Anda di halaman 1dari 5

Contoh Kasus Utang Piutang:

Bahwa, Si A meminjamkan uang kepada Si B sebesar 100 juta untuk modal usaha. Si
B berjanji akan mengembalikan pada waktu yang sudah disepakati, beserta bunga dan
pembagian hasil keuntungan dari usahanya tersebut. Namun, saat hari H, Si B tak kunjung
mengembalikan uang Si A itu. Dengan alasan, usahanya bangkrut. Si A tidak percaya dan
ingin melaporkan Si B ke Polisi agar membayar utangnya. Apakah langkah tersebut tepat
menurut hukum?

Prinsipnya, masalah pinjam meminjam adalah termasuk lingkup hukum


perdata. Sehingga tidak bisa dibawa ke ranah pidana. Dasar hukumnya diatur dalam
Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
berbunyi:

“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan
berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang piutang.”

Selain itu, beberapa putusan pengadilan (Mahkamah Agung) yang berkekuatan


hukum tetap (Yurisprudensi) juga sudah menegaskan hal yang sama, antara lain:

1. Putusan MA Nomor Register : 93K/Kr/1969, tertanggal 11 Maret


1970 menyatakan: “Sengketa Hutang-piutang adalah merupakan sengketa perdata.”
2. Putusan MA Nomor Register : 39K/Pid/1984, tertanggal 13 September
1984 menyatakan: “Hubungan hukum antara terdakwa dan saksi merupakan
hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai
perbuatan tindak pidana penipuan.”
3. Putusan MA Nomor Register : 325K/Pid/1985, tertanggal 8 Oktober
1986 menyatakan: “Sengketa Perdata Tidak dapat dipidanakan.”

Sepanjang benar Si B belum bisa membayar utang lantaran usahanya bangkrut, maka
upaya melaporkan Si B ke Kepolisian (menggunakan jalur pidana) merupakan upaya yang
tidak tepat menurut hukum. Upaya yang bisa dilakukan adalah mengajukan gugatan
wanprestasi atau ingkar janji ke Pengadilan. Dasar hukumnya Pasal 1243 Kitab Undang-
Undang Hukm Perdata (KUHPer), berbunyi:
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Si A dapat menuntut uangnya kembali, beserta biaya-biaya yang sudah dikeluarkan


untuk mengurus masalah ini, ganti rugi dan bunga sesuai yang dijanjikan Si B tersebut. Dasar
Hukumnya Pasal 1244 KUHPerdata berbunyi:

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat
dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”

Sedangkan, jalur pidana hanya bisa digunakan jika memang ada unsur-unsur penipuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau pun
unsur pasal tindak pidana lainnya dalam pinjam meminjam tersebut. Pasal 378 KUHP,
berbunyi:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Oleh sebab itu, tidak tepat jika membawa masalah pinjam meminjam uang (perdata)
ke ranah pidana. Sebab menurut hukum seseorang tidak bisa dipidana karena
ketidakmampuannya membayar utang. Langkah yang seharusnya dilakukan
adalah mengajukan gugatan wanpestasi ke pengadilan Negeri untuk menuntut uang
Anda kembali, biaya-biaya lainnya, ganti rugi dan bunga jika ada.

Dasar Hukum:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata


b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Putusan Pengadilan:
a. Putusan Mahkamah Agung RI No. 93 K/Kr/1969, tertanggal 11 Maret 1970
b. Putusan Mahkamah Agung RI No. 39K/Pid/1984, tertanggal 13 September 1984
c. Putusan Mahkamah Agung RI No. 325K/Pid/1985, tertanggal 8 Oktober 1986

Perbedaan Antara Perjanjian Pinjam-Meminjam dan Perjanjian Penitipan

Kesepakatan merupakan hal umum yang kerap dilakukan oleh masyarakat saat ini
yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dalam praktiknya, terdapat berbagai
jenis perjanjian yang dibuat oleh para pihak, namun pada tulisan ini akan membahas terkait
perjanjian pinjam-meminjam dan perjanjian penitipan.

Sebelum lebih lanjut mengetahui perbedaan antara dua jenis perjanjian tersebut,
baiknya terlebih dahulu kita mengetahui definisi dari pinjam-meminjam dan penitipan
bersadarkan peraturan yang berlaku.

Pinjam-meminjam didefiniskan di dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata (KUHPer), yang tertulis sebagai berikut:

“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”

Sedangkan definisi penitipan yang sebagaimana diatur di dalam pasal 1694 KUHPer,
ialah:

“Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain,
dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembailkannya dalam wujud asalnya”

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa kedua hal tersebut tidak memiliki
perbedaan yang signifikan, tetapi sebagai pelaku usaha yang akan mengadakan perjanjian
tersebut harus mencermati konstruksi hukum apa yang terjadi dalam hubungan hukum yang
disebabkan oleh kedua perjanjian tersebut.

