Tugas
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Dosen :
Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga
penulis dapat mengerjakan tugas, yang merupakan salah satu tugas guna memperoleh gelar
Magister Hukum pada program Pascasarjana Universitas Jayabaya, bahan penyusunan Tugas ini
berdasarkan hasil penelitian dan kajian perUndang-undangan yang berkaitan dengan judul yang
dan disahkan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rayak Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Agar setiap
2022 diundangkan pada tanggal 9 Mei 2022 oleh Menteri Hukum dan HAM pada lembaran
Menimbang bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelindungan dari kekerasan dan
berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengingat bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta
yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan,
pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, belum memenuhi kebutuhan hak korban Tindak
Pidana Kekerasan Seksual, serta belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 20, Pasal 21,
dan Pasal 28G ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dasar
hukum yang menjadi acuan tersebut adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang
Dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden
Kekerasan Seksual.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual. Perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada alinea keempat menyatakan
bahwa tujuan bernegara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini harus dimaknai sebagai perlindungan
yang komprehensif bagi seluruh warga negara yang selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal di
dalam batang tubuh UUD 1945. Dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Perlindungan yang
dimaksud dalam tujuan nasional tersebut harus diberikan kepada seluruh warga negara tanpa
terkecuali.
Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, negara harus hadir dengan memberikan
perlindungan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali untuk memenuhi hak-hak
Beberapa hak konstitusional yang dimiliki oleh warga negara, yaitu hak atas hidup, hak
bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Hak ini merupakan hak yang penting untuk
diimplementasikan. Pemenuhan hak ini juga berhubungan dengan hak konstitusional lainnya,
yaitu hak atas perlindungan dan hak atas keadilan yang penting untuk ditekankan
pelaksanaannya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Korban adalah orang yang
mengalami penderitaan frsik, mental, kerugian ekonomi, dan atau kerugian sosial yang
B. IDENTIFIKASI MASALAH
banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum, sehingga pelaku tidak dapat
dijerat dan kekerasan seksual terus terjadi. Keterbatasan ini sangat memprihatinkan, karena
tujuan UUD 1945 yakni memberikan perlindungan bagi seluruh warga negara belum tercapai.
Bahwa Undang-undang TPKS merupakan landasan yang utuh, adil, dan formil bagi para
korban kekerasan seksual. Dengan kata lain, Undang-undang ini mampu memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual. Undang-undang yang sudah
melewati perjalanan panjang sejak digagas 6 tahun lalu itu, hadir untuk berpihak dan melindungi
korban serta memberikan payung hukum bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus
kekerasan seksual. Ada 9 tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Undang-Undang
tersebut:
3. Pemaksaan kontrasepsi.
4. Pemaksaan sterilisasi.
5. Pemaksaan perkawinan.
6. Penyiksaan seksual.
7. Eksploitasi seksual.
8. Perbudakan seksual.
Masing masing jenis kekerasan seksual tersebut mengatur hukuman yang berbeda-beda, dari
jerat penjara, hingga denda mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan pelaku tindak pidana
kekerasan seksual tertentu bisa dihukum membayar restitusi (ganti rugi pada korban), hak
asuhnya dicabut, identitasnya diumumkan, dan kekayaannya dirampas. Dalam pembahasan ini
akan kita kaji mengenai sedikit di antara substansi UU TPKS yang ada. Setiap perilaku
pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksual dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa
setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan
kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan
keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual non fisik. Hukuman yang dijatuhkan pun
juga tidak main-main, yakni pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 10 juta. Melindungi korban revenge porn, dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS,
disebutkan ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS yakni
pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan
dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Dengan adanya UU TPKS ini, diharapkan
korban revenge porn dilindungi oleh hukum. Pemaksaan seksual, dalam Pasal 6 menegaskan
hukuman bagi pelaku yakni pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda Rp 200
juta. Pemaksaan perkawinan, tertuang di dalam Pasal 10 UU TPKS yang berbunyi “setiap orang
secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang
lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.”
