Anda di halaman 1dari 164

i

HUKUM LINGKUNGAN
GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN
DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Oleh:

A’an Efendi
HUKUM LINGKUNGAN
GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN
DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Diterbitkan oleh
UPT Penerbitan UNEJ
Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
Telp. 0331-330224, Psw. 319, Fax. 0331-339029
E-mail: upt-penerbitan@unej.ac.id

Hak Cipta @ 2012

Cover/layout: Noerkoentjoro W.D.

Perpustakaan Nasional RI – Katalog Dalam Terbitan

344.04
EF EFENDI, A’an
h Hukum Lingkungan: Gugatan Sengketa
Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara/
oleh Aan Effendi.--Jember: Jember University
Press, 2012
x, 154 hlm. ; 23 cm.

ISBN: 978-602-9030-22-8

1. HUKUM LINGKUNGAN
I. Judul

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak tanpa


ijin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, photoprint, maupun microfilm.
PRAKATA

Salah satu materi baru Undang-Undang No.32 Tahun 2009


tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) adalah Pasal 93 yang mengatur gugatan administratif di
peradilan tata usaha negara terhadap izin lingkungan. Materi ini
tidak ada dalam undang-undang yang sebelumnya, baik itu
Undang-Undang No.4 Tahun 1982 maupun Undang-Undang No.23
Tahun 1997.
Gugatan terhadap izin lingkungan di peradilan tata usaha
negara adalah sarana efektif dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan. Gugatan di peradilan tata
usaha negara berisi tuntutan agar izin lingkungan yang
menimbulkan pencemaran lingkungan dinyatakan batal atau tidak
sah untuk menghentikan pencemaran yang terjadi. Kedepan sarana
gugatan di peradilan tata usaha negara ini harus lebih diperdayakan.
Buku ini disusun dengan sistematika pembahasan yang
dibagi dalam empat bab sebagai pegangan untuk melaksanakan
penulisan yang kemudian diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
Bab 1 pendahuluan, menjelaskan tentang izin lingkungan
yang menjadi dasar sengketa lingkungan di peradilan tata usaha
negara. Izin lingkungan adalah obyek sengketa lingkungan di
peradilan tata usaha negara. Bab pendahuluan ini menjadi landasan
untuk pembahasan bab-bab selanjutnya.
Bab 2 dibahas berbagai aspek hukum peradilan tata usaha
negara, dimulai dari peristilahan peradilan tata usaha negara sampai
dengan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan
pengadilan tata usaha negara.
Bab 3 dibahas penyelesaian sengketa lingkungan melalui
peradilan tata usaha negara. Pembahasan penyelesaian sengketa
lingkungan melalui peradilan tata usaha negara dalam bab ini
didasarkan pada analisis Pasal 93 UUPPLH. Dalam bab III juga
dibahas tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan
peran serta dalam pengelolaan lingkungan.
Sebagai bab terakhir, yaitu bab 4 merupakan bab penutup.
Dalam bab penutup ini berisi simpulan yang merupakan intisari dari
pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

v
Buku ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa fakultas
hukum, dosen fakultas hukum, organisasi lingkungan hidup, pejabat
pemerintahan, hakim, dan masyarakat pada umumnya yang
berminat pada persoalan-persoalan lingkungan.
Dengan selesainya penulisan buku ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Prof.
Dr. Tejasari yang telah bersedia untuk mereview naskah ini
sehingga pada akhirnya sampai ke tangan para pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat
Prof. Dr.Siti Sundari Rangkuti, S.H. yang telah memberikan bekal
ilmu hukum lingkungan yang sangat berkarakter kepada penulis
ketika masih menjadi mahasiswa.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan
adik penulis yang selalu menjadi motivator untuk terus berkarya di
bidang akademik. Spesial untuk Dwi Nurhayati Adhani, S.Psi
penulis sampaikan terimakasih atas dorongan semangat yang selalu
diberikan agar penulis terus dapat berkarya, terutama untuk menulis
buku.
Kepada sahabat-sahabat penulis di Fakultas Hukum
Universitas Jember, Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum.
(Mbak Dy), Rahmadi Indra Tektona, S.H., M.H. (Mas Bejo),
Nuzulia Kumala Sari, S.H., M.H., Firman Floranta Adonara, S.H.,
M.H. dan Samuel Saut Maratua Samosir, S.H., M.H. Penulis
sampaikan terima kasih atas kebersamaannya selama ini yang
adalah motivasi tersendiri untuk terus berkarya.

Jember, Juli 2012

A’an Efendi, S.H.,M.H.

vi
DAFTAR ISI

Halaman

Prakata .............................................................................................. v
Daftar Isi ........................................................................................... vii
Daftar Tabel ...................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1


Daftar Bacaan ................................................................. 6

BAB II PERADILAN TATA USAHA NEGARA ..................... 7


2.1 Istilah-istilah ........................................................... 7
2.2 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Asas-asas
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara .......... 10
2.2.1 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara ..... 10
2.2.2 Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara ............................................... 12
2.2.3 Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara ............................................... 15
2.3 Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ........... 17
2.4 Penyelesaian Sengekta Tata Usaha Negara ............ 20
2.4.1 Sengketa Tata Usaha Negara ........................ 21
2.4.2 Subyek Sengketa Tata Usaha Negara ........... 21
2.4.3 Obyek Sengketa Tata Usaha Negara ............ 24
2.4.4 Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha
Negara .......................................................... 29
2.5 Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara ............ 32
2.5.1 Alasan-alasan Mengajukan di Pengadilan
Tata Usaha Negara ....................................... 32
2.5.2 Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan di
Pengadilan Tata Usaha Negara ..................... 37
2.5.3 Syarat-syarat Gugatan .................................. 39
2.5.4 Petitum Gugatan di Pengadilan Tata Usaha
Negara .......................................................... 41
2.6 Acara Pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha
Negara ..................................................................... 42
2.6.1 Acara Pemeriksaan Biasa ............................. 43
2.6.2 Acara Pemeriksaan Cepat ............................. 46
2.6.3 Acara Pemeriksaan Singkat .......................... 48

vii
2.7 Pembuktian ............................................................. 49
2.7.1 Pembuktian Dalam Hukum Acara
Pidana ........................................................... 50
2.7.2 Alat-alat Bukti .............................................. 52
2.7.3 Alat Bukti Surat atau Tulisan ....................... 53
2.7.4 Alat Bukti Keterangan Ahli .......................... 55
2.7.5 Alat Bukti Keterangan Saksi ........................ 57
2.7.6 Alat Bukti Pengakuan Para Pihak ................. 59
2.7.7 Alat Bukti Pengetahuan Hakim .................... 60
2.7.8 Keadaan yang Telah Diketahui Umum
Tidak Perlu Dibuktikan ................................ 61
2.7.9 Harus Ada Minimal Dua Alat Bukti
yang Sah ....................................................... 62
2.8 Putusan .................................................................... 64
2.8.1 Pengertian Putusan ....................................... 64
2.8.2 Amar atau Diktum Putusan ........................... 65
2.8.3 Susunan Isi Keputusan .................................. 67
2.8.4 Kekuatan Putusan ......................................... 69
2.9 Upaya Hukum
2.9.1 Perlunya Upaya Hukum ................................ 70
2.9.2 Perlawanan Terhadap Putusan
Dismissal ...................................................... 70
2.9.3 Banding ......................................................... 71
2.9.4 Kasasi ........................................................... 73
2.9.5 Perlawanan Oleh Pihak Ketiga ..................... 77
2.9.6 Peninjauan Kembali ...................................... 78
2.10 Pelaksanaan Putusan ............................................... 82
Daftar Bacaan ................................................................. 87

BAB III GUGATAN LINGKUNGAN MELALUI


PERADILAN TATA USAHA NEGARA ..................... 91
3.1 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan
Sehat ....................................................................... 91
3.1.1 jaminan Hak Atas Lingkungan Hidup
Yang Baik dan Sehat .................................... 91
3.1.2 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik
dan Sehat di beberapa Negara Sebagai
Perbandingan ................................................ 93
3.1.3 Hak Atas Informasi Lingkungan Hidup ....... 98
3.2 Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan
Lingkungan ............................................................. 103

viii
3.2.1 Peran Serta Masyarakat Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Lingkungan Nasional ................... 112
3.2.2 Peran Serta Masyarakat Dalam Prosedur
AMDAL ....................................................... 116
3.2.3 Peran Serta Masyarakat Dalam Hinder
Ordonantie dan Permasalahannya ................ 118
3.3 Gugatan Sengketa Lingkungan di Peradilan
Tata Usaha Negara .................................................. 121
3.3.1 Dasar Hukum Gugatan sengekta Lingkungan
di Peradilan Tata Usaha Negara ................... 121
3.3.2 Izin Lingkungan Sebagai Obyek Sengketa
Lingkungan di Peradilan Tata Usaha
Negara .......................................................... 125
3.3.3 Hambatan-hambatan Penyelesaian
Sengekta Lingkungan di Peradilan Tata
Usaha Negara ............................................... 127
3.3.4 Kasus-kasus Sengketa Lingkungan di
Peradilan Tata Usaha Negara ....................... 133
Daftar Bacaan ................................................................. 146

BAB IV PENUTUP ...................................................................... 149


4.1 Hukum Positif Indonesia pada Masa Orde Baru

GLOSARIUM .................................................................................. 151


INDEKS ......................................................................................... 153

ix
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbitnya


KTUN yang Merugikan Masyarakat ........................ 2
Tabel 2. Kegiatan-kegiatan Administrasi Negara/Tata
Usaha Negara yang Menimbulkan Perkara-
perkara Administrasi Negara .................................... 3
Tabel 3. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara....................................................................... 16
Tabel 4. Kompetensi Relatif Pengadilan Tata Usaha Negara 18
Tabel 5. Orang atau Badan Hukum Perdata yang Dirugikan
KTUN ....................................................................... 24
Tabel 6. Elemen-Elemen KTUN ............................................ 25
Tabel 7. Keputusan Tata Usaha Negara ................................. 26
Tabel 8. Pengertian Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik........................................................................... 34
Tabel 9. Kategori Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik........................................................................... 36
Tabel 10. Ketentuan Saat Mulai Menghitung 90 Hari.............. 38
Tabel 11. Perbedaan Akta Otentik yang Dibuat oleh
Pegawai Umum dan Akta Otentik yang
Dibuat Dihadapan Pegawai Umum .......................... 54
Tabel 12. Fakta-Fakta yang tidak Perlu dibuktikan di
Persidangan............................................................... 61
Tabel 13. Banding Berdasar Pasal 130 UU PERATUN ........... 71
Tabel 14. Putusan yang Tidak Dapat Dimintakan Banding ..... 73
Tabel 15. Alasan-Alasan Mengajukan Peninjauan Kembali .... 79
Tabel 16. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan
Peninjauan Kembali.................................................. 81
Tabel 17. Asas-asas Hukum Administrasi ................................ 84
Tabel 18. Istilah Peranserta Di Berbagai Negara ..................... 104
Tabel 19. Peranserta Masyarakat Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Lingkungan
Nasional .................................................................... 113
Tabel 20. Kasus-Kasus Sengketa Lingkungan Di Pengadilan
Tata Usaha Negara ................................................... 133

x
BAB1.1
BAB PENDAHULUAN

Gugatan lingkungan terhadap keputusan tata usaha negara yang


berwujud izin lingkungan di pengadilan tata usaha negara bertujuan
membatalkan izin lingkungan yang menimbulkan terjadinya pencemaran
lingkungan sehingga segera menghentikan pencemaran lingkungan yang
terjadi. Pada awalnya gugatan lingkungan melalui peradilan tata usaha
negara tidak diatur dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UULH) maupun Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Gugatan lingkungan di
peradilan tata usaha negara baru diatur dalam Undang-Undang No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) yang mencabut berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).
Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan, kelembagaan
yang berwenang melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
dampak negatif serta pemulihan kualitas sangat berperan (Siti Sundari
Rangkuti 1994:4). Kelembagaan yang berwenang dalam pengelolaan
lingkungan mencakup tingkat pusat dan daerah. Kelembagaan
pengelolaan lingkungan tingkat daerah sangat penting, mengingat
pencemaran dan perusakan lingkungan terjadinya di daerah yang
memerlukan tindakan penanggulangan yang bersifat segera. Kelembagaan
yang berwenang dalam pengelolaan lingkungan adalah kunci pokok
keberhasilan pengelolaan lingkungan.
Wewenang dan kelembagaan pengelolaan lingkungan tingkat
nasional dan daerah secara konkrit adalah kewenangan untuk menerbitkan
izin lingkungan. Izin lingkungan adalah instrumen yang berfungsi sebagai
sarana pencegahan pencemaran lingkungan. Izin lingkungan adalah izin
yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35 UUPPLH).
Izin lingkungan diterbitkan oleh badan/pejabat yang berwenang
dalam bentuk keputusan/ketetapan yang menurut Undang-Undang No.51
Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang No.5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN) disebut
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
2|Pendahuluan

final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata (Pasal 1 angka 3 UU PERATUN).
Dalam praktek terkadang penerbitan suatu KTUN dapat
menimbulkan kerugian terhadap masyarakat karena adanya unsur
kesalahan atau kekeliruan. Diterbitkannya KTUN oleh badan/pejabat
berwenang yang mengandung unsur kesalahan, misalnya kesalahan
menerbitkan izin lingkungan sehingga mengakibatkan pencemaran
lingkungan, bagi pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan di
peradilan tata usaha negara, agar izin lingkungan tersebut dibatalkan atau
dinyatakan tidak sah. Gugatan oleh seseorang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan ke pengadilan tata usaha negara
adalah berisi tuntutan agar izin itu dinyatakan batal atau tidak sah oleh
hakim, sehingga putusan tersebut segera menghentikan pencemaran
akibat izin lingkungan yang tidak cermat (Siti Sundari Rangkuti
2008:121). Di samping itu, peradilan tata usaha negara diadakan dalam
rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang
merasa dirinya dirugikan akibat suatu KTUN (Djoko Prakoso 1988:7).
Menurut Prajudi Atmosudirdjo, perbuatan-perbuatan administrasi
negara (badan atau pejabat tata usaha negara) yang dipersoalkan pada
umumnya adalah perbuatan hukum administrasi (Negara) yang
mengandung kekurangan, keanehan, keganjilan, kekeliruan, kesalahan,
terlambat, dan sebagainya (O.C. Kaligis 2002:13).
Beberapa faktor yang mempengaruhi terbitnya suatu KTUN yang
merugikan masyarakat, antara lain:

Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbitnya KTUN yang


Merugikan Masyarakat

No Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbitnya KTUN yang


Merugikan Masyarakat
1 Adanya peraturan perundang-undangan yang tidak jelas atau
tidak lengkap
2 Kurangnya pedoman dan petunjuk pelaksanaannya
3 Kurangnya pendidikan dan latihan jabatan pegawai sehingga
mereka kurang menguasai urusan serta tata cara penyelesaiannya
4 Kurangnya organisasi manajemen yang diperlukan
5 Kurangnya buku-buku instruksi lengkap dengan peraturan serta
pedoman pelaksanaannya yang tersedia di tempat bekerja
6 Faktor remunerasi personal
7 Kurangnya alat-alat bekerja modern yang meningkatkan efisiensi
Sumber: O.C. Kaligis, Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha Negara,
2002.
HUKUM LINGKUNGAN |3

Kegiatan-kegiatan administrasi negara/tata usaha negara yang


paling banyak menimbulkan perkara-perkara administrasi negara adalah
sebagai berikut:

Tabel 2 Kegiatan-kegiatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara


yang Menimbulkan Perkara-Perkara Administrasi Negara

No Jenis Kegiatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara


1 Perizinan ( dispensasi, izin, lisensi, konsensi)
2 Administrasi kepegawaian negeri (kenaikan pangkat, ganti rugi
jabatan, perlakukan tidak adil)
3 Administrasi keuangan negara (kekeliruan pembukuan,
kekeliruan hitung, kekeliruan pertanggungan jawab)
4 Administrasi perumahan dan pergudangan (status rumah, status
gedung, sewa, tanggung jawab perawatan, dan sebagainya)
5 Perpajakan (penetapan jumlah, tata cara penagihan)
6 Perbeacukaian (penetapan kriteria, tata cara penagihan)
7 Agraria, pengambilan tanah untuk pelebaran jalan, sewa tanah
8 Perfilman (badan sensor film, perizinan import film)
9 Pemeriksaan bahan makanan dan mutu barang dagangan
10 Keselamatan perusahaan dan kerja, pemeriksaan instrumen-
11 instrumen
12 Jaminan sosial, tunjangan cacat, fakir miskin
13 Pertarifan dan pembayaran uang sekolah, pendidikan
14 Kebersihan kota, tata cara penanggulangan sampah
15 Organisasi dan pengaturan lalu lintas darat, air dan udara
16 Keamanan dan ketertiban kota, keindahan kota
17 Pertanian, perhewanan, peternakan, perikanan, perhutanan
18 Pengamanan dan perawatan jalan, jembatan, pelabuhan
19 Organisasi dan pengamanan rumah-rumah penginapan
Kesehatan rakyat, rumah sakit, klinik-klinik, pertarifan dan
organisasinya
Sumber: Djoko Prakoso, Peradilan Tata Usaha Negara, 1988.

Dari segi perlindungan hukum terhadap perbuatan pemerintahan


penguasa (khususnya KTUN) maka sampai beroperasinya peradilan tata
usaha negara pada dasarnya terdapat tiga jalur prosedur penyelesaian
sengketa administratif yang satu sama lain saling berbeda. Prosedur
penyelesaian sengketa administratif tersebut mencakup: jalur prosedur
keberatan, jalur banding administratif dan jalur prosedur gugatan perdata
4|Pendahuluan

berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang berpokok pada tuntutan ganti
rugi yang diajukan kepada pengadilan perdata biasa yang bebas
(Indroharto 2004:45-46).
Prosedur keberatan berarti pihak yang dirugikan oleh KTUN
mengajukan keberatan kepada instansi yang mengeluarkan KTUN itu
sendiri. Apabila pihak yang dirugikan oleh suatu KTUN mengajukan
banding kepada instansi lain (misalnya instansi atasan atau instansi yang
bertindak sebagai instansi banding administratif) dari instansi yang
mengeluarkan KTUN maka disebut dengan banding administratif.
Prosedur keberatan dan banding administratif ini dapat dilakukan apabila
peraturan perundang-undangan yang berlaku menyatakan secara jelas
bahwa suatu KTUN dapat diajukan keberatan atau banding administratif.
Prosedur gugatan perdata adalah gugatan berdasar ketentuan Pasal
1365 KUH Perdata di peradilan umum. Menurut Indroharto, gugatan
ganti rugi yang diajukan dapat dikabulkan, jika terbukti: a. KTUN yang
digugat bersifat melawan hukum; b. Instansi yang digugat itu benar
bersalah melakukan perbuatan yang bersangkutan; c. Pengugat memang
menderita kerugian; d. Sebagai akibat perbuatan (KTUN) instansi yang
digugat tersebut.
Prosedur gugatan terhadap KTUN yang berwujud izin lingkungan
sebagai sarana penyelesaian sengketa lingkungan administatif melalui
peradilan tata usaha negara pada awalnya tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan lingkungan, baik itu UULH maupun UUPLH.
Meskipun demikian, beberapa kasus lingkungan telah diajukan ke
pengadilan tata usaha negara, yaitu: gugatan yang diajukan oleh WALHI,
Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Yayasan
Pengembangan Hukum Lingkungan dan Yayasan Forum Studi
Kependudukan dan Lingkungan Hidup terhadap Presiden akibat
dikeluarkannya Kep.Pres. No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman
yang Berasal dari Dana Reboisasi kepada PT.IPTN dan gugatan WALHI
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara DKI terhadap Sekretaris Jenderal
Departemen Pertambangan dan Energi, karena telah mengeluarkan Surat
No.600/6115/SJT/1995 tentang Persetujuan Laporan RKL dan RPL PT.
Freeport Indonesia Company (Takdir rahmadi 2003:149-150).
Setelah berlakunya UUPPLH, dasar hukum gugatan terhadap izin
lingkungan melalui peradilan tata usaha negara terdapat pada Pasal 93
ayat (1) yang menyatakan: setiap orang dapat mengajukan gugatan
terhadap keputusan tata usaha apabila: a. Badan atau pejabat tata usaha
negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/ atau kegiatan yang
wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan Amdal; b. Badan atau pejabat
HUKUM LINGKUNGAN |5

tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang


wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL;
dan/atau c. Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin
usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Pasal 93 ayat (2) menyatakan bahwa tata cara pengajuan gugatan terhadap
keputusan tata usaha negara mengaju pada hukum acara peradilan tata
usaha negara yang berlaku, yaitu Undang-Undang No.51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN).
Diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan melalui peradilan tata
usaha negara dalam UUPPLH adalah kemajuan dalam bidang hukum
lingkungan, mengingat sebagian besar hukum lingkungan adalah hukum
administrasi. Pada masa mendatang perlu dilakukan pemberdayaan
peradilan tata usaha negara sebagai sarana penyelesaian sengketa
lingkungan untuk menghentikan pencemaran lingkungan akibat suatu izin
lingkungan.
6|Pendahuluan

DAFTAR BACAAN

A’an Efendi, 2009. Kewenangan Kementerian Negara Lingkungan


Hidup (KNLH) dalam Pengelolaan Lingkungan di Indonesia,
Majalah Ilmiah Hukum dan Masyarakat,
No.III/TH.XXXIV/2009, Fakultas Hukum Universitas Jember,
Jember.

__________, 2009. Perizinan Lingkungan Sarana Pencegahan


Pencemaran Lingkungan, Jurnal Ilmu Hukum Qistie,
Universitas Wahid Hasyim Semarang, Vo.3 No.3.

__________, 2010. Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di


Daerah: Problematika dan Pembicaraannya dalam
Pemilukada, Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi
Universitas Jember, Volume II Nomor 2, November.

Djoko Prakoso, 1988. Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang


No.5/1985), Liberty, Yogyakarta.

Indroharto, 2004. Usaha Memahami Undang-Undang tentang


Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian
Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.

O.C. Kaligis, 2002. Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha Negara di


Indonesia, Buku Pertama, Alumni, Bandung.

Siti Sundari Rangkuti, 1994. Kesamaan Persepsi Terhadap Penegakan


Hukum Lingkungan, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Unair.

__________________, 2008. Reformasi Bidang Hukum Lingkungan,


dalam Departemen Hukum Tata Negara FH Unair, Dinamika
Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan Edisi Khusus
Kumpulan Tulisan Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti
Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga University Press, Surabaya.

Takdir Rahmadi, 2003. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan


Beracun, Airlangga University Press, Surabaya.
BAB2.2
BAB PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Istilah-istilah lain peradilan tata usaha negara, yaitu peradilan tata


usaha, peradilan administrasi, peradilan administratif, peradilan
administrasi negara, dan peradilan dalam tata usaha pemerintahan.
Keragaman istilah ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
kepustakaan hukum tata negara dan hukum administrasi di Indonesia.

2.1 Istilah-Istilah
Selain istilah peradilan tata usaha negara, dalam berbagai peraturan
perundang-undangan dan kepustakaan hukum tata negara dan hukum
administrasi di Indonesia juga digunakan istilah-istilah lain. Menurut
Sjachran Basah, banyaknya istilah-istilah ini kemungkinan diakibatkan
oleh terjemahan dari “administratieve rechtspraak” (Sjahran Basah
1997:31).
Peradilan tata usaha negara adalah istilah resmi yang digunakan
Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(UU PERATUN). Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman juga menggunakan istilah peradilan tata usaha
negara. Dalam berbagai kepustakaan, istilah peradilan tata usaha negara
digunakan antara lain oleh Djoko Prakoso, Benjamin Mangkoedilaga,
Philipus M. Hadjon et.al, SF Marbun, Zairin Harahap, O.C. Kaligis,
Indroharto, Rozali Abdullah, dan Wicipto Setiadi.
Mengingat istilah peradilan tata usaha negara adalah istilah resmi
yang digunakan UU PERATUN, penulis menggunakan istilah peradilan
tata usaha negara (kecuali untuk kutipan yang memang menggunakan
istilah lain). Namun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 144 UU
PERATUN, istilah peradilan tata usaha negara dapat juga disebut dengan
istilah peradilan administrasi negara.
Menurut SF Marbun, pada saat rancangan undang-undang
PERATUN dibahas di DPR, penggunaan istilah ini telah memperoleh
perhatian dan pembahasan yang cukup mendalam. Masing-masing pihak
mengemukakan alasannya dengan berbagai argumentasi, sehingga pada
akhirnya diperoleh kesepakatan untuk mempergunakan istilah peradilan
tata usaha negara, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk
mempergunakan istilah peradilan administrasi negara (SF Marbun
1997:42).
8|Peradilan Tata Usaha Negara

Istilah peradilan tata usaha antara lain digunakan Pasal 161 dan
Pasal 162 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) dan
Pasal 108 UUDS 1950. Istilah peradilan tata usaha juga digunakan oleh
H.A.K. Pringgodigdo.
Istilah peradilan administrasi antara lain digunakan oleh Rochmat
Sumitro, Sjahran Basah, SF Marbun, Suparto Wijoyo dan Bismar Siregar.
Alasan pemilihan istilah peradilan administrasi dikatakan oleh Rochmat
Soemitro karena istilah “peradilan administratif” meskipun sering dipakai
dalam tulisan-tulisan atau undang-undang namun hal itu merupakan suatu
perusakan bahasa. Dalam bahasa Indonesia suatu kata yang merupakan
suatu “ajectif” dari suatu kata lain tidak mengalami perubahan, misalnya:
kursi kayu, meja besi, rumah batu dan sebagainya. Oleh karena itu, istilah
yang dipakai “peradilan administrasi” bukan “peradilan administratif”.
Pemilihan istilah “administrasi” dan bukan istilah “tata usaha” oleh
Rochmat Sumitro dilandasasi oleh tiga alasan, yaitu: pertama, kata
administrasi itu sudah diterima umum dan pula telah digunakan oleh
pemerintah kita; buktinya dengan adanya nama “lembaga administrasi
negara”, “administrasi niaga”, dsb; kedua, kata “administratie” yang
asalnya dari kata latin “administratie”, dapat mempunyai dua arti: a. “elke
stelselmatige, schriftelijke vastlegging en ordening van gegevens,
samengesteld met het doel een overzicht van deze gegevens te verkrijgen
in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamelingen
van aantekeningen kan men als administratie qualificeren”(setiap
penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis
dengan maksud mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan
itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan lain. Tidak
semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi)
b.“wordt ook in het bijzonder gebruikt voor het bestuur van de staat, de
provincien, de waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. In
de V.S. verstaat men onder the administration het gehele staatbestuur,
den president daaronder begrepen” (digunakan juga istimewa untuk
menyatakan pemerintahan suatu negara, propinsi, waterschap (=subak),
kota-kota dan maskape-maskape besar. Di Amerika Serikat dengan kata
“the administration” dimaksudkan keseluruhan pemerintahan, termasuk
presiden. Bila “administratie” diartikan seperti dimaksudkan di bawah sub
(b), maka akan kami gunakan terjemahan “administrasi”. Dalam arti
kedua maka sudah pula tersimpul kata tata usaha. Jadi jika kami
menggunakan kata administrasi negara, maka didalamnya sudah
tersimpul pula tata usahanya; ketiga, kata administrasi itu mengingatkan
kita pada kata-kata asing yang mirip yaitu “administration” dan
HUKUM LINGKUNGAN |9

“administratie” yang mempunyai arti yang sama, sehingga penggunaan


istilah itu akan memudahkan kami bila kami mempelajari buku asing
dalam bahasa Inggris, Perancis dan Belanda (Rochmat Soemitro 1976:4-
6).
Selain alasan yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro, Sjahran
Basah menambahkan lagi 2 (dua) alasan mengapa menggunakan istilah
peradilan administrasi, yaitu: pertama, apabila istilah peradilan
“administrasi negara” dipergunakan maka predikat “negara” menjadi
berkelebihan (pleonasme) dan tidak perlu, disebabkan sesungguhnya
hanyalah negara saja yang berhak membentuk peradilan, yang ditetapkan
dengan undang-undang vide Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.14
Tahun 1970; (sekarang Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pen), kedua, seiring dengan alasan
diatas bahwa berlainan dengan adanya pasangan pengertian “perkara
pidana-sipil” dan “perkara pidana militer atau “peradilan sipil” dan
“peradilan militer”, maka tidak ada pasangan lawan terhadap istilah
“peradilan administrasi negara” berupa “peradilan administrasi swasta”,
atau “peradilan administrasi partikelir” (Sjahran Basah 1997:35-36).
Istilah peradilan administratif antara lain terdapat dalam TAP
MPRS No.II/MPRS/1960 pada Lampiran A (penyempurnaan) di Bagian
III, Bidang “Pemerintahan dan Keamanan/Pertahanan”, di bawah judul
“Perundang-undangan, Kepenjaraan dan Kepolisian” Nomor 37.
“Masalah Pengembangan Peradilan Administratief di Indonesia”, dalam
Cinerama Hukum, PT. Eresco, Bandung-Jakarta, 1971, h.147-169.
“Peradilan Administratief”, dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas
Indonesia No.2 dan 3 tahun ke V 1975 masing-masing halaman 137-141
dan hal 197-205.
Istilah peradilan administrasi negara antara lain dipergunakan oleh
Philipus M. Hadjon, Kuntjoro Purbopranoto, SF Marbun dan Moh.
Mahfud MD, dan Utrecht. UU PERATUN selain menggunakan nama
resmi undang-undang peradilan tata usaha negara juga tidak menutup
kemungkinan untuk menggunakan istilah peradilan administrasi negara
(vide Pasal 144).
Istilah peradilan dalam tata usaha pemerintahan antara lain
digunakan oleh Wirjono Prodjodikoro dan Pasal 66 dan 67 Undang-
Undang No.19 Tahun 1948 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di samping
keberagaman istilah, setiap penulis juga tidak konsisten menggunakan
satu istilah akan tetapi beberapa istilah digunakan secara silih berganti.
Dalam satu buku terkadang beberapa beberapa istilah digunakan secara
bergantian begitu saja tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
10 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

2.2 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Acara


Peradilan Tata Usaha Negara dan Asas-Asas Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan tata usaha negara di dalamnya mengandung unsur-unsur:
adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum yang
dapat diterapkan pada suatu persoalan, adanya sengketa tata usaha negara
yang disebabkan adanya KTUN, ada minimal dua pihak dan salah satu
pihak harus badan/pejabat tata usaha negara, badan peradilan yang berdiri
sendiri dan terpisah, yaitu PTUN/PTTUN/MA, yang berwenang
memutuskan sengketa secara netral atau tidak memihak, dan adanya
hukum formal (hukum acara peradilan tata usaha negara) dalam rangka
menerapkan hukum, menemukan hukum “in concreto” untuk
mempertahankan ditaatinya hukum materiil (hukum tata usaha
negara/hukum administrasi).

2.2.1 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara


Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, peradilan (rechtspraak, bahasa
Belanda, judiciary, bahasa Inggris) adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan (R.
Soebekti dan Tjitrosoedibio 1989:89). Pengadilan (rechtbank, bahasa
Belanda, court, bahasa Inggris) adalah badan yang melakukan peradilan,
yaitu memeriksa dan memutus perkara sengketa-sengketa hukum dan
pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang (R. Soebekti dan
Tjitrosoedibio 1989:89). Peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal
konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan
yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh
apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting” (Sudikno
Mertokusumo:2006:5). Pengadilan adalah badan atau lembaganya
sedangkan peradilan adalah fungsinya.
Menurut Rochmat Soemitro, adanya suatu peradilan harus
terpenuhi unsur-unsur: a. adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang
mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan, b. adanya
suatu perselisihan hukum yang konkrit, c. adanya sekurang-kurangnya
dua pihak, dan d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang
memutuskan perselisihan.
Di samping 4(empat) unsur peradilan seperti yang disebutkan oleh
Rochmat Soemitro diatas, Sjahran Basah menambahkan satu unsur lagi,
yaitu adanya unsur hukum formal. Dengan adanya hukum formal adalah
HUKUM LINGKUNGAN | 11

dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan


hukum (rechtvinding) “in concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum
materiil.
Peradilan administrasi adalah peradilan, maka peradilan
administrasi harus juga memenuhi unsur-unsur peradilan yang
disebutkan diatas. Pertama, adanya suatu aturan hukum yang abstrak
yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.
Aturan hukum yang abstrak sebagai unsur peradilan tata usaha negara
terletak di lingkungan hukum administrasi negara yang dapat diterapkan
pada suatu persoalan.
Kedua, adanya sengketa hukum yang konkrit disebabkan adanya
keputusan administrasi negara, yaitu KTUN. Menurut UU PERATUN,
KTUN adalah dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Sengketa tata
usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 1 angka 10 UU PERATUN).
Ketiga, minimal dua pihak, dan sekurang-kurangnya salah satu
pihak harus administrasi negara. Menurut UU PERATUN, salah satu
pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah badan atau pejabat tata
usaha negara, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan KTUN yang menjadi dasar gugatan di PTUN.
Badan/pejabat tata usaha negara adalah administrasi negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik
di pusat maupun di daerah (Pasal 1 angka 7 UU PERATUN).
Keempat, adanya badan peradilan yang berdiri sendiri dan terpisah,
yang berwenang memutuskan sengketa secara netral atau tidak memihak.
Berdasarkan UU PERATUN, badan peradilan yang dimaksud adalah
badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan tata usaha
negara, yaitu pengadilan tata usaha negara sebagai pengadilan tingkat
pertama, pengadilan tinggi tata usaha negara sebagai pengadilan tingkat
banding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi.
Kelima, adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum,
menemukan hukum “in concreto” untuk mempertahankan ditaatinya
hukum materiil. Adanya hukum formal adalah sangat penting dan
strategis untuk melaksanakan fungsi sebuah peradilan dalam mencari,
menemukan fakta-fakta dan akhirnya menerapkan kaidah hukum (SF
Marbun 1997:42). Hukum formal yang berlaku dalam peradilan tata
12 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

usaha negara adalah hukum acara peradilan tata usaha negara yang dasar
hukumnya tertuang dalam UU PERATUN.

2.2.2 Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


Istilah-istilah lain untuk hukum acara peradilan tata usaha negara
adalah hukum acara peradilan administrasi negara, hukum acara peradilan
administrasi dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan peradilan
administrasi. Hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hukum
formil untuk menjalankan hukum materillnya (hukum tata usaha
negara/hukum administrasi).
Hukum dapat dibedakan atas beberapa macam menurut cara
membedakannya, yaitu menurut sumbernya, isinya, kekuatan
mengikatnya, dasar pemeliharaannya, keadaannya, tempat berlakunya,
bentuknya, penerapannya, dan sebagainya (Riduan Syahrini 2004:74).
Menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, apabila hukum
dilihat dari sistemnya maka sistem hukum adalah merupakan sesuatu
yang bersifat menyeluruh dan berstruktur. Atas dasar kriteria-kriteria
tertentu, maka sistem hukum dapat dibedakan antara bidang-bidang yang
menghasilkan aneka dikotomi: 1. Ius constitutum dan ius constituendum,
2. Hukum alam dan hukum positif, 3. Hukum imperatif dan hukum
fakultatif, 4. Hukum substantif dan hukum ajektif, dan 5. Hukum tertulis
dan hukum tidak tertulis (Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka
1994:1-3).
Menurut Utrecht/Moh. Saleh Djindang, apabila hukum dilihat dari
segi fungsinya, maka hukum dapat dibedakan menjadi hukum materiil
dan hukum formil (E. Utrecht/Moh Saleh Djindang 1989:43). Hukum
materiil mengatur isi atau materi dari hubungan antara kedua belah pihak
atau menerangkan perbuatan-perbuatan mana yang dapat dihukum dan
pidana yang dapat dijatuhkan. Hukum formil menunjuk cara
mempertahankan atau cara menjalankan peraturan-peraturan tersebut.
Zwarensteyn sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto menjelaskan
pengertian hukum materiil dan hukum formil:“Substantive law regulates
our rights and duties, whereas adjective (also called procedural) law
regulates the methods of enforcing rights and duties”. Hukum materill
atau hukum substamtif adalah hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajban kita, sementara hukum formil atau hukum ajektif
adalah hukum yang mengatur bagaimana cara untuk menegakkan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tersebut.
Hukum materiil adalah hukum yang mengatur isi daripada
hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding, rechtsbetrekking) dalam
HUKUM LINGKUNGAN | 13

masyarakat. Hubungan-hubungan hukum dalam lapangan perdata diatur


oleh hukum perdata dan hubungan-hubungan hukum dalam lapangan
hukum publik diatur oleh hukum publik. Hukum formil ialah hukum yang
mengatur tentang bagaimana caranya mempertahankan atau menegakkan
hukum materiil. Hukum formil ini bisa juga disebut hukum acara, yang
terdiri atas hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara
tata usaha negara.
Selanjutnya A.M.Bos menjelakan keterkaitan antara hukum
materiil dengan dengan hukum formil : “Het materiele recht regelt
relaties tussen personen (bv. “contracten moeten nagekomen worden”).
Als zulke regels overtreden worden, moet er iets geberuen: het materiele
recht moet “gehandhaafd” worden en dat gebeurt in een proces. Zo’n
proces is zelf weer geregeld en die regels heten “formeel recht”. Het
formele rechts is dus het procesrecht: het burgerlijke procesrecht, het
strafprocesrecht en bestuurlijk procesrecht”. (“Hukum materiil mengatur
hubungan antar manusia (misalnya “perjanjian-perjanjian harus
dilaksanakan”). Apabila aturan-aturan semacam itu dilanggar, maka harus
terjadi sesuatu: hukum materiil harus “ditegakkan” dan hal itu terjadi
didalam suatu acara. Acara tersebut diatur dan aturan-aturannya disebut
“hukum formil”. Hukum formil adalah hukum acara: hukum acara
perdata, hukum acara pidana dan hukum acara tata usaha”).
Antara hukum materiil dan hukum formil mempunyai keterkaitan
erat dan saling tergantung satu sama lain serta tidak bisa saling
dipisahkan. Seperti dikatakan oleh Sjahran Basah, peradilan tanpa hukum
material akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan,
sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas-
batas yang jelas dalam menjalankan wewenangnya (Sjahran Basah
1989:1). Peranan hukum acara sangat penting dalam menciptakan suasana
peradilan; apakah peradilan menjadi suatu arena pertempuran ataukah
suatu forum damai dan tenteram tergantung dari hukum acaranya
(Philipus M. Hadjon 1987:195).
Hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hukum formil
yang berfungsi untuk mempertahankan hukum materiil (hukum
administrasi). Hukum acara peradilan administrasi merupakan hukum
formal yang pada hakekatnya termasuk dalam lingkup hukum publik
(Suparto Wijoyo 2004:14). Di dalam hukum publik, hukum formal
berfungsi sebagai publiekrechttelijk instrumentarium untuk menegakkan
hukum materiil (F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek dalam Suparto Wijoyo
2004:14).
14 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Seperti halnya keberagaman istilah peradilan tata usaha negara,


istilah hukum acara peradilan tata usaha negara juga berbeda-beda. Di
samping istilah hukum acara peradilan tata usaha negara, terdapat istilah-
istilah lain, diantaranya “ hukum acara peradilan tata usaha negara”,
“hukum acara peradilan administrasi negara”, “hukum acara peradilan
administrasi” dan “hukum acara pengadilan dalam lingkungan peradilan
administrasi”. Istilah “hukum acara dalam lingkungan peradilan
administrasi” digunakan oleh Sjahran Basah dengan pertimbangan karena
disitu termuat pengertian yang lebih luas (Sjahran Basah 1989:1).
Menurut Rozali Abdullah, hukum acara peradilan tata usaha negara
adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan
hukum tata usaha negara/hukum administrasi negara (Rozali Abdullah
1994:1-2). Hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hukum yang
mengatur tentang cara-cara bersengketa di peradilan tata usaha negara
serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses
penyelesaian sengketa tersebut (Zairin Harahap 2001:24).
Hukum acara peradilan tata usaha negara yang berlaku adalah
hukum acara peradilan tata usaha negara sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Sesuai titlenya Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tidak
mencabut berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1986 maupun
Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan
demikian, yang berlaku adalah ketiga undang-undang tersebut sekaligus.
UU PERATUN, selain mengatur hukum formilnya (hukum
acaranya) juga sekaligus hukum materiilnya. Menurut Syahran Basah,
pada umumnya secara teoritis cara pengaturan terhadap hukum formal
dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Ketentuan prosedur
berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya atau dengan
susunan, kompetensi dari badan yang melakukan peradilan dalam bentuk
undang-undang atau peraturan lainnya, dan 2. Ketentuan prosedur
berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam bentuk undang-undang
atau peraturan lainnya.
UU PERATUN mengikuti ketentuan yang pertama, yaitu hukum
formil dan hukum materiilnya diatur secara bersama-sama. Hukum acara
peradilan tata usaha negara dalam UU PERATUN dimuat dalam
ketentuan Pasal 53 sampai dengan Pasal 141. UU PERATUN terdiri atas
145 pasal. Ketentuan hukum materiil sebanyak 56 pasal, sedangkan
HUKUM LINGKUNGAN | 15

hukum formil sebanyak 89 pasal (atau dengan perbandingan jumlah


hukum materiil sekitar 38,7 persen dan hukum formil sekitar 61,3 persen
dari total jumlah pasal yang ada dalam UU PERATUN) (Zairin Harahap
2001:24).

