan baru meru-
ta bersama 2691 K/Pdt/1996 pakan perjanjian permulaan
Tanggal 18 Septem- yang akan ditindaklanjuti dan
ber 1998 belum dibuat di depan no-
taris maka belum mempunyai
kekuatan mengikat bagi para
pihak yang membuatnya dan
karena itu tidak mempunyai
akibat hukum. Perjanjian lisan
menjual tanah harta bersama
yang dilakukan suami dan be-
lum disetujui istri maka perjan-
jian tersebut tidak sah menurut
hukum.

92 Laporan Penelitian

buku-5.indd 92 12/13/2010 11:00:08 PM


25. Jual-beli tanah 1999 Putusan MA RI No. Jual-beli tanah yang merupa­
701 K/PDT/1997 Tang- kan harta bersama harus di­
gal 24 Maret 1999 setujui pihak istri atau sua-
mi. Harta bersama berupa
tanah yang dijual suami tanpa
persetujuan istri adalah tidak
sah dan batal demi hukum.
Sertifikat tanah yang dibuat
atas dasar jual-beli yang tidak
sah tidak mempunyai kekua-
tan hukum.
26. Pelelangan 1999 Putusan MA RI No. Bahwa yang menjadi pokok
112 K/PDT/1997 Tang- persoalan dalam perkara ini
gal 20 April 1999 adalah apakah pelelangan da-
pat dibatalkan atas alasan:
1. harga lelang jauh lebih ren-
dah dari nilai hipotek;
2. harga lelang jauh lebih ren-
dah dari nilai objek jami-
nan;
3. pemenang lelang adalah pe-
gawai dari Pemohon lelang.
Bahwa Mahkamah Agung
berpendapat dalam hal ter-
jadi kecurangan atau pele-
langan telah dilaksanakan
secara ceroboh dan tidak
sesuai dengan peraturan
yang berlaku, pelelangan
tersebut dapat dibatalkan
melalui suatu gugatan yang
diajukan kepada Pengadil­
an Negeri.
27. Perjanjian jual- 1999 Putusan MA RI No. Apabila suatu putusan pidana
beli batal karena 309 K/PDT/1997 Tang- mempunyai sangkut paut den-
terkait dalam pu- gal 22 Juli 1999 gan perjanjian yang dibuat
tusan pidana para pihak maka dapat mem-
punyai akibat hukum terhadap
perjanjian yang bersangkutan.
Dalam hal ini, perjanjian yang
bersangkutan dapat dinyata-
kan batal demi hukum.
28. 2000 Putusan MA RI No. Mengenai akta jual-beli saham
2082 K/PDT/1995 terbukti tidak pernah disetujui
Tanggal 23 Februari dan ditandatangani tergugat.
2000 Dengan demikian, patut dan
layak dinyatakan batal demi
hukum.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 93

buku-5.indd 93 12/13/2010 11:00:08 PM


29. Harta bersama 2002 Putusan MA RI No. Putusan batal demi hukum
209 K/PDT/2000 Tang- atas perjanjian kredit tersebut
gal 26 Februari 2002 disebabkan tidak terpenuhi­
nya suatu sebab yang halal
sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 BW. Objek yang
diperjanjikan adalah harta ber-
sama sehingga apabila hendak
dijaminkan/dialihkan kepada
pihak lain oleh suami harus
mendapatkan persetujuan
dari istri sebagai pihak yang
berhak.
30. Jual-beli 2002 Putusan MA RI No. Akta yang dalam pembuatan­
1873 K/PDT/2001 nya mengandung cacat ke-
Tanggal 3 Oktober hendak dan juga penipuan
2002 dinyatakan batal demi hukum.
31. Hibah 2002 Putusan MA RI No. Hibah yang tidak dilakukan
2992 K/PDT/2000 oleh pemilik objek hibah keti-
Tanggal 08 Oktober ka masih hidup dan yang tidak
2002 dilakukan dengan akta otentik
(akta yang dibuat oleh notaris)
adalah tidak sah, dan oleh ka­
re­nanya batal demi hukum.
32. Jual-beli piutang 2002 Putusan MA RI No. 48 Di dalam jual-beli piutang
K/PDT/2000 Tanggal tidak ada aturan yang meng-
18 Oktober 2002 atur atau mengharuskan para
pihak yang terlibat jual-beli
piutang untuk memberitahu-
kannya kepada debitur, bahwa
utangnya telah dialihkan atau
dijual.
33. Penguasaan tanah 2003 Putusan MA RI No. Karena hak penguasaan di­
343 K/PDT/2004 Tang- nyatakan tidak sah maka su-
gal 22 Januari 2003 rat-surat yang terkait dengan
penguasaan tanah tanpa alas
hak yang sah dinyatakan batal
demi hukum.
34. Utang piutang 2003 Putusan MA RI No. Perjanjian utang piutang de­
2338 K/PDT/1998 ngan menggunakan jaminan
Tanggal 28 Agustus yang bukan hak miliknya dan
2003 tanpa persetujuan pihak yang
berwenang dan surat kuasa
yang melawan hukum untuk
digunakan dan mendapatkan
keuntungan sendiri adalah
batal demi hukum atas semua
perjanjian yang ada kemudian.

94 Laporan Penelitian

buku-5.indd 94 12/13/2010 11:00:09 PM


35. Jual-beli 2003 Putusan MA RI No. Perjanjian jual-beli atas suatu
5072 K/PDT/1998 objek yang kepemilikannya
Tanggal 29 Septem- belum pasti adalah batal demi
ber 2003 hukum karena tanpa alas hak
yang sah dan tidak memenuhi
syarat halalnya dasar perjan-
jian tersebut.
36. Jual-beli dan per­ 2003 Putusan MA RI No. Bahwa peralihan hak atas ta-
alihan hak atas 1974 K/PDT/2001 nah batal demi hukum apabila
tanah Tanggal 29 Septem- akte jual-beli tanah dinyata-
ber 2003 kan cacat hukum oleh karena
pemalsuan tanda tangan. Na-
mun, mengenai pemalsuan
tersebut harus dibuktikan ter-
lebih dahulu melalui pemerik-
saan laboraturium kriminologi
atau ada putusan pidana yang
menyatakan tanda tangan di-
palsukan.
37. Jual-beli dan hak 2001 Putusan MA RI No. Perjanjian jual-beli dengan hak
membeli kembali 153 K/PDT/2001 membeli kembali adalah batal
demi hukum berdasarkan pu-
tusan Mahkamah Agung RI
tanggal 20 Maret 1989 No.381
PK/Pdt/1986, yang sudah
merupakan/dijadikan standar
yurisprudensi. Dengan jelas
dinyatakan sebagai berikut.
1. Perjanjian jual-beli tanah
dengan hak membeli kem-
bali pada hakikatnya adalah
sama dengan gadai gelap/
bank gelap, yang keduanya
adalah ilegal.
2. Perjanjian jual-beli de­ngan
hak membeli kembali terse-
but menurut Mah­kamah
Agung RI adalah batal demi
hukum, oleh karena se-
menjak berlakunya UUPA
No.5/1960 telah ditentu-
kan bahwa Hukum Agraria
yang berlaku atas bumi, air,
dan ruang angkasa ialah
berdasarkan Hukum Adat.
Hal ini berarti Lembaga
Hukum Jual-beli dengan
Hak Membeli Kembali se-
jauh mengenai tanah, tidak
lagi dikenal dalam Hukum
Agraria kita.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 95

buku-5.indd 95 12/13/2010 11:00:09 PM


3. Bahwa dengan demikian,
perjanjian jual-beli tanah
dengan hak membeli kem-
bali atas tanah sengketa
adalah batal demi hukum.
Karena itu, menjadi batal
demi hukum juga perjan-
jian jual-beli atas tanah
seng­keta berdasar atas akta
jual-beli.

