Anda di halaman 1dari 6

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA

RILIS SIKAP UNIVERSITAS GADJAH MADA


Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur, Yogyakarta 5528
E-mail : bemkm@ugm.ac.id

RILIS SIKAP

SERUAN DARI BULAKSUMUR: TUNDA PENGESAHAN RKUHP

Belum lama ini, DPR secara tiba-tiba mengklaim bahwa RKUHP sudah siap
disahkan. Informasi terkait pengesahan RKUHP rencananya akan dilakukan sidang
paripurna pada tanggal 16-24 September 2019. BEM KM UGM memandang keputusan
tersebut cenderung dipaksakan karena masih menyisakan banyak pasal-pasal yang
bermasalah terutama pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Berikut cacatan BEM KM
UGM terhadap sejumlah pasal yang akan berpotensi melahirkan ambiguitas dan
legalitasnya dipertanyakan bila disahkan:

Pertama, Pasal 2 ayat (1), Pasal 598 RKHUP, tentang hukum yang hidup di
masyarakat. Pasal ini berbunyi “Kententuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam Undang-Undang ini”. Sampai hari ini, pasal ini masih menuai pro dan kontra.
Adanya rancangan pasal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi Living Law atau hukum
yang hidup di masyarakat. Hakim Agung Andi Samsan Nganro berpandangan living law
atau hukum adat yang hidup di masyarakat banyak terdapat di nusantara, dan masuknya
dalam RKUHP membutuhkan jalan tengah. Misalnya, hukum yang hidup di tengah
masyarakat tetap dapat dijadikan alasan pembenar di pengadilan.1 Namun disisi lain, frasa
“hukum yang hidup dalam masyarakat” dapat dikatakan multitafsir. Tanpa adanya
keterangan lebih lanjut mengenai frasa tersebut, pasal ini tidak memenuhi asas legalitas.
Apalagi dalam konteks pidana, suatu keterangan hukum haruslah memiliki penafsiran

1
Admin. 2016. MASUK TIDAKNYA LIVING LAW DALAM RKUHP MASIH MENUAI PERDEBATAN.
https://reformasikuhp.org/masuk-tidaknya-living-law-dalam-rkuhp-masih-menuai-perdebatan/ (diakses
20 September 2019)
yang jelas dalam rangka memberikan kepastian hukum. Pasal yang multitafsir berpotensi
memunculkan kriminalisasi yang tidak jelas sekaligus memunculkan celah praktik
penegakan hukum yang sewenang-wenang dimana pasal tersebut dapat ditafsirkan sesuai
kepentingan dari penguasa atau kelompok yang mencoba menghegemoni masyarakat.

Kedua, permasalahan pasal yang mengatur tentang makar. RKUHP mengatur


makar dalam tiga jenis yaitu makar terhadap Presiden, makar terhadap NKRI, dan makar
terhadap pemerintah. Menurut Ayuni (2018) klausul makar terhadap pemerintah yang sah
memilki potensi bertentangan dengan Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Dalam pasal 193
menyatakan , “setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan
pemerintah yang sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementera,
pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana paling lama 15 tahun”. Pasal
ini mensyarakatkan adanya upaya penggulingan dan/atau pengambilalihan sebagai unsur
pidana yang harus dipenuhi. Padahal, upaya penggulingan dan/atau pengambilalihan
terhadap pemerintah yang sah dapat dilakukan secara konstitusional sebagaimana telah
diatur dalam 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 mennyatakan bahwa
seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan jika melakukan
pelanggaran hukum berupa penghiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat atau perbuatan tercela atau sudah tidak mampu menjadi seorang Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B mengatur bahwa dalam hal menurunkan presiden
diperlukan usul terlebih dahulu oleh minimal dua per tiga anggota DPR untuk
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. 2

Pasal RKUHP yang mengatur Makar ini pun merupakan salah satu dari sekian
banyak ‘pasal karet’ dan berpotensi disalahgunakan untuk memberangus kebebasan
berekspresi, berpendapat, dan pengawasan dari oposisi. Lebih jauh, dengan adanya pasal
ini, pemerintahan hari ini telah mengambil langkah mundur dalam demokrasi dan menuju
dalam pemerintahan otoriter. Sebagaimana dikatakan oleh Levitsky&Ziblatt (2018),

2
Ayyuni, Qurota. 2018. Makar dalam RKUHP. https://law.ui.ac.id/v3/makar-dalam-rkuhp/ (diakses 16
September 2019)
salah satu karakteristik pemerintahan yang otoriter adalah mudah menuduh perilaku
makar dan menyebut oposisi sebagai pelaku makar.3

Ketiga, Pasal 281-282 tentang kriminalisasi tindak pidana contempt of court.


