PENDAHULUAN
Hukum merupakan suatu peraturan yang bersifat memaksa yang berfungsi untuk
mengatur dan melindungi kepentingan masyarakat. Menurut Prof. Mochtar
Kusumaatmadja adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas yang mengatur pergaulan
hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara ketertiban yang meliputi
lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya kaedah itu sebagai
kenyataan dalam masyarakat.1 Hukum juga memiliki peranan yang sangat penting untuk
melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah atau kelompok
yang berkuasa. Hukum memberikan batasan-batasan yang jelas dan tegas mengenai hak dan
kewajiban setiap warga negara, serta memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang
merasa hak-haknya dilanggar oleh pihak lain, termasuk oleh pemerintah atau pejabat publik.
Sebagian besar negara modern memiliki sistem hukum yang berlaku bagi semua
warga negaranya, termasuk pemerintah dan pejabat publik. Hal ini berarti bahwa semua
warga negara tunduk pada hukum dan diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa kecuali.
Dalam sistem hukum modern, prinsip-prinsip seperti supremasi hukum (rule of law) dan
independensi kekuasaan kehakiman (separation of powers) dijunjung tinggi sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan hukum dan penegakan hukum. Supremasi hukum menegaskan
bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dalam negara dan semua orang, termasuk
pemerintah dan pejabat publik, harus tunduk pada hukum. Namun, dalam prakteknya hukum
terkadang dijadikan suatu alat untuk mempertahankan suatu kekuasaan atau mengontrol
masyarakat itu sendiri, parktikini umumnya dikenal sebagai Autocratic Legalism.
Autocratic Legalism adalah suatu bentuk pemerintahan otoriter yang menggunakan
hukum dan peraturan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kontrol pemerintah
atas masyarakat, melalui cara-cara tersembunyi dan bertindak atau berlindung di balik (atas
nama) hukum.2 Dalam autocratic legalism, pemerintah menegakkan hukum secara keras dan
tegas, dengan mengabaikan hak asasi manusia, kebebasan sipil, dan prinsip-prinsip
1
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung : Armico, 1985), hlm 22
2
Kim Lane Scheppele, “Autocratic Legalism,” Chicago Law Review 85 (2018), hlm. 574.
demokrasi.3 Pemerintah autocratic legalism biasanya memiliki kekuasaan yang sangat besar
dan mengendalikan lembaga-lembaga negara seperti kepolisian, militer, dan pengadilan.
Autocratic legalism ini dinilai lebih berbahaya daripada otoritarianisme seperti masa orde
baru, hal ini dikarenakan karena yang terjadi saat ini dianggap baik-baik saja. tak mudah
dideteksi. Di permukaan, situasi hukum dan politik bisa tampak baik-baik saja.4
Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja (UU CK) pada tahun 2020 silam, meskipun terdapat penolakan
yang keras dari masyarakat indonesia karena proses legislasi yang dianggap terlalu cepat dan
tidak melibatkan masyarakat secara luas. UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada Oktober
2020 hanya dalam waktu sekitar sebulan sejak rancangan undang-undang tersebut diajukan,
sehingga masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses konsultasi dan diskusi mengenai
isi dari undang-undang dan muncul perasaan bahwa UU Cipta Kerja 2020 dibuat tanpa
memperhatikan aspirasi masyarakat.5 Selain itu terdapat juga pasal-pasal kontroversial yang
diatur didalamnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU -XVIII/2020 yang
dibacakan pada 25 November 2021, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Putusan inkonstitusional bersyarat terhadap UU CK
diberikan oleh MK karena cacat secara formil dan cacat prosedur. Selain itu, MK pun
memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang
bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan
pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja.6 Berdasarkan putusan tersebut, MK telah memerintahkan pembentuk undang-undang
untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan batas waktu hingga 25 November
2023. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja dinyatakan
inkonstitusional secara permanen. Alih-alih melaksanakan perintah konstitusi tersebut,
pemerintah justru melecehkan dan melakukan tindakan pembangkangan terhadap konstitusi
itu sendiri dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perpu
ck).
3
Ady Thea DA, “3 Indikator ‘Autocratic Legalism’ dalam Kebijakan Negara”, diakses dari
https://www.hukumonline.com/berita/a/3-indikator-autocratic-legalism-dalam-kebijakan-negara-lt6102bdb6645
ee/?page=2, pada 13 Maret 2023.
