Anda di halaman 1dari 41

Kajian Kolaborasi

CIPTA KERJA: MANIFESTASI


KETAMAKAN PENGUASA
Cipta Kerja: Manifestasi Ketamakan Penguasa

PENDAHULUAN

Hukum merupakan suatu peraturan yang bersifat memaksa yang berfungsi untuk
mengatur dan melindungi kepentingan masyarakat. Menurut Prof. Mochtar
Kusumaatmadja adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas yang mengatur pergaulan
hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara ketertiban yang meliputi
lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya kaedah itu sebagai
kenyataan dalam masyarakat.1 Hukum juga memiliki peranan yang sangat penting untuk
melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah atau kelompok
yang berkuasa. Hukum memberikan batasan-batasan yang jelas dan tegas mengenai hak dan
kewajiban setiap warga negara, serta memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang
merasa hak-haknya dilanggar oleh pihak lain, termasuk oleh pemerintah atau pejabat publik.
Sebagian besar negara modern memiliki sistem hukum yang berlaku bagi semua
warga negaranya, termasuk pemerintah dan pejabat publik. Hal ini berarti bahwa semua
warga negara tunduk pada hukum dan diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa kecuali.
Dalam sistem hukum modern, prinsip-prinsip seperti supremasi hukum (rule of law) dan
independensi kekuasaan kehakiman (separation of powers) dijunjung tinggi sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan hukum dan penegakan hukum. Supremasi hukum menegaskan
bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dalam negara dan semua orang, termasuk
pemerintah dan pejabat publik, harus tunduk pada hukum. Namun, dalam prakteknya hukum
terkadang dijadikan suatu alat untuk mempertahankan suatu kekuasaan atau mengontrol
masyarakat itu sendiri, parktikini umumnya dikenal sebagai Autocratic Legalism.
Autocratic Legalism adalah suatu bentuk pemerintahan otoriter yang menggunakan
hukum dan peraturan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kontrol pemerintah
atas masyarakat, melalui cara-cara tersembunyi dan bertindak atau berlindung di balik (atas
nama) hukum.2 Dalam autocratic legalism, pemerintah menegakkan hukum secara keras dan
tegas, dengan mengabaikan hak asasi manusia, kebebasan sipil, dan prinsip-prinsip

1
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung : Armico, 1985), hlm 22
2
Kim Lane Scheppele, “Autocratic Legalism,” Chicago Law Review 85 (2018), hlm. 574.
demokrasi.3 Pemerintah autocratic legalism biasanya memiliki kekuasaan yang sangat besar
dan mengendalikan lembaga-lembaga negara seperti kepolisian, militer, dan pengadilan.
Autocratic legalism ini dinilai lebih berbahaya daripada otoritarianisme seperti masa orde
baru, hal ini dikarenakan karena yang terjadi saat ini dianggap baik-baik saja. tak mudah
dideteksi. Di permukaan, situasi hukum dan politik bisa tampak baik-baik saja.4
Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja (UU CK) pada tahun 2020 silam, meskipun terdapat penolakan
yang keras dari masyarakat indonesia karena proses legislasi yang dianggap terlalu cepat dan
tidak melibatkan masyarakat secara luas. UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada Oktober
2020 hanya dalam waktu sekitar sebulan sejak rancangan undang-undang tersebut diajukan,
sehingga masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses konsultasi dan diskusi mengenai
isi dari undang-undang dan muncul perasaan bahwa UU Cipta Kerja 2020 dibuat tanpa
memperhatikan aspirasi masyarakat.5 Selain itu terdapat juga pasal-pasal kontroversial yang
diatur didalamnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU -XVIII/2020 yang
dibacakan pada 25 November 2021, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Putusan inkonstitusional bersyarat terhadap UU CK
diberikan oleh MK karena cacat secara formil dan cacat prosedur. Selain itu, MK pun
memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang
bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan
pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja.6 Berdasarkan putusan tersebut, MK telah memerintahkan pembentuk undang-undang
untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan batas waktu hingga 25 November
2023. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja dinyatakan
inkonstitusional secara permanen. Alih-alih melaksanakan perintah konstitusi tersebut,
pemerintah justru melecehkan dan melakukan tindakan pembangkangan terhadap konstitusi
itu sendiri dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perpu
ck).

3
Ady Thea DA, “3 Indikator ‘Autocratic Legalism’ dalam Kebijakan Negara”, diakses dari
https://www.hukumonline.com/berita/a/3-indikator-autocratic-legalism-dalam-kebijakan-negara-lt6102bdb6645
ee/?page=2, pada 13 Maret 2023.
4
Ibid.
5
PSHK, “Dua masalah hukum dalam penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja”, diakses dari
https://www.pshk.or.id/rr/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja/, pada
13 Maret 2023.
6
Nano Tresna, “MK: Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki dalam Jangka Waktu Dua
Tahun”, diakses dari https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816, pada 13 Maret 2023.
Penerbitan Perpu CK merupakan preseden buruk terbaru yang menunjukan kelihaian
pemerintah Joko Widodo dalam mengakali hukum. Terlebih Perpu ini diterbitkan pada masa
resesnya DPR. Padahal menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) Pasal 22 ayat (2) telah
menegaskan bahwa Perpu yang dikeluarkan presiden harus segera mendapatkan persetujuan
DPR agar menjadi Undang-Undang atau ditolak yang menyebabkan harus dicabutnya Perpu.
Contoh praktik autocratic legalism lainnya adalah ketika pemerintah merespons Putusan MK
yang menyatakan metode omnibus tak dikenal dalam sistem pembuatan hukum nasional,
pemerintah dan DPR bergegas merevisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3). Alih-alih mengoreksi kekeliruan, revisi itu justru Melegalkan
UU Cipta Kerja yang Inkonstitusional. Berlindung di balik proses hukum, pemerintah Jokowi
telah menerapkan praktik autocratic legalism. Parahnya gejala legalisme otokratik tak mudah
dideteksi. Di permukaan, situasi hukum dan politik bisa tampak baik-baik saja.
PEMBAHASAN

A. Perpu Ciptakerja Bentuk Kedurhakaan Pemerintah

Dikeluarkannya Perppu Ciptaker merupakan bukti adanya pembangkangan


terhadap ajaran konstitusi karena telah melecehkan putusan MK. Sebagaimana yang
dimaksud dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yakni apabila dalam dua
tahun atau sampai dengan 25 November 2023 tidak diperbaiki, maka UU Cipta Kerja
akan dikatakan inkonstitusional secara permanen, artinya MK dalam putusan tersebut
mengamanatkan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperbaiki
beberapa substansi dan prosedur pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja (UU
Ciptaker) dengan memaksimalkan partisipasi publik. Namun, kenyataannya
pemerintah bukannya memanfaatkan dua tahun ini untuk memperbaiki tapi malah
mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.

Menurut Menko Polhukam, Mahfud MD, dengan terbitnya Perppu


Ciptaker maka gugur pula status inkonstitusional bersyarat pada UU Ciptaker
yang dinyatakan oleh MK pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Adanya
pernyataan tersebut justru memperlihatkan sikap otoriter pemerintah yang memilih
jalan pintas dan mengakal-akali amanat putusan MK dalam menangani kecacatan
prosedur UU Ciptaker. Pada dasarnya putusan MK merupakan putusan yang final dan
mengikat, dimana bila hakim MK telah membacakan putusannya maka putusan
tersebut haruslah dipatuhi dan mengikat semua orang tak terkecuali pemerintah dan
juga DPR. Putusan MK seharusnya tidak lagi dapat dibatalkan melalui upaya hukum
apapun sehingga adanya penerbitan Perppu Ciptaker tidaklah dapat dijadikan jawaban
dalam menghilangkan status Inkonstitusional bersyarat UU Ciptaker.

Adanya jalan pintas yang diambil oleh presiden dalam menghilangkan status
inkonstitusional bersyarat pada UU Ciptaker ini sudah seharusnya ditolak oleh DPR.
Pernyataan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahwa Ketua DPR telah
mengetahui terkait penerbitan Perppu Ciptaker karena Presiden telah berkonsultasi
sebelum menerbitkan Perppu ini tidak dapat dianggap telah memenuhi salah satu
amanat MK yang memerintahkan adanya “Meaningful participation” dalam perbaikan
UU Ciptaker sehingga seharusnya DPR berusaha memperbaiki kecacatan formil dari
UU Ciptaker sesuai dengan amanat MK dan menolak Perppu Ciptaker ini.
Pasal 22 UUD 1945 memberikan kuasa tak terbatas kepada Presiden untuk
menetapkan Perppu sebagai upaya menghadapi keadaan genting yang memaksa.
Penilaian terhadap suatu keadaan genting memaksa ini menjadi hak subjektif Presiden
sehingga besar kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan. Namun, demi
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan agar dilaksanakan sesuai ajaran
konstitusi serta prinsip negara hukum, dalam upaya memperoleh makna “kegentingan
yang memaksa”, MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-VII/2009 tertanggal 8 Februari 2010 memberikan tiga poin yang
mencerminkan kondisi sebagai “kegentingan memaksa”:

a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah


hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang
cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.

Nyatanya tidak ada relevansi antara ketiga poin diatas dengan dalil-dalil
pemerintah mengeluarkan Perppu Ciptaker. Pertama, Perppu Ciptaker bukanlah solusi
yang selaras terhadap dampak Perang Ukraina-Rusia yang digadang-gadang akan
menimbulkan inflasi besar di Indonesia yang dianggap sebagai ancaman. Padahal,
apabila dibandingkan dengan negara negara lain, saat ini inflasi di Indonesia relatif
terkendali. Selain itu, terbitnya Perppu Ciptaker akan memunculkan riak masa yang
berpotensi kembali menggugat produk hukum tersebut di MK sehingga terjadi
ketidakpastian hukum terhadap Investor. Hal tersebut justru akan mengurangi
kepercayaan investor terhadap negara. Kedua, ditengah keadaan yang dianggap
sedang “genting” oleh pemerintah Indonesia, mega proyek pembangunan, seperti IKN
dan kereta cepat yang membutuhkan dana raksasa, tetapi tidak memiliki dampak
langsung terhadap perbaikan inflasi dan kesejahteraan ekonomi Indonesia tetap
dijalankan, lalu, apa sebenarnya keadaan yang mendesak penerbitan Perppu Ciptaker?
Ketiga, mengenai kekosongan hukum. Sejatinya, putusan MK No.
91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat,
klausul dalam UU Ciptaker kedepannya akan berlaku, apabila unsur meaningful
participation telah diperbaiki. Selama klausul UU ciptaker ditangguhkan,
perekonomian nasional masih bisa berjalan normal dengan UU yang sudah ada
sebelumnya.

Berdasarkan argumen di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alasan-alasan


yang digunakan pemerintah sebagai dalil keadaan kegentingan yang memaksa
sehingga perlu menerbitkan Perppu Ciptaker merupakan tindakan pemerintah yang
berlebihan. Selain itu, tindakan mengesampingkan unsur meaningful participation
dengan alasan yang legal merupakan cara pemerintah memarjinalkan prinsip-prinsip
demokrasi atau biasa disebut dengan tindakan yang autocratic-legalism. Menurut
kami, penerbitan Perppu Ciptaker ini dapat dikatakan sebagai tindakan “malas”
pemerintah untuk mengikuti putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang bersifat final
and binding sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar NRI 1945.

