Anda di halaman 1dari 7

Alasan Mahkamah Konstitusi Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres

A. Syarat Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres dan Cawapres)

Untuk dapat dicalonkan menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden
(cawapres), maka setiap individu harus memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 169 UU
Pemilu, salah satunya adalah syarat usia.

Batas usia capres sebelumnya tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yaitu
berusia paling rendah 40 tahun. Pasca putusan MK usia capres-cawapres, batas usia
capres dan cawapres tersebut tidak berubah, hanya saja terdapat pengecualian.

Namun, sebelum membahas pengecualian ketentuan tersebut, perlu diketahui bahwa


terdapat beberapa permohonan uji materi pasal tentang usia minimal capres dan cawapres
yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Setelah ditelusuri, sudah ada lima putusan MK yang berkaitan dengan batas usia
capres dan cawapres ini, yaitu Putusan MK No. 29/PUU-XXI/2023, Putusan MK No.
51/PUU-XXI/2023, Putusan MK No. 55/PUU-XXI/2023, Putusan MK No. 90/PUU-
XXI/2023, dan Putusan MK No. 91/PUU-XXI/2023. Namun, 3 putusan MK yaitu
putusan Nomor 29, 52, dan 55 tersebut menyatakan menolak permohonan pemohon untuk
seluruhnya terkait dengan pengujian Pasal 169 q UU Pemilu tentang batas usia minimal
capres dan cawapres. Sementara itu, putusan nomor 91 menyatakan bahwa permohonan
tidak dapat diterima. Adapun, putusan nomor 90 mengabulkan permohonan pemohon
untuk sebagian.

B. Alasan MK dalam Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023

Dalam Putusan MK No. 29/PUU-XXI/2023, uji materi mengenai Pasal 169 huruf q
UU Pemilu tentang batas minimal usia capres dan cawapres ditolak untuk
seluruhnya (hal. 223).
Adapun petitum pemohon adalah Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan
UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia
sekurang-kurangnya 35 tahun.
Pertimbangan hukum yang disampaikan oleh MK dalam putusan ini menurut hemat
kami pada pokoknya adalah ketentuan batas minimal usia capres dan cawapres
merupakan open legal policy
Jika ditelusuri dari original intent dalam risalah perubahan UUD 1945, mayoritas
pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR berpendapat usia minimal presiden adalah 40
tahun. Namun, dengan alasan persoalan usia di kemudian hari dimungkinkan adanya
dinamika dan tidak ada patokan yang ideal, pengubah UUD sepakat untuk menentukan
persoalan usia diatur dengan undang-undang. Artinya, penentuan usia minimal presiden
dan wakil presiden menjadi ranah pembentuk Undang-Undang.
Berkaitan dengan persyaratan batas minimal usia capres dan cawapres, penting untuk
memperhatikan berbagai putusan MK mengenai batas usia bagi pejabat publik seperti
calon kepala daerah, pimpinan KPK, hakim konstitusi, usia pensiun hakim
yang sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang (open legal
policy).
Suatu norma yang merupakan open legal policy atau kewenangan pembentuk undang-
undang bisa menjadi persoalan konstitusionalitas dengan pertimbangan hukum sebagai
berikut:
1. Jika tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat Undang-Undang dan
tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan , serta nyata-nyata tidak bertentangan
dengan ketentuan di dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat
dilakukan pengujian oleh MK;
2. Produk legal policy pembentuk Undang-Undang tidak dapat dibatalkan kecuali jelas-
jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable;
3. Jika pada pokoknya tidak menimbulkan problematika kelembagaan yaitu tidak dapat
dilaksanakan, menyebabkan kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja
lembaga negara yang bersangkutan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian
konstitusionalitas bagi warga negara, maka tidak dilarang dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945;
4. Berkaitan dengan usia minimal dan maksimal pengisian jabatan publik tidak secara
eksplisit bertentangan dengan konstitusi, namun bila secara implisit normanya
menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif dikaitkan dengan
persyaratan yang bersifat substantif, misalnya terkait dengan yang pernah atau sedang
menjabat dan mempunyai rekam jejak yang baik berkaitan dengan integritas.
Dalam konteks batas usia capres/cawapres tersebut, ketentuan dalam Pasal 169 huruf
q UU Pemilu menurut MK telah memenuhi empat kriteria diatas sebagai open legal
policy.