Ancaman pidana bagi pelaku yakni pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 200 juta. Sanksi lain pidana. Dalam Pasal 11, dijelaskan bahwa selain pidana
penjara dan pidana denda, pelaku TPKS dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku
atau pihak ketiga berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas
kerugian material atau immaterial yang diderita Korban atau ahli warisnya. Korporasi
yang melakukan TPKS bisa dikenai pidana dan denda. Pasal 13 menegaskan bahwa pihak
korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2
1. Pembayaran Restitusi
6. Pembubaran korporasi
Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sudah cukup menentukan terdakwa. Dalam Pasal
20, disebutkan pelaporan kasus cukup dengan keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan 1
alat bukti yang sah sudah dapat menentukan seseorang menjadi terdakwa. Alat bukti yang
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
6. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur
Korban berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Pada Pasal 24, disebutkan, korban
TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Korban TPKS berhak mendapatkan
pendampingan. Dalam Pasal 27 sampai Pasal 29, korban atau setiap orang yang mengetahui atau
menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD PPAD, atau lembaga
penyedia layanan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Nantinya,
UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan pendampingan dan layanan
yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepada kepolisian. Tidak ada restorative
justice. Penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa menggunakan
pendekatan restorative justice karena dinilai dapat menghambat proses hukum kekerasan
seksual. Oleh karenanya diharapkan penyelesaian kasus tindak pidana seksual harus benar-benar
Menetapkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai usul inisiatif dari DPR RI
pada Sidang Paripurna DPR RI yang diselenggarakan pada hari Selasa, 18 Januari 2022.
Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang pertama kali
diusulkan oleh komnas perempuan pada tahun 2012 ini resmi disahkan menjadi Undang-undang
(UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa, 12 April 2022. Dengan
disahkannya UU TPKS ini akan menjadi perlindungan atau payung dan memberikan keadilan
serta kepastian hukum bagi para korban kekerasan seksual. Selain itu, penetapan UU TPKS
menunjukkan komitmen DPR RI telah sejalan dengan komitmen Presiden Republik Indonesia,
Joko Widodo pada 5 Januari 2022. Namun, walaupun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (UU TPKS) telah resmi disahkan, tetapi penerapan Undang-Undang ini perlu didukung
dengan pemahaman para penegak hukum agar penerapanya efektif. Pasal-pasal dalam undang-
undang tersebut perlu dipahami lebih lanjut dan secara utuh serta diperlukan langkah sosialisasi
juga dengan menyeluruh. Dengan demikian, setelah pengesahan RUU TPKS (Rancangan
harus dilakukan tindak lanjut untuk memastikan agar Undang-Undang tersebut dapat efektif
seksual.
Sarana yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengatyran, jangkauan, dan arah
pengaturan penerapan Undang-Undang ini perlu didukung dengan pemahaman para penegak
hukum agar penerapanya efektif. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut perlu dipahami
lebih lanjut dan secara utuh serta diperlukan langkah sosialisasi juga dengan menyeluruh.
Dengan demikian, setelah pengesahan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual) menjadi undang-undang dilakukan, maka harus dilakukan tindak lanjut
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut denga isu
sudut pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari
c. Pendekatan analitis yaitu analisis terhadap bahan hukum untuk mengetahui makna yang
secara konsepsional.
A. KESIMPULAN
Korban berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Pada Pasal 24 disebutkan,
korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Korban TPKS berhak
mendapatkan pendampingan. Dalam Pasal 27 sampai Pasal 29, korban atau setiap orang yang
mengetahui atau menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD
PPAD, atau lembaga penyedia layanan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian
perkara. Nantinya, UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan
pendampingan dan layanan yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepada kepolisian.
Tidak ada restorative justice. Penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan
bisa menggunakan pendekatan restorative justice karena dinilai dapat menghambat proses
hukum kekerasan seksual. Oleh karenanya diharapkan penyelesaian kasus tindak pidana seksual
harus benar-benar sampai pada vonis hukuman oleh hakim dan pengadilan.
B. SARAN
Sehingga selalu muncul permasalahan dan sengketa terkait dengan perlindungan korban. Oleh
sebab itu, perlu kiranya pemerintah selaku pemangku kebijkan untuk selalu mensosialisasikan
terhadap masyarakat mengenai Undang-undang yang mengaturnya, agar pelaksanaan dan
perlindungan korban kekerasan seksual kedepannya sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
Guna terciptanya kepastian hukum bagi para korban, pemerintah dalam hal ini lembaga
legislatif perlu menegaskan Undang- undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang lebih
relevan dengan perkembangan masyarakat, sehingga korban yang dirugikan dapat kepastian
hukum.