Anda di halaman 1dari 10

DEBAT POLITIK

“MANTAN NARAPIDANA KORUPSI TIDAK PANTAS


MENDUDUKI JABATAN PUBLIK”

OLEH:
KELOMPOK V(LIMA)

 ALFAJRI IDRIS
 ADIRA SYAHRIL
 RISMA NIRMALA DEWI
 REYNA AHDAENA
 ANUGRAH AULIA MARHABAN
 RAHMADANI
 NURFADILLAH RAHMI

SMA NEGERI 2 GOWA


TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
karunianya kami dapat menyelesaikan materi debat yang berjudul “Mantan
Narapidana Korupsi Tidak pantas Menduduki Jabatan Publik”.Mskipun banyak
hambatan ,tetapi kami berhasil menyelesaikan materi debat ini.

Kami menyampaikan terimakasih kepada guru pembimbing, bapak/ibu guru ,dan


kepala sekolah yang telah memberi bimbingan dan motivasi dalam mengerjakan
materi debat ini.

Kami mengharapkan masukan dan saran yang bersifat membangun untuk


menyempurnakan materi debat ini. Kami berharap semoga materi debat ini bisa
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pada pembaca umumnya.

I
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………….…...
KATA PENGANTAR…………………………………………………..I
DAFTAR ISI…………………………………………………………....II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………….…...III
B. Perumusan Masalah…………………………………………………....III
C. Tujuan………………………………………………………………….IV
BAB II ISI
A. Materi Debat…………………………………………………………..V
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………....VIII
B. Daftar Puataka………………………………………………………....IX

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada saat ini Pemilihan Umum selanjutnya disebut pemilu 2019 akan semakin
dekat .Perhelatan pesta demokrasi tiap 5 tahun sekali ini menjadi media penyaluran
suara masyarakat untuk kearah, yang mungkin, lebih baik. Masyarakat akan memilih
wakil-wakilnya dalam lembaga pemerintahan serta memilih siapa yang menjadi
‘Nahkoda’ negara menuju tujuan negara yang termaktub pada pembukaan UUD
NKRI Tahun 1945 ( UUD NRI 1945/UUD 1945),Yaitu mewujudkan kehidupan
negara yang “Merdeka,Bersatu,Adil, dan Makmur”( alinea kedua ).

B. Perumusan Masalah

Untuk memperjelas kajian dalam penulisan Makalah debat Hukum ini, maka
kami menemukan beverapa permasalahan, antara lain:

1. Bagaimana jaminan dan pembatasan hak politik mantan narapidana korupsi


dalam menduduki jabatan publik di indonesia?
2. Bagaimana konstitusionalitas hak politik mntan narapidana korupsi untuk
menduduki jabatan publik pasca putusan mahkamah konstitusi No.42/ PUU-
XIII/2015?

III
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana cara memilih pemimpin yang baik


2. Mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap seorang mantan
narapidana korupsi
3. Mengetahui bagaimana seorang mantan narapidana menjalani kehidupan baru
mereka di tengah masyarakat
4. Mengetahui resiliensi seorang mantan narapidana

IV
BAB II
ISI

A. Materi Debat

Pemilihan Umum 2019 semakin dekat. Perhelatan pesta demokrasi tiap 5 tahun sekali
ini menjadi media penyaluran suara masyarakat untuk untuk kearah yang mungkin
lebih baik. Masyarakat aan memilih wakil wakilnya dalam lembaga pemerintahan
serta memilih siapa yang menjadi ‘nahkoda’negara menuju tujuan negara yang
termaktub pada pembukaan Undang Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun
1945 9UUD NRI 1945/UUD 1945),Yaitu mewujudkan kehidupan negara yang
“merdeka,bersatu,adil dan makmur” (alinea kedua).

Payung hukum pun telah disiapkan demi terjaminnya pemilu yang berlandaskan
Asas langsung,Bebas,Rahasia,Jujur,dan Adil (Luber Jurdil). Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi payung hukum tersebut. Alasan
perlu dibentuk peraturan perundang-undangan untuk pemilu ini tentu demi tujuan
hukum (keadilan,kemanfaatan.,kepastian), sehingga tercipta penyelenggaraan Pemilu
sesuai dengan regulasi, berjalan secara bersih, dan damai dalam peyelesaian sengketa.

Mengenai Pemilu sendiri, terlahir topik hangat yang mencuat ke permukaan seiring
dengan beberapa kontravensi yang terdapat pada tubuh UU No.7 Tahun 2017 (UU
Pemilu).Kali ini akan diangkat topik mengenai hak mantan napi Tindak Pidana
korupsi (Tipikor) untuk mencalonkan diri di Pemilu sebagai calon legislatif.

