HUKUM LINGKUNGAN
GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN
DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh:
A’an Efendi
HUKUM LINGKUNGAN
GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN
DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Diterbitkan oleh
UPT Penerbitan UNEJ
Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
Telp. 0331-330224, Psw. 319, Fax. 0331-339029
E-mail: upt-penerbitan@unej.ac.id
344.04
EF EFENDI, A’an
h Hukum Lingkungan: Gugatan Sengketa
Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara/
oleh Aan Effendi.--Jember: Jember University
Press, 2012
x, 154 hlm. ; 23 cm.
ISBN: 978-602-9030-22-8
1. HUKUM LINGKUNGAN
I. Judul
v
Buku ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa fakultas
hukum, dosen fakultas hukum, organisasi lingkungan hidup, pejabat
pemerintahan, hakim, dan masyarakat pada umumnya yang
berminat pada persoalan-persoalan lingkungan.
Dengan selesainya penulisan buku ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Prof.
Dr. Tejasari yang telah bersedia untuk mereview naskah ini
sehingga pada akhirnya sampai ke tangan para pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat
Prof. Dr.Siti Sundari Rangkuti, S.H. yang telah memberikan bekal
ilmu hukum lingkungan yang sangat berkarakter kepada penulis
ketika masih menjadi mahasiswa.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan
adik penulis yang selalu menjadi motivator untuk terus berkarya di
bidang akademik. Spesial untuk Dwi Nurhayati Adhani, S.Psi
penulis sampaikan terimakasih atas dorongan semangat yang selalu
diberikan agar penulis terus dapat berkarya, terutama untuk menulis
buku.
Kepada sahabat-sahabat penulis di Fakultas Hukum
Universitas Jember, Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum.
(Mbak Dy), Rahmadi Indra Tektona, S.H., M.H. (Mas Bejo),
Nuzulia Kumala Sari, S.H., M.H., Firman Floranta Adonara, S.H.,
M.H. dan Samuel Saut Maratua Samosir, S.H., M.H. Penulis
sampaikan terima kasih atas kebersamaannya selama ini yang
adalah motivasi tersendiri untuk terus berkarya.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
Prakata .............................................................................................. v
Daftar Isi ........................................................................................... vii
Daftar Tabel ...................................................................................... x
vii
2.7 Pembuktian ............................................................. 49
2.7.1 Pembuktian Dalam Hukum Acara
Pidana ........................................................... 50
2.7.2 Alat-alat Bukti .............................................. 52
2.7.3 Alat Bukti Surat atau Tulisan ....................... 53
2.7.4 Alat Bukti Keterangan Ahli .......................... 55
2.7.5 Alat Bukti Keterangan Saksi ........................ 57
2.7.6 Alat Bukti Pengakuan Para Pihak ................. 59
2.7.7 Alat Bukti Pengetahuan Hakim .................... 60
2.7.8 Keadaan yang Telah Diketahui Umum
Tidak Perlu Dibuktikan ................................ 61
2.7.9 Harus Ada Minimal Dua Alat Bukti
yang Sah ....................................................... 62
2.8 Putusan .................................................................... 64
2.8.1 Pengertian Putusan ....................................... 64
2.8.2 Amar atau Diktum Putusan ........................... 65
2.8.3 Susunan Isi Keputusan .................................. 67
2.8.4 Kekuatan Putusan ......................................... 69
2.9 Upaya Hukum
2.9.1 Perlunya Upaya Hukum ................................ 70
2.9.2 Perlawanan Terhadap Putusan
Dismissal ...................................................... 70
2.9.3 Banding ......................................................... 71
2.9.4 Kasasi ........................................................... 73
2.9.5 Perlawanan Oleh Pihak Ketiga ..................... 77
2.9.6 Peninjauan Kembali ...................................... 78
2.10 Pelaksanaan Putusan ............................................... 82
Daftar Bacaan ................................................................. 87
viii
3.2.1 Peran Serta Masyarakat Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Lingkungan Nasional ................... 112
3.2.2 Peran Serta Masyarakat Dalam Prosedur
AMDAL ....................................................... 116
3.2.3 Peran Serta Masyarakat Dalam Hinder
Ordonantie dan Permasalahannya ................ 118
3.3 Gugatan Sengketa Lingkungan di Peradilan
Tata Usaha Negara .................................................. 121
3.3.1 Dasar Hukum Gugatan sengekta Lingkungan
di Peradilan Tata Usaha Negara ................... 121
3.3.2 Izin Lingkungan Sebagai Obyek Sengketa
Lingkungan di Peradilan Tata Usaha
Negara .......................................................... 125
3.3.3 Hambatan-hambatan Penyelesaian
Sengekta Lingkungan di Peradilan Tata
Usaha Negara ............................................... 127
3.3.4 Kasus-kasus Sengketa Lingkungan di
Peradilan Tata Usaha Negara ....................... 133
Daftar Bacaan ................................................................. 146
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
x
BAB1.1
BAB PENDAHULUAN
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata (Pasal 1 angka 3 UU PERATUN).
Dalam praktek terkadang penerbitan suatu KTUN dapat
menimbulkan kerugian terhadap masyarakat karena adanya unsur
kesalahan atau kekeliruan. Diterbitkannya KTUN oleh badan/pejabat
berwenang yang mengandung unsur kesalahan, misalnya kesalahan
menerbitkan izin lingkungan sehingga mengakibatkan pencemaran
lingkungan, bagi pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan di
peradilan tata usaha negara, agar izin lingkungan tersebut dibatalkan atau
dinyatakan tidak sah. Gugatan oleh seseorang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan ke pengadilan tata usaha negara
adalah berisi tuntutan agar izin itu dinyatakan batal atau tidak sah oleh
hakim, sehingga putusan tersebut segera menghentikan pencemaran
akibat izin lingkungan yang tidak cermat (Siti Sundari Rangkuti
2008:121). Di samping itu, peradilan tata usaha negara diadakan dalam
rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang
merasa dirinya dirugikan akibat suatu KTUN (Djoko Prakoso 1988:7).
Menurut Prajudi Atmosudirdjo, perbuatan-perbuatan administrasi
negara (badan atau pejabat tata usaha negara) yang dipersoalkan pada
umumnya adalah perbuatan hukum administrasi (Negara) yang
mengandung kekurangan, keanehan, keganjilan, kekeliruan, kesalahan,
terlambat, dan sebagainya (O.C. Kaligis 2002:13).
Beberapa faktor yang mempengaruhi terbitnya suatu KTUN yang
merugikan masyarakat, antara lain:
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang berpokok pada tuntutan ganti
rugi yang diajukan kepada pengadilan perdata biasa yang bebas
(Indroharto 2004:45-46).
Prosedur keberatan berarti pihak yang dirugikan oleh KTUN
mengajukan keberatan kepada instansi yang mengeluarkan KTUN itu
sendiri. Apabila pihak yang dirugikan oleh suatu KTUN mengajukan
banding kepada instansi lain (misalnya instansi atasan atau instansi yang
bertindak sebagai instansi banding administratif) dari instansi yang
mengeluarkan KTUN maka disebut dengan banding administratif.
Prosedur keberatan dan banding administratif ini dapat dilakukan apabila
peraturan perundang-undangan yang berlaku menyatakan secara jelas
bahwa suatu KTUN dapat diajukan keberatan atau banding administratif.
