Anda di halaman 1dari 3

Aliza Zahra Salsabila

1710611315

Hukum Jaminan – A (Rabu, 13.00-14.40)

KASUS GADAI DAN ANALISIS


Contoh kasus :

Bapak budi merupakan seorang “debitur” dari salah seorang “kreditur” atau bisa
disebut sebagai “rentenir desa” yang memang dikatakan sangat kaya. Bapak Budi adalah
seorang  pedagang dan sangat membutuhkan uang guna menambah modal usaha warung
yang ia miliki.  Namun, karena pekerjaannya yang tidak tetap, bisa dikatakan hanya dapat
“uang pas- pasan” akhirnya beliau nekat untuk meminjam uang (berhutang) pada seorang
kreditur di desa. Dengan  jaminan motor “Honda Astrea” miliknya yang senilai dengan Rp.
2.000.000,-. Mereka melakukan transaksi hutang piutang didasarkan atas rasa kepercayaan
saja dan membuat kesepakatan yang  pada intinya “motor beliau dijadikan jaminan atas uang
yang dipinjamnya senilai 2 jt , dan beliau membuat kesepakatan bahwa hutang itu akan
dipenuhi selama 3 tahun ditambah dengan bunga sebesar Rp.500.000,- . Jika kemungkinan
dalam pembayaran hutangnya melebihi batas waktu yang telah ditentukan maka sepeda
motor yang dijadikan barang jaminan akan menjadi milik kreditur”. Setelah kesepakatan itu
dibuat bapak budi berharap dapat kembali melunasi hutang dan mengambil motor satu-
satunya yang dimiliki yang digunakan sebagai jaminan atas hutangnya. Selang 3 tahun
berlalu, karena bapak budi mengalami kegagalan dalam berusaha maka  beliau tidak dapat
melunasi hutangnya. Dan beliau berfikir untuk mendiskusikan masalah ini dengan pihak
kreditur. Namun, alangkah kagetnya beliau selang waktu sehari dari jatuh tempo ketika beliau
menemui kreditur, beliau mendapat pemaparan dari kreditur bahwasanya barang yang
dijaminkan atas hutangnya telah dijual tanpa pemberitahuan apapun dari pihak kreditur pada
bapak budi. Dari pihak Dari pihak bapak budi sendiri istilahnya tidak dapat menuntut kreditur
karena tidak ada perjanjian yang dibuat diantara mereka atau istilahnya“Hitam diatas putih”.
Akhirnya dengan rasa kecewa beliau tidak dapat berbuat apa-apa dan membiarkan itu terjadi
sesuai dengan kesepakatan yang dibuat 3 tahun yang lalu.
Analisis Kasus :

Dari kasus yang terjadi diatas gadai itu diperjanjikan dengan maksud untuk
memberikan  jaminan atas utang piutang yang dilakukan oleh debitur kepada kreditur. Dalam
rangka untuk mengamankan piutang kreditur, maka debitur menyerahkan barang berupa
benda bergerak (bernilai) yang digunakan sebagai jaminan atas piutang sampai pelunasan
hutang tersebut. Pemegang gadai itu adalah pihak kreditur. Persyaratan itu juga sudah di
jelaskan pada pasal 1150 KUH Perdata, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai
jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil
pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan
pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan
atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu
sebagai gadai dan yang harus didahulukan. Selanjunya berdasarkan ketentuannya berada pada
pasal 1152 ayat (1) dan (2) KUH Perdata.
Pada kasus di atas, kesepakatan ini dikatakan tidak resmi karena tidak melalui
pencatatan yang dihadapkan pada petugas pencatat akta perjanjian. Perjanjian ini hanya
berdasarkan kesepakatan bersama. Jadi, apabila terjadi wanprestasi seperti diatas karena
debitur tidak bisa melunasi hutang dan akhirnya benda yang dijadikan jaminan itu dijual
maka dari pihak debitur tidak  bisa menuntut karena tidak memiliki kepastian hukum.
Sebaiknya pada perjanjian ini harus ada / dicatatkan melaui PPAT / notaris maka kepastian
hukumnya jelas. Atau sebaiknya jika berhutang  piutang harus pada lembaga yang memiliki
kejelasan baik dalam administrasinya, lembaga, maupun pekerja yang berwenang. Misalnya
di pegadaian, bank atau lembaga yang sudah resmi untuk menghindari dari kesewenang-
wenangan dari salah satu pihak. Penjualan yang terjadi diatas terjadi atas kelalaian salah satu
pihak, padahal penjualan dibawah tangan ini hanya bisa dilakukan bila ada kesepakatan
antara kedua belah pihak (pemberi dan pemegang hak tanggungan). Karena ini di
khawatirkan merupakan tindakan / transaksi yang melanggar hukum sehingga dapat terancam
batal demi hukum atau dapat dibatalkan oleh hakim (atas permintaan pihak-pihak tertentu).
Menurut pasal 20 ayat (3) UUHT pelaksanaan penjualan dibawah tangan hanya dapat
dilakukan setelah lewat waktu dari 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
dan pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan
sediki-dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media
massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Maksud dari ketentuan
pasal tersebut adalah untuk melindungi pihak-pihak yag berkepentingan. Pada prinsipnya
setiap eksekusi harus dilakukan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek jaminan yang dijual. Dalam
pelelangan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak menghasilkan harga
tertinggi atas kesepakatan antara pemberi dan pemegang dan dipenuhinya syarat-syarat
tertentu, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan dilakukan oleh kreditur
pemegang dibawah tangan, jika yang demikian itu diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak. Menurut hukum, apabila debitur cidera janji, baik kreditur
pemegang hak tanggungan maupun kreditur yang biasa dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan melalui gugatan perdata. Tetapi kita mengetahui penyelesaian
utang piutang melalui acara tersebut memakan waktu dan biaya .

Anda mungkin juga menyukai