Mari kita lihat dulu ketentuan hukumnya untuk para mantan napi. Pada Pasal 240 ayat
(1) huruf g, salah satu persyaratan bakal caleg adalah tidak pernah dipidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjar 5 tahun atau lebih,
kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana.

Apabila dilihat dari pasal tersebut, tidak dilakukan pengerucutan terhadap jenis tindak
pidana apa yang dilkukan, apakah tindak pidana biasa atau tindak pidana luar biasa,
seperti tipikor. Meskipun demikian, dilakuakan pengerucutan hanya pada tindak
pidana yang dijatuhi pidana penajara 5 tahun atau lebih. Hal tersebut apabila
ditafsirkan secara luas, maka dapat dikatakan salah satu syarat menjadi bakal caleg
adalah tidak pernah menjadi terpidana yang hukuman pidananya diancam 5 tahun atau
lebih, apapun jenis tindak pidananya, yang terpenting diancam dengan pindana
penjara 5 tahun atau lebih sesaui peraturan perundangan yang mengaturnya
(KUHP,UU Tipikor,dll). berdasarkan ketentuan dan tafsiran tersebut maka mantan
napi tipikor yang umumnya dijerat hukuman penjara 5 tahun atau lebih tidak dapat
mencalonkan diri dipemilu, kecuali mereka secara terbuka dan jujur kepada publik
menyatak bahwa mereka mantan napi tipikor.

Peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 juga mengamini
hal tersebut. Pasal 7 ayat (1) huruf h menyataan bahwa salah satu persyaratan bakal
calon legislatif adalah bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejatahatan seksual
terhadap anak, atau korupsi.

V
KPU lewat peraturan ini melakukan pengkhususan kepada mantan terpidana jenis
tindak pidana luar biasa yang tidak bisa mencalonkan diri di pemilu mendatang
sebagai bakal calon anggota legislatif. Apabila ditinjau kembali, peraturan ini merinci
ketentuan yang ada dipasal 240 ayat (1) huruf g UU pemilu, sehingga ketentuan yang
lebih rinci ini yang lebih diutamakan ketimbangan yang umum (hukum yang khusus
mengesampingkan hukum yang umum / lex specialis derogat legi generalis).

Penjabaran yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa mantan napi
tipikor dilarang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Hanya saja, ketentuan
ini hanya pemilihan legistalif. Hanya saja, ketentuan ini hanya berlaku pada pemilihan
legislatif dan presiden untuk memilih kepala daerah (PILKADA), mantan napi apapun
jenis tindak pidananya tetap dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah
ajibat dari putusan mahkamah konstitusi (MK) No.42/PUU-XIII-2015 yang
membatalkan persyaratan’tidak pernah menjalani pidana yang diancam penjara 5
tahun atau lebh’ pada UU No.8 thn 2018 tentang pemilihan kepala daerah.

Walaupun pelarangan ini digaungkan oleh KPU dan didukung oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) tapi ada perbedaan antara lembaga-lembaga tersebut
dengan pemerintah (Lembaga Negara Utama). Presiden Joko Widodo, dilansir dari
kompas.com tgl 29 mei 2018, justru mengatakan bahwa mantan napi tipikor dapat
mencalonkan diri, hanya saja diberi label ‘mantan koruptor’. Pernyataan tersebut
mungkin sejalan dengan pasal 240 ayat (1) huruf g UU pemilu apabila yang
bersangkutan ( mantan napi tipikor) secara terbuka dan jujur menyatakan kepada
publik bahwa benar ia mantan napi tipikor.

Sejumlah anggota dewan dan beberapa orang lain kalangan masyarakat pun setuju
bila mantan napi tipikor mencalonkan diri karena hak berpolitik sudah dicabut ketika
menjalani pidana. Anggota komisi II DPR dari fraksi GOLKAR, Firman Subagyo
dilansir dari tirta.id, mengatakan bahwa PKPU NO.20 thn 2018 bertentangan dengan
hak asasi bahwa setiap orang berhak memilih dan dipilih

Mengenai hak memilih dan dipilih yang merupakan hak-hak sipil dan politik (civil
and political right) untuk warga negara, psal 28 D ayat 3 menyatakan “setiap warga
negara berhk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Dikarenakan hak tersebut termaktub pada UUD 1945 yang menjadi landasan hukum
negara( konstitusi), maka peraturan perundang undangan dibawahnya (termasuk UU
dan PKPU sesuai hirarki pada UU NO.12 thn 2011 tentang pembentukan peraturan
per undang undangan ) haru mengikuti ketentuan dari konstitusi sebagai aturan
hukum dalam hirarki tertinggi dan mendasari pokok-pokok peraturan hukum yang ada
dibawahnya.