Prosedur gugatan perdata adalah gugatan berdasar ketentuan Pasal
1365 KUH Perdata di peradilan umum. Menurut Indroharto, gugatan
ganti rugi yang diajukan dapat dikabulkan, jika terbukti: a. KTUN yang
digugat bersifat melawan hukum; b. Instansi yang digugat itu benar
bersalah melakukan perbuatan yang bersangkutan; c. Pengugat memang
menderita kerugian; d. Sebagai akibat perbuatan (KTUN) instansi yang
digugat tersebut.
Prosedur gugatan terhadap KTUN yang berwujud izin lingkungan
sebagai sarana penyelesaian sengketa lingkungan administatif melalui
peradilan tata usaha negara pada awalnya tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan lingkungan, baik itu UULH maupun UUPLH.
Meskipun demikian, beberapa kasus lingkungan telah diajukan ke
pengadilan tata usaha negara, yaitu: gugatan yang diajukan oleh WALHI,
Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Yayasan
Pengembangan Hukum Lingkungan dan Yayasan Forum Studi
Kependudukan dan Lingkungan Hidup terhadap Presiden akibat
dikeluarkannya Kep.Pres. No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman
yang Berasal dari Dana Reboisasi kepada PT.IPTN dan gugatan WALHI
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara DKI terhadap Sekretaris Jenderal
Departemen Pertambangan dan Energi, karena telah mengeluarkan Surat
No.600/6115/SJT/1995 tentang Persetujuan Laporan RKL dan RPL PT.
Freeport Indonesia Company (Takdir rahmadi 2003:149-150).
Setelah berlakunya UUPPLH, dasar hukum gugatan terhadap izin
lingkungan melalui peradilan tata usaha negara terdapat pada Pasal 93
ayat (1) yang menyatakan: setiap orang dapat mengajukan gugatan
terhadap keputusan tata usaha apabila: a. Badan atau pejabat tata usaha
negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/ atau kegiatan yang
wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan Amdal; b. Badan atau pejabat
HUKUM LINGKUNGAN |5
DAFTAR BACAAN
2.1 Istilah-Istilah
Selain istilah peradilan tata usaha negara, dalam berbagai peraturan
perundang-undangan dan kepustakaan hukum tata negara dan hukum
administrasi di Indonesia juga digunakan istilah-istilah lain. Menurut
Sjachran Basah, banyaknya istilah-istilah ini kemungkinan diakibatkan
oleh terjemahan dari “administratieve rechtspraak” (Sjahran Basah
1997:31).
Peradilan tata usaha negara adalah istilah resmi yang digunakan
Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(UU PERATUN). Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman juga menggunakan istilah peradilan tata usaha
negara. Dalam berbagai kepustakaan, istilah peradilan tata usaha negara
digunakan antara lain oleh Djoko Prakoso, Benjamin Mangkoedilaga,
Philipus M. Hadjon et.al, SF Marbun, Zairin Harahap, O.C. Kaligis,
Indroharto, Rozali Abdullah, dan Wicipto Setiadi.
Mengingat istilah peradilan tata usaha negara adalah istilah resmi
yang digunakan UU PERATUN, penulis menggunakan istilah peradilan
tata usaha negara (kecuali untuk kutipan yang memang menggunakan
istilah lain). Namun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 144 UU
PERATUN, istilah peradilan tata usaha negara dapat juga disebut dengan
istilah peradilan administrasi negara.
Menurut SF Marbun, pada saat rancangan undang-undang
PERATUN dibahas di DPR, penggunaan istilah ini telah memperoleh
perhatian dan pembahasan yang cukup mendalam. Masing-masing pihak
mengemukakan alasannya dengan berbagai argumentasi, sehingga pada
akhirnya diperoleh kesepakatan untuk mempergunakan istilah peradilan
tata usaha negara, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk
mempergunakan istilah peradilan administrasi negara (SF Marbun
1997:42).
8|Peradilan Tata Usaha Negara
Istilah peradilan tata usaha antara lain digunakan Pasal 161 dan
Pasal 162 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) dan
Pasal 108 UUDS 1950. Istilah peradilan tata usaha juga digunakan oleh
H.A.K. Pringgodigdo.
Istilah peradilan administrasi antara lain digunakan oleh Rochmat
Sumitro, Sjahran Basah, SF Marbun, Suparto Wijoyo dan Bismar Siregar.
Alasan pemilihan istilah peradilan administrasi dikatakan oleh Rochmat
Soemitro karena istilah “peradilan administratif” meskipun sering dipakai
dalam tulisan-tulisan atau undang-undang namun hal itu merupakan suatu
perusakan bahasa. Dalam bahasa Indonesia suatu kata yang merupakan
suatu “ajectif” dari suatu kata lain tidak mengalami perubahan, misalnya:
kursi kayu, meja besi, rumah batu dan sebagainya. Oleh karena itu, istilah
yang dipakai “peradilan administrasi” bukan “peradilan administratif”.
Pemilihan istilah “administrasi” dan bukan istilah “tata usaha” oleh
Rochmat Sumitro dilandasasi oleh tiga alasan, yaitu: pertama, kata
administrasi itu sudah diterima umum dan pula telah digunakan oleh
pemerintah kita; buktinya dengan adanya nama “lembaga administrasi
negara”, “administrasi niaga”, dsb; kedua, kata “administratie” yang
asalnya dari kata latin “administratie”, dapat mempunyai dua arti: a. “elke
stelselmatige, schriftelijke vastlegging en ordening van gegevens,
samengesteld met het doel een overzicht van deze gegevens te verkrijgen
in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamelingen
van aantekeningen kan men als administratie qualificeren”(setiap
penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis
dengan maksud mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan
itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan lain. Tidak
semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi)
b.“wordt ook in het bijzonder gebruikt voor het bestuur van de staat, de
provincien, de waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. In
de V.S. verstaat men onder the administration het gehele staatbestuur,
den president daaronder begrepen” (digunakan juga istimewa untuk
menyatakan pemerintahan suatu negara, propinsi, waterschap (=subak),
kota-kota dan maskape-maskape besar. Di Amerika Serikat dengan kata
“the administration” dimaksudkan keseluruhan pemerintahan, termasuk
presiden. Bila “administratie” diartikan seperti dimaksudkan di bawah sub
(b), maka akan kami gunakan terjemahan “administrasi”. Dalam arti
kedua maka sudah pula tersimpul kata tata usaha. Jadi jika kami
menggunakan kata administrasi negara, maka didalamnya sudah
tersimpul pula tata usahanya; ketiga, kata administrasi itu mengingatkan
kita pada kata-kata asing yang mirip yaitu “administration” dan
HUKUM LINGKUNGAN |9
usaha negara adalah hukum acara peradilan tata usaha negara yang dasar
hukumnya tertuang dalam UU PERATUN.
4 Asas ini dianut Pasal 107 UU No.5 Tahun 1986 hanya saja masih
dibatasi ketentuan Pasal 100.
Asas keaktifan hakim (dominus listis). Keaktifaan hakim
dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena
kedudukan para pihak adalah pejabat tata usaha negara sedangkan
penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.
Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga
omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan
demikian putusan TUN berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi
para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan
Pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”
tata usaha negara adalah orang atau badan hukum perdata yang
kepentingannya terkena oleh akibat hukum KTUN yang dikeluarkan dan
karenanya orang atau badan hukum perdata tersebut kepentingannya
dirugikan.
