CM
MY
CY
CMY
Elly Erawati
Herlien Budiono
PENJELASAN HUKUM
TENTANG KEBATALAN
PERJANJIAN
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fo-
tokopi, mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit.
iv Dokumen
Daftar Isi Penjelas
Hormat kami,
Sebastiaan Pompe
Program Manager
vi Dokumen
Kata Pengantar
Penjelas
Restatement penting artinya sebagai satu rujukan yang mendalam dan sistematik tentang
suatu topik yang masih mengandung ketidakpastian di dalamnya. Salah satu isu dalam
hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi adalah
masalah kebatalan, khususnya masalah batal demi hukum (null and void).
Kebatalan menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. Menurut
Prof. Subekti, keempat syarat tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu syarat
subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sementara syarat objektif
meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan/
dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan tidak terpenuhinya
syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau
perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak
ada dasar bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam
bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu adalah null and void.
Sementara menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, berdasarkan sifat
kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Yang
dimaksud dengan kebatalan mutlak dan kebatalan relatif menurut Prof. Dr. R. Wirjono
Prodjodikuro, S.H., adalah suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu
perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Perjanjian
seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapa pun juga, sedangkan
pembatalan relatif (relatief nietigheid), yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang
tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.
Batal demi hukum selain karena tidak terpenuhinya unsur objektif, juga karena
undang-undang merumuskan secara konkret tiap-tiap perbuatan hukum (terutama
perjanjian formil) yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut adalah
batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya). Menurut R.
Setiawan, dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan istilah,
misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang dimaksudkan
adalah dapat dibatalkan. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 1446 BW.
Mr. A. Pitlo berpendapat bahwa dalam soal nulitas (kebatalan), alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang terdapat dalam sekian banyak variasi, dan beraneka
ragamnya corak alasan-alasan yang dapat menjadi landasan kebatalan. Masalah yang
muncul dalam soal kebatalan, khususnya mengenai batal demi hukum, antara lain
2 Dokumen Penjelas
Ringkasan Eksekutif
Frasa ‘batal demi hukum’ merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna
‘tidak berlaku, tidak sah menurut hukum’. Dalam pengertian umum, kata batal (saja)
sudah berarti tidak berlaku, tidak sah.1 Jadi, walaupun kata‘batal’sesungguhnya sudah
cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya
frasa ‘batal demi hukum’ lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak
sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya
tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif seseorang atau menurut kesusilaan/
kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau
tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit, berdasarkan peraturan
perundang-undangan) memang begitulah adanya. Dengan demikian, ‘batal demi
hukum’ menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut
terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan
atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.
Frasa ‘dapat dibatalkan’ sangat berbeda maknanya dengan frasa ‘batal demi
hukum’ sebab ‘dapat dibatalkan’ menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif
untuk membatalkan sesuatu, atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis,
tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan.
Kecuali itu, frasa ‘dapat dibatalkan’ juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok
1 Arti lain dari lema atau kata ‘batal’ dalam Bahasa Indonesia adalah tidak jadi dilangsungkan, ditunda,
urung, tidak berhasil, gagal. Lihat, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
4 Dokumen Penjelas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa 2008), pada lema ‘batal’
tercantum bentuk derivasinya, yaitu membatalkan dan pembatalan, tidak tercantum
bentuk derivasi ‘kebatalan’.2 Hal ini berbeda dengan lema absah, yang bentuk
derivasinya mengabsahkan, pengabsahan, dan keabsahan. Tampaknya, bentuk
derivasi ‘kebatalan’ dianggap tidak lazim dalam Bahasa Indonesia, berbeda dengan
‘keabsahan’ yang mungkin lebih banyak digunakan dalam bahasa lisan maupun
tulis. Namun demikian, karena dalam Hukum Perjanjian selalu ditemukan persoalan
tentang perjanjian yang dapat dibatalkan dan yang batal demi hukum, agar isi
restatement ini mencakup kedua hal itu, istilah yang dipakai adalah ‘kebatalan’
sebagai kata benda yang berarti ‘sifat yang batal’.3
D. Isi Restatement
1. Hal atau Kondisi yang Menyebabkan Batalnya Perjanjian
Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUH Perdata, terdapat
beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan
ke dalam lima kategori sebagai berikut:
a. tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk
jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum;
b. tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
1) perjanjian batal demi hukum, atau
2) perjanjian dapat dibatalkan;
c. terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;
d. pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;
2 Ibid.
3 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa: 2008), keabsahan adalah kata benda yang
berarti sifat yang sah, atau kesahan. Ibid.
6 Dokumen Penjelas
1) Pasal 617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap akta dengan
mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau
dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman
kebatalan”.
2) Pasal 1682 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada statu hibah, kecuali yang
disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan
selainnya dengan status akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris
itu”.
3) Pasal 22 KUHDagang yang menyebut “Tiap firma harus didirikan dengan
akta otentik, tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk
merugikan pihak ketiga”.
7 Subekti, Ibid.
8 Subekti, ibid.; Herlien Budiono, Ibid.
9 Mariam Darus Badrulzaman, “Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul Kompilasi Hukum Per-
ikatan, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 79–80.
10 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 106–110.
11 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 18.
12 Istilah barang dalam ketiga pasal tersebut harus ditafsirkan secara ekstensif sehingga mencakup penger-
tian objek perjanjian yang prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, dengan demikian dapat men-
cakup pengertian jasa juga. Hal ini penting karena dalam transaksi bisnis modern, objek perjanjian tidak
hanya terbatas pada barang, tetapi juga berupa jasa.
8 Dokumen Penjelas
Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk sahnya
perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat
ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:13
1) dapat diperdagangkan;
2) dapat ditentukan jenisnya;
3) dapat dinilai dengan uang, dan
4) memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan.
Selain itu, objek perjanjian dapat juga berupa barang yang baru akan ada,
sebagaimana disebut dalam Pasal 1334 ayat (1).14 Maksudnya adalah ketika
perjanjian dibuat barang yang diperjanjikan itu belum ada sebab mungkin
belum dibuat atau sedang dalam proses pembuatan, dan bukan berarti bahwa
barang tersebut tidak ada.
Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya,
atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau
yang tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa objek
yang jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak.
Perjanjian yang tidak jelas objeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga ipso
jure batal demi hukum.
Syarat objektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab atau kausa
yang halal. Tidak ada penjelasan dalam KUH Perdata tentang makna ‘sebab yang
15 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 18 dan Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 113.
