Anda di halaman 1dari 19

PEMAHAMAN PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023 DALAM


PERSPEKTIF CIVIL LAW DAN COMMON LAW

TUGAS MATA KULIAH


PERBANDINGAN SISTEM HUKUM

Dosen:
Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H.

Oleh :

Dwi Tunggal Adi Rahmanto


NIM: 22730514

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR HUKUM
UNIVERSITAS BOROBUDUR
JAKARTA, 2023

0
PEMAHAMAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 90/PUU-XXI/2023 DALAM PERSPEKTIF CIVIL LAW
DAN COMMON LAW

Dwi Tunggal Adi Rahmanto


NIM: 22730514

A. Latar Belakang
Salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap
pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh
tafsir ganda terhadap konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan
keHakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada
prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan keHakiman yang merdeka, bebas
dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.1
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang
untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

1
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Umum.

1
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehubungan hal tersebut di atas, pada 16 Oktober 2023, Mahkamah
Konstitusi membacakan sebelas putusan pengujian undang-undang sekaligus.
Beberapa putusan yang dibacakan tersebut, berkenaan dengan pengujian
konstitusionalitas ketentuan Pasal 169 huruf q. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu, yang memberikan batasan usia 40 tahun kepada
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Salah satu putusan tersebut adalah putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023,
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan
menafsirkan ketentuan tersebut menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum
termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
29/PUU-XXI/2023, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51/PUU-XXI/2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-
XXI/2023 (selanjutnya ditulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-
55/PUU-XXI/2023) berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas ketentuan
Pasal 169 huruf q. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,
Mahkamah Konstitusi secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa
ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2
2017 tentang Pemilu adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk
mengubahnya.
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,
ternyata telah menimbulkan polemik nasional. Putusan yang diketuai oleh
Anwar Usman, ipar dari Presiden Joko Widodo telah memunculkan adanya
dugaan nepotisme sehubungan dengan keputusan tersebut. Sementara pihak
menilai bahwa putusan ini sangat kental dengan aroma nepotisme atau
‘kekeluargaan’. Posisi Ketua Mahkamah Konstitusi adalah paman dari Gibran
Rakabuming, sehingga dinilai diduga adanya pemaksaan kepentingan untuk
memuluskan langkah Gibran Rakabuming untuk menjadi cawapres.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final dan binding tidak ada
lagi putusan setelahnya dan harus dilaksanakan setelah dibacakan dan sifatnya
mengikat. Putusan ini dinilai pihak-pihak tertentu cacat hukum untuk
dilaksanakan, karena berdasarkan komposisi Hakim yang melakukan
dissenting opinion atau berpendapat berbeda dalam putusan itu lebih banyak
daripada Hakim yang menyatakan setuju untuk mengabulkan sebagian dari
gugatan itu.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 90/PUU-XXI/2023 dari sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi, lima
Hakim yang setuju dan empat menolak. Tapi perlu digaris bawahi, kata
mengabulkan ini tidak bulat. Tiga mengabulkan dengan syarat pejabat
langsung yang dipilih melalui pemilu. Tapi dua lainnya dengan alasan berbeda
(concurring opinion) memberi pengecualian bagi yang di bawah 40, yakni
mereka menjabat gubernur atau pernah menjabat gubernur. Bukan wali kota
atau bupati, sementara empat sisanya tidak mengabulkan. Ada yang menolak
secara materi atau karena pemohon tidak punya legal standing, artinya tidak
ada keputusan yang bulat,2 sehingga menunjukkan kuatnya dugaan konflik
kepentingan di dalam putusan tersebut.

2
Dian Fitri Sabrina, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 Cacat Hukum,
Harian Fajar-Opini, 19 Oktober 2023, https://harian.fajar.co.id/2023/10/19/putusan-mahkamah-
konstitusi-nomor-90-puu-xxi-2023-cacat-hukum/

3
Terhadap terjadinya masalah tentang putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi polemik nasional, kemudian
dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai
oleh Jimly Asshiddiqie. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau,
memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi, yang
diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi”.
Berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
(MKMK), maka Anwar Usman diberhentikan sebagai Ketua Mahkamah
Konstitusi. Sebelumnya Anwar Usman dinyatakan terbukti melanggar etik
berat terkait konflik kepentingan dalam putusan Mahkamah Konstitusi soal
syarat minimal usia capres-cawapres. Selain itu, Anwar usman terbukti tidak
menjalankan fungsi kepemimpinan (judicial leadership) secara optimal,
sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama. Selanjutnya, Anwar terbukti dengan
sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan
Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama,
Prinsip Independensi, Penerapan angka 1, 2, dan 3.3
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan ini menjadi menarik untuk
diteliti, dikaji dan dibahas, terutama tentang putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam perspektif civil law dan common law.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang di atas, maka rumusan masalah ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-
XXI/2023 dalam perspektif civil law dan common law?