2.2.3 Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara adalah asas
praduga rechtmatig (vermoden van rechtmatigheid=praesumptio iustae
causa), asas pembuktian bebas, asas keaktifan hakim (dominus listis), dan
asas putusan pengadilan tata usaha negara mempunyai kekuatan mengikat
“erga omnes”. Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara
tercermin dalam UU PERATUN sebagai dasar hukum proses beracara di
peradilan tata usaha negara dan juga tercermin dalam setiap proses
peradilan tata usaha negara.
Asas hukum juga disebut prinsip hukum. Sudikno Mertokusumo,
dengan merujuk berbagai pendapat, menyatakan bahwa asas hukum atau
prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan
pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem
hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat - sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut (Sudikno
Mertokusumo 1985:34).
Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan unsur yang
penting dan pokok dari peraturan hukum (Satjipto Rahardjo 1982:85).
Lebih lanjut dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa barangkali tidak
berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan
“jantungnya” peraturan hukum. Kita menyebutnya demikian oleh karena,
pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada
akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut
landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya
peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.
Dengan merujuk dari berbagai pendapat, Suparto Wijoyo
menyimpulkan bahwa asas hukum memiliki fungsi: 1. Bagi pembuat
undang-undang (wetgever), asas-asas hukum merupakan pedoman dalam
pembuatan undang-undang (wetgeving)-peraturan perundang-undangan,
2. Bagi hakim (rechter), asas-asas hukum menolong untuk mencermatkan
interprestasi dan membantu dalam pengenaan analogi serta mengarahkan
16 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

dalam memberikan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan


(Suparto Wijoyo 2004:50).
Selanjutnya, dengan mendasarkan pada fungsi-fungsi asas-asas
hukum seperti itu, terhadap asas-asas hukum administrasi yang
merupakan tempat bertumpunya norma-norma hukum administrasi,
dapatlah dikatakan bahwa: 1. Asas- asas hukum administrasi akan
memberikan arah dalam “positiveringsarbeid” oleh pembentuk undang-
undang (wetgever) maupun organ pemerintahan (“bestuurrorganen”), 2.
Asas-asas hukum administrasi akan memberikan pedoman bagi
“administratieve” dalam melakukan interprestasi hukum guna menjamin
ketepatan menentukan putusan dalam rangka menyelesaikan sengketa
administrasi karena peraturan perundang-undangan (hukum administrasi)
yang tidak mengatur atau kurang jelas, dan 3. Asas-asas hukum
administrasi memberikan tuntutan pada warga masyarakat khususnya
academicians hukum administrasi melalui pemikiran-pemikirannya, dan
pembuat peraturan perundang-undangan maupun hakim administrasi
dalam melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan
(hukum administrasi) yang terancam kehilangan maknanya (Suparto
Wijoyo 2004:50-51). Asas-asas hukum administrasi adalah landasan dari
hukum acara peradilan tata usaha negara. Hukum acara peradilan
administrasi mempunyai karakteristik yang tercermin dalam asas-asas
hukum administrasi yang melandasi hukum acara peradilan administrasi
(ibid).
Menurut Philipus M. Hadjon et.al, ciri khas hukum acara peradilan
tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya
(Philipus M. Hadjon et.all, 1994:313). Asas-asas hukum acara peradilan
tata usaha negara menurut Philipus M. Hadjon et.al adalah sebagai
berikut:

Tabel 3. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

No Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


1 Asas praduga rechtmatig (vermoden van rechtmatigheid=
praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa
setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai
2 ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda
pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5
3 Tahun 1986).
Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban
pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW.
HUKUM LINGKUNGAN | 17

4 Asas ini dianut Pasal 107 UU No.5 Tahun 1986 hanya saja masih
dibatasi ketentuan Pasal 100.
Asas keaktifan hakim (dominus listis). Keaktifaan hakim
dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena
kedudukan para pihak adalah pejabat tata usaha negara sedangkan
penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.
Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga
omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan
demikian putusan TUN berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi
para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan
Pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”

Sumber: Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,


1994.

Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara diatas nantinya


akan tercermin dalam UU PERATUN sebagai dasar hukum proses
beracara di peradilan tata usaha negara dan juga tercermin dalam setiap
proses peradilan tata usaha negara.

2.3 Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara


Kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara adalah bertugas
dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
tata usaha negara, baik di pusat dan daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi pengadilan tata
usaha negara berkaitan dengan kewenangan pengadilan tata usaha negara
mana (Jakarta/Surabaya dan sebagainya) untuk menyelesaikan sengketa
tata usaha negara.
Berkaitan dengan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara, hukum acara mengenal adanya kewenangan
absolut atau kompetensi absolut dan kewenangan relatif atau kompetensi
relatif dari suatu lembaga peradilan. Kompetensi absolut berkaitan dengan
kewenangan pengadilan untuk mengadili suaatu perkara menurut obyek
atau materi atau pokok sengketa (S.F. Marbun 1988:59). Kompetensi
relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili
suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.
18 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Kompetensi absolut menyangkut pembagian kekuasaan antar


badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut
pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa belanda disebut
attributie van rechtsmacht. Kompetensi absolut menjawab pertanyaan:
badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa
itu? (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1997:11)
Apakah suatu sengketa menjadi wewenang pengadilan tata usaha negara,
pengadilan negeri, pengadilan agama atau pengadilan militer untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Lawan dari kompetensi absolut adalah kompetensi relatif. Ia
menjawab pertanyaan: pengadilan negeri yang dimana yang berwenang
untuk mengadili perkara ini? pengadilan negeri di Bandung, di Jakarta
atau pengadilan negeri di Garut? Jika suatu sengketa tata usaha negara,
pengadilan tata usaha negara manakah yang berwenang untuk memeriksa
dan mengadilinya? pengadilan tata usaha negara di Jakarta atau
pengadilan tata usaha negara di Surabaya dan sebagainya.
Dasar hukum kompetensi relatif pengadilan tata usaha negara
terdapat pada Pasal 54 ayat (1) UU PERATUN yang menyatakan:
gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Pada prinsipnya Pasal 54 ayat (1) menganut asas actor rei forum sequitur,
yaitu penggugat harus mengajukan gugatan di pengadilan di tempat
tergugat tinggal. Asas actor rei forum sequitur tidak berlaku mutlak,
tetapi terdapat pengecualian-pengualian sebagaimana diatur pada Pasal 54
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6).
Berdasarkan Pasal 54 UU PERATUN, kompetensi relatif
pengadilan tata usaha negara adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Kompetensi Relatif Pengadilan Tata Usaha Negara

No Dasar Kompetensi Relatif Pengadilan Tata usaha Negara


Hukum
1 Pasal 54 Pengadilan tata usaha negara yang berwenang untuk
ayat (1) memeriksa dan mengadili sengketa tata usaha negara
adalah pengadilan tata usaha negara yang meliputi
tempat tinggal tergugat (actor Sequitur Forum Rei)
2 Pasal 54 Apabila tergugat lebih dari satu, penggugat dapat
ayat (2) memilih salah satu pengadilan tata usaha negara yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
tergugat
HUKUM LINGKUNGAN | 19

3 Pasal 54 Pengadilan tata usaha negara yang berwenang


ayat (3) memeriksa dan mengadili adalah pengadilan tata
usaha negara yang berada di tempat kedudukan
penggugat apabila tempat kedudukan tergugat tidak
berada dalam daerah hukum pengadilan tata usaha
negara tempat kedudukan penggugat yang
selanjutnya akan diteruskan kepada pengadilan yang
bersangkutan.
4 Pasal 54 Pengadilan tata usaha negara yang berwenang
ayat (4) memeriksa dan mengadili sengketa tata usaha negara
adalah pengadilan tata usaha negara yang berada di
tempat kedudukan penggugat apabila dalam hal-hal
tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha
negara yang bersangkutan yang diatur dalam suatu
peraturan pemerintah ditentukan demikian.
5 Pasal 54 Pengadilan tata usaha negara yang berwenang adalah
ayat (5) pengadilan tata usaha negara yang berkedudukan di
Jakarta apabila pihak penggugat dan tergugat
berkedudukan di luar negeri.
6 Pasal 54 Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan
ayat (6) penggugat di luar negeri, gugatan diajukan ke
pengadilan tata usaha negara yang berada di daerah
kedudukan hukum tergugat.
Sumber: A’an Efendi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2012.

Kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara diatur dalam


Pasal 47 UU PERATUN yang menentukan: “Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara”. Sengketa tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 4 UU
PERATUN: “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat dan daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN diatas,
KTUN adalah dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Tanpa adanya
KTUN tidak akan pernah ada sengketa tata usaha negara. KTUN adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
20 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat


konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3).
Pengertian KTUN berdasar Pasal 1 angka 3 UU PERATUN
dikurangi untuk hal-hal yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2 dan
ditambah Pasal 3. Apa yang ditentukan oleh Pasal 2 UU PERATUN tidak
digolongkan kedalam pengertian KTUN sehingga tidak menjadi
wewenang PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sebaliknya, apa yang ditentukan oleh Pasal 3 UU PERATUN tidak
memenuhi unsur-unsur KTUN menurut Pasal 1 angka 3 UU PERATUN,
namun dikategorikan sebagai KTUN, sehingga menjadi kompetensi
pengadilan tata usaha negara untuk memeriksa dan mengadilinya. Apa
yang ditentukan oleh Pasal 3 UU PERATUN ini adalah suatu KTUN
fiktif yang bersifat negatif.
Pengadilan tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa
dan mengadili sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal KTUN yang
dipersengketakan: pertama, KTUN dikeluarkan dalam waktu perang,
keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang
membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, kedua, KTUN dikeluarkan dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2.4 Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara


Sengketa tata usaha negara adalah sengketa antara orang/badan
hukum perdata sebagai penggugat melawan badan/pejabat tata usaha
negara sebagai tergugat (Pasal 1 angka 4 UU PERATUN). Sengketa tata
usaha negara di pengadilan tata usaha negara hanya mencakup sengketa
ektern dan tidak termasuk sengketa intern. Obyek sengketa tata usaha
negara di pengadilan tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN). Penyelesaian sengketa tata usaha negara wajib
diselesaikan melalui upaya administratif terlebih dahulu jika berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku mewajibkan untuk itu.
Pengadilan tata usaha negara baru berwenang memeriksa dan memutus
sengketa tata usaha negara apabila telah ditempuh upaya administratif
yang tersedia.
HUKUM LINGKUNGAN | 21

2.4.1. Sengketa Tata Usaha Negara


Menurut Sjahran Basah, sengketa administrasi negara dapat
digolongkan menjadi 2 (macam) yaitu sengketa administrasi negara intern
dan sengketa administrasi negara ektern. Sengketa administrasi negara
intern adalah sengketa yang terjadi antara kedua fihak yang termasuk
administrasi negara, sedangkan sengketa administrasi negara ektern
adalah sengketa yang terjadi antara administrasi negara dengan rakyat.
Sengketa administrasi negara intern dapat terjadi dalam satu departemen
(instansi) maupun antar depertemen (instansi). Sengketa administrasi
negara intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat tata
usaha negara yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) atau
kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen (instansi)
lainnya, yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga
menimbulkan kekaburan kewenangan.
Pengertian sengketa tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 4 UU
PERATUN: “Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan”. Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN, sengketa
tata usaha negara yang menjadi kompetensi pengadilan tata usaha negara
adalah sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) ektern
saja, yaitu sengketa antara administrasi negara dengan rakyat, yang oleh
Pasal 1 angka 4 UU PERATUN adalah sengketa antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat
dikeluarkannya KTUN. UU PERATUN tidak mencakup di dalamnya
sengketa intern.

2.4.2 Subyek Sengketa Tata Usaha Negara


Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN, subyek
sengketa tata usaha negara adalah orang atau badan hukum perdata
melawan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai akibat
dikeluarkannya KTUN. Orang atau badan hukum perdata bertindak
sebagai penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai
tergugat. Kedudukan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai
tergugat ditentukan oleh Pasal 1 angka 6: “Tergugat adalah Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
22 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang


digugat oleh orang atau badan hukum perdata”.
Dalam sengketa tata usaha negara selalu menempatkan orang atau
badan hukum perdata sebagai penggugat dan badan atau pejabat tata
usaha negara sebagai tergugat. Tidak memungkinkan memposisikan
badan atau pejabat tata usaha negara sebagai penggugat dan orang atau
badan hukum perdata sebagai tergugat. Hal ini disebabkan bahwa
lahirnya sengketa tata usaha negara adalah karena dikeluarkannya KTUN,
sedangkan pihak yang dapat mengeluarkan KTUN adalah hanya badan
atau pejabat tata usaha negara. Juga tertutup kemungkinan badan atau
pejabat tata usaha negara menggugat sesama badan atau pejabat tata
usaha negara, mengingat kewenangan pengadilan tata usaha negara hanya
menyangkut sengketa administrasi negara ektern yaitu sengketa
administrasi negara dengan rakyat.
Mengenai siapa yang dimaksud badan atau pejabat tata usaha
negara, Pasal 1 angka 2 UU PERATUN menyatakan bahwa yang
dimaksud badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat
yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Indroharto 2004:28). Penjelasan Pasal
1 angka 3 menentukan: Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan”
ialah kegiatan yang bersifat eksekutif.
Menurut Indroharto, karena menurut Pasal 1 angka 2 UU
PERATUN tersebut, batasannya atau ukurannya hanya soal “berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dikerjakan itu berupa
kegiatan urusan pemerintahan”. Oleh karena itu, suatu peraturan
perundang-undangan dapat saja memberi tugas pelaksanaan urusan
pemerintahan tersebut kepada apa saja dan siapa saja di luar instansi-
instansi/jajaran pemerintah di bawah Presiden. Dengan kata lain yang
menjadi ukuran untuk dapat menganggap apa dan siapa saja itu sebagai
badan atau jabatan TUN adalah: asal apa dan siapa saja tersebut
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku melaksanakan
suatu urusan pemerintahan. Pengertian badan/pejabat TUN janganlah
diartikan semata-mata secara struktural tetapi lebih ditekankan pada aspek
fungsional (Philipus M.Hadjon et.all 1994:139).
Tergugat dalam sengketa tata usaha negara adalah badan atau
pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN yang menjadi obyek
sengketa di pengadilan tata usaha negara. Kewenangan badan atau pejabat
tata usaha negara untuk mengeluarkan KTUN dapat bersumber dari
kewenangan atributif, delegasi atau mandat. Wewenang atributif artinya
wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara itu
HUKUM LINGKUNGAN | 23

bersumber dari suatu peraturan perundang-undangan sendiri. Apabila


badan atau pejabat tata usaha negara yang memperoleh wewenang secara
atributif mengeluarkan KTUN yang kemudian yang disengketakan, maka
yang harus digugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang
disebutkan dalam peraturan dasarnya telah memperoleh wewenang
pemerintahan secara atributif tersebut (Indroharto 2004:31).
Apabila badan atau pejabat tata usaha negara yang memperoleh
wewenang secara atributif ini kemudian mendelegasikan kewenangannya
kepada badan atau pejabat tata usaha negara lainnya, maka apabila badan
atau pejabat tata usaha negara yang memperoleh delegasi tersebut lalu
mengeluarkan KTUN yang kemudian menjadi obyek sengketa di
pengadilan tata usaha negara, maka badan atau pejabat tata usaha negara
yang terakhir inilah yang harus digugat. Pada pendelegasian wewenang
itu menurut hukum telah benar terjadi pelimpahan dalam arti pemindahan
wewenang dari badan atau pejabat tata usaha negara yang satu kepada
yang lain. Walaupun hubungan hirarkies tidak mengalami perubahan,
namun yang berubah adalah pemilikan wewenang pemerintahan yang
terdapat dalam peraturan dasarnya semula.
Berbeda dengan delegasi, pada mandat tidak terjadi perubahan baik
mengenai hubungan hirarki maupun wewenang yang diatur dalam
peraturan dasarnya. Pihak yang memberikan kewenangannya secara
mandat disebut mandan dan yang menerima penyerahan kewenangan
disebut mandataris. Apabila pihak mandataris mengeluarkan KTUN yang
kemudian menjadi obyek sengketa di pengadilan tata usaha negara maka
yang harus digugat adalah mandan bukan mandataris.
Mengenai kedudukan orang atau badan hukum perdata sebagai
pihak penggugat dalam sengketa tata usaha negara dijelaskan oleh
Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN yang menyatakan bahwa
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 maka hanya orang atau badan
hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya hanya orang atau
badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang
bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata
Usaha Negara.
Pihak penggugat dalam sengketa tata usaha negara adalah orang
atau badan hukum perdata. Namun demikian, tidak semua orang atau
badan hukum perdata dapat menjadi pihak penggugat dalam sengketa
tata usaha negara. Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam sengketa
24 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

tata usaha negara adalah orang atau badan hukum perdata yang
kepentingannya terkena oleh akibat hukum KTUN yang dikeluarkan dan
karenanya orang atau badan hukum perdata tersebut kepentingannya
dirugikan.
Konkretnya, orang atau badan hukum perdata yang dapat dirugikan
oleh keluarnya suatu KTUN dapat digolongkan dalam tiga kelompok:

Tabel 5. Orang atau Badan Hukum Perdata yang Dirugikan KTUN

No Orang atau Badan Hukum Perdata yang Dirugikan KTUN


1 Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang
dituju oleh suatu KTUN. Di sini orang atau badan hukum perdata
tersebut secara langsung terkena kepentingannya oleh keluarnya
KTUN yang dialamatkan kepadanya tersebut. Karena itu jelas ia
berhak untuk mengajukan gugatan
2 Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut
sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang meliputi:
Yang termasuk dalam kelompok ini sangat luas variasinya.
Mereka itu merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung
oleh keluarnya suatu KTUN yang sebenarnya dialamatkan kepada
orang lain.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan (pecinta lingkungan
hidup), sebagai pihak ketiga dapat merasa kepentingan, karena
keluarnya suatu KTUN itu dianggapnya bertentangan dengan
tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran
dasarnya.
3 Badan atau Pejabat TUN yang lain.
UU PERATUN ini tidak memberi hak kepada Badan atau Pejabat
TUN untuk menggugat
Sumber: Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan
Tata Usaha Negara, 2005.

2.4.3 Obyek Sengketa Tata Usaha Negara


Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN, yang menjadi
obyek sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat tata usaha negara di pengadilan tata usaha negara adalah
akibat dikeluarkannya KTUN oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang merugikan kepentingannya orang atau badan hukum perdata
HUKUM LINGKUNGAN | 25

tersebut. KTUN adalah dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Tanpa
ada KTUN tidak akan pernah ada sengketa tata usaha negara.
KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3).
Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PERATUN, KTUN mengandung
elemen-elemen dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 6. Elemen-Elemen KTUN

Elemen-elemen KTUN
1. Suatu penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara
4. Bersifat konkrit, individual, dan final
5. Menimbulkan akibat hukum seseorang atau badan hukum perdata

KTUN yang memenuhi elemen-elemen dalam tabel diatas adalah


KTUN yang menjadi obyek sengketa di pengadilan tata usaha negara,
yaitu: suatu penetapan tertulis, di keluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara, berisi tindakan hukum tata usaha negara, bersifat konkrit,
individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengan “penetapan tertulis” terutama menunjuk
kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara. Keputusan itu memang disyaratkan
tertulis, namun yang diisyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya
seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Pernyataan tertulis
itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu,
sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan
merupakan suatu KTUN menurut undang-undang ini apabila sudah jelas:
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan c. Kepada siapa
tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.
Yang dimaksud badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan
atau pejabat tata usaha negara di pusat dan di daerah yang melakukan
kegiatan yang bersifat eksekutif. Yang dimaksud tindakan hukum tata
usaha negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha
26 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata usaha negara yang
dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain.
Bersifat konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam KTUN itu
tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya
keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A
sebagai pegawai negeri. Bersifat individual artinya KTUN itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang hal yang
dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap nama orang yang
terkena keputusan itu disebutkan. Umpamannya, keputusan tentang
pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan
nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final
karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang
pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi
Kepegawaian Negara.
Pengertian KTUN menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU
PERATUN ini ternyata masih belum tuntas karena masih dikurangi oleh
ketentuan Pasal 2 dan ditambah oleh Pasal 3 serta dibatasi oleh Pasal 49.

Tabel 7. Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara


KTUN Pasal 1 angka 3 Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata
KTUN Pasal 3 (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut
disamakan dengan Keputusan Tata
Usaha Negara.
HUKUM LINGKUNGAN | 27

Lanjutan Tabel 7. Keputusan Tata Usaha Negara


(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan
jangka waktu sebagaimana ditentukan
data peraturan perundang-undangan
dimaksud telah lewat, maka Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan yang
dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka setelah lewat jangka waktu
empat bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan
keputusan penolakan.
KTUN Pasal 49 Pengadilan tidak berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya,
keadaan bencana alam, atau keadaan
luar biasa yang membahayakan,
berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bukan Pasal 2 Tidak termasuk dalam pengertian
KTUN Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang
28 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

merupakan pengaturan yang bersifat


umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang
masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum
pidana.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan perbuatan hukum perdata;
f. Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
g. Keputusan Tata Usaha Negara yang
masih memerlukan persetujuan;
h. Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum
pidana.

Apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2 UU PERATUN


adalah hal-hal yang sepenuhnya memenuhi unsur KTUN yang dimaksud
dalam Pasal 1 angka 3 UU PERATUN, namun tidak termasuk dalam
pengertian KTUN. Apabila dikaji, sebagain Pasal 2 UU PERATUN hanya
sekedar pengurangan atau penegasan terhadap ketentuan Pasal 1 angka 3
UU PERATUN. Dilihat dari segi teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan, sebagian Pasal 2 UU PERATUN ini terlalu
berlebihan atau overbodig (Wicipto Setiadi 1992:101).
Pasal 2 huruf a menentukan yang tidak termasuk dalam pengertian
KTUN adalah KTUN yang merupakan perbuatan hukum keperdataan.
Rumusan ini sebenarnya tidak perlu, karena dengan sendirinya tidak
memenuhi unsur “tindakan hukum tata usaha negara”. Demikian juga
rumusan Pasal 2 huruf b yang menyatakan KTUN yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum. Rumusan ini dengan sendirinya tidak
HUKUM LINGKUNGAN | 29

memenuhi unsur “konkrit, individual”. Begitu pula rumusan Pasal 2 huruf


c yang menyatakan KTUN yang masih memerlukan persetujuan.
Rumusan ini sebetulnya juga tidak perlu, karena tidak memenuhi unsur
“final”.
Sebaliknya, ketentuan Pasal 3 UU PERATUN yang tidak
sepenuhnya memenuhi unsur-unsur KTUN namun dikategorikan sebagai
KTUN. Apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 3 UU PERATUN
diatas adalah perluasan dari pengertian KTUN, karena apabila Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tidak berbuat dan tidak ada keputusan tertulis
namun disamakan dengan KTUN. Apa yang tercantum dalam Pasal 3 UU
PERATUN ini dikenal sebagai KTUN fiktif dan negatif sifatnya.
Selanjutnya, terdapat pengecualian seperti diatur dalam ketentuan
Pasal 49 UU PERATUN. Sebenarnya yang disebutkan dalam ketentuan
Pasal 49 UU PERATUN adalah termasuk dalam pengertian KTUN,
namun karena alasan-alasan tertentu hal ini tidak menjadi kewenangan
PTUN untuk menyelesaikannya.
Untuk Pasal 49 huruf a tidak begitu menimbulkan permasalahan.
Permasalahan akan muncul sehubungan dengan Pasal 49 huruf b dengan
adanya kriterium kepentingan umum. Pemerintah, melalui peraturan
perundang-undangan seyogyanya segera menentukan kriteria apa yang
dimaksud dengan kepentingan umum. Hal ini untuk menjaga agar tidak
terjadi penghalalan segala macam cara dengan dalih kepentingan umum.
Adanya peraturan perundang-undangan yang menentukan kriteria
kepentingan umum akan lebih menjamin perlindungan kepada rakyat.
Pemerintah tidak bisa dengan seenaknya mengeluarkan KTUN yang
merugikan rakyat dengan dalih kepentingan umum namun tidak bisa
digugat melalui peradilan tata usaha negara karena terbentur oleh Pasal 49
UU PERATUN.

2.4.4 Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara


Jika seseorang akan mengajukan gugatan di PTUN, maka penting
untuk diperhatikan adalah ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN
yang menyatakan: Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara di beri wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Pasal 48 ayat (2)
menyatakan bahwa Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
30 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan.
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU PERATUN,
penggunaan upaya administratif dalam penyelesaian sengketa tata usaha
negara adalah bersifat wajib. Pengadilan tata usaha negara baru
berwenang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara apabila
telah ditempuh upaya administratif yang tersedia. Sifat wajib penggunaan
upaya administratif ini lebih ditegaskan pada Penjelasan Pasal 48 ayat (2)
UU PERATUN: Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada
penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih
tetap merasa belum puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan
diajukan ke Pengadilan.
Namun demikian, tidak semua sengketa tata usaha negara harus
diselesaikan melalui upaya administratif terlebih dahulu. Upaya
administratif dilakukan apabila berdasarkan peraturan perundang-
undangan ditentukan bahwa suatu sengketa tata usaha negara harus
diselesaikan melalui upaya administratif terlebih dahulu.
Dengan demikian, keberatan yang hanya bersifat suatu protes atau
pengaduan yang tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan
seperti yang sering terjadi sehari-hari diajukan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputusan (dengan tembusan kemana-mana) bukanlah
suatu upaya administratif menurut pengertian UU PERATUN (Indroharto
2004:53). Hal yang perlu diperhatikan tentang penggunaan upaya
administratif ini adalah tidak mudahnya untuk menemukan peraturan
perundang-undangan yang didalamnya mengatur tentang mekanisme
upaya administratif.
Menurut penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN, upaya
administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang
atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu KTUN.
Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan
terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilaksanakan
oleh instansi lain dari yang mengeluarkan KTUN, maka prosedur tersebut
dinamakan “banding administratif”. Dalam hal penyelesaian KTUN
tersebut harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan KTUN itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut
“keberatan”.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN terdapat
2 (dua) macam upaya administratif, yaitu banding administratif dan
prosedur keberatan. Banding administratif berarti penyelesaian sengketa
HUKUM LINGKUNGAN | 31

tata usaha negara dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari
yang mengeluarkan KTUN. Prosedur keberatan berarti penyelesaian
sengketa tata usaha negara diselesaikan oleh instansi yang mengeluarkan
KTUN itu sendiri.
Contoh mekanisme banding administratif yang diberikan oleh
penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN, antara lain: Keputusan
Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
Staaatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan “Regeling van
het beroep in belasting zaken”, Keputusan Badan Pertimbangan
Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuan Pusat berdasarkan Undang-Undang
No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuan dan
Undang-Undang No.12 Tahun 1964, tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta dan Keputusan Gubernur berdasarkan Pasal 10 ayat
(2) Undang-Undang Gangguan Staatsblad 1926 Nr. 226. Contoh dari
upaya administratif yang berupa prosedur keberatan adalah Pasal 25
Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan-Ketentuan umum
Perpajakan.
Selanjutnya, berdasarkan penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU
PERATUN, yang membedakan antara penyelesaian sengketa tata usaha
negara di pengadilan tata usaha negara dengan penyelesaian sengketa tata
usaha negara melalui upaya administratif adalah bahwa penyelesaian
sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif dilakukan
penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi
kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Sedangkan pengadilan tata
usaha negara hanya memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara
hanya melakukan pengujian terhadap KTUN yang disengketakan hanya
dari segi hukumnya saja.
Dengan demikian, berdasar UU PERATUN, penyelesaian sengketa
tata usaha negara meliputi: pertama, penyelesaian sengketa tata usaha
negara melalui upaya administratif (banding administratif maupun
keberatan) apabila peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
menentukan bahwa suatu sengketa tata usaha negara harus diselesaikan
dulu melalui upaya administratif. Gugatan di pengadilan tata usaha negara
hanya dapat dilakukan apabila upaya administratif yang tersedia telah
dilakukan. Kedua, penyelesaian melalui peradilan tata usaha negara, yaitu
melalui gugatan di pengadilan tata usaha negara, banding di pengadilan
tinggi tata usaha negara dan kasasi di Mahkamah Agung.
32 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

2.5 Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara


Alasan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara adalah
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Gugatan di pengadilan tata usaha negara hanya
dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak
saat diterima atau diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN). Suatu gugatan di pengadilan tata usaha harus memuat: a. nama,
kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau
kuasanya; b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; c. dasar
gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan pengadilan. Petitum
pokok gugatan di pengadilan tata usaha negara adalah agar KTUN
dinyatakan batal atau tidak sah dengan petitum tambahan tuntutan ganti
rugi dan atau rehabilitasi khusus untuk sengketa kepegawaian.

2.5.1 Alasan-Alasan Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha


Negara
Mengajukan suatu gugatan ke pengadilan adalah tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (Sudikono Mertokusumo
2003:6). Dalam sengketa tata usaha negara, mengajukan gugatan di
pengadilan tata usaha negara bertujuan agar hakim pengadilan tata usaha
negara menyatakan batal atau tidak sah KTUN yang disengketakan
karena KTUN itu telah merugikan kepentingan penggugat. Disamping itu,
penggugat juga dapat menuntut ganti rugi dan/atau rehabilitasi khusus
bagi sengketa di bidang kepegawaian.
Agar suatu gugatan yang diajukan oleh seorang penggugat
dikabulkan oleh hakim, maka suatu gugatan harus memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Pasal 53 ayat (2) UU
PERATUN menetapkan alasan-alasan gugatan di Pengadilan Tata Usaha
Negara, yaitu: KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau KTUN yang digugat itu
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Menurut Philipus M. Hadjon, alasan menggugat pada dasarnya
adalah persoalan keabsahan (rechtmatigheid) dari suatu KTUN.
Keabsahan itu menyangkut wewenang, prosedur dan substansi. Tiga hal
tersebut diukur dengan peraturan tertulis dan/atau AUPB. Dengan
demikian sebetulnya alasan menggugat cukup dua, secara alternatif atau
HUKUM LINGKUNGAN | 33

kumulatif, yaitu: a. KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan; b. KTUN tersebut bertentangan dengan AUPB
(rumusan Pasal 53 ayat 2 tidak logis). Menurut penjelasan Pasal 53 ayat
(2) UU PERATUN, KTUN yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan secara
prosedural/formal dan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan secara materiil atau substantif.
KTUN yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal
merupakan KTUN yang cacat mengenai bentuknya (vormgebreken) dan
biasanya menyangkut mengenai persiapan, terjadinya, susunan atau
pengumuman keputusan yang bersangkutan (Wicipto Setiadi 1992:105).
Suatu KTUN bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat materiil/substantif adalah keputusan
yang cacat mengenai isi (inhoudsgebreken), misalnya, keputusan izin
mendirikan bangunan (IMB) yang bertentangan dengan rencana yang
telah ditentukan (ibid:105-106).
Selanjutnya alasan untuk mengajukan gugatan di pengadilan tata
usaha negara adalah KTUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB). Istilah AUPB berasal dari kata
bahasa Belanda algemene begineselen van behoorlijk bestuur (Ridwan
HR 2002:182). Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan secara beragam,
misalnya: dasar-dasar pemerintahan yang baik, asas-asas pemerintahan
yang baik, asas-asas pemerintahan yang layak, asas-asas pemerintahan
yang patut dan lain sebagainya. Penulis menggunakan istilah asas-asas
umum pemerintahan yang baik sesuai dengan istilah resmi yang
digunakan dalam UU PERATUN. Menurut Ridwan HR, AUPB adalah
asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian
penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, terhormat,
bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyelahgunaan
wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.
Menurut Jazim Hamaidi, asas-asas umum pemerintahan yang baik
(AUPB) memiliki pengertian sebagai berikut:
34 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Tabel 8. Pengertian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

No Pengertian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik


1 AUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang
2 dalam lingkungan hukum administrasi negara
AUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi
negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi
3 hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara
4 (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar
pengajuan gugatan bagi pihak penggugat
Sebagian besar dari AUPB masih merupakan asas-asas yang tidak
tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktek kehidupan
di masyarakat
Sebagain asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan
terpancar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun
sebagian dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis,
namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.
Sumber: Jazim Hamaidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan
Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Peradilan
Administrasi Indonesia, 1999.

AUPB pada hakekatnya dapat dipergunakan sebagai salah satu


dasar untuk menguji bagi penyelesai atau hakim apakah perbuatan
pemerintahan yang telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan tertulis, yakni menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi,
serta kesesuaian menyangkut pedoman-pedoman yang tidak tertulis yakni
AUPB tersebut (Lutfi Effendi 2004:82).
Sebenarnya saat pembahasan Undang-Undang No.5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara di DPR, Fraksi ABRI mengusulkan
agar AUPB dimasukkan sebagai salah satu alasan gugatan terhadap
keputusan Badan/Pejabat TUN, akan tetapi usulan ini tidak diterima oleh
Pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail Saleh, selaku
Menteri Kehakiman waktu itu yang mewakili pemerintah (Ridwan HR
2002:188). Alasan pemerintah adalah dalam praktek ketatanegaraan
maupun dalam Hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia,
belum mempunyai kriteria tentang “algemene beginselen van behoorlijk
bestuur” yang berasal dari negara Belanda. Pada waktu itu kita belum
mempunyai tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di
negara-negara kontinental tersebut. Tradisi demikian bisa dikembangkan
melalui yurisprudensi yang kemudian akan menimbulkan norma-norma.
HUKUM LINGKUNGAN | 35

Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha Negara kita selalu
dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang
konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali
dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkrit (ibid:188-189).
Namun demikian, menjelang ditetapkannya UU. No.5 Tahun 1986
ikatan alumni IIAP-LAN bekerja sama dengan MENPAN, lembaga
administrasi negara dan departemen kehakiman mengadakan lokakarya
14 Juli 1990 disepakati bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik
dapat menilai KTUN yang digugat (Lutfi Effendi 2004:83). Sampai
dengan diundangkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, AUPB memang tidak dimasukkan sebagai
alasan untuk menggugat KTUN di pengadilaan tata usaha negara. Baru
dengan perubahan Undang-Undang No.5 Tahun 1986, yaitu Undang-
Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
No.5 Tahun 1986, AUPB diakui secara formal sebagai salah satu alasan
untuk menggugat KTUN di pengadilan tata usaha negara.
Meskipun AUPB tidak secara formal diakui oleh Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986, namun praktek peradilan tata usaha negara
mendasarkan putusannya pada AUPB. Misalnya Putusan PT TUN Medan
No.37/BDG-gG/PL/PT.TUN/1992, pertimbangan hakim PTUN antara
lain: ...prosedur yang ditempuh tergugat sebelum menerbitkan SK. No
774/SK/1991 ternyata telah memenuhi asas-asas umum pemerintahan
yang baik yaitu melakukan: fair play, berdasarkan fakta yang nyata,
berhati-hati, menyatakan kepada yang berkepentingan (Philipus M.
Hadjon 1994:329). Putusan PT. TUN Jakarta No.017/G/1991/PT.TUN-
JKT tanggal 19 Agustus 1992 dengan pertimbangan hakim sebagai
berikut: Keputusan tergugat No.399/386/7-5/XVIII/PHK/8-91 tanggal 7
Agustus 1991 itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada dan AUPB yaitu asas keadilan (Suparto Wijoyo 2004:165).
Berdasarkan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang No.5 Tahun 1986, AUPB secara formal diakui sebagai
alasan untuk menggugat KTUN di PTUN (Pasal 53 ayat (2)). Namun
demikian, UU PERATUN tidak menerangkan apa yang dimaksud AUPB.
UU PERATUN hanya menyebutkan jenis-jenis AUPB dengan merujuk
pada Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nopetisme. AUPB
tersebut meliputi: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara,
keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas.
Menurut Kuncoro Purbopranoto, AUPB dikategorikan dalam 13
(tiga belas) asas, yaitu:
36 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Tabel 9. Kategori Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

No Kategori Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik


1 Asas kepastian hukum (principle of legal security)
2 Asas keseimbangan (principle of proporcionalitas)
3 Asas kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh (principle of
4 equality)
5 Asas bertindak cermat (principle of carefulness)
6 Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of
motivation)
7 Asas jangan mencampuradukkan kewenangan ( principle of non
8 misuse of competence)
Asas permainan yang layak (principle of fair play)
9 Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or
prohition of arbitrariness)
Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting
raised expectation)
10 Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
(principle of undoing the consequences of an annulled decision)
11 Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi
(principle of protecting the personal way of live)
12 Asas kebijaksanaan (sapientia)
13 Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public
service).
Sumber: Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata
Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, 1981.

