Anda di halaman 1dari 4

Menyusul pembebasan bersyarat sejumlah terpidana korupsi, berbagai reaksi publik pun

muncul beragam. Apalagi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu dikaitkan dengan
pesta politik Pemilu 2024 yang tahapannya sudah dimulai oleh Komisi Pemilihan Umum.

Tahapan pemilu pada 14 Februari 2024 tersebut diawali dengan pendaftaran partai politik
peserta pemilu, dan kini verifikasi. Tahapan selanjutnya penetapan partai politik peserta
pemilu dan tahun depan pendaftaran calon anggota legislatif.

Kini, bagaimana jika mereka yang mantan terpidana kasus korupsi ikut menjadi bakal calon
anggota legislatif atau jabatan tertentu di masa datang? Dari sisi semangat pemberantasan
korupsi, tentu mereka bakal ditolak mentah-mentah.

Sebaliknya, bagaimana dari sisi hak konstitusional yang telah diberikan negara kepada setiap
warga negara, termasuk para mantan terpidana korupsi, untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam berpolitik pasca-menjalani pemidanaan?

Dari sisi semangat pemberantasan korupsi, tentu mereka bakal ditolak mentah-mentah.

Hak dan keadilan

Berdasarkan Pasal 10 UU No 22/2022 tentang Pemasyarakatan, selain berhak atas perawatan,


pelayanan, pendidikan, dan lainnya, terpidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu
tanpa terkecuali juga berhak atas remisi dan pembebasan bersyarat.

UU yang baru ditandatangani Presiden Joko Widodo 3 Agustus lalu itu mengizinkan hal
tersebut, asalkan terpidana berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan
menunjukkan tingkat penurunan risiko selama pembinaan.

Ketentuan UU ini sejalan dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) No
7/2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menkumham No 3/2018 tentang Syarat dan
Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat,
Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Pasal 86 menyatakan, pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi, kejahatan


terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi
lainnya harus memenuhi syarat paling sedikit dua per tiga dari masa pidana sudah dijalaninya
atau paling singkat sembilan bulan, selain asimilasi paling sedikit satu per dua dari sisa masa
pidana.

Dengan ketentuan tersebut, tak heran jika 23 terpidana kasus korupsi mendapatkan
pembebasan bersyarat pada 6 September lalu. Tentu dengan adanya ketentuan tersebut, jika
majelis hakim tipikor akan mencabut hak-hak terpidana, hal itu akan dinilai bertentangan
dengan UU No 22/2022 dan aturan di bawahnya.

Namun, sesederhana itukah kita melihatnya? Lalu, bagaimana dengan upaya pemberantasan
korupsi yang saat ini menjadi garda depan negeri kita dan dampak pemidanaan terhadap
pelaku yang dinilai telah bersalah dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan?
Bagaimana dengan rasa keadilan di masyarakat yang tercederai akibat tindakan korupsi yang
banyak merugikan masyarakat dan kepentingan publik jika seorang mantan terpidana menjadi
wakil rakyat?

Hak politik dan HAM

Hak politik merupakan hak yang dimiliki oleh seorang warga negara untuk dipilih dan
memilih sebagaimana diwujudkan lewat partisipasi politik yang diatur dalam konstitusi dan
ketentuan perundang-undangan lainnya.

Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi DPR
dan pemerintah—dan sudah dijadikan UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik—hak politik dicantumkan sebagai salah satu
dari rumpun HAM.

Namun, dalam Pasal 35 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hak politik
itu dapat dicabut dengan putusan hakim, di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki
angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih pada pemilu, serta hak lainnya.

Dengan dua ketentuan ini, alasan yuridis bagi hakim untuk memutuskan pencabutan hak
politik tentunya sah.

Pasal ini diperkuat kembali dengan Pasal 73 UU No 39/ 1999 tentang HAM yang
menyebutkan pembatasan atau pencabutan HAM hanya diperkenankan jika berdasarkan UU.
Tujuannya untuk menjamin pengakuan dan penghormatan HAM serta kebebasan dasar orang
lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Dengan dua ketentuan ini, alasan
yuridis bagi hakim untuk memutuskan pencabutan hak politik tentunya sah.

Pencabutan hak politik ini, khususnya hak untuk dipilih sebagai pejabat publik, boleh
dibilang merupakan bentuk dari hukuman lain di luar hukuman pokok. Dicabut hak
politiknya karena yang bersangkutan dinilai majelis hakim tak amanah memegang jabatan
publik yang dipercayakan kepadanya.

Namun, tentu definisi dan ukuran jabatan publik yang dapat dicabut hak-haknya oleh majelis
hakim tipikor tidak boleh sembarangan. Harus terukur dan jelas. Jika dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 25 UU No 12/2005, maka pencabutan hak politik ”hanya” terkait dengan
jabatan politik yang diperoleh melalui pemilu, seperti jabatan sebagai anggota parlemen,
bupati, gubernur, dan presiden dan pencabutan itu tak dilakukan secara permanen.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Spanduk panjang partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 terpasang di pagar
halaman Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (25/8/2018).
Hingga menjelang akhir September 2019 nanti, KPU menyusun Daftar Calon Tetap
yang diajukan oleh tiap-tiap parpol peserta pemilu. Banyak warga berharap calon
legislatif yang ikut pemilihan terbebas dari pidana korupsi, bandar narkoba dan
mantan pelaku kejahatan seksual anak.