Maksud dari masuknya rancangan pasal ini dalam RKUHP adalah untuk menjaga
marwah Hakim dan Pengadilan itu sendiri. Di negara-negara penganut Anglo Saxon,
contempt of court merupakan perlindungan bagi Hakim dan Pengadilan agar marwahnya
tetap terjaga. Konsep Hakim sebagai Wakil Tuhan dan Pengadilan sebagai tempat sakral
ditegaskan dalam contempt of court. Hal ini tidak lain guna mencegah terjadinya tindakan
masyarakat yang lawless dan tidak menghargai hukum.
Disisi lain tindak pidana contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan
berpotensi dapat mengenkang kebebasan pers. Termasuk dalam hal ini juga secara
otomatis akan mengekang kebebasan berpendapat. Pasal ini tentu tidak selaras dengan
nafas demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Pada dasarnya pasal ini
tidak perlu ada, mengingat dalam rangka menjaga martabat hakim, teradapat lembaga
khusus yang menangani sesuai dengan Pasal 24B UUD 1945 yaitu KY (Komisi Yudisial).
Selain itu terdapat UU Kekuasaan Hakim Nomor 4 Tahun 2004 yang menjamin
keamanan terhadap para hakim.
Pasal 281 menyebutkan bahwa tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt
of courrt) diancam dengan pidana maksimal 1 tahun penjara atau denda paling banyak 10
juta rupiah. Dalam pasal tersebut diatur delik contempt of court sebagai berikut:
1. Tidak mematuhi pernitah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk
kepentingan proses peradilan;
2. Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas
atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
3. Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara lamgsung, atau
membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat
tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

3
Levitsky,Steven & Danial Ziblatt. 2018. How Democracies Die. New York. Babor International.
Menurut ICJR, seharusnya tindakan yang dilarang dalam konteks contempt of court
dibatasi terhadap tindakan yang bersifat menghalangi dan mengakibatkan proses
persidangan tidak berjalan seperti intimidasi, ancaman kekerasan, dan tidak kekrasan,
bukan masalah integritas. Didalam pasal tersebut juga mengadung kata yang multitafsir
dan berpotensi untuk disalahgunakan seperti “tidak hormat’ dan ‘menyerang integritas’
tidak jelas. Hal tersebut berpotensi untuk membungkam komenter kritis.4
Pasal tentang contempt of court ini nantinya dikhawatirkan dapat menyerang pers,
akademisi, mahasiswa yang kritis menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau
pengadilan. Maka dari itu perlu ada penjelasan dan pembatasan lebih lanjut dari
rancangan pasal ini agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang memiliki otoritas.
Keempat, RKUHP Pasal 218, Pasal 219 RKUHP ,tentang penghinaan Persiden, pasal
240-241 RKUHP tentang penghinaan pemerintah yang sah. Salah satu point penting
dalam pasal ini adalah kriminalisasi terhadap kritik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam draft RKUHP istilah “tindak pidana penghinaan presiden berganti dengan
“Penyerangan kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden”.
Dimunculkanya lagi pasal pengenai penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil
presiden merupakan sebuah kemunduran demorkasi. Padahal kita tahu bahwa pasal
tersebut adalah warisan dari pemernitahan konial Belanda yang tidak relevan dengan
semangat kehidupan berdemokrasi hari ini. Mahkamah konstitusi dalam putusan 013-
022/PUU-IV/2006 tegas menyatakan bahwa indonesia sebagai negara hukum yang
demorkasi, berbentuk republik, dan berkedaulutan rakyat, serta menjunjung tinggi hak
asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945 sehingga MK menyatakan
bahwa pasal penghinaan presiden tidak relevan.
Kelima, Pasal 604-607 RKUHP tentang tindak pidana korupsi. Pasal tentang pidana
korupsi berdasarkan draft RKHUP justru memilki hukuman yang lebih ringan dari pada
pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Korupsi. Misalnya pasal 604 RKUHP per 28 Agustus 2019, mengenai Pasal 604 RKUHP
tentang perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman

4
ICJR.2019. Pasal Karet Contempt of Court Dalam RKUHP Ancaman Baru Reformasi Peradilan dan
Demokrasi. https://icjr.or.id/pasal-karet-contempt-of-court-dalam-rkuhp-ancaman-baru-reformasi-
peradilan-dan-demokrasi/ (diakses 16 September 2019)
hukuman pidana minimal selama dua tahun penjara dengan denda 10 juta rupiah. Padahal
dalam pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tindakan serupa mendapatkan
hukuman paling singkat empat tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara dengan
denda paling sedikit Rp200 juta.5 Lebih jauh, ketentuan pidana yang berbeda dalam dua
undang-undang akan menimbulkan kebingungan dan ambiguitas dalam penegakan
hukum. Hal ini juga berpotensi membuka celah transaksional atau praktik korupsi dagang
pasal antara penegak hukum dengan tersangka atau terdakwa. Selain itu dengan
masuknya korupsi pada pasal-pasal RKUHP akan mengurangi bobot kejahatan korupsi
yang seharusnya merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan luar
biasa seperti korupsi, terorisme dsb sudah diatur dalam undang-undang khusus.
Sebagaimana BEM KM tuliskan dalam analisis permasalahan revisi UU KPK, BEM
KM juga melihat RKUHP merupakan hukum yang bersifat represif. Suatu produk hukum
dapat dikategorikan represif atau responsif dengan beberapa tolak ukur diantaranya dari
proses pembuatan, isi dan bentuk, dan cakupan isi hukum. Proses pembuatan hukum
represif cenderung didominasi oleh lembaga legislator sedangkan hukum responsif lebih
banyak melibatkan masyarakat secara luas (partisipatif). Dari segi isi dan bentuk, hukum
represif memberi justifikasi bagi kehendak pemerintah dan bersifat posivistik-
intrumentalistik sedangkan hukum responsif berasal dari kehendak dan aspirasi umum
(aspiratif). Dari segi cakupan isi hukum, hukum represif cenderung memuat hal-hal yang
ambigu sedangkan hukum responsif mengatur secara lebih detail (presisi).6 Berdasarkan
penjelasan di atas, diketahui bahwa RKUHP yang hari ini mendapat banyak penolakan
dari publik, tidak melibatkan lintas disiplin dalam pembahasan, dan mengandung banyak
pasal karet, jauh dari tolak ukur hukum responsif dan cenderung bersifat represif.
Oleh karena itu, BEM KM UGM bersama Aliansi Reformasi KUHP Yogyakarta
mendorong agar Pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan ulang rencana
pengesahan RKUHP yang secara nyata berpotensi menimbulkan banyak masalah baru
sebagaimana telah dijabarkan di atas. Disisi lain, berikut rekomendasi langkah-langkah

5
BBC, 2019, RKUHP: Hukuman koruptor makin enteng, 'korupsi makin marak',
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49589230 (Diakses 16 September 2019).
6 Husein, W.,2008, Hukum, politik, & kepentingan. Yogyakarta: LaksBang.
yang dapat diambil Pemerintah dalam melakukan pembaharuan hukum pidana nasional
adalah sebagai berikut:
1. Melakukan penerjemahan secara resmi terhadap KUHP yang berlaku saat ini.
Mengevaluasi naskah KUHP yang telah diterjemahkan secara resmi untuk
memilah ketentuan mana yang dapat diprioritaskan untuk diubah atau dihapus;
dan
2. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, melakukan pembahasan revisi KUHP secara
parsial terhadap ketentuan-ketentuan yang dianggap prioritas dengan melibatkan
ahli-ahli pada seluruh bidang terkait termasuk ahli kesehatan dan mengadopsi
pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy)
3. Menghentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak
permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial;
4. Menolak RKUHP dijadikan sebagai alat dagangan politik termasuk menjadikan
RKUHP sebagai seolah “maha karya” Pemerintah dan DPR saat ini untuk
dipaksakan pengesahannya.

Tertanda,
Presiden Mahasiswa BEM KM UGM
M.Atiatul Muqtadir (082169925177)

Anda mungkin juga menyukai