Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TEORI HUKUM

Dosen Pengajar : Dr. H. Didik Widitrismiharto, S.H., M.Si.

Disusun Oleh:
1. Widya Thesman (124217515)
2. Tiffany Lorenzia Setiady Ong (124217516)
3. Ruben Denny Djari (124217520)
4. Kartika Anugrah Handayani (124217525)
5. Thio Aswin Oktavianus Sulis (124217527)
6. Andi Muhammar Qadafi Abidin (124217528)

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA
SEMESTER GENAP 2017/2018
1. TEORI PENEGAKAN HUKUM

Latar Belakang
Hukum pada hakikatnya adalah perlindungan kepentingan
manusia, yang merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya
orang harus bertindak. Akan tetapi hukum tidak sekedar merupakan
pedoman belaka, perhiasan atau dekorasi. Hukum harus diataati,
dilaksanakan, dipertahankan dan ditegakkan. Pelakasanaan hukum dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, mempunyai arti yang sangat penting,
karena apa yang menjadi tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan.
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan suatu usaha
untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial menyjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah
yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Sedangkan menurut
Soerjono Soekanto penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap
dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
perdamaian dan pergaulan hidup.

Hakikat dan Tujuan


Penegakan hukum semata-mata tidaklah berarti pelaksanaan
perundang-undangan, ataupun pelaksanaan keputusan-keputusan hakim,
tetapi masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor penegakan
hukum meliputi:
1) Faktor hukumnya sendiri, misalnya undang-undang dan sebagainya
Semakin baik suatu peraturan hukum (Undang-Undang) akan semakin
memungkinkan penegakan hukum. Secara umum peraturan hukum
yang baik adalah peraturan hukum yang memenuhi konsep
keberlakuan sebagai berikut:

1
a. Berlaku secara yuridis, artinya keberlakuannya berdasarkan
efektivitas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, dan terbentuk
menurut cara yang telah ditetapkan
b. Berlaku secara sosiologis, artinya peraturan hukum tersebut
diakui atau diterima masyarakat kepada siapa peraturan hukum
itu diberlakukan
c. Berlaku secara filosofis, artinya peraturan hukum tersebut sesuai
dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
d. Berlaku secara futuristik (menjangkau masa depan), artinya
peraturan hukum tersebut dapat berlaku lama (bukan temporer)
sehingga akan diperoleh suatu kekekalan hukum
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
Penegak hukum terdiri dari :
a. Pihak-pihak yang menerapkan hukum, misalnya : kepolisian,
kejaksaan, kehakiman, kepengacaraan, dan masyarakat
b. Pihak-pihak yang membuat hukum, yaitu badan legislative dan
pemerintah
Peranan penegak hukum sangatlah penting karena penegak hukum
lebih banyak tertuju pada deskresi, yaitu dalam hal mengambil
keputusan yang tidak sangat terkait pada hukum saja, tetapi penilaian
pribadi juga memegang peranan. Pertimbangan tersebut diberlakukan
karena :
1. Tidak ada perundang-undangan yang lengkap dan sempurna,
sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia
2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan
perundang-undangan dalam perkembangan dalam masyarakat,
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
3. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan
4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan
secara khusus

2
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukumakan berlangsung dengan lancar. Sarana fasilitas
tersebut mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup
dan seterusnya.
4) Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan karsa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat.Sebab itu masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum di mana peraturan hukum berlaku
atau diterapkan.
Bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan
hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat
kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan
penegakan hukum yang baik. Kesadaran hukum dalam masyarakat
meliputi antara lain :
a. Adanya pengetahuan tentang hukum
b. Adanya penghayatan fungsi hukum
c. Adanya ketaatan terhadap hukum
5) Faktor masyarakat, yakni lingkungan hukum tersebut atau diterapkan
Kebudayaan hakikatnya merupakan buah budidaya, cipta, rasa dan
karsa manusia di mana suatu kelompok masyarakat berada. Dengan
demikian suatu kebudayaan di dalamnya mencakup nilai-nilai yang
mendasi hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti)
dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut,
yang berperan dalam hukum meliputi antara lain :
a. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman
b. Nilai jasmania/kebendaan dan nilai rohania/keakhlakan
c. Nilai kelanggengan dan nilai kebaruan.

3
Kelima faktor tersebut diatas sangat berkaitan dengan eratnya, oleh
karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga
merupakan tolak ukur efektivitas penegakan hukum.
Pelaksanaan penegakan hukum bertujuan untuk kepastian hukum,
kemanfaatan atau kegunaan hukum itu sendiri serta keadilan bagi
masyarakat. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu, dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

2. TEORI KEPASTIAN HUKUM

Latar Belakang
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik
yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan
aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar
menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan
oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum
yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das
sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.
Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi
pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam
hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan

4
masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam
membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu
dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari
sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua
orang di depan pengadilan.
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid
atau utility.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu.

