Anda di halaman 1dari 13

MEMBEDAH UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA

KEKERASAN SEKSUAL (TPSK)

Tugas

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

Dosen :

Dr. Hj FURCONY PUTRI SYAKURA, S.H., M.H., M.Kn.

Oleh:

MOCH ANDRE YOLANDA


2022010261034

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga

penulis dapat mengerjakan tugas, yang merupakan salah satu tugas guna memperoleh gelar

Magister Hukum pada program Pascasarjana Universitas Jayabaya, bahan penyusunan Tugas ini

berdasarkan hasil penelitian dan kajian perUndang-undangan yang berkaitan dengan judul yang

diteliti oleh penulis yaitu tentang “MEMBEDAH UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK

PIDANA KEKERASAN SEKSUAL (TPSK)”.

Peraturan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual penting untuk diterapkan

dan disahkan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini persetujuan bersama Dewan

Perwakilan Rayak Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Agar setiap

orang mengetahui perihal Undang-undang tersebut, maka Undang-undang Nomor 12 Tahun

2022 diundangkan pada tanggal 9 Mei 2022 oleh Menteri Hukum dan HAM pada lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 120.

Menimbang bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelindungan dari kekerasan dan

berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia

sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mengingat bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta

mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat bahwa peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan,

pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, belum memenuhi kebutuhan hak korban Tindak

Pidana Kekerasan Seksual, serta belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 20, Pasal 21,

dan Pasal 28G ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dasar

hukum yang menjadi acuan tersebut adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang

Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden

Republik Indonesia memutuskan dan menetapkan Undang-undang Tentang Tindak Pidana

Kekerasan Seksual.

Jakarta, 5 April 2023


Penulis,

Moch Andre Yolanda

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak

pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak

Pidana Kekerasan Seksual. Perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pembukaan Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada alinea keempat menyatakan

bahwa tujuan bernegara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini harus dimaknai sebagai perlindungan

yang komprehensif bagi seluruh warga negara yang selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal di

dalam batang tubuh UUD 1945. Dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat

martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Perlindungan yang

dimaksud dalam tujuan nasional tersebut harus diberikan kepada seluruh warga negara tanpa

terkecuali.

Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, negara harus hadir dengan memberikan

perlindungan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali untuk memenuhi hak-hak

konstitusionalnya yang telah diatur dalam UUD 1945.

Beberapa hak konstitusional yang dimiliki oleh warga negara, yaitu hak atas hidup, hak

bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Hak ini merupakan hak yang penting untuk

diimplementasikan. Pemenuhan hak ini juga berhubungan dengan hak konstitusional lainnya,
yaitu hak atas perlindungan dan hak atas keadilan yang penting untuk ditekankan

pelaksanaannya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Korban adalah orang yang

mengalami penderitaan frsik, mental, kerugian ekonomi, dan atau kerugian sosial yang

diakibatkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP juga menyebabkan

banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum, sehingga pelaku tidak dapat

dijerat dan kekerasan seksual terus terjadi. Keterbatasan ini sangat memprihatinkan, karena

tujuan UUD 1945 yakni memberikan perlindungan bagi seluruh warga negara belum tercapai.

Bahwa Undang-undang TPKS merupakan landasan yang utuh, adil, dan formil bagi para

korban kekerasan seksual. Dengan kata lain, Undang-undang ini mampu memberikan kepastian

hukum kepada masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual. Undang-undang yang sudah

melewati perjalanan panjang sejak digagas 6 tahun lalu itu, hadir untuk berpihak dan melindungi

korban serta memberikan payung hukum bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus

kekerasan seksual. Ada 9 tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Undang-Undang

tersebut:

1. Pelecehan seksual non fisik.

2. Pelecehan seksual fisik.

3. Pemaksaan kontrasepsi.

4. Pemaksaan sterilisasi.

5. Pemaksaan perkawinan.
6. Penyiksaan seksual.

7. Eksploitasi seksual.

8. Perbudakan seksual.

9. Kekerasan seksual berbasis elektronik

Masing masing jenis kekerasan seksual tersebut mengatur hukuman yang berbeda-beda, dari

jerat penjara, hingga denda mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan pelaku tindak pidana

kekerasan seksual tertentu bisa dihukum membayar restitusi (ganti rugi pada korban), hak

asuhnya dicabut, identitasnya diumumkan, dan kekayaannya dirampas. Dalam pembahasan ini

akan kita kaji mengenai sedikit di antara substansi UU TPKS yang ada. Setiap perilaku

pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksual dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa

setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan

kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan

keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual non fisik. Hukuman yang dijatuhkan pun

juga tidak main-main, yakni pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling

banyak Rp 10 juta. Melindungi korban revenge porn, dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS,

disebutkan ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS yakni

pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan

sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual,

dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Dengan adanya UU TPKS ini, diharapkan

korban revenge porn dilindungi oleh hukum. Pemaksaan seksual, dalam Pasal 6 menegaskan

hukuman bagi pelaku yakni pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda Rp 200

juta. Pemaksaan perkawinan, tertuang di dalam Pasal 10 UU TPKS yang berbunyi “setiap orang

secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang
lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.”