Instrumen penguat
Pada 28 Oktober 2021, melalui gugatan Perkara Nomor: 28 P/HUM/2021, Mahkamah Agung
mengabulkan uji materi terkait remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor sebagaimana
diatur Peraturan Pemerintah (PP) No 99/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32/1999
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

PP ini antara lain pada pokoknya memuat pertimbangan tentang fungsi pemidanaan yang tak
lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera, tetapi juga berusaha merehabilitasi dan
mereintegrasi sosial, sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang
memperbaiki).

PP No 99/2012 mengatur sangat ketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Salah
satunya remisi dan pembebasan bersyarat diberikan asalkan yang bersangkutan bersedia
bekerja sama (justice collaborator/JC) dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Dengan menjadi JC, tentu tidak
mudah bagi para terpidana kasus korupsi itu mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Akibatnya, dengan putusan MA tersebut, syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan
pemasyarakatan mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat dikembalikan ke PP No
32/1999. Dengan PP tersebut, persyaratan memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat itu
berlaku umum. Itulah yang membuat 23 terpidana tak kurang dari sebulan sudah
mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Dengan tindak pidana korupsi yang seolah-olah menjadi kejahatan biasa, sejumlah mantan
terpidana korupsi pun dapat kembali menjadi caleg atau memegang jabatan tertentu di masa
datang.

Publik harus mengawal

Dengan tindak pidana korupsi yang seolah-olah menjadi kejahatan biasa, sejumlah mantan
terpidana korupsi pun dapat kembali menjadi caleg atau memegang jabatan tertentu di masa
datang. Melalui Peraturan KPU (PKPU) No 20/ 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR,
DPD, dan DPRD, KPU sebenarnya pernah melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan
diri sebagai caleg.

Meskipun dilakukan uji materi terhadap PKPU tersebut, MA tetap menolak. Dalam putusan
No 46 P/HUM/2018 tertanggal 13 September 2018, MA menyatakan frasa ”mantan terpidana
korupsi” bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.

Namun, KPU kemudian berubah sikap. KPU kembali menerbitkan PKPU No 31/2018, yang
justru menjadi dasar bagi mantan terpidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai caleg.
Syarat pencalonan sesuai Pasal 45A Ayat (2) PKPU No 31/ 2018 ternyata tidak mudah.

Selain mewajibkan mantan terpidana korupsi yang ingin mendaftar harus membuat surat
pernyataan pernah dijatuhi pidana penjara dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, juga
harus ada surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan yang menerangkan bahwa
yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara.

ilustrasi
Tak hanya itu, bakal caleg mantan terpidana korupsi juga harus melampirkan salinan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai bukti hukumannya. Bahkan, mereka
diwajibkan juga mendapat surat dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional yang
menerangkan bahwa bakal caleg itu telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
publik sebagai mantan terpidana dan harus disertai dengan bukti atas pernyataan atau
pengumuman yang dimuat di media massa.

Walaupun terbuka kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai bakal caleg, stigma yang
muncul di tengah publik tak bisa dilepaskan dan cenderung tetap sangat buruk terhadap yang
bersangkutan. Apalagi dengan sejumlah syarat-syarat KPU tersebut. Tak ayal, stempel
”koruptor” seakan-akan terus melekat pada dirinya.

Apakah stigma tersebut sesungguhnya telah menelantarkan hak konstitusional yang diberikan
negara kepada setiap warga negaranya, termasuk para mantan terpidana korupsi untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam berpolitik pasca-pemidanaannya?

Hak warga negara untuk ikut dalam pemerintahan sebenarnya diatur dalam Pasal 28D Ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 45) Perubahan Kedua.
Dari UUD 45 kemudian ditindaklanjuti dalam Pasal 43 Ayat (1) UU HAM. UU ini secara
tegas memberikan hak kepada setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang luber dan jujur
serta adil (jurdil).

Masyarakat tentu harus menghormati ketentuan hukum yang berlaku saat ini. Namun, dalam
hal terdapat mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai bakal caleg, maka
masyarakat juga harus lebih pandai dan berhati-hati menentukan pilihannya.

Publik juga harus secara aktif mengawal pelaksanaan kampanye yang direncanakan.
Pasalnya, bukannya tak mungkin, kesulitan mendapatkan dukungan dan memperoleh suara
dibandingkan calon lain, justru membuka peluang untuk terjadinya politik uang oleh para
mantan terpidana korupsi yang ingin menjadi caleg.

Kontribusi masyarakat juga harus ada pada sistem kontrol terhadap mantan terpidana korupsi
yang ternyata berhasil memperoleh suara untuk menduduki kursi di parlemen. Dengan
demikian, para mantan terpidana korupsi tersebut akan menjadi lebih berhati-hati
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta mandat yang telah diberikan guna
mengembalikan nama baik dan kepercayaan masyarakat. Semoga.

Humphrey DjematAdvokat dan Chairman pada Kantor Gani Djemat & Partners

Anda mungkin juga menyukai