Fungsi dari AUPB adalah untuk menguji keabsahan KTUN bebas.


KTUN bebas adalah KTUN yang didasarkan pada suatu kebebasan
bertindak yang lazimnya dikenal dengan asas “freies ermessen”
(discretionary power) (Philipus M. Hadjon 1994:145). Mengenai fungsi
AUPB untuk menguji keabsahan KTUN bebas dikatakan Philipus M.
Hadjon berkaitan pembagian KTUN terikat dan KTUN bebas. Relevansi
pembagian KTUN bebas dan KTUN terikat adalah kaitannya pada alat
ukur aspek “rechtmatigheid” suatu KTUN. Sah-tidaknya suatu KTUN
terikat diukur dengan peraturan tertulis sedangkan KTUN bebas kiranya
tidak dijangkau oleh peraturan tertulis. Dalam praktek pemerintahan
dewasa ini sudah dikembangkan asas hukum tak tertulis berupa asas-asas
umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur) untuk mengukur KTUN bebas.
HUKUM LINGKUNGAN | 37

Dengan demikian, keabsahan suatu KTUN terikat diuji dengan


peraturan tertulis (peraturan perundang-undangan) dan untuk keabsahan
KTUN bebas diuji dengan AUPB. Berdasar UU PERATUN setalah
perubahan, Pasal 53 ayat (2) mengakui secara tegas bahwa salah satu
alasan untuk menggugat suatu KTUN adalah karena bertentangan dengan
AUPB. Ketentuan yang demikian pada awalnya tidak diatur dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 1986, namun, hakim dalam prakteknya
mengakui eksistensi AUPB dalam pertimbangannya untuk memberi
putusan di pengadilan tata usaha negara.

2.5.2 Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha


Negara
Hal sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang atau badan
hukum perdata yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan adalah
berkaitan dengan apakah ia mengajukan gugatan itu dalam waktu yang
masih diperbolehkan sehingga gugatannya akan diterima oleh pengadilan.
Jika seorang mengajukan gugatan dalam waktu yang sudah lewat akan
mengakibatkan gugatannya menjadi tidak diterima atau ditolak.
Tenggang waktu menggugat (beroepstermijn) lazim juga disebut
bezwaartermijn, verzoektermijn atau klaagtermijn. Tenggang waktu gugat
adalah batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum
perdata untuk memperjuangkan haknya dengan cara mengajukan gugatan
melalui peradilan administrasi (SF Marbun 1997:235). Dalam UU
PERATUN, mengenai tenggang waktu untuk mengajukan gugatan di
pengadilan tata usaha negara oleh orang atau badan hukum perdata diatur
dalam ketentuan Pasal 55 yang menentukan: “Gugatan dapat diajukan
hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari sejak saat diterimanya
atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara”.
Makna tenggang waktu sembilan puluh hari ini di jelaskan oleh
penjelasan Pasal 55 UU PERATUN: Bagi pihak yang namanya tersebut
dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu
sembilan puluh hari itu sejak diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat. Lebih lanjut Penjelasan Pasal 55 UU PERATUN
menyatakan: Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan
menurut ketentuan: a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu sembilan
puluh hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan
dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan; b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang
waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu
empat bulan yang sejak tanggal diterimanya permohonan yang
38 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

bersangkutan. Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu


keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh
hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.
Berdasarkan Pasal 55 UU PERATUN beserta penjelasannya,
tenggang waktu untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha
Negara terhadap semua KTUN adalah 90 (sembilan puluh) hari, yang
membedakan adalah saat mulai dihitungnya waktu 90 (sembilan puluh)
hari tersebut, yaitu:

Tabel 10. Ketentuan Saat Mulai Menghitung Waktu 90 Hari

No Saat Mulai Menghitung Waktu 90 Hari


1 Untuk KTUN biasa (positif) berwujud yang tertuju kepada alamat
yang dituju, maka saat mulai dihitungnya 90 hari adalah menurut
bunyi rumusan Pasal 55,yaitu sejak hari diterima KTUN yang
bersangkutan; atau sejak hari pengumumannya, kalau hal itu
diharuskan oleh peraturan dasarnya.
2 Untuk KTUN yang telah melewati upaya administratif, maka 90
hari tersebut dihitung sejak diterimanya KTUN yang diputus dari
instansi upaya administratif yang bersangkutan.
3 Untuk keputusan fiktif bedanya terletak pada apakah dalam
peraturan dasarnya ditentukan ada tidaknya tenggang waktu dalam
batas mana badan atau pejabat TUN harus sudah mengadakan
reaksi atas suatu permohonan yang telah masuk:
Kalau ada ketentuan tenggang waktu harus mengeluarkan
keputusan, maka tenggang waktu 90 hari dihitung sejak habisnya
kesempatan mengambil suatu KTUN yang bersangkutan.
Sedang apabila tidak ada ketentuan tenggang waktu untuk
mengambil suatu KTUN yang dimohon, maka tenggang waktu 90
hari itu dihitung setelah lewat empat bulan sejak permohonan yang
bersangkutan diterima.
Sumber: Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Perdilan
Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha
Negara,2005.

Berkaitan dengan tenggang waktu untuk mengajukan gugatan,


Mahkamah Agung pernah menerbitkan SEMA No.2 Tahun 1992, yang
diantaranya menyatakan bahwa: “Bagi mereka yang tidak dituju oleh
suatu KTUN tetapi merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kausistis
HUKUM LINGKUNGAN | 39

sejak saat merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN dan mengetahui


adanya KTUN tersebut”.
Apa yang ditentukan oleh SEMA diatas adalah berkaitan dengan
pihak ke III yang secara tidak langsung dituju oleh suatu KTUN, namun
kepentingannya dirugikan oleh terbitnya suatu KTUN. Pihak ke III ini
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara yang
tenggang waktunya adalah sejak pihak ke III ini merasa kepentingannya
dirugikan oleh KTUN dan mengetahui adanya KTUN tersebut.
Persoalannya adalah bagaimana jika pihak ke III ini merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dan ia mengetahui adanya
KTUN tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama (misalnya sudah
puluhan tahun), apakah ia masih punya hak untuk menggugat KTUN itu.
Apa yang diatur dalam SEMA ini sangat bertentangan dengan asas
kepastian hukum. SEMA ini memungkinkan seseorang untuk mengajukan
gugatan terhadap KTUN yang telah diterbitkan puluhan tahun silam.

2.5.3 Syarat-Syarat Gugatan


Gugatan yang diajukan oleh seorang penggugat di pengadilan tata
usaha negara harus memenuhi syarat-syarat gugatan yang telah ditentukan
oleh UU PERATUN. Pasal 56 ayat (1) menentukan bahwa suatu gugatan
harus memuat: a. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan
penggugat, atau kuasanya; b. Nama, jabatan, dan tempat kedudukan
tergugat; c. Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
Pengadilan.
Apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) diatas adalah
suatu kelaziman dalam mengajukan gugatan disemua jenis peradilan.
Suatu gugatan harus memenuhi identitas para pihak, yaitu pihak
penggugat maupun pihak tergugat. Identitas penggugat yang harus dimuat
dalam gugatan adalah meliputi nama, kewarganegaraan, tempat tinggal
dan pekerjaan penggugat. Identitas tergugat yang harus dimuat dalam
gugatan adalah nama, jabatan dan tempat kedudukan tergugat.
Selain memuat identitas para pihak, gugatan juga harus memuat
dasar-dasar atau alasan-alasan gugatan yang biasa disebut dengan istilah
posita atau fundamentum petendi. Suatu gugatan memuat juga tentang
petitum, yaitu apa yang diinginkan oleh penggugat supaya diputus oleh
hakim.
Gugatan yang diajukan oleh seorang penggugat yang didampingi
seorang kuasa, maka gugatan harus disertai dengan surat kuasa yang sah.
Namun, adanya kuasa dalam gugatan tata usaha negara adalah bersifat
40 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

alternatif dan bukan suatu keharusan. Artinya penggugat dapat


mengajukan gugatannya sendiri atau dengan pemberian kuasa.
Gugatan yang diajukan oleh penggugat diisyaratkan dalam bentuk
tertulis karena gugatan itu nantinya akan menjadi pegangan pengadilan
dan para pihak selama pemeriksaan perkara. Namun demikian, penggugat
yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk
menggugat itu kepada panitera pengadilan yang akan membantu
merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Pemberian kuasa oleh penggugat kepada kuasanya dapat dilakukan
dengan surat kuasa khusus atau bahkan dengan lisan pada saat
persidangan. Menurut Pasal 58 UU PERATUN, hakim masih berwenang
untuk memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang
menghadap sendiri ke persidangan, meskipun para pihak sudah diwakili
oleh seorang kuasa apabila memang hal untuk itu dipandang perlu.
Untuk mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara,
penggugat harus membayar uang muka biaya perkara yang besarnya
ditaksir oleh panitera pengadilan. Uang muka biaya perkara adalah biaya
yang dibayar terlebih dahulu sebagian uang panjar oleh pihak penggugat
terhadap perkiraan biaya perkara yang diperlukan dalam proses
berperkara seperti kepaniteraan, biaya materai, biaya saksi, biaya ahli,
biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang sidang dan
biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim.
Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan
akan dicatat dalam daftar perkara oleh panitera pengadilan. Selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah gugatan
dicatat, hakim menentukan waktu dan tempat pelaksanaan persidangan
dan menyuruh memanggil para pihak (penggugat dan tergugat) untuk
hadir pada tempat dan waktu yang telah ditentukan.
Dalam menentukan hari sidang, hakim harus memperhatikan jauh
dekatnya tempat tinggal para pihak dari lokasi tempat persidangan.
Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari
6 (enam) hari, kecuali dalam sengketa yang harus diperiksa dengan acara
cepat.
Pemanggilan terhadap para pihak yang bersangkutan dilakukan
dengan surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.
Pemanggilan untuk pihak tergugat dilakukan dengan surat panggilan yang
disertai dengan sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa
gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.
Bagi penggugat yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara
maka dapat mengajukan permohonan untuk bersengketa secara gratis
HUKUM LINGKUNGAN | 41

(prodeo) kepada ketua pengadilan. Permohonan diajukan oleh penggugat


pada waktu mengajukan gugatannya dengan disertai surat keterangan
tidak mampu dari kepala desa atau lurah ditempat kediaman pemohon.
Permohonan untuk beracara gratis diatas harus diperiksa dan
ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Apabila
pengadilan mengabulkan permohonan untuk beracara secara gratis ini,
maka hal ini akan berlaku untuk pengadilan tingkat pertama, tingkat
banding dan tingkat kasasi.
Dalam mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara,
penggugat sedapat mungkin menyertakan KTUN yang dipersengketakan
(Pasal 56 ayat (3). Melihat rumusan yang menyatakan “sedapat mungkin”
berarti bukan suatu keharusan atau kewajiban melainkan suatu pilihan
atau anjuran. Memang penggugat tidak mungkin untuk menyertakan
KTUN apabila KTUN yang digugat adalah KTUN negatif. Di sini
penggugat mengajukan gugatan karena memang badan atau pejabat tata
usaha negara tidak menerbitkan KTUN yang dimohonkan sampai
tenggang waktu yang telah ditentukan. Apabila yang digugat bukan suatu
KTUN negatif, maka sudah seharusnya penggugat menyertakan KTUN
yang digugat tersebut dalam rangka kemudahan dan kelancaran
pemeriksaan oleh hakim.
Menurut Pasal 62 dan 63 UU PERATUN, hakim berwenang untuk
melakukan rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan sebelum
melakukan pemeriksaan pokok sengketa untuk memeriksa apakah
gugatan yang diajukan oleh penggugat telah memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan. Apabila gugatan yang diajukan tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan, hakim dapat mengeluarkan
suatu penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar.

2.5.4 Petitum Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara


Seseorang yang mengajukan gugatan di pengadilan pastinya
menginginkan agar hakim memutus sesuai apa yang dikehendakinya. Apa
yang diinginkan oleh seorang penggugat dalam gugatannya dikenal
dengan istilah petitum. Petitum dalam sengketa tata usaha negara di
pengadilan tata usaha negara ditentukan oleh Pasal 53 ayat (1) UU
PERATUN: Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi dan/atau rehabilitasi.
42 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Penjelasan Pasal 53 ayat (1) menentukan: Berbeda dengan gugatan


dimuka pengadilan perdata, maka apa yang dituntut dimuka Pengadilan
Tata Usaha Negara itu terbatas pada satu macam tuntutan pokok yang
berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugikan
kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Tuntutan
tambahan yang dibolehkan hanya tuntutan ganti rugi dan hanya dalam
sengketa kepegawaian sajalah dibolehkan adanya tuntutan tambahan
lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN diatas juga harus
dikaitkan dengan Pasal 3 UU PERATUN tentang KTUN negatif dan
Pasal 117 ayat (2) tentang tuntutan sejumlah uang kompensasi. Dari situ
akan diperoleh tuntutan apa saja yang dapat diajukan dalam gugatan: 1.
Tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN itu
dinyatakan batal atau tidak sah;atau 2. Tuntutan agar badan atau pejabat
TUN yang digugat untuk mengeluarkan KTUN yang dimohonkan
penggugat; dengan atau tanpa 3. Tuntutan ganti kerugian; dan atau 4.
Tuntutan rehabilitasi dengan atau tanpa kompensasi (Zairin Harahap
1997:100).
Ganti kerugian adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang
atau badan hukum perdata atas beban badan tata usaha negara
berdasarkan putusan TUN karena adanya kerugian materiil yang diderita
oleh penggugat (Pasal 1 angka 1 PP No.43 Tahun 1991 tentang Ganti
Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Pengadilan Tata Usaha
Negara). Besarnya jumlah ganti kerugian yang dapat diperoleh penggugat
dalam sengketa tata usaha negara paling sedikit Rp. 250.000 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000 (lima juta
rupiah) dengan memperhatikan keadaan yang nyata (Pasal 3).
Rehabilitasi adalah merupakan hak penggugat dalam kemampuan
kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti
semula, sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam pemulihan
hak tersebut termasuk juga hak-haknya yang timbulkan oleh kemampuan
kedudukan, dan harkatnya sebagai pegawai negeri (penjelasan Pasal 121
ayat (2) UU PERATUN). Rehabilitasi ini hanya diperbolehkan dalam
sengketa tata usaha negara bidang kepegawaian saja.

2.6 Acara Pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha Negara


Acara pemeriksaan di peradilan tata usaha negara meliputi acara
pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan cepat, dan acara pemeriksaan
singkat. Dalam pemeriksaan acara biasa, tahapan penanganan sengketa
meliputi: melakukan penelitian administratif (prosedur dismissal),
HUKUM LINGKUNGAN | 43

pemeriksaan persiapan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.


Pemeriksaan dengan acara cepat diajukan oleh penggugat dengan
mengajukan suatu permohonan kepada ketua pengadilan agar perkaranya
diperiksa dengan acara cepat. Permohonan itu diajukan dalam gugatannya
dengan alasan adanya kepentingan penggugat yang cukup mendesak.
Acara pemeriksaan singkat dilakukan dalam hal perlawanan terhadap
penetapan ketua pengadilan (pengadilan tata usaha negara) bahwa
gugatan tidak diterima atau tidak berdasar sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 62 ayat (1) dan terdapat keadaan mendesak mengakibatkan
penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat itu dilaksanakan.
Menurut P.W.A Geritzen Rode, pemeriksaan gugatan di peradilan
administrasi tingkat pertama, di samping dilakukan dengan acara biasa
juga dengan acara luar biasa (Sjahran Basah 1992:5). Beracara menurut
acara biasa, secara garis besar prosesnya dapat dibagi atas tindakan
sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dan pada pemeriksaan di
(muka) sidang pengadilan dengan berbagai ragam pentahapan yang harus
dilalui (Suparto Wijoyo 2004:56). Beracara dengan luar biasa
dilaksanakan melalui acara cepat (versnelde procedures) dan acara
singkat (kort-geding) (ibid). Hukum acara pemeriksaan di pengadilan tata
usaha negara dapat dilakukan dengan pemeriksaan biasa, pemeriksaan
cepat dan pemeriksaan singkat.

2.6.1 Acara Pemeriksaan Biasa


Yang dimaksud dengan acara biasa adalah jalannya proses dari tiap
gugatan yang masuk, kalau tidak diterapkan acara-acara khusus, seperti
acara singkat, acara cepat, acara yang dipakai dalam menyelesaikan
permohonan untuk penundaan pelaksaan keputusan yang sedang digugat
dan acara untuk menangani permohonan untuk beracara dengan cuma-
Cuma. Acara biasa ini adalah acara yang normal ditempuh dan yang
seharusnya dilalui oleh tiap gugatan yang diajukan (Indroharto 2004:66).
Suatu gugatan tata usaha negara dilakukan dengan acara
pemeriksaan biasa disebabkan adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama,
karena permohonan penggugat agar gugatannya diperiksa dengan acara
cepat tidak diterima, sedangkan upaya hukum lain tidak disediakan untuk
itu. Kedua, karena kemauan penggugat sendiri, sebab penggugat tidak
mengajukan permohonan agar gugatannya diperiksa dengan acara cepat
(SF Marbun 1988:107).
Dalam pemeriksaan acara biasa, tahapan penanganan sengketa
meliputi: melakukan penelitian administratif (prosedur dismissal),
pemeriksaan persiapan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Penelitian
44 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

administratif (prosedur dismissal) diatur dalam ketentuan Pasal 62 ayat


(1), sedangkan Tahapan pemeriksaan persiapan diatur dalam ketentuan
Pasal 63 UU PERATUN.
Tahap rapat permusyawaratan adalah untuk menentukan apakah
suatu gugatan dapat diterima atau tidak dapat diterima. Suatu gugatan
akan tidak diterima apabila terpenuhi unsur-unsur seperti yang disebutkan
oleh Pasal 62 ayat (1) UU PERATUN, yaitu Setelah tahapan rapat
permusyawaratan dilalui, tahap selanjutnya dalam pemeriksan dengan
acara biasa adalah tahapan pemeriksaan persiapan.
Dalam tahap rapat permusyawaratan ketua pengadilan tata usaha
negara berwenang memutuskan dengan suatu penetapan bahwa gugatan
dapat diterima atau tidak berdasar, dalam hal: a. Pokok sengketa tersebut
nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan; b. Syarat-syarat
gugatan sebagaimana dimaksud dalam 56 tidak dipenuhi oleh penggugat
sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan (Pasal 62 ayat (1).
Penetapan bahwa suatu gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar
diucapkan dalam rapat permusyawaratan sehari sebelum hari persidangan
ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya
(Pasal 62 ayat (2) huruf a). Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan
dengan suara tercatat oleh panitera pengadilan atas perintah ketua
pengadilan (Pasal 62 ayat (2) huruf b).
Terhadap penetapan ketua pengadilan tata usaha negara dapat
dilakukan upaya hukum perlawanan dalam jangka waktu empat belas hari
setelah penetapan diucapkan (Pasal 62 ayat (3) huruf a). Perlawananan
dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 56 UU PERATUN. Perlawanan
diperiksa dan diputus oleh pengadilan dengan acara singkat (Pasal 62 ayat
4). Dalam hal perlawanan dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan
bahwa gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar
sebagaimana ketentuan Pasal 62 ayat (1) gugur demi hukuim dan pokok
gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat dilakukan upaya
hukum (Pasal 62 ayat 6).
Setelah tahapan rapat permusyawaratan dilalui, tahap selanjutnya
dalam pemeriksan dengan acara biasa adalah tahapan pemeriksaan
persiapan sebagaimana diatur pada Pasal 63 UU PERATUN. Dalam
tahapan pemeriksaan persiapan ini dimaksudkan untuk melengkapi
gugatan yang kurang jelas.
Dalam tahap pemeriksaan persiapan hakim dapat melakukan dua
hal, yaitu: pertama, hakim wajib memberi nasehat kepada penggugat
untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang
HUKUM LINGKUNGAN | 45

diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. Kedua, hakim dapat
meminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan. Untuk yang pertama bersifat imperatif atau wajib
sedangkan yang kedua bersifat pilihan. Namun demikian, Pasal 63 ayat
(2) UU PERATUN beserta penjelasannya tidak menjelaskan mengenai
penjelasan apa yang diminta oleh hakim kepada badan atau pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan tersebut.
Dalam Penjelasan Pasal 63 ayat (1) dinyatakan bahwa pemeriksaan
persiapan adalah kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa tata
usaha negara. Dalam pemeriksaan persiapan hakim dapat meminta
penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang hakim ini dimaksudkan untuk mengimbangi dan mengatasi
kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan informasi atau
data yang diperlukan dari badan atau pejabat tata usaha negara mengingat
bahwa penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara kedudukannya
tidak sama.
Apabila dalam jangka waktu tiga puluh hari sebagaimana dimaksud
Pasal 63 ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatannya,
maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima (Pasal 63 ayat 3). Terhadap putusan hakim yang menyatakan
bahwa gugatan tidak dapat diterima tidak dapat dilakukan upaya hukum,
tetapi penggugat dapat mengajukan gugatan baru (Pasal 63 ayat 4).
Apabila hakim menilai gugatan yang diajukan oleh penggugat telah
lengkap, tahap selanjutnya dalah tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pemeriksaan sidang dengan acara biasa diatur dalam ketentuan Pasal 68
sampai dengan Pasal 97 UU PERATUN.
Dalam pemeriksaan dengan acara biasa maka sidang dilakukan
oleh majelis hakim dengan 3 (tiga) orang hakim. Persidangan adalah
terbuka untuk umum, kecuali apabila majelis hakim memandang bahwa
sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau
keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Apabila penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan hari
pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa
disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun
setiap kali dipanggil dengan patut, maka gugatan dinyatakan gugur dan
penggugat harus membayar biaya perkara. Penggugat berhak
memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah penggugat membayar uang
muka biaya perkaara. Apabila yang tidak hadir adalah tergugat atau
kuasanya di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan juga tidak
46 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,


meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka hakim ketua
sidang meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat hadir dan
atau menanggapi gugatan. Permintaan itu dilakukan dengan suatu surat
penetapan.
Apabila setelah lewat waktu 2 (dua) bulan sesudah dikirimkan surat
penetapan tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari
tergugat sendiri, maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang
berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa
dengan tanpa hadirnya tergugat. Putusan terhadap pokok gugatan dapat
dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya
dilakukan secara tuntas.
Dengan demikian, jelaslah dalam hukum acara pengadilan tata
usaha negara tidak dikenal adanya putusan verstek, meskipun akhirnya
ada kesan seperti itu, tetapi harus diingat putusan verstek tidak
memerlukan pemeriksaan pokok perkara dan segi pembuktiannya
dilakukan secara tuntas (Zairin Harahap 1997:124). Terhadap putusan tata
usaha negara ini tidak dapat dilakukan upaya hukum.
Dalam hukum acara perdata, verstek adalah pernyataan, bahwa
tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus datang.
Verstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak tergugat kesemuanya tidak
datang menghadap pada sidang yang pertama, dan, apabila perkara
diundurkan sesuai dengan Pasal 126 HIR, juga pihak tergugat
kesemuanya tidak datang menghadap lagi (Retnowulan Sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata 1997:25). Terhadap putusan verstek pihak
tergugat dapat melakukan upaya hukum berupa perlawanan sesuai dengan
ketentuan Pasal 129 HIR.

2.6.2 Acara Pemeriksaan Cepat


Mengenai makna acara pemeriksaan cepat, Indroharto menyatakan
bahwa acara pemeriksaan cepat pada dasarnya merupakan percepatan dari
jalannya proses pemeriksaan dan pemutusan pokok sengketa dari gugatan
yang masuk. Percepatan jalannya proses itu dapat dicapai dengan
penyingkatan tenggang-tenggang dan atau tidak diterapkan atau
disederhanakannya unsur-unsur yang terdapat dalam acara biasa. Tujuan
percapatan jalannya acara itu adalah untuk memperoleh putusan yang
lebih cepat dari sengketa yang diajukan.
Mengenai latar belakang diperlukannya acara pemeriksaan cepat,
Indroharto menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh karena
diperkirakan rata-rata tiap perkara kalau harus diperiksa dengan acara
HUKUM LINGKUNGAN | 47

biasa akan memakan waktu lama, mungkin setengah tahun, mungkin


setahun dua tahun atau lebih seperti yang dialami di Nederland. Karena
itu diperlukan adanya suatu prosedur yang dapat mempercepat jalannya
prosedur biasa.
Menurut Philipus M. Hadjon, terdapatnya pemeriksaan dengan
acara cepat dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, karena
pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku
untuk acara biasa. Pengecualian-pengecualian itu dapat terjadi, karena
alasan-alasan tertentu, yang membawa akibat terhadap: a. Pemeriksaan
unus judex bukan hakim majelis (Pasal 99 ayat (1) yang merupakan
pengecualian terhadap Pasal 68 ayat (1); b. Prosesnya dengan meniadakan
prosedur pemeriksaan persiapan (Pasal 99 ayat (2) yang merupakan
pengecualian terhadap Pasal 63); c. Waktu untuk jarak antara
pemanggilan serta hari sidang boleh kurang dari 6 hari (Pasal 64 ayat (2),
pemeriksaan dipersempit, yaitu sejak gugatan didaftar sampai dengan
pembuktian selesai berlangsung selama 35 hari dengan perincian sebagai
berikut: c.1 14 hari setelah diterima permohonan ketua pengadilan (tata
usaha negara) mengeluarkan penetapan (Pasal 98 ayat (2); c.2 7 hari
setelah dikeluarkan penetapan, ketua pengadilan (tata usaha negara)
menentukan hari, tempat, dan waktu sidang (Pasal 99 ayat (2); c.3 14 hari
waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak (Pasal 98
ayat (3). Demikian pula jarak waktu untuk putusanpun dipercepat.
Dalam UU PERATUN, prosedur beracara dengan acara cepat
hanya diatur dalam ketentuan 2 (dua) pasal saja, yaitu Pasal 98 dan 99.
Menurut ketentuan Pasal 98, pemeriksaan dengan acara cepat dapat
diajukan oleh penggugat dengan mengajukan suatu permohonan kepada
ketua pengadilan agar perkaranya diperiksa dengan acara cepat.
Permohonan itu diajukan dalam gugatannya dengan alasan adanya
kepentingan penggugat yang cukup mendesak.
Namun demikian, Pasal 98 UU PERATUN beserta penjelasannya
tidak menjelaskan kriteria atau ukuran “kepentingan penggugat yang
cukup mendesak” itu. Penjelasan Pasal 98 hanya mencontohkan
kepentingan penggugat itu mendesak apabila kepentingan itu menyangkut
KTUN yang misalnya berisi tentang pembongkaran bangunan atau
rumah.
Terhadap permohonan penggugat ini, pengadilan harus
memberikan penetapan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari, apakah permohonan itu ditolak atau dikabulkan. Apabila
permohonan itu ditolak tidak dapat digunakan upaya hukum.
48 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Apabila permohonan acara cepat yang diajukan oleh penggugat


dikabulkan oleh pengadilan, ketua pengadilan pengadilan tata usaha
negara mengeluarkan penetapan yang menentukan hari, tempat, dan
waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan menurut
Pasal 63. Dalam prosedur acara cepat, tenggang waktu untuk jawaban dan
pembuktian bagi para pihak (penggugat dan tergugat) ditentukan tidak
boleh melebihi empat belas hari.
Berbeda dengan pemeriksaan acara biasa yang yang diperiksa oleh
majelis hakim (tiga orang hakim), maka dalam pemeriksaan acara cepat
diperiksa oleh hakim tunggal. Dalam pemeriksaan acara cepat, yang
dipercepat itu baik pemeriksaannya maupun juga pemutusan sengketanya.
Pemeriksaan dengan acara cepat ini memiliki kelebihan-kelebihan
dan juga kekurangan-kekurangan tertentu. Keuntungan yang diperoleh
dari pemeriksaan dengan acara cepat adalah bahwa keputusan mengenai
hukumnya dari sengketa yang diajukan lebih cepat diperoleh. Hal ini
tentu sangat bermanfaat bagi penggugat mengingat gugatan yang diajukan
tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat. Bagi tergugat akan
segera mengetahui apakah KTUN yang digugat itu sah atau tidak sah, ini
perlu diperhatikan bila tergugat akan mengeluarkan KTUN yang serupa
dimasa mendatang (Indroharto 2004:159).
Kekurangan-kekurangan dari pemeriksaan acara cepat, diantaranya:
bagi pihak ketiga mengandung resiko yang cukup besar, apabila pihak
ketiga mengetahi adanya keputusan pengadilan yang menyangkut
kepentingan atau haknya sudah terlambat, sehingga pihak ketiga ini tidak
dapat masuk dalam proses guna mempertahankan kepentingan atau hak-
haknya tersebut. Dengan percepatan proses peradilan juga memungkinkan
mengandung resiko bahwa fakta-fakta yang digunakan sebagai dasar
penilaian tidak begitu kuat dan menyakinkan bila dibandingkan dengan
pemeriksaan acara biasa.

2.6.3 Acara Pemeriksaan Singkat


UU PERATUN menentukan bahwa acara pemeriksaan singkat
dapat dilakukan dalam hal perlawanan terhadap penetapan ketua
pengadilan (pengadilan tata usaha negara) bahwa gugatan tidak diterima
atau tidak berdasar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 ayat (1) dan
terdapat keadaan mendesak mengakibatkan penggugat sangat dirugikan
jika KTUN yang digugat itu dilaksanakan (Philipus M. Hadjon et all
1994:360). Perlawanan dilakukan oleh penggugat untuk melawan hasil
rapat permusyawaratan yang menentukan bahwa gugatannya itu tidak
HUKUM LINGKUNGAN | 49

diterima atu dinyatakan tidak berdasar. Perlawanan ini dilakukan hanya


dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah penetapkan diucapkan.
Acara pemeriksaan cepat juga berkaitan dengan ketentuan bahwa
gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat. Ketentuan
semacam ini tentu sangat berpotensi untuk merugikan kepentingan
penggugat. Untuk menghindari kerugian tersebut penggugat dapat
mengajukan permohonan agar pelaksanaan KTUN tersebut ditunda
pelaksanaannya selama pemeriksaan sengketa tata usaha negara, sampai
dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Permohonan penundaan pelaksanaan KTUN diatas dapat diajukan
sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya. Permohonan tersebut akan dikabulkan apabila dipenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh penjelasan Pasal 67: a. Terdapat
keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita
penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi
kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Negara tersebut; b. Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum
dalam rangka pembangunan. Dalam UU PERATUN sendiri meskipun
memperkenalkan proses beracara dengan acara singkat, namun tidak
diatur lebih lanjut apa yang dimaksud dengan acara singkat yang harus
ditempuh oleh pengadilan pada waktu menyelesaikan atau memutus
perkara gugatan dengan acara singkat (Indroharto 2004:149).
Dengan acara pemeriksaan cepat ini akan diperoleh keuntungan-
keuntungan tertentu, yaitu pembuat undang-undang bermaksud agar
rintangan-rintangan yang mungkin akan menjadi penghalang dalam
penyelesaian secara cepat sengketa-sengketa tata usaha negara sedapat
mungkin dapat disingkirkan. Acara pemeriksaan cepat juga untuk
menanggulangi arus masuknya perkara-perkara yang sebenarnya tidak
memenuhi syarat untuk diproses sebagai suatu gugatan yang diperkirakan
juga akan membanjir di Pengadilan Tata Usaha Negara.

2.7 Pembuktian
Alat-alat bukti dalam sengketa tata usaha negara meliputi: alat
bukti surat atau tulisan, alat bukti keterangan ahli, alat bukti keterangan
saksi, alat bukti pengakuan para pihak, dan alat bukti pengakuan para
pihak. Untuk keadaan yang telah diketahui umum tidak perlu dibuktikan.
Pembuktian dalam sengketa tata usaha negara harus minimal dengan dua
alat bukti yang sah menurut undang-undang.
50 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

2.7.1 Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


Setiap proses perkara di pengadilan, baik di pengadilan umum
maupun pengadilan tata usaha negara pasti akan ditempuh suatu proses
pembuktian. Pembuktian adalah bagian penting dalam hukum acara.
Menurut Indroharto, salah satu hal penting yang selalu harus dilakukan
oleh hakim dalam pemeriksaan pengadilan adalah: dengan cara yang tepat
(menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan pembuktian)
menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang relevan untuk
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan akhir nanti yang
disingkat dengan kata pembuktian, disamping penerapan hukum
(rechtstoepassing) serta kadangkala menemukan hukum (rechtsvinding).
Dalam pembuktian hakim menetapkan fakta-fakta yang relevan
yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan
putusannya. Tugas hakim dalam pembuktian adalah menetapkan hukum
atau undang-undang, menetapkan apa yang hukum antara dua pihak yang
bersangkutan itu (Subekti 1982:79). Dalam melakukan pembuktian hakim
terikat oleh aturan-aturan yang disebut hukum pembuktian. Hukum
pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus
diindahkan dalam melangsungkan pertarungan dimuka hakim, antara
kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan (Subekti 2008:2).
Apabila penggugat menginginkan gugatannya dikabulkan oleh
hakim, maka penggugat harus berhasil menyakinkan hakim tentang dalil-
dalil gugatannya. Demikian juga tergugat harus menyakinkan hakim
dalam dalil-dalil jawabannya agar gugatan penggugat ditolak.
Membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (ibid).
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena
hakim yang harus mengkonstair peristiwa, mengkwalisirnya, dan
kemudian mengkonstituir, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim
yang didasarkan atas pembuktian tersebut (Sudikno Mertokusumo
2006:136). Tujuan pembuktian adalah untuk menunjukkan alat-alat bukti
tertentu kepada hakim, sehingga memberikan kepastian kepada hakim
adanya fakta-fakta hukum yang disengketakan untuk kemudiaan dijadikan
dasar pertimbangan dalam keputusannya (SF Marbun 1988:124).
Baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara peradilan
tata usaha negara hakim memerlukan pembuktian sebagai dasar untuk
mengambil putusan. Dalam pembuktian hukum acara perdata berlaku
ketentuan Pasal 1865 BW/Pasal 163 RIB/Pasal 283 RDS yang
menentukan “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu
HUKUM LINGKUNGAN | 51

hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak


orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1865
BW/Pasal 163 RIB/Pasal 283 RDS, dalam hukum acara perdata berlaku
asas actori incumbit probatio, yang berarti barang siapa mengajukan
suatu tuntutan harus dibebani dengan pembuktian.
Dalam pembuktian hukum acara perdata ditentukan alat-alat bukti
dalam ketentuan Pasal 1866 BW/Pasal 164 RIB/283 RDS, yaitu: a. Bukti
tulisan; b. Bukti dengan saksi-saksi; c. Persangkaan-persangkaan; d.
Pengakuan; e. Sumpah. Hakim perdata terikat sepenuhnya oleh alat-alat
bukti yang disebutkan diatas. Hakim perdata menghadapi suatu alat bukti
yang sah dan mengikat.
Bila dalam hukum pembuktian acara perdata beban pembuktiannya
sudah ditentukan dipihak penggugat, serta hakim terikat oleh alat-alat
bukti sah yang disebutkan dalam undang-undang maka tidak demikian
dengan hukum pembuktian dalam hukum acara peradilan tata usaha
negara. Indroharto mengatakan bahwa berbeda dengan ajaran pembuktian
yang berlaku dalam hukum acara perdata, maka umumnya dalam literatur
dikatakan, bahwa hukum pembuktian yang berlaku dalam hukum acara
TUN seperti di Nederland umumnya adalah ajaran pembuktian bebas.
Karena hakim administrasi disana pada dasarnya bebas dalam
menentukan luas pembuktian, beban pembuktian, penilaian hasil
pembuktian maupun dalam penentuan alat-alat pembuktian yang
digunakan untuk membuktian suatu fakta.
Dalam Penjelasan Pasal 107 UU PERATUN dinyatakan bahwa
Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran
material. Berbeda dengan sistem pembuktian dalam hukum acara perdata,
maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam
pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para
pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri: a.
apa yang harus dibuktikan; b. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal
apa yang harus dibuktikan para pihak yang berperkara dan hal apa saja
yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri; c. alat bukti mana saja yang
diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian; dan d. Kekuatan
pembuktian yang telah diajukan.
Dalam hukum acara peradilan tata usaha negara berlaku ajaran
pembuktian bebas. Dalam ajaran pembuktian bebas terkandung
pengertian: a. Hakim administrasi menentukan luas pembuktian; b.
Hakim adminstrasi menentukan beban pembuktian; c. Hakim administrasi
52 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

menentukan penilaian hasil pembuktian; d. Hakim administrasi


menentukan alat-alat pembuktian.
Bila dikaji UU PERATUN menganut hukum pembuktian bebas
yang terbatas, yaitu kebebasan hakim dibatasi oleh alat-alat bukti yang
telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 100 UU PERATUN.
Wewenang hakim juga dibatasi oleh ketentuan Pasal 107 UU PERATUN
untuk menilai sahnya pembuktian, yaitu paling sedikit harus ada dua alat
bukti yang sah berdasarkan keyakinan hakim.

2.7.2 Alat-Alat Bukti


Alat bukti adalah segala apa yang menurut undang-undang dapat
dipakai untuk membuktikan sesuatu (Subekti dan Tjitrosoedibio 1980:8).
Alat-alat bukti dalam hukum acara peradilan tata usaha negara menurut
Pasal 100 ayat (1) UU PERATUN meliputi: a. surat atau tulisan; b.
Keterangan ahli; c. keterangan saksi; d. Pengakuan para pihak; dan e.
Pengetahuan hakim. Pasal 100 ayat (2) menyatakan bahwa keadaan yang
telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan. Lebih lanjut Pasal 107
menyatakan bahwa hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian berserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan
hakim.
Ketentuan tentang alat-alat bukti dan keyakinan hakim
sebagaimana disebutkan Pasal 100 dan 107 UU PERATUN diatas
menurut Philipus M. Hadjon et.al adalah ketentuan yang lazim dalam
hukum acara perdata. Hal seperti itu seyogyanya tidak perlu untuk hukum
acara peradilan tata usaha negara. Dalam hukum acara Peradilan Tata
Usaha Negara yang dipersoalkan ialah sah-tidaknya sebuah KTUN
(persoalan rechtmatigheid). Persoalan rechtmatigheid menyangkut alat
ukur. Dalam hal ini yang perlu ialah alat ukur yang digunakan hakim
untuk menyatakan suatu KTUN sah atau tidak sah. Keabsahan suatu
KTUN (rechtmatigheid) suatu KTUN diukur dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis berupa asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Aspek-aspek yang diukur adalah
wewenang, prosedur dan substansi.
Relevan dengan pendapat Philipus M. Hadjon et.al, adalah
pendapat Harjono yang menyatakan bahwa proses untuk sampai pada
suatu kesimpulan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah proses
analitis, logis, sistematis untuk memberi makna atau isi suatu peraturan
perundang-undangan..., untuk sampai pada kesimpulan bertentangan,
HUKUM LINGKUNGAN | 53

tidak diperlukan alat bukti, tetapi penerapan dan penafsiran peraturan


perundang-undangan.
Berdasar ketentuan Pasal 100 UU PERATUN telah ditentukan
secara limitatif alat-alat bukti dalam hukum acara peradilan tata usaha
negara, yaitu surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi,
pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim. Ketentuan tentang alat-
alat bukti dalam Pasal 100 UU PERATUN ini mendapat catatan Tatiek
Sri Djatmiati yang menyatakan “seyogyanya keputusan tata usaha negara
juga dipandang sebagai alat bukti, bukankah dari keputusan tata usaha
negara itu lahir sengketa. Jadi tidak ada salahnya jika keputusan tata
usaha negara tersebut juga diperhitungkan sebagai alat bukti”.
Dalam praktek penyelesaian sengketa tata usaha negara di
pengadilan tata usaha negara, hakim pengadilan tata usaha negara banyak
yang menjadikan KTUN sebagai alat bukti dalam membuktikan
keabsahan KTUN, diantaranya: Putusan PTUN Jakarta
No.035/G/1991/Pr/PTUN-Jkt tanggal 2 Oktober 1991 antara lain
menjadikan alat bukti yang sah: “Surat Perintah Bongkar III Walikota
Jakarta Barat kepada Sdr. Irsan Gunawan 893/1.785.2. tanggal 9 April
1991 yang merupakan obyek sengketa, Putusan PTUN Jakarta
No.056/G/1991/Pr/PTUN-Jkt tanggal 22 Januari 1992: Dalam
pertimbangannya mengungkapkan: bahwa “Surat dari Walikota Jakarta
Pusat Nomor 1703/1/711.9 tanggal 19 Juni 1991 tentang Perintah
Pengosongan Rumah” yang merupakan obyek sengketa dijadikan alat
bukti yang sah (Suparto Wijoyo 2004:123).