16 Subekti, ibid.; Mariam Darus Badrulzaman, Catatan No. 9 di atas, hlm. 81.
17 Pasal 1335 seperti dipatahkan oleh Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Jika tak dinya-
takan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau jika ada sebab lain yang tidak dilarang
selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Namun, menurut Herlien Boediono,
Pasal 1336 dimaksudkan untuk perjanjian yang kausanya tidak dinyatakan secara eksplisit oleh para
pihak atau kausanya berbeda dari apa yang dinyatakan, namun tetap merupakan sebab yang halal se-
hingga perjanjian seperti itu tetap sah. Tampaknya, latar belakang rumusan pasal ini berkaitan dengan
pengakuan utang. Dalam perjanjian pengakuan utang asal mula timbulnya utang tidak disebut secara
eksplisit, atau dikenal sebagai utang tanpa kausa. Lihat, Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm.
112.
18 Subekti, Catatan No. 4, hlm. 19.
10 Dokumen Penjelas
Pasal 127: “(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/
buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2)
Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka
ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang
berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama”.
3) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Pasal 12: “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera
janji, batal demi hukum”.
Pasal 20: “(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) batal demi hukum”.
c. Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang
Melakukan Perbuatan Hukum
Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingson
bekwaamheid) harus dibedakan dengan ketidakwenangan seseorang untuk
melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). Mereka yang tidak
12 Dokumen Penjelas
19 Lihat, Pasal 907, 1467, 1468, 1469, 1470, 1471 KUH Perdata. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas,
hlm. 105.
14 Dokumen Penjelas
a. Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang Membuatnya
Unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak
yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan
dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang
menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.
Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau
kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat sehingga terancam
kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328
sebagai berikut.
Pasal 1321: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1322: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan,
kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi
pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika
kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang
bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu
diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan”.
Pasal 1324: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa
hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila
perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa
dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang
dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia,
kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan”.
Pasal 1323: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan
suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan,
juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan
dalam persetujuan yang dibuat itu”.
Pasal 1325: “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila
dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan
Subekti menjelaskan bahwa kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf
tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat
yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai
orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.20 Mariam Darus Badrulzaman
menguraikan bahwa kekhilafan dapat terjadi mengenai orang yang dinamakan
error in persona, dan kekhilafan atau kesesatan mengenai hakikat barangnya yang
disebut error in substantia.21 Lebih lanjut, menurut Herlien Budiono, kekhilafan
atau kekeliruan atau kesesatan itu dapat bersifat sebenarnya dan dapat pula
bersifat semu.22 Kekeliruan yang sebenarnya terjadi dalam hal antara kehendak
dan pernyataan para pihak saling berkesesuaian, namun kehendak salah satu
pihak atau kedua pihak terbentuk secara cacat. Artinya, perjanjian memang
telah terbentuk namun terjadinya perjanjian itu berada di bawah pengaruh
kekeliruan atau kesesatan sehingga bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya
maka tidak akan terbentuk perjanjian.23 Subekti juga menyebutkan bahwa
“kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak
khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.”
24
Dalam kekeliruan yang bersifat semu, menurut Herlien Budiono, sebenarnya
tidak terbentuk perjanjian sebab pada situasi seperti itu belum terbentuk
kata sepakat di antara para pihak sehingga belum memenuhi unsur subjektif
pertama untuk sahnya perjanjian.25
Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan
atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan
hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut
16 Dokumen Penjelas
26 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22; Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 97–98.
27 Subekti, Ibid.
28 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 97.
29 Ibid.
30 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22.
31 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 99.
b. Dapat Dibatalkan Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap Melakukan
Tindakan Hukum
Syarat subjektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah kecakapan para pihak
untuk membuat perjanjian. Pada prinsipnya, setiap orang sepanjang tidak
ditentukan lain oleh undang-undang, dianggap cakap atau mampu melakukan
tindakan hukum yang dalam konteks ini adalah membuat perjanjian sehingga
menimbulkan perikatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata
yang berbunyi “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,
terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap”. Orang yang oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap, dilarang melakukan tindakan hukum
18 Dokumen Penjelas
34 Istilah undang-undang di sini dipakai karena Pasal 1329 KUH Perdata menyebutnya demikian. Namun,
sebaiknya perlu diingat bahwa undang-undang lebih sempit maknanya daripada perundang-undangan
sebab yang terakhir ini mencakup peraturan hukum yang tidak hanya berupa undang-undang.
35 Perwalian untuk anak di bawah umur atau belum dewasa dapat dibedakan menjadi perwalian menurut
undang-undang (Pasal 50 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 345 KUH Per-
data), perwalian orang tua atas anak yang diakui, perwalian berdasarkan penetapan hakim (Pasal 331a
KUH Perdata), perwalian menurut wasiat (Pasal 51 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
juncto Pasal 355–357 KUH Perdata). Sumber: Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 103–104.
20 Dokumen Penjelas
22 Dokumen Penjelas
24 Dokumen Penjelas
26 Dokumen Penjelas
54 Ibid.
55 Ibid.
56 Ibid., hlm. 197–198.
57 Ibid., hlm. 198.
28 Dokumen Penjelas
30 Dokumen Penjelas
• Pasal 52 ayat (1): ”Untuk kepentingan aset atau kewajiban bank dalam
likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan
niaga atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan
berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha”.
Pasal 52 ayat (2): ”Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah perbuatan hukum bank yang bersangkutan yang
wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang”.
• Pasal 37 A:
1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan
yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank
Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
2. Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan
program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan
diserahkan kepada badan dimaksud.
3. Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain,
yaitu
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah
kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut
pertimbangan badan khusus merugikan bank.
Dari dua contoh UU di atas tampak bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
tim likuidasi bank gagal, dan ’badan khusus ad hoc penyehatan perbankan’ masing-
masing memiliki kewenangan untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh
pihak lain, yaitu bank yang berada dalam masalah seperti bank gagal atau tidak
sehat. Ketentuan dalam UU yang secara khusus memberi mandat atau kewenangan
kepada lembaga khusus untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh pihak lain
seperti tercantum di atas mirip dengan norma hukum dalam KUH Perdata tentang
actio pauliana. Namun demikian, tampak sedikit perbedaan, yaitu norma hukum
actio pauliana mensyaratkan bahwa pembatalan perjanjian oleh pihak ketiga dapat
dilakukan apabila pihak ketiga itu mengalami kerugian akibat dari perjanjian tersebut
yang bukan merupakan perbuatan yang diwajibkan oleh hukum atau undang-
undang. Dalam UU tentang LPS ataupun Perbankan di atas, kewenangan LPS dan
badan khusus penyehatan perbankan untuk membatalkan perjanjian yang dibuat
pihak lain, yaitu bank gagal, tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan
LPS ataupun badan khusus tersebut, tetapi pertimbangan bahwa perjanjian itu
merugikan pihak bank gagal.