3
CNN Indonesia, Jimly Ungkap Alasan Anwar Usman Tidak Dipecat sebagai Hakim MK, 8
November 2023, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231108083922-12-1021346/jimly-
ungkap-alasan-anwar-usman-tidak-dipecat-sebagai-Hakim-mk

4
C. Pembahasan
Sebelum membahas lebih mendalam tentang putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam perspektif civil law dan common
law. Ada baiknya mengetahui apa yang dimaksud dengan civil law dan
common law.

Sistem hukum common law dan civil law adalah dua sistem hukum yang
paling umum di dunia. Kedua sistem tersebut tumbuh dalam konteks sejarah
yang berbeda.4 Civil law berasal dari hukum Romawi, sebagaimana
dikodifikasi dalam Corpus Iuris Civilis karya Justinianus. Di bawah pengaruh
ini, pada periode berikutnya civil law telah dikembangkan di Eropa
Kontinental dan di banyak belahan dunia lainnya. Napoleon Bonaparte
mempelopori civil law modern, yang dikenal dengan Code Civil des Francais
(Code Napoléon) pada tahun 1804 yang terdiri dari tiga buku dan lebih dari
2000 artikel dan penyebarannya di negara-negara yang ditaklukkannya.5
Ciri utama civil law adalah sebagai “undang-undang yang sistematik,
berwibawa, dan membimbing dengan cakupan yang luas, menghembuskan
semangat reformasi dan menandai awal baru dalam kehidupan hukum suatu
negara bangsa". Sebagian besar civil law diadopsi pada abad ke-19 dan ke-20,
seperti Code Civil des Francais (1804), Austrian Burgerliches Gesetzbuch
(1811), German Burgerliches Gesetzbuch (1896), Japanese Minpo (1896),
Swiss Zivilgesetzbuch (1907), Italian Codice Civile (1942). Di antara kode-
kode ini terdapat beberapa perbedaan penting, dan sering kali dikelompokkan
dalam keluarga Romawi dan Jerman. 6 Salah satu ciri dasar civil law adalah
bahwa tugas utama pengadilan adalah menerapkan dan menafsirkan hukum
yang terkandung dalam suatu kitab undang-undang atau suatu undang-undang

4
Joseph Dainow, 1967, The Civil Law and the Common Law: Some Points of Comparison, The
American Journal of Comparative Law, 15(3), p. 420
5
Scott N. Carlson, 2009, Intro to Civil Law Legal Systems, International Network to Promote the
Rule of Law (INPROL) Consolidated Response (09-002), p. 3
6
Caslav Pejovic, 2001, Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading To The Same
Goal, 32, Victoria University of Wellington Law Review, p. 819

5
berdasarkan fakta-fakta perkara. Asumsinya adalah bahwa undang-undang
tersebut mengatur semua kasus yang mungkin terjadi dalam praktiknya dan
ketika kasus-kasus tertentu tidak diatur dalam undang-undang tersebut,
pengadilan harus menerapkan beberapa prinsip umum yang digunakan untuk
mengisi kekosongan tersebut.7
Di dalam acara pengadilan civil law ditentukan oleh apa yang biasa
disebut sebagai “sistem inkuisitorial”. Dalam sistem inkuisitorial, peran
Hakim lebih bersifat intervensionis, mengendalikan seluruh aspek persidangan
termasuk menanyai saksi. Peran yang lebih aktif ini mempengaruhi cara
pembuatan catatan pengadilan, proses persidangan yang dilakukan, dan
pendekatan terhadap banding, dan hal ini berasal dari gagasan inti civil law
bahwa persidangan adalah pencarian kebenaran, bukan pertarungan dalam
persidangan yang dipimpin oleh Hakim.8
Common law muncul dari keputusan-keputusan Pengadilan Raja dalam
Sistem Feodal Inggris9 dan berkembang di Inggris sejak sekitar abad ke-11.
Kemudian diadopsi di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan
negara-negara Persemakmuran Inggris lainnya. Konsep sentral dalam common
law adalah undang-undang yang dibuat oleh Hakim (putusan pengadilan) atau
sumber utama hukumnya adalah kasus hukum.10 Menganalisis keputusan masa
lalu dan menyusun argumen untuk keputusan di masa depan yang berfungsi
sebagai fokus argumen hukum.11 Common law dibangun berdasarkan
preseden12, sedangkan civil law dibangun berdasarkan undang-undang.13
Sistem preseden bersifat mengikat dan menganut asas stare decisis yang

