Anda di halaman 1dari 11

Mochtar Kusumaatdmja mengatakan dalam bukunya

“ Demokrasi tanpa Hukum Adalah Anarki, Hukum Tanpa Demokrasi adalah


Kesewenangan - Wenangan “
Assalamaulaikum Wr.Wb. Selamat Pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua.
Dewan Juri Yang Kami Hormati
Tim Pro/Kontra Yang Kami Banggakan
Pemerhati Demokrasi dan Kepemiluan

Perkenalkan Saya Danu Wira Pratama selaku Pembicara kedua dari Tim Pro/Kontra
akan membidasas dan membantah beberapa poin penting yang di sampaikan oleh
Tim Pro/Kontra dan Mempertegas Bangunan Argumentasi yang telah di sampaikan
oleh rekan tim kami.

Dewan Juri Yang Kami Hormati, Pertama Kami Menegaskan Bahwa Kami
Bersikukuh kami tetap dalam posisi Pro/ Kontra ( Menerima/Menolak ) Mosi
Perdebatan Kita Pada Hari ini. Yaitu ……………………………………………………….

Dewan Juri Yang Kami Hormati mengawali Argumentasi kami teradapat beberapa
argumentasi tim Pro/ Kontra yang ingin Kami Kritisi di antara nya adalah ………….
Selanjutnya Kami akan memperkokoh Bangunan Argumentasi yang telah di
sampaikan oleh Pembicara dari Tim Kami
MOSI PUTUSAN PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILU OLEH
BAWASLU BERSIFAT FINAL DAN MENGIKAT. ( PRO )
Pemilihan Umum di tujukan untuk memilih calon putra – putri terbaik dalam
memimpin Negara melalui politik hans kelsen mengatakan politik adalah cara
untuk mencapai suatu tujuan dan dengan apa untukdapat mencapai suatu tujuan.
Pemilihan Umum merupakan sarana kedaulatan rakyat dalam memilih wakil rakyat
baik di legislative maupun eksekutif baik DPR,DPD, DPRD, Presiden dan Wakil
Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati di suatu Daerah bahwa dalam
perkembangan pemilu terdapat beberapa peraturan perundang – undangan yang
terus mengalami perubahan dan merupakan amanat konstitusi UUD NRI 1945.
Maka UU Pemilu di bentuk dan melahirkan lembaga penyelenggaraan Pemilu di
antara nya adalah KPU sebagai Penyelenggara Pemilu, Bawaslu sebagai
Pengawasan penyelenggaran pemilu dan DKPP sebagai Penjaga Etik KPU dan
Bawaslu.
Menariknya di dalam UU 7 Tahun 2017 terdapat kewenangan Khsus pada Bawaslu
dalam melakukan pengawasan yaitu terdapat siding ajudikasi sengketa
administrative pemilu dengan sifat putusan final dan mengikat di mana dalam pasal
469 telah jelas dan terang bendenrang menyatakan bahwa sifat putusan adalah
final dan mengikat yang berarti sifat final adalah tidak ada upaya hukum lain nya
dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa.sepanjang bukan berkaitan
dengan hal yang di kecualikan yaitu, Verifikasi Parpol, Penetapan Calon Legislatif,
dan Penetapan Paslon. Maka keputusan tersebut harus di laksanakan dalam kurun
waktu 3 hari sejak di putuskan oleh bawaslu kepada KPU atau Pihak yang
bersengketa. Yang sejalan dengan pasal 14, 17, dan 20 .kendatipun sebelumnya
telah di adakan pertemuan Mediasai antara Para Pihak untuk mencapai kata
mufakat dan apabila pihak tidak menerima baru dapat di ajukan di sidang ajudikasi
namun apabila tidak di indahkan maka bawaslu dapat menindaklanjuti dengan
melaporkan kepada DKPP untuk melakukan siding sepanjang berkaitan dengan
etik dan setersunya kepada sentra Gakkumdu apabila terdapat dugaan tindak
pidana berdasarkan pasal 518 yaitu ancaman pidana penjara 3 tahun dengan denda
36 Juta Rupiah. Sekian dan Terimakasih.
MOSI PUTUSAN PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILU OLEH
BAWASLU BERSIFAT FINAL DAN MENGIKAT. ( KONTRA )
Pemilihan Umum di tujukan untuk memilih calon putra – putri terbaik dalam
memimpin Negara melalui politik hans kelsen mengatakan politik adalah cara
untuk mencapai suatu tujuan dan dengan apa untukdapat mencapai suatu tujuan.
Pemilihan Umum merupakan sarana kedaulatan rakyat dalam memilih wakil rakyat
baik di legislative maupun eksekutif baik DPR,DPD, DPRD, Presiden dan Wakil
Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati di suatu Daerah bahwa dalam
perkembangan pemilu terdapat beberapa peraturan perundang – undangan yang
terus mengalami perubahan dan merupakan amanat konstitusi UUD NRI 1945.