Konkretnya, orang atau badan hukum perdata yang dapat dirugikan
oleh keluarnya suatu KTUN dapat digolongkan dalam tiga kelompok:
tersebut. KTUN adalah dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Tanpa
ada KTUN tidak akan pernah ada sengketa tata usaha negara.
KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3).
Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PERATUN, KTUN mengandung
elemen-elemen dalam tabel sebagai berikut:
Elemen-elemen KTUN
1. Suatu penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara
4. Bersifat konkrit, individual, dan final
5. Menimbulkan akibat hukum seseorang atau badan hukum perdata
negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata usaha negara yang
dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain.
Bersifat konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam KTUN itu
tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya
keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A
sebagai pegawai negeri. Bersifat individual artinya KTUN itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang hal yang
dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap nama orang yang
terkena keputusan itu disebutkan. Umpamannya, keputusan tentang
pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan
nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final
karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang
pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi
Kepegawaian Negara.
Pengertian KTUN menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU
PERATUN ini ternyata masih belum tuntas karena masih dikurangi oleh
ketentuan Pasal 2 dan ditambah oleh Pasal 3 serta dibatasi oleh Pasal 49.
dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan.
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU PERATUN,
penggunaan upaya administratif dalam penyelesaian sengketa tata usaha
negara adalah bersifat wajib. Pengadilan tata usaha negara baru
berwenang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara apabila
telah ditempuh upaya administratif yang tersedia. Sifat wajib penggunaan
upaya administratif ini lebih ditegaskan pada Penjelasan Pasal 48 ayat (2)
UU PERATUN: Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada
penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih
tetap merasa belum puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan
diajukan ke Pengadilan.
Namun demikian, tidak semua sengketa tata usaha negara harus
diselesaikan melalui upaya administratif terlebih dahulu. Upaya
administratif dilakukan apabila berdasarkan peraturan perundang-
undangan ditentukan bahwa suatu sengketa tata usaha negara harus
diselesaikan melalui upaya administratif terlebih dahulu.
Dengan demikian, keberatan yang hanya bersifat suatu protes atau
pengaduan yang tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan
seperti yang sering terjadi sehari-hari diajukan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputusan (dengan tembusan kemana-mana) bukanlah
suatu upaya administratif menurut pengertian UU PERATUN (Indroharto
2004:53). Hal yang perlu diperhatikan tentang penggunaan upaya
administratif ini adalah tidak mudahnya untuk menemukan peraturan
perundang-undangan yang didalamnya mengatur tentang mekanisme
upaya administratif.
Menurut penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN, upaya
administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang
atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu KTUN.
Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan
terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilaksanakan
oleh instansi lain dari yang mengeluarkan KTUN, maka prosedur tersebut
dinamakan “banding administratif”. Dalam hal penyelesaian KTUN
tersebut harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan KTUN itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut
“keberatan”.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN terdapat
2 (dua) macam upaya administratif, yaitu banding administratif dan
prosedur keberatan. Banding administratif berarti penyelesaian sengketa
HUKUM LINGKUNGAN | 31
tata usaha negara dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari
yang mengeluarkan KTUN. Prosedur keberatan berarti penyelesaian
sengketa tata usaha negara diselesaikan oleh instansi yang mengeluarkan
KTUN itu sendiri.
Contoh mekanisme banding administratif yang diberikan oleh
penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN, antara lain: Keputusan
Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
Staaatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan “Regeling van
het beroep in belasting zaken”, Keputusan Badan Pertimbangan
Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuan Pusat berdasarkan Undang-Undang
No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuan dan
Undang-Undang No.12 Tahun 1964, tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta dan Keputusan Gubernur berdasarkan Pasal 10 ayat
(2) Undang-Undang Gangguan Staatsblad 1926 Nr. 226. Contoh dari
upaya administratif yang berupa prosedur keberatan adalah Pasal 25
Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan-Ketentuan umum
Perpajakan.
Selanjutnya, berdasarkan penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU
PERATUN, yang membedakan antara penyelesaian sengketa tata usaha
negara di pengadilan tata usaha negara dengan penyelesaian sengketa tata
usaha negara melalui upaya administratif adalah bahwa penyelesaian
sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif dilakukan
penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi
kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Sedangkan pengadilan tata
usaha negara hanya memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara
hanya melakukan pengujian terhadap KTUN yang disengketakan hanya
dari segi hukumnya saja.
Dengan demikian, berdasar UU PERATUN, penyelesaian sengketa
tata usaha negara meliputi: pertama, penyelesaian sengketa tata usaha
negara melalui upaya administratif (banding administratif maupun
keberatan) apabila peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
menentukan bahwa suatu sengketa tata usaha negara harus diselesaikan
dulu melalui upaya administratif. Gugatan di pengadilan tata usaha negara
hanya dapat dilakukan apabila upaya administratif yang tersedia telah
dilakukan. Kedua, penyelesaian melalui peradilan tata usaha negara, yaitu
melalui gugatan di pengadilan tata usaha negara, banding di pengadilan
tinggi tata usaha negara dan kasasi di Mahkamah Agung.
32 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a
Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha Negara kita selalu
dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang
konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali
dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkrit (ibid:188-189).
Namun demikian, menjelang ditetapkannya UU. No.5 Tahun 1986
ikatan alumni IIAP-LAN bekerja sama dengan MENPAN, lembaga
administrasi negara dan departemen kehakiman mengadakan lokakarya
14 Juli 1990 disepakati bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik
dapat menilai KTUN yang digugat (Lutfi Effendi 2004:83). Sampai
dengan diundangkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, AUPB memang tidak dimasukkan sebagai
alasan untuk menggugat KTUN di pengadilaan tata usaha negara. Baru
dengan perubahan Undang-Undang No.5 Tahun 1986, yaitu Undang-
Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
No.5 Tahun 1986, AUPB diakui secara formal sebagai salah satu alasan
untuk menggugat KTUN di pengadilan tata usaha negara.
Meskipun AUPB tidak secara formal diakui oleh Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986, namun praktek peradilan tata usaha negara
mendasarkan putusannya pada AUPB. Misalnya Putusan PT TUN Medan
No.37/BDG-gG/PL/PT.TUN/1992, pertimbangan hakim PTUN antara
lain: ...prosedur yang ditempuh tergugat sebelum menerbitkan SK. No
774/SK/1991 ternyata telah memenuhi asas-asas umum pemerintahan
yang baik yaitu melakukan: fair play, berdasarkan fakta yang nyata,
berhati-hati, menyatakan kepada yang berkepentingan (Philipus M.
Hadjon 1994:329). Putusan PT. TUN Jakarta No.017/G/1991/PT.TUN-
JKT tanggal 19 Agustus 1992 dengan pertimbangan hakim sebagai
berikut: Keputusan tergugat No.399/386/7-5/XVIII/PHK/8-91 tanggal 7
Agustus 1991 itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada dan AUPB yaitu asas keadilan (Suparto Wijoyo 2004:165).
Berdasarkan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang No.5 Tahun 1986, AUPB secara formal diakui sebagai
alasan untuk menggugat KTUN di PTUN (Pasal 53 ayat (2)). Namun
demikian, UU PERATUN tidak menerangkan apa yang dimaksud AUPB.