7
Ibid.
8
Scott N. Carlson, Op. Cit., p. 4
9
Joseph Dainow, Op. Cit., p. 422
10
G. Mary Algero, 2005, The Sources of Law and the Value of Precedent: A Comparative and
Empirical Study of a Civil Law State in a Common Law Nation, Louisiana Law Review, 65(2), p.
784
11
Joel Levin, 1983, The Concept of the Judicial Decision, Case Western Reserve Law Review, 33,
p. 208
12
Preseden adalah sebuah konsep hukum yang merujuk pada keputusan-keputusan sebelumnya
yang telah ditetapkan oleh lembaga peradilan dan digunakan sebagai landasan atau pedoman
dalam mengambil keputusan di masa depan.
13
Joseph Dainow, 1974, The Role of Judicial Decisions and Doctrine in Law Civil and in Mixed
Jurisdictions, Louisiana State University Press, Baton Rouge, p. 636

6
mewajibkan pengadilan yang lebih rendah untuk mematuhi keputusan yang
diberikan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Sebaliknya, dalam sistem hukum
civil law, undang-undang parlementer merupakan sumber utama hukum.14
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 90/PUU-XXI/2023 dari sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi
terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 4 (empat) orang Hakim
Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi
Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam pendapatnya menyatakan
bahwa:
- Inti persoalan dari persidangan seluruh perkara ini awalnya adalah
keinginan Pemohon agar preferensi rencana pilihan politiknya dalam
Pemilihan Umum (casu quo: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden) tidak menjadi terhalang/terlanggar karena keberlakuan Pasal 169
huruf q Undang-Undang a quo yang mengatur salah satu syarat menjadi
calon Presiden dan Wakil Presiden, yakni: “… berusia paling rendah 40
(empat puluh) tahun”.
- Terhadap petitum Pemohon seharusnya secara yuridis dan teknikalitas
sangatlah sederhana untuk diputus oleh Mahkamah, tetapi seolah-olah
menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari terlalu besarnya dosis
penggunaan aspek-aspek nonyudiris yang secara kontekstual sulit
dipungkiri sangat menyelimuti dinamika persidangan terhadap perkara ini.
- Berdasarkan karakter Petitum dalam Permohonan ini, saya telah berupaya
secara keras untuk meyakini Mahkamah agar pertimbangan serta pilihan
sikapnya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini
seharusnya lebih berfokus pada konsepsi kemerdekaan kekuasaan
keHakiman untuk “tidak melakukan sesuatu” (judicial restraint).
- Pada berbagai praktik di banyak negara dan secara historik di Indonesia,
pengaturan mengenai syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden

14
Caslav Pejovic, Op. Cit., p. 820

7
(khususnya berupa: batasan usia) sangat lazim dilakukan oleh Pembentuk
Undang-Undang.
- Terdapat 2 (dua) tipologi syarat menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden di Indonesia. Pertama, syarat-syarat konstitusional (vide: Pasal 6
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945) dan Kedua, syarat-syarat (yang dapat) ”…
diatur lebih lanjut dengan undang-undang” (vide: Pasal 6 ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945).
- Petitum Permohonan dikaitkan dengan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945 tersebut maka setidaknya terdapat 3 (tiga) persoalan
krusial, yakni: batasan usia, angka minimal tertentu (in casu: berusia
paling rendah 40 (empat puluh) tahun), atau berpengalaman sebagai
Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota”. Dalam
pemahaman dan keyakinan saya, ketiga persoalan krusial ini secara
tipologis dan terang-benderang tidak termasuk sebagai syarat-syarat
konstitusional bagi calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Pasal 6
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. . . . ketiga persoalan krusial ini secara
tipologis merupakan pilihan-pilihan bentuk kebijakan hukum terbuka
(open legal policy) yang dipercayakan oleh para penyusun perubahan
ketiga UUD 1945 kepada Pembentuk Undang-Undang untuk “…diatur
lebih lanjut dengan undang-undang” berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945.
- Jika didasarkan pada berbagai precedent dalam beberapa Putusan
Mahkamah terdahulu . . . saya berpendirian untuk tidak dipertimbangkan
lebih lanjut karena terlalu jauh dan bahkan nyaris sama sekali tidak ada
relevansinya dengan konstitusionalitas Pasal 169 huruf q Undang-Undang
a quo serta 3 (tiga) persoalan krusial dalam Petitum Permohonan tersebut.
- Terhadap persoalan ini, saya berpendirian bahwa ada atau tidaknya
alternatif (dan bahkan pengecualian) terhadap Pasal 169 huruf q Undang-
Undang a quo dalam bentuk pemaknaan: “…atau berpengalaman sebagai
Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota” secara
konstitusional dan tipologis termasuk dalam kategori kebijakan hukum