Maka UU Pemilu di bentuk dan melahirkan lembaga penyelenggaraan Pemilu di
antara nya adalah KPU sebagai Penyelenggara Pemilu, Bawaslu sebagai
Pengawasan penyelenggaran pemilu dan DKPP sebagai Penjaga Etik KPU dan
Bawaslu.
Menariknya di dalam UU 7 Tahun 2017 terdapat kewenangan Khsus pada Bawaslu
dalam melakukan pengawasan yaitu terdapat siding ajudikasi sengketa
administrative pemilu dengan sifat putusan final dan mengikat di mana dalam pasal
469 UU 7 Tahun 2017
Menurut padangan kami sudah jelas dan terang Benderang bahwasanya terjadi
Inkonsisten terdapat adanya UU Pemilu tersebut. Di karenakan sifat putusan final
dan mengikat sangat tidak jelas dan cendrung kontradiktif karna frasa final adalah
tidak adanya upaya hukum dan mengikat. Frasa mengikat apabila di dalam
peradilan MK maka mengikat seluruh pihak di Indonesia. Namun yang menjadi
pihak yang bersengkata hanyalah pihak dari KPU dan pihak yang bersengketa. Ini
jelas akan menimbulkan multitafsir dalam pasal tersebut di tambah dalam pasal
selanjutnya di nyatakan apabila para pihak tidak menerima putusan maka dapat
mengajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Maka dari itu jelas bahwa Putusan
Final mengikat Bawaslu sebagai Peradilan Pemilu tidak memiliki konsisten yang
utuh. Dan apabila di dalam UU arbitase sifat mengikat jelas di ataur hanya mengikat
pihak yang bersengketa untuk itu kami mengusulkan adanya revisi terhadap UU
tersebut agar adanya ketegasan dalam perspektif politik hukum UU 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum. Di tambah data empiris yang kami perloleh ada
beberapa KPUD yang tidak melaksanakan Putusan Bawaslu dalam kurun 3 hari
dengan dalih menunggu Putusan salah satu lembaga peradilan tertinggi dari
republik ini. Sebagai contoh kasus M. Taufik Caleg dari Partai Gerindra yang
terancam tidak dapat mencalonkan diri di karenakan di keluarkan nya peraturan
mengenai larangan Napi Koruptor dalam mencalonkan diri . namun telah selesai di
ajudikasi dan menyataakan PKPU yang di buat oleh KPU dan beralasan menurut
hukum dan harus mengembalikan M.Taufik kedalam daftar calon tetap. Namun
KPU malah mengeluarkan surat edaran yang berisikan menunda eksekusi putusan
Bawaslu dan ini jelas mencidrai norma UU Pemilu yang menyatakan wajib di
eksekusi dalam kurun waktu 3 Hari dan selanjutnya tidak adamya tindakan oleh
DKPP selaku pengawasan etik maupun dari sentra Gakkumdu kepada KPU.
Maka dari kesimpulan kami adalah jelas bahwa untuk sengeketa administrative di
serahkan ke PTUN karna hakim dalam memerikasa, memutus dan mengadili
berdarkan pertimbangan hukum dan sejauh ini pengadilan pemilu yang kewenagan
nya di berikan Bawaslu belum tepat terutama mengenai track record dan
kompetensi serta kualifikasi komisioner Bawaslu.
Sekian dan terimakasih.
MOSI PEMIDANAAN PEJABAT NEGARA DAN KEPALA DESA YANG TIDAK
NETRAL ( PRO )
“ Summum Ius Summa Inuira Summa Lux Summa Crux “
Pejabat Negara Negara apabila di pandang dari sudut padang dan artian yang luas
berarti adalah pejabat dari esekutif, legislative, maupun dari yudikatif. Dan
bermakna luas dan tak dapat di pisahkan secara terpisah. Namun secara sempit
maka dapat di katakana pejabat yang berada dalam rumpun eskutitif.
Namun dalam redaksi UU 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu pasal 280 ayat (2) yang di
maksudkan pejabat Negara dalam substansi UU ini adalah Pejabat
MA,MK,BPK,BI,BUMN, Pejabat Non Struktural, ASN, TNI – POLRI, KADES,
PERDES, dll
Di mana pada pasal selanjutnya ada pasal yang berbunyi setiap orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim
Kampanye pemilu dan ini termasuk kepada tindak pidana pemilu yang dapat di
tindaklanjuti oleh sentra Gakkumdu yang ancaman pidanan nya dapat berupa
pidana penjara 3 Tahun Penjara kepada yang di duga melakukan tindak pidana.

Ini jelas bahwa larangan pejabat Negara dan kepala desa tidak boleh berpolitik
praktis karna di tuntut harus netral dalam keadaan apapun dalam rangka menjaga
marwah demokrasi kepemiluan di Indonesia menjadi lebih baik.