Dalam hal perbedaannya, terdapat pada permasalahan yang timbul ialah menyangkut
kepemilikan, apabila perjanjian yang diadakan ialah perjanjian penitipan maka kepemilikan
dari barang yang diperjanjikan tidak berpindah sehingga penerima titipan tidak dapat
memindah tangankan barang tersebut tanpa sepengetahuan pemilik barang.

Selain itu perjanjian penitipan juga memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa
barang yang dititipkan dapat sewaktu-waktu diminta oleh pemilik barang. Hal ini tertulis
dalam 1725 KUHPer, yang menyatakan:

“Barang yang dititipkan harus dikembalikan kepada orang yang dititipkan, seketika apabila
dimintanya, sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan suatu waktu lain untuk
pengembaliannya, kecuali apabila telah dilakukan suatu penyitaan atas barang-barang yang
berada di tangan si penerima titipan”.

Oleh karena itu jika barang yang dititipkan tidak dikembalikan seketika setelah
diminta maka dapat dituduhkan ancaman pidana kepada penerima titipan. Ancaman tersebut
dapat merupakan ancaman pidana penggelapan yang sesuai dengan Pasal 372 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menegaskan:

“Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama
sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada di dalam
tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900.000,- (sembilan ratus
ribu rupiah)“.

Sebagai contoh seseorang menitipkan satu unit sepeda kepada temannya, karena
memerlukan uang, si teman tersebut kemudian menjual sepeda itu kepada pihak lain tanpa
sepengetahuan si pemiliki sepeda. Si penjual menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan
temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang, namun
lebih mengandung makna bahwa si penjual sepeda tersebut menyalahgunakan haknya sebagai
yang menguasai benda (sepeda), hak itu tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang
yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu. Melihat pada contoh
kasus yang sederhana diatas, terlihat bahwa tindak pidana penggelapan merupakan persoalan
yang tidak akan ada habis-habisnya, hal tersebut dikarenakan penggelapan sangat erat
kaitannya dengan interaksi sosial antar manusia dalam kehidupan sehari-hari yang juga tidak
akan ada habisnya, yang muncul dari itikad baik buruknya seseorang dalam berinteraksi
dengan orang lain.
Lain hal dengan pinjam-meminjam, perjanjian pinjam-meminjam merupakan sebuah
perjanjian utang-piutang yang merupakan ranah perdata, sehingga tidak dapat ditarik kedalam
ranah pidana. Perjanjian pinjam-meminjam biasannya memiliki batas pengembalian yang
telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pinjam-meminjam. Sehingga nantinya
peminjam tidak dapat menagih/meminta sebelum batas pembayaran yang telah disepakati.

Dalam hal telah melewati batas pembayaran dan penerima pinjaman tidak dapat
mengembalikan barang yang diperjanjikan dalam perjanjian pinjam-meminjam maka
penerima pinjaman dapat digugat secara perdata dikarenakan wanprestasi atas kesepakatan
yang telah disepakati. Hal terkait wanprestasi sendiri telah diatur di dalam Pasal 1243
KUHper, yang menyatakan:

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat


digambarkan dengan ilustrasi sebagai berikut :

Misalnya, pada tanggal 20 Januari si A memberikan uang kepada si B sebesar Rp.


20.000.000,00 (Dua puluh juta rupiah). Kemudian, para pihak sepakat untuk membuat suatu
perjanjian.

Jika para pihak membuat perjanjian pinjam-meminjam atas uang tunai tersebut, maka
B dapat menggunakan dan/atau menghabiskannya, tetapi B harus mengembalikan uang
tersebut sesuai dengan jumlah awal yaitu Rp. 20.000.000,00 (Dua puluh juta rupiah) pada
tanggal 20 (Dua puluh) Febuari terhitung 30 (Tiga puluh) hari kalender sejak perjanjian
disepakati. Dalam hal perjanjian pinjam-meminjam, si A tidak dapat meminta atau menagih
uang tersebut sebelum tanggal yang telah disepakati di dalam perjanjian.

Jika yang dibuat ialah perjanjian penitipan, tidak terdapat batas waktu dimana uang
tersebut harus dikembalikan oleh B, tetapi B juga tidak dapat menggunakan uang tersebut
tanpa sepengetahuan A. Selain itu, A memiliki wewenang untuk dengan bebas meminta
kembali uang tersebut kapanpun A menginginkan. Sehingga saat uang tersebut diminta
kembali oleh si A, maka B harus mengembalikan uang tersebut seketika saat uang tersebut
diminta.

Anda mungkin juga menyukai