Ancaman pidana bagi pelaku yakni pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda

paling banyak Rp 200 juta. Sanksi lain pidana. Dalam Pasal 11, dijelaskan bahwa selain pidana

penjara dan pidana denda, pelaku TPKS dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

 Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan

 Pengumuman identitas pelaku

 Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau pembayaran

restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku

atau pihak ketiga berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas

kerugian material atau immaterial yang diderita Korban atau ahli warisnya. Korporasi

yang melakukan TPKS bisa dikenai pidana dan denda. Pasal 13 menegaskan bahwa pihak

korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2

miliar. Selain itu, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

1. Pembayaran Restitusi

2. Pembiayaan pelatihan kerja

3. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari TPKS

4. Pencabutan izin tertentu

5. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi

6. Pembubaran korporasi

Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sudah cukup menentukan terdakwa. Dalam Pasal

20, disebutkan pelaporan kasus cukup dengan keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan 1
alat bukti yang sah sudah dapat menentukan seseorang menjadi terdakwa. Alat bukti yang

sah dalam pembuktian TPKS yakni:

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

6. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

Korban berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Pada Pasal 24, disebutkan, korban

TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Korban TPKS berhak mendapatkan

pendampingan. Dalam Pasal 27 sampai Pasal 29, korban atau setiap orang yang mengetahui atau

menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD PPAD, atau lembaga

penyedia layanan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Nantinya,

UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan pendampingan dan layanan

yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepada kepolisian. Tidak ada restorative

justice. Penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa menggunakan

pendekatan restorative justice karena dinilai dapat menghambat proses hukum kekerasan

seksual. Oleh karenanya diharapkan penyelesaian kasus tindak pidana seksual harus benar-benar

sampai pada vonis hukuman oleh hakim dan pengadilan.

Menetapkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai usul inisiatif dari DPR RI

pada Sidang Paripurna DPR RI yang diselenggarakan pada hari Selasa, 18 Januari 2022.
Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang pertama kali

diusulkan oleh komnas perempuan pada tahun 2012 ini resmi disahkan menjadi Undang-undang

(UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa, 12 April 2022. Dengan

disahkannya UU TPKS ini akan menjadi perlindungan atau payung dan memberikan keadilan

serta kepastian hukum bagi para korban kekerasan seksual. Selain itu, penetapan UU TPKS

menunjukkan komitmen DPR RI telah sejalan dengan komitmen Presiden Republik Indonesia,

Joko Widodo pada 5 Januari 2022. Namun, walaupun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan

Seksual (UU TPKS) telah resmi disahkan, tetapi penerapan Undang-Undang ini perlu didukung

dengan pemahaman para penegak hukum agar penerapanya efektif. Pasal-pasal dalam undang-

undang tersebut perlu dipahami lebih lanjut dan secara utuh serta diperlukan langkah sosialisasi

juga dengan menyeluruh. Dengan demikian, setelah pengesahan RUU TPKS (Rancangan

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi undang-undang dilakukan, maka

harus dilakukan tindak lanjut untuk memastikan agar Undang-Undang tersebut dapat efektif

dalam pengimplementasiannya dan menjadi kepastian hukum bagi korban-korban kekerasan

seksual.

Sarana yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengatyran, jangkauan, dan arah

pengaturan penerapan Undang-Undang ini perlu didukung dengan pemahaman para penegak

hukum agar penerapanya efektif. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut perlu dipahami

lebih lanjut dan secara utuh serta diperlukan langkah sosialisasi juga dengan menyeluruh.

Dengan demikian, setelah pengesahan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana

Kekerasan Seksual) menjadi undang-undang dilakukan, maka harus dilakukan tindak lanjut

untuk memastikan agar Undang-Undang tersebut dapat efektif dalam pengimplementasiannya

dan menjadi kepastian hukum bagi korban-korban kekerasan seksual.


C. METODE

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Pendekatan perUndang-undangan yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah

semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut denga isu

hukum yang ditangani, dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu

memahami hirarki peraturan perundang-undangan.

b. Pendekatan konseptual yaitu pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan

sudut pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari

aspek konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya.

c. Pendekatan analitis yaitu analisis terhadap bahan hukum untuk mengetahui makna yang

dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan

secara konsepsional.

d. Sumber bahan hukum yaitu Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.


PENUTUP

A. KESIMPULAN

Korban berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Pada Pasal 24 disebutkan,

korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Korban TPKS berhak

mendapatkan pendampingan. Dalam Pasal 27 sampai Pasal 29, korban atau setiap orang yang

mengetahui atau menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD

PPAD, atau lembaga penyedia layanan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian

perkara. Nantinya, UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan

pendampingan dan layanan yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepada kepolisian.

Tidak ada restorative justice. Penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan

bisa menggunakan pendekatan restorative justice karena dinilai dapat menghambat proses

hukum kekerasan seksual. Oleh karenanya diharapkan penyelesaian kasus tindak pidana seksual

harus benar-benar sampai pada vonis hukuman oleh hakim dan pengadilan.

B. SARAN

Dalam pelaksanaan dan penerapan peraturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di

masyarakat, tidaklah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga selalu muncul permasalahan dan sengketa terkait dengan perlindungan korban. Oleh

sebab itu, perlu kiranya pemerintah selaku pemangku kebijkan untuk selalu mensosialisasikan
terhadap masyarakat mengenai Undang-undang yang mengaturnya, agar pelaksanaan dan

perlindungan korban kekerasan seksual kedepannya sesuai dengan hukum positif yang berlaku.

Guna terciptanya kepastian hukum bagi para korban, pemerintah dalam hal ini lembaga

legislatif perlu menegaskan Undang- undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang lebih

relevan dengan perkembangan masyarakat, sehingga korban yang dirugikan dapat kepastian

hukum.

Anda mungkin juga menyukai