Selain alasan penerbitan Perppu yang ugal-ugalan. Proses pengesahan Perppu


Cipta Kerja ini juga sangat asal-asalan dan menggampangkan prosedur yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang. Sidang pengesahan Perppu Cipta Kerja
seharusnya dilakukan pada sidang pertama setelah Perppu tersebut diterbitkan. Hal ini
tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 52 ayat (1) yang berbunyi, "Perppu
harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut." Dijelaskan kembali, bahwa
yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa sidang pertama DPR
setelah Perppu diterbitkan. Persidangan pengesahan Perppu seharusnya dilaksanakan
DPR pada Masa Sidang III yaitu pada 10 Januari–16 Februari 2023. Namun, DPR
malah merencanakan untuk mengesahkan Perppu Cipta Kerja setelah masa reses usai,
yaitu pada 14 Maret 2023. Hal itu jelas salah, karena tidak sesuai dengan UU No. 12
tahun 2011 Pasal 52 ayat (1) juga UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22 ayat (2) yang
mengatur bahwa Perppu harus disikapi segera pada sidang berikutnya.

Mengikuti Pasal 52 ayat (5) UU tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan, Perppu yang gagal disahkan tersebut harus dicabut.
Namun, hingga tulisan ini dibuat, belum ada RUU Pencabutan Perppu yang disiapkan
sebagai konsekuensi gagalnya pengesahan Perppu Cipta Kerja. Ditekankan lebih
lanjut, berdasarkan Pasal 22 UUD NRI 1945 ayat (3), "Jika tidak mendapat
persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut." Jika tidak dicabut, maka
hal tersebut melanggar konstitusi.Saat ini, status keberlakuan Perppu Cipta Kerja tidak
jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini tidak boleh dibiarkan sebab
akan membuat masyarakat dan para investor semakin ragu akan integritas
institusi-institusi pemerintahan.

Dikeluarkannya Perppu Problematik alias Cipta Kerja oleh pemerintah telah


mengisyaratkan bahwa negara kita kian mengalami kemerosotan demokrasi. Gelagat
pemerintah dalam merumuskan kebijakan makin hari makin menjurus ke arah
otoritarianisme. Bahkan secara terang-terangan pemerintah dengan sengaja
menyerobot konstitusi yang seharusnya dijunjung tinggi. Tidak berhenti disitu saja,
proses pembentukan Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah juga menutup ruang
partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Apabila kita menyelisik lebih dalam, maka kita akan menemukan ‘udang di
balik batu’ atas diterbitkannya Perppu Cipta Kerja. Ada maksud terselubung yang
ingin dicapai oleh pemerintah. Khawatir, dengan penerbitan Perppu Cipta Kerja,
sebenarnya pemerintah ingin melakukan test of the water (cek ombak) untuk melihat
bagaimana reaksi publik dalam menanggapi kebijakan ini. Apabila reaksi publik
ternyata dapat dikendalikan, maka Perppu-Perppu problematis berikutnya akan
menyusul untuk diterbitkan. Tentu saja hal ini akan menjadi kesempatan yang sangat
menguntungkan bagi penguasa untuk memerintah secara otoriter. Apabila Perppu
Cipta Kerja berhasil disahkan, maka akan menjadi preseden buruk untuk kehidupan
berdemokrasi di tanah air tercinta ini. Kendati demikian, kita sebagai masyarakat
harus selalu waspada terhadap siasat penguasa yang ingin mengebiri demokrasi yang
sudah diperjuangkan secara mati-matian oleh para pendahulu kita.

B. Menakar Daulat Oligarki dalam Political Will Perppu Cipta Kerja

Pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus atau


sapu jagat pada hakikatnya tak terlepas dari political will atau keinginan politik
pemerintah sebagai keberlanjutan dari kebijakan reformasi hukum melalui penataan
regulasi, dengan membenahi peraturan perundang-undangan yang dinilai menyulitkan
dan tumpang tindih. Keinginan politik tersebutlah yang salah satunya ditindaklanjuti
dengan pembentukan UU Cipta Kerja. Selain sebagai tindak lanjut dari upaya
reformasi hukum, undang-undang yang diinisiasi oleh pemerintah ini juga bertujuan
untuk memperbaiki dan meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Dalam
perjalanannya, kebijakan strategis yang ditempuh pemerintah untuk mereformasi
hukum melalui UU Cipta Kerja ini justru menuai banyak polemik.

Politik hukum UU Cipta Kerja mulanya berawal dari political will pemerintah
untuk menyederhanakan regulasi dan menderegulasi pengaturan yang menghambat
penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Namun dalam muatannya, undang-undang ini justru memamerkan secara gamblang
bahwa demi alasan menggelar karpet merah bagi investor, ada sekian banyak hak
asasi yang harus diterabas dan diabaikan oleh negara. Selain itu, pembentuk UU Cipta
Kerja juga secara yakin memposisikan hukum ketenagakerjaan dan hukum
lingkungan yang sebelumnya diberlakukan serta beberapa aspek hak asasi adalah
bagian yang menghalangi investasi dan karena itu harus ditepikan. Dalam konteks ini,
pembentuk undang-undang telah merevisi sejumlah pasal penting nan krusial bagi
pekerja dan lingkungan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, salah satunya
UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian dimuat dalam UU Cipta Kerja.

Jika kita berjalan mundur, lahirnya hukum ketenagakerjaan di Indonesia tak


terlepas dari ketidaksetaraan yang terdapat dalam hubungan kerja di antara tenaga
kerja dan pengusaha. Jauhnya perbedaan kemampuan ekonomi, menempatkan pihak
pengusaha sebagai pihak yang kuat sementara pekerja/buruh sebagai pihak yang
lemah. Maka, lahirnya payung hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan
perlindungan kepada pihak pekerja/buruh terhadap pengusaha, tempat dimana buruh
bekerja, dan terhadap alat-alat kerja. Indonesia yang tergolong sebagai negara
kesejahteraan, sudah seyogyanya menjunjung kesejahteraan sosial dalam mencapai
tujuan bangsa melalui pembangunan nasional. Ketidakmampuan golongan-golongan
tertentu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dalam hal ini pekerja/buruh bukan
semata karena ketidakmampuan individu, melainkan ketidakmampuan struktural,
yang diakibatkan oleh lemahnya kedudukan mereka di dalam kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat. Oleh karenanya, negara dalam hal ini
Pemerintah Indonesia wajib melindungi segenap hak yang dimiliki oleh pekerja dalam
bentuk aturan atau regulasi yang jelas melindungi pekerja. Semangat itulah yang
kemudian mendorong lahirnya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pemerintah yang berlindung di balik dalih bahwa Indonesia membutuhkan


investasi bagi pembangunan nasional, tak bisa dengan mudah menciptakan social
dumping yang menarik investasi asing ke Indonesia dengan cara-cara menekan upah
minimum, membuat kebijakan yang menguntungkan penanam modal asing, dan
bahkan menghilangkan perlindungan bagi para pekerja melalui Klaster
Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Hal ini jelas bertentangan dengan konstitusi,
sebab negara secara langsung telah melepaskan tanggung jawabnya dalam
memberikan dan menjamin hak-hak konstitusional buruh/pekerja selaku rakyat.
Padahal, konstitusi melalui Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945
secara implisit telah mengamanatkan kepada negara untuk memberikan perlindungan
kepada pekerja dalam mewujudkan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi pekerja dan keluarganya.

Alih-alih memperkuat pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan


yang selama ini tidak optimal dilakukan, perubahan pasal-pasal krusial dalam UU
Cipta Kerja menjadi bukti konkret bahwa kebijakan ini secara substansial tidak
sepenuhnya sejalan dengan kepentingan masyarakat, dari kalangan buruh hingga
masyarakat adat. Proses pembuatan kebijakan yang terburu-buru juga mencerminkan
watak pembentukan kebijakan yang elitis. Jejak-jejak kepentingan elitis-oligarkis ini
jelas tak dapat dinafikan, mengingat banyak masyarakat yang merasa belum
seutuhnya terwakili dalam proses pembentukan undang-undang tersebut. Ketiadaan
partisipasi yang menyeluruh dan bermakna bagi publik mengindikasikan adanya
kekuatan besar non-publik di balik penyusunan dan penetapan UU Cipta Kerja.
Sebelum diganti Perppu, UU Cipta Kerja ini bahkan disebut oleh Faisal Basri sebagai
regulasi “pro pengusaha” dan berpotensi membuat cengkeraman oligarki semakin
menguat.7

Di bawah daulat oligarki, UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional


bersyarat oleh MK pun tak mematahkan semangat para penguasa untuk segera
mengakali legalitas sapu jagat sarat masalah tersebut melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang
dikeluarkan oleh Presiden RI Joko Widodo pada akhir tahun lalu. Alih-alih
menguatkan partisipasi publik secara bermakna sebagai syarat UU Cipta Kerja
dinyatakan konstitusional, Presiden Jokowi memutuskan untuk unjuk kekuasaannya
dengan menerbitkan Perppu 2/2022 sebagai jalan pintas untuk menggantikan UU

7
Selengkapnya dapat diakses melalui
https://bisnis.tempo.co/read/1396181/faisal-basri-sebut-omnibus-law-pro-pengusaha-buat-oligarki-makin-me
ncengkeram.
Cipta Kerja yang telah dibatalkan. Tak heran jika publik beranggapan bahwa political
will yang sebenarnya mendasari lahirnya UU Cipta Kerja bukan sebatas upaya
reformasi hukum dan reformasi ekonomi semata, tetapi juga diselubungi oleh
kepentingan-kepentingan oligarki yang menggurita.

C. Pereduksian Eksistensi Otonomi Daerah & Pengerdilan Amanat Reformasi

Pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya memberikan wewenang lebih bagi


daerah untuk mengurus daerahnya sendiri secara mandiri. Pada konsep hukum
lingkungan, otonomi daerah memiliki peran penting terutama dalam hal mengatur
wilayah secara mandiri berdasarkan karakteristik lingkungan hidupnya
masing-masing (Suharjono, 2014). Otonomi daerah berkaitan erat dengan
karakteristik pembangunan sebagai parameter pembangunan yang berkelanjutan. Sifat
keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan itulah
yang membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem
pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh
bernyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.8

UU Cipta Kerja di samping mengatur dan berdampak pada dunia


ketenagakerjaan, tetapi juga mengatur masalah lingkungan, yang kemudian
berdampak pada kekuatan pemerintah dalam menjaga lingkungannya. Pasca
diundangkan 2020 lalu, secara substansi UU PPLH yang dimuat dalam Paragraf 3
Pasal 21 dan Pasal 22 UU Cipta Kerja, mengalami banyak perubahan pasal terutama
dalam hal kewenangan pemerintah daerah. Poin pokok kewenangan daerah yang
kemudian berubah adalah sebagai berikut:9

1. Pasal 22 angka 3 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 24 UU PPLH yang


menjelaskan terkait teknis dalam Uji Kelayakan Lingkungan Hidup dilakukan
oleh Tim Uji yang dibentuk pemerintah pusat. Berdasarkan hal tersebut,
pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan dalam membentuk Tim Uji.
2. Pasal 22 angka 8 sampai angka 10 UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan
Pasal 29 sampai Pasal 31 UU PPLH yang secara substansi mengatur tentang

8
Sabardi, L. (2014). Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yustisia, FH UNS edisi, 88,
73.
9
Fatanen, A. (2021). Eksistensi Kewenangan Daerah dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasca diterbitkannya Undang-Undang Cipta kerja. Khazanah Hukum, 3(1), 5.
Komisi Penilaian AMDAL. Dengan dihapusnya Komisi Penilaian AMDAL
yang disederhanakan dengan tahapan Uji Kelayakan Lingkungan yang Tim
Ujinya dibentuk oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah kehilangan
wewenangnya dalam menentukan kebijakan tersebut.
3. Pasal 22 angka 12 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 34 UU PPLH
yang secara substansi menghilangkan kewenangan pemerintah daerah dalam
mengeluarkan kebijakan yang menentukan bentuk usaha atau kegiatan yang
wajib dilengkapi UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup), sebab kewenangan tersebut menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
4. Pasal 22 angka 17 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 39 UU PPLH
yang secara substansi merubah cara dalam memberikan pengumuman terhadap
Keputusan Kelayakan Lingkungan yang cara tersebut kemudian ditentukan
oleh pemerintah pusat.
5. Pasal 22 angka 19 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 55 UU PPLH
secara substansi kewenangan pemerintah daerah dalam hal menentukan bank
pemerintah dalam hal dana penjamin pemulihan fungsi lingkungan hidup dan
menetapkan pihak ketiga yang melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup
yang secara kewenangan ditegaskan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
6. Pasal 22 angka 23 UU Cipta Kerja merubah ketentuan Pasal 63 UU PPLH
yang secara tegas merubah ketentuan kewenangan pemerintah daerah dalam
menentukan kebijakan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan terkait
AMDAL dan UKL-UPL. Pemerintah daerah hanya diberikan wewenang untuk
melaksanakan kebijakan saja dalam hal tersebut.