Apabila mengacu pada ketentuan dari UUD tersebut, maka dapat dikatakan pasal 240
ayat (1)huruf g UU Pemilu inkonstitusional dan dapat dibatalkan lewat pengujian di
MK jika dapat memberikan argumen yang cukup dan membuktikan bahwa pasal
tersebut tidak sesuai dengan amanat konstitusi untuk warga negara agar berhak
berpolitik.

Perlu digaris bawahi, ‘jika dapat memberikan argumen cukup dan membuktikan’
harus pula membuktika n selain inkonstitusionalitasnya, tetapi bagaimana seorang

VI
mantan napi, terutama napi tipikor, telah jerah dan layak diberi perlakuan yang wajar
dan dikembalika hak-haknya sebagai warga negara biasa.

Ketentuan pada PKPU No.20 thn 2018 juga dapat diuji di Mahkamah Agung, dengan
UU pemilu tersebut sebagai batu ujinya. Pasal 7 ayat 1 huruf h dapat dikatakan
bertentangan dengan ketentuan UU PEMILU karena membuat aturan baaru diluar
yang diatur di dalam UU PEMILU, namun kembali lagi perlu adanya argumen yang
kuat untuk aturan itu dapat dibatalkan, karena menurut saya justru ketentuan tersebut
hanya sebagai pengaturan lebih rinci dari apa yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf g PKPU No. 20 Tahun 2018 jo. Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu.

Kendati segala alasan tentang dukungan pelarangan dan penolakan pelarangan, tidak
terdapatnya harmonisasi antar lembaga-lembaga negara, terutama di badan eksekutif
(Kepresidenan beserta menteri-menterinya) dan lembaga penunjangnya (auxiliary
bodies). Ketika KPU dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung
pelarangan ini demi penyelenggaraan negara yang bersih, justru Pemerintah (terutama
Presiden) tidak mendukung upaya tersebut dengan memperbolehkan mantan napi
Tipikor mencalonkan diri di Pemilu. Seharusnya, ketika ada suatu masalah, negara
beserta alat-alat penunjangnya bergerak bersama-sama demi pemecahan masalah
tersebut.

Pro dan kontra pencalonan mantan napi Tipikor masih menjadi topik bahasan yang
hangat di kalangan politisi dan juga di masyarakat. Wajar apabila ada yang
menentang pencalonan tersebut karena berpotensi mengulangi kejahatan yang sama
serta mengotori pesta demokrasi yang seharusnya bersih, namun juga ada yang
mendukung karena hak mantan napi sebagai warga negara harus kembali karena
sudah dianggap sebagai warga negara biasa, dan hak yang dimiliki telah dijamin di
dalam konstitusi negara kita.

Posisi saya dalam topik kali ini adalah saya menyatakan pro terhadap langkah KPU
melarang mantan napi Tipikor untuk mencalonkan diri untuk menduduki jabatan
politik. Apapun itu, mau itu menjadi legislatif, kepala daerah, bahkan kepala negara,
kecuali yang bersangkutan menyatakan secara tegas, terbuka, dan jujur, bahwa ia
adalah mantan napi Tipikor. 

Argumentasi dari posisi saya sesuai dengan apa yang telah dijabarkan di paragraf-
paragraf awal, yakni ketentuan hukum pada UU Pemilu dan PKPU dari KPU sebagai
penyelenggara Pemilu sudah jelas demi terlaksananya asas Pemilu (Luber Jurdil),
serta demi memperbaiki lembaga perwakilan sehingga diisi orang-orang yang
berintegritas, bersih, dan penyalur aspirasi rakyat yang baik, yang akan berefek pada
perbaikan suprastruktur politik.

Bagaimana pendapat anda? Apakah mantan napi Tipikor berhak mencalonkan diri
menjadi anggota legislatif di Pemilu mendatang? Apa alasan anda? Mari berdiskusi.

Sekian.

VII
KESIMPULAN
Dari prinsip pemilu demokratis, bahw lahirnya wakil rakyat yang berkualitas, dan
memiliki integritas moral merupakan prasyarat penting. Hal ini berkaitan dengan hak
sipil untuk mendapatkan legislatif yang bersih agar tidak menghadapi keadaan krisis
moral berkenan dengan korupsi.

VIII
DAFTAR PUSTAKA:

Kamus besar bahasa indonesia(KUBI).2007.jakarta:departemen pendidikan


kebudayaan RI

IX

Anda mungkin juga menyukai