2.7.3 Alat Bukti Surat atau Tulisan


Alat bukti pertama menurut Pasal 100 UU PERATUN adalah alat
bukti surat atau tulisan. Yang dimaksud dengan surat adalah suatu
pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan dengan tanda-tanda
bacaan dan dimuat dalam sesuatu benda (Teguh Samudera 2004:37).
Menurut Pasal 100 UU PERATUN, alat bukti surat ini terdiri atas tiga
jenis, yatu surat yang berupa akta otentik, akta dibawah tangan dan surat-
surat lainnya yang bukan akta.
Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang
membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya
(Pasal 101 UU PERATUN). Pengertian akta otentik ini sama dengan
pengertian akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 BW/Pasal165
RIB/Pasal 285 RDS, yaitu akta yang didalam bentuk yang telah
54 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang


pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu
dibuatnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 100 UU PERATUN dan Pasal 1868
BW/Pasal 165 RIB/Pasal 285 RDS diatas, suatu akta otentik memiliki
unsur-unsur: 1. Akta oktentik bentuknya telah ditentukan oleh undang-
undang; 2. Dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum; 3. Pegawai umum
itu berwenang membuat akta otentik tersebut; 4. Sengaja dijadikan alat
bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didlamnya.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dapat disimpulkan terdapat 2
(dua) jenis akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh pegawai umum dan
akta otentik yang dibuat dihadapan pegawai umum. Antara akta otentik
yang dibuat oleh pejabat umum dengan akta otentik yang dibuat
dihadapan pegawai umum terdapat perbedaan pokok, yaitu:

Tabel 11. Perbedaan Akta Otentik yang Dibuat oleh Pegawai Umum dan
Akta Otentik yang Dibuat Dihadapan Pegawai Umum

Akta Otentik yang Dibuat oleh Akta Otentik yang Dibuat


Pegawai Umum Dihadapan Pegawai Umum
- Inisiatif datang dari pihaknya. - Pegawai umum tidak pernah
- Pihaknya mengetahui benar memulai inisiatifnya.
tentang hal-hal yang - Pegawai umum tidak tahu benar
dikemukan dalam isi akta (isi kebenaran dari hal-hal yang
akta). dikemukan oleh kedua belah
pihak yang hadir dihadapannya
(isi dan akta).
Sumber: Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara
Perdata, 2004.

Siapakah yang dimaksud dengan pegawai umum? Pasal 101 UU


PERATUN maupun penjelasannya tidak menjelaskan apapun. Menurut
Subekti, yang dimaksud dengan pegawai umum adalah seorang notaris,
seorang hakim, seorang juru sita pada suatu pengadilan, seorang pegawai
catatan sipil dan lain sebagainya. Sudikno Mertokusumo menyatakan
bahwa berdasarkan Pasal 1 PJN jo. Pasal 1868 maka notarislah satu-
satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Yang
dikecualikan dari notaris untuk membuat akta otentik adalah pejabat
(ambtenaar atau pejabat, bukan openbaar ambtenaar atau pejabat umum)
yang ditunjuk oleh undang-undang. Jadi akta otentik dapat dibuat oleh
HUKUM LINGKUNGAN | 55

pejabat umum, yaitu notaris atau pejabat lain (bukan pejabat umum) yang
ditunjuk untuk itu oleh undang-undang, seperti panitera, jurusita, pegawai
pencatat sipil dan sebagainya (Sudikno Mertokusumo 2006:154). Dengan
demikian, yang disebut pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik harus ditentukan kewenangannya oleh undang-undang.
Menurut Pasal 101 UU PERATUN dengan dibuatnya akta otentik
memang sengaja untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang suatu
peristiwa atau peritiwa hukum yang tercantum didalamnya. Secara teoritis
memang apa yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau akta
yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian.
Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu
tujuannya adalah untuk pembuktian hari kalau terjadi sengketa.
Alat bukti surat atau bukti tulisan yang kedua adalah berupa akta
dibawah tangan. Akta dibawah tangan adalah surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum
yang tercantum didalamnya (Pasal 101 huruf a UU PERATUN). Akta
dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.
Yang membedakan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan
adalah pada aspek pihak yang membuatnya. Akta otentik dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum sedangkan akta bawah tangan dibuat para pihak
sendiri tanpa bantuan pejabat umum. Persamaan antara keduanya adalah
sama-sama sengaja dibuat sebagai alat bukti tentang peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
Mengenai alat bukti berupa surat-surat lainnya tidak diberikan
pengertian maupun jenis-jenisnya oleh UU PERATUN. Begitu juga
dalam HIR dan KUHPerdata tidak mengatur tentang alat bukti surat-surat
yang bukan akta. Surat-surat yang bukan akta ini dengan sengaja dibuat
oleh para pihak, namun tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian
dikemudian hari bila terjadi sengketa. Oleh karena itu surat-surat yang
bukan akta itu dapat dianggap sebagai petunjuk kearah pembuktian
(Teguh Samudera 2004:54).

2.7.4 Alat Bukti Keterangan Ahli


Alat bukti keterangan ahli diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu Pasal
102 dan Pasal 103 UU PERATUN. Pasal 102 ayat (1) menyatakan bahwa
keterangan ahli adalah pendapat yang diberikan dibawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya. Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi
56 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli (Pasal 102


ayat 2).
Berdasarkan Pasal 103 ayat (1) UU PERATUN ahli atau
beberapa ahli dapat dihadirkan atas permintaan kedua belah pihak yang
berperkara atau oleh hakim ketua sidang karena jabatannya dapat
menunjukkannya. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi
keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan
dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya
yang sebaik-baiknya (Pasal 103 ayat 2).
Walaupun UU PERATUN mengakui keterangan ahli sebagai alat
bukti namun tidak ada penjelasan tentang siapa yang dimaksud seorang
ahli. Keterangan ahli juga merupakan alat bukti yang sah dalam hukum
acara pidana. Ahli yang dapat memberikan keterangan ahli dalam hukum
acara pidana menurut Karim Nasution tidaklah perlu merupakan seorang
spesialis dalam lapangan suatu ilmu pengetahuan. Setiap orang menurut
hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap
mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai suatu
hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang
soal itu.
Nederburh dalam bukunya “Wet en Adat II” mengemukakan
bahwa bukanlah berarti bahwa dalam memerlukan bantuan ahli, kita
selalu harus meminta bantuan sarjana-sarjana, atau ahli-ahli ilmu
pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang berpengalaman dan
kurang pendidikan, namun dalam bidangnya tokh sangat cendekia
(scherpzining). Mereka umpamanya tukang kayu, tukang sepatu, pembuat
senjata, pemburu dan sebagainya yang untuk soal-soal tertentu dapat
memberi pertolongan yang sangat diperlukan. Ahli itu tidak saja orang-
orang yang terpelajar, tidak saja orang yang telah duduk dibangku
sekolah, tapi juga orang-orang yang mungkin belum pernah bersekolah.
Ukuran ahli adalah luas sekali (Djoko Prakoso 1988 82-83).
Mengingat hukum acara pidana berbeda dengan hukum acara
peradilan tata usaha negara, pengertian ahli seperti yang dijelaskan diatas
tidak dapat diadopsi begitu saja dalam hukum acara peradilan tata usaha
negara. Dalam hukum acara pidana yang diuji adalah fakta-fakta yang
kemudian dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan
putusannya. Dalam hukum acara PERATUN yang diuji adalah keabsahan
KTUN yang digugat, yang alat ukurnya adalah peraturan perundang-
undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pihak yang dapat menjelaskan tentang keabsahan suatu KTUN
tentunya adalah meraka yang ahli dalam bidang hukum publik (hukum
HUKUM LINGKUNGAN | 57

administrasi). KTUN adalah pengertian hukum publik (hukum


administrasi), yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU
PERATUN).
Pengertian ahli dalam hukum acara PERATUN tidaklah seluas
pengertian ahli dalam hukum acara pidana seperti yang telah dijelaskan
diatas. Pengertian ahli dalam hukum acara PERATUN terbatas pada
orang-orang yang mempunyai keahlian di bidang hukum publik (hukum
administrasi).

2.7.5 Alat Bukti Keterangan Saksi


Adalah suatu kewajiban hukum bagi setiap orang yang dipanggil
sebagai saksi di pengadilan untuk datang dan memberikan kesaksiannya.
Sebagai kewajiban hukum berarti bagi pihak yang dipanggil sebagai
saksi dan tidak hadir untuk memberikan keterangannya dapat dipaksakan
kehadirannya oleh hukum.
Menurut HIR apabila seseorang dipanggil sebagai saksi dan tidak
memenuhi kewajibanya maka terhadapnya dapat dikenakan tindakan-
tindakan: dihukum membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk
memanggil saksi, secara paksa dibawa ke pengadilan atau dimasukkan
dalam penyanderaan. Menurut KUHAP apabila seseorang dipanggil
sebagai saksi dan tidak memenuhi kewajibannya dapat dituntut pidana
berdasarkan Pasal 216 dan 522 KHUP. Menurut Pasal 86 ayat (2) UU
PERATUN apabila saksi yang telah dipanggil dengan patut namun tidak
datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Hakim ketua
sidang dapat memberi perintah supaya saksi dibawa oleh polisi
kepersidangan. Saksi tidak datang setelah dipanggil secara sah dapat
dikenakan tuntutan sesuai KUHAP.
Kewajiban setiap orang untuk menjadi saksi ini terdapat
pengecualiannya seperti yang telah ditentukan oleh Pasal 88 UU
PERATUN. Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah: a. Keluarga
sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa; b.
Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah
bercerai; c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; d. Orang sakit
ingatan.
58 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Selain golongan orang-orang yang tidak boleh didengar


kesaksiaannya menurut Pasal 88 UU PERATUN, terdapat juga golongan-
golongan orang tertentu yang dapat mengundurkan diri dari kewajiban
untuk memberikaan kesaksian sebagaimana diatur Pasal 89 ayat (1) UU
PERATUN, yaitu orang yang dapat minta pengunduran diri dari
kewajiban untuk memberikan kesaksian: a. saudara laki-laki dan
perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah pihak; b. setiap orang
yang terkena martabat, pekerjaan, atau jabatannya yang diwajibkan
merahasiakan segaala sesuatu yang berhubungan dengan martabat,
pekerjaan atau jabatannya.
Pasal 89 ayat (2) menyatakan bahwa ada atau tidak adanya dasar
kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Artinya apakah sesuatu itu termasuk rahasia atau bukan sehingga tidak
boleh dibuka didepan umum adalah ditentukan oleh hakim. Ketentuan ini
sangat logis untuk menghindari adanya keengganan orang yang dipanggil
sebagai saksi dan dia tidak memenuhi kewajibannya dengan dalih untuk
merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan martabat, pekerjaan atau
jabatannya.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai alat bukti dalam hukum
acara peradilan tata usaha negara adalah keterangan saksi yang berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri (Pasal
104 UU PERATUN). Prinsip seperti ini adalah prinsip umum dalam
hukum acara, baik hukum acara PERATUN, hukum acara pidana maupun
hukum acara perdata. Sudah semestinya keterangan saksi adalah
keterangan yang ia lihat, dengar atau alami sendiri. Keterangan saksi
tidak boleh diberikan atas dasar mendapat keterangan dari pihak lain atau
atas hasil pendapat atau dugaannya sendiri. Keterangan saksi yang
diperoleh dari orang lain ini disebut dengan istilah testimonium de
auditur.
Seorang saksi yang dipanggil di pengadilan akan memberikan
kesaksiannya seorang demi seorang. Oleh hakim ketua sidang seorang
saksi akan ditanyakan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, agama atau kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan
kekeluarga, dan hubungan kerja dengan penggugat dan tergugat. Seorang
saksi yang akan memberikan kesaksiannya wajib mengucapkan sumpah
atau atau janji menurut agama atau kepercayaannya.
Meskipun ada suatu kewajiban hukum bagi saksi untuk
mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangannya,
namum bila hal ini tidak dilakukan oleh saksi tidak ditentukan akibatnya
HUKUM LINGKUNGAN | 59

oleh UU PERATUN. Dalam hukum acara pidana bila seorang saksi


dalam memberikan kesaksiannya tidak dilakukan sumpah atau janji
menurut agama atau kepercayaannya akan berakibat seperti yang
ditentukan oleh penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP, yaitu keterangan
saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan
keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Dengan demikian, mengucapkan sumpah atau janji bagi seorang
saksi dalam hukum acara pidana adalah suatu syarat mutlak. Bila hal ini
dilanggar akan berakibat keterangan saksi tersebut dianggap tidak sah
sebagai alat bukti dan hanya berfungsi sebagai keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim saja.

2.7.6 Alat Bukti Pengakuan Para Pihak


Mengenai alat bukti berupa pengakuan para pihak ini hanya disebut
dalam satu pasal, yaitu Pasal 105 UU PERATUN yang menyatakan: “
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan
alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim”. Penjelasan Pasal 105
UU PERATUN hanya menyatakan “cukup jelas”.
Alat bukti yang berupa pengakuan para pihak ini juga dikenal
dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara pidana alat bukti
pengakuan disebut dengan keterangan terdakwa. Pengakuan menurut
Sudikono Mertokusumo adalah merupakan keterangan yang
membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh
lawan. Menurut Subekti sebenarnya tidak tepat bila pengakuan ini
dimasukkan sebagai alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang
dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan, maka pihak-pihak
yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan
diakuinya dalil-dalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu
dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap
dalil-dalil yang dibantah atau disangkal (Subekti 2008:51).
Menurut Asser sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo
juga menyatakan bahwa suatu pengakuan bukanlah suatu alat bukti
meskipun pengakuan ini ditentukan sebagai alat bukti dalam ketentuan
Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 BW. Hakekatnya suatu
pengakuan bukanlah merupakan pernyataan tentang kebenaran, sekalipun
biasanya memang memang mengandung kebenaran, akan tetapi lebih
merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara
Dalam hukum acara perdata pengakuan dapat dilakukan didepan
hakim dalam persidangan atau pengakuan diluar pengadilan. Menurut
60 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Pasal 174 HIR/311RBg/1925BW pengakuan di depan hakim


dipersidangan merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya,
baik secara pribadi maupun diwakilkan secara khusus. Pengakuan diluar
sidang adalah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam
suatu perkara perdata diluar persidangan untuk membenarkan pernyataan-
pernyataan yang diberikan oleh lawannya. Menurut Pasal 1928 BW
pengakuan di luar persidangan ini kekuatan hukumnya diserahkan kepada
pertimbangan hakim.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1926 BW suatu pengakuan di hadapan
hakim dalam persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau
terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kekhilafan
mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan tidak dapat ditarik kembali
apabila dengan alasan seolah-olah orang yang melakukan pengakuan
keliru tentang hal hukumnya (Pasal 1926 ayat 2 BW). Sedangkan untuk
pengakuan di luar persidangan dapat ditarik kembali.
Dalam hukum acara PERATUN tidak dijelaskan apa pengakuan itu
dilakukan dihadapan hakim di persidangan atau di luar persidangan.UU
PERATUN hanya menentukan bahwa pengakuan para pihak tidak dapat
ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima
oleh hakim.
Namun demikian, pengakuan para pihak ini harus diteliti dengan
seksama apakah benar-benar suatu pengakuan yang diberikan atas dasar
suatu fakta. Hal ini perlu dilakukan supaya jangan sampai salah satu
pihak memberikan pengakuan karena adanya faktor lain, misalnya karena
adanya suatu paksaan dari pihak lain yang tentunya akan merugikan.

2.7.7 Alat Bukti Pengetahuan Hakim


Seperti halnya ketentuan tentang alat bukti pengakuan para pihak,
ketentuan tentang alat bukti pengetahuan hakim juga hanya diatur dalam
1 (satu) pasal, yaitu Pasal 106 UU PERATUN yang menyatakan:
“Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui; dan diyakini
kebenaarannya”. Penjelasan pasalnya menyatakan cukup jelas.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, pengetahuan hakim adalah hal
yang dialami oleh hakim sendiri selama pemeriksaan perkara dalam
sidang. Pengetahuan hakim adalah pengetahuan yang oleh hakim yang
bersangkutan diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satu
daripadanya adalah hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh hakim
tersebut atau hakim lain yang ditunjuknya, seperti hasil pemeriksaan
setempat (Indroharto 2004:203). Termasuk kelompok pengetahuan hakim
HUKUM LINGKUNGAN | 61

adalah barang-barang dan orang-orang yang ditunjukkan kepada hakim


yang sedang memeriksa perkara itu (ibid).
Penting untuk diperhatikan tentang pengetahuan hakim ini adalah
bahwa pengetahuan itu harus dilakukan secara obyektif sehingga tidak
menimbulkan kerugian pihak lain. Pengetahuan hakim ini harus
dilengkapi dengan alat bukti sah yang lain untuk menjaga
keobyektifitasannya. Hal ini untuk mencegah agar hakim tidak memihak
salah satu pihak dengan dalih berdasarkan alat bukti pengetahuan hakim.

2.7.8 Keadaan yang Telah Diketahui Umum Tidak Perlu Dibuktikan


Dalam pembuktian hukum acara pada umumnya terdapat suatu
prinsip bahwa hal-hal yang sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan
kebenarannya. Hal-hal yang diketahui umum ini disebut dengan fakta-
fakta notoir. Hal ini merupakan pengecualian dari prinsip bahwa semua
fakta yang dipersengketakan yang nantinya akan menjadi dasar putusan
hakim itu harus dibutuhkan.
Menurut Anema, fakta yang diketahui umum adalah tiap fakta atau
tiap keadaan, yang setiap oleh orang beradab, yang mengikuti zaman,
mesti dapat dianggap diketahuinya, tanpa pemeriksaan yang lebih
seksama atau tanpa pemeriksaan yang mendalam dapat diketahuinya dari
sumber yang dikuasai oleh umum dan yang juga dengan kepastian yang
cukup, untuk dipergunakan sebagai dasar hukum membenarkan bagi
sesuatu “tindakan kemasyarakatan yang serius” (dengan “tindakan
kemasyarakatan yang serius” dimaksud: menjatuhkan putusan hakim)
(Pitlo 1978:21).
Indroharto mengelompokkan fakta-fakta apa saja yang tidak perlu
dibuktikan adalah sebagai berikut:

Tabel 12. Fakta-Fakta yang tidak Perlu diBuktikan di Persidangan

No Fakta-Fakta yang tidak Perlu diBuktikan di Persidangan


1 Fakta-fakta yang sudah diketahui secara umum, umpama bahwa
stasiun KA yang ada di komplek Monas itu namanya stasiun
Gambir adalah fakta yang sudah diketahui umum (Pasal 100 ayat
2)
2 Hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi; suatu
perbuatan itu akan dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian,
apabila kejadian tersebut menurut pengalaman umum dapat
diharapkan selalu akan terjadi karena perbuatan-perbuatan
semacam itu;
62 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Seperti dalam contoh dari pengalaman umum itu, umpamanya:


suatu tembakan mengenai dada seseorang tentu akan
membahayakan jiwa sikorban. Bahwa hal itu membahayakan
jiwa sikorban hal ini tidak perlu dibuktikan lagi.
3 Fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan, hakim
tidak memerlukan pembuktian dalam proses tersebut; bahwa si A
sudah pernah didengar sebagai saksi pada pemeriksaan
tanggal....yang lalu.
4 Eksistensi hukum pun tidak perlu dibuktikan, karena hakim dapat
dianggap selalu mengetahui apa hukumnya (ius curia novit).
Sekalipun dalam kenyataannya tidak demikian, karena hakim pun
juga manusia biasa, namun prinsip itu juga harus dianggap
berlaku dalam proses peradilan TUN. Terbatasnya pengetahuan
seorang hakim TUN tentang perturan-peraturan yang ada dan
diperlukan dalam proses yang harus ia periksa akan terbukti nanti
adalah merupakan hal yang biasa, malah seringkali akan terjadi ia
akan meminta pihak tergugat untuk menyediakan peraturan yang
diperlukan dalam proses yang bersangkutan.
Sumber: Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan
Tata Usaha Negara, 2005.

Dalam hukum acara pidana, berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat


(2) KUHAP menyatakan secara tegas bahwa hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan.

2.7.9 Harus Ada Minimal Dua Alat Bukti yang Sah


Hukum pembuktian dalam hukum acara peradilan tata usaha negara
menurut UU PERATUN adalah sistem pembuktian bebas yang terbatas.
Dikatakan pembuktian bebas yang terbatas karena dalam melakukan
pembuktian hakim TUN terikat oleh alat-alat bukti sah sebagaimana
disebut dalam Pasal 100 UU PERATUN. Disamping itu hakim juga
dibatasi oleh ketentuan Pasal 107 UU PERATUN. Pasal 107 UU
PERATUN menentukan: Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan,
beban pembuktian berserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya
pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim.
Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 100 UU PERATUN
diatas untuk sahnya pembuktian dalam hukum acara peradilan tata usaha
negara diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan
HUKUM LINGKUNGAN | 63

dengan keyakinan hakim. Ketentuan semacam ini mirip dengan hukum


pembuktian yang berlaku yang dalam hukum acara pidana. Pasal 183
KUHAP menentukan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Apa yang ditentukan oleh Pasal 183 KUHAP diatas dikenal dengan
sistem pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk
bewijsleer). Dengan sistem ini seseorang bisa dijatuhi pidana apabila
terpenuhi ketentuan: 1. Ada dua alat bukti yang sah menurut undang-
undang; 2. Atas dasar alat bukti yang sah tersebut hakim memperoleh
keyakinan bahwa terdakwa bersalah.
Apa yang ditentukan oleh Pasal 100 dan Pasal 107 UU PERATUN
ini cenderung akan menimbulkan berbagai kesulitan dan kerancuan dalam
proses penyelesaian sengketa tata usaha negara (Suparto Wijoyo
2004:125). Rumusan Pasal 100 dan 107 UU PERATUN ini adalah suatu
kelaziman yang ada dalam hukum acara perdata. Mungkin ketika proses
pembuatan UU PERATUN ini memang sangat dipengaruhi oleh
ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum acara perdata. Hal ini
nampak dari apa yang ditentukan dalam penjelasan umum angka 5 UU
PERATUN: “Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum
acara yang dipergunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara,
yang meliputi hukum acara pemeriksaan tingkat pertama dan hukum
acara pemeriksaan tingkat banding. Hukum acara yang digunakan pada
Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara
yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata”.
Dalam pemeriksaan sengketa TUN yang dipersoalkan adalah sah-
tidaknya suatu KTUN yang digugat. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa
keabsahan suatu KTUN menyangkut alat ukur. Alat ukur yang digunakan
untuk menilai keabsahan suatu KTUN adalah dengan peraturan
perundang-undangan/hukum tertulis dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik, bukan dengan alat-alat bukti seperti yang dirumuskan dalam
Pasal 100 UU PERATUN.
Rumusan Pasal 100 dan 107 UU PERATUN adalah suatu
kelaziman yang ada dalam hukum acara perdata dan tidak berlaku untuk
hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Kedepan ketentuan semacam
ini perlu untuk dikaji ulang akar tidak rancu dan menimbulkan
problematika dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara.
64 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

2.8 Putusan
Putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim, sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan
dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara pihak. Amar putusan pengadilan tata usaha negara dapat
berupa: a. gugatan ditolak, b.gugatam dikabulkan, c.gugatam tidak
diterima, d.gugatan gugur. Putusan pengadilan terdiri atas 4 bagian, yaitu
1. kepala putusan, 2.identitas para pihak, 3.pertimbangan dan 4.amar.
Putusan pengadilan memiliki 3 (tiga) macam kekuatan, yaitu kekuatan
eksekutorial, kekuatan sebagai akta otentik dan kekuatan untuk
menangkis atau eksepsi.

2.8.1 Pengertian Putusan


Setelah seluruh proses acara dilalui maka tahapan akhir adalah
dijatuhkannya putusan oleh hakim. Putusan hakim bertujuan untuk
mengakhiri suatu sengketa antara pihak penggugat dan tergugat. Dalam
UU PERATUN sendiri tidak terdapat definisi tentang putusan. Dalam
hukum acara pidana yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP).
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu
pernyataan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang
untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak. Termasuk
pengertian putusan hakim adalah bukan hanya yang diucapkan, melainkan
juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian
diucapkan hakim dalam persidangan.
Ketentuan tentang putusan pengadilan tata usaha negara diatur
dalam Pasal 97 UU PERATUN yang didalamya memuat 11 (sebelas)
ayat. Berdasarkan Pasal 97 UU PERATUN, putusan diambil setelah
pemeriksaan sengketa sudah selesai dan para pihak mengemukakan
pendapat yang terakhir yang berupa kesimpulan masing-masing. Putusan
diambil oleh majelis hakim yang menyidangkan perkara melalui suatu
musyawarah yang dilakukan dalam ruangan yang tertutup.
Pada prinsipnya putusan diambil oleh majelis hakim melalui hasil
permufakatan bulat. Namun demikian, apabila tidak tercapai pengambilan
putusan dengan permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara
HUKUM LINGKUNGAN | 65

terbanyak. Jika dengan cara yang kedua ini pun putusan tidak dapat
diambil, maka cara terakhir pengambilan putusan, yaitu suara terakhir
hakim ketua majelis yang menentukan.
Putusan berdasarkan golongan dapat berupa putusan sela dan
putusan akhir. Putusan sela atau putusan antara adalah putusan yang
fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara (Sudikno
Mertokusumo 2006:230). Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri
suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Putusan sela dijatuhkan terhadap eksepsi yang dilakukan karena
menyangkut atribusi serta distribusi (Philipus M. Hadjon et all 1994:353)
yaitu putusan pengadilan tata usaha negara yang menyatakan bahwa
pengadilan tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara yang diajukan karena obyeknya bukan KTUN atau
putusan pengadilan tata usaha negara yang menyatakan bahwa pengadilan
tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara karena perkara yang diajukan tidak termasuk dalam wilayah
hukumnya. Putusan sela juga dapat diambil berkaitan dengan ketentuan
Pasal 83 UU PERATUN. Menurut Pasal 83 UU PERATUN, Pengadilan
tata usaha negara dapat menjatuhkan putusan sela berkaitan dengan
permohonan pihak ketiga yang akan masuk dalam perkara yang sedang
berlangsung, baik itu sebagai pihak yang membela haknya sendiri atau
bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Menurut UU PERATUN, putusan akhir yang dijatuhkan oleh
majelis hakim dapat berupa: a. Gugatan ditolak; b. Gugatan dikabulkan; c.
Gugatan tidak diterima; d. Gugatan gugur. Dalam hal gugatan dikabulkan,
maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang
harus dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan KTUN, yang dapat berupa: a. pencabutan KTUN yang
bersangkutan; atau b. pencabutan KTUN yang bersangkutan dan
menerbitkan KTUN yang baru;atau c. penerbitan KTUN dalam hal
gugatan didasarkan pada Pasal 3 serta dapat disertai pembebanan ganti
rugi. Jika menyangkut kepegawaian, maka dapat disertai pembebanan
rehabilitasi.
Putusan yang telah diambil oleh majelis hakim harus diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum. Bila ketentuan yang demikian tidak
dilakukan maka akan berakibat putusan pengadilan menjadi tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum.

2.8.2 Amar atau Diktum Putusan


66 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Menurut sifatnya amar atau diktum putusan pengadilan dapat


dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1. Putusan kondemnatoir
(condemnatoir vonnis, condemnatory verdict), 2. Putusan deklarator
(declartoir vonnis, declaratory verdict), 3. Putusan konstitutif
(constitutief vonnis, constitutive verdict) (Abdulkadir Muhammad
2000:149).
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat hukum salah
satu pihak yang bersengketa. Amar putusannya biasanya menyatakan: “
Menghukum dan seterusnya....”. Putusan deklarator adalah putusan yang
bersifat menerangkan atau menegaskan suatu keadaan hukum. Putusan
konstitutif adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru,
atau sebaliknya meniadakan keadaan hukum baru.
Menurut ketentuan Pasal 97 ayat 7 UU PERATUN, amar putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berwujud: a. gugatan ditolak, b.
Gugatan dikabulkan, c. gugatan tidak diterima, d. gugatan gugur.
Dengan amar putusan berupa gugatan ditolak berarti pengadilan
tata usaha negara membenarkan atau memperkuat KTUN yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Dengan ditolaknya
gugatan penggugat maka KTUN yang menjadi obyek sengketa adalah
sah. Terhadap putusan yang menyatakan bahwa gugatan ditolak tidak
dapat diajukan gugatan baru lagi.
Dengan amar putusan berupa gugatan dikabulkan berarti tidak
membenarkan atau memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat TUN. Dengan dikabulkannya gugatan penggugat maka KTUN
yang digugat adalah tidak sah.
Apabila gugatan dikabulkan maka badan atau pejabat TUN
berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah ditentukan oleh Pasal
97 ayat 9 UU PERATUN, yaitu: a. Pencabutan KTUN yang
bersangkutan; b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan
KTUN yang baru; c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan
pada Pasal 3; d. Memberikan ganti kerugian dalam hal bukan sengketa
kepegawaian; e. Memberikan kompensasi dan rehabilitasi dalam sengketa
kepegawaian.
Amar putusan gugatan tidak diterima berarti gugatan tidak
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Menurut Pasal 63 UU
PERATUN, apabila dalam pemeriksaan persiapan ditemukan suatu
gugatan yang kurang jelas maka hakim wajib memberikan nasehat kepada
penggugat untuk memperbaiki dan melengkapi gugatannya dengan data
yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. Apabila dalam
jangka waktu tiga puluh hari ini penggugat belum menyempurnakan
HUKUM LINGKUNGAN | 67

gugatannya, maka hakim dengan putusannya menyatakan bahwa gugatan


tidak dapat diterima.
Terhadap putusan hakim yang menyatakan gugatan tidak dapat
diterima ini tidak dapat dilakukan upaya hukum, namun pihak dapat
mengajukan gugatan baru lagi. Gugatan baru ini harus diperbaiki dan
dilengkapi dengan data-data yang diperlukan.
Amar putusan gugatan gugur apabila para pihak atau para
kuasanya, kesemuanya tidak hadir pada persidangan yang telah
ditentukan dan telah dipanggil secara patut. Jika para pihak tidak hadir
pada persidangan yang telah ditentukan meskipun telah dipanggil secara
patut maka para pihak dianggap tidak berniat untuk meneruskan proses
gugatannya sehingga gugatannya harus dinyatakan gugur. Dengan
dinyatakannya gugatan gugur pihak penggugat harus membayar biaya
perkara. Terhadap putusan yang menyatakan bahwa gugatan gugur ini
pihak penggugat dapat mengajukan gugatan baru sekali lagi sesudah
membayar uang maka biaya perkara.

2.8.3 Susunan Isi Putusan


Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri atas 4
bagian, yaitu: 1. Kepala putusan, 2. Identitas para pihak, 3. Pertimbangan
dan 4. Amar. Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada
bagian atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” ini pertama kali diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No.19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan dicantumkannya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial pada
putusan. Pencantuman irah-irah “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”
bukan sekedar ungkapan dekoratif tetapi merupakan syarat hukum.
Putusan pengadilan yang tidak mencantumkan irah-irah “Demi
Ketuhanan Yang Maha Esa” akan batal demi hukum (van rechtswege
nietig, null and void), tidak mempunyai kekuatan hukum (Bagir Manan
2007:40). Pasal 109 ayat (2) UU PERATUN menyatakan bahwa tidak
dicantumkannya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa” menyebabkan batalnya putusan pengadilan. Pencantuman
irah-irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”
dalam putusan pengadilan tata usaha negara ditentukan secara jelas oleh
Pasal 109 ayat (1) huruf a UU PERATUN yang menyatakan bahwa
putusan pengadilan harus memuat kepala putusan yang berbunyi “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
68 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Berdasarkan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa peradilan dilakukan “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1) ).
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa ketentuan yang
menentukan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai
dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menentukan bahwa Negara berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya.
Menurut ketentuan Pasal 109 ayat (1) huruf b UU PERATUN,
identitas para pihak yang harus dimuat dalam putusan meliputi: nama,
jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para
pihak yang bersangkutan.
Pertimbangan atau juga disebut konsideran merupakan dasar
putusan. Bagian pertimbangan merupakan alasan-alasan yang digunakan
oleh hakim dalam pengambilan putusannya. Pertimbangan putusan hakim
terdiri atas pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan
tentang hukumnya. Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, memuat pula
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Tentang
pertimbangan dalam putusan pengadilan tata usaha negara diatur dalam
Pasal 109 ayat (1) huruf c, d, dan e UU PERATUN menentukan bahwa
putusan pengadilan harus memuat: ringkasan gugatan dan jawaban
tergugat yang jelas, pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang
diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa di
periksa dan alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Amar atau diktum merupakan jawaban terhadap petitum daripada
gugatan. Amar putusan pengadilan tata usaha negara dapat berupa: a.
Gugatan ditolak, b. Gugatan dikabulkan, c. Gugatan tidak diterima dan d.
Putusan gugur.
Menurut Pasal 109 ayat (1) huruf f UU PERATUN amar atau
diktum dalam putusan harus juga dimuat tentang biaya perkara. Biaya
perkara dibayar oleh pihak yang dikalahkan baik sebagian atau untuk
seluruhnya. Yang dimaksud dengan biaya perkara menurut Pasal 111 UU
PERATUN mencakup: a. biaya kepaniteraan dan biaya materai; b. biaya
saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta
pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk
HUKUM LINGKUNGAN | 69

saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan; c. biaya


pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang
diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.
Jumlah biaya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan/atau
tergugat dimuat dalam amar putusan akhir pengadilan.
Selain empat hal diatas, putusan pengadilan harus juga memuat
hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta
tentang hadir atau tidaknya para pihak. Putusan harus ditandatangani oleh
para hakim yang memeriksa dan memutus perkara serta ditandatangani
oleh panitera yang ikut bersidang. Apabila ada anggota majelis hakim
yang berhalangan untuk menandatangani putusan, maka hakim ketua
majelis hakim menandatanganinya dengan menyatakan, bahwa ia
berhalangan. Apabila hakim ketua majelis atau dalam hal pemeriksaan
dengan acara cepat hakim ketua sidang berhalangan menandatangani,
maka putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua pengadilan dengan
menyatakan berhalangannya hakim ketua majelis atau hakim ketua sidang
tersebut.

2.8.4 Kekuatan Putusan


Setiap putusan pengadilan memiliki tiga macam kekuatan, yaitu
kekuatan eksekutorial, kekuatan sebagai suatu akta otentik dan kekuatan
untuk menangkis atau eksepsi (Subekti 1982:128). Kekuatan eksekutorial
artinya suatu putusan hakim dapat dipaksakan berlakunya kepada pihak
yang dikalahkan apabila ia tidak melaksanakan putusan secara sukarela.
Kekuatan putusan sebagai akta otentik berarti putusan mengikat para
pihak yang bersengketa dan juga mengikat pihak ketiga, yaitu
membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang
disebutkan dalam putusan itu dan dijatuhkannya putusan sebagaimana
dapat dibaca dalam amar putusan tersebut. Putusan pengadilan
mempunyai kekuatan tangkisan atau eksepsi berarti tidak boleh diajukan
lagi gugatan yang baru dalam perkara yang sama. Ketentuan yang
demikian sesuai dengan asas “ non bis in idem”, yang artinya tidak boleh
dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama.

2.9 Upaya Hukum


Upaya hukum adalah hak yang diberikan oleh undang-undang
kepada para pihak yang bersengketa di pengadilan untuk mengajukan
pemeriksaan terhadap suatu putusan pengadilan kepada pengadilan yang
kedudukannya lebih tinggi dengan tujuan untuk memperbaiki kekeliruan
70 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

yang ada dalam putusan. Upaya hukum dalam hukum acara peradilan tata
usaha negara meliputi: perlawanan terhadap putusan dismissal, banding,
kasasi, perlawanan oleh pihak ketiga, dan peninjauan kembali.
2.9.1 Perlunya Upaya Hukum
Putusan hakim adalah putusan yang dibuat oleh manusia biasa yang
mungkin terdapat kekeliruan didalamnya. Kekeliruan ini harus diperbaiki
agar tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak yang bersengketa
di pengadilan. Perbaikan putusan hakim dilakukan melalui suatu upaya
yang disebut oleh upaya hukum. Upaya hukum merupakan hak yang
diberikan oleh undang-undang kepada para pihak yang bersengketa di
pengadilan untuk mengajukan pemeriksaan terhadap suatu putusan
pengadilan kepada pengadilan yang kedudukannya lebih tinggi. Tujuan
dari upaya hukum adalah untuk memperbaiki kekeliruan yang ada dalam
putusan.
Mengenai latar belakang diperlukannya upaya hukum terhadap
putusan pengadilan menurut Sudikno Mertokusumo adalah bahwa suatu
putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan
tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran
dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa
ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat
diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya
hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki
kekeliruan dalam suatu putusan.
Dengan demikian, adanya suatu upaya hukum merupakan sesuatu
yang bersifat mutlak. Upaya hukum merupakan sarana koreksi terhadap
kemungkinan adanya kesalahan putusan hakim. Disamping itu, upaya
hukum juga berfungsi untuk menjamin keadilan bagi para pihak yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh putusan hakim. UU PERATUN
sendiri tidak memberikan penjelasan tentang makna upaya hukum.
Namun ketentuan pasal-pasalnya hanya mengatur tentang berbagai jenis
upaya hukum, yaitu perlawanan terhadap putusan dismissal, banding,
kasasi, perlawanan oleh pihak ketiga dan pemeriksaan peninjauan
kembali.