Dalam putusan tersebut terdapat dissenting opinion yang disampaikan oleh hakim
Konstitusi Guntur Hamzah yang mengabulkan sebagian permohonan dan menyatakan
bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu inskonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai
berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih
melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

C. Alasan MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023

Amar putusan dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 adalah mengabulkan


permohonan pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang
menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala
daerah”
Artinya, tidak ada penurunan batas usia capres dan cawapres, yaitu tetap minimal
berusia 40 tahun. Hanya saja terdapat pengecualian bagi individu yang sedang/pernah
dipilih dalam pemilu termasuk kepala daerah, maka batas usia minimal tersebut tidak
berlaku kepadanya.
Permohonan tersebut diajukan oleh Almas Tsaqibbiru Re A seorang mahasiswa, yang
dilanggar hak konstitusionalnya untuk dipilih dan memilih capres/cawapres yang berusia
di bawah 40 tahun pada pemilu 2024. Pemohon adalah pengagum Gibran Rakabuming
Raka, Walikota Solo, yang masih berusia 35 tahun.
Alasan yang diajukan oleh pemohon yaitu diskriminasi usia atau ageisme. Selain itu,
apabila seseorang sudah pernah dipilih dan menduduki jabatan eksekutif, maka ia telah
teruji dan telah berpengalaman dalam memimpin daerah. Pemohon merasa jika sosok
yang dikagumi generasi muda tidak bisa mendaftar capres, maka hal tersebut
inskonstitusional.
Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan
dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dengan “berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman
sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”.
Pertimbangan hukum yang disampaikan MK dalam Putusan ini, berkaitan dengan
pemaknaan open legacy, kesamaan karakteristik jabatan publik, dan ketidakadilan yang
intolerable.
1. Pemaknaan Open Legacy Policy
MK dalam beberapa putusan dapat saja mengesampingkan legal policy apabila
melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.
Demikian juga sepanjang pilihan kebijakan tersebut tidak merupakan hal yang
melampui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan
penyalahgunaan wewenang, dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945,
maka tidak dapat dinyatakan inkonstitusional atau inkonstitusional bersyarat.
Sehingga, menurut MK keberadaan open legal policy dalam perkembangannya
dapat diabaikan/dikesampingkan seraya memberi tafsir ulang terhadap norma yang
merupakan open legal policy. Sebab, setiap pengujian Undang-Undang meski isunya
sama, tetapi karakter perkaranya berbeda-beda sehingga dapat berimplikasi pada
perbedaan hasil atau putusan MK.
Selain itu, MK berpandangan bahwa open legal policy berhenti ketika suatu pasal,
norma, atau undang-undang yang berlaku positif dimintakan pengujian
konstitusionalitasnya di hadapan MK. Setelah diujikan, maka open legal
policy pembentuk Undang-Undang berhenti (exhausted). Selanjutnya, MK diberi
kesempatan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus isu konstitusionalitas norma
dalam Undang-Undang yang dapat berupa putusan konstitusional, inkonstitusional,
ataupun konstitusional/inkonstitusional bersyarat.
Konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaannya namun
tidak bersifat mutlak, sebab MK memutus perkara berdasarkan Konstitusi, Pancasila,
Prinsip Keadilan, dan HAM, bukan menyerahkan keberlakuan norma yang
dimintakan pengujian dikembalikan kepada pembentuk Undang-Undang dengan
alasan open legal policy.
Selain itu, MK seyogianya menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan
perselisihan, memberikan kepastian hukum yang adil, dan memberi solusi
konstitusional, serta menuntaskan perbedaan tafsir dengan memberikan tafsir akhir
berdasarkan konstitusi.
2. Alasan Kesamaan Karakteristik Jabatan Publik
Posisi kepala daerah merupakan rumpun jabatan yang dipilih melalui pemilu dan
jenis jabatan yang memberikan keleluasaan penilaian kapabilitas seseorang yang akan
dipilih di tangan pemilihnya. Hal ini relevan dan berkaitan dengan jabatan yang
dipilih melalui pemilu seperti presiden dan wakil presiden.
Jabatan tersebut berbeda dengan jabatan penyelenggara negara yang diajukan
sebagai syarat alternatif dalam putusan MK sebelumnya, misalnya dalam putusan
nomor 51 dan nomor 55, yang petitumnya meminta pasal tersebut dinyatakan
inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun
atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara”. Pada jabatan
penyelenggara negara dapat diperoleh dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih
melalui pemilu.
Dengan demikian, terdapat isu kesamaan karakteristik jabatan-jabatan yang dipilih
melalui pemilu, sehingga tidak terdapat contradictio in terminis dalam memahami
jabatan-jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.
Selain itu, untuk memenuhi ex aequo et bono dan kepastian hukum yang adil,
pemaknaan yang tepat dalam norma tersebut adalah berusia paling rendah 40 tahun
atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum
termasauk pemilihan kepala daerah.
3. Ketidakadilan yang Intolerable
Pembatasan usia minimal capres/cawapres 40 tahun menurut MK merupakan
wujud perlakuan yang tidak proporsional sehingga bermuara pada ketidakadilan
yang intolerable, karena merugikan/menghilangkan kesempatan pada figur generasi
muda yang terbukti pernah terpilih dalam pemilu, untuk berkontestasi sebagai
capres/cawapres yang juga merupakan rumpun jabatan elected officials.
Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat
alternatif yang setara, merupakan wujud ketidakadilan yang intolerable dalam
kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.

D. Concuring Opinion dan Dissenting Opinion

Concurring opinion (alasan berbeda) disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny


Nurbaningsih dalam mengabulkan sebagian petitum pemohon yaitu “berusia paling
rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan
oleh pembentuk Undang-Undang”. Adapun, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P.
Foekh berpendapat bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun atau
berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi”.
Adapun Hakim Konstitusi Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan
Suhartoyo menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Menurut Hakim
Konstitusi Wahiduddin Adams, persoalan mengenai batas usia, angka minimal tertentu,
atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota tidak termasuk syarat konstitusional bagi capres/cawapres dan termasuk
sebagai open legal policy. Selain itu, hak politik pemohon untuk memilih tidak
terhalang/terlanggar hanya karena subjek preferensi politiknya tidak memenuhi syarat
capres/cawapres. Atas hal tersebut, dalam dissenting opinion-nya, Wahiduddin Adams
menolak permohonan pemohon.
Hakim Konstitusi Saldi Isra secara garis besar mengkritis proses pengambilan putusan
oleh para hakim dalam rapat permusyawaratan hakim dan putusan MK yang seharusnya
mengambil alternatif “jabatan gubernur” bukan jabatan yang dipilih melalui pemilu,
apabila melihat dari komposisi pendapat hakim MK.
Selain itu, Saldi Isra juga menyoroti perubahan pendirian MK yang terjadi dalam
sekelebat, sebab tiga putusan lainnya yaitu Nomor 29, 51, 55 tegas menyatakan ihwal usia
merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Dalam sejarahnya, MK Pernah
berubah pendirian, tetapi tidak pernah terjadi dalam waktu singkat yaitu dalam hitungan
hari.
Lebih lanjut, persoalan usia atau upaya mempersamakannya dengan jabatan lain atau
proses lainnya, sesungguhnya telah terkunci karena dalam beberapa putusan MK
sebelumnya menunjukkan bahwa MK konsisten berkenaan dengan usia yang telah
menjadi yurisprudensi sejak generasi pertama yaitu open legacy policy.
Selain itu, persyaratan usia minimum pejabat negara menjadi bagian dari doktrin
political question yaitu permasalahan yang seharusnya diselesaikan dengan keputusan
yang diambil oleh cabang-cabang politik pemerintahan lain (Presiden dan DPR) selaku
pembentuk Undang-Undang, bukan oleh lembaga peradilan. MK seyogianya tidak
memutus perkara political question sebab akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi
publik terhadap MK.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat berpendapat bahwa seharusnya MK mengeluarkan
ketetapan mengabulkan penarikan permohonan a quo dengan alasan pemohon tidak
sungguh-sungguh dan profesional mengajukan permohonan serta dapat diduga
mempermainkan kewibawaan dan marwah MK.
Adapun, menurut Hakim Konstitusi Suhartoyo, legal standing pemohon untuk
bertindak sebagai pemohon tidak relevan karena petitum ditujukan bukan untuk
kepentingan dirinya sendiri, sehingga seharusnya MK tidak memberikan kedudukan
hukum (legal standing) kepada pemohon dan “menyatakan permohonan pemohon tidak
dapat diterima”.

Anda mungkin juga menyukai