Perubahan signifikan yang secara karakteristik dikelilingi oleh unsur dominasi


pusat dalam pengaturan tersebut, jelas menghilangkan political will pemerintah daerah
untuk mengatur dan menjaga lingkungan daerahnya sendiri. Padahal, konsep otonomi
daerah sesungguhnya merupakan konsep yang bertujuan untuk mendekatkan
pemerintah daerah dengan masyarakat, sehingga pemerintah daerah dalam hal
pembangunan mampu mengakomodir permasalahan-permasalahan yang akan dan
tengah dihadapi masyarakat daerah, salah satunya mengenai masalah lingkungan.
Kewenangan-kewenangan yang ditegaskan menjadi kewenangan pemerintah pusat
tersebut sebenarnya merupakan dasar fundamental yang syarat dengan karakteristik
wilayah, yang mana hal tersebut juga syarat dengan kebijakan kewilayahan.10
Kompleksnya potensi dan kelemahan yang dimiliki lingkungan satu dengan yang lain
di suatu daerah, pada akhirnya memerlukan campur tangan pemerintah daerah sebagai
unsur yang dekat dengan masyarakat daerah dan serba tahu sumber permasalahan di
daerah, untuk dapat segera menentukan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan
agar berjalan secara berkelanjutan.

Materi muatan dalam UU Cipta Kerja, secara nyata menguatkan pola yang
mengarah pada praktik re-sentralisasi kekuasaan. Pola tersebut terbentuk melalui
aturan atau pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang mengatur penarikan urusan dari
pemerintah daerah dan instrumen persetujuan atau evaluasi oleh pemerintah pusat
yang semakin diperketat. Praktik re-sentralisasi ini sejatinya telah melanggar asas
desentralisasi dan semangat reformasi yang melahirkan ketentuan dalam konstitusi
untuk memberikan otonomi seluas-luasnya pada pemerintah daerah. Semangat
desentralisasi memiliki makna pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada
daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom). Dalam kata lain,
susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintah
pada bagian pusat dan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah untuk
menciptakan checks and balances. Naasnya, dengan adanya UU Cipta Kerja yang
memiliki pendekatan re-sentralisasi, maka nilai checks and balances pun juga terkikis.

Otonomi daerah merupakan amanat reformasi yang lahir karena adanya


ketimpangan pembangunan dan kesenjangan sosial yang begitu besar antara pusat dan
daerah, juga bertujuan untuk mencegah lahirnya tirani dari kekuasaan yang terpusat.
Terlebih, argumentasi bahwa pemerintah pusat tidak lebih paham dari pemerintah
daerah akan kebutuhan masyarakat daerah merupakan satu hal yang tidak dapat
terbantahkan. Maka, dua alasan ini seharusnya menjadi pertimbangan yang cukup
untuk menyatakan bahwa muatan UU Cipta Kerja yang kini diganti oleh Perppu
2/2022 tentang Cipta Kerja, telah mengerdilkan amanat reformasi dan mereduksi
eksistensi otonomi daerah itu sendiri.

10
Ibid, 6.
D. Pertentangan Kelas: Teori Marxisme sebagai Dasar Untuk Menganalisis
Pertentangan Kelas Serta Pengaruhnya Bagi Kelas Pekerja

Apabila kita ingin mengupas mengenai permasalahan pekerja di abad ke-21


tentunya tidak dapat dilepaskan dari pertentangan kelas sebagai akibat tidak langsung
dari revolusi industri di Inggris pada abad ke-18. Transformasi ekonomi dari
masyarakat agraria ke arah masyarakat industri memberikan konsekuensi terhadap
kepemilikan alat produksi maupun struktur sosial yang ikut bertransformasi secara
radikal. Sebelum terjadinya revolusi industri, sebagian besar masyarakat pada saat itu
masih hidup dalam masyarakat agraria yang berbasis pada pertanian. Dalam
masyarakat agraria alat produksi yang utama adalah tanah sehingga kemampuan
ekonomi serta status yang dimiliki oleh seseorang diukur berdasarkan besaran tanah
yang dimilikinya, dalam hal ini dapat disebut bahwa tanah merupakan suatu alat
produksi

Ketika revolusi industri dimulai, terjadi pergeseran alat produksi dari tanah ke
mesin sebagai alat penghasil komoditas. Secara tidak langsung proses ini juga
mengakibatkan alih profesi secara besar-besaran dari petani ke buruh pabrik.
Meskipun produksi menjadi semakin cepat dan barang yang dihasilkan semakin
beragam, peralihan ini menimbulkan permasalahan baru. Jika sebelumnya
pertentangan kelas terjadi antara petani penggarap lahan dengan tuan tanah di bawah
sistem feodalisme. Pada zaman industri pertentangan bergeser menjadi antara buruh
yang mengoperasikan mesin dengan pemodal sebagai pemilik mesin. Buruh yang
tidak memiliki alat produksi mau tidak mau menjadi sangat bergantung kepada
pemilik alat produksi, ditambah lagi dengan situasi pada masa itu dimana serikat
buruh masih belum terbentuk sehingga dapat dibilang posisi buruh sangat rentan
terhadap eksploitasi.

Pemilik modal cenderung mementingkan kepentingannya sendiri dengan cara


memeras tenaga buruhnya dengan upah yang tidak sesuai agar menekan biaya
produksi. Perbedaan kepentingan ini membuat pertentangan antara kaum borjuis dan
proletar semakin memanas. Kelas proletar yang menuntut haknya agar dipenuhi
sementara pemilik modal hanya memikirkan keuntungan agar bisa memperkaya diri.
Dalam situasi ini akan membuat si kaya akan tetap kaya dan si miskin akan tetap
miskin karena sulit untuk menembus lingkaran setan ini.
Sistem kapitalis terus berlanjut, menyebabkan dendam kaum proletar yang
sudah tak terbendung. Pertentangan ini berlanjut dalam babak baru dimana para buruh
mulai melakukan pembelaan dan perlawanan untuk menuntut hak mereka agar
dipenuhi. Salah satunya adalah mogok kerja. Dengan adanya mogok kerja, produksi
akan terhambat karena tak ada tenaga untuk menjalankan mesin produksi. Kasus ini
seharusnya memberikan pelajaran pada pemerintah sekarang untuk lebih
mementingkan kesejahteraan buruh bukan investor atau pemilik modal. Tanpa buruh
sektor produksi pun tak akan berjalan dan bisa menghambat laju ekonomi. Jika ingin
memajukan ekonomi negeri ini, maka perhatikan dari golongan terbesarnya dahulu
yaitu kaum buruh. Negara ini berada di tangan rakyat bukan di tangan investor.

E. Menelisik Sejarah Pergerakan Buruh dan Undang-Undang Cipta Kerja

Sejarah gerakan perjuangan buruh lahir pada abad ke-19 sebagai dampak dari
revolusi industri. Munculnya gerakan buruh ini karena adanya pengintensifan jam
kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di pabrik. Alasan-alasan tersebut
menjadi cikal bakal adanya pergerakan dari kalangan proletar terhadap kalangan
borjuis. Hadirnya orang-orang yang memiliki pemikiran kritis seperti Peter McGuire
menjadi pemantik dan penggagas ide bagi para kalangan proletar untuk menjalankan
aksi protes. Gerakan yang dilakukan kalangan proletar berupa aksi mogok kerja dan
demonstrasi besar-besaran, di Amerika sendiri banyak terjadi aksi para buruh yang
memperjuangkan hak-hak mereka, tetapi ada juga dari mereka yang ditembaki oleh
aparat kepolisian hingga para pemimpin aksi dijatuhi hukuman mati. Pergerakan
buruh ini menyebar mulai dari negara-negara bagian di Amerika hingga
mancanegara.

Pergerakan buruh di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan pada abad
ke-19. Pada masa ini banyak pengusaha yang mengelola industri, sementara kaum
bumiputera disiapkan sebagai buruh. Aksi pergerakan terjadi di berbagai daerah
karena para buruh kehilangan hak-haknya. Pada era Orde Lama, Bung Karno cukup
menaruh perhatian pada kaum buruh, bahkan pemerintahannya menetapkan 1 Mei
sebagai hari libur nasional, seperti yang berlaku saat ini. Sayangnya di era Orde Baru,
Soeharto menekan habis gerakan buruh, ia hanya mengizinkan satu organisasi buruh
saja, yaitu Federasi Serikat Pekerja Indonesia. Setelah Soeharto turun dari jabatannya,
gerakan buruh kembali bermunculan. Saat pemilu pertama di era reformasi lahir, lahir
beberapa partai dari kaum buruh, tetapi karena partai dari kaum buruh tak berhasil
memperoleh suara sehingga mereka tidak dapat kursi di DPR dan tidak bisa ikut
dalam pemilu berikutnya. Pada saat ini, hak-hak buruh pun masih belum terpenuhi.
Walaupun tanggal 1 Mei telah ditetapkan negara sebagai hari libur nasional dan
sebagai momentum para buruh untuk menyuarakan melalui berbagai gerakan aksi,
tetap saja masih ada ketimpangan hak yang dirasakan para buruh. Terlebih lagi dengan
adanya UU cipta kerja yang secara tiba-tiba disahkan membuat masyarakat terutama
para buruh menyuarakan penolakan atas UU cipta kerja ini.

Undang-Undang Cipta Kerja pada awalnya memiliki tujuan untuk menarik


investasi sebanyak-banyaknya, itulah yang disampaikan pengamat ekonomi Piter
Abdullah. Akselerasi proses pembangunan nasional merupakan alasan lahirnya UU
Cipta Kerja ini, utamanya memberikan kemudahan para investor, karena semua
kepentingan investor sudah diakomodasi dalam UU Cipta Kerja. Perihal tentang
modal asing sudah lama terjadi pada masa kolonial Belanda saat perusahaan swasta
masuk ke Indonesia. Akan tetapi banjir bandang modal swasta asing ini, seringkali
diembel-embeli dengan terbukanya lapangan kerja, acapkali tidak terbukti
memperbaiki taraf hidup masyarakat. Di samping terdapat berbagai penolakan
terhadap pengesahan UU Cipta Kerja, UU tersebut dinilai tidak memihak pada
masyarakat terutama kaum buruh. Beberapa pasal UU Cipta Kerja dinilai merugikan
kaum buruh. Mulai dari pengupahan hingga uang pesangon dan nilai santunan yang
diturunkan, sehingga ada beberapa golongan masyarakat yang kontra terhadap UU
tersebut. Pasal 96 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menghendaki adanya partisipasi dari masyarakat dalam proses
penyusunan undang-undang, secara formil pembuatan UU Cipta Kerja cenderung
otoriter karena terkesan tertutup dan minim partisipasi dari masyarakat.

F. Budaya Kerja Indonesia yang Mengabaikan Hak-hak Pekerja

Hak dan kesejahteraan kaum buruh merupakan persoalan yang serius untuk
diperjuangkan. Dikutip dari jurnal Unrika mengenai studi hak-hak buruh, budaya
kerja di Indonesia merupakan salah satu penyebab kaum buruh tidak sepenuhnya
mendapatkan hak mereka, seperti upah yang tidak sesuai, kurangnya perlindungan
bagi kelompok migran, dan lain sebagainya. Indonesia merupakan negara yang belum
sepenuhnya mampu memberikan kehidupan dan lapangan pekerjaan yang layak bagi
masyarakatnya.

Budaya kerja di Indonesia sangatlah memberatkan kelas pekerja atau buruh.


Bukan mengutamakan selesainya pekerjaan, tetapi yang selalu diutamakan dalam
budaya kerja di Indonesia adalah terpenuhinya waktu bekerja. Banyak menuntut
buruh untuk memenuhi tugasnya, tapi perusahaan maupun pemerintah tidak
memenuhi hak buruh. Munculnya aksi gerakan perjuangan kaum buruh pada 14 Maret
2023 di gedung DPR untuk menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja, menjadi bukti
bahwa penolakan itu terjadi karena isi dari Perpu tersebut membahayakan hak pekerja
dengan memberikan ruang bagi perusahaan untuk mengeksploitasi tenaga kerja.
Beberapa masalah diantaranya terkait dengan cuti haid, cuti melahirkan, kebijakan
PHK, uang pesangon, uang gaji, hingga masalah waktu lembur. Ini merupakan bukti
bahwa hadirnya Perpu bukan menjadi solusi utama untuk mengatasi budaya kerja
yang eksploitatif.

Terdapat satu kasus antara buruh driver Gojek dengan PT Gojek. Ada 3
tuntutan para buruh dalam menyesuaikan keputusan PT Gojek dengan hak-haknya,
yaitu pengembalian tarif ke harga semula, diangkat menjadi karyawan, dan
transparansi dana. Kasus ini memperjelas lagi bahwa budaya kerja di Indonesia
banyak menuntut buruh untuk menyelesaikan pekerjaan tapi perusahaan maupun
pemerintah tidak memenuhi hak para buruh. Bagaimana ingin meningkatkan kualitas
SDM jika budaya kerjanya eksploitatif?

G. Kilas Balik Polemik Kebijakan ASO dan Kaitannya dengan Perppu Cipta Kerja

November 2022 lalu, perpindahan TV Analog menjadi TV Digital pada


wilayah Jabodetabek, Riau, NTT, dan Papua Barat sempat menuai perhatian publik
karena dampaknya pada masyarakat luas. Dimana masyarakat yang ingin menonton
siaran televisi, kini harus mempunyai alat tambahan berupa Set Top Box (STB). Hal
ini tentunya merupakan berita bagus bagi kelanjutan industri penyiaran. Dengan
adanya era siaran digital, akan muncul variasi konten yang akan meningkatkan
program siaran. Terlebih, pemerintah juga menjanjikan untuk menjamin
terdistribusinya STB terutama kepada kelompok Rumah Tangga Miskin (Rayadi,
2022).

Dilansir dari Investor.id, dasar hukum dari penyelenggaraan perpindahan TV


Analog menjadi TV Digital tertuang pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja. Dimana dalam Undang-Undang tersebut mengamanatkan penghentian
penyiaran terestrial dengan teknologi analog (Analog Switch Off/ASO) dilakukan
paling lambat pada tanggal 2 November 2022. Akan tetapi, penegasan dan
pemberlakuan kebijakan ASO oleh pemerintah ini menimbulkan pro-kontra tersendiri
di kalangan masyarakat, terutama mengenai dasar hukumnya.

Pengusaha sekaligus pemilik jaringan media nasional MNC Group, Harry


Tanoe Soedibjo memberikan beberapa protes kepada Kementerian Komunikasi dan
Informasi (Kominfo) Republik Indonesia terkait dengan penerapan Kebijakan ASO.
Menurut Harry dasar hukum yang digunakan pemerintah dalam menerapkan
kebijakan ASO telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusannya
pada No.91/PUU-XVIII/2020 (Butir 7) dan terdapat pertentangan antara kebijakan
ASO dengan putusan MK. Dimana putusan tersebut secara singkat menjelaskan akan
ada penangguhan kebijakan/tindakan yang berdampak luas bagi masyarakat pada UU
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Rayadi, 2022).

Sebelumnya, PT Lombok Nuansa Televisi juga telah melayangkan


permohonan uji materi kepada Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 46 tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran
sebagai peraturan pelaksana dari UU Penyiaran juncto UU Cipta Kerja. Dimana
terdapat pasal bermasalah mengenai LPP, LPS, dan/atau LPK menyediakan layanan
program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara
multipleksing. Keputusan MA ini berisi pembatalan Pasal 81 ayat (1) PP No. 46
Tahun 2021 karena bertentangan dengan Pasal 60A UU Penyiaran jo. Pasal 72 angka
8 UU Cipta Kerja (Kure, 2022).

Menanggapi kedua kontra di atas, pemerintah pun memberikan klasifikasinya


terhadap penerapan kebijakan ASO ini. Dilansir dari Tempo.co, Mahfud MD
menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta Kerja yang dijadikan
landasan argumen oleh Hary Tanoe untuk menentang kebijakan itu salah kaprah. Hal
ini dikarenakan kebijakan ASO sudah lebih dulu ditetapkan sebelum MK
mengumumkan putusan terhadap UU Cipta Kerja. Selain itu, dalam artikel press
release yang diterbitkan oleh Kominfo pada website resminya disebutkan bahwa pada
dasarnya MA hanya membatalkan mengenai penjualan slot multiplesking sehingga
ketentuan lain dalam PP 46/2021 yang mengatur mengenai implementasi migrasi
televisi digital tidak dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Lantas bagaimana kaitannya kebijakan ASO ini dengan Perppu Cipta Kerja?
Sebagaimana yang tertera dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
pasal 60 A ayat 1-3 terdapat aturan tentang diberlakukannya perpindahan siaran
televisi analog ke digital. Tentunya, kebijakan ASO ini mempunyai banyak dampak
positif bagi kemajuan industri penyiaran dan masyarakat itu sendiri. Akan tetapi,
tentunya dalam pelaksanaan televisi digital ini perlu adanya pengawasan yang ketat
baik dari pemerintah, masyarakat, maupun penggiat industri siaran itu sendiri. Hal ini
dikarenakan banyak peluang permainan politik yang bisa dilakukan oleh industri
penyiaran.

Pemaparan diatas selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Dosen Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Arindra Karamoy tentang proses
komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi sebagai dampak kuat pada perpindahan
siaran analog ke digital. Dengan terjadinya ASO ini akan terwujud proses spasialisasi
yang membuat proses distribusi konten menjadi jauh lebih mudah dan jelas secara
pesan. Pada akhirnya akan masuk dalam proses strukturasi, yaitu stasiun TV akan
melakukan ”penyuntikan” ideologi yang dibawa oleh stasiun tersebut kepada
khalayak. Ideologi di sini misalnya pandangan politik atau perspektif terhadap suatu
kebijakan yang dimiliki oleh media tersebut (Karamoy, 2023).

H. Hilangkan Kuasa KPI atas Izin Penyiaran, AJI Kecam Perppu Cipta Kerja

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam terbitnya Perppu No. 2 Tahun


2022 yang menghapus menghapus Pasal 34 UU 32/2002. Dengan penghapusan
tersebut, pemerintah mendapat kewenangan langsung atas izin penyiaran (Patoppoi,
2023). Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun melemah karena dibatasi hanya
sebagai lembaga administratif dan pengawas konten siaran. Penghapusan pasal
tersebut juga menghilangkan batas berlaku pada surat izin penyiaran. Sebelumnya,
Izin penyiaran memiliki batasan waktu, yaitu sepuluh tahun untuk televisi dan lima
tahun untuk radio dengan evaluasi berkala. Setelah batas waktunya habis, pemilik
media siar harus memperpanjangnya. Kini, media siar tidak perlu repot-repot untuk
melaporkan hasil siar dan memperpanjang surat izin penyiarannya menuju KPI.

Mendukung AJI, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Anang


Sujoko mempertanyakan bagaimana proses perizinan siar kedepannya. Dengan tidak
adanya batas waktu surat perizinan, apa gunanya rekam jejak dan catatan-catatan yang
tidak baik pada lembaga penyiaran bila tidak akan ditindaklanjuti. Bagaimana dan
kemana pula masyarakat dapat melapor atas kerugian yang didapat dari produk
siaran?

Selain muatannya, Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal AJI, juga


mempertanyakan proses pembuatan Perppu ini. Ketidakjelasan tidak hanya tergambar
dari alasan pembuatan yang dipertanyakan, tapi juga dari minim hingga tidak adanya
partisipasi masyarakat dalam perumusannya (Hidayat, 2023). Ika mengecam
pemerintah atas tidak adanya itikad untuk berbagi pendapat dengan para pekerja,
termasuk pula pers.

I. Kerja untuk Hidup atau Hidup untuk Kerja?

Pada dasarnya, bekerja adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh
semua orang. Dengan bekerja, manusia akan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Selain itu, setiap manusia juga memiliki motivasi untuk mencapai aktualisasi diri di
dalam kehidupannya. Untuk mencapai titik aktualisasi diri, tentunya manusia perlu
memenuhi kebutuhan mendasar sehingga dapat naik ke “tingkat yang lebih tinggi”
dan mencapai aktualisasi tersebut. Hal ini didasari oleh teori Maslow’s Hierarchy of
Needs yang digagas oleh Abraham Maslow.

Teori Maslow menyatakan bahwa terdapat lima tingkat kebutuhan dasar


manusia. Kebutuhan ini dimulai dari kebutuhan dasar kita sebagai manusia yaitu
kebutuhan fisiologis, dilanjut dengan kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang,
penghargaan, dan aktualisasi diri. Teori hierarki kebutuhan ini sering digambarkan
sebagai tingkat hierarki berbentuk piramida. Konsep hierarki kebutuhan Maslow
mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat yang lebih rendah harus dipenuhi atau
setidaknya relatif terpenuhi sebelum mencapai kebutuhan tingkat yang lebih tinggi.
Selain pembuatannya yang melanggar peraturan konstitusi, terdapat beberapa pasal di
Perppu Cipta Kerja yang dianggap melanggar hak-hak dari para buruh. Pasal-pasal
tersebut meliputi

1. Pasal 88D ayat 2 : Upah minimum akan dihitung dengan menggunakan formula
yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks
tertentu

Sebelumnya upah minimum hanya dihitung berdasarkan pertumbuhan


ekonomi dan inflasi, namun saat ini ditambahkan satu variabel baru yaitu indeks
tertentu. Kata ‘indeks tertentu’ sendiri masih sangat ambigu dan tidak diperjelas
definisi serta akurasinya. Banyak orang yang menyebutkan bahwa kata “indeks
tertentu” tersebut masih belum jelas definisi dan ukurannya, sehingga bisa memicu
kekeliruan untuk para pekerja di kemudian hari. Seharusnya perhitungan upah
minimum didasarkan pada komponen kebutuhan hidup layak warga di kota
tersebut.

2. Pasal 64 ayat 1: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan


kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara
tertulis

Pasal mengenai outsourcing ini sudah di hapus di rancangan UU Cipta


Kerja pada tahun 2020. Namun, pasal tersebut muncul kembali di Perppu Cipta
Kerja. Menurut pasal ini, sebuah perusahaan dapat mempekerjakan pekerja dari
luar perusahaan (outsourcing) sebagai pekerja kontrak dengan kontrak kerja
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT). Sebelumnya, sebuah perusahaan hanya diperbolehkan untuk
outsourcing pekerja dengan kontrak PKWT. Selain itu, tidak ada rincian mengenai
jenis pekerjaan apa yang dapat dilakukan oleh pekerja outsource, sehingga terdapat
kemungkinan dimana seorang pekerja akan terus menerus menjadi pekerja kontrak
dengan kontrak kerja PKWTT yang tidak mendapatkan insentif layaknya pekerja
tetap, walaupun pekerjaan yang mereka lakukan sama.
3. Pasal 156 ayat 1 : Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha
wajib membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima

Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, disebutkan bahwa buruh yang


di-PHK jika bukan karena alasan efisiensi, berpotensi dapat pesangon dua kali lipat
dari ketentuan. Namun, dalam Perppu Cipta Kerja disebutkan bahwa maksimal
pesangon yang akan didapatkan oleh para buruh hanya 9 kali gaji untuk masa kerja
8 tahun. Sementara itu, pekerja yang di-PHK dengan masa kerja kurang dari
setahun akan menerima pesangon 1 bulan upah. Untuk mereka yang durasi
kerjanya lebih dari setahun, tetapi kurang dari dua tahun akan mendapatkan 2 bulan
upah, dan seterusnya. Hal tersebut berarti pesangon yang dibayarkan oleh
perusahaan kepada pekerja akan lebih kecil.

Dengan adanya pasal-pasal tersebut, beberapa hak serta kebutuhan pekerja


berpotensi menjadi tidak terpenuhi. Kondisi ini dapat memberikan dampak psikologis
terhadap pekerja. Contohnya, dengan diberlakukannya pasal 64 ayat 1, pekerja yang
terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) berpotensi mendapatkan
waktu istirahat yang kurang cukup. Padahal istirahat merupakan kebutuhan fisiologis
dasar manusia yang harus terpenuhi. Dalam artikel yang dikeluarkan oleh Kemenkes
RI disebutkan bahwa kurang tidur dapat memberikan dampak negatif terhadap
psikologis seseorang, seperti konsentrasi yang buruk, gangguan dalam pengendalian
emosi, gangguan kecemasan, dll. Dalam perppu ini pun, pengaturan upah minimum
masih terdapat bagian yang rancu sehingga berpotensi merugikan pekerja dalam
mendapatkan haknya. Hal itu dapat mempengaruhi pekerja dalam pemenuhan
kebutuhan hidup yang layak terutama dalam memenuhi kebutuhan primer hariannya.
Begitupun dengan sistem pembayaran uang pesangon bagi pekerja yang mengalami
pemutusan kontrak.

Dalam perppu ini, pesangon yang dibayarkan perusahaan kepada pekerja


menjadi lebih sedikit dibandingkan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan
sebelumnya. Padahal uang pesangon berperan penting sebagai modal bagi pekerja
yang mengalami pemutusan kontrak untuk mencukupi pengeluaran kebutuhan
hidupnya sebelum mendapatkan pekerjaan baru. Selain itu, adanya pasal-pasal yang
kurang memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja di mata hukum juga
berpotensi mengancam kebutuhan pekerja di tingkatan selanjutnya, yaitu kebutuhan
atas rasa aman. Lalu, bagaimana mungkin pekerja dapat mengaktualisasikan dirinya
jika kebutuhan paling dasar saja masih belum terpenuhi?

J. Kemudahan Alih Fungsi Lahan menyengsarakan Petani

Indonesia disebut sebagai negara agraris karena sebagian besar masyarakatnya


bekerja pada sektor pertanian. Data dari BPS tahun 2022 menyebutkan bahwa ada
38,7 juta penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Hal ini
menandakan bahwa sektor pertanian memiliki peranan krusial dalam pembangunan
nasional dan ekonomi di Indonesia. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang
yang bekerja di sektor pertanian memiliki lahan pertanian. UU No. 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLP2B) berfungsi
dalam mengelompokkan suatu lahan yang diperbolehkan untuk aktivitas pertanian
yang berkelanjutan baik dari segi pangan, luas lahan, pencapaian produksi, serta dapat
mengurangi konversi lahan. Namun pada realitanya, alih fungsi lahan pertanian masih
kerap terjadi walaupun telah ada regulasi terkait.

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), alih fungsi lahan yang
terjadi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada awal tahun 1990 terjadi
alih fungsi lahan seluas 30.000 ha, kembali mengalami peningkatan pada tahun 2011
seluas 110.000 ha dan di tahun terakhir pada 2019 alih fungsi lahan pertanian pangan
kembali meningkat drastis menjadi seluas 150.000 ha. Hal itu, membuktikan bahwa
alih fungsi lahan masih tetap terjadi walaupun sudah ada regulasi yang mengatur
mengenai hal tersebut.

Hal tersebut semakin diperburuk ketika adanya perubahan regulasi atas


perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja. Alih
fungsi lahan pertanian semakin difasilitasi dalam klaster 8 UU Cipta Kerja. Para
petani kedepannya akan semakin sulit untuk memiliki lahan pertanian ataupun
menggarap lahan pertanian. Selain itu, tanah pertanian masyarakat akan semakin
berkurang. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya Pasal 44 ayat (2) UU
PLP2B dalam UU Cipta Kerja, dimana frasa Proyek Strategis Nasional (PSN)
ditambahkan sebagai perubahan pasal atas UU PLP2B yang ada dalam UU Cipta
Kerja. Pasalnya, penambahan kata PSN dalam perubahan peraturan perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja tersebut menunjukkan
betapa kontradiktifnya pemerintah dengan regulasi yang sebelumnya. Sebab dengan
alasan Proyek Strategi Nasional, alih fungsi lahan pertanian dapat dengan mudah
dilakukan.

.Dalam praktiknya, dikhawatirkan mengabaikan syarat-syarat lain, seperti


keharusan dilakukannya kajian kelayakan strategis, dan disusunnya rencana alih
fungsi lahan. Selain itu, kewajiban menyediakan tanah pengganti bagi petani juga
terhapus khususnya bagi petani yang terdampak. Ketentuan tersebut dapat
mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok
petani. UU Cipta Kerja akan mempermudah alih fungsi lahan. memperparah konflik
agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, perampasan dan penggusuran tanah
masyarakat. Bukti nyata negara tidak hadir dan memihak kepada petani kecil padahal
suara petani dari pelosok pedesaan perlu didengarkan sebab keberpihakan pada
mereka sama artinya sebagai investasi masa depan demi satu tujuan kedaulatan
pangan di negara.

K. AMDAL CACAT=Pembangunan Berkelanjutan

AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. (PP
27 Th.1999). AMDAL bertujuan untuk menjaga keserasian hubungan antara berbagai
kegiatan agar dampak dapat diperkirakan sejak awal perencanaan. Dengan AMDAL,
pemrakarsa dapat menjamin bahwa usahanya bermanfaat bagi masyarakat serta aman
terhadap lingkungan. Hasil AMDAL digunakan sebagai bahan perencanaan
pembangunan wilayah, maka hasil tersebut harus menjamin hak warga masyarakat
untuk memperoleh informasi, memberi saran, pendapat dan tanggapan bahkan
memastikan keterwakilan masyarakat sebagai Anggota Komisi Penilai AMDAL.
Masyarakat yang dimaksud, berdasarkan Pasal 26 ayat 3 UU PPLH, terdiri dari
masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau masyarakat
yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.

Dari pasal tersebut sudah jelas bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam
pengambilan keputusan AMDAL, namun pada tahun 2020 Perppu Cipta Kerja
menghadirkan polemik terkhusus bagi lingkungan. Aktivis lingkungan menilai UU
Cipta Kerja berpotensi melemahkan kekuatan analisis dampak lingkungan (Amdal)
yang berfungsi meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat di
sekitar aktivitas usaha. Dalam Pasal 22 poin 4 Omnibus Law Cipta Kerja, yang
berbunyi: Dokumen Amdal memuat saran, masukan serta tanggapan masyarakat
terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan
tersebut dilaksanakan. Pasal tersebut dianggap sebagai bentuk pelemahan penyusunan
AMDAL karena ada aturan yang mempersempit keterlibatan masyarakat dalam
penyusunan Amdal

Kategori masyarakat juga dihapuskan dalam Perppu Cipta Kerja. Tak ada lagi
keterlibatan pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas segala
bentuk keputusan dalam proses amdal. Penyusunan Amdal hanya melibatkan
pemrakarsa dan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan. Dengan artian, jika ingin membangun usaha di wilayah hulu maka
tidak harus melibatkan masyarakat hilir, padahal masyarakat hilir juga turut
merasakan dampak besar adanya proyek di wilayah hulu seperti limbah atau bahkan
pencemaran lingkungan secara global (nir emisi, efek rumah kaca, dll). Pelemahan
Amdal sebagai syarat investasi di sebuah wilayah dengan tujuan untuk mempermudah
perizinan yang sebelumnya bisa memakan waktu berbulan hingga bertahun-tahun.
Sangat jelas Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan oleh Pemerintah hanya
mempermudah proses investasi dan usaha, namun mengabaikan perlindungan
lingkungan hidup.

L. Urgensi Kesejahteraan Nelayan dan Masyarakat Bahari Terhadap


Undang-Undang Cipta Kerja

Indonesia merupakan negara kepulauan yang telah ditetapkan berdasarkan


konvensi UNCLOS 1982. Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, dimana 2/3 wilayahnya
merupakan perairan/laut. Sebagai negara kepulauan terbesar dan terpanjang pantainya
keempat di dunia, Indonesia memiliki kekayan laut yang sangat melimpah. Laut
Indonesia mengalami penurunan kualitas akibat maraknya kegiatan yang berdampak
negatif terhadap kondisi laut, seperti Illegal Fishing,

Perusakan terumbu karang dan pencemaran lingkungan. Ini merupakan


tantangan bagi bangsa Indonesia dimasa mendatang, bagaimana kekayaan yang sangat
besar tersebut dapat dimanfaatkan bagi sebesar besarnya untuk kesejahteraan
masyarakat secara berkelanjutan. UU Ciptaker pada pasal 27 ayat 11 yang berisi
“Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan ,
Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal
penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan”, di dalam
pasal tersebut terdapat ambiguitas dalam penafsiran istilah "Nelayan Kecil".
​Perubahan definisi nelayan kecil yang tidak lagi membatasi ukuran kapal dapat
mengurangi esensi ​affirmative action terhadap nelayan kecil. ​Dengan definisi yang
tidak jelas, keuntungan yang awalnya menjadi hak nelayan kecil, seperti subsidi
nelayan kecil, dan area tangkap (dekat pantai). Lalu, pada akhirnya penghapusan
ukuran kapal sebagai indikator definisi nelayan kecil menciptakan persaingan yang
tidak adil. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik. Selain itu, substansinya dapat mengancam
keberlanjutan sumber daya kelautan.

M. Kegentingan Ekonomi Tidak Jelas

Landasan pemerintah dalam mengeluarkan Perpu Cipta Kerja yang tertuang


dalam Perppu no 2 Tahun 2022 pada akhir tahun 2022. Keputusan untuk
mengeluarkan perpu ini menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat apalagi
dengan narasi yang dikeluarkan oleh menko perekonomian,Airlangga
Hartarto,menyebutkan bahwa perpu ini menjadi benteng perekonomian nasional
daripada ketidakpastian global dan tantangan seperti perang Rusia dan Ukraina,
Perubahan Iklim, Krisis Pangan, Energi dan Keuangan.
Tetapi ketidakpastian tersebut tidak bisa menjadi salah satu alasan kuat untuk
mengatakan kegentingan ekonomi dan hal tersebut telah diatur dalam peraturan
mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam UUD NRI 1945 pasal 22
ayat(1)11 dan diperjelas dengan putusan MK nomor 138/PUU-VII/200912 dan asumsi
pemerintah dalam APBN 2023 serta keadaan ekonomi saat ini bertolak belakang
dengan peraturan tersebut. Sehingga keputusan untuk menerbitkan perpu Ciptaker,

11
Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945,Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
12
Putusan MK tersebut mengatur tiga syarat agar keadaan tersebut secara objektif yaitu
kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan
UU berlaku,kebutuhan Undang-Undang agar tidak terjadi kekosongan hukum,dan
kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara pembuatan UU secara prosedur biasa
karena akan memakan waktu yang cukup lama.
terdapat beberapa indikator yang bertolak belakang dengan kegentingan ekonomi
yang harus dijawab dengan mengeluarkan perpu tersebut, sebagai berikut:

1. Asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2023 berdasarkan kinerja


APBN 2022

Dalam APBN 2023 pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi


Indonesia berada di angka 5,3 % lebih tinggi daripada proyeksi IMF
(International Monetary Fund) dengan demikian pemerintah memberikan
optimis yang ditinggi ditengah kepastian ekonomi yang disampaikan di awal.
Optimisme pemerintah terhadap tahun 2023,berdasarkan kinerja tahun 2022
dengan beberapa indikator dan yang mendukung satu sama lain,yaitu
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 berada di angka 5,3%(yoy) dan tingkat
inflasi di angka 5,5 % serta prospek perekonomian Indonesia dapat tumbuh
juga terlihat dari nilai IKK (Indeks Keyakinan Konsumen) yang terjaga, PMI
(Purchasing Manufacturing Index) manufaktur yang konsisten ekspansif,neraca
perdagangan yang surplus,dan rasio utang.13
Selain itu indikator pendukung perekonomian dari sektor riil dan
eksternal seperti pada bulan Januari 2023 menunjukkan Indeks Kepercayaan
Konsumen bergerak ke level optimis yakni 123,0,PMI manufaktur di level
insentif pada angka 51,3 dan sektor eksternal terdapat peningkatan cadangan
devisa per Januari 2023 yakni sebesar 139,4 miliar USD.14
Kinerja APBN 2022 menunjukkan perbaikan dalam segi defisitnya
terdapat perbaikan daripada tahun 2020 dan 2021.Perbandingan antara tahun
anggaran 2021 dan 2022 terdapat penurunan yang signifikan terhadap defisit
anggaran dari angka 4,57% hingga 2,38% yang melebihi asumsi daripada
APBN awal tahun 2022 serta Perpres no 98/2022.15

13
Dihimpun dari Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia nomor
HM.4.6/76/SET.M.EKON.3/03/2023,diakses dari ekon.go.id
https://ekon.go.id/publikasi/detail/4964/optimis-ekonomi-tetap-tumbuh-positif-di-tahun-2023-pemerintah-doron
g-pemanfaatan-bonus-demografi-dan-pengendalian-inflasi
14
Dihimpun dari Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia nomor
HM.4.64/54/SET.M.EKON.3/02/2023 diakses dari ekon.go.id :
https://ekon.go.id/publikasi/detail/4919/optimis-menghadapi-perekonomian-tahun-2023-pemerintah-terus-lakuk
an-transformasi-ekonomi
15
Menkeu: Defisit APBN 2023 Berhasil di bawah 3%Diakses dari kemenkeu.go.id:
https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Menkeu-Defisit-APBN-2022-Berhasil-Di-
Bawah-3
2. Optimalisasi Perpajakan tahun 2023

Pemerintah dan DPR RI telah menetapkan penerimaan perpajakan


sebesar Rp2.021,2 T yang terbesar dalam sejarah dengan pertumbuhan 5,0 %
dari outlook APBN 2022 yang ditopang penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 T
dan kepabean sebesar Rp 303,2T16, dengan demikian diperlukan kebijakan
penerimaan perpajakan tahun 2023 untuk mendukung transformasi
ekonomi,upaya pemulihan ekonomi,dan rangka penguatan fiskal. Oleh karena
itu dibutuhkan optimalisasi melalui reformasi perpajakan yang titik beratkan
pada kepatuhan dan sistem perpajakan. Optimalisasi perpajakan ditumbuhkan
dengan penerimaan perpajakan yang tumbuh relatif moderat dengan mendorong
aktivitas ekonomi,keberlanjutan reformasi perpajakan,implementasi UU
Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan penegakkan hukum.
Optimalisasi perpajakan tahun 2023 dapat ditopang dengan
implementasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan harapan bahwa
UU tersebut dapat menutup berbagai celah aturan (loopholes) dan mendorong
Program Pengupahan Sukarela (PPS),sistem administrasi pengawasan dan
pemungutan perpajakan,serta kepastian hukum perpajakan17.
Selain itu,reformasi perpajakan juga menjadi hal utama dalam
optimalisasi perpajakan yang akan terus dilanjutkan pada tahun 2023 salah
satunya penerapan kebijakan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP) yang mulai melakukan sosialisasi
kepada masyarakat merupakan salah satu cara meningkatkan penerimaan pajak
dan akan berdampak langsung terhadap PPh non migas. Optimalisasi perpajakan
yang akan terus dilaksanakan dan diawali dengan kinerja penerimaan
perpajakan pada bulan Januari 2023 dengan penerimaan 48,6% dan 9,44% dari
target APBN 2023 yang ditopang dari kegiatan ekonomi pada akhir tahun 2022
dan implementasi UU HPP.

16
Dihimpun dari Siaran Pers Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan SP-38/BKF/2022 diakses dari
fiskal.kemenkeu.go.id:https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/435
17
Perencanaan Pajak Tahun 2023 dari Buku II Nota Keuangan APBN 2023
3. Perang Rusia-Ukraina bukan menjadi ancaman bagi perekonomian
nasional

Perang Rusia-Ukraina yang terjadi hampir satu tahun memberikan


dampak yang besar yaitu menimbulkan ketidakpastian ekonomi,terganggunya
rantai pasokan makanan,dan energi. Seperti diketahui negara Rusia merupakan
salah satu negara eksportir gas bumi sedangkan Ukraina dikenal sebagai negara
eksportir gandum terbesar di dunia tanpa disadari kedua hal tersebut memiliki
peranan yang cukup besar terhadap rantai pasokan makanan dan energi.Tetapi di
masa yang bersamaan Indonesia mendapatkan “durian runtuh” terutama untuk
komoditas batubara dan kelapa sawit.
Komoditas unggulan Indonesia yaitu batubara menjadi salah satu
komoditas yang paling dicari selama perang Rusia-Ukraina apalagi dengan
larangan impor energi Rusia khususnya di Uni Eropa tetapi perlu diketahui juga
bahwa ketergantungan terhadap energi rusia cukup tinggi. Oleh karena
itu,batubara Indonesia menjadi salah satu jawaban atas permasalahan tersebut.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP) khususnya dari
penjualan batubara mengalami peningkatan daripada yang direncanakan pada
yaitu Rp 173,51 T dengan target Rp 101,84 T dengan proyeksi kontribusi di
angka 75-80% terhadap PNBP tahun 2022.

Berdasarkan ketiga penjabaran diatas bahwa kegentingan ekonomi yang


disuarakan sebagai alasan pemerintah dalam menerbitkan Perpu no 2 tahun
2022 tentang Cipta Kerja tidak memenuhi aspek kegentingan, Hal tersebut
didasari dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tergolong optimis
di tengah ketidakpastian ekonomi global,perpu ciptaker juga melingkupi
berbagai aturan perundang-undangan sebelum ini termasuk dalam sektor
perpajakan bisa dikatakan bahwa implementasi dari Undang-Undang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan dapat berjalan efektif apalagi dengan
semangat reformasi dan optimalisasi perpajakan,dan penerimaan negara untuk
menopang perekonomian nasional masih terjaga bahkan mengalami surplus
dengan sebab yang kita anggap sebagai salah satu sebab-akibat penerbitan perpu
tersebut yaitu perang Rusia-Ukraina. Dengan demikian jika mengacu pada
peraturan mengenai hal ihwal kegentingan memaksa dan kegentingan ekonomi
maka perpu ini tidak memiliki standing order yang jelas sehingga alasan
penerbitan perppu ini hanya menjadi pembenaran pemerintah saja dalam
memuluskan kebijakan perekonomian yang masih catat dan tidak memihak pada
kebutuhan rakyat secara luas dan berjangka panjang.

N. Hilirisasi Batubara

Terciptanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu)


tentang cipta kerja nomor 2 tahun 2022 yang diresmikan secara inkonstitusional pada
akhir tahun. Kebijakan yang diputuskan dalam Perpu menimbulkan banyak kontra di
masyarakat terlebih lagi dari literatur yang ditulis Lembaga riset, Celios dinyatakan
bahwa Perpu Ciptaker menghambat percepatan transisi energi dan berpotensi
merugikan negara. Seperti yang sudah dijelaskan dalam kajian “Kegentintangan
Ekonomi Tidak Jelas” bahwa perpu ini menjadi benteng nasional bukanlah hal yang
sinkron dengan proyeksi yang dilakukan pemerintah.

Salah satu poin yang sangat krusial dalam Perppu Cipta kerja di bidang energi
dan lingkungan adalah paragraf 5 terkait perubahan iuran produksi atau royalti produk
hilirisasi batubara menjadi 0%. Adanya kebijakan royalti hilirisasi batubara sebesar
0% dalam Perpu Cipta Kerja dapat memicu terjadinya kerugian bagi negara, ada
beberapa indikator yang menjadi dampak kerugian negara yaitu:

1. Estimasi Kerugian royalti Batubara 0% terhadap APBN (PNBP)

Kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor


pertambangan umum dan batubara masih lebih kecil dari pada potensi yang
sebenarnya.18 Jika dilihat porsi batubara terhadap PNBP, royalti batubara
sebesar 85% terhadap total PNBP minerba. Sepanjang 2020, jumlah PNBP
yang diterima senilai Rp 34,6 triliun melebihi target yang ditetapkan senilai Rp
31,41 triliun. Dengan jumlah ini artinya produsen batubara menyumbangkan
sekitar Rp 29,41 triliun dari total BNPB yang diterima.

Target penerimaan PNBP sektor pertambangan umum dan batubara


dalam APBN tahun 2013 sebesar 31,6 triliun. Optimisme pemerintah diperkuat
dengan kenaikan royalti batubara yang dikemukakan direktur kementerian
ESDM sebesar 13,5% pada jenis PKP2B mulai tahun 2014. Sedangkan dengan
18
Menkeu : Batu Bara Masih Jadi Kontributor PNBP Terbesar diakses dari kemekeu.go.id :
https://e-mawaspnbp.kemenkeu.go.id/artikel/22
kebijakan Perpu yang menetapkan royalti batubara 0% sangat bertolak
belakang19. Dalam Perpu Cipta Kerja dapat berpotensi kehilangan royalti
mencapai Rp 33,8 triliun per tahun apabila di asumsikan produksi batu bara
sebesar 666,6 juta ton per tahun.

Peningkatan penerimaan royalti batubara dengan menaikan tarif khusus


IUP sampai dengan 13.5% merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
penerimaan PNBP. Peningkatan penerimaan royalti tanpa mempertimbangkan
kapasitas produksi. beberapa rekomendasi terkait dengan kenaikan tarif
royalti, di antaranya dengan: mempertahankan metode tarif royalti mineral dan
batubara dengan basis ad-valorem; Kenaikan tarif royalti batubara
menggunakan tarif progresif dengan mempertimbangkan harga patokan
batubara, di mana semakin tinggi kalori dan harga batubara maka royalti yang
dibayarkan semakin besar.20

2. Hilangnya pendapatan Dana Bagi Hasil yang diterima daerah penghasil


SDA

Berkurangnya setoran royalti merupakan salah satu dampak negatif


implementasi Perpu Cipta Kerja. Asumsi Dana Bagi Hasil (DBH)
pertambangan yang diterima pemerintah daerah sebesar 80% dari PNBP
royalti. Besarnya pengaruh royalti batubara terhadap DBH akan berpotensi
mengakibatkan penurunan pembangunan di wilayahnya.

Tercatat 12 provinsi dan puluhan kabupaten masih menggantungkan


pendapatan daerahnya dari DBH batubara. DBH pertambangan ini tidak hanya
diterima oleh pemerintah provinsi, melainkan juga kabupaten/kota penghasil
maupun daerah di sekitarnya yang berada di wilayah provinsi tersebut. Daerah
idealnya berhak mendapatkan porsi yang lebih besar dari DBH pertambangan,
karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari sektor pertambangan
cukup besar. Kebijakan royalti 0% hilirisasi batubara bertentangan dengan
upaya memberikan kompensasi SDA yang adil bagi daerah.

19
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan bahwa
kebijakan pemberian royalti 0% ini agar bahan baku bisa menjadi lebih kompetitif, investasi bisa dilaksanakan,
tenaga kerja bisa diserap, dan mempunyai nilai kompetitif.
20
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan diakses dari
https://fiskal.kemenkeu.go.id/kajian/2014/03/28/151723695751722-kajian-evaluasi-tarif-penerimaan-negara-bu
kan-pajak-pnbp-mineral-dan-batubara
Selain itu, kehilangan potensi DBH ditengah booming harga batubara
mengakibatkan dampak signifikan. Potensi DBH seharusnya bisa menjadi
upaya terhadap pengurangan kemiskinan, stimulus pelaku usaha mikro, dan
belanja mitigasi dampak kerusakan lingkungan di daerah penghasil SDA.

3. Perpu bertolak belakang dengan komitmen transisi energi menimbulkan


ketidakpastian terhadap investasi di sektor EBT

Pada tahun 2021, Indonesia menandatangani Global Coal to Clean


Power Transition Statement 4 di KTT Iklim COP 26 yang merupakan
komitmen pertama Indonesia untuk keluar dari penggunaan batubara dan tidak
membangun proyek batubara baru. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Perusahaan Listrik negara
(PLN) sama-sama memiliki target untuk mengakselerasi transisi energi
berkeadilan dari energi fosil menuju energi terbarukan. Skema tersebut adalah
Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism
(ETM).

Tetapi gencarnya hilirisasi batubara ini membuat akselerasi kebijakan


transisi energi menjadi bertolak belakang, terutama bila disandingkan dengan
target energi terbarukan yang selama ini ditetapkan pemerintah setiap
tahunnya. Sebagaimana ditemukan dalam laporan Indonesia Energy Transition
Outlook (IETO) 2023 IESR, bahwa pertumbuhan bauran energi terbarukan
dari total energi primer justru mengalami penurunan dari 11,5 persen di 2021
menjadi 10,4 persen di 2022. Pada kurun waktu yang sama, bauran batubara
terus naik dari 39 persen menjadi 43 persen.

Penerbitan Perpu Cipta Kerja juga menjadi kabar duka bagi para
stakeholder di sektor EBT. Perpu cipta kerja dengan insentif batu bara bertolak
belakang dari upaya menuju Net Zero Emission 2060. konsistensi yang tidak
dimiliki pemerintah mengakibatkan rasa takut stakeholder untuk berinvestasi,
padahal berdasarkan IETO target investasi energi terbarukan sepanjang lima
tahun terakhir hanya mencapai USD 1,6 miliar per tahun atau 20 persen dari
total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran 23 persen di
2025.
4. Dampak kerugian lingkungan yang dihasilkan Perpu Cipta Kerja.

Perppu Ciptaker dinilai mengabaikan lingkungan. Direktur Eksekutif


Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi
mempertanyakan alasan penerbitan Perppu Cipta Kerja yang dinilai mendesak
dan berpotensi pencemaran lingkungan yang dilakukan korporasi di bidang
sumber daya alam21. Dalam Perppu Cipta Kerja, khususnya Pasal 110 a dan b,
memberikan waktu kepada perusahaan yang merampok sumber daya alam ini
untuk melengkapi perizinannya hingga 2 November 2023.

Hal yang dikhawatirkan yaitu ketentuan terkait pengelolaan dan


perlindungan lingkungan hidup akan menjadi bias dengan keinginan untuk
percepatan perizinan atau investasi. Secara konsep, beberapa ketentuan yang
dulu tertuang dalam UU Cipta Kerja memiliki tujuan yang lebih baik untuk
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Salah satu contoh konsep
tersebut yakni terkait dengan integrasi tiga persyaratan standar perizinan
berusaha yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. Tiga persyaratan itu mencakup
kesesuaian penataan ruang, persetujuan lingkungan, dan persetujuan bangunan
gedung.

O. Dampak Perpu Cipta Kerja Terhadap Ketahanan Pangan

PERPPU cipta kerja yang hadir dengan harapan membawa kemandirian


maupun kedaulatan dan memiliki ketahanan pangan yang baik rasanya malah
berbanding terbalik dengan realitanya, nyatanya malah membawa indonesia
berpotensi terjebak dalam kebiasaan impor produk pertanian. hal tersebut dikarenakan
banyak permasalahan dan kecacatan pembuatan regulasi yang mengakibatkan
resahnya para petani dan peternak terhadap kasus impor yang ada.

Alih-alih untuk menjawab permasalahan anjloknya harga hasil pertanian justru


malah melegitimasi praktik impor, caranya dengan dihapusnya aturan larangan impor
komoditas pertanian pada saat kebutuhan dan cadangan komoditas pertanian dalam
negeri mencukupi dengan adanya Perubahan atas undang-undang nomor 19 tahun
2013 tentang Perlindungan dan pemberdayaan petani. Hal tersebut berakibat fatal
21
PRADIPTA PANDU,Sisi Lingkungan Hidup Tetap Diabaikan dalam Perppu Cipta Kerja,kompas.id, 30
Januari 2023,
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/28/sisi-lingkungan-hidup-tetap-diabaikan-dalam-perppu-cipta-
kerja
terhadap kesejahteraan petani dalam negeri yang imbasnya produk dalam negeri akan
bersaing ketat dengan produk impor yang berakibat fluktuatifnya harga hasil pangan,
Selain itu pemerintah menghapus pasal 101 tentang pidana terhadap orang yang
mengimpor pangan tanpa memperhatikan ketersediaan dan ketercukupan komoditas
pertanian dalam negeri juga hadir sebagai deregulasi yang membuka celah besar para
sindikat importir pangan. Celah yang muncul memudahkan seseorang impor
sembarangan serta dapat menurunkan harga komoditas pangan hasil produksi dalam
negeri.

Penghapusan aturan pidana ini merupakan pilihan untuk memperkokoh praktik


liberalisasi pangan yang salah kaprah serta akan berdampak langsung terhadap
penurunan harga jual petani dalam negeri. Menurut hendra fatika (dirut pataka) esensi
Undang-Undang Cipta Kerja adalah mendorong penciptaan lapangan kerja, sekaligus
meningkatkan investasi asing dan dalam negeri, dengan mengurangi berbagai macam
persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah. permasalahan yang
dihadapi oleh peternak saat ini, adalah ketersediaan pakan dan bibit dengan harga
terjangkau dan berkualitas, serta jaminan harga.

P. Mengekspos Ancaman Lingkungan Akibat Perpu Cipta Kerja

Dalam mengantisipasi perkembangan dinamika perekonomian global yang


dapat berdampak signifikan kepada perekonomian nasional dan penciptaan lapangan
pekerjaan, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai kebijakan antisipatif
dalam penguatan fundamental ekonomi domestik melalui reformasi struktural. Pada
kenyataannya, Perppu Cipta Kerja telah menjadi kontroversi dan menuai berbagai pro
dan kontra di masyarakat. Meskipun Pemerintah mengklaim bahwa peraturan tersebut
dibuat untuk memperkuat ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, namun banyak
yang menilai bahwa isi dari Perppu tersebut justru cenderung merugikan buruh dan
masyarakat kecil. Selain itu, terdapat berbagai kebijakan yang dinilai memiliki potensi
merugikan lingkungan, terutama dalam hal pengaturan tata ruang, perlindungan hutan
dan lahan, serta pengelolaan limbah dan bahan berbahaya.

Perppu Cipta Kerja juga menjadi kontroversial terkait pasal-pasal yang


mengatur dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu Usaha atau Kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukannya proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggara Usaha atau Kegiatan. Pada pasal 25 Perpu Cipta
Kerja ayat 3 menyebutkan penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
hanya melibatkan masyarakat yang terdampak langsung. Padahal dalam UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, selain masyarakat yang terdampak,
pemerhati lingkungan dan masyarakat lain yang terpengaruh atas segala keputusan
amdal juga perlu untuk dilibatkan dalam memperkuat landasan serta analisis terkait.
Maka secara penalaran didapat kesimpulan bahwa masyarakat yang tidak terkena
dampak terhadap rencana proyek tidak dapat dilibatkan dalam tahap penyusunan
amdal seperti kelompok pecinta lingkungan dan LSM yang bergerak di bidang
lingkungan hidup meskipun masyarakat tersebut memiliki hak, kepentingan dan
keahlian lebih dalam menelisik suatu permasalahan lingkungan.

Dilansir dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, pada tahun 2021


pembuangan limbah di indonesia menghasilkan timbulan limbah B3 mencapai 60 juta
ton. B3 atau bahan berbahaya dan beracun adalah bagian dari limbah anorganik yang
turut berkontribusi menyebabkan pencemaran lingkungan. Berdasarkan sumbernya,
limbah B3 banyak berasal dari sektor manufaktur. Data Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan sebanyak 2.897 industri sektor
manufaktur menghasilkan limbah B3 pada tahun 2021. Kemudian, sektor prasarana
menghasilkan limbah B3 yang berasal dari 2.406 industri. Lalu, sebanyak 2.103
industri sektor pertanian (agroindustri) menghasilkan limbah B3, dan sektor
pertambangan energi dan migas menghasilkan limbah B3 sebanyak 947 industri.
Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan lingkungan khususnya
pembuangan limbah di negeri ini dikuatkan dengan kebijakan di perppu cipta kerja
no. 2 pasal 25 yang telah dirancang. Selain itu, dalam Perppu Cipta Kerja, khususnya
Pasal 110 a dan b, tercantum suatu kebijakan yang memberikan waktu kepada
perusahaan yang merampok sumber daya alam untuk melengkapi perizinannya.
WALHI mencatat, selama ini masih banyak perusahaan yang diyakini bertanggung
jawab terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Namun, mayoritas perusahaan
tersebut sampai saat ini tidak pernah mendapat penegakan hukum yang setimpal.

Dengan adanya riwayat buruk terkait pembuangan limbah selama beberapa


tahun kebelakang, tidak terlihat suatu usaha ataupun komitmen dari pihak pemerintah
dalam menanggulanginya, terlebih lagi hal ini dibuktikan dengan penghapusan salah
satu kebijakan di dalam Perppu Cipta Kerja Kerja yaitu Pasal 102 dan pasal 59 ayat 4
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur sanksi berat
bagi pelaku pengelolaan limbah B3 tanpa izin yang dianggap akan memudahkan
kegiatan eksploitasi alam yang akan menambah potensi timbulnya dampak
lingkungan. Dalam implementasinya, hal ini dikhawatirkan dapat mengurangi
transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait
lingkungan hidup. Ini berarti tidak lagi ada sanksi tegas yang dapat menghambat
pelaku usaha untuk membuang limbah B3 secara sembarangan dan membahayakan
lingkungan hidup. Padahal, limbah B3 merupakan limbah berbahaya yang dapat
menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Selain itu, pada pasal 162 Perpu Cipta Kerja tertera beberapa ayat yang
mengatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling
banyak Rp 100 juta bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha
pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) serta Surat Izin
Pertambangan Batuan (SIPB). Pasal ini sangat memecah kerangka perlindungan
lingkungan dan sosial. Kebijakan ini dapat berpotensi menimbulkan kerusakan
lingkungan yang lebih signifikan.

Kegiatan pertambangan sendiri sudah dikenal sebagai salah satu sektor yang
memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, seperti kerusakan habitat alami,
pencemaran air dan udara, serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Dengan sanksi
yang kurang tegas, para pemegang izin pertambangan dapat dengan leluasa merusak
lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat sekitar. Hal ini menjadi perhatian
serius bagi mereka yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan perlindungan hak
asasi manusia. Maka, penting bagi pemerintah untuk memperkuat aturan terkait
pengelolaan limbah B3 dan memberikan sanksi yang cukup tegas bagi pelanggar.
Jangan biarkan keuntungan bisnis mengalahkan keselamatan lingkungan dan
kesehatan masyarakat.
PENUTUP

Keputusan Presiden Jokowi dalam menerbitkan Perpu, sejatinya merupakan bentuk


penghinaan terhadap perintah MK, padahal MK telah memerintahkan pemerintah untuk
memperbaiki UU Cipta Kerja dan harus memberikan ruang partisipasi masyarakat
dalam pembentukanya. Alih-Alih menuruti Perintah MK atas nama konstitusi negara
sebagai peraturan tertinggi, Presiden Jokowi justru menggunakan mekanisme Perpu yang
mana justru TIDAK MEMBERIKAN RUANG PARTISIPASI SAMA SEKALI DALAM
PEMBENTUKANYA. MK merupakan ‘wakil Tuhan di dunia’ sehingga segala macam
perintah dan putusannya merupakan suatu titah suci mutlak yang harus dijalankan dalam
negara ini.

Banyaknya pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja maupun Perpu Cipta Kerja,
merupakan bukti nyata kurangnya pemerintah dalam berkonsultasi dan melibatkan
masyarakat sipil dalam pembahasan penyusunanya. Bagaimana mungkin suatu
undang-undang yang memang dapat mengubah khalayak ramai hingga kehidupanya tanpa
melibatkan masyarakat itu, dari proses penyusunanya saja secara prosedural sudah tidak
dapat dibenarkan, apalagi secara substansi atau materil yang mana jika suatu undang-undang
itu mengatur kehidupan seseorang maka wajib hukumnya untuk dilibatkan dalam
pembentukanya.
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, W. (2017). Hak Asasi Manusia: Studi Hak-hak Buruh di Indonesia. Dimensi Vol.6
(1) hlm. (106-125).
https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/download/528/395
Erhamwilda. (2005). Mengubah Budaya Kerja sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas
Bangsa. Mimbar Vol. XXI (4) hlm. (578-598)
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/195
Fatanen, A. (2021). Eksistensi Kewenangan Daerah dalam Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup Pasca diterbitkannya Undang-Undang Cipta kerja. Khazanah

Hukum, 3(1).

Hidayat, R. (2023, Januari). AJI: Perppu Cipta Kerja Merugikan Pekerja. hukumonline.com.
https://www.hukumonline.com/berita/a/aji--perppu-cipta-kerja-merugikan-pekerja-lt6
3c34c5ed26ad/#!

Huda, N. M. (2019). Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Nusa Media.

Ismail, I. (2012). Karl Marx dan Konsep Perjuangan Kelas Sosial. International Journal of
Islamic Thought, Vol.1(class struggle), 1-7.
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=23
Karamoy, A. (2023, Januari 4). Penghentian Siaran Televisi Analog dan Dampaknya.
Kompas.id.
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/03/penghentian-siaran-televisi-analog-dan
-dampaknya
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2022, Agustus 10). Batas
Akhir Penghentian Siaran TV Analog (ASO) Tetap 2 November 2022 sesuai Amanat
UU No. 11 Tahun 2020Cipta Kerja. Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia. Retrieved Maret 16, 2023, from
https://www.kominfo.go.id/content/detail/43590/siaran-pers-tentang-batas-akhir-peng
hentian-siaran-tv-analog-aso-tetap-2-november-2022-sesuai-amanat-uu-no-11-tahun-2
020-tentang-cipta-kerja/0/siaran_pers

Khairunnisa, A. (2018). Penerapan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan


Produk Hukum oleh Pemerintah Daerah. Journal Manajemen Pemerintahan Vol.5 (1)
hlm. (65-78). https://ejournal.ipdn.ac.id/JMP/article/download/451/273

Kumparan. (7 September 2021). Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia. Diakses pada 14 Maret

2023. dari:
https://m.kumparan.com/amp/suhari-ete/sejarah-pergerakan-buruh-indonesia-1
wU1E9Or9E5#referrer=https://www.google.com&csi=0.

Kure, E. (2022, Agustus 11). Kemenkominfo Tegaskan Penghentian Siaran ASO Sesuai
Jadwal. Investot.id.
https://investor.id/it-and-telecommunication/302824/kemenkominfo-tegaskan-penghe
ntian-siaran-aso-sesuai-jadwal

Malaka, T. (2019). Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Novanto, Arya Setya. (2022). Efektivitas Undang-Undang Cipta Kerja Dalam Pembangunan

Hukum Indonesia. Diakses pada 14 Maret 2023. dari:


https://www.google.com/url?client=internal-element-cse&cx=00143197884746653
9083:xsldadcvvvo&q=https://journals.usm.ac.id/index.php/julr/article/download/
5084/2649&sa=U&ved=2ahUKEwjXyZCOlN79AhVV-XMBHfiWD6cQFnoECA
cQAQ&usg=AOvVaw2IW9vT35X9kxOHwKV79AVA.

Noor, F. (2023). Perpu Cipta Kerja dan Sistem Proporsional Tertutup Cerminan Menguatnya
Oligarki. Tempo.co. Diakses dari
https://koran.tempo.co/read/opini/479344/perpu-cipta-kerja-dan-sistem-proporsional-t
ertutup-cerminan-menguatnya-oligarki pada 14 Maret 2023.

Okezone.com. (13 Oktober 2020). Ternyata Ini Latar Belakang UU Cipta Kerja. Diakses pada

14 Maret 2023. dari:


https://economy.okezone.com/read/2020/10/13/320/2292723/ternyata-ini-latar-bel
akang-pembentukan-uu-cipta-kerja.

Pane, N. (2015). Mohammad Hatta: Politik, Ekonomi, Kebangsaan (1926-1977). Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara.


Patoppoi, B. (2023, Januari). AJI Tuntut Presiden Cabut Perppu Cipta Kerja yang Tak Sesuai
Putusan MK. suarasurabaya.net.
https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2023/aji-tuntut-presiden-cabut-perppu-cipt
a-kerja-yang-tak-sesuai-putusan-mk/
Rachman, A. (2022, November 5). Kronologi Adu Pernyataan Hary Tanoe Vs Mahfud MD
Soal Migrasi TV Digital. Tempo.co.
https://bisnis.tempo.co/read/1653383/kronologi-adu-pernyataan-hary-tanoe-vs-mahfu
d-md-soal-migrasi-tv-digital
Rayadi, M. P. (2022, November 6). Roundup: Pro-kontra Migrasi TV Analog ke TV Digital,
Rakyat Kecil Dirugikan atau Tidak. PikiranRakyatcom.
https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-015798441/roundup-pro-kontra-migrasi-t
v-analog-ke-tv-digital-rakyat-kecil-dirugikan-atau-tidak?page=2
Rudy. (2012). Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia.
Bandar Lampung: Indepth Publishing.
Sabardi, L. (2014). Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. Yustisia, FH UNS edisi, 88, 67-79.

SejarahLengkap.com. (11 Juni 2019). Sejarah Hari Buruh (1 Mei) di Dunia dan Indonesia.

Diakses pada 14 Maret 2023. dari:


https://sejarahlengkap.com/dunia/sejarah-hari-buruh.

Suharjono, M. (2014). Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung

Otonomi Daerah. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 10(19).

Tempo.co. (2023). Memaksakan Kegentingan untuk Terbitkan Perpu. Koran Tempo. Diakses
dari:
https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479355/memaksakan-situasi-genting-agar-bi
sa-terbitkan-perpu-cipta-kerja pada 14 Maret 2023.

Tirto.id. (7 April 2017). Swastanisasi Gula, Melegalkan Jawa. Diakses pada 14 Maret 2023.

dari: https://tirto.id/swastanisasi-gula-meliberalkan-jawa-cmhe.

Woodfin, R & Zarate, O. (2008). Marxisme Untuk Pemula. Magelang: Resist Book
Sumarja, et.al. (2021). Problematika Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Pasca
Undang-Undang Cipta Kerja. Vol 27(4):492-503. DOI:
https://doi.org/10.47268/sasi.v27i4.562

Dihimpun dari Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik


Indonesia nomor HM.4.6/76/SET.M.EKON.3/03/2023,diakses dari ekon.go.id
https://ekon.go.id/publikasi/detail/4964/optimis-ekonomi-tetap-tumbuh-positif-di-ta
hun-2023-pemerintah-dorong-pemanfaatan-bonus-demografi-dan-pengendalian-infla
si
Menkeu: Defisit APBN 2023 Berhasil di bawah 3%Diakses dari kemenkeu.go.id:
https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Menkeu-Defis
it-APBN-2022-Berhasil-Di-Bawah-3
Dihimpun dari Siaran Pers Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
SP-38/BKF/2022 diakses dari
fiskal.kemenkeu.go.id:https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/435
Buku II Nota Keuangan APBN 2023
Menkeu : Batu Bara Masih Jadi Kontributor PNBP Terbesar diakses dari kemekeu.go.id :
https://e-mawaspnbp.kemenkeu.go.id/artikel/22
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan diakses
dari
https://fiskal.kemenkeu.go.id/kajian/2014/03/28/151723695751722-kajian-evaluasi-t
arif-penerimaan-negara-bukan-pajak-pnbp-mineral-dan-batubara
PRADIPTA PANDU,Sisi Lingkungan Hidup Tetap Diabaikan dalam Perppu Cipta
Kerja,kompas.id, 30 Januari 2023,
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/28/sisi-lingkungan-hidup-tetap-dia
baikan-dalam-perppu-cipta-kerja

Anda mungkin juga menyukai