UU PERATUN hanya menyebutkan jenis-jenis AUPB dengan merujuk
pada Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nopetisme. AUPB
tersebut meliputi: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara,
keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas.
Menurut Kuncoro Purbopranoto, AUPB dikategorikan dalam 13
(tiga belas) asas, yaitu:
36 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a
diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. Kedua, hakim dapat
meminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan. Untuk yang pertama bersifat imperatif atau wajib
sedangkan yang kedua bersifat pilihan. Namun demikian, Pasal 63 ayat
(2) UU PERATUN beserta penjelasannya tidak menjelaskan mengenai
penjelasan apa yang diminta oleh hakim kepada badan atau pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan tersebut.
Dalam Penjelasan Pasal 63 ayat (1) dinyatakan bahwa pemeriksaan
persiapan adalah kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa tata
usaha negara. Dalam pemeriksaan persiapan hakim dapat meminta
penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang hakim ini dimaksudkan untuk mengimbangi dan mengatasi
kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan informasi atau
data yang diperlukan dari badan atau pejabat tata usaha negara mengingat
bahwa penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara kedudukannya
tidak sama.
Apabila dalam jangka waktu tiga puluh hari sebagaimana dimaksud
Pasal 63 ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatannya,
maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima (Pasal 63 ayat 3). Terhadap putusan hakim yang menyatakan
bahwa gugatan tidak dapat diterima tidak dapat dilakukan upaya hukum,
tetapi penggugat dapat mengajukan gugatan baru (Pasal 63 ayat 4).
Apabila hakim menilai gugatan yang diajukan oleh penggugat telah
lengkap, tahap selanjutnya dalah tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pemeriksaan sidang dengan acara biasa diatur dalam ketentuan Pasal 68
sampai dengan Pasal 97 UU PERATUN.
Dalam pemeriksaan dengan acara biasa maka sidang dilakukan
oleh majelis hakim dengan 3 (tiga) orang hakim. Persidangan adalah
terbuka untuk umum, kecuali apabila majelis hakim memandang bahwa
sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau
keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Apabila penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan hari
pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa
disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun
setiap kali dipanggil dengan patut, maka gugatan dinyatakan gugur dan
penggugat harus membayar biaya perkara. Penggugat berhak
memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah penggugat membayar uang
muka biaya perkaara. Apabila yang tidak hadir adalah tergugat atau
kuasanya di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan juga tidak
46 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a
2.7 Pembuktian
Alat-alat bukti dalam sengketa tata usaha negara meliputi: alat
bukti surat atau tulisan, alat bukti keterangan ahli, alat bukti keterangan
saksi, alat bukti pengakuan para pihak, dan alat bukti pengakuan para
pihak. Untuk keadaan yang telah diketahui umum tidak perlu dibuktikan.
Pembuktian dalam sengketa tata usaha negara harus minimal dengan dua
alat bukti yang sah menurut undang-undang.
50 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a
Tabel 11. Perbedaan Akta Otentik yang Dibuat oleh Pegawai Umum dan
Akta Otentik yang Dibuat Dihadapan Pegawai Umum
pejabat umum, yaitu notaris atau pejabat lain (bukan pejabat umum) yang
ditunjuk untuk itu oleh undang-undang, seperti panitera, jurusita, pegawai
pencatat sipil dan sebagainya (Sudikno Mertokusumo 2006:154). Dengan
demikian, yang disebut pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik harus ditentukan kewenangannya oleh undang-undang.
Menurut Pasal 101 UU PERATUN dengan dibuatnya akta otentik
memang sengaja untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang suatu
peristiwa atau peritiwa hukum yang tercantum didalamnya. Secara teoritis
memang apa yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau akta
yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian.
Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu
tujuannya adalah untuk pembuktian hari kalau terjadi sengketa.
Alat bukti surat atau bukti tulisan yang kedua adalah berupa akta
dibawah tangan. Akta dibawah tangan adalah surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum
yang tercantum didalamnya (Pasal 101 huruf a UU PERATUN). Akta
dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.
Yang membedakan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan
adalah pada aspek pihak yang membuatnya. Akta otentik dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum sedangkan akta bawah tangan dibuat para pihak
sendiri tanpa bantuan pejabat umum. Persamaan antara keduanya adalah
sama-sama sengaja dibuat sebagai alat bukti tentang peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
Mengenai alat bukti berupa surat-surat lainnya tidak diberikan
pengertian maupun jenis-jenisnya oleh UU PERATUN. Begitu juga
dalam HIR dan KUHPerdata tidak mengatur tentang alat bukti surat-surat
yang bukan akta. Surat-surat yang bukan akta ini dengan sengaja dibuat
oleh para pihak, namun tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian
dikemudian hari bila terjadi sengketa. Oleh karena itu surat-surat yang
bukan akta itu dapat dianggap sebagai petunjuk kearah pembuktian
(Teguh Samudera 2004:54).
2.8 Putusan
Putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim, sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan
dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara pihak. Amar putusan pengadilan tata usaha negara dapat
berupa: a. gugatan ditolak, b.gugatam dikabulkan, c.gugatam tidak
diterima, d.gugatan gugur. Putusan pengadilan terdiri atas 4 bagian, yaitu
1. kepala putusan, 2.identitas para pihak, 3.pertimbangan dan 4.amar.
Putusan pengadilan memiliki 3 (tiga) macam kekuatan, yaitu kekuatan
eksekutorial, kekuatan sebagai akta otentik dan kekuatan untuk
menangkis atau eksepsi.
terbanyak. Jika dengan cara yang kedua ini pun putusan tidak dapat
diambil, maka cara terakhir pengambilan putusan, yaitu suara terakhir
hakim ketua majelis yang menentukan.
Putusan berdasarkan golongan dapat berupa putusan sela dan
putusan akhir. Putusan sela atau putusan antara adalah putusan yang
fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara (Sudikno
Mertokusumo 2006:230). Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri
suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Putusan sela dijatuhkan terhadap eksepsi yang dilakukan karena
menyangkut atribusi serta distribusi (Philipus M. Hadjon et all 1994:353)
yaitu putusan pengadilan tata usaha negara yang menyatakan bahwa
pengadilan tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara yang diajukan karena obyeknya bukan KTUN atau
putusan pengadilan tata usaha negara yang menyatakan bahwa pengadilan
tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara karena perkara yang diajukan tidak termasuk dalam wilayah
hukumnya. Putusan sela juga dapat diambil berkaitan dengan ketentuan
Pasal 83 UU PERATUN. Menurut Pasal 83 UU PERATUN, Pengadilan
tata usaha negara dapat menjatuhkan putusan sela berkaitan dengan
permohonan pihak ketiga yang akan masuk dalam perkara yang sedang
berlangsung, baik itu sebagai pihak yang membela haknya sendiri atau
bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Menurut UU PERATUN, putusan akhir yang dijatuhkan oleh
majelis hakim dapat berupa: a. Gugatan ditolak; b. Gugatan dikabulkan; c.
Gugatan tidak diterima; d. Gugatan gugur. Dalam hal gugatan dikabulkan,
maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang
harus dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan KTUN, yang dapat berupa: a. pencabutan KTUN yang
bersangkutan; atau b. pencabutan KTUN yang bersangkutan dan
menerbitkan KTUN yang baru;atau c. penerbitan KTUN dalam hal
gugatan didasarkan pada Pasal 3 serta dapat disertai pembebanan ganti
rugi. Jika menyangkut kepegawaian, maka dapat disertai pembebanan
rehabilitasi.