MOSI PEMIDANAAN PEJABAT NEGARA DAN KEPALA DESA YANG TIDAK


NETRAL KONTRA

Namun sepanjang Pejabat Negara seperti Mentri, Gubernur, Walkot dan Bupati
dapat melakukan kampanye politk sepanjang melakukan cuti dan pada saat hari
libur ( Weekend ) dan ini sudah di pertegas oleh Mendagri periode tahun 2014/2019
mengatakan pejabat Negara boleh berkampanye karna merupakan jabatan politik
karna kepala daerah tersebut di pilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan
umum pada tingkat daerah. Namun tata cara berkampanye di atur di dalam
peraturan perundang – undangan.

Berdarkan PP No 32 Tahun 2018 Tentang Cuti Kampanye Pejabat dan Negara


dan Pengunduran diri ASN yang mencalonkan diri sebagai Kepala daerah
Pasal 33 PP No 32 Tahun 2018 Presiden, Wakil Presiden, menteri dan pejabat
setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan
wakil wali kota untuk melakukan Kampanye Pemilihan Umum disesuaikan dengan
jangka waktu Kampanye Pemilihan Umum,

Pada PKPU 23 Tahunn 2018 Pada pasal 59 ayat (2) yang Bunyi nya Pejabat negara
lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai Politik mempunyai hak
melaksanakan Kampanye.Juncto pasal 62 yang bunyi Selama melaksanakan
Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2), Presiden
dan Wakil Presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah wajib memperhatikan
keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan
pemerintah daerah. Dan apabila tidak pejabat Negara melanggar ketentuan dapat
di kenakan sanksi dengan larangan mengikuti dan menghadiri kampanye.
MOSI DEBAT NETRALITAS ASN DALAM PELAKSANAAN PEMILU ( PRO )
Actori Incumbit Probatio
Aparatur Sipil Negara (disingkat ASN) adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN
adalah terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK) yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan
diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya
dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan UU No 5 Tahun Tahun 2014 Pasal 2 Huruf F di nayatakan dengan jelas
bahwa ada asas Netralitas yang di sebut di dalam pasal tersebut sehingga dalam
menjalankan kepemiluan di Indonesia cendrung dapat menghasilkan kepemiluan
yang TSM terhadap salah satu pasngan calon terutama calon petahana yang ingin
mencalonkan diri sebagai peserta dalam pemilu karna memilki kendali atas
pemerintahan sehingga di anggap perlu adanya netralitas ASN mengingat bahwa
pada zaman orde baru melihat dari tataran historical perjalanan sejarah pada waktu
itu pegawai negeri sipil atau ASN dalam penyebutan saaat ini di masukan ke dalam
golongan karya sehingga pada saat di lakukan pemilihan calon petahana jauh lebih
di unggulkan sehingga di dalam pembuatan UU ASN di wajibkan untuk di jaga
netralitas nya sepanjang bukan pada jabatan namun tetap memilki hak memilih
yang di amanatkan dalam konstitusi untuk memberikan hak suara pada bilik suara
pada hari pencoblosan pemilu tersebut.
Apabila melihat redaksional pasal 7 tahun 2017 pada penerapan saksi yang di
kenakan kepada ASN yang tidak netral
Berdasarkan Pasal 87 ayat 4 huruf b, PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena
menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Sementara dalam pasal 119 dan pasal 123 ayat 3 disebutkan jika PNS yang
mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran diri
secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.
Sedangkan PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut, dijatuhi sanksi
hukuman disiplin.
Surat yang ditetapkan pada 27 Desember 2017 itu disebutkan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil akan dijatuhkan hukuman disiplin tingkat sedang hingga
berat. Sanksi adalah penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun. Kemudian
penundaan pangkat selama 1 tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih
rendah selama 1 tahun.
Sedangkan untuk disiplin tingkat berat dapat dijatuhkan sanksi berupa
penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun. Selain itu dapat
dijatuhkan pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah.
Kemudian pembebasan dari jabatan atau pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri sebagai PNS.
Sedangkan untuk disiplin tingkat berat dapat dijatuhkan sanksi berupa penurunan
pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun. Selain itu dapat dijatuhkan
pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah. Kemudian
pembebasan dari jabatan atau pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai PNS.