2.9.2 Perlawanan Terhadap Putusan Dismissal


Perlawanan terhadap putusan dismissal adalah perlawanan terhadap
penetapan ketua pengadilan yang diambil dalam rapat permusyawaratan.
Apabila dalam rapat permusyawaratan ketua pengadilan menetapkan
bahwa suatu gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, maka pihak
HUKUM LINGKUNGAN | 71

penggugat dapat melakukan upaya hukum perlawanan terhadap penetapan


ketua pengadilan tersebut.
Upaya hukum perlawanan dapat dilakukan hanya dalam jangka
waktu empat belas hari setelah penetapan ketua pengadilan diucapkan.
Perlawanan yang diajukan pihak penggugat ini diperiksa dan diputus
dengan acara singkat.
Apabila upaya hukum perlawanan ini dikabulkan oleh pengadilan,
maka penetapan ketua pengadilan menjadi gugur demi hukum dan pokok
gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut pemeriksaan
acara biasa. Terhadap putusan mengenai perlawanan ini tidak dapat
dilakukan upaya hukum.

2.9.3 Banding
Banding disebut juga “ulangan pemeriksaan”. Banding adalah
merupakan pemeriksaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah
pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik yang
mengenai fakta-faktanya, maupun penerapan hukum atau undang-undang
(Philipus M. Hadjon 1994:362). Banding disebut juga “ulangan
pemeriksaan” karena memang dalam banding dilakukan pemeriksaan
terhadap kedudukan faktanya maupun penerapan hukumnya.
Upaya hukum banding dalam UU PERATUN diatur dalam
ketentuan Pasal 122 sampai dengan 130 yang pada intinya mengandung
pengertian-pengertian berikut:

Tabel 13. Banding Berdasar Pasal 130 UU PERATUN

Banding Berdasar Pasal 130 UU PERATUN


a. Banding dilakukan terhadap putusan akhir pengadilan tata usaha
negara (putusan pengadilan tingkat pertama). Untuk putusan yang
bukan putusan akhir dapat dimintakan pemeriksaan banding
bersama-sama dengan putusan akhir.
b. Hak mengajukan banding dimiliki baik itu oleh pihak penggugat
maupun pihak tergugat.
c. Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh penggugat atau
tergugat ataupun kuasanya kepada pengadilan tata usaha negara
(pengadilan tingkat pertama) yang menjatuhkan putusan dalam
jangka waktu empat belas hari setelah putusan pengadilan itu
diberitahukannya secara sah.
d. Permohonan banding yang diajukan oleh penggugat atau tergugat
atau kuasanya disertai pembayaran uang muka biaya perkara
72 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

banding yang besarnya ditaksir oleh panitera.


e. Permohonan pemeriksaan banding yang diajukan itu dicatat oleh
panitera.
f. Kemudian panitera memberitahukan adanya permohonan banding
kepada pihak terbanding.
g. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah
permohonan pemeriksaan banding dicatat, panitera
memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat
melihat berkas perkara di kantor pengadilan tata usaha negara
dalam tenggang waktu tiga puluh hari setelah mereka menerima
pemberitahuan tersebut.
h. Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan
harus dikirimkan kepada panitera pengadilan tinggi tata usaha
negara selambat-lambatnya enam puluh hari sesudah permohonan
pemeriksaan banding.
i. Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra
memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada panitera
pengadilan tinggi tata usaha negara dengan ketentuan bahwa
salinan memori dan/atau kontra memori banding diberikan kepada
pihak lainnya dengan perantaraan panitera pengadilan.
j. Penyerahan memori dan kontra memori banding oleh para pihak
bukanlah suatu keharusan. Tidak diwajibkannya penyerahan
memori dan kontra memori banding ini berkaitan dengan dasar
dan sifat pemeriksaan banding di mana pengadilan banding itu
mengulangi seluruh segi pemeriksaan perkaranya (baik fakta
maupun hukumnya).
k. Dalam pemeriksaan banding berlaku juga ketentuan Pasal 78 dan
79 UU PERATUN.
l. Pengadilan tinggi tata usaha negara memeriksa dan memutus
pemeriksaan banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang
hakim.
m. Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh
pengadilan tinggi tata usaha negara permohonan banding dapat
dicabut oleh pihak pemohon. Apabila permohonan pemeriksaan
banding ini dicabut maka tidak dapat diajukan lagi meskipun
masih dalam jangka waktu yang diperbolehkan untuk mengajukan
banding.
n. Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan
pengadilan tata usaha negara, ia tidak dapat mencabut kembali
pernyataan tersebut meskipun jangka waktu untuk mengajukan
HUKUM LINGKUNGAN | 73

permohonan banding belum lampau.

Yang perlu diperhatikan oleh para pihak yang akan mengajukan


permohonan pemeriksaan banding adalah bahwa tidak semua putusan
dapat dimintakan banding. Putusan-putusan yang tidak dapat dimintakan
banding tersebar dalam pasal-pasal UU PERATUN sebagai berikut:

Tabel 14. Putusan yang Tidak Dapat Dimintakan Banding

Putusan yang Tidak Dapat Dimintakan Banding


a. Penetapan pengadilan yang berkaitan dengan permohonan
penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat
pertama, tingkat banding dan kasasi yang merupakan penetapan di
tingkat pertama dan terakhir (Pasal 61 ayat (2) dan (3) UU
PERATUN).
b. Penetapan ketua pengadilan yang diambil dalam rapat
permusyawaratan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima
atau tidak berdasar seperti yang ditentukan oleh Pasal 62 ayat (1)
UU PERATUN.
c. Putusan pengadilan terhadap perlawanan yang diajukan terhadap
penetapan Ketua Pengadilan yang diambil dalam rapat
permusyawaratan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima
atau tidak berdasar (Pasal 62 ayat (6) UU PERATUN).
d. Putusan pengadilan mengenai perlawanan pihak ketiga sebelum
pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal
118 UU PERATUN). Dalam Pasal 118 UU PERATUN berlaku
ketentuan Pasal 62 dan 63 sehingga tidak tersedia upaya hukum
banding.

2.9.4 Kasasi
Lembaga kasasi ini berasal dari Perancis. Perkataan “kasasi”
(dalam bahasa perancis “cassation”) berasal dari perkataan Perancis
“casser” yang berarti “memecahkan” atau membatalkan. Tugas
pengadilan dalam pemeriksaan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan
pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya
penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang
duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan.
Berbeda dengan pemeriksaan banding yang memeriksa baik
mengenai duduk perkara (fakta)nya maupun mengenai penerapan
hukumnya, dalam pemeriksaan kasasi hanya memeriksa mengenai
74 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

penerapan hukumnya saja. Pemeriksaan banding disebut juga


“pemeriksaan tingkat terakhir” dalam arti pemeriksaan oleh judex fakti
yang terakhir.
Karena Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi hanya
memeriksa mengenai penerapan hukumnya saja dan bukan mengenai
faktanya, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan
atau penetapan semua pengadilan dari semua lingkungan peradilan, yang:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. Salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. Lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan
(Pasal 30 ayat (1) UU MAHKAMAH AGUNG).
Upaya hukum kasasi hanya diatur secara singkat dalam satu pasal,
yaitu Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 131 ayat (2) UU PERATUN
menyatakan bahwa acara pemeriksaan kasasi dilakukan menurut Undang-
Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang
No.14 Tahun 1985 ini sudah mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.14 Tahun 1985 dan Undang-Undang No.3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, sehingga yang berlaku adalah ketiga undang-
undang tersebut sekaligus.
Berdasarkan ketentuan Pasal 131 UU PERATUN menunjuk
ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU MAHKAMAH AGUNG mengenai
prosedur acara pemeriksaan kasasi. Pasal 55 ayat (1) UU MAHKAMAH
AGUNG menentukan: pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus
oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama atau yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan
menurut ketentuan undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MAHKAMAH
AGUNG diatas dinyatakan bahwa pemeriksaan kasasi yang diputus oleh
pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara dilakukan menurut
ketentuan undang-undang ini, yang berarti menurut ketentuan UU
MAHKAMAH AGUNG.
Namun sayang, UU MAHKAMAH AGUNG tidak mengatur sama
sekali tentang hukum acara pemeriksaan kasasi di peradilan tata usaha
negara. Dalam Bab IV tentang HUKUM ACARA BAGI MAHKAMAH
AGUNG Bagian Kedua tentang Pemeriksaan Kasasi Paragraf 2 hanya
diatur tentang acara pemeriksaan kasasi di Peradilan Umum. Atas dasar
ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU MAHKAMAH AGUNG yang
HUKUM LINGKUNGAN | 75

menyatakan “Pemeriksaan kasasi yang diputus oleh Pengadilan di


Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan menurut undang-
undang ini” maka acara pemeriksaan kasasi yang berlaku di peradilan
umum juga berlaku untuk ketentuan acara kasasi yang berlaku di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
Upaya hukum kasasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada
Mahkamah Agung. Permohonan kasasi dapat dilakukan hanya jika
pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding.
Pengecualian terhadap ini apabila undang-undang menentukan suatu
putusan tidak bisa dibanding namun langsung dilakukan upaya hukum
kasasi.
Permohonan kasasi dilakukan oleh pihak yang berperkara atau
kuasasnya yang perkaranya diputus oleh pengadilan tingkat banding atau
tingkat terakhir. Dengan demikian, pihak ketiga tidak memiliki hak untuk
mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi. Permohonan kasasi juga
dapat dilakukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum yang putusan
kasasinya tidak boleh merugikan pihak yang berperkara.
Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui
panitera pengadilan tingkat pertama hanya dalam jangka waktu empat
belas hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan
kepada pemohon. Apabila setelah lewat jangka waktu empat belas hari ini
para pihak tidak mengajukan permohonan kasasi maka para pihak
dianggap menerima putusan.
Pemohon pemeriksaan kasasi membayar biaya pemeriksaan kasasi
dan kemudiaan panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar
dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang
dilampirkan pada berkas perkara. Selambat-lambatnya dalam jangka
waktu tujuh hari setelah permohonan kasasi didaftar, panitera (panitera
pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara) memberitahukan
secara tertulis mengenai permohonan kasasi kepada pihak lawan.
Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat
alasan-alasannya dalam tenggang waktu empat belas hari setelah
permohonan kasasinya dicatat dalam buku daftar. Berbeda dengan
penyampaian memori dan kontra memori banding yang sifatnya
fakultatif, penyampaian memori kasasi ini bersifat wajib/mutlak. Bahkan
menurut ketentuan Pasal 115 ayat (2) UU MAHKAMAH AGUNG yang
lama yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1950 apabila pemohon kasasi
tidak menyampaikan memori kasasi dalam jangka waktu yang telah
ditentukan oleh undang-undang maka permohonan pemeriksaan kasasi
dianggap tidak ada.
76 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Panitera (panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat


pertama) memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan
menyampaikan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam jangka
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari. Pihak lawan kemudian
mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada panitera dalam
jangka waktu empat belas hari sejak tanggal diterimanya salinan memori
kasasi. Surat jawaban terhadap memori kasasi ini biasa disebut dengan
kontra memori kasasi.
Setalah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori
kasasi, panitera (panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat
pertama) mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas
memori kasasi dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung dalam
jangka waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari. Panitera Mahkamah
Agung mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dengan
membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaan, membuat catatan
singkat tentang isinya dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah
Agung.
Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung,
pemohon dapat mencabut permohonan kasasinya. Apabila pemohon
mencabut permohonan kasasinya, pemohon tidak dapat mengajukan
permohonan kasasi lagi dalam perkara yang sama meskipun tenggang
waktu untuk mengajukan kasasi belum lampau. Apabila pencabutan
permohonan kasasi dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirim ke
Mahkamah Agung, maka berkas perkara tidak diteruskan kepada
Mahkamah Agung. Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
berdasarkan surat-surat, namun apabila dipandang perlu Mahkamah
Agung dapat mendengar sendiri para pihak atau para saksi atau
memerintahkan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding yang
memutus perkara untuk mendengar para pihak atau para saksi.
Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan yang
dimohonkan kasasi dan mengadili perkara tersebut maka yang dipakai
adalah hukum pembuktian yang berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.
Putusan Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan
oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain.
Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan
Pasal 30 huruf a, yaitu Mahkamah Agung membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan karena alasan tidak berwenang atau melampaui
batas wewenang, Mahkamah Agung menyerahkan perkara itu kepada
pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan mengadilinya.
HUKUM LINGKUNGAN | 77

Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi


berdasarkan Pasal 30 huruf b dan huruf c, yaitu karena alasan salah
menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku atau lalai
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalain itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan, maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang
dimohonkan kasasi itu. Salinan putusan Mahkamah Agung dikirimkan
kepada ketua pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara yang
kemudian putusan Mahkamah Agung itu diberitahukan kepada kedua
belah pihak selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah putusan dan
berkas perkara diterima oleh pengadilan tingkat pertama tersebut.

2.9.5 Perlawanan Oleh Pihak Ketiga


Upaya hukum perlawanan pihak ketiga diatur dalam ketentuan
Pasal 118 UU PERATUN yang terdiri atas tiga ayat. Perlawanan pihak
ketiga dilakukan oleh pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau
diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa. Perlawanan pihak
ketiga ini dilakukan terhadap pelaksanaan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang berisi kewajiban tergugat
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 97 ayat (9), ayat (10) dan ayat
(11) UU PERATUN. Perlawanan ini dilakukan oleh pihak ketiga karena
ia kawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut. Gugatan
perlawanan diajukan kepada pengadilan tingkat pertama yang mengadili
perkara itu.
Gugatan perlawanan harus dilakukan pada saat sebelum putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut
dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 56. Dalam permohonan perlawanan pihak ketiga ini berlaku
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 63. Dengan
demikian, dalam permohonan perlawanan pihak ketiga berlaku rapat
permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan.
Dalam rapat permusyawaratan ketua pengadilan berwenang
memutuskan bahwa permohonan perlawanan pihak ketiga dinyatakan
tidak diterima atau tidak berdasar bila terpenuhi ketentuan Pasal 62 ayat
(1). Permohonan perlawanan pihak ketiga juga bisa dinyatakan tidak
diterima dalam proses pemeriksaan persiapan apabila terpenuhi ketentuan
Pasal 63. Atas dasar ketentuan Pasal 62 ayat (4) juga dapat terjadi
pemeriksaan dengan acara singkat. Upaya hukum perlawanan pihak
78 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

ketiga tidak dengan sendirinya menunda pelaksanaan putusan yang telah


memperoleh kekuatan hukum tetap.

2.9.6 Peninjauan Kembali


Peninjauan kembali adalah upaya hukum yang dilakukan terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
pemeriksaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Peninjauan kembali
pada awalnya dikenal dalam “Reglement op de Strafvordering” yang
merupakan hukum acara pidana yang berlaku untuk bangsa Eropa yang
dikenal dengan istilah “herziening”. Peninjauan kembali untuk hukum
acara perdata diatur dalam “Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering” yang merupakan hukum acara perdata yang berlaku
untuk bangsa Eropa yang dikenal dengan istilah “request civil”.
Dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia,
peninjauan kembali mulai dipakai dalam Undang-Undang No.19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal
15 menentukan: Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, apabila
terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan undang-
undang.
Kemudian Undang-Undang ini dicabut dengan undang-undang
baru, yaitu Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Peninjauan kembali diatur dalam Pasal 21:
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan
undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak
yang berkepentingan.
Terakhir dengan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman perihal upaya hukum peninjauan kembali diatur
dalam ketentuan Pasal 24 yang menyatakan bahwa terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,pihak-pihak
yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang. Terhadap putusan peninjauan kembali
tidak dapat dilakukan peninjauan kembali (Pasal 24 ayat 2).
Dalam UU PERATUN upaya peninjauan kembali diatur dalam
ketentuan Pasal 132 yang menyatakan bahwa terhadap putusan
HUKUM LINGKUNGAN | 79

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum dapat diajukan


permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 132
ayat 1). Pasal 132 ayat (2) menyatakan bahwa acara pemeriksaan
peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Berdasarkan ketentuan Pasal 132 UU PERATUN, mengenai acara
pemeriksaan peninjauan kembali menunjuk ketentuan Pasal 77 ayat (1)
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal 77
(1) UU PERATUN menentukan: Dalam pemeriksaan peninjauan kembali
perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama
atau Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, digunakan
hukum acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai
dengan Pasal 75.
Dengan demikian, untuk acara pemeriksaan peninjauan kembali
perkara yang diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha
negara berlaku ketentuan Pasal 67 sampai dengan Pasal 75 UU
MAHKAMAH AGUNG.
Peninjaun kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada
Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Mahkamah Agung memutus permohonan
peninjaun kembali pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan adanya
permohonan peninjauan kembali adalah tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan
berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan secara limitatif sebagai
berikut:

Tabel 15. Alasan-Alasan Mengajukan Peninjauan Kembali

Alasan-Alasan Mengajukan Kasasi


a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut;
80 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa


dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila diantara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama
tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.

Tenggang waktu pengajuan permohonan kembali adalah 180


(seratus delapan puluh) hari yang dihitung dengan ketentuan sebagai
berikut:

Tabel 16. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Kembali

Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Kembali


a. Apabila permohonan peninjauan kembali didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu maka waktu 180
(seratus delapan puluh) hari adalah sejak diketahuinya kebohongan
atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada pihak yang
berperkara;
b. Apabila permohonan peninjauan kembali didasarkan alasan bahwa
setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan, maka waktu 180 (seratus delapan puliuh) hari adalah
sejak ditemukannya surat-surat bukti yang hari serta tanggal
ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan
oleh pejabat yang berwenang;
c. Apabila permohonan peninjauan kembali didasarkan pada alasan-
alasan sebagai berikut:
c.1 apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih daripada yang dituntut;
c.2 apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
c.3 apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari adalah sejak
HUKUM LINGKUNGAN | 81

putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah


diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.
d. Apabila permohonan peninjauan kembali didasarkan pada alasan
bahwa apabila pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama
lain, maka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari adalah sejak
putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan
hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak.

Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum


diputus. Apabila permohonan peninjaun kembali dicabut maka tidak
dapat diajukan lagi permohonan peninjauan kembali yang kedua dan
seterusnya. Dengan demikian, para pihak dianggap menerima putusan.
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan sendiri oleh pihak-
pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau wakilnya yang secara
khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses pemeriksaan
peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan peninjauan
kembali dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Permohonan peninjaun
kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua
pengadilan tata usaha negara yang memutus perkara dalam tingkat
pertama dengan membayar biaya perkara.
Permohonan peninjaun kembali diajukan oleh pemohon secara
tertulis dengan menyebutkan alasan yang jelas yang dijadikan dasar
permohonan. Permohonan dimasukkan di kepaniteraan pengadilan tata
usaha negara yang memutus pada tingkat pertama.Apabila pemohon
peninjauan kembali tidak dapat menulis, maka ia menguraikan
permohonannya secara lisan di hadapan ketua pengadilan tata usaha
negara yang memutus pada tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk
oleh ketua pengadilan yang selanjutnya akan membuat catatan tentang
permohonan tersebut. Setalah ketua pengadilan tata usaha negara yang
memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan kembali,
maka panitera wajib untuk memberikan atau mengirimkan salinan
permohonan peninjauan kembali kepada lawan pemohonan dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan
peninjauan kembali diterima oleh ketua pengadilan tata usaha negara
yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
Pemberian atau pengiriman salinan permohonan peninjauan
kembali kepada lawan pemohon adalah dimaksudkan untuk: a. Dalam hal
permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana
82 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

dimaksud Pasal 67 huruf a atau huruf b agar pihak lawan mempunyai


kesempatan untuk mengajukan jawabannya; b. Dalam hal permohonan
peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang tersebut Pasal
67 huruf c sampai dengan huruf f agar dapat diketahui.
Pihak lawan harus mengajukan jawaban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
menerima salinan permohonan peninjauan kembali. Surat jawaban
diserahkan atau dikirimkan kepada pengadilan tata usaha negara yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu oleh
Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut,
yang salinannnya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon
untuk diketahui.
Panitera mengirimkan permohonan dan berkas secara lengkap
beserta biayanya kepada Mahkamah Agung dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari. Dalam permohonan peninjauan
kembali tidak ada surat menyurat antara pemohon dan/atau pihak lain
dengan Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung berwenang memerintahkan pengadilan tata
usaha negara yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau
pengadilan tingkat banding untuk mengadakan pemeriksaan tambahan,
atau meminta segala keterangan serta pertimbangan. Setelah pengadilan
yang bersangkutan melaksanakan perintah itu segera mengirimkan berita
acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan kepada Mahkamah
Agung.
Dalam pemeriksaan peninjaun kembali Mahkamah Agung dapat
memberikan putusan sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan
peninjauan kembali dan Mahkamah Agung membatalkan putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali, selanjutnya memeriksa dan memutus
perkara dengan disertai pertimbangan-pertimbangan; b. Menolak
permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permohonan peninjaun kembali itu tidak beralasan
dengan disertai pertimbangan-pertimbangan.
Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan permohonan
peninjauan kembali kepada pengadilan tata usaha negara yang memutus
perkara dalam tingkat pertama dan selanjutnya oleh Panitera pada
pengadilan tata usaha negara yang bersangkutan dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari menyampaikan salinan putusan itu kepada pihak lawan
dengan memberikan alasannya.

2.10 Pelaksanaan Putusan


HUKUM LINGKUNGAN | 83

Pelaksanaan putusan adalah tujuan utama gugatan di pengadilan


tata usaha negara. Dalam hukum acara peradilan tata usaha negara
putusan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Putusan harus dilakukan secara sukarela oleh pihak yang
dikalahkan. Jika pihak yang dikalahkan tidak melaksanakan secara suka
rela, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar
pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan.
Putusan yang telah dijatuhkan hakim harus dilaksanakan.
Pelaksanaan putusan hakim pada dasarnya adalah hal yang paling
dikehendaki oleh seseorang yang mengajukan gugatan di pengadilan.
Putusan yang tidak dapat dilaksanakan tentu tidak ada artinya. Pihak yang
dimenangkan dalam putusan dikatakan hanya menang diatas kertas saja.
Dalam hukum acara PERATUN, putusan yang dapat dilaksanakan
hanyalah putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Berbeda
dengan hukum acara PERATUN, dalam hukum acara perdata dikenal
adanya putusan serta merta atau “uitvoerbaar bij voorraad”, yaitu putusan
yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan itu
sedang dilakukan suatu upaya hukum.
Yang dimaksud dengan putusan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap adalah putusan sebagai berikut: a. Putusan pengadilan
tingkat pertama yang sudah tidak tidak dapat dilawan atau dimintakan
pemeriksaan banding lagi; b. Putusan pengadilan tinggi yang tidak
mintakan pemeriksaan kasasi lagi; c. Putusan Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi (Wicipto Setiadi 1992:144).
Putusan pengadilan tata usaha negara yang memerlukan
pelaksanaan hanyalah putusan pengadilan tata usaha negara yang amar
putusannya mengabulkan gugatan penggugat. Putusan pengadilan tata
usaha negara yang amar putusannya berupa gugatan ditolak, gugatan
tidak diterima atau gugatan gugur tidak memerlukan pelaksanaan.
Apabila gugatan di pengadilan tata usaha negara dikabulkan oleh
hakim, maka badan/pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat yang
dikalahkan harus melaksanakan isi putusan, yang dapat berupa: a.
Pencabutan KTUN yang bersangkutan; b.Pencabutan KTUN yang
bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; c. Penerbitan KTUN
apabila gugatan dilakukan atas dasar Pasal 3; d. Membayar ganti
kerugian; e. Melakukan rehabilitasi.
Pelaksaan putusan dilaksanakan atas perintah ketua pengadilan
yang mengadilinya dalam tingkat pertama. Putusan harus dilakukan
secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan. Apabila tidak dilakukan,
menurut ketentuan Pasal 116 ayat (3) UU PERATUN maka penggugat
84 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar pengadilan


memerintahkan tergugat melaksanakan putusan.
Apabila terhadap perintah ketua pengadilan seperti diatas tetap
tidak dilaksanakan oleh tergugat, ketua pengadilan mengajukan tentang
hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Dalam jangka
waktu dua bulan setelah instansi atasan menerima pemberitahuan ketua
pengadilan, instansi atasan harus sudah memerintahkan pejabat yang
menjadi tergugat untuk melaksanakan putusan.
Dalam hal badan/pejabat tata usaha negara tetap tidak
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap, terhadap badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau
sanksi administratif. Terhadap badan/pejabat tata usaha negara yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan ini diumumkan oleh panitera pada
media massa cetak setempat. Ketentuan tentang besaran uang paksa, jenis
sanksi administrasi dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa
dan/atau sanksi administratif diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain diumumkan pada media massa cetak setempat, terhadap
badan/pejabat tata usaha negara yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan ini diajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi agar memerintahkan kepada badan/pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan.
Juga diajukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan
fungsi pengawasan.
Pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara berarti adalah
melaksanakan eksekusi terhadap badan/pejabat tata usaha negara yang
menjadi tergugat. Dalam pelaksaan eksekusi terhadap badan/pejabat tata
usaha negara terdapat hambatan-hambatan yang berasal dari asas-asas
hukum administrasi sendiri. Asas-asas hukum administrasi itu adalah:

Tabel 17. Asas-asas Hukum Administrasi

No Asas-asas Hukum Administrasi


1 Asas bahwa terhadap benda-benda publik tidak dapat diletakkan
2 sita jaminan
Asas “rechtmatigheidheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi
asas ini adalah asas kewenangan. Pejabat atasan tidak
dibenarkan menerbitkan KTUN yang seharusnya menjadi
wewenang pejabat tertentu dibawahnya. Dengan demikian
andaikata pejabat atasan memerintahkan pejabat dibawahnya
HUKUM LINGKUNGAN | 85

3 untuk menerbitkan sebuah KTUN dan ternyata tidak dilakukan,


pejabat atasan tidak bisa menerbitkan KTUN yang dimaksud
Asas bahwa kebebasan pejabat pemerintahan tidak bisa
4 dirampas. Kemungkinan dari asas ini misalnya tidak mungkin
seorang pejabat dikenai tahanan rumah karena tidak
melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Asas bahwa negara (dalam hal ini) pemerintah selalu harus
dianggap “solvable” (mampu membayar).
Sumber: Philipus M. Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, 1994.

Memang salah satu problematika yang berkaitan dengan putusan


pengadilan tata usaha negara adalah ketidakpatuhan badan/pejabat tata
usaha negara untuk melaksanakan putusan, padahal putusan hakim adalah
mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan apabila
putusan tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Menurut
Wicipto Setiadi, ketidakpatuhan badan/pejabat tata usaha negara terhadap
putusan pengadilan tata usaha negara disebabkan beberapa kemungkinan,
yaitu: pertama, ketidakpatuhan pejabat tata usaha negara terhadap
penetapan pengadilan tata usaha negara karena informasi yang salah atau
tidak tepat. Masih ada pejabat yang belum sepenuhnya memahami
keberadaan pengadilan tata usaha negara sesuai dengan Undang-Undang
No.5 Tahun 1986. Kedua, ketidakpatuhan pejabat tata usaha negara itu
justru dilatarbelakangi oleh sikap arogansi atau kecongkakan pejabat
dengan kekuasaan yang diembannya. Akibat dari sikap ini, maka akan
terjadilah kecenderungan apa yang disebut dengan pelecehan pengadilan
(contempt of court).
Dalam UU PERATUN sendiri telah diatur jika badan/pejabat tata
usaha negara tidak melaksanakan putusan. Apabila badan/pejabat tata
usaha negara tidak melaksanakan putusan, ketua pengadilan
memberitahukan kepada instansi atasan yang kemudian instansi atasan ini
memerintahkan badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan untuk
melaksanakan putusan. Apabila setelah diperintah oleh instansi atasan
badan/pejabat tata usaha negara tetap tidak melaksanakan putusan maka
ketua pengadilan memberitahukan hal ini kepada Presiden sebagai kepala
pemerintahan tertinggi.
Yang menjadi persoalan apakah Presiden akan menanggapi
pemberitahuan ketua pengadilan dan selanjutnya memerintahkan
badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan untuk melaksanakan
putusan? Mengingat negara Indonesia adalah negara hukum mestinya
86 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

semua pihak harus patuh untuk melaksanakan putusan hakim yang juga
merupakan produk hukum. Terlebih lagi bagi badan/pejabat tata usaha
negara yang merupakan aparatur pemerintahan harus memberikan contoh
yang baik kepada masyarakat untuk taat hukum. Jangan sampai aparatur
memerintahkan warga masyarakat untuk taat hukum akan tetapi dirinya
sendiri tidak mentatati hukum.
Berdasar perubahan kedua UU PERATUN, apabila badan/pejabat
tata usaha negara tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap ia diancam dengan ancaman sanksi
administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ketentuan demikian bertujuan supaya badan/pejabat tata usaha negara
tidak main-main untuk menjalankan putusan pengadilan. Di samping itu,
bagi badan/pejabat TUN yang tidak mematuhi putusan pengadilan
namanya diumumkan di media massa cetak. Ini bertujuan supaya
masyarakat tahu bahwa badan/pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan adalah tidak taat hukum sehingga akan menimbulkan rasa
malu bagi badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan apabila ia
tidak melaksanakan putusan pengadilan.
HUKUM LINGKUNGAN | 87

DAFTAR BACAAN

A’an Efendi, 2012. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,


Diktat, FH Universitas Jember.

Abdulkadir Muhammad, 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Bagir Manan, 2007. Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-


Undang No.4 Tahun 2004, FH UII Press, Yogyakarta.

Benjamin Mangkoedilaga, 1986. Kompetensi Relatif dan Absolut


Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,
Angkasa, Bandung.

Djoko Prakoso, 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam


Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta.

____________, 2002. Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang


No.5/1986), Liberty, Yogyakarta.

E. Utrecht, 1988. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,


Pustaka Tinta Mas, Surabaya.

_________, 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan


Kesebelas, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

H.A.K. Pringgodigdo, 1981. Tiga Undang-Undang Dasar, PT.


Pembangunan, Jakarta, Cetakan Kelima.

Harjono, 1990. Masalah Pembuktian Dalam Peradilan Tata Usaha


Negara, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Unair, Surabaya,
Nomor 2, Tahun V.

Indroharto, 2004. Usaha Memahami Undang-Undang tentang


Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian
Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
88 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

________, 2005. Usaha Memahami Undang-Undang tentang


Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan
Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Jazim Hamidi, 1999. Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan


Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Peradilan
Administrasi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kuntjoro Purbopranoto, 1981. Beberapa Catatan Hukum Tata


Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni,
Bandung.

Lutfi Effendi, 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayu Media,


Malang.
O.C. Kaligis, 2002. Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia, Alumni, Bandung.

Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di


Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.

_________________, 1994. Pengantar Hukum Administrasi


Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Pitlo, 1978. Pembuktian dan Daluarsa, Cetakan Pertama, Intermasa,


Jakarta.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997. Hukum


Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,
Bandung, Cetakan Ketujuh.

Riduan Syahrini, 2004. Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,


Bandung.

Ridwan HR, 2002. Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta.

Rochmat Soemitro, 1976. Masalah Peradilan Administrasi dalam


Hukum Pajak di Indonesia, Cetakan ke-IV, Eresco, Jakarta-
Bandung.
HUKUM LINGKUNGAN | 89

Rozali Abdullah, 1994. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,


Cetakan Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta.

R. Soebekti dan Tjitrosoedibio, 1989. Kamus Hukum, Pradnya Paramita,


Jakarta.

SF Marbun, 1988. Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty Yogyakarta.

________, 1997. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya


Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

________, dan Moh. Mahfud MD, 1987. Pokok-Pokok Hukum


Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta.

Sjachran Basah, 1997. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan


Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung.

Sjahran Basah, 1989. Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan


Peradilan Administrasi (HAPLA), Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1994. Aneka Cara


Pembedaan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Subekti, 1982. Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum


Nasional-Binacipta, Cetakan Kedua, Jakarta.

______, Hukum Pembuktian, 2008. Cetakan Ketujuh Belas, Pradnya


Paramita, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi


Ketujuh, Liberty, Yogyakarta.

Suparto Wijoyo, 2004. Karakteristik Hukum Acara Peradilan


Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), Airlangga
University Press, Surabaya.

Tatiek Sri Djatmiati, 1988. Mengkaji Hukum Acara Pada UU No. 5


Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Yuridika,
Majalah Fakultas Hukum Unair, No.5 Tahun III.
90 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Teguh Samudera, 2004. Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara


Perdata, Alumni, Bandung.

Wicipto Setiadi, 1992. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara


Suatu Perbandingan, Rajawali Pers, Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro, 1974. Bunga Rampai Hukum, PT. Ichtiar Baru,


Jakarta.

_________________, 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan


Kesebelas, Sumur Bandung.

Zairin Harahap, 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,


Rajawali Pers, Jakarta.
BAB3.3
BAB GUGATAN LINGKUNGAN MELALUI
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

3.1 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat


Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pertama kali
dikenal dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian dicabut
dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan terakhir dengan Undang-Undang No.32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat pertama kali dituangkan dalam
perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus
2000.

3.1.1 Jaminan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada mulanya
diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH):
“Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Orang adalah orang seorang, kelompok orang atau badan hukum.
Setelah UULH dicabut dengan Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur dalam Pasal 5 ayat (1):
“Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat”. Kemudian UUPLH dicabut dengan Undang-Undang
No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH). Pasal 65 ayat (1) menentukan: “Setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia”.
Berbeda dengan UULH dan UUPLH, UUPPLH dengan tegas
menyatakan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah
bagian dari hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM).
Sebagai bagian dari hak asasi manusia maka terhadap hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat berlaku asas-asas dasar hak asasi
92 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

manusia, yaitu: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung


tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang
secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang
harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagian, dan kecerdasan serta keadilan
(Pasal 2 UU. No.39 Tahun 1999 tentang HAM).
Hak untuk mendapatkan lingkungan yang berkualitas tertuang
dalam Prinsip 1 Deklarasi Stocholm yang menyatakan “Man has the
fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in
an environment of quality that permits a life of dignity and well-being,
and he bears a solemn responbility to protect and improve the
environment for present and future generataions”. Hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat juga diatur dalam Article 1 Legal Principle For
Environmenttal Protection and Sustainable Development yang
merupakan hasil kesepakatan “Experts Group on Environmental Law of
the World Commission on Environmental and Development” yang
menentukan: “All human beings have the fundamental right to an
environment adequate for their health and well-being”.
Pada mulanya UUD 1945 tidak mengenal hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Baru perubahan kedua UUD 1945 yang
disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat diatur dalam Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga diatur dalam
Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari
Ketetapan MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang
menyatakan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat”. Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia menentukan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat”.
Menurut Heinhard Steiger, bahwa apa yang dinamakan hak-hak
subyektif (subjective rights) adalah bentuk yang paling luas dari
perlindungan seseorang (Koesnadi Hardjasoemantri 2002:93). Hak-hak
peseorangan merupakan bentuk perlindungan yang paling ekstensif,
karena menyediakan landasan terhadap gugatan hukum bagi individu
untuk mewujudkan kepentingannya terhadap lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Hak/gugatan ini dapat dilaksanakan melalui sarana prosedur
peradilan (Siti Sundari Rangkuti 2005:280).
HUKUM LINGKUNGAN | 93

Steiger menyatakan bahwa hak/gugat tersebut mempunyai dua


fungsi yang berbeda, yaitu: 1. The function of defence (Abwehrfunktion) is
the right of the individual to defence himself againts an interference with
his environment which is to his disadvantage; 2. The function of
performence (Leistungfunction) is the right of the individual to demand
the performence of aan act in order to preserve, to restore or to improve
his environment (ibid).
Fungsi pertama adalah sebagai hak individu untuk
mempertahankan dirinya terhadap gangguan yang merugikan
lingkungannya. Fungsi kedua adalah hak individu untuk menuntut
dilakukannya tindakan pelestarian, pemulihan atau perbaikan terhadap
lingkungannya. Hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat adalah merupakan argumentasi hukum yang sangat substantif bagi
seseorang untuk melakukan gugatan terhadap pemenuhan kedua fungsi
hak perseorangan tersebut melalui forum pengadilan (Suparto Wijoyo
1999:21).
Gugatan lingkungan dapat dilakukan melalui gugatan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
berdasarkan Pasal 87 ayat (1) UUPPLH untuk memperoleh ganti kerugian
dan/atau untuk melakukan tindakan tertentu atau dengan gugatan di
peradilan tata usaha negara untuk membatalkan penerbitan izin
lingkungan yang tidak cermat yang menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini
diiringi dengan kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.