Putusan yang telah diambil oleh majelis hakim harus diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum. Bila ketentuan yang demikian tidak
dilakukan maka akan berakibat putusan pengadilan menjadi tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum.
yang ada dalam putusan. Upaya hukum dalam hukum acara peradilan tata
usaha negara meliputi: perlawanan terhadap putusan dismissal, banding,
kasasi, perlawanan oleh pihak ketiga, dan peninjauan kembali.
2.9.1 Perlunya Upaya Hukum
Putusan hakim adalah putusan yang dibuat oleh manusia biasa yang
mungkin terdapat kekeliruan didalamnya. Kekeliruan ini harus diperbaiki
agar tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak yang bersengketa
di pengadilan. Perbaikan putusan hakim dilakukan melalui suatu upaya
yang disebut oleh upaya hukum. Upaya hukum merupakan hak yang
diberikan oleh undang-undang kepada para pihak yang bersengketa di
pengadilan untuk mengajukan pemeriksaan terhadap suatu putusan
pengadilan kepada pengadilan yang kedudukannya lebih tinggi. Tujuan
dari upaya hukum adalah untuk memperbaiki kekeliruan yang ada dalam
putusan.
Mengenai latar belakang diperlukannya upaya hukum terhadap
putusan pengadilan menurut Sudikno Mertokusumo adalah bahwa suatu
putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan
tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran
dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa
ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat
diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya
hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki
kekeliruan dalam suatu putusan.
Dengan demikian, adanya suatu upaya hukum merupakan sesuatu
yang bersifat mutlak. Upaya hukum merupakan sarana koreksi terhadap
kemungkinan adanya kesalahan putusan hakim. Disamping itu, upaya
hukum juga berfungsi untuk menjamin keadilan bagi para pihak yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh putusan hakim. UU PERATUN
sendiri tidak memberikan penjelasan tentang makna upaya hukum.
Namun ketentuan pasal-pasalnya hanya mengatur tentang berbagai jenis
upaya hukum, yaitu perlawanan terhadap putusan dismissal, banding,
kasasi, perlawanan oleh pihak ketiga dan pemeriksaan peninjauan
kembali.
2.9.3 Banding
Banding disebut juga “ulangan pemeriksaan”. Banding adalah
merupakan pemeriksaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah
pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik yang
mengenai fakta-faktanya, maupun penerapan hukum atau undang-undang
(Philipus M. Hadjon 1994:362). Banding disebut juga “ulangan
pemeriksaan” karena memang dalam banding dilakukan pemeriksaan
terhadap kedudukan faktanya maupun penerapan hukumnya.
Upaya hukum banding dalam UU PERATUN diatur dalam
ketentuan Pasal 122 sampai dengan 130 yang pada intinya mengandung
pengertian-pengertian berikut:
2.9.4 Kasasi
Lembaga kasasi ini berasal dari Perancis. Perkataan “kasasi”
(dalam bahasa perancis “cassation”) berasal dari perkataan Perancis
“casser” yang berarti “memecahkan” atau membatalkan. Tugas
pengadilan dalam pemeriksaan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan
pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya
penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang
duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan.
Berbeda dengan pemeriksaan banding yang memeriksa baik
mengenai duduk perkara (fakta)nya maupun mengenai penerapan
hukumnya, dalam pemeriksaan kasasi hanya memeriksa mengenai
74 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a
semua pihak harus patuh untuk melaksanakan putusan hakim yang juga
merupakan produk hukum. Terlebih lagi bagi badan/pejabat tata usaha
negara yang merupakan aparatur pemerintahan harus memberikan contoh
yang baik kepada masyarakat untuk taat hukum. Jangan sampai aparatur
memerintahkan warga masyarakat untuk taat hukum akan tetapi dirinya
sendiri tidak mentatati hukum.
Berdasar perubahan kedua UU PERATUN, apabila badan/pejabat
tata usaha negara tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap ia diancam dengan ancaman sanksi
administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ketentuan demikian bertujuan supaya badan/pejabat tata usaha negara
tidak main-main untuk menjalankan putusan pengadilan. Di samping itu,
bagi badan/pejabat TUN yang tidak mematuhi putusan pengadilan
namanya diumumkan di media massa cetak. Ini bertujuan supaya
masyarakat tahu bahwa badan/pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan adalah tidak taat hukum sehingga akan menimbulkan rasa
malu bagi badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan apabila ia
tidak melaksanakan putusan pengadilan.
HUKUM LINGKUNGAN | 87
DAFTAR BACAAN
3.1.1 Jaminan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada mulanya
diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH):
“Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Orang adalah orang seorang, kelompok orang atau badan hukum.
Setelah UULH dicabut dengan Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur dalam Pasal 5 ayat (1):
“Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat”. Kemudian UUPLH dicabut dengan Undang-Undang
No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH). Pasal 65 ayat (1) menentukan: “Setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia”.
Berbeda dengan UULH dan UUPLH, UUPPLH dengan tegas
menyatakan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah
bagian dari hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM).
Sebagai bagian dari hak asasi manusia maka terhadap hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat berlaku asas-asas dasar hak asasi
92 | G u g a t a n L i n g k u n g a n
3.1.2 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat di Beberapa
Negara Sebagai Perbandingan
Di Amerika Serikat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
diatur dalam National Environmental Protection Act of 1969 (NEPA
1969). Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Belanda diatur
dalam Aricle 21 (Environment) Konstitusi Belanda. Di Rusia, hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur dalam Article 2 the
Constitution of Russian. Di Spanyol, hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat diatur dalam Pasal 45 Konstitusi Spanyol. Hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat di Portugal terdapat dalam ketentuan Article
66. Di Jepang, Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Jepang
dituangkan dalam Article 3 The Basic Environmental Law (Law no.91 of
1993) yang berlaku sejak tanggal 19 November 1993. Di Thailand diatur
94 | G u g a t a n L i n g k u n g a n
reliable information about its condition and compensation for the damage
caused to his or her health or property by ecological violations”.
Article 42 the Constitution of Russian memberikan jaminan hak
bagi setiap orang untuk menikmati lingkungan yang nyaman, memperoleh
informasi tentang lingkungan dan memperoleh kompensasi terhadap
kerusakan kesehatan atau harta bendanya yang disebabkan oleh bencana
ekologis. Hak ini diiringi dengan kewajiban untuk menjaga kelestarian
lingkungan sebagaimana ditentukan Article 58 (Duty to Protect the
Environment) yang menyatakan: “Everyone is obliged to preserve nature
and the environment, and care for natural wealth”.
Konstitusi Spanyol memberikan jaminan hak kepada setiap orang
untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam
ketentuan Pasal 45. Pasal 45 ayat (1) menyatakan “Everyone has the right
to enjoy an environment suitable for development of the person as well as
the duty to preserve it”. Setiap orang berhak untuk menikmati
keberlanjutan lingkungan dalam rangka pengembangan diri dan sekaligus
berkewajiban untuk memelihara kelestariannya.
Pasal 45 ayat (2) menentukan “The public authorities shall concern
themselves with the rational use of all natural resources for the purpose
of protecting and improving the quality of life and protecting and
restoring the environment, supporting themselves on an indispensable
collective solidarity”. Pihak otoritas publik secara rasional memanfaatkan
seluruh sumber daya alam untuk tujuan melindungi dan meningkatkan
kualitas hidup serta melindungi dan memperbaiki kualitas lingkungan.
Pasal 45 ayat (3) menentukan “For those who violate the provisions
of the foregoing paragraph, penal or administrative sanctions, as
applicable, shall be established and they shall be obliged to repair the
damage caused”. Barang siapa melanggar ketentuan ayat (1) dan ayat (2)
diancam dengan sanksi pidana dan sanksi administrasi serta wajib untuk
memperbaiki kerusakan yang disebabkan olehnya.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam konstitusi
Portugal diatur dalam Article 66. Article 66 ayat (1) menentukan
“Everyone has the right to a healthy and ecologically balanced human
environment and the duty to defend it”. Berdasarkan Article 66 (1)
Konstitusi Portugal setiap orang memiliki hak atas kesehatan dan
keseimbangan lingkungan manusia secara sekologis serta berkewajiban
untuk mempertahankan kelestarian lingkungan.
Article ayat (2) menyatakan “ It is the duty of the State, acting
through appropiate bodies and having resources to or taking support on
popular initiatives, to: a. Prevent and control pollution, its effects and
96 | G u g a t a n L i n g k u n g a n
kebijakan pemerintah.
4. Dalam hal masukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) disampaikan kepada pimpinan DPR, masukan
diteruskan kepada pimpinan komisi, pimpinan gabungan
komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan
Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, yang
menyiapkan rancangan undang-undang.
Pasal 210 1. Dalam hal masukan disampaikan secara lisan, pimpinan
komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia
khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan
Badan Anggaran, menentukan waktu pertemuan dan
jumlah orang yang diundang dalam pertemuan.
2. Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan
panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau
pimpinan Badan Anggaran menyampaikan undangan
kepada orang yang diundang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
3. Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk rapat dengar pendapat umum,
pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan
gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan
Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, atau
pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan
gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan
Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran
didampingi oleh beberapa anggota yang terlibat dalam
penyiapan rancangan undang-undang.
4. Hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menjadi bahan masukan terhadap rancangan undang-
undang yang sedang dipersiapkan.
Pasal 11 Pimpinan alat kelengkapan yang menerima masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 210
menyampaikan informasi mengenai tindak lanjut atas
masukan kepada masyarakat melalui surat atau media
elektronik.
Sumber: Peraturan DPR RI Nomor 01/ Tahun 2009 tentang Peraturan
Tata Tertib DPR RI
serta masyarakat tersebut. Hal ini mengingat yang menjadi dasar hukum
adalah suatu peraturan tata tertib DPR yang tentu tidak mudah untuk
didapat oleh masyarakat. Peraturan tata tertib DPR hanya mempunyai
kekuatan hukum mengikat kedalam dan tidak keluar.
Pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam pembentukan
undang-undang, baik saat penyiapan rancangan undang-undang maupun
ketika proses pembahasan undang-undang di DPR sederhana, serta tidak
ada konsekuensi hukum dalam hal proses partisipasi masyarakat tidak
dilaksanakan ketika proses pembahasan rancangan undang-undang
(Yuliandri 2008:298). Disamping itu, salah satu hal yang tidak terungkap
bagaimana menguji ada umpan balik serta terdapat perubahan yang
signifikan dari rancangan undang-undang yang disiapkan. Adanya peran
serta masyarakat diharapkan akan menghasilkan produk peraturan
perundang-undangan yang implementatif dalam penerapannya di
masyarakat karena peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk atas
informasi, pendapat atau masukan masyarakat yang akan terkena
pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Disamping peningkatan peran serta masyarakat, yang tidak boleh
dilupakan adalah peningkatan kualitas anggota DPR dan pemerintah
sebagai lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan. Dengan lembaga yang berkualitas tentunya akan
menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang berkualitas
juga.
Produk perundang-undangan yang berkualitas sangat penting
terutama yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Bila suatu
peraturan perundang-undangan lingkungan dibuat secara gegabah dan
tanpa pertimbangan yang mendalam, atau tanpa informasi yang luas dari
masyarakat tentunya akan berdampak luar biasa pada lingkungan.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan akan terjadi dan dampaknya akan
diraskan oleh setiap orang.
Sebagai contoh adalah dikeluarkannya PERPU No.1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No.19
Tahun 2004. Berdsarkan Undang-Undang No.19 Tahun 2004 ini
pemerintah memberikan izin kepada tiga belas perusahaan pertambangan
untuk melakukan kegiatan pertambangan dikawasan hutan lindung yang
sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang No.41 Tahun 1999. Pasal 83A
menyatakan bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang
pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya
Undang-Undang No.41 Tahun 2009 tentang Kehutanan dinyatakan tetap
116 | G u g a t a n L i n g k u n g a n
dalam bahasa asing di atas atau dekat tempat tanah yang bersangkutan
itu”
Pasa 5 ayat (3) menentukan bahwa dalam satu bulan sesudah hari
pemberitahuan itu, setiap orang berhak untuk menyatakan keberatannya
terhadap pemberian izin itu kepada pejabat tesebut pada ayat (1). Pejabat
yang berwenang harus memeriksa keberatan-keberatan itu, dan apabila
dapat, ia harus mendengar orang-orang yang berkepentingan tersebut
guna kepentingan mereka dan juga ia harus memeriksa adanya keberatan-
keberatan lain tentang pemberian izin yang diminta itu.
Peran serta masyarakat untuk mengajukan banding terhadap
penetapan izin HO diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang
menyatakan “Keputusan tentang suatu permintaan izin harus dengan
segera diberitahukan kepada orang yang meminta, dan juga kepada umum
dengan menempelkan suatu pemberitahuan dalam bahasa Indonesia di
atas atau di dekat tanah untuk tempat kerja itu”. Terhadap keputusan izin
orang dapat mengajukan banding: a. bila diberikan oleh sebuah propinsi,
kepada College van Gedeputeerdennya (kini dapat disamakan dengan
DPRD) atau kepada Gubernurnya kalau College van Gedeputeerdennya
belum terbentuk; b. dalam hal-hal lainnya kepada Gubernur (kini: untuk
Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada Gubernur DKI dan untuk Daerah
Istimewa Jogyakarta kepada Kepala Daerah DIJ).
Yang berhak meminta banding itu ialah si pemohon dan orang-
orang yang berkepentingan, masing-masing sejauh dikalahkan dalam
keputusan itu. Hal meminta keputusan banding lebih tinggi itu kepada
College van Gedeputeerden atau kepada Gubemur, harus dilakukan dalam
empat belas hari sesudah pemberitahuan yang tersebut pada ayat (1) itu
(Pasal ayat (2) HO).
Barangsiapa meminta keputusan banding itu haruslah
memberitahukan hal itu pada waktu itu juga kepada pejabat yang
memberikan keputusan yang tersebut pada ayat (1). Pejabat itu
mengumumkan dengan segera menurut cara yang disebut pada ayat (1).
Jika permintaan itu dilakukan oleh orang selain daripada si pemohon izin
itu, maka permintaan keputusan lebih tinggi itu diberitahukan selekas-
lekasnya oleh pejabat tersebut kepada si pemohon izin dengan surat
tercatat (Pasal 10 ayat 3 HO).
Sesudah itu, pejabat yang tersebut pada ayat di atas ini
mengirimkan selekas-lekasnya segala surat-surat, bersama-sama dengan
pertimbangannya, kepada pejabat tempat orang meminta keputusan lebih
tinggi itu. Pejabat yang memberi keputusan banding itu mensahkan,
menambahi, mengubah atau membatalkan keputusan terdahulu itu dengan
120 | G u g a t a n L i n g k u n g a n
lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak
dilengkapi dengan dokumen amdal; b. Badan atau pejabat tata usaha
negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-
UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau c.
Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Ketentuan Pasal 93 ayat (1) UUPPLH ini harus dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UU PERATUN. Apabila
dengan diterbitkannya KTUN (izin lingkungan) merugian kepentingan
orang atau badan hukum perdata maka dapat diajukan gugatan di
peradilan tata usaha negara dengan alasan-alasan sebagaimana disebut
oleh Pasal 53 ayat (2) agar KTUN (izin lingkungan) itu dinyatakan batal
atau tidak sah dengan atau tanpa disertai ganti kerugian. Artinya,
meskipun izin lingkungan yang diterbitkan kepada usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal dan dilengkapi dengan dokumen amdal atau
izin lingkungan yang diterbitkan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL
dan dilengkapi dengan UKL-UPL ataupun izin usaha yang dilengkapi
dengan izin lingkungan, namun apabila dengan diterbitkannya izin
lingkungan ini menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan sehingga
merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata maka dapat
diajukan gugatan di peradilan tata usaha negara agar izin lingkungan
tersebut dinyatakan batal atau tidak sah.
Secara lebih jelas, orang atau badan hukum perdata dapat
menggugat suatu KTUN yang merugikan kepentingannya ke peradilan
tata usaha negara dengan alasan KTUN itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau KTUN itu bertentangan dengan
AUPB. Dengan demikian, sepanjang KTUN itu merugikan kepentingan
orang atau badan hukum perdata, namun tidak terpenuhi ketentuan
sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 93 ayat (1) UUPPLH, orang atau
badan hukum perdata tetap dapat menggugatnya di peradilan tata usaha
negara karena KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan AUPB.
telah dicabut oleh Walikota Medan, namun PT Sari Morawa masih tetap
bisa beroperasi karena masih memiliki izin yang lain, yakni izin usaha
industri (NHT Siahaan 2006:190) sehingga pencemaran lingkungan yang
dilakukan oleh PT. Sari Morawa tidak berhenti.
Diperlukan adalah reformasi perizinan lingkungan dari yang
bersifat sektoral menjadi perizinan lingkungan yang bersifat terpadu, yang
berarti hanya ada satu jenis izin lingkungan dan diterbitkan oleh satu
badan/pejabat yang berwenang. Dengan hanya ada satu jenis izin
lingkungan tentu akan menguntungkan bagi pemrakarsa usaha dan/atau
kegiatan karena cukup membutuhkan satu jenis izin lingkungan saja.
Disamping itu, bila dalam pelaksanaan izin lingkungan ini menimbulkan
pencemaran lingkungan, maka bagi pihak yang dirugikan dapat
mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara agar izin lingkungan
yang menyebabkan pencemaran lingkungan dinyatakan batal atau tidak
sah. Dengan dibatalkannya izin lingkungan berarti akan menghentikan
pencemaran yang terjadi.
Setelah diundangkannya UUPPLH memang ada usaha untuk
menciptakan unifikasi sistem perizinan lingkungan. Setiap usaha dan/atau
kegiatan bisa memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan kalau sudah
memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan adalah prasyarat untuk
diterbitkannya izin usaha dan/atau kegiatan oleh badan/pejabat yang
berwenang. Apabila izin lingkungan dicabut maka izin usaha dan/atau
kegiatan juga ikut dicabut.
Namun sayangnya, UUPPLH juga tidak menyebutkan jenis izin
usaha dan/atau kegiatan apa saja yang memerlukan izin lingkungan.
UUPPLH hanya menyatakan bahwa izin usaha dan/kegiatan dikeluarkan
oleh instansi teknis. Dengan demikian pemrakarsa usaha dan/atau
kegiatan harus mencari sendiri instansi teknis mana yang berwenang
untuk menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatannya.
Ditetapkannya izin lingkungan sebagai syarat untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan ini akan membingungkan karena suatu izin
usaha dan/atau kegiatan terkadang juga berfungsi sebagai izin lingkungan
yang fungsinya untuk mencegah pencemaran lingkungan. Misalnya
adalah izin usaha industri berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1984
tentang Perindustrian yang salah satu fungsinya adalah juga untuk
mencegah pencemaran lingkungan.
Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara menyatakan: Setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan
HUKUM LINGKUNGAN | 129
digugat. Berdasar asas praduga rechmatig maka suatu KTUN hanya dapat
dibatalkan (vernietigbaar) dan bukan dinyatakan tidak sah atau batal
maupun batal demi hukum (van rechtwege nietig).
Keempat, petitum 3 yang isinya ewajibkan dan memerintahkan
Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003
tanggal 19 Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan
Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana
Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Petitum
ketiga yang menyatakan “mewajibkan dan memerintahkan kepada
tergugat untuk mencabut......” adalah berlebihan. Dengan dibatalkannya
KTUN yang disengketakan, hal seperti itu tidak perlu dimintakan.
Kasus keempat, PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM
(Persero) Tbk., diwakili oleh Ismet Harmaini, Direktur Utama PT.
Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) menggugat Bupati Lahat di
Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang sebagai akibat diterbitkannya
Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor: 540/29/KEP/PERTAMBEN/2005
tanggal 24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa
Pertambangan EkSplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan
Eksploitasi (KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG BATUBARA
BUKIT ASAM (Persero) Tbk. (Selanjutnya disebut sebagai "Keputusan
Nomor:540/29") yang telah merugikan kepentingan penggugat.
Alasan gugatan penggugat adalah bahwa Bahwa Keputusan Nomor
: 540/29 (dalam diktum Ketetapan Pertama) yang berbunyi : Status
wilayah eks Kuasa Pertambangan PT.TAMBANG BATUBARA BUKIT
ASAM (Persero ) Tbk., (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Per tambangan PT.
TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero ) Tbk.,
(KW.DP.16.03.04.01.03) yang terletak dalam wilayah Kabupaten Lahat
sebagai wilayah yang dikuasai Negara dan pengelolaannya dilaksanakan
oleh Pemerintah Kabupaten Lahat; adalah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa Keputusan Nomor:540/29 bertentangan dengan Asas-asas
umum Pemerintahan Yang antara lain: Asas Kepastian Hukum, Asas
Tertib Kepentingan Umum, Asas Proporsional, dan Asas Efisiensi.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon
kepada Pengadilan Tata Usaha Palembang agar memberikan putusan
sebagai berikut:
Dalam Penundaan
142 | G u g a t a n L i n g k u n g a n
Tinggi Tata Usaha Negara Medan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Medan dengan Putusan dengan putusan Nomor: 100/BDG/2005/PT.TUN-
MDN tanggal 14 Desember 2005, yang amarnya sebagai berikut:
-Menerima permohonan banding Penggugat/Pembanding;
-Membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang
Nomor: 06/G.TUN/2005/PTUN-PLG. tanggal 29 Agustus yang
dimohonkan banding, dan dengan:
MENGADILI SENDIRI
Dalam Eksepsi:
- Menolak Eksepsi Tergugat/Terbanding;
Dalam Pokok Perkara:
-Menolak gugatan Penggugat/Pembanding seluruhnya;
-Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara
pada kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding ditetapkan
sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah);
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Medan diajukan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yang dengan amar putusan
Mahkamah Agung RI Nomor:326 K/TUN/2006 tanggal 10 Mei 2007,
yang telah berkekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut:
-Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT.
TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk tersebut;
-Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara Medan
Nomor: 100/BDG/2005/PT.TUN-MDN tanggal 14 Desember 2005 yang
membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor:
06/G.TUN/2005/PTUN-PLG tanggal 29 Agustus 2005;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
-Menolak eksepsi tergugat;
DALAM POKOK PERKARA:
-Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
-Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara
dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi i ni ditetapkan
sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah),
Menimbang, bahwa amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
326 K/TUN/2006 tanggal 10 Mei 1997, yang telah berkekuatan hukum
tetap tersebut adalah sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi: PT.
TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk tersebut;
144 | G u g a t a n L i n g k u n g a n
MENGADILI KEMBALI:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk selurruhnya;
Menghukum Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon
Kasasi/Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta lima
ratus ribu rupiah).
HUKUM LINGKUNGAN | 145
DAFTAR BACAAN
146 | G u g a t a n L i n g k u n g a n
A’an Efendi, 2011. Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat
Dalam UUD 1945 dan Prosedur Pelaksanaannya, Jurnal
Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Universitas Jember, Volume III
No.2.
__________, 2011. Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat
Dalam UUD 1945 dan Perbandingannya Dengan Konstitusi
Beberapa Negara, Jurnal Konstitusi Pusat Studi Kebijaakan
Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Vol.III No.1.
Siti Sundari Rangkuti, 1984. Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik
dan Sehat, di Sampaikan pada SEMINAR SEHARI
LINGKUNGAN HIDUP tentang “Keserasian Tata Lingkungan
Kampus Unair”, FH Universitas Airlangga, Surabaya.
A
Amdal, 13, 107
Amar, 73, 74, 75, 76, 77, 146, 152
Asas, 18, 23, 24, 25, 26, 42, 43, 44, 45, 94, 97, 150, 151, 154
Asas hukum, 23
Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara, 23, 24, 25
Asas-asas hukum administrasi, 24, 94
B
Banding, 39, 80, 82, 147
Banding administratif, 39
F
Freeport Indonesia, 13, 124, 142, 144, 158
H
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 106
I
Izin lingkungan, 9, 134, 135, 137, 138
J
Jaksa Agung, 84
K
Kasasi, 82, 84, 89, 147, 148, 152, 153, 154
Kompetensi absolut, 25, 26, 28
Kompetensi relatif, 26
Keputusan tata usaha negara, 132
L
Lingkungan, 9, 12, 14, 43, 83, 84, 88, 96, 97, 98, 99, 101, 105, 106,
112, 113, 116, 117, 118, 120, 121, 125, 130, 134, 136, 141,
142, 143, 144, 145, 148, 149, 155, 156, 157, 158, 157, 158
154 | I n d e k s
M
Mahkamah Agung,, 83, 85, 88
P
Peradilan administrasi, 19
Pengadilan, 13, 18, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 33, 36, 38, 40, 41, 46, 47,
48, 50, 51, 58, 71, 74, 75, 80, 82, 83, 84, 88, 89, 94, 96, 97, 98,
99, 130, 132, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152,
153, 158
Pengelolaan, 9, 14, 15, 99, 112, 119, 138, 155, 156, 157, 158, 157
Peradilan, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 28, 33,
43, 45, 51, 58, 60, 61, 71, 72, 83, 84, 88, 96, 97, 98, 99, 130,
131, 134, 136, 141, 148, 149
Peradilan tata usaha negara, 15, 18
Petitum, 40, 50, 150, 155
R
Rehabilitasi, 51
U
Upaya hukum, 78, 79, 80, 83, 84, 86, 87
W
Wewenang, 9, 31, 54, 61
Y
Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 12,
141, 142, 143
Yayasan Pengembangan Hukum Lingkungan, 12, 141, 142, 143
BIOGRAFI PENULIS
Beberapa karya ilmiah dalam bidang hukum lingkungan baik berupa buku
maupun jurnal ilmiah adalah sebagai berikut:
Buku
A’an Efendi, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Mandar Maju,
Bandung, 2012.
Jurnal Ilmiah
1. A’an Efendi, Perijinan Lingkungan Sarana Pencegahan
Pencemaran Lingkungan, Jurnal Hukum Qistie, FH Universitas
Wachid Hasyim, Semarang, 2011.
2. A’an Efendi, Kewenangan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup (KNLH) Dalam Pengelolaan Lingkungan di Indonesia,
Majalah Hukum dan Masyarakat, FH Universitas Jember, Jember,
2010.
3. A’an Efendi, Instrumen-Instrumen Hukum Lingkungan Sarana
Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Jurnal Hukum Supremasi,
FH Universitas Islam Balitar, Blitar, 2011.
4. A’an Efendi, Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di
Daerah: Problematika dan Pembicaraannya Dalam Pemilukada,
Jurnal Pusat Kajian Konstitusi Universitas Jember, Jember, 2011.
5. A’an Efendi, Isu Lingkungan Dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah, Jurnal Pusat Kajian Konstitusi Universitas Moch. Sroedji,
Jember, 2011.
6. A’an Efendi, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Dalam UUD 1945 dan Perbandingannya dengan Konstitusi
Beberapa Negara, Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas
Padjajaran, Bandung, 2011.
7. A’an Efendi, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Dalam UUD 1945 dan Prosedur Pelaksanaannya, Jurnal Pusat
Kajian Konstitusi Universitas Jember, Jember, 2011.
8. A’an Efendi, Telaah Pasal 66 Undang-Undang No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Jurnal Pusat
Kajian Konstitusi Universitas Moch. Sroedji, Jember, 2011.
9. A’an Efendi, UUD 1945 dan Aktivitas Bisnis Hijau, Jurnal Pusat
Kajian Konstitusi Universitas Dr. Sutomo, Surabaya, 2011.
10. A’an Efendi, Penyelesaian Kasus Pencemaran Lingkungan Dari
Aspek Hukum Lingkungan, Majalah Hukum Risalah Hukum, FH
Universitas Mulawarman, Samarinda, 2012.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui peradilan tata usaha negara adalah mengajukan
gugatan di pengadilan tata usaha negara terhadap izin lingkungan yang diterbitkan secara
keliru sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dengan tujuan agar hakim
menyatakan tidak sah atau batal sehingga dapat segera menghentikan pencemaran lingkungan
yang terjadi.
Buku ini membahas secara komprehensif tentang penyelesaian sengketa lingkungan melalui
peradilan tata usaha negara, yang dimulai dari pembahasan tentang segala aspek peradilan
tata usaha negara, dimulai dari istilah-istilah peradilan tata usaha negara sampai dengan
pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negara. Pembahasan selanjutnya tentang gugatan
sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara dan dilengkapi dengan kasus-kasus
gugatan sengketa lingkungan yang sudah diputus oleh pengadilan tata usaha negara.
Buku ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa fakultas hukum, dosen fakultas hukum,
organisasi lingkungan hidup, pejabat pemerintahan, hakim, dan masyarakat pada umumnya
yang berminat pada persoalan-persoalan lingkungan.