Hakekat dan Tujuan


Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum.
Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan
mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan
mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat
dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari
kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang
hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan
dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum
dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada

5
kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan
kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum
ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum
yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya,
dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum
satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah
keadilan.

3. TEORI HUKUM MURNI

Latar Belakang
Teori Hukum Murni ini untuk pertama kalinya dikukuhkan dalam
bentuk rumusan yang sistematikal dan konseptual oleh John Austin dalam
The Province of jurisprudence (1832) melalui pernyataan atau klaim positif
mengenai hukum bahwa :
“hukum dalam tema yang paling generic dan menyeluruh…
diartikan sebagai aturan yang diterbitkan untuk member pedoman
perilaku kepada seseorang manusia selaku makhluk intelegen…
dari seorang manusia lainnya (makhluk intelegen lain) yang
ditangannya ada kekuasaan (otoritas) terhadap makhluk intelegen
pertama itu”
Selain itu Austin mengatakan bahwa hukum merupakan perintah
penguasa dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Dengan demikian
maka dapat dikatakan bahwa teori ini hanya bersumber pada hukum yang
tertulis yang disahkan oleh kekuasaan pemerintahan atau suatu Negara.
Untuk itu kemudian muncul unsur-unsur hukum menurut Austin
diantaranya :
1. Adanya penguasa (souvereghnity)
2. Suatu perintah (command)

6
3. Kewajiban untuk menaati (duty)
4. Sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction)
Selanjutnya Hans Kelsen juga memberikan pendapatnya mengenai
teori ini, pertama ajaran hukum yang bersifat murni, sedangkan yang
kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des
Recht yang mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari
unsur etis Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu
hukum alam, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen
menghindari diri dari yang demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran
Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan
berkembang di masyarakat. Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori
hukum Murni adalah keinginan untuk membebaskan ilmu hukum dari
anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi, politik, budaya dan lain
sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak
tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan menurut
Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat keadilan sebagai
sebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murni tidak dapat
menjawab tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena
pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus
diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat, keadilan berarti
memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran
atasnya.

Hakikat dan Tujuan


Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum
yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori
hukum ini ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?”
tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Teori ini
mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas dengan
ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum
berdiri sendiri dan merupakan sui generis. Kelsen ingin memisahkan

7
pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan
hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan
bahkan juga etika. Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum.
Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan
lain-lain. Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum
dalam konteks formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara
yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum murni
(das reine Recht).
Kewajiban yang terletak pada kaidah hukum adalah kewajiban
yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena kaidah hukum termasuk
pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau ancaman apabila
tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-undang
dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi
perintah dan ada yang mentaati perintah. Kewajiban yang kedua adalah
kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa yang demikian itu
merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah
dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Hans
Kelsen juga mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin,
hal itu dikarenakan adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian
pengertian hukum. Sehinga peraturan yang tidak normatif tidak masuk
akal maka tidak dapat dikatakan hukum. Immamuel Kant mengatakan
bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban hukum termasuk dalam
pengertian transedental-logis. Menurut Kant ada norma dasar (grundnorm)
bagi moral yang berbunyi berlakulah sesuai dengan suara hatimu, maka
menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang
harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar
(grundnorm) tersebut berbunyi: orang-orang harus menyesuaikan dirinya
dengan apa yang telah ditentukan.
Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang
norma hukum (stufentheori), dimana ia berpendapat bahwa norma hukum
itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata

8
susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada
suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen
ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang
mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua
wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia
bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga
menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.
Ajaran Hans Kelsen tersebut kemudian disempurnakan oleh seorang
muridnya, yakni Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehre
yang mengatakan bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara juga berkelompok-
kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam
suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar, yang terdiri atas :
 Kelompok 1: Staatfundamentalnorm (norma fundamental
negara)
 Kelompok 2: Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara)
 Kelompok 3: Formell Gesetz (Undang-undang “formal”)
 Kelompok 4: Verordnung & Autonome Satzung
(aturan pelaksana & aturan otonom)
Pada prinsipnya aliran ini merupakan aliran pemikiran hukum yang
memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi
hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan
kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum
Kelsen).

9
4. TEORI HUKUM RESPONSIF

Latar Belakang
Teori hukum responsif merupakan pemikiran dari Philippe Nonet
dan Philip Selznick. Teori ini dilatarbelakangi dengan munculnya masalah-
masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran
lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan
yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Pada saat itu sedang
berlaku Legalism Liberal yang menganggap hukum sebagai institusi
mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak
memihak dan benar-benar otonom. Hasil dari otonomi itu adalah rule of
law. Dengan karakternya yang otonomi diyakini bahwa hukum dapat
mengendalikan represi dan menjaga integritas sendiri. Dilihat dari
kepentingan internal sistem hukum itu sendiri, dalil integritas itu memang
dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah tujuan dari pada dirinya sendiri.
Hukum adalah alat bagi manusia dan harus melihat hukum dari sisi
kehidupan manusia itu sendiri. Hukum yang ada pada saat itu ternyata
tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut untuk
bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan
Selznick berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya
hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan itu.
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang
bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa
melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan
yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial.
Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari
penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang
menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal
semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi
sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Mereka kemudian
mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam

10
ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu
sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara
keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan
dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman
hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.
Di tengah realita krisis otoritas hukum itu, Nonet dan Selznick
memberikan perhatian khusus pada variabel-variabel yang berkaitan
dengan hukum yaitu peranan paksaan dalam hukum, hubungan antara
hukum dan politik negara, tatanan moral, tempat diskresi, peranan tujuan
dalam keputusan-keputusan hukum, partisipasi, legitimasi dan kepatuhan
terhadap hukum. Nonet dan Selznick lewat hukum responsif
menempatkan sebagai sarana respons terhadap ketentuan sosial dan
aspirasi publik. Maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk
menerima perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi
publik.
Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum
dalam masyarakat, yaitu:
a) hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif),
b) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan
represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom),
c) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap
kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan
responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi
dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam
hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya
selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model
perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum
tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum
responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil.
Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum

11
otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut
yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun
juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.

Hakekat dan Tujuan


Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang
akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum
dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum
responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan
dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan
ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai
interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto
Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara
analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain
pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan
ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis
maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum
yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah
teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan
bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules
(logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa
memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum
harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan
bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai
dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari
lingkup hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif akan terlihat pada proses
pembuatannya yang bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-
banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu,
ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang

12
bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Hal ini berarti
bahwa produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk
melegitimasikan kekuasaannya. Sifat responsif dapat diartikan sebagai
melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan,
tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti
suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam
institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti
bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap
terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang
membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna
akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa
yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak
lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan
sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial,
namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada
masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu
pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan
keterbukaan dengan integritas.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam
penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick
bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan
hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya
merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang
dilayaninya. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud
memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud
menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk
kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam
hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu
tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak
masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua.

13
Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu
etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi
kehidupan politik dalam dunia modern.

5. TEORI HUKUM REPRESIF

Latar Belakang
Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan
represif dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang
memerintah adalah represif, bilamana ia kurang memperhatikan
kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan artinya bilamana ia
cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan tersebut
atau menolak legitimasinya. Meskipun represi sering kali berbentuk
penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan, pemaksaan sendiri
bukanlah merupakan ciri yang menentukan bagi sifat represif, melainkan
diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat.
Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan
dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum,
pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum
represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat
sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat).
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi
dapat memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidakmampuan
pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah
pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi adalah
kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan
pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana
“program pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun
memperhatikan, lingkup kepentingan individual dan kelompok yang
dipengaruhinya.

14
Hakikat dan Tujuan
Tipe hukum ini bertujuan mempertahankan status quo penguasa
yang kerapkali diterapkan dengan dalih menjamln ketertiban. Dengan
demikian, hukum ini dirumuskan untuk mengikat setiap orang, kecuaii
penguasa/pembuat hukum. Nonet dan Selznick memberi perhatian
khusus pada variabel-variabel yang berkaitan dengan hukum (represif),
yaitu:
peran paksaan dalam hukum, hubungan antara hukum dan politik, negara,
moral, serta tempat diskresi dan tujuan dalam keputusan-keputusan
hukum.
Hukum represif terurai dalam paling sedikit sepuluh ciri utama, yaitu:
1. Ketertiban menjadi tujuan utama hukum;
2. Legitimasi atau dasar kekuatan mengikatnya adalah kekuasaan
negara;
3. Peraturan-peraturannya yang terumus secara rinci bersifat
keras (represif) mengikat rakyat, tapi lunak terhadap penguasa;
4. Alasan pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai keinginan arbitrer
penguasa;
5. Kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai
kesempatan:
6. Pemaksaan serba mencakupi tanpa batas yang jeias;
7. Moralitas yang dituntut dari masyarakat adalah pengendalian
diri;
8. Kekuasaan menempati posisi di atas hukum;
9. Kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat, dan ketidakpatuhan
dihukum sebagai kejahatan;
10. Partisipasi masyarakat diijinkan lewat penundukkan diri,
sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan.
Dari konstelasi hubungan antar variabel itu, jelaslah bahwa hukum represif
merupakan sistem hukum kekuasaan represif yang bertujuan

15
mempertahankan kepentingan penguasa yang kerapkali diterapkan
dengan dalih menjamin ketertiban. Karena hukum merupakan alat
penguasa, maka dalam geraknya aturan-aturan hukum tidak mengikat
penguasa sebagai pembuatnya. Sebaliknya, ia berfungsi mengendalikan
seluruh aspek kehidupan rakyat yang dirancang secara sentral untuk
menciptakan, melaksanakan, serta memperkuat kontrol terhadap segenap
kegiatan masyarakat.

16

Anda mungkin juga menyukai