3.1.2 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat di Beberapa
Negara Sebagai Perbandingan
Di Amerika Serikat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
diatur dalam National Environmental Protection Act of 1969 (NEPA
1969). Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Belanda diatur
dalam Aricle 21 (Environment) Konstitusi Belanda. Di Rusia, hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur dalam Article 2 the
Constitution of Russian. Di Spanyol, hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat diatur dalam Pasal 45 Konstitusi Spanyol. Hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat di Portugal terdapat dalam ketentuan Article
66. Di Jepang, Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Jepang
dituangkan dalam Article 3 The Basic Environmental Law (Law no.91 of
1993) yang berlaku sejak tanggal 19 November 1993. Di Thailand diatur
94 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

pada Bab III Konstitusi Thailand, sedangkan di Philipinan diatur pada


Section 3 Philippine Environmental Policy.
Di Amerika Serikat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tertuang dalam National Environmental Protection Act of 1969 (NEPA
1969) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1970. Berdasar Section 2 NEPA
1969, tujuan dari undang-undang ini adalah “The purposes of this Act
are: To declare a national policy which will encourage productive and
enjoyable harmony between man and his environment; to promote efforts
which will prevent or eliminate damage to the environment and biosphere
and stimulate the health and welfare of man; to enrich the understanding
of the ecological systems and natural resources important to the Nation;
and to establish a Council on Environmental Quality”.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terdapat pada
Section 101 (c) yang menentukan “The Congress recognizes that each
person should enjoy a healthful environment and that each person has a
responsibility to contribute to the preservation of the environment”.
Berdasarkan Section 101 (c) NEPA 1969, disamping setiap orang berhak
untuk menikmati lingkungan yang sehat juga berkewajiban untuk
menjaga kelestarian lingkungan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga terdapat pada
konstitusi beberapa negara bagian, misalnya “the Constitution of Illinois”:
“each person has the right to a healthful environment”; “the Constitution
of Rhode Island”: “the rights to use and enjoyment of the natural
resources of the state with due regard for the preservation of their
values”; dan “the Constitution of Pennsylvania”: “the people have a right
to clean air, pure water and to preservation of the natural, scenic,
historic, and aesthetic values of the environment”.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Belanda terdapat
pada Aricle 21 (Environment) Konstitusi Belanda yang menentukan “It
shall be the concern of the authorities to keep the country habitable and
to protect and improve the environment”. Berdasar Pasal 21 Konstitusi
Belanda bahwa pihak yang memiliki otoritas harus memelihara wilayah
negara sehingga layak untuk dihuni dan melindungi dan meningkatkan
kualitas lingkungan.
Berdasarkan Article 2 (Protection of Human Rights) the
Constitution of Russian menyatakan “Humans, their rights and freedoms
are the supreme value. It is a duty of the state recognize, respect and
protect the rights and liberties of humans and citizens”. Hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat tertuang terdapat pada Article 42
(Environment): “Everyone has the right to favorable environment,
HUKUM LINGKUNGAN | 95

reliable information about its condition and compensation for the damage
caused to his or her health or property by ecological violations”.
Article 42 the Constitution of Russian memberikan jaminan hak
bagi setiap orang untuk menikmati lingkungan yang nyaman, memperoleh
informasi tentang lingkungan dan memperoleh kompensasi terhadap
kerusakan kesehatan atau harta bendanya yang disebabkan oleh bencana
ekologis. Hak ini diiringi dengan kewajiban untuk menjaga kelestarian
lingkungan sebagaimana ditentukan Article 58 (Duty to Protect the
Environment) yang menyatakan: “Everyone is obliged to preserve nature
and the environment, and care for natural wealth”.
Konstitusi Spanyol memberikan jaminan hak kepada setiap orang
untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam
ketentuan Pasal 45. Pasal 45 ayat (1) menyatakan “Everyone has the right
to enjoy an environment suitable for development of the person as well as
the duty to preserve it”. Setiap orang berhak untuk menikmati
keberlanjutan lingkungan dalam rangka pengembangan diri dan sekaligus
berkewajiban untuk memelihara kelestariannya.
Pasal 45 ayat (2) menentukan “The public authorities shall concern
themselves with the rational use of all natural resources for the purpose
of protecting and improving the quality of life and protecting and
restoring the environment, supporting themselves on an indispensable
collective solidarity”. Pihak otoritas publik secara rasional memanfaatkan
seluruh sumber daya alam untuk tujuan melindungi dan meningkatkan
kualitas hidup serta melindungi dan memperbaiki kualitas lingkungan.
Pasal 45 ayat (3) menentukan “For those who violate the provisions
of the foregoing paragraph, penal or administrative sanctions, as
applicable, shall be established and they shall be obliged to repair the
damage caused”. Barang siapa melanggar ketentuan ayat (1) dan ayat (2)
diancam dengan sanksi pidana dan sanksi administrasi serta wajib untuk
memperbaiki kerusakan yang disebabkan olehnya.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam konstitusi
Portugal diatur dalam Article 66. Article 66 ayat (1) menentukan
“Everyone has the right to a healthy and ecologically balanced human
environment and the duty to defend it”. Berdasarkan Article 66 (1)
Konstitusi Portugal setiap orang memiliki hak atas kesehatan dan
keseimbangan lingkungan manusia secara sekologis serta berkewajiban
untuk mempertahankan kelestarian lingkungan.
Article ayat (2) menyatakan “ It is the duty of the State, acting
through appropiate bodies and having resources to or taking support on
popular initiatives, to: a. Prevent and control pollution, its effects and
96 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

harmful forms of erosion; b. Order and promete regional planning aimed


to achieving a proper location of activities, a balanced social and
economic development, and resulting in biological balanced landscapes;
c.Create and develop natural reserves and park and recreation areas and
classify and protect landscapes and site so as to ensure the conservation
of nature and the preservation of cultural assets of historical or artististic
interest; d. Promote the rational use of natural resources, safeguarding
their capacity for renewal and ecological stability”.
Berdasarkan Article 66 (1) Konstitusi Portugal setiap orang
memiliki hak atas kesehatan dan keseimbangan lingkungan manusia
secara sekologis serta berkewajiban untuk mempertahankan kelestarian
lingkungan. Negara berkewajiban untuk bertindak melalui badan-badan
dan sumber daya yang tersedia untuk melakukan prakarsa-prakarsa untuk:
a. mencegah dan mengendalikan pencemaran, yaitu dampak dan akibat
erosi, b. memerintahkan dan meningkatkan perencanaan regional dengan
tujuan untuk mencapai lokasi kegiatan yang tepat, c. menciptakan dan
mengembangkan sumber daya cadangan dan taman dan wilayah rekreasi
dan menggolongkan dan melindungi bentang alam dan situs-situs untuk
memastikan konservasi sumber daya alam dan pelestarian aset-aset
budaya, d. meningkatkan penggunaan sumber daya alam secara wajar dan
menjaga kemampuan untuk menjaga keseimbangan ekologi.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Jepang
dituangkan dalam Article 3 The Basic Environmental Law (Law no.91 of
1993) yang berlaku sejak tanggal 19 November 1993 “Environmental
conservation shall be conducted appropriately to ensure that the present
and future generations of human beings can enjoy the blessings of healthy
and productive environment and that the environment as the foundation
of human survival can be preserved into the future, in consideration that
preserving the healthy and productive environment is indispensable for
healthy and cultured living for people, and that the environment is
maintained by a delicate balance of the ecosystem and form the
foundation of human survival, which is finite in its carrying capacity and
presently at risk of being damaged by the environmental load by human
activities”.
Berdasarkan The Basic Environmental Law, Jepang, pelestarian
lingkungan dilakukan untuk menjamin bahwa generasi sekarang dan
generasi mendatang dapat menikmati produktivitas dan kesehatan
lingkungan dan bahwa lingkungan merupakan fundamen bagi manusia
untuk mempertahankan kelangsungan kehidupannya di masa mendatang.
Kesehatan dan produktivitas lingkungan sangat diperlukan sebagai
HUKUM LINGKUNGAN | 97

pertimbangan untuk memelihara kesehatan dan kehidupan manusia yang


berbudaya. Lingkungan adalah fundamen kelangsungan kehidupan
manusia dan harus dipertahankan berdasar keseimbangan ekologis.
Pada Bab III Konstitusi Thailand tentang tentang hak dan
kebebasan rakyat Thiland, Section 56 menyatakan “The right of a person
to give to the State and communities participation in the preservation and
exploitation of natural resources and biological diversity and in the
protection, promotion and preservation of the quality of the environment
for usual and consistent survival in the environment which is not
hazardous to his or her health and sanitary c ondition,welfare or quality
of life, shall be protected, as provided by law”. Any project or activity
which may seriously affect the quality of the environment shall not be
permitted, unless its impacts on the quality of the environment have been
studied and evaluated and opinions of an independent organisation,
consisting of representatives from private environmental organisations
and from higher education institutions providing studies in the
environmental field, have been obtained prior to the operation of such
project or activity, as provided by law. The right of a person to sue a
State agency, State enterprise, local government organisation or other
State authority to perform the duties as provided by law under paragraph
one and paragraph two shall be protected.
Section 56 Konstitusi Thailand memberikan hak kepada setiap
orang untuk berpartisipasi bagi negara dan masyarakat dalam pelestarian
dan ekploitasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati dan dalam
perlindungan, peningkatan dan pelestarian kualitas lingkungan dan untuk
bertahan pada kelangsungan lingkungan yang tidak berbahaya.
Terhadap proyek atau aktivitas yang dapat menimbulkan dampak
yang serius terhadap kualitas lingkungan tidak akan diijinkan, kecuali ada
suatu studi dan evaluasi dan pendapat dari organisasi yang independen
tentang dampak itu, yang terdiri atas perwakilan dari organisasi
lingkungan privat dan lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan studi
tentang lingkungan.
Lebih lanjut Section 56 Konstitusi Thailand menentukan bahwa
setiap orang memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada badan-
badan negara, perusahaan-perusahaan negara, organisasi pemerintah
daerah atau otoritas yang lain untuk melaksanakan kewajiban
sebagaimana diatur dalam paragraph 1 dan paragraph 2.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Filipina tertuang
dalam Section 3 Philippine Environmental Policy yang menyatakan: “In
furtherance of these goals and policies, the Goverment regognizes the
98 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

right of the people to healthful environment. It shall be the duty and


responsbility of each individual to contribute to the preservation and
enhancement of the Philippine environment”. Berdasarkan ketentuan
Section 3 Philippine Environmental Policy, di samping memberi jaminan
kepada setiap orang untuk menikmati lingkungan yang sehat juga disertai
kewajiban untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan kualitas
lingkungan.

3.1.3 Hak Atas Informasi Lingkungan Hidup


Hak atas informasi lingkungan hidup adalah konsekuensi dari hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan adanya informasi
tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka sistem pengambilan
keputusan akan semakin sempurna, terutama yang menyangkut aspek-
aspek pengelolaan lingkungan (N.H.T Siahaan 2006: 127), yang pada
akhirnya dapat dihindarkan kemungkinan-kemungkinan dampak buruk
suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan.
Pemberian informasi lingkungan hidup yang benar kepada
masyarakat dapat memberikan manfat-manfaat tertentu dalam
pengelolaan lingkungan, diantaranya: a. Dengan informasi, masyarakat
memiliki hak menyatakan pendapat sesuai dengan kepentingannya
(misalnya dalam suatu rencana kegiatan atau pemberian izin untuk suatu
kegiatan, masyarakat dapat menolaknya karena dapat merusak
lingkungannya, menerima dengan syarat tertentu, bahkan berperan
sebagai penyokong jika kegiatan ini dipandang bersifat positif); b.
Masyarakat dapat memberikan kontribusinya untuk berpartisipasi
melakukan pengelolaan lingkungan; c. Masyarakat dapat memahami apa
yang menjadi kewajibannya atas suatu pengelolaan lingkungan; dan d.
Dalam sistem Amdal khususnya, prinsip pemberian informasi yang benar
dan akurat kepada masyarakat merupakan syarat mutlak, yang untuk
selanjutnya masyarakat dapat menentukan sikapnya terhadap rencana
suatu kegiatan (ibid 127-128).
Pada awalnya hak atas informasi lingkungan hidup diatur dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUPLH yang menyatakan “Setiap orang
mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan
peran dalam pengelolaan lingkungan hidup”. Penjelasan Pasal 5 ayat (2)
UUPLH menyatakan bahwa hak atas informasi lingkungan hidup
merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas
informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas
peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, disamping akan
HUKUM LINGKUNGAN | 99

membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas


lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat berupa data, keterangan atau
informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup
yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui
masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan
hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik
pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang.
Setelah berlakunya UUPPLH hak atas informasi lingkungan hidup
diatur dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2):Setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Penjelasan Pasal 65 ayat (2): Hak atas
informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak
berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada
asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan
meningkatkan nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan
lingkungan hidup, disamping akan membuka peluang bagi masyarakat
untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
dapat berupa data, keterangan atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang
terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan
lingkungan hidup, baik pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup,
dan rencana tata ruang.
Rumusan Pasal 65 ayat (2) UUPPLH lebih luas cakupannya
dibandingkan dengan Pasal 5 ayat (2) UUPLH karena didalamnya
mencakup hak untuk memperoleh pendidikan lingkungan, akses
partisipasi dan akses keadilan dalam rangka memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun rumusan penjelasan kedua
pasal tersebut sama.
Jaminan hak atas informasi lingkungan hidup ini semakin kuat
dengan diundangkannya Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP). Menurut UUKIP yang dimaksud
dengan informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-
tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan
dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non
100 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

elektronik (Pasal 1 angka 1 UUKIP). Informasi publik adalah informasi


yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu
badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan
negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya
yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang
berkaitan dengan kepentingan publik (Pasal 1 angka 2 UUKIP).
Tujuan dari di undangkannya UUKIP ini adalah: a. menjamin hak
warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik,
program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik,
serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; c.
meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik dan pengelolaan badan publik yang baik; d. mewujudkan
penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan
efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; e.mengetahui
alasan kebijakan publik yang mempengerahui hajat hidup orang banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan/atau g.meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di
lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang
berkualitas.
Pada dasarnya setiap orang berhak memperoleh informasi publik
karena informasi adalah bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap
pengguna informasi publik. Bahkan setiap informasi publik harus dapat
diperoleh oleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat
waktu, biaya ringan dan cara sederhana.
Setiap badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara
berkala yang meliputi: a. Informasi yang berkaitan dengan badan hukum
publik; b. Informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait;
c. Informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau d. Informasi lain yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 9 ayat (2) UUKIP).
Meskipun tidak disebutkan dengan tegas bahwa informasi publik yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan harus diumumkan secara
berkala, namun dengan melihat ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf d UU
KIP yang menyatakan “informasi lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan” dapat disimpulkan bahwa informasi publik yang
harus diumumkan secara berkala adalah termasuk informasi tentang
pengelolaan lingkungan.
Menurut ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf u, Pasal 63 ayat (2)
huruf o, dan Pasal 63 ayat (3) huruf i UUPPLH memberikan kewenangan
kepada pemerintah atau pemerintah provinsi atau pemerintah
HUKUM LINGKUNGAN | 101

kabupaten/kota untuk mengelola informasi lingkungan hidup sesuai


dengan kewenangannya. Informasi lingkungan hidup yang dikelola oleh
pemerintah atau pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota
adalah menjadi hak masyarakat untuk mengetahuinya sesuai dengan
ketentuan Pasal 65 ayat (2) UUPPLH. Di samping itu, bagi setiap orang
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib untuk memberikan
informasi yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu.
Informasi publik wajib diberikan kepada masyarakat kecuali secara
khusus dilarang oleh undang-undang. Apabila masyarakat mendapat
hambatan atau kegagalan untuk memperoleh informasi publik maka
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam UUKIP. Bahkan terhadap badan publik yang dengan sengaja
tidak menyediakan, tidak memberikan, dan atau/tidak menerbitkan
informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik
yang wajib diumumkan secara serta merta, informasi publik yang wajib
tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas
dasar permintaan, dan kemudian mengakibatkan kerugian terhadap orang
lain diancam dengan ancaman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.,00 (lima juta rupiah)
sesuai dengan ketentuan Pasal 52 UU KIP.
Namun demikian, tidak setiap informasi publik dapat diperoleh.
Disini terdapat pengecualian. Informasi publik yang dikecualikan bersifat
rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum
didasarkan pada pengujian tentang konsekeunsi yang timbul apabila suatu
informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan
dengan seksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi
kepentingan yang lebih besar dari pada membukanya atau sebaliknya.
Informasi publik yang tidak dapat diberikan/atau tidak dapat dibuka
untuk masyarakat meliputi: a. informasi yang dapat membahayakan
negara; b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan
usaha dari persaingan usaha tidak sehat; c. informasi yang berkaitan
dengan hak-hak pribadi; d. informasi yang berkaitan dengan rahasia
jabatan; dan/atau e. informasi publik yang diminta belum dikuasai atau
didokumentasikan (Pasal 6 ayat 3). Ketentuan Pasal 6 ayat (3) adalah
bersifat mutlak. Hal demikian dapat disimpulkan dari rumusan “tidak
dapat diberikan/atau tidak dapat dibuka”, yang berarti ketentuan diatas
tidak dapat dibuka dalam keadaan apapun.
Informasi-informasi yang dikecualikan untuk dapat diakses oleh
masyarakat diatur dalam ketentuan Pasal 17 huruf a sampai dengan huruf
102 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

j UUKIP. Namun, terhadap ketentuan Pasal 17 ini terdapat pengecualian


seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Menurut Pasal 20
ayat (1) UU KIP pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat
permanen. Berarti dalam keadaan-keadaan dan dengan syarat-syarat
tertentu ketentuan Pasal 17 dapat disimpangi.
Di Belanda sejak tanggal 14 Februari 2005 setiap warga negara
memiliki akses yang luas terhadap pengelolaan lingkungan. Hal ini
disebabkan hasil perubahan terhadap undang-undang informasi dan
undang-undang pengelolaan lingkungan di Belanda. Perubahan terhadap
kedua undang-undang tersebut sebagai hasil dari diberlakukannya the
Aarhus Convention. G.H. Addink menyatakan Since February 14th 2005
citizen have larger access to environmental matters. This is a result of the
changes of the Dutch Information act and the Environmental
Management Act. These two amandement are a result of the Aarhus
Convention which grant the public rights regarding access to
information, publik participation and access to justice, in govermental
decision-making proceses on matters concerning the local, national and
transboundary environment (G.H. Addink 2008:254).
Dalam Dutch Information Act tidak hanya diatur tentang akses
memperoleh informasi tentang pengelolaan lingkungan, namun juga
informasi publik secara umum. Dengan diberlakukannya Dutch
Information Act dapat diakses dokumen-dokumen penting berupa:
documents of parliament, document from departements of a ministry,
departements of the province, local authorities, body of surveyors of the
dikes and the office of the dike-reeve, other public services and
committees (ibid:256). Dokumen-dokumen itu dapat berwujud notes-
concept-minutes-memos-and report are public (ibid).
Terdapat dua bentuk informasi, yaitu informasi yang bersifat aktif
dan informasi yang bersifat pasif. Informasi aktif adalah the information
from managing bodies, provinces, local authorities, water boards, and
other public services and committees. These public institution give
automatically access in their reports and other information sources. They
create this access themselves. Informasi pasif which means that the public
institutions don’t give their information automatically, but only on
request (ibid:258).
Dengan informasi yang aktif berarti informasi tersebut berasal dari
badan-badan publik itu sendiri. Badan-badan publik ini dengan sengaja
memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi.
HUKUM LINGKUNGAN | 103

Sedangkan dengan informasi pasif badan-badan publik akan memberikan


informasi jika memang ada yang memintanya.
Tidak semua informasi dapat diberikan kepada publik, ada
pengecualiannya. Pengecualian pemberian informasi ini dibedakan
menjadi dua macam, yaitu pengecualian secara absolut atau mutlak dan
pengecualian secara relatif. Mengenai hal ini G.H. Addink menyatakan
Absolute means thet the goverment is not allowed to give information that
can do damage in any form or way the Crown, which means the Union of
the Queen and her ministers. Furthermore there is no right of access
when the Protection of Personal Information Act forbids this. The second
category, relative, means that the goverment mus make a contemplation
of interest. Some rules can be contrary to the interest of the public versus
the institutions: the right of access and the need of secrecy and discretion
(ibid:259).
Beberapa permohonan informasi yang dapat ditolak untuk
diberikan adalah: 1. personal opinions of the authorities; 2.
confidentiality concerning the prooceding; 3. international affairs; 3.
economical and financial interest; 4. Secrecy of the production and
construction of companies; 5. investigation and prosecution in criminal
matters; 6. Inspection, control, surveillance, management and
guardianship by the goverment; 7. special environmental matters, like the
Endangared Animal Species Act; 8. information concerning prevention
and restriction of sabotage and organized opposition (ibid).

3.2 Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan


Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan adalah
konsekuensi lebih lanjut dari jaminan hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Hakekat sebenarnya dari hak berperan serta adalah dalam
prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara (KTUN), khususnya
tentang izin lingkungan. Sebelum suatu keputusan izin lingkungan
ditetapkan oleh badan/pejabat yang berwenang, masyarakat diberikan
kesempatan untuk ikut menyumbangkan berbagai pemikiran atau
mengajukan keberatan terhadap izin yang akan dikeluarkan. Keberatan ini
didasarkan pada alasan, misalnya dengan adanya izin lingkungan tersebut
dapat menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan sehingga
akan merugikan masyarakat sekitar. Dalam UUPPLH tidak terdapat
pengaturan tentang peran serta masyarakat, UUPPLH hanya mengatur
peran masyarakat.
Pemberian jaminan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
harus disertai dengan jaminan prosedur perlindungannya agar
104 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

pelaksanaannya agar dapat berfungsi secara efektif. Pelaksanaan hak atas


lingkungan hidup yang baik dan sehat dapat diwujudkan dalam bentuk
hak untuk mengambil bagian dalam prosedur hukum administrasi, seperti
peranserta (inspraak, public hearing) atau hak banding (beroep) terhadap
penetapan administratif (keputusan tata usaha negara) (Siti Sundari
Rangkuti 2005:282).
Dalam “Inspraak”, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam
pengambilan keputusan dengan cara ikut berfikir sebelum keputusan
(meedenken) dan tidak dengan jalan mengajukan keberatan (bezwaren)
sesudah keputusan diambil. Dengan demikian, dalam lembaga “inspraak”
terdapat kegiatan nyata yang dapat memberikan pengaruh terhadap
kebijaksanaan lingkungan dan bertindak dengan cara diskusi dengan
penguasa mengenai masalah lingkungan (meedenken en meesprekeen)
(Siti Sundari Rangkuti 1984:8-9). Peranserta masyarakat sebagai prosedur
perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam
pengelolaan lingkungan adalah dalam rangka mewujudkan keberhasilan
upaya pencegahan pencemaran lingkungan.
Peran serta masyarakat disebut juga dengan istilah partisipasi
masyarakat (istilah dalam Bab XI Undang-Undang No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dikenal diberbagai negara
dengan berbagai istilah sebagai berikut:

Tabel 18. Istilah Peranserta Di Berbagai Negara


No Negara Istilah
1 Belanda Inspraak
2 Swedia Public Information Programmes
3 Denmark Public Information Programmes/Regulatory Decision
making
4 Austria Public Information Programmes
5 Kanada Commissions of Inguiry/Public Hearing/Regulatory
Decision Making
6 Jerman Regulatory Decision Making
7 USA Environmental Assessment Procedures/Impact
Statements/Administrative and Judicial Appeal
Sumber: Siti Sundari Rangkuti, Pembinaan Hukum Lingkungan
Administratif, Hukum Lingkungan Keperdataan dan Hukum
Lingkungan Kepidanaan, 1983/1984.
HUKUM LINGKUNGAN | 105

Peran serta masyarakat merupakan hal yang essensial dalam


pengelolaan lingkungan yang baik (good environmental governance),
terutama dalam prosedur administratif perizinan lingkungan sebagai
instrumen pencegahan pencemaran lingkungan (Siti Sundari Rangkuti
2008:113). Hakekat sebenarnya dari hak berperan serta adalah dalam
prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara (KTUN), khususnya
tentang izin lingkungan. Peran serta masyarakat terasa penting dalam
prosedur administratif pengelolaan lingkungan, seperti misalnya
perizinan, AMDAL dan sebagainya.
Sebelum suatu keputusan izin lingkungan ditetapkan oleh
badan/pejabat yang berwenang, masyarakat diberikan kesempatan untuk
ikut menyumbangkan berbagai pemikiran atau mengajukan keberatan
terhadap izin yang akan dikeluarkan. Keberatan ini didasarkan pada
alasan, misalnya dengan adanya izin lingkungan tersebut dapat
menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan sehingga akan
merugikan masyarakat sekitar.
Dengan peranserta masyarakat berarti tersedianya kesempatan bagi
individu-individu, kelompok, organisasi untuk memberikan masukan
dalam pembuatan keputusan yang berdampak atau kemungkinan
berdampak pada lingkungan, termasuk pembuatan undang-undang,
penegakan hukum dalam suatu negara, kebijakan, dan petunjuk-petunjuk,
dan termasuk prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (Lal
Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson tt:79).
Dengan adanya peran serta masyarakat ini badan/pejabat yang
berwenang akan memperoleh berbagai informasi yang dapat dijadikan
pertimbangan apakah suatu izin lingkungan tetap akan dikeluarkan atau
tidak.. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam pengambilan keputusan
adalah merupakan wujud demokratisasi dalam pengambilan keputusan.
Di samping itu, apabila masyarakat dilibatkan dalam pengambilan
keputusan maka kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap
pengambilan keputusan akan lebih besar. Apabila izin lingkungan tetap
dikeluarkan dan dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan pencemaran
masih terdapat sarana hukum bagi masyarakat, yaitu dengan cara
mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara agar izin tersebut
dapat dibatalkan.
Pentingnya peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
dinyatakan dalam pembukaan Bab 23 Agenda 21 yang menyebutkan
bahwa peranserta masyarakat adalah salah satu prasyarat pokok untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
106 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menetapkan


tiga pilar penting, yaitu access to information, access to decision-making
dan access to justice. (Glenn M. Wiser dan Daniel B. Magraw, JR 2005:24)
Dengan access to information berarti masyarakat atau publik dapat
memperoleh informasi lingkungan secara keseluruhan, kecuali jika
dinyatakan secara tegas bahwa informasi tersebut tidak dapat diberikan
kepada publik.
Access to decision-making berarti masyarakat atau publik dapat
berperanserta dan memberikan pendapat terhadap proses pembuatan
keputusan lingkungan. Dengan demikian, dengan access to decision-
making mensyaratkan bahwa masyarakat akan menerima pemberitahuan
tentang proses pembuatan keputusan lingkungan sejak dini dengan
informasi yang cukup, tepat waktu dan dilakukan dengan cara yang
efektif, serta adanya ketentuan yang jelas dan transparan mengenai
kepentingan orang dan kelompok untuk mengajukan informasi, komentar
atau atau analisis mengenai isu yang relevan.
Sedangkan access to justice berarti setiap individu dan kelompok
memiliki kesempatan untuk mendapatkan ganti kerugian ketika pihak
yang berwenang gagal memenuhi kewajiban mereka untuk menyediakan
akses atas informasi lingkungan dan akses untuk berpereranserta dalam
proses pembuatan keputusan tentang lingkungan.
Salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam pengambilan
keputusan lingkungan misalnya tertuang dalam Hinder Ordonantie (HO)
atau Undang-Undang Gangguan. Berdasarkan Pasal 5 HO memberikan
hak kepada Setiap orang untuk mengajukan keberatan terhadap izin HO
yang ditetapkan oleh bupati/walikota. Di samping dapat mengajukan
keberatan atas ditetapkan izin HO, terdapat juga prosedur banding
administratif terhadap penetapan izin HO kepada instansi yang
kedudukannya lebih tinggi.
Berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan, prinsip 10 Declarasi Rio menyatakan “Environmental issue
are best handled with the participation of all concerned citizens, at the
relevant level. At the national level, each individual shall have
appropriate access to information concerning the environment that is
held by public authorities, including information on hazardous materials
and activities in their communities, and the opportunity to participate in
decision-making processes. State shall facilitate awareness and
participation by making information widely available. Effective access to
judicial and administrative proceeding, including redrees and remedy,
shall be provided”.
HUKUM LINGKUNGAN | 107

Prinsip 10 Declarasi Rio diatas menekankan pentingnya


peningkatan kesempatan masyarakat untuk memperoleh informasi
lingkungan, termasuk informasi tentang bahan dan aktivitas berbahaya
disekitar meraka dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan. Pemerintah harus menyediakan sarana serta
meningkatkan kesadasaran dan partisipasi masyarakat dengan
menyediakan berbagai informasi tentang lingkungan.
Menurut Lothar Gundling, beberapa alasan peran serta masyarakat
adalah: (a) Imforming the aministration (memberi informasi kepada
pemerintah); (b) Increasing the readiness of the public to accept decision
(meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan); (c)
Supplementing judicial protection (membantu perlindungan hukum); (d)
Democratizing decision-making (mendemokratisasikan pengambilan
keputusan) (Yuliandri 2008:294).
G.H Addink mengemukakan alasan/motivasi mengapa peran serta
masyarakat diberikan, yaitu: 1.The need of a hearing about thoughts and
feelings that exist in a Democratic Society; 2. The essenstial of building a
safety valve for the frustrations and anxieties of the citizen;. 3. The use
collecting opinions and feedback from citizens in order to process those
in results that can change the policy of the goverment; 4. The useful
participation of the citizens via joint decision making in a democratic
decision making process.
Diana Conyer mengemukakan tiga alasan mengapa peran serta
masyarakat begitu penting dibutuhkan, Pertama, peran serta masyarakat
merupakan suatu alat guna memperoleh suatu informasi mengenai
kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat, karena tanpa kehadirannya
program pembangunan akan mengalami kegagalan; Kedua, masyarakat
akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika mereka
merasa dilibatkan, mulai dari proses persiapan, perencanaan, dan
pelaksanaannya. Ketiga, mendorong adanya partisipasi umum di banyak
negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi
bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat itu sendiri
(N.H.T Siahaan 2006:113-114).
Dengan adanya peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan diharapkan tujuan-tujuan tertentu akan tercapai. Dalam
hubungan ini OECD menekankan fungsi peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan: Public participation can serve as an opportunity
for allowing citizens and groups to express their views and interest, as a
political tool for anticipating shifts in public attitudes and values and as
means for building consensus in areas of environmental controversy and
108 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

conflict. It is not just a form of anticipatory policy, but a means for


improving the quality and acceptability of goverment decision (Siti
Sundari Rangkuti 2008:113).
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, Peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup mempunyai jangkauan luas. Peranserta
tersebut tidak hanya meliputi peran serta individu yang terkena berbagi
peraturan atau keputusan administratif, akan tetapi meliputi pula peran
serta kelompok dan organisasi dalam masyarakat. Peran serta efektif
dapat melampaui kemampuan orang seorang, baik dari sudut kemampuan
keuangan maupun sudut kemampuan pengetahuan, sehingga peranserta
kelompok dan organisasi sangat diperlukan, terutama yang bergerak di
bidang lingkungan hidup.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang terasa
dewasa ini adalah peran serta masyarakat yang dilakukan oleh lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan. LSM yang
bergerak dalam bidang lingkungan ini oleh UUPPLH disebut Organisasi
Lingkungan Hidup (OLH), yaitu kelompok orang yang terorganisasi dan
terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan
dengan lingkungan hidup (Pasal 1 angka 27 UUPPLH).
Salah satu bentuk peran serta OLH adalah dengan melibatkannya
pada Komisi Pusat dan Komisi Daerah dalam rangka penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). OLH juga juga dapat
memberikan penyuluhan, pendidikan lingkungan atau memberikan
bantuan hukum kepada masyarakat yang menjadi korban pencemaran
untuk mengajukan gugatan di pengadilan.
Bahkan OLH dapat tampil sebagai pihak penggugat dalam kasus
sengketa lingkungan, baik gugatan di pengadilan negeri maupun di
pengadilan tata usaha negara. oleh UUPPLH, OLH diberikan legal
standing atau hak gugat dalam kasus pencemaran lingkungan.
Pada mulanya peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan diatur dalam ketentuan Pasal 6 UULH. Setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup (Pasal 6 ayat 1 UULH). Peran serta masyarakat akan
diatur dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 6 ayat (1)
menyatakan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota
masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan
hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap
pelaksanaan dan penilaian. Dengan adanya peran serta tersebut anggota
masyarakat mempunyai motivasi kuat untuk bersama-sama mengatasi
HUKUM LINGKUNGAN | 109

masalah lingkungan hidup dan menguasahakan berhasilnya kegiatan


pengelolaan lingkungan hidup.
Setelah UULH dicabut dengan UUPLH justru tidak diatur tentang
peran serta masyarakat. Pasal 5 ayat (3) UUPLH hanya mengatur tentang
hak untuk berperan dan bukan hak untuk berperan serta. Pasal 5 ayat (3)
menentukan: Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 5 ayat (3) menyatakan: Peran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses
pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun
dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran tersebut antara lain dalam proses penilaian
menganai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijaksanaan
lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan.
Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan
memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan
keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Di samping itu, Pasal 6 ayat (1) UUPLH menentukan: “Setiap
orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. Penjelasan
Pasal 6 ayat (1) menyatakan: Kewajiban setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat ini tidak terlepas dari kedudukannya sebagai anggota
masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan
makhluk sosial. Kewajiban tersebut mengandung makna bahwa setiap
orang turut berperan serta dalam upaya memelihara lingkungan hidup.
Misalnya, peran serta dalam mengembangkan budaya bersih lingkungan
hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbangan di bidang lingkungan hidup.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UUPLH mengatur tentang peran serta
masyarakat dalam upaya memelihara lingkungan hidup, yang berwujud
peran serta dalam mengembangkan budaya bersih lingkungan, kegiatan
penyuluhan dan bimbingan lingkungan hidup. Namun peran serta
sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) ini tidak memiliki
arti hukum sama sekali. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan dalam artian yuridis adalah peran serta masyarakat dalam
prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara (KTUN) dalam
pengelolaan lingkungan, misalnya izin lingkungan.
Setelah berlakunya UUPPLH juga tidak diatur tentang peran serta
masyarakat. UUPPLH hanya mengatur tentang hak untuk berperan dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pasal 65 UUPPLH ayat (4)
menentukan: Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan
110 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-


undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 65 ayat (5) menyatakan: Setiap
orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengaduan sebagaimana dimaksud pada Pada Pasal 65 ayat (5) akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Penjelasan Pasal 65 ayat (4) UUPPLH tidak menjelaskan lebih
lanjut tentang apa yang dimaksud hak untuk berperan dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan. Pasal 65 ayat (4) UUPPLH hanya
menyatakan cukup jelas. Ketentuan Pasal 65 ayat (5) dan ayat (6)
UUPPLH sesungguhnya tidak perlu ada. Dengan diberikannya hak bagi
setiap orang untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan dikawatirkan akan berimplikasi pada sifat
pasif aparatur penegak hukum. Dalam kasus pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan aparatur baru akan bertindak apabila ada
pengaduan masyarakat. Padahal tindak pidana pencemaran lingkungan
adalah tindak biasa dan bukan tindak pidana aduan.
Kesalahpahaman aparatur penegak hukum pernah terjadi saat
dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Negara Menteri Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor: 03/SE/MENKL/6/1987 tentang Prosedur
Penanggulangan Kasus Pencemaran Lingkungan dan Perusakan
Lingkungan Hidup dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No.19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus
Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan Hidup. Dengan adanya Surat
Edaran dan Keputusan Menteri ini berimplikasi pada sikap pasif aparatur
penegak hukum yang didasarkan pada salah persepsi bahwa tindak pidana
lingkungan adalah tindak pidana aduan. Aparatur penegak hukum akan
bertindak kalau ada pengaduan. Tindak pidana lingkungan adalah tindak
pidana biasa bukan tindak pidana aduan.
Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan Pasal
66 UUPPLH yang menyatakan: “Setiap orang yang memperjuangkan hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara
pidana maupun digugat secara perdata”. Penjelasan Pasal 66 UUPPLH
menyatakan: Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban
dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan
untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan
dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian
peradilan.
HUKUM LINGKUNGAN | 111

Ketentuan Pasal 66 ini dilatarbelakangi seringnya seseorang yang


melaporkan telah terjadinya kasus pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan oleh suatu perusahaan atau industri tertentu, namun kemudian
dilaporkan balik atas dasar pencemaran nama baik sehingga harus
diproses secara pidana. Pasal 66 adalah bentuk perlindungan hukum yang
diberikan kepada orang yang menjadi pelapor terjadinya tindak pidana
lingkungan. Bagi pelapor diberi kekebabalan hukum untuk tidak bisa
dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Meskipun ketentuan Pasal 66 UUPPLH ini dilatar belakangi oleh
ide yang baik, namun sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan Pasal
28D UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang mendapatkan
perlakuan yang sama didepan hukum. Seseorang yang melaporkan telah
terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan memang harus
diberikan perlindungan hukum, tetapi tidak berarti kebal hukum.
Seandainya dia telah membuat laporan palsu tentang telah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan atau laporan yang dibuatnya
tidak terbukti, maka bagi pihak yang dirugikan dapat menuntut atau
menggugatnya secara perdata.
Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) UUPPLH menyatakan bahwa
masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b.
pemberian saran, pendapat, usul, keberatan; dan/atau c. penyampaian
informasi dan/atau laporan (Pasal 70 ayat 2).
Menurut ketentuan Pasal 70 ayat (3) UUPPLH, peran masyarakat
dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian,
keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan
kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d. menumbuhkembangkan
ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dengan demikian, baik UUPLH maupun UUPPLH tidak mengatur
tentang peran serta masyarakat, yang ada hanyalah hak untuk berperan
bagi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Tujuan UUPPLH yang
hendak menyempurnakan UUPLH ternyata tidak terwujud. Apakah
dengan tidak diaturnya peran serta masyarakat merupakan bentuk
pengkebirian terhadap hak publik? Kita tunggu saja bagaimana penerapan
UUPPLH selanjutnya.
112 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Sebagai bahan perbandingan perlu diketengahkan tentang


pengaturan peran serta masyarakat dalam the Aarhus Convention. Dalam
the Aarhus Convention diatur secara komprehensif tiga bentuk peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, yaitu public participation in
decisions on specific activities sebagaimana diatur dalam Article 6, public
participation concerning plans, programmes and policies relating to the
environment sebagaimana diatur dalam Article 7 dan public participation
during the preparation of executive regulations and/or generally
applicable legally binding normative instrument sebagaimana diatur
dalam Article 8.
Selanjutnya setiap bentuk peran serta masyarakat dalam setiap
Article dalam the Aarhus Convention diatur secara terperinci mengenai
bentuk peran serta apa saja yang dapat dilakukan oleh masyarakat.
Pengaturan peran serta masyarakat dalam the Aarhus Convention ini
layak untuk diajukan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
lingkungan dimasa mendatang.