Perbedaan lain adalah tampaknya ketentuan dalam kedua UU di atas lebih
didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi kepentingan publik, dalam
hal ini kepentingan keuangan negara karena kedua UU di atas mengatur tentang
32 Dokumen Penjelas
34 Dokumen Penjelas
Table of contents
Introduction
The concepts of nullity and annullability Nullity
Conflicts with mandatory law
Conflicts with good morals or public order
Consequences of a nullity
Mitigation of (the consequences of ) a nullity annullability
Grounds for annullability
Consequences of annullability and annulment
Mitigation of (the consequences of ) an annullability
A. Introduction
1 ‘Nullity’ and ‘voidity’ I consider interchangeable, as well as ‘annullability’ and ‘voidability’; I will use
the former terms.
2 DCC refers to the (new) Dutch Civil Code.
B. NULLITY
2. Conflicts with mandatory law
2.1 Under the former Civil Code Dutch law, following French law, embraced the
concept of a(n) ‘(un)lawful cause’ ((on)geoorloofde oorzaak). The new Dutch
Civil Code (DCC) no longer mentions this requirement. Instead of posing
such a general validity demand, the new Code simply specifies a number of–
fundamental–borders which the contracting parties are not allowed not cross:
mandatory law, good morals, public order. A contract contrary to one of these
three will, as a rule, be null (art. 3:40 DCC).
2.2 Art. 3:40 par. 2 DCC reads: A juridical act which violates a mandatory statutory
provision becomes a nullity; if, however, the provision is intended solely for the
3 For nullity and annullability see: Asser/Hartkamp & Sieburgh 6-III* Asser series, Algemeen overeen-
komstenrecht, Deventer: Kluwer 2010, Chapters 23―25; Hijma, Van Dam, Van Schendel & Valk, Re-
chtshandeling en Overeenkomst, Deventer: Kluwer 2007, Chapter 5 (by Van Dam); Hijma, Nietigheid
en vernietigbaarheid van rechtshandelingen, diss. Leiden, Deventer: Kluwer 1988.
36 Perspektif Internasional
4 In this contribution I mainly follow the English translation by Haanappel: Haanappel c.s., New Neth-
erlands Civil Code, Deventer/Boston: Kluwer Law & Taxation 1990.
5 Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW (Parl. Gesch. Nieuw BW), Boek 3, Deventer: Kluwer
1981, p. 189―192.
6 See infra, no. 3.
7 On this subject: Loth, Dwingend en aanvullend recht, Deventer: Kluwer 2009.
38 Perspektif Internasional
4. Consequences of a nullity
4.1 A null contract does not give rise to the obligations the parties aimed at. Neither
party can be held to perform. When one of them performs nevertheless, this
performance lacks a legal basis. The performing party can demand restitution
because of undue performance (art. 6:203 ff DCC). If property is transferred on
the basis of a null contract, the seller retains ownership; the property never
reaches the buyer (art. 3:84 par. 1 DCC).
4.2 Sometimes a null contract is performed by both parties. If afterwards the issue
of nullity is raised, both parties can file a claim for restitution. Where one of
the prestations cannot, by its nature, be reversed, and where this prestation
should not be valued in monetary terms at law, an action to reverse a counter-
prestation or to be imbursed the value thereof is also excluded, to the extent
that it would, for that reason, be contrary to reasonableness and fairness
(redelijkheid en billijkheid; ‘goede trouw’) (art. 6:211 par. 1 DCC).
An illustration: A and B agree that A will pay B money for threatening C.
Afterwards A demands the restitution of his money, arguing the underlying contract
A-B is null. This claim of A’s could be met, whereas B’s counter-claim to restitution
(regarding his activities c.q. the financial value thereof ) cannot. Ultimately A could
get what he wanted without paying at all, which is an unreasonable result. The cited
article prevents such an outcome.
10 Famous is HR 11-5-1951, NJ 1952, 128 (Burgman/Aviolanda), in the matter of the sale of combs by
an airplane-constructor (who altered his factory without the required government permit).
40 Perspektif Internasional
C. ANNULLABILITY
6. Grounds for annullability
6.1 The main grounds for annullability under Dutch law are:
-- incapacity of one of the parties (art. 3:32 DCC);
-- duress (art. 3:44 par. 2 DCC);
-- fraud (art. 3:44 par. 3 DCC);
-- abuse of circumstances (undue influence) (art. 3:44 par. 4 DCC);
-- ‘actio Pauliana’ (art. 3:45 ff DCC);
-- error (mistake) (art. 6:228 DCC);
-- unreasonably onerous general conditions (art. 6:233 sub a DCC).
6.2 Regarding the (in)capacity of the parties, art. 3:32 par. 1 DCC reads: Every
natural person has the capacity to perform juridical acts, to the extent that the
law does not provide otherwise.
The law does provide otherwise for minors (unmarried persons under 18; art. 1:234
DCC) and for persons under legal restraint (art. 1:381 DCC). Such incapable persons
15 A famous judgment is HR 21-1-1944, NJ 1944, 120 (Van de Water/Van Hemme), in a matter of mar-
riage articles.
16 Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW, Boek 3, p. 247-251.
17 On convalescence: Potjewijd, Bekrachtiging en convalescentie, Deventer: Kluwer 2002.
42 Perspektif Internasional
19 See e.g. Hijma & Olthof, Compendium van het Nederlands vermogensrecht, Deventer: Kluwer 2008,
no. 59.
Frasa ‘batal demi hukum’ merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna ‘tidak
berlaku, tidak sah menurut hukum’. Dalam pengertian umum, kata batal (saja) sudah
berarti tidak berlaku, tidak sah. Jadi, walaupun kata ‘batal’ sesungguhnya sudah
cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya
frasa ‘batal demi hukum’ lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak
sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya
tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif seseorang atau menurut kesusilaan/
kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau
tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit, berdasarkan peraturan
perundang-undangan) memang begitulah adanya. Dengan demikian, ‘batal demi
hukum’ menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut
terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan
atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.