4
Ibid.
5
PSHK, “Dua masalah hukum dalam penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja”, diakses dari
https://www.pshk.or.id/rr/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja/, pada
13 Maret 2023.
6
Nano Tresna, “MK: Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki dalam Jangka Waktu Dua
Tahun”, diakses dari https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816, pada 13 Maret 2023.
Penerbitan Perpu CK merupakan preseden buruk terbaru yang menunjukan kelihaian
pemerintah Joko Widodo dalam mengakali hukum. Terlebih Perpu ini diterbitkan pada masa
resesnya DPR. Padahal menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) Pasal 22 ayat (2) telah
menegaskan bahwa Perpu yang dikeluarkan presiden harus segera mendapatkan persetujuan
DPR agar menjadi Undang-Undang atau ditolak yang menyebabkan harus dicabutnya Perpu.
Contoh praktik autocratic legalism lainnya adalah ketika pemerintah merespons Putusan MK
yang menyatakan metode omnibus tak dikenal dalam sistem pembuatan hukum nasional,
pemerintah dan DPR bergegas merevisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3). Alih-alih mengoreksi kekeliruan, revisi itu justru Melegalkan
UU Cipta Kerja yang Inkonstitusional. Berlindung di balik proses hukum, pemerintah Jokowi
telah menerapkan praktik autocratic legalism. Parahnya gejala legalisme otokratik tak mudah
dideteksi. Di permukaan, situasi hukum dan politik bisa tampak baik-baik saja.
PEMBAHASAN
Adanya jalan pintas yang diambil oleh presiden dalam menghilangkan status
inkonstitusional bersyarat pada UU Ciptaker ini sudah seharusnya ditolak oleh DPR.
Pernyataan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahwa Ketua DPR telah
mengetahui terkait penerbitan Perppu Ciptaker karena Presiden telah berkonsultasi
sebelum menerbitkan Perppu ini tidak dapat dianggap telah memenuhi salah satu
amanat MK yang memerintahkan adanya “Meaningful participation” dalam perbaikan
UU Ciptaker sehingga seharusnya DPR berusaha memperbaiki kecacatan formil dari
UU Ciptaker sesuai dengan amanat MK dan menolak Perppu Ciptaker ini.
Pasal 22 UUD 1945 memberikan kuasa tak terbatas kepada Presiden untuk
menetapkan Perppu sebagai upaya menghadapi keadaan genting yang memaksa.
Penilaian terhadap suatu keadaan genting memaksa ini menjadi hak subjektif Presiden
sehingga besar kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan. Namun, demi
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan agar dilaksanakan sesuai ajaran
konstitusi serta prinsip negara hukum, dalam upaya memperoleh makna “kegentingan
yang memaksa”, MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-VII/2009 tertanggal 8 Februari 2010 memberikan tiga poin yang
mencerminkan kondisi sebagai “kegentingan memaksa”:
Nyatanya tidak ada relevansi antara ketiga poin diatas dengan dalil-dalil
pemerintah mengeluarkan Perppu Ciptaker. Pertama, Perppu Ciptaker bukanlah solusi
yang selaras terhadap dampak Perang Ukraina-Rusia yang digadang-gadang akan
menimbulkan inflasi besar di Indonesia yang dianggap sebagai ancaman. Padahal,
apabila dibandingkan dengan negara negara lain, saat ini inflasi di Indonesia relatif
terkendali. Selain itu, terbitnya Perppu Ciptaker akan memunculkan riak masa yang
berpotensi kembali menggugat produk hukum tersebut di MK sehingga terjadi
ketidakpastian hukum terhadap Investor. Hal tersebut justru akan mengurangi
kepercayaan investor terhadap negara. Kedua, ditengah keadaan yang dianggap
sedang “genting” oleh pemerintah Indonesia, mega proyek pembangunan, seperti IKN
dan kereta cepat yang membutuhkan dana raksasa, tetapi tidak memiliki dampak
langsung terhadap perbaikan inflasi dan kesejahteraan ekonomi Indonesia tetap
dijalankan, lalu, apa sebenarnya keadaan yang mendesak penerbitan Perppu Ciptaker?