3.2.1 Peran Serta Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan Lingkungan Nasional
Mengenai peran serta masyarakat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan lingkungan ( environmental legislation) diatur
dalam ketentuan Pasal 96 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 96 ayat (1)
menentukan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: a. rapat
dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d.
seminar, lokakarya, dan/atau diskusi (Pasal 96 ayat 2).
Masyarakat adalah orang perorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-
undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis maka setiap Rancangan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan diatur pula dalam Peraturan Presiden
No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan
Presiden. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka penyiapan
dan pembahasan Rancangan Undang-Undang, masyarakat dapat
HUKUM LINGKUNGAN | 113

memberikan masukan kepada pemrakarsa. Pemberian masukan dilakukan


dengan menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan. Dalam
memberikan masukan masyarakat harus menyebutkan identitas secara
lengkap.
Secara komprehensif pengaturan tentang peran serta msyarakat
diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR, yaitu Peraturan DPR RI Nomor
01/ Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI. Untuk peran serta
masyarakat dalam pembentukan Perda akan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan tata tertib DPRD.
Peranserta masyarakat diatur dalam Bab XIV tentang Representasi
Rakyat dan Partisipasi Masyarkat Bagian Kedua Partisipasi Masyarakat
sebagai berikut:

Tabel 19. Peranserta Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan Lingkungan Nasional

Dasar Peranserta Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan


Hukum Perundang-undangan Lingkungan Nasional
Pasal 208 Masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis kepada DPR dalam proses:
a. penyusunan dan penetapan Prolegnas;
b. penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang;
c. pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN;
d. pengawasan pelaksanaan undang-undang; dan
e. pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Pasal 209 1. Dalam hal masukan diberikan secara tertulis dalam
proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 huruf a,
huruf b, huruf d dan huruf e, masukan disampaikan
kepada anggota dan/atau pimpinan alat kelengkapan.
2. Dalam hal masukan diberikan dalam proses
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 huruf c,
masukan disampaikan kepada pimpinan komisi.
Pasal 209 3. Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) disampaikan dengan menyebutkan identitas yang
jelas ditujukan kepada pimpinan DPR, pimpinan komisi,
pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia khusus,
pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan
Anggaran, yang menyiapkan dan menangani
pembahasan rancangan undang-undang serta melakukan
pengawasan pelaksanaan undang-undang, atau
114 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

kebijakan pemerintah.
4. Dalam hal masukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) disampaikan kepada pimpinan DPR, masukan
diteruskan kepada pimpinan komisi, pimpinan gabungan
komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan
Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, yang
menyiapkan rancangan undang-undang.
Pasal 210 1. Dalam hal masukan disampaikan secara lisan, pimpinan
komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia
khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan
Badan Anggaran, menentukan waktu pertemuan dan
jumlah orang yang diundang dalam pertemuan.
2. Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan
panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau
pimpinan Badan Anggaran menyampaikan undangan
kepada orang yang diundang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
3. Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk rapat dengar pendapat umum,
pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan
gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan
Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, atau
pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan
gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan
Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran
didampingi oleh beberapa anggota yang terlibat dalam
penyiapan rancangan undang-undang.
4. Hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menjadi bahan masukan terhadap rancangan undang-
undang yang sedang dipersiapkan.
Pasal 11 Pimpinan alat kelengkapan yang menerima masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 210
menyampaikan informasi mengenai tindak lanjut atas
masukan kepada masyarakat melalui surat atau media
elektronik.
Sumber: Peraturan DPR RI Nomor 01/ Tahun 2009 tentang Peraturan
Tata Tertib DPR RI

Hambatan-hambatan yang mungkin timbul dari pelaksanaan peran


serta masyarakat ini adalah bagaimana cara mengetahui mekanisme peran
HUKUM LINGKUNGAN | 115

serta masyarakat tersebut. Hal ini mengingat yang menjadi dasar hukum
adalah suatu peraturan tata tertib DPR yang tentu tidak mudah untuk
didapat oleh masyarakat. Peraturan tata tertib DPR hanya mempunyai
kekuatan hukum mengikat kedalam dan tidak keluar.
Pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam pembentukan
undang-undang, baik saat penyiapan rancangan undang-undang maupun
ketika proses pembahasan undang-undang di DPR sederhana, serta tidak
ada konsekuensi hukum dalam hal proses partisipasi masyarakat tidak
dilaksanakan ketika proses pembahasan rancangan undang-undang
(Yuliandri 2008:298). Disamping itu, salah satu hal yang tidak terungkap
bagaimana menguji ada umpan balik serta terdapat perubahan yang
signifikan dari rancangan undang-undang yang disiapkan. Adanya peran
serta masyarakat diharapkan akan menghasilkan produk peraturan
perundang-undangan yang implementatif dalam penerapannya di
masyarakat karena peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk atas
informasi, pendapat atau masukan masyarakat yang akan terkena
pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Disamping peningkatan peran serta masyarakat, yang tidak boleh
dilupakan adalah peningkatan kualitas anggota DPR dan pemerintah
sebagai lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan. Dengan lembaga yang berkualitas tentunya akan
menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang berkualitas
juga.
Produk perundang-undangan yang berkualitas sangat penting
terutama yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Bila suatu
peraturan perundang-undangan lingkungan dibuat secara gegabah dan
tanpa pertimbangan yang mendalam, atau tanpa informasi yang luas dari
masyarakat tentunya akan berdampak luar biasa pada lingkungan.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan akan terjadi dan dampaknya akan
diraskan oleh setiap orang.
Sebagai contoh adalah dikeluarkannya PERPU No.1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No.19
Tahun 2004. Berdsarkan Undang-Undang No.19 Tahun 2004 ini
pemerintah memberikan izin kepada tiga belas perusahaan pertambangan
untuk melakukan kegiatan pertambangan dikawasan hutan lindung yang
sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang No.41 Tahun 1999. Pasal 83A
menyatakan bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang
pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya
Undang-Undang No.41 Tahun 2009 tentang Kehutanan dinyatakan tetap
116 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

berlaku sampai berakhirnya izin perjanjian dimaksud. Selanjutnya Pasal


83B menyatakan pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83A ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 83B Undang-Undang No.19
Tahun 2004 diatas telah dikeluarkan Keputusan Presiden No.41 Tahun
2004 tentang Perijinan atau Perizinan di Bidang Pertambangan yang
Berada di Kawasan Hutan. Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut
telah ditetapkan tiga belas izin untuk perusahaan pertambangan di
kawasan hutan, yaitu: PT. Freeport Indonesia, PT Gag Nickel, PT Weda
Bay Nickel, PT Nusa Halmahera Mineral, PT Aneka Tambang, PT Pelsart
Tambang Kencana, PT Interec Sacra Raya, Karimun Granite, PT Soric
Mas Mining, PT Indominco Mandiri, PT Natarang Mining, PT
International Nickel Indonesia dan PT Aneka Tambang (Antam-Bahulu).
Dengan terbitnya undang-undang seperti ini, dapat dipastikan di
masa mendatang akan banyak terjadi bencana ekologi yang luar biasa.
Kegiatan penambangan dikawasan hutan lindung tentunya akan
menimbulkan dampak berupa kerusakan hutan yang kemudian akan
menimbulkan berbagai bencana lingkungan, sperti banjir, tanah longsor,
kerusakan habitat yang hidup dalam hutan dan lain-lain.

3.2.2 Peran Serta Masyarakat Dalam Prosedur AMDAL


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah
instrumen preventif pencegahan pencemaran lingkungan. AMDAL lahir
dengan diundangkannya undang-undang tentang lingkungan hidup di
Amerika Serikat, National Environmental Policy Act (NEPA), pada tahun
1969 (Otto Soemarwoto 1997:1). NEPA mulai berlaku tanggal 1 Januari
1970.
Penggunaan AMDAL sebagai instrumen pencegahan pencemaran
lingkungan ini kemudian banyak diikuti oleh negara-negara lain,
termasuk Indonesia. Pentingnya penerapan AMDAL dalam pengelolaan
lingkungan juga dituangkan dalam Prinsip 17 Deklarasi Rio:
Environmental impact assesment, as national instrument, shall be
undertaken for proposed activities that are likely to have significant
adverse impact on the environment and are subject to a decision of a
competent national authority.
AMDAL adalah suatu kegiatan (studi) yang dilakukan untuk
mengidentifikasi, memprediksi, menginterprestasi dan
mengkomunikasikan pengaruh suatu rencana kegiatan (proyek) terhadap
lingkungan (Daud Silalahi 1995:23). AMDAL adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan
HUKUM LINGKUNGAN | 117

pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan


keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 ayat
(1) PP No.27 Tahun 1999 tentang AMDAL).
Tidak setiap usaha dan/atau kegiatan wajib AMDAL. Hanya usaha
dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan yang
wajib memiliki AMDAL. Kriteria tentang dampak penting ditentukan
Pasal 22 UUPPLH sebagai berikut: a. Besarnya jumlah penduduk yang
akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. Luas wilayah
penyebaran dampak; c. Intensitas berlangsung; dan lamanya dampak; d.
Banyaknya komponen lingkungan lain yang akan terkena dampak; e.
Sifat kumulatif dampak; f. Berbalik dan/atau berbaliknya dampak; dan g.
Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
AMDAL disusun oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan dengan
melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan
AMDAL harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang
transparan dan lengkap serta harus diberitahukan sebelum kegiatan
dilaksanakan.
Masyarakat yang dilibatkan dalam proses penyusunan AMDAL
adalah masyarakat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 26 ayat (3), yaitu:
a. Masyarakat yang terkena dampak; b. Masyarakat pemerhati lingkungan
hidup; dan/atau c. Masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk
keputusan dalam proses AMDAL. Masyarakat dapat mengajukan
keberatan terhadap dokumen AMDAL. Dokumen AMDAL harus memuat
saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan.
Peran serta masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL lebih
lanjut diatur dalam PP No.29 Tahun 1999 tentang AMDAL. Peran serta
masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL diatur dalam Bab VI
tentang Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat.
Pasal 33 ayat (1) PP AMDAL menentukan bahwa setiap usaha
dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib
diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa
menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Pengumuman
dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan pemrakarsa (Pasal
33 ayat 2). Tata cara dan bentuk pengumuman ditetapkan oleh Kepala
instaansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup.
Dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak diumumkannya rencana
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1),
warga masyarakat yang berkepentingan berhak mengajukan saran,
118 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana usaha


dan/atau kegiatan tersebut (Pasal 33 ayat 3). Tata cara penyampaian
saran, pendapat dan tanggapan masyarakat ditetapkan oleh kepala instansi
yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 34 ayat (1) PP AMDAL menetapkan bahwa bagi warga
masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses
penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup. Bentuk dan tata cara keterlibatan
masyarakat dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka
acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup ditetapkan
oleh kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup,
saran,pendapat, dan tanggapan warga masyarakat yang berkaitan,
kesimpulan komisi penilai, dan keputusan kelayakan lingkungan hidup
dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum (Pasal 35 ayat
1). Semua dokumen-dokumen oleh instansi yang bertanggung jawab
diserahkan kepada suatu lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan.
Peran serta masyarakat dalam prosedur AMDAL dapat juga dengan
dilibatkannya organisasi lingkungan lingkungan hidup sesuai dengan
bidang usaha dan/kegiatan yang dikaji, masyarakat terkena dampak, serta
anggota lain yang dipendang perlu dalam komisi penilai AMDAL, baik
itu komisi penilai AMDAL tingkat pusat ataupun komisi penilai AMDAL
tingkat daerah.

3.2.3 Peran Serta Masyarakat Dalam Hinder Ordonantie dan


Permasalahannya
Dalam Hinder Ordonantie Stb.1926 No.226, yang
diubah/ditambah, terakhir dengan Stb.1940 No.450 diatur tentang peran
serta masyarakat berupa hak masyarakat untuk menyatakan
pendapat/keberatan sebelum permohonan izin diputuskan dan hak
masyarakat untuk mengajukan banding terhadap izin HO kepada
gubernur. Peran serta masyarakat berupa hak untuk menyatakan
pendapat/keberatan sebelum permohonan izin HO dikabulkan diatur
dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan “Ia (pejabat yang
berwenang) harus membeberkan permintaan itu dengan lampirannya
dalam kantornya agar dapat diperiksa oleh tiap-tiap orang, dan
memberitahukan hal itu kepada orang banyak dengan menempelkan
pemberitahuan yang tertulis dalam bahasa Indonesia dan bila perlu juga
HUKUM LINGKUNGAN | 119

dalam bahasa asing di atas atau dekat tempat tanah yang bersangkutan
itu”
Pasa 5 ayat (3) menentukan bahwa dalam satu bulan sesudah hari
pemberitahuan itu, setiap orang berhak untuk menyatakan keberatannya
terhadap pemberian izin itu kepada pejabat tesebut pada ayat (1). Pejabat
yang berwenang harus memeriksa keberatan-keberatan itu, dan apabila
dapat, ia harus mendengar orang-orang yang berkepentingan tersebut
guna kepentingan mereka dan juga ia harus memeriksa adanya keberatan-
keberatan lain tentang pemberian izin yang diminta itu.
Peran serta masyarakat untuk mengajukan banding terhadap
penetapan izin HO diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang
menyatakan “Keputusan tentang suatu permintaan izin harus dengan
segera diberitahukan kepada orang yang meminta, dan juga kepada umum
dengan menempelkan suatu pemberitahuan dalam bahasa Indonesia di
atas atau di dekat tanah untuk tempat kerja itu”. Terhadap keputusan izin
orang dapat mengajukan banding: a. bila diberikan oleh sebuah propinsi,
kepada College van Gedeputeerdennya (kini dapat disamakan dengan
DPRD) atau kepada Gubernurnya kalau College van Gedeputeerdennya
belum terbentuk; b. dalam hal-hal lainnya kepada Gubernur (kini: untuk
Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada Gubernur DKI dan untuk Daerah
Istimewa Jogyakarta kepada Kepala Daerah DIJ).
Yang berhak meminta banding itu ialah si pemohon dan orang-
orang yang berkepentingan, masing-masing sejauh dikalahkan dalam
keputusan itu. Hal meminta keputusan banding lebih tinggi itu kepada
College van Gedeputeerden atau kepada Gubemur, harus dilakukan dalam
empat belas hari sesudah pemberitahuan yang tersebut pada ayat (1) itu
(Pasal ayat (2) HO).
Barangsiapa meminta keputusan banding itu haruslah
memberitahukan hal itu pada waktu itu juga kepada pejabat yang
memberikan keputusan yang tersebut pada ayat (1). Pejabat itu
mengumumkan dengan segera menurut cara yang disebut pada ayat (1).
Jika permintaan itu dilakukan oleh orang selain daripada si pemohon izin
itu, maka permintaan keputusan lebih tinggi itu diberitahukan selekas-
lekasnya oleh pejabat tersebut kepada si pemohon izin dengan surat
tercatat (Pasal 10 ayat 3 HO).
Sesudah itu, pejabat yang tersebut pada ayat di atas ini
mengirimkan selekas-lekasnya segala surat-surat, bersama-sama dengan
pertimbangannya, kepada pejabat tempat orang meminta keputusan lebih
tinggi itu. Pejabat yang memberi keputusan banding itu mensahkan,
menambahi, mengubah atau membatalkan keputusan terdahulu itu dengan
120 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

surat ketetapan yang menyebut sebab-musababnya dan dalam hal


membatalkannya, la dapat memberi keputusan sendiri atau mengirimkan
permintaan izin itu kembali kepada pejabat yang mula-mula memutuskan
itu supaya ditinjau kembali (Pasal 10 ayat 4).
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (5) HO bahwa adanya
permohonan banding tidak mempunyai kekuatan penangguhan, yang
berarti tiduk menunda berlaku izin HO yang dimintakan banding. Izin HO
yang diberikan itu boleh dipindahkan kepada orang lain.
Permasalahan yang timbul berkaitan dengan prosedur keberatan
dalam HO adalah mengenai cara pengumuman apabila ada suatu
permohonan izin HO yang harus ditempel dikantor Bupati/Walikota.
Dengan cara pengumuman yang demikian tentu tidak dapat dengan
mudah untuk diketahui bahwa ada permohonan izin HO. Apabila dalam
jangka waktu 30 (tiga) puluh hari telah lewat dan tidak ada keberatan
maka prosedur keberatan sudah tidak bisa dilakukan lagi.
Apabila prosedur keberatan sudah tidak dapat dilakukan masih
terdapat upaya banding yang harus diajukan kepada gubernur dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman keputusan izin.
Persoalannya adalah dalam praktek belum banyak mengetahui dan
mempergunakan upaya banding ini. Akibatnya sarana banding (beroep)
terhadap izin HO dalam Pasal 10 HO tidak pernah dimanfaatkan sebagai
upaya administratif (Siti Sundari Rangkuti 2005:151).
Secara umum pelaksaan HO sebagai salah satu peraturan
perundang-undangan lingkungan memang menimbulkan berbagai
problematika. HO masih tertulis dalam bahasa Belanda yang untuk
kelancaran penggunaannya terdapat terjemahan dalam bahasa Indonesia
dengan berbagai versi. Terjemahan kedalam bahasa Indonesia ini belum
tentu tepat dan juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah HO dalam bahasa aslinya
karena yang dimuat dalam Staatblad adalah HO yang ada dalam bahasa
Belanda.
HO mempunyai jangkauan yang sangat terbatas, yaitu 200 meter
dari tempat usaha yang bersangkutan serta dalam batas Daerah Tingkat II.
Pencemaran lingkungan tidak mengenal batas wilayah Daerah Tingkat II
atau bahkan batas negara, pencemaran dapat terjadi secara transnasional
atau melintasi batas-batas negara.
Banyak sumber pencemaran yang tidak terjangkau oleh HO,
mengingat HO hanya mengatur tentang pencemaran dari tempat usaha.
Sumber pencemaran di luar tempat usaha tidak dapat tersentuh oleh HO.
HUKUM LINGKUNGAN | 121

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya HO


akan semakin menjadi ketinggalan.
HO juga hanya dapat menjerat pelaku pencemaran yang dilakukan
oleh perusahaan yang bersifat individual atau mandiri. Pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan secara bersama-sama atau
kolektif tidak dapat dijangkau oleh HO.
Sanksi administrasi yang ada dalam HO tidak bersifat fakultatif
sehingga dapat saja dijatuhkan meskipun terhadap pelanggaran-
pelanggaran kecil. Sanksi pidana yang ada dalam Pasal 15 ayat (1)a HO,
yaitu sanksi pidana selama-lamanya 2 bulan kurungan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.500 (lima ratus rupiah) (dinaikkan menjadi lima
belas kali berdasarkan UU No.18/Prp/1960 tentang Perubahan Jumlah
Hukuman Denda Dalam KUHP dan Dalam Ketentuan-ketentuan Pidana
Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum tanggal 17 Agustus 1945) tentu
sangat ringan dan tidak sesuai dengan perkembangan pengelolaan
lingkungan sekarang ini. Demikian juga dengan ketentuan Pasal 15 ayat
(1)b yang menetapkan bahwa bagi perusahaan yang melanggar
persyaratan perizinan yang telah ditetapkan dikenakan sanksi kurungan
selama-lamanya 2 (dua) minggu atau denda setinggi-tingginya Rp.250
(dua ratus lima puluh rupiah) tentunya tidak mempunyai arti sama sekali
bagi pengelolaan lingkungan sekarang ini.

3.3 Gugatan Sengketa Lingkungan di Pengadilan Tata Usaha Negara


3.3.1 Dasar Hukum Gugatan Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata
Usaha Negara
Salah satu kekurangan atau kelemahan UULH maupun UUPPLH
adalah tidak adanya pengaturan tentang penyelesaian sengketa lingkungan
melalui gugatan di peradilan tata usaha negara. Namun demikian, dalam
praktek peradilan telah ada beberapa kasus sengketa lingkungan yang
diajukan ke peradilan tata usaha negara. Penyelesaian sengketa
lingkungan melalui peradilan tata usaha negara memiliki kelebihan
dibandingkan dengan penyelesaian sengketa lingkungan di peradilan
umum, baik itu melalui gugatan perdata maupun tuntutan secara pidana.
Gugatan perdata di peradilan umum bertujuan untuk memperoleh
ganti kerugian bagi korban pencemaran/perusakan lingkungan yang
tentunya tidak menyentuh persoalan pencemarannya. Tuntutan pidana
ditujukan kepada pelaku atau pencemar yang juga tidak menyentuh
persoalan pencemarannya. Gugatan perdata atau tuntutan pidana di
peradilan umum adalah tidak untuk menyelesaikan persoalan pencemaran
itu sendiri.
122 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Gugatan sengketa lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara


bertujuan untuk membatalkan izin lingkungan yang dimiliki oleh suatu
usaha dan/atau kegiatan. Dengan dibatalkannya izin lingkungan tersebut
berarti suatu usaha/kegiatan tidak dapat melanjutkan lagi
usaha/kegiatannya sehingga sumber pencemarannya dapat dihentikan.
Sasaran yang dituju disini adalah perbuatannya (pencemarannya).
Gugatan terhadap izin lingkungan di peradilan tata usaha bertujuan untuk
menghentikan pencemran yang terjadi.
Mengingat sebagian besar materi hukum lingkungan adalah hukum
administrasi maka besar kemungkinan dapat terjadi sengketa administrasi
atau sengketa tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan/pejabat tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN (izin lingkungan) yang menimbulkan kerugian bagi orang atau
badan hukum perdata.
Segi hukum lingkungan administratif terutama muncul apabila
keputusan penguasa yang bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk
penetapan (beschikking) penguasa, misalnya dalam prosedur perizinan,
penentuan baku mutu lingkungan, prosedur analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL) dan sebagainya (Siti Sundari Rangkuti 2005:5).
Mengenai materi hukum lingkungan sebagai bagian dari hukum
administrasi dijelaskan oleh Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman
yang menyatakan “environmental law is classified as a branch of
administrative law. This classification means that these laws are overseen
by body known as administrative agency, and that many of the specific
regulations in this area also established by this agency. Because
environmental law falls within this classification, some basic
understanding of administrative law is necessary”.
Apabila penguasa mengeluarkan KTUN, misalnya izin lingkungan
yang menimbulkan pencemaran lingkungan sehingga merugikan
kepentingan orang atau badan hukum perdata maka orang atau badan
hukum perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha
negara yang berisi tuntutan agar KTUN (izin lingkungan) tersebut
dinyatakan batal atau tidak sah.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan tata usaha
negara diatur dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) yang menyatakan bahwa
etiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha
negara apabila: a. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin
lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak
dilengkapi dengan dokumen amdal; b. Badan atau pejabat tata usaha
negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-
HUKUM LINGKUNGAN | 123

UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau c.


Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Pasal 93
ayat (2) menentukan bahwa tata cara pengajuan terhadap keputusan tata
usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Gugatan sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara
mengacu pada hukum acara peradilan tata usaha negara, yaitu hukum
acara peradilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dua kali dengan Undang-Undang No. 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara ( UU PERATUN).
Ketentuan Pasal 93 UUPPLH yang menyatakan “Setiap orang
dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara”
bukanlah berarti siapa saja dapat menjadi pihak penggugat dalam
sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara. Pengertian setiap
orang ini harus dihubungkan dengan pengertian sengketa tata usaha
negara dan pengertian keputusan tata usaha negara (KTUN) sebagai
obyek sengketa di peradilan tata usaha negara.
Pasal 1 angka 4 UU PERATUN menyatakan: “Sengketa tata usaha
negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan
Pasal 1 angka 4 UU PERATUN subyek sengketa tata usaha negara adalah
orang atau badan hukum perdata melawan badan/pejabat tata usaha
negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Orang
atau badan hukum perdata adalah pihak penggugat yang menggugat
badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN sebagai pihak
tergugat. Keputusan tata usaha negara adalah obyek sengketa di peradilan
tata usaha negara. Keputusan tata usaha negara (KTUN) adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3).
124 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Mengenai kedudukan orang atau badan hukum perdata sebagai


pihak penggugat dalam sengketa tata usaha negara ditentukan dalam Pasal
53 ayat (1) UU PERATUN: orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi dan/atau rehabilitasi.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN
menyatakan: sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 maka hanya orang
atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum
saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya hanya
orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat
hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya
yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan
Tata Usaha Negara.
Kedudukan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai tergugat
ditentukan oleh Pasal 1 angka 6 yang menyatakan: “Tergugat adalah
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”.
Setiap orang yang dimaksud oleh Pasal 93 ayat (1) UUPPLH
adalah orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan
oleh KTUN yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara.
Orang atau badan hukum perdata inilah yang menjadi pihak penggugat
dalam kasus sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara.
Orang atau badan hukum perdata ini dapat mengajukan gugatan
terhadap KTUN di pengadilan tata usaha negara dengan alasan-alasan: a.
KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; b. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik. (Pasal 53 ayat (2) UU
PERATUN). Menurut penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU PERATUN,
KTUN yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan secara prosedural/formal dan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan secara materiil atau substantif.
Berdasarkan ketentuan Pasal Pasal 93 ayat (1) UUPPLH, gugatan
terhadap KTUN yang berwujud izin lingkungan dapat dilakukan dengan
alasan-alasan: a. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin
HUKUM LINGKUNGAN | 125

lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak
dilengkapi dengan dokumen amdal; b. Badan atau pejabat tata usaha
negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-
UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau c.
Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Ketentuan Pasal 93 ayat (1) UUPPLH ini harus dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UU PERATUN. Apabila
dengan diterbitkannya KTUN (izin lingkungan) merugian kepentingan
orang atau badan hukum perdata maka dapat diajukan gugatan di
peradilan tata usaha negara dengan alasan-alasan sebagaimana disebut
oleh Pasal 53 ayat (2) agar KTUN (izin lingkungan) itu dinyatakan batal
atau tidak sah dengan atau tanpa disertai ganti kerugian. Artinya,
meskipun izin lingkungan yang diterbitkan kepada usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal dan dilengkapi dengan dokumen amdal atau
izin lingkungan yang diterbitkan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL
dan dilengkapi dengan UKL-UPL ataupun izin usaha yang dilengkapi
dengan izin lingkungan, namun apabila dengan diterbitkannya izin
lingkungan ini menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan sehingga
merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata maka dapat
diajukan gugatan di peradilan tata usaha negara agar izin lingkungan
tersebut dinyatakan batal atau tidak sah.
Secara lebih jelas, orang atau badan hukum perdata dapat
menggugat suatu KTUN yang merugikan kepentingannya ke peradilan
tata usaha negara dengan alasan KTUN itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau KTUN itu bertentangan dengan
AUPB. Dengan demikian, sepanjang KTUN itu merugikan kepentingan
orang atau badan hukum perdata, namun tidak terpenuhi ketentuan
sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 93 ayat (1) UUPPLH, orang atau
badan hukum perdata tetap dapat menggugatnya di peradilan tata usaha
negara karena KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan AUPB.

3.3.2 Izin Lingkungan Sebagai Obyek Sengketa Lingkungan di Peradilan


Tata Usaha Negara
Yang menjadi obyek sengketa lingkungan di peradilan tata usaha
negara adalah izin lingkungan. Izin lingkungan ini digugat oleh orang
atau badan hukum perdata karena merugikan kepentingannya dengan
tujuan agar izin lingkungan ini dinyatakan batal atau tidak sah.
126 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Dalam UULH maupun UUPPLH tidak terdapat terminologi izin


lingkungan. Istilah izin lingkungan terdapat dalam peraturan perundang-
undangan lingkungan yang baru, yaitu UUPPLH. Izin lingkungan adalah
adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35 UUPPLH).
Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi
teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36).
Sesungguhnya Pasal 1 angka 35 UUPPLH diatas tidak menjelaskan
apa yang dimaksud dengan izin usaha/kegiatan. UUPPLH hanya
menjelaskan bahwa izin usaha dikeluarkan oleh instansi teknis. Jadi
kepada pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan dipersilahkan untuk mencari
sendiri instansi teknis yang berwenang untuk menerbitkan izin
usaha/kegiatan yang sedang diprakarsainya.
Perizinan merupakan kategori penting keputusan-keputusan dalam
rangka ketentuan-ketentuan larangan dan/atau keputusan-keputusan
perintah. Sistemnya adalah bahwa undang-undang melarang suatu
tindakan tertentu atau tindakan-tindakan tertentu yang saling
berhubungan. Larangan ini tidak dimaksudkan secara mutlak, namun
untuk dapat bertindak dan mengendalikan masyarakat dengan cara
mengeluarkan izin (Philipus M. Hadjon 1994:126). The basic idea of
permit system is that the law explicitly forbids a certain activity, and
subsequently rules that activity is only allowed when a competent
authority has issued permit (Marjan Peters 2004).
Dengan demikian, dengan sistem perizinan: pada dasarnya sesuatu
adalah dilarang kecuali dengan izin. Siti Sundari Rangkuti menyatakan:
“untuk mendirikan instalasi (“inrichting”) yang dapat menimbulkan
gangguan atau pencemaran lingkungan dipergunakan izin lingkungan,
karena pada dasarnya: “dilarang, kecuali dengan izin”, yang berarti
pemrakarsa memerlukan izin lingkungan (“milieuverguning”-
“environmental licence”)”. Lebih lanjut Siti Sundari Rangkuti
menyatakan: “Jenis perizinan yang umumnya mengenai kegiatan yang
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan dikenal dengan istilah
izin lingkungan (“environmental licence” atau “milieuvergunning”)”.
Perizinan merupakan instrumen kebijaksanaan yang paling penting.
Izin tertulis diberikan dalam bentuk penetapan (beschikking) penguasa.
Environmental licencing is a state administrative decision (beschikking)
and contains precise measuring instrument to achieve to compulsory
HUKUM LINGKUNGAN | 127

environmental management prerequisities needed to prevent pollution


(Siti Sundari Rangkuti dan Suparto Wijoyo 1997:99).
Perizinan pada intinya memiliki tujuan-tujuan: for revenue rising,
to control the use natural resource, to control socially undersirable
activities, to protect the public against dishonest persons and to control
the development of land (W. Riawan Tjandra 2005:80). Izin lingkungan
difungsikan sebagai instrumen dalam pengelolaan lingkungan yang
dibutuhkan untuk pencegahan pencemaran lingkungan.
Izin lingkungan adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 9 UU PERATUN yang memenuhi
unsur-unsur: suatu penetapan tertulis, dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara, berisi tindakan hukum tata usaha negara,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat
konkret individual, dan final, dan menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Izin lingkungan yang merugikan
(menimbulkan pencemaran lingkungan) kepentingan orang atau badan
hukum perdata dapat digugat di peradilan tata usaha negara supaya
dibatalkan atau dinyatakan tidak sah untuk menghentikan pencemaran
yang terjadi.

3.3.3 Hambatan-Hambatan Penyelesaian Sengketa Lingkungan di


Peradilan Tata Usaha Negara
Gugatan terhadap izin lingkungan di peradilan tata usaha negara
adalah sarana efektif untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran
lingkungan yang terjadi. Dengan dibatalkannya izin lingkungan yang
dimiliki oleh suatu usaha dan/atau kegiatan berarti menghentikan
pencemaran lingkungan yang terjadi. Di sini yang dituju adalah langsung
pada sumber pencemarannya.
Dengan sistem perizinan lingkungan sektoral yang ada di Indonesia
menjadi penghambat sarana gugatan di peradilan tata usaha negara untuk
pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan. Perizinan
lingkungan dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang berbeda dan dengan
prosedur yang berbeda, tidak ada sistem perizinan lingkungan terpadu.
Jenis perizinan lingkungan di Indonesia sedemikian banyaknya sehingga
Waller dan Waller menamakan Indonesia sebagai een vergunningenland
(negara perizinan) (Siti Sundari Rangkuti 2005:24).
Setiap izin adalah berdiri sendiri dan tidak saling terkait. Apabila
salah satu izin dicabut atau dibatalkan masih ada izin yang lainnya. Hal
demikian terjadi misalnya dalam kasus pencemaran lingkungan di Medan
yang dilakukan oleh PT. Sari Morawa. Izin HO dari PT Sari Morawa ini
128 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

telah dicabut oleh Walikota Medan, namun PT Sari Morawa masih tetap
bisa beroperasi karena masih memiliki izin yang lain, yakni izin usaha
industri (NHT Siahaan 2006:190) sehingga pencemaran lingkungan yang
dilakukan oleh PT. Sari Morawa tidak berhenti.
Diperlukan adalah reformasi perizinan lingkungan dari yang
bersifat sektoral menjadi perizinan lingkungan yang bersifat terpadu, yang
berarti hanya ada satu jenis izin lingkungan dan diterbitkan oleh satu
badan/pejabat yang berwenang. Dengan hanya ada satu jenis izin
lingkungan tentu akan menguntungkan bagi pemrakarsa usaha dan/atau
kegiatan karena cukup membutuhkan satu jenis izin lingkungan saja.
Disamping itu, bila dalam pelaksanaan izin lingkungan ini menimbulkan
pencemaran lingkungan, maka bagi pihak yang dirugikan dapat
mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara agar izin lingkungan
yang menyebabkan pencemaran lingkungan dinyatakan batal atau tidak
sah. Dengan dibatalkannya izin lingkungan berarti akan menghentikan
pencemaran yang terjadi.
Setelah diundangkannya UUPPLH memang ada usaha untuk
menciptakan unifikasi sistem perizinan lingkungan. Setiap usaha dan/atau
kegiatan bisa memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan kalau sudah
memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan adalah prasyarat untuk
diterbitkannya izin usaha dan/atau kegiatan oleh badan/pejabat yang
berwenang. Apabila izin lingkungan dicabut maka izin usaha dan/atau
kegiatan juga ikut dicabut.
Namun sayangnya, UUPPLH juga tidak menyebutkan jenis izin
usaha dan/atau kegiatan apa saja yang memerlukan izin lingkungan.
UUPPLH hanya menyatakan bahwa izin usaha dan/kegiatan dikeluarkan
oleh instansi teknis. Dengan demikian pemrakarsa usaha dan/atau
kegiatan harus mencari sendiri instansi teknis mana yang berwenang
untuk menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatannya.
Ditetapkannya izin lingkungan sebagai syarat untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan ini akan membingungkan karena suatu izin
usaha dan/atau kegiatan terkadang juga berfungsi sebagai izin lingkungan
yang fungsinya untuk mencegah pencemaran lingkungan. Misalnya
adalah izin usaha industri berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1984
tentang Perindustrian yang salah satu fungsinya adalah juga untuk
mencegah pencemaran lingkungan.
Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara menyatakan: Setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan
HUKUM LINGKUNGAN | 129

mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan


usaha dan/atau kegiatan.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) PP. No. 41 Tahun 1999 diatas tidak
ditetapkan izin khusus berupa “izin pembuangan emisi”, namun cukup
dituangkan dalam persyaratan yang ada dalam izin usaha/ dan atau
kegiatan. Dengan demikian izin usaha dan/atau kegiatan ini berfungsi
sebagai sarana pencegahan pencemaran lingkungan (udara).
Di samping itu, meski telah memperkenalkan izin lingkungan,
UUPPLH masih mengatur tentang perizinan lain yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan sehingga dapat dikualifikasi sebagai izin
lingkungan. Dalam UUPPLH terdapat: Izin pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun sebagaimana diatur dalam Pasal 59 dan Izin
melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 61.
Di luar UUPPLH terdapat juga izin HO berdasarkan Hinder
Ordonantie yang menjadi wewenang bupati/walikota, izin pemanfaatan
air limbah dan izin pembuangan air limbah berdasarkan PP No.82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
yang menjadi wewenang bupati/walikota, izin pengelolaan sampah
berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah yang menjadi wewenang kepala daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing dan berbagai jenis perizinan lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Bila salah satu jenis izin diatas, misalnya dibatalkan oleh peradilan
tata usaha negara maka izin yang lain tidak menjadi otomatis ikut batal
karena diantara izin-izin itu tidak saling terkait. Dengan dibatalkannya
salah satu jenis izin tidak menghentikan pencemaran karena suatu usaha
dan/atau kegiatan akan tetap beroperasi karena masih ada izin yang lain.
Disamping itu, mungkin ada keengganan dari pengadilan untuk
membatalkan izin lingkungan yang digugat karena dikuatirkan akan
menimbulkan dampak yang lain, misalnya pemutusan hubungaan kerja
(PHK) terhadap pekerja/buruh di perusahaan yang izinnya dibatalkan.
Terhadap pelaksanaan izin lingkungan juga dapat dilakukan
penegakan hukum lingkungan administratif. Penegakan hukum
lingkungan administratif berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan
yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan atau secara konkrit oleh badan
atau pejabat yang berwenang memberikan izin lingkungan melalui
mekanisme pengawasan dan sanksi administrasi.
Pejabat atau instansi yang berwenang memberi izin lingkungan
merupakan aparatur penegak hukum utama dalam penegakan hukum
130 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

lingkungan. Pejabat atau instansi yang berwenang memberi izin


lingkungaan adalah aparatur yang mampu mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan melalui izin yang diberikan.
Izin lingkungan adalah instrumen hukum lingkungan yang
berfungsi sebagai sarana pencegahan pencemaran lingkungan. Prinsip
umum mengenai wewenang penegakan hukum lingkungan administratif
adalah: pejabat yang berwenang memberi izin lingkungan
bertanggungjawab terhadap penegakan hukum lingkungan administratif
(Siti Sundari Rangkuti 1999).
Penegakan hukum lingkungan administratif dilakukan melalui
mekanisme pengawasan dan penerapan sanksi administrasi. Pengawasan
adalah instrumen penegakan hukum lingkungan administratif yang
bersifat preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan sanksi
administrasi adalah instrumen penegakan hukum lingkungan administratif
yang sifatnya represif untuk memaksakan kepatuhan (Philipus M. Hadjon
1996:1).
Pengawasan sebagai sarana penegakan hukum lingkungan
administratif diatur dalam Bab XII tentang Pengawasan dan Sanksi
Administrasi dari Pasal 71 sampai dengan Pasal 75. Pasal 71 ayat (1)
menentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melaksanakan pengawasan
kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggungjawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 71 ayat 2). Dalam
melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang yang merupakan
pejabat fungsional (Pasal 71 ayat (3).
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1), pejabata pengawas
lingkungan hidup berwenang: a. Melakukan pemantauan; b. Meminta
keterangan; c. Membuat salinan dan dokumen dan/atau membuat catatan
yang diperlukan; d. Memasuki tempat tertentu; e. Memotret; f. Membuat
rekaman audio visual; g. Mengambil sampel; h. Memeriksa peralatan; i.
Memeriksa peralatan; j. Memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi;
dan/atau k.Menghentikan pelanggaran tertentu. Dalam melaksanakan
tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil. Bagi
HUKUM LINGKUNGAN | 131

Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi tugas


pejabat pengawas lingkungan hidup.
Lebih lanjut Pasal 72 menyatakan bahwa Menteri, gubernur, atau
bupat/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
izin lingkungan. Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah
daerah jika pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal
73).Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat
pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan akan
diatur lebih lanut dalam Peraturan Pemerintah
Yang menjadi problematika berkaitan dengan pengawasan sebagai
sarana penegakan hukum lingkungan administratif adalah ketentuan
Pasal 73 UUPPLH yang menetapkan: Menteri dapat melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika
pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Apa yang digariskan dalam ketentuan Pasal 73 UUPPLH diatas
bertentangan dengan prinsip umum penegakan hukum lingkungan
administratif yang menyatakan bahwa pejabat yang memberi izin
lingkungan bertanggungjawab terhadap penegakan hukum lingkungan
administratif. Siapa yang dimaksud dengan Menteri oleh Pasal 73
UUPPLH? Menurut Pasal 1 angka 39 UUPPLH Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Berdasarkan Peraturan Presiden No.9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia, Menteri yang dimaksud adalah
kementerian negara lingkungan hidup (KNLH). Pada mulanya
kementerian negara lingkungan hidup bernama menteri negara
lingkungan hidup. Bagaimana mungkin KNLH diserahi wewenang untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan izin lingkungan yang
diterbitkan oleh pemerintah daerah. Lalu bagaimana mekanisme
penyerahan wewenang tersebut? Bukankah antara KNLH dengan
pemerintah daerah tidak ada hubungan struktural organisatoris.
Sebagai tindak lanjut dari pengawasan adalah sanksi administrasi.
Jika dalam pengawasan terhadap izin lingkungan oleh badan/pejabat yang
132 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

berwenang ditemukan adanya pelanggaran maka dapat dijatuhkan sanksi


administrasi. Sanksi administrasi merupakan sarana kekuasaan yang
bersifat hukum publik yang dapat diterapkan oleh penguasa sebagai reaksi
terhadap mereka yang tidak mentaati norma-norma hukum administrasi
(Philipus M. Hadjon:1995/1996:1). Sifat dari sanksi administrasi adalah
reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula (Philipus M. Hadjon
et all 1994:247).
Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu
pencegahan dan penanggulangan perbuataan terlarang dan terutama
ditujukan terhadap perlindungan lingkungan yang dijaga oleh ketentuan
hukum yang langgar tersebut (Siti Sundari Rangkuti 2005:217). Sanksi
administrasi berfungsi sebagai instrumentarium untuk menanggulangi
perbuataan-perbuatan terlarang dan ditujukan untuk melindungi
kepentingan lingkungan maupun masyarakat, kepentingan mana memang
dijaga oleh peraturan yang bersangkutan yang dilanggar (Paulus Efendi
Lotulung 1995/1996:2).
Sanksi administrasi yang dapat diterapkan oleh badan/pejabat yang
berwenang terhadap pelanggaran syarat izin lingkungan adalah sesuai
dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UUPPLH, yaitu: a. Teguran tertulis; b.
Paksaan pemerintah; c. Pembekuan izin lingkungan; d. Pencabutan izin
lingkungan.
Disamping itu, dalam ketentuan PP. No.81 Tahun 2001 juga diatur
tentang sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan oleh bupati/walikota
terhadap pelanggaran syarat IPAL dan IBAL, yaitu: teguran tertulis,
penghentian sementara, pencabutan izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan, paksaan pemerintahan atau uang paksa.
Yang menjadi hambatan terhadap penerapan sanksi administrasi
adalah juga berkaitan dengan banyaknya jenis izin lingkungan seperti
telah dijelaskan diatas. Apabila salah satu izin dijatuhi sanksi administrasi
berupa pencabutan izin maka masih ada izin yang lain sehingga tidak
menyelesaikan persoalan pencemaran lingkungannya.
Sanksi administrasi yang berwujud pencabutan izin ini juga
menimbulkan problematika tersendiri bila diterapkan. Kemungkinan
besar akan ada keengganan dari badan/pejabat yang berwenang untuk
menjatuhkan jenis sanksi ini mengingat akibat yang akan ditimbulkannya
adalah penutupan perusahaan yang tentunya akan berujung pada
pemutusan hubungan kerja karyawannya sehingga akan menambah
jumlah pengangguran yang telah ada.
HUKUM LINGKUNGAN | 133

3.3.4 Kasus-Kasus Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara


Sebelum berlakunya UUPPLH terdapat beberapa kasus sengketa
lingkungan yang diajukan ke peradilan tata usaha negara, diantaranya
adalah: gugatan yang diajukan oleh WALHI, Yayasan Forum Studi
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Yayasan Pengembangan Hukum
Lingkungan dan Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan
Hidup terhadap Presiden akibat dikeluarkannya Kep.Pres. No.42 Tahun
1994 tentang Bantuan Pinjaman yang berasal dari dana reboisasi kepada
PT.IPTN dan gugatan WALHI melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
DKI terhadap Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi,
karena telah mengeluarkan Surat No.600/6115/SJT/1995 tentang
persetujuan laporan RKL dan RPL PT. Freeport Indonesia
Company,(Takdir Rahmadi 2008:148-149) gugatan enam orang
pengusaha terhadap Menteri Negara Lingkungan Hidup (MENLH)
dengan obyek sengketa adalah Surat Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana
Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta dan gugatan
PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. Terhadap Bupati
Lahat dengan obyek gugatan Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor:
540/29/KEP/PERTAMBEN/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang
Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa Pertambangan EkSplorasi (KW 97
PP 0350) dan Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KW.DP.16.03.04.01.03)
PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk.