38. Tanah 2003 Putusan MA RI No. Bahwa penggunaan surat


1400 K/Pdt/2001 kuasa mutlak sebagai pemin-
Tanggal 2 Januari dahan hak atas tanah tidak
2003 diperbolehkan berdasarkan
instruksi Menteri Dalam Ne­
geri No. 14/1982. Oleh karena
itu, pengalihan hak atas tanah
yang berdasarkan surat kuasa
mutlak batal demi hukum.

39. Hibah 2003 Putusan MA RI No. Hibah merupakan bagian


507 K/PDT/2001 Tang- dari hukum perjanjian dan
gal 27 Januari 2003 digolongkan perjanjian untuk
memberikan atau menyerah-
kan sesuatu di waktu hidup-
nya, sebagaimana diatur da-
lam Pasal 1314 ayat (1), Pasal
1666 sampai Pasal 1693 BW.
Oleh karena digolongkan se-
bagai suatu perjanjian maka
harus tunduk dan mengikuti
ketentuan Pasal 1320 BW Per-
data. Dalam hal hibah tidak sah
maka akta atau perjanjian yang
dibuat berdasarkan kepemili-
kan atas objek hibah harus di­
nyakan batal demi hukum.

40. Sewa menyewa 2004 Putusan MA RI No. Perjanjian sewa menyewa


1330 K/PDT/2002 batal demi hukum dengan
Tanggal 29 April 2004 segala akibat hukumnya ka­
rena perjanjian perpanjangan
sewa tidak sah, yang disebab-
kan perjanjian sewa menyewa
tersebut dibuat sebelum per-
janjian awal sewa menyewa
berakhir, dan dilakukan tanpa
seizin/memberi tahu terlebih
dahulu kepada pemilik (Pasal
1335 BW).

96 Laporan Penelitian

buku-5.indd 96 12/13/2010 11:00:09 PM


41. Jual-beli 2004 Putusan MA RI No. Perjanjian jual-beli dianggap
252 K/PDT/2002 Tang- tidak wajar karena tidak me-
gal 11 Juni 2004 menuhi syarat sahnya jual-beli
dalam BW, yaitu jual-beli di-
lakukan secara nilai dan kontan.
Oleh karena itu, di­simpulkan
perjanjian jual-beli tersebut
hanya rekayasa dan cacat hu-
kum, dan oleh ka­renanya harus
dinyatakan batal demi hukum
beserta semua akibat hukum
yang timbul akibatnya.

42. Utang piutang 2004 Putusan MA RI No. Perjanjian kredit yang men­
653 K/PDT/2002 Tang- jaminkan tanah tanpa melibat-
gal 16 Desember 2004 kan persetujuan dari pemilik
tanah adalah perbuatan me­
lawan hukum sehingga harus
dibatalkan demi hukum.

43. Jual-beli 2005 Putusan MA RI No. Perjanjian jual-beli atas tanah


2249 K/PDT/2003 sengketa dinyatakan batal
Tanggal 11 Mei 2005 demi hukum karena termasuk
perbuatan melawan hukum.

44. Jual-beli 2005 Putusan MA RI No. Dengan tidak terpenuhinya


3335 K/PDT/2003 syarat-syarat sebagaimana
Tanggal 14 Juni 2005 dimaksud dalam Pasal 1320
KUH Perdata di dalam perjan-
jian jual-beli, di mana tidak ada
kesepakatan dari pihak peng-
gugat I sebagai pihak yang
namanya tercantum sebagai
penjual dalam surat jual-beli
untuk menjual tanah, dan tidak
terpenuhinya syarat sebab
yang halal dikarenakan adanya
unsur penipuan maka jual-beli
tersebut menjadi tidak sah
menurut hukum.

45. Kewenangan 2005 Putusan MA RI No. Penguasaaan dan perjanjian


2668 K/PDT/2003 yang dilakukan dan tidak di-
Tanggal 6 Desember dasarkan pada kewenangan
2005 yang sah harus dinyatakan
batal demi hukum.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 97

buku-5.indd 97 12/13/2010 11:00:09 PM


46. Utang piutang 2006 Putusan MA RI No. Perjanjian utang piutang de­
1864 K/PDT/2003 ngan jaminan tanah yang di­
Tanggal 30 Januari alihkan kepada pihak lain un-
2006 tuk diadakan perjanjian utang
piutang lain, tanpa ada surat
kuasa yang sah dari penggugat
kepada tergugat dan tanpa izin
penggugat penggunaan ser-
tifikat atas tanah yang dimiliki
penggugat sebagai jaminan
utang lain maka semua per­
janjian dan penjaminan serta
perbuatan hukum lainnya yang
terkait dengan pe­ngalihan ja-
minan milik penggugat adalah
batal demi hukum dan kembali
kepada kondisi semula (Pasal
1320 BW).

47. Perjanjian dengan 2006 Putusan MA RI No. 09 Walaupun perjanjian jual-beli


menggunakan do- K/PDT/2005 Tanggal di bawah tangan telah me-
kumen palsu 31 Mei 2006 menuhi syarat sahnya per­
janjian Pasal 1320 KUH Perdata,
akan tetapi karena dokumen
surat-surat atas objek jual-beli
sebagai bukti telah dipenuhi­
nya syarat formil untuk pem-
buatan akta tentang peng­
ikatan jual adalah tidak benar
(dipalsukan) maka perjanjian
jual-beli di bawah tangan dan
pengikatan jual-belinya adalah
sah menjadi cacat hukum. Dan
oleh karenanya harus dibatal-
kan.

48. Perjanjian cessie 2007 Putusan MA RI No. Perjanjian cessie batal demi
1820 K/PDT/2005 hukum atas piutang kepada
Tanggal 12 Januari negara yang diselesaikan de­
2007 ngan membentuk suatu badan
khusus dan peraturan khusus
berlaku lex spesialis derogat
lex generalis terhadap KUH
Perdata, dengan tetap ada
wewenang lembaga negara
untuk melakukan ambil alih
atas piutang yang dimiliki oleh
negara kepada pihak lain.

98 Laporan Penelitian

buku-5.indd 98 12/13/2010 11:00:09 PM


49. Hibah 2006 Putusan MA RI No. Perjanjian hibah tanah antara
2333 K/PDT/2005 orang tua kepada anak-
Tanggal 30 Mei 2006 anaknya batal demi hukum
apabila tanah objek hibah su-
dah diperjualbelikan dan men-
jadi hak milik pihak lain.

50. Jual-beli pelepasan 2006 Putusan MA RI No. Batal demi hukum karena telah
hak atas tanah 659 K/PDT/2006 Tang- melakukan wanprestasi dan
gal 17 Oktober 2006 juga perbuatan melanggar
hukum.

51. Jual-beli 2006 Putusan MA RI No. Perbuatan hukum apapun


1001 K/PDT/2006 yang berlandaskan kepada su-
Tanggal 30 November rat palsu merupakan perbuat­
2006 an melanggar hukum. Segala
akibat yang terjadi terhadap
perbuatan hukum yang dilaku-
kan dengan dasar melanggar
hukum menjadi batal demi
hukum.

52. Jual-beli 2007 Putusan MA RI No. Bahwa jual-beli yang di­


1485 K/PDT/2006 samarkan sebagai hibah ada-
Tanggal 14 Februari lah penyelundupan hukum
2007 dan bertentangan dengan per-
aturan perundang-undangan
sehingga batal demi hukum.

53. Jual-beli 2007 Putusan MA RI No. Terhadap tanah yang sedang


1233 K/PDT/2006 dalam status diletakkan dalam
Tanggal 24 April 2007 sita jaminan, dengan demikian
proses jual-beli terhadap tanah
tersebut adalah batal demi hu-
kum.

54. Jual-beli tanah 2007 Putusan MA RI No. 82 Perjanjian jual-beli tanah wari-
warisan K/PDT/2004 Tanggal san batal demi hukum karena
22 Mei 2007 boedel waris belum terbagi,
masih terdapat harta bersama
orang tua yang mana masih
hidup salah satu orang tua, di-
lakukan oleh orang yang tidak
mempunyai alas hak yang sah
untuk melakukan perbuatan
hukum melakukan perjanjian
jual-beli, dilakukan tanpa izin
dan persetujuan orang tua dan
saudara kandung, belum ada
pembagian dan pengalihan
hak dan penyerahan hak se-
cara sah dengan pembagian
warisan, jual-beli tanah wari-
san juga melampaui hak.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 99

buku-5.indd 99 12/13/2010 11:00:09 PM


55. Utang piutang 2008 Putusan MA RI No. Tanah hak milik yang merupa-
dengan jaminan 3005 K/PDT/1998 kan harta bersama, tidak da-
tanah Tanggal 14 Januari pat dijadikan jaminan atas per-
2008 janjian utang piutang tanpa
persetujuan salah satu pihak,
baik itu pihak istri maupun
suami, sesuai dengan keten-
tuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974. Dengan demikian,
perjanjian yang melanggar
ketentuan tersebut dapat di-
batalkan demi hukum karena
tidak memenuhi syarat objektif
perjanjian (sebab yang halal).

56. Jual-beli 2008 Putusan MA RI No. Konsekuensi logis dari suatu


1808 K/PDT/2007 perjanjian yang dibuat ber-
Tanggal 28 Januari dasarkan ketidakwenangan
2008 mengakibatkan batalnya per-
janjian dan seluruh tindakan
dan dokumen yang dibuat ber-
dasarkan perjanjian tersebut.

57. Jual-beli 2008 Putusan MA RI No. Perjanjian batal demi hukum


1423 K/PDT/2007 karena pembuatan akta jual-
Tanggal 20 Februari beli dilakukan secara melawan
2008 hukum, yang menimbulkan
kerugian bagi penggugat. Per-
buatan melawan hukum mun-
cul karena perjanjian dilaku-
kan oleh pihak penjual yang
tidak jelas tempat tinggalnya
sehingga jual-beli dikualifisir
sebagai jual-beli rekayasa atau
karena sebab yang tidak halal.

58. Jual-beli 2008 Putusan MA RI No. Perjanjian yang tidak ada


406 K/PDT/2007 Tang- objeknya harus batal demi
gal 15 Agustus 2008 hukum karena tidak sejalan
dengan Pasal 1320 BW, yang
mensyaratkan bahwa perjan-
jian itu harus mengenai suatu
hal tertentu.

59. Jual-beli 2008 Putusan MA RI No. Wanprestasi dan perbuatan


600 K/PDT/2008 Tang- melawan hukum mengakibat-
gal 28 Oktober 2008 kan perjanjian jual-beli tanah
dan rumah di atasnya menjadi
batal demi hukum (Pasal 1320
BW).

100 Laporan Penelitian

buku-5.indd 100 12/13/2010 11:00:09 PM


60. Jual-beli 2008 Putusan MA RI No. Objek perjanjian yang berada
1783 K/PDT/2008 dalam keadaan tidak bebas
Tanggal 12 Desember atau tidak tertentu dinyatakan
2008 batal demi hukum.

61. Perjanjian 2009 Putusan MA RI No. Suatu perjanjian yang tidak


1790 K/PDT/2008 disertai suatu prestasi, dinyata-
Tanggal 20 Februari kan batal demi hukum (suatu
2009 hal tertentu) (Pasal 1320 BW).

62. Sewa menyewa 2009 Putusan MA RI No. Pemakaian/penempatan tanah


2928 K/PDT/2008 perumahan atas dasar surat-
Tanggal 7 Mei 2009 surat yang diterbitkan tanpa
izin dan tanpa sepengetahuan
pemilik tanah harus dinyata-
kan batal demi hukum.

Seperti diketahui secara umum bahwa menurut Pasal 1320 KUH Perdata,
suatu perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tidak terpenuhinya
syarat objektif, yakni suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Berdasarkan data
yurisprudensi dan Putusan MA yang telah diperoleh, sebagian besar putusan
MA menyatakan suatu perjanjian batal demi hukum karena tidak terpenuhinya
syarat sebab yang halal, dalam hal ini hakim memutuskan bahwa perjanjian yang
dilakukan itu batal demi hukum karena bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ini beberapa kaidah hukum yang ditemukan oleh tim peneliti di dalam
putusan-putusan MA, yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau yang telah
menjadi yurisprudensi.

1. Kebatalan Perjanjian Karena Tidak Memenuhi Syarat


Objektif Sahnya Perjanjian, yaitu Kesepakatan Para Pihak,
Sebagaimana Diatur dalam Pasal 1320 BW
Putusan MA RI No. 3335 K/PDT/2003 Tanggal 14 Juni 2005 menyatakan bahwa
perjanjian batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320
BW, yaitu adanya kesepakatan para pihak. Dalam kasus ini, salah satu pihak namanya
tercantum di dalam perjanjian, sementara pihak tersebut tidak pernah menyepakati
perjanjian tersebut. Oleh karena itu, apabila terbukti demikian maka perjanjian harus
dibatalkan.
Dalam Yurisprudensi MA RI No. 1974 K/PDT/2001 Tanggal 29 September 2003
diterangkan bahwa perjanjin peralihan hak atas tanah batal demi hukum apabila
akta jual-beli tanah dinyatakan cacat hukum oleh karena pemalsuan tanda tangan.
Namun, mengenai pemalsuan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu melalui

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 101

buku-5.indd 101 12/13/2010 11:00:09 PM


pemeriksaan laboratorium kriminologi atau ada putusan pidana yang menyatakan
tanda tangan dipalsukan. Apabila terbukti palsu, yang berarti pihak yang berhak
belum/tidak melakukan kesepakatan maka perjanjian harus dibatalkan demi hukum.

2. Kebatalan Perjanjian Karena Tidak Memenuhi Syarat Objektif


Sahnya Perjanjian, yaitu Hal Tertentu, Sebagaimana Diatur
dalam Pasal 1320 BW
Putusan MA RI No. 406 K/PDT/2007 Tanggal 15 Agustus 2008 dan Putusan MA RI No.
1790 K/PDT/2008 Tanggal 20 Februari 2009 menerangkan bahwa suatu perjanjian
yang tidak ada objeknya/prestasinya harus batal demi hukum karena tidak sejalan
dengan Pasal 1320 BW, yang mensyaratkan bahwa perjanjian harus mengenai suatu
hal tertentu.
Perjanjian yang tidak mengandung suatu hal tertentu dapat dikatakan tidak
dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing
pihak. Sebagai contoh, seperti yang terdapat di dalam kasus dalam Putusan MA
No. Reg. 309 K/PDT/1997, Putusan MA No. Reg. 1783 K/PDT/2008, dan Putusan MA
No. Reg. 1233 K/PDT/2006, yang menyatakan bahwa perjanjian jual-beli tanah yang
dilakukan oleh para pihak dinyatakan batal demi hukum karena tanah yang dijadikan
objek perjanjian tidak dalam keadaan bebas atau tidak tertentu, berkaitan dengan
lokasi dan luas atau batas-batas tanah tersebut. Selain itu, perjanjian jual-beli tanah
juga dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tanah yang dijadikan objek jual-
beli ternyata masih menjadi sengketa dalam kasus lain di pengadilan, atau masih
diletakkan dalam sita jaminan di dalam kasus lain di pengadilan.

3. Kebatalan Perjanjian Karena Tidak Memenuhi Syarat Objektif
Sahnya Perjanjian, yaitu Sebab yang Halal, sebagaimana
Diatur dalam Pasal 1320 BW
Yurisprudensi MA RI No. 147K/SIP/1979 Tanggal 25 September 1980 serta Putusan
MA RI No. 3335 K/PDT/2003 Tanggal 14 Juni 2005, perjanjian jual-beli dianggap
tidak sah karena mengandung suatu sebab yang dilarang oleh undang-undang
(ongeoorloofdeoorzaak). Dengan demikian, sebab tersebut tidak halal sehingga
tidak memenuhi syarat objektif perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW.
Contoh lainnya adalah Putusan MA RI No. 209 K/PDT/2000 Tanggal 26 Februari
2002, yang batal demi hukum atas perjanjian kredit karena objek yang diperjanjikan
adalah harta bersama sehingga apabila hendak dijaminkan/dialihkan kepada pihak
lain oleh suami, harus mendapatkan persetujuan dari istri sebagai pihak yang
berhak. Jika tidak maka perjanjian tersebut terjadi tanpa alas hak karena objek
perjanjian merupakan hak orang lain. Putusan MA RI No. 5072 K/PDT/1998 Tanggal

102 Laporan Penelitian

buku-5.indd 102 12/13/2010 11:00:09 PM


29 September 2003 juga menegaskan bahwa perjanjian jual-beli atas suatu objek
yang kepemilikannya belum pasti adalah batal demi hukum karena tanpa alas hak
yang sah dan tidak memenuhi syarat halalnya dasar perjanjian tersebut.

4. Kebatalan Karena Hak Membeli Kembali Objek dalam


Perjanjian Jual-beli
Putusan MA No. 381/PK/PDT/1986 dan Yurisprudensi MA No. Reg. 3597 K/PDT/1985
menyatakan bahwa perjanjian jual-beli tanah dengan hak membeli kembali, yang
dilakukan oleh para pihak dalam kasus tersebut, dinyatakan batal demi hukum
karena jual-beli tanah dengan hak membeli kembali tidak dikenal dalam hukum
adat. Jual-beli dengan hak membeli kembali merupakan bentuk perjanjian menurut
Pasal 1519 dan seterusnya BW. Jual-beli tanah/rumah harus mengikuti ketentuan di
dalam UU Pokok Agraria (UUPA) yang dikuasai oleh hukum adat, dan hukum adat
tidak mengenal bentuk jual-beli dengan hak membeli kembali.
Putusan MA RI No. 153 K/PDT/2001
a) Perjanjian jual-beli tanah dengan hak membeli kembali pada hakikatnya adalah
sama dengan gadai gelap/bank gelap, yang keduanya adalah ilegal.
b) Perjanjian jual-beli dengan hak membeli kembali tersebut, menurut Mahkamah
Agung RI adalah batal demi hukum, oleh karena semenjak berlakunya UUPA
No. 5/1960 telah ditentukan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi,
air, dan ruang angkasa ialah berdasarkan Hukum Adat. Hal ini berarti Lembaga
Hukum Jual-beli dengan Hak Membeli Kembali sejauh mengenai tanah, tidak
lagi dikenal dalam Hukum Agraria kita.
c) Bahwa dengan demikian maka Perjanjian Jual-beli Tanah dengan Hak Membeli
Kembali atas tanah sengketa adalah batal demi hukum. Karena itu menjadi
batal demi hukum juga, Perjanjian Jual-beli atas tanah sengketa berdasar atas
Akta Jual-beli.

5. Kebatalan Perjanjian karena Menggunakan Surat Kuasa Mutlak


Yurisprudensi MA RI No. 1400 K/Pdt/2001 Tanggal 2 Januari 2003 menerangkan
bahwa penggunaan surat kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah tidak
diperbolehkan berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14/1982. Oleh
karena itu, pengalihan hak atas tanah yang berdasarkan surat kuasa mutlak batal
demi hukum.

6. Kebatalan dalam Hal Jual-beli Harta Bersama


Yurisprudensi MA RI No. Reg. 701 K/PDT/1997 serta Putusan MA RI No. Reg. 209 K/
PDT/2000 menyatakan bahwa suatu perjanjian jual-beli harta bersama suami atau

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 103

buku-5.indd 103 12/13/2010 11:00:09 PM


istri dinyatakan batal demi hukum karena tidak mendapat persetujuan bersama
(istri dan suami). Hal ini melanggar ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketiadaan persetujuan salah satu pihak tersebut
mengakibatkan jual-beli batal demi hukum.
Selanjutnya, Putusan MA RI No. 2691 K/Pdt/1996 Tanggal 18 September 1998
menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud harus merupakan perjanjian yang
sudah dibuat di depan notaris. Perjanjian lisan baru merupakan perjanjian permulaan
yang akan ditindaklanjuti, dan apabila belum dibuat di depan notaris maka belum
mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan karena itu
tidak mempunyai akibat hukum. Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang
dilakukan suami dan belum disetujui istri tidak sah menurut hukum.
Dalam hal harta bersama merupakan tanah, Putusan MA RI No. 3005 K/PDT/1998
Tanggal 14 Januari 2008 menjelaskan bahwa tanah hak milik yang merupakan
harta bersama, tidak dapat dijadikan jaminan atas perjanjian utang piutang tanpa
persetujuan para pihak, baik pihak istri maupun suami, sesuai dengan ketentuan
Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian, perjanjian yang melanggar
ketentuan tersebut dapat dibatalkan demi hukum karena tidak memenuhi syarat
objektif perjanjian (sebab yang halal).
Putusan MA RI No. 82 K/PDT/2004 Tanggal 22 Mei 2007 menjelaskan bahwa
perjanjian jual-beli tanah warisan batal demi hukum karena harta waris belum
terbagi, masih terdapat harta bersama orang tua yang mana masih hidup salah satu
orang tua, dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai alas hak yang sah untuk
melakukan perbuatan hukum melakukan perjanjian jual-beli, dilakukan tanpa
izin dan persetujuan orang tua dan saudara kandung, belum ada pembagian dan
pengalihan hak dan penyerahan hak secara sah dengan pembagian warisan, jual-
beli tanah warisan juga melampaui hak.

7. Kebatalan Perjanjian Jual-beli


Dalam Yurisprudensi MA RI No. 252 K/PDT/2002 Tanggal 11 Juni 2004, perjanjian
jual-beli dianggap tidak wajar karena tidak memenuhi syarat sahnya jual-beli dalam
BW, yaitu jual-beli dilakukan secara nilai dan kontan. Dapat disimpulkan bahwa
perjanjian jual-beli tersebut hanya rekayasa dan cacat hukum, oleh karenanya harus
dinyatakan batal demi hukum beserta semua akibat hukum yang timbul akibatnya.
Putusan MA RI NO. 2249 K/PDT/2003 Tanggal 11 Mei 2005 menerangkan bahwa
perjanjian jual-beli yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan
kepatutan dinyatakan batal demi hukum karena termasuk perbuatan melawan
hukum.
Selanjutnya, dalam Putusan MA RI No. 09 K/PDT/2005 Tanggal 31 Mei 2006
diterangkan bahwa walaupun perjanjian jual-beli di bawah tangan telah memenuhi

104 Laporan Penelitian

buku-5.indd 104 12/13/2010 11:00:09 PM


syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata, akan tetapi karena dokumen
surat-surat atas objek jual-beli sebagai bukti telah dipenuhinya syarat formil untuk
pembuatan akta tentang pengikatan jual adalah tidak benar (dipalsukan) maka
perjanjian jual-beli di bawah tangan dan pengikatan jual-belinya adalah sah menjadi
cacat hukum, dan oleh karenanya harus dibatalkan.

8. Kebatalan dalam Hal Keadaan Darurat (Noodtoestand)


Keadaan darurat dapat dijadikan dasar untuk memutus batal demi hukum suatu
perjanjian. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 26/1971/PT Perdata, yang
kemudian dibatalkan oleh Putusan MA yang telah menjadi Yurisprudensi MA RI
No. Reg. 1180 K/SIP/1971, menyatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand)
yang diatur dalam Pasal 1144 dan Pasal 1245 BW merupakan suatu keadaan yang
dinilai pada saat pelaksanaan perjanjian, sedangkan ongeoorloofdeoorzaak yang
diatur dalam Pasal 1335 Jo Pasal 1337 Jo Pasal 1320 BW dinilai pada saat perjanjian
diadakan atau dibuat.
Sementara itu, unsur paksaan (dwang), yang menurut Pasal 1321 jo Pasal 1323
BW menghilangkan adanya perizinan bebas yang disebutkan oleh Pasal 1320 BW,
merupakan salah satu unsur sahnya perjanjian. Apakah yang diartikan paksaan
diatur dalam Pasal 1324 BW, dan merupakan suatu persoalan hukum yang menjadi
wewenang majelis hakim untuk mempertimbangkannya. Syarat penting dalam
Pasal 1324 BW mengenai paksaan adalah ketakutan akan terjadinya suatu kerugian
yang besar dan mendadak pada dirinya atau kekayaan orang yang bersangkutan.

9. Kebatalan Perjanjian mengenai Hak Atas Tanah


Menurut Yurisprudensi MA RI No. Reg. 522 K/PDT/1990, pengalihan hak atas tanah,
sebelum berlakunya UUPA Tahun 1960, harus berdasarkan Vervreemdingsverbod,
S1875 No. 179, yang menyatakan bahwa tanah milik pribumi tidak dapat dialihkan
kepada golongan asing. Jual-beli tanah yang melanggar larangan tersebut tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan dibatalkannya jual-beli tersebut,
berdasarkan Pasal VII konversi UUPA jo Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria No.
1/1960, tanah tetap menjadi hak pemilik asal. Sertifikat tanah yang berasal dari
distribusi yang melanggar ketentuan-ketentuan landreform tidak mengikat dan
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Selain itu, Putusan MA RI No. 2046 K/PDT/1995 Tanggal 23 Juni 1998
menambahkan bahwa perjanjian mengenai peralihan hak atas tanah dan bangunan
sengketa yang diterbitkan berdasarkan adanya causa yang dilarang haruslah
dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian
sebab yang halal.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 105

buku-5.indd 105 12/13/2010 11:00:10 PM


buku-5.indd 106 12/13/2010 11:00:10 PM
DAFTAR PUTUSAN
Berikut ini hasil seleksi terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung di bidang perdata,
sejak tahun 1969 sampai 2008:
1) Putusan No. 1180 K/SIP/1971;
2) Putusan No. 76 K/SIP/1973;
3) Putusan No. 147 K/SIP/1973;
4) Putusan No. 3597 K/SIP/1985;
5) Putusan No. 522 K/Pdt/1990;
6) Putusan No. 2370 K/Pdt/1992;
7) Putusan No. 2691 K/Pdt/1996;
8) Putusan No. 701 K/Pdt/1997;
9) Putusan No. 1974 K/Pdt/2001;
10) Putusan No. 1400 K/Pdt/2001;
11) Putusan No. 252 K/Pdt/2002.

Berikut ini hasil seleksi terhadap putusan MA RI di bidang perdata yang telah
berkekuatan hukum tetap, sejak tahun 1980 sampai 2008:
1) Putusan No. 600 K/Pdt/2008;
2) Putusan No. 1783 K/Pdt/2008;
3) Putusan No. 1790 K/Pdt/2008;
4) Putusan No. 112 K/Pdt/1997;
5) Putusan No. 1808 K/Pdt/2007;
6) Putusan No. 1001 K/Pdt/2006;
7) Putusan No. 1233 K/Pdt/2006;
8) Putusan No. 659 K/Pdt/2006;

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 107

buku-5.indd 107 12/13/2010 11:00:10 PM


9) Putusan No. 1485 K/Pdt/2006;
10) Putusan No. 1820 K/Pdt/2005;
11) Putusan No. 2333 K/Pdt/2005;
12) Putusan No. 82 K/Pdt/2004;
13) Putusan No. 1864 K/Pdt/2003;
14) Putusan No. 2249 K/Pdt/2003;
15) Putusan No. 2668 K/Pdt/2003;
16) Putusan No. 1435 K/Pdt/1992;
17) Putusan No. 5072 K/Pdt/1998;
18) Putusan No. 2928 K/Pdt/2008;
19) Putusan No. 2992 K/Pdt/2000;
20) Putusan No. 09 K/Pdt/2005;
21) Putusan No. 507 K/Pdt/2001;
22) Putusan No. 2338 K/Pdt/1998;
23) Putusan No. 2082 K/Pdt/1995;
24) Putusan No. 48 K/Pdt/2000;
25) Putusan No. 3335 K/Pdt/2003;
26) Putusan No. 3355 K/Pdt/2003;
27) Putusan No. 653 K/Pdt/2002;
28) Putusan No. 1330 K/Pdt/2002;
29) Putusan No. 153 K/Pdt/2001;
30) Putusan No. 209 K/Pdt/2000;
31) Putusan No. 3005 K/Pdt/1998;
32) Putusan No. 309 K/Pdt/1997;
33) Putusan No. 2046 K/Pdt/1995;
34) Putusan No. 2456 K/Pdt/1993;
35) Putusan No. 1405 K/Pdt/1992;
36) Putusan No. 1421 K/Pdt/1992;
37) Putusan No. 1479 K/Pdt/1990;
38) Putusan No. 1535 K/Pdt/1990;
39) Putusan No. 4091 K/Pdt/1989;
40) Putusan No. 1873 K/Pdt/2001;
41) Putusan No. 613 K/Pdt/1991;
42) Putusan No. 343 K/Pdt/2004;
43) Putusan No. 406 K/Pdt/200 (ini tahun 200 berapa ya?);
44) Putusan No. 1423 K/Pdt/2007;
45) Putusan No. 1205 K/Pdt/1990.

108 Dokumen
Daftar Putusan
Penjelas

buku-5.indd 108 12/13/2010 11:00:10 PM


DAFTAR LITERATUR

A. Daftar Literatur Penelitian

No. Judul Buku Penulis Halaman

1. Hukum Perjanjian Prof. Subekti, S.H. 2

2. Pokok-Pokok Hukum Perdata Prof. Subekti, S.H. 17

3. Aneka Perjanjian Prof. Subekti, S.H. 24

4. Ajaran Umum: Hukum Perjanjian Dr. Herlien Boediono, S.H. 36


dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan

5. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Dr. Herlien Boediono, S.H. 61


di Bidang Kenotariatan

6. Asas Keseimbangan bagi Hukum Dr. Herlien Boediono, S.H. 63


Perjanjian Indonesia: Hukum
Perjanjian Berlandaskan
Asas-Asas Wigati Indonesia

7. Kebebasan Berkontrak dan Perlin­ Prof. Dr. Sutan Remy 65


dungan yang Seimbang bagi Para Sjahdeni, S.H.
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank
di Indonesia

8. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Kartini Muljadi dan 69


Gunawan Widjaya

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 109

buku-5.indd 109 12/13/2010 11:00:10 PM


9. Hapusnya Perikatan Kartini Muljadi dan 71
Gunawan Widjaya

10. Seri Hukum Perikatan (Perikatan Kartini Muljadi dan 72


pada Umumnya) Gunawan Widjaya

11. Asas-Asas Hukum Perjanjian Wiryono Prodjodikoro 73

12. Asas-Asas Hukum Perdata Wiryono Prodjodikoro 76

13. Pokok-Pokok Hukum Perikatan R. Setiawan 78

14. Hukum Perikatan Abdulkadir Muhammad 79

15. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Salim, H.S. 79


Penyusunan Kontrak)

16. Kompilasi Hukum Perikatan Prof. Dr. Maria Darus 80


Badrulzaman, S.H., dkk.

17. Hukum Perjanjian Indonesia Djohari Santoso, S.H., S.U. 82

18. Asas-Asas Hukum Perikatan R.M. Suryodiningrat, S.H. 83

19. Hukum Kontrak (Dari Sudut Munir Fuady, S.H., M.H., 84


Pandang Hukum Bisnis) L.L.M.

20. Hukum Kontrak dan Perancangan Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.S. 85
Kontrak

21. Kontrak Teori dan Teknik H. Salim 87


Penyusunan Kontrak

22. Pengertian-Pengertian Elementer Mashudi dan Moch. Ehidir 89


Hukum Perjanjian Perdata

23. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Prof. Dr. Maria Darus 94
Perikatan dengan Penjelasan Badrulzaman, S.H.

24. Ketentuan-ketentuan Umum Tahir Tungadi 95


Hukum Perjanjian I

110 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas

buku-5.indd 110 12/13/2010 11:00:10 PM


25. Tafsiran Singkat tentang Beberapa Pitlo 97
Bab dalam Hukum Perdata
(diterjemahkan oleh M. Moerasad)

26. Hukum Perdata I B Achmad Ichsan 98

27. Panduan Lengkap Membuat Surat- Frans Satriyo Wicaksono 99


Surat Kontrak

28. Buku tentang Perikatan dalam Gr. Van der Burght 101
Teori dan Yurisprudensi (Berisi
Yurisprudensi Nederland Setelah
Perang Dunia II)

29. Penyalahgunaan Keadaan Hendry P. Panggabean 102


(Misbruik van Omstandigheden)
sebagai Alasan (Baru) untuk
Pembatalan Perjanjian (Berbagai
Perkembangan Hukum di Belanda)

30. Pengantar Studi Hukum Perdata H.F.A. Völlmar 104

31. Hukum Perikatan, Perikatan yang J. Satrio 105


Lahir dari Perjanjian (Buku I)

32. Hukum Perikatan, Perikatan yang J. Satrio 107


Lahir dari Perjanjian (Buku II)

33. Hukum Perikatan tentang J. Satrio 109


Hapusnya Perikatan, Bagian 2

34. Itikad Baik dalam Kebebasan Ridwan Khairandy 110


Berkontrak

35. Asas-Asas Hukum Perikatan Suryodiningrat 111

36. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Salim H.S. 113


Penyusunan Kontrak

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 111

buku-5.indd 111 12/13/2010 11:00:10 PM


37. Hukum Perjanjian Indonesia dan Hardjan Rusli 115
Common Law

38. Pokok-Pokok Perjanjian Beserta A. Qirom Syamsudin Meliala 117


Perkembangannya

B. Daftar Skripsi, Tesis, dan Disertasi

No. Judul Penulis Keterangan Halaman


1. Peranan Mahkamah Agung Henry Disertasi/ UGM 119
dalam Pembangunan Hukum Pandapotan
Melalui Putusan-putusannya Panggabean
di Bidang Hukum Perikatan

2. Tinjauan Yuridis tentang Meyliani Tesis/UGM 120


Wanprestasi dalam Perjanjian Febrianti
Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) di Samarinda
3. Pelaksanaan Perjanjian Anastasia Tesis/UGM 120
Pengadaan Alat-Alat Yurintawati
Nonmedis Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD)
Indramayu antara
Pemerintah Daerah (Pemda)
Indramayu dengan PT Fast
Jaya Farma
4. Konsekuensi Perjanjian Mujiana Tesis/UGM 121
Pemberian Jaminan Fidusia
Kendaraan Bermotor
yang Tidak Dibuat dalam
Bentuk Akta Notariil (Studi
pada Unit Simpan Pinjam
Koperasi Swamitra Kota Gede
Yogyakarta)

112 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas

buku-5.indd 112 12/13/2010 11:00:10 PM


5. Penyelesaian Sengketa Supeno Tesis/UGM 121
Perjanjian Pembelian
Kendaraan Bermotor
dengan Sistem Pembayaran
Angsuran di Pengadilan
Negeri Samarinda

6. Tinjauan terhadap Perjanjian Muhammad Nur Tesis/UGM 122


Jual-beli Perumahan yang
Memuat Klausula Eksonerasi
di Kabupaten Sleman

7. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Tomi Oktomison Disertasi/ UGM 122


Usaha Kecil, Menengah pada
PT BRI (Persero) Cabang
Jambi

8. Pembatalan Perjanjian Sunarko, S.H. Tesis/Unair 123


Pemberian Fasilitas Kredit
“Off Shore Loan”

9. Keabsahan Perjanjian Riza Meiyanto Tesis/Unair 126


Pengikatan Jual-beli
atas Rumah yang Belum
Dibangun: Sebuah Tinjuan
Yuridis terhadap Perjanjian
Pengikatan Jual-beli di PT
Graha Dewata Malang

10. Penyelundupan Hukum Lidia Siskawati Tesis/Unair 128


terhadap Prinsip Nasionalitas
dalam Jual-beli Hak Milik
Atas Tanah

11. Eksistensi Perjanjian Dwi Tesis/Unair 130


Pengikatan Jual-beli dalam Novierasanti
Kaitannya dengan Objek Hak
Tanggungan

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 113

buku-5.indd 113 12/13/2010 11:00:10 PM


12. Keabsahan dan Akibat Justian Pranata Skripsi/ Unair 132
Hukum Jual-beli Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun
Sebelum Dipenuhi Izin Layak
Huni

13. Unsur “Coersion” pada Yulandari Skripsi/ Unair 134


Perjanjian Hutang Luar Meriaji
Negeri antara Indonesia dan
IMF

14. Pertanggungjawaban PPAT Fenny Febrianty Tesis/UI 137


terhadap Pembuatan Akta
Jual-beli yang Dinyatakan
Batal Demi Hukum oleh
Putusan Pengadilan

15. Tinjauan Yuridis terhadap Aldo Renathan Skripsi/UI 139


Klausula Baku sebagai Suatu
Perjanjian Dilihat dari Sisi
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan UUPK
(Studi Kasus: Pembatalan
Klausula Baku pada Tiket
Maskapai Lion Air oleh
Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat)

16. Analisis Yuridis terhadap Joni Tesis/ UNPAR 144


Canceling Contract (Cco) Di Syamsuddin
dalam Kontrak Kontruksi dan
Implikasinya pada Undang-
Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

114 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas

buku-5.indd 114 12/13/2010 11:00:10 PM


17. Analisis Yuridis terhadap Yanti Ariavianti Tesis/ 145
asas-asas Hukum Kontrak jual UNPAR
-beli di dalam Hukum Islam
dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH
Perdata) Indonesia dalam
rangka upaya Pembangunan
Hukum Indonesia di
Bidang Kontrak Jual-Beli
Internasional
18. Penyalahgunaan Keadaan Yessica Adeline Tesis/ 148
dan Dasar Pembatalan Kustaman UNPAR
Perjanjian (Penelitian Yuridis
Normatif terhadap Buku III
KUH Perdata)

C. Daftar Artikel/Makalah

No. Judul Buku Penulis Halaman

1. Menyoroti Klausula “Bahasa Ne- Mariam Eka Amalia, S.H. 152


gara” dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009
2. Asas Kebebasan Berkontrak Syarif Hidayat, S.H., M.H. 155
Menurut Mazhab Hukum Alam
serta Kondisi dalam Praktik di
Indonesia
3. Makalah: Prof. Mr. J.M. Van Dunné 157
Penyalahgunaan Keadaan Prof. Mr. Gr. Van der Burght
(dalam Kursus Hukum Perika- Diterjemahkan oleh Prof. Dr.
tan-Bagian III) Sudikno Mertokusumo, S.H.
Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum
Belanda dengan Indonesia
Proyek Hukum Perdata

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 115

buku-5.indd 115 12/13/2010 11:00:10 PM


buku-5.indd 116 12/13/2010 11:00:10 PM
DAFTAR PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengaturan Batal Demi Hukum dalam Peraturan


Perundang-undangan di Luar Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata/BW (Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden)
dari Tahun 1945 Hingga 2009 yang Masih
Berlaku
Pengaturan mengenai batal demi hukum ditelusuri dan ditemukan tidak hanya
terdapat di dalam BW, tetapi juga di peraturan perundang-undangan di luar BW,
seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden. Meskipun
demikian, pengaturan batal demi hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan tersebut tidak seperti pengaturan di dalam BW, yang memuatnya cukup
rinci.

1. Undang-Undang
Undang-undang tentang pengaturan mengenai batal demi hukum tersebut
terbagi ke dalam bidang-bidang berikut.

a. Bisnis
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 117

buku-5.indd 117 12/13/2010 11:00:10 PM


4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

b. Investasi
1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1962
tentang Penggunaan dan Pengawasan atas Penggunaan Dana-Dana
Investasi
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

c. Perbankan
1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan

d. Agraria
1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954 tentang Penetapan Undang-
Undang Darurat tentang Pemindahan Hak Tanah-Tanah dan Barang-Barang
Tetap yang Lainnya yang Bertakluk kepada Hukum Eropa (Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1952) sebagai Undang-Undang
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan

e. Administrasi Negara
1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

118 Daftar Peraturan Perundang-undangan

buku-5.indd 118 12/13/2010 11:00:10 PM


2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

f. Ketenagakerjaan
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial

2. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah tentang pengaturan mengenai batal demi hukum
tersebut terbagi ke dalam bidang-bidang berikut ini.

a. Agraria
1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap
Pemindahan Hak atas Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturan
dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
3) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa-
Menyewa Perumahan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik
5) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun
6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

b. Administrasi Negara
1) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1958 tentang Prosedur Pembelian
Barang-Barang Pemerintah
2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah

c. Ketenagakerjaan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

d. Pendidikan
1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1954 tentang Tunjangan Ikatan
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan
di Luar Negeri

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 119

buku-5.indd 119 12/13/2010 11:00:10 PM


3. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden tentang pengaturan mengenai batal demi hukum tersebut
terbagi ke dalam bidang-bidang berikut.

a. Administrasi Negara
1) Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara

2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

b. Internasional
1) Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1996 tentang Pengesahan
Amandemen Agreement Relating to The International Telecommunications
Satellite Organization “Intelsat”, Denmark-1995 (Perjanjian Berkenaan dengan
Organisasi Satelit Telekomunikasi Internasional “Intelsat”, Denmark-1995)

2) Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1999 tentang Pengesahan Amended


Convention On The International Mobile Satellite Organization (Konvensi
tentang Organisasi Satelit Bergerak Internasional yang Telah Diubah)

B. Identifikasi Pengaturan Batal Demi Hukum dalam


Peraturan Perundang-undangan di Luar Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata/BW (Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan
Presiden) dari Tahun 1945 Hingga 2009 yang
Masih Berlaku
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengikat setiap pembentukan peraturan perundang-undangan,
terutama yang dibuat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tersebut. Di dalam Pasal 5 dan Penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti berikut ini.

120 Daftar Peraturan Perundang-undangan

buku-5.indd 120 12/13/2010 11:00:11 PM


1. Kejelasan Tujuan
Artinya, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas.

2. Kelembagaan Atau Organ Pembentuk yang Tepat


Artinya, setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/
pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan dapat dibatalkan atau batal demi hukum
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

3. Kesesuaian antara Jenis dan Materi Muatan


Artinya, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya.

4. Dapat Dilaksanakan
Artinya, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan


Artinya, setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

6. Kejelasan Rumusan
Artinya, setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

7. Keterbukaan
Artinya, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan, bersifat transparan
serta terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 121

buku-5.indd 121 12/13/2010 11:00:11 PM


1. Mengisi Kebutuhan Pengaturan Substansi Batal Demi Hukum
yang Tidak Terdapat di dalam BW
Beberapa undang-undang mengatur lebih lanjut mengenai substansi batal demi
hukum, khususnya dalam pengaturan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal.

a. Pengaturan Suatu Hal Tertentu


1) Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
2) Pasal 12 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
3) Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
4) Pasal 124 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
5) Pasal 127 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
6) Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1958 tentang Prosedur
Pembelian Barang-Barang Pemerintah

b. Pengaturan Suatu Sebab yang Halal


1) Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
2) Pasal 66 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
3) Pasal 37 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
4) Pasal 95 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
5) Pasal 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1962 tentang Penggunaan dan Pengawasan atas Penggunaan Dana-Dana
Investasi
6) Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal
7) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
8) Pasal 56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
9) Pasal I Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954 tentang Penetapan Undang-
Undang Darurat tentang Pemindahan Hak Tanah­-Tanah dan Barang-Barang

122 Daftar Peraturan Perundang-undangan

buku-5.indd 122 12/13/2010 11:00:11 PM


Tetap yang Lainnya yang Bertakluk kepada Hukum Eropa (Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1952) sebagai Undang-Undang
10) Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
11) Pasal 10 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
12) Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
13) Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
14) Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
15) Pasal 32 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
16) Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
17) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
18) Pasal 12 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
19) Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
20) Pasal 49 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
21) Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
22) Pasal 27 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
23) Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
24) Pasal 58 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
25) Pasal 91 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
26) Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
27) Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
28) Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
29) Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik
30) Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun
31) Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1958 tentang Prosedur
Pembelian Barang-Barang Pemerintah

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 123

buku-5.indd 123 12/13/2010 11:00:11 PM


32) Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman
Daerah
33) Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah
34) Pasal 22 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
35) Pasal 35 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

2. Keadaan yang Mengakibatkan atau Tata Cara Terjadinya atau


Akibat yang Ditimbulkan Batal Demi Hukum

Beberapa undang-undang mengatur lebih lanjut mengenai suatu keadaan yang


mengakibatkan batal demi hukum, tata cara terjadinya batal demi hukum atau
akibat yang ditimbulkan batal demi hukum. Berikut adalah beberapa undang-
undang tersebut.
a) Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
b) Pasal 17 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
c) Pasal 135 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
d) Pasal 10 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
e) Pasal 36 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
f ) Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan
terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
g) Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturan
dan Tindakan-Tindakan mengenai Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
h) Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
i) Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1954 tentang Tunjangan Ikatan
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan di
Luar Negeri
j) Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1954 tentang Tunjangan Ikatan
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan di
Luar Negeri

124 Daftar Peraturan Perundang-undangan

buku-5.indd 124 12/13/2010 11:00:11 PM


3. Kewenangan untuk Menyatakan Batal Demi Hukum
Beberapa undang-undang mengatur lebih lanjut beberapa pihak, lembaga atau
institusi yang berwenang untuk menyatakan batal demi hukum.

a) Pasal 37A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
b) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
c) Pasal 26 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
d) Pasal 52 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
e) Penjelasan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
f ) Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
g) Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan
terhadap Pemindahan Hak atas Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
h) Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturan
dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
i) Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturan
dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
j) Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa-
Menyewa Perumahan
k) Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1954 tentang Tunjangan Ikatan
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan di
Luar Negeri
k) Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1954 tentang Tunjangan Ikatan
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan di
Luar Negeri
l) Pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1996 tentang Pengesahan
Amandemen Agreement Relating to The International Telecommunications
Satellite Organization “Intelsat”, Denmark-1995 (Perjanjian Berkenaan dengan
Organisasi Satelit Telekomunikasi Internasional “Intelsat”, Denmark-1995)
m) Pasal 11 Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Amended Convention on The International Mobile Satellite Organization (Konvensi
tentang Organisasi Satelit Bergerak Internasional yang Telah Diubah).

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 125

buku-5.indd 125 12/13/2010 11:00:11 PM


Tiga belas undang-undang yang memuat ketentuan tentang perjanjian yang
batal demi hukum tersebut ialah:

a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
c) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
d) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1962 tentang
Penggunaan dan Pengawasan atas Penggunaan Dana-Dana Investasi
e) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
f ) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
g) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
h) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
i) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
j) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
k) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
l) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
m) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

Dua undang-undang yang memberi wewenang pada pemerintah atau badan


khusus untuk membatalkan perjanjian tersebut ialah
a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
b) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

126 Daftar Peraturan Perundang-undangan

buku-5.indd 126 12/13/2010 11:00:11 PM


DAFTAR PUSTAKA
Ariavianti, Yanti. “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Hukum Kontrak Jual Beli di
Dalam Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Indonesia dalam Rangka Upaya Pembangunan Hukum Indonesia di Bidang
Kontrak Jual Beli Internasional. Perpus FH UNPAR.

Boediono, Herlien. 2009. Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan. Cetakan ke-1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Cf. art. 3.16 of the Unidroit Principles of International Commercial Contracts, Roma
2004.

Hijma & Olthof, Compendium van het Nederlands vermogensrecht, Deventer: Kluwer
2008, no. 59.

HR 17-02-2006, NJ 2006, 379 (Royal & Sun/Universal Pictures).

HR 16-11-1984, NJ 1985, 624 (Buena Vista).

Loth, Dwingend en aanvullend recht, Deventer: Kluwer 2009.

Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Cetakan ke-2.
Yogyakarta: Raja Grafindo Persada.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian 127

buku-5.indd 127 12/13/2010 11:00:11 PM


Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada
Umumnya). Cetakan II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Panggabean, Hendry. 2001. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden)


SEBAGAI ALASAN (BARU) UNTUK PEMBATALAN PERJANJIAN (Berbagai
Perkembangan Hukum di Belanda). Yogyakarta: Liberty.

Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW (Parl. Gesch. Nieuw BW), Boek 3,
Deventer: Kluwer 1981, p. 189-192.

Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW, Boek 3, p. 247-251.

Rusli, Hardjan. 1993. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Cetakan
I.Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Subekti. 1998. Hukum Perjanjian. Cetakan ke-17. Jakarta: Intermasa.

Suryodiningrat, R.M. 1978. Azas-azas Hukum Perikatan.Bandung: Tarsito.

128 Dokumen
Daftar Pustaka
Penjelas

buku-5.indd 128 12/13/2010 11:00:11 PM


cover_kebatalan perjanjian_v4_arsip_blk.pdf 1 12/15/10 4:53 PM

Penjelasan Hukum tentang


KEBATALAN PERJANJIAN
Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang
mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Di samping itu, ketidakpastian
hukum juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan
politik, sosial, dan ekonomi yang stabil serta adil. Ketidakpastian ini
umumnya bersumber dari hukum tertulis yang tidak jelas dan
kontradiktif satu sama lain. Selain itu, juga karena ketidakpastian dalam
penerapan hukum oleh institusi pemerintah ataupun pengadilan.

Salah satu isu dalam hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian
Zkonsep dan interpretasi adalah masalah kebatalan, khususnya masalah batal demi hukum
C
(null and void). Bagaimana akibat pembatalan suatu perjanjian serta syarat-syarat apa saja
M yang harus dipenuhi untuk memenuhi unsur suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum.
Y
Oleh karena itu, topik kebatalan perjanjian sebagai salah satu pokok bahasan Restatement
sangat penting untuk dibahas.
CM

MY Buku ini merupakan salah satu upaya untuk menjawab ketidakpastian konsep dan interpretasi
CY
tersebut. Tujuan utama dari buku ini adalah mewujudkan gambaran yang jelas tentang
beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang digunakan adalah analisis
CMY
terhadap tiga sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
K dan literatur yang otoritatif.

National Legal Reform Program (NLRP)


Gedung Setiabudi 2 Lantai 2 Suite 207D
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62
Jakarta 12920 - INDONESIA
Phone : +62 21 52906813
Fax : +62 21 52906824

34608100146

Anda mungkin juga menyukai