8
terbuka (open legal policy) Pembentuk UndangUndang untuk dapat “…
diatur lebih lanjut dengan undang-undang” berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, saya berpendapat sama sekali
tidak terdapat persoalan konstitusionalitas apapun dalam konteks ini.
- Jika Mahkamah mengabulkan Permohonan ini, baik seluruhnya maupun
sebagian, maka alternatif (dan bahkan pengecualian) pemaknaan terhadap
Pasal 169 huruf q Undang-Undang a quo berupa frasa: “…atau
berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota” secara nyata menjadi satu-satunya syarat menjadi calon
Presiden dan Wakil Presiden yang eksistensinya dibentuk oleh kekuasaan
keHakiman (yudikatif). Padahal, syarat-syarat lainnya dalam keseluruhan
Pasal 169 UndangUndang a quo dibentuk oleh Pembentuk Undang-
Undang (kekuasaan legislatif). Selain itu, hal ini secara sangat potensial
dapat diaktivasi sebagai sebuah keuntungan yang dibuat secara sengaja
(privilege) yang pada akhirnya menjadi sebuah kepastian hukum yang
tidak adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945.
- Jika Mahkamah mengabulkan Permohonan ini, baik seluruhnya maupun
sebagian, maka yang sejatinya terjadi adalah Mahkamah melakukan
praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing from the
bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup
(sufficient reason) dalam batas penalaran yang wajar.
- Berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya
berpendapat Mahkamah seharusnya menolak Permohonan Pemohon.15
Pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Saldi Isra
menyatakan:
- Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang
menasbihkan makna baru atas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, . . .
sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
29/PUU-XXI/2023, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

15
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, hlm. 87 – 94

9
51/PUU-XXI/2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-
XXI/2023 (selanjutnya ditulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-
51-55/PUU-XXI/2023), saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya
Mahkamah pun menolak permohonan a quo.
- Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas
menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017
adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
- Putusan-putusan terdahulu yang berkenaan dengan “usia” tetap menjadi
rujukan utama yang digunakan untuk menolak permohonan Nomor 29-51-
55/PUU-XXI/2023. Artinya, kebijakan hukum terbuka merupakan
“warisan” yang telah diikuti dari generasi demi generasi di Mahkamah dan
telah ditempatkan sebagai yurisprudensi. Oleh karena itu, kebijakan
hukum terbuka tidak bisa secara serampangan dikesampingkan karena
telah menjadi yurisprudensi sekaligus doktrin ilmu hukum yang digunakan
dalam memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi.16
Kemudian pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi
Arief Hidayat menyatakan:
- Pada saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada hari Selasa,
tanggal 19 September 2023 terkait pengambilan putusan terhadap
beberapa Perkara, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara
Nomor 51/PUUXXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Ketua
tidak hadir. Oleh karena itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua dan saya
menanyakan mengapa ketua tidak hadir, Wakil Ketua kala itu
menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk
menghindari adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest)
disebabkan isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia
minimal untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden di mana
kerabat Ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden
2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu

16
Ibid., hlm. 94 – 106

10
partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas
dan memutus ketiga perkara a quo. Pada akhirnya ketiga perkara a quo,
yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor
51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 diputus dengan
komposisi mayoritas Hakim menyatakan menolak permohonan a quo,
meskipun ada pula Hakim yang berpendapat lain.
- Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara
Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, yaitu
berkaitan dengan syarat minimal usia calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a
quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan
amar “dikabulkan sebagian”. Sungguh tindakan yang menurut saya di luar
nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar. Tindakan Ketua ini
kemudian saya pertanyakan dan persoalkan di dalam RPH. Setelah
dilakukan konfirmasi pada sidang RPH hari Kamis, tanggal 21 September
2023, Ketua menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan
dan forum pengambilan keputusan pada Perkara Nomor
29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara
Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan alasan kesehatan dan bukan
untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana
disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu. Apalagi Perkara Nomor
90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 telah
dinyatakan dicabut oleh Kuasa Hukum Pemohon pada Jumat, 29
September 2023, meskipun pada akhirnya pada Sabtu, 30 September 2023,
Pemohon membatalkan penarikan atau pencabutan kedua perkara a quo.
Hal ini lah yang menurut saya aneh dan tak bisa diterima rasionalitasnya.
Peristiwa ini turut menguji pula sisi integritas dan kenegarawanan seorang
Hakim konstitusi.17
Selanjutnya pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi
Suhartoyo menyatakan:

17
Ibid., hlm. 107 - 118

11
- Sebagaimana pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dalam Perkara
Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dimana
saya tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada para
Pemohon dengan alasan bahwa para Pemohon bukan subjek hukum yang
berkepentingan langsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan
wakil presiden, sehingga Pemohon tidak relevan memohon untuk
memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak
lain, sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya. Oleh
karena itu, pendapat berbeda (Dissenting Opinion) saya dalam perkara a
quo pun, tetap merujuk pada pertimbangan hukum dalam pendapat
berbeda (Dissenting Opinion) Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang
saya jadikan rujukan dalam pendapat berbeda (Dissenting Opinion)
Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023
- . . . terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga
tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon
dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan
pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo “menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima”.18
Dari beberapa pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim
Konstitusi di atas, dapat diketahui bahwa mereka berpendapat putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dinilai tidak konsisten,
karena berbeda dengan beberapa putusan perkara yang memiliki substansi
sama atau disebut sebagai overulling. Overulling dianggap sebagai sebuah
praktik dimana pengadilan memberikan pendapat yudisial yang baru,
menggantikan pendapat yudisial sebelumnya.19 Praktik overulling ini hanya
dipraktikkan di lingkungan peradilan yang menganut sistem common law
sebagai upaya untuk tidak mengikatkan diri kepada asas preseden.20
18
Ibid., hlm. 118 – 121
19
Dalam pandangan Blackstone, praktik overulling dimungkinkan dengan adanya pra-kondisi,
yakni “the only justification for departure from precedent is that contrary to reason or divine
law”. Ini berarti bahwa, Hakim sebenarnya dapat melakukan tindakan overulling atas preseden
yang ada dengan menggugurkan ratio decidendi yang telah menjadi preseden tersebut.
20
Peter De Cruz, 1999, Comparative Law in Changing The World, Cavendish Publishing Ltd,
London/Sydney, p. 103

12
Berdasarkan perspektif civil law, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
90/PUU-XXI/2023 tidak ada kewajiban mengacu pada putusan sebelumnya
dengan materi yang sama. Karena menurut John Henry Merryman, bahwa
terdapat 3 (tiga) sumber hukum pada negara bersistem civil law, yaitu undang-
undang (statute), peraturan turunan (regulation), dan kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan hukum (custom), di mana putusan Hakim pada sistem
hukum civil law seringkali dianggap bukan suatu hukum. 21 Menurut Joseph
Dainow, pada sistem civil law walau putusan Hakim atau pengadilan menjadi
sumber rujukan, tetapi tidak mengikat bagi Hakim. 22 Artinya pada civil law
tidak menggunakan preseden. Istilah preseden dalam istilah hukum positif
Indonesia mendekati dengan sebutan yurisprudensi. Walau terdapat perbedaan
yang cukup signifikan antara preseden dengan yurisprudensi. Yurisprudensi
mengacu kepada putusan yang menjadi acuan dalam memutus dengan karakter
serupa yang dahulu pernah diputus dengan karakter perkara yang kini dihadapi
oleh Hakim. Sedangkan preseden memiliki arti konsistensi suatu putusan
dengan putusan lain yang memiliki corak, karakter, dan pokok serupa. Dalam
pandangan Sebastian Pompe, preseden merupakan rangkaian putusan yang
saling konsisten antara satu putusan dengan putusan lainnya yang memiliki
warna dan corak serupa baik dari sisi isu hukum, pertimbangan hukum,
karakter permasalahan dan amar putusan. 23 Preseden lebih menitikberatkan
kepada praktik penerapannya secara de facto dan aktual. Oleh karena itu,
preseden memiliki derajat lebih tinggi dari yurisprudensi. 24 Yurisprudensi
hanya sebatas putusan terdahulu yang menjadi acuan, sedangkan preseden
merupakan kebiasaan praktik peradilan yang lebih menawarkan kepastian
hukum.
Jadi dalam sistem civil law, yurisprudensi (preseden) sebagai salah satu
sumber hukum dan bersifat tidak wajib, sehingga Hakim tidak memiliki suatu

21
John Henry Merryman, 1985, The Civil Law Tradition: An Introduction To The Legal System Of
Western Europe And Latin America 2nd Ed, Stanford University Press, California, hlm. 23-24
22
Joseph Dainow, 1974, Op. Cit., p. 426
23
Sebastian Pompe, 2012, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan, Jakarta, hlm. 607.
24
Ibid.

13
keharusan untuk mengikuti putusan terdahulu yang memeriksa perkara yang
sama. Karena sumber hukum utama dari civil law adalah peraturan perundang-
undangan.
Namun demikian pada sistem civil law sendiri memiliki istilah
jurisprudence constante yang konsepnya serupa dengan asas preseden.
Menurut Vincy Fon dan Francesco Farisi, doktrin ini menghendaki agar
Hakim perlu mempertimbangkan secara seksama putusan terdahulu atas
perkara yang memiliki kemiripan fakta maupun permasalahan hukumnya. 25
Dalam perspektif civil law Hakim dapat melakukan penafsiran yang
berpotensi membentuk hukum. Hakim memiliki diskresi untuk melakukan
interpretasi terhadap suatu hukum tertulis, sehingga mampu menciptakan
hukum baru. Hanya saja apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
90/PUU-XXI/2023 ini merupakan bentuk diskresi Hakim Anwar Usman.
Sebab, apabila putusan Mahkamah Konstitusi memuat hukum baru (judge
made law) dalam putusannya, maka sesungguhnya ada kewajiban untuk
mengikuti pendapat yudisial dalam putusan pengadilan sebelumnya.
Sebagaimana pada sistem civil law sendiri memiliki istilah jurisprudence
constant.
Sedangkan dari perspektif common law, memiliki akar sejarah pada
Kerajaan Inggris yang menjadikan putusan pengadilan sebagai basis
hukumnya, di mana ketika ada suatu perkara yang diputus oleh Hakim,
putusan tersebut tidak hanya mengikat pihak yang berperkara, tetapi juga
berlaku umum untuk kasus yang serupa. 26 Dalam hal ini seharusnya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 konsisten mengikuti putusan
sebelumnya berdasarkan asas preseden (doctrine of precedent) atau stare
decicis. Dalam arti lain, stare decicis merupakan prinsip yang mengharuskan
Hakim untuk mengikuti putusan Hakim sebelumnya, dengan catatan
melibatkan fakta dan isu yang sama. Tujuan utama dari dianutnya asas

25
Vincy Fon & Francesco Farisi, 2006, Judicial Precedent in Civil Law Systems: A Dynamic
analysis, International Review of Law and Economics, Elsevier, 26, p. 522
26
Joseph Dainow, 1967, Op. Cit., p. 419

14
preseden ini adalah untuk menciptakan kepastian hukum di masyarakat di
samping keadilan hukum.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023
seharusnya mendasarkan putusannya dari putusan sebelumnya dengan materi
perkara yang sama atau dalam istilah common law dikenal dengan sebutan
preseden. Hal cukup beralasan, karena lazimnya Mahkamah Konstitusi dalam
penafsiran hukum yang dituangkan pada putusannya cenderung memasukkan
pendapat hukum pada putusan sebelumnya untuk menganalisis suatu perkara
dalam pemeriksaannya sebelum memutuskan perkara tersebut. Namun dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak terjadi.
Dapat dikatakan bahwa putusan ini tidak mendasarkan pada pendapat
hukum pada putusan sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan Hakim Konstitusi
Saldi Isra, “Putusan-putusan terdahulu yang berkenaan dengan “usia” tetap
menjadi rujukan utama yang digunakan untuk menolak permohonan Nomor
29-51-55/PUU-XXI/2023. Artinya, kebijakan hukum terbuka merupakan
“warisan” yang telah diikuti dari generasi demi generasi di Mahkamah dan
telah ditempatkan sebagai yurisprudensi. Oleh karena itu, kebijakan hukum
terbuka tidak bisa secara serampangan dikesampingkan karena telah menjadi
yurisprudensi sekaligus doktrin ilmu hukum yang digunakan dalam memutus
perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi”.
Pendapat Saldi Isra cukup beralasan, karena putusan adalah mahkota
peradilan. Disebut demikian sebab, layaknya mahkota para raja, putusan
adalah simbol kekuasaan dan kewenangan peradilan. Begitu pun dengan
putusan peradilan. Bagi Hakim, putusan adalah bentuk justifikasi dari
kekuasaan kehakiman untuk menyelesaikan sengketa. Di sisi lain, putusan
juga merupakan media pertanggungjawaban Hakim sebagai pemangku
kekuasaan kehakiman.
Mahkamah konstitusi dituntut tidak hanya memberikan putusan, tetapi
juga menyertakan pertimbangan hukum sebagai dasar dari amar yang
dijatuhkan. Sebagaimna dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa “Putusan

15
Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan
dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan”.
Patut diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman di Indonesia juga mempraktikkan preseden dan
yurisprudensi. Dalam beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi
menggunakan ratio decidendi terhadap perkara-perkara yang memiliki
kesamaan isu konstitusional. Namun hanya pada putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 hal ini tidak berlaku dengan tidak
menganut asas preseden.

D. Penutup
Sumber hukum utama dari civil law adalah peraturan perundang-
undangan, sehingga yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum dan
bersifat tidak wajib, sehingga dalam hal ini Hakim Konstitusi dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak memiliki suatu
keharusan untuk mengikuti putusan terdahulu yang memeriksa perkara yang
sama. Sedangkan perspektif common law yang berdasarkan asas preseden
(doctrine of precedent) atau stare decicis, maka yurisprudensi dipandang
sebagai suatu kewajiban bagi Hakim Konstitusi untuk menjadikan putusan
terdahulu sebagai acuan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

John Henry Merryman, 1985, The Civil Law Tradition: An Introduction To The
Legal System Of Western Europe And Latin America 2nd Ed, Stanford
University Press, California.

Joseph Dainow, 1974, The Role of Judicial Decisions and Doctrine in Law Civil
and in Mixed Jurisdictions, Louisiana State University Press, Baton Rouge.

Peter De Cruz, 1999, Comparative Law in Changing The World, Cavendish


Publishing Ltd, London/Sydney.

16
Sebastian Pompe, 2012, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Lembaga Kajian
dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Jakarta.

Jurnal

Caslav Pejovic, 2001, Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading
To The Same Goal, 32, Victoria University of Wellington Law Review.

G. Mary Algero, 2005, The Sources of Law and the Value of Precedent: A
Comparative and Empirical Study of a Civil Law State in a Common Law
Nation, Louisiana Law Review, 65(2).

Joel Levin, 1983, The Concept of the Judicial Decision, Case Western Reserve
Law Review, 33.

Joseph Dainow, 1967, The Civil Law And The Common Law: Some Points Of
Comparison, The American Journal Of Comparative Law, 15(3).

Scott N. Carlson, 2009, Intro to Civil Law Legal Systems, International Network
to Promote the Rule of Law (INPROL) Consolidated Response (09-002).

Vincy Fon & Francesco Farisi, 2006, Judicial Precedent in Civil Law Systems: A
Dynamic analysis, International Review of Law and Economics, Elsevier,
26.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Media Daring

CNN Indonesia, Jimly Ungkap Alasan Anwar Usman Tidak Dipecat sebagai
Hakim MK, 8 November 2023,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231108
083922-12-1021346/jimly-ungkap-alasan-anwar-usman-tidak-dipecat-
sebagai-Hakim-mk

17
Dian Fitri Sabrina, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023
Cacat Hukum, Harian Fajar-Opini, 19 Oktober 2023,
https://harian.fajar.co.id/ 2023/10/19/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-
90-puu-xxi-2023-cacat-hukum/

18

Anda mungkin juga menyukai