Tabel 20. Kasus-Kasus Sengketa Lingkungan Di Pengadilan Tata Usaha


Negara
No Kasus
1 Gugatan WALHI, Yayasan Forum Studi Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, Yayasan Pengembangan Hukum Lingkungan
dan Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup
terhadap Presiden Republik Indonesia dengan obyek sengketa
Kep.Pres. No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman yang
berasal dari dana reboisasi kepada PT.IPTN
2 Gugatan WALHI terhadap Sekretaris Jenderal Departemen
Pertambangan dan Energi, dengan obyek sengketa Surat
No.600/6115/SJT/1995 tentang persetujuan laporan RKL dan
RPL PT. Freeport Indonesia Company.

3 Gugatan enam orang pengusaha terhadap Menteri Negara


134 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Lingkungan Hidup (MENLH) dengan obyek sengketa adalah


Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14
Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi
dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta
4 Gugatan PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk.
Terhadap Bupati Lahat dengan obyek gugatan Surat Keputusan
Bupati Lahat Nomor: 540/29/KEP/PERTAMBEN/2005 tanggal
24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa
Pertambangan EkSplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa
Pertambangan Eksploitasi (KW.DP.16.03.04.01.03) PT.
TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk.

Kasus pertama, empat LSM yaitu WALHI, Yayasan Forum Studi


Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Yayasan Pengembangan Hukum
Lingkungan dan Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan
Hidup telah mengajukan gugatan terhadap Presiden akibat dikeluarkannya
Kep.Pres. No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman yang berasal dari
dana reboisasi kepada PT.IPTN. Kep.Pres tersebut menurut para
penggugat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan lingkungan. Namun, majelis hakim pada Pengadilan Tata Usaha
Negara DKI Jakarta (Putusan No.008/G/1994) memutuskan bahwa
gugatan ke empat LSM itu tidak diterima karena Kep.Pres No.42 Tahun
1994 belum bersifat final, sehingga tidak memenuhi pengertian KTUN
menurut UU PERATUN No.5 Tahun 1986. Dalam kasus ini majelis
hakim pengadilan tata usaha negara mengakui kewenangan LSM
dibidang lingkungan untuk mengajukan gugatan TUN dengan prasyarat
LSM itu merupakan sebuah badan hukum, memiliki anggaran dasar
dengan tujuan perlindungan lingkungan dan nyata-nyata berbuat untuk
perlindungan lingkungan hidup (ibid).
Meskipun gugatannya tidak diterima namun segi positif dari
putusan pengadilan diatas adalah diakuinya legal standing bagi LSM
lingkungan. Dengan diberikannya legal standing tersebut maka LSM
lingkungan dapat tampil sebagai penggugat dalam kasus-kasus
lingkungan. Putusan pengadilan yang sebelumnya juga mengakui legal
standing LSM lingkungan hidup adalah Putusan Majelis Hakim PN
Jakarta Pusat (Putusan No:820/PDT.G/1998) dalam kasus kerusakan
hutan dimana WALHI tampil sebagai penggugat yang menggugat Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Dalam Negeri, Gubernur
Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup, Menteri Kehutan dan PT. Inti Indorayon Utama.
HUKUM LINGKUNGAN | 135

Kasus kedua, WALHI melalui pengadilan tata usaha negara DKI


menggugat Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi,
karena telah mengeluarkan Surat No.600/6115/SJT/1995 tentang
persetujuan laporan RKL dan RPL PT. Freeport Indonesia Company.
WALHI menilai pengeluaran surat persetujuan itu mengabaikan saran-
saran WALHI selaku anggota tidak tetap komisi AMDAL Departemen
Pertambangan dan Energi. Tergugat telah mengajukan eksepsi, antara
lain: bahwa surat persetujuan tentang RKL dan RPL bukanlah sebuah
keputusan TUN tetapi hanya surat biasa. Oleh sebab itu, gugatan
seharusnya harus dinyatakan tidak dapat diterima. Majelis hakim menolak
eksepsi ini. Akan tetapi dalam pokok perkara, majelis hakim
(Putusan:053/G/1995/PTUN Jkt) menolak gugatan WALHI atas dasar,
bahwa diikuti atau tidaknya saran-saraan WALHI adalah merupakan
kewenangan “dicreationer” dari komisi AMDAL. Dengan kata lain,
anggota-anggota lainnya dalam Komisi AMDAL tidak terikat dengan
saran-saran WALHI dalam memberikan persetujuan atas dokumen RKL
dan RPL (ibid).
Hal yang menarik dari kasus yang kedua adalah digugatnya sebuah
dokumen AMDAL. AMDAL adalah bagian dari prosedur perizinan
dengan demikian AMDAL bukanlah sebuah KTUN yang didalamnya
terkandung unsur-unsur: tertulis, konkrit, individual dan final (Siti
Sundari Rangkuti 2005:134-135). Yang berkedudukan sebagai KTUN
adalah izin. Dengan demikian yang dapat diajukan gugatan ke PTUN
adalah izinnya bukan AMDALnya. Dalam prakteknya AMDAL instansi
yang bertanggungjawab hanya sekedar rekomendasi (Suparto Wijoyo
1999:61).
Kasus ketiga, enam orang penggugat, yaitu: Tjondro Indria
Liemonta bertindak untuk dan atas nama PT. Bakti Bangun Era Mulia, Ir.
Richard S. Hartono dan Ir. Suhendro Prabowo bertindak untuk dan atas
nama PT. Taman Harapan Indah, Ir. Aris Setyanto Nugroho dan Susanto
bertindak untuk dan atas nama PT. Manggala, A. Syaifuddin bertindak
untuk dan atas nama PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Ir. Jahja B.
Riabudi, MBA bertindak untuk dan atas nama PT. Pembangunan Jaya
Ancol dan Ir. H. Ongki Sukasah H bertindak untuk dan atas nama PT.
Jakarta Propetindo menggugat Menteri Negara Lingkungan Hidup
(MENLH) sebagai akibat dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan
Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.
Adapun latar belakang, argumentasi dan dasar hukum dari gugatan
penggugat (fundamentum petendi) pada pokoknya bahwa pada tanggal 19
136 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Februari 2003, tergugat mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara


Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana
Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan
Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta di Propinsi DKI Jakarta, yang
pada pokonya mewajibkan kepada semua instansi yang berwenang untuk
menolak permohonan izin melakukan usaha dan atau kegiatan yang
berhubungan dengan reklamasi dan revitalisasi tersebut.
Bahwa sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan a quo, Para
Penggugat telah mengalami kerugian materiel dan immateriel, dengan
perincian dari masing-masing pihak akan disampaikan sebagai lampiran
dalam bukti para penggugat.
Bahwa Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14
Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan
Revitalisasi Pantai Utara Jakarta adalah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan
Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh tergugat merupakan
perbuatan yang melampaui wewenang (Detournement de Pouvoir),
karena menyimpang dari maksud dan tujuan wewenangnya.
Bahwa penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan
Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh tergugat merupakan
perbuatan sewenang-wenang (Willekeur), karena tidak sesuai dengan
fakta-fakta yang sebenarnya.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara supaya memberikan putusan
sebagai berikut:
DALAM PROVISI (PENUNDAAN):
- Memerintahkan Tergugat untuk menunda berlakunya keputusan
Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003 tentang
Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai
Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan produk administratif lainnya
sampai menunggu adanya keputusan yang berkekuatan tetap.
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Tergugat No. 14
Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana
Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan
HUKUM LINGKUNGAN | 137

Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota


Jakarta;
3. Mewajibkan dan memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat
Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003
tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi
Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini;
Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).
Tergugat mengajukan eksepsi sebagai berikut:
I. Mengenai Kompetensi Absolut;
Bahwa surat keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat bukanlah
Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3
Undang-Undang No.5 Tahun 1986, karena masih bersifat rekomendasi
dan belum bersifat final.
II. Eksepsi lain-lain;
A. Para penggugat tidak memiliki kepentingan hukum dalam
mengajukan gugatan a quo (Standi in Persona);
B. Gugatan salah alamat (Error in Persona);
C. Gugatan penggugat kabur (Obscuur Libel);
D. Keputusan tergugat a quo tidak bersifat individual dan final;
Amar Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
No.75/G.TUN/2003/PTUN-JKT. tanggal 11 Februari 2003 sebagai
berikut:
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tidak sah Surat Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003
tanggal 19 Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan
Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana
Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan
Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003 tentang
Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai
Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
4. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan dan
tindak lanjut berlakunya Surat Keputusan No.14 Tahun 2003 tanggal
138 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

19 Februari 2003 sampai adanya Putusan yang mempunyai kekuatan


hukum tetap;
5. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar
biaya perkara yang besarnya Rp.162.000 (seratus enam puluh dua ribu
rupiah);
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut
diajukan banding oleh pihak tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Jakarta. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta
dengan Putusan No.202/B/2004/PT.TUN.JKT. tanggal 3 Februari 2005
yang amarnya sebagai berikut:
I DALAM PUTUSAN SELA:
- Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding
mengenai Putusan Sela;
- Menguatkan Putusan Sela Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta No.75/G.TUN/2003/PTUN-JKT, tanggal 23 September
2003, yang dimohonkan Banding;
II DALAM PUTUSAN AKHIR
DALAM EKSEPSI:
- Menolak Eksepsi dari Tergugat/Pembanding seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA:
- Menerima Permohonan Banding dari Tergugat/Pembanding, Para
Tergugat II Intervensi/Para Pembanding;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
No.75/G.TUN/2003/PTUN-JKT, tanggal 11 Februari 2004, yang
dimohonkan Banding;
- Menghukum Tergugat/Pembanding, Para Tergugat II
Intervensi/Para Pembanding untuk membayar biaya perkara secara
bersama-sama, yang dalam Tingkat Banding ditetapkan sebesar
Rp.200.000 (dua ratus ribu rupiah);
Terhadap putusan pengadilan tinggi tata usaha negara ini diajukan
kasasi oleh Tergugat/Pembanding berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 23 Juni 2003 dan Surat Kuasa Khusus Substitusi tanggal 4 Juli
2003 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 25 April 2005
sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi No.038/KAS-
2005/PTUN-JKT, yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta.
Pada pemeriksaan tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang
dilakukan oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Paulus E.
Lotulung, SH sebagai Ketua Majelis, H. Imam Soebechi, S.H.,M.H. dan
HUKUM LINGKUNGAN | 139

Marina Sidabutar, S.H.,M.H. sebagai anggota, Mahkamah Agung dengan


Putusan No.109K/TUN/2006, yang amarnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MENTERI
NEGARA LINGKUNGAAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta No.202/B/2004/PT.TUN-JKT tanggal 3 Februari 2005 yang
menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
No.75/G.TUN/2003/PTUN-JKT tanggal 11 Februari 2004;
Pertimbangan Mahkamah Agung adalah bahwa Surat Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang
Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai
Utara Jakarta masih bersifat rekomendasi dan belum mempunyai
kekuatan hukum karena merupakan bagian/atau persyaratan untuk
memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang. sehingga surat keputusan a
quo belum bersifat final. Oleh karena itu Surat Keputusan in casu bukan
merupakan/tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 jo.Pasal 2 Huruf c Undang-
Undang No.5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikannya.
Beberapa catatan penting yang dapat diketengahkan terhadap
putusan diatas, pertama, obyek sengketa dalam kasus ini adalah Surat
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang
Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara
Jakarta. Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang kemudian
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tinggi Tata Usaha Negara surat
keputusan ini dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) sehingga menjadi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta untuk memeriksa dan menyelesaikannya.
Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun
2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi Pantai Utara
Jakarta adalah surat keputusan yang berisi penolakan atas dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) reklamasi Pantai
Utara Jakarta. Keputusan persetujuan atau penolakan AMDAL tidak
dapat dikualifikasi sebagai KTUN, karena tidak terpenuhi unsur
“menimbulkan akibat hukum” sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 1
angka 9 UU PERATUN.
AMDAL adalah bagian dari prosedur perizinan, sehingga yang
dapat menimbulkan akibat hukum dan dapat digugat di pengadilan tata
140 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

usaha negara adalah izin lingkungannya bukan dokumen AMDALnya.


Sehingga adalah tepat pertimbangan dari Mahkamah Agung yang
menyatakan bahwa Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi
dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta masih bersifat rekomendasi dan
belum mempunyai kekuatan hukum karena merupakan bagian/atau
persyaratan untuk memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang,
sehingga surat keputusan a quo belum bersifat final. Oleh karena itu Surat
Keputusan in casu bukan merupakan/tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 2
jo.Pasal 2 Huruf c Undang-Undang No.5 Tahun 1986 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Dengan demikian Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya.
Kedua, petitum 1 yang isinya memerintahkan Tergugat untuk
menunda berlakunya keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19
Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan
Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara
Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan produk
administratif lainnya sampai menunggu adanya keputusan yang
berkekuatan tetap. Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan petitum
pertama adalah apakah jika gugatan ditolak, tetap dianggap penetapan
pemberlakuan KTUN yang disengketakan berlaku? apabila gugatan
ditolak maka dengan sendirinya juga penetapan penundaan pemberlakuan
KTUN yang disengketakan juga ditolak.
Ketiga, petitum 2 yang isinya menyatakan batal atau tidak sah
Surat Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003
tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi
Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Berdasarkan asas hukum yang
berlaku dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, yaitu asas
praduga rechtmatig (vermoden van rechtmatigheid=praesumptio iustae
causa), yang berarti tindakan penguasa harus selalu dianggap sah sampai
dengan ada pembatalannya. Konsekuensinya adalah bahwa dengan
diajukannya gugatan di pengadilan tata usaha negara tidak menunda
pelaksanaan KTUN yang digugat.
Asas praduga rechtmatig ini tertuang dalam ketentuan Pasal 67 UU
PERATUN yang menyatakan bhwa gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
HUKUM LINGKUNGAN | 141

digugat. Berdasar asas praduga rechmatig maka suatu KTUN hanya dapat
dibatalkan (vernietigbaar) dan bukan dinyatakan tidak sah atau batal
maupun batal demi hukum (van rechtwege nietig).
Keempat, petitum 3 yang isinya ewajibkan dan memerintahkan
Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003
tanggal 19 Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan
Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana
Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Petitum
ketiga yang menyatakan “mewajibkan dan memerintahkan kepada
tergugat untuk mencabut......” adalah berlebihan. Dengan dibatalkannya
KTUN yang disengketakan, hal seperti itu tidak perlu dimintakan.
Kasus keempat, PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM
(Persero) Tbk., diwakili oleh Ismet Harmaini, Direktur Utama PT.
Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) menggugat Bupati Lahat di
Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang sebagai akibat diterbitkannya
Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor: 540/29/KEP/PERTAMBEN/2005
tanggal 24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa
Pertambangan EkSplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan
Eksploitasi (KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG BATUBARA
BUKIT ASAM (Persero) Tbk. (Selanjutnya disebut sebagai "Keputusan
Nomor:540/29") yang telah merugikan kepentingan penggugat.
Alasan gugatan penggugat adalah bahwa Bahwa Keputusan Nomor
: 540/29 (dalam diktum Ketetapan Pertama) yang berbunyi : Status
wilayah eks Kuasa Pertambangan PT.TAMBANG BATUBARA BUKIT
ASAM (Persero ) Tbk., (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Per tambangan PT.
TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero ) Tbk.,
(KW.DP.16.03.04.01.03) yang terletak dalam wilayah Kabupaten Lahat
sebagai wilayah yang dikuasai Negara dan pengelolaannya dilaksanakan
oleh Pemerintah Kabupaten Lahat; adalah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa Keputusan Nomor:540/29 bertentangan dengan Asas-asas
umum Pemerintahan Yang antara lain: Asas Kepastian Hukum, Asas
Tertib Kepentingan Umum, Asas Proporsional, dan Asas Efisiensi.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon
kepada Pengadilan Tata Usaha Palembang agar memberikan putusan
sebagai berikut:

Dalam Penundaan
142 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

1. Mengabulkan Permohonan Penundaan Pelaksanaan yang dimohonkan


oleh Penggugat;
2. Menyatakan menunda permberlakukan Surat Keputusan Bupati Lahat
Nomor: 540/29/Kep/Pertemben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang
Penetapan Status wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW
97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan (KW DP 16m03 04 01 03) PT.
TAMBANG BUKIT ASAM (Persero) Tbk., sampai dengan adanya
putusan yang bersifat tetap (inkracht van gewijsde);
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Bupati Lahat
Nomor: 540/29/Kep/Pertemben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang
Penetapan Status wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW
97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan (KW DP 16m03 04 01 03) PT.
TAMBANG BUKIT ASAM (Persero) Tbk;
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan
Bupati Lahat Nomor:
540/29/Kep/Pertemben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang
Penetapan Status wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW
97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan (KW DP 16m03 04 01 03) PT.
TAMBANG BUKIT ASAM (Persero) Tbk.;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini;
Tergugat mengajukan eksepsi sebagai berikut:
I. EKSEPSI KOMPETENSI ABSOLUT/EXCEPTIE VAN
ONBEVOEGHEID'
II. GUGATAN KURANG PIHAK/SALAH ALAMAT/ERROR IN
PERSONA (EXCEPTIE PLURIUM LITIS CONSORTIUM);
III. EXCEPTIE OBSCURI LIBELI;
Amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor:
06/G.TUN/2005/PTUN-PLG. tanggal 29 Agustus 2005, adlah sebagai
berikut:
Dalam Eksepsi
-Menolak Eksepsi-eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara
1. Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.240.000,- (dua ratus empat puluh ribu rupiah).
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang
tersebut diajukan banding oleh pihak Penggugat kepada Pengadilan
HUKUM LINGKUNGAN | 143

Tinggi Tata Usaha Negara Medan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Medan dengan Putusan dengan putusan Nomor: 100/BDG/2005/PT.TUN-
MDN tanggal 14 Desember 2005, yang amarnya sebagai berikut:
-Menerima permohonan banding Penggugat/Pembanding;
-Membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang
Nomor: 06/G.TUN/2005/PTUN-PLG. tanggal 29 Agustus yang
dimohonkan banding, dan dengan:

MENGADILI SENDIRI
Dalam Eksepsi:
- Menolak Eksepsi Tergugat/Terbanding;
Dalam Pokok Perkara:
-Menolak gugatan Penggugat/Pembanding seluruhnya;
-Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara
pada kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding ditetapkan
sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah);
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Medan diajukan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yang dengan amar putusan
Mahkamah Agung RI Nomor:326 K/TUN/2006 tanggal 10 Mei 2007,
yang telah berkekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut:
-Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT.
TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk tersebut;
-Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara Medan
Nomor: 100/BDG/2005/PT.TUN-MDN tanggal 14 Desember 2005 yang
membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor:
06/G.TUN/2005/PTUN-PLG tanggal 29 Agustus 2005;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
-Menolak eksepsi tergugat;
DALAM POKOK PERKARA:
-Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
-Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara
dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi i ni ditetapkan
sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah),
Menimbang, bahwa amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
326 K/TUN/2006 tanggal 10 Mei 1997, yang telah berkekuatan hukum
tetap tersebut adalah sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi: PT.
TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk tersebut;
144 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan


Nomor: 100/BDG/2005/PT.TUN-MDN tanggal 14 Desember 2005
yang membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang
Nomor: 06/G.TUN/2005/PTUN-PLG tanggal 29 Agustus 2005;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI
- Menolak Eksepsi Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
- Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya
perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut diajukan
permohonan peninjauan kembali secara tertulis pada tanggal 20 Juni 2011
sebagaimana ternyata dari akte permohonan peninjauan kembali Nomor:
06/G.TUN/2005/PTUN-PLG. yang dibuat oleh Wakil Panitera
Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang, permohonan mana disertai
dengan memori peninjauan kembali yang memuat alasan-alasan yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut pada
tanggal 20 Juni 2011 (hari itu juga);
Pada pemeriksaan tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung
yang dilakukan oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Paulus
E. Lotulung, SH sebagai Ketua Majelis, Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.
dan Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja sebagai anggota, Mahkamah Agung
dengan Putusan No.109PK/TUN/2011, yang amarnya sebagai berikut:
MENGADILI:
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali: BUPATI LANGKAT tersebut;
Membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor:
326K/TUN/2006 tanggal 10 Mei 2007;

MENGADILI KEMBALI:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk selurruhnya;
Menghukum Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon
Kasasi/Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta lima
ratus ribu rupiah).
HUKUM LINGKUNGAN | 145

Beberapa catatan penting yang dapat diketengahkan terhadap


putusan diatas, pertama, petitum 1 yang isinya menunda pemberlakuan
Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor: 540/29/Kep/Pertamben/2005
tanggal 24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa
Pertambangan Eksplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan
9KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM
(Persero) Tbk., sampai dengan adanya putusan yang bersifat tetap
(inkracht van gewijsde) dalam perkara ini.Pertanyaan yang muncul
berkaitan dengan petitum pertama adalah apakah jika gugatan ditolak,
tetap dianggap penetapan pemberlakuan KTUN yang disengketakan
berlaku? apabila gugatan ditolak maka dengan sendirinya juga penetapan
penundaan pemberlakuan KTUN yang disengketakan juga ditolak.
Kedua, petitum 2 yang isinya menyatakan batal atau tidak sah Surat
Keputusan Bupati Lahat Nomor: 540/29/Kep/Pertamben/2005 tanggal 24
Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa Pertambangan
Eksplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan
9KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM
(Persero) Tbk. Berdasarkan asas hukum yang berlaku dalam hukum acara
peradilan tata usaha negara, yaitu asas praduga rechtmatig (vermoden van
rechtmatigheid=praesumptio iustae causa), yang berarti tindakan
penguasa harus selalu dianggap sah sampai dengan ada pembatalannya.
Konsekuensinya adalah bahwa dengan diajukannya gugatan di pengadilan
tata usaha negara tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat.
Asas praduga rechtmatig ini tertuang dalam ketentuan Pasal 67 UU
PERATUN yang menentukan gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta
tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Berdasar
asas praduga rechmatig maka suatu KTUN hanya dapat dibatalkan
(vernietigbaar) dan bukan dinyatakan tidak sah atau batal maupun batal
demi hukum (van rechtwege nietig).
Ketiga, petitum 3 yang isinya memerintahkan kepada tergugat
untuk mencabut Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor:
540/29/Kep/Pertamben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang Penetapan
Status Wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW 97 PP 0350)
dan Kuasa Pertambangan 9KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG
BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk. Petitum ketiga yang
menyatakan “memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut......”
adalah berlebihan. Dengan dibatalkannya KTUN yang disengketakan, hal
seperti itu tidak perlu dimintakan.

DAFTAR BACAAN
146 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

A’an Efendi, 2011. Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat
Dalam UUD 1945 dan Prosedur Pelaksanaannya, Jurnal
Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Universitas Jember, Volume III
No.2.

__________, 2011. Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat
Dalam UUD 1945 dan Perbandingannya Dengan Konstitusi
Beberapa Negara, Jurnal Konstitusi Pusat Studi Kebijaakan
Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Vol.III No.1.

__________, 2011. Telaah Pasal 66 Undang-Undang No.32 Tahun


2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH) terhadap Pasal 28D UUD 1945, Jurnal
Konstitusi FH Universitas Moch Sroedji Jember, Volume II No.2.

G.H. Addink, 2008. Transparent Administration and Public


Participation as Principles of Good Governance From a
Comparative Perspektive, dalam Dinamika Hukum Tata Negara
dan Hukum Lingkungan Edisi Khusus Kumpulan Tulisan Dalam
Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga
University Press, Surabaya.

Glenn M. Wiser dan Daniel B. Magraw, JR., 2005. Principles and


Approaches of Sustainable Development and Chemicals
Management for Strategic Approach to International
Chemichals Management (SAICM), Center for International
Environmental Law (CIEL).

Koesnadi Hardjasoemantri, 1985. Aspek Hukum Peran Serta


Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pidato
Pengukuhan, Universitas Gajah Mada.

______________________, 2002. Hukum Tata Lingkungan, Edisi


Ketujuh, Cetakan Ketujuhbelas, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.

Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson, tanpa tahun. Training


Manual on International Environmental Law, United Nation
Environmental Programme.
Marjan Peters, 2004. Elaborating Integration of Environmental Law:
the Case of Indonesia, Workshop Revisi Undang-Undang No.23
HUKUM LINGKUNGAN | 147

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 30-31


Agustus 2004, Hotel Salak The Heritage-Bogor.

Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, 1997. Environmental Law,


Prentice Hall, New Jersey.

N.H.T Siahaan, 2006. Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta.

Paulus Effendie Lotulung, 1995/1996. Penelitian tentang Efektivitas


Sanksi Administratif Dalam Rangka Penegakan Hukum
Lingkungan Sebagai Upaya Pencegahan Pencemaran, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta.

Philipus M. Hadjon, 1996. Penegakan Hukum Lingkungan


Administrasi Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan Pasal 20
ayat (3) dan (4) UU. No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yuridika,
Majalah Fakultas Hukum Unair, No.1 Tahun XI.

________________, 1994. Pengantar Hukum Administrasi, Gajah


Mada University Press, Yogyakarta.

Siti Sundari Rangkuti, 1984. Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik
dan Sehat, di Sampaikan pada SEMINAR SEHARI
LINGKUNGAN HIDUP tentang “Keserasian Tata Lingkungan
Kampus Unair”, FH Universitas Airlangga, Surabaya.

__________________, 1983/1984. Pembinaan Hukum Lingkungan


Administratif, Hukum Lingkungan Keperdataan dan Hukum
Lingkungan Kepidanaan, dalam Laporan Hasil Pengkajian
Bidang Hukum Lingkungan, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI.

__________________, 1996. Sistem Perizinan Lingkungan Instrumen


Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Seminar Nasional Hukum
Lingkunga, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), Hotel Indonesia,
Jakarta.

__________________ and Suparto Wijoyo, 1997. Deregulating


Licencing to Improve Environmental Control Control and
148 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Monitoring in Indonesia, Journal of Environmental Law, Edition


11.

_________________, 1999. Penegakan Hukum Lingkungan


Administratif di Indonesia, Pro Justitia, Tahun XVII No.1.

_________________, 1999. “Analisis UUPLH Dari Aspek Hukum


Lingkungan dan Teknis Yuridis Dalam Rangka Revisi” ,
Semiloka Nasional tentang Revisi UUPLH, Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga Penelitian Universitas
Airlangga dan Komisi Kerja Hukum Lingkungan BKPSL-
Indonesia, Surabaya.

__________________, 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan


Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga, Airlangga University Press,
Surabaya.
__________________, 2008. Keterbukaan dan Hukum Lingkungan
(Transparency and Environmental Law), dalam Dinamika
Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan Edisi
Khusus Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti
Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga University Press, Surabaya.

Suparto Wijoyo, 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan


(Environmental Disputes Resolution), Airlangga University
Press, Surabaya.

Takdir Rahmadi, 2003. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan


Beracun, Airlangga University Press, Surabaya.

W. Riawan Tjandra, 2005. Perijinan Sebagai Instrumen Perlindungan


Lingkungan, Justitia Et Pax, Majalah Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta.

Yuliandri, 2008. Membentuk Undang-Undang yang Berkelanjutan,


dalam Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum
Lingkungan Edisi Khusus Kumpulan Tulisan dalam Rangka
Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga
University Press, Surabaya.
GLOSARIUM

Actor Sequitur : Kewenangan pengadilan untuk mengadili


Forum Rei suatu gugatan adalah pengadilan dimana
terletak tempat kediaman tergugat.
Amar : Bunyinya suatu putusan, yaitu kata-kata
yang terdapat di bawah perkataan
“mengadili” atau “memutuskan”.
Asas praduga : Asas yang menentukan bahwa dengan
rechmatig adanya suatu gugatan di pengadilan tata
usaha negara tidak menunda pelaksanaan
KTUN yang digugat.
Considerans : Considerans atau sering disebut
pertimbangan adalah dasar putusan, yaitu
bagian suatu putusan yang memuat alasan-
alasan mengapa putusan dijatuhkan.
Diktum : Lihat amar.
Eigenrichting : Perbuatan main hakim sendiri
Herziening : Upaya peninjauan kembali dalam perkara
pidana khusus untuk golongan orang Eropa
saat berlakunya Reglement op de
Strafvordering pada zaman Hindia
Belanda.
Het Herziene : Reglement hukum acara perdata yang
Indonesisch berlaku untuk Jawa dan Madura.
Reglement
Ius Constitutum : Hukum yang berlaku pada suatu tempat
dan waktu tertentu.
Ius : Hukum yang dicita-citakan untuk berlaku
Constituendum dimasa mendatang.
Judex factie : Pemeriksaan fakta-fakta oleh pengadilan
tingkat pertama dan tingkat banding,
sementara itu Mahkamah Agung dalam
pemeriksaan tingkat kasasi dan peninjauan
kembali memeriksa penerapan hukumnya
dan disebut sebagai judex juries.
Legal standing : Hak untuk tampil menjadi pihak penggugat
di pengadilan. Dalam Undang-Undang
152 | G l o s a r i u m

No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) memberikan hak kepada
organisasi lingkungan hidup dan
pemerintah/pemerintah daerah untuk
menjadi penggugat dalam gugatan sengketa
lingkungan.
Memori : Risalah atau tulisan yang memuat
penjelasan-penjelasan.
Memori banding : Risalah yang diajukan oleh pihak yang
mengajukan banding (pembanding) di
mana ia menguatkan permohonan
bandingnya.
Memori kasasi : Risalah yang memuat alasan-alasan atau
keberatan-keberatan yang diajukan
terhadap putusan yang dimohonkan kasasi,
yaitu putusan hakim banding (pengadilan
tinggi).
Panitera : Pejabat di pengadilan yang bertugas untuk
mencatat jalannya proses persidangan.
Petitum : Apa yang diminta oleh penggugat supaya
diputuskan oleh hakim dalam surat
gugatannya.
Posita : Dalil-dali gugatan yang diajukan oleh
penggugat dalam suatu gugatan.
Rechtsreglement : Reglement hukum acara perdata yang
Buitengewesten berlaku untuk wilayah luar Jawa dan
Madura.

Request civil Peninjauan kembali dalam perkara perdata


bagi orang Eropa berdasarkan Reglement
op de Burgerlijke Rechtsvordering pada
zaman Hindia Belanda.
INDEKS

A
Amdal, 13, 107
Amar, 73, 74, 75, 76, 77, 146, 152
Asas, 18, 23, 24, 25, 26, 42, 43, 44, 45, 94, 97, 150, 151, 154
Asas hukum, 23
Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara, 23, 24, 25
Asas-asas hukum administrasi, 24, 94

B
Banding, 39, 80, 82, 147
Banding administratif, 39

F
Freeport Indonesia, 13, 124, 142, 144, 158

H
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 106

I
Izin lingkungan, 9, 134, 135, 137, 138

J
Jaksa Agung, 84

K
Kasasi, 82, 84, 89, 147, 148, 152, 153, 154
Kompetensi absolut, 25, 26, 28
Kompetensi relatif, 26
Keputusan tata usaha negara, 132

L
Lingkungan, 9, 12, 14, 43, 83, 84, 88, 96, 97, 98, 99, 101, 105, 106,
112, 113, 116, 117, 118, 120, 121, 125, 130, 134, 136, 141,
142, 143, 144, 145, 148, 149, 155, 156, 157, 158, 157, 158
154 | I n d e k s

M
Mahkamah Agung,, 83, 85, 88

P
Peradilan administrasi, 19
Pengadilan, 13, 18, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 33, 36, 38, 40, 41, 46, 47,
48, 50, 51, 58, 71, 74, 75, 80, 82, 83, 84, 88, 89, 94, 96, 97, 98,
99, 130, 132, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152,
153, 158
Pengelolaan, 9, 14, 15, 99, 112, 119, 138, 155, 156, 157, 158, 157
Peradilan, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 28, 33,
43, 45, 51, 58, 60, 61, 71, 72, 83, 84, 88, 96, 97, 98, 99, 130,
131, 134, 136, 141, 148, 149
Peradilan tata usaha negara, 15, 18
Petitum, 40, 50, 150, 155

R
Rehabilitasi, 51

U
Upaya hukum, 78, 79, 80, 83, 84, 86, 87

W
Wewenang, 9, 31, 54, 61

Y
Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 12,
141, 142, 143
Yayasan Pengembangan Hukum Lingkungan, 12, 141, 142, 143
BIOGRAFI PENULIS

A’an Efendi adalah dosen tetap di Fakultas Hukum, Universitas Jember,


Jawa Timur, sejak tahun 2008. Lahir di Bojonegoro, 3 Februari 1983.
Mengampu mata kuliah hukum lingkungan, hukum tata negara,
perancangan peraturan perundang-undangan dan hukum acara peradilan
tata usaha negara.

Lulus sarjana hukum dari Universitas Putra Bangsa, Surabaya, tahun


2004. Lulus magister hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya, tahun
2007. Saat ini adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, konsentrasi hukum lingkungan.
Saat ini tinggal di Jalan Manyar Tegal 57 Surabaya, Jawa Timur. HP.
083030394828/081333203418. Email:efendi_hukum@yahoo.com.

Beberapa karya ilmiah dalam bidang hukum lingkungan baik berupa buku
maupun jurnal ilmiah adalah sebagai berikut:

Buku
A’an Efendi, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Mandar Maju,
Bandung, 2012.

Jurnal Ilmiah
1. A’an Efendi, Perijinan Lingkungan Sarana Pencegahan
Pencemaran Lingkungan, Jurnal Hukum Qistie, FH Universitas
Wachid Hasyim, Semarang, 2011.
2. A’an Efendi, Kewenangan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup (KNLH) Dalam Pengelolaan Lingkungan di Indonesia,
Majalah Hukum dan Masyarakat, FH Universitas Jember, Jember,
2010.
3. A’an Efendi, Instrumen-Instrumen Hukum Lingkungan Sarana
Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Jurnal Hukum Supremasi,
FH Universitas Islam Balitar, Blitar, 2011.
4. A’an Efendi, Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di
Daerah: Problematika dan Pembicaraannya Dalam Pemilukada,
Jurnal Pusat Kajian Konstitusi Universitas Jember, Jember, 2011.
5. A’an Efendi, Isu Lingkungan Dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah, Jurnal Pusat Kajian Konstitusi Universitas Moch. Sroedji,
Jember, 2011.
6. A’an Efendi, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Dalam UUD 1945 dan Perbandingannya dengan Konstitusi
Beberapa Negara, Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas
Padjajaran, Bandung, 2011.
7. A’an Efendi, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Dalam UUD 1945 dan Prosedur Pelaksanaannya, Jurnal Pusat
Kajian Konstitusi Universitas Jember, Jember, 2011.
8. A’an Efendi, Telaah Pasal 66 Undang-Undang No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Jurnal Pusat
Kajian Konstitusi Universitas Moch. Sroedji, Jember, 2011.
9. A’an Efendi, UUD 1945 dan Aktivitas Bisnis Hijau, Jurnal Pusat
Kajian Konstitusi Universitas Dr. Sutomo, Surabaya, 2011.
10. A’an Efendi, Penyelesaian Kasus Pencemaran Lingkungan Dari
Aspek Hukum Lingkungan, Majalah Hukum Risalah Hukum, FH
Universitas Mulawarman, Samarinda, 2012.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui peradilan tata usaha negara adalah mengajukan
gugatan di pengadilan tata usaha negara terhadap izin lingkungan yang diterbitkan secara
keliru sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dengan tujuan agar hakim
menyatakan tidak sah atau batal sehingga dapat segera menghentikan pencemaran lingkungan
yang terjadi.

Buku ini membahas secara komprehensif tentang penyelesaian sengketa lingkungan melalui
peradilan tata usaha negara, yang dimulai dari pembahasan tentang segala aspek peradilan
tata usaha negara, dimulai dari istilah-istilah peradilan tata usaha negara sampai dengan
pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negara. Pembahasan selanjutnya tentang gugatan
sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara dan dilengkapi dengan kasus-kasus
gugatan sengketa lingkungan yang sudah diputus oleh pengadilan tata usaha negara.

Buku ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa fakultas hukum, dosen fakultas hukum,
organisasi lingkungan hidup, pejabat pemerintahan, hakim, dan masyarakat pada umumnya
yang berminat pada persoalan-persoalan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai