Selamatkan Demokrasi dari Mahkamah Koneksi" Mahkamah konstitusi adalah anak kandung reformasi. Lembaga yang semula diniatkan untuk menjadi wadah koreksi bagi pembentuk undang-undang agar tetap sejalan dan sebangun dengan konstitusi kini mengubah wajahnya sendiri. Walaupun kita patut curiga bahwa MK belakangan ini menjadi topeng sekaligus kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu kecurigaan- kecurigaan ini menjadi sah dan valid. Hingar-bingar pemilu sebagai pesta demokrasi melenyapkan esensi lainnya dari demokrasi. Pemilu dalam negara demokrasi bertujuan agar sirkulasi elite dapat berlangsung. Sirkulasi elit diperlukan agar kekuasaan tidak disumbati oleh nalar-nalar feodalis cum otoriter yang menjadi hambatan serius tumbuh kembang demokrasi. Sulit untuk percaya bahwa bahwa raison d’etre putusan MK itu adalah niat baik memajukan demokrasi dengan melibatkan lebih jauh anak muda secara menyeluruh untuk ambil bagian dalam proses pembentukan kepemimpinan nasional. Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang berbunyi “persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah : Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Bunyi ketentuan tersebut, dalam penalaran yang wajar berpotensi secara pasti akan menimbulkan persoalan hukum dan persoalan konstitusionalitas pada frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’. Frasa tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud tersebut. Di mana tidak terdapat kepastian hukum pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sehingga timbul pertanyaan, apakah hanya pada pemilihan Kepala Daerah tingkat provinsi saja? Atau juga pada pemilihan kepala daerah tingkat Kabupaten/Kota? Atau pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten kota? Demikian pula pada pemilu pada pemilihan DPR saja? Atau pada tingkat DPRD tingkat provinsi saja? Atau kabupaten/kota saja? Atau pada kesemua tingkatannya yakni DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota? Pada sisi lain, komposisi hakim MK yang mengabulkan permohonan dalam Putusan No. 90/PUU- XXI/2023, terdapat 5 hakim yang sepakat untuk mengabulokan permohonan, dimana terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai pasal 169 huruf q UU 7/2017, antara lain: - 3 hakim MK yang memaknai “pernah/siding menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”; - 2 hakim MK yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan Gubernur. Artinya, hanya terdapat 3 hakim MK yang menyetujui jabatan dibawah Gubernur, sementara yang setuju pada tingkat Gubernur berjumlah 5 hakim MK. Sehingga amar putusan a quo, tidak mencapai quorum persetujuan. Hal ini tentunya berpotensi menimbulkan persoalan hukum yang dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan, seandainya pun nanti terdapat kandidat yang terpilih menjadi Wakil Presiden berdasarkan putusan tersebut, ini tentu merugikan warga negara yang secara potensial dalam penalaran yang wajar pasti akan terjadi. Adapun, sebagai bentuk penolakan terhadap Putusan No. 90/PUU-XXI/2023, saat ini sudah terdapat Permohonan Pengujian Pasal 169 q UU 7/2017 dalam perkara yang sudah teregister Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Brahma Aryana dengan Nomor 141/PUU-XXI/2023. Sidang perdana perkara ini digelar pada Rabu (8/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Brahma Aryana (pemohon) menghadiri sidang didampingi kuasa hukum Viktor Santoso Trandiasa. Dalam persidangan, Viktor menyatakan, pasal tersebut pada frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, adalah bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi”. Permohonan menilai pasal tersebut menimbulkan ketidakpasian hukum karena pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tersebut. Pasal tersebut memunculkan pertanyaan, apakah pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi, kabupaten/kota. Atau dalam rezim pemilu, apakah pemilihan DPR, DPRD, atau DPD. Adanya pemaknaan yang berbeda-beda ini menimbulkan ketidakpastian hukum apabila dilihat dari legitimasi amar putusan atas frasa yang telah dimaknai oleh MK tersebut. Sederhananya, melalui permohonan ini pemohon menginginkan hanya Gubernur yang belum berusia 40 tahun yang dapat mengajukan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. “Terhadap pemaknaan yang dituangkan dalam amar putusan (Putusan MK Nomor 90/PUU- XXI/2023) yang mengikat menggantikan ketentuan pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden sepanjang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan Nasib keberlangsungan negara Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas serta memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, sehingga dibutuhkan pemimpin negara yang berpengalaman dan kemapanan mental serta kedewaan dalam memimpin, “terang Viktor dalam sidang panel yang di pimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo Bersama dengan hakim Konstitusi Daniel Yusmic P.Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Pada intinya, sebab masih multitafsirnya bunyi amar putusan No. 90/PUU-XXI/2023 dan quorum hakim bermasalah, serta hal tersebut yang akhirnya membuat politik dinasti terjadi saat ini sehingga Demokrasi mulai di gerogoti. Maka dalam permohonan tersebut meminta kepada MK untuk menyatak pasal a quo berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum pada tingkat provinsi”. Dengan demikian, kami Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (BEM UNUSIA) menyatakan sikap sebagai Berikut: 1. Membongkar dan menolak politik dinasti syarat sebagai regresi demokrasi (politik dinasti merupakan warisan kekuasaan tradisional yang telah ada di Indonesia sejak berabad-abad silam. Sejak era autokrasi, ikatan geneologis digunakan sebagai dasar regenerasi politik guna melanggengkan kekuasaan). 2. Berikan penjelasan ke public terkait putusan mkmk bahwa AU hanya di copot sebagai ketua MK, bukan dicopot sebagai hakim MK artinya artinya AU masih menjadi hakim MK. Sikap, BEM UNUSIA sangat kecewa dengan putusan mkmk. Bahwa Anwar Usman terbukti telah melakukan pelanggaran berat dan sepatutnya au di copot secara tidak terhormat atau di pecat/dikeluarkan dari hakim MK, kami mendesak agar mundur sebagai hakim MK. 3. Mengajak seluruh elemen BEM di daerah dan seluruh Indonesia untuk terus konsen dan menolak terhadap putusan mahkamah konstitusi Nomor: 90/PUU-XXI/2023, Mendorong semua pihak untuk kritis melakukan eksaminasi terhadap putusan mahkamah konstitusi Nomor: 90/PUU-XXI/2023 yang menurut kami bermasalah secara konstitusional dan galang dukungan terhadap perkara No. 141/PUU-XXI/2023 permohonan Brahma Aryana Mahasiswa Fakultas Hukum Unusia, sehingga pasal 169 huruf q UU pemilu selengkapnya berbunyi, “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi”. Sebagai bentuk perlawanan atas putusan 090 yang kita lihat itu sebagai awal dari politik dinasti. 4. Menolak segala bentuk Tindakan baik secara politik maupun hukum yang dapat melegitimasi dan berpihak pada terbentuknya dinasti politik di Indonesia.