46 Laporan Penelitian
Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu yang
diwajibkan oleh UU tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perbuatan hukum tersebut
batal demi hukum. Hal ini ditegaskan, antara lain, dalam:
a. Pasal 617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap akta dengan
mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau
dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman
kebatalan”.
b. Pasal 1682 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada status hibah, kecuali yang
disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya
dengan statu akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu”.
c. Pasal 22 KUH Dagang yang menyebut “Tiap firma harus didirikan dengan akta
otentik, tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak
ketiga”.
d. Pasal 15 ayat (6) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, menyebutkan bahwa
“(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang
ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal
demi hukum.”
e. Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa: “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui
arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam
hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk
akta notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memuat: a. masalah yang dipersengketakan; b. nama lengkap dan tempat tinggal
para pihak; c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d.
tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. nama lengkap
Dalam diskursus ilmu hukum perdata, syarat 1dan 2 digolongkan sebagai syarat
subjektif artinya bergantung pada subjek yang mengikat dirinya, sementara syarat
3 dan 4 digolongkan sebagai syarat objektif, yaitu kondisi atas terjadinya suatu
perjanjian.
Pasal 1332: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat men-
jadi pokok persetujuan”.
Pasal 1333:”Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak
tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Pasal 1334 ayat (1): “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
pokok suatu persetujuan”.
Objek perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan
1334 ayat (1).
48 Laporan Penelitian
Pasal 1333: “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak
tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Pasal 1334 ayat (1): “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
pokok suatu persetujuan”.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk
sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat
ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:20
- dapat diperdagangkan,
- dapat ditentukan jenisnya,
- dapat dinilai dengan uang, dan
- memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan.
Syarat objektif kedua adalah perjanjian tidak memuat suatu sebab yang
dilarang. Berikut adalah beberapa pasal KUH Perdata tentang sebab-sebab yang
dilarang.
Pasal 1335: Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Beberapa pasal di luar KUH Perdata yang mengatur tentang suatu sebab yang
dilarang dan sebab-sebab yang dilarang tersebut menyebabkan perjanjian tersebut
batal demi/karena hukum.
Pasal 127: ”(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/
buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2). Dalam
hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam
perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan
dalam perjanjian kerja bersama”.
Pasal 20: “(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) batal demi hukum”.
50 Laporan Penelitian
Pasal 32: “Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi
hukum”.
Pasal 18: “(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”.
Pasal 33: “(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas
dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa
kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang
lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum”.
Pasal 37: “(2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang bertentangan dengan ayat (1) batal karena hukum. (3) Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali
yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.
Pasal 27: “(1) Saham penyelenggara yang berbentuk badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah yang berkaitan dengan pelayanan
publik dilarang dipindahtangankan dalam keadaan apa pun, baik langsung
maupun tidak langsung melalui penjualan, penjaminan atau hal-hal yang
mengakibatkan beralihnya kekuasaan menjalankan korporasi atau hilangnya
Pasal 66: “(1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun
sebagian karena: a. pewarisan, b. hibah, c. wasiat, d. perjanjian tertulis, atau
e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. (2)
Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan
dengan Paten itu. (3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. (4)
Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan
batal demi hukum”.
Pasal 5
Pasal 12 ayat 3
“Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak, yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d batal
demi hukum”.
Pasal 18 ayat 2
52 Laporan Penelitian
Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat oleh
mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan
bahwa “(1) Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau
21 Istilah undang-undang di sini dipakai karena Pasal 1329 KUH Perdata menyebutnya demikian. Namun,
sebaiknya perlu diingat bahwa undang-undang lebih sempit maknanya daripada perundang-undangan
sebab yang terakhir ini mencakup peraturan hukum yang tidak hanya berupa undang-undang.
54 Laporan Penelitian
Pasal 1321: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1324: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa
hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan
itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam
mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin, dan kedudukan
orang-orang yang bersangkutan”.
Pasal 1323: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu
persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga
bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam
persetujuan yang dibuat itu”.
Pasal 1325: “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila
dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga
Tentang kekhilafan, kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal
yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari
barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa
diadakan perjanjian itu. Perjanjian memang telah terbentuk, namun terjadinya
perjanjian itu berada di bawah pengaruh kekeliruan atau kesesatan sehingga
bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya maka tidak akan terbentuk perjanjian.
Kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf
mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan atau
rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum
mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum
sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan
dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman
itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak
orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi
cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman,
kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat dilakukan oleh
pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam perjanjian tersebut.
Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik orang
tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan milik pihak ketiga
(Pasal 1325 KUH Perdata). Namun, perlu diperhatikan bahwa pembuat undang-
undang membedakan antara paksaan yang membuat perjanjian mengandung
unsur cacat kehendak dari pihak yang membuatnya sehingga terancam
pembatalan, dengan rasa takut karena hormat kepada anggota keluarga dalam
56 Laporan Penelitian
Terkait penipuan, penipuan terjadi bila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan palsu atau tidak benar disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk
membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu
bertindak aktif untuk menjerumuskan pihak lawan. Akibat hukum bagi perjanjian
yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya
sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan
pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Perikatan
yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan
untuk membatalkannya”.
Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu
yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan
yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi
hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata yang berbunyi “Semua
syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu
yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh
UU adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak
berlaku”. Aturan ini mirip dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian, yaitu
syarat kausa yang halal.
Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat
batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada
kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain,
perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal
perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima
prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal
1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa “Suatu syarat batal
adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa
segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu
perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan
kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang
dimaksudkan terjadi”.
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan
58 Laporan Penelitian
• Pasal 6 ayat (2): “LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank
Gagal dengan kewenangan:
• Pasal 52 ayat (1): “Untuk kepentingan aset atau kewajiban bank dalam
likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan niaga
atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset
atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha”.
b. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan
Pasal 37 A:
60 Laporan Penelitian
a. Subekti22
Terhadap Asas Konsensualisme yang dikandung oleh Pasal 1320 KUH Perdata, ada
pengecualiannya, yaitu oleh undang–undang telah ditetapkan suatu formalitas
untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya, untuk perjanjian penghibahan benda
tak bergerak, di mana harus dilakukan dengan akta notaris. Selanjutnya, perjanjian
perdamaian, harus dibuat secara tertulis, dan sebagainya. Perjanjian-perjanjian
tersebut dinamakan perjanjian “Formil”, dan apabila perjanjian yang itu tidak
memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang maka perjanjian-
perjanjian tersebut akan “batal demi hukum”.
b. Herlien Boediono23
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak dari pihak-pihak.
Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak
secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka.
62 Laporan Penelitian
Akta untuk perjanjian formil adalah syarat mutlak bagi keabsahan pembuatan
hukum yang bersangkutan. Sementara untuk perjanjian yang tidak digolongkan
pada perjanjian formil, fungsi akta adalah sekadar sebagai alat bukti. Dengan
perkataan lain, untuk perbuatan hukum yang tidak digolongkan pada perjanjian
formil, tetapi oleh para pihak dibuat dalam bentuk tertulis, fungsi akta dalam hal ini
adalah sebagai alasan alat bukti.
Kehendak bebas tersebut masih “dibatasi”, yaitu harus pula “dibuat secara sah”. Berarti
bahwa kebebasan tersebut sepanjang menyangkut pembuatan fidusia sebagai
perjanjian formil dibatasi oleh adanya keharusan yang bersifat memaksa. Jaminan
fidusia baru dianggap absah apabila dibuat dalam bentuk akta notaris dalam bahasa
Indonesia sesuai bunyi ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU tentang Fidusia.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang
dipikul oleh seseorang yang mengadakan suatu perjanjian, yaitu seperti orang
24 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya), Cetakan II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
25 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Jakarta: PT Intermasa, 1998.
64 Laporan Penelitian
Apabila keempat syarat sahnya perjanjian tersebut tidak terpenuhi maka ada
beberapa hal yang dapat terjadi, yaitu sebagai berikut.
Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam
hal syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan,
dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu
perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar bagi para pihaknya
untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa
perjanjian yang demikian itu adalah “null and void”. Sementara dalam hal suatu syarat
subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi maka perjanjiannya bukan batal demi hukum,
tetapi salah satu pihaknya mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu
dibatalkan. Dalam hal ini, pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak
yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Hal
ini biasa dikatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat tersebut tetap mengikat para
pihaknya selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak
meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, keberlakuan perjanjian seperti itu
tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.
Dalam Hukum Perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga
saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi
akan menghentikan perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, seperti yang diatur
di dalam Pasal 1265 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:
b. Herlien Boediono26
Herlien Boediono membagi penjelasan tentang syarat sah perjanjian dan
keterkaitannya dengan kebatalan hukum sebagai berikut.
1. Sepakat Mereka yang Mengingatkan Dirinya
a. Pengertian Sepakat
Syarat pertama untuk terjadinya perjanjian ialah “sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya”. Sepakat tersebut mencakup pengertian tidak saja
“sepakat” untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan
prestasi. Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak
26 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan ke- 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
66 Laporan Penelitian
Jika salah satu pihak mengambil keputusan yang “cocok” dengan lawannya
untuk melakukan jual-beli, misalnya, syarat utama untuk terbentuknya
suatu perjanjian telah dipenuhi. Untuk adanya kesepakatan tidaklah cukup
bahwa keputusan sudah diambil oleh para pihak. Keputusan atau kehendak
tersebut bagaimanapun juga harus disampaikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain secara timbal balik.
b. Teori Kehendak
Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan.
Pengingkaran bahwa orang yang melakukan tindakan hukum memiliki
otonomi, tidak akan memecahkan masalah apa pun. Justru hal tersebut
hanya menafikkan hukum keperdataan. Kehendak sebagai batu penjuru
dan seluruh hukum keperdataan masih diakui sebagai ajaran yang berlaku
di dunia belahan Barat. Menurut teori ini, faktor yang menentukan adanya
perjanjian adalah kehendak. Namun, suatu kehendak harus dinyatakan dan
dengan demikian hubungan alamiah antara kehendak dan pernyataan
terwujud. Konsekuensi dari ajaran ini adalah jika pernyataan dari seseorang
tidak sesuai dengan keinginannya, tidak akan terbentuk perjanjian. Untuk
terbentuknya perjanjian, kehendak harus dianyakan. Sebaliknya, tidaklah
mungkin ada pernyataan tanpa didahului kehendak untuk membentuk
perjanjian.
c. Teori Pernyataan
Teori ini berpendapat bahwa pembentukan kehendak adanya peruses
yang terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang. Karenanya, pihak lawan tidak
mungkin mengetahui apa yang sebenarnya berlangsung di dalam benak
seseorang. Konsekuensi logis darinya ialah suatu kehendak yang tidak
dapat dikenali oleh pihak luar tidak mungkin menjadi dasar terbentuknya
d. Teori Kepercayaan
Teori ini beranjak dari teori pernyataan, tetapi yang diperlunak. Tidak semua
pernyataan melahirkan perjanjian. Pernyataan yang melahirkan perjanjian
hanyalah pernyataan kepada pihak lain yang menurut kebiasaan di dalam
masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan
memang benar dikehendaki.
Ketiga teori tersebut mempunyai segi positif dan negative. Oleh karena itu,
tidak dapat diterapkan secara konsekuen tanpa adanya koreksi. KUH Perdata
disusun beranjak dari teori kehendak yang diikuti hingga pertengahan abad
yang lalu. Teori-teori lainnya yang menolak teori kehendak sebenarnya
sebagai pengecualian diterapkan untuk hal-hal tertentu, demikian Asser
Rutten. Namun, ahli-ahli hukum berbeda pendapat tentang teori-teori di
atas.
68 Laporan Penelitian
b. Gangguan Kejiwaan
Oleh UU, akibat hukum dari tindakan hukum yang dilakukan oleh orang
yang sakit jiwa hanya diatur jika mereka itu ditaruh di bawah pengampunan
atau curatele (Pasal 433 KUH Perdata dan seterusnya). Tindakan mereka akan
tunduk pada aturan umum dan asas-asas hukum mereka yang digolongkan
“terganggu kejiwaannya”, baik karena mabuk, di bawah pengaruh narcose
atau hypnose, kepikunan, maupun dalam keadaan emosional tinggi–
singkatnya semua peristiwa atau keadaan yang menyebabkan seseorang
tidak dapat menyatakan kehendaknya dengan benar atau sadar akan akibat
hukumnya–tidaklah dapat diminta pertanggungjawaban hukum atas apa
yang dilakukannya.
Menjadi pertanyaan, apakah dalam hal ini telah terjadi pernyataan yang
tidak dikehendaki? Penjelasannya adalah sebagai berikut. Walaupun pihak
menandatangani akta yang tidak dibaca atau diketahui isinya, baik sebagian
maupun seluruhnya, ia telah berkehendak dan sadar telah “menundukkan
dirinya” atas isi akta tersebut berlaku bagi dirinya. Di sini dikatakan bahwa
telah terjadi “penundukan atas kehendak sendiri secara umum”. Dalam hal
ini, dianggap tidak terjadi deskripsi antara kehendak dan pernyataan, orang
menghendaki apa yang dinyatakannya. Hampir selalu perjanjian baku/standar
ditandatangani tanpa dibaca terlebih dahulu atau diketahui isinya. Namun,
kenyataan telah ditandatanganinya akta perjanjian baku menimbulkan
kepercayaan pada pihak lawan bahwa penanda tangan betul mengetahui
serta menghendaki apa yang telah dinyatakannya dengan ditandatangani
aktanya. Hal tersebut berlaku juga untuk formulir yang telah ditandatangani
tanpa diisi secara lengkap. Yurisprudensi di Belanda (sejak 1926) telah
mengakui sahnya akta-akta perjanjian baku/standar dan orang tidak dapat
menyangkal akan hal tidak diketahui apa yang telah ditandatangani.
70 Laporan Penelitian
c. Perbuatan Pura-Pura
Perbuatan pura-pura yang terejahwantah ke dalam perjanjian pura-pura
atau perjanjian simulasi sebenarnya merupakan penyimpangan dari maksud
tujuan menimbulkan akibat hukum. Penyimpangan terhadap “kesepakatan
yang tercapai” telah dilakukan antara para pihak untuk secara diam-diam dan
secara sadar melakukan tindakan hukum tertentu yang menyimpang dari apa
yang seharusnya terjadi. Dapat dikatakan di sini bahwa para pihak melakukan
“persekongkolan”.
72 Laporan Penelitian
Berdasarkan apa yang tersebut di atas, perjanjian terjadi atau terbentuk melalui
proses penawaran yang disampaikan oleh satu pihak yang kemudian diterima
pihak lainnya. Proses penawaran dan penerimaan melandasi terbentuknya
perjanjian.
Dari ketiga teori di atas, dapat dikatakan bahwa teori pernyataan dan teori
penyampaian/pengiriman mengandung banyak kelemahan. Kedua teori
tersebut dianggap tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan. Alhasil,
tidak banyak yang menganut teori ini. Sebaliknya, teori penerimaan adalah teori
yang dianggap paling memenuhi asas kepatutan dan kepantasan sekalipun
tetap memiliki kelemahan.
Berkenaan dengan hak tersebut, ketentuan Pasal 1346 KUH Perdata membuat
petunjuk umum. Ketentuan ini yang juga berkaitan dengan keterkaitan hukum
perdata internasional, locus regit actu, menetapkan bahwa “Apa yang meragu-
ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri
atau di tempat, di mana persetujuan telah dibuat”.
74 Laporan Penelitian
Dengan kata lain, setiap subjek hukum yang memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum.
Untuk terbentuknya suatu hubungan hukum, disyaratkan ada atau dilakukannya
suatu tindakan hukum yang “menghidupkan” kewenangan tersebut. Siapa yang
dapat dan boleh bertindak serta mengikatkan diri adalah mereka yang cakap
bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum yang membawa
akibat hukum.
Artinya, mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap
adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum.
Kecakapan adalah ketentuan umum, sedangkan ketidakcakapan merupakan
pengecualian darinya. Terminologi yang digunakan UU, kecakapan dan
ketidakcakapan harus dimaknai secara berbeda dari arti umum yang diberikan
padanya dalam pergaulan sehari-hari dan juga tidak merujuk pada sifat alamiah
seseorang.
Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh UU dilarang melakukan
tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu memahami
konsekuensi tindakan-tindakannya. Mereka yang dianggap tidak cakap
adalah orang belum dewasa atau anak-anak di bawah umur dan mereka yang
ditempatkan di bawah pengampunan. Mereka ini, tanpa seizin wakil, yakni
orang tua atau wali mereka menurut perundang-undangan, dinyatakan tidak
dapat melakukan tindakan hukum, terkecuali melalui lembaga perwakilan.
76 Laporan Penelitian
Kuasa yang palsu dapat terjadi jika suatu kuasa yang tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya atau kuasa yang disimulasikan. Kemungkinan juga telah
terjadi kekeliruan terhadap kuasanya. Dengan demikian, yang penting adalah
a. Ahmadi Miru27
Isu selanjutnya adalah apa akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat sah
perjanjian. Terkait akibat hukum tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian,
Ahmadi Miru berpendapat sebagai berikut.
Istilah batal demi hukum yang disamakan dengan istilah kebatalan adalah
kontrak yang perjanjiannya tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya
kontrak. Yang merupakan syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian adalah
“suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”, misalnya objek kontrak tidak jelas
atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.
Sementara untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, juga digunakan istilah
pembatalan. Pembatalan kontrak sangat terkait dengan pihak yang melakukan
kontrak, maksudnya apabila pihak yang melakukan kontrak tersebut tidak cakap
menurut hukum, baik itu karena belum cukup umur 21 tahun atau karena di
bawah pengampuan, kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh pihak
yang tidak cakap tersebut apakah diwakili oleh wali atau pengampunya atau
setelah dia sudah berumur 21 tahun atau sudah tidak di bawah pengampuan.
Pembatalan perjanjian dapat juga dilakukan karena salah satu pihak maupun
kedua belah pihak:
- belum dewasa,
- di bawah pengampuan,
- kontrak tersebut dibuat karena adanya paksaan, atau
- kekhilafan/kesesatan atau penipuan.
27 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Cetakan II, Yogyakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007).
78 Laporan Penelitian
c. R.M. Suryodiningrat29
R.M. Suryodiningrat lebih lanjut menjelaskan tentang pembedaan kebatalan
dan pembatalan perjanjian.
Pembahasan mengenai kebatalan (nietigheid) atau pembatalan
(vernietigbaarheid) dari perjanjian, hanya diuraikan dalam bagian uraian tentang
hapusnya perikatan. Penulis menguraikan bahwa penggunaan istilah mengenai
kebatalan/pembatalan tidak ada keseragaman, bahkan tidak begitu tegas apa
yang menjadi dasar pembedanya. Hal demikian juga kerap kali muncul dalam
undang-undang yang menggunakan istilah “kebatalan~batal demi hukum”,
sedangkan maksudnya adalah “pembatalan”. Contoh yang diberikan, misalnya
Pasal 1446 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perikatan yang dibuat
oleh orang yang belum dewasa atau yang berada di bawah pengampuan adalah
“batal demi hukum”, sedangkan yang dimaksudkan ialah “pembatalan” yang
terbukti dari kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa harus ada tuntutan
untuk dan atas nama mereka di muka pengadilan agar….(teks terpenggal)
d. Hardjan Rusli30
Selanjutnya adalah isu tentang makna dari kata “hal tertentu” dan “sebab/kasus
yang dilarang”. Hardjan Rusli menjelaskannya sebagai berikut.
Kalau dihubungkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan salah
satu syarat sahnya perjanjian adalah “hal” yang tertentu dan kata “hal” ini berasal
dari bahasa Belanda onderwerp yang dapat diartikan pokok uraian atau pokok
pembicaraan (atau pokok persoalan) maka Zaak lebih tepat bila diterjemahkan
sebagai pokok persoalan (arti nomor 4 dalam kamus Prof. Drs. S. Wojowasito)
(hlm. 86).
30 Hardjan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993.
80 Laporan Penelitian
Salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebab yang halal. Pengertian
sebab yang halal adalah:
Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan,
dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak
pernah ada suatu perikatan.
31 Yanti Ariavianti, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Hukum Kontrak Jual-Beli di Dalam Hukum
Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia Dalam Rangka Upaya
Pembangunan Hukum Indonesia di Bidang Kontrak Jual-beli Internasional,” Perpus FH UNPAR.
32 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Jakarta: Intermasa, 1998.
82 Laporan Penelitian
b. Herlien Boediono33
Selanjutnya, juga dibahas tentang andil “asas keseimbangan” dalam pembatalan
suatu perjanjian berdasarkan syarat batal yang tercantum dalam perjanjian itu
sendiri.
33 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
34 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Jakarta: Intermasa, 1998.
b. Herlien Boediono35
Terdapat perbedaan antara perjanjian atas beban dengan perjanjian cuma-cuma.
Rutten berpendapat bahwa untuk membedakan perjanjian atas beban dengan
perjanjian cuma-cuma cukup menilai apakah salah satu pihak mendasarkan
pada keinginan semata-mata untuk memberi.
35 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
36 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya), Cetakan
II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
84 Laporan Penelitian
Sementara ini, tim peneliti telah melakukan analisis awal terhadap putusan-
putusan tersebut. Berdasarkan hasil analisis awal terhadap Yurisprudensi MA RI
tahun buku 1969 sampai dengan tahun 2008, tim peneliti telah menyeleksi 17
yurisprudensi yang berkaitan dengan pembatalan perjanjian. Dari 17 yurisprudensi
tersebut, sebanyak 12 yurisprudensi di dalamnya memuat amar putusan yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian itu batal demi hukum. Yurisprudensi lainnya
di dalamnya memuat amar putusan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian itu
dinyatakan batal.
2. Sebab yang tidak 1951 PT Jakarta No. Perjanjian atas dasar causa
diizinkan 62/1951 Pdt Tanggal yang tidak diperkenankan/
29 Agustus 1951 tidak diizinkan adalah batal se-
luruhnya dan seharusnya oleh
hakim atas kekuasaan jabatan-
nya dibatalkan.
3. Perjanjian ber- 1952 MA RI No. 62 dan 62a Dalam hal perjanjian bersyarat,
syarat K/Sip./1952 perjanjian tidak dapat dilak-
sanakan selama syarat belum
dilaksanakan.
4. Perjanjian menurut 1954 MA RI No. 57/ K./ Menurut Hukum Adat, suatu
Hukum Adat Sip./1953 Tanggal 18 perjanjian yang antara kedua
Maret 1954 belah pihak terjadi perselisih
an (pinjaman yang akan di
bayar kembali dengan barang),
tidak dapat dibatalkan dengan
alasan tak menepati perjanjian
tersebut.
86 Laporan Penelitian
9. Akibat dari over- 1984 Putusan MA No. 409 Jika dapat dibuktikan bahwa
macht terhadap K/Sip/1983 Tanggal 25 terjadi overmacht maka per-
perjanjian Oktober 1984 janjian dapat dibatalkan dan
debitur tidak dapat dibeban
kan penggantian kerugian.
10. Akibat dari over- 1984 Putusan MA No. 3389 MA mengakui bahwa mun-
macht terhadap K/PDT/1984 culnya tindakan administratif
perjanjian penguasa yang menentukan
atau mengikat adalah suatu
kejadian yang tidak dapat di-
atasi oleh para pihak dalam
perjanjian dan dianggap seba-
gai overmacht sehingga mem-
bebaskan pihak yang terkena
dampak dari mengganti
kerugian. Overmacht tersebut
bersifat relatif, yang mengaki-
batkan pelaksanaan prestasi
secara normal tidak mungkin
dilakukan, atau untuk semen-
tara waktu ditangguhkan sam-
pai ada perubahan kebijakan
atau tindakan penguasa yang
berpengaruh pada pelaksana
an prestasi.
88 Laporan Penelitian
15. Perjanjian jual-beli 1992 Putusan MA RI No. Perjanjian dibuat bukan atas
1535 K/PDT/1990 keinginan diri sendiri, padahal
Tanggal 29 Februari hukum acara perdata men-
1992 syaratkan perjanjian terhadap
semua objek yang bernilai di-
lakukan sendiri oleh pemilik/
diri sendiri (yang berwenang)
atau berdasarkan kuasa khusus
untuk itu. Oleh karena itu, su-
dah selayaknya perjanjian din-
yatakan batal demi hukum.
16. Hak atas tanah 1992 Putusan MA RI No. 1. Jual-beli tanah adat oleh
522K/Pdt/1990 Tang- Pribumi (penduduk asli)
gal 29 April 1992 kepada nonpribumi (Tiong-
hoa, Arab, Eropa) yang ter-
jadi sebelum dibentuknya
UUPA adalah tidak sah dan
batal demi hukum, sesuai
ketentuan Vervreemdings-
verbod St. 1875No.179.
90 Laporan Penelitian
92 Laporan Penelitian
94 Laporan Penelitian
96 Laporan Penelitian
42. Utang piutang 2004 Putusan MA RI No. Perjanjian kredit yang men
653 K/PDT/2002 Tang- jaminkan tanah tanpa melibat-
gal 16 Desember 2004 kan persetujuan dari pemilik
tanah adalah perbuatan me
lawan hukum sehingga harus
dibatalkan demi hukum.
48. Perjanjian cessie 2007 Putusan MA RI No. Perjanjian cessie batal demi
1820 K/PDT/2005 hukum atas piutang kepada
Tanggal 12 Januari negara yang diselesaikan de
2007 ngan membentuk suatu badan
khusus dan peraturan khusus
berlaku lex spesialis derogat
lex generalis terhadap KUH
Perdata, dengan tetap ada
wewenang lembaga negara
untuk melakukan ambil alih
atas piutang yang dimiliki oleh
negara kepada pihak lain.
98 Laporan Penelitian
50. Jual-beli pelepasan 2006 Putusan MA RI No. Batal demi hukum karena telah
hak atas tanah 659 K/PDT/2006 Tang- melakukan wanprestasi dan
gal 17 Oktober 2006 juga perbuatan melanggar
hukum.
54. Jual-beli tanah 2007 Putusan MA RI No. 82 Perjanjian jual-beli tanah wari-
warisan K/PDT/2004 Tanggal san batal demi hukum karena
22 Mei 2007 boedel waris belum terbagi,
masih terdapat harta bersama
orang tua yang mana masih
hidup salah satu orang tua, di-
lakukan oleh orang yang tidak
mempunyai alas hak yang sah
untuk melakukan perbuatan
hukum melakukan perjanjian
jual-beli, dilakukan tanpa izin
dan persetujuan orang tua dan
saudara kandung, belum ada
pembagian dan pengalihan
hak dan penyerahan hak se-
cara sah dengan pembagian
warisan, jual-beli tanah wari-
san juga melampaui hak.
Seperti diketahui secara umum bahwa menurut Pasal 1320 KUH Perdata,
suatu perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tidak terpenuhinya
syarat objektif, yakni suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Berdasarkan data
yurisprudensi dan Putusan MA yang telah diperoleh, sebagian besar putusan
MA menyatakan suatu perjanjian batal demi hukum karena tidak terpenuhinya
syarat sebab yang halal, dalam hal ini hakim memutuskan bahwa perjanjian yang
dilakukan itu batal demi hukum karena bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ini beberapa kaidah hukum yang ditemukan oleh tim peneliti di dalam
putusan-putusan MA, yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau yang telah
menjadi yurisprudensi.
Berikut ini hasil seleksi terhadap putusan MA RI di bidang perdata yang telah
berkekuatan hukum tetap, sejak tahun 1980 sampai 2008:
1) Putusan No. 600 K/Pdt/2008;
2) Putusan No. 1783 K/Pdt/2008;
3) Putusan No. 1790 K/Pdt/2008;
4) Putusan No. 112 K/Pdt/1997;
5) Putusan No. 1808 K/Pdt/2007;
6) Putusan No. 1001 K/Pdt/2006;
7) Putusan No. 1233 K/Pdt/2006;
8) Putusan No. 659 K/Pdt/2006;
108 Dokumen
Daftar Putusan
Penjelas
20. Hukum Kontrak dan Perancangan Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.S. 85
Kontrak
23. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Prof. Dr. Maria Darus 94
Perikatan dengan Penjelasan Badrulzaman, S.H.
110 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas
28. Buku tentang Perikatan dalam Gr. Van der Burght 101
Teori dan Yurisprudensi (Berisi
Yurisprudensi Nederland Setelah
Perang Dunia II)
112 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas
114 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas
C. Daftar Artikel/Makalah
1. Undang-Undang
Undang-undang tentang pengaturan mengenai batal demi hukum tersebut
terbagi ke dalam bidang-bidang berikut.
a. Bisnis
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
b. Investasi
1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1962
tentang Penggunaan dan Pengawasan atas Penggunaan Dana-Dana
Investasi
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
c. Perbankan
1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
d. Agraria
1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954 tentang Penetapan Undang-
Undang Darurat tentang Pemindahan Hak Tanah-Tanah dan Barang-Barang
Tetap yang Lainnya yang Bertakluk kepada Hukum Eropa (Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1952) sebagai Undang-Undang
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan
e. Administrasi Negara
1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
f. Ketenagakerjaan
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
2. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah tentang pengaturan mengenai batal demi hukum
tersebut terbagi ke dalam bidang-bidang berikut ini.
a. Agraria
1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap
Pemindahan Hak atas Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturan
dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
3) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa-
Menyewa Perumahan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik
5) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun
6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
b. Administrasi Negara
1) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1958 tentang Prosedur Pembelian
Barang-Barang Pemerintah
2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah
c. Ketenagakerjaan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
d. Pendidikan
1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1954 tentang Tunjangan Ikatan
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan
di Luar Negeri
a. Administrasi Negara
1) Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
b. Internasional
1) Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1996 tentang Pengesahan
Amandemen Agreement Relating to The International Telecommunications
Satellite Organization “Intelsat”, Denmark-1995 (Perjanjian Berkenaan dengan
Organisasi Satelit Telekomunikasi Internasional “Intelsat”, Denmark-1995)
4. Dapat Dilaksanakan
Artinya, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
6. Kejelasan Rumusan
Artinya, setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Keterbukaan
Artinya, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan, bersifat transparan
serta terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan.
Boediono, Herlien. 2009. Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan. Cetakan ke-1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Cf. art. 3.16 of the Unidroit Principles of International Commercial Contracts, Roma
2004.
Hijma & Olthof, Compendium van het Nederlands vermogensrecht, Deventer: Kluwer
2008, no. 59.
Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Cetakan ke-2.
Yogyakarta: Raja Grafindo Persada.
Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW (Parl. Gesch. Nieuw BW), Boek 3,
Deventer: Kluwer 1981, p. 189-192.
Rusli, Hardjan. 1993. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Cetakan
I.Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan.
128 Dokumen
Daftar Pustaka
Penjelas
Salah satu isu dalam hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian
Zkonsep dan interpretasi adalah masalah kebatalan, khususnya masalah batal demi hukum
C
(null and void). Bagaimana akibat pembatalan suatu perjanjian serta syarat-syarat apa saja
M yang harus dipenuhi untuk memenuhi unsur suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum.
Y
Oleh karena itu, topik kebatalan perjanjian sebagai salah satu pokok bahasan Restatement
sangat penting untuk dibahas.
CM
MY Buku ini merupakan salah satu upaya untuk menjawab ketidakpastian konsep dan interpretasi
CY
tersebut. Tujuan utama dari buku ini adalah mewujudkan gambaran yang jelas tentang
beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang digunakan adalah analisis
CMY
terhadap tiga sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
K dan literatur yang otoritatif.
34608100146