MOSI DEBAT NETRALITAS ASN DALAM PELAKSANAAN PEMILU ( KONTRA )


Aparatur Sipil Negara (disingkat ASN) adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN
adalah terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK) yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan
diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya
dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal pelaksanaannya perlu dibangun seorang Aparatur Sipil Negara yang
memiliki integritas, profesional, netral-bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik
bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan
kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan UU No 5 Tahun Tahun 2014 Pasal 2 Huruf F di nayatakan dengan jelas


bahwa ada asas Netralitas. Namun dalam hal ini yang di maksudkan netralitas ASN
bermakna dualisme dimana ASN memiliki Hak Pilih namun harus tetap netral dalam
menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang birokrat dalam melakukan
pelayanan publik kepada masyarakat . makna netralitas yang tersirat di dalam UU
ASN berarti dalam tanda kutip adalah bentuk pelarangan bukan pengekanagan
karna secara hak asasi manusia yang di lindungi oleh konstitusi adalah hak Sipol
terutama apabila berbicara mengenai Hak di pilih dan memilih yang di elaborasikan
dengan UU HAM maka PNS di berikan hak politik hanya dalam hal pada saat
memberikan suara saat di tempat pemungutan suara sepanjang tidak mengunakan
status dan jabatan sebagai PNS dalam kehidupan sehari hari di dunia pekerjaan.
Mengingat bahwa syarat calon pemilih yang dapat melakukan pemilihan baik
legislative maupun ekskutif adalah :
1. Berumur 17 Tahun di buktikan dengan KTP/ sudah menikah
2. Terdapatar dalam DPT
3. Warga Negara Indonesia
Artinya secara mutatis mutandis bahwa seorang ASN netral dalam melakukan
pekerjaan sehari – hari tanpa adanya intervensi dari pasangan calon manapun
sehingga dapat di katakana dalam keadaaan netral. Namun juga memiliki hak
pilih sesuai pada syarat yaitu Warga Negara Indonesia dalam melakukan
pemilihan umus saat hari pemilihan di TPS.
Artinya bentuk pelarangan terhadap ASN dapat di lakukan pelarangan
sepanjang tidak sfesifik namun hanya yang bersifat umum saja karna satu sisi
seorang ASN Netral namun juga memiliki hak pilih.
Kami menilai di dalam UU ASN harus di atur lebih jelas mengenai pejabat yang
bersifat birokrat dan pejabat yang bersifat politis karna sifat kedua pejabat
tersebut berbeda karna pejabat politik di pilih setiap 5 tahun sekali dan menajdi
pejabat pembinaan daerah yang dapat melakukan pemindahah mutasi kepada
pegawai yang pada saat di lakukan pemilu tidak mendukung calon tersbeut
sehingga menjadi dilematis. Sedangkan pejabat birokrat adalah berdasarkan
jenjang karier dan pengangkatan. Usulan kami adsalah jelas harus ada UU yang
mengatur pemisahan antara kedua pejabat tersbebut meskipun secara ekspilist
satu dan anatar lainnya tak dapay di pisahkan.
MOSI MEMBERIKAN DAN MENJANJIKAN UANG dan/atau MATERI LAINNYA (
Politik Uang ) sebagai bentuk kejahatan pemilu ( Pro )
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap
seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun
supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.
Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.
Dalam rangka menajalankan pemilihan umum yang luberjurdil baik pada saat pemilihan
legislative maupun ekskutif jelas bahwa politik uang adalah kejahatan luar biasa dalam
sebuah pemilu atau ( Electoral Extraordinary Crime ) yang tentunya perlu penanganan
yang luar biasa pula. Politik uang dengan segala macam modus operandi nya banyak
mencidreai nilai – nilai dari demokrasi terutama dalam pemili yang jujur dan keadilan
maka dari itu perlu penegakan hukum yang serius untuk memberantas praktik dalam
politik uang.
Sejatinya politik uang di maksudkan untuk mempengaruhi suara seseorang dalam
melakukan pilihan yang tidak sesuai pada hati nurani pemilih sehingga berimbas kepada
perolehan suara yang di dapatkan pada pasnagan calon.
Politik uang di bagi menjadi beberapa macam berdasaekan modus operandi nya .
pembagian uang tersebut di lakukan dan paling gencar pada tiga tahap yaitu :
1. Pada saat kampanye
2. Pada Saat Hari Tenang
3. Pada saat satu hari sebelum pemilihan di TPS ( Serangan Fajar )
Namun uu no 17 tahun 2017 sudah merinci beberapa sanksi terkait dengan ketentuan
atas larangan politik uang di antara nya adalah adanya ancamana pidana yang di
kenakan kepada calon dan/atau pasangan calon legislative, dan ekskutif yang terbukti
melakukan transaksi politik uang yang akan di tangai lebih lanjut oleh Sentra Gakkumdu
yang berisi daripada unsur bawaslu, kepolisian, dan unsur kejaksaan . dalam tindak
pidana pemilu dalam menjaga marwah pemilu yang demokratis serta jurdil
MOSI MEMBERIKAN DAN MENJANJIKAN UANG dan/atau MATERI LAINNYA (
Politik Uang ) sebagai bentuk kejahatan pemilu ( Kontra )

Anda mungkin juga menyukai