Ketiga, mengenai kekosongan hukum. Sejatinya, putusan MK No.
91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat,
klausul dalam UU Ciptaker kedepannya akan berlaku, apabila unsur meaningful
participation telah diperbaiki. Selama klausul UU ciptaker ditangguhkan,
perekonomian nasional masih bisa berjalan normal dengan UU yang sudah ada
sebelumnya.
Apabila kita menyelisik lebih dalam, maka kita akan menemukan ‘udang di
balik batu’ atas diterbitkannya Perppu Cipta Kerja. Ada maksud terselubung yang
ingin dicapai oleh pemerintah. Khawatir, dengan penerbitan Perppu Cipta Kerja,
sebenarnya pemerintah ingin melakukan test of the water (cek ombak) untuk melihat
bagaimana reaksi publik dalam menanggapi kebijakan ini. Apabila reaksi publik
ternyata dapat dikendalikan, maka Perppu-Perppu problematis berikutnya akan
menyusul untuk diterbitkan. Tentu saja hal ini akan menjadi kesempatan yang sangat
menguntungkan bagi penguasa untuk memerintah secara otoriter. Apabila Perppu
Cipta Kerja berhasil disahkan, maka akan menjadi preseden buruk untuk kehidupan
berdemokrasi di tanah air tercinta ini. Kendati demikian, kita sebagai masyarakat
harus selalu waspada terhadap siasat penguasa yang ingin mengebiri demokrasi yang
sudah diperjuangkan secara mati-matian oleh para pendahulu kita.
Politik hukum UU Cipta Kerja mulanya berawal dari political will pemerintah
untuk menyederhanakan regulasi dan menderegulasi pengaturan yang menghambat
penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Namun dalam muatannya, undang-undang ini justru memamerkan secara gamblang
bahwa demi alasan menggelar karpet merah bagi investor, ada sekian banyak hak
asasi yang harus diterabas dan diabaikan oleh negara. Selain itu, pembentuk UU Cipta
Kerja juga secara yakin memposisikan hukum ketenagakerjaan dan hukum
lingkungan yang sebelumnya diberlakukan serta beberapa aspek hak asasi adalah
bagian yang menghalangi investasi dan karena itu harus ditepikan. Dalam konteks ini,
pembentuk undang-undang telah merevisi sejumlah pasal penting nan krusial bagi
pekerja dan lingkungan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, salah satunya
UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian dimuat dalam UU Cipta Kerja.
7
Selengkapnya dapat diakses melalui
https://bisnis.tempo.co/read/1396181/faisal-basri-sebut-omnibus-law-pro-pengusaha-buat-oligarki-makin-me
ncengkeram.
Cipta Kerja yang telah dibatalkan. Tak heran jika publik beranggapan bahwa political
will yang sebenarnya mendasari lahirnya UU Cipta Kerja bukan sebatas upaya
reformasi hukum dan reformasi ekonomi semata, tetapi juga diselubungi oleh
kepentingan-kepentingan oligarki yang menggurita.
8
Sabardi, L. (2014). Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yustisia, FH UNS edisi, 88,
73.
9
Fatanen, A. (2021). Eksistensi Kewenangan Daerah dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasca diterbitkannya Undang-Undang Cipta kerja. Khazanah Hukum, 3(1), 5.
Komisi Penilaian AMDAL. Dengan dihapusnya Komisi Penilaian AMDAL
yang disederhanakan dengan tahapan Uji Kelayakan Lingkungan yang Tim
Ujinya dibentuk oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah kehilangan
wewenangnya dalam menentukan kebijakan tersebut.
3. Pasal 22 angka 12 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 34 UU PPLH
yang secara substansi menghilangkan kewenangan pemerintah daerah dalam
mengeluarkan kebijakan yang menentukan bentuk usaha atau kegiatan yang
wajib dilengkapi UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup), sebab kewenangan tersebut menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
4. Pasal 22 angka 17 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 39 UU PPLH
yang secara substansi merubah cara dalam memberikan pengumuman terhadap
Keputusan Kelayakan Lingkungan yang cara tersebut kemudian ditentukan
oleh pemerintah pusat.
5. Pasal 22 angka 19 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 55 UU PPLH
secara substansi kewenangan pemerintah daerah dalam hal menentukan bank
pemerintah dalam hal dana penjamin pemulihan fungsi lingkungan hidup dan
menetapkan pihak ketiga yang melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup
yang secara kewenangan ditegaskan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
6. Pasal 22 angka 23 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 63 UU PPLH
yang secara tegas merubah ketentuan kewenangan pemerintah daerah dalam
menentukan kebijakan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan terkait
AMDAL dan UKL-UPL. Pemerintah daerah hanya diberikan wewenang untuk
melaksanakan kebijakan saja dalam hal tersebut.
Materi muatan dalam UU Cipta Kerja, secara nyata menguatkan pola yang
mengarah pada praktik re-sentralisasi kekuasaan. Pola tersebut terbentuk melalui
aturan atau pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang mengatur penarikan urusan dari
pemerintah daerah dan instrumen persetujuan atau evaluasi oleh pemerintah pusat
yang semakin diperketat. Praktik re-sentralisasi ini sejatinya telah melanggar asas
desentralisasi dan semangat reformasi yang melahirkan ketentuan dalam konstitusi
untuk memberikan otonomi seluas-luasnya pada pemerintah daerah. Semangat
desentralisasi memiliki makna pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada
daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom). Dalam kata lain,
susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintah
pada bagian pusat dan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah untuk
menciptakan checks and balances. Naasnya, dengan adanya UU Cipta Kerja yang
memiliki pendekatan re-sentralisasi, maka nilai checks and balances pun juga terkikis.
10
Ibid, 6.
D. Pertentangan Kelas: Teori Marxisme sebagai Dasar Untuk Menganalisis
Pertentangan Kelas Serta Pengaruhnya Bagi Kelas Pekerja
Ketika revolusi industri dimulai, terjadi pergeseran alat produksi dari tanah ke
mesin sebagai alat penghasil komoditas. Secara tidak langsung proses ini juga
mengakibatkan alih profesi secara besar-besaran dari petani ke buruh pabrik.
Meskipun produksi menjadi semakin cepat dan barang yang dihasilkan semakin
beragam, peralihan ini menimbulkan permasalahan baru. Jika sebelumnya
pertentangan kelas terjadi antara petani penggarap lahan dengan tuan tanah di bawah
sistem feodalisme. Pada zaman industri pertentangan bergeser menjadi antara buruh
yang mengoperasikan mesin dengan pemodal sebagai pemilik mesin. Buruh yang
tidak memiliki alat produksi mau tidak mau menjadi sangat bergantung kepada
pemilik alat produksi, ditambah lagi dengan situasi pada masa itu dimana serikat
buruh masih belum terbentuk sehingga dapat dibilang posisi buruh sangat rentan
terhadap eksploitasi.
Sejarah gerakan perjuangan buruh lahir pada abad ke-19 sebagai dampak dari
revolusi industri. Munculnya gerakan buruh ini karena adanya pengintensifan jam
kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di pabrik. Alasan-alasan tersebut
menjadi cikal bakal adanya pergerakan dari kalangan proletar terhadap kalangan
borjuis. Hadirnya orang-orang yang memiliki pemikiran kritis seperti Peter McGuire
menjadi pemantik dan penggagas ide bagi para kalangan proletar untuk menjalankan
aksi protes. Gerakan yang dilakukan kalangan proletar berupa aksi mogok kerja dan
demonstrasi besar-besaran, di Amerika sendiri banyak terjadi aksi para buruh yang
memperjuangkan hak-hak mereka, tetapi ada juga dari mereka yang ditembaki oleh
aparat kepolisian hingga para pemimpin aksi dijatuhi hukuman mati. Pergerakan
buruh ini menyebar mulai dari negara-negara bagian di Amerika hingga
mancanegara.
Pergerakan buruh di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan pada abad
ke-19. Pada masa ini banyak pengusaha yang mengelola industri, sementara kaum
bumiputera disiapkan sebagai buruh. Aksi pergerakan terjadi di berbagai daerah
karena para buruh kehilangan hak-haknya. Pada era Orde Lama, Bung Karno cukup
menaruh perhatian pada kaum buruh, bahkan pemerintahannya menetapkan 1 Mei
sebagai hari libur nasional, seperti yang berlaku saat ini. Sayangnya di era Orde Baru,
Soeharto menekan habis gerakan buruh, ia hanya mengizinkan satu organisasi buruh
saja, yaitu Federasi Serikat Pekerja Indonesia. Setelah Soeharto turun dari jabatannya,
gerakan buruh kembali bermunculan. Saat pemilu pertama di era reformasi lahir, lahir
beberapa partai dari kaum buruh, tetapi karena partai dari kaum buruh tak berhasil
memperoleh suara sehingga mereka tidak dapat kursi di DPR dan tidak bisa ikut
dalam pemilu berikutnya. Pada saat ini, hak-hak buruh pun masih belum terpenuhi.
Walaupun tanggal 1 Mei telah ditetapkan negara sebagai hari libur nasional dan
sebagai momentum para buruh untuk menyuarakan melalui berbagai gerakan aksi,
tetap saja masih ada ketimpangan hak yang dirasakan para buruh. Terlebih lagi dengan
adanya UU cipta kerja yang secara tiba-tiba disahkan membuat masyarakat terutama
para buruh menyuarakan penolakan atas UU cipta kerja ini.
Hak dan kesejahteraan kaum buruh merupakan persoalan yang serius untuk
diperjuangkan. Dikutip dari jurnal Unrika mengenai studi hak-hak buruh, budaya
kerja di Indonesia merupakan salah satu penyebab kaum buruh tidak sepenuhnya
mendapatkan hak mereka, seperti upah yang tidak sesuai, kurangnya perlindungan
bagi kelompok migran, dan lain sebagainya. Indonesia merupakan negara yang belum
sepenuhnya mampu memberikan kehidupan dan lapangan pekerjaan yang layak bagi
masyarakatnya.
Terdapat satu kasus antara buruh driver Gojek dengan PT Gojek. Ada 3
tuntutan para buruh dalam menyesuaikan keputusan PT Gojek dengan hak-haknya,
yaitu pengembalian tarif ke harga semula, diangkat menjadi karyawan, dan
transparansi dana. Kasus ini memperjelas lagi bahwa budaya kerja di Indonesia
banyak menuntut buruh untuk menyelesaikan pekerjaan tapi perusahaan maupun
pemerintah tidak memenuhi hak para buruh. Bagaimana ingin meningkatkan kualitas
SDM jika budaya kerjanya eksploitatif?
G. Kilas Balik Polemik Kebijakan ASO dan Kaitannya dengan Perppu Cipta Kerja
Lantas bagaimana kaitannya kebijakan ASO ini dengan Perppu Cipta Kerja?
Sebagaimana yang tertera dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
pasal 60 A ayat 1-3 terdapat aturan tentang diberlakukannya perpindahan siaran
televisi analog ke digital. Tentunya, kebijakan ASO ini mempunyai banyak dampak
positif bagi kemajuan industri penyiaran dan masyarakat itu sendiri. Akan tetapi,
tentunya dalam pelaksanaan televisi digital ini perlu adanya pengawasan yang ketat
baik dari pemerintah, masyarakat, maupun penggiat industri siaran itu sendiri. Hal ini
dikarenakan banyak peluang permainan politik yang bisa dilakukan oleh industri
penyiaran.
Pemaparan diatas selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Dosen Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Arindra Karamoy tentang proses
komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi sebagai dampak kuat pada perpindahan
siaran analog ke digital. Dengan terjadinya ASO ini akan terwujud proses spasialisasi
yang membuat proses distribusi konten menjadi jauh lebih mudah dan jelas secara
pesan. Pada akhirnya akan masuk dalam proses strukturasi, yaitu stasiun TV akan
melakukan ”penyuntikan” ideologi yang dibawa oleh stasiun tersebut kepada
khalayak. Ideologi di sini misalnya pandangan politik atau perspektif terhadap suatu
kebijakan yang dimiliki oleh media tersebut (Karamoy, 2023).
H. Hilangkan Kuasa KPI atas Izin Penyiaran, AJI Kecam Perppu Cipta Kerja
Pada dasarnya, bekerja adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh
semua orang. Dengan bekerja, manusia akan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Selain itu, setiap manusia juga memiliki motivasi untuk mencapai aktualisasi diri di
dalam kehidupannya. Untuk mencapai titik aktualisasi diri, tentunya manusia perlu
memenuhi kebutuhan mendasar sehingga dapat naik ke “tingkat yang lebih tinggi”
dan mencapai aktualisasi tersebut. Hal ini didasari oleh teori Maslow’s Hierarchy of
Needs yang digagas oleh Abraham Maslow.
1. Pasal 88D ayat 2 : Upah minimum akan dihitung dengan menggunakan formula
yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks
tertentu
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), alih fungsi lahan yang
terjadi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada awal tahun 1990 terjadi
alih fungsi lahan seluas 30.000 ha, kembali mengalami peningkatan pada tahun 2011
seluas 110.000 ha dan di tahun terakhir pada 2019 alih fungsi lahan pertanian pangan
kembali meningkat drastis menjadi seluas 150.000 ha. Hal itu, membuktikan bahwa
alih fungsi lahan masih tetap terjadi walaupun sudah ada regulasi yang mengatur
mengenai hal tersebut.
AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. (PP
27 Th.1999). AMDAL bertujuan untuk menjaga keserasian hubungan antara berbagai
kegiatan agar dampak dapat diperkirakan sejak awal perencanaan. Dengan AMDAL,
pemrakarsa dapat menjamin bahwa usahanya bermanfaat bagi masyarakat serta aman
terhadap lingkungan. Hasil AMDAL digunakan sebagai bahan perencanaan
pembangunan wilayah, maka hasil tersebut harus menjamin hak warga masyarakat
untuk memperoleh informasi, memberi saran, pendapat dan tanggapan bahkan
memastikan keterwakilan masyarakat sebagai Anggota Komisi Penilai AMDAL.
Masyarakat yang dimaksud, berdasarkan Pasal 26 ayat 3 UU PPLH, terdiri dari
masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau masyarakat
yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
Dari pasal tersebut sudah jelas bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam
pengambilan keputusan AMDAL, namun pada tahun 2020 Perppu Cipta Kerja
menghadirkan polemik terkhusus bagi lingkungan. Aktivis lingkungan menilai UU
Cipta Kerja berpotensi melemahkan kekuatan analisis dampak lingkungan (Amdal)
yang berfungsi meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat di
sekitar aktivitas usaha. Dalam Pasal 22 poin 4 Omnibus Law Cipta Kerja, yang
berbunyi: Dokumen Amdal memuat saran, masukan serta tanggapan masyarakat
terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan
tersebut dilaksanakan. Pasal tersebut dianggap sebagai bentuk pelemahan penyusunan
AMDAL karena ada aturan yang mempersempit keterlibatan masyarakat dalam
penyusunan Amdal
Kategori masyarakat juga dihapuskan dalam Perppu Cipta Kerja. Tak ada lagi
keterlibatan pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas segala
bentuk keputusan dalam proses amdal. Penyusunan Amdal hanya melibatkan
pemrakarsa dan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan. Dengan artian, jika ingin membangun usaha di wilayah hulu maka
tidak harus melibatkan masyarakat hilir, padahal masyarakat hilir juga turut
merasakan dampak besar adanya proyek di wilayah hulu seperti limbah atau bahkan
pencemaran lingkungan secara global (nir emisi, efek rumah kaca, dll). Pelemahan
Amdal sebagai syarat investasi di sebuah wilayah dengan tujuan untuk mempermudah
perizinan yang sebelumnya bisa memakan waktu berbulan hingga bertahun-tahun.
Sangat jelas Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan oleh Pemerintah hanya
mempermudah proses investasi dan usaha, namun mengabaikan perlindungan
lingkungan hidup.
11
Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945,Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
12
Putusan MK tersebut mengatur tiga syarat agar keadaan tersebut secara objektif yaitu
kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan
UU berlaku,kebutuhan Undang-Undang agar tidak terjadi kekosongan hukum,dan
kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara pembuatan UU secara prosedur biasa
karena akan memakan waktu yang cukup lama.
terdapat beberapa indikator yang bertolak belakang dengan kegentingan ekonomi
yang harus dijawab dengan mengeluarkan perpu tersebut, sebagai berikut:
13
Dihimpun dari Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia nomor
HM.4.6/76/SET.M.EKON.3/03/2023,diakses dari ekon.go.id
https://ekon.go.id/publikasi/detail/4964/optimis-ekonomi-tetap-tumbuh-positif-di-tahun-2023-pemerintah-doron
g-pemanfaatan-bonus-demografi-dan-pengendalian-inflasi
14
Dihimpun dari Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia nomor
HM.4.64/54/SET.M.EKON.3/02/2023 diakses dari ekon.go.id :
https://ekon.go.id/publikasi/detail/4919/optimis-menghadapi-perekonomian-tahun-2023-pemerintah-terus-lakuk
an-transformasi-ekonomi
15
Menkeu: Defisit APBN 2023 Berhasil di bawah 3%Diakses dari kemenkeu.go.id:
https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Menkeu-Defisit-APBN-2022-Berhasil-Di-
Bawah-3
2. Optimalisasi Perpajakan tahun 2023
16
Dihimpun dari Siaran Pers Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan SP-38/BKF/2022 diakses dari
fiskal.kemenkeu.go.id:https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/435
17
Perencanaan Pajak Tahun 2023 dari Buku II Nota Keuangan APBN 2023
3. Perang Rusia-Ukraina bukan menjadi ancaman bagi perekonomian
nasional
N. Hilirisasi Batubara
Salah satu poin yang sangat krusial dalam Perppu Cipta kerja di bidang energi
dan lingkungan adalah paragraf 5 terkait perubahan iuran produksi atau royalti produk
hilirisasi batubara menjadi 0%. Adanya kebijakan royalti hilirisasi batubara sebesar
0% dalam Perpu Cipta Kerja dapat memicu terjadinya kerugian bagi negara, ada
beberapa indikator yang menjadi dampak kerugian negara yaitu:
19
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan bahwa
kebijakan pemberian royalti 0% ini agar bahan baku bisa menjadi lebih kompetitif, investasi bisa dilaksanakan,
tenaga kerja bisa diserap, dan mempunyai nilai kompetitif.
20
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan diakses dari
https://fiskal.kemenkeu.go.id/kajian/2014/03/28/151723695751722-kajian-evaluasi-tarif-penerimaan-negara-bu
kan-pajak-pnbp-mineral-dan-batubara
Selain itu, kehilangan potensi DBH ditengah booming harga batubara
mengakibatkan dampak signifikan. Potensi DBH seharusnya bisa menjadi
upaya terhadap pengurangan kemiskinan, stimulus pelaku usaha mikro, dan
belanja mitigasi dampak kerusakan lingkungan di daerah penghasil SDA.
Penerbitan Perpu Cipta Kerja juga menjadi kabar duka bagi para
stakeholder di sektor EBT. Perpu cipta kerja dengan insentif batu bara bertolak
belakang dari upaya menuju Net Zero Emission 2060. konsistensi yang tidak
dimiliki pemerintah mengakibatkan rasa takut stakeholder untuk berinvestasi,
padahal berdasarkan IETO target investasi energi terbarukan sepanjang lima
tahun terakhir hanya mencapai USD 1,6 miliar per tahun atau 20 persen dari
total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran 23 persen di
2025.
4. Dampak kerugian lingkungan yang dihasilkan Perpu Cipta Kerja.
Selain itu, pada pasal 162 Perpu Cipta Kerja tertera beberapa ayat yang
mengatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling
banyak Rp 100 juta bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha
pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) serta Surat Izin
Pertambangan Batuan (SIPB). Pasal ini sangat memecah kerangka perlindungan
lingkungan dan sosial. Kebijakan ini dapat berpotensi menimbulkan kerusakan
lingkungan yang lebih signifikan.
Kegiatan pertambangan sendiri sudah dikenal sebagai salah satu sektor yang
memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, seperti kerusakan habitat alami,
pencemaran air dan udara, serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Dengan sanksi
yang kurang tegas, para pemegang izin pertambangan dapat dengan leluasa merusak
lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat sekitar. Hal ini menjadi perhatian
serius bagi mereka yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan perlindungan hak
asasi manusia. Maka, penting bagi pemerintah untuk memperkuat aturan terkait
pengelolaan limbah B3 dan memberikan sanksi yang cukup tegas bagi pelanggar.
Jangan biarkan keuntungan bisnis mengalahkan keselamatan lingkungan dan
kesehatan masyarakat.
PENUTUP
Banyaknya pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja maupun Perpu Cipta Kerja,
merupakan bukti nyata kurangnya pemerintah dalam berkonsultasi dan melibatkan
masyarakat sipil dalam pembahasan penyusunanya. Bagaimana mungkin suatu
undang-undang yang memang dapat mengubah khalayak ramai hingga kehidupanya tanpa
melibatkan masyarakat itu, dari proses penyusunanya saja secara prosedural sudah tidak
dapat dibenarkan, apalagi secara substansi atau materil yang mana jika suatu undang-undang
itu mengatur kehidupan seseorang maka wajib hukumnya untuk dilibatkan dalam
pembentukanya.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, W. (2017). Hak Asasi Manusia: Studi Hak-hak Buruh di Indonesia. Dimensi Vol.6
(1) hlm. (106-125).
https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/download/528/395
Erhamwilda. (2005). Mengubah Budaya Kerja sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas
Bangsa. Mimbar Vol. XXI (4) hlm. (578-598)
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/195
Fatanen, A. (2021). Eksistensi Kewenangan Daerah dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Hukum, 3(1).
Hidayat, R. (2023, Januari). AJI: Perppu Cipta Kerja Merugikan Pekerja. hukumonline.com.
https://www.hukumonline.com/berita/a/aji--perppu-cipta-kerja-merugikan-pekerja-lt6
3c34c5ed26ad/#!
Ismail, I. (2012). Karl Marx dan Konsep Perjuangan Kelas Sosial. International Journal of
Islamic Thought, Vol.1(class struggle), 1-7.
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=23
Karamoy, A. (2023, Januari 4). Penghentian Siaran Televisi Analog dan Dampaknya.
Kompas.id.
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/03/penghentian-siaran-televisi-analog-dan
-dampaknya
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2022, Agustus 10). Batas
Akhir Penghentian Siaran TV Analog (ASO) Tetap 2 November 2022 sesuai Amanat
UU No. 11 Tahun 2020Cipta Kerja. Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia. Retrieved Maret 16, 2023, from
https://www.kominfo.go.id/content/detail/43590/siaran-pers-tentang-batas-akhir-peng
hentian-siaran-tv-analog-aso-tetap-2-november-2022-sesuai-amanat-uu-no-11-tahun-2
020-tentang-cipta-kerja/0/siaran_pers
Kumparan. (7 September 2021). Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia. Diakses pada 14 Maret
2023. dari:
https://m.kumparan.com/amp/suhari-ete/sejarah-pergerakan-buruh-indonesia-1
wU1E9Or9E5#referrer=https://www.google.com&csi=0.
Kure, E. (2022, Agustus 11). Kemenkominfo Tegaskan Penghentian Siaran ASO Sesuai
Jadwal. Investot.id.
https://investor.id/it-and-telecommunication/302824/kemenkominfo-tegaskan-penghe
ntian-siaran-aso-sesuai-jadwal
Novanto, Arya Setya. (2022). Efektivitas Undang-Undang Cipta Kerja Dalam Pembangunan
Noor, F. (2023). Perpu Cipta Kerja dan Sistem Proporsional Tertutup Cerminan Menguatnya
Oligarki. Tempo.co. Diakses dari
https://koran.tempo.co/read/opini/479344/perpu-cipta-kerja-dan-sistem-proporsional-t
ertutup-cerminan-menguatnya-oligarki pada 14 Maret 2023.
Okezone.com. (13 Oktober 2020). Ternyata Ini Latar Belakang UU Cipta Kerja. Diakses pada
SejarahLengkap.com. (11 Juni 2019). Sejarah Hari Buruh (1 Mei) di Dunia dan Indonesia.
Tempo.co. (2023). Memaksakan Kegentingan untuk Terbitkan Perpu. Koran Tempo. Diakses
dari:
https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479355/memaksakan-situasi-genting-agar-bi
sa-terbitkan-perpu-cipta-kerja pada 14 Maret 2023.
Tirto.id. (7 April 2017). Swastanisasi Gula, Melegalkan Jawa. Diakses pada 14 Maret 2023.
dari: https://tirto.id/swastanisasi-gula-meliberalkan-jawa-cmhe.
Woodfin, R & Zarate, O. (2008). Marxisme Untuk Pemula. Magelang: Resist Book
Sumarja, et.al. (2021). Problematika Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Pasca
Undang-Undang Cipta Kerja. Vol 27(4):492-503. DOI:
https://doi.org/10.47268/sasi.v27i4.562